1
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN POLA ASUH DEMOKRATIS
Oleh : ROES SAFITRI HEPI WAHYUNINGSIH
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2007
2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN POLA ASUH DEMOKRATIS
Telah Disetujui Pada Tanggal
----------------------
Dosen Pembimbing Utama
(Hepi Wahyuningsih, S. Psi., M. Si.)
3
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN POLA ASUH DEMOKRATIS
Roes Safitri Hepi Wahyunungsih INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah ada hubungan antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Dugaan awal yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Semakin tinggi spiritualitas akan menunjukkan pola asuh demokratis yang tinggi begitupun sebaliknya semakin rendah spiritualitas semakin rendah pola asuh demokratis yang diterapkan. Subjek penelitian ini adalah ibu-ibu wali murid TK Aisyyah Bustanul Athfal Pandeyan I dan ibu-ibu wali murid SDIT Alam Nurul Islam kelas 1 dan kelas 2 dengan tingkat pendidikan minimal SLTA. Adapun skala yang digunakan adalah skala spiritualitas sejumlah 20 aitem berdasarkan aspek yang diambil dari pengertian menurut Delaney (2005) dan skala pola asuh demokratis yang berjumlah 32 aitem berdasarkan aspek pola asuh demokratis yang dikemukakan oleh Frazier (2000). Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik Product Moment dengan perangkat lunak program SPPSS versi 12,00 untuk menguji apakah ada hubungan antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Korelasi Product Moment dari Pearson menunjukkan korelasi sebesar r = 0,736; p = 0.000 atau p<0.01 yang artinya ada hubungan antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Jadi hipotesis penelitian ini diterima. Kata kunci : Spiritualitas, Pola asuh demokratis
4
PENGANTAR Keluarga merupakan mikrosistem bagi anak yang bertugas melindungi, merawat dan mendidik anak. Keluarga memberikan perlindungan bagi anak dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Keluarga juga berperan sebagai pendukung emosi dengan memberikan pengalaman pertama dalam interaksi sosial yang sifatnya intim, penuh kasih sayang dan rasa aman. Perlakuan orangtua terhadap anak berkaitan dengan perhatian, interaksi, sikap dan komunikasi orangtua dengan anak sering dikaitkan dengan pola asuh. (Lestari, 2006) Patten (2000) menyatakan bahwa pola asuh yang positif dan keluarga yang sehat merupakan dua faktor pokok yang membentengi anak dari ancaman di luar dirinya. Darling (1999) menyatakan bahwa pola asuh authoritative merupakan pola asuh yang paling memberikan kontribusi positif terhadap perkembangan anak yakni mengurangi kecenderungan perilaku agresif yang ada pada anak-anak dan mampu menetralisir berbagai dampak negatif yang setiap kali dihadapi oleh anak-anak. Lamborn
(Berndt,
1997)
menyatakan
orangtua
yang
authoritative
menghasilkan anak-anak yang memiliki hubungan yang baik dengan teman sebayanya. Ditambahkan oleh Davies & Cummings (Berndt, 1997) orangtua yang hangat mampu memberikan kontribusi bagi perkembangan sosioemosi anak. Pola asuh authoritative adalah pengasuhan orangtua yang mempunyai karakteristik adanya kontrol maupun penerimaan yang tinggi dari orangtua. Selain memberikan batasan-batasan orangtua juga merespon berbagai kebutuhan anak. Anak-anak yang orangtuanya authoritative menunjukkan ciri-ciri harga diri yang
5
tinggi, mandiri, perilaku menolong (altruistic) yang tinggi, percaya diri serta mempunyai prestasi yang baik di sekolah. (Boyd & Bee, 2002). Pola pengasuhan authoritative dikenal juga dengan istilah pola asuh demokratis karena keduanya mengandung pengertian yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1993) yang menyebutkan bahwa pola asuh demokratis ditandai dengan ciri-ciri bahwa anak-anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya, anak diakui keberadaannya oleh orang tua, anak
dilibatkan
dalam
pengambilan
keputusan.
