MODEL EKOWISATA KAWASAN HUTAN MANGROVE BERBASIS DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN DAN RESILIENSI EKOLOGI (Kasus Ekowisata Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat)
FUAD MUHAMMAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Ekowisata Kawasan Hutan Mangrove Berbasis Daya Dukung Fisik Kawasan dan Resiliensi Ekologi (Kasus Ekowisata Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Fuad Muhammad NRP P 062070131
ii
ABSTRACT FUAD MUHAMMAD. A Mangrove Ecotourism Model Based on Physical Carrying Capacity and Ecological Resilience (The Case of Blanakan Mangrove Ecotourism, Subang, West Java). Under Direction of SAMBAS BASUNI, ARIS MUNANDAR, and HERRY PURNOMO.
Increasing tourist arrivals at Blanakan mangrove triggers a threat to environment if the exploitation exceed its carrying capacity. The aims of this study are (1) to identify potential attraction and evaluate biophysical conditions, (2) to understand impact of tourism activities to Blanakan mangrove ecotourism, (3) to calculate the physical carrying capacity and identify the type of ecological resilience, and (4) to develop management model based on physical carrying capacity and ecological resilience. The results showed that Blanakan mangrove ecotourism has mangrove vegetation and crocodiles breeding as attractions. Characteristics of visitors Blanakan dominated by males (63.3%), age group at most 31-40 years (36.7%), educational background senior high school (46.67%), most jobs are private employees (30%), most visitors coming from West Java (60%). The biophysical and chemistry evaluation showed that Blanakan mangrove ecotourism has a capacity to support tourism activities. Biological biodiversity aspects has proven an ability to hold up tourism development. The plankton and makrobenthos diversity index showed that all station were slightly polluted. Effective physical carrying capacity of Blanakan mangrove ecotourism is 825 people per day. Ecological carrying capacity of outing activity is 530 people per ha, boating 106 people per ha and camping 174 people per ha. The water ecosystem resilience of the mangrove ecotourism Blanakan is resilient type which shows that the ecosystem has an ability to recover themselves. This resilient type assure that any disruption upon the ecosystem would automatically recovered if the carrying capacity was not exceedingly utilized. Management model were developed based on four scenarios, they are bussines as usual (BAU), pro environment, pro management, and pro community. Pro environmental scenarios is recommended to be the ideal model management for Blanakan mangrove ecotourism. Pro enviroment scenario showed the ecological sustainability indicators were not exceeded the physical carrying capacity. These scenario has positive impact on the tourism management longer than the other scenarios, the quality of the environment improved, the arising costs of environmental damage could be minimized. The sustainable management strategy of Blanakan mangrove ecotourism were to develop the tourism product and facilities, visitor management, pollution management and increasing assimilation capacity, and community participation.
Key words: ecotourism, mangrove, physical carrying capacity, ecological resilience.
iii
RINGKASAN FUAD MUHAMMAD. Model Ekowisata Kawasan Hutan Mangrove Berbasis Daya Dukung Fisik Kawasan dan Resiliensi Ekologi (Kasus Ekowisata Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat). Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, ARIS MUNANDAR dan HERRY PURNOMO. Negara Indonesia memiliki kekayaan alam, keanekaragaman hayati (tingkat genetik, jenis/spesies dan ekosistem), peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumberdaya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Salah satu ekosistem unik yang menempati wilayah pesisir adalah ekosistem hutan mangrove. Hutan mangrove Blanakan merupakan hutan lindung berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 196/KPTSII/2003, sehingga pemanfaatan secara materi tidak diperbolehkan dilakukan di kawasan ini. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 1986 Pemerintah memberi kuasa kepada Perum Perhutani untuk mengelola dan memanfaatkan potensi hutan tersebut. Oleh karena itu Perum Perhutani III melalui unit Kesatuan Bisnis Mandiri – Agroforestry, Ekowisata dan Jasa Lingkungan (KBM-AEJ) diberi wewenang untuk mengusahakan dan mengelola ekowisata mangrove Blanakan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Subang No. 2 Tahun 2004, bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Subang di wilayah Pantai Blanakan adalah untuk pengembangan ekowisata hutan mangrove. Hutan lindung mangrove Blanakan mempunyai luas 131,7 ha terletak pada ketinggian 0 - 1 m dpl, dengan konfigurasi lapangan umumnya datar. Objek dan daya tarik wisata utama yang dimiliki adalah hutan mangrove dan penangkaran buaya. Dari berbagai atraksi yang ditawarkan menarik minat kunjungan ke ekowisata mangrove Blanakan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang terus meningkat dan mengindikasikan ekowisata mangrove Blanakan mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata unggulan. Dengan bertambahnya wisatawan yang berkunjung, maka perlu perencanaan dan pengelolaan objek dan daya tarik wisata. Salah satunya adalah melihat kemampuan kawasan untuk menerima jumlah maksimum pengunjung tanpa menimbulkan kerusakan atau menurunnya kualitas kenyamanan pengunjung. Dalam konteks ekowisata, kemampuan suatu kawasan wisata untuk menerima jumlah maksimum wisatawan dinyatakan dengan konsep daya dukung fisik kawasan (carrying capacity). Daya dukung ekologi yang terlampaui akan menimbulkan gangguan/usikan pada ekosistem. Ekosistem yang terusik masih dapat pulih ke keadaan semula, jika gangguan tersebut tidak melebihi ambang batasnya. Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem mampu menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat gangguan itu masih dapat ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali dan menuju pada kondisi keseimbangan (resiliensi ekologi). iv
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi objek wisata dan mengevaluasi kondisi biofisik ekowisata mangrove Blanakan, mengukur tingkat gangguan ekologi kegiatan wisata dan tipe resiliensi ekologi di hutan mangrove Blanakan, menghitung daya dukung fisik kawasan, menyusun model pengelolaan ekowisata berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi dan merumuskan skenario pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Penelitian dilakukan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer tentang karakteristik wisatawan dan masyarakat sekitar diperoleh melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Data primer meliputi aspek fisikkimia meliputi parameter warna, kekeruhan, suhu, tipe substrat, kedalaman, pH, salinitas, BOD, konsentrasi fosfat, nitrat, dan ammonia di perairan Sungai Blanakan. Data aspek biologi meliputi Indeks Nilai Penting (INP) mangrove, kemelimpahan plankton, dan makrobenthos. Pengamatan juga dilakukan terhadap flora dan fauna (ikan, reptilia, aves dan mammalia) di sekitar ekowisata hutan mangrove Blanakan. Analisis dampak kegiatan wisata terhadap kualitas lingkungan dilakukan dengan penentuan kapasitas asimilasi beban pencemaran menggunakan model Chapra dan Reckhow (1983). Kualitas perairan ditentukan dengan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada fitoplankton dan makrobentos (Krebs 1999). Penghitungan daya dukung fisik kawasan terhadap jumlah maksimal pengunjung ditentukan dengan menggunakan penghitungan daya dukung fisik menurut Cifuentes (1992). Data sekunder diperoleh dari responden (wisatawan dan masyarakat sekitar), pakar dan instansi terkait. Pengembangan model dinamis dilakukan melalui tahapan, yaitu: identifikasi isu; tujuan dan batasan; konseptualisasi model; spesifikasi model; evaluasi model dan penggunaan model untuk membuat skenario dan alternatif kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan atraksi unggulan ekowisata mangrove Blanakan adalah keindahan dan keunikan vegetasi mangrove, berbagai jenis fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, kegiatan penduduk setempat dalam pemanfaatan sumberdaya mangrove, penangkaran buaya, upacara adat dan kesenian daerah (upacara pesta laut/Nadran, Sisingaan), kegiatan berperahu menyusuri pesisir, kegiatan berkemah, memancing, dan taman bermain anak. Hasil evaluasi terhadap aspek fisik kimia dan biologi kawasan ekowisata mangrove Blanakan dapat diidentifikasi aspek fisik kimia kawasan masih dalam kondisi yang baik untuk mendukung kegiatan wisata. Aspek biologi berupa keanekaragaman hayati (flora dan fauna) sangat sesuai untuk pengembangan wisata. Karakteristik pengunjung ekowisata mangrove Blanakan didominasi oleh laki-laki (63,3%). Kelompok usia pengunjung yang paling banyak adalah 31-40 tahun (36,7%), berlatar belakang pendidikan SMA (46,67%), pekerjaan paling banyak adalah pegawai swasta (30%) dengan penghasilan antara Rp 3.000.000Rp 5.000.000 per bulan (36,7%). Pengunjung paling banyak berasal dari Jawa Barat (60%). Persepsi pengunjung terhadap objek ekowisata mangrove Blanakan menyatakan baik untuk keunikan sumberdaya wisata (mangrove) dan penangkaran buaya. Harapan pengunjung terhadap pengembangan kawasan v
wisata adalah penambahan atraksi wisata dan pagelaran seni dan budaya. Faslitas yang perlu ditambah dan diperbaiki adalah menara pengamatan, shelter dan jembatan kayu. Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada plankton dan makrobenthos berada dalam rentang 1 dan 3. Hal ini menunjukkan bahwa perairan kawasan ekowisata mangrove Blanakan tergolong tercemar ringan. Daya lenting perairan di kawasan ekowisata mangrove Blanakan termasuk dalam tipe resilien, yang berarti bahwa ekosistem mampu pulih dengan cepat pada keadaan semula setelah terkena gangguan. Dengan tipe daya lenting resilien ekosistem mangrove Blanakan mampu bertahan terhadap gangguan dari luar ekosistemnya, dengan syarat daya dukung lingkungannya tidak terlampaui. Daya dukung efektif kawasan ekowisata mangrove Blanakan sebesar 825 orang per hari. Sedangkan daya dukung ekologi untuk kegiatan piknik sebesar 530 orang per ha, berperahu 106 orang per ha dan berkemah 174 orang per ha. Dengan tingkat kunjungan rata-rata per hari 57 orang menunjukkan bahwa daya dukung di kawasan wisata tersebut belum terlampaui. Berdasarkan hasil identifikasi isu pengembangan model, ada 4 isu potensi permasalahan pokok, yaitu (1) adanya potensi dampak terhadap fungsi konservasi hutan mangrove Blanakan berupa pencemaran; (2) pengelolaan belum optimal sehingga tingkat pelayanan jasa wisata rendah; (3) kemampuan sumberdaya manusia pengelola belum memadai; dan (4) manajemen pemasaran belum optimal. Model pengelolaan ekowisata mangrove Blanakan yang dikembangkan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan (manfaat ekonomi) dengan memperhatikan kualitas lingkungan dan efisiensi penggunaan lahan. Tindakan pengelolaan yang dilakukan adalah pengelolaan daya dukung, peningkatan kapasitas asimilasi, dan konsekuensi biaya-biaya yang timbul akibat tindakan pengelolaan. Indikator keberhasilan pengelolaan adalah jumlah pengunjung, indeks daya dukung, indeks KDB, pendapatan pengelola dan masyarakat. Berdasarkan tindakan pengelolaan tersebut dikembangkan 4 skenario, yaitu bussines as usual (BAU), pro lingkungan, pro pengelola, dan pro masyarakat. Hasil simulasi model selama 50 tahun menunjukkan bahwa skenario pro lingkungan merupakan pengelolaan yang paling ideal, karena indikator ekologi menunjukkan tingkat keberlanjutan yang ditandai dengan tidak akan terlampauinya daya dukung fisik kawasan sampai akhir simulasi pada tahun 2058. Kondisi ini berdampak pada jangka waktu pengelolaan kawasan wisata lebih lama dibandingkan dengan skenario lain. Hal yang lebih penting adalah dengan kualitas lingkungan yang baik, maka biaya-biaya yang timbul akibat kerusakan lingkungan bisa ditekan. Strategi pengelolaan berkelanjutan ekowisata hutan mangrove Blanakan dilakukan dengan pengembangan produk wisata dan fasilitas penunjang, pengelolaan pengunjung, pengelolaan pencemaran dan peningkatan kapasitas asimilasi serta pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan wisata.
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
vii
MODEL EKOWISATA KAWASAN HUTAN MANGROVE BERBASIS DAYA DUKUNG FISIK KAWASAN DAN RESILIENSI EKOLOGI (Kasus Ekowisata Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat)
FUAD MUHAMMAD
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
viii
Penguji Luar komisi
Pada Ujian Tertutup Selasa 17 Juli 2012 1. Dr. Ir. Istomo, MS 2. Dr. Ir. Tutut Sunarminto, MSi
Pada Ujian Terbuka Selasa 31 Juli 2012 1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS 2. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc
ix
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah ekowisata, dengan judul: Model Ekowisata Kawasan Hutan Mangrove Berbasis Daya Dukung Fisik Kawasan dan Resiliensi Ekologi (Kasus: Ekowisata Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat). Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS, Dr. Ir. Aris Munandar, MS dan Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Dr. Ir. Istomo, MS dan Dr. Ir. Tutut Sunarminto, MSi, yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS dan Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc yang telah berkenan meluangkan waktunya di sela kesibukan yang luar biasa sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), para dosen atas kesempatan belajar dan proses belajar yang telah diberikan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada istri tercinta Liesye Zulfia Rahmah, anak tercinta Emir dan Zidan yang telah memberikan dorongan dan pengorbanannya. Teman-teman seperjuangan Mas Wahyu, Om Rifqi, Bu Elida, Pak Jumari, Pak Agung, Pak Puji dan Pak Narno, atas bantuan dan kerjasamanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2012
Fuad Muhammad
xi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tanggal 17 Juni 1973 sebagai anak pertama (dari 5 bersaudara) dari pasangan Ir. H. Muhammad Bashir dan Hj. Siti Muqodimah. Tahun 1997 penulis menikah dengan Liesye Zulfia Rahmah, S.Psi (Psi) dan dikarunia 2 putra, yaitu Muhammad Emir Risyad (14 tahun) dan Muhammad Zidan Arsyad (12 tahun). Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) di Yogyakarta. Tahun 1991 penulis lulus SMA dan diterima masuk perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Biologi, yang diselesaikan pada tahun 1997. Tahun 1999 penulis diterima bekerja di Universitas Diponegoro Fakultas Sains dan Matematika melalui program Karya Siswa, sekaligus masuk di Program Magister Sains Fakultas Biologi (S-2) UGM. Program Magister Sains diselesaikan pada tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis memperoleh beasiswa dari BPPS Dikti untuk studi Doktoral di Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB). Selama mengikuti program S-3, penulis telah menulis 2 artikel ilmiah. Artikel ilmiah sebagai bagian dari disertasi telah diterima untuk diterbitkan di jurnal Bioma Vol 14 No 2 ISSN 1410-8801 dengan judul Kajian Daya Dukung Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Artikel lain dengan judul Kondisi Biofisik dan Potensi Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat akan diterbitkan di jurnal Biosaintifika Vol 3 No 1 ISSN 1979-6900.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .………………………………………………………………...........
xiii
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………............
xix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xxii
1.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........……..…….…………....……..............……......…
1
1.2. Rumusan Permasalahan....…………………....…………....................
5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................……………….…....
6
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................
6
1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian ........………..........….......…......…....
7
1.6. Novelty (Kebaruan) .........................................…........…………........
8
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
11
2.1. Pengertian Hutan Mangrove ............................................................
11
2.1.1. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove ........................................
11
2.1.2. Zonasi Hutan Mangrove .........................................................
12
2.1.3. Fauna Hutan Mangrove ..........................................................
13
2.1.4. Manfaat Hutan Mangrove ......................................................
14
2.2. Ekowisata ........................................................................................
15
2.2.1. Pengertian Ekowisata .............................................................
15
2.2.2. Pengelolaan dan Pengembangan Objek Wisata ...................
18
2.3. Konsep Daya Dukung Dalam Ekowisata .........................................
25
2.3.1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Dukung ..................
27
2.3.2. Jenis Daya Dukung Pariwisata ..................... .........................
30
2.3.3. Konsep Pengelolaan Ekowisata Berbasis Daya Dukung .......
31
2.4. Dampak Pengembangan Ekowisata ...............................................
34
2.5. Daya Lenting (Resiliensi) Ekologi ....................................................
35
2.5.1. Pencemaran Air ………………………………………………….
40
2.5.2. Proses Perombakan (Asimilasi) Bahan Pencemar .................
42
2.6. Model Pengelolaan Ekowisata di Hutan Lindung ….........................
42
2.7. Kebijakan Yang Terkait Dengan Ekowisata ....................................
46
2.8. Analisis Sistem dan Pemodelan ......................................................
52
xiii
3. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .............................................
55
3.1. Kondisi Umum .................................................................................
55
3.2. Letak dan Luas Blanakan ................................................................
56
3.3. Topografi dan Tingkat Kemiringan Lahan .......................................
56
3.4. Iklim dan Curah Hujan .....................................................................
56
3.5. Struktur Geologi dan Jenis Tanah ...................................................
57
3.6. Hidrologi ..........................................................................................
57
3.7. Batrimetri Wilayah Pesisir ...............................................................
57
3.8. Demografi ........................................................................................
58
3.9. Kondisi Perekonomian ....................................................................
59
3.10. Flora dan Fauna ............................................................................
60
4. METODE PENELITIAN ...........................................................................
63
4.1. Lokasi Penelitian .............................................................................
63
4.2. Waktu Penelitian ..............................................................................
63
4.3. Jenis Data Yang Dikumpulkan ........................................................
63
4.4. Tahapan Penelitian ..........................................................................
65
4.5. Pengambilan dan Penghitungan Data .............................................
65
4.5.1. Analisis Vegetasi ………………………....................................
65
4.5.2. Penentuan karakteristik wisatawan ........................................
67
4.5.3. Dampak pengunjung ...............................................................
68
4.5.4. Dampak ekonomi ....................................................................
68
4.6. Analisis Daya Dukung Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan ........
68
4.7. Analisis Resiliensi ............................................................................
72
4.7.1. Pengukuran fisik dan kimia perairan ......................................
72
4.7.2. Penghitungan kemelimpahan plankton dan makrobenthos ...
75
4.8. Model Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan .............
76
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
79
5.1. Tinjauan Kepariwisataan Di Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan .........................................................................................
79
5.1.1. Potensi Wisata Di Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan ..................................................................................
79
Atraksi (Sumberdaya Wisata) ..................................................
79
Amenitas ..................................................................................
84
Aksesibilitas .............................................................................
85
xiv
5.1.2. Potensi Permintaan Ekowisata ................................................
87
Karakteristik Pengunjung .........................................................
88
Asal Pengunjung .....................................................................
89
Pola Kunjungan .......................................................................
90
Motivasi Pengunjung ...............................................................
90
Preferensi, Harapan dan Persepsi Pengunjung ......................
91
5.2. Tinjauan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan ........................................................................
94
5.3. Tinjauan Aspek Biofisik Kawasan Hutan Mangrove Blanakan ........
96
5.3.1. Aspek Fisika Kimia Perairan Kawasan Hutan Mangrove Blanakan ..................................................................................
96
5.3.2. Aspek Biologi Kawasan Hutan Mangrove Blanakan ...............
98
Plankton ...................................................................................
98
Tumbuhan Mangrove di Kawasan Pantai Blanakan, Subang .
100
Fauna Di Sekitar Hutan Lindung Mangrove Blanakan ...........
103
Makrobenthos ..........................................................................
105
Ikan ..........................................................................................
107
Reptilia .....................................................................................
109
Burung .....................................................................................
110
Mammalia ................................................................................
112
5.4. Daya Dukung Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan ......................
113
5.5. Daya Lenting (Resiliensi) Ekologi.....................................................
117
5.6. Model Dinamik Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan
123
5.6.1. Pengembangan Model ...........................................................
124
Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan ......................................
124
Konseptualisasi Model ............................................................
127
Spesifikasi Model ....................................................................
130
Submodel Pengunjung ...........................................................
130
Submodel Lingkungan ............................................................
132
Submodel Sosial Ekonomi ......................................................
135
Simulasi Model .......................................................................
139
5.6.2. Evaluasi Model .......................................................................
142
xv
5.6.3. Skenario Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan
144
Skenario bussines as usual (BAU) .........................................
148
Skenario Pro Lingkungan .......................................................
149
Skenario Pro Pengelola ..........................................................
150
Skenario Pro Masyarakat .......................................................
151
Perbandingan Antara Skenario ..............................................
152
5.6.4. Pengelolaan Berkelanjutan Ekowisata Hutan Lindung Mangrove Blanakan ................................................................
154
Pengembangan Produk Wisata dan Fasilitas Penunjang ......
154
Pengelolaan Pengunjung .......................................................
156
Pengelolaan Pencemaran dan Peningkatan Kapasitas Asimilasi ..................................................................................
157
Pelibatan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan Kawasan Wisata .....................................................................
160
6. SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
163
6.1. Simpulan ........................................................................................
163
6.2. Saran ..............................................................................................
164
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
165
LAMPIRAN ....................................................................................................
172
xvi
DAFTAR TABEL Halaman 1
Siklus hidup destinasi wisata ............................................................
24
2
Daya dukung objek wisata terhadap jumlah pengunjung per hari.....
29
3
Kebutuhan areal untuk berwisata alam .............................................
30
4
Perbandingan cara pengelolaan ekowisata ......................................
32
5
Dampak negatif ekowisata terhadap lingkungan...............................
34
6
Kelas-kelas kesempatan LAC dalam Hutan Rimba Bob Marshall ...
44
7
Demografi Kecamatan Blanakan Tahun 2009 ..................................
59
8
Mata Pencaharian Penduduk Blanakan ............................................
60
9
Jenis flora di sekitar ekowisata hutan mangrove Blanakan ..............
61
10
Jenis, bentuk, sumber dan cara pengambilan data ..........................
64
11
Kriteria kualitas air berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ...............................................................................
75
12
Analisis kebutuhan staholders ..........................................................
77
13
Klasifikasi sumberdaya wisata, atraksi dan daya tarik wisata di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ................................
80
Fasilitas sarana dan prasarana di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..........................................................................
85
15
Kondisi jalan di Kabupaten Subang ..................................................
87
16
Jumlah pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan tahun 2003-2010 .........................................................................................
87
Karakteristik pengunjung di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ...........................................................................................
89
18
Preferensi, harapan dan persepsi pengunjung .................................
92
19
Arti negatif, arti positif, peran serta dan harapan masyarakat terhadap kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ................
94
Parameter fisika kimia di perairan ekowisata hutan mangrove Blanakan ...........................................................................................
96
Kemelimpahan plankton di perairan ekowisata hutan mengrove Blanakan ...........................................................................................
99
Kerapatan relatif, frekuensi relatif, penutupan relatif dan Indeks Nilai Penting mangrove di ekowisata hutan mangrove Blanakan .....
101
14
17
20 21 22
xvii
23
Kemelimpahan makrobenthos di perairan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..........................................................................
105
Jenis-jenis ikan yang ditemukan di perairan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..........................................................................
108
Jenis reptilia yang ditemukan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..........................................................................
110
Jenis burung yang ditemukan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..........................................................................
111
Jenis mammalia yang ditemukan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..........................................................................
113
28
Daya dukung ekologi kawasan ekowisata Blanakan ........................
115
29
Fungsi hubungan konsentrasi pencemaran di perairan ekowisata hutan mangrove Blanakan ................................................................
119
Kandungan pencemaran dibandingkan baku mutu air sungai (Permen LH 2010) ……………………………………………...............
123
31
Analisis kebutuhan stakeholders ......................................................
126
32
Analisis formulasi masalah ...............................................................
127
33
Variabel, satuan dan definisi operasional submodel pengunjung ....
131
34
Komponen dan besaran dinamika submodel pengunjung ................
131
35
Variabel, satuan dan definisi operasional submodel lingkungan …...
134
36
Komponen dan besaran dinamika submodel lingkungan . ...............
135
37
Variabel, satuan dan definisi operasional submodel sosial ekonomi
138
38
Komponen dan besaran dinamika submodel sosial ekonomi ...........
139
39
Simulasi model pengunjung dan pendapatan pengelola, pendapatan masyarakat, indeks daya dukung dan indeks KDB sesuai kondisi saat ini sampai tahun 2058 ........................................
141
Skenario kondisi tindakan pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan ...........................................................................................
146
Perbandingan target skenario pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan .........………………………………...................
153
24 25 26 27
30
40 41
xviii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran penelitian .................................................................
8
2
Zonasi penyebaran jenis pohon mangrove ............................................
12
3
Fauna yang berasosiasi dengan mangrove ...........................................
13
4
Taksonomi pemanfaatan mangrove .......................................................
14
5
Prinsip dan nilai ekowisata berkelanjutan ................................................
17
6
Siklus hidup destinasi wisata ..................................................................
23
7
Daya dukung wisata .................................................................................
33
8
Siklus adaptif dari empat fungsi ekosistem (r, K, Ω, α) dan aliran kejadiannya ..............................................................................................
37
9
Kerangka Kelentingan/Resiliensi..............................................................
38
10
Model grafik tipe-tipe daya lenting (resiliensi) .........................................
40
11
Lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang ………………....
53
12
Batrimetri wilayah pesisir Blanakan .........................................................
55
13
Histogram luas wilayah desa di kecamatan Blanakan .............................
57
14
Lokasi penelitian di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat .................................................................................
61
15
Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak ....................
64
16
Kausal loop model dinamis pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan ..................................................................................................
76
17
Lokasi ekowisata mangrove Blanakan, KabupatenSubang ....................
77
18
Upacara pesta laut (Nadran) yang dilakukan masyarakat Blanakan .......
80
19
Kesenian Sisingaan yang dilakukan masyarakat Blanakan ....................
80
20
Penangkaran buaya di Blanakan .............................................................
81
21
Suasana di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mina Fajar Sidik, Blanakan ..
81
22
Fasilitas musholla dan warung makan di Blanakan .................................
82
23
Moda transportasi yang digunakan pengunjung …………………..…….
84
xix
24
Daerah asal pengunjung ..........................................................................
87
25
Persentase pola kunjungan wisatawan ………………………………..…...
88
26
Motivasi pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan ...................
89
27
Persentase wisatawan yang ingin berkunjung kembali ...........................
91
28
Persepsi pengunjung pada fasilitas di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan .................................................................................
91
29
Beban pencemaran dibandingkan baku mutu lingkungan ……………….
118
30
Simulasi beban pencemar ammonia dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan .........
120
Simulasi beban pencemar nitrat dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan .....................
120
Simulasi beban pencemar fosfat dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan .........
120
Simulasi beban pencemar BOD dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan .....................
121
31 32 33 34
Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang bergantung pada resiliensi dan resistensi ................................................ 122
35
Kausal loop model dinamis pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan berbasis daya dukung ……………………………………………. 128
36
Model konseptual dinamika sistem pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan ………………………………………………..….…......
129
37
Submodel pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan .................
131
38
Submodel lingkungan ekowisata hutan mangrove Blanakan .................
133
39
Submodel sosial ekonomi ekowisata hutan mangrove Blanakan ............
137
40
Simulasi model pengunjung dan pendapatan pengelola, pendapatan masyarakat, indeks KDB sesuai kondisi saat ini sampai tahun 2058 ......
140
41
Hasil simulasi sampai tahun 2058 antara jumlah pengunjung dengan pencemaran ammoniak dan fosfat ........................................................... 142
42
Hasil simulasi sampai tahun 2058 antara jumlah pengunjung dengan pencemaran nitrat dan BOD .................................................................... 143
43
Hasil simulasi sampai tahun 2058 antara jumlah pengunjung dengan pendapatan pengelola dan masyarakat ................................................... 143
xx
44
Perbandingan data hasil simulasi dengan data empiris pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan ...................................................... 144
45
Hasil simulasi skenario bussines as usual (BAU) sampai tahun 2058 ....
149
46
Hasil simulasi skenario pro lingkungan sampai tahun 2058 ....................
150
47
Hasil simulasi skenario pro pengelola sampai tahun 2058 ......................
151
48
Hasil simulasi skenario pro masyarakat sampai tahun 2058 ...................
152
49
Perbandingan antar skenario dalam melampaui daya dukung fisik kawasan ...................................................................................................
153
xxi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Perhitungan daya dukung fisik kawasan …………………………………..
171
2
Perhitungan daya dukung ekologis …………………………………………
175
3
Program Sistem Dinamik .......................................................................
178
4
Hasil simulasi skenario BAU, Pro lingkungan, Pro pengelola dan Pro masyarakat sampai tahun 2058 .............................................................
184
xxii
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia memiliki kekayaan alam, keanekaragaman hayati, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumberdaya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Salah satu ekosistem unik yang menempati wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Modal tersebut harus dimanfaatkan secara bijaksana melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sumber daya wilayah pesisir antara lain adalah sebagai potensi pariwisata bahari. Pada tahun 2002 pemerintah telah mencanangkan program ekowisata dan tahun 2003 ditetapkan sebagai tahun wisata bahari. Direktorat Diversifikasi Produk Pariwisata Bahari-Sub Direktorat Pengembangan Pariwisata menyatakan bahwa, realisasi tahun wisata bahari adalah berupa pengembangan objek-objek wisata bahari baru dalam bentuk pengembangan wisata dengan ketertarikan khusus. Hal tersebut bertepatan dengan munculnya perkembangan pariwisata yang bertema “back to nature” yang cenderung semakin meningkat. Fenomena itu
tentunya
merupakan
kesempatan
emas
bagi
kepariwisataan
untuk
mengembangkan program pariwisata guna menarik kunjungan wisatawan. Hutan mangrove Blanakan merupakan hutan lindung berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 196/KPTS-II/2003, sehingga pemanfaatan secara materi tidak diperbolehkan dilakukan di kawasan ini. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 1986 Pemerintah memberi kuasa kepada Perum Perhutani, khususnya Perum Perhutani Unit III untuk mengelola dan memanfaatkan potensi hutan tersebut. Oleh karena itu Perum Perhutani III melalui unit Kesatuan Bisnis Mandiri – Agroforestry, Ekowisata dan Jasa Lingkungan (KBM-AEJ) diberi wewenang untuk mengusahakan dan mengelola ekowisata hutan mangrove Blanakan. Adapun landasan hukum pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; PP RI No. 6 tahun 2007 jo. PP RI No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.22/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan
2
Lindung; SK Direksi Perum perhutani No. 554/KPTS/Dir/ 2005 tentang Struktur Organisasi Perum Perhutani; dan Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 300/KPTS/Dir/2007 tentang Wilayah Wana Wisata Perum Perhutani. Sifat usaha KBM-AEJ adalah meningkatkan nilai jual objek wisata, agroforestry dan jasa lingkungan serta mengembangkan dan memasarkan dalam rangka meraih keuntungan
perusahaan
dan
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
berdasarkan prinsip pengelolaan lestari (Perhutani 2010). Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Subang No. 2 Tahun 2004, bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Subang di wilayah Pantai Blanakan adalah untuk pengembangan ekowisata mangrove. Hutan mangrove Blanakan mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai objek wisata. Hutan mangrove Blanakan mempunyai luas 131,7 ha terletak pada ketinggian 0 - 1 m dpl, dengan konfigurasi lapangan umumnya datar. Potensi yang dimiliki hutan mangrove Blanakan antara lain keindahan vegetasi mangrove dengan tipe perakaran yang unik, adanya zonasi mangrove, dan penangkaran buaya. Objek daya tarik wisata lain adalah kekayaan flora dan fauna (satwa) yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Berbagai kegiatan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove dan adat istiadat serta upacara yang diselenggarakan di Blanakan, seperti upacara Nadran (pesta laut) dan Sisingaan juga merupakan daya tarik wisata. Kegiatan wisata lain yang bisa dilakukan di Blanakan adalah berperahu, jalan-jalan melihat vegetasi mangrove, pengamatan satwa, memancing, berkemah dan taman bermain. Dari berbagai objek dan daya tarik wisata di atas menarik minat kunjungan ke ekowisata hutan mangrove Blanakan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang meningkat dari tahun ke tahun. Wisatawan ke Blanakan tahun 2003-2008 dapat mencapai jumlah antara 5.894–17.823 orang. Ekowisata juga berkontribusi terhadap pendapatan Perhutani Unit III. Perum Perhutani unit III, Jawa Barat dan Banten mendapat penghasilan yang cukup besar dari sektor wisata. Pada tahun 2010, Perum Perhutani Unit III mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 15 miliar dan mengalami kenaikan pada tahun 2011 menjadi Rp. 42 miliar, dimana pendapatan sebesar Rp. 34 miliar diperoleh dari 8 objek wisata unggulan. Kedelapan objek wisata unggulan tersebut adalah Kawah Putih, Patuha Resort, Wana Wisata Blanakan,
3
Pemandian Air Panas Cimanggu, Ranca Upas dan Cibolang di Kabupaten Subang dan dari Kabupaten Bogor adalah Wana Wisata Cilember dan Penangkaran Rusa Cariu. Hal ini mengindikasikan ekowisata hutan mangrove Blanakan mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata unggulan. Dengan bertambahnya wisatawan
yang berkunjung, maka perlu
perencanaan dan pengelolaan objek dan daya tarik wisata. Perencanaan objek wisata khususnya yang berada di lokasi yang rentan, harus memperhatikan keterbatasan-keterbatasan lingkungannya. Selain itu, perkembangan pariwisata kedepan tentunya akan menyebabkan adanya peningkatan pemanfaatan hutan untuk pariwisata. Berkembangnya pariwisata alam selain bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan devisa negara, juga perlu dicermati agar jangan sampai kecenderungan kembali ke alam tersebut justru akan menimbulkan kerusakan-kerusakan potensi dan daya tarik wisata alam. Pola pengembangan kawasan pariwisata yang tidak menyeluruh merupakan salah satu penyebab timbulnya dampak negatif yang mengakibatkan menurunnya daya tarik objek wisata, misalnya timbulnya kerusakan lingkungan, meningkatnya urbanisasi ke lokasi objek wisata, meningkatnya permasalahan sosial antara lain tindak kejahatan dan kegiatan sektor sosial ekonomi informal yang tidak terkendali. Peningkatan kegiatan wisata juga dapat menyebabkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati, dikarenakan keterbatasan daya dukung lingkungan. Terlebih lagi dengan makin bertambahnya wisatawan yang berkunjung ke daerah tujuan wisata tertentu akan menyebabkan dorongan
bagi masyarakat setempat mengambil keuntungan
ekonomis, dengan timbulnya aktivitas perekonomian dan hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan hidup. Salah satu yang menyebabkan konsep ekowisata berdampak negatif adalah tingkat kunjungan yang melewati batas daya dukung kawasan wisata, terutama daya dukung fisik. Tingkat kunjungan yang berlebih tentu akan menurunkan kualitas kawasan ekowisata. Brandon (1996) menyatakan, bahwa ekowisata tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang tidak berbahaya atau pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak merusak karena banyak kawasan lindung dengan biodiversitas tinggi memiliki kerapuhan dan tidak mampu bertahan terhadap gangguan akibat aktivitas manusia atau pengunjung.
4
Untuk menjaga kualitas lingkungan objek wisata dari dampak negatif, salah satunya dengan mempertimbangkan kemampuan kawasan terutama kondisi fisiknya untuk menerima jumlah maksimum pengunjung tanpa menimbulkan kerusakan
atau
menurunnya
kualitas
kenyamanan
pengunjung
dalam
pengelolaannya. Dalam konteks ekowisata, kemampuan suatu kawasan wisata untuk menerima jumlah maksimum wisatawan dinyatakan dengan konsep daya dukung (carrying capacity). Daya dukung yang terlampaui akan menimbulkan gangguan/usikan pada ekosistem. Ekosistem yang terusik masih dapat pulih ke keadaan semula, jika gangguan tersebut tidak melebihi ambang batas daya tahannya. Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem mampu menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat
gangguan itu
masih bisa ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali dan menuju pada kondisi keseimbangan. Berkaitan dengan daya tahan ekosistem tersebut, di dalam ekologi terdapat istilah yang dikenal dengan resiliensi (daya lenting) ekologi. Resiliensi ekologi
menunjukkan kemampuan ekosistem untuk pulih
setelah terkena gangguan. Semakin cepat kondisi ekosistem itu pulih berarti semakin
pendek
masa
pulih,
semakin
banyak
gangguan
yang
dapat
ditanggulangi, maka semakin besar daya lentingnya. Dalam ekowisata ada beberapa pendekatan pengelolaan sebuah destinasi wisata. Untuk kawasan dengan ekosistem rentan, seperti kawasan hutan lindung mangrove Blanakan, maka pendekatan pengelolaan yang sesuai adalah berdasar Limit of Acceptable Change (LAC) dan/atau Visitor Experience and Resources Protection (VERP). LAC dikembangkan oleh peneliti yang bekerja di kawasan hutan untuk merespon tentang dampak penggunaan kawasan untuk wisata. Proses ini mengidentifikasi sumber dampak dan kondisi sosial serta langkah untuk melindungi kawasan. Produk akhir berupa strategi perencanaan berlandaskan perubahan yang dapat ditoleransi seminimal mungkin dengan indikator perubahan yang dapat digunakan untuk memonitor keadaan ekologi dan sosial. Pendekatan pengelolaan VERP adalah dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan sumberdaya alam yang tersedia sebagai kawasan wisata. VERP merupakan proses yang menitikberatkan pada daya dukung kawasan sebagai peubah kunci kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan.
5
Berdasarkan teori-teori pengelolaan kawasan in situ tersebut di atas, maka pengembangan konsep pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan di ekowisata hutan mangrove Blanakan menjadi penting untuk dikaji mengingat kawasan tersebut merupakan kawasan pelestarian alam yang rentan terhadap perubahan habitat dan ekosistem. Temuan-temuan kajian diharapkan dapat menghasilkan konsep pengembangan pariwisata yang dapat memberikan nilai tambah pada pembangunan daerah dengan tetap menjaga kelestarian alam dan budaya.
1.2. Rumusan Permasalahan Hutan mangrove Blanakan merupakan hutan lindung yang mempunyai potensi dikembangkan menjadi tujuan kunjungan wisata alam (ekowisata). Pengembangan ekowisata hutan mangrove Blanakan dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan ekonomi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan. Keuntungan ekonomi diperoleh dengan adanya tingkat kunjungan wisatawan yang tinggi. Jumlah pengunjung di Blanakan diduga akan terus meningkat, sejalan dengan pengembangan objek wisata tersebut. Jumlah yang besar dan terus meningkat tersebut, dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan ataupun kerusakan habitat dan nilai estetika kawasan. Kerusakan habitat dilaporkan oleh Zakiah (1996) sebagai bentuk perilaku negatif pengunjung, seperti membuang sampah sembarangan, mencoret-coret fasilitas, vandalisme, mengambil kerang, merusak pohon, dan lain-lain. Oleh karena itu pengembangan ekowisata hutan mangrove Blanakan harus diupayakan agar tidak menyebabkan kerusakan lingkungan.
Dampak lain dari peningkatan pengunjung adalah daya tarik
ekonomi bagi masyarakat sekitar yang dapat menganggu estetika dan lingkungan akibat penggunaan lahan yang tidak semestinya. Pencapaian keuntungan ekonomi dari pengembangan ekowisata hutan mangrove
Blanakan
harus
diupayakan
tidak
menyebabkan
kerusakan
lingkungan. Batas sampai dimana kemampuan suatu lingkungan masih mampu menerima kegiatan tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan permanen pada ekosistem dan habitat disebut daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan dapat dilihat dari daya dukung fisik kawasan dan daya dukung ekologis. Oleh karena itu perlu diidentifikasi dampak kegiatan wisata, daya dukung dan resiliensi ekologi serta model pengelolaan ekowisata yang berkelanjutan.
6
Dari berbagai permasalahan di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Apa saja potensi wisata dan bagaimana kondisi biofisik kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan? 2. Seberapa besar gangguan ekologi kegiatan wisata di hutan mangrove Blanakan dan bagaimana tipe resiliensi perairan hutan mangrove Blanakan? 3. Seberapa besar daya dukung fisik kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan
yang
dapat
menopang
fungsi kawasan
sebagai
area
ekowisata? 4. Bagaimanakah model pengelolaan ekowisata berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi
yang
dapat
diaplikasikan
dalam
pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan? 5. Bagaimana strategi pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan antara lain: 1. Mengidentifikasi potensi objek wisata dan mengevaluasi kondisi biofisik kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. 2. Mengukur tingkat gangguan ekologi kegiatan wisata di hutan mangrove Blanakan dan mengidentifikasi tipe resiliensi perairan hutan mangrove Blanakan. 3. Menghitung daya dukung fisik kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. 4. Menyusun model pengelolaan ekowisata berbasis daya dukung dan resiliensi ekologi yang dapat diaplikasikan dalam pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan. 5. Merumuskan strategi pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh stake holders dari hasil penelitian ini adalah: 1. Bagi pemerintah merupakan masukan untuk landasan pengelolaan dan pengaturan area wisata di ekowisata hutan mangrove Blanakan.
7
2. Bagi industri pariwisata merupakan masukan dan informasi kawasan wisata dengan objek dan daya tarik wisata yang dapat dikemas sebagai produk wisata. 3. Bagi masyarakat merupakan wawasan yang baru untuk mengubah paradigma eksploitasi sumber daya alam menjadi pemanfaatan secara ekonomis tanpa mengurangi kelestarian lingkungan hidup sebagai objek penarik wisatawan. 4. Bagi peneliti dan pendidik merupakan stimulus untuk pengembangan penelitian dan pendidikan lingkungan hidup dan pariwisata bagi masyarakat. 1.5. Kerangka Pemikiran Penelitian Pengembangan ekowisata hutan mangrove Blanakan dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan (nilai) ekonomi baik bagi masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Pertumbuhan kunjungan wisatawan yang meningkat dapat menyebabkan ancaman terhadap kelestarian kawasan hutan lindung mangrove Blanakan dan daya tarik objek wisata. Hal tersebut terjadi, apabila pemanfaatan melebihi daya dukungnya. Kapasitas maksimum daya dukung perlu diketahui, sehingga dalam pemanfaatannya tidak melebihi kapasitasnya. Untuk mengatasi permasalah tersebut perlu dikembangkan suatu model pengelolaan yang mengintegrasikan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap daya dukung dan resiliensi ekologi. Berdasarkan analisis daya dukung dan resiliensi ekologi tersebut ekowisata hutan mangrove Blanakan dikembangkan dengan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi wilayah dan masyarakat. Daya dukung tidak bersifat statis, tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi ekologis wilayah dan juga kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan dari wilayah tersebut. Daya dukung dapat menurun akibat kegiatan manusia. Pendekatan sistem merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan
untuk
mencari
solusi
pengembangan pengelolaan
ekowisata
mangrove yang berkelanjutan yang berbasis daya dukung dan resiliensi ekologi. Pendekatan tersebut mengintegrasikan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Dari uraian di atas maka kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan seperti Gambar 1.
8
Pertumbuhan wisatawan Konservasi SDA Nilai ekonomi
Pengembangan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan
Analisis Daya Dukung
Pemanfaatan lahan Biofisik
Analisis Resiliensi Ekologi Biofisik Flora dan Fauna
Analisis Kondisi Sosial
Kondisi sosial masyarakat Pengunjung
Analisis Ekonomi Dampak ekonomi
PENDEKATAN SISTEM (Aspek Ekologi, Ekonomi, Sosial) Model Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Berbasis Daya Dukung dan Resiliensi Ekologi
Strategi Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Berbasis Daya Dukung dan Resiliensi Ekologi
Gambar 1 Kerangka Pemikiran
1.6 Novelty (Kebaruan) Penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini dan telah dilakukan adalah: 1. Lee et al. (2002) melakukan penelitian mengenai pengembangan penilaian daya dukung lingkungan di Taman Nasional Chi-Ri. Penelitian ini menggunakan pendekatan penataan ruang untuk kegiatan wisatawan dengan menggunakan aplikasi GIS. Overlay peta ditentukan berdasarkan faktor ekologi, fasilitas dan institusi. 2. Garsetiasih dan Pratiwi (2003) telah melakukan penelitian mengenai dampak pengunjung terhadap sifat fisik tanah di Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan densitas tanah dan penurunan porositas dan permeabilitas tanah terutama pada tanah yang tidak bervegetasi dan dekat dengan fasilitas
rekreasi.
Peningkatan
kompaksitas
tanah
menyebabkan
9
terjadinya penurunan daya dukung tanah terutama menyebabkan peningkatan run off. 3. Sawitri (2003) melakukan pengkajian daya dukung, karakteristik, dan dampak pengunjung terhadap flora dan fauna di Taman Wisata Alam Pananjung
Pangandaran.
Hasil
penelitian
menunjukan
adanya
peningkatan rerata kunjungan wisatawan dari tahun 1993 sampai tahun 2000 sekitar 20,6% pertahun. Dari prediksi daya dukung Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran akan rusak pada tahun 2004. Kerusakan yang terjadi terhadap flora adalah pemotongan dan vandalisme pada pohon sekitar 39 pohon per hektar. Gangguan terhadap fauna adalah terjadinya perubahan perilaku makan dan waktu aktif Macaca fascicularis, Trachypithecus sondaicus dan Cervus timorensis. 4. Lankford et al. (2006) melakukan penelitian mengenai daya dukung dari prespektif sosial (daya dukung sosial). Indikator yang diteliti adalah tingkat kepuasaan wisatawan terhadap peningkatan ikatan antara teman pada saat rekreasi, keindahan pantai, perubahan mood wisatawan dan perasaan kebebasan. Faktor yang menjadi pengaruh adalah tingkat kepadatan
pengunjung.
Hasil
menunjukkan
bahwa
peningkatan
kepadatan menyebabkan prespektif negatif menjadi meningkat, sehingga menurunkan tingkat kepuasan wisatawan. 5. Khair (2006) meneliti tentang kapasitas daya dukung fisik kawasan TWA Sibolangit. Penelitian dilakukan dengan menentukan kapasitas daya dukung wisata dengan menghitung nilai daya dukung fisik, daya dukung sebenarnya dan daya dukung efektif. Kapasitas daya dukung fisik di kawasan TWA ditentukan di dua lokasi yang berbeda, yaitu di area parkir sebagai lokasi 1 dengan variabel transportasi dan pengunjung, sedangkan lokasi 2 adalah trail. Hasil penelitian menunjukkan daya dukung efektif lokasi 1 adalah 751 kunjungan per hari, sedangkan di lokasi 2 adalah 87 kunjungan per hari. 6. Roussel dan Valette ( 2007) Meneliti mengenai daya dukung sosial pada zona coastal. Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh pertumbuhan populasi
wisatawan
terhadap
tingkat
kepuasaan
wisatawan
dan
pengembangan pengaturan pengunjung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan penguatan pada partisipasi masyarakat dapat berdampak positif terhadap kebijakan pengaturan pengunjung.
10
7. Hayati (2010) meneliti tentang model ambang batas fisik dalam perencanaan kapasitas area wisata di kompleks Candi Gedong Songo, Semarang. Hasil penelitian menunjukkan nilai ambang batas jumlah wisatawan sesuai daya dukung fisik adalah 514 orang per hektar. Tindakan konservasi disarankan untuk mempertahankan kenyamanan fisik dan ekologis di objek wisata Candi Gedong Songo adalah dengan penanaman vegetasi. 8. Bahar dan Tambaru (2010) meneliti tentang analisis kesesuaian dan daya dukung kawasan wisata bahari di Kabupaten Polewali Mandar. Hasil penelitian menunjukkan kawasan yang sesuai untuk kegiatan rekreasi pantai adalah Pulau Pasir Putih dan Pantai Labuang beserta dengan perairan laut di sekitarnya dengan daya dukung masing-masing 1.200 orang per hari dan 39.200 orang per hari. Kawasan yang sesuai untuk kegiatan snorkling dan penyelaman adalah sebelah utara Pulau Pasir Putih, perairan Pantai Labuang dan Palippis dengan daya dukung masing-masing 1.680 orang per hari, 4.280 orang dan 920 orang per hari. Berdasarkan uraian kajian-kajian tentang daya dukung wisata di atas, maka kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah model pengelolaan ekowisata mangrove berbasis daya dukung dan resiliensi ekologi. Adanya pemanfaatan yang seimbang ekosistem hutan mangrove untuk kegiatan ekowisata tidak menimbulkan gangguan yang berlebihan terhadap lingkungan. Untuk mengatasi kompleksitas permasalahan pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan perlu dikembangkan suatu model pengelolaan yang mengintegrasikan aspek-aspek (ekologi, ekonomi, dan sosial) yang berpengaruh terhadap daya dukung dan resiliensi ekologi. Model pengelolaan yang dibuat adalah dengan mengontrol tekanan terhadap lingkungan (ekologi) agar tidak melampaui daya dukung dan resiliensi ekologi. Resiliensi yang dikaji adalah daya lenting perairan di perairan Blanakan untuk kembali ke kondisi awal, sehingga kemampuan tersebut akan meminimalisir dampak negatifnya. Dampak negatif berupa pencemaran akan menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Pendekatan sistem menggunakan model dinamik merupakan pendekatan yang dapat digunakan untuk mencari solusi strategi pengembangan pengelolaan ekowisata mangrove yang berkelanjutan.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hutan Mangrove Menurut Aizpuru et al. (2001), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Mangrove merupakan formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber nutrisinya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh (FAO 1994). Sedangkan Bengen (2002), mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Menurut Bengen (2002) secara umum karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut: 1. Umumnya tumbuh di daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. 2. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. 3. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat. 4. Terlindung gelombang besar dan air pasang surut yang kuat. 2.1.1. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan, yaitu: Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizopora sp, Bruguiera sp., Ceriops sp, Xylocarpus sp., Lumnitzera sp., Laguncularia sp., Aegiceras sp., Aegiatilis sp., dan Conocarpus sp. yang termasuk ke dalam delapan famila (Bengen 2002). Menurut Bengen (2002) vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Di dalam hutan
12 mangrove paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati dominan yang termasuk ke dalam 4 (empat) famili, yaitu Rhizoporaceae (Rhizopora sp., Bruguiera sp., dan Ceriops sp.), Sonneratiaceae (Sonneratia sp.), Avicenniaceae (Avicennia sp.) dan Meliaceae (Xylocarpus sp.). Quarto (2000) menyatakan bahwa setiap tipe mangrove yang terbentuk berkaitan erat dengan faktor habitatnya, diantaranya tanah, genangan air pasang, salinitas, erosi perubahan lahan pesisir, fisiografi, kondisi sungai dan aktivitas manusia. Pada tepi-tepi laut yang ombaknya relatif tenang, umumnya tumbuh dengan lebat jenis Api-api (Avicennia sp.) dan bakau (Rhizopora sp.) yang perakarannya membantu menstabilkan wilayah pantai. 2.1.2. Zonasi Hutan Mangrove Zonasi hutan mangrove terbagi atas daerah yang paling dekat dengan laut dengan substrat agak berpasir, daerah seperti ini sering ditumbuhi Avicennia sp., sedangkan pada bagian pinggir daerah ini terdapat area yang sempit, berlumpur tebal dan teduh tumbuh Sonneratia sp. dengan baik. Untuk zona yang lebih ke arah darat, umumnya didominasi oleh Rhizopora sp. Pada zona ini juga sering ditemukan Bruguiera sp. dan Xylocarpus sp. Untuk zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera sp., dimana daerah memiliki sedimen yang lebih berat berupa tanah liat. Selanjutnya zona transisi, yaitu zona antar hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi Nypha fructicans dan beberapa spesies palem lainnya (Aizpuru et al. 2001).
Gambar 2 Zonasi penyebaran jenis mangrove (Bengen 2002). Pembagian zonasi ini juga berhubungan adaptasi pohon mangrove baik terhadap kadar oksigen yang rendah, terhadap kadar garam yang tinggi, dan
13 terhadap tanah yang kurang stabil dan adanya pasang-surut. Zonasi tersebut akan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lainnya, tergantung dari keadaan habitatnya. Zonasi mangrove diantaranya dibatasi oleh kondisi lokal, seperti penguapan air dari tanah yang dapat mengakibatkan terjadinya hipersalinitas dan gerakan pasang-surut air laut. Perkembangan maksimal mangrove ditemukan pada daerah-daerah dengan curah hujan yang tinggi atau masukan air tawar yang cukup (Nybakken 1992). 2.1.3. Fauna Hutan Mangrove Fauna yang hidup di ekosistem mangrove terdiri dari berbagai kelompok, yaitu avifauna, mammalia, mollusca, crustacea dan fish fauna. Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok : 1. Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. 2. Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang dan yang menempati substrat keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur) terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Gambar 3 Fauna yang berasosiasi dengan mangrove (Irawanto 2006).
