2
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Oleh : RIKA LESTARI TRI UTAMI RINA MULYATI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2009
3
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Telah Disetujui Pada Tanggal
________________________
Dosen Pembimbing Utama
(Rina Mulyati, S.Psi.,M.Si )
4
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH OTORITER DENGAN PERILAKU BULLYING PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH
Rika Lestari Tri Utami Rina Mulyati
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah. Hipotesisnya, ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah. Semakin tinggi pola asuh otoriter semakin tinggi perilaku bullying. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kejuruan tingkat menengah keatas, kelas 2 dan 3, berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, tinggal bersama orangtua, berdomisili di yogyakarta, terdiri dari 85 siswa. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket yang terdiri dari skala pola asuh otoriter dengan 43 aitem, rancangan penulis berdasarkan konsep Baumbrind (Garcia,2007), dan skala perilaku bullying dengan 43 aitem, rancangan penulis berdasarkan konsep Rigby (Riauskina dkk, 2005). Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik product moment. Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. Korelasi product moment dari Pearson menunjukkan korelasi r sebesar 0,245, dengan p = 0,012 (p<0,01) pada uji korelasi satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter maka semakin tinggi perilaku bullying ada keterkaitan dimana pola asuh otoriter rendah maka semakin rendah perilaku bullying. Kata kunci : Pola Asuh Otoriter, Perilaku Bullying
5
Pengantar Permasalahan remaja dalam dunia pendidikan seringkali muncul, baik pihak akademisi maupun orangtua dituntut untuk lebih bekerjasama dalam hal ini. Pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Keluarga khususnya orangtua memegang peranan penting dalam membentuk sikap dan perilaku anak. Berbagai permasalahan dapat mempengaruhi minat anak untuk mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Sejalan dengan itu, Astuti, (2008) menyebutkan bahwa penekanan dari sekelompok individu yang lebih kuat, lebih senior, lebih besar, terhadap individu atau bisa juga beberapa individu yang lebih lemah, lebih kecil, lebih junior, dapat berujung pada pemerasan (meminta uang atau materi), tetapi dapat juga dalam bentuk lain dengan menyuruh korban melakukan sesuatu yang sama sekali tidak disukai oleh korban, penekanan tersebut tidak terjadi sekali atau dua kali tetapi berkelanjutan bahkan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjadi semacam kebiasaan atau bahkan kebudayaan dari kelompok. Perilaku penekanan tersebut diatas biasanya disebut dengan istilah bullying atau penindasan yang dilakukan oleh teman–teman sebayanya (peer group). Perilaku bullying kurang begitu diperhatikan, karena dianggap tidak memiliki pengaruh yang besar pada siswa. Penelitian SEJIWA (2007) menyebutkan bahwa sebagian kecil guru menganggap bullying merupakan perilaku normal. Sekitar 27,5% dari guru yang disurvei menganggap bahwa bullying tidak mengganggu keadaan psikologis siswa. Hal tersebut tidak bisa dianggap normal karena siswa tidak dapat belajar apabila siswa berada dalam keadaan tertekan, terancam dan ada
6
yang menindasnya setiap hari sehingga perilaku bullying tidak bisa dianggap normal atau biasa (Netto, 2007). Bullying terjadi mulai dari kalangan pendidikan pra-sekolah hingga perkuliahan. Perilaku bullying diantaranya adalah labeling (memberikan julukan terhadap temannya), pemukulan terhadap teman, dan juga pemerasan baik materiil maupun non-materil. Perilaku ini paling sering terjadi pada masa–masa sekolah menengah keatas (SMA), dikarenakan pada masa ini remaja memiliki egosentrisme yang tinggi (Edwards, 2006). Sebuah survei yang dilakukan oleh Ratna Juwita psikolog UI pada tahun 2005 dari tiga kota yaitu Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta
mengenai gambaran
bullying di sekolah, ditemukan kasus bullying 70,65 persen SMP dan SMA di Yogyakarta,
akan tetapi belum diketahui sebap tingginya persentase bullying
tersebut. Ditemukan sekolah di Yogyakarta yang tingkat bullyingnya rendah, sesuai dengan hasil survei disebutkan bahwa sekolah tersebut berada di daerah pinggiran kota Yogyakarta (Riauskina dkk, 2005). Perilaku bullying mungkin terjadi karena proses modeling dari pola asuh dimasa kecil atau dari media cetak maupun elektronik yang seringkali menayangkan contoh-contoh kekerasan. Norma atau nilai memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya bullying sekaligus kenakalan remaja pada umumnya. Terutama pada nilai-nilai agama, terkait pula dengan keimanan dan pembentukan akhlak. Sekelompok siswa yang memiliki afiliasi terhadap nilai agama yang cukup kuat akan mengarahkan potensinya kepada hal-hal positif, dan lebih prestatif dalam akademis (Ghuraba, 2008).
