FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MENGIKUTI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN CURAHAN KERJA (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)
Oleh: ZAINUL AZMI A14304077
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ZAINUL AZMI. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat serta Pengaruhnya terhadap Pendapatan dan Curahan Kerja (Studi Kasus: Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor). Dibawah Bimbingan YUSMAN SYAUKAT. Perubahan paradigma pengelolaan sumberdaya alam untuk lebih memberdayakan peran masyarakat merupakan salah satu latar belakang Perum Perhutani mengadakan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program PHBM merupakan satu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau antara Perum Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Melalui program PHBM, diharapkan pengelolaan hutan akan berlangsung lebih lestari dan produktif serta adil bagi masyarakat sekitar hutan. Salah satu wilayah implementasi PHBM adalah di Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor yang telah melakukan perjanjian program PHBM sejak tahun 2006 dengan BKPH Parungpanjang. Penelitian bermaksud untuk: (1) mengidentifikasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi PHBM di Desa Babakan; (2) mengevaluasi pengaruh program PHBM terhadap pendapatan dan curahan kerja khususnya bagi masyarakat yang menjadi peserta program di Desa Babakan; (3) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani Desa Babakan untuk ikut serta dalam program PHBM; dan (4) mempelajari prospek pengembangan progam PHBM di Desa Babakan. Hasil yang didapatkan dari penelitian adalah: (1)terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Desa Babakan dengan fokus permasalahan yang utama yaitu LMDH tidak mampu menggerakkan anggotanya dalam melaksanakan kewajiban sebagai penggarap dan; manajemen dana bagi hasil yang kurang transparan; (2) pendapatan dan curahan kerja petani peserta PHBM dan petani non PHBM tidak berbeda nyata, walau demikian manfaat program PHBM tetap dirasakan oleh para peserta program karena menyumbangkan 21,31 persen dari total pendapatan rumah tangga dengan curahan kerja keluarga yang diberikan pada kegiatan tersebut mencapai 35,50 persen; (3) secara signifikan, status kepemilikan
lahan usahatani pribadi dan kepemilikan profesi lain di bidang non usahatani memperkecil peluang petani mengikuti program PHBM, sedangkan keikutsertaan dalam penyuluhan Perum Perhutani memperbesar peluang petani mengikuti program PHBM. (4) keberlanjutan program PHBM tetap mendapatkan dukungan dari Perum Perhutani maupun para petani mengingat manfaat yang dirasakan baik ditinjau dari aspek lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dalam jangka panjang. Keywords:
PHBM, pendapatan rumah tangga, curahan kerja keluarga, keberlanjutan program
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MENGIKUTI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN CURAHAN KERJA (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ZAINUL AZMI A14304077
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul skripsi : FAKTOR-FAKTOR KEPUTUSAN
YANG
PETANI
MEMPENGARUHI
MENGIKUTI
PROGRAM
PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN CURAHAN KERJA (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor) Nama
: ZAINUL AZMI
NRP
: A14304077
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec NIP. 131 804 162
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal lulus: _________________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MENGIKUTI
PROGRAM
PENGELOLAAN
HUTAN
BERSAMA
MASYARAKAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN CURAHAN KERJA (STUDI KASUS DESA BABAKAN, KECAMATAN TENJO, KABUPATEN BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2008
Zainul Azmi A14304077
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jambi, 18 Februari 1986 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Ir. Khairul Anwar, MM dan Nurhayati. Pendidikan yang dijalani oleh Penulis dimulai pada tahun 1991 di TK Angkasa Padang dan TK Adhyaksa Jambi. Pada tahun 1992 Penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD Hangtuah Cileduk dan kemudian pindah ke SD Polisi IV Bogor hingga lulus pada tahun 1998. Pendidikan menengah dijalani oleh Penulis di SMP Negeri 1 Bogor pada tahun 1998-2001 serta SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 Penulis diterima melalui jalur USMI pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS), Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa, Penulis sempat aktif dalam keorganisasian mahasiswa terutama pada tingkat departemen. Penulis menjadi staf pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian (MISETA) periode 2004-2005. Selanjutnya Penulis lebih banyak fokus pada pengembangan akademik dengan mengikuti berbagai lomba karya tulis tingkat mahasiswa di tahun 2005 dan 2006. Pada tahun 2007 Penulis terpilih sebagai wakil dari Program Studi EPS dalam seleksi Mahasiswa Berprestasi hingga menjadi finalis di tingkat fakultas. Selain itu, Penulis pun sempat menjadi Asisten Kolokium pada Mata Kuliah Ekonomi Umum yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Manajemen untuk periode 2006-2007.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, pemilik dan penguasa seluruh langit dan bumi, yang atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sungguh tiada daya dan upaya kecuali atas izin dari Allah semata. Sholawat teriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada suri tauladan terbaik Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman. Harapan Penulis agar skripsi ini, dan setiap usaha yang telah dilakukan dalam proses penyusunannya, menjadi catatan amal kebaikan guna meraih ridho dari-Nya. Skripsi ini berjudul “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Serta Pengaruhnya Terhadap Pendapatan dan Curahan Kerja (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor). Penyusunan skripsi ini secara umum dimaksudkan untuk mengetahui keberhasilan program PHBM yang dilakukan oleh Perum Perhutani dalam memberikan manfaat kesejahteraan bagi masyarakat sehingga masyarakat terlibat untuk melakukan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Dengan demikian, diharapkan Perum Perhutani dapat melakukan evaluasi untuk pengembangan program PHBM berikutnya yang lebih baik. Dalam kesempatan ini Penulis pun bermaksud untuk mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Semoga dengan adanya skripsi ini dapat memberikan manfaat terutama bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pembahasannya maupun bagi pembaca dan pihakpihak lain yang ingin memperkaya khasanah keilmuannya. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu setiap saran dan kritik sangat Penulis harapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini Penulis bermaksud untuk mengucapkan syukur dan terima kasih kepada: 1. Penguasa semesta alam, yang menggenggam jiwa dan raga, Allah SWT atas kemudahan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Suri teladan terbaik Rosulullah Muhammad SAW, sang inspirator sejati dalam kehidupan. Allohumma sholli ‘alaa Muhammad. 3. Kedua orangtua tercinta Ayahanda Ir. Khairul Anwar, MM dan Ibunda Nurhayati yang telah mencurahkan cintanya yang tulus. Tak lupa kepada saudara-saudara kandung, Kakakku drg. Novi Gusdamayanti dan Adikku Rina Rahmayani (calon dokter gigi juga, InsyaAllaah) yang senantiasa memberikan semangat kepada Penulis. 4. Dosen Pembimbing Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec atas kesabarannya dalam membimbing Penulis hingga selesainya skripsi ini. 5. Dosen Penguji Utama Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT dan Penguji Wakil Departemen Ir. Meti Ekayani, M.Sc atas kesediaannya meluangkan waktu dalam ujian sidang skripsi. 6. Kepala BKPH Parungpanjang Bapak Sukidi, S.Hut beserta stafnya yang dengan baik hati memberikan berbagai informasi dan kemudahan dalam melaksanakan penelitian. 7. Para mandor Perum Perhutani di wilayah Desa Babakan, Pak Sandul, Pak Bakra dan mandor lainnya yang telah mengantarkan Penulis menjelajahi rumah-rumah penduduk di sela kesibukannya bekerja. 8. Sahabat-sahabatku para mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya (EPS) ’41 yang tidak dapat disebutkan satu per satu, setiap diri kalian sungguh berarti dan luar biasa! 9. Para staf sekretariat EPS yang dipimpin oleh Dr. Ir. Eka Intan K. Putri, MS sebagai penanggung jawab phassing out EPS, Mba Pini, Mba Santi, Pak Husein dan lainnya. 10. Semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini yang mungkin namanya belum sempat disebutkan. Jazaakumullaahu ahsanul jaza!
i
DAFTAR ISI DAFTAR ISI………………………………………………………………. DAFTAR TABEL…………………………………………………………. DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….... DAFTAR LAMPIRAN................................................................................. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………….……………………………………………. 1.2 Perumusan Masalah…….……………………………………………. 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………...... 1.4 Batasan Penelitian………………………………………………….... 1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………………… BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Alam……………………………………… 2.1.1 Penilaian Manfaat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam.......... 2.1.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat………… 2.1.3 Property Rights dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam............. 2.2 Pengelolaan Hutan Berkelanjutan........................................................ 2.3 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Indonesia………….... 2.4 Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia………………... 2.4.1 Pengembangan Hutan Rakyat di Tanah Milik……………......... 2.4.2 Hutan Serbaguna dan Hutan Kemasyarakatan………………… 2.4.3 Perhutanan Sosial……………………………………………… 2.5 Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)………………….. 2.5.1 Maksud dan Tujuan PHBM……………………………………. 2.5.2 Kegiatan Pengelolaan Hutan dalam Konsep PHBM…............... 2.6 Penelitian Terdahulu…………………………………………………. BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis………………………………………… 3.1.1 Teori Perspektif Kehutanan Sosial…………………………….. 3.1.2 Konsep Dasar Pendapatan Rumah tangga Pertanian….......…… 3.1.3 Konsep Dasar Curahan Kerja Keluarga…………………...…... 3.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program PHBM......………………………………... 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional……………………………………. 3.3 Hipotesis……………………………………………………………... BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………… 4.2 Jenis dan Sumber Data………………………………………………. 4.3 Pengambilan Responden………………………...…………………... 4.4 Metode Analisis Data………………………………………………... 4.4.1 Identifikasi Permasalahan dalam Pelaksanaan PHBM…..……..
i iii iv v 1 5 10 11 11 12 12 14 15 18 21 23 25 26 26 27 28 29 31 38 38 40 43 47 49 51 53 53 54 55 57
ii
4.4.2 Analisis Pendapatan Rumah tangga…………………………… 4.4.3 Analisis Curahan Kerja Keluarga……………………………… 4.4.4 Uji Beda Curahan Kerja dan Pendapatan Peserta dan Non Peserta PHBM………………………………………................. 4.4.5 Model Empirik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program PHBM……................……………. 4.4.6 Keberlanjutan Program PHBM………………………………... 4.5 Definisi Operasional…………………………………………………. BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Profil Umum BKPH Parungpanjang………………………………… 5.2 Kondisi Geografis Desa Babakan……………………………………. 5.3 Sarana dan Prasarana………………………………………………… 5.4 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk………………………...………. 5.5 Karakteristik Responden……………………………………...……... BAB VI EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA BABAKAN 6.1 Identifikasi Permasalahan dalam Pelaksanaan Program PHBM….…. 6.1.1 Pelaksanaan PHBM di Desa Babakan…………………………. 6.1.2 Permasalahan PHBM di Desa Babakan……………………...... 6.2 Pengaruh PHBM terhadap Pendapatan dan Curahan Kerja Peserta.... 6.2.1 Pengaruh terhadap Pendapatan Rumah tangga Peserta………... 6.2.2 Pengaruh terhadap Curahan Kerja Keluarga…………………... 6.3 Keputusan Petani dalam Mengikuti Program PHBM…………...…... 6.4 Keberlanjutan Program PHBM di Desa Babakan..…...……………... BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan…………………………………………………………... 7.2 Saran…………………………………………………………………. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… LAMPIRAN..................................................................................................
57 58 59 61 65 67 69 71 72 74 76
79 79 83 91 91 99 106 113 120 121 123 126
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman Teks
Tabel 1. Tabel 2. Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11.
Tabel 12. Tabel 13. Tabel 14. Tabel 15. Tabel 16. Tabel 17. Tabel 18. Tabel 19. Tabel 20. Tabel 21.
Deforestasi di Indonesia 2000-2005…………………….……................ Berbagai Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia...…………........... Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia……………........... Studi Terdahulu tentang PHBM…………...……………………............ Jenis dan Metode Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian............. Luas Lahan BKPH Parungpanjang di Tiap Resor dan Desa……............ Jumlah Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan Utama di Kecamatan Tenjo, Tahun 2003…………………………………................................ Rentang Umur Petani Responden Tiap Kelompok………………........... Status Pendidikan Petani Responden Berdasarkan Keikutsertaan dalam PHBM……………………...……………………………............. Rata-rata Tanggungan Keluarga Tiap Kelompok Responden…….......... Sebaran Luas Lahan Petani Responden Peserta PHBM Tanpa dan Dengan Adanya Program Serta Rata-rata Lahan PHBM yang Digarap……………………………………………………..................... Ikhtisar Permasalahan dalam Implementasi PHBM di Desa Babakan dari Berbagai Sumber Informasi………………………........................... Rata-rata Pendapatan Rumah tangga Petani Berdasarkan Jenis Kegiatan (Rp/musim)……………………………………………........................... Hasil uji T Perbedaan Pendapatan Rumah tangga………………........... Proporsi Rata-rata Pengeluaran terhadap Pendapatan Tunai Rumah tangga…………………………………………………….......... Rata-rata Curahan Kerja Keluarga Responden pada Berbagai Kegiatan (jam kerja/musim)……………………………………............................. Hasil uji T Perbedaan Curahan Kerja Keluarga…………………........... Pendapatan per Jam Kerja Kedua Kelompok Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan (Rp/jam kerja)…......………………............................... Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program PHBM di Desa Babakan……………........... Gambaran Penerimaan Petani Penggarap Petak 13 C dan 9 C dari Berbagai Sumber Penerimaan……….…………………………….......... Gambaran Penerimaan BKPH Parungpanjang dari Petak 13 C dan Petak 9 C...................................................................................................
3 23 25 37 56 70 75 76 77 78
81 89 92 96 98 101 103 104 107 115 117
iv
DAFTAR GAMBAR Halaman
Nomor Teks Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7.
Segitiga Pembangunan Berkelanjutan................................................... Model Sistem Ekologi Manusia……………………………................. Kurva Suplai Tenaga Kerja……………………………………............ Diagram Alur Pemikiran…………………………….…………........... Gambaran Musim Tanam yang Menjadi Periode Pengamatan.............. Sketsa Tumpangsari Padi pada Lahan Tanaman Acacia mangium........ Usaha Kerajinan Kulit Kayu di Desa Babakan Sebagai Potensi Usaha Mandiri yang Dapat Dikembangkan LMDH…………….....................
20 40 46 52 59 80 86
v
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Nomor Teks Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5.
Hasil uji T Perbedaan Pendapatan Rumah tangga................. Hasil uji T Perbedaan Curahan Kerja Keluarga..................... Hasil Analisis Regresi Logistik.............................................. Bagi Hasil Kayu BKPH Parungpanjang Tahun 2007............ Foto-foto Kegiatan di Lapangan............................................
126 126 127 128 129
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang dikarunia dengan
sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang berlimpah. Kekayaan sumberdaya alam Indonesia salah satunya tergambarkan dari luas total daratan wilayah Indonesia yang mencapai 1,9 juta km2 (belum termasuk perairan)1. Dengan luas wilayah yang demikian besar potensi sumberdaya alam Indonesia mencakup yang berasal dari daratan maupun perairan. Kehidupan masyarakat Indonesia pun sangat bergantung pada hasil-hasil produksi sumberdaya alam tersebut. Interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya alam di sekitarnya merupakan suatu karakteristik khas yang dijumpai pada negara-negara berkembang yang berbasiskan sumberdaya alam. Sumberdaya alam yang besar tentu perlu dikelola dengan baik dan bertanggung jawab guna menjamin keberlanjutan pembangunan bagi setiap generasi. Terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan, Suharjito dan Darusman (1998) menyatakan bahwa pergeseran paradigma pembangunan dari pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan top down menuju pendekatan yang pastisipatif memberikan imbas kepada pembangunan kehutanan. Pengelolaan sumberdaya hutan yang berbasis pada masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan. Ciri utama pendekatan 1
Berdasarkan data dari BPS (2004) luas daratan wilayah Indonesia mencapai 1.860.359,67 km2 sedangkan luas perairan (hingga Zona Ekonomi Ekslusif) sekitar 7,9 juta km2.
2
tersebut adalah adanya pengaruh sistem sosial setempat yang cukup kuat pada proses pengambilan keputusan. Pada sistem pengelolaan ini masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab melakukan pengelolaan sumberdaya alam di sekitarnya. Dalam konteks sumberdaya hutan pula, kepentingan pengembangan praktek-praktek kehutanan masyarakat sudah dirasakan sejak tahun 1970-an ketika muncul pemikiran untuk mengevaluasi masa-masa awal pembangunan di berbagai negara berkembang. Pada umumnya kegiatan pembangunan bangsabangsa yang baru meraih kemerdekaannya setelah perang dunia kedua dimulai pada tahun 1960-an. Orientasi pembangunan negara-negara tersebut adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan. Industri-industri pengolahan kayu tumbuh pesat di Indonesia sejak tahun 1967 hingga tahun 1990 (FAO, 2003). Produk-produk ekspor kehutanan utama mencakup kayu gergajian/sawmills, kayu lapis/plywood, bubur kertas/pulp, dan berbagai produk olahan lainnya. Kegiatan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang yang melakukan pembangunan ekonomi dengan berbasis sumberdaya alam akan menghadapi berbagai permasalahan. Menurut Ponting yang dikutip oleh Suharjito dan Darusman (1998), permasalahan tersebut adalah luas lahan yang dicurahkan untuk tanaman-tanaman ekspor seperti kelapa sawit dan karet terus meningkat serta adanya ketimpangan distribusi penguasaan lahan. Kedua permasalahan tersebut serta adanya pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan persoalan
3
turunan di bidang sosial dan lingkungan yaitu kemiskinan, deforestasi, dan degradasi kualitas lingkungan2. Persoalan-persoalan kehutanan akibat eksploitasi sumberdaya alam sudah sangat bisa dirasakan di Indonesia. Laju deforestasi lahan hutan untuk periode 2000-2005 mencapai lebih dari 1 juta ha/tahun. Secara rata-rata, urutan laju deforestasi untuk setiap pulau adalah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku. Fakta yang menarik adalah laju deforestasi yang terjadi di Papua dan di Jawa tidak jauh berbeda yaitu masingmasing 143.680 ha/tahun dan 142.560 ha/tahun, padahal luas hutan yang ada jauh lebih besar di Papua. Laju deforestasi pun terlihat paling tinggi pada periode 2002-2003 yang disebabkan tingginya tekanan masyarakat terhadap hutan pada masa awal penerapan otonomi daerah. Hal tersebut menunjukkan tekanan deforestasi yang sangat besar di Pulau Jawa. Perhitungan deforestasi Indonesia disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Deforestasi di Indonesia 2000-2005 No
Pulau
259.500 212.000 154.000 20.000 147.200 118.300 107.200
202.600 129.700 150.400 41.400 160.500 142.100 99.600
339.000 480.400 385.800 132.400 140.800 343.400 84.300
208.700 173.300 41.500 10.600 100.800 71.700 28.100
335.700 234.700 134.600 10.500 169.100 37.300 40.600
Rata-rata per tahun (ha) 268.500 246.020 173.260 42.980 143.680 142.560 71.960
1 .018.200
926.300
1 .906.100
634.700
962.500
155.566
2000-2001 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sumatera Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Jawa Bali & Nusa Tenggara Total
Deforestasi tiap Tahun (ha) 2001-2002 2002-2003 2003-2004
2004-2005
Sumber: Badan Planologi Kehutanan (2007) Pembukaan lahan hutan untuk pemanfaatan lain di luar hasil hutan, atau yang dikenal sebagai deforestasi, merupakan konsekuensi dari pembangunan 2 Laju pertumbuhan penduduk periode 1990-2004 mencapai 1,43 persen (BPS, 2004). Apabila menggunakan data jumlah penduduk tahun 2004 yang sebesar 217, 9 juta jiwa, berarti rata-rata pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 3,1 juta jiwa per tahun.
4
ekonomi
yang
menitikberatkan
pada
aspek
pasar.
Sumberdaya
alam
diperhitungkan berdasarkan nilai jual pasarnya. Sebagian besar deforestasi di Indonesia terjadi karena pembukaan lahan hutan untuk perkebunan seperti perkebunan sawit, karet maupun untuk kepentingan lahan pertanian dan permukiman.
Kepentingan-kepentingan
lain
tersebut
dianggap
lebih
menguntungkan sehingga mendorong percepatan laju deforestasi. Implikasi lebih jauh dari teori pembangunan yang menitikberatkan aspek pasar adalah semakin diutamakannya pihak-pihak tertentu untuk menggerakkan produksi dan perdagangan, dan mengabaikan masyarakat banyak sebagai pelaku utama pembangunan (Suharjito dan Darusman, 1998). Untuk itu diperlukan suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, yang lebih memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam selain dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dapat membantu menjaga kelestarian lingkungan karena masyarakat merasa bahwa sumberdaya yang dikelolanya adalah bagian penting dalam hidup mereka yang harus senantiasa dijaga. Era otonomi daerah yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 2000 memberikan imbas untuk mendorong pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih melibatkan
masyarakat.
Semangat
yang
terkandung
dalam
pengelolaan
sumberdaya berbasis masyarakat adalah pengelolaan bersifat desentralistik dan partisipatif terhadap masyarakat yang tentu saja hal tersebut relevan dengan semangat otonomi daerah. Perum Perhutani sebagai pihak yang secara resmi menjadi pengelola hutan produksi milik negara di Pulau Jawa telah melakukan penyesuaian sistem pengelolaan hutannya sesuai dengan semangat otonomi
5
daerah tersebut. Pengelolaan hutan yang sebelumnya lebih bercirikan Timber Management dirubah menjadi pola Community Based Forest Management. Perubahan nyata yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani berdasarkan paradigma Community Based Forest Management adalah dengan menerapkan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Program PHBM merupakan satu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani dan masyarakat desa atau antara Perum Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional (Awang, 2004). Pengelolaan hutan melalui program PHBM diharapkan akan berlangsung lebih lestari dan produktif serta adil bagi masyarakat sekitar hutan. Hal ini sejalan dengan keadaan yang kritis pada hutan-hutan produksi di Pulau Jawa yang sebagian diantaranya memang berada dalam hak pengelolaan Perum Perhutani3. Di sisi lain, program PHBM diharapkan mampu mengurangi biaya produksi Perum Perhutani khususnya untuk tenaga perawatan dan pemanenan hasil hutan.
1.2
Perumusan Masalah Luas hutan di Pulau Jawa mencapai 13,4 juta ha (Badan Planologi
Kehutanan, 2007) dengan jumlah penduduk sekitar 128.738.000 jiwa (BPS, 2004). Sebagian besar wilayah hutan tersebut dikelilingi oleh daerah perdesaan. Jumlah penduduk yang besar telah meningkatkan tekanan penduduk untuk 3
Wilayah tanggung jawab Perum Perhutani di Pulau Jawa mencapai 3.077.887,03 ha (Perum Perhutani, 2004).
6
merambah kawasan hutan terutama pada wilayah perdesaan yang berada di sekitar hutan. Hal ini juga terkait dengan kenyataan masih tingginya angka pengangguran terbuka di Indonesia yang berdasarkan data BPS (2004) mencapai 10,2 juta jiwa. Pengangguran sendiri merupakan imbas dari kurangnya jumlah pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja yang tersedia. Adanya tekanan jumlah penduduk serta terbatasnya lapangan pekerjaan menimbulkan efek negatif terhadap keamanan hutan yaitu berupa gangguan kelestarian hutan dan fungsi hutan. Bentuk-bentuk gangguan tersebut biasanya dilakukan oleh masyarakat dengan melakukan pengembalaan liar, pencurian kayu ataupun pembukaan lahan hutan untuk usaha pertanian. Masyarakat sekitar hutan akan terus melakukan tekanan terhadap hutan bilamana tidak ada lapangan pekerjaan yang memadai dan rendahnya pendapatan rumah tangga yang mereka dapatkan. Merespon fenomena tersebut serta didorong oleh semangat otonomi daerah, Perum Perhutani sebagai pengelola hutan produksi di Pulau Jawa mengeluarkan Keputusan Nomor 136/Kpts/Dir/2001 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Keputusan yang mengatur mengenai hak dan kewajiban masyarakat dan perusahaan dalam mengelola hutan ini cukup memberikan insentif kepada kedua belah pihak dalam melakukan kegiatan pengelolaan yang lebih baik. Program PHBM sebagai sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok pada lahan hutan negara yang dikelola Perum Perhutani memang dimaksudkan untuk memberikan keuntungan kepada pihak-pihak terlibat di dalamnya yaitu Perum Perhutani sendiri dan masyarakat sekitar hutan. Tujuan umum dari adanya program tersebut adalah terciptanya pengelolaan hutan yang
7
lebih lestari dan meningkatnya pendapatan masyarakat desa hutan. Di sisi lain, Perum Perhutani pun turut merasakan keuntungan karena biaya pengelolaan dan perawatan hutan menjadi lebih rendah karena adanya keterlibatan masyarakat. Kelestarian hutan dan peningkatan pendapatan masyarakat melalui hasil-hasil hutan yang dapat dibagi berdasarkan kerangka perjanjian, merupakan hal yang membedakan antara sistem PHBM dengan sistem pengelolaan hutan sebelumnya yang telah dilaksanakan Perum Perhutani yaitu program Perhutanan Sosial. Salah satu wilayah implementasi PHBM Perum Perhutani adalah yang terdapat di Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parungpanjang, wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor. Terdapat 11 lokasi desa yang telah melakukan perjanjian dengan Perum Perhutani di wilayah BKPH Parungpanjang. Perjanjian di tiap desa dilakukan antara Perum Perhutani dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dengan prinsip bagi hasil dari produk-produk kehutanan yang diusahakan khususnya yang berasal dari tebangan Acacia mangium dan pemanfaatan lahan di tengah hutan sebagai lahan usahatani tumpangsari untuk tanaman pangan. Sistem bagi hasil di BKPH Parungpanjang antara Perum Perhutani dan masyarakat dilakukan berdasarkan usia dari tanaman utama yaitu Acacia mangium. Pada tahun ke 1 hingga tahun ke 2 masa tanam, masyarakat dapat melakukan usahatani tumpangsari (agroforestry) di kawasan hutan dengan tidak mengganggu ekosistem tanaman hutan. Seluruh keuntungan yang didapatkan dari usahatani tersebut menjadi hak masyarakat. Memasuki umur kayu tahun ke 3, masyarakat sudah dapat memanfaatkan 100 persen kayu Acacia mangium hasil penjarangan yang sebelumnya telah ditandai oleh mandor Perhutani untuk boleh
8
ditebang. Kayu-kayu tersebut tidak diinginkan oleh Perhutani karena belum memiliki nilai komersial dan keberadaannya sendiri mengganggu jarak tanam ideal antar pohon yang seharusnya adalah 3 x 3 meter. Kegiatan penjarangan berikutnya dilakukan sesuai prinsip bagi hasil berdasarkan kerangka perjanjian PHBM yang ditetapkan. Pada tahun ke 5 hingga ke 9, kayu Acacia mangium sudah mempunyai nilai komersial dan bagi hasil pun diterapkan secara menyeluruh. Masyarakat dapat menikmati maksimal 25 persen dari nilai penjualan kayu. Bagi hasil antara Perum Perhutani dengan LMDH yang telah terjadi di Parungpanjang pada tahun 2007, dilakukan untuk pemanenan kayu yang ditanam tahun 2005. Persentase share yang didapat masyarakat masih kecil yaitu hanya sekitar 2-3 persen dari nilai penjualan kayu. Hal ini karena kayu yang dipanen adalah hasil penanaman yang telah dilakukan Perum Perhutani sebelum perjanjian dilakukan yaitu di tahun 2006. Bagi hasil tersebut sebenarnya tidak perlu dilakukan Perum Perhutani karena belum ada keterlibatan masyarakat secara langsung dalam penanaman dan perawatan kayu. Pembagian share tersebut dilakukan hanya sebagai insentif dan untuk menunjukkan itikad baik Perum Perhutani sehingga masyarakat yakin akan keberlanjutan program PHBM. Sebagai timbal balik dari kegiatan bagi hasil, masyarakat wajib menjaga keamanan hutan dengan tidak mengganggu ekosistem tanaman utama. Apabila ada hal-hal yang mencurigakan sebagai tindakan pencurian kayu, masyarakat harus melaporkannya kepada mandor lapangan ataupun Kepala BKPH. Dalam pelaksanaannya, program PHBM yang dilaksanakan di BKPH Parungpanjang masih mengalami berbagai kendala sehingga belum mencapai
9
taraf ideal sebagaimana konsep sebenarnya. Beberapa masalah yang terjadi adalah belum adanya usaha produktif yang dikembangkan oleh masyarakat serta belum baiknya jiwa berorganisasi dan tanggung jawab para anggota LMDH4. Anggota LMDH yang terdiri atas para petani sekitar hutan seharusnya melakukan pengelolaan hutan sebagaimana yang dimaksudkan dalam kegiatan PHBM. Petani-petani yang berada di sekitar hutan pun belum seluruhnya melibatkan diri dalam kerangka kerjasama PHBM. Permasalahan-permasalahan tersebut muncul karena masyarakat belum menyadari benar akan adanya manfaat program khususnya dalam hal peningkatan pendapatan dan curahan kerja mereka. Salah satu desa yang mengalami permasalahan sebagaimana dijabarkan sebelumnya tersebut adalah Desa Babakan. Untuk itu studi kasus akan dilakukan di Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor yang telah melakukan perjanjian program PHBM sejak tahun 2006 dengan BKPH Parungpanjang. Pemilihan desa juga didasarkan pada aktifitas para anggota LMDH yang cukup tinggi untuk memanfaatkan hasil-hasil hutan dan luasnya lahan hutan yang berada di wilayah desa yaitu mencapai 974,15 ha. Luas hutan di Desa Babakan adalah yang terbesar diantara seluruh desa lainnya di BKPH Parungpanjang. Dari studi kasus yang dilakukan, penelitian ini akan berusaha untuk menjawab pertanyaanpertanyaan berikut ini. 1. Permasalahan apa saja yang terjadi dalam implementasi PHBM di Desa Babakan? 2. Bagaimana pengaruh PHBM terhadap pendapatan rumah tangga peserta program di Desa Babakan? 4
Berdasarkan wawancara dengan Kepala BKPH Parungpanjang Bapak Sukidi, S.Hut pada tanggal 12 Maret 2008.
