91
5 DAYA DUKUNG PENGELOLAAN KAWASAN Hasil perhitungan dari 3 macam pendekatan daya dukung, yakni (1) daya dukung berdasarkan kuantitas air di perairan pesisir berdasarkan formula Widigdo dan Pariwono (2001), (2) eksperimen laboratorium fungsi filter mangrove terhadap limbah tambak dan (3) pengembangan daya dukung model mass balance hasil modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998) berdasarkan total ammonia-nitrogen dan penerapannya pada lokasi penelitian, disajikan di bawah ini. Dokumentasi kegiatan penelitian lapangan dan laboratorium dapat dilihat pada Lampiran 4. 5.1 Daya dukung Berdasarkan Kuantitas Air Perairan Pesisir Kemampuan pengenceran perairan pesisir Desa Sebamban Baru terhadap limbah tambak, dihitung berdasarkan volume total air yang tersedia di pantai (Vt), ketika air pasang naik (Vo), dan air surut (Vs). Volume total air di pantai dipengaruhi oleh kisaran pasang surut, panjang garis pantai, kemiringan dasar pantai, jarak pengambilan air untuk keperluan tambak dan frekuensi pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran sudut kemiringan dasar pantai rata-rata sebesar 1,81º, jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut untuk keperluan tambak 550 m. Panjang garis pantai desa Sebamban Baru menurut DKP Kabupaten Tanah Bumbu (2009) sepanjang 5 km. Kedalaman tambak rata-rata 1-1,5 m (hasil pengamatan lapangan), kisaran pasang 1,59 m, untuk lebih jelasnya daya dukung perairan pesisir Desa Sebamban Baru diperlihatkan pada Tabel 20. Tabel 20 Luas tambak berdasarkan daya dukung pada perairan pesisir Desa Sebamban Baru Parameter Kemiringan pantai (º) Kisaran pasut (h) (m) Jarak (X) (m) Panjang garis pantai (m) Volume perairan (m3) Volume limbah yang dapat didukung (m3) Luas tambak intensif (ha) Luas tambak semi intensif (ha) Luas tambak tradisional (ha) Sumber : Data Primer diolah 2010
Nilai 1,81 1,59 550 5000 4.171.218,15 41.712,00 83,42 208,56 695,20
Sumber Perhitungan Perhitungan Perhitungan DKP Tanbu (2009) Perhitungan Perhitungan Perhitungan Perhitungan Perhitungan
92 Limbah cair dari budidaya tambak biasanya secara periodik dibuang ke sungai, perairan pantai, dan laut mengikuti arus pasang surut. Limbah tambak tersebut akan diencerkan oleh perairan sekitarnya. Kemampuan kawasan pesisir dalam menerima limbah tambak tersebut dikatakan sebagai daya dukung lingkungan kawasan pertambakan. Penentuan daya dukung lingkungan pesisir ini berdasarkan formula Vperairan = 0,5 hy (2x-(h/tanθ)), dengan syarat Vperairan ≥ 100 Vlimbah tambak, selain itu digunakan asumsi bahwa produksi maksimum budidaya 5 ton/ha/MT (MT merupakan satuan musim tanam). Luas tambak dan mangrove di lokasi penelitian masing masing 368,542 ha dan 346,814 ha, luas keseluruhan adalah 715,356 ha. Secara ringkas penentuan daya dukung lingkungan kawasan pertambakan di daerah studi disajikan pada Tabel 20. Apabila budidaya tradisional yang ada di lokasi penelitian, diubah menjadi teknologi intensif dengan hasil rata rata 5 ton/ha, maka luas lahan yang boleh dibuka maksimum seluas 83,42 ha. Bila lahan ini dijadikan semi intensif keseluruhan dengan produksi rata-rata 2,5 ton/ha, maka luas maksimum yang boleh dibuka adalah 208,56 ha, sedangkan bila lahan dijadikan tambak tradisional dengan produksi 0,6 ton/ha maka luas maksimum yang boleh dibuka adalah 695,20 ha.
Pada saat ini pemanfaatan lahan pesisir untuk budidaya tambak
tradisional belum melebihi luas lahan maksimal yang diperbolehkan, karena saat ini tambak yang dibuka baru seluas 368,542 ha (Citra Landsat 7 ETM 2010) atau seluas 384,5 ha (DKP Tanah Bumbu 2009). Kegiatan tambak di lokasi penelitian pada saat ini dapat dikatakan masih berada di bawah daya dukung lingkungan. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 20, telah memberikan informasi luas lahan yang dapat didukung terkait dengan ketersediaan air di kawasan pesisir dalam menguraikan limbah tambak. Hasil perhitungan tersebut memberikan petunjuk bahwa kegiatan tambak masih berada di bawah kapasitas asimilasi perairan pesisir. Pendekatan ini sebenarnya masih memiliki kekurangan karena daya dukung lingkungan kawasan pertambakan, tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan air saja, belum memperhitungkan kemampuan mangrove dalam menyerap limbah yang dikeluarkan oleh tambak dalam meningkatkan daya dukung lingkungan pesisir penerima. Selain itu juga perlu dilakukan perhitungan
93 daya dukung berdasarkan kandungan amoniak pada saat air surut dan pasang di perairan pesisir. Menurut Poernomo (1992) daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen dalam kesatuan ekosistem, oleh karena itu perlu dilakukan penentuan daya dukung lingkungan pesisir berdasarkan ketersediaan jalur hijau (greenbelt), memperhitungkan rasio luas tambak lestari dan menghitung daya dukung dengan metode mass balance. 5.2 Daya Dukung Model Mass Balance Pengembangan metode estimasi daya dukung pemanfaatan ekosistem pesisir untuk budidaya perikanan berwawasan lingkungan, menggunakan model mass balance berdasarkan formula hasil modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998).
Dari formula ini dilakukan
modifikasi dengan merubah perkalian cross section area dan kecepatan arus pada perhitungan ammonia outflow, ammonia inflow, dan maximum ammonia inflow pada formula Tookwinas dengan volume air tersedia (Vo) dan volume air tersisa (Vs) formula Widigdo dan Pariwono (2003) sebagai berikut. ………………………………………………
(16)
Vo adalah volume air laut yang tersedia (m3); h adalah kisaran pasang surut setempat (m); y adalah lebar area tambak yang sejajar garis pantai (m); θ adalah kemiringan dasar laut (derajat); X adalah jarak dari garis pantai (waktu pasang) hingga lokasi pengambilan air laut (water intake) untuk keperluan tambak (m). Untuk menentukan volume air tersisa ketika air surut (Vs), dihitung dengan formula sebagai berikut : …………………………………………..
(17)
Kemudian untuk mendapatkan nilai Ammonia Outflow (AO) dan Ammonia Inflow (AI) berdasarkan formula hasil modifikasi menjadi seperti berikut ini: ……………………………..................
(18)
94
AO adalah Ammonia Outflow; j adalah Low tide level pada jam ke satu sampai jam ke-n (jam); Vsj adalah volume air tersisa ketika air surut (m3); Cj adalah konsentrasi ammonia-nitrogen pada j jam (mg/l). ……………………………................
(19)
AI adalah Ammonia Inflow; i adalah High tide level pada jam ke satu sampai jam ke-n (jam); Voi adalah Volume air laut yang tersedia (m3); Ci adalah konsentrasi ammonia-nitrogen pada i jam (mg/l). ……………………………........
(20)
MAI adalah Maximum Ammonia Inflow; im adalah High tide level pada jam ke satu sampai jam ke-n (jam); Vom
adalah volume air laut yang tersedia (m3);
Cim adalah konsentrasi ammonia-nitrogen pada level aman 0,1 mg/l (Tookwinas 1998). Berdasarkan hasil perubahan tersebut maka dapat dihitung ammonia loading berdasarkan formula AO dan AI modifikasi kemudian dapat dihitung Removal rate (R) dengan membandingkan AO dengan AI, MAO diperoleh dari perkalian R dengan MAI.
