PEMBERDAYAAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM PEMECAHAN MASALAH DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN: “DARI EFEKTIFITAS MENUJU KREATIFITAS” Oleh: Anton Suharyanto Dalam artikel yang telah saya tulis sebelumnya, telah dikemukakan mengenai pemberdayaan SDM dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang bersifat normatif, bahwa tidak harus senantiasa pemimpin yang memutuskan setiap masalah. Pada era sekarang ini kita harus menyadari bahwa kecenderungannya sangat jelas, yaitu bahwa organisasi dituntut untuk bergerak menuju ke arah penyebaran kewenangan dalam pengambilan keputusan. Organisasi diharapkan untuk selalu berbagi kekuasaan, atau dengan bahasa yang lebih santun dapat dikatakan sebagai memberdayakan pegawai untuk mengambil keputusan bersama-sama, karena para pegawai menginginkan keterlibatan dan tanggung jawab yang lebih besar dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah. Tingkat keterlibatan pegawai yang proporsional, bahkan termasuk pula keterlibatan stakeholders di luar organisasi, dalam proses pengambilan keputusan telah diyakini dapat menghasilkan pemecahan masalah yang lebih baik dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Manajemen yang bersifat partisipatif, yaitu yang melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan akan lebih sukses karena dengan pemanfaatan kelompok, mereka dapat memecahkan masalah yang kompleks dengan lebih baik. Antara Manfaat dan Mudharat Memanfaatkan kelompok dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan akan lebih efektif terhadap keputusan strategis atau non-rutin, yang kelak
harus
ditindaklanjuti
dalam
suatu
kondisi
yang
penuh
dengan
ketidakpastian dan risiko. Keputusan yang efektif itu akan muncul dari hasil sinergi para anggota di dalam kelompok. Sinergi, berarti menghasilkan sesuatu yang lebih besar, lebih baik, lebih bermanfaat dibandingkan dengan sekedar koleksi hasil masing-masing anggota kelompok. Keaneka-ragaman anggota kelompok sebenarnya dapat menjadi faktor yang menguntungkan karena hal itu dapat berarti semakin banyak pula sudut
1
pandang yang diarahkan, dan pada gilirannya akan semakin berkembang pula alternatif-alternatif solusinya. Selain itu, setiap anggota dapat memberikan gagasan yang melengkapi, menyempurnakan, dan atau mengembangkan gagasan anggota lainnya. Apabila dalam kelompok digunakan pendekatan the devil’s advocate, yaitu misalnya seorang anggota kelompok diminta menjelaskan dan mempertahankan mati-matian suatu gagasan sedangkan anggota kelompok lainnya secara kritis mempertanyakan celah-celah kelemahan gagasan tersebut, maka kita dapat mendeteksi potensi kendala dalam implementasi keputusan tersebut kelak di kemudian hari, dan kita dapat meminta kelompok untuk mengembangkan rencana antisipasi dan atau pencegahannya. Probabilitas kesuksesan tindak lanjut suatu keputusan dapat sangat bergantung pada faktor tingkat keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Terkadang proses dari suatu pengambilan keputusan dapat lebih berarti daripada keputusan itu sendiri. Jika setiap anggota ikut andil dalam proses pengambilan keputusan, maka akan terbangun rasa saling memiliki, semangat, dan keteguhan komitmen untuk menindaklanjutinya. Pelibatan bawahan dalam pengambilan keputusan juga berarti memberikan penghargaan tak tertulis dan kepuasan pribadi. Keterlibatan bawahan dalam keanggotaan kelompok pengambil keputusan dapat menimbulkan rasa saling pengertian yang lebih dalam dan mendongkrak tingkat kepuasan bawahan dalam bekerja. Komunikasi yang lebih baik pun akan kian erat terjalin. Adapun kerugian atau kelemahan pengambilan keputusan dengan memanfaatkan kelompok, utamanya adalah kebutuhan waktu yang lebih banyak jika dibandingkan dengan memutuskan sendiri. Para bawahan yang dilibatkan pun harus pula menyisihkan sebagian waktu kerja produktifnya. Belum lagi harus mengeluarkan biaya untuk penyelenggaraan rapat-rapatnya. Kelemahan lainnya, adalah adanya kemungkinan kelompok didominasi oleh perorangan atau segelintir orang (kelompok di dalam kelompok), yang terkadang justru
mementahkan
keputusan
kelompok.
