PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DAN JENIS KELAMIN
NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi
HALAMAN DEPAN
Diajukan Oleh : FARAH CARIMA F100120244
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2017
PERILAKU BULLYING PADA REMAJA DITINJAU DARI POLA ASUH OTORITER ORANGTUA DAN JENIS KELAMIN Farah Carima, Juliani Prasetyaningrum Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku bullying pada remaja dengan pola asuh otoriter orangtua, serta untuk mengetahui perbedaan perilaku bullying ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP di kota Surakarta. Subjek penelitian atau responden pada penelitian ini adalah 89 subjek yang terdiri dari 47 remaja putra dan 42 remaja putri. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik cluster random sampling. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dengan alat ukur berupa skala perilaku bullying dan skala pola asuh otoriter orangtua. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Product Moment dari Pearson dan analisis dengan menggunakan t-test. Berdasarkan hasil analisis data dengan korelasi product moment diperoleh nilai koefisien korelasi (rxy)= 0,452 dengan taraf signifikansi = 0,000 (p < 0,01) yang berarti ada hubungan positif antara pola asuh otoriter orangtua dengan perilaku bullying pada remaja. Variabel perilaku bullying dan pola asuh otoriter orangtua termasuk dalam kategori rendah. Selain itu dari hasil pengujian independent sampel t-test diperoleh nilai uji-t sebesar t = 2,822 dengan taraf sig 0,006= (p<0,05) yang berarti ada perbedaan perilaku bullying pada remaja putra dan remaja putri. Dalam penelitian ini remaja putra lebih sering melakukan perilaku bullying dibandingkan remaja putri. Kata kunci: perilaku bullying , pola asuh otoriter orangtua, jenis kelamin ABSTRACT This research aims to know corellation between bullying behavior in students with authoritarian parenting parents, and to show the difference in behavior of bullying be reviewedfrom gender. This research was conducted in one of the first high schools in the city of Surakarta. The subject in this research amounts to 89 people consisting 47 students are male and 42 students are female. Sampling is done with cluster random sampling techniques. The methods used in this research is quantitative methods with a measuring instrument in the form of scale of bullying behavior and scale of authoritarian parenting parents. Technique of data analysis with correlation Product Moment from Pearson and analysis with t-test. Based on the results of data analysis with the correlation product moment obtained coefisien correlation value (rxy) = 0.452 with taraf significance = 0.000 (p < 0.01) it means there is a positive corelation between authoritarian parenting parents with bullying behavior on students. Bullying behavior variable and
1
authoritarian parenting parents included in low categories. Beside in addition to that of the results with either using independent sample t-test obtained the value t-test is 2.822 with taraf sig = 0.006 (p < 0.05) it means there is a difference bullying behavior between male students and female students. This research shows that male students more often do bullying behavior than female students Keywords: bullying behavior, authoritarian parenting parents, gender 1. PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Pada masa ini remaja diharapkan dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangannya dengan baik, sehingga remaja sudah mampu menentukan pilihan untuk masa depannya dan sudah dapat mengatasi permasalahan yang ada pada dirinya serta remaja dapat berperilaku mengikuti nilai dan aturan yang berlaku dilingkungan sekitarnya (Levianti, 2008). Namun kenyataannya karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini sering menimbulkan masalah pada diri remaja (Erickson dalam Maya, 2015). Pencarian identitas di masa remaja dapat mengarah kepada perilaku yang positif serta negatif (Levianti, 2008). Perilaku negatif yang banyak dilakukan oleh remaja salah satunya adalah perilaku bullying, perilaku ini marak terjadi dilingkup sekolah. Perilaku bullying ini sendiri diartikan sebagai bentuk penindasan terhadap korban yang lemah dengan melakukan hal-hal yang tidak disukai serta dilakukan secara berulang (Halimah, Khumas & Zainudin, 2015). Perilaku tersebut bisa terjadi diberbagai setting seperti di sekolah, di rumah, di pondok pesantren, di tempat penitipan anak, di tempat kursus, kantor, diarea bermain dan lain sebagainya. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan Nansel (dalam Yahaya, Ramli, Hashim, Ibrahim & Rahman, 2009) dari 8,4 persen anak-anak terdapat 20 persen dari anak-anak di Negara Amerika bahwa mereka menjadi korban perilaku bullying yang dilakukan setidaknya satu kali dalam seminggu. Haynie (dalam Yahaya dkk, 2009) ada 24,4 persen menjadi 44,6 persen anak-anak mengalami bullying berulang kali didalam lingkungannya. Perilaku bullying merupakan masalah yang serius dan merupakan perilaku kekerasan yang mengiriskan
