EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
PENGELOLAAN AIR DAN SUMBER AIR TERPADU YANG BERKELANJUTAN Jacobus Samidjo Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP Veteran Semarang Email :
[email protected] Abstrak Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup dan pembangunan semakin hari semakin menjadi persoalan dan merupakan potensi konflik kepentingan antar daerah. Kondisi ini perlu diatasi melalui upaya “pengelolaan air dan sumber air terpadu yang berkelanjutan” (real time water allocation), dan perlu pertimbangan secara serius pengembangan kerjasama antar daerah. Upaya ini tidak dapat diterapkan menyeluruh di Indonesia, perlu dilaksanakan secara bertahap sesuai kondisi obyektif wilayah sungai dan daerah bersangkutan namun perlu segera ditangani agar tidak akan dihadapi masalah yang lebih besar dan mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Kata Kunci : sumber air, sungai I. PENDAHULUAN
Konsep pengelolaan air dan sumber air pada dasarnya mencakup upaya serta kegiatan pengembangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya air berupa menyalurkan (redistributing) air yang tersedia dalam konteks ruang dan waktu, dan komponen mutu dan komponen volume (jumlah) warung jamu pada suatu wilayah untuk memenuhi kebutuhan pokok kehidupan mahkluk hidup. Dengan demikian pengelolaan air dan sumber air yang berkelanjutan merupakan suatu system agar alam atau suatu sistem dalam rangka upaya membentuk lingkungan hidup yang akrab serta menyenangkan. Plate (1993) mengemukakan bahwa sistem pengelolaan air dan sumber air dalam rangka pemenuhan kehidupan masyarakat modern bersifat berkelanjutan (sustainable), harus mampu mengantisipasi perubahan : 1. Sistem itu sendiri karena usia 2. Kebutuhan masyarakat 3. Dalam kemampuan memasok (supply) air Pengelolaan air dan pemberian air yang berkelanjutan dengan menggunakan pola pendekatan atisipasi (anticipation approach) melalui atisipasi dampak terhadap kondisi alam dan masyarakat serta prediksi yang mungkin terjadi. Namum pengelolaan air dan sumber air di Indonesia selama ini (s/d 2000) belum terpadu, masih dikelola oleh beberapa institusi yang mendasarkan pada undang-undang sesuai dengan lingkup kewenangannya.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
32
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
Pemikiran-pemikiran telah berkembang sejak seminar internasional di Cisarua Bogor 1992 tentang “Integrated Development and Management of Water Resources for Sustaibable Use in Indonesia”, berupa reorientasi pembangunan pengairan yang merupakan pencerminan semakin penting dan strategisnya fungsi air dan sumber air. Namun kita menyadari, bahwa berbagai langkah tersebut baru merupakan awal pembangunan pengairan yang kita cita-citakan, yaitu pembangunan pengairan dituntut menunjang berbagai sector perekonomian yang pesat berkembang dan air sebagai sumberdaya harus dikelola lebih professional dan bersungguh-sungguh baik dalam pemanfaatannya maupun dalam pelestarian fungsi dan keberadaannya. Masih banyak kendala serta masalah yang dihadapi, disamping semakin meningkatnya tantangan seiring dengan pesatnya pembangunan. Langkah awal telah diikuti berbagai kebijakan pemerintah, namun belum dapat berjalan dengan baik apalagi sempurna karena memerlukan waktu dan dana yang sangat besar. Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang “Pemerintah Daerah” dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang “Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom” dan euphoria yang berkembang dimasyarakat, maka pengelolaan air dan sumber air perlu dilaksanakan dan disosialisasikan oleh orang/institusi yang betul-betul menghayati keberadaan air dan sumber air dengan sabar dan hati-hati kepada masyarakat dan aparat baik dari eksekutif maupun legislative, walaupun bunyi pasal 33 ayat 3 UUD’45 jelas bahwa :”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. II. KAJIAN TEORI A. Potensi Air dan Sumber Air