10
3. Bagaimana pengaruh PHBM terhadap curahan kerja keluarga peserta program di Desa Babakan? 4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program PHBM di Desa Babakan? 5. Bagaimana prospek keberlanjutan program PHBM di Desa Babakan?
1.3
Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan dari
implementasi program PHBM di lapangan dalam kaitannya dengan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga masyarakat turut terlibat dalam usaha pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Berangkat dari tujuan umum dan didasarkan pada perumusan masalah yang telah dibangun sebelumnya, penelitian ini membatasi tujuan-tujuan khususnya sebagai berikut: 1. mengidentifikasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi PHBM di Desa Babakan; 2. mengevaluasi pengaruh program PHBM terhadap pendapatan dan curahan kerja khususnya bagi masyarakat yang menjadi peserta program di Desa Babakan; 3. menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani Desa Babakan untuk ikut serta dalam program PHBM; 4. mempelajari prospek pengembangan dan keberlanjutan program PHBM di Desa Babakan.
11
1.4
Batasan Penelitian Penelitian ini membatasi pembahasannya pada kasus yang terjadi di Desa
Babakan dan tidak mengambil kesimpulan umum mengenai performa program PHBM
di seluruh wilayah yang menjadi tanggung jawab Perum Perhutani.
Responden utama dalam penelitian ini adalah para petani sekitar hutan yang melakukan penggarapan pada lahan kayu Acacia mangium yang ditanam pada tahun 2007. Penelitian tidak melakukan analisis usahatani mendalam untuk mengetahui kelayakan usahatani tumpangsari padi yang dilakukan oleh para penggarap ataupun kelayakan kegiatan pengelolaan kayu dalam kerangka program PHBM. Analisis terhadap pendapatan rumah tangga dan curahan kerja dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan diantara kedua kelompok petani yang mengikuti dan tidak mengikuti program PHBM.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini merupakan salah satu syarat bagi penulis
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, IPB. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi Perum Perhutani dalam memahami permasalahan yang terjadi dalam implementasi program PHBM untuk kemudian menjadi bahan evaluasi pengembangan PHBM berikutnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat terutama yang terlibat langsung dalam pelaksanaan
penelitian
untuk
mengaktualisasikan
pandangannya mengenai program PHBM.
dan
menyampaikan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengelolaan Sumberdaya Alam Kecenderungan umum yang terjadi beberapa dekade terakhir dalam hal
pengelolaan sumberdaya alam adalah adanya kesadaran akan pentingnya memperhatikan subjek yang seharusnya terlibat dalam pengelolaan dan kemudian bagaimana menilai manfaat sumberdaya alam. Dalam hal subjek pengelolaan, para ahli lingkungan menyarankan pentingnya keterlibatan masyarakat yang selama ini seringkali termajinalkan dalam pengambilan-pengambilan keputusan pengelolaan. Hal itu tentunya berpotensi memberikan dampak negatif bagi kelestarian sumberdaya alam yang sangat rentan bilamana tidak ada kesadaran dan keterlibatan masyarakat untuk mengelolanya. Dalam hal penilaian manfaat sumberdaya alam, kesadaran muncul dengan adanya pengembangan berbagai metode yang mencoba memproyeksikan manfaat-manfaat keberadaan sumberdaya alam secara komprehensif. Perhatian terhadap sumberdaya alam juga mencakup hak kepemilikannya (property rights). Isu mengenai hak kepemilikan menjadi penting karena sangat mempegaruhi kelestarian suatu sumberdaya alam. 2.1.1 Penilaian Manfaat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Analisis manfaat-biaya (benefit-cost analysis) merupakan suatu metode dasar yang sering digunakan dalam berbagai analisis pengelolaan sumberdaya alam. Analisis manfaat biaya merupakan metode sistematis untuk menemukan serta mengukur manfaat dan biaya ekonomis suatu proyek atau program yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan manusia.
13
Manfaat suatu proyek adalah nilai tambah hasil barang dan jasa termasuk jasa lingkungan yang dimungkinkan dengan adanya proyek, sedangkan biaya adalah nilai tambah sumberdaya riil yang dimanfaatkan dalam proyek (Hufschmidt et al. 1987). Terdapat dua jenis analisis manfaat-biaya, yaitu yang merupakan analisis secara finansial serta analisis ekonomi dalam pengertian luas. Analisis manfaatbiaya yang memasukkan faktor lingkungan ke dalam penghitungannya merupakan bentuk analisis ekonomi dan berbeda dengan analisis manfaat-biaya secara finansial, oleh karena itu terminologi analisis tersebut sering pula diistilahkan sebagai extended benefit-cost analysis. Hufschmidt et al. (1987) menyatakan bahwa teknik-teknik untuk menilai manfaat lingkungan dibagi ke dalam tiga kategori besar yaitu: (1) berdasarkan nilai pasar atau produktivitas; (2) berdasarkan nilai pasar barang pengganti (surrogate) ataupun barang pelengkap; dan (3) berdasarkan teknik survei. Dalam beberapa penerapan analisis manfaat-biaya, seluruh teknik tersebut digunakan secara bersama untuk mengukur manfaat total ekonomi dari suatu sumberdaya alam atau yang lebih dikenal sebagai Total Economic Value (TEV). Penilaian manfaat sumberdaya alam dengan menggunakan analisis TEV akan memberikan gambaran yang lebih lengkap karena penilaian dilakukan baik terhadap manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan manfaat pilihan dari suatu sumberdaya alam. Nilai ekonomi total yang didapatkan dari hasil analisis menggambarkan besarnya potensi manfaat dari suatu sumberdaya alam walaupun potensi tersebut tidak benar-benar dimanfaatkan oleh masyakarat. Teknik yang lebih sederhana untuk menilai manfaat sumberdaya alam adalah dengan membatasinya pada penilaian manfaat langsung. Penilaian manfaat
14
langsung didasarkan pada analisis harga pasar dari berbagai produk barang dan jasa yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Penggunaan teknik penilaian sederhana tersebut dilakukan pada penelitian yang memiliki sudut pandang parsial untuk melihat pengaruh pengelolaan sumberdaya alam terhadap suatu aspek saja. Selain itu, penggunaan analisis sederhana dilakukan bilamana peneliti tidak bermaksud untuk mengetahui potensi nilai ekonomi keseluruhan atau ketika data dan informasi yang dibutuhkan sulit digali dari responden. 2.1.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Mengenai subjek pengelolaan, Darmawan et al. (2004) memberikan gambaran tentang pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sebagai salah satu pendekatan yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaan. Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional. Berbasis masyarakat mengandung pengertian bahwa sumberdaya tersebut dikelola oleh masyarakat baik dalam bentuk komunitas, unit usaha berbasis komunitas, maupun individual. Sementara itu, Carter yang juga dikutip oleh Darmawan et al. (2004) memberikan definisi pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia. Pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan di suatu daerah terleak di tangan organisasi-organisasi dalam masyarakat daerah tersebut. Beberapa kelebihan pendekatan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adalah: 1. mampu mendorong pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam;
15
2. merefleksikan kebutuhan masyarakat yang spesifik; 3. dapat meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat; 4. dapat meningkatkan efisiensi secara ekonomi dan ekologi; 5. responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; 6. masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan. Faktor yang sangat berkaitan dengan pengelolaan dalam pembangunan berbasis masyarakat adalah perilaku manusia. Melalui perilaku, manusia saling berinteraksi dengan manusia lain dan lingkungan yang berada di sekitarnya. Perilaku manusia banyak yang mempengaruhi kelestarian
lingkungan dan
sumbedaya alam. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana merubah perilaku negatif manusia terhadap alam dan lingkungannya. Untuk itulah diperlukan berbagai konsep kebijakan yang mengatur bagaimana pengelolaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga manusia tetap bersikap positif dan akrab dengan lingkungan. 2.1.3 Property Rights dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Devlin dan Grafton (1998) menjelaskan terdapat beberapa pola hak kepemilikan dalam pengelolaan sumberdaya alam, yaitu: (1) open access; (2) limited-user open access; (3) state rights; (4) community rights; (5) dan private rights. Masing-masing pola tersebut memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan pola yang lain. Pilihan jenis pengelolaan yang tepat atas suatu sumberdaya alam merupakan salah satu kunci mencapai kelestarian sumberdaya alam dalam memberikan manfaat kepada manusia.
16
Kondisi open access terjadi ketika tidak terdapat suatu pihak yang secara khusus mengontrol pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam open access, tidak ada batasan terhadap individu ataupun kelompok yang ingin mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam. Dengan demikian, tidaklah mengherankan manakala kondisi open access akan menuju pada keadaan eksploitasi berlebihan, suatu kasus yang disebut Bromley dalam Devlin dan Grafton (1998) sebagai “everybody’s access is nobody’s property”. Sebagian besar sumberdaya alam yang ada di seluruh dunia merupakan sumberdaya open access sehingga jarang ada pihak yang merasa bertanggung jawab untuk menjaganya. Kenyataan bahwa kondisi open access dapat menuju pada eksploitasi berlebihan menyadarkan berbagai pihak untuk kemudian mengembangkan konsep limited-user open access. Pada pola pengelolaan tersebut, jumlah pengguna ataupun jumlah sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan dibatasi oleh pemerintah/regulator. Namun demikian, beberapa kasus dalam penerapan pola limited-user open access membuktikan kegagalan pola ini dalam membatasi jumlah sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Ketika suatu jumlah maksimum ditetapkan, banyak diantara para pengguna sumberdaya alam yang berlomba-lomba untuk lebih dahulu memanfaatkan sumberdaya alam sebelum batas maksimum yang diperbolehkan tercapai. Hal tersebut justru menyebabkan jumlah sumberdaya alam yang tereksploitasi melebih jumlah maksimum. Limiteduser open access akan berjalan efektif ketika jumlah pengguna suatu sumberdaya alam memang tidak banyak. Hal ini karena adanya peraturan pembatasan eksploitasi akan membuat para pengguna cenderung untuk saling bekerja sama menciptakan keseimbangan dan tidak bersaing satu sama lain.
17
Pola pengelolaan ketika suatu sumberdaya alam dikuasai oleh negara atau yang disebut sebagai state rights merupakan satu jenis pengelolaan yang cukup banyak diterapkan. Penerapannya dapat disandingkan dengan jenis pengelolaan lain baik open access, limited-user open access, maupun private access ketika pemerintah memberikan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam kepada pihak swasta. Kelemahan paling mendasar dari pola pengelolaan state rights adalah bahwa pola tersebut tidak fleksibel terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan dan sosial. Proyek-proyek yang dikembangkan pada suatu sumberdaya alam mungkin saja tidak diterima oleh masyarakat terutama ketika pemerintah yang berkuasa tidak demokratis terhadap masyarakatnya. Selain itu, proyek pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan state rights juga berpotensi merusak lingkungan yaitu ketika pemerintah lebih mementingkan keuntungan ekonomi di atas kelestarian sumberdaya alam. Salah satu jenis kepemilikan sumberdaya alam yang paling lama berkembang di masyarakat adalah pola community rights. Hak tersebut akan menghalangi pihak-pihak yang berasal dari luar komunitas untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam yang berada di lingkungannya. Kepemilikan sumberdaya secara community rights banyak dijumpai hampir di seluruh dunia pada masyarakat-masyarakat tradisional. Karakteristik pada pola community rights yang berhasil menurut Ostrom dalam Devlin dan Grafton (1998) adalah adanya batas-batas geografis yang jelas atas sumberdaya, peraturan-peraturan pemanfaatan sumberdaya yang diterima oleh para anggota komunitas, pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap para transgressor dari
18
luar komunitas, dan peraturan-peraturan yang tidak dapat dilangkahi oleh peraturan lain dari pemerintah setempat. Solusi standar secara ekonomi atas berbagai eksternalitas yang muncul dengan adanya common-pool resources adalah dengan menerapkan private property rights. Namun tentu saja keberhasilan dari solusi ini tergantung pada perbandingan antara biaya yang ditimbulkan dengan adanya hak ekslusif terhadap manfaat hak pengelolaan private rights, serta adanya jaminan kelembagaan yang dan kesetaraan untuk mendapatkan hak ekslusif tersebut. Private rights akan sangat berguna dalam mengoptimalkan manfaat sumberdaya alam manakala suatu sumberdaya tersebut memiliki nilai komersial, biaya dari membatasi hak orang lain menggunakannya lebih kecil daripada manfaat total serta kualitas dalam pengelolaan dilakukan dengan baik. Dari berbagai jenis hak kepemilikan dalam sumberdaya alam, seringkali dibutuhkan keterpaduan dari berbagai pola sesuai dengan keadaan di lapangan. Terkait dengan penelitian yang dilakukan, pengelolaan sumberdaya hutan dengan program PHBM merupakan wujud pengelolaan sumberdaya yang dimiliki oleh negara (state rights) dengan mengajak masyarakat setempat untuk turut mengelolanya. Pengelolaan bersama pada program PHBM lebih mengarah pada pola co-management/partnership antara Perum Perhutani sebagai pemilik hak kelola hutan produksi di Pulau Jawa dengan masyarakat setempat sebagai stakeholder utama.
2.2
Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Konsep pengelolaan hutan berkelanjutan diawali dengan kesadaran akan
pentingnya pembangunan berkelanjutan. Gadow, Pukkala dan Tome (2000)
19
menyatakan bahwa sejak beberapa dekade pembangunan hanya dipahami sebagai proses pertumbuhan ekonomi yang kemudian diterjemahkan secara sederhana sebagai pertumbuhan dari Produk Nasional Bruto (PDB). Setelah tahun 1960-an, keterkaitan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan kemudian menjadi isu penting dalam agenda perencanaan pembangunan. Kesadaran akan keterkaitan tersebut menjadi dasar dari berbagai pertemuan internasional yang membahas tentang pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan laporan yang dirilis oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987, pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai: “pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasi masa depan untuk dapat memenuhi kebutuhannya”. Pengertian tersebut kemudian lebih disempurnakan pada tahun 1992 dalam pertemuan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil. Pada pertemuan akbar tersebut disepakati bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan: “kerjasama global untuk pembangunan yang layak secara ekonomi (economically viable), adil secara sosial (socially just), dan berwawasan lingkungan (environmentally sound) tidak hanya untuk masa sekarang tetapi juga masa depan” (Gadow, Pukkala dan Tome 2000). Dari konsep yang diterangkan oleh UNCED tersebut, dapat disimpulkan adanya tiga aspek penting yang harus diperhatikan dalam suatu pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan tidak akan berjalan tanpa memperhatikan aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Gambar 1 menunjukkan pentingnya keterkaitan antara ketiga aspek tersebut.
20
Gambar 1. Segitiga Pembangunan Berkelanjutan
Linkungan
Sosial Pembangunan Berkelanjutan
Ekonomi
Sumber: Gadow, Pukkala dan Tome (2000) Dari Gambar 1, terlihat bahwa interaksi antara ketiga aspek ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan unsur penting dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Konsep tersebut kemudian juga diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang juga mengarah pada konsep keberlanjutan. Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan selain mementingkan keuntungan ekonomi, juga harus memperhatikan bagaimana dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sekitarnya sehingga sumberdaya hutan akan tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Perhatian terhadap salah satu aspek saja tidak akan menghasilkan suatu pengelolaan yang berkelanjutan, sehingga ketiga aspek tersebut harus dipandang sebagai sistem yang saling mendukung. Lingkungan mempengaruhi aspek ekonomi karena lingkungan memberikan bahan mentah dan energi sebagai faktor produksi dan mempengaruhi aspek sosial dengan memberikan sumberdaya kepada masyarakat sebagai sumber barang dan jasa mentah untuk dikonsumsi. Sebaliknya, aspek ekonomi mempengaruhi lingkungan dengan memberikan residu
21
dari kegiatan produksi yang bisa bermanfaat dan mempengaruhi aspek sosial dengan menghasilkan barang dan jasa konsumsi bagi masyarakat. Begitu pula dengan aspek sosial, aspek ini mempengaruhi lingkungan dengan melakukan perlindungan dan pengelolaan terhadap sumberdaya yang ada serta mempengaruhi aspek ekonomi dengan memberikan infrastruktur dan tenaga kerja untuk pendukung kegiatan produksi. Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dapat dilihat dari bagaimana ketiga aspek tersebut saling berinteraksi. Interaksi ketiga aspek yang tidak saling merugikan akan membuat suatu pengelolaan sumberdaya hutan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
2.3
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Indonesia Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, pemerintah mulai memperhatikan
aspek kemasyarakatan sejak diterbitkannya SK Menhut No. 691 tahun 1991 tentang Bina Desa Hutan. Melalui peraturan ini pemerintah berusaha membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik yang berada di dalam maupun di sekitar hutan. Keputusan tersebut kemudian direvisi melalui SK Menhut No. 69 Jo SK Menhut No. 523 tahun 1997 yang di dalamnya istilah Bina Desa Hutan diganti dengan istilah Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (Darmawan et al. 2004). Darmawan et al. (2004) juga menyatakan bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat memasuki babak baru dengan dikeluarkannya UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan yang didasarkan pada pemikiran bahwa keberpihakan kepada rakyat adalah kunci utama keberhasilan pengelolaan hutan. Dengan demikian, praktek-praktek pengeloaan hutan yang berorientasi pada kayu dan kurang
22
memperhatikan hak dan keterlibatan rakyat perlu dirubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumberdaya kehutanan dan masyarakat. Relevan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di era otonomi daerah, pelaksanaan sebagian pengurusan hutan yang bersifat operasional diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat propinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pengelolaan hutan yang bersifat nasional diatur oleh pemerintah pusat. Salah satu pendekatan pengelolaan hutan yang diterapkan di Indonesia adalah pola
hutan
kerakyatan
ataupun
hutan
kemasyarakatan.
Definisi
hutan
kemasyarakatan adalah sebagai hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan dengan tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Izin pengelolaan hutan kemasyarakatan diberikan oleh Bupati/Walikota dalam jangka waktu 25 tahun setelah memperoleh penetapan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan sebagai wilayah pengelolaan hutan kemasyarakatan. Pada halaman berikutnya akan disajikan Tabel 2 yang merangkum berbagai kebijakan tingkat pusat tentang pengelolaan hutan di Indonesia.
23
Tabel 2. Berbagai Kebijakan Pengelolaan Hutan di Indonesia No.
Jenis Peraturan
Nomor dan Tahun
1.
Undang-undang
No. 19 Tahun 2004
2.
Tap MPR
No. IX/MPR/2001
3.
Peraturan Pemerintah
No. 51 Tahun 1998
4.
Peraturan Pemerintah
No. 6 Tahun 1999
4.
Peraturan Pemerintah
No. 2 Tahun 2008
5.
Keputusan Menhut
No. 251/Kpts-II/1993
6.
Keputusan Menhut
No. 272/KptsIV/1993
7.
SK Menhutbun
No. 318/Kpts-II/1999
8.
SK Menhutbun
No. 865/Kpts-II/1999
9.
SK Menhutbun
No. 13.1./Kpts/2000
10.
SK Menhut
No. 31/Kpts-II/2001
11.
SK Menhut
No. 70/Kpts-II/2001
Perihal Kehutanan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Provisi Sumberdaya Hutan Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Kehutanan Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan Tata Cara Pengenaan, Pemungutan, Penyetoran, Penyimpanan dan Penggunaan Dana Reboisasi Peran Serta Masyarakat dalam Pengusahaan Hutan Penyempurnaan Kepmenhutbun No. 677/KptsII/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan Kriteria dan Standar Peredaran dan Pemasaran Hasil Hutan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan
Sumber: Darmawan et al. (2004) dan www.dephut.go.id
2.4
Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia Dalam berbagai literatur terdapat beberapa istilah yang digunakan secara
saling bergantian bahkan diantaranya ada yang saling tertukar sebagai padanan
24
kata dari kehutanan masyarakat. Beberapa istilah asing untuk menyatakan kehutanan masyarakat adalah community forestry, social forestry, participatory forestry dan lain sebagainya. Istilah social forestry sering mengacu kepada bentuk kehutanan industrial yang dimodifikasi untuk
memungkinkan
distribusi
keuntungan kepada masyarakat lokal sekitar hutan. Konsep kehutanan yang lebih menekankan fungsi kontrol masyarakat dalam pengelolaan hutan diistilahkan sebagai community forestry. Kartasubrata yang dikutip oleh Suharjito dan Darusman (1998) memandang bahwa istilah perhutanan sosial dan kehutanan sosial sebagai padanan istilah social forestry. Lokasi pengembangan social forestry sebagian berada pada tanah milik serta tanah negara seperti hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Bentuk-bentuk social forestry yang pernah dilaksanakan di Indonesia diantaranya adalah: (1) Hutan Rakyat; (2) Hutan Serbaguna atau Kemasyarakatan; (3) dan Perhutanan Sosial yang kemudian menjadi program PHBM. Perbedaan mendasar dari ketiga jenis pengelolaan hutan oleh masyarakat tersebut adalah mengenai status kepemilikan lahannya serta pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan tersebut. Hutan Rakyat merupakan pengelolaan di atas lahan milik rakyat sendiri, sedangkan Hutan Kemasyarakatan merupakan pengelolaan hutan oleh masyarakat di atas lahan hutan produktif yang tidak sedang dikonsensikan kepada pihak manapun. Istilah Perhutanan Sosial merupakan istilah khusus sebagai program yang dilakukan oleh Perum Perhutani untuk mengelola hutan produksinya bersama masyarakat. Program Perhutanan Sosial kemudian berganti nama menjadi Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di era tahun 2000-an
25
sejak keluarnya SK Direksi Perum Perhutani pada tahun 2001. Tabel 3 merangkum bentuk-bentuk kehutanan masyarakat di Indonesia. Tabel 3. Bentuk-bentuk Kehutanan Masyarakat di Indonesia No.
Nama
Status Lahan
1.
Hutan Rakyat
Lahan milik masyarakat
2.
Hutan Serbaguna/ Kemasyarakatan Perhutanan Sosial
Hutan produksi negara yang tidak dikonsensikan Hutan produksi Perum Perhutani
PHBM
Hutan produksi Perum Perhutani
3.
4.
Masa Pengembangan Dimulai sejak tahun 1930-an
Keterangan
Merupakan kegiatan lanjutan yang dimulai Pemerintah Belanda Sejak Repelita Dikaitkan dengan ketiga (antara kegiatan 1979-1984) penghijauan Sejak 1986-2001 Pelaksanaan berupa usahatani tumpangsari 2001-sekarang Lanjutan dari Perhutanan Sosial
Sumber: diolah dari Suharjito dan Darusman (1998) 2.4.1 Pengembangan Hutan Rakyat di Tanah Milik Istilah Hutan Rakyat sudah lebih lama digunakan dalam program-program pembangunan kehutanan dan disebut dalam UUPK tahun 1967. Hutan Rakyat dikembangkan di Pulau Jawa pada tahun 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda. Setelah masa kemerdekaan Pemerintah Indonesia melanjutkannya pada tahun 1952 melalui gerakan “Karang Kitri”. Secara nasional pengembangan hutan Rakyat berada di bawah payung program penghijauan pada tahun 1960-an dengan pelaksanaan Pekan Raya Penghijauan pertama kali pada tahun 1961. Hutan Rakyat diusahakan di atas tanah milik yang diakui secara formal oleh pemerintah. Dalam Hutan Rakyat diusahakan tanaman-tanaman pohon seperti sengon, akasia, kemenyan, damar, kemiri, dan bambu. Jumlah rumah tangga yang mengusahakan hutan rakyat berdasarkan Sensus Pertanian tahun 1993 adalah 827.767 rumah tangga dari 19.713.806 tumah tangga petani
26
pengguna lahan (Suharjito, 1998). Sebagian besar dari petani hutan rakyat berada di Pulau Jawa yaitu sekitar 83,5 persen dan tiap rumah tangga mengusahakan lahan rata-rata kurang dari 0,75 ha. 2.4.2 Hutan Serbaguna dan Hutan Kemasyarakatan Penggunaan istilah Hutan Serbaguna mulai dikembangkan dalam Repelita Ketiga yaitu antara tahun 1979 hingga 1984. Kegiatan yang dilakukan dalam Hutan Serbaguna mencakup pengembangan sutera, lebah madu, rumput untuk ternak, dan kayu bakar. Di sisi lain, Hutan Kemasyarakatan mulai dikembangkan dalam Repelita Kelima antara tahun 1989-1994 dengan pola pengembangan yang telah dijabarkan oleh Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan. Pengembangan Hutan Rakyat, Hutan Serbaguna, dan Hutan Kemasyarakatan dikaitkan dengan program penyelamatan hutan, tanah, dan air. Hal ini berkaitan dengan kesadaran adanya berbagai masalah degradasi lingkungan dan kehutanan. Pengembangan Hutan Kemasyarakatan memperoleh pengertian dan bentuknya yang baru pada tahun 1995. Hal tersebut terjadi setelah ditetapkannya SK Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/1995 pada tanggal 20 November 1995. Dalam SK tersebut Hutan Kemasyarakatan dikembangkan di dalam kawasan hutan produksi atau hutan lindung yang tidak sedang dikonsesikan kepada pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan). Hasil hutan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas adalah hasil hutan non kayu. 2.4.3 Perhutanan Sosial Penggunaan istilah Perhutanan Sosial pertama kali dilakukan oleh Perum Perhutani di Pulau Jawa pada tahun 1986 dan proyek percontohan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan di berbagai wilayah Kalimantan hingga Papua.
