PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF QURAISH SHIHAB (Telaah Surat Luqma>n Ayat 12-19 dalam Tafsir al-Misbah) Ma’mun MTs Negeri Sliyeg, Indramayu, Jawa Barat Email:
[email protected]
Abstrak: Pendidikan akhlak perspektif Quraish Shihab bertujuan untuk memahami formulasi konsep pendidikan akhlak dalam penafsirannya terhadap surat Luqma>n ayat 1219. Permasalahan yang ada dijawab melalui penelitian kepustakaan (library research). Data-data dikumpulkan dari berbagai referensi; baik primer, sekunder, maupun data pendukung. Data-data yang ada dianalisis dengan pendekatan pendidikan dengan cara content analysis (analisis isi). Hasil penelitian yang terkandung pada ayat 12-19 Surat Luqma>n menurut Quraish Shihab: Pertama, terdapat sembilan kandungan penting tentang pendidikan akhlak, yaitu: a) pentingnya keimanan dan larangan mempersekutukan Allah swt, karena merupakan kezaliman yang sangat besar; b) penekanan terhadap pentingnya implementasi konsep hikmah, yaitu keselarasan dan kesesuaian antara ilmu dan amal; c) perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua, terutama Ibu; d) penekanan terhadap perasaan selalu diawasi Allah dalam setiap tingkah laku, karena Allah Maha Melihat dan Mengetahui; e) perintah untuk selalu menjaga shalat fardu dan shalat sunnah, karena shalat merupakan tiang agama dan sarana komunikasi seorang hamba kepada Tuhannya; f) penekanan terhadap perintah untuk selalu ber-Amar ma’ruf nahi munkar, karena merupakan bentuk kepedulian seseorang pada lingkungan sekitarnya; g) perintah untuk selalu bersabar dalam setiap kondisi, karena seseorang yang sabar akan memiliki jiwa yang kokoh serta dapat menahan gejolak nafsu dalam dirinya; h) larangan bersikap sombong, karena pada hakikatnya manusia diciptakan dari tanah; i) perintah untuk senantiasa bersyukur dalam setiap keadaan, karena hakikat syukur mengakui terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Kedua, dari segi materi dalam surat Luqma>n ayat 12-19, akhlak religius terdiri dari: a) akhlak iman; b) akhlak birr al-wa>lidyn; c) mura>qabatillah; d) akhlak menjaga shalat; e) Amar ma’ruf nahi munkar; f) akhlak sabar; g) akhlak tawaddu’; h) akhlak syukur. Kata kunci: pendidikan; akhlak; tafsir al-Misbah
PENDAHULUAN Dewasa ini, Indonesia mengalami krisis moral akibat derasnya pengaruh globalisasi. Globalisasi bukan hanya menjamah kota-kota besar saja, tetapi daerah-daerah terpencil pun sudah terkontaminasi dengan virus-virus globalisasi. Perkembangan informasi dan teknologi di era globalisasi, begitu juga tingkat adopsi masyarakat terhadap budaya luar begitu mudah diterima dan beradaptasi dalam kehidupan masyarakat. Era globalisasi yang dihadapi saat ini menawarkan suatu nilai yang baik, juga nilai sebaliknya, seperti: konsumerisme, seks bebas, narkoba, pelampiasan nafsu manusiawi dengan melupakan hidup imani dan rohani. Fenomena ini menyebabkan kemerosotan akhlak, sering terjadinya konflik antarsuku, agama, ras, kepentingan kelompok. Hal ini diperparah
41
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
dengan persoalan hidup yang makin kompleks, kepekaan sosial masyarakat yang semakin berkurang dan perkembangan individualisme yang semakin tinggi.1 Menyikapi permasalahan di atas, dunia pendidikan harus memainkan peran penting dalam mengkonter dekadensi moral bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada Pasal 3, disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan di atas, jelas bahwa pendidikan merupakan suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. pendidikan akhlak, yaitu; membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik, sehingga mampu mengantisipasi gejala krisis moral dan berperan dalam rangka pembinaan generasi muda.3 Dari paparan di atas, dapat dikatakan bahwa inti dari permasalan yang dihadapai dalam dunia pendidikan adalah belum terimplementasikannya pendidikan akhlak dengan baik dan benar. Hal ini karena dunia pendidikan selama ini dianggap terpasung oleh kepentingan-kepentingan yang absurd, hanya mementingkan kecerdasan intelektual, akal, dan penalaran, tanpa dibarengi dengan intensifnya pengembangan kecerdasan hati, perasaan, dan emosi. Output pendidikan memang menghasilkan orang-orang cerdas, tetapi kehilangan sikap jujur dan rendah hati. Mereka terampil, tetapi kurang menghargai sikap tenggang rasa dan toleransi. Imbasnya, apresiasi terhadap keunggulan nilai humanistik, keluhuran budi, dan hati nurani menjadi dangkal.4 Oleh karena itu, perlu adanya reorientasi dan penataan ulang terhadap aspek-aspek yang hilang dan kurang mendapatkan perhatian dalam dunia pendidikan, yaitu pendidikan yang lebih mefokuskan pada pembentukan akhlak anak didik. Karena pada dasarnya Dalam pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah kepatuhan akan nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.
1
Amri Rahman dan Dulsukmi Kasim, “Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an; Upaya Menciptakan Bangsa yang Berkarakter” dalam Al-Ulum, Vol. XIV, No. 1 (2014): 248. 2 Lihat Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003), (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), 7. 3 Rifki Afandi, “Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar” dalam Pedagogia, Vol I, No 1 (2011): 85. 4 Sudarsono, J. Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.), Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,. 2008), xvi.
42
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Dalam al-Qur’an dapat ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan, mendidik jiwa dan juga menggugah semangat. Ayat-ayat pilihan juga menjadi salah satu alternatif, di mana banyak terkandung di dalamnya pelajaran berupa hikayat-hikayat orang saleh yang disertai contoh perilaku mereka. Hal ini tentunya dapat menjadi alat pembinaan kesadaran beragama pada anak yang mempunyai pengaruh kuat pada pembentukan akhlaknya. Untuk merespon hal itu, Surat Luqma>n ayat 12-19 mengandung beberapa metode pendidikan akhlak, baik akhlak kepada Allah dan akhlak kepada sesama manusia yang dapat diimplementasikan ke dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini, Quraish Shihab sebagai salah seorang mufassir, pemikir besar dan praktisi pendidikan di Indonesia. Keterlibatannya dalam dunia pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata, pengalamannya sebagai Guru Besar dan Rektor di Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan bertahun-tahun mendidik dan mengajar membuktikan betapa ia sangat memahami dunia pendidikan. Karya tafsirnya yang berjudul al-Misbah telah banyak menginspirasi banyak orang serta mampu memberikan warna tersendiri di dalam khazanah tafsir al-Qur’an. Dalam tafsirnya itu, Quraish Shihab memiliki penjelasan tersendiri mengenai pendidikan akhlak yang terkandung dalam surat Luqman ayat ke 12-19. Dengan memahami nilai-nilai pendidikan karakter dalam perspektif Quraish Shihab dalam penafsirannya terhadap ayat ke 12-19 dari Surta Luqma>n, diharapkan pendidikan yang selama ini berjalan menjadi lebih bermakna, tidak hanya berorientasi pada hal-hal yang sifatnya materi saja, tetapi juga berorientasi pada kehidupan akhirat kelak. Dari uraian di atas, maka rumusan permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana pendidikan akhlak menurut Muhammad Quraish Shihab dalam penafsirannya terhadap surat Luqma>n ayat 12-19? METODE PENELITIAN Tulisan ini bertujuan untuk memahami formulasi konsep pendidikan akhlak Quraish Shihab dalam penafsirannya terhadap surat Luqma>n ayat 12-19. Permasalahan yang ada kemudian dijawab melalui penelitian kepustakaan (library research). Data-data dikumpulkan dari berbagai referensi; baik primer, sekunder,maupun data pendukung. Data-data yang ada dianalisis dengan pendekatan pendidikan dengan cara content analysis (analisis isi). Data dalam penelitian ini diambil dari sumber primer dan sekunder. Adapun sumber data primer yaitu kitab tafsir al-Misbah karya Muhammad Quraish Shihab. Sedangkan data sekunder diambil dari buku-buku, jurnal dan artikel yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian ini. Sifat dari penelitian ini adalah kualitatif, yang lebih ditekankan berupa pembahasan mengenai pendidikan akhlak menurut Islam. Adapun obyek penelitian ini adalah ayat 12-19 dari surat Luqma>n mengenai pendidikan karakter. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memberikan inferensi makna ayat ke 12 sampai 19 dari surat Luqma>n secara mendalam dan kontekstual.
