BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi Korea, momentum kebebasan dari penjajahan Jepang memiliki dua makna, yaitu kebahagian karena terlepas dari belenggu penjajahan Jepang dan pada saat yang bersamaan rakyat Korea harus menerima kenyataan atas dibaginya tanah Korea. Sebelum Jepang menyerahkan diri kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945, Amerika Serikat (AS) pada tanggal 10 Agustus 1945 secara rahasia membuat proposal untuk membagi Semenanjung Korea kepada pihak Uni Soviet dengan tujuan untuk memudahkan berbagai urusan setelah penyerahan diri Jepang. 1 Dengan alasan melucuti senjata pasukan Jepang, kekuatan militer AS dan Uni Soviet masing-masing mendarat di Korea Utara dan Korea Selatan, saling bertentangan di kawasan Semenanjung Korea. 2 Dilihat dari kepentingan masing-masing dua raksasa tersebut, Uni Soviet yang memiliki pelabuhan beku, memilih Korea Utara sebagai tempat strategis untuk pembuatan pelabuhan yang dapat dioperasikan sepanjang tahun, sedangkan AS, yang menjadikan Jepang sebagai benteng perbatasan timur-barat, takut jika suatu saat Uni Soviet akan menjamah seluruh Korea. Oleh sebab itu, AS menempatkan pasukannya di Korea Selatan dengan alasan stabilisasi kawasan dan sesegera mungkin mengusulkan pembagian Semenanjung Korea sebagai pilihan terbaik bagi kedua raksasa itu sendiri. Setelah mencapai kesepakatan, akhirnya kedua Korea resmi terpisah dengan dibatasi tembok tinggi pada garis 38 derajat. Dengan demikian, Semenanjung Korea sejak saat itu berkembang menjadi salah satu daerah simbol Perang Dingin.3 Pada 1948, kedua Korea mendirikan pemerintahannya masing-masing. Dengan nama Demokratik Rakyat Republik Korea, Korea Utara mendirikan pemerintahannya sendiri dengan ibukota Pyongyang di belahan Semananjung Korea bagian utara, sedangkan Korea Selatan 1
Yang Seung-Yoon, Situasi dan Keadaan yang Sebenarnya di Semenanjung Korea, April 2013, p. 5. Yang Seung-Yoon and Mohtar Mas‘oed, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2003, p. 116. 3 Yang Seung-Yoon and Mohtar Mas‘oed, Memahami Politik Korea, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, p. 238. 2
1
dengan ibukota Seoul mendirikan Pemerintahan Republik Korea.4 Bagi Korea Selatan, kawasan Korea Utara dianggap sebagai teritorial miliknya yang hilang dan harus dimiliki kembali, sedangkan bagi Korea Utara, kawasan Korea Selatan merupakan daerah yang harus dikomuniskan dalam waktu singkat.
5
Kim Il Sung sejak awal berkeinginan untuk
mengomuniskan seluruh Semenanjung Korea, sehingga setelah mendapatkan konfirmasi bantuan dan dukungan penuh dari Stalin, Kim Il Sung pada tanggal 25 Juni 1950 menyeberangi garis militer 38 derajat dan memecahkan perang melawan Korea Selatan. 6 Perang Korea yang berlangsung selama tiga setengah tahun tersebut telah menelan korban sebanyak 5,1 juta jiwa di medan perang, dengan 1,5 juta korban tewas dan 3,6 juta korban luka-luka.7 Pada perang tersebut, Korea Utara mendapatkan bantuan pasukan dari Cina dan Rusia, sedangkan Korea Selatan dibentengi oleh pasukan AS dan Jepang. Pihak Korea Selatan yang saat itu sempat mengalami kekalahan, pada akhirnya hanya dapat pasrah pada bantuan AS. Disisi lain, Korea Utara menganggap eksistensi AS sebagai penghalang baginya, karena tanpa AS, Korea Utara akan lebih mudah mengomuniskan Korea Selatan. Untuk meningkatkan daya saing dengan AS, sejak masa
pemerintahan
Kim
Il
mengembangkan senjata nuklir.
