NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN BANGSA MORO DALAM KONFLIK FILIPINA Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora
Oleh : SITI AISYAH NIM.105022000852
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M
1
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Tiada kata yang pantas terucap selain puji syukur kehadirat Allah swt atas segala limpahan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tercurahkan kepada kekasih Allah dan manusia termulia, Nabi Muhammad saw, yang telah membuka zaman baru bagi peradaban dunia. Dalam studi di perguruan tinggi, skripsi telah menjadi keharusan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis membahas skripsi yang berjudul “Nasionalisme Moro Sebagai Identitas Perjuangan Bangsa Moro dalam Konflik Filipina”. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada: 1. Prof.Dr. Komaruddin Hidayat selaku Rektor beserta seluruh jajaran rektorat UIN Syarif Hidayatyllah yang telah memfasilitasi mahasiswa menempuh studi. 2. Dr. Abd. Chair, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora beserta seluruh jajarannya. Drs. H. Ma’ruf Misbah dan Usep Abdul Matin, S.Ag., MA., MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu dalam proses perkuliahan. 3. Dr. Amelia Fauzaia, MA. yang di tengah kesibukannya selaku direktur CSRC telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing penulis dan memberikan arahan yang sangat berguna ke arah terwujudnya skripsi ini.
2
4. Dosen, beserta seluruh staf pengajar Fakultas Adab dan Humaniora yang telah banyak memberikan sumbangan pemikiran selama penulis menemph studi. 5. Seluruh staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Perupusatakaan Nasional yang telah menyediakan berbagai sumber yang dibutuhkan untuk menulis skripsi ini. 6. Kedua orang tuaku tercinta yang telah memberikan do’a restunya dan motivasi moril maupun materil dengan penuh keikhlasan yang sangat berharga bagi penulis. 7. Teman-teman Sejarah dan Peradaban Islam angkatan 2005 yang telah memberikan dorongan moril selama menempuh studi di Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Akhir kata, penulis mendoakan semoga amal perbuatan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah swt. Penulis berharap hasil yang penulis tuangkan dalam skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, Januari 2010 Siti Aisyah
3
DAFTAR ISI NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN BANGSA MORO DALAM KONFLIK FILIPINA
BAB I
PENDAHULUAN...........................................................................1 A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1 B. Permasalahan............................................................................ 4 C. Tujuan Penelitian...................................................................... 7 D. Kontribusi Penulisan.................................................................7 E. Studi Kepustakaan.................................................................... 7 F. Sumber dan Metode Penelitian................................................. 8 G. Jadwal Penelitian...................................................................... 5 H. Sistematika Penulisan...............................................................15
BAB II
KEBIJAKAN PEMERINTAH FILIPINA TERHADAP KONDISI SOSIAL MUSLIM........................................................................17 A. Kelompok-Kelompok Etnik di Filipina...................................17 B. Kebijakan Diskriminasi Terhadap Sosial Keagamaan.............25 C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi........................................... 28
BAB
PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI....................... 32
III
A. Perjuangan Pada Masa Kolonial..............................................32 B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro............................................................................45 C. Bersatunya Para Pemimpin Islam............................................46
BAB
NASIONALISME
IV
PERJUANGAN
MORO
SEBAGAI
IDENTITAS MUSLIM
FILIPINA................................................................... 48 A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro........ 48 B. Nasionalisme Moro sebagai Identitas Muslim Filipina..........53 C. Konflik Internal dan Perdebatan Identitas.............................. 61 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN....................................................70 Daftar Pustaka................................................................................73 Lampiran........................................................................................77
4
ABSTRAK
Seperti halnya Indonesia, Filipina merupakan Negara kepulauan dengan penduduk plural dari berbagai etnik. Namun semenjak masa kolonialisme Spanyol pada abad ke-16, Filipina mengalami konflik berkepanjangan yang berlangsung hingga saat ini. Para ahli yang mengamati sejarah dan perkembangan konflik di Filipina, seperti Cesar A Majul berkesimpulan bahwa konflik yang terjadi di Filipina merupakan konflik agama sejak asa kolonialisme Spanyol. Tulisan-tulisan Cesar A Majul sangat membantu karena ia adalah orang yang secara langsung bersentuhan dengan konflik Moro. Dan bersama Nur Misuari serta pemimpin Islam lainnya, Majul membuat kesepakatan pemimpin Islam bersatu. Beberapa tulisannya adalah Dinamika Islam di Filipina dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Tulisan Jamail Kamlian Bangsamoro Society and Culture merupakan pustaka yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Masyarakat Muslim yang mendiami wilayah Selatan Filipina, sejak masa kolonialisme Spanyol hingga Amerika melakukan perlawanan yang kemudian berlanjut hingga pasca kemerdekaan Filipina. Menariknya, sejak lahirnya intelektual muslim, masyarakat Muslim Filipina yang sejak masa kolonialisme Spanyol dikenal dengan sebutan Moro, melalui MNLF (Moro National Liberation Front) mengeluarkan manifesto bahwa masyarakat muslim merupakan sebuah bangsa yang disebut Bangsa Moro. Tentunya aneh jika dalam sebuah negara terdapat rasa nasionalisme yang berbeda. Dalam hal ini Nur Misuari, seorang muslim moderat, melalui MNLF mengusung kemerdekaan Bangsa Moro (bukan negara Islam). Dalam skripsi ini, Nasionalisme Moro sebagai identitas perjuangan Muslim Filipina merupakan tesis pokok dalam pembahasan skripsi ini.
5
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut rakyat Filipina setelah Katolik. Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau 7 persen dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42. 070.600. Namun masyarakat Muslim sejak kemerdekaan Filipina dianggap sebagai warga negara kelas dua karena merasa didiskriminasikan.1 Diskriminasi terhadap Muslim Filipina saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari rangkaian sejarah kolonialisme Spanyol atas Filipina. Di mana jauh sebelum Spanyol melakukan ekspansi ke Filipina, terdapat tiga kesultanan Muslim yang mempunyai pengaruh cukup luas di kepulauan Filipina, yakni; Kesultanan Sulu (meliputi wilayah Sulu, Basilan, Palawan, Negros, Panay, Mindoro, dan Iloco di sebelah utara pulau-pulau Luzon), Kesultanan Manguindanao, dan Kesultanan Buayan. Penjajahan bangsa Eropa ke Asia Tenggara, termasuk penjajahan Spanyol (1565-1876) atas Filipina tentunya bukan hanya bertujuan memperoleh kemenangan secara ekonomi dan perluasan kekuasaan, melainkan juga mempunyai misi menyebarkan agama Kristen (Gold, Glory, Gospel).2 Namun, apa yang dilakukan Spanyol tentunya mendapat perlawanan dari masyarakat Muslim yang mengorganisir diri. Terutama di selatan pulau-pulau Palawan, Sulu
1 2
Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina (Jakarta, LP3ES, 1989). h.13 Dinamika Islam di Filipina. h.13
6
dan Mindanao. Sehingga meski terjadi peperangan berkali-kali, Spanyol tidak pernah mampu menaklukkan kepulauan tersebut. Minoritas Muslim Filipina ini didiskriminasi oleh pemerintah Filipina seperti halnya pada masa kolonial, khususnya di Filipina Selatan yang dihuni oleh komunitas Muslim. Masyarakat Moro beranggapan, pemerintah Filipina hendak menghancurkan kebudayaan Islam untuk digantikan dengan kebudayaan Barat yang pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari peradaban Kristen dari kolonialisme Spanyol dan Amerika. Situasi tersebut memaksa masyarakat Muslim mengangkat senjata untuk mempertahankan diri. Perjuangan ini dipimpin oleh Moro National Liberation Front (Front Nasional Pembebasan Moro) yang dipimpin Profesor Nur Misuari, seorang dosen dari Universitas Filipina.3 OKI dan Libia memainkan peranan mediator antara pemerintah Filipina dengan MNLF sehingga melahirkan persetujuan bagi otonomi tiga belas Provinsi di Selatan di mana terdapat prosentase Muslim yang besar. Tiga belas Provinsi tersebut adalah Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sulu, Basilan, Zamboanga del sur, Zamboanga del Norte, Kota Batu Utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Kota Batu Selatan, Lanao del Sur, Lanau del Norte, dan Davao del Sur. Namun Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Marcos pasca perjanjian Tripoli hanya menyatakan bahwa Muslim merupakan mayoritas di Tawi-tawi, Sulu, Basilan, Manguindanao dan Lanao Sur.4
3
Al Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam : Studi Harakah Darul Islam dan MNLF (Jakarta, Darul Falah, 2003). h.135 4 Garni Janto Bambang Wahyudi, Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Terorisme Internasional, (Jakarta, 2003). H.23
7
Ali Kettani dalam bukunya, Minoritas Muslim, menganggap pemerintah Filipina tidak pernah ingin memberikan penyelesaian yang adil. Sehingga menurutnya tidak heran jika perjanjian itu segera macet, dan memunculkan konflik antara Tentara Filipina dan milisi MNLF. Dari Maret 1968 sampai Maret 1982, lebih dari 100.000 orang sipil Muslim dibunuh oleh tentara Filipina, lebih dari 300.000 rumah orang Muslim dihancurkan dan lebih dari 50 desa, kota kecil dan besar telah diratakan oleh tentara Filipina, termasuk Jolo. Pada tahun 1972 Tentara Filipina diperbesar jumlahnya menjadi sekitar 300.000 prajurit dan 50.000. sekitar 3 juta Muslim telah ditelantarkan dan banyak sekali masjid, sekolah dan tanaman dihancurkan.5 Dari latar belakang masalah ini, yang dijelaskan bukanlah proses perjalanan konflik dan diskriminasi terhadap Muslim Filipina dari masa kolonialisme Spanyol hingga kemerdekaan Filipina. Yang menarik bagi penulis adalah identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan terhadap kekuatan asing dan pemerintah Filipina. Tentunya, ini didasarkan bahwa seluruh perjuangan pasti membutuhkan suatu rumusan konsepsi dalam gerakannya.
Konsepsi
yang
dihadirkan
memunculkan
identitas
dalam
memperjuangkan eksistensi gerakan tersebut. Hal ini juga terjadi dalam masyarakat Muslim Moro yang memperjuangkan eksistensinya. Mereka membutuhkan identitas. Apakah Islam sebagai Identitasnya, atau Nasional Moro, tentunya kita dapat melihatnya dalam rangkaian historis yang merupakan satu kesatuan utuh dengan kondisi Muslim Filipina saat ini.
5
Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini: Rajawali Pers, Jakarta, 2001. h. 197
8
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial masyarakat Muslim Filipina mengalami konflik yang berkepanjangan sejak kolonialisme Spanyol. Hal ini berimbas pada masalah struktur sosial baik politik, ekonomi ataupun keagamaan. Ini memungkinkan adanya gerakan dari masyarakat muslim Filipina untuk melakukan gerakan dalam rangka menunjukkan eksistensinya
agar
diperhitungkan
oleh
pemerintah.
Sehingga
dapat
diklasifikasikan permasalahannya sebagai berikut a. Masyarakat Muslim Filipina mengalami konfllik yang berkepanjangan dari masa kolonialisme Spanyol b. Masyarakat Muslim Filipina membutuhkan wadah dalam bentuk organisasi untuk memperjuangkan aspirasinya. c. Untuk itu, maka organisasi yang memperjuangkan masyarakat Muslim Filipina membutuhkan sebuah identitas perjuangan.
2. Batasan Masalah Sebelum melangkah lebih jauh, agar pembahasan skripsi ini tidak mengalami pelebaran dan tetap fokus pada masalah yang akan diungkap, tentunya kita akan menggunakan landasan teoritis mengenai siapa itu bangsa Moro? Apa itu Identitas?. a. Munculnya Istilah Moro Masyarakat Muslim Filipina terdiri dari berbagai etnik yang sangat beragam. Seperti yang akan dijelaskan dalam Bab II, setidaknya ada sebelas etnik
9
yang tersebar di Filipina Selatan. Banyaknya etnik ini tentunya memunculkan pertanyaan para ahli mengenai etnik mana sebenarnya yang disebut Moro?. Menurut Cesar Adib Majul, kata Moro bukanlah istilah baru yang dimunculkan pemerintah Filipina untuk menyebut sekelompok gerakan yang mengatas-namakan Moro (Moro National Liberation Front). Namun tentunya istilah tersebut tidak muncul dengan sendirinya seiring dengan dideklarasikannya kemerdekaan Filipina pada tahun 1946. Kata Moro bagi masyarakat Muslim Filipina mempunyai kebanggaan tersendiri, karena menurut Majul merupakan simbol perlawanan yang berlangsung selama ratusan tahun sejak masa Spanyol.6 Tesis Majul dikuatkan dalam Ensiklopedi Tematis Islam yang menelusuri akar kata Moor dalam kamus Latin. Dalam hal ini Moro adalah komunitas Muslim Filipina. Istilah Moro sendiri merupakan kosakata yang sudah beredar ratusan tahun di Filipina, tercatat sejak awal invasi Spanyol ke wilayah Filipina pada tahun 1565. Moro, seperti yang dijelaskan dalam ensiklopedi tematis Islam berasal dari kata ‘Moor’ atau ‘Moriscor’ yang berasal dari istilah latin ‘Mauri’, istilah yang sering digunakan orang-orang Romawi kuno untuk menyebut penduduk penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di Filipina dan menemukan komunitas yang memiliki adat dan istiadat seperti orang-orang Moor
di Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang
Islam Filipina dengan istilah Moro.7 Sampai saat ini tidak ada perdebatan di antara para ahli mengenai asal istilah Moro yang digunakan Muslim Filipina dalam beberapa organisasinya 6
Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina (Jakarta, LP3ES, 1989). h.113 Iik Arifin Mansurnoor, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Vol.5 (Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2003). h. 477 7
10
(MNLF dan MILF). Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Moro adalah seluruh masyarakat Filipina Selatan yang beragama Islam yang disatukan dengan perasaan terdiskriminasikan bersama sejak kolonialisme Spanyol. b. Makna dan Istilah Identitas Identitas adalah sesuatu yang melekat di diri manusia maupun benda. Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Serapan dijelaskan bahwa Identitas merupakan kondisi dimana dua benda atau keadaan sama atau identik, sifat dimana sesuatu pada dasarnya tidak berubah dan ciri-ciri atau keadaan khusus seseorang;jati diri.8 Namun dalam pembahasan skripsi ini, yang dimaksud Identitas adalah jargon yang diusung masyarakat Muslim dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme asing dan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Filipina. Agar tidak terjadi pelebaran dalam masalah ini, maka penulisan skripsi ini di batasi pada masalah identitas dari tahun 1965-1986.
3. Rumusan Masalah Penulisan skripsi ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan: 1. Bagaimana proses munculnya bangsa Moro di Filipina? 2. Bagaimana perjalanan konflik yang dilalui bangsa Moro? 3. Identitas apa yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perlawanan terhadap kolonialisme asing dan diskriminasi yang dilakukan Pemerintah Filipina?
8
Kamaruzzaman, Aka dan M Dahlan, Kamus Ilmiah Serapan, (Yogyakarta: Absolut, 2005.
h.131
11
C. Tujuan Penelitian Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: 1. Memahami kondisi sosial dan berbagai permasalahan di Filipina. 2. Mengetahui identitas yang diusung bangsa Moro dalam melakukan perjuangan mempertahankan eksistensi. 3. Memahami kebijakan pemerintah Filiipina terhadap Muslim dan tujuan perjuangan Muslim di Filipina.
D. Kontribusi Adapun kontribusi penulisan skripsi ini di antaranya: 1. Menambah khazanah kepustakaan sejarah Islam 2. Masyarakat
Muslim
perkembangan
Filipina
identitas
mereka
akan
memahami
dalam
rangakaian
perjuangan
sejarah
mempertahankan
eksistensinya. Sehingga pada akhirnya, tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan konsepsi perjuangan selanjutnya.
E. Studi Kepustakaan Sudah banyak akademisi yang membahas mengenai konflik di Filipina. Tulisan Cesar A Majul sebagai sumber primer sangat membantu dalam penyusunan skripsi. Penjelasan dalam Dinamika Islam di Filipina, diawali dengan penggambaran etnik-etnik yang ada di Filipina Selatan. Lebih jelasnya lagi ia membahas mengenai perjuangan bangsa Moro ketika terjadi konflik dengan pemerintah Filipina beserta perjanjian-perjanjian damai yang dibuat di kedua belah pihak.
12
Dalam bukunya, Dinamika Islam di Filipina dilampirkan beberapa sumber primer seperti pernyataan pemimpin Islam bersatu, perjanjian tripoli, manifesto pembentukan Republik Bangsa Moro, dan lain-lain. Ini bisa disebut sebagai sumber primer karena Cesar A Majul merupakan salah seorang intelektual muslim Moro dari College of Arts & Sciences U.P. Diliman, Quezon City yang ikut menandatangani kesepakatan para pemimpin Islam untuk bersatu. Selain Cesar A Majul, Jamail Kamlian dalam bukunya Bangsamoro Society and Culture merupakan peneliti sosial Filipina yang dipakai dalam penulisan skripsi ini. Berbeda dengan Cesar A Majul, Kamlian lebih menekankan pada perkembangan aspek sosial budaya masyarakat Moro dalam rangkaian historis konflik bangsa Moro sejak masa kolonial. Namun dari beberapa studi tersebut tidak ada satu pun yang secara langsung membahas mengenai identitas bangsa Moro dalam memperjuangkan eksistensinya. Seluruhnya hanya membahas mengenai rangkaian historis konflik beserta usaha-usaha penyelesaiannya. Hanya satu peneliti yang membahas sekilas mengenai teori identitas dan minoritas, yakni Erni Budiwati dalam sebuah artikelnya, Minoritas Muslim di Filipina. Namun lagi-lagi penjelasan mengenai identitas hanya ditulis sekilas tanpa dibahas secara mendetile.
f. Sumber dan Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Bertitik tolak pada model penelitian yang bersifat literal, maka dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis terhadap sumber data pustaka (library research). Studi kepustakaan atau library research
13
yaitu menggambarkan sumber-sumber kepustakaan yang ada kaitannya dengan masalah pokok yang telah dirumuskan, yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdiri dari bukubuku, majalah, jurnal dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan kajian skripsi ini.9 Data tersebut kemudian penulis analisis berdasarkan deskriptif terhadap narasi, adapun alat untuk menganalisis masalah-masalah sosial yang muncul, penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Data-data
tersebut
kemudian
diolah
dengan
cara
menelaah,
membandingkan serta menganalisanya dengan pendekatan normatif kualitatif. Bogdan dan Taylor yang dikutip Moleong menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati..10 Penelitian kualitatif juga merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan mannusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam peristiwanya.11
2. Metode Penelitian dan Pendekatan 1). Metode Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mencapai penulisan sejarah, maka upaya untuk merekonstruksi masa lampau dari objek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah. Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali, dilanjutkan dengan metode penggunaan bahan dokumen. Adapun acuan dari 9
Mardalis, Metodologi Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h.25 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h.3 11 S. Margono, Metodologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), cet ke-5, h.36
14
penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penulisan sejarah menurut Louis Gottschalk dalam bukunya Mengerti Sejarah. Penulisan sejarah harus bersumber pada empat aktivitas pokok, yaitu : • Penggunaan objek yang berasal dari zaman itu dan pengumpulan data-data harus tercetak, tertulis, dan sumber lisan yang boleh jadi relevan. • Menghindari bahan-bahan atau bagian-bagian daripadanya yang tidak otentik. • Menyimpulkan kesaksian yang dapat terpercaya mengenai bahan-bahan yang otentik. • Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya itu menjadi sebuah kisah atau penyajian yang berarti. Mengacu pada definisi Louis Gottschalk tentang empat kegiatan dalam metode sejarah tersebut, maka penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Heuristik (Pengumpulan Sumber) Dalam tahap pertama penulis melakukan pencarian dan mengumpulkan data, baik data primer maupun sekunder. Proses pencarian dan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode library research berupa kunjungan ke beberapa perpustakaan seperti: Perpustakaan UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI dan lain-lain. Sumber primer yang penulis gunakan berupa buku-buku mengenai tentang Filipina seperti karya Cesar A Majul Dinamika Islam di Filipina dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Karya Majul sebagai sumber primer karena ia merupakan orang yang ikut berperan langsung di lingkungan intelektual Moro.
