1
Pelestarian Khasanah Budaya Bangsa lewat Kerjasama Perpustakaan dan Resource Sharing: sebuah Peran Perpustakaan Nasional * Oleh: Salmubi ** A. Pendahuluan Kita sangat akrab dengan pameo “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”, “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”. Kedua pameo itu dapat kita jadikan sebagai landasan filosofis untuk membangun kerjasama Perpustakaan dan resource sharing. Dalam kenyataan, selengkap apa pun sumber daya koleksi yang dimiliki oleh suatu perpustakaan, maka perpustakaan tersebut tak akan sanggup memenuhi kebutuhan pemakainya. Sementara, kebutuhan user perpustakaan bergerak secara dinamis dan tidak pernah berhenti pada suatu titik permanen. Kenyataan itu pula mempertegas bahwa penyelenggaraan perpustakaan harus diselenggarakan secara bersama. Antara satu perpustakaan dengan yang lain harus saling membantu. Terutama untuk memenuhi kebutuhan pemakai sehingga perpustakaan turut serta dalam upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kita harus mengakui bahwa pola pengembangan perpustakaan kita selama ini dilakukan secara sendiri-sendiri. Satu sama lain tidak terintegrasi dengan baik. Tujuan yang kita ingin capai dari proses pengembangan itu adalah agar terwujud sebuah perpustakaan “terbesar” dan “terunggul”. Perpustakaan lain kita jadikan sebagai kompetitor kita, bukan sebagai mitra. Selama ini, kita menggunakan paradigma “competition”, bukan “cooperation”. Akhirnya, kita mengembangkan koleksi, SDM, gedung, teknologi dan aspek-aspek lainnya, agar kita melebihi atau mengungguli perpustakaan lain. Pengembangan koleksi misalnya, dibangun selengkap (sekomprehensif) mungkin untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dan fakultas di universitas kita masing-masing. Meskipun dalam kenyataan, koleksi yang kita kembangkan merupakan duplikasi (judul sama) dari koleksi yang dimiliki perpustakaan lain yang berada di wilayah yang sama. Dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi/Information and Communication Technologies (ICTs), masing-masing perpustakaan mengembangkannya secara sendiri-sendiri, tanpa ada koordinasi yang jelas antara satu dengan lainnya. Padahal, pengembangan dan pemanfaatan teknologi tersebut semestinya disenergikan karena membawa manfaat berupa penghematan dana dibanding melakukannya sendirisendiri. Manfaat lain, teknologi yang dikembangkan secara bersama itu memudahkan untuk saling bertukar data (database) dengan sangat mudah karena menggunakan interface yang sama.
*
Juara Harapan III Lomba Nasional Penulisan Artikel Tentang Perpustakaan Nasional RI Tahun 2006 Kepala Perpustakaan Politeknik Negeri Ujung Pandang
**
2
Dari aspek-aspek di atas saja sudah cukup dijadikan alasan utama untuk membangun kerjasama perpustakaan dan resource sharing. Dan, Perpustakaan Nasional sebagai bagian dari sistem Nasional Perpustakaan harus menjadi penggerak utama untuk membangun kerjasama perpustakaan. Peranan itu sangat relevan dengan tanggung jawab Perpustakaan Nasional sebagai pembina seluruh jenis perpustakaan secara nasional. Untuk melaksanakan peran itu, Perpustakaan Nasional memiki kekuatan berupa ‘kedekatan’ dengan para pengambil kebijakan di tingkat pusat dan faktor ‘kedekatan’ itu tidak sebagus dengan apa yang dimiliki jenis perpustakaan lain. B. Latar Belakang Tentu tidak berlebihan bila Perpustakaan Nasional dalam menjalankan perannya sebagai fasilitator utama dalam membangun kerjasama perpustakaan dan resource sharing pada tahap awal lebih memfokuskan terwujudnya kerjasama di lingkungan perpustakaan perguruan tinggi. Hal tersebut dimungkinkan karena sejumlah faktor - sumber daya manusia, koleksi, dan anggaran perpustakaan ini lebih siap dan memadai dari jenis perpustakaan lainnya. Pun, perkembangan jenis