MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO (Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)
NASKAH PUBLIKASI
Oleh : R. ARIEF SEGARA NIM. 080569201006
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2015 1
SURAT PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING Yang bertandatangan dibawah ini adalah dosen pembimbing skripsi mahasiswa yang disebut dibawah ini : Nama NIM Jurusan/Prodi Alamat No HP Email Judul Naskah
: : : : : :
R. Arief Segara 080569201006 SOSIOLOGI/ FISIP Jln. Ir. Sutami Gg. Sakura No. 27 F Tanjungpinang 082386620565
[email protected] MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO (Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)
Menyatakan judul tersebut sudah sesuai dengan aturan tata tulis naskah ilmiah dan untuk dapat diterbitkan: Tannjungpinang, 23 Juli 2016 Yang menyatakan,
Ketua Komisi Pembimbing
Emmy Solina, M.Si NIDN.1020118401
Anggota Komisi Pembimbing
Rahma Syafitri, M.Sos NIDN.198508202015042001
2
MOBILITAS SOSIAL NELAYAN TRADISIONAL DIKAMPUNG BENTENG KELURAHAN MORO KECAMATAN MORO (Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)
ABSTRACT Sifat sistem stratifikasi yang terbuka akan memberi anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berpindah-pindah kedudukan atau melakukan mobilitas sosial. Umumnya, masyarakat pesisir bermata pencarian sebagai nelayan seiring sumber daya yang dihadapi namun,yang terjadi dikampung Benteng yaitu sebagian besar mereka melakukan peralihan mata pencarian dari nelayan tradisional berpindah pekerjaan menjadi buruh nelayan, buruh bangunan dan pengusaha percetakan batako. Penelitian ini membahas tentang mobilitas sosial masyarakat nelayan tradisional di Kampung Benteng Kelurahan Moro Kecamatan Moro. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya mobilitas sosial di Kampung Benteng. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori evolusioner fungsionalis dari Talcott Parsons dan teori surplus dari Gerhard Lenski. Teori Talcott Parsons ini menyatakan stratifikasi sebagai aspek penting dari evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dan teori Gerhard Lenski menyatakan surplus produksi ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya stratifikasi. Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau verifikasi. Hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan dari penelitian mobilitas sosial menunjukan bahwa masyarakat nelayan tradisional Kampung Benteng Kelurahan Moro Kecamatan Moro telah mengalami mobilitas sosial hingga memunculkan tipe-tipe mobilitas sosial yaitu horizontal dan vertikal seiring dengan penghasilan dan status mereka dalam pekerjaan.Faktor penyebap mobilitas yaitu rendahnya produktifitas teknologi tangkap berupa rawai, tingginya biaya operasional melaut dan perbedaan keterampilan yang dimiliki individu. Kata Kunci: Mobilitas Sosial, Nelayan Tradisional
3
ABSTRACT
Open nature of the stratification system will give members of the public have the opportunity to move their position or social mobility. Generally, the coastal communities as a search-eyed fishermen as resource encountered however, happens kampong Fortress that most of them make the transition livelihood of traditional fishermen fishing transferring jobs as laborers, construction workers and employers printing adobe. This study discusses the social mobility of the local communities in Kampung Benteng village Moro Moro Sub-district. The purpose of this study was to determine how the process of social mobility in Kampung Benteng. The theory used in this research is the evolutionary theory of Talcott Parsons's functionalist theory and surplus of Gerhard Lenski. Talcott Parsons's theory states stratification as an important aspect of evolution due to increasing adaptive capacity and Gerhard Lenski declared surplus theory is economic production that led to the development of stratification. The method used is descriptive qualitative approach. The data collection is done by observation, interview and documentation. Analysis of the data in this study using a model of Miles and Huberman of data reduction, data presentation and conclusion or verification. Descriptive analysis has been done on the social mobility studies show that traditional fishing communities KampungBenteng village Moro Moro Subdistrict have experienced social mobility to bring the types of social mobility that is horizontally and vertically in line with their income and employment status. Factor mobility is low productivity in the form of longline fishing technology, high operational costs at sea and differences in the skills of the individual. From the analysis it was concluded that there is social mobility in Kampung Benteng. Mobility is happening not only cause a type of vertical mobility but also horizontal type so owned low skills (construction workers) and the strong dependence of the fishing workers with employer crawler. There should be an increase in the skills of those who work as construction workers and the need for institutions in the form of a fishermen's cooperative in order to minimize the exploitation of the employer to the worker fishermen crawler. Keywords: social mobility, Traditional Fishermen
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Stratifikasi sosial merupakan pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas yang bertingkat. Sifat sistem lapisan didalam suatu masyarakat dapat bersifat tertutup dan terbuka, sebaliknya didalam sistem terbuka setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik lapisan atau bagi mereka yang tidak beruntung jatuh dari lapisan atas ke lapisan bawah (Soekanto, 2006:198). Menurut Kingsley Davis dan Wilbert Moore (Narwok,2007:164) stratifikasi dibutuhkan demi kelangsungan hidup masyarakat yang membutuhkan berbagai macam jenis pekerjaan. Tanpa adanya stratifikasi sosial, masyarakat tidak akan terangsang untuk menekuni pekerjaan-pekerjaan sulit atau pekerjaan yang membutuhkan proses belajar yang lama dan mahal. Pada umumnya lapisan sosial yang terbuka menandakan adanya kemudahan untuk berpindah-pindah kedudukan atau melakukan mobilitas sosial. Mobilitas sosial merupakan perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Menurut Horton dan Hunt (Narwoko, 2007:208) mobilitas sosial diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial dapat berupa peningkatan atau penurunan dalam segi setatus sosial dan (kebiasaannya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh
beberapa individu atau oleh keseluruh anggota kelompok. Secara nyata kehidupan dalam masyarakat tidaklah sama. Ada yang miskin, ada yang kaya, ada yang memiliki kedudukan tinggi, ada pula yang memiliki kedudukan rendah. Perbedaan tersebut mendorong manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya agar dapat naik ke strata yang lebih tinggi, terutama bagi mereka yang berada distrata bawah. Dengan hal demikian manusia berusaha agar harapan dan keinginannnya untuk meningkatkan status tercapai sehingga ia dapat hidup lebih baik. Didalam sosiologi, proses keberahasilan seseorang mencapai jenjang status sosial yang lebih tinggi atau proses kegagalan seseorang hingga jatuh di kelas sosial yang lebih rendah itu lah yang disebut mobilitas sosial. Keinginan untuk mencapai status dan penghasilan yang lebih tinggi dari apa yang pernah dicapai orang lain, merupakan impian setiap orang. Tetapi, apakah impian itu bakal menjadi kenyataan atau tidak sangat membutuhkan proses yang panjang. Mobilitas sosial dapat terjadi pada masyarakat manapun yang memiliki sistem stratifikasi terbuka baik pada masyarakat industri, masyarakat petani, termasuk juga masyarakat nelayan (Narwoko, 2007:207-208). Didalam kehidupan masyarakat nelayan yang memiliki stratifikasi terbuka di katakan Pollnae dalam (Satria, 2002:21) pada umumnya, nelayan tergolong berstatus relatif rendah. Rendahnya status sosial nelayan tidak terlepas dari status ekonomi mereka yang dipengaruhi oleh ketidakpastian 5
sumber daya yang dihadapi, menurut Kusnadi (2002:17) secara sosial ekonomi, tingkat kehidupan nelayan kecil atau nelayan tradisional tidak banyak berubah, rendahnya derajat kesejahteraan sosial menimpa sebagian besar dari kalangan nelayan tersebut. Didalam kehidupan nelayan permasalah umum yang sering terjadi dalam menghadapi permasalahan yang komplek, mereka terpaksa menghentikan kegiatan melautnya dan melakukan mobilitas atau beralih bekerja. Kondisi kehidupan yang dialami sebagian besar nelayan tradisional kita dimana pun mereka berada, kesulitankesulitan merupakan siklus peristiwa sosial ekonomi yang selalu berulang setiap tahun atau bahkan sepanjang tahun menimpa rumah tangga nelayan serta persoalan lingkungan pesisir dan laut yang selalu tidak dapat dihindari (Kusnadi, 2002:3). Kecamatan Moro merupakan Kecamatan yang berada dalam ruang lingkup Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau, secara geografis Kecamatan Moro merupakan Kecamatan yang terletak pada ketinggian 0-138 meter diatas permukaan laut. Kampung Benteng RT 03/ RW 03 merupakan daerah pesisir yang terletak dikecamatan Moro. Kampung Benteng khususnya RT 03/RW 03 merupakan daerah pesisir sehingga sebagian besar penduduknya bermatapencarian sebagai nelayan dahulunya dalam memenuhi ekonomi keluarga. Dalam kehidupan masyarakat nelayan khususnya kehidupan nelayan tradisional Kampung Benteng bentuk kesulitan para nelayan tradisional dapat dilihat dari
biaya operasional melaut, kapasitas tangkapan yang digunakan masih sederhana serta penghasilan yang tidak dapat diprediksi dengan pasti menyebabkan terjadinya mobilitas sosial pekerjaan yaitu dari nelayan tradisional menjadi buruh nelayan, buruh bangunan, pengusaha batako. Mobilitas sosial dari nelayan tradisional menjadi buruh nelayan di Kampung Benteng adalah kesektor buruh nelayan yang bekerja sebagai buruh nelayan penjaring dan buruh nelayan trawl atau kapal pukat, terjadinya mobilitas ini dikarnakan mereka tidak memiliki skill atau kemampuan untuk bekerja disektor nonprikanan seperti halnya para nelayan yang melakukan mobilitas ke buruh bangunan dan pengusaha percetakan batako. Bagi nelayan tradisional yang beralih pekerjaan menjadi buruh bangunan keterampilan yang mereka miliki bermula sebelum masuknya musim penangkapan ikan. Aktifitas yang mereka lakukan sebelum masuk musim penangkapan biasanya mereka mencari pekerjaan sampingan guna menambah penghasilan keluarga salah satunya iyalah bekerja sebagai kuli bangunan, biasanya mereka mengikuti ajakan teman yang berada diperkampungan lain yang sudah mereka kenal atau teman dekat. Sebagian besar pekerjaan kuli bangunan yang mereka jalani hanya diposisikan sebagai pembantu yang bertugas membawa semen, mensekop pasir dan pekerjaan yang diperintahkan oleh kepala borongan atau kepala tukang. Sementara pekerjaan khusus atau tertentu dilakukan oleh kepala tukang yang memang sudah memiliki 6
keterampilan dibidang tersebut. Jika, dibicarakan hasil yang diperoleh, penghasilan sebagai buruh bangunan bukanlah penghasilan yang dapat memposisikan mereka berada pada lapisan atas melainkan mobilitas yang mereka lakukan hanya bersifat horizontal. Sementara itu mobilitas sosial yang di alami nelayan tradisional menjadi pengusaha batako adalah mereka yang juga pernah memiliki latar belakang bekerja sebagai kuli banguan. Pekerjaan sebagai kuli bangunan yang mereka jalani cukup lama, memberikan sedikit banyak pengetahuan atau keterampilan dibidang tersebut. Dari kemampuan atau skill yang dimiliki serta dukungan modal dari kerabat/saudara kandung mereka yang berada dikota, membuat mereka para nelayan tradisional membuka usaha percetakan batako. Peralihan pekerjaan dari nelayan tradisional menjadi pengusaha batako telah menyebabkan terjadinya mobilitas bertipe vertikal ke atas yang ditandai dengan meningkatnya penghasilan dari pekerjaan tersebut. Berdasarkan permasalahan diatas terjadinya mobilitas sosial menandakan adanya sistem stratifikasi yang terbuka hingga memudahkan masyarakat untuk bergerak atau beralih-alih pekerjaan seperti halnya mobilitas yang dilakukan nelayan tradisional Kampung Benteng. Masyarakat Kampung Benteng adalah masyarakat pesisir. Umumnya, masyarakat pesisir bermata pencarian nelayan seiring sumber daya yang dihadapi semetara itu hal ini bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat pesisir
khususnya yang terjadi Dikampung Benteng yaitu sebagian besar mereka melakukan mobilitas sosial atau beralih pekerjaan. Untuk itu peneliti mengkaji dan mengangkat judul sebagai berikut: “Mobilitas Sosial Nelayan Tradisional Di Kampung Benteng Kecamatan Moro (Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)”
1.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Bagaimana proses terjadinya mobilitas sosial nelayan tradisional yang berada di Kampung Benteng Kecamatan Moro ? 1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian mobilitas sosial ini yaitu sebagai berikut : Ingin mengetahui bagaimana proses terjadinya mobilitas sosial nelayan tradisional yang berada Dikampung Benteng Kecamatan Moro. 1.4.
Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan penelitian ini ialah : 1.4.1. Secara praktis
dari
Dilihat dari kegunaan penelitian secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan dan pemikiran serta dapat membantu sebagai bahan informasi mengenai 7
proses mobilitas sosial mata pencarian nelayan tradisional yang berada di Kampung Benteng Kecamatan Moro. 1.4.2. Secara teoritis Penelitian ini juga dapat menjadi acuan informasi dalam penelitianpenelitian berikutnya dengan permasalahan penelitian yang sama serta menjadi referensi pustaka bagi pemenuhan kebutuhan penelitian lanjutan. 1.5.
Konsep Operasional Dalam penelitian ini, Adapun konsep yang dioperasionalkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Nelayan tradisional dalam penelitian ini adalah nelayan tradisional Kampung Benteng yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, seperti alat tangkap yang digunakan adalah rawai sedangkan jenis kendaran laut yang digunakan berupa sampan baik yang menggunakan mesin maupun dayung. 2. Mobilitas dalam penelitian ini adalah peralihan mata pencarian yang dilakukan nelayan tradisional Kampung Benteng RT 003/ RW 003 Kelurahan Moro, diantaranya: a) Nelayan tradisional ke buruh nelayan dalam penelitian ini adalah peralihan mata pencarian yang dilakukan nelayan tradisional ke nelayan buruh penjaring dan nelayan buruh trawl.
b) Nelayan tradisional ke buruh bangunan dalam penelitian ini adalah peralihan mata pencarian yang dilakukan nelayan tradisional ke mata pencarian sebagai buruh bangunan seiring dengan keterampilan yang mereka miliki selain pekerjaan disektor perikanan. c) Nelayan tradisional ke wiraswasta dalam penelitian ini adalah peralihan pekerjaan yang dilakukan nelayan tradisional menjadi pengusaha percetakan batako seiring dengan keterampilan yang dimiliki. 3. Saluran mobilitas sosial dalam penelitian ini adalah saluran yang dilihat dari segi ekonomi dan keterampilan.
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis penelitian Adapun metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode kualitatif. Menurut Sugiyono (2008:292) pada umumnya alasan menggunakan metode kualitatif yaitu permasalahan belum jelas, holistik, komplek, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam. 1.6.2. Lokasi penelitian 8
Kampung Benteng termasuk kedalam wilayah Kelurahan Moro Kecamatan Moro Kabupaten Karimun. Kampung Benteng adalah salah satu perkampungan yang terletak dikelurahan Moro yang letak sebagian wilayah berada di daerah pesisir yang terbagi atas 2 Rukun warga (RW) dan 5 rukun tetangga (RT). Letak perkampungan yang berada dipesisir membuat hampir sebagian penduduk yang bertempat tinggal di daerah tersebut bermata pencarian sebagai nelayan tradisional seiring dengan sumber daya yang dihadapi. Sementara itu keadaan alam didaerah pesisir Kampung Benteng berupa pantai yang memanjang membuat masyarakat didaerah tersebut membangun rumah tempat tinggal mereka tidak jauh dari pantai.
1.6.3. Informan penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik purposive sampling. Menurut Sugiyono (2008:218--19) purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Adapun sampel yang peneliti butuhkan dari informan untuk mendapatkan informasi, peneliti telah menentukan kesemua jumlah informan sebanyak 18 orang berdasarkan pertimbangan dan tujuan yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal. Adapun karakteristik yang peneliti jadikan informan ialah sebagai berikut : a) Mereka nelayan tradisional yang beralih mata pencarian
ke buruh nelayan (buruh nelayan penjaring, buruh nelayan trawl), buruh banunan dan pengusaha batako. b) Mereka yang dilihat dari tingkat pendidikan. c) Mereka yang telah lama bekerja sebagai nelayan tradisional. 1.6.4. Jenis Data dan Sumber Data Adapun jenis dan sumber data yang digunakan menurut Sugiyono (2008:225) pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer dan sumber sekunder. Data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data dan sumber sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data primer yang peneliti butuhkan dalam penelitian ini mengenai data yang berkaitan dengan mobilitas sosial nelayan kampung Benteng Kecamatan Moro yaitu data tentang faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial nelayan, bentuk-bentuk mobilitas yang terjadi, saluran mobilitas sosial sedangkan data sekunder yang peneliti butuhkan adalah data jumlah nelayan yang beralih matapencarian (sumber: data RT), Data Profil Kecamatan Moro.
1.6.5. Teknik dan Alat Pengumpulan Data Dalam bagian ini teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan peneliti berupa observasi, 9
wawancara, dan studi dokumentasi yaitu: 1.6.5.1. Observasi Adapun observasi yang peneliti lakukan ialah berupa pengamatan dan pencatatan terhadap gejala-gejala yang diteliti sementara jenis observasi yang peneliti gunakan ialah observasi partisiptif yang bersifat partisipasi pasif (Sugiyono, 2008:227). Observasi ini dilakukan dengan memperhatikan: 1. Tempat yaitu lokasi penelitian RT 003/RW 003. 2. Pelaku yaitu para nelayan yang telah beralih matapencarian dari nelayan tradisional menjadi buruh nelayan, buruh bangunan dan pengusaha batako. 3. Aktivitas yaitu pekerjaan yang digeluti para nelayan setelah mengalami mobilitas sosial seperti pekerjaan sebagai buruh bangunan, buruh nelayan, usaha percetakan batako.
penelitian berupa pertanyaanpertanyaan tertulis (Sugiyono, 2008:233). Dalam penelitian ini wawancara dilakukan berupa wawancara tidak terstruktur dengan para nelayan yang melakukan mobilitas sosial. Adapun hal yang diwawancarai dalam penelitian ini yaitu: Pertanyaan yang berkaitan dengan faktor-faktor pendorong mobilitas sosial, pendapat nelayan dengan terjadinya mobilitas sosial, sisi ekonomi nelayan sebelum dan sesudah beralih matapencarian serta halhal yang menjadi kebutuhan tambahan bagi peneliti nantinya. 1.6.5.3. Dokumentasi Menurut Sugiyono (2008:240) dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental dari seseorang. Dokumentasi yang peneliti lakukan dalam penelitian ini berupa gambar yaitu foto yang berkaitan dengan situasi sosial.
1.6.5.2. Wawancara Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data, apabila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh, oleh karena itu dalam melakukan wawancara pengumpul data telah menyiapkan instrument
1.7. Teknik Analisa Data Sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan berupa penelitian deskriptif kualitatif yaitu menganalisa data yang diperoleh dilapangan dalam bentuk kualitatif dan diberi penjelasan kesimpulan dengan menggunakan pernyataanpernyataan atau kalimat logis yang berkaitan dengan mobilitas mata 10
pencarian yang terjadi di Kampung Benteng. Analisis data dalam penelitian ini yang peneliti lakukan berdasarkan acuan dari pendapat Miles dan Huberman (Sugiyono, 2008: 246) yang mengemukakan bahwa aktifitas dalam menganalisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas hingga datanya sampai jenuh. Data yang diperoleh dilapangan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi jumlahnya cukup banyak untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal penting. Setelah data direduksi maka langkah selanjutnya ialah mendisplaykan data, dalam penelitian ini penyajian data yang peneliti lakukan adalah dengan teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplaykan data maka peneliti akan lebih mudah untuk memahami apa yang terjadi. Setelah peneliti melakukan reduksi dan penyajian data maka langkah akhir ialah melakukan verifikasi atau penarikan kesimpulan.
11
mempersyaratkan mobilitas jika orang yang paling mampu diharapkan melakukan tugas yang paling penting. Peter Blau dan O.D. Duncan (1967) (Sanderson, 2011:273) menyimpulkan beberapa individu dapat memperbaiki kedudukan mereka dengan motivasi, kerja keras bahkan dengan keberuntungan. Banyak mobilitas yang terjadi dengan ciri-ciri struktur kapitalisme modern, perubahan teknologi dan jabatan yang terus menerus akibat sistem tersebut. Mobilitas karna faktor-faktor tersebut tidak ada hubungannya dengan ideologi pemerataan kesempatan, seperti yang ditulis oleh Duncan dan Blau, ekspansi dan kontraksi kelompok-kelompok jabatan karna perubahan teknologi adalah faktor penting penyebab mobilisasi. Hal ini juga terjadi pada pada masyarakat yang mempunyai tingkat mobilitas yang berbeda-beda, dan begitu juga dengan pola mobilitas yang terjadi dalam periode ini.
BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada kerangka teoritis ini menjelaskan konsep dan teori yang akan digunakan diantaranya: 2.1. Mobilitas Sosial Horton dan Hunt (Narwoko, 2007:208) mobilitas sosial diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial dapat berupa peningkatan atau penurunan dalam segi setatus sosial dan (kebiasaannya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruh anggota kelompok. Mobilitas sosial mengacu pada pergerakan individu diantara tingkat-tingkat hierarkis sosial yang berbeda, biasanya dijelaskan dalam sudut pandang kategori dunia kerja atau kelas sosial. Besarnya mobilitas sosial sering digunakan sebagai kajian tingkat keterbukaan dan kecairan suatu masyarakat (Abercrombie, 2010:518). Minat terhadap mobilitas telah diketahui melalui beberapa publikasi, S.M. Lispet dan R.Bendix (Abercrombie, 2010:518) percaya bahwa mobilitas itu penting bagi stabilitas masyarakat industrial modern. Akses yang terbuka menuju posisi elite akan memungkinkan orang yang mampu dan berambisi untuk naik dari kelas sosial rendah.
