DAYA DUKUNG KELAUTAN DAN PERIKANAN
S e l a t S u n d a - Te l u k To m i n i - Te l u k S a l e h - Te l u k E k a s
Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Tim Proyek Carrying Capacity Badan Riset Kelautan dan Perikanan ISBN 979-97572-8-2
BRKP
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
S e l a t S u n d a - Te l u k To m i n i - Te l u k S a l e h - Te l u k E k a s
Daya Dukung Kelautan dan Perikanan Tim Proyek Carrying Capacity Badan Riset Kelautan dan Perikanan ISBN 979-97572-8-2
Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan
SARI Penelitian ini dilakukan pada tahun 2003, dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia. Untuk memahami kondisi ekosistem dimana aktifitas penangkapan dan budidaya perikanan berlangsung, diperlukan suatu pendekatan yang dapat menggambarkan keseluruhan komponen dalam ekositem tersebut. Hal ini berarti diperlukan suatu metodologi yang dapat menampilkan kondisi hidro-oseanografi, alur perpindahan biomasa dari setiap komponen yang terdapat dalam ekosistem tersebut, dan melakukan diagnosa terhadap kinerja tiap komponen variabel abiotik, biotik, sosial dan ekonomi.yang berlangsung dalam suatu daerah perikanan. Untuk itu, pendekatan yang diterapkan adalah Model Hidrodinamika, Ecopath dan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Kegiatan dilakukan di empat perairan yang berbeda karakter yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas. Ruang lingkup dari kegiatan ini dapat dibagi atas tiga bagian yaitu hidro-oseanografi di empat lokasi, potret transfer biomassa yang berasal dari organisme yang hidup di dalam perairan di tiga lokasi (Selat Sunda, Teluk Saleh dan Teluk Ekas), serta pengukuran indikator kinerja perikanan untuk komponen sosial ekonomi wilayah di dua lokasi yaitu Selat Sunda dan Teluk Tomini. Secara garis besar, hasil penelitian dengan menerapkan metode Model Hidrodinamika, Ecopath dan Rapfish secara simultan di beberapa perairan Indonesia menunjukkan hasil yang sangat memuaskan. Kata kunci : Daya dukung, Sumberdaya, Perikanan, Indonesia, Hidrodinamika, Ecopath, Rapfish.
ABSTRACT This research was conducted in 2003, aiming to describe the marine carrying capacity in different ecosystems in Indonesia. The main objective of this study was to provide the policy makers at each location the information required to support the development of marine and fisheries sectors. To understand the ecosystem condition where fishing and aquaculture activities take place, a specific approach is required to describe the ecosystem as a whole. Such approach consist of a series of methodologies that can reflect various aspects of the ecosystem, which include the hydro oceanographic components, transfer of biomass, and the performance analysis of biotic, abiotic and economic components. The corresponding methods that have been used in this study were the Hydrodynamic models, Ecopath, and Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). This study took place in four locations, the Sunda Strait, Tomini Bay, Saleh Bay, and Ekas Bay. Each of the locations differs in their oceanographic and social-economy characteristics. The results of this study consists of three components, namely the hydro-oceanography aspects at all four locations, transfer of biomass aspects at three locations (Sunda Strait, Saleh Bay, and Ekas Bay), and Rapfish approach as a measure of social-economic performance at two locations, Sunda Strait, and Tomini Bay. In general, by applying all three methods simultaneously the results revealed beneficial outputs for the advancement in marine and fisheries sectors. Key words : Marine Carrying Capacity, Fisheries Indonesia, Hydrodynamics, Ecopath, Rapfish
Editor Agus Supangat Tonny Wagey Safri Burhanuddin
Penulis Hidro-Oseanografi Irsan S. Brodjonegoro Widodo Setiyo Pranowo Semeidi Husrin Rita Tisiana Bagus Hendrajana Erish Widjanarko Hariyanto Triwibowo Dirhansyah Conbul
Ecopath Tukul Rameyo Adi Ichwan M. Nasution Dini Purbani Gunardi Kusumah Ahmad Utami R. Kadarwati Hari Prihatno
Rapfish Agus Heri Purnomo Taryono Zahri Nasution Tjahyjo Tri Hartono Nugroho Aji A. Azizi
Tata Letak Bagus Hendrajana
Daftar Isi Sari Prakata Pendahuluan Metodologi Selat Sunda Hidro-Oseanografi Ecopath Rapfish
Teluk Tomini Hidro-Oseanografi Rapfish
Teluk Saleh Hidro-Oseanografi Ecopath
Teluk Ekas
3 8 10 16 24 24 33 39
68 68 76
90 90 97
Hidro-Oseanografi Ecopath
108 108 110
Kesimpulan Daftar Pustaka
119 120
Prakata
D
aya dukung suatu perairan merupakan keadaan yang sangat dinamis karena dipengaruhi oleh variasi temporal dan spasial faktor-faktor biotik dan abiotik dari ekosistem perairan tersebut. Pengaruh dari parameter lingkungan terhadap biota yang hidup, terutama yang bernilai ekonomis penting di dalam suatu ekosistem, merupakan dasar penentuan pola pembangunan kelautan dan perikanan suatu wilayah perairan. Kajian daya dukung sumberdaya perikanan dan kelautan yang dilakukan ini merupakan upaya untuk merealisasikan visi dan misi Departemen Kelautan dan Perikanan. Kegiatan dilakukan di empat perairan yang berbeda karakter yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas. Ruang lingkup dari kegiatan ini dapat dibagi atas tiga bagian yaitu hidro-oseanografi di empat lokasi tersebut, potret transfer biomassa yang berasal dari organisme yang hidup di dalam perairan tersebut di tiga lokasi (Selat Sunda, Teluk Saleh dan Teluk Ekas), serta pengukuran indikator kinerja perikanan untuk komponen sosial ekonomi wilayah di dua lokasi yaitu Selat Sunda dan Teluk Tomini. Diharapkan hasil kajian ini dapat dijadikan pedoman pengambilan keputusan dalam mengembangkan sektor perikanan dan kelautan.
Jakarta, 23 Februari 2004, Dr. Agus Supangat
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
8
Pendahuluan
K
ajian mengenai daya dukung suatu perairan di empat lokasi yaitu Selat Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh dan Teluk Ekas dilaksanakan berdasarkan visi Departemen Kelautan dan Perikanan, bahwa ”Ekosistem laut dan perairan tawar beserta segenap sumber daya alam yang terkandung di dalamnya merupakan anugrah Tuhan Yang Maha Esa yang harus disyukuri, dipelihara kelestariannya, dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan bagi kesatuan,kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia”. Selain itu kajian ini juga untuk melaksanakan salah satu misi Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu ”Pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan tawar, pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan”. Namun kenyataan yang dihadapi sekarang adalah bahwa kegiatan perikanan tangkap mempunyai dampak terhadap ekosistem. Hal ini terlihat dari fakta bahwa sejumlah biomasa diekstraksi dari alam yang memiliki hubungan kompleks dalam pemangsaan antara satu spesies dengan spesies lainnya (Pauly et al., 2000). Dengan demikian diharapkan kajian daya dukung ekosistem suatu perairan dapat memberikan informasi sejauh mana aktifitas perikanan memberikan dampak terhadap ekosistem. Hal ini diperlukan untuk menjamin aktifitas perikanan yang lestari. Odum (1959) mengatakan bahwa daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik yang terkandung didalamnya. Diatas level daya dukung ini, tidak akan terjadi peningkatan populasi yang berarti. Namun Dhont (1988) menyatakan bahwa kaitan tersebut “salah kaprah” karena tidak memperhitungkan faktor lingkungan dan berbagai faktor lainnya yang berperan di alam. Dikatakan oleh Dhont (1988), konsep daya dukung yang realistik tidak dapat dijelaskan hanya dengan kurva
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
10
pertumbuhan logistik yang mengabaikan sifat-sifat alami seperti: ! adanya pergerakan spasial (migrasi) spesies dari waktu ke waktu, dan ! sifat stokastik alam. Dalam ilmu ekologi terapan, hal ini terkait dengan parameter K dari kurva pertumbuhan logistik (Logistic Growth Curve) N N: Jumlah populasi dari species
K
tertentu t : waktu K: Carrying capacity t
11
seperti yang tertera dibawah ini. Dengan kata lain, kondisi suatu sumberdaya tertentu yang terdapat pada suatu ekosistem alami seperti laut, akan bervariasi dari tahun ke tahun yang disebabkan adanya pengaruh faktor-faktor biotik dan abiotik serta pengaruh antar spesies yang terdapat di dalam ekosistem tersebut. Apabila suatu ekosistem telah mengalami gejala over-population, maka akan sulit ekosistem tersebut untuk pulih kembali. Selanjutnya, Cohen (1995) menyimpulkan bahwa tidak ada satu angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia, karena berbagai variable yang menentukan besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi dan selalu tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia sendiri.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Berbagai macam ikan yang berhasil diperoleh nelayan di Teluk Saleh. Hasil ini tidak sebanyak yang biasanya mereka dapatkan. Hal yang biasa terjadi pada saat musim Barat.
Selaras dengan salah satu tujuan strategis Departemen Kelautan dan Perikanan yakni pemanfaataan sumberdaya perikanan dan kelautan yang sesuai dengan daya dukung perairan, maka perlu untuk melakukan kajian yang dapat memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan. Hal ini penting dilakukan mengingat informasi seperti ini mutlak diperlukan untuk kelangsungan pembangunan perikanan dan kelautan disuatu wilayah. Hasil kajian daya dukung akan berguna dalam penentuan opsi
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
kebijakan (policy options) yang diperlukan bagi pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, yakni departemen teknis seperti DKP. Untuk memahami kondisi ekosistem dimana aktifitas penangkapan dan budidaya perikanan berlangsung, diperlukan suatu pendekatan yang dapat menggambarkan keseluruhan komponen dalam ekositem tersebut. Tentu saja hal ini memerlukan suatu metodologi yang dapat menampilkan alur perpindahan biomasa dari setiap komponen yang terdapat dalam ekosistem tersebut,
12
termasuk untuk kegiatan perikanan. Selanjutnya, dibutuhkan juga suatu pendekatan yang dapat mengakses informasi
Gambar bawah: Tampak tiga personil Pusris Wilnon-BRKP sedang mempersiapkan pemasangan alat pemantau pasang surut (Tide Gauge) dari atas perahu karet di Teluk Saleh. Alat ini mempunyai fungsi utama untuk mengetahui ketinggian laut saat pasang surut secara berkala dalam interval waktu yang telah ditentukansebelumnya.
13
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Tampak pekerja sedang membersihkan jaring yang terdapat pada Keramba Jaring Apung (KJA) di daerah Gorontalo.
! Level (derajat) kebutuhan dan pemanfaatan sumberdaya bervariasi untuk setiap individu ! Peranan dari pranata-pranata sosial dan teknologi yang ada di masyarakat dalam menentukan sampai sejauh mana pemanfaatan terhadap suatu sumberdaya berlangsung. Oleh sebab itu, dengan memasukkan komponen sosial dari manusia sebagai pelaku pemanfaatan sumberdaya akan menambah kompleksitas dari kajian yang dilakukan karena persoalannya adalah bagaimana sumberdaya yang ada dapat mendukung sejumlah manusia yang hidup didalamnya serta menjamin untuk dapat memanfaatkannya secara lestari. Hal ini mengakibatkan nilai-nilai normatif akan menjadi hal terdepan untuk dijawab demikian pula dengan persoalan apakah ada suatu angka mutlak yang dapat menjawab seberapa besar daya dukung suatu perairan.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
14
Metodologi
Metode Metode yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: a. Deskriptif, yakni menjabarkan kondisi lingkungan di wilayah tempat penelitian berlangsung. Disamping itu, juga dapat menampilkan kondisi perikanan dan kelautan yang berlangsung di wilayah tersebut b. Analitik, yakni dengan menggunakan data yang telah terkumpul dan dilakukan analisis dengan menggunakan metode-metode ilmiah yang lazim digunakan dalam bidang oseanografi, kelautan dan perikanan c. Modelling, yang dapat merupakan representasi kondisi wilayah penelitian sesuai dengan tujuan yang disampaikan diatas. Pemodelan yang dilakukan ada 3 yaitu: ! Pemodelan hidrodinamika, sebagai representasi kondisI fisik oseanografi, dengan menggunakan Software 3DD Suite Model (ASR Ltd, 2001). ! Pemodelan ekosistem, sebagai representasi daya dukung ekosistem perairan, dengan menggunakan Software Ecopath with Ecosim version 5 (Puly & Christensen, 1992). Data pendukung tentang biologi, fisiologi dan ekologi ikan diperoleh dari Software Fishbase (FAO, 1998). ! Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries), suatu tehnik yang memungkinkan proses cepat untuk menampilkan kondisi perikanan ditinjau dari berbagai aspek atau dimensi (Pitcher & Preikshot, 2001). Pengumpulan Data Data yang dipergunakan untuk analisa dan pemodelan dalam penelitian ini adalah : 1. Data hasil survei Pengambilan data survei dilakukan dengan melakukan pengamatan dan pengukuran/perekaman langsung di lapangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan input model Ecopath dan verifikasi terhadap hasil model hidrodinamika.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
16
2. Data sekunder Setelah data yang dibutuhkan terkumpul, maka analisa selanjutnya adalah dengan mengolah informasi tersebut sehingga bermanfaat.
ρ
= densitas yang nilainya bervariasi terhadap kedalaman dengan asumsi bahwa percepatan vertikal diabaikan, maka persamaan Hidrostatik untuk tekanan pada kedalaman z adalah:
3. Wawancara Wawancara terhadap para ahli, pengambil kebijakan lokal, dan pelaku usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan data analisa RAPFISH. Pemodelan Hidrodinamika Pemodelan Hidrodinamika disini mengambil peran yang sangat penting terutama untuk merepresentasikan kondisi fisik odeanografi seprti yang telah diuraikan sebelumnya. Selanjutnya model yang dihasilkan akan digunakan sebagai parameter tambahan untuk mengetahui kondisi perairan, tentunya setelah digabung dengan data hasil survey. Dengan demikian diharapkan akan diperoleh gambaran yang lebih akurat. Persamaan pembangun model hidrodinamika yang menyatakan gerak horisontal suatu fluida inkompresibel yang berada di permukaan bumi yang berotasi dalam koordinat kartesian (arah atas menunjukkan positif) adalah: ζ 1∂ ∂ u ∂ u ∂ u ∂ u ∂ u ∂ u ∂ u ∂ u ∂ + u + v + w − fv = − g −P + AH + + NZ ∂ t ∂ x ∂ y ∂ z ∂ x ρ x z ∂ z ∂ ∂ ∂ x2 ∂ y2 2
2
2 2 v v v ζ 1∂ v v v ∂ v ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ v ∂ ∂ u + v + w + fv = g AH + − −P + NZ + + 2 t x y z y ρ y ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ ∂ z ∂ z ∂ x y2 ∂ ∂
z
z
∂ ∂ w= −udz − vdz x y ∂ ∂
∫ ∫
− h
h
dimana: t = waktu u, v = kecepatan horisontal w = kecepatan vertikal h = kedalaman g = percepatan gravitasi ξ = tinggi muka laut di atas datum horisontal f = parameter coriolis P = tekanan AH = koefisien viskositas eddy horisontal NZ = koefisien viskositas eddy vertikal 17
dimana Patm adalah tekanan atmosfer. Representasi fisis dari masing-masing suku persamaan momentum adalah terdiri dari: percepatan lokal; inersia; coriolis; gradien tekanan akibat variasi tinggi muka air; gradien tekanan akibat tekanan atmosfer; stress angin dan gesekan dasar laut; viskositas eddy horisontal. Harga AH bervariasi secara spasial, namun gradiennya diasumsikan begitu kecil sehingga suku ini bertindak seperti algoritma penghalus kecepatan (velocity smoothing algoritm) Persamaan Momentum. Perubahan tekanan atmosfer tidak dilibatkan dalam simulasi ini dan oleh karenanya dalam persamaan momentum, suku ini pun diabaikan. Skema Numerik Model 3DD menggunakan Skema Beda Hingga Eksplisit untuk menyelesaikan Persamaan Momentum dan Konservasi Massa. Pemecahan persamaan melalui Metoda Beda Hingga tersebut menggunakan skema staggered grid, yaitu menempatkan komponen v dan u pada dinding “utara” dan “selatan”. w berlokasi di tengah-tengah dinding “atas”. Tinggi muka air menggantikan w di lapisan atas. Solusinya akan diperoleh dengan Skema Eksplisit Ordo ke-2 dan Aproksimasi Ordo ke-3 untuk suku-suku inersia yang non linier. Skema beda eksplisit ini tergantung pada kriteria stabilitas Courant-Friedrich-Lewy (CFL) yang membatasi pemilihan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
besarnya langkah waktu atau Dt. Kriteria stabilitas CFL adalah: Dimana L adalah ukuran sel yang minimum (x atau y), g percepatan gravitasi bumi dan Hmaks kedalaman maksimum yang terdapat dalam daerah penelitian.
digunakan merupakan hasil dijitasi dari Peta Batimetri Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, Jakarta dapat dilihat pada tabel
Desain Model Hidrodinamika Desain model hidrodinamika dan data batimetri yang
Tabel Desain Model Hidrodinamika
Parameter
Nilai
Satuan
Number Of X (I) Cells Number Of Y (J) Cells X Grid Size Y Grid Size Time Step Of Model First Time Step Maximum Number Of Time Steps
S. Sunda
m m detik detik detik
Roughness Length Effective Depth Drying Height Initial Sea Level
95 68 2775 2775 12 1 216000
m m m set by model corriolis neglected m2/detik %
Latitude Orientation Horizontal Eddy Viscosity Eddy Viscosity Mult Factor Number Of Steps To Apply Diffusion Percentage Slip
T. Tomini 132 85 100 100 0.5 1 2592000
T. Saleh
T. Ekas
90 90 100 100 0.3 1 10713600
97 118 15 15 0.25 1 5184000
0.003-0.03 0
0.01 0.3 0.05 99
0.1 0.3 0.05 99
0.001 0.3 0.05 99
0
0
0
0 10 -
0 1 1 1 95
0 0.1 1 1 95
0 1 1 1 95
Tabel Peta Batimetri Dishidros TNI-AL dan Daerah Domain Model yang digunakan dalam pemodelan hidrodinamika
No.
Nama Peta Batimetri
Lembar No.
Skala
Tahun Koreksi
1.
Selat Sunda
71
1:200.000
2002
2.
Teluk Tomini Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara. (untuk Teluk Saleh) Pulau Lombok, Nusa Tenggara (untuk Teluk Ekas)
140
1:500.000
2003
294
1:200.000
2003
293
1:200.000
2003
3. 4.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Daerah Domain Model 5o 05' 30" - 6o 51'15" LS dan 104o 20' 00" - 106o 47' 45" BT 117o 20 ' - 118o 05' BT dan 8o 00' - 8o 45' LS o 116 23,0' - 116o 28,5' BT dan o - 8o 55' LS 49,5'
18
dibawah. Nilai Awal dan Syarat Batas Syarat batas yang diberikan adalah syarat batas terbuka dan syarat batas tertutup. Syarat batas yang diterapkan pada model di batas terbuka adalah elevasi hasil interpolasi peramalan pasang surut . Kecepatan yang datang tegak lurus pada garis pantai yang merupakan syarat batas tertutup ditentukan sama dengan nol dan . Dengan kata lain garis pantai dianggap merupakan tembok vertikal yang tidak memungkinkan massa air melewatinya. Pada daerah domain model diasumsikan ketika dimulai simulasi dalam keadaan tenang, yang secara matematis diformulasikan sebagai:
Syarat batas terbuka radiasi didasarkan pada kekekalan massa air yang diberikan oleh Persamaan kontinuitas. Input yang digunakan di batas terbuka dalam pemodelan ini adalah elevasi pasang surut hasil prediksi mengunakan Oritide Global Tide. Model (ORI.96) yang dibangun oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo, menggunakan 8 Komponen pasut utama: M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1. Pemodelan Ekosistem Ecopath Model Ecopath yang digunakan dalam kajian ini adalah pendekatan “keseimbangan biomassa” (mass-balance approach) yang pertama kali diperkenalkan oleh Polovina dan Ow (1983) dan Polovina (1984, 1985). Model ini mengasumsikan bahwa antara produksi (penambahan) dan mortalitas (pengurangan) biomassa di dalam suatu ekosistem, terdapat suatu keseimbangan. Dalam bentuk persamaan linie Bi * ( P / B ) i * EE i = Yi + Σ j ( B j (Q / B ) j DC ji ) r, dap at ditulis : Dimana Bi and Bj adalah biomassa dari kelompok i dan j.
19
Kelompok j adalah kelompok yang memangsa i. P/B (production/biomass ratio), ekivalen dengan total laju mortalitas (Merz and Myers, 1998), sedangkan EEi adalah fraksi dari produksi yang dikonsumsi atau ditangkap dari ekosistem yang menjadi objek penelitian, Yi adalah besarnya perikanan tangkap (Y=F*B; F adalah mortalitas akibat penangkapan). Q/Bj adalah jumlah yang dikonsumsi per unit biomassa j, and DCji adalah total kontribusi dalam bentuk pemangsaan terhadap kelompok i oleh kelompok j (Christensen, 1995a). Secara umum dalam model Ecopath diperlukan input awal sebanyak 4 parameter yaitu : biomasa (B), perbandingan produksi/biomasa (P/B), perbandingan konsumsi/biomasa (Q/B) dan efisiensi ecothropic (EE). pada tiap kelompok dalam suatu model. Harus ditekankan disini bahwa untuk persamaan diatas, tidak dibutuhkan adanya kondisi equilibrium atau ”steady state” dari ekosistem yang dipelajari. Yang dibutuhkan adalah bahwa setelah melewati suatu siklus perubahan biomasa beserta parameter lainnya, kondisi ekosistem akan kembali ke keadaan semula (Jarre-Teichmann, 1995; Venier, 1997). Apabila ada siklus musiman dari parameter seperti biomassa (B), P/B, Q/B dan/atau komposisi diet dari spesies yang ada didalam ekosistem tersebut, maka dapat digunakan nilai integral dengan merata-ratakan data selama periode tersebut (Walters, 1996). Model Ecopath didasarkan pada 2 persamaan utama yaitu : Persamaan pertama mendeskripsikan bagaimana suatu produksi untuk tiap kelompok dapat dipisahkan menjadi beberapa komponen :
Produksi = penangkapan + kematian karena pemangsaan + akumulasi biomasa + migrasi bersih + kematian karena akibat lain
Persamaan kedua mendeskripsikan tentang keseimbangan energi pada tiap kelompok yaitu :
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar samping: Proses penghitungan dan klasifikasi jenis tangkapan yang dilakukan pada saat survei di Selat Sunda Gambar bawah: Perahu nelayan yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan di perairan dangkal sekitar Labuan Kabupaten Pandeglang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
20
21
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar samping: Salah satu bagan milik nelayan disekitar Selat Sunda (Pandeglang) yang sedang diperbaiki. Bagan ini merupakan bagan permanen yang ditempatkan ditengah laut. Dari bagan ini biasanya diperoleh ikan pelagis kecil seperti Teri.
Konsumsi = produksi + respirasi + makanan yang terasimilasi
Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) Pendekatan Rapfish (Rapid appraisal for Fisheries) ini pada dasarnya diaplikasikan untuk mengukur status kelestarian sumberdaya perikanan (dalam penelitian ini hanya di perairan Selat Sunda dan Teluk Tomini). Pendekatan ini dikembangkan berdasarkan kerangka atau konsep pembangunan berkelanjutan yang merujuk pada pembangunan perikanan berkelanjutan sebagaimana faktor- faktornya berada didalam FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (Pitcher and Preikshot, 2001). Dalam analisis tersebut status kelestarian perikanan tangkap pada perairan Selat Sunda dianalisis berdasarkan enam dimensi, yaitu: ekologis, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kebaharian. Teknik ini memungkinkan dilakukannya diagnosa terhadap kondisi suatu perikanan berdasarkan hasil pengukuran beberapa indikator, yang dalam peristilahan Rapfish dikenal sebagai dimensi, sebagaimana tersebut di atas. Dalam penelitian masing-masing dimensi terdiri dari berbagai atribut; misalnya, Dimensi Ekonomi terdiri dari 10 atribut, di antaranya profitabilitas, sumbangan terhadap GDP; Dimensi Ekologi terdiri dari 9 atribut, di antaranya status eksploitasi, ukuran rata-rata ikan yang ditangkap, jangkauan ruaya ikan, dan sebagainya. Analisis tersebut didasarkan pada skoring yang dilakukan terhadap enam jenis perikanan tangkap berdasarkan masing-masing atribut pada dua provinsi (provinsi Lampung dan provinsi Banten).
atribut. Perhitungan jarak tersebut dilakukan dengan Minkowski Metric (Nijkamp, 1979 dalam Nijkamp, 1980) yang dinyatakan dalam Kuadrat Jarak Euclidian (Euclidian Distance Square). Untuk dapat memetakan dalam satu dimensi horizontal dilakukan rotasi ordinasi. Hal ini untuk dapat memplot titik posisi tersebut dalam satu jarak dua dimensi dalam skala buruk “bad” (0%) dan baik “good” (100%) dalam skor kelestarian sumberdaya perikanan. Sesuai dengan definisinya, pendekatan ini diterapkan untuk melaksanakan pengukuran secara cepat. Sehubungan dengan itu, data-data yang digunakan dalam penelitian ini sedapat mungkin diperoleh dengan cara/proses yang tidak memerlukan waktu terlalu banyak. Pengumpulan laporanlaporan terkait atau publikasi ilmiah yang ada, konsultasi ahli, atau bahkan pengembangan intuisi peneliti dilakukan untuk memperoleh data yang sedapat mungkin akurat. Dalam hal ini, satu jenis data yang sama sering perlu diperoleh melalui pengecekan ulang berdasarkan informasi yag diperoleh dari berbegai sumber (pendekatan). Verifikasi lapangan, yang dimaksudkan untuk melakukan observasi langsung dan melakukan wawancara konfirmasi, termasuk dengan nelayan, pengolah, atau informan kunci lainnya, dilakukan untuk lebih meningkatkan akurasi data. Wawancara ini dilakukan dengan bantuan kuesioner, yang dimaksudkan untuk memandu enumerator dalam menggali informasi, sehingga langsung terkait dengan atribut Rapfish.
Berdasar data skoring tersebut kemudian dilakukan analisis multidimensi dengan menghitung jarak antar masing-masing
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
22
Selat Sunda
P
erairan Selat Sunda, yaitu selat yang menghubungkan dua laut yaitu Laut Jawa di bagian utara dan Samudera Hindia di bagian selatan, dan berada di atas Paparan Sunda pada
posisi 5o 25' LS - 6o 50' LS dan 104o 20' BT - 106o 5' BT. Selat Sunda yang terletak di bagian utara perairannya cukup dangkal dengan kedalaman 20 hingga 70 m, sedangkan dibagian selatan sangat dalam hingga mencapai lebih dari 1500 m. Selat Sunda bagian selatan merupakan lembah yang dalam yang membentang dari Samudera Hindia ke Teluk Semangka dan Teluk Lampung yang berada di bagian barat. Poros Selat Sunda dari timur laut ke barat daya merupakan aliran utama massa air dari Laut Jawa ke Samudera Hindia. Karakteristik oseanografi dari selat ini dipengaruhi oleh Laut Jawa dan Samudera Hindia, tergantung musim yang berlaku. Faktor lokal, seperti topografi dasar, konfigurasi pantai dan arah angin bisa juga memiliki kontribusi terhadap karakteristik oseanografi Selat Sunda.