perpustakaan ini leading dari yang lainnya. Peran Perpustakaan Nasional dalam konteks tersebut tidak berlebihan untuk bertindak sebagai pemeran kunci, mengingat hal serupa juga telah diperankan perpustakaan nasional negara lain dengan sangat baik, seperti yang dilakukan Perpustakaan Nasional Australia. Ada sejumlah faktor yang menjadi alasan utama untuk membangun kerjasama perpustakaan dan resource sharing, faktor-faktor itu antara lain: 1. Anggaran Alokasi anggaran perpustakaan untuk pengembangan koleksi sangat jauh dari ketentuan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), di bawah 5% dari total anggaran operasional perguruan tinggi. Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa minimal 5% dari total anggaran suatu perguruan tinggi harus dialokasikan untuk pengembangan perpustakaan, termasuk pengembangan koleksinya. Keadaan tersebut berdampak pada masih sangat minimnya kuantitas dan kualitas koleksi perpustakaan bila dibanding dengan jumlah pemakainya. Pada masa yang akan datang bisa jadi perpustakaan perguruan tinggi makin sulit mendapatkan alokasi anggaran sebagai akibat dari kemampuan fakultas untuk mengembangkan teknologi untuk mengakses sumber-sumber informasi secara langsung tanpa harus lewat perpustakaan. Atau, karena perubahan yang serba cepat dan dalam tatanan lingkungan yang baru, sehingga perpustakaan dianggap tidak sanggup memainkan peran secara kompetetif untuk membantu universitas menjalankan peran utamanya sebagaimana yang tertuang dalam Tri Darma perguruan tinggi. Artinya, perpustakaan tidak lagi memiliki status ‘istimewa’, sebagai jantung universitas. Kondisi demikian bisa saja terjadi sebagai bagian dari perubahan. Karenanya, Perpustakaan Nasional dapat mengambil langkah konkret dan strategis sehingga kondisi demikian tidak terjadi. Salah satunya dengan membangun kerjasama perpustakaan dan resource sharing, agar
3
perpustakaan dapat menjamin ketersediaan sumber-sumber informasi yang berasal dari dalam maupun di luar perpustakaan. 2. Harga Bahan Pustaka Harga bahan pustaka, buku dan jurnal ilmiah dari waktu ke waktu cenderung mengalami kenaikan harga, sehingga kondisi ini makin memperlemah daya beli perpustakaan terhadap bahan pustaka, di samping karena memang anggaran untuk pengembangan koleksi itu sangat terbatas. Kondisi tersebut disebut sebagai scholarly communication crisis. Sebagaimana yang digambarkan Shulenburger dikutip dari Brand bahwa antara tahun 1986 dan 1996 harga buku (monograf) meningkat hingga 62% dan harga jurnal mengalami kenaikan sampai 148%. Fakta ini memberikan gambaran bahwa model pengembangan koleksi secara konvensional seperti yang selama ini dilakukan harus dihindari. Karena, bila kenaikan kedua jenis bahan pustaka tersebut menjadi pertimbangan, maka anggaran pengadaan bahan-bahan pustaka tersebut harus meningkat sekurang-kurangnya 70%. Hal ini ditempuh agar koleksi monograf dan jurnal ilmiah jumlahnya tetap sama pada tahun 1986. Keadaan tersebut di atas mempengaruhi kebijakan perpustakaan, seperti British Library dalam pengembangan koleksinya. British Library mengakui bahwa memiliki seluruh subyek untuk semua bahasa dari seluruh dunia (sebagaimana yang dilakukannya selama ini) merupakan hal yang tidak bisa lagi dilanjutkan. Karena anggaran yang serba terbatas ditambah harga koleksi semakin meningkat, pengembangan koleksi secara kolaboratif (collaborative collection development) sebagai bagian dari kerjasama perpustakaan sangat realistis untuk dilakukan. Di sini, Perpustakaan Nasional harus terus mendorong dunia perpustakaan di Indonesia untuk mengimplementasikan praktek tersebut sehingga perpustakaan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, terutama ketersediaan sumber-sumber informasi dan juga akses terhadap sumber-sumber