Gerak suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya tentunya akan sangat mempengaruhi penempatan status sosial masyarakat. Menurut Pitrim A Sorokin (soekanto, 2012:220) menyebutkan tipe-tipe gerak sosial yang prinsipil ada dua macam yaitu gerak sosial yang horizontal dan vertikal: mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat yaitu tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya. Sementara mobilitas sosial vertikal
Penulis lain tertarik pada efisiensi dan keadilan sosial, P.M. Blau dan O.D. Duncan (Abercrombie, 2010:519) berpendapat efisiensi dalam masyarakat modern 12
adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Menurut Pitrim A Sorokin (Soekanto, 2004:252) gerak sosial vertikal mempunyai saluran-saluran dalam masyarakat. Proses gerak sosial vertikal melalui saluran tadi disebut social circulation. Saluran yang terpenting adalah: angkatan bersenjata, lembaga keagamaan, pendidikan, organisasi politik, ekonomi dan keahlian.
ciri yang khas bagi gerak sosialnya yang vertikal. 4. Laju gerak sosial vertikal yang disebabkan oleh faktorfaktor ekonomi, politik serta pekerjaan adalah berbeda. 5. Berdasarkan bahan-bahan sejarah, khususnya dalam gerak sosial vertikal yang disebabkan faktor-faktor ekonomis, politik dan pekerjaan tak ada kecendrungan yang kontiniyu perihal bertambah atau berkurangnya laju gerak sosial.
Prinsip-prinsip umum mobilitas sosial vertikal dapat dikemukakan seperti yang disebutkan oleh Pitrim A. Sorokin (Wulansari, 2009:124) sebagai berikut:
Menurut Horton dan Hunt (Narwoko, 2007:211) mencatat ada dua faktor yang mempengaruhi mobilitas pada masyarakat modern yakni faktor struktural adalah jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang bisa dan harus diisi serta kemudahan untuk memperolehnya sementara faktor individu adalah kualitas orang perorang, baik ditinjau dari tingkat pendidikan, penampilannya dan keterampilannya termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu.
1. Hampir tidak ada masyarakat yang memiliki sifat sistim yang berlapis-lapis yang secara mutlak tertutup, yaitu dimana sama sekali tak ada gerak sosial yang vertikal. 2. Betapa terbukannya sistem lapisan sosial dalam suatu masyarakat tak mungkin gerak sosial yang vertikal dilakukan dengan sebebasbebasnya, sedikit banyak akan ada hambatan. Apabila proses gerak sosial itu dapat dilakukan dengan sebebasbebasnya, tak mungkin ada stratifikasi sosial yang menjadi ciri tetap dan umum dari setiap masyarakat.
2.2. Stratifikasi sosial Dikemukakan oleh Pitrim A Sorokin (Wulansari, 2009:101) lapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkis). Perwujudannya adalah kelas yang lebih tinggi dan kelas yang lebih rendah. Dasar dari lapisan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan
3. Gerak sosial vertikal yang umum berlaku bagi semua masyarakat mempunyai ciri13
kewajiban-kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab, nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat. Defenisi tentang stratifikasi ini dipengaruhi oleh konsep tentang masyarakat terstratifikasi (Stratified societes) yang dikembangkan oleh antropolog Morton Fried. Menurut Fried (Sanderson, 2011:146) masyarakat terstratifikasi adalah masyarakat yang sama jenis kelamin dan umurnya tidak mendapat pendapatan atau penghasilan yang sama. Selain itu Erik Wright (Sanderson, 2011:281) menggunakan skema kelasnya sebagai alat untuk menganalisis ketidaksamaan pendapatan dalam masyarakat. Wright memulai dengan menentukan apa yang menjadi landasan pendapatan tiap kelas. Para pemilik modal atau alat produksi menerima pendapatannya dengan mengekploitasi pekerja, dengan cara mengupah mereka kurang dari nilai barang dan jasa yang mereka produksi. Sementara itu, Marxisme klasik (Sanderson, 2011:280) berpendapat stratifikasi muncul sebagai akibat dari persaingan yang terus menerus antar individu atau kelompok untuk memperoleh ekses yang terpenting diantaranya adalah kekayaan ekonomis dan proses produksi. Ditambahkan Kurt B. Meyer (Wulansari, 2009:104) Ekonomi membedakan penduduk menurut jumlah dan sumber pendapatan, dimana biasanya diperoleh dari suatu aktifitas pekerjaan, pemilikan atau keduaduanya. Tingginya tingkat pendapatan dan kepemilikan alat produksi tentunya menempatkan
seseorang menduduki status yang lebih baik, adanya status tinggi merupakan pengakuan dari masyarakat atas status tersebut. Menurut Blumberg (Horton dan Hunt, 2007:13) salah satu imbalan dari status yang tinggi adalah adanya pengakuan sebagai orang yang lebih berderajat tinggi yaitu status simbol. Sementara itu menurut Horton dan Hunt (2007:5) determinan Kelas Sosial, apakah yang menyebab seseorang tergolong kedalam suatu kelas sosial tertentu adalah sebagai berikut: Kekayaan dan Penghasilan, pekerjaan dan pendidikan. Berdasarkan ukuranukuran yang menempatkan seseorang berada di kelas mana maka Pitrim A Sorokin dalam (Satria,2002:41-42) membagi bentuk stratifikasi menjadi tiga yaitu: a. stratifikasi berdasarkan ekonomi yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi. b. stratifikasi berdasarkan politik yaitu jika terdapat rangking sosial berdasarkan otoritas, prestise, kehormatan dan gelar atau juga ada pihak yang mengatur dan diatur. c. stratifikasi berdasarkan pekerjaan yaitu jika masyarakat terdiferensiasi ke dalam berbagai pekerjaan dan beberapa di antara pekerjaan itu lebih tinggi statusnya dibandingkan pekerjaan lain.
2.2.1. Teori Stratifikasi Teori evolusioner fungsionalis Talcott Parsons 14
(1966,1977) didalam (Sanderson, 2011:157) Parson menganggap bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karna sifat kecendrungan masyarakat untuk berkembang, yang disebut sebagai kapasitas adaptif. Kapasitas adaptif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai mahluk sosial. Manusia telah berevolusi berabadabad menurut Parsons, melaui kapasitas adaptif yang semangkin tinggi. Parson beranggapan bahwa timbulnya stratifikasi sebagai aspek penting dari evolusi akibat meningkatnya kapasitas adaptif dalam kehidupan sosial. Bagi Parsons dobrakan evolusionerlah yang membuat banyak bentukbentuk kemajuan sosial. Dengan demikian, stratifikasi menjadi alat yang diperlukan untuk memusatkan aktivitasnya dengan tujuan memecahkan masalah dan menghadapi tantangan. Semangkin besar masalah dan tantangan yang dihadapi, semangkin besar pula kebutuhan akan stratifikasi. Disimpulkan bahwa stratifikasi timbul dalam masyarakat manusia karna kebutuhan untuk mengatasi masalah-masalahyang dihadapi. Masyarakat berstratifikasi dapat berfungsi lebih baikdari pada masyarakat tanpa stratifikasi. Dengan imbalan kedudukan yang lebih tinggi, masyarakat dapat mendorong individu-individu menduduki jabatan sosial yang akan mengarahkan masyarakat lebih efektif. Teori surplus lenski, sosiolog Gerhard Lenski (1966)
(Sanderson,2011: 158-159) telah mengemukakan teori stratifikasi lain, tetapi dengan orientasi materialistik dan berlandaskan teori konflik. Teori Lenski berasumsi bahwa manusia adalah mahluk yang mementingkan diri sendiri dan selalu berusaha untuk mensejahterakan dirinya. Individu berprilaku menurut kepentingan pribadi, bekerja sama dengan sesama jika terkait dengan kepentingannya dan akan berebut bersama jika melihat kesempatan terbuka bagi kepentingannya. Lenski beranggapan, Surplus produksi ekonomilah yang menyebab berkembangnya stratifikasi, semangkin besar surplus semangkin besar pula stratifikasi yang terjadi. Besarnya surplus ditentukan oleh teknologi masyarakat. Dengan demikian ada hubungan erat antara derajat perkembanga teknologi dengan drajat stratifikasi. Dengan kemajuan teknologi, surplus ekonomi terjadi dan perebutan surplus melahirkan stratifikasi. 2.3. Konsep Nelayan Masyarakat nelayan merupakan sekumpulan individu atau sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Sumber perekonomiannya bergantung secara langsung pada sumber daya laut dan ekosistem sekitarnya, serta membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas, terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya laut secara terus menerus (Satria, 2002:26). Nelayan dapat dikategorikan dari berbagai macam tipe salah satunya adalah nelayan tradisional menurut konsep yang dikemukakan 15
oleh Satria (2002: 28) peasent fisher atau nelayan tradisional, biasanya lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan sendiri (sub-sistence). Sebutan ini muncul karna alokasi tangkapan yang dijual lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (khususnya pangan) dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skala usaha. Seiring berkembangnya motorisasi perikanan nelayan tradisional mengalami kemajuan yaitu dari peasent fisher menjadi post peasent fisher, yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju. Penguasaan sarana motor itu semangkin membuka peluang bagi nelayan untuk menangkap ikan diwilayah perairan yang lebih jauh dan memperoleh surplus dari hasil tangkapan itu karna mempunyai daya tangkap lebih besar. Mengacu pada pendapat Polllnac (Satria, 2002:29) nelayan sekala besar dicirikan dengan majunya kapasitas teknologi penangkapan maupun jumlah armadanya. Mereka lebih berorientasi pada keuntungan dan melibatkan buruh nelayan sebagai anak buah kapal (ABK) dengan organisasi kerja yang komplek. Urgensi moderenisasi perikanan melalui perbaikan teknologi atau alat tangkap untuk peningkatan produksi dapat dipahami. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa kita masih undercapacity untuk memanfaatkan potensi perikanan budidaya maupun tangkap. Pada umumnya, moderenisasi perikanan melalui peningkatan kualitas alat tangkap didorong untuk meningkatkan produksi perikanan, Berbagai pengalaman menunjukan hal itu
secara umum, ada beberapa pengaruh positif dari kelangsungan moderenisasi perikanan tersebut, antara lain Satria (2002:51): terjadinya peningkatan produksi perikanan, peningkatan pendapatan nelayan, mendorong tersedianya lapangan kerja baru. BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1. Kondisi Geografis Kecamatan Moro merupakan Kecamatan yang berada dalam ruang lingkup Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau, secara geografis Kecamatan Moro merupakan Kecamatan yang terletak pada ketinggian 0-138 meter diatas permukaan laut, dimana sebagian lahan merupakan lahan datar sampai bergelombang, untuk keadaan iklim Kecamatan Moro secara umum beriklim tropis dipengaruhi oleh sifat-sifat iklim laut. Kampung Benteng RT 03/ RW 03 merupakan daerah pesisir yang terletak dikecamatan Moro, Kampung Benteng khususnya RT 03/RW 03 merupakan daerah pesisir sehingga sebagian besar penduduknya bermata pencarian sebagai nelayan tradisional dahulunya dalam memenuhi ekonomi keluarga. Jika dilihat Pemungkiman nelayan kampung benteng RT 03/RW 03 bukan merupakan pemungkiman yang tepat berada dipesisir pantai melainkan jarak pantai dengan pemungkiman 16
mereka lebih kurang 200 M dari pesisir pantai, manfaat pemungkiman mereka tidak terlalu dekat dengan pesisir pantai membuat masyarakat nelayan khusunya kampung benteng dapat memanfaatkan lahan-lahan disekitar perumahan mereka untuk bercocok tanam.
3.2.2. Pendidikan Perubahan dan kemajuan dalam suatu masyarakat dapat dilihat dari berbagai aspek diantaranya iyalah pendidikan. Semangkin tinggi tingkat pendidikan suatu masyarakat akan berpengaruh pada jenis pekerjaan yang mereka geluti sehingga timbulnya mobilitas keatas dan berpengaruh pada tingkat stratifikasi mereka. untuk menaiki status setiap masyarakat dengan pendidikan maka perlu adanya kemudahan ekses pendidikan tersebut.