2
sehingga dapat mempengaruhi mereka hingga 25 persen menjadi 50 persen anak di sekolah. Penelitian tentang fenomena bullying yang dilakukan oleh Huneck (dalam Nurhayanti, Novotasari & Natalia, 2013) mengungkapkan bahwa 10-60 % siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan, ataupun dorongan, setidaknya sekali dalam seminggu. Penelitian yang juga dilakukan oleh Sejiwa (dalam Nurhayanti, Novotasari & Natalia, 2013) pada tahun 2008 tentang perilaku bullying di tiga kota besar di Indonesia yaitu Yogyakarta, Surabaya dan Jakarta mencatat terjadinya tingkat bullying sebesar 67,5% ditingkat sekolah menengah atas (SMA) dan 66.1% ditingkat sekolah lanjutan pertama (SMP), bullying yang dilakukan sesama siswa, tercatat sebesar 41,2% untuk tingkat SMP dan 43,7% untuk tingkat SMA dengan kategori tertinggi bullying psikologis berupa mengucilkan. Peringkat kedua ditempati bullying verbal (mengejek) dan terakhir bullying fisik (memukul). Gambaran kekerasan di SMP di tiga kota besar yaitu : Yogya:77,5% (mengakui ada bullying), 22,5% (mengakui tidak ada bullying), Surabaya: 59,8 % (ada bullying), Jakarta: 61,1% (ada bullying) Ditemukan juga bahwa kasus bullying lebih banyak dilakukan oleh remaja putra dibandingkan oleh remaja putri, seperti survei yang telah dilakukan di Malta menemukan bahwa 15-24% anak laki-laki setiap tahun mengatakan bahwa mereka sering melakukan perilaku bullying, dibandingkan dengan 8 – 13% anak perempuan. Sedangkan 60% pelaku bullying laki-laki mengaku lebih sering melakukan perilaku bullying fisik dibandingkan dengan 30% anak perempuan Borg (dalam Saifullah, 2016). Selain itu dikemukakan juga oleh Scheithauer (dalam Saifullah, 2016) bahwa anak laki-laki lebih banyak melakukan bullying berupa tindakan agresif dibandingkan anak perempuan, namun anak perempuan terlibat dalam bullying tidak langsung. Dikatakan juga bahwa anak laki-laki memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengekspresikan perilaku agresif mereka sedangkan anak perempuan diharapkan tidak agresif agar sesuai dengan stereotip mereka bahwa anak perempuan cenderung ramah dan lemah lembut (Turkel dalam Hertinjung & Karyani, 2015). Selain itu didapatkan juga bahwa remaja
3
laki-laki lebih banyak terlibat aksi bullying dibandingkan dengan remaja putri, hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh adila (dalam Saifullah, 2016) yang menyatakan bahwa pelajar laki-laki lebih sering menggunakan tindakan bullying terhadap pelajar lain baik secara langsung maupun tidak langsung dibandingkan dengan pelajar perempuan. Dari data hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti pada tanggal 16 Mei 2016 bertempat disalah satu Sekolah Menengah Pertama Swasta di kota Surakarta yang dilakukan kepada kepala sekolah, guru dan didapatkan temuan mengenai perilaku bullying yang terjadi di sekolah tersebut. Dari pihak kepala sekolah diperoleh informasi bahwa terdapat siswasiswinya terlibat dalam kasus bullying di sekolah, kepala sekolah juga menjelaskan perilaku bullying yang sering terjadi di sekolah berbentuk bullying verbal, seperti adanya siswa atau siswi yang seringkali mendapatkan ejekan atau julukan oleh teman-temannya. Selain itu salah satu guru wali kelas VIII.C yang diwawancarai juga menyatakan bahwa pada saat jam pelajaran berlangsung salah satu anak di kelas tersebut kerap meganggu teman yang duduk disampingnya dengan memukul kepala temannya itu, hingga anak tersebut sering mendapatkan panggilan dari guru Bimbingan Konseling untuk mendapatkan pengarahan. Guru BK di sekolah tersebut juga menyatakan bahwa sering menangani siswa atau siswi yang kerap mengganggu teman yang lain saat di sekolah, pihak guru BK juga pernah memberikan konseling kepada siswa yang tidak mau masuk sekolah karena perilaku bullying yang diterimanya di sekolah. Salah satu siswa di sekolah tersebut juga mengatakan bahwa teman-teman sekelasnya sering memanggilnya “botak”, siswi lain yang diwawancarai juga mengatakan seringkali diacuhkan oleh teman-temannya di sekolah. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti mulai pukul ± 09.00 WIB- ± 09.30 WIB didapatkan hasil saat jam istirahat salah satu siswa di bully oleh temannya ia dipukul dan sempat didorongdorong oleh temannya. Maka dapat disimpulkan bahwa di sekolah tersebut terjadi perilaku bullying, perilaku bullying yang terjadi meliputi bullying secara verbal seperti mengejek, memberikan julukan, bullying secara fisik seperti memukul dan mendorong serta bullying serta psikologis seperti mendiamkan dan mengacuhkan.