Hidro-Oseanografi Temperatur Sebaran Temperatur Horizontal Pada bulan Oktober-November sebaran temperatur horizontal pada seluruh permukaan Selat Sunda berkisar antara 28,5-29,5oC. Temperatur yang lebih hangat tercatat di mulut selat dan temperatur dingin berada dibagian selatan selat. Pada kedalaman 21 m, variasi temperatur masih identik seperti yang tergambar di permukaan, hanya saja temperatur dingin yang berasal dari Samudera Hindia mulai terlihat memasuki perairan selat. Selanjutnya di kedalaman 31 m, temperatur dingin hampir memenuhi perairan selat dan sebaran ini terpantau hingga di kedalaman 81 m. Jadi dapat dikatakan bahwa massa air yang berasal dari Samudera Hindia yang dicirikan dengan temperatur dingin mulai memasuki perairan selat pada kedalaman 21 m. Pada bulan Juli (musim timur), temperatur permukaan antara 29,25-29,3oC. Temperatur dingin tercatat di depan Teluk Lampung sedangkan temperatur yang lebih hangat terpantau di depan Teluk Semangka. Di kedalaman 5 m, sebaran temperatur
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
24
Gambar samping: Suasana jual-beli yang terjadi setiap hari di Tempat Pelelangan Ikan desa Panimbang Kabupaten Pandeglang. Di sekitar Selat Sunda (bagian Kabupaten Pandeglang) terdapat sekitar 9 TPI.
temperatur horizontal terlihat bahwa massa air dari Samudera Hindia mulai memasuki perairan Selat Sunda di kedalaman 20 m. Pada bulan Juni (musim timur), sebaran temperatur permukaan berkisar antara 29,3-29,7oC. Temperatur yang lebih hangat hampir memenuhi seluruh perairan selat, sedangkan temperatur yang lebih dingin samar-samar mulai terlihat di depan Teluk Semangka. Pada kedalaman 5-40 m, sebaran horisontal temperatur masih identik seperti yang tergambar di permukaan. Pada kedalaman 60-150 m, sebaran horizontal temperatur yang lebih dingin yang datang dari Samudera Hindia lebih mendominasi seluruh perairan selat.
masih identik seperti yang tergambar di permukaan selat, hanya lokasi temperatur yang lebih hangat terkosentrasi di perairan pesisir Banten. Temperatur yang lebih hangat ini diduga karena pengaruh aktifitas didaratan cukup dominan . Temperatur yang lebih hangat yang terpantau di perairan pesisir Banten samar-samar masih terlihat hingga kedalaman 10 m. Selanjutnya pada kedalaman 20-40 m, temperatur yang lebih dingin yang terpantau di depan Teluk Semangka makin jelas terlihat dan mulai menyebar ke arah tenggara dan barat daya. Temperatur yang dingin ini diduga datang dari Samudera Hindia. Pada kedalaman 60-150 m, temperatur dingin sudah memenuhi seluruh perairan selat. Dari sebaran 25
Sebaran Vertikal Temperatur Pada bulan Oktober-November profil melintang menggambarkan bahwa massa air Laut Jawa yang dicirikan dengan temperatur yang lebih hangat menempati lapisan permukaan hingga kedalaman 100 m di kawasan Paparan Sunda sedangkan massa air Samudera Hindia yang dicirikan dengan temperatur yang dingin setelah bertemu dengan lereng dasar laut yang curam akan tenggelam menyusuri lereng dasar laut tersebut. Pada bulan Juli (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi seluruh kawasan Paparan Sunda dari permukaan hingga kedalaman 100 m. Selanjutnya massa air Samudera Hindia mulai memasuki kawasan Paparan Sunda dikedalaman kirakira 100 m. Pada bulan Juni (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi perairan selat hingga kedalaman 50 m. Pada Kedalaman 50150 m, terlihat terjadi percampuran antara massa air Laut Jawa dan massa Air Samudera Hindia. Massa air Samudera
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Foto Pulau Sebesi diambil oleh Astronot Amerika Serikat dari pesawat ulang alik dengan nomor misi ISS002E9175 pada tanggal 12 Juli 2001. Dari salah satu sudut pulau ini, pada malam hari tampak semburan warna merah yang berasal dari perut Anak Krakatau.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
26
Gambar samping: Pemasangan (deployment) alat pengukur Salinitas, Temperatur dan Kedalaman - CTD. CTD merupakan salah satu instrumen kelautan yang paling banyak dipakai dalam survei. Gambar bawah: Pemasangan (deployment) alat pengukur pasang surut, yang biasa disebut Tide Gauge
27
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Hindia yang mengisi perairan Selat Sunda terlihat di
psu. Pada kedalaman 31-81 m, sebaran salinitas masih identik
kedalaman 150 m.
seperti yang tergambar di kedalaman 21 m, dimana salinitas
Salinitas Sebaran Horizontal Salinitas Pada bulan Oktober-November sebaran horizontal salinitas berkisar antara 32,8-33,4 psu. Di kedalaman 21 m, salinitas tinggi tercatat di perairan pesisir Banten dan salinitas rendah tercatat di depan Teluk Semangka dengan isohalin 33,075
tinggi mendominasi seluruh perairan selat. Pada bulan Juli (musim timur), salinitas di permukaan selat berkisar antara 31,5-32,5 psu. Salinitas rendah berada di mulut selat dan salinitas tinggi terdapat di depan Teluk Semangka. Pada kedalaman 5 m, salinitas tinggi yang berasal dari Samudera Hindia mulai memasuki perairan selat dan
Gambar bawah: Peta batimetri Selat Sunda
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
28
Gambar atas: Suasana pantai pada saat air laut sedang surut di daerah Anyer. Tampak morfologi pantai berkarang yang mendominasi sebagian besar pantai di daerah ini
mulai menyebar kearah tenggara. Salinitas tinggi yang
terpantau mengelilingi gunung api krakatau sedang salinitas
terpantau di depan Teluk Semangka semakin jelas terlihat
tinggi tercatat di seluruh perairan selat. Fenomena ini belum
pada kedalaman 10-40 m, sedangkan di kedalaman 60-150
dapat dijelaskan dalam penelitian ini.
m, salinitas tinggi yang berasal dari Samudera Hindia mulai mengisi seluruh perairan selat Pada bulan Juni 2002 (musim timur), salinitas permukaan berkisar antara 28,5-32,5 psu. Di permukaan ini muncul satu fenomena yaitu salinitas rendah 29
Diharapkan pada studi selanjutnya setelah mengkaji semua parameter fisika, kimia biologi dan geologi, fenomena ini dapat dijelaskan dengan lebih komprehensif. Pada kedalaman
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
5 m, salinitas rendah yang mengelilingi gunung api krakatau samar-samar masih terlihat, dan salinitas tinggi yang berasal dari Samudera hindia mulai terlihat memasuki perairan selat dan fenomena ini masih terlihat hingga kedalaman 30 m. Pada kedalaman 40-150 m, salinitas tinggi yang datang dari Samudera Hindia sudah mengisi seluruh perairan selat. Sebaran Vertikal Salinitas Pada bulan Oktober-November salinitas rendah yang merupakan ciri dari massa air Laut Jawa terpantau hingga kedalaman kira-kira 100 m, sedangkan salinitas tinggi yang diduga datang dari samudera Hindia memasuki perairan selat, namun setelah membentur lereng dasar laut yang curam massa air Samudera Hindia tenggelam menyusuri lereng tersebut. Pada bulan Juli (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi perairan Paparan Sunda dari permukaan hingga kedalaman 50 m sedangkan massa air di daerah Samudera Hindia terpantau di kedalaman 50-1000 m. Pada bulan Juni (musim timur), massa air Laut Jawa mengisi seluruh perairan selat hingga kedalaman 50 m, sedangkan di perairan Samudera Hindia, massa air Laut Jawa hanya menempati lapisan tipis yaitu hingga kedalaman 25 m. Hidrodinamika Pola hidrodinamika, yaitu pola elevasi muka laut sesaat dan pola arus yang diakibatkannya, yang merupakan hasil simulasi model. Pola hidrodinamika sesaat tersebut dicuplik pada kondisi air pasang surut purnama (saat bulan purnama dan bulan mati) dan perbani (saat bulan seperempat dan tiga perempat penuh). Pada masing-masing kondisi dicuplik pada saat air pasang tinggi, air menuju surut, air surut rendah, dan air surut menuju pasang. Titik referensi waktu cuplik pasang surut yang digunakan pada model ini adalah Stasiun Ketapang Pola Arus Pasut Kondisi Purnama Pola arus pasut dan elevasi muka air hasil simulasi model pada kondisi pasut purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut:
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Saat air menjelang pasang , pola elevasi muka laut di Samudra Hindia lebih tinggi (sekitar +0,36 m di atas muka laut ratarata) dibandingkan dengan di Laut Jawa (sekitar -0,41 m, di bawah muka laut rata-rata). Pada kondisi ini, pergerakan arus sangat kecil namun cenderung mengarah dari Selat Sunda menuju ke Laut Jawa. Arus maksimum sekitar 0,27 m/detik terjadi di daerah Bakauhuni. Saat air pasang, gradien (kemiringan) pola elevasi muka yang menurun dari arah Samudra Hindia menuju Laut Jawa semakin bertambah besar, yaitu dengan kisaran sekitar +0,72 m hingga 0,55 m. Dengan keadaan ini arus semakin banyak bergerak memasuki Laut Jawa dari arah Samudra Hindia (ke timur dan timur laut), dengan kecepatan maksimum sekitar 1,54 m/detik terjadi di sekitar Bakauhuni. Saat air menjelang surut, pola elevasi muka laut di seluruh daerah Selat Sunda hampir seragam yaitu berada di sekitar muka laut rata-rata, yaitu dengan kisaran lebih kurang hanya 0,04 m hingga -0,17 m, kecuali di Teluk Lampung sekitar 0,30 m. Akibat dari keadaan ini maka pola arus dari Selat Sunda ke Laut Jawa mulai melemah, dengan kecepatan maksimum 0,99 m/detik di daerah Bakauhuni. Saat air surut, gradien (kemiringan) elevasi muka laut berbalik dimana muka laut di Laut Jawa lebih tinggi (sekitar +0,28 m) dari pada di Samudra Hindia (lebih kurang -0,56 m). Pola arus juga berbalik arah dari Laut Jawa menuju Selat Sunda dengan kecepatan maksimum sekitar 1,16 m/detik terjadi di daerah Bakauhuni. Pola Arus Pasut Kondisi Perbani Pola arus pasut dan elevasi muka air hasil simulasi model pada kondisi pasut perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air pasang, elevasi muka laut di Samudra Hindia lebih tinggi (sekitar +0,37 m) dari pada di Laut Jawa (sekitar -0,43 m). Arus bergerak cukup kuat dengan magnitudo maksimum sebesar 1,05 m/detik di daerah Bakauhuni, dari arah Samudra Hindia memasuki Laut Jawa. Pola arus ini tidak 30
a
b
c
d Eelevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi purnama pada: (A) Menjelang Pasang, (B) Pasang, (C) Menjelang Surut, (D) Surut
a
b
c
d Pola arus pasut untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi purnama pada: (A) Menjelang Pasang, (B) Pasang, (C) Menjelang Surut, (D) Surut
31
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
a
b
c
d Elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi perbani pada: (A) Pasang, (B) Menjelang Surut, (C) Surut, (D) Menjelang Pasang
a
b
c
d Pola arus pasut untuk keseluruhan Perairan Selat Sunda saat kondisi perbani pada: (A) Pasang, (B) Menjelang Surut, (C) Surut, (D) Menjelang Pasang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
32
berbeda dengan pada kondisi purnama, namun kecepatan arusnya lebih kecil. Saat air menjelang surut, elevasi muka laut di seluruh daerah Selat Sunda hampir sama, yaitu di sekitar muka laut rata-rata, dengan kisaran sekitar -0,01 m hingga -0,35 m. Pada kondisi ini, kecepatan arus tetap bergerak dari arah Selat Sunda menuju Laut Jawa namun dengan kecepatan yang mulai melemah dengan magnitudo maksimum sekitar 0,94 m/detik di daerah Bakauhuni. Pola elevasi muka laut dan arus pada kondisi pasut purnama ini juga tidak berbeda dengan pada kondisi pasut perbani namun dengan magnitudo yang lebih kecil. Saat air surut, pola elevasi muka laut pada kondisi ini mulai terlihat miring dari arah Laut Jawa (sekitar +0,10 m) ke Samudra Hindia (sekitar -0,29 m). Dengan demikian pola arus justru menunjukkan pembalikan arah namun masih lemah sekali (maksimum sekitar 0,18 m/detik). Pola arus ini sangat berbeda dengan keadaan pada saat pasut purnama, baik pada arah maupun magnitudonya. Saat air menjelang pasang, elevasi muka laut di seluruh daerah Selat Sunda semakin tinggi (sekitar +0,21 m di Laut Jawa dan sekitar -0,05 m di Samudra Hindia) menyebabkan arus berbalik arah, yaitu dari Laut Jawa menuju Samudra Hindia. Kecepatan maksimum sekitar 0,66 m/detik di daerah Bakauhuni. Pola arus pada saat ini juga berbeda dengan pada saat pasut purnama, baik pada pola maupun magnitudonya.
Ecopath Berdasarkan data primer dan sekunder yang diperoleh dilapangan, ekosistem di Selat Sunda dapat di kelompokkan dalam 16 (enam belas) termasuk kelompok detritus. Adapun data ke-16 kelompok fungsional ini dapat dilihat pada Tabel disamping; Input Model dan Balancing Model Produsen Utama (Primary Producers) Dalam model ini produsen utama di bagi menjadi empat kelompok fungsional yaitu fitoplankton; lamun dan mangrove 33
serta terumbu karang. Hasil penelitian biomassa fitoplankton di tiga stasiun penelitian perairan Selat Sunda, nilai rata-rata 9.524 ton·km-2. Karena hasil penelitian nilai P/B (production/biomassa) untuk Selat Sunda tidak ada data, sehingga dicoba meminjam dari hasil penelitian Buchary et al di Selat Bali dengan nilai P/B ratio adalah 30.00 tahun-1. Seagrass (lamun) yang terdapat di Selat Sunda di dominasi dari jenis Enhalus acoroides, dari hasil penelitian di lapangan diperoleh nilai biomassa untuk lamun sebesar 0.000192 ton·km-2 dengan menggunakan metode line transek. Karena tidak adanya data, rasio P/B lamun diambil dari model Laut Cina Selatan yang dilakukan Pauly dan Christensen (1993), dengan nilai 11.885 tahun-1. Mangrove Hutan mangrove di Selat Sunda didominasi oleh jenis Avicennia. Dari hasil penelitian diperoleh nilai biomassa mangrove sebesar 17.925 ton·km-2.
Tabel Ecopath No 1 2
Kelompok Fungsional Fitoplankton Lamun
3 4 5 6
Mangrove Terumbu karang Zooplankton LBS
7
Pelagis kecil
8
Pelagis sedang
9
Ikan Demersal
10 11 12 13 14 15
Makrozoobenthos Udang & Kepiting Kelompok Molluska Cumi-cumi Ikan Hiu Burung Laut
Komponen Kelompok Bacteriastrum;Ceratium;Chaetozeros;Rhizosolenia; Hemiacilus. Enhalus acoroides; Cymodocea rotundata; Syringodium isoetifolium; Thalassia hemprinchii Avicennia marina Hard Coral Acropora; Hard Coral non Acropora Calamida;Bikopleura;Cycloprida;Lucifer; Chaetognatha Soft coral; Sponge; Zoanthids Rastrelliger brachysoma;Anodontostoma chacunda; Selaroides leptolepis;Dussumieria elopsoides Alectis indicus;Tric hiurus haumela;Pelate quadrilineatus Apogon quadrifasciatus; Leiognathus equulus Pentaprion longimanus; Sphyraena sp; Thryssa hamiltonii; Stolephorus indicus Fistularia petimba; Scomberomorus guttatus; Euthynnus sp Trachyrampus bicoarctatus; Areichthys tomentosus Scatophagus argus; Ephinephelus sexfasciatus Upeneussulphureus;Psettodeserumei;Nemipterus hexodon Nemipterus japonicus; Nemipterus nematophorus Sufflamenfraenatus;Leiognathuselongates;Secutorruconius Caranx sp Crassostrea spp ; Holothuroidea Portunus spp; Panaeus merguensis; Penaeid post Larvae Meretrix spp; Anadara spp Loligo spp Carcharhinidae Haliaetus leucogaster
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Salah satu komoditi perikanan tangkap (Tongkol) yang dijual di Pasar Tradisional desa Panimbang. Di pasar yang bersebelahan dengan TPI tersebut kebanyakan menjual ikan segar dan ikan olahan seperti ikan asin, cumi rebus dan lain-lain.
Gambar samping: Tampak seorang peneliti dari Pusris Wilnon yang sedang melakukan analisa vegetasi Mangrove. Hutan Mangrove dikawasan sekitar Teluk Miskam - Selat Sunda didominasi oleh genus Avicenia.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
34
Gambar atas: Ikan Pari yang dijajakan di pasar tradisional merupakan salah satu dari berbagai macam hasil tangkapan nelayan.
Terumbu Karang Biomassa dan P/B terumbu karang mengacu pada Sorokin, (1981), yaitu biomassa coral polyp the Great Barrier Reef sebesar 500 g.ww.m`².
tahun-1 diambil dari nilai Q/B mesozooplankton di Teluk Monterey (Olivieri et al, 1993).
Zooplankton Biomassa untuk kelompok zooplankton dari hasil survei,
LBS (Living Bottom Structure) Data biomassa LBS di ambil dari Pauly et al. 1996, sebesar
mencapai 1.465 ton·km-2. rasio P/B sebesar 38,0 tahun-1
35
dari penelitian Copepods di Teluk Osaka (Koga 1987), sedangkan rasio Q/B diperoleh dari rata-rata sebesar 180,0
20 ton·km-2. P/B dan Q/B masing-masing sebesar 1.7 tahun-1
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
dan 4.015 tahun-1 diambil dari hasil penelitian Model coral reef di Karibia (Opitz, 1996).
Hiu Untuk Hiu, nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B Selat Sunda diambil dari hasil penelitian di Teluk Saleh. Nilai Biomassa Hiu
Pelagis Kecil Nilai biomassa ikan pelagis kecil sebesar 0.687 ton·km-2,
0.240 ton·km-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing -1
sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 4.891 tahun
0.099 tahun-1 dan 8.93 tahun-1.
dan 12.418 tahun-1 (Hasil Analisis, 2004).
Burung laut Karena tidak tersedianya data Biomassa, rasio P/B dan Q/B
Pelagis sedang Nilai biomassa ikan pelagis sedang sebesar 0.236 ton·km-2,
untuk burung laut di Selat Sunda, nilai diambil dari hasil
sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 5.997 tahun-1 dan 13.571 tahun-1 (Hasil Analisis, 2004).
penelitian biomasa dan rasio P/B dari hasil penelitian Jarre et al., 1991 di Peru (Buchary E et. al.,2001) dengan nilai 0.025 ton·km-2 dan 0.05 tahun-1, sedangkan nilai rasio Q/B
Ikan Demersal Nilai biomassa ikan demersal 0.0204 ton·km-2, sedangkan -1
rasio P/B dan Q/B masing-masing 2.564 tahun dan 13.502 tahun-1 (Hasil Analisis, 2004).
diperoleh dari rata-rata nilai Q/B 4 spesies burung dengan menggunakan formula empiris (Nilsson and Nilsson., 1976) sebesar 67.67 tahun-1. Detritus Biomassa detritus sebesar 10.50 ton·km-2, diperoleh dengan
Makrozoobenthos Nilai biomassa makrozoobenthos sebesar 2.69 ton·km-2
menggunakan formula empiris Pauly et al (1993) dengan PP
mengacu dari hasil penelitian di Selat Bali (Buchary et al,
= 300 gC/m²/tahun dan E = 50 m.
1999); sedangkan nilai rasio P/B dan Q/B diambil dari hasil penelitian makrobenthos di Teluk Monterey (Olivieri et al, 1993). Udang dan Kepiting Nilai biomassa uadang dan kepiting sebesar 0.0029 ton·km-2 diambil dari hasil penelitian di Laut Jawa (Torres et al. 1996); sedangkan nilai rasio P/B dan Q/B dari hasil model pantai Brunei (Silvestre et al.,1993).
Hasil Basic Estimation Hasil terakhir dari input parameter (Biomassa, rasio P/B dan Q/B) dan balancing model dapat dilihat pada Tabel dibelakang demikian juga dengan diet matrix-nya, serta diagram dari trophic level ekosistem Selat Sunda pada Gambar tersebut. Dari Gambar tersebut dapat diketahui bahwa Ekosistem Selat Sunda terdiri dari lebih empat trophic level, dengan kelompok Shark (Hiu) berada di level predator teratas
Molluska Nilai biomassa molluska diambil dari hasil penelitian Benthik
dengan nilai trophic level tinggi yaitu 4.2 dan nilai
Infauna di Selat Bali (Buchary et al.,1999); nilai rasio P/B dan
level rendah ada 10 kelompok fungsional yaitu Fitoplankton,
Q/B diambil dari makrobenthos di Teluk Monterey (Olivieri et
Lamun, Mangrove, Terumbu karang, Zooplankton, LBS,
al, 1993).
Udang & Kepiting, Molluska, Cumi-cumi dan Detritus dan 2
Cumi-cumi Nilai biomassa, nilai rasio P/B, Q/B cumi-cumi dari hasil penelitian di Bolinao reef Philippines (Alino, PM et al, 1993).
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
production/consumtion yang rendah 0.011. Untuk trophic
kelompok untuk intermediete trophic level yaitu pelagis kecil, pelagis sedang, serta 3 kelompok untuk trophic level tinggi (>3.5) yaitu Ikan Hiu, Ikan Demersal dan Burung Laut.
36
Dari Tabel diatas dapat dilihat nilai Ecotrophic Efisiensi (EE), yaitu jumlah tersedianya makanan pada suatu ekosistem yang dimakan oleh suatu kelompok dalam tingkatan trophic ekosistem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkatan group dalam trophic level, nilai EE-nya makin kecil. Dari Tabel dapat dilihat nilai EE untuk kelompok fitoplankton sebesar 0,99 lebih besar dari nilai EE ikan Hiu yang hanya sebesar 0.
37
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
38
Trophic L evel
1
2
3
4
Lamun
Shrimp & Crab
Mangrove
Makrozoobeenthos
Sm all Pelagics
Coral
Molluska
Burung Laut
Detritus
Cumi -cumi
Diagram skematik kelompok fungsional penyusun ekosistem Selat Sunda yang digunakan dalam pemodelan Ecopath and Ecosim
Phytoplankton
Zooplankton
LBS
Med. Pellagics
Demersal Fish
Shark
Flowchart Model Ekosistem Selat Sunda Keterangan: B = Biomassa ( ton·km-2 ); P = Produksi (tahun-1); Q = Konsumsi (tahun-1)
Jumlah kelompok fungsional yang banyak dalam tingkatan trophic level, seperti tingkatan trophic level ke-2 sampai ke-4 menunjukkan tingkat kompetisi yang tinggi dalam memperoleh makanan pada ekosistem tersebut. Sehingga dampak dari adanya kegiatan perikanan tangkap harus diperhitungkan dalam pengelolaan ekosistem Selat Sunda. Karena, jika kegiatan perikanan tangkap di Selat Sunda menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka akibatnya sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut akan terancam keberlanjutannya.
Analisis RAPFISH Perikanan Selat Sunda Selat Sunda, yang dibatasi oleh provinsi Lampung dan provinsi Banten merupakan kawasan perairan dengan potensi produksi yang cukup besar sehingga dapat dipandang sebagai aset yang penting bagi kedua provinsi yang membatasinya.
39
Berbagai spesies ekonomis, baik dari kelompok pelagis maupun demersal, terdapat di perairan ini dalam kawasan tersebut. Namun demikian, potensi perikanan di perairan Selat Sunda tidak hanya dimanfaatkan oleh nelayan di kedua provinsi tersebut; bahkan pada perikanan tertentu nelayan dari luar daerah menunjukkan dominasinya, baik dalam hal besarnya armada dan ukuran kapal penangkap yang digunakan, tingkat produksi, maupun skala usaha yang diterapkan. Kelompok nelayan yang sering diistilahkan sebagai andon datang pada musim-musim tertentu untuk melakukan kegiatan penangkapan di Selat Sunda. Keberadaan nelayan andon tersebut dari satu sisi dapat dipandang sebagai hal yang positif karena dapat menghindarkan under-exploitation, tetapi di sisi lain merupakan sumber masalah yang cukup signifikan bagi perikanan di Selat Sunda. Salah satu masalah terkait
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
dengan ketimpangan kesejahteraan antara nelayan andon dengan pendatang. Masalah lain terkait dengan besarnya kapasitas alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan andon sehingga di suatu saat dapat menjadi penyebab terjadinya over-exploitation. Masalah lain terkait dengan registrasi eksploitasi. Otonomi daerah yang diterapkan sejak beberapa tahun lalu telah menambah kompleksitas permasalahan tersebut di atas. Sebagai contoh, dengan semangat otonomi daerah, konflik transparan terjadi antara nelayan andon dengan nelayan lokal, baik di Lampung maupun di Banten. Meskipun dalam konteks yang lebih sempit kejadian tersebut dapat berdampak positif terhadap kelompok nelayan lokal, dalam konteks yang lebih besar, dengan asumsi bahwa eksploitasi masih berada di bawah tingkat optimalnya, kejadian tersebut dapat berakibat pada penurunan benefit agregat yang tergali dari perikanan di Selat Sunda. Menimbang besarnya potensi dan kompleksitas perikanan di Selat Sunda, penelitian yang dimaksudkan untuk melihat kondisi pada berbagai dimensi ini dipandang perlu untuk dilaksanakan. Diharapkan, hasil dari penelitian ini dapat memberikan arah bagi dalam penentuan aspek yang perlu mendapatkan perhatian lebih besar.
