47
BAB II PERANAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI LINGKUNGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA
A. Fungsi, Tugas dan Wewenang Kejaksaan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan itu, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 64 Dalam usaha memperkuat prnsip di atas, maka salah satu substansi penting amandemen UUD 1945 adalah mempertegas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia. 65 Dasar hukum mengenai keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan 64
Marwan Effendy., Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Op. cit., hal. 127. 65 Ibid. Sejalan dengan perubahan UUD 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, diadakanlah perubahan UU Kejaksaan dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintahdan pengaruh kekuasaan lainnya.
48
bahwa, “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa Pengacara Negara, Eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain. Perlu diketahui, syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi seorang Jaksa, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 UU Kejaksaan, disebutkan syarat-syarat tersebut adalah: a. Warga negara Indonesia; b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. Berijazah paling rendah Sarjana Hukum; e. Berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
49
f. Sehat jasmani dan rohani; g. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan h. Pegawai Negeri Sipil. Selain syarat sebagaimana dimaksud di atas untuk dapat diangkat menjadi Jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan Jaksa. Dalam menjalankan tugasnya, seorang Jaksa tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut. 66 Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan antara tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-undang, dalam hal ini diambil contohnya dalam UU Kejaksaan, Pasal 30 yaitu: (1) Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan penuntutan; 67 b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; 68 66
Ibid., hal. 126. Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a dijelaskan bahwa dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. 68 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf b dijelaskan bahwa dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam 67
50
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; 69 d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undangundang; 70 e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 71 (2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. (3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Satu hal yang hanya diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan yaitu bahwa Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindakan pidana tertentu
bersikap dan bertindak. Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang. 69 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf c dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan. 70 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d dijelaskan bahwa kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 71 Dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf e dijelaskan bahwa untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1) Tidak dilakukan terhadap tersangka; 2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara. 3) Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 4) Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
51
berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara dan atau pemerintah, sebagaimana ditetapkan dalam UU Kejaksaan. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut serta menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran hukum masyarakat, penagmanan kebijakan penegakan
hukum,
pengamanan
peredaran
barang
cetakan,
pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan pengmbangan hukum serta statistik kriminal. Mengenai pengawasan aliran kepercayaan dapat membahayakan masyarakat dan negara juga ditegaskan dalam UU Kejaksaan. Jelas sekali disebutkan tugas dan wewenang Kejaksaan dalam ketentuan pasal di atas. Selanjutnya Pasal 31 UU Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau di temapt perawatan jiwa, atau di tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.
52
Lalu dalam Pasal 32 UU Kejaksaan tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 diatur bahwa dalam melakukan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya. 72 Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Setelah mencermati isi dari beberapa pasal di atas, Menurut Marwan Efendi, dapat disimpulkan bahwa tugas dan wewenang Kejaksaan tersebut adalah: 73 1. Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang (a) melakukan penututan; (b) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (c) melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan putusan lepas bersyarat; (d) melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; (e) melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dnegan penyidik; 2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah (sering di sebut sebagai Jaksa Pengacara Negara); 3. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan, (a) peningkatan kesadaran hukum masyarakat; (b) pengamanan kebijakan penegakan hukum; (c) pengamanan peredaran barang cetakan; (d) pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; (e) pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; (f) penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal; 72
Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu. Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing. Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara. 73 Ibid., hal. 128-129.
53
4. Dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit atau di tempat perawatan jiwa, atau di tempat lain yang layak; 5. Membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan badan-badan negara lainnya; dan 6. Dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya. Di samping tugas dan wewenang Kejaksaan di atas, Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 UU Kejaksaan, yaitu: a. Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang Kejaksaan; b. Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; c. Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. 74 d. Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum pada Mahkamah Ahgung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; 75 e. Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; f. Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya Pasal 36 UU Kejaksaan mengatur bahwa: (1) Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. 76
74
Dalam penjelasan Pasal 35 huruf c, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. 75 Dalam penjelasan Pasal 35 huruf d, dijelaskan bahwa pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang. 76 Dalam penjelasan Pasal 36 ayat (1), dijelaskan bahwa untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung. Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan. Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tetentu” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.
54
(2) Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. (3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. Menurut UU Kejaksaan, Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa berobat atau menjalani perawatan di dalam dan luar negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri. Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh Kepala Kejaksaan Negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung. Izin dimasud hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di laur negeri rekomendasi tersebut dengan jelas menyebutkan kebutuhan untuk itu, yang dikaitkan dengan belum mencukupinya fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri. 77 Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud di atas, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung. Izin seperti itu diperlukan karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan atau pencgahan dan penangkalan. Yang dimaksud dengan tersangka atau terdakwa adalah tersangka 77
Supriadi., Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 131.
55
atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab Kejaksaan. Yang dimaksud dengan dalam keadaan tertentu adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada. Kemudian dalam Pasal 37 UU Kejaksaan menegaskan bahwa: (1) Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurari. (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas. Untuk lebih memantapkan tugas dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai badan negara yang terpisah dari lemabaga eksekutif, ditunjuk seoranf Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan persetujuan DPR, Kejaksaan bertanggung jawab kepada publik secara transparan, dan konsekuensinya lembaga ini harus melaksanakan kekausaan negara di bidang penuntutan secara bebas dan lepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah (eksekutif) dan kekausaan lainnya, walaupun perlu juga dibentuk Komisi Kejaksaan yang mengawasi untuk menghindari penyalahgunaan kewenangannya. Komisi ini bertugas membantu Presiden untuk memberdayakan Kejaksaan dan memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dan jajaran eselon satu di bawahnya. 78
78
Ibid., hal. 142.
56
B. Tindak Pidana Korupsi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi sangat bersinggungan dengan masalah-masalah ekonomi, 79 di samping itu korupsi bisa juga terjadi dalam lapangan jabatan, kekuasaan politik, korupsi moral dan korupsi demokrasi. Sehubungan dengan itu, Stephen D. Plats dalam Ethic Secience mengemukakan bahwa korupsi dapat terjadi di bidang politik, bidang ekonomi dan bidang sosial. 80 Secara umum pengertian korupsi diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism). 81 Pada hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut: 82 1. Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan (disguise of purpose or intent); 2. Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim); 79
Barda Nawawi Arief., “Pokok Pikiran Kebijakan Pembaharuan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi”, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto, 1999, hal. 12. lihat juga Edi Setiadi, Op. cit, hal. 50. The Asean Street Journal pada Tahun 1997 sudah menuliskan corruption ranking in 1996, based on the level of corruption in a country. 80 Stephen D. Plats., dalam Triaji., Optimalisasi Fungsi BPK dalam Pengawasan Keuangan Negara, Sebagai Upaya Preventif terjadinya KKN, Makalah seminar di Unsoed, Poerwokerto, 1999, hal. 3. 81 Syed Husein Alatas., Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, (Jakarta: LP3ES, 1983), hal. 12. 82 Barda Nawawi Arief., dan Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni 1992), hal. 56.