14 2.1.4. Manfaat hutan mangrove Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis. Mangrove sangat besar artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi
penyambung
darat dan laut. Tumbuhan, hewan, nutrisi tumbuhan dan benda-benda lainnya ditransfer ke arah darat atau laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologi dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia, seperti pada Gambar 4. EKOSISTEM MANGROVE
Pemanfaatan sumberdaya
Pemanfaatan ekosistem mangrove, tanah dan air
Kayu
Lain-lain
Kegunaan ekologis
Pertumbuhan primer
Tambak
Sumber nutrien
Sumber benih
Daerah pakan dan pemijahan
Industri
Daerah Asuhan
Sawah
Stabilitor zona pesisir
Pelabuhan
Pembentuk lahan
Perkebunan (kelapa, tebu)
Pertumbuhan sekunder
Kegunaan konversi menjadi lahan lain Pemukiman
Pemanfaatan Sumberdaya air dan tanah
Habitat fauna Lain-lain Pariwisata
Gambar 4 Taksonomi pemanfaatan mangrove (Setyawan et al. 2003). Secara ekologis hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah penggembalaan (feeding ground) dan daerah asuhan (nursery ground) berbagai jenis ikan, kerang, udang dan spesies lainnya. Selain itu serasah mangrove (berupa daun, ranting, dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh hutan mangrove juga merupakan habitat bagi berbagai jenis burung, reptilia, mammalia dan satwa-satwa lainnya. Hutan mangrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi
15 sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan kanopi yang rapat dan kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin, perembesan air laut. Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang dan bahan baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya. 2.2. Ekowisata 2.2.1. Pengertian Ekowisata Ekowisata merupakan salah satu bentuk rekreasi di alam bebas yang pengelolaannya didasari oleh komitmen terhadap pelestarian alam dan lingkungan. Ekowisata adalah suatu perpaduan berbagai minat yang tumbuh dari rasa keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial. Ada beberapa padanan yang sering digunakan antara lain: natural based tourism, green travel, responsible travel, low impact tourism, village based tourism, sustainable tourism, cultural tourism, heritage tourism, rural tourism (Cater and Lowman 1994). The International Ecotourism Society-TIES (2005) memberikan definisi ekowisata (ecotourism) adalah suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi dan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Fennell (1999) menyatakan, ada empat gambaran perjalanan yang umumnya berlabelkan ekowisata, yaitu: 1. Wisata berbasis alamiah (nature based tourism) 2. Kawasan konservasi sebagai pendukung objek wisata (concervation supporting tourism) 3. Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism) 4. Wisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) Ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial yang diberi batasan sebagai kegiatan yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya dan berkelanjutan (Fennell 1999). Ekowisata tidak bisa dipisahkan dengan konservasi, oleh karena itu ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan
16 wisata yang bertanggung jawab. Para konservasionis melihat ekowisata sebagai kegiatan yang mampu meningkatkan kepedulian masyarakat akan pentingnya upaya-upaya konservasi, sedangkan para ilmuwan melihat ekowisata dapat mendukung dan melindungi lingkungan alami pada suatu kawasan konservasi serta diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan flora dan fauna (Adhikerana 1999). Ekowisata merupakan pengelolaan alam dan budaya masyarakat dengan pendekatan konservasi yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan. Di dalamnya terdapat konsep pengembangan pariwisata yang mencakup aspek pelestarian terhadap lingkungan alam maupun budaya yang menjadi andalan pariwisata, aspek edukasi bagi wisatawan, serta partisipasi masyarakat dengan tetap memberikan peluang keuntungan ekonomi bagi pengusaha (Gunawan 2003). Drumm dan Moore (2005) menyatakan, ekowisata adalah perjalanan ke kawasan yang rentan, murni, yang biasanya dilindungi dan berusaha menekan dampak negatif sekecil mungkin serta dilakukan dalam skala kecil. Ekowisata membantu mendidik wisatawan, menyediakan dana bagi konservasi, manfaat secara langsung berupa perkembangan ekonomi dan kekuatan politik bagi masyarakat lokal, serta menghargai perbedaan budaya dan hak asasi manusia. Secara konseptual ekowisata adalah suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat. Sebagai alat pembangunan, ekowisata dapat mewujudkan tiga tujuan dasar konservasi keanekaragaman hayati, yaitu: 1. Melindungi keanekaragaman hayati dan budaya dengan penguatan sistem manajemen kawasan lindung dan meningkatkan nilai ekosistem. 2. Mendukung penggunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dengan kenaikan pendapatan, pekerjaan dan kesempatan berusaha dalam ekowisata dan jaringan yang relevan. 3. Membagi keuntungan pengembangan ekowisata dengan masyarakat lokal, melalui partisipasi aktif dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata. Harus disadari bahwa walaupun ekowisata dapat menjadi alat berharga untuk melestarikan keanekaragaman hayati, juga mempunyai dampak negatif
17 yang lain terhadap lingkungan (ekologis), satwa liar dan masyarakat lokal jika pengelolaannya kurang tepat. Beberapa bahaya tertentu dapat timbul dari kegiatan ekowisata yang tidak dibatasi, seperti masalah kesenjangan ekonomi, konflik budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal dan gangguan ekologis yang seringkali tidak disadari (Kinnaird and O’Brien 1996). Perencanaan dan pengelolaan ekowisata yang baik dapat menjadi salah satu alat yang paling efektif untuk konservasi keanekaragaman hayati jangka panjang dengan keadaan yang mendukung, seperti kondisi pasar, manajemen tingkat lokal dan hubungan yang harmonis antara pengembangan ekowisata dengan konservasi. Pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan akan mewujudkan tiga tujuan pengelolaan ekowisata berkelanjutan sesuai pendapat Wight (1993), yaitu tujuan ekologi/konservasi, tujuan ekonomi, dan tujuan sosial. Hal tersebut diilustrasikan dalam Gambar 5. TUJUAN SOSIAL
TUJUAN EKONOMI
Manfaat bagi masyarakat Partisipasi dalam perencanaan, pendidikan dan tenaga kerja
Pemberdayaan ekonomi masyarakat
EKOWISATA BERKELANJUTAN Keuntungan jangka panjang Etika/moral Bertanggung jawab Perilaku positif
Konservasi Berkeadilan
Manfaat ekonomi lokal Industri pariwisata secara ekonomis lestari
Integrasi ekonomi dan lingkungan
Manfaat bagi SDA Tidak merusak SDA Manajemen berorientasi SDA Penwaran SDA
TUJUAN LINGKUNGAN Gambar 5 Prinsip dan nilai ekowisata berkelanjutan (Wight 1993)
18 Butir-butir prinsip ekowisata menurut Fandeli (2001) adalah: 1.
Perjalanan ke suatu tempat yang alami.
2.
Meminimalkan
dampak
negatif;
ekowisata
berusaha
untuk
meminimalkan dampak negatif dengan cara pemanfaatan material sumberdaya alam setempat yang dapat didaur ulang, sumber energi yang terbaharui, pembuangan dan pengelolaan limbah dan sampah yang aman, dan menggunakan arsitektur yang sesuai dengan lingkungan dan budaya setempat, serta memberikan batas/jumlah wisatawan sesuai dengan daya dukung objek dan pengaturan perilaku wisatawan. 3.
Membangun kepedulian terhadap lingkungan. Unsur penting dalam ekowisata
adalah pendidikan,
baik kepada wisatawan maupun
masyarakat penyangga objek. 4.
Memberikan manfaat finansial kepada kegiatan konservasi.
5.
Memberikan
manfaat/keuntungan
finansial
dan
pemberdayaan
masyarakat lokal. Masyarakat akan merasa memiliki dan peduli terhadap kawasan konservasi apabila mereka mendapatkan manfaat yang menguntungkan baik secara langsung maupun tidak langsung. 6.
Menghormati budaya setempat; ekowisata
di samping lebih ramah
lingkungan, juga tidak bersifat destruktif, intrusif, polutan dan eksploitatif terhadap budaya setempat. 7.
Mendukung gerakan hak azasi manusia dan demokrasi.
8.
Partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pengembangan dan pengawasan ekowisata.
9.
Keuntungan secara nyata terhadap masyarakat dari kegiatan ekowisata akan mendorong masyarakat menjaga kelestarian alam.
10. Daya
dukung
lingkungan
alam
pada
umumnya
lebih
rendah
dibandingkan daya dukung lingkungan buatan. Meskipun permintaan banyak, namun daya dukung lingkungan terbatas. 2.2.2. Pengelolaan dan Pengembangan Objek Wisata Keberhasilan pengelolaan objek wisata sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Hal ini dikarenakan keberadaan kawasan yang multifungsi dan dalam aktivitas pengelolaannya diperlukan teori dan konsep
19 dari berbagai disiplin ilmu. Secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat digolongkan dalam kategori unsur pengelolaan dan pola pengelolaan. Damanik dan Weber (2006) menyatakan unsur-unsur pengelolaan, keberhasilan optimalisasi pengusahaan suatu tempat wisata harus didukung oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Kondisi lingkungan biofisik kawasan yang mampu menarik minat pengunjung, seperti keindahan alam, keunikan dan kekhasan flora dan fauna, keheningan, kesejukan dan lain-lain. 2. Sikap masyarakat sekitar yang mampu mendukung terjalinnya hubungan yang baik antara pengelola kawasan dan masyarakat sekitar. 3. Tersedianya dana yang cukup untuk membiayai seluruh kegiatan yang dilaksanakan, baik dalam jumlah maupun kontinyuitas. 4. Jumlah dan keahlian tenaga kerja yang memadai sehingga mampu melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik. 5. Kemudahan, kenyamanan dan keamanan pengunjung untuk mendatangi kawasan tersebut. Sedangkan dalam kaitannya dengan pola pengelolaan, untuk mencapai keberhasilan pengusahaan suatu destinasi wisata, pengelola harus mampu melakukan dengan optimal hal-hal sebagai berikut (Damanik dan Weber 2006): 1. Penataan ruang, yakni dengan membagi kawasan ke dalam beberapa zona untuk tujuan dan pemanfaatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik kawasan. 2. Pengadaaan
dan
pemeliharaan
fasilitas-fasilitas,
yakni
dengan
membangun fasilitas-fasilitas tertentu yang benar-benar diperlukan, dengan tetap memperhatikan faktor estetika dan kelestarian lingkungan. 3. Pengelolaan sumberdaya manusia, yakni dengan merekrut tenaga kerja yang berkualitas, mengembangkannya serta menciptakan hubungan kerja yang harmonis, baik antara sesama karyawan maupun pimpinan dengan karyawan. 4. Pengorganisasian dan administrasi, yakni dengan mengelompokkan aktivitas yang diperlukan untuk mencapai tujuan, penugasan setiap kelompok aktivitas pada staf, pendelegasian wewenang, pengontrolan kegiatan serta penerapan sistem pelaporan yang efektif dan efisien. 5. Pengelolaan sumberdaya alam, yakni dengan mempertahankan, menggali, meneliti serta mengembangkan sumberdaya alam yang ada.
20 6. Pengelolaan pengunjung, yakni dengan mengatur kegiatan pengunjung di dalam kawasan, mengontrol jumlah pengunjung serta memberikan pelayanan informasi dan interpretasi bagi pengunjung. 7. Pengelolaan
keuangan,
yakni
dengan
secara
kontinyu
mampu
mendapatkan dana yang diperlukan serta mampu mangalokasikannya seefisien mungkin. 8. Pengelolaan
hubungan dengan masyarakat
sekitar,
yakni
dengan
melakukan pembinaan, memberikan kesempatan berusaha, merekrut tenaga kerja, dan lain-lain. 9. Pengelolaan pemasaran, yakni dengan melakukan usaha publikasi kepada masyarakat luas untuk menumbuhkan minat mereka terhadap kegiatan dalam kawasan Suatu wilayah bila akan dikembangkan menjadi suatu kawasan pariwisata membutuhkan strategi perencanaan yang baik, komprehensif dan terintegrasi, sehingga dapat mencapai sasaran sebagaimana yang dikehendaki dan dapat meminimalkan munculnya dampak-dampak yang negatif, baik menurut sudut pandang ekologis, ekonomis maupaun sosial budaya dan hukum. Menurut Gunn (1994), perencanaan pengembangan pariwisata ditentukan oleh keseimbangan potensi sumberdaya dan jasa yang dimiliki dan permintaan atau minat pengunjung wisata. Komponen penawaran terdiri dari atraksi (potensi keindahan alam dan budaya serta bentuk aktivitas wisata), transportasi (aksesibilitas), dan amenitas berupa pelayanan informasi dan akomodasi dan sebagainya. Sedangkan komponen permintaan terdiri dari pasar wisata dan motivasi pengunjung. Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan pengembangan objek dan daya tarik wisata alamnya (ODTWA). Menurut Departemen Kehutanan (2006) keseluruhan potensi ODTWA merupakan sumberdaya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus merupakan media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Pengembangan ODTWA sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas sumberdaya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat, dan pihak swasta. Departemen
Kehutanan
(2006)
menulis
ada
beberapa
pengembangan Objek dan Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) meliputi:
strategi
21 1. Aspek perencanaan pembangunan ODTWA yang antara lain mencakup sistem perencanaan kawasan, penataan ruang (tata ruang wilayah), standarisasi, identifikasi potensi, koordinasi lintas sektoral, pendanaan dan sistem informasi ODTWA. 2. Aspek kelembagaan meliputi pemanfaatan dan peningkatan kapasitas institusi, sebagai mekanisme yang dapat mengatur berbagai kepentingan, secara operasional merupakan organisasi dengan SDM yang sesuai dan memiliki efisiensi tinggi. 3. Aspek sarana dan prasarana yang memiliki dua sisi kepentingan, yaitu (1) alat memenuhi kebutuhan pariwisata alam, (2) sebagai pengendalian dalam rangka memelihara keseimbangan lingkungan, pembangunan sarana dan prasarana dapat meningkatkan daya dukung sehingga upaya pemanfaatan dapat dilakukan secara optimal. 4. Aspek pengelolaan yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan pola pengelolaan ODTWA yang siap mendukung kegiatan pariwisata alam dan mampu memanfaatkan ODTWA secara lestari. 5. Aspek
pengusahaan
yang
memberi
kesempatan
dan
mengatur
pemanfaatan ODTWA untuk tujuan pariwisata yang bersifat komersial kepada pihak ketiga dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. 6. Aspek pemasaran dengan mempergunakan teknologi dan bekerja sama dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri. 7. Aspek peran serta masyarakat melalui kesempatan-kesempatan usaha sehingga ikut membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 8. Aspek penelitian dan pengembangan yang meliputi aspek fisik lingkungan, sosial
dan
ekonomi
dari
ODTWA.
Diharapkan
nantinya
mampu
menyediakan informasi bagi pengembangan dan pembangunan kawasan, kebijaksanaan dan arahan pemanfaatan ODTWA. Hadinoto
(1996)
menyatakan
kondisi-kondisi
dan
prosedur
untuk
perencanaan ekowisata yang konsisten adalah pengaturan dan prosedur yang berhubungan dengan efisiensi, keterlibatan pengelola, nilai budaya, monitoring dan prosedur penilaian serta keterlibatan stakeholders di dalam ekowisata. Selanjutnya Hadinoto (1996) mengusulkan perencanaan untuk pengembangan ekowisata terletak pada:
22 1. Perencanaan ekowisata menyertakan perlindungan lingkungan dan mengukur perencanaan penggunaan lahan. 2. Perencanaan ekowisata, dengan proses perawatan ekologis, cagar alam keanekaragaman biologi dan memastikan bahwa penggunaan sumberdaya tetap terjaga. 3. Perencanaan ekologis dan lingkungan cenderung mendekati nilai-nilai di dalam masyarakat. 4. Memiliki ukuran-ukuran untuk mengevaluasi area alami. 5. Metode perencanaan ekowisata dan lingkungan dalam mengevaluasi atribut lingkungan untuk konservasi dan perlidungan di dalam suatu kerangka perencanaan ekowisata. 6. Konsep daya dukung tidak bisa dipisahkan dari berbagai macam biaya. 7. Pendekatan perencanaan ekowisata harus meliputi nilai sosial dan mengikutsertakan wisatawan serta masyarakat setempat. 8. Perencanaan ekowisata merupakan bagian dari suatu proses berkelanjutan (sustainable). 9. Perencanaan regional memberikan metode yang terbaik untuk menuju keberhasilan
strategi
pengembangan
ekowisata
dan
perlindungan
lingkungan. 10. Untuk penetapan dari suatu kerangka perencanaan ekowisata untuk area alami yang dipilih didasarkan pada konsep pengembangan yang berkelanjutan, didasarkan pada konservasi dan perlindungan lingkungan, dan mengikutsertakan pengunjung serta masyarakat setempat. Proses perencanaan pembangunan pariwisata
menurut Yoeti (1997),
dapat dilakukan dalam lima tahap : 1. Melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki 2. Melakukan
penaksiran
(assessment)
terhadap
pasar
pariwisata
internasional dan nasional, dan memproyeksikan aliran/lalu lintas wisatawan. 3. Memperhatikan analisis berdasarkan keunggulan daerah (region) secara komparatif. 4. Melakukan perlindungan terhadap sumberdaya alam dan budaya yang dimiliki. 5. Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal.
23 Wahab (2003) menggambarkan proses pengembangan kawasan wisata dari waktu ke waktu, dimana perkembangannya tidak lepas dari dukungan masyarakat setempat. Pada tahap awal pengembangan wisata, respons terhadap potensi ODTW akan mendorong tumbuhnya aksesibilitas ke kawasan. Hal ini ditandai dengan bertumbuhnya sistem transportasi yang menghubungkan antara kawasan wisata dan penyalur wisata. Dalam waktu yang sama pertumbuhan jumlah wisatawan terus meningkat seiring dengan pembangunan infrastruktur wisata. Stakeholders yang berpengaruh pada tahapan eksplorasi adalah pelaku bisnis wisata dan wisatawan yang terus menerus berusaha untuk menemukan daerah tujuan wisata yang baru. Pada tahap selanjutnya dengan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan, maka peranan masyarakat sebagai penerima wisatawan juga mulai diikutsertakan dalam pengembangan kawasan. Pada tahapan ini masyarakat akan berperan lebih aktif dalam menyediakan sarana seperti akomodasi, restoran, cinderamata, serta sarana lainnya sehingga potensi ekonomi masyarakat
akan
berkembang.
Hal
ini
tentunya
akan
mengakibatkan
peningkatan kebutuhan tenaga kerja dan menarik migrasi dari kawasan lain di sekitarnya. Peranan pemerintah kemudian terbentuk setelah proses pembangunan pada kawasan tersebut mulai digalakkan, pembentukan kelembagaan wisata menjadi bagian yang tidak terelakkan dalam upaya untuk mempertahankan kelangsungan pemanfaatan ruang kawasan wisata. Butler (1980) membuat model siklus hidup suatu destinasi wisata yang menggambarkan proses pengembangan sebuah kawasan wisata. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
Consolidation
A = stagnation B = rejuvenation C = decline Involvement
Gambar 6 Siklus hidup destinasi wisata Sumber: Butler 1980
24 Dari Gambar di atas siklus hidup destinasi menurut Butler (1980) dapat dijelaskan dalam Tabel 1. Tabel 1 Siklus hidup destinasi wisata NO.
TAHAPAN SIKLUS
1.
Exploration
2.
Involvement
3.
Development
4.
Consolidation
5.
Stagnation
KETERANGAN Kunjungan terbatas dan sporadis dari orang yang ingin berpetualang. Terjadi kontak yang intensif dengan penduduk lokal dan menggunakan fasilitas yang dimiliki penduduk dengan dampak sosial dan ekonomi yang sangat kecil Meningkatnya pengunjung yang mendorong penduduk lokal menawarkan fasilitas kepada pengunjung. Kontak dengan penduduk lokal tetap tinggi dan beberapa dari mereka mulai menyesuaikan pola sosialnya untuk mengakomodasi perubahan kondisi ekonomi akibat keberadaan wisatawan. Promosi destinasi wisata mulai diinisiasi Investor luar mulai tertarik untuk menanamkan modalnya guna membangun berbagai fasilitas pariwisata di destinasi tersebut. Aksesibilitas mengalami perbaikan, advertising semakin intensif dan fasilitas lokal mulai diisi dengan fasilitas modern dan terbaru. Atraksi buatan mulai muncul, khususnya diperuntukkan bagi wisatawan. Tenaga kerja dan fasilitas import mulai dibutuhkan untuk mengantisipasi pertumbuhan pariwisata yang begitu cepat. Porsi terbesar dari ekonomi lokal berhubungan dan bersumber dari pariwisata. Level kunjungan tetap meningkat namun dengan rata-rata kenaikan semakin menurun. Usaha pemasaran semakin diperluas untuk menarik wisatawan yang bertempat tinggal semakin jauh dari sebelumnya. Kapasitas maksimal dari faktor penunjang telah mencapai batas maksimum atau terlampaui, menyebabkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Jumlah puncak kunjungan wisata tercapai. Atraksi buatan menggantikan atraksi alam dan budaya, dan destinasi tidak lagi dianggap menarik.
Post stagnation
6.
Decline
7.
Rejuvenation
Sumber: Butler, 1980
Wisatawan tertarik dengan destinasi lain yang baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non-pariwisata. Atraksi wisata menjadi semakin kurang menarik dan fasilitas pariwisata menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat lokal mungkin meningkat seiring penurunan harga fasilitas pariwisata dan penurunan pasar wisatawan. Daerah destinasi menjadi terdegradasi kualitasnya, kumuh, dan fasilitasnya tidak berfungsi sebagaimana mestinya sebagai penunjang aktivitas pariwisata. Terjadi perubahan dramatis dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya pariwisata. Terjadi penciptaan seperangkat atraksi wisata artifisial baru atau penggunaan sumberdaya alam yang tidak tereksploitasi sebelumnya.
25 2.3. Konsep Daya Dukung Dalam Ekowisata Menurut UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 pasal 1 butir 6 dinyatakan bahwa daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk lainnya. Daya dukung adalah konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep ini dikembangkan, terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan. Sehingga keberadaan, kelestarian dan fungsinya dapat terwujud dan pada saat dan ruang yang sama juga pengguna atau masyarakat pemakai sumberdaya tersebut tetap berada dalam kondisi sejahtera dan/atau tidak dirugikan (Clivaz et al. 2004). Dalam konteks pariwisata, daya dukung lingkungan dinyatakan dalam jumlah wisatawan per satuan luas per satuan waktu. Namun luas maupun waktu, umumnya tidak dapat dirata-ratakan karena penyebaran wisatawan di dalam ruang dan waktu tidak merata (Damanik dan Weber 2006). Menurut Manning (2002), daya dukung rekreasi merupakan kemampuan suatu area rekreasi secara alami, segi fisik dan sosial untuk mendukung penggunaan aktivitas rekreasi dan dapat memberikan kualitas pengalaman rekreasi yang diinginkan. Daya dukung pariwisata adalah daya dukung bio geofisik dan sosial ekonomi dan budaya dari suatu lokasi dan atau tapak (tujuan) wisata dalam menunjang kegiatan pariwisata tanpa menimbulkan penurunan kualitas lingkungan dan kepuasan wisatawan dalam menikmati lokasi dan atau tapak wisata. Dari definisi ini
menempatkan
aspek
kualitas
lingkungan
menjadi
kualitas
wisata
(Soemarwoto 1997). Daya dukung menjadi sangat penting karena ekowisata sangat tergantung dari kualitas atraksi wisata. Atraksi wisata alam dapat berupa macam, jenis, keadaan dan proses alam dari suatu ekosistem merupakan objek yang sangat rentan. Kondisi objek dan daya tarik wisata ini menentukan kualitas wisata. Douglass (1975) mendefinisikan kualitas wisata merupakan tingkat yang normal dari suatu area wisata agar wisatawan dapat merasakan kenyamanan dari aspek psikologis dan kesegaran dari aspek fisik jasmani. Cole (2003) menyatakan bahwa masalah dampak suatu kegiatan seperti pariwisata, baik pariwisata massal maupun ekoturisme terkait erat dengan konsep daya dukung. Kenyataannya bahwa aktivitas pariwisata memiliki dampak
26 terhadap karakteristik sosial budaya, lingkungan, serta ekonomi dari daerah yang dikunjungi dan keyakinan bahwa dampak-dampak tersebut dapat meningkat seiring dengan peningkatan volume kunjungan, memberikan gagasan pada kita bahwa mungkin ada suatu garis batas keberadaan pengunjung dimana jika jumlah pengunjung melampaui batas-batas tersebut, maka dampak menjadi tidak dapat diterima. Apabila prinsip garis batas di atas dipadukan dengan konsep berkelanjutan (sustainability), maka perpaduan itulah dikenal sebagai konsep daya dukung. Beberapa komponen untuk mengukur daya dukung wisata, antara lain: 1. Daya dukung fisik yang berhubungan dengan kemampuan lingkungan. Komponen ini sangat bergantung pada kapasitas sumber daya, sistem dan kemampuan ekologis dari lahan, erosi, dan iklim. 2. Daya dukung psikologi yang berhubungan dengan presepsi individu dalam berwisata sebagai contoh kebisingan, kebosanan dan keindahan serta kemampuan mencapai kawasan. 3. Daya dukung ekologi/biologi yang berhubungan dengan ekosistem dan penggunaannya secara ekologi termasuk didalamnya flora dan fauna, habitat alamiah dan bentang alam. Terdapat beberapa faktor yang umum digunakan adalah terganggunya kehidupan alamiah (disturbance wild life) dan kehilangan spesies. 4. Daya dukung sosial budaya masyarakat terutama masyarakat penerima wisatawan, sebagai contoh: keragaman budaya, kebiasaan penduduk. 5. Daya dukung ekonomi adalah tingkat skala usaha dalam pemanfaatan suatu sumberdaya yang memberikan keuntungan ekonomi maksimum secara berkesinambungan. Pariwisata merupakan industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik-buruknya lingkungan. Ia sangat peka terhadap kerusakan lingkungan, misalnya pencemaran oleh limbah domestik yang berbau dan nampak kotor, sampah yang bertumpuk, dan kerusakan pemandangan oleh penebangan hutan, gulma air di danau, gedung yang letak dan arsitekturnya tidak sesuai, serta sikap penduduk yang tidak ramah. Daya dukung hutan mangrove menurut Brown et al. (1997) adalah kemampuan sumberdaya hutan mangrove dalam mempertahankan fungsi dan kualitasnya tanpa mengurangi kemampuan memberi fasilitas pelayanan berupa
27 rekreasi alam dan pengalaman wisata alam yang diinginkan. Standar daya dukung sangat bervariasi dari suatu tempat ke tempat lain, tergantung jenis wisata yang akan dikembangkan, karakteristik lingkungan lokal, tipe pasar wisatawan yang diraih dan persepsi masyarakat lokal. Pemanfaatan yang berlebihan sumberdaya mangrove merupakan tekanan terhadap daya dukung dan dapat menurunkan daya dukung lingkungan tersebut. Penurunan
daya
dukung
lingkungan
kawasan
akan
menurunkan
produktivitasnya. Pada hakekatnya, setiap area wisata mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap arus wisatawan. Pada area wisata tertentu yang dikunjungi wisatawan jika melebihi kapasitasnya, maka akan terjadi kemunduran. Apabila terjadi kerusakan objek wisata alam, objeknya tidak menarik lagi dan mengakibatkan pengunjung semakin lama semakin sedikit. Pengunjung akan bertambah lagi bila terjadi proses pemulihan secara alami bisa berjalan dan kualitas lingkungan menjadi baik. Prinsip daya dukung ini akan menjadi pedoman dalam perencanaan lanskap kawasan rekreasi hutan mangrove, terutama pada daerah rawan secara ekologis, sehingga diharapkan fungsi dan kualitas kegiatan yang direncanakan tidak merusak fungsi ekologis mangrove (McCool and Lime 2001). 2.3.1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Daya Dukung Menurut McCool and Lime (2001), hal-hal yang mempengaruhi daya dukung suatu kawasan rekreasi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Karakteristik sumberdaya alam, seperti geologi dan tanah, topografi, vegetasi, hewan, iklim dan air. 2. Karakteristik pengelolaan, seperti kebijakan dan metode pengelolaan. 3. Karakteristik pengunjung, seperti psikologi, peralatan, perilaku sosial dan pola penggunaan. Daya dukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu tujuan wisata dan faktor lingkungan biofisik kawasan wisata. Tujuan wisatawan berkaitan dengan kondisi psikologis tertentu pada wisatawan, yang dapat membuat wisatawan menikmati kegiatan wisatanya dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut. Faktor lingkungan biofisik yang berpengaruh terhadap daya dukung lingkungan, bukan hanya faktor alamiah seperti kondisi lingkungan mangrove, tetapi juga faktor buatan manusia, misalnya adanya perkampungan penduduk di dekat lokasi wisata. Hal ini dapat terjadi jika limbah
28 kegiatan wisata dapat mempengaruhi daya dukung lingkungan pariwisata (Kurniawan 2004). Faktor biofisik yang mempengaruhi kuat atau rapuhnya suatu ekosistem akan sangat menentukan besar-kecilnya daya dukung tempat wisata tersebut. Ekosistem yang kuat mempunyai daya dukung yang tinggi, yaitu dapat menerima wisatawan dalam jumlah yang besar, karena tidak mudah rusak dan dapat cepat pulih dari kerusakan (sensitivitas rendah, resiliensi tinggi). UNEP (2003) menyebutkan bahwa faktor utama dalam memperkirakan daya dukung terdiri dari faktor lingkungan, sosial, dan pengelolaan. Faktor lingkungan untuk menentukan daya dukung mencakup: 1. Ukuran kawasan dan ruang yang dimanfaatkan. Sebagai contoh, dari 170 ha kawasan Taman Nasional di Brazil hanya sebagian kecil yang dimanfaatkan untuk kunjungan. 2. Lingkungan yang rapuh, beberapa kawasan memiliki tanah yang rapuh atau memiliki ciri-ciri yang rentan bila dimanfaatkan. 3. Daya dukung dipengaruhi oleh jumlah, keanekaragaman dan distribusi satwa liar dan beberapa spesies tertarik pada kawasan dengan pola iklim yang kering dan basah sehingga spesies akan terkonsentrasi. 4. Topografi dan tutupan vegetasi. 5. Tingkah laku spesies satwa tertentu yang sensitif terhadap kunjungan manusia. Faktor-faktor sosial yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan daya dukung meliputi: 1. Pola pandangan, apakah wisatawan terdistribusi atau terkonsentrasi pada suatu lokasi. 2. Pilihan pandangan dari wisatawan, ada pengunjung yang memandang keramaian sebagai suatu daya tarik kawasan. 3. Opini pengunjung, bagaimana penilaian wisatawan terhadap suatu kawasan wisata pada tingkat pemanfaatan saat kondisi berlangsung, dan bagaimana pendapat pengunjung tentang keramaian. 4. Ketersediaan fasilitas, jumlah penginapan dan area perkemahan merupakan faktor pengontrol.
29 Daya dukung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan kawasan untuk menerima sejumlah wisatawan dengan intensitas penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak lingkungan. Daya dukung alam perlu diketahui secara fisik, lingkungan (ekologi) dan sosial. Namun dalam penelitian ini yang dikaji adalah daya dukung fisik dan lingkungan yang berkaitan dengan jumlah wisatawan dan jenis kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Daya dukung fisik kawasan sangat menentukan keberlanjutan suatu kegiatan ekowisata. Daya dukung setiap kawasan berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya dan terkait dengan jenis kegiatan wisata yang akan dikembangkan. Oleh karena itu daya dukung ekosistem mangrove perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu kawasan ekowisata. Pada dasarnya daya dukung tidaklah selalu konstan, dimana daya dukung dapat ditingkatkan dengan penambahan atraksi dan fasilitas pendukung lainnya di zona yang telah dibuat. Menurut WTO (1992), standar daya dukung kegiatan wisata berdasarkan jumlah pengunjung per hektar disajikan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Daya dukung objek wisata terhadap jumlah pengunjung per hektar No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7 8.
Kegiatan Wisata Hutan wisata Taman wisata alam pinggiran Piknik kerapatan tinggi Piknik kerapatan rendah Golf Memancing Ski air Jalan-jalan (hiking)
Jumlah Wisatawan (Per Hektar) 15 15-70 300-600 60-200 10-15 5-30 5-15 40
Sumber: World Tourism Organization/WTO (1992) Untuk mengembangkan kegiatan ekowisata hutan mangrove Blanakan secara berkelanjutan dan tetap menjaga terpeliharanya keseimbangan ekosistem mangrove, maka perlu diketahui daya dukung terhadap kegiatan tersebut. Selain itu, dalam usaha kegiatan ekowisata harus memperhatikan estetika lingkungan dan memelihara keindahan alam tanpa mengabaikan kepuasan yang ingin diperoleh wisatawan.
30 2.3.2. Jenis Daya Dukung Pariwisata Daya dukung pariwisata pada dasarnya digunakan agar memperoleh
kepuasan.
Kepuasan
pengunjung
dapat
wisatawan
didekati
dengan
menetapkan daya dukung fisik (physical carrying capacity) dan daya dukung psikologis (psychological carrying capacity). Kedua daya dukung ini berkaitan erat. Apabila daya dukung fisik diperhitungkan, maka dapat diperoleh angka berapa luas areal yang dibutuhkan bagi wisatawan untuk secara leluasa dan memuaskan dalam berwisata. Douglass (1975) memperhitungkan kebutuhan area untuk aktivitas wisatawan berdasarkan faktor pemulihan atau keterbalikan atau Turnover Factor (TF). Setiap aktivitas wisata yang berbeda, luasannya berbeda karena angka TF nya berbeda. Daya dukung ekologis merupakan perhitungan angka daya dukung dengan mempertimbangkan faktor pemulihan atau natural recovery atau natural purification yang diperkenalkan oleh Douglass (1975). Beberapa aktivitas wisata yang menimbulkan usikan atau cekaman terhadap lingkungan dengan nilai turnoverfactornya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Kebutuhan areal untuk berwisata alam No. Aktivitas 1. 2. 3. 4.
Berenang Berperahu Piknik Berkemah
Kebutuhan area berwisata 33,6 m2 60,4 m2 80,7-302,8 m2 100,8-404,4 m2
Turnover Factor (TF) 1,5 2,0 1,5 1,0
Sumber: Douglass (1975) Dalam penentuan daya dukung terdapat beberapa faktor koreksi yang dapat dijadikan sebagai faktor pembatas tingkat kunjungan. Faktor koreksi tersebut antara lain: 1. Faktor psikologi terkait dengan kenyamanan dan kesesakan areal pemanfaatan. 2. Faktor fisik lingkungan (curah hujan, kecepatan angin, banjir, topografi) 3. Faktor manajemen. Rasio antara pengunjung dan petugas areal pemanfaatan turut mempengaruhi jumlah tingkat kunjungan. Faktor koreksi yang digunakan sebagai faktor pembatas terkait dengan kondisi fisik lingkungan, ekologi dan sosial sebagaimana yang dikembangkan oleh Cifuentes (1992). Sebagai contoh, topografi yang tidak rata dapat membatasi akses pengunjung dan menimbulkan erosi, banjir musiman atau yang tidak terduga dapat mengurangi daya tarik suatu objek wisata. Musim hujan dan
31 kemarau dapat mempengaruhi minat orang mengunjungi objek tertentu. Kebudayaan dan kepercayaan masyarakat setempat di dalam atau di sekitar kawasan dapat menjadi faktor pembatas sosial yang sangat peka dan dengan keterbatasan staf pengelola kawasan yang dipekerjakan, maka tingkat kunjungan juga harus dibatasi. Faktor pembatas juga terkait dengan kebijakan pengelolaan kawasan, seperti penutupan untuk sementara waktu objek wisata untuk pemeliharaan dan perbaikan, turut mempengaruhi tingkat kunjungan pada periode tertentu pula (Clivaz et al. 2004). Menurut Clivaz et al. (2004) menggarisbawahi bahwa inti dari konsep daya dukung adalah gagasan untuk menjaga integritas sumberdaya dan pemilahan kegiatan ekowisata yang tetap berkualitas. 2.3.3. Konsep Pengelolaan Ekowisata Berbasis Daya Dukung Konsep daya dukung ini merupakan syarat dalam pengembangan pariwisata alam. Hal tersebut berhubungan dengan adanya keterbatasan pemanfaatan wilayah
konservasi,
dimana
keterbatasan
tersebut
tergantung
kepada
kemampuan daya dukung untuk dapat memberikan nilai optimum terhadap peningkatan
ekonomi
dan
partisipasi
masyarakat
lokal
dengan
tetap
mempertahankan nilai perlindungan dan menekan dampak negatif yang akan terjadi. Adapun dalam perkembangannya secara metodologi daya dukung berkembang menjadi beberapa cara pengelolaan, seperti Limit of Acceptable Change (LAC), Visitor Impact Management (VIM), Visitor Experience and Resources Protection (VERP), Visitor Activity Management Process (VAMP), the Recreation Opportunity Spectrum (ROS) (Stakey 1985; NPS/National Park Services 1997). Perkembangan tersebut sangat tergantung dari kompleksitas permasalahan, keinginan dan kebutuhan wisatawan, ketersediaan sumber daya pada kawasan wisata terutama untuk wisata khusus seperti di ekowisata hutan mangrove Blanakan yang rentan terhadap perubahan habitat. Secara ringkas berbagai cara pengelolaan ini dapat dilihat pada Tabel 4.
32 Tabel 4 Perbandingan cara pengelolaan ekowisata Limit of Acceptable Change (LAC) Dikembangkan oleh peneliti di kawasan hutan untuk merespon tentang dampak pengelolaan wisata. Proses ini mengidentifikasi sumber dan kondisi sosial dan langkah untuk melindungi. Proses ini untuk mempertimbangkan kondisi sosial, sumberdaya alam yang tersedia, pada pengembangan kawasan wisata. Keunggulan LAC adalah produk akhir berupa strategi perencanaan berlandaskan perubahan yang dapat ditoleransi seminimal mungkin untuk masing-masing kelas kesempatan dengan indikator perubahan yang dapat digunakan untuk memonitor keadaan ekologi dan sosial. Kelemahannya adalah prosesnya menekankan pada data dan analisa. Jika ada masalah, maka strategi dan perencanaan belum dapat dibuat sebagai topik pengelolaan. Visitor Activity Management Programme (VAMP) Proses tersebut menciptakan petunjuk untuk perencanaan dan pengelolaan, pengembangan dan pendirian taman. Dasar dari konsep VAMP merupakan bagian dari prinsip ROS. Kerangka kerja akan memberikan manfaat kemudahan untuk VIM, LAC dan VERP. Fokusnya adalah mengkaji kesempatan ketika semua mempertanyakan dampak yang ditinggalkan dalam proses pengelolaan sumberdaya alam. Keunggulan VAMP adalah proses pengembilan keputusan yang komprehensif berdasarkan hirarki. Struktur untuk menganalisa kesempatan dan dampak, yang dikombinasikan dengan prinsip ilmu sosial dan pemasaran yang difokuskan terhadap kesempatan. Kelemahan VAMP adalah definisi mengenai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belum dibangun dalam rencana pengelolaan dan zoning. Visitor Experience and Resources Protection (VERP) Merupakan proses yang menitikberatkan pada daya dukung kawasan, dalam hal ini adalah kualitas sumberdaya dan kualitas pengalaman wisatawan, yang meliputi gambaran kondisi sosial dan sumberdaya di masa yang akan datang. Keunggulannya adalah proses yang menitikberatkan terhadap hubungan dan sensitivitas serta kesempatan wisatawan. Zoning merupakan fokus pengelolaan. Kelemahannya adalah kemampuan pengawasan tidak efisien dan tindakan pengelolaan yang akan dilakukan perlu uji coba terlebih dahulu. Visitor Impact Management (VIM) Tujuannya adalah mengendalikan ketiga dampak pokok, yaitu: dampak secara fisik, dampak biologi, dan dampak sosial. Standarnya dengan menentukan batasan dari ketiga indikator tersebut. Keunggulannya adalah proses ini menciptakan keseimbangan keputusan secara ilmu pengetahuan dan hukum, terutama mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan strategi pengelolaan. Kelemahan VIM adalah menekankan terhadap dampak pada kondisi sekarang, tidak mengkaji potensial dampak Recreational Opportunity Spectrum (ROS) Perencanaan pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi dan komprehensif, berperan untuk merespon peningkatan permintaan rekreasi, dan menanggulangi konflik akibat penggunaan sumberdaya alam yang melebihi kapasitas. Pewilayahan menggunakan enam kelas lahan dari primitif sampai perkotaan (urban) dengan tujuan
33 untuk mengenal kondisi biofisik, sosial dan hubungan pengelolaan untuk menyusun parameter dan petunjuk kesempatan rekreasi. Keunggulan ROS adalah proses yang praktis untuk mendorong pengelolaan secara rasional dengan tiga perspektif, yaitu: melindungi sumberdaya, kesempatan untuk digunakan umum dan pengelola mempunyai kemampuan menyeimbangkan kondisi kawasan. Proses tersebut merupakan hubungan antara supply dan demand. Kelemahannya adalah konsep di dalam pembagian skala lahan membutuhkan kawasan yang luas dan tidak bisa digunakan pada kantong kawasan yang sempit. Semua pembagian pewilayahan harus diterima secara total oleh manajemen sebelum keputusan dibuat. Micro-ROS Micro-ROS merupakan pengembangan dari ROS yang membagi kawasan pengembangan kesempatan berekreasi kawasan menjadi sembilan kelas. Keunggulan dari micro-ROS dibandingkan dengan ROS adalah, kalau ROS digunakan untuk menentukan zoning kawasan membutuhkan kawasan yang luas, sedangkan micro-ROS menentukan zoning pada kawasan yang tidak luas dan akan lebih mendalam untuk mengidentifikasi kantong-kantong potensi rekreasi kawasan dan menilai kesempatan berekreasi seluas-luasnya untuk wisatawan.
Untuk dapat menggambarkan konsep daya dukung wisata dan elemenelemen yang mempengaruhinya, maka daya dukung dapat digambarkan sebagai berikut : Faktor penawaran:
Sosial budaya Lingkungan Ekonomi Sumberdaya Institusi
Proses perencanaan : Pemberdayaan komunitas Pengembangan manajemen Teknologi
Sosial/budaya
Faktor permintaan: Karakteristik wisatawan Jenis kegiatan wisatawan
Lingkungan/ekologi
Ekonomi/bisnis
Standar Parameter
DAYA DUKUNG Gambar 7 Daya dukung wisata (Dirawan 2004)
34 2.4. Dampak Pengembangan Ekowisata Kegiatan wisata alam akan membawa dampak, baik positif maupun negatif. Hadinoto (1996) menjelaskan tentang hubungan tempat wisata dan lingkungan dimana bila ditangani dengan baik, maka akan terjadi peningkatan lingkungan ke arah yang lebih baik. Tetapi apabila tidak ditangani dengan baik justru akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Pariwisata dapat berdampak positif pada sektor ekonomi yaitu dengan membuka lapangan pekerjaan bagi komunitas lokal. Dampak ekonomi juga akan berpengaruh bagi pemerintah daerah melalui pendapatan dari pajak dan retribusi. Dampak pada lingkungan dapat bersifat positif maupun negatif, dampak positifnya adalah adanya area untuk konservasi, sehingga ada pengontrolan dan pemeliharaan. Sedangkan dampak negatifnya adalah polusi lingkungan dan permasalahan sampah. Adapun dampak ekowisata terhadap lingkungan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Dampak negatif ekowisata terhadap lingkungan Komponen Lingkungan
Flora dan Fauna
Fenomena Dampak Negatif Gangguan perkembangbiakan Hilangnya atau kepunahan satwa Perubahan pola migrasi satwa Kerusakan vegetasi Polusi air
Polusi
Polusi udara Polusi suara Pengikisan tanah
Erosi
Tanah longsor Kerusakan DAS
Sumberdaya Alam
Dampak Pemandangan
Habisnya cadangan air tanah Tingginya kemungkinan kebakaran Kawasan terbangun yang tampak buruk Pemandangan yang kotor
Sumber: WTTC (2003)
Kegiatan Pariwisata yang Menimbulkan Dampak Negatif Pengamatan burung Gerak jalan Hewan dan bagian tubuh yang diawetkan Masakan istimewa Lingkungan alam yang dipadati pengunjung Pariwisata di jalur migrasi Pembangunan sarana wisata baru Kegiatan wisatawan di hutan lindung Limbah cair Ceceran (minyak dan kimia berbahaya lain) Pembuangan sampah padat Emisi kendaraan Terlampau padat Kemacetan lalu lintas Kehidupan malam yang tak terkendali Lalu lintas terlalu padat Lingkungan binaan tak terkendali Penggundulan hutan Wisata berperahu tak terkendali DAS dipadati pengunjung/penghuni Terlalu banyak kawasan terbangun Kerusakan sumber air Api yang tak terkendali Wisatawan yang tak bertanggung jawab Tak ada perencanaan dan pengendalian (lanskap) Sampah Kebersihan tak terjaga
35 Seperti tertera pada Tabel 6 bahwa di setiap pengembangan objek wisata akan mempunyai dampak-dampak. Tetapi pada penelitian ini hanya akan memperdalam dampak terhadap lingkungan, khususnya pencemaran perairan dan kemampuan perairan tersebut untuk kembali pulih yang disebut daya lenting (resiliensi). Banyaknya aktivitas di sekitar ekowisata hutan mangrove Blanakan menyebabkan adanya pencemaran perairan. Pencemaran tersebut bisa berasal dari pencemaran domestik dari kios, warung makan, toilet dan kegiatan manusia lainnya di sekitar kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Kepmen LH (2003) menyatakan limbah domestik mengandung sampah padat berupa feses dan cair yang berasal dari sampah rumahtangga dengan beberapa sifat, antara lain: 1) Mengandung bakteri; 2) Mengandung bahan organik dan padatan tersuspensi, sehingga BOD biasanya tinggi; 3) Padatan organik dan anorganik yang mengendap di dasar perairan dan menyebabkan oksigen terlarut (DO) rendah; 4) Mengandung bahan terapung dalam bentuk suspensi sehingga mengurangi kenyamanan dan menghambat laju fotosintesis. Dampak pencemaran tersebut secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi ekosistem perairan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Perairan mempunyai kemampuan untuk mendegradasi bahan pencemar yang masuk ke perairan, sehingga menurunkan tingkat pencemaran tersebut yang disebut kemampuan asimilasi. Kemampuan asimilasi merupakan suatu proses alami, dimana perairan mempertahankan kondisi awalnya melawan bahan-bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan tersebut. Menurut Effendi (2007), kapasitas asimilasi perairan adalah kemampuan perairan memulihkan diri akibat masuknya limbah tanpa menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Kemampuan asimilasi sangat dipengaruhi oleh adanya proses pengenceran maupun perombakan bahan pencemar yang masuk ke perairan. 2.5. Daya Lenting (Resiliensi) Ekologi Suatu sistem akan memberikan tanggapan terhadap suatu gangguan yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Tanggapan tersebut sesuai dengan keadaan daya lenting yang dimilikinya. Daya lenting merupakan sifat suatu sistem yang memungkinkannya kembali pada stabilitas semula, bahkan untuk menyerap dan memanfaatkan gangguan yang menimbulkan dinamika atau perubahan kecil (Folke 2003). Resiliensi ekologi mengacu pada kapasitas suatu
36 ekosistem, habitat, populasi atau takson untuk bertahan, kembali pulih atau adaptasi
dari
pengaruh
dan
tekanan,
seperti
perubahan
iklim
dan
mempertahankan struktur proses-proses dan fungsi yang sama (Holling 1996). Menurut Fiksel (2006) acuan pemeliharaan dari resiliensi ekosistem sebagai suatu aspek kunci dari ketahanan untuk kembali ke kondisi awal dan juga sebagai suatu tujuan kebijakan lingkungan penting yang berada dalam kajian ekologi. Daya tahan ekosistem yang besar menunjukkan bahwa ekosistem mampu menghadapi gangguan, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi akibat gangguan itu masih ditolerir bahkan ekosistem mampu pulih kembali dan menuju pada kondisi keseimbangan. Berkaitan dengan daya tahan ekosistem tersebut, di dalam ekologi terdapat istilah yang dikenal dengan daya lenting. Daya lenting menunjukkan kemampuan ekosistem untuk pulih setelah terkena gangguan. Semakin cepat kondisi ekosistem itu pulih berarti semakin pendek masa pulih, semakin banyak gangguan yang dapat ditanggulangi, maka semakin besar daya lentingnya (Odum 1993). Setiap ekosistem akan memberi tanggapan (respon) terhadap suatu gangguan/usikan. Tanggapan ekosistem terhadap gangguan dilakukan sesuai dengan daya lentingnya. Gangguan yang jauh melebihi daya lenting suatu ekosistem akan menciptakan dinamika yang mengarah kepada terbentuknya kondisi ekosistem yang menyimpang atau berbeda dengan kondisi ekosistem sebelumnya (Fiksel 2006). Berdasarkan posisi ketidakberlangsungan ekologi mungkin muncul ketika campur tangan manusia sudah cukup mengurangi resiliensi ekosistem itu. Ketika sistem kehilangan daya lentingnya, maka sistem akan kembali lemah oleh gangguan-gangguan yang sebelumnya dapat diserap tanpa adanya perubahan secara struktural (Gunderson and Pritchard 2002 ). Teknik resiliensi diasumsikan bahwa lingkungan dari sebagian sistem di dalam suatu daerah yang stabil berisi kondisi yang tetap. Ketika sistem yang dapat melakukan reorganisasi (yang menggeser daerah stabilitas ke suatu keadaan yang lain) merupakan suatu pengukuran yang lebih relevan dari dinamika ekosistem adalah resiliensi ekologis. Daya lenting ekologis adalah suatu ukuran dari jumlah perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk mengubah bentuk sistem dari suatu pemeliharaan yang berasal dari proses
37 penguatan
dan
pembentukan
struktur
yang
berbeda
dari
proses
pembentukannya (Peterson et al. 1998). Untuk mengukur perubahan yang diperlukan dalam memindahkan ekosistem dari organisasi satu kumpulan yang satu sama lain memperkuat struktur dan proses-proses yang lainnya (Peterson et al. 1998). Dinamika dalam ekosistem terdapat empat fase perkembangan, yaitu perubahan eksponensial (eksploitasi atau fase r), periode pertumbuhan statis (konservasi atau fase K), periode pengaturan ulang/pelepasan (release atau fase Ω). Keempat fase tersebut dapat digambarkan dalam suatu model heuristic. Urutan dari perubahan gradual diikuti oleh urutan perubahan cepat yang dipicu oleh gangguan/usikan. Sehingga, instabilitas tingkah laku dalam jumlah yang sama dengan yang dapat diorganisir oleh stabilitas (Holling 2001). Fase eksploitasi dan konservasi merupakan bagian dari siklus yang mendapat perhatian utama, sementara fase pelepasan dan reorganisasi sering diabaikan. Hubungan di atas dapat diilustrasikan dalam Gambar 8.
Gambar 8 Siklus adaptif dari empat fungsi ekosistem (r, K, Ω, α) dan aliran kejadiannya (Holling 2001) Faktor-faktor yang mempengaruhi daya lenting ekosistem yaitu (1) Biodiversitas ekosistem, banyaknya variasi dalam spesies maupun antar spesies, keadaan populasi dan habitatnya dapat menjadi faktor kunci dalam daya lenting; (2) Ekosistem yang sehat berarti fungsi alami baik secara fisik, kimiawi dan proses ekologi yang membuat ekosistem resilience sehingga dapat menyerap tekanan dan kembali pulih setelah adanya gangguan; (3) Pengaruh yang kuat pada ekosistem yang berarti banyaknya faktor yang mempengaruhi ekosistem, ada banyak cara baik secara individual maupun secara kombinasi dan pada
38 berbagai waktu; (4) Perlindungan dan pengelolaan karena suatu ekosistem yang telah berada dalam tekanan, efektivitas perlindungan dan pengelolaan berfungsi untuk mengukur dan menunjukkan tekanan ekosistem tersebut, hal ini merupakan hal penting dalam menahan dan memugar daya lenting (Berkes 2007). Menurut Brand dan Jax (2007) menyatakan bahwa perubahan ketahanan dilihat dari jumlah pencemaran (tekanan) pada suatu sistem yang dapat mengakomodasi sebelum keadaan yang memburuk. Dalam kerangka konseptual degradasi habitat, pemeliharaan dan perbaikan dapat ditujukan yang digunakan sebagai salah satu indikator penurunan daya lenting (Gunderson and Pritchard 2002). Kerangka daya lenting (resiliensi) digambarkan oleh Turner et al. (2003) terdiri dari komponen exposure, sensitivitas dan resiliensi yang dapat dilihat pada Gambar 9.
SISTEM EKOLOGIS Sistem Respon Karakteristik dan komponen exposure
Kondisi Ekonomi Pengaturan dan adaptasi
Resiko dan dampak
Kondisi Biofisik
EXPOSURE
SENSITIVITAS
RESILIENSI
Gambar 9 Kerangka Kelentingan/Resiliensi (Turner et al. 2003)
Ekosistem dapat me-reorganisasi dirinya, yaitu merubah keadaan dari satu domain stabil ke domain stabil lainnya, maka ukuran dinamika ekosistem yang lebih relevan digunakan adalah resiliensi ekologi, yaitu ukuran jumlah perubahan atau gangguan yang diperlukan untuk merubah sistem. Perubahan ini dipengaruhi oleh seperangkat proses dan struktur yang saling menguatkan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Definisi ini berfokus pada persistensi, kemampuan adaptif, variabilitas dan ketidakpastian yang semuanya merupakan
39 atribut dari perspektif evolusi dan pembangunan, yang juga sejalan dengan sifat keberlanjutan. Resiliensi menyediakan kemampuan untuk menyerap kejutan dan pada saat yang sama mempertahankan fungsinya. Saat terjadi perubahan, resiliensi menyediakan komponen-komponen yang dibutuhkan untuk pembaruan dan pengorganisasian kembali (Barrow 2006). Sebaliknya, kerentanan merupakan kebalikan dari resiliensi, dimana saat suatu sistem ekologi kehilangan resiliensinya maka sistem tersebut menjadi rentan terhadap perubahan yang sebelumnya bisa diserap. Dalam sebuah sistem yang resilien perubahan memiliki potensi untuk menciptakan kesempatan bagi pengembangan kebaruan dan inovasi. Sebaliknya dalam sistem yang rentan perubahan kecil dapat menyebabkan kerusakan besar. Pemahaman mengenai resiliensi menjadi penting karena: 1) resiliensi dapat meningkatkan keanekaragaman; 2) resiliensi adalah sifat yang berkaitan dengan sistem sosial-ekologi; 3) meningkatkan ketahanan dari sistem untuk memperkecil gangguan; 4) ketika resiliensi hilang atau berkurang, sebuah sistem pada tingkat resiko yang tinggi dapat berubah menjadi kondisi yang berbeda yang mungkin tidak diharapkan (Gunderson 2000). Resiliensi perairan objek wisata merupakan ketahanan badan air di objek wisata dalam bertahan dari gangguan, seperti pencemaran limbah domestik akibat kegiatan manusia. Kajian daya lenting (resiliensi) ekologi yang dalam penelitian ini ditekankan pada pada ekosistem akuatik (sungai dan muara). Resiliensi ini menggambarkan sifat perairan berdasarkan tipe daya lenting perairannya di kawasan wisata untuk kembali pulih setelah adanya pencemaran. Tipe daya lenting perairan terbagi menjadi tiga, yaitu fragile, linier, atau resilience. Untuk tipe daya lenting fragile mengindikasikan bahwa perairan tersebut rapuh, sehingga dengan pencemaran yang terus-menerus akan menyebabkan turunnya kualitas perairan di waktu yang akan datang. Tipe daya lenting resilience mengindikasikan perairan tersebut sangat mudah kembali setelah adanya pencemaran dan tidak akan menyebabkan menurunnya kualitas perairan. Sedangkan tipe daya lenting linier mengindikasikan perairan yang akan mudah kembali pulih setelah adanya pencemaran. Kajian kelentingan tersebut digambarkan dengan pemetaan. Dengan memetakan hasil penelitian, maka akan diketahui badan perairan ekosistem
40 mangrove Blanakan termasuk kedalam tipe kelentingan fragile, linier, atau resilience.