15
Selain itu penulis juga menggunakan buku Jamail Kamlian, Bangsamoro Society and Culture. Adapun sumber sekunder di antaranya adalah Peter Gowing, The Moro Wars dan beberapa penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia b. Kritik Kritik merupakan tahap pengklasifikasian data-data yang layak dijadikan sumber atau tidak. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang sebenarbenarnya. Data-data yang sudah penulis peroleh kemudian diuji validitasnya dengan melakukan kritik atas data tersebut. Kritik dilakukan agar sumber yang dipakai dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. c. Interpretasi Selanjutnya, dari data yang sudah dikritik tersebut, penulis melakukan interpretasi atau penafsiran tentang persisnya peristiwa yang terjadi. Ini dilakukan untuk mencari keterkaitan antara masing-masing sumber untuk mencari fakta yang ada. Dengan begitu dapat disimpulkan data yang dimaksud dalam penulisan ini. d. Historiografi Tahapan ini merupakan proses akhir dari penelitian, yakni tahapan penulisan hasil penelitian setelah data yang ada dinterpretasikan dengan mengacu pada fakta-fakta historis. Penulisan skripsi ini menggunakan metode deduktif atau pola umumkhusus, yakni dimulai dari awal bangsa Moro hingga bagaimana perjuangan organisasi-organisasi Moro dalam memperjuangkan eksistensinya.
16
2) Pendekatan Karena skripsi ini membahas mengenai identitas yang digunakan Muslim Filipina dalam memperjuangkan eksistensinya, maka teori yang digunakan adalah teori identitas sosial. Sebagai sebuah teori, identitas sosial tidak bisa lepas dari keinginan individu untuk memperbandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori di mana bisa membimbing kita untuk membandimgkan diri kita dengan yang lain, siapa yang serupa dengan kita dan siapa yang beda. Setidaknya ada tiga variable yang mempengaruhi hubungan pembedaan anta kelompok dalam situasi soaial yang nyata.12 Pertama, individu pasti memiliki internalisasi kelompok meraka sebagai konsep diri mereka. Secara subjektif mereka pasti mengidentifikasikan kelompok yang relevan. Hal ini tadak cukup dari orang lain saja yang mengidentivikasikan seseorang kalau dari kelompok mana dia berasal. Kedua, situasi sosial akan menciptakan perbandingan sosial yang memnungkinkan terjadinya seleksi dan evaluasi atribut relasi yang relevan. Perbedaan kelompok pada tiap-tiap daerah tidak sama secara siknifikan. Ketiga, kelompoknya tidak membandingkan dirinya pada tiap proses kognitif yang ada pada kelompok lain; out-group pastinya dipersepsikan sebagai kelompok perbandingan yang relevan baik dalam kesamaan, kedekatan, dan secara situasional menonjol. Kemudian, Determinasi out-group dihasilkan sebagai perbandingan terhadap determinasi ingroup. Menurut Sarben dan Allen (1968), identitas soaial juga berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang berada di mana dia. Berada di tingkatan 12
Marck Bracher, Jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000). H.82
17
mana kita berada, posisi seperti apa saja yang keberadaanya sama dengan kita dan mana juga yang berbeda. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandingannya adalah antara in-group dan out group. In groups biasanya secara stereotype positif sifatnya, selalu lebih baik dibandingkan out groups.13 Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pendangan dan emosi yang sama. Representasi sosial dapat didefinisikan sebagai prinsip hubungan symbol balik yang terorganisasi. Mereka memperkenalkan letak individu dalam hubungannya dengan objek sosial secara siknifikan. Individu adalah objek yang melekat dalam jaringan relationship. Moscovici (1981) mengartikan sosial representasikan sebagai kumpulan konsep, statements dan asal penjelasan dalam kehidupan sebagai bagian dari konunikasi inter-individual yang merupakan equivalent dalam kehidupan bermasyarakat, sebagai mitos dan system kepercayaan dalam masyarakat tradisonal. Representasi sosial juga merupakan informal keseharian, sebagai keinginan individu untuk memahami dunia. Representasi sosial dari tiap-tiap identitas adalah berbeda. Masing-masing identitas memiliki pandangannya dan pemahamannya terhadap dunia. Dari siti timbullah stereotype, jika anda berasal dari kelompok tersebut maka sifat-sifat anda tidak jauh dari apa yang ada dalam skema akan sifat-sifat kelompok anda
13
Erikson. H. Erik, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, (Jakarta: Gramedia, 1989). Hal.73
18
Sifat-sifat kelompok di mana individu berasal pastilah membawa sifat kelompoknya.14
3. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini digolongkan menjadi dua, yakni sumber primer dan sumber sekunder. Yang dimaksud sumber primer dalam penelitian ini yaitu sumber-sumber yang ditulis langsung oleh intelektual muslim Filipina ataupun para tokoh yang terlibat langsung dalam situasi nasional Filipina. Setidaknya ada dua penulis, yakni Cesar A Majul yang terlibat langsung dalam kesepakatan pemimpin Islam Filipina bersatu dan Jamail Kamlian yang merupakan intelektual Moro. Di antara tulisan-tulisan Cesar A Majul : Dinamika Islam di Filipinai dan Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. Dalam buku pertamanya, Cesar melampirkan dokumen-dokumen primer berupa kesepakatan pemimpin Islam Filipina untuk bersatu, Kesepakatan Perjanjian Tripoli, dan Manifesto Pembentukan Republik Bangsa Moro. Adapun tulisan Jamail Kamlian yaitu Bangsamoro Society and Culture yang menjelaskan sosial kebudayaan muslim Filipina secara historis. Adapun sumber sekunder adalah sumber-sumber yang ditulis oleh para akademisi yang menekuni mengenai problematika Muslim Filipina. Baik orang Indonesia yang tergabung dalam peneliti di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) ataupun para peneliti asing seperti Peter Gowing.
14
Marck Bracher, Jacques Laqan, Diskursus, dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Jalasutra, 2000). H.95
19
4. Analisis Data Dari berbagai sumber yang diperoleh penulis maka dianalisa untuk menemukan kesimpulan akhir dari penelitian ini. Yang pertama adalah mengkritik sumber-sumber, baik primer ataupun sekunder. Dalam tulisan Majul misalnya, pasti terdapat kecondongan terhadap masyarakat Muslim, karena secara obyektif ia berada dalam kelompok Muslim. Tetapi apa yang dilukiskannya merupakan penggambaran kondisi sosial Filipina. Setelah ditelaah dari berbagai sumber yang diperoleh, maka ditemukan adanya perbedaan identitas yang diusung dari berbagai periode. Kondisi sosial yang mengiringi perjuangan muslim Filipina berbeda-beda, sehingga mereka mencari identitas baru yang lebih relevan. Saat ini ada satu organisasi yang diakui di dunia internasional dengan identitas yang diusungnya, Nasionalisme Moro.
G. Jadwal Penelitian Harus disadari bahwa penelitian ini merupakan tugas akhir akademis. Sehingga penelitian ini dilakukan dengan bimbingan intensif kepada dosen tertentu. Namun setidaknya waktu penulisan ini dijadwalkan selama tiga bulan dimulai bulan September. Bulan pertama penulis menelusuri dan membaca sumber, bulan kedua menganalisis dan mengkritisi, dan bulan terakhir melakukan perbaikan-perbaikan berdasaran arahan pembimbing.
H. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN Berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan
20
perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan penulisan serta sistematika penulisan BAB II
PETA SOSIAL-POLITIK MUSLIM FILIPINA Menguraikan tentang kondisi sosial Filipina ayang melatar belakangi konflik setelah penjajahan Spanyol hingga saat ini
BAB III
PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI Menjelaskan kronologis konflik Filipina dari masa penjajahan Spanyol hingga pasca kemerdekaan Filipina. Serta menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh kolonialisme Spanyol dan Amerika yang dilanjutkan sampai pemerintahan Filipina untuk orang muslim.
BAB IV
POLITIK IDENTITAS DALAM PERJUANGAN BANGSA MORO Membahas tentang identitas yang diusung oleh Muslim Filipina dalam
mempertahankan
perjuangan
melawan
eksistensi
Spanyol
bangsa
hingga
Moro.
Mulai
diskriminasi
pasca
kemerdekaan Filipina. Dan dijelaskan pula mengenai perpecahan organisasi masyarakat Filipina Selatan karena perbedaan pandangan mengenai identitas yang digunakan. BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan.
21
BAB II PETA KONDISI SOSIAL MUSLIM FILIPINA
A. Kelompok-Kelompok Etnik di Filipina Filipina merupakan salah satu Negara di Asia Tenggara yang terletak di bagian Barat Daya lautan teduh. Negara yang ber-ibukota Manila ini mempunyai luas wilayah 301.000 km2 yang mencakup 7100 pulau. Dua pulaunya yang terbesar adalah pulau Luzon di Utara dengan luas 104.699 Km, dan Pulau Mindanao di bagian Selatan dengan luas 94.630 Km15. Di Utara Filipina berbatasan dengan laut Cina dan Taiwan, di Selatan dengan wilayah laut kepulauan Indonesia, sedangkan di Timur dengan Samudra Pasifik dan di Barat dengan Laut Cina Selatan. Jumlah penduduk Muslim Filipina sejak adanya sensus penduduk tahun 1903 oleh Amerika, mengalami peningkatan. Namun dalam hal ini tidak ditemukan data penduduk Filipina pada masa Spanyol.
Pada tahun 1903
penduduk Muslim berjumlah 763.500, kemudian meningkat pada tahun 1918 sebanyak 1.314.000 jiwa. Kemudian dua tahun setelah Filipina merdeka, 1948 jumlah penduduk Muslim menjadi 1.9234.000 jiwa.16 Dari sensus penduduk tahun 1990, penduduk Muslim Filipina berkisar antara lima sampai enam juta jiwa, atau sekitar 8,5% dari total penduduk negeri itu yang berjumlah + 66.000.000.17 Pada bulan Juli 2001, diketahui total penduduk Filipina berjumlah 82.841.518 jiwa. Dari total jumlah tersebut, 83 % di
15
Alfian, Peran Pihak Ketiga Dalam Resolusi Konflik; Kasus Indonesia dan Libya dalam Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah Filipina dengan Moro National Liberation Front (MNLF), (Jakarta: UI, 2000). h.23 16 Ibid.h.36 17 Cesar Adib Majul, Filipina dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Jakarta: Mizan, 2001). h.65
22
antaranya beragama Katolik, 9% Protestan, 5% Islam dan 3% Budha dan lain-lain. Adapun mayoritas Muslim menempati bagian Selatan Filipina seperti Pulau Mindanao, Kepulauan Sulu, Palawan, dan Tawi-tawi.18 Penduduk asli Filipina merupakan orang-orang yang telah mendiami wilayah Filipina sejak awal. Sampai kini, setidaknya ada tiga suku bangsa yang dianggap sebagai penduduk asli Filipina, yaitu: 19 1. Negrito Suku bangsa negrito ini mendiami wilayah sekitar laut Sulu. Mereka adalah suku
bangsa
pertama
yang
mendiami
wilayah
Filipina.
Mereka
mengembangkan pertanian dataran rendah, namun kemudian terdesak ke daerah pegunungan. 2. Melayu Suku bangsa Melayu merupakan kelompok penduduk kedua yang datang ke Filipina. Mereka datang dan kemudian melakukan kawin campur dengan orang Negrito. Selanjutnya mereka terbagi ke dalam berbagai kelompok yang berbeda dan tersebar ke wilayah lain di Filipina. 20 3. Igorit dan Ifugao Orang-orang Igorit dan Ifugao mendiami wilayah pegunungan Cordilerra di bagian Utara Filipina. Mereka sejak ratusan tahun silam terkenal sebagai petani terasing di Banaue. Daerah tersebut saat ini merupakan salah satu tempat wisata yang favorit.
18
Peran Pihak Ketiga dalam Resoluisi Konflik. h 36 Lamijo, Syarfuan Rozi, Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina, (Jakarta : LIPI, 2003). h.23 20 Wacana Ideologi Negara Islam. h. 61 19
23
Dari tiga suku asli Filipina, kemudian berkembang menjadi banyak etnik. Setidaknya di Filipina terdapat lebih dari 75 kelompok etnis yang sebagian besar di antaranya merupakan keturunan Melayu, di mana saat ini sebanyak 91% merupakan kelompok Melayu Kristen dan 4% Melayu Muslim. Selebihnya adalah 1,5 % Cina dan kelompok etnis yang lain sebesar 3%. Adapun kelompokkelompok etnis yang ada di Filipina adalah sebagai berikut:21 1. Kelompok etnis yang berada di Pulau Luzon, antara lain: Ivatan, Ilocano, Tinggian, Apayao, Kalinga, Balangao, Kankanay, Kankanaey, Bago, Bontoc, Ifugao, Ibaloi, Ikalahan/Kalanguya, Iwak, Isinay, Pengasinan, Ga’dang, Ibanag, Itawit, Malaweg, Yigad, Ilongot, Kampangan, Palanan, Tagalog, Bicol, Negrito, dan Sambal. 2. Kelompok etnis yang berada di Kepulauan Visayas, antara lain: Masbateno,
Abaknon,
Rombloanon,
Bantoanon,
Aklanon,
Kinitaya/Hamtikanon, Hiligaynon, Sulod, Bikidnon, Boholano, Cebuano, dan Waray. 3. Kelompok etnis yang berada di Pulau Mindanao antara lain: Manabo, Sangil/Sangir, Maranao, Ilanun, Tiruray, Tasaday, T’boli, B’laan, Kamiguin, Subanun, Mamanwa, Butuanon, Kamayo, Bagobo, Mandaya, Klagan, dan Kalibugan. 4. Kelompok etnis yang mendiami Pulau Palawan antara lain: Tagbanwa, Agutayanaen, Kuyonen, Pala’wan, Milibog, Batak, dan Taut Batu. 5. Kelompok etnis yang mendiami Pulau Sulu/Tawi-tawi antara lain: Yakan, Sama, Sama dilaut, Tausug, dan Jama mapun.22 21 22
Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h.20 Ibid.hal.21
24
Dari 75 kelompok etnis di Filipina, masyarakat Muslim Filipina menurut John L Esposito dan Cesar Adib Majul, diklasifikasikan menurut 12 kelompok etnik, yakni: Manguindanao, Maranao, Iranun, Tausug, Samai, Yakan, Jama mapun, Palawani, Kalagan, Kalibugan, Sangil dan Badjo.23 Dengan demikian, Moro pada dasarnya hanya sebutan bangsa Spanyol terhadap Muslim Filipina, bukan nama etnik. Karena masyarakat Muslim di Filipina terdiri dari berbagai etnik. Berikut ini data etnik yang mayoritas Muslim di Filipina Tahun 1975.24 Nama Kelompok
Populasi (perkiraan 1975)
Manguindanao
674.000
Maranao dan Iranun
670.000
Tausug
492.000
Samal
202.000
Yakan
93.000
Jama Mapun
15.000
Kelompok-kelompok Palawan
10.000
(Palawani dan Molbog)
5.000
Kalagan
4.000
Kolibugan
3.000
Sangil
Dalam hal ini berbeda dengan John L Esposito dan Cesar Adib Majul, Lamijo dan Syarfuan Rozi menyebut 13 kelompok etnik dalam masyarakat Muslim Filipina. Perbedaannya hanyalah pada peletakkan etnik Badjao atau Samal Laut. Mungkin John L Esposito dan Cesar Adib Majul tidak
23 24
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. hal.65 Dinamika Islam di Filipina. hal 3
25
meletakkannya karena dianggap sama dengan etnik Samal. Di bawah ini adalah 13 etnik hasil sensus tahun 1980.25
Kelompok Etno-Linguistic
Jumlah
Presentase
Maranao
742.962
29,7
Manguindanao
644,548
25,7
Tausug (Jolo, Sulu)
502,918
20,1
Sama (Sama’a, Samal)
244.160
9,7
Yakan
196.000
7,8
Sangil (Sangir)
77.000
3,2
Badjao (Samal Laut)
28.5346
1,1
Kolibugan (Kalibugan)
15.417
0,6
Jama Mapun (Samal Cagayan)
14.347
0,6
Iranum (Ilanun)
12.542
0,5
Palawanon (Muslim Pinalawan)
10.500
0,4
Kalagan (Muslim Tagakalo)
7.902
0,3
Molbog (Melebuganon)
7.500
0,3
Total
2.504.332
100
Mayoritas masyarakat Muslim tinggal di bagian Selatan Filipina, yakni di Pulau Mindanao dan di Kepulaun Sulu. Orang Manguindano marupakan kelompok terbesar dan paling banyak tinggal di daerah Cotabato di Mindanao, Sultan Kudarat, Cotabato Utara dan Selatan. Orang Maranao tinggal di dua proponsi Lanao del Sur dan Lanao del Norte., Iranun atau Illanun mendiami daerah Lanao sekitar Teluk Illana dan daerah sebelah Utara Cotabato. Tausug dan Samal tinggal di Kepulaun Sulu. Jama Mapun tinggal di Cagayan desulu. Masyarakat Kalangan tinggal di sepanjang pantai Teluk Davao. Orang Yakan di
25
Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h.23
26
Basilan. Sangil tinggal di Davao. Orang Kalibugan tinggal di Zamboanga del Sur. Sedangkan masyarakat Palawani tinggal di Pulau Palawan Selatan dan orang Molbog di dekat Pulau Balabae dekat pantai Utara Kalimantan.26 Secara geografis, masyarakat Moro yang terdiri dari banyak etnik mendiami bagian Selatan Filipina dan memiliki identitas tersendiri. Dari segi sejarah maupun secara sosio kultural berbeda dengan orang Filipina Utara. Sebutan Moro sendiri berasal dari bangsa Spanyol yang datang ke Filipina. Hal ini bisa dimaklumi karena masyarakat Muslim Filipina mempunyai kepercayaan yang sama dengan bangsa Moor yang sejak lama mendiami Spanyol.27 Ada lebih dari seratus bahasa dan dialek berbeda di Filipina. Namun bahasa Tagalog digunakan oleh lebih dari lima belas juta penduduk Filipina, sedangkan bahasa Inggris dimengerti oleh tak kurang dari tiga belas juta penduduk Filipina. Adapun beberapa bahasa utama di Filipina antara lain: 1. Tagalog dan Cebuanon, dipakai di Cebu, Bohol, Negros Occidental, Bastern Leyte, dan sebagian Mindanao. 2. Hiligaynon, dipakai di Negros Iccidental dan popinsi Panay. 3. Waray, dipakai di Samar dan Western Leyte. 4. Bikolano, dipakai di Profinsi Bikol. 5. Kampapangan, digunakan di Pampangan dan Tarlac. 6. Ilokano, digunakan di Pengasinan, La Union dan propinsi Ilocos. 7. Manguindanao, digunakan di beberapa wilayah Muslim Mindanao.
26 27
Peran Pihak Ketiga Dalam Resolusi Konflik. hal.24 Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. h.65
27
8.
