S. Mahmudah Noorhayati A. Rafiq Zainul Mun’im
PLURALISME AGAMA FARID ESACK dalam Konteks Ke-Indonesiaan Hak penerbitan ada pada STAIN Jember Press bekerjasama dengan LP3DI Press Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved Penulis: S. Mahmudah Noorhayati A. Rafiq Zainul Mun’im Editor: H. Usep Dedi Rostandi Layout: Khoiruddin Cetakan I: Januari 2015 Foto Cover: Internet Penerbit: STAIN Jember Press LP3DI Press Jl. Jumat Mangli 94 Mangli Jember Tlp. 0331-487550 Fax. 0331-427005 e-mail:
[email protected] ISBN: 978-60271662-1-9 978-602-8716-66-6
PENGANTAR PENULIS Bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Besar Muhammad Saw beserta keluarga, sahabat dan pengikut setianya. Puji syukur tidak terhingga hanya ke hadirat Allah Swt atas terselesaikannya penelitian ini, meskipun masih terdapat kekurangan dan kelemahan di sana sini. Pluralisme agama adalah salah satu isu yang kini sedang hangat-hangatnya untuk dikaji dan diteliti. Maka tidak mengherankan apabila banyak pakar, peneliti, dan akademisi melakukan penelaahan terhadapnya dan tidak sedikit yang telah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai implemen tasi riil dari wacana yang telah ada. Salah satunya adalah se bagaimana yang terjadi pada Farid Esack dengan gagasan pluralismenya yang telah diterapkan di Afrika Selatan. Hal yang menarik untuk dicermati dari gagasannya ini adalah transformasi konseptual sehingga menjadi semangat baru untuk melakukan iii
pembebasan terhadap berbagai gejala yang melanda negaranya. Dari semangat pluralisme ini, Farid Esack bekerjasama dengan kounitas antariman untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai rakyat yang berdaulat dan tidak boleh dieksploitasi oleh siapapun bahkan pihak penguasa sekalipun. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang fokus penelitiannya menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam material yang terdapat diruang perpustakaan seperti bukubuku, majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumendokumen dan lain-lain dengan mempertanyakan dua per masalahan. Pertama, apa yang dimaksud dengan pluralisme agama perspektif Farid Esack dalam konteks Afrika Selatan ? Kedua, bagaimana relevansi konsep pluralisme agama Farid Esack dalam konteks Indonesia ? Proses penelitian ini, mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan laporannya dapat terwujud berkat kontribusi berbagai pihak. Oleh sebab itu, sudah selayaknya dihaturkan terimakasih kepada para civitas akademika yang telah berkenan memberi bantuan baik moril maupun immateriil demi terselesaikannya penelitian ini. Atas bantuan dan kerjasamanya yang baik, kepada mereka ter panjatkan doa semoga memperoleh balasan dari Allah Swt. Amin. Walaupun dalam bentuk paling sederhana dan jauh dari sempurna, laporan penelitian ini tetap diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kita. S. Mahmudah Noorhayati A. Rafiq Zainul Mun’im
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i PENGANTAR PENULIS iii DAFTAR ISI v BAB 1 PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Rumusan Masalah 4 C. Tujuan Penelitian 4 D. Manfaat Penelitian 4 E. Metode Penelitian 5 BAB 2 PLURALISME AGAMA : SEBUAH PEMETAAN AWAL 9 A. Pengertian Pluralisme 9 B. Hubungan Antar Agama Kebergamaan 14
dalam
Pluralitas
v
C. Piagam Madinah dan Semangagat Pluralitas Keberagamaan 19 D. Landasan Teologis Pluralisme Agama 29 BAB 3 BIOGRAFI SINGKAT DAN METODE HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FARID ESACK 35 A. Sketsa Biografis Farid Esack 35 B. Pendidikan dan Aktivitas Intelektual Farid Esack 38 C. Metode Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack 42 BAB 4 PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF FARID ESACK 53 A. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack dalam Konteks Afrika Selatan 53 B. Relevansi konsep pluralisme agama Farid Esack dalam konteks ke-Indonesiaan 72 BAB 5 PENUTUP 125 A. Kesimpulan 79 B. Saran-saran 81 DAFTAR PUSTAKA 83
vi
BAB 1
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah mencatat bahwa lahirnya konflik selain dipicu oleh adanya perbedaan keyakinan dan keragaman pemahaman terhadap doktrin-normatif (kitab suci khususunya),1 juga muncul terutama ketika agama telah terkait sedemikian eratnya dengan kepentingan ekonomi dan politik para pemeluknya yang tidak saja melahirkan konflik intern di dalam suatu kelompok keagamaan.2 Akan tetapi yang jauh lebih besar dan sangat mengkhawatirkan adalah munculnya konflik lintas agama dan lintas kultur yang 1
2
Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), 61, Syafa'atun Elmirzana, “Pluralisme, Konflik dan Dialog (Analisa dan Refleksi)”, Esensia, 2. Januari, 2001, 41 Pendahuluan | 1
seringkali berkait-kelindan dengan persoalan sosial, politik, ekonomi, ras, gender dan lain sebagainya.3 Di beberapa Negara, munculnya pergolakan seperti di atas acapkali melahirkan konflik yang menyeret pada tindak kekerasan, peperangan, penindasan, ketidakadilan, penjajahan, hegemoni, dominasi, terorisme dan ancaman dengan dalih agama.4 Dalam suasana konflik yang tak kunjung usai, kehadiran wacana pluralisme agama seakan memberikan angin segar dan spirit baru, yang diharapkan mampu menciptakan kehidupan keagamaan yang lebih damai dan harmonis. Meskipun demikian, kehadiran wacana ini cukup mengundang perdebatan di kalangan intelektual dan berbagai kelompok keagamaan. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan yang mengandung paradoks-paradoks yang bertentangan dengan spektrum pandangan keagamaan mainstream-konvensional. Menyikapi persoalan di atas, beberapa intelektual muslim telah menyodorkan gagasan dan pemikirannya dalam bentuk pembacaan terhadap teks kitab suci al-Qur'an, dengan model dan watak penafsiran yang cukup variatif, baik yang beraliran konservatif-tradisional, modern sampai postmodern. Di antara mufasir kontemporer yang mempunyai perhatian besar terhadap wacana pluralisme agama ini adalah Farid Esack. Dengan hermeneutika al-Qur'annya, Esack menghasilkan gagasan tentang pluralisme agama yang secara kritis dikaitkan dengan perjuangan pembebasan rakyat Afrika Selatan. Dapat dikatakan bahwa figurasi hermeneutiknya secara genetis lahir dari adanya hubungan antara konteks religio-sosial-politik Afrika Selatan yang dipenuhi dengan penindasan dengan semangat al-Qur'an yang menyeru pada pembebasan. Konteks penindasan di Afrika Selatan yang multi kultur dan multi religius, mendorong Esack untuk melakukan terobosan 3
4
Hasan Hanafi, Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture Vol.II (Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000),557-559. Ali Noer Zaman (ed), Agama untuk Manusia, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 216.
2 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
baru dengan melakukan rekonstruksi pembacaan terhadap teks alQur'an. Matriks persoalan utama yang dikaji adalah meninjau ulang kategori teologis tentang kawan dan lawan yang berakar pada perjuangan demi kebebasan dari eksploitasi ekonomi, ketidakadilan politik, penindasan kaum wanita, dan diskriminasi rasial yang dialami oleh sebagian besar rakyat Afrika Selatan. Hal utama yang mendorong Esack memunculkan pembacaan hermeneutis terhadap al-Qur’an, karena dalam banyak hal, dia melihat, penderitaan yang dialami rakyat Afrika Selatan seringkali dilakukan atas nama agama, dan terkadang dengan dukungan kitab suci.5 Dengan begitu, maka terciptalah struktur masyarakat Afrika Selatan yang sangat rasis dan eksploitatif. Terlebih lagi dengan adanya peran agama yang dengan mudah dijadikan alat kekuasaan. Karena begitu sentral dan pentingnya posisi agama di mata masyarakat Afrika Selatan, maka untuk melakukan perubahan yang radikal dan fundamental, tidak ada jalan lain kecuali sebuah reinterpretasi konstruktif terhadap wacana dan peran agama sebagai motor penggerak lahirnya pembebasan bagi rakyat Afrika Selatan.6 Hermeneutika al-Qur'an Esack ini mencoba mengelaborasi universalitas interpretasi konteks historis Nabi Muhammad saw dengan segala lokalitas temporalnya ke dalam wilayah pembacaan kontekstual pluralisme Afrika Selatan. Lebih lanjut Esack mengaitkan sikap al-Qur'an terhadap penganut agama lain sebagai wadah solidaritas kaum tertindas demi menegakan keadilan. Pada akhirnya Esack secara sinergis mewacanakan hermeneutika pluralismenya sebagai pengembangan paradigma teologi pluralisme Islam dalam kerangka praksis-liberatif. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjawab tantangan realitas sosial yang berkembang dalam konteks partikular Afrika Selatan, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan dan diaplikasikan ke 5
6
Farid Esack, Qur`an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (England: One World, Oxford,1997, 6. Ibid, 7. Pendahuluan | 3
dalam konteks yang lain, terutama dalam konteks Indonesia. Berpijak pada persoalan inilah, maka penelitian ini menemukan signifikansinya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan pluralisme agama perspektif Farid Esack dalam konteks Afrika Selatan ? 2. Bagaimana metodologi Farid Esack dalam merumuskan konsep pluralisme agama ? 3. Bagaimana relevansi konsep pluralisme agama Farid Esack dalam konteks Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memahami hermeneutik al-Qur'an Farid Esack tentang pluralisme agama secara mendalam dan objektif. 2. Untuk mengetahui lebih jauh secara peka penafsiran Farid Esack tentang Pluralisme Agama. 3. Untuk mengaplikasikan gagasan pluralisme agama Farid Esack ke dalam konteks Indonesia. D. Manfaat Penelitian Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk memperkaya khazanah kepustakaan terutama di bidang tafsir. 2. Dapat memberikan tawaran konstruktif mengenai wawasan keagamaan kaitannya dalam mensikapi dinamika "realitas keberagamaan yang plural dan heterogen". 3. Dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan wacana pluralisme agama dalam ranah ketafsiran khususnya dan studi agama pada umumnya.
4 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
E. Metode Penelitian Penelitian ini, adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang fokus penelitiannya menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam material yang terdapat diruang perpustakaan seperti buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumen-dokumen dan lain-lain.7 Adapun sumber data primer adalah karya Farid Esack yang berjudul "Qur`an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression." Sedangkan sumber data sekunder adalah data-data yang sekiranya berkaitan erat dengan tema penelitian. Metode yang digunakan, berbentuk deskriptif-analitis, yaitu model penelitian yang berupaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisa dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang ada.8 Dalam hal ini, akan dilakukan deskripsi secara sistematis terhadap pluralisme agama perspektif Farid Esack. Selanjutnya akan dilakukan analisis terhadap tawaran pluralisme Farid Esack tersebut, baik dalam kerangka teoritis maupun dalam dimensi praksis. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hermeneutik.9 Dengan cara menyelidiki setiap detail proses interpretasi.10 Sebagai alat untuk menganalisis (tool of analysis) data, penulis memakai hermeneutika sosial kritis. Ini dimaksudkan untuk menganalisis secara jernih makna yang terkandung dalam keseluruhan gagasan pluralisme Farid Esack. Analisis ini berupaya menembus apa yang ada di balik fungsi permukaan penafsiran, sehingga akan tersingkap perannya sebagai instrumen-instrumen politik, dominasi dan manipulasi sosial. Pada akhirnya alat 7
8
9
10
Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, cet. 7 (Bandung: Mandar Maju,1996), 33. Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 26. Josef Bleicher (ed) Contemporary Hermeneutics (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), 1. E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 31. Pendahuluan | 5
semacam kritik ideologi akan sangat membantu untuk mengetahui lebih detail kepentingan-kepentingan yang menyertai penafsiran Esack. F. Sistematika pembahasan Penelitian ini terdiri dari lima bab dan pada masing-masing bab dibagi ke dalam sub-bab yang saling berkaitan. Adapun rincian dari sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut: Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Bab kedua dari penelitian ini membahas tentang kerangka teoritik yang menjadi landasan penelitian. Bab ini terdiri dari empat sub-bab pembahasan, yaitu: Pertama, pengertian pluralisme. Kedua, hubungan antar agama dalam pluralitas keberagamaan. Ketiga, piagam Madinah dan semangat pluralitas keberagamaan. Keempat, landasan teologis pluralisme agama. Berdasarkan uraian pada bab ini, diharapkan dapat menjadi tolak ukur dalam melakukan pembahasan pada bab berikutnya. Bab ketiga terdiri dari tiga sub-bab pembahasan. Pertama, tentang sketsa biografis Farid Esack. Pembahasan mengenai biografi ini menjadi prasyarat bagi pembahasan berikutnya karena titik sentral dari penelitian ini adalah Farid Esack. Sub-bab berikutnya membicarakan tentang pendidikan dan aktivitas intelektual Farid Esack. Sedangkan sub-bab terakhir adalah tentang metode hermeneutika al-Qur’an Farid Esack. Bab keempat adalah inti dari penelitian ini yang akan membicarakan dua hal. Pertama, Pluralisme agama perspektif Farid Esack dalam konteks Afrika Selatan. Pembahasan akan diawali dengan mendeskripsikan pemikiran Farid Esack dalam karyanya tentang pluralisme, yang memiliki tiga visi dasar, yaitu deabsolutisme kebenaran, relativisme pemahaman, dan bersikap toleran. Dari sini maka dapat diketahui pandangan Farid Esack tentang pluralisme agama. Selanjutnya pada bagian akhir dari bab ini menyajikan sub bab bahasan yang berisi tentang relevansi 6 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
konsep pluralisme agama Farid Esack dalam konteks ke-Indonesiaan, untuk mengukur sejauh mana penafsirannya memiliki relevansi kontekstual ketika dihadapkan pada realitas ke-Indonesia-an. Penelitian ini diakhiri pada bab kelima yang mencakup kesimpulan, saran-saran dan kata penutup. Sub bab kesimpulan berisi tentang berbagai temuan dalam penelitian ini. Sedangkan sub bab terakhir berisi saran-saran sebagai tindak lanjut dari hasilhasil temuan dalam penelitian ini. [*]
Pendahuluan | 7
8 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
BAB 2
PLURALISME AGAMA : SEBUAH PEMETAAN AWAL A. Pengertian Pluralisme Secara etimologis pluralisme berasal dari kara plural (Bahasa Inggris) yang berarti jamak. Menurut pengarang kamus Webster New Collgeate Dictionary, pluralisme bemakna: ―Theory that there are more than one or more than two kind of utimate reality‖.1 Sedangkan dalam Oxford Advanced Lerner’s Dictionary bermakna: ―The existence of many different group in one society, for example people of different races orang of different political orang religious beliefs: cultural orang political pluralism.‖2 1
2
Fictoria Neufeldt, Webster New College Macmillan,1996 ), 878. Oxford Advanced Lerner’s Dictionary, 2000.
Dictionary,
(USA
:
Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 9
Dalam pengertiannya yang paling dasar, istilah pluralisme biasanya digunakan untuk merujuk pada sebuah paham atau doktrin filsafat yang menegaskan bahwa substansi itu tidak hanya satu (sebagaimana paham monisme) dan tidak pula dua (sebagaimana diikuti paham dualisme), melainkan substansi itu beragam.3 Istilah ini kemudian dipergunakan secara luas dalam wilayah agama, masyarakat, politik, dan lain sebagainya. Betapa pun luas cakupan dan ruang lingkupnya, namun secara sederhana, istilah pluralisme dapat didefinsikan sebagai paham yang memandang bahwa tidak ada satu fakta kemanusiaan kecuali beragam, yakni keberagaman, heterogenitas dan kemajemukan itu sendiri. Oleh karena itu, ketika istilah ini disebut, maka secara otomatis di dalamnya mengimplikasikan adanya penerimaan dan pengakuan wacana kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara. Dalam ranah pluralisme, keberbedaan diakui adanya, dan karenanya bukan dilebur, disatukan, dibinasakan, dalam bentuk homogenitas, uniformitas, kesatuan tunggal, mono atau ika.4 Namun demikian, pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif, hanya ditilik 3
4
Dogobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey : Little Filed, Adam & Co.,1976). Bandingkan dengan penjelasan Paul Edwards, The Encyiclopedia of Philosophy, Vol. 5 (New York: Mac Millan Publishing, 1967), 363-364. Menurut M. Amin Abdullah pluralisme merupakan salah satu ciri dasar atau struktur fundamental dari pemikiran posmodernisme setelah dekonstruksi dan relativisme. Lihat M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 99. William L. Rowe, Philosophy of Religion, edisi kedua, (California: Wordsworth Publishing Company, 1992), 178-182.
10 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatanikatan keadaban.5 Secara konseptual pengertian pluralisme memiliki batasanbatasan yang sangat fundamental. Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, melainkan lebih dari itu, pluralisme menyiratkan adanya keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan istilah kosmopolitanisme. Sebab kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita dimana aneka ragam agama, ras, etnis, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ketiga, pluralisme tidak bisa disamakan persis dengan relativisme yang mengarah pada nihilisme moral. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, dalam artian menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.6 Pluralisme dalam pengertian di atas paling tidak memiliki beberapa persyaratan mutlak; pertama, pluralisme harus menghapus segala bentuk absolutisme, eksklusivisme, truth claim, pembenaran mutlak terhadap diri sendiri dengan serta merta menafikan kebenaran orang lain. Dengan kata lain, pluralisme mengakui adanya kebenaran pada kelompok lain, tanpa harus menafikan bahwa kebenaran juga terdapat dalam kelompok dan dirinya sendiri. Oleh karena itu, ketika absolutisme berhadapan dengan pluralisme maka yang harus segera dilakukan adalah membongkarnya, menundukannya dan segera menggantikannya dengan kenisbian (relativitas). Absolutisme hanya berlaku bagi diri 5
6
Syamsul Ma‘arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), 12. Awli Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1997), 41-42. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 11
sendiri dan kelompoknya. Sehingga berlaku pernyataan ―kebenaran yang saya yakini belum tentu benar menurut anda, begitupun sebaliknya‖.7 Kedua, pluralisme mensyaratkan adanya relativisme dalam pemahaman, penafsiran, artikulasi dan segala bentuk derivasi nalar kelompok. Dengan demikian, pluralisme menegaskan bahwa setiap kebenaran manusia itu haruslah dianggap relatif, sebelum ada prosedur-prosedur yang disepakati bersama dalam aras sebuah bangsa, komunitas bersama dan aturan bersama misalnya. Relativisme di sini bukan berarti mengarah pada nihilisme moral atau value vacuum yang menuju pada tidak adanya kebenaran.8 Relativisme di sini mengandung arti positif bahwa seluruh pendapat, pandangan, keyakinan agama-agama dipandang memiliki nilai yang sama (equal value), sekaligus memberikan peluang-peluang penemuan kembali, pengujian dan rekonstruksi ulang terhadap kebenaran yang diyakininya, karenanya menjadi tidak absolut.9 Ketiga, pluralisme mensyaratkan adanya bentuk toleransi dalam bersikap setiap orang, kelompok, entitas dan komunitas ketika berhadapan dengan yang lain. Untuk itu, diperlukan sebuah sikap yang menganggap perbedaaan sebagai bagian dari kehidupan dan kenyataan. Sikap toleransi merupakan prinsip yang mutlak ada dan paten dalam pluralisme. Ia harus menjadi sandaran primer dalam pola pikir dan setiap gerak-gerik tindakan.10 Sedangkan Alwi Shihab memaparkan bahwa dalam kenyataannya, konsep pluralisme ini secara garis besar terdiri dari beberapa hal: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang dimaksud 7
8
9 10
Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), 78. M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, (Bandung: Mizan, 2000), 82. Ridwan, Pluralisme, 82-83. Ibid, 87-89.
