NOTULA TAX CAFE oleh: Nala Kurniawan Tema Hari/Tanggal Tempat
: : :
Pukul Susunan Acara
: :
Peserta Moderator Narasumber
: : :
Hasil Acara
:
Penegakan Hukum Pasca-Amnesti Pajak Kamis, 15 Desember 2016 Anomali Coffee Jl. Senopati No. 19, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 19.00 s.d. 21.00 WIB 1. Pembukaan 2. Sambutan oleh Yustinus Prastowo, Dir Eksekutif CITA 3. Penyampaian materi oleh narasumber 4. Penyampaian simpulan 5. Penutup 40 orang Meidiawan Cesarian Syah 1. Erikson Wijaya 2. Andreas Rossi Dewantara
1.
Pembukaan Acara dibuka oleh moderator pada pukul 19.00 WIB. Dalam pembukaannya moderator menekankan bahwa konsep acara adalah diskusi, bukan seminar. Sehingga, peran narasumber sebatas sebagai pemantik diskusi. Eksplorasi ide dan gagasan sangat bergantung pada keaktifan peserta diskusi.
2.
Sambutan oleh Yustinus Prastowo, Dir. Eksekutif CITA Dalam pembukaannya, Yustinus Prastowo menjelaskan bahwa konsep acara Tax Cafe sebetulnya adalah diskusi pajak secara santai untuk menghasilkan pemikiran dan solusi terkait isu perpajakan, sehingga pajak tidak lagi menjadi isu yang elitis. Rencananya, diskusi serupa akan dilaksanakan rutin setiap bulan.
3.
Penyampaian materi oleh narasumber a. Andreas Rossi Dewantara Salah satu indikator dalam mengukur keberhasilan amnesti pajak adalah tax ratio pasca-amnesti. Beberapa negara seperti Kazakhstan, Jerman dan Afrika Selatan mengalami kenaikan tax ratio setelah Amnesti Pajak. Sementara, negara-negara lain seperti Belgia, Spanyol dan India justru mengalami penurunan tax ratio pascaamnesti. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi penurunan tax ratio pascaamnesti ini: 1) Amnesti Pajak secara inheren menurunkan tax morale, terutama bagi WAJIB PAJAK yang selama ini patuh merasa diperlakukan tidak adil. 2) Amnesti Pajak merupakan sinyalemen yang buruk atas kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak. 3) Amnesti Pajak menjadi konsiderasi bagi tax evader dalam melakukan gamesmanship, terutama apabila kebijakan ini dilakukan berulang-ulang seperti dalam kasus India. 4) Amnesti Pajak justru menghapus pajak dan sanksi yang seharusnya dapat ditagih dalam kondisi normal. Berdasarkan masalah tersebut, pemerintah perlu meningkatkan kepatuhan pasca-Amnesti Pajak. Dengan menggunakan slippery slope framework dari Kirchler, ada 2 dimensi kepatuhan yang dapat dicapai oleh pemerintah, yaitu: 1) Voluntary Compliance, yaitu meningkatkan kepatuhan suka rela melalui peningkatan kepercayaan masyarakat. Pembangunan kepercayaan
TAX CAFE I: PENEGAKAN HUKUM PASCA-AMNESTI PAJAK
BIROKREASI
masyarakat dapat ditempuh dengan peningkatan pelayanan publik, sosialisasi yang lebih masif atas peraturan perpajakan dan meningkatkan keadilan. Perlu diketahui, keadilan (fairness) ini memiliki tiga bentuk, yaitu (i) keadilan distributif, di mana yang memiliki kemampuan membayar lebih tinggi dikenakan pajak yang lebih besar; (ii) keadilan retributif, terkait hukuman yang dikenakan pada tax evader; dan (iii) keadilan prosedural, kemudahan dalam prosedur perpajakan, khususnya bagi Wajib Pajak UMKM. 2) Enforced Compliance, yaitu meningkatkan kepatuhan melalui tindakan penegakan hukum. Sebagaimana model yang diajukan oleh Gary S. Becker, kepatuhan Wajib Pajak dipengaruhi oleh dua hal, yaitu probabilitas deteksi dan besarnya penalti. Peningkatan probabilitas deteksi dapat dilakukan melalui penambahan jumlah fungsional pemeriksa pajak, perolehan data melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) maupun dengan model mimicry audit. b. Erikson Wijaya Selama ini, konsistensi DJP dalam melakukan penegakan hukum atas ketidakpatuhan Wajib Pajak selalu menjadi pertanyaan. Akibatnya, tingkat partisipasi masyarakat dalam membayar pajak begitu minim. Amnesti