Tausog, digunakan oleh orang-orang Islam Zamboanga dan Kepulauan Sulu.28 Banyaknya etnik dalam masyarakat Muslim Filipina menyebabkan tidak ada bahasa khusus yang digunakan masyarakat Muslim Filipina, namun
setidaknya
mayoritas
menggunakan
bahasa
Tausog
dan
Manguindanao. Adapun sistem sosial dalam masyarakat Moro pada masa kolonial terbagi menjadi tiga kelas, yakni kelas Datu, orang bebas, dan budak. Kelompok Datu merupakan keturunan aristokrat, kaya, memiliki jabatan politik, dan status sosial yang tinggi. Orang bebas (freeman) merupakan orang yang tidak memiliki kekayaan, tidak punya prestise ataupun pengikut, tapi bukan budak. Sedangkan budak adalah kelas paling rendah. Saat ini budak tidak ada lagi, yang tersisa hanyalah Datu dan orang biasa. 29
A.1. Dampak Pluralitas Etnis di Filipina Kondisi Muslim Filipina yang plural tentunya menimbulkan persaingan antar etnis. Hal ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal kedatangan Spanyol. Di mana tiga kesultanan Muslim di Filipina, yakni kesultanan Sulu, Mindanao dan Buayan tidak melakukan kerjasama dalam menghadapi kolonialisme Spanyol. Setidaknya selama empat tahap Perang Moro dengan Spanyol, baru pada tahap terakhirlah mereka sadar harus memunculkan sikap bersatu pada 1645.30 Dalam tahap terakhir ini selama peperangan dengan Pihak Spanyol, pemerintahan Sultan
28
Demografi dan Sejarah Kolonisasi di Filipina. h. 27 Ibid. h. 25 30 Wacana Ideologi Negara Islam. h. 30 29
28
menjadi lebih disentralisasikan untuk tujuan-tujuan pertahanan terhadap Spanyol sebagai common enemy.31 Multi etnis di Filipina sebenarnya sangat merintangi proses integrasi. Bahkan dalam kelompok-kelompok Muslim pun perbedaan-perbedaan etno-kultur cukup fundamental dalam memberi dampak serius persaingan bahkan pada saatsaat bahaya bersama dihadapi. Sultan dan Datu sering terjadi konflik, bahkan bekerjasama dengan orang Kristen yang mereka benci untuk menghancurkan Sultan atau Datu di tempat lain.32 Konflik antara elit ini bisa dilihat pada penguasa Muslim di Cotabato yang bernama Datu Uttu. Ia menyediakan perahu-perahu bagi orang Spanyol untuk menyerang kelompok –kelompok Muslim yang menolak tunduk padanya. Selain itu, selama masa pendudukan Amerika, beberapa kelompok menandatangani pakta perdamaian, sementara beberapa kelompok Muslim lainnya tetap mengadakan perlawanan. Pemberontakan Datu Ali yang dimulai tahun 1903 merupakan salah satu pemberontakan yang sangat hebat pada periode Amerika, dapat dipatahkan karena Datu Ali dibunuh berdasarkan
informasi yang diberikan oleh Datu Piang.
Kompetisi antara para Datu tersebut sebenarnya hanyalah mendapat harta kekayaan dan pengaruh.33 Kesamaan agama nampaknya tidak membuat persatuan masyarakat yang terdiri dari banyak etnis berjalan dengan lancar. Multi etnis justru mempersulit integrasi masyarakat jika yang dicita-citakan masyarakat Islam menjadi sebuah 31
Al Chaidar, Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara; Telaah Perbandingan Atas Terbentuknya Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan-Gerakan Pembentukan Negara di Indonesia dan Filipina Pasca Kolonialisme, (Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 1992). h. 61 32 Ibid. hal.206 33 Ibid. h. 207
29
bangsa. Masyarakat Muslim yang terdapat di Thailand misalnya, multi etnis menyebabkan masyarakat Muslim tidak bersatu dalam melakukan perlawanan terhadap diskriminasi pemerintah.34 Ternyata sentimen etnis juga terlihat pada konflik internal Moro National Liberation Front (MNLF) pada tahun 1977, ketika itu petinggi MNLF yang tidak suka dengan kepemimpinan Nur Misuari melakukan pembusukan dengan mengambil isu komunis dikatakan bahwa Nur Misuari sebenarnya orang Komunis yang berlindung dalam selimut Islam. Hashim Salamat (1942-2003), yang ketika itu menjadi menjabat anggota Komite Sentral MNLF memecat Nur Misuari dari kedudukannya sebagai Ketua Komite. Salamat menyatakan bahwa Nur Misuari sedang berpaling dari Islam, karena lebih menyukai metode Komunis, dan bahwa ia sedang kehilangan kepercayaan dari banyak komandan lapangan Bangsa Moro Army (BMA). Nur Misuari kemudian menyerang balik dengan cara memecat Salamat dari Komite Sentral, dan memasukkan lebih banyak anggota dari etnisnya sendiri, yakni etnis Tausug.35
B. Kebijakan Terhadap Sosial Keagamaan Sistem pendidikan pasca kemerdekaan Filipina pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sistem yang diperkenalkan Amerika dan kemudian dikembangkan pada masa persemakmuran. Manuel Quezon mengatakan bahwa dalam rezimnya tidak ada tempat bagi para Datu dan Sultan. Ini bisa kita mengerti karena Manuel Quezon menghendaki kesultanan menjadi wilayah integral Negara Filipina.
34
Erni Budiwanti, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand dan Myanmar; Masalah Represi Politik (Jakarta: LIPI, 2003). h.129 35 Dinamika Islam Filipina. h. 92
30
Sistem pendidikan Filipina pada masa Amerika sebenarnya menerapkan kurikulum yang sama bagi setiap anak Filipina di semua daerah tanpa memperhatikan
perbedaan-perbedaan
agama,
kultural
dan
tidak
mempertimbangkan bahwa orang-orang Islam memiliki beberapa karakteristik agama yang unik dan sejarah mereka sendiri.
Serta Undang-Undang nasional
akan diterapkan secara sama terhadap orang-orang Islam dan Kristen. Namun dengan adanya kebijakan tersebut mendapat reaksi keras dari umat Islam yang
membuat presiden Quezon menyadari bahwa orang-orang Islam
memiliki kode etik sendiri yang berharga dan memiliki sistem undang-undang yang menguasai aspek kehidupan mereka. Beliau pun gagal menyadari bahwa undang-undang nasional yang dibentuk tanpa perwakilan para pemilih Islam karena ini dirasakan asing bagi orang Islam Filipina yang warisan kulturalnya diambil secara besar-besaran dari masyarakat Melayu.36 Padahal menurut hemat penulis, apa yang dilakukan oleh pemerintah Amerika pada waktu itu bertujuan untuk mengintegrasikan masyarakat Filipina yang sejak masa kolonialisme Spanyol mengalami konflik antara masyarakat Utara dan Selatan. Kemungkinan yang membuat masyarakat Muslim Filipina berontak terhadap Amerika adalah menyangkut diskriminasi dalam politik migrasi. Sementara itu, para pemimpin Islam berkeyakinan bahwa peraturan pemerintah yang baru, merupakan rencana yang sengaja dilaksanakan untuk mematikan Islam di Filipina. Ketika diproklamirkan kemerdekaan di Filipina, masyarakat Muslim meminta perlakuan khusus dan pembentukan hukum serta pengadilan syari’ah yang memungkinkan mereka melaksanakan haknya dalam 36
Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 11
31
memperaktekkan hukum Islam secara penuh, karena orang-orang Muslim merasa sulit menerima undang-undang nasional Filipina, kerena berasal dari nilai Barat dan Kristen.37 Orang-orang Islam tidak menyukai sistem pendidikan baru yang menekankan ide-ide progresif Barat yang berguna untuk menciptakan kerakyatan nasional baru yang cocok. Aturan-aturan perilaku didasarkan pada nilai-nilai Barat. Buku-buku sejarah mengajarkan bahwa orang-orang Filipina Selatan, yang telah memerangi orang-orang Spanyol adalah kelompok perampok dan pedagang budak. Karena hal ini, orang-orang Islam Filipina tidak bersemangat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah umum. Walaupun begitu, di Filipina masih terdapat sejenis pendidikan pesantren atau sekolah pandita (ustadz atau guru). Sekolah ini diselenggarakan di rumah atau di Masjid. Sekolah pandita adalah sebuah lembaga pendidikan yang menjadi sekolah lokal.38 Pada tahun 1976, dalam masa pemerintahan Presiden Marcos (1965-1982), konflik antara gerakan Muslim yang tergabung dalam MNLF dengan Pemerintah Filipina berakhir dengan kesepakatan Tripoli yang isinya masyarakat Moro mendapat hak otonomi penuh atas 13 Propinsi di Filipina Selatan. Perjanjian tersebut tidak berjalan dengan lancar, namun Pemerintah Filipina membentuk Kementrian Urusan Islam (KUI) pada tanggal 28 Mei 1981. Dengan wadah formal yang megah diharapkan masyarakat Moro menjadi lebih yakin dengan program yang ditawarkan pemerintah kepada mereka. Dalam menjalankan tugasya, kementrian Urusan Islam menekankan integrasi dengan membuka kesempatan kepada Masyarakat moro untuk berperan 37 38
Dinamika Islam Filipina. h. 15 Wacana Ideologi Negara Islam. h.133
32
aktif dalam pembangunan dan kehidupan bernegara sejajar dengan masyarakat Filipina lainnya. Penekanan kementrian ditujukan kepada pembinaan lembaga sosial budaya dan ekonomi. Prioritas diberikan kepada pembinaan pelayanan hukum Islam kepada masyarakat Moro. Untuk itu dibentuklah badan peradilan syari’at yang sejajar dengan peradilan umum. Bagi keperluan ini pengembangan sumber pelaksana hukum syari’at (kadi) juga dilancarkan. Di samping itu dilakukan usaha untuk meningkatkan fasilitas budaya dan keagamaan bagi masyarakat Muslim. Usaha ke arah ini terlihat dengan penunjukkan amir al hajj (pemimpin rombongan haji nasional) pada musim haji 1982, pengadaan perlombaan membaca al Qur’an secara luas dan rutin, pembinaan masjid, dan koordinasi kegiatan para ulama.39 Bagaimanapun seriusnya usaha pemerintah melalui KUI, namun sebagian masyarakat Muslim meragukan ketulusan Marcos dalam menyelesaikan persoalan Moro dan beranggapan bahwa program pembangunan di Filipina Selatan hanyalah kedok ke arah integrasi yang merugikan. Karena itu, para tokoh perlawanan, terutama MNLF masih mendapat dukungan luas, kendati tidak dalam bentuk konkret perlawanan bersenjata.
C. Diskriminasi Kebijakan Ekonomi Sejak Filipina memperoleh kemerdekaan, tahun 1946, Pemerintah Manila membuat program pemukiman bagi orang Kristen dari Luzon dan Visaya di wilayah Moro berdasarkan UU No. 1888 tanggal 22 Juni 1957 dibentuklah Commission On National Integration. Program ini sebenarnya kelanjutan dari
39
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.6. h. 315.
33
politik integrasi yang dilakukan Amerika. Pada waktu itu, masyarakat Moro tidak merasa terganggu, karena administrasi wilayah diatur oleh kalangan mereka sendiri. Tetapi dengan dukungan pemerintah, para pemukim Kristen mulai mengambil alih posisi straregis di bidang politik dan ekonomi, segera setelah mereka memenuhi tanah Moro. Kondisi ini mengakibatkan Muslim Moro makin terpinggir. Padahal semula program ini bertujuan mendorong semangat berproduksi, pertanian, industri rumah tangga dan lain-lain dengan cara-cara yang lebih modern. Tetapi ini tidak berdampak signifikan bagi masyarakat Moro.40 Dengan adanya kondisi semacam ini, tampaknya motivasi pemerintah Manila dalam proses migrasi dan pembangunan dinilai negatif, bukan hanya murni untuk pemerataan pemukiman di daerah Selatan, sehingga Cesar A Majul beranggapan tujuan Pemerintah Filipina adalah untuk mengurangi dan menghancurkan peran orang Islam di sana. Selain itu, kaum Moro merasa bahwa pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak pernah mencapai daerahnya. Akhirnya di kalangan Moro terjadilah apa yang disebut erosi identitas kultural, teralienasi dari pembangunan ekonomi, terasing dari wilayah kehidupannya sendiri. Mereka menjadi kian asing di negeri sendiri.41 Pada masa pemerintahan Marcos atau setelah penandatanganan perjanjian Tripoli, bangsa Moro diberikan hak otonom untuk mengelola wilayah Filipina Selatan. Bidang ekonomi dan finansial, wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Pada tahun 1977, keluar dekrit Presiden Filipina untuk mendeklarasikan adanya otonomi di wilayah Filipina Selatan dan tahun 1979 40
Djunaedi Mahbub, Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan, (Jakarta: PT Al Ma’arif, 1975). h. 31 41 Demografi fan Sejarah Kolonisasi di Fiipina. h. 42
34
kembali dekrit Presiden dikeluarkan untuk mengimplementasi adanya wilayah otonomi Filipina Selatan.42 Dengan kesepakatan itu, pihak MNLF diberikan hak otonomi untuk mengelola wilayah Filipina Selatan di bidang ekonomi dan finansial, misalnya wilayah Filipina Selatan mempunyai sistem tersendiri. Tetapi perincian bagaimana mengoperasikan sistem itu dan bagaimana hubungan dengan pemerintah pusat dan Manila tidak begitu jelas, sehingga masyarakat Filipina Selatan tidak bisa berharap banyak pada kesepakatan otonomi tersebut.43 Awal bulan Agustus 1973, didirikanlah Bank Amanah Filipina untuk memenuhi beberapa tujuan: untuk membangun kelas pengusaha wiraswasta Muslim yang lebih besar, untuk melatih kaum muda Islam memperoleh keahlian perbankan dan pengetahuan ekonomi yang canggih, dan membantu dana rehabilitasi daerah-daerah yang menyedihkan di daerah Selatan. Pada
tahun
1974
Administrasi
Pembangunan
Filipina
Selatan(SPDA/Southern Philippines Development Authority) didirikan untuk meningkatkan hubungan ekonomi antara Muslim dan dan Non-Muslim pada batas regional.44 Nyatanya, banyak usaha pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil tambang atau sumber daya alam lainnya di wilayah masyarakat Moro di Mindanao. Banyak usaha dari pemerintah Filipina untuk mengeksploitasi hasil tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri tambang ini untuk keuntungan berbagai proyek industri di Utara Filipina. Tingginya investasi untuk 42
Erni Budiwanti, Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai, (Jakarta: LIPI, 2001).
h. 92 43
Problematika Minoritas Muslim Asia Tenggara. h.109 Durorudin Mashad, Gerakan Resistensi Minoritas Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2004). h. 171 44
35
menggali sumber-sumber tambang di Mindanao ini semakin mempertinggi disparitas atau kesenjangan di antara minoritas Muslim Moro dan Mayoritas Katolik. Setelah kemerdekaan Filipina, pemerintah bahkan menarik lebih banyak investor asing dari berbagai perusahaan multidimensional untuk mendirikan industri-industri besar di Mindanao guna memenuhi harapan pemerintah akan peningkatan ekspor Filipina, namun tidak memenuhi kebutuhan lokal Masyarakat Muslim Moro di Mindanao.45 Pada umumnya, persoalan ketidakadilan ekonomi sebenarnya telah berlangsung lama di kalangan kelompok minoritas secara etnis ataupun agama. Menurut Tri Nuke Pujiastuti, diskriminasi tersebut didukung oleh beberapa hal, pertama, pada kenyataannya kelompok minoritas tinggal di wilayah terpisah dengan kelompok mayoritas; kedua, masih rendahnya fasilitas-fasilitas ekonomi yang mereka miliki; ketiga, pelemahan konflik budaya; atau keempat, diskriminasi yang dilakukan kelompok mayoritas. 46
45 46
Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 138 Problematika Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar. h.15
36
BAB III PERJUANGAN MELAWAN DISKRIMINASI
A. Perjuangan Pada Masa Kolonial A.1. Perlawanan Terhadap Imperialisme Spanyol (1565-1876) Bangsa Spanyol menginjakkan kaki pertama kali di Filipina pada tanggal 16 Maret 1521 di pulau Samar melalui sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Ferdinand Magellan. Kedatangan Magellan disambut oleh dua raja dari Filipina Utara, yaitu Kolambu dan Siagu. Magellan kemudian ke Cebu untuk menemui Raja Humabon. Raja Humabon dan 800 orang Cebuano lainnya dibaptis menjadi Kristen. Dalam hal ini, Magellan setuju membantu Raja Humabon untuk memadamkan pemberontakan Lapu-lapu di sekitar pulau Mactan. Magellan terbunuh dalam sebuah pertempuran antara pasukan Spanyol dan pasukan Lapulapu pada tanggal 27 April 1521. dia menyebut wilayah baru itu “Philippine”, sebagai penghormatan kepada raja Philip II yang berkuasa di spanyol ketika itu.47 Filipina secara resmi menjadi koloni bangsa Spanyol pada tahun 1565, ketika raja Philip II menunjuk Miguel Lopez de Lagazpi sebagai Gubernur Jenderal yang pertama. Ia selanjutnya memilih Manila sebagai Ibu Kota wilayah koloni itu pada tahun 1571, karena dianggap potensial. Kedatangan Lagazpi di manila tidaklah di sambut dengan baik, karena orang Islam di Manila pimpinan raja Sulaiman (1570-1582) tidak mudah tunduk dalam kekuasaan orang Spanyol dan mereka memahami maksud dan tujuan dari kebijakan yang akan diterapkan di Manila. Selama sekitar 200 tahun awal masa penjajahan Spanyol di Filipina, 47
Carlos P Romulo, Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, (Jakarta: Grolier Internasional, PT Widyadara, 2003). h. 254.
37
masyarakat muslim terisolasi dari dunia luar. Baru setelah berakhirnya ‘perang tujuh tahun” dengan Inggris pada tahun 1762, yang ditandai dengan perjanjian Paris (1763) di mana Manila dikembalikan pada Spanyol, Filipina mulai membuka dengan dunia luar, dan kemudian pada tahun ini juga, Miguel Lopez de Lagazpe berhasil menaklukan Luzon Visayas. Awal kedatangan bangsa Spanyol di Manila, Legazpi melakukan hubungan langsung dengan raja Sulaiman. Mereka telah membuat pernyataan yang mana pernyatan tersebut hanya sebuah siasat dari Legazpi. Walaupun demikian pada akhirnya Spanyol melakukan pemberontakan di Manila. Mereka mulai menembak dan merampok orang-orang Islam. Manila menjadi markas besar Spanyol pada tahun 1571 ketika bangsa Spanyol mulai menetapkan peraturan untuk masyarakat muslim.48 Dalam
memperpanjang
pengaruh
kolonialnya,
bangsa
Spanyol
memperingatkan masyarakat muslim bahwa jika ingin berdamai dengan mereka, maka muslim Filipina harus membayar upeti, jika menolak maka harta muslim Filipina akan di ambil paksa oleh Spanyol. Selain itu pula, masyarakat muslim Filipina wajib memberkan empat puluh orang laki-laki yang berumur antara 16 sampai 60 tahun untuk dipekerjakan kepada Spanyol. Walaupun demikian masyarakat muslim tidak pernah menyerah.49 Kedatangan bangsa Spanyol di Filipina pada tahun 1565 untuk mendirikan koloni serta mengkristenisasi penduduk asli Filipina, menghalangi penyebaran Islam selanjutnya ke Utara dari Kalimantan, dan ke Selatan Filipina arah Luzon
48
Perang Moro. h. 30 T.J.S George, Revolt in Mindanao; the Rise of Islam in Philippine Politics, (Oxford University Press, 1980). h. 32-33. 49
38
dan kepulauan Visayan. Sejak saat itu penyebaran Islam terbatas sampai ke kepulauan Sulu dan Mindanao sebelah Barat. Sejarah menunjukan bahwa pertentangan penduduk yang di utara dan penduduk Islam bermula dari permusuhan antara orang Spanyol dan kaum Muslimin. Spanyol yang datang ke Filpina pada tahun 1565 untuk mendirikan koloni dan memasukkan penduduknya ke dalam agama Kristen telah menghalangi penyebaran Islam yang dilakukan dari Brunai (Kalimantan) para mahdumin (pendakwah Islam) yang juga berperan sebagai pedagang dari Kalimantan tiba di Filipina pada tahun 1520 secara besar-besaran sehingga Manila pun telah menjadi sebuah kerajaan Islam dibawah pemerintahan sultan Brunai. 50 Filipina dijajah Spanyol selama lebih kurang 377 tahun. Periode Spanyol di Filipina merupaka era kristenisasi bangsa Filipina. Hampir semua kepulauan di Filipina, kecuali Mindanao, dikristenkan. Dengan kekerasan, persuasi atau menundukan secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol berhasil memperluas pengaruhnya ke hampir seluruh Barangay (perkampungan) di Filipina. Spanyol menghadapi perlawanan yang gigih dari kesultanan-kesultanan di Filipina selatan, Sulu, manguindanao, dan Buayan yang mana memiliki kesatuan politik dan telah dikembangkan jauh lebih melabihi struktur Barangay yang sederhana. Orang-orang Spanyol memaksa kaum pribumi yang telah memasuki agamanya untuk menjadi sekutu mereka dalam pertempuran. Misalnya ketika terjadi perang antara bangsa Spanyol dengan kekuatan muslim di bawah pimpinan Sultan Nasruddin (1656). Kaum pribumi ini digunakan sebagai pandayung, 50
Dalam hal ini Cesar A Majul tidak menjelaskan dengan rinci siapa nama seseorang yang dimaksud. Lihat Dinamika Islam Filipina. h. 9
39
pelempar tombak, atau prajurit-prajurit untuk menyerang perkampunganperkampungan Islam yang mana mereka telah diindoktrinasi dengan kepercayaan bahwa mereka sedang melakukan pelayan agama. Kaum ini disebut kaum Indio oleh Spanyol.51 Rentetan peperangan yang panjang antara orang-orang Spanyol dan Islam dinamakan “perang moro”, dan dilanjutkan sampai masa kekuasaan Spanyol di Filipina berakhir. Peperangan ini pada akhirnya menambah ketegangan yang terjadi sekarang antara orang-orang Islam dan Kristen. Ekspedisi bangsa Spanyol banyak menghancurkan komunitas-komunitas Islam dan daerah pertanian, menghancurkan perokonomian dan kehidupan orang-orang Spanyol serta selama ekspedisi kota-kota Islam banyak dikosongkan. Akhirnya dengan kemenangannya beberapa sultan dipaksa mengadakan perjanjian damai dengan pemerintahan kolonial di Manila dan banyak para datu secara sukarela menyerah dan menerima perlindungan Spanyol. Tahun 1596 kapten Esteban Rodriguez de Figuroa diperintahkan untuk mendirikan suatu benteng tetap di selatan bagi kepentingan Spanyol dan pada tahun 1578 Figuroa juga menyerang Sulu. Sebelum menjalani tugasnya sang kapten mendatangani kontrak dengan pemerintah Spanyol yang isinya menjanjikan kedudukan sebagai gubernur pulau Mindanao untuk de Figuroa dan ada semacam bagi hasil atas segala sesuatu yang dihasilkan dari penduduk asli Mindano. Cita-citanya belum terwujud, karene Figuroa terbunuh dalam suatu serangan mendadak di Tampacan. Anak buahnya yang moralnya jatuh karena 51
Istilah Indio menunjukan sebutan kepada kaum pribumi yang menjadi Kristen. Sedangkan moro sebutan untuk orang-orang yng beragama Islam. Kaum pribumi yang menyembah berhala dan tinggal di gunung-gunung dan dipedalam pulau-pulau besar disebut infieles. Istilah Filipino dipakai bagi orang-orng Sapnyol yang lahir di Filipina sedangkan peninsula yaitu orang-orang Spanyol yang lahir di Spanyol.
