PANDUAN TEKNIS
TENTANG PENGGUNAAN MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINTAS NEGARA DI KEJAKSAAN TINGGI BALI
Denpasar, 01 Agustus 2016 KEJAKSAAN TINGGI BALI
1
PANDUAN TEKNIS
TENTANG PENGGUNAAN MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA LINTAS NEGARA DI KEJAKSAAN TINGGI BALI I.
PENDAHULUAN 1.
LATAR BELAKANG Sehubungan dengan era globalisasi dan menghadapi tantangan implementasi
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), maka kerja sama internasional dalam
penanganan dan penyelesaian suatu perkara tindak pidana mempunyai kedudukan yang penting dalam rangka pemberantasan kejahatan, khususnya ketika perkara yang ditangani berkaitan dengan yurisdiksi luar negeri. Misalnya, dalam hal pelaku tindak pidana melarikan diri ke luar negeri, ketika beberapa alat bukti yang
diperlukan berkedudukan di luar negeri, maupun ketika Jaksa harus melaksanakan eksekusi atas penetapan Pengadilan berupa penyitaan terhadap barang atau asset hasil kejahatan yang berkedudukan di luar negeri.
Pada prakteknya, sangat jarang Jaksa memanfaatkan mekanisme kerja sama
internasional dimaksud untuk menunjang tugas dan fungsinya dalam pembuktian.
Padahal Jaksa tidak hanya diharapkan mampu menggunakan mekanisme tersebut,
namun juga untuk siap menindaklanjuti permintaan dari luar negeri dalam konteks
kerja sama penanganan perkara tindak pidana. Oleh karena itu, dirasa perlu memberikan informasi kepada Jaksa terkait dengan proses pengajuan maupun penanganan permintaan kerja sama dalam rangka penanganan dan penyelesaian tindak pidana dimaksud.
Kejaksaan Tinggi Bali sebagai otoritas antara pada skema kerja sama
internasional berfungsi mengkoordinir dan menghubungkan Kejaksaan Negeri atau Cabang Kejaksaan Negeri sebagai otoritas berkompeten kepada Kejaksaan Agung
u.p. Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri yang memiliki tugas dan fungsi
sebagaimana tercantum dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor : PER – 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia untuk penyiapan, pengolahan, pemantauan pelaksanaan ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, serta kerja sama hukum dari Kejaksaan, perwakilan Kejaksaan RI di Luar Negeri maupun instansi lain di dalam dan di luar negeri.
Mengingat belum adanya panduan teknis pada tingkat otoritas berkompeten,
yaitu pada Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri dalam melakukan kerja sama internasional sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka Panduan Teknis tentang
Penggunaan Mekanisme Kerja sama Internasional Dalam
Penanganan Tindak Pidana Lintas Negara di Kejaksaan Tinggi Bali ini disusun sebagai kerangka kerja guna memudahkan pelaksanaan di lapangan. PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
2 2.
MAKSUD DAN TUJUAN Buku Panduan ini disusun dengan maksud sebagai pedoman bagi Jaksa di
wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali dalam menangani perkara tindak pidana yang
berkaitan dengan yurisdiksi luar negeri, baik untuk kepentingan mengajukan permintaan kerja sama kepada pihak luar negeri, maupun untuk menangani
permintaan bantuan kerja sama hukum dari luar negeri yang didelegasikan oleh Kejaksaan Agung.
Adapun tujuan panduan adalah untuk optimalisasi penanganan dan
penyelesaian perkara pidana, serta sebagai upaya meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana lintas negara. 3.
RUANG LINGKUP Buku panduan ini memuat petunjuk teknis bagi Jaksa di lingkungan wilayah
hukum Kejaksaan Tinggi Bali, yang mencakup 2 (dua) arah kerja sama yaitu pengajuan kerja sama (outgoing request) dan penanganan permintaan kerja sama (incoming request) pada:
a. Penangkapan buronan pelaku kejahatan;
b. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana, baik melalui mekanisme kerja sama
formal Mutual Legal Assistance in criminal matters- MLA maupun mekanisme kerja sama informal antar lembaga Kejaksaan (agency to agency/non-MLA); dan
c. Kerja sama informal antar lembaga Kejaksaan dalam menangani perkara pidana. 4.
DASAR HUKUM a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi;
b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
c. Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
31
tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001;
d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2003 tentang Pengesahan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;
e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana;
g. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi);
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
3 h. Undang-Undang i.
Indonesia
Nomor
21
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;
tahun
2007
tentang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2009 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan
j.
Republik
Terorganisasi);
Bangsa-Bangsa
Undang-Undang
Republik
Melawan
Indonesia
Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika;
Kejahatan
Nomor
35
Lintas
Negara
tahun
2009
Yang
tentang
k. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana l.
Pencucian Uang;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian
m. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
n. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER – 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor PER – 006/A/JA/3/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Jaksa Agung Republik
Indonesia Nomor PER – 009/A/JA/01/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia. 5.
PENGERTIAN
a. Kerja sama hukum internasional yang bersifat formal adalah kerja sama di
bidang hukum yang dilakukan antara dua atau beberapa negara berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral, termasuk perjanjian tentang ekstradisi, perjanjian tentang bantuan timbal balik dalam masalah pidana, Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa
Melawan
Kejahatan
Lintas
Negara
Yang
Terorganisasi (UNTOC), Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi (UNCAC), atau berdasarkan hukum nasional yang berlaku bagi masing-masing negara pihak dalam kerja sama, yang diikuti dengan surat permintaan resmi yang ditandatangani oleh pejabat berwenang berdasarkan Undang-undang.
b. Kerja sama hukum internasional yang bersifat informal adalah kerja sama yang
dilakukan oleh lembaga dengan peran dan fungsi sejenis pada suatu negara dengan negara lainnya.
c. Negara Peminta (requesting state/requesting country) adalah negara yang
mengajukan permintaan bantuan kerja sama. Istilah Negara Peminta digunakan
dalam kerja sama ekstradisi maupun bantuan timbale balik dalam masalah pidana.
