Jurnal Dinamika Politik|Vol.2|No.1|Feburari 2013 ISSN: 2302-1470 Intan Khalizah Sirait Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan
Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan INTAN KHALIZAH SIRAIT Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, Jl. Dr. Sofyan No.1 Medan, 20155, Telepon: 061-8220760, Email:
[email protected] Diterima tanggal 12 November 2012/Disetujui tanggal 12 Januari 2013 This study is about the concept of consideration of Benazir Bhutto about State and woman. Focus to background the emergence of consideration of state and woman by Benazir Bhutto. There are two important things as result of this study: First, there are paradigm Islam consider that Islam is one of ideology or basic of existence a State. Second, woman reputed has great participation on sproduction and implementation politic decision. Method of this study use descriptive-qualitative method purpose to describe a incident with more detail. Kata Kunci: Political Thought, state, woman.
negara menguasai warganya dengan mengatasnamakan kepentingan publik, negara tak jarang melakukan penindasan terhadap rakyatnya, negara tak lagi berlaku sebagai pelayan publik namun menempatkan diri sebagai penguasa tunggal, kedaulatan rakyat tidak dihormati sedikitpun oleh para penguasa, apalagi jika para elit politiknya adalah cerminan dari elit politik yang korup dan arogan, dimana kepentingan sendiri lebih diutamakan daripda kepentingan bersama. Banyak para elit politik membuat kebijakan atas nama kepentingan publik padahal sebenarnya kepentingannya yang lebih menonjol. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri.
Pendahuluan Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia hidup dalam suasana kerja sama, sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan. 1 Negara dengan segala kepentingannya terhadap warga negara, melakukan pemaksaan-pemaksaan dan itu disahkan oleh kebijakan publik yang berlangsung. Pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh negara bisa dibilang turning point bagaimana
Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatankegiatan sosial dari penduduknya ke arah
1
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2008), hal. 47.
1
Jurnal Dinamika Politik|Vol.2|No.1|Feburari 2013 ISSN: 2302-1470 Intan Khalizah Sirait Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan negara mempunyai dua tugas: (a).Mengendalikan dan mengatur gejala-
Seiring dengan perkembangan zaman, konsep negara selama ini dianggap dikuasai oleh kaum pria atau budaya patriaki terlihat dari negara-negara di Eropa, Amerika, Asia, dan lain-lain. Negara memiliki konsep dengan beragam pemikiran didalamnya, artinya bahwa perkembangan negara didunia memiliki makna yang sangat berbeda-beda dan hal tersebut membuktikan bahwa ilmu sosial tentang negara sangat dinamis dan berkembang sesuai dengan zaman dan pemikiran dari setiap pemikir dari negara tersebut.
gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan; (b).Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.2
Negara dalam konteks kekuasaannya yang lebih didominasi oleh pemimpin dari kaum pria nampaknya menggeser posisi kaum perempuan karena perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah tidak mampu mengambil keputusan secara tepat, karena kaum perempuan dianggap lebih menggunakan perasaan daripada logika. Hal tersebut terlihat dari sedikitnya kaum perempuan bergerak di bidang politik.3 Sementara itu, anggapan yang didasarkan pada kenyataan lapangan bahwa laki-laki secara historis telah memegang mayoritas kepemimpinan dalam organisasi, cenderung mengasumsikan bahwa perbedaaan yang ada antara laki-laki dan perempuan justru memberikan kelebihan pada laki-laki. Asumsi ini perlu mendapat klarifikasi secara memadai sejalan dengan perubahan lingkungan atau situasi yang terjadi terutama berkenaan dengan keberadaan organisasi pada masa sekarang ini. Dalam organisasiorganisasi saat ini, mereka hampir setiap saat dihadapkan dengan lingkungan yang selalu berubah, sulit diprediksi dan bahkan penuh dengan ketidakpastian. Untuk menghadapi ketidakpastian lingkungan ini, maka organisasi dituntut untuk menjaga fleksibilitas, kerjasama tim, kepercayaan, dan kemauan berbagi informasi. Jika dilihat peran perempuan di Negara-negara Timur, maka
Pengendalian ini dilakukan berdasakan sistem hukum dan dengan perantaraan pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri didalam bagiannya masing-masing. Negara merupakan Suatu organisasi politik karena merupakan tata aturan yang mengatur penggunaan kekuasaan, negara yang memonopoli penggunaan kekuasaan, namun penggunaan kekuasaan yang monopolitik itu mempunyai karakter secara paksa dan ini lah kiranya menjadi karakter yang penting. Telah menjadi sesuatu yang dianggap wajar dalam kegiatan politik karena politik membahas tentang menguasai dan dikuasai. Apabila konsep kekuasaan ditempatkan sebagai pemikiran (pemikiran politik), maka sekaligus dengan itu menunjukkan bahwa kekuasaan adalah merupakan hakekat politik dan demikian proses politik merupakan serangkaian peristiwa yang hubungan satu sama lain adalah untuk memperjuangkan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan.
