PENGELOLAAN AIR YANG BERKELANJUTAN BERDASAR KAJIAN BANJIR DAN KEKERINGAN SEBAGAI FAKTOR PENENTU DAYA DUKUNG LAHAN Oleh: Darmanto Magister Teknik Pengelolaan Bencana Alam Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Motto Ingat Jasmerah, Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, karena pengalaman adalah guru yang paling bijak. Membuang musibah ke hilir saat sekarang, sambil menciptakan musibah di hulu & hilir dihari lusa. atau Mendapatkan berkah di hulu & hilir secara berkelanjutan, dengan kesadaran & kemauan kolektif sebagai kuncinya. Mentradisikan masalah air (banjir dan kekeringan) menjadi urusan bersama, kapan dan dimanapun juga. Pendahuluan Tonggak sejarah bangsa Indonesia ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan yang pada proses pencapaian kejayaan dan keruntuhannya selalu diawali dengan faktor air sebagai state variable-nya. Secara singkat disini disampaikan hal tersebut. 1. Kerajaan Sriwijaya Kenangan atas kejayaan zaman Bahari pantas diberikan kepada kerajaan Maritim Sriwijaya karena menurut konsepsi negara kesatuan, kerajaan ini merupakan negaranasional yang pertama dan meliputi sebagian besar wilayah Nasional Indonesia sekarang ini. Menurut catatan Ma Huan seorang musafir Islam Tionghoa, kerajaan ini mulai dikenal pada tahun 392 Masehi, sedang keberadaannya terakhir adalah pada 1406 Masehi, atau berdiri selama + 1010 tahun. Puncak kejayaan Sriwijaya ditunjukkan dengan penguasaannya atas pulau Sumatera dan sebagian Jawa dengan ibukotanya di wilayah Tulangbawang (sekarang ini). Penguasaannya atas Selat Sumatera dan Selat Sunda adalah mutlak, armadanya mengontrol lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Samudra Indonesia dengan Samudra Pasific. Oleh orang orang Arab, Hindia dan Tionghoa kerajaan Sriwijaya dinamakan sebagai kerajaan militer-maritim terbesar di Asia Tenggara pada masanya.
Kerajaan ini mulai memudar sejak mengalami kerusakan lingkungan di pusat pemerintahannya, ditimpali tragedi wabah malaria yang cukup dahsyat dikarenakan wilayahnya berubah menjadi rawa sampai sekarang ini. Hal itu akibat dari pelumpuran yang berat yang dibawa pada waktu terjadi banjir secara periodik. 2. Kerajaan Kutai Sejak berdirinya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur sekitar tahun 400 Masehi, lalu lintas perdagangan dari India, Kalimantan, Pilipina terus ke negeri Cina selalu singgah di kerajaan Kutai. Selama hubungan itu berlangsung andalan utama komoditas perdagangannya adalah hasil pertanian dan peternakan. Namun akibat eksploitasi sumber daya lahan yang berlebihan melebihi kapasitasnya, terjadilah kemunduran kejayaan kerajaan Kutai. Kemunduran tersebut mulai terasa ketika terjadi proses pelumpuran di daerah Anggana, di muara sungai Mahakam yang pada waktu itu berfungsi sebagai pintu gerbang perdagangan kerajaan. Adapun proses angkutan sedimen atau pelumpuran tersebut diperkirakan berlangsung secara alami terutama dari kejadian banjir yang terjadi di sungai Mahakam, yang juga masih tetap berlangsung hingga masa sekarang. Proses pelumpuran tersebut akhirnya menjadi awal runtuhnya kerajaan Kutai.