43
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan atas Pendidikan Akhlak Secara bahasa, pendidikan menurut Abuddin Nata mengandung arti memperbaiki, menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makna, mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya. Jika melihat dari arti kata-kata tersebut, maka pendidikan dapat diartikan sebagai usaha memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan peserta didik agar dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.5 Pendidikan dalam arti sederhana sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayan di dalam masyarakat.6 Pada perkembangannya, istilah pendidikan sering diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup yang lebih tinggi dalam arti mental.7 Menurut Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Suwarno, pendidikan merupakan tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya, pendidikan menjadi penuntun atas segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia atau sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.8 Menurut Hasan Langgulung, pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada anakanak atau pada orang yang sedang dididik.9 Adapun Ahmad D. Marimba memahami pendidikan sebagai proses bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik guna terbentuknya kepribadian yang utama.10 Azyumardi Azra memahami pendidikan sebagai suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efesien. Ia menegaskan bahwa pendidikan lebih dari sekedar pengajaran. Menurutnya, pendidikan adalah suatu proses di mana suatu bangsa atau bernegara membina dan mengembangkan kesadaran diri di antara individuindividu.11 Setelah mengetahui makna pendidikan, selanjutnay diterangkan makna dari akhlak. Adapun akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang bemakna adat kebiasaan, perangai, tabi’at, watak, adab atau sopan satun.12 Ibn Miskawaih Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2010), 8. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), 1. 7 Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), 4. 8 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan (Jakarta: Aksara Baru, 1985), 2. 9 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidik: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), 32. 10 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 19. 11 Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional dan Demokratisasi (Jakarta: Buku Kompas, 2006), ix. 12 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih (Yogyakarta: PT Remaja Rosda Karya, 2004), 76. 5 6
44
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
mendefenisikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 13 Menurut ‘Abdulla>h al-Makki>, akhlak Islam adalah sifat dari ketentuan hidup yang baik dan cara berinteraksi dengan manusia. Akhlak dalam pandangan Islam merupakan himpunan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang sistematis untuk diterapkan pada sifat manusia yang telah digariskan agar digunakan dalam kehidupan manusia serta untuk mencapai kesempurnaan manusia.14 Al-Ghazali> mengartikan akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang melahirkan berbagai macam perbuatan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.15 Tidak jauh berbeda, Muhammad Anis Matta16 memahami akhlak sebagai suatu nilai yang telah menjadi sikap mental yang telah mengakar pada jiwa, lalu tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural, dan refleks. Darraz sebagaimana dikutip H.A. Mustafa mendefinisikan akhlak sebagai suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap, di mana kekuatan dan kehendak tersebut mampu menimbulkan kecenderungan pada pemilihan sikap atau perbuatan antara yang benar dan salah. Tetapi hal itu dapat di kategorikan sebagai akhlak apabila, pertama, perbuatanperbuatan itu dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi sebuah kebiasaan; kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan dalam dirinya dan tidak ada faktor luar yang menekannya untuk melakuakan perbuatan itu.17 Abuddin Nata menerangkan bahwa suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai akhlak apabila di dalamnya terdapat lima tanda. Pertama, perbuatan itu telah menjadi kepribadian yang tertanam kuat dalam jiwa seseorang. Kedua, perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilakukan dengan acceptable dan tanpa pemikiran (unthouhgt). Ketiga, perbuatan itu dilakukan tanpa paksaan. Keempat, perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya tanpa ada unsur sandiwara. Kelima, perbuatan tersebut dilakukan untuk menegakkan kalimat Allah.18 Kevin Ryan dan Karen E. Bohlin menyatakan bahwa akhlak atau karakter mengandung tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan.19 Hal senada juga dinyatakan oleh Thomas Lickona, bahwa akhlak atau karakter meliputi tiga komponen, yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau
13
Ibn Mishkawayh, Tahdi>b al-Ahkla>k wa Tathi> al-A’ra>q (Kairo: al-Matba’ah al-Misriyah, 1943),
40. Abdulla>h al-Makki>, Nad}rah al-Na’i>m fi> Maka>rim Akhla>q al-Rasu>l al-Kari>m (Jeddah: al-Wasi>lah li> al-Nashr wa al-Tawzi>’), 66. 15 Abu> H{ami>d al-Ghazali, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, (Beirut: Da>r al- Fikr, t.th), Juz III, 56. 16 M. Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2006), 14. 17 H.A. Mustafa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 13-14. 18 Abuddin Nata (ed.), Pendidikan dalam Perspektif Hadis (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), 274. 19 Kevin Ryan and Karen E. Bohlin, Building Character in Schools; Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life ( New York : Bantam Books, 2003), 05. 14
45
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
perbuatan bermoral.20 Lebih spesifik lagi, akhlak atau karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skills) yang harus dimiliki peserta didik.21 Singkatnya, akhlak atau karakter merupakan nilainilai unik yang terpateri di dalam diri, terimplementasi di dalam tingkah laku dan bermuara pada budi pekerti yang baik dan mulia.22 Sehingga individu yang berkarakter baik adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi, dan motivasinya.23 Setelah mengetahui makna dari pendidikan dan akhlak, selanjutnya diterangkan makna dari pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak secara akademik sering dikaitkan dengan pendidikan nilai, pendidikan moral, dan pendidikan karakter. Ketiga hal tersebut sama-sama memiliki tujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik guna memberikan keputusan baik dan buruk, memelihara apa yang baik dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.24 Ratna Megawangi menjelaskan bahwa pendidikan akhlak merupakan sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi prilaku yang positif kepada lingkungannya.25 Hal serupa juga diungkapkan Zubaedi, pendidikan akhlak atau karakter dapat dipahami sebagai upaya penanaman kecerdasan dalam berpikir, penghayatan dalam bentuk sikap, dan pengamalan dalam perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang menjadi jatidirinya, diwujudkan dalam interaksi dengan Tuhannya, diri sendiri, antar sesama, dan lingkungannya.26 ‘Abdurrah}ma>n al-Nah}lawi> mengungkapkan bahwa pendidikan akhlak tidak dapat terlepas dari esensi pendidikan Islam. Hal itu harus diajarkan di lembaga formal (sekolah) maupun non-formal seperti keluarga dan lingkungan masyarakat.27 Ahmad Tafsir menambahkan bahwa dengan memberikan teladan, pembiasaan terhadap hal-hal baik, menegakkan disiplin serta menciptkan suasana religious, dapat memberikan pengaruh 20 Thomas Lickona, E. Schaps and Lewis, CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education (Washington DC: Character Education Partnership, 2003), 29. 21 Tim Penyusun, Pedoman Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama (Jakarta : Dirjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian pendidikan Nasional, 2011), 12. 22 Asep Jihad, Muchlas Rawi, dan Noer Komarudin, Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi (Jakarta : Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian pendidikan Nasional, 2010), 46. 23 Tim Penyusun, Pedoman Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama, 11. 24 Darmiyati Zuchdi, Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif (Yogyakarta: UNY Press, 2010), 3. 25 Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa (Bogor: Indonesia Heritage Fondation 2004), 95. 26 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter; Konsepsi dan Aplikasinya dalam lembaga Pendidikan (Jakarta : Penerbit Kencana, 2011), 17. 27 ‘Abdurah}ma>n al-Nah}lawi>, Us}u>l al-Tarbiyyah al-Isla>miyah wa Asa>li>biha> fi> al-Bayt wa alMadrasah al-Mujtama’ (Beirut: Da>r al-Fikr, 1999), 18.
46
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
terhadap pertumbuhan akhlak anak.28 Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak merupakan suatu proses pengajaran yang memberikan nilai-nilai dan bersifat transendental karena bersumber dari al-Qur’an dan Hadis. Selain itu, akhlak juga memiliki posisi yang sangat tinggi dalam pendidikan Islam, karena akhlak meurpakan salah poros dari Islam itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah suatu sistem penerapan nilai-nilai moral terhadap peserta didik melalui ilmu pengetahuan, kesadaran, dan mengimplementasikan nilai-nilai tersebut ke dalam diri sendiri, sesama, lingkungan, bangsa dan negara, serta kepada Tuhan sehingga ia menjadi manusia yang memiliki akhlak yang terpuji. Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah a.
