NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN PERILAKU COPING PADA REMAJA
Oleh: Mirdasari Maulida 03320064
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2008
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN PERILAKU COPING PADA REMAJA
Mirdasari Maulida Rina Mulyati
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja laki-laki dan perempuan yang berusia antara 15-18 tahun yang masih duduk di kelas XI di tiga MAN sekitar Yogyakarta. Skala yang digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti. Adapun skala yang digunakan adalah skala pola asuh orangtua otoriter yang mengacu pada ciri-ciri pola asuh orangtua otoriter yang dikemukakan oleh Baldwin dalam Mahfuzh (2004), Hurlock dan Lewin dkk dalam Walgito (1991 ), dan skala perilaku coping yang mengacu pada aspek-aspek perilaku coping yang efektif yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman ( Aldwin dan Revenson, 1987 ). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tekhnik spearmen’s rho dan dibantu dengan fasilitas program SPSS 12.0 for Windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. Korelasi Spearmen Rho menunjukkan sebesar r = -0.065 dengan taraf signifikansi sebesar p = 0.210. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. hipotesis penelitian ini ditolak.
Kata Kunci : Pola asuh orangtua otoriter, perilaku coping, remaja.
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA OTORITER DENGAN PERILAKU COPING PADA REMAJA
Pengantar Remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan“. Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja seringkali dikenal dengan fase “mencari jati diri” atau fase “topan dan badai”. Remaja belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya ( Monks dkk dalam Ali dan Asrori, 2005 ). Remaja, salah satu ciri remaja yang menunjukkan belum mampu menguasai dan memfungsikan secara maksimal fungsi fisik maupun psikisnya adalah apabila remaja sedang mengalami konflik, baik konflik dengan diri sendiri maupun dengan konflik dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Konflik yang sering terjadi pada masa remaja, salah satunya adalah konflik dengan orangtua. Lima puluh persen (50%) remaja bunuh diri karena memiliki masalah dengan orangtuanya (suarantb.com). Contoh lain dari dampak tersebut yang menjadi fenomena perilaku remaja saat ini adalah perilaku yang beresiko tinggi, yang termasuk dalam kategori kenakalan remaja, yaitu kebut-kebutan di jalan, membolos, perilaku seks bebas, meminum-minuman keras, hingga tindak kriminalitas yang merugikan orang lain. Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindakan tersebut, antara lain karena adanya konflik batin sendiri, dan kemudian
menggunakan mekanisme pelarian diri serta pembelaan diri yang irrasional ( Kartono, 2003 ). Dilihat dari beberapa gambaran perilaku remaja tersebut, dapat disimpulkan bahwa remaja belum efektif dalam menyelesaikan masalah yang mereka alami, disebut juga coping yang digunakan belum efektif. Reaksi terhadap masalah, mengacu pada coping behavior yang ditampilkan yaitu bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan ( Pramadi dan Lasmono, 2003 ). Lazarus dan Folkman ( Taylor, 1995 ) membedakan dua fungsi coping, yaitu melakukan sesuatu untuk mengubah masalah yang menyebabkan tekanan menjadi lebih baik, atau disebut juga problem focused coping dan yang kedua untuk mengatur emosi yang menekan, atau disebut juga emotional focused coping. Strategi dalam problem focused coping itu sendiri adalah kehati-hatian (exercised caution), tindakan instrumen (instrumental action) dan negosiasi ( negotiation). Strategi dalam emotional focused coping adalah pelarian dari masalah (escapism), pengurangan beban masalah (minimization), penyalahan diri sendiri ( self blame ), dan pencarian makna (seeking meaning). Menurut Pervin dan John (Mei K, 2001), individu yang mengatasi masalah dengan menggunakan Problem Focused Coping akan lebih efektif, karena individu tersebut akan memikirkan dan mempertimbangkan secara matang alternatif pemecahan masalah dengan mencari informasi dan hal lainnya mengenai masalah tersebut dan Emotional Focused Coping biasanya bersifat sementara karena individu hanya meredakan emosi yang ditimbulkan oleh stressor. Coping yang paling efektif bagi individu adalah yang sesuai dengan jenis stress dan situasi yang dihadapi oleh individu yang bersangkutan ( Khoirun Nisa’, 2006 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi coping adalah kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, keterampilan memecahkan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial, dan materi ( Mu’tadin, 2002 ). Salah satu faktor yang mempengaruhi coping diatas adalah dukungan sosial, yaitu dukungan ini meliputi pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Dukungan sosial yang pertama adalah yang diberikan oleh keluarga, yaitu keluarga sebagai tempat pertama dan utama dimana anak lahir, dibesarkan, berkembang, dan mengalami “proses menjadi”, pada dasarnya memikul beragam fungsi keluarga yang berdampak pada penyesuaian terhadap perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan anak. Dalam hubungannya dengan itu, remaja mengharapkan orangtuanya menaruh perhatian dan menolong, memberikan kebutuhan-kebutuhan akan berkomunikasi, cinta kasih, dukungan, penerimaan, kepercayaan, kemandirian, bimbingan dan keteladanan. Dalam memenuhi kebutuhan remaja diatas, orangtua adalah aktor utama yang memainkan peran penting melalui pola pengasuhan orangtua ( Barus, 2003 ). Pola asuh itu sendiri diartikan sebagai sikap orangtua dalam hubungannya dengan anaknya. Sikap ini dapat dilihat dari beberapa segi antara lain dengan cara orangtua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah dan hukuman, juga cara orangtua menunjukkan kekuasaannya dan cara orangtua memberikan perhatian kepada anak ( Kohn dalam Astuti, 2005 ). Baumrind dalam Santrock ( 2003 ) yang meyakini bahwa orangtua seharusnya tidak bersifat menghukum maupun menjauhi remaja, tetapi sebaiknya