d. Negara Diminta (requested state/requested country) adalah negara dimana
obyek permintaan kerja sama berkedudukan, sehingga permintaan bantuan ditujukan kepada negara tersebut. Dalam permintaan ekstradisi, Negara Diminta
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
4 adalah negara tempat orang yang dicari berada, sedangkan dalam MLA, Negara Diminta adalah negara dimana alat bukti atau obyek permintaan MLA lainnya berkedudukan.
e. Ekstradisi adalah penyerahan seseorang berstatus tersangka, terdakwa atau
terpidana yang dicari oleh suatu negara dengan tujuan untuk dituntut, dilakukan pemeriksaan persidangan, atau untuk dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap di negara peminta.
f. Termohon ekstradisi adalah seseorang yang dicari dan dimintakan oleh Negara Peminta untuk diserahkan kepada Negara Peminta.
g. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana atau mutual legal assistance (MLA)
adalah permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Negara Diminta.
h. Otoritas berkompeten (competent authority) adalah suatu instansi atau satuan kerja yang memiliki kewenangan berdasarkan hukum untuk melaksanakan suatu permintaan bantuan kerja sama.
i. Otoritas pusat (central authority) adalah suatu badan atau instansi yang memiliki peran pokok dalam memfasilitasi implementasi suatu perjanjian internasional.
j. Red Notice yang dimaksud dalam Panduan ini adalah Red Notice yang
dikeluarkan oleh Interpol sebagai pemberitahuan untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang identitasnya tercantum.
II. JENIS DAN PRINSIP KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM MASALAH PIDANA YANG DIAKUI DI INDONESIA 1.
EKSTRADISI
PENGAJUAN EKSTRADISI Ekstradisi merupakan suatu cara penyerahan seseorang yang disangka atau
dipidana karena melakukan kejahatan di luar yurisdiksi negara, serta merupakan tindakan hukum yang ditempuh Pemerintah atas nama suatu negara yang diawali dengan Nota Diplomatik.
Alasan mendasar bagi pengajuan permohonan ekstradisi adalah permintaan
penyerahan seseorang untuk tujuan penuntutan pidana atau melakukan eksekusi putusan pengadilan terhadap orang tersebut. Hal ini menegaskan perbedaannya dengan tata cara penyerahan lainnya yang dikenal dalam praktek internasional seperti deportasi, repatriasi, maupun metode hand over yang sering dilakukan oleh kepolisian dalam kerangka kerja sama police to police.
Oleh karena itu, dalam konteks kerja sama hukum internasional untuk tujuan penyerahan pelaku kejahatan, ekstradisi dapat digolongkan sebagai suatu bentuk
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
5 kerja sama formal, sedangkan bentuk-bentuk kerja sama penyerahan pelaku kejahatan lain seperti hand over, repatriasi, expulsion, maupun deportasi dapat
digolongkan sebagai bentuk kerja sama informal sebab dilaksanakan dalam kerangka antar lembaga (agency to agency).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, maka yang berwenang untuk mengajukan permintaan ekstradisi adalah Jaksa Agung RI atau Kapolri.
PRINSIP PERJANJIAN DAN NON-PERJANJIAN
Kerja sama antar negara untuk melakukan ekstradisi dapat berlaku berdasarkan perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, serta dapat pula diberlakukan tanpa
adanya perjanjian. Hal ini berbeda pada tiap negara. Sehubungan dengan Indonesia menganut prinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya, maka dalam
pelaksanaan ekstradisi di Indonesia berlaku prinsip dualisme, yaitu bahwa Pemerintah RI dapat melakukan kerja sama ekstradisi dengan semua negara, baik
yang telah terikat perjanjian bilateral atau multilateral dengannya, maupun dengan negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengannya.
Dalam hal Pemerintah RI bertindak sebagai Negara Peminta (requesting country),
maka apabila permintaan ekstradisi ditujukan kepada negara yang menganut prinsip perjanjian (treaty based country) secara ketat, maka Pemerintah RI perlu mengantisipasi kemungkinan penolakan. Oleh karena itu, Kejaksaan sebagai lembaga berkompeten untuk mengajukan permintaan hendaknya telah menyiapkan mekanisme alternatif sehingga proses pemulangan DPO tidak terhambat. ASAS-ASAS EKSTRADISI
Asas-asas yang berlaku umum dalam ekstradisi, yaitu sebagai berikut:
- Asas untuk mengekstradisi suatu kejahatan yang apabila dilakukan di negaranya
juga dapat dilakukan penuntutan (asas kesamaan tindak pidana/double Criminality/dual criminality)
- Asas untuk tidak mengizinkan seseorang yang diminta ekstradisi dituntut untuk kejahatan selain dari yang telah dimintakan dalam permintaan ekstradisi (Rule of specialty)
- Asas untuk tidak mengekstradisi warga negaranya (non-extraditions of nationals / non-nationality principle)
- Asas untuk tidak melakukan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan politik (nonextradition of political criminal)
- Asas untuk tidak mengekstradisi pelaku kejahatan yang telah dipidana atas kejahatan yang sama (double jeopardy/Ne bis in idem)
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
6 - Asas untuk tidak melakukan ekstradisi apabila jangka waktu kewenangan menuntut atas suatu kejahatan yang dijadikan dasar permintaan telah lewat
waktu berdasarkan hukum setempat (daluwarsa/lapse of time). Dalam ekstradisi,
daluwarsa dinilai berdasarkan hukum nasional pada Negara Peminta maupun Negara Diminta. Hal ini berkaitan dengan prinsip au dedere au judicare/to
extradite or to prosecute yang dikenal dalam hukum internasional. Prinsip
tersebut berarti bahwa apabila suatu negara tidak dapat mengekstradisi seseorang, maka negara tersebut wajib mempertimbangkan untuk melakukan penuntutan sendiri atas orang yang diminta ekstradisi.
Asas-asas ekstradisi di atas diatur juga dalam ketentuan Pasal 4 sampai dengan Pasal 17 UU RI Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi dan menjadi syarat dapat atau tidaknya suatu permintaan ekstradisi diterima di Indonesia.
Dalam pergaulan internasional penerapan asas-asas tersebut dapat bersifat
interpretatif, sebab masing-masing negara dipengaruhi oleh tradisi hukum dan
sistem hukum yang berbeda-beda. Sehingga tanpa adanya perjanjian ekstradisi yang secara khusus menyepakati batasan dan pengertian asas-asas ekstradisi yang mengikat para pihak, maka kerja sama Ekstradisi akan mengalami hambatan.