7
Hurlock (1993) menyebutkan korban dari intimidasi ialah sekelompok target yang menjadi reaksi berulang dalam konteks dimana ia memiliki kekuatan dan kebanggaan yang kurang dibandingkan orang–orang yang melakukan agresi terhadapnya. Korban bullying bukan yang paling kecil atau yang paling lemah tetapi sering kali korban tidak dapat membela diri ataupun menghentikan perlakuan intimidasi temannya, sehingga selalu menjadi korban dari intimidasi. Rice dan Dolgin (2008) manambahkan bahwa bullying merupakan perilaku yang dipicu perilaku agresif dengan kecenderungan menyakiti orang lain yang biasanya berulang lagi dan lagi, dan berpangkal dari perbedaan yang dapat dilihat diantara pelaku bullying dengan korbannya. Sama halnya dengan pendapat Papalia et al (2004) bahwa bullying adalah perilaku agresif yang disengaja dan dilakukan berulang untuk menyerang target atau korban, yang secara khusus korban adalah orang yang lemah, mudah diejek dan tidak bisa membela diri. Berns (2004) menyebutkan bahwa bullying yaitu perbuatan negatif yang biasa dilakukan oleh satu atau bahkan beberapa siswa seperti mengancam, mengganggu, memanggil dengan istilah, wajah atau bahasa tubuh yang menandakan tidak suka atau mengejek, memukul, menendang, mencubit, dan penganiayaan fisik lainnya yang korbannya senantiasa mendapat perlakuan yang dapat dilihat dan diulang dalam waktu yang lama. Sejalan dengan pendapat diatas, Riauskina dkk (2005) mengemukakan bahwa peristiwa penindasan di lingkungan sekolah (school bullying) yaitu perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang berkuasa
8
terhadap siswa-siswi lain yang lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut. Korban dari bullying menyebutkan memiliki persepsi bahwa pelaku melakukan bullying lebih karena tradisi, yaitu balas dendam karena pernah mendapat perlakuan sama (menurut korban laki-laki), sedangkan menurut korban perempuan yaitu ingin menunjukkan bahwa dia memiliki kekuasaan, marah pada korban yang tidak berperilaku sesuai yang pelaku harapkan, mendapat kepuasan setelah membullying korbannya, serta iri hati. Korban juga mempersepsikan dirinya dijadikan korban perploncoan karena berpenampilan mencolok, perilakunya tidak sesuai, dianggap berperilaku tidak sopan, dan sudah menjadi tradisi. School bullying disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan dimana para pelaku memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa tidak berdaya untuk melawan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak perilaku bullying terhadap korbannya yaitu korban cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being), penyesuaian sosial yang buruk yang mengakibatkan korban terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, merasa enggan untuk berangkat ke sekolah, sering merasa kesepian, sering bolos sekolah, gangguan psikologis, dan kesehatan memburuk. Sejalan dengan itu, Riauskina, dkk (2005) memandang bahwa apabila ditinjau lebih jauh korban bullying dapat mengalami gangguan psikologis seperti rasa cemas yang berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stress pasca-trauma (posttraumatic stress disorder). Selain dampak negatif dari segi psikologis ada juga dari segi fisik seperti sakit kepala, sakit tenggorokan, flu, bibir pecah-pecah, dan sakit
9
dada. Sedangkan bagi para korban bullying yang langsung mengalami perilaku agresif juga dapat mengalami luka-luka fisik. Salah satu contoh gambaran dari banyaknya peristiwa bullying di sekolah sesuai penelitian Juwita (2005) pelaku bullying dipicu antara lain pola asuh orang tua yang otoriter, tradisi yang berlaku di sekolah, tayangan televisi yang menyuguhkan adegan kekerasan. Bullying memberikan dampak buruk bagi korban. Survei yang dilakukan di SMAN 103 Jakarta menunjukkan korban bullying mengalami trauma, malas berangkat ke sekolah dan menerima pelajaran, siswa sulit berkonsentrasi dalam belajar yang akhirnya menghambat aktualisasi diri (tidak
mampu
mengembangkan
potensi
diri)
dan
siswa
menjadi
berkonsentrasi serta dapat menjadi pribadi yang tidak percaya diri,
sulit
prestasi
akademik menurun karena sulit berpikiran jernih, dan masih banyak hal buruk yang
dapat
ditimbulkan
karena
perilaku
bullying
(Komalasari,
2008).