Kelompok
kecil
itu
kadang
menimbulkan konflik yang merusak dan hal yang dipertentangkan sebenarnya
2
mengarah pada kepentingan lain di luar tujuan yang ingin dicapai kelompok. Para pendominasi ini hanya ingin memenangkan pendapat dan kepentingannya sendiri dengan mengabaikan pemecahan yang terbaik. Selain itu, ada pula anggota-anggota kelompok yang cuma ikut-ikutan saja. Mungkin mereka sebenarnya merasa kurang nyaman dengan pemecahan yang dihasilkan oleh kelompoknya tetapi mereka enggan mempertanyakannya karena khawatir tidak diterima atau dikucilkan dalam kelompok. Jika pendekatan yang digunakan adalah the devil’s advocate, maka manfaat yang diharapkan terwujud dari keragaman sudut pandang para anggota kelompok tidak akan dapat dihasilkan. Anggota kelompok yang dominan akan diiyakan dan diikuti begitu saja oleh anggota lainnya, atau bahkan mereka yang dominan selalu mendikte akan memaksakan kehendaknya pada anggota lainnya, terutama kepada anggota yang pemalu dan berkepribadian introvert. Untuk mengeliminir mudharat yang mungkin muncul sebagaimana tersebut di atas, kita dapat menggunakan teknik nominal grouping, yang nanti akan dibahas dalam segmen pengambilan keputusan yang kreatif, demi menetralkan mereka yang suka mendominasi dan pada saat yang memberdayakan mereka yang biasanya hanya ikut-ikutan saja. Ketika kelompok telah secara efektif menghasilkan pemecahan masalah, maka beban tanggung jawab atas pemecahan tersebut tersebar ke banyak orang sehingga kadang ada yang kurang serius menyikapinya karena mereka merasa tidak bertanggung jawab secara pribadi. Bagaimanapun, manajerlah yang tetap harus bertanggungjawab atas setiap keputusan, terlepas dari bagaimana caranya keputusan tersebut diambil. Para manajer juga dapat membagi kewenangannya kepada kelompok dalam mengambil keputusan, namun manajerlah yang tetap harus bertanggungjawab. Sifat anggota yang kadang acuh, berlepas tanggung jawab atas keputusan yang diambil kelompok dapat menular kepada seluruh anggota kelompok seperti virus flu yang meracuni suasana, jadi cegahlah dan sedapat mungkin hentikanlah segera. Pengambilan Keputusan yang Kreatif Ketika AgfaPhoto GmbH, produsen perangkat fotografi terkemuka di Eropa, meyakini bahwa rol film merupakan ruh yang mutlak sangat dibutuhkan dari
3
industri fotografi, sejak saat itulah kreatifitas mereka terhenti. Mereka hanya memproduksi rol film, bahkan dilakukan secara massal demi mencapai skala ekonomis agar harga jualnya berada dibawah para pesaingnya. Setahun kemudian, muncullah inovasi kamera digital. Dunia fotografi beralih padanya. Pengguna kamera tidak lagi memerlukan rol film, berapa kali pun mereka ‘menjepret’ untuk mengabadikan peristiwa. Mereka cukup memindahkan file digital dari kamera ke komputer, lalu kamera siap untuk ‘menjepret’ kembali. Pada tahun berikutnya AgfaPhoto menderita kerugian sangat besar hingga akhirnya
mengalami
kebangkrutan,
sementara
para
pesaingnya
yang
memproduksi kamera digital banyak memanen laba. Inovasi adalah salah satu tantangan tertinggi yang dihadapi para pemimpin organisasi pada abad 21. Institusi-institusi baik swasta maupun pemerintah selalu berusaha untuk merangsang kreatifitas karena keunggulan kompetitif dikembangkan melalui inovasi dan kreatifitas. Teknologi baru menuntun pada inovasi. Sebenarnya, kreatifitas dan inovasi merupakan hal yang berbeda. Kreatifitas muncul dengan gagasan baru yang bermanfaat, sedangkan inovasi adalah gagasan kreatif yang diterapkan oleh organisasi. Fokus kita sekarang adalah pada kreatifitas. Kata “kreatif” seringkali disandingkan dengan istilah hasil dari pemikiran “out of the box”. Kreatifitas berarti suatu kemampuan untuk mengembangkan pilihan-pilihan yang unik yang bermanfaat untuk memecahkan masalah. Contohnya adalah pemanfaatan teknologi video conference untuk memangkas anggaran biaya perjalanan dinas pejabat. Banyak pejabat mengeluhkan kurangnya waktu yang tersedia bagi mereka untuk menghadiri berbagai kegiatan rapat baik di dalam kota maupun di luar kota bahkan di luar negeri, disamping masalah keterbatasan dana anggaran perjalanan dinas yang dimiliki satuan kerjanya. Sementara itu di lain pihak banyak pula yang beranggapan bahwa rapat-rapat tersebut hanyalah kamuflase dari upaya mengeruk dana dari kas negara untuk keuntungan pribadi pejabat. Dengan dukungan teknologi informatika, maka terpecahkanlah masalah yang dihadapi para pejabat terkait keterbatasan waktu dan biaya perjalanan dinas sekaligus pula menjawab permasalahan mengenai pemborosan keuangan negara.