Konsentrasi Pencemaran
Baku mutu
a
Keterangan: a. Fragile b. Linier c. Resilience
b c
Waktu (tahun) Gambar 10 Model grafik tipe-tipe daya lenting (Resiliensi) (Sumber: Chapra dan Reckhow 1983) Metode untuk melihat kapasitas asimilasi dapat dilakukan dengan pendekatan hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya (Chapra dan Reckhow 1983). Metode ini memiliki kelemahan karena tidak memperhatikan berbagai dinamika di perairan tersebut yang sangat mempengaruhi kapasitas asimilasi suatu perairan. Perhitungan kapasitas asimilasi spesifik untuk setiap lokasi, evaluasi kapasitas asimilasi memerlukan model matematika yang sesuai untuk mendeterminasi konsentrasi parameter kunci yang merupakan hasil dari tingkat beban limbah. Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dihasilkan oleh aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut. 2.5.1. Pencemaran Air Definisi pencemaran air mengacu pada definisi yang ditetapkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu: “pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya” (Pasal 1 ayat 2).
41 Menurut Hutagalung (1997) tanda-tanda menurunnya kualitas air adalah sebagai berikut: 1. Perubahan suhu air, semakin tinggi suhu air maka semakin rendah kadar oksigen terlarut dalam air. 2. Perubahan pH, air dapat bersifat asam atau basa tergantung besar kecilnya pH. Air limbah yang dibuang ke sungai akan mengubah pH air, sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme air. 3. Perubahan warna, bau, dan rasa air. Suhu merupakan parameter yang penting, karena pengaruhnya terhadap reaksi kimia, laju reaksi, kehidupan organisme air, dan penggunaan air untuk aktivitas sehari-hari. Perubahan suhu yang mendadak atau ekstrim akan mengganggu kehidupan organisme bahkan kematian. Suhu air mempunyai peranan dalam mengatur kehidupan biota air, terutama dalam proses metabolisme. Peningkatan suhu menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi, selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen, namun dipihak lain juga mengakibatkan turunnya kandungan oksigen terlarut (Asmustawa 2007). Derajat keasaman atau pH merupakan nilai yang menunjukkan aktivitas hidrogen dalam air. Nilai pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam perairan. Nilai pH berkisar antara 1 – 14, dimana semakin tinggi nilainya maka perairan bersifat basa, demikian juga sebaliknya. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain aktivitas biologi, suhu, dan DO. Oksigen terlarut (DO) dalam perairan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. DO diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme di perairan dan dalam proses dekomposisi senyawa-senyawa organik. BOD adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mendegradasi senyawa organik. Jumlah BOD yang tinggi menunjukkan banyaknya bahan organik, bila nilai BOD rendah berarti secara umum limbah bahan organik rendah (Suripin 2002). Fosfor dalam perairan berada dalam bentuk fosfor terlarut. Fosfor penting dalam penentuan produktivitas biologis dalam semua sistem perairan, karena membatasi atau mengatur produktivitas perairan (Michael 1994). Tumbuhan pada umumnya mengambil fosfat yang masih terlarut dalam air tanah. Nitrogen pada umumnya terdapat dalam senyawa organik seperti protein, urea dan asam nukleat atau yang sudah dikenal dengan senyawa anorganik (nitrit, ammonia dan nitrat). Daur nitrogen merupakan proses transfer nitrogen
42 dari atmosfir ke dalam tanah. Disamping air hujan, masuknya nitrogen ke dalam tanah juga dapat melalui proses fiksasi nitrogen. Nitrat (NO3-) yang diperoleh dari hasil fiksasi biologis akan digunakan oleh produsen atau tumbuhan yang nanti diubah menjadi molekul protein. Selanjutnya jika hewan atau tumbuhan mati, maka makhluk pengurai akan merombaknya menjadi (NH3) atau yang dikenal dengan gas amoniak dan garam ammonium yang larut dalam air (NH4). Proses ini dinamakan dengan proses amonifikasi. Plankton dan makrobenthos adalah organisme yang ditemui hidup di perairan. Plankton mempunyai gerak sedikit dan sangat mudah terbawa arus. Sedangkan makrobenthos hidup di dasar/substrat perairan, yang sering dijadikan indikator biologi terhadap pencemaran perairan. Menurut Nontji (2005), keragaman fitoplankton dan makrobenthos merupakan jumlah individu per spesies dan merupakan ciri khas struktur komunitas spesies tersebut yang berkaitan erat dengan kualitas lingkungan perairan. 2.5.2. Proses Perombakan (Asimilasi) Bahan Pencemar Dalam fase pencemaran badan air, dapat terlihat bahwa pada fase dekomposisi dimulai proses perombakan. Dalam proses perombakan bahan pencemaran
baik
organik
maupun
anorganik
akan
diproses
dengan
menggunakan oksigen terlarut dalam air. Adapun proses perombakan yang terjadi sangat tergantung pada tersedianya oksigen, jenis organisme maupun bahan-bahan organik yang ada dengan bantuan organisme pembusuk aerobik. Sedangkan proses perombakan tanpa menggunakan oksigen (anaerobik) dibutuhkan bakteri perombak yaitu Methane producing bacteria. Antara pembusukan aerobik dan anaerobik sebenarnya tidak dapat dibedakan pentahapannya, namun keduanya saling mengisi karena adanya keberlanjutan reaksi dalam menyelesaikan keseluruhan mata rantai dalam proses perombakan (Wardhana 1995). 2.6. Model Pengelolaan Ekowisata di Hutan Lindung Pendekatan daya dukung dianggap sebagai teknik dalam pengembangan pariwisata di lingkungan yang cenderung sensitif terhadap usikan manusia. Daya dukung didesain untuk membatasi wisatawan, tetapi di lain pihak pengelola mendorong memberikan kenyamanan kepada wisatawan dengan membangun berbagai fasilitas.
43 Sebagai salah satu contoh adalah pengelolaan area hutan rimba Bob Marshall. Hutan tersebut adalah tipe area yang dilindungi sesuai kategori I b (area hutan belantara). Kawasan Hutan rimba Bob Marshall terletak di Montana Pusat sebelah utara, dan dikelola oleh The United States Forest Service (USFS) dibawah ketetapan undang-undang hutan rimba tahun 1964. Kawasan ini merupakan hutan beriklim sedang dengan luas 600.000 hektar, dan menarik 25.000 wisatawan terutama pada bulan Juni hingga Nopember. Bulan Juni hingga September didominasi oleh pejalan kaki dan berkuda. Pada musim gugur, sebagian besar penggunaan adalah untuk kawasan perburuan hewan besar (Mc Cool 1996). Pada tahun 1982, USFS memulai usaha perencanaan berdasarkan proses Limit of Acceptable Change (LAC). Usaha ini melibatkan partisipasi masyarakat yang kontinyu melalui kekuatan tim kerja yang terdiri dari stakeholders, masyarakat, ilmuwan dan pengelola. LAC memfokuskan usaha pada penilaian seberapa besar perubahan kondisi di dalam hutan, biogeofisik dan kondisikondisi sosial yang dapat diterima. Dengan menetapkan sebuah proses partisipasi masyarakat yang menggabungkan nilai-nilai adat dalam kawasan hutan tersebut, para partisipan mengembangkan sebuah tindakan manajemen yang efektif dalam mengurangi dan mengontrol pengaruh yang disebabkan oleh manusia. Rencana ini memiliki tiga karakteristik, yaitu: 1. Rencana ini menetapkan empat kelas (zona) alternatif untuk melindungi karakter asli dari hutan, namun secara realistik mengijinkan beberapa aktifitas wisata yang telah dipertimbangkan dari pengaruh-pengaruh yang disebabkan oleh manusia. 2. Rencana ini mengidentifikasi variabel-variabel indikator, untuk mengawasi, dan
memastikan
kondisi
tetap
dapat
diterima,
digunakan
untuk
menetapkan keefektifan dari tindakan-tindakan yag diterapkan untuk mengontrol, serta mengurangi pengaruh. Untuk setiap indikator, ada standar-standar yang dapat dikuantifikasi, yang menunjukkan batas perubahan alami yang dapat diterima di setiap zona. 3. Rencana ini menunjukkan tindakan manajemen untuk setiap zona yang bertujuan menunjukkan kemampuan penerimaan sosial mereka. Penetapan zonasi pada dasarnya membentuk kerangka kerja untuk menangani dampak yang disebabkan oleh manusia. Setiap zona dijelaskan
44 kondisi manajerial, sosial, dan biogeofisik yang dapat diterima. Pembagian zonasi ditetapkan berdasar kelas dalam kawasan, mewakili jumlah pengaruh yang diperbolehkan pada sebuah rangkaian. Kesatuan kelas I menjadi yang paling alami, sementara kelas 4 adalah yang paling tidak alami. Tabel 6 Kelas-kelas kesempatan LAC dalam Hutan Rimba Bob Marshall ZONA
KELAS 1
KELAS 2
KELAS 3
KELAS 4
SETTING
DESKRIPSI
Biogeofisik
Lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Pengaruh lingkungan diusahakan seminimal mungkin
Sosial
Terisolasi dan sunyi, tidak ada aktivitas manusia. Sangat jarang dikunjungi manusia
Manajerial
Penekanan yang kuat pada upaya mempertahankan ekosistem alami. Komunikasi melalui peraturan terdapat di luar area (misalnya gerbang pembatas)
Biogeofisik
Lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Dampak penggunaan lingkungan rendah
Sosial
Isolasi yang tinggi. Sedikit menjumpai manusia. Kesempatan bagi wisatawan untuk bebas
Manajerial
Menekankan pada peningkatan ekosistem alami. Kontak manajemen di lokasi masih minim
Biogeofisik
Lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Beberapa proses alami terpengaruh oleh manusia. Pengaruh manusia terhadap lingkungan tingkat menengah, sebagian besar di sepanjang rute perjalanan
Sosial
Isolasi menengah, dan kunjungan manusia yang rendah hingga menengah. Kebebasan dari wisatawan di tingkat menengah
Manajerial
Penekanan pada tingkatan ekosistem alami. Kontak pengunjung pada lokasi terjadi secara rutin. Komunikasi tentang peraturan diletakkan di luar area
Biogeofisik
Terutama lingkungan alami yang tidak termodifikasi. Kondisi dapat terpengaruh oleh manusia, terutama pada rute-rute perjalanan, koridor sungai, pantai, dan titik-titik pintu masuk
Sosial
Kesempatan isolasi tingkat menengah hingga rendah. Berkemungkinan untuk berjumpa manusia. Kesempatan interaksi yang tinggi dengan lingkungan, tetapi dengan tantangan atau resiko yang rendah hingga menengah
Pengelolaan dengan cara pengawasan terhadap penilaian wisatawan dan memantau terhadap Manajerial kerusakan lingkungan upaya rehabilitasi dapat dilaksanakan Sumber: McCool (1996) dalam Fandeli (2001)
45 Beberapa pengelolaan ekowisata mangrove antara lain Wahyuni et al. (2007) menyatakan pengembangan ekowisata mangrove di kawasan Tahura Ngurah Rai mempunyai program-program ekowisata yang ditawarkan antara lain: Program Mangrove education tour & Tracking, Program Bird Watching, Program Fishing, Program Mangrove Tree Plantation or Adoption, Program Canoeing, Program Boating. Pelaksanaan dari keenam program tersebut, Mangrove education tour & Tracking yang paling banyak peminatnya dibandingkan dengan program yang lain. Dari 9 kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi diperoleh hasil 7 prinsip yang pelaksanaannya lebih dari 50%, melihat kondisi di atas dapat disimpulkan
pengembangan
prinsip/kriteria
ekowisata
ekowisata
nasional.
Hal
mangrove yang
sudah
menjadi
memenuhi
perhatian
dalam
pengelolaan kawasan Tahura sebagai saran kepada pengelola, antara lain: partisipasi
masyarakat,
pemungutan
retribusi,
penanganan
sampah,
penyempurnaan program yang tidak berjalan, dan pengelolaan ekowisata melalui kelembagaan yang solid. Pengelolaan
dan
pengembangan
ekowisata
mangrove
di
Nusa
Lembongan, Bali dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, jumlah pendapatan dan persepsi masyarakat. Skenario pengelolaan optimal kawasan mangrove adalah ekowisata mangrove dengan
aktor
pengelola
pemerintah/swasta
dan
kebijakan
program
pemberdayaan masyarakat. Model pengembangan ekowisata mangrove adalah wisata alam terpadu dengan objek pengamatan mangrove, terumbu karang, budidaya rumput laut, kehidupan desa, dan atraksi kebudayaan (Yuanike 2003). Sari (2002) telah meneliti tentang pengelolaan sampah di kawasan hutan mangrove Teluk Benoa sebagai upaya kebersihan dan pengembangan ekowisata mangrove. Oleh karena itu diusulkan suatu model pengelolaan sampah yang melibatkan seluruh stakeholder, yaitu meliputi masyarakat, pemerintah, swasta dan pihak terkait lainnya. Hal pertama yang dilakukan adalah membentuk swadaya kebersihan di tingkat desa untuk mengelola sampah dan kebersihan sungai di wilayahnya. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dan swasta.
46 2.7. Kebijakan yang Terkait dengan Ekowisata Keterkaitan pengembangan ekowisata dikawasan hutan konservasi (hutan mangrove), telah ditetapkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Substansi penting dalam perundang-undangan tersebut adalah: a. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. b. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. c. Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. d. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan
kawasan,
izin
usaha
pemanfaatan
jasa
lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu. 2. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Substansi penting dalam UndangUndang tersebut adalah: a. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan
pemanfaatan,
hidup
pengendalian,
yang
meliputi
pemeliharaan,
perencanaan,
pengawasan,
dan
penegakan hukum. b. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
47 c. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan
daya
dukung
dan
daya
tampung
lingkungan hidup. d. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya. e. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. f.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
g. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang
melestarikan
oleh
lingkungan
hidup
untuk
fungsinya.
Kerusakan
lingkungan
dapat hidup
tetap adalah
perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. h. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. i.
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
j.
Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Substansi penting dalam Undang-undang tersebut adalah: a. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
48 antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. b. Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. c. Daerah
tujuan
pariwisata
yang
selanjutnya
disebut
Destinasi
Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat
yang
saling
terkait
dan
melengkapi
terwujudnya
kepariwisataan. d. Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. e. Pembangunan rencana
kepariwisataan
pembangunan
diwujudkan
kepariwisataan
melalui
dengan
pelaksanaan
memperhatikan
keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. 4. Peraturan pemerintah Republik Indonesia No 6 Tahun 2007 jo. PP RI No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Substansi penting Peraturan Pemerintah tersebut antara lain: a. Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. b. Izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan yang selanjutnya disingkat IUPJL adalah izin usaha yang diberikan untuk memanfaatkan jasa lingkungan pada hutan lindung dan/atau hutan produksi. 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. 6. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.22/MenhutII/2012
tentang
Pedoman
Kegiatan
Usaha
Pemanfaatan
Jasa
Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung. Adapun substansi penting peraturan Menteri Kehutanan tersebut adalah:
49 a. Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah keseluruhan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan sarana dan jasa yang diperlukan oleh wisatawan/pengunjung dalam pelaksanaan kegiatan wisata alam, mencakup usaha dan daya tarik, penyediaan jasa, usaha sarana, serta usaha lain yang terkait dengan wisata alam. b. Wisata Alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan hutan lindung. c. Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam Pada Hutan Lindung yang selanjutnya disebut IUPJLWA adalah izin usaha yang diberikan untuk mengusahakan kegiatan wisata alam pada hutan lindung berupa Penyedia Jasa Wisata Alam (IUPJLWA-PJWA) dan Penyedia Sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA). d. Blok Pemanfaatan adalah bagian dari kawasan hutan lindung yang dijadikan tempat kegiatan wisata alam dan kunjungan wisata. e. Rencana Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah suatu rencana kegiatan untuk mencapai tujuan usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang dibuat oleh pengusaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam yang didasarkan pada rencana pengelolaan hutan lindung. f.
Areal Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam adalah areal dengan luas tertentu pada hutan lindung yang dikelola untuk memenuhi kebutuhan pengusahaan pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam.
g. Areal usaha pemanfaatan jasa lingkungan wisata alam dilaksanakan dalam blok pemanfaatan pada hutan lindung. h. Luas areal yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata alam pada hutan lindung paling banyak 10 % (sepuluh perseratus) dari luas blok pemanfaatan hutan lindung. Mengingat ekowisata merupakan salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya alam secara lestari, dimana diharapkan dengan ekowisata tidak merusak sumber daya alam, namun justru dapat melindungi kawasan yang akan digunakan untuk kegiatan wisata tersebut dapat terlindungi dari kerusakan akibat perbuatan manusia.
50 Kebijakan yang ada dalam menyelenggarakan dan mengimplementasikan kegiatan pengembangan pariwisata alam perlu mengacu kepada kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip pengelolaan secara lestari untuk pariwisata sebagai berikut: 1. Menunjang upaya konservasi Mengingat objek yang dijadikan usaha pariwisata adalah kawasan konservasi yang merupakan sistem penyangga kehidupan, maka kegiatan pariwisata alam harus: a. Dapat menunjang upaya pengawetan keanekaragaman hayati yang dimiliki kawasan tersebut; b. Dapat menghindarkan dan meminimalkan dampak negatif sekecil apapun agar tidak mengganggu atau mengurangi baik kualitas maupun
kuantitas
keanekaragaman
hayati
dan
ekosistem
kawasan. 2. Mengembangkan penelitian, pendidikan dan latihan Kegiatan ini harus dikembangkan dan merupakan hal yang sangat penting untuk menunjang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, antara lain: a. Mendidik dan melatih para karyawan dan masyarakat sekitar areal usaha untuk dapat melakukan upaya pengelolaan pariwisata alam secara profesional; b. Melatih dan mendidik para tour operator dan intrepreter pariwisata alam untuk mengetahui aspek-aspek dasar alamiah dari kawasan konservasi dan lingkungan c. Dapat memadukan antara pengelolaan sumber daya di kawasan yang dilindungi dengan aspek pemanfaatannya d. Mengetahui sejauh mana pengaruh pariwisata alam terhadap keberadaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di areal pengusahaan yang dikembangkan; e. Mengetahui manfaat aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dengan adanya kegiatan pariwisata alam.
3. Berbasis masyarakat Secara umum pengusahaan pariwisata alam di kawasan hutan lindung diharapkan dapat memberikan dampak yang positif terhadap pengembangan wilayah, sehingga di sekitar kawasan mendapatkan
51 manfaat. Namun demikian untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan pariwisata alam ini, sangat perlu memperhatikan atau mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial maupun budaya masyarakat. Oleh
karena
itu,
hal-hal
yang
perlu
diperhatikan
dalam
mengembangkan pariwisata alam berbasis masyarakat antara lain: a. Masyarakat setempat harus dilibatkan dari sejak awal dalam proses perencanaan sampai kepada pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi. b. Dalam pengembangan harus memperhatikan kearifan tradisional dan kekhasan setempat (local specific) agar tidak terjadi benturanbenturan
kepentingan
dalam
kondisi
sosial
dan
budaya
masyarakat setempat. c. Diupayakan
agar
dalam
pelaksanaannya
menggunakan
semaksimal mungkin produk-produk lokal yang berasal dari masyarakat setempat. d. Menyediakan peluang usaha dan kesempatan kerja semaksimal mungkin bagi masyarakat sekitar tanpa mengurangi tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan pariwisata alam. e. Menyediakan pelatihan dan pendidikan khusus bagi masyarakat setempat tentang pariwisata secara umum dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Upaya ini dimaksudkan agar pengelolaan pariwisata bisa dilakukan secara profesional dan kesadaran masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bisa terus ditingkatkan. f.
Memahami struktur sosial dan budaya masyarakat
4. Memberikan manfaat ekonomi Secara ekonomi pengembangan pariwisata alam harus dapat memberikan keuntungan secara ekonomi bagi pengelola kawasan, penyelenggara pariwisata alam, masyarakat setempat dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang terkait. Secara luas dengan adanya penyelenggaraan pariwisata alam diharapkan dapat memberikan dampak ekonomi yang dapat dirasakan oleh daerah atau wilayah kota, sehingga pengembangan pariwisata alam harus dapat memacu pembangunan wilayah setempat baik pada tingkat lokal, regional maupun nasional.
52 2.8. Analisis Sistem dan Pemodelan Model merupakan penyederhanaan sistem, disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya (Hardjomidjojo 2007). Sedangkan Eriyatno (1999) mengemukakan, model merupakan pencerminan, penggambaran sistem yang nyata atau yang direncanakan, tiruan dari sistem yang sebenarnya, abstraksi realitas suatu penghampiran kenyataan, sebab model tak dapat menceritakan perincian atau detail kenyataan tersebut melainkan hanya porsi atau bagian tertentu yang penting saja, atau yang merupakan sosok kunci atau pokok. Definisi lain menyebutkan bahwa model adalah alat untuk memprediksi perilaku dari suatu sistem yang kompleks dan sedikit difahami, atas dasar perilaku dari komponen sistem yang telah diketahui dengan baik. Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Menurut Hardjomidjojo (2007),
model disusun untuk beberapa tujuan,
yaitu: (1) pemahaman proses yang terjadi dalam sistem; model harus dapat menggambarkan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem dalam kaitannya dengan tujuan yang akan dicapai, (2) prediksi; hanya model yang bersifat kuantitatif yang dapat melakukan prediksi, dan
(3) menunjang pengambilan
keputusan; jika model yang disusun berdasarkan pemahaman proses serta yang mempunyai kemampuan prediksi dapat dijadikan alat untuk perencana guna membantu proses pengambilan keputusan. Model sistem dinamis melukiskan sistem yang secara tetap dan terus menerus berubah, sistem yang mengatur diri sendiri, mengarahkan dirinya sendiri, dan berperilaku dengan sesuatu tujuan. Istilah sistem banyak digunakan dalam segala bidang, namun pengertian sistem sebagai suatu disiplin ilmu diartikan sebagai gabungan dari komponen /elemen atau bagian yang saling berkaitan yang dirancang sebagai satu kesatuan guna mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Muhammadi et al. 2001). Hardjomidjojo (2007) mendefinisikan sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu. Sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional
dikemukakan oleh Ford (1999), sedangkan
53 Eriyatno (1999) menyatakan sistem adalah totalitas himpunan elemen yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta dimensional terutama dimensi ruang dan waktu, dalam upaya mencapai tujuan (goals) Dengan demikian setiap sistem harus memiliki komponen atau elemen yang saling berinteraksi atau terkait dan terorganisir dengan suatu tujuan tertentu. Menurut Purnomo (2005), analisis sistem berguna untuk mendekati masalah yang secara intuitif dapat digolongkan ke dalam kompleksitas yang terorganisasi. Analisis sistem adalah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha memahami proses-proses yang terjadi. Analisis sistem bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai elemen penyusun sistem, memahami prosesnya serta memprediksi berbagai kemungkinan keluaran sistem yang terjadi akibat adanya distorsi di dalam sistem itu sendiri, sehingga didapatkan berbagai alternatif pilihan yang menguntungkan secara optimal. Model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari dunia nyata, yang mampu
menggambarkan
struktur
dan
interaksi
elemen
serta
perilaku
keseluruhannya sesuai dengan sudut pandang dan tujuan yang diinginkan (Purnomo, 2005). Untuk pemodelan yang lebih fleksibel dan multiguna, Purnomo (2005) menyarankan dilakukan dengan fase-fase sebagai berikut: 1) identifikasi isu, tujuan, dan batasan; 2) konseptualisasi model; 3) spesifikasi model; 4) evaluasi model; 5) penggunaan model. Keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan pendekatan sistem adalah: 1) memungkinkan untuk melakukan penelitian lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas; 2) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi terhadap sistem; 3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti; 4) dapat dipakai untuk menduga/meramal keadaan sistem pada masa yang akan datang (Darsiharjo, 2004). Gejala dunia nyata seperti pada kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang, menunjukkan kompleksitas yang tinggi dan sulit dipahami hanya melalui satu disiplin keilmuan. Upaya dari masing-masing disiplin untuk mempelajari fenomena dunia nyata yang kompleks melalui pengembangan beragam model seringkali tidak konsisten, hanya bersifat parsial, tidak berkesinambungan, dan gagal memberikan penjelasan yang utuh (Eriyatno
54 1999). Konsep sistem yang berlandaskan pada unit keberagaman dan selalu mencari keterpaduan antar komponen, dapat menawarkan suatu pendekatan baru untuk memahami dunia nyata melalui pendekatan sistem. Dengan demikian, kajian mengenai pengelolaan ekowisata mangrove di Subang dapat dilakukan melalui pendekatan sistem, yang selanjutnya dibangun suatu desain sistem
(model)
pengembangan
pariwisata
yang
bersifat
dinamik
bagi
pengelolaan dan pengusahaan ekowisata mangrove Blanakan yang didasarkan pada daya dukung sumberdaya alam. Verifikasi dan Validasi Verifikasi adalah tahap pembuktian model yang dibuat dengan melakukan pengujian di lapangan. Setelah verifikasi tahapan berikutnya adalah validasi. Verifikasi dan validasi merupakan dua aktivitas yang beruntun dan harus dilakukan untuk menguji apakah sebuah model dapat memberikan hasil yang baik atau tidak. Validasi adalah tahap penentuan tingkat kebenaran atau kesahihan dari suatu model yang dibuat setelah dilakukan verifikasi. Model yang dibuat oleh peneliti hanya menggambarkan sebagian dari komponen yang ada di alam, sehingga hasil dari analisis model selalu memiliki kesalahan atau ketidak tepatan, oleh karena itu suatu model harus dinilai validasinya.
55
3. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 3.1. Kondisi Umum Kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan terletak di Desa Blanakan dan Muara Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jarak dari ibukota kecamatan adalah 5 (lima) kilometer. Jarak dengan ibukota kabupaten adalah 50 km dan jarak dari ibukota propinsi adalah 119 km. Adapun batas wilayah Kecamatan Blanakan, yaitu sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kerawang, sebelah Timur dengan Kecamatan Legon Kulon dan Sukasari, sebelah Selatan dengan Kecamatan Ciasem dan sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Luas wilayah Kecamatan Blanakan adalah 5,09% dari luas wilayah Kabupaten Subang.
Gambar 11 Lokasi ekowisata hutan Mangrove Blanakan, Kabupaten Subang (Sumber: BPS Kabupaten Subang 2009).
56
3.2. Letak dan Luas Blanakan Kabupaten Subang sebagai salah satu kabupaten di kawasan utara Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah seluas 205.176,95 ha atau 6,34 % dari luas Provinsi Jawa Barat. Wilayah ini terletak di antara 107º 31' sampai dengan 107º 54' Bujur Timur dan 6º 11' sampai dengan 6º 49' Lintang Selatan. Secara administratif, Kabupaten Subang terbagi atas 22 kecamatan, 253 desa dan kelurahan. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Subang Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pembentukan Wilayah Kerja Camat, jumlah kecamatan bertambah menjadi 30 kecamatan. Ekowisata Mangrove Blanakan berada wilayah pesisir utara di Kecamatan Blanakan. Luas wilayah kecamatan Blanakan adalah 7.839,37 ha. 3.3. Topografi dan Tingkat Kemiringan Lahan Tingkat kemiringan lahan di Kecamatan Blanakan memiliki tingkat kemiringan 0°-17°. Topografi kawasan hutan mangrove Blanakan terletak 0-1 m di atas permukaan laut, dan topografi seperti ini merupakan keadaan umum bagian Utara Kabupaten Subang. Topografi wilayah Kabupaten Subang secara umum dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu daerah pegunungan di bagian selatan, daratan di bagian tengah, dan pantai di bagian utara. Kecamatan Blanakan terletak di Pantai Blanakan, bagian utara dengan ketinggian antara 0-3 m dpl. Kecamatan Blanakan mempunyai bentuk permukaan tanah berupa dataran dengan produktivitas rendah untuk budidaya pertanian. Hal ini disebabkan salinitas yang tinggi serta tekstur tanah berupa pasir dan tanah liat. Sedangkan wilayah perairan pada umumnya mempunyai dasar berupa substrat berpasir dan berlumpur. Pada umumnya Blanakan mempunyai pantai yang cukup landai, sebagian kecil wilayah pantainya merupakan hamparan pasir dan sebagian lainnya merupakan rawa pasang surut, yaitu kawasan pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Wilayah ini banyak ditumbuhi vegetasi mangrove. 3.4. Iklim dan Curah Hujan Keadaan iklim Blanakan berdasarkan Schmidt dan Ferguson bertipe iklim C dan D dengan curah hujan sekitar 63,6 mm/bulan, yang terjadi pada bulanbulan normal dengan jumlah hari hujan 100 hari. Bulan basah terjadi antara bulan Desember-Maret, sedangkan bulan lembab April-Juni dan bulan kering
57
antara bulan Juli–Nopember. Iklim pesisir Blanakan dipengaruhi oleh Angin Muson, dengan kecepatan angin rata-rata 3-5 m per detik. 3.5. Struktur Geologi dan Jenis Tanah Secara umum kondisi geologi di Blanakan dibagi menjadi dua jenis batuan pembentuk tanah, yaitu sedimen dan miosen fasies sedimen. Jenis tanah di Blanakan terdiri atas dua kelompok, yakni asosiasi alluvial kelabu dan alluvial coklat kekelabuan (di daerah pantai). Jenis tanah tersebut mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. 3.6. Hidrologi Sumber daya air permukaan Kecamatan Blanakan terdiri dari air sungai dan air tanah. Sampai saat ini air permukaan merupakan sumber air utama yang dimanfaatkan oleh penduduk. Kecamatan Blanakan mempunyai empat Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu: Sungai Cimalaya, Sungai Pepetan, Sungai Blanakan, dan Sungai Ciasem. Di sepanjang pantai Blanakan tersebut terdapat hutan mangrove dari Sungai Cimalaya sampai ke Sungai Ciasem 3.7. Batimetri Wilayah Pesisir Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai, dimana untuk kedalaman kurang dari 5 m di sekitar pantai Blanakan gradiennya sekitar 0,0027 dan 0,0054 di sekitar pantai Pusakanegara (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa di bagian Barat pantai Subang (Kecamatan Blanakan) lebih landai dibandingkan
dengan
di
bagian
Timur
pantai
Subang
(Kecamatan
Pusakanegara).
Gambar 12 Batrimetri wilayah pesisir Blanakan. Sumber: Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Subang.
58
Wilayah pantai Blanakan yang berbentuk seperti teluk memungkinkan terjadinya proses pengendapan sedimentasi dari sungai dan dari angkutan sedimen pantai menjadi lebih besar, sehingga di wilayah ini laju pendangkalan perairan sangat besar. Kondisi lingkungan pantai Blanakan cukup menunjang keberadaan hutan mangrove, sehingga hutan mangrove dapat tumbuh dengan subur. Dua unsur lingkungan yang cukup berpengaruh adalah iklim dan tekstur tanah. Blanakan memiliki iklim dan curah hujan tahunan dan bulanan yang cukup tinggi. Hal ini dapat mencegah akumulasi garam-garam tanah sehingga hutan mangrove dapat tumbuh subur dengan baik. Tanah tempat tumbuh hutan mangrove Blanakan adalah pantai berlumpur yang terpengaruh pasang surut dan mempunyai garis pantai yang landai. Jenis tanahnya adalah tanah lumpur berwarna coklat keabuabuan/hitam. 3.8. Demografi Salah satu modal pembangunan, selain sumber daya alam, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah jumlah penduduk dan sumber daya manusia (SDM). Dalam pembangunan yang dibutuhkan adalah SDM yang secara kuantitas mencukupi dan secara kualitas dapat diandalkan atau dengan kata lain SDM yang siap pakai. Berdasarkan data statistik Subang Dalam Angka (2009), penduduk kabupaten Subang tahun 2009 berjumlah 1.470.324 orang, dengan komposisi 725.561 orang laki-laki dan 744.763 perempuan, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 717 jiwa per km2. Untuk tingkat kecamatan, Kecamatan Subang merupakan daerah dengan tingkat kepadatan tertinggi yaitu 2.077 jiwa per km2, sedangkan Kecamatan Blanakan merupakan daerah dengan tingkat kepadatan penduduk relatif rendah yaitu 318 jiwa per km2. Kecamatan Blanakan secara administratif dibagi menjadi 9 desa, yaitu Blanakan, Langensari, Muara, Tanjung Tiga, Jaya Mukti, Rawa Mekar, Rawa Meneng, Cilamaya Girang dan Cilamaya Hilir. Desa Tanjung Tiga memiliki wilayah terluas yaitu 1.677 ha, sedangkan Desa Rawa Mekar mempunyai wilayah paling sempit seluas 274 ha. Keadaan demografi kecamatan Blanakan menunjukkan Desa Blanakan memiliki jumlah penduduk paling tinggi yaitu 8.863
59
jiwa. Adapun demografi penduduk tahun 2009 di Kecamatan Blanakan secara terperinci dapat dilihat dapat Tabel 7. Tabel 7 Demografi Kecamatan Blanakan tahun 2009 No
Desa
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Blanakan Langensari Muara Tanjung Tiga Jaya Mukti Rawa Mekar Rawa Meneng Cilamaya Girang Cilamaya Hilir
Luas Wilayah (Ha) 980,46 786,90 996,36 1.677,00 1.547,90 274,00 541,00 732,00 303,65
Jumlah RT 2.790 1.268 2.314 2.736 2.040 1.403 2.668 2.795 1.294
Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan 4.351 4.512 1.811 1.815 3.316 3.466 3.896 4.015 3.223 3.271 2.108 2.410 4.059 4.189 4.354 4.380 1.692 1.729
Jumlah 8.863 3.626 6.782 7.911 6.494 4.518 8.248 8.734 3.421
Sumber : BPS Kabupaten Subang, 2009 Perbandingan luas wilayah masing-masing desa dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Histogram luas wilayah desa di Kecamatan Blanakan. Sumber : BPS Kabupaten Subang 2009. 3.9. Kondisi Perekonomian Kecamatan Blanakan merupakan pusat perekonomian bagi masyarakat setempat. Terdapat sebuah pasar kecamatan yang aktivitas jual belinya dilakukan setiap hari. Pasar yang lebih besar terdapat di jalur pantai utara
60
(pantura), yaitu pasar Ciasem. Pusat ekonomi di pasar ini cukup besar, karena berada di jalur utama pantura. Penduduk Kecamatan Blanakan sebagian besar bekerja sebagai buruh, petani, pedagang, wiraswata dan nelayan. Sedangkan penduduk yang bekerja di sektor formal seperti PNS, TNI dan Polri relatif sedikit. Mata pencaharian penduduk Blanakan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Mata pencaharian penduduk Blanakan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mata Pencaharian PNS TNI Polri Petani Pedagang Wiraswasta Buruh Nelayan Peternak
Jumlah 607 31 28 9.667 2.494 4.941 15.469 1.684 294
Sumber : BPS Kabupaten Subang 2009 3.9. Flora dan Fauna
Berbagai jenis flora terdapat di Ekowisata hutan Mangrove Blanakan diantaranya Api-api (Avicennia sp.), Bakau (Rhizophora sp.), serta Pedada (Sonneratia sp.) merupakan jenis tumbuhan mangrove yang banyak dijumpai. Jenis Api-api dikenal sebagai black mangrove mungkin merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya, karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperatur tinggi, pertumbuhan akar pernafasan (akar pasak) yang cepat dan sistem perakarannya mampu menahan endapan dengan baik. Pengamatan terhadap flora dilakukan pada radius 2 km dari lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan. Pengamatan dilakukan pada
tiga
vegetasi, yaitu pohon, semak dan herba (rumput). Untuk jenis pohon pisang (Musa paradisiaca) ditemukan dalam jumlah paling banyak. Pohon lain yang banyak dijumpai adalah Cemara laut, Kelapa dan Randu. Untuk jenis semak ketela pohon (Manihot utilissima) paling banyak ditemukan. Tanaman ini merupakan tanaman budidaya yang banyak ditanam oleh penduduk sekitar. Jenis rumput (herba) paling banyak ditemukan adalah rumput. Tanaman ini mendominasi karena perkembangbiakannya relatif mudah. Adapun jenis flora
61
yang ditemukan di sekitar kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis flora di sekitar kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan No.
Nama Lokal
A POHON 1 Cemara laut 2 Dadap 3 Jambu air 4 Jambu biji 5 Kelapa 6 Kelor 7 Keluwih 8 Ketapang 9 Kweni 10 Mahoni 11 Mangga 12 Pepaya 13 Petai 14 Pisang 15 Randu 16 Turi 17 Waru B SEMAK 18 Beluntas 19 Biduri 20 Crotalaria 21 Jagung 22 Ketela pohon 23 Mahkota dewa 24 Putri Malu 25 Sidaguri C HERBA 26 Krokot 27 Rumput 28 Alang-alang 29 Kemangi 30 Pacar air 31 Sereh Keterangan: - = tidak ditemukan + = ditemukan 1-10
St1
Jumlah St2
St 3
Casuarina equisetifolia Erythrina sp Eugenisaquaea Psidium guajava Cocos nucifera Moringa oleifera Artocarpus communis Terminalia catapa Mangifera odorata Swietenia mahagony Mangifera indica Carica papaya Parkia speciosa Musa paradisiaca Ceiba pentandra Sesbania grandiflora Hibiscus tiliceus
++++ ++ + + + +++ +
++ + ++ ++ ++++ + ++ + + ++ +++ +++ + ++++ + + ++
+++ + ++ +++ ++ + ++ + + ++ +++ +++ +++ ++ ++ ++
Plucea indica Calotropis gigantea Crotalaria sp Zea mays Manihot utilissima Phaleria macrocarpha Mimmosa pudica Sida rotusa
+ ++ ++ + -
+ ++ ++ ++ + ++
+ + ++ ++++ + +++ ++
Nama Ilmiah
Alternanthera brssiliana + + Themeda arquent ++ ++ +++ Imperata Cylindrica ++ ++ Oscimum basilicum + Impatien balsamina ++ Cymbopogon sp + ++ ++ = ditemukan 11-20 ++++ = ditemukan >30 +++ = ditemukan 21-30
62
Keberadaan flora di sekitar kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan merupakan salah satu daya tarik dan potensi wisata di daerah tersebut, karena bisa dibuat kegiatan interpretasi pada flora yang ada. Fauna yang terdapat di lokasi hutan mangrove Blanakan diantaranya beragam jenis Kepiting, Larva udang dan Lobster, Semut (Oecophylla sp.), Ngengat (Attacus sp.), Kutu (Dydecus sp.), Crustecea, Lobster lumpur (Thalassina sp.), jenis Laba-laba (Argipe sp., Nephila sp., Cryptophora sp.), Biawak (Varanus sp.), Ular pohon (Crysopelea sp.), Ular air (Cerberus sp.), Berang-berang, Tupai. Selain fauna tersebut di atas juga terdapat jenis burung migran diantaranya: Blekok (Ardeola speciosa) dan Curek (Calidris ruficollis), jenis burung air yang hidup di pantai diantaranya Belibis (Dendrocyna javanica) dan Kuntul (Egretta intermeding).
63
4. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat.
Lokasi Penelitian
Gambar 14 Lokasi penelitian di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat (Sumber: Perum Perhutani III, 2005) 4.2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu tahap pra penelitian dan Penelitian. Pra penelitian dilakukan pada bulan Januari 2010 - hingga Maret 2010 dan Penelitian dilakukan selama 7 bulan dari Bulan Nopember
2011
sampai Mei 2012. 4.3. Jenis Data Yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 3 kelompok dengan aspek-aspek yang diteliti antara lain : 1. Data lingkungan meliputi aspek biologi (vegetasi dan satwa) dan aspek fisikkimia perairan (meliputi suhu, kekeruhan, debit, pH, BOD, ammonia, nitrat, dan fosfat) serta dampak kegiatan pariwisata. Data kondisi fisik lapangan meliputi kondisi umum kawasan, atraksi, amenitas, dan aksesibilitas. 2. Data sosial penduduk mengenai karakteristik penduduk yang berkaitan dengan identitas, persepsi, partisipasi, dan harapan. Data yang berkaitan
64
dengan wisatawan yang berkunjung, meliputi jumlah, motivasi, aktivitas, persepsi dan harapan mereka. 3. Data ekonomi berkaitan dengan pengusahaan wisata, pertambahan nilai ekonomi bagi masyarakat lokal, pendapatan pengelola
juga dikaji dalam
penelitian ini. Tabel 10 Jenis, bentuk, sumber dan cara pengambilan data NO.
JENIS DATA
1.
Fisik-Kimia Perairan Suhu, kekeruhan, debit, , pH, BOD, ammonia, nitrat, fosfat
2.
3.
Biologi Plankton, mangrove, flora, makrobenthos, ikan, reptilia, aves, mammalia
SUMBER DATA
CARA PENGUM PULAN
nilai parameter
survey dan pengukuran
primer
Jenis dan jumlah
survey dan pengukuran
primer
Fisik Kawasan Kondisi umum kawasan
Atraksi
Aksesibilitas
Amenitas Kondisi topografi, iklim, geologi tanah, hidrologi 4.
BENTUK DATA
Jenis dan jumlah prasarana serta kondisi Jenis dan jumlah sarana Kondisi Persepsi pengunjung Jenis, kondisi, dan persepsi pengunjung Jenis, kondisi dan persepsi pengunjung
Pengelola dan survey
Sekunder, primer
pengelola dan survey
Sekunder, primer
depbudpar/pengel ola
sekunder
sekunder pengelola
Jenis dan kondisi
Pemda, pengelola, BMG, BPS
sekunder
Karakteristik
pengunjung
primer
Tingkat kepuasan Persepsi, motivasi,keinginan
pengunjung
primer
pengunjung
primer
Saran
pengunjung
Mata pencaharian
BPS, masyarakat
Tingkat pendidikan
BPS, masyarakat
Adat istiadat
BPS, masyarakat
primer sekunder, primer sekunder, primer sekunder, primer
Sosial
Pengunjung
Masyarakat
65
4.4.
Tahapan penelitian Pada Penelitian ini dilakukan lima tahap penelitian:
1. Tahap pertama: dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi permasalahanpermasalahan yang terjadi di ekowisata hutan mangrove Blanakan. Pada tahap pertama dilakukan dengan melakukan wawancara, studi litheratur, studi dokumentasi dan penyebaran kuesioner. 2. Tahap kedua: menghitung daya dukung
fisik kawasan dan daya dukung
ekologi ekowisata hutan mangrove Blanakan. 3. Tahap ketiga: menganalisis resiliensi ekologi perairan di ekosistem mangrove Blanakan. 4. Tahap keempat: Menyusun model pengelolaan ekowisata berbasis daya dukung dan resiliensi ekologi yang dapat diaplikasikan di ekowisata hutan mangrove Blanakan. 5. Tahap kelima adalah merumuskan skenario kebijakan pengelolaan daya dukung pariwisata berkelanjutan di ekowisata hutan mangrove Blanakan. 4.5. Pengambilan dan Penghitungan Data 4.5.1. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi hutan mangrove dalam penelitian ini dilakukan dengan metode kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak (Gambar 3) yang diletakkan tegak lurus garis pantai menuju daratan dengan lebar 10 m dan panjangnya tergantung kondisi lapangan (jarak hutan mangrove di tepi pantai dengan perbatasan hutan mangrove dengan daratan di belakang hutan mangrove). Di dalam metode ini risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan dengan metode garis berpetak (Kusmana, 1997). Ukuran permudaan yang digunakan dalam kegiatan analisis vegetasi hutan mangrove adalah sebagai berikut:
Semai: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan setinggi kurang dari 1,5 m.
Pancang: Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm.
Pohon: Pohon berdiameter 10 cm atau lebih.
66
10 m
5m
2m 10 m 2m
Arah rintis 5m
Gambar 15 Desain kombinasi metoda jalur dan metoda garis berpetak. Selanjutnya ukuran sub-petak untuk setiap tingkat permudaan adalah sebagai berikut: (a) Semai
: 2 x 2 m.
(b) Pancang : 5 x 5 m.
(c) Pohon
: 10 x 10 m.
Seluruh individu tumbuhan mangrove pada setiap sub-petak tingkat pertumbuhan diidentifikasi, dihitung jumlahnya, dan khusus untuk tingkat pohon diukur diamater pohon, tinggi bebas cabang dan tinggi total pohon. Diameter pohon yang diukur adalah diamater batang pada ketinggian 1,3 m dari atas permukaan tanah atau 10 cm di atas banir (untuk pohon-pohon dari marga Bruguiera) atau akar tunjang (untuk pohon-pohon dari marga Rhizophora) apabila banir atau akar tunjang tertinggi terletak pada ketinggian 1,3 m atau lebih. Diamater pohon ini dikenal dengan DBH (diamater at breast height). Perhitungan besarnya nilai kuantitif parameter vegetasi, khususnya dalam penentuan indeks nilai penting, dilakukan dengan formula berikut ini: Kerapatan suatu jenis (K) (ind/ha)
Σ individu suatu jenis K=
Luas petak contoh Kerapatan relatif jenis (KR) (%): K suatu jenis KR =
x 100%
K seluruh jenis
67
Frekuensi suatu jenis mangrove (F) Σ sub-petak ditemukan suatu jenis F=
Σ seluruh sub-petak contoh contoh Frekuensi relatif jenis (FR) : F suatu jenis FR =
x 100%
F seluruh jenis Dominansi suatu jenis (D) (m2/ha) hanya dihitung untuk tingkat pohon Luas bidang suatu jenis D=
Luas petak contoh Dominansi relatif suatu jenis (DR) (%) D suatu jenis DR =
x 100%
D seluruh jenis Luas bidang dasar (LBD) suatu pohon yang digunakan dalam menghitung dominansi jenis didapatkan dengan rumus: ΠxR LBD =
=
2
Σ seluruh sub-petak contoh
x 100%
1 2 xD 4
Dimana R adalah jari-jari lingkaran dari diameter batang; D adalah DBH. LBD yang didapatkan kemudian dikonversi menjadi m2.
Indeks Nilai Penting (INP) : INP = KR + FR + DR
Nilai penting suatu spesies berkisar antara 0 – 300. nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu spesies tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. 4.5.2. Penentuan karakteristik wisatawan Penentuan responden dilakukan dengan cara purposive sampling. Kriteria pengunjung yang dijadikan reponden adalah dewasa atau umur ≥ 15 tahun, sehat jasmani dan rohani serta dapat berpikir secara baik. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara dan pengisian kuesioner.
68
4.5.3.Dampak pengunjung Teknik yang digunakan untuk mengetahui dampak pengunjung terhadap kondisi biofisik dilakukan secara observasi dan kuesioner. Untuk kondisi biofisik antara lain pengamatan dampak pengunjung pada vegetasi dan satwa dilakukan dengan menyusuri menggunakan perahu. Indikasi kerusakan vegetasi adalah vandalisme pada pohon, pemotongan ranting dan cabang, serta penebangan pohon. Indikasi gangguan pada satwa liar adalah menghilangnya beberapa jenis satwa. Indikasi kerusakan pada kualitas air adalah penurunan kemelimpahan plankton, makrobenthos, BOD, pH, suhu, warna, kekeruhan, kandungan ammonia, nitrat dan fosfat. 4.5.4.Dampak ekonomi Nilai ekonomi yang ingin diperoleh adalah memaksimumkan pendapatan langsung pihak manajemen. Pendapatan adalah jumlah dana yang diperoleh dari biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung. Keuntungan dari pengunjung terdiri dari tarif rumah makan dan tiket masuk. Keuntungan total (Z), dapat dirumuskan : Z = aX1+ b(X1+X2)+c p1 (X1+X2)+ d p2(X1+X2)/2+e p3 (X1+X2)/6 Dimana a: tarif hotel b: harga tiket c: rerata pengeluaran makan per orang d: tarif parkir motor e: tarif parkir mobil p1: proporsi pengunjung rumah makan p2: proporsi pengunjung menggunakan sepeda motor p3: proporsi pengunjung menggunakan mobil 4.6.Analisis Daya Dukung Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Penghitungan kapasitas daya dukung kawasan meliputi: 1. Daya dukung fisik (Physical Carrying Capacity/PCC), yaitu jumlah maksimal pengunjung yang dapat secara fisik memenuhi suatu ruang yang telah ditentukan dalam waktu tertentu. 2. Daya dukung sebenarnya (Real Carrying Capacity/RCC), yaitu jumlah kunjungan maksimal yang diperbolehkan untuk sebuah lokasi segera sesudah faktor-faktor koreksi diturunkan dari ciri khusus suatu tempat yang telah diperlakukan PCC.
69
3. Daya dukung efektif atau yang diijinkan (Effective Carrying Capacity/ECC), yaitu jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditampung oleh suatu tempat dengan adanya ketersediaan pengelolaan kapasitas (Management Capacity/MC) Untuk RCC dihitung dengan memperhatikan faktor koreksi yang berasal dari ciri-ciri khusus lokasi. Faktor-faktor koreksi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Kualitas perairan (Cf1) Banjir musiman (Cf2) Kapasitas manajemen (Cf3) Curah hujan (Cf4) Analisis Data Penghitungan daya dukung fisik kawasan terhadap jumlah maksimal pengunjung ditentukan dengan menggunakan penghitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung sebenarnya (RCC), dan daya dukung efektif (ECC) menurut Cifuentes (1992). v PCC =
a
Dimana : PCC A V/a Rf
x Rf
A x
: Daya dukung fisik : Luas area yang tersedia untuk pemanfaatan umum : Area yang dibutuhkan untuk satu pengunjung per m2 : Faktor rotasi
Kriteria dan asumsi dasar yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan PCC adalah:
Bahwa seseorang pada umumnya membutuhkan ruang horizontal seluas 1 m2 untuk dapat bergerak bebas.
Bahwa luas yang tersedia (A) ditentukan oleh keadaan tertentu di areal.
Faktor rotasi (Rf) adalah jumlah kunjungan harian yang diperbolehkan ke suatu lokasi yang diformulasikan dengan rumus: Rf =
Masa buka Waktu rata-rata per kunjungan
70
Penghitungan RCC Asumsi yang digunakan untuk mengukur RCC adalah:
Faktor koreksi (Cf) diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik lingkungan.
Faktor koreksi (Cf) berkaitan erat dengan kondisi spesifik dan karakteristik tiap tempat dan kegiatan.
Faktor koreksi (Cf) diformulasikan dengan rumus: M1 Cf =
x 100% Mt
Dimana: M1 Mt
= pembatas ukuran variabel = jumlah ukuran variabel
Maka untuk mengukur daya dukung sebenarnya (RCC), digunakan rumus sebagai berikut: RCC =
PCC x
100 – Cf1
x
100 – Cf2
100
100
x .... .
100 – Cfn 100
Penghitungan ECC Setelah diketahui RCC, selanjutnya dihitung daya dukung efektif
atau yang
diijinkan (ECC) yang diformulasikan dengan rumus: (Kapasitas Infrastruktur x MC) x 100%
ECC = RCC Dimana: ECC MC RCC
= Daya dukung efektif atau yang diijinkan = Kapasitas manajemen yang berdasarkan jumlah staf dan anggaran = Daya dukung sebenarnya
Asumsi yang digunakan untuk menentukan ECC adalah sebagai berikut:
MC didefinisikan sebagai penjumlahan kondisi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam jika fungsi dan tujuan pengelolaannya dijalankan
Ketika kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat, maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun dalam kondisi yang mendukung.