Sejiwa (2008) menyimpulkan bahwa bullying yaitu sebuah situasi dimana terjadinya
penyalahgunaan
kekuasaan/kekuatan
yang
dilakukan
oleh
seseorang/sekelompok yang kuat sebagai pelaku dan yang lemah sebagai korban dengan melakukan tindakan berulang
sehingga mengakibatkan korban merasa
terintimidasi. Karakteristik pelaku bullying juga disebutkan memiliki keinginan menguasai, kebutuhan untuk merasa kuat dan superior, senatiasa ingin selalu lebih kuat dari teman sebayanya, cenderung impulsive, mudah marah, dan frustasi. Selebihnya mereka menentang, melawan, agresif, tidak mudah terkejut, cenderung tidak memiliki rasa empati, dan menarik diri dari lingkungan sosial. Karaktersitik bagi
10
korbannya memiliki fisik yang lemah dibanding teman sebayanya, mereka memiliki kondisi fisik yang kurang dan cenderung mendapatkan perlakuan tidak adil, disakiti bahkan menyakiti diri sendiri. Mereka lebih berhati-hati, pemalu, mudah tersinggung, pendiam, tidak semangat, merasa cemas, tidak aman, dan tidak senang. Tidak terkejut dengan perlakuan yang diberikan bahkan memiliki konsep diri yang negatif dan kesulitan dalam menghargai diri. Uraian diatas mencoba menjelaskan bahwa bullying berdampak buruk pada pelaku dan juga korban, pelaku bullying lebih mungkin untuk jatuh pada bias atribusional hostile dari pada korban.
Mereka menyerang orang lain secara
berulang karena orang tersebut dipersepsikan berpotensi untuk menjadi berbahaya. Karakteristik dapat dibedakan meskipun mereka memainkan kedua peran baik pelaku maupun korban. Individu yang menjadi pelaku lebih rendah dalam self esteem dan juga belief bahwa mereka dapat mengontrol diri mereka sendiri, dan lebih tinggi dalam hal Machiavellianism yaitu suatu kecenderungan untuk melakukan pendekatan yang kasar dan manipulatif dalam berhubungan dengan orang lain. Adapun cara untuk menanggulangi terjadinya bullying yaitu murid-murid dilatih untuk mengintervensi (melakukan pendekatan) daripada hanya berdiam diri saat intimidasi terjadi. Murid perempuan lebih mampu untuk mengintervensi daripada murid laki-laki, yang cenderung untuk mempersepsikan intimidasi sebagai bagian dari menjadi maskulin. Idealnya Guru harus berperan dalam meminimalisir terjadinya bullying yaitu dengan memahami bahwa pelaku bullying memiliki self esteem yang rendah, guru
11
dapat mengambil langkah untuk meningkatkan perasaan self-worth (peraya diri) siswa yang dapat menjadi langkah awal yang berguna untuk mengurangi intimidasi. Orangtua dan juga psikolog sangat berperan dalam penanggulangan bullying. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa usaha untuk memenuhi tugas perkembangan, individu memerlukan kemampuan penyesuaian diri sebagai modal menuju kedewasaan dalam bersosialisasi dan mengatasi konflik yang terjadi. Kemampuan penyesuaian yang baik tidak dapat dimiliki individu tanpa bantuan orang lain. Terutama lingkungan sekitarnya yaitu orangtua sebagai pembimbing dan peletak dasar yang mempunyai pengaruh kuat dalam keluarga, juga pada sikap dan perilaku seseorang. Sikap orangtua dalam berhubungan dengan anak dapat dilihat dari berbagai segi antara lain cara yang diberikan orangtua untuk mendidik anak menjadi disiplin, mengajari anak untuk berhubungan dan berkomunikasi yang baik dengan orangtua, maupun cara orangtua dalam menempatkan diri sebagai orang yang mempunyai kekuasaan dalam keluarga khususnya dalam mengasuh anak. Pola asuh yang diterapkan oleh orangtua kepada anak memberikan dampak yang berbeda-beda misalnya pola asuh yang serba membolehkan menurut Hurlock, (1984) bahwa anak akan merasa tidak aman dan juga bingung. Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman yang diberikan orangtua kepada anak, yaitu dalam hal membuat keputusan dalam bertingkah laku yang dapat diterima oleh masyarakat. Pola asuh disiplin otoriter juga memberikan dampak lain bagi anak yaitu anak menjadi pendiam dan penurut. Mereka juga sering menyimpan sakit hati atas
