NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH PERMISSIVE INDIFFERENT DENGAN PENYESUAIAN DIRI PERSONAL PADA REMAJA
Telah disetujui Pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Hepi Wahyuningsih S. Psi., M. si)
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH PERMISSIVE INDIFFERENT DENGAN PENYESUAIAN DIRI PERSONAL PADA REMAJA
Catur Handayani Hepi Wahyuningsih INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pola asuh permissive indifferent dengan penyesuaian diri personal pada remaja. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif antara pola asuh permissive indifferent dengan penyesuaian diri personal pada remaja. Subyek penelitian ini adalah remaja yang berada pada rentang usia antara 15 sampai 21 tahun. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Adapun skala yang digunakan adalah skala penyesuaian diri personal sejumlah 17 aitem berdasarkan aspek penyesuaian diri personal dari Schneiders (1964) dan skala pola asuh permissive indifferent sebanyak 20 aitem berdasarkan aspek pola asuh permissive indifferent yang dikemukakan oleh Baumrind (Steinberg dalam Barus, 2003). Analisis data yang diperlukan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah korelasi Spearman dari Pearson dengan dengan program Statistical Package for Social Science (SPSS) for windows 12.0. Dari hasil analisis menunjukkan besarnya koefisien korelasi antara variabel penyesuaian diri personal dengan pola asuh permissif indifferent adalah sebesar rxy = -0,284 dan p = 0,008 ( p < 0,01 ). Hal ini berarti bahwa ada hubungan negatif antara pola asuh permissif indifferent dengan penyesuaian diri personal pada remaja. Semakin tinggi pola asuh permissif indifferent maka semakin rendah penyesuaian diri personal pada remaja. Maka hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Kata kunci : Pola asuh permissive indifferent, penyesuaian diri personal
PENGANTAR Latar Belakang Permasalahan
Remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adoleceré yang artinya ”tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan adolescente sesungguhnya memiliki arti yang luas mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (Hurlock dalam Ali & Asrori, 2004). Masa remaja adalah masa transisi atau peralihan (Calon dalam Monnks, 2002) karena remaja belum memperoleh status orang dewasa tapi tidak lagi memiliki status anak-anak. Remaja yang dalam masa peralihan sering dihadapkan pada berbagai macam perubahan, baik secara fisik, perkembangan intelektual, sikap, interest, hubungan pribadi, sosial, bakat, emosi, perkembangan bidang moral, serta keagamaan.
Secara fisik, Perubahan yang terjadi sebagai tanda keremajaan seperti perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologis (kematangan organ-organ seksual). Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Pematangan kelenjar pituitary berpengaruh pada proses pertumbuhan tubuh sehingga remaja mendapatkan ciri-cirinya sebagai perempuan dewasa atau laki-laki dewasa. Perubahan-perubahan fisik itu, menyebabkan kecanggungan bagi remaja karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya.
Penyesuaian diri personal (pribadi) pada periode remaja berkaitan dengan penyesuaian diri secara fisik, emosi, seksual, serta moral dan religius (Schneider, 1964). Remaja perlu mengadakan penyesuaian – penyesuaian tingkah laku yang tidak selalu bisa dilakukan dengan mulus terutama jika tidak ada dukungan dari orangtua. Pada masa ini juga, remaja diharapkan mulai dapat menilai dan menghayati nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh lingkungannya sehingga penyesuaian diri remaja berjalan baik dan sesuai yang diharapkan oleh lingkungannya. Sedangkan hambatan penyesuaian diri remaja dapat dilihat dari tanda-tanda kecemasan tinggi, rasa rendah diri, depresi, ketergantungan pada orang lain dan tanda-tanda psikosomatis.
Pada masa ini, yang terpenting bagi remaja adalah mendapatkan bimbingan agar rasa ingin tahunya yang tinggi dapat terarah kepada kegiatan-kegiatan yang positif, kreatif dan produktif. Jika tidak, dikhawatirkan dapat menjurus kepada kegiatan atau perilaku negatif, misalnya: mencoba narkoba, minum-minuman keras, penyalahgunaan obat, atau perilaku seks pranikah yang berakibat terjadinya kehamilan (Soerjono Soekanto dalam Ali dan Asrori, 2004).