Sumber air tawar di Indonesia dengan iklim tropic basah yang mempunyai curah hujan rata-rata 2.700mm/tahun dengan variasi dari rata-rata 1.300mm/tahun di Nusa Tenggara Timur sampai rata-rata 4.300 mm/tahun di Irian Jaya (Wilayah Sungai Eilanden _ Edera) sepenuhnya berasal dari air hujan. Hujan 1 mm/tahun equivalen dengan 100.000 m3/Ha/tahun, luas daratan Indonesia 200 juta Ha, maka hujan yang jatuh di daratan Indonesia sebanyak +20 juta Km3 air. Volume air sebesar itu +30% menjadi sumber air yang potensial tertampung pada danau alam dan buatan, waduk-waduk dan rawa-rawa dan sebagian lagi meresap kedalam tanah sebagai air tanah dan 70% merupakan aliran permukaan
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
33
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
(surface run off) yang masuk ke sungai-sungai dan sebagian terbyuang percuma ke laut. Potensi air dan sumber air di Jawa Tengah yang dimanfaatkan dan yang tak termanfaatkan menurut BAPPEDA (1997) adalah sebagai berikut : Potensi
: 65.733,75 juta m3 (100%)
Termanfaatkan : Konservasi (waduk, embung, dll)
: 2.308,28 juta m3 (3,51%)
Yang dimanfaatkan
: 25.282,16 juta m3 (38,46%)
Tak termanfaatkan : Degradasi (pencemaran)
: 514,54 juta m3 (0,78%)
Belum dikonservasi (banjir dan terbuang ke laut) : 37.628,67 juta m3 (57,24%) Melihat potensi air di Indonesia sebesar +70% dan di Jawa Tengah sebesar +57,54% yang tak termanfaatkan berupa banjir dan terbuang ke laut, apalagi kalau diingat bahwa keberadaan air tersebut tidak dijumpai pada sepanjang tahun dan pada setiap tempat /lokasi di Indonesia maupun di Jawa Tangah, maka diperlukan suatu pengelolaan air dan sumber air yang terpadu yang berkelanjutan. B. Tantangan Pengelolaan Air dan Sumber Air
Reorientasi pembangunan pengairan hasil seminar di Cisarua Bogor 1992 tersebut diatas berarti perluasan dan peningkatan bidang tugas pengairan, semula dengan titik berat melaksanakan tugas pembangunan menjadi tugas pembangunan dan tugas umum pemerintah secara lebih seimbang. Tantangan utama adalah tuntutan kebutuhan semakin meningkat dan beragam yang mengandung potensi konflik kepentingan yang cukup tinggi berupa penetapan alokasi dan pemanfaatan sumber-sumber air antara hulu-hilir, antara kawasan, bahkan antar daerah. Konflik ini lebih diperparah oleh pengertian yang salah tentang otonomi daerah yang segera diberlakukan. Pengertian otonomi yang perlu diasosialisasikan terus menerus adalah prinsip otonomi yang bertanggung jawab antara lain adalah “perwujudan pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia” Sedangkan : 1) Pasal 10 ayat (1), Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 memberikan kewenangan kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota untuk mengelola sumber daya nasional (sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia) yang tersedia di wilayahnya dan bewrtanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ini berarti bahwa MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
34
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
semua peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang mengatur air dan sumber air tetap berlaku sampai dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan termasuk dengan diterapkannya peraturan perundang-undangan yang menggantikannya sebagai pelaksanaan UndangUndang No.22 Tahun 1999 2) Bab IV H – TAP IV/MPR/1999, mendelegasikan secara bertahap wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup, sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang. Disamping tuntutan-tuntutan tersebut kebutuhan sejalan dengan makin meningkatnya mutu manusia, tuntutan terhadap mutu air, akurasi distribusi air baik dalam konteks waktu, ruang/lokasi, kuantitas dan kualitas (“warungjamu”) makin meningkat. Karena semakin berkembangnya perekonomian nasional, khususnya di daerah-daerah padat penduduk yang menyebabkan fungsi air semakin bergeser dari semula fungsi sosial menjadi fungsi ekonomi. Pendapat tersebut masih menjadi perdebatan yang cukup hangat, dalam upaya untuk mencari kesepakatan ICID secara khusus mengadakan pembahasan dalam konferensi Regional ICID untuk wilayah Eropa di Oxford Inggris (7-12 September 1997) dengan topic “Water as an Economic Good?”