AL
AO AI ……………………………………………………… (21) SA
AL adalah Total Ammonia Loading; SA adalah Shrimp Farm Area; MAO adalah Maximum ammonia outflow; CC adalah Carrying capacity.
CC
MAO AO …………………...………………..…………… AL
(22)
Dari formula model mass balance hasil modifikasi formula Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998) berdasarkan total ammonia-nitrogen tersebut, digunakan untuk menghitung luas maksimum lahan yang masih boleh dibuka untuk tambak pada lokasi penelitian, yaitu dengan menjumlahkan luas CC dengan SA. Data yang diperlukan untuk analisis daya dukung model mass balance ini adalah berdasarkan konsentrasi total ammonia-nitrogen (NH3-N) yang diukur
95 setiap jam selama waktu 24 jam dalam sehari. Estimasi daya dukung dengan konsep model mass balance menggunakan formula gabungan antara Widigdo dan Pariwono (2001) dengan Tookwinas (1998). Hasil perhitungan Vo, Vs, ammonia outflow, ammonia inflow, maksimum ammonia inflow dan daya dukung mass balance dengan studi kasus pada Desa Sebamban Baru Kecamatan Sungai Loban Kabupaten Tanah Bumbu dapat dilihat pada Tabel 21, 22 dan 23 dan lebih rinci dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 21 Total ammonia outflow (AO) dalam satu hari di perairan pesisir Desa Sebamban Baru No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Vsj(m3) NH3-N(mg/l)(Cj) 341.695 0,003 2.364.494 0,003 5.403.792 0,004 8.698.178 0,010 375.097 0,075 457.402 0,095 740.491 0,132 1.171.107 0,140 1.501.555 0,360 1.736.981 0,380 1.897.492 0,240 2.012.779 0,400 2.132.296 0,470 2.321.017 0,340 2.633.998 0,180 Total Ammonia Outflow (AO)
3.6(Vsj.Cj) 3.075 28.941 79.760 297.478 101.276 156.432 351.881 590.238 1.946.015 2.376.190 1.639.433 2.898.402 3.607.844 2.840.925 1.706.831 18.624.722
Sumber: Data primer diolah (2010)
Hasil perhitungan Vo, Vs, ammonia outflow, ammonia inflow, maksimum ammonia inflow dan daya dukung mass balance diperlihatkan pada Lampiran 5. Berdasarkan
hasil
perhitungan dengan studi
kasus
dilokasi
penelitian,
pemanfaatan saat ini seluas 368,54 ha, total ammonia outflow (AO) 18.624.722 kg/hari, total ammonia inflow (AI) 10.945.819 kg/hari, removal rate 2 kg/hari dan total ammonia loading
20,83 kg/ha/hari. Dari hasil perhitungan menggunakan
formula baru ini diperoleh luas maksimum potensial tambak yang dapat dikembangkan adalah seluas 409 ha.
96
Tabel 22 Total ammonia inflow (AI) dalam satu hari di perairan pesisir Desa Sebamban Baru No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Voi(m3) NH3-N(mg/l)(Ci) 2.937.772 0,006 3.515.778 0,006 3.816.374 0,007 3.812.592 0,007 3.152.781 0,270 3.342.459 0,180 3.720.466 0,110 3.918.591 0,130 3.552.840 0,162 Total Ammonia inflow (AI)
3.6(Voi.Ci) 65.571 79.738 90.677 100.195 3.064.503 2.165.914 1.473.305 1.833.900 2.072.016 10.945.819
Sumber: Data primer diolah (2010)
Tabel 23 Maksimum ammonia inflow (MAI) dalam satu hari diperairan pesisir Desa Sebamban Baru Voim(m3) 2.937.772 3.515.778 3.816.374 3.812.592 3.152.781 3.342.459 3.720.466 3.918.591 3.552.840
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
NH3-N(mg/l)(Cim) 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1
Maksimum Ammonia inflow(MAI) Sumber: Data primer diolah (2010)
3.6(Voim.Cim) 1.057.598 1.265.680 1.373.894 1.372.533 1.135.001 1.203.285 1.339.368 1.410.693 1.279.022 11.437.075
Menurut Poernomo (1992) daya dukung lingkungan itu merupakan nilai kualitas lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen dalam kesatuan ekosistem. Berdasarkan hasil perhitungan luas potensi tambak mass balance yang boleh dikembangkan maksimum seluas 409 ha, merupakan batas daya dukung maksimum yang boleh dibuka pada lokasi penelitian. Pada lokasi penelitian saat ini luas tambak baru mencapai 368,54 ha, masih berada di bawah daya dukung mass balance, hal ini juga menunjukan bahwa konsentrasi amoniak yang dikeluarkan oleh tambak belum memberikan pengaruh terhadap kualitas perairan pesisir, karena pada lokasi penelitian tidak menggunakan pakan sebagai sumber penyumbang NH3-N pada perairan pesisir sekitar tambak.
97 Berbeda dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Tookwinas
(1998) di Teluk Kung Krabaen Thailand bagian Timur pada tambak intensif, walaupun masih berada dalam batas daya dukung tetapi kualitas air di perairan sekitar teluk sangat buruk terutama pada kanal drainase dan dalam tambak. Menurut Mc Donald et al. (1996) dalam budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 2530% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan. Pada lokasi penelitian input tambak hanya menggunakan pupuk untuk menumbuhkan pakan alami, sehingga untuk operasional tambak yang ada saat ini seluas
368,542 ha,
belum menimbulkan dampak negatif terhadap perairan pesisir disekitarnya. Perlu kehati-hatian dalam ekstensifikasi beberapa tahun ke depan, karena berdasarkan pembacaan peta citra landsat dalam kurun waktu tahun 2001- 2010 terjadi peningkatan luas tambak rata-rata sebesar 11,35 ha pertahun, sementara berdasarkan perhitungan daya dukung hanya boleh diperluas maksimum sebesar 40 ha ditambah dengan luas yang ada (368,542 ha), hanya sekitar tiga kali luas rata-rata perluasan tambak pertahun, yang berarti bila dua atau tiga
tahun
berikutnya diperluas sebesar rata-rata yang ada, maka tambak di lokasi penelitian sudah dalam ambang batas maksimum lahan efektif pemanfaatan. Dampak negatif akan timbul bagi lingkungan sekitarnya dan tambak itu sendiri apabila luas lahan yang dibuka di wilayah ini lebih dari 409 ha, atau apabila terjadi peningkatan teknologi budidaya tambak menjadi semi intensif dan intensif yang akan memberikan sumbangan amoniak dari input pakan. Kualitas air dalam penelitian ini
masih mendukung untuk dilaksanakannya budidaya
tambak karena pengeluaran limbah amoniak masih berada dalam batas limit untuk luasan yang ada. Luas mangrove yang tersedia harus diperhitungkan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Menurut Robertson et al. (1995) dampak sejumlah buangan limbah berupa amoniak yang tinggi dan partikel organik terlarut lainnya dapat ditransformasikan dalam sedimen dan untuk menunjang pertumbuhan mangrove. 5.3 Fungsi Filter Mangrove Terhadap Limbah Tambak Hasil percobaan laboratorium terhadap dua jenis mangrove Avicennia dan Rhizopora yang diberikan perlakuan pengaliran limbah dari pemeliharaan udang
98 dan air laut biasa tanpa limbah, untuk mengetahui fungsi filter mangrove terhadap limbah organik tambak, menunjukan bahwa kandungan N total pada daun, batang dan akar tanaman Avicennia dengan perlakuan limbah organik (V1N1) memberikan nilai tertinggi diikuti oleh Rhizopora dengan pemberian limbah organik (V2N1), dan kandungan N total baik pada Avicennia dan Rhizopora dengan perlakuan air laut biasa lebih kecil nilainya. Namun dari seluruh jaringan ini menunjukan bahwa kandungan N total lebih dominan terbentuk pada jaringan daun, dibandingkan pada jaringan batang dan akar. Rerata konsentrasi N total pada setiap perlakuan selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24 Rerata konsentrasi N total pada perlakuan selama penelitian Sampling ke Parameter
Perlakuan
N dalam daun (mg)
N dalam batang (mg)
N dalam akar (mg)
Laju peningkatan N/ 4 bulan
T0
T4
V1N0
0,095
0,238
0,143
V2N0
0,088
0,154
0,065
V1N1
0,067
0,294
0,227
V2N1
0,036
0,135
0,099
V1N0
0,060
0,064
0,004
V2N0
0,049
0,064
0,015
V1N1
0,040
0,069
0,029
V2N1
0,035
0,06
0,025
V1N0
0,072
0,079
0,007
V2N0
0,042
0,051
0,009
V1N1
0,034
0,048
0,014
V2N1
0,032
0,042
0,010
Sumber: Data primer diolah (2010)
Pengukuran N total pada media tanah dan air pemeliharaan mangrove dapat dilihat pada Tabel 25.