3
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1992), hal. 131.
2
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2008), hal. 48.
2
Jurnal Dinamika Politik|Vol.2|No.1|Feburari 2013 ISSN: 2302-1470 Intan Khalizah Sirait Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan perempuan-perempuan melakukan perjuangan utama, yaitu Pertama, harus melakukan kritikan secara mendasar terhadap paradigma dan sistem yang ada. Kedua, harus mengelaborasi prinsip-prinsip Islam terkait masalah perempuan. Konsep inilah yang akan menjadi pengganti atas konsep yang berlaku di dunia. Ketiga mendirikan berbagai pusatpusat penelitian yang khusus membahas permasalahan perempuan, anak-anak, dan keluarga. Lembaga-lembaga inilah yang diharapkan bisa mengajukan berbagai macam rancangan undang-undang dan aturan baru sehingga kaum perempuan bisa mendapatkan perlindungan konstitusional. Langkahlangkah yang dilakukan tersebut pada dasarnya bisa dianggap sebagai penyempurna atas gerakan pembelaan terhadap nilai-nilai Islam.
Munculnya Pemikiran Negara Dan Perempuan Menurut Benazir Bhutto Konsep pemikiran politik Benazir Bhutto tentang Negara dan Perempuan menitikberatkan pada konsep baru di Pakistan dan berbeda dengan konsep negara pakistan sendiri yang sejak didirikan berkonsep negara islam yang universal yaitu yang meliputi semua aspek bidang kehidupan. Sedangkan konsep negara Islam telah masuk melalui ideide yang dapat diterima sehingga harus diletakkan pada proporsinya sebagai pemikiran cabang, bukan pemikiran mendasar tentang kehidupan (aqidah). Sebab pemikiran mendasar tentang kehidupan adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan sesudah kehidupan dunia, dan hubungan antara kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelumnya dan sesudahnya. Oleh sebab itu, pembahasan tentang konsep negara di barat dan islam memang bertolak dari pemikiran mendasar konsep negara tersebut. Hal tersebut terlihat dari ideologi yang terdapat didalam setiap konsep negara yang ada oleh masing-masing negara dalam hal ini negara islam dan barat. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya pemikiran negara dan perempuan menurut Benazir Bhutto.
Kaum perempuan muslim yang melakukan upaya-upaya diatas bisa disebut sebagai pendekar dalam hal pembelaan atas prinsipprinsip akidah, literatur, dan nilai-nilai islami, karena, langkah-langkah diatas pastilah bersinggungan dengan perjuangan menegakkan masyarakat yang beretika, berkeadilan, yang melakukan perlawanan terhadap kezaliman dan lain sebagainya. Harus segera ditambahkan bahwa dalam pandangan islam, kesempurnaan perempuan tidak hanya terkait dengan perjuangannya dalam menegakkan hak-hak dirinya sendiri. Tugas perempuan yang ingin mencapai derajat tertinggi di sisi Tuhan dan di mata dunia bahwa perempuan bukanlah makhluk yang lemah. Studi ini membahas tentang apa yang melatarbelakangi munculnya pemikiran negara dan perempuan menurut Benazir Bhutto.