Dalam hal terjadi multi-tafsir terhadap suatu asas yang menghambat proses
pemenuhan syarat pengajuan permintaan ekstradisi, maka Jaksa dituntut berperan sebagai ahli hukum yang memiliki pengetahuan dan wawasan luas mengenai asasasas dimaksud, serta mampu memberikan solusi bagi perbedaan sudut pandang hukum.
DUAL CRIMINALITY PRINCIPLE Contoh multi tafsir terjadi dalam penerapan asas kesamaan tindak pidana (double/dual criminality). Hukum yang berlaku pada suatu negara dapat melihat kesamaan
dimaksud berdasarkan kategori atau klasifikasi tindak
pidana,
sedangkan negara yang lain dapat melihat dari kesamaan istilah atau terminologi tindak pidana.
Beberapa rekomendasi yang berlaku global dan dapat dijadikan acuan dalam menghadapi permasalahan perbedaan penafsiran tentang dual criminality principle, yaitu sebagai berikut:
- bahwa kewajiban penerapan asas dual criminality hendaknya tidak ditafsirkan
sebagai keharusan untuk memiliki kesamaan kebijakan kriminalisasi terhadap jenis kejahatannya, melainkan kesamaan substansi pengertian dari kejahatan dimaksud (Rekomendasi Komisi PBB untuk Obat-obatan terlarang dan Kejahatan
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
7 – United Nations Office of Drugs and Crimes/UNODC yang berkompeten memberikan petunjuk dalam penanganan kejahatan lintas negara)
- bahwa ketika prinsip dual criminality dijadikan suatu syarat yang harus dipenuhi
dalam menjalin kerja sama internasonal, terlepas dari apakah negara menempatkan suatu tindak pidana tersebut dalam kategori yang sama, ataupun menetapkan suatu tindak pidana dalam terminologi yang sama, apabila
perbuatan yang mendasari tindak pidana yang dimintakan ekstradisi (oleh Negara Peminta) merupakan tindak pidana menurut hukum Negara Diminta, maka asas tersebut dapat terpenuhi (Pasal 43 ayat (2) UNCAC).
Maka dalam praktek, suatu Permintaan Ekstradisi (extradition request) dianjurkan
untuk mencantumkan unsur-unsur tindak pidana yang dijadikan dasar permintaan, sehingga memudahkan proses technical assessment.
Dalam menilai pemenuhan syarat dual criminality terhadap suatu permintaan ekstradisi dari Negara Peminta ke Indonesia mengacu pada:
- Pasal 4 UU RI Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi; dan/atau
- ketentuan tentang kejahatan yang dapat diekstradisi (extraditable offences) dalam perjanjian ekstradisi antara Pemerintah RI dan Negara Peminta.
Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1), maka acuan pokok bagi kesamaan tindak
pidana adalah kejahatan-kejahatan sebagaimana tercantum dalam Daftar Kejahatan Yang Dapat Diekstradisi pada Lampiran UU RI Nomor 1 tahun 1979.
Namun, Pemerintah RI dapat menerima permintaan ekstradisi untuk kejahatan selain dari yang tercantum dalam Lampiran tersebut, atas dasar kebijaksanaan
Negara (Pasal 4 ayat (2)). Sehubungan dengan ‘fleksibititas’ dalam ketentuan Undang-Undang tersebut, maka dalam hal terdapat permintaan ekstradisi dari luar
negeri, dimana kejahatan yang dijadikan dasar permintaan bukan merupakan salah satu kejahatan dalam Daftar Kejahatan sebagaimana Lampiran Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1979, maka Jaksa wajib menggali dari ketentuan hukum positif apakah Negara (Pemerintah RI) telah memiiki kebijaksanaan untuk
mengkriminalisasi kejahatan dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan lain.
Hal ini penting untuk mengantisipasi ketertinggalan Undang-Undang Ekstradisi terhadap perkembangan kejahatan lintas negara.
Contoh kasus dimana kejahatan yang dimintakan ekstradisi adalah kejahatan di luar Daftar
Kejahatan
sebagaimana
Lampiran
Undang-Undang
adalah
dalam
permintaan ekstradisi dari Pemerintah Australia kepada Pemerintah RI atas nama SAYEED ABBAS AZAD (warga negara Afganistan) yang disangka melakukan tindak pidana penyelundupan manusia di Australia.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
8 Tindak pidana penyelundupan manusia tidak tercantum dalam Daftar Kejahatan
sebagaimana Lampiran Undang-Undang, namun Jaksa berpendapat bahwa “kebijaksanaan negara” dapat tercermin dari:
- bahwa Pemerintah RI telah meratifikasi Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Penyelundupan Migran Melalui Darat, Laut dan Udara, tahun 2000
(United Nations Protocol on Smuggling of Migrants by Land, Sea and Air) dengan UU RI Nomor 15 tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol dimaksud.
- Perbuatan penyelundupan manusia sebagaimana unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada termohon ekstradisi berdasarkan ketentuan hukum
pidana Australia telah diatur pula sebagai suatu tindak pidana berdasarkan UU RI Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian,
maka dapat disimpulkan bahwa telah terpenuhi syarat kesamaan tindak pidana berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
Pendapat Jaksa tersebut diterima oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (Putusan PT DKI Nomor: 16/PID/Plw/2014/PT.DKI) dan SAYEED ABBAS AZAD dapat diekstradisikan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Nomor 2015. PENAHANAN SEMENTARA (PROVISIONAL ARREST) Dalam mekanisme Ekstradisi, dikenal istilah provisional arrest, yaitu suatu tindakan penahanan sementara yang dilakukan sebelum proses ekstradisi dimulai.
Penahanan dimaksud didasarkan pada permintaan dari Negara Peminta dengan
mencantumkan Surat Perintah Penangkapan dan/atau Surat Perintah Penahanan dari Pengadilan Negara Peminta. Dalam jangka waktu tertentu, suatu permintaan
provisional arrest harus segera ditindaklanjuti dengan Permintaan Ekstradisi (Request on Extradition) dari Negara Peminta. Apabila persyaratan tersebut tidak
dipenuhi, maka Negara Diminta dapat mengeluarkan buronan yang ditangkap dari tahanan.