Berdasarkan pengukuran N total perlakuan Avicennia
limbah organik (V1N1) konsentrasi N total dalam tanah saat T0 adalah 0,01 mg/l dan dalam air 1,3 mg/l dan pada saat T4 pada tanah meningkat menjadi 0,025 mg/l dan dalam air meningkat menjadi 8,32 mg/l. Hasil pengukuran N total pada kolam air laut tanpa udang dan kolam udang (0,5 dan 0,6 mg/l) pada waktu awal perlakuan, pada kolam udang
setelah masa pemeliharaan 4 bulan dengan
pemberian pakan konsentrasi N total meningkat menjadi 4,2 mg/l, begitu juga
99 pada kolam tanpa udang, terjadi peningkatan konsentrasi N total menjadi 3,7 mg/l dan pada saat air memasuki kolam perlakuan penanaman mangrove pada kolam mangrove setelah T4 dengan air laut biasa (V1N0 dan V2N0) nilainya masing masing 6,56 mg/l dan 8,41 mg/l, dan pada kolam yang berasal dari limbah organik kolam udang (V1N1 dan V2N1) setelah T4 nilainya masing masing 7,45 mg/l dan 8,32 mg/l. Tabel 25 Pengukuran N total dalam tanah dan air media penelitian Parameter
Perlakuan V1N0 N dalam tanah V2N0 (mg/l) V1N1 V2N1 V1N0 N dalam air V2N0 (mg/l) V1N1 V2N1 buangan air limbahorganik (mg/l) buangan air laut (mg/l) Air kolam udang (mg/l) Air kolam air laut tanpa udang (mg/l)
Sampling ke T4 0,014 0,023 0,025 0,113 6,56 8,41 8,32 7,45 6,80
T0 0,006 0,012 0,010 0,005 0,80 1,40 1,30 0,50 0,50
Laju peningkatan N/ 4 bulan 0,008 0,011 0,015 0,108 6,95 5,76 7,01 6,30 6,30
0,50
4,56
4,06
0,60
4,20
3,60
0,50
3,70
2,50
Keterangan : V1 (Avicennia), V2 (Rhizophora), N0 (air laut), N1(air limbah organik)
Air buangan yang ditampung setelah melewati perlakuan yaitu dengan mengalirkan ke tempat pembuangan terjadi penurunan nilai N total. Air dari kolam dengan air laut biasa V1N0 dan V2N0 di gabung dalam satu wadah pembuangan konsentrasinya turun menjadi 4,2 mg/l dan pada kolam hasil pembuangan dari kolam mangrove dengan limbah organik dari kolam udang V1N1 dan V2N1 menjadi 6,8 mg/l. Meskipun angka ini masih tinggi namun sudah
berkurang dari nilai yang ada pada kolam perlakuan mangrove, berarti hal tersebut telah memperlihatkan terjadi penyerapan N total oleh mangrove sebelum dibuang ke penampungan limbah. Dari Gambar 14 berikut dapat dilihat grafik konsentrasi N total pada saat T0 dan T4 dari kolam udang (KU), kolam air laut (KAL), kolam
100 mangrove air laut (KMAL), kolam mangrove limbah organik (KMALO) sampai
Konsentrasi Ntotal (mg/l)
ke pembuangan air laut (BAL) dan buangan air limbah organik (BALO). 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
T0 T4
KU
KAL
KMAL
KMALO
BAL
BALO
Sampel
Gambar 14 Aliran N total dalam air kolam sampai pembuangan. Sebagai penera kandungan N total pada kedua jenis tanaman pada dua lokasi penelitian dengan mangrove yang lebih banyak dibandingkan dengan tambak di daerah lain dengan mangrove yang lebih sedikit. Dilakukan pengukuran kandungan N total berdasarkan tinggi tanaman yang berbeda. Pengukuran kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari dua jenis mangrove (Avicennia dan Rhizophora) pada lokasi sekitar tambak, berdasarkan pada perbedaan tinggi tanaman 0,5 m, 1 m dan tinggi lebih dari 1 m pada dua lokasi tambak yang berbeda yaitu pada tambak di Desa Sebamban Baru dan Desa Sepunggur. Nilai kandungan N total (mg) di Desa Sebamban Baru dan Desa Sepunggur dapat dilihat pada Tabel 26, Tabel 27 dan Gambar 15. Tabel 26 Kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari kedua jenis mangrove di Desa Sebamban Baru Tinggi tanaman (m) 0,5 1 >1
Daun 0,034 0,058 0,053
Kandungan N total (mg) Rhizophora Avicennia Batang Akar Daun Batang 0,020 0,033 0,078 0,025 0,010 0,030 0,037 0,058 0,015 0,031 0,070 0,025
Sumber: Data primer diolah (2010)
Akar 0,031 0,035 0,097
101 Tabel 27 Kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari kedua jenis mangrove Desa Sepunggur Tinggi tanaman (m)
Kandungan N total (mg) Rhizophora Daun
0,5 1 >1
Avicennia
Batang
0,058 0,102 0,096
Akar
0,023 0,032 0,036
Daun
0,031 0,010 0,060
Batang
0,136 0,147 0,069
Akar
0,027 0,071 0,056
0,034 0,049 0,096
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Tinggi 0,5 Tinggi 1
Rhizophora Sebamban
Rhizophora Sepunggur
Avicennia Sebamban
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Daun
Akar
Batang
Tinggi >1 Daun
N-total (%)
Sumber: Data primer diolah (2010)
Avicennia Sepunggur
Lokasi
Gambar 15 Kandungan N total dari daun, kulit dan akar dari kedua jenis mangrove Desa Sebamban dan Baru Desa Sepunggur. Tabel 28 Kualitas air selama pemeliharaan udang dan mangrove T0 Wadah Kolam udang 1 Kolam air laut2 Buangan 1 Buangan 2 V1NO V2NO V1N1 V2N1
O2 (mg/l) 6,21 6,82 3,37 6,61 6,60 6,70 6,50 6,70
PH
T°C
6,19
28,6
T4 Sal (‰) 15,0
NH3 (mg/l) 3,79
O2 (mg/l) 5,62
PH
T°C
Sal (‰)
7,05
25,2
14,00
NH3 (mg/l)
5,60 29,3 24,5 0,02 5,49 6,77 25,4 23,00 8,03 28,0 15,0 0,15 3,26 8,08 28,1 16,00 6,50 28,0 15,0 0,30 5,62 6,61 25,1 15,00 6,10 28,0 14,5 0,30 5,60 6,70 25,0 12,00 6,30 28,0 14,5 0,20 5,60 6,70 25,0 12,00 5,80 28,1 24,0 0,70 5,60 6,80 25,0 22,00 5,80 28,0 24,0 0,70 5,60 6,80 25,0 22,00 7,07,028Bakumutu*) >5,0 8,5 28-30 Alami 0,30 >5,0 8,5 30 Alami Sumber : Data Primer diolah;*)Kepmen LH No.51 tahun 2004 (Bakumutu air laut untuk biota laut)
4,49 0,73 0,23 0,30 0,32 0,32 0,71 0,71 0,30