tersebut. Kehadiran electronic collections berupa electronic book dan journal sebagai bagian dari sumber-sumber informasi perpustakaan, tidak mengurangi jumlah kebutuhan pemakai akan bahan pustaka dalam bentuk tercetak, misalnya buku. Artinya, perpustakaan harus menyediakan dana tambahan lain untuk pengadaan koleksi tercetak itu dan koleksi dalam bentuk elektronik. Kondisi ini pun menggiring perpustakaan pada situasi yang serba sulit dalam hal pengadaan sumber-sumber informasi sebagai tuntutan dari perkembangan zaman dan sekaligus merespon dan memenuhi kebutuhan pemakainya. 3. Teknologi Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau Information and Technologies (ICTs) telah banyak membawa dampak pada penyelenggaraan perpustakaan. Dengan teknologi itu, tyranny of distance bukan lagi menjadi penghambat. Kita telah hidup di kampung global. Kita menjadi semakin dekat
4
dengan bagian dunia lain. Peralatan dan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi mempunyai kemampuan untuk menyimpan, mengorganisasikan, menyebarkan, dan memberikan akses informasi secara cepat, tepat, dan ekonomis. Keunggulan dan kemampuan teknologi tersebut membawa berkah bagi perpustakaan. Karena, semakin membuka kesempatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai tempat tanpa harus terkendala oleh faktor jarak dan waktu. Dengan demikian, teknologi telah menjadi peluang sekaligus tantangan bagi perpustakaan di Indonesia untuk bekerjasama dalam penyediaan sumber-sumber informasi bagi para user perpustakaan. 4. Trend Global Kerjasama perpustakaan dan resource sharing telah menjadi sebuah trend global – telah dipraktekkan di banyak negara. Hal itu dilakukan karena perpustakaan menyadari ketidakmampuannya dalam memenuhi ekspektasi dan kebutuhan pemakainya akan sumber-sumber informasi yang memadai dan komprehensif. Praktek-praktek kedua jenis kegiatan tersebut telah menjadi agenda utama perpustakaan di banyak negara. OhioLink di Amerika Serikat misalnya, merupakan salah satu bentuk kerjasama yang melibatkan berbagai jenis perpustakaan- perguruan tinggi, umum, dan negara bagian (state library) yang secara bersama-sama berupaya sehingga sumber-sumber informasi dapat disediakan dengan harga yang terjangkau oleh semua perpustakaan yang terlibat. Sayangnya, praktek-praktek tersebut tidak dipraktekkan di Indonesia, sementara manfaatnya sangat besar. Sehingga, sekali lagi, dalam konteks seperti itu Perpustakaan Nasional dengan kapasitas dan kewenangan yang dimilikinya dapat lebih mendorong perpustakaan di Indonesia untuk melakukan hal serupa dengan tetap memperhitungkan situasi dan kondisi serta kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing perpustakaan. C. Peran Perpustakaan Nasional Dunia perpustakaan di Indonesia masih tertinggal jauh dari perkembangan dunia perpustakaan yang ada di negara lain, sebut saja negara berkembang seperti Malaysia misalnya. Hal ini disebabkan oleh dunia perpustakaan di Indonesia masih disibukkan dengan masalah-masalah yang bersifat klasik yang tak kunjung berakhir - kurang dana pengembangan perpustakaan dan minimnya dukungan dari lembaga induknya. Sehingga, dalam kondisi dan situasi seperti itu, tidak ada salahnya untuk kembali menempatkan dan memposisikan Perpustakaan Nasional itu sebagai ‘pemain utama’ dalam mewujudkan sejumlah agenda utama pengembangan perpustakaan sehingga melahirkan, paling tidak keseteraan dengan perkembangan perpustakaan di negara lain. Bila dilihat secara struktural, tampaknya Perpustakaan Nasional paling layak untuk menyandang predikat sebagai pemain utama. Sebagai institusi non-departemen yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Sekretaris Negara akan melahirkan bargaining position yang lebih kuat daripada jenis perpustakaan lainnya.
