PEMIKIRAN POLITIK KALIM AL-SIDDIQUI TENTANG NATION-STATE (NEGARA-BANGSA)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy.)
Oleh : SAHARA BINTI ALI NIM: 1110045200032 KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J AKARTA 1435 H/2014M
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 18 Februari2014 M 19 RabiulAkhir1435 H
Sahara Binti Ali iii
ABSTRAK Sahara Binti Ali. NIM 1110045200032. PEMIKIRAN POLITIK KALIM ALSIDDIQUI TENTANG NATION-STATE (NEGARA-BANGSA). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435/2014 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan menambah referensi pada pandangan Kalim al-Siddiqui mengenai nation-state (negara-bangsa) yang berhubungan dengan nasionalisme. Menurutnya nation-state (negara-bangsa) merupakan simbol kemunduran, kekalahan dan keterpecah-belah Umat Islam bahkan ia adalah produk ketundukan dari penjajahan bagi mendapat sebuah kemerdekaan. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan analisis yang mana penulis menggunakan data primer dan sekunder, kemudian menganalisanya secara komprehensif yang berhubungan dengan nasion-state (negara-bangsa). Hasil penelitian ini, menunjukkan Kalim al-Siddiqui menolak dan tidak setuju akan nation-state (negara-bangsa) yang berlaku di negara-negara Muslim. Kata kunci: Pemikiran, Nation-State (negara-bangsa), Nasionalisme, Kemerdekaan, Kekuasaan, Kemunduran, Perubahan dan Kekuatan Korektif.
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allahu Ahad, tuhan pencipta sekalian alam ini. Salawat serta salam buat junjungan besar Nabi Muhammad saw. sebagai penghulu bagi sekalian Nabi, Para Sahabat, Para Istri, ahli keluarga serta seluruh umat Islam yang tidak jemu-jemu memperjuangkan kalimah sakral“La ilaha illallah Muhammadul Rasulullah” sehingga hembusan nafas terakhir. Skripsi
berjudul:PEMIKIRAN
POLITIK
KALIM
AL-SIDDIQUI
TENTANG NATION-STATE (NEGARA-BANGSA), ditulis untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat dalam mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat penulis persembahkan rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat: 1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu.
v
2. Prof.Dr.Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Dr.Phil. JM.Muslimin MA, sebagai Dekan Fakultas Syariah & Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini. 3. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Dr. Asmawi M.Ag. dan Afwan Faizin, M.Ag. yang telah membantu penulis sejak masa perkuliahan hingga berakhirnya skripsi ini. 4. Prof.Dr.Masykuri Abdillah, selaku pembimbing I dan ibu Masyrofah, M. Ag, M. Si. sebagai pembimbing II yang sabar memberikan petunjuk ke arah perfeksi penulisan, meluang waktu dan banyak memberi masukan kepada penulis hingga tuntasnya skripsi ini. 5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum di UIN Jakarta, terutama Prof. Dr. Amin Suma, SH, MA, MM, Prof. Dr. Yunasril Ali, Dr. Asep Saepudin Jahar, Arskal Salim GP, Drs. H.A. Basiq Djalil, Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, Iding Rosyidin, Alfitra AH., M, Hum, Dr. Atep Abdurofiq, Dr. Bambang Catur SP, Dr. Dedy Nursamsi, Dr. H. Supriyadi Ahmad, Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, Kamarusdiana, S.Ag., M.H, Khamami, MA, Dr. Moh. Ali, QosimArsadani, MA dan Dr. Rumadi. 6. Seluruh dosen serta semua staf di Kolej Universiti Darul Quran terutama almarhum Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ustaz Kamaruzaman, Ust. Soud Said, Ust. Rizki Ilyas, Ust. Asmadi, Ust. Ismail Osman, Ust.
vi
Khalil, Sir Mukhdi danUstazah Asma, jugat eman-teman KUDQI yang tidak dapat penulis sebutkan di sini. 7.
Seluruh staf perpustakaan FSH dan Perpustakaan Utama, karyawankaryawati, Perpustakaan
Pustakaan Awam
Nasional Negeri
Republik
Terengganu
Indonesia, yang
banyak
Perbadanan membantu
memfasilitasi penyelesaian penulisan skripsi ini. 8. TYT. Dato’ Duta Malaysia di Indonesia, Tuan Pengarah JPMI, Atasan Agama serta seluruh staf Kedutaan Besar Malaysia atas pengawasan dan kebajikan yang diberikan. 9. Teristimewa buat pemberi semangat nur kasihBonda tercinta Wan Melah binti Wan Musaanakanda mengucapkan ribuan terima kasih atas segala perhatian dan doa untuk keberhasilan anakanda. Kesabaran atas jerih payah dan segala pengorbanan yang tidak terbalas senantisa memberikan semangat dan motivasi tanpa jemu hingga anakanda dapat menyelesaikan pengajian, segala jasa dan pengorbanan bonda senantiasa terpahat di ingatan. Tiada apa yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan hanya dengan sebuah kejayaan. Al-fatihah buat almarhum ayahanda Ali Bin Mamat dan kakanda kedua Anuar Bin Ali yang sentiasa dalam ingatan dan doaku semoga di cucuri rahmat ke atas roh keduannya dan ditempatkan bersama orang-orang soleh. Buat saudarakuyang diingati dan dikasihi, Rusdi, Zalina, Latif, Muhammad Zulhilmi, Kak Tie dan Abang Ayub (ipar) ucapaan jutaan terima kasih yang telah banyak membantu dan mendoakankanku.Tidak lupa vii
juga buat si cute Solahuddin, Ikram Fikri dan Jinan, serta seluruh saudaramara yang penulis kasihi. Terima kasih di atas segala bantuan moral dan material,hingga penulis dapat menyelesaikan pengajian di sini dengan selamat, dan sempurna. Semoga amal kalian diganti ridha Al-Khaleed. 10. Sahabat seperjuangan, Khadijah, Ann, Halijah, Balqis, Sumaiyyah, Siti Norjannah, Zuriah, Hilmi, Hapis, Muin,kakak-kakak, abang-abang, adikadik dan teman-teman usrah ex-Kudqi, serta teman-temanIndonesia, antaranya, Fatimah, Fifka, Rinny, Messy, dan yang mengenali penulis yang tidak mampu penulis catatkan satu persatu disini. Yang banyak memberi motivasi demi keberhasilan penulisan karya ilmiah ini dan terima kasih juga atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 11. Kepada senior-senior UIN muslimin dan muslimat terutamanya K. Ain, K. Ngah, K. Faizah, Ann dan Hajar.Terima Kasih karena turut mendoakan penulis dan banyak memberi kritikan, semangat serta motivasi. Semoga kita tetap dalam perjuangan. 12. Pihak kedutaan besar Malaysia, Prof Juzhar, EncikLudi, Ust Aziz, Mr. Mix, Pak Warden, PuanYahurindan lain-lain. 13. Tidak lupa kepada Pak Osman yang banyak menolong dalam urusan imegrasi, juga kepada Pak Said serta ibu selaku tuan kosan tempat berteduhku dan Pak Fuad yang sering mengambil dan menghantarku ke Bandara Soekarno Hatta Internasional. viii
14. Kerajaan Malaysia dan Pemerintah Indonesia. Akhirnya, ’Sirru a’la barakatillah’ dan semoga skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada pembaca sekalian, segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis hanya Allah yang selayaknya membalas. Dalam penulisan skripsi ini tentu tidak luput dari kekhilafan dan kesalahan, karenanya kritikan dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dan akan diterima dengan baik. -Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, 18 Februari2014M 19 RabiulAkhir 1435 H
Sahara Binti Ali
ix
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………………………...i PENGESAHAN PENITIA UJIAN…………………………………………...ii LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................iii ABSTRAK ................................................................................................................ iv KATA PENGANTAR ............................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 6 D. Tinjauan Pustaka/ Kajian Terdahulu (Review) ................................ 7 E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ......................................... 9 F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12
BAB II
BIOGRAFI KALIM AL-SIDDIQQUI .............................................. 13 A. Riwayat Hidup Kalim al-Siddiqui ................................................... 14 B. Latar Belakang Pendidikan .............................................................. 16
x
C. Perjalanan Karir dan Karya-karya yang Telah Dibukukan .............. 17
BAB III KONSEP NATION-STATE (NEGARA-BANGSA) .......................... 24 A. Pengertian ........................................................................................ 25 B. Sejarah Munculnya Nation-state (negara-bangsa) .......................... 30 C. Negara yang Menganut Ideologi Nasionalisme Secara Umum ....... 34 D. Faktor-faktorTerbangunnya Nasionalisme…….…………………..43
BAB IV
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KALIM SIDDIQUI ......................... 50 A. Corak Pemikiran Politik ................................................................. 52 B. Pandangan Kalim al-Siddiqui Tentang Nation-state (negara-bangsa) ........................................................................................................ 55 C. Implementasi Hubungan Nasionalisme dalam Nation-state (negarabangsa) ............................................................................................ 61
BAB V
PENUTUP ............................................................................................ 72 A. Kesimpulan ..................................................................................... 72 B. Saran-saran ....................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 75
xi
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa atau untuk seluruh umat, berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.1 Kontraktual muncul secara artifisal dan didesak oleh suatu kebutuhan kontrak sosial, dengan di dalamnya terdapat sebuah ikatan timbal balik yang berbentuk hak dan kewajiban antar nation-state (negara-bangsa) dengan warganya.2 Telah terjadi perdebatan hebat di kalangan pemikir dan penguasa Muslim tentang konsep-konsep Barat semacam nation-state (negara-bangsa), nasionalisme, sovereignity (kedaulatan). Konsep nation-state (negara-bangsa) dengan demikian, yang menciptakan ketegangan historis dan konseptual.3 Ide negara yang berbasis nasionalisme sangat asing bagi orang Islam hinggakan setiap negara nasional ummah adalah tidak stabil dan lemah.4
1
Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. Ke-3, h. 42-43. Guibernau, M., Nationalisms, The Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century, (Polity Press: London, 2005), h. 47. 3 Azra Azyumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta Selatan:Paramadina), Cet. Ke-1, h.10. 4 Kalim Siddiqui, Negara Nasionalisme Penghalang PembentukanUmmah, (Pustaka AlAlami, 1985), Cet. Ke-1, h.5. 2
2
Negara-negara bangsa dunia Islam, khususnya negara-negara yang berada di Timur Tengah, tidak berkembang dari proses politik mobilisasi dan integrasi, maupun proses ekonomi pertumbuhan. Superstruktur-superstruktur yang terbentuk baru-baru ini lebih merupakan sebuah imposisi yang terletak setelah di sosolusi Barat terhadap tatanan Islam.5 Telah berlaku peristiwa revolusi, kericuhan dan pemberontakan telah menggungcangkan masyarakat Muslim. Semua itu bertentangan dengan konsep persaudaraan sesama Muslim. Terlebih lagi, kebanyakan negara Muslim dipimpin oleh para pemimpin sipil atau militer yang otoriter dan seringkali menggunakan ungkapan Islam untuk menunjang pemerintahan mereka. Etnisitas dan nasionalisme justru menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. Semua itu tentu saja merusak nilai persaudaraan sesama Muslim.6 Nasionalisme yang menjadi ruh dari nation-state (negara-bangsa) bukanlah merupakan gagasan yang datang “bertamu” secara ilmiah dan terhormat, tetapi melalui penanaman nilai dan gagasan dalam proses kolonialisasi yang buas yang menjadi ide asing. Berikut petikan yang menggambarkan nasionalisme dalam pikiran “Islamist”; “Tidak muncul di dunia Islam secara ilmiah, juga tidak muncul karena kesulitankesulitan yang dihadapi rakyat, juga bukan karena perasaan prustasi kaum Muslimin ketika orang Eropa mulai mendominasi dunia setelah terjadinya 5
Tibi Bassam, Ancaman furdamentalisme Rajutan Islam Politik Dan Kekacauan Dunia Baru, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), Cet. Ke-1, h. 12. 6 Akbar S. Ahmed, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, (Jakarta: Erlangga, 1990), Cet. Ke-1, h. 14.
3
revolusi industri.Akan tetapi karena nasionalisme dihujankan ke dalam benak kaum Muslimin melalui rekayasa yang tersusun rapi dan dilakukan dengan hatihati oleh kekuatan fisik (perang salib)”.7
Sehingga,
nasionalisme
merupakan
sesuatu
yang
menonjol
selama
berlangsungnya perjuangan untuk meraih kemerdekaan khususnya dikalangan golongan-golongan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi di Eropa. Contoh yang paling sederhana, seperti yang dialami oleh Iran atau Persia, di mana dasar nasionalisme terbentuk oleh pengambilan Syi‟ah Imamiyah sebagai agama kantor yang dipermulaan pada abad keenam-belas. Telah terjadi konvergensi dari bagian-bagian yang terpisah tersebut menuju terbentuknya negara Islam yang dalam ketentuan yuridis tersebut menuju terbentuknya negara Islam yang dalam istilah yuridis teologis Islam dikenal dengan istilah khalifah atau imamah.8 Sejumlah partai politik movement (gerakan) dan kelompok-kelompok gerilyawan Islam telah menyatakan diri untuk merestorasi kekhalifahan dengan menyatukan bangsa-bangsa Muslim baik melalui aksi-aksi politik damai seperti Hizbut ut-Tahrir atau melalui kekuatan fisik seperti alQaeda.Islamist
movement
telah
mengambil
tujuan
akhir
yaitu
pendirian
Kekhalifahan. Hal ini menunjukkan dalam kondisi bersamaan mereka mengkritik gagasan nation-state (negara-bangsa) Muslim sebagai penghalang penyatuan 7
Shabir Ahmed dan Abid Karim, Akar Nasionalisme di Dunia Islam, Penerjemah: Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, (Bangil, al-Izzah, 1997), h. 3. 8 The Institute of Contemporaray Islamic Thought (ICIT), Obituary. Dr. Kalim Siddiqui, 19311996, Artikek diakses pada16 Maret 2013 dari hht:www islamicthought.org/ks.htm.
4
Ummah.9 Misalnya, pembentukan Pakistan tidak mengarah pada penderian negara Islam. Sebaliknya yang menjadi justru membangun nation-state (negara-bangsa) sekuler yang sebagian besar pemimpinnya korup dan secara politis tunduk terhadap Barat.Para pemimpin pada awal, sebagaimana pemimpin di nation-state (negarabangsa) Muslim lainnya dengan segera belajar menggunakan yang Kalim al-Siddiqui sebut sebagai “Islam Amerika”.10 Melalui cara pandang tersebut para resim penguasa negeri-negeri Muslim membungkus keterasingan mereka dari Islam dalam mengokohkan paham nation-state (negara- bangsa).11 Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisa lebih mendalam pemikiran Kalim al-Siddiqui tentang nation-state (negara-bangsa). Oleh karena itu, penulis mengangkat penelitian ini dengan judul: “PEMIKIRAN POLITIK KALIM AL-SIDDIQUI TENTANG NATION-STATE (NEGARABANGSA)”.
9
Lingkar Studi Islam Kebudyaan, Studi: Kritik Atas Negara Bangsa, Artikel diakses pada 20 Augustus dari http://lingkarstudiislamdankebudayaan.blogspot.com.html. 10 “Islam Amerika” merupakan istilah yang digunakan oleh Syyid Qutb untuk menggambarkan model keislaman Muslim didikan Barat yang melakukan distori atau penyimpangan dari jalan Islam. Istilah ini dilontarkan Sayid Qutb dalam tulisannya pada Juni 1952. Kalim mengutip pernyertaan Sayyid Qutb di dalam Dirasat Islamiyyah: The Islam that the Americans and their aliens in the Middles East, want is not the Islam resists communism. They do not want for Islam to rule: the cannot bear in to rule, because it will give a new life the people when is rules…the American and their aliens want for the Middle East an American Islam.” Lihat: Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam, h. 219. 11 Kalim Siddique, Issue in the Islamic Movement 1980-1981(1400-1401), (London:TorontoPretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 4.
5
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Supaya penelitian ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dibahas, maka penulis membatasi permasalahan menjadi lebih praktis dan terfokus sehingga para pembaca mendapat manfaat mengenai seseorang tokoh politik Islam Kalim al-Siddiqui yang juga bertumpu pada pemikiran-pemikiran tentang nation-state (negara-bangsa) dan juga dikenali sebagai nasionalisme. 2. Perumusan Masalah Supaya tidak menjadi pembahasan yang panjang penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah corak pemikiran politik Kalim al-Siddiqui? 2. Apakah pandangan dan argumentasi Kalim al-Siddiqui tentang nation-state (negara-bangsa)? 3. Bagaimana implementasi dan praktek pandangan Kalim al-Siddiqui dalam konteks Negara India? 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Merujuk pada latar belakang yang telah dijabarkan di atas penelitian ini, penulis memiliki beberapa tujuan, antaranya: 1. Untuk menjelaskan corak pemikiran politik Kalim al-Siddiqui.