57
3. Penyembunyian pelanggaran (concealement of the violation). Karakteristik tindak pidana korupsi dan pencucian uang sangat berbeda dengan karakteristik tindak pidana secara umum yang dianut di dalam sistem hukum maupun kaedah KUH Pidana dan Hukum Acara Pidana (KUHAP), terutama yang menyangkut pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang. 83 Korupsi berasal dari kata latin “corruptio” atau “corruptus”, dalam bahasa Prancis dan Inggris disebut “corruption”, dalam bahasa Belanda disebut “corruptie”. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut “Korupsi”, dari bahasa latin corruptio (Penyuapan),
corruptore (Merusak) dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresannya lainnya. 84 Menurut beberapa sarjana korupsi dapat dirumuskan sebagai berikut: 85 a. Carl J. Friesrich, mengatakan bahwa pola korupsi dapat dikatakan ada apa bila seorang memegang kekuasaan yang berwenang untuk melakukan hal-hal tertentu seperti seorang pejabat yang bertanggung jawab melalui uang atau semacam hadiah lainnya yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang, membujuk untuk mengambil langkah yang menolong siapa saja yang 83
Purnadi Purbacaraka., dan Soerjono Soekanto., Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Alumni, 1982, hal. 67. Pembicaraan mengenai tata kaedah hukum telah disinggung mengenai tujuan kaedah tersebut, yakni kedamaian hidup antar pribadi. Kedamaian tersebut meliputi dua hal yaitu ketertiban ekstern antar pribadi, ketenangan intern dalam pribadi. Kedua hal tersebut ada hubungannya dengan tugas kaedah-kaedah hukum yang bersifat dwi tunggal merupakan sepasang nilai yang sering bersitegang, yaitu memberikan kepastian dalam dalam hukum (“certainly”, “zekerheid”) dan memberikan kesebandingan dalam hukum, kecuali yang telah disinggung di atas, masih ada dua pasang lagi, yakni; Pertama, nilai kepentingan rohaniah/keakhlakan (spritualisme) dan nilai kepentingan jasmaniah/kebendaan (materialisme), Kedua, nilai kebaruan (inovatisme) dan nilai kelanggengan (konservatisme). 84 Baharuddin Lopa., Kejahatan Korupsi dan Penegakkan Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 7-8. 85 Ibid., hal. 9.
58
menyediakan hadiah dan dengan demikian benar-benar membahayakan kepentingan umum; b. Bayley menyatakan perkataan korupsi dikaitkan dengan perbuatan penyuapan yang berkaitan dengan penyalah gunaan wewenang atau kekuasaan sebagai akibat adanya pertimbangan dari mereka yang memegang jabatan bagi keuntungan pribadi; dan c. M.Mc. Mullan seorang pejabat pemerintah dikatakan korup apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang bisa lakukan dalam tugas jabatannya pada hal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan. Mengenai pengertian korupsi di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian korupsi secara tegas. Hanya saja di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK disebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,(satu milyar rupiah).” Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UUPTPK di atas, dapat disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu: 1. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; 2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan
59
3. Memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal UUPTPK bahwa korupsi merupakan tindak pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. Menurut Muhammad Ali, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah sebagai berikut: 86 1. Korupi (busuk, suka menerima uang suap atau sogok, memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainnya); 2. Korupsi (perbuatan busuk seperti pengelapan uang, penerimaan uang dan sebagainya); dan 3. Koruptor (orang yang korupsi). Dengan demikian, sesungguhnya istilah korupsi memiliki arti yang sangat luas yaitu: 1. Korupsi, penyelewengan atau pengelapan (uang negara atau uang perusahaan) untuk kepentingan pribadi dan kepentingan orang lain; dan 2. Korupsi, busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya. Baharuddin Lopa mengutip dari David M. Chalwers memberikan istilah korupsi dalam berbagai bidang yakni yang menyangkut masalah penyuapan yang
86
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta: Amani, 1999), hal. 15.
60
berhubungan manipulasi dibidang di ekonomi dan menyangkut dibidang kepentingan umum. 87 Menurut Syed Husein Alatas, bahwa korupsi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 88 a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari 1 (satu) orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan; b. Korupsi umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan sehingga individu yang berkuasa mereka yang di dalam lingkungannya tidak tergoda untuk tidak menyembunyikan perbuatannya, namun walau demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasian; c. Korupsi melibatkan element-element kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban dan keuntungna itu tidak selalu berupa uang; d. Mereka yang mempraktekkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyembunyikan perbuatannya, dengan berlindung dibalik pembenaran hukum; e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu; f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan setiap badan publik atau umum (masyarakat); dan g. Setiap bentuk korupsi adalah pengkhianatan kepercayaan. Pembangunan nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan tertib tersebut, dilaksanakan pembangunan secara berencana. Untuk
menggerakkan
roda
pembangunan
nasional
diperlukan
dana
pembangunan, dalam pelaksanaannya terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan sasaran dan mengalami kebocoran-kebocoran yang cukup signifikan sehingga 87 88
Baharuddin Lopa., Op. cit, hal. 42. Syed Husein Alatas., op. cit., hal. 46.
61
menghambat percepatan pembangunan nasional. Untuk mencegah kebocorankebocoran dana pembangunan tersebut dilakukan langkah-langkah pengamanan yang bersifat preventif maupun bersifat represif dengan cara antara lain melakukan penindakan terhadap oknum-oknum yang merugikan keuangan negara. 2. Subjek Delik Korupsi Untuk perumusan delik secara umum, ada 2 (dua) pendapat tentang cara merumuskan, berdasarkan aliran monoistis dan aliran dualistis yakni: Aliran monoistis adalah golongan yang mengajarkan tentang penggabungan antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana sebagai syarat adanya pidana merupakan keseluruhan dari sifat dan perbuatan atau dengan kata lain perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana tidak dipisahkan. Beberapa sarjana hukum yang termasuk penganut paham monoistis ini adalah: 89 1. D. Simon, menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana adalah: a. Perbuatan manusia; b. Diancam dengan pidana; c. Melawan hukum; d. Dilakukan dengan kesalahan; dan e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab Dalam hal ini pengertian pidana adalah perbuatan manusia yang dilakukan secara melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, diancam dengan pidana dan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 2. Van Hamel, mendefinisikan tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan patut dipidana. 3. J. Baumann, menyebutkan tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. 4. Karni, mendefinisikan tindak pidana adalah delik itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, dilakukan dengan salah dosa, oleh orang 89
EY. Kanter., dan SR. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 165-168.