Pertama, adanya paradigma islam yang menganggap bahwa islam merupakan suatu ideologi atau dasar berdirinya suatu negara. Sesuai dengan prinsip Islam bahwa agama dan negara itu tak mungkin dipisahkan, juga tak mengherankan bila kita dapati bahwa Islam telah mewajibkan umatnya untuk mendirikan negara sebagai sarana untuk menjalankan agama secara sempurna. Negara itulah yang terkenal dengan sebutan Khilafah atau Imamah.
Metode Penelitian ini bersifat diskriptif-kualitatif. Pengumpulan data dengan teknik perbandingan sejarah. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.
Negara amerupakan suatu pengakuan sebuah masyarakat yang terlibat dalam kontradiksi yang tak terpecahkan dengan dirinya sendiri. Agar segi-segi yang berlawanan dalam
3
Jurnal Dinamika Politik|Vol.2|No.1|Feburari 2013 ISSN: 2302-1470 Intan Khalizah Sirait Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan masyarakat tidak membinasakan satu sama lain, diperlukan kekuatan yang seakan-akan berdiri diatasnya. Kekuatan tersebut mengurung masyarakat dalam pola tata tertib yang disebut hukum, warga yang berada dalam negara akan terbiasa dalam tata tertib itu, dan bila tidak biasa akan ditertibkan.
wacana terhadap pemikiran yang mengidealkan bahwa Islam harus menjadi dasar negara.
Di dalam sebuah negara demokrasi, ada dua hal yang harus dipahami yaitu Pertama adanya istilah pepatah latin: Vox populi, Vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) merupakan landasan utama untuk mengukur keberhasilan dan tidaknya seorang pemimpin. Kedua, munculnya sistem yang mengenal oposisi merupakan hal wajar. Meskipun di Pakistan oposisi tidak begitu kentara, namun kalau diperhatikan dan diamati tumbuh serta berkembangnya partai-partai yang ada di negara tersebut, oposisi sebetulnya sudah ada, namun tidak berwujud lembaga. Tidaklah akan mungkin tanpa adanya perbedaan sikap, sebuah cita-cita atau prinsip-prinsip bersama akan tercapai. Dengan adanya "oposisi loyal" inilah mereka bisa mempertajam pikiran, meluaskan wawasan, bermusyawarah, bertukar pikiran dan sudah pasti hasil yang dicapai pun dapat diupayakan semaksimal mungkin.4
Pemikiran Benazir ini selaras dengan paradigma Islam yang melihat bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem praktik yang harus diselenggarakan oleh umatnya, ataupun istilah-istilah teknis politik lainnya, kecuali nilai-nilai dan prinsip-prinsip etis tentang demokrasi, keadilan, egalitarianisme, persaudaraan, dan kebebasan yang justru bersifat universal, yang akhirnya sepanjang suatu negara tetap berpegang dan menyelenggarakan prinsip-prinsip universal itu, maka baik sistem maupun mekanisme yang dijalankan adalah benar menurut Islam. 5 Sejarah politik Pakistan telah memperlihatkan bagaimana kelompok militer dan ''kanan'' menjadi motor bagi upaya penggulingan Keluarga Bhutto merupakan hasil kondisi dan perbuatan dari kekuasaan dalam bentuk kudeta, yang dilakukan oleh seorang Zia Ul Haq (seorang ''jenderal religius''), ataupun melalui pemilu dengan bersatu padu menghimpun kekuatan ''Islam'' melawan kelompok ''kiri'', seperti yang terjadi di tahun 1990-an.
