MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI:
Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT) masyarakat membangun harmoni resolusi konflik dan bina damai etnorelijius di indonesia/Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang Dan Diklat, Kementerian Agama RI edisi I, Cet. 1 …… Jakarta, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI lxv + 257 hlm; 14,8 x 21 cm
ISBN : 978-979-797-358-2 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit
Cetakan Pertama, Nopember 2013 MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI RESOLUSI KONFLIK DAN BINA DAMAI ETNORELIJIUS DI INDONESIA
Editor: Drs. H.M. Yusuf Asry, M.Si, APU Desain cover dan Lay out, oleh: Zabidi Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp./Fax. (021) 3920425, 3920421 www.puslitbang1.balitbangdiklat.co.id
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN uji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya yang tiada terhingga, sehingga kami dapat merealisasikan ”Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku tahun 2013 ini merupakan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2012. Buku hasil penelitian yang diterbitkan sebanyak 8 (delapan) naskah. Buku-buku yang dimaksud sebagai berikut: 1. Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia. 2. Efektivitas Pengawasan Fungsional bagi Peningkatan Kinerja Aparatur Kementerian Agama. 3. Menelusuri Makna di Balik Fenomena Perkawinan di
Bawah Umur dan Perkawinan Tidak Tercatat. 4. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan dalam Mengonsumsi Produk Halal. 5. Pandangan Pemuka Agama terhadap Kebijakan Pemerintah Bidang Keagamaan. 6. Pandangan Pemuka Agama terhadap Ekslusifisme Agama di Berbagai Komunitas Agama.
iii
7. Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia. 8. Peran Pemerintah Daerah dan Kementerian Agama dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Kami berharap penerbitan naskah buku hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan masukan bagi para pengambil kebijakan tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan. Disamping itu, diharapkan pula buku-buku ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi berbagai pihak tentang informasi kehidupan keagamaan di Indonesia. Dengan selesainya kegiatan penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan kepercayaan, arahan dan sambutan bagi terbitnya buku-buku ini. 2. Para pakar yang telah sudi membaca dan memberikan prolog atas buku-buku yang diterbitkan. 3. Para peneliti sebagai editor yang telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, dan akhirnya dapat hadir di depan para pembaca yang budiman. 4. Kepada semua fihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. 5. Tim Pelaksana Kegiatan, sebagai penyelenggara.
iv
Apabila dalam penerbitan buku ini masih ada hal-hal yang perlu perbaikan, kekurangan dan kelemahannya baik dari sisi substansi maupun teknis, kami mohon maaf dan berharap masukan serta saran untuk penyempurnaan dan perbaikan buku-buku yang kami terbitkan selanjutnya dan semoga bermanfaat. Semoga bermanfaat. Jakarta, Oktober 2013 Kepala, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. Dr. H. Dedi Djubaidi, M.Ag. NIP. 19590320 198403 1 002
v
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
vi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA
embangunan bidang agama di Indonesia merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam dekade terakhir ini telah berdiri forumforum kerukunan, dan semakin berkembangnya kerjasama lintas agama. Kendati demikian, tugas untuk membangun kerjasama antarpemeluk agama dan antarinstitusi keagamaan dari berbagai komunitas agama di tanah air tidaklah mengenal kata final. Masih ditemukan persoalan-persoalan konflik yang bernuansa agama, meski dalam skala kecil. Hal ini merupakan tantangan bagi kita semua sebagai bangsa plural dan multikultur, yang acapkali dihadapkan pada pasang-surutnya ikatan primordial. Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia di satu sisi merupakan pendorong lahirnya saling pengertian dan kerjasama dalam bermasyarakat dan bernegara, tetapi di sisi lain rawan konflik, untuk itu, penumbuh-kembangan kesadaran dalam penguatan kedamaian perlu kajian dari berbagai aspek kehidupan. Melalui informasi yang dimuat dalam buku ini, diharapkan berbagai pihak dapat memperoleh pelajaran (lessons learned) dan mengetahui model-model kegiatan resolusi konflik dengan menggunakan pendekatan Participatory Action Research (PAR). Dengan diterbitkannya buku ini, selain menambah informasi tentang resolusi konflik
vii
Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
dan bina damai di Indonesia juga dapat menjadi referensi bagi pengambil kebijakan, serta dapat direplikasikan di daerahdaerah lain sesuai kondisi dan situasi yang ada. Saya menyambut baik atas diterbitkan buku berjudul, “Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia” ini. Tulisan ini merupakan salah satu karya para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Semoga bermanfaat adanya. Jakarta, Oktober 2013 Pgs. Kepala Badan Litbang dan Diklat
Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003
viii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
PROLOG 1 Agama Sentra Nilai Budaya Hidup Damai Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA (Guru Besar Antropologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
K
etenangan, keamanan, keselamatan dan kemapanan dambaan hidup semua insan. Kehangatan, keterlindungan, keharmonisan, dan kedamaian idaman suatu dan lintas komunitas. Etnisitas simbol eksistensi jejaring keber-langsungan tipikal generasi ras dari wilayah kebangsaan. Ekosistem beresensi flora dan fauna, biota laut dan sungai serta siklus iklim sebagai landasan kebutuhan rutinitas menginspirasi lahirnya kebudayaan setiap etnis memaknai permasalahan, solusi, dan implementasi aktivitas menjawab tantangan yang terbentang. Di Indonesia menurut Tim Peneliti UI Yunus Meulalatoa Tahun 1995 terdapat sekitar 440 Suku Bangsa (ethnic group). Masing-masing memiliki kekayaan dimensi budaya idea, aktivitas sosial, artifak terhadap keberagamaan, ilmu pengetahuan, peralatan hidup, perekonomian, keorganisasian, bahasa dan komunikasi serta kesenian. Koentjaraningrat dan Parsudi Suparlan antropolog UI atas studi penelitian antropolog tentang peran budaya ketika menghadapi fenomena suka duka dan gagasan perubahan, melahirkan proposisi teoritis “agama menjadi sentra nilai dan norma tertinggi budaya yang dikedepankan dalam putusan penerimaan dan penolakan langkah kehidupan”.
ix
Prolog
Agama yang eksis di masyarakat Indonesia secara juridis politis formal yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Proporsi populasi umat beragama tadi ada yang mayoritas dan ada yang moniritas. Menyebar di perkotaan, pedesaan dan komunitas adat terpencil di pulau, pegunungan, hutan dan alur sungai dari 14.000 gugus kepulauan. Keberagamaan dalam masing-masing agama itu sendiri terdapat variasi faham, aliran serta sekte yang begitu banyak. Jika variasi keragaman ini mampu dipimpin, diorganisasi serta dikoordinasi lewat wadah sebentuk forum yang tersistem dengan kebijakan negara, ini menjadi kekayaan budaya luar biasa Indonesia dan menjadi jendela cermin dunia tentang keberagamaan. Sebaliknya manakala jika letupan kasus-kasus kecil keberagamaan atau aspek lain yang dapat ditafsirkan dapat dikaitkan dengan pengabaian spiritual keberagamaan, tidak diatasi dengan serius akan menjadi ledakan perpecahan dahsyat yang akan melemahkan negara. Penafsiran atas teks dogma wahyu dalam kitab suci untuk penguatan keimanan atau akidah pada dimensi teologi dan peribadatan di dimensi ritual serta penegakan nilai moral, susila, budi pekerti, etika, tatakrama, sopan santun pada dimensi akhlak mulia, hingga upaya penagembangan jumlah penganut agama dari masing-masing agama pada dimensi dakwah dan misi, pemuka agama dan pengikutnya melahirkan berbagai karakter dan strategi dalam menjalankan budaya organisasi agama masing-masing. Fenomena konflik, kekerasan, dan kerusuhan benuansa agama, etnis, ekonomi dan pisah negara sering terjadi di Indonesia. Dalam manajemen penyelesaian selama ini
x
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
pemerintah menempuh dua pendekatan. Pertama aparat keamanan melakukan tekanan (represif) terhadap pihak-pihak terlibat dengan melerai serta menangkap pimpinan dan provokator maupun mengadili yang dipandang bersalah. Kedua pihak birokrasi memberikan kemampuan terbaik intelektual akademis dan stretagi politis mereka menawarkan solusi. Dalam antropologi strategi ini dikonsepsikan sebagai “etik”. Namun pendekatan ini sering kurang berhasil karena ketika habis masa pertemuan kesepakatan, mereka kembali terpancing emosi harga diri dan dendam ketidakpuasan atas kebijakan yang ditempuh. Belakangan ada pendekatan yang mempercayakan bahwa mereka yang bertikai memiliki abilitas memahami masalah mereka dan mencari solusi bersama dengan sesama yang bertikai. Dengan kata lain mereka sendiri memahami penciptaan situasi agar kembali atau terus damai. Jadi pengembangan masyarakat mulai dari belakang yang Robert Chambers memproposisikan “community development start from behind”. Dari pendekatan inilah menginspirasi lahirnya Penelitian Tindakan Terlibat “Partisipatory Action Research”. Dalam antropologi strategi ini dikonsepsikan sebagai “emik”. Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah bekerjasama dengan Balitbangsos Departemen Sosial RI pada tahun 2002-2004 mempraktekkan PAR mencairkan kebekuan komunikasi pasca konflik dan kerusuhan tahun 1999-2002 atau masa deeskalasi konflik antar komunitas muslim di Desa Soakonora dengan tetangganya komunitas Kristen di Desa Acango di Kecamata Jailolo Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara dan juga antara komunitas muslim di Desa Tegal Rejo dengan komunitas Kristen di Desa Madale
xi
Prolog
Kecamatan Kota Poso Kota Daerah Kabupaten Poso Provinsi Sulawesi Tengah. Peran peneliti hanya sebagai motivator, pembimbing dan stimulator agar masyarakat desa memilih dan mempercayakan tokoh-tokoh di desanya mewakili mereka duduk musyawarah dengan tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat tetangganya untuk melakukan penyadaran secara terbuka dan jiwa tenang menghayati konflik dan kerusuhan yang telah berlalu dan unsur-unsur kehidupan lintas komunitas yang tersisa sebagai masalah yang mesti dicari jalan keluarnya. Berlanjut dengan menginventarisasi apa saja kebutuhan bersama dalam upaya solusi tersebut. Kemudian menentukan prioritas jangka pendek, menengah dan lanjutan. Kemudian menentukan beban tanggungjawab masing-masing komunitas serta merefleksi aspek apa saja yang tidak sanggup mereka atasi sehingga mereka pandang memerlukan bantuan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (NGO). Kegiatan ini menghasilkan ruang komunikasi yang akrab dan integratif berwujud kesepahaman langkah-langkah menyelesaikan sisa masalah pasca konflik dan kerusuhan serta menyusun program membina kedamaian berkelanjutan. Akhirnya penelitian ini menemukan model teoritis “Penelitian dengan bimbingan pengenalan kebutuhan masing-masing desa dan bersama serta bantuan peneliti sekapsitasnya bagi perwujudan program warganya bersama-sama akan mewujudkan kedamaian lintas masyarakat”. Disebut juga dengan “Teori Rembuk Pengetahuan Lintas Masyarakat” atau “The Cross Communities Sharing Ideas Theory”. Kedamaian di desa-desa Soakonora dan Acango maupun Tegal Rejo dan Madale tidak pernah lagi tergerus hingga prolog ini
xii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dituliskan. Karena budaya pengambil kebijakan senang dengan memulai sesuatu yang baru sehingga sangat disayangkan program penelitian berhasil seperti tadi tidak ditindaklanjuti dengan peluasan cluster setting komunitas menasional yang kemudian kita tidak sampai dan tidak pernah mengantarkan teori dari kasuistik dan tipikal ke jenjang madya theory apalagi ke tahap grand teory yang semakin jauh panggang dari api untuk sampai menemukan world theory atau universe theory. Suatu harapan baru muncul ketika salah seorang peneliti dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Ahmad Syafi’i Mufid disanggah berbagai narasumber dan di apresiasi oleh Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, bahkan Kepala Badan Litbang dan Diklat waktu itu Prof. Dr. Atho’ Mudzhar pada tahun 2007 ingin untuk memprogramkan penelitian upaya resolusi konflik yang dikaitkan dengan kesukubangsaan, agama dan keberagamaan (etnoreligious) di berbagai wilayah di Indonesia dengan pendekatan PAR dengan metode FGD. Termasuk di Kota Pontianak, Semarang, Kota Mataram, Kota Kupang ternyata juga menemukan hasil gemilang yaitu proposisi teoritis “pendekatan komprehensifholistik yang mengedepankan keaktifan pranata semua pihak terlibat konflik melahirkan penyelesaian permanen nyata (manifest) dengan beban rendah dalam membentuk perdamaian (peace making)”. Selanjutnya pada tahun 2010 langkah Ahmad Syafii Mufid tadi diperkaya lagi dengan ide komparasi kritis oleh M. Yusuf Asry beserta Timnya untuk melakukan penelitian rahasia kedamaian di wilayah-wilayah yang banyak juga
xiii
Prolog
masalah sosial kegamaannya akan tetapi tidak meledak ke dalam konflik dan kerusuhan namun tetap damai. Sehingga programnya bernama “Bina Damai Etnoreligious”. Khususnya di Kota Medan, Kabupaten Badung, Kota Manado, Kabupaten Bantul. Semarang, Kota Mataram, Kota Kupang ternyata juga menemukan hasil yang melegakan. Di samping pedekatan PAR dan Metode FGD juga ditambah wawancara, analisa sejumlah dokumen dan literatur yang relevan. Proposisi teoritis temuannya adalah dialog belajar realita berbedaan alur pikir, nilai dan norma serta aktualisasi agama dan keberagamaan lintas sosial kegamaan menghasilkan komitmen dan aktivitas bersama saling menjaga domain “agree in agreement’ dengan “agree in disagreemant” dalam memelihara dan membangun perdamaian (peace building and keeping). Baik penelitian resolusi konflik maupun bina damai etnorelijius yang diselenggarakan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang sudah mengilustrasi kehadiran teori-teori induktif, walapun belum menyumbangkan secara berarti teori-teori deduktif, sangat saya sambut penerbitan buku yang berjudul “Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius” ini. Dengan membaca buku ini saya optimis sangat membuka wawasan bangsa Indonesia dan seluruh pranata sosial keagamaan di tanah air akan makna kebenaran dan langkah-langkah suci dari kata hati yang paling dalam semua unsur masyarakat yang serius dan tulus berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang mendasari data dan narasi pada tulisan ini. Selamat membaca dan atas dasar itu perluas serta perdalam penelitian
xiv
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
lanjutannya sampai ketemu “The Indonesian Peace Grand Theory” (Teori Besar Kedamaian Indonesia) . Aamiiin.
Jakarta, 21 Agustus 2013 Wassalam dan Hormat saya, Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA
xv
Prolog
xvi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
PROLOG 2 Agama Sumber Perdamaian Oleh: Dr. Darius Dubut, MM (Pegiat Dialog Antariman)
B
erbagai peristiwa kekerasan komunal di Tanah Air, karena konflik yang tidak dikelola secara benar dan bertanggungjawab di masa lampau. Kondisi tersebut telah melahirkan kesadaran banyak pihak, baik itu lembaga pemerintah maupun organisasi non pemerintah untuk melakukan berbagai kegiatan resolusi konflik untuk membangun Indonesia yang damai, adil, dan demokratis. Salah satu lembaga yang banyak melakukan kegiatan studi resolusi konflik dan damai berbasis keagamaan adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI. Kegiatan ini dilakukan berdasarkan keprihatinan karena dari sekian banyak kekerasan yang terjadi dan telah menimbulkan banyak korban nyawa dan harta benda itu, adalah kekerasan yang bernuansa agama. Agama seakan-akan menjadi ”tertuduh”, dalam artian bahwa agama adalah sumber kekerasan, minimal membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh para penganutnya terhadap penganut agama lain, atau oleh kelompok keagamaan arus utama terhadap kelompok aliran bukan arus utama. Tuduhan ini pada satu sisi ada benarnya ketika teks-teks keagamaan ditafsir dan dipergunakan untuk menjadi alat pembenaran bagi tindakan kekerasan terhadap orang lain. Sebaliknya ia juga bisa ditolak mengingat bahwa sesungguhnya ada banyak teks-teks keagamaan yang justru
xvii
Prolog
mendorong penggunaan jalan damai atau nir kekerasan untuk mengelola perbedaan. Pertanyaan yang selalu muncul ketika melihat terjadinya kekerasan bernuansa agama atau yang membawabawa simbol agama adalah apakah memang benar agama itu mengajarkan kekerasan terhadap orang lain yang agama dan keyakinannya berbeda? Atau apakah agama itu sejatinya berwajah damai? Ataukah agama itu memang berwajah ganda: damai dan kekerasan. Pertanyaan ini menjadi penting untuk memperoleh jawaban ketika meyakini bahwa sesungguhnya praktik-praktik perdamaian atau nir kekerasan dapat digali dari teks-teks kitab suci. Konflik sosial adalah sesuatu yang inheren dalam masyarakat. Hal ini disebabkan hakikat masyarakat yang heterogen, menyebabkan selalu ada dalam kondisi yang bertentangan, pertikaian, dan perubahan yang melibatkan berbagai kekuatan dalam masyarakat untuk memperebutkan sumber daya yang ada. Konflik pada dirinya memperlihatkan dua wajah: kekerasan dan perdamaian. Konflik yang tidak dikelola secara benar akan melahirkan prasangka, diskriminasi, sampai pada bentuk kekerasan fisik dan kematian. Sebaliknya, konflik yang dikelola dengan benar justru akan melahirkan perdamaian, di mana berbagai perbedaan yang ada diatasi dengan cara-cara nir kekerasan. Kekerasan dan perdamaian adalah dua sisi dari wajah konflik. Kekerasan adalah sikap, tindakan, perkataan, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, sampai pada kematian. Pertanyaan pokok terkait dengan kekerasan adalah apa yang mendorong seseorang atau kelompok masyarakat melakukan kekerasan? Apakah kekerasan inheren dalam diri manusia?
xviii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Rudolph Otto (Otto, 1923) mengatakan bahwa agama lahir sebagai respon ilahi manusia dalam perjumpaan dengan Tuhan. Respon itu melahirkan tiga hal, yaitu mithos, ritus, dan ethos. Mithos adalah rekaman pengalaman perjumpaan itu, baik yang tersimpan dalam ingatan maupun yang kemudian ditulis dalam bentuk teks. Inilah yang kemudian disebut dengan Kitab Suci bagi agama tertentu. Kitab suci inilah yang menjadi sumber rujukan dan acuan umat untuk menata hubungan dengan Tuhan dalam bentuk ritus, dan juga sumber untuk menata sikap dan laku dalam hubungan dengan sesama manusia dan bahkan seluruh makhluk ciptaan. Itulah sebabnya dalam setiap agama terdapat tiga aspek itu, yaitu kitab suci, ritus atau persembahyangan, dan ethos atau tata laku. Untuk menemukan makna dari teks-teks kitab suci, dalam rangka menemukan nilai sebagai dasar bagi tata laku, maka teks-teks itu harus dibaca dan ditafsirkan, karena sesungguhnya teks-teks itu baru punya arti atau makna kalau ia dimaknai. Nah, di sinilah persoalannya muncul, karena teks-teks itu dimaknai atau ditafsir oleh manusia yang sesungguhnya tidak bebas nilai. Siapapun yang membaca dan kemudian memaknai teksteks kitab suci pastilah mempergunakan kerangka acuan tertentu. Kerangka acuan yang dipergunakan itulah yang menentukan hasil pemaknaan dan yang kemudian nampak dalam sikap dan laku para penafsir dan pengikut mereka. Kalau begitu sesungguhnya wajah agama itu ditampilkan melalui wajah para pemeluknya. Seseorang atau kelompok masyarakat melakukan kekerasan? Apakah kekerasan inheren dalam diri manusia?
xix
Prolog
Terhadap hal ini ada pendapat yang penting diperhatikan untuk melihat apakah kekerasan merupakan faktor yang inherent dalam diri manusia. Erich Fromm (1973: 42-44) mengemukakan bahwa kekerasan tidak perlu dicari pada insting manusia, tetapi pada kondisi khas eksistensinya sebagai manusia. Kekerasan sebenarnya tidaklah melekat sebagai watak buruk dalam diri manusia, melainkan bersumber dari situasi ketika seseorang mengalami hambatan untuk bertumbuh secara baik. Hambatan ini kemudian membalikkan pertumbuhan positif ke tindakan yang destruktif. Dalam keadaan seperti itu rasionalitas manusia tidak berfungsi secara semestinya. Jadi tindakan kekerasan sebenarnya adalah irrasional, yaitu ketika orang kehilangan akal sehat dalam menghadapi hambatan untuk bereksistensi. Fromm menyebutkan adanya dua sumber kekerasan dalam diri seseorang, yaitu kekerasan defensive untuk mempertahankan diri dan kekerasan destructive yang bertujuan untuk menyengsarakan atau bahkan membunuh orang lain. Kekerasan defensive berpotensi kebaikan dan kekerasan destructive berpotensi kejahatan. Potensi kebaikan menjadi dasar untuk memperjuangkan kehidupan, dan potensi kejahatan membuat seseorang berpihak pada kematian. Meski pun demikian, Fromm menegaskan bahwa kekerasan destruktif itu tidaklah bersifat naluriah, melainkan karena kondisi lingkungan menghambat, sehingga melahirkan tindakan yang irrasional, dan merupakan pengingkaran terhadap eksistensi manusia sebagai makhluk rasional. Pendapat serupa dikemukakan oleh Thomas Hobbes seorang filsuf Inggris yang mengatakan, bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya atau homo homini lupus. Tetapi Hobbes tidak memaksudkan bahwa kekerasan itu adalah secara instrinsik ada dalam diri manusia atau menjadi
xx
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
insting naluriah manusia. Kekerasan baru muncul ketika kepentingan pribadi harus dimenangkan. Inilah yang menyebabkan kekerasan menjadi pilihan (Susan, 2010: 115). Jauh sebelum itu, Charles Darwin mempergunakan istilah survival of the fittest untuk menyebutkan watak manusia yang suka mempergunakan kekerasan untuk menghadapi persaingan dan memperjuangkan kepentingan. Sepakat dengan Fromm dan Hobbes di atas, Emile Durkheim menyebutkan bahwa kekerasan adalah bentuk irasionalitas manusia (Susan, 2010: 117). Jadi sebenarnya hendak dikatakan bahwa cara kekerasan akan ditempuh oleh manusia ketika ia tidak bisa atau pun tidak mampu lagi mempergunakan akal sehatnya. Agar peran agama dalam upaya membangun budaya damai nir kekerasan dapat ditampilkan lebih utuh, Louis Kriesberg (Abu Nimer, 2010: xii – xviii) menyarankan untuk melakukan tiga hal, yaitu mekanisme internal umat beragama, mekanisme antarumat beragama, dan mekanisme eksternal. Mekanisme internal dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah melakukan reinterpretasi terhadap teks kitab suci dalam semangat perdamaian, yang mengedepankan HAM, toleransi, rekonsiliasi, kebebasan beragama, dan menghormati orang yang berbeda agama dan keyakinan.1 Sebab itu menyelidiki agama dalam konteks sosial-budayanya atau kontekstualisasi ajaran agama sangat penting untuk memahami hubungan timbal balik yang tersembunyi antara agama dan perdamaian. Upaya ini adalah untuk membaca teks dalam konteks keindonesiaan yang majemuk, yang 1
Salah satu buku yang merupakan hasil reinterpretasi dalam semangat perdamaian dan nir kekerasan adalah karya Dr. Djohan Effendi, Pesan-Pesan AlQuran, Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci, Jakarta: Serambi, 2012.
xxi
Prolog
lingkungannya rusak karena dijarah orang-orang yang tidak bertanggungjawab, yang rakyatnya masih banyak yang miskin, yang penegakan hukumnya masih lemah, dan seterusnya. Hanya dengan demikian agama dapat berperan secara optimal untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Kedua, dalam konteks mekanisme internal itu adalah melakukan dialog internal mengingat bahwa setiap agama memiliki berbagai denominasi dan mazhab. Dialog internal itu bukan untuk menyamakan yang memang berbeda, atau mendominasi pihak lain, melainkan untuk memahami, menerima dan hormat terhadap perbedaan. Sebab sebenarnya perbedaan-perbedaan denominasi, mazhab, atau aliran dalam intern agama adalah hasil dari pembacaan terhadap teks yang terdapat dalam kitab suci yang satu dan sama itu. Dengan demikian maka klaim kebenaran mutlak menjadi sesuatu yang absurd, sebab yang paling tahu dan paling benar dalam memahami teks-teks kitab suci itu hanyalah Tuhan, karena Tuhanlah yang empunya teks itu. Sebab itu hanya Tuhanlah yang berhak menghakimi benar atau salah pembacaan teks itu. Justru ketika ada yang mengklaim bahwa interpretasinyalah yang paling benar dan mengatakan bahwa yang lain keliru atau sesat pada saat itulah agama menjadi berhala. Ketiga adalah adalah optimalisasi peran para pemimpin agama agar dapat mengembangkan kepemimpinan yang positif untuk mengimbangi kepemimpinan yang negatif. Mekanisme Antar Umat Beragama, adalah upaya untuk mengembangkan sikap dan gaya hidup kebertetanggaan yang ditunjukkan dalam hubungan dan pergaulan sosial sehari-hari seperti saling mengunjungi baik pada hari-hari biasa, hari-hari
xxii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
besar keagamaan, tetangga yang mengalami musibah atau kedukaan, kehadiran dalam kegiatan-kegiatan sosial setempat, dan membangun hubungan serta pergaulan antar anak-anak yang berbeda iman. Kemudian yang juga penting adalah penyelenggaraan dialog, konsultasi, dan workshop antariman yang melibatkan berbagai kategori seperti para pemimpin agama, perempuan, pemuda dan remaja antar umat beriman. Melalui berbagai kegiatan antariman itu secara perlahan prasangka akan terkikis dan hubungan pertemanan yang akrab, saling menghargai dan menghormati perbedaan satu sama lain dapat terwujud. Jalinan pertemanan dan persahabatan yang tulus antar umat beragama itu pada gilirannya akan mengubah pembacaan terhadap teks kitab sucinya. Kehadiran agama adalah untuk melaksanakan mandat dan amanat Tuhan, yaitu memelihara kehidupan dan kemanusiaan. Karena itu kehidupan dan kemanusiaan inilah yang menjadi titik temu agama-agama untuk membangun dan mengembangkan hubungan dan kerjasama antar umat beragama untuk kebaikan semua umat manusia. Jadi kalau ada orang yang menghina atau menista manusia maka sebenarnya ia telah menista dan menghina Tuhan yang mencipta manusia itu. Sikap seperti ini sesungguhnya tidak boleh ada dalam kamus kehiduan keagamaan. Salah satu isu yang paling menggangu hubungan antar umat beragama adalah proselitisme, yaitu upaya yang dilakukan secara sistemik untuk memurtadkan orang yang sudah beragama dengan cara pindah ke agamanya. Proselitisme adalah tindakan yang menista kemanusiaan, sebab proselitisme bertolak dari pemahaman dan bahwa hanya agama dan keyakinannyalah yang paling benar dan yang lain adalah keliru atau sesat, sebab itu perlu
xxiii
Prolog
diselamatkan dengan cara berpindah agama. Penghormatan dan pengakuan bahwa Tuhan adalah Yang Maha Kuasa harus dinyatakan dalam pengakuan dan penghormatan bahwa dengan kemahakuasaan dan kebesaran-Nya itulah Ia bebas untuk menjumpai siapa saja di muka bumi ini, yang kemudian melahirkan berbagai agama. Sebab itu menghormati Tuhan harus juga ditandai dengan menghormati setiap orang dengan agama yang diyakininya. Orang belum lagi menghormati Tuhan kalau belum menghormati sesamanya dengan agama dan keyakinan yang dianutnya. Mekanisme pada level sistemik, yaitu adanya perlakuan yang adil terhadap komunitas agama-agama yang ada baik oleh negara mau pun oleh kelompok mayoritas. Dalam hal ini kelompok keagamaan yang dominan atau mayoritas dapat mempengaruhi kebijakan publik secara positif bagi berkembangnya sikap yang terbuka dan menghormati perbedaan, termasuk terhadap kehadiran kelompok minoritas. Hubungan yang positif dan saling menghormati antar umat beragama pada gilirannya akan melahirkan sikap yang positif dari kelompok mayoritas untuk membela kelompok minoritas. Dalam kaitan dengan hubungan mayoritas dan minoritas ini maka adanya undang-undang yang menata relasi yang konstruktif dan positif antara mayoritas dan minoritas menjadi perlu dipikirkan. Sesungguhnya setiap agama dapat berperan dalam mengembangkan kekerasan atau pun perdamaian melalui para penganutnya. Sebab itu adalah tugas dan tanggungjawab para penganutnya untuk melakukan reinterpretasi dan memilih teks-teks keagamaan yang mendukung terwujudnya perdamaian atau masyarakat nir kekerasan. Inilah tugas dan tanggungjawab utama para pemimpin umat masing-masing. Kehidupan yang damai dan nir kekerasan hanya dapat
xxiv
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
terwujud kalau semua orang saling mengenal, saling menghormati, saling menghargai, dan saling mempercayai. Sebab itu nilai-nilai yang dapat menumbuhkan sikap yang saling mengerti, saling mempercayai, dan komitmen timbal balik itu perlu senantiasa diperbaharui. Ini memang bukan tugas yang mudah tapi juga bukan hal yang tidak mungkin, sebab ini adalah panggilan iman dari semua orang yang beragama dengan benar. Kekerasan dan perdamaian adalah dua sisi dari wajah konflik. Kekerasan adalah sikap, tindakan, perkataan, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, sampai pada kematian. Pertanyaan pokok terkait dengan kekerasan adalah apa yang mendorong Johan Galtung (Susan, 2010) membagi kekerasan atas tiga tipe, yaitu kekerasan struktural, kekerasan kultural, dan kekerasan langsung. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang muncul karena adanya undang-undang, peraturan, dan ketentuan yang diproduksi oleh negara dan yang tidak adil bagi semua. Kekerasan struktural terkait dengan ketidakadilan struktural, yaitu ketidakadilan sosial yang muncul karena adanya undang-undang, peraturan, dan ketentuan-ketentuan yang tidak adil. Contohnya dapat dilihat antara lain pada berbagai produk perundang-undangan yang bernuansa keagamaan di berbagai daerah di Indonesia yang bersifat memaksa dan diskriminatif seperti kasus Aceh sebelum rekonsiliasi, atau kasus Papua yang masih berlangsung sampai hari ini. Kekerasan kultural muncul dari aspek-aspek dalam suatu kebudayaan yang dikonstruksi oleh masyarakat untuk menjustifikasi dan melegitimasi kekerasan yang dilakukan. Kekerasan kultural muncul dari aspek-aspek agama, ideologi,
xxv
Prolog
seni, bahasa, ilmu pengetahuan, dll yang dikonstruksikan. Dalam kasus kekerasan suku Dayak dengan suku Madura di Sampit tahun 1999, orang-orang Dayak melakukan ritus pemanggilan roh para leluhur untuk melegitimasi dan menjustifikasi balas dendam mereka. Kekerasan serupa nampak dalam kasus yang dialami oleh pengikut aliran Ahmadiyah, Syiah, dan warga minoritas lainnya. Bentuk lain dari kekerasan kultural adalah stereotyping, prasangka, dan diskriminasi. Setereotipe adalah penyamarataan setiap individu atau kelompok ke dalam kategori-kategori yang mengakibatkan kelompok tersebut memiliki sifat atau watak tertentu yang umumnya negatif. Misalnya etnik A serakah, suka berpura-pura, etnik B biasanya suka berbicara berbelitbelit, dstnya. Prasangka adalah sikap yang diarahkan kepada warga atau kelompok tertentu dan difokuskan pada ciri-ciri negatif kelompok tersebut berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau kelompok itu (Liliweri, 2005: 199). Sedangkan diskriminasi adalah perlakuan tidak adil yang disebabkan kategori-kategori pembeda yanag dibangun atas dasar prasangka dan stereotipe terhadap orang atau kelompok tertentu yang menghalangi anggota kelompok tersebut untuk mendapatkan hak yang sama dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Kekerasan kultural bisa melahirkan kekerasan langsung, seperti kasus Dayak vs Madura, Ahmadiyah, Syiah di Sampang, dll. Stereotyping dan prasangka biasanya lahir karena adanya tanggapan terhadap berbagai perilaku negatif yang diperlihatkan oleh segelintir warga etnik. Meskipun perilaku negatif itu sesungguhnya bukanlah sifat atau karakter dasar etni tersebut. Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang diciptakan oleh negara melalui sistem dan struktur yang
xxvi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dibangun dan yang membatasi hak-hak warga negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya secara bebas dan adil. Struktur sosial itu kemudian mendiskriminasi warga negara atas dasar ras, etnik, atau agama. Kekerasan struktural ini bisa kita lihat dalam berbagai produk kebijakan negara yang nampak dalam berbagai undang-undang atau pun hukum, berbagai kebijakan pemerintah daerah menyangkut pengelolaan sumber daya alam yang merampas tanah rakyat di banyak tempat di Tanah Air. Di berbagai daerah di Kalimantan Tengah dijumpai banyak warga masyarakat yang mengalami penurunan derajat kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan karena akses mereka kepada sumber daya alam dibatasi. Contoh dari kekerasan struktural juga bisa dilihat dalam kasus Papua sampai hari ini. Kekerasan langsung adalah bentuk kekerasan yang dilakukan secara langsung, seperti pemukulan atau pembunuhan terhadap orang atau kelompok tertentu, atau penembakan oleh aparat negara terhadap para demonstran. Contoh kekerasan langsung bisa dilihat pada kasus penembakan warga masyarakat di Mesuji tahun 2012, Lombok, dll. Kekerasan langsung juga bisa dilihat dalam kasus kekerasan antara Dayak dan Madura, Ambon, Poso dll. Kekerasan langsung secara kolektif oleh masyarakat biasanya memperoleh legitimasi dan justifikasi dari kekerasan kultural atau pun kekerasan strutural. Wajah lain dari konflik adalah perdamaian. Damai adalah suatu keadaan atau kondisi masyarakat yang ditandai oleh tidakadanya kekerasan dalam bentuk apa pun (intimidasi, prasangka, diskriminasi, dan kekerasan fisik), hadirnya dialog sebagai gaya hidup yang melahirkan sikap yang saling menghormati dan memahami terhadap perbedaan yang ada, terwujudnya hubungan dan kerjasama yang kreatif
xxvii
Prolog
dan dinamis antara berbagai kelompok dalam masyarakat, serta terbangunnya konsensus untuk kebaikan semua dan bersama. Damai bukanlah suatu keadaan atau situasi yang statis, hening, dan senyap tanpa dinamika. Justru masyakat yang dinamis adalah masyarakat yang senantiasa menjadikan dialog sebagai metode dalam menjawab berbagai persoalan dalam masyarakat. Sebab itu damai atau perdamaian bukanlah sesuatu yang dapat muncul dari langit, melainkan harus diperjuangkan oleh masyarakat secara bersama-sama dan terus menerus. Sejalan dengan konsep mengenai tiga tipe kekerasan di atas, Galtung (Susan, 2010: 130 – 133) membagi perdamaian atas dua tipe, yaitu perdamaian positif dan perdamaian negatif. Perdamaian positif adalah suatu kondisi di mana terpenuhinya rasa aman, adanya keadilan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta terhapusnya diskriminasi ras, etnik, dan agama dari struktur sosial yang ada. Jadi, perdamaian positif tidak hanya berhenti sampai pada upaya mereduksi kekerasan langsung, melainkan sampai pada terhapusnya kekerasan struktural, dan kekerasan kultural yang dapat melahirkan dan mendorong terjadinya kekerasan langsung. Perdamaian negatif lebih ditujukan pada upaya mencegah munculnya kekerasan langsung, seperti perang pada kasus Aceh, dan berbagai kekerasan etnik seperti di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, serta di Ambon dan Poso. Nir kekerasan di sini berarti mencegah munculnya kekerasan fisik. Dari perspektif ini, perdamaian hadir ketika tidak adanya perang atau kekerasan fisik secara langsung yang terorganisir. Salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian negatif
xxviii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
adalah melalui perlucutan senjata dari pihak-pihak yang berperang oleh pihak keamanan. Konsep perdamaian negatif ini nampak dalam berbagai bentuk seperti diplomasi, negosiasi, dan resolusi konflik, bahkan sampai pada hadirnya polisi dan militer. Salah satu upaya untuk mewujudkan perdamaian negatif adalah melalui pengelolaan atau manajemen konflik, yang berupaya untuk mengubah perilaku negatif mereka yang terlibat konflik mejadi perilaku positif atau nir kekerasan. Sampai hari ini upaya pengelolaan konflik di Papua belum menghasilkan kemajuan yang berarti karena pendekatan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah lebih pada pendekatan keamanan. Perdamaian negatif tidaklah bisa dipisahkan dari perdamaian positif, sebab perdamaian positif haruslah dimulai dari perdamaian negatif. Perpaduan antara perdamaian negatif dan positif inilah yang kemudian akan melahirkan perdamaian yang menyeluruh. Jika konflik dipahami sebagai bagian yang inheren dalam masyarakat, maka berbagai upaya untuk mengelola potensi positif dari konflik harus terus menerus diupayakan. Dengan demikian jika konflik dipandang sebagai sumber perubahan, maka upaya untuk mengelola perbedaan haruslah dilakukan secara terus menerus, dan perdamaian bukanlah sesuatu yang statis. Perdamaian diwujudkan dalam keseluruhan relasi antarmanusia, antar komunitas, antarmasyarakat, dan bangsa., bahkan dengan keseluruhan makhluk. Itu sebabnya Dewan Gereja se Dunia pada tahun 1990 menyepakati tema relasi antarmanusia dan lingkungan sebagai Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan sebagai upaya yang menyeluruh dan utuh untuk mewujudkan perdamaian di
xxix
Prolog
muka bumi ini. Perdamaian menyeluruh ini mestilah menjadi spirit dari keutuhan relasi antarmanusia, lingkungan hidup yang bersumber dari pembaharuan relasi dengan Tuhan. Berbagai upaya untuk membangun masyarakat yang damai atau nir kekerasan melalui kegiatan resolusi konflik dan bina damai yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI yang ada di hadapan pembaca tentu akan sangat menolong untuk memahami peta konflik di kota-kota tempat kegiatan.
xxx
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
PRAKATA EDITOR uku ini berawal dari kajian tentang Penyadaran dan Pendampingan dalam Penguatan Kedamaian merupakan salah karya hasil kajian Puslitbang Kehidupam Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Sebagai hasil kajian muatan tulisan ini mengetengahkan sejumlah program dan kegiatan oleh, dari dan untuk masyarakat, yang rumusannya disusun oleh Tim Penulis dan telah diseminarkan. Kemudian diberi judul, “Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnoreljius di Indonesia”. Dalam tulisan ini dikemukakan, bahwa masyarakat Indonesia dikenal heterogen, baik dari segi etnis, budaya maupun agama tetapi sejak masa lalu dikenal memiliki reputasi yang mengagumkan dalam memelihara kedamaian yang berbasis toleransi. Dikemukakan antara lain, bahwa masuk dan tersebarnya agama-agama di kepulauan nusantara ini adalah karena berhasil dalam adaptasi dengan budaya lokal telah membuat akulturasi itu berjalan damai, dan relatif sepi dari nuansa kekerasan antaruamt beragama. Namun seiring dengan pengaruh global, perubahan sosial dan penerapan sistem pemerintahan sentralistik kepada otonomi daerah serta kehidupan yang dekokratis di era reformasi ini ternyata agama yang hadir sebagai tempat persemaian kedamaian (rahmatan lil ‘alamin), telah terdistorsi oleh sejumlah pertarungan kepentingan. Akibatnya muncul konflik pada sejumlah daerah, sekalipun dalam wilayah yang lebih besar masyarakatnya tetap dan mampu memelihara kedamaian.