Data screening yang dilakukan Pokja Narkoba Depdiknas di wilayah Jabodetabek pada tahun 2003 saja (sekitar 40.000 siswa) menunjukkan bahwa siswa SLTP dan SMU/SMK yang terlibat penggunaan narkoba sebanyak 3.5%, miras 27%, dan perokok 44%. Data di atas menunjukkan bahwa penggunaan zat adiktif telah diterima di kalangan generasi muda sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Selain
itu, data di atas menunjukkan bahwa terjadi kemerosotan moral yaitu norma-norma tradisional yang memudar digantikan dengan penetrasi globalisasi (khususnya gaya hidup) yang diadopsi secara mentah-mentah tanpa ada proses kognitif dan emosional yang benar sehingga terjadi social brain washing yang tidak terkontrol. Produknya adalah tawuran antar pelajar, bunuh diri, kriminal dalam keluarga, prestasi belajar menurun, malas sekolah, merenggangkan ikatan dalam keluarga— famili bonding— tidak mengindahkan hukum, kehilangan cita-cita, kecelakaan bertambah, kebanggaan terhadap institusi-keluarga, sekolah, lingkungan, daerah bahkan bangsa pudar (Monintja, 2004)
Penyimpangan yang terjadi pada masa remaja dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah bentuk perlakuan orangtua terhadap anaknya yang berkaitan dengan perhatian, interaksi, sikap dan komunikasi orangtua dengan anak yang sering dikaitkan dengan pola asuh (Lestari, 2006). Faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian remaja menurut Schneiders (Ali dan Asrori, 2004) adalah kondisi fisik, kepribadian, proses belajar, lingkungan, serta agama dan budaya. Kondisi lingkungan yang dimaksud mencakup lingkungan keluarga yang didalamnya terdapat interaksi orangtua dengan anak.yang biasa disebut dengan pola asuh.
Banyak orangtua yang mengetahui cara penerapan pola asuh yang tepat terhadap anaknya, namun mereka mengabaikan hal tersebut dengan alasan mengejar karir dan mencari penghasilan yang besar demi memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarga dan menjamin masa depan anak-anak. Orangtua seperti ini sering kelimpahan berbagai tekanan dan stres dalam hidup mereka, sehingga mereka hanya memiliki sedikit waktu dan perhatian yang diluangkan untuk anak. Karena keterbatasan waktu, orangtua yang terlalu sibuk mengasuh anaknya dengan pola permissive Indifferent (permisif mengabaikan), yaitu suatu pola dimana si orangtua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Orangtua dengan tipe seperti ini mengabaikan kebutuhan-kebutuhan anak. Suka, duka, keberhasilan, dan kegagalankegagalan, serta kesulitan-kesulitan anak tidak mendapat respon dari orangtua. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang tidak cakap, terutama kurangnya pengendalian diri (Steinberg dalam Barus, 2003). Berdasarkan penjelasan diatas, diperoleh gambaran bahwa penyesuaian diri personal pada remaja sangat penting dan memiliki dampak yang positif bagi perkembangan remaja selanjutnya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui secara empiris benarkah pola asuh permissif indifferent mempengaruhi penyesuaian diri personal pada remaja.
METODE PENELITIAN
Subjek pada penelitian ini merupakan remaja yang berada pada rentang usia antara 15 sampai 21 tahun dengan jumlah 72 orang yang merupakan siswa-siswi SMA UII Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala untuk mengungkap aspek-aspek atau variabel-variabel yang ingin diteliti. Skala yang digunakan adalah skala penyesuaian diri personal dan skala pola asuh permissive indifferent 1. Skala Penyesuaian Diri Personal Skala penyesuaian diri personal digunakan untuk mengungkap tingkat penyesuaian diri personal remaja. Alat ini disusun berdasarkan adanya aspek-aspek penyesuaian diri personal yang dikemukakan oleh Schneider (1964). Dalam penyesuaian diri personal terkandung lima aspek yaitu aspek penyesuaian diri fisik, penyesuaian diri emosi, aspek penyesuaian diri seksual, dan aspek penyesuaian diri moral dan aspek penyesuaian diri religius. Skala ini tersusun atas 25 item favourabel. Penilaian pada skala ini dilakukan dengan menjumlahkan skor yang diperoleh subjek pada setiap aitem yang dijawab. Pilihan jawaban diskor dengan menggunakan range nilai dari 4 sampai dengan 1, dengan pilihan jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Pilihan jawaban yang semakin mengarah pada pilihan sangat sesuai, maka skor akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya, pilihan jawaban yang semakin mengarah pada pilihan sangat tidak sesuai, maka skor akan semakin rendah.