Sung,
Korea
Utara
secara
sembunyi-sembunyi
mulai
8
Setelah perang resmi diakhiri dengan gencatan senjata pada 1953, di tengah tanah Semenanjung Korea ditempatkan daerah bebas militer, dan masing-masing garis perbatasan dipasang pagar berduri yang tinggi. 9 Walaupun ada persetujuan gencatan senjata yang ditandatangani secara resmi, konflik militer dan pertentangan kekuatan militer sering sekali terjadi sehingga hubungan antar Korea berlangsung dalam hubungan pertentangan dan konflik.10 Pemisahan tersebut memperlebar jurang perbedaan kedua Korea dalam menjalankan politiknya, meskipun budaya dan bahasa mereka tetap sama. Hal tersebut berpengaruh kepada perekonomian kedua negara yang masing-masing disetir menggunakan cara yang berbeda pula.
4
Yang Seung-Yoon and Mohtar Mas‘oed, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar, p. 116. 5 Ibid. 6 Yang Seung-Yoon, Situasi dan Keadaan yang Sebenarnya di Semenanjung Korea, p. 7. 7 Ibid., p. 6. 8 Ibid., p. 12. 9 Yang Seung-Yoon and Mohtar Mas‘oed, Memahami Politik Korea, p. 238. 10 Yang Seung-Yoon and Mohtar Mas‘oed, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar, p. 118.
2
Perbedaan inilah yang berdampak pada sulit tercapainya kesepakatan bersama, terlebih adanya eksistensi pihak luar yang memengaruhi kedua Korea. Korea Utara dan Korea Selatan sudah sejak lama memiliki keinginan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara keduanya dengan menggunakan pendekatan yang bersifat non-politis, seperti penandatanganan persetujuan Korea Utara dan Korea Selatan, penyelenggaraan pertemuan puncak Seoul-Pyongyang pada tanggal 15 Juni 1999, keberhasilan proyek mempertemukan keluarga yang terpisah, serangkaian pertemuan tingkat menteri untuk meningkatkan hubungan kerja sama antara Korea Utara dan Korea Selatan dan sebagainya. 11 Namun, di sisi lain, usaha kedua Korea dalam menyamakan persepsi tersebut seringkali mendapatkan sandungan dari pihak ketiga atau negara lain yang secara terang-terangan menaruh kepentingan mereka di Semenanjung Korea. Isu terpanas di masa pasca Perang Dingin di Semenanjung Korea, antara lain proyek KEDO (Organisasi Pembangunan Energi Korea), persetujuan Geneva antara Korea Utara dan AS, perundingan normalisasi hubungan diplomatik penuh antara Korea Utara-AS dan Korea Utara-Jepang, perundingan peluru jarak jauh antara Korea Utara-AS, penyelesaian masalah fasilitas nuklir Korea Utara dan sebagainya, menimbulkan situasi darurat antara tiga negara, yaitu Korea Utara, AS, dan Jepang.12 Isu-isu kompleks tersebut secara tidak langsung berpengaruh besar pada pencapaian stabilitas keamanan di Semenanjung Korea. Dengan melihat kepada situasi di Semenanjung Korea ini, diadakanlah suatu perundingan multilateral Six Party Talks (SPT) yang dimulai pada 2003 untuk membahas stabilitas keamanan Semenanjung Korea dengan beranggotakan enam negara, yaitu Korea Utara, Korea Selatan, AS, Jepang, Cina, dan Rusia. Perundingan yang penuh dinamika ini berujung pada keadaan deadlock karena tidak ada kesepakatan akhir yang berhasil dicapai. Perundingan ini berhenti sejak keluarnya Korea Utara pada 2009. Tindakan provokasi Korea Utara dan sikap dominasi yang ditujukan AS semakin memerkeruh situasi di Semenanjung Korea. Korea Utara mencoba menghasut AS dan negara lainnya untuk mengakui Korea Utara sebagai negara nuklir. Berhentinya forum ini juga semakin menjauhkan harapan Korea Selatan untuk terwujudnya reunifikasi dengan Korea Utara. Dengan berhentinya perundingan ini, juga memunculkan sebuah opportunity atau peluang bagi munculnya pihak baru sebagai mediator, yang lebih menekankan 11
Yang Seung-Yoon and Mohtar Mas‘oed, Masyarakat, Politik, dan Pemerintahan Korea: Sebuah Pengantar, p. 125. 12 Ibid., p. 127.