102 Tabel 28 menunjukan kualitas air pada kolam pemeliharaan udang dan mangrove. Pada kolam udang nilai amoniak lebih tinggi dibandingkan dengan kolam air laut biasa tanpa udang, sebab menurut Aldridge et al 1995 in Fancy 2004 setiap organisme dengan berat 0,1 mg, diasumsikan tingkat ekskresi udang mirip dengan kerang (0,000192 mg NH3-N per mg kerang perjam), 200 ekor udang dengan berat total 20 mg akan menghasilkan 0,18 mg/l NH3-N dalam waktu 48 jam. Ekskresi udang ini menyebabkan konsentrasi amoniak lebih tinggi pada kolam udang, dibanding dengan kolam air laut tanpa udang. Konsentrasi ammoniak setelah memasuki kolam perlakuan mangrove nilainya menurun, dan nilai ini lebih rendah lagi ketika berada dalam bak buangan, baik air limbah organik maupun air laut biasa. Amoniak pada kolam perlakuan mangrove berfluktuasi pada saat T0 berkisar antara 0,2-0,7 mg/l, dan pada saat T4 amoniak berkisar antara 0,3-0,7 mg/l. Demikian juga dengan amoniak pada kolam udang pada saat T0 dan T4 masing masing 3,79 mg/l dan 4,49 mg/l. Kisaran amoniak tersebut jika dibandingkan dengan kadar baku mutu air laut (berdasarkan Kepmen LH No.51 tahun 2004 tentang Bakumutu air laut untuk biota laut) maksimal 0,3 mg/l menunjukan bahwa nilai amoniak ini telah melebihi baku mutu yang diperbolehkan untuk biota laut.
Secara umum walaupun
kualitas air pada
penelitian ini sebagian masih berada di atas baku mutu, tetapi udang dan mangrove yang dipelihara ini masih bisa mentolerir untuk kehidupannya. 5.3.1 Pertumbuhan Tinggi Tanaman Mangrove Anakan Avicennia (dinotasikan dengan V1) dan anakan Rhizophora (dinotasikan dengan V2). Faktor pemberian air terdiri atas dua taraf, yaitu: pemberian air laut biasa (dinotasikan dengan N0) dan pemberian air limbah organik (dinotasikan dengan N1) yang diuji melalui percobaan faktorial 2 x 2 (taraf faktor A dan taraf faktor B, masing-masing sebanyak dua taraf) dengan rancangan dasar rancangan acak lengkap (RAL). Hasil perhitungan analisis keragaman pertumbuhan tinggi mangrove pada Tabel 29 memperlihatkan bahwa faktor V sangat berpengaruh nyata dan faktor N tidak berpengaruh nyata, tetapi interaksi V dan N berpengaruh nyata.
103 Tabel 29 Analisis ragam hasil pertumbuhan mangrove Sumber Keragaman Perlakuan V N VN Galat Total
DB 3 1 1 1 8 11
JK 809,73 742,22 6,20 61,31 48,31 858,05
KT 742,22 6,20 61,31 6,04
Fhitung 122,903** 1,026tn 10,153*
F Tabel 5% 1% 5,32 11,26 5,32 11,26 5,32 11,26
**sangat nyata, *nyata, tntidak nyata
Terdapat perbedaan respons hasil pertambahan tinggi tanaman di antara jenis mangrove yang diujicobakan, Pertambahan tinggi tanaman berpengaruh sangat nyata terhadap pertumbuhan mangrove dan tidak terdapat perbedaan respon hasil pertumbuhan mangrove di antara taraf pemberian air yang diujicobakan, atau dengan kata lain faktor pemberian air tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan mangrove. Tingkat keandalan dari model yang digunakan adalah:
R2 = 0,944 , dengan demikian sekitar 94,4% dari keragaman hasil
pertumbuhan mangrove disebabkan oleh pertambahan tinggi, pemberian air, dan interaksi antara pertumbuhan tinggi dan pemberian air. Tabel 30 Uji DUNCAN Perlakuan V1N1 V1N0 V2N0 V2N1 D
Nilai tengah 25,92 19,96 8,75 5,67 5% 1%
V1N1 5,96* 17,17** 20,25** 4,63 6,02
Nilai beda V1N0
11,21* 14,29* 4,81 7,09
V2N0
3,08tn 4,92 7,29
Berdasarkan uji Duncan pada Tabel 30 pertumbuhan terbaik adalah pada perlakuan V1N1 diikuti oleh perlakuan V1N0, V2N0 dan V2N1. Kandungan N total pada daun Avicennia dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan dalam N total daun Rhizophora, hal ini senada dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Lacerda et al. in Rogers (1997) daun Rhizophora mengandung konsentrasi tannin terlarut yang tinggi, kandungan N yang rendah
104 dan C:N rasio yang tinggi, sedangkan daun Avicennia marina kandungan tannin rendah, kandungan N tinggi dan rasio C:N rendah. Spesies Rhizophora secara konsisten memiliki kandungan N dalam daun yang lebih rendah dibandingkan spesies lain seperti
Heritiera littoralis dan
Avicennia marina (Rao et al. 1994). Hal ini disebabkan oleh perbedaan morfologi daun kedua spesies tersebut (Rao et al. 1994). Daun dari spesies Rhizophora mempunyai permukaan yang tebal dan keras, dengan kandungan karbon tinggi dan kandungan N rendah (Rao et al. 1994). Menurut Boto dan Wellington (1983), keadaan N dalam daun ditemukan berkorelasi dengan kondisi nitrogen tanah. Susunan komponen mangrove, daun memiliki kandungan N tertinggi, kemudian buah, serabut kecil akar dan cabang batang juga mengandung N yang relatif tinggi (Clough & Attiwill 1975, Ong 1990). Kedudukan kedua jenis tumbuhan ini di alam berada dalam formasi zonasi yang berbeda. Menurut Bengen (2001), penyebaran dan zonasi hutan mangrove tergantung oleh berbagai faktor lingkungan. Berikut salah satu tipe zonasi hutan mangrore di Indonesia : (1)
Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan
substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi Sonneratia spp, yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik. (2) Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp dan Xylocarpus spp. (3) Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp. (4) Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya. Berdasarkan formasi zonasi ini perikanan budidaya tambak biasanya ada pada lahan yang berdampingan dengan atau pada lahan yang ditumbuhi Rhizophora. Ekosistem mangrove dapat berperan penting sebagai tempat penampung dissolve-nutrient, serta pengolah limbah organik (Boto dan Wellingston 1983). Dalam hal ini banyak dibuktikan bahwa kesuburan tanah, kandungan hara serasah dan pertumbuhan tegakan mangrove jauh lebih baik di hutan-hutan mangrove yang banyak menerima input hara anorganik terutama Nitrogen dan Posfor, dibandingkan dengan mangrove yang tidak mendapat input energi dari luar (Clough et al. 1983 in Kusmana 2009). Sehingga pengembangan perikanan