xxxi
Prakata Editor
Kekuatan tulisan dalam buku ini ialah mampu mengunkapkan resolusi konflik dan bina yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat dengan diperoleh melalui pendekatan Participatory Action Researh (PAR) yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Suatu pendekatan penelitian yang memberikan ruang seluas-luas kepada masyarakat untuk mendiagnose, mengindentifikasi, merumuskan dan menyelesaikan sendiri konflik yang telah dialami, dan merumuskan jalan keluarnya. Dalam kajian ini, peran peneliti hanya sebatas fasilitator. Kajian ini dilaksanakan oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Kagamaan bekerjasama dengan Yayasan Indonesian Institute for Civil Soceity (INCIS). Di samping itu kajian juga melibatkan berbagai pihak narasumber, seperti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan sejumlah Perguruan Tinggi di Jakarta dan di daerah. Kajian resolusi konflik dilakukan pada tahun 2009 dan 2010, dan 2012, yang dimuat dalam buku ini dari rekaman kegiatan resolusi konflik dari empat lokasi daerah yang pernah terjadi konflik, yaitu: Kota Pontianak Kalimantan Barat, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, Kota Semarang Jawa Tengah, dan Kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Demikian juga kajian bina damai dilakukan pada tahun 2012 di empat daerah damai, yaitu: Kabupaten Badung Bali, Kota Manado Sulawesi Utara, Kabupaten Bantul Yogyakarta, dan Kota Medan Sumatera Utara. Sebagai kajian diakui adanya keterbatasan, di sana-sini masih dirasakan kekurangdalaman informasi. Karena sebagai besar dari kader perdamaian hasil pelatihan melalui FGD dan PAR telah tersebar yang sulit ditemui di lapangan. Sayangnya tulisan ini belum memuat secara konprehensif karena adanya
xxxii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
rekaman dinamika kegiatan PAR yang variatif. Misalnya mengungkap faktor konflik sosial bernuansa keagamaan secara rinci seperti konteks pendukung, akar, sumbu dan faktor pemicu konflik dari tiap lokasi. Secara umum telah tergambarkan sesuai informasi yang diperoleh di lapangan dalam waktu terbatas. Dalam proses pengeditan ini juga kontribusi Anas Saidi yang banyak berperanserta sejak awal program ini. Dan dengan tulisan “prolog” dari Darius Dubut turut mempekuat tulisan ini. Jakarta, Oktober 2013 Editor: M. Yusuf Asry
xxxiii
Prakata Editor
xxxiv
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
RINGKASAN ISI BUKU: MASYARAKAT MEMBANGUN HARMONI: RESOLUSI KONFLIK DAN BINA DAMAI ETNORELIJIUS DI INDONESIA Oleh Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan 1. Pendahuluan Penduduk Indonesia sangat heterogen dalam etnis, bahasa, adat-istiadat, budaya dan agama. Kondisi tersebut mendorong dinamika saling berinteraksi, dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebaliknya dengan pilihan kehidupan demokrasi dan reformasi dalam kehidupan berpotensi terjadi konflik, apalagi jika lemah kendali pengelolaaannya secara baik. Sebagaimana dialami bangsa ini tindakan anarkhis, kekerasan dan konflik dalam masyarakat terjadi secara mencolok menjelang akhir pemerintahan Orde Baru (19961998) dan memasuki awal Orde Reformasi (1998-2000-an). Di antaranya disebutkan di sini seperti kasus Situbondo (10 Oktober 1996), Tasikmalaya (26 Desember 1996), Pekalongan (24-26 Maret 1997), Temanggung (6 April 1997), Banjarnegara (9 April 1997), Sanggauledo (Januari dan Februari 1997), serta pada awal reformasi digulirkan seperti kejadian di Ketapang, Kupang, Ambon (1999), Maluku Utara, Poso, Sambas (1999) dan Sampit Palangkaraya (7 Maret 1999). Selanjutnya secara sopradis diikuti kasus lain, seperti penistataan agama di
xxxv
Ringkasan Buku
Temanggung, Jawa Tengah (8 Februari 2011), kasus Ahmadiyah Cikeusik Pandeglang, Banten (2011) dan kasus Sunni-Syi’ah di Sampang, Jawa Timur (2011, 2012). Kasus terakhir hingga saat ini belum terselesaikan. Konflik etnik dan konflik sosial bernuansa agama tersebut selain menimbulkan korban harta benda dan jiwa yang sia-sia, juga merusak harmoni kehidupan masyarakat dan antarumat beragama. Atas dasar tersebut, perlu kajian tentang konflik dan damai, dengan tema Kajian Penyadaran dan Pendampingan Melalui Penguatan Kedamaian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama telah melakukan kajian mulai tahun 2009 hingga 2012 dengan pendekatan riset aksi partisipatori (participatory action research/PAR) dan focus group discussion (FGD). Masalah pokok kajian ialah bagaimana pelaksanaan resolusi konflik (peace making) dan bina damai (peace building) dalam penguatan kedamaian pada masyarakat yang heterogen dari segi etnis dan agama (etnorelijius)? Pertanyaan kajian secara khusus tentang kajian resolusi konflik, yaitu: 1) Bagaimana dinamika kegiatan resolusi konflik etnorelijius melalui pendekatan PAR di daerah sasaran? 2) Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut? Pertanyaan kajian tentang bina damai: 1) Bagaimana dinamika kegiatan bina damai entnorelijius melalui pendekatan PAR di daerah sasaran? 2) Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan bina damai tersebut? Kajian ini bertujuan untuk menjawab keempat pertanyaan di atas. Hasilnya tentu akan berguna untuk
xxxvi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
pengambilan kebijakan bagi pemerintah terutama dilingkungan Kementerian Agama dan pihak terkait. Bagi masyarakat tentu berguna sebagai acuan penyelesaian konflik dan pemeliharaan kedamaian. Dari kedua kajian tersebut berbagai pihak dapat mengambil pelajaran (lesson learned) dalam penguatan kedamaian. Dari segi teoritis dalam tulisan ini digunakan teori sosiologi konflik yang digabung dan dimanfaatkan untuk melakukan analisis dan intervensi konflik. Kegiatan ini bersifat multidisipliner seperti yang dipelopori oleh Johan Galtung (1969: 167-191). Galtung melakukan pendekatan dari segitiga konflik. Bahwa konflik berakar pada kepentingan yang berbeda-beda baik dari individu, kelompok, atau pun organisasi yang dipicu oleh persepsi atau tanggapan anggota etnik tertentu terhadap isu-isu tertentu yang berkaitan dengan etnik lain. Salah satu sumbangan Galtung terhadap analisis konflik multidisipliner berkembang dalam konteks konflik komunal, konflik primordial, dan konflik instrumental. Lokus kajian dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan faktor kawasan, heteregenitas etnis dan agama, dan pernah terjadi konflik sosial bernuansa agama. Kajian ini meliputi tiga kawasan Indonesia, yaitu kawasan barat, tengah dan timur. Heterogenitas pemeluk agama dilihat komposisi besar dan kecilnya jumlah pemeluk agama di suatu daerah. Dalam kegiatan ini mengambil lokasi 16 daerah dengan waktu selama 4 tahun, mulai 2009 hingga 2012. Keduabelas daerah konflik yang dilakukan kajian meliputi: pada tahun 2009 sebanyak 6 lokasi, yaitu: Kota Bekasi Jawa Barat, Kota Semarang Jawa Tengah, Kota
xxxvii
Ringkasan Buku
Makassar Sulawesi Selatan, Kota Palu Sulawesi Tengah, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat, dan Kota Ternate Maluku Utara. Selamjutnya pada tahun 2010 juga pada 6 lokasi, yaitu: Kota Banda Aceh Provinsi Aceh, Kota Pontianak Kalimantan Barat, Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Samarinada Provinsi Kalimantan Timur, dan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Namun dalam buku ini hanya dimuat 4 daerah konflik, dengan pertimbangan kekhasannya. Konflik di Pontianak terkait dengan etnis dan primordialitas, di Semarang terkait migrasi pendatang dan penguasaan sumber daya, di Mataram terkait etnik mayoritas dengan minoritas, dan di Kupang terkait dengan etnis “pendatang” dan “asli”. Adapun 4 daerah damai yang dipilih, juga karena memiliki kekhasan yaitu: di Kabupaten Badung terkait ekonomi (pariwisata) dan awig-awig, di Kota Medan terkait keterbukaan dan nilai kerukunan, di Kota Manado yang dikenal kuat kearifan lokalnya -institusi kerukunan dan nilai-, dan Kabupaten Bantul terkait dengan nilai budaya keraton dan karisma Sultan. Dalam kajian ini digunakan teknik pendekatan participatory action research (PAR) dan focus group discussion (FGD). Rencana program merupakan lanjutan proses need assessment. Dalam rencana ini dicantumkan tentang apa yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukan, dan kapan waktu dilakukan. Pelaksanaan kegiatan diatur dalam penjadwalan termasuk pembagian kelompok dan tugas-tugasnya. Sesuai
xxxviii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
prinsip PAR, pelaksanaan kegiatan ini diorganisir dan dipimpin oleh masyarakat. Analisis pada tiap tahapan kegiatan dilakukan secara bersama-sama oleh masyarakat yang didampingi oleh fasilitator dari peneliti. Akhir dari kegiatan analisis masyarakat menemukan berbagai alternatif solusi atas persoalan-persoalan yang telah teridentifikasi. Semua kegiatan dipantau atau dimonitor secara berlanjut untuk melihat kesesuaian antara pelaksanaan dengan rencana yang telah disusun. Jika suatu tahapan kegiatan selesai, dilakukan evaluasi. Selanjutnya dilakukan refleksi guna mengambil pelajaran (lessons learned) dari kegiatan yang dilakukan. Semua proses dilakukan oleh masyarakat/kelompok sasaran, peneliti sebagai pendamping dan fasilitator. Pelaksana kajian ini ialah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Yayasan Indonesian for Civil Society (INCIS). Sejumlah stakeholder terkait ikut berperan serta dalam kegiatan ini, seperti: Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi dan kabupaten/kota, Kementerian Agama provinsi dan kabupaten/kota, kalangan perguruan tinggi di masing-masing lokasi kajian. Secara umum pelaksanaan kegiatan dapat diskemakan sebagai berikut:
xxxix
Ringkasan Buku
DESAIN OPERASIONAL DAN PERSIAPAN SOSIALISASI PROGRAM DAN ASSESMENT FGD PELOPOR KEDAMAIN SOSIAL PENDAMPINGAN: MONITORING DAN REFLEKSI
PENYELESAIAN BUKU DAN LAPORAN SEMINAR
ANALISIS DAN INTEGRASI LAPORAN
Resolusi Konflik di Kota Pontianak Kota Pontianak adalah ibukota Provinsi Kalimantan Barat yang didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu tanggal 23 Oktober 1771, dan beliau dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak pertama (1771-1808). Sejak tahun 1959 dikembangkan menjadi Kotapraja, dan pada tahun 1965 menjadi Kota Pontianak. Secara administratif terdiri atas 6 kecamatan, 29 kelurahan, 634 RW dan 2.372 RT. Luas Kota Pontianak 107,82 Km2 dihuni penduduk multietnik, terbesar adalah etnis Melayu dan Dayak, disusul etnis Tionghoa, dan etnis Madura. Heterogenitas etnis dan agama penduduk Kota Pontianak khususnya, dan di Provinsi Kalimantan Barat umumnya rawan konflik. Penduduk dari segi agama dalam buku Kota Pontianak dalam Angka 2011 (95-96, 159-160) tercatat 128.441 jiwa. Pemeluk agama tersebar di
xl
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
6 kecamatan, dengan konsentarasi dominan yang berbeda. Islam banyak di Pontianak Selatan dan Barat, Kristen di Pontianak Kota dan Selatan, Timur, Barat dan Utara, Hindu di Pontianak Utara dan Selatan, sedangkan Buddha di Pontianak Selatan dan Tenggara. Tiap komunitas agama memiliki rumah ibadat tersendiri, sebagai sentra kegiatannya. Konflik etnis terjadi kerusuhan komunal antara Dayak-Melayu dan Melayu-Madura. Pada umumnya diawali masalah individual berkembang menjadi konflik komunal seperti antara Dayak dengan Melayu, dan antara Madura-Melayu (Yacobus Kumis, 2011: 9). Menurut Moh. Haitami Salim Ketua Furom Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Barat bahwa di wilayah in telah terjadi 11 kali konflik horizontal yang melibatkan kelompok etnis (2012:46), bahkan dalam makalah Yacobus Kumis, Ketua Dewan Adat Dayak tercatat lebih banyak yaitu: 13 kali konflik (2012:3). Dari pengalaman pristiwa konflik nampak nilai sosial budaya dan agama tentang kerukunan dan kedamaian tidak mampu membentengi masyarakat dari konflik individu dan/atau konflik komunal, karena faktor nonagama. Konflik bernuansa agama di Kalimantan Barat disebabkan banyak faktor. Di antaranya ialah kepentingan ekonomi dan politik, masalah sosial-budaya, pengendapan identitas politik, dan segregasi etnorelijius atas penegelompokan etnis atau agama.
xli
Ringkasan Buku
Kedamaian sosial yang terbangun pasca konflik lebih pada proses pengendapan masalah. Karena itu jika terdapat pemicu akan muncul konflik baru, karena penyelesainnya dinilai belum tuntas. Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh kader muda perdamaian terutama Forum Kerukunan Pemuda Lintas Agama (Forkupelia) terlihat belum optimal. Berbagai upaya resolusi konflik yang dilakukan, antara lain: pertandingan olah raga antar pemuda penganut lintas agama, kerja bakti bersama membersihkan rumah-rumah ibadat, dan dialog kerukunan. Di luar kegiatan forum tersebut terdapat keariafan lokal yang mendukung kerukunan. Dayak Samih di Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak berhasil membangun kearifal lokal. Sekalipun aksi kekerasan sering terjadi sesama warga antara Dayak vesus Madura seperti pristiwa tahun 1997 dan 1999 dan 2000, tetapi bagi masyarakat Sebangki yang penduduknya dari Dayak Suku Samih menolak terlibat dalam aksi kekerasan dengan embel-embel etnik dan agama. Ketika suku Dayak lain mengirim “mangkok merah” (simbol ajakan berperang) kepada masyarakat di Kecamatan Samih, mereka respon dengan mengembalikan mangkok merah tersebut dengan “mangkok putih” yang berarti penolakan ikut konflik. Ini merupakan sebuah kearifan lokal untuk kedamaian. Jadi, dapat diambil pelajaran bahwa konflik dapat di atasi dengan kesepakatan bersama warga dibawah koordinasi pemerintah setempat sehingga menjadi kearifan lokal yang dilaksanakan secara konsekwen.
xlii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Resolusi Konflik di Kota Semarang Kota Semarang ibukota Provinsi Jawa Tengah memiliki luas wilayah 373,7 km2. Secara administratif kota ini terbagi atas 16 wilayah kecamatan dan 177 kelurahan. Semarang merupakan kota yang majemuk dari segi etnis dan agama. Menurut Survei Nasional BPS 2010 terdapat sejumlah etnis, yakni: Jawa (93,2%), Cina (4,3%), Sunda (0,7%), Batak (0,25%), Madura (0,15%), Melayu (0,13%), Minang (0,09%), Betawi (0,07%), dan Lainnya (1,03%). Dari segi agama sesuai data BPS 2010, adalah: Islam (83,3%), Kristen (7,14%), Katolik (7,48%), Hindu (0,69%), Buddha (1,21%), dan lainnya termasuk Khonghucu (0,15%). Rumah ibadat tersedia masjid 1.126 buah, mushola 1.933 buah, gereja/kapel 287 buah, dan pura/kuil/wihara 38 buah. Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh alumni Focus Gruop Dicussion (FGD) tahun 2010 ada dua. Pertama, pelatihan Pemuda Karang Taruna “Merdeka” di Kelurahan Karangroto. Pelatihan ini untuk meningkatkan ketrampilan jurnalistik, manajemen Karang Taruna dan kesadaran akan perdamaian. Kedua ialah perlombaan membaca dan hapalan surat-surat pendek serta adzan. Kedua kegiatan tersebut merupakan model upaya resolusi konflik keagamaan. Jika yang pertama fokus pada pertemuan dan memperoleh kesepakatan antarpemuda berbagai agama, sedangkan model kedua ialah kerjasama untuk membangun saling kesepahaman. Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut, yaitu konflik dapat diatasi dengan dialog
xliii
Ringkasan Buku
antarumat beragama mencari kesepakatan perdamaian, dan membangun saling kepahaman dalam kegiatan sosial.
Resolusi Konflik di Kota Mataram Kota Mataram ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dari segi administrasi pemerintahan, terbagi menjadi 6 kecamatan, yakni Kecamatan Ampenan, Sekarbela, Mataram, Selaparang, Cakranegara dan Kecamatan Sandubaya (BPS. Kota Mataram, 2011:3-15). Penduduk Kota Mataram pada tahun 2010 mencapai 402.843 jiwa, terdiri atas 199.332 laki-laki dan 203.511 perempuan. Mataram merupakan daerah terbuka sehingga dapat dipahami jika penduduk kota ini terdiri atas berbagai etnis/suku. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat maupun kalangan pejabat Pemda Kota Mataram, suku Sasak sebagai suku asal Pulau Lombok merupakan penduduk mayoritas. Menyusul suku Jawa, suku Bali, dan selebihnya adalah suku-suku lain. Dalam kehidupan keagamaan, mayoritas penduduk beragama Islam, yakni 352.021 jiwa (80,15 %). Umat Hindu menempati posisi terbesar kedua, 65.700 jiwa (14,96 %), Kristen menempati 7.805 jiwa (1,78 %), Buddha 7.653 jiwa (1,74 %), Katolik 4.875 jiwa (1,11 %) dan Khonghucu 1.145 jiwa (0,26 %) (Data Kantor Wilayah Kemenag Prov. NTB, 2012). Konflik sosial terjadi lebih disebabkan oleh perbedaan pola kehidupan antara penduduk asli dengan pendatang beserta identitas etnis dan agamanya, lemahnya penegakan hukum, serta lamban dalam penyelesaian kasus-kasus
xliv
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
keagamaan dan konflik sosial. Faktor potensial memicu konflik, antara lain: dinamika politik-lokal, ego budaya (stereotyping terhadap wong liyan), kontestasi interpretasi agama (antara tekstual vs kontekstual), persoalan hubungan keluarga, serta adanya kesenjangan ekonomi dan sosial. Tragedi konflik terjadi selama ini mencapai 171 kali. Dinamika kegiatan resolusi konflik oleh kader perdamaian terutama dalam hal: pengembangan dan revitalisasi budaya/kearifan lokal (local wisdoms), penguatan peran forum-forum kerukunan seperti FKUB dan Petamas, sosialisasi budaya toleransi, dan pengembangan wawasan multikultural, serta kebijakan pemerintah daerah setempat yang mendukung kerukunan. Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut, bahwa nilai-nilai kerifan lokal, pengembangan wawasan multikultural yang terus disosialisasikan dapat mengatasi konflik dalam masyarakat secara bertahap, dan dalam hal ini dapat diberi peran besar pada FKUB.
Resolusi Konflik di Kota Kupang Kota Kupang adalah ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Penduduknya beragam dari segi etnis dan agama. Masyarakat Kupang tampak masih kuat dalam kekerabatan, baik lewat perkawinan maupun lewat keturunan darah. Kekerabatan telah menjadi semacam kekuatan budaya (culture force) yang berhasil menjalin relasi antarindividu. Kekerabatan yang dimaksudkan di sini adalah ikatan
xlv
Ringkasan Buku
keanggotaan seseorang individu ke dalam suatu keluarga (dalam arti sempit dan luas) yang terbina secara vertikal dan horizontal, baik lewat perkawinan maupun lewat keturunan darah. Namun sejak tahun 1999 hingga 2008 terdapat 210 insiden konflik, yang terdiri dari 120 insiden kekerasan dan 90 insiden tanpa kekerasan, baik bersifat horizontal maupun vertikal, dilakukan oleh individu atau kelompok, bersifat laten, dan terbuka. Gejolak sosial terjadi dan puncaknya tanggal 30 November dan 1 Desember 1998. Kota Kupang adalah kota dengan heterogenitas yang tinggi, namun punya akar sejarah toleransi yang kuat. Hubungan kekerabatan lintas agama yang telah terjadi pada dasarnya tidak memungkinkan konflik atas nama agama muncul di Kupang. Konflik agama potensial terjadi jika berkelit kelindan dengan isu etnisitas dan ketimpangan sosial. Masih terdapat konflik-konflik kecil yang diakibatkan oleh “kenakalan remaja”, namun potensial menjadi konflik antar kelompok (suku, agama) jika disulut dan tidak segera dilokalisir. Penyebab konflik yang menonjol illah ketimpangan ekonomi pendatang dengan penduduk asli. Dinamika kegiatan resolusi konflik diperankan oleh tokoh-tokoh agama, formal maupun informal, menjadi salah satu tiang penopang terpeliharanya kondisi damai. Gerakan lintas agama yang diinisiasi oleh KOMPAK menjadi model tersendiri dalam proses pencairan kebekuan antarkelompok muda lintas agama. Banyak kegiatan lain yang dilakukan masyarakat seperti: safrai kerukunan pemerintah, peranserta pemuka agama dalam acara adat, jalan sehat tokoh lintas agama, bakti
xlvi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
sosial, dan kerukunan.
revitalisasi
kesepakatan
yang
mendukung
Jadi, dalam masyarakat rentan konflik dengan pemicu yang “sepele” saja dapat mengakibatkan konflik terbuka, seperti kasus mabuk-mabukan oleh kelompok pemuda. Namun dengan pendekatan kunjungan silaturrahim kepada tokoh agama, masyarakat dan pemuda kasus konflik dapat dimanimalisasikan, dapat terpelihara hubungan yang lebih harmonis. Di samping itu muncul kesadaran bahwa konflik mendatangkan kesengsaraan bagi semua. Bina Damai Etnorelijius Bina Damai di Kabupaten Badung Badung1 adalah salah satu kabupaten di Provinsi Bali2 (BPS, 2010:1 dan BPS, 2009:4-5). Salah satu kecamatan di Kabupaten bandung yang dijadikan pusat kajian bina damai ini ialah di Kute Selatan. Secara demografis, penduduk Kuta Selatan pada tahun 2009 tercatat 70.967 jiwa, terdiri dari 36.153 laki-laki (50,94%) dan 34.814 perempuan (49.06%), 16.985 kepala keluarga, dengan kepadatan penduduk 702 jiwa/km (BPS, 2010:8 dan 22). Kerukunan umat beragama di daerah ini menjadi perhatian utama pemerintah. Kantor 1
Kabupaten Badung terdiri atas enam kecamatan: Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang. 2 Provinsi Bali terbagi pada sembilan kabupaten/kota, yaitu: Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Kota Denpasar, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem.
xlvii
Ringkasan Buku
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, misalnya, pada tahun 2010 menyelenggarakan pembinaan kerukunan umat beragama di daerah rawan konflik dengan pendekatan budaya lokal, seperti di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar. Upaya ini bertujuan antara lain untuk melestarikan adat istiadat dan kearifan lokal yang mendukung kerukunan umat beragama (IGAK Suthayasa, 2011:2). Sumber sekaligus potensi kedamain pada masyarakat heterogen di Kabupaten Badung Bali ialah faktor ketergantungan ekonomi berbasis parawisata, karena semua umat beragama membutuhkan kedamaian. Selain dari itu, kearifan lokal yang mendukung kerukunan dan kedamaian dalam heterogenitas etnolejius ialah karakter tradisi Hindu ada yang memiliki sifat terbuka memandang semua saudara (manyama baraya) dan sejenisnya, serta dalam penyiaran agama lebih bersifat ke dalam lingkungan umat (internal), dan peran komunikasi kawasan rumah ibadat “Puja Mandala” sebagai kearifan lokal. Potensi damai di Badung secara khusus dan Bali secara umum ialah: bertemunya kepentingan real semua warga masyarakat yaitu pada sumber daya ekonomi. Nilai budaya Bali, baik adat maupun agama. Dalam banyak hal, sulit memisahkan antara keduanya. Secara umum, nilai-nilai budaya ini terintegrasi dalam tata kehidupan warga Bali, terutama warga asli Bali.
xlviii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Nilai-nilai budaya Bali (sekaligus agama) yang kemudian disebut sebagai kearifan lokal, berisi antara lain: Manyama Beraya (Semuanya bersaudara) Asah, Asih, Asuh (kita semua sama, saling mengasihi, saling menjaga) Sagalak Sagilik Salunglung Sabayantaka (Selalu ada dalam kebersamaan-suka Paras Paros Sarpanaya (Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) Jele Melah Gumi Gelah (Baik buruk, punya kita) Tat Twam Asi (Aku adalah engkau, engkau adalah aku) ….............................................................................. Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan bina damai ini, bahwa nilai-nilai potensi damai sebagaimana dikemukakan merupakan nilai agama yang toleran dan ramah terhadap perbedaan. Nilai ekonomi yang dibutuhkan bersama sangat berperan masing dan secara bersama memelihara kerukunan umat beragama yang khusus usaha wiraswasta. Namun penerapan awig-awig Hindu bagi semua umat beragama perlu kearifan dan selektif yang bersifat universal.
xlix
Ringkasan Buku
Bina Damai di Kota Manado Kota Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara terletak di ujung utara Pulau Sulawesi. Secara administratif terdapat 9 kecamatan dan 87 kelurahan. Mayoritas penduduk kota Manado berasal dari suku Minahasa. Selain suku Bantik yang merupakan penduduk asli Manado, terdapat suku Sangir, Gorontalo, Mongondow, Arab, Babontehu, Talaud, Tionghoa, Siau, Borgo, Jawa, Batak, Makassar dan suku bangsa lainnya. Di Sulawesi terdapat 3 suku besar penduduk asli, yaitu Minahasa, Bolaang Mongondow, dan Sangihe Talaud. Dari segi agama adalah heterogen. Data pada Kementerian Agama (2010) menunjukkan: pemeluk Kristen 273.996 jiwa, Islam 171.742 jiwa, Katolik 30.115 jiwa, Budha 14.327 jiwa, Hindu 6.455 jiwa, dan Khonghucu 600 jiwa. Terdapat 523 gereja Kristen, 177 masjid, 21 gereja Katolik, 16 vihara, 2 pura, dan sebuah lithang. Di antara kecamatan di Kota Manado yang memiliki heterogenitas etnis dan agama cukup tinggi adalah Kecamatan Tuminting. Kecamatan ini berpenduduk 55.314 jiwa ini, jumlah pemeluk Islam dan Kristennya hampir berimbang, pemeluk Islam 26.025 jiwa, Kristen 25.732 jiwa, Katolik 1.291 jiwa, Buddha 283 jiwa, dan Hindu 31 jiwa. Tidak ada pemeluk Khonghucu di sini (Kec. Tuminting dalam Angka 2010). Terdapat rumah ibadat: mesjid 34 buah dan gereja 46 buah. Corak keagamaan masyarakat dalam konteks Manado juga menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam hal terpeliharanya relasi agama dan etnis yang harmonis dalam setting sosial keagamaan Manado yang majemuk. Secara historis suasana damai di daerah tersebut sudah berlangsung
l
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
sejak lama. Tingkat pendidikannya pun pada umumnya relatif tinggi sehingga tidak mudah terprovokasi ke arah konflik. Selain itu, efektifnya forum-forum antarumat beragama seperti BKSAUA dan FKUB memberi dukungan kuat pada kedamaian. Kearifan lokal begitu hidup dalam masyarakat Manado seperti pranata sosial bernama Sosial Duka hidup di tingkat lingkungan. Sosial duka menjadi pranata sosial yang merekatkan dan menguatkan kebersamaan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan etnik pada saat anggota masyarakat wafat. Di samping itu pranata lain yang sangat populer adalah Torang Samua Basaudara, atau “sitou timou tumou tou”. Hal ini terbukti dari absennya kasus-kasus etnorelijius di Kota Manado—bahkan ketika wilayah tetangganya, Posom Sulawesi Tengah dilanda konflik keagamaan. Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari bina damai tersebut, bahwa kearifan loka berbentuk lembaga kerukunan yang bentuk oleh dan untuk masyarakat sangat berperan mendukung kuat pada kedamaian, seperti BKSAUA oleh masyarakat, kemudian FKUB yang difasilitasi pemerintah, dan nilai-nilai lokal yang berkembang.
Bina Damai di Kota Medan Kota Medan salah satu dari 25 kabupaten dan 8 kota di Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan secara administratif terbagi 21 kecamatan, 151 kelurahan dan 2001 lingkungan. Penduduk Kota Medan pada tahun 2010 sebanyak 2.097.610 jiwa, terdiri atas 1.036.926 laki-laki dan 1.060.684 perempuan.
li
Ringkasan Buku
Mereka terdiri atas suku bangsa: Asahan (Melayu), Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga (Melayu, dan Batak), Angkola (Batak), Dairi (Batak), Pak-Pak (Batak), Karo (Batak) Angkola (Batak), Mandailing (Batak), Langkat (Melayu), Nias, Muara Sipongi (Batak), Pesisir Natal (Melayu dan Batak), Siladang (Batak), Simalungun (Batak), Toba (Batak Tapanuli Utara Lama) dan sekarang Ibu Kotanya Tarutung. Semenjak pemekaran bertambah Kabupaten Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Samosir (Lihat juga M.Yunus Meulalatoa, 1995:XIX). Secara historis, heterogenitas lintas suku-suku bangsa dan dinamika kehidupan mereka telah berkembang sejak lama. Medan dikenal sebagai daerah yang aman dari kerusuhan antaretnis. Keberagamaan warga masyarakat terlihat juga dari segi agama, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, dan Khonghucu. Sementara itu terdapat juga kepercayaan yakni Sipele Sumangot (Parmalim/Sipele Begu/Parbaringin) di Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah, di Kecamatan Lagu Boti Kabupaten Toba Samosir, serta di Kota Medan. Umat Islam sebagai komunitas mayoritas memiliki masjid 1.037 buah, gereja Keristen 570 buah, gereja Katolik 64 buah, 45 vihara, 26 kuil dan 7 klenteng umat Khonghucu. Dinamika kegiatan bina damai sema ini menghasilkan kondusif rukun. Kedamaian tersebut disebabkan oleh adanya upaya proaktif dari para pejabat setempat, peran para tokoh agama, tokoh masyarakat dan unsur masyarakat. Kasus konflik sejauh ini dapat diatasi oleh pihak-pihak terkait bersama masyarakat. Sebagai contoh rencana pendirian kuil di Kecamatan Medan Selayang pada tahun 2009. Rencana
lii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
tersebut tidak disetujui kalangaan umat Kristen. FKUB Kota Medan melakukan pendekatan kepada kedua kelompok terkait. Akhirnya mendapat persetujuan masyarakat. Masih berperannya nilai agama, nilai ekonomi, nilai kekerabatan, dan nilai kebudayaan. Dengan kata lain, sebagai proposisi teoritis dari FGD dan PAR yaitu: Kerukunan di Kecamatan Medan Denai ditentukan oleh kekuatan nilai agama, ekonomi, kerabat, dan kebudayaan. Oleh karena itu dalam upaya memelihara kedamaian di Kota Medan khususnya Kecamatan Medan Denai, perlu penguatan nilainilai tersebut di kalangan masyarakat. Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari bina damai tersebut, yaitu dengan nilai kekerabatan dan nilai ekonomi ternyata mampu memelihara kedamaian.
Bina Damai di Kabupaten Bantul Bantul adalah salah satu kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta (Bantul dalam Angka, 2011: 143). Penduduk Kabupaten Bantul menurut agama: Islam (96,65%), Katolik (2,41%), Kristen (1,82%), Hindu (0,08%) dan Budha 0,04%. Rumah ibadat tahun 2009 terdiri dari: Mesjid 1.673 buah, gereja Katolik 11 buah, gereja Kristen 33 buah, Kapel 13 buah, dan 2 pura. Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Banguntapan yang menjadi lokasi kajian. Kecamatan Banguntapan memiliki penduduk 120.015 jiwa, terdiri dari 60.832 laki-laki dan 59.183 perempuan.
liii
Ringkasan Buku
Kedamaian di Banguntapan selama ini terkondisikan dengan kuatnya kearifan lokal. Beberapa petuah yang mendukung kerukunan dan sekaligus menekan konflik, yaitu: Nyep-nyep, kebiasaan memberikan kompensasi atas dampak produksi pertanian, peternakan, perikanan, dan seterusnya, baik berupa barang, makanan, uang dan lain sebagainya bagi warga sekitar yang terkena dampak langsung. Budaya menolong, membantu dan peduli pada keluarga miskin. Banyak pengusaha lokal atau keluarga yang dipandang telah berkecukupan melakukan adopsi atau mengangkat pegawai dari keluarga sekitar yang miskin. Gotong royong dan bersih dusun. Kegiatan ini merupakan sarana bertemu antar warga yang difasilitasi kepala dusun guna mempererat kekerabatan dan keintiman antar tetangga. Nilai kultur Jawa yang berbunyi nrimo ing pandum, yaitu menerima dengan tulus ketentuan Tuhan. Ini berarti memberikan makna bahwa bekerja dan berusaha haruslah dengan tulus dan ikhlas, fair dan tidak semata berorientasi materi. Jadi, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan bina damai tersebut yaitu wibawa pemimpin yang berorientasi kerukunan warganya sangat menentukan tingkat kerukunan. Wibawa peminpin diperkuat oleh nalai-nilai kerukunan di kalangan warganya.
liv
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Penutup Berdasarkan uraian, kesimpulan maupun saran dari masing-masing daerah penelitian, maka dirumuskan kesimpulan pokok dan rekomendasi secara keseluruhan, sebagai berikut:
Kesimpulan Resolusi Konflik Dinamika kegiatan resolusi pasca konflik hasil Penyadaran dan Pendampingan Melalui Penguatan Kedamaian cukup variatif oleh pemuda dari berbagai agama melalui pendekatan focus group discussion (FGD) dan partisipary action research (PAR). Di antarnya yang dominan ialah dialog kultural, konsensus untuk kedamaian, kerjasama sosial keagamaan, penyuluhan kerukunan entnorelijius, dan sosialisasi bahaya konflik etnolelijius. Melalui pendekatan FGD dan PAR sedikit-banyak dapat merajut kembali konflik etnorilijius oleh pemuda lintas agama, tokoh adat dan pemimpin ormas sosial-keagamaan sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah. Namun secara keseluruhan kegiatan PAR belum optimal sebagai suatu program yang dinilai “baru” oleh masyarakat tetapi menjanjikan, serta pelaksanaan sangat tergantung pada fasilitasi pemerintah dan adanya intervensi birokrasi. Nilai-nilai agama dan budaya nampak di daerah tertentu belum mampu membentengi masyarakat dari konflik yang didominasi oleh faktor non agama terutama kepentingan ekonomi dan politik, serta sosial, seperti isu stereotip etnisitas,
lv
Ringkasan Buku
segregasi etnis dan agama, dominasi sosial budaya tertentu, ketimpangan sosial ekonomi, dan kepentingan politik. Konflik terbuka (manifest) biasanya diawali oleh konflik tersembunyi (latent), yang muncul kepermukaan oleh faktor pemicu biasanya diawali masalah kecil “sepele” yang bersifat individual berkaitan dengan kenakalan remaja dan kasus kriminal. Kemudian menjadi konflik komunal karena melibatkan sentimen keetnisan dan keagamaan, serta memobilisasi konflik di dan dari daerah lain. Berkaitan dengan pelajaran yang dapat diambil (lesson learned) dari konflik etnorelijius, yaitu menumbuhkan kesadaran bahwa konflik merugikan bagi semua, dan melelahkan. Dalam kondisi tersebut resolusi yang ditawarkan berpeluang diterima oleh masyarakat, kecuali karena pengaruh provokasi elite agama dan politik. Wadah kerukunan berperan dalam merawat kerukunan etnorelijius terbentuk di tingkat kecamatan oleh, dari dan untuk pemuda lintas agama, seperti Forum Kumunikasi Pemuda Lintas Agama (Forkupelia) di Kota Pontianak Kalimantan Barat, Forum Aksi Damai Lintas Agama (Fadla) di Kabupaten Badung Provinsi Bali, Forum Komunikasi Tokoh Adat dan Budaya (FKTAB) di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Forum tersebut merupakan gerakan dan model partisipasi masyarakat dalam proses pencairan kebekuan pasca konflik yang bernuansa etnis dan agama, sekaligus dapat membantu peran FKUB.
lvi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kesimpulan Bina Damai Dinamika kegiatan bina damai terkait dengan penguatan kedamaian pada masyarakat heterogen dalam etnis dan agama oleh pemuda dari berbagai agama melalui pendekatan focus group discussion (FGD) dan partisipary action research (PAR) cukup beragam. Di antarnya yang dominan ialah dialog kultural, perlombaan seni dan olahraga, kerjasama sosial keagamaan, penyuluhan kerukunan entnorelijius, dan sosialisasi kearifan lokal yang mendukung kerukunan. Faktor dominan yang mengkondisikan kedamaian ialah sosilsiasi nila-nilai ajaran agama dan ketergantungan hidup pada ekonomi bersama, nilai kekerabatan dan budaya dalam hal kerukunan, dan pendidikan masyarakat yang “relatif” tinggi yang dilatari oleh kearifan lokal tentang kerukunan. Di samping itu adalah peran aktif lembaga kerukunan seperti Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSUB) dan kearifan lokal seperti “sosial duka” dan ungkapan “Torang Samua Basaudara” di Manado, dan kawasan rumah ibadat agama-agama “Puja Mandala” di Kuta Selatan Badung Bali, peran aktif FKUB, serta koordinasi pemerintah daerah, pemuka agama, tokoh adat dan masyarakat. Pembelajaran yang dapat diambil (lesson learned) dari kegiatan bina damai, bahwa tercipta dan terpeliharanya kedamaian disebabkan oleh kesadaran akan kepentingan bersama terutama kepentingan ekonomi seperti parawisata di Bali. Oleh karena itu disadari bahwa konflik dapat mengganggu dan mengancam seluruh aspek kehidupan.
lvii
Ringkasan Buku
Di daerah damai bukanlah bebas dari potensi konflik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, seperti lemahnya pendekatan sosial-kultural, dan rapuhnya relasi sosial antarumat beragama, serta dominannya kepentingan politik yang menggunakan simbol agama yang melibatkan sentimen keagamaan umat beragama.
Rekomendasi Dari uraian direkomendasikan:
dan
kesimpulan
di
atas,
maka
1) Dialog kultural dan dialog tokoh panutan tentang kerukunan agama dan etnis pasca konflik yang bernuansa etnis dan agama hendaknya diprogramkan secara terncana oleh Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan tokoh adat/masyarakat. 2) Toleransi beragama merupakan modal sosial untuk kerukunan harus diperkuat melalui pemerintah dan masyarakat dengan memperkokoh hubungan kekerabatan, revitalisasi peran forum lintas agama dan kearifan lokal, serta pengembangan kerjasama institusional yang dinamis. 3) Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian Agama di daerah hendaknya mengapresiasi dan fasilitasi terhadap keberadaan dan kepedulian kelompok pemuda lintas agama dalam kegiatan perdamaian umat beragama dalam masyarakat melalui dana stimulan, dan pengembangan wawasan multikultural yang mendukung kerukunan umat beragama.
lviii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
4) Seyogyanya dunia pendidikan, baik dilingkungan Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berperan optimal untuk perdamaian yang dilaksanakan melalui: (1) perogram pertukaran pemuda, mahasiswa dan siswa antar daerah yang pernah terjadi konflik dengan daerah damai, (2) menjadikan pendidikan multikultural sebagai bahan ajar di lembaga pendidikan sejak dini hingga perguruan tinggi, dan (3). Melaksanakan program bersama “live in” pada suatu komunitas etnis atau agama yang berbeda. 5) Potensi konflik sosial karena kesenjangan sosial-ekonomi hendaknya diatasi oleh pemerintah daerah dengan pemerataan pembangunan ekonomi ke daerah minus melalui pelatihan-pelatihan kewirausahaan (entrepreneurship) antarumat beagama, training of trainers (TOT) tentang aspek sosiologi, antropologi dan agama sebagai kader perdamaian yang diselenggarakan secara berkelanjutan dengan mengikut-sertakan orang dewasa, pemuda dan remaja. 6) Pengembangan kearifan lokal yang mendukung kerukunan di tiap daerah agar diinventarisasi dan menyosialisasikannya kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga mempercepat akselerasi dan pembauran masyarakat pendatang dengan penduduk asal setempat. 7) Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 hendaknya terus ditingkatkan, baik frekwensi maupun jangkauan sasarannya hingga tingkat kecamatan dan kelurahan/desa, dengan menghindari kesan seremonial.
lix
Ringkasan Buku
8) Forum kerukunan lintas agama dan/atau sejenisnya yang telah terbentuk oleh masyarakat hendaknya diikuti pula pembentukan FKUB di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa sebagai garda terdepan berhubungan dengan masyarakat dalam mengawal kerukunan dan kedamaian.
