TANAH DAN MULTIKULTURALISME: PRAKTIK HARMONI WARGA MORO-MORO MEMBANGUN SOLIDITAS ATAS KONFLIK AGRARIA DI REGISTER 45 MESUJI LAMPUNG Dharma Setyawan1 & Heru Islamic2
Abstract: The study is aimed at revealing the role of a religion in building the multiculturalism in the land conflict area at Mesuji, Lampung. Many conflicts such as the conflict a religion and ethnic need a comprehensiveconsolidation. The religious practice of Moro-moro inhabitants at Register 45 is attracted to be researched as a way to build multiculturalism. The solidity of religion and ethnic is done in order to build the defence on land conflict. The ethnogrphic approach was used in this study. This is to describe the struggling experience of Moro-moro inhabitants who had been successful in managing the conflict in multiculturalism in diversity. In defending their already-owned lands, occupied since 1997, did the movemnent of solidity by the spirit of mutual aids (gotong royong).The religious and tribal difference being a conflict in other areas was turned to be the spirit of unity . This is to defend and to prevent from being driven away by PT Sylva Inhitani Lampung. They began to unite and establish Persatuan Petani Moro-moro Serdang (PPMWS), built mosques, churches, Pura to respect the traditional values owned by various ethnics occupying the Forest area, Register 45 at Mesuji, Lampung. They also bulit schools for the better life of Moro-moro inhabitants later. Keywords Keywords: multiculturalism, religion, land defence. Abstrak: Tulisan ini mengungkap tentang peran agama dalam membangun multikulturalisme di kawasan tanah konflik di Mesuji Lampung. Banyaknya konflik misal konflik agama dan etnis membutuhkan penyelesaian dalam bentuk konsolidasi yang komprehenshif. Praktik beragama warga Moro-moro di register 45 menarik diteliti dalam upaya membangun multikulturalisme. Soliditas agama dan suku dilakukan sebagai upaya membangun pertahanan atas konflik tanah. Tulisan ini menggunakan pendekatan etnografi yang bertujuan memberikan gambaran pengalaman perjuangan warga Moro-moro yang berhasil mengelola konflik dalam multikulturalisme in diversity. Warga moro-moro dalam mempertahanan tanah yang didiami sejak 1997 melakukan gerakan soliditas dengan semangat gotong royong. Perbedaan agama dan suku yang selama ini menjadi konflik di wilayah lain, sebaliknya menjadi pemersatu untuk bertahan dari bentuk pengusiran dan penggusuran yang dilakukan oleh perusahaan PT Sylva Inhutani Lampung. Mereka memulai dengan berserikat mendirikan PPMWS (persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang), rumah ibadah Masjid, Gereja dan Pura, menjaga dan menghormati nilai-nilai adat yang dipegang oleh berbagai suku yang mendiami kawasan Hutan Register 45 di Mesuji Lampung. Selain itu mereka mendirikan sekolah agar generasi Moro-moro dapat hidup lebih baik. Kata kunci kunci: Multikulturalisme, Agama, dan Mempertahankan Tanah
A. Pendahuluan Agama dalam pandangan multikulturalisme adalah sebuah diskusi budaya. Doktrin gereja misalnya ‘extra exclesia nula solum’(di luar gereja 1
Dosen STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, Peneliti di Sai Wawai Institute, Menyelesaikan S2 Agama dan Lintas Budaya di Universitas Gadjah Mada. Website:www.dharmasetyawan.com, alamat email
[email protected] 2 Menyelesaikan S2 Sosiologi FISIP di Universitas Indonesia, alamat email
[email protected] Diterima: 5 September 2015
tidak ada keselamatan) dan doktrin ‘waman yabtaghi ghoira al-Islama dinan fala yuqbalu minhu’ (barang siapa yang mencari agama yang selain Islam maka tidak akan diterima). Keyakinan masing-masing agama ini cenderung dapat dieksploitasi dalam konflik antar agama ataupun konflik lain yang akhirnya melibatkan agama. Tantangan multikulturalisme adalah bagaimana pelaku agama mampu menempatkan perbedaan keyakinan itu menjadi keragaman yang rukun di
Direview: 2 Oktober 2015
Disetujui: 20 Oktober 2015
180
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
tengah masyarakat. Multikulturalisme adalah
hubungan manusia dengan Tuhannya. Maka
sebuah paham tentang kultur yang beragam yang menekankan kesenjangan dan kesetaraan
dalam memperdebatkan kebenaran agama yang wilayahnya lebih pada implementasi horizontal
budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan
ekspresi beragama yang diyakini setiap orang
hak-hak eksistensi budaya yang ada. Maka isu inklusif itas (keterbukaan) menjadi
merupakan ekspresi kebudayaan yang cenderung multitafsir dan bersifat relatif atas kebenaran
penting dalam rangka membangun harmoni di
Tuhan yang absolut (Abdurrahman 2003, 149). Satu
masyarakat. Pendapat Kymlicka misalnya menyajikan inklusifitas didasarkan pada nalar lib-
contoh ketika kalangan Islam memperdebatkan ekspresi kebudayaan bercorak agama pada
eral, mendudukkan inklusi kelompok yang spesifik
kalangan warga NU soal Yasinan dan Tahlilan, di
seperti komunitas adat atau agama yang harus menjalankan prinsip-prinsip demokrasi liberal
sisi lain kalangan Muhammadiyah tidak menjalankan ekspresi kebudayaan tersebut, maka
yaitu kesetaraan dan partisipasi (Kymlicka 1995).