6
2. Untuk menjelaskan pandangan Kalim al-Siddiqui tentang nasionalisme dalam hubungan nasion-state (negara-bangsa). 3. Untuk menjelaskan implementasi pandangan Kalim al-Siddiqui negara India.
Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara akademis untuk mendapat jawaban terhadap berbagai persoalan terkait dengan nation-state (negara-bangsa) pada pemikiran Kalim al-Siddiqui. 2. Memberi pengetahuan dan informasi tentang nasionalisme dalam hubungan nation-state (negara-bangsa). 3. Membuka tabir perseteruan antara gerakan Islam dan nasionalisme dalam pembentukan ideologi negara. 4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran di ketatanegaraan Islam dan sekaligus pengembangan khazanah keilmuan di dunia ini.
4. Tinjauan Pustaka
Sejumlah penelitian dengan bahasan tentang pemikiran politik telah dilakukan, baik mengkaji secara spesifik maupun mengkaji secara umum yang sejalan dengan pembahasan penelitian ini. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum
7
atas sebagian karya-karya penelitian tersebut baik yang berupa buku maupun skripsi, di antaranya: Skripsi yang ditulis oleh Iwan Marwan yang berjudul “Nasionalisme Ahmad Hassan, Studi Pemikiran Ahmad Hassan Tentang Paham Kebangsaan” tahun 2007. Skripsi ini di antaranya membahaskan tentang pemikiran Ahmad Hasan tentang nasionalisme di Indonesia. Sedangkan dalam bentuk tesis ada yang penulis temukan, diantarannya: Tesis Moh. Asror Yusuf, “Antara Islam dan Barat, Studi Respon Badiuzzam Said Nursi”, 2001 intinya tesis ini tentang anutan kefahaman yang di pakai Nasionalisme (nationstate) supaya penulis lebih memahami lagi. Di samping itu terdapat beberapa sumber-sumber yang penulis rasakan relevan untuk dijadikan rujukan penulis, di antaranya adalah: Buku pertama, “50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia”. Buku ini adalah hasil karya Zainal Adnan, Ahmad Amri dan Nurasyikin Ahmad. Di dalam buku ini menyingkapi secara umum tentang Kalim al-Siddiqui, dimulai sejarah kehidupan beliau, karir beliau, keterlibatan beliau dalam bidang politik dan menyatakan pemikirannya mengenai neo-kolonialisme. Buku kedua, “Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat”. Buku ini adalah hasil karya Kalim Siddiqui. Buku ini banyak membicarakan tentang pandangan-pandangan Kalim Siddiqui tentang nasion-state
8
(negara-bangsa) di negara Muslim serta mengkritik ideologi nasionalisme sekuler yang tersebar di Pakistan. Buku ketiga, “Issue in the Islamic Movement 1980-1981”. Buku ini adalah hasil karya Kalim Siddiqui. Buku ini salah satu sub babnya menguraikan tentang isuisu dan gerakan-gerakan yang terjadi di dalam negara Islam. Buku keempat, Shabir Ahmed dan Abid Karim, “Akar Nasionalisme di Dunia Islam”, asal judulnya adalah “The Roots of Nationalism in the Muslim World”. Di dalam buku ini menyajikan putusan Islam tentang nasionalisme dan langkah-langkah praktis yang dapat diambil untuk memberantas penyakit nasionalisme yang berlaku di dalam dunia Islam. Buku kelima, “Pergolakan Pemikiran Politik Islam”. Buku ini adalah hasil karya W.Montgomery Wat. Di dalam karya ini adalah sebuah studi sejarah tentang kehidupan dan situasi negara-negara Islam masa pasca Barat yang ikut berpartisipasi dalam urusan pemerintahan. Buku keenam, “Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah”. Buku ini adalah hasil karya Kalim Siddiqui. Buku ini membahaskan tentang gerakangerakan Islam dan pefahaman nasional (nasionalisme) modern yang berusaha membentuk sebuah negara menyebabkan keterpecah-belah di negara-negara Islam.
9
5. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian dalam tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literature, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian normative dan kualitatif deskriptif. Deskriptif di sini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematik dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif. 2. Obyek Penelitian Yang menjadi obyek dalam penelitian penulisan skripsi ini adalah pemikiran politik Kalim al-Siddiqui, khususnya pandangan-pandangannya tentang nation-state (negara-bangsa) di negara Muslim akan tetapi fokus utama apa yang berlaku di Negara India. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis, adalah melalui studi dokumentasi dari bahan-bahan tertulis yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta memiliki relevansi dengan obyek penelitian.
10
4. Jenis Data Karena penelitian ini studi pustaka, maka sumber yang diambil pun sepenuhnya adalah data-data kepustakaan yang dipandang mewakili (representative) dan berkaitan (relevan) dengan objek penelitian yaitu yang terbagi ke dalam data primer, data sekunder dan data tertier. Adapun rincian masing-masing sumber adalah: a) Data Primer adalah disandarkan secara lansung yang diperolehi dari sumber asli dari obyek penelitian, yaitu dari buku-buku yang ditulis sendiri oleh Kalim al-Siddiqui, “Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah” diterjemah dari “Nation-States as Obstacles in the Total Transformation of the Ummah”. b) Data Sekunder merupakan sumber pendukung dari sumber primer yang berasal dari kepustakaan, buku-buku maupun data-data tertulis yang ada relevansinya dengan judul penulisan ini. c) Data tertier adalah merupakan data pelengkap yang terdiri dari kamus bahasa Indonesia, ensiklopedi, artikel dari halaman web dan lain-lain. 5. Teknik Analisis Data Teknis analisis data dalam penelitian ini adalah deskriptif dan analisis, yaitu data-data
yang
(primer
dan
sekunder),
kemudian
menganalisanya
secara
komprehensif agar tampak jelas rangkaian jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan nation-state (negara-bangsa). 6. Teknik Penulisan Skripsi
11
Penulisan skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012, buku ini diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Sistematika Pembahasan Materi laporan penelitian ini dibagi menjadi 6 (enam) bab. Bab Pertama bertajuk “Pendahuluan”. Di dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) penelitian terdahulu yang relevan, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika pembahasan. Bab Kedua berjudul, akan membahaskan tentang “Biografi (riwayat hidup) Kalim al-Siddiqui” adalah pendidikan dan perjalanan intelektualnya, karir di dalam politik serta karya-karya yang telah dibukukan. Bertujuan untuk memberikan gambaran secara ringkas tentang karya-karya. Bab
Ketiga
berjudul
“Konsep
nation-state
(negara-bangsa)”
akan
membahaskan tentang pengertian dan definisi nation-state (negara-bangsa), sejarah kemunculannya, negara yang menganut ideologi nasionalisme dan faktor-faktor terbangunnya nasionalisme. Bab ini bertujuan untuk memberikan pengenalan lebih mendalam tentang nasion-state (negara-bangsa) dan memahami tentang ideologi nasionalisme.
12
Bab Keempat akan menguraikan tentang inti penelitian, yaitu dengan mengemukakan pemikiran politik seterusnya pandangan-pandangan Kalim alSiddiqui menurutnya, corak pemikiran poltik tokoh dan implementasi hubungan nasionalisme dalam nation-state. Penelitian ini bertujuan untuk mendalami pemikiran politik Kalim al-Siddiqui. Bab Kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan yang merupakan jawaban dari apa yang menjadi persoalan dalam pembatasan masalah, perumusan masalah dan juga rekomendasi. Di samping itu, dimuat pula saran terkait tindak lanjut atas temuan penelitian.
13
BAB II BIOGRAFI KALIM AL-SIDDIQUI Kalim al-Siddiqui adalah salah satu intelektual terkemuka dan aktivis gerakan Islam di era modern. Sebagai Pendiri dan Direktur Muslim Institute, London, ia memainkan peran utama dalam mengembangkan pemahaman politik dan pemikiran Islam kontemporer gerakan, dan dalam globalisasi gerakan setelah Revolusi Islam di Iran. Dia juga berjasa dalam menjembatani kesenjangan perbedaan pemikiran Muslim Sunni dan Syiah. Buku terakhirnya yang terkenal dan yang terakhir adalah Stages of Islamic Revolution. Ini diluncurkan di konferensi internasional yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin Muslim di seluruh dunia.12 Kalim al-Siddiqui juga dikombinasikan dengan wawasan intelektual dan pemahaman dengan gerakan aktivisme dan kepemimpinan politik. Intelektual, kontribusi besar adalah pemikiran politik gerakan Islam, dalam serangkaian makalah yang diterbitkan pada 1970-an dan 1980-an, yang disajikan ide-ide radikal dan revolusioner dengan cara yang Muslim biasa ditemukan diakses dan mudah dimengerti.13 Ide-idenya yang dihormati dikalangan aktivis Islam di seluruh pelosok dunia termasuk juga Afrika Selatan, Sudan dan Malaysia di mana dia terakhir kali mengunjungi pada bulan April 1994. 12
Zainal Adnan, dkk,50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, (Malaysia: PTS Millennia SDN.BHD, 2011), Cet. Ke-IV, h. 37. 13 Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/.
14
Kalim al-Siddiqui adalah seorang tokoh senior dan dihormati dalam gerakan Islam global. Namun, di Inggris ia tetap relatif sedikit dikenal di luar kalangan aktivis Islam14 dan merupakan salah seorang pemikir Islam yang terkemuka di akhir abad ke20.15 A. Riwayat Hidup Kalim al-Siddiqui
Kalim al-Siddiqui dilahirkan di desa Dondi Lohara, Sultanpur India pada tanggal 15 September 1931.16 Referensi lain menyebutkan ia lahir pada 2 Juli 1933. Tanggal ini merupakan tanggal yang tercatat ketika dia mulai sekolah dan juga terdapat dalam paspor dan dokumen resmi lainnya.17 Keluarganya yang kecil memiliki lahan Provinsi Serikat (sekarang Uttar Pradesh), tapi18 ayahnya bekerja sebagai inspektur sub-polisi. Kalim al-Siddiqui mengalami berbagai pengalaman buruk semasa berada di bawah pemerintahan Inggris-India. Malah, dia pernah ditembak oleh seorang tentera Inggris ketika berusia 11 tahun selama nasionalis di Azamgarh di utara timur India. Sebagian besar remaja dihabiskan dalam suasana yang sangat tidak menyenangkan dari tahun-tahun menjelang partisi, dan melarikan diri ke Pakistan pada berusia 17 tahun. Kalim menghabiskan waktu enam tahun di Pakistan
14
Kalim Siddiqui, In Pursuit of the power of Islam, (1996), Diedit oleh Zafar Bangash.Edisi ke-2 buku ini diterbitkan oleh Institute for Contemporary Islamic Thought, London. 15 Jalaluddin Rakhmat, Minda Rakyat, Artikel diakses pada 13 April 2013 darihttp://mindarakyat0.tripod.com.htm . 16 Kalim Siddiqui, Functions of International Conflict - A Socio-economic Study of Pakistan, (Karachi: The RoyalBook Company, 1975), h. 2. 17 Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 175. 18 Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic.
15
karena rasa tidak puas sebelum tiba di Inggris pada tahun 1954 dengan berencana menjadi seorang jurnalis. Setelah beranjak dewasa, yaitu pada tahun 1960 Kalim al-Siddiqui menikah dan pada saat yang sama, dia mulai merintis pendidikannya. Hasil pernikahan Kalim al-Siddiqui dengan istri, mereka telah dikarunia dengan tiga orang anak, salah satu putranya bernama Iqbal Siddiqui.19 Namun demikian, Kalim al-Siddiqui adalah seorang yang sangat percaya diri dan kreatif. Alih-alih berkompromi dengan prinsip-prinsip fundamental. Dia segera terjun untuk mengorganisir Seminar Internasional di London di mana para sarjana Muslim, ulama dari semua mazhad, akademis, mahasiswa, aktivis dan lain-lainnya diundang mengikuti anjuran seminarnya. Dari tahun 1982 hingga 1988, Muslim Institute mengorganisir sejumlah seminar.20 Kalim meninggal dunia pada 18 April 1996 di Pretoria, Afrika Selatan setelah menghadiri satu konferensi tiga hari yang berkaitan tentang peradaban baru Islam, beliau mengalami serangan jantung, setelah tiga kali mengalami penyakit yang sama.21 Kalim al- Siddiqui pernah menderita serangan jantung pertama pada waktu itu sudah mengalami sakit parah selama berbulan-bulan bahkan pada tahun 1974,
19
Jorgen S. Nielsen, News People Obituary Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 25 December 2013 dari http://www.independent.co.uk/-1305799.html. 20 Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 18-19. 21 Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia,h.37.
16
dokter menyarankan dia untuk pensiun dari pekerjaannya hingga ia disuruh berhenti bekerja. Dua serangan jantung berikutnya dia dioperasi pada tahun 1981 dan 1995.22 B. Latar Belakang Pendidikan.
Kalim al-Siddiqui mendapat pendidikan awal di sekolah asrama di Faizabad pada tahun 1944 sampai 1945. Ketika masih kecil, dia sudah sadar tentang politik dan mengikut aktif bersama Liga Muslim, yaitu sebuah organisasi yang menggerakan masyarakat Muslim di India. Pada usia 17 tahun, beliau berpindah ke Kerachi, India pada tahun 1948, beberapa bulan setelah partisi dari Inggris-India dan pembentukan Pakistan. Di sekolah, dia menjadi seorang pemimpin pelajar dan menunjukkan bakat yang dimilikinya dalam bidang penulisan bahkan telah mendapat kepercayaan penuh dan di lantik sebagai editor surat kabar masyarakat setempat, yang di beri nama The Leader.23 Sambil bekerja, Kalim melanjut pengajian ke tingkat sarjana di College Universitas, London dalam jurusan Hubungan Antarabangsa. Pada pertengahan 1960an ia menempatkan dirinya melalui perguruan tinggi dan universitas, mengambil gelar di bidang Ekonomi dan kemudian, pada tahun 1972, meraihkan gelar Phd dalam Hubungan Internasional dari Universitas College, London 24 dan juga mengajar paruh waktu di kampus sebuah Universitas Southern California, Amerika di dekat
22
Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic. 23 Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h. 34. 24 Wikipedia, Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Kalim_Siddiqui.
17
rumahnya di Slough.25 Pada masa itu, dia sudah menganggotai Gerakan Khilafat yang berbasis di London.Kalim juga sering bolak-balik ke Paris untuk memprotes kebijakan Perancis di Aljazair.26 Sepanjang periode ini, bagaimanapun, ia juga tetap terlibat dalam kedua urusan Islam pada umumnya dan urusan Pakistan pada khususnya, dan pemikiran yang membentuk dasar dari pekerjaan masa depannya dikembangkan. Dan dia menjadi menonjol di antara para aktivis Islam yang paling awal di Inggris. Suez melihatnya berdemonstrasi di Hyde Park, perang Aljazair melihatnya mengemudi teman-teman ke Paris untuk menunjukkan di ChampsElysees. C. Perjalanan Karir dan Karya-Karya Yang Telah Di Bukukan
Kalim al- Siddiqui mengambil keputusan untuk berhijrah ke Inggris pada tahun 1954 untuk merambah jurnalisme. Selama 10 tahun, dia bekerja sebagai reporter bagi beberapa surat kabar lokal. Pada tahun 1964, tak lama kemudian pindah ke Slough, dia mula bekerja dengan majalah The Guardian, London. Kalim mula mencipta nama sebagai reporter ketika menjawab jawatan sub-editor dengan majalah The Guardian.27 Pada tahun 1973, Kalim mendirikan Muslim Institute forResearch and Planningberbasis di London, yaitu sebuah gerakan Muslim antarabangsa yang
25
Kalim Siddiqui, Beyond the Muslim Nation-State, (London: Muslim Institute for Research and Planing, 1977). 26 Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia,h. 35. 27 Wikipedia,Kalim Siddiqui, Artikel diiakses pada 24 April 2013 dari, http://en.wikipedia.org/wiki/Kalim_Siddiqui.