Hasil dan Pembahasan Untuk memberikan "sense" yang lebih baik kepada pembaca dalam mencermati analisis Rapfish Selat Sunda, berikut adalah gambaran umum mengenai keadaan perikanan di dua provinsi yang berbatasan dengan Selat Sunda, Lampung dan Banten. Perspektif Lampung Bagi provinsi Lampung, Selat Sunda merupakan bagian penting dari wilayah perikanan yang menjadi kewenangannya. Berdasar UU No 22 Th 1999 tentang pemerintahan daerah, provinsi ini mendapatkan otoritas pengelolaan wilayah laut dan pesisir seluas 16.625,3 Km2, yang terdiri atas wilayahwilayah perikanan di pantai timur dan barat, serta Selat
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Sunda. Dengan produktivitas perairan laut sebesar rata-rata 30kg/Ha/tahun, total potensi perairan laut Lampung termasuk ZEE adalah sebesar 388.000 ton ikan/tahun. Produksi penangkapan ikan di laut di Lampung pada tahun 2002 baru mencapai 150.849 ton/tahun, jauh di bawah angka potensinya (Sumber: Data diolah dari Laporan Tahunan Dinas Kelautan & Perikanan provinsi Lampung, Tahun 2002). Namun, produksi tersebut tidak diperoleh secara merata di wilayah-wilayah perairan yang ada. Untuk itu dicanangkan peningkatan usaha di wilayah dengan pemanfaatan yang masih rendah untuk membidik target produksi sebesar 158.897 ton (setara dengan 40.95% dari potensi) pada tahun 2005 (Anonimous, 2003). Data-data tersebut menunjukkan besarnya peluang pengembangan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, sekaligus mengurangi tekanan pada wilayah perairan yang telah tereksploitasi cukup berat. Sejauh ini, terlihat indikasi tentang adanya perhatian dari pemerintah daerah terhadap kecenderungan ini. Berbagai program dan kebijakan telah diterapkan untuk mendorong peningkatan investasi di bidang perikanan. Namun demikian, untuk mengantisipasi dampak negatif dari pengembangan perikanan yang telah dicanangkan, pemerintah daerah juga mempersiapkan dan menerapkan berbagai paket kebijakan yang sejalan dengan pemikiran antisipatif tersebut. Kebijakan-kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan provinsi Lampung. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kebijakan pembangunan perikanan di provinsi Lampung difokuskan pada dua hal utama, yaitu kebijakan eksploitatif dan kebijakan pengelolaan. Dalam kelompok kebijakan eksploitatif, terdapat di antaranya kebijakan-kebijakan yang secara langsung mendukung pengembangan perikanan tangkap, yang diimplementasikan dalam bentuk pengembangan penguasaan IPTEK penangkapan, manajemen operasional pelabuhan, peningkatan efektivitas alat tangkap, dan pengembangan sarana prasarana guna mendukung perluasan wilayah produksi, pemasaran dan pasca panen. Sementara itu, dalam 40
kelompok kebijakan pengelolaan tetrmasuk di antaranya kebijakan pengembangan pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya, peningkatan ketaatan penerapan berbagai aturan dan perijinan. Kebijakan pengelolaan juga menyangkut pembinaan dan pengawasan manajemen kelembagaan, penerapan MCS. Salah satu bentuk operasional dari kebijakan pengelolaan adalah pengembangan Siswasmas (Sistem Pengawasan oleh Masyarakat). Besarnya bobot kepentingan yang diberikan oleh Pemda Lampung pada aspek pengelolaan tercermin pada tingginya prioritas yang diterapkan pada pelaksanaan kegiatan projek yang dilaksanakan. Sebagai contoh, pada Tahun 2002, terdapat 5 kegiatan projek, yang sebagian besar diarahkan pada tujuan-tujuan pengelolaan. Lebih lanjut, data yang diperoleh dalam kegiatan penelitian ini menunjukkan bahwa alokasi dana yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan yang terkait langsung dengan perikanan tangkap, termasuk di Selat Sunda adalah sebesar 16%. Selain kegiatan yang terkait langsung, terdapat pula kegiatan-kegiatan lain yang secara implisit mencakup kepentingan pengelolaan perikanan Selat Sunda, misalnya kegiatan pembinaan dan pengembangan, serta kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan Lampung. Secara keseluruhan, kegiatan yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah sebesar 41%. Salah satu contoh kegiatan yang secara tidak langsung terkait dengan kepentingan pengelolaan Selat Sunda adalah implementasi kebijakan pengembangan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil, yang mencakup pengawasan, pengendalian dan pemanfaatan sumberdaya di perairan pesisir Teluk Lampung, yang merupakan salah satu bagian dari Selat Sunda. Dalam kebijakan pengembangan pesisir dan pulaupulau kecil tersebut terdapat pula kegiatan operasional yang ditujukan pada penumbuhan kesadaran nelayan akan perlunya menjaga kelestarian sumberdaya ikan di Selat Sunda dan wilayah perairan Lampung lainnya; kebijakan tersebut diimplementasikan dalam bentuk rangkaian operasi
41
penegakan hukum di laut. Masih dalam kerangka kebijakan yang sama, dikembangkan usaha pembinaan masyarakat pantai, yang dikemas dalam paket Siswasmas. Untuk melengkapi kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah daerah Lampung juga mengembangkan program pmberdayaan masyarakat dan rehabilitasi ekosistem pantai/laut, misalnya melalui pembuatan coral buatan. Perkembangan dan Permasalahan Terdapat kecenderungan stagnasi, atau bahkan penurunan produksi penangkapan laut di Lampung, yang disinyalir terjadi akibat penurunan stok ikan di beberapa wilayah penangkapan, termasuk di antaranya Selat Sunda. Gejala tersebut masih terjadi sampai saat ini; misalnya dalam dua tahun terakhir, terjadi penurunan produksi penangkapan di laut sebesar 0.5%, yaitu dari 152 ribu ton pada tahun 2001 menjadi 151 ribu ton pada tahun 2002. Padahal, pada periode yang sama jumlah rumah tangga nelayan (RTP) penangkapan ikan laut meningkat sebesar 6.38 %, yaitu dari 10.609 RTP pada tahun 2001 menjadi 11.289 RTP pada tahun 2002. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa di sebagian wilayah, carrying capacity telah terdekati atau bahkan terlampaui. Gejala ini diperkuat lagi oleh data mengenai produktivitas berbagai alat tangkap, yang berhasil dihimpun melalui penelitian ini. Laporan-laporan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi Lampung. menunjukkan bahwa alat-alat tangkap ikan yang dioperasikan di Selat Sunda dan perairan Lampung lainnya secara keseluruhan menurun. Permasalahan lain yang berhasil diidentifikasi pada perikanan Selat Sunda dari perspektif provinsi Lampung adalah persaingan antar kelompok nelayan, baik dalam hal wilayah maupun pasar. Ini terkait dengan kenaikan jumlah unit penangkapan yang beroperasi di jalur 1 (selebar 3 mil dari pantai). Besaran masalah ini menjadi lebih nyata karena sebagian kelompok nelayan tersebut mengoperasikan alat yang sangat destruktif sehingga mengganggu peluang usaha bagi kelompok lain; kelompok nelayan yang dianggap merugikan tersebut adalah misalnya kelompok nelayan gardan dan nelayan arad, yang secara prinsip beroperasi
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
menyerupai nelayan trawl. Disamping itu, meskipun dalam frekuensi yang jauh lebih kecil konflik antar nelayan juga muncul akibat adanya penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dan racun yang dilakukan oleh kelompok nelayan tertentu, yaitu pada penangkapan ikan karang. Perspektif Banten Sumberdaya kelautan merupakan salah satu andalan peggerak perekonomian provinsi Banten. Garis pantai yang menghadap Selat Sunda, Samudera Indonesia dan Laut Jawa sepanjang sekitar 841,13 km menggambarkan besarnya potensi tersebut. Potensi penangkapan ikan di laut mencapai angka 60.000 ton. Seperti yang terjadi di Lampung, Selat
Sunda merupakan bagian yang penting pula bagi perikanan Banten. Mengacu pada panjang pantai, Selat Sunda memberikan 30% kontribusi terhadap potensi perikanan Banten sedangkan apabila luas perairan dijadikan rujukan, Selat Sunda berpeluang menyumbang 50,46% dari total produksi perikanan untuk wilayah provinsi Banten (Anonimous, 2003). Dengan panjang pantai dan luas perairan yang dimiliki, masing-masing kabupaten tersebut menghasilkan produksi dan nilai produksi ikan yang cukup besar. Berdasarkan catatan pada tahun 2002, produksi perikanan laut dari wilayah provinsi Banten yang menghadap Selat Sunda (Kab.
Gambar bawah: Suasana pasar tradisional yang setiap harinya bisa dijumpai di desa Panimbang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
42
Pandeglang, Kab. Serang dan Kota Cilegon) mendominasi produksi perikanan laut di provinsi tersebut, yaitu dengan kontribusi sebesar 79,50% (dalam ukuran rupiah, kontribusi ketiga kabupaten/kota tersebut adalah 71,57%). Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon masing memproduksi ikan berturut-turut sebanyak 30, 11, 43 ton dengan nilai produksi berturut-turur sebesar 117, 49 dan 318 milyar rupiah.
Permasalahan Perikanan Tangkap di provinsi Banten Untuk melihat permasalahan yang terkait dengan Selat Sunda dalam perspektif provinsi Banten, berikut adalah beberapa contoh kasus yang terjadi di dua kabupaten terpenting, yaitu Serang dan Pandeglang: Permasalahan yang berhasil diidentifikasi di wilayah Kabupaten Pandeglang terutama terkait dengan dengan keberadaan nelayan andon. Untuk wilayah Banten, istilah
Gambar bawah: Tampak suasana Tempat Pelelangan Ikan di Kabupaten Pandeglang
43
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
andon diberikan kepada nelayan dari luar daerah yang pada musim-musim tertentu menetap di Banten, dan melakukan penangkapan di perairan Banten. Nelayan andon tersebut berasal dari berbagai daerah di P Jawa, termasuk Subang, Indramayu, Rembang, Tuban, Lamongan. Pada umumnya, nelayan andon tersebut menggunakan kapal purse seine berukuran besar. Akibatnya, tangkapan nelayan andon memiliki efentivitas tangkap yang melebihi nelayan lokal. Ketimpangan tersebut menimbulkan tekanan pada nelayan lokal, yang berujung pada konflik yang kemudian muncul ke permukaan. Contoh yang dapat diacu adalah pembakaran kapal purse seine andon di Sidamukti dan Panimbang, Kecamatan Labuhan, Kab. Pandeglang. Sebagian nelayan lokal berpandangan bahwa nelayan andon merupakan nelayan liar yang tidak mempunyai hak penangkapan ikan di wilayah nelayan lokal. Observasi lapangan dalam penelitian ini memberikan konfirmasi tentang dampak ekonomis dari keberadaan nelayan andon. Sebagai contoh, sebagian nelayan lokal yang semula mengoperasikan purse seine (dengan ukuran kecil), saat ini beralih profesi menjadi palele, yaitu melakukan pembelian ikan di tengah laut dari kapal purse seine besar miilik nelayan andon. Hasil wawancara dengan pejabat perikanan, petugas pelelangan ikan, maupun nelayan memberikan indikasi kuat bahwa konflik yang terjadi antara nelayan andon dan nelayan lokal terkait erat dengan euphoria otonomi daerah. Disamping itu, konflik antar kelompok nelayan tersebut di atas juga diakibatkan oleh rendahnya kapasitas nelayan lokal dalam hal permodalan, relatif terhadap nelayan andon. Lebih lanjut, keterampilan nelayan lokal pun secara rata-rata di bawah ketrampilan nelayan andon. Konflik antar kelompok nelayan juga terjadi antara nelayan arad dan nelayan jaring rajungan. Contoh kasus ini dapat ditemukan di Ds. Karangantu, Kab Serang. Alat tangkap arad sebagaimana dioperasikan di wilayah Karangantu dinilai oleh banyak fihak sebagai trawl dengan kapasitas kecil; namun demikian, alat ini memiliki kemampuan yang tidak jauh
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
berbeda dengan trawl dan mampu menangkap sebagian besar jenis ikan yang menjadi target tangkapan nelayan rajungan. Dengan beroperasinya nelayan arad, nelayan rajungan hanya mampu menangkap ikan yang tersisa oleh nelayan arad. Saat ini, frekuensi pulang kosong (tidak mendapatkan tangkapan) rajungan meningkat tajam. Konflik antar nelayan juga terjadi antara nelayan payang dan kelompok nelayan yang melakukan operasi penangkapan di daerah operasi nelayan payang pada malam hari, menggunakan alat tangkap yang belum dapat dikonfirmasi jenisnya. Contoh kasus ini dapat ditemukan di Ds Pasauran, Kec. Cinangka, Kab Serang (Pasauran terletak di kawasan wisata Anyer sehingga berbagai alternative pekerjaan relatif tersedia bagi nelayan). Operasi penangkapan yang dilakukan pada malam hari ternyata telah mengakibatkan penurunan hasil tangkapan nelayan payang, yang melakukan kegiatan penangkapan pada pagi hari. Dalam tiga bulan terakhir ini, bahkan produksi nelayan payang di wilayah tersebut telah mendekati nihil. Akibat lebih jauh dari situasi ini adalah bahwa pada saat ini sebagian nelayan payang tidak lagi mengoperasikan alat tangkapnya dan beralih profesi ke bidang pekerjaan lain seperti misalnya tukang ojeg, tukang kebun, penjual ikan asin, atau pedagang barang-barang kerajinan tangan kepada wisatawan Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Dengan berbagai pertimbangan, Kabupaten Pandeglang menerapkan kebijakan pemberian ijin nelayan andon untuk melaksanakan penangkapan ikan di wilayah Pandeglang. Diharapkan, legalisasi penangkapan andon justru akan membawa dampak positif yang lebih besar, baik dari sudut pandang optimalisasi pemanfaatan sumberdaya maupun dari kepentingan pengawasan. Ijin penangkapan tersebut berbentuk surat keterangan penangkapan andon yang diterbitkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Pandeglang. Disamping surat keterangan tersebut, kapal andon juga dipersyaratkan mendapatkan surat keterangan jalan dari syahbandar setempat.
44
Gambar samping: Industrialisasi yang terjadi di Cilegon ternyata berdampak terhadap kehidupan di sekitar Selat Sunda. Hal ini tampak sangat kontras dengan kehidupan nelayan tradisional (gambar bawah)
45
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Pintu masuk menuju ke Kawasan Wisata Terpadu Tanjung Lesung yang dikelola oleh Pemda Kabupaten Pandeglang
Surat keterangan yang diberikan kepada nelayan andon,
Dalam rangka memaksimalkan manfaat lokal dari keberadaan
selain menyatakan ijin operasional penangkapan ikan, juga
nelayan andon, beberapa pemerintah kota/kabupaten di
mencantumkan tata tertib penangkapan, yang antara lain
Banten memberlakukan kewajiban pembayaran retribusi hasil
menyatakan bahwa dalam melaksanakan penangkapan ikan di
tangkapan. Sebagai contoh, di Pandeglang, pemerintah
laut, nelayan andon harus memegang komitmen untuk tidak
setempat memberlakukan pengaturan mengenai
melakukan tindakan yang diperkirakan dapat menimbulkan
pemungutan retribusi, yang dikaitkan dengan Perda Nomor 12
kerugian bagi nelayan setempat, mendaratkan ikan hasil
Tahun 2001 tentang Pasar Grossir. Retribusi dipungut sebesar
tangkapan harus dijual ke TPI terdekat, dan memperbarui
4% dari nilai penjualan hasil tangkapan. Retribusi sebesar 4%
surat keterangan setiap 6 bulan. Dengan pembatasan waktu
tersebut dibebankan masing-masing sebesar 2% kepada
6 bulan, diharapkan nelayan andon "dikondisikan" untuk
produsen (penangkap ikan) dan pedagang (bakul).
berusaha "bertingkah laku baik", karena "tindakan buruk" akan
Selanjutnya, 2% dari hasil pemungutan retribusi tersebut
menutup/mengurangi peluang mereka untuk kembali
digunakan untuk mendukung opersional TPI.
mendapatkan hak andon. Dan untuk memberikan jaminan yang lebih besar terhadap terhindarnya kerugian di kalangan nelayan setempat, penangkapan juga dibatasi pada jalur penangkapan di luar wilayah 4 mil dari garis pantai.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Selain menerapkan kebijakan mengenai andon, perikanan di Banten juga menerapkan beberapa program yang diarahkan pada perbaikan kondisi sumberdaya laut. Program dimaksud misalnya kegiatan-kegiatan rehabilitasi ekosistem laut. Salah 46
satu contoh dari kegiatan rehabilitasi yang saat ini tengah berlangsung adalah transplantasi coral melalui pembuatan terumbu buatan dari beton (concrete-based artificial reef). Rehabilitasi ini untuk sementara difokuskan pada perbaikan habitat-habitat ikan karang. Selain rehabilitasi harang, Dinas Perikanan Banten juga telah memrogramkan rehabilitasi mangrove; misalnya di desa Panimbang, Kabupaten Pandeglang. Sebagaimana Lampung, Pemda Banten juga menerapkan kebijakan komplemen yang mengedepankan partisipasi masyarakat. Misalnya, dalam rangka penertiban dan pengendalian penggunaan alat dan cara penangkapan ilegal, Dinas Perikanan menyelenggarakan program Siswasmas. Dalam pelatihan ini, kepada masyarakat nelayan diberikan pemahaman arti penting pengendalian dan pengawasan kegiatan penangkapan dan kesadaran tentang dampak dari
penggunaan cara dan atau bahan terlarang. Termasuk juga dalam materi pelatian adalah pengetahuan tentang peran yang dapat dimainkan oleh masyarakat nelayan dalam proses pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan .
Analisis RAPFISH Analisis Monte Carlo Untuk melihat tingkat kestabilan hasil analisis ordinasi, dilakukan dengan simulasi Monte-Carlo untuk melihat tingkat gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi (Spence and Young, 1978 dengan 25 kali iterasi. Dari indikator kestabilan ini, kita dapat melihat seberapa jauh hasil analisis kita dapat dipercaya. Gambar dibawah merupakan scatter-plot hasil simulasi Monte-Carlo, masing-masing untuk dimensi Ekologi, Ekonomi, Sosial, Teknologi, Etika dan Kebaharian. Berdasarkan pada keenam gambar tersebut tampak bahwa hasil analisis ordinasi untuk seluruh dimensi cukup stabil. Hal
Scatter-plot hasil simulasi Monte-Carlo
47
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
ini ditunjukkan oleh sebaran dari nilai analisis ordinasi setiap jenis perikanan tangkap yang dianalisis cenderung mengelompok dan berada didalam kisaran nilai anchors. Analisis Ordinansi Hasil umum dari analisis ordinansi Rapfish untuk perikanan Selat Sunda dapat dilihat pada diagram batang, yang merupakan diagnosa terhadap kondisi perikanan di perairan tersebut. Hasil tersebut didasarkan atas kinerja beberapa jenis alat tangkap. Alat-alat tangkap tersebut, jenis nelayan yang mengoperasikannya, dan basis (lokasi-lokasi) operasinya dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel Alat Tangkap, Jenis Nelayan, dan Lokasi Observasi Lapangan. No
Alat Tangkap
Nelayan
Lokasi
1
Purse Seine Besar
Andon
2
Jaring Arad
Lokal
Ds. Panimbang, Kab. Pandeglang, Prop. Banten Ds. Karangantu, Kab. Serang, Prop. Banten
3
Payang
Lokal
Ds. Pasauran, Kab. Pandeglang, Prop. Banten
4
Purse Seine Besar
Andon
Ds. Lempasing, Kota Bandar Lampung, Prop. Lampung
5
Purse Seine Mini
Lokal
Ds. Lempasing, Kota Bandar Lampung, Prop. Lampung
6
Bagan
Lokal
Ds. Taraha n, Kab. Lampung Selatan, Prop. Lampung
Gambar disamping juga memperlihatkan bahwa berdasarkan atribut-atribut yang diukur untuk berbagai alat tangkap tersebut, terdapat peluang untuk mempertahankan keberlanjutan ekologis perikanan di kawasan Selat Sunda.
Dengan menggunakan skala 0 untuk kinerja ekologis terburuk dan skala 100 untuk kinerja ekologis terbaik, alat-alat tangkap yang dioperasikan di selat Sunda dapat diklasifikasikan berkinerja sedang dari sudut pandang dimensi ekologi, dimana nilai kinerja ekologis berkisar antara 58.8 s/d 69.8. Namun demikian, dengan skala yang sama, beberapa dimensi lain menunjukkan kinerja yang buruk (nilai di bawah 50), sehingga perlu dicermati secara lebih mendalam. Apabila ditinjau kembali atribut-atribut yang tercakup dalam dimensi teknologi, dan data yang diperoleh untuk masing-masing atribut tersebut, skala kinerja moderat dari rata-rata alat untuk dimensi ekologis kemungkinan terkait dengan data yang menunjukkan belum adanya indikasi terjadinya perubahan trophic level dan masih penurunan produktivitas daman skala geografis yang luas di satu sisi, dan data yang menunjukkan adanya gejala full fishing di beberapa tempat. Kepastiannya dapat dilihat pada analisis leverage yang terdapat pada pembahasan mengenai masing-masing kelompok perikanan dalam buku ini. Dimensi-dimensi lain pada umumnya memperlihatkan kinerja yang kurang baik. Beberapa alat tangkap berkinerja buruk pada dimensi ekonomi, sosial, dan teknologi; pada dimensi etika, bahkan seluruh alat tangkap menunjukkan kinerja yang buruk, yaitu dengan nilai kurang dari 50. Pada dimensi
Diagram batang kinerja berbagai dimensi untuk berbagai alat tangkap 80 70 60
Ekologi
50 40
Ekonomi Sosial Teknologi
30
Etika
20
Kebaharian
10 0 Purse Seine, Panimbang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Arad, Karangantu
Payang, Pasauran
Mini Purse Seine, Lempasing
Purse Seine, Lempasing
Bagan, Tarahan
48
ekonomi, kinerja sedang ditunjukkan oleh payang, yang meskipun berdasarkan pemaparan dari laporan ini menghadapi masalah konflik dengan kelompok alat tangkap lain. Penjelasan yang paling logis dengan mengaitkannya dengan ketersediaan alternatif pekerjaan di lokasi tempat tinggal nelayan payang. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, Desa Pasauran, dimana para nelayan payang bertempat tinggal termasuk dalam kawasan wisata Anyer; karenanya, bebeberapa alternatif pekerjaan yang terkait dengan industri wisata tersedia bagi nelayan. Dengan demikian, atribut lain dalam dimensi tersebut mendapatkan imbas positif, sehingga secara agregat, kinerja dimensi tersebut dapat terangkat. Keberadaan altenatif pekerjaan di Pasauran juga berkecenderungan mengangkat kinerja agregat perikanan payang untuk dimensi etik. Meskipun skala kinerja berada pada batas sedang-buruk (nilai 50), skala kinerja yang ditunjukkan perikanan payang tersebut lebih tinggi dari skala kinerja perikanan dengan jenis alat lain pada dimensi yang sama. Pada dimensi ini, nilai terendah adalah pada alat arad yang banyak dioperasikan oleh nelayan di Desa Karangantu, Banten. Data yang berhasil dihimpun menunjukkan bahwa beberapa atribut etik tampak sekali benilai sangat buruk pada perikanan jenis ini; habitat destruction, illegal fishing, dan law enforcement merupakan beberapa contoh di antaranya. Seberapa besar peran masing-masing atribut pada setiap dimensi akan memberikan arah pada pemilihan opsi yang dapat dipertimbangkan untuk diterapkan untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Berikut ini merupakan tinjauan lebih lanjut terkait dengan signifikansi dari peran masingmasing atribut, yang dikaitkan dengan permasalahan yang spesifik di masing-masing perikanan. Perikanan Andon vs Lokal Dikotomi andon dan lokal dalam perikanan di Selat Sunda merupakan suatu hal yang penting untuk dikaji karena berpotensi memunculkan implikasi yang besar dan luas, baik dalam konteks sosio-ekonomi nelayan, kelestarian
49
sumberdaya, maupun kredibilitas institusi perikanan yang terkait. Keberadaan nelayan andon ini tidak dapat hanya dipandang sebagai sebentuk tekanan yang membebani keseimbangan biologi sumberdaya perairan di wilayah tersebut, melainkan harus pula dilihat sebagai peluang untuk melakukan eksploitasi yang lebih efisien dibanding dengan membiarkan nelayan lokal memonopoli hak atas sumberdaya tersebut. Di sisi lain, nelayan andon tidak dapat diperlakukan sebagai mesin produksi yang ditargetkan untuk mencetak manfaat netto terbesar bagi provinsi-provinsi terkait, melainkan perlu pula diantisipasi dampak negatifnya terhadap sisi sosial, terutama dalam hal pemerataan kesejahteraan antar kelompok nelayan dan shareholder lain yang berkepentingan atas perairan tersebut. Dilihat dari berbagai sisi, termasuk hal-hal sebagaimana tersebut pada alinea di atas, analisis Rapfish yang secara khusus membandingkan perikanan andon dan lokal memberikan hasil seperti dapat dilihat pada tabel yang terdapat pada halaman samping.
Diagram Radar Analisis Rapfish Perikanan Selat Sunda: Andon vs Lokal Ekologi
60 Kebaharian
Ekonomi
30 Purse Seine Andon, Panimbang Mini Purse Seine, Lokal, Lempasing
0
Purse Seine, Andon, Lempasing Etika
Sosial
Teknologi
Keberadaan nelayan andon ini tidak dapat hanya dipandang sebagai sebentuk tekanan yang membebani keseimbangan biologi sumberdaya perairan di wilayah tersebut, melainkan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
harus pula dilihat sebagai peluang untuk melakukan eksploitasi yang lebih efisien dibanding dengan membiarkan nelayan lokal memonopoli hak atas sumberdaya tersebut. Di sisi lain, nelayan andon tidak dapat diperlakukan sebagai mesin produksi yang ditargetkan untuk mencetak manfaat netto terbesar bagi provinsi-provinsi terkait, melainkan perlu pula diantisipasi dampak negatifnya terhadap sisi sosial, terutama dalam hal pemerataan kesejahteraan antar kelompok nelayan dan shareholder lain yang berkepentingan atas perairan tersebut. Dilihat dari berbagai sisi, termasuk hal-hal sebagaimana tersebut pada alenia di atas, analisis Rapfish yang secara khusus membandingkan perikanan andon dan lokal memberikan hasil seperti dapat dilihat di Gambar Diagram Radar pada halaman samping. Dimensi teknologi Dibanding dengan nelayan andon, kinerja Mini Purse Seine yang dioperasikan oleh nelayan lokal di Lempasing, Bandar Lampung, unggul pada dimensi teknologi dan dimensi sosial. Pada Tabel dibawah dapat dilihat bahwa skala dimensi teknologi untuk Mini Purse Seine Lokal adalah 44, lebih tinggi dari skala yang ditunjukkan oleh Purse Seine Andon, baik yang berbasis di Panimbang maupun Lempasing. Sementara itu, untuk dimensi Sosial, Mini Purse Seine Lokal berkinerja lebih baik dibanding dengan Prurse seine andon yang berbasis di lokasi yang sama (Lempasing) dan memiliki ukuran kinerja yang sama dengan Purse Seine Andon yang berbasis
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Etika
Kebaharian
Skala kinerja berbagai dimensi Rapfish: Andon vs Lokal
65 60 59
46 46 46
57 56 51
39 44 40
49 47 47
59 57 57
Dimensi Alat Purse Seine Andon, Panimbang Mini Purse Seine Lokal, Lempasing Purse Seine Andon, Lempasing
di Panimbang. Dari 10 atribut yang dikaji, hasil skoring yang didasarkan atas
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
data yang berhasil dihimpun mengindikasikan bahwa keunggulan kinerja dimensi teknologi perikanan lokal tersebut di atas terkait dengan alat penarik ikan (fish aggregating devicine, FAD), ukuran kapal dan durasi tangkap, dan efektivitas tangkap. Analisis leverage menunjukkan bahwa dalam pembandingan nelayan andon dan lokal, atribut-atribut gear, gear selectivity, FAD, dan on-board handling, merupakan atribut yang paling sensitif di antara atribut yang lain. Interpretasi dari hasil sebagaimana ditunjukkan sebagai berikut: karena (1) FAD merupakan salah satu skor yang membedakan kinerja teknologi antara nelayan andon dan local, dan (2) FAD merupakan atribut yang sensitif, maka hasil tersebut secara diagnostik mengindikasikan bahwa atribut FAD merupakan faktor pembeda yang sangat berpengaruh terhadap tingginya kinerja nelayan lokal relatif terhadap andon. Sementara itu, karena baik gear, selectivity, FAD, maupun onboard handling kesemuanya memiliki skor yang cenderung rendah untuk semua alat dan menunjukkan skala tinggi pada analisis leverage, maka hasil tersebut memberikan indikasi bahwa atribut-atribut tersebut telah menyebabkan rendahnya kinerja kedua jenis perikanan (purse seine andon dan lokal). Implikasi lebih jauh dari hasil ini adalah bahwa analisis kebijakan yang lebih mendalam perlu dilakukan terhadap kondisi dari atribut-atribut tersebut. Berikut ini merupakan tinjauan terhadap hasil observasi lapang yang dihubungkan dengan hasil analisis Rapfish tersebut di atas. Dengan kemampuan permodalan yang rendah, nelayan mini purse seine lokal terbatasi peluang pengembangan armada, ukuran kapal, efektivitas, dan jangkauan wilayah penangkapannya. Panjang rata-rata perahu mini purse seine ini tidak melebihi 10 meter, jauh lebih kecil dibanding dengan kapal purse seine yang dioperasikan oleh nelayan andon. Ditambah dengan alat bantu (fish aggregating device, FAD) yang hanya berupa lampu tekan (petromaks) berjumlah kurang lebih 10 buah, efektivitas usaha nelayan mini purse seine lokal ini sangat tidak sepadan dibanding dengan efektivitas nelayan andon, yang juga mempergunakan lampu 50
Analisis Leverage
berkekuatan hingga ratusan ribu Watt. Rendahnya efektivitas, daya jelajah, dan kesederhanaan alat bantu yang digunakan secara umum sangat menekan kemampuan nelayan mini purse seine lokal untuk melakukan kegiatan eksploitasi sumberdaya di Selat Sunda. Dari sudut pandang keberlanjutan perikanan, keterbatasan kemampuan yang mencirikan perikanan nelayan lokal tersebut justru bersifat positif. Analisis Rapfish menempatkan pengoperasian armada yang eksploitatif sebagai suatu aktivitas yang mempunyai potensi perusakan atau dampak negatif terhadap sumberdaya. Penggunaan lampu, dan jenis FAD lain, secara berlebihan sebagaimana penggunaan raturan ribu Watt lampu penarik ikan pada perikanan purse seine andon 51
jelas termasuk bentuk tindakan yang sangat eksploitatif. Aplikasi cahaya dengan kekuatan yang sangat besar pada penangkapan ikan akan memaksakan konsentrasi ikan pada satu lokasi sehingga besar kemungkinan bahwa secara agregat - Dalam konteks perikanan yang lebih besar (memandang perikanan Selat Sunda secara utuh), kegiatan over-exploitatif di satu lokasi ini akan menyebabkan inefisiensi besar di bagian perairan Sunda yang lain - akan terjadi tingkat penangkapan sub-optimal: penangkapan melebihi batas dimana sumberdaya mampu menanggung. Hal yang lebih memperburuk keadaan adalah bahwa kondisi besarnya efektivitas tersebut di atas berada dalam kecenderungan yang meningkat. Ukuran kapal maupun FAD
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
yang dioperasikan meningkat dari waktu ke waktu. Berdasarkan catatan yang dihimpun di tempat-tempat pendaratan kapal purse seine, panjang rata-rata saat ini meningkat lebih kurang 10-15% dibanding lima tahun sebelumnya. Sementara itu, kapasitas lampu yang digunakan meningkat lebih dari 200%. Sebagai ilustrasi, pada waktuwaktu sebelumnya daya yang dialokasikan untuk menopang pengoperasian lampu penarik ikan hanya merupakan alokasi terbatas dari tenaga mesin penggerak kapal; saat ini, sebagian kapal bahkan menggunakan sebuah mesin penggerak kendaraan darat (truk) hanya untuk menopang kebutuhan listrik untuk lampu penarik ikan. Kecenderungan peningkatan efektivitas tangkap juga terjadi pada perikanan lokal, yang mengoperasikan alat mini purse seine; namun demikian, dalam konteks pembandingan dengan perikanan andon peningkatan tersebut terjadi pada tingkat yang tidak signifikan. Di Lempasing, hasil wawancara dengan nelayan menunjukkan adanya beberapa peningkatan dimaksud. Misalnya, beberapa tahun sebelumnya hanya ada sekitar 3-5 lampu tekan penarik ikan dalam setiap satu perahu, saat ini nelayan menggunakan jumlah 2 s/d 3 kali lipat dibanding waktu-waktu sebelumnya. Lepas dari lebih tinggi atau lebih rendahnya kinerja kelompok perikanan satu dibanding yang lain pada dimensi ini, secara umum hasil analisis menunjukkan bahwa keduanya berada pada kisaran nilai di bawah 50 (berdasarkan skala 0-100). Ini berarti bahwa pada keduanya memerlukan perbaikan yang diarahkan pada peningkatan kinerja dimensi teknologi. Dalam hubungannya dengan perbaikan tersebut, hal-hal yang perlu dijadikan prioritas dapat dilihat pada bagian akhir dari laporan ini, yang perumusannya akan didasarkan pada hasil analisis leverage untuk masing-masing dimensi yang dikaji. Dimensi sosial Pada dimensi sosial, data skoring menunjukkan bahwa keunggulan perikanan lokal dibanding dengan perikanan andon kemungkinan terkait dengan beberapa perbedaan, di antaranya: konflik antar kelompok nelayan, penyertaan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
kerabat dalam usaha, dan pengaruh nelayan dalam penerapan kebijakan. Analisis leverage menunjukkan bahwa dalam pembandingan nelayan andon dan lokal, atribut-atribut conflict status, fisher's influence, dan new entrants into the fishery merupakan atribut yang paling sensitif di antara atribut yang lain. Senada dengan interpretasi yang diberikan pada pembahasan mengenai dimensi teknologi, hasil-hasil analisis Rapfish untuk dimensi sosial dalam konteks pembandingan nelayan purse seine andon dan lokal adalah secagai berikut: Atribut Fishing income dan socialization in fishing menunjukkan skor yang cukup tinggi sehingga berpotensi mengangkat kinerja sosial secara keseluruhan; namun demikian, atribut conflict status dan fisher's influence, yang menunjukkan skala tinggi pada analisis leverage, mempunyai skor yang rendah. Dengan demikian, skor rendah atribut berpengaruh ini cenderung mengalahkan skor tinggi pada atribut fishing income dan socialization in fishing. Hasil dari interaksi antar atribut dengan skor rata-rata yang berbeda tersebut adalah rata-rata nilai dimensi sosial yang tidak terlalu tinggi, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya. Pada dimensi ini, purse seine lokal unggul karena perikanan ini tidak menimbulkan konflik, sedangkan nelayan andon harus menghadapi resistensi, yang merupakan sumber konflik dengan nelayan lain. Seperti telah diungkap pada Bagian sebelumnya dalam laporan ini, keberadaan nelayan andon telah menimbulkan masalah sosial dalam perikanan di Selat Sunda. Di provinsi Banten maupun Lampung, keberadaan kapal-kapal purse seine andon telah menyebabkan persaingan tidak seimbang dalam arena penangkapan ikan pelagis kecil di Selat Sunda. Kesulitan yang dialami oleh nelayan lokal tersebut pada gilirannya menciptakan ketimpangan sosial yang kemudian teraktualisasikan kedalam konflik fisik, sebagaimana kasus pembakaran nelayan andon di Panimbang (Banten) pada tahun 2000 dan 2002, atau demonstrasi penentangan pendaratan hasil tangkapan nelayan andon di Lempasing (Lampung) pada periode yang hampir
52
Gambar samping: Keadaan sosial-ekonomi pedesaan dan kehidupan yang terasa semakin berat bagi sebagian masyarakat, tampaknya tidak mempengaruhi keceriaan anak-anak nelayan di desa Panimbang ini.
