JURNAL KARYA ILMIAH
PERANAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM RANGKA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI DI KOTA MATARAM)
Oleh : M. RIADHUSSYAH D1A 010 234
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM MATARAM 2014
HALAMAN PENGESAHAN PERANAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM RANGKA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI DI KOTA MATARAM)
Oleh : M. RIADHUSSYAH D1A 010 234
Menyetujui : Pembimbing Pertama,
Kafrawi, SH.,M.Si. NIP. 19590417198803001
PERANAN BPKP MENGHITUNG KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM RANGKA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI DI KOTA MATARAM) M. RIADHUSSYAH D1A 010 234 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui pelaksanaan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kota Mataram. Penelitian ini menggunakan penelitian secara normatif-empirik. Bahwa BPKP berwenang untunk menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan Perkara Tindak Pidana korupsi dan Mahkamah Konstitusi mengakui kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012. BPKP Perwakilan Nusa Tenggara Barat hingga akhir Desember 2013, telah diminta membantu oleh penyidik atau dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan sebanyak 19 kasus Tindak Pidana Korupsi untuk dilakukan. Pemerintah harus membuat prioritas program pengembangan Sumber Daya Manusia pada BPKP Perwakilan Nusa Tenggara Barat. Kata Kunci : Peranan, Keuangan Negara, Korupsi ABSTRACT THE ROLE OF BPKP TO COUNT THE LOSS OF STATE IN ORDER TO HANDLE THE CASE FOR CORRUPTION CRIMES (RESEARCH IN MATARAM CITY) The Research aims to determine of BPKP authority to count the loss of budgets in order to handle the case for corruption crimes. Therefore how implementation in count the loss of budgets in order to handle the case for corruption crimes at the city of Mataram. This resource uses normative – empirical research. That BPKP had authority to count the loss of state in order to handle the case of corruption and the Constitutional Court acknowledged authority BPKP in Audit investigation on the decision of the constitutional court number: 31/PUU-X/2012. BPKP representatives West Nusa Tenggara until the end December 2013, has been. The government should make a priority programs of human resource development in BPKP representatives West Nusa Tenggara. Key Words : The Roll, budgets, corruption
I.
PENDAHULUAN Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah terjadi secara meluas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari aspek jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis, serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Berbagai strategi telah dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, akan tetapi perbuatan korupsi masih marak terjadi di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu unsur delik korupsi adalah ”Kerugian Keuangan Negara” yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999. Dengan adanya unsur kerugian keuangan negara, maka perlu ada penghitungan keuangan atau audit investigasi untuk menentukan besar kecilnya kerugian keuangan yang diderita oleh negara. Dalam kaitannya dengan perhitungan kerugian keuangan negara dan pembuktiannya tersebut, biasanya kasus-kasus yang sulit penghitungannya aparat penegak hukum meminta bantuan instansi atau bekerja sama dengan instansi terkait yang mempunyai keahlian dalam masalah audit keuangan. Namun pada umumnya penegak hukum meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), karena kedua instansi tersebut mempunyai auditor yang memiliki keahlian dalam melakukan audit investigasi dan penghitungan masalah keuangan. Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1). Apakah BPKP berwenang untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi ? 2). Bagaimana
pelaksanaan kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan tindak pidana korupsi di Kota Mataram ? Tujuan Penelitian maka berdasarkan latar belakang masalah serta rumusan permasalahan di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan : a).Untuk mengetahui mengetahui kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi. b.) Untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi di Kota Mataram. Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dan empirik. Untuk menjawab permasalahan yang pertama menggunakan jenis penelitian normatif yaitu suatu pendekatan yang di dalam membahas permasalahan, berpedoman pada literatur dan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Sedangkan untuk menjawab permasalahan yang kedua menggunakan jenis penelitian empirik yaitu suatu penelitian dengan cara mengkaji dan melihat secara langsung penerapan peraturan perundang-undangan di lapangan. .
