Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
PENGEMBANGAN KLASTER BERDAYA SAING DENGAN MELIBATKAN PERAN CSR Ratih Rahmahwati1, Janti Gunawan2, dan Sri Gunani Partiwi2 , 1, 2, 3) Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
[email protected],
[email protected],
[email protected], ABSTRAK Konsep klaster dalam industri telah digunakan oleh negara-negara maju dan berkembang untuk meningkatkan daya saing negaranya dan telah berhasil mengatasi keterbatasan UKM dalam hal ukuran usaha dan persaingan. Indonesia juga menerapkan konsep klaster yang tertuang dalam kebijakan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, rencana pengembangan klaster tidaklah mudah karena kondisi klaster di Indonesia sebagian besar masih berdaya saing rendah. Di sisi lain kondisi pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan (CSR) di Indonesia sebagian besar masih berupa karikatif dan pendanaan kegiatan sosial masyarakat. Padahal sesuai arahan kebijakan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Permen BUMN No. Per05/MBU/2007 bahwa tanggungjawab sosial perusahaan diarahkan pada pemberdayaan masyarakat lokal dan lingkungan. Maka, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi daya saing klaster melalui identifikasi scooring untuk menjaring ekspektasi stakeholder klasterCSR yakni masyarakat sebagai pelaku inti klaster, pemerintah dan swasta sebagai pelaku CSR. Kemudian dilakukan perancangan pengembangan klaster dengan melibatkan peran CSR. Berdasarkan hasil analisa terhadap kondisi eksisting, didapat hasil bahwa daya saing klaster masih rendah dan perlu dilakukan sinergitas antar stakeholder di dalamnya. Kata kunci:
klaster, corporate social responsibility, daya saing
PENDAHULUAN Klaster adalah sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang tertentu yang secara geografis berdekatan, bekerja sama karena kesamaan dan saling memerlukan (Porter, 1998). Konsep klaster telah banyak berhasil diterapkan oleh negara-negara maju dan berkembang untuk pengembangan ekonomi negara. Seperti contohnya Cina yang setelah reformasi pasar di tahun 1979 klaster industrinya berkembang sangat pesat dan dalam jumlah yang besar menjadi kekuatan daya saing perekonomian negara tersebut dalam pasar internasional (Zhang et al., 2004). Sekitar 60 % komoditi ekspor di India berasal dari UKM-UKM yang terkelompok di dalam klaster (Roy & Banerje, 2007) serta Denmark yang membangun jejaring bisnis UKM sehingga membentuk klaster dengan bantuan dari “The Danish Technological Institute” (Gelsing et al,1996). Di beberapa negara yang menjadi rujukan, klaster industri telah menjadi mekanisme ampuh untuk mengatasi keterbatasan industri kecil dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Indonesia menganut pendekatan klaster dalam pengembangan industri dan perekonomiannya. Kebijakan untuk mengembangkan klaster untuk memperkuat koridor perekonomian mulai ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) tahun 2000-2004. Kebijakan klaster mutakhir ditegaskan kembali dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011. Di dalam MP3EI juga menyebutkan
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-1
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
model kerjasama baru untuk mencapai targetan yakni pola kerjasama pemerintah dan swasta atau public private partnership terutama dalam pengadaan infrastruktur. Namun mengembangkan klaster di Indonesia tidaklah mudah, terdapat tantangan-tantangan yakni kondisi klaster di Indonesia sebagian besar masih merupakan industri mikro dan kecil dengan kategori artisinal dengan ciri produktivitas dan penghasilan rendah, teknologi yang sederhana serta pemasaran yang terbatas. Hal yang berbeda terjadi dengan industri besar dimana teknologi dan pengetahuannya sudah mencapai skala internasional (Tambunan, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing klaster dengan cara menghubungkan klaster dengan tanggungjawabsosial perusahaan (CSR) yang terhubung dalam rantai nilai. Keterlibatan CSR diharapkan dapat melakukan peningkatan daya saing klaster. Keterlibatan CSR untuk melakukan peningkatan daya saing bukanlah tanpa alasan. Hal ini didasari kebijakan MP3EI dimana