3
eksistensi single mediator daripada multiple mediators, melihat kepada situasi dan komposisi perundingan yang ternyata tidak mencapai jalan keluar ketika melibatkan banyak pihak, terutama beranggotakan negara-negara dengan major powers. Hal ini menjadi menarik bagi penulis untuk melihat dan menganalisis kemungkinan munculnya pihak baru sebagai single mediator bagi terselesaikannya konflik antara kedua Korea dengan menggunakan landasan konseptual sebagai pisau analisa. Untuk menganalisis negara mana saja yang memiliki peluang tersebut, penulis mengadakan riset awal dengan mengidentifikasi negara-negara yang memiliki hubungan kedekatan dengan kedua Korea, yaitu Bulgaria, Malaysia, Pakistan, India, dan Indonesia. Oleh sebab itu, pada bagian analisis, penulis akan membuktikan negara manakah diantara lima negara tersebut yang memiliki potensi sebagai single mediator itu sendiri.
B. Rumusan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis memiliki rumusan pertanyaan sebagai berikut: Apa peluang Indonesia sebagai single mediator konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan?
C. Landasan Konseptual Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan pisau analisa yang selaras dengan topik yang diangkat. Oleh sebab itu, penulis memilih mediasi sebagai landasan konseptual. Mediasi merupakan satu dari sekian banyak cara penyelesaian atau resolusi konflik. Christopher W. Moore mendefinisikan mediasi sebagai perpanjangan dan elaborasi dari proses negosiasi. Mediasi melibatkan intervensi pihak ketiga yang dapat diterima oleh pihak yang bertikai, prinsip imparsialitas, dan pihak ketiga yang netral, tidak memiliki otoritas dalam pembuatan keputusan, dan secara sukarela membantu pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bertikai itu sendiri. 13 Linda Singer menjabarkan mediasi sebagai bentuk dari bantuan pihak ketiga yang melibatkan pihak luar dan tidak memiliki power dalam pembuatan keputusan bagi pihak-pihak yang bertikai. 14 Di sini ditekankan bahwa mediator tidak memiliki kewenangan dalam menentukan hasil akhir sengketa, 13
Christopher W. Moore, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict, Jossey-Bass, San Fransisco, 1986, p. 6. 14 Linda Singer, Settling Disputes: Conflict Resolution for Business, Families, and the Legal System, Westview, Colo, 1990, p. 20.
4
tetapi ketentuan akhir diserahkan kepada pihak-pihak yang bertikai. Dengan lebih mendalam, Folberg dan Taylor mendefinisikan mediasi sebagai sebuah proses ketika semua anggota, bersamaan dengan bantuan dari pihak netral, secara sistematis mengisolirkan sengketa untuk menghasilkan opsi, mempertimbangkan alternatif, dan mencapai penyelesaian yang akan mengakomodasi kebutuhan mereka.15 Dilihat dari sisi timing, kehadiran mediator sangat dibutuhkan ketika negosiasi mencapai kebuntuan. Seorang mediator melibatkan diri dalam sebuah sengketa untuk membantu pihak yang bertikai dalam mencapai sebuah hasil—atau hasil yang lebih baik— yang mungkin tidak akan mereka capai jika tidak ada eksistensi dari mediator. 16 Apa yang dilakukan seorang mediator, atau yang bisa dilakukan, dan diijinkan untuk dilakukan dalam usahanya menyelesaikan suatu konflik tergantung pada identitas mereka, usaha mereka, konteks dari konflik tersebut, apa yang dipertaruhkan, dan sifat/watak interaksi mereka satu sama lain.17 Jacob Bercovitch memaparkan karakteristik mediasi sebagai berikut: 1. Mediasi merupakan kepanjangan dan kelanjutan dari manajemen konflik secara damai. 2. Mediasi melibatkan intervensi pihak luar—individu, grup, atau organisasi— dalam konflik antara dua atau lebih negara atau aktor lain. 3. Mediasi merupakan bentuk intervensi yang tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan, tentu saja, tidak mengikat. 4. Mediator terlibat dalam sebuah konflik, baik konflik internal atau internasional, untuk memengaruhi, mengubah, memodifikasi, atau memberi dampak dengan beberapa cara. 5. Dalam melakukan mediasi, mediator membawa ide, pengetahuan, sumber daya, dan kepentingan mereka atau organisasi yang mereka wakili. 6. Mediasi merupakan bentuk manajemen konflik dengan asas sukarela. Seorang mediator tidak memiliki kontrol terhadap hasil mediasi. 7. Mediasi dapat berjalan hanya dalam keadaan ad hoc.18
Secara garis besar, Jeffrey Rubin memaparkan bahwa agar mediasi menjadi efektif, dibutuhkan tiga faktor, yaitu motivasi pihak yang bersengketa untuk menyudahi atau menyelesaikan konflik tersebut, peluang mediator untuk terlibat, dan kemampuan atau skill mediator sendiri.19 Mediasi yang efektif membutuhkan persetujuan, motivasi yang tinggi, dan
15 16
Jay Folberg and Alison Taylor, Mediation, Jossey-Bass, San Fransisco, 1984, p. 7. Jacob Bercovitch, ‗Mediation in International Conflict: An Overview of Theory, A Review of Practice‘, p.