62
yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan tersebut patut dipertanggungjawabkan. Aliran dualistis adalah ajaran yang memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Sehubungan dengan demikian itu, maka: 90 1. Moeljatno, mendefiniskan tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut harus ada unsurunsur: a. Perbuatan manusia; b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang; dan c. Bersifat melawan hukum. 2. W.P.J. Pompe, mendefinisikan tindak pidana adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana. Berbagai pandangan di atas mudah dimengerti bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia, bersifat melawan hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. Menurut ajaran dualistis ini, agar seseorang dapat dipertanggugjawabkan atas segala perbuatannya itu, maka: 91 1. Harus melakukan tindak pidana; 2. Ada kemampuan bertanggung jawab; 3. Ada kesalahan; 4. Tidak ada alasan penghapusan pidana, atau alasan pemaaf. Dengan demikian bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang disebutkan di atas tersebut, maka terhadap seseorang itu harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu tanpa membeda-bedakan antara perbuatan dnegan pertanggungjawaban pidananya. 90
Moeljatno., Asas-asas Hukum Pidana, (Bandung: Bina Aksara, 1987), hal. 153. Barda Nawawi Arief., Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 99. 91
63
Dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal peratnggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka orang tersebut harus dipidana. Tetapi manakala tidak mempunyai kesalahan, walaupun telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, pelakunya tentu tidak dipidana. Hal tersebut sesuai dengan asas yang mengatakan, “Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, merupakan dasar daripada dipidananya pembuat. 92 Jadi, seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, seseorang itu dapat dicela, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 93 Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang92
Roeslan Saleh., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hal. 75. 93 Syafrinaldi., ”Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Perbandingan Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”, Hukum Islam, Vol. VI No. 4. Desember 2006, hal. 5.
64
undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari malasah apakah dalam melakukan perbuatan ini pelaku mempunyai kesalahan. 94 Pertanggungjawaban yang tercela oleh masyarakat, dipertanggungjawabkan kepada si pembuatnya artinya bahwa celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila orang tersebut memiliki kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah: 95 1. Melakukan perbuatan pidana; 2. Mampu bertanggung jawab; 3. Dengan sengaja atau alpa; 4. Tidak ada alasan pemaaf;
94
Moeljatno., Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 6. 95 Roeslan Saleh., Op. cit, hal. 11.
65
Kemudian bertanggung jawab menurut banyak penulis, ada dua faktor menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab yaitu, Pertama, faktor akal, dan Kedua, faktor kehendak. Faktor kehendak bukanlah merupakan faktor dalam menentukan mampu atau tidaknya orang tersebut bertanggung jawab.
Sehingga
dengan kehendak bisa saja dilakukan oleh orang yang tidak punya akal sehat. Oleh sebab itu maka faktor kehendak dengan kesengajaan ini tidak termasuk ke dalam unsur-unsur dari perbuatan pidana maka sebaiknya tidak dimasukkan dalam rumusan delik-delik. Di dalam UUPTPK disebutkan bahwa yang menjadi subek tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. b. Pegawai Negeri yang meliputi: 1) Pegawai
Negeri
sebagaimana
di
dalam
Undang-Undang
Tentang
Kepegawaian. 2) Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 3) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. 4) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau 5) Orang
yang
menerima
gaji
atau
upah
dari
korporasi
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
lain
yang
66
6) Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi. 3. Pengaturan Tentang Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia korupsi sudah mencapai tingkat tertinggi yang tidak dapat ditolelir lagi. Korupsi merupakan salah satu penyakit masyarakat, penyakit ini semakin berkembang seiring dengan kemakmuran dan perkembangan teknologi yang dicapai masyarakat, keadaan seperti itu memerlukan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang perundang-undangan agar ketentuan-ketentuan yang ada menyangkut korupsi dapat mengikuti perkembangan tindak pidana korupsi di tengah masyarakat. Sebagaimana diungkapkan Darwan Prins adalah sebagai berikut; 96 “Perkembangan kejahatan korupsi di Indonesia dalam kurun waktu 50 tahun terakhir menunjukkan kondisi yang memprihatinkan, meskipun telah dilakukan upaya untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan menyediakan perangkatperangkat hukum yang memadai, namun tindak pidana korupsi tetap saja bahkan bila dicermati secara seksama tindak pidana korupsi semakin meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya.” Begitu besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan korupsi baik bagi negara maupun bagi masyarakat, maka kejahatan korupsi tidak lagi dapat digolongkan ke dalam kejahatan biasa namun telah tergolong ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). 97 Dengan digolongkannya perbuatan korupsi ke dalam kejahatan yang luar biasa, maka penanganan-nyapun tidak dapat dilakukan secara biasa, namun dilakukan dengan cara-cara khusus dan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai untuk mengungkap suatu kejahatan korupsi. Salah satu upaya untuk memberantas 96 97
Ibid., hal. 21. Ibid., hal. 23.
67
tindak pidana korupsi telah diundangkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 untuk menampung kemajuan-kemajuan yang terjadi dalam perbuatan tindak pidana korupsi dan pada masa lalu tidak dengan jelas diatur oleh undang-undang. Korupsi merupakan suatu perbuatan yang merugikan keuangan negara, menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut : a. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. b. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. c. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut di atas, korupsi merupakan tindak pidana dan suatu perbuatan yang melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan
68
diri sendiri, perusahaan, dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara. 98 Pemberantarasan tindak pidana korupsi merupakan kesepakatan Nasional yang telah dituangkan dalam Ketetapan MPR RI No.XI/MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi di dalam ke dua undang-undang ini telah digolongkan ke dalam suatu kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Selama penerapan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, terdapat kesulitan-kesulitan yang pada umumnya dihadapi dalam penanganan tindak pidana korupsi, kesulitan tersebut antara lain berupa kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia yang belum memadai dan adanya hambatan-hambatan terhadap dalam melakukan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara yang secara politis mempunyai posisi yang kuat, sulitnya menembus rahasia Bank, kurang efektif dan efisiennya ketentuan-ketentuan beracara dan rendahnya dukungan dari aparat pemerintahan dan masyarakat pada umumnya. 99 Untuk memberantas tindak pidana korupsi agar jangan terjadi keaneka ragaman penafsiran hukum terhadap tindak pidana korupsi, maka pemerintah memandang perlu adanya perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 98
Andi Hamzah., Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia 1991), hal. 7. 99 Ibid., hal. 8.
69
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dirasa masih mengandung beberapa kekurangan-kekurangan, untuk itu telah dilakukan beberapa perubahan melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perubahan dimaksud meliputi: 1. Pada rumusan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu kepada pasal-pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana), tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat pada masing-masing pasal KUHPidana; 2. Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mencantumkan ketentuan mengenai Gratifikasi dalam sistem pembuktian terbalik yang terdapat dalam Pasal 12 B dan Pasal 12 C; dna 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana yang dinyatakan dalam Pasal 38 ayat (1), meskipun terdakwa meninggal dunia dalam persidangan. Di dalam literatur Hukum Acara Pidana dikenal beberapa macam teori atau sistem pembuktian berupa, sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif, sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu dan sistem pembuktian jalan tengah yakni merupakan perpaduan diantara kedua sistem pembuktian sebelumnya. 100 Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 berlaku sistem pembuktian terbalik atau disebut juga pembalikan pembuktian, ketentuan ini 100
Darwan Prins., Op. cit, hal. 16.
70
merupakan hal yang tidak lazim dalam sistim hukum Indonesia, Hukum Pidana maupun Hukum Acara Pidana sama sekali tidak mengenal pembalikan pembuktian.