27
Semua kegiatan tersebut mendapat dukungan dana dari yayasan internasional The Ford Foundation. Dengan demikian, Perhutanan Sosial merupakan bukti adanya integrasi pemikiran internasional yang mulai menekankan peran serta masyarakat ke dalam sistem pengelolaan hutan di Indonesia. Perum Perhutani mengimplementasikan Perhutanan Sosial melalui program-program
prosperity
approach
berupa
tumpangsari
dan PMDH
(Pembangunan Masyarakat Desa Hutan). Orientasi dari program tumpangsari lebih kepada sistem hubungan kerja pengupahan. Kegiatan Perhutanan Sosial juga meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan yaitu pengembangan agroforestry dan kegiatan di luar kawasan hutan seperti peternakan, industri rumahtangga, dan perdagangan. Pengembangan agroforestry merupakan upaya pengembangan polapola tanam yang lebih intensif sehingga masyarakat memperoleh manfaat yang lebih besar dan berkesinambungan. Program pola tanam tumpangsari agroforestry dan PMDH yang dilakukan oleh Perum Perhutani terus mengalami pembaruan hingga kemudian tercipta program PHBM di tahun 2000-an. Penjelasan khusus mengenai program PHBM disajikan pada Sub-bab 2.5.
2.5
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Konsep dan pelaksanaan PHBM di lingkup kerja Perum Perhutani
dipengaruhi oleh situasi dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya yang berkembang di masyarakat. Berdasarkan pengalaman Perhutani, hutan negara yang dikelilingi penduduk miskin rentan akan gangguan dan keamanan yang berasal dari masyarakat. Tindakan tekanan oleh penduduk tersebut seperti
28
pencurian kayu dan okupasi lahan ditujukan untuk kegiatan pertanian penduduk miskin itu sendiri. 2.5.1 Maksud dan Tujuan PHBM Keberadaan program PHBM merujuk kepada visi Perum Perhutani yaitu pengelolaan sumberdaya hutan sebagai ekosistem di Pulau Jawa secara adil, demokratis, efisien, dan profesional guna menjamin keberhasilan fungsi dan manfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan program PHBM ditentukan oleh kemampuan Perum Perhutani untuk dapat menjabarkan programprogram PHBM sampai tingkat lapangan dan desa secara benar. Program PHBM dimaksudkan untuk memberikan arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek-aspek ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional guna mencapai visi dan misi Perum Perhutani. Awang (2004) menjelaskan tujuan PHBM adalah: a. meningkatkan tanggung jawab Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan terhadap keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan; b. meningkatkan peran Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan; c. menyelaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah, kondisi, dan dinamika sosial masyarakat desa hutan; d. meningkatkan mutu sumberdaya hutan sesuai dengan karakteristik wilayah; dan
29
e. meningkatkan pendapatan Perhutani, masyarakat desa hutan, dan pihakpihak yang berkepentingan secara simultan. 2.5.2 Kegiatan Pengelolaan Hutan dalam Konsep PHBM Kegiatan PHBM dilaksanakan dengan jiwa berbagi dalam pemanfaatan lahan dan pemanfaatan hasil agar saling menguntungkan diantara pihak-pihak yang terlibat. Dengan adanya keuntungan yang dirasakan semua pihak, maka kegiatan PHBM akan dapat berhasil mencapai tujuannya yaitu kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat. Awang (2004) juga menjelaskan bahwa keberhasilan PHBM sangat ditentukan oleh beberapa faktor yaitu adanya dukungan pemerintah baik tingkat daerah maupun tingkat pusat serta tentu saja dukungan setiap elemen masyarakat yang terlibat di dalamnya. Dalam pelaksanaan kegiatan PHBM, masyarakat desa mempunyai hak sebagai berikut: (1) bersama Perum Perhutani menyusun rencana, melakukan monitoring, dan evaluasi; (2) memperoleh manfaat dari hasil kegiatan sesuai dengan nilai dan proporsi faktor produksi yang dikontribusikan; (3) memperoleh fasilitas dari Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan. Hak-hak tersebut merupakan hak secara normatif yang terdapat dalam konsep PHBM. Dalam praktek di lapangan khususnya yang terjadi di wilayah penelitian, program PHBM memberikan hak dan kewenangan kepada masyarakat untuk: 1.
melakukan usahatani tumpangsari/agroforestry di lahan hutan Perum Perhutani;
2.
memanfaatkan 100 persen hasil penjarangan kayu pada tahun awal;
3.
memperoleh bagi hasil (share) produksi tebangan kayu sesuai kontribusi masyarakat dalam pengelolaannya.
30
Hak dan kewenangan masyarakat dalam PHBM harus sejalan dengan kewajiban yang perlu dilakukan masyarakat. Kewajiban-kewajiban tersebut mencakup: (1) bersama Perum Perhutani menjaga dan melindungi sumberdaya hutan untuk keberlanjutan fungsi dan manfaatnya; (2) memberikan kontribusi faktor produksi; (3) mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan fasilitasi yang diberikan oleh Perum Perhutani. Di sisi lain, Perum Perhutani juga memiliki hak yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat dalam kegiatan PHBM namun dengan penekanan bahwa pihak Perum Perhutani memiliki hak untuk mendapatkan dukungan aktif masyarakat desa hutan dalam menjaga kelestarian hutan. Dalam hal kewajiban, Perum Perhutani wajib untuk memberikan fasilitas dan persiapan yang memadai bagi terciptanya kondisi yang baik untuk pelaksanaan PHBM di tingkat masyarakat. Selain itu, Perum Perhutani wajib untuk bekerjasama dengan berbagai pihak yang berpotensi guna mendorong optimalisasi dan pengembangan kegiatan PHBM. Berkaitan dengan ketentuan dan sistem bagi hasil, Direktur Utama Perum Perhutani mengeluarkan Keputusan No. 001/Kpts/DIR/2002 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Hasil hutan kayu yang menjadi obyek berbagi adalah kayu perkakas (jati dan non jati) dan kayu bakar (jati dan non jati) dari kawasan hutan produksi yang dikelola bersama masyarakat. Kayu perkakas dan kayu bakar tersebut adalah kayu yang berasal dari tebangan yang direncanakan meliputi tebangan akhir (tebangan A dan B) dan tebangan penjarangan (tebangan E) serta tebangan force meajure meliputi tebangan tak sangka (tebangan D) dan tebangan yang dihapuskan (tebangan C). Berdasarkan ketentuan bagi hasil PHBM (Setyadi, 2004) besarnya hak LMDH dari tebangan akhir ditentukan dengan rumus (2-1).
31
(2-1)
25%
keterangan: hak LMDH atas tebangan akhir
masa pengelolaan bersama umur tanaman/tegakan pada saat tebang akhir Penyerahan kayu dari hasil penjarangan yang proporsinya 100 persen untuk LMDH diserahkan dalam bentuk kayu bakar di lokasi tebangan dengan berita acara yang ditandatangani oleh kedua belah pihak. Hasil kayu dari tebangan lanjutan dan tebangan akhir untuk LMDH diserahkan setelah kayu-kayu tersebut diterima di Tempat Pengumpulan Kayu (TPK) yang penyerahannya dalam bentuk uang tunai sesuai Harga Jual Dasar (HJD) setelah dikurangi biaya eksploitasi, angkutan dan biaya pemasaran dengan dibuatnya berita acara. Berita acara tersebut dibuat sebagai bentuk implementasi prinsip transparansi dan kejujuran yang harus ditekankan dalam kegiatan bagi hasil.
2.6
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian yang terkait dengan PHBM telah dilakukan dari
berbagai sudut pandang keilmuan baik dari sudut pandang kehutanan maupun kemasyarakatan. Penelitian yang dilakukan mahasiswa Manajemen Hutan banyak mengkaji mengenai peranan, partisipasi dan kesejahteraan masyarakat dalam program PHBM pada kasus desa tertentu. Tema-tema kajian tersebut sedikit beririsan dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang juga melihat pemberdayaan dan peranan petani hutan dalam program PHBM serta mengkaji kesejahteraan masyarakat di
32
dalamnya. Kajian mengenai analisis ekonomi PHBM juga telah banyak dilakukan oleh mahasiswa baik tingkat sarjana maupun pascasarjana, namun tema-tema manfaat PHBM terhadap curahan kerja dan pendapatan rumah tangga serta faktorfaktor yang mempengaruhi kerikutsertaan petani dalam program belum banyak diteliti. Untuk tingkat pascasarjana, penelitian mengenai PHBM yang pernah dilakukan adalah terkait dengan formulasi kebijakan PHBM serta strategi nafkah rumah tangga masyarakat desa sekitar hutan. Formulasi kebijakan PHBM dilakukan oleh Yuniandra (2007) untuk kasus di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat. Penelitian yang dilakukan Yuniandra bertujuan untuk: (1) menganalisis substansi kebijakan PHBM; (2) mengkaji implementasi dan dampak kebijakan PHBM ; dan (3) merumuskan strategi kebijakan PHBM di Taman Nasional Gunung Ciremai. Data yang dikumpulkan oleh Yuniandra (2007) merupakan gabungan data primer dengan melakukan wawancara dan survey di lapangan serta data sekunder dari berbagai sumber terkait. Setelah data didapatkan, data kemudian diolah dengan menggunakan alat analisis yang sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk mengetahui substansi PHBM dilakukan analisis isi serta analisis struktur dan hirarki, sedangkan untuk mengetahui dampak dan formulasi kebijakan dilakukan masing-masing dengan analisis deskriptif serta analisis SWOT dan AHP. Kesimpulan dari penelitian Yuniandra (2007) adalah bahwa PHBM mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar rata-rata 7,71 persen. Strategi kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengembangan PHBM di Gunung Ciremai
33
adalah sosialisasi nilai ekonomi taman nasional, pengembangan pemanfaatan taman nasional, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dalam thesis yang lain, Purnomo (2006) mencoba menggali strategi nafkah rumah tangga desa sekitar hutan di Desa Padabeunghar, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Tujuan penelitian Purnomo (2006) adalah: (1) mengetahui sumberdaya yang dimanfaatkan sebagai sumber nafkah rumah tangga; (2) mengetahui penggunaan sumberdaya hutan dalam strategi nafkah rumah tangga; (3) mendapatkan gambaran strategi nafkah rumah tangga yang dipilih dan ditetapkan; (4) mengetahui pilihan strategi nafkah yang dilakukan rumah tangga di
sekitar
Perum
Perhutani;
(5)
mengetahui
dasar
rasionalitas
yang
melatarbelakangi pilihan strategi nafkah rumah tangga. Data yang didapatkan berasal dari wawancara mendalam terhadap responden dan studi dokumen untuk kemudian dianalisis secara kualitatif. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa rasionalitas yang mendasari strategi nafkah rumah tangga penduduk Desa Padabeunghar berbeda dengan rasionalitas yang mendasari rancangan sistem nafkah PHBM. Dalam tingkat penelitian sarjana, kajian ekonomi PHBM dengan pola agroforestry dilakukan oleh Setyadi (2004) dari program studi Manajemen Hutan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mempelajari aspek manajerial, pendapatan, serta prospek pengembangan PHBM di Desa Cendana, Banjarnegara. Sumber data didapatkan baik dari kuesioner di lapangan maupun data sekunder. Selanjutnya, pengolahan data dilakukan dengan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif melalui perhitungan pendapatan usahatani yang dilakukan pada program PHBM. Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut adalah program PHBM telah
34
berjalan secara efektif dan efisien serta usaha agroforestry yang dilakukan layak secara finansial. Dengan demikian, Setyadi meyimpulkan pengembangan PHBM di Desa Cendana memiliki prospek yang baik. Penelitian yang dilakukan Setyadi memiliki kaitan dengan penelitian yang akan dilakukan karena ingin mengkaji prospek keberlanjutan program PHBM di suatu kawasan. Pada penelitian lainnya, Natalia (2005) melakukan kajian kemitraan antara Perum Perhutani dengan petani melalui program PHBM di Desa Cibeber, Kabupaten Bogor. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat hubungan kemitraan yang diterapkan di lokasi penelitian dan manfaatnya terhadap petani mitra. Pengumpulan data dilakukan baik dengan observasi dan wawancara, maupun pengumpulan data sekunder. Selanjutnya, data diolah dengan analisis deskriptif dan analisis tingkat hubungan untuk mengetahui pola hubungan yang terjadi antara Perhutani dengan petani mitra setempat. Dari analisis yang dilakukan, disimpulkan bahwa tingkat hubungan kemitraan yang terjadi mencapai tingkat Prima Madya. Kemitraan melalui program PHBM yang diterapkan juga dapat meningkatkan pendapatan anggota kelompok tani sebesar rata-rata 12,8 persen dari pedapatan total petani. Penelitian Natalia (2005) tersebut serupa dengan yang dilakukan oleh Fitria (2007) dari Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang mengkaji mengenai kemitraan PHBM dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di Desa Trijaya, Kabupaten Kuningan. Tujuan dari penelitian Fitria (2007) adalah untuk mengetahui posisi masyarakat lokal dalam pengelolaan PHBM dan mengenai justifikasi keberhasilan program yang dilakukan. Data yang dikumpulkan lewat berbagai kuesioner kemudian diolah secara deskriptif.
35
Kesimpulan yang didapatkan menunjukkan bahwa program PHBM belum mampun meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Desa Trijaya. Puspita (2006) melakukan penelitian tentang motivasi dan peranan petani KTH dalam pengelolaan PHBM di Desa Warnasari, Bandung Selatan. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mengukur tingkat motivasi petani, mengetahui pengaruh
peranan KTH terhadap motivasi petani serta mengukur tingkat
pendapatan dan pengeluaran total rumah tangga petani dalam kegiatan PHBM. Analisis data untuk motivasi petani dilakukan dengan teknik skala Likert, untuk analisis pengaruh peranan KTH terhadap motivasi petani dengan uji statistik Range Spearman, dan analisis pendapatan dilakukan dengan analisis presentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi yang mendorong partisipasi petani dalam PHBM adalah motivasi ekologi, sosial budaya, dan motivasi ekonomi. Keberadaan KTH berpengaruh nyata dalam meningkatkan motivasi petani dalam program PHBM. Presentase rata-rata pendapatan petani dari kegiatan PHBM terhadap pendapatan totalnya sebesar 17,24 persen yang termasuk kategori cukup. Penelitian yang mencoba menyoroti pemberdayaan dan partisipasi masyarakat lokal juga telah dilakukan oleh Nugroho (2004) dan Suhadi (2006) yang melakukan penelitian di lokasi yang sama. Nugroho (2004) melakukan penelitiannya untuk mengetahui bagaimana hubungan antara PHBM dengan pemberdayaan masyarakat di RPH Buniwangi, Sukabumi. Hasil dari penelitian Nugroho (2004) menunjukkan bahwa program PHBM di RPH Buniwangi berhasil memberdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar hutan. Penelitian oleh Suhadi (2006) dilakukan
dengan tujuan yang sedikit
dimodivikasi yaitu dengan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi
36
partisipasi peserta dalam kegiatan PHBM. Kesimpulan dari penelitian Suhadi (2006) adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam PHBM adalah sedang hingga tinggi. Faktor-faktor seperti tingkat pendidikan, pendapatan di luar program PHBM, kepemilikan lahan, tingkat kosmopolit, dan tingkat pemahaman kontrak memainkan peranan dalam menentukan partisipasi masyarakat dalam PHBM. Kedua penelitian tersebut manggunakan sumber data primer dari wawancara dan kuesioner serta data sekunder yang berasal dari berbagai instansi terkait. Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dibahas sebelumnya cukup berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan dalam hal subjek penelitian yaitu masyarakat peserta program PHBM. Namun di sisi lain, penelitian terdahulu belum ada yang membahas secara lebih dalam mengenai manfaat program PHBM dalam peningkatan curahan kerja, walaupun diantaranya telah ada yang membahas mengenai peningkatan pendapatan rumah tangga dengan adanya program tersebut. Penelitian yang akan dilakukan juga akan berusaha untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan dalam implementasi PHBM di lapangan serta faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program untuk kemudian dilihat bagaimana keberlanjutan program tersebut di masa selanjutnya. Rangkuman mengenai studi terdahulu tentang PHBM disajikan pada Tabel 4.
37
Tabel 4. Studi Terdahulu tentang PHBM No 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Nama dan Judul Penelitian Agustina Multi Purnomo (2006) Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan: Studi Kasus Desa Peserta PHBM di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. (Thesis) Farma Yuniandra (2007) Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. (Thesis)
Arif Setyadi (2004) Kajian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dengan Pola Agroforestry: Studi Kasus di Desa Cendana, RPH Singomerto, BKPH Banjarnegara, KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa tengah. (Skripsi) Pesta Natalia (2005) Kajian Kemitraan antara Perum Perhutani dengan Petani melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Kasus di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor. (Skripsi) Yuni Fitria (2007) Kemitraan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan: Studi Kasus Desa Trijaya, Kecamatan Mandirancan, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. (Skripsi) Indah Diana Puspita (2006) Motivasi Petani dan Peranan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Desa Warnasari, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. (Skripsi)
Radityo Setyo Nugroho (2004) Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Studi Kasus RPH Banuwangi, BKPH Pelabuhan Ratu, KPH Sukabumi, Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. (Skripsi) Herry Suhadi (2006) Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Kasus Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. (Skripsi)
Kesimpulan Rasionalitas yang mendasari strategi nafkah rumah tangga penduduk Desa Padabeunghar berbeda dengan rasionalitas yang mendasari rancangan sistem nafkah PHBM. (1) PHBM mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar rata-rata 7,71 persen; (2) Strategi kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengembangan PHBM adalah sosialisasi nilai ekonomi taman nasional, pengembangan pemanfaatan taman nasional, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. (1) Program PHBM telah berjalan secara efektif dan efisien serta usaha agroforestry yang dilakukan layak secara finansial; (2) Pengembangan PHBM di Desa Cendana memiliki prospek yang baik. (1) Tingkat hubungan kemitraan yang terjadi mencapai tingkat Prima Madya; (2) Kemitraan melalui program PHBM dapat meningkatkan pendapatan anggota kelompok tani sebesar rata-rata 12,8 persen dari pedapatan total petani. Program PHBM belum mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Desa Trijaya.
(1) Motivasi yang mendorong partisipasi petani dalam PHBM adalah motivasi ekologi, sosial budaya, dan motivasi ekonomi; (2) Keberadaan KTH berpengaruh nyata dalam meningkatkan motivasi petani dalam program PHBM; (3) Presentase rata-rata pendapatan petani dari kegiatan PHBM terhadap pendapatan totalnya sebesar 17,24 persen yang termasuk kategori cukup. Program PHBM di RPH Buniwangi berhasil memberdayakan dan meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar hutan.
(1) Tingkat partisipasi masyarakat dalam PHBM adalah sedang hingga tinggi; (2) Faktor-faktor yang signifikan adalah tingkat pendidikan, pendapatan di luar program PHBM, kepemilikan lahan, tingkat kosmopolit, dan tingkat pemahaman kontrak.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Teori Perspektif Kehutanan Sosial Subjek dari sistem kehutanan sosial terkait dengan berbagai disiplin ilmu. Hal ini dikarenakan sumberdaya alam dan faktor-faktor sosial berkaitan erat satu sama lain. Beberapa peneliti berusaha untuk menjelaskan dasar teoritik kehutanan sosial melalui perspektif sistem. Awang (2004) telah merangkum dan menjabarkan sedemikian rupa mengenai berbagai perspektif teoritik tentang kehutanan sosial yang mencakup: (1) kehutanan sosial sebagai suatu sistem sumberdaya; (2) pendekatan farming system; (3) perspektif ekologi kebudayaan; dan (4) perspektif ekologi manusia. Perspektif kehutanan sosial sebagai sistem sumberdaya dikembangkan oleh Rebugio pada tahun 1985. Dalam perspektif sistem sumberdaya, kehutanan sosial dipandang sebagai suatu sistem sumberdaya yang meliputi kumpulan interaksi antara tiga elemen yaitu lahan, manusia dan teknologi. Ketiga elemen tersebut mewakili komponen bio-fisik dan sosial dari sumberdaya. Melalui kombinasi yang tepat antara ketiga elemen tadi maka kehutanan sosial dapat dipandang sebagai pemecahan yang efektif untuk sosial, lingkungan, dan produksi kehutanan. Konsep sistem sumberdaya cukup baik sebagai suatu metodologi untuk penelitian interdisipliner dalam memandang pengelolaan hutan yang mencoba memberdayakan keberadaan masyarakat.
39
Pendekatan farming system merupakan konsep yang masih jarang diterapkan dalam bidang kehutanan sosial. Secara relatif, dibandingkan dengan perspektif lainnya farming system memiliki cakupan yang sempit dan dibatasi pada kegiatan yang mengambil tempat pada lahan pertanian. Keterbatasan ini karena strategi pembangunan tepat guna yang dihasilkan oleh pendekatan tersebut hanya diperuntukkan bagi petani. Namun demikian, pendekatan ini telah banyak berhasil untuk penelitian sosial ekonomi pada kasus penerapan agroforestry. Pandangan lain melihat kehutanan sosial dari perspektif ekologi kebudayaan. Melalui perspektif ini, kehutanan sosial digambarkan sebagai interaksi antara tiga variabel yaitu petani, teknologi dan lahan/hutan. Keputusan petani mengenai kegiatan lapangan sebagian besar dipengaruhi oleh keadaan lahan dan input teknologi yang dimiliki. Kumpulan faktor-faktor tersebut mempengaruhi keputusan petani berdasarkan status sosial masing-masing petani. Kehutanan sosial dalam perspektif ekologi manusia didasarkan pada kajian sosiologis yang dikembangkan sejak awal oleh Malthus dan Darwin. Dalam model ekologi manusia, terdapat dua sub-sistem yang independen yaitu ekosistem alam dan sistem sosial. Kedua sub-sistem tersebut divisualisasikan saling berhubungan melalui perubahan energi, material, dan informasi sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2 di halaman berikutnya. Sistem sosial dan ekosistem alam dapat saling mempengaruhi melalui transfer energi, materi, dan informasi (A, C) dan transfer seleksi dan adaptasi (B). Kedua sub-sistem dapat dilihat sebagai hubungan dialektika yang tidak ada habisnya dan merupakan suatu proses kerjasama evolusioner dan saling mempengaruhi.
40
Gambar 2. Model Sistem Ekologi Manusia A A
EKOSISTEM SISTEM SISTEM
SISTEM SOSIAL
B
SOSIAL ALAM SOSIAL
C Keterangan: A, C = aliran energi, material, dan informasi B = seleksi dan adaptasi
Sumber: Awang (2004) Dengan didasari pemahaman akan model sistem ekologi manusia, penelitian
mengenai
perhutanan
sosial
harus
dilakukan
dengan
mempertimbangkan sistem yang terjadi diantara manusia (masyarakat sekitar hutan) dan ekosistem hutan. Penelitian yang akan dilakukan akan mengkaji permasalahan dan prospek PHBM serta implikasinya bagi kesejahteraan masyarakat. Penelitian tersebut merupakan suatu kajian sosial ekonomi dalam kerangka perhutanan baik sebagai sumberdaya maupun sebagai suatu ekosistem yang berhubungan langsung dengan manusia di sekitarnya. 3.1.2 Konsep Dasar Pendapatan Rumah tangga Pertanian Dalam melakukan analisis pendapatan rumah tangga terdapat dua pendekatan yang dapat dilakukan yaitu melalui pendekatan direct measure dan indirect measure. Pendekatan direct measure berarti dengan mengidentifikasi terlebih dahulu sumber-sumber pendapatan rumah tangga dari berbagai kegiatan yang dilakukannya baik dari usaha sendiri maupun jenis usaha lain yang memberikan tambahan penghasilan. Seluruh pendapatan rumah tangga dari berbagai sumber tersebut kemudian dijumlahkan untuk memberikan gambaran
41
pendapatan rumah tangga dalam satu rentang waktu tertentu. Pendekatan direct measure baik dilakukan apabila jelas teridentifikasi sumber-sumber pendapatan yang secara konsisten memberikan tambahan penghasilan kepada rumah tangga. Pada kasus lain, seringkali sumber-sumber pendapatan rumah tangga tidak dapat dijelaskan oleh responden atau tidak terdapat sumber-sumber pendapatan yang secara konsisten mempengaruhi pendapatan. Untuk itu penghitungan pendapatan rumah tangga dapat ditelusuri dengan pendekatan indirect measure. Pendekatan indirect measure berarti menghitung besar pendapatan rumah tangga berdasarkan pengeluaran yang dilakukan. Dalam pendekatan tersebut perlu diketahui alokasi pengeluaran yang secara konsisten dilakukan oleh rumah tangga sehingga dapat tergambarkan besanyar rata-rata pendapatan yang diterima. Pendekatan ini mengasumsikan terjadi keseimbangan finansial antara pendapatan dan pengeluaran. Secara konseptual, para peneliti telah mengembangkan model dasar sebagai kerangka analisis dalam memahami perilaku rumah tangga pertanian. Model dasar tersebut didasari oleh teori utilitas yang menganggap bahwa setiap rumah tangga akan mengoptimalkan alokasi waktu dan konsumsinya untuk memaksimalkan kepuasan. Langkah awal untuk memahami perilaku rumah tangga yaitu dengan mengasumsikan bahwa rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang memiliki tujuan rasional sebagaimana rumah tangga lainnya. Berikut ini akan dijabarkan penjelasan sederhana mengenai konsep dasar analisis pendapatan rumah tangga pertanian oleh Singh, Squire dan Struss (1986) yang menggabungkan metode penghitungan pendapatan rumah tangga baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran.
42
Menurut Singh, Squire dan Struss (1986) untuk setiap periode produksi, rumah tangga pertanian diasumsikan akan memaksimumkan fungsi utilitasnya: , ,
(3-1)
dimana menunjukkan produk pertanian utama yang dikonsumsi sendiri, sebagai produk yang dibeli di pasar, dan adalah waktu senggang. Fungsi (3-1) tersebut menunjukkan kepuasaan rumah tangga dengan mengkonsumsi berbagai barang dan waktu senggang. Utilitas akan berusaha dimaksimumkan oleh rumah tangga terkait dengan kendala pendapatan berupa: (3-2)
dimana dan masing-masing adalah harga barang yang dibeli di pasar serta harga produk utama, adalah jumlah produk utama yang dihasilkan rumah tangga (sehingga adalah surplus produksi), adalah upah di pasaran, adalah input tenaga kerja, dan adalah tenaga kerja dari keluarga (dengan demikian apabila bernilai positif berarti usahatani tersebut lebih banyak mempekerjakan tenaga kerja eksternal, dan bila negatif berarti lebih banyak mempergunakan tenaga kerja internal; L dan F dalam jam kerja). Rumah tangga pertanian juga menghadapi kendala waktu. Dengan demikian, mereka tidak dapat mengalokasikan waktu lebih untuk waktu senggang, untuk berproduksi, maupun untuk bekerja di luar sektor usahatani mereka melebihi waktu yang tersedia. Persamaan sederhana untuk menggambarkan ketersediaan waktu adalah: (3-3)
dimana adalah total waktu yang tersedia bagi rumah tangga, dan masingmasing adalah alokasi waktu senggang dan waktu untuk berproduksi. Rumah
43
tangga pertanian juga menghadapi kendala produksi yang menggambarkan hubungan antara input dan output: ,
(3-4)
Pada persamaan (3-4) digambarkan bahwa total produksi merupakan fungsi dari total tenaga kerja dan luas lahan . Ketiga kendala yaitu kendala pendapatan, kendala waktu, dan kendala fungsi produksi dapat disederhanakan ke dalam satu persamaan kendala. Dengan memasukkan kendala produksi ke dalam kendala pendapatan untuk menggantikan , dan memasukkan kendala waktu untuk menggantikan pada kendala pendapatan, maka didapatkan persamaan berikut ini:
(3-5)
dimana , dan menunjukkan keuntungan usahatani. Secara aplikatif, persamaan (3-5) menunjukkan bahwa pendapatan total rumah tangga pertanian merupakan penjumlahan dari keuntungan usahataninya serta pendapatan upah dari sektor lain.