MC dikemukakan dalam persentase dengan rumus sebagai berikut: Kapasitas staf yang ada x 100%
MC = Kapasitas staf yang diperlukan
71
Dari uraian rumus PCC, RCC dan ECC di atas dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah dikurangi dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar jumlahnya dari RCC, dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC, yang dapat dinotasikan dengan: PCC > RCC dan RCC ≥ ECC Persamaan di atas dijadikan standar dalam menentukan kapasitas daya dukung fisik di kawasan. Jika ECC lebih besar dari RCC dan RCC lebih besar dari PCC berarti jumlah pengunjung yang memasuki kawasan wisata telah melewati daya dukung fisik kawasan. Manning (2002) menyatakan ketika indikator variabel tidak sesuai dengan standar yang dibuat, berarti daya dukung terlampaui sehingga diperlukan langkah-langkah kegiatan pengelolaan kawasan. Daya Dukung Ekologis Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Daya dukung ekologis merupakan perhitungan angka daya dukung dengan mempertimbangkan faktor pemulihan atau natural recovery atau natural purification yang diperkenalkan oleh Douglass (1975). Douglass (1975) menemukan beberapa aktivitas wisata yang menimbulkan usikan atau cekaman terhadap lingkungan. Dalam menghitung daya dukung ekologis, parameter yang diukur adalah jumlah pengunjung/wisatawan untuk tiap aktivitas. Sedangkan parameter lainnya sudah ditetapkan Douglass (1975) dalam Fandeli (2001) dengan rumus sebagai berikut: D x a AR = Cd x TF x 43.560 Dimana: AR = Area yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata D = Permintaan wisatawan untuk suatu aktivitas A = Kebutuhan area setiap wisatawan dalam feet CD = Jumlah hari yang digunakan untuk suatu aktivitas tertentu TF = Faktor pemulihan 43.560 = Konstanta Kapasitas tampung wisatawan per kegiatan/aktivitas untuk kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah D = AR
72
4.7.Analisis Resiliensi Desain penelitian dilakukan dengan mengadakan survei lapangan yang menjelaskan
pola
variasi
lingkungan
untuk
menentukan
lokasi-lokasi
pengambilan sampel. Pengambilan sampel dilakukan di tiga tempat, yaitu di lokasi yang diasumsikan belum tercemar (sebelum objek wisata) sebagai stasiun pertama, lokasi yang diasumsikan sudah tercemar (setelah objek wisata) sebagai stasiun kedua,
dan stasiun ketiga adalah lokasi dimana diasumsikan
pencemaran sudah diasimilasi (muara sungai). Analisis resiliensi bertujuan untuk mengetahui ambang batas penerimaan gangguan yang dapat diterima ekosistem, sebelum ekosistem tersebut mengalami perubahan fungsi. Untuk mengetahui resiliensi (kelentingan) lingkungan perlu diketahui kapasitas asimilasi maksimal dan jumlah pengunjung untuk dapat mengetahui beban pencemaran yang dihasilkan oleh pengunjung. Dari data tersebut dicari jumlah persentase pertumbuhan pengunjung tiap tahun, sehingga akan diketahui kelentingan badan perairan ekosistem hutan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. 4.71.Pengukuran Fisik dan Kimia Perairan Pengukuran faktor hidrologi badan perairan Faktor hidrologi badan perairan didapat dari pengukuran kecepatan arus (v), lebar penampang sungai, kedalaman sungai dan debit. Hubungan ketiganya dinyatakan dengan rumus sebagai berikut (Jeffries dan Mills dalam Effendi 2007). D = v x A Dimana: D = debit air (m3/detik) V = Kecepatan arus (m/detik) A = Luas penampang sungai (m2) Pengukuran fisik dan kimiawi perairan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi suhu, kekeruhan, pH, BOD (Biochemical Oxygen Demand), kadar ammonia, nitrat dan fosfat. 1. Suhu; suhu merupakan parameter yang penting karena berpengaruh terhadap reaksi kimia, laju reaksi dan kehidupan organisme air, dan
73
penggunaan air untuk aktivitas sehari-hari. Suhu diukur dengan menggunakan termometer air raksa 2. Kekeruhan; kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan dinyatakan dalam turbiditas, yang setara dengan 1 mg/l SiO2 (Effendi 2007). Pengukuran kekeruhan dilakukan di lapangan dengan menggunakan turbidity meter. 3. pH;
disebut
juga
derajat
keasaman
merupakan
nilai
yang
menunjukkan aktivitas hidrogen dalam air. Nilai pH mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa dalam perairan. Pengukuran pH dengan menggunakan pH meter. 4. BOD; langkah kerja pengukuran BOD adalah dengan menyaring 100 ml air kemudian diambil 75 ml dan selanjutnya diencerkan ke dalam akuades sampai 375 ml. Kemudian air dimasukkan kedalam botol winkler. Prinsip pengukuran BOD adalah mengukur kandungan oksigen terlarut awal (DO1) dan sampel segera setelah pengambilan contoh, kemudian mengukur kandungan oksigen terlarut pada sampel yang telah diinkubasi selama 5 hari pada kondisi gelap dan suhu tetap (200C) yang sering disebut dengan DO5. Selisih DO1 dan DO5 merupakan nilai BOD yang dinyatakan dalam miligram oksigen per liter (mg/l). 5. Kadar ammonia; pengukuran kadar ammonia dilakukan dengan mengambil 25 ml sampel air yang telah disaring, kemudian ditambahkan 1 ml garam Signette dan 0,5 ml larutan Nessler. Larutan dibiarkan
10
menit.
Kadar
ammonia
diukur
dengan
larutan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 125 nm. 6. Kadar nitrat; sampel air sebanyak 10 ml disaring dengan kertas saring, kemudian ditambah bufer nitrat 0,4 ml. Sampel ditambah dengan larutan pereduksi 0,2 ml (larutan hidrazin sulfat dan kupri sulfat dengan perbandingan 1 : 1), kemudian dibiarkan dalam satu malam. Keesokan harinya ditambah dengan larutan aceton 0,4 ml kemudian dicampur dan ditambahkan larutan sulfanilamid 0,2 ml kemudian dicampur. Setelah itu ditambah larutan nepthylenediamine
74
0,2 ml dan dicampur. Setelah 15 menit, dilihat hasilnya pada pembacaan spektrofotometer dengan panjang gelombang 543 nm. 7. Kadar fosfat; sampel air sebanyak 10 ml disaring kemudian memasukkannya ke dalam erlenmeyer. Sampel air ditambahkan combined reagent masing-masing 1,6 ml yang terdiri dari campuran: H2SO4 5 N (10 ml), potasium antymonil tartrat/PAT (1 ml), amonium molibdat (3 ml), dan ascorbic acid (6 ml), kemudian larutan didiamkan selama 30 menit. Setelah itu dilakukan pengamatan kerapatan optik pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 880 nm. Hasil pengukuran masing-masing parameter tersebut dibandingkan dengan baku mutu badan perairan untuk mengetahui tingkat pencemaran yang terjadi. Analisa beban pencemaran akibat aktivitas wisata dengan pengukuran langsung di perairan kawasan hutan mangrove Blanakan. Cara pengukuran beban pencemaran didasarkan pada pengukuran debit dan konsentrasi limbah di sungai yang melalui kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan berdasarkan model Chapra dan Reckhow (1983): BP = Q.C BP : Beban pencemaran Q : Debit sungai (m3/detik) C : Konsentrasi limbah parameter ke-i (mg/l) Hubungan jumlah pengunjung dengan beban pencemaran dicari dengan menggunakan
persamaan
regresi
untuk
dapat
disimulasikan
beban
pencemaran yang masuk per tahunnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencemaran di sungai secara matematis persamaan regresi linier dapat di tulis: y = a + bx dimana: x : parameter sungai y : nilai parameter di sungai bagian hilir a : nilai tengah/rataan umum b : koefisien regresi untuk parameter di outlet
75
4.7.2. Penghitungan Kemelimpahan Plankton dan Makrobenthos Untuk
mengetahui
keanekaragaman
plankton
dan
makrobenthos
digunakan metode Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). Tujuan utama metode ini adalah untuk mengukur tingkat keteraturan dan ketidakteraturan dalam suatu ekosistem. Adapaun Indeks untuk plankton adalah sebagai berikut (Cox 2002): s
s
i 1
i 1
H ' pi ln pi 2,303 pi log pi Pi
ni N
Dimana: H’ pi Ni N S
: Indeks Keanekaragaman Shannon : komposisi organisme jenis ke-i : jumlah organisme : jumlah total organisme : jumlah spesies atau genus
Sedangkan untuk makrobenthos indeks keanekaragaman diformulasikan: s
s
H ' pi log pi 3,32 pi log pi i 1
Keterangan : H’ pi Ni N S
2
i 1
: Indeks Keanekaragaman Shannon : komposisi organisme jenis ke-i : jumlah organisme : jumlah total organisme : jumlah spesies atau genus
Beberapa kriteria kualitas air berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener, dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini. Tabel 11 Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon Wiener Indeks Keanekaragaman H’ < 1 1 < H’ < 3 H’ > 3 Sumber: Krebs (1999)
Kualitas Tercemar berat Tercemar ringan Tidak tercemar
Penghitungan Indeks Keseragaman Plankton e = H’/H maks
76
Dimana: E H’ H maks S
= Indeks keseragaman = Indeks keanekaragaman = ln S = Jumlah spesies
Indeks keseragaman berkisar 0 – 1. Apabila nilai mendekati 1 menunjukkan sebaran individu antar jenis merata. Jika nilai e mendekati 0 sebaran individu antar jenis tidak merata atau ada jenis tertentu yang dominan. Indeks Dominansi (Cox, 2002) s
C pi 2 i 1
Dimana: C = Indeks dominansi Simpson pi Ni N S
= Komposisi organisme jenis ke-i = Jumlah organisme ke-i = Jumlah total organisme = Jumlah spesies atau genus organisme
Dengan kriteria Odum (1993) sebagai berikut, bila C mendekati 0 tidak ada jenis yang mendominasi dan C mendekati 1 terdapat jenis yang mendominasi. 4.8. Model Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Model yang ingin dikembangkan pada penelitian ini adalah model simulasi yang menjelaskan interaksi antara sektor pariwisata dengan sektor ekonomi, lingkungan dan sosial berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi. Untuk membuat model ekowisata tersebut dilakukan dengan sistem dinamis. Sesuai dengan Purnomo (2005), analisis sistem dinamis dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Identifikasi isu, tujuan, dan batasan Dalam penelitian ini isu utamanya adalah pengelolaan ekowisata secara terintegrasi. Tujuannya adalah membuat model ekowisata kawasan hutan mangrove berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi. 2. Konseptualisasi model Berdasarkan
isu
yang
telah
ditetapkan,
kemudian
dilakukan
konseptualisasi model. Berdasarkan model konseptual selanjutnya dirinci menjadi sebuah diagram stok dan aliran. 3. Spefikasi model Pada tahapan ini dilakukan kuantifikasi dan perumusan hubungan antar komponen dilakukan sehingga model bisa dijalankan pada komputer.
77
4. Evaluasi model Untuk mengetahui ketepatan model yang dibuat akan dilakukan evaluasi dengan cara validasi model dan simulasi model. Validasi model dilakukan dengan uji validasi struktur yang menekankan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. 5. Penggunaan model Model
yang
telah
dievaluasi
selanjutnya
akan
digunakan
untuk
menentukan skenario-skenario pemecahan masalah. Model
yang
dikembangkan
bertujuan
untuk
melihat
peningkatan
pendapatan (manfaat ekonomi), jumlah pengunjung dengan memperhatikan kualitas lingkungan (daya dukung) dan efisiensi penggunaan lahan. Model yang dikembangkan diharapkan dapat mesimulasikan situasi nyata untuk dapat dilakukan analisis terhadap hubungan antara variabel dalam model tersebut. Untuk membuatan model pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan dimulai dengan membuat tabel analisis kebutuhan stakeholders, seperti pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12 Analisis kebutuhan stakeholders Stakeholders
Analisis kebutuhan
Masyarakat lokal
Peningkatan pendapatan Perluasan lapangan kerja Kelestarian lingkungan–sosial budaya Keamanan-kepastian hukum Peningkatan devisa negara Kelestarian daerah konservasi Kelestarian lingkungan dan budaya Pengawetan dan perlindungan flora, fauna dan habitatnya Partisipasi masyarakat dalam pembangunan Peningkatan lapangan kerja Keamanan Peningkatan PAD Peningkatan pendapatan ekonomi Pelestarian kawasan ekowisata mangrove Pelayanan yang baik Aksesibilitas yang baik Informasi yang akurat dan terpecaya Keamanan dan kenyamanan
Pemerintah pusat Pemerintah daerah
Perhutani Wisatawan
Setelah dilakukan identifikasi terhadap variabel-variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis antar variabel tersebut. Dari
78
hubungan itu dapat ditentukan apakah hubungannya bersifat positif atau negatif. Dengan demikian dapat dibangun hubungan umpan balik (causal loop) untuk semua variabel dalam pengelolaan daya dukung pariwisata yang membentuk rantai tertutup. Pertumbuhan Pengunjung
+
+ Kapasitas asimilasi
-
Jumlah Pengunjung
Loop (-)
+
+ +
Limbah
Tingkat Kepuasan Pendapata n
+
Loop (+)
Fasilitas
+
+
Loop (-)
Perubahan Lahan
Gambar 16 Kausal loop model dinamis pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan Analisis strategi pengelolaan Analisis strategi pengelolaan dilakukan dengan mempengaruhi sistem agar sesuai dengan yang diinginkan. Dalam sistem dinamis analisis strategi dilakukan terhadap simulasi model. ada dua tahap analisis pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan, yaitu pengembangan strategi alternatif dan analisis strategi pengelolaan. Pengembangan strategi alternatif adalah strategi-strategi yang dibuat dengan tujuan mempengaruhi sistem agar sesuai dengan tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter atau struktur model. Analisis strategi pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah proses pemilihan strategi terbaik dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru dan tujuan pengelolaan.
79
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tinjauan Kepariwisataan di Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Ekowisata hutan mangrove Blanakan mempunyai luas 131,7 ha dikelola oleh Perum Perhutani Unit III. Berdasarkan administrasi pemerintahan kawasan ini termasuk Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang. Kawasan hutan mangrove ini merupakan hutan lindung. Kawasan mangrove di pantai Subang berada tidak jauh dari pusat kota kecamatan dan beberapa aktivitas seperti pusat perbelanjaan baik modern maupun tradisional, pelabuhan bagi perahu nelayan, tempat pelelangan ikan (TPI), pemukiman, serta pertambakan memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap ekosistem mangrove.
Gambar 17 Lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang (CSC 2010). 5.1.1. Potensi Objek Wisata Hutan Lindung Mangrove Blanakan Unsur-unsur potensi objek wisata terdiri dari sumberdaya wisata (atraksi), amenitas dan aksesibilitas. Atraksi (Sumberdaya wisata) Sumberdaya wisata berhubungan erat dengan daya tarik. Daya tarik merupakan suatu faktor yang membuat orang berkeinginan untuk mengunjungi dan melihat secara langsung ke suatu tempat yang menarik. Unsur-unsur yang menjadi daya tarik diantaranya adalah keindahan alam, banyaknya sumberdaya yang menonjol, keunikan sumberdaya alam, keutuhan sumberdaya alam, pilihan kegiatan rekreasi, dan keanekaragaman sumberdaya alam.
80
Keindahan alam objek wisata mangrove Blanakan meliputi pemandangan hutan mangrove yang rimbun menimbulkan kesan menyejukkan dan menarik pengunjung untuk mendekatinya. Suasana di dalam kawasan mangrove sangat sejuk dan cukup menarik untuk dinikmati sambil berjalan-jalan mengitari objek. Bentuk perakaran yang khas yang umum ditemukan pada beberapa jenis vegetasi mangrove, seperti akar tunjang (Rhizopora sp.), akar pasak (Sonneratia sp., Avicennia sp.). Adanya zonasi yang sering berbeda mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman (transisi zonasi). Adapun klasifikasi sumberdaya wisata, atraksi dan daya tarik wisata di ekowisata hutan mangrove Blanakan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Klasifikasi sumberdaya wisata, atraksi dan daya tarik wisata di ekowisata hutan mangrove Blanakan No 1.
Klasifikasi sumberdaya wisata Sumberdaya wisata berbasis alam
2.
Sumberdaya wisata berbasis budaya
3.
Sumberdaya wisata buatan
Atraksi wisata Keindahan hutan mangrove Pengamatan satwa yang berasosiasi dengan mangrove Wisata memancing Berperahu menyusuri sungai dan pantai Blanakan Upacara Pesta laut (Nadran) Kesenian Sisingaan Kegiatan pemanfaatan mangrove oleh penduduk setempat Taman bermain anak Penangkaran buaya Sajian kuliner khas Blanakan Area perkemahan Tempat pelelangan ikan (TPI)
Wisatawan juga akan memperoleh nilai ilmu pengetahuan tentang mangrove dan berbagai jenis satwa yang berasosiasi dengannya.
Atraksi
masyarakat setempat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya mangrove. Masyarakat memanfaatkan mangove dengan mengambil kayu dari pohon yang mati untuk digunakan sebagai bahan pembuatan arang. Masyarakat setempat juga menangkap kepiting, ikan gelodok, dan jenis ikan lainnya, merupakan atraksi yang bisa dinikmati wisatawan Keutuhan sumberdaya alam seperti flora dan fauna tidak terganggu oleh kegiatan masyarakat, sedangkan untuk lingkungan ekosistem mangrove rawan
81
terhadap kegiatan masyarakat dan kegiatan sekitarnya. Adanya aktivitas wisata juga berdampak negatif pada perairan di sekitar kawasan hutan mangrove. Kebiasaan membuang sampah dan limbah domestik di sekitar mangrove akan mengganggu ekosistem di dalamnya. Pilihan kegiatan rekreasi di kawasan mangrove Pantai Blanakan
ada
berbagai macam yaitu melakukan aktivitas jalan-jalan mengitari objek sambil menikmati pemandangan, bersantai duduk sambil menikmati keindahan mangrove dan fauna yang ada di kawasan tersebut. Di dalam lokasi ini juga sering digunakan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian serta praktikum para pelajar dan mahasiswa. Keunikan sumberdaya alam meliputi keanekaragaman flora dengan berbagai macam jenis mangrove dan fauna diantaranya berbagai jenis ikan, reptilia, burung, dan mammalia yang menarik dengan warna unik dan khas akan menimbulkan kesan yang menarik bagi pengunjung. Variasi pemandangan di dalam objek, seperti berbagai satwa antara lain jenis kepiting dengan warna unik, semak, perakaran mangrove yang khas, satwa burung yang unik baik warna bulu maupun suaranya, sungai dalam kawasan mangrove. Fauna yang terdapat di lokasi Blanakan diantaranya beragam jenis Kepiting, Larva udang dan Lobster, semut (Oecophylla sp.), Ngengat (Attacus sp.), Kutu (Dydecus sp.), Crustecea, Lobster lumpur (Thalassina sp.), jenis Laba-laba (Argipe sp., Nephila sp., Cryptophora sp.), jenis reptil : Biawak (Varanus sp.), Ular pohon (Crysopelea sp.), Ular air (Cerberus sp.), jenis mamalia Berang-berang (Lurogale sp.). Selain fauna tersebut di atas juga terdapat jenis burung migran diantaranya: Blekok (Ardeola speciosa) dan Curek (Calidris ruficollis), jenis burung air yang hidup di pantai
diantaranya
Belibis
(Dendrocyna
javanica)
dan
Kuntul
(Egretta
intermeding). Upacara Nadran merupakan upacara adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat pesisir di Blanakan, Kabupaten Subang. Upacara Nadran telah dilaksanakan oleh masyarakat Blanakan semenjak tahun 1950. Upacara ini dilaksanakan secara turun temurun karena amanat dari nenek moyang tentang legenda Budug Basu yang merupakan raja ikan dan membantu nelayan, sehingga hasil tangkapannya melimpah. Penduduk Blanakan melaksanakan upacara Nadran setiap tahun pada bulan Oktober-Nopember.
82
Gambar 18
Upacara pesta laut (Nadran) yang dilakukan oleh masyarakat Blanakan.
Kesenian Sisingaan merupakan salah satu kesenian daerah yang sampai sekarang masih berkembang dengan baik. Kesenian Sisingaan telah dimainkan oleh rakyat sejak jaman penjajahan. Kekuasaan penjajah diwujudkan dalam bentuk singa. Singa tersebut dinaiki oleh seorang anak sebagai simbol pelecehan terhadap penjajah. Singa sebagai hewan yang ditakuti dinaiki anak kecil, melambangkan bahwa rakyat Subang tidak takut melawan penjajahan pada saat itu. Kesenian adat ini diadakan setiap tanggal 5 April bersamaan dengan hari jadi Kabupaten Subang.
Gambar 19 Kesenian Sisingaan yang dilakukan oleh masyarakat Blanakan. Penangkaran buaya yang telah dikembangkan sejak tahun 1989 termasuk objek wisata yang banyak mendapat perhatian dari wisatawan. Di lokasi ini dikembangkan penangkaran buaya jenis buaya muara (Crocodilus porosus) yang merupakan jenis buaya terbesar. Pada awalnya buaya tersebut didatangkan dari Kalimantan. Pada saat ini terdapat 236 buaya muara yang berumur 3 bulan hingga 26 tahun. Di lokasi penangkaran buaya Blanakan terdapat 20 kolam dengan ukuran 200 m2 Pengunjung dapat pula menyaksikan suguhan atraksi buaya-buaya muara dari atas balkon. Penangkaran buaya yang dikelola oleh Perhutani ini menempati lahan seluas 1,5 ha.
83
Gambar 20 Penangkaran buaya di Blanakan. Sajian kuliner berupa makanan laut khas Blanakan yaitu ikan bakar Etong, Cumi dan Kepiting, yang disajikan di warung-warung yang tertata rapi di bawah kerindangan pohon. Kegiatan berperahu menyusuri pesisir pantai Blanakan sampai dengan pantai Patimban dengan menggunakan jasa penyewaan perahu yang tersedia. Jalan-jalan di hutan mangrove dan menyaksikan beberapa satwa khas hutan mangrove, seperti berang-berang, kucing hutan, dan burung kuntul. Di lokasi ini juga disediakan bumi perkemahan, sehingga aktivitas berkemah dapat dilakukan. Pengunjung yang memiliki hobi mancing, dapat menyalurkan kesenangannya di Sungai Blanakan. Adanya taman bermain bagi anak-anak, sehingga mereka bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya. Di dekat lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan juga terdapat tempat pelelangan ikan (TPI) Mina Fajar Sidik. TPI tersebut beroperasi setiap hari mulai pukul 8.00 sampai 15.00 WIB. Jenis dan jumlah ikan yang diperjualbelikan sangat beragam, mengingat di Blanakan menjadi tempat mendarat perahu-perahu nelayan yang besar dan berasal dari berbagai daerah, seperti Tuban, Pati, Juwana, Rembang, Semarang, Tegal bahkan dari Kalimantan
Gambar 21 Suasana Tempat Pelelangan Ikan KUD Mina Fajar Sidik, Blanakan.
84
Secara umum pemanfaatan potensi sumberdaya wisata yang terdapat di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan sudah baik. Selanjutnya perlu dilakukan
kegiatan
pengembangan
terhadap
potensi
tersebut
agar
pemanfaatannya dapat menjadi lebih terarah, efektif dan efisien, sehingga dapat meningkatkan kualitas kawasan wisata secara keseluruhan. Adapun tujuan akhirnya adalah peningkatan jumlah pengunjung menuju kawasan wisata. Amenitas Industri wisata menyangkut segala hal yang berhubungan dengan penyediaan kebutuhan para wisatawan. Kebutuhan tersebut antara lain menyediakan sarana penginapan, rumah makan, tempat perbelanjaan, mengatur perjalanan, mengelola objek-objek wisata di daerah tujuan wisata, menyediakan pemandu wisata, merancang paket-paket pertunjukan, menyediakan brosur dan informasi tentang keindahan dan kekayaan seni budaya, dan sebagainya. Berdasarkan survei kondisi ekowisata hutan mangrove Blanakan dalam hal sarana pendukung dan ketersediaan fasilitas dapat dijelaskan sebagai berikut
Promosi Kawasan Promosi kawasan ekowisata ini berupa website di media internet yang dibuat oleh Dinas Pariwisata Subang maupun Perum Perhutani unit III dan juga berbagai artikel dalam blog-blog pribadi. Bentuk promosi wisata yang bisa dilakukan seperti pembuatan booklet, brosur, selebaran atau iklan disediakan di kantor pengelola.
Tarif dan fasilitas Tarif masuk ke lokasi Ekowisata Mangrove Blanakan sebesar Rp. 10.000,per pengunjung. Sedangkan retribusi untuk mobil Rp. 5.000,- dan motor Rp. 2000,-. Fasilitas yang sudah tersedia di ekowisata hutan mangrove Blanakan disajikan dalam Gambar 22 dan Tabel 14.
Gambar 22 Fasilitas musholla dan warung makan di Blanakan.
85
Tabel 14 Fasilitas sarana dan prasarana ekowisata hutan mangrove Blanakan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Jenis Fasilitas Gapura MCK Shelter Mushola Warung makan Kios cinderamata Taman bermain Lapangan parkir Penangkaran buaya Area perkemahan Dermaga Papan informasi
Jumlah 2 3 4 1 20 6 1 2 1 1 1 3
Kondisi Sedang Agak buruk Baik Sedang Baik Baik Agak buruk Sedang Baik Baik Baik Sedang
Penyediaan prasarana, sarana dan jasa pelengkap kegiatan wisata dengan tujuan memuaskan pengunjung mutlak diperlukan. Ketersediaan warung makan di lokasi ini sudah cukup memadai, baik dari segi jumlah (20 buah) maupun kualitas. Kios cinderamata juga tersedia di lokasi ini dengan jumlah 6 buah. Kios tersebut menjual beberapa suvenir berupa kaos-kaos dan barang kenangkenangan dari cangkang hewan laut. Jika eksploitasi terhadap cangkang, karang dan eksoskeleton hewan laut (lobster dan kepiting) tentu akan menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem pesisir. Hal ini akan menimbulkan kerugian ekologis bagi kelangsungan ekosistem tersebut. Aksesibilitas Daerah tujuan wisata yang memiliki aksesibilitas baik merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam melakukan kegiatan pariwisata. Faktor kemudahan pencapaian suatu kawasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nilai potensi suatu kawasan. Dalam rangka menjamin terjadinya arus lalu lintas wisatawan yang baik, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu kenyamanan, waktu dan biaya. Kegiatan pelayanan wisata merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
memberikan
kemudahan,
kenyamanan,
atau
keselamatan
pada
pengunjung selama tinggal dan dalam kunjungan di kawasan wisata. Penilaian
tingkat
kemudahan
pencapaian
suatu
kawasan
wisata
dipengaruhi oleh beberapa komponen, antara lain kondisi jalan menuju kawasan, jenis serta jumlah angkutan dan frekuensi keberangkatan serta kenyamanan pelayanan. Kondisi jalan yang baik adalah kondisi jalan yang memenuhi pola persyaratan bentuk, fungsi, lokasi, dan mutu sehingga dapat menimbulkan rasa
86
nyaman bagi penggunanya. Jenis angkutan dengan pelayanan yang baik, tersedia dalam jumlah memadai dengan frekuensi keberangkatan yang tinggi akan mempermudah wisatawan dalam mengunjungi daerah tujuan wisata. Jumlah angkutan yang menuju lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan relatif sedikit, dengan interval 25-30 menit. Sehingga pengunjung banyak yang menggunakan kendaraan pribadi (70%). Keberadaan tukang ojek juga sangat membantu mempermudah akses menuju lokasi wisata. Alternatif lain yang dipilih pengunjung
untuk
mencapai
lokasi
adalah
dengan
menyewa/mencarter
kendaraan (6,67%). Dari data dapat dilihat pilihan moda transportasi yang digunakan pengunjung, seperti pada Gambar 23.
Gambar 23 Moda transportasi yang digunakan pengunjung.
Kondisi jalan di Kabupaten Subang secara umum baik, terutama untuk kelas Jalan Negara dimana perkerasan dengan hotmix, rata, jalan lebar dan cukup terawat. Jarak masuk ke lokasi wisata dari Jalan Negara sekitar 3 km, namun jalan masuk tersebut kondisinya rusak di beberapa bagian. Adapun lebar jalan masuk ke lokasi kurang lebih 6 m. Akses menuju lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan dapat menggunakan kendaraan pribadi, angkutan umum, atau naik ojek. Adanya kegiatan wisata di hutan mangrove Blanakan Kondisi jalan di Kabupaten Subang ternyata memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat setempat. Mereka berpartisipasi dalam membantu aksesibilitas menuju destinasi wisata. Masyarakat setempat berperan menjadi tukang ojek dan sopir angkutan umum, sehingga multiplier effect benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Kondisi jalan-jalan di Subang secara umum disajikan dalam Tabel 15.
87
Tabel 15 Kondisi jalan di Kabupaten Subang No. 1. 2. 3.
Status Administrasi Jalan Negara Jalan Propinsi Jalan Kabupaten
Aspal Baik 45,115 113,05 318,88
Kondisi Jalan (km) Aspal Sedang Aspal Rusak 0,21 33,92 208,70 104,44
Kerikil 285,99
Jumlah 45,325 146,97 918,81
Sumber: Data fasilitas dan utilitas Kabupaten Subang 2009
Lokasi objek wisata ini terletak di wilayah Kabupaten Subang bagian utara, tepatnya di jalur Pantura. Jalan menuju lokasi ini sudah beraspal, sehingga pengunjung dapat menggunakan kendaraan pribadi roda 2 atau roda 4, ataupun menggunakan kendaraan umum. Adapun waktu tempuh dari kota Subang sekitar 60 menit, dari Bandung sekitar 2,5 jam dan dari Jakarta lewat Pantura sekitar 3 jam. 5.1.2. Potensi Permintaan Ekowisata Adanya krisis moneter mengakibatkan sektor pariwisata sempat terpuruk pada tahun 1998. Kondisi tersebut berpengaruh pada tingkat pendapatan yang turun dan semakin sedikitnya anggaran untuk berwisata. Namun seiring berjalannya waktu, angka kunjungan wisata khususnya ke kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan mengalami peningkatan. Data kunjungan ke hutan mangrove Blanakan sejak tahun 2003-2011 disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan dari tahun 2003-2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Pengunjung (orang) 5.894 7.645 7.957 9.980 11.658 17.823 19.675 20.897 18.462
Berdasarkan dinamika pertumbuhan pengunjung dari tahun 2003 sampai dengan 2010 menunjukkan adanya kenaikan jumlah pengunjung, hal ini mengindikasikan adanya tingkat kepuasan pengunjung. Kenaikan tingkat kunjungan ini menunjukkan adanya pemahaman yang lebih baik terhadap ekowisata dan tingkat perekonomian yang sudah lebih baik. Selain itu berwisata
88
juga sudah menjadi kebutuhan bagi sebagian masyarakat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan wisatawan terdiri dari atraksi, amenitas, dan aksesibilitas yang mempengaruhi pengalaman rekreasi minimum yang dapat diterima. Akan tetapi sulit untuk menentukan indikator pengalaman minimum yang dapat diterima wisatawan. Oleh karena itu perlu diidentifikasi isu-isu yang mempengaruhi persepsi dari wisatawan dan harapan wisatawan ketika mengunjungi ekowisata hutan mangrove Blanakan. Karakteristik Pengunjung Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, wawancara dengan pengunjung, dan penyebaran kuesioner bagi pengunjung, diperoleh data berupa karakteristik pengunjung. Karakteristik pengunjung terdiri atas jenis kelamin, kelompok umur, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, penghasilan, asal pengunjung, motivasi pengunjung, pola perjalanan, preferensi, persepsi dan harapan pengunjung. Pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan didominasi pengunjung laki-laki dengan persentase 63,3%. Jumlah pengunjung paling banyak berusia antara 31-40 tahun sebanyak 33,3%. Latar belakang pendidikan yang paling tinggi sebesar 46,67% pada tingkat SMA, tingkat pendidikan perguruan tinggi sebesar 23,33%. Status pekerjaan yang paling banyak adalah pekerja swasta/perusahaan sebesar 30%. Persentase penghasilan per bulan pengunjung paling tinggi adalah Rp. 3.000.000,- sampai dengan Rp. 5.000.000,- sebesar 36,7% (Tabel 17). Hal ini menunjukkan secara umum wisatawan mempunyai tingkat pendapatan relatif tinggi, sehingga ada alokasi anggaran untuk berwisata. Selain itu, mereka yang termasuk golongan menengah mempunyai pemahaman tentang
ekowisata
secara
baik,
sehingga
mereka
memahami
bahwa
pengembangan ekowisata mangrove selain sebagai bentuk partisipasi dalam menjaga kelestarian alam juga menambah wahana wisata baru yang ada di Subang. Pengunjung dengan tingkat pendidikan yang tinggi (D-3 dan S-1) dengan
persentase
23,33%
dan
16,67%
menunjukkan
bahwa
tingkat
pemahaman terhadap ekowisata sudah lebih baik. Dengan demikian salah satu tujuan ekowisata, yaitu adanya upaya konservasi diharapkan dapat tercapai.
89
Tabel 17 Karakteristik pengunjung di Kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan, Subang No.
Parameter
1.
Jenis Kelamin
2.
Usia
3.
Pendidikan
4.
Pekerjaan
5.
Penghasilan per bulan
Kriteria Laki-laki Perempuan < 20 tahun 21-30 tahun 31-40 tahun 41-50 tahun >50 tahun SMP SMA Diploma 3 Sarjana Pascasarjana PNS TNI Pegawai swasta Pelajar/mahasiswa Ibu rumah tangga < Rp 1.000.000 Rp 1.000.000 sampai 3.000.000 Rp 3.000.000 sampai 5.000.000 > Rp 5.000.0000
Jumlah Pengunjung (%) 63,3 36,7 20,0 23,3 36,7 10,0 10,0 6,67 46,67 23,33 16,67 6,67 10,00 6,67 30,00 13,33 26,67 13,3 20,0 36,7 30,0
Asal Pengunjung Kondisi aksesibilitas yang mudah dijangkau dan keindahan serta kenyamanan objek adalah beberapa faktor yang menyebabkan tingginya jumlah wisatawan. Pengunjung kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan banyak didominasi dari daerah sekitarnya, seperti Bandung, Cirebon, Indramayu, Majalengka, Brebes, dan Jakarta. Wisatawan yang berasal dari daerah sekitar diasumsikan mendapatkan informasi secara lisan dari teman atau saudara yang pernah berkunjung.
Gambar 24 Daerah asal wisatawan.
90
Secara garis besar pengunjung terbanyak berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 60%, sedang paling sedikit pengunjung dari propinsi Banten sebesar 6,67%. Hal ini terjadi karena akses dari Jawa Barat menuju lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan relatif mudah dan jaraknya dekat. Pola Kunjungan Berdasarkan hasil wawancara dengan pengunjung di ekowisata hutan mangrove
Blanakan,
menunjukkan
bahwa
pengunjung
sebagian
besar
mengetahui kawasan wisata mangrove Blanakan dari informasi perorangan terutama dari teman, sisanya dari saudara dan dari media cetak lokal. Pengunjung pantai Blanakan umumnya datang ke kawasan wisata mangrove pada hari libur terutama pengunjung yang berasal dari luar kota. Pengunjung dari kabupaten Subang mendatangi objek wisata tidak hanya pada hari libur.
Gambar 25 Persentase pola kunjungan wisatawan. Pengunjung yang datang ke kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan melakukan kunjungan yang pertama mempunyai persentase paling besar yaitu 47%. Dalam satu tahun, ada pengunjung melakukan kunjungan kedua 33%, kunjungan ketiga 13% (Gambar 25). Data ini menunjukkan bahwa kawasan wisata ini menarik dan memberikan kesan khusus terhadap pengunjung. Motivasi Pengunjung Motivasi pengunjung yang berwisata ke ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah karena keindahan alamnya (33%). Keindahan alam berupa vegetasi mangrove merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk mendatangi destinasi ekowisata mangrove. Wisatawan juga terdorong untuk
91
mendatangi lokasi dikarenakan mereka belum pernah mengunjungi sebelumnya (20%). Motivasi pengunjung yang lain adalah mereka tertarik karena lokasi wisata yang nyaman dan sejuk (16%). Lokasi yang mudah dijangkau dan dekat dengan pusat kota kecamatan dan jalur pantura (7%). Pengunjung Pantai Blanakan rata-rata menghabiskan waktu berwisata selama 4-6 jam, tergantung kegiatan wisata yang diminati pengunjung.
Gambar 26 Motivasi pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan. Preferensi, Harapan dan Persepsi Pengunjung Pengunjung yang datang ke ekowisata hutan mangrove Blanakan lebih banyak tertarik pada menikmati keindahan mangrove (26,7%) dan penangkaran buaya (30%). Beberapa kegiatan wisata lainnya yang disukai selama berada dalam kawasan mangrove adalah mengamati satwa liar, fotografi, dan berperahu. Kegiatan berperahu bisa dilakukan dengan menyewa perahu yang berangkat dari dermaga. Pengamatan satwa liar dan fotografi banyak dilakukan oleh kelompok pecinta satwa dan para hobiis. Preferensi pengunjung menunjukkan, bahwa pengunjung ekowisata mangrove adalah masyarakat menengah ke atas yang ditunjukkan dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang relatif tinggi. Adapun preferensi, harapan dan persepsi pengunjung dapat dilihat pada Tabel 18.
92
Tabel 18 Preferensi, harapan dan persepsi pengunjung No.
Parameter
1.
Aktivitas yang diminati
3.
Fasilitas yang perlu ditambah
4.
Fasilitas yang perlu diperbaiki
5.
Pengembangan ekowisata
6
Kepuasan pengunjung
Kriteria Menikmati keindahan mangrove Mengamati satwa liar Fotografi Penangkaran buaya Berperahu tidak ada tempat sampah shelter menara pengamatan jembatan kayu Tempat pembelian tiket tempat parkir toilet musholla Tempat bermain anak pengembangan atraksi wisata penambahan atraksi wisata pagelaran seni dan budaya penambahan dan perbaikan fasilitas peningkatan pelayanan tidak ada Puas Tidak puas
Jumlah Pengunjung (%) 26,7 6,7 6,7 30,0 20,0 6,67 6,67 30,00 40,00 16,67 3,3 10,0 33,3 30,0 23,3 13,3 20,0 16,7 10,0 10,0 30,0 86,7 13,3
Pengunjung kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan sebagian sangat mendukung pengembangan ekowisata di kawasan hutan mangrove Blanakan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pengunjung membutuhkan tempat wisata yang dekat dengan kota dan nyaman untuk mengisi waktu luang atau saat libur bersama teman atau keluarga untuk menghilangkan rasa jenuh dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Penambahan fasilitas diharapkan pengunjung ekowisata di kawasan mangrove Pantai Blanakan meliputi pembuatan jembatan kayu (walking trail) di dalam kawasan mangrove (16,67%), shelter-shelter sepanjang jembatan kayu untuk tempat berteduh dan beristirahat pengunjung (30%), dan menara pandang untuk pengamatan satwa liar (40%), dan penambahan tempat sampah. Sedangkan fasilitas yang perlu diperbaiki musholla (30%) dan toilet (33,3%) merupakan dua hal yang menjadi prioritas perbaikan.
93
Dukungan pengunjung terhadap pengembangan ekowisata di pantai Blanakan adalah menambah atraksi wisata sebesar 20%. Pagelaran seni dan budaya juga diinginkan pengunjung untuk diadakan, melengkapi upacara adat yang sudah ada. Setelah melakukan kunjungan di kawasan ini, sebagian besar (86,7%) pengunjung menyatakan puas dan ingin melakukan kunjungan kembali.
Gambar 27 Persentase wisatawan yang ingin berkunjung kembali.
Gambar 28 Persepsi pengunjung pada fasilitas di lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan.
94
Dari diagram persepsi pengunjung terhadap berbagai fasilitas di kawasan wisata hutan mangrove Blanakan diketahui bahwa pengunjung mempunyai persepsi yang baik terhadap keunikan sumberdaya, ketersediaan sumberdaya dan keragaman sumberdaya wisata. Penangkaran buaya juga dinilai bagus oleh sebagian besar pengunjung. Sedangkan kemudahan menuju kawasan dan kondisi jalan menuju kawasan dinilai buruk oleh sebagian besar pengunjung. 5.2. Tinjauan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Ekowisata Hutan Lindung Mangrove Blanakan Berdasarkan hasil survei dan pengamatan lapangan, wawancara dengan tokoh
masyarakat
serta
penyebaran
kuesioner
diperoleh
data
berupa
karakteristik, aspirasi dan keinginan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wisata. Hampir seluruh penduduk yang tinggal di sekitar kawasan wisata merupakan penduduk asli. Hasil penelitian terhadap persepsi masyarakat, peran serta dan harapan masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove Blanakan disajikan dalam Tabel 19 berikut ini. Tabel 19 Arti negatif, arti positif, peran serta dan harapan mayarakat terhadap kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Jumlah No. Parameter Kriteria Masyar akat (%) 1. Arti negatif Pemicu berubahnya perilaku masyarakat 30,00 kawasan bagi pemicu berubahnya tatanan nilai di masyarakat 23,33 masyarakat pemicu meningkatnya kriminalitas 16,67 Penyebab pencemaran lingkungan 30,00 2. Arti positif sebagai sumber mata pencaharian 36,67 kawasan bagi sebagai tempat tujuan rekreasi bagi masyarakat sekitar 23,33 masyarakat merupakan lahan investasi 20,00 sebagai tempat berolah raga 6,67 wahana untuk silaturahmi antar elemen masyarakat 13,33 3. Peran serta mengadakan pagelaran seni dan budaya 33,33 masyarakat melakukan kegiatan rekreasi di kawasan wisata 26,67 menjaga keamanan 16,67 menjaga kebersihan, keasrian, dan keindahan kawasan 13,33 meningkatkan pelayanan terhadap wisatawan 10,00 4. Harapan semakin banyak sumber mata pencaharian 26,67 terhadap meningkatnya kesejahteraan masyarakat 13,33 kawasan lingkungan terjaga kualitasnya 10,00 wisata meningkatnya interaksi pengunjung dengan masyarakat 20,00 mangrove lestari 16,67 terjaganya keamanan di sekitar kawasan wisata 13,33
95
Masyarakat di sekitar kawasan menyatakan bahwa, sebagian besar ekowisata
hutan
mangrove
Blanakan
berfungsi
sebagai
sumber
mata
pencaharian (36,37%) dan sebagai tempat tujuan rekreasi bagi masyarakat sekitar (23,33%). Persepsi masyarakat yang positif terhadap kawasan wisata, baik secara langsung maupun tidak langsung sangat dipengaruhi oleh keberadaan objek wisata tersebut. Masyarakat bisa menikmati keuntungan ekonomi dengan adanya ekowisata di Blanakan. Mereka berpartisipasi sebagai pedagang (warung makan, suvenir), tukang perahu, tukang ojek maupun penjual jasa (pemandu/interpreter), juru parkir. Dengan demikian keberadaan objek ekowisata hutan mangrove Blanakan memberikan multiplier effect bagi masyarakat sekitarnya. Menurut masyarakat sisi negatif yang muncul adalah akan adanya perubahan perilaku masyarakat (30%) dan timbulnya masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan limbah dari pengunjung dan aktivitas wisata (30%). Kriminalitas adalah salah satu dampak potensial yang akan muncul akibat pengembangan wisata. Adanya ketimpangan ekonomi antara wisatawan dan masyarakat sekitar yang tidak punya ketrampilan berpotensi menyebabkan angka kriminalitas meningkat. Hal ini bisa diatasi dengan mengakomodasi kepentingan masyarakat yang tersisih tersebut. Persepsi masyarakat terhadap kawasan wisata umumnya baik, mereka ikut berperan serta dalam kegiatan yang terkait dengan kawasan wisata. Masyarakat sekitar berperan serta dengan mengadakan pagelaran seni dan budaya (33,33%). Salah satu kesenian yang menjadi daya tarik objek wisata di Blanakan adalah penyelenggaraan pesta laut (upacara Nadran) yang diselenggarakan pada bulan Oktober-Nopember. Upacara adat tersebut melibatkan masyarakat sebagai aktor utama. Mereka terlibat aktif sejak persiapan hingga pelaksanaan upacara Nadran. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan lokasi wisata sebagai tempat rekreasi untuk mengisi waktu dan menghilangkan kejenuhan, mereka sering meluangkan waktu berwisata di pantai Blanakan (26,67%). Masyarakat juga turut menjaga keamanan kawasan wisata (16,67%) dan menjaga kebersihan, keasrian, dan keindahan kawasan wisata (13,33%). Hal tersebut mereka lakukan sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap objek ekowisata hutan mangrove Blanakan. Keinginan dan harapan dari masyarakat sekitar terhadap keberadaan kawasan wisata adalah agar semakin banyak tercipta sumber mata pencaharian
96
bagi mereka (26,67%). Dengan demikian masyarakat semakin merasakan manfaat ekonomi dengan adanya keberadaan objek wisata, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Harapan masyarakat yang lain adalah meningkatnya interaksi dengan pengunjung (20%), sehingga akan terjalin keakraban dan transfer informasi antara pengunjung dan masyarakat sekitar. Masyarakat juga mengharapkan lingkungan yang terjaga kualitasnya dan hutan mangrove yang lestari (10%). 5.3. Tinjauan Aspek Biofisik Kawasan Hutan Mangrove Blanakan 5.3.1. Aspek Fisika Kimia Kawasan Hutan Mangrove Blanakan Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan yang dilakukan disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20 Parameter fisika kimia ekosistem perairan mangrove Blanakan Fisika
Kimia
Parameter Warna Perairan Tipe Substrat Suhu Kecerahan Kedalaman pH Salinitas
Unit
0
C cm cm ppm
St 1 Coklat keruh Lumpur halus 28,83 18-19,5 43 7 20
St 2 Coklat keruh Lumpur halus 28,67 19-25,5 80 7 20
St 3 Coklat keruh Lumpur halus 29 17-21,5 60,3 7 20
Ekosistem mangrove Blanakan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan. Intensitas cahaya, suhu, pH, salinitas, dan lain-lain merupakan faktor lingkungan yang harus diperhatikan untuk mendukung pertumbuhan dan produksi mangrove. Hasil pengukuran pH pada perairan Blanakan adalah 7, hal ini berarti perairan tersebut mempunyai pH yang normal. Air payau merupakan penyangga yang baik terhadap perubahan pH karena pada perairan payau jarang terjadi fluktuasi pH. Umumnya mangrove hidup dan tumbuh dengan baik di daerah estuari dengan kisaran salinitas antara 10-30 ppm
Pada perairan
Blanakan nilai salinitas yang diperoleh adalah 20 ppm, maka perairan tersebut masih mempunyai nilai salinitas yang baik. Cahaya matahari merupakan faktor abiotik yang mutlak diperlukan dalam proses fotosintesis. Dengan demikian produktivitas fitoplankton sangat ditentukan oleh adanya penetrasi cahaya matahari ke dalam kolom air. Nilai kecerahan yang diperoleh dari pengukuran di tiga stasiun berkisar antara 18-19,5 cm pada stasiun1, 19-25,5 cm pada stasiun 2, dan 17-21,5 cm pada stasiun 3. Nilai
97
kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi.
Kekeruhan di perairan estuari terjadi
karena pencampuran partikel-partikel organik dan endapan halus dari aliran sungai dan laut melalui pergerakan pasang dan surut (Nybaken 1992). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap
dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang
terdapat dalam air. Kekeruhan terutama disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi dan terlarut seperti lumpur, pasir, bahan organik dan anorganik, plankton, serta organisme mikroskopik. Kekeruhan di perairan estuari terjadi karena pencampuran partikel-partikel organik dan endapan halus dari aliran sungai dan laut melalui pergerakan pasang dan surut. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi biota air dengan menghalangi atau mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air, sehingga menghambat proses fotosintesis oleh fitoplankton yang berarti mengurangi pasokan oksigen terlarut. Dampak langsung pada biota akuatik terutama ikan adalah kandungan padatan tersuspensi yang tinggi dapat mengganggu pernapasan karena dapat menutup insang. Selain itu, kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan sedimentasi yang selanjutnya menyebabkan perairan menjadi dangkal dan mengakibatkan penumpukan bahan organik di dasar perairan. Hal ini berakibat pada meningkatnya proses dekomposisi
yang
akan
mengurangi
kandungan
oksigen
perairan
dan
menghasilkan bahan-bahan toksik seperti amoniak CH4, NO2, dan sebagainya. Nybakken (1992) menyatakan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang penting dalam mengatur faktor kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu
berperan
sebagai
pengatur
metabolisme
dalam
perairan.
Suhu
mempengaruhi stadium daur hidup organisme dan merupakan faktor pembatas penyebaran suatu spesies dalam hal mempertahankan kelangsungan hidup, reproduksi, perkembangan, dan kompetisi. Nontji (2005) menyatakan pengaruh suhu secara langsung pada kehidupan laut adalah mempengaruhi laju fotosintesis tumbuhan dan fisiologi hewan, dan secara tidak langsung akan mempengaruhi derajat metabolisme dan siklus reproduksinya. Selain itu, suhu berpengaruh langsung terhadap aktifitas enzim. Menurut Nybaken (1992), peningkatan suhu 100C akan meningkatkan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Suhu pada perairan Blanakan berkisar antara 280C-290C, hal ini berarti suhu pada perairan Blanakan merupakan suhu yang normal untuk perairan mangrove di daerah tropis.
98
Setyawan et al. (2003) menyatakan bahwa umumnya tanah tempat tumbuh mangrove di Indonesia merupakan tanah muda dan kaya akan bahan organik. Terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dengan ukuran partikel sedimen. Pada sedimen halus, persentase bahan organik lebih tinggi dari pada sedimen yang kasar. Hal ini berhubungan dengan kondisi perairan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan. Tipe substrat pada perairan Blanakan adalah lumpur, hal ini berarti banyak terdapat bahan organik pada dasar perairan. Tipe substrat juga akan mempengaruhi warna perairan. Warna perairan pada perairan Blanakan adalah coklat keruh. Hal ini karena tipe substrat pada perairan ini berupa lumpur halus. 5.4.2. Aspek Biologi Kawasan Hutan Mangrove Blanakan Pengamatan terhadap parameter biologi meliputi plankton, makrobenthos, ikan, flora dan fauna yang berasosiasi dengan mangrove di Blanakan. Plankton dan makrobenthos dikaji karena kedua kelompok biota tersebut merupakan bagian penting dari rantai makanan. Makrobenthos berperan dalam degradasi serasah mangrove untuk selanjutnya diuraikan menjadi bahan an organik. Plankton berperan sebagai produsen yang merubah bahan an organik menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Fauna yang berasosiasi dengan mangrove adalah hewan dari kelompok ikan, reptilia, aves (burung), dan mammalia. Keberadaannya mempunyai fungsi ekologis yang penting bagi ekosistem mangrove di Blanakan. Plankton di kawasan hutan mangrove Blanakan, Subang Plankton adalah mikroorganisme yang berperan sangat penting di ekosistem
perairan.
Plankton
merupakan
produsen
yang
menentukan
produktivitas perairan, sehingga tingkat kesuburan perairan Blanakan dapat diketahui dengan melihat kelimpahan plankton di tempat tersebut. Jenis dan keanekaragamannya dapat digunakan untuk menentukan kondisi suatu perairan. Semakin tinggi indeks keanekaragamannya, maka perairan tersebut semakin subur. Hal ini akan menguntungkan organisme pada rantai makanan di atasnya, karena dengan ketersediaan pakan yang melimpah hewan-hewan yang berada pada tingkatan trofik di atasnya akan melimpah pula keberadaannya. Adapun kelimpahan plankton di perairan ekosistem mangrove Blanakan dapat dilihat pada Tabel 21.
99
Tabel 21 Kelimpahan plankton di ekosistem mangrove Blanakan No
A 1 B 2 3 C 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 D 21 22 23 24 25 26 27 E 28 29 30 31 32 33 34
NAMA SPESIES FITOPLANKTON Cyanophyta Oscillatoria sp Chlorophyta Hyalotheca sp Plectonema sp Chryshophyta Camphylodiscus sp Chaetoceros brevis Chaetoceros sp Coscinodiscus nitidus Coscinodiscus radiatus Cyclostella striata Diatoma sp Guinardia Floecida Hemisulus sp Melosira sp Nitzschia sp Pleurosigma sp Rhizosolenia alata Rhizosolenia delicatula Schrodella sp Synedra acus Thallassiotrix sp Pyrophyta Ceratium fusus Ceratium tripos Dessodinium lunula Noctiluca sp Peridinium breve Peridinium granii Prorocentrum micans ZOOPLANKTON Entomostraca Amphorellopsis sp Brachianus sp Codonellopsis parva Nauplius Pelagia sp Tintinidium sp Tintinopsis sp Jumlah Individu Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman (H’) Indeks Perataan (e)
Jumlah individu/liter pada tiap stasiun St 1 St 2 St 3
-
17
-
17 -
17
17 -
70 104 17 313 244 539 35 35 17 644 87 17 -
17 52 261 365 435 35 35 452 17 52 17 -
35 261 139 296 574 435 17 70 17 191 35 35 940 52 17 17
17 1775 17 17 17
17 35 574 17 35 -
87 1740 35
331 138 4451 20 2,025 0,676
35 245 2730 20 2,280 0,761
35 35 17 435 296 17 35 5880 27 2.393 0,726
100
Kelimpahan plankton pada perairan Mangrove Blanakan cukup tinggi. Kelimpahan plankton yang paling tinggi terdapat pada stasiun tiga. Sedangkan spesies yang paling banyak ditemukan adalah spesies Noctiluca sp. pada stasiun satu. Fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Di perairan mangrove diketahui jumlah fitoplankton lebih banyak daripada zooplankton. Hal ini tidak menimbulkan masalah bagi perairan karena zooplankton memiliki tingkat trofik yang lebih tinggi, sehingga jumlahnya lebih sedikit daripada fitoplankton. Hubungan antara komunitas fitoplankton dengan perairan adalah positif. Bila kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi, maka dapat diduga perairan tersebut memiliki produktivitas perairan yang tinggi pula. Untuk
mengetahui
keanekaragaman
fitoplankton
dianalisis
dengan
menggunakan indeks keanekaragaman Shannon Wiener (H’). Tujuan metode ini untuk mengukur tingkat keteraturan dan ketidakteraturan dalam suatu sistem, selain itu indeks ini juga bisa digunakan sebagai indikator untuk menentukan kriteria kualitas perairan (Fachrul 2007). Dari
hasil
perhitungan
indeks
keanekaragaman
Shannon
Wiener
didapatkan bahwa indeks keanekaragamannya untuk stasiun 1 adalah 2,025, stasiun dua adalah 2,280 dan stasiun tiga adalah 2,393. Berdasarkan indeks keanekargaman tersebut stasiun 1,2 dan stasiun 3 temasuk kategori tercemar ringan. Indeks perataan stasiun 1, 2 dan 3 memiliki nilai 0,676; 0,761 dan 0,726, hal tersebut menunjukkan bahwa kekayaan antar spesies merata dengan tingkat kelimpahan yang hampir sama. Tumbuhan Mangrove Di Kawasan Pantai Blanakan, Subang Ekosistem hutan mangrove di kawasan Pantai Blanakan terdiri dari 3 familia dan 4 jenis yang sebagian besar didominasi oleh Rhizoporaceaea, Sonneratiaceae dan Avicenniaceae. Rhizopora sp. merupakan jenis mangrove yang banyak ditemukan pada daerah yang mengarah ke darat, sedangkan Sonneratia sp. dan Avicennia sp. lebih banyak tumbuh di daerah yang berdekatan dengan laut. Bruguiera sp. biasanya tumbuh mengelompok pada tanah liat di belakang zona Avicennia, atau di bagian tengah vegetasi mangrove kearah darat. Jenis ini juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada tanah/substrat yang baru terbentuk.