4
Tis’ina dan Suroso (2015) menemukan bahwa bullying yang dilakukan seorang siswa disekolah dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu faktor keluarga, sekolah dan teman sebaya. Salah satu faktor yang dapat memunculkan pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah. Terdapat faktor lain yang mendorong terjadinya perilaku bully menurut Tis’ina dan Suroso (2015) yaitu: pola asuh otoriter orangtua, regulasi emosi, perilaku asertif, konformitas, religiusitas, komunikasi, peran kelompok sebaya, tipe atau peran kepribadian, dan kontrol sosial. Serta menurut Wiyani (dalam Nurhayanti, Novotasari & Natalia, 2013) yaitu: anak- anak yang dari pola asuh orangtua otoriter, anak-anak yang sering berperilaku kasar, serta orangtua yang permisif terhadap perilaku agresif anak. Jika fungsi didalam keluarga tidak berjalan dengan baik, seperti pola asuh yang tidak sesuai, tentu perilaku negatif seperti bullying akan muncul dari dalam diri remaja, hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan Santrock (2005) bahwa pola asuh otoriter dapat diartikan sebagai orangtua yang membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orangtua, serta membuat batasan dan kendali yang tegas dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal, sehingga anak tidak mampu mengungkapkan perasaan yang ada didalam dirinya. Tekanan didalam diri anak yang tidak terselesaikan karena orangtua yang otoriter dapat menyebabkan munculnya pelampiasan perilaku kesal anak di luar rumahnya, seperti diungkapkan oleh Sarwono (2012) yang menyatakan anak yang merasakan tekanan didalam dirinya namun tidak mampu menyelesaikan dengan baik akan cenderung melampiaskan permasalahannya dalam bentuk perilaku bullying. Hal ini sesuai dengan Pohan (dalam Suastini, 2011) yang menyatakan bahwa perbuatan negatif anak terjadi karena anak sudah terbiasa melihat atau menonton perbuatan-perbuatan negatif yang dilakukan orangtuanya. Selain itu peran orangtua juga sebagai model anak-anaknya dapat dilakukan dengan memberikan contoh buruk kepada anak–anaknya bagaimana seharusnya anakanak bertindak dan apa yang sebaiknya dilakukan anak. Jika orang tua berlaku
5
demikian kepada anaknya, itu berarti ia menyediakan model terhadap anak untuk meniru perilaku tersebut (Hartuti dalam Suastini, 2011). Hasil temuan penelitian Georgiou dan Olweus (dalam Hasan & Ee, 2015) yang menunjukkan bahwa pelaku bullying lebih cenderung berasal dari keluarga di mana orangtua membesarkan anak dari pola asuh orangtua otoriter. Dikatakan oleh
Vernonbeck
(dalam
Evangelista,
Mendoza
&
Malabanan,
2014)
menambahkan pola asuh otoriter dapat mempengaruhi perilaku anak-anak. Hal ini menyebabkan, anak-anak akan berperilaku buruk di sekolah dan tidak mampu berkomunikasi dengan orangtua. Orangtua juga memiliki kesulitan berkomunikasi dengan anak. Sejak pengasuhan pola asuh otoriter yang dialami oleh anak-anak, maka anak-anak mungkin meniru atau melakukan hal yang sama dengan perilaku yang dilakukan oleh orangtuanya atau meluapkan perilaku negatif diluar lingkungan rumahnya. Georgiou (dalam Nikivorou, Georgiou & Stavrinides, 2013) menyatakan bahwa semakin tinggi pola asuh orangtua otoriter maka akan tinggi tingkat perilaku bullying. Para peneliti yang sama juga menemukan bahwa orangtua yang sering merasa marah dengan anak-anak mereka maka
anak-anak cenderung
memiliki perilaku bullying dikarenakan anak meniru orangtua. Tis’ina dan Suroso (2015) juga telah melakukan penelitian yang menyatakan bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua maka bullying anak disekolah semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua maka bullying anak disekolah juga akan semakin rendah. Pendapat lain menurut Egan dalam Damantari (2011) bullying dan victimization lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Hal yang sama juga disebutkan bahwa perilaku bullying lebih menonjol terjadi pada kalangan laki-laki daripada perempuan. Selain itu dikatakan pula bahwa jenis kelamin turut berperan menjadi salah satu faktor perilaku bullying, bahwa siswa laki-laki cenderung setuju dengan perilaku bullying, namun bukan berarti bahwa perempuan tidak setuju dengan bullying. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan oleh Usman (dalam Putri, Nauli & Novayelinda, 2015) yaitu: jenis kelamin, tipe kepribadian