(3-6) keterangan: PT
= Pendapatan total rumah tangga pertanian
Pa
= Pendapatan dari usahatani
Pb
= Pendapatan upah dari sektor lain
3.1.3 Konsep Dasar Curahan Kerja Keluarga Perilaku rumah tangga dalam mengalokasikan curahan kerjanya perlu didekati dengan terlebih dahulu mengetahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi curahan kerja tersebut. Model umum untuk menjelaskan alokasi curahan kerja
44
dapat dikembangkan dengan menggunakan pendekatan kardinal melalui fungsi utilitas, sebagaimana yang dikembangkan oleh Becker dalam Krisnamutrhi (1991). Utilitas keluarga seperti yang tertulis dalam persamaan (3-1) merupakan fungsi dari konsumsi terhadap berbagai barang dan penggunaan waktu senggang. Fungsi utilitas keluarga tersebut dapat ditulis kembali dengan penggunaan notasi yang sedikit berbeda dari fungsi (3-1), yaitu: , , , … ,
(3-7) dengan kendala:
∑
(3-8)
(3-9) keterangan: U
= tingkat kepuaasan keluarga
S
= waktu senggang
L
= curahan kerja (jam kerja)
T
= total ketersediaan waktu
Xi
= jumlah barang ke-i yang dikonsumsi
Pi
= harga barang ke-i
I0
= pendapatan non upah
W
= tingkat upah
I
= total pendapatan Fungsi utilitas (3-7) kemudian dapat dirubah dengan mensubtitusi waktu
senggang S sebagai total waktu dikurangi waktu untuk bekerja. (3-10)
! , , , … . , # $
45
Total waktu yang dimiliki (T) merupakan jumlah yang konstan yaitu maksimal 24 jam/hari. Karena curahan kerja dapat digunakan untuk berbagai kegiatan, maka fungsi utilitas dapat dinyatakan kembali sebagai: %, , … , & , , , … , '
(3-11)
dan kemudian fungsi kendalanya menjadi: ∑ & & ∑
(3-12) keterangan: Lj
= curahan kerja untuk kegiatan ke-j
wj
= upah kerja di kegiatan ke-j Fungsi utilitas yang menunjukkan tingkat kepuasan juga sangat ditentukan
oleh karakteristik individu ataupun karakteristik keluarga (K). Karakteristik tersebut diantaranya mencakup pendidikan, umur, pandangan hidup, dan hal lainnya yang dianggap akan mempengaruhi persepsi rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan, waktu luang dan pendapatan. Memperhatikan hal tersebut, dan berdasarkan persamaan (3-12) yang menunjukkan hubungan antara pendapatan dan curahan kerja, maka dapat diturunkan fungsi curahan kerja total sebagai fungsi dari: % &, , ('
(3-13)
Jadi, curahan kerja total merupakan pengaruh dari upah yang diterima untuk kegiatan upah ke-j yang dilakukan, tingkat pendapatan, serta karakteristik keluarga. Pengaruh upah rata-rata terhadap waktu yang dicurahkan untuk bekerja dapat dijelaskan dengan kurva suplai tenaga kerja pada Gambar 3. Kurva tersebut
46
menjelaskan bagaimana tingkat upah menentukan alokasi waktu kerja yang akan diberikan oleh seorang individu pekerja. Gambar 3. Kurva Suplai Tenaga Kerja Upah per jam
A
L2
L1
O
W1
W2
Jam kerja
Sumber: King (1990) King (1990) menjelaskan bahwa upah merupakan biaya oportunitas untuk menambah waktu senggang seorang individu. Dengan demikian, apabila upah meningkat maka seorang individu akan mensubtitusi waktu senggangnya dan menambah waktu kerja hingga titik tertentu (titik A) ketika efek subtitusi tersebut lebih kecil daripada tambahan pendapatan yang diterimanya (efek pendapatan lebih besar daripada efek subtitusi). Pada Gambar 3, kurva suplai tenaga kerja berbentuk backward-bending sehingga jam kerja maksimal yang akan diberikan oleh seorang individu adalah L2. Pada tingkat upah W1, seorang individu akan mengalokasikan jam kerja L1. Keseluruhan model umum dari teori utilitas hingga bentuk kurva suplai tenaga kerja menjelaskan bahwa curahan kerja seorang individu sangat dipengaruhi oleh upah.
47
3.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program PHBM Berdasarkan perspektif ekologi kebudayaan yang disebutkan oleh Awang (2004), kehutanan sosial merupakan suatu pola interaksi antara petani, teknologi, dan lahan/hutan. Melalui pandangan tersebut dapat dipahami bahwa keputusan petani dalam pengelolaan lahannya sangat tergantung pada keadaan lahan dan input teknologi yang kemudian mempengaruhi keputusan petani berdasarkan status sosialnya. Dalam penelitian ini, pemikiran teoritis tersebut diterjemahkan dalam kerangka empirik yang sesuai dengan keadaan di lapangan untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program PHBM. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani tersebut adalah umur, pendidikan, jumlah jam kerja mencari kayu bakar, pendapatan rumah tangga, curahan kerja keluarga, kepemilikan lahan usahatani pribadi, keikutsertaan dalam penyuluhan Perhutani, dan kepemilikan profesi lain di bidang non usahatani. Faktor umur, pendidikan, pendapatan rumah tangga, curahan kerja keluarga, kepemilikan lahan dan profesi lain di bidang non usahatani mewakili keadaan sosial petani. Faktor keikutsertaan dalam penyuluhan mewakili pemahaman petani/teknologi berusahatani, sedangkan faktor jumlah jam kerja mencari kayu bakar mewakili interaksi petani dengan lahan hutan. (3-14) ) *+,, -(., /(0(,, 1.,, 2((1, -3., -., -,4 keterangan: Z
= keputusan mengikuti program PHBM; “0” tidak ikut, “1” ikut
UMR = umur (tahun) PDKN = tingkat pendidikan (tahun)
48
JKBKR= jumlah jam kerja mencari kayu bakar per hari (jam) PENRT= pendapatan rumah tangga (Rp/musim) CKKEL= curahan kerja keluarga (jam kerja/musim) DLHN = kepemilikan lahan usahatani pribadi; “0” tidak punya, “1” punya DPYLN= keikutsertaan dalam penyuluhan Perhutani; “0” tidak ikut, “1” ikut DPROF= kepemilikan akan profesi di bidang non usahatani; “0” tidak punya profesi lain, “1” punya profesi lain Faktor umur dan tingkat pendidikan menggambarkan pengalaman dan tingkat pemahaman petani dalam berusahatani. Apabila pengalaman dan pemahaman petani lebih baik maka petani akan lebih tergerak untuk mau mengikuti program PHBM. Selain itu, perjanjian dalam PHBM memiliki mekanisme tertentu yang dapat dipahami oleh petani yang memiliki pemahaman memadai. Pemahaman tersebut juga menjadi lebih baik bilamana petani melibatkan dirinya dalam penyuluhan yang dilakukan oleh Perum Perhutani. Masuknya variabel jumlah jam mencari kayu bakar per hari didasarkan pada kebiasaan penduduk di wilayah penelitian yaitu Desa Babakan
yang
menggunakan kayu bakar untuk kebutuhan memasak. Sumber kayu bakar utama berasal dari kawasan hutan Perum Perhutani yang berada di sekitar desa. Apabila petani semakin lama menggunakan waktunya untuk mencari kayu bakar maka akan semakin tinggi interaksinya dengan hutan Perum Perhutani. Interaksi yang tinggi tersebut akan mendorong petani untuk terlibat dalam program PHBM. Variabel lain yang juga diduga mempengaruhi keputusan petani mengikuti program PHBM adalah pendapatan rumah tangga dan curahan kerja keluarga. Seorang petani yang memiliki pendapatan rumah tangga dan curahan kerja yang
49
rendah cenderung untuk mengikuti program sehingga pendapatan dan curahan kerjanya meningkat. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa keadaan petani yang mengikuti
program
adalah
cenderung
merupakan
petani
yang
masih
underemployed sehingga perlu meningkatkan curahan kerjanya dan kemudian meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Faktor kepemilikan lahan menunjukkan apakah petani memiliki lahan usahatani sendiri atau tidak. Petani yang tidak memiliki lahan usahatani sendiri cenderung untuk mengikuti program PHBM karena program tersebut memberikan hak kepada petani untuk menggarap lahan usahatani di tengah hutan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Faktor keikutsertaan dalam penyuluhan menjadi penting karena penyuluhan merupakan sarana petani untuk memahami program serta menjadi kesempatan bagi petani untuk mendapatkan jatah pembagian lahan. Petani yang mengikuti penyuluhan akan lebih terdorong untuk mengikuti program PHBM. Kepemilikan profesi di bidang non usahatani menggambarkan adanya sumber keuangan yang dimiliki petani di luar usahatani. Dengan memiliki sumber keuangan yang lain, maka petani cenderung untuk tidak menganggap keikutsertaan dalam program sebagai hal yang penting.
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian mengenai PHBM ini berangkat dari pemahaman bahwa
kerusakan hutan seringkali disebabkan oleh tekanan masyarakat sekitar hutan yang merambah hutan-hutan negara karena minimnya sumberdaya yang dapat mereka manfaatkan sebagai sumber penghidupannya. Di sisi lain, pemberdayaan masyarakat merupakan pendekatan yang penting diterapkan dalam pengelolaan
50
sumberdaya alam termasuk diantaranya sumberdaya hutan. Hal tersebut semakin disadari terutama sejak era otonomi daerah yang mengamanatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Menyadari pentingya pemberdayaan masyarakat, Perum Perhutani sebagai pengelola hutan negara di Pulau Jawa mengeluarkan SK No. 136/Kpts/Dir/2001. Keputusan tersebut berisi tentang mekanisme kerja sama dalam Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Melalui program PHBM, Perum Perhutani mengharapkan berkurangnya gangguan terhadap keamanan hutan serta dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Kedua hal tersebut diharapkan akan menunjang sistem pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pada sisi masyarakat, PHBM merupakan akses legal bagi masyarakat sekitar hutan untuk dapat memanfaatkan hutan dan hasil-hasilnya sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Akses terhadap hutan memungkinkan masyarakat untuk mengelola lahan usahatani tumpangsari khususnya bagi masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki lahan usahatani sendiri. Pemanfaatan hasil-hasil hutan dirasakan masyarakat dengan adanya hak penjarangan serta bagi hasil kayu pada masa panen produktif. Hal-hal tersebut akan membantu masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya karena adanya peningkatan curahan kerja dalam usahatani serta pengelolaan hutan yang akhirnya akan membantu mereka pula untuk meningkatkan pendapatan rumah tangganya. Cakupan dalam penelitian ini diawali dengan mengkaji berbagai permasalahan yang timbul dalam implementasi PHBM terutama di wilayah studi kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kebupaten Bogor. Penelitian ini juga
51
akan dilihat faktor-faktor apa saja yang memepengaruhi keputusan petani sekitar hutan melibatkan diri dalam program PHBM dan sejauh mana PHBM dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan curahan kerja dan pendapatan rumah tangga para peserta. Dengan mengetahui manfaat PHBM bagi perekonomian rumah tangga para pesertanya serta didukung dengan fakta-fakta akan kelestarian hutan yang terjadi, maka akan dapat diketahui keberhasilan dan prospek pengembangan PBHM selanjutnya. Diagram alur pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 di halaman berikutnya.
3.3
Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran yang terdapat pada penelitian ini,
hipotesis yang diajukan adalah: 1. petani yang mengikuti program PHBM mencurahkan lebih banyak kerja dan menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan petani non peserta; 2. faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk terlibat dalam program PHBM adalah umur, pendidikan, jumlah jam mencari kayu bakar, pendapatan rumah tangga, curahan kerja keluarga, status kepemilikan lahan, keikutsertaan dalam penyuluhan, dan kepemilikan profesi di bidang non usahatani.
52
Gambar 4. Diagram Alur Pemikiran Kerusakan Hutan: 1. Deforestasi; 2. Gangguan dari masyarakat
Era Otonomi Daerah
Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Berbagai Masalah Dalam Implementasi PHBM
Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
Perum Perhutani: SK No. 136/Kpts/Dir/2001
Faktor yang mempengaruhi keputusan petani melibatkan diri dalam PHBM
1.Kewajiban masyarakat merawat tanaman utama dan menjaga hutan; 2.Hak pengelolaan hutan untuk tumpangsari padi; 3.Hak melakukan penjarangan dan mendapat bagi hasil kayu
Kesejahteraan Petani Peserta: -Curahan kerja keluarga, -Pendapatan rumah tangga.
Kelestarian Hutan
Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera
Penilaian Keberhasilan dan Keberlanjutan Program PHBM di Lokasi Penelitian
Keterangan: Hubungan lansung Hubungan tidak langsung Cakupan Penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Babakan, Kecamatan Tenjo, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat. Dalam struktur Perum Perhutani kawasan hutan produksi di wilayah tersebut berada pada wilayah kerja BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, Unit III Jawa Barat dan Banten. Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parungpanjang sendiri termasuk kelas perusahaan yang memproduksi kayu jenis Acacia mangium. Dengan umur tanam Acacia mangium yang tidak terlalu lama, diharapkan dampak program PHBM dapat lebih cepat dirasakan masyarakat. Pemilihan lokasi spesifik yaitu Desa Babakan didasarkan pada aktifitas para anggota LMDH yang cukup tinggi untuk memanfaatkan hasil-hasil hutan dan potensi manfaat PHBM yang cukup besar bagi masyarakat. Potensi yang besar tersebut karena luas lahan hutan produksi Perum Perhutani di Desa Babakan adalah yang paling luas dibandingkan dengan desa lainnya yaitu mencapai 974,15 ha. Pengambilan data di lapangan sebagai data pendukung awal dilakukan pada bulan Maret 2008. Wawancara mendalam kepada responden dan pengambilan data sekunder tahap lanjutan dilakukan dari bulan Mei hingga Juni 2008.
4.2
Jenis dan Sumber Data Pada penelitian ini, data yang digunakan dan dikumpulkan merupakan
gabungan antara data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari wawancara dan pengamatan langsung kepada para anggota Kelompok Tani Hutan
54
(KTH) yang juga tergabung dalam wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Babakan. Data sekunder yang merupakan data pendukung didapatkan dari berbagai literatur yang diterbitkan oleh BPS, Perum Perhutani, dan Departemen Kehutanan. Data tersebut mencakup keadaan hutan di Indonesia serta perkembangan kegiatan PHBM yang telah dilakukan oleh Perum Perhutani. Data sekunder yang bersifat spesifik diperoleh dari BKPH Parungpanjang untuk mengetahui keragaan dan profil kegiatan PHBM yang dilakukan di Desa Babakan. Wawancara menggunakan daftar pertanyaan yang berusaha menggali besarnya pendapatan para anggota LMDH terkait dengan program PHBM yang dilakukan khususnya dari lahan tumpangsari dan hasil penjarangan kayu. Faktorfaktor yang diperkirakan mempengaruhi keputusan petani untuk ikut serta program PHBM didapatkan dari data karakteristik petani responden yaitu status kepemilikan lahan, umur, pendidikan, pendapatan rumah tangga, curahan kerja keluarga, keprofesian di bidang non usahatani, keikutsertaan dalam penyuluhan, dan waktu untuk mencari kayu bakar. Wawancara juga dilakukan kepada para stakeholders program PHBM yang mencakup pihak BKPH Parungpanjang, pengurus dan anggota LMDH serta pihak LSM guna menggali permasalahan yang dihadapi
dalam
kegiatan-kegiatan
PHBM
serta
prospek
pengembangan
berikutnya.
4.3
Pengambilan Responden Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan secara purposive
sampling. Melalui metode tersebut, responden dipilih secara sengaja dengan kriteria tertentu yang harus melekat pada responden. Pada analisis data kuantitatif
55
responden dipilih sebanyak 25 orang dari petani hutan yang mengikuti program PHBM dan 15 orang dari petani yang tidak mengikuti program. Untuk petani yang mengikuti program dipilih berdasarkan kriteria yaitu menggarap pada lahan tanaman kayu Acacia mangium yang ditanam tahun 2007. Data responden yang mengikuti program PHBM didapatkan dari mandor Perhutani yang bertugas menjaga kawasan hutan untuk tanaman tahun paling akhir. Dari sumber tersebut didapatkan data 52 orang yang terlibat langsung pada program PHBM untuk tanaman Acacia mangium yang ditanam tahun 2007. Dari 52 orang kemudian diambil 25 orang secara sengaja. Data petani yang tidak mengikuti program PHBM didapat dari ketua kelompok tani mandiri yang memang fokus pada usahatani di lahan sendiri. Data yang didapatkan adalah 32 orang petani yang kemudian dipilih 15 orang secara sengaja. Pada analisis data kualitatif responden dipilih secara purposive dari pihak BKPH Parungpanjang, pihak LSM Rahmatan lil Alamin serta pengurus dan anggota LMDH untuk menggali permasalahan dan prospek pengembangan PHBM khususnya di Desa Babakan. Kriteria pemilihan responden didasarkan kepada pemahaman responden terhadap konten dan pelaksanaan perjanjian PHBM. Dengan demikian, diharapkan responden yang terpilih merupakan key informan terutama terkait dengan topik yang diteliti.
4.4
Metode Analisis Data Analisis data pada penelitian yang dilakukan ini menggunakan analisis
kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dalam implementasi program PHBM di lapangan. Analisis
56
kuantitatif digunakan untuk mengetahui pengaruh program PHBM terhadap pendapatan dan curahan kerja keluarga serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani ikut serta dalam program PHBM. Hasil analisis yang diperoleh baik secara kualitatif maupun kuantitatif digunakan untuk mempelajari prospek pengembangan PHBM selanjutnya dengan didukung oleh pendapat dari para key informan. Ringkasan sumber data dan metode yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jenis dan Metode Analisis Data Berdasarkan Tujuan Penelitian No. Tujuan Penelitan Jenis Sumber Data Metode Data Analisis Data 1. Identifikasi Kualitatif Wawancara Analisis permasalahan dalam mendalam deskriptifimplementasi PHBM kepada key kualitatif informan 2. Evaluasi pengaruh Kuantitatif Wawancara Analisis program PHBM kepada petani deskriptifterhadap pendapatan peserta PHBM kuantitatif dan curahan kerja dan non (tabulasi keluarga peserta data), analisis pendapatan, uji T hitung 3. Faktor-faktor yang Kuantitatif Wawancara Analisis mempengaruhi kepada petani model logistik keputusan petani peserta PHBM mengikuti program dan non PHBM peserta 4. Prospek keberlanjutan Kualitatif Wawancara Analisis program PHBM dan mendalam deskriptifkuantitatif kepada key kualitatif, informan perhitungan NPV
57
4.4.1 Identifikasi Permasalahan dalam Pelaksanaan PHBM Sebagaimana
disebutkan
sebelumnya,
untuk
mengidentifikasi
permasalahan dalam pelaksanaan program PHBM akan digunakan analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap para responden yang merupakan stakeholders atau pihak yang berkepentingan dengan program PHBM. Setiap responden akan mendapatkan panduan pertanyaan yang berusaha menggali pemahaman dan pandangan responden terhadap berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi program PHBM di lapangan. 4.4.2 Analisis Pendapatan Rumah tangga Pengamatan analisis pendapatan rumah tangga dilakukan untuk satu periode musim tanam padi hutan. Penelusuran mengenai pendapatan rumah tangga anggota LMDH dilakukan melalui wawancara dan observasi di lapangan. Hasil pengumpulan data kemudian dianalisis secara kuantitatif dan ditampilkan dengan tabulasi data. Variabel yang diukur dalam pendapatan rumah tangga dibagi dalam dua kategori yaitu yang berasal dari kegiatan usahatani dan non usahatani. Pendapatan usahatani didapatkan dari selisih antara penerimaan usahatani (tunai dan non tunai) dengan biaya usahatani (tunai dan non tunai). Pendapatan non usahatani yang berasal dari berbagai kegiatan non usahatani sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, didapatkan dari perkalian antara jam kerja yang dicurahkan dengan upah yang berlaku. Dengan demikian, pendapatan rumah tangga merupakan penjumlahan pendapatan yang dihasilkan dari berbagai sumber dan bidang usaha.
58
Peningkatan pendapatan rumah tangga dengan adanya program PHBM dapat diketahui dengan membandingkan besarnya rata-rata pendapatan rumah tangga peserta PHBM dan non PHBM. Uji signifikansi dilakukan dengan uji T hitung pada dua sampel bebas. Sumber-sumber pendapatan yang berasal dari kegiatan-kegiatan PHBM adalah: 1. pendapatan dari usahatani pada lahan garapan PHBM; 2. kegiatan pemanfaatan kayu berupa kayu bakar, penjarangan awal; 3. bagi hasil penjarangan dengan Perum Perhutani (apabila telah ada). 4.4.3 Analisis Curahan Kerja Keluarga Sebagaimana analisis pendapatan rumah tangga, analisis curahan kerja dilakukan pada periode pengamatan satu musim tanam padi hutan yaitu antara bulan Oktober-Maret. Curahan kerja dalam penelitian ini diartikan sebagai banyaknya jam kerja yang dicurahkan untuk kegiatan-kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi yang dimaksud mencakup: 1. Kegiatan usahatani baik di lahan milik sendiri, lahan garapan orang lain maupun di lahan garapan PHBM. 2. Kegiatan non usahatani yang mencakup: a. buruh hutan yang berupa buruh tebang, persemaian, buruh penjarangan dan lainnya; b. jasa, berupa curahan tenaga kerja berbagai kegiatan terutama jasa perdagangan, dan juga tukang kayu, buruh angkut, tukang ojek dan lainnya; c. buruh industri yang berupa curahan kerja untuk berbagai kegiatan industri atau kerajinan.
59
Gambaran mengenai periode tanam untuk satu musim tanam padi hutan dan sawah, serta kaitannya dengan periode pengamatan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Gambaran Musim Tanam yang Menjadi Periode Pengamatan Tanam padi hutan&sawah
Panen 1 padi sawah
Panen padi hutan
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Ags
Sep
Tanam 2 padi sawah
Panen 2 padi sawah
Keterangan: Periode pengamatan penelitian
4.4.4 Uji Beda Curahan Kerja dan Pendapatan Peserta dan Non Peserta Program PHBM Perbedaan curahan kerja dan pendapatan dengan dan tanpa adanya program PHBM perlu diuji secara statistik. Pengujian statistik dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan yang signifikan atau tidak. Uji yang dilakukan adalah uji T hitung dua sampel bebas dengan membandingkan T-hitung dan Ttabel pada taraf nyata 5 persen. Rata-rata curahan kerja atau pendapatan rumah tangga tanpa program PHBM diwakili oleh , rata-rata curahan kerja atau pendapatan rumah tangga dengan adanya program PHBM diwakili oleh
.
Apabila terjadi peningkatan setelah adanya program PHBM berarti nilai Dengan demikian, uji yang dilakukan adalah uji satu arah. Uji T
60
dua arah juga mungkin dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata diantara rata-rata pendapatan dan curahan kerja kedua kelompok responden. Hipotesis dalam uji statistik ini adalah: Uji satu arah
Uji dua arah
H0: 0
H0: 0
H1: 0
H1: 0
(wilayah kritik t < -tα) atau P-value < α)
(wilayah kritik t < -tα/2 atau P-value < α/2)
dengan t-hitung: (4-1)
;
Harapan dari uji statistik satu arah adalah tolak H0, yang berarti curahan kerja atau pendapatan rata-rata rumah tangga peserta program PHBM secara signifikan lebih besar dari rumah tangga bukan peserta. Kriteria penolakan H0 adalah jika hasil penghitungan dengan taraf nyata 5 persen. Harapan dari uji statistik dua arah adalah tolak H0 yang berarti curahan kerja atau pendapatan rata-rata rumah tangga peserta PHBM berbeda dari rumah tangga yang bukan peserta program. Kriteria penolakan H0 adalah jika hasil penghitungan
/ dan t > tα/2 dengan taraf nyata 5 persen. Kriteria juga dapat dilihat dari nilai
P-value yang dapat dihitung langsung dengan program Minitab. Apabila tidak ada cukup bukti untuk menolak H0, maka berarti tidak dapat disimpulkan bahwa ratarata curahan kerja atau pendapatan rumah tangga dengan adanya program PHBM lebih besar (atau berbeda) daripada tanpa program.
61
4.4.5 Model Empirik Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program PHBM Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani sekitar hutan untuk mengikuti program PHBM, digunakan model regresi logistik (juga dikenal sebagai model logit). Ramanathan (1998) menyatakan bahwa penggunaan model logistik dilakukan ketika variabel dependen memiliki nilai hanya antara 0 dan 1. Bentuk umum model logit adalah: #
ln "#$ % & ' ( & ' ( & ) & '* (* &
(4-2)
Dalam kasus penelitian ini, nilai biner diberikan kepada variabel dependen yaitu keputusan petani untuk mengikuti program PHBM. Nilai “0” untuk petani yang tidak ikut serta program PHBM, dan nilai “1” untuk petani yang mengikuti program PHBM. Keikutsertaan petani dalam program digambarkan dengan statusnya yang menjadi anggota LMDH yang melakukan perjanjian kerjasama dengan Perum Perhutani serta kepemilikan lahan garapan usahatani tumpangsari pada lahan hutan Perhutani. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan petani untuk ikut serta program PBHM adalah umur, lama pendidikan, jumlah jam kerja mencari kayu bakar, pendapatan rumah tangga, curahan kerja keluarga, status kepemilikan lahan usahatani pribadi, keikutsertaan dalam penyuluhan Perum Perhutani serta kepemilikan profesi lain di bidang non usahatani. Model dugaan dari faktorfaktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk mengikuti program PBHM adalah: (4-3)
+ % & ' ,-. & ' /012 & '3 4151. & '6 /72.8 &
'9 :117; & '< 0;=2 & '> 0/?;2 & '@ 0/.AB & C
62
keterangan:
Z
= Keputusan untuk ikut serta program PHBM; “0” untuk yang tidak ikut dan “1” untuk yang ikut serta
UMR = Umur (tahun) PDKN = Tingkat Pendidikan (tahun) JKBKR= Jumlah jam mencari kayu bakar per hari (jam) DLHN = kepemilikan lahan usahatani pribadi; “0” tidak punya, “1” punya DPYLN= keikutsertaan dalam penyuluhan Perhutani; “0” tidak ikut, “1” ikut DPROF= kepemilikan akan profesi di bidang non usahatani; “0” tidak punya profesi lain, “1” punya profesi lain e
= galat
Pengujian Hipotesis Pengujian signifikansi model dan parameter dalam analisis regresi logistik diuraikan sebagai berikut: 1.
Uji seluruh model (rasio likelihood)
Untuk melihat kesesuaian model digunakan uji rasio likelihood dengan membandingkan nilai G hitung dengan nilai chi square. G Hitung = 2 (nilai log likelihood – (n1 ln (n1) + n0 ln (n0) – n ln (n)))……..() G
= nilai rasio likelihood
n1
= jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 1)
n0
= jumlah sampel yang termasuk dalam kategori P (Y = 0)
n
= jumlah total sampel
2.
Uji signifikansi tiap parameter (uji wald)
H0 : βj = 0 untuk suatu j tertentu ; j = 0, 1, …, p
63
H 1 : βj ≠ 0 Statistik uji yang digunakan adalah Wj = βj / SE (βj) ; j = 0, 1, …, p 3.