101
Tabel 22 Kerapatan relatif, frekuensi relatif, penutupan relatif dan INP jenis mangrove di ekowisata hutan mangrove Blanakan Tingkat Pertumbuhan
Pohon
Pancang
Anakan
Avicennia marina Rhizopora sp. Sonneratia sp.
Kerapatan Relatif (%) 88,25 10,60 1,15
Frekuensi Relatif (%) 68,89 22,22 8,89
Avicennia marina Rhizopora sp. Sonneratia sp.
100,63 44,19 5,18
88,13 54,62 7,25
Avicennia sp. Rhizopora sp. Sonneratia sp. Bruguiera sp.
86,95 43,21 21,68 3,19
76,25 40,95 22,98 4,79
Jenis
Dominansi Relatif (%) 96,63 0,85 2,52 Jumlah Jumlah Jumlah
INP (%) 253,77 33,67 12,56 300 188,76 98,81 12,43 300 163,20 84,16 44,66 7,98 300
Tumbuhan yang ada di kawasan hutan mangrove Blanakan didominasi empat jenis yaitu
Avicennia marina, Sonneratia sp.,
Rhizopora sp. dan
Bruguiera sp. Avicennia marina dan Rhizopora sp. mempunyai peran penting dalam pembentukan ekosistem mangrove di Blanakan yang ditunjukkan oleh Indeks Nilai Penting (INP) yang didapat. Avicennia marina memiliki INP sebesar 163,2% - 253,77% dan Rhizopora sp sebesar 33,67% - 98,81%. Rhizopora banyak ditemukan di lokasi yang lebih menjorok ke darat. Avicennia marina merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung, memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut. Akarnya membantu pengikatan sedimen dan mempercepat proses pembentukan tanah timbul. Jenis ini dapat juga bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat tertentu. Hasil perhitungan INP tertinggi adalah Avicennia marina untuk tingkat pertumbuhan pohon dengan nilai 253,77%. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan spesies Avicennia marina merupakan spesies yang mendominasi dan juga merupakan pemasok nutrisi terbesar bagi perairan. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber nutrisinya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagian bahan
102
pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Pada tepi-tepi laut yang ombaknya relatif tenang, umumnya tumbuh dengan lebat jenis Api-api (Avicennia sp.) dan Bakau (Rhizopora sp.) dengan perakarannya membantu menstabilkan wilayah pantai. Tumbuhan mangrove mempunyai fungsi yang sangat strategis pada ekosistem pesisir baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi, berbagai kebutuhan masyarakat baik berupa kayu, ikan, kepiting dan fauna lainnya dapat diambil dari kawasan mangrove. Demikian pula secara ekologi, berbagai fungsi juga dijalankan oleh mangrove diantaranya sebagai sumber nutrien bagi flora dan fauna yang ada disekitarnya. Sebagai salah satu produsen dalam ekosistem, mangrove memegang peranan yang sangat penting. Dekomposisi bahan organik serasah mangrove masuk dalam lingkungan perairan dan menjadi nutrien yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton sebagai bahan fotosintesis. Fitoplankton dikonsumsi oleh level konsumen dalam ekosistem ini, mulai dari zooplankton, crustacea, polychaeta, dan makrobentos, kemudian menunjang rantai makanan dalam ekosistem lanjutannya yaitu ikan, udang maupun biota lainnya. Pemanfaatan kawasan mangrove di Blanakan salah satunya adalah untuk ekowisata, dimana kegiatan tersebut tidak mengambil sumberdaya mangrove secara fisik. Mangrove di daerah ini terbagi menjadi 2 kawasan utama yaitu, di sebelah barat sungai Blanakan yang dikelola dibawah pengawasan Perum Perhutani unit III dan kawasan di sebelah timur sungai Blanakan yang terdapat di sekitar kawasan tambak produksi milik masyarakat. Tumbuhan mangrove di daerah ini sebagian besar merupakan hasil replanting dan rehabilitasi yang telah dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu dan terutama terdiri dari kelompok api-api (Avicennia sp.) dengan ukuran mulai dari seedling sampai berukuran besar (diameter batang ≥ 10cm; tinggi ≥ 10meter). Avicennia marina ditemukan mulai dari batas perkampungan penduduk, daerah tambak sampai jauh kedepan yaitu pada tanah timbul yang merupakan hasil pertemuan sedimentasi dari muara sungai Blanakan dan pengendapan dari laut. Selain Avicennia marina juga ditemukan jenis mangrove lain seperti Rhizophora sp., Bruguiera sp., Sonneratia sp., Nypa fruticans, Acanthus sp. serta mangrove ikutan Ipomoea sp. dan Calotropis sp. Jika diperhatikan di daerah yang makin mengarah ke darat dari laut terdapat zonasi penguasaan oleh jenis-jenis mangrove yang berbeda. Dari
103
arah laut menuju ke daratan terdapat pergantian jenis mangrove yang secara dominan menguasai masing-masing habitat zonasinya. Fenomena zonasi ini belum sepenuhnya difahami dengan jelas. Faktorfaktor yang jenis tanah
mempengaruhi
pembagian
zonasi
terkait
dengan
respons
tanaman terhadap salinitas, pasang-surut dan keadaan tanah. Kondisi mempunyai
kontribusi
besar
dalam
membentuk
zonasi
penyebaran tanaman. Avicennia sp. dan Sonneratia sp. tumbuh sesuai di zona berpasir, Rhizopora sp. cocok di tanah lembek berlumpur dan kaya humus. Keadaan morfologi tanaman, daya apung dan cara penyebaran bibitnya serta persaingan antar spesies, merupakan faktor lain dalam pembentukan zonasi ini. Formasi hutan mangrove yang terbentuk di kawasan mangrove biasanya didahului oleh jenis pohon Sonneratia sp. dan Avicennia sp. sebagai pionir yang memagari daratan dari kondisi laut dan angin. Jenis-jenis ini mampu hidup di tempat yang biasa terendam air waktu pasang karena mempunyai akar pasak. Pada daerah berikutnya yang lebih mengarah ke daratan banyak ditumbuhi jenis bakau (Rhizophora sp.). Daerah ini tidak selalu terendam
air,
hanya
kedang-kadang
saja
terendam
air.
Daerah ini
tanahnya agak keras karena hanya sesekali terendam air yaitu pada saat pasang yang besar dan permukaan laut lebih tinggi dari biasanya. Fauna Di Kawasan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Beberapa hewan tinggal di atas pohon sebagian lain di antara akar dan lumpur sekitarnya. Walaupun banyak hewan yang tinggal sepanjang tahun, habitat mangrove penting pula untuk hewan pengunjung yang hanya sementara waktu saja, seperti burung mangrove
untuk
bertengger
atau
yang
menggunakan
dahan
membuat sarangnya tetapi mencari
makan di bagian daratan yang lebih ke dalam, jauh dari daerah habitat mangrove. Kelompok hewan arboreal yang hidup di atas pohon, seperti serangga, ular pohon, primata dan burung yang tidak sepanjang hidupnya berada di habitat mangrove, tidak perlu beradaptasi dengan kondisi pasang surut. Burung-burung dari daerah daratan menemukan sumber makanan dan habitat yang
baik
untuk
bertengger
dan
bersarang.
Mereka
makan
104
kepiting,
ikan
dan moluska atau
hewan
lain yang
hidup di habitat
mangrove. Tiap spesies biasanya mempunyai gaya yang khas dan memilih makanannya sesuai dengan kebiasaan dan kesukaannya masing-masing dari keanekaragaman Sebagai
timbal
sumber makanan yang tersedia di lingkungan tersebut. baliknya,
burung-burung
meninggalkan
kotoran (guano)
sebagai pupuk bagi pertumbuhan pohon mangrove. Kelompok
hewan yang
bukan
hewan
arboreal
adalah
hewan-
hewan yang hidupnya menempati daerah dengan substrat yang keras (tanah) dan substrat yang lunak (lumpur) atau hidup di akar mangrove. Kelompok ini
antara
lain
adalah
jenis kepiting
mangrove,
kerang-kerangan
dan
golongan invertebrata lainnya. Kelompok yang lain adalah hewan yang selalu hidup dalam kolom air laut, seperti macam-macam ikan dan udang. Fauna darat yang ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari insecta, reptilia, aves, mammalia. Kelompok ini hidup dan beradaptasi pada bagian pohon yang tinggi dan jauh dari jangkauan air laut, meskipun mereka bergantung pada hewan laut untuk kebutuhan makanannya. Fauna akuatik yang dijumpai di kawasan Pantai Blanakan dapat dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: Yang hidup di kolom air, seperti ikan dan udang Yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun yang lunak (lumpur), seperti kerang, kepiting dan jenis invertebrata lainnya. Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan ataupun secara umum merupakan sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya berbagai flora dan fauna. Mulai dari perkembangan mikro organisme seperti bakteri dan jamur yang memproduksi detritus yang dapat dimakan larva ikan dan hewan-hewan laut kecil lainnya. Ikan Gelodok, larva udang dan lobster memakan plankton dan detritus di habitat ini. Pada gilirannya akan menjadi
makanan
hewan
yang
lebih
besar
dan akhirnya
menjadi
mangsa predator besar termasuk pemanfaatan oleh manusia. Berbagai hewan seperti, reptil, mamalia, datang dan hidup walaupun tidak seluruh waktu hidupnya dihabiskan di habitat mangrove. Berbagai jenis serangga, ikan, amfibi, reptilia, burung dan hewan mamalia dapat bermukim
105
dan menghabiskan hidupnya di hutan mangrove Blanakan. Adanya perbedaan jenis mangrove yang ada di kawasan hutan mangrove Blanakan menyebabkan perbedaan keanekaragaman fauna yang hidup di lokasi tersebut. Makrobenthos Di kawasan hutan mangrove Pantai Blanakan terdapat fauna invertebrata, salah satunya makrobenthos. Hutan mangrove menyediakan bahan organik yang berasal dari serasah daun dan pelapukan batang pohon maupun berasal dari sedimen yang tertahan olehnya. Bahan organik yang melimpah tersebut sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup makrobenthos. Keberadaan makrobenthos di ekosistem mangrove terkait erat dengan keberadaan biota laut lainnya di mangrove, serta burung-burung yang merupakan
predator
bagi
makrobenthos.
Oleh
karena
itu
keberadaan
makrobenthos penting sebagai salah satu komponen rantai makanan dalam ekosistem mangrove. Hasil pengamatan terhadap kemelimpahan makrobenthos disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 Kelimpahan makrobenthos di ekosistem hutan mangrove Blanakan Jumlah individu/ m2 No NAMA SPESIES St 1 St 2 St 3 A BIVALVIA 1 Lithophaga sp 45 15 30 2 Mytillus sp 240 60 3 Tapes sp 15 4 Gafrarium sp 60 5 Tellina sp 30 60 B GASTROPODA 6 Cerithidea sp 90 15 7 Lithorina sp 405 15 8 Natica sp 45 9 Nassarius sp 195 10 Terebralia sp 585 270 C. POLICHAETA 11 Nereis sp 45 45 D CRUSTACEA 12 Balanus sp 90 135 Jumlah jenis 5 8 8 Jumlah individu 450 1455 585 Indeks Keanekaragaman (H’) 1,30 1,58 1,56 Indeks Perataan (e) 0,81 0,76 0,75 Makrobenthos merupakan salah satu biota yang juga digunakan sebagai parameter biologi untuk menentukan kondisi suatu perairan. Makrobenthos
106
merupakan organisme yang hidupnya menempati dasar perairan. Sebagai organisme yang hidup di perairan, hewan benthos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya, sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya. Makrobenthos yang tercuplik di perairan mangrove Blanakan terdiri dari 12 spesies. Jumlah organisme makrobenthos yang tercuplik selama penelitian didominansi oleh kelas Gastropoda sebesar 1320 individu pada stasiun 2. Pada stasiun satu teridentifikasi 5 spesies dengan indeks keanekaragaman (H’) sebesar 1,30. Indeks keanekaragaman di stasiun 1 adalah yang terendah dibandingkan stasiun 2 dan 3. Berdasarkan indek keanekaragaman dan kriteria kualitas perairan stasiun satu termasuk kedalam kategori tercemar ringan. Indeks perataan di stasiun 1 adalah 0,8, hal tersebut menunjukkan bahwa kekayaan antar spesies merata dengan tingkat kelimpahan yang hampir sama (nilai hampir 1). Stasiun 2 merupakan stasiun mempunyai nilai indeks keanekaragaman sebesar 1,58. Pada stasiun 2 ditemukan 8 jenis makrobenthos yang merupakan bioindikator terhadap kualitas perairan yang tercemar. Pada stasiun 3 teridentifikasi 8 jenis makrobenthos dengan nilai indeks keanekaragaman sebesar 1,56. Jumlah spesies tertinggi adalah Terebralia sp. sebesar 850 individu dan terendah adalah Tapes sp. sebesar 15 individu. Keanekaragaman makrobenthos yang tinggi menunjukkan daya tahan ekosistem mangrove tekanan ekologis juga tinggi. Perairan yang memiliki keanekaragaman rendah mengindikasikan terjadinya ketidakstabilan di dalam ekosistem tersebut karena ada jenis yang mendominasi perairan tersebut. Kondisi seperti ini juga menyebabkan daya tahan ekosistem terhadap lingkungan juga rendah. Menurut Nyabakken (1992) kebanyakan estuaria didominasi oleh substrat berlumpur, yang seringkali sangat lunak. Substrat berlumpur ini berasal dari sedimen yang dibawa kedalam estuaria baik oleh air laut maupun air tawar. Jenis bentos pemakan deposit atau deposit feeder, seperti jenis-jenis dari kelas Polychaeta banyak terdapat pada tipe substrat lumpur.
107
Ikan Selain memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang, fungsi mangrove yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi ekologis sebagai tempat berlindung, pembesaran, dan perkembangbiakan bagi berbagai jenis biota akuatik. Organisme yang banyak menikmati fungsi ekologis mangrove ini adalah biota laut, seperti plankton, makrobenthos, ikan dan Crustacea (kepiting dan udang). Oleh karena itu, pada ekosistem mangrove banyak ditemukan berbagai jenis ikan. Keberadaan ikan-ikan di mangrove tersebut ada yang menjadi penghuni tetap, ada yang sekali-sekali datang untuk mencari makan, dan ada yang datang secara musiman, misalnya ketika akan bertelur atan memijah. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang subur, karena degradasi serasah mangrove memasok unsur hara bagi lingkungannya. Unsur hara dimanfaatkan oleh plankton dalam fotosintesis, sehingga perairan di mangrove mempunyai produktivitas yang tinggi. Hal ini menyebabkan kelimpahan organisme pada tingkatan trofik dalam rantai makanan menjadi tinggi pula. Ketersediaan plankton dan benthos di perairan tersebut merupakan makanan bagi ikan. Dengan kondisi tersebut, ikan memanfaatkan ekosistem perairan mangrove sebagai daerah mencari makan, memijah dan pembesaran. Jadi mangrove
mempunyai
nilai
ekologis
yang
tinggi
untuk
menunjang
keberlangsungan ekosistem akuatik di kawasan mangrove Blanakan. Terdapat beberapa jenis ikan yang mampu hidup pada daerah yang kisaran salinitasnya luas seperti pada daerah mangrove ini. Ikan-ikan tersebut mempunyai toleransi terhadap kisaran salinitas yang tinggi untuk dapat hidup di perairan payau. Adapun jenis ikan yang teramati di Blanakan antara jenis ikan belanak (Mugil dussumieri), ikan kipper (Scatophagus argus), ikan lundu (Macrones
gulio),
ikan
kerong-kerong
(Therapon
jarbua),
ikan
mujair
(Oreochromis mossambicus), ikan Boso (Glossogobius giuiris), dan ikan belut tambak (Synbranchus bengalensis). Hasil pengamatan pada kemelimpahan ikan di Blanakan menunjukkan bahwa sebagian besar ikan yang terdapat di wilayah tersebut merupakan jenis ikan konsumsi. Hal tersebut ditunjukkan oleh tangkapan ikan yang dijumpai di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mina Fajar Sidik, yang didominasi oleh ikan konsumsi. Namun, ditemukan juga beberapa jenis ikan tangkapan merupakan jenis ikan hias. Adapun jenis ikan yang teramati di Blanakan dapat diitunjukkan pada Tabel 24.
108
Tabel 24 Jenis-jenis ikan yang ditemukan di perairan ekowisata hutan mangrove Blanakan JUMLAH JUMLAH NO FAMILI HABITAT SPESIES St 1 St 2 1 19 Muara-pesisir ++++ +++ Carangidae 2 4 Muara-pesisir + Engraulidae 3 6 Pesisir ++ Sciaenidae 4 10 Sungai-muara ++ ++ Gobiidae 5 13 Pesisir ++ ++++ Clupeidae 6 3 Muara pesisir Belonidae 7 4 Muara pesisir Soleidae 8 1 Muara + Synbranchidae 9 4 Muara pesisir + Leiognathidae 10 3 Muara pesisir + Chanidae 11 Mugilidae 6 Sungai, muara + + 12 2 Muara pesisir + Muraenidae 13 3 Pesisir laut ++ Trichiuridae 14 1 Pesisir laut Teraponidae 15 4 Pesisir laut + Serranidae 16 Cichlidae 1 Sungai muara 17 Bagridae 1 Sungai + 18 Anthidae 1 Muara 19 Altherinidae 1 Muara 20 Pomatomidae 1 Muara pesisir 21 Plotosidae 2 Muara pesisir + 22 Polynemidae 1 Sungai pesisir + 23 Elopsidae 1 Muara pesisir + 24 Tetraodontidae 1 Muara 25 Sillaginidae 1 Muara pesisir 26 Scatophagidae 1 Muara 27 Siganidae 6 Laut + 28 Sphyraenidae 9 Laut ++ 29 Stromatidae 1 Muara pesisir + 30 Hemirhamphidae 4 Pesisir laut ++ 31 Ophiocephalidae 1 Muara 32 Holocentridae 4 Pesisir + 33 Lutjanidae 6 Pesisir-laut + + 34 Labridae 3 Pesisir + Keterangan: - = tidak ditemukan ++ = ditemukan 6-10 + = ditemukan 1-5 +++ = ditemukan > 10
St 3 ++++ + + ++ + + + ++ + + + + + + + + ++ +++ + ++ ++ ++ +
109
Dari data di atas memperlihatkan jumlah jenis ikan yang ditemukan di ekosistem mangrove di Pantai Blanakan ada 129 jenis dari 34 famili. Hal ini menunjukkan bahwa dari segi jumlah jenis ikan yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove cukup besar. Jenis biota yang ditemukan tersebut, beberapa diantaranya merupakan ikan ekonomis penting, seperti familia Chanidae, dan Lutjnaidae. Ikan-ikan yang ditemukan tersebut tidak semuanya merupakan penghuni mangrove, tetapi ada yang merupakan penghuni karang atau dari laut lepas. Untuk jenis ini, kedatangan mereka ke ekosistem mangrove adalah untuk mencari makan, untuk bertelur, atau untuk memijah. Adanya kemelimpahan yang tinggi dari ikan merupakan potensi dan daya tarik wisata. Kegiatan wisata yang bisa dikembangkan adalah wisata memancing dan belanja ikan di TPI Mina Fajar Sidik. TPI ini berjarak sekitar 1 km sebelum pintu gerbang ekowisata mangrove Blanakan. Ikan juga merupakan makanan dari burung-burung laut, sehingga populasi dan jenis burung sangat beragam di kawasan ini. Dengan demikian kegiatan pengamatan burung (bird watching) juga bisa dikembangkan dengan menyediakan fasilitas menara pengamatan. Reptilia Hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa jenis reptil memiliki pola penggunaan ruang yang dipengaruhi oleh pola aktivitas. Jenis-jenis arboreal yang aktif pada malam hari seperti Gecko sp. sering ditemukan pada cabang atau ranting pohon terutama pada malam hari, ketika mereka aktif mencari mangsa, namun pada siang hari mereka lebih suka bersembunyi di celah-celah pada pohon. Varanus sp. yang aktif pada siang hari memiliki pola yang berbeda, yaitu pada siang hari mereka lebih sering berada di sekitar perairan (sungai) untuk mencari mangsa dan pada malam hari mereka beristirahat di atas pohon. Reptil arboreal lainnya yang aktif pada siang hari seperti Chameleon sp. dan jenis-jenis dari suku Agamidae (bunglon) lebih cenderung memiliki penggunaan ruang yang tetap. Mereka aktif mencari mangsa di atas ranting pohon atau semak-semak pada siang hari, dan pada malam hari mereka bersembunyi pada batang-batang pohon atau di antara dedaunan. Reptil yang hidup pada permukaan tanah (terestrial) juga memiliki pola penggunaan ruang yang cenderung tetap. Beberapa jenis bersarang atau berlindung di lubang-lubang tanah, celah-celah batu atau diantara banir kayu seperti Kadal (Mabouya multifasciata), Ular sawah, Koros dan Weling.
110
Kelompok reptilia yang ditemukan di hutan mangrove Blanakan ada 10 jenis. Spesies yang ditemukan paling banyak adalah buaya, karena di lokasi wisata ini terdapat pengangkaran buaya dengan jumlah 283 ekor. Kadal (Mabouya multifasciata) juga relatif banyak dijumpai. Adapun hasil pengamatan terhadap reptilia dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Jenis Reptilia yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Blanakan REPTILIA Jumlah No. Nama latin Nama lokal St 1 St 2 St 3 1 Chameleon sp Bunglon + + 2 Mabouya multifasciata Kadal + ++ ++ 3 Phyton sp Ular Sawah + 4 Phtyas coros Ular Koros + + 5 Najah hannah Ular Sendok + 6 Bungarus fasciatus Ular Weling + + 7 Cyberus sp Ular Air + 8 Crysopelea sp Ular Pohon + + 9 Salvator sp Hap-hap + 10 Varanus varanus Mencawak + 11 Crocodilus porosus Buaya +++ Keterangan: - = tidak ditemukan ++ = ditemukan 6-10 + = ditemukan 1-5 +++ = ditemukan > 10 Reptilia menjadikan hutan mangrove ini sebagai tempat bertelur, tempat mengasuh anak dan tempat mencari makan. Adanya beberapa satwa, seperti buaya, biawak, bunglon dan berbagai jenis ular menambah daya tarik untuk pengamatan satwa di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Burung Burung merupakan salah satu komponen rantai makanan dalam ekosistem mangrove. Keberadaan burung dalam ekosistem mangrove karena dapat dijadikan tempat berlindung, bertelur dan persinggahan sementara (khusus burung migrant). Kehadiran burung yang mengelompok di pohon-pohon mangrove dengan diwarnai bunyi khas dari masing-masing spesies merupakan atraksi menarik. Atraksi-atraksi burung seperti terbang di udara, atau menukik ke dalam laut menangkap ikan bisa dilihat di Pantai Blanakan, Subang. Adapun jenis-jenis burung yang teramati di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan disajikan di Tabel 26.
111
Tabel 26 Jenis burung yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Blanakan AVES No. Nama latin 1 Halcyon chloris 2 Poinia familiaris 3 Hirundo sp 4 Xenus cinereus 5 Pycnonotus aurigaster 6 Numenius phaeopus 7 Rhipidura javanica 8 Sterna albifrons 9 Egretta sacra 10 Dicrurus macrocercus 11 Bubulcus ibis 12 Ficedula hyperythra 13 Haliaetus leucogaster 14 Prinia familiaris 15 Ardeola speciosa 16 Mirarfa javanica 17 Burhinus gihanteus 18 Apus pasificus 19 Egreta garzeta 20 Halcyon chloris 21 Lanius schach 22 Dendrocyna javanica 23 Calidris ruficollis 24 Egretta intermeding Keterangan: - = tidak ditemukan + = ditemukan 1-5
Nama lokal St 1 Tetengke Cibelek Sriti ++ Trinil Kutilang Gajahan kecil Sikatan + Dara laut kecil Kuntul karang Srigunting + Kuntul kerbau Tledekan Elang laut Prenjak Blekok +++ Branjangan Wili-wili besar Kepinis laut + Kuntul kecil +++ Raja udang + Pentet + Belibis Curek Kuntul ++ ++ = ditemukan 6-10 +++ = ditemukan > 10
Jumlah St 2 + ++ +++ + + + ++ ++ + + + +++ +++ + + ++ + + +
St 3 + + +++ + + + + ++ + + + + ++ ++ + +++ ++ + + +
Adapun kelimpahan burung jika dikaitkan dengan ekowisata mangrove, maka burung-burung biasanya menjadi objek wisata bird watching karena bulunya yang indah atau suaranya yang merdu, apalagi jika terdapat jenis yang langka. Keberadaannya dalam jumlah banyak pada kanopi pohon mangrove juga merupakan pemandangan menarik. Diantara jenis-jenis burung yang dijumpai di Pantai Blanakan ada yang sifatnya menetap, pengunjung, dan ada pula yang merupakan burung migran. Burung yang sifatnya pengunjung di daerah pesisir seperti Numenius phaeopus dan Sterna albifrons. Kategori burung migrant seperti Xenus cinereus dan Apus pasificus.
112
Dari 24 jenis burung yang ditemukan di lokasi penelitian, 7 jenis diantaranya sudah termasuk jenis yang dilindungi, yaitu: Kuntul kecil (Egretta garzetta), Ibis (Plegadis falcinellus), Dara laut kecil (Sterna albifrons), Kuntul karang (Egretta sacra), Kuntul kerbau (Bubulcus ibis), Elang laut perut putih (Haliaetus leucogaster), dan Wili-wili besar (Burhinus gihanteus). Kehadiran burung-burung yang dilindungi tersebut, tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi para ekowisatawan. Banyaknya jenis burung yang terdapat di lokasi ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di kawasan tersebut merupakan habitat yang sesuai bagi satwa burung. Mangrove digunakan burung sebagai tempat mencari makanan berupa ikan pada sela-sela akar mangrove yang sedikit berair dan berlumpur, sedangkan beberapa jenis burung yang lain menyukai vegetasi semak yang rendah untuk mencari makan. Famili Ardeidae mencari makanan berupa ikan pada lumpur di kawasan mangrove. Pycnonotus goiavier banyak mencari biji dan buah di tanaman mangrove. Sebagian burung merupakan burung penetap yang tinggal dan bersarang pada pohon-pohon mangrove tersebut. Burung-burung ini setiap waktu selalu terlihat menjaga teritorinya dan tidak akan meninggalkan wilayahnya jauh-jauh walaupun untuk mencari makan. Sebagian lagi adalah burung migran yang singgah sementara dalam migrasinya. Menurut Murni (2000) keanekaragaman satwa liar yang cukup banyak dan apabila terdapat jenis yang langka, endemik atau migrasi menunjukkan kawasan tersebut sangat sesuai untuk kegiatan ekowisata. Jadi lokasi hutan mangrove Blanakan sudah memenuhi kriteria tersebut, jika dilihat dari keberadaan satwa liarnya. Mammalia Jenis satwa mammalia yang sering terlihat diantaranya adalah berangberang, bajing, dan garangan. Berang-berang adalah jenis mammalia yang memakan ikan, mereka biasanya mendiami lubang-lubang di sepanjang tepian sungai. Selain memangsa ikan mereka juga memakan kepiting dan siput yang juga ada di habitat mangrove. Bajing dan tupai mencari makan di kawasan hutan mangrove. Bagian mangrove yang menjadi makanan mereka adalah pucuk daun, buah dan bunga. Mammalia mengambil manfaat dari tumbuhan mangrove tersebut.
Anjing dan kucing kadang-kadang memakan kepiting
bakau. Kambing adalah jenis mammalia yang banyak ditemui. Kambing
113
merupakan hewan budidaya yang dalam pemeliharaannya relatif mudah dan cepat besar. Sehingga kambing dipilih untuk dibudidayakan agar bisa cepat diperoleh manfaat dagingnya. Adapun mammalia yang ditemukan di kawasan mangrove Pantai Blanakan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 Jenis Mammalia yang ditemukan di kawasan hutan mangrove Blanakan MAMMALIA Nama latin Nama Lokal ST 1 1. Cannis familiaris Anjing 2. Felix domesticus Kucing + 3. Tupaia javanica Tupai 4. Herpestes javanica Garangan 5. Bos bibos Sapi 6. Capra sp Kambing 7. Sciurus notatus Bajing 8. Rattus sp Tikus 9. Lutra lutra Berang-berang + Keterangan: - = tidak ditemukan ++ = ditemukan 6-10 + = ditemukan 1-5 +++ = ditemukan > 10 No.
Jumlah St 2 ++ ++ + + ++ +++ ++ ++ ++
St 3 + + + ++ ++ + ++ ++
5.4. Daya Dukung Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah hutan lindung yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Diharapkan dengan pemanfaatan tersebut dapat memberikan manfaat ekonomi bagi pengelola dan masyarakat sekitar tanpa mengurangi nilai dan fungsi hutan mangrove Blanakan sebagai area hutan lindung. Perkembangan ekowisata hutan mangrove Blanakan sebagai tujuan wisata diharapkan memberi dampak positif berupa manfaat ekonomi yang berkesinambungan. Namun dampak negatif juga dikhawatirkan akan muncul bila pemanfaatan objek wisata melampaui daya dukung fisik kawasan. Hal ini bisa terjadi jika pertumbuhan wisatawan yang terus naik, dan melebihi daya dukung fisik kawasan dalam menampung jumlah wisatawan. Daya dukung secara fisik (PCC) untuk ekowisata hutan mangrove Blanakan dihitung berdasarkan kriteria yang ditetapkan, yaitu luas efektif yang digunakan untuk wisata seluas 5 ha (50.000 m2). Untuk variabel pengunjung, setiap orang yang berdiri pada umumnya membutuhkan ruang horizontal seluas 1 m2 untuk dapat bergerak bebas. Waktu buka objek wisata antara jam 09.0017.00 berarti buka selama 8 jam. Rata-rata waktu yang dihabiskan pengunjung
114
adalah 5,2 jam. Hasil perhitungan PCC untuk lokasi ini adalah 77.000 pengunjung per hari. Cara penentuan PCC dapat dilihat pada Lampiran 1. Dalam penentuan daya dukung relatif terdapat beberapa faktor koreksi yang dapat dijadikan sebagai faktor pembatas tingkat kunjungan. Faktor koreksi tersebut antara lain faktor psikologi terkait dengan kenyamanan dan kesesakan areal pemanfaatan. Faktor fisik lingkungan berupa kondisi cuaca tahunan dimana pada musim hujan merupakan waktu kunjungan yang kurang nyaman bagi wisatawan. Banjir tahunan turut mempengaruhi waktu buka areal pemanfaatan. Faktor manajemen. Rasio antara pengunjung dan petugas areal pemanfaatan turut mempengaruhi jumlah tingkat kunjungan. Perhitungan daya dukung sebenarnya (RCC) berdasarkan faktor koreksi pada lokasi yang telah diidentifikasi, yaitu curah hujan, kualitas perairan, banjir musiman dan kapasitas manajemen. Dari hasil perhitungan diperoleh nilai RCC adalah 2.751 pengunjung per hari. Daya dukung yang diperbolehkan/efektif (ECC) dihitung berdasarkan kapasitas manajemen dan waktu buka lokasi serta waktu tempuh masuk lokasi. Pengelola kawasan adalah Perum Perhutani III dan jumlah jalan masuk juga menjadi faktor dalam penentuan ECC. Hasil perhitungan ECC adalah 30%. Jadi nilai ECC kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah 30% dari 2.750 (RCC) adalah 825 pengunjung per hari. Cara penentuan RCC dan ECC dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil perhitungan masing-masing nilai daya dukung yang dimasukkan ke dalam standar penentuan PCC > RCC > ECC, maka pada dasarnya daya dukung fisik kawasan sama sekali belum terlewati karena nilai PCC lebih besar daripada RCC dan RCC lebih besar daripada ECC. Dari data kunjungan rata-rata per hari di ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah 57 pengunjung. Jika dibandingkan ECC nilai tersebut masih jauh di bawahnya. Oleh karena itu pengembangan objek wisata ini masih sangat menjanjikan. Di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan ada beberapa aktivitas wisata yang bisa dilakukan antara lain berperahu, berkemah dan piknik. Untuk masing-masing aktivitas tersebut dibatasi pula oleh daya dukung ekologi. Dimana hal tersebut mengindikasikan kenyamanan dalam beraktivitas. Untuk menghitung daya dukung ekologis parameter yang diukur adalah jumlah wisatawan, sedangkan parameter lainnya adalah area yang dibutuhkan untuk wisata, jumlah hari yang dibutuhkan untuk aktivitas tertentu (dalam satu tahun). Parameter
115
lainnya sudah ditetapkan Douglass (1975) dalam Fandeli (2001). Douglass menetapkan turnover factor (Tf) atau faktor pemulihan yang berbeda untuk tiap aktivitas. Nilai Tf untuk berperahu adalah 2; untuk piknik adalah 1,5; sedangkan nilai Tf untuk berkemah adalah 1. Hasil perhitungan daya dukung ekologis untuk aktivitas wisata di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan disajikan pada Tabel 28, sedangkan cara perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 28 Daya dukung ekologi kawasan ekowisata Blanakan No. 1. 2. 3.
Aktivitas Wisata Berperahu Berkemah Piknik
Daya Dukung 106 orang/ha 174 orang/ha 530 orang/ha
Dari tabel di atas diketahui dalam setiap harinya lokasi ekowisata untuk aktivitas berperahu dapat menampung maksimal 106 orang per ha. Sedangkan untuk kegiatan berkemah mampu menampung makasimal 174 orang per ha dan untuk piknik kawasan mampu menampung 530 orang per ha. Nilai daya dukung yang diperoleh pada dasarnya masih bersifat relatif. Hal ini disebabkan karena daya dukung fisik kawasan tidak konstan tergantung pada perubahan-perubahan
yang
terjadi
akibat
pola
kunjungan,
pengalaman
pengunjung, faktor iklim, kebijakan manajemen pengelola. Faktor iklim perlu dipertimbangkan dalam menentukan daya dukung kawasan. Pada musim hujan, biasanya tingkat kunjungan menurun, demikian sebaliknya pada musim kemarau. Pada bulan Desember-Januari, di kawasan wisata Blanakan sering terjadi banjir musiman, hal ini juga menurunkan tingkat kunjungan. Pada dasarnya daya dukung tidaklah selalu konstan, dimana daya dukung dapat ditingkatkan dengan penambahan atraksi dan fasilitas pendukung lainnya di zona yang telah dibuat. Misalnya dengan menambahkan sarana akomodasi, paket wisata, pengembangan camping ground, maupun rancangan sistem jalan setapak /jembatan kayu untuk berjalan di antara vegetasi mangrove, menambah menara untuk pengamatan burung dan satwa, menambah armada perahu, dan sebagainya. Saat tingkat kunjungan semakin naik, pihak pengelola dapat menambah jumlah
staf
untuk
meningkatkan
kapasitas
manajemen.
Hal
ini
akan
meningkatkan kepuasan wisatawan. Dengan demikian maka daya dukung dapat
116
ditingkatkan. Jika tingkat kunjungan semakin tinggi, sebelum melewati batas daya dukung yang telah ditetapkan standarnya, maka perlu dilakukan pengelolaan pengunjung, seperti dengan membuat sirkulasi pengunjungan berdasarkan ukuran kelompok dan ruang yang tersedia. Jika daya dukung terlewati maka analisis dampak pengunjungan harus dilakukan, walaupun hal ini terkadang sulit diimplementasikan, seperti kegiatan monitoring dan inspeksi terhadap pengelolaan kawasan wisata. Langkah pengelolaan terhadap daya dukung yang terlampaui dapat menggunakan metode Limit of Acceptable Change (LAC) atau “batas perubahan yang masih dapat diterima”. Konsep LAC digunakan untuk menentukan ketika dampak negatif telah terlampaui. Dampak dari tingkat kunjungan yang dimonitor dengan metode LAC berdasarkan hasil monitoring terhadap tingkat perubahanperubahan kondisi fisik lingkungan dan biologi yang terjadi pada lokasi pemanfaatan serta survei tingkat kenyamanan pengunjung. Dalam menentukan daya dukung suatu kawasan tidaklah mudah, selain indikator penentuan daya dukung yang tidak baku, terdapat juga masalah yang perlu dipertimbangkan adalah dampak kunjungan pada suatu kawasan bisa bervariasi tergantung sudut pandang seseorang (Manning 2002). Menurut Khair (2006) beberapa permasalahan dalam menentukan daya dukung, antara lain: 1. Definisi daya dukung dapat berbeda, karena tidak ada definisi yang universal dan masih berpusat pada tingkat toleransi. 2. Adanya variasi-variasi yang berbeda dalam standar pengukuran. 3. Daya dukung merupakan konsep yang dinamis dan mengalir. 4. Konsep daya dukung tidak dapat memunculkan kualitas yang nyata. 5. Adanya kesulitan dalam memprediksi dampak dan pengelola harus dapat menganalisis dampak sebelum, selama dan sesudah perkembangan. 6. Solusi yang ditawarkan oleh para pakar sering tidak mencapai kesepakatan umum. 7. Konsep daya dukung bukanlah konsep yang dapat diterapkan dengan analisis yang kaku dan pengelolaan yang praktis. Daya dukung merupakan suatu kerangka yang rasional dan proses yang terstruktur, sehingga untuk membuat daya dukung harus mengkombinasikan data hasil penelitian dengan kebijakan atau keputusan yang informatif. Kapasitas
117
daya dukung kawasan tidak hanya harus ditentukan, tetapi harus dikelola dengan sebaik-baiknya. Penentuan daya dukung juga tergantung pada berbagai penilaian mengenai tingkat daya tampung kawasan yang rusak akibat dampak kegiatan wisata. Ketika tingkat daya tampung telah dibuat, metode untuk mengontrol pengunjung
perlu
diimplementasikan,
dimana
hal
tersebut
mencakup
kemampuan untuk menghitung jumlah pengunjung, menjaga jumlah pengunjung agar konstan dan kemampuan mengelola pengunjung yang ingin memasuki kawasan wisata jika jumlah pengunjung sudah mencapai daya dukung fisik kawasan. Pengelolaan lain yang dilakukan adalah menghindari pengunjung terkonsentrasi pada suatu tempat. Sehubungan dengan uraian di atas dapat ditegaskan, bahwa daya dukung kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan yang diperoleh belum bersifat konstan atau sebenar-benarnya karena adanya variabel-variabel yang tidak tetap atau faktor lain yang sebaiknya dimasukkan, seperti kebijakan yang jelas dari pemerintah maupun pengelola. Di samping itu, daya dukung yang diperoleh masih berdasarkan kondisi fisik kawasan. Jadi untuk menentukan daya dukung keseluruhan kawasan perlu ditentukan daya dukung psikologis, sosial, dan ekonomi. 5.5. Daya Lenting (Resiliensi) Ekologi Air limbah yang masuk ke perairan akan mengalami pengurangan kadar pencemaran oleh ekosistem air. Pengurangan atau penghilangan bahan pencemar oleh berbagai proses yang ada dalam air. Proses ini meliputi pengenceran secara fisik, penyebaran, pengendapan, reaksi kimia, adsorbsi, penguraian secara biologis dan stabilisasi. Proses-proses tersebut pada dasarnya merupakan sifat alamiah air yang memiliki kemampuan untuk membersihkan atau menghancurkan berbagai kontaminan dan pencemar yang dibawa air limbah. Menurut
Imholf
dalam
Abdullah
(2006)
kemampuan
air
untuk
membersihkan diri secara alamiah dari berbagai kontaminan dan pencemar dikenal sebagai self purification. Kemampuan perairan untuk melakukan pembersihan diri ini dikenal juga dengan istilah kapasitas asimilasi (assimilative capacity). Kapasitas asimilasi adalah kemampuan sesuatu ekosistem untuk
118
menerima suatu jumlah limbah tertentu sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak dapat ditoleransi. Dalam penelitian ini parameter pencemaran yang diamati adalah kandungan BOD, ammonia, fosfat dan nitrat. Hal ini dilakukan karena adanya kegiatan wisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi berpotensi untuk menghasilkan limbah/pencemar tersebut di atas. Limbah tersebut bisa masuk ke perairan melalui buangan dari warung-warung makan, buangan dari toilet dan buangan sampah/limbah organik lainnya. Biological Oxygen Demand (BOD) menggambarkan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis oleh mikroorganisme.
Bahan
organik
tersebut
merupakan
hasil
pembusukan
tumbuhan dan hewan yang telah mati atau hasil buangan limbah domestik. Ammonia di perairan bersumber dari nitrogen organik dan anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik. Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami, nitrat merupakan salah satu nutrien penting dalam sintesis protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat
yang
tinggi
di
perairan
dapat
menstimulasi
pertumbuhan
dan
perkembangan organisme perairan apabila didukung ketersediaan nutrien. Sedangkan fosfat adalah bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan dan merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan. Keberadaan fosfat secara berlebihan yang disertai kandungan nitrogen yang tinggi dapat menstimulasi pertumbuhan algae di perairan.
Gambar 29 Beban pencemaran dibandingkan baku mutu lingkungan.
119
Gambar di atas menunjukkan beban pencemaran dari BOD, ammonia, nitrat dan fosfat di Sungai Blanakan. Dari gambar terlihat kandungan bahan pencemar belum melampaui baku mutu lingkungan yang ditetapkan Menteri Lingkungan Hidup. Dari konsentrasi pencemar dibuat pemetaan untuk mengetahui tipe daya lenting perairan Sungai Blanakan. Tabel 29 di bawah ini adalah hasil analisis regresi beberapa parameter yang diukur dan menunjukkan besaran kapasitas asimilasi yang dimiliki oleh perairan yang berada di ekowisata hutan mangrove Blanakan. Fungsi ŷ menunjukkan kualitas perairan di perairan Sungai Blanakan. Tabel 29 Fungsi hubungan konsentrasi pencemar di perairan ekowisata hutan mangrove Blanakan Parameter Ammonia Nitrat Fosfat BOD
Fungsi y ŷ = 0,565 x + 1,074 ŷ = 0,822 x + 0,477 ŷ = 0,189 x + 0,152 ŷ = 2,539 x + 12,28
R2 0,937 0,987 0,984 0,766
Kapasitas asimilasi (mg/l) 24 13,5 9 141,9
Analisis resiliensi bertujuan untuk mengetahui ambang batas penerimaan gangguan yang dapat diterima ekosistem, sebelum ekosistem tersebut mengalami perubahan fungsi. Untuk mengetahui resiliensi (daya lenting) lingkungan perlu diketahui kapasitas asimilasi maksimal dan jumlah pengunjung untuk dapat mengetahui beban pencemaran yang dihasilkan oleh pengunjung, sehingga akan diketahui daya lenting badan perairan ekosistem mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. Kajian daya lenting tersebut digambarkan dengan pemetaan untuk mengetahui perairan mangrove mangrove Blanakan termasuk kedalam tipe daya lenting fragile, linear atau resilience (Holling 1996). Daya lenting fragile merupakan perairan yang rentan, sehingga badan perairan jika terkena gangguan atau pencemaran akan mudah rusak. Perairan dengan tipe daya lenting linear akan kembali ke keadaan semula jika terpapar bahan pencemar. Perairan dengan daya lenting resilience akan mudah kembali kepada kondisi awal setelah adanya gangguan dalam waktu yang cepat.
120
Gambar 30 Simulasi beban pencemar ammonia dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan.
Gambar 31 Simulasi beban pencemar nitrat dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan.
Gambar 32 Simulasi beban pencemar fosfat dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan.
121
Gambar 33
Simulasi beban pencemar BOD dibandingkan baku mutu dalam jangka waktu pengelolaan 25 tahun di perairan Sungai Blanakan.
Berdasarkan hasil simulasi pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan selama 25 tahun didapatkan bahwa untuk parameter ammonia, nitrat, fosfat dan BOD mempunyai tipe daya lenting resilien. Hal ini ditunjukkan dengan grafik yang masih jauh di bawah baku mutu lingkungan. Tingkat kunjungan yang masih di bawah daya dukung kawasan mungkin mempengaruhi limbah yang masuk ke badan Sungai Blanakan relatif rendah. Dari keempat parameter yang diamati, nitrat dan fosfat sampai akhir tahun pengelolaan belum melampaui baku mutu lingkungan. Sedangkan parameter BOD dan ammonia perlu diperhatikan, karena pada akhir tahun pengelolaan akan melampaui baku mutu. Hal ini terjadi karena semakin banyak wisatawan yang berkunjung, maka akan semakin banyak limbah domestik yang dibuang ke lingkungan. Akibatnya kandungan ammonia akan naik dan semakin banyak oksigen yang digunakan untuk mendegradasi limbah organik, sehingga BOD akan naik. Daya lenting akan bersifat resilien jika daya dukung lingkungan belum terlampaui. Daya dukung terhadap pencemaran ditunjukkan dengan baku mutu lingkungan yang belum terlampaui. Dalam konteks pembahasan resiliensi, ekosistem
selalu mendapat
tekanan oleh alam, namun pemulihan dipengaruhi oleh frekuensi dan tingkatan gangguan serta oleh heterogenitas spasial dari sistem ekologis. Adanya gangguan dan heterogenitas spasial menyebabkan arah pemulihan (recovery
122
trajectory) menjadi unik dan kompleksitas sistem yang dikombinasikan dengan efek gabungan dapat menyebabkan arah pemulihan hampir tidak mungkin untuk diprediksi. Pemulihan dapat menuju pada keseimbangan semula (Gambar 34 keterangan a), atau mencapai keseimbangan baru (b). Ekosistem bisa juga mengalami degradasi keseimbangan (c), jika tingkat gangguan besar dan ekosistem tidak mampu mencapai daya lentingnya, maka akan terjadi kerusakan ekosistem (d).
keseimbangan
a b c
Keterangan: a = kembali ke keadaan semula b = mencari keseimbangan baru c = degradasi keseimbangan d = keseimbangan rusak
d resiliensi
waktu Gambar 34 Laju perbaikan dari sebuah kerusakan menuju stabilitas baru yang bergantung pada resiliensi (Modifikasi Holling 2001) Perairan
Sungai
Blanakan
mempunyai
tipe
daya
lenting
resilien
dikarenakan gangguan anthropogenik masih berada di bawah daya dukung lingkungan. Gangguan yang bersifat anthropogenik berpotensi menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan gangguan dari alam. Kemampuan resiliensi ekosistem dipengaruhi oleh biodiversitas di ekosistem tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa semua parameter ammonia, nitrat, fosfat dan BOD di semua stasiun pengamatan saat ini belum melampaui baku mutu lingkungan. Namun jika kunjungan semakin naik dan diindikasikan akan terjadi pencemaran yang berlebih, maka disarankan untuk membuat unit pengolahan limbah. Dengan cara ini diharapkan limbah yang dibuang ke sungai akan berkurang konsentrasi dan toksisitasnya.
123
Tabel 30 Kandungan pencemaran dibandingkan baku mutu air sungai (Permen LH 2010) No.
Jenis Pencemar
1. 2. 3. 4.
BOD Ammonia Nitrat Fosfat
Kandungan Pencemar (mg/l) St 1 3,4 0,8 0,04 0,16
St 2 5,4 1,4 1,25 0,42
St 3 4,8 1,2 0,09 0,34
Baku mutu (mg/l) 50 8 4,5 3
Jumlah wisatawan yang mengunjungi ekowisata hutan mangrove Blanakan meningkat dari tahun ke tahun, tetapi distribusi kunjungan tidak merata. Hal tersebut menyebabkan terjadinya penumpukan wisatawan hanya pada saat-saat tertentu. Penumpukan wisatawan, terutama pada hari libur nasional, lebaran dan saat upacara pesta laut (Nadran) menjadi permasalahan karena menimbulkan stres bagi lingkungan dan sosial, yaitu timbulnya ketidaknyamanan pengunjung yang dapat menurunkan tingkat kepuasan.
Dampak lain dari peningkatan
pengunjung adalah daya tarik ekonomi bagi masyarakat sekitar untuk datang dan mendirikan bangunan tanpa ijin yang mengakibatkan terjadinya perubahan bentang
alam.
Untuk
mengatasi
permasalahan
tersebut
maka
dikembangkan suatu konsep pengelolaan pariwisata berkelanjutan
perlu
ekowisata
hutan mangrove Blanakan. Untuk memahami konsep keberlanjutan pada kegiatan pariwisata, masih menimbulkan keberagaman pemahaman. Hal tersebut terjadi karena adanya keberagaman dalam penentuan indikator, aksi, dan kebijakan yang dilakukan tidak konsisten.
Untuk memahami konsep keberlanjutan maka kita harus
merujuk pada fungsi utama kawasan wisata alam yang merupakan area konservasi. Maka konsep daya dukung menjadi salah satu alternatif solusi sebagai strategi dalam pengelolaan pariwisata berkelanjutan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut tentunya perlu dikembangkan suatu model pengelolaan yang holistik mengintegrasikan aspek-aspek yang berpengaruh terhadap daya dukung. Dalam menentukan daya dukung kawasan wisata alam perlu diperhatikan bahwa konsep daya dukung lingkungan bukan suatu yang statis. Definisi daya dukung lingkungan dapat diartikan beragam, tergantung dari disiplin ilmu atau fokusnya. Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa daya dukung lingkungan tidak bersifat statis akan tetapi dinamis dimana kemampuan sistem dapat dikurangi atau ditambah.
124
5.6. Model Dinamik Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Dalam pengembangan jasa wisata, Perum Perhutani melalui Kesatuan Bisnis Mandiri Agroforestry, Ekowisata dan Jasa Lingkungan (KBM AEJ) berusaha meningkatkan nilai jual objek wisata dan jasa lingkungan serta mengembangkan dan memasarkan dalam rangka memperoleh keuntungan perusahaan dan meningkatkan kesejahteraan berdasarkan prinsip pengelolaan kelestarian. Hal tersebut menuntut pengelola untuk mengembangkan konsep pariwisata
yang
berkelanjutan.
Konsep
pariwisata
yang
berkelanjutan
mensyaratkan pemanfaatan kawasan wisata harus dikelola tanpa melewati daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu penentuan daya dukung perlu dilakukan secara sistemik dan dinamis, sehingga dapat dijadikan rujukan oleh pengelola untuk membuat kebijakan. Kompleksitas yang ada di ekowisata hutan mangrove Blanakan menunjukkan bahwa dalam pengelolaannya perlu dilakukan pendekatan secara holistik dan terintegrasi. 5.6.1. Pengembangan model Model merupakan penyederhanaan sistem, disusun dan digunakan untuk memudahkan dalam pengkajian sistem karena sulit dan hampir tidak mungkin untuk bekerja pada keadaan sebenarnya. Oleh sebab itu, model hanya memperhitungkan beberapa faktor dalam sistem dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam kerangka memahami perilaku sistem di ekowisata hutan mangrove Blanakan, maka perlu dikembangkan model dinamis pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi. Model dikembangkan melalui beberapa tahapan, yaitu 1) Identifikasi isu, tujuan, dan batasan; 2) Konseptualisasi model, berdasarkan model konseptual selanjutnya dirinci menjadi sebuah diagram stok dan aliran; 3) Spesifikasi model, pada tahapan ini kuantifikasi dan perumusan hubungan antar komponen dilakukan sehingga model bisa dijalankan pada komputer; 4) Evaluasi model dengan cara validasi model dan simulasi model. Validasi model dilakukan dengan uji validasi struktur yang menekankan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran. 5) Penggunaan model untuk menentukan skenario-skenario pemecahan masalah (Purnomo 2005).
125
Identifikasi isu, tujuan dan batasan Hutan mangrove Blanakan merupakan hutan lindung yang sebagian digunakan sebagai daerah tujuan wisata. Pemanfaatan ekowisata hutan mangrove
Blanakan sebagai tujuan wisata diharapkan dapat memberikan
keuntungan ekonomi bagi masyarakat sekitar, pengelola maupun pemerintah tanpa mengganggu fungsi utama sebagai area konservasi. Hasil kajian kondisi eksisting di ekowisata hutan mangrove Blanakan menunjukkan bahwa ada beberapa potensi permasalahan pengelolaan, antara lain adanya potensi dampak terhadap fungsi konservasi hutan mangrove Blanakan; adanya pengelolaan yang belum optimal, sehingga tingkat pelayanan jasa bagi wisatawan masih rendah; kemampuan sumberdaya manusia yang belum memadai; dan manajemen pemasaran ekowisata hutan mangrove Blanakan masih belum optimal. Untuk mengatasi potensi permasalahan yang muncul dalam pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan dilakukan pemetaan analisis kebutuhan (Tabel 31) dan formulasi permasalahan (Tabel 32). Model yang ingin dikembangkan pada penelitian ini adalah model simulasi yang menjelaskan interaksi antara sektor pariwisata dengan sektor ekonomi, lingkungan (ekologi) dan sosial berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi. Untuk membuat model ekowisata tersebut dilakukan dengan sistem dinamis. Model yang dikembangkan bertujuan untuk melihat peningkatan pendapatan (manfaat ekonomi) dan jumlah pengunjung dengan memperhatikan kualitas lingkungan (daya dukung) serta efisiensi penggunaan lahan. Model yang akan dibuat lebih mengedepankan keberpihakan ekologis. Perlindungan terhadap lingkungan ekologi dilakukan karena dengan menjaga lingkungan diharapkan tidak terjadi kerusakan yang permanen. Kerusakan lingkungan mempunyai
konsekuensi
biaya
lingkungan
yang
mahal.