Pajak diharapkan dapat menjadi jalan lahirnya momentum bagi DJP untuk melakukan penegakan hukum secara lebih ketat dan konsisten. Pada dasarnya Amnesti Pajak adalah hak. Maka, upaya yang dapat dilakukan DJP untuk mendorong partisipasi masyarakat adalah dengan memberikan citra penegakan hukum yang konsisten pasca-amnesti. Dengan citra yang demikian, Amnesti Pajak dapat memberikan dampak yang positif bagi terkumpulnya uang tebusan serta pembentukan basis data sebagai alat bantu pengawasan kepatuhan Wajib Pajak. Ada saling keterkaitan antara pencapaian tujuan jangka pendek Amnesti Pajak (peningkatan penerimaan pajak) dan tujuan jangka panjang Amnesti Pajak (peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dan pembentukan basis data yang memadai). Kedua tujuan tersebut dipengaruhi oleh penegakan hukum perpajakan dari tingkatan terendah berupa imbauan kepada masyarakat potensial Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri hingga pembinaan agar Wajib Pajak taat secara formil dan materiil dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Hal-hal yang dapat dilakukan oleh DJP dalam memanfaatkan momentum Amnesti Pajak guna mendorong penegakan hukum perpajakan secara konsisten: 1) Merumuskan kebijakan mengenai perlindungan terhadap petugas pajak saat melaksanakan tugasnya dalam rangka penegakan hukum perpajakan. 2) Menjalankan amanat pasal-pasal mengenai penegakan hukum perpajakan dengan tegas sesuai ketentuan dalam rangka meningkatkan probabilitas deteksi. 3) Melakukan analisis dan pengawasan yang konsisten terhadap profil pembayaran dengan profil penghasilan berdasarkan basis data yang masuk dari program amnesti pajak. 4) Memanfaatkan kebijakan keterbukaan dan pertukaran data (Automatic Exchange of Information). 5) Membangun sinergi yang disertai dengan eksekusi lebih dalam dengan organisasi lain baik publik maupun swasta. 4. Rangkuman Hasil Tanya Jawab a. Masalah Investasi Salah satu masalah yang dihadapi Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara Skandinavia adalah masalah kesadaran dalam berinvestasi. Saat bangsa skandinavia fokus untuk berinvestasi, Indonesia justru sangat konsumtif. Akar permasalahan ini TAX CAFE I: PENEGAKAN HUKUM PASCA-AMNESTI PAJAK
BIROKREASI
diduga disebabkan oleh pola hidup masyarakat yang kerap mengabaikan kepentingan jangka panjang. Fakta ini merembet ke kebiasaan pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Pemerintah mengalami myopic dan abai untuk membentuk cadangan ketika mengalami surplus (misalnya momen booming minyak pada medio 80-an). Usaha yang dapat dilakukan untuk membentuk kesadaran berinvestasi di masyarakat adalah dengan pendidikan investasi sejak usia dini. Sedangkan usaha yang dapat dilakukan oleh pemerintah agar mampu mengelola dana demi kepentingan jangka panjang dan berkelanjutan adalah dengan membentuk Souverign Wealth Fund (SWF). Di Indonesia, SWF ini direalisasikan dengan pembentukan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang sekarang sudah diambil alih oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.06/2015. Pembentukan SWF ini pada dasarnya bertujuan untuk mengelola aset-aset pemerintah dengan memperhatikan kepentingan jangka panjang. Sayangnya pengelolaan investasi di pemerintah terkendala di payung hukum. Adalah hal yang logis dalam berinvestasi bahwa investasi yang memiliki tingkat pengembalian yang tinggi menuntut tingkat risiko yang tinggi pula. Hal semacam ini yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam membuat payung hukum atas kebijakan investasi yang menggunakan uang negara. Jangan sampai kegagalan dalam investasi secara serta merta dikategorikan sebagai tindakan merugikan keuangan negara. Pemerintah dapat belajar dari negara lain yang berhasil dalam menerapkan SWF.