12
perlakuan orangtua tersebut sehingga mengakibatkan anak menjadi tidak bahagia, tidak aman dan percaya diri kurang. Keberhasilan mendidik anak akan mendapatkan anak dengan pribadi yang sehat, memiliki penyesuaian diri yang baik, sehingga mampu mengatasi persoalan-persoalan. Menurut para ahli Gunarsa dan Gunarsa, 1995; Helm dan Turner, 1995; Papalia, Olds dan Feldman, 1998 (Dariyo, 2004) mengemukakan bahwa pola asuh dari orangtua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku anak. Pola asuh otoriter (parent oriented) menekankan segala aturan orangtua harus ditaati oleh anak. Apa yang diperintahkan orangtua harus dikerjakan dan tidak boleh dibantah. Anak seolah-olah menjadi “robot”, sehingga anak menjadi kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan. Disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau bahkan melarikan diri dari kenyataan. Segi positif dari diterapkannya pola asuh otoriter yaitu anak akan cenderung menjadi disiplin dengan selalu mentaati peraturan. Akan tetapi anak hanya mau menunjukkan kedisiplinan dihadapan orangtua, padahal didalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika dibelakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orangtua. Jadi anak cenderung memiliki kepatuhan dan kedisiplinan yang semu. Kenakalan remaja seringkali terjadi di kota-kota besar, kebanyakan mereka berasal dari lingkungan keluarga yang kurang memperoleh perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Bisa jadi kedua orangtua sibuk dengan pekerjaan, kedua orangtua yang sering bertengkar, pisah ranjang dan sampai bercerai (divorce of parent). Usaha anak untuk memperoleh pengakuan, penerimaan, dan perhatian dari
13
orang lain, maka seringkali remaja salah dalam melakukan tindakan-tindakan, seperti tindak kekerasan, pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan
(pemalakan),
penyalahgunaan
obat
(drug/alchohol
abuse),
kriminalitas, penodongan/perampokan, perusakan bis kota dengan melempari kacakacanya menurut Sudarsono (Dariyo, 2004). Penuturan salah seorang siswi dengan inisial Z menyebutkan bahwa siswi tersebut merasa kesal dan kadang tidak terima apabila diejek teman sebayanya. Siswi selaku korban intimidasi cenderung tidak melawan, diam, membiarkan dirinya diejek karena menurut korban apabila melawan akan terus diejek oleh pelaku. Korban lebih cenderung pasrah dan diam saat diganggu karena menurutnya kalau ditanggapi akan terus berkelanjutan. Korban juga sangat terganggu disaat mengerjakan tugas ataupun disaat mencatat pelajaran di kelas, kesulitan berkonsentrasi, tugas ataupun catatan terbengkalai. Karakteristik pelaku yang sering mangganggu korban yaitu cerewet, usil, jail, dan suka memaksa. Pelaku meminta sesuatu baik barang ataupun uang dengan memaksa, seandainya korban sedang tidak ada uang akan dibilang pelit sehingga membuat korban merasa kesal pada pelaku bullying tersebut. Uraian diatas memberikan gambaran teoritis mengenai pentingnya dunia pendidikan untuk lebih memperhatikan dampak dari perilaku bullying pada siswa didiknya. Mencari tahu lebih lanjut faktor pemicu munculnya perilaku bullying dan juga penanggulangan yang dapat dilakukan. Beberapa artikel yang penulis temukan bahwa pelaku bullying dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, akan tetapi pola asuh yang lebih tinggi menjadi pemicu munculnya perilaku bullying pada