Ciri-ciri
tersebut
ternyata
menunjukkan kesamaan dengan ciri-ciri pola asuh authoritative. Patten (2000) menjelaskan ciri-ciri pola asuh authoritative antara lain orangtua menetapkan aturan dalam berperilaku, memberikan dorongan kepada anak, hangat dan penuh pengertian. Mereka selalu berdialog dengan anak-anaknya, selalu mendengarkan keluhan-keluhan dan pendapat anak-anaknya. Mustaqim (2005) menyatakan bahwa di dalam Al Quran ada model pendidikan yang pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim a.s. Beliau adalah figur nabi yang diakui sebagai bapak monoteistik sejati. Salah satu keteladanan Nabi Ibrahim a.s. adalah sikap lembut, kasih sayang dan sikap demokratis beliau dalam mendidik anak. Hal ini sebagaimana tersurat dalam kisah yang menuturkan bahwa Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih putranya, Isma’ il. Maka, tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ”Wahai Putraku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka, pikirkanlah apa pendapatmu!”. Ia menjawab, ”Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. ”Tatkala keduanya (Ibrahim dan Isma’ il) telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan
6
anaknya (Isma’ il) atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan, Kami panggilah dia, ”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpimu”, sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada orangorang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan, Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (QS Al-Shaffat: 102-107). Dalam ayat tersebut diceritakan bahwa ketika Ibrahim a.s. bermimpi disuruh menyembelih putranya, Isma’ il, dengan ungkapan yang lembut dan penuh kasih sayang, yaitu kata”ya bunayya” (duhai anakku). Lalu Ibrahim a.s. bermusyawarah dengan meminta pendapat dari anaknya sambil mengatakan ”fanzhur ma dza tara” (bagaimana pendapatmu?). Hal ini mencerminkan sikap yang sangat demokratis dari Nabi Ibrahim a.s. sebagai seorang ayah. Sikap ini beliau tunjukkan kepada putranya agar sang putra mengetahui bahwa beliau tidak sewenang-wenang terhadap putranya. Seolah seperti gayung bersambut, Isma’ il a.s. yang masih kecil itu bersikap tegar dalam menghadapi perintah suci Allah yang akan melenyapkan nyawanya. Dengan tegas, dia mengatakan, ”if’ al ma tu’ mar” (Laksanakan apa yang telah diperintahkan kepadamu, wahai Ayah), jika itu memang perintah Allah. Kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua orangtua menerapkan pola asuh demokratis. Orangtua sekarang ini seringkali sangat ambisius terhadap anakanaknya, mereka ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada berbagai macam les untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan yang telah diperoleh anak di sekolahnya. Hal tersebut memang tidak salah, namun kebutuhan anak untuk bermain hendaknya jangan diabaikan karena
7
bermain adalah hal yang penting bagi perkembangan fisik dan mental anak (Tasmin, 2002). Fakta tersebut menunjukkan manifestasi pola asuh yang tidak demokratis. Menurut Shochib (1998) orangtua yang menerapkan pola asuh authoritative banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan, dan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin. Orangtua memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan minat dan bakatnya dan memberi motivasi untuk berprestasi sebaik mungkin. Orangtua mengupayakan sebuah lingkungan yang kaya akan rangsangan kreasi anak atau menciptakan suasana yang dapat menarik anak untuk mewujudkan bakat-bakat dan potensi kreativitasnya. Orangtua yang memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak mengakibatkan akses kepada anak untuk mengembangkan kreativitas, kemandirian, wawasan anak serta interaksi sosial yang semakin luas dengan temantemannya bilamana dapat diimbangi dengan kontrol keluarga yang baik. Brocht, dkk. (2004) menyatakan ada hubungan antara spiritualitas dengan kemampuan dalam mengasuh. Menurut Snider (Brocht, dkk, 2004) spiritualitas berhubungan dengan perilaku pola asuh yang positif dan kualitas hubungan antara orangtua dan remaja, seperti meningkatnya kehangatan. Richards, dkk. (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai bagian (a facet) dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup yang terungkap
8
dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order). Grant (Andayani dan Koentjoro, 2004) mengatakan masalah spiritual merupakan faktor yang mendukung keterlibatan orang tua dalam pengasuhan. Ini termasuk masalah nilai-nilai dan moralitas yang mengarahkan individu untuk bertindak secara tepat dalam lingkungan sosialnya. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan kekuatan yang ada di luarnya, hubungan dengan Tuhannya. Menyadari bahwa manusia merupakan makhluk yang terbatas kemampuannya maka pada suatu ketika manusia akan menyerahkan segalanya kepada kekuatan yang ada di luar tersebut. Rasa Ketuhanan yang ada pada masing-masing pihak, ini akan menjadi penuntun dalam kegiatan-kegiatannya. Salah satunya spiritualitas berperan sebagai suatu kekuatan dalam keluarga. Adanya spiritualitas menjadikan hidup lebih bermakna dan memberi dukungan di dalam menjalani kehidupan sehari-hari bahkan di saat-saat sulit sekalipun. Berdasarkan penjelasan di atas diperoleh gambaran bahwa pola asuh demokratis sangat penting dan memiliki dampak yang positif bagi perkembangan anak. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui secara empiris benarkah spiritualitas mempengaruhi pola asuh demokratis. TINJAUAN PUSTAKA Pola Asuh Demokratis Darling (1999) mendefinisikan authoritative parenting style sebagai pola asuh yang ditunjukkan dengan adanya tuntutan dan respon dari orangtua terhadap
9
berbagai kebutuhan anak. Dalam pola asuh ini, orangtua memberikan penjelasan dan pengawasan atas berbagai peraturan yang telah disepakati antara orangtua dengan anak. Baumrind
(Santrock,
(authoritative
parenting)
menetapkan
batas-batas
2002)
mendorong dan
menjelaskan anak-anak
pengendalian
atas
pengasuhan agar
yang
mandiri
otoritatif
tetapi
tindakan-tindakan
masih mereka.