Interpretasi model atau parameter
Ukuran yang digunakan untuk melihat hubungan antara peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit adalah nilai odds ratio. Nilai tersebut didapat dari perhitungan eksponensial dari koefisien estimasi (βi) atau exp (βj). Odds ratio # D
didefinisikan sebagai : # DE atau exp (β), dimana E
P
menyatakan
peluang
terjadinya peristiwa (Z = 1) yaitu bila petani terlibat dalam program PHBM, dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa (Z = 0) yaitu bila petani tidak terlibat dalam program PHBM. Nilai Harapan Koefisien Regresi Logistik
•
Umur Koefisien umur diharapkan bernilai positif karena berkaitan dengan pengalaman petani dalam berusahatani. Semakin lama pengalamannya, diharapkan petani akan lebih menyadari arti penting pengelolaan dan pelestarian hutan bagi keberlanjutan usahatani.
•
Pendidikan Lamanya tingkat pendidikan diharapkan bernilai positif karena berkaitan dengan pemahaman petani mengenai pentingnya pengelolaan dan kelestarian hutan. Petani yang lebih berpendidikan pun akan
dapat
memahami manfaat dari adanya program PHBM dan memahami konten perjanjian dengan lebih baik.
64
•
Jam Kerja Mencari Kayu Bakar per Hari Jam kerja mencari kayu bakar diharapkan bernilai positif terhadap kemungkinan petani untuk melibatkan diri pada program PHBM. Sebagian penduduk mencari kayu bakarnya hingga ke kawasan hutan Perhutani. Apabila jam kerja mencari kayu bakar tinggi berarti intensitas hubungan petani dengan hutan pun semakin tinggi. Hubungan tersebut akan semakin menggerakkan petani untuk mau terlibat pada usaha pengelolaan hutan.
•
Pendapatan Rumah tangga Pendapatan rumah tangga diharapkan bernilai negatif terhadap keputusan petani mengikuti program PHBM. Artinya, semakin besar pendapatan yang dimiliki suatu rumah tangga petani, maka akan semakin kecil kemungkinannya mengikuti program dan begitu pula sebaliknya.
•
Curahan Kerja Keluarga Curahan kerja keluarga diharapkan bernilai negatif terhadap keputusan petani mengikuti program PHBM. Hal ini karena petani yang telah memiliki curahan kerja yang tinggi akan cenderung tidak mengikuti program, sebaliknya petani dengan curahan kerja yang rendah cenderung untuk mengikuti program PHBM.
•
Status Kepemilikan Lahan Variabel dummy status kepemilikan lahan diharapkan bernilai negatif terhadap kemungkinan petani terlibat pada program PHBM. Petani yang sudah memiliki lahan usahatani sendiri cenderung untuk merasa tidak perlu terlibat, sedangkan petani yang tidak memiliki lahan cenderung
65
merasa perlu mengikuti program agar memiliki lahan garapan untuk berusaha.
•
Keikutsertaan dalam Penyuluhan Variabel dummy keikutsertaan dalam penyuluhan diharapkan bernilai positif karena berhubungan dengan pemahaman petani mengenai program PHBM. Petani yang sudah pernah mengikuti penyuluhan dari Perum Perhutani akan lebih tergerak untuk terlibat pada program PHBM.
•
Kepemilikan Profesi di Bidang Non Usahatani Variabel ini merupakan variabel dummy yang menggambarkan apakah petani memiliki profesi lain sebagai sumber pendapatannya. Nilai harapan variabel ini adalah negatif yang berarti kepemilikan profesi di bidang lain akan mengurangi kemungkinan petani ikut serta dalam progam PHBM. Petani yang memiliki profesi lain akan cenderung merasa tidak perlu mengikuti program PHBM karena waktu kerjanya yang lebih sibuk dan karena pendapatannya yang sudah mencukupi.
4.4.6 Keberlanjutan Program PHBM Analisis keberlanjutan program dan prospek pengembangan PHBM dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif berdasarkan wawancara mendalam dan pengumpulan data yang dibutuhkan. Untuk menilai prospek pengembangan PHBM, dapat dilihat dari aspek-aspek keberlanjutan program tersebut yang terdiri atas aspek lingkungan, aspek ekonomi serta aspek sosial. Aspek lingkungan melihat bagaimana dampak program PHBM terhadap kelestarian hutan yang salah satunya digambarkan oleh tingkat kerusakan hutan dan pencurian kayu.
66
Aspek ekonomi melihat bagaimana manfaat yang diberikan oleh program PHBM bagi masyarakat yang salah satunya digambarkan oleh tingkat curahan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Selain itu, aspek ekonomi juga memproyeksikan besarnya penerimaan finansial yang didapatkan LMDH dari bagi hasil PHBM untuk tahun-tahun berikutnya hingga masa tebang akhir. Proyeksi penerimaan tersebut diawali dengan menghitung besarnya produk bagi hasil yang didapatkan LMDH dengan menggunakan rumus (2-1). Penerimaan juga dihitung dari nilai panen rata-rata yang didapatkan oleh petani penggarap dalam dua kali masa panen. Seluruh nilai penerimaan tersebut disesuaikan dengan tingkat diskonto sehingga didapatkan present value. Penggunaan present value dikarenakan manfaat program PHBM baik dari bagi hasil kayu maupun nilai panen padi didapatkan jangka waktu lebih dari satu tahun. (4-4)
I /F ∑KL* KLM J
H
keterangan:
Rt = Penerimaan pada waktu t r = tingkat diskonto (dalam desimal); diasumsikan 0,08 t = interval waktu n = daur ekonomis; n = 9 untuk mangium dan n = 2 untuk tumpangsari padi Aspek sosial-budaya melihat bagaimana keterikatan masyarakat dengan hutan Perhutani yang berada di sekitarnya sejak diadakannya program PHBM. Selain itu aspek ini juga melihat manfaat program terhadap distribusi lahan dan juga kesempatan kerja yang terbuka dari adanya program PHBM. Dari sudut pandang ketiga aspek tersebut yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek
67
sosial, dapat diketahui bagaimana prospek pengembangan dan keberlanjutan program PHBM khususnya untuk kasus Desa Babakan.
4.5
Definisi Operasional
1.
Umur petani adalah umur petani responden yang diukur ketika penelitian dan dihitung dalam satuan tahun.
2.
Tingkat pendidikan yaitu lamanya pendidikan formal yang dijalani oleh responden dan dihitung dalam satuan tahun.
3.
Jumlah jam mencari kayu bakar per hari adalah rata-rata lamanya waktu yang dibutuhkan rumah tangga petani untuk mencari kayu bakar setiap harinya, dihitung dalam satuan jam.
4.
Kepemilikan lahan adalah status kepemilikan lahan (punya/tidak punya) yang dipergunakan untuk usahatani.
5.
Keikutsertaan dalam penyuluhan Perhutani adalah pernah atau tidak pernahnya petani mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh Perhutani terkait dengan pengelolaan lahan PHBM.
6.
Kepemilikan profesi di bidang non usahatani adalah ada atau tidaknya profesi lain seorang petani di bidang non pertanian yang menghasilkan pendapatan dan dilakukan secara berkelanjutan.
7.
Pendapatan petani yang diukur adalah total pendapatan tunai dan tidak tunai yang didapatkan dari usahatani dan dari sumber-sumber pendapatan lain (non usahatani) yang menjadi profesinya.
68
8.
Pendapatan usahatani adalah pendapatan yang diperoleh dari hasil produksi usahatani setelah dikurangi dengan biaya total produksi yang dikeluarkan dalam satuan rupiah selama satu musim tanam.
9.
Pendapatan non usahatani adalah rata-rata pendapatan yang didapatkan dari profesi lain (bila ada) dalam sebulan yang kemudian dikonversi untuk satu musim tanam.
10.
Curahan kerja adalah jam kerja riil yang dipergunakan untuk kegiatan mencari nafkah oleh anggota rumah tangga yang termasuk tenaga kerja.
11.
Curahan kerja dalam usahatani adalah jumlah jam kerja yang dipergunakan untuk kegiatan usahatani.
12.
Curahan kerja non usahatani adalah jumlah jam kerja yang dikerahkan untuk kegiatan di luar usahatani.
BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
Profil Umum BKPH Parungpanjang Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Parungpanjang adalah
bagian kerja dari Perum Perhutani di bawah koordinasi Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, Unit III Jawa Barat dan Banten. Secara administratif pemerintahan, lokasi BKPH Parungpanjang terletak pada wilayah Pemerintah Kabupaten Bogor. Kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab BKPH Parungpanjang tersebar pada tiga kecamatan yaitu Kecamatan Tenjo, Kecamatan Jasinga dan Kecamatan Parungpanjang. Jenis kayu yang diusahakan di BKPH Parungpanjang adalah jenis Acacia mangium yang memiliki umur tanam 9 tahun. BKPH Parungpanjang merupakan kawasan dengan kelas perusahaan Acacia mangium terbesar di KPH Bogor yaitu mencapai 5.397,24 Ha. Posisi geografisnya terletak pada 106o26’03” BT sampai 106o35’16” BT dan 06o20’59” LS sampai 06o27’01” LS. Untuk mempemudah kinerja perusahaan, BKPH Parungpanjang dibagi ke dalam tiga Resor Pemangkuan Hutan (RPH) yaitu RPH Tenjo (1.536,15 Ha), RPH Maribaya (2.127,39 Ha), serta RPH Jagabaya (1.733,70 Ha). Pembagian resor tersebut juga dikarenakan kawasan hutan di BKPH Parungpanjang bukan merupakan satu kawasana hamparan, melainkan terdiferensiasi oleh pemukiman dan lahan pribadi penduduk. Luas hutan di tiap resor dan desa disajikan pada Tabel 6 halaman selanjutnya.
70
Tabel 6. Luas Hutan BKPH Parungpanjang di Tiap Resor dan Desa No. Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Desa Luas Hutan (Ha) 1. RPH Tenjo Babakan 974, 15
2.
3.
RPH Maribaya
RPH Jagabaya
Bojong
319, 53
Singa Braja
261, 22
Tapos
322, 35
Batok
474, 76
Barengkok
830, 29
Pangaur
380, 29
Ciomas
896, 83
Gorowong
514, 62
Dago Jagabaya Jumlah Total BKPH Parungpanjang Sumber: BKPH Parungpanjang (2007), tidak dipublikasikan
78, 34 161, 23 5.213, 61
Jenis batuan dan tanah yang terdapat di kawasan hutan BKPH Parungpanjang sebagian besar memiliki jenis batuan Oliecene dan Sedimentary facies, jenis tanah didominasi oleh jenis Podsolik merah sampai kuning. Berdasarkan rasio bulan basah dan bulan kering setiap tahun, wilayah BKPH Parungpanjang termasuk dalam iklim A. Curah hujan rata-rata 3.000 mm/tahun dengan suhu harian tertinggi 25,50o C dan suhu terendah 18o C. Kawasan hutan di BKPH Parungpanjang memiliki konfigurasi lapangan yang sebagian besar relatif datar sampai landai dengan kemiringan bervariasi mulai dari datar (0-8 %) dan kemiringan agak curam (15-25 %). Sejak berjalannya program PHBM selain ditanami kayu Acacia mangium¸ kawasan hutan di BKPH Parungpanjang juga diselingi oleh tanaman padi hutan terutama pada masa awal tanaman kayu (2 tahun pertama). Masa panen padi hutan adalah 6 bulan sejak penanaman.
71
5.2
Kondisi Geografis Desa Babakan Desa Babakan adalah lokasi spesifik dilakukannya penelitian. Desa ini
merupakan salah satu desa pangkuan hutan yang berada pada wilayah kerja Perum Perhutani BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, Unit III Jawa Barat dan Banten. Secara administratif, Desa Babakan termasuk dalam wilayah Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor. Batas-batas langsung Desa Babakan adalah: sebelah utara
: Desa Cilaku, Kabupaten Tangerang;
sebelah timur
: Desa Batok;
sebelah selatan
: Desa Bojong, Kecamatan Jasinga;
sebelah barat
: Desa Singabraja.
Desa Babakan merupakan desa yang memiliki hutan terluas jika dibandingkan dengan desa pangkuan hutan yang lainnya yang terdapat dalam wilayah kerja BKPH Parungpanjang. Luas Desa Babakan tersebut mencapai 1.254, 74 Ha dengan areal hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani yaitu sebesar 974, 15 Ha. Wilayah desa terbagi menjadi 2 dusun, 8 RW dan 24 RT. Topografi Desa Babakan didominasi oleh lahan yang relatif datar dengan ketinggian 50-250 mdpl. Sebagian besar wilayah desa merupakan areal hutan dengan sedikit diselingi oleh sawah dan ladang terbuka. Konsentrasi rumah penduduk memanjang mengikuti alur jalan utama sepanjang 6,5 km yang sudah berbentuk jalan permanen. Sebagian kecil rumah penduduk lainnya terdapat diantara jalur menuju hutan. Sumber air utama di Desa Babakan didapatkan dari air tanah dan air hujan karena tidak terdapat sungai maupun kali yang mengaliri desa secara langsung.
72
Kondisi persawahan merupakan sawah tadah hujan dengan memanfaatkan air hujan yang hanya turun di musim tanam antara bulan Oktober-Maret. Dengan sumber air yang terbatas, Desa Babakan termasuk daerah kering yang intensitas air hujannya rata-rata 9 hari/bulan dengan curah 171 mm. Jarak desa dari pusat pemerintahan kabupaten adalah 98 km dan dari pusat pemerintahan provinsi adalah 168 km. Untuk memasuki Desa Babakan dapat ditempuh dengan menggunakan jalan darat baik dari arah barat maupun dari arah timur Kabupaten Bogor. Beberapa pilihan jalur yang dapat digunakan untuk mencapai Desa Babakan dari Bogor adalah:
5.3
•
Bogor-Parung-Stasiun Serpong-Stasiun Cilejit-Desa Babakan;
•
Bogor-Parung-Serpong-Parungpanjang-Desa Babakan;
•
Bogor-Jasinga/Bunar-Parungpanjang-Desa Babakan;
•
Bogor-Jasinga-Tenjo-Desa Babakan.
Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Babakan sudah cukup tersedia
dengan baik. Kebutuhan penduduk untuk pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan sederhana dapat terpenuhi di dalam desa tanpa harus mencari di luar wilayah desa. Jalan utama yang menghubungkan desa dengan wilayah luar pun dalam kondisi yang baik dan permanen sehingga dapat dilalui berbagai jenis kendaran darat. Selain itu, terdapat dua stasiun kereta api untuk tujuan Rangkasbitung dan Tanah Abang yang beroperasi setiap hari. Posisi stasiun tidak jauh dari Desa Babakan yaitu stasiun Cilejit yang berjarak sekitar 1 km dan stasiun Tenjo yang berjarak 3 km dari desa.
73
Mengenai fasilitas pendidikan, terdapat empat SD dan satu SMP di Desa Babakan, sedangkan pondok pesantren dan madrasah masing-masing berjumlah lima dan tiga. Untuk pendidikan tingkat menengah atas dan pendidikan tinggi, penduduk harus mencarinya ke wilayah lain di luar desa. Daerah yang biasanya menjadi tujuan penduduk untuk pendidikan menengah atas adalah Kecamatan Parungpanjang yang berjarak sekitar 10 km dari desa. Dengan fasilitas pendidikan yang masih terbatas tersebut, masih banyak penduduk desa yang berstatus belum tamat SD dan tidak sekolah. Berdasarkan data BPS Kabupaten Bogor (2004) dari jumlah 8.535 penduduk yang ada, sebanyak 2.813 tidak tamat SD dan 1.612 belum sekolah. Pelayanan kesehatan setingkat Puskesmas terdapat di pusat kecamatan yaitu di Desa Tenjo yang berjarak 3 km dari Desa Babakan. Hal ini karena di Desa Babakan hanya terdapat Posyandu yang pelayanannya pun bersifat insidental. Sebenarnya pihak kelurahan telah menyediakan bangunan permanen yang dapat dipergunakan sebagai Puskesmas, namun karena ketiadaan tenaga medis yang ditugaskan dari Dinas Kesehatan setempat bangunan tersebut tidak termanfaatkan secara optimal. Untuk fasilitas perbelanjaan, masyarakat Desa Babakan memanfaatkan warung-warung yang banyak tersedia di sepanjang jalan utama desa. Selain itu, terdapat pula pasar dan swalayan yang memadai di pusat kecamatan yaitu di Desa Tenjo setra di Kecamatan Parungpanjang. Transportasi umum yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mobilitas antar kecamatan tersebut adalah angkot dan ojek.
74
Sarana yang dirasakan sangat penting oleh masyarakat namun belum tersedia adalah layanan air bersih. Keberadaan layanan air bersih sangat diharapkan oleh penduduk terutama ketika memasuki musim kemarau. Pada saat musim kemarau dapat dikatakan sumber air yang tersedia tidak mencukupi bahkan untuk mandi sekalipun. Dalam jangka pendek diharapkan pemerintah daerah setempat dapat menyediakan tangki air bersih setiap musim kemarau, dan kemudian membangun saluran air khusus untuk menyerap air dari sungai yang terdapat di desa lain sebagai solusi jangka panjang.
5.4
Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Bogor (2004),
jumlah penduduk di Desa Babakan pada tahun 2003 mencapai 8.535 jiwa dengan jumlah rumah tangga sebesar 1.793 keluarga. Dari jumlah penduduk tersebut, sebanyak 4.272 jiwa adalah pria dan 4.263 adalah penduduk wanita. Hal ini menunjukkan komposisi pria dan wanita yang cukup seimbang di Desa Babakan. Mata pencaharian utama rumah tangga adalah dalam bidang pertanian, perdagangan, dan jasa-jasa lainnya. Sebagian besar lahan di Desa Babakan memang dipergunakan untuk bidang pertanian. Pihak Kelurahan mencatat sebanyak 450 Ha lahan dipergunakan sebagai kawasan pertanian atau sekitar lebih dari 35 persen total luas wilayah desa. Jumlah rumah tangga menurut jenis pekerjaan utama di Kecamatan Tenjo disajikan pada Tabel 7. Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa di setiap desa bidang pertanian memang menjadi pekerjaan utama yang paling banyak menyerap tenaga kerja dari setiap rumah tangga.
75
Tabel 7. Jumlah Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan Utama di Kecamatan Tenjo, Tahun 2003 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Desa Ciomas Tapos Batok Babakan Bojong Singabraja Tenjo Cilaku Singabangsa
Keterangan:
1 447 864 1.053 569 1.087 397 535 920 395
2 20 21 10 12 57 10 4 6 7
3 64 96 38 27 64 14 26 12 15
1= Pertanian; 4= Listrik dan air; 7= Angkutan;
Jenis Pekerjaan 4 5 6 0 8 42 0 7 181 0 12 197 0 14 462 0 5 193 0 4 123 1 5 485 0 3 78 0 3 86
2= Tambang dan galian; 5= Konstruksi; 8= Jasa;
7 32 44 53 91 49 102 141 35 102
8 95 21 353 340 88 56 275 153 71
9 78 58 294 278 47 99 217 164 36
3= Industri; 6= Perdangan; 9= Lainnya.
Sumber: BPS Kabupaten Bogor, 2004 Jenis pekerjaan di bidang pertanian dan perdangan merupakan jenis yang paling banyak ditekuni oleh rumah tangga khususnya yang terdapat di Kecamatan Tenjo. Namun demikian, setiap jenis pekerjaan tersebut bersifat fleksibel terutama terkait dengan musim yang sedang berlangsung. Pada saat musim tanam antara bulan Oktober-Maret, sebagian besar rumah tangga akan terserap ke bidang pertanian baik untuk mengolah lahan miliknya sendiri maupun menjadi buruh tani. Sebaliknya ketika musim tanam berakhir, banyak diantara petani yang kemudian beralih profesi menjadi pedagang ataupun sebagai buruh konstruksi dan galian. Di Desa Babakan, petani yang beralih profesi menjadi pedagang pada saat musim tanam selesai biasanya berusaha sebagai penjual soto mi, toge goreng, ataupun jenis makanan khas Jawa Barat lainnya. Mereka berdagang di luar desa yaitu mencapai wilayah Kabupaten Tangerang dan sekitar Tanah Abang, Jakarta. Kemudahan transportasi dengan menggunakan kereta yang murah dan tersedia hingga ke wilayah desa menjadi salah satu faktor penarik untuk melakukan usaha perdagangan ke wilayah-wilayah tersebut.
76
Para petani akan kembali bekerja di sawah ketika memasuki musim panen. Hasil panen yang didapatkan sebagian besar tidak dijual melainkan hanya untuk kebutuhan dalam rumah tangga saja. Hal ini karena memang produktivitas padi di Desa Babakan sangat rendah yaitu hanya sekitar 4,73 ton/ha untuk padi sawah dan 3 ton/ha untuk padi ladang. Kondisi iklim dan lahan yang kering menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas tersebut.
5.5
Karakteristik Responden Responden utama dalam penelitian yang dilakukan di Desa Babakan ini
adalah para petani baik yang berpartisipasi dalam program PHBM maupun petani yang tidak mengikuti program yang seluruhnya berjumlah 40 orang. Karakteristik yang melekat pada petani dan diduga menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan dalam keputusan untuk mengikuti program adalah umur dan lama pendidikan. Variasi umur petani yang menjadi responden cukup lebar yaitu dari petani yang berusia 26 tahun hingga yang berusia 85 tahun. Tabel 8 memperlihatkan rentang umur petani rersponden berdasarkan keikutsertaan dalam program PHBM. Tabel 8. Rentang Umur Petani Responden Tiap Kelompok Rentang Umur PHBM Non PHBM (tahun) Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) 26-40 5 20 4 26,67 41-55 7 28 5 33,33 56-70 10 40 5 33,33 71-85 3 12 1 6,67 Total 25 100 15 100 Sumber: data primer
77
Dari variasi tersebut pada Tabel 8 tergambarkan bahwa profesi pertanian di Desa Babakan tidak mengenal batasan umur, yaitu dari kalangan muda hingga kalangan tua sekalipun. Sebagian besar petani yang menjadi responden tidak memiliki pendidikan yang memadai. Dari seluruh responden yang menjadi subjek penelitian hanya 1 orang yang tamat SMP, 14 orang tamat SD, 22 orang tidak tamat SD serta 3 orang tidak
sekolah.
Status
pendidikan
para
petani
responden
berdasarkan
keikutsertaannya dalam program PHBM dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Status Pendidikan Petani Responden Berdasarkan Keikutsertaan dalam PHBM Status PBHM Non PHBM Pendidikan Jumlah Persentase Jumlah Persentase (orang) (%) (orang) (%) Tidak Sekolah 2 8 1 6,67 Tidak Tamat SD 15 60 7 46,67 Tamat SD 7 28 7 46,66 Tamat SMP 1 4 0 0 Total 25 100 15 100 Sumber: data primer Berdasarkan Tabel 9, dapat terlihat bahwa kecenderungan lama pendidikan antara kedua kelompok petani yang mengikuti program PHBM dan non PHBM adalah serupa. Pada kedua kelompok, sebagian besar petani tidak tamat SD yang berarti mereka mengikuti pendidikan dasar namun tidak sampai selesai. Selanjutnya dominasi ditunjukkan oleh para petani yang menamatkan pendidikan SD dan kemudian sebagian kecil yang tidak sekolah dan tamat SMP. Kecenderungan lama pendidikan yang serupa antara kedua kelompok tersebut menunjukkan bahwa profesi pertanian di Desa Babakan memang lebih didominasi oleh individu yang memiliki kualitas pendidikan formal rendah.
78
Variabel lain yang juga mempengaruhi usahatani responden adalah jumlah tanggungan keluarga. Tanggungan keluarga merupakan total anggota keluarga yang menggantungkan kehidupan ekonominya kepada kepala keluarga. Jumlah tersebut juga menggambarkan besarnya potensi tenaga kerja yang dapat tersedia untuk usahatani keluarga. Secara rata-rata jumlah tanggungan keluarga untuk kedua kelompok responden adalah 4,725 orang per keluarga. Artinya, seorang petani dalam suatu rumah tangga harus menanggung beban hidup bagi sekitar 4,752 orang anggota keluarga lainnya. Tabel 10 menunjukkan rata-rata jumlah tanggungan keluarga untuk tiap kelompok responden. Tabel 10. Rata-rata Tanggungan Keluarga Tiap Kelompok Responden No. 1. 2.
Kelompok Responden Petani PHBM Petani Non PHBM Rata-rata Total
Rata-rata Jumlah Tanggungan Keluarga 4,52 5,06 4,79
Sumber: data primer Data pada Tabel 10 menunjukkan fakta yang menarik yaitu rata-rata jumlah tanggungan keluarga yang sedikit lebih besar pada kelompok petani non PHBM. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa besarnya potensi kerja yang dimiliki oleh keluarga petani non PHBM tidak mendorong mereka untuk mengikuti program. Namun demikian perbedaan jumlah tanggungan keluarga pada kedua kelompok responden tersebut tidak terlalu signifikan. Kajian lebih dalam mengenai faktor-faktor apa yang mendorong petani untuk mengikuti program PHBM dibahas pada Bab 6.
BAB VI EVALUASI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI DESA BABAKAN
6.1
Identifikasi Permasalahan dalam Pelaksanaan Program PHBM
6.1.1 Pelaksanaan PHBM di Desa Babakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan suatu program kerjasama yang dilaksanakan antara Perum Perhutani dengan masyarakat sekitar hutan produksi milik Perum Perhutani. Secara faktual, perjanjian dilakukan antara Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) yang mewakili Perum Perhutani dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mewakili masyarakat sekitar hutan pada masing-masing wilayah. Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) di Desa Babakan sendiri telah terbentuk sejak tanggal 10 September 2005. Keberadaan LMDH tersebut merupakan wadah bagi setiap Kelompok Tani Hutan (KTH) di Desa Babakan yang seluruhnya berjumlah tiga KTH, dalam menjalankan program PHBM. Namun demikian, program PHBM di Desa Babakan baru berjalan secara efektif sejak ditanda tanganinya perjanjian pada tanggal 12 Oktober 2006. Jeda waktu satu tahun antara berdirinya LMDH hingga penandatanganan perjanjian dipergunakan untuk penyuluhan yang aktif dilakukan oleh Perum Perhutani dan LSM rekanannya mengenai pentingnya masyarakat mengikuti program. Dalam dokumen perjanjian yang dimiliki oleh BKPH Parungpanjang, tidak kurang dari 397 petani tercatat sebagai anggota LMDH Desa Babakan.
80
Selama kurun waktu dua tahun hingga 2008, telah banyak hal positif yang dirasakan masyarakat yang terlibat secara langsung dalam program PHBM. Diantara manfaat tersebut adalah hak yang diberikan kepada para petani yang tergabung dalam KTH untuk melakukan kegiatan usahatani di lahan hutan produksi milik Perum Perhutani. Komoditas yang ditanam dalam usahatani tumpangsari di kawasan hutan Desa Babakan adalah padi. Padi yang ditanam merupakan jenis padi hutan varietas lokal yang memiliki umur tanam enam bulan. Tumpangsari di lahan hutan Acacia mangium sendiri dapat dilakukan hingga kayu mencapai umur dua tahun. Dengan turut memperhitungkan waktu hujan, berarti dalam suatu petak hutan Acacia mangium dapat ditanami padi hingga dua kali panen. Gambar 6 mempelihatkan sketsa penanaman tumpangsari padi di kawasan hutan produksi Perhutani yang terdapat dalam wilayah Desa Babakan. Gambar 6. Sketsa Tumpangsari Padi pada Lahan Tanaman Acacia mangium
3m
v v v v
v v v 3 v v v m v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
v v v v
v v v v
v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v
v v v v v v v v v v v v
v v v v
v v v v
(a) (b) Keterangan:Gambar 6 (a) memperlihatkan sketsa tumpangsari padi yang ditanam diantara bibit tanaman Ac.mangium yang ditanam pada jarak 3 x 3 meter. Gambar 6 (b) menunjukkan keadaan lahan Ac.mangium beberapa minggu setelah panen padi.