II. PEMBAHASAN Kewenangan BPKP Dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara dalam Rangka Penanganan Tindak Pidana Korupsi. Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang kehidupan diseluruh wilayah pemerintahan negara menuntut reformasi sistem perekonomian dan pemerintahan termasuk birokrasinya, sehingga memungkinkan interaksi perekonomian antardaerah dan antarbangsa berlangsung lebih efisien. Dalam upaya menghadapi berbagai tantangan tersebut, salah satu prasyarat yang perlu dikembangkan adalah komitmen yang tinggi untuk menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dan prinsip good governance dalam penuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa dan bernegara, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesi tahun 1945.1 Dalam berbagai diskusi ilmiah, korupsi diakui sebagai musuh bersama bagi seluruh masyarakat Indonesia karena dampak nyata tindak korupsi bukan hanya menimbulkan high cost economy yang berakibat pada penurunan daya saing terhadap pasar global, tetapi juga merugikan negara dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan moral individu, keluarga, warga masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun, kenyataan menunjukan bahwa korupsi sulit sekali untuk diberantas, apalagi dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan telah mengakarnya praktek korupsi di masyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Disadari atau tidak, 1
Ahmad Fikri Hadin, Eksistensi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di Era Otonomi Daerah, GENTA Press, 2013, Yogyakarta, hlm. 30
kita telah menjadi bagian dari praktek korupsi, seperti kerelaan dalam memberikan uang pelicin dalam pengurusan surat‐surat resmi, seperti akta kelahiran, IMB, SIM, pengurusan anggaran, bahkan sampai dengan Surat Kematian. Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi perdebatan yang sengit antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini jaksa banyak dibantu ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau ahli lain yang ditunjuk. Sudah tentu keterangan dari ahli ini diberikan berdasarkan keahlian atau setelah melakukan semacam audit khusus terhadap instansi atau perusahaan yang menimbulkan kerugian negara. Kalau kerugian negara ini terkait dengan suatu barang yang sulit untuk dilakukan penilaian, misalnya pabrik petrokimia perlu dilakukan penilaian oleh jasa penilai, sudah tentu untuk melakukan penilaian ini perlu dilakukan dengan metode yang prudence dan baku. Pada dasarnya sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan, pemberantasan korupsi mengedepankan tindakan represif. Strategi represif yang dilakukan BPKP melalui pelaksanaan audit investigatif dilakukan terhadap penanganan kasus‐kasus yang
bersifat strategis, signifikan, material dan mendapat sorotan publik. Dalam upaya represif, peran BPKP tidak hanya terbatas pada melakukan audit investigatif dari pengembangan audit reguler dan pengaduan masyarakat, BPKP juga menjadi pendukung dari criminal justice system. BPKP berkoordinasi dengan Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan KPK atau instansi lain yang meminta untuk dilakukannya audit investigasi. Tindak lanjut hasil audit investigasi dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni tindakan korektif oleh manajemen untuk kasus non‐tindak pidana korupsi. Sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi, tindak lanjutnya adalah sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku. Jika diminta oleh instansi penyidik, BPKP juga memberikan dukungan dalam proses litigasi dengan melakukan audit investigasi dan perhitungan kerugian keuangan negara termasuk pemberian keterangan ahli di persidangan perkara korupsi. Dalam menyatakan ada/tidaknya kerugian keuangan negara dan berapa besar kerugian tersebut, seorang auditor harus memperoleh bukti yang relevan, kompeten dan cukup. Untuk memperoleh bukti-bukti audit terdapat 7 (tujuh) tehnik audit yang dapat digunakan seorang auditor, yakni memeriksa fisik, konfirmasi, memeriksa dokumen, review analitis, wawancara, menghitung uang dan observasi. Keberadaan BPKP sebagai lembaga internal pemerintah hakikatnya ditujukan pada tugasnya untuk mengendalikan dan mengawasi jalannya manajeman pemerintahan negara secara umum. Hal ini tentu berkaitan dengan kekuasaan Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, sehingga menjadi kewenangan Presiden untuk membentuk unit organisasi pemerintah di bawah Presiden yang memiliki tugas dan fungsi mengendalikan