Musyawarah verbal yang ekstensif dimungkinkan dan orangtua memperlihatkan kehangatan serta kasih sayang kepada anak. Lebih lanjut, pengasuhan yang otoritatif diasosiasikan dengan kompetensi sosial anak-anak. LeFebvre (2004) menyatakan pola asuh authoritative sebagai pola asuh yang positif. Orangtua mempunyai harapan yang tinggi kepada anak, konsisten dalam menerapkan aturan, mendorong anak untuk mandiri, serta adanya komunikasi dua arah dengan kemampuan sebagai pendengar yang baik. Frazier (2000) mengartikan authoritative style merupakan kombinasi dua tugas baik mengembangkan serta memelihara hubungan dekat, adanya kehangatan dengan anak-anak dan pada waktu yang bersamaan juga menetapkan struktur dan aturan yang dikuatkan saat diperlukan. Frazier (2000) membagi aspek pola asuh authoritative sebagai berikut: a.
Aturan perilaku (behavioral guidelines) Orangtua fleksibel dalam memeriksa dan menyesuaikan aturan tersebut, mencocokkannya
berdasarkan
kemampuan
pengambilan keputusan dan autonomi.
pertumbuhan
anak
dalam
10
b.
Kualitas hubungan emosional orangtua-anak (emotional quality of parentchild relationship) Hubungan antara orangtua dengan anak dalam pendekatan ini mempunyai karakteristik antara lain adanya kehangatan, ramah tamah, dan saling menghormati.
c.
Perilaku mendukung (behaviors encouraged) Pola asuh demokratis mempunyai ciri adanya perilaku yang mendukung dari orangtua. Artinya bahwa tujuan utama dari aturan perilaku adalah memajukan pertumbuhan autonomi anak.
d.
Tingkat konflik orangtua-anak (levels of parent-child conflict) Menurut pendekatan ini tingkat konflik antara orangtua dan anak rendah. Ciri dari pendekatan ini adalah saling percaya yang mengembangkan kedekatan, pedoman yang teratur dan toleransi atas perbedaan.
Spiritualitas Secara terminologis, spiritualitas diambil dari kata “spirit”. Di dalam agama dan spiritualitas, istilah spirit memiliki dua makna substansial yaitu: a.
Karakter dari jiwa-jiwa manusia, yang masing-masing saling berkaitan, serta pengalaman dari keterkaitan jiwa-jiwa tersebut merupakan dasar utama dari keyakinan spiritual. “Spirit” merupakan bagian terdalam dari jiwa, dan alat komunikasi yang memungkinkan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan.
11
b.
“Spirit” mengacu pada konsep bahwa semua “spirit” yang saling berkaitan merupakan
bagian
dari
sebuah
kesatuan
yang
lebih
besar
(www.wikipedia.com). Richards, dkk. (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai sebuah komponen diri yang menghasilkan makna-makna serta tujuan-tujuan dalam hidup, menyajikan pengalaman transedensi pribadi dan hubungan-hubungan dengan tatanan universal. Emmons (Richards, 2001) sebagai suatu sumber motivasi intrinsik, spiritualitas menjadi suatu konstruk yang relatif stabil dan akan mengarahkan individu pada tujuan yang dapat teridentifikasi. Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Delaney (2005) mendefinisikan spiritualitas sebagai fenomena multidimensi, merupakan pengalaman yang bersifat universal, bagian konstruksosial dan perkembangan individu sepanjang hidup. Spiritualitas adalah meliputi konteks pribadi, hubungan antar pribadi serta transpersonal. Delaney (2005) membagi spiritualitas dalam empat aspek yaitu: 1) Higher power or universal intelligence, yaitu suatu kepercayaan kepada kekuatan yang lebih tinggi atau kecerdasan universal yang mungkin atau tidak mungkin meliputi praktek-praktek religius formal. 2) Self-Discovery, yaitu perjalanan spiritual yang dimulai dengan refleksi dalam diri serta pencarian makna dan tujuan.