membuat peraturan dan menyayangi mereka. Baumrind membagi tiga jenis pengasuhan yang berbeda yaitu autoritarian, autoritatif dan permisif. Pola
asuh
autoritarian
adalah
gaya
yang
membatasi
dan
bersifat
menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap. Barus ( 2003 ) menjelaskan bahwa pengasuhan authoritarian sangat potensial bagi munculnya pemberontakan atau perlawanan remaja dan ketergantungan remaja terhadap orangtua, membuat remaja menjadi cemas tentang perbandingan sosial, gagal dalam aktivitas-aktivitas kreatif, dan tidak efektif dalam interaksi sosial, menumbuhkan rasa amarah besar, menyuburkan rasa permusuhan, kehilangan kemampuan bereksploras, remaja mengucilkan diri, frustasi, tidak berani menghadapi tantangan tugas, dan tidak bahagia. Remaja, karena terbiasa menghadapi hukuman, maka remaja mudah sekali menjadi agresif, garang, menunjukkan gangguan emosional, dirundung banyak masalah, dan banyak yang meninggalkan rumah segera setelah mereka mampu. Anehnya, remaja yang tidak mampu melepaskan diri dari keterkurungan otoritas orangtuanya seringkali menunjukkan kepatuhan dan menyesuaikan diri dengan standard-standard perilaku yang diatur oleh orangtuanya, namun mereka itu sesungguhnya menderita kehilangan rasa percaya diri dan pada umumnya lebih tertekan serta menderita somatis daripada kelompok sebaya mereka.
Pola asuh autoritatif mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas dan orangtua bersifat hangat serta membesarkan hati remaja. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten. Barus (2003 ) memaparkan kualitas-kualitas pengasuhan authoritative ini diyakini dapat lebih menstimulir keberanian, motivasi, dan kemandirian remaja dalam melakukan eksplorasi dan memantapkan komitmen vokasionalnya. Pola ini membuat remaja memiliki kemandirian yang tinggi dan terdorong untuk menguasai tugas-tugas
baru,
mampu
menggalang
persahabatan
dan
kerjasama,
menumbuhkan harga diri yang tinggi, memiliki kematangan sosial dan moral, tekun dalam belajar di sekolah, dan mencapai prestasi belajar yang tinggi. Pola asuh permisif adalah suatu pola di mana orangtua
sangat terlibat
dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif- memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri. Baumrind ( Barus, 2003 ) menemukan bahwa remaja yang menerima pengasuhan permissive sangat tidak matang dalam berbagai aspek psikososial. Mereka sulit mengendalikan desakan hati ( impulsive), tidak patuh, dan menentang apabila diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bertentangan dengan keinginan-keinginan sesaat mereka. Mereka juga terlalu menuntut, sangat tergantung pada orang lain, dan kurang gigih dalam mengerjakan tugas-tugasnya, tidak tekun dalam belajar di sekolah, dan lebih sering menggunakan minuman keras daripada remaja yang orangtuanya mengkomunikasikan standard perilaku yang jelas.
Terkait dengan beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, menggambarkan tentang hubungan remaja dengan orangtuanya dan dari kasuskasus tersebut dapat dilihat bahwa, terdapat gambaran perilaku orangtua yang otoriter, yaitu sikap menekan, mengatur maupun aturan yang ketat. Remaja, dari kasus-kasus tersebut memiliki reaksi tersendiri dari sikap orangtuanya, yaitu menggunakan
obat
terlarang
dan
melakukan
tindak
kekerasan
terhadap
orangtuanya. Hal tersebut, menggambarkan dampak dari pola asuh orangtua otoriter. Beberapa hal yang menunjukkan perilaku orangtua yang otoriter, dimana orangtua
hanya bersikap menurut sudut pandang mereka, antara lain orangtua
menentukan apa yang seharusnya dipilih oleh anak remajanya, tanpa berkompromi dahulu dengan anak remajanya, misalnya dalam menentukan pilihan sekolah, organisasi, atau kegiatan lainnya, anak remajanya tidak diberi kesempatan untuk memberikan pendapat tentang apa yang sebenarnya diinginkan, seolah-olah anak remaja tersebut belum dapat menentukan mana hal yang baik bagi dirinya dan orangtua
lah yang mengetahui mana yang baik untuk kehidupan anak remaja
mereka. Sikap lain orangtua, adalah melakukan tindakan kepada anak tanpa adanya komunikasi dua arah terhadap anak remaja, contohnya orangtua menuduh anak telah melakukan kesalahan sehingga tanpa mendengarkan penjelasan dari anak remajanya, orangtua langsung mengambil tindakan atau memberi hukuman kepada si anak remaja tersebut. Pola asuh orangtua otoriter, yang lebih menimbulkan dampak yang tidak baik bagi perkembangan diri remaja sehingga berpengaruh pula pada pola perilaku
coping remaja tersebut, yaitu belum mampu nya remaja menyelesaikan masalah yang dihadapinya, tetapi remaja lebih ingin melarikan diri dari masalah yang dapat berakibat buruk pada diri. Berdasarkan fenomena remaja yang terkait dengan coping dan pola asuh orangtua, yang dalam hal ini adalah pola asuh orangtua otoriter, maka penulis ingin menggali lebih dalam lagi tentang “Hubungan Antara Pola Asuh Orangtua Otoriter dengan Perilaku Coping pada Remaja”.