14
anak yaitu pola asuh otoriter, karena pada faktor dan juga aspek dari pola asuh otoriter lebih menjelaskan bahwa pola asuh otoriter lebih mempengaruhi pada pembentukan perilaku anak menjadi bullying. Baumbrid (Garcia, 2007) mendefinisikan pola asuh otoriter adalah suatu cara pengasuhan orangtua yang tidak seimbang lebih tinggi dalam hal demandingness (tuntutan/ kontrol) dan rendah dalam hal responsiveness (tanggapan/ respon). Dampak dengan tidak seimbangnya kedua aspek tersebut yaitu hubungan orangtua dengan anak tidak harmonis, anak cenderung memiliki disiplin yang semu yaitu anak akan mematuhi orangtua hanya saat didekat orangtua. Alangkah baiknya para orangtua untuk lebih memperhatikan pola asuh untuk anak-anak mereka. Maka permasalahan yang dapat dikaji dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah secara empiris ada hubungan antara pola asuh orangtua otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang diterapkan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan metode skala untuk mengungkap perilaku bullying dan pola asuh otoriter. 1. Skala Perilaku Bullying Skala perilaku bullying yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang dirancang sendiri oleh penulis berdasarkan teori Rigby (Riauskina dkk, 2005). Aitemnya disusun berdasarkan karakteristik 4 kategori pengelompokan perilaku bullying yang terdiri dari kontak fisik langsung, kontak verbal langsung, perilaku non-verbal langsung, dan perilaku non-verbal tidak langsung,.
15
Skala perilaku bullying ini bersifat favourable yaitu butir skala yang sesuai dengan variabel. Skala perilaku bullying mempunyai pilihan jawaban yaitu: Tidak Pernah (TP), Sering (S), Kadang-kadang (K), Jarang (J), dan Sangat Sering (SS). Skor dalam setiap aitem berkisar dari 5 sampai dengan 1, tersusun atas 60 aitem. Adapun pendistribusian aitemnya dapat dilihat dari tabel 1. Ketentuan pemberian skor diberikan adalah skor 5 diberikan untuk pilihan jawaban Sangat Sering (SS), skor 4 untuk jawaban Sering (S), skor 3 untuk jawaban Kadang-kadang (K), skor 2 untuk jawaban Jarang (J), dan skor 1 untuk jawaban Tidak Pernah (TP). 2. Skala Pola asuh Otoriter Skala pola asuh otoriter yang digunakan dalam penelitian ini merupakan skala yang dirancang sendiri oleh penulis berdasarkan konsep pola asuh otoriter menurut Baumbrid (Garcia, 2007). Skala pola asuh otoriter disusun berdasarkan metode skala Likert yang terdiri dari pernyataan favourable, dengan melakukan modifikasi terhadap alternatif jawaban menjadi lima kategori pilihan jawaban yaitu TP (Tidak Pernah), S (Sering), K (Kadang-kadang), J (Jarang), SS (Sangat Sering) dengan pemberian skor dari 5 sampai 1, tersusun atas 60 aitem. Adapun pendistribusian aitemnya dapat dilihat dari tabel 2. Ketentuan pemberian skor diberikan adalah skor 5 diberikan untuk pilihan jawaban Sangat Sering (SS), skor 4 untuk jawaban Sering (S), skor 3 untuk jawaban Kadang-kadang (K), skor 2 untuk jawaban Jarang (J), dan skor 1 untuk jawaban Tidak Pernah (TP).