yang dibutuhkan dua ormas Islam tersebut adalah
Pendapat Kymlicka mendapat kritik Parekh bahwa prinsip liberalisme akan sulit dipraktikkan jika
kesadaran atas konsep multikulturalisme dari kebudayaan beragama di bumi nusantara. Sikap
demokrasi belum menjadi norma dan perilaku
untuk terbuka dan saling menghargai penting
(Parekh 2000). Dalam lapangan sosial, hal ini menemukan permasalahan tersendiri misal
untuk dilakukan mengingat sesuatu keyakinan yang ditafsirkan secara berbeda juga dapat
dengan akar budaya dan agama bangsa yang terlalu
menyulut perpecahan di masyarakat dan lebih
lama memegang nilai kolektifitas. Demokrasi yang tidak dibangun dengan partisipasi aktif antar
parah lagi menimbulkan konf lik yang berkepanjangan. Moeslim Abdurrahman menye-
individu akan menemukan kesulitannya.
but ekspresi kebudayaan umat Islam Indonesia ini
Kaitannya dengan agama hal ini sulit meyakinkan demokrasi dalam wilayah ketegangan antar
dengan menyebut ber-Islam secara kultural. Dalam konflik yang umum terjadi pada tingkat
kelompok yang sulit membangun inklusif itas.
lokal, tidak jarang melibatkan persoalan
Kaitannya dengan fakta multikulturalisme dalam praktik harmoni akan mengalami hambatan.
menyangkut agama, konflik adat, kemudian lebih jauh soal politik dan ekonomi. Konflik agama
Multikulturalisme lebih jauh merupakan
cenderung lebih efektif digunakan untuk
konsep dimana sebuah entitas dalam konteks kebangsaan dapat mengakui keragaman,
menutupi perebutan sumber daya ekonomi yang terjadi di sebuah wilayah. Agama yang hadir di
perbedaan dan kemajemukan budaya baik ras,
Indonesia dalam praktiknya bersenyawa dengan
suku, etnis, maupun agama. Agama adalah ekspresi budaya tentang keyakinan orang terhadap
kebudayaan Indonesia. Saat Islam pertama kali muncul di Arab maka Islam bertemu dengan
sesuatu yang suci. Kebudayaan yang ada
agama hasil perpaduan antara tradisi Kristen-
mempengaruhi cara pandang seseorang dalam beragama. Maka sulit diterima jika seseorang dapat
Yahudi di satu pihak dan di pihak lain merupakan gabungan tradisi Persia-Arab. Dalam pandangan
beragama secara murni tanpa campur tangan
kalangan Islam kultural, Islam Arab tidak bisa
budaya disekitarnya. Lingkungan kulturalnya membentuk tradisi yang sering bercampur-baur
diuniversalkan di bumi Indonesia, selalu proses Islamisasi mengalami akulturasi kebudayaan atau
dengan pola praktik keagamaan khususnya agama
nilai-nilai adat istiadat di masyarakat setempat.
yang menyangkut hubungan horizontal lain halnya dengan implementasi transendent adalah
Semangat membumikan Islam tentu berbeda dengan semangat Arabisasi (Ghazali 2006, 658-
Setyawan & Heru Islamic: Tanah dan Multikulturalisme ...: 179-189
181
659). Maka Islam kultural menemukan ruang
Mesuji ini. Agama dan suku yang selama ini dapat
dinamisasi dalam membangun harmoni di tengah perbedaan interprestasi beragama. Gerakan
menjadi pemicu bertambah besarnya konflik, menjadi sebaliknya. Agama dan suku menjadi
pribumisasi
digagas
modal sosial yang mampu membuat warga yang
Abdurrahman Wahid—atau akrab dipanggil Gus dur—mengadaptasi nilai-nilai universal Islam dan
mengalami konflik menjadi bersatu dan terus melakukan soliditas gerakan.
Islam
yang
pernah
mempertahankan nilai-nilai lokal yang tumbuh sejak lama di masyarakat. Pribumisasi Islam adalah suatu konsep pemahaman Islam yang dibangun
B. Tanah Register 45 Mesuji Lampung
berdasarkan dialog Islam dan budaya lokal sehingga membentuk tradisi baru dan hal ini sesuai dengan semangat gotong royong di Indonesia. Konflik terjadi bukan hanya soal suku, ras, agama dan antar golongan (SARA), tapi konflik bisa terjadi akibat faktor ekonomi dan politik. Konflik kemudian melebar menjadi fenomena kerusuhan pada wilayah SARA. Saat Gusdur menjadi presiden Indonesia, konflik yang dipicu oleh krisis ekonomi menjalar ke berbagai daerah
Gambar 1 Peta Register 45 dan Peta wilayah kelola Masyarakat Moro-Moro seluas 2,444 Ha
dengan melibatkan banyak konf lik termasuk SARA. Sampai hari ini konf lik seperti Aceh,
Kawasan hutan Register 45 Mesuji Lampung adalah kawasan yang banyak mengalami konflik.