3.2. Keadaan Demografis 3.2.1. Penduduk Penduduk merupakan faktor yang sangat dominan dalam menunjang pembangunan dan perubahan pada suatu daerah melalui peningkatan taraf hidup mereka seperti pendidikan, ekonomi dan pekerjaan yang dapat membawa daerah kearah yang lebih baik.
Jika dilihat, hal ini tentu saja sangat memperihatinkan ditengah berkembangnya dunia pendidikan tapi masih banyak warga masyarakat didaerah indonesia yang tidak berpendidikan dan berpendidikan rendah. Salah satu contohnya yakni dikampung benteng RT 003/ RW 003 seperti terlihat pada tabel diatas jumlah penduduk yang dilihat dari tingkat pendidikannya hampir merata para penduduk paling banyak hanya mengenyam pendidikan pada tingkat sekolah dasar (SD) yang berjumlah 72 orang dan masyarakat yang tidak tamat sekolah sebanyak 39 orang, SLTP berjumlah 21 orang, SLTA berjumlah 7 orang dan perguruan tinggi tidak ada, hal ini lah merupakan salah satu penyebab individu dalam masyarakat tersebut sulit bersaing dan sulit untuk mendapat pekerjaan yang relatif baik karna terbatas akan status pendidikan rendah yang dapat berimplikasi pada sumber daya manusianya (SDM).
Perlunya peran penduduk dalam pembangunan wilayah tempat tinggalnya diharapkan mampu membawa penduduk tersebut menjadi semangkin maju dan berkembang melalui kemudahan ekses sumber daya yang dihadapi. Semua masyarakat menghadapi masalah dasar dalam mendorong anggota masyarakat untuk menempati posisi sosial, tidak terkecuali pada masyarakat yang ada di Kampung Benteng Kelurahan Moro. Jumlah penduduk Dikampung Benteng khusunya RT 003/ RW 003 sebagai lokasi penelitian peneliti sebanyak 139 jiwa yang terdiri dari 31 kepala keluarga (KK). Adapun jumlah penduduk jika dilihat dari jenis kelamin terdiri dari laki-laki 73 jiwa dan perempuan 66 jiwa.
3.2.3. Mata pencarian 17
Diwilayah Kecamatan Moro terdiri dari bermacam-macam mata pencaharian dengan sumber penghasilan dari Home Industri, Nelayan, Pertanian, Perternakan dan lain-lain. Kecamatan Moro merupakan area yang Strategis dan Potensial sebagai Wilayah Perikanan dan Budi Daya Rumput Laut. Nelayan merupakan jumlah mayoritas pekerjaan masyarakat kecamatan moro jika ditinjau dari data Kecamatan Moro yaitu 75%, perkebunan adalah mayoritas mata pencarian masyarakat Kecamatan Moro yang tinggal jauh dari pesisir pantai yaitu dengan persentase 5%, pertanian 10%, wiraswasta 5%, kerajinan (tidak ada) dan perdagangan 5% yaitu mereka mayoritas yang bergerak dibidang perdagangan adalah warga tiong hua. Adapun pada lokasi penelitian yaitu Kampung Benteng RT 003/ RW 003 jumlah penduduk dilihat dari matapencarian berdasarkan data RT serta data wawancara peneliti kepada informan yang peneliti bandingkan ditemukan sebagian besar masyarakat telah berpindah pekerjaan terutama pada sektor perikanan (nelayan tradisional) dengan berbagai macam alasan yang dijadikan sebagai latar belakang peralihan tersebut. Mayoritas pekerjaan sebagai nelayan adalah mereka masyarakat setempat yang bersuku melayu, bugis serta bermungkim atau bertempat tinggal dipesisir pantai.
Kecamatan Moro (Studi Tentang Peralihan Mata Pencarian Masyarakat Nelayan Tradisional)
4.1. Aktifitas Umum Masyatakat Nelayan Tradisional Kampung Benteng Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan sehingga masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi atau kondisi sumber daya pesisir. Satria (2002:26) masyarakat nelayan merupakan sekumpulan individu atau sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah pesisir. Masyarakat pesisir khususnya masyarakat nelayan memiliki prilaku yang sebagian besar disebabkan karena karakteristik sumber daya yang menjadi input utama bagi kehidupan sosial ekonomi mereka yaitu masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi karena secara alamiah sumber daya perikanan bersifat invisible sehingga sulit untuk diprediksi. Seperti halnya masyarakat pesisir Kampung Benteng Kecamatan Moro dahulu biasanya aktifitas masyarakat nelayan tradisional Kampung Benteng hanyalah melaut yang dilakukan dengan melihat musim ikan yaitu pada bulan Agustus sampai bulan Februari dengan kondisi air yang jernih/ hijau.
BAB IV Mobilitas Sosial Masyarakat Nelayan Tradisional Di Kampung Benteng Kelurahan Moro 18
Hal ini sering dilakukan bagi nelayan dengan alat tangkap rawai atau pancing kegiatan melaut dilakukan setiap hari, biasanya kegiatan melaut dilakukan mulai sore hari hingga pagi hari (one day fishing) bahkan pada musim tertentu mereka juga melakukan kegiatan penangkapan dengan waktu yang cukup lama (Bertandang) kadangkala kegiatan penangkapan sampai tiga hari atau empat hari.
bangunan, buruh nelayan dan lainlain yang dapat mendatangkan penghasilan guna ekonomi keluarga. Mereka para nelayan yang beralih pekerjaan sangat dominan terjadi hampir seluruh masyarakat nelayan tradisional Kampung Benteng RT 003/RW 003 menghentikan kegiatan penangkapan ikan. Peralihan pekerjaan para nelayan yang bekerja sebagai nelayan tradisional menjadi buruh nelayan, buruh bangunan dan pengusaha percetakan batako tidak dapat lepas dari permasalahan yang komplek dalam kehidupan nelayan.
Biasanya kegiatan penangkapan dilakukan di Pulau Perasi Besar, Manteras, Selat Sugie, Batu Berlobang, Karang Melvil, Plangkat, Pulau Timun dan Pulo Tiga (Sumber: Draft penyusunan tentang kriteria nelayan terkena dampak langsung/ tidak langsung dari penambangan pasir laut, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kecamatan Moro).
4.2. Karakteristik Informan Sebelum membahas mengenai mobilitas sosial di Kampung Benteng RT 003/ RW 003 Kelurahan Moro maka, terlebih dahulu akan di kemukakan karakteristik informan dalam penelitian ini. Adapun karakteristik yang disajikan meliputi nelayan tradisional yang beralih mata pencarian ke buruh nelayan (buruh nelayan penjaring, buruh nelayan trawl), buruh bangunan dan pengusaha batako, nelayan tradisional yang dilihat dari tingkat pendidikannya dan masa kerja sebagai nelayan. adapun karakteristik informan tersebut akan dijelaskan dalam bentuk tabel-tabel sebagai berikut:
Sejalan dengan waktu lemahnya perekonomian nelayan tradisional serta tingginya modal yang dikeluarkan nelayan untuk melaut sementara teknologi tangkapan masih bersifat sederhana dan tradisional sangat berpengaruh pada penghasilan mereka dan menyebabkan kerugian dari sisi materi membuat para nelayan memilih melakukan peralihan pekerjaan. Dengan berbagai macam alasaan yang muncul yaitu keseharian nelayan Kampung Benteng hingga sekarang tidak lagi mengandalkan pekerjaan nelayan tradisional sebagai tumpuan ekonomi rumah tangga melainkan keseharian waktu mereka hanya dihabiskan untuk bekerja sebagai buruh
4.2.1. Karakteristik Informan Berdasarkan Peralihan Sektor Pekerjaan Mobilitas yang dilakukan informan ke pekerjaan-pekerjaan ke sektor perikanan dan nonperikanan dapat dilihat pada sektor perikanan yaitu buruh nelayan penjaring, buruh 19
nelayan trawl dan sektor nonperikanan yaitu ke pekerjaan buruh bangunan, (wirasawasta) pengusaha percetakan batako. Peralihan pekerjaan yang dilakukan dari nelayan tradisional ke sektor perikanan seperti buruh nelayan penjaring, buruh nelayan trawl lebih banyak. Hal ini dikarnakan pekerjaan sektor perikanan memang merupakan karakter masyarakat pesisir. Sebagai masyarakat pesisir tentunya sumber daya yang dihadapi adalah sumber daya laut sehingga pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang telah diwariskan secara turun temurun berdasarkan sistem pengetahuan di Kampung Benteng RT 003/ RW 003. Selain itu adanya masyarakat nelayan yang bekerja diluar sektor perikanan seperti pekerjaan buruh bangunan dan wiraswasta (pengusaha percetakan batako) dikarnakan mereka memiliki skill atau keahlian yang telah mereka tekuni seiring belum masuknya musim penangkapan. Sedangkan mereka para nelayan yang masih berada disektor perikanan, pada saat belum masuknya musim penangkapan mereka lebih memilih untuk beristirahat melaut dari pada menggeluti pekerjaan lain dan hal ini berpengaruh pada keterampilan mereka untuk menggeluti pekerjaan diluar sektor perikanan.
faktor pendidikan juga turut menjadi penentu dalam menentukan posisi sosial nelayan, akibat rendahnya pendidikan masyarakat nelayan tradisional terus dalam posisi dependen. 4.2.3. Karateristik Berdasarkan Tingkat Lamanya Masa Kerja Lamanya masa kerja sebagai nelayan tradisional sangat berpengaruh dalam memberikan informasi kepada peneliti, seperti permasalahan yang komplek terjadi sehingga mereka sebagian besar beralih mata pencarian baik yang berada disektor perikanan maupun mereka yang berada disektor nonperikanan untuk dijadikan data mengenai bagaimana mobilitas pekerjaan masyarakat nelayan Kampung Benteng RT 003/ RW 003 terjadi. Informan yang memiliki lamanya masa kerja tersebut sangat berpengaruh terhadap pemberian data kepada peneliti yaitu mereka yang bekerja selama itu tentunya sangat banyak mengalami pengalaman dalam bidang tersebut. Peralihan mata pencarian yang terjadi tentunya akan berpengaruh kepada keterampilan mereka dimana, pekerjaan yang baru juga akan menuntut keterampilan yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya.
4.3. Mobilitas Sosial Dari Nelayan Tradisional ke Buruh Nelayan, Buruh Bangunan dan usaha percetakan Batako di Kampung Benteng
4.2.2. Karakteristik Berdasarkan Tingkat Pendidikan Bahwa tingkat pendidikan informan sebagai nelayan tradisional di Kampung Benteng RT 003/ RW 003 mempengaruhi sebagian nelayan tradisional sehingga kesulitan untuk memperbaiki taraf hidup mereka.