5
Meskipun, keberadaan organisasi seperti Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi (FPPT) dan Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) tidak bisa diabaikan perannya dalam memfasilitasi terwujudnya kerjasama dan resource sharing perpustakaan. Tetapi, mungkin untuk saat sekarang, FPPT dan IPI itu lebih mengagendakan konsolidasi internal organisasi agar keberadaannya lebih kokoh di tingkat nasional. Dari sisi kultur, kita memang tidak memiliki tradisi yang kuat untuk terlibat dalam kerjasama perpustakaan. Dan, hal ini menjadi salah satu kendala utama untuk mewujudkan kerjasama perpustakaan dan resource sharing. Sejumlah kebijakan pengembangan perpustakaan yang ada, memang tidak banyak menyentuh aspek-aspek pengembangan kerjasama perpustakaan. Pun, para pustakawan lebih banyak berpikir dan menghabiskan energi untuk memperkuat posisi perpustakaannya masing-masing dalam struktur organisasi lembaga induknya, sehingga tidak berada pada posisi marginal atau ‘dianaktirikan’. Minimnya dukungan pimpinan dalam pengembangan perpustakaan semakin melemahkan posisi perpustakaan. Akibatnya, alokasi anggaran ke perpustakaan menjadi sangat terbatas untuk hanya melakukan tugas-tugas rutinnya saja. Dalam buku ‘International Dictionary of Library Histories’ dinyatakan bahwa ada sejumlah peranan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, empat di antaranya adalah: 1. Menyediakan layanan katalog yang terpusat 2. Menyusun bibliografi nasional dan katalog induk nasional 3. Mengembangkan kerjasama antar perpustakaan dalam Negeri 4. Merupakan representasi Indonesia dalam kerjasama perpustakaan di tingkat regional dan internasional. Ke empat peranan tersebut mempertegas posisi Perpustakaan Nasional untuk melaksanakan tanggung jawabnya terhadap pengembangan dan penerapan kerjasama perpustakaan di Indonesia. Namun kenyataannya, dari satu aspek saja, kewajiban Perpustakaan Nasional dalam menyusun Katalog Induk Nasional (KIN) memberikan indikasi bahwa KIN yang ada tidak akan sanggup menjadi sarana efektif untuk mendukung pelaksanaan kerjasama perpustakaan, seperti silang layan dalam peminjaman bahan pustaka antar perpustakaan, sebagai salah satu tujuan KIN tersebut. Pertama, karena, cakupan KIN yang sangat terbatas dan juga tidak merepresentasikan gambaran sesungguhnya dari kepemilikan koleksi dari masing-masing perpustakaan yang terlibat atau dimasukkan dalam KIN tersebut. Kedua, bila kita ingin meningkatkan pemanfaatan sumber daya koleksi lewat kerjasama perpustakaan, maka jumlah perpustakaan dimasukkan atau terlibat dalam KIN itu harus meliputi banyak perpustakaan, termasuk perpustakaan perguruan tinggi. Bila Perpustakaan Nasional benar-benar hendak menjalankan peranannya dalam membangun dan melaksanakan kerjasama perpustakaan dan resource sharing, teknologi informasi sekarang memfasilitasi kemudahan dalam pembuatan sarana seperti KNI. Artinya, KIN disajikan dan dapat diakses secara elektronik lewat OPAC dari masingmasing perpustakaan. Sehingga, isi KIN itu dimungkinkan ditransfer ke berbagai perpustakaan dengan sangat mudah. Namun, salah satu syarat yang harus dipenuhi bahwa
6