6
anak, kepercayaan diri, iklim sekolah, peranan kelompok atau teman sebaya. Perilaku bullying juga dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti jenis kelamin. Hasil penelitian lain juga mengungkap adanya perbedaan perilaku bullying pada remaja putra dan putri bahwa 31 orang (66,0 %) laki-laki yang terlibat kasus bullying dan sebanyak 11 orang (30,6 %) adalah remaja putri, dan dari penemuan tersebut disimpulkan bahwa mayoritas remaja putra lebih banyak terlibat dalam perilaku bullying dibandingkan dengan remaja putri (Putri, Nauli & Novayelinda, 2015). Berdasarkan uraian di atas penulis ingin membuktikan hipotesis yaitu: ada hubungan positif antara perilaku bullying pada remaja dengan pola asuh otoriter orangtua. Semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi perilaku bullying pada remaja dan sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah perilaku bullying pada remaja. Selain itu penulis juga ingin mengetahui perbedaan perilaku bullying pada remaja putra dan putri yakni remaja putra lebih sering melakukan tindakan bullying dibandingkan dengan remaja putri
2. METODE Penelitian ini terdiri atas variabel tergantung yaitu perilaku bullying dan variabel bebas yaitu pola asuh otoriter orangtua dan jenis kelamin. Populasi penelitian sebanyak 172 orang yang terdiri dari siswa-siswi kelas VII dan VIII di salah satu Sekolah Menengah Pertama Swasta di Kota Surakarta, peneliti mengambil sampel dengan menggunakan teknik cluster random sampling yang mana dari masing-masing jenjang kelas VII dan VIII terdapat 4 kelas yaitu A, B, C, dan D kemudian dipilihlah 2 kelas dari masing-masing jenjang secara random (acak), terpilihlah kelas VII.C dan VII.D serta VIII.C dan VIII.D dengan jumlah keseluruhan sampel sebanyak 89 subjek. Pengumpulan data menggunakan skala perilaku bullying yang telah disusun oleh Astuti (2015) berdasarkan aspek-aspek bullying fisik, bullying verbal, dan bullying psikologis. Sedangkan skala pola asuh otoriter orangtua merupakan skala
7
yang telah disusun oleh Prameswari (2014) berdasarkan aspek pemberian disiplin, komunikasi, pemenuhan kebutuhan dan pandangan terhadap remaja. Skala yang digunakan tersebut telah memenuhi kriteria valid dan reliabel. Uji validitas skala menggunakan validitas konstruk (construct validity) yang menyatakan bahwa setiap butir dalam instrumen itu valid atau tidak dapat diketahui dengan cara mengkorelasikan antara skor butir dengan skor total, pengujian validitas seluruh butir instrumen dalam satu variabel dapat dilakukan dengan mencari daya beda skor tiap aitem hal ini dilakukan dengan meilihat nilai r hitung dan r tabel (r hitung> r tabel) (Sugiyono, 2015). Daya beda untuk skala bullying berkisar (0,220-0,562) sedangkan untuk skala pola asuh otoriter orangtua berkisar (0,214-0,591). Reliabilitas skala dihitung dengan teknik cronbach aplha untuk mengetahui koefisien reliabilitas (α) kedua skala tergolong reliabel dengan nilai (α) perilaku bullying = 0,891 (32 aitem) dan nilai (α) pola asuh otoriter orangtua = 0,876 (31 aitem). Teknik analisis data menggunakan teknik product moment dari pearson dan independent sample t-test yang keduanya dilakukan dengan bantuan program SPPS. 16.0 for windows.