16
Metode Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan teknik product moment. Sebelum dilakukan uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang mencakup uji normalitas dan uji linearitas. Proses analisis data menggunakan program SPSS for windows 12.0. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Uji asumsi normalitas dilakukan untuk melihat apakah sebaran skor subjek bervariasai secara normal. Sebaran yang normal menggambarkan bahwa data yang diperoleh telah mewakili keseluruhan data. Uji normalitas ini menggunakan one sample kolmogorov-smirnov test, dan hasil yang didapat setelah pengolahan menunjukkan bahwa signifikansi kedua variable penelitian yakni lebih dari 0,05 atau p > 0,05. Signifikansi variabel Pola asuh otoriter adalah 0,593 dan perilaku bullying adalah 0,150. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa kedua variabel tersebut memiliki sebaran normal. b. Uji Linearitas Uji asumsi linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua variabel penelitian memiliki hubungan yang linier. Hal ini dilakukan untuk menentukan taraf hubungan antara keduanya secara tepat. Hasil uji asumsi menunjukkan F linearity sebesar 7,501 dengan signifikansi p = 0,010 (p < 0,05). Hal ini berarti hubungan antara variabel Pola asuh otoriter dengan perilaku bullying memenuhi asumsi linearitas.
17
2. Uji Hipotesis Data penelitian telah memenuhi asumsi normalitas dan linearitas, karenanya hipotesis penelitian akan diuji menggunakan teknik korelasi product moment pearson. Hasil analisa menunjukkan koefisien korelasi r xy sebesar 0,245 dengan p = 0, 012 (<0,01) pada uji korelasi satu ekor. Hal ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying. Artinya, semakin tinggi pola asuh otoriter, maka semakin tinggi pula perilaku bullying. Dengan demikian, hipotesis yang mengungkapkan ada hubungan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada siswa sekolah menengah. Semakin siswa mendapatkan pola asuh otoriter semakin siswa berperilaku bullying di sekolahnya, sehingga hipotesis diterima. Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pola asuh otoriter, dan sebaliknya semakin rendahnya pola asuh otoriter maka perilaku bullying juga semakin rendah. Perilaku bullying pada penelitian ini dikaitkan dengan pola asuh otoriter karena secara teoritis perilaku Bullying terjadi karena pola asuh rejecting dan authoritarian yang diterapkan orangtua. Ditemukan tehnik efektif yang dapat dipakai untuk menolong siswa untuk mendapatkan perkembangan yang nyaman dalam lingkungan sosialnya yaitu cognitive behavioural modification yang dapat dipakai untuk mengurangi kecemasan siswa pemalu yang selalu diejek. Setiap individu harus mampu membuat dirinya memiliki self defeating cognition yaitu suatu kemampuan dan keberanian untuk melawan dan berani menyelesaikan
18
perselisihan (Rice & Dolgin, 2008). Bagi siswa yang mendapatkan pola asuh otoriter dari orangtuanya maka siswa tersebut akan melampiaskan kekesalannya pada teman-teman sekolah, guru, ataupun siswa akan cenderung menjadi pendiam dan menarik diri. Pada lingkungan masyarakat, siswa bertindak brutal dan juga mencari lingkungan yang bisa menerima dirinya karena dilingkungan keluarganya siswa terlalu dikekang. Dapat juga karena lingkungan masyarakat yang kurang bisa menerima sehingga siswa berperilaku bullying di sekolahnya. Pola asuh otoriter dapat mengarahkan siswa pada perilaku bullying, ini dibuktikan dengan beberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan Bowers dkk (Krahe, 2005) secara umum mengemukakan bahwa ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi siswa dalam berperilaku antisosial yang dapat menyebapkan bullying yaitu hubungan orangtua dengan siswa yang renggang, toleransi orangtua terhadap perilaku agresif yang dilakukan siswa, dan