81
Masyarakat anggota LMDH yang mengelola lahan Perum Perhutani untuk usahatani tumpangsari mendapatkan jatah lahan sesuai dengan pembagian saat dilakukan pengumpulan oleh mandor Perhutani. Dengan adanya lahan garapan tersebut, petani peserta PHBM yang umumnya tidak memiliki lahan usahatani pribadi kini mendapatkan tambahan lahan usahatani yang dapat digarap, disamping lahan pertanian yang mungkin didapatkannya dari perjanjian sewa/bagi hasil dengan pemilik lahan lain. Sebaran rata-rata luas lahan yang dikelola oleh para responden petani penggarap tanpa dan dengan adanya perjanjian PHBM dapat dilihat pada Tabel 11. Data yang terdapat pada Tabel 11 adalah untuk petak 13 C seluas 24,70 ha dan petak 9 C seluas 9,2 ha yang ditanami kayu Acacia
mangium pada tahun 2007. Tabel 11. Sebaran Luas Lahan Petani Responden Peserta PHBM Tanpa dan Dengan Adanya Program Serta Rata-rata Lahan PHBM yang Digarap Luas Tanpa PHBM Dengan PHBM Rata-rata Lahan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Lahan PHBM Total yang Digarap (orang) (%) (orang) (%) (ha) (ha) 0,00-0,25 23 92 11 44 0,17 0,26-0,50 1 4 10 40 0,18 0,51-0,75 0 0 2 8 0,50 0,75< 1 4 2 8 0,37 Total 25 100 25 100 Sumber: data primer (diolah) Dari Tabel 11 terlihat bahwa dengan adanya perjanjian PHBM, terjadi perubahan distribusi lahan diantara para petani yang mengikuti program tersebut. Tanpa adanya program, terlihat bahwa sebanyak 92 persen petani responden memiliki lahan di bawah 0,25 ha yang mencakup baik lahan pribadi maupun lahan sewa/bagi hasil. Setelah mengikuti program, persentase petani dengan lahan
82
sempit tersebut dapat berkurang hingga menjadi 44 persen saja dan bahkan petani yang memiliki lahan garapan antara 0,26-0,50 ha naik menjadi 40 persen. Hal ini menunjukkan manfaat program PHBM bagi distribusi penguasaan lahan yang lebih baik di Desa Babakan. Tabel 11 juga mengungkap rata-rata luas lahan PHBM yang digarap oleh para responden. Dari data tersebut terlihat bahwa sebanyak 44 persen dan 40 persen petani memiliki lahan garapan PHBM yang sempit yaitu masing-masing 0,17 ha dan 0,18 ha. Hanya 8 persen yang memiliki lahan garapan PHBM dengan rata-rata 0,50 ha dan 8 persen juga yang memiliki lahan garapan PHBM dengan rata-rata 0,37 ha. Dari lahan yang digarap di lahan PHBM para petani dapat memperoleh panen padi hutan dengan produktivitas yang memang tidak tinggi. Untuk hasil terbaik, produktivitas padi hutan adalah sebesar 1,2 ton per hektar. Jumlah tersebut tentu saja sangat rendah dibandingkan produktivitas padi sawah yang dapat mencapai lebih dari 4 ton per hektar. Hal ini karena pola penanaman padi hutan yang sangat berbeda dari padi sawah. Perbedaan tersebut diantaranya adalah tidak adanya jarak tanam khusus pada penanaman padi hutan dan padi tidak disemai terlebih dahulu. Selain itu penyebaran benih padi pun harus mempertimbangkan posisi tanaman utama kayu Acacia mangium. Tanaman padi hutan juga hanya mengandalkan air hujan tanpa adanya pengairan irigasi sama sekali. Hal ini mengikuti kondisi ideal bagi tanaman utama Acacia mangium yang hidup di lahan kering. Dengan demikian wajar saja apabila produktivitas padi hutan tersebut sangat rendah, namun hal itu sudah cukup membantu para peserta program dalam menjamin kebutuhan pangan rumah tangganya.
83
6.1.2 Permasalahan PHBM di Desa Babakan Selain adanya hal positif, tentu saja terdapat pula berbagai permasalahan yang menyebabkan tujuan-tujuan utama PHBM sedikit terhambat. Untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dalam implementasi PHBM di Desa Babakan, penelitian ini menggali informasi dari berbagai key informan yang dianggap representatif dan memahami substansi perjanjian. Mewakili pihak Perum Perhutani informasi didapatkan dari Kepala serta penanggung jawab Tata Usaha BKPH Parungpanjang, sedangkan dari pihak masyarakat informasi didapatkan dari dua orang pengurus LMDH, seorang Ketua KTH serta beberapa petani penggarap. Untuk melengkapi penelitian terhadap program PHBM ini didapat pula informasi yang bersumber dari seorang pengurus LSM Rahmatan lil Alamin (RLA). LSM Rahmatan lil Alamin merupakan rekanan KPH Bogor dalam pelaksanaan program PHBM di seluruh Kabupaten Bogor termasuk di wilayah BKPH Parungpanjang. Berikut ini adalah hasil analisis yang didapatkan mengenai berbagai permasalahan yang terjadi dalam implementasi program PHBM di Desa Babakan. a. Tidak Adanya Dukungan dari Dinas-dinas Pemerintah Kabupaten Bogor Dari hasil analisis yang dilakukan, ternyata pihak BKPH Parungpanjang memandang permasalahan PHBM yang terjadi secara lebih luas yaitu baik dari sisi manajemen maupun dari sisi pelaksanaan PHBM di tingkat petani. Dari sisi manajemen, pihak BKPH memandang bahwa program PHBM tidak sinergis dan kurang mendapat dukungan dari instansi di luar Perhutani. Berdasarkan fakta yang diungkapkan pihak BKPH tersebut, diketahui bahwa ternyata program PHBM sama sekali tidak mendapat bantuan dana serta peran aktif Dinas Pertanian
84
maupun Dinas Kehutanan Pemerintah Kabupaten Bogor. Padahal, program PHBM merupakan suatu program yang berinteraksi langsung dengan para petani sekitar hutan yang sebenarnya juga harus menjadi perhatian pemerintah daerah setempat. Permasalahan di atas serupa dengan yang disampaikan oleh pengurus LSM RLA yang juga melihat tidak adanya dukungan terhadap program PHBM dari dinas-dinas terkait. Menurut pengurus LSM RLA, program PHBM seharusnya tidak dilihat sebagai program internal Perhutani saja tetapi juga dipandang sebagai program yang berusaha untuk memberdayakan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya yang berada di sekitar hutan. Dukungan yang dirasa sangat perlu adalah berupa sarana dan prasarana penunjang agar tujuan utama program berupa peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dapat tercapai. Sebagai contoh, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor diharapkan dapat memberikan bantuan hewan ternak yang kemudian dapat diusahakan oleh para petani penggarap hutan. Bantuan tersebut dianggap sangat relevan karena keadaan lingkungan sekitar hutan yang sangat mendukung untuk penggembalaan hewan ternak seperti kambing dan kerbau. Di sekitar areal hutan Perhutani masih banyak terdapat lahan yang dapat dipergunakan untuk penggembalaan hewan ternak. Bantuan yang juga dianggap perlu diberikan oleh Dinas Pertanian adalah penyuluhan mengenai teknik bercocok tanam dan berusahatani yang baik terutama di lingkungan hutan. Penyuluhan selama ini hanya dilakukan oleh para mandor Perhutani yang tentunya memiliki pemahaman yang sangat terbatas di bidang pertanian.
85
b. LMDH Belum Mampu Memberdayakan Anggota Permasalahan lain yang juga menjadi sorotan baik oleh pihak Perhutani maupun LSM RLA adalah tanggung jawab dan proses berjalannya organisasi LMDH yang belum optimal. Perhutani memandang bahwa LMDH belum konsisten mengadakan pertemuan-pertemuan yang penting untuk membahas berbagai permasalahan dan kewajiban anggota dalam program PHBM. Masalah tersebut berdampak pada sulitnya menggerakkan para petani penggarap untuk turut serta dalam proses penanaman dan pemeliharaan kayu mangium yang sebenarnya adalah tanggung jawab mereka sebagai penggarap. Permasalahan tersebut di atas juga dikeluhkan oleh para mandor sebagai petugas lapang Perhutani yang merasa bahwa tugas mereka tetap berat walaupun perjanjian PHBM telah dilakukan dengan masyarakat sekitar. Pemeliharaan tanaman utama seperti penyiangan gulma dan pengamanan kayu selama ini hanya dilakukan oleh para mandor dengan sedikit bantuan dari beberapa pengurus LMDH. Dengan demikian terlihat bahwa kewajiban para petani penggarap sebagai anggota LMDH yang telah melakukan perjanjian kerjasama PHBM belum dijalankan dengan baik bila dibandingkan dengan kerangka program PHBM yang seharusnya. c. Tidak Adanya Usaha Produktif LMDH Perhatian Perhutani dalam melihat permasalahan PHBM di Desa Babakan juga mengenai tidak adanya usaha produktif yang dimiliki oleh LMDH. Nilai bagi hasil dari penjarangan dan panen akhir kayu seharusnya menjadi modal bagi terbentuknya usaha produktif masyarakat. Dengan demikian diharapkan LMDH akan memiliki pendapatan yang lebih berkelanjutan. Sampai dengan dua tahun
86
sejak masa perjanjian, LMDH di Desa Babakan telah menerima kucuran dana tunai sebesar Rp 4.745.000 pada tahun 2007 (data terlampir). Dana tunai merupakan insentif yang diberikan oleh Perhutani agar LMDH dapat bekerja dengan lebih optimal. Perhitungan bagi hasil untuk dana tersebut belum benar-benar mengikuti konsep perjanjian karena berasal dari tanaman yang telah ditanam sebelum perjanjian dilakukan. Walaupun telah ada dana yang didapat, tetap saja LMDH Desa Babakan belum memiliki usaha produktif yang jelas, padahal potensi sangat terbuka misalnya dalam usaha kerajian kulit kayu yang telah dikembangkan oleh beberapa pengusaha kecil di sekitar desa. Di Desa Babakan sendiri terdapat dua
home industry yang telah berhasil memproduksi aneka produk kerajinan kulit kayu dan mampu memasarkannya hingga ke luar wilayah desa. Gambar 7 memperlihatkan kegiatan usaha dan produk kerajinan yang telah berhasil dikembangkan di Desa Babakan oleh beberapa pengusaha. Gambar 7. Usaha Kerajinan Kulit Kayu di Desa Babakan Sebagai Potensi Usaha Mandiri yang Dapat Dikembangkan LMDH
(a) Kegiatan produksi
(b) Contoh produk
Usaha kerajinan kulit kayu seperti diperlihatkan pada Gambar 7 memiliki potensi untuk dikembangkan oleh LMDH karena dua hal, bahan baku yang
87
sebagian besar berasal dari lokal serta prospek pasar yang terus ada dari luar wilayah desa. Penggunaan bahan baku utama adalah kulit mangium yang biasanya dibeli oleh para pengrajin dari tempat pengumpulan kayu. LMDH yang telah melakukan kerjasama langsung dengan Perhutani tentu memiliki akses yang lebih baik untuk mendapatkan bahan baku kulit kayu tersebut. Permintaan untuk produk kerajinan ini sendiri biasanya terus ada baik yang berasal dari perusahaan bunga hias di Tangerang, maupun dari toko kerajinan di Jakarta. Pengusaha kecil yang telah berhasil mengembangkan produk tersebut mengaku terus mendapatkan pesanan minimal 1000 item setiap bulannya. Apabila LMDH mampu mengelola keuangan dan SDM nya dengan baik, bukan tidak mungkin LMDH akan berhasil memiliki cabang usaha yang prospekstif ini dan bersaing dengan industri kecil yang telah ada. d. Pengelolaan Dana Bagi Hasil yang Kurang Baik Permasalahan lain yang teridentifikasi dari para pengurus LMDH adalah mengenai pengelolaan dana bagi hasil yang kurang baik. Seperti telah dikemukan sebelumnya, LMDH Desa Babakan telah mendapatkan dana bagi hasil yang totalnya mencapai Rp 4.745.000 di tahun 2007. Sebagian pengurus LMDH mengeluhkan bagaimana pengelolaan dana tersebut sebaiknya. Dana tersebut langsung dibelanjakan untuk berbagai keperluan administratif LMDH seperti pembelian buku-buku dan alat kantor, dan juga untuk mengganti uang pribadi ketua yang telah dikeluarkan terkait dengan jabatannya yang harus menghadiri berbagai pertemuan antar LMDH. Sisa dana tunai tersebut kemudian dibagikan kepada setiap pengurus LMDH yang berjumlah 26 orang sebesar Rp 50.000 tiap pengurus. Dengan demikian otomatis saat ini LMDH tidak memiliki dana yang
88
dapat dipergunakan untuk menggerakkan roda organisasi maupun untuk modal usaha. e. Pembagian Lahan Garapan PHBM yang Tidak Merata Dari sisi petani penggarap, permasalahan yang terangkat adalah mengenai tidak meratanya lahan garapan hutan untuk dijadikan lahan tumpangsari. Sebagian besar petani penggarap yang menjadi responden memiliki lahan garapan tidak lebih dari 0,25 hektar. Di sisi lain, terdapat beberapa petani yang memiliki lahan garapan lebih dari 0,50 hektar. Untuk studi kasus yang dilakukan pada lahan tanaman mangium tahun 2007 pun masalah ketidakmerataan lahan tersebut terlihat jelas. Berdasarkan data pada Tabel 10 sebelumnya, terlihat bahwa sebagian besar petani memiliki lahan garapan kurang dari 0,20 hektar, dan sebagian kecil lagi yang mencapai di atas 0,50 hektar. Padahal luas keseluruhan lahan tanaman tahun 2007 tersebut adalah 33,9 hektar (petak 13 C 24,70 ha dan petak 9 C 9,2 ha) yang apabila dibagi merata kepada para penggarap di kedua petak tersebut (54 orang) berarti masing-masing mendapatkan sekitar 0,63 hektar. Tidak meratanya pembagian lahan dikarenakan pematokan batas-batas lahan garapan seringkali telah dilakukan oleh sebagian kecil petani jauh sebelum para mandor Perhutani melakukan pembagian. Hal ini berarti terdapat perbedaan informasi antara para petani yang tidak dekat dengan mandor serta petani yang berhubungan dekat dengan mandor yang mengetahui jadwal pembagian lahan lebih cepat daripada umumnya. f. Tanaman Tumpangsari Bernilai Rendah Satu lagi masalah yang cukup esensial disampaikan oleh Ketua KTH yang menyatakan bahwa tanaman tumpangsari di wilayah Desa Babakan memang tidak
89
memiliki nilai jual yang tinggi. Tanaman yang dapat diusahakan hanyalah jenis padi hutan yang berumur enam bulan dan hanya dapat dilakukan dua kali panen dalam satu siklus hidup kayu mangium. Nilai jual padi hutan tersebut di bawah nilai jual padi sawah yaitu hanya sekitar Rp 2.000-Rp 2.500 per liter. Tanaman bernilai ekonomi lebih tinggi seperti kopi, tidak dapat ditanam karena jarak tanam kayu mangium yang rapat yaitu 3 x 3 meter. Apabila Perhutani dan para petani sepakat untuk menanam tanaman tumpangsari yang lebih bernilai jual, maka jarak tanam kayu harus diperlebar sehingga lebih banyak pilihan tanaman yang dapat diusahakan. Ikhtisar identifikasi permasalahan dalam implementasi PHBM di Desa Babakan dari berbagai sumber terkait disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Ikhtisar Permasalahan dalam Implementasi PHBM di Desa Babakan dari Berbagai Sumber Informasi No
Permasalahan BKPH
1.
2.
3.
4. 5.
6.
PHBM kurang mendapat dukungan dinas-dinas terkait di lingkungan Pemda Kabupaten LMDH belum mampu menggerakkan anggotanya (petani penggarap) untuk melaksanakan kewajiban sesuai kerangka perjanjian Tidak ada usaha produktif dari LMDH sebagai sumber pemasukan yang berkelanjutan Manajemen dana bagi hasil yang kurang baik Pembagian lahan garapan untuk tumpangsari tidak merata Tanaman tumpangsari tidak bernilai tinggi karena keterbatasan ruang tanam pada lahan mangium
Sumber: data primer
LSM
Sumber Informasi LMDH Mandor Petani
90
Tabel 12 menunjukkan bahwa permasalahan yang paling mendapat sorotan oleh berbagai pihak adalah ketidakmampuan LMDH untuk menggerakkan para anggotanya dalam melaksanakan kewajiban sesuai kerangka perjanjian, serta masalah tidak jelasnya aliran dana bagi hasil. Kedua permasalahan tersebut sangat terkait erat dengan organisasi LMDH sebagai organisasi yang menjembatani kepentingan para petani sekitar hutan dan Perum Perhutani. Perbaikan menyeluruh harus segera dilakukan agar implementasi perjanjian PHBM benarbenar sesuai dengan yang diharapkan. Dalam hal perbaikan atas berbagai masalah yang dihadapi, peran ketua sangat vital guna mengembalikan kepercayaan jajaran pengurus dan anggotanya agar melaksanakan tugas dan kewajiban mereka sebagaimana mestinya. Ketua LMDH harus bisa menjelaskan kepada berbagai pihak terutama para pengurus dan anggota, mengenai aliran dana bagi hasil yang selama ini telah diterima. Apabila dana tersebut memang belum akan dibagikan kepada para anggota, mengingat jumlahnya yang terlalu kecil bila dibandingkan dengan petani hutan yang terlibat dalam perjanjian, maka Ketua LMDH harus bisa memberikan pemahaman bahwa dana tersebut disiapkan untuk permodalan bagi usaha produktif LMDH. Selanjutnya, ketua dan jajaran pengurus harus merumuskan bentuk pengelolaan dana yang baik sehingga terbentuk suatu usaha produktif yang akan memberikan manfaat kepada para anggota dalam jangka panjang. Apabila komunikasi dilakukan dengan baik, maka dapat diharapkan setiap pihak akan kembali melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan posisinya masing-masing. Dengan demikian, implementasi PHBM akan dapat berjalan
91
secara optimal dengan adanya kekompakan antara Perum Perhutani sebagai penanggunjawab program PHBM dan para petani hutan sebagai pelaku utama.
6.2
Pengaruh PHBM terhadap Pendapatan dan Curahan Kerja Peserta
6.2.1 Pengaruh terhadap Pendapatan Rumah tangga Peserta Pendapatan merupakan suatu variabel ekonomi yang sangat penting sebagai penentu bagi pemenuhan kebutuhan hidup seseorang termasuk bagi seorang petani. Petani akan terus melakukan suatu kegiatan jika kegiatan tersebut dianggap dapat memberikan pendapatan yang sesuai. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, tingkat pendapatan yang diperoleh petani dari kegiatan PHBM menjadi salah satu faktor utama penilaian keberhasilan program dan alasan pengembangan program tersebut selanjutnya. Penelitian ini mengukur tingkat pendapatan petani dengan menghitung tingkat pendapatan rumah tangga, yaitu jumlah penerimaan dari tiap-tiap usaha yang dilakukan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan, namun pengeluaran biaya untuk tenaga kerja keluarga tidak dimasukkan sebagai komponen biaya. Dengan mengukur tingkat pendapatan tersebut, maka akan diperoleh gambaran nyata pendapatan petani dari tiap sumber dan proporsinya terhadap pendapatan total. Dengan demikian akan diketahui pula sumber pendapatan yang paling penting bagi petani. Tabel 13 menyajikan pendapatan rumah tangga berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan pada satu musim periode pengamatan (Oktober-Maret).
92
Tabel 13. Rata-rata Pendapatan Rumah tangga Petani Berdasarkan Jenis Kegiatan (Rp/musim) No.
1.
Jenis Pekerjaan
Usahatani/tumpang sari lahan PHBM 2. Usahatani lahan pribadi 3. Usahatani lahan sewa/bagi hasil a.) Pertanian 4. Buruh hutan/tebang 5. Buruh bangunan 6. Jasa, perdagangan b.) Non Pertanian Total (a+b)
Petani PHBM Petani non PHBM Pendapatan Persentase Pendapatan Persentase (Rp) (%) (Rp) (%) 391.240 21,31 0 0 307.420
16,75
1.654.066
62,30
218.320
12,05
53.300
2,00
919.980 72.000 82.000 762.000 916.000 1.835.980
50,11 3,92 4,47 41,50 49,89 100
1.707.366 0 0 948.000 948.000 2.655.366
64,30 0 0 35,70 35,70 100
Sumber: data primer (diolah) Dari Tabel 13 terlihat bahwa pada kedua kelompok petani, kegiatan pertanian memberikan sumbangan pendapatan yang lebih besar dibandingkan kegiatan non pertanian. Persentase pendapatan dari kegiatan pertanian untuk petani PHBM adalah 50,11 persen dan untuk petani non PHBM 64,30 persen dari pendapatan total. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa pendapatan dari kegiatan pertanian tersebut bukan merupakan pendapatan tunai namun merupakan pendapatan non tunai dengan memperhitungkan nilai produk usahatani yang dihasilkan sesuai harga pasar. Hal ini karena seluruh hasil pertanian di lokasi penelitian baik oleh petani PHBM maupun petani non PHBM umumnya hanya untuk dikonsumsi sendiri dan tidak dijual. Nilai produk yang dihasilkan dari usahatani di lahan PHBM pun berbeda dengan produk dari usahatani di lahan lain. Beras yang dihasilkan dari lahan PHBM adalah jenis beras merah yang harganya lebih murah yaitu sekitar Rp 2.000 per liter, sedangkan beras yang dihasilkan dari lahan lain selain lahan hutan
93
PHBM (lahan pribadi, lahan sewa) adalah beras putih dengan kisaran harga di atas Rp 3.000 per liter. Oleh karena itu wajar saja apabila pendapatan petani PHBM dari lahan pribadi dan lahan sewa mampu menyaingi pendapatan dari lahan PHBM walaupun sedikit diantara mereka yang memiliki lahan pribadi. Hal ini lebih dikarenakan perbedaan harga beras yang lebih tinggi untuk jenis beras putih. Kenyataan tersebut semakin terlihat pada tingginya pendapatan rata-rata petani non PHBM dari kegiatan pertanian di lahan pribadi yang mencapai Rp 1.654.066 per musim. Diantara petani non PHBM tersebut memang lebih banyak yang memiliki lahan usahatani pribadi yang menghasilkan beras yang lebih berkualitas. Sumber pendapatan yang juga menjadi sumber utama pada kedua kelompok petani adalah kegiatan di bidang jasa dan perdagangan. Pada kedua kelompok tersebut, kegiatan perdagangan yang paling banyak dilakukan adalah berdagang soto mi serta sebagian kecil lainnya adalah usaha warung kelontong. Diantara para petani peserta PHBM persentase pendapatan yang dihasilkan dari perdagangan (41,50 persen) justru lebih besar daripada pendapatan yang didapatkan dari usahatani di lahan PHBM (21,31 persen). Sedangkan pada kelompok petani non PHBM persentase pendapatan dari perdagangan (35,70 persen) masih lebih kecil dibandingkan pendapatan dari usahatani di lahan pribadi (62,30 persen). Hal tersebut sekali lagi terkait dengan perbedaan nilai produk antara padi hutan yang lebih murah dibandingkan padi sawah. Keputusan petani peserta PHBM untuk menanam padi hutan di lahan PHBM merupakan konsekuensi karena lahan PHBM yang berjenis lahan kering. Dengan keadaan lahan demikian dan tanpa pengairan irigasi, pilihan menanam padi hutan adalah pilihan yang paling memungkinkan. Rendahnya pendapatan petani peserta PHBM
94
dari lahan tumpangsarinya juga dikarenakan produktivitas yang rendah yaitu sekitar 1,2 ton/ha yang jauh lebih kecil daripada produktivitas padi sawah yaitu 4 ton/ha. Hal yang menarik adalah bahwa diantara enam jenis kegiatan yang dilakukan oleh para responden, petani PHBM memiliki pilihan sumber pendapatan yang lebih variatif dibandingkan dengan petani non PHBM. Hal ini dikarenakan para petani PHBM dengan karakteristiknya yang cenderung tidak memiliki lahan usahatani pribadi lebih berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari berbagai sumber yang mungkin didapatkan. Sedangkan petani non PHBM sudah lebih tercukupi kebutuhannya dari usahatani pribadi serta perdagangan yang dilakukannya sehingga sumber pendapatan lain tidak terlalu diperlukan lagi. Selain itu, terdapat kesempatan kerja sebagai buruh hutan/tebang yang lebih terbuka bagi seorang petani peserta PHBM. Besarnya pendapatan dari tiap-tiap jenis pekerjaan pun menjadi insentif petani untuk melakukan suatu kegiatan. Pendapatan dari kegiatan usahatani di lahan PHBM sebesar Rp 391.240 yang masih lebih besar daripada yang bisa didapatkan oleh petani PHBM di lahan lain, menjadi insentif utama petani PHBM untuk terus mengikuti program ketika ada lahan hutan baru yang dibuka untuk usahatani. Namun demikian, dalam perjalanan program masih banyak petani penggarap yang kemudian meninggalkan tanggung jawab untuk merawat lahannya karena mengalihkan pekerjaan untuk berdagang. Hal tersebut cukup rasional dari sudut pandang petani mengingat pendapatan yang bisa didapatkan dari usaha perdagangan selama satu musim jauh lebih besar daripada pendapatan dari usahatani. Ini kemudian menjadi conflict of interest antara kepentingan petani
95
penggarap untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan harapan Perum Perhutani agar petani penggarap bertanggung jawab merawat lahan hutan yang menjadi garapannya walaupun musim tanam telah selesai. Terlepas dari berbagai interpretasi yang didapat dari hasil analisis Tabel 13, nilai rata-rata pendapatan yang terlihat dalam tabel tersebut ternyata tidak sesuai dengan hipotesis awal. Dalam hipotesis, diduga bahwa pendapatan rumah tangga petani peserta PHBM lebih tinggi daripada petani non PHBM. Namun ternyata, rata-rata pendapatan rumah tangga petani PHBM dalam satu musim yang diamati adalah Rp 1.835.980 yang lebih rendah daripada pendapatan rumah tangga petani non PHBM yaitu Rp 2.655.366. Lebih tingginya pendapatan petani non PHBM tersebut terutama sangat dipengaruhi oleh kepemilikan petani non PHBM akan lahan usahatani pribadi yang dapat menghasilkan produk padi sawah dengan harga yang lebih tinggi daripada padi hutan. Selain itu, sumber pendapatan yang diharapkan berasal dari adanya kerjasama PHBM yaitu kayu penjarangan serta bagi hasil tebangan, belum dapat dirasakan oleh para responden peserta PHBM mengingat umur tanaman kayu yang menjadi garapannya baru mencapai umur 1 tahun. Pada umur 1 tahun tersebut belum ada kayu yang bisa ditebang untuk penjarangan maupun untuk bagi hasil. Manfaat yang baru bisa dirasakan oleh para peserta adalah hanya berupa manfaat dari pengelolaan lahan hutan untuk berusahatani. Walaupun terlihat jumlah pendapatan kedua kelompok petani yang tidak sesuai dengan hipotesis awal, perlu dilakukan uji statistika dahulu untuk mengetahui apakah perbedaan pendapatan kedua kelompok tersebut nyata. Apabila perbedaan pendapatan tersebut nyata maka penarikan kesimpulan untuk
96
populasi petani di lokasi penelitian dapat dilakukan. Hasil analisis uji T dua arah disajikan pada Tabel 14 untuk mengetahui apakah perbedaan pendapatan kedua kelompok memang nyata secara statistik. Pada uji dua arah tersebut, digunakan nilai kritis yaitu P-value < α/2. Hasil analisis akan menunjukkan perbedaan pendapatan rumah tangga diantara kedua kelompok responden signifikan apabila nilai P lebih kecil daripada 0,05. Tabel 14. Hasil uji T Perbedaan Pendapatan Rumah tangga Variabel N Mean StDev PENDPHBM 25 1832980 1194305 PENDNONPHBM 15 2895400 3443011 Difference = mu (PENDPBHM) - mu (PENDNONPHBM) Estimate for difference: -1062420 95% CI for difference: (-3013819, 888979) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1,15 P-Value = 0,265 DF = 16
SE Mean 238861 888982
Sumber: data primer (diolah) Hipotesis alternatif yang digunakan pada uji di atas adalah apakah selisih pendapatan kedua kelompok petani berbeda nyata dari nol. Ternyata hasil analisis menunjukkan nilai P-value yang lebih besar daripada taraf nyata 0,025 yang berarti tidak cukup bukti untuk menerima hipotesis alternatif tersebut. Dengan kata lain, secara statistik pendapatan rumah tangga kedua kelompok petani responden adalah sama. Sehingga hipotesis awal dalam penelitian ini tidak dapat dibuktikan. Namun demikian, hasil penelitian yang menunjukkan pendapatan responden petani non PHBM yang lebih besar dari petani peserta PHBM tetap perlu mendapat perhatian. Hasil tersebut mengindikasikan pentingnya nilai jual produk pertanian dalam menentukan besarnya pendapatan petani, yang dalam hal ini petani non PHBM menghasilkan produk pertanian padi sawah yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan padi hutan.