105 budidaya di wilayah pesisir yang mengeluarkan limbah cair yang mengandung limbah N dan P, baik pada tambak tradisional yang hanya menggunakan pupuk dan kapur untuk penyuburan pakan alami, maupun semi intensif dan intensif menggunakan pakan memerlukan mangrove sebagai sistem trap, transformasi dan ekspor material (Robertson et al. 1995). Keuntungan dari integrasi mangrove dan budidaya udang untuk menjaga tambak dari erosi, meningkatkan produktifitas suplai air, dan juga mengolah buangan limbah tambak menjadi lebih kecil kadarnya sebelum dibuang ke perairan pesisir (Gautier et al. 2001). Budidaya perikanan yang ada di pesisir saat ini dibangun di sisi atau pada lahan yang ditumbuhi mangrove sehingga sebagian besar mangrove menjadi hilang, sementara Linn in Phillip (1995) menyebutkan bahwa produksi tambak dalam jumlah besar mengeluarkan jumlah efluen limbah yang besar pula. Limbah budidaya ini ditransformasikan sebagai nutrien dalam sedimen dan terhadap pertumbuhan mangrove, karena kapasitas mangrove berperanan penting sebagai penyangga keberlanjutan di sejumlah ekosistem pesisir. Berdasarkan hal tersebut di atas Phillip et al. (1994) in Chowdhury et al. 2003) merasa perlu mengestimasi kebutuhan wilayah hutan Rhizophora bagi perhektar tambak udang intensif dan semi intensif, untuk merombak nitrogen dan posfor yang berasal dari limbah tambak. Berdasarkan analisis anova, interaksi air limbah organik
dan air laut
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan tinggi tanaman dan pertambahan daun tanaman,
Avicennia yang diberikan perlakuan air limbah
organik lebih baik pertumbuhannya, dibandingkan Rhizophora dengan perlakuan yang sama dalam memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. 5.3.2 Penentuan Luas Sabuk Hijau (Greenbelt) Luas sabuk hijau yang harus ada di lokasi penelitian dihitung berdasarkan ketersediaan sabuk hijau mangrove selebar 130 x amplitudo pasut (Keppres No 32 Tahun 1990) dikalikan dengan panjang garis pantai sehingga berdasarkan hasil perhitungan tersebut pada lokasi penelitian adalah 103,35 ha (perhitungan pada Lampiran 6).
106 Luas lahan mangrove yang masih bisa dikonversi menjadi tambak sebesar 346,814 ha dikurangi 103,350 ha sabuk hijau adalah 243,464 ha, sehingga total area yang dikembangkan menjadi tambak (tambak yang ada dijumlahkan dengan luas hutan mangrove yang masih bisa dikonversi) yaitu 612,006 ha, merupakan luas tambak total dengan di dalamnya termasuk infra struktur (pematang, rumah jaga dan lain lain). Luas tambak tanpa infra struktur dengan mengurangkan 30% keperluan infra struktur, sehingga dari perhitungan ini luas tambak tanpa infra struktur seluas 70% adalah seluas 428,404 ha merupakan luas lahan efektif maksimum yang dapat digunakan untuk pemanfaatan tambak, luas efektif lahan dan luas greenbelt dalam perhitungan ini belum memperhitungkan penyerapan N total oleh mangrove terhadap limbah N total yang dikeluarkan tambak. 5.3.3 Estimasi Rasio Luas Mangrove dan Luas Tambak Lestari Berdasarkan N total Berdasarkan hasil perhitungan luas efektif lahan maksimum, digunakan mensimulasi daya dukung wilayah pesisir Kabupaten Tanah Bumbu dalam rangka mendapatkan rasio luas pengembangan areal tambak dan luas mangrove yang diperlukan sebagai penyerap limbah yang dikeluarkan oleh tambak. Perhitungan rasio luas tambak dan kebutuhan mangrove dapat dihitung berdasarkan jumlah N total biomas tanaman mangrove dan N total dalam limbah yang dikeluarkan tambak. Hasil perhitungan biomas berat kering tanaman mangrove dalam satuan m2 adalah seperti ditunjukan pada Tabel 31. Tabel 31 Biomas kering mangrove jenis Avicennia Komponen Daun
Biomas/phn
Biomas g/m2
Biomas g/ha
Biomas kg/ha
2,75
11,00
110.000
110
Batang
16,95
67,80
678.000
678
Akar
10,94
43,76
437.600
437
Sumber: Data primer diolah (2010)
Untuk mendapatkan nilai N total yang diserap oleh mangrove (mengalikan biomas dengan konsentrasi N total) seperti pada Tabel 32.
107 Tabel 32 Nilai N total dalam biomas kering Avicennia Komponen
Biomas g/ha (1) 110.000
Konsentrasi N total (g) (2) 0,0294
Batang
678
0,0069
4,68
Akar
437
0,0048
2,10
Total
10,02
Daun
N total kg/ha (1)x(2) 3,24
Sumber: Data primer diolah (2010)
Volume limbah
per hektar tambak dengan kedalaman 1 m dihitung:
Volume air yang dibuang dari tambak 10% perhari = 10.000 m3 x 0,1 = 1000 m3/ha, volume limbah 5% dihitung dari 10% jumlah air yang dibuang = 1000 m3 x 0,05 = 50 m3/ha =50.000 liter/ha. Konsentrasi N total dalam air limbah tambak/ha diketahui dari konsentrasi N total limbah tambak hasil pengukuran 8,32 mg/l, dan N total per hektar yang dikeluarkan tambak adalah 0,416 kg/ha. Dari nilai dalam biomas kering tanaman Avicennia dan N total dalam limbah perhektar ini, dapat dihitung kebutuhan rasio mangrove dan tambak, dengan membagi nilai N total diserap mangrove dengan jumlah limbah total dikeluarkan tambak yaitu 10,02/0,416 = 24,08 dibulatkan menjadi 24. Sehingga bila terdapat 24 ha tambak diperlukan 1 ha mangrove untuk dapat menyerap limbah yang dikeluarkan oleh tambak. Kemudian perhitungan dilanjutkan mengacu pada hasil perhitungan Kumar et al. (2011) bahwa jumlah N total diserap mangrove adalah 0,92 kg/ha, dan sisanya dikeluarkan kembali ke lingkungan. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa apabila pada lokasi penelitian hanya diserap 10% dari N total mangrove maka 90% dari N total mangrove
akan
dikembalikan
ke
lingkungan.