129. 17
Ibid., p. 127. Ibid., pp. 127-128. 19 Jeffrey Rubin, ‗International Mediation in Context‘, dalam Jacob Bercovitch and Jeffrey Z. Rubin (eds.), Mediation in International Relations, St. Martin‘s Press, New York, 1992, p. 251. 18
5
partisipasi aktif semua pihak yang terlibat. 20 Menurut Rubin, peluang mediator untuk terlibat dalam suatu konflik dapat terlihat dari ada tidaknya motivasi dan komitmen pihak yang bertikai untuk menyudahi konflik. Ketika hanya satu pihak saja yang memiliki motivasi tinggi, maka kemungkinan tercapainya resolusi akan kecil. Oleh karenanya, peluang mediasi akan lebih tinggi ketika mediator secara langsung ditunjuk dan disetujui oleh pihak yang bertikai daripada hanya ditunjuk oleh salah satu pihak saja atau oleh mediator sendiri.21 Aktor mediasi itu sendiri bermacam-macam, misalnya individu, pejabat pemerintah, figur religi, organisasi internasional, ad hoc groupings, negara, dan lain sebagainya. Dalam melakukan mediasi, masing-masing aktor ini membawa kepentingan, persepsi atau wawasan, dan sumber daya yang dimiliki. 22 Touval menegaskan bahwa faktor-faktor utama yang harus dimiliki mediator adalah netralitas, prestise, ciri khas/identitas, kemampuan persuasi, keterampilan, dan kreativitas.23 Mediator dapat berupa single atau multiple mediators. Banyak mediator dapat menciptakan sinergi dalam usaha bersama penyelesaian konflik, dengan bertukar pemikiran dan gagasan atau pendapat dibandingkan dengan single mediator. Tobias Böhmelt dalam jurnal yang berjudul Disaggregating Mediations: The Impact of Multi-Party Mediation mendefinisikan multiple mediators sebagai pertukaran informasi, kolaborasi analisis dan strategi, berbagi sumber daya, kemitraan formal, dan cara lain untuk menyamakan dan/atau mengintegrasikan masingmasing upaya individu agar lebih efektif sebagai bagian yang saling berhubungan demi terciptanya perdamaian.24 Namun, di sisi lain, ketika dalam suatu konflik terdapat banyak pihak yang terlibat, maka kemungkinan munculnya tumpang tindih kepentingan semakin tinggi. 25 Tobias Böhmelt menegaskan bahwa:
20
Jacob Bercovitch, ‗Mediation in International Conflict: An Overview of Theory, A Review of Practice‘, p.
144. 21
Ibid., p. 145. Jacob Bercovitch, ‗Mediation in International Conflict: An Overview of Theory, A Review of Practice‘, dalam I. William Zartman and J. Lewis Rasmussen (eds.), Peacemaking in International Conflict: Methods and Techniques, United States Institute of Peace Press, Washington D.C, 1997, p. 133. 23 S. Touval, The Peace Brokers: Mediations in the Arab-Israeli Conflict 1948-79, Princeton University Press, Princeton, 1982, pp. 12-14. 24 Tobias Böhmelt, ‗Disaggregating Mediations: The Impact of Multi-Party Mediation‘, Center for Comparative and International Studies (daring),
diakses 5 Desember 2013. 25 Menjadi mediator dan melibatkan diri dalam suatu konflik tidak terlepas dari kepentingan mediator itu sendiri. 22
6
A coalition of interveners may increase the complexity of the mediation process, leading to unanticipated coordination and collective action problems, which ultimately can induce a serious deterioration of the overall conflict situation.26
Ban Ki Moon dalam Report of the Secretary-General on Enhancing Mediation and its Support Activities juga menegaskan mengenai multiple mediators, bahwa: Multiple actors competing for a mediation role create an opportunity for forum shopping as intermediaries are played off against one another. Such a fragmented international response reinforces fragmentation in the conflict and complicates resolution.27
Oleh karena itu, ketika multiple mediator dirasa kurang cocok untuk menyelesaikan suatu konflik, maka pilihan lain yang kemudian muncul adalah single mediator. Berbeda dengan multiple mediator, eksistensi single mediator, meskipun sama-sama memiliki kepentingan, tetapi kemungkinan akan adanya tumpang tindih kepentingan sangat kecil.28
Kapan Pihak yang Bersengketa Membutuhkan Kehadiran Mediator?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, J. Michael Greig dalam jurnalnya yang berjudul Stepping into the Fray: When do Mediators Mediate, menjabarkan empat faktor utama yang memengaruhi pihak yang bersengketa untuk menghadirkan seorang mediator dalam usaha penyelesaian konflik, yaitu kebuntuan konflik, karakteristik pihak yang berkonflik, manajemen konflik, dan jenis konflik.