12
3) Relationships, yaitu suatu hubungan integral dengan orang lain berdasar rasa hormat yang mendalam serta penghormatan untuk kehidupan, serta dikenal dan berpengalaman dalam berhubungan. 4) Eco-awareness, yaitu suatu hubungan integral dengan alam berdasar rasa hormat yang mendalam serta penghormatan untuk lingkungan dan kepercayaan bahwa bumi itu suci. Delaney kemudian memasukkan aspek higher power or universal intelligence ke dalam aspek eco-awareness sehingga spiritualitas terbagi menjadi tiga aspek antara lain self-discovery, relationships dan eco-awareness (meliputi higher power/universal awareness). Hubungan antara Spiritualitas dengan Pola Asuh Demokratis Aspek-aspek yang termasuk dalam spiritualitas antara lain aspek ecoawareness (higher power/universal intelligence), aspek self discovery dan aspek relationships. Eco-awareness yaitu suatu kepercayaan kepada kekuatan yang lebih tinggi atau kecerdasan universal. Self-discovery yaitu pencarian makna dan tujuan dalam hidup. Relationships yaitu suatu hubungan integral dengan orang lain berdasar rasa hormat yang mendalam Iman terhadap Tuhan dalam segala kesempurnaannya akan banyak mempengaruhi terhadap keseluruhan hidup manusia baik dalam kehidupan batinnya maupun dalam kehidupan fisiknya yang berupa tingkah laku dan perbuatannya. Iman kepada Tuhan akan banyak pengaruhnya di dalam memberikan arah ke dalam
13
kehidupan seseorang, bentuk kehidupan yang bagaimana harus dilakukan dan kemudian akan memberikan nilai terhadap kehidupan itu sendiri sehingga dengan demikian iman menjadi moral force (kekuatan moral) dan juga menjadi alat kontrol yang efektif dalam setiap kelakuan religious manusia, manakah perbuatan yang pantas untuk dikerjakan dan manakah yang tidak pantas untuk dilakukan (Anshari, 1991). Demikian pula jika hal ini dikaitkan dengan pola asuh demokratis, orangtua akan memberikan tindakan atau bimbingan bagaimana bertindak secara baik. Orangtua mampu memberikan keteladanan yang baik kepada anak-anaknya karena anak seringkali menjadikan kedua orangtuanya sebagai contoh dalam bertindak dan bergaul. Salah satunya dengan cara membuat aturan di rumah untuk mengajarkan sikap disiplin sehingga anak dapat berperilaku yang baik pula. Di sisi lain orangtua juga memberikan kesempatan kepada anak untuk menilai aturan atau pedoman yang ditetapkan di dalam rumah. Ancok (2003) menyatakan bahwa kehidupan yang sehat adalah kehidupan yang penuh makna. Hanya dengan makna yang baik orang akan menjadi insan yang berguna tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, istri, keluarga dekat, komunitas, negara bahkan umat manusia. Kaitan dengan pola asuh demokratis, bahwa orangtua berusaha untuk mengembangkan aspek sosial dan aspek individual anak secara seimbang. Aspek
14
individualistik termasuk bagian dari upaya untuk mengembangkan potensi anak agar menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif. Orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis akan menciptakan situasi yang kondusif bagi perkembangan anak. Carson pengembangan
(Smith, spiritual
1994
dan
mencakup
Emmons, pelayanan,
2000)
mengungkapkan
sementara
orang
lain
bahwa telah
menghubungan spiritualitas dengan cinta, perhatian, kebijaksanaan, imajinasi, pengampuan dan kasih sayang. Orangtua dalam hal ini bisa menjadi contoh konkrit bahwa mereka mendidik anaknya dengan baik dimotivasi oleh spiritualitas dalam diri mereka. Orangtua yang spiritual adalah orangtua yang penuh pengertian dan kasih sayang. Bogan (Brocht dkk, 2004) menemukan spiritualitas orangtua yang tinggi menjadikan hubungan keluarga menjadi lebih kohesif, konflik di antara orangtua sedikit dan masalah remaja baik eksternal maupun internal berkurang. Orangtua yang mengabaikan faktor spiritualitas dalam pengasuhan akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Sebuah penelitian menunjukkan perilaku remaja yang beresiko seperti penyalahgunaan obat, kekerasan, keluar dari sekolah signifikan dengan menurunnya spiritualitas di dalam rumah tangga. (Brocht dkk, 2004). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat ditarik kesimpulan bahwa spiritualitas sangat berperan penting dalam penerapan pola asuh demokratis. HIPOTESIS Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Semakin tinggi tingkat spiritualitas
15
semakin tinggi pola asuh demokratis yang diterapkan orangtua pada anaknya. Sebaliknya, semakin rendah spiritualitas maka semakin rendah pula tingkat pola asuh demokratis orangtua. METODE PENELITIAN Variabel Variabel tergantung : Pola Asuh Demokratis Variabel bebas