18
terkenal dengan penyelenggaraan seminar28dan selama beberapa tahun pertemuan mingguan di Endsleigh Street dekat Euston menjadi titik fokus untuk diskusi dan perdebatan tentang isu-isu epistemologis dan konseptual dalam berbagai mata pelajaran yang luar biasa. Institute ini juga meluncurkan bahasa Arab sekolah musim panas tahunan di Universitas City, London, selama pertengahan 1970-an bekerja sama dengan University of Riyadh. Kolaborator awal di Institute termasuk Dr. Ghias Siddiqui, Sarwar Rija, Iqbal Asaria, Ziauddin Sardar, Ajmal Ahmed, Dawud RosserOwen, Mufti Barkatulla, Dr. Maqsood Siddiqui, Dr. Zafar Bangash, Dr. Zaki Badawi dan Dr. Yaqub Zaki. Selama periode ini Kalim al-Siddiqui bahkan mengembangkan hubungan dengan Shaikh Jamjoum Arab Saudi dan berpartisipasi dalam pertemuan Liga Anti-Komunis Dunia atas suruhannya. Koneksi ini memungkinkan Kalim untuk mencapai kemandirian finansial untuk Institute.29 Sebagai pendiri dan Direktur Institute Muslim, di Bloomsbury, London, ia memainkan peran utama dalam mengembangkan pemahaman politik dan memikirkan gerakan Islam kontemporer, dan dalam globalisasi gerakan setelah Revolusi Islam di Iran. Melalui institute ini, Kalim dan rakan-rakan berusaha membebaskan masyarakat Muslim daripada kerangka sistem pemikiran Barat, terutamanya daripada segi politik. Kalim serta bersama teman-teman yaitu Ismail Kalla dan Dr. Muhammmad Ghayasuddin mempromosi visi institute ini ke serata dunia.30 Di bawah kepimpinan
28
Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h.35. Kalim Siddiqui, Beyond the Muslim Nation-State, (London: Muslim Institute for Research and Planing, 1977) 30 Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h.35. 29
19
Kalim al-Siddiqui Institute Muslim menjadi pusat jaringan global dan referensi serta menyebarkan segala maklumat mengenai perkembangan dunia Islam kini dengan berbagai cara. Di antaranya melalui media massa, internet, penerbitan buku dan majalah, penyelenggaraan konferensi dan seminar, pendidikan dan syarahan serta penyelidikan. Institute didanai oleh ahli anggota dan sumbangan dari Umat Islam di seluruh dunia.31 Kalim al-Siddiqui juga salah seorang editor surat kabar Crecent Internasional yang terbit di Toronto, Kanada. Dia juga menulis berbagai buku, terutama yang berhubungan dengan gerakan revolusioner. Diantara bukunya yang banyak mendapat perhatian dunia pergerakan adalah Issues on Islamic Movements yang berisikan suntingan terhadap makalah-makalah tokoh pergerakan revolusioner dari berbagai penjuri Dunia Islam.32 Kontribusi yang terbesar disignifikan dengan aktivitas bersama masyarakat Muslim di Inggris. Kalim juga bertanggung jawab mendirikan Parlemen Muslim Inggris yang diresmikan pada tanggal 4 Januari1992, ia merupakan simbol pada solidaritas umat Islam.33 Seiring dengan Institute Muslim, Parlemen Muslim adalah salah satu dari dua lembaga utama yang didirikan oleh Kalim al-Siddiqui untuk mengejar visi dan dia juga telah meninggalkan ia sebagai warisan untuk umat Islam.
31
Mohd Saiful Mohd Sahak, Bicara Agama: ICIT Kumpul Intelek Islam Global, Artikel diakses pada 25 September 2013 dari, www.utusan.com.my/utusan/info.asp?2006=UtusanMalaysia,.01.htm. 32 Kalim Siddiqui, Pergerakan Islam: Sebuah Analisa Pendahuluan, (Jakarta: Minaret, 1988), Cet. Ke-III, h. 16. 33 Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h. 35-36.
20
Pada tahun 1993, Parlemen Muslim mendirikan sebuah badan amal berdaftar, Bait al-Mal al-Islami, untuk membiayai mereka yang menderita kesulitan, skema bantuan bagi siswa yang memiliki latar belakang miskin dan mengelola bagianbagian dari pekerjaannya yang amal di bawah hukum Inggris. Lembaga ketiga dari jaringan Parlemen Muslim yaitu Otaritas Makanan Halal yang didirikan pada tahun 1994 untuk memantau dan mengatur perdagangan daging halal di Inggris, yang sebelum itu terjadi penipuan. Pada saat yang sama, Parlemen Muslim bekerja untuk membantu umat Islam dan gerakan Islam global di luar negeri dalam perjuangan mereka.34 Kalim al-Siddiqui menulis beberapa buah karya dan artikel sepanjang hidupnya. Buku pertama yaitu, Conflict, Crisis and War in Pakistan, yang diterbitkan pada tahun 1972. Ia adalah hasil permerhatian Kalim semasa Pakistan Timur berpecah menjadi Bangladesh akibat perang saudara 35 dan di dalamnya berisi kutukan yang sangat hebat terhadap elit pemimpin Pakistan dan ketundakan total terhadap Barat.36 Kalim al-Siddiqui dalam tulisan-tulisannya selama tahun 1970-an sebagian besar
tulisan
awalnya
bersifat
intelektual.
Tulisan-tulisan
tersebut
sering
dipresentasikan dalam jargon ilmu politik pada waktu itu, karena tulisan-tulisan itu lebih ditujukan kepada para intelektual Muslim ketimbang masyarakat Muslim biasa.
34
Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/. 35 Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h. 36. 36 Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 4.
21
Selama awal pertengahan 80-an beralih arah yang lebih banyak ditujukan kepada masyarakat Muslim. Akan tetapi pada saat kesamaan, dia sedang merefleksikan peristiwa-peristiwa periode itu dan memahami signifikansi historisnya khusus dalam paper finalnya, Proceses of error, deviation, correction and convergence in Muslim political thought (Proses kesalahan, deviasi, koreksi dan konvergensi dalam pemikiran politik Muslim). Ini seluruhnya merupakan potongan intelektual yang menganalisis perkembangan pemikiran politik Muslim dari masa awal Islam dan menjelaskan situasi kontemporer dalam kacamata ini.37 Bukunya yang kedua, Towards a New Destiny (Menuju Nasib Baru) yang diterbit pada tahun 1973. Buku ini mencakup penolakannya terhadap semua bentuk pengetahuan dan gagasan politik Barat karena beliau berpendapat tidak
sesuai
dengan umat Islam; penolakannya terhadap nasionalisme; hujatannya terhadap negara-bangsa dan pemerintahan Muslim pasca-kolonial; pemahamannya akan situasi, peran dan masalah-masalah sarjana Muslim yang mendapat didikan Barat dan tradisional; dan perhatiannya akan minoritas Muslim di negara-negara Barat. Kalim al-Siddiqui memanfaatkan konteks konferensi tersebut dengan mengkritik sebagian besar pemikiran politik Muslim kontemporer dan menjelaskan situasi kontemporer yang telah dia kembangkan selama masa kontemplasi dan studi yang telah dilakukan sebelumnya.38
37
Kalim Siddiqui, Proses Kesalahan, Deviasi, Koreksi dan Konvergensi Dalam Pemikiran Plitik Muslim, (London: The Muslim Institute, 1989), h. 347. 38 Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 9.
22
Tahun berikutnya, dia menulis tentang Beyond the Muslim Nation-State (Melampaui Negara-bangsa Muslim), di dalamnya mengkritik pendekatan modernis Muslim terhadap pemikiran politik, menolak struktur negara-bangsa karena asing bagi etos Islam dan konsep penyatuan ummah, dan menyeru kepada ilmuan sosial Muslim untuk menciptakan teori politik baru yang lebih berakar kepada tradisi Islam ketimbang Barat.39 Dalam masa bersamaan dia mempresentasikan pemahaman tentang situasi sejarah Islam yang ia meluncurkan karya yang berjudul Prospektus Draft dari Institute Muslim pada tahun 1974. Semenjak tahun 1978, Kalim al-Siddiqui telah mengamati dan meneliti Revolusi Islam di Iran. Beliau juga banyak menulis dan bercakap tentangnya. Buku ini mengungkapi tentang Revolusi Islam di Iran. Dalam buku Ke Arah Revolusi Islam ini menimbulkan fakta Revolusi Islam di luar apa yang berlaku di Iran. Revolusi Islam adalah fenomena yang tidak dapat dipisahkan dari proses evolusi masyarakat Islam. Kalim al-Siddiqui menyifatkan Revolusi Islam sebagai sebuah proses ilmiah yang bisa berulang. Dia percaya bahawa banyak Revolusi Islam baru sedang berjalan. Kesemua ini adalah bagian dari regenerasi kekuatan Islam.40 Kertas kerja beliau yang bertajuk Proceses of Error, Deviation, Correction and Convergence in Muslim Political Thought pada tahun 1989 dipindah bahasa dan menjadi referensi gerakan
39
Ibid, h. 13. The Reading Group Malaysia, Ke Arah Revolusi Islam, Artikel diakses pada 25 Augustus 2013 dari http://.blogspot.com/2010/09/.html. 40
23
Islam sedunia. Media Inggris menggelar ia sebagai “Ayatollah Inggris‟ karena matimatian mempertahankan Revolusi Iran.41
41
Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, h. 36.
24
BAB III KONSEP NATION-STATE (NEGARA-BANGSA) Nation-State (negara-bangsa) ialah negara yang didirikan pada kebangkitan semangat kebangsaan untuk membangun sebuah negara yang berdaulat dan bebas dari ancaman pengaruh yang dapat menggugat dan menghancurkan gagasan serta wawasan negara-bangsa.42 Gabungan semangat kebangsaan (nation hood) dan gagasan negara (state) inilah yang kemudian dikenal dengan negara-bangsa.43 Kebanyakan negara-bangsa yang terbentuk setelah merdeka terkena berbagai bentuk Ekstremisme yang menggugat keamanan negara, ketertiban awan dan stabilitas politik. Negara-bangsa adalah laksana batu pejal yang besar yang merintangi jalan kita akibat kejahatan sejarah berlaku pada masa lampau.44 Satu tantangan yang menjadi utama nation-state (negara-bangsa) adalah mempertahankan keamanan dan membendung berbagai anasir serta pengaruh ekstremis yang menyebabkan ancaman dan menimbulkan banyak masalah kepada “survival” nation-state (negara-bangsa). Ektremisme bermaksud pelampau atau
42
Abd.Rahim Abd.Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, (Malaysia: Maziza SDN.BHD, 2004), Cet. Ke-1, h. 19. 43 Syamsir Salam, Jaenal Aripin, dkk, Menuju Islam Berkadaban. (Jakarta: Kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta Press, 2007), Cet. Ke-1, h. 124. 44 Kalim Siddiqui, Negara Penghalang Pembentukan Ummah, (Kuala Lumpur: Pustaka Alami, 1985), Cet. Ke-1, h. 5.
25
golongan radikal yang menakutkan, mengkhawatirkan dan dapat mendatangkan dampak buruk kepada orang lain, masyarakat dan negara.45 A. Pengertian Nation-State (Negara-Bangsa) Secara etimologis, “negara” berasal dari bahasa asing “Staat” (Belanda, Jerman), atau “State” (Inggris) dan “Etat” (Perancis). Kata “Staat” atau “State” pun berasal dari bahasa Latin, yaitu status atau statum yang berarti “menempatkan dalam keadaan berdiri, membuat berdiri, dan menempatkan”. Kata status itu dalam bahasa Latin klasik sesuatu yang memiliki sifat-sifat tegak dan tetap.46 Beberapa pengertian negara menurut pakar kenegaraan yaitu: 1. George Jellinek: Negara adalah organisasi kekuasaan dari sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu.47 2. Kranenburg: Negara adalah suatu organisasi yang timbul karena dari suatu golongan atau bangsanya sendiri.48 3. Max Weber: Negara adalah satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya.49
45
Abd.Rahim Abd.Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, (Malaysia: Maziza SDN.BHD, 2004), Cet.Ke-1, h.19. 46 F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Binacipta, 1980), Cet. Ke-7, h. 92. 47 Moh.Kusnardi dan Bintan D.Saragih, Ilmu Negara, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995), Cet. Ke-4, h. 38. 48 Dr. Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), Cet. Ke-1, h. 13. 49 Arief Budiman, Teori; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, h.6.
26
4. Logeman: Negara itu pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang kemudian disebut bangsa.50 Dalam kajian Islam, istilah negara bisa bermakna daulah, khilafah, hukumah, imamah, dan kesultanan. 1. Daulah dapat diartikan sebagai kelompak sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisasi oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan. 2. Khilafah mengandungi arti kepemimpinan umum bagi seluruh Muslimin di kehidupan
dunia,
untuk
menegakkan
hukum-hukum
Islam,
dan
mengembangkan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru alam.51 3. Hukumah
bermakna
pemerintah
yang
berhubungan
dengan
sistem
pemerintahan ia digunakan untuk menunjukkan kepada jabatan.52 4. Imamah pada pendapat Sjadzali dengan mengutip pendapat Mawardi mengatakan bahwa adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara.53 5. Kesultanan dapat diartikan wewenang yang lebih khusus kepada kekuasaan yang lebih efektif lagi.
50
Prof. H. Abu Daud Busroh, S.H, Ilmu Negara, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), Cet. Ke-7,
h. 24-25. 51
Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Anggota IKAPI, 2003), Cet. Ke-1, h. 5. 52 Dr. Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, h. 13. 53 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press), h.63.
27
Dari uraian di atas, tampaknya bahwa istilah negara dalam Islam memiliki beragam corak.Menurut sejarah hampir semua istilah tersebut pernah dipraktikan oleh umat Islam.54 Jadi dari pengertian diatas, negara adalah satu kesatuan organisasi yang didalamnya ada sekelompok manusia (rakyat), wilayah yang permanent (tetap) dan memiliki kekuasaan yang mana di atur oleh pemerintahan yang berdaulat serta memiliki ikatan kerja yang mempunyai tujuan untuk mengatur dan memelihara segala instrumen-instrumen yang ada di dalamnya dengan kekuasaan yang ada. 55 Dari segi bahasa kata nation yang berarti bangsa. Bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antrapologis serta sosiologis, dan dalam pengertian politis.56 Dalam pengertian antropologis dan sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan suatu persekutuan hidup yang terdiri sendiri dan masing-masing merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan istiadat. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam.57 Bangsa secara eksklusif milik suatu masa tertentu yang secara historis masih baru. Bangsa hanya merupakan suatu kesatuan
54
Dr. Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, h. 13. Moh.Kusnardi dan Bintan D.Saragih, Ilmu Negara, h. 101. 56 Aminuddin Nur, Pengantar studi Sejarah Penggerakan Nasional, (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967), h.87. 57 Muhammad Ramadhan Subky Bin Abdullah, Kajian Terhadap Faham Nasionalisme Melayu Dalam Partai UMNO, (Jakarta: Skripsi S1Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 16. 55
28
sosial sejauh ini berkaitan dengan negara teritorial modern tertentu yang terkaitan dengan negara-bangsa.58 Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa “kebenaran politik”
(political
legitimacy).
Para
nasionalis,
suatu
bangsa
tidak
bisa
melangsungkan hidupnya kalau tidak terdapat ketiga sasaran ini dalam derajat yang memadai adalah suatu gerakan ideologis untuk mencapai dan mempertahankan otonomi, kesatuan, dan identitas bagi suatu populasi, yang sejumlah anggotanya bertekad untuk membentuk suatu “bangsa” yang aktual atau “bangsa” yang potensial. Inilah definisi kerja yang didasarkan pada unsur umum dari ideal nasionalis yang mempunyai gayasendiri, sehingga berkarakter induktif.59 Sesungguhnya, setiap nation-state (negara-bangsa) mengejar sasaran identitas nasional ini dalam tingkatan yang berbeda-beda. Tetapi, selalu akan kembali kepada ideal bangsa itu sendiri. Suatu ideologi yang hanya memperjuangkan “bangsa” semata-mata, dan berupaya mempertinggi serajat dan keberadaan bangsa itu sebagai simbol perjuangan bangsa. 60 Pengertian utama dari “bangsa”, dan yang paling sering dikemukakan dalam literature, adalah pengertian politis. Pengertian ini menyamakan “rakyat‟ dan negara menurut Revolusi Amerika dan Perancis, suatu penyamaan yang biasa dijumpai dalam ungkapan-ungkapan
58
seperti “negara-bangsa‟ (nation-state), Perserikatan
E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), Cet. Ke-1, h. 9. 59 Anthony D. Smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Erlangga, 2003), h.11. 60 Qamarudin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1983), Cet. Ke-1, h. 171.