2. Skala Pola Asuh permissive indifferent Skala yang digunakan dalam penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan teori dari Baumrind (Steinberg dalam Barus, 2003) dengan aspek-aspek : parental responsiveness dan parental demandingness. Skala terdiri dari 20 aitem favourabel. Bentuk skala tersebut berupa pernyataan yang disertai pilihan jawaban sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Pilihan jawaban diskor dengan menggunakan range nilai dari 4 sampai dengan 1 Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek maka semakin tinggi tingkat pola asuh permissive indifferent yang diterima subjek,sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka makin rendah tingkat pola asuh permissive indifferent. Analisis data yang diperlukan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah korelasi product moment dari Pearson untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Berdasarkan teknik product moment apabila mendapatkan koefisien korelasi yang signifikan berarti ada hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Analisis data dilakukan dengan program Statistical Package for Social Science (SPSS) for windows 12.0.
HASIL PENELITIAN Dari data subjek penelitian di SMA UII Yogyakarta ini diperoleh gambaran sebagai berikut: Deskripsi Subjek Penelitian Keterangan Jawaban Subjek 15 tahun Usia 16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun 21 tahun Total Perempuan Jenis Kelamin Laki-laki Total
Frekuensi
Prosentase
12 36 16 6 1 1 72 40 32 72
16,67 % 50 % 22,22 % 8,33 % 1,39 % 1,39 % 100 % 55,56 % 44,44 % 100
Deskripsi Data Penelitian Variabel Skor Hipotetik Mi Max Mean SD n personal 17 68 42,5 8,5 Indifferent 20 80 50 10
Min 44 21
Skor Empirik Max Mean 68 62
55,1250 39,3194
SD 5,22167 7,88978
Kategorisasi data penyesuaian diri personal dan pola asuh permissive indifferent No. Kategorisasi Norma penyesuaian Norma PA Permissif diri personal Indifferent 1 Sangat rendah x < 27, 2 x < 32 2 Rendah 27, 2 = x = 37, 4 32 = x = 44 3 Sedang 37, 4 < x = 47, 6 44 < x = 56 4 Tinggi 47, 6 < x = 57, 8 56 < x = 68 5 Sangat tinggi X > 57, 8 X > 68
Distribusi Skor penyesuaian diri personal dari Subjek Penelitian No. Kategorisasi Norma Jumlah Presentase 1 Sangat rendah x < 27, 2 0% 2 Rendah 27, 2 = x = 37, 4 0% 3 Sedang 37, 4 < x = 47, 6 4 orang 5,55 % 4 Tinggi 47, 6 < x = 57, 8 43 orang 59,72% 5 Sangat Tinggi X > 57, 8 25 orang 34,72%
Distribusi Skor Tingkat pola asuh permissive indifferent No. Kategorisasi Norma Jumlah 1 Sangat Rendah x < 32 11 orang 2 Rendah 32 = x = 44 47 orang 3 Sedang 44 < x = 56 12 orang 4 Tinggi 56 < x = 68 2 orang 5 Sangat Tinggi X > 68 -
Presentase 15,27 % 65,27 % 16,66 % 2,77 % O%
A. Uji Hipotesis Dari hasil analisis menunjukkan besarnya koefisien korelasi antara variabel penyesuaian diri personal dengan pola asuh permissif indifferent adalah sebesar rxy = - 0,284 dan p = 0,008 ( p < 0,01 ). Hal ini berarti bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara pola asuh permissif indifferent dengan penyesuaian diri personal pada remaja. Maka hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Semakin tinggi pola asuh permissif indifferent maka semakin rendah penyesuaian diri personal pada remaja. Hasil analisis juga menunjukkan koefisien determinasi ( R squared ) variabel penyesuaian diri personal dengan pola asuh permissif indifferent sebesar 0,056 berarti variabel pola asuh permissif indifferent memiliki sumbangan efektif sebesar 5,6 % untuk meningkatkan penerapan penyesuaian diri personal.