: Spiritualitas
Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Ibu-ibu wali murid TK Aisyyah Bustanul Athfal Pandeyan I yang memiliki tingkat pendidikan minimal SLTA. 2. Ibu-ibu wali murid SDIT Alam Nurul Islam kelas 1 dan kelas 2 yang memiliki tingkat pendidikan minimal SLTA. Alat ukur Metode
pengumpulan
data
dalam
penelitian
ini
dilakukan
dengan
menggunakan metode skala. Skala ini menggunakan lembar identitas diri sebagai pelengkap data penelitian, di antaranya: nama (inisial), status, usia, pekerjaan, tingkat pendidikan, jumlah anak dan usia anak. Ada dua skala yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala pola asuh demokratis dan skala spiritualitas. Skala pola asuh demokratis merupakan modifikasi dari skala pola asuh demokratis yang disusun oleh Abdurrahman (2005). Pola asuh demokratis terdiri dari beberapa aspek, yaitu: aspek batasan perilaku (behavioral guidelines), kualitas
16
hubungan emosional orangtua-anak (emotional quality of parent-child relationship), perilaku mendukung (behaviours encouraged), dan tingkat konflik orangtua-anak (levels of parent-child conflict) (Frazier, 2000). Aitem pada skala ini bersifat favourable dan unfavourable yang terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu: (SS) Sangat sesuai, (S) Sesuai, (TS) Tidak sesuai dan (STS) Sangat Tidak Sesuai. Kriteria pemberian skor dilakukan dengan memberi nilai untuk aitem favourable dengan skor tertinggi 4 pada jawaban sangat sesuai dan skor terendah pada jawaban sangat tidak sesuai (STS) dengan skor 1 dan sebaliknya untuk jawaban unfavourable, skor tertinggi terletak pada jawaban sangat tidak sesuai (STS) dengan skor 4 dan skor terendah terletak pada jawaban sangat sesuai dengan skor 1. Hasil analisis data dengan menggunakan koefisien korelasi diatas 0,25 menunjukkan bahwa terdapat 32 aitem yang sahih dengan aitem totalnya begerak antara 0,271 sampai dengan 0,710 dengan nilai koefisien reliabilitas alpha (a) sebesar 0,918. Skala spiritualitas dalam penelitian ini diungkap dengan mengadaptasi kemudian memodifikasi skala spiritualitas yang disusun oleh Delaney (2005). Skala spiritualitas berisi aspek-aspek yaitu: kekuatan yang lebih tinggi atau kecerdasan universal
(eco-awareness),
penemuan
diri
(self-discovery),
dan
hubungan
(relationships). Sama halnya dengan skala pola asuh demokratis, aitem pada skala ini bersifat favourable dan unfavourable yang terdiri dari empat alternatif jawaban, yaitu: (SS) Sangat sesuai, (S) Sesuai, (TS) Tidak sesuai dan (STS) Sangat Tidak Sesuai. Pemberian skor adalah berdasarkan pada favourable atau tidaknya aitem. Untuk aitem favourabel, skor tertinggi pada jawaban sangat sesuai (SS) dengan skor
17
4, sedangkan skor terendah terletak pada jawaban sangat tidak sesuai (STS) dengan skor 1. Sebaliknya untuk aitem yang unfavorable skor tertinggi terletak pada jawaban sangat tidak sesuai (STS) dengan skor 4 dan skor terendah pada jawaban sangat sesuai (SS) dengan skor 1. Skala spiritualitas terdiri dari 20 aitem sahih dengan aitem totalnya begerak antara 0,264 sampai dengan 0,655 dan diperoleh nilai koefisien reliabilitas alpha (a) sebesar 0,869. Metode Analisis data Data dalam penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan tekhnik korelasi product moments dari Pearson untuk mengetahui hubungan antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Sebelum dilakukan uji hipotesis, dilakukan uji normalitas dan uji linieritas terlebih dahulu. Keseluruhan dari analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS 12.0 for windows. HASIL PENELITIAN Uji Normalitas Uji normalitas ini menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov test, di mana terlihat taraf signifikansinya lebih dari 0,05 atau p>0,05. Pada variable pola asuh demokratis signifikansinya 0,601 sedangkan variabel spiritualitas signifikansi 0,864, karena p>0,05 maka distribusi tes normal. Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui apakah hubungan antara variabel dependen dan variabel independen bersifat linier (garis lurus). Hasil uji asumsi linieritas diperoleh nilai F sebesar 70,750 dengan p = 0,000 (p<0,05). Berdasarkan
18
hal ini dapat dikatakan bahwa hubungan antara variabel spiritualitas dan pola asuh demokratis memenuhi asumsi linieritas. Uji Hipotesis Tabel 1 Correlations spiritualitas spiritualitas
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation
PA
Sig. (1-tailed) N
PA
1 . 60 .736(**)
.736(**) .000 60 1
.000
.