97
Hasil analisis pendapatan pada Tabel 13 juga memberikan informasi penting mengenai manfaat program bagi para peserta PHBM. Walaupun secara statistik pendapatan petani peserta PHBM tidak berbeda nyata dengan pendapatan non peserta PHBM, keberadaan progam PHBM sendiri memberikan dampak positif bagi para pesertanya. Hal ini terbukti dari sumbangan pendapatan yang dapat diberikan dari hasil usahatani tumpangsari terhadap pendapatan total peserta yang mencapai 21,31 persen. Angka tersebut cukup berarti bagi para petani peserta program sendiri karena berarti sekitar seperlima pendapatan rumah tangganya disumbangkan dari usahatani tumpangsari yang tidak mungkin didapatkan tanpa keikutsertaan petani dalam program PHBM. Untuk mengetahui bagaimana pendapatan para petani responden mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, maka perlu dihitung proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap pendapatan tunainya. Pendapatan tidak tunai dalam hal ini tidak diperhitungkan karena yang dibutuhkan untuk membiayai kebutuhan hidup rumah tangga petani adalah pendapatan tunai. Kebutuhan hidup yang dimaksud dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar yaitu pengeluaran untuk pangan, pengeluaran untuk pendidikan, dan pengeluaran untuk fasilitas rumah tangga (listrik). Ketiga jenis pengeluaran tersebut adalah yang rutin dikeluarkan oleh rumah tangga para petani dan dapat dihitung berapa besarnya setiap periode. Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tunai adalah dari kegiatan non pertanian, sedangkan kegiatan yang tidak menghasilkan pendapatan tunai adalah kegiatan pertanian baik dari lahan PHBM, lahan pribadi, maupun lahan sewa/bagi hasil. Sekali lagi hal ini dikarenakan para petani di lokasi penelitian tidak melakukan penjualan atas produk usahataninya terutama yang berasal dari usahatani padi.
98
Hasil analisis proporsi pengeluaran terhadap pendapatan rumah tangga petani disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Proporsi Rata-rata Pengeluaran terhadap Pendapatan Tunai Rumah tangga No. Jenis Petani PHBM Petani non PHBM Pengeluaran Absolut Proporsi Absolut Proporsi (Rp) (%) (Rp) (%) 1. Pangan 461.280 50,36 343.000 36,18 2. Pendidikan 78.800 8,60 153.000 16,14 3. Fasilitas Rumah 285.000 31,11 294.000 31,01 tangga 4. Lain-lain 90.920 9,93 158.000 16,67 (tabungan,belanja harian) Total Pendapatan 916.000 100 948.000 100 Tunai Sumber: data primer (diolah) Data pada Tabel 15, terlihat bahwa pada kedua kelompok petani, pengeluaran untuk pangan memang menjadi prioritas utama pengeluaran dengan proporsi 50,36 persen pada petani PHBM dan 36,14 persen pada petani non PHBM. Dari data tersebut dapat disarikan bahwa seiring dengan tingginya kemampuan petani untuk mencukupi kebutuhan pengannya sendiri dari usahatani yang dilakukan, maka semakin sedikit pula pengeluaran yang harus disediakannya untuk kebutuhan pangan. Petani non PHBM dengan karakteristik memiliki lahan usahatani pribadi hanya perlu mengeluarkan 36,18 persen pendapatannya untuk menambah kebutuhan pangan yang diperlukan dan dapat mengalihkan pendapatannya ke pos pengeluaran lain yaitu untuk pendidikan dan belanja harian. Sedangkan petani peserta PHBM dengan karakteristik yang cenderung tidak memiliki lahan usahatani pribadi harus menyiapkan pengeluaran yang besar guna menutupi kebutuhan pangan keluarganya sehingga pos pengeluaran lain yaitu
99
untuk pendidikan dan belanja harian harus dikurangi. Pengeluaran untuk fasilitas rumah tangga pada kedua kelompok petani cenderung sama yaitu sekitar 31 persen. Pengeluaran untuk pendidikan pada kedua kelompok tidak terlalu besar karena anggota keluarga petani yang masih sekolah umumnya masih di tingkat SD yang biaya SPP bulanannya gratis. Biaya pendidikan tersebut biasanya dikeluarkan untuk kenaikan kelas dan kebutuhan pembelian buku. Pengeluaran pendidikan yang lebih besar pada rumah tangga petani non PHBM menunjukkan lebih banyak anggota keluarga petani tersebut yang berkesampatan untuk sekolah dibandingkan anggota keluarga dari petani PHBM. Apabila pos pengeluaran pangan dapat ditekan maka petani peserta PHBM akan dapat mengalihkan dana lebih banyak untuk pendidikan dan pengeluaran rutin lainnya. Untuk itu perlu diusahakan agar petani peserta PHBM memiliki lahan garapan yang lebih luas dengan pembagian lahan yang lebih adil sehingga kebutuhan untuk pangan cukup dipenuhi dari usahatani yang dilakukan saja. 6.2.2 Pengaruh terhadap Curahan Kerja Keluarga Jumlah potensi kerja keluarga bervariasi antar rumah tangga responden yang bergantung pada banyaknya tenaga kerja potensial yang dapat diberdayakan pada kegiatan usahatani. Tidak semua anggota keluarga yang telah memiliki kemampuan untuk bekerja dimasukkan dalam tenaga kerja keluarga. Hal ini karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki serta minat yang kurang sehingga masih banyak tenaga kerja keluarga tersebut kemudian memutuskan untuk tidak mengikuti kegiatan usahatani keluarga sehingga tidak termasuk ke dalam tenaga kerja potensial untuk usahatani yang dilakukan. Sedikit berbeda dengan penelitian
100
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani mengikuti program PHBM yang menjadikan individu petani sebagai responden utama, penghitungan curahan kerja ini melakukan analisis terhadap keluarga petani responden. Tingkat curahan kerja dihitung berdasarkan jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh tenaga kerja potensial tiap keluarga pada kegiatan-kegiatan produktif (kegiatan yang menghasilkan upah dan non upah). Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan oleh para petani di lokasi penelitian dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama adalah kegiatan pertanian yang berupa kegiatan usahatani di lahan PHBM, lahan pribadi dan lahan sewa/bagi hasil. Kelompok kedua adalah kegiatan non pertanian berupa kegiatan menjadi buruh hutan/tebang, buruh industri dan bangunan serta kegiatan jasa dan perdagangan. Jenis-jenis pekerjaan yang terdapat dalam tiap kelompok merupakan jenis pekerjaan yang umumnya menjadi mata pencaharian para petani di lokasi penelitian. Kedua jenis petani responden baik yang mengikuti program PHBM maupun yang tidak umumnya tersebar melakukan kegiatan-kegiatan pekerjaan seperti yang telah dikelompokkan tersebut, kecuali bahwa petani non PHBM tidak mencurahkan kerjanya pada usahatani di lahan PHBM. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa curahan kerja petani non PHBM untuk kegiatan usahatani di lahan PHBM adalah nol. Tingkat curahan kerja rata-rata serta persentase curahan kerja dari tiap jenis pekerjaan yang dihitung untuk satu musim tanam (OktoberMaret) dapat dilihat pada Tabel 16.
101
Tabel 16. Rata-rata Curahan Kerja Keluarga Responden pada Berbagai Kegiatan (jam kerja/musim) No.
1.
Jenis Pekerjaan
Usahatani/tumpangsari lahan PHBM 2. Usahatani lahan pribadi 3. Usahatani lahan sewa/bagi hasil a.) Pertanian 4. Buruh hutan/tebang 5. Buruh bangunan 6. Jasa, perdagangan b.) Non Pertanian Total (a+b) Sumber: data primer (diolah)
Petani PHBM Jam Persentase Kerja (%) 269,84 35,50
Petani non PHBM Jam Persentase Kerja (%) 0 0
81,68
10,75
338,87
45,82
123,40
16,24
8,34
1,13
474,92 7,68 25,60 251,76 285,04 759,96
62,49 1,01 3,37 33,13 37,51 100
347,21 0 0 392,27 392,27 739,48
46,95 0 0 53,05 53,05 100
Berdasarkan Tabel 16, terlihat bahwa persentase curahan kerja keluarga yang terbesar untuk kedua kelompok petani berbeda. Pada kelompok petani peserta PHBM curahan kerja keluarga yang terbesar dicurahkan untuk kegiatan pertanian yaitu mencapai 62,49 persen dari curahan total. Sedangkan pada petani non PHBM, curahan kerja untuk kedua jenis pekerjaan cenderung sama namun sedikit lebih besar untuk kegiatan non pertanian yaitu 53,05 persen dari curahan kerja totalnya. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga petani PHBM memang lebih fokus pada kegiatan usahataninya terutama yang dilakukan pada lahan PHBM. Kegiatan pertanian petani PHBM yang lainnya dilakukan di lahan pribadi dan lahan sewa/bagi hasil, namun tentu saja persentasenya tidak besar karena memang hanya sedikit petani PHBM yang memiliki lahan pribadi. Kondisi tersebut jelas berbeda dengan para petani non PHBM. Petani non PHBM yang tidak memiliki lahan garapan pada hutan Perhutani banyak mencurahkan kegiatan usahataninya
102
di lahan pribadi, namun karena dalam satu musim yang menjadi periode penelitian (Oktober-Maret) hanya dilakukan satu kali panen padi sawah, petani non PHBM kemudian mengalihkan curahan kerjanya pada kegiatan non pertanian yaitu untuk kegiatan perdagangan. Kegiatan perdagangan memang menjadi alternatif utama para petani ketika tidak disibukkan pada kegiatan usahataninya. Persentase menunjukkan curahan kerja yang tinggi untuk kegiatan perdagangan baik pada petani PHBM maupun petani non PHBM, yaitu masing-masing 33,13 persen dan 53,05 persen. Kegiatan perdagangan utama yang dilakukan mencakup usaha perdangan pribadi yaitu warung kelontong, dan kegiatan berdagang makanan (soto mi) ke luar desa dengan sistem bagi hasil dengan pemilik gerobak soto. Daerah yang seringkali menjadi tujuan para petani apabila berdagang soto mi adalah Tangerang dan Jakarta dengan menggunakan transportasi bis dan kereta. Mereka memanfaatkan waktu-waktu di luar kegiatan usahatani yang biasanya hanya sibuk ketika memasuki bulan-bulan tanam dan panen saja. Dalam satu bulan, biasanya petani yang melakukan usaha perdagangan soto mi tersebut menghabiskan waktu 10-15 hari di kota tujuan. Hal yang menarik adalah bahwa keluarga petani PHBM memiliki pilihan pekerjaan yang lebih variatif dibandingkan petani non PHBM. Dengan tidak mengikuti program PHBM, petani non PHBM jelas tidak memiliki kesempatan untuk mengelola usahatani di lahan PHBM dan kurang memiliki kesempatan untuk menjadi buruh hutan/tebang. Sedangkan petani PHBM memiliki kesempatan untuk kedua jenis pekerjaan tersebut walaupun dengan persentase yang masih kecil dalam curahan kerjanya menjadi buruh hutan/tebang. Hasil
103
analisis pada Tabel 17 menunjukkan curahan kerja keluarga yang lebih tinggi pada petani PHBM dibandingkan petani non PHBM. Hal ini sesuai dengan dugaan awal bahwa peserta program PHBM memiliki curahan kerja yang lebih tinggi daripada petani non PHBM. Namun demikian, secara statistik kesimpulan tersebut tidak dapat diterima. Barikut ini pada Tabel 17 disajikan hasil uji T satu arah untuk mengetahui apakah hipotesis dapat diterima secara statistik. Tabel 17. Hasil uji T Perbedaan Curahan Kerja Keluarga Variabel N Mean StDev SE Mean CKPHBM 25 760 374 75 CKNONPHBM 15 739 710 183 Difference = mu (CKPHBM) - mu (CKNONPHBM) Estimate for difference: 20,4933 95% lower bound for difference: -322,9992 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 0,10 P-Value = 0,459 DF = 18 Sumber: data primer (diolah) Berdasarkan Tabel 17 terlihat bahwa nilai P-value 0,459 yang lebih besar daripada taraf nyata 0,05. Hal ini berarti perbedaan rata-rata curahan kerja pada kedua kelompok petani peserta PHBM dan non PHBM tidak berbeda nyata. Walaupun hasil pada Tabel 17 menunjukkan curahan kerja keluarga yang lebih tinggi pada petani PHBM, hal tersebut hanya berlaku bagi para petani yang menjadi responden saja, sedangkan secara statistik tidak dapat disimpulkan bahwa petani PHBM di lokasi penelitian memiliki curahan kerja yang lebih tinggi daripada petani non PHBM. Walau demikian, program PHBM tetap dirasakan bermanfaat bagi para peserta karena membuka kesempatan kerja yang lebih besar yaitu dengan memberikan kesempatan untuk mengelola usahatani di lahan PHBM dan kesempatan untuk menjadi buruh hutan/tebang. Manfaat program PHBM terhadap curahan kerja sendiri juga terlihat apabila memperhatikan jumlah jam kerja yang dicurahkan oleh para petani peserta
104
program. Sebagaimana tersaji pada Tabel 16 mengenai curahan kerja tiap kelompok responden, curahan kerja yang diberikan oleh para petani peserta program pada kegiatan usahatani tumpangsari mencapai 35,50 persen dari total waktu kerjanya. Hal ini menunjukkan peran yang sangat signifikan dari adanya program PHBM terhadap curahan kerja keluarga peserta yang menunjukkan lebih dari sepertiga waktu kerja keluarga digunakan pada kegiatan usahatani tumpangsari di lahan PHBM. Dengan demikian, keberadaan program PHBM sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja keluarga. Dari kedua analisis terhadap pendapatan rumah tangga dan curahan kerja, kemudian dapat dihitung besar pendapatan per jam kerja dari setiap jenis kegiatan. Berikut ini ditampilkan Tabel 18 yang menunjukkan pendapatan per jam kerja dari setiap jenis pekerjaan. Hasil analisis dapat membantu menjelaskan motivasi tiap responden dalam mencurahkan waktu kerjanya. Tabel 18. No.
1. 2. 3.
Pendapatan per Jam Kerja Kedua Kelompok Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan (Rp/jam kerja) Jenis Pekerjaan
Petani PHBM Pendapatan (Rp/jam kerja) lahan 1.449,89
Usahatani/tumpangsari PHBM Usahatani lahan pribadi Usahatani lahan sewa/bagi hasil
a.) Pendapatan/jam Rata-rata Pertanian
4. 5. 6.
Buruh hutan/tebang Buruh bangunan Jasa, perdagangan
b.) Pendapatan/jam Pertanian
Rata-rata
Non
3.763,71 1.769,21 2.327,60 9.375 3.203,12 3.026,69 5.201.60
Petani non PHBM Pendapatan (Rp/jam kerja) 4.881,12 6.390,88 5.636 2.416.70 2.416,70
Sumber: data primer (diolah) Ternyata dari perhitungan pendapatan per jam kerja, pendapatan per jam kerja kedua kelompok responden memang berbeda. Tabel 18 menunjukkan
105
pendapatan per jam kerja yang lebih rendah pada kegiatan usahatani yang dilakukan oleh petani PHBM (Rp 2.327,60) dan pendapatan per jam kerja yang lebih tinggi pada petani non PHBM (Rp 5.201,60). Hal tersebut terjadi karena memang produk pertanian tumpangsari memiliki nilai jual yang lebih rendah daripada produk usahatani lahan sawah. Motivasi petani PHBM untuk tetap melakukan kegiatan usahatani adalah lebih kepada alasan ketahanan pangan keluarganya. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sebagian anggota keluarga petani PHBM mencurahkan kegiatan kerjanya pada pekerjaanpekerjaan non pertanian yang menawarkan upah lebih baik. Alasan sebagian anggota keluarga tersebut dalam melakukan kegiatan non pertanian didasarkan pada alasan ekonomis yaitu insentif dari upah yang ditawarkan. Petani non PHBM menikmati pendapatan per jam kerja yang lebih baik pada kegiatan pertanian karena mendapatkan nilai yang lebih besar dari produk usahataninya. Dengan demikian alasan petani non PHBM mencurahkan waktu kerja pada kegiatan pertanian merupakan alasan ekonomis karena menawarkan pendapatan per jam kerja yang cukup tinggi. Ketika memasuki masa jeda antara masa tanam dan panen, para petani non PHBM banyak yang beralih kepada kegiatan-kegiatan non pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa curahan kerja yang diberikan oleh sebagian anggota keluarga petani non PHBM pada kegiatan non pertanian lebih disebabkan oleh motivasi untuk mengisi waktu luang di selasela musim tanam dan panen.
106
6.3
Keputusan Petani dalam Mengikuti Program PHBM Sebagaimana telah dijelaskan dalam sub-bab 6.1, implementasi program
PHBM di Desa Babakan terkendala oleh beberapa permasalahan yang sebenarnya masih dapat dicarikan solusi untuk mengatasinya. Di sisi lain, program PHBM harus diakui memberikan manfaat berupa akses terhadap lahan hutan kepada masyarakat sekitar untuk dikelola sesuai dengan koridor yang disepakati. Walau demikian, tidak semua petani sekitar hutan di Desa Babakan bersedia untuk terlibat dalam program PHBM. Keterlibatan petani yang dimaksud adalah ditandai dengan statusnya sebagai anggota LMDH/KTH yang memiliki lahan garapan di hutan Perum Perhutani. Keberhasilan program PHBM untuk diterima oleh masyarakat pada akhirnya ditentukan oleh keputusan petani sekitar hutan untuk mau terlibat dalam program. Semakin banyak petani yang terlibat berarti semakin besar objek yang menjadi sasaran program sehingga manfaat peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan akan dirasakan oleh banyak individu. Hal ini juga berarti akan semakin besar tenaga potensial yang dapat dimanfaatkan oleh Perhutani dalam mengelola dan merawat hutannya. Dalam sub-bab ini akan dikaji faktor-faktor apa, khususnya yang bersumber dari karakteristik petani, yang mempengaruhi keputusannya untuk terlibat dalam progam PHBM. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani terlibat dalam program PHBM digunakan model regresi logistik. Variabelvariabel yang diduga menjadi faktor-faktor tersebut adalah umur (UMR), pendidikan (PDKN), jam kerja mencari kayu bakar (JKBKR), pendapatan rumah tangga (PENRT), curahan kerja keluarga (CKKEL), dummy kepemilikan lahan
107
(DLHN), dummy keikutsertaan dalam penyuluhan Perhutani (DPYLN), dan dummy kepemilikan profesi di bidang non usahatani (DPROF). Variabel dependen dalam model ini adalah keputusan petani (Z) untuk mengikuti program PHBM yang bernilai “satu” dan keputusan petani untuk tidak mengikuti progam yang bernilai “nol”. Selanjutnya model diolah dengan metode maximum
likelihood dengan menggunakan program Minitab 14. Hasil analisis regresi logistik disajikan pada Tabel 19 yang juga memperlihatkan nilai koefisien dan P value dari masing-masing variabel untuk menentukan variabel mana yang berpengaruh secara signifikan. Taraf nyata (α) yang dipergunakan adalah 15 persen, nilai α tersebut masih relevan dipergunakan khususnya dalam suatu penelitian sosial ekonomi yang menggunakan data primer. Tabel 19.
Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani Mengikuti Program PHBM di Desa Babakan Predictor Coef SE Coef Z P value Odds ratio Constant 3,36263 3,95098 0,85 0,395 UMR -0,0202449 0,0554071 -0,37 0,715 0,98 PDKN 0,297908 0,330412 0,90 0,367 1,35 JKBKR -0,278161 0,491348 -0,57 0,571 0,76 PENRT -0,0000002 0,0000004 -0,58 0,562 1,00 CKKEL 0,0010783 0,0010048 1,07 0,283 1,00 DLHN -2,30541 1,51259 -1,52 0,127* 0,10 DPYLN 4,50530 1,96781 2,29 0,022* 90,50 DPROF -3,86074 2,32114 -1,66 0,096* 0,02 Log-Likelihood = -13,683 Test that all slopes are zero: G = 25,559, DF = 8, P-Value = 0,001 Goodness-of-Fit Tests Method Chi-Square Pearson 26,9494 Deviance 27,3656 Hosmer-Lemeshow 3,2376
Keterangan:
DF 31 31 8
*signifikan pada (α) 15 persen
Sumber: data primer (diolah)
P 0,675 0,654 0,91
108
Dari delapan variabel yang diduga, didapatkan tiga variabel berpengaruh secara signifikan. Tiga variabel yang dimaksud adalah DPROF, DPYLN, dan DLHN karena memiliki nilai P lebih kecil dari 15 persen. Lima variabel lainnya yaitu UMR, PDKN, JKBKR, PENRT, CKKEL tidak berpengaruh signifikan karena masing-masing memiliki nilai P yang lebih besar daripada 15 persen. Nilai Log-Likelihood sebesar -13,683 menghasilkan nilai G sebesar 25,559 dengan nilai P yaitu 0,001 yang jauh di bawah taraf nyata 15 persen. Dengan demikian, dapat diakatakan minimal ada satu variabel dalam model yang berbeda nyata dari nol. Hal tersebut menunjukkan secara serentak model layak untuk digunakan. Uji kebaikan model atau Goodness-of-fit dilakukan melalui metode Pearson, Deviance dan Hosmer-Lemeshow. Berdasarkan ketiga metode uji kebaikan model, terlihat bahwa model layak dipergunakan karena nilai P untuk masing-masing kriteria tersebut lebih besar dari 15 persen. Bentuk model dari hasil estimasi regresi logistik adalah sebagai berikut.
Z = 3,36263 – 0,0202449 UMR +0,297908 PDKN – 0,278161 JKBKR - 0,0000002 PENRT + 0,0010783 CKKEL – 2,30541 DLHN* + 4,50530 DPYLN* - 3,86074 DPROF* keterangan:
Z
= keputusan petani; “0” tidak ikut program PHBM, “1” ikut program
UMR
= umur petani (tahun)
PDKN
= tingkat pendidikan (tahun)
JKBKR = jumlah jam mencari kayu bakar per hari PENRT = pendapatan rumah tangga (Rp/musim) CKKEL = curahan kerja keluarga (jam kerja/musim)
109
DLHN
= kepemilikan lahan usahatani pribadi; “0” tidak punya, “1” punya
DPYLN = keikutsertaan dalam penyuluhan Perhutani; “0” tidak ikut, “1” ikut DPROF = kepemilikan akan profesi di bidang non usahatani; “0” tidak punya profesi lain, “1” punya profesi lain *
= signifikan pada (α) 15 persen
a. Penjelasan Variabel-variabel Signifikan
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, tiga variabel yang signifikan secara statistika adalah variabel-variabel dummy yaitu kepemilikan lahan (DLHN), keikutsertaan dalam penyuluhan (PYLN), dan kepemilikan akan profesi di bidang non usahatani (DPROF). Kriteria untuk variabel kepemilikan lahan adalah “0” bagi petani yang tidak memiliki lahan usahatani pribadi, dan “1” bagi petani yang memiliki lahan usahatani pribadi. Variabel tersebut berpengaruh nyata pada taraf (α) 15 persen karena memiliki nilai P yaitu 0,127 yang lebih kecil dari 15 persen. Masuknya variabel kepemilikan lahan sebagai variabel yang signifikan sangat sesuai dengan hipotesis awal. Hal ini karena program PHBM yang memberikan akses pengelolaan lahan hutan Perhutani untuk usahatani oleh petani sekitar hutan sangat mungkin lebih diminati oleh petani yang tidak memiliki lahan usahatani pribadi. Berdasarkan analisis regresi didapatkan bahwa koefisien variabel kepemilikan lahan bernilai negatif. Hasil ini berarti bahwa status kepemilikan lahan akan mengurangi kemungkinan petani untuk mengikuti program PHBM. Nilai odds ratio variabel kepemilikan lahan yaitu 0,10 berarti bahwa petani yang mempunyai lahan usahatani pribadi memiliki peluang untuk mengikuti program 0,10 kali lebih kecil daripada peluangnya untuk tidak mengikuti program. Dengan
110
kata lain, sangat kecil kemungkinannya bagi seorang petani yang memiliki lahan usahatani pribadi untuk memutuskan mengikuti program PHBM. Variabel keikutertaan dalam penyuluhan Perhutani merupakan variabel dummy yang bernilai ”0” untuk yang tidak ikut penyuluhan dan “1” untuk yang mengikuti penyuluhan. Variabel tersebut memiliki nilai P yaitu 0,022 yang lebih kecil dari nilai (α) 15 persen. Koefisien variabel bernilai positif yang sesuai dengan nilai dugaan awal. Nilai positif tersebut menunjukkan bahwa keikutsertaan petani dalam penyuluhan akan memperbesar kemungkinannya untuk terlibat dalam program PHBM. Nilai odds ratio variabel keikutsertaan dalam penyuluhan adalah 90,50 yang berarti petani yang mengikuti penyuluhan memiliki peluang untuk terlibat dalam program 90,50 kali lebih besar daripada peluangnya untuk tidak terlibat dalam program. Dari hasil ini terlihat betapa pentingnya penyuluhan yang dilakukan oleh pihak Perhutani dalam menghimpun para petani untuk terlibat pada program PHBM yang dilaksanakannya. Variabel profesi merupakan satu lagi variabel dummy yang ternyata sangat penting dalam menentukan keputusan petani terlibat dalam program PHBM. Nilai “0” diberikan kepada petani yang tidak memiliki profesi selain bertani, dan nilai “1” diberikan kepada petani yang memiliki profesi di bidang lain seperti berdagang, buruh tebang dan sebagainya yang tidak terkait langsung dengan usahatani. Variabel ini signifikan pada taraf nyata 15 persen karena nilai P yaitu 0,096 lebih kecil daripada taraf nyata dengan nilai koefisien yang negatif. Nilai negatif pada koefisien variabel profesi menunjukkan bahwa kepemilikan profesi lain di bidang non usahatani akan mengurangi kemungkinan petani tersebut untuk terlibat dalam program PBHM. Hal ini sesuai dengan logika
111
bahwa seorang petani yang mempunyai pekerjaan lain akan lebih disibukkan dengan pekerjaannya sehingga tidak memiliki waktu untuk melakukan kegiatankegiatan pengelolaan hutan. Sebaliknya petani yang hanya memiliki satu profesi yaitu di bidang pertanian saja akan cenderung bersedia mengikuti program PHBM karena memiliki waktu yang lebih longgar serta menjadikan keikutsertaannya dalam program tersebut sebagai sumber pendapatan tambahan. Nilai odds ratio pada variabel ini adalah 0,02 yang berarti seorang petani yang mempunyai profesi lain di bidang non usahatani memiliki peluang untuk mengikuti program PHBM 0,02 kali lebih kecil dibandingkan peluangnya untuk tidak mengikuti program. Dengan kata lain, kemungkinan petani dengan profesi lain di bidang non usahatani untuk mengikuti program PHBM adalah lebih kecil dibandingkan kemungkinannya untuk tidak mengikuti program. Dari keseluruhan hasil analisis regresi logistik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani terlibat dalam program PHBM, dapat dikatakan bahwa petani yang lebih tertarik untuk melibatkan diri adalah petani dengan karakteristik tidak memiliki lahan pertanian pribadi, mengikuti penyuluhan oleh Perhutani, dan tidak memiliki profesi lain di bidang non usahatani. b. Penjelasan Variabel-variabel non Signifikan Hasil analisis regresi logistik menunjukkan terdapat lima variabel yang tidak signifikan yaitu umur (UMR), tingkat pendidikan (PDKN), jumlah jam mencari kayu bakar per hari (JKBKR), pendapatan rumah tangga (PENRT), dan curahan kerja keluarga (CKKEL). Variabel umur tidak signifikan karena nilai P variabel umur sebesar 0,917 terlalu besar dibandingkan taraf nyata (α) 15 persen. Dengan demikian tidak cukup bukti untuk menerima bahwa koefisien umur berbeda nyata dari nol, atau dengan kata lain pengaruh umur dapat diabaikan sama sekali. Apabila dibandingkan dengan kenyataan
112
di lapangan, hasil estimasi tersebut dapat diterima mengingat tidak ada kecenderungan umur tertentu pada kedua kelompok petani baik yang mengikuti dan tidak mengikuti program PHBM. Pada kedua kelompok, terdapat petani mulai dari kalangan muda hingga yang renta sekalipun dengan sebaran yang cukup merata di kedua kelompok (dapat dirujuk dari Tabel 8). Variabel pendidikan juga tidak signifikan karena nilai P variabel pendidikan yaitu 0,521 lebih besar dari taraf nyata 15 persen sehingga pengaruh variabel tersebut dapat diabaikan secara statistika. Tidak signifikannya variabel pendidikan terlihat dari data pendidikan petani kedua kelompok responden yang menunjukkan bahwa petani di Desa Babakan memang memiliki pendidikan yang rendah. Pada kedua kelompok responden pun tidak terlihat kecenderungan pola pendidikan yang berbeda (dapat dirujuk dari Tabel 9). Artinya baik pada kelompok petani yang mengikuti program dan tidak mengikuti program keduanya memiliki pola yang sama yaitu mayoritas tidak tamat SD dan tamat SD. Hanya sedikit sekali diantara para responden yang mencapai pendidikan menengah dan jumlahnya tidak didominasi pada salah satu kelompok Analisis regresi pun menunjukkan variabel jam kerja mencari kayu bakar tidak signifikan karena nilai P variabel jumlah jam mencari kayu bakar tersebut yaitu 0,575 lebih besar dari taraf nyata 15 persen. Sebagian petani ternyata mencari kayu bakar hanya di sekitar desa dan tidak memasuki lahan hutan Perhutani, sehingga hubungan antara jumlah jam mencari kayu bakar dan eratnya interaksi dengan hutan tidak terlihat nyata. Variabel pendapatan rumah tangga dan curahan kerja keluarga tidak signifikan yang ditandai dengan nilai P masingmasing yaitu 0,562 dan 0,293 yang lebih kecil dari 5 persen. Tidak signifikannya
113
kedua variabel tersebut sejalan dengan hasil analisis sebelumnya yang menunjukkan perbedaan pendapatan rumah tangga dan curahan kerja kedua kelompok responden tidak berbeda nyata dari nol.