software otomasi perpustakaan yang digunakan untuk itu dapat membaca data yang dalam KNI dalam bentuk elektronik itu. Dalam konteks ini, Perpustakaan Nasional dapat berinisiatif untuk merancang software otomasi perpustakaan yang dapat digunakan secara bersama oleh perpustakaan yang ada di negeri ini. Ini bukan hal yang sulit dilaksanakan, karena pengembangannya dapat melibatkan pakar terkait dari masing-masing perguruan tinggi atau lembaga. Dari sisi pendanaan, tentu cara ini relatif lebih murah bila dibanding dengan mengembangkan software tersebut secara sendiri-sendiri. Kerjasama perpustakaan perguruan tinggi, seperti Universitas Indonesia dan ITB, misalnya, dalam penggunaan katalog tidak dapat dilaksanakan (diintegrasikan) secara cepat, karena interface yang digunakan kedua perpustakaan tersebut berbeda. Tetapi, bila ada kerjasama perpustakaan yang dibangun maka kesulitan yang mungkin muncul akibat perbedaan seperti itu dapat dihindari. Sepanjang pengetahuan penulis, skema peminjaman antar perpustakaan yang berskala nasional (National Borrowing Scheme) yang ditetapkan oleh Perpustakaan Nasional belum ada. Atau, paling tidak telah tersedia kesepakatan (agreement) antara perpustakaan yang terlibat dalam kerjasama (termasuk Perpustakaan Nasional). Kesepakatan itu paling tidak berisi sejumlah ketentuan yang mengatur pelaksanaan kerjasama, yang bersifat strategis dan teknis. Kesepakatan sebagai rule of the game yang diperlukan untuk mengatur ‘lalu lintas’ koleksi dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya. Perpustakaan Nasional perlu melakukan proses benchmarking terhadap hal serupa yang telah dilakukan oleh Perpustakaan Nasional Australia yang menetapkan dan menerapkan kesepakatan kerjasama perpustakaan dan resource sharing di negara tersebut. Kita memang tidak bisa menghindar dari perubahan yang terjadi (change is inevitable) sebagai akibat dari perkembangan yang pesat dan cepat dari teknologi informasi dan komunikasi. Dari perkembangan itu, melahirkan sebuah trend global yang ‘mengharuskan’ perpustakaan di Indonesia untuk ambil bagian dalam mewujudkan kerjasama perpustakaan di tingkat regional dan internasional. Untuk ikut serta dalam kerjasama semacam itu, kita tentu sangat membutuhkan pengalaman dalam negeri untuk ikut serta dalam skala lebih besar. Sehingga, sangat wajar dan pantas bila Perpustakaan Nasional dapat mengambil porsi lebih besar dalam menjalankan perannya untuk pengembangan dan implementasi kerjasama perpustakaan dan resource sharing di negeri ini. Implementasi kerjasama perpustakaan dan resource sharing tidak akan diragukan kontribusinya terhadap kesuksesan tugas Perpustakaan Nasional untuk melestarikan khasanah budaya bangsa. Tujuan kerjasama dan resource sharing adalah untuk meningkatkan optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber informasi perpustakaan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pemanfaatan sumber daya koleksi perpustakaan dapat menginspirasi lahirnya karya-karya baru yang makin memperkaya dan memperkuat khasanah budaya yang telah ada sebelumnya. Atau, dalam tataran praktis, nilai-nilai positif dari budaya kita akan semakin luas dipraktekkan dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat sehingga akhirnya menjadi identitas bangsa kita.