29
Bangsa-bangsa (United Nations), atau retorika para Presiden akhir abad ke-20. Bangsa seperti yang digambarkan adalah kelompok para warganegara yang berdaulatan kolektifnya membentuk suatu negara yang merupakan ekspresi politik mereka.61 Sebuah
nation-state
(negara-bangsa)
adalah
satu
konsep
atau
bentuk kenegaraan yang memperoleh pengesahan politiknya pengesahan dengan menjadi sebuah entitas berdaulat bagi suatu bangsa sebagai sebuah (unit) wilayah yang berdaulat, yang pada prinsipnya adalah tipe masyarakat yang sama, terorganisir oleh latar belakang suku atau budaya yang sama di suatu wilayah. Di sebuah nationstate (negara-bangsa), biasanya setiap orang akan berbicara dengan bahasa yang sama, menganut agama atau aliran agama yang sama, dan memiliki nilai budaya nasional. Contohnya adalah negara Jepang, karena nasionalisme dan bahasa yang seragam.62 Di dalam Islam “bangsa dan suku-suku” berfungsi sebagai pemberi identitas, dan dengan demikian meletakkan fondasi pluralitas dalam Islam.63 Di sini penulis mendatangkan satu firman Allah yang menjadikan manusia pelbagai bangsa;
61
E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 21. Gilang, Makalah Pendidikan Kewarganegaraan, Artikel diakses pada 24 Oktober 2013 dari http://381992.blogspot.com.html. 63 Ziauddin Sardar, Kembali ke Masa Depan Syariat Sebagai Metodologi Pemecahan Masalah, (Jakarta: PT Serambi Imu Semesta Anggota IKPAI, 2005), Cet. Ke-, h. 133. 62
30
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal.Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa.Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha teliti”. (QS al-Hujurat 49:13) B. Sejarah Munculnya Nation-State (Negara-Bangsa) Adapun nation-state (negara-bangsa) sendiri baru lahir pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Negara-bangsa adalah negara-negara yang lahir karena semangat nasionalisme untuk mendapatkan kemerdekaan. Semangat nasionalisme yang pertama muncul di Eropa adalah nasionalisme romantis (romantic nationalism) demi kehidupan tani yang murni, sederhana dan tidak korup yang kemudian dipercepat oleh munculnya Revolusi Perancis dan penaklukan daerah-daerah selama era Napoleon Bonaparte. Beberapa gerakan nasionalisme pada waktu ini bersifat separatis, karena kesadaran nasionalisme mendorong gerakan untuk melepaskan diri dari kekaisaran atau kerajaan tertentu. Misalnya, setelah kejatuhan Napoleon Bonaparte, Kongres Wina pada tahun 1814 memutuskan bahwa Belgia yang
31
sebelumnya dikuasai Perancis menjadi milik Belanda, dan lima belas tahun kemudian menjadi negara nasional yang merdeka. Begitu pula revolusi Yunani tahun 1821-1829 dimana Yunani ingin melepaskan diri dari dibelenggu kekuasaan Kekaisaran Ottoman dari Turki. Sementara di belahan Eropa lain, nasionalisme muncul sebagai kesadaran untuk menyatukan wilayah atau daerah yang terpecah-belah. Misalnya, Italia di bawah pimpinan Giuseppe Mazzini, Camillo Cavour, dan Giusepe Garibaldi, yang mempersatukan dan membentuk Italia menjadi sebuah negara-kebangsaan tahun 1848. Di Jerman sendiri, kelompok-kelompok negara kecil akhirnya membentuk sebuah negara kesatuan Jerman dengan nama Prusia pada tahun 1871 di bawah Otto von Bismarck. Banyak negara kecil di bawah kekuasaan kekaisaran Austria pun membentuk negara-bangsa sejak awal abad 19 sampai masa setelah Perang Dunia I. Sementara itu, Revolusi 1917 di Rusia juga telah melahirkan negara-bangsa Rusia.64 Kesadaran berbangsa dalam pengertian nation-state (negara-bangsa)dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman. 65 Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas
64
Anita Shiva, Sejarah Nasionalisme dan Perkembangannya, Artikel diakses pada 25 Oktober 2013 dari http://blogdetik.com .my. 65 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 4.
32
penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johan Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan. 66 Pada perang dunia II antara negara-negara Eropa yang melibatkan kesultanan Turki Utsmani di dalamnya, begitu besar dalam memengaruhi terjadi perubahan terutama bagi pembentukan berbagai nation-state (negara-bangsa) di dunia Islam.Benih-benih kesadaran seperti itu bagi umat Islam yang saat itu hampir majoritas sedang berada di bawah cengkeraman imperialis Barat. Justru itu, memberi kesempatan pada makna “nasionalisme” sebagai sebuah satu loncatan bukan hanya sekadar ideologi politik untuk menuju kemerdekaannya, tetapi lama-kelamaan dijadikan sebagai metode simbolisasi bagi upaya-upaya mengurusi rumah tangga kebangsaanya sendiri.67 Selain itu, populasi nation-state (negara-bangsa) teritorial besar hampir senantiasa terlalu heterogen untuk mengaku memiliki kesukaan etnik bahkan bila kita menyampingkan imigrasi medoren, dan bagaimanapun juga sejarah demografik dari 66
Badri Yatim, Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 63. Ajib Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etro-Linguistik dan Geo-Politik, (Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2009), Cet. Ke-1, h. 97. 67
33
negara-negara besar Eropa adalah kelompok-kelompok etnis, khususnya ketika daerahdikosongkan dan diisi lagi dari waktu ke waktu, seperti di daerah yang luas di Eropa tengah, timur dan tenggara, bahkan di bagian-bagian negara Perancis.68 Pada periode yang sama menjadi saksi klimaks nasionalisme Eropa, yang memuncak pada Nazisme dan pembunuhan missal yang terjadi dalam Perang Dunia Kedua, pada sisi lain disusul dengan nasionalisme di Asia dan Afrika yang mengambil bentuk gerakan kemerdekaan yang antikolonial. Ketika itu, secara luas muncul anggapan bahwa kekuatannya telah habis, nasionalisme justru kembali bersemi dengan gerakan otonomi etnis di Barat pada tahun 1960-an dan 1970-an di Catalon dan Euzkadi, Corsica dan Brittany, Flanders, Skotlandia dan Wales, serta Quebec redup kembali pada tahun 1980-an, lalu bangkit ketika peresroika dan glasnost mendorong nasionalisme di negara-negara republik bagian Uni Soviet pada tahun 1988, yang kemudian berperan dalam merontokan Uni Soviet 1991. Dalam atmostir pengharapan yang besar ini, kita menyaksikan trageditragedi nasionalisme etnis baru berlangsung pada dekade terakhir abad kedua puluh di anak benua India, Timur-Tengah dan Horn Afrika, di Rwanda, di Caucasus, lebihlebih lagi dalam perang Yugoslavia beserta kelanjutan yang serba tidak menentu. 69 Kesimpulan yang ada dalam sejarah ini, dapat dilihat bahwa munculnya latar belakang nation-state (negara-bangsa) ini adalah, pertama menuntut kemerdekaan 68
E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 70. Anthony D.smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
69
2003), h.109.
34
kedua kolonial Barat, ketiga penyebaran pemikiran, dan keempat kepentingan dalam membentuk pemerintahan. C. Negara Yang Menganut Ideologi Nasionalisme Secara Umum Nasionalisme adalah salah satu dari kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern.Ia berasal dari Eropa Barat pada abad ke-18, selama abad ke-19 itu telah tersebar di seluruh Eropa dan dalam abad ke-20 itu telah menjadi suatu pergerakan sedunia dari tahun ke tahun artinya makin bertambah penting di Asia dan Afrika. Ini merupakan suatu peristiwa sejarah, jadi ditentukankan oleh ide-ide politik dan susunan masyarakat dari berbagai negara di mana ia berakar. 70 Perkembangan nasionalisme di negara-negara yang telah mapan seperti Inggris dan Perancis, tidak terlalu intensif dipelajari. Eksistensi dari kesenjangan ini diilustrasikan di Inggris dengan penyia-nyiaan terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan nasionalisme Inggris itu suatu istilah yang kedengarannya enak di telinga. 71 Sesungguhnya ide nasionalisme sudah ada sejak dahulu lagi, semenjak adanya suatu masyarakat manusia. Namun waktu itu nasionalisme masih disebut fanatisme atau Ashabiah. Sebab Ashabiahlah yang berperan sebagai pemersatu anggota suatu suku yang menjadi cikal-bakal sebutan nasionalisme.72
70
Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: Erlanga, 1984), Cet. Ke-4. h. 5. E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 11. 72 Fathi Yakan, Islam di Persimpangan Paham Modern, (Jakarta: Gma Insani Press, 1995), Cet. Ke-6, h.71. 71
35
Gerakan kesusteraan Arab-Nasrani dan program Turkinisasi dan gerakan Turkia Muda membangkitkan sentimen-sentimen nasionalis yang pertama dalam kekuasaan imperium Utsmaniah. Nasionalisme Arab dan Mesir di Timur Tengah, namun belum benar-benar berkembang sampai sesudah Perang Dunia Pertama (19141918) dan hal itu diakibatkan oleh tiga pengaruh terbesar: (1) keruntuhan imperium Utsmaniah sehabis Perang Dunia Pertama dan kemunculan negara-negara baru pada bekas wilayahnya yang tidak lagi sama menganut ideologi umum yang berakar pada agama Islam dan tidak lagi sama memperlakukan susunan sosio-politik yang berdasarkan hukum agama; dan (2) pengaruh ideologi Salafiyah dari murid Afghani, yakni Muhammad Abduh dan Rashid Ridha; dan (3) perjuangan kemerdekaan yang sengit dari dominasi politik dan religius-kultural dari pihak imperialisme Eropa.73 Dengan demikian, nasionalisme tersebut berkembang di negara-negara Muslim setelah
banyak
negara-negara
Muslim
memperoleh
kemerdekaannya
dari
kolonialisme. Negara-negara Muslim tumbuh sebagai negara-bangsa dengan corak budaya, bahasa dan ideologinya masing-masing, di mana satu dengan lainnya memiliki perbedaan.74 Sepanjang sejarah Islam seringkali Mesir beroleh kedudukan yang terpisah dari kekuasaan sentral dan beroleh identitas regional. Selain itu, Perasaan memiliki identitas terpisah yang kuat tercermin dalam perkembangan nasionalisme Mesir.
73 74
1, h.83.
John L.Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-1, h.83. John L Esposito, Islam and Politics, (Syracuse: Syracuse University, Press, 1985), Cet. Ke-
36
Sekalipun Mesir dianggap pemuka nasionalisme Arab, tapi perkembangan gerakan nasionalis di Mesir pada masa-masa permulaan dipusatkan pada patriotisme Mesir yang bersifat lokal teritorial, dipengaruhi oleh nasionalime Barat yang liberal dan sekuler, berakar pada perasaan sejarah dan identitas Mesir yang terpisah, tersebab itu merupakan suatu bangsa dengan kebangsaannya. 75 Mesir telah menjadi negara penting di dunia Muslim pada ada tahun 1950, nasionalisme Mesir dipimpin oleh sekelompok elit perkotaan yang dipengaruhi oleh Barat, tetapi mereka harus mempertahankan Islam untuk mendapatkan dukungan dari massa Muslim. Selama dua dekade setelah kemerdekaan, radikal Arab rezim Mesir, Suriah, Irak dan Aljazair antara lain muncul di Timur Tengah. Dari jumlah tersebut baru, jadi disebut 'progresif' dan 'sosialis' rezim, Mesir di bawah Nasser menjadi paling menonjol.76 Wilayah Islam bersentuhan dengan ide nasionalisme Perancis, ketika Napoleon menduduki Mesir tahun 1789. Salah satu ide yang dibawa Napoleon adalah ide kebangsaan yang terkandung dalaminformasinyabahwa orang Prancis merupakan suatu bangsa (nation) dan kaum Mamluk adalah orang asing yang datang ke Mesir dari Kaukakus. Jadi sungguhnya Mamluk Islam, tetapi berkaitan bangsa dengan Mesir.77 Di negara Asia dan Afrika merasakan dampak dari nasionalisme di abad kesembilan belas.Adalah Ottoman Empire terganggu oleh serangan nasional sentimen
75
John L.Esposito, Islam dan Politik, h.91. G W Choudhury, Islam and the Modern Muslim World, (England, London: Ltd, Victoria House, Buckhurst Hill, Essex, 1993), Cet. Ke-1, h. 109. 77 Prof. Dr.Harun Nasation, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke-9, h. 32. 76
37
dari semua negara kekaisaran sudah tercerai-berai dan menjadi negara merdeka, wilayah, dan sekuler.78 Kunci persoalan dalam perjuangan kemerdekaan di Afrika Utara, yang mengatasi persaingan tradisonal antara Barber dan Arab, adalah identitas dan otentitas. Warisan Islam dan masa lampau penduduk Afrika Utara memberikan titik-tolak yang wajar bagi penduduk di situ.Islam memberikan sejarah bersama, kelompok kepercayaan, lambang, dan bahasa yang oleh para pembaharuan Islam dan kaum nasionalis yang mula-mula digunakan membangkitkan identitas dan kebanggaan.79 Negara-negara Asia Tenggara, Cina, dan Jepang muncul sebagai negara nasional di abad ke-19. India juga di paruh kedua abad ke-19 menjadi sadar sentimen ini dan berjuang melawan pemerintah Inggris untuk menciptakan sebuah negara merdeka. Sesungguhnya, dapat dikatakan bahwa nasionalisme pada abad ke-19 dan abad ke-20, telah menjadi salah satu ideologi politik yang paling eksplosif yang mendominasi seluruh dunia.80 Namun, apa pun hubungan nasionalisme terhadap negara-negara abad ke-19, negara menghadapi kekuatan nasionalisme sebagai suatu kekuatan politik yang terpisah dari negara, sangat jauh dari “patriotisme negara” yang ditoleransinya. Namun, nasionalisme dapat menjadi suatu asset pemerintah yang
78
Dr Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994), Cet. Ke-I, h. 243. 79 John L.Esposito, Islam dan Politik, h. 104. 80 Dr Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, h. 243.
38
sangat besar jika dapat diintegrasikan ke dalam patriotisme negara dan menjadi komponen emosionalnya yang sentral.81 Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsa-bangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Fakta ini merujuk pada dua hal yaitu, pertama; ledakan ekonomi Eropa pada masa itu yang berakibat pada melimpahnya hasil produksi dan hal kedua; pandangan pemikir Italia, Nicolo Machiaveli, yang menganjurkan seorang penguasa untuk melakukan apapun demi menjaga eksistensi kekuasaannya. 82 Pada awal abad ke-20 kebanyakkan pengamat politik memandang Marokko itu di bawah kekuasaan asing adalah sebuah kerajaan yang lemah, lapisan elite keagamaan yang suka damai, dan pula keterbagian yang sudah berusia berabad-abad antara suku Arab dan Barber. Islam memainkan peranan penting dalam perkembangan partai politik terbesar di Morokko, yakni partai Istiqla (Merdeka), yang diorganisir tahun 1931 oleh pemuka Salafiyyah. Pada mulanya cuma merupakan kelompok angkatan muda terpelajar penduduk kota-kota yang bersemangat tapi keterbekangan partai Istiqla itu menerima dan menampung organisasi-organisasi Thariqat. John Waterbury mencatat pengaruh Islam dalam nasionalisme Marokko itu
81
E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 103. Badri Yatim, Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, h. 65.
82
39
dengan kalimat: “Nasionalisme tidak membikin kemajuan yang nyata dan penting sampai gerakan itu mengambil bentuk ukhuwah keagamaan; berbentuk nasionalis zawiyah”.83 Dan akhirnya, sangat tidak jelas apakah identitas religius yang berbeda, bagaimanapun kuatnya, dengan sendirinya bisa dianggap sebagai nasionalisme. 84 Nasionalisme Iran berkembang selama abad ke-19 sebagai jawaban bagi ancaman yang meningkat terhadap kemerdekaan Iran dan juga terhadap Islam dengan penerobosan kekuasaan-kekuasaan kolonial Barat beserta ikhtiar memperkenalkan batas-batas resmi sepanjang konstitusional terhadap pemerintahan Qajar yang otokratis dan despotis.85 Manakala, nasionalisme Tunisia menerima dorongan terbesar dari pembaharu Islam, Abdul Aziz Al Tsa‟alabi, tokoh nasionalis yang pertama megorganisir Destour Party (Partai Konstitusi) pada tahun 1920. Destour menegaskan identitas nasionalis berdasarkan warisan Islam dan Arab di Tunisia, bahasa Arab, dan nilai-nilai Islam. Tunisia bersikap modern tapi menolak penyerapan kultural kolonial perancis.86 Studi tentang hubungan Islam dan nasionalisme mulai dari kawasan Timur Tengah. Seperti di Indonesia, sejumlah pelajar Timur Tengah yang belajar di Eropa kembali dengan membawa konsep nasionalisme yang dipelajari di Barat. Konsep Barat tentang patria (tanah air) memengaruhi kata wathan dalam bahasa Arab dengan memberi pengertian politik padanya. Mereka percaya bahwa kemajuan yang dicapai 83
John L.Esposito, Islam dan Politik, h. 108. E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 9. 85 Ibid, h. 114. 86 John L.Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990), Cet. Ke-1, h. 111. 84
40
Eropa dipengaruhi oleh kuatnya patriotisme individu dan masyarakat terhadap negara.Hal ini tergambar dari pernyataan Al-Tahtawi, seorang teoritisi nasionalisme Arab berpengaruh, bahwa “Patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, sarana untuk mengatasi jarak antara wilayah Islam dengan Eropa”.87 Perkembangan pemikiran nasionalisme sekular berdampak pada tatanan politik umat Islam. Bentuk negara-bangsa yang diadopsi dari Barat dan dijadikan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan yang sah dalam pergaulan internasional. Kenyataan ini berdampak pada terpecah-belahnya dunia Islam menjadi banyak negara-bangsa yang tidak lagi berdasar pada ajaran Islam yang baku. Basis material negara-bangsa yang hanya berpatok pada etnisitas, kultur, bahasa, dan wilayah dan mengabaikan kategori religius (keimanan).88 Nasionalisme dan negara-bangsa yang terkonsolidasi Eropa, dan gagasan nasionalismenya telah mencapai wilayah Muslim Afrika Utara, Timur tengah dan Timur Dekat. Di wilayah ini, munculnya nasionalisme telah menimbulkan perpecahan dunia Islam ke dalam negara-negara bangsa. Merupakan fakta sejarah bahwa para pemula dan para pemimpin nasionalisme Arab awal adalah orang-orang Arab Kristen dan Yahudi yang tetap menginginkan agar dunia Islam tetap berpecahbelah dan berselisih satu sama lain. Fakta ini di dukung sejarah dunia Arab modern dan kontemporer. Nasionalisme Arab menyebabkan bangsa Arab tetap terasing dari
87
Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.186. 88 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h.62.