12 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
dengan pluralisme adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Pluralisme agama dan budaya dapat dijumpai di mana-mana. Tapi seseorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa setiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hal agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan, dalam kebhinekaan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunujuk suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan. Di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Musim, Hindu Buddha, bahkan orang-orang tanpa agama. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama, sangat sedikit, kalaupun ada. Ketiga, konsep pluralisme tidak bisa disamakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai-nilai ditentukan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang atau masyarakatnya. Sebagai konsekuensi dari paham ini agama apapun harus dinyatakan benar. Atau tegasnya, semua agama adalah sama. Dan keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama tersebut.11 Salah satu wujud nyata dari paham sinkritisme adalah New Age Religion, sebuah agama masa kini yang merupakan perpaduan antara praktek yoga Hindu, meditasi Budha, tasawuf Islam dan mistik Kristen. Dengan begitu, maka pluralisme adalah suatu sikap saling 11
Sihab, Islam, 41-42. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 13
mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaanperbedaan demi tercapainya kerukunan antar umat beragama dengan menghilangkan absolutisme, sinkretisme, kosmopolitanisme, dan menetapkan sikap toleransi yang sebaikbaiknya tanpa meninggalkan komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. B. Hubungan antar Agama dalam Pluralitas Keberagamaan Vroom menawarkan empat model hubungan agamaagama: agama secara esensi sama, agama terpisah dan berbeda, agama sebagai bisenter, dan agama sebagai multisenter. Amin Abdullah membagi pola hubungan agama-agama hanya menjadi tiga bagian, yakni dua bagian pertama sebagaimana yang ditawarkan Vroom, dan bagian ketiga adalah ‗dalam agamaagama ada sisi persamaan dan ada ada sisi perbedaan, ini merupakan gabungan dari pembagian Vroom pada pola hubungan agama yang ketiga dan keempat. Vroom menolak dua alternatif yang pertama, yakni: 1. Semua agama dijadikan hal sama 2. Semua agama merupakan sistem yang berbeda.12 Model pertama, semua agama berdiri dalam hubungannya dengan realitas ingin mencapai nilai transendensitas yang sama (sebanding), yaitu dengan Tuhan. Model ini dapat digambarkan dengan sebuah lingkaran yang titik tengahnya terbentuk dari transenden, dimana berbagai agama merupakan segmen-segmen dari garis sekelilingnya. Berbagai agama menggambarkan pendekatan yang berbeda dengan yang absolut. Agama - agama meyakini pandangan yang maha mutlak inti keberagamaan adalah
12
Hendrik M. Vroom, Religion and the Truth, Philosophical Reflection and Perspectives, trans. by J. W. Rebel, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co.; Amsterdam: Editions Rodopi, 1989), 376380.
14 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
percaya dan pasrah kepada zat yang maha mutlak (the transendent). Jika semua tradisi agama diuji pada kepercayaankepercayaan yang umum, akan ditinggal perspektif-perspektif formal murni. Agama dihubungkan dengan transenden, dengan penyataan pengalaman-pengalaman, dan dengan tujuan yang humanis. Model hubungan yang kedua antara dua agama dapat digambarkan dengan lima lingkaran independen. Agama adalah satuan-satuan independen, dalam artian merupakan permainanpermainan bahasa atau budaya. Keseluruhan menentukan bagianbagian, komponen-komponen budaya keagamaan secara utuh dan secara teliti ditentukan oleh keagamaan tersebut. Semua fenomena dan konsep di dalam agama dengan demikian memiliki signifikansi hanya di dalam agama khusus. Bahkan konsep-konsep yang sesuai dengan konsep-konsep pada agama ini memiliki arti khusus hanya di dalam keseluruhan agama-agama individual. Oleh karena itu tidak bisa dibandingkan, jika misalnya kristianitas, budhisme, dan agama bhakti berbicara tentang rahmat, yang mereka maksud adalah hal-hal yang sama sekali berbeda (dan bukan masalah-masalah terkait yang meminta konotasi-konotasi berbeda di berbagai tradisi). Model ini tidak masuk akal karena: 1). Harus diakui bahwa ada dan/atau banyak kesamaan yang mencolok antara dua tradisi keagamaan. Oleh karena itu, tidak bisa dinyatakan bahwa kedua agama itu adalah satu kesatuan independen yang tidak sebanding. Sama halnya dengan model pertama yang mengabsolutkan kesamaan-kesamaan antar dua agama. Model kali ini juga mengabsolutkan perbedaan-perbedaan, 2). Fakta bahwa agamaagama bukanlah satu-satuan yang tidak menyatu untuk tingkat yang dinyatakan dalam hal seperti Hinduisme, Budhisme, dan lainnya harus diperhitungkan. Artinya dalam agama-agama itu memang ada sisi-sisi kesamaan –di samping- memang ada juga sisi-sisi perbedaan. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 15
Agama-agama diimplikasikan di dalam proses hermeneutika, dimana pengalaman-pengalaman manusia universal meletakkan bagian di sepanjang sisi pengalaman keagamaan yang dimiliki orang dan juga dipengaruhi oleh pertemuan dan berbagai tradisi dan persuasi. Keterhubungan agama dan budaya bertanggung jawab atas fakta bahwa ada perbedaan-perbedaan internal yang signifikan di dalam agama-agama yang tersebar lewat berbagai budaya dan agama-agama, dimana ini merupakan subjek bagi perkembangan budaya yang historis berskala besar. Luasnya pemahaman akan keberagamaan adalah satu satuan yang terpisah. Keluasan pemahaman yang terpisah memungkinkan dan menuntut adanya pengembalian rasionalitas dan akal sehat agar lebih kondusif dan siap untuk menuju wacana dialog yang lebih bernuansa humanistik, toleran dan harmonis. Dialog antar agama dalam hal ini amat diperlukan agar tidak menimbulkan sikap truth claim (klaim kebenaran) pada masing-masing agama, sebab jika truth claim yang dikedepankan, yang terjadi adalah keteganganketegangan antar masing-masing pemeluk agama. Truth claim hanya diperlukan pada taraf keyakinan khusus sebagai pedoman hidup,13 tetapi tidak perlu ditonjolkan dalam berhubungan dengan agama-agama lain. Jika truth claim ditonjolkan dalam hubungan antar agama, apalagi dalam wilayah sosial-politik, maka ini amat berbahaya,14 dan tidak mustahil akan menimbulkan keteganganketegangan horisontal yang destruktif. Model ketiga, agama-agama sebagai pandangan dunia yang ‗bisenter‘ (bertitik tengah dua). Jika agama-agama tidak 13
14
Amin Abdullah, ―Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam‖, dalam Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 4, Vol. IV Th. (1993), 17. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. 2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 47.
16 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
berhubungan sebagai lingkaran yang memiliki titik tengah yang sama dan bukan sebagai lingkaran independen yang terpisah, maka kita harus mempertimbangkan barangkali agama-agama tersebut tidak berhubungan sebagai elips. Dapatkan bahwa agama-agama dunia besar memiliki fokus yang sama, seraya memiliki fokus yang berbeda (tambahannya) sendiri? Fokus yang sama –di satu sisi- kemudian akan menghasilkan kesamaan, dan overlap (perbedaan) diantara dua agama –di sisi yang lain- akan melahirkan kekhususan - kekhususan dari setiap tradisi dan identitasnya sendiri. Agama-agama memiliki fokus yang sama pada Tuhan; pencipta dan penahan dunia.15 Selain itu, mereka masing-masing memiliki fokus mereka sendiri: perjanjian antara Tuhan dengan Israel (Yahudi), Jesus Kristus (Kristen), dan Al Quran (Islam). Warna partikular di dalam gambaran Tuhan pada masing-masing dari ketiga tradisi ini meninggalkan fakta yang tidak bisa dihilangkan bahwa sejumlah unsur di dalam ketiga agama ini berhubungan atau paling sedikit terkait. Tuhan dipandang sebagai pencipta, Ia pemurah, Ia menuntut keadilan, Ia memberikan tanggung jawab kepada manusia; tetapi pada saat bersamaan agama-agama tersebut berdiri di dalam kerangka tertentu di dalam tradisi-tradisi mereka yang memang berbeda. Huston Smith mengemukakan bahwa hal-hal yang pokok pada seluruh agama adalah sama. Ini bisa dilihat pada masingmasing agama yang mengandung bentuk tertentu dari hukum hukum utama, hukum cinta akan sesama manusia. Setiap agama mengakui adanya suatu dasar ilahi yang bersifat universal dari mana berasal seluruh manusia ini, dan di mana harus dicari kebaikan manusia yang sebenarnya. Jika semua kebenaran yang 15
Bandingkan dengan Hans Kung, ―Sebuah Model Dialog Kristen – Islam,‖ dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol 1, No. 1, JuliDesember, (1998), 20-21. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 17
diperlukan bagi keselamatan manusia itu bisa ditemukan dalam satu agama, maka tentulah juga bisa ditemukan dalam tiap-tiap agama besar lainnya.16 Kesatuan pengalaman adalah jenis ide yang mengatur ini, bukan jenis dari kesatuan matematis, seperti kesatuan lingkaran atau elips. Inilah kesatuan yang berhubungan dengan bagan di dalam dunia. Kesatuan pandangan dunia juga bukanlah kesatuan yang kaku, tetapi akumulasi wawasan-wawasan dan pengalaman mendasar yang kurang lebih koheren. Untuk menghindari kekaku-an agama juga perlu adanya suatu ruang dialog antar agama dalam mengeksplorasikan wawasan dan pengalaman keberagamaan masing-masing. Dialog bukan dalam arti saling bersikukuh mempertahankan argumen kebenaran masing-masing, tetapi lebih pada mencari pemahaman pada agama-agama yang ada. Lebih jauh Amin Abdullah mengungkapkan bahwa dialog antar agama lebih menitikberatkan pada keinginan dan kebutuhan untuk saling memahami dan saling menukar pengalaman keagamaan yang telah dimiliki oleh masing-masing tradisi pengikut agama–agama.17 Tak patut terbersit sedikitpun dalam pikiran kita usaha untuk menyalahkan, mengkafirkan, memperolok-olok, menganggap tidak selamat sistem kepercayaan yang dimiliki orang lain. Dialog antar agama sangat mungkin terjadi jika masingmasing pemeluk agama bersikap inklusif (terbuka) dalam beragama. Inklusif dalam kehidupan beragama merujuk pada suatu perilaku yang terbuka, yang toleran kepada kelompok lain. Perilaku terbuka dan mengandung kepercayaan bahwa di luar 16
17
Huston Smith, Agama–Agama Manusia, terj. Safroedin Bahar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 414 Ignatius Haryanto, Terbuka Terhadap Sesama Umat Beragama, Akutalissi Ajaran Sosial Gereja Tentang Agama Yang Inklusif, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 24.
18 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
kelompok kita ada banyak kebenaran yang bisa kita pelajari, dan untuk itu kita perlu banyak bergaul, bersahabat, bahkan bekerja sama dengan berbagai kelompok yang ada di luar diri kita.18 Model keempat, agama-agama sebagai pandangan dunia ‗multisenter‘. Tidak benar untuk mengatakan bahwa dalam Yahudi perhatian adalah dengan Tuhan dan dengan perjanjian, dalam Kristianitas dengan Tuhan dan dengan Kristus, dan dalam Islam dengan Tuhan dan Nabi yang menerima al-Quran. Kedua foci saling terjalin, karena jalan ke Tuhan dan jalan dari Tuhan dijalankan melalui Taurah, dengan jalan Kristus dan jalan alQuran. Hal ini tidak harus mengembalikan kita ke model lingkaran, kebenaran model lingkaran adalah kebenaran masalah pada semua agama dengan transendensi, seperti yang dialami dengan cara pengalaman-pengalaman mendasar. Kesamaan-kesamaan semuanya berhubungan dengan dimensi-dimensi agama seperti perintah-perintah etis, cara-cara mengalami komunitas, interpretasi pengalaman-pengalaman mendasar, dan isi kepercayaan. Tampak bahwa agama dapat mengasimilasi unsur-unsur dari satu dan yang lain. Yang berikutnya kurang lebih disatukan menjadi sebuah tradisi khusus. Aliran-aliran berbeda di berbagai agama menggunakan aksenaksen yang berbeda. Kesamaan-kesamaan dan perbedaanperbedaan dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi lain memang ada, bergantung pada konfigurasi tradisi. C. Piagam Madinah dan Semangat Pluralitas Keberagamaan Sebelum al-Qur‘an turun kepada Nabi Muhammad SAW, kehidupan masyarakat Arab tempat turunnya al-Qur‘an sudah menganut beberapa agama. Di samping agama samawi dengan Nabi yang jelas, Yahudi dan Kristen, juga ada kepercayaan lain, 18
Ibid., 21. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 19
seperti Sabiin dan Majusi. Selain itu, ada juga di antara mereka yang tidak bertuhan (atheist) dan bertuhan banyak (polytheist), yang oleh al-Qur‘an disebut sebagai kelompok kuffār dan musyrikūn.19 Menurut data sejarah yang ada, dua kelompok terakhir inilah yang mendominasi masyarakat Mekkah. Nabi Muhammad SAW secara tegas mengobarkan semangat dakwah dan pendidikan kepada mereka untuk bertuhan (bertauhid). Meskipun pada praktiknya, Nabi mendapatkan tantangan yang sangat keras dari kedua kelompok tersebut. Sikap penolakan tersebut sebenarnya bukan hanya karena didasarkan pada alasan-alasan teologis semata, melainkan karena adanya ketakutan yang luar biasa dari para pembesar Arab akan tumbangnya sistem sosial yang hegemonik dalam kehidupan masyarakat Arab waktu itu. Selama periode Mekkah ini, ajaran Islam lebih menitik beratkan pada aspek ketauhidan dan peribadatan. Sementara pada periode Madinah, Islam lebih menyempurnakan ajarannya sampai pada ―sistem sosial yang utuh‖, untuk kehidupan manusia sebagai individu, anggota masyarakat dan warga negara. Tepatnya, berkisar pada tiga hal; akidah, akhlak dan hukum.20 Penggunaan istilah ―sistem sosial yang utuh‖ di sini meliputi sikap dan perlakuan terhadap agama-agama lain yang memang sudah ada. Untuk itu, al-Qur‘an banyak menggunakan terma khusus sebagai sebutan untuk kelompok agama-agama lain di luar Islam. Sebutlah di antaranya : al-Yahūd, al-lazīna hādū, banu isrā`īl, al-naṣārā, ahl al-Kitāb, al-lazīna ūtū nasīban min al-kitāb, al-ṣabi’in, al-Majūs. Di samping masih ada terma lain yang ditujukan untuk mereka yang tidak bertuhan ―kuffār‘, 19
20
A. Qodry Azizy, ―Al-Qur‘an dan Pluralisme Agama‖, dalam, Profetika, No.1. (Januari 1999), 19-20. M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996), 193.