1. Kebuntuan Konflik (Conflict Stalemate) J. Michael Greig menjabarkan faktor kebuntuan konflik ini sebagai berikut: a) semakin lama durasi konflik, maka mediasi akan lebih mungkin terjadi b) semakin keras suatu konflik yang sebelumnya pernah terjadi antara pihak yang bertikai, kemungkinan mediasi semakin meningkat c) semakin meningkatnya persentasi konflik akan berakhir di jalan buntu, kemungkinan mediasi semakin meningkat29
26
Tobias Böhmelt. Ban Ki Moon, ‗Report of the Secretary-General on Enhancing Mediation and its Support Activities‟ dalam Tobias Böhmelt, ‗Disaggregating Mediations: The Impact of Multi-Party Mediation‘, Center for Comparative and International Studies (daring), diakses 5 Desember 2013. 28 Hal ini dikarenakan hanya ada satu pihak luar yang terlibat, sehingga bentrok kepentingan sangat kecil kemungkinannya dibandingkan jika pihak luar yang terlibat jumlahnya banyak atau lebih dari satu. 29 J. Michael Greig, ‗Stepping into the Fray: When do Mediators Mediate‘, dalam Daniel Druckman and Paul F. Diehl (eds.), Conflict Resolution, Sage Publications, London, 2006, p. 201. 27
7
Christopher Mitchell memaparkan bahwa kesepakatan antar pihak yang bertikai hanya dapat dicapai ketika pihak yang bertikai menyadari bahwa dengan cara kekerasan, pada ahirnya, tidak dapat menghasilkan outcome apapun dan tidak melihat adanya akhir dari cost of conflict itu sendiri.30 Hal ini diperparah dengan suatu keadaan yang disebut dengan hurting stalemate. Philip A. Schrodt, Ömür Yilmaz, and Deborah J. Gerner dalam jurnalnya mendefinisikan hurting stalemate sebagai berikut: A hurting stalemate is essentially a painful deadlock, while an imminent catastrophe resembles a deadline, which the parties would be afraid to miss as they fear that their situation might further deteriorate.31
Zartman, dengan menekankan pada pentingnya eksistensi hurting stalemate, menegaskan bahwa usaha mediator akan membawa hasil ketika tidak ada pihak yang memaksakan kehendaknya kepada pihak lain dan adanya status quo yang mendorong pihak yang bersengketa untuk keluar dari status quo tersebut. 32 Dengan kata lain, semakin banyak kerugian yang dikeluarkan dari konflik tersebut dan adanya status quo yang lama-kelamaan membuat kerugian membengkak, maka semakin tinggi pula usaha untuk keluar dari keadaan itu. Peluang terjadinya mediasi semakin tinggi diakibatkan adanya hurting stalemate yang berkembang di antara pihak yang bertikai.33
2. Karakteristik Pihak yang Berkonflik (Disputants Characteristics) Prinsip utama dalam faktor ini adalah bahwa kemungkinan terjadinya mediasi cenderung kecil ketika pihak-pihak yang bertikai merupakan major power.34 Hal ini disebabkan karena adanya persaingan kepentingan antar negara major power tersebut, sehingga akan menyulitkan mediasi. Negara-negara tersebut bisa saja menyebarkan pengaruhnya kepada negara lain atau konstituen mereka. Dengan karakteristik tersebut, mediasi sulit terjadi.