b. Masalah Dana Repatriasi Sampai saat ini belum ada mekanisme untuk mempertahankan dana repatriasi jika sudah melampaui periode 3 tahun setelah dilakukan investasi di dalam negeri. Pemerintah bisa saja menerapkan pajak baru atas pengalihan dana keluar negeri (seperti Fiskal Luar Negeri yang kini sudah dihapus). Namun, pengenaan pajak atas pengalihan dana keluar negeri ini menjadi tidak sesuai dengan prinsip UU PPh sebab sesungguhnya tidak terjadi tambahan kemampuan ekonomis saat terjadi pengalihan. Lagi pula, menambah jenis pajak baru dikhawatirkan akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat atas institusi perpajakan. Sehingga, solusi yang lebih tepat dilakukan oleh pemerintah adalah menawarkan return yang lebih menarik bagi dana repatriasi tersebut. Rendahnya repatriasi saat berlangsungnya Amnesti Pajak ini salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran Wajib Pajak akan peraturan di Indonesia yang rentan berubah, terutama setelah Wajib Pajak sudah terlanjur merepatriasi dananya. Pajak pada dasarnya bukan satu-satunya faktor yang memengaruhi keputusan investasi yang rasional. Faktor-faktor lain seperti kestabilan politik, kondisi makroekonomi, tingkat korupsi, ketersediaan infrastruktur dan kesederhanaan birokrasi menjadi faktor yang lebih penting bagi seorang investor. Sehingga, apabila pemerintah ingin menarik dana repatriasi lebih banyak, sekaligus mempertahankan dana yang sudah direpatriasi setelah berakhirnya periode 3 tahun, pemerintah harus memperbaiki faktor-faktor lain di atas. c. Masalah Self Assessment Selama ini, sistem self assessment dalam pemenuhan kewajiban perpajakan dianggap memiliki banyak kelemahan sehingga memungkinkan Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran dan penggelapan pajak. Lantas, apakah sistem self assessment ini masih perlu diterapkan? Pada dasarnya, self assessment system merupakan bentuk dari demokrasi di bidang perpajakan. Wajib Pajak dipersilakan secara suka rela untuk mendaftarkan dirinya, menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutangnya secara mandiri. Namun demikian, institusi perpajakan berdasarkan undang-undang diberi wewenang untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. TAX CAFE I: PENEGAKAN HUKUM PASCA-AMNESTI PAJAK
BIROKREASI
Sehingga, upaya-upaya penghindaran dan penggelapan pajak dapat tetap terdeteksi. Self assessment system sampai sekarang masih relevan dan tetap diperlukan dalam rangka mendidik kesadaran Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Selain itu, dalam rangka mendukung self assessment system, pemerintah mestinya menerapkan Single Identity Number (SIN) sehingga seluruh aset yang dimiliki Wajib Pajak dapat terdeteksi sekaligus meminimalisasi kelemahan penggelapan pajak.
d. Masalah Pengelolaan Basis Data Selama ini, kesulitan yang dihadapi dalam penegakan hukum adalah ketersediaan basis data. Basis data seringkali tersebar di berbagai instansi sehingga sulit untuk dilakukan pemeriksaan silang antar data. Fakta ini memunculkan diskusi mengenai perlunya institusi yang menjadi pusat sekaligus mengelola semua data dari berbagai instansi. Sayangnya, faktor pemusatan data di satu tempat tersebut meningkatkan risiko mudahnya peretasan. Sebab seluruh data yang awalnya dijaga oleh berbagai instansi, sekarang justru hanya dijaga oleh satu instansi. e. Masalah Automatic Exchange of Information (AEoI) Salah satu hal yang menjadi pertimbangan negara lain dalam melakukan pertukaran data dengan Indonesia adalah masalah kesiapan IT di Indonesia dalam menjaga kerahasiaan dari data tersebut. Hal semacam ini yang dalam waktu mendatang dapat menghambat proses pelaksanaan AEoI. Masalah berikutnya yang mengganjal dalam pelaksanaan AEoI adalah masalah kerahasiaan data perbankan yang diatur dalam Pasal 41 UU Perbankan. Pasal ini tidak mengakomodasi pertukaran data, sehingga perlu wacana untuk dilakukan revisi. AEoI hanya menyediakan data finansial seperti account holder, account & financial institution, dan financial activity. Padahal, aset Wajib Pajak di luar negeri dapat berupa aset non-finansial seperti properti. Dalam kasus ini AEoI terbukti memiliki keterbatasan dalam melacak aset Wajib Pajak yang berbentuk non-finansial. Langkah yang dapat dilakukan oleh institusi perpajakan untuk memitigasi risiko ini adalah dengan membeli data aset non-finansial dari pihak ketiga, seperti Orbis/Amadeus (Belgia) dan ACRA (Singapura) dan Panama Papers. f.
Masalah Nilai Wajar Aset Amnesti pajak Dalam melakukan deklarasi harta, Wajib Pajak melaporkan harta tersebut sesuai nilai wajar. Namun definisi nilai wajar berdasarkan penjelasan ayat 4 UU Amnesti Pajak masih menyisakan ketidakpastian di kalangan Wajib Pajak. Ketidakpastian ini dapat mengakibatkan penyajian kurang atau penyajian lebih yang sukar dideteksi dalam mengingat basis datanya tidak jelas. Sehingga, perlu aturan penegasan mengenai definisi nilai wajar yang lebih memberikan kepastian.
g. Masalah Law Enforcement Pasca- Amnesti Pajak, pemerintah akan memprioritaskan law enforcement dibanding membangun trust untuk menghindari turunnya kepatuhan pasca-amnesti. Lagipula, trust dapat dibangun melalui pemenuhan fairness di mana salah satu bentuk fairness adalah retributive fairnes. Melalui bentuk retributive fairness ini penegakan hukum yang tegas akan diterapkan kepada Wajib Pajak yang tidak patuh, sehingga memberikan rasa adil bagi Wajib Pajak yang selama ini telah patuh. Idealnya, pembangunan enforced compliance dan voluntary compliance dapat dilakukan secara simultan. Caranya dapat ditempuh melalui profiling tiap-tiap Wajib Pajak. Sehingga, perlakuan ke setiap Wajib Pajak oleh otoritas perpajakan akan berbeda-beda. Ada Wajib Pajak yang kepatuhannya dibangun melalui pemaksaan
TAX CAFE I: PENEGAKAN HUKUM PASCA-AMNESTI PAJAK
BIROKREASI
5.