4
Untuk dapat meningkatkan kreatifitas kelompok/organisasi, ada empat tahapan
proses
yang
terdiri
dari
persiapan,
kemungkinan-kemungkinan
pemecahan, inkubasi, dan pengkajian. Persiapan. Kita harus menjadi terbiasa dengan masalah. Kemunculan masalah merupakan peluang bagi kita untuk menjadi lebih baik. Kumpulkan pendapat, perasaan, dan gagasan orang lain sesuai keadaan yang dihadapi. Saat akan memulai memecahkan masalah, carilah sudut pandang yang berbeda, gunakan imajinasi dan temuan baru, dan jangan membatasi jangkauan pikiran. Kemungkinan-Kemungkinan
Pemecahan.
Munculkanlah
sebanyak-
banyaknya kemungkinan-kemungkinan pemecahan baik yang sudah pernah terpikirkan maupun yang belum pernah terpikirkan atau mungkin selama ini tidak pernah
berani
memikirkannya,
dan
hanya
boleh
diinventarisir
tanpa
diperkenankan memberikan penilaian dan analisis apapun. Hal ini dapat pula dilakukan dengan cara brainstorming, dan lain sebagainya. Inkubasi. Jeda sejenak setelah mengumpulkan alternatif. Tidak harus lama, namun ambil waktu secukupnya sebelum kembali berkutat pada masalah. Dalam tahap ini, kita mungkin saja mendapat pencerahan atas pemecahan masalah. Pernahkan Saudara bekerja keras pada suatu upaya pemecahan masalah dan hampir putus asa, namun ketika menyerah atau beristirahat, tiba-tiba jawabannya datang sendiri? Pengkajian. Sebelum menerapkan sebuah pemecahan, kita harus terlebih dahulu mengkajinya untuk memastikan bahwa gagasan tersebut dapat diterapkan. Pengkajian seringkali menuntun pemikiran kita ke arah yang lebih kreatif. Dalam tahapan ini dimungkinkan pula untuk memunculkan kemungkinan pemecahan baru yang didasarkan pada gagasan pada tahap-tahap sebelumnya. Khusus pada tahapan kedua, yaitu pemunculan kemungkinan-kemungkinan pemecahan, di sepanjang berlangsungnya tahapan ini seluruh anggota kelompok tidak boleh melakukan penilaian, analisis, atau tanggapan apapun. Setiap tanggapan atas suatu gagasan kreatif dapat mempengaruhi perilaku kelompok ke arah yang tidak menguntungkan. Biasanya orang menanggapi suatu gagasan kreatif dengan kalimat atau kata-kata yang dapat membungkam dan mematikan kreatifitas sehingga harus dihindari, yaitu:
5
Tidak tercantum dalam pos anggaran
Terlalu mahal
Kita belum pernah melakukan sebelumnya
Hal itu tidak cocok untuk organisasi kita
Itu bukan urusan kita
Hal itu tidak mungkin dilakukan
Hal itu diluar tanggung jawab kita
Kita baik-baik saja tanpa melakukan hal itu
Kita lakukan sebisanya saja
Kita tidak punya waktu
Itu terlalu nyeleneh/radikal
Hal itu membuat peralatan lain tak berguna
Mengapa harus diubah? Yang sekarang masih berfungsi
Kita belum siap untuk itu
Jangan konyol
Mari kembali pada kenyataan
Anak buah kita tidak ada yang sanggup melakukannya
Belum waktunya kita ke arah sana
Kita terlalu besar/kecil untuk hal itu
dan sebagainya
Apabila salah seorang anggota kelompok melontarkan ungkapan-ungkapan seperti itu, semua anggota kelompok haruslah saling mengingatkan. Dalam tahapan kedua ini, kreatifitas kelompok benar-benar dipacu. Banyak ragam teknik pemicu kreatifitas yang dapat digunakan, diantaranya brainstorming, brainwriting, synetics, nominal grouping, consensus mapping, dan six thinking hats. Dengan brainstorming, kepada suatu kelompok diberikan sebuah masalah atau peluang dan diminta memberikan alternatif pemecahan yang kreatif. Biasanya brainstorming dilakukan dalam rangka memecahkan masalah yang rumit atau menciptakan dan memberi nama produk baru dan sebagainya. Agar tercipta sinergi kelompok dalam proses brainstorming ini, setidaknya ada 4 aturan yang harus dipenuhi:
6
Setiap ide adalah ide bagus. Tidak diperbolehkan mengkritik setiap ide yang muncul. Para anggota kelompok dilarang saling mengkritik atau mengkaji setiap gagasan yang dilontarkan dengan cara apapun. Hal ini adalah demi menjaga kebebasan dalam kreatifitas.
Semakin banyak ide semakin bagus. Setiap anggota kelompok harus mengajukan sebanyak mungkin gagasan. Semakin banyak jumlah alternatif, maka akan semakin besar kemungkinannya menemukan pemecahan yang hebat dan luar biasa.
Diperkenankan
menyampaikan
ide
konyol.
Sebaiknya
kita
tidak
membatasi kelompok untuk berpikir out of the box. Kita bisa melihat dari sudut pandang baru, perspektif baru, tidak seperti katak dalam tempurung. Setiap anggota kelompok sebaiknya mengemukakan apapun yang terlintas dalam benaknya, tak peduli betapa aneh, gila, atau konyolnya sambil tetap menghindari kritik dan tanggapan yang dapat membunuh kreatifitas.
Kembangkan. Semua anggota kelompok boleh mengembangkan ide yang berpijak dari ide anggota lain dan bahkan dapat menggulirkannya ke arah yang berbeda. Ingat, semua ide adalah milik kelompok, jadi setiap anggota memiliki andil atas semua alternatif ide, dan kelak ide terpilih pun merupakan hasil dari setiap anggota, terlepas dari siapapun yang pertama kali melontarkan ide awalnya. Brainstorming dapat divariasikan menjadi brainwriting, yaitu pengumpulan
gagasan pada awalnya disampaikan secara tertulis untuk mengurangi rasa sungkan atau malu jika menyampaikan gagasan yang nyeleneh (baca: kreatif), dan setelah gagasan dicatat dan dibacakan, mereka dapat mengembangkan dan mengkombinasikannya. Variasi lainnya adalah brainstorming yang dilakukan menggunakan perangkat komputer sehingga gagasan awal disampaikan secara elektronis tanpa diketahui siapa sumber idenya. Hal ini tentunya memerlukan dukungan teknis di bidang teknologi informatika. Nominal grouping adalah suatu proses memunculkan dan mengkaji alternatif-alternatif melalui suatu cara sumbang suara yang terstruktur. Dalam metode ini, setiap anggota kelompok menyampaikan gagasan masing-masing secara tertulis dalam lembaran tertutup sebagaimana halnya brainwriting. Lalu usulan tersebut dicatat dan dikemukakan kembali oleh pimpinan kelompok agar
7
setiap anggota mengetahui gagasan tanpa mengetahui siapa sumbernya. Masing-masing gagasan dibahas detilnya, diberikan tambahan informasi teknis operasionalnya, dan dilengkapi dengan berbagai masukan terkait tentangnya. Dalam Nominal Grouping, dimungkinkan pembahasan berlanjut ke tahap ke-empat, yaitu pengkajian, halmana semua anggota kelompok memberikan skor nilai untuk setiap gagasan, lalu hasilnya dijumlahkan dan beberapa gagasan yang nilainya besar-besar dinominasikan untuk sesi pengkajian berikutnya. Pada sesi pengkajian berikutnya, gagasan yang dinominasikan dikaji kembali terkait alasan logis, dan untung-ruginya jika memilih alternatif tersebut, namun sifatnya hanya klarifikasi, bukan persuasi. Informasi baru pun dapat ditambahkan apabila dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Kemudian pada sesi pengkajian akhir, setiap anggota kelompok melakukan voting