. Namun tidak terdapat kesepakatan yang tegas dalam dukungan bahwa “air adalah barang ekonomi, yang hanya dapat diatur pengalokasiannya secara adil dan merata kepada umat manusia melalui pengelolaan keberlanjutan dengan mempergunakan instrument ekonomi yang konsisten” (DR.A Hafied A. Ghany, MSc, 1997) Kembali kepada tantangan yang perlu kita renungkap bersama bahwa makna hakiki dari pasal 33 (3) UUD’45 adalah : ”menjamin kaidah-kaidah keadilan dan pemerataan, serta mencegah manopoli pemanfaatan air dan sumber air oleh pihak tertentu” Dari kedua kondisi tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa air mempunyai peran sosial, sehingga Pemerintah masih mendominasi. Persoalan air dan sumber air, termasuk di dalamnya persoalan pengelolaannya telah lama dihadapi oleh masyarakat dimanapun di dunia ini dan semakin bertambah kompleks dengan porsi muaran terbesar pada aspek sosial, politik dan hukum, dengan konsekuensi ekonomi, teknik lingkungan, kelembagaan dan berbagai pranata pengelolaan yang terkait. Pertanyaan mendasar tentang hal-hal pengelolaan air segera muncul. Penerapan konsepsi Pengembangan Sumber Daya Air Terpadu berupa Pengembangan Wilayah Sungai hingga saat ini belum menyeluruh dan justru MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
35
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
mengalami pasang surut. Dari sisi perencanaan baru sebagian kecil S.W.S yang telah mempunyai Master Plan, dari Master Plan – Master Plan tersebut cakupannya bervariasi. Pada umumnya semua Master Plan itu meliputi unsure irigasi dan pengendalian banjir, tetapi unsure-unsur lain yaitu Penyediaan Air Baku, Pembangkit Tenaga Listrik, Pengendalian Kualitas Air, Pengelolaan DAS, Drainase, dsb tidak selalu tercakup. Salah satu masalah utama dimana pelaksanaan program dalam Master Plan tidak selalu mulus, adalah karena hambatan sosial dan keuangan.
Kendala-kendala tersebut diatas terutama dipengaruhi factor : 1. Luasnya wilayah Replubik Indonesia dengan kebhinekaannya Terdapat wilayah sungai yang penduduknya sangat padat, pertumbuhan ekonominya sangat pesat dan potensi sumber daya airnya hamper terkuras habis, tetapi ada pula wilayah sungai yang pendidiknya masih sangat sedikit, pertumbuhan ekonominya masih rendah dan hamper tidak ada tuntutan untuk menjamah potensi sumber daya air yang berlimpah. 2. Keterbatasan sistem pendanaan 3. Kelembagaan Dalam prakteknya Master Plan perencanaannya disusun berdasarkan sektor istansi terkait, tidak secara terpadu. 4. Kendala Sosial Kendala utama adalah pembebasan tanah, analisa sensitivitas yang biasa diperhitungkan seringkali tidak memadai untuk mewadahi kenyataan yang sebenarnya harus dihadapi. Dalam jangka panjang direncanakan konsep pengembangan sumber daya air terpadu dapat diterapkan di seluruh Indonesia melalui suatu kegiatan pilot BASIN WATER RESOURCES MANAGEMENT meliputi Wilayah Sungai Ciujung-Cidurian, Jratunseluna/Garang dan Citarum hingga tahun 2000 dan diharapkan pola yang dihasilkan dapat dipergunakan untuk wilaya-wilayah sungai lain di Indonesia (Ir. Soeparmono, 1996). Hal-hal tersebut memerlukan dukungan sistem pengelolaan yang merupakan suatu pengaturan mengacu pada kenyataan kompleksitas melalui kerjasama sinerga antar disiplin IPTEK didukung oleh kemampuan kelembagaan, sumber daya manusia, teknologi dan dana yang memadai (Prof. DR. Ir. Sudjarwadi, 2000)
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
36
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
C. Pengelolaan Air dan Sumber Air Terpadu Yang Berkelanjutan
Tahapan untuk menuju sistem pengelolaan air dan sumber air terpadu yang berkelanjutan, diperlukan perangkat yang dapat menjamin proses untuk mendorong makin mendekatnya pengelolaan air dan sumber air pada kondisi benar dalam pengertian adil, optimal dan sustainable. Proses pendekatan tersebut memerlukan waktu penjernihan, karena pengelolaan air dan sumber air harus terus menerus berlangsung, melalui azas pendekatan sistem. Sistem pengelolaan sumber daya air terpadu terdiri dari dua sub sistem, yaitu : 1. Sub sistem monitoring Berupa jaringan hidrologi dan hidrometri (sesuai kebutuhan) Untuk dapat menyajikan real time allocation membutuhkan peralatan telemetri dan model matematik yang handal SDm berupa tenaga ahli untuk analisa sistem, ahli hidrologi dan computer dan ahli elektronika. Sub sistem konservasi Mempunyai spectrum yang sangat luas, mulai dari pengendalian kondisi hidro-orologis di daerah hulu, pengendalian aliran dengan saran fisik di sepanjang aliran, hingga pengendalian kualitas dari hulu hingga hilir. SDM berupa tenaga ahli hidrologi, konservasi tanah, teknik bendungan, kualitas air, dll Adanya peraturan yang jelas dan diberlakukan law enforcement dengan tegas Koordinasi antara berbagai instansi terkait. 