(enforced), ada pula yang kepatuhannya dibangun melalui kepercayaan dan kesukarelaan. Masyarakat dapat pula turut serta dalam penegakan hukum melalui pendekatan society punishment. Indonesia dapat belajar dari cerita pemboikotan masyarakat Inggris atas produk Starbucks Coffee setelah yang perusahaan tersebut terlibat dalam kasus penghindaran pajak. Sayangnya, pendekatan ini terkendala oleh Pasal 34 UU KUP tentang rahasia jabatan. Sementara, pasal rahasia jabatan ini sampai sekarang tidak jelas definisi dan batasan jelasnya mengingat sampai dengan saat ini belum ada aturan pelaksanaan terkait. Akibatnya, bagaimana masyarakat bisa memperoleh informasi mengenai penghindaran pajak yang dilakukan oleh suatu korporasi jika pengungkapan informasi terkait masih terganjal oleh rahasia jabatan. Ganjalan lain dari upaya penegakan hukum adalah kenyataan bahwa kerap pihak internal dari institusi penegak hukum atau pemerintah itu sendiri justru yang menjadi pelanggar hukum. Oleh karena itu, perlu adanya aturan mengenai perlindungan bagi petugas pajak dalam menjalankan tugas penegakan hukum perpajakan. Selain itu, dukungan dari Presiden dan Menteri Keuangan mutlak diperlukan dalam proses penegakan hukum itu sendiri, sehingga upaya penegakan hukum perpajakan dapat dilakukan tanpa pandang bulu.
Penutup Sebelum moderator menutup acara, Yustinus Prastowo kembali menegaskan bahwa acara Tax Cafe ini merupakan forum diskusi untuk mengakomodasi lahirnya pemikiranpemikiran segar yang dapat menjembatani kondisi di lapangan (fakta empirik) dengan kondisi ideal yang diharapkan. Yustinus Prastowo juga berharap bahwa kebijakan Amnesti Pajak yang sekarang tengah berlangsung ini dapat menjadi pintu masuk bagi reformasi perpajakan (tax reform) secara menyeluruh. Setelah closing statement dari Yustinus Prastowo, moderator menutup acara pada pukul 21.00 WIB.
TAX CAFE I: PENEGAKAN HUKUM PASCA-AMNESTI PAJAK
BIROKREASI
Penegakan Hukum pasca-Amnesti Pajak: Sebuah Retorika yang Terlalu Biasa? oleh: Erikson Wijaya, S.E. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) punya masalah dalam konsistensi penegakan hukum. Belum semua pasal tentang penegakan hukum (administratif atau pidana) yang diamanatkan Undang-Undang perpajakan telah dijalankan dengan tegas. Banyak yang berpendapat bahwa jika amanat itu dilaksanakan dengan konsisten, kinerja DJP bisa lebih baik. Sayangnya, bicara soal penegakan hukum adalah bicara soal sistem kenegaraan secara keseluruhan. DJP hanya sebuah subsistem sederhana dari sistem super rumit yang membentuk Indonesia. Di atas panggung penegakan hukum, DJP belum diperhitungkan. Riasannya kalah bersinar dengan pemain lain semisal POLRI, Kejaksaan, atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum optimalnya penegakan hukum perpajakan oleh DJP telah berlangsung sedemikian lama dan akibatnya tercermin pada rendahnya tingkat kesadaran Wajib Pajak/masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Tentu saja ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Baik faktor yang sifatnya (seharusnya) dapat dikendalikan seperti: kapasitas sumber daya manusia, maupun faktor yang tidak dapat dikendalikan misalnya: daya dukung dan sinergi antar lembaga penegak hukum negara. Kombinasi multifaktor itu menyebabkan penegakan hukum oleh DJP jalan di tempat. Pendek kata, dibutuhkan momentum untuk memperbaiki keadaan itu, sebuah momentum yang mendorong rekonsiliasi antarpihak demi perbaikan bersama. Sehubungan dengan gambaran di atas Amnesti Pajak, pada dasarnya, diharapkan dapat menjadi jalan bagi lahirnya momentum itu. Momentum untuk menegakkan hukum perpajakan ketika periode amnesti usai pada Maret 2017 nanti. Namun, jika diteropong dari sekarang, apakah wacana penegakan hukum yang lebih ketat akan benar-benar akan dijalankan DJP? atau seperti biasa, hanya sebatas retorika tak bermakna?