pemerintahan negara dan mengawasi pengelolaan APBN yang diserahkan menteri/ pimpinan lembaga negara.2 Pengawasan oleh BPKP dilakukan oleh para auditor yang berkompeten berdasarkan kerangka acuan pengawasan yang ditetapkan oleh kepala BPKP. Dengan demikian, terdapat norma atau standar pengawasan yang menjadi acuan bagi auditor dalam menjalankan tugas pengawasan di lapangan. Begitu juga hasil akhir pengawasan yang harus dituangkan dalam Laporan Hasil Pengawasan (LHP) yang menjadi dokumen penting bagi pejabat pengambil keputusan, dalam hal ini Presiden sebagai atasan langsung BPKP dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara sebagai pejabat yang mengkoordinasikan tugas BPKP. Bentuk pengawasan represif lain yang oleh BPKP adalah melalui audit investigatif dalam rangka membantu aparat penegak hukum dalam menghitung kerugian negara yang timbul akibat perbuatan yang diduga korupsi.3 Di dalam pemahaman BPKP, Penugasan penghitungan kerugian keuangan negara bertujuan : 2
Menentukan jumlah yang dapat menjadi acuan bagi Penyidik dalam
Bachrul Amiq, Aspek Hukum Pengawsan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Perspektif Penyelenggaraan Negara yang Bersih, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2010, hlm. 173 3 Op.Cit.Hadin, hlm. 17
melakukan penuntutan suatu perkara berkaitan dengan berat/ringannya hukuman yang perlu dijatuhkan dan bagi Hakim sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan keputusannya dan menentukan jumlah uang pengganti kerugian negara yang harus diselesaikan oleh pihak yang terbukti bersalah bila kepadanya dikenakan pidana tambahan. Dalam penghitungan tersebut dimungkinkan untuk menggunakan berbagai jenis penilaian (accounting measurement) seperti nilai perolehan, nilai jual, nilai ganti, nilai pasar, nilai jual objek pajak, nilai buku dan sebagainya, namun harus tetap memperhatikan Peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kelaziman yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan dapat diterima secara hukum. 4 Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, BPKP adalah institusi pemerintah yang diberi tanggung jawab luas di tingkat pemerintah pusat untuk merumuskan dan menyusun rencana dan programprogram pengendalian, melaksanakan pengendalian umum atas keuangan pemerintah pusat dengan mengadakan audit intern atas kegiatan kementerian-kementerian negara dan kantor-kantor proyek mereka. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52 disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah lembaga 4
Dasar-dasar Auditing. Edisi Keenam, Pusat Pendidikan dan Pengawasan BPKP, Jakarta, 2009. Hlm. 36
pemerintah non departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Wakil Presiden. Tugas utama BPKP adalah membantu Presiden dan Wakil Presiden mengawasi pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan pembangunan, agar sesuai dengan ketentuan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus memberikan masukan bagi pembuatan kebijakan terkait dengan itu. Mahkamah Konstitusi mengakui kewenangan BPKP dalam melakukan audit investigasi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menguatkan kewenangan BPKP untuk melakukan audit investigasi berdasarkan Keppres 103 tahun 2001 dan PP No 60 Tahun 2008. BPKP dan BPK masing-masing memiliki kewenangan untuk melakukan audit berdasarkan Peraturan perundang-undangan. Menurut Mahkamah, dalam rangka pembuktian suatu tindak pidana korupsi, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK , melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain, bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu. Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya. Pelaksanaan Kewenangan BPKP Dalam Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Rangka Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi di Kota Mataram.