DAFTAR PUSTAKA
Atok, Kristinus, dan Francis Ateng serta Yoh. Supriyadi, Merajut Damai: Pembelajaran dan Promosi Pluralisme dan Perdamaian di Bumi Kalimantan Barat, Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara Kerjasama Yayasan TIFA, Pontianak, 2006. Atok, Kristinus, dkk., Membangun Relasi Etnik: Pembelajaran dari Beberapa Kampung di Kalimantan Barat, YPB Kerjasama Cordaid, Pontianak, 2005. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Mataram, 2011, Mataram Dalam Angka, 2011, BPS Kota Mataram. Badan Pusat Statistik, 2010, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka Tahun 2010; BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. BPS Kota Manado, Kecamatan Tuminting Dalam Angka 2010, Manado: BPS, 2010. BPS Kota Manado, Manado Dalam Angka 2010, Manado: BPS, 2010. Coser, Lewis, The Function of Social Conflict, Free Press, New York, 1965.
lx
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Data Informasi Keagamaan 2010, Manado: Kanwil Keagamaan Provinsi Sulawesi Utara, 2010. Hakim, Bashori, A., 2001, Laporan Studi Kasus Kerusuhan Sosial di Mataram, Nusa Tenggaran Barat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta. Kantor Kemenko Kesra, Memelihara Kerukunan Pendidikan Multikultural, Jakarta, 2009.
Melalui
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), 2012, Data Penduduk Berdasarkan Agama, Provinsi NTB, 2012, Kanwil Kemenag Provinsi NTB. Kelompok I Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram – NTB., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok I (Proposal Kegiatan FGD di Kecamatan Ampenan Kota Mataram – Rehabilitasi Gereja Kristen HKBP Desa Taman Sari, Kecamatan Ampenan), Kota Mataram. Kelompok II Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram- Nusa Tenggara Barat., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok II (Analisa Pohon Masalah, Kajian Konflik), Kota Mataram. Kelompok III Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram - Nusa Tenggara Barat., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok III (PAR Untuk Pendampingan Penyadaran/Peace Making di Kelurahan Cakra Utara Kecamatan Cakranegara dan Kelurahan Selagalas Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram. Kristianus, Kisah Penting dari Kampung Orang Dayak dan Madura di Sebangki, Yayasan Pangingu Kerjasama Cordaid, Pontianak, 2009.
lxi
Ringkasan Buku
Musahadi HAM dkk, 2007, Mediasi & Resolusi Konflik di Indonesia, WMC & IAIN Walisongo Semarang. Rasjidi, M,. Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII:.35. Riza Sihbudi & Moch Nurhasim (Editor), 2001, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Grasindo. Rudito, Bambang, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Salim, Mohammad Haitami, Mempererat Kerukunan Etnis dan Umat Beragama dalam Tatanan Masyarakat Multikultur di Kalimantan Barat, STAIN Pontiank Press (akan diterbitkan), Pontianak, 2012. Sangaji, Ariyanto, Sejarah dan Anatomi Konflik Poso, Makalah disampaikan pada Workshop Model Resolusi Konflik dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 18 Oktober 2005. Syafi’i, Mufid, A., (Edt.), 2009, Studi Aliran/Faham Keagamaan di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta. Tumanggor, Rusmin, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnorelijius dengan Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagaman dan INCIS, 2010. Yewango, A.A., Agama dan Kerukunan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
lxii
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
DAFTAR ISI Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ... Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ............................................................ Prolog 1, oleh: Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA .......... Prolog 2, oleh: Prof. Dr. Darius Dubut, MM .................... Prakata Editor ....................................................................... Ringkasan Isi Buku .............................................................. Daftar Isi ................................................................................
iii
BAB I.
:
PENDAHULUAN ......................................... A. Latar Belakang......................................... B. Pokok Masalah ........................................ C. Tujuan, Signifikasi dan Manfaat........... D. Definisi Operasional ............................... E. Kerangka Teori ........................................ F. Metode Kajian .........................................
1 1 6 7 7 9 15
BAB II.
:
RESOLUSI KONFLIK ETNORELIJIUS ...... A. Resolusi Konflik di Kota Pontianak .... 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Kehidupan Keagamaan ................... 3. Dinamika Resolusi Konflik ............. 4. Lesson Learned Resolusi Konflik ...... 5. Kesimpulan dan Rekomendasi ...... B. Resolusi Konflik Etnorelijius di Kota Semarang ................................................. 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan Resolusi Konflik ...............................................
19 19 20 23 24 40 48
vii ix xvii xxxi xxxv lxiii
52 52 54
lxiii
Daftar Isi
3. Lesson Learned Kegiatan Resolusi Konflik ............................................... 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ...... C. Resolusi Konflik Etnorelijius di Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat .......................................................... 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan Resolusi Konflik ............................................... 3. Lesson Learned Kegiatan resolusi konflik ................................................ 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ...... D. Resolusi Konflik Etnorelijius di Kota Kupang ..................................................... 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan Resolusi Konflik ............................................... 3. Lesson Learned Kegiatan Resolusi Konflik ............................................... 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ...... BAB III. :
lxiv
BINA DAMAI ETNORELIJIUS .................. A. Bina Damai di Kota Medan ................... 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan dan Bentuk Bina Damai ........................................ 3. Lesson learned Kegiatan Bina Damai ................................................. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ......
62 63
64 65 71 80 84
87 88 96 120 124 127 127 127 140 168 176
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
B. Bina Damai di Kabupaten Badung....... 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan dan Bentuk Bina Damai ........................................ 3. Lesson learned Kegiatan Bina Damai ................................................. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ......
177 178
C. Bina Damai di Kota Manado ................. 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan Bina Damai ..... 3. Lesson Learned Kegiatan Bina Damai ................................................. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ......
211 212 216
D. Bina Damai di Kabupaten Bantul ......... 1. Gambaran Wilayah .......................... 2. Dinamika Kegiatan Bina Damai ..... 3. Lesson Learned Kegiatan Bina Damai ................................................. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi ......
232 232 236
192 207 208
225 227
238 240
BAB IV. :
ANALISIS BENTUK-BENTUK RESOLUSI KONFLIK DAN BINA DAMAI ..................
243
BAB V. :
PENUTUP ...................................................... 1. Kesimpulan .............................................. 2 Rekomendasi.............................................
249 249 252
DAFTAR PUSTAKA ............................................................
255
lxv
Daftar Isi
lxvi
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
S
ebagai negara Muslim terbesar di dunia yang sedang menjalani transisi demokrasi, Indonesia sedang menjadi pusat perhatian dunia apakah negara yang memiliki struktur masyarakat multi etnoreligius -yang sangat rentan terhadap konflik- ini mampu memperagakan bahwa Islam benar-benar mampu menjadi model perdamain dunia ‚rahmatan lil ‘alamin‛. Jalan reformasi politik menuju sistem demokrasi yang ditempuh pada akhir dekade 90-an telah membuahkan sejumlah hasil positif dalam berbangsa dan bernegara. Sayangnya proses pematangan demokrasi itu, justru ditandai oleh serangkain konflik horizontal yang bersumbu pada semangat egoisme kolektif dan semangat keagamaan yang sempit. Wajah agama sebagai penyebar perdamaian banyak terdistorsi oleh sisi ‚latent‛ yang tidak dikehendaki (sebagai pemecah) daripada sisi ‚manifest‛ yang dikehendaki (sebagai pemersatu). Dalam fakta sosiologisnya kita masih terus disodorkan pada berbagai konflik yang sebagian melibatkan variabel agama sebagai penyulutnya. Meskipun grafik konflik etnorelijius secara nasional telah menunjukkan arah penurunan, tetapi corak konflik itu agaknya hanya mengalami pergeseran orientasi, dari konflik antaragama ke konflik intraagama. Kasus kekerasan yang tidak henti-hentinya menimpa komunitas Ahmadiyah, sekadar memberikan gambaran kecil: betapa tidak mudahnya
1
I. Pendahuluan
menjaga agama steril dari cara penyelesaian masalah tanpa kekerasan. Agama yang secara subtansial menganjurkan perdamaian, mengajarkan sejumlah hikmah, masih terus diproduksi oleh sebagain pemeluknya dengan cara-cara pemaksaan. Sudah waktu kita mencari tahu secara sungguh-sungguh: mangapa cara-cara Islamisasi yang dilakukan ‚wali sembilan‛ terutama Sunan Kalijaga yang dalam istilah Geertz (1969) disebut Islam Fabian yang sinkretis, adaptatif, menghormati tradisi, inklusif, kontekstual, dan toleran, mudah berubah pada corak Islamisasi yang intoleran, ekskulusif dan suka berteman dengan kekerasan. Agaknya, kita masih belum dapat mengambil sejumlah manfaat atas kemajemukan (pluralitas) yang telah lama dikumandangkan Empu Tantular: ‚Bhinneka Tunggal Ika‛ (Berbeda-beda tetapi tetap satu). Semboyan multikultural yang paling historis itu, rupanya masih sebatas tema yang terlalu mudah diucapkan, tetapi terlalu sulit untuk dijadikan pedoman tindakan kolektif atau sebagai ‚common platform‛ yang menjadi kesadaran kolektif seluruh bangsa. Heterogenitas yang seharusnya telah menjadi pendorong atas lahirnya dinamika saling pengertian dan kesepahaman, serta kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, masih terus terdistorsi. Bangsa Indonesia yang dimasa lalu dikenal toleran, rukun dan suka kedamaian, kini mulai dipertanyakan. Sekali lagi, sebagai negara multietnik dan multiagama (multireligious), Indonesia sesungguhnya telah memiliki ‚bantal budaya‛ (cultural pillow) yang dirumuskan dalam kehendak bersama, yaitu ideologi Pancasila dan
2
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
prinsip Bhinneka Tunggal Ika, rupanya terus membutuhkan revitalisasi yang terus-menerus dan konsisten. Dengan kata lain, meskipun Indonesia telah memiliki prinsip ‛Bhinneka Tunggal Ika‛ dan Pancasila sebagai rumusan kehendak bersama: masalahnya adalah bagaimanakah pilihan ‛jalan tengah‛ yang menetapkan Pancasila sebagai civic-religion (bukan negara agama dan bukan negara sekuler), sebagai landasan utama dalam merumuskan hubungan agama dan negara, sehingga ‛toleransi kembar‛ (twin tolerantions)1 itu, dapat diraih. Di sini kita membutuhkan tradisi pengakuan perbedaan sebagai landasan kemungkinan menemukan persamaan, yaitu apa yang disebut filsuf Canada Taylor sebagai politics of recognition, yang intinya memberikan pengakuan bagi kelompok minoritas dan kaum marjinal, sebagai imperative (Anas, 2011:11). Sejumlah disfungsi agama yang telah diperlihatkan dalam sejumlah kerusuhan, anarkhis dan kekerasan hingga konflik sosial pada akhir pemerintahan Orde Baru (1996-1998), dan pada awal Orde Reformasi (1998-2000) harus menjadi pelajaran yang berharga. Demikian juga peristiwa dalam peristiwa serupa seperti kasus Situbondo (10 Oktober 1996), 1 “Toleransi Kembar” yang dimaksud adalah situasi ketika institusi agama dan Negara menyadari batas otoritasnya untuk kemudian mengembangkan toleransi terhadap fungsinya masing-masing. Institusi-institusi Negara (demokratis) harus bebas, dalam batas-batas konstitusi dan hak-hak asasi, untuk membuat belbagai kebijakan. Dalam kaitan ini institusi agama tidak boleh memiliki prerogratif istimewa secara konstitusional yang membolehkan mereka untuk memaksakan kebijakan public atas pemerintahan yang dipilih secara demokratis. Sebaliknya individu-individu dan komunitas agama harus memiliki kebebasan penuh untuk beribadah secara privat lihat Stepan, 2005, seperti dikutip Yudi Latif dalam: “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktulitas Pancasila, Gramedia, Jakarta, 2011, hal.101.
3
I. Pendahuluan
Tasikmalaya (26 Desember 1996), Pekalongan (24-26 Maret 1997), Temanggung (6 April 1997), Banjarnegara (9 April 1997), Sanggauledo (Januari dan Februari 1997) Ketapang, Kupang, Ambon (1999), Maluku Utara, Poso, Sambas (1999) dan Sampit Palangkaraya (7 Maret 1999). Konflik etnik dan konflik sosial bernuansa agama tersebut selain menimbulkan korban harta benda dan jiwa yang sia-sia, juga merusak harmoni kehidupan masyarakat dan kerukunan antarumat beragama. Atas dasar latar belakang pemikiran seperti itulah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama merasa perlu melakukan kajian tentang penyadaran dan pendampingan dalam penguatan kedamaian secara bertahap dan kelanjutan. Kajian dilakukan sejak tahun 2009 hingga 2012. Pada tahun 2009, 2010 dan 2012 kajian tentang resolusi konflik (peace making) di 12 daerah yang pernah konflik. Sedangkan pada tahun 2011 tentang bina damai (peace building) di 4 daerah damai. Tahap pertama dari kajian ini telah berhasil merekrut tokoh muda komunitas agama di berbagai provinsi yang telah dipilih tersebut, sebagai kader perdamaian atau dalam istilah yang lebih popular sebagai ‚provokator perdamain‛. Mereka telah diperkenalkan teori-teori sosial dalam kaitannya dengan resolusi konflik sebagai bekal untuk mengidentifikasi masalah dan sekaligus perencana resolusi konflik. Jumlah mereka sudah mencapai 264 orang, pada 12 lokasi, dan tiap lokasi 22 orang. Tahap kedua pada tahun 2011 ini merupakan kegiatan lanjutan difokuskan pada pemeliharaan kedamaian (peace
4
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
building). Pada tahap ini pendekatan yang digunakan pada prinsipnya sama dengan tahap pertama, yaitu riset aksi partisipatori (participatory action research/PAR) dengan kegiatan focus group discussion (FGD), dan kerjasama kader perdamaian. Setelah para peserta mendapat pembekalan teoriteori bina damai (peace building), mereka juga melakukan identifikasi faktor-faktor yang mendorong terbangunnya pranata dan lembaga perdamaian yang ada di masyarakat. Kagiatan ini dilakukan pada 4 lokasi daerah damai, sebagaimana tersebut telah disebutkan. Kader bina damai berjumlah 88 orang, masing-masing daerah 22 orang. Kader perdamaian ini diharapkan dapat memperkuat peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di semua wilayah dan sekaligus sebagai agent pengembangan kerukunan umat beragama terutama pada tingkat kecamatan dan kelurahan/desa. Salah satu pranata sosial yang mengkondisikan kedamaian ialah ada dan berfungsinya pranata sosial atau kearifan budaya lokal. Masing-masing komunitas memiliki pranata sosial tersebut yang dapat meredam konflik sosial. Misalnya, tradisi pela gandong di Maluku, kekerabatan dalihan na tolu di Sumatera Utara, dan sambatan pada masyarakat Jawa, atau reriungan pada masyarakat Sunda, untuk sekadar menyebut beberapa contoh. Namun, seiring perjalanan waktu dan perubahan sosial yang semakin mendunia (globalisasi) tampak pranata sosial tersebut banyak melemah, baik disebabkan oleh kebijakan yang di masa lalu lebih menekankan ‚monokultural‛ atau akibat bergesernya masyarakat ‚paguyuban‛ ke ‚patembayan‛ yang membuat beberapa kasus tidak mampu lagi menjadi perekat sosial. Dalam
5
I. Pendahuluan
konteks ini masyarakat dapat membuat pranata sosial baru berdasarkan kesepakatan bersama, dan/atau merevitalisasi pranata sosial lama yang mendukung kedamaian. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka kajian pada tahun 2012 ini difokuskan pada melihat pelaksanaan penguatan kedamain dengan menggunakan pendekatan PAR pada tahun 2009 dan 2010. Hasilnya bersama hasil kajian bina damai tahun 2011 diintegrasikan dalam sebuah tulisan, diseminarkan sehingga tersusun sebuah buku pada tahun 2012, dan pada tahun 2013 ini diterbitkan. B. Pokok Masalah Kajian Pokok masalah kajian ialah bagaimana resolusi konflik (peace making) dan bina damai (peace building) dalam penguatan kedamaian pada masyarakat yang heterogen dari segi etnis, budaya dan agama dapat dijalankan? Pertanyaan khusus dalam kajian ini, yaitu: Kajian resolusi konflik: 1. Bagaimana dinamika kegiatan resolusi konflik melalui pendekatan PAR di daerah sasaran telah berlangsung? 2. Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan resolusi konflik tersebut? Kajian Bina Damai: 1. Bagaimana dinamika kegiatan bina damai dalam masyarakat yang heterogen, baik etnis maupun agama? 2. Apa Lesson learned yang dapat diambil dari kegiatan bina damai tersebut?
6
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Di samping pokok masalah kajian tersebut, untuk daerah tertentu ada yang menyelipkan aspek yang dinilai penting digali jawabannya dalam kajian yang dilakukan.
C. Tujuan, Signifikasi dan Manfaat Kajian ini bertujuan untuk menjawab keempat pertanyaan di atas. Kajian ini bermaksud untuk mewujudkan kedamaian sebagai landasan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui resolusi konflik dan bina damai diharapkan dapat makin memperkokoh harmoni masyarakat dan kerukunan umat beragama. Manfaat hasil kajian ini sangat penting diketahui masyarakat luas dan pengambil kebijakan mengatasi penyebab konflik dan resolusinya, serta bagaimana menciptakan penyebab damai dan pemeliharaannya. Dari keduanya dapat diambil pelajaran (lesson learned) dalam penguatan kedamaian. Hasil kajian ini dapat ditindak lanjuti penyusunan model-model resolusi konflik dan bina damai. Bagi pemuka agama, pimpinan majelis agama serta FKUB dan sejenisnya dapat mereplikasikannya pada daerah lain sesuai sifat dan kondisinya.
D. Definisi Operasional Dalam tulisan ini terdapat kata kunci yang perlu dirumuskan sebagai bentuk definisi operasional. Di antaranya, sebagai berikut: Peace making adalah upaya negosiasi antar kelompokkelompok yang memiliki perbedaan kepentingan pasca konflik kekerasan dalam rangka menciptakan kedamaian.
7
I. Pendahuluan
Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antarpihak yang terlibat. Pada peace building lebih ditekankan masalah kualitas interaksi antarpihak dalam rangka membangun dan memelihara kedamaian. Peace keeping adalah strategi atau upaya yang melibatkan aparat keamanan dan militer yang diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain demi menciptakan kedamaian. Resolusi konflik ialah bentuk upaya pendamaian bagi yang sedang berkonflik. Budaya Damai adalah nilai-nilai, kebiasaan, tradisi, aktivitas dan karya manusia dalam menjalani dan merespon kehidupan sosial dan keagamaan, dengan tanpa tindak kekerasan (violance) baik secara fisik maupun sosial, psikologis, dan struktural. Toleransi beragama adalah sikap dan tindakan menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan yang berbeda atau bertentangan terkait pemahaman dan perilaku keagamaan dengan pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan diri sendiri selama tidak mengganggu ketertiban.
Kajian ini dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama bekerjasama dengan Yayasan Indonesian for Civil Society (INCIS). Dalam pelaksanaan di lapangan mengikutsertakan stakeholder terkait, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
8
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dan Kementerian Agama kabupaten/kota, kalangan Perguruan Tinggi di masing-masing daerah kajian. E. Kerangka Teori Sebagai penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, posisi teori di sini pada dasarnya hanya sebagai upaya untuk membantu ‚to describe‛ dan ‚to understand‛ dan dalam tahap tertentu ‚to explain‛, bukan verifikatif terhadap teori dengan bangunan hipotesa yang disediakan sebalumnya. Singkatnya posisi teori hanya berfungsi sebagai radar untuk mempermudah memahami realitas (konflik). Meminjam kategorisasi paradigma ilmu pengetahuan yang dikemukakan Jurgen Habermas, setidaknya ada tiga paradigma. Masing-masing paradigma positivisme, paradigma humanisme dan paradigma kritis, kemudian dalam pembagian yang lain juga disebutkan paradigma keempat elektik. Pertama, mazhab positivis melihat bahwa konflik adalah sesuatu yang inheren dalam masyarakat karena adanya berbagai kepentingan yang tidak selalu sama. Konflik tidak hanya berwajah negatif tetapi juga mempunyai fungsi positif kalau dikelola. Mazhab ini dipelopori oleh Ralf Dahrendorf, Lewis Coser, dan Otomar Bartor, dkk. Kedua, mazhab humanis yang melihat konflik sebagai interaksi simbolis dari berbagai individu atau kelompok dalam masyarakat, dan konflik sebagai peristiwa konstruktif kebudayaan secara sosial. Mazhab ini dipelopori oleh Herbert Mead dan John Paul lederach. Ketiga adalah Mazhab Kritis. Mazhab ini melihat bahwa konflik adalah inheren dalam masyarakat karena adanya
9
I. Pendahuluan
relasi kekuasaan atau dominasi wacana dalam masyarakat. Mazhab ini dipelopori oleh kelompok Frankfurt (Herbert Marcuse, Adorno, dan Juergen Habermas). Keempat, sosiologi konflik eklektik yang memadukan pendekatan mazhab kritis dan humanis yang menempatkan hegemoni wacana dan kekuasaan sebagai tema sentral dalam memahami konflik. Aliran ini dipelopori oleh Gramsci dan Foucault (Susan, 2010: 54-86). Sosiologi Konflik Multidisipliner Berbagai mazhab dan pendekatan sosiologi konflik di atas dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis konflik dan melakukan intervensi konflik. Pendekatan ini tidak hanya mempergunakan satu teori dan metodologi dalam menganalisis konflik, karena tujuan yang hendak dicapai adalah efektifitas analisis dan bentuk intervensi untuk penyelesaian konflik. Pendekatan yang memadukan berbagai pendekatan berbagai mazhab di atas melahirkan pendekatan yang bersifat multidisipliner dipelopori oleh Johan Galtung (Susan, 2010: 88). Sebagai contoh, konflik haruslah diintervensi secara netral dan terus menerus untuk membangun hubungan konflik yang konstruktif. Intervensi itu mesti dilakukan pihak lain atau mediator yang diterima oleh kedua pihak dan melibatkan kedua pihak untuk mencegah kekerasan, membangunkan kesadaran, dan menciptakan peluang empati. Intervensi juga bisa dilakukan dengan mendorong pihak yang berkonflik untuk menyelenggarakan berbagai aktifitas yang membangun sikap saling hormat dan respek satu terhadap yang lain. Misalnya penggung seni bersama, kegiatan olah
10
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
raga antar budaya, bazar budaya, workshop antarbudaya, bahkan dialog atau workshop antariman. Pendekatan Konflik Komunal Analisis konflik multidisipliner itu melahirkan analisis konflik komunal. Konflik komunal adalah konflik yang terjadi antara satu etnik atau komunitas agama dan keyakinan tertentu dengan etnik atau komunitas agama dan keyakinan berbeda. Misalnya antar etnik Dayak dengan Madura di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, atau antara etnik Melayu dengan Madura di Kalimantan Barat, sedangkan konflik komunal lainnya adalah antara kelompok Islam Sunni Islam dengan pengikut Ahmadiyah, dan antara kelompok Islam Sunni dengan Syiah di Sampang, atau konflik Ambon dan Poso. Analisis konflik komunal ini mempergunakan dua pendekatan analisis, yaitu pendekatan konflik primordial, dan pendekatan konflik instrumental (Susan, 2010:81). Analisis Konflik Primordial Masyarakat terbentuk dari berbagai komunitas yang diikat oleh ciri-ciri yang sejak awal melekat pada komunitas itu, yaitu adanya ciri-ciri primordial. Ciri-ciri primordial itu ada yang bersifat alami dan bawaan seperti etnik, ras, bentuk fisik, atau warna kulit. Sedangkan ciri-ciri bentukan adalah bahasa, agama dan keyakinan, ideologi, dan tradisi. Kesamaan ciri-ciri tersebut tidak hanya mengikat komunitas tersebut melainkan juga melahirkan solidaritas atau rasa kebersamaan dan sepenanggungan. Ikatan itu terbentuk melalui proses yang panjang dan sebab itu ia mengikat komunitas itu dengan kuat, tidak mudah untuk diubah. Ia terbangun melalui
11
I. Pendahuluan
lembaga dasar masyarakat, yaitu keluarga dan marga yang melahirkan keyakinan kelompok dan loyalitas dari setiap individu yang lahir dari kelompok tersebut. Sebab itu komunitas bisa juga disebut dengan kelompok sosial primordial (Liliweri, 2005: 131). Apa yang membedakan seseorang dengan orang lainnya dalam setting yang sudah given itu adalah penampilan karakter yang nampak dalam sikap dan laku yang berbasis pada identitas primordial itu, baik dalam relasi internal maupun antar komunitas. Inilah yang kemudian membentuk social solidarity relationship, yakni relasi sosial yang komunal (Liliweri, 2005:132), karena relasi itu dikuti oleh tindakan sosial, yang seringkali subyektif, dari semua pihak yang merasa menjadi bagian dari komunitas itu. Ini hendak menegaskan bahwa setiap komunitas memiliki asal usul berdasarkan ras, suku, agama, tradisi, dan adat istiadat sebagai suatu kelompok dengan solidaritas yang membedakannya dengan asosiasi (olah raga, bisnis, partai politik, dll). Derajat solidaritas internal itu bisa dilihat dalam harmoni dan kerjasama internal. Sedangkan derajat solidaritas eksternal dapat dilihat dari pengakuan komunitas lain terhadap komunitas tersebut. Itu sebabnya sertiap komunitas perlu meningkatkan komunikasi internal dan eksternal dalam kerangka kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat yang lebih luas, sehingga terbangun sebuah relasi antarkomunitas yang sehat yang menghasilkan keterbukan dan respek terhadap keragaman. Ikatan dan loyalitas yang terbentuk begitu lama itulah yang kemudian melahirkan watak nespotik dan diskriminatif. Anggota-anggota komunitas etnik biasanya memberi perlaku-
12
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
an khusus terhadap sesama anggotanya, dan cenderung berlaku diskriminatif terhadap anggota-anggota dari etnik lain. Inilah yang kemudian menutup relasi sosial dengan komunitas lainnya. Jadi konflik primordial adalah konflik yang terjadi antar komunitas disebabkan adanya pergesekan kepentingan yang berbasis identitas yang melekat pada komunitas tersebut (Giddens, 1992 dalam Susan, 2010: 92). Contoh konflik primordial bisa dilihat dalam kasus konflik antara suku Dayak dengan Madura di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, dan konflik di Kupang tahun 1998. Analisis Konflik Instrumental Analisis konflik instrumental melihat bahwa identitas primordial yang melekat pada kelompok sosial primordial itu, oleh orang-orang tertentu, bisa elit komunitas tersebut, militer, pemerintah, dll dipergunakan sebagai alat atau instrumen yang dimanipulasi untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang tersembunyi (Susan, 2010: 93). Banyak analis konflik melihat bahwa konflik yang berkepanjangan di beberapa daerah Indonesia terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan tersembunyi dari penguasa yang memanipulasi identitas primordial untuk tujuan-tujuan tersembunyi. Misalnya konflik antara penduduk ‛asli‛ dan pendatang di Papua atau konflik bernuansa agama di Ambon dan Poso yang setiap saat bisa terulang kembali. Salah satu sumbangan Galtung terhadap sosiologi konflik adalah pendekatan segitiga konflik. Menurut Galtung (Galtung, 1969: 167-191) konflik berakar pada kepentingan yang berbeda-beda baik dari individu, kelompok, atau pun organisasi, yang dipicu oleh persepsi atau tanggapan anggota etnik tertentu terhadap isu-isu tertentu yang berkaitan dengan
13
I. Pendahuluan
etnik lain. Persepsi inilah yang membentuk sikap etnik tertentu terhadap etnik lain itu. Sikap ini melahirkan perilaku individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Perilaku itu bisa berupa persingan atau kerjasama, bahasa atau gerak tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Pada gilirannya perilaku ini akan melahirkan suasana konflik atau kontradiksi. Segitiga konflik ini akan berjalan seperti spiral atau situasi konflik semakin memperbesar sikap negatif dan memperbesar perilaku negatif dan seterusnya. Segitiga kekerasan ini berlangsung secara timbal balik antar kelompok masyarakat. Kalau kelompok A bersikap negatif terhadap kelompok B, maka kelompok B juga akan bersikap negatif terhadap kelompok A. Kalau Kelompok A berperilaku positif terhadap kelompok B, maka begitu juga sebaliknya. Kalau sikap negatif ini dibiarkan maka ia akan melahirkan spriral konflik yang memuara pada terjadinya peperangan. Sebab itu intervensi terhadap konflik yang yang terjadi ditentukan oleh eskalasi konflik yang ada. Itu sebabnya sumbangan pemikiran Otomar Bartos dan Wehr (2003) tentang fase-fase konflik penting untuk diperhatikan. Fasefase itu meliputi: fase solidaritas, individu-individu dilibatkan melalui proses interaksi intensif, simpatik satu terhadap yang lain dibangun dengan sentimen ideologi (kemiripan atau kesamaan keyakinan, nilai, tradisi, norma, dll). Doktrindoktrin dikonstruksi untuk membangun semangat perlawanan, pengorganisasian (struktur komando) dibangun, membangun strategi untuk mencapai tujuan, mengefektifkan seluruh sumber daya yang ada, dan mobilisasi massa.
14
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
F. Metode Kajian Lokus kajian dipilih secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan faktor kawasan, heterogenitas etnis dan agama, dan pernah terjadi konflik sosial bernuansa agama. Sedangkan di daerah damai tanpa konflik yang lumrah terjadi dalam masyarakat. Kajian resolusi konflik pada tahun 2009 di 6 lokasi, di Kota Semarang Jawa Tengah, di Kota Makassar Sulawesi Selatan, Palu Sulawesi Tengah, Kota Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Kota Manado Sulawesi Utaran dan Maluku Utara. Pada tahun 2010 kajian resolusi konflik dilakukan pada 6 lokasi, yaitu: Kota Banda Aceh Provinsi Aceh, Kota Pontianak Kalimantan Barat, Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan, Kota Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Samarinada Provinsi Kalimantan Timur, dan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dengan pertimbangan teknis, maka kajian resolusi yang dimuat dalam buku ini terdiri dari 4 lokasi, yaitu: Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat, Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah, Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kajian peace making tersebut berhasil mengidentifikasi akar konflik etnorelijius antara lain, bahwa gejala konflik musiman seringkali menjadi fenomena populer di tengah masyarakat Indonesia yang multikultur. Hampir semua konflik yang terjadi pada seluruh wilayah kajian memiliki konsistensi penyebab yang sama dengan konflik-konflik sebelumnya, yaitu: akibat kemiskinan, perebutan sumber ekonomi, disain tata ruang kota atau wilayah yang tidak beraturan, dominasi suatu etnik, kebijakan publik yang
15
I. Pendahuluan
menguntungkan golongan atau pihak tertentu, dan kontrol sosial masyarakat yang lemah hingga mengerucut pada provokasi kelompok-kelompok opportunis. Namun konflik tersebut berhasil diredam sehingga tidak muncul kembali tindak anarkhis, kekerasan dan pengrusakan, sekalipun ada yang masih berpotensi konflik. Kajian pemeliharaan kedamaian (peace building) ini dilakukan di daerah damai pada empat kawasan Indonesia. Daerah damai dalam arti pada beberapa tahun terakhir ini tidak terjadi konflik sosial bernuansa agama yang berdampak terhadap masyarakat secara luas, dan menimbulkan korban harta dan jiwa. Dengan pertimbangan tersebut, maka dipilih lokasi kajian ini, yaitu: Kabupaten Badung Bali, Kabupaten Bantul Provinsi DI. Yogyakarta, Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara, dan Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Pengumpulan Data Penjajagan kebutuhan seringkali disebut juga pengenalan masalah, karena biasanya masyarakat memiliki masalahmasalah yang menimbulkan kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk mengatasi masalah yang mengganggu kehidupan. Pengkajian masalah ini disertai dengan pengenalan potensi masyarakat, terutama jika program yang dikembangkan bertujuan untuk mengembangkan kemampuan keswadayaan masyarakat. Pengkajian informasi dilakukan dengan teknikteknik PAR. Analisa Data Data yang berhasil dikumpulkan berupa masalahmasalah dan potensi yang ada dan dimiliki oleh masyarakat
16
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kemudian dianalisa dengan dikelompokkan/dikategorisasikan, dihubung-hubungkan keterkaitannya, untuk lebih mendalami pokok masalah. Semua tahapan kegiatan analisa dilakukan secara bersama-sama oleh peneliti dengan masyarakat dengan menggunakan teknik-teknik yang partisipatif. Ujung dari kegiatan analisa data adalah peneliti bersama-sama dengan masyarakat menemukan berbagai alternatif solusi atas persoialan-persoalan yang telah teridentifikasi. Perencanaan Partisipatif Rencana program merupakan lanjutan proses need assessment. Dalam rencana tersebut dicantumkan dengan jelas apa yang akan dilakukan, siapa yang akan melakukan, dan kapan waktu dilakukan. Semakin konkrit dan jelas rencana yang dihasilkan, makin besar kemungkinannya karena rencana itu sungguh-sungguh akan dilakukan. Perencanaan kegiatan dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan difasilitasi peneliti menggunakan teknik-teknik PAR. Aksi Bersama Betapapun baiknya suatu rencana kegiatan, rencana itu baru akan bermakna jika sungguh-sungguh dilakukan. Untuk melaksanakan kegiatan perlu diatur penjadwalan kegiatan, termasuk pembagian kelompok dan tugas-tugasnya. Sesuai dengan prinsip-prinsip dan metode PAR, pelaksanaan kegiatan ini diorganisir dan dipimpin oleh masyarakat sendiri. Sedangkan peneliti PAR hanya mendampingi saja.
17
I. Pendahuluan
Refleksi dan Evaluasi Semua kegiatan yang dilaksanakan perlu dipantau atau dimonitor secara berlanjut untuk melihat kesesuaiannya dengan rencana yang telah disusun. Jika suatu tahapan kegiatan selesai, maka hasilnya mesti dievaluasi sejauh mana telah mencapai tujuan program yang telah disepakati bersama masyarakat. Adapun refleksi dilakukan untuk menarik pelajaran (lessons learned) baik terkait dengan hal-hal positif ataupun negatif yang biasa diambil dari pelaksanaan program. Semua proses ini dilakukan oleh masyarakat/kelompok sasaran sendiri, sementara peneliti lebih sebagai pendamping dan fasilitator. Secara umum pelaksanaan kegiatan dapat diskemakan sebagai berikut: DESAIN OPERASIONAL DAN PERSIAPAN
PENYELESAIAN BUKU LAPORAN
SOSIALISASI PROGRAM DAN ASSESMENT
SEMINAR FGD PELOPOR KEDAMAIN SOSIAL
PENDAMPINGAN: MONITORING DAN REFLEKSI
18
ANALISIS DAN INTEGRASI LAPORAN
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
BAB II RESOLUSI KONFLIK ETNORELIJIUS A. Resolusi Konflik di Kota Pontianak
P
rovinsi Kalimantan Barat khususnya Kota Pontianak sebagai ibukota provinsi dihuni oleh penduduk yang majemuk dan rentan konflik. Dalam lima tahun terakhir (1999-2003) saja menurut Moh. Haitami Salim Ketua Forum Kerkunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalimantan Barat, minimal telah terjadi 11 kali konflik horizontal yang melibatkan kelompok etnis (2012: 46), bahkan dalam makalah Yacobus Kumis Ketua Dewan Adat Dayak mencatat 13 kali konflik (2012:3). Setiap konflik diikuti dengan resolusi yang berarti upaya menemu-kenali sebab-sebab konflik, menyelesaikan konflik, sekaligus juga upaya agar konflik yang pernah terjadi tidak terulang lagi. Hal tersebut karena konflik terbuka yang terjadi telah merusak harta benda dan menelan korban jiwa yang siasia, serta mengganggu harmoni kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Sebagai contoh akibat konflik Sambas yang terjadi di tahun 1999, orang-orang Madura terusir dari tempat tinggalnya dan kemudian ditampung di lokasi pengungsian Tubang Kacang, Kabupaten Kubu Raya. Hingga penelitian ini dilakukan tahun 2012, kasusnya belum terselesaikan. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka perlu diungkapkan bagaimana resolusi konflik yang dilakukan di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.
19
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
1. Gambaran Wilayah Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan, dengan ibukota Pontianak. Luas wilayah tersebut mencapai sekitar 146.807 km2 atau 7,53% dari seluruh Indonesia. Provinsi ini berbatasan dengan Serawak Malaysia di sebelah utara, sebelah timur dengan Provinsi Kalimantan Timur, sebelah selatan dengan Laut Jawa, dan sebelah barat dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Dari segi administrasi pemerintahan, Kalimantan Barat terdiri dari 12 kabupaten dan 2 kota, 175 kecamatan, dan 1.894 desa/kelurahan. Daerah ini dijuluki dengan ‚seribu sungai‛, karena banyak memiliki sungai besar dan kecil. Dari segi demografi wilayah ini dihuni oleh penduduk mencapai 4.588.742 jiwa. Dalam hal pemeluk agama terdiri atas 2.839.776 Islam (64,67%), 1.023.419 Katolik (23,31%), 613.116 Kristen (13,96%), 13.663 Hindu (0,31%) dan 98.768 Buddha (2,25%) (BPS Provinsi Kalimantan Barat, 2011: 143). Rumah ibadat terdiri dari: 3.748 masjid, 2.573 gereja Katolik, 1.862 gereja Kristen, 24 pura, 194 vihara dan 96 kelenteng. Penyuluh agama terdiri dari 1.052 Islam, 201 Katolik, 182 Kristen, 13 Hindu dan 75 Buddha (BPS Provinsi Kalimantan Barat, 2011: 140). Penduduk Kalimantan Barat bersifat pluralistic/multietnic, dengan 4 (empat) etnis besar yakni: etnis Dayak 43%, Melayu 31%, Tionghoa 11%, dan Madura 5%. Sisanya 10% etnis campuran. Dalam bingkai negara kesatuan, semua kelompok etnis mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Namun, beban tanggung jawab terberat berada di pundak kelompok etnik Dayak dan Melayu, sebab secara demografi
20
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kedua etnik tersebut adalah etnis mayoritas (Yacobus Kumis, 2011: 1).
