Pensingnya
385
PENTINGNYA PENGAKUAN/ PELAKSANAAN ATAS PUTUSAN ARBITRASE ASING DALAM MENCIPTAKAN IKLIM PENANAMAN MODAL ASING YANG LEBIH SEHAT Oleh: Rospitasony R. Simanjuntak Dalam rangka menggalakan penanaman modal Asing di Indonesia, pemerlntah merasa perlu untuk menciptakan suato aturan main hagi para Investor asing maupun peraturan hukum agar apabiJa timbul perselisiban maka akan dapat diselesaikan dengan baik. Untuk Itulah maka pemerintah merasa perlu untuk meratiflkasi konvensi Arbitrase Internasional yang mengatur masalah perselisihan penanaman modal aslng. Lahirnya UU No. S 1968 LN No. 32 sebagai Ratifikasi dari Konvensl Washington dirasa sangat perlu karena dengan meratifikasl Konvensi tersebut Indonesia telah menyatakan dirl tunduk pada Konvensl tersebut.
Ekonomi Indonesia masih membutuhkan penanaman modal asing, adalah hal yang tidak perlu disangkal lagi. Banyak upaya pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan telah diterapkan di dalam usaha ini. Bidang yang banyak mendapat perhatian selama ini, temasuk pemberian keringanan pajak, penurunan nilai minimal modal investasi menjadi US$ 250 ribu (dari US$ 500 ribu, sebelumnya US$ 1 juta, dan sebelum itu US$ 2,5 juta), dan Casilitas lain dalam penanaman modal tersebut yang siCatnya finansiil.
Agustus 1991
386
Hulcum dan Pembangunan
Hal-bal tersebut adalah faktor-faktor yang merangsang pengusaha asing untuk rnengekspor modalnya ke Indonesia. Hal lain yang tak kalab pentingnya bagi pengekspor modal adalah jaminan usabanya oleb pibak pengirnpor modal dalam undang-undang penanarnan modal asing negara tersebut, disarnping kestabilan politiknya. Pasal21 dan 22 Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 1/1967, memenubi keinginan tersebut dengan pemberian semacarn garansi untuk tidak akan melakukan nasionalisasi. Apabila lob itu terjadi karena demi kepentingan negara, akan diberikan kompensasi yang nilainya apabila tidak bisa disepakatkan, akan diputuskan oleb arbitrase. Pada tabun 1968, Indonesia meratifikasi ICSlD Convention, sebingga sengketa yang berasal dari penanarnan modal akan diselesaikan melalui arbitrase oleb ICSID ini. Kemudian Indonesia meratifikasi New York Convention pada tabun 1981, yang keefektifannya masib belum jelas. Penandatanganan New York Convention diikuti dengan prinsip reciprositas, sebingga Convention berlaku banya bagi pibak yang negaranya juga menandatanganinya. Kedua Convention ini mendalilkan babwa keputusan arbitrasenya mempunyai kekuatan yang sarna dengan putusan bakim di Indonesia, sebingga bisa dilaksanakan. Bagairnana dengan nasib keputusan arbitrase asing di mana salab satu pibak yang bersengketa bukan warganegara atau penduduk salab satu negara yang meratifikasi New York Convention? Sesunggubnya, sistem bukum Indonesia di bidang arbitrase (pasal 615-615 RV) 1 jelas berprinsipkan babwa putusan bakim asing tidak bisa dilaksanakan di Indonesia. 2 Sarna balnya dengan putusan bakim asing tersebut, maka putusan arbitrase asing pun pada prinsipnya tidak diakui dan tidak bisa dilaksanakan di Indonesia. Sementara itu, rancangan undang-undang mengenai arbitrase (nasional) oleb Badan Pembinaan Hukum Nasional masib belum menjadi undang-undang. 