Sekilas Tentang Tafsir al-Misbah
Jika melihat dari segi fungsinya, kata al-Misbah yang dijadikan nama kitab tafsir ini memiliki arti lampu yang berfungsi untuk menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini, Muhammad Quraish Shihab berharap agar karyanya ini dapat dijadikan sebagai penerang bagi mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup.29 Kemudian, penamaan tafsir ini juga didasarkan pada masa awal kegiatan Muhammad Quraish Shihab dalam hal menulis karya-karyanya di Jakarta. Pada saat ia tinggal di Ujung Pandang, ia sudah aktif menulis dan telah banyak karya yang telah dihasilkannya, namun produktifitasnya sebagai penulis dapat dinilai mulai mendapat momentumnya setelah ia bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an ia diminta untuk menjadi pengasuh rubrik “Pelita Hati” di harian Pelita, pada tahun 1994 kumpulankumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul “Lentera Hati” yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang hingga beberapa kali. Apabila ditinjau dari maknanya, dari sinilah pengambilan nama al-Misbah berasal.30 Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa latar belakang terbitnya tafsir alMisbah adalah diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “Tafsir al-Qur’an alKarim” pada tahun 1997 yang dianggapnya kurang menarik minat dari para pembaca, bahkan ada sebagian orang yang menilai bahwa tafsirnya itu bertele-tele dalam hal penyajian pengertian dari kosa kata dan kaidah-kaidah. Karena itulah Muhammad Quraish Shihab tidak melanjutkan upaya penulisan tafsirnya itu. Tetapi di lain sisi, banyak kaum muslimin yang membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an seperti surat Ya>si>n, alWa>qi‘ah, al-Rah}ma>n dan surat lain yang merujuk kepada hadis-hadis d}a‘i>f, seperti halnya kepercayaan bahwa membaca surat al-Wa>qi‘ah mengandung keutamaan dapat Ahmad Tafsir, Metologi Pengajaran Agama Islam (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 112. Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah”, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol XIX, No. 2 (2002): 176. 30 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah”, 176. 28
29
47
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
mengundang rizki. Atas dasar inilah, Muhammad Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah selalu menjelaskan tema pokok yang terkandung dari setiap surat serta menjelaskan tujuan-tujuan utama pada setiap ayat agar membantu meluruskan kekeliruan-kekeliruan tersebut.31 Adapun menurut Herman Heizer, penulisan tafsir al-Misbah didasari oleh dua alasan utama. Pertama, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa umat Islam Indonesia memiliki ketertarikan besar terhadap al-Qur’an, tetapi sebagain besar dari mereka hanya terpukau dengan bacaannya ketika dilantunkan, shingga menimbulkan kesan bahwa alQur’an hanya untuk dibaca saja. Padahal Muhammad Quraish Shihab menuturkna bahwa bacaan al-Qur’an hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan-Nya disertai dengan pemahaman dan penghayatan yang diiringi dengan tadhakkur dan tadabbur. Kedua, tidak sedikit umat Islam Indonesia yang memiliki ketertarikan yang luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’an, tetapi mereka banyak dihadapkan oleh berbagai kendala, terutama waktu, ilmu yang mendukung dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari segi cakupan informasi yang jelasa dan tidak bertele-tele.32 Adapun sumber penafsiran yang digunakan pada tafsir al-Misbah adalah ijtihad dari penulisnya, atau biasa disebut dengan Tafsi>r bi> al-Ra’y.33 Kemudian untuk menguatkan ijtihad itu, penulis tafsir ini menggunakan sumber-sumber rujukan yang bersumber dari pendapat-pendapat para ulama klasik dan kontemporer.34 Selain itu, penulis tafsir ini juga menggunakan ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis sebagai bagian dari penjelasan yang dilakukannya.35 Biasanya, rujukan dari ayat al-Qur’an dan Hadis ditulis dalam bentuk italic (miring) untuk membedakan dari rujukan yang berasal dari pendapat para ulama atau dari ijtihadnya sendiri.36 Adapun ulama-ulama yang banyak dijadikan bahan rujukan oleh penulis tafsir alMisbah adalah Ibrahi>m Ibn ‘Uma>r al-Biqa>‘i> (w. 1480 M), Muh}ammad Sayyid T{ant}a>wi> (w. 2010 M), Mutawalli> al-Sha‘rawi> (w. 1998 M), Sayyid Qut}b (w. 1966 M), Ibn ‘Ashu>r (w. 1973 M), Muh}ammad H{usayn T{aba’t}aba‘i> (w. 1981 M) dan mufassir-mufassir lainnya.37
31 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol I, ix. 32 Herman Heizer, “Tafsir al-Misbah: Lentera bagi Umat Islam Indonesia” dalam Majalah Tsaqafah, Vol I, No. 3, (2003): 91. 33 Tafsi>r bi> al-Ra’y menurut ‘Abd al-H{ayy al-Farmawi> adalah menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata Arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, seorang mufassir juga dibantu oleh asba>b al-Nuzu>l, nasikh mansukh dan lain sebagainya. Abd al-H{ayy alFarmawi>, Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapannya (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 26. 34 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah”, 180. 35 Hal ini dalam ilmu tafsir lazim disebut dengan Tafsi>r bi> al-Ma’thu>r, yaitu menjelaskan al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya yang dilakukan oleh Rasulullah, atau menjelaskan al-Qur’an dengan ijtihad yang Rasulullah yang disampaikan kepada para sahabat, dan para sahabat berdasarkan ijtihadnya, dan dari para yabi’in juga berdasarkan ijtihadnya. Abd al-H{ayy al-Farmawi>, Metode Tafsir Maudu’i, 24. 36 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah”, 181. 37 Untuk lebih detailnya lihat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, xii.
48
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Jika dilihat secara seksama, metode yang digunakan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya adalah dengan mengkombinasikan beberapa metode penafsiran, antara lain metode tah}li>li>38 karena ia menafsirkan berdasarkan urutan ayat al-Qur’an. Muqa>ran39 karena dalam menafsirkan ayat, ia memaparkan berbagai pendapat ulamaulama klasik maupun kontemporer. Terakhir, semi metode mawd}u>‘i>40 karena dalam tafsirnya ini selalu dijelaskan tema pokok dari surat-surat al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar seputar ayat-ayat agar memberi kesan kepada para pembacanya.41 Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Quraish Shihab dalam muqaddimah tafsirnya bahwa dalam mengenalkan al-Qur’an, ia berusaha menyajikan bahasan setiap surat dengan memaparkan tujuan surat serta tema pokok yang terkandung di dalamnya. Pada tema itulah akan diuraikan kandunga dari setiap ayat-ayatnya. Jika hal itu mampu disampaikan dengan baik, maka pesan utama dari ke-114 surat dalam al-Qur’an akan diketahui dengan mudah.42 Tafsir al-Misbah termasuk ke dalam corak adab ijtima>‘i> (sosial kemasyarakatan). Corak tafsir yang berorientasikan pada sosial kemasyarakatan akan cenderung mengarah pada masalah-masalah yang terjadi di kalangan masyarakat. Penjelasan-penjelasan yang diberikan dalam banyak hal selalu dikaitkan dengan persoalan yang sedang dialami umat, dan uraiannya memiliki tujuan untuk memberikan solusi atau jalan keluar terhadap masalah-masalah tersebut. Dengan demikian, tafsir al-Mizan oleh penulisnya diharapkan mampu memberikan jawaban bagi segala problematika umat. Karena hakikat diturunkannya al-Qur’an ke muka bumi adalah untuk dijadikan pedoman dan petunjuk bagi umat manusia.43 Pada umumnya, setiap tafsir memiliki sistematika penulisan yang disajikan oleh penulsinya. Hal ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi para pembaca tafsirnya. Adapun sistematika tafsir al-Misbah adalah sebagai berikut: Metode tah}li>li> adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan setta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 31. 39 Metode muqa>ran adalah suatu metode tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Qur’an yamg satu dengan lainnya, yaitu ayat-ayat yang mempunyai kemiripan redaksi dalam dua atau lebih kasus yang berbeda, atau yang memiliki redaksi yang berbeda untuk masalah atau kasus yang sama atau diduga sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an dengan Hadis-hadis Nabi yang tampak bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran al-Qur’an. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 220. 40 Metode Mawdu>‘i> adalah membahas ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan tema yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan kemudian dihimpun. Kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait denganya, seperti asba>b al-nuzu>l, kosakata dan sebagainya. Semua itu dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, baik argumen itu berasal dari al-Qur’an, Hadis, ataupun pemikirian rasional. Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, 151. 41 Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah (Diserta) (Jakarta: Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2006), 51. 42 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol I, xii. 43 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah”, 184. 38
49
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
b.
