NOTULA CERAMAH PENINGKATAN PENGETAHUAN TENAGA PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Hari/ Tanggal
: Jum’at, 3 Desember 2010
Waktu
: Pukul 09.30 WIB s.d. selesai
Tempat
: Ruang Rapat B Lt 4 Gedung Ditjen Peraturan Perundang-undangan
Pembicara
: Refly Harun SH., MH. LLM. (Constitutional Lawyer)
Narasumber
: DR. Mualimin SH., MH. (Direktur Litigasi, Ditjen Peraturan Perundangundangan)
Moderator
: Muhamad Aliamsyah, S.Sos., SH., MH. (Ditjen PP)
Peserta
: Perancang dari Ditjen Peraturan Perundang-undangan dan beberapa instansi diluar Kementerian Hukum dan HAM RI (Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian ESDM, Badan POM, Kementerian Kehutanan, LIPI, Kementerian Kominfo, dll)
Ceramah dibuka dan dipandu oleh moderator dengan mengemukakan bahwa kegiatan ceramah peningkatan pengetahuan tenaga Perancang Peraturan Perundang-undangan diselenggarakan untuk lebih meningkatkan kompetensi dan kapabilitas Perancang Peraturan Perundang-undangan. HASIL CERAMAH A. Pembicara: Refly Harun, S.H., M.H., LLM. (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Proses Legislasi). 1. Menurut Hans Kelsen; Parliament : Positive Legislator Constitutional Court: Negative Leegislator DPR (bersama Pemerintah) membentuk Undang-Undang, Pasal 20 (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang Pasal 24 C (1) UUD 1945 2. Putusan Yang mengabulkan seperti yang tercantum dalam Pasal 56, Pasal 57 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 3. Karakteristik Putusan Mahkamah Konstitusi; a. Negative Legislator • MK hanya menyatakan bahwa suatu UU yang diuji bertentangan dengan UUD 1945 baik seluruh ataupun sebagiannya.
www.djpp.depkumham.go.id
• Atas pernyataan bertentangan dengan UUD 1945 tersebut, UU dimaksud dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. • MK tidak memuat norma baru karena hanya “negative legislator”. b. Tidak berlaku surut (nonretroaktif) • Undang-undang yang diuji oleh MK tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD Negara republik Indonesia tahun 1945 (Pasal 58). • Putusan mahkamah konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 47). 4. Kelemahan Putusan Mahkamah Konstitusi • Potensi Kekosongan Hukum (legal vacuum) • Potensi kekacauan hukum (legal disorder) • Politik beli waktu (buying time) pembentuk undang-undang 5. Kemanfaatan bagi Pemohon
6. Modifikasi Mahkamah Konstitusi • Pemberlakuan putusan ditunda (Putusan Pengujian UU KPK (2006)). • MK membuat norma baru (Putusan tentang penggunaan KTP dan Paspor (2009)). • MK Menyatakan putusan berlaku surut (putusan tentang penghitung kursi tahap 2 (2009)). • MK membuat putusan provisi (Putusan Pengujian UU KPK oleh bibit-Chandra
(2009)). • MK tidak membatalkan tetapi hanya membuat tafsir (coonditionally constitutional atau conditionally unconstitutional). 7. Akibat • Terjadi yudicial activism yang berlebihan (eksesif).MK layaknya legislator yang bekerja di pinggir lapangan. • Karya Eksekutif-legislatif yang melibatkan ratusan bahkan ribuan orang dapat dibatalkan oleh enam orang saja, yaitu “satu orang iseng” dan lima hakim mayoritas. 8. Tindak lanjut Legislasi • Sebaiknya MK tetap menjadi negative legislator untuk menghindari menjadi legislator dari bangku cadangan karena MK bukan lembaga perwakilan. • Seandainya ada putusan MK yang menimbulkan kekosongan hukum, pembentuk undang-undang harus diberikan kewajiban untuk mengisi kekosongan tersebut dalam waktu sesingkat-singkatnya. Bisa saja dengan mengeluarkan perppu. • Agar putusan MK bermanfaat bagi pemohon jika dikabulkan, perlu dipikirkan untuk memuat ketentuan tentang constitutional complaint (pengaduan konstitusional) sebagai bagian dari proses pengujian undang-undang.