7
D. Syarat Kerjasama Perpustakaan dan Resouce Sharing Untuk dapat membangun kerjasama dan resource sharing yang berhasil, Perpustakaan Nasional harus menetapkan sejumlah syarat yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama perpustakaan. Syarat itu, antara lain: 1. Ada visi bersama yang dicapai dari kerjasama yang dibangun 2. Ada kesepakatan bersama antara perpustakaan yang terlibat di dalam kerjasama, sebaiknya dinyatakan dalam dokumen tertulis 3. Ada komitmen bersama untuk mencapai tujuan lewat proses yang jelas dan terbuka 4. Ada sikap menghormati dan menerima perbedaan dari seluruh perpustakaan yang terlibat dalam kerjasama 5. Tercipta alur komunikasi yang baik 6. Ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas antara perpustakaan yang terlibat 7. Ada mekanisme pengambilan keputusan bersama dalam rangka mencapai tujuan bersama 8. Terbangun manajemen organisasi yang efektif E. Manfaat Kerjasama Perpustakaan dan Resouce Sharing Pada khakekatnya kerjasama perpustakaan dan resource sharing adalah untuk meningkatkan pemanfaatan koleksi perpustakaan di samping untuk meningkatkan kualitas layanan perpustakaan agar kebutuhan pemakai dapat terpenuhi secara lebih baik. Kerjasama perpustakaan akan memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Manfaat itu antara lain: 1. Perpustakaan yang terlibat dalam kerjasama dapat merumuskan sejumlah agenda tentang arah pengembangan perpustakaan pada masa yang akan datang (dalam bentuk rencana Strategis Pengembangan Perpustakaan). Ini sebagai upaya untuk merespon adanya tuntutan global agar perpustakaan dapat diselenggarakan dengan merujuk pada standar internasional yang ada. Kerjasama perpustakaan yang terlaksana nantinya akan memiliki bargaining position yang kuat terhadap pihakpihak terkait dan pada saat yang bersamaan akan memperkuat posisi Perpustakaan Nasional. 2. Mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam hal pengembangan sumber daya manusia, pengembangan dan penggunaan software perpustakaan, dan pemanfaatan pakar perpustakaan. Diharapkan setiap kegiatan diselenggarakan oleh suatu perpustakaan yang terlibat dalam kerjasama dapat memberi manfaat yang lebih luas dan lebih besar dalam rangka meningkatkan kualitas layanan perpustakaan 3. Memungkinkan untuk melakukan pengembangan koleksi secara kolaboratif (Colaborative Collection Development) sehingga seluruh perpustakaan yang terlibat dalam kerjasama perpustakaan dapat terhindar dari adanya duplikasi atau redundansi koleksi perpustakaan (bahan pustaka) yang tidak perlu. Kegiatan ini akan memberikan kontribusi terhadap terwujudnya efisiensi dan efektivitas
8
penggunaan anggaran pengembangan koleksi perpustakaan. Pengembangan koleksi dilakukan secara kolaboratif akan diarahkan untuk dapat dimanfaatkan secara bersama, sehingga setiap koleksi perpustakaan dapat dioptimalkan pemanfaatannya 4. Kerjasama yang dibangun dapat melahirkan suatu Konsorsium Perpustakaan yang sangat bermanfaat untuk melanggan electronic collection, terutama elektronik jurnal. Melanggan jurnal ilmiah secara kolektif akan relatif lebih murah bila dibanding dengan melanggannya secara sendiri-sendiri. Informasi yang tersedia dalam e-journal pun, tidak seluruhnya dibutuhkan oleh setiap perpustakaan. Sementara, setiap pelanggan diwajibkan untuk membayar keseluruhan paket informasi yang disediakan oleh vendor (penyedia electronic collection, seperti ejournal). Sehingga, bila sejumlah perpustakaan terlibat, maka jumlah dana yang harus dibayar oleh setiap perpustakaan menjadi lebih kecil. Di samping itu, ejournal yang dilanggan akan dapat dioptimalkan pemanfaatannya bagi setiap perpustakaan yang terlibat dalam pembelian lewat konsorsium tersebut. Atas nama konsorsium itu, mereka dapat bermanfaat untuk melakukan negosiasi dengan vendor untuk mendapatkan harga khusus 5. Kerjasama yang dibangun merupakan pondasi utama untuk melakukan peminjaman antar perpustakaan. 6. Membuka akses seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat (community) akan pemanfaatan sumber-sumber informasi, sehingga dapat mengoptimalkan peran perpustakaan untuk turut berpartisipasi aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa F. Kesimpulan Melestarikan khasanah budaya bangsa bukan saja merupakan tanggung jawab Perpustakaan Nasional semata, tetapi merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Melestarikan khasanah budaya bangsa dapat diselenggarakan dengan berbagai kegiatan perpustakaan, salah satunya lewat pengembangan kerjasama perpustakaan dan resource sharing. Mewujudkan kerjasama perpustakaan dan resource sharing tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi memerlukan kala, tenaga, dan dana. Pun diperlukan usaha serius dan kontribusi signifikan dari seluruh sistem nasional perpustakaan. Tetapi, karena banyak manfaat yang dapat diperoleh dari kerjasama perpustakaan dan resource sharing, maka kita semua harus memulai dari sekarang dengan mengerahkan pikiran, tenaga, dan waktu kita untuk mewujudkannya. Tentu dengan sebuah harapan bahwa khasanah budaya bangsa dapat diwariskan dari generasi ke generasi.