Maka
hasil
perhitungan
perbandingannya menjadi 2,4:1. Apabila terdapat 2,4 ha tambak yang mengeluarkan limbah mengandung N total, maka limbah tersebut dapat diserap oleh 1 ha mangrove. 5.3.4 Rasio Luas Mangrove dan Luas Tambak Lestari Berdasarkan hasil perhitungan luas daya dukung tambak mass balance yang boleh dikembangkan maksimal seluas 409 ha, pada saat ini lahan yang telah dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tambak di wilayah ini adalah 368,54 ha
108 dan luas mangrove 346,81 ha, sehingga
total lahan yang tersedia seluas
715,36 ha. Bila pemanfaatan mencapai luas maksimum daya dukung 409 ha maka lahan mangrove tersisa seluas 306,36 ha merupakan luas mangrove yang masih bisa dimanfaatkan untuk perluasan tambak. Luas mangrove yang tidak boleh digunakan untuk tambak 103,35 ha sebagai jalur hijau (greenbelt) pada saat sebelum memperhitungkan penyerapan N total, tetapi setelah N total diperhitungkan perbandingan luas tambak dan mangrove menjadi 2,4:1 sehingga luas minimal mangrove harus tersedia menjadi 170,4 ha. Tabel 33 menunjukan luas tambak dan kebutuhan mangrove pada saat ini dan potensi tambak maksimal berdasarkan luas daya dukung mass balance. Tabel 33 Luas tambak dan kebutuhan mangrove Tambak Eksisting Potensi (daya dukung maksimum)
Luas tambak (ha) 368,54 409,00
Luas Kebutuhan luas tambak mangrove (ha) dan mangrove (2,4:1) 346,81 368,54 : 153,6 306,36 409,00 : 170,4
Sumber: Data primer diolah (2010)
Kebutuhan mangrove agar dapat menyerap limbah N total yang dikeluarkan tambak dalam penelitian ini dengan rasio luas tambak dan mangrove adalah 2,4:1, Luas lahan tambak yang ada 368,54 ha memerlukan luas mangrove 153,5 ha untuk dapat menyerap limbah N total yang dikeluarkan tambak. Demikian juga dengan lahan potensi maksimal daya dukung mass balance 409 ha masih tersedia luas mangrove karena hanya memerlukan mangrove seluas 170,4 ha, Kebutuhan luas mangrove di lokasi penelitian ini yang diperlukan oleh tambak lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian
Fancy (2004) yaitu ketersediaan untuk
tambak dan mangrove 5:1. Rasio luas mangrove yang ada cukup untuk menyerap limbah N total yang dikeluarkan tambak pada lokasi penelitian dan untuk menjamin
keberlanjutan
secara
ekologis
keberadaan
mangrove
harus
memperhatikan kaidah rasio seperti yang dipersyaratkan pada Tabel 33. Hasil perhitungan greenbelt setelah menghitung penyerapan N total lebih luas dibandingkan hasil perhitungan greenbelt berdasarkan Keppres No 32 tahun 1990. Sebagai
acuan dalam menentukan kebutuhan mangrove untuk suatu
kawasan dalam satu hamparan, dengan harapan bahwa kebutuhan mangrove ini
109 mampu menciptakan tambak lestari dan berwawasan lingkungan. Perhitungan luas tambak dengan kebutuhan mangrove tidak bisa hanya berpatokan pada luas greenbelt berdasarkan Keppres No 32 dalam subbab 5.3.2, karena luas tersebut belum mencukupi menyerap limbah tambak yang mengandung N total. Dengan hasil perhitungan keperluan mangrove 170,4 ha, maka perhitungan luas total lahan keseluruhan 715,36 dikurangkan dengan luas mangrove yang diperlukan menyerap limbah N dari tambak seluas 170,4 ha adalah 545 ha merupakan luas efektif lahan, yang dapat dimanfaatkan untuk tambak dengan infra struktur dan setelah dikurangkan dengan 70% infra struktur luasnya menjadi 381,5 ha merupakan luas efektif lahan yang memenuhi syarat daya dukung yang berwawasan lingkungan pada lokasi penelitian. Digunakan sebagai acuan batas luas efektif lahan maksimum simulasi rasio tambak lestari berdasarkan ekologi ekonomi. 5.4 Rasio Luas Tambak Lestari Berdasarkan Ekologi Ekonomi Kombinasi luas tambak lestari berdasarkan hasil simulasi luas tambak dari hasil perhitungan daya dukung tambak di konversi menjadi tambak intensif, semi intensif dan tradisional dapat dilihat pada Tabel 34. Kombinasi ketiga sistem budidaya tambak hasil simulasi, yang mendekati total alokasi luas efektif lahan pemanfaatan untuk tambak (381,5 ha) di Kabupaten Tanah Bumbu adalah tambak intensif (20%) seluas 16,68 ha, tambak semi intensif (35%) seluas 73,0 ha dan tradisional (44%) seluas 312,84 ha. Kombinasi ini merupakan luas maksimum untuk pengembangan tambak di lokasi penelitian, karena jumlah luasnya ada dalam kisaran luas efektif (381,5 ha) yang paling mendekati luas lahan yang boleh dimanfaatkan untuk tambak (402,52 ha). Luas ini sudah memenuhi syarat daya dukung berwawasan lingkungan. Kombinasi ini berdasarkan perhitungan dengan mempertimbangkan luas tambak dengan hasil produksi rata-rata 5 ton per hektar untuk tambak intensif, tambak semi intensif dengan rata-rata produksi 2,5 ton per hektar dan tambak tradisional produksi rata-rata 0,6 ton per hektar, belum mempertimbangkan keterkaitan dengan nilai ekonominya.
110
Tabel 34 Kombinasi optimal luas tambak intensif, semi intensif dan tradisional dalam batasan daya dukung maksimum Luas Total Tambak Intensif Tambak Semi-Intensif Tambak Trad Tambak No Luas Luas Persentase (ha) Persentase Luas (ha) Persentase (ha) (ha) 1 100% 83,42 0% 0% 83,42 2 0% 100% 208,56 0% 208,56 3 0% 0% 100% 695,20 695,20 4 90% 75,08 5% 10,43 5% 34,76 120,27 5 80% 66,74 10% 20,86 10% 69,52 157,12 6 70% 58,40 15% 31,28 15% 104,28 193,96 7 60% 50,05 20% 41,71 20% 139,04 230,81 8 50% 41,71 25% 52,14 25% 173,80 267,65 9 40% 33,37 30% 62,57 30% 208,56 304,50 10 35% 29,20 30% 62,57 35% 243,32 335,09 11 30% 25,03 35% 73,00 35% 243,32 341,34 12 10% 8,34 40% 83,42 40% 278,08 369,85 13 20% 16,68 35% 73,00 45% 312,84 402,52*) 14 8% 6,67 45% 93,85 47% 326,75 427,27 15 5% 4,17 45% 93,85 50% 347,60 445,63 Sumber: Data primer diolah (2010); *) Luas optimal tambak yang mendekati daya dukung setelah menghitung penyerapan N total
Luas tambak berwawasan lingkungan 380,42 ha, kalau dilihat dari Tabel 34 berada diantara luas simulasi 12 dan 13 namun nilai ini lebih mendekati nilai pada simulasi ke 13 yaitu luas 20% (16,68 ha) tambak intensif, 35% (73,0 ha) semi intensif dan 45% (312,84 ha) tambak tradisional. Kondisi tambak yang ada saat ini 368,542 ha dengan operasional tambak secara tradisional perlu dioptimalkan mengacu pada luas tambak berwawasan lingkungan, untuk memenuhi syarat daya dukung dengan maksimum buangan limbah yang tidak mencemari perairan pesisir di sekitarnya harus ada pola perubahan pengelolaan tambak dengan merubah pola usaha menjadi komposisi tambak intensif dan semi intensif dan tradisional, namun bila kebijakan adalah mempertahankan tambak tradisional maka luas lahan yang diupayakan tetap dipertahankan hanya sampai batas maksimum luas efektif pemanfaatan lahan yang diperbolehkan karena dari segi ekologis pengembangan tambak tradisional lebih ramah lingkungan,
karena sumbangan limbah organik terhadap lingkungan