Maluku, Papua dan konflik lain seperti tanah
Krisis ekonomi era 90-an menjelang reformasi
masih terjadi di berbagai daerah. Khusus konflik tanah misalnya yang terbaru konflik warga Samin
menyebabkan banyak perusahaan-perusahaan termasuk PT Sylva Inhutani. Berdasarkan SK
dengan perusahaan semen di Rembang Jawa
Menteri Kehutanan nomor 93/Kpts-II/1997 yang
Tengah, juga Reklamasi Teluk Benua di Bali dengan masyarakat adat dipicu oleh keserakahan
berisi penetapan kawasan Hutan Register 45 seluas 43.100 hektar, PT Sylva Inhutani diberikan
kapitalisme Global yang merusak lingkungan
hak untuk mengelola kawasan hutan industri di
alam di daerah tersebut. Dari konflik ekonomi tersebut yang menarik
Register 45. PT Silva Inhutani Lampung merupakan perusahaan patungan antara PT. Silva
adalah rakyat bersatu melakukan gerakan aktif
Lampung Abadi dan PT Inhutani V. PT Silva
untuk menolak dan melawan perusahaan yang mengancam ecosystem lingkungan hidup. Masya-
Lampung Abadi menguasai 60 persen saham sedangkan PT Inhutani V 40 persen. Saat ini telah
rakat Samin di Rembang melakukan konsolidasi
resmi menjadi perusahaan swasta dengan nama
dengan warga NU untuk melawan Pabrik Semen. Begitupun di Bali, warga adat dengan tokoh agama
PT Sylva Lampung Abadi. Pada periode krisis ekonomi dan reformasi
menolak reklamasi Teluk Benua. Begitu juga di
terjadi gelombang demokrasi yang mendorong
konflik tanah Register 45 Moro-Moro Mesuji, rakyat bersatu melakukan soliditas pertahanan dari
keberanian rakyat. Sulitnya kehidupan ekonomi di masa itu memiliki keberanian untuk
penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah dan
menggarap tanah-tanah yang dianggap terlantar
Perusahaan PT Sylva Inhutani. Banyak peneliti yang sudah melakukan observasi dalam konf lik di
termasuk tanah-tanah di dalam kawasan hutan. Fenomena ini juga marak terjadi di Lampung
182
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
menjelang dan saat reformasi.3
Konsekuensinya hak–hak konstitusional
Atas fenomena krisis ekonomi tersebut banyak masyarakat hijrah ke wilayah hutan yang ada di
mereka sebagai warga negara secara sengaja diabaikan. Tidak memiliki KTP5 dan berbagai
Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Masyarakat
dokumen kependudukan lainnya, kehilangan
dari pulau Jawa misalnya berbondong-bondong mengadu nasib ke Propinsi Lampung dan
hak-hak politiknya, akses pendidikan dan kesehatan dasar adalah hal yang harus diterima
mendiami kawasan Hutan Register 45. Dalam
masyarakat. Konflik agraria yang terjadi di regis-
sulitnya mencari pata pencaharian ekonomi di Jawa warga berdatangan ke kawasan Hutan Reg-
ter 45 pada akhirnya bukan hanya berdimensi kekerasan, tetapi lebih jauh dari itu konflik juga
ister 45. Dalam bahasa Jawa berdatangan disebut
mengakibatkan hilangnya hak-hak konstitusional
“moro-moro” maka dalam bahasa yang umum masyarakat moro-moro menjadi umum sebagai
warga negara. Pemerintah daerah mengabaikan hak-hak konstitusional ribuan orang akibat
penyebutan bagi mereka yang berdatangan di
konflik agraria yang menyelimutinya. Beberapa
kawasan hutan Register 45. Masyarakat Moro-Moro adalah entitas masya-
pengabaian hak-hak warga negara yang dimaksud dapat dilihat dalam tabel 1 :
rakat yang masuk dalam kawasan hutan di era krisis ekonomi yakni pada akhir tahun 1996 karena melihat penelantaran tanah, kebutuhan ekonomi
Tabel 1. Kategori Hak yang Diabaikan No
Kategori Hak Konstitusi
Kategori Legal Right
Keterangan
1
Hak untuk tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif sebagaimana diatur dalam pasal 28 D ayat (1) dan (4), Pasal 28 H ayat (2), UUD 1945
Hak atas dokumen kependudukan seperti diatur dalam UU No 23 Tahun 2006
Implikasinya ribuan orang selama belasan tahun tidak lagi memiliki Kartu Tanda Penduduk dan berbagai dokumen kependudukan lainnya seperti kartu keluarga, akta kelahiran, dll
2
Hak untuk mendapatkan perlakuan sama di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) dan (3), pasal 28 I ayat (1) dan (2) UUD 1945
Hak untuk memilih dan dipilih
Selama 7 kali pemilihan umum dari berbagai level mereka tidak dapat ikut serta karena tidak terdaftar sebagai pemilih akibat persoalan administrasi kependudukan.
3
Hak atas kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 28B ayat (2), pasal 34 ayat (3) UUD 1945
Hak atas layanan kesehatan dasar seperti diatur dalam UU kesehatan dan UU perlindungan anak
Ratusan anak selama belasan tahun tidak mendapatkan layanan kesehatan dasar seperti Posyandu, Imunisasi dll
4
Hak atas pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) UUD 1945
Hak atas pendidikan dasar seperti diatur dalam UU pendidikan Nasional dan UU perlindungan Anak
Ratusan anak tidak mendapatkan layanan pendidikan dasar yang memadai
akibat krisis menyebabkan mereka masuk dan memproduktif kan tanah. Secara umum, kehidupan sosial di wilayah Moro-Moro mulai tumbuh dan berkembang secara positif sejak awal tahun 1997. Selama periode 1996 sampai sekarang masalah-masalah administrasi kependudukan menjadi masalah yang krusial. Tinggal di kawasan hutan register 45 yang hak pengelolaanya dikuasai oleh PT Sylva Inhutani Lampung menyebabkan masyarakat
harus
menyandang
predikat
4
“perambah” dan “masyarakat ilegal”. 3
Fakta adannya penelantaran tanah ini bisa kita cermati sebagai salah satu alasan keluarya SK Menhut No.9983/ Kpts-II/2002 Tentang Pencabutan Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 93/Kpts-II/1997 yang berisi penetapan kawasan HutanRegister 45 seluas 43.100 hektar. Pencabutan izin dilakukan dengan alasan: Pertama PT SIL dinilai tidak layak dalam melaksanakan kegiatan Pembangunan HTI baik dari segi teknis maupun finansial. Kedua PT SIL tidak pernah menyerahkan Rencana Kerja Tahunan dan Rencana Kerja Lima Tahunan sejak tahun 1999. 4 Penyebutan ini didasarkan pada terbitnya SK Menhut No.322/Menhut-II/2004 tentang Pencabutan SK Menhut No. 9983/Kpts-II/2002 dan Pemberlakuan kembali SK No. 93/Kpts-II/1997. Dengan demikian perusahaan kembali menegaskan keberadaan hak mereka yang sebelumnya di cabut.