Menurut Horton dan Hunt (Narwoko, 2007:208) mobilitas sosial diartikan sebagai suatu gerak 20
perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Mobilitas sosial dapat berupa peningkatan atau penurunan dalam segi status sosial dan (kebiasaannya) termasuk pula segi penghasilan, yang dapat dialami oleh beberapa individu atau oleh keseluruh anggota kelompok. Mobilitas sosial yang dilakukan nelayan Kampung Benteng merupakan perpindahan dari pekerjaan sebelumnya ke pekerjaan yang baru, dari perpindahan pekerjaan tersebut seseorang akan memperoleh status sosial yang baru yang berbeda dengan status yang lama yang menempatkan mereka berada di posisi atau kedudukan tertentu atau bahkan tetap pada kedudukan yang tidak jauh beda dengan kedudukan sebelumnya hanya saja pekerjaannya saja yang berbeda. 4.3.1. Nelayan Tradisional Ke Buruh Nelayan ( Penjaring dan Trawl ) Adapun mobilitas yang dilakukan nelayan tradisional disektor perikanan adalah mobilitas ke buruh nelayan penjaring dan buruh nelayan trawl yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
melakukan aktifitas penangkapan selama itu agar pengeluaran dapat ditutupi dengan penghasilan tangkapan yang banyak sehingga pada saat melaut mereka menyiapkan berbagai perlengkapan dan persediaan yang secukupnya. Berdasarkan hasil wawancara hal yang melatar belakangi mereka beralih pekerjaan menjadi buruh nelayan penjaring dikarnakan pekerjaan sebagai nelayan tradisional sulit untuk mendapatkan penghasilan yang pasti sementara biaya melaut semangkin hari semangkin meningkat ditambah lagi dengan masih sederhananya jenis alat tangkap yang digunakan. Menurut nelayan biaya yang mahal yaitu mereka harus mengambil umpan rawai dengan status hutang kepada tauke, selain itu minyak untuk sampan yang bermesin mereka akan berhutang lagi kepada pedagang minyak eceran. Penghasilan yang diperoleh tidak dapat diprediksi dengan pasti apalagi jika berpengaruh kepada cuaca yang kurang baik maka penghasilan yang diperoleh menjadi lebih tidak pasti. Sementara, jenis alat tangkap rawai yang mereka gunakan memang masih sangat tradisional, jenis metode penangkapan dengan rawai ini diwariskan secara turun temurun oleh kehidupan para nelayan. Menurut Satria (2002:16) umumnya pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan didapat dari warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris. Hal ini, tentunya akan sangat berpengaruh kepada hasil produksi mereka, sedikitnya perolehan hasil tangkapan ikan serta seringnya pengeluaran dan
a. Nelayan Tradisional Ke Buruh Nelayan Penjaring Pekerjaan sebagai nelayan tradisional, awalnya modal yang harus mereka keluarkan untuk melaut lebih kurang Dua Ratus Ribu Rupiah dengan modal sebesar itu nelayan harus menutupi pengeluaran dengan penghasilan yang didapat. Mereka melakukan aktifitas penangkapan selama tiga hari sampai empat hari atau istilah setempat disebut Bertandang. Tujuan 21
penghasilan yang tidak seimbang nelayan mengalami kerugian dalam bentuk materi. Kerugian yang dialami nelayan tradisional ini lah yang menjerat mereka kedalam hutang piutang yang komplek dikomunitasnya. Mereka tidak hanya berhutang kepada tauke, pedagang atau kerabat tetapi juga kepada tetangga dan teman. Nelayan yang berhutang dengan tauke kesulitan untuk melunasi hutang piutang mereka sehingga solusi yang dilakukan oleh nelayan yaitu menjual jasa tenaga mereka dengan bekerja sebagai buruh nelayan.
Hubungan antara buruh nelayan dan majikan (tauke) banyak memberi kemudahan pada saranan produksi, jaminan ekonomi, perlindungan klien dan memberikan jasa kolektif berupa bantuan. Kemudahan sarana produksi yaitu para tauke menyediakan segala keperluan buruh nelayan untuk melaut sehingga permasalahan seperti biaya operasional melaut bukan lagi menjadi sebuah permasalahan yang dominan. dengan bekerja sebagai buruh nelayan penjaring masyarakat mampu meningkatkan produksi hasil tangkapan mereka melalui perbaikan teknologi tangkapan yaitu berupa jaring, kendaraan laut yang digunakan sudah banyak menggunakan mesin dan cara operasionalnya pun sedikit lebih mudah. Jaminan ekonomi merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh para buruh nelayan, ada kalanya penghasilan dari melaut mengalami penurunan hasil maka salah satu jalan yang bisa mereka lakukan yaitu meminjam uang kepada tauke untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Sementara itu perlindungan yang dilakukan tauke kepada klien jika terjadi permasalahan umum seperti biaya pendidikan anak klien, biasanya tauke akan turut membantu dengan melunasi tunggakan SPP mereka. Jasa bantuan yang dilakukan tauke untuk sarana umum biasanya mereka akan membantu dalam bentuk uang apa bila perkampungan yang memang sebagian besar adalah kliennya membutuhkan sarana jalan seperti di Kampung Benteng. Selain itu seperti yang dicatat oleh Lenski (1966) dalam
Meninjau minimnya penghasilan yang diperoleh akibat dari masih sederhananya teknologi tangkapan yang digunakan dan tingginya biaya operasional serta kesulitan mendapatkan modal melaut, ternyata sebagian dari para nelayan tersebut memiliki alasaan untuk bekerja dengan tauke sebagai jaminan sosial ekonomi mereka. Berdasarkan analisis peneliti berkaitan dengan hasil wawancara maka peneliti menggunakan konsep James Scott dalam (Satria, 2002:3233) yaitu: 1. penghidupan subsisten dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan sarana produksi, bantuan teknis. 2. Jaminan krisis subsisten berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi 3. Perlindungan klien dari ancaman pribadi maupun umum 4. memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat. 22
(Sanderson, 2011:151) etika redistribusi yaitu untuk mencegah penguasa menguasainya secara berlebihan, walau pun kelas penguasa menikmati hak-hak istimewanya para penguasa tetap dianggap sebagai pemberi nafkah yang harus terus menerus memperhatikan kebutuhan sanak saudaranya yang berada didalam kelas massa. Berkaitan dengan pendapat Lenski, pada dasarnya pekerjaan sebagai nelayan buruh adalah pekerjaan yang dimana penguasa disini yaitu tauke pemilik perahu. Para tauke terus memanfaatkan para nelayan buruh untuk mencari penghasilan dari kegiatan penangkapan namun, mereka juga melakukan etika redistribusi berupa jaminan krisis subsisten yaitu pinjaman pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi.
juru mudi atau istilah setempat disebut Tekong, tekong memiliki jabatan dibawah tauke atau pemilik kapal. Dalam pekerjaan sebagai nelayan trawl pertama bagi mereka yang baru bekerja, mereka akan diposisikan sebagai juru masak/ tukang masak seiringan dengan pekerjaan sebagai juru masak mereka juga harus ikut serta dalam membantu sistem pekerjaan walau pun tidak sepenuhnya selayaknya nelayan trawl yang telah berpengalaman seperti memilih jenis ikan tertentu untuk dipisahkan berdasarkan jenis ikan antara ikan ekspor ke Singapur dan ikan untuk dijual kepasar domestik seperti ke Tanjungpinang, Tanjung Balai dan Tanjung Batu. Selain itu mereka dituntut untuk memahami peran dan kedudukan setiap ABK mulai dari tekong sampai ke ABK paling bawah, umumnya dalam satu kapal pukat terdiri dari 7 orang pekerja yaitu tekong, kuanca (wakil tekong/juru mudi) dan sisanya ABK biasa yang bekerja atas perintah tekong. Dan pengetahuan ini mereka pelajari sendiri tanpa dibimbing. Bagi mereka yang telah memahami pekerjaan sebagai buruh nelayan pukat akan ada peningkatan kedudukan sejalan dengan pemahaman yang mereka peroleh.
b. Nelayan Tradisional Ke Buruh Nelayan Trawl Selain mereka yang beralih menjadi nelayan buruh penjaring, ada juga mereka nelayan tradisional yang beralih pekerjaan menjadi buruh nelayan trawl. Bagi mereka yang beralih menjadi buruh nelayan kapal pukat atau trawl, biasanya cara perekrutan yang dilakukan tidak sembarangan melainkan harus ada salah satu keluarga, teman atau kenalaan yang telah lama bekerja sebagai ABK kapal, apakah ABK yang berada diposisi tekong (juru mudi), kuanca (wakil juru mudi) maupun ABK biasa yang berada pada posisi paling bawah untuk merekrut/ mengajak mereka untuk bekerja atas dasar persetujuan dari
Biasanya bagi mereka yang lulus seleksi akan menjadi pekerja tetap namun mereka yang tidak lulus akan dikeluarkan atau bahkan akan menjadi beban bagi ABK yang lain. Dikarnakan pekerjaan sebagai 23
nelayan pukat setiap individu memiliki kedudukan dan perannya masing-masing jika mereka tidak mengerti maka beban kedudukan dan perannya akan diambil oleh salah satu ABK, ABK yang memerankan dua peranan akan merasa terbebankan oleh pekerjaan yang umumnya mengandalkan fisik.
ABKnya, akan mengusulkan nama salah seorang ABKnya untuk dipindahkan bekerja dikapal yang baru dengan kedudukan yang lebih tinggi seperti juru mudi atau menjadi kuanca (wakil tekong). Sementara ABK kapal yang baru mereka akan melakukan perekrutan lagi. Berdasarkan wawancara maka analisis penelti menggunakan konsep Blau dan Duncan (Sanderson, 2011:273) beberapa individu dapat memperbaiki kedudukan mereka dengan motivasi, kerja keras, bahkan dengan keberuntungan. Banyak mobilitas terjadi dengan struktur kapitalisme modern yaitu perubahan teknologi dan jabatan yang terus menerus akibat sistem tersebut.
Pekerjaan sebagai buruh nelayan pukat kedudukan yang paling tinggi yaitu pemilik kapal (tauke) kemudian dibawah tauke ada juru mudi (tekong) sementara dibawah juru mudi ada wakil juru mudi (kuanca) dan di posisi terbawah ada ABK biasa. Untuk mendapatkan kedudukan sebagai tekong atau kuanca biasanya mereka adalah orang yang telah lama bekerja sebagai buruh nelayan trawl atau istilah yang sering digunakan para pekerja trawl yaitu senior.
Blau dan O.D Duncan (Sanderson, 2011:273) perubahan teknologi adalah faktor penting penyebab mobilisai. Sehingga banyak pekerjaan diisi oleh mereka yang berstatus rendah. Jadi pada tahap ini mereka melakukan mobilitas yaitu dari peasent fisher menjadi buruh nelayan post peasent fisher terkait dengan jenis kendaraaan laut yang digunakan dari sampan menjadi trawl atau kapal pukat. Menurut Satria (2002:28) dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayan pun berubah dari peasant fisher menjadi post-peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju seperti motor tempel atau kapal motor.
Seiring mereka yang telah lama bekerja, mereka juga harus mengerti banyak tentang pengoperasionalan kapal pukat mulai dari memahami peranan juru mudi, kuanca yang juga merangkap bagian mesin serta peranan ABK biasa serta sistem kerja operasional jenis alat tangkap. Terjadinya kenaikan kedudukan seseorang didalam pekerjaan kapal pukat yaitu berdasarkan penunjukan secara langsung atas dasar pertimbangan tertentu dari tauke dan tekong. Terutama tauke berencana membeli sebuah kapal pukat yang baru, maka tauke akan bercerita kepada tekong, kemudian tekong sebagai orang yang banyak mengetahui tentang kualitas
Pada kasus nelayan trawl dengan perubahan teknologi itu semangkin membuka peluang bagi nelayan untuk menaiki status mereka 24
seiring surplus dari hasil tangkapan karna memiliki daya tangkap yang lebih besar. Sementara itu kenaikan posisi atau kedudukan mereka didalam perahu sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, keberuntungan serta keterampilan yang dimiliki. Untuk menduduki status sebagai seorang kuanca atau wakil juru mudi mereka harus memiliki pengalaman yang cukup lama, pengetahuan dan ketrampilan seiring dengan teknologi tangkapan yang mereka hadapi.