pihak swasta dilibatkan terutama dalam pengadaan infrastruktur. Selain itu dalam kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri BUMN 05/MBU/2007 untuk pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) oleh BUMN dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 untuk pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan bagi Perseroan Terbatas mewajibkan untuk melakukan pembinaan terhadap industri kecil dan menengah. Penelitian ini akan menghubungkan klaster komponen otomotif di Waru, Sidoarjo dengan CSR PT. Astra International yang memiliki hubungan rantai nilai. Identifikasi kondisi eksisting klaster akan dilakukan dengan menggunakan alat bantu QFD dan hasil dari QFD menjadi pertimbangan dalam merumuskan sinergitas peran pemerintah dan swasta dalam mengembangkan klaster. TINJAUAN PUSTAKA Berawal dari Alfred Marshall pada tahun 1962 memperkenalkan konsep sentra industri yang merupakan wilayah sosial yang ditandai dengan adanya komunitas manusia dan perusahaan dan keduanya cenderung bersatu secara alami atau agglomerasi (Becattini, 2008). Konsep sentra yang teragglomerasi kemudian meningkat secara terus menerus. Kemudian Porter (1990), menggunakan istilah klaster yang menggambarkan dampak klaster yang berpengaruh terhadap daya saing perusahaan. Definisi klaster menurut Scmitz (1997) dan Swan & Baptista (1998) mengemukakan bahwa klaster merupakan agglomerasi lokal perusahaan-perusahaan yang menghasilkan dan menjual produk yang sejenis atau komplemen pada sektor tertentu. Definisi ini memandang klaster secara statis. Sedangkan definisi klaster secara dinamis diungkapkan oleh Solvell (2008) dan Porter (1998) yang menyatakan bahwa klaster bukan hanya aliran barang dan jasa antar perusahaan tetapi juga merupakan transaksi dinamis dan pertukaran pengetahuan serta inovasi. Selain itu, di dalam klaster klaster terdapat suatu peningkatan nilai tambah dalam rantai nilai produksi (Roelandt, 1999). Dari berbagai definisi terhadap klaster, Lyon & Atherton (2000) menyatakan bahwa terdapat tiga karakteristik dasar klaster adalah komonalitas, konsentrasi dan konektivitas. Boja (2011) juga menyatakan bahwa klaster yang ideal adalah klaster yang terdapat hubungan jaringan vertikal dengan suplier, dealer, konsumen dan jaringan horizontal yakni berupa hubungan terhadap sesama industri. Idealnya klaster juga ditunjukkan dengan adanya fasilitas infrastruktur yang dapat membantu dalam hal inovasi melalui transfer pengetahuan dan teknologi yang dilakukan oleh lembaga pendukung klaster. Dapat disimpulkan bahwa klaster tidak berdiri sendiri yang terdiri dari industri inti tetapi ada pelaku-pelaku lain (stakeholder) yang mendukung keberlangsungan klaster. Hal ini diperkuat oleh Porter (1998), Scmitz (1997) dan Solvell (2008) mengidentifikasikan tiga kategori stakeholder dalam klaster yaitu perusahaan atau pelaku inti, lembaga pendukung ( supporting institutions) dan pemerintah. Pengembangan klaster telah dilakukan baik oleh negara maju maupun berkembang. Strategi pemerintah China dengan menyediakan infrastruktur seperti pembangunan pasar ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-2
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
dagang atau industrial park sangat membantu dalam pemasaran produk klaster (Zhang et al., 2004), India yang mengembangkan laboratorium R& D nasional untuk transfer teknologi pada klaster yang membantu proses inovasi pada UKM (Roy & Banerjee, 2007) serta Taiwan yang mengembangkan industri solar photoelectric dalam pemebntukan klaster green energy (Hsu & Lin, 2012). Perbedaan strategi ini dikarenakan setiap negara mempunyai karakteristik dan permasalahan yang berbeda satu sama lain (Giulani et al, 2005). Pengembangan klaster di Indonesia untuk meningkatkan daya saing terutama untuk industri kecil juga telah dilakukan. Kondisi klaster di Indonesia yang masih berupa sentra (Handayani, 2012) sebagian besar masih berada dalam kategori artisinal atau daya saing rendah terutama dalam hal kualitas, teknologi dan pemasaran (Tambunan, 2008) menyebabkan munculnya kebijakan untuk mengembangkan klaster. Kebijakan pengembangan klaster mulai ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) tahun 