Model
yang
dikembangkan diharapkan dapat mensimulasikan situasi nyata untuk dapat dilakukan analisis terhadap hubungan antara variabel dalam model tersebut. Dalam penyusunan model dengan pendekatan sistem ada beberapa tahapan yang harus dilakukan antara lain: menentukan tujuan model, penentuan stakeholders, analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem dan pemodelan. Untuk tujuan pembuatan model pengelolaan daya dukung ekowisata
126
mangrove Blanakan telah dijelaskan diatas, sedangkan untuk analisis kebutuhan mengenai sistem pengelolaan daya dukung seperti pada Tabel 31 di bawah ini. Tabel 31 Analisis kebutuhan stakeholder Stakeholders
Analisis kebutuhan
Masyarakat lokal
Peningkatan pendapatan Perluasan lapangan kerja Kelestarian lingkungan–sosial budaya Keamanan-kepastian hukum Kelestarian daerah konservasi Kelestarian lingkungan dan budaya Pengawetan dan perlindungan flora, fauna dan habitatnya Partisipasi masyarakat dalam pembangunan Peningkatan lapangan kerja Keamanan Peningkatan PAD Kelestarian fungsi hutan mangrove Blanakan Pengawetan dan perlindungan flora dan fauna Diversifikasi atraksi Peningkatan pendapatan ekonomi Pelestarian kawasan ekowisata mangrove Pelayanan yang baik Aksesibilitas yang baik Informasi yang akurat dan terpecaya Keamanan dan kenyamanan Kelestarian hutan mangrove Blanakan sebagai laboratorium alami Peningkatan pendapatan Peningkatan kualitas atraksi, amenitas dan aksesibilitas Diversifikasi atraksi Keberlanjutan usaha Kejelasan status hukum kerjasama keamanan
Pemerintah daerah
Perhutani
Wisatawan
Perguruan Tinggi Tour and travel
Selanjutnya diidentifikasi permasalahan yang muncul akibat pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Analisis formulasi permasalahan disajikan di Tabel 32 sebagai berikut.
127
Tabel 32 Analisis formulasi masalah Stakeholders
Analisis kebutuhan
Masyarakat lokal
Dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial keamanan Pembangunan infrastruktur yang mahal Dampak negatif kegiatan wisata pada kelestarian hutan mangrove Blanakan Koordinasi dengan pemerintah pusat dan perhutani masih lemah Biaya untuk pengembangan sarana dan prasarana Biaya untuk promosi Kualitas sumberdaya manusia masih rendah Koordinasi dengan pemerintah dan masyarakat lokal masih kurang baik Sarana dan prasarana yang menunjang wisata kurang baik Aksesibilitas masih kurang Pelayanan wisata belum baik Informasi objek wisata masih sedikit Informasi kerjasama penelitian kurang Informasi kegiatan wisata yang relatif masih sedikit Aspek manajerial dan informasi kerjasama yang masih kurang
Pemerintah daerah
Perhutani
Wisatawan
Perguruan Tinggi Tour and travel
Model sistem dinamis dikembangkan dengan dibatasi oleh hal-hal yang terkait dengan interaksi antara masyarakat, wisatawan, pengelola dan kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah. Konseptualisasi model Pada tahapan konseptualisasi model hal yang perlu diketaui pertama adalah memahami perilaku sistem ekowisata hutan mangrove Blanakan. Pengembangan sistem ekowisata hutan mangrove Blanakan dikembangkan model yang bertujuan untuk menjelaskan perubahan perilaku sistem tersebut. Model ini terdiri dari 3 sub model, yaitu 1) submodel pengunjung; 2) submodel lingkungan; dan 3) submodel sosial ekonomi.
Hubungan antara submodel dapat dijelaskan pada Gambar 35 berikut ini.
128 Pertumbuhan Pengunjung
+
+ Kapasitas asimilasi
Jumlah Pengunjung
Loop (-)
-
+
+ +
Limbah
Tingkat Kepuasan Pendapatan Loop (+)
+ Fasilitas
+
Loop (-)
+
Perubahan Lahan
Gambar 35 Kausal loop model dinamis pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi. Dari gambar di atas dapat dilihat kausal loop yang menjelaskan bahwa pertumbuhan
wisatawan
dapat
menyebabkan
peningkatan
konsumsi
sumberdaya yang mengakibatkan terjadinya pencemaran (limbah). Selain itu, pertumbuhan wisatawan mempengaruhi peningkatan pendapatan pengelola, masyarakat dan pemerintah serta partisipasi masyarakat yang dapat mendorong pengembangan daya tarik wisata. Pengembangan objek wisata berupa penyediaan dan pembuatan fasilitas wisata juga meningkat. Adanya fasilitas wisata yang representatif baik jumlah maupun kualitasnya akan menyebabkan kenaikan tingkat kepuasan pengunjung. Hal ini merupakan loop positif. Submodel lingkungan merupakan loop negatif karena pertumbuhan wisatawan dapat menyebabkan terjadinya peningkatan limbah pencemaran yang dapat mengakibatkan naiknya indeks pencemaran. Kenaikan indeks pencemaran menuntut peningkatan kapasitas asimiliasi. Kapasitas asimilasi yang naik akan menaikkan tingkat kepuasan pengunjung, yang berakibat pada naiknya jumlah kunjungan wisatawan.
129
Pengadaan dan pembuatan fasilitas wisata akan menaikkan tingkat perubahan lahan, yang akan menyebabkan kenaikan indeks penggunaan lahan. Kenaikan indeks penggunaan lahan menjadikan ketersediaan ruang terbuka menjadi berkurang, sehingga menurunkan tingkat kepuasan pengunjung. Simulasi
model
menggambarkan
dinamika
pertumbuhan
pengunjung,
keuntungan ekonomi, tingkat penggunaan lahan serta tingkat pencemaran yang ditunjukkan oleh nilai indeks pencemaran. Kondisi eksisting sistem ekowisata menggambarkan adanya pertumbuhan pengunjung yang menyebabkan
peningkatan konsumsi sumberdaya dan
menghasilkan limbah yang menyebabkan indeks pencemaran menjadi naik. Walaupun jumlah wisatawan belum melampaui daya dukung lingkungan, namun jika tingkat kunjungan terus naik, akan mengakibatkan penurunan sumberdaya wisata yang menyebabkan penurunan jumlah pengunjung, yang berakibat pendapatan dari ekowisata menurun. Untuk mencapai tujuan pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi, maka dibuat model konseptual seperti pada Gambar 36. SKENARIO
Tindakan Pengelolaan Pengelolaan daya dukung Peningkatan kapasitas asimilasi Konsekuensi biaya akibat tindakan Submodel Pengunjung Inisial jumlah wisatawan Pertumbuhan Tingkat kepuasan
Submodel Sosial Ekonomi Pendapatan pengelola Pendapatan masyarakat Pendapatan pemerintah Kesempatan bekerja
Submodel Lingkungan Pencemaran Perairan Daya dukung lingkungan Penggunaan lahan
Indikator Indeks daya dukung dan KDB Jumlah pengunjung Pendapatan pengelola dan masyarakat
Gambar 36 Model konseptual dinamika sistem pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan
130
Skenario yang dibuat untuk tindakan koreksi pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah tindakan pengelolaan daya dukung, peningkatan kapasitas asimilasi beban pencemaran konsekuensi biaya akibat tindakan pengelolaan. Tindakan pengelolaan jumlah pengunjung adalah tindakan untuk mengendalikan jumlah pengunjung agar konsumsi sumberdaya tidak melewati daya dukung yang dimiliki. Tindakan peningkatan kapasitas asimilasi adalah peningkatan kemampuan pengelolaan beban pencemaran akibat kegiatan wisata. Sedangkan konsekuensi biaya-biaya akibat tindakan pengelolaan meliputi biaya perencanaan, biaya investasi, biaya konservasi dan pengamanan, biaya pemeliharaan dan biaya pemasaran. Dari skenario tersebut digunakan untuk mencari pengelolaan yang menghasilkan keuntungan ekonomi optimal dengan memperhatikan daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi awasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Spesifikasi model Model konseptual pada Gambar 30 dirinci menjadi diagram stock and flow. Diagram tersebut dibuat dengan perangkat lunak Stella Ver. 9. Pada tahapan ini model dalam stock and flow dikuantifikasi sehingga dapat disimulasikan dengan komputer. Adapun spesifikasi model ekowisata hutan mangrove Blanakan, adalah: Submodel pengunjung Pada
submodel
ini
menggambarkan
dinamika
jumlah
pengunjung
ekowisata hutan mangrove Blanakan. Pertumbuhan pengunjung dipengaruhi oleh tingkat kepuasan pengunjung terhadap produk wisata yang ditawarkan. Pengunjung di ekowisata hutan mangrove Blanakan mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Namun dengan tingkat kunjungan yang semakin tinggi menyebabkan dampak bagi lingkungan. Adanya limbah dan pencemaran yang merupakan dampak negatif dari kegiatan wisata menjadi faktor pembatas bagi tingkat
kunjungan.
Hal
tersebut
menyebabkan
laju
penurunan
jumlah
pengunjung. Variabel-variabel
yang
mempengaruhi
submodel
pengunjung
dan
hubungannya dapat dijelaskan pada Gambar 37. Sedangkan variabel, satuan dan definisi operasional disajikan pada Tabel 33 dan komponen serta besaran pada Tabel 34.
131
SUBMODEL PENGUNJUNG
ind pengunjung Pertumbuhan pengunjung
Penurunan Wisatwan
Pengunjung
Noname 1 Laju Pengurangan Pengunjung
f raksi lingkungan Daya dukung lingkungan
Gambar 37 Submodel pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan.
Tabel 33 Variabel, satuan dan definisi operasional submodel pengunjung No. 1.
5.
Variabel Pertumbuhan pengunjung Penurunan pengunjung Laju pertambahan pengunjung Laju pengurangan pengunjung Indeks pencemaran
6.
Fr. Pencemaran
3. 4.
Satuan %
Orang
Definisi operasional Persentase pertambahan jumlah pengunjung Persentase penurunan jumlah pengunjung Pertambahan jumlah pengunjung
Orang
Pengurangan jumlah pengunjung
%
Tidak ada satuan %
Indeks pencemaran Persentase lingkungan pengunjung
pengaruh faktor terhadap keputusan
Tabel 34 Komponen dan besaran dinamika submodel pengunjung No. 1. 2. 3. 4. 5.
Variabel Pertumbuhan pengunjung Penurunan pengunjung Fr. pencemaran Kapasitas Fr. kapasitas
Satuan %
Besaran 0,19
%
0,05
% Orang %
0-20 301125 0-100
132
Submodel lingkungan Pemanfaatan jasa hutan untuk kegiatan wisata merupakan salah satu alternatif
yang
dikembangkan dalam
rangka
peningkatan kesejahteraan
masyarakat di sekitar hutan lindung. Dibukanya akses ke hutan lindung untuk kegiatan wisata akan menjadi daya tarik dan mendatangkan wisatawan ke area tersebut. Akibat dari kegiatan wisata tentunya akan memberikan dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif dari kegiatan wisata adalah terjadinya pencemaran. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa ekowisata hutan mangrove Blanakan mendapat tekanan berupa pencemaran terhadap badan perairan. Pencemaran udara dan suara relatif tidak memberikan dampak signifikan terhadap peranan kawasan konservasi dan habitat flora dan fauna. Oleh karena itu subsistem lingkungan lebih difokuskan kepada dampak pencemaran pada badan perairan. Pencemaran perairan disebabkan karena kegiatan wisata yang menghasilkan limbah domestik, baik dari buangan toilet maupun dari buangan rumah makan. Komponen daya dukung yang dikembangkan submodel ini adalah kemampuan dari lingkungan untuk mengatasi beban pencemaran yang diakibatkan kegiatan wisata. Untuk pencemaran badan perairan menggunakan kemampuan daya asimilasi sungai untuk mengabsorbsi beban pencemaran domestik berupa ammonium, nitrat, phosfat, dan BOD (Biological Oxygen Demand). Komponen daya dukung tersebut diterjemahkan dalam indeks pencemaran. Nilai indeks ini adalah perbandingan antara beban pencemaran dengan kapasitas asimilasi badan perairan. Kegiatan manusia dalam pembangunan selalu berhubungan dengan kemampuan lahan untuk dapat menampung berbagai aktivitas manusia. Asumsi dasarnya adalah setiap perubahan dari pemanfaatan lahan akan menyebabkan perubahan pada lingkungan yang akan berpengaruh pada karakteristik biofisik dan kekayaan biodiversitas. Apabila pemanfaatan lahan tidak direncanakan secara
teintegrasi
akan
menimbulkan
terjadinya
kerusakan
lingkungan,
peningkatan biaya untuk dapat merehabilitasi lahan, sehingga dapat menurunkan kemampuan layanan ekologis kepada pengunjung. Pada submodel ini variabel yang mempengaruhi laju penggunaan lahan adalah unit lahan untuk restoran (rumah makan), guest house (penginapan) dan unit lahan komersiil lainnya. Penggunaan lahan di kawasan ekowisata hutan
133
mangrove Blanakan ditentukan dengan indeks koefisien dasar bangunan (KDB), dimana nilai indeks ditentukan dengan membandingkan bangunan horizontal dan vertikal. Semakin banyak bangunan berdiri horizontal, maka nilai indeks KDB semakin tinggi. Hal ini berakibat semakin banyak lahan yang dialihfungsikan menjadi bangunan. Adanya bangunan yang berdiri secara horizontal akan menyebabkan berkurangnya lahan terbuka di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Hal tersebut akan berakibat pada menurunnya tingkat kepuasan pengunjung. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan rasio antara luas bangunan dan luas lahan yang tersedia Variabel-variabel
yang
mempengaruhi
submodel
lingkungan
dan
hubungannya disajikan pada Gambar 38. Variabel, satuan dan definisi operasional pada Tabel 35 dan komponen serta besaran pada Tabel 36. Submodel Lingkungan
KBOD
debit
Noname 3 BOD K Asimilasi BOD BOD
Aktual BOD Asimilasi BOD
LP BOD
K Asimilasi Amonia
Pengunjung debit
Amonium Noname 4
Kamonia
ind amonia
Aktual BOD
Aktual amonis
Amonium ind amonia
LP Amonia
Aktual amonis
Asimilasi Amonia
ind amonia
Nitrat
K nitrat
Day a dukung lingkungan
aktual nitrat
Nitrat
Noname 5 Kasimilasi nitrat debit
LP Nitrat
aktual nitrat
Asimilasi Nitrat aktual phospat
Fosf at
Fosfat
ind amonia
K f osf at aktual phospat Asimilasi Psphat
LP Posf at
K Asimilasi Phosf at debit Noname 6 Unit lahan komersil
Unit lahan restoran
Unit lahan guest house
Pengunaan Lahan
Laju Pengunaan Lahan
ind KDB
Lahan y ang boleh di bangun
Indek perubahan lahan
Noname 7
~ Fr P restoran ~ ~ f r P Penginapan
Fr P Lahan Komersil Lainny a
Gambar 38 Submodel lingkungan ekowisata hutan mangrove Blanakan.
134
Tabel 35 Variabel, satuan dan definisi operasional submodel lingkungan No. 1. 2. 3.
Variabel Wisatawan Pertmb. wstwan Beban polutan
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
BPBOD BPNH3 BPPO4 BPNO3 FrBOD FrNH3 FrPO4 FrNO3 AsimilasiBOD
Satuan Orang % Tidak ada satuan Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun mg/L org mg/L org mg/L org mg/L org Ton/tahun
13.
AsimilasiNH3
Ton/tahun
14.
AsimilasiPO4
Ton/tahun
15.
AsimilasiNO3
Ton/tahun
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Aktual BPBOD Aktual BPNH3 Aktual BPPO4 Aktual BPNO3 BMBOD BMNH3 BMPO4 BMNO3 IPBOD
25.
IPNH3
26.
IPPO4
27.
IPNO3
28.
IP
29.
Unit rmh makan
Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun mg/L mg/L mg/L mg/L Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan ha/orang
30.
Unit guest house Unit komersiil lain Fr rmh makan Fr guest house Fr. Komersiil lain
31. 32. 33. 24.
ha/orang ha/orang ha/kursi ha/kamar ha/orang
Definisi operasional Jumlah pengunjung pada tahun awal Persentase rerata pertumbuhan wisatawan Jumlah beban pencemaran akibat aktivitas wisatawan Beban pencemaran BOD Beban pencemaran NH3 Beban pencemaran PO4 Beban pencemaran NO3 Kontribusi beban pencemaran BOD Kontribusi beban pencemaran NH3 Kontribusi beban pencemaran PO4 Kontribusi beban pencemaran NO3 Kemampuan lingkungan menyerap beban pencemaran BOD Kemampuan lingkungan menyerap beban pencemaran NH3 Kemampuan lingkungan menyerap beban pencemaran PO4 Kemampuan lingkungan menyerap beban pencemaran NO3 Beban pencemaran BOD-asimilasi BOD Beban pencemaran NH3-asimilasi NH3 Beban pencemaran PO4-asimilasi PO4 Beban pencemaran NO3-asimilasi NO3 Baku mutu BOD Baku mutu NH3 Baku mutu PO4 Baku mutu NO3 Indeks pencemaran BOD (perbandingan aktual BP BOD dengan asimilasi BOD) Indeks pencemaran NH3 (perbandingan aktual BP NH3 dengan asimilasi NH3) Indeks pencemaran PO4 (perbandingan aktual BP PO4 dengan asimilasi PO4) Indeks pencemaran NO3 (perbandingan aktual BP NO3 dengan asimilasi NO3) Indeks Pencemaran (rerata dari IPBOD, IPNH3, IPPO4, IPNO3) Kebutuhan lahan untuk restoran (kursi) yang dibutuhkan per orang Kebutuhan lahan untuk guest house (kamar) yang dibutuhkan per orang Kebutuhan lahan untuk kebutuhan wisata yang dibutuhkan per orang Fraksi kebutuhan per kursi Fraksi kebutuhan per kamar Fraksi kebutuhan per orang
135
Tabel 36 Komponen dan besaran dinamika submodel lingkungan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Variabel FrBOD FrNH3 FrPO4 FrNO3 AsimilasiBOD AsimilasiNH3 AsimilasiPO4 AsimilasiNO3 BMBOD BMNH3 BMPO4 BMNO3 Fr rmh makan Fr guest house Fr komersiil lain
Satuan mg/L org mg/L org mg/L org mg/L org Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun Ton/tahun mg/L mg/L mg/L mg/L Ha/orang Ha/orang Ha/orang
Besaran 0,16 0,03 0,0083 0,023 54,75 40,515 131,4 156,585 3 0,5 3 0,2 0,0001 0,009 0,0005
Submodel sosial ekonomi Submodel ini mencakup aspek sosial berupa partisipasi masyarakat dan ekonomi berupa pendapatan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan wisata adalah menjadi interpreter, karyawan guest house, operator perahu, tukang ojek, karyawan dan pemilik toko suvenir, rumah makan. Salah satu tujuan dari pengembangan wisata di hutan mangrove Blanakan adalah memberikan dampak ekonomi. Dampak ekonomi berupa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar objek wisata, pendapatan pemerintah dan pendapatan bagi pengelola. Peningkatan kesejahteraan masyarakat disebabkan karena adanya aktivitas ekonomi di kawasan
ekowisata
hutan
mangrove
Blanakan,
sehingga
masyarakat
mempunyai peluang usaha dan mendapatkan pendapatan dengan ikut berpartisipasi dalam kegiatan wisata. Selain itu pihak pengelola dan pemerintah daerah akan mendapat keuntungan berupa pendapatan bagi pengelola dan pajak untuk pemerintah daerah. Hasil kajian karakteristik pengunjung, pengeluaran pengunjung disebabkan oleh tiga faktor utama, yaitu biaya atraksi, amenitas dan aksesibilitas. Biaya atraksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk permintaan atraksi baik alam, kebudayaan atau sosial termasuk tiket masuk area wisata. Biaya amenitas adalah biaya yang dikeluarkan oleh pengunjung untuk mendapatkan fasilitas pendukung wisata, seperti akomodasi, makan di rumah makan,
pembelian
136
suvenir, sewa perahu. Aksesibilitas adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh pengunjung untuk dapat sampai ke lokasi wisata, misalnya menyewa ojek. Submodel sosial ekonomi membahas dampak ekonomi berupa pendapatan masyarakat dan pengelola. Pendapatan masyarakat berasal dari kegiatan ekowisata berdasarkan pendapatan dari penyewaan perahu, jasa ojek, rumah makan, pemandu wisata dan penjualan suvenir. Besarnya nilai pendapatan tersebut langsung dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang berkunjung. Submodel penerimaan pengelola dari kegiatan ekowisata hutan mangrove Blanakan berasal dari hasil penjualan tiket masuk, retribusi kendaraan roda 4 (mobil) dan kendaraan roda 2 (motor). Berdasarkan UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan PP RI No. 59 Ttahun 1998, penerimaan dan kegiatan ekowisata termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang wajib disetor ke Kas Negara dan dikelola dalam sistem APBN. Besarnya nilai penerimaan pemerintah tersebut secara langsung dipengaruhi oleh jumlah wisatawan yang berkunjung. Pendapatan lain berasal dari retribusi bumi perkemahan, sewa perahu (dermaga), dan atraksi khusus (penangkaran buaya). Pos pengeluaran terdiri dari biaya perencanaan, biaya gaji dan upah, biaya administrasi dan umum, biaya POMEC, biaya konservasi dan pengamanan, biaya pengembangan SDM, biaya kemitraan dengan masyarakat dan biaya pemasaran. Biaya perencanaan meliputi biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penyusunan dokumen perencanaan selama kegiatan yang sudah berjalan. Biaya gaji upah merupakan imbalan yang diberikan kepada sumberdaya manusia yang telah memberikan tenaga dan prestasinya kepada manajemen. Biaya administrasi dan umum, meliputi pengadaan alat tulis kantor (ATK), operasional perkantoran, komputer, pelaporan, dan lain-lain. Biaya POMEC meliputi pemeliharaan dan eksploitasi bangunan, kendaraan, peralatan dan perlengkapan sarana prasarana. Biaya konservasi dan pengamanan meliputi kegiatan untuk pengelolaan limbah, rehabilitasi lahan, pembinaan dan pengamanan habitat serta ekosistem, penelitian dan pengembangan kawasan. Biaya pengembangan SDM merupakan biaya pelatihan baik teknis maupun manajerial bagi karyawan dalam upaya pengelolaan ekowisata.
137
Biaya kemitraan dengan masyarakat merupakan biaya untuk membantu masyarakat sekitar sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Biaya pemasaran meliputi biaya pengembangan produk, promosi, kerjasama promosi. Untuk
mendapatkan
gambaran
hubungan antara
komponen
pada
submodel sosial ekonomi dapat dilihat pada Gambar 39. Sedangkan variabel, satuan dan definisi operasional disajikan pada Tabel 37 dan komponen serta besarannya pada Tabel 38.
SUBMODEL SOSIAL EKONOMI
Administrasi
SDM
Pomec
Perencanaan
Pengeluaran
pemasaran
Konserv asi dan pengaman
~
~
~
R4
Perkemahan
Tiket
Gaji
kemitraan
Laju pengeluaran
Net pendapatan
neraca
Pendapatan Pengelola
~ sewa`perahu
Pendapatan pemerintah
pajak Pemasukan
Noname 9 laju pendapatan
Pengunjung ~ R2
~
KP
Atraksi khusus
Kary awan guest house Pendapatan Masy arakat
rate restoran
Fr ojek Fr restoran T pemandu
Laju peny erapan tenaga masy arakat Partisipasi masy arkat
Pendapatan
Noname 8
souv enir ~ Pemandu
~
ojek
sewa`perahu
T perahu Kary awan toko souv enir
Gambar 39 Submodel sosial ekonomi ekowisata hutan mangrove Blanakan.
138
Tabel 37 Variabel, satuan dan definisi operasional submodel sosial ekonomi No. 1.
Variabel Pendapatan
Satuan Rupiah
2.
Pendapatan parkir
Rupiah
3.
Pendapatan rumah makan Pendapatan pemandu Pendapatan tukang ojek Pendapatan sewa perahu Pendapatan suvenir Pendapatan tiket
Rupiah
Rupiah
11.
Pendapatan perkemahan Pendapatan atraksi khusus Pajak
12.
Gaji
%
13.
Biaya perencanaan
%
14.
Biaya administrasi
%
15.
Biaya POMEC
%
16
Biaya konservasi dan pengamanan Biaya kemitraan
%
Biaya pengembangan SDM Biaya pemasaran
%
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
17.
18.
19. 20. 21.
Pendapatan pemerintah Pendapatan masyarakat
Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah
Rupiah Rupiah
%
% Rupiah Rupiah
Definisi operasional Jumlah rupiah yang didapatkan pengelola dari pengunjung hasil penjualan jasa wisata Jumlah rupiah yang didapatkan dari tiket parkir Jumlah rupiah yang didapatkan dari rumah makan Jumlah rupiah yang didapatkan dari jasa pemandu Jumlah rupiah yang didapatkan dari jasa ojek Jumlah rupiah yang didapatkan dari jasa sewa perahu Jumlah rupiah yang didapatkan dari penjualan suvenir Jumlah rupiah yang didapatkan dari tiket masuk Jumlah rupiah yang didapatkan dari retribusi perkemahan Jumlah rupiah yang didapatkan dari tiket atraksi khusus Jumlah rupiah yang harus dikeluarkan pengelola sebesar 30% dari pendapatan kotor Persentase dari income yang dikeluarkan untuk gaji dan upah karyawan Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan perencanaan Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan administrasi Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan POMEC Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan konservasi dan pengamanan Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan kemitraan dengan masyarakat Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan pengembangan SDM Persentase dari income yang dikeluarkan untuk kegiatan pemasaran Jumlah rupiah yang didapatkan dari besaran jasa pajak jasa wisata Jumlah rupiah yang didapatkan masyarakat dari penjualan jasa atau barang
139
Tabel 38 Komponen dan besaran dinamika submodel sosial ekonomi No. 1. 2. 3. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Variabel Harga tiket Tiket parkir mobil Tiket parkir motor Pendapatan rumah makan Pendapatan pemandu Pendapatan ojek Pendapatan sewa perahu Pendapatan suvenir Pendapatan perkemahan Pendapatan atraksi khusus Fr pajak Fr rumah makan Fr pemandu Fr ojek Fr sewa perahu Fr suvenir Fr perkemahan Fr atraksi khusus Fr mobil Fr motor Fr pengembangan SDM Fr pemasaran Fr perencanaan Fr gaji Fr konservasi Fr administrasi Fr POMEC Fr kemitraan
Satuan Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan Tidak ada satuan
Besaran 10000 5000 2000 15000 10000 10000 20000 25000 5000 8000 0,3 0,19 0,04 0,04 0,03 0,03 0,1 0,3 0,7 0,2 0,01 0,03 0,01 0,15 0,01 0,03 0,1 0,01
Simulasi Model Simulasi adalah kegiatan atau proses percobaan dengan menggunakan suatu model untuk mengetahui perilaku sistem dan akibat pada komponenkomponen dari suatu perlakuan pada berbagai komponen. Simulasi dapat berfungsi sebagai pengganti percobaan di lapangan yang akan banyak menggunakan waktu, tenaga dan biaya (Suratmo 2002). Untuk mengetahui kondisi pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan sampai tahun 2058, sesuai dengan kondisi saat ini (existing) dari masing-masing variabel kunci maka dapat dibuat simulasi model seperti dapat dilihat pada Gambar berikut.
140
1: Pengunjung 1: 2: 3: 4:
3: Pendapa… Masy arakat 4: Pendapatan Pengelola
2: Pengunaan Lahan
400000 6 1.569e+010 2
4
4
1 2 1: 2: 3: 4:
200000 3 7.845e+009
1: 2: 3: 4:
0 0
1
4
0
3 1 1
2
2003.00 Page 1
3
3
2 3
4 2016.75
2030.50 Y ears
2044.25 14:05
2058.00 29 Jul 2012
Gambar 40 Simulasi model pengunjung dan pendapatan pengelola, pendapatan masyarakat, dan indeks KDB sesuai kondisi saat ini sampai tahun 2058. Dari Gambar 40 diketahui bahwa jumlah pengunjung mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan jumlah pengunjung berkorelasi dengan kenaikan jumlah pendapatan pengelola dan pendapatan masyarakat. Adanya kenaikan jumlah pengunjung menuntut tersedianya sarana dan prasarana (amenitas) untuk menunjang kegiatan wisata. Pembangunan sarana dan prasarana menaikkan indeks koefisien dasar bangunan (KDB), sehingga akan banyak lahan yang dikonversi menjadi bangunan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kenaikan indeks KDB seiring dengan kenaikan jumlah pengunjung. Daya dukung fisik kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan mampu menampung 825 orang per hari. Jadi dalam setahun kawasan tersebut dapat dikunjungi 301.125 orang. Pada saat jumlah pengunjung mencapai daya dukung fisik kawasan maka akan terjadi penurunan jumlah pengunjung karena adanya tingkat kepuasan wisatawan menurun. Penurunan jumlah pengunjung berakibat pada penurunan pendapatan pengelola dan pendapatan masyarakat. Jika terjadi pemulihan kualitas lingkungan, maka tingkat kunjungan akan naik lagi. Kondisi seperti itu akan bersifat fluktuatif dan berulang dalam beberapa periode. Berdasarkan simulasi tersebut dapat diprediksi jumlah pendapatan pemerintah dan masyarakat sampai tahun 2058 disajikan pada Tabel 39 berikut ini.
141
Tabel 39 Simulasi model jumlah pengunjung, indeks KDB, pendapatan pengelola dan masyarakat, dan sesuai kondisi saat ini sampai tahun 2058 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.660 7.526 8.504 9.610 10.859 12.271 13.866 15.668 17.705 20.007 22.608 25.547 28.868 32.621 36.862 41.654 47.069 53.189 60.103 67.917 76.746 86.723 97.997 110.737 125.132 141.400 159.782 180.553 204.025 230.549 260.520 294.388 332.658 309.372 287.716 325.119 302.361 281.195 317.751 295.508 333.924 310.550 288.811 326.357 303.512 282.266 318.960 296.633 335.196 311.732 289.911 327.599 304.667 283.340 320.175
Indeks KDB 0,05 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,10 0,11 0,12 0,14 0,21 0,24 0,27 0,30 0,34 0,48 0,55 0,62 0,70 0,79 1,07 1,21 1,37 1,55 1,75 1,97 2,23 2,52 2,85 3,22 3,64 4,11 4,65 5,25 4,88 4,54 5,13 4,77 4,44 5,01 4,66 5,27 4,90 4,56 5,15 4,79 4,45 5,03 4,68 5,29 4,92 4,58 5,17 4,81 4,47
Pendapatan Pengelola 84.018.970 94.941.436 107.283.822 121.230.719 136.990.713 154.799.506 174.923.441 197.663.489 227.276.960 259.036.193 424.160.700 484.953.732 551.191.177 622.846.030 711.971.472 1.073.440.938 1.212.988.260 1.382.444.220 1.568.810.598 1.772.755.976 2.568.284.353 2.911.754.606 3.290.282.705 3.742.518.794 4.242.888.363 4.794.463.850 5.417.744.151 6.122.050.891 6.917.917.506 7.817.246.782 8.833.488.864 9.981.842.417 11.279.481.931 12.745.814.582 11.853.607.561 11.023.855.032 12.456.956.186 11.584.969.253 10.774.021.405 12.174.644.188 11.322.419.095 12.794.333.577 11.898.730.227 11.065.819.111 12.504.375.595 11.629.069.303 10.815.034.452 12.220.988.931 11.365.519.706 12.743.037.268 11.944.024.659 11.107.942.933 12.551.975.514 11.673.337.228 10.856.203.622
Pendapatan Masyarakat 23.576.000 26.640.880 30.104.194 34.017.739 38.440.045 43.437.251 49.084.094 55.465.026 70.509.915 79.676.204 90.034.110 113.042.828 127.738.395 144.344.387 179.420.073 202.744.682 229.101.491 282.419.656 319.134.212 360.621.659 441.461.015 498.850.947 563.701.570 685.981.449 775.159.038 875.929.713 989.800.575 1.118.474.650 1.263.876.355 1.428.180.281 1.613.843.717 1.823.643.401 2.060.717.043 2.328.610.259 2.165.607.540 2.014.015.013 2.275.836.964 2.116.528.377 1.968.371.390 2.224.259.671 2.068.561.494 2.337.474.488 2.173.851.274 2.021.681.685 2.284.500.304 2.124.585.283 1.975.864.313 2.232.726.674 2.076.435.806 2.246.372.461 2.182.126.389 2.029.377.542 2.293.196.622 2.132.672.859 1.983.385.759
142
Pada Gambar 40 dan Tabel 39 dapat dilihat bahwa apabila tidak ada perubahan pada variabel kunci pada tahun 2058 jumlah pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah 320.175 orang (pada tahun 2058). Daya dukung fisik kawasan akan terlampaui pada tahun 2036 dengan jumlah pengunjung 332.658 orang. Indeks koefisien dasar bangunan akan terlampaui pada tahun 2024. Penerimaan pengelola paling besar pada tahun 2045 adalah Rp. 12.794.333.577 Pendapatan masyarakat paling tinggi pada tahun 2045 sebesar Rp. 2.337.474.488. Dari hasil simulasi tersebut dapat dilihat bahwa apabila tidak ada perubahan pada variabel kunci sampai tahun 2058, tidak terjadi peningkatan yang signifikan dari pendapatan masyarakat dan penerimaan pemerintah dari hasil pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan. 5.6.2. Evaluasi model Evaluasi model adalah pengujian model untuk mengevaluasi kelogisan dan dapat diterima serta dibenarkan secara akademis. Untuk mengevaluasi model ada dua jenis evaluasi yaitu berupa uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan tingkat kesamaan struktur model mendekati kondisi nyata. Pada model pengelolaan ekowisata hutan
mangrove
Blanakan
berdasarkan
daya
dukung
secara
empiris
menunjukkan bahwa pertambahan pengunjung dapat mempengaruhi tingkat pencemaran dan berkontribusi terhadap peningkatan pendapatan pengelola dan masyarakat. 1: Pengunjung 1: 2: 3:
2: Amonium
3: Fosf at
400000 20000000
1
2 1: 2: 3:
200000 10000000
1: 2: 3:
0 0
1
1 1
2
2003.00 Page 1
2
3
3
2
3
3 2016.75
2030.50 Y ears
2044.25 12:37
2058.00 29 Jul 2012
Gambar 41 Hasil simulasi sampai tahun 2058 antara jumlah pengunjung dengan pencemaran ammonia dan fosfat.
143
1: Pengunjung 1: 2: 3:
2: Nitrat
3: BOD
400000 3000000 2000000
1
2 1: 2: 3:
200000 1500000 1000000
1: 2: 3:
0 0 0
2
3
3
1
1 1
2
2
3
3
2003.00
2016.75
2030.50 Y ears
Page 1
2044.25
2058.00 29 Jul 2012
12:45
Gambar 42 Hasil simulasi sampai tahun 2058 antara jumlah pengunjung dengan pencemaran nitrat dan BOD 1: Pengunjung 1: 2: 3:
2: Pendapatan Pengelola
3: Pendapatan Masy arakat
400000 1.569e+010
1
2
2 1: 2: 3:
200000 7.845e+009
1: 2: 3:
0
1
3
0
1 1
2
3
3
2003.00
3
2
2016.75
2030.50 Y ears
Page 6
2044.25 12:51
2058.00 29 Jul 2012
. Gambar 43 Hasil simulasi sampai tahun 2058 antara jumlah pengunjung dengan pendapatan pengelola dan masyarakat. Hasil simulasi pada submodel lingkungan pada model pengelolaan ekowisata
hutan
pertumbuhan
mangrove
pengunjung
Blanakan
memiliki
menunjukkan
keserupaan
perilaku
dengan
dinamika
perilaku
beban
pencemaran ammonia, fosfat, BOD dan nitrat (Gambar 41 dan 42). Demikian juga hasil simulasi antara jumlah pengunjung dengan pendapatan pengelola dan masyarakat menunjukkan dinamika yang serupa (Gambar 43). Selain uji validitas sruktur, untuk evaluasi model dapat dilakukan uji validitas kinerja model. validitas kinerja model merupakan pengujian dengan cara
144
melakukan perbandingan antara output model dan data empiris atau kinerja sistem nyata. Teknik yang digunakan untuk melakukan validitas kinerja model dilakukan dengan uji statistik yaitu absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE). Batasan yang dapat diterima AME dan AVE adalah 5-10%. Uji validitas dilakukan pada submodel pengunjung. Uji validasi kinerja pada submodel
pengunjung
dilakukan
dengan
membandingkan
data
output
pengunjung dengan data sekunder dari pengelola ekowisata hutan mangrove Blanakan dari tahun 2003-2011. Dari hasil pengujian uji statistik AME dan AVE menunjukkan nilai berturut-turut 5,81% dan 9,09%, nilai tersebut masih berada pada rentang batas yang dapat ditolerir.
Data empiris Simulasi
Gambar 44
Perbandingan data hasil simulasi dengan data empiris pengunjung ekowisata hutan mangrove Blanakan.
5.6.3. Skenario Pengelolaan Ekowisata Hutan Lindung Mangrove Blanakan Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah adanya biaya/ongkos yang ditanggung pengelola. Pembiayaan kegiatan pengusahaan ekowisata ini secara garis besar dibedakan atas biaya investasi dan operasional. Biaya investasi meliputi biaya perencanaan, biaya pengadaan peralatan, dan biaya sarana prasarana pendukung. Sedangkan biaya operasional dikeluarkan secara rutin setiap tahun, terdiri dari biaya gaji dan upah, biaya pemasaran, biaya administrasi, biaya pemeliharaan dan eksploitasi bangunan, kendaraan, peralatan dan perlengkapan sarana prasarana, biaya kemitraan
dengan
masyarakat
sekitar,
pengembangan sumberdaya manusia.
biaya
konservasi
dan
biaya
145
Biaya-biaya tersebut ditetapkan dengan memperhatikan pengalaman perusahaan lain sebagai acuan, standar biaya-biaya dari instansi terkait, dan harga-harga yang berlaku di daerah setempat. Atas dasar penetapan tersebut dilakukan perhitungan besarnya taksiran biaya pada masing-masing pos pembiayaan. Perum Perhutani menetapkan besarnya pembiayaan antara lain untuk:
Biaya perencanaan. Biaya tersebut meliputi biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan penyusunan dokumen perencanaan selama kegiatan yang sudah berjalan dan diperkirakan sebesar 1% dari penerimaan.
Gaji dan upah. Biaya ini merupakan imbalan yang diberikan kepada sumberdaya manusia yang telah memberikan tenaga dan prestasinya kepada
manajemen,
dengan
perkiraan
biaya
sebesar
15%
dari
penerimaan.
Administrasi dan umum. Biaya ini meliputi ATK, operasional perkantoran, komputer, pelaporan, dan lain-lain. Biaya ini diperkirakan sebesar 3% dari penerimaan.
Biaya POMEC. Biaya ini meliputi biaya pemeliharaan dan eksploitasi bangunan, kendaraan, peralatan dan perlengkapan sarana prasarana. Perkiraan biaya ini sebesar 10% dari penerimaan.
Biaya pemasaran. Meliputi biaya pengembangan produk, promosi, kerjasama promosi. Biaya diperkirakan sebesar 3% dari penerimaan.
Biaya kemitraan. Merupakan biaya untuk membantu masyarakat sekitar sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Bantuan tersebut tidak diberikan secara cuma-cuma, tetapi dengan sistem bergulir. Usaha masyarakat yang dibantu dengan dana ini adalah pedagang kios, pengrajin, asongan, masyarakat yang berpotensi. Asumsi pengeluaran untuk biaya ini adalah 1% dari penerimaan.
Biaya konservasi. Biaya ini meliputi kegiatan untuk pengelolaan limbah, rehabilitasi lahan, pembinaan dan pengamanan habitat serta ekosistem, penelitian dan pengembangan kawasan. Biaya untuk pos ini diperkirakan sebesar 1% dari penerimaan.
Biaya pengembangan sumberdaya manusia. Merupakan biaya pelatihan baik teknis maupun manajerial bagi karyawan dalam upaya pengelolaan ekowisata. Biaya pengembangan SDM diperkirakan sebesar 1% dari penerimaan.
146
Skenario pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan dikembangkan berdasarkan konseptual model. Tindakan pengelolaan terdiri dari 3 tindakan, yaitu
pengelolaan
daya
dukung,
peningkatan
kapasitas
asimilasi,
dan
konsekuensi biaya-biaya yang timbul akibat tindakan pengelolaan. Tindakan pengelolaan yang dilakukan kemudian diuji efektivitasnya dengan 4 indikator keberhasilan, yaitu jumlah pengunjung, indeks koefisien dasar bangunan, pendapatan pengelola dan pendapatan masyarakat. Berdasarkan 3 tindakan pengelolaan tersebut, maka dikembangkan 4 skenario sebagai optimasi tindakan pengelolaan. Keempat skenario tersebut adalah skenario bussines as usual, pro lingkungan, pro pengelola, dan pro masyarakat. Tabel 40
Skenario Bussines as usual Pro lingkungan
Skenario kondisi tindakan pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan Tindakan Pengelolaan Peningkatan kapasitas asimilasi Tidak ada pengelolaan daya Tidak ada tindakan dukung secara khusus peningkatan kapasitas asimilasi Dilakukan pengelolaan daya Dilakukan program dukung secara ketat untuk peningkatan kapasitas membatasi jumlah asimilasi, dengan wisatawan, agar tidak terjadi membuat saluranpenggunaan sumberdaya saluran (septic tank) yang berlebihan. bagi limbah cair. Pembatasan pengunjung Membuat unit dilakukan dengan penjualan pengolahan limbah karcis yang terbatas (jumlah untuk limbah cair sesuai daya dukung buangan dari dapur kawasan) restoran dan toilet. Membuat program tour Kapasitas unit package(paket wisata), pengolahan limbah sehingga waktu kunjungan ditingkatkan 2 kali. lebih lama dan kegiatan Disediakan tempat wisatawan lebih intensif. sampah yang cukup Dengan program ini dampak dengan pemisahan jenis kegiatan terhadap sampah basah-kering, lingkungan dapat terurai-tidak terurai, diminimalisir daur ulang-tidak dapat didaur ulang. Untuk kawasan tertentu pengunjung dilarang membawa makanan dan minuman untuk menghindari sampah. Pengelolaan daya dukung
Biaya pengelolaan Tidak ada tindakan biaya konservasi Biaya konservasi akibat kegiatan peningkatan kapasitas asimilasi akan naik 3 kali (sebesar 3% dari penerimaan) Biaya investasi untuk menyusun program paket wisata naik 2 kali Biaya perencanaan untuk tour package adalah 2% penerimaan Biaya promosi dan pemasaran naik 3 kali (3% dari penerimaan) Biaya POMEC sebesar 10% dari pendapatan
147
Pro pengelola
Pengelolaan dengan meningkatkan daya dukung dengan menambah produk wisata, atraksi dan fasilitas penunjang. Penambahan atraksi berupa pengamatan burung (bird watching) dilakukan dengan membuat menara pengamatan sebanyak 5 buah, dengan ukuran 5 x 5 m. Atraksi lain yang dikembangkan adalah jalanjalan di jembatan papan (walking trail) menyusuri sela-sela hutan mangrove. Panjang trek 1500 m Membuat program tour package(paket wisata), sehingga waktu kunjungan lebih lama dan kegiatan wisatawan lebih intensif. Fasilitas bumi perkemahan yang dilengkapi dengan sarana prasarana serta menyediakan perlengkapan berkemah
Tidak ada tindakan peningkatan kapasitas asimilasi Disediakan tempat sampah yang cukup dengan pemisahan jenis sampah basah-kering, terurai-tidak terurai, daur ulang-tidak dapat didaur ulang.
Pro masyarakat
Pengelolaan dengan meningkatkan daya dukung dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui: Kegiatan interpretasi alam terhadap mangrove dan satwa yang berasosiasi, terutama burung. Interpretasi dilakukan oleh masyarakat yang sudah diberi pelatihan khusus Penambahan armada perahu dari 3 menjadi 6 perahu untuk kegiatan menyusuri pantai. Operator perahu adalah anggota masyarakat Membuat fasilitas tempat untuk bersantai dan istirahat berupa shelter, gazebo, bangku. pengembangan sirkulasi
Dilakukan program peningkatan kapasitas asimilasi, dengan membuat saluransaluran (septic tank) bagi limbah cair dan unit pengolahan limbah. Disediakan tempat sampah yang cukup dengan pemisahan jenis sampah basah-kering, terurai-tidak terurai, daur ulang-tidak dapat didaur ulang.
Biaya konservasi tidak berubah untuk pengadaan tempat sampah (sebesar 1% dari penerimaan) Biaya investasi untuk pembuatan menara pengamatan, membuat jembatan papan, paket wisata dan perlengkapan sarana prasarana bumi perkemahan berakibat pada naiknya biaya investasi sebesar 5 kali. Biaya perencanaan bird watcing, walking trail naik 2 kali (2% penerimaan) Biaya promosi dan pemasaran naik 2 kali (3% dari penerimaan) Biaya POMEC sebesar 10% dari pendapatan Biaya konservasi akibat kegiatan peningkatan kapasitas asimilasi tetap (sebesar 1% penerimaan) Biaya investasi untuk menambah armada perahu, fasilitas shelter dan perbaikan jalan naik 3 kali Biaya pengembangan SDM Biaya kemitraan dengan masyarakat sekitar (1% dari penerimaan)
148
Biaya promosi dan pemasaran naik 2 kali (3% dari penerimaan) Biaya POMEC sebesar 10% dari pendapatan
sesuai dengan jenis atraksi, dengan memperbaiki dan menambah fasilitas jalan setapak, sehingga pengunjung lebih lama tinggal di lokasi wisata
Berdasarkan keempat skenario tersebut, selanjutnya tindakan pengelolaan disimulasikan pada model pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan berbasis daya dukung fisik kawasan dan resiliensi ekologi. Keberhasilan tindakan ditunjukkan dari indikator keberhasilan yang terdiri dari jumlah wisatawan, indeks koefisien dasar bangunan, pendapatan pengelola, dan pendapatan masyarakat. Indikator daya dukung fisik kawasan, efektivitas tindakan diidentifikasi dari tahun terlampauinya daya dukung fisik kawasan, yaitu 301.125 orang pengunjung per tahun. Indeks koefisien dasar bangunan, efektivitas tindakan diidentifikasi berdasarkan tahun terlampauinya nilai 1 dari paremeter tersebut. Hal tersebut menunjukkan kapasitas maksimum parameter tersebut telah terlampaui. Semakin lambat tahun tercapainya parameter daya dukung fisik kawasan dan nilai 1 untuk indeks KDB, maka semakin efektif tindakan tersebut. Indikator jumlah wisatawan dinilai efektif jika terjadi kenaikan tingkat kunjungan wisatawan. Indikator
pendapatan
pengelola
dan
masyarakat,
efektivitas
tindakan
pengelolaan dapat diidentifikasi dari semakin besarnya pendapatan. 1. Skenario bussines as usual Skenario bussines as usual (BAU) dibangun dengan asumsi bahwa pengelolaan dilakukan sesuai dengan kondisi saat ini. Tidak ada tindakan modifikasi yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan kegiatan wisata di ekowisata hutan mangrove Blanakan. Indeks daya dukung yang ada tidak dikelola, sehingga jumlah wisatawan yang berkunjung sesuai laju pertumbuhan. Pencemaran dan limbah hasil kegiatan wisata juga tidak ditingkatkan upaya pengelolaannya. Hal ini akan mengakibatkan tingkat pencemaran yang semakin naik. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan persepsi pengunjung terhadap objek wisata menjadi tidak baik, sehingga menyebabkan penurunan tingkat kunjungan. Biaya untuk konservasi tidak dilakukan modifikasi dan peningkatan. Hal ini berimplikasi pada tidak terpeliharanya ekosistem dan dampak kegiatan wisata menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Hasil simulasi skenario BAU dapat dilihat pada Gambar 45.
149
1: Pengunjung 1: 2: 3: 4:
2: Pendapatan Pengelola
3: Pendapa… Masy arakat 4: Pengunaan Lahan
400000 1.569e+010 6
4
4 1
2
2 1: 2: 3: 4:
200000 7.845e+009
1
3
4 1: 2: 3: 4:
3
0 0 0
1 1
2
3
2003.00
4
3
2 3
2016.75
Page 6
2030.50 Y ears
2044.25 5:30
2058.00 08 Agu 2012
Gambar 45 Hasil simulasi skenario bussines as usual (BAU) sampai tahun 2058. 2. Skenario pro lingkungan Skenario pro lingkungan dibangun dengan asumsi bahwa pengelolaan lebih mementingkan aspek lingkungan dengan menjaga agar kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan tidak tercemar dan daya dukung lingkungan tetap terjaga. Tindakan pengelolaan yang dilakukan adalah menjaga agar daya dukung tidak terlampaui, dengan cara pembatasan dan pengelolaan jumlah pengunjung. Hal ini berakibat pada tingkat kunjungan yang terbatas. Diharapkan dengan pengunjung yang terbatas, limbah dan pencemaran yang dihasilkan menjadi sedikit sehingga kawasan wisata terjaga kualitas lingkungannya. Pembatasan pengunjung juga berdampak pada daya dukung lingkungan yang sulit terlampaui, sehingga akan meningkatkan kenyamanan pengunjung. Tindakan untuk peningkatan kapasitas asimilasi dilakukan secara optimal sesuai dengan jumlah pengunjung. Tindakan tersebut dilakukan dengan menambah instalasi pengolahan limbah (berupa kolam aerasi) menjadi 2 kali lipat. Hal ini akan berakibat pada bahan pencemar yang masuk ke badan perairan menurun konsentrasinya.
Tindakan lain yang diambil adalah
menyediakan tempat sampah, sesuai dengan kegiatan dan tempat-tempat konsentrasi pengunjung. Konsekuensi dari tindakan skenario pro lingkungan adalah kenaikan biaya konservasi, investasi, perencanaan, promosi dan POMEC. Hal ini berimplikasi pada kualitas lingkungan hutan mangrove yang tetap terjaga dalam waktu yang lama. Kualitas lingkungan yang baik akan menyebabkan pengelolaan ekowisata
150
mempunyai jangka waktu yang panjang. Selain itu, kualitas lingkungan yang baik akan menghemat pengeluaran untuk biaya-biaya rehabilitasi lingkungan. Hasil simulasi skenario pro lingkungan dapat dilihat pada Gambar 46. 1: Pengunjung 1: 2: 3: 4:
2: Pengunaan Lahan
3: Pendapatan Pengelola
300000 5 1.569e+010
4: Pendapa… Masy arakat 1 2
3
1: 2: 3: 4:
150000 3 7.845e+009
1
1: 2: 3: 4:
3
4
0 0 0
2
1 1
2
3
Page 7
4
3 4
4
2003
2
2017
2031 Y ears
2044 8:39
2058 08 Agu 2012
Gambar 46 Hasil simulasi skenario pro lingkungan sampai tahun 2058.
3. Skenario pro pengelola Skenario ini dibangun dengan tujuan untuk lebih meningkatkan keuntungan ekonomi, berupa pendapatan pengelola. Tindakan yang diambil adalah merekayasa agar daya dukung dapat ditingkatkan, sehingga kawasan wisata bisa menampung lebih banyak wisatawan. Peningkatan daya dukung dilakukan dengan menambah produk wisata, atraksi dan fasilitas penunjang, sehingga distribusi pengunjung lebih merata. Penambahan atraksi berupa pengamatan burung (bird watching) dilakukan dengan membuat menara pengamatan sebanyak 5 buah. Atraksi lain yang dikembangkan adalah jalan-jalan di jalan papan menyusuri sela-sela hutan mangrove. Untuk meningkatkan pendapatan, maka dibuat program tour package (paket wisata), sehingga waktu kunjungan lebih lama dan kegiatan wisatawan lebih intensif. Fasilitas bumi perkemahan yang dilengkapi dengan sarana prasarana serta menyediakan perlengkapan berkemah Diharapkan dengan semakin banyak atraksi wisata di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan akan memperpanjang waktu kunjungan, sehingga menambah pengeluaran pengunjung selama di lokasi wisata.