www.djpp.depkumham.go.id
• Dengan mekanisme tersebut, putusan tidak harus membatalkan suatu UU. Cukup dengan menyatakan ketentuan UU dimaksud tidak berlaku khusus terhadap pemohon. 9. Perubahan UUD 1945 • Jika terjadi perubahan UUD 1945 (lagi) pengaduan konstitusional sebaiknya masuk sebagai kewenangan mandiri MK. Selain itu, semua peraturan perundang-undangan diuji MK sehingga MK menjadi court of law dan MA menjadi court of justice. B. Narasumber : DR. Mualimin, S.H., M.H. (Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Proses Legislasi di Indonesia). 1. Hukum Acara Pengujian undang-undang Dasar; • UU No.24 Tahun 2003 (UUMK)Pasal 50 sd. Pasal 60 • Peraturan MK (PMK) No. 06/PMK/2005 tanggal 27 Juni 2005 tentang Pedoman Beracara dalam perkara Pengujian Undang-Undang (sebagai pelaksanaan Pasal 86 UUMK) Obyek pengujian yaitu Pasal 50 UUMK. 2. Produk Hukum MK • UUMK : Putusan • PMK : Putudan dan ketetapan • Permohonan tidak dapat diterima, dalam hal pemohon dan/atau tidak memenuhi Pasal 50 dan Pasal 51 • Permohonan dikabulkan, dalam hal permohonan beralasan atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang • Permohonan ditolak, dalam hal undang-undang tidak bertentangan denga UUD. 3. Sifat dan jenis putusan MK • Final dan mengikat • Berlaku sejak diucapkan pada sidang terbuka • Declaratoir • A negative legislator • A positive legislator • Faktor pengubah hukum • Berdasarkan pelaksanaan putusan MK dibedakan menjadi dua, yaitu: a) Putusan Mahkamah Konstitusi yang langsung dapat dilaksanakan “executable” contohnya: Perkara no 11/PUU-VIII/2010 ; pengujian UU No 22 Tahun 2007 tentang penyelenggara Pemilihan Umum. b) Putusan MK yang memerlukan tindak lanjut dengan pembentukan undangundang yang bersangkutan. Contohnya; Perkara No.5/PUU-VI/2007; pengujian Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) huruf a dan ayat (5)
www.djpp.depkumham.go.id
huruf c sepanjang mengenai anak kalimat “......partai politik atau gabungan partai politik”. 4. Implikasi Putusan terhadap Proses Legislasi Putusan Yang memerlukan tindak lanjut, dasar hukumnya adalah; • Pasal 17 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004 : “ Dalam keadaaan tertentu, DPR, atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang diluar Program Legislasi Nasional • Pasal 3 PerPres No. 68 Thun 2005 tentang tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden. 5. Sifat Pembentukan undang-Undang Tindak Lanjut Putusan • Mendesak (harus segera ditindak lanjuti) apabila : a. Dalam putusannya MK telah menentukan secara limitatif pembentukan UU tersebut. b. Menimbulkan ketidakpastian hukum, kekosongan hukum, mempengaruhi hajad hidup orang banyak. • Tidak Mendesak (tidak serta merta harus ditindak lanjuti) SESI TANYA JAWAB Pertanyaan Sesi Pertama Ada 4 (Empat) orang Penanya: 1. Taufik (Perancang di Kementerian ESDM) • Sejauh apa Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi suatu pegangan bagi perancang? • Implementasi Putusan MK tergantung urgensinya, seperti apa urgensi tersebut? 2. Abdul Malik (Perancang di BKPN) • Sebabatas memberikan kekosongan hukum, mengapa Putusan MK tidak ada artinya? • UU yang sudah dibatalkan, boleh/tidak untuk dapat dihidupkan lagi? 3. Rafika (Perancang di Sekretraiat Negara) • Perbedaan yudicial review dengan eks review? 4. Ruslan (Perancang di Kementerian PU) • Letak kewenangan MK dibidang legislatif? • Apakah alasannya terhadap putusan MK yang ditunda?
Jawaban 1.
Refly Harun, S.H., M.H., LLM • Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi suatu pegangan bagi perancang. Karena kita harus mempunyai tradisi menghormati putusan karena putusan tersebut merupakan dasar hukum bertindak. Ada putusan yang bersifat excutable yaitu putusan yang harus segera dilaksanakan.
www.djpp.depkumham.go.id
DR. Mualimin, S.H., M.H. • Urgensi maksudnya apabila ada prolegnas, ada UU yang akan diubah atau diganti maka pada saat itu harus melihat Putusan mahkamah Konstitusi, agar dapat dipahami oleh masyarakat dengan mudah, urgensinya putuasan Mahkamah Konstitusi harus ada norma yang diatur didalamnya. 2.
Refly Harun, S.H., M.H., LLM • Putusan Mahkamah Konstitusi tidak ada artinya karena ada PP yang berlaku, kemudian PP nya dibuat menjadi Undang-Undang. Undang-Undang dibatalkan sama dengan UU yang dicabut. PP bisa dijadikan dasar hukum bertindak. Contonya ketika ada UU datang dari DPR, DPRD, MPR bisa digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan UU yang baru. Maka apa yang ada pada PP tersebut masih bisa dilakukan. • UU yang sudah dibatalkan bisa dihidupkan lagi tetapi harus bertanggung jawab karena dalam membentuk undang-undang harus melihat aspek sosiologis, psikhologis.
3.
Refly Harun, S.H., M.H., LLM • Legislatif review : untuk Undang-Undang / UUD khusus MPR • Eks review ; untuk melakukan kewenangan pengujian yng diberikan oleh Perda • Karena review dalam hal ini adalah kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang dapat menghasilkan Undang-Undang.
4.
Refly Harun, S.H., M.H., LLM • Letak kewenangan MK dibidang legislatif , ada di DPR, sedangkan Eksekutif ada di presiden. khawatir kalau kita ingin menghormati hukum , kita tidak perlu khawatir terhadap putusan-putusan pengadilan. • Alasan Putusan ditunda , apabila putusan langsung dikabulkan maka akan timbul kekacauan yang luar biasa. Maka tidak langsung dikatakan hal itu bertentangan dengan hukum.
Kesimpulan (Muhamad Aliamsyah, S.Sos., SH., MH.) • Sifat Putusan MK ; Final dan mengikat. • Jenis Putusan : Executable dan memerlukan tindak lanjut. • Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu faktor pengubah hukum. • Pembentukan UU sebagai tindak lanjut Putusan MK harus mempehatikan pertimbangan hukum dalam putusan. • Urgensi Pembentukan Undang-Undang sebagai implikasi putusan MK; ditentukan secara limitatif atau diserahkan kepada pembentuk UU.
www.djpp.depkumham.go.id
Ceramah diakhiri pada pukul 13.00 WIB dan ceramah selanjutnya akan ditentukan kemudian oleh Panitia Ceramah Peningkatan Pengetahuan Tenaga Perancang Peraturan Perundangundangan.
Sekretaris Panitia,
AGUNG PRASETYO,S.H.,M.H.
www.djpp.depkumham.go.id