Sumber: Oki Hajiansyah Wahab (2013) 5
KTP (Kartu Tanda Penduduk) Hal yang menarik adalah pada Pemilu 2004, meski tidak memiliki KTP ribuan masyarakat Moro-Moro mengikuti Pemilu. Ironisnya,
Setyawan & Heru Islamic: Tanah dan Multikulturalisme ...: 179-189
183
Tulisan ini mengungkap praktik beragama
Informan penelitian ini adalah Tim TGPF (Tim
antar suku warga Moro-Moro di register 45 di Mesuji Lampung. Soliditas yang dilakukan warga
Gabungan Pencari fakta) konf lik Moro-Moro, Pengurus organisasi Persatuan Petani Moro-
Moro-moro bermaksud dalam rangka mem-
Moro Way Serdang (PPMWS) dan 2 orang warga
bangun pertahanan atas konf lik tanah yang terjadi. Masyarakat Moro-Moro 6 Register 45
Moro-Moro. Data selanjutnya dianalisis secara induksi-konseptualisasi yang bertolak dari fakta
Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung adalah satu
atau informasi empiris (data) untuk membangun
entitas masyarakat yang merasakan beratnya menghadapi tekanan dan berbagai diskriminasi
kesimpulan.
yang dilakukan oleh pemerintah.
D. Konf lik Moro-Moro
Tulisan ini hendak mengajukan dua permasalahan. Pertama, bagaimana kehidupan agama
Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji menyebutkan bahwa konf lik di
dan suku warga Moro-Moro, Mesuji Lampung?
Register 45 adalah konf lik penguasaan dan
Kedua, Bagaimana strategi warga Moro-Moro membangun multikulturalisme dalam upaya
pengelolaan hutan tanaman industri yang sejak lama telah menjadi silang sengketa antara inves-
pertahanan atas konflik lahan?
tor, masyarakat dan pemerintah. Kebijakan
C. Metode
pemerintah yang berubah-ubah dan tidak terkoordinasi, pengawasan pemerintah, investor
Tulisan ini menggunakan pendekatan
yang tidak menjalankan kewajiban, menyalah-
etnograf i yang bertujuan untuk memberikan gambaran pengalaman perjuangan masyarakat
gunakan izin, masyarakat yang tersingkir dan menjadi agresif, menyebabkan persengketaan
Moro-Moro Mesuji Lampung yang berhasil
tanah di Register 45 terus terjadi dan tidak pernah
mengelola konflik dalam harmony in diversity. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal
selesai (TGPF hal. 4) Dalam pasang surut konflik di register 45 ada
dari data primer hasil observasi lapangan dan
beberapa catatan mengenai konflik yang muncul.
wawancara terstruktur dengan informan, sementara data sekunder diperoleh dari data-data
Konflik yang terjadi telah menjadi catatan pihakpihak yang berwenang, dan menjadi data di
yang ada sebelumnya berupa catatan-catatan,
Komnasham, Kepolisian Daerah, Pemerintah dan
koran, dokumen, laporan dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan tema penelitian.
organisasi Persatuan Petani Moro-Moro Way Serdang (PPMWS). Berikut dalah tabel graf ik konflik yang pernah terjadi:
Pemilu 2009 masyarakat tidak dapat memilih dengan alasan tidak memiliki KTP. Kemudian dengan perjuangan berbagai pihak warga moro-moro dapat memilih pada pemilu 2014. 6 Masyarakat Moro-Moro adalah masyarakat dari berbagai daerah di Lampung yang masuk dalam kawasan Hutan Register 45 pada tahun 1996 menjelang reformasi. Periode 1997-2000 di Lampung terjadi eksodus masyarakat ke dalam kawasan hutan akibat krisis ekonomi dan reformasi. Saat ini masyarakat mengelola lahan seluas 2.444 hektar. Lihat, Oki Hjiansyah Wahab, Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan: Sebuah Transformasi Perjuangan Masyarakat (Kasus Masyarakat Moro-Moro Register 45 Mesuji Lampung), Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 16, Nomor 3, Maret 2013 (2017-233) ISSN 1410-4946
Gambar 1. Kurva Pasang Surut Konflik di Register 45. (Sumber: Laporan TGPF kasus Mesuji)
184
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Konflik yang telah terjadi tersebut membe-
yang tinggi untuk mempertahankan apa yang
rikan kesadaran kolektif warga Moro-Moro. Bahwa mereka yang hidup di kawasan hutan reg-
telah mereka usahakan bersama. Ketika sudah tidak ada lagi ladang yang bisa
ister 45 akan membangun gerakan aktif dan harus
dibuka, lalu muncul ancaman penggusuran
memiliki tekad berjuang bersama-sama. Jawa sebagai mayoritas penduduk memang cende-
kembali, para petani mulai berani untuk membangun soliditas dan bersepakat untuk
rung mudah menerima perubahan yaitu soal
menjaga atas apa yang telah diperjuangkan.
akulturasi agama dan budaya. Konflik yang terjadi antara suku Jawa dan Muslim hampir dipastikan
Tanah yang selama ini mereka kelola, dijaga, dirawat, sebagai sandaran hidup di tengah krisis
nihil. Sebagai mayoritas, Jawa memang mam-
ekonomi yang masih dirasakan pasca 98. Setiap
bangun budaya yang dominan. Hal ini terbukti atas pemakaian nama “Moro-Moro” yang berarti
petani yang memiliki ladang dan telah ditanami harus berani berjuang mempertahankan dan
ujuk-ujuk datang, tiba-tiba atau spontan. Penggu-
sama-sama dipertahankan. Jika ada dari petani
naan bahasa juga lebih dominan, warga Bali terbiasa menggunakan bahasa Jawa dalam berko-
yang kemudian tidak mau tinggal di Moro-Moro untuk mempertahankan tanahnya, maka
munikasi. Bahasa Bali hanya digunakan dengan
pimpinan warga yang telah ditunjuk membagikan
mereka sesama Bali.
tanah tersebut, atau mengambil alih tanah untuk didistribusikan bagi mereka yang membutuhkan.