60
60
Analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa besarnya koefisien korelasi antara variabel spiritualitas dengan pola asuh demokratis sebesar r= 0.736 dengan p = 0.000 (p<0,01). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan hubungan positif antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. Dengan demikian hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Analisis Tambahan Tabel 2 Analisis Tambahan Model Summary
Model
1 2 3
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Change Statistics
.668(a) .716(b)
.447 .513
.437 .496
7.23124 6.84567
R Square Change .447 .066
.747(c)
.558
.534
6.57960
.045
F Change 46.817 7.717 5.703
df1 1 1
df2 58 57
Sig. F Change .000 .007
1
56
.020
19
a Predictors: (Constant), SD b Predictors: (Constant), SD, R c Predictors: (Constant), SD, R, HP
Analisis regresi menggunakan metode stepwise bertujuan untuk melihat aspek manakah yang paling berpengaruh untuk menjadi prediktor pola asuh demokratis orangtua. Berdasarkan analisis regresi dapat disimpulkan bahwa semua aspek spiritualitas berpengaruh terhadap pola asuh demokratis baik self discovery (refleksi diri, pencarian makna dan tujuan), aspek eco-awarenes (kepercayaan akan kekuatan yang lebih tinggi) maupun relationship (hubungan dengan yang lain atas dasar penghormatan). Pada aspek self discovery yaitu manusia mempunyai tujuan dalam hidupnya, mampu menemukan makna dari setiap peristiwa yang dialami sehari-harinya. Pada aspek eco-awareness yaitu percaya adanya Tuhan, mempunyai keterikatan dengan Tuhan misalnya dengan berdoa, percaya bahwa Tuhan akan menolong manusia ketika mempunyai masalah dalam hidup. Pada aspek relationship yaitu percaya bahwa semua makhluk berhak untuk dihormati, mampu mencintai orang lain dan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lain. Aspek self discovery menyumbang 44,7%, aspek relationship 6,6% dan eco-awareness 4,5% yang mempengaruhi pola asuh demokratis. Pembahasan Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis artinya semakin tinggi tingkat spiritualitas orangtua maka akan semakin tinggi pula pola asuh demokratis yang diterapkan pada anaknya. Semakin rendah tingkat spiritualitas orangtua maka akan
20
semakin rendah pula pola asuh demokratis yang diterapkan orangtua kepada anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan peneliti diterima. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kategori skor spiritualitas dan skor pola asuh demokratis subjek secara dominan termasuk pada kategori sangat tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara keduanya. Pola asuh demokratis dikategorikan tinggi karena adanya sumbangan besar dari faktor spiritualitas
yang
mempengaruhinya.
Hasil
analisis
menghasilkan
koefisien
determinasi (R squared) variabel spiritualitas dan pola asuh demokratis sebesar 0.541, besarnya angka ini berarti bahwa spiritualitas sangat berperan di dalam penerapan pola asuh. Semakin tinggi spiritualitas maka semakin tinggi pula penerapan pola asuh demokratis. Bogan (Brocht,dkk, 2004) mengatakan bahwa orangtua dengan spiritualitas yang tinggi menyebabkan hubungan di antara anggota menjadi lebih kohesif, konflik yang terjadi antara orangtua dengan anak rendah dan permasalahan yang dialami berkurang. Hal ini sesuai dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa spiritualitas orangtua menjadikan hubungan emosi antara anak dengan orangtua menjadi lebih hangat, tingkat konflik yang terjadi antara anak dengan orangtua rendah. Menjadi orangtua yang spiritual tidak menjamin bahwa orangtua dan anak tidak akan pernah bertengkar. Tetapi dengan berpijak pada kesadaran spiritual, suatu keyakinan kepada Tuhan, akan membantu anak-anak dan orangtua mendekati pengalaman pengalaman negatif ini dengan cara yang baru.