2. Sub sistem alokasi Padas umber air yang dipergunakan untuk berbagai kepentingan (pertanian, industry, domestic, dsb) membutuhkan tata cara perijinan yang jelas, sistem operasi yang handal dan pengawas yang tegas. Pengambilan keputusan dari saat ini didasarkan pada tatanan yang bersifat baku, koordinasi antar instansi dibatasi kondisi yang sangat darurat saja. D. Tujuan
Menurut menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Ibu Ir. Erna Witoelar, Msi (2000), empat issue pokok tentang air yang saat ini sedang berkembang baik di tingkat global, nasional maupun regional, ialah : 1. Hak asasi air (water right) 2. Nilai dan harga air (water value and price) 3. Krisis air, dan MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
37
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
4. Privatisasi/korporasi pengelolaan air Berbagai
kegiatan
manusia,
meliputi
kegiatan
budidaya
pertanian,
pengadaan air baku untuk keperluan air minum maupun industry, aktivitas perkotaan, pembangkit tenaga listrik tenaga air, perikanan, pariwisata, dll, memerlukan sumber daya air yang cukup untuk tumbuh dan berkembangnya kegiatan tersebut. Apabila air tersedia terlalu banyak akan menimbulkan banjir, dan sebaliknya apabila terlalu sedikit akan menimbulkan kekeringan, terlebih lagi jika air yang jumlahnya sudah sedikit itu tercemar sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan dan lingkungan . kondisi ini akan menghambat proses tumbuh dan berkembangnya kegiatan kehidupan manusia bahkan mahluk hidup lainnya, dan memberikan indikasi bahwa sistem lingkungan telah mengalami kerusakan (berkurangnya luasan hutan, tingkat sedimentasi dan pembuangan limbah yang tak terkendali). Dua tujuan utama pengelolaan sumber daya air terpadu yang berkelanjutan yang ingin dicapai untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan sumber daya air, adalah : 1. Memadukan dan menyerasikan tata guna air, tata guna lahan/tanah, dan tata guna sumber daya alam lainnya dalam satu kesatuan lingkungan yang harmonis dan dinamis serta ditunjang uleh pengelolaan perkembangan sosial yang serasi. Perencanaan disusun melalui pendekatan wilayah dan tata ruang (holistic). 2. Menjamin penyediaan air baku untuk berbagi keperlukan sepanjang waktu dan lokasi sesuai dengan jumlah dan mutu yang dibutuhkan secara efisien dan berkelanjutan. Upaya untuk mencapai kedua tujuan tersebut melalui : a. Upaya Teknis, berupa pengelolaan sumber daya air, meliputi : 1) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Watershed Management) melalui sub sistem konservasi 2) Pengelolaan Sumberdaya Air (Water Resources Management) melalui sub sistem monitoring 3) Pengelolaan penggunaannya 9Water Use Management) melalui sub sistem alokasi Kegiatan upaya pengelolaan tersebut harus dilakukan secara bersamasama dan bersinergi kerangka pengembangan wilayah dan tata ruang yang pada hakekatnya
adalah
segala
upaya/kegiatan
pemanfaatan,
perlindungan,
pengawasan, pengendalian, dan pengaturan air dan sumber air untuk mendukung penerapan empat azas penting pendayagunaan sumberdaya air MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
38
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
yaitu azas kelestarian, azas kemanfaatan umum, azas keadilan dan azas kemandirian. b. Upaya Administrasi/peraturan, berupa Kerjasama Antar Daerah Sebagaimana kita ketahui bahwa iar merupakan sumberdaya alam yang mempunyai sifat spesifik mengalir (flowing resources) ke segala arah tidak mengenal batas wilayah administrasi yang dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan antar daerah administrasi dalam rangka pemanfaatan ruang, pengelolaan air dan prasarana keairan. Issue pokok yang menjadi sumber konflik antar daerah adalah bagaimana cost dan
benefit (hulu-hilir) itu diatur dalam pembagian pembebanan dan