6.4
Keberlanjutan Program PHBM di Desa Babakan Program PHBM dirancang sebagai suatu upaya dari Perum Perhutani
untuk dapat melakukan pengelolaan sumberdaya hutan secara lebih lestari dengan turut berperan dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Peran serta masyarakat merupakan kunci utama yang diharapkan dapat mewujudkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan tersebut. Masyarakat yang memiliki keterikatan dengan hutan tentu akan lebih merasa bertanggung jawab untuk melestarikan hutan. Evaluasi terhadap program PHBM dapat dilakukan dengan mengetahui sejauhmana pencapaian tujuan utama program ini selama implementasinya di lapangan. Tujuan utama berupa hutan lestari dan masyarakat sejahtera dapat dilihat dari tiga aspek yang lebih spesifik yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi dan aspek sosial. Aspek lingkungan berarti menilai keberhasilan program PHBM melalui kemampuannya dalam menjaga kelestarian sumberdaya hutan yang menjadi objek utama pengelolaan. Salah satu variabel penilaian kualitas kelestarian lingkungan sumberdaya hutan adalah dengan melihat bagaimana program PHBM mampu menekan tingkat kerusakan hutan dan gangguan keamanan hutan. Sejak diimplementasikan di Desa Babakan, program PHBM telah mampu meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya yang tergabung dalam LMDH untuk turut menjaga sumberdaya hutan di wilayahnya. Para pengurus LMDH aktif
114
melaporkan kepada pihak BKPH bilamana terdapat tindakan yang mencurigakan di dalam hutan baik yang berasal dari masyarakat sekitar ataupun yang dilakukan oleh oknum aparat. Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada ketua LMDH Desa Babakan, pihaknya ternyata telah berhasil menggagalkan usaha pencurian kayu di wilayah hutan Desa Babakan. Usaha pencurian yang digagalkan adalah usaha pencurian kayu Acacia mangium sebanyak satu truk pengangkut dengan potensi kerugian sekitar Rp 4 juta pada bulan Juni 20085. Keberanian masyarakat untuk melaporkan usaha-usaha pencurian tentu saja dilakukan karena adanya kesadaran serta tanggung jawab masyarakat yang telah merasa hutan sebagai bagian penting hidupnya. Kesadaran dan tanggung jawab masyarakat tersebut merupakan modal utama dalam menjaga kelestarian hutan. Selain menekan tingkat gangguan keamanan hutan, secara ekologis program PHBM juga telah membantu meningkatkan kualitas tanah di hutan yang menjadi lahan garapan petani. Selama melakukan kegiatan usahatani pada dua tahun pertama, sebagian petani melakukan pemupukan untuk menjaga hasil produksi padinya. Pemberian pupuk yang ditujukan untuk peningkatan produktivitas padi tersebut secara tidak langsung juga turut berperan dalam meningkatkan kesuburan tanah di hutan Perhutani. Dilihat dari aspek ekonomi, implementasi program PHBM di lapangan hingga tahun 2008 memang belum menunjukkan sumbangan yang berarti. Hal ini karena pelaksanaan program PHBM di Desa Babakan sendiri yang baru berjalan selama dua tahun. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut belum ada hasil 5 Berdasarkan data BKPH Parungpanjang yang tidak diterbitkan, nilai kerugian finansial akibat pencurian kayu di Desa Babakan tersebut lebih rendah dibandingkan masa sebelum PHBM yaitu mencapa Rp 8.290.000 pada tahun 2004.
115
penjarangan maupun bagi hasil tebangan yang sudah dirasakan masyarakat sesuai kerangka perjanjian. Kegiatan penjarangan baru bisa dilakukan memasuki umur kayu tiga tahun, sedangkan bagi hasil dilakukan ketika umur kayu mencapai lima, tujuh dan sembilan tahun. Kalaupun ada penerimaan uang tunai, hal itu hanya bersifat sebagai insentif saja dari Perum Perhutani sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab 6.1. Namun demikian, dalam jangka panjang program PHBM menjanjikan penerimaan finansial yang cukup berarti khususnya bagi para penggarap. Berikut ini akan disajikan Tabel 20 yang menggambarkan skema penerimaan yang dapat diterima oleh penggarap dari tanaman Acacia mangium tahun 2007 yang berada di petak 13 C (24,70 ha) dan petak 9 C (9,20 ha). Tabel 20. Gambaran Penerimaan Petani Penggarap Petak 13 C dan 9 C dari Berbagai Sumber Penerimaan Sumber Penerimaan
Umur Asumsi Persentase Tanaman Hasil Bagi hasil Utama (%) Panen Padi I 0,5 tahun 1,2 ton/ha 100 Panen Padi II 1,5 tahun 1,2 ton/ha 100 Total Penerimaan Non Tunai Penjarangan I 3 tahun 66 pohon 100 palen/ha Penjarangan II Penjarangan III Tebang habis
3
5 tahun 2,5 m /ha 13,8 7 tahun 5 m3/ha 19,4 9 tahun 30 m3/ha 25 Total Penerimaan Tunai Total Penerimaan (tunai dan non tunai) Total Penerimaan (tunai dan non tunai) per hektar
Nilai Penerimaan (Rp) 81.360.000 81.360.000 162.720.000 66 x 33,9 x 1.500 = 3.356.100 1.754.325 7.563.090 86.445.000 99.118.515 261.838.515 7.723.850
Present Value (Rp) 78.288.696 72.489.534 150.778.230
2.664.180 1.193.964 4.412.990 43.244.022 51.515.156 202.293.386 5.967.357
Asumsi: i. harga rata-rata kayu umur 5 tahun Rp 150.000/m3; umur 7 tahun Rp 230.000/m3; umur 9 tahun Rp 340.000/m3 ii. diskonto 8 persen/tahun iii. lahan yang ditanami padi adalah 80 persen dari luas lahan total iv. biaya perawatan kayu seluruhnya ditanggung Perhutani
Sumber: data primer (diolah)
116
Dari Tabel 20, diketahui bahwa total penerimaan bagi hasil kayu untuk tanaman tahun 2007 adalah Rp 99.118.515 yang apabila disesuaikan dengan tingkat diskonto menjadi Rp 51.515.156. Angka tersebut memang menunjukkan jumlah yang tidak terlalu besar dibandingkan jumlah penggarap. Apabila total penerimaan tunai tersebut dibagi merata untuk 54 orang yang menjadi penggarap, berarti masing-masing hanya mendapatkan sekitar Rp 1.835.528 selama 9 tahun masa garapan. Penerimaan finansial tersebut tentu saja belum termasuk penerimaan yang didapat petani penggarap dari hasil usahatani yang dilakukannya di lahan PHBM selama dua tahun pertama. Penerimaan dari usahatani tersebut dikategorikan sebagai penerimaan non tunai karena para petani penggarap tidak menjual hasil panennya. Dengan memperhitungkan penerimaan yang didapatkan oleh para penggarap dari hasil usahatani tumpangsari, maka para penggarap akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp 261.838.515 dari keseluruhan petak 13 C dan 9 C. Nilai tersebut apabila disesuaikan dengan tingkat diskonto menjadi Rp 202.293.386. Apabila penerimaan keseluruhan tersebut dibagi berdasarkan luas lahan yang digarap, maka penerimaan yang akan diterima oleh penggarap dalam 9 tahun mencapai Rp. 7.723.850 dengan nilai present value yaitu Rp. 5.967.357. Nilai penerimaan non tunai dari usahatani memang jauh lebih besar daripada penerimaan tunai yang bisa didapatkan dari bagi hasil kayu tebangan. Oleh karena itu wajar apabila kesempatan untuk melakukan usahatani di hutan Perhutani menjadi insentif utama petani untuk melakukan penggarapan pada program PHBM.
117
Manfaat ekonomi dari program PHBM juga tentu saja dirasakan oleh Perum Perhutani sendiri. Keuntungan ekonomis yang dirasakan Perum Perhutani dengan adanya program PHBM adalah yang berasal dari penghematan biaya pengelolaan (cost reduction) dan hasil produksi yang leih baik (wood revenue). Masih terkait dengan Tabel 20, berikut ini akan ditampilkan Tabel 21 yang memberikan gambaran penerimaan Perum Perhutani dalam hal ini BKPH Parungpanjang dari tanaman Acacia mangium tahun 2007 yang berada di petak 13 C (24,70 ha) dan petak 9 C (9,20 ha). Tabel 21. Gambaran Penerimaan BKPH Parungpanjang dari Petak 13 C dan Petak 9 C Sumber Penerimaan
Umur Kayu
Penjarangan I
3 tahun
Asumsi Hasil
66 pohon palen/ha Penjarangan II 5 tahun 2,5 m3/ha Penjarangan III 7 tahun 5 m3/ha Tebang habis 9 tahun 30 m3/ha Total Penerimaan Total Penerimaan per hektar
Persentase Nilai Bagi hasil Penerimaan (Rp) (%) 0 0 86,2 80,6 75
10.958.175 31.421.910 259.335.000 301.715.085 8.900.150
Present Value (Rp) 0 7.457.950 18.334.383 129.732.066 155.524.399 4.587.740
Asumsi: i. harga rata-rata kayu umur 5 tahun Rp 150.000/m3; umur 7 tahun Rp 230.000/m3; umur 9 tahun Rp 340.000/m3 ii. diskonto 8 persen/tahun
Sumber: data primer (diolah) Tabel 21 menunjukkan besarnya penerimaan yang didapatkan oleh Perum Perhutani khususnya BKPH Parungpanjang dari dua petak seluas 33,9 hektar. Dengan adanya program PHBM, maka penerimaan yang bisa didapatkan dari kedua petak tersebut mencapai Rp. 8.900.150 per hektar atau dengan nilai present
value yaitu Rp. 4.587.740. Gambaran penerimaan yang disajikan pada Tabel 21 mengindikasikan bahwa penerapan program PHBM di wilayah BKPH
118
Parungpanjang akan tetap memberikan penerimaan finansial yang besar walaupun diterapkan adanya perjanjian bagi hasil dengan masyarakat. Dilihat dari aspek sosial, pengembangan program PBHM di Desa Babakan akan terus didukung masyarakat karena program ini mampu memberikan disribusi lahan terhadap para petani yang tidak memiliki lahan pribadi, terbukanya kesempatan kerja di bidang kehutanan, dan meningkatnya ikatan antar petani melalui lembaga yang dibentuk yaitu LMDH. Dengan ikut serta pada program PHBM, para petani yang tidak memiliki lahan pribadi memiliki kesempatan untuk memiliki lahan garapan yang lebih besar sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Kesempatan kerja di bidang kehutanan seperti buruh hutan/tebang akan lebih terbuka bagi para peserta program PHBM karena interaksi mereka yang lebih tinggi dengan hutan Perum Perhutani serta aparaturnya. Para petani peserta program pun dapat menjadikan lembaga mereka yaitu LMDH sebagai sarana aktulisasi dan pengembangan diri, satu kesempatan yang tidak dimiliki oleh para petani non PHBM. Berbagai perspektif dari ketiga sudut pandang yaitu aspek lingkungan, aspek ekonomi, dan aspek sosial tersebut mengindikasikan bahwa program PHBM memang layak untuk terus dikembangkan dan didukung oleh semua pihak yang terlibat. Perum Perhutani sebagai stakeholder utama mendapatkan keuntungan dari terjaganya hutan yang mereka kelola dari tekanan masyarakat, biaya pengelolaan yang lebih murah, hasil produksi yang tetap menguntungkan, serta meningkatnya kualitas tanah dengan pemupukan yang dilakukan oleh para petani penggarap ketika mereka melakukan usahatani tumpangsari. Masyarakat yang terlibat langsung dalam program pun dapat merasakan manfaat ekonomi dan
119
sosial dari berjalannya program PHBM. Walaupun masih terdapat berbagai masalah dalam pelaksanaan program PHBM di Desa Babakan, masalah tersebut masih dapat diatasi mengingat program ini baru berjalan efektif selama dua tahun. Kuncinya adalah tekad dari setiap pihak yang terlibat khususnya dari Perum Perhutani dan LMDH untuk saling bekerjasama mengatasi berbagai masalah yang masih terjadi, demi tercapainya tujuan utama program PHBM yaitu kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1
Kesimpulan Dari berbagai hasil penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya,
maka dapat disintesakan beberapa kesimpulan berikut ini: 1. Terdapat beberapa masalah dalam pelaksanaan program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Desa Babakan dengan fokus permasalahan yang utama yaitu LMDH tidak mampu menggerakkan anggotanya dalam melaksanakan kewajiban sebagai penggarap dan; manajemen dana bagi hasil yang kurang transparan. Permasalahan lain adalah dukungan yang kurang dari dinas-dinas terkait, belum ada usaha produktif LMDH, pembagian lahan garapan yang belum merata, dan tanaman padi hutan bernilai ekonomi rendah. 2. Pendapatan dan curahan kerja petani peserta PHBM dan petani non PHBM tidak berbeda nyata. Walau demikian, manfaat program PHBM tetap dirasakan oleh para peserta program karena usahatani tumpangsari di lahan PHBM menyumbangkan 21,31 persen dari total pendapatan rumah tangga dengan curahan kerja keluarga yang diberikan pada kegiatan tersebut mencapai 35,50 persen dari total curahan kerja keluarga. 3. Secara signifikan, status kepemilikan lahan usahatani pribadi dan kepemilikan profesi lain di bidang non usahatani akan memperkecil peluang petani mengikuti program PHBM, sedangkan keikutsertaan dalam penyuluhan Perum Perhutani akan memperbesar peluang petani mengikuti program PHBM.
121
4. Keberlanjutan program PHBM dalam jangka panjang akan tetap mendapatkan dukungan baik dari Perum Perhutani maupun para petani yang terlibat mengingat manfaat yang dirasakan baik ditinjau dari aspek lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial .
7.2
Saran Penelitian ini memberikan beberapa saran untuk perkembangan yang lebih
baik bagi pelaksanaan program PHBM khususnya di Desa Babakan. Saran-saran yang dimaksud adalah sebagai berikut. 1. Para pengurus LMDH perlu melakukan transparansi pengelolaan dana kepada para anggotanya sehingga dapat meningkatkan motivasi anggota untuk mengelola lahan PHBM sesuai kerangka kerja sama. 2. Pengurus LMDH perlu mencadangkan dana bagi hasil berikutnya sebagai modal untuk mengembangkan usaha kerajinan kulit kayu yang memerlukan sumberdaya dari wilayah setempat serta memiliki prospek pasar yang baik. 3. Perum Perhutani harus mampu menjamin pembagian lahan garapan dilakukan secara adil diantara para petani penggarap. 4. Permasalahan yang masih terjadi dalam implementasi program PHBM di Desa Babakan perlu diselesaikan segera oleh LMDH dengan bantuan dari Perum Perhutani dan LSM RLA sebagai pendamping masyarakat. 5. Perum Perhutani, khususnya BKPH Parungpanjang harus melakukan penyuluhan secara rutin dan dengan sasaran yang lebih meluas apabila hendak meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program PHBM. Hal ini karena
122
penyuluhan merupakan salah satu variabel signifikan yang menentukan keputusan petani mengikuti program. 6. Sebagai implikasi kebijakan, Dinas Kehutanan dan Dinas Pertanian Kabupaten Bogor perlu mendukung pelaksanaan program PHBM di Desa Babakan yang menjadikan masyarakat setempat sebagai pelaku utama program dalam rangka meningkatkan kesejahteraan para petani sekitar hutan. Dukungan dapat berupa penyuluhan rutin ataupun bantuan modal usahatani (hewan ternak). 7. Untuk penelitian lanjutan, perlu dikaji penilaian keberhasilan program PHBM dengan melakukan perbandingan antara wilayah yang berhasil melaksanakan program PHBM dan wilayah yang belum berhasil melaksanakannya. Kajian pada penelitian lanjutan juga diperlukan untuk melihat prinsip equity/keadilan dalam penyusunan perjanjian kerjasama PHBM.
123
DAFTAR PUSTAKA
Awang, San Afri. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri: Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta: BIGRAF Publishing. Badan Planologi Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. ________________________. 2007. Statistik Planologi Kehutanan Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan. BPS. 2004. Statistik Indonesia 2004. Jakarta: Badan Pusat Statistik. BPS Kabupaten Bogor. 2004. Kecamatan Tenjo dalam Angka, 2003. Bogor: Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Darmawan, Setia B., Nustam Nur, Joned, Abdul Azis, Suparjono, Nessy Rosdiana dan Garry A. Shea. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat. Samarinda: FORMACS-CARE Indonesia-CIDA Canada. Devlin, Rose A. dan R. Quentin Grafton. 1998. Economic Rights and Environmental Wrongs: Property Rights for the Common Good. Cheltenham: Edward Elgar Publishing, Ltd. FAO. 2003. An Overview of Forest Policies in Asia. Bangkok: Food and Agriculture Organization Asia Pasifik. Fitria, Yuni. 2007. Kemitraan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Hutan: Studi Kasus Desa Trijaya, Kecamatan Mandirancan, Kabuaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Gadow, Klaus von, Timo Pukkala dan Margarida Tome. 2000. Sustainable Forest Management. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Hufschmidt, Maynard M, David E. James, Anton D. Meister, Blair T. Bower dan John A. Dixon. 1987. Lingkungan, Sistem Alami, dan Pembangunan: Pedoman Penilaian Ekonomis, Penerjemah Sukanto Reksohadiprojo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. King, John E. 1990. Labour Economics. London: Macmillan Education, Ltd.
124
Krisnamurthi, Bayu Y. 1991. Pola Kegiatan Pertanian, Curahan Kerja, dan Pendapatan Petani pada Wilayah Proyek Perhutanan Sosial di Jawa Tengah. Thesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB. Natalia, Pesta. 2005. Kajian Kemitraan antara Perum Perhutani dengan Petani melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Kasus di Desa Cibeber II, RPH Leuwiliang, BKPH Leuwiliang, KPH Bogor. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Nugroho, Radityo S. 2004. Pemberdayaan Masyarakat Lokal Melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Studi Kasus RPH Banuwangi, BKPH Pelabuhan Ratu, KPH Sukabumi, Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Perum Perhutani. 2004. Buku Statistik Perum Perhutani Tahun 1999-2003. Jakarta: Direksi Perum Perhutani. Purnomo, Agustina M. 2006. Strategi Nafkah Rumahtangga Desa Sekitar Hutan: Studi Kasus Desa Peserta PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Thesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Pusdiklat Perum Perhutani. 2007. ‘Penjabaran Keputusan Bagi Hasil Hutan Kayu Berdasarkan Keputusan Direksi Perum Perhutani No. 001/Kpts/Dir/2002’, materi disampaikan dalam Diklat Perum Perhutani, Madiun, 26 Juli 2007. Puspita, Indah D. 2006. Motivasi Petani dan Peranan Kelompok Tani Hutan (KTH) dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di Desa Warnasari, BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Ramanathan, Ramu. 1998. Introductory Econometrics with Application. Fort Worth: The Dryden Press. Setyadi, Arif. 2004. Kajian Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat dengan Pola Agroforestry: Studi Kasus di Desa Cendana, RPH Singomerto, BKPH Banjarnegara, KPH Kedu Selatan Perum Perhutani Unit I Jawa tengah. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB. Singh, Inderjit, Lyn Squire dan John Struss. 1986. Agricultural Household Models; Extensions, Apllications, and Policy. Baltimore: The Johns Hopkins University Press.
125
Soekartawi, A. Soeharjo, John L. Dillon dan J. Brian Hardaker. 1984. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta: UIPress. Soekartawi. 1995. Analisis Usahatani. Jakarta: UI-Press. Suhadi, Herry. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat: Kasus Desa Buniwangi, Kecamatan Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Fakultas Pertanian IPB. Suharjito, Didik dan Dudung Darusman. 1998. Kehutanan Masyarakat Beragam Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Suharjito, Didik. 2000. Hutan Rakyat di Jawa: Perannya dalam Perekonomian Desa. Bogor: Program Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (P3KM) Fahutan IPB. Wahyuni, Ekawati S. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor: Penerbit Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Yuniandra, Farma. 2007. Formulasi Strategi Kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Taman Nasional Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Thesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 www.dephut.go.id/files/UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999.pdf Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 www.dephut.go.id/INFORMASI/UNDANG2/uu/19_04.htm Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 www.dephut.go.id/files/PP_2_2008.pdf
126
Lampiran 1. Hasil uji T Perbedaan Pendapatan Rumah tangga Two-sample T for PENDPBHM vs PENDNONPHBM N 25 15
PENDPBHM PENDNONPHBM
Mean 1832980 2895400
StDev 1194305 3443011
SE Mean 238861 888982
Difference = mu (PENDPBHM) - mu (PENDNONPHBM) Estimate for difference: -1062420 95% CI for difference: (-3013819, 888979) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.15 P-Value = 0.265 DF = 16
Lampiran 2. Hasil uji T Perbedaan Curahan Kerja Keluarga Two-sample T for CKPHBM vs CKNONPHBM
CKPHBM CKNONPHBM
N 25 15
Mean 760 739
StDev 374 710
SE Mean 75 183
Difference = mu (CKPHBM) - mu (CKNONPHBM) Estimate for difference: 20.4933 95% lower bound for difference: -322.9992 T-Test of difference = 0 (vs >): T-Value = 0.10 P-Value = 0.459 DF = 18
127
Lampiran 3. Hasil Analisis Regresi Logistik Link Function: Logit
Response Information Variable Z
Value 1 0 Total
Count 25 15 40
(Event)
Logistic Regression Table
Predictor Constant UMR PDKN PENRT CKKEL JKBKR DLHN DPYLN DPROF
Coef 3.36263 -0.0202449 0.297908 -0.0000002 0.0010783 -0.278161 -2.30541 4.50530 -3.86074
SE Coef 3.95098 0.0554071 0.330412 0.0000004 0.0010048 0.491348 1.51259 1.96781 2.32114
Z 0.85 -0.37 0.90 -0.58 1.07 -0.57 -1.52 2.29 -1.66
P 0.395 0.715 0.367 0.562 0.283 0.571 0.127 0.022 0.096
Odds Ratio 0.98 1.35 1.00 1.00 0.76 0.10 90.50 0.02
95% CI Lower Upper 0.88 0.70 1.00 1.00 0.29 0.01 1.91 0.00
Log-Likelihood = -13.683 Test that all slopes are zero: G = 25.559, DF = 8, P-Value = 0.001
Goodness-of-Fit Tests Method Pearson Deviance Hosmer-Lemeshow
Chi-Square 26.9494 27.3656 3.2376
DF 31 31 8
P 0.675 0.654 0.919
Table of Observed and Expected Frequencies: (See Hosmer-Lemeshow Test for the Pearson Chi-Square Statistic)
Value 1 Obs Exp 0 Obs Exp Total
Group 5 6
1
2
3
4
0 0.1
1 0.4
1 1.4
1 2.0
3 2.3
4 3.9 4
3 3.6 4
3 2.6 4
3 2.0 4
1 1.7 4
7
8
9
10
Total
3 3.2
4 3.7
4 3.9
4 4.0
4 4.0
25
1 0.8 4
0 0.3 4
0 0.1 4
0 0.0 4
0 0.0 4
15
Measures of Association: (Between the Response Variable and Predicted Probabilities) Pairs Concordant Discordant Ties Total
Number 349 26 0 375
Percent 93.1 6.9 0.0 100.0
Summary Measures Somers' D Goodman-Kruskal Gamma Kendall's Tau-a
0.86 0.86 0.41
40
1.09 2.57 1.00 1.00 1.98 1.93 4282.12 1.99
128
Lampiran 4. Foto-foto Kegiatan di Lapangan
(a) Bersama mandor dan ketua LMDH melakukan pemilihan responden
(b) Wawancara petugas BKPH Parungpanjang
(c) Sekretariat LMDH
(d) Mandor sedang mengawasi lahan
(e) Wawancara salah satu responden
(f) Padi hutan yang disimpan untuk persediaan