21
Berdasarkan Tabel 7 subjek penelitian menunjukkan pola asuh demokartis dengan kategori sangat tinggi. Selain itu beberapa aitem juga memperlihatkan pola asuh demokratis dengan kategori sangat tinggi yaitu sebanyak 60 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 4 yang berbunyi “Apabila anak saya marah, saya ingin tahu apa yang membuatnya marah”, sebanyak 76,7 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 8 yang berbunyi “Saya akan meminta maaf pada anak saya bila saya telah berbuat salah padanya”, sebanyak 70 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 14 yang berbunyi “Saya memberikan bimbingan bagaimana anak saya seharusnya bergaul dengan orang lain”, sebanyak 55 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 18 yang berbunyi “Saya adalah teman yang baik bagi anak saya”, dan sebanyak 60 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 31 yang berbunyi “Saya membelai rambut anak saya untuk menenangkan perasaannya”. Berdasarkan Tabel 8 subjek penelitian menunjukkan spiritualitas dengan kategori sangat tinggi. Selain itu beberapa aitem juga memperlihatkan spiritualitas dengan kategori sangat tinggi yaitu sebanyak 88,3 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 1 yang berbunyi “Saya percaya bahwa kehidupan ini memiliki makna yang luas”, sebanyak 85 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 10 yang berbunyi “Dalam keadaan apapun saya selalu mengingat Tuhan”, sebanyak 80 % subjek menjawab SANGAT SESUAI untuk aitem 18 yang berbunyi “Saya mengawali setiap kegiatan dengan berdoa”, dan sebanyak 83,3 % subjek menjawab
22
SANGAT SESUAI untuk aitem 19 yang berbunyi “Dengan membaca kitab suci hati saya menjadi tenang”. Kategori spiritualitas dan pola asuh demokratis subjek yang secara dominan berada pada kategori sangat tinggi, juga memberi gambaran bahwa subjek banyak dipengaruhi oleh situasi sosial yang melingkupinya misalnya adanya rutinitas seperti pengajian yang diselenggarakan oleh pihak sekolah sehingga mampu membentuk pribadi (orangtua) yang memiliki spiritualitas yang tinggi. Berdasarkan pengamatan penulis ada beberapa wali murid yang sewaktu menjemput anaknya pulang sekolah juga menyempatkan diri untuk beribadah bersama-sama. Adanya buku penghubung dapat menjadi media interaksi antara orangtua dengan pihak sekolah sehingga terjalin kerjasama dalam pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah. Selain itu tingginya skor pola asuh demokratis didukung oleh faktor tingkat pendidikan orangtua (minimal SLTA) yang digunakan sebagai batasan dalam menentukan subjek dalam penelitian ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Bornstein (1998) yang menyatakan orangtua yang lebih berpendidikan cenderung untuk menggunakan pola asuh demokratis. Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan antara lain pertama, jumlah subjek dalam penelitian ini jumlahnya masih sangat terbatas sehingga kurang mewakili populasi yang diinginkan. Kedua, subjek penelitian sebagian besar dalam kategori sangat tinggi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena angket dibawa pulang dan diambil beberapa hari kemudian sehingga pengerjaan angket dapat dilakukan oleh orang lain yang menyebabkan kurang maksimalnya data penelitian.
23
Oleh karena itu sebaiknya pada saat pengambilan data dilakukan secara bersamaan dan ditunggu sehingga terdapat adanya kontrol. KESIMPULAN Berdasarkan
penelitian
dan
pembahasan
yang
dilakukan
didapatkan
kesimpulan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara spiritualitas dengan pola asuh demokratis. 2. Subjek penelitian secara keseluruhan memiliki tingkat pola asuh demokratis yang sangat tinggi. 3. Subjek penelitian secara keseluruhan memiliki tingkat spiritualitas yang sangat tinggi. 4.
Dari 3 aspek spiritualitas yaitu aspek self discovery, eco-awareness maupun relationship ternyata ketiga-tiganya bisa diperhitungkan sebagai prediktor untuk terbentuknya pola asuh demokratis pada subjek penelitian ini. Dari ketiga aspek tersebut yang memiliki prosentase paling besar yakni aspek self discovery (pencarian makna dan tujuan dalam hidup). SARAN Beberapa saran yang diajukan oleh penulis ditujukan kepada :
1. Bagi orangtua agar terus mempertahankan tingkat spiritualitas yang dimiliki guna mendukung proses pengasuhan terhadap anak. 2. Lembaga pendidikan agar dapat terus membangun interaksi dengan pihak orangtua sebagai penanggung jawab anak-anak. Diharapkan dengan adanya
24
dukungan tersebut dapat mengembangkan pengasuhan ke arah yang lebih baik lagi. 3. Penelitian ini berfokus pada peran spiritualitas dalam kaitannya dengan penerapan pola asuh demokratis orangtua. Banyak hal yang dapat digali berdasarkan topik tersebut serta mengembangkannya dalam konteks penelitian selanjutnya. Pada penelitian selanjutnya disarankan agar penelitiannya tidak terbatas pada kelompok ibu-ibu, melakukan perbaikan alat ukur terus menerus sehingga tingkat reliabilitas dan validitasnya menjadi lebih baik dan mampu menemukan metode pengambilan data yang lebih efektif sehingga jumlah subjek yang didapatkan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Selain itu perlu diperhatikan juga pada saat pengambilan data hendaknya peneliti memilih waktu yang tepat sehingga terdapat adanya kontrol atau pengawasan saat pengisian skala.