BPKP yang saat ini merupakan bagian internal pemerintah atau bertanggung jawab pada pemimpin puncak eksekutif atau kata lainnya adalah Presiden. Peninjauan ulang mengenai kedudukan BPKP dalam struktur pemerintahan adalah suatu hal yang selayaknya. Sudah selayaknya BPKP mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukannya sekarang ini dan menjadi sejajar dengan unit yang diperiksanya. Dengan demikian pemeriksaan yang dilakukan BPKP dapat bersifat menyeluruh untuk unit pemerintahan yang menggunakan uang negara. BPKP beserta sumber daya manusianya yang unggul secara kualitas dan kuantitas telah dibentuk di 25 daerah di Indonesia, salah satunya berada di Nusa Tenggara Barat yaitu BPKP Perwakilan Nusa Tenggara Barat. jumlah pegawai yang ada pada BPKP perwakilan Nusa Tenggara Barat adalah 52 orang yang mana cakupan wilayahnya begitu luas yaitu dari ujung pulau Lombok hingga ujung pulau Sumbawa yang saat ini mulai memperlihatkan akan adanya permasalahan keuangan yang kompleks dalam penggunanaan keuangan negara dengan adanya oknum yang telah ditetapkan menjadi terpidana kasus Korupsi. Maka dengan akan timbulnya permasalahan tersebut yang tidak terlepas dari tanggung jawab BPKP selaku pihak yang berkepentingan untuk bagaimana menata keuangan negara ini agar lebih accountable. Dengan keadaan seperti diatas BPKP perwakilan Nusa Tenggara Barat tidak pernah gentar dan merasa lemah apabila dimintai oleh penyidik untuk melakukan Audit Investigasi atau Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara karena BPKP memahami bahwa Persoalan Korupsi yang sekarang telah menggurita dalam sistem pemerintahan Indonesia dan hal tersebut sebagai bobroknya tata pemerintahan di negeri ini.
Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, tidak dapat dipungkiri bahwa negara memerlukan entitas birokras. Tidak mungkin negara mengelola perhubungan darat, laut dan udara yang efisien, membayar gaji pegawai dengan cepat, menyediakan sambungan telpon, membuat prasarana jalan dan jembatan, atau sekedar menyiapkan KTP dengan cepat kalau tanpa didukung oleh birokrasi. Oleh karena itu, mustahil pelayanan umum dapat terlaksana tanpa adanya birokrasi. Namun birokrasi dapat menjadi sumber kekecewaan masyarakat oleh kemungkinan banyaknya penyalahgunaan wewenang aparat dan korupsi. Jika dikelola oleh orang yang kurang mumpuni dan orang yang tidak bertanggungjawab, birokrasi dapat menidas hak-hak asasi manusia yang dalam hal ini adalah warga negara yang berkepentingan dengan birokrasi tersebut. Birokrasi telah tersusupi oleh kepentingan-kepentingan para birokrat sendiri, sehingga sering terjadi birokrasi mengingkari perannya sendiri sebagai abdi masyarakat. Apabila secara ideal birokrasi diinginkan sebagai alat yang netral dan tangguh untuk mencapai tujuan organisasi kenegaraan secara efisien dan efektif, dalam kenyataan birokrasi sering menjadi penyebab stagnan dan gejala korupsi karena otoritas yang diberikan kepada aparatur birokrasi kerapkali diselewengkan sehingga pada administrator atau birokrat menganggap seolah-olah mereka memiliki kekuasaan yang tidak terbatas untuk menentukan jalannya administrasi. Tipisnya penghayatan atas prinsip kedaulatan rakyat menimbulkan sikap sok kuasa atau menang sendiri. Arogansi semacam ini akhirnya bermuara pada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Pada saat yang sama ternyata kontrol dari kekuatan sosial politik belum mempan untuk mengandalikan kebijakan-kebijakan birokrasi, sehingga birokrasi tumbuh menjadi