4.3.2. Nelayan Tradisional Buruh Bangunan
tauke, para tauke pun tidak mau memberikan pinjaman lagi. Setiap kali para nelayan tidak melaut atau belum masuk musim penangkapan hal yang paling umum dilakukan mereka yaitu mencari pekerjaan sampingan sebagai masukan ekonomi keluarga dengan menawarkan diri kepada seorang kepala borongan atau kepala tukang untuk ikut bekerja sebagai buruh bangunan Jika, kepala tukang masih membutuhkan kuli pembantu maka mereka akan diikut sertakan sebagai pekerja tetapi jika tidak mereka akan menganggur atau menjadi buruh serabutan. Pekerjaan bangunaan yang mereka geluti lebih banyak ke sektor pembangunan perumahan penduduk.
Ke
Selain peralihan pekerjaan sebagai buruh nelayan ada juga para nelayan tradisional yang bekerja sebagai buruh bangunan. pekerjaan buruh bangunan merupakan pekerjaan sambilan dikala para nelayan tradisional belum masuk musim penangkapan atau musim turun melaut.
Pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus ini lah kemampuan sebagai buruh bangunan terlatih namun, kebanyakan dari mereka hanya berada pada kuli biasa atau istilah setempat kuli pembantu dan tidak tertutup kemungkinan akan ada peningkatan keterampilan jika mereka bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk menggeluti pekerjaan tersebut.
Biasanya kalangan para nelayan tradisional yang berpindah menjadi buruh bangunan adalah mereka nelayan yang kesulitan dalam mencari pinjamaan modal melaut terutama kepada tauke. Kesulitan ini dapat terjadi dikarnakan pinjaman-pinjaman sebelumnya tidak mampu mereka lunasi. Anggapan sebagian nelayan, mereka nelayan yang berpindah menjadi buruh bangunan dan kesulitan melunasi hutang piutang kepada tauke dikarnakan faktor kemalasan untuk melaut sehingga tidak terlunasinya hutang kepada
Berdasarkan analisis peneliti dengan menggunakan konsep Davis dan Moore (Sanderson, 2011:279) tingkat posisi sosial setiap orang ditentukan oleh dua faktor salah satunya iyalah kelangkaan personal yang siap untuk mengisi posisi dimaksud. Dan biasanya, orang memiliki kemampuan tertentu mendapat status yang tinggi. Kelangkaan akan personal yang sesuai dapat diakibatkan karena 25
kurangnya pengembangan bakat atau tuntunan syarat-sayarat suatu jabatan yang tinggi. Meninjau pekerjaan sebagai buruh bangunan yang di posisikan sebagai kuli pembantu menandakan masih rendahnya skill mereka dibidang tersebut. Selain itu pekerjaan sebagai buruh bangunan yang dijalani para mantan nelayan tradisional di Kampung Benteng tidak hanya mengandalkan keterampilan mereka dalam membuat suatu bangunan seperti rumah. namun, untuk mengemban suatu keterampilan tersebut mereka juga harus mendapat kepercayaan orang lain sehingga pekerjaan mereka tidak hanya diposisikan sebagai kuli bangunan yang diposisiskan sebagai pembantu. Posisi pembantu dalam pekerjaan sebagai buruh bangunan di Kampung Benteng adalah posisi yang paling rendah dan mendapat bayaran gaji rendah sesuai dengan posisi yang mereka perankan. Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Blumberg (Horton dan Hunt, 2007:13) salah satu imbalan dari status yang tinggi adalah adanya pengakuan sebagai orang yang lebih berderajat tinggi (status simbol).
beralih menjadi buruh bangunan lainnya. Pekerjaan yang meraka jalani juga diposisikan sebagai kuli pembantu yang berada pada posisi bawah. Pekerjaan kuli pembantu juga membutuhkan keterampilan khusus yang mereka pelajari dari kepala borongan yaitu seperti mlaster. Mlaster adalah cara menghaluskan permukaan tembok. Semen yang telah dipersiapkan dari proses penyaringan kemudian ditempelkan pada dinding yang masih kelihatan batakonya. Dalam pekerjaan sebagai buruh bangunan mereka dituntut untuk serba bisa sehingga banyak yang mereka pelajari salah satunya adalah proses pembuatan batako. Dengan keterampilan atau skill yang dimiliki sebagian dari mereka ada yang membuka usaha percetakan batako. Namun, untuk membuka usaha tersebut mereka juga akan membutuhkan modal awal. Untuk informan peneliti yaitu Dul Hamid, ia mendapatkan modal awal untuk menjalankan usahanya iyalah dari salah satu saudaranya yang tinggal di kota, dengan bantuan modal dari saudaranya ia pun mendirikan usaha tersebut.
4.3.3. Nelayan Tradisional Ke Pengusaha Percetakan Batako
Melalui saluran mobilitas sosial keterampilan atau keahlian yang dimiliki dapat mengangkat drajat anggota masyarakat yang terlibat didalamnya untuk menduduki kedudukan yang lebih tinggi dari keadaan semula. Bagi mereka yang berbakat atau mau bekerja keras, berkorban dengan tujuan mencapai jabatan penting, imbalan yang tinggi
Peralihan pekerjaan dari nelayan tradisional ke pengusaha percetakan batako yang dilakukan mantan nelayan tradisional adalah melalui tahap menjadi buruh bangunan. mereka bekerja sebagai buruh bangunan seperti mana yang dijalani para mantan nelayan yang 26
akan diperolehnya namun, sebaliknya mereka yang tidak mempunyai motivasi dan keterampilan akan mempunyai peran yang kecil dengan imbalan yang kecil pula (Sanderson, 2011:279).
Penjaring Dan Bangunan).
Buruh
Mobilitas horizontal adalah nelayan yang beralih pekerjaan yang berbeda dari pekerjaan sebelumnya tetapi status ekonomi mereka tidak berbeda jauh dengan pekerjaan sebelumnya. Jadi tipe mobilitas ini dapat dilihat dari nelayan yang bekerja sebagai buruh nelayan dan buruh bangunan dengan meninjau pada penghasilan (ekonomi) mereka.
4.4. Tipe-Tipe Mobilitas Sosial Nelayan Tradisional Di Kampung Benteng RT 003/ RW 003 Transformasi pekerjaan yang dilakukan nelayan tradisional ke buruh nelayan, buruh banguan dan usaha percetakan batako sangat dominan terjadi di Kampung Benteng khususnya RT 003/ RW 003 tentunya akan terjadi kenaikan dan penurunan status akibat dari peralihan pekerjaan tersebut atau malah status mereka tidak jauh berubah dari sebelumnya.
Mereka para buruh nelayan penjaring bekerja dengan tauke, hasil perolehan ikan harus dijual dengan tauke dan ketetapan harga ikan berada dibawah standar harga pasar yaitu satu kilogram ikan berdasarkan harga pasar yaitu Rp. 40.000 sedangkan harga bagi mereka yang bekerja sebagai buruh nelayan penjaring dihargai tauke sebesar Rp. 14.000.
Dalam mobilitas secara prinsipil yang dikemukakan oleh Pitrim A Sorokin (soekanto, 2004:249) menyebutkan tipe-tipe gerak sosial ada dua macam yaitu gerak sosial yang horizontal dan vertikal. Mobilitas horizontal merupakan peralihan individu atau obyek-obyek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya yang sederajat yaitu tidak terjadi perubahan dalam derajat kedudukan seseorang dalam mobilitas sosialnya sementara mobilitas sosial vertikal adalah perpindahan individu atau objekobjek sosial dari suatu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat.
Berdasarkan hasil wawancara diatas mengacu pada pendekatan Marxian (Sanderson, 2011:280) kelompok-kelompok yang memiliki modal atau kekuatan produksi yang penting dapat menggunakan kekuatan itu untuk mengekploitasi sesama dan mengeruk keuntungan untuk diri sendiri. Selain itu Erik Wright (Sanderson, 2011:281) menggunakan skema kelasnya sebagai alat untuk menganalisis ketidaksamaan pendapatan dalam masyarakat. Wright memulai dengan menentukan apa yang menjadi landasan pendapatan tiap kelas. Para pemilik modal atau alat produksi menerima pendapatannya dengan mengekploitasi pekerja, dengan cara mengupah mereka kurang dari nilai
4.4.1 Mobilitas Sosial Horizontal (Dari Nelayan Tradisional Ke Buruh Nelayan 27
barang dan jasa yang mereka produksi. Mengacu pada konsep Erik Wright, mobilitas pekerjaan yang dilakukan dari nelayan tradisional ke buruh nelayan penjaring, penghasilan yang diperoleh sebagai buruh nelayan pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan penghasilan sebagai nelayan tradisional hanya saja pekerjaan sebagai buruh nelayan penjaring persediaan alat-alat produksi disedikan oleh para tauke seperti biaya operasional melaut, kendaraan melaut dan kebutuhan lainnya. Namun, harga ikan yang dijual tidak mengikuti harga pasaran sehingga penghasilan yang diperoleh hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan pangan para nelayan buruh. Sehingga mobilitas pekerjaan yang mereka lakukan hanya mampu menempatkan mereka secara horizontal yang ditandai dengan tidak berubahnya status ekonomi mereka. Dalam mobilitas horizontal tidak terjadi perubahan dalam drajat status seseorang atau pun objek sosial lainnya karna tidak mengalami perubahan pendapatan atau status sosial secara berarti (Narwoko, 2007:210). Mengutip pendapat dari Blau dan Duncan (Sanderson, 2011:272) berdasarkan penelitiannya tentang mobilitas sosial, mobilitas yang terjadi lebih banyak berjarak pendek dari pada berjarak panjang. Jika dilihat mobilitas yang dilakukan masyarakat nelayan tradisional dapat dikatakan peralihan dalam jarak pendek yaitu masih dalam sektor perikanan dari nelayan tradisional ke buruh nelayan penjaring.
Mobilitas sosial horizontal yang terjadi selain peralihan ke buruh nelayan penjaring ada juga para nelayan yang melakukan peralihan ke buruh bangunan. pekerjaan sebagai buruh bangunan digeluti karna para nelayan memiliki keahlian atau keterampilan dibidang tersebut. Peralihan pekerjaan ke buruh bangunan dengan bekerja sebagai kuli pembantu dalam satu hari mereka bisa memperoleh upah sebesar Rp.60.000 sementara itu jika dihitung lebur dalam satu hari penghasilan mereka akan bertambah Rp. 70.000 sampai Rp. 80.000 perhari. Minimnya penghasilan yang diperoleh tidak diikuti dengan semangkin meningkatnya kebutuhan pangan, sandang dan papan sangat mempengaruhi stabilitas para buruh bangunan dari sisi ekonomi mereka. Berdasarkan analisis peneliti menunjukan rendahnya upah yang diterima sebagian para buruh bangunan dikarnakan rendahnya posisi mereka dibidang tersebut. Dalam pekerjaan buruh bangunan hanya ada dua tingkatan lapisan, pertama mereka yang memang berposisi sebagai kepala tukang (kepala borongan) diikuti keterampilan, pengalaman serta kepercayaan dari masyarakat untuk membuat sebuah bangunan seperti rumah. Jadi, posisi sebagai kepala tukang lebih tinggi. ia dapat melakukan negosiasi harga dalam pembuatan sebuah bangunan dan merekrut anggota pekerja yang akan diposisikan sebagai kuli pembantu. Sementara kuli pembantu adalah pekerja yang diposisikan dibawah 28
kepala tukang dengan fungsi membantu kepala tukang dalam membuat sebuah bangunan.
keberhasilan usaha seseorang (Abdullah, 2009:197) mobilitas yang terjadi pada masyarakat nelayan tradisional Kampung Benteng tidak hanya sebatas peralihan yang dapat dikatakan horizontal melainkan juga terjadi peningkatan status yang dapat dikatakan mobilitas secara vertikal. Proses gerak sosial atau mobilitas yang terjadi dalam peralihan ini dapat melalui beberapa saluran atau disebut social circulation yaitu saluran ekonomi dan keahlian.