Tinjauan Pustaka Perilaku Coping Coping adalah proses yang digunakan oleh seseorang yang menangani tuntutan yang menimbulkan stress ( Atkinson, dkk, 2001 ). Chaplin ( 2004 ) mendefinisikan coping behavior sebagai sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan sesuatu ( tugas, masalah ). Baron dan Byrne dalam Saptoto ( 2002 ) menyatakan bahwa coping adalah reaksi yang ditunjukkan terhadap stressor, baik itu berupa sikap, perasaan atau pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan, atau menurunkan efek negatif dari situasi yang mengancam. Shinta dalam Effendi dan Tjahjono ( 1999 ) menyimpulkan perilaku coping adalah upaya individu untuk mengatasi keadaan atau situasi yang menekan, menantang, atau mengancam, yang
berupa pikiran atau tindakan dengan menggunakan sumber dalam dirinya maupun lingkungannya, yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan perkembangan individu. Lazarus dan Folkman dalam Taylor ( 1995 ) menjelaskan definisi coping sebagai suatu proses mengatur hal-hal yang menuntut ( baik dari dalam diri ataupun dari luar diri seseorang ) yang dinilai sebagai beban atau hal-hal yang melampaui batas kemampuan seseorang. Lazarus ( 1966,1990,1993 ), menyatakan bahwa penanganan stres atau coping terdiri dari dua bentuk yaitu: a. Coping yang berfokus pada masalah ( Problem-focused coping ), merupakan strategi kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Strategi coping yang bersifat terfokus pada masalah dinilai lebih efektif. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam coping yang berfokus
pada
masalah
(
Problem-focused
coping
)
menurut
Lazarus&Folkman ( Aldwin dan revenson, 1987 ) antara lain : 1. Kehati-hatian ( exercised caution ) Yaitu individu bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan tidak terburu-buru dalam menyelasikan masalah, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan. 2. Aksi instrumental ( intrumental action )
Yaitu individu melakukan tindakan yang mengarah pada penyelesaian secara langsung, serta menyusun rencana mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan. 2. Negoisasi ( negotiation ) Yaitu individu menghadapi masalah dengan cara negoisasi dan berkompromi dengan situasi yang dianggap mempunyai sisi positif terhadap pemecahan masalah atau mendekati orang lain yang terlibat atau merupakan penyebab masalah yang sedang dihadapi untuk ikut serta memikirkan dan menyelesaikan masalah. b. Coping yang berfokus pada emosi ( emotion-focused coping ), merupakan strategi penanganan stres di mana individu memberikan respon terhadap situasi stres dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif. Aspek-aspek yang termasuk ke dalam coping yang berfokus pada emosi ( emotion-focused coping ) menurut Lazarus&Folkman ( Aldwin dan revenson, 1987 ) antara lain: 1. Pelarian diri dari masalah ( Escapism ) Yaitu individu tidak menghadapi masalah secara langsung, melainkan menghindari masalah yang ada dengan melakukan pelarian emosi, berfantasi, membayangkan situasi yang lebih menyenangkan atau makan, tidur, merokok, scara berlebihan. 2. Pengurangan beban masalah ( minimization ) Yaitu individu menganggap seakan-akan masalah yang dihadapi jauh lebih ringan atau sengaja mengacuhkan dan mendiamkan masalah atau
bahkan menganggap seolah-olah tidak ada masalah, bersikap pasrah dan tidak memperdulikan lingkungan sekitar. 3. Penyalahan diri sendiri ( self blame ) Yaitu
individu,
menghadapi
masalah
dengan
menyalahkan
dan
menghukum diri sendiri serta menyesali apa yang sudah terjadi. Berdasarkan pernyataan diatas, dapat disimpulkan yang menjadi termasuk ke dalam aspek-aspek strategi coping yang efektif terdiri dari kehati-hatian ( exercised caution ), aksi instrumental ( instrumental caution ), dan negoisasi ( negotiation ). Pola Asuh Orangtua Otoriter Atkinson ( 2001 ) menyebutkan pola asuh otoriter sebagai orangtua yang menuntut dan mengendalikan yang semata-mata menunjukkan kekuasaan mereka tanpa kehangatan, pengasuhan, atau komunikasi dua arah. Mereka berupaya mengendalikan dan menilai perilaku dan sikap anakanak mereka mengikuti standar yang mutlak, mereka juga menghargai kepatuhan, rasa hormat terhadap kekuasaan mereka, tradisi, kerja, dan mempertahankan urutan. Baumrind dalam Santrock ( 2003 ) menyebutkan pola asuh autoritarian adalah gaya yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua menghormati pekerjaan dan usaha. Orangtua
dan untuk
yang bersifat autoritarian
membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal.