perairan disekitarnya lebih rendah. Bila luas lahan tambak yang dikembangkan berdasarkan nilai ekonomi yang diperoleh dari jenis tambak
intensif, semi
111 intensif dan tradisional maka nilai manfaat langsung dan tidak langsung tambak dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35 Manfaat langsung dan tidak langsung berdasarkan jenis tambak Komponen Biaya/Manfaat Intensif
Jenis Tambak (Rp/ha/th) Semi Intensif
Tradisional
A. Manfaat 1. Bd (benefit Langsung) Udang vaname 442.665.000 1) Udang windu 57.600.000 2) Udang windu- bandeng 24.598.280 3) 2. Be (benefit tidak langsung) Udang Bintik 2.968.000 3) 2.968.000 3) 2.968.000 3) 3) 3) Udang Putih 480.000 480.000 480.000 3) Total Be 3.448.000 3.448.000 3.448.000 B. Biaya 1. Cd (biaya Langsung) Udang vaname 401.802.000 Udang windu 29.340.000 Udang windu bandeng 11.684.441 2. Ce (Biaya tdk langsung) Kayu bakar 2.813.580 4) 2.813.580 2.813.580 Benur 1.541.029 4) 1.541.029 1.541.029 Kepiting 11.193.318 4) 11.193.318 11.193.318 Total Ce 15.547.927 15.547.927 15.547.927 Net Benefit (Nb) 28.763.073 45.500.073 12.498.353 Nb*Luas lahan efektif 12.322.100.473 19.492.231.273 5.354.294.425 Sumber: 1) Suryani 2008 2) Kamiso in Suryani 2008 3) Penelitian ini 4) Oktawati (2008)
Dari manfaat langsung dan tidak langsung tersebut dihitung nilai ekonomi tambak berdasarkan luas lahan hasil simulasi. Hasil perkalian setiap luas lahan simulasi dengan nilai ekonomi tambak dapat dilihat pada Tabel 36. Tercapainya pengembangan tambak berwawasan lingkungan pada lokasi penelitian tidak hanya berdasarkan
pada
perolehan
nilai
ekonomi
yang
tinggi,
tetapi
harus
memperhitungkan juga kemampuan daya dukung secara ekologi. Bila dikembangkan hanya tambak intensif dengan luas 83,42 ha sebagai hasil simulasi, maka akan diperoleh nilai ekonomi
Rp 2.255.717.443,00 per tahun. Nilai
ekonomi tambak intensif ini cukup tinggi tetapi tidak menjamin keberlanjutan secara ekologi, karena akan memberikan sumbangan input limbah dari pakan yang besar pada lingkungan. Tambak semi intensif bila dibuka dalam satu hamparan 208,56 ha tanpa dipadukan dengan teknologi tambak lainnya, diperoleh nilai ekonomi sebesar Rp 3.010.800.488,00 per tahun. Hasil simulasi nilai ekonomi semi intensif ini
112 merupakan nilai ekonomi paling tinggi, sama halnya dengan tambak intensif akan memberikan sumbangan input limbah yang tinggi. Kemudian apabila tambak tradisional dibuka 695,20 ha, akan memberikan nilai ekonomi yang relatif kecil yaitu Rp 440.478.574,00. Luas 695,20 ha ini melebihi kapasitas luas efektif pemanfaatan lahan, karena pada lokasi penelitian hanya boleh dibuka tambak maksimum seluas 402,52 ha. Dari Tabel 36 dapat dilihat alternatif pengelolaan tambak yang lebih rasional secara ekologi dan ekonomi berdasarkan hasil simulasi. Pada simulasi ke 13 merupakan alternatif pengelolaan ekologi ekonomi yang ideal, karena secara ekologi luas lahan berada pada kisaran luas efektif pemanfaatan lahan yaitu 402,52 ha dan nilai ekonomi cukup tinggi, jika dibandingkan dengan pengelolaan tradisional, yang dihitung berdasarkan nilai ekologi pada simulasi ke 13 dalam Tabel 34 sehingga nilai ini Tabel 36 Hasil perhitungan luas simulasi tambak dan nilai ekonomi tambak Luas Intensif (ha)
Nilai ekonomi intensif (Rp/th)
83,42
2.255.717.443
Luas Semi intensif (ha)
Nilai ekonomi Semi Intensif (Rp/th
0
0
-
208,56
0
-
0
3.010.800.488 -
Luas Tradisio nal (ha)
Nilai ekonomi Tradisional (Rp/th)
Total Nilai Ekonomi (Rp/th)
0
-
2.255.717.443
0
-
3.010.800.488
695,20
440.478.574
440.478.574
75,08
2.030.145.698
10,43
150.540.024
34,76
22.023.929
2.202.709.651
66,74
1.804.573.954
20,86
301.080.049
69,52
44.047.857
2.149.701.860
58,40
1.579.002.210
31,28
451.620.073
104,28
66.071.786
2.096.694.069
50,05
1.353.430.466
41,71
602.160.098
139,04
88.095.715
2.043.686.278
41,71
1.127.858.721
52,14
752.700.122
173,80
110.119.643
1.990.678.487
33,37
902.286.977
62,57
903.240.146
208,56
132.143.572
1.937.670.696
29,20
789.501.105
62,57
903.240.146
243,32
154.167.501
1.846.908.752
25,03
676.715.233
73,00
1.053.780.171
243,32
154.167.501
1.884.662.904
8,34
225.571.744
83,42
1.505.400.244
278,08
176.191.430
1.907.163.418
*)16,68
451.143.489
73,00
1.053.780.171
312,84
198.215.358
1.703.139.017
6,67
180.457.395
93,85
1.354.860.219
326,75
207.024.930
1.742.342.545
4,17
112.785.872
93,85
1.354.860.219
347,60
220.239.287
1.687.885.378
Sumber: Data primer dan sekunder diolah; penyerapan N total
*)
Nilai ekonomi
tambak
setelah menghitung
merupakan nilai yang mendekati daya dukung secara ekologi-ekonomi. Nilai ekologi ekonomi ini merupakan optimalisasi
yang berdampak pada kegiatan
usaha berkelanjutan, berturut turut terdiri dari tambak intensif
dengan nilai
113 ekonomi
Rp
451.143.489,00 pertahun, tambak semi intensif dengan nilai
ekonomi Rp 1.053.780.171,00 pertahun dan tambak tradisional dengan nilai ekonomi Rp 198.215.358,00 pertahun, penjumlahan ketiganya bila diterapkan dalam satu hamparan akan bernilai ekonomi total Rp 1.703.139.017,00 per tahun, lebih layak dikembangkan pada lokasi penelitian, karena memberikan nilai ekonomi cukup tinggi dan akan memberikan sumbangan limbah pada lingkungan yang relatif lebih kecil, karena tambak intensif hanya dibuka seluas 16,68 ha, semi intensif 73,0 ha dan tradisional 312,84 ha. Berdasarkan hasil simulasi ini tambak pada lokasi penelitian dengan operasional secara tradisional masih bisa dioptimalkan pengelolaannya menjadi pengelolaan berdasarkan model simulasi ke 13 agar lebih berkelanjutan dan menghasilkan nilai ekonomi lebih besar sampai batas maksimum daya dukung. Untuk lebih jelasnya nilai ekonomi dari ketiga metode budidaya ini berdasarkan simulasi ke 13 dapat dilihat pada Gambar 16. Grafik pada Gambar 17 memperlihatkan hubungan antara nilai ekonomi total gabungan dari ketiga teknologi dengan luas tambak total. Ada beberapa luas lahan yang mendekati batas daya dukung yaitu saat simulasi ke 12 dan 13, luas lahan yang paling mendekati luas efektif lahan pemanfaatan sebagai batas maksimum daya dukung adalah simulasi 13, menunjukan bahwa pemanfaatan sumberdaya dalam hal ini perluasan lahan tambak maksimum juga memberikan nilai ekonomi maksimum dalam mendukung pertumbuhan kegiatan ekonomi, bila teknologi tambak ditingkatkan sesuai arahan luas daya dukung, hal ini sesuai dengan pendapat Tisdell (2000) in Adrianto (2004) bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi daya dukung lingkungan, yaitu daya dukung biofisik (biophysical carrying capacity) dan daya dukung sosial (social carrying capacity). Daya dukung biofisik (Kb) menyatakan ukuran jumlah populasi maksimal yang bisa ditopang biofisik dibawah kemampuan teknologi yang diberikan, sedangkan daya dukung sosial (Ks) adalah jumlah populasi maksimal yang bisa ditopang
dibawah
berbagai
sistem
sosial.