3. Kerajaan Syailendra Kerajaan ini mulai dikenal sejak + 750 Masehi setelah melalui persaingan ketat antar kerajaan kecil yang ada di tanah Jawa. Awalnya kerajaan ini merupakan kerajaan agraris, yang berkembang menjadi kerajaan maritim, ditandai dari penguasaan terhadap perairan laut melalui pelabuhan Bergota (di Semarang). Pelabuhan Bergota merupakan prasarana vital bagi kerajaan dalam pengembangan kejayaannya. Kombinasi penguasaan atas sektor pertanian dan kemaritiman menjadikan kerajaan ini cukup kaya sehingga mampu membangun candi Borobudur yang sangat terkenal sampai saat ini. Eksploitasi lahan yang terlalu intensif kurang terkendali menyebabkan bencana alamiah banjir & kekeringan berlangsung silih berganti, maka terjadilah kerusakan lingkungan fisik yang berakibat fatal terhadap fungsi pelabuhan Bergota sebagai pintu gerbang perdagangan kerajaan ini. Pelumpuran dahsyat terhadap pelabuhan Bergota dan banyaknya pengorbanan untuk kebutuhan proyek mercusuar telah melemahkan kerajaan Syailendra dan akhirnya runtuh pada + 900 Masehi. 4. Kerajaan Majapahit Kelahiran kerajaan Majapahit diawali dengan peristiwa Maritim penting yaitu ekspedisi Kubilai Khan ke pulau Jawa pada tahun 1292 Masehi yang bermaksud menundukkan kerajaan Singasari, yang berakhir dengan kegagalan, namun justru melahirkan kerajaan Majapahit. Pada awalnya Majapahit berkembang mengandalkan tradisi kerajaan agraris yang biasanya agresif terhadap lahan usaha pertanian. Keistimewaan kerajaan Majapahit adalah pada kemampuannya mensinergikan tradisi pelayaran-perniagaan sungai dengan potensi kemaritiman. Tercatat sebagai bandar cukup vital pada masa itu adalah Bandar Tjanggu di sungai Brantas dan Bandar Sedayu di Bengawan Solo. Ibukotanya terletak diantara sungai Brantas dan Bengawan Solo, yang berfungsi sebagai jalur lalu lintas perdagangan yang ramai. Dengan pesat kerajaan ini berkembang menjadi negara maritim tanpa meninggalkan jatidirinya sebagai negara agraris. Jaringan lalu lintas darat-sungai-laut ternyata menjadi andalan kejayaan kerajaan Majapahit dan secara positip mendukung terselenggaranya komunikasi antar daerah kekuasaan “Negara Kesatuan Majapahit”.
Keruntuhan kerajaan Majapahit dimulai dari Pusat Kerajaan yang dipicu oleh kondisi kacau akibat bencana insaniah pertikaian antar politisi-bangsawan, perang gerilya dan lunturnya kepercayaan rakyat atas kharisma kraton. Disamping itu bencana alamiah yang bertubi tubi dan kerusakan lingkungan dilahan usahanya, mengakibatkan erosi serta pelumpuran di sungai Bengawan Solo dan Brantas, juga wabah penyakit yang mengganas akhirnya melumpuhkan daya dukung lingkungannya, hingga mematikan bandar Tjanggu dan Sedayu. Akibatnya fatal yaitu melemahnya kemampuan perekonomian pusat kerajaan dan dominasi pusat pemerintahan terhadap daerah kekuasaannya. Proses ini mengakhiri kehadiran kerajaan Majapahit pada tahun + 1525 Masehi. Sebagai pelajaran sejarah, semua kejadian tersebut menunjukkan bahwa masalah banjir dan kekeringan, apalagi yang terjadi di ibukota pemerintahan atau mengganggu pintu gerbang perdagangan internasionalnya, dapat berakibat fatal, meruntuhkan eksistensi kerajaannya. Ketersediaan Air Ketersediaan air dapat dikaji dari pengertian air sebagai ”modal alami” yang keberadaannya disuatu tempat dipengaruhi oleh kondisi : Hidrometeorologi, Topografi, Geologi, Hidraulik, Geografi. Semua hal itu secara bersama membentuk ekosistem yang spesifik/unik dan kodratis, harus diterima apa adanya (given). Sebagai hasil pengaruh dari karakter hidrometeorologi & hidrauliknya, ekosistem tersebut bersifat: ”cyclic, dinamic, probabilistic and stochastic”. Sehingga ekosistem sebagai habitat mahluk hidup sangat dipengaruhi oleh kondisi hubungan ketersediaan air dengan kebutuhan air dari mahluk hidupnya. Dengan kata lain kualitas daya dukung lingkungan lahannya dalam mendukung kebutuhan hidupnya dipengaruhi juga oleh siklus peristiwa banjir dan kekeringan yang ada setempat, sebagai peristiwa alami. Khususnya dari aspek keairan sebagai sumberdaya alam yang bersifat renewable & manageble, maka kondisi ekosistem suatu tempat pada hakekatnya dapat diatur sesuai kehendak manusia dengan batasan kemampuannya didalam berkompromi mengendalikan kaidah-2 hukum alam yang berlaku. Dari uraian ini dapat dikatakan bahwa kondisi ketersediaan air disuatu
tempat itu khas, berbeda dengan daerah lainnya, sehingga masing masing daerah mempunyai kompleksitas dan dinamika permasalahannya sendiri sendiri. Untuk kondisi ketersediaan air di Jabodetabek, hal ini tentunya juga berlaku, sehingga dalam mengkaji peristiwa banjir, kekeringan dan permasalahannya, harus memperhatikan aspek lain yang saling terkait membentuk permasalahan yang kompleks.