orangtua menerapkan pola asuh yang agresif pada siswa. Hal serupa dapat dilihat pada penelitian Ardiyansyah, 2008 yang membahas tentang toleransi orangtua terhadap perilaku agresif yang dilakukan anak Ardiyansyah (2008) menyebutkan pada hasil penelitian diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan bullying diantaranya yaitu faktor keluarga disebutkan bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang dimasuki oleh setiap individu sebagai tempat pemberi dukungan terhadap masingmasing anggota keluarga berupa dukungan positif dan negatif. Pada hasil analisis disebutkan bahwa keluarga memberikan tanggapan mengenai bullying dengan
19
menilai bahwa bullying perilaku yang wajar dan biasa dilakukan remaja. Selain itu juga dipicu oleh adanya salah satu anggota keluarga yang menjadi pelaku bullying. Seseorang yang salah satu keluarganya seorang pelaku bullying maka berkemungkinan akan mempengaruhi anggota keluarga lainnya, karena anggota keluarga lainnya akan mengamati sebagai model (vicarious experience), dari uraian diatas dapat peneliti simpulkan bahwa orangtua cuek terhadap perilaku anak, kurang kontrol, kurang tanggapan sehingga kedua aspek dalam pola asuh yaitu demandingness dan responsiveness tidak imbang karena orangtua menganggap bullying merupakan perilaku yang wajar dan biasa dilakukan remaja. Penelitian Ormel, dkk (2005) menegaskan bahwa munculnya pelaku bullying berasal dari lingkungan rumah yang diantaranya orangtua yang menerapkan disiplin fisik, yang terkadang dengan kekerasan dan penolakan, yang menjadikan anak kurang memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah, dan orangtua permisif yang cenderung agresif mengenai perilaku anak atau setiap mengajari anak dengan memukul dan juga memarahi. Karakteristik pola asuh orangtua tersebutlah yang merupakan bagian terbesar yang mempengaruhi munculnya perilaku bullying pada anak dan remaja. Sejalan dengan penelitian diatas juga disebutkan Olweus (Santrock, 2001) bahwa pelaku dan juga korban bullying berperilaku tersebut karena melihat perlakuan orangtua yang menanggapi mereka dalam berinteraksi dengan teman sebayanya. Disebutkan bahwa pelaku bullying memiliki orangtua yang suka menolak, otoriter, ataupun permisif terhadap perilaku anak. Sedangkan orangtua korban lebih cenderung pencemas dan terlalu protektif.
20
Secara keseluruhan, penulis mengakui bahwa penelitian ini masih mempunyai banyak kelemahan terutama dalam hal pengukuran perilaku bullying pada siswa sekolah menengah, penelitian terhadap perilaku bullying ini akan mendapatkan hasil yang lebih akurat bila pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan metode observasi terlebih dahulu, yakni dengan mengobservasi secara langsung subjek penelitian dalam setting yang dialaminya. Sedangkan untuk pengukuran pola asuh otoriter, metode yang sebaiknya digunakan adalah metode angket dan wawancara, agar dapat melihat keterkaitan yang lebih akurat antara pola asuh otoriter dan perilaku bullying. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku bullying akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pola asuh otoriter, dan sebaliknya semakin rendahnya pola asuh otoriter maka perilaku bullying juga semakin rendah, sehingga hipotesis yang diajukan diterima. Saran Hasil penelitian sebagaimana telah disebutkan diatas ada beberapa saran yang dapat peneliti tuliskan. 1. Bagi Subjek Penelitian Berdasarkan hasil penelitian, para subjek penelitian hendaknya mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan peristiwa yang benar-benar di alami agar hasil penelitian lebih valid, dengan hasil penelitian yang telah disebutkan hendaknya subjek mempertahankan perilaku positif agar tidak mengarah ke perilaku bullying dan perilaku negatif lainnya, serta mampu menumbuhkan suasana yang
21