bersamaan. Dampak ekonomis dari keberadaan andon di Banten dapat diindikasikan dengan menghilangnya purse seine (mini) lokal dari kompetisi usaha di kawasan tersebut. Dari sisi ini, keberadaan andon menyebabkan turunnya ukuran kinerja sosial karena ukuran pemerataan (dalam hal ini adalah antar pengguna sumberdaya) memburuk. Satu atribut yang mendongkrak kinerja agregat dimensi sosial dari purse seine Panimbang adalah entrants into the fishery. Dengan demikian purse seine Panimbang untuk dimensi ini sama dengan nilai yang diperoleh mini purse seine milik nelayan lokal. Meskipun hanya merupakan satu-satunya keunggulan yang dimiliki oleh purse seine Panimbang, keunggulan tersebut telah cukup berdampak terhadap nilai yang didapat oleh perikanan tersebut karena keunggulan tersebut terjadi pada atribut dengan skala tinggi pada analisis leverage. Observasi lapang menunjukkan bahwa tampaknya resistensi dari nelayan lokal terhadap perkembangan lebih lanjut dari purse seine andon. Dimensi lain Untuk dimensi lainnya, perikanan purse seine yang dioperasikan oleh nelayan andon yang berbasis Panimbang, menunjukkan keunggulan dibandingkan perikanan mini purse seine yang dioperasikan oleh nelayan lokal, maupun dibanding sesama perikanan andon yang berbasis di Lempasing. Dari pengukuran atribut-atribut dimensi ekologi, tercatat atribut-atribut discarded by catch dan exploitation status sebagai yang paling berpotensi menyebabkan perbedaan tersebut. Dalam hal exploitation status, dengan jangkauan operasi yang terbatas, nelayan mini purse seine lokal merasakan bahwa sumberdaya dimana mereka telah tereksploitasi cukup berat; sementara itu, nelayan andon, dengan jangkauan yang lebih luas memiliki peluang yang lebih besar untuk menemukan lokasi penangkapan yang tidak
53
terlalu terkuras. Sementara itu, dari sisi discarded by catch, perbedaan yang ada terjadi sebagai berikut: Pada musimmusim tertentu, di kawasan Selat Sunda terjadi produksi ikan cekong secara sangat berlimpah. Ikan yang juga dikenal dengan ikan krismon tersebut mempunyai harga yang relatif murah dibanding ikan-ikan lain hasil tangkapan purse seine/mini purse seine. Di Lampung (Lempasing), murahnya harga ikan ini tidak sampai menyebabkan pembuangan ikan tersebut ke laut, tetapi di Banten (Panimbang), nelayan sering merasa perlu membuang kembali hasil tangkapan ikan cekong tersebut karena tidak ekonomis untuk membawa ikan tersebut ke darat. Pembuangan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai hal yang dapat dikategorikan untuk skor tertentu berdasarkan kategori Rapfish, namun demikian tidak pula merupakan sesuatu yang dapat diabaikan; untuk itu
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
dalam analisis ini, skor yang diberikan adalah 0.5 (berdasarkan skala 0 - 2.0). Dari analisis leverage, tercatat 3 atribut mendapatkan skala tinggi, yaitu size of fish caught, range collapse, dan discarded by catch. Kedua atribut pertama menunjukkan angka yang sama rendah pada semua ketiga perikanan sedangkan pada atribut discarded by-catch angka rendah terutama ditunjukkan oleh perikanan purse seine Panimbang. Dengan demikian, penyusunan kebijakan-kebijakan kedepan perlu memberikan perhatian yang lebih pada pada atribut-atribut tersebut. Pada dimensi ekonomi ketiga perikanan memperoleh skala
kinerja yang sama, yaitu 46. Analisis leverage menunjukkan bahwa dalam pembandingan nelayan andon dan lokal, atribut-atribut marketable right, other income, dan sector employement, merupakan atribut yang paling sensitif di antara atribut yang lain. Data yang terkumpul dari kegiatan lapang menunjukkan bahwa kecuali untuk perikanan payang di Banten, ketersediaan lapangan pekerjaan alternatif merupakan hal yang menonjol trerkait dengan dimensi ini. Meskipun sebagian nelayan memiliki beberapa jenis ketrampilan yang memungkinkan untuk mereka bekerja di bidang lain, lapangan kerja tersebut relative tidak tersedia,
Gambar bawah: Kehidupan sehari-hari seorang nelayan adalah sebuah kehidupan yang sederhana untuk mencari nafkah dengan mencari ikan. Biasanya mereka berangkat pada malam atau pagi hari dan kembali lagi pada keesokannya. Semua ini dilakukan demi sesuap nasi bagi keluarga dirumah.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
54
Gambar atas: Keadaan TPI di desa Panimbangjaya sehari-harinya tampak dipenuhi oleh pembeli baik yang akan dipakai sendiri ataupun pembeli dalam partai besar untuk kemudian dijual kembali. Beberapa kendaraan pick-up tampak telah siap mengangkut hasil perikanan dari TPI ini.
atau tersedia dalam jumlah yang sangat terbatas. Karena, berdasarkan analisis leverage, atribut ini juga termasuk yang berpengaruh, maka analisis pengkajian lebih mendalam perlu dilakukan terhadap atribut ini. Hal-hal seperti pengembangan
55
industri alternative perikanan (misalnya processing) merupakan hal yang dapat dipertimbangkan. Kebijakan yang diarahkan pada penanganan atribut other income melalui pengembangan industri pengolahan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Dengan garis pantai Pandeglang menghadap Selat Sunda sepanjang 182.80km, maka keadaanTPI desa Panimbangjaya selalu disibukkan oleh celoteh pembeli dan penjual. TPI ini merupakan salah satu TPI kelas B di Kabupaten Pandeglang yang dikelola oleh KUD.
sebagaimana diusulkan di atas, secara simultan dapat pula berdampak positif ganda. Dimensi lain seperti discarded catch pada dimensi lain termasuk salah satunya. Dari pengamatan lapang, ditemukan baha kegiatan tersebut telah dikembangkan di wilayah Kabupaten Lampung Selatan, misalnya industri pengolahan tepung ikan dan penanganan pasca panen rajungan. Peluang untuk mengembangkan industri serupa di wilayah-wilayah lain di kedua provinsi yang berbatasan dengan Selat Sunda tampaknya masih terbuka lebar karena sejauh ini kegiatan pengolahan masih sangat terbatas (Eliza, 2000). Dalam hubungannya dengan andon vs
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
lokal, pengembangan pasca panen tersebut juga berpotensi mengurangi peluang terjadinya konflik antar nelayan; misalnya, apabila nelayan purse seine mini di Lempasing dapat mengolah hasil tangkapannya menjadi produk yang memiliki nilai lebih, dapat diharapkan bahwa resistensi mereka terhadap pendaratan hasil tangkapan purse seine andon dapat berkurang karena target dan pangsa pasar keduanya berbeda. Di antara ketiga perikanan yang dikaji, tidak ada nilai yang menonjol untuk dimensi etika; ketiganya berada pada skala
56
dibawah 50. Keadaan ini disebabkan oleh rendahnya sebagian skor pada atribut-atribut dalam dimensi ini. Analisis leverage menunjukkan bahwa dalam konteks pembandingan nelayan andon dan lokal, just management, illegal fishing, dan discards & wastes merupakan atribut-atribut yang paling sensitif di antara atribut lainnya. Sebagian arah kebijakan yang terkait dengan hal ini telah disinggung pada bagian terdahulu, misal: mengenai pengembangan industri pengolahan. Hal lain yang harus pula diperhatikan adalah mengenai illegal fishing. Pada ketiga jenis perikanan, tidak ada perbedeaan signifikan. Berdasarkan observasi lapang dan konsultasi dengan stakeholders lokal, beberapa peluang perbaikan yang dapat diusahakan di antaranya melalui pendataan kapal secara lebih baik. Saat ini, banyak terjadi, baik untuk kapal purse seine besar milik nelayan andon, purse seine mini milik nelayan lokal, ataupun kapal-kapal perikanan lain yang tidak terdata secara baik. Beberapa kapal ikan yang tidak tercatat dalam penangkapan di wilayah Selat Sunda tetapi melakukan operasi penangkapan di wilayah tersebut, beberapa kapal tecatat memiliki ukuran tertentu tetapi pada kenyataannya memiliki ukuran yang lebih besar. Pada dimensi Kebaharian (catatan; Pengukuran dimensi kebaharian belum pernah dilakukan di negara lain. Namun demikian, berdasarkan hasil beberapa aplikasi Rapfish di berbagai kasus yang dilakukan oleh peneliti PRPPSE, dimensi ini sangat penting karena merupakan akar dari berbagai dimensi lain yang selama ini diterapkan. Penerapan dimensi Kebaharian juga dimaksudkan untuk mengakomodasikan aspek khas Indonesia sebagaimana tertuang dalam statemen misi Departemen Kelautan dan Perikanan.) tidak tercatat adannya perbedaan di antara ketiga perikanan yang dikaji. Hal ini dikarenakan kesamaan subjek dimana atribut yang diuji; dalam hal ini, skor-skor untuk atribut kebaharian lebih banyak tergantung pada hal-hal yang terkait dengan pemerintah dan nelayan dimana basis perikanan tersebut dikaji, tidak pada nelayan atau pengusaha yang bersangkutan. Analisis leverage menunjukkan bahwa dalam pembandingan nelayan andon dan lokal, atribut-atribut appreciation to marine esthetics,
57
satisfaction in maritime jobs, dan appreciation to fisheries products merupakan atribut yang paling sensitif di antara atribut yang lain. Sementara itu, data juga menunjukkan bahwa rata-rata skor untuk berbagai atribut tinggi kecuali appreciation to marine esthetics. Dengan demikian, perlu kebijakan konsisten untuk terus mempertahankan skor tinggi pada sebagian atribut dan perbaikan sebagian lainnya, terutama appreciation to marine esthetics karena ini merupakan atribut dengan skala tinggi menurut analisis leverage. Menyangkut appreciation to marine esthetics, pendekatan kampanye melalui berbagai cara merupakan strategi yang teridentifikasi dalam penelitian ini. Pengkajian yang lebih mendalam perlu dilakukan mengingat bahwa hal ini terkait dengan banyak aspek, termasuk aspek sosekbud. Perikanan Banten Perikanan Selat Sunda perspektif Banten dalam penelitian ini diwakili oleh perikanan purse seine Panimbang, perikanan arad di Karangantu, dan perikanan payang yang berbasis di Pasauran. Satu dari ketiga perikanan ini, yaitu perikanan purse seine andon Panimbang, yang telah disinggung dalam diskusi andon vs lokal pada bagian sebelumnya. Satu hal yang menonjol pada analisis Rapfish perikanan Sunda perspektif Banten ini adalah adanya skala yang sangat rendah pada dimensi etika untuk perikanan arad di Karangantu, Kab Pandeglang. Selain itu dapat juga dilihat bahwa skor atribut illegal fishing untuk perikanan arad adalah 2 (dua), yang merupakan skor terburuk yang dimungkinkan. Skoring buruk ini menyejajarkan perikanan arad dengan trawl, yang memang dinilai sangat buruk untuk atribut ini. Pada kenyataannya, demikianlah adanya; perikanan arad sering sangat sulit untuk menemukan perbedaan antara arad dengan trawl karena meskipun pada awalnya didefinisikan berbeda, praktek arad yang ada di lapangan sering sangat menyerupai apa yang terdapat pada trawl. Sementara itu, dalam analisis andon vs lokal, telah ditunjukkan bahwa analisis leverage pada dimensi ini, atributatribut just management, illegal fishing, dan discards & wastes merupakan atribut-atribut yang paling sensitif di antara atribut
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Alat Purse Seine, Panimbang Arad, Karangantu Payang, Pasauran
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Etika
Kebaharian
65
46
58
39
49
59
67 59
50 57
41 53
39 49
25 50
51 55
Tabel Perbandingan skala kinerja enam dimensi Rapfish: provinsi Banten
yang lain. Dengan demikian, perhatian yang sangat besar harus diberikan pada masalah keberadaan perikanan arad ini. Yang juga menonjol (dan menarik) dari hasil analisis ordinansi rapfish perikanan Banten adalah bahwa meskipun nilai etika (dan pula teknologi) sangat rendah, ternyata dimensi ekologi justru menunjukkan penilaian yang tinggi. Berdasarkan angkaangka pada Tabel diatas, secara ekologis tampak bahwa nilainilai rotasi ordinasi horizontal menunjukkan perikanan jaring arad di Karangantu, Kab. Serang berada pada posisi paling lestari (67%) sementara perikanan payang berada pada posisi
Diagram Radar Analisis Rapfish Perikanan Selat Sunda: Banten Ekologi
60 Kebaharian
Ekonomi
oleh kondisi lingkungan penangkapan yang ada lebih mendukung bagi perikanan tersebut dibandingkan karena teknologi yang digunakan. Gambaran tentang status kelestarian yang terpotret pada tabel tersebut kemungkinan besar lebih mencerminkan ciri khas yang umum terdapat pada alat tangkap yang baru dioperasikan. Keadaan ini serupa dengan hasil analisis yang dilakukan sebelumnya Rapfish di tempat lain seperti Indramayu dan Tuban yang telah memiliki pengalaman mengoperasikan arad, lebih dahulu dari nelayannelayan Selat Sunda. Pada awalnya, pengoperasian alat tersebut di Tuban dan Indramayu memberikan hasil yang baik. Pada saat ini, nelayan Tuban dan Indramayu tidak lagi melanjutkan pengoperasian arad karena setelah kurun waktu tertentu, pengoperasian alat tersebut menjadi tidak ekonomis. Dengan demikian, penggambaran kinerja yang 'baik' pada perikanan arad di Serang memerlukan interpretasi secara hati-hati.
30 Purse Seine Panimbang Arad, Karangantu
0
Payang, Pasauran Etika
Sosial
Teknologi
paling tidak lestari (59%). Sementara nilai rerata tingkat kelestarian ekologis untuk seluruh perikanan adalah 63%. Ada indikasi bahwa tingkat kelestarian dimensi ekologi yang tinggi untuk perikanan jaring arad lebih mungkin disebabkan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Berdasarkan data skoring, tingginya skala kinerja ekologis perikanan arad tampaknya terkait dengan tingginya skor pada atribut migratory range dan discarded by catch pada perikanan ini. Tentang atribut migratory range, wawancara dengan petugas TPI dan para nelayan mennunjukkan bahwa species yang tertangkap oleh alat arad rata-rata tidak berruaya sejauh ikan-ikan yang tertangkap oleh alat lain. Hal ini dalam dimensi Rapfih dipandang sebagai hal yang positif, sehingga mengangkat skala dimensi ekologi secara keseluruhan. Atribut lain yang juga mendongkrak ukuran kinerja dari perikanan arad adalah discarded by catch: secara kebetulan, alat ini relatif lebih sedikit menangkap ikan yang bernilai ekonomis 58
Gambar samping: Peneliti BRKP sedang melakukan penelitian dan pengumpulan contoh daun Mangrove untuk kemudian dibawa ke Jakarta dan dilakukan analisa dan klasifikasi yang lebih mendalam
kelestarian perikanan payang ini dari dimensi ekonomi dibandingkan dengan perikanan lain lebih disebabkan adanya pendapatan keluarga nelayan diluar kegiatan penangkapan, yaitu sebagai penjual jasa angkutan (tukang ojeg) atau penjual barang-barang kerajinan atau buah tangan di daerah wisata Anyer yang berada dekat dengan tempat tinggal para nelayan.
rendah sebagaimana terjadi pada purse seine, sehingga discard pun hampir nihil. Hasil sebagaimana diungkapkan pada dua alinea di atas menunjukkan perlunya pengkajian yang lebih mendalam mengenai perlu tidaknya pelarangan atau pemberian ijin terhadap perikanan arad. Alat ini pernah dilarang, namun saat ini kembali diperbolehkan. Bagaimanapun, analisis Rapfish ini diturunkan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF); dengan demikian, meskipun dari satu sisi arad dipandang sebagai alat yang sangat perlu dilarang pengoperasiannya, sisi lain menunjukkan hasil yang positif. Sebaliknya, meskipun dinyatakan bahwa komposisi spesies yang tertangkap oleh arad tidak memiliki jangkauan ruaya yang jauh, harus dilihat pula apakah spesies yang tertangkap tersebut bukan merupakan spesies dengan konsentrasi yang memusat sehingga keberadaannya di tempat lain tidak terlalu melimpah sehingga hasil dari analisis Rapfish pada dimensi ekologi ini perlu interpretasi tambahan. Pada dimensi ekonomi, tampak bahwa perikanan payang Pasauran Kab. Serang memiliki status kelestarian yang paling baik (56.80%) dibandingkan perikanan lainnya yang berkisar antara 45.85% hingga 52.56%. Relatif tingginya nilai status 59
Untuk perikanan purse seine tampak adanya persamaan nilai status kelestarian dari dimensi ekonomi mencerminkan potensi daerah penangkapan (Selat Sunda) bagi jenis alat tangkap ini. Tidak adanya perbedaan status kelestarian antara nelayan andon dan nelayan lokal (45.85%) memperlihatkan kesempatan untuk mendapatkan sumberdaya perikanan dengan alat tersebut pada saat ini relatif sama. Beberapa hal yang perlu menjadi catatan atas kondisi ini adalah, pertama mulai dikeluarkannya surat keterangan andon bagi para nelayan andon oleh pemerintah setempat (Banten dan Lampung), dengan pertimbangan penertiban administrasi dan peningkatan pendapatan daerah (retribusi). Di sisi lain adanya perijinan ini juga sangat menolong nelayan lokal didalam menghadapi persaingan mendapatkan sumberdaya perikanan mengingat kemampuan nelayan andon lebih besar dan sangat memungkinkan akan menimbulkan ketimpangan dalam kesempatan mendapatkan sumberdaya perikanan di Selat Sunda. Ketimpangan pendapatan inilah yang seringkali merupakan sumber konflik antara nelayan lokal dan nelayan andun yang terjadi pada waktu-waktu sebelumnya. Namun demikian dengan semakin menurunnya jumlah purse seine lokal saat ini (di Panimbang tinggal lebih kurang 8 unit) menunjukkan nelayan lokal saat ini sudah sulit untuk bersaing dengan nelayan andon. Pada dimensi sosial dan teknologi, konsistensi antara hasil analisis dengan alur logika awam terlihat lebih jelas. Logika awam mengatakan bahwa secara sosial perikanan arad akan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
memperoleh nilai Rapfish yang rendah. Hasil analisis Rapfish memberikan konfirmasi terhadap logika awam tersebut: perikanan jaring arad menunjukkan tingkat lestari yang paling rendah. Rendahnya nilai sosial tersebut terutama terkait dengan sifat alat tangkap tersebut, yang cenderung destruktif sehingga seringkali menimbulkan konflik dengan nelayan lain. Demikian pula pada dimensi teknologi: Sifat eksploitatif yang tinggi dari alat tangkap jaring arad tercermin pada nilai kelestarian dimensi teknologinya yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan alat tangkap lain (kecuali dengan purse seine panimbang). Sebagai catatan, rendahnya nilai purse seine panimbang dikarenakan daya jelajahnya yang tinggi (bisa
melaut hingga 10 hari). Tentang dimensi kebaharian, hasil yang diperoleh dari analisis perikanan Banten di Selat Sunda adalah sebagai berikut: Kinerja kebaharian menunjukkan nilai yang cukup tinggi, berkisar dari sedang (50.69% - jaring arad) hingga cukup baik (65.53% - bagan). Hasil ini dapat dijadikan penumbuhan optimisme baru, yang dapat mengkompensasi hasil-hasil kurang baik yang terdapat pada sebagian dimensi lain. Masih tingginya minat nelayan untuk tetap berusaha di bidang perikanan/kelautan, yang diperoleh pada analisis Rapfish, tercermin dari cara mereka memodifikasi alat tangkapnya
Gambar bawah: Nelayan sedang memasang jaring pukat
Gambar atas: Sekelompok bagan (tipe tancap) tradisional milik nelayan yang hanya ditempatkan pada perairan dangkal tepi pantai. Bagan juga menunjukkan keunggulan pada dimensi ekonomi karena skala ordinansi 53 yang diperoleh lebih tinggi dari perikanan purse seine andon dan purse seine lokal
61
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Alat
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Etika
Kebaharian
60
48
56
44
47
57
59 70
48 53
52 53
40 52
47 47
57 66
Mini Purse Seine, Lempasing Purse Seine, Lempasing Bagan, Tarahan
Tabel Perbandingan skala kinerja enam dimensi Rapfish: provinsi Lampung
(mencoba untuk beralih ke bagan motor) dalam rangka mempertahankan usahanya. Dalam konteks dimensi ini, salah satu koreksi yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan interpretasi terhadap hasil ini adalah bahwa anak-anak nelayan pada umumnya tidak menunjukkan minat yang tinggi untuk tidak melanjutkan usaha orang tuanya. Perikanan Lampung Hal yang menonjol dari perikanan Selat Sunda berdasarkan dari sudut pandang provinsi Lampung adalah bahwa perikanan bagan menunjukkan kinerja yang lebih baik hampir di setiap dimensi dibanding jenis perikanan Lampung. Kedua jenis perikanan lain, yaitu mini purse seine (lokal) dan purse seine besar (andon) telah didiskusikan, untuk itu bahasan pada bagian ini difokuskan pada perikanan bagan ini.
Diagram Radar Analisis Rapfish Perikanan Selat Sunda: Lampung Ekologi
60 Kebaharian
Ekonomi
30 Mini Purse Seine Lempasing Purse Seine, Lempasing
0
Bagan, Tarahan Etika
Sosial
Teknologi
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Di antara dimensi yang menonjol tersebut adalah dimensi ekologi, yang ditunjukkan oleh skala = 70 pada tabel diatas. Data skoring dan hasil analisis leverage mengindikasikan bahwa tingginya skala kinerja dimensi ekologi pada perikanan bagan terutama terkait dengan skor tinggi yang diperoleh perikanan ini pada atribut range collapse. Meskipun menurut data skoring, terdapat beberapa atribut ekologi perikanan bagan dengan nilai lebih tinggi dibanding perikanan Lampung lainnya, hanya range collapse yang berinterseksi dengan hasil analisis leverage. migratory range, range collapse, catch before maturity, dan species caught. Observasi lapang dalam penelitian ini mencatat bahwa kemungkinan besar hal tersebut berhubungan dengan pasivitas alat dan jangkauan ruaya ikan yang ditangkap oleh alat tersebut. Beberapa hal yang teridentifikasi pada observasi lapang pada alat ini adalah di antaranya: (1) Jenis bagan yang terdapat di Tarahan sebagian besar merupakan bagan tancap, yang bersifat tidak aktif dan dioperasikan di perairan tidak jauh dari garis pantai, (2) Jenis ikan utama yang tertangkap adalah teri, (3) Kompetisi dengan perikanan jenis lain tidak terlalu signifikan meskipun kompetisi antar alat sejenis tidak dapat diabaikan. Hal-hal tersebut sejauh ini telah cukup mampu menjamin kestabilan perikanan tersebut, sehingga relatif jauh dari terjadinya penurunan stok pada cakupan geografis yang luas (range collapse). Perikanan bagan juga menunjukkan keunggulan pada dimensi ekonomi. Skala ordinansi 53 yang diperolehnya lebih tinggi dari perikanan purse seine andon dan purse seine lokal.
62
Gambar atas: Peneliti dari BRKP sedang mendapatkan keterangan dari petugas TPI desa Panimbang Kabupaten Pandeglang
Keunggulan ini terutama ditopang oleh adanya pekerjaan alternatif bagi sebagian besar nelayan. Tarahan, dimana nelayan bagan berdomisili, terletak tepat di sisi jalur Trans Sumatera yang sangat sibuk. Dampak dari posisi sedemikian itu adalah bahwa pergerakan ekonomi di wilayah tersebut cukup baik; kegiatan-kegiatan usaha di luar perikanan seperti pelayanan jasa transportasi, perdagangan hasil bumi, dan perkebunan/pertanian cukup mampu mengurangi tekanan bagi sumberdaya perikanan. Keunggulan ini setara dengan kelebihan yang dimiliki oleh perikanan payan di wilayah Banten, sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya.