Kebutuhan Air Pertanyaan awal perlu diungkapkan disini yaitu : Berapa kebutuhan air bagi setiap orang perharinya? Pengertian kebutuhan mencakup untuk : minum, makan, kesehatan, sebagai kebutuhan primer (basic need), maupun untuk mencukupi kebutuhan sekunder maupun tersiernya. Estimasi besaran kebutuhan air minimum dapat disajikan dalam tabel dibawah.
Tabel 1. Estimasi Besaran Kebutuhan Air Minum Jenis Kebutuhan (orang/hari) Primer (basic need) 1. minum 2. makan 3. lauk pauk & buah 4. kesehatan Sekunder 1. industri produksi 2. pelayanan publik Tersier 1. gaya hidup 2. lain lain
Jumlah Kebutuhan
Ekivalensi dengan Jumlah Air
2-4 liter air 0.33 kg beras lumpsum 40-80 liter air
3 liter 1l/dt/ha dlm 90 hr = 3 ton beras 30% kebutuhan makan (estimasi) 60 liter total
lumpsum
10 – 20 % kebutuhan primer (estimasi rerata 15 % ) total
lumpsum
Jumlah (lt/orang/hari) 3 864 259 60 1186
178
1 – 2 % kebutuhan primer (estimasi rerata 1.5 % ) 26 total Total jumlah kebutuhan 1390
Sebagai catatan dapat dikatakan bahwa nilai 1390 l/orang/hari akan cenderung meningkat dipengaruhi oleh perilaku masing masing orang sebagai mahluk sosial. Didalam konteks penyediaannya sampai di konsumen besarnya kebutuhan masih dipengaruhi oleh efisiensi pengelolaan dan efektifitas pemanfaatannya. Hal ini berarti dipengaruhi perilaku publik sebagai ”modal sosial”, yang mana dapat di representasikan kedalam bentuk kemampuan, kemauan, komitmen-disiplin & konsistensi dari seluruh pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, itu semua adalah ”kearifan kolektif” dari seluruh masyarakatnya didalam menegakkan nilai nilai kebersamaan. Permasalahan Fenomena alami peristiwa banjir akan terjadi ketika aliran sebagai proses instream, melebihi kapasitasnya sehingga terjadi luapan ke
offstream, yang membentuk genangan melebihi toleransi keberfungsian offstream sebagai wadah seluruh aset dan aktifitas masyarakat dilakukan. Dengan demikian kerugian dari akibat resiko genangan menjadi harga yang harus ditanggung oleh pihak pihak yang berkepentingan. Instream ini terwujud dalam bentuk jaringan drainasi yang terdiri dari tata saluran baik yang alami maupun buatan lengkap dengan segala bangunannya. Sebagai kriteria desain sistem drainasi berorientasi pada pengurangan kelebihan genangan secepatnya dan kala ulang kemungkinan kejadiannya sejarang mungkin. Hal ini menjadikan kapasitas saluran diusahakan sebesar mungkin. Dengan demikian air hujan sebagai sumber utama kelebihan air harus secepat mungkin dibuang dari lahan. Fenomena alami peristiwa kekeringan terjadi ketika di offstream mengalami kekurangan air dalam memenuhi kebutuhan bagi aktifitas yang ada setempat. Untuk itu sering dilakukan usaha mendatangkan air sejumlah yang dibutuhkan.