C. Pengertian Keuangan Negara Dan Kerugian Keuangan Negara Di Lingkungan BUMN 1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah wujud nyata investasi negara dalam dunia usaha dengan tujuan untuk mendorong dan memacu perkembangan perekonomian negara. BUMN merupakan suatu badan menjelma dalam perusahaan negara yang bergerak di sektor-sektor usaha tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merujuk kepada perusahaan atau badan usaha yang dimiliki pemerintah sebuah negara. Kehadiran BUMN dalam perekonomian Indonesia bermula sejak tahun 1950an, manakala perusahaan-perusahaan Belanda di nasionalisasikan. Karena milik negara, pemerintah memberikan keistimewaaan dan perlindungan terhadapnya. Sejak itu BUMN-BUMN mendominasi kancah bisnis di dalam negeri. Keberadaan BUMN di Indonesia dilatar belakangi oleh pemikiran para founding fathers dalam menyusun UUD RI untuk memasukkan oerihal usaha negara dalam suatu pasal, yaitu Pasal 33 yang menetapkan 3 (tiga) pelaku ekonomi di dalam perekonomian nasional.
71
BUMN adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebahagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan modal secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. 101 BUMN terdiri dari perusahaan-perusahaan, Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Jawatan (Perjan), dan Perusahaan Umum (Perum). Keyaaan negara dalam BUMN dipisahkan dan dikelola berdasarkan mekanisme korporasi, aset BUMN adalah aset atau barang BUMN bukan aset atau barang milik negara. 102 Sebagai Persero BUMN mempunyai ciri-ciri yaitu:103 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8.
Berstatus sebagai badan hukum; Hubungan usahanya diatur menurut hukum perdata; Makna usahanya adalah untuk memupuk keuntungan; Modal secara keseluruhan atau sebagian adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan dan kemungkinan adanya joint atau mixed enterprise dengan pihak swasta atau nasional atau asing serta dimungkinkan adanya penjualan saham perusahaan negara; Sebagai suatu usaha yang berdiri sendiri untuk mencari keuntungan dalam arti tanpa memperoleh fasilitas negara; Dipimpin oleh Direksi yang memiliki keahlian di dalam pengetahuan teknis sesuai bidang usaha persero; Pegawainya berstatus pegawai swasta biasa; Pengangkatan Komisaris dan Direksi berdasarkan atas keahlian dan kemampuan bukan atas jabatan pemegang saham dalam suatu perusahaan. Sebagai perum, BUMN memiliki ciri-ciri yaitu:104 1. Melayani kepentingan umum sekaligus untuk memupuk keuntungan. Usaha dijalankan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektifitas, dan ekonomis, serta bentuk pelayanan yang baik terhadap masyarakat; 2. Berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan undang-undang; 101
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. Herman Hidayat., Harry Z. Soeratin., Peranan BUMN Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Makalah seminar yang disampaikan pada Sosialisasi Peranan BUMN, di Universitas Amir Hamzah, Medan tanggal 9 April 2005, hal. 2. 103 Ibid., hal. 2-3. 104 Ibid., hal. 3. 102
72
3. Pada umumnya bergerak di bidang jasa vital atau public utilitas; 4. Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti perusahaan swasta, untuk mengadakan atau masuk ke dalam suatu perjanjian kontrak dan hubungannya dnegan perusahaan lain. Di Indonesia, Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang sebagian atau seluruh kepemilikannya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia. BUMN dapat pula berupa perusahaan nirlaba yang bertujuan untuk menyediakan barang atau jasa bagi masyarakat. Pada beberapa BUMN di Indonesia, pemerintah telah melakukan perubahan mendasar pada kepemilikannya dengan membuat BUMN tersebut menjadi perusahaan terbuka yang sahamnya bisa dimiliki oleh publik. Contohnya adalah PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk. Sejak tahun 2001 seluruh BUMN dikoordinasikan pengelolaannya oleh Kementerian BUMN, yang dipimpin oleh seorang Menteri Negara BUMN. 105 BUMN adalah public enterprise yakni sebagai unsur pemerintahan (public) dan sebagai unsur bisnis (enterprise). Sebagai public enterprise ada 3 (tiga) makna terkandung di dalamnya, yaitu, public purpose, public ownership, dan public control. Dari ketiga makna pubblic purpose merupakan inti dari konsep BUMN. Public purpose ini dijabarkan sebagai hasrat pemerintah untuk mencapai cita-cita pembangunan sosial, politik dan ekonomi bagi kesejahteraan bangsa dan negara. Dalam hubungan inilah BUMN sering dilukiskan sebagai alat untuk pencapaian tujuan nasional. 106
105
http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Usaha_Milik_Negara, diakses terakhir tanggal 17 Agustus 2010. 106 Panji Anaraga., BUMN, Swasta dan Koperasi, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), hal. 2.
73
Lebih jauh Panji Naraga menyebutkan mengenai jenis-Jenis BUMN di Indonesia di antaranya dapat diketahui berikut ini: 107 1. Perusahaan Perseroan (Persero). Perusahaan persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT) yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Ciri-ciri Persero adalah sebagai berikut: a) Pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden; b) Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh mentri dengan memperhatikan perundang-undangan; c) Statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang Modalnya berbentuk saham; d) Sebagian atau seluruh modalnya adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan; e) Organ persero adalah RUPS, direksi dan komisaris; f) Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik pemerintah;
107
Ibid., hal. 3-4.
74
g) Apabila seluruh saham dimiliki pemerintah, maka menteri berlaku sebagai RUPS, jika hanya sebagian, maka sebagai pemegang saham perseroan terbatas; h) RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan; i) Dipimpin oleh direksi; j) Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan; k) Tidak mendapat fasilitas negara; l) Tujuan utama memperoleh keuntungan; m) Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata; n) Pegawainya berstatus pegawai Negeri Fungsi RUPS dalam persero pemerintah ialah memegang segala wewenang yang ada dalam perusahaan tersebut. RUPS juga berwenang untuk mengganti komisaris dan direksi. Direksi persero adalah orang yang bertanggung jawab atas pengurusan persero baik didalam maupun diluar pengadilan. Pengangkatan dan pemberhentian dilakukan okeh RUPS. Komisaris adalah organ persero yang bertugas dalam pengawasan kinerja persero itu, dan melaporkannya pada RUPS. Persero terbuka sesuai kebijakan pemerintah tentang privatisasi. Privatisasi adalah penjualan sebagian atau seluruh saham persero kepada pihak lain untuk peningkatan kualitas. Persero yang diprivatisasi adalah yang unsur usahanya kompetitif dan teknologinya cepat berubah. Persero yang tidak bisa diubah ialah: a. Persero yang menurut perundang-undangan harus berbentuk BUMN; b. Persero yang bergerak di bidang hankam negara;
75
c. Persero yang diberi tugas khusus untuk kepentingan masyarakat; d. Persero yang bergerak di bidang Sumber Daya Alam yang secara tegas dilarang diprivatisasi oleh UU Misalnya di Indonesia sendiri yang saat ini sudah menjadi Persero adalah PT. PP (Pembangunan Perumahan), PT Bank BNI Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Indo Farma Tbk, PT Tambang Timah Tbk, PT Indosat Tbk (pada akhir tahun 2002 41,94% saham Persero ini telah dijual kepada Swasta sehingga perusahaan ini bukan BUMN lagi), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. 2. Perusahaan Jawatan (Perjan) Perusahaan Jawatan (perjan) sebagai salah satu bentuk BUMN memiliki modal yang berasal dari negara. Besarnya modal Perusahaan Jawatan ditetapkan melalui APBN. Ciri-ciri Perusahaan Jawatan antara lain sebagai berikut: a. Memberikan pelayanan kepada masyarakat; b. merupakan bagian dari suatu departemen pemerintah; c. dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada menteri atau dirjen departemen yang bersangkutan; d. status karyawannya adalan pegawai negeri 3. Perusahaan Umum (Perum) Sejenis
perusahan
badan
pemerintah
yg
mengelola
sarana
umum.