Di Indonesia, ketentuan tentang provisional arrest mengacu pada Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20 dan Pasal 21 UU RI Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.
PERJANJIAN EKSTRADISI YANG TELAH DITANDATANGANI INDONESIA Malaysia, 7 Juni 1974
Filipina, 10 Februari 1976 Thailand, 29 Juni 1976
Australia, 22 April 1992
Korea Selatan, 28 November 2000
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
9 Singapura, 27 April 2007
Republik Rakyat Tiongkok, 1 Juli 2009 India, 25 Januari 2011
Hong Kong SAR, 5 Mei 1997 Vietnam, 27 Juni 2013
Papua Nugini, 17 Juni 2013
Persatuan Emirat Arab, 2 Februari 2014 2.
MEKANISME ALTERNATIF PENYERAHAN PELAKU KEJAHATAN
Praktek internasional mengakui adanya mekanisme alternatif bagi penangkapan
dan penyerahan buronan pelaku kejahatan yang melarikan diri untuk dikembalikan atau diserahkan kepada negara tempat kejahatan dilakukan. Beberapa mekanisme yang dikenal adalah penyerahan informal (informal surrender), misalnya yang
dilakukan ketika buronan berada di yurisdiksi internasional ataupun perairan internasional, metode luring, expulsion maupun deportasi.
Mekanisme atau metode alternatif tersebut dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan sikap ketika jalur ekstradisi tidak dapat dilakukan untuk menangkap tersangka/pelaku kejahatan yang melarikan diri ke luar negeri. INFORMAL SURRENDER / HAND OVER
Pada mekanisme informal surrender, yang sering dilakukan oleh Polri dan dikenal
dengan istilah hand over, tidak diperlukan permintaan ekstradisi maupun penahanan atas tersangka/buronan yang hendak ditangkap. Praktek penyerahan
informal tersebut dapat terjadi berdasarkan kerja sama antar lembaga Kepolisian (Police to Police operation).
LURING, EXPULSION dan DEPORTASI
Metode luring, expulsion maupun deportasi dapat menjadi pilihan alternative, ketika antara Negara Peminta dan Negara Diminta tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan kerja sama ekstradisi. Misalnya Negara Diminta adalah treaty based country, sedangkan antara kedua negara tidak memiliki perjanjian ekstradisi.
Pada umumnya, luring dilakukan dengan didahului suatu operasi intelijen, dengan
skenario untuk memancing pelaku kejahatan keluar dari yurisdiksi pelariannya, yaitu dari Negara yang tidak memungkinkannya untuk diekstradisi, ke Negara lain yang
dapat memfasilitasi permintaan Ekstradisi. Penangkapan akan dilakukan segera setelah buronan memasuki yurisdiksi Negara yang bersedia berkerja sama untuk mengekstradisinya. Pandangan terhadap legalitas metode ini beragam. Tidak
semua negara dapat menerima metode ini sebagai suatu cara yang dapat diterima
secara hukum di hadapan persidangan. Bahkan, beberapa negara memandang cara tersebut illegal dan diterapkan sanksi pidana bagi yang terlibat di dalam praktek tersebut.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
10
Expulsion adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu Negara untuk mengusir seseorang yang dianggap tidak dikehendaki di suatu negara tanpa alasan hukum,
sedangkan deportasi adalah pengusiran yang dilakukan suatu negara kembali ke negara asalnya dengan dasar alasan keimigrasian. 3.
BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA
(mutual legal assistance in criminal matters - MLA) PENGAJUAN MLA
Bantuan timbal balik dalam masalah pidana merupakan bentuk kerja sama hukum
lain yang bertujuan untuk memperoleh alat bukti yang berada pada yurisdiksi luar negeri untuk tujuan pembuktian. Dalam skema kerja sama ini, Kejaksaan
berkedudukan penting baik dalam kompetensinya sebagai lembaga yang dapat mengajukan permintaan bantuan kepada otoritas berkompeten di luar negeri pada
tahap penuntutan, namun juga untuk memberikan pendapat hukumnya tentang
keberlakuan prinsip-prinsip MLA, ketika terdapat pengajuan MLA dari Penyidik Polri dan/atau KPK, maupun dalam memberikan pertimbangan hukum bagi permintaan MLA dari otoritas luar negeri kepada Pemerintah RI. PRINSIP PERJANJIAN DAN NON-PERJANJIAN
Berdasarkan UU RI Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, prinsip dualisme dalam penanganan maupun pengajuan MLA di
Indonesia juga diberlakukan. Pemerintah RI dapat memproses pengajuan MLA dari
berbagai negara, baik yang telah memiliki perjanjian maupun yang belum memiliki perjanjian. Menyikapi hal ini, maka dalam hal Jaksa memerlukan bantuan yang
berasal dari negara-negara sahabat yang belum memiliki perjanjian MLA dengan Pemerintah RI, maka Jaksa perlu mempertimbangkan langkah-langkah alternative,
misalnya dengan melalui jalur informal yaitu menjalin kerja sama antar lembaga Kejaksaan.