Penegakan Hukum Sebagai Alat Apa yang dibicarakan oleh DJP semasa periode amnesti? Selain fasilitas, DJP juga bicara ‘ancaman’ (dalam tanda kutip). Konsep semacam ini lahir karena pada dasarnya keikutsertaan dalam Amnesti Pajak adalah hak. Ia tidak bisa dipaksakan, tetapi DJP tetap bisa mendorong Wajib Pajak/masyarakat yang dibidik untuk ikut serta, dengan memberikan gambaran mengenai bagaimana kelak ia akan menjalankan hukum yang ada ketika hak itu tidak dimanfaatkan. Ini titik kritisnya. Penegakan hukum pada akhirnya menjadi alat utama penentu tingkat keberhasilan kualitas dan kuantitas Amnesti Pajak. Semakin DJP mampu meyakinkan khalayak bahwa ia serius menerapkan ketentuan hukum yang ada usai periode amnesti kelak, maka semakin khalayak akan terdorong untuk ikut memanfaatkan fasilitas pengampunan tersebut. Terbangunnya citra penegakan hukum yang konsisten, ke depannya, dapat berdampak ke sejumlah kondisi lain pula. Tidak hanya terbatas pada uang tebusan, tetapi juga terbentuknya basis data yang lebih memadai sebagai alat bantu untuk meningkatkan kepatuhan dan pengawasan terhadap Wajib Pajak. Jika digambarkan dalam sebuah hubungan, kehadiran momentum Amnesti Pajak harus dimanfaatkan sebagai sebuah prakondisi sebelum eksekusi penegakan hukum yang lebih mengigit dijalankan. Saya mencoba menggambarkan hal ini sebagai suatu artikulasi yang diperlukan untuk menunjang pencapaian tujuan kebijakan Amnesti Pajak itu sendiri, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang. Di dalam artikulasi itu, pijakan dasar berada pada seberapa baik penegakan hukum dilakukan. Jika ia memadai, akan terbentuk kondisi yang berperan mendukung tercapainya tujuan berikutnya. Berikut saya coba gambarkan artikulasi tersebut.
Pencapaian tujuan jangka pendek (penerimaan pajak) dan tujuan jangka panjang (peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dan terbentuknya basis data yang memadai), berdasarkan gambar tersebut, saling berkaitan. Namun efektifitasnya sangat ditentukan oleh seberapa baik pijakan dasar yang terbentuk. Pijakan itu adalah penegakan hukum perpajakan dari tingkatan terendah, berupa himbauan kepada masyarakat/Wajib Pajak potensial untuk mendaftarkan diri, hingga pembinaan agar Wajib
Pajak
taat
secara
formil
dan
materiil
dalam
memenuhi
kewajiban
perpajakannya. Kedua, prakondisi ini dapat dibentuk dengan memanfaatkan momentum Amnesti Pajak. Caranya? Dengan meneguhkan bahwa periode Amnesti Pajak adalah periode rekonsiliasi dan setelah periode itu berlalu, DJP tidak akan memberi toleransi terhadap pelanggaran ketentuan perpajakan. Peningkatan probabilitas deteksi, intensifikasi dalam pengawasan, keterbukaan data kekayaan dan penghasilan, dan sinergi antarlembaga adalah sejumlah isu yang dapat diangkat untuk mengoptimalkan “ancaman” itu.
Bukan Perkara Sederhana Tersisa sekitar 3,5 bulan lagi sampai dengan masa Amnesti Pajak berakhir. Hari-hari ini, kita telah berada ada pada pertengahan bulan terakhir periode ke-2. Saya kira ini
adalah waktu yang tepat untuk menengok kembali seberapa besar DJP sudah mempersiapkan landasan untuk melakukan penegakan hukum pasca-amnesti. Realisasi uang tebusan yang sudah tembus sampai dengan Rp100 triliun boleh jadi belum memberikan harapan besar bahwa target Rp165 triliun sampai dengan akhir Maret 2017 akan tercapai. Tetapi ketika DJP gagal menyiapkan mekanisme penegakan hukum sebagai pijakan dasar, saat itulah kita semua patut khawatir. Namun, memang perlu diakui bahwa menyiapkan mekanisme penegakan hukum pasca-Amnesti Pajak bukanlah perkara sepele. Sejumlah kondisi dan kemungkinan harus dipertimbangkan dengan matang. Saya sendiri berharap bahwa DJP sudah memiliki strategi untuk menghadapi itu. Sebab terlalu banyak yang harus dikorbankan jika DJP mengabaikan momentum Amnesti Pajak. Kebijakan ini adalah kebijakan yang penuh pertaruhan. Dan taruhan terbesar adalah tergerusnya tingkat kepercayaan masyarakat/Wajib Pajak yang sebelumnya sudah patuh. Untuk mencegah itu, penegakan hukum pasca-amnesti adalah jalan yang paling memungkinkan. Dalam merumuskan kebijakan penegakan hukum