Contohnya adalah Perum Pegadaian, Perum Jasatirta, Perum DAMRI, Perum ANTARA. 4. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
76
Ciri-ciri BUMD adalah sebagai berikut: a) Pemerintah memegang hak atas segala kekayaan dan usaha; b) Pemerintah berkedudukan sebagai pemegang saham dalam pemodalan perusahaan; c) Pemerintah memiliki wewenang dan kekuasaan dalam menetapkan kebijakan perusahaan; d) Pengawasan dilakukan alat pelengkap negara yang berwenang; e) Melayani kepentingan umum, selain mencari keuntungan; f) Sebagai stabillisator perekonomian dalam rangka menyejahterakan rakyat; g) Sebagai sumber pemasukan negara; h) Seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara; i) Modalnya dapat berupa saham atau obligasi bagi perusahaan yang go publik; j) Dapat menghimpun dana dari pihak lain, baik berupa bank maupun non bank; dan k) Direksi bertanggung jawab penuh atas BUMN, dan mewakili BUMN di pengadilan. Tujuan Pendirian BUMD adalah: a) Memberikan sumbangsih pada perekonomian nasional dan penerimaan kas negara; b) Mengejar dan mencari keuntungan; c) Pemenuhan hajat hidup orang banyak; d) Perintis kegiatan-kegiatan usaha; dan
77
e) Memberikan bantuan dan perlindungan pada usaha kecil dan lemah. 2. Keuangan Negara Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut, yang tergambar dari adanya hak begrooting (hak budget) yang dimiliki oleh DPR, dimana dinyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Hal ini menunjukkan kedaulatan rakyat, dan pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk undang-undang. Istilah keuangan publik dimaksudkan selain meliputi keuangan negara dan keuangan daerah juga meliputi keuangan badan hukum lain yang modalnya/kekayaannya berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. Arti keuangan negara yang tercantum dalam Pasal 23 UUD 1945. 108 Hukum tidak otomatis berperanan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi, hukum harus dapat menciptakan tiga kualitas: “predictability”, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi. Sehubungan dengan itu, Erman Rajagukguk berpendapat bahwa, paling
108
Arifin P. Soeria Atmadja., ”Keuangan Publik Dalam Perspektif Teori, Praktik, dan Kritik”, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), dalam Jurnal Hukum Perbankan dan Kebangsentralan, 42 Vol. 3 No. 3, Desember 2005, hal. 2.
78
sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keuangan negara” dan “kerugian negara” dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dewasa ini, yaitu: 109 1. Apakah aset PT. BUMN (Persero) adalah termasuk keuangan negara? 2. Apakah kerugian dari satu transaksi dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian PT. BUMN (persero) dan otomatis menjadi kerugian negara? 3. Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham? 4. Apakah Pemerintah sebagai pemegang saham dalam PT. BUMN (Persero) dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN (Persero) bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai Pemegang Saham? 5. Apakah yang dimaksud dengan kerugian negara? 6. Langkah-langkah apakah yang perlu dilakukan untuk terciptanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya? Kekayaan negara yang dipisahkan dalam menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), secara fisik adalah berbentuk saham yang dipegang oleh negara, bukan harta kekayaan Badan Hukum Milik Negara (BUMN) itu. Erman Rajagukguk, berpendapat bahwa, “Kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut. Kerancuan mulai terjadi dalam penjelasan dalam undang-undang ini tentang pengertian dan ruang lingkup keuangan negara yang menyatakan: 110 “Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang 109
Erman Rajagukguk., “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional (KHN) RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 1. 110 Ibid., hal. 4.
79
fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah, Perusahaan Negara/Daerah, san badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh rangkain kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara. Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.” Pengertian keuangan negara dapat dilihat dalam Pasal 1 angka (1) UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (selanjutnya disebut UU Keuangan Negara), yakni, “Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.” 111 Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang tersebut, selanjutnya dipertegas di dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara ditentukan sebagai berikut: 112 “Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi: 1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman; 111
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara), Pasal 1 angka (1). 112 Ibid., Pasal 2.
80
2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga; 3. Penerimaan Negara; 4. Pengeluaran Negara; 5. Penerimaan Daerah; 6. Pengeluaran Daerah; 7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah; 8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; 9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.” Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perumusan mengenai keuangan negara dalam penjelasan UUPTPK yang menyatakan yakni: 113 “Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: (a) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; (b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.” Berdasarkan pengertian keuangan negara dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara, maka dapat dipahami bahwa, pengertian keuangan negara dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah sejalan. Keuangan negara tidak semata-mata yang berbentuk uang, termasuk segala hak dan kewajiban dalam bentuk apapun yang dapat diukur dengan
113
Eddy Mulyadi Soepardi., Op. cit, hal. 2.
81
nilai uang. Pengertian keuangan negara juga mempunyai arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakekatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara. Jika menggunakan pendekatan proses, keuangan negara dapat diartikan sebagai salah satu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Dalam Pasal 1 ayat (2) UU BUMN menyatakan bahwa, “Perusahaan Persero (selanjutnya disebut Persero), adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.” 114 Dalam kasus tindak pidana pada umumnya dan tindak pidana korupsi pada khususnya, di samping yang menjadi subyek hukum orang-orang (manusia) telah nampak pula sebagai subyek hukum berupa badan-badan atau perkumpulanperkumpulan yang disebut dengan badan hukum yang dapat pula memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti seorang manusia sebagaimana yang dikatakan Subekti mengenai badan hukum sebagai berikut: 115 “Badan hukum adalah suatu perkumpulan orang-orang yang memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalulintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat pula menggugat di muka hukum. Pendek kata diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia. Badan atau perkumpulan yang demikian itu, dinamakan badan hukum atau recht persoon, artinya orang yang diciptakan 114
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). 115 Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1982), hal. 21.
82
oleh hukum. Badan hukum misalnya suatu wakaf, suatu stichting, suatu perkumpulan dagang yang berbentuk perseroan terbatas, yayasan dan lain-lain.” Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik). Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi. 116 3. Kerugian Keuangan Negara UUPTPK tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas apa yang disebut dengan kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Dalam penjelasan Pasal 32 UUPTPK hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah ”Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan peublik yang ditunjuk.” Mengenai ”siapa instansi berwenang” yang dimaksud, juga tidak dijelaskan lebih lanjut dalam UUPTPK. Namun demikian dapat mengacu kepada beberapa ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka sekurang-kurangnya 3 (tiga)
116
Erman Rajagukguk., Op. cit., hal. 2.