41
Islam dan nasionalisme parokial lain, seperti Pakistan, Iran, Afghanistan dan Indonesia, yang telah mengurung umat Islam keseluruhan agar tidak bersatu di atas dasar Islam.89 Nasionalisme Arab merupakan temuan Amerika dan Inggris. Mereka memperkenalkan nasionalisme ketika mereka berkehendak untuk memecah-belah Arab dan Turki.90 Gerakan pertama nasionalisme Arab yang modern mulai bergerak ketika Napoleon membawa pemikiran-pemikiran Revolusi Perancis di Mesir. Mesirlah
yang
pertama
mengambil
langkah-langkah
permulaan
ke
arah
modernisasi.91
Satu ide yang muncul dan diterima oleh negara-negara Islam secara meluas adalah nasionalisme. Paham ini secara khusus pernah dipakai di dalam perjuangan melawan kekuasaan kolonalisme dan imperalisme orang-orang Barat. Hak “menentukan nasib bagi suatu bangsa”, secara teoritis akan mempersulitkan para penguasa dalam mengarahkan sasaran kekuasaannya. 92 Sehingga, nasionalisme merupakan sesuatu yang menonjol selama berlangsungnya perjuangan meraih kemerdekaan khususnya dikalangan golongan-golongan penduduk yang mempunyai pendidikan tinggi di Eropa. Contoh yang paling sederhana, seperti yang dialami oleh
89
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogkarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 64. 90 Ibid, h.70. 91 Barbara Ward, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. Ke-3, h. 40. 92 W.Montgomery Wat, Pergolakan Pemikiran Politik Islam (Sebuah Kajian Sejarah), (Jakarta Barat: PT.Beunebi Cipta,1987), Cet. Ke-1, h. 141.
42
Iran atau Persia, di mana dasar nasionalisme terbentuk oleh pengambilan Syi‟ah Imamiyah sebagai agama pejabat yang dipermulaan abad keenam belas. Dalam beberapa saat penguasa-penguasa kerajaan Ottoman mencoba beralih ke dasar nasionalisme yang hipotesis, tetapi konsep ini hanya mendapat sedikit respon, sedang konsep saingan, yaitu nasionalisme Turki terbukti lebih kuat dan disumbangkan kepada pembentukan Republik Turki. Pemimpin-pemimpin Turki selalu waspada agar nasionalisme mereka tidak meluas sampai kepada rakyat Turki di Asia Tengah, sebab itu akan meyerupai ekspansionisme dan mungkin akan meyebabkan adanya komplikasi-komplikasi internasional.93
Meskinpun Arab Saudi muncul sebagai negara Islam yang memproklamasikan dirinya sendiri, mayoritas negara Muslim berusaha membangun negara modern dengan paradigma Barat yang diperlunak dengan undang-undang seperti persyaratan bahwa kepala negara harus orang Muslim. Negara-negara tersebut didasarkan pada bentuk-bentuk nasionalisme liberal, nasionalisme liguistik dan territorial, atau pelbagai macam nasionalisme dan sosialisme pan-Arab.94 Seperti di Turki, Mesir, dan Pakistan, teoritisi nasionalisme di negara-negara Muslim sangat tergantung pada cita-cita Islam. Sebaliknya, pikir Eropa Pencerahan, yang gagasan nasionalisme adalah produk sampingan, yang dikembangkan dengan latar belakang abad pertengahan Eropa yang terlibat dalam perang berdarah dalam
93
Ibid, h.142. John L.Esposito, Langkah Barat Menghadang Islam, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), Cet. Ke-1, h. xxii. 94
43
nama agama.95 Manakala di Saudi memiliki hukum diundangkan membedakan antara 'Saudi' dan 'Ajnabi' (alien). Tarif upah untuk pekerjaan yang sama lebih tinggi untuk Saudi. Hanya Saudi dapat dirawat di rumah sakit paling modern Riyadh multi kepada juta dolar. Bahkan 'Hari Nasional' telah diperkenalkan termasuk membesarkan sebuah tim sepak bola.96 D. Faktor-Faktor Terbangunnya Nasionalisme Nasionalisme adalah suatu kefahaman, yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Perasaan sangat mendalam akan suatu ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisitradisi setempat dan peguasa-penguasa resmi di daerahnya selalu ada di sepanjang sejarah dengan kekuatan yang berbeda-beda. Kefahaman nasionalisme ini makin lama makin kuat peranannya dalam membentuk semua bagi kehidupan, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat peribadi. Berabad-abad lamanya cita dan tujuan politik bukanlah negara-kebangsaan melainkan, setidak-tidaknya dalam teori: imperium yang meliputi seluruh dunia, melingkupi berbagai bangsa dan golongan-golongan etnis di atas dasar peradaban yang sama serta untuk menjamin perdamaian bersama.97
95
Abdullah al-Ahsan, Ummah or Nation?Identity Crisis in Contemporary Muslim Societ, (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1992), Cet. Ke-I, h .61. 96 Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, 1980-81 (1400-1401), (London-TorontoPretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 40. 97
Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, (Jakarta: Erlanga, 1984), Cet. Ke-4, h. 11.
44
Terdapat faktor-faktor dan pendapat-pendapat yang berkaitan dengan nasionalisme itu beraneka ragam.98 Dapat memastikan bahwa nasionalisme modern didasarkan atas (kesamaan) bahasa, sejarah, kesastraan, adat-istiadat dan kualitaskualitas tertentu.99 Tidak mengejutkan bahwa nasionalisme menyebar begitu pesat dari tahun 1870-an hingga 1914. Ini merupakan suatu akibat gabungan perubahanperubahan politik maupun sosial, kemungkinan ditambah lagi oleh situasi internasional yang memberikan banyak alasan untuk mengungkapkan berbagai rasa permusuhan terhadap orang-orang asing.100 Untuk menjelaskan mengapa nasionalisme dinegara-negara jajahan tidak lagi menggunakan identitas-identitas religius dan etnis, Emerson menyebutkan dua faktor penyebabnya. Pertama, semakin masyarakat lama hancur oleh pengaruh kekuatan Barat dalam bentuk pembangunan adminstrasi dan institusi ekonomi modern, disamping tekanan penduduk asli, semakin kuat dan lengkap pula perasaan nasionalisme masyarakat bersangkutan. Kedua, tampilnya elit berpendidikan dari Barat. Para elit ini sebagai kaum terdidik dan profesional yang menerjemahkan pengalaman-pengalaman nasionalis mereka dan ideologi Barat ke tingkat lokal, menjadi pusat kristalisasi rasa ketidakpuasan massa terhadap penguasa kolonial. 101
98
Dr. M. Amin Rais, dkk, Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Cet. Ke-III,h.144. 99 Ibid, h. 145. 100 E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 124. 101 Asyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), h.
45
Dalam rangka kita menjejak akar nasionalisme, seharusnya kita menghimbau kembali intipati era renaissance, karena di sana ada beberapa faktor rinci yang telah mencetus dan merangsang nasionalisme dalam bangsa Eropa serta dunia secara amnya. Pertama, jatuhnya hukuman pembakaran hidup-hidup ke atas Rektor Universitas Praha (Prague), John Hus di Konstanz (Konstanz adalah satu daerah di perbatasan antara Switzeland dan Jerman).Kedua, terjadinya peperangan Hussenitz di Bohemia dan Moravia sehinggga membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan rakyat Czech. Perlu diketahui, peperangan Hussenitz ini tercetus ekoran reaksi amarah rakyat Czech terhadap pembunuhan John Hus. Ketiga, kelahiran gerakan reformasi pimpinan Martin Luther yang lantang mengkritik keburukan institusi gereja Katolik. Dan keempat, terdapatnya terjemahan kitab Bible dalam bahasa Jerman sehingga ia menerbitkan rasa keunggulan bangsa Aryan di dalam rakyat Jerman. Maka dari keempat-empat faktor ini dapat kita rumuskan bahwa nasionalisme adalah ideologi Eropa ketika era renaissance di mana salah satu objektifnya asalnya adalah untuk menanamkan kesedaran nasional di kalangan rakyatnya yang telah sekian lama ditindas dan dizalimi. Sementara itu dalam sejarah Islam, ideologi nasionalisme mula menyerap kedalam pemikiran ummah ketika penghujung era kekaisaran Ottoman yang ketika itu di bawah kepimpinan Sultan Abdul Hamid II di Turki. Ketika ini, empayar Ottoman sedang menghadapi krisis internal yang kronis di serata tanah naungannya. Dalam kondisi inilah, negara Barat (seperti Inggris dan Perancis) telah bijak mengambil
46
kesempatan dengan mengalakkan pembentukan
pergerakan-pergerakan
yang
berunsurkan nasionalisme di samping untuk mencoba membudayakan sistem kepartaian di tanah air Muslim. Secara umum, nasionalisme muncul di dunia Muslim, yaitu ketika terjadi pemberangusan lembaga kekhalifahan di Turki oleh Mustafa Kamal. Senada dengan asumsi itu ialah apa yang dikatakn P.J Vatikios, bahwa nasionalisme yang menjadi sebab langsung terbentuknya negara-bangsa, berasal dari Barat, yaitu ketika agama dibatasi pada kehidupan individual di Barat, diekspor ke Timur Tengah oleh Napoleon. Nasionalisme ini pada dasarnya tidak sesuai dengan Muslim karena identitas Islamlah sebagai agama yang menegaskan jati diri umat. Kalim, yang anti demokrasi dengan tegas dan lugas, menyatakan bahwa nasionalisme itu tidak Islami. Namun demikian, dalam gerakan Islam tentu saja ada kendala-kendala dan yang paling tragis adalah bahwa ternyata kolonial Barat tidak pergi begitu saja dari wilayah-wilayah Islam akan tetapi juga sudah mentraining siapa saja yang menurutnya sesuai dengan vestedinterest mereka di negeri-negeri yang mereka tinggalkan. Mereka adalah para penguasa korup negara-bangsa yang sudah dicuci bersih otaknya dengan gagasan-gagasan filosofis Barat.102 Pada umumnya berpendapat bahwa Nasionalisme dapat ditelusuri dari sejarah pembubaran kekaisaran Romawi. Namun, ada kesepakatan umum di antara unsur102
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. x.
47
unsur dasar nasionalisme dapat ditelusuri dari zaman dahulu. Hans Kohn mengatakan: "Meskipun modernitas beberapa sifat dasar nasionalisme dikembangkan sejak lama. Akar nasionalisme muncul dari tanah yang sama dengan peradaban Barat dari bahasa Ibrani kuno dan Yunani kuno. Kedua orang memiliki kesadaran yang jelas menjadi berbeda dari semua orang lain: adalah Ibrani, dari bangsa-bangsa lain, orang-orang Yunani dari barbar". Namun, kelompok-kelompok yang sangat kecil dalam ukuran jika dibandingkan dengan negara-negara modern. Mereka adalah terutama kelompok etnis karena mereka dibentuk atas dasar etnis.103 Oleh karena nasionalisme adalah sesuatu yang kurang dari universal dalam lingkup dan dengan demikian menghasilkan konflik. Namun, faktanya tetap, bahwa meskipun nasionalisme sejati dan ringan memiliki kelebihan sendiri, faktor-faktor seperti kedekatan geografis dan bunga linguistik yang berdiri nasionalisme terlalu terbatas dan lemah. Ini akhirnya menimbulkan hubungan bermusuhan antara bangsabangsa. Oleh karena itu mengatakan bahwa "nasionalisme lebih berbahaya daripada sehat”.104 Nasionalisme seringkali hanya digunakan untuk menyediakan suatu sistem gagasan dan keyakinan terbatas mengenai politik dan masyarakat. Akibatnya,
103
Dr. Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994), Cet.Ke-I, h.38. 104 Dr. Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, h. 37.
48
kekerasan lebih digunakan ketimbang persuasi dalam pencapaian sasaran-sasaran yang acapkali tidak dapat dijangkau.105 Maka dari itu, nasionalisme bukan ide yang layak untuk membangkitkan umat manusia. Sebab dalam suatu kebangkitan, diperlukan suatu pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang kehidupan, alam semesta, dan manusia, serta pemikiran tertentu tentang kehidupan untuk memecahkan permasalahan kehidupan.106 Negara-negara Kapitalis seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, telah menggariskan langkah politik untuk memperkokoh atau mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dengan cara memecah belah sebuah kekuatan politik dan merekayasa berbagai konflik dan kekacauan di antara kelompok-kelompok masyarakat. Bila kondisi sudah tercipta, nasionalisme akan datang dengan kedok hak menentukan nasib sendiri, atau isu bangsa yang berdaulat dan merdeka, dan sebagainya. Untuk memperkokoh embrio nasionalisme itu, Barat merekayasa partai-partai politik di Arab dan Turki untuk menentang Khilafah, seperti Partai Al Fatah di Turki, partai Ittihad wa Taraqqi (Partai Persatuan dan Kemajuan, atau dikenal pula dengan sebutan Turki Muda), Partai Kemerdekaan Arab, dan Partai Perjanjian (Ahd). Pada tahun 1916 meletuslah Revolusi Arab, yang bertujuan untuk memisahkan negeri-
105
Anthony D.smith, Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2003), h. 28. 106 Taqiyuddin al-Nabhani, Ad-Dawlah Al-Islamiyah, (Beirut: Darul Ummah, 2002), h. 30.
49
negeri Arab dari Khilafah. Puncaknya adalah tahun 1916 tatkala negara Khilafah dapat dikuasai secara militer. Jenderal Lord Allenby memasuki kota Yerussalem (Al Quds) dan berkata, Hari ini Perang Salib telah berakhir. Sejak detik itulah negerinegeri Islam menjadi bagaikan potongan-potongan daging bangkai yang dimangsa burung-burung nasar, tercerai berai dan terpenggal-penggal sesuai dengan perjanjian rahasia Sykes-Picot (1915) di antara negara-negara imperialis untuk membagi-bagi negeri-negeri Islam. Dari semua ini akan menjadi jelas, bahwa perkembangan nasionalisme adalah proses sejarah yang dapat dilihat. Ini terjadi di beberapa negeri tertentu, itu terjadi menurut cara tertentu, dan itu menciptakan suatu suasana tertentu, yang terwujud di dalam idea nasionalis. Dengan terbuka alat-alat perhubungan bagi dunia modern, sebuah pokok pikiran yang berkembang di suatu tempat dapat dengan cepat menjadi milik seluruh manusia.107
107
Barbara Ward, Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), Cet. Ke-3, h. 23.