JENIS-JENIS PERMINTAAN MLA Berdasarkan UU RI Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana bantuan yang dapat diberikan atau diminta adalah bantuan: a. mengidentifikasi dan mencari orang;
b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; c. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
d. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
11 e. menyampaikan surat;
f. melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; g. perampasan hasil tindak pidana;
h. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;
i. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;
j. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau
k. bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang. ASAS-ASAS YANG BERLAKU DALAM MLA
Adapun dalam pengajuan permintaan bantuan kepada otoritas luar negeri, maupun
dalam menangani permintaan bantuan dari luar negeri berlaku asas-asas sebagai berikut:
- Asas untuk tidak memberikan bantuan bagi kejahatan yang berkaitan dengan politik, militer dan SARA
- Asas untuk tidak memberikan bantuan hukum bagi kejahatan yang diancam pidana mati di negara peminta
- Asas untuk tidak memberikan bantuan karena alasan keamanan dan kedaulatan negara
- Tidak memberikan bantuan apabila bukti-bukti tersebut digunakan untuk proses persidangan di Indonesia
- Asas untuk tidak memberikan bantuan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan persidangan atau pemidanaan terhadap orang atas tindak pidana yang apabila
dilakukan di Indonesia tidak dapat dilakukan penuntutan (asas kesamaan tindak pidana/double Criminality/dual criminality)
- Asas untuk memberikan bantuan bagi kejahatan yang telah dipidana atas kejahatan yang sama (double jeopardy/Ne bis in idem)
- Daluwarsa
- Jaminan untuk pengambalian barang bukti setelah selesai PERJANJIAN MLA YANG TELAH DITANDATANGANI DAN DIRATIFIKASI OLEH INDONESIA
Perjanjian MLA antara RI dan Australia ditandatangani 27 Oktober 1995; diratifikasi dengan UU RI Nomor 1 Tahun 1999
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
12 Perjanjian MLA antara RI dan Republik Rakyat Tiongkok ditandatangani 24 Juli 2000; diratifikasi dengan UU RI Nomor 8 Tahun 2006
Perjanjian MLA dengan Negara-negara ASEAN (ASEAN Mutual Legal
Assistance Treaty-AMLAT) ditandatangani 29 November 2004; diratifikasi dengan UU RI Nomor 15 Tahun 2008;
Perjanjian MLA antara RI dan Korea Selatan ditandatangani 30 March 2002; Diratifikasi dengan UU RI Nomor
Perjanjian MLA antara RI dan Hong Kong ditandatangani 3 April 2008; Diratifikasi dengan UU RI Nomor
Perjanjian MLA antara RI dan India ditandatangani 25 January 2011; Diratifikasi dengan UU RI Nomor
Perjanjian MLA antara RI dan Vietnam ditandatangani 27 Juni 2013. III. PETUNJUK TEKNIS KERJA SAMA Berdasarkan uraian di atas, maka pelaksanakan kerja sama internasional dalam
rangka penanganan tindak pidana lintas negara di Kejaksaan Tinggi Bali agar memenuhi dan mempedomani petunjuk sebagai berikut:
A. Penangkapan Buronan Pelaku Kejahatan
Upaya penangkapan terhadap pelaku kejahatan, baik yang berstatus tersangka,
terdakwa, maupun terpidana yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilakukan melalui mekanisme kerja sama formal dan kerja sama informal. Keduanya dapat
digunakan di Indonesia, sepanjang Jaksa dapat membuktikan bahwa cara-cara yang digunakan dalam menghadirkan yang bersangkutan dapat diterima oleh pengadilan/hukum positif.
1. Penanganan terhadap Permintaan Penangkapan Buronan Luar Negeri yang Berada di Indonesia/Ekstradisi (incoming request)
Tahap Penelitian Permohonan Penahanan Sementara (provisional arrest) 1)
2)
3)
Jaksa
yang
ditunjuk
melakukan
penelitian
terhadap
permohonan
perpanjangan penahanan sementara (provisional arrest) yang diajukan oleh Polda sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dasar penahanan sementara adalah Permohonan Penahanan Sementara dan/atau Surat Perintah Penangkapan dan/atau Penahanan Sementara dari Pengadilan pada Negara Peminta.
Apabila penyidik hanya melampirkan Red Notice, maka Jaksa memastikan bahwa dalam Red Notice terdapat nomor Surat Perintah Penangkapan dan/atau Penahanan Sementara dari Pengadilan pada Negara Peminta.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
13 4)
Jaksa dapat melakukan perpanjangan penahanan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, dan melaporkan setiap perpanjangan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali.
Tahap Penelitian Berkas Ekstradisi 1)
Jaksa melakukan penelitian berkas perkara ekstradisi yang terdiri dari: -
-
Identitas orang yang diminta ekstradisi, yaitu identitas fisik yang dinilai dari kecocokan foto orang yang ditangkap dan foto dalam Red Notice; dan identitas secara hukum berupa kecocokan tanda pengenal/paspor.
Pemenuhan prinsip-prinsip ekstradisi, yaitu apakah kejahatan yang
dimintakan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer, asas dual criminality, asas rule of specialty, daluwarsa, ne bis in idem, non-
-
nationality principle.
Dalam hal melakukan penelitian atas “daluwarsa” agar meneliti syaratsyarat daluwarsa berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia dan
hukum Negara Peminta. Kejahatan yang dijadikan dasar permintaan
ekstradisi adalah kejahatan yang apabila dilakukan di Indonesia masih dapat dilakukan penuntutan. Hal ini untuk membuka kemungkinan,
bahwa Pemerintah RI dimungkinkan untuk mengambil alih penuntutan dalam hal tidak mengabulkan permintaan ekstradisi atas termohon ekstradisi. Prinsip tersebut dikenal dengan “au dedere au judicare” atau “to extradite or to prosecute”. 2)
Apabila berkas telah memenuhi syarat sesuai Undang-undang Ekstradisi,
maka Jaksa melakukan penelitian terhadap termohon ekstradisi dan menanyakan apakah dia bersedia untuk diekstradisi. Pemeriksaan terhadap
3)
termohon ekstradisi dibuatkan Berita Acara.
Tujuh hari setelah berkas memenuhi syarat, Jaksa melimpahkan berkas ekstradisi sebagai lampiran dari Surat Permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan menetapkan dapat/tidaknya termohon
ekstradisi diekstradisi, disertai dengan Catatan Penuntut Umum.
4)
Dalam melakukan penyusunan Catatan Penuntut Umum agar Jaksa
5)
Koordinasi penanganan perkara dengan Biro Hukum dan Hubungan Luar
berkoordinasi dengan Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri. Negeri agar dilakukan melalui sarana tercepat.
Tahap Pemeriksaan Persidangan 1) 2)
Jaksa menghadiri persidangan dan memberikan pendapatnya.
Pemeriksaan persidangan diharapkan berjalan singkat, maka Jaksa agar
mempersiapkan Saksi-saksi dan barang bukti (apabila ada) untuk dihadirkan pada persidangan pertama.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
14 3)
4)
Berdasarkan Undang-undang, perkara Ekstradisi termasuk perkara yang
diutamakan, maka Jaksa agar berkoordinasi dengan Pengadilan Negeri untuk menyerahkan Penetapan Pengadilan pada kesempatan pertama.