83
instansi mempunyai kewenangan yang dimaksud, yaitu, BPK, BPKP, dan Inspektorat baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dengan memperhatikan rumusan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUPTPK, maka kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi, tersebut dapat berbentuk: 117 1) Pengeluaran atau sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) dapat berupa uang, barang yang seharusnya tidak dikeluarkan; 2) Pengeluaran sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) labih besar dari yang seharusnya tidak dikelaurkan; 3) Hilangnya sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) yang seharusnya diterima (termasuk di antaranya penerimaan dengan uang palsu atau barang fiktif); 4) Penerimaan sumber kekayaan negara (pusat dan daerah) lebih kecil atau lebih rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, dan kualitas tidak sesuai); 5) Timbulnya suatu kewajiban negara (pusat dan daerah) yang seharusnya tidak ada; 6) Timbulnya suatu kewajiban negara (pusat dan daerah) yang lebih besar dari yang seharusnya; 7) Hilangnya suatu hak negara (pusat dan daerah) yang seharusnya dimiliki atau diterima menurut aturan yang berlaku; dan 8) Hak negara (pusat dan daerah) yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya diterima. Dalam perpektif UUPTPK tersebut, maka yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah yang disebabkan karena perbuatan melawan hukum atau tindakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada pada seseorang atau badan hukum karena jabatan atau kedudukannya dan hal tersebut
117
Eddy Mulyadi Soepardi., Op. cit, hal. 3.
84
dilakukan dalam hubungannya dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. 118 4. Beberapa Hal yang Dapat Merugikan Keuangan Negara Hal-hal yang dapat merugikan keuangan negara dapat ditinjau dari sisi pelaku, sebab, waktu, dan cara penyelesaiannya. (1) Ditinjau dari pelaku. Dari sisi pelaku tindak pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara, disebutkan Eddy Mulyadi Soepardi, bahwa ada tiga hal yang harus ditinjau sebagai penyebab kerugian keuangan negara tersebut yaitu: 119 a. Perbuatan bendaharawan yang dapat menimbulkan kekurangan perbendaharaan, hal ini disebabkan antara lain karena adanya pembayaran, pemberian atau pengeluaran, pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak, pertanggungjawaban dalam laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak pidana korupsi, dan kecurian karena kelalaian; b. Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan keuangan negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi, dan menaikkan harga atau mengubah mutu suatu barang tertentu; dan c. Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi). (2) Ditinjau dari sebabnya. Jika ditinjau dari faktor penyebabnya, maka perbuatan yang bisa menyebabkan kerugian keuangan negara adalah sebagai berikut: 120 a. Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang disengaja, perbuatan yang tidak disengaja karena kelalaian, kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan,
118
Ibid. Ibid., hal. 4. 120 Ibid., hal. 5. 119
85
serta pengawasan terhadap penggunaan keuangan negara yang tidak memadai; b. Kejadian alam, seperti bencana alam, (antara lain gempa bumi, tanah longsor, banjir, dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain membusuk, menguap, mencair, menyusut, dan mengurai); dan c. Peraturan perundang-undangan dan atau situasi moneter/perekonomian, yakni kerugian keuangan negara karena adanya pengguntingan uang (sanering), gejolak moneter yang menyebabkan turunnya nilai mata uang sehingga menaikkan jumlah kewajiban negara dan sebagainya. (3) Ditinjau dari segi waktu. Dijinjau dari segi waktu dimaksudkan untuk memastikan apakah suatu kerugian keuangan negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau tidak, baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau kepada pihak ketiga. a. Dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) disebutkan: 1. Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat yang lain yang dikenakan tuntutan ganti kerugian negara/daerah dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan. 2. Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah. b. Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu diperhatikan ketentuan kadaluarsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU Perbendaharaan Negara, yang ditentukan bahwa, ”kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan
86
bendahara, atau pejabat lain yang membayar ganti rugi, menjadi kadaluarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan0 tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan. (4) Ditinjau dari cara penyelesaiannya a. Tuntutan pidana atau pidana khusus (tindak pidana korupsi); b. Tuntutan perdata; c. Tuntutan perbendaharaan; dan d. Tuntutan ganti rugi.
D. Kerugian Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Pada BUMN Di tengah kampanye besar-besaran dewasa ini untuk pemberantasan korupsi, terdapat suatu diskursus yang memperluas makna kerugian negara hingga kepada kerugian yang mungkin timbul dalam hubungan bisnis antara badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah dengan mitra kerjanya. Perluasan makna yang demikian tidak lepas dari sederet undang-undang yang memperluas makna kekayaan negara hingga kepada kekayaan milik korporasi. Rugi dan untung pada suatu korporasi terlepas apakah berbentuk Badan Hukum Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Negara yang kepemilikan sahamnya secara mayoritas oleh Negara c/q Pemerintah, atau Badan-badan swasta murni adalah hal yang lumrah. Badan hukum, apakah milik negara atau milik swasta dalam hubungan bisnis akan terekspose kepada
87
kemungkinan rugi atau untung. Setiap usaha pasti akan ada kemungkinan untung atau rugi. Hanya usaha pencetakan uang barangkali yang tidak mengenal rugi. 121 Di sisi lain, negara melalui seperangkat undang-undang yang menyentuh cakupan kerugian keuangan negara seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2004 tentang Tanggung Jawab Pengelolaan Keuangan Negara, dan undang-undang lainnya, secara normatif tidak membedakan kerugian yang timbul dari hubungan bisnis biasa dengan kerugian lain yang membawa pengurangan kepada harta negara. Sekali negara rugi atau dirugikan, itu tergolong tindak pidana korupsi dalam lapangan Badan Usaha Milik Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) misalnya, dinyatakan bahwa keuangan negara termasuk dan meliputi juga kekayaan negara atau daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain atau yang hanya sekedar mendapatkan fasilitas dari Pemerintah. Sedangkan dalam salah satu definisi mengenai korupsi adalah kerugian keuangan negara dan perbuatan yang dapat memperkaya orang lain atau korporasi. Apakah suatu BUMN yang rugi sementara mitra bisnisnya beruntung lalu dapat dikatakan bahwa BUMN atau karyawan BUMN tersebut memenuhi kualifikasi normatif sebagai korupsi?
121
Erman Rajagukguk., Op. cit., hal. 5.