Resiko kegagalan didalam penanganan peristiwa kekeringan dapat mengakibatkan berbagai gangguan kerugian materiil maupun immateriil. Kedua peristiwa alami tersebut akan selalu berlangsung dalam satu batasan siklus tahunan dengan jumlah total air yang relatif tetap. Dengan demikian dalam ungkapan sederhana peristiwa banjir dapat dipahami sebagai keberadaan kelebihan air yang salah waktu untuk suatu tempat. Keberadaan kelebihan air pada waktu dan tempat yang tepat akan meningkatkan nilai daya dukung lahannya. Dari uraian kriteria teknis penanganannya, diantara kepentingan keseimbangan hubungan ketersediaan dan kebutuhan air disuatu lahan, terdapat adanya konflik kriteria teknis penanganan banjir dengan kekeringan. Dengan demikian penanganan masalah kedua peristiwa alami tersebut dalam satu kesatuan siklus masalah, mutlak diperlukan guna mendapatkan hasil dan manfaat yang optimal. Selain itu karakteristik permasalahan kebutuhan air bersifat dinamis, semakin kompleks dalam jumlah, kualitas maupun keandalannya, seiring kemajuan jaman. Pengaruh pranata sosial & perilaku masyarakat terkait dengan bencana alam beserta permasalahannya, merupakan modal sosial untuk mengatasinya. Dalam ungkapan lain hal itu merepresentasikan kondisi SDM dari semua pihak yang terkait termasuk pemikir, pelaku sampai ke masyarakat luas yang berinteraksi langsung dengan kedua peristiwa alami tersebut. Pembahasan & Usaha Peningkatan Daya Dukung Lingkungan Adanya perubahan tata guna lahan melalui proses urbanisasi, biasanya berakibat pada musim hujan terjadi peningkatan volume aliran air dan puncak banjir, juga waktu kedatangan puncak banjir yang semakin cepat, didaerah hilir sungai. Selanjutnya dalam kesatuan rentetan peristiwa alam (siklus hidrologi), hal itu akan diikuti dengan menurunnya debit aliran sungai di musim kemarau, yang dampaknya berupa kekeringan dengan segala akibat bencana pencemaran terhadap lingkungannya. Secara fisik dimusim kemarau akan terjadi perubahan kondisi iklim mikro yang secara langsung akan berpengaruh pada kualitas kesehatan lingkungannya. Disamping masalah tersebut, konflik diantara berbagai kepentingan publik, yang terwujud dari adanya jaringan prasarana yang
saling mengganggu, mengakibatkan hubungan ketersediaan air dengan kebutuhan air menjadi semakin serius berdampak negatif mempengaruhi daya dukung lahannya. Dari kondisi ini kanibalisme antar prasarana sungguh menjadi bencana sekunder dari kurang mampuan para pelaku pembangunannya didalam mengelola pembangunan prasarana lingkungan. Disini kunci utamanya pada koordinasi kerja diantara sektor jaringan prasarana yang bersangkutan. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa banjir dan kekeringan merupakan pasangan masalah alami yang langsung mempengaruhi hubungan antara ketersediaan dengan kebutuhan airnya. Dampak interaksinya secara langsung mempengaruhi daya dukung lingkungannya, karena peran air yang strategis sebagai basic need dari kehidupan dalam arti luas. Untuk itu cara pandang dan strategi yang tepat menuntut keserba cakupan (comprehensiveness) dan konsistensi didalam penanganan masalahnya. Mengingat peran air sangat strategis didalam penentuan besarnya daya dukung lingkungan khususnya di lahan dimana seluruh aset dan aktivitas kehidupan kemasyarakatan berlangsung, maka perlu di cari konsep langkah serbacakup yang akan mampu mengantar pada langkah langkah konkrit yang tepat. Untuk itu disini diusulkan suatu konsep strategi : Triple “E” (problems) versus Triple “E” (solution), yang uraiannya seperti tersebut dibawah. Problems 1. Environment Dari peristiwa banjir & kekeringan memunculkan problem kesehatan lingkungan, kuantitas & kualitas ketersediaan air dan iklim mikro diwilayah setempat, yang kondisinya berada dibawah pengaruh hukum alam (sebagai modal alami SDA). Akibatnya daya dukung lingkungan akan mengalami evolusi-degradasi. 2. Equity HAM bagi setiap warga dalam mendapatkan kesempatan berbudidaya guna mempertahankan hak hidupnya, mengandung banyak konflik kepentingan. Disini penyelesaian masalahnya memerlukan pendekatan optimasi dengan pertimbangan terhadap adanya berbagai kepentingan yang dinamis-probabilistis. 3. Economic Proses tercapainya kesejahteraan melalui peningkatan produktivitas lahan dan kinerja