untuk untuk menentukan alternatif gagasan terpilih. Teknik Delphi awalnya digunakan oleh Angkatan Udara Amerika Serikat saat menghadapi perang dingin tahun 1944. Teknik ini cocok untuk digunakan kelompok yang memiliki kendala konflik internal yang besar, namun cukup menyita waktu. Pimpinan memberikan rangkaian pertanyaan kepada kelompok dan jawabannya diberikan masing-masing anggota secara tertutup. Pertanyaan diberikan dalam beberapa putaran, mungkin bisa lebih dari 5 putaran untuk dapat menghasilkan pemecahan masalah yang disepakati bersama. Semua jawaban dalam satu putaran dikaji dan dikemukakan kembali kepada seluruh anggota saat menyampaikan rangkaian pertanyaan untuk putaran berikutnya. Pemetaan Konsensus adalah suatu proses mengembangkan sebuah permufakatan untuk memecahkan masalah. Sebuah konsensus lebih bersifat kebersamaan dan tidak memenangkan salah satu pihak dalam kelompok. Hal ini lebih merupakan pengembangan dari nominal group, bedanya adalah bahwa pemilihan alternatif gagasan tidak berdasarkan tabulasi skor dan atau voting, melainkan berdasarkan kesepakatan bersama. Kelebihannya adalah dengan terbentuknya kesepakatan bersama, para anggotanya akan lebih terikat dalam suatu komitmen untuk bersama-sama mengimplementasikan alternatif solusi yang terpilih.
8
Untuk mendapatkan manfaat yang optimal dalam menggunakan teknik Pemetaan Konsensus, kita dapat menggunakan metode Six Thinking Hats. Metode ini diperkenalkan oleh Edward de Bono, seorang guru besar Neuro Language Programming, yang pada prinsipnya menyearahkan sudut pandang semua anggota kelompok dalam waktu yang sama dan menggeser sudut pandang tersebut secara bersamaan pula, sehingga dalam waktu yang sama tidak ada anggota kelompok yang melihat ke arah pandang yang berbeda. Six Thinking Hats (Enam Topi Berpikir) terdiri dari topi berwarna biru, putih, kuning, hijau, merah, dan hitam. Keenam warna topi berpikir mewakili masingmasing jenis kegiatan atau arah berpikir para anggota rapat. Topi hanyalah sebuah simbol yang digunakan untuk membantu kelompok menyamakan arah berpikir. Topi dapat dipakai dan dapat dilepaskan atau diganti dengan warna yang lainnya. Saat pimpinan rapat memutuskan untuk mengganti arah berpikir, maka ia mengganti topinya dengan topi berwarna lain dan harus diikuti oleh setiap anggota kelompok. Namun pada prakteknya, para anggota kelompok tidaklah menggunakan topi fisik, topi dan warna-warninya hanya ada di benak masing-masing peserta rapat. Topi Biru adalah topi berpikir yang digunakan oleh fasilitator atau pemimpin rapat. Biru melambangkan kesejukan, anggun, cakrawala yang terbentang luas. Dengan topi berpikir warna biru, pimpinan rapat mengendalikan dan mengatur arah berpikir agar anggota fokus dalam berpikir dan berdisiplin. Singkatnya, topi biru adalah topi berpikir untuk memikirkan arah berpikir. Topi Biru digunakan utamanya pada awal dan akhir rapat, dan kadangkadang di tengah rapat. Topi Biru memutuskan apa yang harus dipikirkan kelompok, melontarkan pertanyaan yang tepat kepada floor, mendefinisikan dan meluruskan permasalahan yang sebenarnya dihadapi. Di awal rapat, Topi Biru misalnya menjawab pertanyaan mengenai: mengapa kelompok mengadakan rapat? apa yang ingin dicapai dalam rapat ini? permasalahan apa yang sebenarnya
dihadapi? Apa akibat yang ditimbulkan permasalahan
ini?