Keterbatasan
sumberdaya
menggambarkan bahwa persyaratan ekologis menjadi sangat penting, sehingga daya dukung biofisik dapat lebih tinggi atau sama dengan daya dukung sosial (Kb>=Ks), dalam hal ini luas tambak memberikan gambaran hubungan dengan daya dukung biofisik dan nilai ekonomi berhubungan dengan daya dukung sosial,
114 karena luas lahan harus memenuhi syarat daya dukung biofisik sebagai penopang agar berkelanjutan maka nilai ekonomi harus berada pada posisi lebih kecil atau sama dengan daya dukung ekologi. Hal ini disebabkan daya dukung sosial (ekonomi) dipengaruhi daya dukung biofisik (sumberdaya) yang menjadi pembatas bagi daya dukung sosial (Kb>=Ks) sehingga simulasi ke 13 merupakan luas lahan dan nilai ekonomi yang memenuhi syarat Kb>=Ks.
Nilai ekonomi (Rp/th) juta
3,500 3,000 Daya dukung
2,500 2,000 1,500 1,000 500 2
3
4
5
6
7
Luas lahan (ha)
9
10 11 12 13 14 15
Simulasi ke Semi Intensif
Intensif
Gambar 16
8
Tradisional
Grafik hubungan nilai ekonomi dengan simulasi luas lahan pada tambak intensif, semi intensif dan tradisional.
700
3,500
600
3,000
500
2,500
400
2,000
300
1,500
200
1,000
100
500
0
1
2
3
4
5
6
7
8
Nilai ekonomi total (Rp/th) juta
1
9 10 11 12 13 14 15
Simulasi ke Luas efektif lahan (ha) Luas daya dukung (ha)
Luas simulasi (ha) Nilai ekonomi total tambak (Rp/th)
Gambar 17 Grafik hubungan nilai ekonomi total hasil simulasi dengan luas lahan simulasi dalam batas daya dukung.
115 Berdasarkan penjumlahan nilai ekonomi ketiga jenis teknologi tambak dalam satu hamparan maka diperoleh nilai total ekonomi tambak, dapat dihitung pula total luas mangrove dan nilai ekonomi mangrove seperti tertera pada Tabel 37 dan Gambar 18. Tabel 37 Nilai ekonomi total tambak dan mangrove (Rp/th) Simulasi ke
Luas tambak total (ha)
Nilai ekonomi tambak total (Rp/th)
Luas mangrove total (ha)
Nilai ekonomi mangrove total (Rp/th) 1 83,42 2.255.717.443 632,12 744.346.962 2 208,56 3.010.800.488 506,98 596.993.050 3 695,20 440.478.574 20,34 23.950.057 4 120,27 2.202.709.651 595,27 700.959.421 5 157,12 2.149.701.860 558,43 657.571.881 6 193,96 2.096.694.069 521,58 614.184.340 7 230,81 2.043.686.278 484,73 570.796.799 8 267,65 1.990.678.487 447,89 527.409.258 9 304,50 1.937.670.696 411,04 484.021.717 10 335,09 1.846.908.752 380,45 448. 001.872 11 341,34 1.884.662.904 374,20 440.634.176 12 369,85 1.907.163.418 345,69 407.070.230 13 402,52 1.703.139.017 *) 313,02 368.597.491 14 427,27 1.742.342.545 288,27 339.451.156 15 445,63 1.687.885.378 269,92 317.839.249 Sumber: Data primer dan sekunder diolah ;*) Nilai ekonomi tambak optimal setelah menghitung penyerapan N total
Berdasarkan persyaratan minimal harus tersedia mangrove sebagai jalur hijau di lokasi penelitian seluas 170,4 ha, hasil perhitungan mass balance maka luas tambak pada simulasi ke 3 dengan luas 695,20 ha, sudah melebihi luas lahan efektif maksimum. Batas daya dukung sudah terlampau karena luas mangrove yang tersisa tinggal seluas 20,34 ha, kurang dari ketentuan luas jalur hijau yang harus tersedia pada lokasi penelitian. Nilai ekonomi tambak lebih besar dibandingkan dengan nilai ekonomi sumberdaya mangrove, kegiatan seperti mencari kayu bakar, benur dan kepiting tetap merupakan kegiatan yang tidak bisa dihilangkan dari kehidupan masyarakat pesisir, mereka masih sangat tergantung pada sumberdaya mangrove. Hal ini juga sama seperti yang dinyatakan dalam hasil penelitian Barbier (2003) bahwa rumah tangga pada empat wilayah desa berhutan bakau di Thailand secara langsung mata pencahariannya tergantung pada hutan bakau, untuk mencari ikan dan pengumpulan kayu bakar dan/atau manfaat tidak langsung dari dukungan mangrove untuk perikanan pesisir, selain kegiatan tambak. Sehingga sangat
116 penting mempertahankan keberlanjutan mangrove di lokasi penelitian walaupun nilai ekonominya rendah, dengan alasan bahwa lingkungan mangrove sebagai barang dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan manusia yang disediakan secara langsung oleh alam, sedangkan produk tambak menurut Gilbert dan Janssen (1998) sebagai man made capital yang berada
di atas ruang atau
menutupi lahan mangrove. Tambak tetap dikembangkan dengan memperhatikan daya dukung dan ketersediaan mangrove agar tetap berkelanjutan, dilihat dari grafik nilai ekonominya tambak lebih tinggi dari nilai ekonomi mangrove dan setiap terjadi peningkatan luas lahan tambak akan menyebabkan penurunan luas mangrove pada lokasi penelitian. Kegiatan ekonomi mangrove merupakan sumber ekonomi sebagian masyarakat pesisir pada lokasi penelitian yaitu sebagai tempat mencari kayu bakar dan ikan serta komoditas lainnya selain sebagai pelayanan jasa penyerap limbah tambak. Grafik hubungan antara ekonomi tambak dan ekonomi mangrove diperlihatkan pada Gambar 18.
Nilai ekonomi (Rp/th) juta
3,500 3,000 2,500 Daya dukung
2,000 1,500 1,000 500 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15
Simulasi ke Nilai ekonomi tambak total
Nilai ekonomi mangrove
Gambar 18 Hubungan ekonomi tambak total dan ekonomi mangrove Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi tambak tradisional dalam kondisi aktual dengan hasil kelangsungan hidup udang 15% dan bandeng 64%, ditambah dengan hasil yang diperoleh dari udang bintik dan udang putih sebagai hasil sampingan setiap hektarnya pertahun, dengan dua kali musim tanam memberikan keuntungan sebesar Rp 16.361.839,00. Apabila dalam budidaya tradisional yang
117 ada saat ini
dilakukan perbaikan teknologi budidaya, misalnya dengan
menambahkan kincir atau teknologi lainnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup udang sampai 20% dan 25% serta bandeng sampai 80% seperti simulasi pada Tabel 38, maka akan berdampak pada peningkatan nilai ekonomi yang diperoleh (hasil perhitungan laba rugi dan investasi dapat dilihat pada Lampiran 6 dan 7). Tabel 38 Keuntungan bersih pada budidaya tambak tradisional dengan kelangsungan hidup dari udang dan bandeng No 1 2
Keuntungan bersih Rp/ha/MT Rp/ha/th
Kelangsungan hidup (%) Udang 15%: Udang 20%: Udang 25%: Bandeng 64%*) Bandeng 80%**) Bandeng 80%**) 8.180.920 12.288.371 15.903.019 16.361.839 24.576.743 31.806.038
Sumber: Data primer dan sekunder diolah;
*)
Kelangsungan hidup aktual, **)simulasi