40
kehilangan pemimpin, mengundurkan diri ke suatu daerah terpencil beberapa kilometer dari kota Zamboanga sekarang.52 Karena kegagalan itu, Spanyol akhirnya menerapkan stretegi lain, mereka mendirikan benteng di dua tempat di pulau Mindanao. Benteng pertama adalah di ujung semenanjung Zamboanga dan di Caraga yang terletak di ujung timut laut Pulau Mindanao. Dari kedua tempat itu, yang sebenarnya berfungsi sebagai “pos pengawas”, bisa diawasi gerakan kaum Moro yang menyerang Spanyol di pulau Luzon. Biasanya “rute” penyerangan adalah melalui ujung Semenanjung Zamboanga dan pulang melalui sisi timur pulau yaitu dekat dengan Caraga.53 Tahun 1645 terjadi perjanjian antara bangsa Spanyol dan Sultan Manguindanao, yang isinya memaksa sultan untuk mengakui penutupan daerah pantai Sibuguey sampai Davao Gulf dan memperpanjang ke dalam daerah Maranao. Spanyol juga menghina sultan Nasruddin dan melanjutkan usahanya untuk melakukan perubahan di Filipina. Kerena hal itulah, maka pada tahun 1656 tejadi konflik antara orang Manguindanao dan orang Spanyol. Dalam konflik tersebut Sultan Manguindanau mendeklarasikan sebagai ‘jihad’ dan memangggil Sultan-Sultan dari Sulu, Ternate, dan Makassar untuk segera bangkit secara serentak membantunya dalam membela Syariat Islam, yang oleh Spanyol hendak di hancurkan dan diganti dengan undang-undang sekular bikinan mereka. Menurut Cesar A Majul, Spanyol belum pernah menemukan seorang pemimpin Islam yang mengagumkan seperti Nasruddin.54
52
Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan. h.31 Al Chaidar, Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara, Telaah Perbandingan atas Terbentuknya Diskukrsus Politik Islam dalam Gerakan Pembentukan Negara di Indonesia dan Filipina Pasca Kolonial, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993). h.216 54 Cesar A Majul, Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan, (Jakarta: Al Hilal, 1990). h.35 53
41
Pada Tahun 1663 bangsa Spanyol meninggalkan Moluccas dan Zamboanga, sehingga pada akhirnya terjadi perdamaian antara orang spanyol dan Muslim di Filipina. Tetapi perdamaian tersebut tidak berjalan lama, karena pada tahun 1718 orang Spanyol memutuskan untuk mengulangi kembali penjajahnya di Zamboanga.55 Selama berlangsungnya peperangan Moro dan strategi Spanyol dalam “memecah belah dan menaklukan” telah meninggalkan warisan sikap-sikap yang pahit, yang tidak dapat dihapus dalam beberapa generasi. Kepahitan masih berlangsung dalam beberapa golongan penduduk Filipina. Meski umat Islam di selatan Filipina relatif bersatu namun stategi tersebut dapat memecah bagianbagian penting persatuan umat Islam di kepualauan itu. Islam akhirnya terpisah dari ikatan-ikatan politik otonom, karena hancurnya tiga kekuatan Islam di Filipina.Sehingga pada fase selanjutnya, Islam menjadi agama yang mempribadi, kehilangan ruh bahwa Islam sebagai sebuah umat. Menjelang akhir abad 19, kebijakan resmi Spanyol tidak difokuskan pada politik kristenisasi, tetapi berusaha mengubah pola fikir masyarakat Moro agar patuh pada kekuasaan Spanyol. Padahal sebelumnya, sejak tahun 1635 pemerintah Spanyol menetapkan sebuah garnisun untuk melindungi missionaris Kristen di Zamboanga. Tiga ratus orang Spanyol dan seribu pasukan Visayan membangun benteng raksasa yang digunakan jesuit untuk melakukan kristenisasi.56 Perang Moro nampaknya tidak akan pernah selesai, meskipun Spanyol mengeluarkan dana yang besar untuk peperangan. Yang paling menderita akibat peperangan ini menurut Delor Angeles yang dikutip Peter Gowing adalah Kristen 55
Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan. h. 42 A Rahman Zainuddin, Sejarah Minoritas Muslim di Filipina, Thailand da Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 31 56
42
Filipina. Karena orang-orang Kristen harus membayar pajak yang amat berat untuk membiayai parang yang mahal. Mereka yang tidak sanggup membayar pajak dijadikan pekerja paksa yang hampir tidak berhenti membangun kapal-kapal untuk berekspedisi angkatan laut Spanyol, sedangkan sebagian lagi yang masih muda dan kuat bertugas sebagai tukang-tukang dayung kapal yang menyerang kedudukan kaum Moro57. Pada tahun 1896 dan 1898 terjadi revolusi Filipina yang menyebabkan bangsa Spanyol menarik pasukannya dari wilayah Muslim untuk dikonsentrasikan di Utara. Pada masa-masa ini para pemimpin revolusi Filipina yang berasal dari Filipina Utara berusaha menarik dukungan Muslim Filipina Selatan untuk membantu melawan Spanyol. Namun Muslim Moro memandang keduanya, bangsa Spanyol ataupun Filipina adalah musuh.58 Wilayah Mindanao dan Sulu di Selatan Filipina tidak pernah bisa ditundukkan
oleh
pasukan
Spanyol.
Namun
demikian,
Spanyol
tetap
menganggapnya sebagai bagian dari koloninya. Hal ini terbukti dengan ditandatanganinya Traktat Paris pada 1989 yang mengalihkan hak penguasaan wilayah Filipina, termasuk Filipina Selatan kepada Amerika dengan harga 20 juta dollar AS. Sejak itu, Amerika mengambil alih kekuasaan di Filipina.59
A.2. Perlawanan Terhadap Imperialisme Amerika (1898-1946) Tahun 1898, kemenangan Amerika atas Spanyol menandai perpindahan kekuasan atas Filipina ke tangan Amerika. Meskipun status Sulu dan Mindanao
57
Delor Angeles, The Moro Wars, dalam Peter G. Gowing dan Robert D McAmis, (Manila: Solidarided Publishing House, 1974). h.27-32 58 Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. h.65 59 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vo.5. h. 477
43
sendiri belum sepenuhnya berada di bawah kontrol penuh Spanyol, namun keduanya dimasukkan dalam perjanjian penyerahan tersebut. Kedatangan Amerika di Filipina Selatan pada tahun 1898 sebenarnya tidak membuat kaget Muslim di sana. Ketika angkatan laut Amerika menduduki Zamboanga kepala suku muslim berkumpul bersama untuk membahas perdagangan dengan mereka dan Muslim siap bertempur dengan kebijakan baru orang Amerika. Serangan yang rutin dan serangan balasan ini pada akhirnya mirip seperti pemberontakan pada masa Spanyol.60 Seperti Spanyol, Amerika mempunyai satu kesatuan tentara, administrasi, dan strategi ekonomi untuk menyelesaikan misinya di Filipina. Penjajahan Amerika atas Filipina dimulai sejak armada pimpinan Laksamana Dewey mengalahkan Spanyol di teluk Manila. Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika ditandai dengan perjanjian Paris pada tanggal 10 Desembar 1898, yang sekaligus mengakhiri perang amerika Spanyol. Dalam perjanjian tersebut ternyata Spanyol memasukkan pula wilayah Moro dengan mengklaim sebagai daerah koloninya, padahal Spanyol sama sekali tidak pernah bisa menguasai wilayah itu. Tindakan Spanyol itu merupakan tindakan yang tidak sah dan tidak bermoral. Mereka tidak berhak untuk menyerahkan wilayah moro pada Amerika Serikat, sebab mereka tidak berdaulat di Moro, dan masyarakat Moro pun tidak dimintai pendapatnya lebih dahulu. Kedatangan Amerika di Filipina (1989) tidak sekedar muatan politis, tapi juga memiliki kepentingan ekonomi, mereka tertarik dengan sumber daya alam di wilayah selatan, sebab di Laut Sulu terdapat deposit minyak bumi.61 Pada masa 60 61
Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h. 135 Dinamika Islam Filipina. h.19
44
Amerika, Filipina sepenuhnya dibaratkan. Sistem demokrasi yang dipakai Filipina hingga saat ini adalah warisan dari kolonialisme Amerika. Di Asia Tenggara yang paling banyak mengalami pembaratan adalah Filipina. Dan dua dekade setelah kemerdekaan, Filipina mengalami ketergantungan terhadap Amerika terutama secara ekonomi. Filipina secara kelembagaan juga sangat terkait dengan ekonomi bisnis Amerika. Kapitalisme Filipina disumbangkan oleh peninggalan sistem liberal Amerika sedangkan feodalismenya diwariskan secara mendalam dari Spanyol. Karakteristik bangsa Fipilina adalah sangat Barat. Ketika bangsa Amerika sampai ke wilayah Muslim, mereka memandang orang Islam seperti orang-orang Indian Amerika yang harus ditertibkan. Berbeda dengan kolonial Spanyol, kolonial Amerika tidak menganjurkan permusuhan Islam dan Kristen, melainkan memperkenalkan proses rasional dalam system administrasi kenegaraan dan komunitas Islam diajak untuk bekerja sama dalam proyek-proyek Negara dan menganjurkan pembauran orang Kristen dan Islam dengan cara mengajak orang Kristen menetap di Mindanao. Sebelum Perang Dunia I Amerika sedikitnya mendirikan tujuh koloni pertanian di daerah-daerah Islam tradisional. Orang Amerika tidak seperti Spanyol yang mana tidak menganjurkan
permusuhan
Kristen-Islam.
Bahkan
Amerika
menetapkan
kebijakan resmi bahwa membiarkan kehidupan agama orang-orang Islam dan kebiasaan ritual tidak terusik.62 Hubungan Amerika dengan penguasa Muslim di Sulu dibawa pertama kali oleh misi Jenderal John Bates. Tujuan Bates ini adalah untuk menetralisir orangorang Muslim yang tertuang dalam Bates Agreement tahun 1899. Dengan
62
Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h.72
45
persetujuan ini Muslim Filipina mengakui kedaulatan Amerika dan setuju untuk membantu memerangi perompak (bajak laut) dan orang-orang yang melawan otoritas dan martabat pemimpin Sulu maupun pemimpin-pemimpin yang lain. Sebaliknya, orang Amerika berjanji untuk menghormati martabat dan kekuasaan Sultan Sulu dan beberapa pemimpin-pemimpin yang lain serta tidak mencampuri masalah agama mereka dan membayar gaji sultan dan pemimpin-pemimpin orang Islam. Muslim Filipina melihat bahwa perjanjian ini terdiri dari poin-poin yang berbeda dengan Amerika. Pemimpin Islam tampaknya percaya bahwa dengan berdiplomasi dengan mereka, Amerika tidak ikut campur terhadap masalah internal dan menjamin cara kehidupan mereka. Kebijakan Amerika di Filipina hanya sedikit di terapkan di daerah Moro sejak periode pendudukan militer. Kebijakan untuk tidak mencampuri masalah internal orang moro, kini banyak usaha dengan giat di jalankan Amerika. Mereka mengembangkan, membudayakan, mendidik dan melatih masyarakat Muslim Filipina dalam pendidikan pemerintahan demokrasi Amerika.63 Persetujuan Bates ini kehilangan relevansinya ketika pada bulan Agustus tahun berikutnya terjadi bentrokan berdarah antara orang-orang Amerika dan pemimpin –pemimpin lokal Muslim. Pada tahun 1904 Amerika secara resmi menghapus persetujuan ini. Meski kedatangan Amerika pertama kali bukan untuk mengkristenkan orang-orang Muslim di Mindanao, namun pada akhirnya juga melakukan pekerjaan missionary atau dakwah Kristen terhadap orang-orang Islam. Jendral Samuel Summer, komandan Angkatan Darat Amerika Serikat di 63
Kamlian, Jamail, Bangsamoro Society and Culture, Iligian Centre for Peace Education Research, 2001. 16
46
Mindanao antara tahun 1902 hingga 1903 menulis bahwa orang Islam adalah seorang yang berbeda dari kami dalam hal perkataan, kata dan aksi, dan agama mereka akan menjadi penghalang serius bagi peradaban Kristen. Selama agama Islam berlaku, peradaban Anglo-Saxon akan memperlambat kemajuan. Sementara presiden Mc Kinley merasa berdosa jika tidak mencoba untuk mengangkat, membudayakan dan mengkristenkan orang-orang Muslim Moro.64 Pembatalan perjanjian tersebut merupakan sebuah isyarat amerika Serikat untuk mendirikan atau menetapkan wewenang mutlak atas Filipina. Menurut sekretaris perang, Elihu Root mengatakan bahwa kebijakan amerika terhadap filipina telah melalui keputusan Mahkamah agung amerika dalam bangsa chrokee. Kemudian administrasi kolonial Amerika dengan cepat membudayakan orang Islam yang mana tak dapat di elakkan lagi bahwa ini bermaksud untuk mengkristenkan orang Islam. Gubernur pertama Amerika di wilayah muslim, Jendral Mayor Leonardo Wood mengatakan bahwa orang Islam tak lain adalah orang liar yang hidup di bawah hukum berat dan tidak ada alasan untuk Wood menetapkan kebijakan yang buruk. Gubernur terakhir Amerika di wilayah muslim, Frank Carpenter berhasil mengurangi gambaran jelek para penganut agama Islam, memperkenalkan sistem sekolah umum dan hukum yang bijak. Sistem pendidikan dan hukum ini telah menolong peletakan pondasi bagi konversi besar-besaran orang Muslim ke dalam cara hidup kristen. Kaum Muslim yang enggan berimitasi dengan orang-orang nasionalis telah memiliki perlawananya tersendiri, nasionalisme tersendiri.65 64 65
Revolt In Mindanao. h. 58 Ideologi Negara Islam Asia tenggara. h. 204
47
Periode Carpenter merupakan sebuah ketenangan selingan. Pada awalnya, beberapa orang tingkat tinggi orang Islam melawan kebijakan Amerika. Pemerintah militer telah menentukan kebijakan dengan kontrol langsung dari seorang jendral di Mindanao dan setiap pemimpin memimpin empat daerah. Tiga abad melewati hidup berperang dengan orang spanyol, maka orang Islam yakin bahwa mereka dapat mengalahkan orang amerika dengan baik. Kelompokkelompok Islam telah menyebar untuk menjaga tekanan dari resimen infantry Amerika yang telah menyebar sepanjang Selatan. Tahun 1906 terjadi pemberontakan antara orang Muslim Filipina dengan Amerika. peristiwa ini dikenal dengan peristiwa Bud dajo yang merupakan pembalasan Muslim Filipina. Penyebab peristiwa ini adalah penetapan kebijakan Amerika seperti perpajakan yang merupakan kebijakan Amerika tetapi suatu kebijakan yang membebankan Orang Muslim. Selain itu persiapan untuk menghapus secara besar-besaran orang Muslim di Jolo. Dengan bertujuan untuk menghalangi pertempuran tersebut, sekitar 600 orang Islam yang mencakup wanita-wanita dan anak-anak melakukan perjalanan ke kawah dalam memadamkan bukit vulcano di Dajo. Mereka bersenjata keris, tombak dan beberapa senapan. Sedangkan di sisi Amerika, 800 pasukan memperlihatkan mereka membawa banyak senjata modern dalam baju baja orang Amerika. Muslim Filipina mengabaikan mereka dan dengan penuh ejekan dan hinaan menolak peluang untuk mengungsikan anak-anak dan wanita-wanita mereka. Sebagaimana pendirian mereka, bahwa kematian dalam peperangan adalah lebih baik daripada hidup di bawah orang kafir. Seluruh kelompok Islam
48
telah dihancurkan dan menurut sejarawan-sejarawan Bud Dajo bukanlah sebuah pertempuran tetapi sebuah pembantaian besar-besaran.66 Tahun
1902
Filipina
mengumumkan
pembentukan
panita
untuk
kemerdekaan Filipina. Penguasa sipil dan militer mulai untuk melihat kebijakan Amerika di Mindanao, Itu dilakukan untuk menentukan kebijakan dasar dan kebijakan atas orang Muslim untuk integrasi ke dalam politik Filipina. Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan tersebut adalah desakan dari nasionalisnasionalis Kristen Filipina bahwa daerah orang Islam tak dapat dipisahkan dari bangsa Filipina. Akhirnya Amerika dan Filipina menyadari bahwa Mindanao dan Sulu sangat penting sebagai sumber penghasilan mereka yang akan datang. Dalam hal ini Amerika menafsirkan bahwa perlawanan orang Muslim tidak lain adalah untuk menentang kebijakan mereka yang permasalahannya lebih kompleks.67 Sebenarnya, para nasionalis Filipina yang merupakan intelektual di Filipina Utara, sudah memproklamirkan kemerdekaan Filipina pada tanggal 12 Juni 1898, para nasionalis Filipina memproklamasikan kemerdekaan mereka sebagai jalan terbentuknya Republik Filipina setahun kemudian. Dalam menuju kemerdekaan, tentara nasional Filipina pimpinan Aquinaldo serta pasukanpasukan
gerilya
lainnya
mengadakan
perlawanan,
sehingga
Amerika
mengeluarkan Undang-Undang darurat perang, dan baru dicabut kembali pada tahun 1901 ketika nasionalis Filipina dapat dikalahkan.68 Amerika dengan cepat memperkenalkan pemerintahan dalam negeri untuk rakyat Filipina, dimulai dengan Badan Legislatif dua kamar pada tahun 1934 dengan janji kemerdekaan 10 tahun kemudian. Namun Amerika tidak mampu 66 67 68
Revolt in Mindanao. h. 31. Sejarah Minoritas Muslim Filipina, Thailand dan Myanmar. h. 38 Krisis Filipina; Zaman Marcos dan Keruntuhannya. h. 3
49
memberi kemerdekaan pada tahun 1944 seperti yang dijanjikan, karena Jepang menduduki kepulauan itu antara tahun 1944 dan tahun 1945 selama Perang Dunia II. Pada tahap Perang Dunia II, baik bangsa Filipina, Amerika ataupun Moro sama-sama bertempur melawan Jepang, meskipun perjuangan mereka dilakukan secara terpisah tanpa satu komando. Setelah Jepang mampu dikalahkan, maka Amerika memerdekakan Filipina pada tanggal 4 Juli 1946.69
B. Diskriminasi Pemerintah Filipina dan Perjuangan Bangsa Moro Sebenarnya bila dicermati lebih lanjut, konflik kelompok minoritas dengan penguasa, dipengaruhi oleh sikap dan tindakan penguasa terhadap kelompok minoritas. Sikap dan tindakan pemerintah dapat dilihat dari pola-pola kebijakannya.70 Dari tahun 1920, di bawah pemerintahan Filipina, masyarakat Muslim masih banyak mendapat diskriminasi. Memang pada saat itu pemerintahan Filipina tidak berjalan sepenuhnya sendiri, tetapi masih adanya kontrol dari Amerika Selama pemerintahan Ferdinand Marcos, persoalan umat Muslim diselesaikan dengan setengah hati. Terbukti dengan adanya peristiwa Jabidah pada awal tahun 1968.71 Peristiwa Jabidah tersebut membangkitkan keraguan dan ketakutan yang pada akhirnya intelektual Moro berkeinginan untuk menyatukan bangsa Moro. Pemerintah Filipina mengabulkan permintaan orang muslim tetapi pemerintah
69
Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3, (Jakarta: Grolier International, PT Widyadara, 2003). h. 255 70 Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipian, Thailand,, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h. 17 71 Bangsamoro, Societys and Culture. h.23
50
tidak menjalankan sepenuhnya. Dengan keadaan seperti ini, banyak organisasi yang bermunculan.72 Setelah pemerintah Filipina menyatakan keadaan perang pada tahun 1972, pemerintah menertibkan semua senjata yang ilegal atau liar untuk diserahkan kepada yang berwenang. Tetapi sebagian kelompok Muslim menolak untuk menyerahkan, kerena menurutnya mereka akan kalah dengan pemerintah dan orang Kristen. Selain itu, dengan menyerahkan senjatanya mereka akan terbuka bagi serangan-serangan kelompok Kristen. Tindakan tentara untuk menyita senjata dan amunisi di bario-bario (regional) dan kota-kota pedalaman Sulu, menyebabkan
timbulnya
perlawanan
dan
pertempuran
yang
sporadis.