hangat dalam keluarga dan dapat saling menerima antara anak dengan orangtua ataupun anggota keluarga. Subjek hendaknya lebih menyalurkan energinya pada kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler sehingga semua waktunya tersalur pada kegiatan postitif dan tidak mengarah pada perilaku bullying. 2. Bagi Sekolah Baik subjek beserta guru dan karyawan lebih waspada dengan perilaku bullying yang dapat muncul kapan saja dan mengantisipasi dengan mencanangkan gerakan anti-bullying yaitu dengan cara membuat poster, mading, slogan anti-bullying yang kebetulan di sekolah SMKN 2 Yogyakarta belum ada. Banyaknya kegiatan intrakurikuler maupun ekstra-kurikuler yang terdapat di SMKN 2 Yogyakarta menjadikan para siswa lebih menyalurkan energinya pada kegiatan yang lebih positif sehingga dalam sekolah tersebut perilaku bullyingnya rendah. Pihak sekolah dapat memvariasikan aktifitas di sekolah menjadi lebih banyak dan lebih positif supaya siswa tidak bosan dengan kegiatan yang monoton dan tidak menjadi bullying. 2. Bagi penelitian selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama diharapkan mempertimbangkan variabel-variabel yang lebih mempengaruhi perilaku bullying seperti media massa, status sosial ekonomi, intelegensi, jenis sekolah dan disarankan juga untuk menggunakan alat ukur tidak hanya skala, akan tetapi observasi, wawancara, laporan dari teman sebaya, dan dokumentasi.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ardiyansyah, A.A. 2008. Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Bullying Pada Remaja. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Astuti, P. R. 2008. Meredam Bullying; Tiga Cara Efektif Menanggulangi Kekerasan Pada Anak. Penerbit Grasindo. Jakarata. Berns, M.R. 2004. Child.Family.School.Community.Socialization and upport.Sixth dition.Wadsworth Thomson, Belmont USA. Dariyo, A. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor. Ghalia Indonesia. Edwards, D.C. 2006. Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan bagi Orang Tua Untuk Mengubah masalah Perilaku Anak. Bandung. Penerbit Kaifa. Garcia, J.F. & Martinez, I. 2007. Impact of Parenting Styles on Adolescents Selfteem and Internalization of Values in Spain. The Spanish Journal of sychology, 10, 2, 338-348. Hurlock, E. B. 1993. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Komalasari, N. 2008. Bisnis Indonesia Hot Topic (http://bisnis.com/Fri, 27 Jun 2008 16:00:00 WIB)
Setop
bullying.
Krahe, B. 2005. Perilaku Agresif. Panduan Psikologi Sosial. Pustaka Pelajar offset.Yogyakarta. Netto,
G. 2007. Bullying di sekolah. 2007/05/bullying- di-sekolah.html
http://genenetto.blogspot.com/
Ormel, J., Verhulst, F.C., De Winter, A,F., Oldehinkel, A,J., Liendberg, S. and Veenstra, R. 2005. Bullying and Victimization in Elementary Schools: A Comparison of Bullies, Victims, Bully/Victims, and Uninvolved Preadolescents. Journal Developmental Psychology Vol.41,No 4.672-682 Papalia, Diane E., Olds, Sally W., & Feldman, Ruth D. (2004). Human Development (9thEd.). New York: McGraw-Hill, Inc. Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio, S. R. (2005). ”Gencet-gencetan”dimata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 12 (01), 1 – 13
23
Rice, P. F., Dolgin, G. K. 2008. The Adolescent: Development, Relationships, and Culture. Twelfth Edition. Pearson education. USA. (Hal 267-277) Santrock, J.W. 2001. Adolescent. Eighth adition. USA: The Mc Graw Hill. Ghuraba. 2008.Remaja, Gank, dan Bullying. (http://sighuraba.wordpress.com) /11:01/18 juli. Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA). 2008. Bullying. Mengatasi Kekerasan Di sekolah dan Lingkungan. Grasindo. Jakarta.
24
Identitas Penulis Nama
: Rika Lestari Tri Utami
Alamat
: Dsn Menjanganan no. 27 Rt/Rw 05/V Ds. Putat Kec. Purwodadi Kab. Grobogan Jateng 58111
No HP
: 085643513565