Bagaimana urutan penggunaan topi berpikir selama rapat? Dan sebagainya. Di akhir rapat, Topi Biru menutup rapat dengan mengemukakan pernyataan mengenai hal-hal apa yang telah tercapai dalam rapat, apa hasilnya, bagaimana kesimpulannya, apa solusinya, dan hendak kemana langkah selanjutnya diambil.
9
Putih melambangkan netralitas, obyektif, informatif. Saat menggunakan topi berpikir warna putih, kelompok hanya mengemukakan informasi yang obyektif, fakta yang benar terjadi, dan angka-angka yang valid. Fakta yang terinventarisir dapat dipilah menjadi fakta yang diyakini kebenarannya dan fakta yang telah terbukti kebenarannya. Dalam sesi berpikir dengan Topi Putih ini, kita dapat mempertanyakan mengenai hal-hal apa yang benar-benar kita ketahui, hal-hal apa yang tidak kita ketahui, dan hal-hal apa yang harus kita ketahui. Dalam sesi ini tidak boleh menyampaikan opini, dugaan, prasangka, ataupun penilaian. Singkirkanlah pula perasaan dan upaya untuk mempengaruhi orang lain. Merah melambangkan emosi, kemarahan, ketidaksukaan. Dalam sesi berpikir menggunakan Topi Merah yang biasanya berlangsung singkat (sebaiknya memang demikian, waktu yang dialokasikan cukup sebentar saja), silahkan mengekspresikan emosi, prasangka, intuisi, kesan, perasaan, dan sebagainya. Hal yang disampaikan tidak harus logis, tidak perlu pembenaran, tidak ada dasar alasannya. Semua keputusan yang dihasilkan dalam sesi ini bersifat emosional. Hitam melambangkan keseriusan, suram dan buram. Saat menggunakan Topi Hitam, kelompok dituntut untuk berpikir secara konservatif, berhati-hati, dan waspada, bahkan curiga. Topi Hitam merupakan sesi berpikir negatif secara logis, misalnya memikirkan faktor-faktor yang akan mengakibatkan kegagalan. Bisa juga kritik dan penilaian yang didasari sikap pesimis. Hanya saja perlu diperhatikan bahwa berpikir negatif secara logis adalah berbeda dengan emosi. Dalam sesi ini, fokusnya adalah mencari-cari kesalahan, bukti-bukti tentang kesalahan, dan menyimpulkan bahwa sesuatu memang benar-benar salah. Kuning melambangkan harapan, optimisme, positivisme, dan spekulasi. Sesi Topi Kuning adalah kebalikan dari Topi Hitam. Dalam sesi berpikir menggunakan Topi Kuning, dikembangkan sikap optimis, berpikir positif, menggali peluang, dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan. Fokusnya kemanfaatan. Sesi ini akan menghasilkan skenario dengan peruntungan terbaik. Hijau melambangkan pertumbuhan, perkembangbiakan. Sesi Topi Hijau ini adalah saatnya memanen kreatifitas: ide baru, konsep baru, sudut pandang baru. Pemikiran
diarahkan
pada
kreatifitas,
10
mengembangkan
alternatif
dan
membiakkan alternatif. Dalam sesi inilah dimungkinkannya muncul suatu pendekatan baru dalam pemecahan masalah, yang tadi kita sebut sebagai “out of the box”.
Referensi : 1. Edward de Bono (2009). Think! Before It’s Too Late. London: Ebury Publishing, The McQuaig Group Inc. 2. Lussier, Robert N. (2010). Human Relation. New York: McGraw Hill Co. Inc. 3. Mc Shane & Von Glinow (2009). Organizaton Behaviour: [essential]. New York: McGraw Hill Co. Inc.
11