pendapatan secara adil dan proporsional diantara Pemerintahan Daerah yang terlibat. Kondisi ini akan lebih diperarah oleh pengertian yang salah tentang otonomi daerah. Perlu diakui policy yang dilaksanakan oleh Pemerintah selama ini, berupa pembatasan penyerahan kewenangan pengelolaan air dan prasarana keairan kepada Pemerintah daerah maupun masyarakat, ternyata menimbulkan sikap apatis dan kurangnya rasa memiliki prasarana yang telah tersedia, sehingga penghargaan masyarakat atas nilai ekonomi air termasuk prasarananyapun terasa sangat minim (Ir. Erna Witoelar, 2000). E. Manfaat
Krisis air saat ini bukan keberadaan air yang tidak memenuhi kebutuhan, melainkan krisis pengelolaan air akibat ulah manusia dan kondisi lingkungan yang tidak lagi mendukung (It. Kasru Susilo, 2000) Manfaat ynag akan diperoleh Pemerintah dan masyarakat apabila upaya pengelolaan air dan sumber air dapat dilakukan dengan benar, antara lain : 1. Terjaminnya kelestarian dan penyediaan air yang memadai untuk berbagai keperluan (air domestic, pertanian, listrik, industry, dll). Pengalokasian air dilakukan secara efisien dan optimal, sehingga ketersediaan air senangtiasa terjaga (real time allocation). 2. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, karena kondisi perekonomian masyarakat meningkat. 3. Terciptanya
lingkungan yang
akrab
dan
menyenangkan,
bebas banjir,
pencemaran, polusi dll. Sasaran pengelolaan air, yaitu : 1. Water nfor people, water for environmental 2. Water for food MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
39
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
3. Dalam rangka mewujudkan visi :”air menjadi urusan setiap orang” III. KESIMPULAN
1. Perlu perbaikan bahkan revisi UU No. 11 Tahun 1974 dan PP No. 12 Tahun 1982, di mana UU yang diperbaharui itu harus menyatakan bahwa pengendalian, pengelolaan dan pendayagunaan air dan sumber air berada dibawah satu atap koordinasi, dengan kewenangan dan dana yang cukup. 2. Masyarakat harus sadar bahwa air adalah komoditi ekonomi yang statusnya semakin relative langka sehingga perlu upaya melestarikan potensi air dan sumber air. Sebagai komoditi ekonomi yang memperoleh manfaat adanya air harus mengair. 3. Masyarakat petani harus berpartisipasi secara pro-aktif bersama instansi terkait untuk melestarikan vegetasi lindung di bagian hulu dan sepanjang DPS, baik dalam wujud hutan pemerintah, hutan rakyat dan wana pertanian (agroforest). 4. Kelompok petani pemakai air perlu diingatkan fungsi dan peranannya menjadi asosiasi petani pengelola air (perlu tidak lanjut INPRES No. 3/1999) 5. Penegakkan hukum/law-enforcement
harus diberlakukan bagi siapa saja yang
merusak fungsi hutan lindung dan sumber-sumber air, sehingga mengganggu ketersediaan air secara lestari. 6. Perlu adanya tindak lanjut KEPPRES No. 9/1999 tentang “Pembentukan Tim Koordinasi Kebijaksanaan Pendayagunaan Sungai dan Pemeliharaan Kelestarian Daerah Aliran Sungai” 7. Penerapan konsepsi pengelolaan air dan sumber air terpadu yang berkelanjutan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan kondisi obyektif yang berkaitan dengan wilayah sungai bersangkutan. 8. Perlu pertimbangan secara seksama, pergeseran kegiatan pengelolaan air dan sumber air dari usaha pembangunan ke pengaturan/pelayanan, karena harus didukung oleh sistem monitoring, konservasi dan alokasi yang hadal. DAFTAR PUSTAKA
A. Hafied A. Ghany, DR, MSc, dan Darismanto, M (1997), Peran Kelembagaan Petani dalam Memperoleh Hak Guna Air. Erna Witoelar, Ir., Msi (2000), Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkeadilan. Gunawan Satari, Prof., DR., Ir. (1997) Jaminan Hak Penggunaan Air bagi Petani
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
40
EDISI KHUSUS, Vol : XXII, No : 2, JULI 2015
Kasru Susilo, Ir., (2000), Penyadaran Masyarakat dalam Memanfaatkan Air Bagi Kehidupan. Pratikno, DR., Msoc., Sc., (2000), Kontribusi Kerjasama Antar Daerah dalam menopang Penyelenggaraan otonomi Daerah. Soparmono, Ir., (1996), Penerapan Teknologi Pengembangan dan Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Sudjarwadi, Prof., Dr., Ir., (2000), memahami Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air. Tasambar Mochtar, (2000), Aspek Pengelolaan Air dan Sumber Air dalam Era Otonomi Daerah.
MAJALAH ILMIAH PAWIYATAN
41