Jaksa melaporkan Penetapan Pengadilan Negeri tentang dapat/tidaknya
termohon diekstradisi kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, JAMPIDUM tembusan JAMBIN u.p Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
Tahap
Eksekusi
Ekstradisi 1)
Penetapan
Pengadilan
dan
Penyerahan
Termohon
Setelah Jaksa memperoleh informasi dari Biro Hukum dan Luar Negeri tentang waktu dan rencana penyerahan termohon ekstradisi, maka Jaksa mempersiapkan dengan baik pelaksanaan penyerahan dimaksud, termasuk menghubungi
2)
3)
dan
berkoordinasi
dengan
pihak-pihak
terkait
memastikan keamanan dan kelancaran proses penyerahan ekstradisi.
guna
Yang dimaksud dengan pihak-pihak terkait adalah termasuk, namun tidak terbatas pada pihak Kepolisian, Rumah Tahanan Negara, Imigrasi, Otoritas Bandara, Maskapai Penerbangan dan Bidang Intelijen.
Administrasi dalam rangka penyerahan terdiri dari: -
Surat Perintah Pelaksanaan Penetapan Pengadilan;
-
Berita Acara Penyerahan Termohon Ekstradisi
-
Berita Acara Pengambilan Tahanan
Berita Acara Penyerahan Barang Bukti
Riwayat Penahanan Termohon Ekstradisi
4)
Penyerahan termohon ekstradisi dilakukan dari Jaksa eksekutor kepada
5)
Jaksa membuat administrasi penanganan perkara secara lengkap serta
Penyidik perkara di Negara Peminta.
memberikan laporan perkembangan penanganan perkara secara tertulis dan berkala kepada Kepala Kejaksaan Tinggi, JAMPIDUM tembusan kepada JAMBIN u.p Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
2. Pengajuan Permintaan Penangkapan Buronan Kejaksaan Yang Melarikan Diri ke Luar Negeri (outgoing request)
1) Jaksa menyiapkan konsep pengajuan permintaan agar orang yang dicari
ditampilkan dalam Red Notice, dengan kelengkapan identitas orang yang dicari yang sekurang-kurangnya terdiri dari: Nama Depan, Nama Keluarga, Nama Lengkap, Jenis Kelamin, Tempat dan Tanggal Lahir, Fakta-Fakta Kasus,
Ancaman Pidana dan Pidana Maksimum, Undang-Undang / Peraturan Yang
Dilanggar, Surat Perintah Penangkapan atau Putusan Pengadilan, Nama dan Asal Kesatuan Penyidik Yang Menangani.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
15 2) Jaksa melengkapi data-data dan dokumen pendukung sebagaimana model Red
Notice (terlampir) untuk melengkapi pengajuan Red Notice. Sedapat mungkin
agar dilengkapi dengan foto dan nomor identitas/nomor paspor orang yang dicari.
3) Surat permohonan Red Notice (model terlampir) dikirimkan dari Kepala
Kejaksaan Tinggi Bali kepada Kepala Biro Hukum dan Hubungan LN (selaku contact point INTERPOL untuk Kejaksaan) untuk diteruskan kepada Kepala
Divisi Hubungan Internasional Polri (selaku Sekretaris NCB Interpol Indonesia), tembusan kepada JAMINTEL, JAMPIDSUS/JAMPIDUM sesuai dengan asal perkara.
4) Dengan data yang sama, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali mengirimkan Permintaan agar diumumkan sebagai DPO kepada JAMINTEL dan Adhyaksa Monitoring Centre tembusan kepada JAMPIDSUS/JAMPIDUM sesuai dengan asal perkara.
5) Untuk kepentingan penyusunan Permintaan Ekstradisi kepada Pemerintah Negara Diminta oleh Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, maka setelah diperoleh informasi mengenai keberadaan orang yang dicari. menyiapkan data tambahan berupa:
Jaksa agar
- surat pernyataan berkas lengkap (P-21);
- ringkasan/resume keterangan saksi-saksi inti;
- keterangan bahwa orang yang dicari belum pernah dituntut untuk perbuatan yang sama (tidak ne bis in idem);
- pernyataan bahwa orang yang dicari hanya akan dituntut untuk kejahatan yang diminta (rule of specialty);
- dokumen atau keterangan lain menurut persyaratan yang diajukan oleh Negara Diminta.
6) Dalam hal orang yang dicari berada di Negara yang tidak dapat melakukan ekstradisi dengan Indonesia, karena alasan undang-undang, maka dilakukan konsultasi dengan Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, JAMINTEL dan
bidang-bidang terkait untuk ditemukan alternatif kerja sama penyerahan pelaku kejahatan dengan Negara dimana orang yang dicari berada.
7) Pada tahap eksekusi terhadap permintaan ekstradisi, prosedur penjemputan orang yang dicari dilakukan atas perintah Kepala Kejaksaan Tinggi setelah konsultasi dan koordinasi dilakukan dengan Biro Hukum dan Hubungan LN, serta bidang-bidang terkait di Kejaksaan Agung.
8) Jaksa agar melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri guna memonitor perkembangan pengajuan permintaan.
9) Surat menyurat dan laporan hasil kegiatan agar dikirimkan dengan kode surat RAHASIA. Bagi Kejaksaan Negeri, surat permintaan dan laporan ditujukan
kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dengan kode surat RAHASIA untuk diteruskan ke Kejaksaan Agung.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
16
B. Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana: mekanisme formal Mutual Legal Assistance in criminal matters (MLA) dan informal antar lembaga Kejaksaan (agency to agency/non-MLA)
1. Penanganan terhadap Permintaan Bantuan Kerja sama Dalam Penanganan Perkara (MLA atau non MLA) dari Luar Negeri (incoming request) 1)
Setelah menerima surat untuk menindaklanjuti suatu permintaan bantuan
kerja sama (MLA atau non-MLA) dari otoritas luar negeri yang diteruskan oleh Biro Hukum dan Hub LN, Jaksa melaksanakan sesuai permintaan dan
2)
petunjuk Pimpinan.