50
BAB IV PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KALIM AL-SIDDIQUI A. Corak Pemikiran Politik Kalim al-Siddiqui menyatakan partai-partai nasional dan pimpinannya adalah produk ciptaan penjajah Barat. Kalim menyebutnya “neo-kolonialisme”, yaitu satu proses restrukturisasi kembali sistem kolonial yang mencurigakan. Kalim al-Siddiqui mendesak supaya pemerintah boneka penjajah ini digantikan dengan pemerintahan yang didukung oleh proses revolusi Islam.108 Pengamalan neo-kolonialisme oleh Barat ini tidak lain dan tidak bukan, merupakan nestapa baru bagi umat manusia yang konon di katakan telah bertamadun. Benarlah apa yang dirintihkan oleh Chairil Anwar, pujangga nasionalis Indonesia sekali berarti, sesudah itu mati. Manakala dalam membicarakan mengenai perjuangan nasionalisme di Timur ia lebih menjurus kepada perjuangan rakyat untuk membebaskan tanah airnya dari cengkaman penjajah. Bangsa-bangsa di Timur telah melahirkan satu sikap penentangan dan anti-penjajahan Barat. Mungkin tidak dapat di nafikan dalam satu aspek yang berbeda, antara sumbangan besar imperialisme Barat adalah, mereka melahirkan pahlawan-pahlawan Asia seperti; Jose Rizal, Umar Mukhtar, Daud Berueh, Bhagat Singh, Mahatma Gandhi dan Ahmad Boestamam.109
108
Zainal Adnan, dkk, 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, (Malaysia: PTS Millennia SDN.BHD, 2011), Cet. Ke-IV, h. 37. 109 Fachruddin, Adakah Nasionalisme Dalam Islam?, Artikel diakses pada 1 januari 2014 dari http://kabepiilampungcom.wordpress.com/
51
Ia juga pernah merambah wawasan ke dunia Barat, tetapi pijakan pemikirannya tetap berakar pada al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Cita-cita dan motivasi hidupnya adalah ingin mengulang kembali sejarah Golden Age of Islam. Baginya, tidak ada yang tidak mungkin, dengan syarat Muslim harus mendapatkan kembali dunianya melalui tiga tahapan; yaitu gerakan Islam global (Global Islamic Movement), revolusi Islam (Islamic Revolution), dan negara Islam (Islamic State).110 Sejumlah partai politik movement dan kelompok-kelompok gerilyawan Islam telah menyatakan diri untuk merestorasi kekhalifahan dengan menyatukan bangsabangsa Muslim baik melalui aksi-aksi politik damai seperti Hizb ut-Tahrir atau melalui kekuatan fisik seperti al-Qaeda. Islamist movement telah mengambil tujuan akhir yaitu pendirian Kekhalifahan. Hal ini menunjukkan dalam kondisi bersamaan mereka mengkritik gagasan (nation-state) negara-bangsa Muslim sebagai penghalang penyatuan Ummah.111 Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Kata lain dari khilafah adalah imamah, kedua istilah ini
110
Mujtahid, Pandangan Kalim Siddique Tentang Negara Islam, Artikel diakses pada 1 Januari 2014 dari http://blog.uin-malang.ac.id/mujtahid. 111 Studi: Kritik Atas Negara Bangsa, Artikel diakses pada 20 Augustus dari http://lingkarstudiislamdankebudayaan.blogspot.com/2009/12/.html.
52
mempunyai makna yang sama. Bentuk khilafah inilah yang dinyatakan oleh hukum syara‟ agar dengan bentuk tersebut negara Islam di tegakkan di atasnya. 112 Hizbut Tahrir menyatakan dirinya sebagai partai politik yang berideologi negara Islam. Politik merupakan aktivitasnya dan Islam adalah ideologinya. 113 Dia berpendapat bahwa kemunduran dunia Islam disebabkan lemahnya pemahaman umat terhadap Islam yang sangat parah. Kelemahan dan kemunduran tersebut disebabkan oleh tiga faktor; pertama, tidak adanya para aktivis kebangkitan Islam. Kedua, tidak ada gambaran yang jelas mengenai Thariqah Islamiyah (metode pelaksanaan) dalam mengharapkan fikrah. Ketiga, tidak ada yang usaha untuk menjalinkan fikrah Islamiyah dan Thariqah Islamiyah sebagai suatu hubungan yang solib yang tidak bisa di pisahkan.114 Kalim al-Siddiqui memerinci mekanisme ketergantungan dan kelemahan negara khilafah, bahkan yang menyebut dirinya “Islami”, akan tetapi ketergantungan pada penjajah merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari “dar al-harb” (wilayah kafir). Baik negara khilafah maupun sistem politik, ekonomi dan sosialnya bukanlah milik mainstream sejarah Islam. Semuanya tidak, dan tidak bisa merepresentasikan baik Islam ataupun masyarakat Muslim. Semuanya merupakan fondasi yang tidak memandai untuk memulai pembangunan kembali dar al-Islam 112
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil: Al-Izzah, 1996), Cet. Ke-1.,
h.31. 113
Hizbut Tahrir, Megenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologi, (Bangi: Pustaka Thariqul Izzah, 1999), Cet., Ke-1, h. 1. 114 Taqiyuddin an-Nabhani, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir (Bogor:Pustaka Thariqul Izzah, 1993), h.1-2.
53
(wilayah Islam). Kegagalan untuk mengakui situasi kontemporer hanya akam memperpanjang penderitaan Ummah saat ini dan menunda-nunda saat di mana Islam memegang kendali dan mulai membimbing nasib semua umat manusia. Kesadaran bahwa Ummah tidak memiliki kepentingan di situasi dunia saat ini, melepaskan kita dari semua bentuk perbatasan.115 Kepercayaan sekuler menurut Kalim al-Siddiqui adalah sebuah kepercayaan yang dipegang kuat sebagaimana memegang agama. Ia adalah orang tua bagi Maxisme, Darwinisme, Fisisme, Nazisme, Negara-bangsa, Korparat Kapitalisme dan segala lain yang membentuk filsafat dan peradaban barat yang kita ketahui selama ini. Kalim menganggap kebanyakan dari teologi Sunni dan Syiah adalah menyimpang dan memecah belah. Kalim menegaskan adanya Ummah yang bersatu dalam mencapai tujuan unggul melalui Revolusi Islam yang berterusan.116 Suatu negara yang bergantung kepada musuh-musuh tradisional Islam untuk mempertahankan hidupnya tidak bisa menjadi gerakan Islam. Dan tidak ada negara yang bersandar pada bentuk nasionalisme untuk legitimasinya yang pada saat yang bersamaan, mengklaim dirinya sebagai Islami. Dalam pengertian ini, dimensi politik gerakan Islam itu mencakup seluruhnya. Namun demikian, ada dua, wilayah yang perlu mendapat perhatian yang mendalam. Pertama adalah wilayah gagasan politik, norma dan tingkah laku yang diperoleh Muslim karena kontaknya dengan Barat 115
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h.264. 116 Kalim Siddiqui, Stages of Islamic Revolution, (The Open Press, 1996), h.15.
54
dengan secara salah menganggapnya sebagai “Islami”; kedua adalah kultur politik Muslim seperti yang sudah terbentuk sejak lama. Dalam
kategori
pertama,
kebingungang
muncul
karena
kegagalan
membedakan antara negara-bangsa dan negara Islam. Jika terdapat subjek seperti biologi politik, maka mungkin kiranya menunjukkan bahwa gen dari keduanya bukan hanya berbeda bahkan saling terpisah dan tidak bisa dibandingkan. Mungkin seseorang seharusnya menegaskan bahwa sementara negara-bangsa itu adalah negara “politis”, sedangkan negara Islam adalah negara Muttaqi.117 Keinginan masyarakat Muslim yang yang termobilisir di bawah kepemimpinan muttaqi menjadikan negara Islam sebagai kekuatan yang tidak terkalah. Bandingkan dengan negara-bangsa modern, di mana masyarakatnya terbagi ke dalam partai politik yang saling berkompetasi yang digerakkan oleh kepentingan golongan, dan parajurit professional yang membela rezim yang paling opresif sepanjang sejarah. Bahkan di negara-bangsa yang merupakan ciptaan Barat, di mana kelas berkuasa dan “partai Islam” menganggap Islam itu tidak sesuai dengan Barat, sistem politiknya tunduk kepada Barat. Sistem perekonomian negara-negara ini juga dintegrasikan dengan sistem kapitalis dunia. Perjuangan Islam diblokir bukan hanya dengan ideolodi nasionalisme bahkan dengan semua rintangan peradaban Barat. Nasionalisme adalah fondasi Barat, seperti yang telah kita ketahui, sehingga tidak mungkin menangani nasionalisme
117
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 199.
55
secara terpisah. Jalan menuju transformasi total Ummah merupakan jalan yang terpanjang.118 Hizbut Tahrir bediri dengan tujuan untuk membebaskan umat dari kepemimpinan ideologi penjajah serta mencabut dari akar-akarnya, baik dari aspek budaya, politik, militer, ekonomi dan sebagainya dari tanah kaum Muslimin, serta mengubah ide-ide yang telah tercemar oleh penjajah yang membatasi Islamnya pada aspek ibadah dan akhlak semata.119 Akidah Islam ini menjadi dasar bagi ideologi yang mengharuskan negara khilafah Islam untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Penyebarluasan dakwah Islam ke seluruh negara khilafah merupakan asas negara khilafah Islam dalam membangun hubungan dengan negara-negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya ataupun yang lainnya. Pada semua itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakkan.120 Menurut Hizbut Tahrir, tujuan tersebut akan tercapai apabila dibangun kembali sistem khilafah sehingga urusan pemerintahan dapat berjalan sesuai dengan apa yang di turunkan oleh Allah S.W.T dan Rasulnya.121
118
Ibid, h.292. Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Nizbut Tahrir, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008), Cet., Ke-4, h.128. 120 Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariat Islam (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2002), h. 287. 121 Hizbut Tahrir, Megenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologi, (Bangi: Pustaka Thariqul Izzah, 1999), Cet., Ke-1, h.7. 119
56
Kalim al-Siddiqui menegaskan bahawa negara dalam Islam ialah suatu tindakan ibadah dan tanggungjawab, bukan tindakan persetujuan bersama di kalangan warganegaranya.122 Khilafah adalah negara untuk semua orang Islam di seluruh dunia, tanpa memandang kebangsaannya. Maka nasionalisme akan dianggap berbahaya karena dapat memecah-belah persatuan umat Islam di bawah satu Khilafah.123 B. Pandangan Kalim al- Siddiqui Tentang Nation-State (Negara-Bangsa) Dalam pandangan Kalim al-Siddiqui, “tatanan dunia” kontemporer diciptakan Barat, pemerintah imperialis adalah termasuk di dalamnya dua perang dunia yang sebagian besar itu semua harus dibayar Islam. Banyak negara yang memiliki “kemerdekaan” konyol dan kedaulatan palsu, yang merupakan ciptaan imperialisme yang melayani kepentingan kekuatan imperialis. Nation-state (negara-bangsa) kata Kalim al-Siddiqui adalah simbol keterbelakangan, kekalahan dan keterpecah-belahan. Bahkan, nation-state (negara-bangsa) adalah produk era kehinaan dan ketundukan. Kemerdekaan dan “persamaan kedaulatan” dalam sistem internasional, yang dilindungi oleh PBB, kenyataannya berarti ketergantungan kepada Barat secara permanen.124 Pendekatan partai politik yang sifatnya memecah-belah, seperti struktur nation-state (negara-bangsa), menurutnya merupakan warisan kolonialisme yang 122
Kalim Siddiqui, Stages of Islamic Revolution, (1996), h. 95. Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 124 Mujtahid, Pandangan Kalim Siddique Tentang Negara Islam, Artikel diakses pada 1 Januari 2014 dari http://blog.uin-malang.ac.id/mujtahid. 123
57
tidak sama dengan negara Islam. Berbeda dari negara-bangsa yang menegasikan Kehendak Tuhan.125 Setelah Khilafah Ustmaniyyah runtuh pada tahun 1924 Masehi, maka yang terjadi adalah negara-bangsa yang sekuler. Sistem khilafah kerajaan tenggelam, maka muncul negara-bangsa yang sekuler.126 Pada masa transisi itu lewat, dan negara-bangsa yang sekuler tidak membawa harapan bagi Umat Islam untuk menyelesaikan permasalahan yang komplek dan sesak. Muncullah gagasan-gagasan negara-bangsa yang religius yang diusung oleh aktivis gerakan Islam untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Umat Islam. Ada juga gerakan Islam yang tidak sepakat dengan sistem negara-bangsa yang religius.127 Demikian pula, organisasi yang diciptakan oleh nation-state (negara-bangsa) untuk melayani kepentingan sempit mereka dalam nama Islam juga harus dikecualikan. Para calon abvious untuk dikecualikan dalam kategori ini adalah apa yang disebut Rabithah al-Alam al-Islami, Majelis Pemuda Muslim dunia, baik dari Arab Saudi, Dewan Ideologi Islam, Pakistan, Liga Rakyat Arab dan Islam dari Mesir, dan banyak lainnya. Negara-bangsa yang kebanyakan negara Muslim telah menciptakan organisasi depan yang tujuan utamanya adalah untuk menipu rakyat mereka sendiri dan dunia dalam nama Islam. Tapi kita harus berhati-hati untuk tidak mengecualikan jaringan yangluas dari aktivitas Islam terorganisir yang terjadi di
125
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. xiii. 126 Salah satu contohnya ialah Negara Turki, yang dipelopori oleh Kemal Attarturk yang meminggirkan sistem Islam dari wilayah public.Lihat buku Berperang Demi Tuhan, Karen Amstrong. 127 Iman Milyarder, Islam dan Negara, Artikel diakses pada 27 December 2013 dari imannumberone.wordpress.com.
58
seluruh dunia, bahkan jika beberapa dari hal ini dibiayai oleh pusat-pusat seperti Rabithah tersebut. Beberapa sekarang dikelola dan dijalankan oleh penjilat atau penipu. Organisasi-organisasi masyarakat dan mahasiswa berbasis secara bertahap akan bergerak keluar dari lingkaran pengaruh rezim reaksioner dan agen mereka dan akan menjadi pilar sangat berguna gerakan Islam.128 Negara kolonial, yang sekarang disebut nation-state (negara-bangsa), dibatasi secara nasional, yang menyebabkan munculnya istilah bendera nasional, lagu kebangsaan, hari nasional, bahasa nasional, pakaian nasional, sejarah nasional dan, lebih dari itu, kepentingan nasional. Setiap “bangsa” didefinasikan dalam pengertian yang eksklusif. Sekarang ini, dua negara-bangsa, bisa jadi memiliki “kepentingan nasional” yang sama. Dampaknya pada Umat saat ini, yang merepresentasikan globalisasi sistem nation-state (negara-bangsa). Dengan demikian, nation-state (negara-bangsa) merepresentasikan kekalahan dan keterpecah-belahan kekuatan politik Islam. Lebih dari itu, nation-state (negarabangsa) mereprentasikan dominasi politik, ekonomi, sosial dan kultur Barat yang berlangsung terus-menerus terhadap masyarakat Islam. Kekalahan sementara Palestina
terhadap
Zionisme
juga
dimungkinkan
oleh
karena
perpecah-
belahanUmatsebelumnya telah terjadi negara-bangsa. Tragedi yang lebih dahsyat pada periode ini adalah munculnya banyak partai Islam. Di dunia ini tidak ada partai politik “Islam” yang berhasil membentuk apa pun yang bisa dianggap sebagai negara 128
Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, 1980-81 (1400-1401), (London-TorontoPretoria: The Open Press Limited, 1982), h. 26.
59
Islam. Menurut Kalim al-Siddiqui, “partai Islam” selalu dan tetap merupakan produk khusus periode kolonial.129 Bahkan, dia menyebut semua negara-bangsa Muslim tidak legitimate untuk itu dia meminta ilmuan sosial Muslim untuk mengadakan penghacuran dan menggantikannya dengan negara Islam. Sementara itu, Kalim alSiddiqui menunjukkan jalan keluar dari penjara struktur nation-state (negara-bangsa), dia mengajak keilmuan sosial Muslim untuk mempertimbangkannya. Ini merupakan indikasi atmosfir dan keyakinan orang Saudi saat itu, dan yang lebih penting, para masternya di Washington dan London, bahwa Islam tidak lagi memberikan tantangan apa pun terhadap hegemoni peradaban Barat di negara-negara Muslim.130 Kekuatan kolonial memaksakan peradaban sekuler di wilayah Muslim dan membagi-baginya menjadi negara-negara bangsa yang berada di bawah kontrolnya. Negara-negara bangsa baru yang muncul di dunia Muslim pun menjadi instrumen peradaban sekuler. Sehingga, sentra-sentra kekuatan politik Islam, tidak hanya dihancurkan tetapi juga digantikan dengan sejumlah sentra kekuatan sekuler dan kekuatan politik yang mudah ditundukkan. Hal ini menyebabkan regenerasi kekuatan politik Islam menjadi semakin sulit dilakukan.131 Perubahan terjadi secara terusmenerus. Perubahan selain merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan juga merupakan proses kemunduran dan kejatuhan.132 Dalam satu pengertian, peradaban
129
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 286. 130 Kalim Siddiqui, Melampaui Negara-Bangsa Muslim, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 123. 131 Hamid Enayat, Modern Islamic PoliticThought, (London: Macmillan, 1982), h.67. 132 Kalim Siddiqui, Issues in the Islamic movement, h.9.