1. Penulis tidak membahas tentang kedudukan RV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering 1847) ini yang merupakan perdebatan apakah RV dianggap sebagai hukum Indonesia setelah kemerdekaan atau hanya sebagai pedoman bagi hakim. Lihat K.R. Simmonds & B.H.W. Hill, Commmercial Arbitration Law in Asia and the Pacific (New York: Oceana, 1987). Lihatjuga Prof. Dr. M.D. Badrulzaman, SH., 'Memahami Arti Arbitrase : Tanggapan Alas Kertas Kerja Bapak Prof. Subekti, SIP, paper, seminar satu hari ilrbilrase, Jakarta, 16 November 1988. 2. Pasal436 RV
J
Pentingnya
387
Penggunaan arbitrase sebagai metode penyelesaian sengketa dalam berbagai transaksi intemasional sudab merupakan trend yang juga dialami Indonesia. 3 Hubungan yang berkesinambungan (continuing relationship) atau perjanjian jangka panjang (long term contract) atau unsur terus menerus (on-going element) adalah merupakan ciri bisnis internasional yang modem. Penyelesaian sengkcta oleh pengadilan bisa membahayakan unsur tersebut. Arbitrase memberikan keuntungan- keuntungan yang 4 paling umum diuraikan adalah: cepat, murah, final, rabasia. Ada yang menambabkan dengan perasaan takut akan suasana pengadilan yang tidak ada pada arbitrase. Bagi penanam modal asing, selain keuntungan tersebut di alas, mereka mengbarapkan jaminan mendapatkan putusan yang adi!, karena asumsi babwa pengadilan negara pengimpor modal dan tribunal . 5 arbitrasenya cenderung membantu warga negaranya.
3. Pemilihan arbitrase sebagai metode alternatif penyelesaian sengketa di luae pengadilan oIeh 'para pihak daIam kontrak mereka mempunyai kekuatan hukum OOrdasarkan keOObasan OOrkontrak dan sistem terbuka dari pasaI 1320 dan 1338 KUHP. 4 . PenuJis tidak membahas secara detail mengenai keuntungan dan kerugian arbitrase
dalam tulisan ini. Mengenai persepsi bahwa arbitrase lebih cepat, murah, rabasia, dan finality-oya dilndonesia, lihat secara umum Prof. R. Subekti, "law in Indonesia" (3rd edition, Jakarta: CSIS, 1982), h. 28.; dan Prof. R.SuooIcti, 'Memahami Arti Arbitrase', paper, Seminar Satu Hari Arbitrase, Jakarta, 16 NovemOOr 1988. 5.
Asumsi ini telah menjadi perdebatan aolara ProLDr. Sudargo Gautama dan M.T. Azary. lihat Prof. Dr. S . Gautama. "Kekhawatiran alas Sistem Hukum Negara, Mendorong Arbitrase NasionaI", SINAR HARAPAN, 31 lanuari 1983. Lihatjuga, M.T. Azary,SH., "Arbitrase Inlernasional & Pengadilan Negeri~ Problem Berkontrak: dengan Pihak Asing', SINAR HARAPAN, 27 April 1983. PenuIis tidak memperdebatkan hal ini,
akan tetapi menunjuk secara umum alasan mengapa OPEC mengadoJlSi konsep arbitrasedalam pertambangan minyalc: "Furthermore, persons who invest capital on a large scale in a foreign country feel more secure on having an assuranse that, if a dispute arose between them and the host oountry, they would not be subject to the strict legal system of the country, of which they are often igoorant, and which they may fear may be applied with less than complete impartiality in Kronfol, involving foreigners". Dikutip dan Z.A. Kronfol, "Protection of Foreign Investment" (Leidcn, A.W. Sijtoff, 1972), h. Cattan, 'The Law of Oil Omcessions in the Middle East and North Africa (New York: Oceana, 1967), h. 143.