Permintaan bantuan dari luar negeri dapat meliputi: a. mengidentifikasi dan mencari orang;
b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; c. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; d. menyampaikan surat;
e. meminta informasi tentang alamat atau lainnya yang tidak berkaitan dengan upaya paksa.
f. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;
g. permintaan penggeledahan dan penyitaan; h. perampasan hasil tindak pidana;
i. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;
j. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan
atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan sehubungan dengan tindak pidana;
k. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau
l. bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang.
3). Dalam melaksanakan tindak lanjut atas permintaan sesuai dengan perintah Pimpinan, Jaksa melakukan koordinasi penanganan permintaan bantuan dengan Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri melalui sarana tercepat (mobile phone, e-mail, faximilie).
4). Agar Jaksa membuat administrasi penanganan permintaan bantuan secara
lengkap, serta memberikan laporan perkembangan penanganan secara tertulis kepada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
5). Bagi Kejaksaan Negeri, agar melaporkan perkembangan penanganan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dengan kode surat RAHASIA untuk diteruskan ke Biro Hukum dan Hubungan LN.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
17 6). Dalam hal pemberian bantuan dilaksanakan dengan mekanisme formal MLA, maka agar mempedomani UU RI Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana.
2. Pengajuan Permintaan Bantuan Menghadirkan Alat Bukti kepada Otoritas Penegak Hukum di Luar Negeri (outgoing request)
Dalam Kejaksaan Tinggi Bali berkedudukan sebagai otoritas berkompeten untuk mengajukan permintaan bantuan/kerja sama hukum dalam masalah pidana. Tahap Penyelidikan 1)
Untuk kepentingan penyelidikan, Jaksa dapat mengajukan permintaan bantuan berikut ini kepada Negara yang dituju: a. mengidentifikasi dan mencari orang;
b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya; c. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; d. menyampaikan surat;
e. meminta informasi tentang alamat atau lainnya yang tidak berkaitan 2)
dengan upaya paksa.
Permintaan bantuan dari Kepala Kejaksaan Negeri diajukan melalui Kepala Kejaksaan Tinggi Bali kepada Kepala Biro Hukum dan Hubungan LN untuk
dikomunikasikan dengan otoritas berkompeten pada Negara yang diminta, dengan menggunakan saluran informal (agency to agency).
3)
Untuk memudahkan komunikasi dengan sarana tercepat, agar permintaan
4)
Surat menyurat dilakukan dengan kode RAHASIA.
5)
6)
disertai dengan informasi contact person dan alamat e-mail.
Bagi Kejaksaan Negeri, agar melaporkan setiap kegiatan dengan kode surat RAHASIA kepada Kepala Kejaksaan Tinggi untuk diteruskan kepada Jaksa Agung RI tembusan kepada JAMINTEL dan/atau JAMPIDSUS.
Koordinasi tentang perkembangan permintaan dilakukan secara intensif dengan Biro Hukum dan Hubungan LN.
Tahap Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Persidangan 1)
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, persidangan Jaksa dapat mengajukan permintaan bantuan berikut ini kepada Negara yang dituju:
a. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;
b. permintaan agar dikeluarkan surat perintah pemblokiran, penggeledahan, penyitaan, atau lainnya yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemeriksaan perkara di Indonesia;
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
18 c. mendapatkan alat bukti yang berada di Negara diminta melalui penggeledahan dan penyitaan;
d. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan sehubungan dengan tindak pidana;
e. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;
f. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; dan/atau
g. bantuan lain yang sesuai dengan Undang-Undang. 2) Permintaan diajukan dengan saluran formal MLA, kecuali apabila Negara yang diminta memungkinkan untuk memfasilitasi bantuan melalui saluran informal.
3) Surat Pengajuan Permintaan berkode RAHASIA diajukan oleh Kepala
Kejaksaan Tinggi Bali kepada Jaksa Agung RI tembusan kepada JAMBIN u.p.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri untuk ditindaklanjuti dengan pengolahan dan penyusunan MLA request kepada Negara yang diminta.
Ditembuskan pula kepada JAMPIDUM/JAMPIDSUS sesuai dengan asal perkaranya.
4) Jaksa agar menyiapkan materi teknis pengajuan MLA, yaitu: a. identitas satuan kerja yang mengajukan permintaan;
b. institusi/satuan kerja yang melakukan penyidikan atau penuntutan;
c. ringkasan dari fakta-fakta yang terkait, kecuali apabila permintaan bantuan berkaitan dengan dokumen yuridis;
d. ketentuan undang-undang yang terkait, isi pasal, dan ancaman pidananya;
e. uraian tentang Bantuan yang diminta dan rincian mengenai prosedur khusus f.
yang dikehendaki termasuk mengenai prosedur kerahasiaan;
tujuan dari Bantuan yang diminta; dan
g. syarat-syarat lain yang ditentukan oleh Negara Diminta 5) Adapun argumentasi hukum yang perlu dibangun terkait prinsip-prinsip MLA
sebagai syarat formil MLA request disiapkan oleh Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
6) Dalam hal bantuan yang diminta adalah bantuan untuk menghadirkan seseorang
untuk memberikan keterangan, maka Jaksa agar menyiapkan Lampiran Daftar Pertanyaan dalam berkas permintaan.
7) Syarat dan ketentuan yang berlaku dalam pengajuan permintaan bantuan
sebagaimana diatur berdasarkan UU RI Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Undang-undang tentang pengesahan
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
19 perjanjian MLA antara Pemerintah RI dan Negara yang diminta, maupun hasil negosiasi bilateral dengan Negara diminta.
8) Mengingat proses tindak lanjut suatu permintaan bantuan MLA berlangsung
cukup lama, maka untuk mengajukan permintaan bantuan pada tahap Penuntutan atau Pemeriksaan Persidangan, Jaksa agar mengantisipasi pengajuan permintaan sejak berkas dinyatakan lengkap (P-21).
9) Komunikasi dan konsultasi secara informal kepada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri dapat dibangun sejak tahap Penyidikan, dengan permintaan agar
segera ditindaklanjuti dengan komunikasi informal kepada pihak otoritas berkompeten di Negara yang diminta.
10) Jaksa agar melaporkan tiap perkembangan pengajuan terhadap permintaan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali untuk diteruskan kepada Jaksa Agung RI, tembusan kepada JAMPIDUM/JAMPIDSUS (sesuai dengan asal perkara).
11) Biaya yang timbul dibebankan kepada DIPA satuan kerja masing-masing sesuai tugas dan fungsi.