Dari segi potensi ekonomi, Kalimantan Barat cukup kaya di bidang pertanian, perkebunan, dan perikanan. Hasilnya antara lain: padi, jagung, kelapa sawit, kelapa, dan lidah buaya. Selain dari itu, potensi ekonomi keumatan juga cukup memberikan peluang. Salah satu dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Kalbar, tempat diselenggarakannya kegiatan FGD dan PAR pada tahun 2010 dan 2012 ialah di Kota Pontianak. Kota Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie (lahir 1742) pada hari Rabu tanggal 23 oktober 1771, dan beliau dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Pontianak pertama (1771-1808). Sejak tahun 1959 dikembangkan menjadi Kotapraja, dan pada tahun 1965 menjadi Kota Pontianak. Luas Kota Pontianak 107,82 Km2. Wilayah ini berbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Slantan, sebelah selatan dengan Kecamatan Sungai Raya, Kecamatan Sungai Kakap dan Kecamatan Slantan, sebelah barat dengan Kecamatan Kakap dan sebelah Timur dengan Kecamatan Sungai Raya dan Kecamatan Sungai Ambawang. Dari segi administratif pemerintahan Kota Pontianak terbagi atas 6 kecamatan, 29 kelurahan, 634 RW dan 2.372 RT. Pada tahun 2010 Kota Pontianak dihuni oleh 550.297 jiwa yang terdiri dari 275.706 laki-laki (50,10%) dan 274.591 perempuan (49,90%), dengan pertumbuhan penduduk dalam sepuluh tahun terakhir mencapai 15,59%, dengan tingkat kepadatan 4.837 jiwa/km. Dari segi etnis, selain penduduk asli Dayak, terdapat juga etnis pendatang seperti etnis dari Sumatera dan
21
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
kaum urban dari Tiongkok. Di kalangan Tionghoa, etnis yang dominan ialah Hakka/Khek dan Tiochiu. Etnis yang dominan besar ialah Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Etnis lainnya ialah Arab, Minangkabau, Sunda, Batak, Bugis, Jawa, dan Madura. Penduduk terbesar dari Kota Pontianak yang multietnis adalah etnis Melayu, disusul etnis Tionghoa, dan selanjutnya etnis Madura. Etnis Dayak hanya berkisar 7% adalah merupakan daerah yang paling rawan konflik etnis yang akan memicu konflik/kerusuhan komunal di Kalimantan Barat, yakni antar Dayak-Melayu dan Melayu-Madura. Namun yang paling besar kemungkinannya, berdasarkan kenyataan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini adalah Dayak-Melayu dan bersifat komunal, sedangkan Madura-Melayu hanya bersifat lokal dan mudah ditangani (Yacobus Kumis, 2011: 9). Dalam perspektif hubungan antarumat beragama dan etnis penduduk Provinsi Kalimantan Barat secara umum saat ini cukup rukun. Konflik pernah terjadi pada tahun 1977, dan beberapa konflik lainnya antara Dayak dengan Madura yang bernuansa etnis. Konflik, berangkat dari kesalah-pahaman, karakter dan temperamen yang berbeda, seperti konflik sosial yang terjadi di Kabupaten Sambas. Dalam konflik sosial ini, etnis Dayak bersatu tanpa membedakan latar belakang agama. Di bidang pendidikan di Kota Pontianak cukup semarak. Tercatat 100 Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), 98 Sekolah Lanjutan Tingkat Petama (SLTP) terdiri atas 73 SMP dan 25 Madrasah Tsanawiyah), 105 Sekolah Menegah Umum (SMU) meliputi: 44 SMU, 33 Madrasah Aliyah dan 28 sekolah kejuruan.
22
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Dalam aspek keamanan yang dilaporakan dan dicatat Poltabes Pontianak sebanyak 3.022. Sebanyak 1.696 kasus telah dapat diselesaikan. Bentuk kejahatan cukup variatif. Pada tahun 2010 data kejahatan di atas 100 kasus tercatat 44 jenis. Di antaranya curat (650), pencurian (616), penggelapan (459), curanmor (590), penipuan (286), penganiayaan (264) dan pengeroyokan (108). Jenis kejahatan yang terkait dengan etnorelijius termasuk pada bagian pengeroyokan. Dengan daya tarik sumber daya alam Kalimantan Barat sehingga banyak pendatang, baik dari kawasan Nusantara maupun dari manca negara. Masyarakat Melayu dan Dayak sangat welcome terhadap pendatang, seperti Bugis, Jawa, Madura, Banjar, Cina, Arab dan India. Namun dalam proses panjang terjadi berbagai model identifikasi budaya dan agama. Di satu sisi berpotensi konflik etnis dan agama (etnorelijius) (Moh. Haitami Salim, 2012: 81-82). Di bidang politik terlihat peta politik Melayu dan elit politik Dayak, sebagaimana menjadi fenomena terutama menjelang ritual pemilihan kepala daerah (pilkada) gubernur dan wakil gubernur, bupati dan walikota beserta wakilnya. Dalam praktik tidak jarang konflik yang terjadi menyertakan isu primordial untuk mencapai kepentingan praktis seperti simbol-simbol etnis dan keagamaan. 2. Kehidupan Keagamaan Penduduk Provinsi Kalimantan Barat dalam perspektif hubungan antarumat beragama dan etnis secara umum saat ini cukup rukun. Konflik pernah terjadi pada tahun 1977, dan beberapa konflik lainnya antara Dayak dengan Madura yang bernuansa etnis. Konflik tersebut, berangkat dari kesalahpahaman, karakter dan temperamen yang berbeda-beda,
23
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
seperti konflik sosial yang terjadi di Kabupaten Sambas. Dalam konflik sosial ini, etnis Dayak bersatu dengan Melayu tanpa membedakan latar belakang agama. Penduduk Kota Pontianak adalah plural, baik dari budaya maupun agama. Data keagamaan dimuat dalam buku Kota Pontianak dalam Angka 2011 (BPS Kota Pontianak: 95, 96, 159-160). Penganut agama tercatat 128.441 jiwa, terdiri atas 31.596 Islam (24,76%), 51.959 Kristen (30,48%), 5.466 Katolik (3,20%), 70.387 Hindu (41,30%), dan 448 Buddha (0,26%). Penganut Khonghucu ada, tetapi belum mencatatkan diri. Tiap komunitas agama memiliki sarana peribatan. Pemeluk agama-agama tersebar, dan merata di 6 kecamatan. Pemeluk Islam terbanyak di Pontianak Selatan dan Pontianak Barat, Kristen di Pontianak Kota dan Pontianak Selatan, Pontianak Timur, Barat dan Utara. Hindu di Pontianak Utara dan Potianak Selatan. Buddha terdapat di Pontianak Selatan dan Tenggara. 3. Dinamika Resolusi Konflik Identitas Kultural: Suku Bangsa dan Agama Kota Pontianak, sebagaimana terdapat dalam sejarah pendirian dan pembangunannya tidak lepas dari keberadaan rombongan yang dipimpin Syarif Abdurrahman Alkadrie ketika membuka hutan di persimpangan tiga sungai, yaitu Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas. Balai dan rumah didirikan pada tanggal 12 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan dengan 23 Oktober 1771 Masehi. Tempat tersebut kemudian diberi nama Pontianak. Semenjak saat itu, Pontianak berkembang menjadi kota perdagangan dan pelabuhan. Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak ke 1 pada tahun 1192 Hijriah. Masjid Raya
24
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah didirikan yang sekarang berada di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur. Walaupun belum terlalu banyak populasi masyarakat yang menempati pulau Kalimantan sebelum kehadiran Syarif Abdurrahman Alkadrie, tetapi daerah ini sudah dihuni oleh penduduk yang dikenal dengan sebutan Dayak. Nama Dayak merupakan sebutan untuk masyarakat yang menempati pulau Kalimantan sebelum kedatangan para pedagang dari luar Pulau Kalimantan. Tidak ada perbedaan antara suku Dayak dan suku Melayu, semuanya disebut dengan Dayak. Pemilahan istilah nama antara Dayak dan Melayu diidentifikasi setelah datangnya para pedagang Muslim, yang di kemudian hari berasimilasi dengan warga sekitar dan melangsungkan pernikahan dengan penduduk asal setempat (Dayak). Sejak itulah muncul istilah Melayu, yaitu kelompok orang Dayak dan keturunannya yang menikahi dan atau dinikahi oleh para pedagang Muslim. Selanjut disebut dengan entitas etnik sendiri, yaitu etnik Melayu. Hal ini juga dikuatkan oleh politik kolonialisme Belanda2
2
Melayu sebagaimana Dayak, merujuk pada etnisitas sebagai-mana diakui oleh orang Melayu sendiri, dan tidak dipahami sebagai „rumpun‟, seperti menyebut rumpun Melayu. Orang Dayak juga ada yang secara otomatis disebut sebagai orang Melayu atau “menjadi Melayu”, yakni ketika mengganti agama nenek moyang mereka menjadi agama Islam, sebagaimana dijelaskan peneliti LIPI, Heru Cahyono. Konsep masuk Melayu ini berkaitan dengan kenyataan sebagaimana banyak dilihat oleh etnik Dayak bahwa Islam adalah inti kebudayaan dari Melayu. Dengan demikian, memeluk agama Islam berarti mengadopsi seluruh kebudayaan Melayu. Lihat Parsudi Suparlan, “Kumpulan Laporan Kerusuhan Sambas”, (Pontianak, 1999).
25
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Selain suku Dayak dan Melayu sebagaimana tersebut di atas, suku bangsa yang datang di kemudian hari dan menjadi bagian penduduk di Kota Pontianak, yaitu Tionghoa, Jawa, Madura, Bugis, Sunda, Banjar, Padang, dan Batak. Kedatangan suku bangsa tersebut ada yang disebabkan oleh migrasi pada waktu itu, baik secara spontan maupun melalui program transmigrasi. Proses migrasi bisa terjadi karena secara ekonomi mampu menarik berbagai kelompok untuk melanjutkan hidup dengan layak. Di beberapa wilayah Kota Pontianak secara khusus dan Kalimantan secara umum merupakan sasaran utama pelaksanaan program transmigrasi. Perkembangan berikutnya ialah jumlah anggota suku secara kuantitatif meningkat sehingga memunculkan kelompok suku besar yang tumbuh bersama akar budaya asal daerah masing-masing. Misalnya suku Dayak/Melayu sebagai suku asli Kalimantan memiliki tradisi budaya masing-masing. Budaya etnik Tionghoa tumbuh dan berkembang sesuai asal budaya etnik tersebut. Begitupun dengan suku lain seperti suku Madura, Jawa, dan Sunda. Secara umum di Kalimantan Barat telah terjadi sebanyak 11 kali. Konflik terjadi pada tahun 1962, 1963, 1968, 1972, 1977, 1979, 1983, 1996, 1997, 1999 dan 2000. Pada awalnya konflik dipicu oleh peristiwa ‚biasa‛. Dari kasus individual yang bersifat ‚kenakalan remaja‛ menjadi komunal atas nama suku dan/atau agama. Komunitas Islam dan Kristen menjadi bingkai dalam konflik individu, penduduk asli dan pendatang. Setelah era 1980-an mulai menarik entitas pelaku konflik menjadi lebih luas melewati batas etnik dan geografis, dengan membawa unsur agama sebagai bagian dari tema konflik.
26
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Konflik etnorelijius yang terjadi di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat secara umum bersumber dari dalam negara, bukan masyarakat. Pasca reformasi yang terjadi tahun 1998, mulai tumbuh berkembang unsur-unsur yang mengatasnamakan transisi demokrasi pasca lengsernya Soeharto. Para pihak berusaha untuk ‛mengambil keuntungan‛ dengan mengeksploitasi sentimen etnorelijius untuk tujuan jangka pendek. Dari hal seperti inilah konflik dan kekerasan terjadi, dan ketidak-harmonisan lebih mudah dilanggengkan. Faktor Pemicu Konflik Konflik yang disertai kekerasan etnik di Kalimantan Barat muncul sejak tahun 1968, sudah terjadi sebanyak 11 kali konflik. Dalam rangkaian konflik tersebut, yang paling serius terjadi konflik yaitu pada medio sebelum dan sesudah lengsernya Soeharto sebagai Presiden RI. Kasus-kasus konflik yang terjadi di Pontianak dan Kalimantan Barat dengan pemicu yang berbeda-beda yang dapat diidentifikasi. Pertama, konflik bersifat personal— berawal dari kasus individu masyarakat. Selanjutnya menjadi konflik komunal yang melibatkan suku atau agama. Kedua, konflik berlatar belakang perbedaan budaya. Biasanya perilaku indvidu dalam masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat. Namun dalam realita yang lebih kompleks, di mana komposisi masyarakat terdiri dari berbagai budaya dari suku bangsa yang berbeda sehingga lebih dimungkinkan budaya asal mempengaruhi sikap dan perilaku. Cara memperlakukan orang lain dengan menggunakan perspektif budaya sendiri, adalah sering menjadi penyebab terjadinya konflik. Ketiga, konflik berdimensi ekonomi dan politik. Kepentingan adalah kata kunci yang
27
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
dapat mewakili terjadinya konflik. Dalam berbagai kasus yang terjadi, ‘kepentingan’ ekonomi dan politik menjadi faktor tersembunyi dari terjadinya konflik pribadi/komunal, etnik, dan agama. Keempat, penegakkan hukum. Semua sama di depan hukum. Inilah prinsip dasar dalam penegakkan hukum. Namun pada beberapa kejadian yang bersifat kasuistik, penegakkan hukum cenderung dirasakan kurang menyentuh keadilan, lamban dalam penyelesaian, dan kadangkala menuntaskan masalah. Faktor Penyebab Konflik Faktor Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi saat ini tidak menyentuh masyarakat lapisan bawah. Karena itu, sumber konflik di berbagai daerah ialah kesenjangan ekonomi di masyarakat lapisan bawah.3 Seringkali untuk mencoba mengurai benang kusut dari berbagai konflik, mencoba menelusuri secara jernih alur konflik. Kasus yang terjadi dalam satu dekade ini nampak mengarah pada satu kesimpulan bahwa konflik bersifat pribadi. Namun sesungguhnya banyak faktor yang menjadi stimulus terjadinya konflik. Setelah terjadi berbagai konflik muncullah dimensidimensi lain yang dapat membuka pikiran, bahwa konflik pribadi bukanlah jawaban akhir dari penyebab terjadinya sebuah konflik. Banyak faktor yang dapat menjadi stimulus terjadinya konflik, baik dilakukan oleh individu maupun
3
Slamet Effendi Yusuf dalam http://www.cuwelamomang.com/muikesenjangan-ekonomi-penyebab-konflik/
28
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kelompok, di antara faktor tersebut adalah ekonomi, politik, sosial-budaya, agama, dan sistem kekuasaan. Negara memiliki landasan berupa undang-undang untuk mengelola seluruh potensi kekayaan negara, baik yang berada di darat, laut maupun udara. Namun seringkali terjadi penguasaan potensi dan aset-aset perekonomian di suatu wilayah oleh negara tidak berbanding lurus dengan undangundang yang dijadikan bahan acuan pengelolaan kekayaan alam tersebut, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Seringkali, kesuburan dan kekayaan alam, justru menjadi petaka bagi masyarakat sekitarnya. Faktor Sosial Budaya Keberagaman masyarakat Kota Pontianak telah ada sejak lama. Secara historis heterogenitas dalam etnik, suku dan agama dimulai pada saat para pedagang yang melakukan ekspedisi berlabuh di pulau Kalimantan. Di antara para pedagang tersebut, kemudian ada yang menetap dan menjadi warga masyarakat pulau Kalimantan. Di kemudian hari, transmigrasi kelompok etnik lain dari berbagai pulau dan daerah yang ada di Nusantara pun terjadi, baik dilakukan secara individual maupun kelompok. Pada masa Orde Baru, program transmigrasi penduduk dilakukan pemerintah untuk menyebarkan populasi masyarakat agar tidak terkonsentrasi di pulau Jawa. Di samping itu juga untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam agar dapat dikelola untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Untuk itu, lahirlah program transmigrasi, yaitu berpindahnya penduduk dari satu pulau ke pulau lain.
29
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Sejak lama, keberagaman etnik di Kota Pontianak turut menjadi faktor pendorong perkembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Kehidupan masyarakat mencerminkan keberagaman etnik yang harmonis, dan keharmonisan etnik dan agama itulah yang banyak dilihat sebagai ciri dari masyarakat Kota Pontianak. Data BPS tahun 1998 menunjukkan bahwa terdapat etnik yang cukup beragam, 5 etnik terbesar di Kalimantan waktu itu adalah etnik Dayak dan Melayu yang merupakan penduduk asli Kalimantan memiliki populasi masing-masing terbesar, yaitu 41% dan 39,57%. Etnik China sebanyak 11,33%, etnik Bugis sebanyak 5%, etnik Jawa sebanyak 3%, etnik Madura sebanyak 2,75%, selebihnya etnik lain seperti Bali, Sunda, Banjar, dan Batak. Selanjutnya, pengembangan Kota Pontianak menjadi kota perdagangan, memudahkan semua warga masyarakat untuk melakukan aktivitas perekonomian masing-masing, dalam bentuk pendirian usaha dan pemanfaatan lahan yang sudah disediakan. Dalam rentang waktu yang sangat panjang, aktivitas masing-masing etnik ini memunculkan stereotipe terhadap kelompok etnis lain misalnya Dayak dan Madura dikenal sebagai etnik yang keras, sementara Melayu dan China lebih dikenal sebagai etnik yang menghindari konflik, dan begitu juga untuk kelompok etnik lainnya. Stereotipe itu mengiringi kelompoknya masing-masing. Kelompok etnis besar sebagaimana disebut di atas, tidak juga dominan terhadap kelompok etnis lain, pada saat yang sama keberadaan beragam etnik yang ada, tidak kemudian memunculkan kelompok etnis baru, tetapi melanggengkan adat dan budaya asal etnik. Konsekwensinya banyak kasus diselesaikan secara adat, dan adat yang digunakan merujuk pada adat masingmasing, sementara kasus yang terjadi berkaitan dengan etnik
30
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
lain. Hal tersebut berakibat pada ketidakharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam beberapa dekade terakhir, secara mengejutkan keberagaman dan keberagamaan di Kota Pontianak menjadi ‘momok’ yang menakutkan. Karena menjadi konflik yang terbentuk sejak lama. Pemicunya lebih banyak dari konflik individual anggota kelompok etnis, yang menjadi semakin melebar menjadi konflik komunal. Identitas Politik Sebelum munculnya reformasi ditahun 1998, kebebasan berpolitik sesungguhnya telah pernah terjadi di Indonesia. Identitas politik aliran bukanlah hal baru. Pada pemilu tahun 1950-an, menjamurlah partai-partai berbasis aliran, di antaranya adalah partai yang berbasis agama, yaitu Masyumi, NU, PSII (Islam), Parkindo, dan Partai Katolik (Kristen). Kemudian di antara partai-partai tersebut, yang tergolong partai sekular adalah PNI dan PKI. Pemilu 1955, di tingkat nasional menunjukkan rivalitas antara empat partai besar, yaitu PNI (22,3%), Masyumi (20,9%), NU (18,4%), dan PKI (16,4%). Sementara itu partai Kristen, yaitu Parkindo memperoleh 2,6% dan partai Katolik memperoleh 2% suara sah (Feith 1999:84-5). Pada era Orde Baru, keberadaan partai-partai penyalur aspirasi rakyat dieliminasi dan dilebur menjadi dua partai dan satu golongan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golongan Karya (Golkar). Pasca terjadinya gerakan reformasi, era baru perpolitikan nasional kembali, sebagian di antaranya menggunakan benihbenih dan simbol partai yang sudah ada sejak dahulu. Dengan
31
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
demikian, masyarakat dihadapkan kembali kepada politik aliran. Ada yang mengatakan bahwa ‛politik adalah massa dan demokrasi adalah voting‛. Dan dalam konteks perpolitikan partai politik tingkat lokal maupun nasional pasca reformasi, rasa keterwakilan dan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokratisasi dalam berbagai hal, dipergunakan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dengan melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyalurkan aspirasi politik, dengan sistem yang telah disepakati bersama dalam mencapai tujuan individu, kelompok/ organisasi. Pada akhirnya, kekuasaan sistem demokrasi yang mengatasnamakan masyarakat, justru hanya menguntungkan kelompok-kelompok kepentingan tertentu saja. Dengan demikian, sangat memungkinkan jika kepentingan politik dan ekonomi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya konflik vertikal maupun horizontal. Di Kota Pontianak dan Provinsi Kalimantan Barat secara umum, politik menempati peran penting terjadinya konflik, dan konflik yang selama ini terjadi bukan konflik agama. Berdasarkan hasil pemilukada, pemilih dan yang dipilih tidak berbanding lurus dengan agama. Agama Pluralitas merupakan keniscayaan. Kenyataan ini harus dipahami dan disadari oleh setiap orang. Karena pluralitas merupakan kondisi alamiah yang tidak dapat ditolak adanya. Kehidupan semakin modern dengan kompleksitas permasalahan yang muncul setiap saat. Konflik-konflik yang terjadi diakibatkan oleh berbagai kepentingan yang saling bertentangan satu dengan yang lain. Pada akhirnya memicu para
32
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
intelektual sosial untuk mencari solusi yang terbaik, dan tidak meruntuhkan tatanan kehidupan sosial yang telah ada. Secara sederhana, permasalahan inilah yang kemudian menimbulkan paham pluralism yang berarti adanya berbagai tipe manusia yang berbeda dari sisi keyakinan (iman) dan pemahaman dalam masyarakat yang sama. Dalam konteks pencarian solusi terhadap problema keragaman sosial (social diversity), dan menghindari konflik yang destruktif atau disintegratif, faham pluralism, sejatinya, tidak menimbulkan masalah dan kontroversi. Sebaliknya, justru berguna untuk menjaga konflik tetap sebagai sebuah kekuatan dinamis (dynamic chance) dalam kelompok masyarakat. Dalam argumen Lewis Coser, konflik akan bersifat positif, jika mampu membangun kohesi internal di antara kelompok-kelompok sosial; mampu menciptakan asosiasiasosiasi baru; dan mampu membangun keseimbangan antar kelompok sosial (Lewis Coser, 1965). Masalahnya, faham pluralism menjadi persoalan jika memasuki domain teologi. Pluralism agama dikhawatirkan akan mendangkalkan keyakinan seseorang terhadap agamanya. Selain itu, masalah klaim kebenaran (truth claim) masing-masing agama yang menegasikan kebenaran agama yang lain juga menjadi sulit dihindari. Menurut Rasjidi, mantan Menteri Agama pertama, agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti.4 Agama tidak seperti rumah atau pakaian 4
Argumen ini dikemukakan oleh Prof. Rasjidi dalam satu tulisannya yang disampaikan dalam Pidato Sambutan Musyawarah Antar Agama, 30 November 1967 di Jakarta. Tulisan ini dari dua sumber, yakni: Majalah Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968- Tahun ke VIII dan buku karangan Umar Hasyim Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama. Dalam konteks ini, fokus pada sumber pertama.
33
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya (Rasjidi, 1968: 35). Oleh karena itu, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Walaupun demikian, Rasyidi menyadari bahwa realitas masyarakat pada kenyataanya adalah sangat kompleks sehingga bagaimanapun harus ada pengakuan akan keragaman tersebut tanpa harus kemudian ‛berbagi keyakinan‛ dengan yang lain. Dengan demikian, pluralism agama dalam pemikiran Rasyidi hanyalah sebatas pengakuan akan agama-agama yang lain dengan tidak melibatkan klaim-klaim kebenaran masing-masing agama. Konflik yang dalam beberapa dekade terakhir cukup sering terjadi di Indonesia, sampai saat belum dapat diidentifikasi sebagai konflik agama, yang tentunya jika hal tersebut terjadi, maka dapat memicu terjadinya konflik yang lebih luas scope-nya, jauh melewati batasan etnis dan geografis, yaitu perang suci antaragama. Moh. Haitami Salim membedakan konflik dan kekerasan agama. Pertama, Perang atas nama agama; dan kedua, perang agama. Konflik atas nama agama, dapat jadi merupakan manifestasi dari kepentingan politik, ekonomi dan budaya, yang melibatkan penganut agama dan simbol-simbol agama tertentu. Sedangkan konflik agama adalah sikap perlawanan masyarakat beragama yang diinspirasi oleh nilai-nilai agamanya (Moh. Haitami Salim, 2012: 141-142). Lebih lanjut, Haitami menjelaskan bahwa konflik antar umat beragama seringkali disebabkan oleh ketimpangan struktur kekuasaan, sosial dan ekonomi serta oleh kebijakan
34
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
publik yang justru menisbikan dan mengingkari kepentingan masyarakat dan membelakangi perasaannya (Moh. Haitami Salim, 2012:48). Agama bukan satu-satunya faktor penyebab terjadinya konflik di masyarakat, namun demikian, berdasarkan kondisi-kondisi kekinian terkait dengan kekerasan yang mengatas-namakan agama, perlu dicari solusi alternatif agar masyarakat sebagai warga bangsa Indonesia agar dapat hidup dalam keharmonisan (harmony in diversity). Segregasi etno-relijius Berdasarkan komposisi etnis di Kota Pontianak, dengan perkembangan penduduk yang semakin komplek, dan memunculkan kelompok yang cenderung terpisah (segregatif) berdasarkan kesamaan etnoreligius. Bahkan dalam konteks kekinian pasca terjadinya berbagai konflik di Pontianak. Segregasi etnoreligius nampak sudah masuk ke ranah pendidikan (pendidikan dasar dan menengah). Untuk waktu jangka panjang, dengan menafikan unity in diversity. Secara umum di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat ‛relatif‛ mudah mengenali masyarakat yang berasal dari etnis Sunda sebagai etnis pendatang, karena akan terlihat sikap dan perilaku serta adat-istiadatnya, begitu juga dengan etnis lainnya, seperti etnis Madura, Jawa, Bugis, Padang, dan Banjar. Pada saat yang sama, etnis Dayak dan Melayu pun sebagai etnis asli setempat tidak akan melepaskan identitas dan adat-istiadat yang sudah mereka warisi secara turun temurun. Setelah terjadinya konflik, pola domisili masyarakat masih berada pada wilayah geografis yang sama. Namun semakin menegaskan segregasi etnik tersebut, salah satunya dikarenakan pengungsi yang belum dapat kembali lagi ke daerah yang dulu pernah menjadi tempat domisilinya.
35
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Segregasi secara sosial ternyata secara tidak sadar berimbas terhadap pengembangan kehidupan pada generasi berikutnya, di bidang pendidikan. Faktor keluarga yang sangat berpengaruh dan dominan terhadap perkembangan pola pikir dan perilaku anak, mind set terhadap kelompokkelompok tertentu. Dalam penelitian disertasi Amri Zakso tentang identitas keetnisan dan relasi antaretnis siswa daerah rawan konflik, menyimpulkan bahwa derajat identitas keetnisan para generasi muda atau siswa SMA di daerah ini cenderung tinggi dan relasi antaretnis di kalangan siswa cenderung rendah. Kecenderungan Konflik dan Kedamaian Saat Ini Di Kota Pontianak, kecenderungan konflik sebagaimana disebut terdahulu, berawal dari konflik yang sifatnya pribadi kemudian melebar ke arah yang lebih luas, yaitu konflik komunal dengan melibatkan kelompok dan etnik, dan pada akhirnya—walaupun belum sampai pada titik tertentu, konflik di wilayah ini sudah mengarah ke konflik yang tidak lagi memiliki batas-batas geografis, tidak juga dibatasi oleh kelompok etnik tertentu, bahkan tidak memandang kekerabatan dalam sistem keluarga, yaitu konflik agama. Untuk yang terakhir sampai saat ini memang belum terjadi, dan tentu diharapkan tidak terjadi. Namun telah nampak indikasi ke arah tersebut. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, baik dari faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya. Untuk faktor yang sifatnya keduniaan, konflik tentu dapat diantisipasi dengan strategi yang tepat, sehingga faktor-faktor penyebab konflik dapat dieliminasi. Namun untuk konflik
36
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
yang sifatnya non-keduniaan, yaitu menyangkut keyakinan seseorang cukup rumit untuk diselesaikan. Masyarakat sudah banyak belajar dari konflik. Trauma sosial dan kehilangan dalam berbagai hal menjadi faktor yang cukup untuk menyadarkan bahwa konflik hanya akan membawa keterpurukan bagi hidup dan kehidupan. Di Kota Pontianak, keberadaan masyarakat adat dalam lingkup kelompok dan organisasi merupakan hal yang baik jika dilihat dari aspek keragaman budaya, karena dengan demikian banyak instrumen kebudayaan yang dapat dijaga oleh masyarakat peduli dengan kebudayaan etniknya. Namun pada sisi yang lain, ini merupakan kelemahan jika instrumen kebudayaan digunakan untuk menciptakan dominasi terhadap kebudayaan lainnya. Bagaimanapun, masyarakat adat merupakan simbol dari eksistensi etnis itu sendiri, maka jika budaya suatu etnik melembaga dalam sebuah institusi, selama fungsi dan perannya berjalan sesuai dengan kesadaran akan kemajemukan, maka ini merupakan model jaminan kedamaian sosial bagi masyarakat secara umum. Stereotipe yang sudah terlanjur melekat sebagai entitas dari setiap etnik di Pontianak, seperti Dayak-Madura-Bugis memiliki stereotipe sebagai etnik keras, sementara Melayu, Tionghoa, Jawa memiliki stereotipe sebagai etnis yang lembut atau enggan menggunakan cara-cara kekerasan. Jika entitas seperti ini yang dimunculkan, mungkin dalam peta konflik masyarakat tidak akan menjadi permasalahan. Namun jika stigma yang muncul adalah Dayak diidentifikasi sebagai Kristen, Batak diidentifikasi sebagai Kristen, sementara Madura, Jawa dan Melayu diidentifikasi sebagai Muslim, maka stigma itu terlanjur melekat, dan dikemudian hari
37
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
konflik individu melebar menjadi konflik komunal. Konflik etnik itu dapat mengarah menjadi pemicu konflik agama. Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa agama tidak memiliki keterikatan terhadap wilayah-geografis, dikhotomi pribumi dan pendatang, dan kekerabatan dalam keluarga dan lain sebagainya. Yang ada adalah solidaritas seiman, bukan solidaritas antariman. Bentuk Resolusi Konflik Pada tahun 2010 terdapat dua kecamatan yang diusulkan sebagai tempat akan diselenggarakan kegiatan Paticipatory Action Research (PAR) oleh kader perdamaian, dengan 4 kegiatan, masing-masing 2 kegiatan di Kecamatan Pontianak Timur dan di Pontianak Selatan. Alasan pemilihan wilayah yaitu: penduduk heterogen dalam agama, sehingga terdapat potensi konflik. Di Pontianak Timur sejak tahun 1997 hingga 2010 terdapat 6 kasus, yaitu: bentrokan Melayu kelurahan Bugis-Madura (1997), sengketa tanah (2006), sengketa pedagang kaki lima (2007), pengrusakan toko warga Tionghoa pecinan (2008), penertiban layang-layang (2008), dan kasus dukun santet (2009). Kasus di Pontianak Selatan terdapat 5 kasus. Benterokan Dayak-Melayu (1998), bentrokan Tionghoa-Melayu di Gang 17 Tanjung Pura (2007), konflik Barongsai Gadjah Mada Tionghoa-Melayu (2008), bentrokan siswa Petrus Tionghoa-Siswa Muhammadiyah (Melayu) (2008), dan bentrokan Tionghoa (MABT)-Lasykar Front Pembela Islam (FPI) di Gadjah Mada Pahawan (2010). Peserta Kajian Penyadaran dan Pendampingan Melalui Penguatan Kedamaian dengan pendekatan participatory action research (PAR) tahun 2010 di Kota Pontianak telah merumuskan bentuk kegiatan, sebagai berikut:
38
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Penyuluhan Kerukunan Multi Etnoreligius. Memberikan pencerahan bagi pemuda antaretnik dan agama, menumbuhkan dan memupuk rasa kebersamaan serta meningkatkan kerukunan antar umat beragama dan antaretnis. Dialog Kader-kader Perdamaian dan Kerukunan. Dialog diselenggarakan agar tersedia kader-kader yang mempunyai pemahaman terhadap pentingnya kerukunan hidup dalam masyarakat. Jalan Sehat Multikultural. Meningkatkan rasa kebersamaan masyarakat dalam satu kegiatan yang menyenangkan dan menyehatkan tanpa memandang status dan kedudukan sehingga mereduksi rasa diskriminasi antarlintas agama. Pentas Seni Bhinneka Tunggal Ika Menegaskan bahwa kemajemukan itu sebuah keniscayaan. Kegiatan ini untuk mengeliminir monopoli budaya atau dominasi budaya oleh kelompok/etnik yang lebih besar. Bermacam seni budaya di masyarakat Kota Pontianak yang dapat mengkondisikan hidup berdampingan dan harmoni. Parade Multietnis. Kegiatan ini bukan merupakan aksi pamer kekuatan antaretnis, melainkan untuk menimbulkan rasa cinta akan budaya dan keberagaman etnis sehingga tumbuh rasa persaudaraan dan penghargaan terhadap perbedaan dalam kehidupan. Malam Renungan Bersama Lintas Etnis dan Agama. Untuk mempererat rasa nasionalisme dan patriotisme serta tali persaudaraan umat beragama, dirasa perlu refleksi kebersamaan untuk menjaga perdamaian dalam sebuah perbedaan etnis, agama, budaya dan antargolongan.
39
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Pelatihan Enterpreneurship. Memberikan keterampilan akan dunia kerja untuk kesejahteraan ekonomi antar komunitas agama.
pembekalan menunjang
4. Lesson Learned Resolusi Konflik Pelajaran yang dapat diambil dari semua bentuk konflik, baik etntik maupun agama. Begitu pula pelajaran dari PAR. Di antaranya sebagai berikut: Kemajemukan. Kemajemukan merupakan keniscayaan, dan tidak dapat dihilangkan dari kehidupan manusia. Arogansi akan menyebabkan reaksi atau menimbulkan perlawanan. Stigma-stigma terhadap etnik dan agama tidak perlu dikembangkan dan diturunkan kepada generasi penerus, dan distingsi asumtif antara pribumi dan pendatang, etnik besar dan kecil harus segera dieliminir. Kebenaran akan keyakinan tidak dapat dipaksakan terhadap orang lain. Agama merupakan keyakinan yang menjadi hak asasi manusia, agama dan keyakinan tidak untuk diperbandingkan, tetapi untuk diyakini dan diamalkan ajarannya. Dampak konflik. Konflik berdampak pada kerugian yang diderita oleh masyarakat. Secara umum dalam konflik tidak menguntungkan. Ada ungkapan ‛Menang Jadi Arang dan Kalah Jadi Abu‛. Ini merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hasil yang dapat di dapat dari konflik. Komunikasi. Komunikasi intra etnik dan inter-etnik perlu ditingkatkan intensitasnya. Demikian pula dengan sistem domisili penduduk hendaknya tidak dibatasi oleh entitas etnik dan agama. Kebijakan Pemerintah. Kebijakan pemerintah harus berpijak aturan perundang-undangan yang membela kepen-tingan
40
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
masyarakat secara luas. Pola-pola sentralistik sudah mulai ditinggalkan menjadi desentralistik. Namun pola sen-tralistik dengan modus baru masih berlaku di daerah-daerah, sehingga kebijakan kurang berpihak kepada kesejahteraan masyarakat (pro poor). Hukum dan Keamanan. Di bidang hukum dan ke-amanan, bahwa penegakkan hukum atas pelanggaran hukum harus diselesaikan dengan cepat, secara adil dan tuntas. Tidak ada kekebalan hukum untuk individu, kelompok, etnis dan agama. Semua sama di hadapan hukum. Di bidang keamanan, tidak ada arogansi kewenangan atas jaminan keamanan, tidak ada polarisasi antara POLRI, TNI dan arapat pemerintahan. Semuanya adalah pegawai negara yang dibayar oleh masyarakat melalui negara. Pendidikan. Pendidikan multikultural merupakan alat yang tepat digunakan untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu meneruskan estafeta pembangunan. Pendidikan bukan tempat penyemaian paham kelompok etnis dan agama yang menafikan lainnya. Upaya Pencegahan Konflik Jangka pendek Pertemuan Tokoh Agama. Tokoh agama merupakan pihak yang selama ini dianggap sebagai panutan dalam beragama. Mereka secara otoritatif dapat menyampaikan pesan-pesan moral ajaran agama. Jika pemuka agama melakukan pertemuan-pertemuan yang intens dan diketahui publik, maka pertemuan tersebut akan menjadi kelompok panutan, tidak saja panutan dalam beragama tetapi juga panutan dalam keberagamaan.
41
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Ikrar Perdamaian. Ikrar secara sederhana adalah janji yang diucapkan. Bagi yang melakukan kesalahan, ikrar dapat digunakan agar pelaku tidak mengulangi lagi kesalahan yang serupa. Dalam kondisi konflik, ikrar dilakukan oleh pihakpihak yang terlibat dalam konflik, agar dalam waktu tertentu konflik tidak terulang kembali. Kegiatan Budaya. Dalam kegiatan budaya dengan melibatkan semua unsur etnis untuk berpartisipasi dalam program yang bertajuk ‛Kegiatan Multi-etnis Bersatu dalam Damai‛. Misalnya acara naik danau dari suku dayak dan acara robo-robo dari suku melayu. Penegakkan Hukum yang Tegas dan Adil. Sering terjadi kasus kecil, bersifat individual maupun kasus besar bersifat kolektif berubah menjadi kerusuhan yang tidak diharapkan. Faktor pemicunya ternyata adalah penyelesaian yang lamban, dan tidak tuntas. Keadilan yang diterima satu pihak dan pada saat yang sama ketidakadilan pada pihak yang lain. Penegak hukum dalam hal ini POLRI/TNI/aparat hukum lainnya adalah bagian inhern dari terciptanya konflik. Penyelesaian hukum yang tegas dan adil serta tidak diskriminatif antar etnis/agama adalah salah satu upaya yang efektif dalam pencegahan konflik. Pembauran LSM/Pemuda dalam Kegiatan Bersama. Di berbagai kasus konflik pemuda, banyak di antaranya menjadi konflik ke ranah yang lebih luas, bersifat komunal dan massif, yaitu etnik dan agama. Sebagai pemicu konflik, pembauran pemuda/LSM dalam suatu kegiatan bersama yang terprogram dan kontinyu, diharapkan terjadi interaksi sosial antar pemuda lintas etnik dan agama. Dengan demikian seorang pemuda dengan pemuda lain dapat menganggap mereka adalah
42
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
bagian dari dirinya. Jadi, secara tidak langsung, interaksi yang intens tersebut akan menghilangkan batasan-batasan in-group dan out-group. Pertukaran Mahasiswa. Pengalaman adalah guru yang berharga. Hal ini menggambarkan bagaimana berbeda dengan yang lain, mungkin bukan dikarenakan kemampuan secara akademik, bukan juga oleh kemampuan secara ekonomi, dan dapat saja sikap dan perilaku yang berbeda tersebut adalah hasil dari pergaulan dengan kelompok lain di luar daerahnya sendiri. Perbedaan seseorang tersebut dapat jadi dipengaruhi oleh budaya lingkungan di mana selama ini berada. Belajar dari pengalaman merupakan hal menarik, terutama karena kelompok menengah elit ini dikenal sebagai agent of social change, kelompok yang secara nurani lebih sensitif terhadap persoalan sosial dan kemasyarakatan. Dengan pertukaran mahasiswa, diharapkan akan dapat membuka jalan pikiran positif agar pengalaman-pengalaman tersebut dapat diadaptasi di daerah asalnya. Jangka panjang Pendidikan Multikultural. Masyarakat Kalimantan Barat secara umum rawan konflik. Dalam penelitian ini terungkap bahwa ‛ada rasa dendam‛ pada siswa sekolah, derajat etnisitas tinggi dan hubungan siswa antar etnis rendah. Salah satu penyebab hal tersebut adalah karena orang tua menanamkan jiwa identitas keetnisan kepada anak-anaknya. Pendidikan dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi tingkat kecurigaan dari satu etnik kepada etnik lain, dari satu keyakinan kepada keyakinan lain.