Berdasarkan berbagai pemberitaan di media massa maupun media-media sosial lainnya, dapat diketahui, bahwa Benazir dengan pemikirannya yang cenderung substantivistik dan tergolong bertentangan dengan mayoritas muslim Pakistan (tradisionalis dan fundamentalis) dalam hal ini ia ingin mengatakan gagasannya selaras dengan eksistensi, artikulasi, dan manifestasi nilainilai Islam yang instrinsik dalam iklim politik kebangsaan lebih penting untuk dilakukan, sekaligus amat kondusif bagi upaya pengembangan nilai Islam dalam sosok kulturalisasi masyarakat dan dunia Islam modern. Sedangkan dari pemahaman yang lebih umum, gagasan Benazir ini adalah pusat
Kedua, perempuan dianggap memiliki partisipasi yang cukup besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Pada prinsipnya,perempuan memiliki potensi dasar untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif. Antara perempuan dan laki-laki cenderung memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda. Perempuan cenderung lebih memiliki perilaku yang demokratis dan partisipatif, seperti hormat pada orang lain, perhatian pada orang lain, dan berbagi kekuasaan dan informasi terhadap orang lain. Gaya seperti ini mengacu pada kepemimpinan interaktif, yakni gaya kepemimpoinan yang memfokuskan pada upaya membangun konsensus dan hubungan
4
5
Ali Ahmad, Pakistan Dan Gejala Politik Demokrasi Di Pakistan, Antara Realita Dan Utopi, (Jakarta: Penerbit Madju. 2005), hal. 50.
Hamish Hamilton, Benazir Bhutto dan Perempuan dari Timur, (Yogyakarta : Grafindo. 1989) hal. 72.
4
Jurnal Dinamika Politik|Vol.2|No.1|Feburari 2013 ISSN: 2302-1470 Intan Khalizah Sirait Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan antara pribadi yang baik melalui komunikasi dan keterlibatan (partisipasi). Demikian pula, gaya seperti ini sampai dengan tingkat tertentu memiliki unsur-unsur kepemimpinan yang transformasional, yakni kepemimpinan yang inspirasional yang dapat memberikan inspirasi kepada orang-orang untuk bekerja lebih giat dalam mencapai kinerja yang tinggi. Berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih transaksional, yakni gaya kemimpinan yang cenderung lebih mengarah pada perilaku yang directive (cenderung mendasarkan pada instruksi) dan assertive (cenderung agresif dan dogmatik), dan menggunakan otoritas yang biasanya ia miliki untuk melakukan “kontrol dan komando”.6
perempuan dizalimi secara terang-terangan namun terbatas, kini kaum perempuan didera kezaliman secara terselubung namun sangat meluas. Kini kaum perempuan disiksa justru oleh pandangan dan pemikirannya sendiri (pemikiran yang sudah terbaratkan) bahwa di manapun dan kapanpun, mereka sedang berjuang untuk menyetarakan dirinya dengan kaum laki-laki. Pada abad ke-20 khususnya pada dekade akhir isu persamaan hak asasi manusia salah satunya mengenai isu non diskriminasi gender antara kaum laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) secara lantang disuarakan. Selama ini budaya yang berkembang didunia cenderung bersifat “patrilinialis” yang membuat kaum perempuan merasa termarginalkan atau golongan kelas dua setelah kaum pria. Masuknya wanita dalam kancah perpolitikan yang terbilang sebagai dunia yang penuh intrik, caci maki dan jauh dari “kehalusan” bisa terbilang sesuatu yang tabu.7