63
Nilai tinggi perikanan bagan pada dimensi ekologi dan ekonomi pada perikanan bagan sebagaimana diuraikan di atas konsisten dengan hasil yang ada untuk dimensi teknologi. Sementara perikanan purse seine di bawah 50, perikanan bagan dengan nilai 52. Selain itu juga terlihat bahwa dimensi teknologi, perikanan bagan mendapatkan skor rendah pada atribut on-board handling dan tinggi pada atribut-atribut trip length, gear, gear selectivity, FAD, vessel size, dan catching power. Jika dibandingkan dengan hasil analisis leverage, ada peluang bahwa kinerja agregat dimensi teknologi perikanan bagan ini menjadi rendah. Namun demikian, ternyata tingginya skor pada atribut-atribut gear dan gear selectivity
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
memberikan pengaruh yang lebih besar pada tampilan akhir kinerja tenologi perikanan bagan. Untuk dimensi etika, skala Rapfish yang ditunjukkan ketiga perikanan yang mewakili merepresentasikan Lampung tidak berbeda. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan perbedaan yang menonjol pada masing-masing atribut-atribut yang dikaji. Sisi positif maupun negatif pada masing-masing atribut pada ketiga perikanan tersebut dapat dikatakan berimbang. Untuk itu, hal yang lebih memerlukan perhatian menyangkut dimensi ini adalah bahwa untuk ketiganya, skala yang ditunjukkan untuk kinerja etik adalah dibawah standar, yaitu masing-masing 47. Dalam hal ini, atribut-atribut yang berpeluang untuk diperbaiki adalah di antaranya menyangkut konflik peraturan dan ketergantungan pada perikanan. Sejauh ini, peraturan yang diberlakukan pada perikanan-perikanan tersebut sering berbenturan, atau setidaknya cenderung rancu. Misalnya, peraturan menyangkut nelayan andon: beberapa kebijakan yang diberlakukan sering tidak konsisten, apakah nelayan andon diperbolehkan atau dibatasi. Sementara itu, pada perikanan bagan, terdapat ketidakjelasan apakah nelayan
bagan, ada ketidakjelasan pada peraturan mengenai batasbatas penempatan bagan. Dalam hal ketergantungan, adalah suatu kenyataan bahwa terutama untuk perikanan purse seine, ketergantungan terhadap perikanan sedemikian tinggi. Perbaikan pada hal-hal tersebut akan meningkatkan kinerja dimensi etik secara keseluruhan untuk perikanan Lampung di Selat Sunda.
Resume Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidrooseanografi, ecopath dan rapfish maka dapat diresume sebagai berikut : 1)
Pola arus pasang surut di Selat Sunda dengan titik referensi untuk waktu cuplik adalah Stasiun Ketapang bervariasi sebagai berikut
·
Saat pasut purnama, terjadi dominasi arus yang berasal dari Selat Sunda masuk ke Laut Jawa dengan kecepatan rata-rata sangat besar dengan maksimum sekitar 1,54 m/detik di daerah Bakauhuni, kecuali pada saat air surut terendah terjadi arus yang
Gambar bawah: Suasana perkampungan nelayan di desa Panimbang dengan berbagai macam perahu yang sedang ditambatkan.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
64
sebaliknya, yaitu dari Laut Jawa menuju Selat Sunda (kecepatan juga besar, maksimum sekitar 1,16 m/detik). Saat pasut perbani, terjadi arus bolak-balik dari dan ke Selat Sunda. Pada waktu air pasang tinggi hingga air menuju surut arus menuju Laut Jawa dari Selat Sunda dengan kecepatan yang cukup besar (maksimum 1.05 m/detik). Fenomena sebaliknya terjadi pada waktu air surut rendah hingga air menuju pasang, yaitu arus bergerak lemah menuju Selat Sunda dari Laut Jawa. 2)
Pola elevasi pasang surut di Selat Sunda dengan titik referensi untuk waktu cuplik adalah Stasiun Ketapang bervariasi sebagai berikut
3)
Ekosistem Selat Sunda terdiri dari lebih empat trophic level, dengan kelompok Shark (Hiu) berada di level predator teratas dengan nilai trophic level tinggi yaitu 4.2 dan nilai production/consumtion yang rendah 0.011. Untuk trophic level rendah ada 10 kelompok fungsional yaitu Fitoplankton, Lamun, Mangrove, Terumbu karang, Zooplankton, LBS, Udang & Kepiting, Molluska, Cumi-cumi dan Detritus dan 2 kelompok untuk intermediete trophic level yaitu pelagis kecil, pelagis sedang, serta 3 kelompok untuk trophic level tinggi (>3.5) yaitu Ikan Hiu, Ikan Demersal dan Burung Laut.
4)
Jumlah kelompok fungsional yang banyak dalam tingkatan trophic level, seperti tingkatan trophic level ke-2 sampai ke-4 menunjukkan tingkat kompetisi yang tinggi dalam memperoleh makanan pada ekosistem tersebut. Sehingga dampak dari adanya kegiatan perikanan tangkap harus diperhitungkan dalam pengelolaan ekosistem Selat Sunda. Karena, jika kegiatan perikanan tangkap di Selat Sunda menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka akibatnya sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut akan terancam keberlanjutannya.
5)
Bagi kedua provinsi yang membatasinya, Selat Sunda
Saat purnama, terjadi dominasi elevasi yang lebih tinggi di Selat Sunda daripada di Laut Jawa, kecuali pada saat air surut rendah terjadi elevasi yang lebih tinggi di Laut Jawa daripada di Selat Sunda. Saat perbani, terjadi perubahan elevasi, yaitu pada waktu air pasang tinggi hingga air menuju surut elevasi lebih tinggi di Selat Sunda daripada Laut Jawa. Fenomena sebaliknya terjadi pada waktu air surut rendah hingga air menuju pasang, yaitu elevasi lebih tinggi di Laut Jawa.
65
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
merupakan bagian penting dari wilayah perikanan yang menjadi kewenangannya. Namun demikian, pengembagan perikanan di kedua provinsi terhadang oleh berbagai permasalahan. Di antara permasalahan yang menonjol adalah yang terkait dengan adanya ketimpangan antara nelayan lokal dan pendatang, dimana baik nelayan Banten maupun Lampung pada umumnya tidak cukup mampu bersaing dengan nelayan pendatang. Karenanya, terjadi friksi di antara kepentingan perikanan lokal dan nelayan pendatang, yang berakibat pada praktek perikanan yang tidak efisien, misalnya yang terkait dengan segmentasi wilayah pemasaran dan penangkapan. 6)
7)
Hasil analisis Rapfish menunjukkan bahwa ada peluang-peluang untuk menjaga kelestarian ekologis karena sebagian besar alat yang dioperasikan dalam penangkapan ikan di Selat Sunda dapat diklasifikasikan berkinerja 'sedang' menurut kriteria Rapfish. Tingkat perusakan alat-alat tersebut pada umumnya masih dalam batas tidak terlalu membahayakan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa saat ini berkembang penggunaan alat yang cukup destruktif, misalnya arad. Diharapkan bahwa perkembangan alat ini tidak akan berlanjut, karena berdasarkan pengalaman di tempat lain, pengoperasian arad hanya menguntungkan pada saat awal operasinya.
baik. Gejala yang dalam sudut pandang Rapfish dikategorikan mengarah pada adanya konflik regulasi ini menurunkan kinerja perikanan di beberapa dimensi, sehingga memungkinkan terjadinya pengelollan yang tidak baik pada perikanan di Selat Sunda. 8)
Berbagai hal yang dalam penelitian ini diidentifikasi sebagai peluang untuk perbaikan adalah di antaranya: (i) mempertimbangkan kembali keberadaan alat yang destruktif, misalnya arad, (ii) pemberdayaan nelayan lokal, (iii) dan pembatasan investasi yang menjurus pada inefisiensi dan overeksploitasi, misalnya mengatur penggunaan FAD, dan (iv) sinkronisasi kebijakan, termasuk kebijakan perijinan antara pengelola pelabuhan dan dinas perikanan.
9)
Kebijakan-kebijakan tersebut sebaiknaya mempertimbangkan faktor-faktor yang tercakup pada dimensi kebaharian, karena berdasarkan hasil penelitian ini dimensi tersebut menunjukkan hasil yang positif.
Berbagai kebijakan telah diterapkan, baik oleh Pemerintah provinsi Lampung maupun Pemerintah provinsi Banten. Namun demikian, penelitian ini menemukan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut sering tidak terlaksana dengan baik karena berbagai kendala. Salah satu kendala tersebut adalah yang terkait dengan desentralisasi, dimana koordinasi antar dinas perikanan kabupaten dan antara dinas kabupaten dengan provinsi tidak dapat terjalin secara
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
66
Teluk Tomini
T
eluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia dengan luas sekitar 59.500 km². Teluk ini pada bagian Timur berbatasan dengan Laut Maluku dan pada bagian Timur Laut berbatasan dengan Laut Sulawesi. Dalam kawasan teluk ini terhampar pulau-pulau yang dikenal sebagai gugusan Pulau Togean, merupakan rumpun pulau besar dan kecil sebanyak 56 (lima puluh enam) pulau dengan luas total 755,4 km². Koordinat Kepulauan Togean terletak pada 0°8'21" - 0°45'12" Lintang Selatan dan 121°33'21" - 122°23'36" Bujur Timur. Teluk Tomini merupakan perairan yang relatif subur dan memiliki sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan, seperti ikan tuna (Thunnus spp.), ikan cakalang (Katsuwonus pelamis), ikan-ikan pelagis kecil, ikan karang, dan ikan demersal. Teluk tersebut terbentang antara Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo dan Provinsi Sulawesi Tengah.
Hidro-oseanografi Temperatur Temperatur rata-rata permukaan laut perairan Teluk Tomini sepanjang tahun-nya secara umum mempunyai kisaran 27° 30°C (BRKP, 2003). Sedangkan hasil simulasi model hidrodinamika 3 dimensi Ningsih, dkk., (2003) memperlihatkan sebaran perubahan temperatur permukaan laut di perairan Teluk Tomini pada bulan Agustus (musim timur) berkisar lebih dari 1°C hingga 3°C. Perubahan temperatur permukaan laut yang besar merupakan indikasi terjadinya fenomena upwelling. Fenomena upwelling adalah gerakan massa air secara vertikal dari lapisan dalam (50 – 200 meter) ke permukaan laut akibat adanya divergensi (kekosongan massa) di permukaan. Daerah upwelling merupakan daerah yang subur karena gerakan massa air dari lapisan dalam banyak membawa zatzat hara yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton yang pada gilirannya merupakan makanan zooplankton, yang berpotensi habitat bagi populasi ikan.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
68
Gambar atas: Pemrograman CTD (Conductivity, Temperature and Depth) tipe portable oleh bagian instrumen Pusris Wilnon BRKP. Disaksikan penduduk lokal dan beberapa mahasiswa Universitas Hang Tuah Surabaya yang sedang melakukan kerja praktek lapangan.
Menurut Ningsih, dkk., (2003) memperlihatkan bahwa intensitas daerah upwelling yang ditandai dengan perubahan temperatur yang membesar, terjadi di perairan sekitar Teluk Tomini, Kepulauan Togian, serta di perairan utara dan selatan Gorontalo, intensitasnya semakin menguat. Di beberapa daerah lain juga terjadi perubahan temperatur yang membesar atau upwelling, di antaranya adalah di sepanjang pantai Manado dan Bitung dengan intensitasnya yang cukup kuat.
IASSHA (2002) pada beberapa titik stasiun di sekitar perairan Pulau Una (Gugusan Kep. Togean) diketahui bahwa nilai salinitas dari permukaan (± 33,34 psu) meningkat hingga kedalaman 100 meter (± 34,60 psu), kemudian sedikit menurun hingga kedalaman 250 meter (± 34,54 psu). Nilai salinitas terlihat cenderung konstan (± 34,54 psu) dari kedalaman 250 meter hingga 800 meter. Kondisi salinitas ini cukup mendukung untuk dikembangkannya kegiatan budidaya perikanan di kawasan teluk.
Salinitas Salinitas rata-rata permukaan laut perairan Teluk Tomini sepanjang tahun-nya secara umum mempunyai kisaran 32 – 34 psu (BRKP, 2002). Dimana nilai salinitas di perairan sekitar mulut teluk lebih tinggi daripada perairan bagian dalam teluk. Sedangkan berdasarkan pengukuran in situ vertikal oleh
Gelombang Berdasarkan hasil analisis ketinggian gelombang laut dari data TOPEX/ERS-2 tahun 2002, gelombang di perairan Teluk Tomini secara umum tingginya berkisar 1 – 2 meter (BRKP, 2002). Dimana selama Musim Barat (Desember-Februari), Musim Peralihan Barat ke Timur (Maret-Mei), dan Musim
69
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Elevasi
Batas Terbuka Timur
Air Pasang Tertinggi
+250 cm
Air Surut Terendah
-264 cm
Tunggang Maksimum
514 cm
Tabel Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan Tunggang Maksimum Tahun 2003
Peralihan Timur ke Barat (September-November), tinggi gelombang maksimum sekitar 1,5 meter. Sedangkan tinggi gelombang maksimum pada Musim Timur (Juni-Agustus) adalah sekitar 2 meter.
dalamnya. Pola Arus Pasut Perbani Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air surut memperlihatkan bahwa secara umum arus bergerak lemah (maksimum 0.07 m/det) masuk dari arah Laut Maluku menuju perairan dalam teluk. Elevasi minimum terjadi di sekitar Kepulauan Togean (0.886 m) dan elevasi maksimum (0.898 m) tersebar di sebelah timur dari perairan
Kondisi tinggi gelombang ekstrim atau lebih tinggi dari tinggi gelombang rata-rata terjadi pada beberapa hari, yaitu: akhir bulan Maret (2 – 5,5 meter), awal bulan Juni (2 – 3 meter), awal bulan Agustus (1 – 3 meter), awal September (2 – 6 meter), awal Oktober (2 – 3 meter). Pasang Surut Hasil pengamatan prediksi pasang surut menggunakan Oritide – Global Tide Model untuk bulan Oktober 2003 diperoleh bahwa tipe pasut di perairan Teluk Tomini adalah campuran cenderung harian ganda (Mixed Tide Prevailing Semi Diurnal). Prediksi tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Oktober 2003 tinggi rata-rata air pasang tertinggi adalah +250 cm, air surut terendah -264 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 514 cm. Hidrodinamika Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa arus yang memasuki Teluk Tomini berasal dari Laut Maluku yang terletak di sebelah Timur perairan Teluk Tomini. Hasil simulasi menunjukkan bahwa arus bergerak keluar masuk Teluk Tomini sesuai dengan pola pasang surut yang ada. Pergerakan masa air di sekitar Kepulauan Togean nampak lebih dinamis dan mencapai maksimumnya. Hal ini terjadi karena perairan di Kepulauan Togean memiliki batimetri yang jauh lebih dangkal dibandingkan daerah sekitarnya dan terdapat banyak celah sempit di antara pulau-pulau kecil di
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Elevasi Muka Laut 14 Hari di Batas Terbuka Area Model Teluk Tomini Bagian Timur
teluk (mulut Teluk tomini). Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara umum arus dari arah Laut Maluku bergerak menguat memasuki perairan teluk, sebagian arus datang ini yang bergerak di sebelah utara perairan teluk bergabung dengan arus balik di Selatan perairan teluk yang mengarah keluar teluk dan memasuki perairan Kepulauan Togean. Perairan Kepulauan Togean menjadi daerah pertemuan arus yang berasal dari arah Timur, Utara, dan Barat Kepulauan Togean. Hal ini terjadi diperkirakan akibat elevasi di daerah ini (2.051 m) lebih rendah dari pada daerah sekitarnya (2.089 m). 70
Kecepatan arus mencapai maksimum 0.3 m/det di perairan Kepulauan Togean, tepatnya di Selat Wadea diamana arus bergerak dari arah Timur. Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum kekuatan arus melemah hampir di seluruh perairan teluk dengan kecepatan maksimum mencapai 0.05 m/det di sekitar perairan Kepulauan Togean. Sementara itu, elevasi mencapai maksimum (2.397 m) di utara dan selatan perairan Kepulauan Togean, tepatnya di sekitar Tanjung Batuhitam. Secara umum elevasi perairan di sebalah barat perairan teluk lebih tinggi di banding elevasi perairan sebelah timur (mulut teluk) dimana di sini elevasi mencapai nilai minimum (2.391 m). Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan elevasi di
perairan Kepulauan Togean lebih tinggi daripada daerah sekitarnya sehingga arus bergerak keluar ke segala arah dan bergabung dengan arus dari perairan di sekitarnya yang lebih lemah dan bergerak keluar perairan teluk. Elevasi maksimum mencapai 1.144 m di sekitar Tanjung Api dan minimum mencapai 1.134 m di sekitar Tanjung Panjang. Sementara itu, Kecepatan arus maksimum mencapai 0.3 m/det di Selat Wadea. Pola Arus Pasut Kondisi Purnama Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air surut memperlihatkan pola pergerakan arus dan elevasi yang mirip saat surut pada kondisi pasut perbani. Elevasi maksimum mencapai 0.282 m di perairan sebelah barat teluk (mulut teluk), dan elevasi minimum mencapai
Batimetri Teluk Tomini
71
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
0.268 m di perairan utara Pulau Walaebahip. Sementara itu, kecepatan arus maksimum mencapai 0.05 m/det di utara Tanjung Api dan Selat Wadea. Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara umum arus dari arah Laut Maluku bergerak memasuki perairan teluk, sebagian arus datang ini yang bergerak di sebelah utara perairan teluk bergabung dengan arus di Selatan perairan teluk yang mengarah keluar teluk dan memasuki perairan Kepulauan Togean. Perairan Kepulauan Togean menjadi daerah pertemuan arus yang berasal dari arah Timur, Utara, dan Barat Kepulauan Togean. Hal ini terjadi diperkirakan akibat elevasi di daerah ini (2.010 m) lebih rendah dari pada daerah sekitarnya (2.016 m). Kecepatan arus mencapai maksimum 0.35 m/det di perairan Kepulauan Togean, tepatnya di Selat Wadea dimana arus bergerak dari arah Timurlaut. Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum
Gambar bawah: Tuna adalah salah satu potensi perikanan Teluk Tomini yang menggiurkan dengan hasil 106.000 ton per tahun, disamping ikan pelagis kecil menghasilkan sebanyak 379.440 ton/tahun dan ikan demersal (83.840 ton/tahun).
kekuatan arus melemah hampir di seluruh perairan teluk dengan kecepatan maksimum mencapai 0.1 m/det di sekitar perairan Kepulauan Togean. Secara umum elevasi perairan di sebalah barat perairan teluk lebih tinggi di banding elevasi perairan sebelah timur (mulut teluk) dimana di sini elevasi mencapai nilai minimum (2.391 m). Perairan Kepulaun Togean memperlihatkan karakteristik perairan yang variatif, elevasi maksimum dan minimum perairan Teluk tomini terjadi di sini. Elevasi maksimum mencapai 2.73 m di Utara Pulau Togian dan elevasi minimum mencapai 2.72 m di perairan Pulau Batudaka. Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan pergerakan arus yang lemah di perairan mulut teluk dan bagian ujung barat perairan teluk. Perbedaan elevasi yang cukup signifikan terjadi antara perairan Kepulauan Togean (1.246 m) dan daerah sekitarnya (1.236 m). Hal ini menyebabkan arus bergerak dari perairan ini ke segala arah dan terus mendorong massa air sekitarnya ke luar perairan teluk. Kecepatan arus mencapai maksimum 0.3 m/det di perairan Kepulauan Togean, tepatnya di Selat Wadea dimana arus bergerak ke arah Timurlaut.
Ekosistem Pada tahap awal ini, model yang dihasilkan masih berbentuk struktur utama (kerangka model) yang akan disimulasikan untuk pencarian opsi kebijakan dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama, dari pembagian kelompok fungsional, terlihat pada tabel di halaman belakang bahwa beberapa kepentingan utama rencana pengembangan Teluk Tomini telah terkandung di dalam model EwE. Aspek Perikanan tangkap, khususnya untuk jenis-jenis Cakalang dan Tuna Ekor Kuning, yang merupakan komoditi utama Teluk Tomini, sudah dimasukkan dalam kelompok fungsional. Dari perhitungan sementara dapat dihitung biomassa ikan Cakalang dan Tuna di perairan Teluk Tomini sebesar 0.252 ton·km-2. Aspek lain dari kedua species komersial ini adalah ditengarai
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
72
a
b
c
d
Gambar Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Tomini saat kondisi perbani pada: (A) Surut, (B) Menjelang Pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang Surut
a
b
c
d
Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Teluk Tomini saat kondisi purnama pada: (A) Surut, (B) Menjelang Pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang Surut
73
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Tabel Komponen Kelompok Ekosistem Teluk Tomini
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
21
22 23 24
Ekosistem Teluk Tomini : Model Framework Kelompok Fungsional Komponen Kelompok Detritus Phytoplankton Lamun Budidaya Seaweed Euchema spinosum Seaweed alami Euchema spinosum, Gracillaria spp. Herbivorous Zooplankton Sergestidae, Mysids Carnivorous Zooplankton Chaetonagtha, salps Terumbu Karang Hard corals Sponges dan hewan lunak Sponges, soft corals, sea fans, gorgonians, etc. Ubur-ubur Teripang Sea cucumbers Hewan benthic epifauna lainnya Sea stars, sea urchins, crown-of-thorns, abalones? (Haliotis spp.) Benthic infauna Molluscs (i.e., bivalves, gastropods, etc.) Crustaceans Crabs (Scylla serrata), lobsters Udang Penaeus monodon, Cumi-cumi dan Gurita Loligo spp., Sepia spp. and Octopus spp. Tiram Mutiara Pinctada maxima? P. margaritifera Cakalang (Anakan & Dewasa) Katsuwonus pelamis Yellowfin Tuna (Anakan & Dewasa) Thunus albacares T. obesus (bigeye), T. alalunga (albacore), Makair a nigricans, Istiophorus orientalis, Tetrapturus audax, Makaira indica, Acanthocybium solandri Pelagis besar lainnya (> 90 cm) (wahoo), Gymnosarda unicolor, Grammatorcynus bilineatus, Elagatis bipinnulata (Sunglir), Euthynus affinis (Eastern Little Tuna) , Caranx spp. (Jack trevallies), Formio niger (black pomfret), Scomberomorus commersoni (tenggiri), Medium pelagics (30 - 90 cm) Trichiurus spp. (layur), Cypselurus spp. (flyingfish), Auxis thazard (Frigate Tuna) Rastrelliger kanagurta (kembung), Decapterus sp. (layang), Sardinella spp. (sardines), Sardinella fimbriata (fringescale sardines), Engraulis spp. Small pelagics (< 30 cm) (anchovies), Stolephorus spp. (anchovies), Selaroides spp. (Trevallies), Hemirhampus spp., Hiu Carcharhinus limbatus, Nebrius ferrugineus, Pari Dasyatis kuhlii, Taeniura lymma, Trigonidae
25 Sml. Demersal RA (< 30 cm)
26 Sml. Demersal NRA (< 30 cm) 27 Med. Demersal RA (30-90 cm) 28 Med. Demersal NRA (30-90 cm) 29 Large Demersal RA (> 90 cm)
Cardinal fish (Apogonidae), Squirelfish (Holocentridae), False Reef eels (Chlopsidae), Dottybacks (Pseudochromidae), Pufferfish (Tetraodontidae), Porcupine fish (Diodontidae), Fusiliers (Caesionidae), Butterfly fish (Chaetodontidae), Damselfish (Pomacentridae), Wrasses (Labridae), Parrotfish (Scaridae), Gobies (Gobiidae), Polynemus spp., Mugil spp., Siganidae (Rabbitfish), Threadfin & Coral Breams (Nemipteridae), Ponyfish (Leiognathidae), Surgeonfish (Acanthuridae), Emperors (Lethrinidae), Goatfish (Mullidae), Angelfish (Pomacanthidae), Wrasses (Labridae), Sea catfish (Ariidae) Moray eels, groupers (Serranidae), snappers (Lutjanidae), Humphead Wrasses (Cheilinus undulatus), Sphyraenidae (Barracudas),
30 Large Demersal NRA (> 90 cm) 31 Penyu
Green turtle (Chelonia mydas) and Leatherback turtle (Dermochelys coriaceae)
32 Ikan Paus Baleen 33 Ikan Paus bergigi (Toothed) 34 Burung laut
Haliaetus leucogaster (White Bellied Sea Eagle)
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
74
75
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
T r o p h i c L ev el 1
2
3
4
5
Phytoplankton
Zooplankton
Cumi -cumi
Cakalang
Small Demersal RA
Rumput Laut
Detritus
Ubur-ubur
Teripang
Small Pelagics
Large Pelagics
Med. Demersal RA
Terumbu Karang
Spons
Small Demersal NRA
Lrg Demersal RA
Diagram skematik kelompok fungsional penyusun ekosistem Teluk Tomini
Lamun
Crustacea
Tiram Mutiara
Yellowfin Tuna
Penyu Laut
Burung Laut
Paus dan Lumba-lumba
Benthic Epifauna
Med. Demersal NRA
Hiu dan Pari
bahwa keberadaan jenis-jenis ini di perairan Teluk Tomini masih dalam stadium pre-adult atau anakan besar. Dengan demikian hal itu menujukkan bahwa perairan Teluk Tomini adalah tempat pembesaran (nursery ground) bagi ikan-ikan Tuna yang bermigrasi dari Samudra Pasifik atau Laut Seram. Hal lain yang berkaitan dengan aspek penangkapan adalah manajemen sumberdaya ikan. Diketahui bahwa pada dasarnya jumlah stok ikan pelagis besar seperti Tuna dan Marlin sudah menurun secara drastis (Myers dan Worm, 2002, Pauly, et. al. 2001, Wagey, 2003). Artinya, dengan rencana pemanfaatan sumberdaya ikan di daerah ini, perlu dipikirkan aspek pengelolaan yang menjamin kelangsungan kegiatan ini untuk jangka panjang. Salah satu yang diusulkan adalah dengan adanya pembatasan ijin penangkapan dan penutupan areal penagkapan yang didedikasikan sepenuhnya untuk konservasi stok. Opsi-opsi demikian akan terlihat pada simulasi model ekosistem dengan meggunakan model Ecosim (Walters, et. Al., 1997). Dengan biomassa cukup besar yang terkandung didalam perairan Teluk Tomini, tentunya bahan makanan yang besar pula untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Kedua, aspek perikanan budidaya, juga demikian dengan memasukkan aktifitas budidaya rumput laut dan kerang mutiara. Diperkirakan alur biomassa dalam jumlah kandungan karbon yang masuk dan keluar dapat diprediksi melalui jumlah produksi rumput laut secara total dari daerah ini. Aspek lainnya yang selayaknya mendapat perhatian adalah keberadaan ekosistem terumbu karang di kepulauan Togian. Menurut Anonymous (2003) kondisi terumbu karang di daerah Kep. Togian masih tergolong baik. Selanjutnya, Allen dan Adrim (2003) menyebutkan ada sedikitnya spesies ikan karang yang endemik di daerah ini. Hal ini menunjukkan bahwa dengan kondisi perairan dan terumbu karang yang masih baik, kepulauan Togian harus mendapatkan perhatian untuk menjamin kelestarian dari keragaman hayati ekosistem terumbu karang. Dapat diusulkan untuk kemudian daerah ini menjadi salah satu DPL (Daerah Perlindungan Laut). Untuk itu
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
perlu menjaga daerah ini dari kegiatan penangkapan yang berlebihan dan terutama dari aktifitas penangkapan ikan yang menggunakan bahan peledak atau racun. Dampak utama dari kerusakan terumbu karang adalah hilangnya koleksi alami yang berasal dari ribuan tahun, dan hilangnya sumber devisa pemerintah setempat melalui kegiatan pariwisata.