Chaplin ( 2004 ) mendefinisikan authoritarian character ( watak otoriter ) adalah seseorang yang selalu menuntut kepatuhan dan ketundukan total tanpa perlu bertanya. Watak otoriter ini membenci tanda-tanda atau sifat-sifat kelemahan, selalu kaku dan tidak bisa mentoleransi kedwiartian atau ambiguitas. Pola asuh otoriter, dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan dimana peran orangtua selalu mendominasi dan menguasai anak dalam segala hal tanpa adanya komunikasi dua arah yang baik, tanpa adanya sikap kerjasama, tanpa adanya dukungan, dan lebih menekankan pada
aturan-aturan yang
ketat yang harus selalu dipatuhi anak. Baldwin dalam Mahfuzh ( 2004 ) membagi dua bentuk pola asuh otoriter, yaitu : a. Otoriter permanen, yaitu bentuk otoriter yang mungkin memang sudah ada sejak awal. Orangtua seperti ini ia tidak punya rasa cinta kepada anak-anaknya. b.
Otoriter yang tidak mau kompromi dengan keinginan-keinginan anak, dan tidak memperdulikan dan tidak mau bekerja sama sedikitpun dengan anak-anaknya. Hurlock dalam Walgito ( 1991 ) menjelaskan ciri-ciri orangtua otoriter,
sebagai berikut : a. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak, tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya.
b. Apabila anak-anak telah melanggar ketentuan yang telah digariskan, anak tidak diberi kesempatan untuk memberikan alasan sebelum hukuman diterima anak. c. Pada umumnya hukuman berbentuk hukuman badan. d. Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah baik berbentuk kata-kata atau bentuk lain, apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orangtua . Lewin dkk ( dalam Walgito,1991 ) pola asuh otoriter memiliki ciri-ciri, diantaranya : a. Kebijaksanaan
ditentukan
oleh
orangtua.
Segala
sesuatu
yang
berkenaan dengan kebutuhan anak, baik dari hal yang sekecil-kecilnya sampai pada permasalahan yang besar, semuanya ditentukan oleh orangtua . Apa yang harus dikerjakan dan langkah-langkah aktifitas anak ditentukan atau didikte oleh orangtua . b. Kritik dan penghargaan yang diberikan bersifat personal dan satu arah. Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik yang kuat serta keras kepada anak-anaknya, tapi hanya berlaku satu arah yaitu dari orangtua ke anak. Berdasarkan beberapa penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi ciri-ciri pola asuh orangtua otoriter adalah : a. Orangtua tidak mau kompromi Orangtua tidak mau kompromi dengan keinginan-keinginan anak, dan tidak memperdulikan dan tidak mau bekerja sama sedikitpun dengan anakanaknya.
b. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak, tanpa memberikan penjelasan tentang alasannya. c. Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah baik berbentuk kata-kata atau bentuk lain, apabila anak berbuat sesuai dengan harapan orangtua . d. Kebijaksanaan ditentukan oleh orangtua . Segala sesuatu yang berkenaan dengan kebutuhan anak, baik dari hal yang sekecil-kecilnya sampai pada permasalahan yang besar, semuanya ditentukan oleh orangtua. Apa yang harus dikerjakan dan langkah-langkah aktifitas anak ditentukan atau didikte oleh orangtua . e. Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik yang kuat serta keras kepada anak-anaknya, tapi hanya berlaku satu arah yaitu dari orangtua ke anak.
Metode Penelitian Subyek Penelitian Subyek pada penelitian ini adalah remaja berumur 15-18 tahun dan masih tinggal bersama dengan kedua orangtuanya dan pelajar MAN Yogyakarta II, MAN Yogyakarta III dan MAN Maguwoharjo Sleman dan yang masih duduk di kelas XI ( Sebelas ).