the single authoritarian. Kecuali itu, terdapat pula indikasi bahwa birokrasi lebih memihak kepada salah satu kekuatan politik. Ini yang menimbulkan kesan bahwa birokrasi tidak mau dikontrol dan dasar pelayanannya tidak objektif dan akibat selanjutnya ialah bahwa birokrasi menjadi tidak sehat karena dijejali oleh berbagai jenis kepentingan yang tidak responsif lagi. Struktur yang terdapat dalam diri birokrasi terlalu berlebihan, ketimpangan antara jabatan struktural dengan jabatan fungsional menyebabkan pejabat-pejabat pemerintah menjadi terpaku dengan status dan kewenangan, sehingga akhirnya hubungan mereka dengan masyarakat diwarnai dengan pendekatan kekuasaan. Akibat yang lain ialah bahwa sekarang ini banyak intsansi pemerintah yang menyimpan dan memelihara pegawai yang tidak produktif. Fungsi mereka di dalam organisasi tidak jelas meskipun mereka memiliki jabatan dalam struktur. Banyak pula pegawai yang melakukan pekerjaan yang sebenarnya bukan pekerjaannya. Bila dilihat jabatan atau uraian tugasnya, boleh jadi salah satu penyebabnya adalah kurang efektifnya analisa jabatan dalam birokrasi. bahwa BPKP perwakilan Nusa Tenggara Barat telah diminta oleh penyidik atau dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan sebanyak 19 kasus Tindak Pidana Korupsi sejak 2011, maka peran serta BPKP Perwakilan NTB dalam rangka penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi di dalam Yurisdiksi Pengadilan Negeri Mataram Tindak Pidana Korupsi tidak diragukan lagi kredibilitasnya karena telah mendapat kepercayaan (trust) dari para penegak hukum.
III. PENUTUP KESIMPULAN Dari penjelasan dan uraian yang telah dipaparkan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : BPKP berwenang untunk menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan Perkara Tindak Pidana korupsi. Mahkamah Konstitusi mengakui kewenangan BPKP tersebut melalui putusan Nomor: 31/PUU-X/2012 tanggal 23 Oktober 2012 yang menguatkan kewenangan BPKP untuk melakukan audit investigasi berdasarkan Keppres 103 tahun 2001 dan PP No 60 Tahun 2008. Putusan MK ini setidaknya dapat menjawab keraguan beberapa pihak yang selama ini gamang dengan keberadaan BPKP dalam proses penanganan kasus korupsi. Pelaksanaan kewenangan BPKP yang dalam hal ini adalah BPKP perwakilan Nusa Tenggara Barat untuk menghitung kerugian keuangan negara dalam rangka penanganan perkara tindak pidana korupsi di dalam yurisdiksi Pengadilan Negeri Mataram Tindak Pidana Korupsi adalah telah terlaksana sebanyak 19 kasus Tindak Pidana Korupsi
SARAN Pemerintah segera menilik keberadaan BPKP sebagai bagian internal control dan manejemen yang ada agar benar-benar dapat menjalankan tugasnya sebagaimana mestinya. Sebagaimana yang terlihat pada BPKP perwakilan Nusa Tenggara Barat jumlah pegawai yang hanya 52 orang diberikan tanggung jawab pada Wilayah Provinsi yang terdiri dari dua pulau besar dan hal ini yang terkadang menjadikan tugas BPKP menjadi terbengkalai sehingga adanya waiting list terhadap objek yang akan diperiksa tersebut. Dengan acuan
tersebut dapat dijadikan salah satu prioritas program pengembangan Sumber Daya Manusia pada BPKP Perwakilan Nusa Tenggara Barat.
DAFTAR PUSTAKA Amiq, Bachrul, Aspek Hukum Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Perspektif Penyelenggaraan Negara yang Bersih, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2010. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Dasar-dasar Auditing. Edisi Keenam, Pusat Pendidikan dan Pengawasan BPKP, Jakarta, 2009. Hadin, Ahmad Fikri, Eksistensi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan di Era Otonomi Daerah, GENTA Press, Yogyakarta, 2013.