B. Analisis Tambahan a) Uji korelasi Spearman bertujuan untuk melngetahui aspek manakah yang paling berpengaruh untuk menjadi prediktor penyesuaian diri personal pada remaja. Berdasarkan Uji korelasi spearman dapat disimpulkan bahwa aspek pola asuh permissif indifferent yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri personal pada remaja adalah aspek parental responsiveness dengan r = -300, p =0,005 (p<0,05). b) Uji korelasi Spearman bertujuan untuk mengetahui korelasi antara pola asuh permissif indifferent
dengan tiap-tiap aspek penyesuaian diri personal.
Berdasarkan uji korelasi spearman dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pola asuh permissif indifferent dengan aspek penyesuaian diri seksual dengan r = -0,363, p = 0,001 (p<0,05) serta aspek penyesuaian diri religius dengan r = -0,230, p = 0,026 (p<0,05) c) Dengan menggunakan teknik statistik T-test untuk melihat ada tidaknya perbedaan tingkat penyesuaian diri personal pada remaja berdasarkan jenis kelamin. Maka diperoleh hasil t = - 0,816 dengan harga p = 0,417 (p>0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat penyesuaian diri personal pada remaja dilihat dari jenis kelamin subjek penelitian.
Pembahasan Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara pola asuh permissive indifferent dengan penyesuaian diri personal artinya semakin tinggi tingkat pola asuh permissive indifferent yang diberikan pada remaja maka akan semakin rendah tingkat penyesuaian diri personal pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pola asuh permissive indifferent yang diberikan pada remaja maka akan semakin tinggi tingkat penyesuaian diri personal pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Hasil analisis menunjukkan koefisien determinasi (R squared) variabel penyesuaian diri personal dengan pola asuh permissive indifferent sebesar 0,056 yang berarti variabel pola asuh permissive indifferent memiliki sumbangan efektif sebesar 5,6 % untuk meningkatkan penerapan penyesuaian diri personal. Kecilnya sumbangan efektif pola asuh permissive indifferent terhadap penyesuaian diri personal dikarenakan dalam penyesuaian diri personal terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya (Schneider dalam Ali dan Asrori, 2004) yaitu : Kondisi fisik, kepribadian, edukasi / pendidikan, kondisi lingkungan sekitar seperti lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, serta kebudayaan dan agama. Pola asuh orangtua termasuk kedalam faktor lingkungan keluarga. Pola asuh permissive indifferent meliputi dua aspek yaitu yaitu aspek parental responsiveness dan aspek parental demandingness. Tetapi dari kedua aspek pola asuh permissive indifferent tersebut aspek yang berpengaruh terhadap penyesuaian diri personal pada remaja adalah aspek parental responsiveness, yaitu menunjuk pada
sejauh mana orangtua menanggapi kebutuhan-kebutuhan anak dalam suatu sikap menerima dan mendukung. Orangtua dengan gaya pengasuhan indifferent cenderung memperlihatkan kadar responsiveness yang rendah, yang berarti orangtua kurang menanggapi kebutuhan-kebutuhan anak dalam suatu sikap menerima dan mendukung. Serta menolak, tidak tanggap, dan berpusat pada orangtua (Santrock, 2003). Penyesuaian diri personal memiliki lima aspek, yaitu penyesuaian diri fisik, penyesuaian diri emosi, penyesuaian diri seksual, penyesuaian diri moral dan penyesuaian diri religi. Berdasarkan analisis tambahan, diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara pola asuh permissive indifferent dengan aspek penyesuaian diri seksual serta aspek penyesuaian diri religius. Pohan (Laily dan Matulessy) berpendapat bahwa membicarakan masalah seks dengan anak sama sekali tidak tabu, yang penting disesuaikan dengan tingkat perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian Laily dan Matulessy (2004) disimpulkan bahwa orangtua hendaknya tetap mempertahankan pola sex expressive – yaitu orangtua mengintegrasikan seks kedalam kehidupan keluarga secara seimbang, orangtua tidak berbelit-belit ketika melakukan pendekatan masalah sekaul-karena pola tersebut merupakan pola komunikasi yang paling ideal dalam menyampaikan masalah seksual pada anak. Orangtua yang sering menggunakan pola sex expressive salah satunya karena orangtua memiliki banyak waktu di rumah sehingga kesempatan untuk berkomunikasi dengan anak juga banyak.