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis korelasi product moment dari Pearson diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar = 0,452 (p) = 0,000 (p< 0,01) artinya ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh otoriter dengan perilaku bullying pada remaja, maka dari itu hipotesis peneliti dinyatakan diterima. Terbukti dengan hipotesis yang diajukan oleh peneliti yaitu adanya hubungan positif yang signifikan menjelaskan bahwa semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua maka semakin tinggi perilaku bullying pada remaja, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter orangtua maka semakin rendah perilaku bullyingnya, pola asuh otoriter orangtua turut mempengaruhi perilaku bullying pada remaja.Tingkat pola asuh otoriter orangtua dan perilaku bullying dalam penelitian ini termasuk dalam kategori rendah. Remaja yang tidak diasuh dengan pola asuh otoriter akan memiliki perilaku bullying yang rendah. Hal ini disebabkan karena remaja yang tidak
8
diasuh dengan pola asuh otoriter orangtua akan mendapatkan kebutuhan afeksi yang lebih baik melalui hubungan penuh kasih sayang dengan orangtuanya, adanya sikap terbuka, serta penanaman sikap dan moral sehingga anak tersebut memiliki kecenderungan untuk berperilaku positif (Fatchurahman & Praktiko 2012). Sedangkan remaja yang memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tinggi akan cenderung melampiaskan permasalahannya dalam bentuk perilaku bullying, hal ini disebabkan karena munculnya perilaku bullying pada remaja karena terdapat tekanan didalam diri anak yang tidak terselesaikan menyebabkan munculnya pelampiasan perilaku kesal anak diluar rumahnya (Sarwono, 2012). Pelampiasan dapat muncul dikarenakan sikap otoriter orangtua dirumah, dimana orangtua membatasi anak dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti petunjuk orangtua serta membuat batasan dan kendali yang tegas dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal, sehingga anak tidak dapat menyampaikan ide, gagasan, ataupun perasaan kepada orangtuanya (Santrock, 2005). Pola asuh otoriter orangtua yang tinggi akan membuat anak terbiasa dengan perilaku-perilaku negatif yang dilakukan oleh orangtuanya di rumah, sehingga anak akan lebih mudah melakukan perilaku negatif di luar rumah seperti perilaku bullying (Georgio & Olweus dalam Hasan & Ee, 2015). Sesuai yang diungkapkan oleh Loeber dan Stouthamer (dalam Efobi & Nwokolo, 2014) yang menyatakan gaya pengasuhan otoriter yang dilakukan oleh orang tua, yaitu dengan cara mendidik anak dengan cara tidak konsisten serta sering memberikan hukuman terhadap anak tanpa penjelasan, hal ini menyebabkan anak berperilaku negatif. Pohan (dalam Suastini, 2011) menambahkan bahwa seseorang yang pada masa remaja memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tinggi atau negatif maka remaja tersebut akan cenderung memiliki perilaku-perilaku yang juga negatif, hal tersebut dikarenakan anak menjadikan perilaku atau perbuatan negatif yang dilakukan orangtuanya sebagai model. Proses modelling dimulai dari
tahap
seorang anak yang memperhatikan orangtuanya, kemudian perilaku tersebut disimpan oleh anak dalam ingatannya, setelah itu informasi yang diterima dan
9
telah tersimpan didalam memori diproduksi kembali lalu
perilaku tersebut
mendapatkan penguatan (reinforcement) sehingga perilaku tersebut muncul (Bandura dalam Laila,2006). Sumbangan efektif (SE) variabel pola asuh otoriter orangtua terhadap perilaku bullying sebesar 20% ditunjukkan dengan koefisien determinasi sebesar (r2) = 0,452. Masih terdapat 80%
faktor lain yang mempengaruhi perilaku