151
Pada skenario pro pengelola tidak dilakukan peningkatan kapasitas asimilasi. Jadi unit mengolahan limbah hanya menggunakan fasilitas yang sudah tersedia. Konsekuensi dari tindakan skenario pro lingkungan adalah kenaikan biaya konservasi, investasi, perencanaan, promosi dan POMEC. Hasil simulasi skenario pro pengelola dapat dilihat pada Gambar 47. 1: Pengunjung 1: 2: 3: 4:
3: Pendapa… Masy arakat 4: Pendapatan Pengelola
2: Pengunaan Lahan
400000 3 1.569e+010
2 2
1 4
1 4
4
1: 2: 3: 4:
200000 2 7.845e+009
2 1 1: 2: 3: 4:
3
0 0 0
3
3 1
2
3
4
2003.00 Page 1
2016.75
2030.50 Y ears
2044.25 13:03
2058.00 29 Jul 2012
Gambar 47 Hasil simulasi skenario pro pengelola sampai tahun 2058. 4. Skenario pro masyarakat Pada skenario pro masyarakat dilakukan tindakan kegiatan interpretasi alam terhadap mangrove dan satwa yang berasosiasi, terutama burung. Interpretasi dilakukan oleh masyarakat yang sudah diberi pelatihan khusus. Penambahan armada perahu dari 3 menjadi 6 perahu untuk kegiatan menyusuri pantai dengan operator perahu adalah anggota masyarakat. Tindakan lain yang dilakukan adalah membuat fasilitas tempat untuk bersantai dan istirahat berupa shelter, gazebo, bangku. Untuk membuat pengunjung lebih lama tinggal di lokasi maka dilakukan pengembangan sirkulasi sesuai dengan jenis atraksi, dengan memperbaiki dan menambah fasilitas jalan setapak. Diharapkan dengan tindakan tersebut di atas akan memperpanjang waktu kunjungan, sehingga menambah pengeluaran pengunjung selama di lokasi wisata. Hal ini berimplikasi pada kenaikan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan wisata, seperti penyewa perahu, penjual di warung makan, suvenir, dan pemandu. Tindakan lain yang bisa dilakukan adalah diversifikasi produk suvenir,
152
meningkatkan
kemampuan
SDM
pemandu,
sehingga
wisatawan
akan
memanfaatkan amenitas tersebut dan menambah pendapatan masyarakat. Tindakan peningkatan kapasitas asimilasi dilakukan program peningkatan kapasitas asimilasi, dengan menambah instalasi pengolahan limbah Hal ini dilakukan untuk menjaga kebersihan kawasan, sehingga pengunjung merasa puas dan ingin melakukan kunjungan kembali. Konsekuensi dari tindakan skenario pro lingkungan adalah kenaikan biaya konservasi, investasi, kemitraan dengan masyarakat sekitar, perencanaan, promosi dan POMEC.
Hasil simulasi skenario pro masyarakat dapat dilihat pada Gambar 48. 1: Pengunjung 1: 2: 3: 4:
3: Pendapa… Masy arakat 4: Pendapatan Pengelola
2: Pengunaan Lahan
400000 3 1.569e+010 1
2
2
4
1 4 1: 2: 3: 4:
200000 2 7.845e+009 4
1: 2: 3: 4:
1
0 0 0
1
2
2003.00
3
2
3
3
3
4 2016.75
Page 1
2030.50 Y ears
2044.25 13:06
2058.00 29 Jul 2012
Gambar 48 Hasil simulasi skenario pro masyarakat sampai tahun 2058. Perbandingan antara skenario Hasil simulasi dari empat skenario merupakan bahan pertimbangan bagi pengelola untuk menentukan strategi pengelolaan yang paling ideal bagi ekowisata hutan mangrove Blanakan. Skenario pengelolaan menunjukkan bahwa berdasarkan kenaikan jumlah pengunjung dibandingkan daya dukung fisik kawasan, indeks KDB, pendapatan pengelola dan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 41 berikut ini.
153
Tabel 41 Perbandingan target skenario pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan Indikator keberhasilan Skenario Daya dukung Indeks Koefisien Pendapatan Pendapatan terlampaui Dasar Bangunan Pengelola Masyarakat BAU 2036 2031 12.794.333.577 2.333.474.488 Pro lingkungan Tidak terlampaui 2041 11.242.918.252 2.054.037.002 Pro pengelola 2026 2022 13.546.328.709 2.482.961.542 Pro masyarakat 2031 2025 13.275.328.406 2.425.350.354 Dari tabel di atas diketahu bahwa, pada skenario pro lingkungan jumlah pengunjung tidak akan melampaui daya dukung fisik kawasan sampai akhir simulasi pada tahun 2058, sedangkan pada skenario pro pengelola mempunyai tingkat keberlanjutan yang paling rendah, daya dukung akan terlampaui pada tahun 2026. Indikator indeks KDB menunjukkan skenario pro lingkungan mempunyai tingkat keberlanjutan paling tinggi, yaitu akan terlampaui pada tahun 2041, sedangkan skenario pro masyarakat mempunyai tingkat keberlanjutan yang rendah dengan dilampauinya indeks KDB pada tahun 2025. Pendapatan pengelola paling besar diperoleh pada skenario pro pengelola pada tahun 2027 sebesar Rp. 13.546.328.709, sedangkan pendapatan masyarakat paling besar juga diperoleh pada skenario pro pengelola sebesar Rp. 2.482.961.542 pada tahun 2027. Perbandingan antar skenario jumlah pengunjung dalam melampaui daya dukung fisik kawasan dapat dilihat pada Gambar berikut ini.
Gambar 49 Perbandingan jumlah pengunjung antar skenario dalam melampaui daya dukung fisik kawasan.
154
5.6.4. Pengelolaan Ekowisata Hutan Mangrove Blanakan Pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan akan mewujudkan tiga tujuan pengelolaan ekowisata berkelanjutan sesuai pendapat Wight (1993), yaitu tujuan
ekologi/konservasi,
tujuan
ekonomi,
dan
tujuan
sosial.
Tujuan
ekologi/lingkungan diwujudkan melalui upaya menekan laju pencemaran perairan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan akibat aktivitas pengunjung yang didasarkan pada daya dukung lingkungan. Tujuan ekonomi diwujudkan melalui usaha ekonomi di bidang ekowisata yang memberikan pendapatan bagi pengelola,
masyarakat
dan
pemungutan
retribusi
yang
menghasilkan
penerimaan bagi pemerintah. Hasil penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari kegiatan ekowisata sesuai Pasal 8 Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 1997 pada prinsipnya dapat digunakan kembali untuk membiayai kegiatan konservasi. Sedangkan tujuan sosial diusahakan melalui upaya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam ekowisata, serta adanya interaksi positif antara pengunjung dengan masyarakat. Berdasarkan hasil kajian dengan model dinamis, maka dijabarkan arahan strategi
pengelolaan
yang
dapat
dilakukan
pengelola
sebagai
konsep
pengelolaan berkelanjutan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Arahan pengelolaan tersebut adalah: 1. Pengembangan Produk Wisata dan Fasilitas Penunjang Berdasarkan potensi dan kendala pengembangan ekowisata hutan mangrove Blanakan, maka dikembangkan produk wisata dengan memanfaatkan potensi sumberdaya wisata berbasiskan alam, budaya, dan buatan untuk penciptaan suatu atraksi dan daya tarik wisata. Hal tersebut dapat memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk memperoleh pengalaman dan kepuasan dalam menikmati, menyaksikan dan melakukan kegiatan wisata secara langsung. Garis besar tujuan strategi ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata, meningkatkan jumlah kunjungan wisata, memberikan pengalaman tersendiri bagi pengunjung, serta memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat setempat. Produk wisata suatu daerah tujuan wisata terdiri dari daya tarik wisata (atraksi), fasilitas penunjang wisata (amenitas) dan aksesibilitas. Daya tarik wisata yang selama ini menjadi produk unggulan ekowisata hutan mangrove
155
Blanakan adalah keindahan vegetasi mangrove, penangkaran buaya dan berperahu. Berdasarkan karakteristik kondisi lingkungan hutan mangrove Blanakan masih banyak potensi daya tarik wisata yang dapat dikembangkan, baik yang bersifat rekreatif maupun wisata minat khusus. Untuk daya tarik yang bersifat rekreatif potensi yang dapat dikembangkan, antara lain pengamatan burung (bird watching), berjalan di jembatan papan (walking trail) menyusuri mangrove, dan berkemah. Potensi untuk pengembangan produk wisata tersebut sangat memungkinkan karena sudah ada inisiasinya. Kegiatan pengamatan burung (bird watching) dilakukan pengunjung atau para hobiis. Pengamatan burung membutuhkan perlengkapan utama adalah teropong. Pengunjung juga bisa melakukan pemotretan dengan objek burung (fotografi). Pengamatan burung dapat dilakukan di dua tempat (sarana), yaitu di menara pengamatan dan di area jembatan papan di antara vegetasi mangrove. Menara pengamatan berukuran 5 x 5 m dengan ketinggian 5 m, dengan kapasitas 15-20 orang. Di lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan seyogyanya dibangun 5 buah menara pengamatan, sehingga untuk kegiatan ini dapat dilakukan oleh 75-100 orang sekaligus. Penentuan jumlah menara ini berdasarkan pada jumlah habitat burung yang ada di kawasan hutan mangrove Blanakan, dengan perhitungan jarak pandang yang baik paling jauh adalah 100 meter. Burung yang bisa diamati dari menara adalah burung-burung yang berada di puncak kanopi mangrove. Pengamatan burung juga bisa dilakukan di jembatan papan yang berada di antara vegetasi mangrove. Pengamatan di area ini menggunakan papan pengintip yang dipasang di stopan area (shelter). Pengamatan dari lokasi ini adalah untuk burung-burung yang mencari makan di perairan mangrove dan yang berada di akar mangrove. Kegiatan jalan-jalan (treking) dilakukan di sepanjang jalan papan (walking trail) yang panjangnya diperkirakan 1.500 meter dan dapat mengakomodasi sekitar 150 orang sekaligus. Objek yang dapat disaksikan ketika jalan-jalan adalah vegetasi mangrove dan satwa yang berasosiasi dengan mangrove. Papan jalan ini dilengkapi dengan area istirahat (shelter) yang dapat digunakan jika pengunjung merasa lelah. Program berkemah juga bisa dikembangkan di lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan. Dengan areal bumi perkemahan seluas 1,5 hektar, bumi perkemahan ini mampu menampung 174 orang setiap harinya. Hal yang perlu diperhatikan adalah melengkapi sarana prasarana untuk menunjang kegiatan
156
berkemah ini, seperti penyewaan tenda, peralatan memasak, warung yang menyediakan makanan kecil, obat-obatan, MCK yang cukup dan dekat dengan lokasi perkemahan. Program berkemah dirancang dan ditawarkan untuk pecinta alam, pelajar, mahasiswa yang menyukai tantangan dan berjiwa petualang. Program lain yang bisa dikembangkan adalah program tour package. Program ini dilakukan
dengan menyusun paket wisata dengan lokasi hutan
mangrove Blanakan. Paket wisata berupa mangrove replanting (penanaman mangrove), menonton atraksi buaya di tribun penangkaran buaya, pengolahan dan pemanfaatan kulit buaya, jalan-jalan di antara vegetasi mangrove, berperahu menyusuri pantai dan diakhiri berkemah dengan acara api unggun dan bakar jagung. Untuk paket ini disediakan akomodasi makan 3 kali dan snack 2 kali serta peralatan untuk penanaman mangrove dan berkemah. Paket wisata ini ditawarkan dengan harga Rp. 400.000,- per pax dengan peserta minimal 20 orang. Program paket wisata ini akan diberi nama Mangrove Ecotour. Program ini bisa ditawarkan untuk instansi, sekolahan dan berbagai kelompok sosial lainnya. Untuk lebih mengenalkan produk ini diperlukan promosi yang bisa dilakukan melalui publikasi dalam bentuk penerbitan media cetak (seperti kalender, poster, brosur, booklet), media elektronilk (website, pemutaran film), dan penyelenggaraan pameran wisata. Untuk menunjang berbagai pengembangan atraksi di atas, maka diperlukan pembuatan berbagai fasilitas penunjang. Fasilitas penunjang yang perlu dibuat
dan dikembangkan antara lain menara pengamatan, jembatan
papan sebagai sarana walking trail. Pembuatan tempat pengintaian burung dan satwa, membuat shelter, merenovasi tempat penangkaran dan tribun atraksi buaya, memperbaiki dermaga, melengkapi sarana prasarana bumi perkemahan. Dari hasil survei persepsi dan harapan pengunjung menunjukkan fasilitas penunjang perlu ada perbaikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pengembangan fasilitas penunjang wisata tentunya perlu disesuaikan dengan pengembangan atraksi atau daya tarik wisata. Pola distribusi dari fasilitas dan kapasitas menjadi faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan amenitas. 2. Pengelolaan Pengunjung Beberapa faktor yang menyebabkan perlu dilakukannya pengelolaan ini adalah keterbatasan kapasitas daya dukung dan menghindari dampak negatif berupa pencemaran. Pengelolaan pengunjung dapat dilakukan dengan mengatur
157
kegiatan pengunjung di dalam kawasan, mengontrol jumlah pengunjung serta memberikan pelayanan informasi dan interpretasi bagi pengunjung. Strategi pengelolaan pengunjung dapat dilakukan dengan menghindari penumpukan pengunjung pada waktu tertentu, misalnya pada hari libur, atau penumpukan pada area tertentu. Pengelolaan pengunjung bisa dilakukan dengan membuat paket wisata (tour package). Dengan paket wisata maka kegiatan pengunjung di lokasi wisata bisa terprogram dengan baik. Aktivitas dan alokasi waktu yang terencana akan membuat kunjungan wisatawan menjadi efektif. Distribusi dan rotasi aktivitas dalam paket wisata bisa dikelola, misalnya pada grup paket wisata setelah melakukan kegiatan menonton atraksi buaya kemudian berpindah ke kegiatan penanaman mangrove, maka tribun untuk menonton atraksi buaya bisa diisi oleh grup paket wisata berikutnya. Program paket wisata disamping dapat dimanfaatkan untuk mengelola pengunjung, juga bisa meningkatkan pendapatan pengelola secara signifikan. Hal ini terjadi karena pengelola tidak hanya mendapatkan pendapatan dari tiket masuk saja, tetapi biaya yang dibayar pengunjung adalah untuk seluruh aktivitas yang ditawarkan dalam paket wisata. Jika destinasi wisata semakin menarik bagi pengunjung dan daya dukungnya terbatas, maka pengelolaan pengunjung bisa dilakukan dengan sistem antrian. Jadi pengunjung harus menunggu waktu yang tepat untuk bisa masuk ke lokasi wisata. Metode seperti ini sudah diterapkan bagi wisatawan yang ingin mendaki pegunungan Himalaya di India. Wisatawan yang ingin mendaki bisa menunggu waktu berbulan-bulan untuk mendapatkan ijin melakukan pendakian. Pengelolaan bisa dilakukan dengan menambah spot wisata. Pengelolaan pengunjung juga bisa dilakukan dengan membuat sirkulasi pengunjungan berdasarkan ukuran kelompok dan ruang yang tersedia. Pihak pengelola bisa membentuk grup-grup pengunjung. Hal yang perlu diperhatikan adalah koridor dan jalur sirkulasi yang menghubungkan antar spot-spot wisata di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Untuk itu perlu dibangun jalan setapak yang menghubungkan antara atraksi wisata satu dengan yang lainnya. Agar pengunjung lebih terdistribusi dan membuat waktu kunjungan lebih lama, maka penambahan atraksi wisata dapat digunakan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Adanya shelter, gazebo, dan bangku untuk
158
beristirahat juga menambah kenyamanan pengunjung, sehingga mereka tidak ingin segera meninggalkan objek wisata. 3. Pengelolaan Pencemaran dan Peningkatan Kapasitas Asimilasi Upaya pengelolaan limbah pencemaran dan sampah merupakan hal yang perlu dilaksanakan untuk memberikan kesan yang bersih terhadap kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan. Di samping itu pengelolaan limbah dan peningkatan kapasitas asimilasi dapat menurunkan konsentrasi limbah yang masuk ke lingkungan perairan ekosistem mangrove Blanakan. Hal ini tentu saja akan membuat resiliensi perairan pada kondisi yang baik, sehingga mampu menetralisir gangguan/usikan yang ada. Salah satu dampak negatif dari kegiatan wisata adalah pencemaran lingkungan. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan memberikan penyuluhan kepada pengunjung tentang dampak pencemaran terhadap area wisata dan lingkungan. Peningkatan tingkat kesadaran terhadap pengunjung tidak hanya himbauan yang berupa poster dan papan informasi, akan tetapi berupa peraturan atau tata tertib wisata yang diberlakukan secara tegas. Solusi yang lain adalah pembuatan instalasi pengolahan limbah. Limbah dari warung makan tidak langsung dibuang ke sungai, tetapi melalui sistem pengolahan limbah, sehingga akan berkurang konsentrasinya saat dibuang ke sungai. Air limbah dapat ditanggulangi jika terjadi pengalokasian pada tempattempat tertentu. Penanggulangan limbah domestik dari kegiatan rumah makan dan toilet (unit pengolahan limbah dan septic tank) dalam kawasan wisata dibuat pada jarak tertentu agar tidak mencemari lingkungan sekitarnya. Unit pengolahan limbah dan septic tank yang dibangun dibuat berjenjang/bertingkat sehingga tidak menimbulkan pencampuran materi/kotorannya. Toilet umum yang ada di kawasan wisata harus dalam kondisi baik, sehingga tidak ada kebocoran pada bagian septic tanknya. Penanggulangan sampah dilakukan dengan menyediakan tempat sampah di berbagai titik di lokasi ekowisata hutan mangrove Blanaka. Lokasi tempat sampah menyebar, sesuai dengan penyebaran aktivitas dan fasilitas wisata. Penambahan fasilitas tempat sampah dan distribusi yang baik bisa dilakukan untuk mengurangi dampak dari pencemaran. Tempat sampah yang disediakan untuk setiap titik dikelompokkan menjadi sampah basah-kering, sampah
159
degradable (dapat/mudah terurai)-non degradable (sulit terurai) dan sampah daur ulang-tidak dapat didaur ulang. Untuk kawasan-kawasan tertentu, misalnya di menara pengamatan burung, di jembatan papan, shelter (stopan area) pengunjung
dilarang membawa makanan dan minuman apapun untuk
menghindari sampah dalam kawasan tersebut. Sampah yang dihasilkan wisatawan dalam kurun waktu tertentu, akan dikumpulkan dan dibawa oleh pengelola ke tempat pembuangan akhir (TPA) untuk dapat didaur ulang menurut kelas sampah. Penanganan sampah yang tidak dapat didaur ulang dimusnahkan dengan dibakar. Di samping itu dengan adanya pembatasan pengunjung berdasarkan penentuan daya dukung diharapkan akan meminimalisasi jumlah limbah yang masuk ke lingkungan. Tingkat kunjungan yang tinggi tentu akan menghasilkan limbah yang banyak. Hal yang perlu dilakukan juga adalah adanya proses edukasi/pendidikan kepada para pengunjung agar lebih memperhatikan masalah lingkungan. Kapasitas asimilasi dapat
ditingkatkan dengan mengurangi beban
pencemar yang masuk ke Sungai Blanakan. Pengurangan beban pencemaran dilakukan dengan mengolah terlebih dahulu limbah yang akan dibuang ke perairan. Pengolahan limbah domestik dilakukan untuk menyisihkan berbagai bahan polutan yang ada di dalamnya. Teknik pengolahan air limbah domestik secara umum terbagi menjadi 3 metode pengolahan, yaitu:
pengolahan secara fisika
pengolahan secara kimia
pengolahan secara biologi
Pengolahan Secara Fisika Pengolahan secara fisika dilakukan agar bahan-bahan tersuspensi berukuran besar dan yang mudah mengendap atau bahan-bahan yang terapung disisihkan terlebih dahulu. Penyaringan (filtrasi) merupakan cara yang efisien dan murah untuk menyisihkan bahan tersuspensi yang berukuran besar. Bahan tersuspensi yang mudah mengendap dapat disisihkan secara mudah dengan proses pengendapan. Parameter desain yang utama untuk proses pengendapan ini adalah kecepatan mengendap partikel di dalam bak pengendap. Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung, seperti minyak dan lemak agar tidak mengganggu proses
160
pengolahan berikutnya. Flotasi juga dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi atau pemekatan lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation). Proses filtrasi di dalam pengolahan air buangan, biasanya dilakukan untuk mendahului proses adsorbsi atau proses reverse osmosis-nya, dilakukan untuk menyisihkan partikel tersuspensi dari dalam air agar tidak mengganggu proses adsorbsi atau menyumbat membran yang dipergunakan dalam proses osmosa. Proses adsorbsi, biasanya dengan karbon aktif, dilakukan untuk menyisihkan senyawa aromatik (misalnya: fenol) dan senyawa organik terlarut lainnya. Pengolahan Secara Kimia Pengolahan
air
limbah
secara
kimia
biasanya
dilakukan
untuk
menghilangkan partikel-partikel yang tidak mudah mengendap (koloid), senyawa fosfor, dan zat organik beracun dengan membubuhkan bahan kimia tertentu yang diperlukan. Penyisihan bahan-bahan tersebut pada prinsipnya berlangsung melalui perubahan sifat bahan-bahan tersebut, yaitu dari tak dapat diendapkan menjadi mudah diendapkan (flokulasi-koagulasi), baik dengan atau tanpa reaksi oksidasi-reduksi, dan juga berlangsung sebagai hasil reaksi oksidasi. Pengolahan secara biologi Semua air buangan yang biodegradable dapat diolah secara biologi. Sebagai pengolahan sekunder, pengolahan secara biologi dipandang sebagai pengolahan yang paling murah dan efisien. Dalam beberapa dasawarsa telah berkembang berbagai metode pengolahan biologi dengan segala modifikasinya. Pengolahan limbah secara biologi yang sering dilakukan adalah dengan lumpur aktif. Dalam reaktor pertumbuhan tersuspensi, mikroorganisme tumbuh dan berkembang dalam keadaan tersuspensi. Proses lumpur aktif berlangsung dalam reaktor jenis ini. Proses dengan pengolahan lumpur aktif dapat menurunkan BOD secara signifikan. Metode lain yang bisa digunakan adalah dengan
fitoremediasi.
Metode
ini
adalah
pengolahan
limbah
dengan
menggunakan tanaman air untuk menyerap berbagai polutan dalam limbah. Tanaman yang bisa digunakan yaitu Kayambang dan Enceng gondok (Eichhornia crassipes) Cara lain untuk meningkatkan kapasitas asimilasi adalah dengan menjaga debit air tetap tinggi. Jika debit air berkurang, maka kapasitas asimilasi juga akan turun. Oleh karena itu perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat sekitar
161
agar juga tidak membuang sampah dan limbah domestik ke Sungai Blanakan. Adanya sampah yang berlebih akan mengurangi debit air sungai. Sampah juga akan berkontribusi pada penurunan kualitas air, yang berakibat pada penurunan keanekaragaman biota perairan. Hal ini akan menyebabkan daya dukung ekosistem akuatik menurun, dan bisa berdampak pada berubahnya tipe kelentingan di perairan ekowisata mangrove Blanakan.
4. Pelibatan Masyarakat Dalam Kegiatan Pengelolaan Kawasan Wisata Pengelolaan kegiatan pariwisata memerlukan kondisi lingkungan yang baik. Sedangkan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan akan menjadi lebih efektif bila memperoleh dukungan dari masyarakat setempat. Sebagai timbal baliknya, masyarakat setempat akan memperoleh manfaat berupa peningkatan kesejahteraan hidup yang merupakan salah satu tujuan utama ekowisata. Pada kawasan wisata terlihat sudah terjalin hubungan yang baik dan harmonis antara pihak pengelola kawasan dengan masyarakat setempat, hal tersebut nampak dengan jumlah pegawai yang berasal dari daerah sekitar kawasan hutan mangrove Blanakan. Masyarakat sekitar juga banyak yang berpartisipasi dan mencari penghasilan dari keberadaan ekowisata ini. Mereka memperoleh manfaat ekonomi dari menyediakan sewa perahu, menjadi tukang ojek, menjadi penjual di rumah makan dan toko suvenir, menjadi juru parkir dan petugas keamanan. Dalam penyelenggaraan upacara adat (Nadran, Sisingaan) peran aktif masyarakat sangat terlihat. Mereka menjadi aktor utama dalam kegiatan tersebut. Dalam rangka mengarahkan peran serta masyarakat diperlukan suatu kerjasama,
pembinaan
dan
pemahaman
agar
pesan
konservasi
dan
pengembangan pariwisata dapat terakomodir. Pembinaan masyarakat diarahkan pada penciptaan peran serta aktif masyarakat sekitar untuk menunjang kegiatan wisata alam, menciptakan rasa ikut memiliki serta meningkatkan kegiatan ekonomi yang berujung pada peningkatan pendapatan masyarakat. Untuk menunjang pencapaian tersebut, maka perlu dilakukan programprogram pemberdayaan masyarakat melalui:
162
a. Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat di sekitar kawasan dan para pedagang kios warung makandan suvenir, dengan tujuan agar produk yang mereka jual berkembang dan mempunyai nilai tambah, sehingga penghasilan yang diperoleh meningkat, b. Pembinaan dan pengembangan kerajinan masyarakat sekitar, dengan membangkitkan usaha kerajinan masyarakat yang potensial, seperti kerajinan dari cangkang-cangkang hewan laut untuk dibuat kap lampu, asbak, hiasan dinding, dan lain-lain. Pengelola akan memberi tempat berupa kios, agar masyarakat bisa menjual produknya. c. Pelatihan kepada sebagian masyarakat untuk menjadi interpreter, yang bertugas memandu wisatawan agar lebih memahami fungsi dan manfaat keberadaan ekosistem mangrove di kawasan wisata. d. Upaya pemberdayaan akan senantiasa dilakukan secara berkelanjutan dengan menyelenggarakan pelatihan keterampilan yang memadai untuk masyarakat setempat agar masyarakat dapat mengembangkan usahanya secara profesional dan mengarahkan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat di antara anggota masyarakat.
163
6. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan Dari hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Atraksi unggulan ekowisata hutan mangrove Blanakan antara lain keindahan dan keunikan vegetasi mangrove, berbagai jenis fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, kegiatan penduduk setempat yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya mangrove, penangkaran buaya, upacara adat dan kesenian daerah (upacara pesta laut/Nadran, Sisingaan), kegiatan berperahu menyusuri pesisir, kegiatan berkemah, memancing, dan taman bermain anak. 2. Tingkat gangguan ekologi akibat kegiatan wisata di hutan mangrove Blanakan adalah adanya pencemaran perairan yang disebabkan buangan limbah domestik wisatawan (rumah makan dan toilet). Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman Shannon Wiener pada biota akuatik yang rentan terhadap pencemaran, terutama plankton dan makrobenthos mempunyai kisaran 1 sampai 3. Hal ini menunjukkan bahwa perairan kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan tergolong tercemar ringan. Sementara itu, daya lenting perairan di kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan termasuk dalam tipe resilien, sehingga ekosistem mampu pulih pada keadaan semula setelah terkena gangguan. Dengan tipe daya lenting resilien ekosistem mangrove Blanakan mampu bertahan terhadap gangguan dari luar ekosistemnya, dengan syarat daya dukung lingkungannya tidak terlampaui. 3. Daya dukung efektif fisik kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan sebesar 825 orang per hari. Sedangkan daya dukung ekologi untuk kegiatan piknik sebesar 530 orang per ha, berperahu 106 orang per ha dan berkemah 174 orang per ha. Dengan tingkat kunjungan rata-rata per hari 57 orang menunjukkan bahwa daya dukung di kawasan wisata tersebut belum terlampaui. 4. Berdasarkan hasil identifikasi isu pengembangan model, ada empat isu potensi permasalahan pokok, yaitu adanya potensi dampak terhadap fungsi konservasi
hutan
mangrove
Blanakan
berupa
pencemaran;
adanya
pengelolaan belum optimal, sehingga tingkat pelayanan jasa wisata rendah; kemampuan
sumberdaya
manusia
pengelola
belum
memadai;
dan
164
manajemen pemasaran belum optimal. Model yang dikembangkan bertujuan untuk melihat peningkatan pendapatan (manfaat ekonomi) dan jumlah pengunjung dengan memperhatikan kualitas lingkungan (daya dukung) serta efisiensi penggunaan lahan. Adapun tindakan pengelolaan yang dilakukan pada model pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah pengelolaan daya dukung lingkungan, peningkatan kapasitas asimilasi, dan konsekuensi biaya-biaya yang timbul akibat tindakan pengelolaan. Indikator keberhasilan pengelolaan adalah jumlah pengunjung, indeks koefisien dasar bangunan, pendapatan pengelola dan masyarakat. Berdasarkan tindakan pengelolaan tersebut dikembangkan 4 skenario, yaitu bussines as usual (BAU), pro lingkungan, pro pengelola, dan pro masyarakat. Hasil simulasi model selama 50 tahun menunjukkan bahwa merupakan
pengelolaan
yang
paling
ideal
skenario pro lingkungan karena
indikator
ekologi
menunjukkan tingkat keberlanjutan yang ditandai dengan tidak terlampauinya daya dukung fisik kawasan sampai akhir simulasi pada tahun 2058. Kondisi ini berdampak pada jangka waktu pengelolaan kawasan wisata lebih lama dibandingkan dengan skenario lain. Hal yang lebih penting adalah dengan kualitas lingkungan yang baik, maka biaya-biaya yang timbul akibat kerusakan lingkungan bisa ditekan. 5. Strategi pengelolaan berkelanjutan ekowisata hutan mangrove Blanakan dilakukan dengan pengembangan produk wisata dan fasilitas penunjang, pengelolaan
pengunjung,
pengelolaan
pencemaran
dan
peningkatan
kapasitas asimilasi serta pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan wisata.
6.2. Saran
1. Model yang telah dibangun perlu dikaji dan diaplikasikan dan dikaji melalui suatu percontohan pengelolaan ekowisata mangrove berbasis daya dukung. 2. Perlu dikaji lebih lanjut tentang daya dukung ekonomi, psikologis, dan sosial. 3. Untuk pengembangan ekowisata hutan mangrove Blanakan perlu dilakukan diversifikasi atraksi wisata, sehingga wisatawan menjadi lebih lama tinggal di lokasi. Hal ini akan meningkatkan daya dukung kawasan wisata dan juga meningkatkan pendapatan pengelola serta masyarakat.
165
DAFTAR PUSTAKA Abdullah S. 2006. Estimasi Daya Tampung Beban Pencemar Organik di Daerah Aliran Sungai Pelus Banyumas Jawa Tengah. [tesis] Sekolah Pascasarjana. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Adhikerana AS. 1999. Ekowisata di Indonesia, antara angan-angan dan kenyataan. Bahan Seminar Pengembangan Industri Pariwisata di Indonesia. Bandung: Sekolah Tinggi Pariwisata. Aizpuru M, Blasco F and Carayon JL. 2001. World Mangrove Resources. GLOMIS Electronic Journal. Vol. 1 No. 2. ITTO/ISME Project PD 14/97 Rev.1 (F) - Phase I. Anonim 1997. Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: Dephut. Anonim 2004. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Subang No. 2 Tahun 2004, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Subang Arrow
K. 1995. Economic Growth, Carrying Capacity, and the Enviroment. Science. Vol 268: 520-521
Asmustawa 2007. Evaluasi Pengelolaan Kualitas Air Bersih Di KabupatenBungo. Program Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bahar A dan Tambaru R. 2010. Analisis Kesesuaian Daya Dukung Kawasan Wisata Bahari di Kabupaten Polewali Mandar. FIKP. Universitas Hasanudin. Barrow CJ. 2006. Environmental Management for Sustainable Development. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Batra A. 1998. Himalayan Ecotourism in Shimla. Environment and Tourism: 613 Bengen DG. 2002. Karakteristik, Permasalahan, dan Pengelolaan Ekosistem dan Sumberdaya Pesisir Terpadu. Program Pascasarjana (S3). PKSPLInstitut Pertanian Bogor. Berkes F. 2007. Understanding Uncertainty and Reducing Vulnerability: Lessons from Resilience Thinking. Nat. Hazards. Springer Science. 41:283-295. [BPS] 2009. Subang Dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Subang. Brand FS and Jax K. 2007. Focusing The Meanings of Resilience: Resilience as A Descriptive Concept and A Boundary Object. Ecology and Society 12 (1):23 Brandon K. 1996. Ecotourism and Conservation: A Review of kye Issues. Environmental Department Papers No. 033. Biodiversity Series.pp. 1415.
166
Brown K, Hameed RKTH and Bateman I. 1997. Environmental Carrying Capacity and Tourism Development International Maldives and Nepal. Journal Environmental Conservation 24 (4) pp. 316-324 Butler RW. 1980. The Concept of A Tourism. A New Prespective. Prentice Hall International Ltd. Hemel Hempstead. Cater E and Lowman G. 1994. Ecotourism: A Sustainable Option. Chichester, UK: John Wiley & Sons Chapra SC and Reckhow KH. 1983. Engenering approach for Lake Management. Boston-London: Butterworth Publisher. Christensen V and Pauly D. 1998. Changes in Models Of Aquatic Ecosystems Appraoching Carrying Capacity. Ecological Application. 8(1):5104-5109 Cifuentes MA. 1992. Determination Carrying Capacity of Tourism in Protected Area. CTIE Papers. Turrialbu, Costa Rica. pp 1-19. Clivaz C, Y Hausser and Michelet J. 2004. Tourism Monitoring System Based On The Concept of Carrying Capacity: The Case of The Regional Natural Park Pfyn-Finges (Switzerland). Working Paper of The Finish Forest Research Institute 2.pp. 231-235. Cole DN. 2003. Carrying Capacity and Visitor Management: Fact, Value and The Role of Science. Aldo Leopold Wilderness Research Institute, Missoula. http://www.Leopold.wilderness..net/research/docs/GWS_03_cole.doc. (19 April 2011) Cox GW. 2002. General Ecology Laboratory Manual. 8th ed. New York: The McGraw-Hill Companies. 312 CSC
2010 Ecological Characterization of Otter IslandPublication,CSCNOAA,http://www.csc.noaa.gov/otter/html/project/ec.htm.
A
Digital
Damanik J dan Weber HF. 2006. Perencanaan Ekowisata Dari Aplikasi ke Teori. Pusat Studi Pariwisata UGM. Yogyakarta: Penerbit Andi. Darsiharjo 2004. Model Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan di Daerah Hulu Sungai. Studi Kasus Daerah Hulu Sungai Cikapundung Bandung Utara. [disertasi]. Sekolah pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Departemen Kehutanan 1990. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta: Dephut. Departemen Kehutanan 1999. Undang-undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta: Dephut. Departemen Kehutanan 2006. Kemungkinan Meningkatkan Ekowisata. Download Www.Dephut.Go.Id Departemen Kehutanan 2007. Kawasan Konservasi Indonesia. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Jakarta: Dephut.
167
Departemen Kehutanan 2007. Peraturan pemerintah Republik Indonesia No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta: Dephut Departemen Kehutanan 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Jakarta: Dephut Departemen Kehutanan 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.22/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Kegiatan Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Wisata Alam pada Hutan Lindung. Jakarta: Dephut. DepartemenKehutanan 1996. Keputusan Menteri Kehutanan No 446/kptsII/1996 Tentang Tata Cara Permohonan Ijin Pengusahaan Hutan Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. Jakarta: Dephut. Dirawan GD. 2006. Strategi Pengembangan Ekowisata Pada Suaka Margwasatwa (Studi Kasus: Suaka Margasatwa Mampie Lampoko). [disertasi] Program Studi PSL (tidak dipublikasikan). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Dobsan M dan Frid C. 1998. Ecology of Aquatic System. Longman. Harlow. Douglass WR. 1975. Forest Recreations, 2nd Ed. New York: WW Norton and Co. pp: 1-58 Drum A dan Moore 2005. An Introduction to Ecotourism Planning. Volume 1 2nd London: School of Enviroment Sciences, University of Greenwich. Effendi H. 2007. Telaah Kualitas Air. Jurnal Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Eriyatno 1999. IlmuSistem, Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. Bogor: IPB Press. Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Fandeli C. 2001. Pengertian dan Kerangka Dasar Pariwisata dalam Fandeli, C. (editor). Dasar-dasar Manajemen Kepariwisataan Alam. Editor Liberty, Yogyakarta. [FAO] 1994. Mangrove Forest Management Guidelines. Rome: FAO Forestry Paper. Fennell DA. 1999. Ecotourism An Introduction. Routlegde London. Field C. 1996. Restoration of Mangrove Ecosystems. Okinawa: International Tropical Timber Organization and International Society for Mangrove Ecosystems. Fiksel J. 2006. Sustainability and Resilience: Toward A Systems Approach. Sustainability: Science, Practice, and Policy. Vol. 2. Folke C. 2003. Freshwater for Resilience: A Shift in Thinking. The Royal Society.
168
Ford A. 1999. Modelling The Environment: An Introduction to System Dinamics Models of Environmental System. California: Island Press. Garsetiasih R dan Pratiwi 2003. Dampak Pengunjung Terhadap Sifat Fisik Tanah di Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan 639: 33-43. Gossling S, Hansson CB, Horstmeier O, and Saggel S. 2002. Ecological Footprint Analysis as A Tool to Assess Tourism Sustainability, Ecological Economics (43), Elsevier, www.elsevier.com/locate/ecolecon. pp:199211 Gunawan MP. 2003. Kebijakan Pemerintah Tentang Interpretasi Wisata Alam dan Ekowisata. Dalam: Pengembangan Wisata Alam dan Ekowisata. Prosiding; Studio Rekreasi Alam Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB Gunderson LH and Pritchard L. 2002. Resilience and The Behaviour of Large Scale Ecosystems. SCOPE Vol. 60. Washington DC: Island Press. Gunderson LH. 2000. Resilience in Theory and Practice. Annual Review of Ecology and Systematics 31, 425-439. Gunn CA. 1994. Tourism Planning, Basics, Concepts, Cases. Third edition. Taylor and Franchis Publisher. Hadinoto K. 1996. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata. Jakarta: UI Press. pp. 1-5, 9. Hardjomidjojo H. 2007. Sistem Dinamik: Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: SEAMEO-BIOTROP. Hayati R. 2010. Model Ambang Batas Fisik Dalam Perencanaan Kapasitas Area Wisata Berwawasan Konservasi di Kompleks Candi Gedong Songo Kabupaten Semarang. Jurnal Geografi. Semarang: FIS Universitas Negeri Semarang. Holling CS. 1996. Resilience and Stability of Ecological Systems. Annual Review of Ecology and Systematics. 4050, 1-23 Holling CS. 2001. Understanding The Complexity of Economic, Ecological, and Social Systems. Ecosystems 4, 390-405 Hutagalung 1997. Metode Analisis Air. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Irawanto 2006. Keanekaragaman Fauna Pada Habitat Hutan Mangrove. www.geocities.com/irwantoshut Jensen R and Padilla JE. 1999. Preservation or Conversion? Valuation and Evaluation of A Mangrove Forestin The Philippines, Environmental and Resource Economics. 14. pp. 297-331. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
169
Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2009. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Lingkungan Hidup 2003. Kep.Men. LH No.110 Tahun 2003: Tentang Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban Pencemaran Air pada sumber air. Jakarta Khair U. 2006. Kapasitas Daya Dukung Fisik Kawasan Ekowisata di Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit Kab. Deli Serdang. [tesis] Tidak dipublikasikan. Medan: Universitas Sumatra Utara. Kinnaird MF and O’Brien TG. 1996. Ecotourism in The Tangkoko_Nature Reserve opening pandora’s box. Oryx (1) 65-73. Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. 2nd ed. New York: Harper& Row Publisher. Kurniawan J. 2004. Pengembangan Ekowisata Di Kawasan Ekosistem Leuser: Upaya Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Laporan Unit Manajemen Leuser. p 2-6. Kusmana C. 1997. Metode survey vegetasi. Bogor: IPB Press. Lankford SV. 2006. Sustainability of Coastal/Marine Recreation: Modelling Social Capacity for Kaneohe Bay, Hawai. Report Document Sea Grant College Program University of Hawai. Lee KY, Son M and Kwak DA. 2002. Development Of Carrying Capacity Assessment System for the Chi-Ri National Park. Enviromental Science and Ecological Engineering: 61-65 Manning R. 2002. Research to Estimate And Manage Carrying Capacity of Tourism Atraction: A Study of Alcatraz Island. Journal Of Sustainable Tourism Vol. 10, No 5. Mc Cool SF. 1996. Limits of Acceptable Change: A Framework for Managing National Protected Areas Experiences from The United States. School of Forestry. Montana: The University of Montana Missoula. USA. McCool SF dan Lime DW. 2001. Tourism Carrying Capacity: Tempting Fantasy or Useful Reality. Journal of Sustainable Tourism: 372-388 Michael P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Diterjemahkan Yanti RK dan Suhati S. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Muhammadi E, Aminullah, dan Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, dan Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Nontji A. 2005. Laut Indonesia. PT. Djambatan. Jakarta. [NPS] National Park Service 1997. The Visitor Experience and Resources Protection (VERP) Framework: A handbook for Planners and Managers. US Departemen of The Interior.
170
Nybakken JN. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono dan DG Bengen. Jakarta: Penerbit PT Gramedia. Odum EP. 1993. Fundamental of Ecology. Thirth Edition. Philadelphia and London: WB Saunders Co. 546 p. Peraturan Pemerintah RI No. 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan Perum Perhutani III 2011. Potensi Wisata Jawa Barat. Download dari: http://unit3.perumperhutani.com. Peterson GD, Allen CR and Holling CS. 1998. Ecological Resilience, Biodiversity and Scale. Ecosystems 1, 6-18 Purnomo H. 2005. Teori Sistem Komplek, Pemodelan, dan Simulasi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Quarto A. 2002. Sustainable Use of The Mangrove. MAP Quaterly News, Port Angeles, WA. Diakses melalui www.lautkita.org 21 Desember 2007. Roussel S dan Valette. 2007. On Coastal Zone Social Carrying Capacity. Enviroment: 1-15. Sari NWV. 2002. Pengelolaan Sampah Di Kawasan Hutan Mangrove Suwung Teluk Benoa Sebagai Upaya Kebersihan Lingkungan dan Pengembangan Ekowisata Mangrove. [tesis] Tidak dipublikasikan. Semarang. Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Sawitri R. 2003. Kajian Daya Dukung, Karakteristik dan Dampak Pengunjung Terhadap Flora dan Fauna Di Taman Wisata Alam Pananjung Pangandaran. Buletin Penelitian Hutan 638: 29-46. Schmidt FH and Ferguson 1952. Rainfall Types Based On Wet and Dry Period Rations for Indonesia with Western Guinea, Verhand no. 42. Setyawan AD, Winarno K dan Purnama PC. 2003. REVIEW: Ekosistem mangrove di Jawa: 1. Kondisi terkini. Biodiversitas 4 (2):130-142. Soemarwoto O. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Cetakan Ketujuh (EdisiRevisi). Jakarta: Penerbit Djambatan. Stakey DN. 1985. The Limit of Acceptale Change (LAC) System for Wilderness Planing. General Technical report INT-176. United States Department of Agriculture. Suratmo FG. 2002. Panduan Penelitian Multidisiplin. Bogor: IPB Press. Suripin 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi Offset. [TIES] 2005. Tourism Highlight 2005, The International Ecotourism Society UNWTO, Madrid.
171
Turner BL, Kasperson RE and Matson PA. 2003. A Framework for Vulnerability Analysis in Sustainability Science. Proc. Nat. Acad. Sci USA 100: 80748079 [UNEP] 2003. About Ecotourism. United Nation Environmental Programme. Wahab S. 2003. Manajemen Kepariwisataan. Gromang F, Penerjemah. Jakarta: Pradnya Paramita. Terjemahan dari: Tourism Management. Wahyuni PI, Ardhana IPG dan Sunarta IN. 2007. Evaluasi Pengembangan Ekowisata di Kawasan Tahura Ngurah Rai. Jurnal Ecotrophic Vol. 4 (1) hal. 45-56 Wardhana WA. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Offset.
Andi
Wight PA. 1993. Sustainable Ecotourism: Balancing Economic, Environmental and Social Goals Within and Ethical Framework. Journal of Tourism Studies. 1993. 4 (2), 54-56 [WTO] 1992. Guidelines: Development of National Park and Protected Areas for Tourism. WTO Joint Technical Report series No. 13 Paris. pp. 18-19. [WTTC] 2003. The Blueprint of NewTourism. World Travel and Tourism Council, London. Yoeti HOA. 1997. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta. Pradnya Paramita. Yuanike 2003. Kajian Pengembangan Ekowisata Mangrove dan Partisipasi Masyarakat di Kawasan Nusa Lembongan, Bali. [tesis] Tidak dipublikasikan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Zakiah YH. 1996. Persepsi dan Perilaku Pengunjung Usia Muda Terhadap Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Taman Wisata Pananjung Pangandaran. Jurnal Konservasi Sumberdaya Hutan, Fak. Kehutanan, IPB.
173
Lampiran 1. Perhitungan daya dukung fisik kawasan Daya dukung fisik (PCC) Penghitungan daya dukung fisik kawasan terhadap jumlah maksimal pengunjung ditentukan dengan menggunakan penghitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung sebenarnya (RCC), dan daya dukung efektif (ECC) menurut Cifuentes (1992). v PCC =
A x
x Rf a
Dimana : PCC A V/a Rf
: Daya dukung fisik : Luas area yang tersedia untuk pemanfaatan umum : Area yang dibutuhkan untuk satu pengunjung per m2 : Faktor rotasi
Kriteria dan asumsi dasar yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan PCC adalah:
Bahwa seseorang pada umumnya membutuhkan ruang horizontal seluas 1 m2 untuk dapat bergerak bebas.
Bahwa luas yang tersedia (A) ditentukan oleh keadaan tertentu di areal.
Faktor rotasi (Rf) adalah jumlah kunjungan harian yang diperbolehkan ke suatu lokasi yang diformulasikan dengan rumus: Masa buka
Rf =
Waktu rata-rata per kunjungan Penentuan PCC berdasarkan informasi dan kriteria dasar sebagai berikut:
Waktu buka lokasi jam 09.00-17.00 WIB (8 jam)
Waktu yang diperlukan selama kunjungan rata-rata 5,2 jam
Luas area efektif untuk kegiatan wisata 5 ha (50.000m2)
Setiap orang menempati ruang seluas 1 m2
Perhitungan: Rf
= 8 jam/5,2 jam = 1,54
PCC
= A x V/a x Rf = 50.000 x 1 x 1,54 = 77.000 kunjungan per hari
174
Daya dukung sebenarnya (RCC) Untuk RCC dihitung dengan memperhatikan faktor koreksi yang berasal dari ciri-ciri khusus lokasi. Faktor-faktor koreksi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Kualitas perairan (Cf1) Banjir musiman (Cf2) Kapasitas manajemen (Cf3)
Curah hujan (Cf4)
Asumsi yang digunakan untuk mengukur RCC adalah:
Faktor koreksi (Cf) diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik lingkungan.
Faktor koreksi (Cf) berkaitan erat dengan kondisi spesifik dan karakteristik tiap tempat dan kegiatan.
Faktor koreksi (Cf) diformulasikan dengan rumus: M1 Cf =
x 100% Mt
Dimana: M1 Mt
= pembatas ukuran variabel = jumlah ukuran variabel
Maka untuk mengukur daya dukung sebenarnya (RCC), digunakan rumus sebagai berikut: RCC =
PCC x
100 – Cf1
x
100 – Cf2
100
100
x .... .
100 – Cfn 100
Informasi yang didapat adalah sebagai berikut:
Daya dukung fisik (PCC) adalah 77.000
Faktor koreksi (Cf1 = 55,7), (Cf2 = 56,9), (Cf3 = 56,8), dan (Cf4 = 56,7) 100 – 56,9
100 – 55,7 x
RCC = 77000 x 100 RCC
100
= 77000 x 44,3 x 43,1 x 43,2 x 43,3 = 2751 kunjungan per hari
100 – 56,7
100 – 56,8 x
x 100
100
175
Daya dukung efektif (ECC) Setelah diketahui RCC, selanjutnya dihitung daya dukung efektif
atau yang
diijinkan (ECC) yang diformulasikan dengan rumus: (Kapasitas Infrastruktur x MC) x 100%
ECC = RCC Dimana: ECC MC RCC
= Daya dukung efektif atau yang diijinkan = Kapasitas manajemen yang berdasarkan jumlah staf dan anggaran = Daya dukung sebenarnya
Asumsi yang digunakan untuk menentukan ECC adalah sebagai berikut:
MC didefinisikan sebagai penjumlahan kondisi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam jika fungsi dan tujuan pengelolaannya dijalankan
Ketika kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat, maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun dalam kondisi yang mendukung.
MC dikemukakan dalam persentase dengan rumus sebagai berikut: Kapasitas staf yang ada x 100%
MC = Kapasitas staf yang diperlukan
Dari uraian rumus PCC, RCC dan ECC di atas dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah dikurangi dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar jumlahnya dari RCC, dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC, yang dapat dinotasikan dengan: PCC > RCC dan RCC ≥ ECC Sebagai informasi:
Lama buka lokasi 8 jam (480 menit)
Waktu tempuh jalan ke lokasi 0,733
Jumlah jalan masuk 2
Pemegang ijin adalah Perum Perhutani (skor 1)
Jumlah staf yang ada 5 orangdan jumlah staf yang diperlukan 8 orang
RCC = 2751 kunjungan per hari
176
Perhitungan ECC adalah sebagai berikut: ICC
= [lama buka lokasi/waktu tempuh] x jumlah jalan masuk x pemegang ijin = (480/0,733) x 2 x 1 = 1310
MC
= [kapasitas staf yang ada/kapasitas yang diperlukan] x 100% = 5/8 x 100% = 63% = 0,63 (Kapasitas Infrastruktur x MC) x 100%
ECC = RCC ECC
= (1310 x 0,63)/2751 x 100% = 30%
Nilai ECC adalah 30% dari nilai RCC Jadi nilai ECC = 0,30 x 2751 = 825 kunjungan per hari
177
Lampiran 2. Perhitungan daya dukung ekologis Dalam menghitung daya dukung ekologis, parameter yang diukur adalah jumlah pengunjung/wisatawan untuk tiap aktivitas. Sedangkan parameter lainnya sudah ditetapkan Douglass (1975) dalam Fandeli (2001) dengan rumus sebagai berikut:
D x A AR = CD x TF x 43560
Dimana: AR = Area yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata D = Permintaan wisatawan untuk suatu aktivitas A = Kebutuhan area setiap wisatawan CD = Jumlah hari yang digunakan untuk suatu aktivitas tertentu TF = Faktor pemulihan 43.560 = Konstanta Kapasitas tampung wisatawan per kegiatan/aktivitas untuk kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah D = AR Di lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan diidentifikasi 3 kegiatan yang bisa dihitung daya dukung ekologisnya, yaitu berperahu, piknik, dan berperahu. Dalam menentukan daya dukung ekologis perlu dipertimbangkan faktor pemulihan (TF). Adapun nilai TF dapatdilihat pada Tabel berikut. Tabel Kebutuhan areal untuk berwisata alam No. 1. 2. 3.