Pengumuman tentang batas waktu untuk penyerahan semua senjata pada tanggal 25 Oktober, menghasilkan apa yang dinamakan “pemberontakan Marawi”. 73
C. Bersatunya Para Pemimpin Islam Banyaknya Insiden yang mengorbankan masyarakat muslim ini kemudian disusul dengan pertikaian bersenjata di antara penduduk yang berlainan agama itu di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah Upi, bagian Selatan Cotabato dan menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara. Dalam situasi demikian, masyarakat Muslim menyebut kelompok Kristen yang menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’. Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19 Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70 72
W.K. Che Man, Muslim Separatism: The Moros of Southern Philippines and the Malays of Southern Thailand, (Oxford University Press, 1990). h. 77 73 Dinamika Islam Filipina. h. 62
51
orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah kendali Police Constibulary (Satuan Polisi Khusus). Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompokkelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’, kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara.74 Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin tradisional (datu), dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi kekerasan atas bangsa Moro.75 Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat Islam dengan harta dan jiwa.76
74 75 76
Ibid. h. 171 Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h.92 Lihat Lampiran 1. Dinamika Islam Filipina. h 129
52
BAB IV NASIONALISME MORO SEBAGAI IDENTITAS PERJUANGAN MUSLIM FILIPINA
A. Pencarian Identitas dalam Organisasi-Organisasi Moro Dalam suatu masyarakat majemuk yang terdiri dari banyak etnis seperti di Filipina, nilai-nilai agama cenderung dilihat sebagai sarana mengatur aspek ritual bagi penganutnya. Akan tetapi pada saat penganut suatu agama minoritas tidak merasa keberadaannya disejajarkan dengan kelompok mayoritas, kelompok minoritas tersebut akan terus mencari jalan supaya keberadaannya diperhitungkan. Pasca kolonial, usaha yang dilakukan bangsa Moro untuk memperjuangkan eksistensinya adalah melalui organisasi. Sehingga Moro telah mengalami pergumulan yang panjang untuk mendapatkan eksistensi dan identitasnya.77 Carmen Abu Bakar dalam meneliti masyarakat Tausug, diketahui bahwa sebenarnya masyarakat Filipina lebih cenderung menggunakan identitas agama dibandingkan identitas etnis.78 Wajar jika organisasi-organisasi yang muncul pertama kali di Moro adalah organisasi yang mengatasnamakan Islam. Namun sebagai kelompok minoritas, masyarakat Muslim di Filipina sangat dipengaruhi peran Negara dalam menciptakan kondisi sosial politik, yang sangat menentukan dinamika konstruksi identitas mereka. Unsur etnis dan agama memang merupakan daya tarik tersendiri bagi kelompok minoritas dalam menonjolkan identitasnya, tetapi itu bukan satu-
77
Tri Nuke Pujiastuti, Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar, (Jakarta: LIPI, 2003). h.10 78 Saiful Muzani (edt), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1993). h.203
53
satunya variabel penyebab untuk dapat memunculkan persoalan yang kemudian memicu konflik. Pemicu di sini melibatkan berbagai faktor seperti budaya, ekonomi, dan politik yang berlangsung secara kumulatif. Berdasarkan analisis Hendropuspito, konflik yang berdasarkan agama terjadi karena tiga hal. Pertama, agama tidak lagi dipandang sebagai ‘agama’ dalam arti sempit, yaitu sebagai perangkat doktrin yang mengikat individu, tetapi telah diubah menjadi suatu ideologi bagi penganutnya, sehingga seringkali agama menimbulkan rasa ketidaksukaan dari kelompok lainnya. Kedua, adanya kecenderungan kelompok minoritas yang hidupnya mengelompok dan eksklusif. Dengan tidak berbaur, maka hal itu semakin menajamkan jurang perbedaan budaya antar kelompok dan menimbulkan prasangka kelompok lain atau mayoritas terhadap minoritas Muslim ataupun sebaliknya. Ketiga, adanya mitos mayoritas, artinya bahwa adanya keyakinan tentang kekuatan yang berkuasa dan upaya pemenuhan keinginan mayoritas tanpa menghiraukan keinginan kelompok minoritas. Kecenderungan ini biasanya dilakukan oleh kelompok mayoritas atau penguasa untuk memaksakan pengaruh dan keinginannya tersebut dengan memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya. Analisis situasi di atas dapat memunculkan perlawanan organisai-organisasi Moro yang anggotanya kelompok minoritas Islam untuk mempertahankan eksistensi identitasnya.79 Munculnya organisasi modern Moro merupakan bagian dari pencarian identitas yang berlangsung sangat lama dan tidak terlepas dari sosio-historis Muslim Filipina sejak masa awal kolonialisme. Menjelang berakhirnya era kolonialisme, pada tahun 1935 pemimpin-pemimpin Muslim di Mindanao dan
79
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Gunung Mulia, 1993). h. 165-166
54
Sulu mengajukan permintaan pada Kongres Amerika Serikat agar kedua daerah itu jangan dipersatukan ke dalam Republik jika Filipina memperoleh kemerdekaan dari Amerika Serikat. Namun permintaan tersebut tidak dipenuhi. Permintaan para pemimpin Sulu dan Mindanao kepada Kongres Amerika tersebut menunjukkan pada masa tersebut masyarakat Muslim yang berada di wilayah Filipina Selatan tidak menginginkan integrasi dalam sebuah negara Filipina bersama dengan warga Kristen, karena secara historis keduanya sudah mengalami konflik sejak masa kolonialisme Spanyol.80 Meskipun para pemimpin Sulu dan Mindanao menolak diintegrasikan dalam sebuah negara Republik Filipina, namun pada masa itu para pemimpin tersebut belum menemukan konsep yang jelas mengenai arah warga Muslim di Filipina Selatan. Kemungkinan ini disebabkan karena para pemimpin Muslim pada waktu itu belum mengenal pendidikan modern sebagaimana kelompok Kristen Filipina yang mengecap pendidikan Barat pada masa kolonialisme Amerika. Setelah masyarakat Muslim mengecap pendidikan modern pasca kemerdekaan Filipina, kemudian muncul diskusi-diskusi di sekitar mahasiswa Muslim pada tahun 1960-an.81 Pada tahun 1961, Datu Ombra Amilbangsa, seorang anggota Kongres dari Sulu memperkenalkan sebuah rancangan UndangUndang yang meminta pemerintah mengabulkan kemerdekaan untuk seluruh Provinsi Sulu. Ia adalah salah satu dari tiga penuntut Kesultanan Sulu dan telah dinobatkan sebagai Sultan oleh para pengikutnya. Rancangan Undang-Undang itu dimuat Media Nasional Filipina dan mengundang berbagai komentar dari para 80 81
Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h. 77 Muslim Separatism. h. 77
55
sejarawan dan mereka yang berminat dalam urusan keislaman. Namun rancangan Undang-Undang itu tidak ditanggapi oleh Kongres.82 Sebagai seorang elite keturunan Kesultanan Sulu, apa yang dilakukan oleh Datu Ombra Amilbangsa menurut hemat penulis tidak lebih dari sekedar romantisme sejarah yang ingin membangkitkan Kesultanan Sulu, serta kepentingan pribadi sebagai Sultan Sulu agar mendapatkan kekuasaan mutlak sebagai seorang Sultan. Apa yang dilakukan Datu Ombra disusul dengan dikeluarkannya Manifesto pada 1 Mei 1968 oleh mantan Gubernur Cotabato, Datu Udtog di daerah Pagalungan, Provinsi Cotabato yang menyerukan agar seluruh daerah yang yang penduduknya mayoritas beragama Islam di bagian Selatan Filipina bersatu di bawah sebuah negara yang dinamakan Republik Mindanao dan Sulu. Manifesto tahun 1968 tersebut merupakan awal dari suatu gerakan yang lebih teratur, lebih terorganisir untuk memisahkan diri dari Pemerintah Filipina. Meskipun sebenarnya gerakan ini tidak banyak bedanya dengan yang dilakukan para pendahulu mereka sebelum Perang Dunia Kedua. Tanggapan dari manifesto tersebut, maka dibentuklah Muslim Independence Movement (MIM) pada tahun 1968. Gerakan MIM awalnya hanya merupakan gerakan yang mengumpulkan massa dan simpati dari ummat Islam karena bertujuan untuk mengimbangi kekuatan pemerintah yang dianggap tidak bersungguh-sungguh dalam menangani masalah konflik yang terjadi atas masayakat Muslim. Namun kondisi politik dan keamanan justru mendorong proses pematangan gerakan MIM ke arah yang lebih
82
Bangsamoro, Society and Culture. h. 21
56
radikal dan lebih keras. Salah satu di antaranya adalah kasus pembantaian di Pulau Corregidor, yang kemudian dikenal sebagai ‘jabidah massacre’ pada tahun 1970.83 Insiden ini kemudian disusul dengan pertikaian bersenjata di antara penduduk yang berlainan agama itu di Mindanao. Pada mulanya terjadi di daerah Upi, bagian Selatan Cotabato dan menjalar ke tempat lain di Cotabato Utara. Dalam situasi demikian, masyarakat Muslim menyebut kelompok Kristen yang menyerang dengan sebutan ‘Ilagas’. Istilah Ilagas sebetulnya ditujukan kepada kelompok-kelompok pertahanan desa komunitas Kristen, terutama dari suku-suku Ilongo. Tetapi ketika situasi semakin panas, Ilagas berarti kelompok-kelompok balas dendam. Pada tanggal 19 Juni 1971 surat-surat kabar memberitakan terjadinya pembantaian terhadap 70 orang di sebuah masjid di Barrio Manili, Cotabato Utara. Para pembunuh membantai wanita dan anak-anak. Berita yang tersebar mengatakan bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kaum Ilagas yang seharusnya di bawah kendali Police Constibulary (Satuan Polisi Khusus). Dampak dari pembantaian Barrio itu adalah pembentukan kelompokkelompok perlawanan Muslim yang kemudian disebut sebagai ‘black-shirts’’, kelompok berbaju hitam yang kemudian diketahui sebagai organ militer dari MIM. Kontak pertama gerilyawan Black-Shirt dengan Police Constabulary terjadi pada Agustus 1971 di Bulton, Provinsi Cotabato Utara.84 Sebagai implikasi dari berbagai tindakan kekerasan yang terjadi pada Muslim Filipina, pada tanggal 21 Juli 1971, para tokoh Muslim, seperti pemimpin 83 84
Revolusi Damai; Rekaman Kemelut Filipina. h. 169 Ibid. h. 171
57
tradisional (datu), dan Ulama di Mindanao mengeluarkan manifesto yang menuntut pemerintah segera bertindak untuk menghentikan berbagai aksi kekerasan atas bangsa Moro.85 Dalam manifesto itu disebutkan bahwa jika Pemerintah Filipina tidak melakukan tindakan yang adil, maka ummat Islam tanpa memandang kepentingan pribadi, politik dan etnis akan memperjuangkan ummat Islam dengan harta dan jiwa.86 Meskipun para pemimpin Muslim mengeluarkan ultimatum berupa manifesto, namun pemerintah tidak benar-benar menyelesaikan konflik horizontal tersebut. Maka Nur Misuari, seorang yang menandatangani manifesto tersebut mendirikan MNLF dengan disertai gerakan bersenjata.
B. Nasionalisme Moro Sebagai Identitas Muslim Filipina Perlu dipahami, bahwa sebuah bangsa pada hakikatnya dapat diartikan sebagai komunitas manusia yang menyatu karena perasaan bersama karena tertindas, merasa bersama-sama memiliki wilayah dan cita-cita bangsa sebagai akibat kesamaan sejarah, tradisi, bahasa, budaya dan peradaban, serta kadangkadang juga karena kesamaan agama dan aspirasi politik. Jadi dalam suatu komunitas itu ada kesadaran sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan.87 Rasa kebangsaan (nasionalisme) dapat terwujud terutama melalui integrasi nasional secara terus menerus, yakni meminjam pendapat Myron Weiner, proses penyatuan atau bersatunya berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pada pembentukan suatu identitas nasional. Identitas 85
Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h.92 Lihat Lampiran 1. Dinamika Islam Filipina. h 129 87 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h.190 86
58
nasional ini sangat diperlukan bagi tercapainya tujuan dan cita-cita pembangunan bangsa, serta dapat mengurangi berbagai ikatan yang mengarah pada sifat kedaerahan berdasar pada perbedaan etnis, budaya, bahasa dan agama, serta ideologis. Oleh karena itu pengertian integrasi pada hakikatnya merujuk pada persatuan pelbagai kelompok masyarakat ke dalam sistem politik.88 Renato Constantino, seperti yang dikutip Nagasura Madale memberikan definisi lain tentang nasionalisme. Ia memandang nasionalisme sebagai suatu perjuangan melawan penindasan, sebuah tindakan mempertahankan diri, bukan menyerang, demokratis, bukan dorongan anti demokratis. Nasionalisme tidak berusaha menindas namun melenyapkan penindasan. Nasionalisme adalah sebuah alat untuk menyadarkan masyarakat dari berbagai bentuk penindasan. Nasionalisme untuk menghapuskan semua bentuk penghisapan.89 Ada perbedaan interpretasi Nasionalisme antara pemerintah Filipina dengan warga Muslim Filipina. Adopsi nilai-nilai identitas etnik Bangsa Moro sangat tegas memisahkan antara bangsa Filipina (Filipino) dan Bangsa Moro (Bangsamoro). Hal ini menunjukkan terjadinya polarisasi sosial dalam negara kebangsaan ini.90 Tentu saja hal itu tidak terlepas dari faktor historis yang sangat panjang. Dalam hal ini Nur Misuari mengatakan: “Kami telah diperlakukan dengan sangat tidak adil oleh kolonialisme Filipina (Philippines Colonialism)...91
88 89
Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h.190 Nagasura Madale, Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1988).
h. 343 90 91
Wacana Ideologi Negara Islam; Studi Harakah Darul Islam dan MNLF:. h. 127 Kompas, 18 April 1993. wawancara dengan Misuari
59
Dari pernyataan tersebut, jelas Nur Misuari menganggap bahwa pemerintahan Filipina saat ini merupakan kelanjutan dari kolonialisme sebelumnya. Sehingga tidak mungkin warga Muslim khususnya di Filipina Selatan mempunyai intepretasi yang sama tentang Nasionalisme dengan pemerintah Filipina. Akibat dari perbedaan interpretasi tentang ‘Nasionalisme’ ini terjadi kesalahpahaman yang dilematis antara kelompok Islam dan berbagai komponen negara Filipina lainnya. Muslim Filipina merasa bahwa mereka memiliki hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan agama, tradisi, dan sumber-sumber ekonomi mereka. Semua ini merupakan warisan yang harus diperjuangkan dan dipertahankan. Sedangkan pihak Pemerintah Filipina memandang bahwa sejarah telah membawa masyarakat Islam di Filipina Selatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan politik Republik Filipina, setidaknya setelah menghilangnya kekuatan kolonialisme.92 Namun demikian menurut Kustigar Nadaek, konflik yang terjadi di Filipina membuktikan bahwa perasaan Nasionalisme rakyat Filipina tidak ada. Selain karena adanya konflik perebutan identitas nasional (antara bangsa Moro dan pemerintah Filipina), juga karena bangsa Filipina melihat Amerika sebagai cerminan dalam segala hal.93 Tentunya jika melihat pribadi Nur Misuari kita akan memahami ia adalah muslim yang taat. Wajar saja jika setelah terjadi tragedi pembantaian terhadap muslim, ia bergabung dengan pemimpin Islam lainnya dan membuat kesepakatan bersama agar pemimpin Islam bersatu dalam mempejuangkan Muslim Filipina. Namun anehnya, apa yang ia perjuangkan dalam Moro National Liberation Front 92 93
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. h. 478 Kustigar Nadaek dan Atmadji, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1986). h. 191
60
(MNLF) tidak mengusung Islam sebagai identitas perjuangannya, melainkan ingin mendirikan Republik Bangsa Moro. Setidaknya ada dua faktor yang melatarbelakangi konsepsi Nur Misuari. Pertama, seperti yang dijelaskan Hashim Salamat ketika terjadi konflik internal di MNLF, sebenarnya konsepsi MNLF Nur Misuari banyak dipengaruhi oleh teori perjuangan kelas Karl Marx. Ini terjadi ketika Nur Misuari masih menjadi mahasiswa, ia bergabung dengan Kabatan Makabayan, sebuah organisasi yang berhaluan Marxis. Ia keluar dari organisasi tersebut karena ada perbedaan konsepsi dasar dengan Simon yang kemudian ia menjadi pemimpin gerakan komunis Huk Balahap. Dengan demikian, sebenarnya kita dapat melihat konversi pemikiran Nur Misuari sejak pada masa mahasiswa. Ia menyadari bahwa perjuangan kelas yang diusung Kabatan Makabayan tidak sesuai dengan pribadinya sebagai seorang muslim. Maka ia kemudian keluar dari organisasi tersebut. Sampai di sini menurut hemat penulis, ini merupakan alasan kenapa pemberontak komunis Huk Balahap tidak pernah terjadi bentrokan dengan para pejuang Muslim Kedua, rupanya selama menjadi mahasiswa ia sadar bahwa ia harus memperjuangkan rakyatnya yang beragama Islam, tetapi tidak dengan mendirikan negara Islam Moro, tetapi dengan Republik Bangsa Moro. Ini dapat dipahami bahwa dalam pandangan MNLF, Moro bukan hanya sebuah bangsa di Filipina Selatan, tetapi di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya Islam. Dengan demikian, dengan membentuk Republik Bangsa Moro secara tidak langsung Nur Misuari memperjuangkan kemerdekaan masyarakat Muslim.