Agustus 1991
388
Hukum dan Pembangunan
Tadi dikatakan bahwa di Indonesia, transaksi intemasional tennasuk kontrak penanaman modal asing memuat pasal tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Yang jelas, sengketa yang merupakan sengketa penanaman modal menunjuk ICSID sebagai tribunalnya,6 sedangkan melalui sengketa di luar juridiksi ICSID akan diselesaikan melalui arbitrase dengan menunjuk tribunal tertentu. Umumnya pilihan adalah tribunal asing. Pada pembentukan kontrak, pihak empunya modal berada pada posisi lcbih dominan dibandingkan pihak Indonesia. Di dalam negeri, Indonesia memiliki tribunal arbitrase yang disponsori Kamar Dagang Indonesia (Kadin), yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).7 Selain berhadapan dengan sengketa domestik, BANI juga bertujuan untuk melayani sengketa yang bersifat intemasional. Bagi kontrak-kontrak domestik, penunJukan BANI sebagai tribunal arbitrase tidak ada masalah. Penggunaan BANI sebagai forum dan pemuatan klausula arbitrase dalam kontrak diantara pengusaha nasional, mungkin yang perlu digalakkan di dalam negeri. Kurang populemya arbitrase di bidang pcrdagangan di dalam negcri, mencenninkan pada sifat alami bangsa Indonesia dan umumnya orang-orang Asia yang kurang senang bcrperkara. Biasanya sengketa akan diselesaikan dengan cara negosiasi antara para pihak atau wakil-wakilnya. Sifat-sifat itu yang berakar pada hukum adat dan tcrtuang dalam sila ke-empat Pancasila. Justru menarik adalah pandangan Peter C. Cllurch, pengacara hukum Australia, yang mengatakan bahwa pihak penanam modal asing sebaiknya memilih arbitrase yang dilaksanakan di Indonesia, karena tidak seperti putusan arbitrase asing, putusannya bisa dilaksanakan di Indonesia. S
6. Kasus yang telah membawa pemerintah Indonesia ke tribunal ini adalah kasus AMCO Asia Corporation cs. dan Indonesia. 7. BANI didirikan pada tanggal 3 Desember 1977, berkantor d/a Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Gedung Olandra, Lantai 5, JI. M.H. Tharnrin No. 20 Jakarta. BANI memiliki bntoe cabang di beberapa kola besar di Indonesia. 8. P.c. O'lUrch, "Investment Structures for Mining·Contract of Work and Coal agreements", paper. Conference on Mining in Indonesia, 1986.
Penlingnya
389
Walaupun BANI juga ditujukan untuk kontrak-kontrak yang bersifat internasional, namun sebagai badan arbitrase, BANI belum dianggap sebagai tribunal arbitrase internasional seperti International Olamber of Commerce of Paris, American Arbitration Association, London Court of Arbitration, Regional Centre for International Commercial Arbitration yang jelas ditujukan untuk arbitrase internasional didukung dcngan fasilitas kantor dan panel arbitratornya. BANI, sejauh ini telah memiliki rule sendiri dan juga mengadopsi UNCITRAL rules dan menandatangani kerjasama bilateral dengan beberapa pusat/badan arbitrase negara lain, termasuk Jepang, Belanda, Korea. Kapan BANI bisa dikategorikan kepada badan arbitrase internasional, adalah terpulang kepada usaha BANI sendiri sebagai badan yang independen dalam pemberian putusan, mungkin dengan dukungan pemerintah Indonesia, dan banyaknya sengketa internasional yang dibawakan ke BANI untuk penyelesaian. Pemilihan tribunal arbitrase bisa dipilih salah satu dari tiga kemungkinan berikut: tribunal di negara pengekspor modal, pengimpor modal, atau negara ketiga . Pemilihan tribunal di negara ketiga adalah yang biasanya dipilih. Hal tersebut dikarenakan kecurigaan akan tribunal suatu negara yang akan membela warga negaranya. Kecurigaan tersebut jugalah yang menimbulkan terbentuknya Regional Centre for Arbitration di Kairo dan Kuala Lumpur, karena negara-negara Asia- Afrika merasa bahwa badan-badan arbitrase internasional yang berpusat di negara-negara maju cenderung membela warga negara mereka.Dengan demikian, pandangan pengacara hukum Australia di atas untuk jalan keluar sementara bisa diterima, namun masih belum bisa memenuhi perasaan aman kepada pihak yang ingin mengekspor modalnya ke Indonesia. Sebagai konklusi, mengingat bahwa aspek kepastian hukum yang memberikan jaminan terhadap pengekspor modal ini penting, dan perasaan curiga terhadap badan arbitrase suatu negara yang cenderung membela warganegaranya selalu ada, maka dalam rangka menciptakan suatu iklim penanaman modal asing yang lebih sehat di Indonesia, perlu pengakuan/pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia, yaitu dengan memberikan kepastian yang lebih jelas terhadap pelaksanaan New York Convention tersebut.
Agustus 1991