20 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
―al-lazīna kafarū‖ dan ―al-kāfirūn‖. Sedangkan bagi yang bertuhan banyak disebut sebagai al-musyrikun, al-lazīna asyrakū. 21 Secara implisit penerimaan terma-terma tersebut dalam alQur‘an, mengindikasikan adanya konteks kehidupan keagamaan yang plural pada masyarakat waktu itu. Walaupun pada praktiknya pluralitas ini tidak bebas dari konflik, namun hal ini tentunya tidak mengurangi validitas adanya fakta ko-eksistensi kehidupan keagamaan pada waktu Islam baru mengenalkan dirinya dalam konteks kehidupan masyarakat yang plural dan heterogen. Harold Coward menandaskan, bahwa perjumpaan Islam dengan agama-agama lain sebenarnya telah berlangsung sejak Nabi Muhammad. Namun sayangnya, sepanjang sejarah, sikap dasar yang diambil seringkali berujung pada sikap eksklusif. Islam dipandang sebagai agama yang sempurna, sedangkan di luar Islam dianggap salah karena telah merusak wahyu atau telah terjerumus pada kesalahan doktrin. Selama berabad-berabad pendekatan dasar Islam terhadap agama-agama lain ialah mencari beberapa struktur fundamental yang selaras dengan Islam namun yang terselubung, karena dianggap sebagai penyimpangan dari Islam yang sejati. Salah satu hambatan utama untuk dapat memahami agama-agama lain secara benar ialah kurangnya informasi yang akurat. Sehingga pada akhirnya pandangan Islam terhadap agama lain lebih banyak didasarkan pada analisa, penjelasan dan pemaparan yang bukan didasarkan pada penejelasan agama itu sendiri.22 Pengakuan terhadap agama lain yang berlangsung sejak Nabi Muhammad saw ini tidak dapat dipisahkan dari agama21 22
Azizy, ―Al-Qur‘an, 20. Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi agama-agama, terj. Bosco Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 110-111. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 21
agama yang dibawa oleh Nabi Musa, Isa, Ibrahim, karena agama Islam memiliki kesamaan dengan agama tersebut. Sikap yang demikian telah diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw ketika di Makkah. Kesadaran mengenai keanekaragaman agama-gama walaupun semuanya terpancar dari sumber yang sama ini merupakan masalah teologis yang amat penting bagi Nabi Muhammad saw. Namun al-Qur'an telah meneguhkan bahwa keanekaragaman agama-agama dan kaum-kaum ini adalah untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan. Untuk menyikapi kenyataan ini, ketika Nabi Muhammad saw melakukan hijrah ke Madinah, maka dibuatkan pakta kesepakatan yang dikenal dengan Piagam Madinah sebagai sebuah konstitusi negara baru yang mengatur pluralitas keberagamaan dan kesukuan yang ada. Piagam Madinah ini merupakan bukti yang dapat dikemukakan bagi kerja sama kaum muslimin dengan kelompok agama lain sekaligus menunjukkan adanya pelembagaan asas toleransi beragama yang dinyatakan dalam al-Qur'an. Adapun teks Piagam Madinah adalah sebagai berikut: 1. Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad, Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak kaum muslimin yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yastrib serta para pengikutnya, yaitu mereka yang beriman dan ikut serta berjuang bersama mereka. 2. Kaum muslimin adalah umat yang bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. 3. Kelompok Muhajirin yang berasal dari warga Quraisy, dengan tetap memegang teguh prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda yang perlu dibayarnya. Mereka membayar dengan baik tebusan bagi pembebasan anggota yang ditawan. 4. Bani ‗Auf dengan tetap memegang teguh prinsip Aqidah, 22 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok dengan baik dan adil membayar tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 5. Bani al-Harits (dari warga al-Khazraj) dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan adil dan baik tebusan bagi pembebasan warganya yang ditawan. 6. Bani Sa‘idah dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan. 7. Bani Jusyam dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan. 8. Bani an-Najjar dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan. 9. Bani ‗Amr bin ‗Auf dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan. 10. Bani an-Nabit dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan. 11. Bani al-Aus dengan teguh memegang prinsip aqidah, mereka bahu membahu membayar denda pertama mereka. Setiap kelompok membayar dengan baik dan adil tebusan bagi pembebasan warganya yang tertawan. 12. (a) Kaum Muslimin tidak membiarkan seseorang muslim yang Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 23
dibebani dengan utang atau beban keluarga mereka memberi bantuan dengan baik untuk keperluan membayar tebusan atau denda. (b) Seorang muslim tidak akan bertindak tidak senonoh terhadap sekutu (tuan atau hamba sahaya) muslim lainnya. 13. Kaum Muslimin yang taat (bertakwa) memilki wewenang sepenuhnya untuk mengambil tindakan terhadap seorang muslim yang menyimpang dari kebenaran atau berusaha menyebarkan dosa, permusushan dan kerusakan di kalangan kaum muslimin. Kaum muslimin berwenang untuk bertindak terhadap yang bersangkutan sungguhpun ia anak muslim sendiri. 14. Seorang muslim tidak diperbolehkan membunuh orang muslim lain untuk kepentingan orang kafir, dan tidak diperbolehkan pula menolong orang kafir dengan merugikan orang muslim. 15. Jaminan (perlindungan) Allah hanya satu. Allah berada dipihak mereka yang lemah dalam menghadapi yang kuat. Seorang muslim, dalam pergaulannya dengan pihak lain, adalah pelindung bagi orang muslim yang lain. 16. Kaum Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh pertolongan dan hak persamaan serta akan terhindar dari perbuatan aniaya dan perbuatan makar yang merugikan. 17. Perdamaian bagi kaum muslimin adalah satu. Seorang muslim tidak akan mengadakan perdamaian dengan pihak luar muslim dalam perjuangannya menegakkan agama Allah kecuali atas dasar persamaan dan keadilan. 18. Keikutsertaan wanita dalam berperang dengan kami dilakukan secara bergiliran. 19. Seorang muslim, dalam rangka menegakkan agama Allah, menjadi pelindung bagi muslim yang lain di saat menghadapi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya. 20. (a) Kaum muslimin yang taat berada dalam petunjuk yang paling baik dan benar; (b) seorang musyrik tidak 24 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
diperbolehkan melindungi harta dan jiwa orang quraisy dan tidak diperbolehkan mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang merugikan seorang muslim. 21. Seorang yang ternyata berdasarkan bukti-bukti yang jelas membunuh seorang muslim, wajib diqishas (dibunuh), kecuali bila wali terbunuh memaafkannya. Dan semua kaum muslimin mengindahkan pendapat wali terbunuh. Mereka tidak diperkenankan mengambil keputusan kecuali dengan mengindahkan pendapatnya. 22. Setiap muslim yang telah mengakui perjanjian yang tercantum dalam naskah perjanjian ini dan ia beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, tidak diperkenankan membela atau melindungi pelaku kejahatan. Dan barang siapa yang membela dan melinduingi orang tersebut maka ia akan mendapat laknat dan murka Allah pada hari kiamat. Mereka tidak akan mendapat pertolongan dan tebusannya tidak dianggap sah. 23. Bila kami sekalian berbeda pendapat dalam sesuatu hal, hendaklah perkaranya diserahkan kepada ketentuan Allah dan Nabi Muhammad. 24. Kedua pihak: kaum muslimin dan kaum yahudi bekerjasama dalam menanggung pembiayaan di kala mereka melakukan perang bersama. 25. Sebagai satu kelompok, Yahudi bani ‗Auf hidup berdampingan dengan kaum muslimin. Kedua pihak memiliki agaa masing-masing. Bila di antara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. 26. Bagi kaum Yahudi bani al-Najjar berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. 27. Bagi kaum Yahudi bani al-Harits berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. 28. Bagi kaum Yahudi bani Sa‘idah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 25
29. Bagi kaum Yahudi bani Jusyam berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. 30. Bagi kaum Yahudi bani al-Aus berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. 31. Bagi kaum Yahudi bani Tsa‘labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. Barang siapa yang melakukan aniaya atau dosa dalam hubungan ini maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. 32. Bagi warga Jafnah, sebagai anggota warga Bani Tsa‘labah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi bani Tsa‘labah. 33. Bagi bani Syuthaibah berlaku ketentuan sebagaimana yang berlaku bagi kaum Yahudi bani ‗Auf. Dan bahwa kebajikan itu berbeda dengan perbuatan dosa. 34. Sekutu (hamba sahaya) Bani Tsa‘labah tidak berbeda dengan bani Tsa‘labah sendiri. 35. Kelompok keturunan Yahudi tidak berbeda dengan Yahudi itu sendiri. 36. Tidak dibenarkan seseorang menyatakan keluar dari kelompoknya kecuali mendapatkan izin dari Muhammad. Tidak diperbolehkan melukai (membalas) orang lain yang melebihi kadar perbuatan jahat yang telah diperbuatnya. Barang siapa yang membunuh orang lain sama dengan membunuh diri dan keluarganya sendiri, terkecuali bila orang itu melakukan aniaya. Sesungguhnya Allah Swt memperhatikan ketentuan yang paling baik dalam hal ini. 37. Kaum Yahudi dan kaum Muslimin membiayai pihaknya masing-masing. Kedua belah pihak akan membela satu dengan yang lain dalam menghadapi pihak yang memerangi kelompok-kelompok masyarakat yang menyetujui piagam perjanjian ini. Kedua belah pihak juga saling memberikans aran dan nasihat dalam kebaikan, tidak dalam perbuatan 26 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
dosa. 38. Seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya. Dan orang yang teraniaya akan mendapat pembelaan. 39. Daerah-daerah Yatsrib terlarang perlu dilindungi dari setiap ancaman untuk kepentingan penduduknya. 40. Tetangga itu seperti halnya diri sendiri, selama tidak merugikan dan tidak berbuat dosa. 41. Suatu kehormatan tidak dilindungi kecuali atas izin yang berhak atas kehormatan itu. 42. Suatu peristiwa atau perselisihan yang terjadi antara pihakpihak yang menyetujui piagam ini dan dikhawatirkan akan membahayakan kehidupan bersama harus diselesaikan atas ajaran Allah Swt dan Muhammad saw sebagai utusan-Nya. Allah Swt akan memperhatikan isi perjanjian yang paling dapat memberikan perlindungan dan kebajikan. 43. Dalam hubungan ini warga yang berasal dari Quraisy dan warga lain yang mendukungnya tidak akan mendapat pembelaan. 44. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib. 45. Bila mereka diajak untuk berdamai dan memenuhi ajakan itu serta melaksanakan perdamaian tersebut maka perdamaian tersebut dianggap sah. Bila mereka mengajak berdamai seperti itu, maka kaum muslimin wajib memenuhi ajakan serta melaksanakan perdamaian tersebut, selama serangan yang dilakukan tidak menyangkut masalah agama. Setiap orang wajib melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai dengan fungsid an tugasnya. 46. Kaum Yahudi Aus, sekutu hamba sahaya dan dirinya masingmasing memiliki hak sebagaimana kelompok-kelompok lainnya yang menyetujui perjanjian ini, dengan perlakuan yang baik dan sesuai dengan semestinya dari kelompok-kelompok tersebut. Sesungguhnya kebajikan itu berbeda dengan Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 27
perbuatan dosa. Setiap orang harus bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan. Dan Allah Swt memperhatikan isi perjanjian yang paling murni dan paling baik. 47. Surat perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah maupun sedang berada di luar Madinah, kecuali orang yang berbuat aniaya dan dosa. Allah Swt pelindung orang yang berbuat kebajikan dan menghindari keburukan.23 Toleransi-pluralis yang ditampakkan Nabi Muhammad saw dan generasi awal muslim itu merupakan salah satu karakteristik penyebaran Islam di berbagai kawasan dunia. Esposito mengakui, umat Kristen sering melupakan bahwa ketika Islam melakukan ekspansi ke dunia Kristen, Islam terbukti bersikap lebih toleran serta memberikan kebebasan yang lebih besar bagi kaum Yahudi, dan penduduk pribumi Kristen serta menghapuskan penganiayaan terhadap orang-orang ahli bid‘ah.24 Berdasarkan uraian isi dari Piagaman Madinah di atas, maka dapat diketahui bahwa kehidupan pluralis dikenal sejak masa Rasulullah saw. Pola kehidupan yang plural itu dapat dilihat dari dokumen yang tertulis dalam Piagam Madinah yang didekritkan oleh Rasulullah 16 abad yang lalu ketika Rasulullah mendirikan negara Madinah yang di dalamnya hidup berbagai macam suku dan agama. Tentunya, hal itu tidak terlepas dari dialog antar iman, antar agama, antar suku, antar sesama, antar peradaban, dan antar budaya, sehingga menghasilkan pemahaman terhadap pluralitas dan dinamisasi kehidupan.
23
24
Lihat dalam Abdul Qodir Shalleh, Agama Kekerasan (Yogyakarta: Prisma Sophie,2003), 143-149. John L. Esposito, Unholy War: Teror atas Nama Islam (Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003), 151.
28 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
D. Landasan Teologis Pluralisme Agama Dalam pandangan al-Qur'an, keberagamaan adalah fitrah, sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama, karena beragama adalah kebutuhan hidup yang tidak bisa dinafikan dari realitas kehidupannya. Dalam menganut agama, Allah Swt memberi kebebasan kepada manusia untuk menerima atau menolak ajaran agama yang ada. Namun semua pilihan yang diambil, terdapat resiko yang harus ditanggung oleh manusia sendiri berdasarkan pilihannya, sehingga menunculkan keragaman agama yang dianut oleh beberapa pengikutnya. Hal ini berdasarkan komitmen alQur'an yang menyatakan kemajemukan dan membentuk pluralitas sosial. Dalam hal ini al-Qur'an menawarkan bentuk-bentuk hubungan atas dasar kebebasan seperti yang terkandung dalam QS. al-Maidah: 48. Berdasarkan ayat al-Qur'an dalam QS. alMaidah: 48 pula, maka pluralitas merupakan salah satu kenyataan objektif komunitas umat manusia, sejenis hukum Allah Swt atau sunnah Allah Swt. Dalam mensikapi persoalan pluralitas agama, al-Qur'an dalam batas-batas tertentu––bisa dibilang— sangat radikal dan liberal. Dalam konteks menolak adanya paksaan dalam beragama, Abdullah Yousuf Ali memberikan komentar : ―Adanya paksaan dalam beragama sungguh tidak tepat; karena 1) Agama bersandar pada keyakinan dan keinginan dan karena itu tidak berarti membujuk dengan cara paksa; 2) Kebenaran dan kebatilan dengan jelas telah ditunjukan oleh rahmat Tuhan, bahwa tidak ada keraguan atas pikiran orang-orang yang punya keinginan baik terhadap dasar-dasar keimanan. 3) Perlindungan (rahmat) Tuhan berlangsung terus rencana-Nya senantiasa membimbing kita dari
Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 29
kegelapan menuju kepada cahaya terang benderang‖.25 Oleh sebab itu, maka Allah Swt dalam al-Qur'an menegur keras Nabi Muhammad saw ketika dia berkeinginan untuk memaksa umat manusia menerima dan mengikuti ajaran yang disampaikannya, karena keberadaannya hanya sebatas pengingat umat manusia saja. Dari beberapa pernyataan al-Qur‘an yang menyinggung tentang kebebasan beragama, menunjukan bahwa secara normatif-doktrinal, al-Qur‘an dengan tegas menyangkal dan menolak sikap eksklusif dan tuntutan ‗truth claim’ secara sepihak dan berlebihan, seperti yang melekat pada para penganut umat beragama. Pernyataan al-Qur‘an tersebut secara tidak langsung mengimplikasikan kemungkinan pengakuan Islam terhadap keberadaan agama-agama lain. Ini terlihat ketika al-Qur‘an membicarakan agama-agama yang mensejajarkan posisi Islam beriringan dengan agama-agama lain. Hal ini segaris dengan tujuan al-Qur‘an sendiri yang, dalam konteks kehidupan keagamaan, secara ontologis mengakui keberadaan agamaagama lain yakni ahl al-Kitab (Yahudi, Nasrani, Majusi dan Sabiin).26 Sikap inklusif dalam beragama biasanya merujuk pada surat al-Baqarah 62, serta merujuk pula –meskipun terdapat yang ragu-ragu mengutipnya dikarenakan mengandung pemaknaan yang kontradiktif seperti dalam QS. Ali Imran 19 dan 85. Telaah atas ayat yang disebutkan pertama (al-Baqarah 62) mengasumsikan adanya tiga agama besar, Islam (al-laz{I
manu>), Kristen (nas}a>ra>), serta Yahudi (ha>du>) serta sabiin. Banyak para pakar yang mengalami kesulitan dalam menganalisis ayat ini melihat bahwa terdapatnya ayat-ayat lain yang menyatakan 25
26
Abdullah Yousuf Ali, The Glorious Kuran, Translation Commentary (Beirut: Dar al-Fikr, 1934), 103. Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, (Jakarta: Kompas, 2001), 22.
30 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
and
bahwa klaim keselamatan itu hanya ada pada Islam. 27 at-Thabari misalnya memberikan 3 kriteria akan jaminan Allah yang tertera pada ayat tersebut, beriman, percaya pada hari kemudian, dan beriman kepada Allah atau Muhammad SAW. kriteria ini kemudian dirujuk oleh para penafsir kenamaan pada masa-masa selanjutnya. Lebih jauh lagi Zamakhsyari menyatakan bahwa dalam Islampun masih terdapat kekurangan dari ketiga syarat tersebut, yakni terdapatnya pemeluk yang beriman dimulut saja namun tidak di hatinya.28 Sedangkan pendasaran surat Ali Imran 19 dan 85, sebagaimana di jelaskan di muka, para pakar masih ragu-ragu menggunakannya sebagai ayat yang mengandung inklusifitas. Permasalahannya menurut penulis sebenarnya sepele, yakni terletak pada dua model pemahaman, pemahaman pertama yang bersifat tekstual dalam memahami kata Islām, sedangkan pemahaman yang kedua bersifat kontekstual. Munculnya kedua pemahaman ini dapat dipahami karena pada penafsiran atas alBaqarah 62, para penafsir berhasil menghasilkan paham inklusifitas hanya dengan menerjemahkannya secara literal, sedangkan pemahaman atas kedua ayat di surat Ali Imran tersebut, maka mau tidak mau –demi menghasilkan pemahaman yang inklusif, harus menerjemahkannya secara kontekstual dengan memahami elan dasar dari makna kata di
Shihab, Islam, 79. Ibid Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 31
pasrah), maka sekali-kali tidaklah akan diterima (ketundukan itu) daripadanya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.‖ (QS. Ali Imran : 85). Penafsiran seperti ini berarti mengandaikan bahwa kata Islam merupakan peristilahan orang Arab saja29, dan tidak merujuk pada makna agama, sebagaimana dalam firman Allah swt dalam QS. Ibrahim : 14. Pemahaman seperti di atas merupakan pemahaman yang terbuka, inklusif yang mengasumsikan adanya penerimaan terhadap realitas agama lainnya. Penerimaan ini berarti penerimaan secara penuh atas pluralisme. Hingga pada permasalahan pluralisme ini, terdapat beberapa kelompok yang menyatakan bahwa hanya beberapa agama (dalam hal ini agama semitik) saja yang diakui kebenarannya. Kelompok ini adalah kelompok yang menafsirkan kedua ayat dari surat Ali Imran di atas secara tekstual. Namun ada pula yang mengakui adanya kenyataan bahwa semua agama benar serta semua bentuk kepercayaan terhadap tuhan merupakan bentuk manifes dari kata Islam. sebagaimana analisis dari Nur Khalik Ridwan dalam bukunya Islam Borjuis Islam Proletar30 melalui analisisnya atas kata Sa>biin dalam surat al-Baqarah 62. Pengakuan al-Qur‘an atas keberadaan agama-agama tersebut disertai dengan prinsip-prinsip yang bersifat universal, antara lain : keimanan (hanya pada Allah semata), hari kemudian dan amal saleh. Di atas landasan itu mereka dijamin memperoleh ―salvation‖ keselamatan, dan mereka berhak ―masuk syurga‖ dan ―terbebas dari neraka‖. Dalam al-Qur‘an terdapat dua ayat sentral yang berbicara tentang agama-agama (QS. al-Baqarah: 62 dan QS. al-Mā`idah: 69)
29
30
Budy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta: Paramadina, 2001), 47. Nur Khalik Ridwan, Islam Borjuis Islam Proletar, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 358-371
32 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Ide sentral kedua ayat di atas menegaskan bahwa Islam bukanlah agama eksklusif, dalam artian ―konsep keselamatan‖ bukan hanya terdapat pada agama Islam melainkan juga terdapat pada agama lain. Berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Kristen yang saling mengklaim kebenaran ayat masing-masing, sikap Islam sangatlah berbeda. Islam sudah ada sebelum Muhammad SAW menyebut Ibrahim sebagai seorang Muslim (QS. al-Nisa: 67), ajarannya (kepasrahan) akan menjadi ajaran agama pada setiap zaman.31 Al-Qur‘an memandang bahwa esensi agama adalah universal dan abadi, satu dan sama. Namun al-Qur‘an tampaknya tetap mempertahankan bentuk agama yang merupakan komposisi dari dua elemen; doktrin atau kredo dan hukum atau ritus. Doktrin atau kredo mengekspresikan, memformulasikan dan membentuk esensi agama yang bersifat universal dan tidak berubah di satu pihak, dan hanya elemen-elemen hukum dan ritus saja yang berbeda alam seiring dengan silih bergantinya waktu dan berbagai tempat untuk pelbagai manusia. Sedangkan elemen terkahir –– hukum atau ritus–– al-Qur‘an sering menyebutnya dengan termaterma ―syir’ah”, hukum Tuhan, ―minhāj‖, cara atau pedoman hidup (Q.S. Al-Mā`idah : 48), ―mansak‖, ritus keagamaan (Q.S. Al-Hajj : 34 dan 67).32 Secara keseluruhan paham inklusif –baik dalam bentuk penerimaan saja terhadap realitas agama lain, ataupun yang berbentuk kebenaran agama-agama-- lebih mengedepankan aspek persamaan agama-agama ketimbang perbedaannya. Hal ini berbeda dengan Islam ekslusif yang lebih melihat sisi perbedaannya saja, yang menyebabkan tertutupnya jalan dialog. [*] 31
32
Abdullah Mahmud dan Najmudin Zuhdi, ――Al-Qur‘an dan Pluralisme : Antara Cita dan Fakta‖ dalam Profetika, No.1. Januari 1999), 46. Ibid, 47. Pluralisme Agama: Sebuah Pemetaan Awal | 33
34 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
BAB 3
BIOGRAFI SINGKAT DAN METODE HERMENEUTIKA AL-QUR’AN FARID ESACK A. Sketsa Biografis Farid Esack Maulana Farid Esack dilahirkan tepat pada tahun 1959 di sebuah perkampungan kumuh di Cape, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan. Dia berasal dari sebuah keluarga miskin dan menjalani masa kecilnya dengan penuh kegetiran. Ayahnya meninggal sewaktu dia baru berumur tiga minggu. Sementara ibunya, yang sepanjang hidupnya ditakdirkan sebagai seorang pekerja rendahan di sebuah pabrik dengan gaji kecil, meninggal dalam kondisi uzur pada usia 52 tahun.1 1
Saifuddin Zuhri, "Mengenal hermeneutika pembebasan Farid Esack," dalam Suara Muhammadiyah, No. 16 TH. Ke 86 (Oktober, 2001), 24. Juga lihat Esack, Qur‟an, 2, lihat pula Dagut, "Profile...," 1-3.