2000-2004. Dalam kebijakan ini disebutkan bahwa pengembangan industri tidak diartikan hanya untuk pengembangan kelompok industri pengolahan, tetapi mencakup seluruh mata rantai nilai kegiatan produksi dan distribusi, mulai dari sektor penyedia bahan baku, pengolahan, hingga sektor jasa (primer, sekunder dan tersier). Dalam rangka mengkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder dan tersier, termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster industri. Kebijakan pengembangan klaster industri terus diperbaharui lagi dengan dikeluarkannya kebijakan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang rencana pembangunan Jangka Menengah tahun 2004-2009, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional dan kebijakan paling mutakhir terkait pengembangan klaster industri ditegaskan pada Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Di dalam MP3EI diperkenalkan pola kerja sama baru yakni public private partnership atau kerja sama antara pemerintah dan swasta terutama dalam hal pengadaan infrastruktur. Berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan membuat pemerintah secara aktif berperan dalam pengembangan klaster. Hal ini pulalah yang menyebabkan klaster di Indonesia secara dominan merupakan hasil inisiasi pemerintah (Depperin, 2008). Namun, walaupun pemerintah telah melakukan berbagai upaya, dalam perkembangannya klaster masih belum menunjukkan hasil positif yang signifikan untuk memperkuat industri nasional (Partiwi, 2007). Hal ini dikarenakan program-program pengembangan klaster yang dijalankan pemerintah hampir semua berorientasi pada implementasi pemenuhan kebutuhan langsung yang bersifat jangka pendek daripada jenis bantuan yang bermuatan pengetahuan yang bersifat jangka panjang (Syairudin et al., 2008). Selain itu keterbatasan anggaran dari pemerintah dalam pembinaan klaster menjadi penghambat dalam pengembangan klaster (Partiwi, 2007). Melihat berbagai kendala yang dihadapi oleh pemerintah dalam pembinaan klaster, maka dilibatkanlah pihak swasta dalam pola kemitraan atau public private partnership seperti yang tertuang dalam kebijakan MP3EI. Dilibatkannya peran swasta dalam hal ini industri besar dalam pengembangan klaster dengan harapan dapat membantu terutama dalam hal transfer ilmu dan teknologi. Keterlibatan swasta dalam hal ini industri besar dalam pembinaan klaster industri kecil didasari pada kebijakan tanggungjawab sosial perusahaan yakni Undang-Undang No 40 Tahun 2007 untuk Perseroan Terbatas dan Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007 tentang pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang wajib dilaksanakan oleh BUMN. Baik Undang-Undang No 40 Tahun 2007 maupun Peraturan Menteri BUMN No. Per-05/MBU/2007 mewajibkan perusahaan dan BUMN untuk melakukan pembinaan terhadap industri kecil.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-3
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Pola pembinaan terhadap industri kecil melalui pengembangan masyarakat oleh CSR perusahaan diharapkan terhubung dengan rantai nilai perusahaan itu sendiri. Hal ini dikarenakan pelaksanaan CSR dengan mengembangkan rantai nilai membawa bentuk kerja sama jangka panjang juga pertumbuhan yang berkelanjutan untuk semua pihak (IBL, 2010). Untuk itu pembinaan dan kerjasama yang sistematis antara industri kecil yang berada dalam klaster dengan industri besar melalui CSR sangat diarahkan sebagai salah satu bentuk pelaksaan CSR. Disini, klaster yang berdaya saing rendah dapat dipandang sebagai komunitas masyarakat lokal yang dapat diberdayakan oleh CSR perusahaan. METODOLOGI Studi kasus penelitian ini berdasarkan hasil identifikasi kondisi eksisting melalui persebaran kuisioner terhadap para pakar. Berdasarkan hasil penilaian para pakar ini akan dibahas mengenai penilaian stakeholder terhadap kondisi eksisting yang merupakan kondisi eksisting dan korelasinya dengan respon teknis. Adapun alur studi lapangan digambarkan dalam diagram alir pada gambar 1. Berikut ini:
Gambar 1. Diagram Alir Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan aspek-aspek daya saing dinilai oleh para pakar pada tingkat kepuasaan dan kepentingan pada klaster komponen otomotif Waru. Hasil penilaian terhadap atribut daya saing kemudian dikelompokan dalam tiga kategori yakni kategori daya saing sudah sangat baik dan tidak memerlukan peningkatan dengan kriteria di atas > 3,5, kategori daya saing cukup dengan kriteria nilai kisaran 3-3,5 dan kategori daya saing rendah yang merupakan prioritas untuk mendapatkan perbaikan dengan nilai kisaran antara 1-3. Berdasarkan perhitungan terhadap penilaian kondisi eksisting atribut-atribut daya saing klaster yang masih berdaya saing rendah dijelaskan dalam tabel 1. berikut ini
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-4
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Tabel 1. Penilaian Stakeholder Terhadap Atribut Daya Saing Klaster
No. Aspek Daya Saing Atribut 1. Koordinasi dan Kerjasama sesama pelaku inti Jejaring Kerjasama Kerjasama dengan Perguruan Tinggi Kerjasama dengan supplier Kerjasama atau mitra dengan industri besar 2. Teknologi dan Transfer teknologi dan inovasi oleh industri Inovasi besar Transfer teknologi dari asosiasi Transfer teknologi dari lembaga penelitian dan Perguruan Tinggi 3. Pengembangan Kemampuan manajemen dan teknik SDM Kesadaran pekerja terhadap K3 4. Aspek pemodalan Akses dan informasi pemodalan Aspek legalitas UKM 5. Pemasaran Strategi pemasaran terpadu Mitra pemasaran melalui subkontrak Informasi akses pemasaran 6. Pelaksanaan CSR Sinergitas program CSR dengan pemerintah Ketersediaan data masyarakat binaan
Skor 2,5 2,7 2,85 2,7 2,85 2,71 2,85 2,14 2,42 2,85 2,4 2,42 2,85 2,3 2 2
Maka dapat diketahui bahwa daya saing yang perlu dilakukan yakni aspek kelembagaan, teknologi dan inovasi, pengembangan SDM dan aspek pemodalan. Berikut merupakan bentuk-bentuk sinergitas antara peran pemerintah pelaksanaan CSR dan masyarakat (pelaku inti) dalam peningkatan daya saing klaster. No. 1.
Stakeholder Pemerintah
2.
Swasta (CSR)
Aspek Peran Koordinasi dan Melakukan koordinasi dan menjalin Pembentukan Kelembagaan jejaring kerjasama antar stakeholder dan instansi terkait. Transfer teknologi dan - Sponsorisasi standarisasi dan inovasi pengujian produk - Melakukan penelitian dan pengembangan bersama Perguruan Tinggi dan lembaga peneliti pemerintah Aspek Pemodalan Mengeluarkan regulasi terkait pemberian skim-skim kredit bagi pelaku inti Aspek Pemasaran Menghubungkan antara pelaku inti dengan industri besar agar terjalin kemitraan. Koordinasi dan Melakukan pendekatan top down Pembentukan Kelembagaan private sector Transfer teknologi dan - Mengadakan pelatihan dan inovasi pengembangan teknologi & manajemen. - Melakukan penelitian melalui R & D perusahaan.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-5
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
No.
3.
Stakeholder
Aspek Pemasaran
Peran - Bantuan akses pemasaran seperti galeri. - Pengadaan subkontrak. SDM - Mengadakan pelatihan manajemen dan teknik. - Mengadakan pelatihan kewirausahaan. pemodalan - Monitoring angsuran peminjaman modal oleh pelaku inti - Konsultasi aspek kelegalan dan keuangan. Pelaku Inti Koordinasi dan - Menumbuhkan kepercayaan (masyarakat) pembentukan kelembagaan antar pelaku inti - Pembentukan Asosiasi antar pelaku inti. Teknologi dan Inovasi - Melakukan hubungan terbuka melalui asosiasi untuk transfer teknologi - Mendukung atau mensponsori kegiatan penelitian yang dilakukan dalam rangka pengembangan teknologi. Pemasaran - Melakukan pemasaran bersama yang terpusat melalui asosiasi atau koperasi. Pengembangan SDM - Mengikuti berbagai pelatihan dan seminar yang diadakan.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil identifikasi terhadap kondisi eksisting melalui penilaian pakar diketahui bahwa permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh klaster ini adalah belum terbentuknya kelembagaan, keterbatasan modal, teknologi, Sumber Daya Manusia dan aspek pemasaran yang sempit. Permasalahan yang dihadapi klaster ini juga dirasakan oleh hampir seluruh klaster lain di Indonesia. Untuk itu, pemerintah melakukan pendampingan teknis untuk klaster ini. Namun, kinerja dari pemerintah tidak membawa banyak perubahan yang signifikan bagi peningkatan daya saing klaster. Upaya untuk meningkatkan daya saing klaster dengan melibatkan pihak eksternal yakni CSR. Bentuk-bentuk pelaksanaan CSR dalam pembinaan klaster yakni melalui pelatihan dan transfer teknologi, konsultasi dan pendampingan teknis, serta bantuan terhadap akses pemasaran dan pemodalan. Dengan adanya CSR, diharapkan dapat membantu permasalahan daya saing bagi klaster. DAFTAR PUSTAKA Becattini, G. (2008). Small Business and Entrepreneurship Reseach in the Thought of Alfred Marshall. Global Award for Entrepreneurship Research