Analisis Rapfish Perikanan Teluk Tomini Pendahuluan Dilihat dari sudut pandang posisi geografisnya, provinsiprovinsi di sekitar Teluk Tomini, yaitu Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara, sangat berpeluang untuk mengembangkan ekonomi melalui pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Perairanperairan yang melingkungi provinsi-provinsi ini, yaitu Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Teluk Tomini, Teluk Tolo merupakan wilayah perairan dengan cakupan areal yang cukup luas, dengan sumberdaya yang terbilang sangat subur. Teluk Tomini menarik perhatian banyak pihak karena selain kesuburannya juga karena tingkat pemanfaatannya yang masih rendah, sehingga membuka peluang bagi ketiga provinsi yang berbatasan dengannya untuk membangun basis perekonomian di perairan tersebut. Potensi sumberdaya perikanan di Teluk Tomini adalah sebagai berikut: pelagis besar (tuna, cakalang, dan sebagainya) 106.000 ton/tahun, pelagis kecil 379.440 ton/tahun, dan demersal 83.840 ton/tahun, lain-lain 17.970 ton/tahun. Apabila dijumlahkan, potensi berbagai sumberdaya perikanan yang terkandung oleh perairan Teluk Tomini mencapai 587.220 ton/tahun. Dari sisi pemanfaatan, laporan-laporan yang ada menyatakan bahwa pada umumnya potensi perikanan yang ada di Teluk Tomini belum tergali secara maksimal. Berdasarkan Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Sulawesi Utara Tahun 2002, misalnya, dinyatakan bahwa kecuali sumberdaya pelagis kecil (Pemanfaatan sumberdaya pelagis kecil di Teluk Tomini telah mencapai 89%), sumberdaya perikanan di Teluk Tomini baru dimanfaatkan kurang dari 50%. Untuk itu, sepintas terlihat bahwa peluang peningkatan eksploitasi secara besar-besaran 76
masih sangat dimungkinkan. Hasil produksi sebesar itu terdistribusi ke konsumen lokal sebanyak sekitar 80% dan ke konsumen/pasar antar lain pulau/daerah/luar negeri sebesar 20%. Tujuan-tujuan pemasaran di luar negeri mencakup importir-importir mancanegara, termasuk Jepang, Korea, Taiwan, Filipina, Singapura, Hongkong, Eropa, dan Amerika. Lepas dari gambaran positif menyangkut besarnya potensi dari perikanan Teluk Tomini, kedepan, perencanaan pengelolaan/pemanfaatan sumberdaya di perairan tersebut harus memperhitungkan segenap aspek yang terkait sehingga
keberlanjutan dari pengembangan tersebut dapat terjaga. Aspek-aspek tersebut adalah di antaranya aspek ekologis, aspek sosial, aspek teknologi, dan aspek etika. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan "snapshot" yang menggambarkan keadaan perikanan dilihat dari aspek-aspek tersebut. Dengan hasil "snapshot" tersebut, pembangunan yang berjalan timpang, yaitu hanya maju di beberapa aspek dan ketinggalan di aspek lain, dapat dihindarkan. Keseimbangan dari aspek-aspek tersebut perlu diusahakan karena ketertinggalan pada sebagian aspek akan menyebabkan kemunduran pada aspek yang lain, yang pada akhirnya secara berantai akal pula menyebabkan kehancuran
Gambar bawah: Ikan asin yang sedang dijemur merupakan salah satu hasil "sampingan" nelayan di Gorontalo untuk konsumsi lokal selain ikan segar yang biasanya untuk keperluan ekspor.
seluruh aspek. Kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya ekses negatif dari proses pembangunan yang timpang semakin perlu dicermati sehubungan dengan adanya isu-isu penting yang berkembang di provinsi-provinsi ini. Salah satunya adalah yang terkait dengan program pengembangan perikanan yang dikemas dalam Etalase Perikanan, yang apabila tidak dikelola secara baik sejak awal, dapat berkembang menjadi rancangan yang kontraproduktif. Misalnya, sangat dimungkinkan bahwa ekspose potensi perikanan dapat berakibat pada eksploitasi berlebih, dominasi investor/pengusaha asing, dan distribusi manfaat sumberdaya yang kurang adil antara pelaku lokal dan luar negeri, yang pada gilirannya akan berdampak negatif pada aspek sosial: misalnya timbulnya kecemburuan sosial. Peluang terjadinya gambaran suram seperti itu tidak kecil karena berdasarkan pengamatan di lapangan, gejala dari ekses negatif seperti digambarkan di atas telah terjadi bahkan sebelum adanya ekspose intensif potensi sumberdaya perikanan Teluk Tomini; meningkatnya dominasi kapal-kapal penangkap asing dan masalah 'transhipment' pada beberapa perikanan telah berkembang dengan laju cukup mengkhawatirkan.
Diagram layang-layang kinerja perikanan Sulawesi Utara
Kebaharian
Ekologi 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Untuk memberikan jaminan yang lebih besar terhadap tercapainya tujuan pembangunan perikanan di wilayah ini, memaksimalkan efektivitas kebijakan-kebijakan positif, dan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Sulawesi Utara Handline Sulawesi Utara Mini Purse seine Sulawesi Utara Bagan Perahu
Etika
Sosial
Teknologi
Diagram layang-layang kinerja perikanan Sulawesi Tengah Ekologi 90.00 80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Etika
Beberapa kebijakan telah diterapkan oleh pemerintah setempat untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya pembangunan yang salah arah. Salah satu dari kebijakan tersebut adalah menyangkut pembatasan tonase kapal yang beroperasi di Teluk Tomini. Dalam hal ini, hanya kapal-kapal berbobot mati maksimum 10 GT diijinkan melakukan operasi penangkapan di perairan tersebut. Kebijakan lain adalah yang tertuang dalam program-program pengawasan dan pengendalian kerusakan dan pencemaran ekosistem, pengembangan peran serta masyarakat, program pemberdayaan keluarga nelayan, dsb. Kebijakan-kebijakan ini merupakan sisi positif dari situasi dan kondisi perikanan di Teluk Tomini.
Ekonomi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Diagram layang-layang kinerja perikanan Gorontalo Ekologi 100.00 90.00 80.00 70.00
Kebaharian
60.00 50.00
Ekonomi
40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
Gorontalo Handline Gorontalo Mini Purse seine Gorontalo Bagan Perahu Gorontalo Gillnet Dasar
Etika
Sosial
Teknologi
78
0
menekan kemungkinan timbulnya ekses negatif, perlu dilakukan pengkajian tentang situasi dan kondisi perikanan dipandang dari berbagai aspek dan prediksi dari perkembangan kinerja dari aspek-aspek tersebut. Dalam penelitian ini, pengkajian tersebut dilakukan dengan menggunakan metoda Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries), suatu metoda cepat yang memungkinkan 'pemotretan' situasi dan kondisi dengan waktu dengan hasil yang diharapkan mendekati akurat. Hasil Analisis Rapfish Secara garis besar, hasil Rapfish untuk perikanan Teluk Tomini tergambar pada tiga diagram layang-layang dan grafik leverage. Diagram-diagram layang-layang tersebut menunjukkan performa dari masing-masing dimensi untuk masing-masing perikanan di tiga provinsi yang dikaji. Dimensidimensi tersebut dinyatakan dalam skala 0 (pusat diagram) s/d 100 (kulit diagram). Makin tinggi angka skalanya, makin tinggi ukuran performa dari dimensi dimaksud. Masing-masing dimensi terdiri atas berbagai atribut, yang secara bersamasama menentukan nilai dari suatu dimensi. Sementara itu, leverage menunjukkan seberapa besar pengaruh dari masing-masing atribut terhadap tinggi rendahnya nilai dari suatu dimensi. Misalnya, apabila hasil analisis menunjukkan bahwa nilai leverage tertinggi untuk dimensi ekonomi adalah "distribusi manfaat", maka itu berarti bahwa distribusi manfaat merupakan atribut yang krusial dalam menentukan tinggi rendahnya kinerja ekonomi. Implikasi lebih lanjut dari hasil semacam itu adalah bahwa rekomendasi yang perlu diusulkan adalah perbaikan hal-hal yang terkait dengan perbaikan distribusi manfaat. Dari ketiga diagram layang-layang sebagaimana tergambar, tampak satu hal yang menonjol: baik di provinsi Sulawesi Tengah, Gorontalo, maupun Sulawesi Utara, nilai untuk dimensi ekologi pada umumnya tinggi, namun nilai dimensi teknologi dan ekonomi rendah. Secara logika, resultan dari rendahnya nilai pada dimensi teknologi (terkait dengan
79
EKOLOGI Exploitation Status Recruitment Variability Change in Trophic Level Migratory Range Range Collapse Size of Fish Caught Catch before Maturity Discarded by Catch Species Caught Primary Production EKONOMI Subsidy Sector Employment Profitability Ownership transfer Other Income Marketable Right Market Destination Limited Entry Fisheries in GDP Average Wage SOSIAL Socialization of Fishing New Entrants into the Fishery Kin Participation Fishing Sector Fishing Income Fisher Influence Environmental Knowledge Education Level Conflict Status TEKNOLOGI Vessel Size Trip Length Selective Gear Pre-sale Processing Landing Sites Gear Side Effects Gear FADS Catching Power ETIKA Mitigation of Habitat Destruction Mitigation of Ecosystem Depletion Law Enforcement Just Management Influences in Ethical Formation Illegal Fishing Equity in Entry Discards & wastes Conflict of Regulation Alternatives Adjacency & Reliance KEBAHARIAN Appreciation to marine esthetics Satisfaction to marine related jobs Supporting regulation Public participation Appreciation to maritime Existence of Connflicting Regulations Appreciation to fisheries products
1
2
3
4
5
6
7
8
1.50 4.90 2.28 6.21 3.28 3.20 3.10 2.89 2.56 2.05 1.53 3.98 0.95 3.58 3.34 4.52 2.00 1.98 1.51 2.64 1.53 2.53 2.21 3.94 3.18 2.98 2.69 4.66 4.21 3.25 1.20 4.22 2.04 2.28 2.28 5.50 5.06 3.32 3.50 3.90 4.05 3.78 3.50 5.07 3.79 4.82 4.32 4.32 4.17 4.84 5.11 2.72 7.43 2.54 1.70 4.29
Hasil Analisis Leverage
penggunaan alat yang ekstraktif) dan tingginya nilai dimensi ekologi (terkait dengan masih rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya) adalah nilai yang tinggi pada dimensi ekonomi (yang salah satu atributnya adalah profitabilitas). Beberapa indikator penting seperti profitabilitas usaha dan penghasilan nelayan memang menunjukkan nilai positif; namun demikian, beberapa yang lain memberikan pengaruh negatif yang lebih besar sehingga produk nettonya adalah ukuran kinerja
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Gorontalo merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi gizi rendah untuk anak kelompok lima tahun ke bawah. Walaupun pada tahun 2002 terjadi peningkatan angka harapan hidup laki-laki 3% dan perempuan 5%. Konflik antar nelayan yang berkepanjangan akan semakin menyuramkan masa depan anak-anak ini.
ekonomi yang lebih rendah. Daftar atribut yang menonjol yang memberikan pengaruh signifikan terhadap tinggi rendahnya kinerja masing-masing dimensi dapat dilihat pada hasil analisis leverage Berikut adalah analisis masing-masing dimensi yang didasarkan atas hasil leveraging: a. Dimensi ekonomi: Meskipun sebagian atribut dari dimensi ekonomi menunjukkan nilai positif yang cukup tinggi, beberapa atribut lainnya mengindikasikan situasi yang tidak terlalu baik. Sebagian atribut yang menunjukkan nilai tinggi tersebut adalah yang terkait dengan tingkat pendapatan nelayan. Misalnya, untuk provinsi Gorontalo, menurut catatan BPS pendapatan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
perkapita rata-rata nelayan di provinsi tersebut adalah sebesar Rp 3.8 juta/tahun, sedangkan pendapatan rata-rata penduduk adalah 2.1 juta/tahun. Satu perkecualian yang perlu dicatat untuk data mengenai pendapatan ini adalah bahwa tidak seperti pada perikanan jenis lainnya, hasil wawancara langsung dan verifikasi lapang menunjukkan bahwa nelayan gillnet dasar pada umumnya berpenghasilan sangat rendah. Faktor-faktor yang juga berperan menurunkan penilaian kinerja dimensi ekonomi adalah total sumbangan sektor perikanan terhadap PDRB dan komposisi pendapatan. Berdasarkan data BPS di provinsi-provinsi di Teluk Tomini, kontribusi perikanan secara total terhadap PDRB adalah jauh dibawah angka 10%, sehingga dapat diartikan bahwa masingmasing jenis perikanan yang dianalisis menyumbang PDRB 80
Gambar atas: Sektor budidaya laut dikembangkan dengan beberapa komoditas unggulan yang kebanyakan menggunakan keramba jaring apung seperti kakap, kerapu, beronang, kerang-kerangan maupun rumput laut.
kurang dari nilai tersebut, suatu nilai yang sangat rendah.
yang diperoleh dari sumber-sumber data sekunder tidak
Diperoleh indikasi bahwa nilai sesungguhnya dari PDRB dari
dapat mengesampingkan kenyataan bahwa PDRB perikanan
subsektor perikanan lebih tinggi dari yang tertampilkan dalam
jauh di bawah PDRB dari subsektor lain pada sektor
laporan resmi. Namun demikian, observasi lapang
pertanian, maupun sektor lain, misalnya industri.
menunjukkan bahwa selisih antara nilai sesungguhnya dengan
81
Sementara itu, komposisi pendapatan nelayan dipandang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
kurang baik karena terlalu condong kearah pendapat
Kedua atribut tersebut menunjukkan nilai yang paling tinggi di
dominan bagi para nelayan. Hal ini merupakan kondisi yang
antara atribut-atribut lain. Hasil observasi lapangan
tidak sehat karena mengindikasikan ketergantungan yang
menegaskan pentingnya kedua atribut ini: ketiadaan hak
sangat besar pada sumberdaya perikanan. Seperti normalnya,
pengelolaan/pemanfaatan yang lebih pasti, dan
ketergantungan yang besar akan menyebabkan kerentanan,
terkonsentrasinya penyerapan tenaga kerja pada jenis
dan hal ini berpotensi menimbulkan tekanan terhadap
perikanan tertentu, menyebabkan kecenderungan akan
sumberdaya.
terjadinya ekstraksi sumberdaya secara berlebih.
Analisis leverage lebih lanjut menunjukkan bahwa di antara
b. Dimensi Sosial Untuk perikanan Teluk Tomini, atribut yang menonjol pada
atribut-atribut yang menonjol pada dimensi ekonomi, atribut marketable right dan sector employment merupakan dua atribut yang paling memerlukan perhatian yang serius karena pengaruhnya yang sangat besar terhadap dimensi ekonomi.
dimensi sosial adalah tingkat pendidikan nelayan dan konflik di antara nelayan. Tentang atribut pendidikan, secara relatif tingkat pendidikan nelayan tidak jauh berbeda dengan tingkat pendidikan rata-rata penduduk lainnya; namun demikian, Gambar bawah: Budidaya Kerapu merupakan salah satu yang sedang digalakkan sebagai komoditas unggulan dalam keramba jaring apung.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
82
secara absolut capaian tingkat pendidikan nelayan mesih perlu
Gorontalo (Kabupaten Pohuwato). Konflik tersebut timbul
ditingkatkan untuk mendongkrak performa kinerja nelayan di
akibat perbedaan kepentingan antara kelompok nelayan yang
Teluk Tomini. Observasi di lapangan menunjukkan bahwa
berbeda. Misalnya, kepentingan sekelompok nelayan
kinerja usaha perikanan sering menjadi rendah karena
penangkap ikan demersal yang menggunakan bom
rekriutmen anak buah kapal pada unit-unit penangkapan
menyebabkan terganggunya kepentingan kelompok nelayan
dilakukan tanpa mempertimbangkan latar belakang
bagan dan kelompok lain di sekitarnya karena pertumbuhan
kemampuan/ketrampilan (skill)-nya. Latar belakang
stok ikan terganggu. Hasil wawancara dengan responden
pendidikan formal yang terbatas memperkuat dampak negatif
yang mewakili nelayan-nelayan bagan menunjukkan bahwa
perekrutan yang tidak mempertimbangkan skill, sehingga
implikasi yang logis dari kondisi seperti ini adalah suatu
banyak unit usaha yang menurun kinerjanya.
urgensi untuk melakukan koordinasi penanganan yang lebih
Mengenai konflik, kasus-kasus menonjol terjadi pada
baik di antara semua yang berkepentingan.
perikanan handline di provinsi Sulawesi Tengah (hampir di
Atribut dimensi sosial lain yang juga menonjol adalah pemain
semua kabupaten) dan perikanan bagan di provinsi
baru dalam perikanan. Seperti umum terjadi pada perikanan-
Gambar bawah: Tampak salah satu peluang yang tengah ditawarkan dalam bidang Kelautan dan Perikanan di provinsi Gorontalo yaitu budidaya kerang mutiara. Di provinsi ini, budidaya kerang mutiara mencakup areal seluas 3000 Ha.
83
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
perikanan lain di Indonesia, kenaikan jumlah nelayan pada
(pada perikanan pajeko/mini purse seiner), lampu (pada
semua jenis perikanan dalam waktu 10 tahun terakhir sangat
bagan), dan umpan merupakan alat bantu yang umum
tinggi; tidak ada kenaikan di bawah 100 %. Bahkan, di
dipergunakan nelayan Teluk Tomini. Perikanan handline tuna
provinsi Gorontalo, total nelayan meningkat dari hanya
bahkan menggunakan dua jenis FAD sekaligus. Di antara
sekitar 2000 orang pada 10 tahun yang lalu, menjadi 17000
jenis-jenis perikanan yang dikaji, hanya gillnet dasar yang
orang pada tahun 2002. Apabila perkembangan ini terus
mendapatkan nilai positif untuk atribut ini. Alat ini hanya
berlanjut dengan laju yang tidak berkurang, maka
mengandalkan arus untuk menjebak ikan untuk tersangkut
keberlanjutan perikanan ini dapat terancam. Atribut lain yang juga penting adalah socialization in fishing, yang merupakan proksi bagi besarnya peluang perikanan untuk melibatkan calon partisipan secara adil (memiliki kesempatan yang sama). Dalam hal ini terdata dari kegiatan lapang bahwa pada umumnya perikanan di Teluk Tomini melibatkan anggota keluarga atau kerabat dalam jumlah signifikan. Untuk beberapa kasus, bahkan unit usaha dijalankan sepenuhnya oleh individu-individu yang masih terkait hubungan keluarga dekat. Dalam analisis Rapfish, ini dikategorikan sebagai kondisi yang negatif karena pelibatan partisipan dari komponen masyarakat yang beragam berkecenderungan memungkinkan pelestarian sumberdaya
Tabel Leverage of Management Attributes
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00 4.55
Koordinasi program pembangunan
4.95
Potensi konflik antar nelayan
4.64
Mekanisme pengambilan keputusan Potensi konflik penyelenggara pemerintahan Penyediaan dana Penyediaan sarana Pembagian benefit Pengawasan illegal fishing
6.00
Asesmen terhadap performa berbagai pilihan kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Secara Penuh
60
Marine Protected Area
Otorita Penuh (Independent)
0
Co-management
Community-based Management
pada jaring; dengan demikian dampaknya terhadap sumberdaya dapat diklasifikasikan minimal. d. Dimensi Ekologi Untuk dimensi ekologi, analisis leverage menunjukkan bahwa atribut yang paling berpengaruh adalah jangkauan ruaya ikan. Dalam hal ini terkandung pengertian bahwa migrasi ikan
3.73 3.82
berpotensi menyebabkan masalah yang besar untuk Teluk
3.65 3.74
Tomini. Terlebih lagi, dengan adanya otonomi daerah,
4.07
Pengawasan tangkapan
4.78
Pemeliharaan sumberdaya
4.79
masing-masing wilayah administratif sangat berpeluang untuk mempraktekkan kebijakan yang tidak paralelel satu sama lain, sehingga kelangsungan ekonomi yang berbasis pada perikanan di wlayah ini dapat terancam.
berjalan dengan lebih baik. c. Dimensi Teknologi Untuk dimensi teknologi, atribut yang menonjol adalah penggunaan alat pengumpul/penarik ikan (FAD). Rumpon
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
e. Dimensi Etik Untuk dimensi etik, atribut yang paling perlu untuk diperhatikan berdasarkan analisis leverage adalah pengaruh norma/nilai lokal terhadap baik buruknya pengelolaan
84
Gambar atas: Dengan sistem armada semut, nelayan tetap di tengah laut dan segala kebutuhan mereka seperti makanan, BBM dicukupi melalui Kapal Pamo yang berkekuatan 3 hingga 5 gross ton. Bila satu kapal yang bertugas mengambil ikan hasil tangkapan nelayan membawa ikan hasil tangkapan ke tempat Pelelangan Ikan satu kapal lain mengantar kebutuhan nelayan.
sumberdaya. Berkembang di masyarakat perikanan di wilayah
adalah yang dikelompokkan kedalam hal-hal intrinsik yang ada
ini beberapa nilai lokal, baik yang berpotensi membawa
di masyarakat (misalnya apresiasi terhadap produk Kelautan
dampak positif maupun negatif terhadap kelangsungan
dan Perikanan) dan usaha-usaha yang dilakukan oleh
sumberdaya perikanan. Observasi lapang mendukung hasil
pemerintah, misalnya keberadaan program-program
analisis ini: kebersamaan nelayan-nelayan bagan (terutama di
kebaharian. Dari analisis leverage, tampak bahwa partisipasi
Kabupaten Pohuwato, provinsi Gorontalo) dalam
masyarakat merupakan hal yang sangat berpengaruh.
mengusahakan terciptanya kondisi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya yang lebih baik, telah berhasil menekan kecenderungan berkembangnya praktek pengeboman ikan. Tentu saja, hasil positif semacam ini akan sangat terkait dengan keadaan atribut lain pada dimensi yang lain, misalnya mengenai migrasi/ruaya ikan. Suatu nilai positif lokal yang diterapkan di suatu lokasi tidak akan berarti banyak apabila ikan-ikan yang dikelola beruaya ke tempat-tempat lain dan mendapatkan perlakuan yang negatif, yang berasal dari nilai lokal di wilayah lain. f. Dimensi Kebaharian Dimensi ini diperkenalkan dalam analisis Rapfish pada penelitian ini untuk mengakomodasikan misi khusus Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu yang menyangkut pengembangan apresiasi kebaharian di kalangan masyakakat. Termasuk atribut yang dipertimbangkan dalam dimensi ini
85
Lepas dari keragaman maupun keunikan dari hasil yang diperoleh untuk masing-masing dimensi dan masing-masing lokasi penelitian, tampak ada benang merah yang mengarah pada perlunya pengelolaan Teluk Tomini secara bersama. Dominansi atribut migratory range pada dimensi ekologi, marketable right pada dimensi ekonomi, atribut conflict status pada dimensi sosial, FADS pada dimensi teknologi, dan 'public participation' pada dimensi kebaharian, menunjukkan benang merah dimaksud. Dalam konteks pembangunan kelembagaan pengelolaan, benang merah ini merupakan acuan awal yang valid untuk melukiskan gambaran dari apa yang seharusnya dilakukan di dan diterapkan untuk sumberdaya Teluk Tomini. Gambaran arah pengembangan sumberdaya Teluk Tomini: Hasil analisis Rapfish ini perlu dioperasionalkan lebih lanjut
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar samping: Pemandangan sehari-hari di pantai di Teluk Tomini dengan kandungan kekayaan laut yang luar biasa. Statistik Dinas Perikanan Teluk Tomini memperlihatkan bahwa daerah ini memiliki potensi perikanan tangkap sebesar 587.670 ton.
dalam bentuk pembentukan/perumusan kelembagaan yang diperlukan untuk mengelola Teluk Tomini. Sebagaimana disebutkan di atas, hasil analisis menunjukkan perlunya suatu bentuk pengelolaan yang mengedepankan partisipasi masyarakat dan tidak mengabaikan aspek koordinasi. Berbagai pihak telah memunculkan berbagai wacana tentang bentuk-bentuk pengelolaan Teluk Tomini, di antaranya pembentukan otorita, community based management (CBM), Co-manajemen, dan marine protected area (MPA), dan kondisi status quo (pengelolaan secara individual perwilayah administrasi). Benang merah yang teridentifikasi dalam penelitian ini telah berhasil mengeliminasi beberapa wacana yang berkembang, termasuk wacana desentralisasi penuh dan wacana tersentralisasi oleh suatu kelembagaan otoritas yang mengabaikan aspek partisipasi. Untuk mengkaji lebih
Gambar bawah: Salah satu TPI di Kabupaten Boalemo yang menjadi sektor unggulan perekonomian bidang perikanan dan kelautan. Dengan berbagai jenis ikan bernilai ekonomis tinggi serta kondisi geografisnya maka tak salah jika daerah ini dipilih sebagai lokasi utama untuk etalase perikanan.
jauh, berikut adalah analisis lanjutan yang memperbandingkan bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan, yang didasarkan pada kondisi provinsi-provinsi di Teluk Tomini. Telah diperbandingkan berbagai pilihan yang ada ditinjau dari berbagai kriteria yang dianalisis dengan pendekatan multidimensional scaling. Dalam hal ini, tampak bahwa community based management dan desentralisasi terbatas untuk pengelolaan merupakan dua alternatif yang dapat dipertimbangkan lebih lanjut sebagai embryo bagi bentuk kelembagaan pengelolaan yang seharusnya diterapkan di Teluk Tomini. Namun demikian, hasil ini masih memerlukan peninjauan ulang dengan memasukkan atribut relevan lain, yang dapat diperoleh dalam suatu penelitian pelengkap yang ditujukan untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa penelitian lanjutan tersebut tidak seharusnya mencakup pilihan yang terlalu banyak; koridor yang membatasi pilihan tersebut telah diperoleh dari penelitian ini. Berdasarkan itu, pilihan-pilihan yang perlu dikaji adalah misalnya: coordinated responsible community-based management, yaitu suatu bentuk manajemen masyarakat yang telah ditingkatkan kualitasnya yang diselenggarakan secara secara terkoordinasi, atau limited common authority (otorita bersama terbatas), suatu bentuk forum bersama yang memiliki otoritas pada hal-hal tertentu yang terkait dengan pengelolaan perikanan.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
86
Melalui kelembagaan seperti itu, aspek-aspek positif dapat diperkuat dan sisi negatif diminimalkan. Misalnya, pada model pertama, aspek partisipasi dari community-based management dapat diperoleh sedangkan sisi negatifnya (yang terkait dengan kemungkinan tidak efektifnya pengelolaan masyarakat di suatu lokasi karena kegagalan manajemen di lokasi lain) dapat dikurangi melalui koordinasi yang baik. Pada model kedua, pengelolaan yang terpusat dapat mengurangi kemungkinan terjadinya keputusan-keputusan yang bertentangan karena keputusan tersebut dibuat oleh satu otoritas yang tunggal; sedangkan istilah terbatas, dimaksudkan untuk mengeliminasi kemungkinan munculnya ekses negatif dari pemberian otoritas yang tak terbatas, yang justru dapat berakibat kontraproduktif. Apabila model kelembagaan sebagaimana tersebut di atas dapat dikembangkan dan diimplemenatasikan, kekurangankekurangan sebagaimana tergambar pada analisis leverage
87
dapat diperkecil. Dengan demikian, nilai dari dimensi-dimensi yang dengan kondisi sekarang tercatat rendah, dapat dinaikkan. Lebih lanjut, kinerja perikanan dapat membaik dalam semua aspek (dimensi), sehingga keberlanjutan ekonomi yang berbasis berairan Teluk Tomini dan kelestarian sumberdaya pendukungnya dapat terjaga.
RESUME Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidrooseanografi, ecopath dan rapfish maka dapat diresume sebagai berikut : 1.
Kondisi arus permukaan pada bulan Oktober di perairan Teluk Tomini dipengaruhi oleh pola batimetri perairan dan juga kondisi perairan Laut Maluku yang merupakan satu-satunya laut terbuka yang berbatasan langsung dengan Teluk tomini.
2.
Pola arus di perairan Kepulauan Togian lebih dinamis dibandingkan lokasi lain di perairan teluk karena
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
perairan Kepulauan Togian memiliki batimeteri yang lebih dangkal dibanding daerah sekitarnya serta memiliki banyak celah sempit di antara pulaupulanya. Tunggang pasang surut maksimum rata-rata pada bulan Oktober 2003 hasil prediksi adalah 264250 cm, dengan kondisi rata-rata tunggang pasut maksimum lebih tinggi terjadi di perairan Kepulauan Togean. 3.
4.
Kondisi perairan Kepulauan Togian selama simulasi dijalankan berperan sebgai daerah pertemuan arus yang masuk dari arah Timur, Utara dan Barat. Pola pergerakan arus permukaan yang dibangkitkan oleh pasang surut pada kondisi purnama dan perbani memperlihatkan kondisi arus yang relatif tenang hampir di seluruh perairan pada saat kondisi pasang dan kondisi surut, sedangkan pada selain kondisi pasang dan kondisi surut, kondisi arus permukaan cenderung menguat dan lebih dinamis.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
5.
Perairan teluk Tomini dapat menjadi model untuk pengembangan pembangunan kelautan dalam berbagai bidang. Pembangunan pariwisata dan konservasi terumbu karang dapat dikembangkan di daerah kepulauan Togian. Sedangkan untuk perikanan tangkap untuk jenis ikan pelagis besar dan budidaya di lokasi yang terlindung, masih mungkinkan untuk dikembangkan sesuai dengan prinsip pemanfaatan sumberdaya yang lestari.
6.
Pengukuran kinerja perikanan Teluk Tomini, yang menunjukkan beberapa kekurangan, mengindikasikan adanya urgensi untuk perbaikan. Perbaikan tersebut perlu dituangkan dalam bentuk pembentukan kelembagaan pengelolaan yang dapat mengatasi berbagai masalah sebagaimana ditunjukkan oleh rendahnya nilai/skor berbagai atribut pada analisis Rapfish dalam penelitian ini.
88
Teluk Saleh
T
eluk Saleh terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada posisi 117° - 118° BT dan 8.8° - 8.1° LS, merupakan perairan semi tertutup dan berhubungan langsung dengan Laut Flores. Perairan ini merupakan fishing ground bagi nelayan tradisional yang bermukim di Sumbawa Besar dan sekitarnya serta berfungsi sebagai lahan budidaya rumput laut dan kerang mutiara.