pasca-Amnesti Pajak, aspek yang tidak boleh lupa dikedepankan adalah aspek perlindungan pegawai pajak itu sendiri. Kunci penegakan hukum yang kuat berada di pegawai pajak yang berani dan merasa terlindungi. Pertanyaan mendasarnya adalah: sudah sampai mana progres Inpres Perlindungan Pegawai Pajak yang sempat ramai beberapa bulan silam? Regulasi semacam ini tiada lain adalah sebagai bukti betapa serius dan berdayanya negara dalam mencapai tujuan yang digariskan dalam pembukaan UUD 45. Sehingga DJP sebagai alat negara dapat menjalankan tugasnya menegakkan hukum perpajakan dengan konsisten dan konsekuen. Melalui Amnesti Pajak, negara ini memberikan momentum bagi DJP untuk tampil mengukuhkan keberadaanya sebagai penegak hukum perpajakan. Terlepas bahwa pada akhirnya DJP hanyalah sebuah sebuah entitas di antara entitas penegak hukum lain. Namun, dengan momentum itulah, DJP sejatinya mulai diberi panggung untuk membuktikan peran pentingnya yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam menegakkan hukum perpajakan. Momentum itu dimanfaatkan dengan cara antara lain:
1. menjalankan amanat pasal-pasal mengenai penegakan hukum perpajakan
dengan tegas sesuai ketentuan yang berlaku tanpa pandang bulu sehingga menambah angka probabilitas deteksi; 2. Melakukan
analisis dan pengawasan yang konsisten terhadap profil
pembayaran dengan profil penghasilan berdasarkan basis data yang masuk dari hasil program Amnesti Pajak; 3. Memanfaatkan kebijakan keterbukaan dan pertukaran data
(Automatic
Exchange of Information) untuk menunjang kualitas analisis poin nomor 2; 4. Membangun sinergi yang disertai dengan eksekusi lebih dalam dengan
organisasi lain baik swasta maupun publik. Sehingga tidak terhenti sampai seremonial penandatanganan saja. Sekilas memang tidak ada yang baru dari keempat poin di atas. Namun, kebaruannya justru terletak pada momentum yang harus dengan cepat dimanfaatkan. Artinya, DJP mengolah gaya lama di bawah atmosfer yang baru. Urgensi pemanfaatan momentum ini adalah membangun DJP yang lebih kuat, disegani, dan dipercaya masyarakat. Hal semacam ini yang pada gilirannya akan membuat tujuan jangka panjang Amnesti Pajak dapat terwujud, seperti tercapainya target penerimaan sekaligus meningkatnya angka kepatuhan Wajib Pajak. Jadi tidak berlebihan kiranya jika saya katakan momentum yang lahir selama periode Amnesti Pajak harus dipelihara dan jangan dibiarkan redup. Bersama momentum inilah DJP menggandeng dan mengajak masyarakat untuk memanfaatkan haknya memperoleh Amnesti Pajak. Mengajak dalam arti menampilkan secara proporsional antara wajah yang melayani dan wajah yang menggambarkan kebijakan penegakan hukum. Mari kita jaga agar momentum itu menyala terus sampai dengan akhir periode ke-3. Sehingga ketika Amnesti Pajak usai, rencana strategis penegakan hukum dapat dieksekusi dengan lancar tanpa gonjang-ganjing dan keterkejutan seperti yang sudah-sudah. Semua ini perlu dilakukan demi rekonsiliasi bersama dan terbukanya lembaran baru bagi antarpihak yang bebas prasangka dan curiga. Jika tidak, maka momentum ini hanya akan menjadi retorika—yang sekali lagi—sudah terlalu biasa.
05/01/2017
Penegakan Hukum Pasca-Tax Amnesty OLEH: ANDREAS ROSSI DEWANTARA
TAX CAFE, 2016
Profil Penerimaan Amnesti Pajak Indonesia
Sumber: DJP
1
05/01/2017
Perbandingan Penerimaan Amnesti Pajak dengan Negara Lain Tebusan Amnesti Pajak Rp100,0
Rp60,9
Rp20,8
Rp22,4 Rp13,7
Rp4,9
Rp2,4
Rp20,8
Rp18,2 Rp8,3
Rp7,4
Sumber: CITA, DJP
Perbandingan Deklarasi Harta Amnesti Pajak dengan Negara Lain Deklarasi TA Rp3.999,00
Rp1.212
Rp30,80
Rp118,10
Rp207,50
Rp69,30
Rp277,30
Sumber: CITA, DJP
2
05/01/2017
Tax Ratio Pasca-Tax Amnesty Beberapa Negara mengalami kenaikan tax ratio
Tax Amnesty
27,00 26,00
27,00
25,00
25,00
22,00
24,00
21,00
23,00
20,00
Germany Tax Amnesty 04-05
11,50
Italia
Portugal 24,00
Tax Amnesty 2005
23,00 22,00
11,00
25,00
Tax Amnesty 2010
24,00 23,00 22,00
21,00
21,00
20,00
10,50
20,00
19,00
10,00
19,00
18,00
18,00
1996
17,00
9,50
Tax Amnesty 09
Tax Amnesty 01-03
199920002001200220032004200520062007200820092010
2014
12,00