E. Penggusuran dan Soliditas
Dengan syarat mereka hidup dan tinggal di
Akibat sering terjadi konflik, masyarakat mulai menyadari bahwa kekuatan penting mereka
wilayah tersebut dan berkomitmen membangun soliditas bersama petani lainnya.
untuk bertahan adalah Petani yang mau hidup
Apa yang dilakukan para petani bisa disebut
di wilayah Moro-Moro. Sebelumnya banyak pihak dari luar warga Moro-Moro memiliki tanah di
sebagai land reform ala Moro-Moro (Islamic 2015). Dengan membagikan lahan secara adil, dalam
Moro-Moro namun mereka tidak mau tinggal di
upaya membangun kepemilikan yang adil juga
wilayah tersebut. Akibatnya ketika penggusuran, warga tidak berani melawan atas tanah yang
menjadi bagian warga Moro-Moro yang ikut aktif menghidupkan tanah mati yang selama ini
mereka hidupkan dan ditanami tumbuhan.
dibiarkan oleh negara dan perusahaan. Mereka
Keresahan yang terus menghantui akan terjadi penggusuran lagi membuat mereka sadar
juga menyadari tanah yang mereka tempati adalah milik negara, namun mereka harus
pentingnya teman hidup di wilayah Moro-Moro.
membangun soliditas untuk bertahan hidup
Mereka bersepakat bahwa setiap orang diberikan kebebasan menentukan dimana posisi ladangnya
dengan mengelola tanah secara merata sehingga saat terjadi penggusuran mereka dapat
dan berapa luas yang ingin digarapnya. Tidak ada
memperjuangkannya secara kolektif atas tanah
larangan dalam menggarap lahan yang telah disepakati, jika ada warga baru yang datang
yang telah mereka bagi dengan kesepakatan bersama.
mereka bermusyawarah untuk membagi tanah
“Di Moro-Moro sebelumnya tidak ada spekulan
untuk dikelola si pendatang, dengan sistem ganti rugi, bukan jual beli. Ganti rugi ini dimaksud
tanah, kalau kuat dia garap, dan ketika ada warga yang tidak memiliki tanah dibagi oleh pemimpin
mengganti uang tapi mengganti biaya lelah dan
warga Moro-Moro. Hal tersebut untuk memper-
biaya tanam sebelumnya, dengan seperti itu mereka akhirnya memiliki rasa persaudaraan
kuat perjuangan, percuma berjuang jika tidak ada kepentingan yang sama. Percuma berjuang jika
Setyawan & Heru Islamic: Tanah dan Multikulturalisme ...: 179-189
185
tidak memiliki lahan (Wawancara warga Moro-
Hindu, dan Kristen. Pluralitas agama yang ada
Moro).” Warga Moro-Moro mendirikan Persatuan
di Moro-Moro menjadi pemersatu untuk bertahan di tengah konf lik tanah, dimana
Moro-Moro Way Serdang (PPMWS), mereka
kapanpun mereka harus siap jika pemerintah dan
mengorganisir 28 kelompok petani dan setiap kelompok terdiri dari 18 hingga 30 keluarga petani.
perusahaan akan kembali berupaya melakukan pengusiran dan penggusuran.
Mereka juga mencari dukungan ke berbagai
Masyarakat Moro-Moro sebagaimana yang
elemen seperti tokoh masyarakat, akademisi, tokoh agama untuk memperjuangkan hak warga
ditulis oleh Oki Hajiansyah Wahab (2012) bahwa komposisi agama warga Moro-Moro terdiri dari
Moro-Moro. Dengan jaringan tersebut mereka
Islam (60%), Hindu (35%) dan Kristen (5%). Jawa
memperoleh dukungan yang signif ikan. Kurun waktu 2007 sampai sekarang, berbagai penelitian
sebagai mayoritas beragama Islam dan Kristen, sedangkan Bali dengan jumlah penduduk ke dua
mulai dari skripsi sampai disertasi ikut lahir
mayoritas beragama Hindu. Bangunan sosial yang
menceritakan proses perjuangan warga MoroMoro. Tercatat dua publikasi buku telah
kuat dapat dilihat dari aktifitas keagamaan warga Moro-Moro yang saling mendukung. Sikap
diterbitkan dan puluhan artikel yang terbit di
kolektif dapat ditemukan di masjid dan musola
7
koran lokal dan nasional. Selain itu warga MoroMoro dibantu para akademisi dan aktif is agraria
dengan rutin melaksanakan yasinan warga satu minggu sekali. Selain itu pada sore hari anak-anak
membuat f ilm dokumenter yang menceritakan
mengaji al-Quran. Warga Jawa yang beragama
perjuangan mereka mempertahankan tanah. PPMWS juga membuat website
Kristen juga beribadah ke Gereja pada tiap hari minggu. Aktif itas keagamaan warga Bali juga
www.supportmoro-moro.com juga tersedia akun
terlihat nyata saat mereka bersama-sama
facebook OrangMoroMoro dan aku twitter @orangmoromoro.
mempersiapkan peringatan hari raya nyepi. Dalam percampuran kebudayaan yang berjalan pelan tapi pasti, warga Jawa dan Hindu
F. Soliditas Agama dan Suku di MoroMoro
juga seringkali bertukar posisi agama. Gadis Jawa yang menikah dengan warga Bali kemudian
Desa Moro-Moro saat ini dihuni oleh kurang
mengikuti agama di laki-laki sudah sering terjadi.