semua pihak dalam beraktivitas, berlangsung lambat terganggu oleh kendala masalah banjir & kekeringan secara periodik. Solution 1. Engineering Diperlukan teknologi bangunan pengendali peristiwa alam guna menekan dampak negatip dan resiko gangguan terhadap keberlanjutan kehidupan dan kelancaran terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 2. Entrepreneurship Membuka peluang munculnya kreativitas dan inovasi dalam tata kehidupan masyarakat (nilai budaya dalam berbudidaya) yang hidup di bawah pengaruh perilaku alam melalui cara pandang sumber bencana sebagai sumber berkah. 3. Energy Kerja keras secara berkelanjutan berbasis kemandirian sebagai konsekuensi kodrat manusia yang menuntut kehidupannya semakin baik. Dalam reelnya hal ini berupa investasi, operasi & pemeliharaan dan manajemen aset. Usulan Kreativitas Untuk Jabodetabek Karena kodrat letaknya didataran rendah dan berhubungan langsung dengan laut, maka tidak dapat dihindari adanya pengaruh gerakan pasang surut muka air laut yang menyebabkan time of drainage menjadi < 24 jam/etm. Hal ini secara alamiah akan semakin memperparah kondisi bencana banjir dan kekeringannya. Untuk itu perlu diusahakan terbangunnya fasilitas bangunan pengendali pertemuan diantara aliran dari hulu dengan gerakan pasang surut dari laut. Dari realita adanya kompleksitas kepentingan yang ada didalam satuan ruang perkotaan, maka mutlak diperlukan koordinasi antar stakeholder dengan meletakkan air sebagai urusan bersama dan masalah banjir beserta kekeringannya sebagai satu kesatuan masalah yang berkelanjutan. Cara pandang ini diharapkan menjadikan usaha penanganan masalah bencana lebih optimal. Perlu diciptakan tradisi kegiatan ”kompetisi pendidikan mencintai lingkungan” bagi masyarakat, terutama generasi mudanya secara meluas, dengan dukungan semua pihak melalui keputusan kebijakan publik. Partisipasi publik menjadi kunci penting dan untuk itu pihak pemerintah perlu menyediakan pranata yang serius kearah itu.
Salah satu usulan kreativitas adalah terciptanya Garden Roof bagi setiap bangunan gedung sebagai penampung air hujan sekaligus konservasi air dan iklim mikro di lingkungan perkotaan. Hal ini dapat dimulai dari bangunan milik pemerintah sebagai percontohan. Disamping itu mutlak dilakukan pembenahan daerah tangkapan hujan melalui tindakan struktural maupun nonstruktural dalam rangka tujuan konservasi tanah dan air untuk menekan laju aliran dan proses pelumpuran di bagian hilir. Untuk tindakan non struktural dapat dilakukan melalui peraturan pajak bangunan dan aktivitas yang memihak pada pelestarian lingkungan. Contoh Strategi Penanganan Masalah Publik Fakta sejarah menunjukkan bahwa banyak peninggalan dari nenek moyang pendahulu generasi sekarang ini yang masih eksis dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sampai saat ini. Ambil contoh candi Borobudur, Prambanan dan bangunan tempo dulu lainnya, yang kesemuanya legendaris, dapat dirasakan kebermanfaatannya sampai sekarang. Pertanyaan muncul : ”Apa motivasi pembangunnya dalam mewujudkan karya monumental tersebut ? Adakah kepentingan diri sendiri pada saat itu?” Dapat dipastikan visi para pelaku sejarah tersebut menjangkau jauh kedepan melampaui batas masa kehidupan pribadinya. Sehingga dapat ditebak bahwa motivasi yang muncul adalah rasa cinta kepada anak cucunya, termasuk kita yang hidup sekarang ini, agar kita dapat hidup lebih layak dengan kemudahan lebih banyak. Kesadaran kolektif yang ditanamkan oleh para pemuka/pemimpin pada masa itu, akan arti pentingnya cinta kepada generasi penerus, tentunya merupakan indikator kesuksesan community development pada masa itu, yang berlangsung melalui proses pendidikan bukan formal. Rasa cinta kepada anak cucu yang meliputi anak kandung, anak didik, anak asuh, anak buah dan anak bangsa, diyakini telah mampu mendorong tumbuhnya motivasi untuk berkarya demi kesejahteraan generasi penerusnya. Kalau kesimpulan tersebut diatas benar, pertanyaan ditujukan kepada generasi sekarang ini : apakah kita cinta kepada generasi mendatang, mampukah kita berkarya untuk menunjang tercapainya kesejahteraan generasi mendatang? Mampukah kita menghasilkan karya