Tahap Eksekusi Putusan Pengadilan 1) Untuk kepentingan pelaksanaan putusan Pengadilan, maka Jaksa dapat
mengajukan permintaan Bantuan untuk menindaklanjuti putusan pengadilan yang bersangkutan di Negara diminta.
2) Jaksa menyiapkan materi permintaan sebagai berikut:
a. identitas satuan kerja yang mengajukan permintaan;
b. institusi/satuan kerja yang akan melakukan eksekusi; c. uraian tentang Bantuan yang diminta;
d. tujuan dari Bantuan yang diminta; dan
e. Putusan Pengadilan yang berisi perintah upaya paksa berupa perampasan terhadap barang sitaan, pembayaran pidana denda, atau pembayaran uang pengganti.
3) Permintaan bantuan diajukan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi kepada Jaksa Agung RI tembusan kepada Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, JAMPIDSUS/JAMPIDUM (sesuai asal perkaranya).
4) Agar melakukan komunikasi dan konsultasi secara intensif kepada Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri guna memonitor perkembangan permintaan.
5) Jaksa agar melaporkan tiap perkembangan pengajuan permintaan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali untuk diteruskan kepada Jaksa Agung RI, tembusan kepada JAMPIDUM/JAMPIDSUS (sesuai dengan asal perkara).
6) Biaya yang timbul dibebankan kepada DIPA satuan kerja masing-masing sesuai tugas dan fungsi.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
20
C. Kerja sama informal antar lembaga Kejaksaan dalam menangani perkara pidana
Kerja sama di bidang hukum antara Kejaksaan RI dan lembaga Kejaksaan
luar negeri telah dilakukan sejak tahun 2005. Beberapa Nota Kesepahaman (memorandum of understanding-MoU) yang telah ditangani Kejaksaan Agung RI
adalah antara lain MoU dengan: Departemen Kehakiman Amerika Serikat sejak
2005, Kejaksaan Agung Rusia tahun 2006, Kejaksaan Agung Korea 2011, Kejaksaan Agung Malaysia tahun 2012, Kejaksaan Agung Belanda tahun 2012, Kejaksaan Agung Thailand pada tahun 2013, serta Kejaksaan Agung Republik Rakyat Tiongkok tahun 2014.
Berbagai MoU tersebut mengatur kesepakatan kerja sama yang meliputi
antara lain pertukaran informasi hukum, pertukaran pengetahuan antar jaksa, serta penyelenggaraan kegiatan peningkatan kapasitas jaksa melalui pelatihan-pelatihan. Di samping itu, bentuk kegiatan kerja sama hukum lainnya dimungkinkan sepanjang disepakati kedua lembaga dan bersifat saling menguntungkan sesuai prinsip resiprositas.
Berdasarkan Pasal 43 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi
(United Nations Convention Against Corruption- UNCAC) yang menyebutkan bahwa:
“ Negara-negara peserta wajib bekerja sama dalam masalah-masalah pidana sesuai dengan Pasal 50 Konvensi ini. Dimana diperlukan dan konsisten dengan sistem hukum mereka, Negara-negara peserta wajib mempertimbangkan untuk saling membantu, dalam penyelidikan-penyelidikan dan proses peradilan masalah-masalah perdata dan administratif yang berhubungan dengan korupsi.”
yang telah diberlakukan dengan diundangkannya Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, maka kerja sama antar penegak hukum yang berasal dari negera-negara anggota UNCAC dalam
memerangi tindak pidana korupsi merupakan praktek yang direkomendasikan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dalam menangani perkara tindak pidana korupsi, Jaksa pada
Kejaksaan Tinggi Bali, maupun Kejaksaan Negeri se-wilayah Bali hendaknya
memotivasi diri dan menggali segala aspek dan sudut pandang, termasuk membuka kemungkinan dilakukannya kerja sama dalam memperoleh informasi dan alat bukti dengan otoritas luar negeri sejak tahap penyelidikan dan/atau penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi. Dalam
upaya
melakukan
pengejaran
dan
penangkapan
tersangka/terdakwa/terpidana yang melarikan diri ke luar negeri rangka me
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
terhadap
21 IV. Penutup Panduan ini diharapkan agar dipedomani oleh Jaksa pada seluruh bidang di
wilayah Kejaksaan Tinggi Bali dalam menangani perkara tindak pidana yang berkaitan dengan yurisdiksi luar negeri.
Sehubungan dengan hukum nasional yang mengatur tentang Ekstradisi dan
Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (mutual legal assistance in criminal matters - MLA) saat ini dalam proses amandemen di tingkat eksekutif, maka apabila diperlukan, penyesuaian akan dilakukan di kemudian hari.
Demikian panduan ini disusun untuk dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. KEPALA KEJAKSAAN TINGGI BALI,
Dr. H. ABDUL MUNI, SH.,MH.
PANDUAN TEKNIS MEKANISME KERJA SAMA INTERNASIONAL 2016
LAMPIRAN
i
PROSEDUR PENANGANAN TERHADAP PERMINTAAN EKSTRADISI
PERMINTAAN BERDASARKAN PERJANJIAN EKSTRADISI (TREATY BASED EXTRADITION)
NEG PEMINTA
PRESIDEN
KEMLU
TDK
diplomatic channel
KUMHAM
POLRI
KUMHAM SYARAT
PENGADILAN NEGERI LENGKAP
KEJAKSAAN
ii
PROSEDUR PENANGANAN TERHADAP PERMINTAAN EKSTRADISI
PERMINTAAN TANPA DASAR PERJANJIAN (NON-TREATY BASED EXTRADITION) PRESIDEN
NEG PEMINTA
T D K
T O L A K
KEMLU
KUMHAM LENGKAP
KUMHAM
SYARAT LENGKAP NEG PEMINTA
T E R I M A
L E N G K A P POLRI
PENGADILAN NEGERI
KEJAKSAAN
iii
PROSEDUR PERMINTAAN EKSTRADISI
DARI RI Kepada NEG LAIN
KAPOLRI/ JAKSA AGUNG
KEMLU/ INTERPOL
MENKEH KEMLU
diplomatic channel
NEG DIMINTA
TSK/TPD TLH DITANGKAP