lebih 955 kepala keluarga atau 3.518 jiwa yang tersebar dalam lima wilayah setingkat pedusunan
Begitupun sebaliknya gadis Bali yang menikah dengan laki-laki Jawa Islam kemudian mengikuti
dengan komposisi laki-laki sejumlah 1.863 orang
agama Laki-laki yang Islam.8 Pada prinsipnya
dan 1.655 orang perempuan (wawancara Sekjen PPMWS 2012). Sebelumnya berdasarkan Sensus
mereka lebih mementingkan harmony di warga Moro-Moro yang sewaktu-waktu harus siap-siaga
Penduduk 2010, terdapat 3.359 jiwa yang berada
jika ada ancaman pengusiran atau penggusuran
di wilayah Moro-Moro. Di wilayah ini juga hidup berbagai suku dan
dari Pemerintah atau Perusahaan. Hubungan Jawa-Muslim dan Bali-Hindu merupakan satu
agama. Suku terbesar berturut-turut Jawa, Bali, Lampung, dan lainnya. Agama terdiri dari Islam, 7
Buku Terasing di Negeri Sendiri ditulis Oki Hajiansyah Wahab dan Kami Bukan Superman ditulis oleh Ridwan Hardiansyah seorang jurnalis lokal diterbitkan Indepth Publishing (2012).
8
Wawancara dengan Pak Ma dengan seorang petani beretnis Bali di dusun Moro Seneng bernama Pak Man. Beliau menceritakan bahwa dua saudara perempuannya telah diperistri oleh orang Jawa dan orang Lampung dan kemudian masuk Islam. Ia mengaku tidak menjadi masalah di dalam keluarganya. Namun konsekuensi dari pilihan kedua saudara perempuannya, makan terputuslah hak waris dari orang tua.
186
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
kesatuan entitas dan tidak bisa dilepaskan oleh
Meskipun jika dilihat konteks yang lebih jauh,
perbedaan suku dan agama, mereka sadar dengan memiliki sikap kolektif mereka dapat bertahan
sesungguhnya jalinan hubungan antara JawaMuslim dan Bali-Hindu sebagai sebuah kesatuan
bersama-sama atas konf lik tanah yang tidak
komunitas, tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan
pernah tahu kapan selesai. Keseriusan masyarakat membangun desanya
mereka untuk bersama-sama saling membantu mempertahankan lahan Moro-Moro dari
ditunjukkan dengan usaha keras mereka
ancaman penggusuran, baik oleh negara maupun
membangun berbagai macam fasilitas secara mandiri. Misal tempat ibadah, mereka mem-
perusahaan. Maka di sinilah ada motif pertukaran sehingga munculnya interaksi yang menjadi positif
bangunnya bergotong-royong meskipun mereka
antara orang Jawa-muslim dengan orang Bali-
berbeda keyakinan. Sebagaimana inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima
Hindu. Kalangan Jama-Muslim misalnya memandang ritual puasa sebagai kesadaran uni-
kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa
versal sehingga memiliki daya pandang egaliter
mempedulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama (Mahajan 1998, 37). Tidak
terhadap sesama. Sebuah kesadaran yang mengikat kecerdasan emosi seorang hamba
ada diskriminasi minoritas baik terhadap suku
dengan Tuhannya dan menjadi landasan bagi
dan agama yang ada di Moro-Moro. Warga MoroMoro secara secara kultural menolak diskriminasi.
terbangunnya kecerdasan relasi-rasional antarsesama (Moller 2005, 72). Jawa-Muslim di Moro-
Sebagaimana Parsudi sebut bahwa multikultu-
Moro telah mampu membuka diri, tidak
ralisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah
melakukan tirani mayoritas, bahkan membangun kesadaran sosial bersama umat beragama yang
kesediaan untuk memberikan apresiasi kontruktif
lain.
terhadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Kesadaran itu terwujud dengan
Kalangan Jawa-Kristen sebagai agama minoritas juga dibantu mendirikan gereja oleh
bergotong royong membangun berbagai fasilitas
jawa-Muslim yang mayoritas. Dogma Kristen
sosial. Beberapa fasilitas sosial yang dibangun dengan gotong royong di Moro-Moro dapat
tentang iman, harap dan kasih menjadi ajaran yang baik dalam mengkondisikan atau membuka
dilihat dalam tabel 2.
jalan bagi dialog antar agama maupun peng-
Tabel 2. Daftar Fasilitas Umum di Moro-Moro No 1 2
Fasilitas TK SD
3
SMP
4
Masjid
5
Mushola
6
Pura
7
Gereja
8 9
Gapura Pasar Balai Pertemuan Lapangan Olahraga
10 11
Jumlah 3 buah 3 buah 1 buah 4 buah 12 buah 3 buah 3 buah 11 buah 1 buah 2 buah 3 buah
Lokasi Morodewe, Moroseneng Sukamakmur, Moroseneng, dan Morodewe Moroseneng Moroseneng, Morodewe, dan Sukamakmur Moroseneng (4), Morodewe (4), Sukamakmur (2), dan Morodadi (2) Asahan, Moroseneng, Morodadi, Sukamakmur Moroseneng, Morodadi, dan Sukamakmur Di semua Dusun Moroseneng Moroseneng, Sukamakmur Moroseneng, Morodewe, dan Sukamakmur
Sumber : Laporan TGPF Kasus Mesuji 2012
hayatan iman yang berwawasan multikultural. Dalam ajaran kristen juga berlaku prinsip yang sangat populer dalam Gereja Katolik: in principiis Unitas (dalam hal prinsip kita bersatu), misalnya dalam hal ajaran tentang Yesus, inkarnasi, dogma iman. In dubiis Libertas (dalam hal yang bebas terbuka, kita bebas menentukan pilihan). In omnibus caritas/dalam segala hal harus ada kasih (Ola 2005, 45). Dalam kesadaran hubungan harmoni antara Jawa-Muslim dan Jawa-Kristen mereka saling mampu bersinergi. Sesama Jawa mereka saling tolong menolong mendirikan masjid, Musola dan Gereja sebagai tempat mereka beribadah kepada
Setyawan & Heru Islamic: Tanah dan Multikulturalisme ...: 179-189
187
Tuhan. Warga Moro-Moro tidak lagi tersekat
mereka persembahkan kepada Sang Hyang
dalam perbedaan agama, mereka menyatu dan menggunakan spirit agama untuk membangun
Widhi Wasa. Sesajen dari tanaman tersebut sebagai tanda ungkapan syukur kepada sang
hubungan harmoni. Bukan hanya dengan sesama
pencipta.