30
Ibid., p. 200. Philip A. Schrodt, Ömür Yilmaz, and Deborah J. Gerner, Evaluating “Ripeness” and “Hurting Stalemate” in Mediated International Conflicts: An Event Data Study of the Middle East, Balkans, and West Africa (daring), 2003, <eventdata.psu.edu/papers.dir/Schrodt.etal.ISA03.pdf>diakses 15 Oktober 2013. 32 William Zartman, ‗Ripeness: the Hurting Stalemate and Beyond‘, dalam Paul Sttern and Daniel Druckman (eds.), International Conflict Resolution after the Cold War, National Academy Press, Washington, 2000, pp. 22550. 33 J. Michael Greig, Loc.Cit. 34 Ibid., p. 204. 31
8
3. Manajemen Konflik (Previous Conflict Management) Manajemen konflik yang dimaksudkan di sini terkait dengan seberapa besar usaha penyelesaian konflik itu sendiri di masa lalu. Frekuensi dan hasil dari upaya penyelesaian konflik yang telah terjadi sebelumnya cenderung memengaruhi urgensi diadakannya mediasi antar pihak yang bertikai.35 Hal ini selaras dengan yang dipaparkan Bercovitch bahwa mediasi merupakan perpanjangan dari upaya negosiasi.36J. Michael Greig merumuskan faktor manajemen konflik ini sebagai berikut: a) mediasi semakin sering terjadi ketika telah ada upaya pihak yang bertikai untuk berunding pada masa lalu b) mediasi semakin sering terjadi ketika pihak yang bertikai telah terlibat dalam negosiasi bilateral di masa lalu c) semakin gagal usaha mediasi sebelumnya, maka mediasi baru akan lebih sering terjadi37
4. Jenis Konflik (Conflict Triage) Jenis konflik memengaruhi peluang munculnya mediator sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Greig menegaskan bahwa mediasi lebih sering terjadi ketika sengketa militer sedang berlangsung.38 Greig menjelaskan sebagai berikut: An ongoing militarized dispute may be necessary to create the sense of urgency for both disputants and potential mediators to stimulate mediation between the parties. In a similar way, a previous war can also function to crystallize the sentiment among disputants and third parties that a real danger exists between the disputants.39
Terkait dengan penelitian ini, penulis menganggap bahwa konsep-konsep yang telah disebutkan penulis di atas sangat relevan untuk menjelaskan ada atau tidaknya timing atau kesempatan bagi Indonesia untuk terlibat sebagai mediator. Ketika terdapat timing yang tepat, maka semakin besar pula peluang Indonesia untuk menjadi mediator konflik antara kedua Korea tersebut. Pada bab pembahasan nanti, penulis akan menganalisis kematangan konflik ini untuk kemudian menghadirkan Indonesia sebagai mediator.
35
Ibid., p. 207. Jacob Bercovitch, ‗Introduction: Putting Mediation in Context‘, dalam Jacob Bercovitch (ed.), Studies in International Mediation, Palgrave MacMillan, New York, 2002, p. 3. 37 J. Michael Greig, Op.Cit., p. 208. 38 Ibid., p. 209. 39 Ibid. 36
9
Penerimaan Kehadiran Mediator oleh Pihak-Pihak yang Bertikai
Usulan seorang mediator untuk terlibat dalam suatu penyelesaian sengketa membutuhkan penerimaan dari pihak-pihak yang bertikai. Tidak semua pihak yang bertikai menerima kehadiran mediator. Penerimaan terhadap kehadiran seorang mediator sangat bergantung pada pandangan pihak-pihak yang bertikai bahwa mereka tidak dapat meneruskan negosiasi karena negosiasi tersebut tidak mengeluarkan mereka dari keadaan konflik. Oleh sebab itu, urgensi untuk menghadirkan pihak ketiga semakin tinggi. Alur penerimaan atau penolakan kehadiran mediator oleh pihak-pihak yang bertikai dapat dilihat pada flowchart berikut. Penerimaan Inisiatif Mediasi40
Ketika peluang suksesnya konflik dengan cara kekerasan sangat kecil dan kerugian akibat konflik juga kecil, maka mediator memiliki peluang untuk masuk menjadi pihak ketiga. Namun, 40
John B. Stephens, ‗Acceptance of Mediation Inisiative‘, dalam C.R. Mitchell and K. Webb (eds.), New Approaches to International Mediation, Greenwood Press, Connecticut, 1988, p. 59.