1.
Diawali dengan penjelasan secara umum dari suatu surat.
2.
Mengelompokkan ayat-ayat sesuai dengan tema-tema tertentu, lalu diikuti dengan menuliskan terjemahan dari ayat tersebut.
3.
Dalam menafsirkan suatu ayat, terlebih dahulu diuraikan kosakata yang terdapat pada ayat tersebut.
4.
Menyisipkan kata penjelas sebagai penjelasan makna atau sisipan tersebut merupakan bagian dari kata atau kalimat yang digunakan dalam al-Qur’an.
5.
Ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi yang dijadikan dijadikan argumentasi penafsiran hanya ditulis terjemahannya saja.
6.
Menjelaskan muna>sabah (hubungan) ayat yang satu dengan ayat lainnya.
Sekilas Tentang Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Qurasih Shihab berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab (w. 1986 M). Ia pernah menjabat sebagai rektor IAIN Alaudin Makasar. Selain itu, ia juga termasuk dari salah satu penggagas berdirinya Universitas Muslim Indonesia, yaitu salah satu universitas Islam terkemuka di Makasar. Selain itu.44 Qurasih Shihab dilahirkan pada 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah dasar di Ujung Pandang. Kemudian ia melanjutkan pendidikan menengahnya pada Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah di Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, ia berangkat ke Kairo, Mesir pada 1958, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah al-Azhar. Kemudian pada 1967, ia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas alAzhar. Selanjutnya ia meneruskan studinya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir al-Quran dengan tesis berjudul al-I‘ja>z alTashri‘iy li> al-Qur’a>n al-Kari>m (kemukjizatan al-Quran al-Karim dari Segi Hukum).45 Setelah menyelesaikan pendidikan Magisternya, Quraish Shihab kembali ke Ujung Pandang. Kemudian ia dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, ia juga diamanahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, ia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).46 Arief Subhan, “Tafsir yang Membumi” dalam Majalah Tsaqafah, Vol I, No. 3, (2003): 82. Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 6. 46 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 6. 44 45
50
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Muhammad Quraish Shihab kembali ke Kairo pada 1980 untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya di almamaternya yang lama, Universitas al-Azhar. Ia menyelesaikan gelar doktornya pada 1982 dalam spesialisasi studi tafsir dan ilmu-ilmu alQuran dengan mempertahankan Disertasinya yang berjudul “Naz}m al-Dura>r li> al-Biqa>‘i>: Tah}qi>q wa Dira>sah (Suatu Kajian terhadap Kitab Naz}m al-Dura>r karya al-Biqa> \‘i>)”. Ia berhasil lulus dengan predikat Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumta>z ma‘a martabah al-sharf al-u>la>).47 Atas prestasinya itu, ia tercatat sebagai orang yang pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar tersebut.48 Sekembalinya ke Indonesia, sejak tahun 1984, ia dipindah tugaskan dari IAIN Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin dan Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ilmu-ilmu al-Quran di Program S1, S2 dan S3. Selain itu, ia juga menduduki berbagai jabatan di luar kampus, anatara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) (sejak 1984), Anggota Lajnah Pentashih al-Quran Departeman Agama (sejak 1989), Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Ia juga aktif di beberapa organisasi profesional, antara lain: Pengurus perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, Pengurus Konsorsium ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan Asisiten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ia juga pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu, ia dipercaya menduduki jabatan Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibauti yang berkedudukan di Kairo.49 Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis, antara lain; di surat kabar Pelita dalam rubrik “Pelita Hati”. Ia juga mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah di Jakarta yang terbit dua minggu sekali, ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain berkontribusi pada untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, ia juga banyak menghasilkan karya yang telah diterbitkan, di antaranya Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988) dan karya-karya lainnya.50 Pendidikan Akhlak dalam Surat Luqma>n ayat 12-19 Menurut Quraish Shihab. Menurut Quraish Shihab ayat 12-19 dari surat Luqma>n ini menerangkan tentang seseorang yang bernama Luqma>n yang diangugerahi oleh Allah dengan hikmah.51 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 6. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), v. 49 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 6-7. 50 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 7. 51 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 120. 47 48
51
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
Butiran-butiran hikmah ini digambarkan oleh dengan sangat indah melalu kisah antara Luqman dan anaknya yang tertuang dalam surat Luqma>n ayat 12-19 sebagai berikut: 1.
Menanamkan Keimanan dalam Ketauhidan Kepada Anak
Tauhid adalah pegangan pokok bagi kehidupan manusia, sebab dalam pandangan Islam tauhid menjadi landasan bagi setiap amal. Tauhidlah yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti. Amal perbuatan yang tidak dilandasi dengan tauhid akan sia-sia, ia tidak akan dikabulkan oleh Allah. Lebih dari itu, amal yang dilandasi dengan syirik akan menyengsarakannya di dunia dan di akhirat. Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud-Nya dan wah}daniyah-Nya dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan sifat-Nya. Tauhid ialah pemurnian ibadah kepada Allah, yaitu menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut kepada-Nya.52 Salah satu akhlak yang terdapat dalam surat Luqma>n yang tertuang pada ayat 13 dan 15 perihal larangan menyekutukan Allah. Kedua ayat itu menekankan pentingnya keimanan sebagai pondasi utama setiap manusia. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Luqman melalui nasihatnya menekankan perlunya menghindari perbuatan syirik atau menyekutukan Allah. Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud dan keesaan Tuhan. Dengan demikian, nasihat Luqman kepada anaknya yang tertuang dalam ayat itu memiliki redaksi pesan berupa larangan, yaitu jangan mempersekutukan Allah untuk menekankan perlunya meninggalkan sesuatu yang sebelum melaksanakan yang baik. Sebagaiman dalam sebuah kaidah disebutakan bahwa al-takhliyah muqaddamun ‘ala> al-tah}liah (menyingkirkan keburukan lebih utama dari menyandang perhiasan).53 Senada dengan Quraish Shihab, al-Qushayri> dalam Risa>lah al-Qushayriyah mengatakan bahwa tauhid adalah setiap lintasan batin yang menunjuk pada Allah tanpa disertai lintasan-lintasan penyerupaan. Lebih tegas lagi, tauhid adalah sebuah ketetapan hati secara kontinyu dan stabil akan keesaan Allah dengan penetapan pemisahan pengingkaran Tuhan dan penyerupaan (penyekutuan Tuhan).54 Dalam kaitan antara hubungan anak dan orang tua, Quraish Shihab menerangkan bahwa dalam ayat ke-15 dalam surat Luqma>n mengandung pengertian mengenai wasiat Luqman kepada anaknya tentang keharusan menjauhi kemusyrikan dalam bentuk dan kondisi apapun.55 Qurasih Shihab melanjutkan bahwa konteks ketaatan anak kepada orang tuanya adalah pada urusan-urusan keduniaan, bukan agama. Seorang anak harus menyertai kedua orang tuanya dengan baik serta memperhatikan kondisi keduanya dengan lemah lembut tanpa disertai kekerasan. Seorang anak juga harus mampu memikul beban Constantin, “Urgensi Pendidikan Tauhid dalam Keluarga” At-Ta’lim, Vol III (2012), 93-94. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 127. 54 Abu al-Qa>s}im al-Qushayri>, Risalah al-Qushayriyah (Kairo: Da>r Jawa>mi‘ al-Kala>m, 2007), 29. 55 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 131. 52 53
52
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
yang dipikulkan ke atas pundaknya oleh kedua orang taunya. Adapun agama, maka jika keduanya termasuk orang yang senang kembali kembali kepada ajaran Allah, hendaklah seorang anak mengikuti jalan kedua orang tuanya itu. Tetapi jika tidak demikian, ikutilah jalan selain mereka yaitu jalan jalan orang-orang yang kembali kepada Allah. Dengan demikian, keharusan mempergauli kedua orang tua dengan baik hanya dalam urusan keduniaan, bukan urusan agama.56 2.