bullying. Hasil tersebut diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Tis’ina dan suroso (2015) yang menyatakan bahwa pola asuh otoriter orangtua menjadi salah satu faktor munculnya perilaku bullying, semakin tinggi pola asuh otoriter yang diterapkan orang tua maka bullying anak disekolah semakin tinggi, sebaliknya semakin rendah pola asuh otoriter yang diterapkan orangtua maka bullying anak disekolah juga akan semakin rendah.Namun terdapat faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying yaitu regulasi emosi, perilaku asertif, konformitas, religiusitas, komunikasi, peran kelompok sebaya, tipe atau peran kepribadian, dan kontrol sosial. Hasil analisis variabel pola asuh otoriter orangtua diketahui bahwa rerata empirik (RE) sebesar 66,42 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 77,5 yang berarti bahwa variabel pola asuh otoriter orangtua termasuk kedalam kategori rendah. Berdasarkan kategori skala pola asuh otoriter orangtua diketahui bahwa
8%
(7orang) memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tergolong sangat rendah; 54% (48 orang) memiliki pola asuh otoriter orangtua yang rendah; 29% (26 orang) memiliki pola asuh otoriter orangtua yang sedang; dan 9% (8 orang) memiliki pola asuh otoriter orangtua yang sedang dari data tersebut menunjukkan bahwa prosentase dari jumlah terbanyak berada pada posisi rendah. Hal ini dikarenakan sekolah tersebut adalah sekolah yang bernuansa islami, artinya di sekolah tersebut juga terdapat penanaman nilai-nilai keislaman, selain itu pihak sekolah telah melakukan upaya prevensi yang meliputi: 1). Terdapat mata pelajaran khusus di bidang agama islam salah satunya aqidah ahklak yang mana materi yang ada didalamnya mencakup adab-adab atau aturan dalam berinteraksi dengan orang lain, diantaranya berbicara dengan tutur kata yang baik, tidak menyakiti perasaan orang lain, bersikap sopan, menghargai sesama muslim, saling tolong menolong
10
dalam kebaikan, mengucapkan salam ketika bertemu dan mengajarkan juga konsep islam yaitu dosa dan pahala yang mana perbuatan buruk yang dilakukan akan mendapatkan dosa dan balasan pahala bagi yang melakukan perbuatan baik, 2). Terdapat mading dan pamflet yang memberikan penjelasan, peringatan dan informasi mengenai dampak dan bahaya bullying. Selain upaya pencegahan pihak sekolah telah melakukan upaya penanganan yakni dengan adanya guru BK di sekolah yang berperan aktif menangani anak-anak yang bermasalah dengan memanggil anak tersebut untuk diberikan konseling, dengan langkah tersebut sekolah telah meminimalisir perilaku bullying. Hasil analisis variabel perilaku bullying diketahui bahwa rerata empirik sebesar 59,07 dan rerata hipotetik (RH) sebesar 80 bahwa variabel perilaku bullying termasuk kedalam kategori rendah. 32,6% (29 orang) memiliki perilaku bullying yang tergolong sangat rendah; 46% (41 orang) memiliki perilaku bullying yang tergolong rendah;
18% (16 orang) memiliki perilaku bullying yang
tergolong sedang; dan 3,4% (3 orang) memiliki perilaku bullying yang tergolong tinggi. Ini menunjukkan bahwa prosentase dari jumlah terbanyak berada pada posisi rendah Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan uji t-test dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan perilaku bullying antara remaja putra dan remaja putri. Prosentase mean yang diperoleh dari kelompok remaja putra sebesar 63,19 sedangkan dari kelompok remaja putri sebesar 54,45. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Borg (dalam Saifullah, 2016) didapatkan bahwa kasus bullying lebih banyak dilakukan oleh remaja putra dibandingkan oleh remaja putri, survei yang telah dilakukan di Malta, menemukan bahwa 15-24 % remaja putra setiap tahun mengatakan bahwa mereka sering melakukan perilaku bullying, dibandingkan dengan 8 – 13% remaja putri. Sedangkan 60 % pelaku bullying remaja putra mengaku lebih sering melakukan perilaku bullying fisik dibandingkan dengan 30 % remaja putri. Hal serupa juga mengatakan bahwa sebanyak 83 responden yang dijadikan sampel didalam penelitianterdapat 31 orang (66,0 %) remaja putra yang terlibat kasus bullying dan sebanyak 11 orang (30,6 %) adalah remaja putri, dan dari
11