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode angket, yaitu dengan menyebar skala yang berisi pernyataan-pernyataan untuk diisi oleh subyek penelitian. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua buah skala yaitu skala perilaku coping dan skala pola asuh orangtua otoriter. 1. Skala Perilaku Coping Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat perilaku coping pada remaja. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lazarus dan Folkman ( Aldwin dan Revenson,
1987 ),
dimana aspek-aspek perilaku coping yang digunakan dalam skala ini hanya terdiri dari kehati-hatian ( exercised caution ), aksi instrumental
(
instrumental caution ), negoisasi ( negotiation ). 2. Skala Pola Asuh Orangtua Otoriter Skala ini digunakan untuk mengatahui tingkat keotoriteran orangtua terhadap anak remaja. Skala ini disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan ciri-ciri yang dikemukakan oleh beberapa tokoh tentang
ciri-ciri pola asuh
orangtua otoririter, dimana ciri-cirinya adalah : a. Orangtua tidak mau kompromi ( Baldwin dalam Mahfuzh, 2004 ). b. Orangtua menentukan apa yang perlu diperbuat oleh anak-anak ( Hurlock dalam Walgito, 1991 ). c. Orangtua tidak atau jarang memberikan hadiah ( Hurlock dalam Walgito, 1991 ).
d. Kebijaksanaan ditentukan oleh orangtua.
( Lewin dkk dalam
Walgito, 1991 ). e. Orangtua selalu memberikan kontrol dan kritik ( Lewin dkk dalam Walgito, 1991 ). Metode Analisis Data Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, diuji dengan menggunakan analisis statistik. Analisis ini digunakan dengan alasan bahwa analisis statistik dapat mewujudkan kesimpulan penelitian dalam memperhitungkan faktor kesalahan sehingga yang diajukan dapat diperoleh secara meyakinkan ( Hadi, 2002 ). Statistik yang bekerja dengan angka bersifat obyektif dan universal dalam arti dapat digunakan pada semua bentuk penelitian ( Hadi, 2002 ). Metode analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah korelasi product-moment dari Pearson yang dilakukan dengan program komputer SPSS
( Statistical
Programme for Social Science ) 12.0 for Windows. Hasil Penelitian
Gambaran umum mengenai subjek penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh dari skala yang disebarkan dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1 Deskripsi Subyek Penelitian No Faktor 1 Jenis Kelamin
a. b.
Kategori Laki-laki Perempuan
Jumlah 142 228
2
Pekerjaan Ayah
a. b. c. d.
PNS Swasta TNI POLRI Lain-lain
80 82 11 197
3
Pekerjaan Ibu
a. b. c. d.
Ibu Rumah Tangga PNS Swasta Lain-lain
157 35 35 143
4
Pendidikan Ayah
a. b. c. d. e.
Diploma/ Sarjana SMA/ Sederajat SMP/ Sederajat SD Lain-lain
83 139 40 32 76
5
Pendidikan Ibu
a. b. c. d. e.
Diploma /Sarjana SMA / Sederajat SMP/ Sederajat SD Lain-lain
65 133 47 50 75
6
Kegiatan diluar sekolah
a. b. c. d.
Ekskul Organisasi Pemuda Les / kursus Lain-lain
38 30 17 285
7
Jumlah adik
a. 0-1 orang b.2-3 orang c. 4-5 orang d. = 6 orang
281 80 8 1
8
Jumlah kakak
a. 0-1 orang b.2-3 orang c. 4-5 orang d. = 6 orang
242 101 21 6
Berdasarkan analisis data yang ada, maka diperoleh gambaran atau deskripsi data penelitian yang berisi fungsi-fungsi dasar statistik. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. Tabel 2 Deskripsi Data Penelitian
Variabel Min
Hipotetik Max Mean
SD
Min
Max
Empirik Mean
SD
Pola Asuh Orangtua Otoriter
12
48
30
5,99
47
81
65.4243
5.93880
Perilaku Coping
19
76
47,5
9,49
49
98
75.8730
8.72386
Deskripsi data penelitian di atas selanjutnya akan digunakan untuk mengetahui kriteria kategorisasi kelompok subjek pada variabel-variabel yang diteliti. Kategorisasi ini dimaksudkan untuk menempatkan individu ke dalam kelompokkelompok yang terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut yang diukur, dimana kontinum jenjang ini seperti contohnya dari rendah ke tinggi (Azwar, 2005). Azwar (2005) pun menyatakan, karena kategorisasi ini bersifat relatif, maka peneliti boleh menetapkan secara subjektif luasnya interval yang mencakup setiap kategori yang diinginkan, selama penetapan tersebut masih berada dalam batas kewajaran dan dapat diterima akal. Dalam hal ini, penulis menggunakan rumus kategorisasi yang dibuat oleh Azwar (2005), dimana terdapat lima kategori. Rumus tersebut dapat dilihat pada tabel 3 di bawah ini : Tabel 3 Norma Kategorisasi Norma Kategorisasi X < (µ - 1,8s ) (µ - 1,8s ) = X < (µ - 0,6s ) (µ - 0,6s) = X < (µ + 0,6s ) (µ + 0,6s ) = X = (µ + 1,8s ) X > (µ + 1,8s )
Kategori Kategori Sangat Rendah Kategori Rendah Kategori Sedang Kategori Tinggi Kategori Sangat Tinggi
Ket :
µ : Mean Hipotetik s : Standar Deviasi
Berdasarkan norma kategorisasi yang telah disebutkan sebelumnya, maka subjek penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori pada masingmasing variabel, yang dapat dilihat pada tabel-tabel berikut ini. Tabel 4 Kategorisasi Subjek Pada Variabel Pola Asuh Orangtua Otoriter Kategori Rentang Skor Jumlah
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
X < 60,17 60,17< 70,638 70,638= X < 81,107 81,107 = X = 91,575 X > 91,575
52 216 95 7 -
Prosentase
14,05% 58,37% 25,67% 1,89% -