10
posisi mediator di sini ‗mengambang‘ karena kemungkinan dilanjutkannya koersi semakin tinggi. Di sisi lain, ketika peluang suksesnya konflik dengan cara kekerasan sangat kecil dan kerugian akibat konflik besar, maka mediator memiliki peluang lebih tinggi untuk masuk menjadi pihak ketiga. Peluang mediator untuk diterima oleh pihak yang bertikai semakin tinggi ketika pihak yang bertikai menyadari bahwa mereka semakin dekat dengan tujuan yang ingin dicapai, terlebih dengan adanya kehadiran mediator yang diharapkan dapat membawa kemauan mereka.41 Dalam tahapan ini, yang menjadi pertimbangan bagi pihak yang bertikai untuk menerima mediator adalah independensi mediator (mediator independent) dan kepercayaan pihak yang bertikai terhadap mediator (mediator trustworthy). Independensi mediator sangat penting untuk melihat posisi seorang mediator di antara pihak yang berkonflik. Hal ini merujuk kepada netralitas (tidak memihak) dan imparsiality (tidak pandang bulu). Dalam jurnal berjudul Neutrality and Impartiality in Mediation disebutkan bahwa pengertian netral dan imparsial merujuk kepada empat poin keadilan non-partisan, tingkat intervensi mediator, keterbatasan peran, dan objektivitas.42 Jika mediator dapat memenuhi konsep-konsep tersebut, yang menekankan pada tanggung jawabnya sebagai mediator, maka mereka akan mempromosikan citra mereka menjadi netral dan imparsial, mendapatkan rasa hormat dan meningkatkan kredibilitas serta kepercayaan dari pihak yang bertikai. 43 Semakin tinggi kepercayaan pihak yang bertikai kepada mediator, maka semakin tinggi pula peluang mediator tersebut untuk diterima. John B. Stephens menjelaskan hal tersebut sebagai berikut: The two aspects of the judgement on the acceptability of the mediator offered here are the adversary's trust in the prospective mediator and the adversary's perception that the potential mediator is independent of the adversary's opponents.44
Berdasarkan konsep di atas, penulis akan menjabarkan peluang Indonesia sebagai mediator menggunakan alur pada flowchart. Penulis akan memulai analisis dengan mengidentifikasi konflik yang terjadi dan disertai pula dengan potensi yang dimiliki Indonesia berdasarkan pengalamannya menjadi mediator konflik kawasan. Di sini, penulis juga akan melihat posisi Indonesia di antara kedua Korea, sehingga relevan untuk menjelaskan sisi 41
Menurut John B. Stephens, ketika pihak yang bertikai merasa bahwa tujuan mereka mustahil untuk dicapai, maka pihak yang bertikai akan memilih untuk membuka kembali negosiasi daripada menghadirkan mediator, atau pilihan lain, menghadirkan mediator untuk menetapkan kembali tujuan mereka. 42 Hin Hung, Neutrality and impartiality in mediation, diakses 15 Januari 2014. 43 Ibid. 44 John B. Stephens, Op.Cit., p. 57.
11
independensi Indonesia. Dengan menganalisis potensi dan posisi Indonesia berdasarkan flowchart tersebut, maka dapat dikaji lebih dalam mengenai peluang Indonesia sebagai mediator konflik kedua Korea dilihat dari sisi acceptance atau penerimaan dari pihak-pihak yang bertikai.
Intermediary Rewards
Faktor penting lainnya yang memengaruhi peluang untuk menjadi mediator adalah adanya rewards atau penghargaan dari pihak lain terkait upaya mediator dalam penyelesaian konflik. Ketika mediator melihat adanya penghargaan, maka keinginan mediator untuk menjadi pihak ketiga semakin besar. Penghargaan tersebut juga dapat menjadi salah satu jalan tercapainya kepentingan mereka. Untuk memahami dari mana saja datangnya penghargaan tersebut, Wall membuat model berikut: Pihak Ketiga dan Sistem Konflik45