penemuan tersebut disimpulkan bahwa remaja putra lebih banyak terlibat dalam perilaku bullying dibandingkan dengan remaja putri (Putri, Nauli & Novayelinda, 2015). Selain itu bentuk bullying pada laki-laki dan perempuan juga berbeda , laki-laki lebih dominan ke bentuk fisik, hal ini terlihat dari hasil wawancara yang terhadap subjek laki-laki yang menyatakan subjek pernah memukul teman serta meneriakinya ketika terdapat teman di sekolah yang menantangnya (w.no baris 35-37, hal1) kemudian pada subjek ke dua yang di wawancara juga menyatakan bahwa ia pernah didorong oleh temannya (w.no baris 67-69, hal 6) Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa anak laki-laki cenderung lebih agresif, kasar, tidak peka terhadap perasaan oranglain, lebih suka melakukan tindakan agresif secara fisik, terlihat dari hasil wawancara diatas bahwa anak lakilaki cenderung mudah melakukan dan menerima bentuk bullying yang bersifat fisik seperti pukulan. Dari hasil wawancara peneliti kepada subjek perempuan yang menyatakan bahwa ia sering mengejek teman yang tidak pintar dikelas (w.no baris 108-114, hal 12) serta juga pernah menertawakan temannya yang tidak dapat mengerjakan tugas didepan kelas (w.no baris 147-151,hal 13). Sedangkan subjek lain mengaku bahwa ia sering menjadi bahan pembicaraan atau digosipkan oleh temantemannya yang iri dengannya (w.no baris 149-157, hal 17). Dari hasil wawancara diatas juga terlihat bahwa remaja perempuan cenderung melakukan bullying secara verbal. Selain itu juga tampak dari hasil wawancara pada subjek perempuan ynag berinisial FN yang juga menunjukkan bahwa perilaku bullying pada perempuan lebih bersifat verbal. Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan tersebut adalah adanya hubungan positif antara pola asuh otoriter orangtua dengan perilaku bullying. Hal ini menunjukkan bahwa variabel pola asuh otoriter orangtua dapat digunakan sebagai prediktor untuk mengukur tingkat perilaku bullying. Setiap penelitian pasti memiliki kelemahan, adapun kelemahan dalam penelitian akan peneliti masukan ke dalam saran penelitian pada bab selanjutnya.
12
4. PENUTUP Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1) Ada hubungan positif antara pola asuh otoriter orangtua dengan hubungan perilaku bullying pada remaja, artinya semakin tinggi perilaku bullying maka semakin tinggi pola asuh otoriter orangtua dan sebaliknya. 2) Subjek penelitian memiliki perilaku bullying yang tergolong rendah. 3) Subjek penelitian memiliki pola asuh otoriter orangtua yang tergolong rendah. 4)Terdapat perbedaan perilaku bullyiing ditinjau dari jenis kelamin. 5) Perilaku bullying pada laki-laki sebesar 64,47 sedangkan perempuan sebesar 55,64. Jadi sebagian besar perilaku bullying lebih sering dilakukan oleh laki-laki dibanding perempuan. Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan yang diperoleh penulis selama pelaksanaan penelitian, maka penulis memberikan sumbangan saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu: Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan yang diperoleh penulis selama pelaksanaan penelitian, maka penulis memberikan sumbangan saran yang diharapkan dapat bermanfaat, yaitu:1) bagi siswa, Agar siswa terhindar dari perilaku bullying karena siswa seharusnya mencontoh kedisplinan serta perilaku-perilaku positif yang dilakukan oleh orangtua di rumah. 2) bagi orangtua, Agar orang tua dapat menerapkan pola asuh yang sesuai untuk anak-anaknya, dengan menjalin komunkasi yang baik dan memberikan kesempatan anak untuk mengungkapkan pendapatnya, dengan sehingga anak akan terhindar perilaku bullying. 3).bagi peneliti lain, Jika tertarik untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama, disarankan untuk menambah variabel-variabel lain serta juga dapat memilih subjek dengan kriteria yang berbeda serta lokasi yang berbeda dari penelitian ini.