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek berada pada kategori rendah (58,37%).. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar orangtua
subjek penelitian memiliki kecenderungan tingkat
keotoriteran yang
rendah. Tabel 5 Kategorisasi Subjek Pada Varibabel Perilaku Coping
Kategori Sangat tidak efektif Tidak efektif Agak efektif efektif Sangat efektif
Rentang Skor X < 30,418 30,418= X < 41,806 41,806 = X < 53,194 53,194= X = 64,582 X > 64,582
Jumlah 3 32 335
Prosentase 0,81% 8,64% 90,54%
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar subjek berada pada kategori sangat efektif (90,54%).Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki kecenderungan tingkat perilaku coping sangat efektif. Uji hipotesis dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik korelasi Product moment dari Spearmen’s rho. Hasil analisa menunjukkan kofisien korelasi r
sebesar -0.065 dengan p=0.210 pada uji dua sisi (two-tailed). Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping. Dengan demikian, hipotesis penelitian yang diajukan sebelumnya ditolak.
Pembahasan Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dan perilaku coping pada remaja. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, diperoleh bahwa ternyata tidak ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja. Pada subyek penelitian, pola asuh orangtua otoriter berada pada tingkat keotoriteran yang rendah, dan tidak mempengaruhi perilaku coping pada remaja yang berada pada tingkat sangat
efektif. Perilaku
coping, lebih dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain selain pola asuh orangtua otoriter, antara lain lingkungan pergaulan remaja dengan teman sebaya. Remaja, sebagai individu yang sedang menjalani proses pendidikan pada sekolah menengah atas, sehingga proses pendidikan tersebut dapat mempengaruhi pola coping pada remaja. Hal ini sesuai dengan yang terdapat pada faktor-faktor yang mempengaruhi coping, beberapa faktor diantaranya yang dijelaskan oleh Pramadi dan Lasmono ( 2003) yaitu tingkat pendidikan, seseorang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas kognitifnya, demikian pula sebaliknya. Keyakinan diri, pemikiran rasional, dan penilaian terhadap suatu masalah merupakan hasil dari kognisi yang diperoleh selama seseorang
mengikuti proses pendidikan. Subyek penelitian, dalam mengikuti proses pendidikan telah mendapatkan perkembangan ilmu pengetahuan maupun informasi-informasi sehingga akan lebih realistis dan aktif memecahkan masalah.pemikiran rasional dan penilaian terhadap sesuatu yang baru dapat mempengaruhi remaja dalam perilaku coping. Faktor lain yang cukup mempengaruhi perilaku coping adalah menurut Mu’tadin (2002) yaitu dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan
masyarakat sekitarnya.
Dukungan sosial terbesar, tidak hanya berasal dari keluarga maupun orangtua. Subyek penelitian, mengingat gambaran subyek tentang pekerjaan orangtua maupun kegiatan lain diluar sekolah, telah menunjukkan bahwa subyek telah memiliki kegiatan-kegiatan lain selain hanya dirumah ataupun bersama dengan orangtua mereka, mengingat orangtua juga memiliki pekerjaan masing-masing sehingga dukungan sosial dari lingkungan lainpun dapat berpengaruh pada perilaku coping pada remaja. Remaja yang sedang mengikuti proses pendidikan juga akan mendapat juga dukungan dari orang-orang yang disekitarnya, antara lain temanteman sepantar maupun guru. Remaja, selain dari itu juga mendapatkan keterampilan sosial dari lingkungan keluarga maupun dari lingkungan selain sekolah. Keterampilan sosial tersebut, juga dapat mempengaruhi perilaku coping, seperti yang diungkap oleh Mu’tadin (2002). Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat.
Remaja yang mendapatkan proses pendidikan disekolah maupun dari kegiatan lain diluar sekolah, akan mendapatkan kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat, sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi remaja dalam coping yang digunakan. Keterampilan sosial juga dapat menghasilkan keterampilan memecahkan masalah, yang
meliputi
kemampuan
untuk
mencari
informasi,
menganalisa
situasi,
mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. Pengalaman seseorang juga dapat berpengaruh terhadap perilaku coping yang digunakan. Menurut Rahayu ( 1997 ) pengalaman merupakan bahan acauan atau perbandingan indvidu dalam menghadapi suatu kejadian yang hampir sama. Apabila pengalaman itu mengesankan atau sesuai dengan individu, maka individu tersebut akan menggunakan pengalaman di saat mengadapi situasi yang hampir sama. Tetapi, apabila pengalaman itu kurang atau tidak mengesankan, maka individu akan mencari bentuk baru lagi apabila menghadapi situasi yang sama, atau membuang pengalaman tersebut. Subyek penelitian, yang merupakan sebagai remaja aktif yang telah mendapatkan pengalaman-pengalaman lain diluar lingkungan rumah dan keluarga, sehingga pengalaman-pengalaman yang didapat, menjadikan remaja lebih mengerti akan banyak hal dan lebih dapat belajar tentang alternatif coping yang efektif dari pengalaman yang didapat.