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 35
Belum lama menikmati masa kecilnya, beberapa tahun kemudian tanah kelahirannya, Wynberg, dirampas oleh rezim Apartheid. Maka tak ada pilihan lain, akhirnya Farid Esack beserta keluarganya terpaksa hijrah ke Bonteheuwel. Karena waktu itu –– tepatnya pada tahun 1952–– Apartheid mulai memancangkan kebiadabannya dengan menerapkan Undang-Undang Akta Wilayah Kelompok (Group Areas Act) terhadap komunitas kulit hitam dan kulit berwarna.2 Di Bonteheuwel, Farid Esack menjumpai struktur masyarakat yang kondisinya tidak beda jauh dengan keadaan masyarakat di Wynberg. Di sana hadir beragam etnis, kultur dan agama. Fenomena sosial yang menjadi karakteristik khas masyarakat adalah pluralitas dan heterogenitas. Kendati kehidupannya tidak seromantis sewaktu tinggal di Wynberg, tapi Farid Esack menemukan fakta ko-eksistensi sosial-keagamaan yang jauh lebih damai dan harmonis di Bontheheuwel, yang seakan-akan telah menjadi kultur masyarakat yang sudah mendarah daging.3 Namun tak selang berapa lama, kepindahannya ke Bonteheuwel bukannya membawa berkah, malah sebaliknya, pada tahun-tahun berikutnya Farid Esack mulai merasakan tekanan politik yang luar biasa. Kekejaman perilaku politik Apartheid yang semakin menggila mengakibatkan kondisi sosialekonomi masyarakat sangat memprihatinkan. Puncaknya terjadi pada tahun 1980-an, angka kemiskinan meningkat tajam, pengangguran tersebar di mana-mana dan kelaparan pun mulai merajalela. Bahkan Farid Esack sendiri sebagaimana dalam pengakuannya, sering mencari sisa-sisa makanan di tempat-tempat sampah demi mempertahankan hidup.4 2 3 4
Esack, Qur‟an, 2-3. Ibid., 2-3. Ibid., 2
36 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Penindasan yang terstruktur ini, melahirkan sebuah pengalaman buruk yang sangat traumatis bagi Farid Esack dan masyarakat Afrika Selatan pada umumnya. Termasuk pengalaman pahit yang dialami Ibunya ––yang digambarkan Esack–– sebagai korban triple hegemoni; budaya patriarkhi, kapitalisme dan apartheid.5 Dalam kondisi tertekan seperti ini, lembaga keagamaan –– semisal Muslim Judicial Council (MJC)–– sepertinya tak mampu berbuat banyak. Agama seakan-akan kehilangan peran profetiknya; menunjukan peran liberalisasi dan humanisasinya. Sementara itu, sebagian agamawan (clerics) yang memegang otoritas keagamaan terkadang justru seringkali memainkan peran yang terkesan ambigu; bersikap lunak dan tidak kritis terhadap rezim Apartheid. Perannya tak lebih dari sekedar 'patron klien' pemerintah status quo. Dalam kegetiran hidup sebagai pengalaman pribadinya, Farid Esack tak pernah membatasi pergaulannya dengan penganut agama lain di lingkungannya yang sebagian besar berpenganut agama Kristen dan Yahudi. Justru dari pergaulannya ini, Farid Esack banyak mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang makna pluralitas dan solidaritas antar sesama. Bahkan boleh dikata, benih-benih pluralisme dalam otak Farid Esack justru muncul karena ia sering berinteraksi secara intens, yang sekaligus kerap menjumpai sisi-sisi kebajikan, kesalehan, kasih sayang serta rasa solidaritas sosial dari mereka tanpa memandang dan mempersoalkan asal-muasal agama, idiom teologis, ras, etnis, kultur dan pembedaan diferensiasi sosial lainnya.6 Hal ini jarang dia temukan dari teman-teman sesama agamanya, yang dengan bangga sering mengatakan agamanya sebagai “rahmah li al5 6
Ibid., 1-2. Ibid, 2. Lihat juga Farid Esack, On Being Muslim: Finding a Religious Path in The World (One World : Oxford, 2000), 149-151.
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 37
„ālamīn,” namun dalam prakteknya jauh labih mementingkan simbol primordialisme agama dari pada rasa kemanusiaan. Berangkat dari pengalaman pahit inilah, Farid Esack termotivasi mempertanyakan kembali secara kritis terhadap teksteks keagamaan (liturgis) yang kerap ditafsirkan secara eksklusif. Terlebih, yang sangat esensial mempertanyakan secara radikal makna agama, klaim kebenaran dan doktrin keselamatan suatu agama. Karena Farid Esack menyadari bahwa dalam konteks penindasan yang sudah sedemikian akut, menghadapi persoalan hidup tidak cukup hanya diatasi dengan memegangi argumen-argumen normatif dan teologis yang terus menerus ditafsirkan secara eksklusif, konservatif dan ideologis, sementara kenyataan sosial berupa penindasan, kapitalisme, rasisme, eksploitasi gender dan lain sebagainya terus membayangi setiap saat. Oleh karenanya, dia berkeyakinan kuat bahwa selain teguhnya keyakinan, sesuatu yang mendesak dan mutlak dibutuhkan oleh umat Islam dan rakyat Afrika Selatan pada umumnya adalah sebentuk ruh revolusioner untuk menafsirkan teks-teks keagamaan demi membebaskan rakyat Afrika Selatan dari belenggu sejarah kolonialisme dan impreialisme yang dilanggengkan oleh rezim apartheid.7 B. Pendidikan dan Aktivitas Intelektual Farid Esack Farid Esack menyelesaikan Sekolah Dasar dan Menengah nya di Bonteheuwel, di sebuah sekolah yang menganut kurikulum Pendidikan Nasional Kristen. Suatu ideologi pendidikan yang bertujuan membentuk pola dan struktur berpikir warga Apartheid yang patuh dan takut kepada Tuhan serta taat pada pemerintahan Apartheid.8
7 8
Esack, Qur‟an, 255. Ibid., 4.
38 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Pada usia tujuh tahun, Farid Esack mulai menancapkan keinginan kuatnya untuk menjadi sosok pemimpin agama (cleric). Dua tahun berikutnya, dia mulai aktif di gerakan revivalisfundamentalis Islam Internasional, Jama‟ah Tabligh. Sebuah organisasi yang merepresentasikan gerakan politik bawah tanah yang dikenal memiliki semangat persaudaraan tinggi antar sesama anggotanya.9 Beberapa tahun setelah bergabung dan aktif di Jama‟ah Tabligh, Farid Esack ditahan oleh polisi. Pasalnya, pada waktu itu, tepatnya tahun 1974, sebelum pergi ke Pakistan, dia merangkap jabatan sebagai ketua National Youth Action (NYA), sebuah organisasi yang cukup vokal menentang Apharteid. Selain itu, dia juga aktif di organisasi South Africa Black Student Asociation (SABSA). Kasusnya, di kedua organisasi tersebut, Farid Esack dikenal sangat 'nyaring' memperjuangkan dan menuntut adanya perubahan sosial-politik bagi masyarakat Afrika Selatan secara radikal.10 Setelah dibebaskan, pada tahun yang sama (1974), Farid Esack kemudian terbang ke Pakistan untuk melanjutkan jenjang studinya. Pendidikan tingginya dia tempuh di beberapa universitas terpisah, yakni : Jami‟ah Ulum al-Islama dan Jami‟ah Alimiyyah al-Islama Pakistan. Di sana dia berhasil mendapatkan gelar Sarjana Hukum dan Theolog Islam. Tidak puas dengan bidang studi yang telah digelutinya, Farid Esack kemudian melanjutkan studinya di Jami‟ah Abu Bakr, menekuni Studi Qur‟an (Qur‟anic Studies). Untuk menyempurnakan studi Doktoralnya dalam Hermeneutika al-Qur‟an, dia menyempatkan belajar di University of Birmingham (UK), Inggris, dan melakukan penelitian dalam Hermeneutika Bibel di Philosophische Theologische Hoschule, Sankt Geprgen, Frankfrut Amm Main, Jerman. Dan pada Tahun 1997, dia 9 10
Dagut,”Profile, 2. Ibid.
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 39
berhasil meraih gelar Doktor dengan disertasi berjudul “Qur‟an, Liberation and Pluraism : an Islamic Perspective of Interreligius Solidarity against Oppression.11 Pada tahun 1982, Farid Esack kembali ke Afrika Selatan dan mulai mewarnai aktivitas politik, masalah sosial-keagamaan dan bidang kehidupan lain, yang selanjutnya menjadi salah satu pilar kekuatan kelompok Islam progressif. Puncaknya pada tahun 1984, sewaktu Esack menjabat sebagai Koordinator Nasional pada The Call of Islam, sebuah lembaga yang tidak hanya bergerak di bidang intelektual tapi juga menjalankan aktivitas sosial-politik. Di lembaga ini, Farid Esack dipercaya sebagai orang yang memiliki komitmen kuat terhadap solidaritas antar-agama (inter-religious solidarity) untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian serta menentang kekejaman Apartheid.12 Pada praktiknya, The Call of Islam berafiliasi dengan United Democratic Front (UDF), sebuah Front Nasionalis Afrika Selatan yang dipimpin Nelson Mandela. Sementara itu, pada saat yang bersamaan munculnya gerakan oposisi Islam lain terhadap rezim Apharteid Era tahun 1970-1980-an sangat berpengaruh terhadap gerakan dan pemikiran keagamaan Farid Esack dalam meniupkan ruh pembebasan pada The Call of Islam. Melalui The Call of Islam ini, Farid Esack berkeinginan kuat untuk menemukan formulasi Islam Afrika Selatan yang berdasarkan pada pengalaman penindasan dan pembebasan yang dia sebut sebagai “a search for an outside model of Islam.”13 Selain itu, Farid Esack memegang peranan penting di berbagai lembaga dan organisasi lain, seperti : The Organisation of People Aginst Sexism, The Capé Against Racism and the World 11 12 13
Ibid., 4. Ibid. Farid Esack, “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur‟anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. (1991), 215.
40 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Conference on Religion and Peace. Di samping itu, ia rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld and Burger (dua mingguan), koran harian South African dan kolumnis masalah sosial-keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan Muslim Afrika Selatan. Dia juga menulis di Islamica, Jurnal tiga bulanan umat Islam di Inggris serta jurnal Assalamu‟alaikum, sebuah jurnal Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.14 Sebelumnya, dia pernah menjabat sebagai Dosen Senior pada Department of Religius Studies di University of Western Capé sekaligus Dewan Riset Project on Religion Culture and Identity. Sekarang ini, waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan masalah Islam dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam, politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di berbagai penjuru Dunia, diantaranya: Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard, Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town dan Jakarta.15 Setelah empat tahun menjabat sebagai Komisaris untuk Keadilan Jender, sekarang dia diangkat menjadi Guru Besar Tamu dalam Studi Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman. Kesibukannya tak berhenti di situ, Farid Esack juga memimpin banyak LSM dan perkumpulan, di antaranya: Community Depelovment Resource Association, The (Aids) Treatment Action Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board of SAFM.16 Pergulatan Farid Esack dengan berbagai karakter pemikiran yang sebagian besar dia dapatkan dari pendidikan formal, melahirkan beberapa karya tulis yang tersebar luas. Beberapa 14 15 16
Farid Esack, http://www . Home page Farid Esack. com. Ibid. Ibid.
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 41
pikirannya tertuang baik dalam bentuk buku dan artikel. Karya tulisnya yang tertuang dalam bentuk artikel banyak dipublikasikan di beberapa media internasional dan lokal. Bahkan belum lama ini, lewat media internet, Farid Esack juga membuka home page sendiri yang di antaranya mempublikasikan beberapa pemikiran dan wacana terbarunya. Dalam kapasitas dan posisinya sebagai intelektual dan aktivis sosial-politik, arus pemikiran Farid Esack dalam beberapa karangannya sebagian besar terpengaruh kuat oleh konteks sosiopolitik Afrika Selatan. Sehingga lahirlah beberapa karya ilmiahnya dalam bentuk buku, di antaranya: Qur‟an, Liberation & Pluralism: an Islamic Perspective of Intrerreligius Solidarity against Oppression (Oxford: One World, 1997); On Being a Muslim : Finding a Religious Path in the World Today (Oxfrod: One World, 1999); dan An Intoduction to The Qur‟an (Oxford : One World). C. Metode Hermeneutika al-Qur’an Farid Esack Dalam dongeng Yunani kuno diceritakan ada seseorang yang bernama Hermes ( Nabi Idris) dipanggil oleh Dewa (Tuhan) dan diberi tugas untuk menyampaikan perintah Tuhan kepada rakyatnya. Hermes menyadari tingkat kecerdasan serta situasi psikologis dan sosiologis rakyatnya, karena itu ia meredaksikan pesan Tuhan dengan bahasa dan ungkapan yang mudah dipahami orang banyak. Dari kasus ini terjadilah dualitas antara esensi pesan dan bentuk untuk mengekspresikan pesan Tuhan.17 Berawal dari sinilah istilah hermeneutik lahir dari kata hermes yang diberi tugas untuk menjembatani kesenjangan dan keterbatasan manusia dalam mencerna pesan Tuhan, sehingga mudah dipahami.
17
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa depan: Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta: Paramadina, 1995), 16.
42 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Manusia, sebagai makhluk yang memiliki kemampuan bahasa dituntut untuk menafsirkan segala sesuatu yang terjadi di dunia, sebab pada dasarnya dunia manusia jauh lebih kompleks dan sebagian besar di penuhi dengan makna-makna tentang kaidah moral dan pengetahuan, baik pengetahuan mengenai obyek yang bersifat empiris maupun metafisis. Dunia makna ini kemudian di komunikasikan secara turun-menurun lewat bahasa baik lisan maupun tulisan. Bahkan Tuhan pun berkomunikasi pada manusia dengan media bahasa, yaitu bahasa Arab.18 Pada mulanya hermeneutik hanya merupakan metode atau teori untuk menafsirkan pesan Tuhan yang terkandung di balik bahasa. Namun kemudian hermeneutik berkembang dan lebih digunakan sebagai metode tafsir untuk menggali pesan Tuhan yang perennial, dibalik wadah bahasa yang terikat oleh budaya dalam ruang dan waktu tertentu.19 Istilah hermeneutik, meskipun bukan Schleiermacher sebagai pencetusnya, namun setidaknya ia telah merintis jalan kearah itu dan meletakkan asa hermeneutik: kembali kepada arti dan makna asli. Baginya orang harus mampu mengalami kembali proses batin pengarang teks. Kemudian muncullah Dilthey tampil dengan "Geisteswissenchaften dan Naturwissenchaften" nya, terbentuklah hermeneutik sebagai ilmu pengetahuan.20 Hermeneutik yang disebarkan sejak Schleirmacher dan Dilthey mengidentifikasi interpretasi dengan kategori 'pemahaman' dan mendefinisikan pemehaman sebagai pemahaman maksud pembicara dari sudut pandang arah semula dalam situasi asli wacana. 18
19 20
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), 13. Hidayat, Agama, 16. C. Verhaak, "Aliran Hermeneutik, Bergumul dengan Penafsiran" dalam Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, (ed.) FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 80.
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 43
Hermeneutika pada awalnya digunakan oleh para intelektual Kristen untuk menafsirkan Bible supaya dapat dipahami orang-orang sejamannya. Namun dalam perkembangannya, hermeneutika digunakan dalam berbagai disiplin ilmu seperti sastra, hukum, sejarah, agama dan disiplin ilmu yang berhubungan dengan teks.21 Dalam perkembangannya, Hermeneutika terbagi kepada tiga aliran yaitu pertama, hermeneutika sebagai metoda; kedua, hermeneutika sebagai filsafat; dan ketiga hermeneutika kritis. Aliran pertama dikategorikan oleh Josef Bleicher ke dalam teori hermeneutis (hermeneutical theory), karena memfokuskan diri pada problematika teori interpretasi umum sebagai metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan (termasuk ilmu-ilmu sosial). Sedangkan aliran kedua, dikategorikan kedalam filsafat hermeneutika (hermeneutical philosophy), yang memfokuskan diri pada status ontologis pemahaman dan interpretasi. Dan aliran ketiga dikategorikan ke dalam hermeneutika kritis (critical hermeneutics) yang memfokuskan diri pada penyingkapan tabir-tabir yang menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam interpretasi.22 Sebenarnya ketiga aliran hermeneutika tersebut menunjukkan perkembangan yang saling mengoreksi misalkan aliran pertama dan kedua, atau dalam istilah Fazlur Rahman sebagai aliran obyektivitas dan aliran subyektivitas, menunjukkan pertentangan antara Emilio Betti sebagai wakil aliran obyektivitas dan Hans Georg Gadamer sebagai wakil aliran subyektivitas, sedangkan aliran hermeneutika kritis diwakili oleh Jurgen Habermas, yang kemudian juga menimbulkan perdebatannya 21
22
E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 22 dan 33. Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Methods, Philosophy and Critique (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), 1-5.