45
C. R. Mitchell, ‗The Motives for Mediation‘, dalam C.R. Mitchell and K. Webb (eds.), p. 37.
12
Berdasarkan model diatas, terdapat empat sumber potensial datangnya penghargaan terhadap usaha mediator, yaitu: a) Penghargaan dari pihak-pihak yang bertikai b) Penghargaan atas upaya stabilisasi kawasan regional c) Penghargaan dari aliansi pihak yang bertikai d) Penghargaan dari konstituen mediator sendiri Terkait dengan konsep intermediary rewards tersebut, penulis dapat menganalisis ada tidaknya keinginan atau inisiatif dari pihak Indonesia sendiri untuk menjadi mediator konflik kedua Korea. Ketika ditemukan banyak kemungkinan datangnya rewards, maka secara tidak langsung keinginan Indonesia untuk menjadi mediator semakin tinggi pula. Secara garis besar, penulis akan menggunakan poin-poin di atas untuk melihat apa saja peluang Indonesia sebagai mediator, mulai dari mengidentifikasi sejauh apa konflik antara kedua Korea membutuhkan kehadiran mediator, mencari mediator potensial dengan menggunakan konsep acceptance, dan rewards itu sendiri. Lalu, penulis juga akan menganalisis sejauh apa urgensi kemunculan single mediator dalam penyelesaian konflik antara kedua Korea ini. Penulis akan memaparkan satu per satu pada bab pembahasan nanti.
D. Argumentasi Utama Berdasarkan landasan konseptual yang dipaparkan penulis di atas, maka penulis memiliki argumentasi utama bahwa Indonesia memiliki peluang yang tinggi sebagai single mediator yang cocok untuk menyelesaikan konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan. Secara garis besar, peluang-peluang tersebut dapat dibagi menjadi tiga poin utama. Pertama, Indonesia, yang memiliki kedekatan dengan kedua Korea, juga memiliki timing yang tepat karena konflik ini berada dalam keadaan hurting stalemate yang mendorong pihak yang bertikai untuk mencari jalan keluar. Kedua, dengan melihat kepada kemampuan dan pengalaman Indonesia sebagai mediator di beberapa konflik kawasan serta posisi Indonesia di antara kedua Korea, maka peluang Indonesia untuk diterima sebagai mediator oleh pihak yang bertikai, yaitu kedua Korea, semakin besar. Ketiga, Indonesia akan mendapatkan rewards ketika berhasil menjadi mediator konflik. Rewards tersebut dapat menjadi salah satu upaya pencapaian kepentingan Indonesia sendiri. Selain peluang-peluang tersebut, kecocokan Indonesia sebagai single mediator juga terlihat pada eksistensi Indonesia sebagai negara kecil yang tidak mengancam, strategi mediasi 13
Indonesia yang lebih menggunakan cara soft-line, tidak adanya pengalaman konflik antara Indonesia dengan kedua Korea, dan kemampuan Indonesia dalam melakukan persuasi. Jadi, dengan melihat poin-poin tersebut, penulis meyakini bahwa peluang Indonesia untuk menjadi single mediator konflik antara kedua Korea sangat tinggi.
E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, penulis akan mengelompokkan pokok bahasan sehingga menjadi sistematis. Penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab pertama berisi pendahuluan, dimulai dari latar belakang masalah, rumusan pertanyaan, landasan konseptual, argumentasi utama, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua, penulis akan memaparkan sejauh apa hubungan bilateral antara kedua Korea telah terjadi, dinamika diplomasi, dan bagaimana SPT mengalami kebuntuan. Berangkat dari uraian tersebut, pada bab ketiga penulis akan mengawali analisis dengan mengidentifikasi mengapa konflik antara kedua Korea ini perlu dimediasi dan sejauh mana konflik ini mencapai kematangannya untuk menghadirkan single mediator. Lalu pada bab empat, penulis akan menganalisis peluang munculnya single mediator dengan menguraikan potensi yang dimiliki lima negara calon mediator potensial berdasarkan indikator acceptance yang telah penulis paparkan pada landasan konseptual. Lalu, pada bab kelima, ketika didapatkan satu negara yang paling potensial, yaitu Indonesia, penulis akan memaparkan apa saja potensi dan bagaimana posisi Indonesia sehingga mendorong semakin tingginya peluang itu sendiri. Masih pada bab yang sama, berdasarkan landasan konseptual mengenai intermediary rewards, penulis akan mengidentifikasi dari mana saja datangnya penghargaan ketika Indonesia berhasil diterima menjadi mediator. Akhirnya, pada bab enam, penelitian ini akan ditutup dengan kesimpulan berdasarkan hasil analisis yang juga menjawab rumusan pertanyaan.
14