Berdasarkan faktor-faktor coping, yaitu tingkat pendidikan, dukungan sosial, keterampilan menyelesaikan masalah maupun pengalaman yang didapat pada saat menghadapi masalah, maka hal tersebut menggambarkan bahwa subyek telah dapat bersikap hati-hati, dapat bertindak langsung, dan memiliki kemampuan bernegosiasi. Berdasarkan aspek-aspek perilaku coping yang efektif antara lain sikap kehati-hatian ( exercised caution ), yaitu individu bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan tidak terburu-dalam menyelesaikan masalah, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dengan meminta pendapat orang lain dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan ( Lazarus dan Folkman,dalam Aldwin dan Revenson,1987 ). Hal tersebut, sesuai dengan faktor-faktor lain selain pola asuh orangtua
otoriter,yaitu
dukungan
sosial
dari
lingkungan
selain
keluarga,
keterampilan sosial yang didapat remaja dari pergaulan dengan lingkungan sekitar maupun pengalaman-pengalaman yang didapat. Pada aspek
aksi instrumental ( instrumental action ) dimana individu
melakukan tindakan yang mengarah pada penyelesaian secara langsung, serta menyusun rencana mengenai langkah-langkah yang akan dilakukan. Remaja yang dapat mengambil tindakan yang mengarah pada penyelesain masalah berarti memiliki keterampilan memecahkan masalah yang baik, Mu’tadin ( 2002) menjabarkan keterampilan memecahkan masalah, yang meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif
tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat. Pada aspek negosiasi ( negotiation ), dimana individu menghadapi masalah dengan cara negosiasi dan berkompromi dengan situasi yang dianggap mempunyai sisi positif terhadap pemecahan masalah. Subyek, telah dapat bernegosiasi, hal tersebut ditunjukkan dengan subyek yang memiliki kegiatan diluar sekolah yang bermaca-macam, seperti berorganisasi yang berarti selalu berinteraksi dengan orang banyak dan memiliki keterampilan sosial yang baik. Pada akhirnya, tidak ada sesuatu yang sempurna. Demikian pula dengan penelitian ini, dimana masih banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam prosesnya. Kelemahan penelitian ini antara lain dalam proses penentuan subyek, yang dirasa kurangnya observasi dalam menentukan subyek penelitian, yaitu tidak fokus kepada subyek penelitian yang memiliki masalah yang terfokus pada masalah penelitian. Kelemahan lainnya adalah dalam proses penyusunan aitem-aitem pada skala penelitian, yaitu kurang mendalamnya pernyataan yang disajikan, sehingga maksud yang sebenarnya tidak cukup mewakil ciri-ciri maupun aspek-aspek yang ada.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat keotoriteran orangtua pada subyek berada pada tingkat yang rendah dan perilaku coping pada remaja berada pada tingkat yang sangat efektif.
2.
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku coping pada remaja.
3.
Perilaku coping pada remaja lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor selain pola asuh orangtua otoriter, antara lain tingkat pendidikan, dukungan sosial, keterampilan sosial, keterampilan memecahkan masalah maupun pengalaman.
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil yang diperoleh, maka dengan ini penulis memiliki beberapa saran sebagai berikut : 1. Bagi subyek Dari hasil penelitian ini, di dapat bahwa faktor-faktor yang lebih dapat mempengaruhi perilaku coping adalah antara lain tingkat pendidikan, dukungan sosial,
keterampilan
sosial,
keterampilan
memecahkan
masalah
maupun
pengalaman. 2. Bagi Peneliti Selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik untuk menggali lebih lanjut mengenai perilaku coping disarankan untuk lebih memperluas tema dari sudut pandang yang berbeda. Disarankan juga untuk menggunakan metode pengumpulan data yang lain
seperti wawancara dan observasi agar memperoleh data yang lebih mendalam sehingga dapat mengatasi kelemahan metode pengumpulan data dengan skala pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Afrimaryanti., Mukhlis., Widiningsih, Y. Hubungan Antara Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Kreativitas pada Remaja Madya ( Studi Pada Siswa SMUN 4 Pekanbaru ). Jurnal Psikologika. Vol.1, No.1,23-32. Aldwin, M.C., Revenson, A.T. 1987. Does Coping Help? A Reexamination of the Relation Between Coping and Mental Health. Journal of Personality and Social Psychology. Vol.53, No.2,337-348. Atkinson, R.L., Atkinson, R.C., Smith, E.E., Bem, D.J. 2001. Pengantar Psikologi. Edisi ke sebelas: Jilid 2. Batam Center: Interaksara. Ali, M. & Asrori, M 2004. Psikologi Remaja : Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Bumi Aksara . Astuti, Afri. 2005. Resiliensi pada Remaja ditinjau dari Pola Asuh Demokratis Orang Tua dan Status Sosial Ekonomi Orang Tua. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Azwar, Saifuddin. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. Balson, Maurice. 1993. Menjadi Orang Tua Yang Baik. Jakarta : Bumi Aksara. Barus, Gendon. 2003. Memaknai Pola Pengasuhan Orangtua pada Remaja.Jurnal Intelektual. Vol.1, No.2, 151-164. Chaplin, J.P. 2004. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Cobb, J.N. 2004. Adolescence : Continuity, Change and Diversity. Sixth Edition. Mc Graw –Hill International Edition. Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan remaja. Bogor : Ghalia Indonesia. Dwiyani, V. 2002. Ayahku, Harimauku. Jakarta : Elex Media Komputindo.