44 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
antara Habermas dengan Gadamer. Akan tetapi munculnya postmodernisme yang dibawa oleh Jacque Derrida dan Michel Foucoult telah menunjukkan nuansa dekonstruktif dalam wacana hermeneutika,23 yang kemudian dapat memposisikan diri sebagai alternatif keempat dalam aliran hermeneutika. Berkembangnya model pembacaan hermeneutika di Eropa telah mempengaruhi pemikiran para intelektual muslim, khususnya dalam cara kerja kajian al-Qur‟an, sehingga menyebabkan munculnya paradigma baru yang lebih menitik beratkan pada aspek metodis epistemologis ketimbang praktis eksigesis. Farid Esack misalnya, dia telah menempatkan hermeneutika secara umum pada dua arus utama. Pertama, hermeneutika sebagai prinsip-prinsip metodologis utama yang mendasari lahirnya sebuah penafsiran. Kedua, hermeneutika sebagai sebuah eksplorasi filosofis tentang berbagai karakter dan kondisi yang diperlukan bagi semua bentuk pemahaman.24 Sementara Carl Braaten melihat hermeneutika sebagai "ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau peristiwa dalam waktu dan budaya masa lalu dapat dipahami dan dimaknai secara eksistensial pada situasi sekarang." Untuk itu diperlukan seperangkat aturan metodologis yang dapat diterapkan dalam penafsiran maupun asumsi epistemologis tentang pemahaman.25 Bagi Farid Esack, penggunaan hermeneutika sebagai perangkat pembacaan atas realitas teks dan konteks Afrika Selatan
23
24 25
Penjelasan tentang model hermeneutika ala Foucoult dan Derrida, Lihat Soemaryono, Hermeneutik, 109-128. Lihat juga dalam Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya (Yogyakarta: Paradigma, 1988), 240-254. Ibid., 50. Carl Braaten, History and Hermeneutics (Philadelpia: Fortress, 1996), 131
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 45
menjadi satu hal penting (urgen) yang tak bisa ditawar-tawar lagi.26 Sehubungan dengan hal ini, ada empat hal yang ingin dituju Farid Esack berkaitan dengan penyelidikan yang dia lakukan dalam bukunya. Pertama, menunjukan bahwa sangat mungkin hidup dalam keimanan terhadap al-Qur‟an di satu sisi dan dalam satu konteks yang hadir (kontemporer) bersama umat lain, bekerjasama dengan mereka guna membangun masyarakat yang lebih manusiawi. Kedua, mengedepankan ide tentang hermeneutika al-Qur‟an sebagai kontribusi terhadap bangunan teologi pluralisme dalam Islam. Ketiga, mengkaji ulang cara alQur‟an mengkaji diri sendiri dan orang lain, baik yang beriman atau tidak beriman, untuk memberi ruang kebenaran bagi orang lain dalam teologi pluralisme demi pembebasan. Keempat, mencari hubungan antara eksklusivisme keagamaan dengan satu bentuk konservatisme politik (pendukung apartheid) di satu sisi, serta inklusivisme keagamaan dengan satu bentuk politik progresif (pendukung pembebasan) di sisi lain, serta untuk memberikan alasan-alasan bagi yang terkahir.27 Untuk itu, maka Farid Esack mencoba membuat sebuah rumusan hermeneutika yang di dalam bukunya disebut dengan istilah "hermeneutika pembebasan."28 Keunikan hermeneutika ini adalah menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menekankan arti penting relevansi teks dalam konteks kontemporer. Hal penting yang ingin dicapai Farid Esack dari gagasannya ini adalah menemukan kembali "makna baru" hermeneutika dalam konteks partikular sosial-politiknya sesuai dengan kebutuhan konteks Afrika Selatan.29 Meskipun tidak secara detail dan teoritis merumuskan teori 26 27 28 29
Esack, Qur‟an, 106. Ibid., 14. Ibid., 82. Ibid., 63.
46 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
hermeneutikanya, namun bila dirunut secara epistemologis, sudah dapat dipastikan bahwa gagasan Farid Esack sejatinya bermuara pada hermeneutika tanggapan (reception hermeneutics) yang populer dalam tradisi injil (bible). Ini tercermin dari penjelasannya tentang hermeneutika yang dia maksudkan dalam bukunya yang merujuk pada gagasan tokoh hermeneut Francis ShcusslerFiorenza.30 Dalam kajian hermeneutika kontemporer, hermeneutika penerimaan (reception hermeneutics) biasanya selalu diidentikkan pada aliran fungsionalisme teks. Sebuah aliran yang memandang eksistensi sebuah teks kitab suci terletak pada dimensi fungsional dan pragmatisnya. Singkatnya, letak kebenaran tertinggi sebuah teks kitab suci adalah dilihat dari seberapa jauh ia mampu mengatasi problem kemanusiaan yang hadir dalam sebuah realitas. Pandangan ini sangat bertentangan dengan repertoar‟e kaum revelationis, yang selalu memenuhi ruang pembicaraan teks kitab suci dengan wacana tentang "Tuhan" dan bagaimana ia hadir (manifest) dalam kehidupan riil. Dalam rumusan hermeneutikanya, Farid Esack menempatkan tiga elemen intrinsik dalam sebuah pemahaman dengan mengambil bentuk lingkaran hermeneutika (hermeneutical circle).31 Ketiga elemen tersebut adalah: teks beserta pengarangnya, penafsir (interpreter) dan aktivitas penafsiran.32 Dalam posisi hubungan ini, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) akan ditentukan oleh „kuasi transformatif‟ yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca terhadap teks. Matriks persoalan yang sangat mendasar ini dalam konteks penindasan Afrika Selatan melahirkan pergeseran paradigma penafsiran ke arah model kritis; sebuah orientasi praksis dalam 30 31 32
Ibid., 52 Ibid., 11 Ibid., 73.
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 47
tafsir, sekaligus 'mentahbiskan' sebuah hermeneutika yang berorientasi pada dunia pembaca (reception hermeneutics).33 Perspektif dasar yang dibangun Farid Esack dalam hermeneutikanya adalah menekankan sebuah penafsiran yang bersifat partikular, kontekstual dan relevansi praksis dari sebuah teks.34 Karena setiap pengalaman non-profetik manusia pada dasarnya bersifat interpretatif dan selalu diperantarai oleh konteks budaya dan personalitas yang tak tertransendensi, sehingga tidak mungkin tercipta sebuah penafsiran tunggal, universal, statis dan bebas nilai. Sebaliknya kondisi di atas justru meniscayakan setiap penafsiran yang akan selalu besifat kontekstual-partikular, temporer dan bias.35 Pandangan di atas mengacu pada pola hubungan yang terjadi secara dialektis antara proses pewahyuan, bahasa, substansi teks dengan lokus-tempus audiens yang menerimanya. Menurut Farid Esack, pandangan ini memunculkan cara pandang (perspektif) baru pada proses pewahyuan al-Qur'an, yang dalam bahasa Esack disebut sebagai "pewahyuan progressif".36 Berdasarkan pandangan ini, pada dasarnya sebuah teks kitab suci selalu hadir dan menyapa umatnya dalam konteks partikular (terbatas secara linguistis, geografis, situasional dan kontekstual). Dalam tradisi „Ulūm al-Qur'ān klasik proses pewahyuan yang menyertakan ruang lokalitas masyarakat Arab kuno ini secara populer dikenal dengan istilah asbāb al-nuzūl dan naskh wa almansūkh.37 Untuk memeriksa lebih detail proses pewahyuan ini, dalam rangkaian hermeneutikanya, Farid Esack meminjam teori heuristiknya Mohammad Arkoun. Dalam kaitan ini, gagasan 33 34 35 36 37
Ibid., 51-52 Ibid., 254-258 Esack, “Contemporary, 222-223. Esack, Qur‟an, 54 . Ibid., 54-59
48 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
dekonstruksi wahyu Arkoun digunakan Farid Esack untuk mendeteksi secara kritis proses pewahyuan dan cara teks tertulis sehingga menjadi mushaf (canon) yang disakralkan, dimitoskan dan otoritatif.38 Usaha keras Arkoun yang melibatkan pendekatan historissosiologis-antroplogis ini, menggiring Farid Esack untuk menghadirkan gagasan tentang adanya relasi antara individu dengan firman Tuhan yang menyerupai hubungan sosio-politis dengan komunitas sosial; "fungsi psikologis pewahyuan merupakan wujud pesan jiwa yang tak bisa dipisahkan dari kemampuan sosialnya untuk mengatasi semua perbedaan dan persaingan, serta memberikan nilai legitimatif bagi suatu tatanan politik".39 Meski secara tegas Farid Esack menampik aliran objektivisme dalam penafsiran, tapi secara metodis, hermeneutika nya tidak bisa menghindar dari pengaruh kuat gagasan sang maestro „hermeneut‟ Islam berkebangsaan al-Jazair ini. Bahkan dalam salah satu tulisannya, Farid Esack menyebutkan secara jelas bentuk metode yang digunakannya dengan istilah prosedur regresif-progresif.40 Metode hermeneutika ini terdiri dari dua prosedur teknis, pertama prosedur regresif dan kedua prosedur progresif. Prosedur pertama, melihat kembali ke masa lalu secara kontinyu bukan hanya untuk memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan masa kini atas teks, tetapi (juga) untuk mengungkap mekanisme historis dan faktor-faktor yang memproduksi teks-teks ini dan memberikan fungsi tertentu terhadapnya. Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam prosedur ini menurut Esack adalah apa yang telah berkembang dalam 38 39 40
Ibid., 69-70. Ibid., 70. Esack, “Contemporary, 218-219
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 49
tradisi Ushūl al-Tafsīr, yakni genre naskh, asbāb al-nuzūl dan „ilm al-makkī wa al-madanī.41 Sedangkan prosedur kedua bekerja dalam rangka menghidupkan makna baru (kontemporer), sebagaimana tuntutan konteks pada masa sekarang. Pasalnya, keberadaaan teks-teks tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas kaum muslim Afrika Selatan, dan aktif dalam sistem ideologi mereka. Oleh karena itu, yang mutlak harus dilakukan dalam prosedur ini adalah memeriksa secara cermat proses transformasi muatan-muatan dan fungsi-fungsi awal ke dalam muatan dan fungsi baru.42 Prosedur teknis lain yang ditempuh Farid Esack untuk melengkapi teori hermeneutika pembebasannya adalah gagasan Fazlur Rahman yang dikenal dengan teori "double movements". Teori interpretasi ini bekerja dalam pola dua gerakan bolak-balik. Gerakan pertama berusaha memahami secara keseluruhan kandungan al-Qur'an lewat perintah-perintah dan larangan yang diturunkan secara khusus-spesifik sebagai respon terhadap situasi tertentu. Gerakan ini melalui dua tahap. Gerak pertama (dari situasi kini ke masa al-Qur'an) terdiri dari dua langkah; pertama, Melakukan tahap pemahaman tekstual al-Qur'an dan konteks sosio historis ayat-ayatnya (taks of understanding). Langkah ini mensyaratkan adanya pemahaman secara makro mengenai situasi kehidupan arabia baik sisi kehadiran Islam di Makkah, adat istiadat ataupun masyarakatnya. Langkah kedua melakukan generalisasi. Pada tahap ini perlu dilakukan upaya generalisasi atas jawabanjawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataanpernyataan yang memiliki tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosiohistoris dan ratio logis yang sering dinyatakan. Yang perlu di 41 42
Ibid. Ibid.
50 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
perhatikan disini adalah bahwa selama proses ini, perhatian harus diberikan ke arah ajaran al-Qur'an, sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Sedangkan gerak kedua (dari masa al-Qur'an diturunkan ke masa kini). Dalam bahasa mudahnya adalah bagaimana membumikan sebuah tujuan ayat al-Qur'an yang pada masa diturunkan berlaku secara spesifik ke dalam konteks kekinian. Tentunya hal ini dengan berupaya memahami pesan moral yang tertuang dalam ayat al-Qur'an tersebut. Sehingga terjadi penumbuhan sebuah tujuan ayat pada konteks sosio historis masa sekarang. Namun, di sini Fazlur Rahman menekankan pula pentingnya koreksi atas penafsiran pemahaman pertama. Dengan demikian jika pemahaman pada gerakan pertama gagal diaplikasikan pada pemahaman gerakan kedua, maka tentunya telah terjadi kegagalan dalam menilai situasi masa kini atau kegagalan dalam memahami al-Qur'an.43 [*]
43
Eack, Qur‟an, 67. Mengenai gagasan Fazlur Rahman ini, lebih lanjut lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung : Penerbit Pustaka, 2000), 7-10. Lihat juga Taufik Adnan Amal (ed), Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam Fazlur Rahman, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1993), 26-28. Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung : Mizan, 1993), 195-196
Biografi Singkat Metode Hermeneutika Al-Qur’an Farid Esack| 51
52 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
BAB IV
PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF FARID ESACK
A. Pluralisme agama perspektif Farid Esack dalam konteks Afrika Selatan Apabila meneropong sejarah kependudukan Afrika Selatan, maka suku yang pertama yang menempati negara tersebut adalah suku San sejak hampir 10.000 tahun yang lalu. Kemudian disusul oleh Khoikhoin dan suku Nguni yang akhirnya lebih dikenal dengan ―orang Afrika‖ pada kisaran 2000 tahun yang lalu dan diketahui memegang berbagai kepercayaan dan praktik agama. Baru pada tahun 1795, Afrika Selatan diduduki oleh Inggris dan Belanda. Maka pada masa itu, terjadi gelombang pertama kedatangan orang-orang Eropa dan membentuk komunitas kulit putih Afrika Selatan sejak akhir abad kedelapan belas. Masa abad itu pula, benih-benih keragaman penduduk Afrika Selatan dimulai. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 53
Keragaman demografis di Afrika Selatan semakin bertambah ketika Belanda membawa budak-budak dari India, Sri Lanka, Mauritius, Melayu, Madagaskar, Mozambique, Hindia Timur, dan wilayah lainnya hingga 1818. di antara mereka adalah bukan muslim dan pelarian politik dari Indonesia yang menganut agama Islam. Pada tahun 1860, koloni Natal mulai menambahkan unsur keempat bagi pola ras yang sudah ada di wilayah ini yang terdiri atas kulit hitam, kulit berwarna, dan kulit putih. Terlebih lagi dengan munculnya kaum Hindu dari India pada penggal kedua abad kesembilan belas, serta orang-orang Yahudi dari Eropa Timur pada awal kedua puluh, sehingga menyebabkan Afrika Selatan sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman agama dan budaya. Dari keragaman ini, maka kaum muslim adalah kelompok kecil yang telah bertahan diterpa berbagai kesulitan besar. Faktor penting dalam bertahannya mereka sebagai komunitas agama dan budaya yang unik adalah perasaan yang kuat akan perbedaan, bahkan keunggulan dibanding dengan pihak agama yang lain. Rasa superior dalam aspek religio-kultural ini, dibarengi dengan perimbangan ekonomis, kerap menggiring mereka mengidentifikasi diri dengan ―kelompok superior‖ lain, yaitu kelas penguasa. Perjuangan untuk dapat diterima kelas penguasa dan tuntutan untuk bertahan sebagai komunitas beragama berbeda membuat mereka kerap dipercaya sebagai anggota militer oleh struktur militerpolitik penguasa. Namun, ketakutan penguasa dan, bahkan, berkelanjutan sampai hari-hari akhir rezim apartheid. Ketakutan akan imbauan Islam pada egalitarianisme dan persaudaraan, memastikan bahwa kaum muslim tak pernah benar-benar lebur ke dalam struktur sosio politik apartheid kelas penguasa.1 1
Farid Esack, Qur`an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (England : One World, Oxford,1997), 47.
54 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Sebaliknya, karena kesewenang-wenangan apartheid dalam kekuasaannya—sebagaimana telah disinggung sekelumit pada bab sebelumnya, maka komunitas muslim melakukan perlawanan terhadap kelas penguasa karena telah menerapkan aturan dan sistem yang tidak adil dan merugikan komunitas yang ada, seperti penutupan tempat-tempat ibadah, undang-undang yang diskriminatif, pelarangan hak tanah dan sebagainya. Fenomena ini membakar semangat komunitas muslim untuk melakukan perlawanan terhadap diskriminasi yang ada. Doktrin-doktrin keagamaan dari komunitas muslim dan rasa persaudaraan mereka di Cape memiliki makna yang signifikan terhadap perubahan yang ada. Gagasan tentang komunitas agama yang dipersatukan oleh iman mulai berimplikasi pada keikutsertaan dalam perjuangan bersama demi keadilan, karena kelaliman yang dilakukan oleh apartheid terhadap berbagai komunitas yang ada, tidak terkecuali dengan komunitas muslim dan non muslim. Tidak cukup dengan sekedar mengutip ayat al-Qur'an untuk menciptakan orang-orang revolusioner di kalangan muslim. Keterlibatan itu adalah produk kondisi sosial, refleksi teologis, dan organisasi. Pernyataan ini penting karena merumuskan basis munculnya teologi Islam Afrika Selatan dan hermeneutika pembebasan Qur‘ani. Al-Qur'an agar memiliki makna sosial, membutuhkan momen di dalam sejarah. Salah satu momen itu kini ditempa dalam konteks penindasan dan perjuangan pembebasan yang dialami bersama pihak lain di luar Islam, seperti orang-orang Kristen dan komunitas antar iman lainnya. Persamaan dalam ketertindasan dan posisi lemah karena kelompok penguasa dari apartheid ini, telah membangun solidaritas dan partisipasi antar iman untuk melakukan perjuangan bersama melawan apartheid, menuntut dibentuknya landasan konsepsional terhadap pemahaman keagamaan yang ada. Dalam hal ini, Farid Esack sebagai salah satu penggerak UDF (sebuah Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 55
kelompok pergerakan dari komunitas muslim), melakukan penalaran terhadap teologi pembebasan Qur‘ani dengan menghilangkan sekat-sekat pemisah antar iman yang lebih dikenal dengan pluralisme agama. Dalam konteks pluralisme agama ini, penolakan terhadap bentuk-bentuk absolutisme, ekslusivisme, truth claim dan pembenaran mutlak terhadap agama diri sendiri harus dihilangkan demi terbangunnya kerjasaman antar iman. Dalam hal ini, maka Farid Esack mengaitkan konsep inklusivisme dengan keadilan terhadap kaum lain, yang menurutnya justru seringkali tidak menjadi ciri dominan dalam penilaian teologis Islam.2 Pandangan ini selain didasarkan pada pengalaman hermeneutis Farid Esack, juga didasarkan pada pernyataan-pernyataan al-Qur‘an di beberapa tempat yang menggambarkan kecenderungan umum umat beragama termasuk di dalamnya umat Islam sendiri— yang berlomba-lomba untuk menyatakan ―truth claim‖ sendiri-sendiri dan bersifat sepihak. Tepatnya, meminjam istilah Rahman, mereka lebih mengedepankan sikap eksklusivistik dari pada 3 mengembangkan sikap inklusivistik. Mengenai hal ini, truth claim dalam hubungan antar agama dan pembenaran mutlak terhadap diri sendiri dibedakan dengan beberapa hal, yaitu: Pertama, pernyataan-pernyataan kebenaran agama, karena itu bukan bersifat monolitik yang bisa secara tidak kompromi dihadapkan, tetapi semuanya mempelihatkan kemiripan-kemiripan. Kedua, ide transenden dimiliki setiap tradisi, humanitas dan tentang dunia yang telah muncul dari wawasan-wawasan dasar yang ada. Ketiga, manusia memiliki wawasan-wawasan berbeda mengenai sifat transenden, manusia, dan dunia, maka pertanyaan 2 3
Esack, Qur`an, 162. Fazlurrahman, Tema-Tema Pokok al-Qur’an terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1996), 238.