Mengacu pada pendapat Davis dan Moore (Sanderson, 2011:279) bahwa tingkat posisi sosial (yaitu tingkat imbalan yang diterima) pada setiap masyarakat ditentukan oleh dua faktor. Salah satunya adalah posisi yang disebut sebagai kepentingan fungsional, mereka beranggapan tidak semua posisi sosial penting untuk berfungsinya sistem sosial. Jika dilihat pekerjaan sebagai kuli pembantu dapat dikatakan pekerjaan yang bukan merupakan pekerjaan utama dalam pembuatan sebuah bangunan, sementara pekerjaan utama dilakukan oleh kepala tukang (kepala borongan). sehingga upah yang mereka terima juga sangat berpengaruh dengan posisi mereka dalam pekerjaan tersebut.
Mobilitas sosial vertikal pada nelayan Kampung Benteng dapat dilihat adanya mantan nelayan yang beralih pekerjaan menjadi buruh nelayan trawl dan pengusaha percetakan batako. Berdasarkan data lapangan dapat dijelaskan bahwa nelayan yang mengalami peningkatan status dari pekerjaan sebelumnya menjadi buruh nelayan trawl menerima penghasilan yang dapat dikatakan jauh berbeda dari penghasilan sebagai nelayan tradisional.
Mobilitas sosial yang dilakukan ke buruh bangunan bukanlah pekerjaan yang mampu menempatkan mereka pada status yang jauh lebih baik, hal ini dapat dilihat dari penghasilaan yang mereka terima sehingga mobilitas yang terjadi hanya bertipe horizontal yang ditandai tidak adanya kenaikan drajat seseorang melalui penghasilan.
4.3.1. Mobilitas Sosial Vertikal (Nelayan Tradisional Ke Buruh Nelayan Trawl Dan Pengusaha Percetakan Batako)
Penghasilan yang diterima buruh nelayan trawl ditentukan tiap turun melaut selama dua puluh lima hari dengan ketetapan gaji pokok sebesar Rp. 1.500.000 sementara untuk penghasilan sampingan, mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dengan membuat ikan asin, dan penjualan ikan asin dijual kepada penampung dengan harga ikan asin tergantung pada jenis ikan dan kualitas ikan yang dibuat para buruh nelayan trawl.
Kenaikan status sosial dianggap baik karna membuktikan
Biasanya perolehan hasil penjualan ikan asin melebihi gaji 29
pokok mereka, dan biasanya ikan asin yang dibuat bisa mencapai per ton. Meningkatnya penghasilan buruh nelayan trawl dari sisi ekonomi seiring peralihan pekerjaan yang dilakukan menyebabkan mereka mengalami mobilitas vertikal keatas.
dibawah tekong ada kuanca (wakil tekong yang juga merangkap bagian mesin) dan seterusnya ada ABK biasa. Terbukanya sistem statifikasi didalam pekerjaan sebagai buruh nelayan trawl maka, banyak kemungkinan akan adanya kenaikan status didalam perahu terutama mereka yang berstatus sebagai ABK biasa.
Berdasarkan hasil wawancara diatas, menunjukan penghasilan yang diperoleh sebagai buruh nelayan trawl cukup besar selain penghasilan dari gaji pokok mereka juga mendapatkan penghasilan sampingan seperti membuat ikan asin untuk dijual kepada penampung sehingga dari sisi ekonomi pekerjaan sebagai buruh nelayan trawl dapat memenuhi kebutuhan mereka.
ABK biasa yang menduduki status yang lebih tinggi dikarnakan mereka memahami ketrampilan dalam mengoperasionalkan kapal trawl, mengerti bagian mesin dan bisa membaca kompas atau GPS. Seiring peningkatnya status mereka juga diikuti naiknya penghasilan mereka. Terjadinya kenaikan status sangat dipengaruhi oleh tingkat pembagian kerja yang ada. Dikarnakan tingkat pembagian kerja dan terspesialisasi maka akan banyak tuntutan untuk menduduki status melalui ketrampilan khusus. Namun hal ini memacu anggota untuk lebih giat berusaha agar dapat memperoleh status sosial tersebut (Abdullah, 2009:202).
Ukuran yang menentukan seseorang berada pada suatu kelas tertentu dapat dilihat dari kekayaan, penghasilan dan pekerjaan yang mereka jalani. Untuk itu imbalan dari status sosial yang tinggi adalah pengakuan dari orang lain sebagai orang yang lebih berderjat tinggi maka, untuk memperoleh pengakuan tersebut seseorang terbagi kedalam kelas-kelas tertentu salah satunya iyalah stratifikasi berdasarkan ekonomi. Pitrim A Sorokin dalam (Satria,2002:41-42) stratifikasi berdasarkan ekonomi yaitu jika dalam suatu masyarakat terdapat perbedaan atau ketidaksetaraan status ekonomi mereka.
Melihat hasil wawancara diatas, berdasarkan analisis peneliti menunjukan bahwa keterampilan yang dimiliki dalam sistem pengoperasionalan trawl sejalan dengan waktu (pengalaman). selain itu adanya usaha dari para ABK biasa untuk banyak memahami peran yang dijalankan dalam kegiatan penangkapan sehingga mereka yang banyak mengerti atau memiliki ketrampilan, mendapatkan kenaikan status dari ABK biasa menjadi wakil juru mudi atau kuanca.
Pekerjaan sebagai buruh nelayan trawl memiliki tingkatantingkatan (stratifikasi) didalam perahu, posisi atas diisi oleh pemilik perahu atau juragan dan dibawah juragan ada juru mudi atau tekong, 30
Mengacu pada pendapat Lenski (Sanderson, 2011:159) semangkin besar surplus semangkin besar pula stratifikasi yang terjadi dan besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi masyarakat. Dalam hal ini, penggunaan trawl dalam penangkapan ikan telah mempengaruhi peningkatan penghasilan nelayan. untuk meningkatkan penghasilan atau surplus dari penggunaan teknologi maka butuh keterampilan dalam pengoperasionalan trawl tersebut.
pekerjaan sebagai pengusaha percetakan batako mereka mengalami peningkatan status ekonominya yang berbeda dari sebelumnya. Menurut Blumberg (Horton dan Hunt, 2007:13) salah satu imbalan dari status yang tinggi adalah adanya pengakuan sebagai orang yang lebih berderajat tinggi (status simbol). Hal ini dibuktikan dengan status simbol yaitu kepemilikan rumah yang layak, kendaraan dan kecukupan kebutuhan pangan, sandang dan papan.
Kemampuan buruh nelayan dalam mengoperasionalkan teknologi tangkapan (trawl) melalui keterampilan sangat mempengaruhi peningkatan penghasilan mereka sesuai dengan kedudukan atau status mereka didalam perahu. Semangkin meningkatnya keterampilan maka semangkin tinggi posisi sesorang didalam perahu. Sehingga setiap ABK berupaya untuk menduduki status tinggi melalui pengalaman, pengetahuan dan keterampilan dibidang tersebut. Menurut Davis dan Moore (Sanderson, 2011:279) stratifikasi merupakan sistem insentif, sebagai alat untuk memotivasi orang agar mengemban tanggung jawab sosial. Bagi mereka yang berbakat dan mau bekerja keras, berkorban dengan tujuan mencapai jabatan penting, imbalan yang tinggi akan diperoleh.
Dalam usaha percetakan batako penghasilan yang diperoleh cukup besar, biasanya pemesan batako untuk pembuatan rumah bisa memesan mencapai seribu sampai dua ribu batako. Kebanyakan pemesan berada diluar Kampung Benteng dan malah ada yang sampai keluar dari Kelurahan Moro seperti dari Desa Pauh, Desa Nyiur dan Desa Pulau Moro. Untuk penjualan satu buah batako dihargai Rp. 2.000. selain batako pengusaha percetakan juga menjual batu bunga (batako yang digunakan untuk ventilasi rumah). Mobilitas sosial yang dilakukan ke pengusaha batako telah mengalami peningkatan pendapatan atau penghasilan yang berbeda dari penghasilan pekerjaan mereka sebelumnya sehingga mobilitas ini bertipe vertikal keatas seiring peningkatan penghasilan (ekonomi).
Adanya peningkatan status dan drajat kedudukan nelayan tradisional yang melakukan mobilitas tidak hanya pada sektor buruh nelayan trawl namun juga terjadi pada sektor pengusaha percetakan batako. Dalam perpindahan
Berdasarkan hasil wawancara diatas menunjukan adanya kebosanan masyarakat untuk bekerja sebagai kuli (buruh). Sehingga memacu adanya usaha dari para 31
mantan nelayan berupa kapasitas adiktif yaitu merespon lingkungan dan kecendrungan untuk berkembang serta kemudahan ekses modal dari saudara mereka, membuat para mantan nelayan membuka usaha percetakan batako sendiri seiring dengan keterampilan yang dimiliki.
jauh lebih baik serta mobilitas sosial dapat terjadi. Menurunnya penghasilan tangkapan nelayan sangat ditentukan dari jenis teknologi tangkapan yang digunakan. Pada umumnya, pengetahuan teknik penangkapan ikan didapat dari warisan orang tua atau pendahulu mereka berdasarkan pengalaman empiris (Satria, 2002:16). Jenis alat tangkap berupa rawai yang digunakan merupakan jenis alat tangkap sederhana atau tradisional yang biasa digunakan nelayan tradisional Kampung Benteng.
Menurut analisis peneliti mengacu pada teori evolusioner fungsionalis, Talcott Parsons (Sanderson, 2011:157) Parsons berpendapat bahwa evolusi sosial secara umum terjadi karna sifat kecendrungan masyarakat untuk berkembang yang disebut sebagai kapasitas adiktif. Kapasitas adiktif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai mahluk sosial.
Berdasarkan wawancara tersebut sebagian besar nelayan Kampung Benteng menggunakan alat tangkap rawai yang masih bersifat tradisional. Mereka menggunakan rawai terutama pada saat musim penangkapan ikan kurau. Selain itu mereka juga memiliki jenis alat tangkap yang lain selain rawai seperti pinto, bubu, jala dan tangguk yang dapat digunakan pada saat tidak masuknya musim penangkapan ikan kurau.