9
Bibliografi Ballard, T.H. (1986). Public Library Resouce Sharing in United States. Interlending and Document Supply, 14(2). Buckley, B. (1999). Library Cooperation and Partnership in United Kingdom: or How joined-up Government is leading to joined up libraries. (Online). (http://www.csu.edu.au/special /raiss99/papers/bbuckley.html diakses 13 Desember 2005) Buku Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Perguruan Tinggi. (1994). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Brand, F.J. (2000). Libraries of One World: Librarians Look Across the Ocean. Creating New Strategies for Cooperative Collection Development. New York: Howard. Conkling, T.W dan Musser, L.R. (2001). Engineering Libraries: Building Collections and Delivering Services. Binghamton, New York, USA: the Howard Information Press. Dobson, C. and Pedersen, W.A. (1998). Document Delivery to Developing Countries. Interlending and Document Supply, 26 (1) Genoni, P.; Jones, M. (2003). Consortia and Collections: Enhancin Interlending Effectiveness. Canberra: 8th IFLA Interlending and Document Supply Conference. Greenaway, J. (1997). Interlending and Document Supply in Australia; the Way Forward. Interlending and Document Supply, 25 (3) Information Coalition of Library Consorsita (ICOLC). (1999). Guidelines for Technical Issues in Request for Proposal (RFP) Requirements and Contract Negotiations. diakses 15 (Online), (http://www.library.yale.edu/concorcia/techreq.html Desember 2005). Kingongo-bukenya, I.M.N. (2004). Opportunities and challenges of regional Cooperation in Library Education on Developing World. World Library and Information Congress: 70 IFLA General Conference and Council, 22-27 August, 2004. Leon, L.E. dkk. (2003). Enhanced Resource Sharing through Group Interlibrary Loan Best Practices: a Conceptual, Structural, and Procedural Approach. Baltimore: Libraries and Academy.
10
Line, M.B. (1997). Co-operation: the Triumph of Hope Over Experience? Interlending and Document Supply, 25 (2). Martawijaya, S. Interlending and Document Supply in Indonesia. Interlending and Document Supply, 15 (1) Nye, J.B. (1998). Library Cooperation and Resource Sharing in North Carolina. Otike, J.N. (1987). The Problems of Library Cooperation in Kenya. Interlending and Document Supply 15(3). Salmubi (2003). The Current State of Australian Interlibrary Loan and Document Delivery: Issues for Indonesia. (Thesis). Australia: Curtin University of Technology. Salmubi (2005). Membangun Kerjasama antar Perpustakaan Politeknik (Makalah). Disampaikan pada Forum Direktur Politeknik se-Indonesia pada tanggal 15-17 Desember 2005. Makassar: Politeknik Negeri Ujung Pandang. Seal, R.A. (2001). The intangible Benefits of International Resource Sharing. (Online), (http://www.worldlinq.org/us_china_conf2001/Paper/paer_Seal.htm diakses 15 December 2005). Stam, D. H. (ed). (2001). International Dictionary of Library Histories. Vol.2. Chicago: Fitzroy Dearborn Publishers. Tinerella, V.P. (1999). The Crisis in Scholarly Publishing and the Role of the Academic Library. (Online), (http://alexia.lis.uiuc.edu/review/8/tinerella pdf. Diakses 3 Oktober 2002). Wheelhouse, H. (1988). Resource Sharing: a Critical Review of the Literature. Interlending and Document Supply, 16 (4).
11
12