Hidro-oseanografi Pemantauan sifat fisik dan kimia air laut di Teluk Saleh secara detail pernah dilakukan dengan menggunakan kapal penelitian K/R Baruna Jaya VII (Edward, M. Djen Marasabessy dan I. Pellupassy, 2001). Parameter kualitas air yang terdiri dari suhu, salinitas, pH, kecerahan, benda padat terapung, lapisan minyak, dan bau. Suhu, salinitas, pH, dan kecerahan langsung diukur dilokasi penelitian (insitu) dengan menggunakan termometer, salinimeter, kertas pH universal, sechi disk, sedangkan benda terapung, lapisan minyak secara visual dan bau secara organoleptik. Adapun hasil dari penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel dibalik halaman ini. Pada tabel tersebut diketahui suhu berkisar antara 27.0 ºC sampai 29.05 ºC, dengan rerata 27.78 ºC. Sedang salinitas di perairan Teluk Saleh rata-rata 32.77‰. Nilai pH sebesar 8.0, dan pH ini relatif sama untuk setiap stasiun pengamatan. Tingkat kecerahan air laut berkisar antara 6.0 8.0 meter dengan rata-rata 13.40 meter. Kecerahan ini relatif tinggi, artinya bahwa tingkat sedimentasi di perairan ini relatif rendah dan perairan relatif jernih dan sangat mendukung untuk kehidupan terumbu karang Hasil pengamatan terhadap benda padat terapung, lapisan minyak dan bau adalah nihil, artinya bahwa perairan ini relatif bersih dari sampah-sampah padat terapung seperti kayu, plastik, karet dan sebagainya.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
90
No
Suhu (oC)
Salinitas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Rerata
28,0 28,0 27,9 27,5 28,0 28,0 27,0 27,5 27,5 27,9 28,0 27,0 28,0 28,0 27,0 27,0 28,0 29,0 28,0 28,0 28,0 28,0 27.78
33,0 32,0 32,0 32,0 32,0 32,0 32,9 32,8 32,5 32,0 32,9 32,1 32.0 32,0 32,0 32,0 32,0 32,5 32,5 32,0 32,0 32,0 32.77
o/oo
/
pH 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8,0 8.0
Kecerahan ( meter ) 18 17 10 12 11 12 8 13 14 11 14 18 15 14 10 15 14 18 18 6 13.4
Benda Terapung Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil
Lapisan Minyak Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil
Bau Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil Nihil
Tabel Parameter Fisik dan Kimia Air Laut di Teluk Saleh
Hidrodinamika Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa
Time Series Boundary - West
2
elevation - m
Pasang Surut Berdasarkan pengamatan terhadap hasil prediksi pasang surut menggunakan Oritide Global Tide Model untuk bulan Oktober 2003 dan peta distribusi tipe pasut Se-Asia Tenggara dari Wrytki (1961) diperoleh bahwa tipe pasut di perairan Teluk Saleh adalah campuran cenderung harian ganda (Mixed Semi Diurnal), lihat gambar disamping. Prediksi tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Oktober 2003 tinggi ratarata air pasang tertinggi adalah +74,56 cm, air surut terendah 69,12 cm, dengan tunggang maksimum sekitar 143,68 cm (Tabel pada halaman samping).
1.5 1 0.5 0 0
100
200
300
400
500
600
time - h
Gambar Elevasi Muka Laut Teluk Saleh selama 31 Hari di Batas Terbuka Area Model Bagian Barat
arus yang memasuki Teluk Saleh berasal dari Laut Flores yang 91
700
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
terletak di sebelah utara Pulau Sumbawa. Massa air tersebut mengalir melewati dua selat yang masing-masing berada di Elevasi Muka Air (cm)
sebelah barat daya dan timur Pulau Moyo. Hasil simulasi
Air Pasang Tertinggi
-69,12 hingga -67,68
menunjukkan bahwa arus yang mengalir melewati Selat
Air Surut Terendah
+72,48 hingga +71,68
Tunggang Maksimum
140,16 hingga 143,68
Batahai (sebelah timur dari P. Moyo) lebih dominan dibandingkan dengan Selat Saleh (sebelah barat daya dari P.
Tabel Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan Tunggang Maksimum Tahun 2003
Moyo). Hal ini terjadi karena batimetri perairan di Selat Batahai lebih dalam, sedangkan batimetri perairan di Selat Saleh jauh lebih landai. Pertemuan dua arus utama yang berasal dari kedua selat tersebut mengakibatkan terbentuknya
Gambar bawah: Alat ADP (Acoustic Doppler Profiler) yang merupakan salah satu instrumen kelautan yang secara berkala memancarkan gelombang suara ke kolom air dan kemudian dipantulkan kembali sehingga bisa didapatkan data tentang kecepatan arus air pada kolom tersebut. Tampak alat tersebut sedang diamati untuk melihat apakah terjadi kerusakan setelah sempat hilang tersapu badai selama 3 hari.
Selat Batahai
Teluk Sanggar
9090000 P. Sumbawa 9080000
9070000
Selat Saleh P. Dangar Besar P. Liang Maya
9060000
TELUK SALEH
P. Ngali 9050000 P. Rakiet
P. Sumbawa 9040000
9030000 560000
570000
580000
0
100
590000
200
300
600000
400
610000
500
600
700
620000
800
630000
640000
900
Batimetri Perairan Teluk Saleh
93
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
a
b
c
d
Gambar Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Saleh saat kondisi perbani pada: (A) Menjelang surut, (B) Surut, (C) Menjelang pasang, (D) Pasang
a
b
c
d
Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Teluk Saleh saat kondisi purnama pada: (A) Menjelang surut, (B) Surut, (C) Menjelang pasang, (D) Pasang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
94
beberapa arus memutar (eddy) yang terkonsentrasi di bagian
Saat air surut pada kondisi pasut Perbani memperlihatkan
utara perairan. Hal ini mengakibatkan perairan Teluk Saleh
bahwa secara umum elevasi perairan Teluk Saleh bagian
bagian utara jauh lebih dinamis dibandingkan bagian selatan
selatan lebih tinggi dibanding elevasi muka laut bagian utara.
perairan.
Hal ini menimbulkan arus bergerak keluar dari Teluk Saleh
Pola Arus Pasut Kondisi Perbani Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut:
melalui kedua selat, dimana kecepatan arus yang melewati Selat Batahai lebih tinggi dibandingkan dengan kecepatan arus yang melewati Selat Saleh. Kecepatan arus di Teluk Saleh pun melemah, sehingga eddy yang terbentuk baik pada saat
Pola arus saat air menjelang surut menunjukkan bahwa arus
menjelang surut kehilangan gaya penggeraknya yang
bergerak memasuki Teluk Saleh dari kedua selat dengan
mengakibatkan kecepatan dan diameter eddy berkurang.
kecepatan relatif rendah (0,5-1 m/detik), dimana arus yang masuk melewati Selat Batahai memiliki kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan arus yang masuk dari Selat Saleh. Tampak juga beberapa eddy dengan diameter terbesar mencapai 1 km. Eddy ini terbentuk di zona pertemuan arus yang terletak tepat di sebelah selatan Pulau Moyo. Terlihat pula bahwa muka laut perairan bagian selatan Teluk Saleh memiliki elevasi yang lebih tinggi dibanding muka laut bagian utara.
Saat air menjelang pasang pada kondisi pasut Perbani memperlihatkan bahwa secara umum elevasi muka laut perairan Teluk Saleh relatif lebih rendah dibandingkan perairan sekitarnya. Akibatnya timbul arus berkecepatan tinggi (~6 m/detik) yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai. Terlihat pula adanya arus berkecepatan lebih rendah yang meninggalkan Teluk Saleh melalui selat tersebut. Di bagian Selat Saleh, terdapat pula aliran arus yang
Gambar bawah: Keadaan Tide Gauge dan 'pelampung'nya setelah didera badai selama hampir satu minggu.
Gambar atas: Rombongan peneliti dari BRKP sedang berdiskusi dengan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sumbawa di kantor.
meninggalkan Teluk Saleh dengan kecepatan yang lebih
Teluk Saleh melewati Selat Batahai. Pada selat bagian barat
rendah dibandingkan kecepatan arus yang memasuki Teluk
terlihat adanya arus berkecepatan relatif rendah yang
Saleh melalui Selat Batahai. Kondisi arus ini mengakibatkan
bergerak meninggalkan Teluk Saleh (~2 m/detik). Terlihat
eddy melemah.
penampakan beberapa eddy dengan diameter terbesar
Saat air pasang pada kondisi pasut Perbani memperlihatkan adanya aliran arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan meninggalkan Teluk Saleh melalui Selat Saleh. Elevasi muka air rata-rata meningkat dengan ketinggian yang hampir seragam di seluruh perairan Teluk Saleh dan eddy kembali terbentuk dengan baik.
mencapai 1 km. Eddy ini terbentuk di zona pertemuan arus yang terletak tepat di sebelah selatan Pulau Moyo. Selain itu terlihat pula bahwa elevasi muka laut perairan Teluk Saleh memiliki harga yang nyaris seragam (1-1,5 m), sementara pada daerah terbentuknya eddy timbul zona depresi yang memiliki elevasi lebih rendah dari perairan sekitarnya (0,5-1 m).
Pola Arus Pasut Kondisi Purnama Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut Purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut: Pola arus saat air menjelang surut menunjukkan adanya arus
harga yang relatif seragam. Hal ini mengakibatkan arus yang
berkecepatan tinggi (~10 m/detik) yang bergerak memasuki
bergerak keluar dari Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Saat air surut pada kondisi pasut Purnama memperlihatkan bahwa secara umum elevasi perairan Teluk Saleh memiliki
96
arus yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai
Silvestre et al. 1993 dalam Buchary E. 1999 yang melakukan
memiliki kecepatan yang rendah.
penelitian di pesisir Brunei dengan nilai P/B ratio adalah 135.0
Saat air menjelang pasang pada kondisi pasut Purnama
tahun-1.
memperlihatkan bahwa secara umum elevasi muka laut perairan Teluk Saleh relatif lebih rendah dibandingkan
Sedangkan Biomassa dan rasio P/B untuk benthic producers
perairan sekitarnya. Akibatnya timbul arus berkecepatan tinggi
diambil dari model Laut Cina Selatan oleh Pauly dan
(~10 m/detik) yang memasuki Teluk Saleh melalui Selat
Christensen (1993), dengan nilai masing-masing 153.0
Batahai. Terlihat pula adanya arus berkecepatan lebih rendah
ton·km-2 dan 11.885 tahun-1.
yang meninggalkan Teluk Saleh melalui selat tersebut. Di bagian Selat Saleh, terdapat pula aliran arus yang
Tabel Ecopath
meninggalkan Teluk Saleh dengan kecepatan yang lebih rendah dibandingkan kecepatan arus yang memasuki Teluk
No
Saleh melalui Selat Batahai yang berakibat eddy melemah.
1
Fitoplankton
2
Lamun
Saat air pasang pada kondisi pasut Purnama terlihat adanya
3
Natural Seaweed
aliran arus berkecepatan tinggi yang memasuki Teluk Saleh
4
Mangrove
5 6 7 8
Farmed Seaweed Terumbu Karang Zooplankton LBS (Living Bottom Struktur)
9
Benthic Infauna
memiliki elevasi lebih rendah dari perairan sekitarnya.
10
Pelagis Kecil
Berbeda dari kondisi surutnya, zona depresi yang terbentuk
11
Lemuru
12
Pelagis Sedang
13
Ikan Demersal
14 15 16 17 18
Cakalang Hiu Lumba-lumba Burung Laut Detritus
melalui Selat Batahai dan arus berkecepatan lebih rendah yang meninggalkan Teluk Saleh melalui Selat Saleh. Elevasi muka air rata-rata meningkat dan eddy kembali terbentuk dengan baik, mengakibatkan timbulnya zona depresi yang
pada saat pasang memiliki luasan yang lebih besar.
Ecopath Input Model dan Balancing Model Ecopath Berdasarkan data primer dan sekunder yang di dapat di lapangan, ekosistem di Teluk Saleh dapat di kelompokkan dalam 16 (enam belas) termasuk detritus. Adapun data ke-16
Kelompok Fungsional
Komponen Kelompok Enhalus acoroides; Halodule uninervis; Cymodocea serrulata; Halophila ovalis Algae Halimeda;Algae coralline; Algae macro; Algae Tuff. Rhizophora apiculata; Sonneratia casiolaris Rhizophora stylosa; Rhizophora mucronata; Avicennia marina; Aegiceras corniculatum; Ceriops tagal; Bruguiera gymnorrhiza Euchema Cottoni Hard Coral Acropora; Hard Coral non Acropora Soft coral; Sponge; Zoanthids; Isognomon ephipum; Strombus canarium; Cerithium Zonatum; Tellina staurella Morula fusca; Tectus niloticus; Trohcus niloticus Sea cucumbar (teripang); Lobster; Crabs; Sea Star (Bintang Laut) Parupeneus cyclostamus; Selaroides leptolepis; Stolophorus commersonii; Atule mate; Channa Striata Sardinella lemuru; S.gibbosa; Sardinella sp; Sardinella devisi Rastrelliger kanagurta; Rastrelliger sp; Sardinella fimbriata; Scomberomorus lysan; Decapterus sp; Mugil cephlus; Chanos chanos Siganus canaliculatus; Casio cuning; Lutjanus bohar;Epinephelus tauvina; Epinephelus areolatus; E.sexfasciatus Cromileptes altivelis; Plectropomus sp Auxis rochei Carcharhinus albimarginatus Stenella longirostris Haliaetus leucogaster Terdiri dari partikel dan larutan organik
kelompok ini dapat dilihat pada Tabel disamping. Produsen Utama (Primary Producers) Dalam model ini primary producer di bagi menjadi dua kelompok fungsional yaitu fitoplankton dan benthic producers. Biomassa (ton·km-2) fitoplankton di Teluk Saleh berdasarkan estimasi dari produktivitas primer di dapatkan sekitar 11.026 ton·km-2, sedangkan nilai P/B (production/biomassa) untuk Teluk Saleh tidak ada data, sehingga dicoba meminjam dari
97
Mangrove Penelitian yang pernah dilakukan oleh LIPI pada tahun 2001 tentang mangrove di Teluk Saleh hanya menghasilkan masingmasing jenis pohon mangrove per Ha lahan, sedangkan data tentang produksi seresah mangrove tidak ada. Sehingga dicoba mengambil data tentang produksi seresah mangrove yang dilakukan oleh Kusmana, 1993 dan Komiyama et al,
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar atas: Hutan Mangrove merupakan ‘breeding ground’ yang penting bagi berbagai satwa seperti ikan, udang dan bahkan burung. Di Sumbawa, karena keterlibatan masyarakat pesisir untuk melestarikannya hutan Mangrove seperti diatas pernah mendapatkan bantuan dari GEF (Small Grants Programme), pada tahun 1997/1998. .
1980 yang dilakukan di Maluku dan Riau dengan nilai seresah mangrove jenis Rhizophora apiculata rata-rata 32.790 ton·km-2. Rumput Laut Teluk Saleh memiliki potensi lahan yang sangat menunjang untuk budidaya rumput laut. Masyarakat pesisir di sekitar Teluk Saleh sering melakukan usaha budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Dari hasil wawancara dengan nelayan yang berusaha rumput laut di dapatkan jumlah Biomassa sekitar 10 ton·km-2, sedangkan untuk nilai P/B karena data tidak ada, digunakan data hasil penelitian di Bolinao Reef Philipina yang dilakukan oleh Alino, PM et al (1993) dengan nila P/B ratio 15.34 tahun-1.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Terumbu Karang Dari hasil olahan citra luas daerah karang di Teluk Saleh sekitar 0.244 km². Penelitian LIPI menyebutkan bahwa persen penutupan karang untuk jenis Hard Coral Non Acropora sebesar 32.12% dan jenis karang Hard Coral Acropora sebesar 11.33%. Dari hasil estimasi lewat olahan Citra Satelit Landsat diperoleh produktivitas primer untuk karang 0.2499 g c/m²/jam. Dari hasil ini estimasi nilai biomassa untuk karang sebesar 2.9988 ton·km-2. Zooplankton Total biomassa dari hasil survei di Laut Cina Selatan oleh Pauly et al.(1996) yang dilakukan dari bulan November 1974 sampai dengan Juli 1976 diperoleh rata-rata biomassa
98
Gambar samping kiri: Carcharhinus albimarginatus atau yang biasa disebut sebagai Silvertip Shark merupakan salah satu permata fauna di Teluk Saleh. Hiu juga merupakan predator teratasdengan nilai thropic level 4.40. Gambar samping kanan: Suasana slah satu perkampungan nelayan di Teluk Saleh Gambar bawah: Keanekaragaman hayati kelautan tampak pada hasil tangkapan nelayan Teluk Saleh yang dijual di Pasr tradisional ini.
sebesar 3.40 ton·km-2. Rasio P/B sebesar 60.225 tahun-1 mengacu pada penelitian small hervorous copepods yang dilakukan Greze (1978), sedangkan rasio Q/B diperoleh dari model ekosistem di Monterey Bay (Olivieri et al. 1993) rata-
survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan Fishbase 1998. Nilai Biomassa ikan pelagik
rata sebesar 220 tahun-1.
masing 4.89 tahun-1 dan 14.838 tahun-1.
LBS (Living Bottom Structure) Nilai biomassa kelompok ini diperoleh dari hasil survey Pauly
reef dengan nilai masing-masing 1.70 tahun-1 dan 4.019
Lemuru Untuk kelompok lemuru nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B didapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan Fishbase
tahun-1.
1998. Nilai Biomassa ikan lemuru 2.423 ton·km-2, sedangkan
et.al 1996 dengan nilai rata-rata antara 19.88 - 20 ton·km-2. Sedangkan nilai P/B dan rasio Q/B di peroleh dari penelitian Opitz (1996) yang dilakukan untuk model Caribbean coral
Benthik Infauna Biomassa untuk kelompok ini diperoleh dari rata-rata biomassa hasil penelitian LON-LIPI 1977 - 1979 di laut Jawa dan survey di Laut Cina Selatan sampai Laut Jawa November 1974 Juli 1976 (Pauly et al.1996) dengan nilai biomassa 18.94 ton·km-2. Dan nilai rasio P/B dan Q/B masing-masing 3.00 tahun-1 dan 12.50 tahun-1, diperoleh dari Model Pantai Brunei (Silvestre et al. 1993). Pelagik Kecil Untuk kelompok pelagik kecil, nilai Biomassa, P/B rasio dan Q/B rasio didapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
kecil 2.56 ton·km-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-
rasio P/B dan Q/B masing-masing 3.56 tahun-1 dan 21.616 tahun-1. Pelagik Sedang Untuk kelompok Pelagik sedang nilai Biomassa, P/B rasio dan Q/B rasio didapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan Fishbase 1998. Nilai Biomassa Pelagik sedang 1.420 ton·km-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 1.811 tahun-1 dan 10.845 tahun-1.
100
Gambar atas: Salah satu produksi nelayan di Teluk saleh selain ikan segar, abon ikan laut dan dendeng ikan adalah rumput laut. Teluk Saleh memiliki
potensi lahan yang sangat menunjang untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma cottonii. Ikan Demersal Untuk kelompok Ikan demersal nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B di dapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan Fishbase 1998. Nilai Biomassa Ikan demersal 1.369 ton·km-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 1.148 tahun-1 dan 9.977 tahun-1. Cakalang Untuk kelompok Cakalang nilai Biomassa, rasio P/B dan Q/B di dapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan Software Fishbase 1998. Nilai Biomassa Cakalang 0.671
101
ton·km-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 1.518 tahun-1 dan 9.717 tahun-1. Hiu Untuk Hiu nilai Biomassa, P/B rasio dan Q/B di dapatkan dengan melakukan survey di Teluk Saleh, dan data yang di dapatkan digabungkan dengan hasil survey LIPI tahun 2000, Laporan Dinas Perikanan dan Kelautan Kab Sumbawa, serta hasil wawancara dengan nelayan lokal dan software Fishbase 1998. Nilai Biomassa Hiu 0.240 ton·km-2, sedangkan rasio P/B dan Q/B masing-masing 0.099 tahun-1 dan 8.93 tahun-1. Burung Laut Karena tidak tersedianya data Biomassa, rasio P/B dan Q/B untuk Burung laut di Teluk Saleh, nilai diperoleh dengan meminjam hasil penelitian biomassa dan rasio P/B dari biomass of Booby in Peru 60 model (Jarre et al., 1991) dalam Buchary E et. Al. (2001) dengan nilai 0.025 ton·km-2 dan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Tabel Hasil Running Basic Estimate Ecopath Ekosistem Teluk Saleh
0.05 tahun-1, sedangkan nilai rasio Q/B meminjam dari ratarata nilai Q/B 4 spesies burung dengan estimasi menggunakan formula empiris (Nilsson and Nilsson., 1976) sebesar 67.67 tahun-1. Detritus Biomassa detritus sebesar 10.50 ton·km-2, diperoleh dari estimasi menggunakan formula empiris oleh Pauly et al (1993) dengan PP = 300 gC/m²/tahun dan E = 50 m.
Hasil Dari Basic Estimation Hasil final dari input parameter (Biomassa, P/B dan Q/B rasio) dan balancing model dapat dilihat pada Tabel diatas, diet matrix pada Tabel halaman berikutnya demikian juga, jumlah tangkapan di Teluk Saleh serta diagram dari trophic level ekosistem Teluk Saleh. Dari Tabel dapat dilihat nilai Ecotrophic Efisiensi (EE), yaitu jumlah makanan yang tersedia pada suatu ekosistem yang
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
dimakan oleh suatu kelompok dalam tingkatan trophic ekosistem. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkatan kelompok dalam trophic level, nilai Ecotrophic Efisiensinya makin kecil. Dari Tabel dapat dilihat pula nilai Ecotrophic Efisiensi untuk kelompok pelagis kecil sebesar 0.98 lebih besar dari nilai Ecotrophic Efisiensi Hiu yang hanya sebesar 0.192. Dari Gambar Flowchart Model Ekosistem Teluk Saleh, Ekosistem Teluk Saleh lebih dari empat trophic level, dengan kelompok Hiu berada di level predator teratas dengan nilai trophic level tinggi yaitu 4.40 dan nilai produksi/konsumsi yang rendah 0.011. Distribusi dari jumlah kelompok fungsional pada trophic level relatif merata antara trophic level rendah (<2.5) dan trophic level intermediet (2.5-3.5). Untuk trophic level rendah ada 8 kelompok fungsional yaitu fitoplankton, Produser Benthik, rumput laut natural, budidaya rumput laut, Mangrove, Terumbu Karang, Zooplankton dan Detritus) dan 4 kelompok untuk trophic level intermediat 102
Tabel Diet Matrix Kelompok Fungsional Teluk Saleh
Tabel Data Hasil Tangkapan (Catch) di Teluk Saleh Tahun 2001-2002
103
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar Flowchart Model Ekosistem Teluk Saleh dimana: B = Biomassa (ton·km-2); P = Produksi (tahun-1); Q = Konsumsi (tahun-1)
yaitu LBS, Benthik Infauna, Pelagis Kecil dan Lemuru, serta 6 kelompok untuk trophic level tinggi (>3.5) yaitu Hiu, Cakalang, Pelagis sedang, Ikan Demersal, Lumba-lumba dan Burung Laut. Jumlah kelompok fungsional yang banyak dalam tingkatan trophic level, seperti tingkatan ke-2 sampai ke-4 menunjukkan tingkat kompetisi yang tinggi dalam memperoleh makanan pada ekosistem tersebut. Sehingga dampak dari adanya kegiatan perikanan tangkap harus diperhitungkan dalam pengelolaan ekosistem Teluk Saleh. Karena, jika kegiatan perikanan tangkap di Teluk Saleh menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, maka akibatnya sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut akan terancam keberlanjutannya. Dari Gambar diatas juga dapat diketahui bahwa sumbangan transfer energi terbesar diberikan oleh Primary Producers, sebesar 19.8 %.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Dari hasil analisis terhadap kegiatan perikanan tangkap di Teluk Saleh untuk kelompok fungsional pelagis kecil, lemuru, pelagis sedang, ikan demersal dan cakalang menunjukkan angka Expectation rate dengan rumus perhitungan (E = fishing catch/total mortality) yang masih rendah (low eksploitation) yaitu berkisar antara 0.01 - 0.5. Dengan demikian dari hasil ini menunjukkan, bahwa kegiatan perikanan tangkap di Teluk Saleh masih layak untuk dikembangkan.
RESUME Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidrooseanografi dan ecopath maka dapat diresumekan sebagai berikut : 1.
Suhu berkisar antara 27.0 - 29.05 ºC, dengan rerata 27.78 ºC, salinitas di perairan Teluk Saleh rata-rata
104
32.77‰. Nilai pH sebesar 8.0, dan pH ini relatif sama untuk setiap stasiun pengamatan sedang tingkat kecerahan air laut berkisar antara 6.0 8.0 meter dengan rata-rata 13.40 meter. Pengamatan terhadap benda padat terapung, lapisan minyak dan bau adalah nihil. 2.
Kondisi arus permukaan pada bulan Oktober di perairan Teluk Saleh didominasi oleh arus yang mengalir memasuki Teluk Saleh melewati Selat Batahai.
3.
Pola arus di bagian utara perairan Teluk Saleh jauh lebih dinamis dibandingkan pola arus di bagian selatan yang cenderung stabil selama simulasi dilakukan.
4.
105
Tunggang pasang surut maksimum rata-rata pada bulan Oktober 2003 berdasarkan hasil prediksi
adalah 140,16 143,68 cm, dengan kondisi rata-rata tunggang pasut maksimum lebih tinggi di perairan Teluk Saleh sebelah timur daripada sebelah barat. 5.
Pola pergerakan arus permukaan yang dibangkitkan oleh pasang surut pada kondisi purnama secara umum : pada saat air menjelang surut, arus memasuki Teluk Saleh melalui Selat Batahai dan keluar meninggalkan teluk Saleh melalui Selat Saleh. Saat pasang, aliran arus berkecepatan tinggi yang berasal dari Selat Batahai menimbulkan eddy yang terbentuk dengan baik dan terbentuk pula zonazona depresi.
6.
Ekosistem Teluk Saleh terdiri dari 18 kelompok fungsional
7.
Tingkatan Trophic level Teluk Saleh lebih dari empat tingkatan, dengan distribusi jumlah kelompok
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
fungsional yang merata pada setiap level. 8.
Sumbangan Transfer Energi terbesar diberikan oleh kelompok fungsional Primary Producers di trophic level 1, dengan nilai 19.8 %.
9.
Nilai Expectation rate dari kegiatan perikanan tangkap di Teluk Saleh berkisar antara 0,01 0,5.
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
106
Teluk Ekas
P
erairan Teluk Ekas secara administratif berada dalam dua kabupaten yaitu Lombok Timur dan Lombok Tengah, provinsi Nusa Tenggara Barat. Terdapat lima desa di sekitar teluk ini yaitu Desa Awang yang masuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Tengah dan 4 desa lainnya yaitu Desa Batu Nampar, Desa Pemongkong (Ekas), Desa Saung (Sukaraja) dan Desa Ujung masuk dalam wilayah Kabupaten Lombok Timur. Teluk Ekas mempunyai luas 5312,68 hektare atau 53,1268 km², meskipun tidak begitu luas tetapi teluk ini memiliki keunikan tersendiri yaitu berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia tetapi relatif terlindung terhadap gelombang karena letaknya menjorok ke dalam. Disamping itu berdekatan juga dengan Selat Alas yang menghubungkan massa air dari Samudra Indonesia dengan Samudra Pasifik sehingga teluk ini menampung banyak suplai nutrien untuk ekosistem pesisir daerah ini. Teluk ini dikelilingi oleh dataran tinggi serta tebing karang dengan kontur tanah yang terjal dan tekstur tanah umumnya pasir putih dan sedikit lempung. Kedalamannya bervariasi dari 0 sampai 70 km.