43
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Pengembangan Toleransi. Toleransi berarti sifat atau sikap toleran; batas ukur penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Sedangkan pengertian toleransi sebagai istilah budaya, sosial dan politik adalah simbol kompromi beberapa kekuatan yang saling tarik-menarik atau saling berkonfrontasi untuk kemudian bahu-membahu membela kepentingan bersama, menjaganya dan memperjuangkannya. Dengan demikian toleransi beragama dapat dipahami sebagai pemberian kemerdekaan kepada manusia lain untuk meyakini dan mengamalkan keyakinannya selama tidak mengganggu ketertiban umum. Kerukunan sesama warga negara dengan saling menenggang berbagai perbedaan di bidang agama dan kepercayaan. Toleransi bukan sekedar membiarkan dan/atau tidak mengganggu orang lain, atau membiarkan mereka melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Toleransi dapat memainkan peran dalam beberapa hal. Pertama, mencari dan mengembangkan titik kesamaan. Kedua, kembali ke agama masingmasing dalam mencari dasar-dasar normatif toleransi. Ketiga, kerukunan tokoh panutan. Artinya para tokoh dan pimpinan agama formal dan informal mempunyai tanggung jawab yang besar, karena keberadaannya masih diharapkan, dan mampu memberi warna terhadap pembentukan sikap para pengikutnya (Moh. Haitami Salim, 2012:150). Pemerintahan yang Netral. Pemerintah dapat disebut sebagai perwakilan dari keberadaan masyarakat yang disebut dengan penduduk. Pemerintah merupakan pihak yang memiliki mandat kedaulatan rakyat yang diperoleh melalui Undang-Undang Dasar (UUD) RI 1945. Selain itu dapat melakukan fungsi penyusunan public policy, artikulasi sumber
44
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
ekonomi (pajak, DAU), eksekutif dan desentralisasi. Pemerintah memiliki hak untuk mengkontrol dan melakukan fungsi pelayanan publik. Netralitas pemerintah adalah sebuah keharusan. Di Kalimantan Barat, simbol dan atribut kelompok agaknya telah melembaga dalam berbagai bentuknya, terutama pasca konflik. Jika simbol etnik/agama lebih dominan pada salah satu kelompok etnik/agama yang ada, maka dalam jangka panjang akan menuai ketidak-sepakatan dari pihak/ kelompok etnis dan agama lainnya. Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi. Secara umum konflik etno-religius yang terjadi di Kota Pontianak dan Kalimantan Barat. konflik tidak semata dikarenakan gesekan budaya yang berbeda, baik secara etnik maupun agama. Namun, jika ditelusuri muara konflik itu salah satunya adalah kesenjangan ekonomi, baik antara pribumi dengan pendatang, antara satu etnis dengan etnis lainnya, antara daerah kota dan pedesaan. Hal tersebut itulah sebenarnya menjadi faktor yang cukup dominan terjadinya konflik secara terus menerus. Dalam pelaksanaan pembangunan, memperhatikan wilayah minus, desa-desa, dan lain sebagainya dapat menjadi pencegah terjadinya konflik di wilayah ini. Program yang sudah Dilakukan secara Berkelanjutan Follow-up kegiatan pasca FGD dan PAR, sesungguhnya lebih bersifat aplikatif, terjun ke masyarakat untuk melaksanakan program yang sudah direncanakan. Kegiatan FGD dan PAR selain usaha secara sistematis yang dilaksanakan oleh kementerian agama, juga diharapkan menjadi stimulus bagi terciptanya kelompok-kelompok kader perdamaian lintas
45
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
etnis dan agama. Selanjutnya diharapkan dapat bersinergi untuk menciptakan perdamaian. Seharusnya follow-up kegiatan itu dapat jadi tidak hanya satu program saja. Alumni PAR dengan berbagai rencana program yang sudah disiapkan, dari perencanaan, pengelolaan administrasi keuangan, penentuan peserta, materi yang akan disampaikan dan berbagai hal teknis lainnya. Namun dalam kenyataannya, mengalami mis-understanding antara alumni FGD dan PAR dengan Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Barat. Akhirnya alumni FGD PAR diposisikan sebagai fasilitator dalam acara yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Kementerian Agama Kalimantan Barat. Review pembentukan kader perdamaian melalui PAR. Pada dasarnya, FGD dan PAR dilaksanakan untuk menciptakan kader perdamaian di daerah rentan konflik. Peserta kegiatan terdiri dari berbagai etnis dan agama. Sehingga pembentukan kader perdamaian akan lebih mudah diterima oleh masyarakat. Setelah PAR selesai, alumni FGD dan PAR di Kota Pontianak tetap menjalin komunikasi. Selain karena adanya persiapan follow-up kegiatan pasca PAR, juga sebagian besar peserta FGD dan PAR adalah anggota Forum Kumunikasi Pemuda Lintas Agama (FORKUPELIA) yang concern terhadap pemberdayaan pemuda lintas agama. FORKUPELIA pernah melaksanakan pemberdayaan Ekonomi Masyarakat bekerja sama dengan Wahana Visi Indonesia (WVI) dan beberapa ormas kemasyarakatan lain. Sebagai organisasi pemuda lintas agama. FORKUPELIA bersifat independen dan sangat peduli terhadap permasalah kerukunan umat beragama di Kalimatan Barat.
46
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Dalam Pertemuan Pemuda Lintas Agama yang diprakarsai Kementerian Dalam Negeri tanggal 20 dan 22 Oktober 2011 di TMII Jakarta tahun 2010, Forkupelia mengirimkan peserta yang mewakili empat agama berbeda, yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Khonghucu. Keikutsertaan dalam pertemuan dengan tema Temu Generasi Muda Antarumat Beragama di Jakarta tersebut, selain karena kepedulian terhadap problem kerukunan umat beragama, juga untuk share pengalaman dalam kehidupan multikultural. Kegiatan-kegiatan sosial lain yang dilakukan adalah donor darah anggota, memberikan bantuan pelengkapan sekolah bagi siswa kurang mampu mengumpulkan bantuan sosial untuk korban bencana alam, buka puasa bersama bersama dengan anak-anak dhu’afa. Follow-up kegiatan kader perdamaian setelah beberapa kali melakukan pertemuan di sekretariat FORKUPELIA dan Kanwil Kementrian Agama Kalimantan Barat, adalah kegiatan lanjutan Kader Perdamaian yang dilaksanakan pada tahun 2010 selama dua hari, di dua kecamatan, yaitu: (1) Kecamatan Pontianak Selatan dan (2) Kecamatan Pontianak Timur - Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Koordinasi yang dilakukan oleh Kementerian Agama Wilayah Kalimatan Barat terhadap alumni FGD dan PAR terus memotivasi kegiatan serupa, berbeda dengan FGD dan PAR berberapa waktu lalu dengan fasilitator peneliti dari Kementerian Agama Pusat Jakarta, sedangkan lanjutan kegiatan fasilitatornya adalah alumni FGD dan PAR yang telah ditraining selama 2 hari. Alumni FGD dan PAR berjumlah 22 orang. Namun dalam kegiatan lanjutan hanya 17 orang, 5 orang alumni yang lain, yaitu: (1) I Wayan Pranata; (2) Helmi; (3) Ni Ketut Muraini; (4) Js Sunarto; dan (5) Yasinta tidak dapat mengikuti
47
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
karena ada aktivitas lain. Kegiatan serupa dilakukan oleh alumni FGD dan PAR sebagai fasilitator mencoba memberikan efek tular kepada peserta FGD dan PAR lanjutan untuk menjadi kader-kader perdamaian, yang dilaksanakan di dua kecamatan selama 2 hari. 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Masyarakat heterogen di Kota Pontianak khususnya dan di Provinsi Kalimantan Barat umumnya adalah rawan konflik. Nilai sosial budaya dan agama tentang kerukunan dan kedamaian antaretnik dan agama dalam realita tidak dapat membentengi masyarakat dari konflik individu dan/atau konflik komunal, karena faktor nonagama yang lebih dominan terutama kepentingan ekonomi dan politik. Konflik sosial bernuansa agama di Kalimantan Barat disebabkan banyak faktor. Di antaranya yang dominan ialah kepentingan ekonomi, masalah sosial-budaya, pengedepanan identitas politik, dan segregasi etnorelijius yang berkonsentrasi pada komunitas yang sama dalam etnis atau agama. Kedamaian sosial yang terbentuk pasca konflik lebih pada proses pengendapan masalah, jika terdapat pemicunya akan muncul konflik baru. Namun berbeda halnya dengan orang Dayak Samih di Kecamatan Subaki. Sekalipun aksi kekerasan sering terjadi sesama warga antara Dayak vesus Madura seperti tahun 1997, tetapi bagi masyarakat Subaki menolak terlibat dalam aksi kekerasan dengan embel-embel etnik. Ketika suku Dayak lain mengirim ‚mangkok merah‛ (ajakan untuk berperang), mereka respon dengan mengem-
48
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
balikan mangkok merah tersebut dengan ‚mangkok putih‛ yang berarti penolakan ikut konflik. Berdasarkan anatomi konflik yang terjadi, pelajaran dari setiap kasus konflik individu maupun komunal yang menyangkut kelompok etnik maupun agama adalah timbul kesadaran akan kerugian bersama yang diderita masyarakat, yang pada gilirannya menimbulkan kejenuhan. Karena itu tawaran resolusi konflik mendapat sambutan dari masyarakat, tetapi dapat kembali konflik karena ulah provokator yang mengambil kepentingan. Kedamaian sosial pasca konflik bernuansa etnis dan agama yang belum tuntas penyelesaiannya berpotensi besar muncul konflik kembali sewaktu-waktu jika terdapat faktor pemicunya. Karena itu resolusi konflik melalui pndekatan focus group dicussion (FGD) dan participatory action researh (PAR) yang berorientasi pada pnyelesaian konflik oleh, dari dan untuk masyarakat adalah sangat tepat dan relevan. Kegiatan resolusi konflik melalui FGD dan PAR, selain melahirkan kader muda perdamaian lintas agama juga diikuti dengan pelaksanaan program aksi bersama merajut kedamaian. Bentuk resolusi konflik bervariasi seperti kerjasama sosial keagamaan, penyuluhan kerukuan etnorelijius, dialog antarumat beragama dan pengambilan konsensus untuk memelihara kedamaian pasca konflik. Rekomendasi Sesuai hasil temuan penelitian, pembahasan dan kesimpulan di atas, maka ditarik sejumlah rekomendasi, sebagai berikut:
49
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Dalam meningkatkan pemahaman dan kesepahaman guna menghindari konflik etnorelijius, sekaligus untuk memelihara kerukunan/kedamaian antarumat beragama hendaklah pemerintah terkait membudayakan komunikasi lintas iman dan lintas agama melalui forum dialogis yang kondusif, baik frekwensi maupun intensitasnya. Dialog hendaklah dilakukan secara merata pada tiap lapisan umat beragama, yang diawali dari antarpemuka agama panutan. Penyelesaian permasalahan yang muncul antarumat beragama yang dapat bermuara pada konflik hendaknya kedua pihak mengedepankan pendekatan musyawarah mufakat antarwarga atau melalui fasilitasi dan mediasi pemerintahan desa dan kecamatan, dan jika diperlukan tingkat kabupaten/kota bersama kantor Kementerian Agama. Penegakan hukum hendaklah secara cepat, berkeadilan dan tuntas. Dalam memperkuat kedamaian hendaknya dilakukan melalui bentuk pertukaran pemuda, mahasiswa dan pelajar antarwilayah konflik dengan non-konflik yang dilakukan oleh Pemda dan Kantor Kementerian Agama. Di samping itu pendidikan multikultural diperlukan untuk mengembangkan toleransi sosial-keagamaan yang dimulai dari lingkup lembaga pendidikan dini hingga perguruan tinggi. Dalam rangka menghindari terjadinya konflik karena kesenjangan sosial-ekonomi, maka pemerintah daerah perlu prioritas pemerataan pembangunan aspek ekonomi secara adil di wilayah minus pendapatan dengan program pelatihanpelatihan enterpreneurship antarkomunitas agama.
50
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Atok, Kristinus, dan Francis Ateng serta Yoh. Supriyadi, Merajut Damai: Pembelajaran dan Promosi Pluralisme dan Perdamaian di Bumi Kalimantan Barat, Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara Kerjasama yayasan TIFA, Pontianak, 2006. Atok, Kristinus, dkk., Membangun Relasi Etnik: Pembelajaran dari Beberapa Kampung di Kalimantan Barat, YPB Kerjasama Cordaid, Pontianak, 2005. Coser, Lewis, The Function of Social Conflict, Free Press, New York, 1965. Kristianus, Kisah Penting dari Kampung Orang Dayak dan Madura di Sebangki, Yayasan Pangingu Kerjasama Cordaid, Pontianak, 2009. Kantor Kemenko Kesra, Memelihara Kerukunan Melalui Pendidikan Multikultural, Jakarta, 2009. Rasjidi, M,. Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII:.35. Salim, Mohammad Haitami, Mempererat Kerukunan Etnis dan Umat Beragama dalam Tatanan Masyarakat Multikultur di Kalimantan Barat, STAIN Pontiank Press (akan diterbitkan), Pontianak, 2012. Sangaji, Ariyanto, Sejarah dan Anatomi Konflik Poso, Makalah disampaikan pada Workshop Model Resolusi Konflik dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 18 Oktober 2005. Yewango, A.A., Agama dan Kerukunan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
51
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
B. Resolusi Konflik Etnorelijius di Kota Semarang Kondisi kemajemukan agama dan etnis di Kota Semarang, di satu sisi merupakan kekayaan bagi wilayah bersangkutan, tetapi di sisi lain mengandung potensi konflik etnorelijius. Kota Semarang adalah satu dari sekian kota di Indonesia yang sangat majemuk, baik dalam hal agama maupun etnis. Dalam sejarahnya, di kota ini memang tercatat pernah terjadi konflik etnorelijius dalam berbagai skala, berat maupun ringan. Sejumlah upaya penanganan dilakukan banyak pihak untuk menyelesaikan berbagai kasus itu. Tulisan ini hendak menggambarkan upaya penanganan konflik etnorelijius di Kota Semarang, tepatnya di Karangroto dan Tambakharjo, yang pernah dilakukan oleh dua kelompok pemuda lintas agama pada tahun 2010 lalu. Sebuah upaya resolusi konflik etnorelijius di dalam masyarakat Semarang yang heterogen. 1. Gambaran Wilayah Kota Semarang yang memiliki luas wilayah 373,7 km2 ini, secara geografis, di sebelah Barat berbatasan dengan Kab. Kendal, di Timur dengan Kab. Demak, di Selatan dengan Kab. Semarang dan di Utara dengan Laut Jawa. Adapun secara administratif kota ini terbagi atas 16 wilayah kecamatan dan 177 kelurahan.
Dengan jumlah penduduk 52.711 jiwa, Kota Semarang merupakan kota yang majemuk dari segi etnis juga agama. Menurut Survei Nasional BPS 2010, di kota ini terdapat beberapa etnis, yakni: Jawa (93,2%),Cina (4,3%), Sunda (0,7%), Batak (0,25%), Madura (0,15%), 52
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Melayu (0,13%), Minang (0,09%), Betawi (0,07%), dan Lainnya (1,03%). Sedangkan dari kepemelukan agama, di sini terdapat agama-agama yang dipeluk masyarakat, yakni sebagai berikut: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu, dan lainnya, termasuk aliran kepercayaan. Komposisi kependudukan berdasarkan agama, sesuai data BPS 2010, adalah: Islam (83,3%), Kristen (7,14%), Katolik (7,48%), Hindu (0,69%), Buddha (1,21%), dan lainnya –termasuk Khonghucu (0,15%). Umat beragama di kota ini cukup terlayani dengan sejumlah rumah ibadat, sebagai berikut: masjid 1.126 buah, mushola 1.933 buah, gereja/kapel 287 buah, dan pura/ kuil/wihara 38 buah. Adapun gambaran di Kelurahan Karangroto dan Kelurahan Tambakharjo, yang menjadi lokasi pelaksanaan kegiatan resolusi konflik di Semarang ini, adalah sebagai berikut. Kelurahan Karangroto yang memiliki luas wilayah 205,5 km2 ini dihuni oleh 9.092 penduduk. Kondisi kehidupannya pun beragam. Terdapat pemeluk agama Islam (94,53%), Katolik (2,65%), Kristen (2,57%), Budha (0,13%), dan Hindu (0,12%) di kelurahan ini. Demikian juga di sini penduduknya berasal dari banyak jenis suku bangsa, meski kebanyakan beretnis Jawa. Adapun data mengenai rumah ibadat, ada 9 buah masjid dan 12 mushola. Di lokasi kedua, Kelurahan Tambakharjo, terdapat 2.757 jiwa penduduk yang mendiami wilayah seluas 166,86 km2. Secara kepemelukan agama, Islam (79,89%), Katolik (7,66%), Kristen (8,77%), Buddha 53
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
(2,14%), dan Hindu (1,53%). Sedangkan jumlah rumah ibadat di kelurahan ini, terdapat 4 buah masjid, dan satu buah mushola. Komposisi kekuatan politik di Kota Semarang, dengan gambaran komposisi keanggotaan di DPRD Kota Semarang, dapat digambarkan sebagai berikut. Partai Demokrat menguasai 16 kursi, PDIP 9 kursi, PKS 6 kursi, PAN 6 kursi, Golkar 5 kursi, Gerindra 4 kursi, PKB 2 kursi, PPP 1 kursi, dan Hanura 1 kursi. Penduduk Semarang umumnya adalah suku Jawa dan menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa seharihari. Komunitas Tionghoa cukup besar di kota ini, namun mereka sudah berbaur erat dengan penduduk setempat dan menggunakan Bahasa Jawa dalam berkomunikasi sejak ratusan tahun silam. Kondisi multikultur dan pembauran ini nempaknya mempengaruhi corak keberagamaan masyarakat kota ini yang cenderung moderat (abangan?). Hal ini juga terkait budaya Semarang yang merupakan pertemuan antara budaya pesisiran dengan budaya pedalaman. 2. Dinamika Kegiatan Resolusi Konflik Bagian ini memaparkan pelaksanaan kegiatan pendampingan masyarakat dengan pendekatan PAR yang dilakukan oleh dua kelompok, yang notabene para ‘alumni’ FGD Penyadaran tentang Kerukunan (Peacemaking) dengan Pendekatan PAR yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat tahun 2010 silam.
54
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok 1 adalah pelatihan bagi pemuda Karang Taruna dengan tema ‚Revitalisasi Karang Taruna ‘Merdeka’ Demi Kerukunan Masyarakat Karangroto‛. kegiatan ini dilaksanakan pada hari Minggu, 13 Desember 2009 mulai pukul 08.00 - 17.00 WIB di Balai Kelurahan Karangroto. Peserta dalam kegiatan ini adalah anggota Karang Taruna ‚Merdeka‛ sejumlah 35 orang. Komposisi peserta relatif berimbang jumlah laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari unsur agama, selain remaja muslim, beberapa di antara peserta adalah remaja kristen. Pelatihan ini bertujuan untuk: 1) Menambah pengetahuan keterampilan khususnya kejurnalistikan bagi anggota Karang Taruna ‚Merdeka‛ Kelurahan Karangroto Kecamatan Genuk Kota Semarang; 2) Meningkatan wawasan pengelolaan organisasi dan manajemen bagi anggota Karang Taruna ‚Merdeka‛ Kelurahan Karangroto Kecamatan Genuk Kota Semarang; dan 3) Membangun kesadaran perdamaian dan kerukunan masyarakat bagi anggota Karang Taruna ‚Merdeka‛ Kelurahan Karangroto Kecamatan Genuk Kota Semarang. Adapun materi-materi dalam kegiatan pelatihan ini adalah Pertama, wawasan kejurnalistikan yang disampaikan oleh Muhammad Oliez, wartawan Harian Seputar Indonesia (Sindo) Semarang. Pembicara menyampaikan hal-hal terkait dengan persuratkabaran, dunia kewartawanan dan teknik penulisan jurnalistik seperti berita dan artikel. Kedua materi manajemen keorganisasian disampaikan oleh Joko Tri Haryanto (Balat Litbang Agama Semarang), yang juga salah satu anggota Kelompok 1. Materi ini meliputi pengantar keorganisasian dan total quality manajement. Dalam materi ini
55
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
disinggung pula tentang makna kerjasama, kekompakan dan sinergitas kelompok, di mana materi ini kemudian dikaitkan dengan materi berikutnya. Dan ketiga, materi wawasan kerukunan yang disampaikan secara bersama oleh Joko Tri Haryanto (Balai Litbang Agama Semarang), Zakiyah (Balai Litbang Agama Semarang), dan Andriani Tyas Christanti (Persatuan Gereja di Indonesia/PGI). Materi ini menyinggung tentang pentingnya hidup yang penuh kerukunan dengan semua orang. Metode pelatihan ini, selain ceramah, juga diskusi, permainan/simulasi dan refleksi. Di antara permainan adalah permainan memindahkan bola tenis dengan menggunakan spatula secara estafet dalam kelompok. Permainan ini memberi pelajaran tentang pentingnya bekerjasama, belajar menahan diri, dan saling mendukung antar teman. permainan berikutnya adalah permainan ‚Selamatkan Balon Anda‛. Peserta mengikatkan sebuah balon di kaki masing-masing, dan dipersilahkan memilih sikap saat mendengar aba-aba ‚selamatkan balon Anda!‛. Untuk menyelamatkan balon sebenarnya masing-masing peserta cukup berdiam diri, tetapi mendengar aba-aba tersebut langsung tergerak untuk memecahkan balon temannya. Ketika mendengar aba-aba tersebut, peserta menginterpretasikannya dengan seruan untuk menyerang kelompok lain dan memecahkan balon orang lain. Hal ini memberi pelajaran betapa sangat mudah diprovokasi dan kurang mempergunakan penalaran dalam menerima informasi, dan inilah yang sering menyebabkan konflik mudah sekali terpicu. Permainan selanjutnya adalah memindahkan sarung tanpa menggunakan tangan melewati semua orang dalam satu kelompok yang saling bergandengan
56
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
tangan. Permainan ini memberi pelajaran tentang perlunya kerjasama, saling mempercayai, dan saling mendukung. Selain kegiatan tersebut, kelompok 1 terus mengadakan pendekatan dengan berbagai pihak untuk menggali lebih dalam persoalan konflik yang terjadi di Karangroto. Hal ini selain untuk memahami pokok permasalahan juga mencari akar konflik dan menjajaki kemungkinan rekonsiliasi. Beberapa pihak yang ditemui oleh kelompok 1 di antaranya adalah pengurus majelis Gereja Isa Al-Masih Pringgading yang menjadi pusat dari jemaat Kristen di Karangroto, pendeta Daud yang menjadi pendeta di Karangroto saat ini, mentor/tutor PPA (Pusat Pengembagan Anak) yang dianggap sebagai aktivitas kristenisasi, warga yang anaknya mengikuti kegiatan PPA, dan ketua Lembaga Perwakilan Masyarakat Kelurahan (LPMK). Kegiatan kelompok 1 relatif berjalan dengan lancar meskipun ada hal-hal yang menghambat dalam kegiatan ini. Adapun faktor pendukung dalam kegiatan di kelompok 1 adalah adanya kekompakan dan soliditas kelompok yang sangat mendukung kinerja. Selain itu, adanya kesediaan remaja karang taruna untuk melaksanakan kegiatan bersama, serta adanya antusiasme peserta mengikuti kegiatan sejak awal sampai akhir. Secara eksternal, adanya dukungan dari pihak kelurahan, baik dalam bentuk moril maupun materiil, serta dukungan tokoh-tokoh agama dalam membangun kerukunan di wilayah Karangroto juga mendukung tersukseskannya kegiatan ini. Di sisi lain, sejumlah faktor penghambat juga ada, antara lain, suasana politik kelurahan yang belum cukup kondusif untuk kegiatan bersama, terlebih pasca pemilihan LPMK yang
57
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
memunculkan sentimen agama. Selain itu, adanya kekhawatiran dan ketakutan pihak aparat kelurahan terhadap munculnya kembali konflik menyebabkan kegiatan yang direncanakan mempertemukan tokoh agama belum bisa terwujud, termasuk setting kegiatan Karang Taruna ini pun dilarang untuk dikaitkan secara langsung dengan konflik yang pernah terjadi. Adanya kekhawatiran sebagian tokoh masyarakat terhadap kegiatan yang dianggap dapat mengungkit-ungkit konflik Islam-Kristen yang pernah terjadi ini juga menjadi faktor penhambat kegiatan ini. Di atas segalanya, ada hasil yang dapat dicapai dari kegiatan kelompok satu ini terkait dengan PAR membangun kerukunan bagi warga Karangroto. Bahwa peserta menjadi lebih memahami adanya perbedaan-perbedaan dalam kehidupan ini, yang mana perbedaan tersebut bukanlah alasan untuk bermusuhan. Peserta juga memahami cara memanfaatkan perbedaan untuk kebaikan bersama melalui kerjasama. Selain itu, peserta menyadari makna pentingnya bekerjasama dan saling mendukung dalam kehidupan ini dengan semua orang, serta menyadari perlunya mengedepankan akal sehat dan hati nurani dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Adapun kegiatan kelompok 2 adalah kegiatan perlombaan yang dilakukan bersama. Kegiatan bersama yang dilaksanakan oleh kepanitiaan bersama takmir masjid Nurul Falah dan masjid Nurul Huda adalah kegiatan lomba hafalan surat-surat pendek untuk murid-murid SD/MI dan adzan bagi siswa tingkat SLTP dan SLTA. Kegiatan Hafalan surat-surat pendek dilaksanakan tanggal 23 Desember 2009 mulai pukul 15.30 WIB ba’da Ashar sampai waktu Maghrib tiba pukul
58
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
17.45 WIB. Kegiatan ini dilaksanakan di Majis Nurul Falah dan diikuti oleh 49 anak. Kegiatan lomba adzan dilaksanakan tanggal 24 Desember 2009 dengan waktu yang sama yaitu ba’da Ashar hingga waktu Maghrib. Tempat lomba bergantian, setelah lomba hafalan surat pendek di Majid Nurul Falah, maka lomba Adzan ini diselenggarakan di Masjid Nurul Huda. Peserta dalam lomba adzan ini hanya 9 orang anak saja. hal ini karena pada musim liburan sekolah ini banyak siswa-siswa tingkat SLTA yang ikut program Magang di berbagai tempat dan pulangnya menjelang maghrib sehingga tidak dapat mengikuti lomba tersebut. Juri dalam lomba-lomba tersebut diambilkan dari unsur takmir masjid Nurul Falah dan masjid Nurul Huda. Dari Masjid Nurul Falah yang ditunjuk sebagai Juri adalah KH. Masykur, sedangkan dari masjid Nurul Huda adalah Bapk Imam.. serta Pak Faisal yang selam ini dipandang sebagai tokoh yang netral juga dijadikan juri mendampingi juri dari kedua takmir. Puncak kegiatan bersama adalah pengajian umum dan pemberian santunan bagi anak-anak yatim di kelurahan Tambakharjo, serta pembagian hadiah bagi para pemenang lomba. Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 27 Desember 2009 ba’da shalat Isya di Masjid Nurul Falah. Pengajian ini diikuti oleh puluhan warga muslimin laki-laki maupun perempan di kelurahan Tambakharjo dari jamaah masjid Nurul Falah dan jamaah masjid Nurul Huda. Rangkaian acara dalam kegiatan tersebut adalah pembagian hadiah kepada para pemenang lomba yang dilakukan secara bergantian oleh takmir Nurul Falah, takmir
59
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Nurul Huda dan tim fasilitator kelompok 2. Kemudian dilanjutkan dengan sambutan-sambutan, antara lain sambutan dari pengurus Takmir Masjid Nurul Falah, pengurus takmir masjid Nurul Huda, dan Kasubag TU Balai Litbang mewakili kepala Balai Litbang Agama Semarang yang berhalangan hadir. Acara berikutnya adalah Tausiyah pengajian umum yang disampaikan oleh KH. Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA, tokoh rohaniawan dan guru besar tasawuf di IAIN Walisongo Semarang. Dalam kesempatan tersebut, Prof. Amin Syukur menggaris-bawahi pentingnya solidaritas sosial yang salah satu manisfestasinya adalah memberi perhatian terhadap anak-anak yatim yang membutuhkan bantuan yang ada di lingkungan sekitar. Selain itu beliau juga menyinggung pentingnya menjaga ukhwah Islamiyah, menghormati perbedaan pendapat dan saling bekerjasama. Menurut beliau, keberadaan dua masjid di Tambakharjo merupakan potensi umat yang sangt penting, karena itu perlu diberdayakan dalam satu jalinan kerjasama yang saling melengkapi dan mendukung. Sebagai penutup kegiatan dilakukan prosesi mengelus rambut anak yatim oleh semua jemaah yang hadir sebagai simbol kasih sayang terhadap anak yatim, dan penyampaian dana santunan bagi 16 anak yatim di kelurahan Tambakharjo. Setelah selesai rangkaian kegiatan pengajian dan santunan anak yatim tersebut, dilakukan ramah tamah antara panitia kegiatan, takmir masjid Nurul Falah, takmir masjid Nurul Huda, tim fasilitator, tamu undangan dari Balai Litbang agama semarang dan Prof. Dr. HM. Amin Syukur, MA. Dalam ramah tamah tersebut, disetujui pula untuk menyusun
60
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kegiatan bersama kembali secara rutin antara takmir Masjid Nurul Falah dan masjid Nurul Huda. Secara umum kegiatan kelompok 2 ini berjalan dengan lancar. Hal ini karena didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah: adanya kesadaran antara kedua pihak takmir untuk menjaga ukhuwah Islamiyah di antara umat Islam, dan kesediaan kedua takmir masjid untuk menyenggarakan kegiatan bersama dalam satu kepanitiaan. Selain itu, banyaknya pihak yang turut membantu penyelenggaraan kegiatan ini, termasuk kesediaan Prof. Amin Syukur untuk menjadi pembicara dalam pengajian umum, dan para donatur yang memberikan sumbangan bagi kegiatan maupun untuk santunan anak yatim, turut mendukung suksesnya acara ini. Namun demikian, sejumlah faktor cukup menjadi hambatan bagi kegiatan ini. Pertama, faktor cuaca, yakni sebelum kegiatan lomba dan pengajian umum hujan turun di daerah Semarang dengan deras sehingga menghambat kehadiran jamaah yang menyebabkan kegiatan muncur beberapa saat. Selain itu, adanya anggota kelompok yang kurang aktif dalam kegiatan ini, baik pada saat proses pendekatan maupun kegiatan bersama warga dikarenakan kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, cukup menghambat kegiatan ini. Meski demikian, kegiatan PAR di Tambakharjo ini berhasil memperoleh hasil. Bahwa kegiatan ini membuka pintu komunikasi antartakmir di kelurahan Tambakharjo antara takmir masjid Nurul Falah dan takmir masjid Nurul Huda. Selain itu, dengan kegiatan ini terjalin intensitas kegiatan bersama antara kedua jamaah yang mempererat tali silaturahim dan ukhwah islamiyah. Dengan kegiatan ini pula
61
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
muncul kesepakatan antartakmir untuk menyelenggarakan kegiatan bersama secara rutin. Sebagai efek/hasil dari kegiatan ini pula, konflik tentang perbedaan pemahaman fiqih terhadap peran masjid di Tambakharjo dapat dihindarkan dan diselesaikan melalui musyawarah bersama. Dari kedua kegiatan oleh kedua kelompok, secara umum dapat dikategorikan jenis kegiatan yang dapat dilakukan sebagai ‘model’ upaya resolusi konflik keagamaan yang dalam kondisi tertentu dapat diujiterapkan di dalam kasus lain. Yang pertama adalah ‘model pertemuan dan kesepakatan’. Para pihak yang diketahui bersebrangan, dipertemukan dalam suatu tempat yang dapat diterima kedua pihak. Kemudian dilakukan dialog dua arah yang bertujuan melepaskan aspirasi masing-masing pihak, mencari kesalingpahaman, dan kemudian titik-temu yang dapat dirumuskan dituliskan dalam suatu kesepakatan yang harus dipegangi semua pihak. Kedua adalah model ‘kerja bersama’ dalam suatu kegiatan yang memungkinkan kedua pihak yang bersebrangan saling sibuk berinteraksi menyukseskan kegiatan bersama itu, sambil membangun kedekatan psikologis yang diharapkan juga berarti mengupayakan membangun kesalingpahaman. Dua hal ini dapat diterapkan dalam kasus-kasus konflik ringan, keluarga atau lingkungan. 3. Lesson Learned Kegiatan Resolusi Konflik Dari rangkaian kegiatan ini, sejumlah hal dapat diambil sebagai pelajaran (lesson learned), sebagai berikut: Heterogenitas masyarakat Kota Semarang telah berlangsung terkonstruk lama dalam bentangan historis yang
62
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
memiliki andil bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat hari-hari ini. Kehadiran pendatang dari berbegai etnis dan agama di Kota Semarang menjadi sumbangan bagi terbentuknya heterogenitas itu. Meski beberapa potensi konflik sempat memanifes, namun mekanisme masyarakat berhasil menanganinya, baik yang secara alamiah ataupun melalui upaya sadar tertentu. Faktor yang berhasil teridentifikasi dari kegiatan PAR kedua kelompok, sebagai lesson learned, antara lain: - Suatu problem segregasi masyarakat yang disebabkan suatu alasan keagamaan tertentu kerap dilatari oleh hal non keagamaan, misalnya soal kontestasi otoritas keagamaan yang lebih bersifat sosiopolitis, atau perebutan sumber ekonomi. Maka pendekatan sosial/budaya (baca: non keagamaan), dengan melakukan kegiatan bersama yang bersifat memaksa adanya interaksi sosial diantara pihak yang berhadapan, biasanya akan lebih berhasil mendekatkan para pihak, menjalin rekonsiliasi yang lebih efektif---dibandingkan mendekatinya dengan pendekatan agama langsung, misalnya. - Hubungan antarumat beragama kerapkali terganggu dari keterbatasan wawasan masyarakat tentang pihak lain. Peningkatan wawasan atau interaksi antarpihak kerapkali mampu menetralisir ketegangan-kecurigaan antarpihak. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi Pada dasarnya, ternyata masyarakat sendiri sangat menginginkan kedamaian. Yang perlu dilakukan sesungguhnya adalah stimulasi agar mereka sendiri menciptakan dan memelihara suasana kedamaian.
63
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Meski pada umumnya rukun dan damai, tetapi beberapa kasus keagamaan pernah terjadi di kota ini. Faktor yang potensial memicu konflik, antara lain: dinamika politik-lokal, ego budaya (stereotyping terhadap wong liyan), kontestasi interpretasi agama (antara tekstual vs kontekstual), persoalan hubungan keluarga, serta adanya kesenjangan ekonomi dan sosial. Sejumlah upaya yang dilakukan untuk menekan potensi itu agar tidak muwujud konflik, antara lain: pengembangan dan revitalisasi budaya/kearifan lokal (local wisdoms), penguatan forum-forum (seperti: FKUB dan Petamas), pengembangan budaya toleransi dan wawasan multikultural, serta adanya dukungan kebijakan. C. Resolusi Konflik Etnorelijius di Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat Kota Mataram adalah salah satu dari beberapa kota/ kabupaten yang telah dilaksanakan kegiatan peace making melalui pendekatan atau metode Participatory Action Research (PAR) dan Forum Group Discussion (FGD) oleh Puslitbang Kehidupan Kegamaan pada tahun 2009. Kegiatan tersebut difokuskan pada upaya untuk membangun perdamaian dengan penekanan resolusi konflik. Dalam konteks studi di atas, daerah-daerah lokasi studi dikelompokkan menjadi dua yakni daerah pasca konflik dengan upaya resolusi konflik (peace making) untuk bina damai dan daerah yang relatif damai dengan upaya bina damai (peace building) untuk terpeliharanya kedamaian. Dengan pengelompokan di atas maka Kota Mataram dalam studi ini
64
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dikategorikan/dikelompokkan sebagai daerah yang damai. Sekalipun pernah terjadi konflik sosial pada masa lalu, namun intensitasnya lebih rendah dibanding dengan daerah-daerah lain seperti Pontianak dan Palu yang juga menjadi lokasi kajian dalam studi ini. 1. Gambaran Wilayah Kota Mataram sebagai salahsatu kota sekaligus menjadi Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), secara geografis terletak antara Kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara, Selatan dan Timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat, sebelah Barat berbatasan dengan Selat Lombok. Luas wilayah Kota Mataram 61,30 km² dengan ketinggian antara 0 s/d 75 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar (60,56%) wilayahnya berada di ketinggian antara 0 s/d 25 meter di atas permukaan laut. Dilihat dari penggunaan lahan, sebagian besar untuk lahan pertanian (2.878,06 ha) dan pemukiman penduduk/ lahan perumahan (2.316,06 ha), lahan pendidikan (145,47 ha) dan perkantoran (115,24 ha). Selebihnya untuk pertokoan, pasar, tempat peribadatan, industri dan sarana lainnya. Dari segi pemerintahan, wilayah Kota Mataram secara administratif terbagi menjadi 6 kecamatan, yakni Kecamatan Ampenan, Sekarbela, Mataram, Selaparang, Cakranegara dan Kecamatan Sandubaya (BPS. Kota Mataram, 2011:3-15). Jumlah penduduk Kota Mataram pada tahu 2010 mencapai 402.843 jiwa, terdiri atas 199.332 laki-laki dan 203.511 perempuan. Penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Ampenan, yakni 78.779 jiwa (19,55 %), kedua Kecamatan Mataram dengan jumlah 73.107 jiwa (18,15 %) dan
65
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
ketiga Kecamatan Selaparang dengan jumlah 72.665 jiwa (18,04%). Selebihnya tersebar hampir merata di tiga kecamatan lainnya. (diolah dari data BPS. Kota Mataram, 2011:95). Dilihat dari segi kelompok umur, apabila umur 5 tahun s/d 24 tahun dikategorikan sebagai masa pendidikan, umur 25 tahun s/d 59 tahun sebagai usia bekerja/produktif, maka sebagian besar penduduk Kota Mataram yakni 175.169 jiwa (43,48%) merupakan penduduk produktif. Sedangkan 165.560 jiwa (41,09%) adalah penduduk usia sekolah dan (15,43%) sisanya merupakan penduduk usia tua (60 tahun ke atas). (Diolah dari data BPS. Kota Mataram, 2011:98). Dari jumlah penduduk yang berada di usia kerja, 91,04% berstatus bekerja dan 8,96% tidak/belum bekerja (BPS. Kota Mataram, 2010:103). Seiring dengan pertambahan penduduk baik melalui kelahiran maupun adanya pendatang dari daerah lain –sekalipun tidak menutup realita adanya pengurangan karena kematian maupun mutasi ke daerah lain- sekitar satu tahun terjadi peningkatan jumlah penduduk Kota Mataram secara signifikan. Berdasarkan data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi NTB, sampai dengan akhir April 2012 jumlah penduduk Kota Mataram berjumlah 439.199 jiwa atau (9,47%) dari jumlah seluruh penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada awal tahun 2012 sebanyak 4.637.524 jiwa (Data Kanwil Kemenag Provinsi NTB, 2012). Kehidupan Budaya, Ekonomi dan Politik Kota Mataram yang dalam posisinya sebagai Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat dan merupakan daerah terbuka, maka dapat difahami jika penduduk kota ini terdiri atas berbagai etnis/suku. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat maupun kalangan pejabat Pemda Kota Mataram,
66
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
suku Sasak sebagai suku asal Pulau Lombok merupakan penduduk mayoritas. Menyusul suku Jawa, suku Bali, dan selebihnya adalah suku-suku lain. Keberadaan berbagai suku di atas menjadikan penduduk Kota Mataram dalam kesehariannya menggunakan bahasa yang beragam –yakni bahasa daerah- dalam berkomunikasi dengan yang lain, terutama antara mereka yang sesuku. Namun Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, merupakan bahasa resmi yang mereka pergunakan berkomunikasi dalam kehidupan masyarakat. Budaya Sasak seperti: adat perkawinan marari, budaya ngejot, sangat menghormati tuan guru, tokoh agama dan tokoh adat sebagai tokoh panutan, terlihat mewarnai dinamika kehidupan budaya masyarakat. Selain itu, sikap toleran penduduk asli terdadap para pendatang, menjadikan senibudaya dari berbagai daerah termasuk seni budaya yang bernuansa keagamaan seperti ogoh-ogoh (budaya Bali/Hindu) dan adat perkawinan nyongkol pada momen-momen tertentu dapat disaksikan dalam kehidupan masyarakat Kota Mataram. Dilihat dari segi pendidikan, di Kota Mataran terdapat sarana pendidikan mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan perguruan tinggi. Di Kota Mataram terdapat tidak kurang dari 87 TK, terdiri atas 4 TK negeri dan 83 TK swasta. Sekolah Dasar (SD) 157 buah, terdiri atas 143 SD negeri dan 14 SD swasta. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 4 buah, seluruhnya negeri. Sekolah Menengah Atas (SMA) 24 buah, terdiri atas 8 SMA negeri dan 16 SMA swasta. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 20 buah, terdiri atas 10 SMK negeri dan 10 SMK swasta. Perguruan tinggi 25 buah, terdiri
67
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
atas 4 perguruan tinggi negeri dan 21 perguruan tinggi swasta (BPS Kota Mataram, 2011:133-137, 158). Kehidupan ekonomi masyarakat diwarnai oleh berbagai jenis pekerjaan yang menjadi matapencaharian pokok penduduk, antara lain di sektor: pertanian termasuk peternakan dan perikanan, perdagangan, perindustrian, pemerintahan, perhotelan dan jasa. Terdapatnya koperasi sebanyak 560 buah terdiri atas; KUD 5 buah, KPN 96 buah, koperasi sekolah 12 buah dan kopeasi lainnya 447 buah (BPS Kota Mataram, 2012:333), mengindikasikan tingginya kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan koperasi sebagai sarana pendukung perekonomian mereka. Dalam kehidupan politik, masyarakat Kota Mataram menyalurkan aspirasi politik mereka ke dalam berbagai partai politik, yang jumlah tidak kurang dari 44 buah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah peserta OPP tahun 2009, yang untuk tingkat DPR di Senayan-Jakarta, perolehan suara terbanyak adalah Partai Demokrat (16.374 suara), kemudian PKS (3.399 suara) dan Gerindra (2.238 suara) dari total pemilih sebanyak (44.669) pemilih (BPS. Kota Mataram, 2012:57-59). Posisi peringkat perolehan suara ketiga OPP tersebut secara konsisten juga dialami di DPRD Tingkat Provinsi NTB dan DPRD Tingkat Kota Mataram. Namun demikian dinamika kehidupan politik masyarakat sejauh ini masih relatif kondusif, ditandai oleh tidak terdapatnya kasus konflik –baik manifest maupun latent- yang berlatar belakang politik selama ini. Kehidupan Keagamaan Dalam kehidupan keagamaan, kegiatan keagamaan umat Islam terlihat lebih semarak dibanding dengan umat lain, baik yang berkaitan dengan kegiatan peribadatan
68
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
maupun kegiatan sosial keagamaan. Kenyataan ini dapat dimengerti karena sebagian besar penduduk Kota Mataram beragama Islam, yakni berjumlah 352.021 jiwa atau sekitar (80,15%) dari jumlah penduduk Kota Mataram. Jumlah umat Hindu menempati posisi terbesar kedua, yakni 65.700 jiwa (14,96%). Jumlah umat Kristen menempati posisi terbesar ketiga, yakni 7.805 jiwa (1,78%). Kemudian berturut-turut umat Buddha 7.653 jiwa (1,74%), umat Katolik 4.875 jiwa (1,11%) dan selebihnya Khonghucu 1.145 jiwa (0,26%) (Data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Untuk sentra kegiatan keagamaan dan peribadatan, masing-masing umat beragama memiliki rumah ibadat yang jumlahnya secara porposional cenderung berbanding lurus mengikuti jumlah umat masing-masing agama. Karenanya maka umat Islam memiliki rumah ibadat paling banyak dibanding dengan jumlah rumah ibadat umat lain, kemudian rumah ibadat umat Hindu. Jumlah rumah ibadat masingmasing agama secara rinci mulai dari jumlah umat yang terbesar adalah: jumlah masjid 251 buah, pura 131 buah, gereja Kristen 12 buah, vihara 11 buah, gereja Katolik 2 buah dan Klenteng 1 buah (Data Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2012). Keenam agama di atas sesuai proporsi dan intensitas kegiatan keagamaan masing-masing mewarnai kehidupan keagamaan di Kota Mataram. Masing-masing kelompok agama memiliki lembaga/organisasi keagamaan. Di kalangan umat Islam terdapat lembaga/organisasi antara lain: Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah, Persatuan Tarbiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majelis
69
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Dakwah Islamiyah (MDI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI). Di kalangan umat Hindu terdapat antara lain: Yayasan Dharma Laksana, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Dharma Wisesa NTB. Di kalangan umat Kristen terdapat antara lain: Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Persatuan Gereja Protestan Indonesia (PGPI) dan PII. Di kalangan umat Katolik terdapat antara lain: organisasi Gereja St. Maria Immaculata Mataram dan org. Gereja St. Antonius Ampenan. Di kalangan umat Buddha terdapat: Magabudhi, Walubi, Mapanbhumi, MBI, Patria dan Sekber PMUBI (Disarikan dari Data Keagamaan Kantor Wilayah Kemenag Prov. NTB, 2012). Hubungan antar penduduk yang berbeda agama/ antarumat beragama selama ini relatif tergolong kondusif. Sekalipun ada kasus konflik di antara kelompok agama yang berbeda seperti pernah terjadi antara kelompok Islam dan Kristiani pada tanggal 17 Januari 2000 yang kemudian dikenal dengan sebutan ‚peristiwa 171‛ (Bashori A. Hakim, 2001), namun segera dapat diselesaikan berkat peran aktif para pejabat setempat dan aparat keamanan bekerjasama dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat untuk mengatasi kasus tersebut. Timbulnya peristiwa 171 di atas lebih disebabkan adanya provokasi dari luar sehingga cenderung tidak mengakibatkan adanya konflik laten di kalangan umat Kristiani dan umat Islam di Kota Mataram. Sekalipun demikian, perbedaan suku dan agama betapapun perlu senantiasa diwaspadai karena sedikit banyak rentan bagi timbulnya konflik. Walaupun konflik yang terjadi semata-mata bukan karena faktor agama, namun sensitifitas atau rasa keagamaan dapat dijadikan alat pemercepat timbulnya suatu konflik.