56 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
tentang kebenaran dipertaruhkan; manusia menyatakan mengetahui realitas sebagaimana realitas sebenarnya. Keempat, pertentangan pandangan tidak menghapus fakta bahwa orang setuju dengan sejumlah poin, mengenai keterciptaan dunia, ketergantungan pada rahmat, kebutuhan untuk mentransformasi egonya dan tekanan pada watak kebijaksanaan terhadap sesama manusia. Kejadian bersamaan akan timbal balik ini sering bukan merupakan masalah persetujuan, tetapi dari family resemble. Fenomena keagamaan sangat mirip satu dengan yang lain, namun tetap berbeda. Kelima, pandangannya sendiri mengisyaratkan putusan yang dimiliki tentang tradisi-tradisi keagamaan lainnya. Keenam, tuntutan-tuntutan penentu adalah tuntutan mereka untuk berbuat adil terhadap pengalaman dan mereka mengungkap fakta bahwa mereka berbicara tentang transenden. Masalahnya adalah bahwa pengalaman keagamaan murni dan sederhana tidaklah eksis; pengalaman selalu ditafsirkan. Ketujuh, pembahasan kepercayaan, peran yang dimainkan doktrin dalam tradisi harus diperhitungkan, dan juga perbedaan antara dua level pemahaman keagamaan. Semua tradisi memiliki kepercayaan, meskipun inti agama dimana saja adalah kepercayaan yang dihidupkan dan tidak bisa dipisahkan dari dasar pengalaman. Kedelapan, penyatukan interpretasi-interpretasi dari tradisi-tradisi lain ke dalam pandangan dunianya sendiri. Integrasi ini bukan adaptasi untuk pusat tunggal integrasi atau keyakinan dasar tetapi integrasi di dalam konfigurasi wawasan-wawasan dasar. Kesembilan, perbedaan-perbedaan opini tentang kepercayaankepercayaan tertentu dapat disertai dengan perjanjian atau persetujuan dalam hal keyakinan-keyakinan moral khusus, tidak harus meniadakan rasa hormat dalam hubungan timbal balik dan kerja sama. Kesepuluh, pernyataan-pernyataan tentang kebenaran dan wawasan yang bertentangan tidak berakhir, tetapi dipresentasikan untuk mendengar pendapat dan dibicarakan
Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 57
sebanyak mungkin dengan saling belajar.4 Sedangkan titik tolak yang dilakukan oleh para penganut Islam eksklusif di Afrika Selatan ini adalah al-Qur'an pula dengan pemahaman yang literal. Semisal pemahaman atas surat Ali Imran : 19, Islam diandaikan dengan nama, Islam yang telah mengalami reifikasi, bukan hakekat makna Islam itu sendiri, yakni ketundukan dan kepasrahan. Hal ini bisa dirunut hingga keakarnya jika kita mencoba membedah kembali sejarah kelam teologi Islam pada abad pertangahan dimana didalamnya terdapat pertarungan hebat antara aliran ahl hadis dan ahl ra’yi, antara golongan-golongan yang mengandaikan pemahaman literal atas al-Qur'an dengan golongan yang mencoba mendekati al-Qur'an dengan perspektif nalar rasional. Konstruksi metodologis yang dipergunakan oleh para penganut aliran ini berdasarkan pemahaman bahwa Islam telah sempurna. Dalam Islam terdapat solusi-solusi pemecahan atas realitas, the way is only Islam, begitulah kira-kira slogannya. Kemudian dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, para pengikut golongan ini lebih banyak mengadopsi makna skriptural atau lahiriyah dari teks yang menjadikan mereka mengandaikan sebuah zaman pada masa Nabi Muhammad saw. Dalam masalah hadispun rata-rata mereka memaknainya secara literlek, lahiriyah dan cenderung mengambil utuh hadis-hadis yang diucapkan atau dilakukan atau bahkan ditetapkan oleh Rasul SAW. tanpa meletakkannya di meja kritis.5 Sebagai implikasinya, pemahaman Islam Eksklusif 4
5
Hendrik M. Vroom, Religion and the Truth, Philosophical Reflection and Perspectives, trans. by J. W. Rebel, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co.; Amsterdam: Editions Rodopi, 1989), 380388. Saifuddin Zuhri Qudsy, Islam Liberal dan fundamental, sebuah Pertarungan Wacana, (Yogyakarta: Elsaqpress bekerjasama dengan FORSTUDIA, 2003), 5.
58 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
cenderung tertutup terhadap agama lain. Kelompok ini biasanya mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar (truth claim), tidak ada keselamatan (salvation) diluar agama Islam. Sehingga jika seseorang menginginkan dirinya selamat di akhirat nanti maka ia harus masuk Islam terlebih dahulu. Dengan tidak adanya keselamatan, dan konsekuensi dari adanya truth claim, tentunya mereka tidak membuka ruang bagi dialog dan kerjasama antar iman untuk berjuang melawan apartheid dan hanya melakukan perjuanganbersama komunitasnya sendiri, karena tidak mengakui paham pluralisme. Kalaupun ada, maka hal itu akan berbentuk seperti konsep ahl kitab atau kafir dzimmi yang dalam perlindungannya penganut dari kedua kelompok yang disebutkan terakhir ini diharuskan membayar pajak sebagai jaminan. Mengenai hal ini, Esack telah menggambarkan respon konservatif terhadap solidaritas antariman dalam menentang apartheid yang digambarkan dengan baik sebagai paranoia obskurantis, yang mengembangkan bentuk wacana politiknya sendiri, merasa cukup dan tidak menerima argumen rasional.6 Menyikapi fenomena ini, pada dasarnya al-Qur‘an secara dialektis dan hermeneutis memberikan jawaban yang bersifat terapis terhadap kecenderungan umat beragama yang selalu ingin menuntut truth claim tersebut, bahwa al-Qur‘an secara tegas telah menggariskan pengakuannya terhadap eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama, dan menetapkan secara pasti jaminannya akan mendapat pahala di sisi Allah. Dalam berbagai pernyataannya, al-Qur‘an tidak pernah membedakan status komunitas satu agama dengan yang lainnya. Prinsip dasar pluralisme ini ditegaskan al-Qur‘an dalam dua ayat terulang. Sebuah eksposisi yang jarang sekali terjadi dalam ayat al-Qur‘an, tampil dua kali dengan simbol kata-per kata yang hampir mirip, 6
Esack, Qur`an, 68. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 59
yakni Q.S. al-Baqarah, ayat 62 dan Q.S al-Mā`idah, ayat 69. Menurut Farid Esack, pernyataan al-Qur‘an dalam ayat 62 dan Q.S al-Mā`idah, ayat 69 cukup kuat menjadi dasar Ide penyangkalan terhadap eksklusivisme dan absolutisme kebenaran suatu kelompok. Dengan pernyataan ini, al-Qur‘an secara tegas mengakui keberadaan orang-orang saleh di dalam kaum-kaum tersebut ––Yahudi, Kristen dan Shabi‘in. Karenanya, tak ada satu kaum pun yang dapat mengatakan (mengklaim) hanya merekalah yang telah diangkat dan memperoleh petunjuk‖. Terlebih, mengklaim adanya ide pengangkatan dan pendekatan ―keselamatan‖ secara sepihak.7 Pandangan Farid Esack di atas, secara tidak langsung jelas menolak pandangan sebagian besar mufasir klasik, seperti Ibn ‗Abbās dan al-T}abarī yang jelas-jelas tidak menaruh respon positif terhadap pernyataan inklusif al-Qur‘an ini. Bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak memberikan ruang apresiasi yang simpatik terhadap segala bentuk keyakinan dan praktek keberagamaan umat lain, serta cenderung bertolak belakang dengan visi dasar pluralisme. Meskipun demikian, Farid Esack tetap memandang serta memposisikan ayat di atas sebagai landasan normatif untuk menepis segala bentuk paham komunalisme dan absolutisme kebenaran yang dibentuk dan disuarakan oleh satu kelompok keagamaan yang seringkali menutup rapat-rapat kebenaran yang dipegangi oleh komunitas umat lain. 8 Menurut Farid Esack, ada dua cara yang diambil oleh mayoritas mufasir untuk menghindari makna inklusif dari teks ayat di atas. Pertama, ayat di atas dinyatakan telah dibatalkan oleh Q.S. Ali-Imran : 85. Pandangan ini dijabarkan dalam doktrin keterputusan akhir (supercessionism) yang memandang bahwa ―aturan agama apa pun sah hingga datang suatu aturan yang baru 7 8
Esack, Qur’an, 162-163. Ibid., 161-162.
60 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
untuk membatalkan aturan sebelumnya‖. Kedua, menciptakan perangkat metodologi penfasiran yang mendukung, sekaligus yang memunculkan asumsi bahwa ‗keselamatan‘ hanya dapat dinikmati oleh komunitas yang betul-betul mengikrarkan keimanan serta mengikuti praktek Nabi Muhammad SAW.9 Dalam penilaian Farid Esack, selain kedua alasan tersebut lemah, juga kurang argumentatif. Karena ayat yang dipakai untuk membatalkan (nāsikh) sebenarnya juga bernada inklusif. Selain itu pendekatan yang digunakan juga terlalu bertumpu pada aspek teologis, sementara pendekatan linguistik justru dikepinggirkan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pandangan yang lebih inklusif, Farid Esack mendasarkan pandangannya pada analisa linguistik.10 Hasilnya, Farid Esack tidak memaknai ‗Islam‘ sebagai pelembagaan atau nama satu agama tertentu, melainkan memaknainya sebagai agama yang menyerukan pada kepatuhan, ketundukan dan kepasrahan terhadap Tuhan.11 Menurut Esack ada beberapa argumen yang bisa dijadikan sebagai alasan mengapa dīn tidak harus diartikan sebagai agama formal. Pertama, selama abad ke tujuh, di jazirah Arab, term dīn dipergunakan untuk makna yang beraneka ragam. Dalam konteks ini, al-Qur‘an tidak bisa menghindar untuk menggunakan batasanbatasan makna yang telah ada. Tidak ditemukannya bentuk jamak dīn dalam al-Qur‘an, yakni adya>n, barangkali mengisyaratkan bahwa kehidupan keberagamaan saat itu memang tidak sepenuhnya dilembagakan. Kedua, al-Qur‘an menggunakan term dīn untuk memudahkan kepada pembaca dalam memahaminya. Karenanya, istilah dīn tidak dipergunakan dalam pengertian komunal seperti pada konteks Mekkah awal. Ketiga, sikap menolak atau menerima terhadap dīn atau yaum al-dīn tidak ada sangkut 9 10 11
Ibid, 161. Ibid, 130. Ibid, 126. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 61
pautnya dengan penegasan atau penyangkalan secara verbal atau teoritis, melainkan terkait dengan sikap atau perilaku pribadi yang memberi respons terhadap Tuhan serta suatu panggilan moral yang lebih tinggi atau sebaliknya. Keempat, pengertian yang universal terhadap makna dīn sebagai agama, dengan mengganti pengertiannya sebagai respons terhadap Tuhan, jelas tidak mempunyai dasar baik di dalam teks al-Qur‘an atau pada tafsirtafsir tradisional.12 Dalam hal ini, kata Islām merupakan bentuk mashdar dari kata s-l-m, yang mengandung pengertian ―tunduk, menyerah, memenuhi, atau melakukan‖. Dalam konteks kalimat ―masuk ke dalam al-silm‖, kata Islām biasanya diartikan sebagai nama satu agama. Istilah ini juga bisa bermakna ―rekonsiliasi, damai atau keseluruhan‘.13 Meski kata ini dalam al-Qur‘an jarang dipergunakan, namun ia menempati posisi sentral dalam mendefinisikan diri Muslim. Fakta, bahwa kata ini relatif jarang dipergunakan dalam al-Qur‘an, menunjukan bahwa karakter al-Qur‘an tidak terlalu memfokuskan pada kata-kata yang terkait dengan pemikiran statismetafisis, dibandingkan dengan kata-kata yang secara intrinsik terkait dengan konsepsi yang aktif dan dinamis.14 Oleh sebab itu, maka realitas Afrika Selatan dengan orangorang berlabel ―muslim‖ yang secara aktif ikut dalam penindasan jutaan warga kulit hitam di satu sisi, dan orang-orang dengan label agama lain—dan yg menolak untuk menggunakan label agama— yang mengorbankan hidup mereka demi keadilan dan kebebasan di sisi lain, dengan mudah meyakinkan orang akan pentingnya melampaui label-label itu. Al-Qur‘an memotret muslim sebagai sosok yang tunduk pada ketuhanan, yang lebih dari sekedar 12 13 14
Ibid., 129. Ibid.,126. Ibid.
62 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
muslim dari sebuah agama reifikasi.15 Untuk memperkuat pandangan di atas, Farid Esack menghadirkan dua pandangan mufasir yang cukup populer; Muhammad Rasyīd Rid}ā (w.1935) dan Al-Tabataba'ī (w. 1981) dalam dua karya monumentalnya; ―Tafsīr al-Manār‖ dan ―Tafsīr al-Mīzān‖, yang menurutnya cukup terbuka dan mau menyajikan pandangan liberal dan inklusif. Dalam pandangan Farid Esack, kedua mufasir ini bisa dikatakan memiliki pandangan yang hampir mirip dalam mengakui eksistensi keberagamaan umat lain –– Yahudi, Nasrani dan Ṣabi‘in— serta mempunyai penilaian yang sama dalam mensejajarkan nilai amal kebajikan yang mereka lakukan di hadapan Allah. Jelasnya, ―siapa pun yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka, niscaya akan diselamatkan, karena Allah sama sekali tidak memprioritaskan satu kelompok dengan serta merta mendzalimi kelompok lain‖. Bahkan, secara jelas Rasyīd Rid}ā dalam tafsirnya mengakui keberadaan kaum Yahudi, Nasrani dan Shabi‘in sebagai ―orang-orang yang beriman ‖. Hal ini didasarkan pada eksplorasi Rid}ā yang berpendapat bahwa ayat ini sebenarnya merupakan pengulangan janji Allah dalam alQur‘an yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 2 : ―orang-orang yang mengikuti petunjuk-Ku tidak akan ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”, sekaligus sebagai respon balik (antitesis) terhadap pernyataan yang sama pada surat al-Nisa ayat 123-124, yang menetapkan kemutlakan ―menjadi seorang mukmin‖ sebagai syarat satu-satunya untuk mendapatkan keselamatan.16 Dengan demikian, dalam pandangan Farid Esack, baik Rid}ā maupun Al-Tabataba'ī memposisikan teks ayat di atas sebagai 15 16
Ibid., 177. Muhammad Rasyīd Rid}ā, Tafsīr al-Manār, jilid. 3 (Beirut : Dar alMa‘rifah, 1980), 156. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 63
respons terhadap pandangan eksklusif sebagian kalangan termasuk kaum muslim yang terkungkung dalam ruang sempit sektarianisme dan khauvinisme keagamaan. Menurut Ridha ‗keselamatan‘ tidak akan pernah ditemukan dalam ruang sektarianisme keagamaan, melainkan dalam keyakinan yang benar dan kebajikan yang nyata. Sebab aspirasi apapun, baik dari kaum Muslim, Yahudi dan Kristen, terhadap pentingnya keberagamaan, tidak akan memberi pengaruh apapun bagi Allah, tidak juga menjadi dasar ditetapkannya suatu kepentingan.17 Bagi Al-Tabataba'ī, satusatunya standar, kriteria dan ketinggian martabat serta kebahagian adalah keimanan yang benar kepada Allah dan Hari kiamat yang disertai dengan amal saleh‖.18 Di samping itu al-Qur‘an sebenarnya cukup sering menginformasikan tentang perspektif ketuhanan universal dan inklusif yang merespon ketulusan dan komitmen seluruh hambaNya Dalam konteks kehidupan keagamaan yang lebih luas, dasar pandangan plularisme di atas dinyatakan al-Qur‘an dalam berbagai pernyataannya sebagai prinsip utama dalam hubungan antar agama. Namun informasi tentang ketuhanan universal dan inklusivistik ini seringkali disikapi secara apriori dan apologetis oleh sebagian besar umat Islam.19 Dengan kata lain, mereka lebih mempercayakan pemahamannya pada apa yang diistilahkan Arkoun dengan ‗nalar logosentrisme teks klasik‘20, dari pada harus memeriksa secara cermat konteks kesejarahan di mana teks ini diturunkan. Maka tak aneh jika kemudian muncul sikap-sikap penolakan total serta pencelaan terhadap entitas agama dan 17 18
19 20
Ibid. Muhammad Hussain Al-Tabataba'ī, al-Mīzān fī al-Tafsīr al-Qur’ān, jilid. 3 (Qum: Al-Hawzah, 1973), 275. Esack, Qur’an, 140, Muhammad Arkoun, Nalar Islami Dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu. S. Hidayat (Jakarta : INIS, 1994), 23-24.