Dalam hal ini, perempuan-perempuan di negara barat membuat kebijakan dan tindakan yang diambil menggunakan pola-pola yang sangat halus. Pertama, Barat menjadikan isu “perempuan” sebagai “problema perempuan”. Jadi, Barat menebarkan pemikiran bahwa di mana-mana, kaum perempuan pasti dibelenggu dengan berbagai problema yang harus diperjuangkan. Kedua, Barat mendefinisikan “problema perempuan” sebagai “ketidaksetaraan dengan kaum lelaki”. Dengan demikian, dalam pandangan Barat, kalau kita bicara tentang kaum perempuan, maka isunya adalah perjuangan kaum perempuan agar bisa setara (atau malah lebih tinggi) daripada laki-laki. Di sinilah kemudian paham feminisme dimunculkan dan direkomendasikan sebagai satu-satunya paham yang bisa memperjuangkan kepentingan kaum perempuan tersebut. Faktanya, gerakan feminisme yang muncul pada tahun 1837 dan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya revolusi Prancis yang diusung oleh Barat itu sama sekali tidak menghentikan kezaliman terhadap kaum perempuan. Yang ada hanyalah perubahan sistem dan model kezaliman. Kalau sebelumnya kaum
Benazir Bhutto menyebutkan, apabila seorang perempuan mau dan bergerak melakukan suatu hal apalagi yang berhubungan dengan soal kepemimpinan, maka semuanya akan bisa dilakukan, itu semua tergantung bagaimana orang menyikapinya. “Ada kemauan saja pasti ada jalan, tidak ada alasan tidak bisa.” Tetapi bagi kaum perempuan muslim terkadang semua itu hanya khayalan belaka karena di sebuah negara muslim, perempuan dilarang menjadi seorang pemimpin ditambah lagi di setiap negara ada kaum yang disebut kaum fundamental (kaum yang mengharamkan perempuan sebagai pemimpin) karena menganggap bahwa perempuan diposisikan dalam urusan domestik, terutama dalam masalah reproduksi, sehingga akan suli bagi perempuan untuk dapat memimpin mengingat
6
Baskoro J Tjahyo, Karakteristik Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki, (Jakarta: Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya. 2011), hal. 60.
7
Simon Scuhster. Benazir Bhutto dan di Dalam Mempertahankan Diri,(Surabaya: Gramedia Pustaka Utama. 1989), hal. 55.
5
Jurnal Dinamika Politik|Vol.2|No.1|Feburari 2013 ISSN: 2302-1470 Intan Khalizah Sirait Pemikiran Politik Benazir Bhutto Tentang Negara Dan Perempuan Megawangi, Rata. 1999. Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung : Mizan. Schuster, Simon. 1989. Benazir Bhutto dan di Dalam Mempertahankan Diri. Surabaya: Gramedia Pustaka Utama. Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Tjahyo, Baskoro J. 2011. Karakteristik Kepemimpinan Perempuan dan Laki-laki. Jakarta: Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya.
bahwa urusan publik merupakan posisi yang diisi oleh kaum laki-laki.8 Dalam perspektif suatu negara Islam dapat dikatakan bahwa perempuan adalah sosok yang lemah dan posisinya tetap dibawah kaum pria. Hanya mengatur rumah tangga dan mengurus anak, tetapi Benazir Bhutto mengubah pandangan tersebut, dia mengangkat derajat kaum perempuan yang tadinya hanya mempunyai tugas sebagai ibu rumah tangga kini sudah ikut di dalam kancah dunia perpolitikan yang partisipasinya tidak diragukan lagi dimata dunia.
Penutup Negara menurut Benazir Bhutto merupakan suatu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari agama islam sebagai landasan awal berdirinya negara. Sementara perempuan juga dipandang sebagai suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam struktur kehidupan bernegara. Terdapat dua hal penting yang melatarbelakangi munculnya pemikiran negara dan perempuan menurut Benazir Bhutto tersebut, antara lain : Pertama, adanya paradigma islam yang menganggap bahwa islam merupakan suatu ideologi atau dasar berdirinya suatu negara. Kedua, perempuan dianggap memiliki partisipasi yang cukup besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Daftar Pustaka Ahmad, Ali. 2005. Pakistan Dan Gejala Politik Demokrasi Di Pakistan, Antara Realita Dan Utopi. Jakarta: Penerbit Madju. Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hamilton, Hamish. 1989. Benazir Bhutto dan Perempuan dari Timur. Yogyakarta: Grafindo.
8
Rata Megawangi, Membiarkan Berbeda Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung : Mizan. 1999), hal. 47.
6