60
Barat merupakan peradaban yang kompleks yang merepresentasikan kemajuankemajuan gemilang yang dibuat oleh manusia dalam bidang rekayasa teknologis dan organisasinya. Seseorang telah menghasilkan spekulasi teknologi tentang era antariksa dan kekuatan senjata modern dahsyat, sementara yang lain telah menghasilkan organisasi manusia, negara-bangsa modern yang komplek berusaha mencapai “efesiensi” multinasional. Orang-orang cerdas dari peradaban Barat yang menjadikan
setiap
orang
“sama”,
sementara
dalam
kenyataan
membuat
ketikdaksamaan menjadi permanen. Apa yang kemudian disebut “persamaan kedaulatan” nation-state (negara-bangsa) sudah menjadi contoh yang sangat konkret.133 Seluruh sejarah Islam bisa ditulis berkaitan dengan deviasi progresif Muslim dari negara Islam Madinah yang orisinal, sehingga sekarang ketika kita menemukan bahwa diri kita dipecah-belah dalam banyak negara-bangsa yang kecil-kecil. Negarabangsa ini tidak sedikit pun sama dengan negara Islam. Penguasa di negara-bangsa ini adalah Muslim nampak seperti kita tetapi sebenarnya bukan kita. Mereka menjelma selama fase sejarah ketika kita didominasi oleh peradaban yang antogonis. 134 Bagian masyarakat kita yang terbaratkan dan disintegrasi secara menyeluruh tunduk kepada Barat. Mereka tunduk sebagai individu-individu, pusat pengetahuannya tunduk dan unit-unit ekonomi produksi, distribusi dan pertukarannya tunduk dan, lebih-lebih, sistem politiknya juga tunduk. Di antara yang paling tunduk adalah negara-bangsa 133
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 165. 134 Ibid, h. 170.
61
yang saat ini yang mengacaukan dunia Islam. Ketundukan mereka bahkan tidak “suka rela” demi kepentingan jangka pendeknya adalah mereka diciptakan dalam ketundukan yang dibagun selama periode kolonial. Akibat yang tidak bisa dihindarkan bahwa bukan hanya satu negara-bangsa yang luput dari ketundukan adalah mungkin benar mengatakan bahwa salah satu darinya
saat
ini
lebih
tunduk
ketimbang
pada
waktu
penciptaan
atau
“kemerdekaan”nya. Bahkan lebih buruk lagi dalam kenyataannya tidak satu pun dari negara-negara bangsa yang sudah melakukan upaya serius untuk lepas dari ketundukan kepada Barat. Ketundukan negara-bangsa ini, setelah lebih dari satu generasi “kemerdekaan”, merupakan fenomena yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam. Faktanya masyarakat tradisional Islam ternyata sangat resisten terhadap kebijakan disintegratif kekuatan kolonial.135 Hampir semua sistem politik yang ada di nasion-state (negara-bangsa) saat ini merupakan ciptaan kufr. Kufr politik terhebat di dunia modern adalah nasionalisme, demokrasi,
sosialisme,
kapitalisme
dan
liberalisme.136
Tersebarnya
paham
sekularisme dan nasionalisme yang kafir merupakan salah satu dampak intervensi asing yang jahat ini.137 Dunia Islam dan dunia seluruhnya memerlukan seorang
135
Ibid, h. 232. Ibid, h. 270. 137 Shabir Thaimah, Akhthar Al-Ghazw Al-Fikri âAla Al-Alam Al-Islami, (Beirut: Alam AlKutub, 1984) h. 136
62
pemimpin yang bersifat inklusif, global dan berwibawa. Hanya isi Persyaratan ini sahaja memungkinkandunia menjadi satu negara-bangsa sahaja.138 C. Implementasi dan Praktek Pandangan Kalim al-Siddiqui Dalam Konteks Negara India Perkembangan gerakan kemerdekaan dan nasionalisme India pada anak benua India dimulai selama abad ke-19. Sebelumnya berlaku pemberontakan pada tahun 1857 akan tetapi anjurannya itu tidak berlangsung lama oleh karena sentimen antiInggris
bangkit
kembali
dalam
bentuk
perkembangan
nasionalisme
India
memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1885 terbentuk Indian National Congres dan pada tahun 1906 terbentuk Muslim League. Sekalipun sebagian para pemuka Muslim menaruh prihatin mengenai hak-hak Muslim dalam gerakan mayoritas Hindu pada masa-masa permulaan abad ke-20 akan tetapi lapisan elite Muslim menggabungkan diri ke dalam gerakan Kongres, baikpun secara resmi maupun melalui kerjasama informal, bagi memperjuangan kemerdekaan nasional. Situasi antar perang dengan demikian memberikan suatu kesempatan yang sangat bagus untuk memperkirakan kendala dan potensi nasionalisme (kebangsaan) dan negarabangsa.139 Pikiran India sebagai sebuah negara nasional, adalah membesarkan rasa kebanggaan India dan nasionalisme India, dan kekuatannya banyak timbul dari perjuangan untuk mengusir orang Inggris. Akan tetapi di dalam India terdapat dua 138
Kalim Siddiqui, Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah, (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Alami, 1985), Cet. Ke-I, h. 16. 139 E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 153.
63
kelompok besar bahasa yang berbeda, dan juga terdapat kurang lebih 26 bahasa besar. Di samping ini mungkin ada enam ratus atau lebih logat daerah. Ketika Kalim al-Siddiqui lahir, pemberian kemerdekaan kepada India dan Pakistan, peristiwa simbolis agung dari berakhirnya imperium Eropa itu, masih berumur 16 tahun. Perang Dunia II, yang berarti perjuangan final untuk mendapatkan supremasi antar kekuantan imperial Barat, belum dicetuskan, apalagi dimenangkan. Peserikatan Bangsa-Bangsa, yang merupakan simbol tatanan internasional pascaperang, tahapan tertinggi pembangunan peradaban Barat, juga belum lahir. Kekuatan Barat yang baru muncul, masih berada di awal puncak pasca-perangnya. Dia dibesarkan selama akhir-akhir tahun kolonialisme di India dan turut ambil bagian dalam perjuangan Islam untuk mendirikan negara Islam di belahan India Inggris.Proses serupa juga terjadi di bagian lain Ummah ketika kekuatan kolonial dipaksa menyerah kepada pemerintah setempat. Ketika negara Pakistan dibentuk, dia segera menyadari bahwa negara ini hanya berbeda sedikit dengan negara yang diperintah Inggris sebelumnya, sehingga segera bergabung “Gerakan Khilafat” dan menjadi editor pada surat kabarnya, The Independent Leader di Karachi yang bekerja untuk mengubah Pakistan menjadi benar-benar suatu negara Islam.140 Hal ini umumnya mengatakan bahwa nasionalisme India adalah hasil dari pemerintahan kolonial Inggris di sub-benua. Pemerintah Inggris, untuk kepentingan
140
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h.2-3.
64
aspirasi imperialisnya, dipermalukan dan menekan Hindu dan Muslim dan komunitas lain dan mencegah perkembangan industri dan ekonomi. Nasionalisme India adalah langsung hasil dari penetrasi kekuasaan politik Inggris dan ekonomi kolonial ke negara dan transformasi lambat dan stabil tapi tak terelakkan ekonomi sosial tradisional India. Semua jalan kerja tertutup untuk orang India dan mereka tanpa ampun dikesampingkan. Semua kantor yang dimonopoli oleh orang-orang Inggris, mereka dibayar pekerjaan gaji tinggi yang bisa saja dengan mudah dilakukan oleh India dengan gaji kecil. Ada kerusuhan umum antara massa India yang akhirnya mengakibatkan pembentukan Kongres Nasional India pada 1885. Kongres memiliki awal yang sederhana dan beberapa tuntutan. Sesi pertama mengundang Inggris untuk membasmi 'ras', 'agama', atau 'prasangka provinsi'; untuk memperluas dewan legislatif oleh pengakuan dari elemen yang cukup besar dari India, untuk mengurangi pengeluaran militer.141 Semua negara-bangsa yang sekarang ini menduduki, memperbudak dan mengekspoitasi tanah, manusia, dan sumber-sumber Umat harus dibongkar. Negarabangsalah
yang
memberikan
angin
kehidupan
dan
penghormatan
kepada
nasionalisme. Nasionalisme bukanlah merupakan suatu ide yang mendahului manifestasi politiknya. Dengan beberapa pengecualian, gagasan nasionalisme secara artifisal ditanam agar secara eksternal mendukung negara yang dibentuk. Negara yang didasarkan pada nasionalisme begitu asing bagi orang-orang genius moralnya di 141
Dr. Zeenath Kausar, Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi,h.44.
65
setiap negara-bangsa Muslim di dunia saat ini dipertahankan dengan opresi internal dan dukungan eksternal.142 Namun demikian, perubahan penting yang dibutuhkan harus mencukup paling tidak munculnya gerakan Islam global yang menolak nasionalisme dan negara-bangsa dan menganggap bahwa Barat tidak bisa disamakan dengan Islam. 143 Kita harus menghilangkan semua jejak nasionalisme dari gerakan Islam sebelum kita bisa menentang dan mengalahkan kekuatan nasionalisme yang didirikan dalam teritorial negara-bangsa dan sistem internasionalnya yang didominasikan oleh kekuatan dan sumber-sumber musuh Islam yang termobilisir. Saat ini, secara mendasar bentuk umatakanditentukan oleh bentuk yang diambil dari gerakan Islam.144 Negara menjadi negara nasional apabila struktur politik negara telah dirombak dan rakyat merupakan faktor penentu dalam urusan negara. Hanya apabila rakyat turut-serta dalam urusan-urusan negara, maka negara menjadi negara nasional. Bahwa nasionalisme berakar pada perasaan-perasaan kelompok dan kesadaran akan persatuan.145 Di zaman dahulu pahaman ini dinamakan asabiyyah, di mana penafsirannya dalam bidang yang sempit, yaitu perjuangan untuk kumpulan yang lebih kecil yang dinamakan qabilah atau keluarga yang mesti disebut dalam hadis Rasulullah SAW, 142
Kalim Siddiqui, Seruan-Seruan Islam: Tanggungjawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, h. 287. 143 Ibid, h. 293. 144 Ibid, h. 308. 145 F.Isjwara, S.H., LL.M., Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Binacipta, 1980), Cet Ke-7, h.131.
66
ليس منا دعا الى عصبية:عن جبير بن مطعم أن رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم قال )وليس منا من قاتل على عصبية وليس منا من مات على عصبية (رواه ابو داود
Artinya: "Diriwayatkan dari Jubair bin Math‟am r.a bahwa Nabi SAW pernah bersabda: Bukan dari golongan kita, orang yang menyeru kepada kebangsaan, dan bukan dari golongan kita, orang mati atas dasar kebangsaan". (HR. Abu Daud).146 Menurut Ibn Manzhur, “ashabiyyah” adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapa pun yang menyerang mereka. Penggunaan kata “ashabiyyah” dalam hadis adalah identik dengan orang yang menolong kaumnya, sementara mereka seorang yang zalim. Islam tidak pernah menilai kemulian seseorang berdasarkan keturunan, ras, suku maupun bangsa. Islam hanya mengukur kemulian seseorang berdasarkan ketaqwaan semata. Persoalan tentang hubungan Islam dan nasionalisme ini mempunyai aspekaspek yang banyak. Di sana ada bangsa Pakistan misalnya, persoalan yang berkenaan dengan perihal menjadi seorang Muslim merupakan unsur perundangan-undangan negara, karena Pakistan terbentuk di luar anak-benua India, yang mana dikhususkan bagi orang-orang Islam, meskinpun di sini ada perbedaan antara seorang Muslim dengan seorang Pakistan selain Pakistan, di semua Dunia Islam masih bisa ditemukan apa yang biasa disebut sebagai nasionalisme Islam sekuler pemisahan Bangladesh pada desember 1971 secara jelas memperlihatkan bahwa Islam, meskinpun perlu bagi 146
h. 753.
Abu Daun Sulaiman bin al-Asyas, Sunnan Abu Daud, (Beirut: Mizan, 1994), Juzu‟. Ke-2,
67
pendirian Pakistan, bukan merupakan suatu faktor yang memandai untuk mempertahankan kesatuannya dalam ketiadaan tindakan-tindakan kebijakan yang lain. Kegagalan elit politik nasional, intelektual, sosial dan elit geografis untuk mengaitkan Islam dengan persoalan-persoalan yang lebih bersifat duniawi seperti halnya distrubusi sumber-sumber ekonomi yang wajar dan untuk memberikan hak suara bagi golongan-golongan masyarakat yang secara politik terasing, membuat wilayah-wilayah yang kekurangan memandang Islam sebagai bahan pembakar bagi Islam.147 Peristiwa-peristiwa traumatis dari perang saudara pada 1971 dan kekalahan Pakistan yang memalukan oleh India secara psikologis telah berdampak menggangu ketenangan rakyat. Setelah penyerapan (absorpsi) dari terkejut yangawal, periode introspeksi dan pencarian jiwa menyusul.148 Perbedaan agama yang ada di India merupakan masalah yang dilihat tidak dapat mencapai persepakatan dan penyelesaian yang baik. Disebabkan perbedaan ini, teori dua bangsa telah diperkenalkan oleh Sayyid Ahmad Khan.149 Teori ini dikemukakan karena menyedari perbedaan yang wujud dari segi sosial, politik dan ekonomi antara masyarakat Hindu dan Islam.
147
Shireen T.Hunter, Politik Kebangkitan Islam Keragaman Dan Kesatuan, (Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2001), Cet. Ke-1, h. 232. 148 Ibid, h. 273. 149 Ram Gopal, Indian Muslims a Political History (1858-1947), (Bombay: Asia Publishing House, 1959), h. 48.
68
Pelbagai usaha telah dilakukan oleh kerajaan India dalam menyatukan masyarakat, namun tidak juga berhasil.150 Ide teori dua bangsa telah menjadi faktor kebangkitan dan pengerak nasionalisme dalam kalangan rakyat di India. Selepas pemilu diadakan, Partai Kongres Nasional India dianggap telah menganiaya Umat Islam di India dan menyebabkan Partai Liga Muslim bangkit untuk mendapatkan kemerdekaan mereka sendiri. Hal ini secara tidak langsung telah menjadikan partai Liga Muslim semakin matang dan telah berjuang bagi mendapatkan kemerdekaan mereka sendiri dengan menuntut hak wilayah terpisah.151 Sama sekali tidak terbukti bahwa Pakistan merupakan hasil dari suatu gerakan nasional di antara Muslim di India waktu itu, meskinpun bisa dianggap sebagai reaksi terhadap gerakan nasional seluruh India yang gagal memberikan pengakuan yang layak terhadap persyaratan-persyaratan tertentu kaum Muslim, dan meskinpun, dalam suatu era negara-bangsa moderen, pembahagian wilayah tampaknya menjadi satu-satunya formular yang tersedia, sama sekali tidak jelas apakah suatu negara territorial yang terpisah memang dikehendaki, kecuali pada saat terakhir, atau yang didesakkan oleh Liga Muslim tanpa kemauan keras Jinnah (yang memang bisa dianggap sebagai seorang nasionalis Muslim, karena ia bukanlah seorang Muslim yang religius). Dan sangat jelas bahwa sebagian besar orang-orang Muslim kebanyakan yang berfikir dalam kerangka nasional, tidak akan 150
Itihaas, Thronology-Mahatma Gandhi. 1869-1948, Artike diakses pada 14 September 2013 dari http:// www.itihaas.com/mod151 Md. Afandi Awang, Komulanisme: Kesannya Ke Atas Peradaban India, (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Malaya, 2006), h. 31.