Aktivitas Berperahu Piknik Berkemah
Turnover Factor (TF) 2,0 1,5 1,0
Penghitungan daya dukung ekologis kegiatan berperahu D x A AR = CD x TF x 43560 Dimana:
Area yang digunakan untuk berperahu 30 ha (300.000 m2)
Permintaan wisatawan untuk berperahu 2.856 orang
Jumlah hari yang digunakan 365 hari
Faktor pemulihan kegiatan berperahu 2,0
178
Perhitungan daya dukung ekologis untuk kegiatan berperahu 2.856 x 300.000 AR = 365 x 2,0 x 43560 AR = 26,9 Kapasitas tampung wisatawan untuk berperahu = D/AR = 2.856/26,95 = 106 orang per ha
Penghitungan daya dukung ekologis kegiatan berkemah D x A AR = CD x TF x 43560 Dimana:
Area yang digunakan untuk berkemah 1,5 ha (15.000 m2)
Permintaan wisatawan untuk berkemah 4.750 orang
Jumlah hari yang digunakan 52 hari
Faktor pemulihan kegiatan berkemah 1,0
Perhitungan daya dukung ekologis untuk kegiatan berkemah 4.750 x 15.000 AR = 52 x 1,0 x 43560 AR = 27,26
Kapasitas tampung wisatawan untuk berkemah = D/AR = 4.750/27,26 = 174 orang per ha Penghitungan daya dukung ekologis kegiatan piknik D x A AR = CD x TF x 43560 Dimana:
Area yang digunakan untuk piknik 2,5 ha (25.000 m2)
179
Permintaan wisatawan untuk piknik 6.954 orang
Jumlah hari yang digunakan 365 hari
Faktor pemulihan kegiatan piknik 1,5
Perhitungan daya dukung ekologis untuk kegiatan piknik 6.954 x 25.000 AR = 365 x 1,5 x 43560 AR = 13,12 Kapasitas tampung wisatawan untuk berperahu = D/AR = 6.954/13,12 = 530 orang per ha
180
184
Lampiran 3. Hasil simulasi skenario BAU, Pro lingkungan, Pro pengelola dan Pro masyarakat sampai tahun 2058 Tabel 1 Hasil simulasi skenario bussines as usual sampai tahun 2058 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.660 7.526 8.504 9.610 10.859 12.271 13.866 15.668 17.705 20.007 22.608 25.547 28.868 32.621 36.862 41.654 47.069 53.189 60.103 67.917 76.746 86.723 97.997 110.737 125.132 141.400 159.782. 180.553 204.025 230.549 260.520 294.388 332.658 309.372 287.716 325.119 302.361 281.195 317.751 295.508 333.924 310.550 288.811 326.357 303.512 282.266 318.960 296.633 335.196 311.732 289.911 327.599 304.667 283.340 320.175
Indeks KDB 0.05 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10 0.11 0.12 0.14 0.21 0.24 0.27 0.30 0.34 0.48 0.55 0.62 0.70 0.79 1.07 1.21 1.37 1.55 1.75 1.97 2.23 2.52 2.85 3.22 3.64 4.11 4.65 5.25 4.88 4.54 5.13 4.77 4.44 5.01 4.66 5.27 4.90 4.56 5.15 4.79 4.45 5.03 4.68 5.29 4.92 4.58 5.17 4.81 4.47
Pendapatan Pengelola 84.018.970 94.941.436 107.283.822 121.230.719 136.990.713 154.799.506 174.923.441 197.663.489 227.276.960 259.036.193 424.160.700 484.953.732 551.191.177 622.846.030 711.971.472 1.073.440.938 1.212.988.260 1.382.444.220 1.568.810.598 1.772.755.976 2.568.284.353 2.911.754.606 3.290.282.705 3.742.518.794 4.242.888.363 4.794.463.850 5.417.744.151 6.122.050.891 6.917.917.506 7.817.246.782 8.833.488.864 9.981.842.417 11.279.481.931 12.745.814.582 11.853.607.561 11.023.855.032 12.456.956.186 11.584.969.253 10.774.021.405 12.174.644.188 11.322.419.095 12.794.333.577 11.898.730.227 11.065.819.111 12.504.375.595 11.629.069.303 10.815.034.452 12.220.988.931 11.365.519.706 12.743.037.268 11.944.024.659 11.107.942.933 12.551.975.514 11.673.337.228 10.856.203.622
Pendapatan Masyarakat 23.576.000 26.640.880 30.104.194 34.017.739 38.440.045 43.437.251 49.084.094 55.465.026 70.509.915 79.676.204 90.034.110 113.042.828 127.738.395 144.344.387 179.420.073 202.744.682 229.101.491 282.419.656 319.134.212 360.621.659 441.461.015 498.850.947 563.701.570 685.981.449 775.159.038 875.929.713 989.800.575 1.118.474.650 1.263.876.355 1.428.180.281 1.613.843.717 1.823.643.401 2.060.717.043 2.328.610.259 2.165.607.540 2.014.015.013 2.275.836.964 2.116.528.377 1.968.371.390 2.224.259.671 2.068.561.494 2.337.474.488 2.173.851.274 2.021.681.685 2.284.500.304 2.124.585.283 1.975.864.313 2.232.726.674 2.076.435.806 2.246.372.461 2.182.126.389 2.029.377.542 2.293.196.622 2.132.672.859 1.983.385.759
185
Tabel 2 Hasil simulasi skenario pro lingkungan sampai tahun 2058 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.483 7.132 7.845 8.629 9.492 10.442 11.486 12.634 13.898 15.288 16.816 18.498 20.348 22.382 24.621 27.083 29.791 32.770 36.047 39.652 43.617 47.979 52.777 58.054 63.860 70.246 77.270 84.997 93.497 102.847 113.131 124.445 136.889 150.578 165.636 182.199 200.419 220.461 242.507 266.758 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434
KDB 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.06 0.07 0.08 0.08 0.09 0.13 0.14 0.15 0.16 0.18 0.23 0.25 0.28 0.30 0.33 0.36 0.39 0.43 0.47 0.51 0.55 0.61 0.66 0.72 0.79 0.86 0.94 1.02 1.11 1.22 1.33 1.45 1.58 1.72 1.88 2.05 2.24 1.99 2.17 1.94 2.11 1.88 2.05 2.24 2.00
Pend pengelola 84.018.970 92.420.867 101.662.953 111.829.249 123.012.173 135.313.391 148.844.730 163.729.203 183.260.702 203.323.990 324.095.382 360.708.988 399.092.124 439.001.337 488.497.084 716.954.804 788.650.285 874.963.075 966.555.652 1.063.211.217 1.499.436.019 1.654.831.756 1.820.314.931 2.015.540.589 2.224.351.439 2.446.786.582 2.691.465.241 2.960.611.765 3.256.672.941 3.582.340.236 3.940.574.259 4.334.631.685 4.768.094.854 5.244.904.339 5.769.394.773 6.346.334.251 6.980.967.676 7.679.064.443 8.446.970.888 9.291.667.976 10.220.834.774 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252
Pend masyarakat 23.576.000 25.933.600 28.526.960 31.379.656 34.517.621 37.969.383 41.766.322 45.942.954 56.854.406 62.539.846 68.793.831 84.081.349 92.489.484 101.738.432 123.103.503 135.413.853 148.955.239 178.746.287 196.620.915 216.283.007 257.737.250 283.510.975 311.862.073 369.436.609 406.380.270 447.018.297 491.720.127 540.892.140 594.981.354 654.479.489 719.927.438 791.920.182 871.112.200 958.223.421 1.054.045.763 1.159.450.339 1.275.395.373 1.402.934.910 1.543.228.401 1.697.551.242 1.867.306.366 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002
186
Tabel 3 Hasil simulasi skenario pro pengelola sampai tahun 2058 TAHUN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 7.043 8.416 10.058 12.019 14.363 17.163 20.510 24.510 29.290 35.001 41.827 49.983 59.730 71.377 85.296 101.928 121.804 145.556 173.940 207.858 248.391 296.827 354.708 352.935 351.170 349.414 347.667 345.929 344.199 342.478 340.766 339.062 337.367 335.680 334.001 332.331 330.670 329.016 327.371 325.734 324.106 322.485 320.873 319.268 317.672 316.084 314.503 312.931 311.366 309.809 308.260 306.719 305.185 303.659 302.141
Ind KDB 0.02 0.03 0.04 0.04 0.05 0.06 0.07 0.09 0.10 0.12 0.20 0.23 0.28 0.33 0.40 0.60 0.71 0.85 1.02 1.22 1.74 2.08 2.49 2.97 2.96 2.94 2.93 2.91 2.90 2.89 2.87 2.86 2.84 2.83 2.81 2.80 2.79 2.77 2.76 2.74 2.73 2.72 2.70 2.69 2.68 2.66 2.65 2.64 2.62 2.61 2.60 2.58 2.57 2.56 2.55
Pend Pengelola 84.018.970 100.402.669 119.981.189 143.377.521 171.336.138 204.746.685 244.672.288 292.383.385 355.525.787 428.514.582 742.036.118 897.189.921 1.078.389.869 1.288.675.893 1.557.812.046 2.483.819.780 2.968.164.638 3.577.407.950 4.293.197.098 5.130.370.532 7.860.177.291 9.423.960.758 11.261.633.106 13.546.328.759 13.522.714.022 13.455.100.452 13.387.824.949 13.320.885.825 13.254.281.395 13.188.009.988 13.122.069.938 13.056.459.589 12.991.177.291 12.926.221.404 12.861.590.297 12.797.282.346 12.733.295.934 12.669.629.454 12.606.281.307 12.543.249.901 12.480.533.651 12.418.130.983 12.356.040.328 12.294.260.126 12.232.788.826 12.171.624.882 12.110.766.757 12.050.212.923 11.989.961.859 11.930.012.049 11.870.361.989 11.811.010.179 11.751.955.128 11.693.195.353 11.634.729.376
Pend masyarakat 23.576.000 28.173.320 33.667.117 40.232.205 48.077.485 57.452.594 68.655.850 82.043.741 110.297.555 131.805.578 157.507.666 209.135.179 249.916.539 298.650.265 392.575.773 469.128.049 560.608.018 730.828.999 873.340.653 1.043.642.081 1.351.081.644 1.614.542.565 1.929.378.365 2.482.961.542 2.470.546.735 2.458.194.001 2.445.903.031 2.433.673.516 2.421.505.148 2.409.397.622 2.397.350.634 2.385.363.881 2.373.437.062 2.361.569.876 2.349.762.027 2.338.013.217 2.326.323.151 2.314.691.535 2.303.118.077 2.291.602.487 2.280.144.475 2.268.743.752 2.257.400.033 2.246.113.033 2.234.882.468 2.223.708.056 2.212.589.515 2.201.526.568 2.190.518.935 2.179.566.340 2.168.668.509 2.157.825.166 2.147.036.040 2.136.300.860 2.125.619.356
187
Tabel 4 Hasil simulasi skenario pro masyarakat sampai tahun 2058 TAHUN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.813 7.876 9.105 10.525 12.167 14.065 16.259 18.796 21.728 25.118 29.036 33.566 38.802 44.855 51.853 59.942 69.293 80.103 92.599 107.045 123.744 143.048 165.363 191.160 220.981 255.454 295.305 341.373 326.352 311.993 298.265 344.795 329.624 315.120 301.255 288.000 332.928 318.279 304.274 290.886 336.265 321.469 307.324 293.802 339.635 324.691 310.405 296.747 343.040 327.946 313.516 299.721 346.478 331.233 316.659
Ind KDB 0.02 0.03 0.03 0.04 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.14 0.16 0.19 0.22 0.25 0.36 0.42 0.48 0.56 0.65 0.90 1.04 1.20 1.39 1.60 1.85 2.14 2.48 2.86 2.74 2.62 2.50 2.89 2.76 2.64 2.53 2.41 2.79 2.67 2.55 2.44 2.82 2.70 2.58 2.46 2.85 2.72 2.60 2.49 2.88 2.75 2.63 2.51 2.90 2.78
Pend Pengelola 84.018.970 97.125.929 112.277.574 129.792.875 150.040.564 173.446.892 200.504.607 231.783.326 272.640.605 317.888.607 532.505.788 622.835.850 724.194.037 837.168.307 978.980.544 1.509.972.414 1.745.528.111 2.035.153.904 2.362.650.843 2.731.224.374 4.047.910.652 4.694.852.731 5.427.249.757 6.315.241.657 7.324.314.418 8.466.907.467 9.787.745.032 11.314.633.257 13.079.716.045 12.504.208.539 11.954.023.364 11.428.046.336 13.210.821.564 12.629.545.415 12.073.845.417 11.542.596.219 11.034.721.985 12.756.138.615 12.194.868.516 11.658.294.301 11.145.329.352 12.884.000.730 12.317.104.698 11.775.152.092 11.257.045.400 13.013.144.482 12.440.566.125 11.893.181.215 11.369.881.242 13.143.582.715 12.565.265.076 12.012.393.413 11.483.848.102 13.275.328.406 12.691.213.957
Pend masyarakat 23.576.000 27.253.856 31.505.457 36.420.308 42.101.877 48.669.769 56.262.254 65.039.165 84.583.434 97.778.450 113.031.889 145.183.182 167.831.758 194.013.512 246.707.582 285.193.965 329.684.224 415.761.778 480.620.615 555.597.431 695.793.183 804.336.920 929.813.479 1.157.546.258 1.338.123.474 1.546.870.736 1.788.182.571 2.067.139.052 2.389.612.744 2.284.469.784 2.183.953.113 2.087.859.176 2.413.565.208 2.307.368.339 2.205.844.132 2.108.786.990 2.016.000.362 2.330.496.419 2.227.954.576 2.129.924.575 2.036.207.894 2.353.856.325 2.250.286.647 2.151.274.034 2.056.617.977 2.377.450.381 2.272.842.564 2.172.837.492 2.077.232.642 2.401.280.934 2.295.624.573 2.194.617.092 2.098.053.940 2.425.350.354 2.318.634.939
179
Lampiran 3. Program Sistem Dinamik
Gambar 1 Skenario pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan SUBMODEL LINGKUNGAN Amonium(t) = Amonium(t - dt) + (LP_Amonia) * dtINIT Amonium = 0 INFLOWS: LP_Amonia = Pengunjung*debit*Kamonia*365 BOD(t) = BOD(t - dt) + (LP_BOD - Asimilasi_BOD) * dtINIT BOD = 0 INFLOWS: LP_BOD = Pengunjung*debit*KBOD*365 OUTFLOWS: Asimilasi_BOD = BOD*(1-Aktual_BOD) Fosfat(t) = Fosfat(t - dt) + (LP_Posfat) * dtINIT Fosfat = 0 INFLOWS: LP_Posfat = Pengunjung*debit*K_fosfat*365 Nitrat(t) = Nitrat(t - dt) + (LP_Nitrat - Asimilasi_Nitrat) * dtINIT Nitrat = 0 INFLOWS: LP_Nitrat = Pengunjung*debit*K_nitrat*365
180
OUTFLOWS: Asimilasi_Nitrat = Nitrat*(1-aktual_nitrat) Pengunaan_Lahan(t) = Pengunaan_Lahan(t - dt) + (laju_penggunaan_lahan) * dtINIT Pengunaan_Lahan = 0 INFLOWS: laju_penggunaan_lahan = ((Unit_lahan_guest_house*fr_P_guest_house)+(Unit_lahan_komersil*Fr_P_Lahan_Kom ersil_Lainnya)+(Unit_lahan_rumah_makan*Fr_P_rmh_makan))*skenario_3*(Pengunjun g/365) UNATTACHED: Asimilasi_Amonia = GRAPH(Amonium*(1-Aktual_amonis)) (0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00) UNATTACHED: Asimilasi_Psphat = GRAPH(Fosfat*(1-aktual_phospat)) (0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00) Aktual_amonis = K_Asimilasi__Amonia*skenario2 Aktual_BOD = K_Asimilasi_BOD*skenario2 aktual_nitrat = Kasimilasi_nitrat*skenario2 aktual_phospat = K_Asimilasi_Phosfat*skenario2 Daya_dukung_lingkungan = ((Amonium/Aktual_amonis)+(BOD/Aktual_BOD)+(Fosfat/aktual_phospat)+(Nitrat/aktual _nitrat))/4+(Indeks__perubahan_lahan/2) debit = 10.2 Indeks__perubahan_lahan = Pengunaan_Lahan/Lahan_yang_boleh_di_bangun Kamonia = 0.03 Kasimilasi_nitrat = 0.429*365*1000000 KBOD = 0.16 K_Asimilasi_BOD = 0.15*365*1000000 K_Asimilasi_Phosfat = 0.36*365*1000000 K_Asimilasi__Amonia = 0.1111*365*1000000 K_fosfat = 0.0083 K_nitrat = 0.0023 Lahan_yang_boleh_di_bangun = 13.1 skenario2 = 0 skenario_3 = 0 Unit_lahan_guest_house = 0.009 Unit_lahan_komersil = 0.0005 Unit_lahan_rumah_makan = 0.0001
181
fr_P_guest_house = GRAPH(TIME) (2008, 0.3), (2009, 0.3), (2010, 0.3), (2011, 0.3), (2012, 0.3), (2013, 0.4), (2014, 0.4), (2015, 0.4), (2016, 0.4), (2017, 0.4), (2018, 0.5), (2019, 0.5), (2020, 0.5), (2021, 0.5), (2022, 0.5), (2023, 0.6), (2024, 0.6), (2025, 0.6), (2026, 0.6), (2027, 0.6), (2028, 0.6) Fr_P_Lahan_Komersil_Lainnya = GRAPH(TIME) (2008, 0.3), (2009, 0.3), (2010, 0.3), (2011, 0.3), (2012, 0.3), (2013, 0.4), (2014, 0.4), (2015, 0.4), (2016, 0.4), (2017, 0.4), (2018, 0.5), (2019, 0.5), (2020, 0.5), (2021, 0.5), (2022, 0.5), (2023, 0.6), (2024, 0.6), (2025, 0.6), (2026, 0.6), (2027, 0.6), (2028, 0.6) Fr_P_rmh_makan = GRAPH(TIME) (2008, 0.3), (2009, 0.3), (2010, 0.3), (2011, 0.3), (2012, 0.3), (2013, 0.4), (2014, 0.4), (2015, 0.4), (2016, 0.4), (2017, 0.4), (2018, 0.5), (2019, 0.5), (2020, 0.5), (2021, 0.5), (2022, 0.5), (2023, 0.6), (2024, 0.6), (2025, 0.6), (2026, 0.6), (2027, 0.6), (2028, 0.6) SUBMODEL PENGUNJUNG Pengunjung(t) = Pengunjung(t - dt) + (Laju_pertumbuhan Laju_Pengurangan_Pengunjung) * dtINIT Pengunjung = 5894 INFLOWS: Laju_pertumbuhan = Pengunjung*Pertumbuhan_pengunjung*Skenario_1 OUTFLOWS: Laju_Pengurangan_Pengunjung = (Pengunjung*Penurunan__Wisatwan)+(fraksi_lingkungan*Pengunjung) Penurunan__Wisatwan = 0.01 Pertumbuhan_pengunjung = 0.19 Skenario_1 = 0 fraksi_lingkungan = GRAPH(If Daya_dukung_lingkungan<=1 then (0) Else If Daya_dukung_lingkungan>1.1<2 then (0.1) Else If Daya_dukung_lingkungan>2<3 then (0.2) else (0.3)) (0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00) SUBMODEL SOSIAL EKONOMI Net_pendapatan(t) = Net_pendapatan(t - dt) + (neraca) * dtINIT Net_pendapatan = 0 INFLOWS: neraca = Pendapatan_Pengelola-Pengeluaran Partisipasi_masyarkat(t) = Partisipasi_masyarkat(t - dt) + (Laju_penyerapan_tenaga_masyarakat) * dtINIT Partisipasi_masyarkat = 0
182
INFLOWS: Laju_penyerapan_tenaga_masyarakat = Pengunjung*(Fr_ojek+Fr_rumah_makan+Karyawan_guest_house+Karyawan_toko_souv enir+T_pemandu+T_perahu) Pendapatan_pemerintah(t) = Pendapatan_pemerintah(t - dt) + (laju_pendapatan) * dtINIT Pendapatan_pemerintah = 0 INFLOWS: laju_pendapatan = Pendapatan_Pengelola*pajak Pendapatan_Pengelola(t) = Pendapatan_Pengelola(t - dt) + (Pemasukan) * dtINIT Pendapatan_Pengelola = 0 INFLOWS: Pemasukan = Pengunjung*((Tiket+0.25*R2+0.12*R4)+(0.3*Atraksi_khusus)+(0.1*Perkemahan)+(0.1*s ewa`perahu)) Pendapatan__Masyarakat(t) = Pendapatan__Masyarakat(t - dt) + (Pendapatan) * dtINIT Pendapatan__Masyarakat = 0 INFLOWS: Pendapatan = Pengunjung*(ojek+(0.1*Pemandu)+(0.3*rate_restoran)+(sewa`perahu*0.1)+souvenir) Pengeluaran(t) = Pengeluaran(t - dt) + (Laju_pengeluaran) * dtINIT Pengeluaran = 0 INFLOWS: Laju_pengeluaran = Pendapatan_Pengelola*(Administrasi+Gaji+kemitraan+Konservasi_dan_pengaman+paja k+pemasaran+Perencanaan+Pomec+SDM) Administrasi = 0.03 Fr_ojek = 0.001 Fr_rumah_makan = 0.001 Gaji = 0.15 Karyawan_guest_house = 0.01 Karyawan_toko_souvenir = 0.001 kemitraan = 0.01 Konservasi_dan_pengaman = 0.01 ojek = 0.04*10000 pajak = 0.3 pemasaran = 0.03 Perencanaan = 0.01 Pomec = 0.1 rate_restoran = 15000*0.3 SDM = 0.01 souvenir = 0.03*25000 T_pemandu = 0.001 T_perahu = 0.01
183
Atraksi_khusus = GRAPH(TIME) (2008, 8000), (2009, 8000), (2010, 8000), (2011, 8000), (2012, 8000), (2013, 12000), (2014, 12000), (2015, 12000), (2016, 12000), (2017, 12000), (2018, 18000), (2019, 18000), (2020, 18000), (2021, 18000), (2022, 18000), (2023, 27000), (2024, 27000), (2025, 27000), (2026, 27000), (2027, 27000), (2028, 27000) Pemandu = GRAPH(TIME) (2008, 10000), (2009, 10000), (2010, 10000), (2011, 12500), (2012, 12500), (2013, 12500), (2014, 15000), (2015, 15000), (2016, 15000), (2017, 17500), (2018, 17500), (2019, 17500), (2020, 20000), (2021, 20000), (2022, 20000), (2023, 22500), (2024, 22500), (2025, 22500), (2026, 25000), (2027, 25000), (2028, 25000) Perkemahan = GRAPH(TIME) (2008, 5000), (2009, 5000), (2010, 5000), (2011, 5000), (2012, 5000), (2013, 7500), (2014, 7500), (2015, 7500), (2016, 7500), (2017, 7500), (2018, 10000), (2019, 10000), (2020, 10000), (2021, 10000), (2022, 10000), (2023, 12500), (2024, 12500), (2025, 12500), (2026, 12500), (2027, 12500), (2028, 12500) R2 = GRAPH(TIME) (2008, 1500), (2009, 1500), (2010, 1500), (2011, 1500), (2012, 2000), (2013, 2000), (2014, 2000), (2015, 2500), (2016, 2500), (2017, 2500), (2018, 3000), (2019, 3000), (2020, 3000), (2021, 3500), (2022, 3500), (2023, 3500), (2024, 4000), (2025, 4000), (2026, 4000), (2027, 4500), (2028, 4500) R4 = GRAPH(TIME) (2008, 4000), (2009, 4000), (2010, 4000), (2011, 4000), (2012, 4000), (2013, 5000), (2014, 5000), (2015, 5000), (2016, 5000), (2017, 5000), (2018, 6000), (2019, 6000), (2020, 6000), (2021, 6000), (2022, 6000), (2023, 7000), (2024, 7000), (2025, 7000), (2026, 7000), (2027, 7000), (2028, 7000) sewa`perahu = GRAPH(TIME) (2008, 5000), (2009, 5000), (2010, 5000), (2011, 7500), (2012, 7500), (2013, 7500), (2014, 10000), (2015, 10000), (2016, 10000), (2017, 12500), (2018, 12500), (2019, 12500), (2020, 15000), (2021, 15000), (2022, 15000), (2023, 17500), (2024, 17500), (2025, 17500), (2026, 20000), (2027, 20000), (2028, 20000) Tiket = GRAPH(TIME) (2008, 10000), (2009, 10000), (2010, 10000), (2011, 10000), (2012, 10000), (2013, 15000), (2014, 15000), (2015, 15000), (2016, 15000), (2017, 15000), (2018, 20000), (2019, 20000), (2020, 20000), (2021, 20000), (2022, 20000), (2023, 25000), (2024, 25000), (2025, 25000), (2026, 25000), (2027, 25000), (2028, 25000)
173
Lampiran 1. Perhitungan daya dukung fisik kawasan Daya dukung fisik (PCC) Penghitungan daya dukung fisik kawasan terhadap jumlah maksimal pengunjung ditentukan dengan menggunakan penghitungan daya dukung fisik (PCC), daya dukung sebenarnya (RCC), dan daya dukung efektif (ECC) menurut Cifuentes (1992). v PCC =
A x
x Rf a
Dimana : PCC A V/a Rf
: Daya dukung fisik : Luas area yang tersedia untuk pemanfaatan umum : Area yang dibutuhkan untuk satu pengunjung per m2 : Faktor rotasi
Kriteria dan asumsi dasar yang harus dipertimbangkan dalam menetapkan PCC adalah:
Bahwa seseorang pada umumnya membutuhkan ruang horizontal seluas 1 m2 untuk dapat bergerak bebas.
Bahwa luas yang tersedia (A) ditentukan oleh keadaan tertentu di areal.
Faktor rotasi (Rf) adalah jumlah kunjungan harian yang diperbolehkan ke suatu lokasi yang diformulasikan dengan rumus: Masa buka
Rf =
Waktu rata-rata per kunjungan Penentuan PCC berdasarkan informasi dan kriteria dasar sebagai berikut:
Waktu buka lokasi jam 09.00-17.00 WIB (8 jam)
Waktu yang diperlukan selama kunjungan rata-rata 5,2 jam
Luas area efektif untuk kegiatan wisata 5 ha (50.000m2)
Setiap orang menempati ruang seluas 1 m2
Perhitungan: Rf
= 8 jam/5,2 jam = 1,54
PCC
= A x V/a x Rf = 50.000 x 1 x 1,54 = 77.000 kunjungan per hari
174
Daya dukung sebenarnya (RCC) Untuk RCC dihitung dengan memperhatikan faktor koreksi yang berasal dari ciri-ciri khusus lokasi. Faktor-faktor koreksi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: Kualitas perairan (Cf1) Banjir musiman (Cf2) Kapasitas manajemen (Cf3)
Curah hujan (Cf4)
Asumsi yang digunakan untuk mengukur RCC adalah:
Faktor koreksi (Cf) diperoleh dengan mempertimbangkan variabel biofisik lingkungan.
Faktor koreksi (Cf) berkaitan erat dengan kondisi spesifik dan karakteristik tiap tempat dan kegiatan.
Faktor koreksi (Cf) diformulasikan dengan rumus: M1 Cf =
x 100% Mt
Dimana: M1 Mt
= pembatas ukuran variabel = jumlah ukuran variabel
Maka untuk mengukur daya dukung sebenarnya (RCC), digunakan rumus sebagai berikut: RCC =
PCC x
100 – Cf1
x
100 – Cf2
100
100
x .... .
100 – Cfn 100
Informasi yang didapat adalah sebagai berikut:
Daya dukung fisik (PCC) adalah 77.000
Faktor koreksi (Cf1 = 55,7), (Cf2 = 56,9), (Cf3 = 56,8), dan (Cf4 = 56,7) 100 – 56,9
100 – 55,7 x
RCC = 77000 x 100 RCC
100
= 77000 x 44,3 x 43,1 x 43,2 x 43,3 = 2751 kunjungan per hari
100 – 56,7
100 – 56,8 x
x 100
100
175
Daya dukung efektif (ECC) Setelah diketahui RCC, selanjutnya dihitung daya dukung efektif
atau yang
diijinkan (ECC) yang diformulasikan dengan rumus: (Kapasitas Infrastruktur x MC) x 100%
ECC = RCC Dimana: ECC MC RCC
= Daya dukung efektif atau yang diijinkan = Kapasitas manajemen yang berdasarkan jumlah staf dan anggaran = Daya dukung sebenarnya
Asumsi yang digunakan untuk menentukan ECC adalah sebagai berikut:
MC didefinisikan sebagai penjumlahan kondisi yang dibutuhkan dalam pengelolaan sumberdaya alam jika fungsi dan tujuan pengelolaannya dijalankan
Ketika kapasitas untuk mengelola sumberdaya kawasan meningkat, maka ECC akan meningkat, namun tidak pernah lebih besar dari RCC meskipun dalam kondisi yang mendukung.
MC dikemukakan dalam persentase dengan rumus sebagai berikut: Kapasitas staf yang ada x 100%
MC = Kapasitas staf yang diperlukan
Dari uraian rumus PCC, RCC dan ECC di atas dinyatakan bahwa setiap tingkat urutan merupakan tingkat kapasitas yang telah dikurangi dari tingkat sebelumnya, sehingga PCC selalu lebih besar jumlahnya dari RCC, dan RCC lebih besar atau sama dengan ECC, yang dapat dinotasikan dengan: PCC > RCC dan RCC ≥ ECC Sebagai informasi:
Lama buka lokasi 8 jam (480 menit)
Waktu tempuh jalan ke lokasi 0,733
Jumlah jalan masuk 2
Pemegang ijin adalah Perum Perhutani (skor 1)
Jumlah staf yang ada 5 orangdan jumlah staf yang diperlukan 8 orang
RCC = 2751 kunjungan per hari
176
Perhitungan ECC adalah sebagai berikut: ICC
= [lama buka lokasi/waktu tempuh] x jumlah jalan masuk x pemegang ijin = (480/0,733) x 2 x 1 = 1310
MC
= [kapasitas staf yang ada/kapasitas yang diperlukan] x 100% = 5/8 x 100% = 63% = 0,63 (Kapasitas Infrastruktur x MC) x 100%
ECC = RCC ECC
= (1310 x 0,63)/2751 x 100% = 30%
Nilai ECC adalah 30% dari nilai RCC Jadi nilai ECC = 0,30 x 2751 = 825 kunjungan per hari
177
Lampiran 2. Perhitungan daya dukung ekologis Dalam menghitung daya dukung ekologis, parameter yang diukur adalah jumlah pengunjung/wisatawan untuk tiap aktivitas. Sedangkan parameter lainnya sudah ditetapkan Douglass (1975) dalam Fandeli (2001) dengan rumus sebagai berikut:
D x A AR = CD x TF x 43560
Dimana: AR = Area yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata D = Permintaan wisatawan untuk suatu aktivitas A = Kebutuhan area setiap wisatawan CD = Jumlah hari yang digunakan untuk suatu aktivitas tertentu TF = Faktor pemulihan 43.560 = Konstanta Kapasitas tampung wisatawan per kegiatan/aktivitas untuk kawasan ekowisata hutan mangrove Blanakan adalah D = AR Di lokasi ekowisata hutan mangrove Blanakan diidentifikasi 3 kegiatan yang bisa dihitung daya dukung ekologisnya, yaitu berperahu, piknik, dan berperahu. Dalam menentukan daya dukung ekologis perlu dipertimbangkan faktor pemulihan (TF). Adapun nilai TF dapatdilihat pada Tabel berikut. Tabel Kebutuhan areal untuk berwisata alam No. 1. 2. 3.
Aktivitas Berperahu Piknik Berkemah
Turnover Factor (TF) 2,0 1,5 1,0
Penghitungan daya dukung ekologis kegiatan berperahu D x A AR = CD x TF x 43560 Dimana:
Area yang digunakan untuk berperahu 30 ha (300.000 m2)
Permintaan wisatawan untuk berperahu 2.856 orang
Jumlah hari yang digunakan 365 hari
Faktor pemulihan kegiatan berperahu 2,0
178
Perhitungan daya dukung ekologis untuk kegiatan berperahu 2.856 x 300.000 AR = 365 x 2,0 x 43560 AR = 26,9 Kapasitas tampung wisatawan untuk berperahu = D/AR = 2.856/26,95 = 106 orang per ha
Penghitungan daya dukung ekologis kegiatan berkemah D x A AR = CD x TF x 43560 Dimana:
Area yang digunakan untuk berkemah 1,5 ha (15.000 m2)
Permintaan wisatawan untuk berkemah 4.750 orang
Jumlah hari yang digunakan 52 hari
Faktor pemulihan kegiatan berkemah 1,0
Perhitungan daya dukung ekologis untuk kegiatan berkemah 4.750 x 15.000 AR = 52 x 1,0 x 43560 AR = 27,26
Kapasitas tampung wisatawan untuk berkemah = D/AR = 4.750/27,26 = 174 orang per ha Penghitungan daya dukung ekologis kegiatan piknik D x A AR = CD x TF x 43560 Dimana:
Area yang digunakan untuk piknik 2,5 ha (25.000 m2)
179
Permintaan wisatawan untuk piknik 6.954 orang
Jumlah hari yang digunakan 365 hari
Faktor pemulihan kegiatan piknik 1,5
Perhitungan daya dukung ekologis untuk kegiatan piknik 6.954 x 25.000 AR = 365 x 1,5 x 43560 AR = 13,12 Kapasitas tampung wisatawan untuk berperahu = D/AR = 6.954/13,12 = 530 orang per ha
180
181
Lampiran 3. Program Sistem Dinamik
Gambar 1 Skenario pengelolaan ekowisata hutan mangrove Blanakan SUBMODEL LINGKUNGAN Amonium(t) = Amonium(t - dt) + (LP_Amonia) * dtINIT Amonium = 0 INFLOWS: LP_Amonia = Pengunjung*debit*Kamonia*365 BOD(t) = BOD(t - dt) + (LP_BOD - Asimilasi_BOD) * dtINIT BOD = 0 INFLOWS: LP_BOD = Pengunjung*debit*KBOD*365 OUTFLOWS: Asimilasi_BOD = BOD*(1-Aktual_BOD) Fosfat(t) = Fosfat(t - dt) + (LP_Posfat) * dtINIT Fosfat = 0 INFLOWS: LP_Posfat = Pengunjung*debit*K_fosfat*365 Nitrat(t) = Nitrat(t - dt) + (LP_Nitrat - Asimilasi_Nitrat) * dtINIT Nitrat = 0 INFLOWS: LP_Nitrat = Pengunjung*debit*K_nitrat*365
182
OUTFLOWS: Asimilasi_Nitrat = Nitrat*(1-aktual_nitrat) Pengunaan_Lahan(t) = Pengunaan_Lahan(t - dt) + (laju_penggunaan_lahan) * dtINIT Pengunaan_Lahan = 0 INFLOWS: laju_penggunaan_lahan = ((Unit_lahan_guest_house*fr_P_guest_house)+(Unit_lahan_komersil*Fr_P_Lahan_Kom ersil_Lainnya)+(Unit_lahan_rumah_makan*Fr_P_rmh_makan))*skenario_3*(Pengunjun g/365) UNATTACHED: Asimilasi_Amonia = GRAPH(Amonium*(1-Aktual_amonis)) (0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00) UNATTACHED: Asimilasi_Psphat = GRAPH(Fosfat*(1-aktual_phospat)) (0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00) Aktual_amonis = K_Asimilasi__Amonia*skenario2 Aktual_BOD = K_Asimilasi_BOD*skenario2 aktual_nitrat = Kasimilasi_nitrat*skenario2 aktual_phospat = K_Asimilasi_Phosfat*skenario2 Daya_dukung_lingkungan = ((Amonium/Aktual_amonis)+(BOD/Aktual_BOD)+(Fosfat/aktual_phospat)+(Nitrat/aktual _nitrat))/4+(Indeks__perubahan_lahan/2) debit = 10.2 Indeks__perubahan_lahan = Pengunaan_Lahan/Lahan_yang_boleh_di_bangun Kamonia = 0.03 Kasimilasi_nitrat = 0.429*365*1000000 KBOD = 0.16 K_Asimilasi_BOD = 0.15*365*1000000 K_Asimilasi_Phosfat = 0.36*365*1000000 K_Asimilasi__Amonia = 0.1111*365*1000000 K_fosfat = 0.0083 K_nitrat = 0.0023 Lahan_yang_boleh_di_bangun = 13.1 skenario2 = 0 skenario_3 = 0 Unit_lahan_guest_house = 0.009 Unit_lahan_komersil = 0.0005 Unit_lahan_rumah_makan = 0.0001
183
fr_P_guest_house = GRAPH(TIME) (2008, 0.3), (2009, 0.3), (2010, 0.3), (2011, 0.3), (2012, 0.3), (2013, 0.4), (2014, 0.4), (2015, 0.4), (2016, 0.4), (2017, 0.4), (2018, 0.5), (2019, 0.5), (2020, 0.5), (2021, 0.5), (2022, 0.5), (2023, 0.6), (2024, 0.6), (2025, 0.6), (2026, 0.6), (2027, 0.6), (2028, 0.6) Fr_P_Lahan_Komersil_Lainnya = GRAPH(TIME) (2008, 0.3), (2009, 0.3), (2010, 0.3), (2011, 0.3), (2012, 0.3), (2013, 0.4), (2014, 0.4), (2015, 0.4), (2016, 0.4), (2017, 0.4), (2018, 0.5), (2019, 0.5), (2020, 0.5), (2021, 0.5), (2022, 0.5), (2023, 0.6), (2024, 0.6), (2025, 0.6), (2026, 0.6), (2027, 0.6), (2028, 0.6) Fr_P_rmh_makan = GRAPH(TIME) (2008, 0.3), (2009, 0.3), (2010, 0.3), (2011, 0.3), (2012, 0.3), (2013, 0.4), (2014, 0.4), (2015, 0.4), (2016, 0.4), (2017, 0.4), (2018, 0.5), (2019, 0.5), (2020, 0.5), (2021, 0.5), (2022, 0.5), (2023, 0.6), (2024, 0.6), (2025, 0.6), (2026, 0.6), (2027, 0.6), (2028, 0.6) SUBMODEL PENGUNJUNG Pengunjung(t) = Pengunjung(t - dt) + (Laju_pertumbuhan Laju_Pengurangan_Pengunjung) * dtINIT Pengunjung = 5894 INFLOWS: Laju_pertumbuhan = Pengunjung*Pertumbuhan_pengunjung*Skenario_1 OUTFLOWS: Laju_Pengurangan_Pengunjung = (Pengunjung*Penurunan__Wisatwan)+(fraksi_lingkungan*Pengunjung) Penurunan__Wisatwan = 0.01 Pertumbuhan_pengunjung = 0.19 Skenario_1 = 0 fraksi_lingkungan = GRAPH(If Daya_dukung_lingkungan<=1 then (0) Else If Daya_dukung_lingkungan>1.1<2 then (0.1) Else If Daya_dukung_lingkungan>2<3 then (0.2) else (0.3)) (0.00, 0.00), (10.0, 0.00), (20.0, 0.00), (30.0, 0.00), (40.0, 0.00), (50.0, 0.00), (60.0, 0.00), (70.0, 0.00), (80.0, 0.00), (90.0, 0.00), (100, 0.00) SUBMODEL SOSIAL EKONOMI Net_pendapatan(t) = Net_pendapatan(t - dt) + (neraca) * dtINIT Net_pendapatan = 0 INFLOWS: neraca = Pendapatan_Pengelola-Pengeluaran Partisipasi_masyarkat(t) = Partisipasi_masyarkat(t - dt) + (Laju_penyerapan_tenaga_masyarakat) * dtINIT Partisipasi_masyarkat = 0
184
INFLOWS: Laju_penyerapan_tenaga_masyarakat = Pengunjung*(Fr_ojek+Fr_rumah_makan+Karyawan_guest_house+Karyawan_toko_souv enir+T_pemandu+T_perahu) Pendapatan_pemerintah(t) = Pendapatan_pemerintah(t - dt) + (laju_pendapatan) * dtINIT Pendapatan_pemerintah = 0 INFLOWS: laju_pendapatan = Pendapatan_Pengelola*pajak Pendapatan_Pengelola(t) = Pendapatan_Pengelola(t - dt) + (Pemasukan) * dtINIT Pendapatan_Pengelola = 0 INFLOWS: Pemasukan = Pengunjung*((Tiket+0.25*R2+0.12*R4)+(0.3*Atraksi_khusus)+(0.1*Perkemahan)+(0.1*s ewa`perahu)) Pendapatan__Masyarakat(t) = Pendapatan__Masyarakat(t - dt) + (Pendapatan) * dtINIT Pendapatan__Masyarakat = 0 INFLOWS: Pendapatan = Pengunjung*(ojek+(0.1*Pemandu)+(0.3*rate_restoran)+(sewa`perahu*0.1)+souvenir) Pengeluaran(t) = Pengeluaran(t - dt) + (Laju_pengeluaran) * dtINIT Pengeluaran = 0 INFLOWS: Laju_pengeluaran = Pendapatan_Pengelola*(Administrasi+Gaji+kemitraan+Konservasi_dan_pengaman+paja k+pemasaran+Perencanaan+Pomec+SDM) Administrasi = 0.03 Fr_ojek = 0.001 Fr_rumah_makan = 0.001 Gaji = 0.15 Karyawan_guest_house = 0.01 Karyawan_toko_souvenir = 0.001 kemitraan = 0.01 Konservasi_dan_pengaman = 0.01 ojek = 0.04*10000 pajak = 0.3 pemasaran = 0.03 Perencanaan = 0.01 Pomec = 0.1 rate_restoran = 15000*0.3 SDM = 0.01 souvenir = 0.03*25000 T_pemandu = 0.001 T_perahu = 0.01
185
Atraksi_khusus = GRAPH(TIME) (2008, 8000), (2009, 8000), (2010, 8000), (2011, 8000), (2012, 8000), (2013, 12000), (2014, 12000), (2015, 12000), (2016, 12000), (2017, 12000), (2018, 18000), (2019, 18000), (2020, 18000), (2021, 18000), (2022, 18000), (2023, 27000), (2024, 27000), (2025, 27000), (2026, 27000), (2027, 27000), (2028, 27000) Pemandu = GRAPH(TIME) (2008, 10000), (2009, 10000), (2010, 10000), (2011, 12500), (2012, 12500), (2013, 12500), (2014, 15000), (2015, 15000), (2016, 15000), (2017, 17500), (2018, 17500), (2019, 17500), (2020, 20000), (2021, 20000), (2022, 20000), (2023, 22500), (2024, 22500), (2025, 22500), (2026, 25000), (2027, 25000), (2028, 25000) Perkemahan = GRAPH(TIME) (2008, 5000), (2009, 5000), (2010, 5000), (2011, 5000), (2012, 5000), (2013, 7500), (2014, 7500), (2015, 7500), (2016, 7500), (2017, 7500), (2018, 10000), (2019, 10000), (2020, 10000), (2021, 10000), (2022, 10000), (2023, 12500), (2024, 12500), (2025, 12500), (2026, 12500), (2027, 12500), (2028, 12500) R2 = GRAPH(TIME) (2008, 1500), (2009, 1500), (2010, 1500), (2011, 1500), (2012, 2000), (2013, 2000), (2014, 2000), (2015, 2500), (2016, 2500), (2017, 2500), (2018, 3000), (2019, 3000), (2020, 3000), (2021, 3500), (2022, 3500), (2023, 3500), (2024, 4000), (2025, 4000), (2026, 4000), (2027, 4500), (2028, 4500) R4 = GRAPH(TIME) (2008, 4000), (2009, 4000), (2010, 4000), (2011, 4000), (2012, 4000), (2013, 5000), (2014, 5000), (2015, 5000), (2016, 5000), (2017, 5000), (2018, 6000), (2019, 6000), (2020, 6000), (2021, 6000), (2022, 6000), (2023, 7000), (2024, 7000), (2025, 7000), (2026, 7000), (2027, 7000), (2028, 7000) sewa`perahu = GRAPH(TIME) (2008, 5000), (2009, 5000), (2010, 5000), (2011, 7500), (2012, 7500), (2013, 7500), (2014, 10000), (2015, 10000), (2016, 10000), (2017, 12500), (2018, 12500), (2019, 12500), (2020, 15000), (2021, 15000), (2022, 15000), (2023, 17500), (2024, 17500), (2025, 17500), (2026, 20000), (2027, 20000), (2028, 20000) Tiket = GRAPH(TIME) (2008, 10000), (2009, 10000), (2010, 10000), (2011, 10000), (2012, 10000), (2013, 15000), (2014, 15000), (2015, 15000), (2016, 15000), (2017, 15000), (2018, 20000), (2019, 20000), (2020, 20000), (2021, 20000), (2022, 20000), (2023, 25000), (2024, 25000), (2025, 25000), (2026, 25000), (2027, 25000), (2028, 25000)
186
Lampiran 4. Hasil simulasi skenario BAU, Pro lingkungan, Pro pengelola dan Pro masyarakat sampai tahun 2058 Tabel 1 Hasil simulasi skenario bussines as usual sampai tahun 2058 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.660 7.526 8.504 9.610 10.859 12.271 13.866 15.668 17.705 20.007 22.608 25.547 28.868 32.621 36.862 41.654 47.069 53.189 60.103 67.917 76.746 86.723 97.997 110.737 125.132 141.400 159.782. 180.553 204.025 230.549 260.520 294.388 332.658 309.372 287.716 325.119 302.361 281.195 317.751 295.508 333.924 310.550 288.811 326.357 303.512 282.266 318.960 296.633 335.196 311.732 289.911 327.599 304.667 283.340 320.175
Indeks KDB 0.05 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.10 0.11 0.12 0.14 0.21 0.24 0.27 0.30 0.34 0.48 0.55 0.62 0.70 0.79 1.07 1.21 1.37 1.55 1.75 1.97 2.23 2.52 2.85 3.22 3.64 4.11 4.65 5.25 4.88 4.54 5.13 4.77 4.44 5.01 4.66 5.27 4.90 4.56 5.15 4.79 4.45 5.03 4.68 5.29 4.92 4.58 5.17 4.81 4.47
Pendapatan Pengelola 84.018.970 94.941.436 107.283.822 121.230.719 136.990.713 154.799.506 174.923.441 197.663.489 227.276.960 259.036.193 424.160.700 484.953.732 551.191.177 622.846.030 711.971.472 1.073.440.938 1.212.988.260 1.382.444.220 1.568.810.598 1.772.755.976 2.568.284.353 2.911.754.606 3.290.282.705 3.742.518.794 4.242.888.363 4.794.463.850 5.417.744.151 6.122.050.891 6.917.917.506 7.817.246.782 8.833.488.864 9.981.842.417 11.279.481.931 12.745.814.582 11.853.607.561 11.023.855.032 12.456.956.186 11.584.969.253 10.774.021.405 12.174.644.188 11.322.419.095 12.794.333.577 11.898.730.227 11.065.819.111 12.504.375.595 11.629.069.303 10.815.034.452 12.220.988.931 11.365.519.706 12.743.037.268 11.944.024.659 11.107.942.933 12.551.975.514 11.673.337.228 10.856.203.622
Pendapatan Masyarakat 23.576.000 26.640.880 30.104.194 34.017.739 38.440.045 43.437.251 49.084.094 55.465.026 70.509.915 79.676.204 90.034.110 113.042.828 127.738.395 144.344.387 179.420.073 202.744.682 229.101.491 282.419.656 319.134.212 360.621.659 441.461.015 498.850.947 563.701.570 685.981.449 775.159.038 875.929.713 989.800.575 1.118.474.650 1.263.876.355 1.428.180.281 1.613.843.717 1.823.643.401 2.060.717.043 2.328.610.259 2.165.607.540 2.014.015.013 2.275.836.964 2.116.528.377 1.968.371.390 2.224.259.671 2.068.561.494 2.337.474.488 2.173.851.274 2.021.681.685 2.284.500.304 2.124.585.283 1.975.864.313 2.232.726.674 2.076.435.806 2.246.372.461 2.182.126.389 2.029.377.542 2.293.196.622 2.132.672.859 1.983.385.759
187
Tabel 2 Hasil simulasi skenario pro lingkungan sampai tahun 2058 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.483 7.132 7.845 8.629 9.492 10.442 11.486 12.634 13.898 15.288 16.816 18.498 20.348 22.382 24.621 27.083 29.791 32.770 36.047 39.652 43.617 47.979 52.777 58.054 63.860 70.246 77.270 84.997 93.497 102.847 113.131 124.445 136.889 150.578 165.636 182.199 200.419 220.461 242.507 266.758 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434 293.434
KDB 0.02 0.02 0.02 0.03 0.03 0.03 0.03 0.04 0.04 0.04 0.06 0.07 0.08 0.08 0.09 0.13 0.14 0.15 0.16 0.18 0.23 0.25 0.28 0.30 0.33 0.36 0.39 0.43 0.47 0.51 0.55 0.61 0.66 0.72 0.79 0.86 0.94 1.02 1.11 1.22 1.33 1.45 1.58 1.72 1.88 2.05 2.24 1.99 2.17 1.94 2.11 1.88 2.05 2.24 2.00
Pend pengelola 84.018.970 92.420.867 101.662.953 111.829.249 123.012.173 135.313.391 148.844.730 163.729.203 183.260.702 203.323.990 324.095.382 360.708.988 399.092.124 439.001.337 488.497.084 716.954.804 788.650.285 874.963.075 966.555.652 1.063.211.217 1.499.436.019 1.654.831.756 1.820.314.931 2.015.540.589 2.224.351.439 2.446.786.582 2.691.465.241 2.960.611.765 3.256.672.941 3.582.340.236 3.940.574.259 4.334.631.685 4.768.094.854 5.244.904.339 5.769.394.773 6.346.334.251 6.980.967.676 7.679.064.443 8.446.970.888 9.291.667.976 10.220.834.774 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252 11.242.918.252
Pend masyarakat 23.576.000 25.933.600 28.526.960 31.379.656 34.517.621 37.969.383 41.766.322 45.942.954 56.854.406 62.539.846 68.793.831 84.081.349 92.489.484 101.738.432 123.103.503 135.413.853 148.955.239 178.746.287 196.620.915 216.283.007 257.737.250 283.510.975 311.862.073 369.436.609 406.380.270 447.018.297 491.720.127 540.892.140 594.981.354 654.479.489 719.927.438 791.920.182 871.112.200 958.223.421 1.054.045.763 1.159.450.339 1.275.395.373 1.402.934.910 1.543.228.401 1.697.551.242 1.867.306.366 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002 2.054.037.002
188
Tabel 3 Hasil simulasi skenario pro pengelola sampai tahun 2058 TAHUN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 7.043 8.416 10.058 12.019 14.363 17.163 20.510 24.510 29.290 35.001 41.827 49.983 59.730 71.377 85.296 101.928 121.804 145.556 173.940 207.858 248.391 296.827 354.708 352.935 351.170 349.414 347.667 345.929 344.199 342.478 340.766 339.062 337.367 335.680 334.001 332.331 330.670 329.016 327.371 325.734 324.106 322.485 320.873 319.268 317.672 316.084 314.503 312.931 311.366 309.809 308.260 306.719 305.185 303.659 302.141
Ind KDB 0.02 0.03 0.04 0.04 0.05 0.06 0.07 0.09 0.10 0.12 0.20 0.23 0.28 0.33 0.40 0.60 0.71 0.85 1.02 1.22 1.74 2.08 2.49 2.97 2.96 2.94 2.93 2.91 2.90 2.89 2.87 2.86 2.84 2.83 2.81 2.80 2.79 2.77 2.76 2.74 2.73 2.72 2.70 2.69 2.68 2.66 2.65 2.64 2.62 2.61 2.60 2.58 2.57 2.56 2.55
Pend Pengelola 84.018.970 100.402.669 119.981.189 143.377.521 171.336.138 204.746.685 244.672.288 292.383.385 355.525.787 428.514.582 742.036.118 897.189.921 1.078.389.869 1.288.675.893 1.557.812.046 2.483.819.780 2.968.164.638 3.577.407.950 4.293.197.098 5.130.370.532 7.860.177.291 9.423.960.758 11.261.633.106 13.546.328.759 13.522.714.022 13.455.100.452 13.387.824.949 13.320.885.825 13.254.281.395 13.188.009.988 13.122.069.938 13.056.459.589 12.991.177.291 12.926.221.404 12.861.590.297 12.797.282.346 12.733.295.934 12.669.629.454 12.606.281.307 12.543.249.901 12.480.533.651 12.418.130.983 12.356.040.328 12.294.260.126 12.232.788.826 12.171.624.882 12.110.766.757 12.050.212.923 11.989.961.859 11.930.012.049 11.870.361.989 11.811.010.179 11.751.955.128 11.693.195.353 11.634.729.376
Pend masyarakat 23.576.000 28.173.320 33.667.117 40.232.205 48.077.485 57.452.594 68.655.850 82.043.741 110.297.555 131.805.578 157.507.666 209.135.179 249.916.539 298.650.265 392.575.773 469.128.049 560.608.018 730.828.999 873.340.653 1.043.642.081 1.351.081.644 1.614.542.565 1.929.378.365 2.482.961.542 2.470.546.735 2.458.194.001 2.445.903.031 2.433.673.516 2.421.505.148 2.409.397.622 2.397.350.634 2.385.363.881 2.373.437.062 2.361.569.876 2.349.762.027 2.338.013.217 2.326.323.151 2.314.691.535 2.303.118.077 2.291.602.487 2.280.144.475 2.268.743.752 2.257.400.033 2.246.113.033 2.234.882.468 2.223.708.056 2.212.589.515 2.201.526.568 2.190.518.935 2.179.566.340 2.168.668.509 2.157.825.166 2.147.036.040 2.136.300.860 2.125.619.356
189
Tabel 4 Hasil simulasi skenario pro masyarakat sampai tahun 2058 TAHUN 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 2051 2052 2053 2054 2055 2056 2057 2058
Pengunjung 6.813 7.876 9.105 10.525 12.167 14.065 16.259 18.796 21.728 25.118 29.036 33.566 38.802 44.855 51.853 59.942 69.293 80.103 92.599 107.045 123.744 143.048 165.363 191.160 220.981 255.454 295.305 341.373 326.352 311.993 298.265 344.795 329.624 315.120 301.255 288.000 332.928 318.279 304.274 290.886 336.265 321.469 307.324 293.802 339.635 324.691 310.405 296.747 343.040 327.946 313.516 299.721 346.478 331.233 316.659
Ind KDB 0.02 0.03 0.03 0.04 0.04 0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.14 0.16 0.19 0.22 0.25 0.36 0.42 0.48 0.56 0.65 0.90 1.04 1.20 1.39 1.60 1.85 2.14 2.48 2.86 2.74 2.62 2.50 2.89 2.76 2.64 2.53 2.41 2.79 2.67 2.55 2.44 2.82 2.70 2.58 2.46 2.85 2.72 2.60 2.49 2.88 2.75 2.63 2.51 2.90 2.78
Pend Pengelola 84.018.970 97.125.929 112.277.574 129.792.875 150.040.564 173.446.892 200.504.607 231.783.326 272.640.605 317.888.607 532.505.788 622.835.850 724.194.037 837.168.307 978.980.544 1.509.972.414 1.745.528.111 2.035.153.904 2.362.650.843 2.731.224.374 4.047.910.652 4.694.852.731 5.427.249.757 6.315.241.657 7.324.314.418 8.466.907.467 9.787.745.032 11.314.633.257 13.079.716.045 12.504.208.539 11.954.023.364 11.428.046.336 13.210.821.564 12.629.545.415 12.073.845.417 11.542.596.219 11.034.721.985 12.756.138.615 12.194.868.516 11.658.294.301 11.145.329.352 12.884.000.730 12.317.104.698 11.775.152.092 11.257.045.400 13.013.144.482 12.440.566.125 11.893.181.215 11.369.881.242 13.143.582.715 12.565.265.076 12.012.393.413 11.483.848.102 13.275.328.406 12.691.213.957
Pend masyarakat 23.576.000 27.253.856 31.505.457 36.420.308 42.101.877 48.669.769 56.262.254 65.039.165 84.583.434 97.778.450 113.031.889 145.183.182 167.831.758 194.013.512 246.707.582 285.193.965 329.684.224 415.761.778 480.620.615 555.597.431 695.793.183 804.336.920 929.813.479 1.157.546.258 1.338.123.474 1.546.870.736 1.788.182.571 2.067.139.052 2.389.612.744 2.284.469.784 2.183.953.113 2.087.859.176 2.413.565.208 2.307.368.339 2.205.844.132 2.108.786.990 2.016.000.362 2.330.496.419 2.227.954.576 2.129.924.575 2.036.207.894 2.353.856.325 2.250.286.647 2.151.274.034 2.056.617.977 2.377.450.381 2.272.842.564 2.172.837.492 2.077.232.642 2.401.280.934 2.295.624.573 2.194.617.092 2.098.053.940 2.425.350.354 2.318.634.939