1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
19981999200020012002200320042005200620072008
2004
2013
2003
2012
2002
2011
2001
2010
2000
2009
1999
2008
1998
2007
1997
2006
-
2005
2,00
2004
4,00
2003
6,00
26,00
23,00
2002
8,00
24,00
2001
10,00
2000
12,00
Tax Amnesty
28,00
1999
Tax Amnesty
29,00
1998
14,00
28,00
1997
16,00
Irlandia
South Africa
Kazakhstan
Tax Ratio
Tax Ratio Pasca-Tax Amnesty Namun beberapa negara lain justru mengalami penurunan tax ratio pasca-Tax Amnesty Belgium 27,00 26,50 26,00 25,50 25,00 24,50 24,00 23,50 23,00 22,50 22,00
Spain 18,00 16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 -
Tax Amnesty
Tax Amnesty
2007
20012002200320042005200620072008200920102011
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
India 12,00
Tax Amnesty
10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
3
05/01/2017
Permasalahan di Jangka Panjang
Amnesti pajak secara inheren menurunkan tax morale, terutama dari Wajib Pajak yang selama ini patuh. Efek penurunan kepatuhan dari WP yang semula patuh bisa menghapuskan efek tambahan penerimaan dari tax amnesty. (Ronald Fisher, et al., 1989)
Amnesti pajak menjadi sinyalemen ketidakmampuan pemerintah untuk menegakkan kepatuhan perpajakan. (Benno Torgler, et al., 2003)
Perspektif behavioral/game theory:
Wajib Pajak menunda memenuhi kewajiban pajaknya ketika pemerintah mengumumkan adanya program tax amnesty. (Arun Malik dan Robert Schwab, 1991)
Wajib Pajak tidak berpartisipasi di tax amnesty karena mengantisipasi adanya program serupa di masa depan. (James Andreoni, 1990; Hari Luitel dan Russell Sobel, 2005)
Wajib Pajak berspekulasi bahwa tidak ada penguatan penegakan hukum pasca-tax amnesty (Peter Stella, 1991) atau tidak ada sanksi yang lebih berat (James Alm dan William Beck, 1993)
Pajak (dan sanksinya) yang seharusnya bisa ditagih secara normal terhapuskan oleh tax amnesty. (Benno Torgler, et al., 2003)
Kepatuhan Wajib Pajak Compliance (Kirchler, 2007)
Enforced Compliance
Voluntary Compliance
Mendeteksi dan menghukum Wajib Pajak tak patuh harus disertai dengan upaya membangun kepercayaan kepada otoritas pajak pada khususnya, dan pemerintah pada umumnya.
4
05/01/2017
Kepatuhan Wajib Pajak Audit/Pemer iksaan Pajak
Probability of Detection (Becker, 1965; Allingham & Sandmo, 1972)
Enforced compliance
Sanksi
Meningkatkan probability of detection bisa dilakukan dengan cara menambah jumlah pemeriksa pajak, menambah jumlah pemeriksaan, gabungan antara targeted audit dan randomized audit. Namun hal ini costly dan menambah anggaran. Apabila tidak dimungkinkan, otoritas pajak dapat “memainkan” efek psikologis masyarakat. Kepatuhan bisa timbul dari masyarakat yang mengoverestimasi probabilitas bahwa dia diperiksa (Alm, McLelland, Schulze 1991). Otoritas pajak bisa melakukan “posturing”/”mimicry”, yakni memberi sinyal pada masyarakat bahwa ia adalah otoritas pajak yang “kuat” dan efektif dalam mendeteksi pelanggaran (Kotowski, Weisbach, Zeckhauser 2014). Dengan kata lain, persepsi Wajib Pajak terhadap otoritas pajak menentukan peran penting (lihat juga studi Hartl, et al. 2015).
Kepatuhan Wajib Pajak
Pemahaman mengenai perpajakan (Niemirowski, et al. 2002)
Trust pada Otoritas
Voluntary Compliance
Controllable
Pelayanan (Feld dan Frey, 2005)
Keadilan distributif, retributif, dan prosedural (Andreoni, et al. 1998)
Uncontrollable Gotong royong dan altruisme (Blamey dan Braithwaite 1997)
Social Norm
Relijiusitas (Grasmick, et al.1991) Kejujuran (Porcano, 1988)
5
05/01/2017
Kepatuhan Wajib Pajak Perlu perlakuan berbeda antara Wajib Pajak yang patuh dengan yang tidak patuh. Penegakan hukum pasca-tax amnesty harus lebih kuat, terutama untuk Wajib Pajak peserta tax amnesty yang terbukti tidak jujur. Di sisi lain, Wajib Pajak yang sudah patuh, UMKM, serta 50.000-70.000 Wajib Pajak baru yang diperoleh DJP dari tax amnesty dibimbing agar memenuhi self-regulation dan enforced self-regulation.
Beberapa solusi umum
Ada ancaman sanksi 200% bagi mereka yang tidak jujur saat pengungkapan TA serta pengenaan tambahan PPh atas harta yang belum terungkap bagi mereka yang tidak ikut TA.