Hidro-oseanografi Kondisi berikut ini merupakan hasil survey Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2002 dan 2003. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan, temperatur di perairan Teluk Ekas berkisar 25,8 -27,6°C, salinitas berkisar 34,4-34, 8 ‰, sedang nilai pH adalah 7.5-8. Pasang Surut Berdasarkan pengamatan terhadap hasil prediksi pasang surut menggunakan Oritide Global Tide Model untuk bulan Januari 2004 dan peta distribusi tipe pasut Se-Asia Tenggara dari Wrytki (1961) diperoleh bahwa tipe pasut di perairan Teluk Ekas adalah campuran cenderung harian ganda (mixed tide prevailing semidiurnal). Hasil prediksi tersebut menunjukkan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
108
Elevasi Muka Air (cm) Air Pasang Tertinggi
+128,67
Air Surut Terendah
-130,96
Tunggang Maksimum
258,63
Tabel Hasil Prediksi Tinggi Air Pasang Surut dan Tunggang Maksimum Januari Tahun 2004
dengan tunggang maksimum sekitar 258.63 cm. Hidrodinamika Hasil Simulasi arus pasut secara umum menunjukkan bahwa arus yang memasuki Teluk Ekas berasal dari Samudera Hindia yang terletak di sebelah Selatan Pulau Lombok. Hasil simulasi menunjukkan bahwa arus bergerak keluar masuk Teluk Ekas sesuai dengan pola pasang surut yang ada. Pola sirkulasi di daerah teluk juga dipengaruhi oleh kondisi batimetrinya, dimana pada saat surut daerah coral reef (bagian paling ujung Timurlaut dari teluk) menjadi darat. Fenomena tersebut sangat jelas terlihat pada kondisi purnama saat air surut dan efeknya masih tampak hingga saat air menjelang pasang. Fenomena tersebut pada kondisi perbani juga tampak tetapi tidak sekuat pada saat kondisi purnama. Pola Arus Pasut Kondisi Perbani Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut perbani (Neap Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air surut memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arus mencapai maksimum 0.01 m/detik di bagian mulut teluk dan ujung utara teluk, dengan arah menuju keluar teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian utara lebih tinggi (1.233 m) daripada elevasi di mulut teluk (1.232 m). Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara
109
umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.01 m/detik di bagian mulut teluk dan ujung utara teluk, dengan sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sebagian kecil berbalik arah keluar teluk tepatnya di bagian barat mulut teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian utara lebih rendah (1.134 m) daripada elevasi di mulut teluk (1.135 m) Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arusnya mencapai rata-rata 0.01 m/detik dengan sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sebagian kecil berbalik arah keluar teluk tepatnya di bagian barat mulut teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana
South Boundary 3
2.5
2
Elevation (m)
bahwa pada bulan Januari 2004 tinggi rata-rata air pasang tertinggi adalah +74,56 cm, air surut terendah 69,12 cm,
1.5
1
0.5
0 0
50
100
150
200
250
300
350
Time (s)
Gambar Elevasi Muka Laut Teluk Ekas selama 14 Hari di Batas Terbuka Area Model Bagian Selatan
elevasi bagian ujung utara lebih rendah (1.969 m) daripada elevasi di daerah sekitarnya (1.970 m). Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.01 m/detik dengan sebagian besar mengarah keluar teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian ujung utara lebih tinggi (1.986 m) daripada elevasi di daerah sekitarnya (1.985 m). Pola Arus Pasut Kondisi Purnama
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Pola arus pasut hasil simulasi model pada kondisi pasut purnama (Spring Tide Condition) adalah sebagai berikut: Saat air surut memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arus mencapai maksimum 0.01 m/detik di bagian mulut teluk dan ujung utara teluk, dengan arah menuju keluar teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana
Gambar bawah: Teluk Ekas mempunyai keunikan tersendiri yaitu berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia tetapi relatif terlindung terhadap gelombang karena letaknya menjorok ke dalam. Namun pada Musim Barat, gelombang yang cukup besar bisa dengan mudah datang secara tiba-tiba.
Tabel Ecopath
No.
Kelompok Fungsional
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Detritus Phytoplankton Benthic Producer Rumput laut hasil budidaya Mangrove Terumbu Karang Zooplankton Benthic fauna Udang Penaid Chepalopoda
11
Small pelagics (< 30 cm)
12
Ikan Demersal Kecil RA-NH (< 30 cm)
13
Ikan Demersal Kecil RA -H (< 30 cm)
14
Ikan Demersal Kecil NRA (< 30 cm)
15
Ikan Pelagik Besar ( > 30 cm)
16 17
Dolphin Burung Laut
Komponen Kelompok
Seagrass, Seaweed Euchema cotomii Soneratia alba, Avicennia marina
Horny star, Gastropoda Penaeus monodon Sepia sp (cuttlefish) Rastrelliger kanagurta, Decapterus ruselli, Sardinella lemuru, Chanos chanos, Trichiurus lepturus, Stolephorus comersonii, Apogon amboinensis, Sardinella gibbosas Lethrinus atkinsoni, Myripristis berndti, Lethrinus enigmaticus, Pomadasys maculatus, Caranx melampygus, Gerres oyena, Caesio cuning, Liza subviridis Siganus canaliculatus, Oxyurichtyhys spp, Abudefduf sexfaciatus Leiognatus splendens, Nemipterus zysron, Nemiptherus bathybius Euthynus affinis, Katsuwonus pelamis, Scombromerus comersonii
diduga karena penumpukkan massa di bagian ujung Timurlaut teluk. Saat air pasang memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.01 m/detik dengan sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sebagian kecil berbalik arah keluar teluk tepatnya di bagian barat mulut teluk. Sementara itu terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian ujung Timurlaut (2.385) dan mulut teluk lebih tinggi (2.384 m) daripada elevasi di bagian barat (2.382 m).
elevasi bagian utara lebih tinggi (0.740 m) daripada elevasi di mulut teluk (0.737 m). Saat air menjelang pasang memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arusnya mencapai maksimum 0.025 m/det di bagian ujung utara teluk, dengan sebagian besar mengarah masuk ke teluk. Sementara itu terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian utara lebih tinggi (0.689 m) daripada elevasi di mulut teluk (0.687 m). Hal ini terjadi
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Pola arus saat air menjelang surut memperlihatkan bahwa secara umum kecepatan arusnya mencapai rata-rata 0.03 m/detik dengan sebagian besar mengarah keluar teluk. Hal ini terjadi karena terjadi perbedaan elevasi dimana elevasi bagian ujung Timurlaut lebih tinggi (2.222 m) daripada elevasi di daerah sekitarnya (2.218 m).
Ecopath Input Model dan Balancing Model Ecopath Data dan informasi yang digunakan untuk membangun model ekosistem ini diambil dari beberapa sumber baik dari hasil 110
Peta kedalaman Teluk Ekas
111
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
a
b
c
d
Gambar 6.2 Pola arus dan elevasi muka air untuk keseluruhan Perairan Teluk Ekas saat kondisi perbani pada: (A) Surut, (B) Menjelang pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang surut
a
b
c
d
Gambar Pola arus dan elevasi muka air keseluruhan Perairan Teluk Ekas saat kondisi purnama pada: (A) Surut, (B) Menjelang pasang, (C) Pasang, (D) Menjelang surut
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
112
Gambar samping: Rumput laut yang dibudidayakan jenis Eucheuma cottonii yang merupakan sumber utama Carrageenan. Lombok Timur memproduksi 2.140 ton per tahun.Carrageenan adalah jelly/gum terbuat dari rumput laut yang mempunyai kegunaan antara lain; gelling agent dan stabiliser.
publikasi maupun bukan. Data primer yaitu data penangkapan ikan di perairan Teluk Ekas diperoleh dari hasil penelitian di lapangan. Berdasarkan data primer dan sekunder yang di dapat di lapangan, ekosistem di Teluk Ekas dapat di kelompokkan dalam 17 (tujuh belas) termasuk detritus. Dalam hal ini terdapat beberapa data dan informasi yang tidak tersedia untuk beberapa kelompok fungsional sehingga
digunakan data dari ekosistem yang terdekat dengan daerah studi. Informasi untuk diet composition dari setiap spesies ikan diperoleh dari database Fishbase (Fishbase 2000), sedangkan untuk spesies non-ikan diperoleh dari beberapa model dalam Pauly and Christensen (1993) dan literaturliteratur lainnya. Dilakukan beberapa modifikasi dalam diet composition untuk mendapatkan keseimbangan model.
Gambar bawah: Lumba-lumba yang sering tampak di Teluk Ekas sama sekali tidak dirasakan sebagai pengganggu oleh para nelayan. Bahkan banyak dilaporkan, nelayan yang kecemplung di laut ditolong lumba-lumba.
dari Gulf of Thailand 10 - 50 m sub model sebesar 200 tahun1
dan dari Brunei sebesar 71,2 tahun-1 (Buchary, 1999). Produsen Bentik Kelompok produsen bentik terdiri dari alga (seaweed) dan lamun (seagrass). Parameter B dan P/B diadopsi dari model Laut Cina Selatan yaitu 153 ton·km-2 dan 11,885 tahun-1. Dari data DKP Lombok Timur diketahui bahwa jenis seaweed yang banyak terdapat di perairan Teluk Ekas adalah sangosango (Gracilaria sp) dan Eucheuma cottonii. Rumput Laut Hasil Budidaya Rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottonii, berdasarkan data dari DKP Lotim produksi per tahun dari budidaya rumput laut 2140 ton. Nilai P/B sebesar 15.340 tahun-1diperoleh dari hasil estimasi P/B di Philipina (Alino et.al., 1993). Mangrove Hutan mangrove yang berada di sekitar perairan Teluk Ekas adalah seluas 70.478 m2, bagian utara Pantai Ekas : 132397 m2 (Bappeda NTB, 1999). Jenis mangrove yang ada adalah Sonneratia alba dan Avicennia marina. Dari hasil penelitian di daerah Maluku, nilai estimasi untuk B adalah 32.779 ton·kmGambar atas: Avicennia marina salah satu jenis mangrove yang terdapat pada hutan mangrove di daerah Saung (Batunampar) dengan
luas 70.478 m2
Detritus Parameter input yang diperlukan dalam detritus adalah biomasa, dimana nilai biomasa yang digunakan diambil dari model Selat Bali sebesar 10,50 ton·km-2 tahun-1 (Buchary, et.al., 2002). Fitoplankton Biomasa fitoplankton dari hasil penelitian DKP et.al., (2000) di Teluk Ekas yaitu 3,798 ton·km-2, dimana fitoplankton didominasi oleh diatom dan dinoflagelata. Nilai untuk P/B sebesar 135 tahun-1 merupakan hasil estimasi perbandingan
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
2
.tahun-1dan P/B adalah 4.450 tahun-1.
Terumbu Karang Berdasarkan hasil penelitian DKP, et.al (2000) pada umumnya terumbu karang dalam kondisi yang kurang bagus dengan tutupan karang batu kurang dari 25% berupa koloni karang foliose Montipora sp dan Porites sp, dijumpai pula karang masih Galaxea, Pavona, Acropora dan Millepora. Benthic Fauna Total biomasa dari kelompok chepalopoda adalah 0.09 ton·km-2 dari model Selat Bali (Buchary et.al., 2002) dan P/B dari the P/B of meiobenthos di Monteray Bay; 9.0 tahun-1 dan nilai Q/B adalah 30.0 tahun-1 (Olivieri, et al., 1993). Udang Penaid Biomasa P/B dan Q/B dari Penaid shrimp didapatkan dari model Laut Jawa sebesar 0.556 ton·km-2dan 13 tahun-1dan 70.0 tahun-1 (Buchary, 1999) 114
Tabel Diet Matrix Kelompok Fungsional Teluk Ekas
Tabel Input data yang digunakan dalam model ecopath
115
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Gambar Flowchart Model Ekosistem Teluk Ekas dimana: B = Biomassa (ton·km-2); P = Produksi (tahun-1); Q = Konsumsi (tahun-1)
Chepalopoda Parameter input B dan P/B didapat dari model Laut Jawa
karena hanya sementara, ikan ini bermigrasi dari Samudera Indonesia. Lumba-lumba Total biomasa lumba-lumba adalah 0.004 ton·km-2 dan P/B
sebesar 0.09 ton·km-2 dan 3.1 tahun-1. (Buchary, 1999). Nilai
adalah 0.02 tahun . dari model Selat Georgia (Martel., et al.,
-1
-1
P/B sebesar 3.1 tahun diperoleh dari kelompok chepalopoda model Teluk Thailand 10-50 sub model (Pauly and
2002) dan Q/B = 14.07 tahun-1 dari Browder (1993).
Christensen, 1993) dan Q/B sebesar 16.0 tahun-1dari model Selat Bali (Buchary et.al., 2002).
Burung Laut Total biomasa burung laut adalah 0.005 ton·km-2 dari model
Kelompok Ikan Jenis-jenis ikan yang ada di perairaan Teluk Ekas dikelompokkan ke dalam 4 kelompok berdasarkan ukuran, habitat dan tipe makan/pemangsaan dan parameter input B, P/B dan Q/B. Ikan dengan panjang badan rata-rata lebih kecil dari 30 cm dikategorikan dalam kelompok small (kecil) dan yang lebih besar dari 30 cm masuk kategori besar (large). Sementara itu dolphin mempunyai functional group tersendiri
tahun-1 dari model Selat Bali (Buchary et.al., 2002).
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Kontania. Nilai P/B adalah 0.050 tahun-1 dan Q/B = 67.670
Hasil dan pembahasan Hasil final dari input parameter (Biomassa, P/B dan Q/B rasio) dan keseimbangan model Ecopath perairan Teluk Ekas dapat dilihat pada Tabel dihalaman samping serta Tabel diet matriks, jumlah, serta flow chart model ekosistem Teluk Ekas.. 116
sistem di perairan sedang dan subtropis, export produksi Distribusi dari kelompok fungsional dalam trophic level relatif
fitoplanktonnya ke dalam detritus sekitar 50 % atau lebih.
tidak merata dimana trophic level rendah (< 2.5) sebanyak 10 kelompok, intermediate (2.5-3.5) sebanyak 5 kelompok
Tabel menunjukkan estimasi diet matriks untuk komponen-
dan 2 kelompok mempunyai trophic level lebih besar dari
komponen kelompok yang digunakan dalam model. Sebagian
3.5. Lumba-lumba merupakan top predator dalam ekosistem
besar nilai-nilai ini berasal dari studi tingkah laku makan secara
perairan Teluk Ekas. Estimasi nilai EE berkisar antara 0.000
kualitataif yang kemudian diestimasi secara kuantitatif
pada produsen benthik sampai 0.986 untuk kelompok
(beratnya) untuk diet composition. Diet awal ditentukan lebih
pelagik kecil. Dari hasil estimasi tersebut maka dapat diduga
dulu kemudian dilakukan pendekatan dan modifikasi untuk
bahwa pelagik kecil merupakan sebuah komponen
mendekati limit nilai Ecotrophic Efficiensi (EE < 1).
tereksploitasi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap komponen-komponen kelompok lainnya.
RESUME Dari pemaparan hasil dan pembahasan berdasarkan hidro-
Dari tabel sebelumnya terlihat bahwa produktivitas primer
oseanografi dan ecopath di perairan Teluk Ekas maka dapat
perairan termasuk rendah dilihat dari biomassa fitoplankton
diresumekan sebagai berikut :
sebesar 3,798 ton·km-2, sementara nilai EE-nya adalah 0.922 dianggap sebagai nilai yang konservatif untuk parameter ini. Walsh (1983) menyatakan bahwa sejumlah 117
1.
Suhu berkisar 25,8-27,6 °C, salinitas berkisar 34,434, 8 ‰, . Nilai pH sebesar 8.0, dan sedang nilai
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
pH adalah 7.5-8. 2.
2.5) sebanyak 10 grup, intermediate (2.5 - 3.5) sebanyak 5 grup dan 2 grup mempunyai trophic
Kondisi arus permukaan pada bulan Januari 2004
level lebih besar dari 3.5.
didominasi oleh arus yang mengalir keluar masuk sesuai dengan pola pasang surut. 3.
7.
perairan Teluk Ekas. Estimasi nilai EE berkisar antara
Kecepatan arus cenderung kuat ketika mendekati
0.000 (produsen benthik) sampai 0.986 (pelagis
bagian Ujung Timurlaut, dan di mulut Teluk Ekas. 4.
Elevasi pasang tertinggi dan surut terendah rata-rata pada bulan Januari 2004 berdasarkan hasil prediksi
kecil). 8.
komponen-komponen kelompok lainnya.
dengan tunggang maksimum rata-rata 258,63 cm. Ekosistem Teluk Ekas terdiri dari 17 kelompok fungsional 6.
Distribusi kelompok fungsinal dalam trophic level
Pelagik kecil merupakan komponen tereksploitasi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap
berturut-turut adalah +128.67 dan -130.96 cm,
5.
Dolphin merupakan top predator dalam ekosistem
9.
Produktivitas primernya termasuk rendah dilihat dari biomassa fioplankton sebesar 3,798 ton/km2, sementara nilai EE-nya adalah 0.922 dianggap sebagai nilai yang konservatif.
relatif tidak merata dimana trophic level rendah (<
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
118
6.
Dengan keterbatasan yang ada dalam hal ketersediaan data, kita dapat mengetahui prioritas penelitian yang akan dilakukan kedepan, yakni dengan tidak melakukan pengulangan penelitian bagi sesuatu topik. Lebih baik hal ini diarahkan untuk mengisi kekosangan dalam mengestimasi berbagai parameter populasi seperti biomassa dan kebiasaan makan (feeding habit) dari berbagai species yang tergolong ekonomis penting.
7.
Estimasi dari paramater populasi seperti yang dipaparkan dalam kajian ini merupakan standard bagi penggunaan ecopath apabila akan dilakukan di daerah lain.
8.
Pendekatan Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) menunjukkan bahwa: 'Aspek teknologi, yang terdiagnosa berkinerja rendah sehubungan dengan penggunaan caracara penangkapan ekstraktif, pada kondisi ekologis yang baik, tidak mampu menciptakan kinerja ekonomi yang baik'.
9.
Meningkatnya intensitas dan kualitas konflik antar alat tangkap atau kelompok nelayan perlu diwaspadai karena dapat menjurus pada turunnya kinerja perikanan wilayah tersebut, yang berarti menempatkan perikanan ini pada resiko ketidak-berlanjutan yang lebih besar.
10.
Perlunya penyempurnaan kebijakan menyangkut keberadaan alat yang destruktif, pemberdayaan nelayan lokal, pembatasan investasi yang menjurus pada inefisiensi dan overeksploitasi dan, sinkronisasi pengaturan. termasuk kebijakan perijinan antara pengelola pelabuhan dan dinas perikanan.
Kesimpulan 1.
2.
3.
Melihat pentingnya peranan oseanografi pada studi-studi sektor kelautan, kerjasama dan koordinasi antara penyedia dan pengguna data untuk menghasilkan produk jasa aplikasi oseanografi yang melibatkan seluruh instansi dirasakan mendesak untuk direalisasikan. Dalam rangka memahami interaksi laut dan habitat didalamnya secara intensif, pengembangan model matematika yang menggabungkan proses di laut dan habitatnya perlu untuk lebih ditingkatkan, karena studi ini di Indonesia masih terbatas. Dari studi daya dukung perairan di beberapa lokasi dengan menggunakan metode Ecopath, dipaparkan hasil yang dapat digunakan untuk studi dinamika populasi ikan dengan menggunakan pendekatan multi-species approach. Biomasa yang diestimasi dengan prinsip keseimbangan biomassa dalam suatu ekosistem menghasilkan nilai yang bervariasi terhadap masing-masing kelompok fungsional (functional groups) yang terdapat dalam suatu ekosistem berdasarkan posisi kelompok fungsional dalam trophic level. Hasil kajian ini dapat menjadi bahan acuan bagi pengambil kebijakan perikanan di Indonesia, terutama dalam hal penentuan jumlah serta jenis ikan yang ditangkap.
4.
Hasil penelitian dengan menerapkan metode Ecopath merupakan hal yang pertama kali dilakukan di beberapa perairan Indonesia secara simultan.
5.
Walaupun dengan keterbatasan data yang ada, telah dicoba untuk dihasilkan suatu analisis alur biomassa dalam suatu ekosistem. Hal ini bermanfaat untuk menentukan pola kebijakan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan yang ada dimasing-masing daerah.
119
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Daftar Pustaka Alino, P.M., L.T. Mcmanus, J.W. Mcmanus, C.L. Nanola, JR. M.D. Fortes, G.C. Trono, JR and G.S. Jacinto. 1993. Initial parameter estimations of a coral reef flat ecosystem in Bolinao, Pangasinan, Northwestern Philiphines, p.252-258. In V. Christensen and D. Pauly (eds). Trophic Models of Aquatic Ecosystem. ICLARM Conf. Proc. 26, 390 p. Anonymous, 2003. Statistik perikanan tangkap Propinsi Banten, 2000-2003. Dinas Kelautan dan perikanan Propinsi Banten. Serang. Anonymous, 2003. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung tahun 2002. Dinas Kelautan dan perikanan Propinsi Lampung. Bandar Lampung. Anonymous, 2002. Profil Usaha Rumah Tangga Perikanan Tangkap di Laut Propoinsi Lampung tahun 2002. Kerja sama BPS Propinsi Lampung dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Lampung. Bandar Lampung. Anonymous, 2002. Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Pandeglang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pandeglang. Anonymous, 2002. Statistik Perikanan Tangkap Kabupaten Serang. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang. Anonymous, 2002. Banten Dalam Angka 2001. Badan Pusat Statistik Propinsi Banten. Black, K.P., 2001. Model 3DD Descriptions and User's Guide. ASR Ltd. Hamilton - New Zealand. Berlianty, D., 2002. Studi Dinamika Pasang Surut di Selat
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Sunda. Tugas Akhir, Program Studi Oseanografi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Birowo, S., Uktolseja, H., 1981. Proceedings of the Workshop on Coastal Resources Management of Krakatau and the Sunda Strait Region: Oceanographic Features of Sunda Strait. LIPI, Jakarta, p. 54-75. BRKP., 2002. Peta Oseanografi Wilayah Perairan Indonesia. Integrasi Data Riset Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan & Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Browder, J.A. 1993. A Pilot Model of The Gulf of Mexico Continental Shelf. p:279-284. In V. Christensen and D. Pauly (eds). Trophic Models of Aquatic Ecosystem. ICLARM Conf. Proc. 26, 390 p. Buchary, E.A.1999. Evaluating the effect of the 1980 trawl ban in the Java Sea, Indonesia : An ecosystem-based approach. Department of Resource Management and Environmental Studies. The University of British Columbia. M.Sc. thesis. 134 p. Buchary, E.A., Jackie Alder, Subhat Nurhakim and Tony Wagey. 2002. The use of ecosystem modelling to investigate multi-species management stategies for capture fisheries in the Bali Strait, Indonesia. Fisheries Centre Research Centre Reports Vol.10(2):24 - 32. Carey, D. (1993). Development based on carrying capacity: a strategy for environmental protection. Global Environmental Change, June, 140-148. Christensen, V and D. Pauly. 1992. A guide to the ECOPATH II software system (version 2.1). ICLARM Software 6. 72 p. Christensen, V., and D. Pauly. 1992. ECOPATH II - A software for balancing steady-stae models and calculating network characteristics. Ecol. Model. (61): 169-185 Clarke, A.L. 2002. Assessing the Carrying Capacity of the
120
Florida Keys. Population and Environment. (23): 405 - 418 Cohen, J. (1995). How many people can the Earth support? New York: Norton. Dhont, A. 1988. Carrying Capacity: A confusing concept. Acta Oecologia (9): 337 - 346 Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Universitas Mataram. 2000. Laporan studi penilaian sumberdaya dan ekologi di Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Dishidros TNI AL, 1985. Informasi Lingkungan Laut Selat Sunda, Jakarta Dislutkan Lampung, 2003. Potensi Lampung Belum Tergarap Optimal. http;//www.lampungonline.com/1popertanian/tani210803perikanan.html Eliza, L. 2000. Industri Pengolahan Perikanan Sebagai Peluang Investasi. http://www.dkp-banten.go.id/IrLimEliza01.htm Fitriyanto, M.S., 1993. Penerapan "Model Sarang" (Nested Model) dalam Studi Hidrodinamika Perairan Pantai Suralaya, Serang, Jawa Barat. Thesis Pasca Sarjana, Jurusan Fisika, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hatayama, T., Awaji, T., Akimoto, K., 1996. Tidal Currents in the Indonesian Seas and Their Effect on Transport and Mixing. Journal of Geophysical Research, 101, No. C5, American Geophysical Union, 12353-12373 Harris, J. & Kennedy, S. (1999). Carrying capacity in agriculture: Global and regional issues. Ecological Economics, 29, 443-461. Joardar, S. (1996). Carrying capacity based planning for citiesConcept and procedure. SPACE, 11, 7-16. Kurniawati, N., 2003. Kajian Massa Air dan Dinamika Arus di Selat Sunda. Tesis Magister, Bidang Khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
121
McConnell, R. (1995). The human carrying capacity of the Chesapeake Bay watershed: A preliminary analysis. Population and Environment, 16, 335-351. Marshall, S. and M. Elliot. 1998. Environmental influences on the fish assemblages of the Humber estuary, UK. Estuarine, Coastal and Shelf Science. (46): 175-184. Matsumoto, K., 1996. ORI Description dalam A Collection of Global Ocean Tide Models CD ROM. Jet Propulsion Laboratory, Physical Oceanography Distributed Active Archieve Center, NASA, US. Martel, S.J.D., Alasdair I. Beattie, Carl J. Walters, Tarun Nayar and Robyn Briese. 2002. Simulating fisheries management strategis in the Strait of Georgia ecosystem using Ecopath with Ecosim. Fisheries Centre Research Centre Reports Vol. 10(2):16 - 23. Nijkamp, P. 1980. Environmental Policy Analysis, Operational methods and Models. John Wiley and Sons. New York. Ningsih, N.S., Berlianty, D., Latief, H., Frida, 2003., Penigkatan Informasi Peta Fishing Ground Melalui Integrasi dan Kalibrasi/Validasi Model 3D Hidrodinamika. Laopran Interim. PS Oseanografi - ITB dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Olivieri, R.A., A.Cohen aand F.P. Chavez. 1993. An ecosystem model of Monterey Bay, Caalifornia. p.315-322. In V.Christensen and D.Pauly (eds) Thropic models of aquatic ecosystems. ICLARM Conf. Proc. 26. Pauly, D and V. Christensen. 1993. Stratified models of large marine ecosystems : A general approach and an application to The South China Sea p:148-174. In K.Sherman, L.M, Alexander and B.D. Gold (eds). Large Marine Ecosystem : stress, mitigation and sustainability. AAAS Press Washington, DC. Pauly, D., and V. Christensen. 1995. Primary Production required to sustain global fisheries. Nature (374): 255-257
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Pawlowicz, R., Beardsley, B., Lentz, S., 2002. Classical Tidal Harmonic Analysis Including Error Estimates in MATLAB using T_TIDE. Computer and Geosciences, 28, p. 929-937. Pitcher, T.J. and D. Preikshot, 2001. Rapfish: A Rapid Appraisal Technique to Evaluate the Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49 (3):255-270. Polovina, J.J and M.D. Ow. 1983. An approach to estimating an ecosystem box model. U.S. Fish. Bull. 83(3):457-460. Postel, S. (1994). Carrying capacity: the Earth's bottom line. In L. Mazur (Ed.), Beyond the numbers: A reader on population, consumption, and the environment (pp. 48-70). Washington, DC: Island Press. Pugh, D.T., 1987. Tides, Surges, and Mean Sea-Level: A Handbook for Engineers and Scientists. John Wiley & Sons Ltd, Great Britain. Rivera, P.C., 1997. Hydrodynamics, Sediment Transport, and Light Extinction Off Cape Bolinao, Philippines. Dissertation, the Wageningen Agricultural University and the International Institut for Infrastructural, Hydraulic and Environmental Engineering, A.A. Balkema Publishers, Rotterdam.
Tangkapan Ikan layang di Perairan bagian Selatan Paparan Sunda. Syamsudin, F. 2003. Puncak Musim tangkap Tongkol di Selat Sunda. http://www.kompas-cetak//0308/13/bahari/488559. Walsh. J.J., 1983. Death in the sea : enigmatic phytoplankton losses. Prog. Oceanogaphy 12(1) : 1 - 86. Wigjokentjana, B., 1990. Studi Numerik Pasang Surut Komponen M2 di Selat Sunda. Tugas Akhir Sarjana, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Wiryawan, B., D. Bengen, I. Yulianto, H.A. Susanto, A.K. Mahdi, M. Ahmad. 2002. Profil Sumberdaya Pulau Sebesi, Kecamatan Rajabasa, Kab Lampung Selatan. Penerbitan Khusus Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University of Rhode Island, 49 hal. Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southern Asian Waters. Naga Report Volume 2. Scripps Institution of Oceanography, San Diego, California.
Schneider, D., Godschalk, D. & Axler, N. (1977). The carrying capacity concept as a planning tool. Planning Advisory Service. Report no. 338. Chicago: American Planning Association. Silvestre, G., S. Selvanathan and A.H.M. Saleh. 1993. Preliminary trophic model of coastal fisheries resources of Brunei Darussalam, South China Sea, p:300-306. In V. Christensen and D. Pauly (eds). Trophic Models of Aquatic Ecosystem. ICLARM Conf. Proc. 26, 390 p. Spence, I and Young, F.W. 1978. Monte Carlo Studies in Nonmetric Scaling. Phycometrica, 43(1): 75-89. Suherman dan B. Atmaja, 1999. Variasi Geografis Hasil
DAYA DUKUNG SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
122