69
memahami konsep penentuan nasib diri nasional sebagai sesuatu yang ada hubungannya dengan keyakinan terhadap Allah dan Rasulnya. 152 Ada sebagian kaum Muslimin menolak, bahwa Islam mengaku konsep negara dan batas-batas kewilayahan. Bagi mereka, konsep kenegaraan, dan batas wilayah negara merupakan kosep kenegaraan produk rejim kapitalis-demokratik yang sangat bertentangan dengan Islam.kita juga menolak negara-bangsa yang didasarkan pada paham nasionalisme.153 Konsep batas wilayah negara dalam Islam berbeda dengan konsep batas wilayah negara yang dikembangkan oleh pakar politik Barat yang menganut paham nasionalisme. Batas wilayah negara-bangsa yang dikembangkan oleh orang-orang Barat adalah batas negara yang bersifat tetap, yang menafikan adanya penaklukan, atau aktivitas “memperlebar kekuasaan”. Konsep batas wilayah negara semacam dalam paham nasionalisme adalah sangat bertentangan dengan Islam.154 Nasionalisme tidak lebih sebagai doktrin politik yang menyerang umat Islam dalam tempoh 100 tahun mektakhir ini. Jadi, apa jawaban Islam terhadap nasionalisme? Menolak nasionalisme; membentuk gerakan Islam di seluruh dunia. Dan, kini sudah tiba saatnya, bagi Umat Islam meyakini akan kemampuan Islam
152
E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, h. 75. Syamsuddin Ramadhan, Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, (Jakarta: Anggota IKAPI, 2003), Cet. Ke-1, h. 8. 154 Ibid, h. 11. 153
70
dalam mengatur kehidupan di samping mengikis rasa hormat yang tinggi terhadap Barat.155 Kegagalan “nation-state” yang memang sudah “out of date”, sudah sangat kasat mata. Negara-bangsa dengan spirit nasionalisme telah menempatkanbangsabangsa dalam posisi saling „menerkam‟. Nasionalisme yang terimplementasi dalam negara-bangsa telah membawa petaka bagi manusia, khususnya kaum Muslimin. Paham ini telah meruntuhkan sendi-sendi persaudaraan akidah, yang seharusnya dijunjung tinggi. Penyelamatan manusia yang tertindas terhalang hanya dengan batasbatas „imajiner‟ yang bernama „teritorial‟. Penistaan pada kemanusiaan tak dapat dihentikan hanya dengan alasan „penghormatan atas kedaulatan bangsa‟. Penderitaan dan penindasan terhadap Umat manusia dibiarkan hanya atas dasar kesetiaan pada slogan „nasionalisme‟.156 Basis material negara-bangsa yang semata-mata berpatok pada kriteria etnisitas, kultur, bahasa dan wilayah dengan sendirinya mengabaikan kategori agama sebagai sebuah ikatan sosial. Hal ini merupakan kekurangan yang sangat fatal. Absennya di mana dalam perumusan nasionalisme inilah yang menimbulkan kritik pedas dari kalangan aktivis Islam. Mereka percaya inilah yang menyebabkan lemahnya dunia Islam dalam menggalang kesatuan diantara mereka. Ali Muhammad 155
Kalim Siddiqui, Negara Nasionalisme Penghalang Pembentukan Ummah, (Kuala Lumpur: Pustaka Al-Alami, 1985), Cet. Ke-I, h. 1. 156 Aisyah M.Yusuf,Nasionalisme yang Terimplementasi Negara-bangsa Telah Pembawa Petaka Kepada Muslimin, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari http://bogotabb.blogspot.com/2013/03/ .html.
71
Naqvi secara tegas menyatakan Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam memiliki tujuan kesatuan universal. Selain itu karena spirit nasionalisme yang berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik.157 Pengalaman kegagalan memicu kritik diri dan pencarian identitas dan otentisitas ketika banyak pihak mencela hilangnya tidak hanya kekuatan politik tapi juga identitas kultural. Kegagalan bentuk nasionalisme sekuler yang semakin kehilangan kredibilitas adalah nasionalisme Arab ke nasionalisme Muslim adalah memperkuat seruan untuk berpaling pada alternative Islam, yang menyerukan Islamisasi atau re-Islamisasi masyarakat.158 Kalim al-Siddiqui adalah mutiara Ummah yang sulit dicari ganti dengan jasanya yang begitu besar kepada dunia Islam.Parlemen Muslim Inggris bolehlah dianggap sebagai simbol pengharapannya terhadap perpaduan Ummah. Penulis berkeyakinan bahawa berbagai masalah yang menghantui dunia Islam hari ini dapat diselesaikan melalui kesatuan Ummah sejagat yang lebih mampan dari OIC seperti kewujudan Blok kekuatan „Hijau‟ yang bertunjangkan Islam yang mampu mengintimidasi musuh Islam.
157
Ali Muhammad Naqvi, Voice of Jammu and Kashmir: Islam dan Nationalisme, (edisi JuniJuli, 1996), h. 14. 158 John L.Esposito, Langkah Barat Menghadang Islam, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004), Cet. Ke-1, h. xiv.
72
BAB V PENUTUP Pada bab terakhir ini penulis memberikan beberapa kesimpulan daripada yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya mengenai pemikiran politik Kalim al-Siddiqui
tentang
nation-state
(negara-bangsa),
kemudian
penulis
juga
menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang terkait. A. Kesimpulan Dari penjelasan bab-bab terdahulu penulis membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Kalim al-Siddiqui adalah salah seorang pemikir Islam yang terkemuka di akhir abad ke-20, ia mengembangkan pemahaman politik dan pemikiran kontemporer yang berhubungan dengan gerakan revolusioner. Corak pemikirannya ke arah membangunkan sistem khalifah yang bersifat universal sama dengan Hizbut Tahrir. Oleh karena itu, kata Kalim al-Siddiqui, umat Islam harus mendapatkan kembali dunianya melalui tahapan-tahapan gerakan Islam global (global Islamic movement) untuk bisa mengadakan revolusi Islam (slamic revolution) dan akhirnya menciptakan negara Islam (Islamic State). 2. Pandangan
Kalim
al-Siddiqui
terhadap
nation-state
(negara-bangsa)
merupakan simbol kemunduran, kekalahan dan keterpecah-belah, bahkan ia adalah produk era kehinaan dan ketundukan untuk mendapat sebuah
73
kemerdekaan. Kalim al-Siddiqui menolak dan tidak menerima (nation-state) negara bangsa karena ia adalah bawaan penjajah dan memberi petaka bagi Negara Islam. 3. Kebangkitan nasionalisme di kalangan penduduk India karena teori dua bangsa yang menyebabkan terpecah-belah. Ini terbukti dengan berdirinya Pakistan, hasilnya terbangun gerakan nasionalis di antara Muslim yang gagal memberikan pengalaman yang layak terhadap perasaan-perasaan tertentu kaum Muslim dalam satu era negara-bangsa moderen. Negara-bangsa dengan spirit nasionalismenya telah meletakkan negara-bangsa dalam posisi saling menerkam. B. Saran-saran Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis tentang nation-state (negarabangsa) menurut pandangan-pandangan oleh tokoh politik Kalim al-Siddiqui, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bahwa hendaklah negara yang menganut nasion-state (negara-bangsa) yang dijelaskan di atas, agar pandangan-pandangan Kalim al-Siddiqui dapat menjadi referensi akedemik bagi peneliti sekarang in, seperti dalam pembelajaran, mahasiswa, pengamat politik dan sebagainya. Dalam hal ini, semua pandangan-pandangan yang dikeluarkan oleh beliau sama ada dalam bentuk tulisan buku, koran, anjuran seminar-seminar dan sebagainya dapat digunakan manfaatnya dengan sepenuhnya supaya apa pandangannya tidak hilang suatu hari nanti.
74
2. Melihat dari sudut sejarah, apa yang berlaku di Negara Muslim disebabkan karena paham nation-state (negara-bangsa) di dalam sebuah negara dan pemerintahan agar tidak mengulangi kesalahan tersebut, karena hal-hal yang terkait dengan nation-state (negara-bangsa) adalah pokok yang penting jangan sampai terpecah-belah persaudaraan sesama Muslim akibat menuntut kemerdekaan daripada pihak penjajah. Walaupun berbeda etnis, kultur, bahasa dan agama diharapkan supaya bersatu dan mempertahankan persatuan demi perdamaian dan kemajuan negara. 3. Bagi para Mahasiswa dan peneliti agar dapat melanjutkan penelitian tentang tokoh ini dari perspektif yang berbeda.
75
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an al-Karim Abu Daun Sulaiman bin al-Asyas, Sunnan Abu Daud, Beirut: Mizan, 1994, Juzu‟. Ke-2. Abd.Rahim, Abd. Rashid, Patriotisme: Agenda Pembinaan Bangsa, Malaysia: Maziza SDN.BHD, 2004, cet. Ke-1. Abdullah, Muhammad Ramadhan Subky Kajian Terhadap Faham Nasionalisme Melayu Dalam Partai UMNO, Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011. Adnan, Zainal, dkk., 50 Tokoh Islam Yang Mengubah Dunia, Malaysia: PTS Millennia SDN.BHD, 2011, cet. Ke-4. Ahmed, Shabir dan Karim, Abid. Akar Nasionalisme di Dunia Islam, penerjemah: Zattira Nadia Rahma, dari The Roots of Nationalism in the Muslim World, Bangil, al-Izzah, 1997. al-Ahsan, Abdullah. Ummah or Nation? Identity Crisis in Contemporary Muslim Societ, TheIsamic Foundation: United Kingdom, 1992. Anderson, Benedict. Magined Communities Komunitas-komunitas Terbayang, Yogyakarta: Insist Press, 2001. Armstrong, Karen .Islam: A Short History Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: IkonTeralitera, 2004, cet. Ke-4. Arief, Budiman. Teori; Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Awang, Md. Afandi. Komulanisme: Kesannya Ke Atas Peradaban India, Kuala Lumpur: PenerbitUniversiti Malaya, 2006. Azra, Asyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Bassam, Tibi. Ancaman Furdamentalisme Rajutan Islam Politik Dan kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
76
Budirdiardjo, Mariam. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Busroh, H. Abu Daud. Ilmu Negara, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010, cet. Ke-7. Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005. D.Smith, Anthony. Nasionalisme Teori, Ideologi, Sejarah, Jakarta: Erlangga, 2003. E.J. Hobsbawm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, cet. Ke-1. Enayat, Hamid. Modern Islamic Politic Thought, London: Macmillan, 1982. F.Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1980, cet. Ke-7. Guibernau, M., “Nationalisms, the Nation-State and Nationalism in the Twentieth Century,” (Polity Press: London, 2005), cet. Ke-1. G.W Choudhury, Islam and the Modern Muslim World, England, London: Ltd, Victoria House, Buckhurst Hill, Essex, 1993, cet. Ke-1. Hizbut Tahrir Indonesia, Menegakkan Syariat Islam, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2002, h. 287. Hizbut Tahrir, Megenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologi, Bangi: Pustaka Thariqul Izzah, 1999, cet. Ke-1, h.7. Huda, Ni‟matul. Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, cet. Ke-1. Kausar, Zeenath. Islam and Nationalism: An Analysis of the views of Azad, Iqbal and Maududi, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen Pustaka Hayati, 1994, cet. Ke-1. Khan, Qamarudin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Bandung: Penerbit Pustaka, 1983, cet. Ke-1. Kohn, Hans. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya, Jakarta: Erlanga, 1984, cet. Ke-4. Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan (Anggota IKAPI), 1997, cet. Ke-2. L.Esposito, John. Islam dan Politik, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990, cet. Pertama.
77
L.Esposito, John. Langkah Barat Menghadang Islam, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2004, cet. Ke-1. Moh. Kusnardi dan Bintan D. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995, cet. Ke-4. Muhammad Naqvi, Ali. Voice of Jammu and Kashmir: Islam dan Nationalisme, edisi Juni-Juli, 1996. Nur, Aminuddin. Pengantar studi Sejarah Penggerakan Nasional, Jakarta: Pembimbing Massa, 1967. Nasation, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikirandan Gerakan, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995, cet. Ke-9. Rais, M. Amin. dkk., Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993, cet. Ke-3. Ramadhan, Syamsuddin. Menegakkan Kembali Khilafah Islamiyah, Jakarta: Anggota IKAPI, 2003, cet. Ke-1. Ram Gopal, Indian Muslims a Political History (1858-1947), Bombay: Asia Publishing House, 1959. Salam, Syamsir. dkk. Menuju Islam Berkadaban. Jakarta: Kerjasama Lembaga Penelitian UIN Jakarta Press, 2007, cet. Ke-1. S.Ahmed, Akbar, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga, 1990, cet. Ke-1. Madjid Nurcholis, Indonesia Kita, Jakarta: Paramadina, 2004, cet. Ke-1. Rahnema, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996, cet. Ke-2. Siddiqui, Kalim. Issue in the Islamic Movement 1980-1981, Canada: The Open Press, Holdings, Willowdale, Ont., Limeted. Siddiqui, Kalim, Nation-States As Obstacles to the Total Transformation of the Ummah, penterjemah: MahzanAhmad, Pustaka Al-Alami, 1985, cet. Ke-1.
78
Siddiqui, Kalim, Functions of International Conflict - A Socio-economic Study of Pakistan, Karachi: The Royal Book Company, 1975. Siddiqui, Kalim, Seruan-Seruan Islam: Tanggung jawab Sosial dan Kewajiban Menegakkan Syariat, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2002, cet. Ke-1. Siddiqui, Kalim, Beyond the Muslim Nation-State, London: Muslim Institute for Research and Planing, 1977. Siddiqui, Kalim, Pergerakan Islam: Sebuah Analisa Pendahuluan, Jakarta: Minaret, 1988, cet. Ke-3. Siddiqui, Kalim, Proses Kesalahan, Deviasi, Koreksi dan Konvergensi Dalam Pemikiran Politik Muslim, London: The Muslim Institute, 1989. Siddiqui, Kalim, Stages of Islamic Revolution, The Open Press, 1996. Siddiqui, Kalim, Melampaui Negara-Bangsa Muslim, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet. Ke-1. Siddiqui, Kalim. Negara Penghalang Pembentukan Ummah, Kuala Lumpur: PustakaAlami, 1985, cet. Ke-1. Sjadzali, Munawir.Islam dan Tata Negara: Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press. Hizbut Tahrir, Megenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologi, Bangi: Pustaka Thariqul Izzah, 1999, cet. Ke-1, h. 1. Taqiyuddin an-Nabhani, Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir, Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1993, h.1-2. Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Nizbut Tahrirm, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2008, cet. Ke-4, h.128. Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil: Al-Izzah, 1996, cet. Ke1. Thaimah, Shabir.Akhthar Al-Ghazw Al-FikriâAla Al-Alam Al-Islami, Beirut: Alam Al-Kutub, 1984. Thohir, Ajib. Studi Kawasan Dunia Islam Perspektif Etro-Linguistik dan Geo-Politik, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada, 2009, cet. Ke-1.
79
T.Hunter, Shireen. Politik Kebangkitan Islam Keragaman Dan Kesatuan, Yogjakarta: PT Tiara Wacana, 2001, cet. Ke-1. Tibi, Bassam. Ancaman Furdamentalisme Rajutan Islam Politik Dan kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000, cet.Ke-1. Wat, W.Montgomery, Pergolakan Pemikiran Politik Islam sebuah kajian sejarah, Jakarta Barat: PT. Beunebi Cipta, 1987, cet. Ke-1. Ward, Barbara. Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia, (Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya, 1983), cet. Ke-3. Yakan, Fathi. Islam di Persimpangan Paham Modern, Jakarta: Gma Insani Press, 1995, cet. Ke-6. Yatim, Badri. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa, 2001.
Situs Internet Aisyah M.Yusuf, Nasionalisme yang Terimplementasi Negara-bangsa Telah Pembawa Petaka Kepada Muslimin, Artikel diakses pada 24 April 2013 dari http://bogotabb.blogspot.com.html. Anita Shiva, Sejarah Nasionalisme dan Perkembangannya, Artikel diakses pada 25 Oktober 2013 dari http://blogdetik.com .my/. Fachruddin, Adakah Nasionalisme Dalam Islam?, Artikel diakses pada 1 januari 2014 dari http://kabepiilampungcom.wordpress.com/
Gilang, Makalah Pendidikan Kewarganegaraan, Artikel diakses pada 24 Oktober 2013 dari http://381992.blogspot.com.html. Ibrahim, Biografi Jamaluddin al-Ghani, Artikel diakses pada 07 Mei 2014 dari www. Aneka makalah.com/2013/04. Iman Milyarder, Islam dan Negara, Artikel diakses pada 27 December 2013 dari imannumberone.wordpress.com.
80
Itihaas, Thronology-Mahatma Gandhi. 1869-1948, Artikel diakses pada 14 September 2013 dari http:// www.itihaas.com/mod. Jalaluddin Rakhmat, Artikel diakses http://mindarakyat0.tripod.com.htm.
pada
13
April
2013
dari
Jorgen S. Nielsen, News People Obituary Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada 25 December 2013 dari http://www.independent.co.uk/-1305799.html. Mohd Saiful Mohd Sahak, ICIT Kumpul Intelek Islam Global, Artikel diakses pada 25 September 2013 dari www.utusan.com.my utusan/info.Utusan-Malaysia Bicara_Agama htm. Mujtahid, Pandangan Kalim Siddique Tentang Negara Islam, Artikel diakses pada 1 Januari 2014 dari http://blog.uin-malang.ac.id/mujtahid/2010/12/03. Shia Chat, Bekerja Menuju Transformasi Total Umat, Artikel diakses pada 5 September 2013 dari http://www.shiachat.com/forum/index.php?/topic/. The Reading Group Malaysia, Ke Arah Revolusi Islam, Artikel diakses pada 25 Augustus 2013 dari http://.blogspot.com/2010/09/.html Wikipedia, Kalim Siddiqui, Artikel diakses pada http://en.wikipedia.org/wiki/Kalim_Siddiqui.
24
April
2013
dari