64 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
keyakinan umat lain tanpa mempedulikan konteks sosio-historis dari teks-teks yang digunakan untuk mendukung sikap tersebut.21 Berdasarkan perspektif dasar hermeneutiknya, Farid Esack memandang eksposisi al-Qur‘an tentang umat lain sejatinya hanya memberikan dasar bagi perilaku kaum muslim terhadap penganut agama lain pada waktu tertentu. Dengan kata lain, sikap al-Qur‘an terhadap kaum lain tidaklah bersifat final, melainkan bersifat gradual dan kontekstual. Dengan lain ungkapan, pernyataanpernyataan al-Qur‘an banyak dibentuk oleh situasi dan respons yang beraneka ragam dari umat lain, yang intinya menyeru untuk menegakan tatanan kehidupan yang berlandasakan pada tauhid, keadilan dan Islam. Meskipun respons al-Qur‘an seringkali berbentuk politis konkrit baik memihak pada muslim sendiri atau sebaliknya, namun al-Qur‘an melarang keras segala bentuk praktek ekspolitatif dan khauvinisme yang didukung oleh doktrin normatif.22 Sebagai pendukung terhadap pandangan ini Farid Esack menyajikan dua pandangan liberal dan inklusif sebagai basis utama pemikirannya dari Muhammad Rasyīd Rid}ā (w.1935) dan Muhammad Husain al-Tabataba'ī (w. 1981), dalam dua karya monumentalnya; ―Tafsir al-Manar‖ dan ―Tafsir al-Mizan‖. Rid}ā yang, dalam tafsirnya banyak mengutip ayat-ayat yang mendukung, mengkaji serta mempersoalkan tentang 'keselamatan' bagi orang-orang yang tidak bertemu dengan Nabi atau sama sekali tidak pernah tesentuh ajarannya. Di samping itu, Rid}ā juga banyak menampilkan persoalan kontroversial yang jarang diungkap oleh mufasir klasik, semisal mempertanyakan secara kritis perlunya atau kepercayaan terhadap kenabian Muhammad saw sebagai syarat keselamatan. Dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah : 62 di atas, Rid}ā 21 22
Esack, Qur’an, 145. Esack, Qur’an, 147. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 65
berpendapat bahwa proposisi ―orang-orang yang beriman ‖ di sini diartikan sebagai ―muslim yang mengikuti Nabi Muhammad SAW selama masa hidupnya dan semua orang yang mengikutinya hingga akhir zaman‖. Adapun spesifikasinya bisa berasal dari orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabi‘in yang meyakini dengan ―keimanan yang benar‖.23 Dari hasil penyelidikannya, Farid Esack menilai bahwasannya Rid}ā mengakui keberadaan kaum Yahudi, Nasrani dan Ṣabi‘in sebagai ―orang-orang yang beriman‖. Hal ini didasarkan pada eksplorasi Rid}ā yang berpendapat bahwa ayat ini sebenarnya merupakan pengulangan janji Allah dalam al-Qur‘an yang tertera pada surat al-Baqarah ayat 2 : ―Orang-orang yang mengikuti petunjuk-Ku tidak akan ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati‖, sekaligus sebagai respon balik (antitesis) terhadap pernyataan yang sama pada surat alNisā` ayat 123 dan 124, yang menetapkan kemutlakan ―menjadi seorang mukmin‖ sebagai syarat satu-satunya untuk mendapatkan keselamatan.24 Sementara al-Tabataba'ī, dengan nada yang berbeda, mensikapi ayat di atas dengan menerima ide tentang ―orang-orang yang beriman ‖ sebagai deskripsi suatu kelompok sosio-historisreligius, semisal tiga kelompok tadi (Yahudi, Nasrani dan Ṣabi‘in), dan bukan hanya diartikan sebagai kelompok yang menjadikan keyakinan (keimanan) sebagai pencarian pribadi yang senantiasa berkembang dan fluktuatif. Ia berkesimpulan bahwa ―konteks dari frase‖ itu merujuk pada suatu keyakinan murni, sedangkan frase ―orang-orang yang beriman ‖ tertuju pada orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai muslim‖.25 Dalam pandangan Farid Esack, baik Rid}ā ataupun al23 24 25
Rid}ā, Tafsīr, jilid, 1, 336. Esack, Qur’an, 165. al-Tabataba'ī, al-Mizan, jilid. 1, 193.
66 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Tabataba'ī, keduanya mempunyai kesimpulan yang sama, yakni ―siapa pun yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, tanpa memandang afiliasi keagamaan formal mereka, niscaya akan diselamatkan, karena Allah sama sekali tidak memprioritaskan satu kelompok dengan serta merta mendzalimi kelompok lain‖. Dengan demikian, jelas, baik Rid}ā maupun al-Tabataba'ī memposisikan teks ayat di atas sebagai respons terhadap pandangan eksklusif sebagian kalangan termasuk kaum muslim yang terkungkung dalam ruang sempit sektarianisme dan khauvinisme keagamaan. Menurut Rid}ā ‗keselamatan‘ tidak akan pernah ditemukan dalam ruang sektarianisme keagamaan, melainkan dalam keyakinan yang benar dan kebajikan yang nyata. Sebab aspirasi apapun, baik dari kaum Muslim, Yahudi dan Kristen, terhadap pentingnya keberagamaan, tidak akan memberi pengaruh apapun bagi Allah, tidak juga menjadi dasar ditetapkannya suatu kepentingan.26 Bagi al-Tabataba'ī, satu-satunya standar, kriteria dan ketinggian martabat serta kebahagian adalah keimanan yang benar kepada Allah dan Hari Kiamat yang disertai dengan amal saleh‖.27 Karenanya, tidak ada satu alasan pun untuk mengklaim apa yang diyakini oleh dirinya adalah sesuatu yang mutlak kebenarannya. Walaupun demikian, bersikap toleran adalah prinsip yang mutlak ada dan paten dalam pluralisme. Penunjukan sikap ini secara implisit ditegaskan Farid Esack dalam bentuk pernyataan sikap al-Qur‘an terhadap penganut agama lain. Pembacaan hermeneutis Farid Esack ini dilakukan terhadap beberapa pernyataan al-Qur‘an di beberapa tempat yang kemudian dirangkaikan dengan persoalan lain, yang dianggap mempunyai keteraitan erat dengannya. Pertama, terhadap kaum lain, al-Qur‘an dalam pernyataannya mengaitkan persoalan dogma dengan praktek 26 27
Esack, Qur’an, 165. al-Tabataba'ī, al-Mīzān, jilid. 1, 193. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 67
eksploitasi ekonomi. Tegasnya, sikap penolakan terhadap pesanpesan Nabi tentang Tauhid dan keadilan sosial, dalam konteks kesejarahan turunnya ayat di atas mengakibatkan masyarakat Mekkah melanggengkan penindasan sosial dan eksploitasi ekonomi masyarakat. Menanggapi hal ini, al-Qur‘an menegaskan pandangan kritisnya yang terangkum dalam uraian surat-surat pendek, misalnya Q.S. al-Muthafifin: 1-11, Q.S. al-Humazah, Q.S.al-Takatsur, dan Q.S. al-Ma‘un.28 Kedua, al-Qur‘an secara eksplisit dan tegas mencela pandangan eksklusivisme agama yang sempit sebagaimana ditunjukan oleh sebagian kaum Yahudi dan Nasrani yang dijumpai Nabi Muhammad SAW di Hijaz. Karenanya, al-Qur‘an sangat keras mencela sikap arogansi tokoh keagamaan Yahudi serta pandangan eksklusivisme tribalisme yang membuat mereka memperlakukan orang-orang di luar kaum mereka sendiri, terutama kaum lemah dengan nada merendahkan. Di samping itu, muncul sikap-sikap penghinaan yang lain, karena mereka merasa statusnya lebih tinggi, yakni sebagai umat pilihan Tuhan. Klaim ini didasarkan pada supremasi sejarah, kelahiran dan kesukuan, bukan didasarkan pada prestasi praksis dan moralitas. Sebagai implikasinya, muncul pengakuan sebagai ―anak Allah dan kekasih-Nya‖ yang ditanggapi al-AlQur‘an dalam Q. S. al-Maidah : 18, dan ―merasa dirinya bersih‖ yang diabadikan dalam Q.S. al-Nisa : 49. Sebagai tanggapan terhadap statemen ―kesucian‖ tersebut, al-Qur‘an menyatakan pandangannya, bahwa ―sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun‖ (Q.S. Al-Nisā`: 53). Menurut Farid Esack, ayat di atas secara substansial juga memuat relasi kesombongan kaum Yahudi dan Nasrani ––karena merasa memiliki keistimewaan sebagai umat pilihan— dengan implikasi sosio-ekonominya berupa 28
Esack, Qur’an, 155.
68 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
keengganan untuk mendistribusikan sebagian hartanya kepada orang lain, terutama kaum lemah. Ini dilukiskan al-Qur‘an di beberapa tempat, misalnya dalam (Q.S. Al-Nisa : 53 dan 55).29 Hal lain yang tak luput dari kritikan al-Qur‘an terhadap Ahli Kitab ialah adanya klaim ―bahwa kehidupan akhirat hanyalah diperuntukan bagi mereka, dan tidak diperuntukan bagi umat lain,‖ (Q.S. Al-Baqarah: 94 dan 111), juga pernyataan bahwa api neraka hanya akan menyentuh mereka ―selama beberapa hari saja bisa dihitung ‖(Q.S. Ali Imran : 24), serta keyakinannya bahwa ―kelekatan pada kebaikan yang singkat dari dunia ini akan dimaafkan bagi kami‖(Q.S. Al-A‘raf : 169). Menanggapi sikapsikap arogan kaum Yahudi dan Nasrani seperti di atas, termasuk pengakuannya yang berlebihan dalam menyatakan bahwa hanya keimanan mereka sajalah yang diterima di sisi Allah, al-Qur‘an segera meluruskan kesalahan keyakinan mereka dengan ungkapan yang cukup keras dalam Q.S. al-Baqarah : 111-113. Ketiga, al-Qur‘an secara eksplisit menerima fakta koeksistensi pluralisme agama. Meski terdapat beberapa pernyataan al-Qur‘an yang bernada eksklusif dan terkesan menyerupai ―truth claim” seperti yang diucapkan Ahli Kitab : ―Bahwa Ibrahim itu bukanlah seorang Yahudi atau Nasrani, melainkan salah seorang dari kita (muslim).‖ Namun bagi Farid Esack , pernyataan tersebut tidak bisa di terima begitu saja, sebab hal ini tidak selaras dengan visi dasar pluralisme yang sedang dibangun. Dari beberapa keterangan al-Qur‘an yang dipaparkan di atas, Farid Esack berkesimpulan bahwasannya secara de jure, al-Qur‘an menerima keabsahan semua agama wahyu dalam dua hal : pertama, menerima kehidupan religius komunitas umat lain yang semasa dengan kaum muslim awal, menghormati hukum-hukum, norma-norma sosial, serta praktikpraktik keagamaan mereka. Adapun yang melatarbelakangi 29
Ibid. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 69
lahirnya sikap al-Qur‘an ini ialah kebutuhan untuk menciptakan pembangunan dan keamanan bagi sosioreligius komunitas muslim, bukan untuk memperkarakan soal keyakinan dalam komunitas tersebut. Kedua, menerima pandangan bahwa pemeluk-pemeluk setia agama-agama ini juga akan mendapatkan keselamatan dan menegaskan bahwasannya ―tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati‖(Q.S. Al-Baqarah : 62). Pandangan pluralisme di atas diperkuat oleh adanya pengakuan mendasar al-Qur‘an terhadap umat lain yang ditunjukan dalam beberapa pernyataannya. Pertama, al-Qur‘an mengakui ahli al-Kitab sebagai bagian dari komunitas, yang dinyatakan dalam (Q.S. Al-Mu‘minūn: 52). Secara historis hal ini terejawantahkan dalam bentuk piagam Madinah, ketika Nabi mulai membangun masyarakat Madinah. Kedua, adanya pengakuan al-Qur‘an terhadap ahl al-Kitab ditunjukan dengan memberikan keleluasaan kepada umat Islam dalam dua bidang sosial yang sangat vital; makanan dan perkawinan. ―orang-orang yang diberi al-Kitab, dinyatakan sah (halal) bagi kaum muslim dan makanan kaum muslim halal bagi mereka‖ (Q.S. Al-Mā`idah: 5). Masih pada ayat yang sama al-Qur‘an kemudian menerangkan,―…pria muslim diperkenankan menikahi ‗wanitawanita suci dari ahl al-kitab…‖.(Q.S. Al-Mā`idah: 5). Ketiga, mengakui serta menguatkan hukum agama, norma-norma dan peraturan kaum Yahudi dan Nasrani (Q.S. Al-Mā`idah : 47), termasuk sewaktu Nabi diperintahkan untuk menyelesaikan perselisihan dengan mereka (Q.S. Al-Mā`idah: 42-43). Keempat, adanya perintah untuk menjaga keharmonisan kehidupan keagamaan (religious) dengan tetap memelihara kesucian dimensi spritualitas umat lain, termasuk diantaranya tidak merusak tempattempat peribadatan dimana nama Allah banyak disebut (Q.S. AlHajj : 40), mencerminkan bahwa al-Qur‘an sangat menghargai bentuk-bentuk keberagamaan umat lain. Bahkan, dalam salah satu 70 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
pernyataannya, al-Qur‘an sangat menghargai keyakinan umat lain yang dengan tulus mengakui dan mengabdi pada Allah (Q.S. ĀliImrān : 113-114).30 Berdasarkan konsep pluralismenya ini, Farid Esack beserta pemikir muslim lainnya di Afrika Selatan telah menghilangkan sekat-sekat pemisah antariman untuk menyatukan visi dan misi mereka tentang kesetaraan, anti diskriminasi, penindasan, dan segala ketidak adilan di Afrika Selatan dengan berjuang melawan kelas penguasa, apartheid yang telah bersikap seperti penjajah terhadap mereka. Dalam penindasan dan eksploitasi, setiap pertemuan antaragama yang bermakna telah berakar dalam perjuangan masyarakat. Warga Afrika Selatan dengan berbagai agama yang ada, berkomitmen pada visi masyarakat yang demokratis, nonrasialis, dan non seksis telah memilih untuk melakukan diolog satu sama lain dalam konbfrontasi melawan apartheid. Kepercayaan di antara para kaum beragama ini hanya terwujud bila mereka berdiri bersama derita dan perjuangan kaum miskin yang tereksploitasi. Tentunya, dialog dan kerjasama ini tidak ada sama sekali kaitannya dengan tujuan memahamai satu sama lain atau keharmonisan. Pluralisme Esack dalam konteks Afrika Selatan ini berhasil menegakkan sikap baru terhadap al-Qur'an sebagai kitab penuntun pembebasan, meski dicela oleh imam-imam konservatif. Keterlibatan Esack dalam perjuangan bersama yang lain telah berdampak besar dalam mengubah bagaimana Islam, al-Qur'an, dan teologi Islam memiliki semangat pembebasan. Tentunya, hal ini harus dimulai dari pemahaman tentang pluralisme dalam kontes Afrika Selatan tersebut.