61
B.1. MNLF dan Nasionalisme Moro Kondisi sosial muslim Moro yang didiskriminasikan pemerintah Filipina mendorong sekelompok intelektual `muda Islam Filipina yang sedang belajar di Jeddah, Arab Saudi membentuk sebuah organisasi politik dengan sayap militer yang kuat, yakni Moro National Liberation Front (MNLF) tahun 1968. Sayap militer organisasi ini dibentuk pada tahun 1971. Otak dari gerakan tersebut adalah seorang pengacara, Macapanto Abbas, Jr. Kata Moro digunakan karena dia sangat mengetahui maknanya bagi masyarakat Islam berarti perlawaan yang tidak menyerah sejak masa penjajahan Spanyol. MNLF didirikan untuk menyatukan bangsa Moro yang pada masa pemerintahan Filipina terus didiskriminasikan.94 Di antara tokoh-tokoh MNLF yang paling terkemuka adalah Nur Misuari, lulusan Universitas Filipina jurusan Ilmu Politik yang kemudian menjadi dosen, dan selanjutnya menjadi staf Pusat Asia di Universitas tersebut. Seorang pemimpin yang lain adalah Hashim Salamat dari Cotabato, dan mengenyam pendidikan di Kairo, Mesir.95 Menurut hemat penulis, berdirinya Moro National Liberation Front (MNLF) merupakan bentuk baru konsep Nasional Muslim Filipina jika dibandingkan dengan Muslim Independent Movement (MIM) yang dibentuk Datu Udtog melalui manifesto-nya di tahun 1968. Hal ini disebabkan manifesto yang dikeluarkan Datu Udtog lebih bersifat Chauvinis (kedaerahan) karena konsep republik-nya hanya melingkupi dua pulau besar di Filipina Selatan, yakni Mindanao dan Sulu dan menegasikan masyarakat Muslim lain yang terdiri dari banyak etnis. Jika ditarik lurus dalam garis sejarah, Sulu dan Mindanao tidak lain 94 95
Peran Pihak Ketiga dalam Relasi Konflik. h.32 Cesar A Majul, Dinamika Islam Filipina, (Jakarta: LP3ES, 1989). h. 65.
62
adalah dua kesultanan besar di Filipina Selatan. Dengan demikian Datu Udtog sama dengan ingin menggabungkan bekas dua Kesultanan Besar yang pernah berjaya menjadi sebuah republik modern. Konsep ini sebenarnya hanya perluasan dari rencana Datu Ombra Amilbangsa yang merancang Undang-Undang Sulu untuk memisahkan diri dari Filipina pada tahun 1961. Berbeda dengan Moro National Liberation Front (MNLF) yang menggunakan konsep yang lebih luas dan mencakup seluruh komunitas Muslim di Filipina. Perjuangan Muslim Filipina dalam mempertahankan eksistensinya tidak hanya mampu merebut simpati internal Muslim Filipina, tetapi juga menarik simpati dunia secara luas. Dan faktor eksternal ini merupakan salah satu faktor terpenting dalam kebangkitan eksistensi dan identitas keislamannya.96 Sebagai implikasi dari tragedi Jabidah, pada pertemuan Islamic Conference of Foreign Ministers (ICFM), atau Menteri-Menteri Luar Negeri Organisasi Konferensi Islam yang ketiga di Jeddah menekan Pemerintah Filipina untuk melindungi kehidupan dan harta benda Muslim di Filipina Selatan. Sebagai reaksi atas tekananan ini, pada bulan Januari 1972 Pemerintah Filipina mengajak 8 Duta Besar Islam keliling Mindanao. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa tuduhan genocide terlalu dibesar-besarkan. Namun menurut Erni Budiwati Government Republic of Philipino (GRP) berusaha menutup-nutupi fakta yang terjadi kepada masyarakat internasional, karena pemerintah mengajak 8 Duta Besar ke wilayah Mindanao ketika wilayah tersebut dianggap aman. Kemudian pada bulan Juli 1972 rombongan delegasi Mesir dan Libya mendatangi Mindanao
96
Problematika Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar.. h. 22
63
dan menyimpulkan bahwa meskipun belum ada bukti kuat adanya genocide, tetapi perang Kristen-Islam benar-benar terjadi.97 Pada tahun 1972 Presiden Filipina di bawah pemerintahan Ferdinand Marcos
memberlakukan Undang-Undang Darurat Militer, karena Filipina
dihadapkan pada dua pemberontakan, yakni pemberontakan Muslim dan pemberontakan Komunis yang disebut kelompok Hukbalahap. Sehingga undangUndang Darurat Militer dikeluarkan sebagai jalan oleh Marcos untuk menghadapai kelompok pemberonotak. Hal itu ditanggapi pemimpin Moro National Liberation Front (MNLF), Nur Misuari mengeluarkan Manifesto Pembentukan Bangsa Moro pada tahun 1974. Dalam manifesto tersebut dijelaskan secara eksplisit disebutkan bahwa MNLF beserta sayap militernya, Bangsa Moro Army (Tentara Bangsa Moro) didirikan sebagai alat perjuangan dalam merealisasikan cita-cita nasional Bangsa Moro menuju Republik Bangsa Moro. 98 MNLF berhasil merebut kotamadya-kotamadya di Cotabato, dan mendudukinya untuk sementara waktu. Seringnya terjadi serangan balik gerilyawan Islam memperlihatkan kemampuan MNLF dalam mengkoordinasi dan memperluas operasinya secara seksama. Keberhasilan MNLF dalam membentuk sayap militer yang kuat ini tidak terlepas dari bantuan finansial dan material (termasuk persenjataan) dari berbagai negara Muslim, khususnya dari Timur Tengah maupun dari organisasi Islam, terutama OIC (Organization of Islamic Conference). Pendukung utamanya adalah pemimpin Libya, Kolonel Muamar Khadafi yang mengeluarkan ribuan 97 98
Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai. h. 93 Lihat Lampiran 2. Dinamika Islam Filipina. h.29.
64
Poundsterling bagi perjuangan Muslim Filipina, bahkan melatih mereka dalam pelatihan militer.99 Perjuangan MNLF mendapat tanggapan dari OIC, sehingga pada tahun 1974 OIC mengeluarkan resolusi yang mendesak pemerintah Filipina untuk mencari pemecahan konflik dan jalan damai. Dengan disebutkan MNLF dalam resolusi OIC menunjukkan keberhasilan MNLF dalam membuat terobosan diplomatik. Sebagai akibat dari tekanan ini, Pemerintah Filipina pada akhirnya menghentikan serangan militernya. Langkah ini kemudian disusul dengan inisiatif Pemerintah Filipina untuk mengadakan perundingan dengan MNLF. Di bulan Januari 1975 untuk pertama kalinya Pemerintah Filipina duduk dalam meja perundingan dengan Nur Misuari sebagai pemimpin MNLF dan wakilnya, Hashim Salamat di Jeddah. Puncaknya adalah penandatanganan Perjanjian Tripoli antara Manila dan para pemimpin MNLF pada tahun 1976.100 Dengan kejatuhan rezim Marcos pada tahun 1985, MNLF melakukan gencatan senjata dengan Presiden Corazon Aquino pada tahun 1986. Kemudian pada Januari 1987, MNLF menandatangani perjanjian usaha kemerdekaan bagi daerah-daerah Muslim dan menerima tawaran otonomi dari pemerintah. MILF yang merupakan pecahan dari MNLF menolak persetujuan itu. Pembicaraan antara Pemerintah Filipina dengan MNLF tentang otonomi wilayah terus berlanjut secara sporadis sepanjang tahun 1987, tetapi akhirnya mengalami jalan buntu.
99 100
Muslim Separatism. h. 77 Bangsamoro, Societys and Culture. h.25
65
MNLF secara resmi melanjutkan pemberontakan pada Februari 1988, meskipun kekuatan MNLF melemah.101
C. Konflik Internal dan Perdebatan Identitas Dari tahun 1975, di tubuh MNLF terjadi konflik internal karena perbedaan tuntutan yang akan diusung dalam perundingan di Jeddah dan dilanjutkan di Tripoli. Perpecahan MNLF dikarenakan munculnya perbedaan pendapat mengenai arah perjuangan Muslim Moro. Nur Misuari mewakili kelompok Nasionalis Sekuler, Hashim Salamat melebarkan gaya perjuangan dengan Nasionalis Islam, serta kelompok Macapanto Abbas yang lebih kepada perjuangan di parlemen.102 Dalam hal ini intelektual Moro yang berada di Jeddah menuduh Nur Misuari tidak memperjuangkan kepentingan ummat Islam. Ia ingin meluruskan perjuangan MNLF yang dianggapnya mengarah ke sekuler. Maka di bawah Salamat Hashim, mereka berusaha menguasai MNLF, tetapi mereka gagal. Mereka kemudian membentuk Moro Islamic Lilberation Front yang lebih berorientasi kepada Islam Moro daripada Nasional Moro.103 MNLF yang tetap berada di bawah pimpinan Nur Misuari memindahkan markasnya ke Tripoli, Libya. Sementara itu Hashim Salamat yang keluar mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Kairo, dan kelompok ketiga Macapanton Abbas, bersama mantan anggota Kongres, Haroun al Rashid Lucman Abbas mendirikan organisasi Bangsa Moro Liberation Front (BMLO) yang
101
John Gershman, Asia Tenggara Konsentrasi baru Kebangkitan Islam; Peta dan Prospek Gerakan Islam di Filipina, (Bandung : Fokus Media, 2003). h. 239 102 Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. h. 479. 103 Problematika Minoritas Muslim di AsiaTenggara. h. 109
66
berkedudukan di Jeddah. Namun BLO tidak diperhitungkan, karena mereka bergabung dalam Pemerintahan Filipina.104 Pendiri MILF, Hashim Salamat merupakan yang berpendidikan agama ingin mengutamakan orientasi Islam pada kelompoknya melalui pemisahan diri MNLF, yang mana MNLF telah dihormati seperti sebuah organisasi yang kekirikirian.105 Ada perbedaan mendasar antara MNLF dan MILF. Mengenai hal ini, Hashim Salamat menjelaskan bahwa gerakannya sekarang tidaklah semata-mata bersifat nasionalis saja. ‘Kami menginginkan sesuatu yang lebih universal yang juga bisa berlaku untuk bangsa lain yang menuntut hak-hak mereka. Ini semua bisa tercakup dengan satu pengertian, Islam” ujarnya.106 Singkatnya, MNLF di bawah Nur Misuari mau menerima otonomi di bawah
kekuasaan
Pemerintah
Manila,
sedangkan
MILF
menginginkan
terwujudnya negara Islam Moro yang merdeka. Dengan perbedaan target pencapaian itu, maka perjuangannya pun berbeda. MILF menolak berunding dengan Pemerintah Filipina dan menolak Tripoli Agreement. MILF menolak kesepakatan itu, karena alasan sebagai berikut: 1. Perjanjian hanya mempertimbangkan satu sisi persoalan dan tidak pernah menyentuh persoalan dasar Bangsamoro yang ingin menentukan nasibnya sendiri
104
Muslim Sparatism: the Moros of Southern Philippines and Malays of Southern Thailand.
h.. 73 105 106
Ibid. h. 85 Revolusi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina. h.194
67
2. Perjanjian itu tidak adil dan tidak ada kebebasan untuk Bangsamoro. Perdamaian
tanpa
keadilan
dan
kebebasan
untuk
pihak
yang
dikecewakan merupakan pola penindasan kolonial. 3. Perjanjian hanyalah solusi untuk masalah Pemerintah Filipina, tetapi tidak merupakan solusi Bangsamoro.107 Ini
menunjukkan
Hashim
Salamat
berusaha
melebarkan
gaya
perjuangannya dari sekedar perjuangan atas dasar Nasionalisme menjadi bentuk perjuangan yang berdasarkan agama. Bentuk ini bisa dikatakan lebih menajamkan tuntutan atas daerah mereka di Filipina Selatan.108 Dalam menghadapi MILF, Pemerintah Filipina mengajukan lima point ‘Interim Agreement’ yang antara lain berisi gencatan senjata, pembicaraan perdamaian, dan kesepakatan damai 15 Desember 2000. Pemerintah Filipina di Manila berharap Interim Agreement bisa disepakati pada 30 Juni 2000. Namun menanggapai permintaan itu, MILF ingin mempelajari terlebih dahulu dan tidak menghiraukan deadline tanggal 30 Juni, dan akhirnya perjanjian itu pun gagal.
C.1. Hashim Salamat dan Dukungan Internasional Sejak terjadi konflik internal di tubuh MNLF, Hashim Salamat menuduh Nur Misuari sebagai seorang Komunis yang menggunakan bendera Islam untuk menutupi tujuan-tujuannya sendiri. Tuduhan Hashim Salamat bisa saja merupakan black propaganda untuk menjatuhkan Nur Misuari dari MNLF agar MILF mendapat dukungan internasional. Namun tuduhan menurut Cesar A Majul karena
107 108
Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. h.110 Revolusi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina. h.194
68
ketika Nur Misuari menjadi mahasiswa Universitas Filipina, Misuari adalah anggota organisasi beraliran kiri yang dinamakan Kabataan Makabayan (KM). Sejak KM menjadi semakin berorientasi Maois, ia keluar atau dipecat karena kepercayaannya tidak cukup beraliran kiri. Setelah diadakan beberapa ‘pembersihan’ dalam KM, maka klik Maois di bawah kepemimpinan Jose Maria Sison mengambil alih seluruh organisasi. Sison menjadi ketua Partai Komunis Filipina, Sison kemudian ditangkap pemerintah pada bulan November 1977. Misuari memang lebih lama menjadi anggota KM, ketika berada di bawah kontrol Sison.109 Dalam hal ini kubu Bangsa Moro Liberation Organization (BMLO) juga secara ironis menggunakan isu ini. Semua ini memang tidak menyangkal kemungkinan, bahwa kelompok Komunis telah mencoba mengadakan kontak dengan MNLF. Bagaimanapun juga, Misuari telah dapat meyakinkan kaum simpatisan Islam di Filipina dan di luar negeri, bahwa ia bukan dan tidak akan pernah menjadi seorang komunis. Tuduhan Hashim Salamat (MILF) dan Macapanto (BMLO) terhadap Misuari menyebabkan Nur Misuari mendapat panggilan dari Rabithah Alam Islami; namun Misuari dapat meyakinkan para pemimpin tertinggi Rabithah bahwa dirinya bukanlah seorang Komunis atau Marxis, melainkan seorang Muslim. Salah seorang anggota Rabithah kemudian menyatakan bahwa Nur Misuari adalah seorang muslim, tetapi bahasanya kelihatannya dipengaruhi oleh Marxisme.110
109 110
Dinamika Islam Filipina. h. 91 Ibid. h. 93
69
Pada tanggal 23 Desember 1977, dengan ‘instrument take over’, Hashim Salamat memberitahukan kepada Sekretariat Organisasi Konferensi Islam (OKI) bahwa Komite Pusat Moro National Liberation Front (MNLF) telah berganti nama menjadi Moro Islamic Liberation Front (MILF). Namun OKI tidak menanggapi usulah politis Hashim Salamat, karena beranggapan bahwa Nur Misuari dengan MNLF-nya mempunyai status peninjau di OKI sejak tahun 1974, sebagai satu-satunya wakil sah rakyat Moro.111 Tentu saja ini merupakan kekalahan diplomasi MILF terhadap dunia internasional. Namun di luar konflik tersebut, ada indikasi usaha mendamaikan MILF dan MNLF. Dikabarkan, sebelum pertemuan OKI di Kuala Lumpur, Nur Misuari sebagai pemimpin MNLF dan Gubernur ARMM (Autonomous Region Of Muslim Mindanao) bertemu dengan Ghazali Jaafar, wakil pimpinan MILF urusan politik. Dalam pertemuan tersebut, Nur Misuari menerima surat dari Hashim Salamat, Pimpinan MILF.112 Namun ternyata MILF dan MNLF tidak bisa bersatu karena perbedaan visi, di satu sisi Nur Misuari menghendaki Nasionalisme Moro, di sisi lain Hashim Salamat menghendaki tidak hanya Nasionalisme Moro, tetapi Nasionalisme Islam Moro. Karena menurutnya antara Islam dan Moro tidak dapat dipisahkan.
C.2. Konsep Nasionalisme Islam MILF Seperti yang telah dijelaskan di atas, pebedaan mendasar antara gerakan Moro Nastional Liberation Front (MNLF) pimpinan Nur Misuari dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF) pimpinan Hashim Salamat adalah mengenai 111 112
Peran Pihak Ketiga dalam Resolusi Konflik. h. 35 Problematika Minoritas Muslim di Asia Tenggara. (Jazkarta: ). h. 113
70
konsep perjuangan. Jika Nur Misuari mencita-citakan Republik Bangsa Moro tanpa menyisipkan kata-kata Islam, meskipun dalam prakteknya ia mencari dukungan
dengan
sentimen
keislaman.