25
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman dan Wahyuningsih, H. 2005. Hubungan Kendali Diri dan Pola Asuh Demokratis. Program studi Psikologi Universitas Islam Indonesia: Skripsi (tidak diterbitkan) Ancok, D. 2003. Pengantar. Dalam Victor E. Frank, Logoterapi; Terapi Psikologi melalui Pemahaman Eksistansi. Penterjemah M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana Andayani, B dan Koentjoro. 2004. Peran Ayah Menuju Coparenting. Citra Media Anshari. 1991. Dasar-dasar Ilmu Jiwa Agama. Surabaya: Usaha Nasional Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Azwar, S. 2005. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Banawiratma, J. B. 2000. Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekonomis. Yogyakarta: Kanisius Berndt, T.J. 1997. Child Development. Brown & Benchmark Publisher. Berns, R. A. 2004. Child, Family, School, Community: Socialization and Support. Sixth Edition. Wadsworth: Thomson Learning, Inc. Bornstein. Marc. H. 1998. Refocusing on Parenting. http://parenthood.library.wisc.edu? Bornstein/Bornstein.html Boyd, D & Bee, H. 2002. Life Span Development. Fourth Edition Bradley, Nicki. 2006. Authoritative Parenting: An Overview. http://parenting.families.com Bridges, L. J & Moore, K. A. 2002. Religion and Spirituality in Childhood and Adolescence. Childs Trends General Informationce Brocht, Chauna; dkk. 2004. Effects of Spirituality on Women’ s Parenting Sense of Competence. University of Maryland. Baltimore Darling, N. 1999. Parenting Style and Its Correlates. University of Illinois: Eric Digest
26
Delaney, C. The Spirituality Scale Development and Psychometric Testing of a Holisyic Instrument to Assess the Human Spiritual Dimension. Journal Of Holistic, Vol.23 No. 2, June 2005 146-167 Dini. 2004. Cara mudah mendidik anak. http://www.pks-anz.org/. 08/05/2004 Emmons, R. A. 2000. Is Spirituality an Intelligence? Motivation, Cognition, and the Psychology of Ultimate Concern. The International Journal for The Psychology of Religion, 10 (1): 3-26 Frazier, Barbara. M. S. W. 2000. Parental Issues2. http://www. thesuccessfulparent.com/articles /styles. htm. Gerungan. W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Erascos Green, Suzanne. 2001. Authoritaive Parent. http://www.oberlin.edu/faculty/ndarling/adfamb1.htm Horner,B. 2001. Adolescence: Change and Continuity. http://www.oberlin.edu/faculty/ndarling/adfamb1.htm. Hurlock, Elizabeth. B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga Larasati. 2006. Timang-timang Anakku Sayang. http://yenk.wordpress.com. 05/03/2006 Lestari, S. 2006. Program Parenting: Sebagai Upaya Preventif Tindak Kekerasan pada Anak. Makalah Seminar Nasional Kekerasan pada Anak: Sebab, Akibat dan Solusi (Perspektif Psikologis, Medis dan Yuridis). Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Program Magister Psikologi, 29-30 April 2006 LeFebvre, J. E. 2004. What’ s Your Parenting Style?. http://www.uwex.edu/ces/flp/pp/ Mustaqim, A. 2005. Menjadi Orangtua Bijak: Solusi Kreatif Menangani Pelbagai Masalah Pada Anak. Bandung: Al Bayan PT Mizan Pustaka Nasr, S. H. 2004. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim. Bandung: Mizan. Patten,
P. 2000. The Parent-Child Relationships as http://npin.org/pnews/2000/pnew700/feat700.html
Violance
Prevention.
27
Piedmont, R. L. 2001. Spiritual Transcendence and the Scientific Study of Spirituality. Journal of Rehabilitation, 67 (1): 4-14 Richards, T. A. dkk. 1999. Spiritual Aspects of Loss Among Partners of Men with AIDS: Post Bereavement Follow-Up. Death Study, 23: 105-107 Santrock, J. W. 2002. Life Span Development. Jakarta: Erlangga Saputra, U.T. Melatih Spiritualitas, Membangun Jemaat. http://www.gkimy.or.id/ 27/11/2006 Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius Shochib, Moh. 1998. Pola Asuh Orangtua untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: Rineka Cipta Smith, D. W. 1994. Theory of Spirituality. Journal of Holistic Nursing, 9. Tasmin, Martina. R. S. 2002. Belajar Lebih Penting Daripada Bermain. http://www.e-psikologi.com Wikipedia, The Free Encyclopedia. Spirituality. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Template:spirituality&action=edit (Diakses tanggal 25/06/2006). Woods, T. E. & Ironson, G. H. 1999. Religion and Spirituality in the Face of Illness: How Cancer, Cardias, and HIV Patients Describe Their Spirituality/Religiosity. Journal of Health Psychology, 4: 393-412
IDENTITAS PENULIS NAMA
: Roes Safitri
NIM
: 02 320 163
Alamat
: Pandeyan UH V/822 Yogyakarta 55161
No HP
: 081 804 120 971