70
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kasus konflik sosial bernuansa agama cenderung lebih sering timbul di kalangan internal umat Islam, seperti: kasus kerusuhan di Lombok Timur sehubungan keberadaan Ahmadiyah di daerah itu (Bashori A. Hakim, 2002) dan kasus konflik di Lombok Barat tahun 2005 sehubungan keberadaan kelompok Salafi (A. Syafi’i Mufid/editor, 2009). Sekalipun lokus timbulnya kedua kasus internal umat Islam di atas berada di luar wilayah Kota Mataram, namun imbasnya sampai ke ibukota Provinsi NTB tersebut karena di antara anggota dari kedua kelompok keagamaan di atas ada yang berdomisili di Kota Mataram. Kegiatan pendidikan keagamaan umat Islam terlihat sangat marak, ditandai antara lain berbagai jenis pendidikan agama dengan jumlah yang relatif banyak. Terdapat tidak kurang dari 30 Raudlatul Athfal (RA) swasta, 22 Madrasah Ibtidaiyah (MI) negeri dan swasta, 21 Madrasah Tsanawiyah (MTs) negeri dan swasta, 11 Madrasah Aliyah (MA) negeri dan swasta, serta 24 Pondok Pesantren. Berbagai pendidikan agama swasta tersebut dikelola oleh lembaga pendidikan milik organisasi keagamaan antara lain: Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama’ (NU), Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah. 2. Dinamika Kegiatan Resolusi Konflik Penyebab Konflik Ada beberapa faktor penyebab timbulnya konflik di daerah sasaran penelitian, antara lain: Faktor ekonomi: Kesenjangan ekonomi, sehubungan adanya pendatang dari daerah lain yang karena bekerja keras sehing-
71
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
ga mereka relatif lebih sukses di bidang ekonomi dibanding dengan penduduk pribumi. Keadaan demikian dapat menimbulkan kecemburuan di kalangan masyarakat yang pada gilirannya potensial dapat memicu timbulnya konflik. Kecemburuan sosial yang berdampak terhadap aspek ekonomi; bahwa kalau dilihat menurut sejarah, konon pada jaman dulu wilayah Lombok Barat dikuasi oleh Kerajaan Bali. Aspek kesejarahan tersebut secara sosial ekonomis masih menyisakan bekas di kalangan komunitas Bali yang terlihat lebih dominan dalam hal pemilikan tanah yang berdampak terhadap ekonomi di Lombok Barat sekalipun saat sekarang sudah menipis sehubungan dengan perkembangan jaman dan banyaknya pendatang. Terbatasnya lapangan pekerjaan, yang berdampak semakin banyaknya pengangguran. Faktor politik: Adanya kecenderungan sikap kurang lapang dada dari kelompok yang kalah dalam pemilihan pemimpin (misalnya dalam Pemilukada). Adanya penekanan oleh kelompok yang menang, sebagai akibat dari kurangnya pemahaman proses demokrasi. (Yang menang menekan yang kalah dan yang kalah merasa tidak terima). Faktor budaya: Adanya kebiasaan minum minuman keras bagi sementara kalangan penduduk yang mudah berpengaruh kepada yang lain sehingga meresahkan masyarakat. Konon miras/ tuak tersebut mudah didapat karena diproduksi di daerah setempat, antara lain di Sindu. (catatan: perlu sosialisasi dari pemerintah untuk Perda produksi minuman keras)
72
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Faktor Sosial Keagamaan: Adanya sementara kelompok yang mengadakan kegiatan adat dan keagamaan yang dirasakan mengganggu masyarakat luas. Sebagai contoh, kegiatanan iring-iringan acara adat perkawinan nyongkol dan pawai ogoh-ogoh yang dilakukan pada menjelang Perayaan Hari Raya Nyepi, yang pelaksanaannya dapat menutup ruas jalan, sehingga membuat sebagian masyarakat merasa terganggu. Pernah terjadi kasus berupa protes masyarakat di Desa Pagesangan Kecamatan Sekarbela. Ada dua iring-iringan nyongkol ada Gendang Beleq (gendang besar) dan Kecimol (alat musik semacam drumband) yang biasa mengerahkan massa cukup banyak, yang biasanya mengganggu ketertiban adalah Kecimol karena tidak ada aturan main (kebiasaan baru). Praktek penyiaran agama dari kelompok agama tertentu yang dilakukan melalui selebaran ‚gelap‛ yang berisi pernyataan bersifat SARA, sehingga dapat menyinggung perasaan umat lain. Selebaran tersebut didistribusikan oleh orang yang tidak bertanggungjawab dan tidak jelas identitasnya. Pendirian rumah ibadat yang tidak mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 & 8 Tahun 2006. (Rumah ibadah yang sudah memiliki nilai sejarah harus dijaga, sementara untuk membangun yang baru harus memiliki izin). Ada Kasus rumah ibadah sudah berdiri sejak sebelum kemerdekaan tidak digunakan lagi. (Harus dikonsultasikan dengan pihak pemerintah kota dan sedang dalam proses penyelesaian).
73
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Kehidupan masyarakat yang tak sejalan dengan visi Pemerintah Kota Mataram yakni: Maju–Relijius dan Berbudaya. Misalnya menyediaan rumah-rumah kontrakan/kos untuk mahasiswa yang tak ada pengawasan dari pemilik rumah kos, sehingga rawan bagi timbulnya perbuatan asusila. Pendampingan Penyadaran (Peace Making) di Kelurahan Cakra Utara Kecamatan Cakranegara dan Kelurahan Selagalas Kecamatan Sandubaya Tahun 2009 Sejarah Singkat Konflik Konflik yang terjadi antara Sindu dan Nyangget merupakan konflik musiman yang bisa terjadi setiap waktu apabila terdapat gesekan-gesekan kecil. Konflik antara Sindu dan Nyangget melibatkan dua wilayah yang berbeda. Seksari Sindu berada di lingkungan kelurahan Cakra Utara. Sedangkan Nyangget terdapat di Kelurahan Selagalas yang letaknya berdekatan. Pada mulanya kehidupan antara masyarakat Sindu dan Nyangget berjalan penuh kerukunan, penuh solidaritas, damai, aman dan menjalin kerja sama yang baik. Dalam kehidupan sosial antara masyarakat Sindu dan Nyangget dipenuhi rasa kebersamaan dan kerja sama hal ini dibuktikan dengan banyak masyarakat Sindu yang memiliki tanah ladang, persawahan di wilayah Nyangget yang garap oleh masyarakat Nyangget sehingga hubungan berjalan dengan baik. Konflik Terakhir yang terjadi antara Seksari Sindu dan Nyangget terjadi pada tahun 2008 yang di sebabkan oleh kesalah pahaman antara dua belah pihak. Konflik terjadi sering terjadi menjadi penyebabnya adalah dari kalanangan pemuda. Berdasarkan pengakuan dari Bapak Lurah Cakra Utara dan Kepala Lingkungan Sindu bahwa konflik yang
74
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
terjadi antara Sindu dan Nyangget berawal dari kecelakaan lalu lintas yaitu ada seorang pemuda yang menggunakan sepeda Motor yang menyerempet/menabrak pemuda yang berjalan kaki. Kemudian Pemuda yang menggunakan sepeda motor tersebut masuk ke lingkungan Sindu, jadi masyarakat Nyangget mengira itu adalah Penduduk Sindu. Padahal pemuda yang menggunakan sepeda motor tersebut bukan penduduk Sindu. Berawal dari kecelakaan tersebut, masyarakat Nyangget yang tidak menerima kemudian masuk ke wilayah Sindu yang disalah artikan oleh penduduk wilayah Sindu sebagai sebuah penyerangan terhadap masyarakat Sindu sehingga perkelahian terjadi. Hal senada juga dikatakan oleh Lurah Selagalas disamping itu juga lurah Selagalas juga mengatakan bahwa sering terjadinya konflik antara Sindu dan Nyangget disebabkan oleh pemuda yang suka mabuk-mabukan sehingga menjadi dilemma antara kedua lurah dalam mencegah konflik. Hingga sampai saat ini konflik antara kedua wilayah berada dalam tahap deskalasi yang sewaktu-waktu bisa muncul kembali melihat kebiasaan pemuda yang suka mabuk-mabukkan dan hal lain seperti adanya pihak ketiga sebagai provokator. Proseding Kegiatan Dalam melaksanakan kegiatan Participatory Action Research (PAR) untuk pendampingan penyadaran perdamaian antara Seksari Sindu dan Nyangget. Alumni TOT Focuss Group Discussion (FGD) setelah mendapatkan pengetahuan dan pengalaman melaksanakan kegiatan dengan melibatkan Alumni TOT dengan 12 orang peserta. Karena konflik ini
75
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
terjadi antara dua kelurahan maka peserta dibagi menjadi dua bagian yaitu 6 orang berasal dari Nyangget dan 6 orang lagi dari Seksari Sindu. Dalam melibatkan peserta Participatory Action Research (PAR) berasal dari unsur tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda antara kedua belah pihak. Langkah awal dilakukan oleh kami kelompok tiga dalam melaksanakan PAR adalah dengan cara mengunjungi lurah masing kelompok yang konflik yaitu Lurah Cakra Utara dan Lurah Selagalas untuk mencari informasi tentang konflik tersebut agar mengetahui akar permasalahan dari konflik. Berdasarkan informasi yang di dapatkan dari kedua lurah tersebut bahwa kehidupan bermasyarakat antara dua kelompok masyarakat tersebut pada awalnya hidup dengan damai dan tenang tanpa adanya konflik yang sampai ada korban. Dan terakhir terjadinya konflik tersebut karena adanya kesalahan pahaman antara kedua kelompok dan adanya kebiasaan yang tidak baik dikalangan pemuda yaitu kebiasaan mabuk-mabukan. Berdasarkan informasi yang telah didapatkan dari kedua narasumber (Lurah) tersebut maka dalam mengadakan Participatory Action Research (PAR) kelompok tiga menggunakan metode Kunjungan/Silaturahmi ke tokoh agama, tokoh Masyarakat, tokoh pemuda. Hal ini juga dilakukan juga berdasarkan arahan dari kedua Lurah tersebut hendaknya kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi tokoh kunci yang berada di wilayah tersebut. Berdasarkan perbincangan-perbincangan dari orangorang kunci di kedua kelompok yang konflik tersebut pada dasarnya adalah sama. Hal lain juga dikatakan oleh kepala lingkungan Sindu Bapak Ida Bagus Pidada mengatakan
76
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
bahwa terjadinya konflik antara kedua kelompok tersebut disebabkan oleh pihak ketiga (Provokator). Hingga pada suatu hari pernah ada yang melempar di kampong Sindu sambil mengatakan kalau dia orang Nyangget dan pada hari yang sama juga ada lemparan di kampung orang sambil mengatakan kalau dia orang Sindu yang kemudian dikejar oleh kedua kampung tersebut dan setelah tertangkap dan diketahui ternyata orang tersebut bukan dari kedua kelompok yang bertikai yaitu antara Sindu dan Nyangget. Hal ini tentunya patut diwaspadai sehingga kunjungan Alumni TOT ke masing-masing tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh pemuda adalah memberikan penyadaran tentang pentingnya perdaamaian dan tetap menjaga hubungan kerja sama yang baik dan tidak mudah untuk terprovokasi dan menyelidiki segala sesuatu dengan baik sebelum bertindak sehingga tidak terjadi kesalah pahaman dan hendaknya masyarakat tetap menjaga diri dengan penuh kesabaran. Evaluasi dan Refleksi PAR Keberhasilan -
Terjalinnya hubungan yang lebih harmonis dan damai pasca konflik.
-
Hubungan kerja sama yang baik antara kedua kelompok seperti yang telah terjalin sebelum konflik terjadi.
-
Terciptanya masyarakat yang damai, saling menghargai dan saling menghormati perbedaan yang ada.
-
Terjalinnya rasa persaudaraan dan kerjasama dalam kemajemukan.
77
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
-
Adanya kemanunggalan dalam perspektif ciptaan, pada kebhinekaan budaya, agama dan hakikat kemanusaiaan.
-
Menumbuhkembangkan kader-kader penjaga perdamaian (peace keppers).
Hambatan /Kendala -
Waktu pelaksanaan yang sangat mendesak.
-
Konflik antara Seksari Sindu dan Nyangget terletak dalam wilayah yang berbeda.
-
Keterbatasan dana untuk melaksanakan kegiatan.
-
Kurangnya koordinasi.
Kasus Kerusuhan Sosial Pada 17 Januari 2000 Teknik Melihat need assesement masyarakat dan pihak gereja. Analisis Pohon Faktor dan LCP. Analisis Pohon Faktor. Akar
: Miskomunikasi masyarakat setempat dengan pihak HKBP. : Pemahaman terhadap budaya masyarakat setempat dengan pendatang umat HKBP (pranata).
Batang
: Rusaknya fasilitas Gereja karena belum di rehabilitasi.
Daun
: Masyarakat (intimidasi).
mengancam
pihak
HKBP
Trauma masyarakat pendatang umat HKBP terhadap masyarakat setempat.
78
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Peserta Peserta terdiri atas perwakilan dari berbagai unsur masyarakat, yakni: unsur agama/tokoh agama 2 orang, unsur pemuda 4 orang, unsur aparat desa 2 orang, unsur aktivis perempuan 2 orang dan mahasiswa 2 orang. Trend kehidupan saat ini Sebagian besar para informan menuturkan bahwa di Kota Mataram sekarang tidak lagi ada kecenderungan konflik di kalangan masyarakat, baik yang bersifat latent maupun manifest. Hal ini disebabkan antara lain bahwa masyarakat Kota Mataram dan NTB pada umumnya, pada dasarnya mempunyai sifat saling menghargai, masyarakat Sasak yang santun. Mereka memiliki budaya ‚saling menjaga diri, tidak saling menjatuhkan harga diri orang lain‛. Terdapat ungkapan dalam bahasa Sasak ‚tindih‛ yakni berjalan sesuai kaedahnya. Selain itu terdapat pula ungkapan: ‚empak bau tunjung tilah aiq meneng‛ yang artinya bahwa ‚mendapatkan ikan tapi pohon di atasnya dan ikan-ikan serta air di dalamnya tidak keruh‛. Sebagian kecil informan yang lain berpendapat, sekalipun trend nya kecil kemungkinan timbulnya konflik di kalangan masyarakat, namun kenakalan remaja yang cenderung mudah tersinggung, perlu tetap diwaspadai karena potensial bagi timbulnya konflik yang dapat membawa serta/ melibatkan masyarakat di kampung-kampung. Demikian pula perbuatan asusila akibat pengaruh kemajuan informasi dan modernisasi.
79
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Di samping itu, perbedaan suku, budaya dan agama termasuk ajaran/faham keagamaan menjadi potensi konflik yang bersifat latent. 3. Lesson Learned Kegiatan Resolusi Konflik -
Peristiwa konflik yang mengakibatkan adanya korban dan kerusakan, betapapun, dirasakan sangat merugikan semua pihak. Karena itu harus dilakukan upaya pencegahan dan penangkalan agar tak terulang konflik serupa pada masa mendatang. Sekecil apapun konflik, tentu akan mendatangkan kesengsaraan, karena berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi masyarakat, pengangguran meningkat, tingkat kepercayaan para pemodal asing menurun, kegiatan pariwisata menurun.
-
Pemerintah harus bersikap netral/tidak berat sebelah dalam menangani pihak-pihak yang konflik, siapapun yang bersalah harus ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku.
-
Disadari pentingnya dilakukan penguatan dan penyadaran serta penegakan supremasi hukum.
-
Semakin disadari pentingnya peran dan manfaat forum komunikasi, sehingga perlu didukung oleh dana yang memadai agar program-program kerukunan yang dicanangkan dapat terlaksa maksimal.
-
Dirasakan perlunya pembentukan Forum Komunikasi sampai ke tingkat Desa. Pemerintah harus besikap adil dalam pelayanan terhadap umat semua agama.
80
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
-
Disadari akan pentingnya kebersamaan dan kerukunan di kalangan masyarakat sekalipun berbeda agama.
-
Pengalaman dari tragedi 171 menimbulkan menyadaran kepada masyarakat terhadap perlunya peningkatan kewaspadaan masyarakat untuk tidak mudah terkena provokasi dan informasi yang perlu disikapi secara bijak.
Upaya Yang Perlu Dilakukan oleh Masyarakat, Pemerintah, LSM dan Pemuka Agama: -
Saling bertemu/komunikasi dan saling bersilaturahmi antar umat maupun antar tokoh agama.
-
Membangun komunikasi intensif antara para tokoh melalui FKUB.
-
Memberikan penyadaran terhadap masyarakat melalui tokoh karena peran tokoh sangat dominan.
-
Kepedulian pemerintah untuk mendekati para tokoh agama dan turun bersama untuk mengontrol umat masing-masing.
-
Dialog dan pertemuan rutin para tokoh lintas agama.
-
Pertemuan pemuda lintas agama secara berkala.
-
Safari kerukunan melibatkan pejabat dan tokoh semua agama, keliling untuk bertemu dengan tokoh agama setempat, kemudian masing-masing mereka menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada umatnya masingmasing.
81
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
-
Adanya tradisi kegiatan bersama lintas agama, seperti upacara adat Perang Ketupat di Pura Lingsar Lombok Barat yang melibatkan umat Islam dan umat Hindu. Di Pure itu ada tempat/batu yang di anggap sakral oleh umat Islam. Kecuali itu ada acara potong kerbau bersama yang dilakukan setahun sekali pada saat 6 hari setelah Idul Fitri.
-
Diadakannya berbagai kegiatan bersama seperti: Jalan sehat tokoh lintas agama, Kemah Bakti FKUB, Dialog Lintas Agama, Baksos (pasar murah), dll.
-
Melaksanakan kegiatan bersama maupun kegiatan di internal masing-masing agama secara kontinyu untuk menjaga hubungan kondusif antar generasi muda lintas agama.
-
Bakti sosial, memberikan bantuan sembako atau pengobatan gratis kepada masyarakat yang membutuhkan di daerah tertentu, bekerjasama dengan pemerintah supaya tidak terjadi salah paham.
-
Melestarikan awig-awig (kearifan lokal) antar umat beragama yang sudah mulai memudar.
-
Menghidupkan kembali kesepakatan bersama antar tokoh agama dan tokoh masyarakat yang pernah dilakukan tahun 1984 oleh Sospol.
Faktor-Faktor yang Dianggap Menjadi Skala Prioritas untuk Mencegah Terulangnya Konflik Masa Lalu -
82
Pendekatan antar umat beragama yang di inisiasi oleh Kemenag dan Pemkot.
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
-
Perlunya ketegasan aparat dalam menangani kasus-kasus yang timbul dalam masyarakat secara adil dan setiap masalah harus diselesaikan secara tuntas, tidak hanya sekedar dipanggil tanpa penyelesaian yang jelas.
-
Komunikasi lintas agama harus terus dilaksanakan baik di kalangan internal umat beragama maupun lintas agama.
-
Peran para tokoh agama untuk membina umatnya masingmasing perlu terus ditingkatkan.
-
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya lapangan kerja agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat.
-
Harus ada sinergi antara aparat, tokoh dan pemuka agama dalam menciptakan kerukunan umat beragama.
-
Kebersamaan, sehingga ketika ada gejala sekecil apapun mudah untuk ketahui dan diatasi bersama.
-
Pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan wirausaha dan keterampilan agar dapat mandiri.
-
Sosialisasi tentang SKB 2 Menteri terlu ditingkatkan hingga sampai akar rumput.
-
Memberikan pencerahan kepada masyarakat agar tidak mudah diprovokasi.
-
Masing-masing umat beragama perlu menjaga kode etik dalam setiap kegiatan keagamaan, termasuk penyiaran agama.
-
Pemerintah perlu sering mempertemukan pemuda dari kedua belah pihak di wilayah yang pernah timbul konflik.
-
Pemerintah harus tanggap dalam menyikapi maslah yang terjadi di masyarakat dan setiap masalah harus dilokalisasi.
83
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
4. Kesimpulan dan Rekomendasi Keragaman penduduk Kota Mataram dan NTB pada umumnya baik dari segi etnis, suku, politik, budaya maupun agama, cenderung rentan bagi kemungkinan timbulnya konflik di kalangan masyarakat. Dalam menyikapi berbagai perbedaan yang ada dalam masyarakat, peran para tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, pimpinan ormas pemerintah daerah menjadi penting. Sikap jujur dan menghargai pihak lain menjadi faktor penting dalam berperilaku di kalangan masyarakat, terlebih dalam masyarakat yang beragam. Generasi muda mempunyai peran penting dalam ikut serta menciptakan kedamaian lintas agama, namun SDM mereka perlu ditingkatkan. Campur tangan terhadap urusan umat beragama lain, prihal pendirian rumah ibadat dapat memicu timbulnya konflik di kalangan umat beragama. Sosialisasi PBM No. 9 & 8 Tahun 2006 dirasakan kurang dilakukan, terutama kepada masyarakat kalangan bawah. Pemahaman kebhinekaan harus dijadikan budaya untuk penyadaran dan pemahaman bahwa perbedaan adalah merupakan hal yang kodrati yang harus disikapi dengan hidup secara damai untuk mencapai kesejahteraan bersama. Pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan para pimpinan ormas keagamaan hendaknya lebih peduli terhadap kehidupan ekonomi, budaya, politik, serta agama
84
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dalam masyarakat, di samping bersikap jujur dalam menyikapi perbedaan yang ada dalam masyarakat. Dalam menyikapi perbedaan, kita harus jujur kepada masyarakat dan saling menjaga harga diri tapi jangan menyentuh harga diri orang lain. Para tokoh generasi muda harus diberikan pendidikan keterampilan, pelatihan secara bersama-sama (lintas agama) dan berkelanjutan, diberikan wawasan untuk dapat menciptakan kedamaian sehingga bisa mencegah kemungkinan timbulnya konflik. Para tokoh agama diharapkan meningkatkan pembinaan dan bimbingan kepada umat masing-masing agar tidak mencampuri urusan umat lain. Dalam mendirikan rumah ibadat, umat beragama diharapkan mengikuti ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Pemerintah seyogyanya memfasilitasi semua kepentingan yang terkait dengan upaya penangkalan kemungkinan terjadinya konflik antarumat beragama. Sosialisasi PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 khususnya terkait Pendirian Rumah Ibadat yang dilakukan oleh Pemerintah dan instansi terkait hendaknya tidak hanya dilakukan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, tetapi juga harus sampai ke tingkat kecamatan bahkan tingkat kelurahan/desa. Seyogyanya Pemerintah Kota membuat Perda untuk mengatur kegiatan-kegiatan keagamaan yang dimungkinkan dapat mengganggu umat beragama lain.
85
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Kementerian Agama bekerjasama dengan pemerintah diharapkan dalam membentuk forum kerukunan tidak hanya sampai di tingkat kabupaten/kota, namun sampai ke tingkat desa/kelurahan. Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Mataram, 2011, Mataram Dalam Angka, 2011, BPS Kota Mataram. Hakim, Bashori, A., 2001, Laporan Studi Kasus Kerusuhan Sosial di Mataram, Nusa Tenggaran Barat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta. Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), 2012, Data Penduduk Berdasarkan Agama, Provinsi NTB, 2012, Kanwil Kemenag Provinsi NTB. Kelompok I Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram – NTB., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok I (Proposal Kegiatan FGD di Kecamatan Ampenan Kota Mataram – Rehabilitasi Gereja Kristen HKBP Desa Taman Sari, Kecamatan Ampenan), Kota Mataram. Kelompok II Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram - NTB., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok II (Analisa Pohon Masalah, Kajian Konflik), Kota Mataram. Kelompok III Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram - NTB., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok III (PAR Untuk Pendampingan Penyadaran/Peace Making di Kelurahan Cakra Utara Kecamatan Cakranegara dan Kelurahan Selagalas Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram. Syafi’i, Mufid, A., (Edt.), 2009, Studi Aliran/Faham Keagamaan di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta.
86
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
D. Resolusi Konflik Etnorelijius di Kota Kupang Kota Kupang yang diibaratkan Indonesia mini karena terdapat kumpulan dari berbagai suku, agama, ras dan etnis yang ada di Indonesia dengan jumlah penduduk menurut laporan BPS tahun 2010 sebanyak 4.776.485 jiwa. Jumlah penduduk beragama sebagai berikut: Islam 477.648 jiwa (9.99%), Kristen 1.624.005 jiwa (34,00%), Katolik 2.674.832 jiwa (56,00%), Hindu 10.227 jiwa (0.21%), Buddha 1.073 jiwa (0.02%), yang sangat pluralis dan heterogen dalam keberagaman. Kondisi pluralitas demikian itu, di satu sisi merupakan kekayaan yang patut di apresiasi dan dibanggakan. Namun pada sisi yang lain, hal itu bisa juga menjadi salah satu faktor pemicu ketidakharmonisan hubungan antarkelompok yang ada. Kasus tahun 1998 yang seringkali disebut dengan istilah Kupang Kelabu menjadi salah satu contoh di mana keberagaman bisa menjadi sumber konflik. Peristiwa tersebut paling tidak telah menyebabkan sejumlah besar orang kehilangan rumah dan mengalami hidup sebagai pengungsi. Tidak sedikit harta benda yang hilang akibat huru-hara yang ditimbulkan oleh peristiwa naas itu. Sejumlah tempat ibadah bahkan telah menjadi korban kebrutalan massa yang tersulut emosinya karena isu agama yang dihembuskan oleh pihakpihak yang tidak bertanggungjawab. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan studi Focus Group Discussion (FGD) yang merupakan lanjutan dari pendekatan PAR (Participatory Action Research) yang pernah dilakukan di Kota Kupang pada tahun 2010. Kegiatan ini
87
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
secara khusus diorientasikan untuk merumuskan lessons learned dan model kegiatan resolusi konflik. Gambaran Wilayah Provinsi kepulauan Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak pada 8° LS-12° LS dan 112 BT -125° BT, dengan luas wilayah daratan ± 47.349,9 km² terdiri dari 566 pulau. Diantaranya 42 pulau yang berpenghuni; dengan terdapat 3 pulau besar yaitu; pulau Timor, pulau Flores dan Sumba, sisanya 524 pulau tidak/belum berpenghuni. Luas wilayah perairannya ± 200.000 km² di luar perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEI). Secara geografis, wilayah NTT batas-batasnya adalah: sebelah Utara berbatasan dengan laut Flores, sebelah Selatan berbatasan dengan lautan Indonesia, sebelah Timur berbatasan dengan Timor-Timur dan Maluku, sebelah Barat berbatasan dengan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dari segi iklimnya di wilayah ini umumnya kering dan penyebaran hujan yang tidak merata. Di wilayah provinsi ini curah hujan tertinggi di Flores bagian barat, Sumba bagian barat dan Timor bagian tengah dengan rata-rata curah hujan 1.200 – 3.000 mm per/tahun. Sedangkan Flores bagian Timur, Alor dan Timor bagian selatan curah hujan rata-rata 800 – 1.200 mm per/tahun, dengan rata-rata suhu udara berkisar antara 21°C sampai 31°C. Kondisi iklim wilayah NTT yang relatif kering tersebut berpengaruh pada kondisi sungai yang juga kering, terutama pada musim kemarau. Kondisi demografis provinsi kepulauan NTT merupakan provinsi kategori miskin di Indonesia. Berdasarkan data Komisi Penanggulangan Kemiskinan Tahun 2010, dari 1.020.60 Rumah Tangga di Nusa Tenggara Timur terdapat Rumah
88
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Tangga Rentan sebanyak 187.899 (20,76%); Rumah Tangga Miskin sebanyak 297.983 (32,92%) dan Rumah Tangga Sangat Miskin 137.224 (15,16%). Kemiskinan ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: sumber daya alam yang terbatas dan kondisi geografis yang rawan bencana, kualitas sumber daya manusia yang relatif terbatas serta kebijakan pemerintah yang kurang pro rakyat miskin dan menyebabkan NTT semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan dan konflik yang membelenggu. Sebagai dampak lain dari kondisi kehidupan ekonomi tersebut di atas, terlihat pada kondisi tingkat pendidikan masyarakat NTT, yaitu; pada tahun 1997, penduduk NTT yang berusia 10 tahun ke atas sebanyak 2.722.714 orang dengan prosentase tingkat pendidikan sebagai berikut: tidak/ belum pernah sekolah 14,87%, tidak/belum tamat SD 36,24%, tamat SD 31,25%, tamat SMTP 8,63%, tamat SMTA 7,54%, tamat akademik/diploma 0,90%, dan tamat universitas 0,57%. Angkatan kerja yang ada sebanyak 1.802.712 orang dari prosentase tingkat pendidikan, tergambar: tidak/belum pernah sekolah 15,40%, tidak/belum tamat SD 31,60%, tamat SD 34,20%, tamat SMTP 7,70%, tamat SMTA 9,00%, tamat akademi/diploma 1,20%, dan tamat universitas 0,90%. Angka ini menunjukkan bahwa dari segi prosentase angkatan kerjanya yang berpendidikan SD ke bawah 81,20% dan berpendidikan SMTP ke atas 18,80%. Ekologi Sosial, Budaya dan Politik NTT terkenal memiliki budaya lokal yang sangat banyak, beragam dan sangat menarik. Hal ini terekspresi lewat tari dan lagu serta motif tenunan rakyat. Jumlah semua
89
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
bentuk ekspresi budaya tersebut sepadan dengan jumlah etnis yang ada di wilayah NTT. Selain budaya lokal, masyarakat NTT masih merasakan tradisi agama asli yang erat kaitannya dengan budaya setempat. Tradisi agama asli berakar pada kepercayaan akan adanya kesatuan dunia dengan alam gaib. Segala bentuk ketidakberesan dalam kesatuan ini dilihat sebagai sumber malapetaka yang menimpa manusia. Upacara-upacara yang diperankan adalah bagian dari ritus perdamaian, untuk menetralisir kembali keseimbangan hidup manusia. Kepercayaan akan adanya roh-roh yang ada di gununggunung, sungai, sawah, pepohonan, dan lain-lain. Roh-roh ini dipercayai memiliki kekuatan yang berbahaya atau menguntungkan, tergantung pada sikap seseorang terhadapnya. Bentuk kepercayaan di atas terkristal menjadi bentuk kepribadian khas masyarakat NTT yang kontribusinya masih terasa hingga sekarang. Sebab bentuk kepribadian khas ini terus diwariskan dan menjadi fundamen tempat berpijak segala bentuk tindakan, relasi social, usaha pembangunan, dan sebagainya kepada anak cucu. Wilayah administratif provinsi NTT memiliki struktur sebagai berikut: 1) wilayah pembantu gubernur sebanyak 2 buah, wilayah kabupaten sebanyak 13 buah, wilayah kota sebanyak 1 buah, wilayah kecamatan sebanyak 124 buah, kecamatan pembantu sebanyak 36 buah, wilayah kelurahan sebanyak 211 buah, dan wilayah desa sebanyak 1.681 buah. Di bidang kemasyarakatan, pemerintah daerah senantiasa memberikan penjelasan kepada seluruh komponen sosial dan lembaga-lembaga sosial politik dan lembaga-lembaga
90
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
sosial kemasyarakatan, civitas akademika perguruan tinggi, serta tokoh-tokoh masyarakat dan agama tentang apa yang sebenarnya telah terjadi, penyebab-penyebabnya, serta usahausaha yang sedang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dalam mengatasi masalah. Dengan sikap keterbukaan tersebut, telah mampu memberikan ketenangan dan kesabaran masyarakat sehingga tercipta kehidupan sosial politik yang terkendali yang tumbuh dari kesadaran dan pengertian serta usaha-usaha stabilitas yang diciptakan sendiri oleh masyarakat. Walaupun demikian tidak dapat dielakkan masih terjadi gejolak-gejolak sosial yang berkembang beberapa tahun terakhir yang memuncak pada peristiwa kerusuhan Kupang yang bernuansa SARA tanggal 30 November dan 1 Desember 1998. Berdasarkan beberapa hasil penelitian dalam kurun waktu sejak tahun 1999 hingga tahun 2008 terdapat sejumlah masalah yang menyebabkan konflik dan kekerasan antara sesama masyarakat dan masyarakat dengan pemerintah. Tercatat 210 insiden konflik terjadi, 120 insiden dengan kekerasan dan 90 insiden tanpa kekerasan baik secara horisontal maupun vertikal, dilakukan secara individu dan kelompok, bersifat laten, terbuka dan di permukaan. Konflik tersebut disebabkan berturut-turut karena konflik tanah (20%), perebutan air bersih (16%), kemiskinan (11,43%), KDRT/KTP (9,14%), pencurian hasil hutan dan penambangan ilegal (8,57%), perbedaan tradisi adat dan agama (7,43%), khusus konflik yang dipicu oleh sentiment agama juga menjadi sangat rawan di NTT, yang dengan komposisi mayoritas Kristen mudah digerakkan untuk
91
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
melakukan kekerasan jika terjadi kekerasan antar Agama di Jawa dan tempat lain. Kemudian mabuk, perjudian dan pencurian ternak (6,86%), Pilkades/Pilkada (6,86%), batas dusun, desa dan Negara (5,71%), Kecemburuan sosial (5,71%), serta pungli dan kekerasan oleh oknum TNI (2,29%). Sejumlah konflik diatas, sebagian besar melibatkan juga orang muda didalamnya, atau setidaknya dengan mudah memberi pengaruh untuk terlibatnya orang-orang muda. Pemuda mudah dipolitisir untuk diarahkan pada tindakantindakan menjurus konflik dan bahkan mudah terpicu melakukan kekerasan. Karena itu, orang-orang muda perlu dibekali dan disadarkan untuk selalu bisa menyelesaikan masalah tanpa kekerasan, dan dengan itu, ia mampu menghargai perbedaan yang ada pada orang lain, sebagai bagian yang memang telah ada, hidup dalam realitas sosial dengan orang lain. Dinamika Kehidupan Keagamaan Corak kehidupan beragama di NTT berkaitan erat dengan etnografis masyarakat NTT sendiri. Hal ini disebabkan karena praksis keagamaan umatnya tidak dapat dipisahkan dari kepribadian khas masyarakatnya yang terbangun di atas tugu kebudayaan lokal yang kokoh, yaitu pola kekerabatan. Kekerabatan yang dimaksudkan di sini adalah ikatan keanggotaan seseorang individu ke dalam suatu keluarga (dalam arti sempit dan luas) yang terbina secara vertikal dan horizontal, baik lewat perkawinan maupun lewat keturunan darah. Dalam kehidupan bermasyarakat, tampaknya pola
92
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kekerabatan begitu kuat mewarnainya. Kekerabatan telah menjadi semacam kekuatan budaya (culture force) yang berhasil menjalin relasi antar individu demikian intens melalui batas-batas dan tembok-tembok pemisah yang dipisahkan agama-agama tauhid. Hal ini dapat dimaklumi karena jauh sebelum agamaagama tauhid (Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan Buddha) masuk NTT, masyarakat asli telah menyatu berkat ikatan keturunan yang sama, perkawinan antar individu dengan melibatkan keluarga dan suku yang selanjutnya membentuk sebuah keluarga besar (extended family) yang melampau batasbatas keagamaan. Oleh karena itu budaya ikatan primordial ini perlu diangkat kepermukaan dan disadari nilai positifnya sehingga tidak terbasmi begitu saja oleh pengaruh-pengaruh luar yang destruktif. Dulu sebelum Indonesia merdeka, NTT telah menjadi wilayah pengembangan missi Katolik dan zending Kristen serta sedikit Islam, sedangkan agama Hindu hadir sesuadah kemerdekaan. Secara spesifik penyabaran penganut agama di NTT berpariasi di pelbagai pulau, yaitu: Pulau Timor
Pulau Sumba
: Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) mayoritas Katolik Kabupaten Belu mayoritas Katolik Kabupaten Timor Tengah Selatan mayoritas Kristen Kabupaten Kupang mayoritas Kristen Kota Kupang mayoritas Kristen : Kabupaten Sumba Barat mayoritas Kristen
93
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Kabupaten Sumba Timur mayoritas Kristen Pulau Alor : Kabupaten Alor mayoritas Kristen Pulau Flores : Kabupaten Manggarai mayoritas Katolik Kabupaten Ngada mayoritas Katolik Kabupaten Ende mayoritas Katolik Kabupaten Sikka mayoritas Katolik Kabupaten Flotim mayoritas Katolik Kabupaten Lembata mayoritas Katolik Data pemeluk agama tahun 2010 di Nusa Tenggara Timur menunjukkan bahwa dari jumlah penduduk seluruhnya 4.776.485, yang menganut: 1. Agama Katolik
: 2.674.832 (56,00%)
2. Agama Kristen
: 1.624.005 (34,00%)
3. Agama Islam
: 477.648 (9.99%)
4. Agama Hindu
:
10.227 (0.21%)
5. Agama Buddha
:
1.073 (0.02%)
Dalam kaitan dengan kehidupan antar umat beragama, orang muda Islam dan Hindu misalnya masih merasa enggan dan ragu untuk bisa keluar dari komunitasnya, karena belum merasa cukup nyaman jika harus bergabung dengan pemuda dari komunitas agama Kristen misalnya. Situasi-situasi seperti ini, pada saatnya nanti akan sangat mudah disusupi kepentingan tak bertanggungjawab yang hendak menghancurkan kehidupan toleran yang ada. Sehingga sangat penting kiranya dikembangkan mekanisme-mekanisme untuk terus menyebarkan informasi tentang pentingnya hidup damai dengan semua orang. Serta mempersiapkan generasi muda untuk selalu bisa
94
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
menyelesaikan atau setidaknya menjadi inisiator menyelesaikan masalah tanpa kekerasan di Kota Kupang. Secara etnografis masyarakat NTT sebagai provinsi kepulauan dari gugusan pulau-pulau besar dan kecil yang berjumlah kurang lebih 566 pulau. Dari sekian banyak pulau, NTT terbagi atas 14 daerah kota/kabupaten dengan puluhan kelompok etnis, kultur dan bahasa, seperti: Kelompok etnis Tetun dan Dawan di kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu (pulau Timor), kelompok etnis SabuRote di kabupaten Kupang, kelompok etnis Alor, kelompok etnis Sumba, kelompok etnis Lamaholot dan Kedang di kabupaten Flores Timur dan kabupaten Lembata, kelompok etnis Paga, Sikka dan Kangai di Kepulauan Sikka, kelompok etnis Ende-Lio di kabupaten Ende, kelompok etnis Bajawa, Nagekeo dan Riuang di kabupaten Ngada, kelompok etnis Manggarai dan bajo-Bima di kabupaten Manggarai, kelompok etnis Cina, Arab, Bugis dan lain-lain etnis pendatang yang terbesar di pelbagai pelosok NTT. Dari aspek hubungan antarsuku asli dan pendatang di NTT masih dirasakan riskan (rawan) diwarnai sikap curiga dan waspada. Kondisi ini mungkin saja dapat hilang apabila: -
Suku pendatang perlu menghargai atitude dan pranatapranata sosial masyarakat asli dan tidak arogan;
-
Dari segi pembangunan masyarakat NTT, suku pendatang perlu memiliki dedikasi dan motivasi untuk membangun dan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat asli. Dalam arti tidak memberikan pelayanan yang diskriminatif antara sesama suku pendatang dan suku asli, terutama pada unit-unit pelayanan masyarakat yang dikelola suku pendatang;
95
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
-
Suku pendatang perlu membaur dan bersikap terbuka dengan suku asli, serta berupaya menjalin kerja sama yang bermuara saling mendukung, saling membangun dan membina sikap saling membutuhkan;
-
Pemerintah perlu memiliki kearifan dan kebijaksanaan dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan.