4.4. Faktor-Faktor Mobilitas Sosial Di Kampung Benteng RT 003/ RW 003 Mobilitas sosial yang terjadi di Kampung Benteng yaitu peralihan mata pencarian dari nelayan tradisional ke buruh nelayan, buruh bangunan dan usaha percetakan batako dapat dilihat dari beberapa hal yang dijadikan sebagai faktor-faktor pendorong mobilitas sosial, diantaranya faktor eksternal yaitu kurang produktifnya jenis alat tangkap yang digunakan nelayan tradisional berupa rawai, tingginya biaya operasisonal melaut. Sementara faktor internal yaitu dengan keterampilan individu mereka bisa menduduki status yang
Menurut pendapat Lenski (Sanderson, 2011:159) besarnya surplus ekonomi sangat dipengaruhi kemampuan teknologi masyarakat. Dalam hal ini, melihat teknologi tangkapan yang masih bersifat tradisional maka akan sangat berpengaruh pada penghasilan atau pendapatan nelayan Kampung Benteng dan juga berdampak pada ekonomi mereka. selain itu besarnya biaya operasional yang dikeluarkan sementara penghasilan yang diperoleh tidak seimbang dengan 32
pengeluaran menyebabkan kerugian pada nelayan tradisional dari sisi materi.
dan menyebabkan kerugian pada nelayan. kerugian yang dimaksud adalah banyaknya pengeluaran biaya yang dikeluarkan nelayan tradisional untuk melaut seperti biaya untuk membeli umpan rawai, es pendingin ikan, minyak solar untuk sampan yang bermesin, perbekalan makanan. Sementara pengeluaran tersebut selalu tidak dikuti dengan penghasilan yang diperoleh dari melaut.
Dari hasil wawancara tersebut juga perlu diperhatikan tingginya resiko pekerjaan sebagai nelayan. Kegiatan nelayan adalah kegiatan yang beresiko tinggi, ini tidak hanya menyangkut besarnya modal yang dipertaruhkan dan pencarian keuntungan yang spekulatif, tetapi juga berkaitan dengan keselamatan jiwa. Gangguan alam yang datang setiap saat, seperti ombak dan angin yang besar adalah hal-hal yang dapat mengancam keselamatan nelayan. Ada dua hal yang selalu menjadi pusat perhatian nelayan ketika perahu sedang beroperasi yaitu masalah keselamatan jiwa dan perolehan rezeki atau keberutungan. Mereka berharap keselamatan dan keberutungan dapat berpihak kepada dirinya sekaligus.
Mengacu pada pendapat Parsons (Sanderson, 2011:157) kapasitas adiktif adalah kemampuan masyarakat untuk merespon lingkungan dan mengatasi berbagai masalah yang selalu dihadapi manusia sebagai mahluk sosial. Bentuk dari kapasitas adiktif yang dilakukan nelayan tradisional yaitu beralih mata pencarian sebagai salah satu solusi untuk mengatasi berbagai macam persoalan yang terjadi dengan bekerja sebagai buruh nelayan (penjaring, trawl) buruh bangunan dan ada yang menjadi pengusaha percetakan batako.
Jika dilihat dari modal melaut, tingginya biaya operasional melaut sangat mengganggu nelayan untuk melaut seperti kebutuhan minyak bagi sampan yang menggunakan mesin, umpan untuk rawai, es pendingin ikan dan kebutuhan lain yang diperlukan nelayan sehingga sebagian dari mereka menjual jasa tenaga kepada klien sebagai buruh nelayan.
Dalam dunia modern, banyak individu berupaya melakukan mobilitas. Mereka yakin bahwa melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. bila tingkat mobilitas tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda, mereka tetap merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi (Abdullah, 2009:197).
Berdasarkan wawancara diatas, biaya operasional yang dikeluarkan nelayan tradisional cukup besar sementara pengasilan yang diperoleh tidak dapat diprediksi. hal ini sangat berpengaruh pada stabilitas ekonomi
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya selain faktor eksternal yang mempengaruhi mobilitas sosial, faktor internal juga merupakan salah 33
satu pendorong mobilitas sosial di Kampung Benteng ini terjadi. Faktor internal ini ditandai dengan keterampilan yang dimiliki individu selain disektor perikanan mereka juga memiliki keterampilan diluar sektor perikanan seperti pekerjaan sebagai buruh bangunan dan usaha percetaan batako.
Berdasarkan analisa penelitian yang telah dilakukan, maka selanjutnya hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa telah terjadi mobilitas sosial nelayan tradisional di Kampung Benteng Kelurahan Moro Kecamatan Moro. Mobilitas sosial yang dilihat dari peralihan mata pencarian masyarakat nelayan tradisional menunjukan adanya kenaikan status, terutama mereka yang beralih ke mata pencarian sebagai buruh nelayan trawl dan pengusaha percetakan batako. Sementara mereka yang melakukan peralihan ke buruh nelayan penjaring dan buruh bangunan yang hanya diposisikan sebagai kuli pembantu tidak mengalami kenaikan status maupun drajat. Proses mobilitas sosial yang terjadi merupakan permasalahan yang komplek, diikuti teknologi yang masih bersifat tradisional dan tingginya biaya operasional melaut. Permasalahan teknologi yang masih tradisional sangat mempengaruhi rendahnya penghasilan yang diperoleh dengan menggunakan teknologi tangkapan berupa rawai sementara biaya operasional yang dikeluarkan untuk melaut terus meningkat. Tidak adanya keseimbangan antara pengeluaran dan pengahasilan menyebabkan nelayan mengalami kerugian dalam bentuk materi. Kerugian yang dialami mempengaruhi masyarakat untuk menjual jasa tenaga mereka kepada tauke sebagai buruh nelayan penjaring karna tidak memiliki keterampilan untuk bekerja disektor pekerjaan lain serta guna mencari jaminan sosial ekonomi seiring
Menurut Horton dan Hunt (Narwoko, 2007:211) faktor individu adalah kualitas orang perorang, baik ditinjau dari tingkat pendidikan, penampilannya dan keterampilannya termasuk faktor kemujuran yang menentukan siapa yang akan berhasil mencapai kedudukan itu. Berdasarkan wawancara diatas, selain bekerja disektor perikanan para mantan nelayan tradisional juga memiliki keterampilan untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Hal ini menunjukan akan adanya kemudahan berpindah pekerjaan melalui keterampilan yang dimiliki. Pada dasarnya bakat yang dimiliki setiap individu berbeda-beda sehingga kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang tinggi dimasyarakat akan berbeda pula. Dengan demikian kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh kedudukan bergantung pada usaha yang dilakukan. Mengacu pada konsep Blau dan Duncan (Sanderson, 2011:273) beberapa individu dapat memperbaiki kedudukan mereka dengan motivasi, kerja keras, bahkan dengan keberuntungan. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 34
sumber daya yang dihadapi bersifat spekulatif. Nelayan yang berposisi sebagai nelayan buruh penjaring sangat erat dengan hubungan patron klien yang merupakan institusi ekploitasi sesama dan mengeruk keuntungan untuk diri sendiri. Para pemilik modal atau alat produksi menerima pendapatannya dengan mengekploitasi pekerja, dengan cara mengupah mereka kurang dari nilai barang dan jasa yang mereka produksi. Tidak adanya kenaikan penghasilan mempengaruhi pada status dan drajat buruh nelayan penjaring, sehingga mobilitas yang terjadi hanya bersifat horizontal. Sementara itu kenaikan status dapat dirasakan nelayan tradisional yang bekerja sebagai buruh nelayan trawl seiring dengan meningkatnya penghasilan (ekonomi). Pekerjaan sebagai buruh nelayan trawl penghasilan juga sangat bergantung pada keterampilan mereka, semangkin meningkat keterampilan dalam pekerjaan maka akan semangkin meningkat pula status didalam perahu dan berpengaruh pada peningkatan penghasilan. Selain peralihan pekerjaan sebagai buruh nelayan, mereka juga melakukan peralihan ke buruh bangunan yang hanya diposisikan sebagai kuli pembantu. kuli pembantu adalah mereka yang bekerja sebagai buruh bangunan namun, diposisikan pada posisi dibawah kepala tukang (kepala borongan) dikarnakan masih rendahnya keterampilan serta kepercayaan masyarakat dengan bidang yang ia geluti. Mobilitas sosial yang dilakukan tidak akan berjalan dengan baik jika tanpa
adanya ketrampilan yang memadai atau syarat-syarat untuk menduduki status tertentu. Selain itu, peralihan dari nelayan tradisional ke pengusaha percetakan batako adalah mobilitas yang dapat dikatakan vertikal seiring dengan peningkatan drajat dan status mereka. tentunya kenaikan status yang dialami diikuti dengan penghasilan yang diperoleh dan berbeda dari penghasilan pekerjaan sebelumnya. 5.2. Saran Untuk menindak lanjuti beberapa kesimpulan yang telah dikemukakan, maka disampaikan beberapa saran diantaranya: 1. Sebaiknya masyarakat nelayan tradisional yang beralih pekerjaan mampu menekuni pekerjaan tersebut dengan mengasah keterampilan serta mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru dikarnakan setiap pekerjaan yang baru akan membutuhkan keterampilan yang baru pula. Melalui keterampilan atau skill yang memenuhi syarat suatu pekerjaan akan mendapat imbalan berupa kenaikan status dan juga meningkatnya penghasilan yang diperoleh. 2. Selain itu perlunya ada institusi seperti koperasi nelayan yang dibangun untuk menunjang peningkatan status dan ekonomi nelayan, terutama dalam menghadapi permasalahan keterikatan buruh nelayan penjaring dengan tauke. Rendahnya penghasilan nelayan buruh 35
penjaring tidak lepas dari ekploitasi para patron untuk meraup keuntungan dengan cara mengupah mereka kurang dari nilai barang (hasil tangkapan nelayan) dan jasa yang mereka produksi.
terhadaprealitas sosiologi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Silalahi, ulber, 2010, metode penelitian sosial, Bandung: PT Rafika aditama. Sugyono,2008,Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D,Bandung: ALFABETA. --------------,2009,Metode penelitian administrasi,Bandung: CV. ALFABETA. Soekanto,soerjono,2004,Sosiologi suatu pengantar,Edisi keenam,Jakarta:PT. Raja Grafindo. Surbakti, ramlan, 2010, Memahami ilmu politik, PT. GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta. Wirawan, 2010, Konflik dan manajement konflik, Salemba Humanika, Jakarta. --------------,2012,Sosiologi suatu pengantar,Jakarta: Raja Grafindo Persada. Wulansari, dewi, 2009, Sosiologi konsep dan teori, Bandung: PT. Refika Aditama.
Daftar Pustaka Abercrombie, Nicholas dkk, 2010, Kamus Sosiologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Horton, Paul B dan Chaster L Hunt, (1996), Sosiologi edisi enam jilid dua, Erlangga Kinseng, A Rilus, (2014), Konflik Nelayan, Edisi pertama, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Kusnadi,2003,Akar kemiskinan nelayan,Yogyakarta: LkiS. -----------.2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: ArRuzz Media. Narwoko,J dwi dan bagong suyanto(eds.),2007,sosiologi teks pengantar dan terapan,edisi kedua,Jakarta: kencana prenada media group. Palras, Christian. 1971. Hubungan Patron-Klien Dalam Masyarakat Bugis Makassar. Paris: Tidak Diterbitkan. Satria,Arif,2002,pengantar sosiologi masyarakat pesisir,Jakarta: PT.Pustaka Cidesindo. Sanderson, K. Stephen, 2011, Makrososiologi sebuah pendekatan 36