88
Norma hukum yang ideal harus memenuhi asas lex certa yaitu rumusan harus pasti (certainty) dan jelas (concise) serta tidak membingungkan (unambiguous). Dalam menerapkan norma-norma tersebut harus dilandaskan kepada asas-asas hukum yang telah diakui seperti asas ne bis in idem dalam hukum pidana, atau asas kebebasan berkontrak (party authonomy) dalam hukum perdata dan asas tidak bertentangan dengan UUD dalam hukum tata negara. 122 Makna kekayaan negara yang dipisahkan dalam kaitannya dengan kerugian keuangan negara adalah abhwa kekayaan negara yang dipisahkan adalah bukan kekayaan negara. 123 Suatu badan hukum yang dibentuk pemerintah dengan status kekayaan negara yang dipisahkan mengandung makna sejak dipisahkannya sebagian kekayaan negara menjadi kekayaan badan hukum, telah terjadi transformasi yuridis atas keuangan publik menjadi keuangan privat yang tunduk sepenuhnya kepada hukum perdata. 124 Penyertaan modal negara di sebuah korporasi statusnya adalah penyertaan biasa dengan status hukum yang sama dengan penyertaan oleh pihak peartikelir lain. Tujuan pemisahan tersebut adalah untuk membuat jelas antara tanggung jawab publik dengan tanggung jawab korporasi. UU BUMN pada penjelasan Pasal 4 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya 122
Ibid., hal. 7. Sampe L. Purba., “Konsepsi Kerugian Negara pada Bisnis di Lingkungan Badan Hukum dengan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan”, Artikel bebas diposted oleh Maspurba’s Weblog, pada tanggal 18 Juli 2009, hal. 2. 124 Arifin P. Soeria Atmadja., Op. cit., hal. 3-4. 123
89
pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Pendirian ini diperkuat dengan surat Mahkamah Agung pada tanggal 16 Agustus 2006 yang memberi penegasan atas pertanyaan Menteri Keuangan terhadap topik yang sama. 125 Sayangnya beberapa undang-undang lain, terutama yang menyangkut kewenangan-kewenangan
instansional,
menafikan
dan
mengaburkan
serta
menyamaratakan makna. Kerugian yang timbul dari transaksi yang dilakukan oleh suatu badan atau korporasi yang jelas-jelas merupakan korporasi dengan kekayaan negara yang dipisahkan berpotensi untuk dimaknai sebagai kerugian negara, yang ujung-ujungnya dapat diancam dengan pidana korupsi. Dalam pandangan hukum, suatu korporasi adalah rechtpersoon, yaitu orang yang cakap menjunjung hak dan kewajibannya, memiliki kekayaan sendiri, memiliki kewenangan kontraktual serta dapat menuntut dan dituntut atas nama dirinya sendiri (persona standi in judicio). Tujuan pemisahan badan hukum perdata dari institusi negara adalah sangat jelas untuk membatasi tanggung jawab badan hukum manakala terjadi eksposure bisnis dari keputusan bisnis yang dilaksanakannya, untuk tidak menyentuh kekayaan negara yang lain. Inkonsistensi dalam memandang kekayaan negara pada korporasi seolah-olah melekat dan satu kesatuan definisi dengan keuangan negara membawa konsekuensi yuridis yang serius. Dari sisi positif akan
125
http://maspurba.wordpress.com/2009/07/18/konsepsi-kerugian, diakses terakhir tanggal 17 Agustus 2010.
90
memberikan pesan kehati-hatian disertai dengan ancaman pemidanaan manakala terjadi salah urusan terhadap harta BUMN. Juga memberikan prioritas pengembalian tagihan dalam hal ada pailit, karena dalam undang-undang kepailitan hak negara mendapat prioritas terlebih dahulu dalam pelunasan dari boedel pailit. 126 Namun sisi negatif juga tidak tanggung-tanggung. Dalam sistem hukum Perdata Indonesia dianut asas bahwa pemilik bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh harta yang di bawah penguasaannya, serta jaminan pemenuhan prestasi (pembayaran hutang) meliputi seluruh harta baik yang ada maupun yang akan ada. 127 Contohnya, apabila suatu kapal milik suatu BUMN mengalami kecelakaan yang mengakibatkan pencemaran laut, serta akibatnya massif, maka tuntutan strict liability dapat meluas dan menjangkau hingga ke harta negara yang lain di luar BUMN tersebut. Demikian juga apabila ada tuntutan pailit kepada suatu BUMN, maka tuntutan tersebut akan dengan mudah dapat diperluas hingga ke harta negara lainnya yang tidak ada sangkut pautnya dengan BUMN tersebut. Pada hal esensi dasar suatu BUMN dengan bentuk PT (Perseroan Terbatas) misalnya adalah tanggung jawab terbatas dan maksimal sebesar kekayaan PT tersebut. BUMN yang dipailitkan, akan menjalar menjadi kepailitan negara, dan para pengurus negara (dalam hal ini pemerintah pengemban kedaulatan negara) akan dituntut pailit oleh mitranya, yang dapat saja berupa suatu perusahaan multi national, yang tunduk dan didirikan tidak berdasarkan hukum Indonesia. Akibat terburuk dari
126 127
Sampe L. Purba., Op. cit., hal. 4. Pasal 1131 dan Pasal 1367 KUH Perdata.
91
skenario ini adalah hilangnya legitimasi yuridis pemerintah untuk mengurus harta negara. Inilah antara lain suatu kemungkinan ekstrim, apabila diperluas makna kekayaan negara, yang meluas kepada kekayaan korporasi yang telah dipisahkan dari kekayaan negara. Perluasan makna keuangan negara yang merambah hingga kepada korporasi dengan kekayaan negara yang dipisahkan, telah mengikis dan mengancam para profesional BUMN, serta juga menulari mitra bisnis BUMN itu.
E. Peranan Kejaksaan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Lingkungan Badan Usaha Milik Negara Pada dasarnya Lembaga Kejaksaan berperan melakukan tindakan-tindakan preventif yang ditujukan untuk meniadakan gejala-gejala yang mengarah terjadinya tindak pidana yang menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban umum. Dalam perspektif sistem peradilan pidana, peranan Lembaga Kejaksaan sangat jelas adalah sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Peranan Kejaksaan sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun dalam Undang-Undang Kejaksaan No. 16 Tahun 2004 yaitu sebagai penyidik dan penuntut umum. Di dalam buku petunjuk pelaksanaan tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana, disebutkan bahwa Jaksa adalah sebagai alat negara penegak hukum, berkewajiban untuk memelihara tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, serta ketertiban dan kepastian hukum. Dengan
92
demikian Jaksa berperan sebagai penegak hukum yang melindungi masyarakat. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya membina keamanan dan ketertiban masyarakat, Jaksa berkewajiban dengan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan penegakan hukum kepada seorang terdakwa. 128 Dalam usaha tersebut harus berdasarkan ketentuan dan peraturan PerundangUndangan yang berlaku. Salah satu bentuk tindak pidana yang sangat merugikan masyarakat kecil adalah tindak pidana korupsi. Dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi, Lembaga Kejaksaan sebagai alat negara berperan untuk menegakkan hukum. Tindak pidana korupsi yang terjadi di wilayah Propinsi Sumatera saat ini menunjukan peningkatan yang memprihatinkan. Hal tersebut dapat dilihat pada data yang diperoleh dari keterangan Ketua Seksi Pidana Khusus di Kejaksaan Ngeri Medan. Berdasarkan keterangannya selama tahun 2007 Januari sampai akhir 2009, terdapat beberapa kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Sumatera Utara. 129 Menurut data yang penulis peroleh di Kejaksaan Negeri Medan dalam kurun waktu lima tahun terakhir yaitu periode Januari 2005 sampai dengan Maret 2009 dari jumlah 9.961 (sembilan ribu sembilan ratus enam puluh satu) perkara tindak pidana meliputi narkoba, pencurian, penganiayaan, kesusilaan/cabul dan korupsi, tercatat hanya terdapat 8 (delapan) perkara tindak pidana korupsi yang terjadi dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Medan yaitu masing-masing tahun 2005 sebanyak 3 (tiga)
128
Oky Riza Wijayanto., Peranan Lembaga Kejaksaan Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Di Kabupaten Banjarnegara, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang, pada tanggal 2 April 2007, hal. 45. 129 Ibid., hal. 46.