Menjelaskan Hikmah
Pendidikan akhlak yang terdapat pada ayat ke-13 adalah hikmah. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut memuat perihal h}ikmah, yaitu mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Ia merupakan ilmu amaliah dan amal ilmiah. Ia adalah ilmu yang didukung oleh amal, dan amal yang tepat serta didukung oleh ilmu. Selain itu, h}ikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang apabila digunakan akan menghalangi terjadinya mudarat yang lebih besar dan atau mendatangkan kemaslahatan yang yang lebih pesar. Hal ini didasarkan pada makna kata h}akamah yang berarti kendali. Karena kendali menghalangi sesuatu mengarah kepada hal-hal yang tidak diinginklan. Kendali ini membantu seseorang untuk memilih perbuatan yang terbaik dari dua hal yang buruk.57 Adapun hikmah menurut al-Ra>zi>58 memiliki empat pengertian. Pertama, ajaranajaran al-Quran, sebagaimana yang terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]: 231.59 Kedua, pemahaman dan pengetahuan, sebagaimana dalam QS. Luqma>n [31]: 12.60 Ketiga, kenabian, sebagaimana dalam QS. al-Nisa>’ [4]: 54.61 Keempat, al-Qur’an dan berbagai rahasianya yang menakjubkan, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Nah}l [16]: 125.62 Dari beberapa pengertian yang diungkapkan al-Ra>zi> tersebut, dapat diambi; kesimpulan bahwa hikmah yang terkandung pada ayat ke-13 dari surat Luqma>n adalah pemahaman dan pengetahuan terhadap segala sesuatu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang telah dijelaskan Quraish Shihab sebelumnya. Ketika seseorang memiliki h}ikmah, maka ia harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga ia akan tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara dengan keraguan dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.63 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 133. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 121. 58 Fakhruddi>n al-Ra>zi>, Tafsi>r al-Kabi>r (Teheran: Da>r Kutub al-Isla>miyah, t.th), Jilid VII, 67. 59 “Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu yaitu al-Qur'an dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu ”. (QS. al-Baqarah [2]: 231) 56 57
“Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. ” (Q.S. 60
Luqma>n [31]: 12) 61 “Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang Allah telah berikan
kepadanya? Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar.” (Q.S. al-Nisa>’ [4]: 54) 62 “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan al-hikmah” (Q.S. al-Nah}l [16]:125) 63 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 121.
53
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
3.
Berbuat Baik Kepada Kedua Orang Tua
Orang tua (ibu dan bapak) adalah sebab atau perantara lahirnya seorang anak ke dunia. Terutama ibu, sangat besar jasa dan pengorbanannya untuk anaknya. Pengorbanan seorang ibu, lebih besar pengorbanannya dari seorang bapak. Balasan kasih sayang (jasa) hendaknya dilebihkan juga kepada ibu, tanpa mengenyampingkan bapak. Oleh sebab itu, seorang anak wajib berbuat baik kepada kedua orang tua, mentaati keduanya, dan merawatnya, terutama sesudah mereka berusia lanjut.64 Akhlak untuk senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua tertuang dalam ayat ke-14 dari surat Luqma>n.65 Menurut Quraish Shihab, ayat ke-14 tersebut bukan merupakan bagian dari pengajaran Luqman kepada anaknya. Ayat ini disisipkan dalam kelompok ayat 12-19 untuk menunjukkan betapa penghormatan dan kebaktian kepada kedua orang tua menempati tempat kedua setelah pengagungan kepada Allah. Al-Qur’an sering kali menggandengkan perintah menyembah Allah dan perintah berbakti kepada kedua orang tua, seperti pada Q.S. al-An‘a>m [6]: 151 dan al-Isra>’ [17]: 23. Walaupun nasihat yang terdapat pada ayat ke-14 tersebut bukan nasihat dari Luqman, namun itu tidak berarti bahwa ia tidak menasehati anaknya dengan nasihat serupa. Pada hakikatnya ayat itu adalah lanjutan dari nasihat Luqman pada ayat sebelumnya. Karena ayat ini seolah-olah menyatakan bahwa Luqman menyatakan hal itu kepada anaknya sebagai bagian nasihat kepadanya, redaksinya dirubah agar dapat mencakup semua manusia.66 Quraish Shihab melanjutkan, ayat ke-14 dari surat Luqma>n ini tidak menyebut jasa bapak, tetapi lebih menekankan pada jasa ibu. Hal ini disebabkan ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahan ibu, berbeda dengan bapak. Di sisi lain, peranan bapak dalam konteks kelahiran anak lebih ringan dibandingkan ibu. Setelah pembuahan, semua proses kelahiran anak dipikul sendirian oleh ibu. Bukan hanya sampai masa kelahirannya saja, tetpi berlanjut dengan proses penyusuan, bahkan lebih dari itu. Memang ayah pun bertanggung jawab menyiapkan dan membantu ibu agar beban yang dipikulnya agar beban yang dipikulnya tidak terlalu berat, tetapi ini tidak langsung menyentuh anak, berbeda dengan peranan ibu. Betapapun peranan seorang ayah tidak sebesar ibudalam proses kelahiran anak, namun jasanya tidak boleh diabaikan. Karena itu seorang anak berkewajiban untuk mendoakan ayahnya sebagaimana ia berdoa untuk ibunya. Seperti yang telah diajarkan al-Qur’an dalam surat al-Isra>’ [17]: 24: “Tuhanku, Kasihilah keduanya, karena merekeka berdua telah mendidikku di waktu kecil”.67 Perintah untuk selalu berbuat baik kepada kedua orang tua pada ayat tersebut disebabkan karena Allah telah menjadikan orang tua secara naluriah rela kepada anaknya. 64 65
M. Ali Hasan, Kumpulan Tulisan M. Ali Hasan (Jakarta: Prenada Media, 2003), 203-204. “Dan Kami wasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (Q.S. Luqma>n [31]: 14) 66 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 128. 67 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 129.
54
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Kedua orang tua akan bersedia mengorbankan apa saja demi anaknya tanpa mengeluh. Bahkan mereka “memberi kepada anak” namun dalam pemberian itu mereka justru merasa “menerima dari anaknya”. Ini berbeda dengan anak yang tidak jarang melupakan jasa ibu bapaknya.68 Quraish Shihab menutup penjelasannya terhadap ayat ke-14 dari surat Luqman dengan menyebutkan pesan-pesan yang terkandung pada aya tersebut dan ayat sebelumnya, yaitu masing-masing pesan tersebut disertai dengan argumen “Janganlah
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan-Nya merupakan sebuah kezaliman yang besar” Sedangkan ketika mewasiati anak menyangkut orang tuanya di dalamnya ditekankan bahwa “Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun”. Menurut Quraish Shihab, demikianlah seharusnya meteri pendidikan yang harus disajikan oleh sang pendidik. Materi itu dibutuhkan kebenaran ilmiahnya dengan argumentasi yang dapat dibuktikan melalui penalaran akal manusia. Metode ini bertujuan agar manusia merasa bahwa ia ikut berperan dalam menemukan kebenaran dan dengan demikian ia akan merasa memilikinya serta bertanggung jawab mempertahankannya.69 4.
Merasa Pengawasan Allah Swt
Pendidikan akhlak berikutnya adalah selalu merasakan pengawasan Allah, sebagiman tergambar dalam ayat ke-16 dari surat Luqma>n.70 Menurut Quraish Shihab, ayat tersebut melanjutkan wasiat Luqman mengenai kedalaman ilmu Allah kepada anaknya. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kedalaman ilmu Allah tersebut mampu mengetahui segala perbuatan baik dan buruk walaupun hanya seberat sawi. Allah juga mampu mengetahui perbuatan itu walaupun tersembunyi di segala ruang dan waktu. Hal ini dikarenakan Allah Maha Mengetahui segala seuatu, sehingga tidak ada satupun yang dapat luput dari pengetahuan-Nya.71 Kemudian, Quraish Shihab menyinggung mengenai makna kata lat}i>f. Menurutnya, yang berhak menyandang kata itu adalah yang mengetahui perincian kemaslahatan dan seluk beluk rahasianya, yang kecil, halus, kemudian menempuh jalan untuk menyempaikannya kepada yang berhak secara lemah lembut bukan dengan kekerasan. Jika ditemukan kelemahlembutan dalam perlakuan, dan perincian dalam pengetahuan, maka wujudnya dinamakan dengan al-lut}f, dan pelakunya menyandang nama lat}i>f. Ini tentunya tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah yang Maha Mengetahui.72 Setelah menerangkan kata lat}i>f, kemudian Quraish Shihab menjelaskan makan yang terkandung dalam kata khabi>r. Menurutnya, kata itu bermaka Dhat yang memiliki Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 130. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 130-131. 70 “(Luqman berkata), "Wahai anakku! Sungguh, jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan 68 69
berada dalam batu atau di langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan. Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Luqma>n [31]: 16) 71 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 133-134. 72 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 134.