Dinamika Kegiatan Resolusi Konflik Faktor Pemicu Konflik Dalam konteks NTT dan secara khusus Kota Kupang setidaknya terdapat beberapa penyebab yang dapat memicu konflik, antara lain : 1) Konflik tanah, 2) Perebutan air bersih, 3) Kemiskinan, 4) KDRT/KTP, 5) Perbedaan tradisi adat dan agama, 6) Perjudian, Pungli, 7) Pilkada, kebijakan, 8) Diskriminasi pelayanan social, 9) Batas wilayah, 10) Perkelahian missal, 11) Kecemburuan sosial. Pada umumnya jika terjadi konflik yang disebabkan oleh hal-hal diatas, akan sangat mudah dipolitisir ke ranah agama atau suku. Terutama yang terkait dengan kepemudaan, maka beberapa faktor kunci pemicu konflik yang sering terjadi adalah: 1. Kemiskinan dan ketiadaan lapangan pekerjaan. Faktor ini sangat berpengaruh bagi pemuda jika terganggu sedikit saja langsung terpengaruh untuk melakukan kekerasan. 2. Kebijakan pemerintah daerah terkait kesejahteraan dan kepentingan publik, sering kali menjadi faktor yang berpengaruh menyebabkan konflik.
96
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
3. Kesadaran akan perbedaan yang melekat pada setiap orang. Hal ini lebih karena kuatnya eksklusivisme baik itu agama maupun suku. Banyak pemuda masih terkungkung dalam pergaulan terbatas dalam agama atau sukunya saja. Walaupun faktor-faktor lainnya juga menyumbang terjadinya konflik, tetapi setidaknya ke 3 faktor ini sangat berkaitan dengan orang muda. Dinamika antar faktor: sebenarnya ke 3 faktor tersebut sangat berkaitan dan saling berpengaruh. Pemuda tidak akan cepat terpengaruh untuk terlibat dalam konflik dan apalagi kekerasan jika kondisi daerah dan kebijakannya mampu mengeliminir kemungkinan terjadinya konflik. Sehingga paling penting kiranya diperlukan kebijakan yang disusun atas dasar pemahaman dan kesadaran bahwasanya potensi konflik ada dan setiap waktu dapat menjadi persoalan serius jika tidak diantisipasi sejak dini. Faktor Penyebab Konflik Aktor yang berperan penyebab konflik: 1) Pemerintah jika kebijakannya salah, 2) Politisi jika tidak pandai mengelola pendekatan pada masyarakat, 3) Kepolisian dan TNI (terutama jika menjadi pelaku dan lamban menyelesaikan kasus, dan 4) Masyarakat pada umumnya dengan berbagai realitas sosial yang dihadapinya. Walau demikian, masih banyak kelompok yang terus mengupayakan damai, seperti: Lembaga agama, LSM dan pemerhati damai, dan Pemerintah secara umum, dan setidaknya karena: 1) Perasaan satu daerah, 2) Adat istiadat, 3) Adanya peraturan dan kebijakan yang baik, 4) Nilai-nilai kebersamaan, 5) Penghormatan pada hak-hak orang lain, 6)
97
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Hubungan kekerabatan, dan 7) Hormat pada tokoh agama dan adat, 8) serta sumber daya alam (SDA) yang banyak. Faktor Ekonomi. Seperti halnya di berbagai daerah lain di Indonesia, kesenjangan ekonomi dan menjadi faktor yang cukup berpengaruh memicu konflik yang terjadi saat itu. Istilah pribumi malas dalam beberapa kasus mendapat pembenarannya di Kupang. Sumber-sumber ekonomi dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu yang kebetulan kebanyakan bukan pribumi, sehingga akumulasi dari kesenjangan ekonomi plus penguasaan sumber-sumber ekonomi memunculkan pengelompokan masyarakat yang kebetulan mengerucut menjadi ‚pribumi-nonpribumi‛. Faktor Sosial-budaya. Secara budaya, sebetulnya tradisi kawin-mawin antara kelompok beda-agama adalah cerita lama di Kupang dan NTT secara keseluruhan. Dalam konteks ini, perbedaan agama tidak berpengaruh besar pada potensi konflik. Namun seiring dengan berjalannya waktu, struktur sosial-budaya masyarakat berubah dengan banyaknya pendatang dari luar yang lambat laun mengentalkan perbedaan berbasis agama. Nilai-nilai agama yang lambat laun mengalami ‚pemurnian‛ membuat identitas agama menjadi identitas pembeda antarkelompok. Apalagi belakangan identifikasi sosial-budaya mengerucut menjadi politik identitas. Dalam cerita lama Kupang, menjadi muslim tidak harus menjauhi tradisi lokal yang sudah ada turun temurun. Menjadi muslim bukan berarti tidak makan daging babi, misalnya. Belakangan, ‚pemurnian‛ Islam oleh kelompok pendatang perlahan menjauhkan kelompok muslim dari ‚tradisi‛ semacam itu. Pernikahan agama juga semakin banyak dihindari.
98
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Faktor Politik. Sudah pasti politik menjadi salah satu pemicu yang cukup efektif dalam membangun gap antarkelompok masyarakat. Isu-isu ekonomi, sosial-budaya, pada konteks tertentu dikomodifikasi oleh para aktor politik menjadi bagian dari kampanye meraih suara, sehingga semakin kuatlah jarak antarkelompok, dan semakin kuat pula bangunan prasangka dan kebencian yang ditimbulkannya. Isu agama, pribuminonpribumi menjadi bagian dari kampanye politik. Faktor Agama. Seperti sudah disebut, dalam catatan sejarah Kupang, agama pada awalnya bukan menjadi faktor pembeda yang signifikan memicu konflik. Namun seperti di daerah lain, belakangan agama menjadi salah satu pembentuk prasangka yang semakin mengental. Di samping itu, komposisi yang tidak imbang antara kelompok agama (mayoritas Kristen) juga berpengaruh pada distribusi kekuasaan yang timpang. Dalam kadar tertentu, mayoritarianisme terjadi dan mewarnai segala aspek kehidupan masyarakat. Struktur politik pun dipengaruhi oleh komposisi ini. Faktor Luar. Bersamaan dengan bergulirnya reformasi, maka keran kebebasan informasi terbuka lebar sehingga apa yang terjadi di luar Kupang dengan sangat cepat diterima beritanya di Kupang. Dalam kondisi pasca-reformasi di mana struktur politik dan kekuasaan masih kacau balau, maka lalu lintas informasi tidak hanya membawa dampak positif, namun juga dampak negatif yang cukup besar. Ketika televisi swasta baru muncul saat itu, maka konflik yang terjadi di Ketapang khususnya dalam kasus ini, diterima oleh warga Kupang yang dengan cepat membangun emosi politik identitas dan prasangka. Rasa marah dan ketidakadilan yang dialami kaum ‚seagamanya‛ di Ketapang dengan cepat menyulut semangat
99
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
‚pembalasan‛ dalam berbagai kadarnya, sehingga ketika sumbu api konflik disulut, dengan segera ia mendapatkan rumput kering yang siap terbakar. Bentuk-Kegiatan Resolusi Konflik FGD ini dilaksanakan selama satu hari (Rabu, 18 April 2012) dengan jumlah peserta sebanyak 22 orang. Peserta pelatihan didominasi oleh kelompok pemuda yang menjadi aktivis di berbagai organisasi kemasyarakatan berbasis agama, etnis, dan kepemudaan serta beberapa perwakilan dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Nusa Tenggara Timur. Representasi peserta dari berbagai ormas yang umumnya adalah pemuda menjadi pilihan penting dan strategis sebagai bagian dari kaderisasi tokoh kedamaian di beberapa daerah. Adapun representasi perwakilan ormas yang dimaksud adalah berasal dari Fatayat NU Kupang, GMKI Cabang Kupang, PMKRI Cabang Kupang, Peradah Cabang Kupang, Keuskupan Agung Kupang, STIPAS Kupang, UKRIS Kupang, Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), perwakilan dari penyuluh agama yang merepresentasikan beberapa agama dari Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
100
Nama Drs. Moh Marhaban Fransiskus Edu Mali, S. Fil Imah, S. Ag Merry Outang, SH Syukur Ahmah, SE Robertus Daga, S.IP Mariani Leobani Wilson Sanam
Alamat Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT GMKI Cabang Kupang
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Alex Tamonob Desak Putu Puspa Sari Irenius Fallo Maria Goreti Malut Eda Djubire Siti Kholisah Arki manek Iskandar Bala M. Supriadi Djae Mikhael Lebuan Ima Eva Magdalena Mara Leo Sem Neonleni Robertus Fidianto
PMKRI Cabang Kupang Peradah Cabang Kupang PMKRI Cabang kupang PMKRI Cabang Kupang GMKI Cabang kupang Fatayat NU Kupang Keuskupan Agung Kupang Jl. KB Mandiri Kelapa Lima Jl. KH. A. Dahlan Kupang Keuskupan Agung Kupang STIPAS Kupang UKRIS Kupang Kanwil Kemenag Prov. NTT Kanwil Kemenag Prov. NTT
Pembukaan FGD dilaksanakan di aula Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Timur. Setelah sambutan dari Kepala Subag Hukmas dan KUB Kanwil Kemenag Prov. NTT, Drs. Jaky Kleden M.Th. FGD secara resmi dibuka langsung oleh Khamid Anick selaku petugas peneliti yang mewakili lembaga Pimpinan Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Dalam sambutan pembukaan, Kepala Subag Hukmas dan KUB menjelaskan tentang penghargaan dan kegembiraanya atas pelaksanaan kegiatan semacam ini. Menurut beliau, FGD ini mencoba mengubah pola pendekatan pemerintah dari top-down menjadi bottom-up, yang memberi ruang partisipasi yang besar dari masyarakat, terutama di wilayah-wilayah konflik. Pendekatan yang sifatnya bottom up menjadi sesuatu yang niscaya dan tidak bisa kita tawar lagi, karena dianggap jauh lebih efektif dan mengena sasaran dibanding jika diselesaikan secara terpusat atau top down.
101
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Melalui kegiatan ini masyarakat perlu didorong untuk menyadari arti penting kedamaian dan kemudian membentuk komitmen dan pranatanya sendiri guna menjaganya. Meskipun pendekatan ini relatif baru diterapkan di lembagalembaga penelitian kementerian di Indonesia, tak terkecuali pada badan penelitian milik Kementerian Agama RI, namun beliau berharap FGD ini dapat menjawab persoalan konflik di tingkat lokal. Setelah dibuka resmi oleh Khamid Anick, acara dilanjutkan dengan perkenalan singkat program FGD. Acara dimulai setelah makan siang dengan perkenalan yang dilakukan secara partisipatif untuk mencairkan suasana. Acara perkenalan ini dipimpin oleh fasilitator (Khamid Anick). Acara yang diakhiri hingga malam, diminta melakukan pembagian kelompok dan pembagian tugas guna mencari permasalahan yang terjadi dan berikut alternatif solusinya. Kelompok dibagi dengan mempertimbangkan bahwa satu kelompok harus terdiri dari representasi lembaga yang berbeda-beda. Setelah kelompok terbentuk, dipandu oleh fasilitator Khamid Anick. Pada acara ini peserta mulai serius dan terjadi diskusi dan tanya jawab agak panjang mengingat FGD ini relatif diminati semua peserta. Dari hasil diskusi kelompok, masing-masing kelompok menceritakan pilihan kelompok yang pernah dilakukan kegiatan pendekatan PAR (Participatory Action Research) di Kota Kupang pada tahun 2010. Diantara kelompok, ada dua kelompok memilih Kupang Kelabu sebagai kasus mereka. Kelompok ketiga memilih kasus Jamaah Tabligh, dan kelompok keempat memilih kasus konflik mahasiswa Alor dan Sumba.
102
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kelompok I Konflik Jamaah Tabligh di Kelurahan Oebufu Kelompok ini memilih konflik yang terjadi antara Jamaah Tablig dengan warga lain di Masjid Al-Muhajirin, Kelurahan Oebufu. Konflik ini terjadi karena kesalahpahaman dan kurangnya pendekatan yang dilakukan oleh Jamaah Tablig. Pada tahun 1980-an Jemaah Tablig pertama kali masuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan tujuan mewartakan nilai-nilai keagamaan dengan di prakarsai oleh Jemaah Tabligh dari Jawa. Dalam rentang waktu 20 tahun, semakin banyak anggota Jamaah Tablig datang dan berdakwah di wilayah NTT. Mereka bukan saja datang dari Jawa, tapi dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga datang dari Malaysia, Palestina, Bangladesh, Pakistan, dan India. Pada bulan Juli 2004, Jamaah Tabligh untuk pertama kalinya datang mengunjungi masjid Almuhajirin di RT 34 RW 10 Kelurahan Oebufu Kecamatan Oebobo. Ketika itu, karena melihat cara berpakaian yang ‚aneh‛ menurut warga setempat, maka timbul tanda tanya besar dalam benak warga, termasuk kalangan muslim lokal sendiri. Saat itu isu terorisme sedang marak, maka warga mengidentifikasi kesamaan anggota Jamaah Tablig dengan kelompok teroris. Hingga pada Februari 2009, karena dipicu oleh beberapa orang tak bertanggung jawab, tanda tanya itu berubah menjadi kesalah pahaman antara warga dengan anggota Jamaah Tabligh. Di samping itu, ada masalah dengan cara kelompok Jamaah Tablig menggunakan fasilitas masjid untuk keperluan mereka.
103
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Tahap situasi konflik pada daerah ini adalah: untuk masalah isu teroris deeskalasi menuju stabil, namun belum ada kesamaan pemahaman antara masyarakat lokal dengan Jamaah Tablig. Sedangkan untuk masalah penggunaan fasilitas masjid oleh Jamaah Tabligh berada dalam situasi stabil namun cenderung ada konflik laten karena adanya keberatan dari umat Islam lokal. No 1.
Aspek Perencanaan
Catatan Rentang waktu yang terlalu lama (4 bulan) antara kegiatan FGD (15-19 april 2010) dan pelaksanaan PAR (67 Agustus 2010) berimplikasi pada aspek perencanaan. Di samping Tim PAR sudah berkurang jumlahnya (ada yang sudah pindah ke Bali), karena dalam rentang tersebut Tim PAR juga tidak difasilitasi untuk bertemu, maka pembelajaran yang diperoleh dalam FGD juga sudah ‚terlupakan‛. Jarak yang diberikan untuk merencanakan kegiatan PAR juga terlalu singkat sehingga persiapan kurang matang sehingga terkesan memaksakan diri dan mengejar target. Tidak ada komunikasi intensif antara Tim Pusat sebagai pemilik
104
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
program dan penyandang dana dengan Tim PAR lapangan, sehingga Tim PAR merasa bahwa kegiatan tindak lanjut pasca FGD tidak serius. Tidak ada person in-charge yang ‚mengawal‛ jaringan Tim PAR di daerah sehingga terkesan ‚project oriented‛. 2.
Pelaksanaan Kegiatan
Meski banyak kelemahan dalam perencanaan, namun pelaksanaan kegiatan PAR ini cukup bagus dan forum yang dibuat sangat hidup dan cair. Pemilihan lokasi di rumah Ketua RT 26 RW 06, salah satu aktor utama dalam konflik yang terjadi saat itu, sangat tepat dan nyaman. Kelemahannya, forum yang ada lebih banyak diskusi eksploratif, karena metode fasilitasi tidak mungkin dilakukan secara maksimal. Proses fasilitasi juga berjalan lancar dan mampu menggugah partisipasi semua peserta yang terlibat. Tim PAR terlalu terbawa arus diskusi sehingga tidak terlalu fokus pada konfliknya.
105
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
3.
Penggunaan Sumber Daya
-
Sumber daya digunakan sesuai dengan prosedur yang diberikan oleh Puslitbang Pusat.
4.
Pelaku Kegiatan
-
Target peserta yang hadir sesuai dengan yang direncanakan
-
Pemilihan peserta yang merepresentasikan tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, dan perwakilan Jemaah Tablig sangat mewakili semua pihak yang berkepentingan dalam konflik yang terjadi saat itu
-
Partisipasi kinerja Tim PAR tidak berimbang, lebih didominasi oleh Mikhael (Charlie)
-
Metode PAR yang lebih banyak digunakan: analisis sejarah konflik dan analisis sebab akibat
-
Suasana yang sangat cair memunculkan kesalingpengertian dan kesepahaman antara pihakpihak yang berkonflik.
-
Kegiatan ini berhasil mengklarifikasi beberapa hal yang belum terungkap saat konflik terjadi, dan berhasil merumuskan analisis terkait kerentanan sosial di masyarakat.
5.
106
Hasil
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
6.
7.
Tujuan dan Manfaat
Nilai-nilai
-
Secara umum, tujuan kegiatan PAR yang dirumuskan sebelumnya sudah tercapai, yaitu terbentuknya rasa persaudaraan antar etnik dan agama.
-
Forum ini juga dinilai sangat positif dan perlu dikembangkan, terutama di tingkat masyarakat akar rumput.
-
Dari analisis kerentanan sosial tersebut di atas, forum merumuskan beberapa rekomendasi terkait dengan kehidupan sosial mereka.
-
Forum juga berkomitmen memposisikan forum ini sebagai awal yang baik bagi hubungan antar-agama di antara mereka. Bahkan forum juga berkomitmen untuk melaksanakan kegiatan lanjutan dan meminta Kemenag memfasilitasinya.
Kelompok II Konflik Kupang Kelabu di Kota Kupang (1) Kasus tahun 1998 yang sering disebut dengan istilah ‚Kupang Kelabu‛ bermula ketika kelompok pemuda Kristen, menanggapi berbagai peristiwa memilukan yang terjadi di
107
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
sejumlah daerah di tanah air menggelar aksi damai dengan membagi-bagikan bunga mawar. Aksi tersebut kemudian berubah menjadi petaka ketika dalam kerumunan massa tibatiba muncul isu bahwa gereja Katedral Kupang sudah dibakar oleh kelompok muslim. Sementara itu, dari arah timur bergerak sekelompok orang tak dikenal dengan pakaian berlumuran darah sambil berteriak-teriak bahwa sejumlah gereja di kota kupang sudah dibakar. Pada saat itulah serentak situasi damai berubah menjadi kacau balau. Masyarakat yang terprovokasi mulai bertindak anarkis. Tidak sedikit masyarakat muslim yang kehilangan harta benda, tempat usaha bahkan rumah tinggal serta mengalami hidup sebagai pengungsi di tempat-tempat persembunyian karena berada dalam ketakutan yang amat besar. Sekejap Kupang menjadi kota yang diliputi asap dari sejumlah kendaraan dan tempat ibadah yang dibakar. Kupang yang semula berhias keramaian anak-anak dari bermacam-macam klan dan marga serta agama sontak berubah menjadi kota mati yang dihantui ketakutan dan kecurigaan karena sebagian besar penghuninya enggan keluar rumah karena dihantui perasaan takut dan was-was. Peristiwa kelam tersebut kini sudah menjadi sejarah kelam provinsi yang bertetangga dekat negara Timor Leste ini. Penanganan yang sangat arif dari berbagai elemen baik Pemerintah, para Tokoh Agama serta masyarakat setempat berhasil meredam peristiwa itu. Berkat kerjasama dan koordinasi yang sangat bagus antar berbagai elemen yang ada, kekacauan berhasil dilokalisir sehingga tidak bereskalasi lebih luas.
108
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kedua kelompok ini berasumsi bahwa peristiwa Kupang Kelabu sesungguhnya dilatari oleh sentimen agama. Kejadian naas tersebut merupakan akibat dari rendahnya kesadaran masyarakat beragama dalam menyikapi perbedaan agama. Peristiwa kelabu ini paling tidak mempengaruhi kadar kekentalan hubungan antar umat Kristen (Katolik dan Protestan) dengan umat muslim di Kota Kupang. Karena itu, tanpa sedikitpun berpretensi untuk membangkitkan kembali luka tersebut, Penelitian Aksi Partisipatoris (Participatory Action Research - PAR) ini lebih pada tujuan untuk menggali data dan informasi serta penyebab primer terjadinya konflik tersebut untuk kemudian dianalisis lebih lanjut demi merajut kota Kupang yang bercorak majemuk di mana hidup dan berkembang sekian banyak kelompok etnik dan sub-etnik (suku, marga, fam); serta penganut enam agama besar yakni Katolik, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan Khonghucu menuju Kupang kota damai. 1. 2.
3.
Aspek Tahap Konflik Etnoreligius Nama Program dan Kegiatan Persoalan yang hendak dijawab oleh program
Catatan Pasca konflik/stabil Merajut Damai Di Kota Kupang; Telaah Konflik Kerusuhan Kupang 1998 a. Identifikasi persoalan konflik bernuansa SARA. b. Analisa data dan fakta kejadian konflik. c. Menemukan solusi konflik. d. Merumuskan agenda kegiatan dalam upaya meredam konflik bernuansa sara.
109
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
4. Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan
110
e. Terbentuknya kader-kader perdamaian a. Dialog damai. b. Sterilisasi Informasi dengan program pemberdayaan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, dan Pemerintah dalam meredam issue-issue sensitif di masyarakat bekerjasama dengan Media Massa c. Bangun semua kegiatan dalam bentuk apapun dengan melibatakan semua elemen baik pemerintah, masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dll. d. Sebarkan meteri kerukunan keseluruh jaringan masyarakat melalui dialog dan penyuluhan. e. Meeting/pertemuan dari semua tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat pemuda, mahasiswa mensosialisasikan pesan– pesan perdamaian, tanpa mengungkit kembali kejadian masa lalu. f. Pesan keluarga terutama orang tua untuk mendidik kepada putra putrinya dengan keberagamaan
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
5. Pendekatan dan metode yang digunakan
6. Pihak yang terlibat dan berperan dalam program
sehingga timbul dalam masyarakat rasa saling asah, asih dan asuh antara satu dengan yang lain dan saling menghormati melalui pendidikan formal dan non formal. g. Fungsikan kembali forum komunikasi umat beragama. h. Sebarkan bahwa perbedaan dan keberagaman adalah hiasan hidup, dengan berbeda orang melihat keberagaman sebagai pemicu menuju keberhasilan, dengan keberagaman pula orang akan mengetahui itulah ‛rahmat‛. Agama menjadi filter hidup yang selalu mengajarkan kebaikan dan tidak pernah mengajarkan kejahatan. Pendekatan PAR dengan teknik : a. Analisis peta konflik b. Analisis sejarah konflik c. Analisis 3P d. Analisis sebab akibat a. Tim PAR b. Pemuda lintas agama (Katolik, Kristen, Islam, Hindu dari kelurahan di Kota Kupang)
111
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
7.
8.
112
Hal-hal yang mendukung keberhasilan program
Hasil di tiap tahapan dan mengapa bisa berhasil
c. Kader perdamaian d. Tokoh masyarakat /Agama/FKUB setempat. a. Pemerintah pusat, daerah (kota, kecamatan, dan kelurahan). b. Tokoh-tokoh agama dari lintas agama c. Tokoh pemuda lintas agama d. Tokoh masyarakat lintas agama e. Masyarakat beragama a. Terbentuknya Kader Perdamaian sebanyak 12 orang pemuda lintas agama dan telah membentuk kelompok dengan ketua Bapak Sofyan Abdurahman dengan sekretarisnya Ibu Wayan Seruni dengan anggota-anggotanya sebanyak 10 orang yang akan melakukan pertemuan secara berkala minimal sebulan sekali. b. Melakukan penyuluhan tentang hal positif dari semua Agama untuk membangun kerukunan.
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kelompok III Konflik Kupang Kelabu di Kota Kupang (2) Aspek Tahapan Konflik Nama program dan kegiatan Persoalan yang hendak dijawab oleh program
Bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan
Pendekatan dan metode yang digunakan
Pihak yang terlibat dan berperan dalam program
Catatan Pasca konflik/stabil Merajut Kupang Kota Kasih Menemukan klasifikasi masyarakat kota Kupang berdasarkan etnis dan agama Menemukan potensi yang mengganggu relasi antar kelompok masyarakat Merumuskan agenda kegiatan dalam upaya membangun hubungan yang hamonis antar masyarakat 1. Dialog damai 2. Membentuk Forum Kerukunan Pemuda Lintas Agama Pendekatan PAR dengan teknik : Analisis Peta sebaran Peta Konsentrasi Masyarakat Kota Kupang Analisis Potensi Konflik Lokal Analysis Tim PAR Tokoh masyarakat dari berbagai elemen masyarakat Kota Kupang Pemerintah Kota Kupang Para pimpinan lembaga agama Ormas Kepemudaan Agama dan Etnis
113
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Hal-hal yang mendukung keberhasilan program Hasil di tiap tahapan dan mengapa bisa berhasil
Dukungan pemerintah Warga Masyarakat Terbentuknya kader perdamaian Diterimanya program damai Terbangunnya komunikasi dan relasi yang harmonis warga masyarakat yang sangat majemuk
Kelompok IV Konflik Musiman Mahasiswa/Pemuda Etnis Alor & Sumba di Oesapa, Kupang Kelompok ini memilih konflik laten musiman antara mahasiswa Alor dan mahasiswa Sumba. Konflik ini telah memakan banyak korban, yaitu terbakarnya beberapa asrama (kontrakan mahasiswa), hingga menelan korban jiwa Frederikus Lusa Sabara, mahasiswa asal Belu, pada 6 Maret 2010. Ia terluka oleh panah sampai meninggal. Walaupun konflik ini telah diselesaikan oleh kedua belah pihak difasilitasi oleh pemerintah, aparat keamanan, dan tokoh adat, namun perdamaian yang ada lebih mengesankan hanya sebatas perdamaian formal level atas, sedangkan para aktor konflik masih tetap menyimpan dendam lama akibat pengalaman konflik yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya antar dua etnis mahasiswa ini. Peristiwa yang berawal dari pesta perayaan wisuda mahasiswa Undana di mana beberapa orang minum-minum sampai mabuk ini berujung terjadi peristiwa saling dorong mendorong/saling senggol, dan saling lempar batu di wilayah Rt. 15 dan 16 di RW 06 kelurahan Oesapa.
114
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kesalahpahaman itu berlanjut, dan beberapa kali meletus berupa penyerbuan dan pembakaran asrama-asrama yang identik dengan tempat berkumpulnya mahasiswa Alor maupun asrama mahasiswa Sumba. No 1 2 3
Aspek Tahapan Konflik Etnoreligius Nama program Permasalahan yang Dijawab
4 5
Bentuk Kegiatan Pendekatan dan Metode PAR
6
Pihak Terlibat
7
Hal yang Mendukung Keberhasilan
8
Hasil Kegiatan
Catatan Deeskalasi menuju stabil Kupang kota Kasih Identifikasi persoalan konflik kedua etnis Analisa data dan fakta kejadian konflik Menemukan solusi konflik kedua etnis Merumuskan agenda kegiatan dalam upaya meredam konflik kedua etnis Dialog damai Analisis sejarah konflik Analisis 3P Analisis sebab akibat Tim PAR Pihak yang terlibat (Alor, Sumba, Belu) Tokoh masyarakat dan pemerintah setempat Pihak keamanan Dukungan pemerintah setempat Warga dari kelompok konflik Terbentuknya kader perdamaian
115
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
Diterimanya program damai untuk dua etnis Terbangunnya kembali komunikasi dan relasi sosial yang sehat.
Sehubungan berakhirnya acara FGD, ada beberapa catatan yang tersisa, yaitu: a. Secara umum, FGD ini berjalan dengan baik dan lancar. Representasi keragaman agama dan etnik juga terwakili dengan hadirnya para peserta yang diharapkan. b. Namun, soal pemilihan peserta FGD perlu dilihat ulang mekanisme dan persiapannya. Dalam kasus Kupang, peserta didominasi oleh pejabat di Wilayah Kantor Wilayah Kementerian Agama, yang meskipun merepresentasi keragaman, agak sulit diharapkan keberlanjutan keterlibatannya dalam isu ini. Mungkin juga harus ada semacam mekanisme screening awal dalam memperoleh peserta dan memperoleh komitmen keseriusan peserta. c. Kelemahan utama terletak pada kurangnya waktu, berbanding dengan padatnya materi yang harus disampaikan, karena masing-masing materi membutuhkan simulasi dan praktek penerapan. Materi yang termuat dalam buku terlalu banyak dan padat, sehingga tidak tereksplorasi secara tuntas dalam FGD 3 hari. Di samping itu, ada beberapa kebingungan kategoris dan overlapping ketika beberapa pendekatan dalam analisis kasus dipraktikkan secara langsung.
116
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
d. Karena rata-rata peserta juga relatif baru dalam melakukan penelitian, apalagi dengan metode PAR yang baru diperkenalkan, maka pada tingkat praktik penerapan masih membutuhkan diskusi panjang di masing-masing kelompok. e. Secara umum, metode PAR berhasil menstimulasi keterlibatan dan awareness kelompok sasaran terhadap persoalan konflik yang ada, dan memunculkan spirit untuk turut mencari solusi terhadap konflik tersebut. f.
Ketidakjelaskan juklak dan juknis pelaksanaan program (atau kurangnya informasi tentang program) mempengaruhi proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai, yang akhirnya mempengaruhi substansi dan validitas hasil penelitian. Ini nampak pada ketidaksiapan panitia lokal (Kanwil) dalam pelaksanaan program.
g. Buku panduan tidak disusun dengan kerangka fasilitasi FGD atau TOT. Buku tersebut bukan merupakan modul. Jadi harus ada semacam buku pendamping lain/pertemuan pra-FGD/TOT yang membahas strategi fasilitasi dan framing issu. Harus dibedakan antara orientasi menciptakan kader perdamaian dengan orientasi penyelesaian konfliknya secara khusus. h. Fasilitator pusat yang berjarak dengan kasus konflik yang diteliti justru berimplikasi positif dalam mengeliminir bias informasi maupun keberpihakan. Fasilitator lebih leluasa untuk setia terhadap metodologi dan framing. Format kegiatan (FGD) yang sekali selesai tidak memungkinkan peserta yang terlibat (Tim PAR) melakukan kajian
117
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
lapangan dan proses check and recheck terhadap data dan fakta yang ada. Refleksi Beberapa hal yang dapat dipelajari dari FGD dan PAR adalah: a. Secara umum, metode PAR berhasil menstimulasi keterlibatan dan awareness kelompok sasaran terhadap persoalan konflik yang ada, dan memunculkan spirit untuk turut mencari solusi terhadap konflik tersebut. b. Ketidakjelaskan juklak dan juknis pelaksanaan program (atau kurangnya informasi tentang program) mempengaruhi proses pelaksanaan dan hasil yang dicapai, yang akhirnya mempengaruhi substansi dan validitas hasil penelitian. Ditambah lagi, plafon dan struktur anggaran dari Puslit yang seragam serta terbatasnya waktu membuat program Tim PAR (daerah) di lapangan tidak fleksibel dan bekerja secara terburu-buru. c. Terbatasnya waktu juga membuat kerja monitoring tidak maksimal. Apalagi kegiatan lapangan (empat kegiatan/ empat kelompok) dilakukan dalam waktu yang sama. d. Karena rincian metodologi yang ditawarkan oleh buku PAR terlalu banyak, maka ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi Tim PAR untuk menerapkannya di lapangan. Banyak metodologi yang sudah dipelajari, namun kemudian diabaikan ketika berhadapan langsung dalam forum yang memediasi pihak-pihak yang berkonflik. e. Karena sebagian Tim PAR adalah aktor yang terlibat kasus secara langsung, atau sudah memiliki informasi awal
118
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
tentang kasus konfliknya, terjadi bias keberpihakan dan bias informasi dalam melihat kasus yang ditangani. f.
Forum dialog dan pelaksanaan PAR di tempat khusus yang netral dan jauh dari lokasi konflik menghasilkan nuansa dan hasil yang berbeda dibandingkan dengan forum yang dibuat di lokasi tempat konflik:
1) Forum di tempat yang berjarak dengan konflik lebih kondusif untuk menerapkan beberapa metode PAR secara disiplin. Namun karena berjarak dengan situasi dan atmosfir konfliknya, suasana yang terbangun tidak terlalu cair dan cenderung formal, sehingga perlu strategi lebih jauh untuk mencairkan suasana. 2) Forum damai yang dilaksanakan di lokasi di mana konflik terjadi dengan pihak-pihak yang berkonflik secara langsung memiliki kelemahan penerapan metodologi yang disiplin. Namun di sisi lain sangat efektif untuk membangun suasana dan ingatan peserta tentang konflik yang dianalisis. Di samping itu, suasananya lebih cair sehingga lebih efektif mengklarifikasi simpang siurnya informasi dan mengeliminasi prejudice dan stereotipe. 3) Dalam kasus Kupang, Tim Monitoring (yang juga fasilitator) tidak hanya memonitor, namun juga mengintervensi kegiatan dan mengusulkan forum pleno untuk melakukan evaluasi bersama terhadap kinerja Tim PAR di lapangan, karena desain monitoring semata tidak memberi ruang pertanggungjawaban, feedback, dan evaluasi terhadap Tim PAR
119
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
c. Lesson Learned Kegiatan Resolusi Konflik Deskripsi Kasus Bermula dari ide aksi perkabungan atas apa yang terjadi di Ketapang dan daerah-daerah lain. Aksi diinisiasi oleh GMKI, GAMKI, Pemuda GMIT, PMKRI. Aksi tersebut juga bagian dari kanalisasi keresahan dan kemarahan sebagian warga terhadap apa yang terjadi di daerah lain tersebut. Beberapa hari sebelumnya keresahan mewarnai komunitaskomunitas tertentu. Bahkan konon ada semacam penyebaran rekaman pidato di beberapa komunitas yang ‚memanasi‛. Ide disahuti dan didukung oleh gereja-gereja dengan menyelenggarakan misa di hampir semua gereja yang ada, dan misa bersama sore harinya. Juga disepakatinya hari tersebut sebagai hari libur oleh sebagian masyarakat. Provokasi terjadi ketika aksi tengah dilakukan, oleh orang-orang tak dikenal. Beberapa fakta provokator yang diungkap sebagai terorganisir. Pengendara motor yang meneriakkan pembakaran gereja di tengah komunitas Kristen, dan meneriakkan pembakaran masjid di tengah komunitas muslim. Sejumlah pemuda tak dikenal yang berpawai sepanjang jalan dengan parang, golok dan kayu di tangan, dan menutup jalan-jalan yang ada, melempari kios-kios tertentu, membakar masjid dan gedung tertentu. Sejumlah anak tanggung (setingkat SMP) yang nampak tak terkendali (kemungkinan mabok atau disuntik obat kimia perangsah tertentu yang membuat mereka tidak mengenal rasa takut). Mengalirnya isu pembakaran, penyerangan, penghancuran masjid atau gereja tertentu yang tak jelas sumbernya,
120
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
selama beberapa hari. Polisi yang memberikan informasi palsu dan bahkan menyuruh membakar rumah-rumah yang belum terbakar. Massa terprovokasi dan tidak terkendali. Beberapa masjid, kios, motor, mobil, dan rumah-rumah penduduk, terutama komunitas Sulawesi Selatan menjadi korban perusakan dan pembakaran. Tidak ada korban jiwa, dan tidak ada yang menjadikan warga sebagai sasaran, kecuali di beberapa tempat di mana terjadi perlawanan. Ada beberapa terluka. Warga sasaran secara umum menghindar dan meninggalkan wilayahnya. Beberapa inisiatif pemulihan Kesigapan tokoh-tokoh agama dan pemuda bersama pemerintah dan aparat untuk turun lapangan meredam langsung dan membuka blok-blok penghalang jalan. Kesigapan warga mayoritas untuk melindungi dan mengamankan warga lain yang terancam, dengan berbagai cara Faktor Dominan Konflik Provokasi dari pihak lain yang tak dikenal. Namun juga tak diusut tuntas dalang dibalik kerusuhan tersebut. Konteks euforia reformasi. Konteks konflik di daerah lain sebelumnya yang ditayangkan oleh media, terutama televisi, yang memunculkan keresahan dan membakar amarah. Ketimpangan ekonomi sosial dan kecemburuan yang menjadi bensin yang mudah disulut. Sumber dan Potensi Konflik 1. Konteks konflik dan diskriminasi di daerah lain.