30
Ibid. Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 71
B. Relevansi konsep pluralisme agama Farid Esack dalam konteks ke-Indonesia-an Apabila menilik pada konteks Indonesia sebagai negara bangsa yang banyak menghadapi masalah yang komplek dan rumit, hal ini terkait dengan jumlah penduduk yang sangat besar yakni berkisar sekitar 215 juta jiwa, Indonesia menduduki urutan ke empat di duni setelah RRC, India dan US. Hal itu ditambah lagi dengan kondisi penduduk yang sangta majemuk, terdiri dari sekitar 300 kelompok etnis yang memiliki lebih dari ribuan bahasa loakl dengan identitas kultural masing-masing serta tersebar 13 ribu pulau besar dan kecil serta merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia Klaim kebenaran (truth claim), klaim keselamatan (salvation claim), doktrin agama yang mengental menjadi ideologi, telah mengantarkan umat beragama untuk memiliki sikap fanatik berlebihan. Fanatisme itulah yang membentuk ekslusivitas umat beragama, sehingga mereka mempunyai kecenderungan sikap antipati terhadap umat beragama lain. Hal ini seringkali menimbulkan ketegangan antar umat beragama di Indonesia, ketika mereka saling bersinggungan dalam locus persoalan tertentu. Beberapa orang berfikir bahwa persoalan ketegangan yang berujung pada pertikaian antar umat beragama, dipicu oleh sistem komunikasi yang kurang baik. Simbol-simbol yang yang diperankan sebagai bahasa oleh suatu umat beragama seringkali dimaknai kurang tepat oleh umat yang lain. Hal ini menimbulkan kesalahpahaman dan kemudian memunculkan pretensi-pretensi negatif yang pada akhirnya menimbulkan efek negatif pula. Berpaling dari hal itu semua, keragaman di Indonesia menjadi sebuah tantangan yang besar. Tentu saja ini membutuhkan jawaban tersendiri dari tiap-tiap agama. Keberagaman yang ada mempunyai potensi konflik yang cukup besar. Islam, Hindu, Budha, Kejawen, Konghuchu, Kristen serta 72 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
aliran-aliran ajaran yang lain, merupakan kelompok yang mempunyai kekuatan besar, mempunyai potensi krisis berupa konflik dan perpecahan yang besar pula. Dan upaya untuk mencegah itu semua terletak pada tanggung jawab bersama tiap elemen pembentuk bangsa Artinya, persoalan keragaman yang ada pada bangsa ini mestinya disikapi dengan sikap toleransi dan membebaskan. Dari situ diharapkan bisa menciptakan suasana dinamis, aman, menyelamatkan, sekaligus membebaskan. Dengan begitu, maka hayalan kita tentang surga tidak hanya berada di awang-awang saja, melainkan juga di bumi dalam bentuk konstruk sosial yang lucu dan menyenangkan. Untuk menciptakan sikap tersebut diperlukan adanya sistem komunikasi antar umat beragama yang benar. Pluralitas yang disertai dialog tidak akan memberikan efek negatif. Bahkan hal itu bisa memberikan suatu tambahan wacana untuk menambah luas cakrawala, yang akan menciptakan kedewasaan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman. Sehingga kemungkinan konsesus-konsesus yang bisa dicapai bisa dijadikan landasan aksiologi bersama.31 Negara Indonesia yang terdiri akan berbagai suku bangsa, agama dan nilai-nilai yang rawan akan terjadinya disintegrasi. Agama adalah hal yang paling sensitif sebagai pemicu terjadinya disintegrasi. Terjadinya disintegrasi antar umat beragama dimungkinkan karena beberapa sebab; Pertama, prinsip dasar dari agama itu sendiri dan Kedua, faktor ekstern yang menjadikan agama sebagai instrumen utnuk membuat keonaran. Secara umum akar konflik antar umat beragama di Indonesia bersumber dari dua hal yaitu konflik yang bersumber dari doktrin kitab suci dan konflik yang bersumber pada sosial dan Harold Coward, Pluralisme: Tantangan bagi agama-agama, terj. Bosco Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 45. 31
Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 73
politik. Konflik yang bersumber dari doktrin kitab suci (terutama anatara umat Yahudi, Nasrani, dan Muslim) sendiri disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, ajaran yang terkandung dalam kitab suci, di dalam kitab suci baik Al-Qur‘an maupun Injil terdapat beberapa ayat yang jika dilihat secara sepintas menganjurkan umatnya untuk tidak bersikap dengan agama lain bahkan harus mewaspadai gerakan mereka. Kedua, ketidakrelaan yang berkaitan dengan kenyataan sejarah bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan kelanjutan dari agama-agama yang telah diwahyukan oleh nabi-nabi terdahulu. Dalam ajaran Kristen ada keyakinan tentang ―kerajaan Seribu Tuhan‖. Menurut pandangan tersebut dikisahkan bahwa suatu saat umat Kristus akan datang sebagai mesias yaitu juru selamat dan ia membawa manusia hidup dalam ketentraman dan kebahagiaan. Anggapan yang diyakini oleh umat Kristiani itu berbeda dengan diyakini oleh umat Islam, bahwa agama Islam yang dibawa olah Muhammad merupakan kelanjutan dari agama Kristen yang dibawa oleh Isa (Kristus). Dengan diutusnya Muhammad, berarti masa jabatan kenabian Jesusu telah usai dan orang wajib mengikuti agama Muhammad. Kenyataan inilah yang ditentang oelh umat Kristiani. Ketiga, adanya perintah untuk mengajak manusia masuk kepada agama masing-masing. Sebagaimana telah dikatakan sebelunya, bahwa agama Islam dan agama Kristen merupakan agama misi artinya agama yang mengajak pada umat manusia untuk masuk ke dalam agama itu. Mengajak manusia untuk memeluk agama yang ia anut merupakan satu ibadah yang mempunyai nilai sangat tinggi. Untuk itu sering terjadi titik singgung antara agama-agama tadi. Perbedaan-perbedaan beragama pada masyarakat Indonesia jika dideakti dengan sikap menganggap kebenaran agama (nya saja) mutlak, maka akan menimbulkan permasalahan. Sebaba anggapan semacam itu akan 74 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
menimbulkan gerakan penyebaran agama. Dan penyebaran agama ini jika dilakukan kepada umat agama lain akan menimbulkan ketegangan. Teori yang pernah ditawarkan Cak Nur dengan relativisme-nya barangkali dapat dijadikan bahan renungan. Yaitu bahwa agar terwujud harmonisasi antar umat beragama, semua tata aturan lahiriah dalam beragama hendaknya dinisbikan, dan nilai-nilai universal dalam agama hendaknya diperbesar. Agama merupakan permasalahan yang sangat sensitif karena menyangkut keyakinan seseorang. Sehingga, membicarakan isu agama harus hati-hati jika tidak ingin menimbulkan sentimen keagamaan. Sayangnya, banyak terdapat orang atau golongan yang menyebarkan isu agama dengan tujuan menimbulkan konflik, kemudian memanfaatkan situasi konflik tersebut utnuk kepentingannya sendiri dan atau golongannya. Sebut saja peristiwa bom di Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002, peristiwa tersebut sanagat mengguncang dan mencoreng nama Indonesia di mata Internasional sehingga membuat Indonesia dituding sebagai sarang teroris. Pelaku bom Bali merupakan orang-oarang yang mudah dihasut dengan adanya konsep jihad dalam Islam. Padahal menurut saya, mereka ditunggangi oleh kelompok yang memang ingin mengacaukan Indonesia dan memanfaatkan situasi kacau tersebut. Peristiwa lain yang terjadi sebelumnya adalah konflik di Ambon dan di Poso, berupa ketegangan dan kerusushan antar agama. Selain itu juga terjadi berbagai bentrokan fisik, seperti penyerangan dan perusakan tempat ibadah. Konflik antar agama Islam dan Kristen yang terjadi di Ambon dan Poso sengaja diciptakan oleh orang-orang dan atau kelompok tertentu utnuk mengalihkan perhatian masyarakat terhadap permasalahan lain yang sedang menjadi fokus perhatian pada saat itu. Salah satu sumber di internet menyebutkan, konflik di Ambon sebenarnya terkait dengan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 75
di Ambon. Pejabat pemerintahan tersebut kemudian menciptakan konflik agama untuk mengalihkan perhatian pemerintah pusat supaya kasusnya tidak terungkap. Isu agama telah ditumpangi muatan politis, orang atau golongan menggunakan isu agama untuk mendapatkan kedudukan dan juga memperkuat status quo. Oleh sebab itu, maka pluralisme adalah suatu keniscayaan (kepastian) dalam kehidupan bermasyarakat. Setiap individu pasti berbeda dari individu lainnya. Perbedaan dapat berupa jenis kelamin, suku, ras, agama, status ekonomi sosial, sosiologi dan lain-lain. Yang paling penting adalah bagaimana menyiasati perbedaan tersebut agar tidak terjadi konflik yang dapat menyebabkan disintegrasi sosial. Lebih lanjut, toleransi dan pluralisme agama tidak lain adalah wujud civility, yaitu sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, meskipun sesuatu tidak selalu benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok. Pluralisme dan toleransi ini tak lain pula merupakan wujud dari ―ikatan keadaban‖ (bond of civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas, memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan ada, tanpa saling memaksakan kehendak, pendapat atau pandangan sendiri. Sementara itu, berbicara tentang kaitan masyarakat madani dan agama di Indonesia, sebenarnya secara teoritis an sich agama-agama telah mengakui pentingnya nilai-nilai kebebasan dan toleransi yang merupakan cerminan masyarakat madani. Namun kenyataannya umat beragama seringkali tidak terbiasa berpandangan demikian. Agama-agama mudah terperangkap pada kecenderungan totaliterisme dan absolutisme karena senantiasa merasa digoda untuk menerapkan kemutlakan Tuhan yang akui pada diri mereka sendiri. Agama kemungkinan pula di sisi lain dapat menjadi penghambat perkembangan masyarakat madani. Karena itu, maka 76 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
dalam agama-agama diperlukan proses-proses belajar terutama untuk hidup dalam masyarakat pluralistik dan majemuk, agar kondisi-kondisi yang menunjang terwujudnya masyarakat madani dapat berkembang. Di sinilah, wacana pluralisme Farid Esack dapat dipandang dari dua segi; pertama, sebuah gagasan adalah hasil dari sebuah kerangka kerja penafsiran (berfikir). Maka tak bisa dipungkiri, dari kerangka penafsiran ini akan lahir sebuah ideologi yang tentunya sangat berpengaruh terhadap kemunculan sebuah ide atau gagasan. Oleh karena itu, sebuah teks yang dilihat, dipersepsikan, ditempatkan dan didekati oleh pengarang tentu akan memiliki corak tersendiri atas penafsiran yang dihasilkannya. Kedua, sebuah penafsiran yang menjadi ‗teks‘ itu sendiri, terdiri dari gagasan ‗yang tampak ‗dan ‗yang tidak tampak‘. Poin utama yang perlu di gali dari persoalan ‗gagasan yang tampak‘ adalah menemukan secara jeli kontradiksi-kontradisi yang paling mendasar. Sedangkan dari yang harus dilacak ‗gagasan yang tidak tampak‘, ialah menunjukan bagaimana sejumlah kepentingan dan pertarungan ada dalam gagasan tersebut sebagai wacana. Tugas terberat pada titik ini adalah berupaya menemukan kepentingan-kepentingan yang tidak manifes dalam teks. Hanya saja, pada konteks ini, wacana pluralisme Esack harus dikritisi dengan menempatkannya pada dua isu sentral. Pertama, mengkritisi dari sisi cara berfikir, menafsirkan, dan membaca teks sebagai perangkat pemikiran. Yang menjadi persoalan utama di sini adalah menganalisa bagaimana Esack memposisikan teks dari sisi pembaca, alat analisis apa yang digunakan serta mengkritisi konstruksi kerangka teoritiknya. Dengan begitu, akan terlihat dengan jelas apa saja yang tidak digunakan Esack dalam hermeneutiknya dalam membaca teks tersebut. Kedua, mengkritisi secara jernih pola hubungan yang terjadi antara perangkat kerja atau cara menafsirkan (berfikir) yang berpengaruh terhadap sebuah penafsiran (gagasan). Dari sini akan Pluralisme Agama Perspektif Farid Esack| 77
tampak seberapa jauh kerangka kerja atau ideologi mempengaruhi sebuah gagasan pengarang dan diimplementasikan dalam kehidupan riil bersama komunitas lainnya. Maka dari itu, di sinilah konsep pluralisme Farid Esack sebagai rumusan awal dalam menghilangkan sekat-sekat antariman di Afrika Selatan menemukan relevansinya ketika dihadapkan dalam konteks Indonesia. Hanya saja, dialong dan kerjasama yang dirumuskan nantinya bukanlah untuk melakukan perlawanan terhadap kelas penguasa, namun bagaimana nantinya komunitas muslim bisa membangun negara Indonesia yang demokratis dan anti diskriminasi bersama komunitas agama lain yang majemuk tanpa adanya sikap eksklusif dan konservatif. [*]
78 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian dan pembacaan yang cukup panjang tentang pluralisme agama perspektif Farid Esack, maka penulis akhirnya menyimpulkan bahwa: 1. Pluralisme agama Farid Esack dalam konteks Afrika Selatan berawal dari fenomena keragaman suku, agama, dan budaya di Afrika Selatan pada satu sisi, dan apartheid sebagai kelas penguasa pada sisi lainnya. Karena kesewenang-wenangan apartheid dalam kekuasaannya, maka komunitas muslim melakukan perlawanan terhadap kelas penguasa karena telah menerapkan aturan dan sistem yang tidak adil dan merugikan komunitas yang ada. Untuk melakukan perlawanan terhadap kelas penguasa bersama komunitas antar agama, maka komunitas muslim harus menyatukan visi dan misinya tentang kesetaraan, anti Penutup| 79
diskriminasi, penindasan, dan segala ketidak adilan di Afrika Selatan. Dalam hal ini, pemahaman konseptual tentang pluralisme agama adalah langkah awal dalam membangun dialog dan kerjasama tersebut. Dalam hal ini, Esack bukan hanya sebatas memformulasikan sebuah kerangka teologi pluralisme, melainkan lebih dari itu bagaimana menyandingkannya dengan teologi pembebasan Afrika Selatan. Dalam artian pluralisme yang ditawarkan Esack bukan hanya sebatas menerima, mengakui dan menghargai fakta koeksistensi keagamaan yang plural dan heterogen. Dalam konteks Afrika Selatan, pluarlisme yang diatawarkan Esack, bukan sebatas harus menghargai, menerima dan mengakui eksistensi keberagamaan umat lain, akan tetapi juga harus mampu mendorong semangat perjuangan pembebasan rakyat Afrika Selatan. Untuk mewujudkan itu semua, Esack melakukan reinterpretasi terhadap beberapa term keagamaan yang dikenal sebagai fondasi utama dalam teologi Islam sehingga mengimplikasikan adanya sebuah pembebasan dalam menafsirkan teks ke dalam konteks. Dalam kaitan ini, refleksi Esack tentang pandangan al-Qur’an mengenai hubungan dengan pengaut agama lain dan kerja sama antar agama membentuk satu dimensi dengan kesadaran yang dinamis dalam kerangka praksis liberatif. 2. Relevansi konsep pluralisme agama Farid Esack dalam konteks ke-Indonesia-an adalah bahwa konsep pluralisme Farid Esack dapat menjadi rumusan awal dalam menghilangkan sekatsekat antariman di Indonesia. Hanya saja, dialong dan kerjasama yang dirumuskan nantinya bukanlah untuk melakukan perlawanan terhadap kelas penguasa yang ada di Indonesia, namun bagaimana nantinya komunitas muslim bersama komunitas agama lainnya bisa membangun negara Indonesia yang demokratis dan anti diskriminasi tanpa adanya sikap eksklusif dan konservatif. 80 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
B. Saran-saran Melalui penelitian ini, maka sesuatu yang patut dilakukan kemudian menurut penulis adalah bahwa secara akademis, penelitian tokoh semacam ini sudah banyak dilakukan. Walaupun demikian, penelitian semacam ini masih relevan karena dapat membuka cakrawala dan wawasan intelektual yang luas bagi insan akademik dan non akademik. Hal ini disebabkan dengan penelitian yang semacam ini pula bahwa khazanah intelektual yang ada dapat diangkat ke permukaan. Oleh sebab itu, maka selayaknya penelitian yang semacam ini ditekankan. C. Penutup Demikianlah penelitian tentang pluralisme agama perspektif Farid Esack ini. Tentunya, penelitian ini bukan sekedar kerja intelektual yang bersifat tekstual dan teoritis, akan tetapi merupakan implementasi realistis dari semangat transformasi intelektual. Sumbang saran, komentar, serta kritik guna pembenahan dan perbaikan atas penelitian ini adalah harapan yang tiada putusnya bagi penulis, karena bagaimanapun, penelitian ini merupakan sekelumit dari sekian transformasi intelektual penulis. Wa Allah A'lam bi al-Sawab. [*]
Penutup| 81
82 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam Di Era Posmodernisme.Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995. ------------------. Dinamika Islam Kultural. Bandung: Mizan, 2000. ------------------. “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, dalam Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 4, Vol. IV Th. 1993. ------------------. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Amal, Taufik Adnan (ed). Metode dan Alternatif Neo Modernisme Islam Fazlur Rahman, terj. Ahsin Muhammad. Bandung : Mizan, 1993. ------------------. Islam dan Tantangan Modernitas : Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman. Bandung : Mizan, 1993. Ali, Abdullah Yousuf. The Glorious Kuran, Translation and Commentary. Beirut: Dar al-Fikr, 1934.
Penutup| 83
Arkoun, Muhammad. Nalar Islami Dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu. S. Hidayat. Jakarta : INIS, 1994. Al-Tabataba'ī, Muhammad Hussain. al-Mīzān fī al-Tafsīr alQur’ān, jilid. 1 dan 3. Qum: Al-Hawzah, 1973. Azizy, A. Qodry. “Al-Qur’an dan Pluralisme Agama”, dalam, Profetika, No.1. Januari 1999. Bleicher, Josef. Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Methods, Philosophy and Critique. London: Routledge and Kegan Paul, 1980. Braaten, Carl. History and Hermeneutics. Philadelpia: Fortress, 1996. Bleicher, Josef (ed). Contemporary Hermeneutics. London: Routledge and Kegan Paul, 1980. Coward, Harold. Pluralisme: Tantangan bagi agama-agama, terj. Bosco Carvallo. Yogyakarta: Kanisius, 1999. Elmirzana, Syafa'atun. “Pluralisme, Konflik dan Dialog (Analisa dan Refleksi)”. Esensia, 2. Januari, 2001. Esack, Farid. Qur`an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression.England: One World, Oxford,1997. ------------------. On Being Muslim: Finding a Religious Path in The World. One World : Oxford, 2000. ------------------. “Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur’anic Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. 1991. 84 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
------------------. http://www . Home page Farid Esack. com. ------------------. Qur`an, Liberation and Pluralism : An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. England : One World, Oxford,1997. Esposito, John L. Unholy War: Teror atas Nama Islam. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003. Hanafi, Hasan. Islam in The Modern World: Tradition, Revolution and Culture Vol.II Kairo: Dar Kebaa Bookshop, 2000. Haryanto, Ignatius. Terbuka Terhadap Sesama Umat Beragama, Akutalissi Ajaran Sosial Gereja Tentang Agama Yang Inklusif. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik. Jakarta: Paramadina, 1996. Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma, 1988. Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial, cet. 7. Bandung: Mandar Maju,1996. Kung, Hans. “Sebuah Model Dialog Kristen – Islam,” dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, Vol 1, No. 1, JuliDesember, 1998. Ma’arif, Syamsul. Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005.
Penutup| 85
Mardalis. Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara, 1996. Nafis, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni. Agama Masa depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina, 1995. Neufeldt, Fictoria. Webster New College Dictionary. USA : Macmillan,1996. Oxford Advanced Lerner’s Dictionary, 2000. Rahman, Budy Munawar. Islam Pluralis. Jakarta: Paramadina, 2001. Rahman, Fazlur. Tema-Tema Pokok al-Qur’an terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1996. ------------------. Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung : Penerbit Pustaka, 2000. Rid}ā, Muhammad Rasyīd. Tafsīr al-Manār, jilid. 1 dan 3. Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1980. Ridwan, Nur Khalik. Islam Borjuis Islam Proletar. Yogyakarta: Galang Press, 2001. ------------------. Pluralisme Borjuis: Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Yogyakarta: Galang Press, 2002. Rowe, William L. Philosophy of Religion, edisi kedua. California: Wordsworth Publishing Company, 1992.
86 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im
Runes, Dogobert D. Dictionary of Philosophy (New Jersey : Little Filed, Adam & Co.,1976). Bandingkan dengan penjelasan Paul Edwards, The Encyiclopedia of Philosophy, Vol. 5. New York: Mac Millan Publishing, 1967. Shihab, Awli. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama. Bandung: Mizan, 1997. Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1996. Shalleh, Abdul Qodir. Agama Kekerasan. Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003. Smith, Huston. Agama–Agama Manusia, terj. Safroedin Bahar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001. Sukidi. Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: Kompas, 2001. Sumaryono, E. Hermeneutika Sebuah Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Metode
Filsafat.
Verhaak, C. "Aliran Hermeneutik, Bergumul dengan Penafsiran" dalam Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, (ed.) FX. Mudji Sutrisno & F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Vroom, Hendrik M. Religion and the Truth, Philosophical Reflection and Perspectives, trans. by J. W. Rebel. Michigan: William B. Eerdmans Publishing Co.; Amsterdam: Editions Rodopi, 1989. Zaman, Ali Noer (ed). Agama untuk Manusia, terj. Ali Noer Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Penutup| 87
Zuhdi, Abdullah Mahmud dan Najmudin. “Al-Qur’an dan Pluralisme : Antara Cita dan Fakta” dalam Profetika, No.1. Januari 1999. Zuhri, Saifuddin. "Mengenal hermeneutika pembebasan Farid Esack," dalam Suara Muhammadiyah, No. 16 TH. Ke 86. Oktober, 2001. ------------------. Islam Liberal dan fundamental, sebuah Pertarungan Wacana. Yogyakarta: Elsaqpress bekerjasama dengan FORSTUDIA, 2003.
88 | S. Mahmudah N. – A. Rafiq Zainul Mun’im