55
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
pengetahuan mendalam yang rinci menyangkut hal-hal yang tersembunyi. Allah adalah alKhabi>r, karena tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya hal-hal yang sangat dalam dan yang disembunyikan, serta tidak terjadi sesuatu pun dalam kerajaan-Nya di bumi maupun di alam raya kecuali diketahui-Nya. Tidak bergerak atau diam satu dharrah, tidak bergejolak jiwa, tidak juga tenang, kecuali ada berita-Nya di sisi-Nya. Secara umum, ayat di atas menggambarkan Kuasa Allah melakukan perhitungan atas amal-amal perbuatan manusia di akhirat nanti.73 5.
Menegakkan Shalat
Shalat74 jika ditilihat dari segi bahasa seakar dengan kata s}ala>, al-s}ali> dan yas}la> yang berarti memasuki dan menuntun. Kata shalat diulang sebanyak sepuluh kali yang seluruhnya berkontekskan neraka (memasuki neraka), seperti surat al-A’la> [87]: 12. Pernyataan senada juga diungkapkan dalam surat al-Gha>shiyah [88]: 4, al-Inshiqa>q [84]: 12, al-Lahab [111]: 3, al-Isra>’ [17]: 18 dan pernyataan yang senada lainnya. Kata shalat diasosiasikan pada makna di atas, karena shalat itu merupakan serangkaian ibadah yang harus dilakukan dalam upaya untuk menghindarkan diri dari siksa neraka. Terkadang juga digunakan untuk makna tempat ibadah, seperti kata shalawat yang biasa digunakan untuk memaknai gereja, yang diungkapkan Tuhan dalam surat al-H{ajj [22]: 40. Selain itu, shalat juga bermakna doa sebagimana yang diungkapkan dalam surat al-Tawbah [9]: 103. Pernyataan dengan makna yang sama juga diungkapkan dalam surat al-Ah}za>b [33]: 56 dan al-Baqarah [2]: 107. Adapun shalat secara terminologi berarti suatu ibadah yang mengandung ucapan (bacaan) atau perbuatan tertentu yang diawali dengan takbi>rat al-ihram dan diakhiri dengan salam.75 Selain itu, shalat merupakan gambaran dari sikap tunduk seseorang kepada Tuhannya. Di samping itu, shalat juga merupakan media penghubung kejiwaan serta penyampaian doa-doa seorang hamba kepada Allah sebagai Tuhannya.76 Dengan shalat tersebut manusia dapat berdialog langsung dengan Kha>liq-nya melalui doa-doa, tasbi>h}, tah}mi>d, tashahu>d dan tasli>m. Karena dengan ucapan-ucapan tersebut kehendak manusia dapat disalurkannya. Kehendak manusia itu bagai air yang deras, jika dibendung dia akan mencari jalan keluar sekuat tenaganya. Kalau tidak ada jalan keluar, ia sanggup menyusun tenaganya sendiri untuk merobohkan rintangan yang menghalanginya. Shalat adalah laksana sungai yang mengalirkan air sebanyak-banyaknya ke laut lepas.77 AlGhaza>li> mengatakan bahwa shalat merupakan tiang agama, tali pengikat keyakinan antara hamba dengan Tuhannya, puncak taqarrub, dan salah satu amalan terpenting dari seluruh ketaatan yang wajib dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya.78 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 136. Al-Raghi>b al-As}fahani>, Mu’jam Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), 293. 75 Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t), Jilid I, 90. 76 Dede Rosyada, “Perspektif Al-Qur’an Tentang Salat” dalam Abudin Nata (ed.), Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih Ibadah (Bandung: Angkasa, 2008), 150. 77 Yunasril Ali, Pilar-Pilar Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 95. 78 Abi> H{ami>d al-Ghaza>li>, Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n, 194. 73 74
56
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Quraish Shihab menjelaskan bahwa pada ayat ke-1779 Luqman melanjutkan nasihatnya kepada anaknya, nasihat yang dapat menjamin kesinambungan Tauhid serta kehadiran Ilahi dalam kalbu sang anak. adapun nasihat Luqman yang diberikan kepada anaknya menyangkut amal-amal saleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebajikan yang tercermin dalam amr ma‘ru>f dan nahi> munkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah.80 Dari penjelasan Quraish Shihab di atas, dapat disimpulkan bahwa shalat adalah pilar utama dalam tauhid. Dengan shalat inilah seorang hamba akan dapat memiliki sikap amr ma‘ru>f dan nahi> munkar terhadap sesama. Dan akan selalu meumbuhkan sikap sabar dan tabah dalam dirinya dalam menghadapi segala perintah yang diberikan Allah kepadanya. 6.
Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Pendidikan selanjutnya adalah sikap amar ma’ruf dan nahi munkar. Hal ini tertuang pada ayat ke-17 dari surat Luqman. Quraish Shihab menerangkan bahwa ayat tersebut mengandung pesan untuk menegerjakan perbuatan ma‘ru>f, karena sangat tidak wajar menyuruh orang lain sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga melarang kemunkaran mengandung tuntutan agar orang yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya sendiri. Hal inilah yang menjadi menjadi sebab mengapa Luqman tidak memerintahkan anaknya melaksanakan melaksanakan ma‘ru>f dan menjauhi munkar. Dari sini dapat di ambil pelajaran bahwa membiasakan anak melekasanakan sebuah tuntutan dapat menimbulkan dalam dirinya jiwa kepemimpinan serta kepedulian sosial.81 Menurut Quraish Shihab, ma‘ru>f adalah sesuatu yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah dikenal secara luas selama sejalalan dengan al-khayr (kebajikan)yaitu nilai-nilai ilahiah. Adapun munkar menurut Quraish Shihab adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai ilahiah. Karena kedua hal itu merupakan kesepakatan umum masyarakat, maka ia bisa berbedabeda antar satu komunitas masyarakat muslim satu dengan lainnya.82 Dari penjelasan tersebut, terdapat pesan bahwa sikap amar ma’ruf dan nahi munkar adalah bentuk kepedulian seseorang kepada sesama. Seseorang dituntut harus memiliki kepedulian terhadap sesama dalam bersosial. Bentuk kepedulian sosial tersebut direfleksikan dengan sikap amar ma’ruf dan nahi munkar sebagaimana yamg tertuang dalam surat Luqma>n ayat ke-17. Jika sikap ini sudah tertanam dalam diri, maka ia akan terhindar dari sikap anani yang hanya memikirkan diri sendiri tanpa ada kepekaan terhadap keadaan sekitarnya. 79 “Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Q.S. Luqma>n [31]: 17) 80 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 136-137. 81 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 137. 82 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 137.
57
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
7.