Di
sisi
lain
Hashim
Salamat
memperjuangkan Nasionalisme Bangsa moro yang dielaborasikan dengan ide-ide Keislaman.113 Menurut Al Chaidar, ide dasar dari MILF nampaknya tidak jauh berbeda dengan konsep Darul Islam yang pernah bergolak di Indonesia di bawah pimpinan Kartosuwiryo. Menurutnya Daerah Islam hanya satu, namun status dan kondisinya berubah-ubah. Penguasaan terhadap wilayah menjadi demikian urgen dalam Islam sebagai wujud konsep mulkiyah Allah dalam ‘aqidah Islam. Bangsa Moro sangat yakin bahwa suatu ketika seluruh Bangsa Filipna akan kembali kepada Islam. Bangsa Moro percaya bahwa sebelum kolonisasi Spanyol, masyarakat kepulauan Filipina beragama Islam.114 Dalam hal ini Imam Margaran, seorang anggota MILF mengatakan bahwa suatu ketika bangsa Filipina akan menjadi Islam lagi. Latar belakang Kebangsaan Islam yang melekat pada keyakinan orang-orang Islam Bangsa Moro memberikan keyakinan yang besar bahwa suatu saat Filipina akan kembali menjadi Islam. Keyakinan akan hal itu dapat dilihat dari awal kemerdekaan Filipina tahun 1946. Sebenarnya, sejak kemerdekaan Filipina itulah, sudah ada keinginan Pemerintah di bawah Presiden Manuel Quezon untuk mengasimilasi Moro, yang selalu mencari warisan kulturalnya di alam Melayu dan Timur Tengah. Tetapi semenjak
113 114
Revolusi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina. h.194 Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h. 216
71
pemerintahan Ferdinand Marcos yang dimulai tahun 1966, bangsa Moro mulai menarik jarak dari pemerintah sekuler.115 Dari sudut keyakinan Bangsa Moro mempercayai siklus sejarah, dimana Islam akan bangkit setelah serangkaian Proses hispanisasi, Amerikanisasi serta Filipinisasi. Proses Hispanisasi (Spanyolisasi) berlangsung ketika kedatangan Spanyol di Filipina Utara pada 1521 memerlukan waktu lebih dari satu abad untuk mencapai Filipina Selatan. Proses Hispanisasi ini berjalan dengan cara menanamkan pengaruh Gereja ke dalam institusi dan pranata negara dan masyarakat. Kemudian dalam sebuah pertempuran di teluk Manila, ketika Amerika mengambil alih kekuasaan dari Spanyol pada 1898, Filipina masuk ke dalam fase proses Amerikanisasi yang dibagi menjadi tiga tahap: pertama, pemerintahan militer (1898-1913), kedua, Pemerintahan Sipil (1913-1935), dan ketiga, Commonwealth atau persemakmuran (1935-1946).116 Berbeda dengan proses Hispanisasi yang memiliki misi komersial, imperial dan agama, maka proses Amerikanisasi merupakan proses la mission civilatrice, misi untuk membuat orang-orang Moro beradab, yakni demokrasi.117 Pengalaman sejarah yang dialami Bangsa Moro ini rupanya membawa Muslim Moro sangat teliti dalam mengusung identitas dalam proses perjuangan eksistensi mereka. Bisa dipahami bahwa pemikiran Hashim Salamat memilih Nasionalisme Islam karena sadar betul bahwa perjuangan Moro pada masa kolonial hingga Kemerdekaan Filipina tahun 1946 yang mengusung Islam sebagai
115
Nurul Agustina, Muslim Moro, Bangkit dari Puing-Puing: Republika, 19 April 1995. Bresnan, John (ed), Krisis Filipina; Zaman Marcos dan Keruntuhannya, (Jakarta: Gramedia, 1988. h.13 117 Ideologi Negara Islam di Asia Tenggara. h.220 116
72
identitas tidaklah cukup. Nasionalisme Bangsa Moro yang diusung Moro National Liberation Front pimpinan Nur Misuari juga tidak cukup, karena Bangsa Moro tidak bisa dibatasi dengan letak geografis yang hanya di Filipina Selatan, melainkan Moro adalah sebuah Bangsa yang beragama Islam. Untuk itulah ia mengusung Nasionalisme Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanan konflik di Filipina sejak masa kolonialisme Spanyol hingga pemerintahan Filipina, identitas perjuangan muslim selalu berubah sesuai dengan kondisi sosial dan politik zamannya. Namun dalam perkembangan sejarah Filipina, lahirnya organisasi modern muslim Filipina memunculkan dua identitas yang diusung masing-masing organisasi, yakni Nasionalisme Moro yang diusung MNLF dan Nasionalisme Islam oleh MILF. Nasionalisme Moro merupakan perasaan kebangsaan masyarakat muslim Filipina Selatan yang tumbuh karena beberapa faktor, yakni kondisi sosial yang merasa didiskriminasikan sejak masa Spanyol hingga kemerdekaan Filipina, selain itu masyarakat Filipina Selatan yang beragama Islam merasa mempunyai kultur yang berbeda dengan masyarakat Filipina Utara yang beragama Kristen sejak kolonialisme Spanyol. Namun sekalipun masyarakat Filipina Selatan mayoritas beragama Islam, mereka memahami tidak mungkin berjuang untuk mendirikan negara Islam, oleh sebab itu MNLF mengusung Nasionalisme. Dalam hal ini untuk membedakan dengan nasionalisme negara Filipina, maka MNLF menyebut Nasionalisme Moro. Nasionalisme Islam yang diusung MILF pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan nasionalisme yang diusung MNLF. Karena memang MILF lahir dari
73
MNLF. Namun dalam perkembangannya Hashim Salamat menegaskan adanya peran serta Islam dalam perjuangan di Filipina Selatan sejak masa Spanyol membuat Hashim Salamat membentuk MILF yang mengusung Nasionalisme Islam. Tidak hanya memperjuangankan kemerdekaan bangsa Moro, tetapi juga mencita-citakan negara Islam.
74
BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Islam merupakan agama terbesar kedua yang dianut rakyat Filipina setelah Katolik. Sedikitnya terdapat 3 juta orang Islam di Filipina pada tahun 1975, atau 7 persen dari seluruh penduduk negara tersebut yang berjumlah 42. 070.600. Namun masyarakat Muslim sejak kemerdekaan Filipina dianggap sebagai warga negara kelas dua karena merasa didiskriminasikan. Muslim Filipina dikenal dengan sebutan bangsa Moro. Istilah Moro berasal dari kata ‘Moor’, ‘Moriscor’ yang berasal dari istilah latin ‘Mauri’, istilah yang sering digunakan orang-orang Romawi kuno untuk menyebut penduduk penduduk wilayah Aljazair Barat dan Maroko. Ketika bangsa Spanyol tiba di Filipina dan menemukan komunitas yang memiliki adat dan istiadat seperti orangorang Moor
di Andalusia, maka mereka mulai menyebut orang-orang Islam
Filipina dengan istilah Moro. Pada masa-masa
awal kemerdekaan Filipina, harapan teriptanya
perdamaian bagi masyarakat Muslim Filipina belum benar-benar terwujud. Diskriminasi terhadap Muslim Filipina saat ini pada dasarnya tidak terlepas dari rangkaian sejarah kolonialisme Spanyol atas Filipina. Di mana jauh sebelum Spanyol melakukan ekspansi ke Filipina, terdapat tiga kesultanan Muslim yang mempunyai pengaruh cukup luas di kepulauan Filipina, yakni; Kesultanan Sulu (meliputi wilayah Sulu, Basilan, Palawan, Negros, Panay, Mindoro, dan Iloco di sebelah utara pulau-pulau Luzon), Kesultanan Manguindanao, dan Kesultanan Buayan.
75
Minoritas Muslim Filipina ini didiskriminasi oleh pemerintah Filipina yang mendiskriminasikan Moro seperti halnya masa kolonialisme, khususnya di Filipina Selatan yang dihuni oleh komunitas Muslim. Menurut Masyarakat Moro, pemerintah Filipina hendak menghancurkan kebudayaan Islam untuk digantikan dengan kebudayaan Barat yang pada dasarnya merupakan suatu pencerminan dari peradaban Kristen dari kolonialisme Spanyol dan Amerika. Situasi tersebut memaksa masyarakat Muslim untuk membentuk organisasi-organisasi Islam modern modern untuk mempertahankan eksistensinya. Tentunya
sebuah organisasi sebagi wadah perjuangan harus mempunyai
konsespsi yang menjadi identitas tersendiri dalam melawan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Filipina. Moro National Liberation Front (MNLF) adalah organisasi Moro pertama yang dalam perjuangannya mengangkat senjata untuk mempertahankan diri. Nur Misuari, konseptor ideologi, pendiri dan sekaligus pemimpin MNLF menetapkan MNLF sebagai organisasi yang bertujuan untuk mendirikan Republik Bangsa Moro.
Tentunya
Nur
Misuari
mengusung
nasionalisme
Moro
dengan
mengecualikan Islam sebagai agama yang dianut bangsa Moro. Secara pribadi, nur Misuari merupakan sorang Muslim yang taat, namun ia tidak meletakkan Islam sebagai bagian yang diperjuangkan masyarakat Moro. Kemungkinan, pemikiran Misuari yang moderat lahir karena ia sadar bahwa pasca Perang Dunia II, negara agama tidak lagi relevan, karena itulah ia mengusung Nasionalisme Moro. OKI dan Libia merupakan mediator antara pemerintah Filipina dengan MNLF sehingga melahirkan persetujuan bagi otonomi tiga belas Provinsi di
76
Selatan di mana terdapat prosentase Muslim yang besar. Tiga belas Provinsi tersebut adalah Pulau Palawan, Tawi-Tawi, Sulu, Basilan, Zamboanga del sur, Zamboanga del Norte, Kota Batu Utara, Manguindanao, Sultan Kudarat, Kota Batu Selatan, Lanao del Sur, Lanau del Norte, dan Davao del Sur. Namun Pemerintah Filipina di bawah kepemimpinan Marcos pasca perjanjian Tripoli hanya menyatakan bahwa Muslim merupakan mayoritas di Tawi-tawi, Sulu, Basilan, Manguindanao dan Lanao Sur. Masyarakat Muslim yang multi etnik menyebabkan adanya perbedaan pandangan
mengenai
identitas
yang
di
usung.
Apakah
hanya
akan
memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Moro, ataukah Bangsa Islam Moro. Dalam hal ini Nur Misuari, seorang muslim moderat, melalui MNLF mengusung kemerdekaan Bangsa Moro (bukan negara Islam), sedangkan Hashim Salamat yang keluar dari MNLF mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF) dan mengusung mengusung Nasionalisme Islam. Menurut Hashim Salamat Moro bukan hanya sebuah bangsa, tapi juga merupakan masyarakat Muslim. Tentunya munculnya identitas sebagai sebuah jargon yang diusung tidak muncul dengan tiba-tiba, ada faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam rangkaian historis. B. Saran Saat ini hampir seluruh Universitas di negara-negara maju berlombalomba
untuk
mendirikan
sebuah
departemen
yang
khusus
mengkaji
perkembangan Islam di Asia Tenggara, termasuk Filipina. Ironisnya, Indonesia yang merupakan bagian dari Asia Tenggara minim sekali pengkajian mengenai wilayahnya sendiri. Untuk itu mari kita kembangkan studi Islam Asia Tenggara.
77
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer Agustina, Nurul, Muslim Moro, Bangkit dari Puing-Puing: Republika, 19 April 1995. Gowing, Peter G. dan Robert D McAmis, The Moro Wars: Solidaridad Publishing House, Manila, 1974. Kamlian, Jamail, Bangsamoro Society and Culture, Iligian Centre for Peace Education Research, 2001. Kompas, 18 April 1993. wawancara dengan Misuari Majul, Cesar A, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern: Mizan, Jakarta, 2001. _______________, Moro; Pejuang Muslim Filipina Selatan: Al Hilal, Jakarta, 1997. _______________, Dinamika Islam Filipina: LP3 ES, Jakarta, 1984. Mansurnoor, Iik Arifin, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam vol.6: Ichtiar van Hoeve, Jakarta, 2003.
Sumber Sekunder Al Chaidar, Ideologi Negara Islam Asia Tenggara; Telaah Perbandingan atas Terbentuknya Diskursus Politik Islam Dalam Gerakan Pembentukan Negara di Indoneis dan Filipina Pasca Kolonialisme: Tesis UI, Jakarta, 1996. Al Chaidar, Wacana Ideologi Gerakan Islam; Studi Harakah Darul Islam dan MNLF: Darul Falah, Jakarta, 1999.
78
Alfian, Peran Pihak Ketiga dalam Resoluisi Konflik; Kasus Indonesia-Libya dalam Penyelesaian Konflik Antara Pemerintah Filipina dan MNLF di Filipina Selatan: UI, Jakarta, 2002. Bresnan, John (ed), Krisis Filipina; Zaman Marcos dan Keruntuhannya :Gramedia, Jakarta, 1988. Budiwanti, Erni, Gerakan Pembebasan Moro dan Perjanjian Damai: Artikel LIPI. Budiwanti, Erni, Minoritas Muslim di Filipina, Thailand dan Myanmar; Masalah Represi Politik, LIPI, Jakarta, 2003. Djunaedi, Mahbub, Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan: PT Al Ma’arif, Jakarta, 1975. George, T.J.S, Revolt in Mindanao; The Rise of Islam in Philippine politics: Oxford University, Osford., 1980. Gershman, John, Asia Tenggara Konsentrasi baru Kebangkitan Islam; Peta dan Prospek Gerakan Islam di Filipina: Fokus Media, Bandung, 2003. Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah, UI Press, Jakarta, 2006 Hendropuspito, Sosiologi Agama: Gunung Mulia, Jakarta, 1993. Kamaruzzaman, Aka dan M Dahlan, Kamus Ilmiah Serapan,
Yogyakarta,
Absolut, 2005. Kettani, Ali, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa ini: Rajawali Pers, Jakarta, 2001. Bracher, Jacques Laqan; Diskursus dan Perubahan Sosial, Yogyakarta, jalasutra, 2000.
79
Che Man, W.K Muslim Separatism: The Moros of Southern Philipines and The Malays of Southern Thailand, Oxford University Press, 199. Erik, Erikson. H, Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Gramedia, Jakarta, 1989. Lamijo dan Syafuan Rozi, Demografi fan Sejarah Kolonisasi di Fiipina: LIPI, 2001, Jakarta. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Madale, Nagasura, Tradisi dan Kebangkitan Islam Asia Tenggara: LP3 ES, Jakarta, 1988. Mardalis, Metodologi Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal: Bumi Aksara, Jakarta, 1993. Margono,S, Metodologi Pendidikan: PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2005. Mashad, Durorudin, Gerakan Resistensi Minoritas Muslim Filipina, Thailand, dan Myanmar: LIPI, Jakarta, 2004. Muzani, Saiful (edt), Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara:, LP3ES, Jakarta, 1993. Nadaek, Kustigar dan Atmadji, Revolosi Damai; Rekaman Kemelut di Filipina: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1986. Pujiastuti, Tri Nuke, Problematika Minoritas Muslim di Filipian, Thailand,, dan Myanmar: Artikel LIPI, Jakarta. Romulo, Carlos P, Ensiklopedi Negara dan Bangsa jilid 3; Filipina: Grolier Internasional, PT Widyadara Jakarta, 2003. Filipina. Wahyudi, Garni Janto Bambang, Kerjasama Regional ASEAN Menghadapi Terorisme nternasional: Jakarta, 2003.
80
Zainuddin, Rahman, Sejarah Minoritas Muslim di Filipina, Thailand, dan Myanmar: Artikel LIPI, Jakarta, 1998.
81
Lampiran 1 (Cesar A Majul, Dinamika Islam Filipina, Jakarta, LP3ES, 1989) KESEPAKATAN PARA PEMIMPIN ISLAM UNTUK BERSATU
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Besar, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Dihadapkan kepada ancaman-ancaman terhadap eksistensi ummat Islam di Filipina, yang disebabkan oleh peristiwa-peristiwa di masa lalu dan belakangan ini, maka sebagai suatu kesepakatan untuk bersatu, kami, setelah mengadakan musyawarah sebagaimana mestinya, dengan ini mengeluarkan komunike ini: Kami semua menyadari dan merasa sangat prihatin mengenai hak-hak dan kewajiban Islami rakyat kami sebagai Muslim dan sebagai warga negara, dan menyadari amanat yang diberikan kepada kami oleh rakyat kami, untuk bekerja demi kesejahteraan mereka dan melindungi hak-hak mereka dari segala bentuk pelanggaran. Untuk melaksanakan kewajiban ini, kami dengan ini sepakat untuk bersatu padu, mengesampingkan semua perselisihan pribadi dan politik di masa lampau dan di masa sekarang, dengan tujuan untuk memerangi musuh-musuh kami sebagai ummat Islam; Kami telah memperhatikan peristiwa-peristiwa yang telah menimpa orangorang Islam di Filipina di masa lalu, seperti : pembantaian di Jabidah, gangguangangguan terhadap desa-desa Muslim yang mengakibatkan kerugian berupa kurban jiwa dan harta benda, rentetan pembunuhuan, serangan, dan penganiayaan yang sedang berlangsung terhadap orang Islam di Cotabato dan Lanao del Sur, di
82
mana mayat-mayat mereka dikotori, masjid-masjid dan rumah-rumah mereka dibakar, belum lagi diskriminasi yang terus menerus dilakukan teradap orangorang Islam di banyak tingkat kehidupan nasional serta pemalsuan atau pemutarbalikan citra mereka yang sebenarnya sebagai buah rakyat yang punya sejarah. Serangan-serangan tanpa arasan terhadap orang-orang Islam, seperti pembantaian yang kejam terhadap 61 laki-laki, wanita dan anak-anak Islam di sebuah tempat ibadah , yakni sebuah masji di Manila, Cermen, Cotabato, oleh gerombolan sewaan ‘Ilaga’, yang melakukan kejahatan-kejahatan sebesar itu tanpa mendapatkan hukuman, menunjukkan bahwa orang-orang Islam tidak mendapat perlindungan sepenuhnya, yang merupakan hak mereka di bawah perundang-undangan negara. Semua kekejaman yang biadab dan tidak manusiawi terhadap orang-orang Muslim itu, seperti memotong kuping orang-orang Islam yang sudah mati, dan sebagainya merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah, konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku, dan suatu3ancaman yang serius dan nyata terhadap kebebasan beragama rakyat kami, serta suatu penghinaan terhadap hati nurani dan deklarasi Universal PBB mengenai Hak-Hak Asasi Manusia. Melihat kemampuan mniliter perampok-perampok ‘Ilaga’ itu, sepertinya ternyata dari bukti-bukti yang ada, ada alasan yang kuat untuk percaya, bahwa mereka bersekongkol dengan atau mendapat dukungan dari, sektor-sektor tertentu Angkatan Bersenjata dan kaum politisi Kristen setempat. Pola Agresi dan tindakan-tindakan kriminal di daerah-daerah Muslim itu, jika tidak dihentika dengan segera oleh pemerintah, akan memperkuat anggapan
83
bahwa memang ada rencana untuk menceraiberaikan orang-orang Islam dengan meniadakan komunitas mereka. Dalam kasus kaum pengungsi, kenyataan bahwa pemerintah hingga kini belum mengmbalikan mereka ke tempat-tempat asal mereka, belum mengganti kerugian yang telah mereka derita, berbeda sekali dengan sikap ketika mereka dengan segera merehabilitasi dan mengganti rumah-rumah di Ora Este dan Ora Centro di bantay, Ilocos Sur, dan melindungi penduduknya, telah semakin mengikis kepercayaan orang Islam, terhadap kejujuran dan pemerintah untuk menegakkan hak-hak mereka, melindungi jiwa dan harta benda mereka. Mengingat fakta-fakta dan alasan-alasan di atas, kami mendesak pemerintah agar menerima baik usul-usul kami untuk menjamin perdamaian yang langgeng di negeri ini, dan agar supaya tentara pemerintah melindungi tidak hanya jiwa orang-orang Kristen, tetapi juga jiwa orang-orang Islam. OLEH SEBAB ITU, KAMI berseru kepada semua orang yang berada di belakang gerombolan sewaan ‘Ilaga’ itu, agar menghentikan rencana-rencana mereka terhadap kaum Muslim, karena kami sudah tau siapa mereka itu, dan kami tahu mereka dapat menghentikan apa yang mereka mulai; jika mereka tidak mau menghentikan rencana-rencana mereka itu, akan terjadi akibat-akibat yang gawat dalam kehidupan nasional negara ini. Kami berseru kepada hierarki Katolik dan golongan-golongan Kristen lainnya untuk menggunakan kepemimpinan moral dan spiritual mereka dengan menghimbau orang-orang seagama mereka agar menghormati Islam dan orangorang Islam sebagai dasar perdamaian dan keselarasan.
84
Kami menghimbau kepada semua orang Kristen yang progresif dan beritikad baik agar berusaha keras untuk mewujudkan persatuan dan dengan demikian menghindari disintegrasi bangsa; Akhirnya, apabila pemeriintah tidak, atau tidak mau melakukan kewajibannya yang fundamental untuk memberikan perlindungan yang sama kepada semua warganegaranya, apakah mereka itu Muslim atau Kristen, apabila pemerintah tidak menghentikan tindakan-tindakan perampokan dan pemusnahan di daerah-daerah Muslim, yang dilakukan dengan cara biadab dan terang-terangan di depan mataangkatan bersenjata pemerintah, dan apabila kami tidak memperoleh keadilan untuk rakyat kami melalui cara-cara yang damai dan menurut hukum, maka hari ini, di hadapan Allah, kami berjanji tanpa mengindahkan kedudukan pribadi dan politik kami, untuk berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan umat dan negeri kami. Untuk tujuan itu, kami bersedia mengorbankan harta benda kami dan bahkan jiwa kami, sebagaimana yang telah dilakukan oleh nenek-moyang kami di masa lalu untuk membela kemerdekaan dan Islam.