Seberapa besar ancaman sanksi ini diketahui masyarakat?
Apa pengaruhnya terhadap kepatuhan masyarakat? Apakah TA kali ini adalah TA terakhir (“once only”) ataukah akan ada lagi kebijakan serupa di masa depan?
Amnesti berkali-kali mengurangi kepatuhan Wajib Pajak (Das Gupta dan Mookherjee, 1995)
Penambahan audit coverage, menambah AR dan pemeriksa pajak.
Perlu signaling ke masyarakat agar masyarakat tahu bahwa pemeriksaan pajak akan lebih banyak dilakukan setelah tax amnesty.
Kombinasi targeted audit dan randomized audit (Alm, 2015)
Pembentukan database peserta tax amnesty.
Periksa karakteristik, tren, dan common features.
Analisis dan data matching.
Periksa juga level kepatuhan sukarela dan sentimennya terhadap tax amnesty.
Pelayanan kepada Wajib Pajak yang semakin baik serta edukasi mengenai kewajiban Wajib Pajak
6
05/01/2017
Automatic Exchange of Information
AEOI dan Indonesia
Status komitmen Indonesia: termasuk ke dalam 47 jurisdiksi yang bersedia melakukan pertukaran informasi mulai 2018.
Data dan informasi yang dipertukarkan:
Account holder: Nama, jurisdiksi tempat tinggal, NPWP, tempat dan tanggal lahir (jika ada dan diperlukan)
Accounts and financial institution: nomor rekening, nama dan nomor identitas lembaga keuangan
Financial activity: Saldo/nilai rekening (atau apakah rekening tersebut ditutup pada tahun berjalan), serta
Untuk rekening tabungan: bunga
Untuk rekening kustodial: bunga, dividen, penghasilan lain
Untuk rekening lain-lain: penghasilan yang dibayarkan (bruto)
7
05/01/2017
Relevansi dengan Kepatuhan Pajak Pasca-TA
Data dari AEOI
Review Kesiapan Indonesia dalam AEOI masih dalam rating Partially Compliant Indonesia non-compliant pada poin B1 dan B2 (kotak merah) B.1. Competent authorities should have the power to obtain and provide information that is the subject of a request under an EOI agreement from any person within their territorial jurisdiction who is in possession or control of such information. B.2. The rights and safeguards that apply to persons in the requested jurisdiction should be compatible with effective exchange of information. Masih terganjal implementasi mengenai aturan kerahasiaan UU KUP dan UU Perbankan.
8
05/01/2017
Kerahasiaan Informasi
Pasal 35 UU KUP: “…kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.”
Pasal 41 UU Perbankan: “Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.”
Kendala:
Ego sektoral?
Tidak mengakomodasi automatic exchange of information
Kerjasama Antarlembaga
Perlu ada legislasi domestik yang tak hanya mengakomodasi AEOI, tetapi juga tetap menjaga (safeguarding) data perbankan dan perpajakan dari pencurian dan pemanfaatan oleh pihak yang tidak berwenang.
KPK
Pemda
Perlu ada legislasi yang menjamin adanya perbenahan keamanan dan infrastruktur IT.
Penguatan kerjasama BI, OJK, DJP, PPATK, KPK, pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga lain dalam hal pertukaran data.
DJP
K/L Lain
WP
OJK/BI
PPATK
9
05/01/2017
BASIS DATA TAX AMNESTY
10
05/01/2017
Kendala Availabilitas Data
Kualitas data rendah
Data Kendaraan Bermotor tidak memberikan informasi yang lengkap mengenai pemilik. Kendaraan bermotor bisa diatasnamakan orang lain.
Data pertanahan milik Pemda dan BPN seringkali tidak sinkron, terutama mengenai lokasi geospasial, kepemilikan, peruntukan, dan nilainya (NJOP v. nilai pada Akta Jual Beli).
Record keeping di banyak instansi pemerintah masih dilakukan secara manual sehingga tidak akurat dan tidak memungkinkan pertukaran data dengan cepat.
Asset tracing harta Wajib Pajak di Luar Negeri
Data seperti Orbis/Amadeus (Belgia) dan ACRA (Singapore) berbayar.
Sulit untuk menemukan harta tidak bergerak.
Sebagai alternative, DJP bisa mempertimbangkan data seperti Panama Papers (untuk saham) atau situs listing property luar negeri.
Kendala Mengenai Nilai Wajar
Wajib Pajak yang melakukan deklarasi melaporkan hartanya sesuai nilai wajar.
Nilai wajar menurut UU TA: “nilai wajar adalah nilai yang menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan penilaian Wajib Pajak.” (Penjelasan ayat 4 UU TA)
Menimbulkan ketidakpastian di kalangan Wajib Pajak
Tidak bisa mendeteksi harta yang undervalued/overvalued karena basis penilaiannya tidak jelas.
Perlu aturan penegasan mengenai nilai wajar (prinsip arm’s length transaction, NJOP, PSAK)
11