Sabar dalam Menghadapi Segala Cobaan
Pendidikan akhlak selanjutnya yang terdapat pada kelompok ayat 12-19 surat Luqma>n adalah sabar dalam menghadapi segala cobaan. Perintah sabar tersebut tertuang pada ayat ke-17.83 Menurut Ra>ghib al-As}faha>ni>, sabar adalah menahan diri dari hal-hal yang sekalipun itu tidak menyalahi secara akal dan rambu-rambu syara’.84 Misalnya menahan diri dari menghamburkan uang untuk membeli suatu barang yang tidak diperlukan walaupun dengan menggunakan uang sendiri. Al-Qushayri> mengatakan bahwa sabar terbagi menjadi dua, yaitu sabar yang berkaitan dengan usaha hamba dan sabar yang tidak berkaitan dengan usaha. Sabar yang berkaitan dengan usaha terbagi menjadi dua, yaitu sabar terhadap apa yang diperintahkan dan sabar tehadap apa yang dilarang oleh Allah. Sedangkan sabar yang tidak berkaitan dengan usaha adalah sabar terhadap penderitaan yang terkait dengan hukum Allah karena mendapatkan kesulitan.85 Sahl al-Tustari> berpendapat bahwa sabar adalah menantikan datangnya kelapangan dari Allah untuk melepaskan segala duka cita yang dialami seseorang. Menurut Sahl alTustari>, sabar meupakan pengabdian yang paling baik dan paling tinggi dalam menghadapi segala sesuatu.86 Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata sabar yang terdapat pada ayat ke-17 dari surat Luqma>n tersebut berkisar kepada tiga hal; menahan, ketinggian sesuatu dan sejenis batu. Dari makna menahan, lahir makna konsisten dan bertahan, karena yang bersabar bertahan menahan diri pada suatu sikap. Seseorang yang menahan gejolak hatinya, dinamakan bersabar. Dari makna kedua, lahir kata s}ubr yang berarti puncak sesuatu. Dan dari makna ketiga, lahirlah al-s}ubrah, yaitu batu yang kokoh lagi kasar, atau bisa juga berarti potongan besi. Ketiga makan ini dapat berkaitan, apalagin pelakunya merupakan manusia. Seorang yang sabar, akan menahan diri, dan untuk itu ia memerlukan kekokohan jiwa, dan mental baja agar dapat mencapai ketinggian yang diharapkannya. Sabar adalah menahan gejolak nafsu demi mencapai suatu hal yang baik atau yang terbaik.87 Dari penjelasan di atas, sabar memiliki sangat penting dalam kesuksesan seseorang dalam mengarungi kehidupan di dunia. Karena dengan sabar, seseorang akan konsisten dalam bertahan menahan diri pada suatu sikap yang benar. Dengan sabar pula seseorang dapat menahan gejolak dalam hatinya. Di samping itu, sabar adalah puncak dari segala sesuatu. Seseorang yang sabar akan memiliki jiwa yang kokoh seperti potongan besi.
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia) berbuat yang ma’ruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Q.S. Luqma>n [31]: 17) 84 Ra>ghib al-As}faha>ni>, Mu‘jam Mufrada>t alfa>z} al-Qur’a>n, 306. 85 Abu al-Qa>s}im al-Qushayri>, Risalah al-Qushayriyah, 214. 86 Sahl al-Tustari>, Tafsi>r al-Tustari> (Beirut: Da>r al-kutu>b al-‘Ilmiyah, 2002), 204. 87 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 137-138. 83
58
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Terakhir, implikasi terbesar dari sabar adalah menahan gejolak nafsu demi mencapai suatu hal yang terbaik dalam hidupnya. 8.
Tidak Bersikap Sombong
Pendidikan akhlak yang dapat dipetik dari kelompok ayat 12-19 surat Luqma>n adalah menjauhi sikap sombong. Perintah tersebut tertera pada ayat 18 dan 19.88 Quraish Shihab menjelaskan bahwa nasihat Luqman yang terkandung pada ayat kw 18 dan 19 adalah berkaitan dengan akhlak dan sopan santun dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Meteri pelajaran akidah, ia selingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar peserta didik tidak jenuh dengan suatu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.89 Menurut Quraish Shihab, pada ayat tersebut Luqman menasihati anaknya dengan berkata: wahai anakku, janganlah engkau berkeras hati dengan memalingkan mukamu dari manusia karena didorong oleh rasa penghinaan dan kesombongan. Tetapi tampillah kepada setiap orang dengan wajah berseri penuh kerendahan hati. Dan apabila engkau melangkah, janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lembah lembut penuh wibawa. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan janganlah engkau berjalan dengan membusungkan dada dan jangan pula merunduk bagaikan orang sakit. Janganlah berlari tergesa-gesa dan jangan pula jalan dengan pelan sehingga menghabiskan waktu. Dan pelankan suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Sesungguhnya seburuk-buruknya suara adalah suara keldeai karena awalnya siulan yang tidak menarik dan akhirnya adalah tarikan nafas yang buruk.90 Kemudian Quraish Shihab secara khusus menjelaskan kata tus}a‘ir yang terkandung pada ayat tersebut. Menurutnya, kata itu menggambarkan upaya keras dari seseorang untuk bersikap angkuh dan menghina orang lain. Memang sering kali penghinaan tercermin pada keengganan melihat siapa yang dihina. Dalam Islam, hal tersebut tidak diperbolehkan. Karena Allah menciptakan manusia dari tanah, di mana tanah adalah memiliki posisi yang lebih rendah dari langit. Sehingga hal itu memberikan pesan bahwa manusia tidaklah dibenarkan menyombongkan diri dan melangkah dengan angkuh di atas bumi.91 Dalam menafsirkan dua ayat tersebut, Quraish Shihab menutup penafsirannya dengan menyatakan bahwa nasihat Luqman pada ayat tersebut mencakup pokok-pokok tuntutan agama \. Di sana ada akidah, syartait dan akhlaq yang merupakan tiga unsur ajaran al-Qur’an. Di sana ada akhlak kepada Allah, terhadap pihak lain dan terhadap diri “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqma>n [31]: 18-19) 89 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 138-139. 90 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 139. 91 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 139-140. 88
59
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
sendiri. Ada juga perintah moderasi yang merupakan ciri dari segala macam kebajikan, serta perintah bersabar, yang merupakan syarat mutlak meraih kesuksesan duniawi dan ukhrawi. Seperti itulah Luqman al-H{aki>m mendidik anaknya bahkan memberi tuntunan kepada siapapun yang ingin meluruskan jalan kebajikan.92 9.
Bersyukur dalam Setiap Keadaan
Syukurnya seorang hamba kepada Allah adalah dengan memuji-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya. Dalam dunia tasawuf, hakikat syukur adalah mengucapkan dengan lisan dan pengakuan dalam hati terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya.93 Lebih jauh lagi, syukur dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, syukur dengan lisan, yakni mengakui kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah swt. dengan sikap merendahkan diri di hadapan-Nya. Kedua, syukur dengan badan, yaitu bersikap selalu sepakat dan melayani (mengabdi) kepada Allah swt. Ketiga, syukur dengan hati, yaitu mengasingkan diri di hadapan Allah swt. dengan konsisten menjaga keagungan-Nya. Syukur dengan lisan adalah syukurnya orang yang berilmu. Ini dapat direalisasikan dengan dengan bentuk ucapan. Syukur dengan badan adalah adalah syukurnya orang yang beribadah. Ini dapat direalisasikan dengan bentuk perbuatan. Dan syukur dengan hati adalah syukurnya ahli ma’rifat. Ini dapat direalisasikan dengan semua hal ihwal yang konsisten.94 Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ke-12 dari surat Luqma>n95 memuat perintah untuk senantiasa bersyukur kepada Allah. Menurutnya, kata syukur diambil dari shakara yang maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan, serta penuhnya sesuatu. Bentuk syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya, disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya, dan dorongan untuk memuji-Nya dengan ucapan sembari melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dari penganugerahan itu. Quraish Shihab melanjutkan, syukur didefinisikan oleh beberapa ulama dengan memfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan penganugerahannya. Ia adalah menggunakan nikmat sebagaimana yang dikehendaki oleh penganugerahnya, sehingga penggunaannya itu mengarah kepada sang penganugerah. Tentu saja untuk maksud ini, yang bersyukur perlu mengenal siapa penganugerah –dalam hal ini Allah Swt.-, mengetahui nikmat yang dianugerahkan kepadanya, serta fungsi dan cara menggunakan nikmat itu sebagaimana dikehendaki-Nya, sehingga yang dianugerahi nikmat itu benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Penganugerah. Dengan demikian, anugerah dapat berfungsi sekaligus menunjuk kepada Allah, sehingga dapat Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 140. Abu al-Qa>s}im al-Qushayri>, Risalah al-Qushayriyah, 205-206. 94 Abu> \al-Qa>sim al-Qushayri>, Risalah al-Qushayriyah, 206. 92
93
95 “Dan sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji. ” (Q.S.