Bilsky dan Westman (Waruwu, 2003) menyatakan bahwa kedekatan individu pada ibunya (orangtua) akan sangat berdampak pada religi. Artinya hubungan pribadi dengan ibu mempengaruhi religi anak-anaknya. Agama sangat memuliakan anak. Orangtua salah mengurus anak artinya tidak bisa memegang amanah dari Tuhan. Anak butuh pengetahuan dan informasi yang alangkah baiknya, diluruskan oleh orang tua. Agar apa yang mereka lihat dari luar dan ajaran agama dari orang tua, itu bisa singkron. Orangtua juga harus mampu menerapkan pola asuh yang tepat untuk mengarahkan dan membentuk anak sesuai tujuan yang diinginkan karena pola asuh yang diterapkan orangtua terhadap anak akan mempengaruhi watak dan kepribadian anak Oleh karena itu sangat disayangkan jika masih ada orangtua yang memberikan pengasuhan secara permissive indifferent kepada anaknya. Mereka mengira dengan membiarkan si anak akan dapat menimbulkan sikap kemandirian dan ketahanan mental. Mereka tidak mengetahui bahwa perlakuan tersebut hanya akan membentuk anak berkepribadian lemah. Bila anak dibesarkan dalam pengasuhan orangtua yang mempunyai karakteristik adanya kontrol maupun penerimaan yang tinggi dari orangtua, dimana selain memberikan batasan-batasan orangtua juga merespon berbagai kebutuhan anak juga adanya sikap hangat dan pemberian kenyamanan bagi anak, maka anak akan tumbuh dengan menunjukan ciri-ciri harga diri yang tinggi, mandiri, perilaku menolong (altruistic) yang tinggi, percaya diri serta mempunyai prestasi yang baik di sekolah (Boyd & Bee, 2002). Karena itulah seharusnya orangtua mengasuh anak-anaknya penuh dengan cinta kasih, kehangatan dan penerimaan.
Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain : Pertama, skala yang digunakan sebagai alat ukur terdiri dari aitem-aitem favourable , sehingga tidak dapat mengukur konsistensi dari subjek penelitian. Dan yang kedua, subjek yang digunakan dalam penelitian ini sudah sering digunakan sebagai subjek dalam penelitian-penelitian yang lain sebelumnya sehingga pada saat pengisian angket subjek merasa jenuh dan dikhawatirkan jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan keadaan subjek yang sebenarnya.
A. Kesimpulan Hasil penelitian yang dilakukan pada responden dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan negatif antara pola asuh permissive indifferent dengan penyesuaian diri personal pada remaja. Artinya semakin tinggi tingkat pola asuh permissive indifferent yang diberikan pada remaja maka akan semakin rendah tingkat penyesuaian diri personal pada remaja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pola asuh permissive indifferent yang diberikan pada remaja maka akan semakin tinggi tingkat penyesuaian diri personal pada remaja. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima. 2. Variabel pola asuh permissive indifferent memberikan sumbangan efektif sebesar 5,6 % untuk meningkatkan penerapan penyesuaian diri personal pada remaja.
B. Saran Beberapa saran yang di ajukan oleh penulis di tujukan kepada : 1. Bagi orangtua agar tidak memberikan pengasuhan secara permissive indifferent kepada anak-anaknya agar anak dapat berkembang secara optimal dan mempunyai penyesuaian diri personal yang baik. 2. Masyarakat melalui kegiatan-kegiatan seminar yang mengangkat tema tentang keluarga, agar mencoba mengajarkan pola asuh anak secara khusus kepada para orangtua di seluruh Indonesia. Melalui kegiatan ini dimaksudkan guna membantu meningkatkan pengetahuan para orangtua dalam upaya mengasuh anak, terutama bagi orangtua yang sarat dengan kegiatan di luar rumah. 3. Penelitian ini berfokus pada pola asuh permissive indifferent dalam kaitannya dengan penyesuaian diri personal pada remaja. Banyak hal yang dapat digali berdasarkan topik tersebut serta mengembangkannya dalam konteks penelitian selanjutnya. Pada penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan tryout ulang apabila ingin memakai alat ukur yang digunakan oleh peneliti sehingga tingkat reliabilitas dan validitasnya menjadi lebih baik.