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-6
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Boja, C. (2011). Clusters Model, Factors and Characteristics. International Journal of Economic Practices and Theories, Vol.1 , 34-43. Gelsing, L., & Nielsen, K. (1996). Promoting Inter Firm Networks In Industrial Policy-Danish Evidence. Giuliani, E., & Bell, M. (2005). The Micro-Determinants of Meso Level Learning and Innovation: Evidence From A Chilean Wine Cluster. Research Policy , 47-68. Handayani, N., Cakravastia, A., Diawati, L., & Nur, S. (2012). A Conceptual Assessment to Identify Phase of Industrial Cluster Life Cycle in Indonesia. Journal of Industrial Engineering and Management , 198-228 Hsu, M., & Lin, F. (2012). The Developing Strategy of Green Energy Industry Cluster- A Case Study of the Solar Photoelectric Industry in Taiwan. Procedia Social and Behavioral Science , 165-173. Indonesia Business Link. (2010). IBL Successfully Held “The 3rd International Conference on CSR”. Retrieved September, 2012, from IBL website:www.ibl-conference.org Lyon, F., & Atherton, A. (2000). A Business View of Clustering: Lessons for Cluster Development Policies. Fondation for SME Development , 2-13. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3EI 2011). Jakarta: Mei 2011 Partiwi, S. (2007). Perancangan Model Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Sistem Klaster Agroindustri Hasil Laut. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Peraturan Menteri BUMN NOMOR PER-05/MBU/2007. Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Jakarta: 27 April 2007 Peraturan Presiden NOMOR 7 TAHUN 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Naional Tahun 2004-2009. Jakarta: 19 Januari 2005. Peraturan Presiden NOMOR 28 TAHUN 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Jakarta: 7 Mei 2008. Porter, M. E. (1990). The Competitive Advantage of Nation. Boston, Harvard Business Review. Porter, M. E. (1998). Clusters and the New Economic of Competetion. Boston, Harvard Business Review. Roelandt, H. (1999). Boosting Innovation: The Cluster Approach. OECD, Proceedings. Paris: OECD Roy, S., & Banerjee, P. (2007). Developing Regional Clusters in India:The role of national laboratories. International Journal of Technology Management and Sustainable Development Volume 6 Number 3 , 193-210 Schmitz, H. (1997). Collective Efficiency and Increasing Returns. 1997: Overseas Development Administration.
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-7
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi XVII Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013
Solvell, O. (2008). Clusters Balancing Evolutionary and Constructive Forces (Vol. Second Edition). Stockholm: Ivory Towers Publishers Swann, G., & Baptista, R. (1998). Do Firms In Cluster Innovate More. Research Policy , 527542. Syairudin, B., Sudirman, I., Samadhi, A., & Suryadi, K. (2008). Pengembangan Model Knowledge Sharing Berbasis Agen Untuk Klaster Industri Kecil dan Menengah. Prosiding seminar Nasional Sains dan Teknologi II , 136-146. Tambunan, T. (2008). The Role of Government in Technology Transfer to SME Clusters in Indonesia:Micro-level Evidence from the Metalworking Industry Cluster in Tegal (Central Java). Asian Journal of Social Science 36 , 321–349. UU NOMOR 25 TAHUN 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) tahun 2000-2004. Jakarta: 20 November 2000. UU NOMOR 40 TAHUN 2007. Tentang Perseroan Terbatas. Jakarta: 16 Agustus 2007. Zhang, Z., To Chester, & Cao, N. (2004). How Do Industry Clusters Succes : A Case Study in China's Textiles and Apparel Industries. Journal of Textile and Apparel, Technology and Management .
ISBN : 978-602-97491-6-8 A-15-8