Luqma>n [31]: 12)
60
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
mengantarkan hamba kepada pujian kepada-Nya yang lahir dari rasa kekaguman atas anugerah-Nya.96 Al-Qushayri> yang menyatakan bahwa hakikat syukur adalah memuji Dhat yang memberikan kebaikan dengan mengingat kebaikannya. Syukurnya seorang hamba kepada Tuhan adalah memuji-Nya dengan mengingat kebaikan-Nya. Dengan demikian, hakikat syukur seorang hamba adalah ucapan lisan dan pengakuan hati terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan.97 Senada dengan al-Qushayri>, Quraish Shihab mengungkapkan bahwa hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat”, dan hakikat kufur adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan kehendak yang memberikannya. Serta menyebut-nyebut nikmat dan pemberinya dengan lidah. Sebagaimana firman Allah: “Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau menyebut-nyebutnya” (QS. Al-D{uh}a> [93]: 11).98 Quraish Shihab melanjutkan, mengekspresikan rasa syukur dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, syukur dengan hati. Yaitu dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantarkan manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa mengeluh dan meresa keberatan betapapun kecilnya nikmat yang telah diberikan. Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari berapa besar kemurahan, dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Kedua, syukur dengan lidah. Yaitu mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sembari memuji-Nya. Ketiga, syukur dengan perbuatan. Artinya, setiap nikmat yang diperoleh menuntut penemrimanya agar merenungkan tujuan dianugerahkannya nikmat tersebut oleh Allah.99 KESIMPULAN Berdasarkan uraian dan analisa dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadapa surat Luqma>n ayat 12-19, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok ayat tersebut mengandung pesan pendidikan akhlak yang dapat diaplikasikan di dalam dunia pendidikan Indonesia. Adapun pendidikan akhlak yang terkandung pada ayat 12-19 dari surat Luqma>n menurut Quraish Shihab adalah sebagai berikut:
Pertama, terdapat sembilan kandungan penting tentang pendidikan akhlak dalam surat Luqma>n ayat 12-19, yaitu: a) pentingnya keimanan dan larangan mempersekutukan Allah swt, karena mempersekutukan Allah merupakan kezaliman yang sangat besar; b) penekanan terhadap pentingnya implementasi dari konsep hikmah, yaitu keselarasan dan kesesuaian antara ilmu dan amal; c) perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol XI, 122. Abu> al-Qa>sim al-Qushayri>, Risa>lah al-Qushayriyah, 206-207. 98 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 216-217. 99 Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, 219-223. 96 97
61
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
kedua orang tua, terutama Ibu; d) penekanan terhadap perasaan selalu diawasi Allah dalam setiap tingkah laku, karena pada dasarnya Allah Maha Melihat dan Mengetahui; e) perintah untuk selalu menjaga shalat fardu dan melengkapinya dengan shalat sunnah, karena shalat merupakan tiang agama dan sarana komunikasi seorang hamba kepada Tuhannya; f) penekanan terhadap perintah untuk selalu ber-Amar ma’ruf nahi munkar, karena hal itu merupakan bentuk kepedulian seseorang pada lingkungan sekitarnya; g) perintah untuk selalu bersabar dalam setiap kondisi, karena seseorang yang sabar akan memiliki jiwa yang kokoh serta dapat menahan gejolak nafsu dalam dirinya; h) larangan bersikap sombong, karena pada hakikatnya manusia diciptakan dari tanah; i) perintah untuk senantiasa bersyukur dalam setiap keadaan, karena hakikat syukur adalah mengakui terhadap kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah kepadanya.
Kedua, adapun konsep pendidikan akhlak dalam al-Qur’an dari segi materi dalam surat Luqma>n ayat 12-19 adalah akhlak religius yang terdiri dari: a) akhlak iman; b) akhlak birr al-wa>lidyn; c) mura>qabatillah; d) akhlak menjaga shalat; e) Amar ma’ruf nahi munkar; f) akhlak sabar; g) akhlak tawaddu’; h) akhlak syukur. DAFTAR PUSTAKA Afandi, Rifki. “Integrasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar” dalam Pedagogia, Vol I, No 1 (2011). Al-As}fahani>, Al-Raghi>b. Mu’jam Mufrada>t al-Alfa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. Al-Farmawi>, Abd al-H{ayy. Metode Tafsir Maudu’i dan Cara Penerapannya. Bandung: Pustaka Setia, 2002. Al-Ghazali, Abu> H{ami>d. Ih}ya>’ ‘Ulu>m al-Di>n. Beirut: Da>r al- Fikr, t.th. Ali, Yunasril. Pilar-Pilar Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2005. Al-Nah}lawi>, ‘Abdurah}ma>n. Us}ul> al-Tarbiyyah al-Isla>miyah wa Asa>li>biha> fi> al-Bayt wa alMadrasah al-Mujtama’. Beirut: Da>r al-Fikr, 1999. Al-Tustari>, Sahl. Tafsi>r al-Tustari>. Beirut: Da>r al-kutu>b al-‘Ilmiyah, 2002. Al-Qushayri>, Abu> al-Qa>sim. Risalah al-Qushayriyah. Kairo: Da>r Jawa>mi‘ al-Kala>m, 2007. Al-Ra>zi>, Fakhruddi>n. Tafsi>r al-Kabi>r. Teheran: Da>r Kutub al-Isla>miyah, t.th. Anshori. Penafsiran Ayat-ayat Jender dalam Tafsir al-Misbah (Diserta). Jakarta: Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2006. Anwar, Hamdani. “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Misbah”, dalam Mimbar Agama dan Budaya, Vol XIX, No. 2 (2002). Asep Jihad, Muchlas Rawi, dan Noer Komarudin, Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi. Jakarta: Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian pendidikan Nasional, 2010.
62
Pendidikan Akhlak Perspektif (Ma’mun)
Azra, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional dan Demokratisasi. Jakarta: Buku Kompas, 2006. Baidan, Nashiruddin. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012. Constantin. “Urgensi Pendidikan Tauhid dalam Keluarga” At-Ta’lim, Vol III (2012). Hasan, M. Ali. Kumpulan Tulisan M. Ali Hasan. Jakarta: Prenada Media, 2003. Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001. Heizer, Herman. “Tafsir al-Misbah: Lentera bagi Umat Islam Indonesia” dalam Majalah Tsaqafah, Vol I, No. 3, (2003). J., Sudarsono. Pendidikan, kemanusiaan dan peradaban. Dalam Soedijarto (Ed.), Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,. 2008. Langgulung, Hasan. Manusia dan Pendidik: Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986. Lickona, Thomas, E. Schaps and Lewis, CEP’s Eleven Principles of Effective Character Education. Washington DC: Character Education Partnership, 2003. al-Makki>, Abdulla>h. Nad}rah al-Na’i>m fi> Maka>rim Akhla>q al-Rasu>l al-Kari>m. Jeddah: alWasi>lah li> al-Nashr wa al-Tawzi>’. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1987. Matta, M. Anis. Membentuk Karakter Cara Islam. Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2006. Megawangi, Ratna. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Fondation 2004. Mishkawayh, Ibn. Tahdi>b al-Ahkla>k wa Tathi> al-A’ra>q. Kairo: al-Matba’ah al-Misriyah, 1943. Mustafa, H.A. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 1997. N., Sudirman, dkk. Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992. Nata, Abuddin (ed.),. Pendidikan dalam Perspektif Hadis. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. ____________. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2010. Rahman, Amri dan Dulsukmi Kasim. “Pendidikan Karakter Berbasis al-Qur’an; Upaya Menciptakan Bangsa yang Berkarakter” dalam Al-Ulum, Vol. XIV, No. 1 (2014).
63
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 12, No. 1, Januari 2016: 41-64
Rosyada, Dede. “Perspektif Al-Qur’an Tentang Salat” dalam Abudin Nata (ed.), Kajian Tematik Al-Qur’an Tentang Fiqih Ibadah. Bandung: Angkasa, 2008. Ryan, Kevin and Karen E. Bohlin. Building Character in Schools; Practical Ways to Bring Moral Instruction to Life. New York : Bantam Books, 2003. Sa>biq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002. ________________________. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1994. ________________________. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1998. Subhan, Arief. “Tafsir yang Membumi” dalam Majalah Tsaqafah, Vol I, No. 3, (2003). Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan. Jakarta: Aksara Baru, 1985. Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih. Yogyakarta: PT Remaja Rosda Karya, 2004. Tafsir, Ahmad. Metologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004. Tim Penyusun, Pedoman Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta : Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian pendidikan Nasional, 2011. Undang-Undang SISDIKNAS (UU RI No 20 Th. 2003). Jakarta:Sinar Grafika, 2009 Zubaedi. Desain Pendidikan Karakter; Konsepsi dan Aplikasinya dalam lembaga Pendidikan. Jakarta : Penerbit Kencana, 2011. Zuchdi, Darmiyati. Pendidikan Karakter dengan Pendekatan Komprehensif. Yogyakarta: UNY Press, 2010.
64