Effendi, R. W., Tjahjono, E. 1999. Hubungan Antara Perilaku Coping dan Dukungan Sosial Dengan Kecemasan Pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima.Vol.14, No.54,214- 227. Hadi, Sutrisno. 2001. Statistik Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset. _______________. 2002. Metodologi Research Jilid 2. Yogyakarta : Andi Offset.
Harisoh, S. 2007. Proses Coping pada Remaja Pelaku Aborsi. Skripsi ( Tidak Diterbitkan) Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Heaven, Patrick, C, L. 1996. Adolescent Health : The Role of Individual Differences. London : International Thomsom Publishing company. Hurlock, Elizabeth B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta : Penerbit Erlangga. Idrus, M. 2003. Pengaruh Pola Pengasuhan Orang Tua terhadap Kematangan Idemtitas diri Remaja Etnis Jawa ( Studi di FIAI UII Yogyakarta ). Fenomena. Vol.1, No. 1, 28-38. Kartono, K. 1985. Peranan Keluarga Memandu Anak. Jakarta : CV. Rajawali. _________. 2003. Patologi Sosial 2 ; Kenakalan Remaja. Jakarta : CV. Rajawali. Lestari, I. 2007. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Otoriter dengan Penyesuaian Diri pada Mahasiswa. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Mahfuzh, M. J. 2004. Psikologi Anak dan Remaja Muslim. Jakarta : Pustaka AlKautsar. Mu’tadin, Zainudin. 2002. Strategi Coping. http://www.epsikologi.com/remaja/050602.html.
Pramadi, A., Lasmono, H, K. 2003. Koping Stress Pada Etnis Bali, Jawa, dan Sunda. Anima, Indonesian Psychological Journal . Vol.18, No.4 326 -340. Rahayu, Pudji hartuti. 1997. Hubungan Tingkat Religiusitas dengan Perilaku Coping Stress. Psikologika. No. 4 tahun II. Rohmawati. 2007. Hubungan Antara Persepsi Negatif Orangtua pada Lingkungan Tempat Tinggal dengan Pola Asuh Otoriter. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Santrock, J. W. 2003. Adolesence Perkembangan Remaja (Terjemahan oleh Adelar,B Shinto., Saragih, Sherly ). Jakarta : Erlangga. Saptoto, R. 2002. Hubungan Kecerdasan Emosi Dengan Kemampuan Coping Adaptif. Skripsi ( Tidak Diterbitkan ) Yogyakarta : Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Shochib, M. 2000. Pola Asuh Orang Tua : Dalam Membantu Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta : Rineka Cipta. Tanumidjojo, Y., Basoeki S, L., Yudiarso, A. 2004. Stress dan Perilaku Koping Pada Remaja Penyandang Diabetes Mellitus Tipe 1. Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol.19, No. 4, 399 -406. Tarmudji, T. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Agresivitas Remaja. http://www.google.com Taylor, S, E. 1995. Health Psychology. McGraw- Hill International Editions. Walgito, Bimo. 1991. Hubungan Persepsi Mengenai Sikap Orangtua dengan Harga diri Para siswa Sekolah Menengah Atas di Provinsi Jawa. Disertasi ( Tidak diterbitkan ). Yogyakarta : Program Doktoral Universitas Gadjah Mada. Widayanti, S, Y, M., Iryani, S, W. 2005. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Terhadap Kenakalan Anak. Jurnal PKS Vol IV, No.13, 30 -41. Widyastuti., Prawitasari, J, E. 2003. Peran Status Perkawinan Poligami dan Monogami Orangtua Terhadap Harga Diri, Koping, dan Depresi. Jurnal Intelektual. Vol.1, No. 1, 8-20.
www.balipost.com www.depsos.go.id/balatbang/puslitbang www.indolead.com www.eramuslim.com www.kmnu.org www.suarantb.com
DATA DIRI PENELITI
Nama
:
Mirdasari Maulida
Alamat Asal
:
Jalan Dr. Wahidin S. Komp. Sepakat Damai B -16 Pontianak – Kalimantan Barat
Nomor Telepon
:
085650823222
Email
:
[email protected]