Jawa, dengan suku Bali, Lampung, Sumendo yang ada di Moro-Moro mereka membangun hubungan baik. Dalam ajaran Hindu misalnya mereka mengenal Tattawam Asi yang merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu dan kamu adalah saya dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri. Begitupun sebaliknya menyakiti orang lain berarti menyakiti diri sendiri. Bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan hidup (Kitab Upanisat 1995, 478). Karma Phala merupakan suatu hukum akibat (causalitas) bahwa segala perbuatan akan menerima akibatnya. Seseorang yang berbuat baik pasti akan menerima kebaikan, dan seseorang yang berbuat buruk akan menerima keburukan di kemudian hari (Kitab Upanisat 1995, 456). Ahimsa merupakan landasan penerapan keharmonisan bagi ajaran Hindu. Ahimsa berarti tanpa kekerasan, secara etimologi berarti tidak membunuh, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya, hendaknya membela kebenaran dilakukan dengan tidak melakukan perusakan-perusakan. Ahimsyah Paramo Dharma yang artinya kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma), tertinggi dan
Gambar 2. Masjid, Pura dan sebuah tiang sesajen di ladang orang Bali. Sumber : foto Heru Islamic (2014)
pengendalian diri ahimsa adalah kebajikan tertinggi kebenaran (dharma) tertinggi (Kitab Upanisat 1995, 480). Warga Bali-Hindu di Moro-Moro telah memegang erat ajaran di atas dan menjadi laku spiritual dalam kehidupan. Tidak hanya pada ruang kemanusiaan, warga Bali-Hindu sangat pandai menjaga kelestarian alam. Mereka menanam, membangun gapura yang indah dan telah banyak membangun rumah permanen di kawasan MoroMoro. Secara ekonomi warga Hindu sangat tekun, mereka rajin bertani karena hasil tanaman
G. Mendirikan Sekolah Untuk Anak Moro-Moro Cerita tentang pendirian sekolah dilakukan sebagai bentuk keresahan orang tua yang ingin anaknya mendapat hak pendidikan. Ketika mereka dibenturkan dengan persoalan bagaimana agar anak-anak mereka dapat bersekolah sementara mereka tidak bisa meninggalkan dan harus mengurus ladang. Kalaupun jika mereka harus menyekolahkan anaknya, sekolah terdekat jaraknya dirasakan cukup jauh di luar Register 45.
188
Bhumi Vol. 1, No. 2, November 2015
Maka mereka mendirikan bangunan sekolah
galkan bangunan lamanya dan mendirikan
yang sangat sederhana. Dalam pembangunan SD tersebut setiap dari mereka ada yang
bangunan permanen. Setelah itu kemudian mereka mendirikan
menyumbang kayu, atap belit, papan dan bahan
SMP sebagai sekolah lanjutan pasca SD. Kini sejak
lainya agar sekolah itu bisa berdiri. Begitu juga dengan biaya untuk mendukung operasional dan
berdirinya SMP, bisa dikatakan sudah tidak ada lagi anak Moro-Moro yang tidak melanjutkan ke
pengerjaannya, seperti untuk membeli paku,
jenjang SMP. Sama seperti SD, SMP Moro-Moro
upah dan biaya makan tukang, sampai yang menyumbang tenaga. Masing-masing dari mere-
pun menginduk kepada salah satu sekolah SMP swasta di Luar Register 45 yang dinaungi oleh
ka berpartisipasi tidak hanya memberikan
sebuah yayasan. Walaupun kemudian terjadi
sumbangan secara materi namun juga tenaga dan pikiran, terutama mereka yang memiliki anak dan
permasalahan yang mengganggu sistem belajar di SD Morodewe yang belum lama ini ditutup
membutuhkan keberadaan sekolah. SD dusun
oleh Bupati Mesuji Khamamik. Warga Moro-Moro
Moro Seneng adalah SD pertama di Moro-Moro yang ketika itu mereka sebut sebagai “sekolah
dengan PPMWS berjuang melakukan advokasi dengan realese media dan membuat f ilm
milik warga”, karena terbangun atas andil hampir
dokumenter. Walaupun pada akhirnya, kenyataan
seluruh warga. Ketika didirikan pertama kali, mereka hanya mampu membangun 3 lokal kelas
terjadi mereka harus pindah sekolah karena izin belajar dicabut oleh Bupati Khamamik, sehingga
berupa bangunan yang berbahan kayu, atap belit
harus mengikuti belajar ke sekolah Induk yang
dan hanya berlantaikan tanah. Asumsinya ketika itu yang penting dapat menampung anak-anak
jaraknya 40 km. Kini mereka melakukan iuran uang untuk menyewa truk untuk mengantar
mereka belajar seperti di daerah asalnya semen-
anak-anak mereka ke sekolah induk. Warga
tara para orangtua bisa meneruskan aktivitas berladang.