monumental yang bobotnya setara dengan candi Borobudur? Untuk membangun kesadaran bersama tentang makna cinta kepada generasi mendatang, kiranya perlu disimak perjuangan sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX didalam upaya mensejahterakan rakyatnya. Kemampuannya didalam menyelesaikan masalah dengan mensinergikan antara : motivasi, kebersamaan, ketekunan, komitmen dan kerja keras dari masyarakat di Yogyakarta telah mampu melahirkan karya monumental yang berupa Selokan Mataram. Disini “kearifan” nyata terbaca dari strategi “menggoreng daging dengan menggunakan lemaknya sendiri” sebagai The Core of Community Development yang diterapkan secara jitu, sekaligus mampu menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru dan tujuan mulia tercapai dengan lancar. Dijaman modern, hal itu dinamakan End to End Solution atau win win solution, dan dalam ungkapan tempo dulu adalah : entuk iwake, tanpo butek banyune. Sebagai sasarannya adalah perubahan “opini publik” melalui rekayasa mindset untuk menumbuhkan public trust terhadap suatu visi bersama. Pada waktu itu rekayasa sosialnya melalui suatu mitos dengan ungkapan : “Yen banyu kali Progo wis biso kawin karo banyu kali Opak, iku tumeko jamane Ngajodjokarto Hadiningrat gemah ripah loh jinawi”. Kenyataannya mitos tersebut telah mampu menggerakkan masyarakat agraris di Yogyakarta pada waktu itu untuk membangun Selokan Mataram. Mitos yang ditumbuhkan dimasyarakat yang mempunyai tradisi budaya metafisik yang kuat, merupakan strategi yang mendasari pembangunan pertanian pada waktu itu. Kearifan seorang HB IX telah menjelma menjadi tindakan publik dan itu tidak melalui proses pendidikan formal, akan tetapi melalui pendidikan masyarakat atau bahasa sekarang community education yang diterapkan melalui jalur pendidikan informal dan nonformal. Kebersamaan yang diciptakan telah mampu menggerakkan seluruh lapisan masyarakat sebagai stakeholder. Lebih khusus lagi beliau mampu menanamkan kesadaran bahwa air adalah urusan bersama dan perlu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum. Adapun tindakan publik tersebut mengandung unsur : 1. Ketekunan, dalam berusaha dalam jangka waktu panjang dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan setiap masalah/tantangan.
2. Komitmen pada pencapaian tujuan utama yaitu terciptanya kemandirian dalam penyediaan basic need kehidupan : air, makan, kesehatan lingkungan. 3. Kerjakeras yang melahirkan kreativitas baru dalam keanekaragaman usaha budidaya, indikatornya berupa bangunan monumental sebagai prasarana irigasi yang sampai sekarang masih terus berfungsi. Hal itu semua pada jaman sekarang disebut Socio-Engineering yang konon sebagai ilmu “baru”, sedang dicari oleh banyak pakar untuk menyelesaikan masalah krisis multidimensi di Indonesia, termasuk masalah banjir dan kekeringan di Jabodetabek. Penutup Dapatkah warga Jabodetabek generasi sekarang ini mengatasi masalahnya berbasis rasa cinta pada generasi penerusnya ? Atau ingin mendapatkan predikat dari anak cucunya sebagai “generasi parasit dan tanpa guna”? Untuk itu perlu secara konsisten diterapkan konsep One River, One Integrated Plan, One Management dengan strategi mentradisikan kerja sinergi antara top down dan bottom up sebagai kesatuan pendekatan masalahnya. Dan untuk itu perlu komitmen didalam mewujudkan moral pengawasan melekat yang berkelajutan yang intinya adalah nilai nilai kedisiplinan nasional. Akhirnya perlu dikobarkan kesadaran dan semangat ”Perang Rakyat Semesta” melawan bencana banjir dan kekeringan guna mendapatkan keseimbangan hubungan antara ketersediaan dan kebutuhan air di Jabodetabek, dengan mengandalkan kearifan lokal dan kreativitas berdasar perhitungan resiko, sehingga diperoleh daya dukung lingkungan lahan yang memadai. Selamat berjuang. Matur Nuwun. Lereng Merapi, 28 Februari 2007 MPBA-UGM