PERSANTUNAN Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Mama tercinta Aminah dan Abi tercinta Muhammad Yunus Babher yang telah senantiasa mendoakan tanpa lelah untuk penulis. Suamiku Ali Baladraf serta ketiga Saudaraku Sarah, Amira dan Fahira yang selalu memberikan semangat tiada henti
13
serta sahabatku yang selalu mendukung penulis. Serta ibu Dra. Juliani Prasetyaningrum, M.Si., Psi. yang telah memberikan semangat dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. DAFTAR PUSTAKA Astuti, A. N. (2015). Hubungan Antara Inferioritas Dan Perilaku Bullying Remaja Di SMP Pangudi Luhur St. Vincentius Sedayu (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Damantari. (2011). Perilaku Bullying Pada Remaja di Sekolah Ditinjau dari Jenis Kelamin (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Efobi, A., & Nwokolo, C. (2014). Relationship beetwen parenting styles and tendency to bullying behaviour among adolescents. Journal of Education and Human Development, 3(1), 507-521. Diunduh dari www.aripd.org/jehd Evangelista, K. D., Mendoza, R. A., & Malabanan. M. G. A. (2014). Parental authority and its effects on the agression of children. Journal of Education, Arts and Sciences, 1(3), 78-80. Diunduh dari www.apjeas.apjmr.com Fatchurahman, M., & Praktiko, H. (2012). Kepercayaan diri, kematangan emosi, pola asuh orangtua demokratis dan kenakalan remaja. Jurnal Psikologi Indonesia, 1(2), 77-87 Halimah, A., Khumas, A.,& Zainuddin, K. (2015). Persepsi pada bystander terhadap intensitas bullying pada siswa SMP. Jurnal Psikologi, 42(2), 129140 Hassan, N. C., & Ee. (2015). Relationship beetwen bully’s behaviour and parenting styles amongst elementary school students. Journal of Education and Training, 1(1), 1-12. Diunduh dari http://www.injet.upm.edu.my Hertinjung, W. S., & Karyani, U. (2015). Profil pelaku dan korban bullying di sekolah dasar (University Reaserach Coloqium). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah, Surakarta. Laila, N. Q. (2015). Pemikiran pendidikan moral albert bandura. Jurnal Pendidikan, 3(1), 21-36
14
Levianti. (2008). Konformitas dan bullying pada siswa. Jurnal Psikologi, 6(1), 1-9 Maya, N. (2015). Fenomena cyberbullying Sosial dan Ilmu Politik, 4(3), 443-450
di kalangan pelajar. Jurnal Ilmu
Nikivorou, M., Georgiou, S., & Stavrinides, P. (2013). Attachment to parents and peers as a parameter of bullying and victimization. Journal of Criminology, 9, 1-9. doi:10.1155/.org.2013.484871 Nurhayanti, R., Novotasari, D., & Natalia. (2013). Tipe pola asuh orang tua yang berhubungan dengan perilaku bullying di SMA Kabupaten Semarang. Jurnal Keperawatan Jiwa, 1(1), 49-59 Prameswari, N. L. D.A. (2014). Hubungan antara Pola Asuh Otoriter dan Ketakutan Akan Kegagalan dengan Motivasi Berprestasi (Skripsi tidak dipublikasikan). Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Putri, H. N., Nauli, F. A., & Novayelinda, R. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku bullying pada remaja. Jurnal JOM, 2(2), 1149-1159 Saifullah, F. (2016). Hubungan antara konsep diri dengan bullying pada siswasiswi smp. Journal Psikologi, 4(2), 200-204 Santrock, J. W. (2005). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama. Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Suastini, N. (2011). Hubungan antara pola asuh orang tua otoriter dengan agresivitas remaja. Jurnal JP3, 1(1), 97-108 Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Tindakan Komprehensif. Bandung: ALFABETA. Tis’ina, N. A., & Suroso. (2015). Pola asuh otoriter, konformitas dan perilaku school bullying. Jurnal Psikologi Indonesia, 4(2), 153-161 Yahaya, A., Ramli, J., Hashim, S., Ibrahim, M., & Rahman, R. (2009). Teachers and students perception towards bullying in Batu Pahat District secondary school. European of Social Sciences, 11(4), 543-658. Diunduh dari https://www.researchgate.net
15