Moro-Moro tetap solid menghadapi semua permasalahan yang ada di sekeliling mereka.
Setelah sekolah berdiri, mereka mencari sekolah yang bersedia mengakui sekolah mereka sebagai kelas jarak jauh. Ini dilakukan agar
H. Kesimpulan
nantinya anak-anak yang sekolah di Moro-Moro
tahan di kawasan register 45 jika mampu menjaga
bisa diakui status belajar mengajarnya dan ikut serta dalam Ujian Nasional. Sampai pada tahun
soliditas yang selama ini telah diperjuangkan. Konflik tanah yang tidak tahu kapan usai menjadi
2004 SD Dusun Moro Seneng akhirnya untuk
basis kesadaran warga Moro-Moro untuk tetap
pertama kali bisa meluluskan muridnya dengan menginduk kepada sebuah sekolah SD yang
solid bertahan di kawasan hutan register 45 Mesuji lampung. Sikap harmoni agama dan suku
berada di desa Labuhan Batin, desa terdekat di
warga Moro-Moro menjadi sesuatu yang wajib
Luar kawasan Register 45. Segala biaya yang dibutuhkan sekolah diadakan secara swadaya
dilakukan agar konflik SARA tidak menjadikan mereka terpecah belah. Upaya mereka mem-
mulai dari pengadaan alat tulis, penyediaan sarana
bangun jaringan kepada berbagai level mulai dari
prasarana penunjang sampai honor untuk para guru yang mengajar. Dengan masih terus
akademisi, aktif is agraria, tokoh agama, dan jaringan media menjadikan warga Moro-Moro
berlangsungnya penggalangan dana secara
semakin kuat dan solid. Dengan mendirikan
kolektif ini, oleh mereka yang dialokasikan untuk sekolah, akhirnya kini SD Moro-Moro mening-
PPMWS sebagai organisasi petani yang terus melakukan advokasi warga, mereka dapat
Warga Moro-Moro yakin mereka dapat ber-
Setyawan & Heru Islamic: Tanah dan Multikulturalisme ...: 179-189
mengabarkan kepada pihak luar atas apa yang mereka alami sebagai warga yang terstigma “perambah”. Kesadaran multikultural antar agama dan suku juga menjadi kekuatan spiritual di sisi lain. Mereka bekerjasama mendirikan tempat ibadah, sekolah dan fasilitas sosial lainnya. Perbedaan yang telah ada sejak awal tidak menjadikan warga Moro-Moro tersekat-sekat. Soliditas gerakan petani menjadikan kehidupan mereka berangsur lebih baik. Kalangan Jawa-Kristen sebagai agama minoritas juga dibantu mendirikan gereja oleh Jawa-Muslim yang mayoritas. Jawa-Muslim telah mampu menerapkan pribumisasi Islam sebagaimana pernah digaungkan oleh Gus Dur. Dogma Kristen tentang iman, harap dan kasih menjadi ajaran yang baik dalam mengkondisikan atau membuka jalan bagi dialog antar agama maupun penghayatan iman yang berwawasan multikultural. Ajaran kristen in principiis Unitas (dalam hal prinsip kita bersatu), In dubiis Libertas (dalam hal yang bebas terbuka, kita bebas menentukan pilihan), In omnibus caritas (dalam segala hal harus ada kasih diejawantahkan Jawa-Kristen di register 45. Begitu juga ajaran Hindu tentang Tattawam Asi, Karma Phala dan Ahimsa. Ajaran Ahimsyah Paramo Dharma yang artinya kebajikan tertinggi, kebenaran (dharma), tertinggi dan pengendalian diri ahimsa adalah kebajikan tertinggi kebenaran (dharma) tertinggi. Kehidupan yang harmoni antar agama dan suku di warga Moro-Moro Mesuji menjadi bukti bahwa konflik bisa dihadapi dengan soliditas bersama.
Daftar Pustaka Abdurrahman, Moeslim, 2003, Islam sebagai kritik sosial, Erlangga, Jakarta. Depag RI, 1995, Terjemahan Kitab Upanisad, Jakarta, Balai Pustaka. Ghazali, Abd Moqsith dan Mustafa Basyir Rasyad, 2006, Islam Pribumi: Mencari Model Keberislaman ala Indonesia, dalam
189
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus Af (ed.) Menjadi Indonesia: 13 abad Eksistensi Islam di Nusantara, Mizan, Bandung. Graf is Tabel diambil dari Laporan TGPF Kasus Mesuji. Islamic, Heru, 2015, Strategi perjuangan mempertahankan tanah berbasis kapital sosial (studi kasus pada komunitas Moro-Moro di kawasan hutan register 45 Mesuji), Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Sosiologi Program Pascasarjana, Depok. Kymlicka, W 1995, Multicultural citicenship: liberal theory of minority rights, Oxford: Clarendon Press. Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Mesuji 2012 Mahajan, Gurprett, 1998, Democracy, difference and Juctice, Lahore: Longman and Co, hal 37. Moller, Andre, 2005, Ramadhan di Jawa: Pandangan dari Luar, Jakarta: Nalar. Ola T.Pr, Benno, 2005, ‘Pemetaan Iman Kristiani dalam Multikultural’, Jurnal LPKUB Perwakilan Medan, edisi I. Oki Hajiansyah Wahab, 2013, ‘Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan: Sebuah Transformasi Perjuangan Masyarakat (Kasus Masyarakat Moro-Moro Register 45 Mesuji Lampung)’, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, ISSN 14104946, Volume 16, Nomor 3, Maret 2013. Parekh, B 2000, Rethinking multiculturalism: cultural diversity and political theory, MacMillan Press Ltd. Wahab, Oki Hajiansyah, 2012, Terasing di Negeri Sendiri, Lampung, Indept Pu-Blishing.