Para penandatangan: Mamital A Tamano, Senator Presiden Liga Pengacara Muslim Filipina Salipada K Pendatun, Anggota DPR Presiden Perhimpunan Muslim Filipina Ali Dimaporo, Anggota DPR Presiden, Dewan Tertinggi Urusan Islam Filipina Domocao Alonto, Delegate Direktur Jendera Anzar el Islam
85
Sultan Rashid Lucman Ketua, Persatuan Kekuatan-Kekuatan Islam Filipina Sandiale Sambolawan, Pengacara Constitutional Delegate, Cotabato City Macacana Dimaporo, Anggota DPR Lanao del Sur Benjamin Abu Bakar, Pengacara Bekas Gubernur Jolo, Sulu Kasan Marohombzar Wakil Gubernur Ladnao del Sur Pullong Arpa Bekas Duta Besar Jolo, Sulu Cesar Adib Majul, Dekan College of Arts & Sciences U.P. Diliman, Quezon City Datu Udtog Matalam, Jr Pikit, Cotabato Hadji Arsad Sali Bekas Gubernur Jolo, Sulu Muz Izquierdo Anggota Dewan Pemerintah Profinsi Jolo, Sulu Midpantao Adil, Pengacara Constitutional Delegate, Pagalungan, Cotabato M. Guro Delegate Lanao del Sur Lininding Pangandaman Constitutional Delegate, Lanao del Suru Michael Mastura, Pengacara Constitutional Delegate, Cotabato City Nur Misuari University of The Philippines M.Y. Abbas, Jr., Pengacara Ketua Majelis Nasional Pemuda Muslim
86
Ir. Farouk Carpizo Sekjend National Coordination Council for Islamic Affairs, Inc. Musib buat, Pengacara Nurul Islam; Cotabato Ustadz Kunung Pumbaya Imam Masjid Manila Abraham Rasul, Pengacara Mantan CNI Commisioner, jolo, Sulu Madki Alonto, pengacara Mantan Gubernur Lanao del Sur Aminkadra Abu Bakar Walikota Jolo, Sulu Manaros Boransing Profesor Mindanao State university Ustadz Calbi Tupay Basilan City Kalingalan Kaluangn Jolo, Sulu Kapten Hassan Bagis Jolo, Sulu
Atas nama Pemimpin-Pemimpin Muslim di Filipina
87
Lampiran 2 (Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989)
MANIFESTO PEMBENTUKAN REPUBLIK BANGSA MORO
Kami, rakyat Bangsamoro yang ingin membebaskan diri dari teror, penindasan dan tirani kolonialisme Filipia, yang telah menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan yang tak terperikan, dengan jalan merampas tanah kami, mengancam Islam melalui penghancuran dan penodaan (secara besar-besaran) tempat-tempat peribadahannya serta Kitab Sucinya, dan mebunuhi saudarasaudara kami, laki-laki perempuan, dan orang-orang yang sudah tua, dalam suatu kampanye pemusnahan bangsa kami pada tingkat yang sangat mengerikan. DENGAN CITA-CITA untuk mempunyai preogatif tunggal guna menentukan dan merencanakan nasib bangsa kami sendiri, sesuai dengan kehendak bebas kami sendiri guna menjamin masa depan kami dan masa depan anak cucu kami. Setelah mengembangkan suatu bentuk ideologi yang cocok, yang telah berhasil menggalang persatuan rakyat kami yang kukuh dan memperkuat identitas dan watak nasionalnya. Setelah membentuk Front Pembebasan Nasional Moro (Moro National Liberation Front) serta badan militernya, yakni Tentara Bangsamoro sebagai alat pokok kami untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran utama kami dengan dukungan bulat massa luas rakyat kami, dan akhirnya: SETELAH kami sekarang menguasai dengn kukuh ebagian tanah air bangsa kami, melalui kemenangan-kemenangan cemerlang yang berturut-turut
88
telah dicapai oleh Tentara Bangsamoro kami dalam pertempuran melawan Angkatan Bersenjata Filipina dan Diktator Marcos, dengan ini mengumumkan: •
Bahwa, untuk selanjutnya, rakyat dan Revolusi Bangsamoro setelah mendirikan Republik Bangsamoro, memutuskan segala ikatan politik, ekonomi dan ikatan-ikatan mereka lainnya dengan pemerintah Filipina yang menindas
di bawah rezim Diktator Ferdinand Marcos, untuk
menegakkan suatu negara yang bebas dan merdeka bagi rakyat Bangsamoro. •
Bahwa rakyat dan Revolusi kami, yang menjunjung tinggi asas hak menentukan nasib sendiri, mendukung hak semua rakyat dari semua bangsa dalam perjuangan memreka yang sah dan adil untuk kelangsungan hidup nasional, kebebasan dan kemerdekaan mereka.
•
Bahwa rakyat dan Revolusi Bangsamoro, demi kebenaran akan menjamin kebebasan Pers.
•
Bahwa, Untuk mempercepat kemajuan ekonomi tanah air Bangsamoro yang telah diporakporandakan oleh peperangan, rakyat dan Revolusi kami akan mendorong investasi asing dengan persyaratan dan di bawah kondisikondisi yang menguntungkan bagi rakyat kami dan bagi investor. Oleh sebab itu, investor-investor asing di tanah air Bangsamoro yang memutuskan untuk meneruskan kegiatan ekonomi mereka di bawah rezim revolusi, akan disambut dengan tangan terbuka.
•
Bahwa, rakyat dan Revolusi Bangsamoro terikat kepada asas bahwa mereka merupakan bagian dari Dunia Islam dan Dunia Ketiga serta dari umat manusia yang dijajah dan ditindas di mana pun di dunia ini.
89
•
Bahwa Front Pembebasan Nasional Moro dan badan militernya, Tentara Bangsamoro, tidak akan menyetujui setiao bentuk penyelesaian dan persetujuan yang tidak memberikan kebebasan dan kemerdekaan penuh kepada rakyat Bangsamoro yang tertindas.
•
Bahwa revolusi rakyat Bangsamoro merupakan suatu revolusi dengan suara hati sosial. Oleh sebab itu mereka terikat kepada asas pembentukan suatu sistem pemerintahan yang demokratis, yang dalam keadaan yang bagaimanapun tidak akan membiarkan atau menenggang segala bentuk pemerasan dan penindasan terhadap setiap manusia oleh Manusia lainnya, atau terhadap suatu bangsa oleh bangsa lainnya.
•
Bahwa orang-orang Filipina yang ingin tetap tinggal di tanah air Nasional Bangsamoro yang sudah merdeka akan diterima dengan tangan terbuka dan akan mendapat hak-hak dan perlindungan yang sama dengan yang diberikan kepada semua warga lainnya di Republik Bangsamoro, asalkan mereka dengan resmi melepaskan kewarganegaraan Bangsamoro; hak milik mereka akan dihormati sepenuhnya dan hak-hak plitik, kebudayaan dan keagamaan mereka akan dijamin.
•
Bahwa rakyat dan Revolusi bangsamoro terkat kepada kewajiban untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Islam di kalangannya sendiri tanpa merugikan perkembangan dan pertumbuhan agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan asli lainnya di tanah air kami.
•
Bahwa rakyat dan Revolusi kami mengakui dan menjunjung tinggi Piagam PBB dan Deklarasi Universal mengenai hak-hak Asasi Manusia.
90
Dan selain itu, mereka akan menghormati dan tunduk kepada semua peraturan hukuk dan konvensi yang mengikat bangsa-bangsa di dunia. •
Bahwa rakyat dan Revolusi Bangsamoro terikat kepada kewajiban untuk melestarikan dan memperkukuh perdamaian dunia melalui kerjasama timbal-balik di antara bangsa-bangsa, dan melalui kemajuan bersama rakyat-rakyat di dunia. Oleh sebab itu, mereka terikat kepada asas saling menghormati dan persahabatan di antara bangsa-bangsa tanpa memandang keyakinan ideologis dan keagamaan mereka. Oleh sebab itu, maka kami dengan ini menghimbau suara hati semua
orang di manapun, serta simpati semua bangsa di dunia, untuk membntu mempercepat derap Revolusi kami dengan jalan secara resmi dan tanpa ragu-ragu lagi mengakui dan mendukung hak sah rakyat kami untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan nasionalnya. Pengakkuan dan dukungan itu hendaknya dikongkritkan dengan jalan menerima Bangsamoro sebagai anggota keluarga bangsa-bangsa yang merdeka dan berdaulat di dunia, dan mengakui dengan resmi Froont pembebasan Nasional Moro. Ditetapkan di tanah air Bangsamoro, hari ini tanggal 18 Maret 1974.
Nur Misuari, Ketua Komite Sentral Front Pembebasan Nasional Moro
91
Lampiran 3 (Cesar A Majul, Dinamika Islam di Filipina, Jakarta: LP3ES, 1989)
Dengan Menyebt nama Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Penyayang
Persetujuan Antara Pemerintah Republik Filipina dan MNLF dengan Partisipasi Para Anggota Komisi Tingkat Menteri Empat Negara Dari Organisasi Konferensi Islam dan Sekretaris Jenderal Konferensi Islam
Sesuai dengan Resolusi No. 4 Para. 5 yang telah disetujui oleh Dewan Menteri Konferensi Islam dalam Persidangannya yang keempat di Benghazi, Republik Arab Libya, dalam bulan Shafar 1939 H yang bertepatan dengan bulan Maret 1973, yang menyerukan dibentuknya Komisi Tingkat menteri Empat Negara yang mewakili Republik Arab Libya, Kerajaan Arab Saudi, Republik Senegal dan Republik Somalia, untuk mengadakan perundingan dengan Pemerintah Republik Filipina mengenai situasi kaum Muslim di bagian Selatan Filipina; Dan sesuai dengan Resolusi No. (18) yang telah disetujui oleh Konverensi Islam yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam bulan Jumadil akhir 1393 Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Juni 1974 M yang merekomendasikan upaya mencari suatu penyelesaian yang adil dan damai mengenai masalah orangorang Islam di Filipina Selatan melalui perundingan. Dan sesuai dengan Resolusi No. 12/7/S yang telah disetujui oleh konverensi Islam di Istambul dalam bulan Jumadil Awal 1396 Hijriyah yang bertepatan dengan bulan Mei 1976 M, yang memberi kuasa kepada Komisi Tingkat Menteri Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Konverensi Islam untuk
92
mengambil
langkah-langkah
yang
diperlukan
bagi
dimulainya
kembali
perundingan-perundingan. Dan sebagai kelanjutan tugas yag dipikul oleh komisi Tingkat Menteri Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Konferensi Islam serta pembicaranpembicaran yang telah diadakan dengan Yang Mulia Presiden Marcos dari republik Filipina. Dan sebagai perwujudan ini Para (6) Komunike Bersama yang dikeluarkan di Tripoli tanggal 25 Dzulhijjah 1396 H. Yang bertepatan dengan 17 November 1976. Setelah kunjungan resmi delegasi Pemerintah Filipina di bawah pimpinan Ibu negara Filipina Nyonya Imelda Romualdez Marcos ke Republik Arab Libya, dan menyerukan dimulainya kembali perundingan antara kedua pihak yang bersangkutan di Tripoli pada 15 Desember 1976 M. Maka dilangsungkanlah perundingan-perundingan di Kota Tripoli dalam periode antara 24 Dzulhijjah 1396 H. Dan 2 Muharram 1397, yang bertepatan dengan periode antara 15 sampai 23 Desember 1976 M. Bertempat di kementerian Luar Negeri dan diketuai oleh Dr. Ali Abdussalam Treki, Menteri Negara Urusan Luar Negeri Republik Arab Libya, dan mencakup delegasi-delegasi dari : 1. Pemerintah Republik Filipina, yang dipimpin oleh yang terhormat Carmelo Z Berbero, Menteri Muda pertahanan Nasional untuk hubunganhubungan Sipil. 2. Front Pembebasan Nasional Moro, yang dipimpin oleh Tuan Nur Misuari, Ketua Front. Dan dengan partisipasi wakil-wakil dari Komisi Tingkat Menteri Empat Negara:
93
Republik Arab Libya- Dr. Ali Abdussalam Treki, Menteri Negara Urusan Luar Negeri. Kerajaan Arab Saudi – Yang Mulia Salah Abdalla El-Fadl, Duta besar kerajaan Arab Saudi untuk Republik Arab Libya. Republik Senegal – Tuan Abubakar Othman Si, Wakil republik Senegal dan Kuasa Usaha Senegal di Kairo. Republik Demokratik Somalia – Yang Mulia Bazi Mohamed Sufi, Dutabesar Republik Demokratik Somalia untuk Republik Arab Libya. Dengan bantuan Yang Mulia Dr. Ahmed Karim Gai, Sektretaris Jendral Konperensi Islam, dan sebuah delegasi dari Sekretariat Jenderal Konferensi yang terdiri dari tuan Qasim Zuheri, Asisten Sekretaris Jenderal, dan Tuan Aref Ben Musa, Direktur Departeman Politik. Dalam perundang-undangan itu yang ditandai oleh semangat kerukunan dan saling pengertian, dicapai persetujuan mengenai hal-hal berikut: Pertama : Pembentukan Otonomi di bagian Selatan Filipina, di dalam kerangka kedaulatan dan keutuhan wilayah Republik Filipina. Kedua : Daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim di bagian Selatan Filipina itu akan meliputi; 1. Basilan 2. Sulu 3. Tawi-Tawi 4. Zamboanga del Sur 5. Zamboanga del Norte 6. Cotabato Utara
94
7. Maguindanao 8. Sultan Kudarat 9. Lanao del Norte 10. Lanao del Sur 11. Davao del Sur 12. Cotabato Selatan 13. Palawan 14. Semua kota dan desa yang terletak di daerah-daerah tersebut di atas. Ketiga : 1. Politik Luar Negeri akan merupakan wewenang Pemerintah Pusat Filipina. 2. Urusan pertahanan Nasional akan merupakan urusan Pemerintah Pusat, dengan persyaratan bahwa pengaturan-pengaturan bagi penggabungan pasukan-pasukan Front Pembebasan Nasional Moro ke dalam Angkatan Bersenjata Filipina akan dibicarakan kemudian. 3. Di daerah-daerah otonom, orang-orang Islam akan berhak untuk membentuk Pengadilan-pengadilan mereka sendiri
yang menerapkan
ketentuan-ketentuan Syari’ah. Kaum Muslim akan diwakili di semua pengadilan, termasuk Mahkamah Agung. Wakil-wakil kaum Muslim di Mahkamah Agung akan diangkat sesuai dengan rekomendasi pejabatpejabat di daerah otonom dan dari Mahkamah Agung. Dekrit-dekrit akan dikeluarkan oleh Presiden Republik mengenai pengangkatan mereka, dengan mempertimbangkan semua klasifikasi yang dituntut para calon. 4. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan berhak mendirikan sekolah-sekolah, kolese-kolese dan Universitas-Universitas,
95
dengan syarat bahwa soal-soal yang menyangkut hubungan antara badanbadan pendidikan dan keilmuan itu dan sistem pendidikan umum di negara itu akan dibicarakan kemudian. 5. Kaum Muslim akan mempunyai sistem administrasi mereka sendiri dengan tujuan-tujuan Otonomi dan lembaga-lembaganya. Hubungan antara sistem administrasi itu dan sistem administrasi pusat akan dibicarakan kemudian. 6. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan mempunyai sistem ekonomi dan keuangannya sendiri. Hubungan antara sistem ini dan sistem ekonomi dan keuangan pusat akn dibicarakan kemudian. 7. Pihak berwajib di daerah otonom di Filipina Selatan akan berhak untuk diwakili dan berpartisipasi dalam Pemerintah Pusat dan semua organ Negara. Jumlah wakil itu dan cara-cara partisipasinya akan ditetapkan kemudian. 8. Pasukan Keamanan Regional Khusu akan dibentuk di daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim di Filipina Selatan. Hubungan antara pasukanpasukan itu dan pasukan keamanan pusat akan ditetapkan kemudian. 9. Sebuah Majelis Legislatif fan sebuah Dewan Eksekutif akan dibentuk di daerah-daerah otonom bagi kaum Muslim. Majelis Legislatif akan dibentuk melalui pemilihan langsung, dan Dewan Eksekutif akan dibentuk melalui pemilihan langsung, dan Dewan Eksekutif akan dibentuk melalui pengangkatan-pengangkatan oleh Majelis legislatif. Sebuah dekrit mengenai pembentukan kedua badan itu akan dikeluarkan oleh Presiden
96
Republik. Jumlah anggota majelis dan dewan itu akan ditentukan kemudian. 10. Tambang-tambang dan sumber-sumber mineral akan berada di bawah wewenang Pemerintah Pusat, dan suatu presentase yang layak dari penghasilan tambang-tambang dan sumber-sumber mineral itu akan digunakan untuk kepentingan daerah-daerah otonom. 11. Sebuah komite campuran akan dibentuk, terdiri dari wakil-wakil Pemerintah Pusat Republik Filipina dan wakil-wakil Front Pembebasan Nasional Moro. Komite campuran itu akan bersidang di Tripoli dalam periode antara tanggal 5 Februari dan satu tanggal yang tidak akan melampaui tanggal 3 Maret 1977. Tugas Komite adalah untuk mempelajari secaa rinci hal-hal yang masih harus dibicarakan lebih lanjut untuk
dicari
pemecahannya
sesuai
dengan
ketentuan-ketentuan
Persetujuan ini. 12. Gencatan senjata akan diumumkan segera setelah penandatanganan Persetujuan ini, dengan syarat bahwa ia akan mulai berlaku (menjelang) tanggal 20 januari 1977. Sebuah komite gabungan akan dibentuk di antara kedua belah pihak dengan bantuan Organisasi Konferensi Islam yang diwakili oleh Komisi Tingkat Empat Negara yang akan mengawasi pelaksanaan gencatan senjata itu. Komite Gabungan itu juga akan ditugaskan untuk mengawasi hal-hal berikut ini : a. Pelaksanaan pemberian amnesti penuh di daerah-daerah otonom dan penghapusan semua tuntutan dan ketentuan hukum yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Filipina Selatan.
97
b. Pembebasan semua tahanan politik yang berkaitan dengan peristiwaperistiwa di Filipina Selatan. c. Pengembalian semua pengungsi yang telah meninggalkan daerah mereka di Filipina Selatan. d. Pemberian jaminan kebebasan bergerak dan mengadakan rapat. 13. Sebuah sidang gabungan akan diadakan di jeddah dalam minggui pertama bulan Maret 1977 untuk memarap apa yang telah disimpulkan oleh komite yang disebut dalam Para 11. 14. Persetujuan
final
mengenai
pembentukan
otonomi
seperti
yang
dimaksudkan dalam pragraf pertama dan kedua akan ditandatangani di Kota Manila, Republik Filipina, oleh Pemerintah Filipina dan Front Pembebasan Nasional Moro, dan oleh Konferensi Islam yang diwakili oleh Komisi Tingkat Menteri Empat Negara dan Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam. 15. Segera setelah penandatanganan Persetujuan itu di Manila, sebuah Pemerintah Sementara akan dibentuk di daerah-daerah Otonom, dan diangkat oleh Presiden Filipina. Pemerintah sementara itu akan ditugasi mempersiapkan pemilihan anggota-anggota Majelis Legislatif di daerahdaerah otonom, dan memerintah daerah-daerah itu sesuai ktentuanketentuan Persetujuan ini sampai dibentuknya sebuah Pemerintah oleh Majelis Legislatif. 16. Pemerintah Filipina akan mengambil segala langkah yang diperlukan dalam pproses konstitusional untuk melaksanakan Persetujuan ini secara keseluruhan.
98
Keempat:
Persetujuan
ini
akan
mulai
berlaku
pada
tanggal
penandatanganannya. Dibuat di kota Tripoli, pada tanggal 2 Muharram 1397 H yang bertepatan dengan tanggal 23 Desember 1976 M. Dalam tiga eksemplar yang asli dalam bahasa Arab, Inggris dan Perancis, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Untuk Pemerintah Republik Filipina
Yth. Carmelo Z Barbero Menteri Muda Pertahanan Nasional Untuk Hubungan-Hubungan Sipil
Dr. Ali Abdussalam Treki Menteri Negara Urusan Luar Negeri Republik Arab Libya & Ketua Perundingan
Untuk Front Pembebasan Nasional Moro
Tuan Nur Misuari Ketua Front
Dr. Ahmad Karim Gai Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam
99