93
perkara. Dan terhadap pelaku tindak pidana korupsi itu sendiri pada umumnya dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil. 130 Untuk lebih jelasnya lagi, maka dapat dilihat dalam daftar tabel berikut: Tabel 1: Jumlah Perkara Pidana Periode Januari 2006 s/d Maret 2009 di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara 131 No 1 2 3 4 5
Periode Januari 2006 s/d Maret 2009 Januari 2006 s/d Maret 2009 Januari 2006 s/d Maret 2009 Januari 2006 s/d Maret 2009 Januari 2006 s/d Maret 2009
Perkara Narkoba Pencurian Penganiayaan Kesusilaan/Cabul Korupsi
Jumlah 4.704 3.881 1.028 340 8
Tabel 2: Jumlah Perkara Korupsi Periode Januari 2006 s/d Maret 2009 Di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara 132
No 1 2 3 4 5
Periode Januari 2003 s/d Desember 2005 Januari 2004 s/d Desember 2006 Januari 2005 s/d Desember 2007 Januari 2006 s/d Desember 2008 Januari 2007 s/d Desember 2009 Jumlah Keseluruhan
Jumlah Perkara 3 2 3 8
Dari seluruh tabel di atas, maka dapat dilihat bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi beberapa tahun terakhir ini sedikit sekali yang berhasil diungkap hingga disidangkan di pengadilan jika dibandingkan dengan pemberitaan yang terungkat
130
Ibid., hal. 46-47. Kejaksaan Negeri Medan Tahun 2010. 132 Ibid. 131
94
dalam beberapa media masa elektronik maupun media masa cetak. Padahal secara umum tindak pidana korupsi sudah tumbuh dengan suburnya di Indonesia. Dalam kondisi seperti ini seharusnya tingkat korupsi yang sangat tinggi maka jumlah perkara korupsi yang terdaftar dan disidangkan di Pengadilan berjumlah lebih besar dibandingkan dengan perkara-perkara lain. Namun demikian kenyataannya perkara-perkara korupsi yang disidangkan tidak sesuai dengan tingkat korupsi yang terjadi. Dalam penangangan suatu korupsi oleh Kejaksaan sangat diperlukan dan didukung dengan data yang lengkap mengenai perkembangan perkara yang sedang ditangani dalam setiap tingkat peradilan. Hal ini dapat mempermudah untuk mengambil langkah-langkah selanjutnya dalam tindakan penanganan perkara atau melakukan kordinasi dengan pihak lainnya. Terhadap kasus-kasus tindak pidana korupsi yang ditangani Kejaksaan dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Medan dilakukan upaya hukum kasasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut:
95
Tabel 3: Upaya Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi Bulan Juni 2009 Di Kejaksaan Negeri Medan 133
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Monang Tambunan Ali Bonar Harahap Hansen Tionardo Als.A Hong Minarni Als Ame Karpen Als. Apin Drs. Syahrir,SE Drs. Karsito, SE.MM dkk Drs. Tindir Hasan Hrp Pramono Sigit Marihot Situmorang,SH
Register Kejaksaan PDS.02/Pidsus/12/2004 PDS.01/Fpk/02/2004 PDS.02/Fpk/02/2004 PDS.01/Fpk/02/2004 PDS.02/Fpk/04/2004 PDS.02/Fpk/02/2006 PDS.02/Fpk/08/2006 PDS.02/Fpk/09/2006 PDS.02/Fpk/07/2006 PDS.02/Fpk/2006
Keterangan Kasasi Kasasi Kasasi Kasasi Kasasi Kasasi Kasasi Banding Kasasi Kasasi
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. 134 133
Ibid. Edi Suandi Hamid., dan M. Sayuti., Menyingkap Korupsi dan Nepotisme di Indonesia, (Yogyakarta: Aditya Media, 2005), hal. 17. 134
96
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan maupun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. 135 Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kejaksaan Tinggi sebagai salah lembaga pemerintah, mempunyai peranan yang sangat penting dalam memberantasi korupsi. Hal ini mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat 135
Ibid., hal. 19.
97
secara luas, sehingga pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kejaksaan sebagai lembaga yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya mempunyai wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yaitu meliputi tindak pidana korupsi yang: 136 1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyeleggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Menurut hasil wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus Pada Kejaksaan Negeri Medan disebutkan, bahwa Kejaksaan Tinggi: 137
136
Evi Hartanti., Op. cit, hal. 162. Hasil Wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 11 Juni 2010. 137
98
1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. 2. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; 3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi 4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan. Untuk mengetahui tentang peranan Kejaksaan dalam pemberantasan korupsi menurut P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus Pada
Kejaksaan Negeri Medan, bahwa Kejaksaan mempunyai
tugas: 138 1. Melakukan
koordinasi
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi 2. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
138
Hasil Wawancara dengan P. Sinambela Staf Bidang Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Tindak Pidana Khusus di Kejaksaan Negeri Medan pada tanggal 11 Juni 2010.
99
3. Melakukan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi 4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi 5. Melakkan monitor-monitor penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, maka Kejaksaan Tinggi berwenang: 139 1. Menggkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi 2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi 3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi 4. Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas supervisi, Kejaksaan berwenang: 140 1. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
139 140
Ibid. Ibid.
100
2. Kejaksaan Tinggi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. 3. Dalam hal Kejaksaan Tinggi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Kejaksaan Tinggi. Dengan demikian jelaslah bahwa fungsi kejaksaan dalam bidang pidana yang paling mendasar adalah melakukan penyelidikan, penyidikan terhadap tindak pidana khusus yaitu Tindak Pidana Korupsi yang terjadi di masyarakat. Penyelidikan menurut Pasal 1 butir 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur undang-undang. Adapun penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa sebelum menentukan tersangka dalam suatu peristiwa, terlebih dahulu akan diselidiki apakah peristiwa tersebut merupakan peristiwa hukum yang di dalamya terdapat unsur-unsur tindak
101
pidana. Apabila ternyata dalam penyelidikan diperoleh keterangan bahwa peristiwa tersebut mengandung unsur tindak pidana, maka akan ditindak lanjuti oleh jaksa pada tahap penyidikan. Terkait dengan masalah maraknya tindak pidana korupsi di Sumatera Utara, para Jaksa terus melakukan pengamatan dan pengawasan secara intensif. Pengamatan dan pengawasan yang dilakukan terutama pada bagian bendahara yang sangat rawan. Tindak pidana korupsi seperti gunung es di lautan, yaitu hanya kelihatan puncaknya tetapi semakin ke bawah semakin membesar. Demikian pula halnya dengan tindak pidana korupsi yang banyak terjadi, hanya sebagian kecil yang dilaporkan.