121
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
2. Heterogenitas masyarakat dan posisi Kupang sebagai wilayah tujuan migrasi 3. Heterogenitas aliran keagamaan (denominasi). 4. Komunalitas kesukuan. 5. Politisasi agama. 6. Pola keberagamaan masyarakat akibat masuknya pemahaman agama dari luar, terutama dalam konteks Islam. 7. Ketimpangan ekonomi antara warga asli dan pendatang, terutama dalam konteks komunitas Sulawesi Selatan. 8. Kesenjangan budaya antara warga asli dan pendatang. 9. Politik dominasi. Faktor Dominan Penyelesaian Konflik Kuatnya ketahanan dan kekerabatan masyarakat sehingga konflik tidak meluas. Tidak adanya korban jiwa Kesadaran yang muncul cepat bahwa isu-isu provokasi tidak terbukti Kesadaran kerugian bersama akibat konflik Kesigapan semua pihak untuk meredam konflik Sumber dan Potensi Damai Sejarah kekerabatan dan kawin-mawin. Kedewasaan beragama
Bertemunya kepentingan real semua warga masyarakat, terutama dalam hal ekonomi.
122
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Political will dari pemerintah dan aparat. Munculnya inisiatif-inisiatif dan lembaga-lembaga sosial lintas agama. Aktor Perdamaian 1. Jajaran pemerintah dan aparat 2. Tokoh agama 3. FKUB 4. Pemuda 5. Tokoh komunitas c. Lesson Learned Ikatan kekeluargaan dan kekerabatan yang terjadi secara alamiah menjadi faktor yang sangat kuat bagi ketahanan sosial masyarakat. Tidak ada daerah atau wilayah yang tidak mengandung kerentanan konflik. Kebebasan informasi di satu sisi menjadi stimulasi bagi kesadaran politik masyarakat daerah, namun di sisi lain juga menstimulasi munculnya persoalan dan kecurigaan antar kelompok masyarakat Kedewasaan masyarakat dalam beragama dan dalam menyikapi dampak konflik menjadi faktor pembelajaran penting untuk menjaga perdamaian. Inisiatif lokal dan kultural di tingkat masyarakat untuk merawat kebersamaan dan perdamaian jauh lebih signifikan pengaruhnya daripada inisiatif kelompok elite yang cenderung seremonial dan formalis.
123
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
d. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Kota Kupang dan NTT secara umum adalah kota dengan heterogenitas yang cukup tinggi, namun punya akar sejarah toleransi yang kuat. Hubungan kekerabatan lintas agama yang telah terjadi pada dasarnya tidak memungkinkan konflik atas nama agama muncul di Kupang. Konflik agama potensial terjadi jika berkelit kelindan dengan isu etnisitas dan ketimpangan sosial. Konflik Kupang Kelabu, meski menjadi catatan hitam perjalanan Kupang, namun juga menjadi pembelajaran penting bahwa konflik akan merugikan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Masih terdapat konflik-konflik kecil yang diakibatkan oleh ‚kenakalan remaja‛, namun potensial menjadi konflik antar kelompok (suku, agama) jika disulut dan tidak segera dilokalisir. Peran tokoh-tokoh agama, formal maupun informal, menjadi salah satu tiang penopang terpeliharanya kondisi damai. Gerakan lintas agama yang diinisiasi oleh KOMPAK menjadi model tersendiri proses pencairan kebekuan antar kelompok muda lintas agama. Rekomendasi 1. Meski kondisi perdamaian di Kupang sangat dominan, namun potensi konflik tetap ada dan jika tidak dikelola dengan baik, akan sangat bisa dimanfaatkan untuk memicu konflik. Karena itu semua pihak tetap harus aware terhadap kerentanan yang ada. 2. Pemerintah harus membangun dialog lintas agama dan lintas suku yang tidak hanya normatif dan formalis, namun dialog kultural yang cair.
124
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
3. FKUB harus terus didukung untuk membangun dialog dan kerja kultural yang sudah dimulai, dan meluaskannya menjadi gerakan yang lebih meluas. 4. Kelompok pemuda lintas agama harus didukung dan difasilitasi dalam turut serta memelihara dan meningkatkan kondisi harmoni. DAFTAR PUSTAKA Riza Sihbudi & Moch Nurhasim (Editor), 2001, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Grasindo. Musahadi HAM dkk, 2007, Mediasi & Resolusi Konflik di Indonesia, WMC & IAIN Walisongo Semarang. Badan Pusat Statistik, 2010, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka, BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur.
125
II. Resolusi Konflik Etno Relijius
126
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
BAB III BINA DAMAI ETNORELIJIUS A. Bina Damai Etnorelijius di Kota Medan Di Kota Medan sekalipun penduduknya heterogen dari segi suku, budaya maupun agama, namun kehidupan umat beragamanya relatif kondusif. Keragaman tersebut betapapun, dimungkinkan dapat menimbulkan konflik di kalangan umat beragama jika tidak dilakukan pemeliharaan kerukunan. Menyadari hal itu Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melalui Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 yang lalu melaksanakan program Peace Building dengan pendekatan Focus Group Discussion (FGD) bagi para pemuka agama sebagai calon jejaring pembimbing forum kedamaian, yang selanjutnya untuk diperluas kepada para tokoh agama lainnya melalui pendekatan Partisipatory Action Research (PAR). 1.
Gambaran Wilayah
Kota Medan - sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara secara geografis terletak antara 3 30’ s/d 3 43’ Lintang Utara dan 98 35’ s/d 98 44’ Bujur Timur. Topografi tanahnya cenderung miring ke Utara dan terletak di ketinggian 2,5 meter s/d 37,5 meter di atas permukaan laut. Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan, sebelah Timur dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Deliserdang. Luas wilayah Kota Medan 26.510 hektar atau 265,10 km2, sekitar 3,6 % dari luas seluruh wilayah Provinsi
127
III. Bina Damai Etnorelijius
Sumatera Utara. Secara administratif wilayahnya terbagi menjadi 21 kecamatan, 151 kelurahan dan 2001 lingkungan. Salah satu di antara kecamatan di Kota Medan adalah Kecamatan Medan Denai. Jumlah penduduk Kota Medan pada tahun 2010 berdasarkan Sensus Penduduk 2010 yang diselenggarakan oleh BPS Kota Medan, sebanyak 2.097.610 jiwa, terdiri atas 1.036.926 laki-laki dan 1.060.684 perempuan. Dilihat dari segi etnis, menurut penuturan para informan sebagian besar penduduk terdiri atas suku pendatang. Penduduk suku Jawa menempati posisi jumlah mayoritas yakni sekitar 20% dari jumlah seluruh penduduk Kota Medan. Jumlah terbesar kedua yaitu suku Batak dan Mandailing. Suku Melayu yang merupakan penduduk asli Medan, menempati posisi jumlah ketiga. Kemudian menyusul suku Minang, setelah itu suku-suku lain yang ada di Indonesia. Demikian penuturan para informan dari unsur masyarakat dan pejabat setempat. Tidak ada data kongkrit yang secara akurat dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menggambarkan prosentase jumlah masing-masing etnis. Namun sekedar untuk memberikan gambaran umum tentang peta komposisi penduduk menurut etnis, informasi dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan unsur pejabat Pemda di atas, kiranya cukup memadai. Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi terluas dari 33 provinsi di Nusantara. Terdiri dari 25 kabupaten dan 8 kota. Dihuni berbagai Suku. Kabupaten/Kota dimaksud berikut sukunya adalah: Asahan (Melayu), Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga (Melayu, dan Batak), Dairi (Batak), PakPak (Batak), Karo (Batak) Angkola (Batak), Mandailing
128
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
(Batak), Langkat (Melayu), Nias, Muara Sipongi (Batak), Pesisir Natal (Melayu dan Batak), Siladang (Batak), Simalungun (Batak), Toba (Batak Tapanuli Utara Lama) dan sekarang Ibu Kotanya Tarutung. Semenjak pemekaran bertambah dengan kabupaten Humbang Hasundutan, Toba Samosir, dan Samosir. (Lihat M.Yunus Meulalatoa, 1995:XIX). Sumatera Utara memiliki tanah lahan produktif yang luas dan umumnya sangat subur, begitu juga memiliki pantai yang panjang di pesisir Timur yakni Selat Malaka dan pesisir pantai Barat yakni Lautan Hindia. Dengan demikian maka sekarang para petani dan nelayan, tukang, penjaja dan pengusaha banyak yang migrasi ke provinsi ini dari berbagai suku bangsa di Indonesia; Aceh, Minang, Jawa, Sunda, bahkan dari negara jiran; Malaysia, Brunai, Philipina, Thailand, Cina, Australia, India, Bangkadesh, dan Timur Tengah. Kecamatan Medan Denai secara geografis terletak di posisi bagian Tenggara Kota Medan. Secara administratif menjadi bagian dari wilayah Kota Medan, yakni salah satu kecamatan dari 21 kecamatan di Kota Medan. Batas-batas wilayahnya, sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Medan Tembung, sebelah Selatan dengan Kecamatan Medan Amplas, sebelah Timur dengan Kabupaten Deliserdang dan sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area. Luas wilayah Kecamatan Medan Denai 9,05 km2, terbagi menjadi 6 kelurahan dan 82 lingkungan. Jumlah penduduk Kecamatan Medan Denai pada tahun 2010 berdasarkan Sensus Penduduk BPS Kota Medan 2010, sebanyak 141.395 jiwa dengan kepadatan penduduk 15,624/km². Jumlah tersebut
129
III. Bina Damai Etnorelijius
pada tahun 2011 berdasarkan Data Keagamaan Kantor Kemenag Kota Medan, meningkat menjadi 160.441 jiwa. Sebagai bagian dari wilayah Ibukota Provinsi, penduduk Kecamatan Medan Denai tidak luput dari keberadaan para pendatang dari daerah lain yang kemudian menetap menjadi penduduk Kecamatan Medan Denai. Bahkan sebagian besar penduduk berasal dari pendatang. Etnis Melayu yang merupakan penduduk asli Kecamatan Medan Denai dan Kota Medan pada umumnya, justru terlihat tidak dominan. Berdasarkan hasil penuturan para informan, dapat dipetakan bahwa sebagian besar penduduk terdiri atas suku Minang (sekitar 30%), kemudian suku Jawa (sekitar 20%), suku Batak secara umum (20%), khusus Batak Mandailing (10%), suku Melayu 10% dan 10% selebihnya yaitu suku lainnya. Sosial Ekonomi, Budaya dan Politik Heterogenitas lintas suku-suku bangsa dan dinamika kehidupan masyarakat, serta ragam keberagamaan sangat tercermin di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara ini. Sejarah kelahiran, geografis dan demografis, serta kecamatan yang lebih tipikal daripada kecamatan lainnya dalam strategi mensikapi aktivitas pelbagai kesukubangsaan serta keberagamaan hingga benih-benih konflik dapat berbuah manis kerukundamaian dapat diketahui dari uraian berikut. Berdasarkan berbagai sumber bacaan, sejarah kota Medan tidak dapat dilepaskan dari cerita awal Kesultanan Deli dan tentu saja Kota Medan itu sendiri. Dalam buku The History of Medan tulisan Tengku Luckman Sinar (1991), dinukilkan bahwa menurut ‚Hikayat Aceh‛, Medan sebagai pelabuhan telah ada pada tahun 1590, dan sempat dihancurkan selama serangan Sultan Aceh Alauddin Saidi
130
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Mukammil terhadap Raja Haru yang berkuasa di situ. Gempuran serupa dilakukan Sultan Iskandar Muda tahun 1613, terhadap Kesultanan Deli. Sejak akhir abad ke-16, nama Haru berubah menjadi Ghuri, dan akhirnya pada awal abad ke-17 menjadi Deli. Pertempuran terus-menerus antara Haru dengan Aceh mengakibatkan penduduk Haru jauh berkurang. Sebagai daerah taklukan, banyak warganya yang dipindahkan ke Aceh untuk dijadikan pekerja kasar. Selain dengan Aceh, Kerajaan Haru yang makmur ini juga tercatat sering terlibat pertempuran dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaka. Juga serangan dari kerajaan yang terdapat di Pulau Jawa. Serangan dari Pulau Jawa ini antara lain tercatat dalam kitab Pararaton yang dikenal dengan Ekspedisi Pamalayu. Dalam Negara Kertagama, Mpu Prapanca juga menorehkan bahwa selain Pane (Panai), Majapahit juga menaklukkan Kampe (Kampai) dan Harw (Haru). Berkurangnya penduduk daerah pantai timur Sumatera akibat berbagai perang ini, lalu diikuti dengan mulai mengalirnya suku-suku dari dataran tinggi pedalaman Sumatera. Suku Karo bermigrasi ke daerah pantai Langkat, Serdang, dan Deli. Suku Simalungun ke daerah pantai Batubara dan Asahan, serta suku Mandailing ke daerah pantai Kualuh, Kota Pinang, Panai, dan Bilah. Ini adalah versi pertama sejarah Medan. Artinya, tahun 1590 dianggap sebagai salah satu tonggak kelahiran kota ini. Dalam Riwayat Hamparan Perak yang dokumen aslinya ditulis dalam huruf Karo pada rangkaian bilah bambu, tercatat Guru Patimpus, tokoh masyarakat Karo, sebagai yang
131
III. Bina Damai Etnorelijius
pertama kali membuka ‚desa‛ yang diberi nama Medan. Namun, naskah asli Riwayat Hamparan Perak yang tersimpan di rumah Datuk Hamparan Perak terakhir telah hangus terbakar ketika terjadi ‚kerusuhan‛ sosial, tepatnya tanggal 4 Maret 1946. Patimpus adalah anak Tuan Si Raja Hita, pemimpin Karo yang tinggal di Kampung Pekan (Pakan). Ia menolak menggantikan ayahnya dan lebih tertarik pada ilmu pengetahuan dan mistik, sehingga akhirnya dikenal sebagai Guru Patimpus. Antara tahun 1614-1630 Masehi, ia belajar agama Islam dan diislamkan oleh Datuk Kota Bangun, setelah kalah dalam adu kesaktian. Selanjutnya Guru Patimpus menikah dengan adik Tarigan, pemimpin daerah yang sekarang bernama Pulau Brayan dan membuka Desa Medan yang terletak di antara Sungai Babura dan Sungai Deli. Dia pun lalu memimpin desa tersebut. Oleh karena itu, nama Guru Patimpus saat ini diabadikan sebagai nama salah satu jalan utama di Kota Medan. Versi lain sejarah Kota Medan ini hanya melahirkan ketokohan Guru Patimpus dalam berdirinya Kota Medan. Versi ini tidak menghasilkan sebuah tanggal atau tahun. Menurut Hikayat Deli, seorang anak raja satu kerajaan di India yang bernama Muhammad Dalik, perahunya tenggelam di dekat Kuala Pasai sehingga ia terdampar di Pasai, daerah Aceh sekarang. Tidak lama sesudah ia datang di Aceh, Sultan Aceh mengalami kesulitan untuk menaklukkan tujuh laki-laki dari
132
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kekaisaran Romawi Timur yang membikin kekacauan. Dalik berhasil membunuh para pengacau tersebut satu persatu. Sebagai penghargaan atas keberhasilannya membunuh para pengacau tersebut, Sultan memberinya gelar Laksamana Kud Bintan dan menunjuknya sebagai Laksamana Aceh. Atas berbagai keberhasilannya dalam pertempuran akhirnya ia diangkat sebagai Gocah Pahlawan, pemimpin para pemuka Aceh dan raja-raja taklukan Aceh. Beberapa tahun kemudian, Dalik meninggalkan Aceh dan membuka negeri baru di Sungai Lalang-Percut. Posisinya di daerah baru adalah sebagai wakil Sultan Aceh di wilayah bekas Kerajaan Haru (dari batas Tamiang sampai Sungai Rokan Pasir Ayam Denak) dengan misi, menghancurkan sisasisa pemberontak Haru yang didukung Portugis, menyebarkan Islam hingga ke dataran tinggi, serta mengorganisir administrasi sebagai bagian dari Kesultanan Aceh. Untuk memperkuat posisinya ia menikahi adik Raja Sunggal (Datuk Itam Surbakti) yang bernama Puteri Nang Baluan Beru Surbakti, sekitar 1632 M. Pengganti Gocah, anaknya yang bernama Tuanku Panglima Perunggit pada tahun 1669 M, memproklamasikan berdirinya Kesultanan Deli yang terpisah dari Aceh, serta mulai membangun relasi dengan Belanda di Malaka. Berdirinya Kesultanan Deli ini juga salah satu cikal berdirinya Kota Medan. Nama Deli sesungguhnya muncul dalam ‚Daghregister‛ VOC di Malaka sejak April 1641, yang dituliskan sebagai Dilley, Dilly, Delli, atau Delhi. Mengingat asal Gocah Pahlawan dari India, ada kemungkinan nama Deli itu berasal dari Delhi, nama kota di India.
133
III. Bina Damai Etnorelijius
Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1641, ketika sebuah kapal yang dipimpin Arent Patter merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin mulus. Tahun 1863 Kapal Josephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di Kesultanan Deli. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah 4.000 bau untuk kebun tembakau, dan mendapat konsesi 20 tahun. Begitulah awal cerita, yang berlanjut dengan masuknya ribuan tenaga kerja Cina, India, dan akhirnya Jawa untuk menggarap perkebunan-perkebunan Belanda. Melihat sekilas sejarah Kota Medan, tampak bahwa sejak zaman kuno, zaman Kerajaan Haru, Medan sudah menjadi tempat pertemuan berbagai kultur bahkan ras seperti Karo, Melayu (Islam), India, Mandailing, dan Simalungun. Sebagaimana terlihat dalam paparan di atas, proses itu bukannya berkurang, bahkan semakin kompleks sejak dibukanya perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara yang menghadirkan kuli kontrak baik dari India, Cina, maupun Jawa. Hingga saat ini, Medan, yang berarti tempat berkumpul tersebut, masih menjadi tempat berkumpul berbagai ras dan kultur yang berbeda-beda. Mengingat pengalamannya yang panjang sebagai melting pot, tidak heran jika hingga saat ini Medan masih dikenal sebagai daerah yang aman dari berbagai kerusuhan antar etnis. Semua ras dan etnis serta pranata keberagamaan di sini tidak ada yang ingin menonjol atau saling menjatuhkan. Di bidang ekonomi, matapencaharian sebagian besar penduduk adalah berdagang. Mereka pada umumnya terdiri atas orang-orang/suku Jawa, Batak dan Minang. Sebagian
134
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
yang lain bermatapencaharian sebagai pegawai swasta, penjasa dan buruh, serta pegawai negeri. Dilihat dari segi pendidikan, sebagian besar penduduk tamat SLTA. Sebagian yang lain tamat SLTP dan sebagian kecil tamat SD maupun perguruan tinggi/sarjana. Untuk kebutuhan pendidikan masyarakat, di Kecamatan Medan Denai terdapat 29 TK Swasta, 13 SD Negeri, 40 SD Swasta, 1 SMP Negeri, 15 SMP Swasta, 2 SMA Negeri, 11 SMA Swasta dan 4 SMK Swasta. Untuk pelayanan kesehatan masyarakat, terdapat 2 rumah sakit dan 4 Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Kehidupan Keagamaan Keberagamaan warga masyarakat Medan terdiri dari agama juridis politis formal; Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, dan Buddha. Sekarang termasuk Khonghucu. Sementara itu terdapat juga sistem kepercayaan lokal yakni Sipele Sumangot (Parmalim/Sipele Begu/Parbaringin) di Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah, di Kecamatan Lagu Boti Kabupaten Toba Samosir, serta di Kota Medan. Dilihat dari segi agama, sebagian besar penduduk yakni 1.402.176 jiwa atau sekitar 61,07% penduduk Kota Medan beragama Islam. Penduduk beragama Kristen menempati posisi jumlah terbesar kedua, yakni 579.171 jiwa atau sekitar 25,23%. Kemudian penduduk beragama Katolik dengan jumlah 208.383 jiwa atau sekitar 9,08%, penduduk beragama Buddha 64.357 jiwa atau 2,80%, Hindu 39.399 jiwa atau sekitar 1,72% dan penduduk beragama Khonghucu 2.470 jiwa atau 0,10 %.
135
III. Bina Damai Etnorelijius
Umat Islam sebagai komunitas mayoritas, memiliki rumah ibadat paling banyak dibanding dengan rumah ibadat umat lain, yakni masjid 1.037 buah dan mushalla 669 buah. Umat Kristen memiliki gereja 570 buah, umat Katolik memiliki gereja 64 buah, umat Hindu memiliki vihara 45 buah, umat Buddha memiliki kuil 26 buah dan umat Khonghucu memiliki klenteng 7 buah. Untuk pelayanan dan pembinaan keagamaan, masingmasing umat memiliki tenaga keagamaan. Umat Islam memiliki ulama 127 orang, muballigh 2.601 orang dan penyuluh agama 85 orang, sebagian besar yakni 67 orang berupa tenaga honorer. Umat Kristen memiliki pendeta 568 orang dan penyuluh 322 orang, 7 orang di antaranya berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Umat Katolik memiliki uskup 1 orang, pastur 31 orang, penyuluh 3 orang semuanya PNS, serta biarawati 370 orang. Umat Hindu memiliki pendeta 26 orang dan penyuluh 1 orang. Umat Buddha memiliki bikkhu 30 orang dan penyuluh 1 orang. Sedangkan Khonghucu memiliki pendeta 15 orang (Kantor Kemenag Kota Medan, Data Keagamaan, 2011). Kerukunan antarumat beragama di Kota Medan selama ini relatif kondusif. Demikian penuturan para informan. Kondisi demikian tercipta, antara lain berkat adanya upaya proaktif dari para pejabat setempat, para tokoh agama, tokoh masyarakat dan unsur masyarakar sendiri dalam memelihara kerukunan. Pernah terjadi kasus konflik namun sejauh ini dapat segera diatasi oleh pihak-pihak terkait bersama masyarakat sehinga kasusnya tidak meluas dan tidak menimbulkan keretakan hubungan antarumat beragama. Di antara kasus dimaksud misalnya kasus rencana pendirian kuil di
136
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kecamatan Medan Selayang pada tahun 2009 yang lalu. Rencana tersebut tidak mendapat persetujuan dari kalagan umat Kristen setempat, dengan alasan bahwa jika ada kuil di wilayahnya maka mereka akan merasa tergangu, tidak nyaman (bukan alasan keagamaan). Atas kasus tersebut kemudian FKUB Kota Medan melakukan pendekatan kepada kedua kelompok keagamaan terkait untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya kerukunan dan toleransi beragama. Akhirnya rencana pendirian kuil tersebut mendapat persetujuan masyarakat. Kasus lain yaitu beredarnya selebaran berisi antara lain penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW. Kasus selebaran yang berasal dari perorangan (bukan dari suatu lembaga keagamaan) itu dapat diatasi aparat bersama para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat sehingga tidak menimbulkan konflik berkepanjangan di kalangan umat beragama. Pernah pula ada kasus meledaknya bom di areal sebuah gereja yang terjadi pada tahun 2001-an (?). Tetapi kasus ini juga tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan di kalangan umat beragama. Dilihat dari segi agama, sebagian besar penduduk Kecamatan Medan Denai yakni 89.870 jiwa atau 56,01% beragama Islam. Penduduk beragama Kristen menempati posisi jumlah terbesar kedua, yakni 57.728 jiwa atau 35,98%. Kemudian berturut-turut penduduk beragama Katolik 9.921 jiwa atau 6,18%, Buddha 2.406 jiwa atau 1,50%, Hindu 411 jiwa atau 0,26% dan selebihnya Khonghucu 105 jiwa atau 0,07%. Untuk pusat kegiatan keagamaan, masing-masing umat beragama memiliki rumah ibadat. Rumah ibadat umat Islam terdiri atas masjid 72 buah, mushalla 31 buah. Umat Kristen
137
III. Bina Damai Etnorelijius
memiliki gereja 54 buah, umat Katolik memiliki gereja 2 buah dan umat Hindu memiliki vihara 1 buah. Untuk pembinaan dan penyiaran agama, masing-masing agama memiliki pemuka/tokoh agama. Umat Islam memiliki ulama 7 orang, muballigh 145 orang, serta penyuluh agama 5 orang, seorang di antaranya berstatus PNS. Pendeta Kristen 59 orang dan tenaga penyuluh honorer 19 orang. Umat Katolik memiliki pastor 2 orang. Umat Buddha memiliki bikshu 2 orang dan umat Khonghucu memiliki pendeta 2 orang (Data Keagamaan Kantor Kemenag Kota Medan, 2011). Selama ini hubungan antarumat beragama di Kecamatan Medan Denai cukup kondusif. Kehidupan antarumat beragama relatif rukun, nyaris belum pernah terjadi konflik terbuka antarumat beragama. Yang pernah terjadi justru konflik di kalangan internal umat beragama, sebagaimana pernah terjadi di kalangan umat Kristen ketika ada rencana pembangunan/pendirian gereja yang tidak disetujui oleh kelompok Kristen yang lain. Alasan pihak yang tidak setuju, lebih didasarkan atas adanya perbedaan aliran. Gereja yang akan didirikan itu dimotori oleh kelompok Kristen beraliran keagamaan ‚lokal Batak‛ yang disebut ‚Sipelebegu‛ (Penyembah syetan-Konsep Missionaris/Zending) dan penganut nya sendiri sering menyebutnya ‚Sipelesumangot‛ (Penyembah Arwah Leluhur) yang secara teologi eksistensi Tuhan terdiri dari ‚Opputta Debata Mulajadi Na Bolon‛ (Kakek/Nenek Tuhan Awal Kejadian), yang memiliki tiga Tuhan Ciptaannya hasil tetasan tiga telor ‚Manuk-Manuk Kulambu Jati‛(Ayam Kulambu Jati) yaitu ‚Debata Batara Guru‛ (Tuhan Batara Guru-Tinggal di dan pengatur Langit), Debata Bala Bulan (Tuhan Bala BulanTinggal di dan pengatur Bumi), Debata Bala Sori (Tuhan Bala
138
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Bulan-Tinggal di dan pengatur arwah-arwah yang telah meninggal di dunia arwah). Aliran ini dinilai oleh sebagian besar umat Kristen sebagai menyimpang dari ajaran pokok teologi Kristen yang bersentra pada ‚Trinity‛. Atas kesepakatan umat Kristen setempat bangunan fondasi gereja yang akan dibangun itu dirobohkan massa dengan cara damai, sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka. Kasus tersebut terjadi sekitar tahun 2005/2006. Demikian penuturan Pengurus FKUB Kota Medan. Kerukunan antarumat beragama di atas tercipta, antara lain berkat sikap proaktif dari unsur pemerintah, para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam upaya antisipatif terhadap kemungkinan terjadi konflik antarumat beragama. Upaya antisipasif itu mereka lakukan antara lain melalui kegiatan bersama antarumat beragama dalam rangka penguatan kebersamaan, seperti yang dilakukan oleh LPM Kelurahan Binjai melalui kegiatan Halal bi Halal bersama umat beragama yang diselengarakan di wilayah mereka. Selanjutnya suatu uji coba yang dimaksudkan untuk menggali dan membuktikan rahasia kekuatan kerukundamaian antar heterogenitas suku bangsa bahkan bangsa dan lintas iman keberagamaan penduduk kecamatan medan denai, Balitbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI bekerjasama dengan Kakanwil Kemenag Sumatera Utara dan Kankamenag Kota Medan serta FKUB Kota Medan, melakukan program Pease Keeping yang berintikan pendekatan metode Focus Group Discussion (FGD) bagi Pemuka-Pemuka Agama sebagai calon jejaring pembimbing forum kedamaian kecamatan Medan Denai dan kader ini memperluas kegiatan kepada tokoh-tokoh lainnya yang
139
III. Bina Damai Etnorelijius
terdapat di Kecamatan Medan Denai lewat pendekatan metode Partisipatory Action Research (PAR). 2. Dinamika Kegiatan Bina Damai Beberapa hari sebelum dilakukan pertemuan, sudah dilakukan diskusi antara pihak Balitbang dan Diklat Keagamaan Kemenag RI dengan Kakanwilkemenag Sumatare Utara, FKUB Provinsi Sumatare Utara, Kakemenag Kota Medan, FKUB Kota Medan serta Pemerintah Kecamatan Medan Denai. Diskusi dimaksudkan untuk mengkomunikasikan rencana program pease keeping terhadap pengurus organisasi-organisasi sosial keagamaan yang terdapat di Kecamatan Medan Denai dan menentukan mekanisme siapakah yang akan mewakili masing –masing organisasi sosial keagamaan yang terdapat di wilayah itu secara proprsional dengan jumlah keseluruhan 24 orang (Jumlah ini sesuai dengan kemampuan dana program Balitbang dan Diklat Keagamaan RI). Atas dasar itu komposisi peserta FGD adalah 1 dari MUI Kec; 1 dari Peng. NU; 1 dari Peng. AlWashliyah; 1 dari Peng. Al-Ittihadiyah; 1 dari Peng. Muhammadiyah; 1 dari Peng. BKPRMI; 1 dari Majlis Ta’lim Kaum Ibu; 1 dari Majlis Ta’lim Kaum Bapak; 1 dari Pemuda Gereja Protestan; 1 dari Wanita Gereja Protestan; 1 dari Bapak Gereja Protestan; 1 dari Peng. Gereja Kristen Protestan Indonesia; 1 dari Peng. Gereja Krist. Prot. Simalungun; 1 dari Pengurus Gereja Persekutuan Protestan; 1 dari Pengurus Harian Kristen Indonesia; 1 dari Pengurus BKAG; 1 dari Pengurus Gereja Bethel; 1 dari Pemuda Gereja Katholik; 1 dari Pengurus Wanita Katolik; 1 dari Pengurus Vihara Metta Jaya;
140
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dan 1 dari Pengurus HKBP; 1 dari Pengurus Khong Hu Cu; 1 dari Pengurus Hindu Dharma; 1 dari Pengurus Buddha. Pertemuan hari pertama, peserta ditempatkan di sebuah hotel agar lebih fokus selama 4 hari kegiatan. Pada tahap awal peserta belum begitu akrab, masih lebih mengelompok dengan yang seagama atau sefaham hingga sesekte. Akan tetapi setelah mulai duduk waktu break - snack dan makan serta dalam upacara, komunikasi semakin cair. Sebelum dilakukan kegiatan inti yaitu FGD dintara sesama mereka, diawali oleh pihak Kamenag melakukkan pembukaan dengan kegiatan: Laporan kegiatan oleh Tim Puslitbang Kehidupan Beragama oleh panitya; Sambutan Kepala Kanwil Kemenag SU sekaligus menjadi narasumber tentang bagaimana Pemerintah dan Tokoh-Tokoh Agama Sumatera Utara menciptakan kedamaian serta membuka acara secara resmi; Perkenalan dan kontrak belajar; penjelasan pelaksanaan kegiatan (arah, tujuan, target dan bentuk kegiatan. Petugas dalam kegiatan ini adalah fasilitator dan peserta dengan maksud lebih mencairkan suasana membangun keakraban serta menstimulasi ketertiban. Sebagai Ice breaking peserta didorong untuk saling menyebutkan nama, pekerjaan, utusan dari organisasi sosial keagamaan apa, dan sesudah memperkenalkan identitasnya dia sebutkan dulu nama teman sebelumnya, demikian selanjutnya orang yang paling belakang memperkenalkan dirinya akan menyebutkan semua nama teman sebelumnya. Dengan demikian semakin mudah mengingat diantara semua peserta. Selanjutnya peserta dibekali dengan materi dari nara sumber tentang fenomena kehidupan, keutuhan, konflik dan kerusuhan serta dibarengi dengan solusi secara proposisi konseptual dan
141
III. Bina Damai Etnorelijius
teoritis secara umum. Selanjutnya peserta diistirahatkan, sampai sarapan, dan waktu pertemuan hari ke dua. Pada pertemuan hari kedua, fasilitator memotivasi peserta FGD melakukan perkenalan diri satu sama lainnya dengan tekhnik peserta memperkenalkan identitas dirinya mulai dari nama lengkapnya, tanggal dan tempat lahirnya, tempat tinggal menetapnya terakhir, agamanya dan status perkawinannya, pekerjaannya serta cita-citanya untuk dirinya, Indonesia dan bangsanya. Selanjutnya peserta berikutnya memperkenalkan dirinya dengan lebih dahulu mengingatkan kembali kepada audiens nama teman sebelumnya, dan demikian pula peserta berkutnya sampai selesai seluruh peserta tersebut. Fasilitator memperkenalkan permainan sederhana tentang cara menebak satu benda dari sekian benda yang dikumpulkan sebagai bahan permainan dengan menggunakan kode kata atau jari penunjuk. Dalam penjelasan meliputi konflik agama, lapangan pekerjaan/bisnis (ekonomi), politik kekuasaan/pemilukada, penyerobotan penggunaan lahan, pemaksaan penggunaan bibit atau bahan yang menyulitkan. Konflik agama menyentuh soal penistaan agama, penghinaan atas kitab suci, pendirian rumah ibadah tanpa izin warga atau pengubahan fungsi rumah jadi rumah ibadah, peniadaan hak beribadah, melahirkan aliran atau faham keagamaan yang bermasalah atau sesat menurut faham umat beragama yang sudah mapan dan dapat etikolegal juridis politik formal negara. Ada juga mengatasnamakan agama dalam rangka tujuan politik kedudukan atau penonjolan etnis atau suku bangsa tertentu. Konflik lapangan pekerjaan/bisnis menyangkut diskiminasi
142
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
berupa pembatasan kesempatan bagi etnis atau suku bangsa tertentu terhadap suatu pekerjaan dan mendirikan tempat usaha (supermarket, indomart, alfamaret, superindo) di lokasi usaha masyarakat pengecer yang dapat mematikan pasar tradisional sehingga mempersempit peluang memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga mereka sebagai warga bangsa Indonesia yang juga harusa sejahtera. Sektor ekonomi lainnya adalah pemeliharaan ternak babi dipemukinan dimana disitu tetdapat juga perumahan muslim yang mengharamkan babi sehingga kurang menghargai nilai dan norma keregamaan penganutnya. Konflik kekuasaan/pemilukada adalah tidak menghiraukan demokrasi keprofesionalan kompetensi karier dalam memilih menetapkan personalia pada pisisi yang seharusnya, ketidakjujuran (pemaksaan serta manipulasi perhitungan suara) serta money politik serta janji-janji muluk yang palsu dalam pemilu legislatif dan eksekutif, maupun pemilukada gubernur dan bupati serta walikota. Konflik penyerobotan lahan/tanah berupa pengusiran warga masyarakat penghuni lahan oleh perusahaan atau pemerintah dengan alasan legalitas, atau pelarangan pemukiman dan penggunaan lahan pencaharian warga masyarakat di dan seputar hutan lindung. Konflik yang berasal dari pemaksaan penggunaan bibit atau bahan yang menyulitkan antara lain pemaksaan bibit padi yang bersumber dari hasil laboratorium pelbagai bibit padi produkksi unggul dengan uji coba yang semua aspek terkontrol dengan tersistem untuk menggantikan bibit-bibit lokal yang telah diserasikan Tuhan serasi dengan iklim setempat (padi di daerah pegunungan, sawah, pinggir sungai, pinggir hutan). Dari segi bahan seperti pemaksaan model dan bahan perumahan dinding beton, besi, dan atap
143
III. Bina Damai Etnorelijius
seng di daerah yang masih cukup potensil dengan kayu lokal, atap daun ilalang, daun rumbia atau pandan. Alur Sejarah Konflik Biasanya dimulai dengan adanya oknum atau kelompok tertentu yang melakukan perilaku yang menyakitkan, memalukan, menghilangkan milik, menghilangkan nyawa, hambatan peluang, malpraktis, keterlambatan pemecahan masalah, tuntutan berlebihan, hukuman tidak manusiawi dari orang atau kelompok lainnya. Lokasi konflik yang pernah terjadi antara lain di Poso, Ternate, Ambon, Sambas, Ketapang, Sampit, Timika, Aceh, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Makassar Sulawesi Selatan, Sampang Madura, Bima, Medan. Umumnya lokasi yang disebutkan terdahulu konfliknya berwujud kerusuhan, carut marut, kekerasan kecuali itu khususnya kota medan konflik tidak berwujud dengan kerusuhan, dan inilah yang menjadi landasan dilakukannya FGD dan PAR untuk menggali rahasia dibelakang manajemen konflik ke aras kohesi. Kajian sumber ekonomi dan mata pencaharian yang laten memicu konflik Sumber ekonomi dan mata pencaharian yang laten memicu konflik meliputi pematahan produksi lokal dengan memperluat import (garam, gula, beras, daging, beras). Pemaksaan penukaran konsumsi semua ke arah beras dengan meninggalkan produksi lokal (sagu, gandum, ubi/singkong, jagung) sehingga mengalami kesulitas di berbagai daerah yang sumberdaya alamnya tidak mendukung.
144
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Aktualisasi Serapan Peserta FGD terhadap Penyaji:
Materi Dari
Setelah penyajian materi pertama ini, peserta langsung dibagi kepada tiga kelompok dengan masing-masing berurutan menyebutkan nomor 1,2,dan 3 dan orang berikutnya menyebutkan ulang urutan 1,2,3 dst. Pesertapeserta bernomor satu mengelompok, bernomor dua dan tidak masing-masing seperti kelompok nomor satu tadi. Kelompok satu bertugas mengenali atau mengidentifikasi konflik yang ada di Kecamatan Medan Denai Kota Medan; Kelompok dua mengenali atau mengidentifikasi kelembagaan sosial lokal yang ada di Kecamatan Medan Denai; Kelompok tiga mengenail atau mengidentifikasi perkenomian lokal yang ada di Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Hasilnya adalah sbb: Kelompok I Mengenali Konflik di Kecamatan Medan Denai: (1)
Keadaan pasar modern (Indomart; Alfamart) yang menjamur mengurangi penghasilan pasar tradisional
(2)
Keberadaan binatang ternak babi yang berada di pemukiman penduduk yang sebagian besar adalah muslim
(3)
Keberadaan konser musik (Keyboard) pernikahan tanpa membatasi waktu
(4)
Perebutan tanah ulayat (PTPN II) yang Hak Guna Bangunannya sudah habis
(5)
Pendirian rumah ibadah (gereja) yang berasal dari rumah tempat tinggal menjadi rumah ibadah secara berjamaah.
145
III. Bina Damai Etnorelijius
Kelompok II Mengenali Lokal/Kecamatan:
Kondisi
Sosial
Keagamaan
Kalangan Islam terdiri atas: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Pengajian Muhammadiyah, Pengajian Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Pengajian Alhidayah, Pengajian Al-Ittihadiyah, Pemuda Muslim Indonesia (PMI), BKPRMI, serta organisasi di bawah naungan mesjid: BKM, Remaja Mesjid dan Majlis Ta’lim. Kalangan Kristen terdiri atas: Tri Tugas Panggilan Gereja, antara lain: Koinonia: Bersekutu, Marturia: Bersaksi, Diakonia: Melayani, Organisasi HKBP, MHKBP, Pemuda Gereja, serta Penta Kosta. Kalangan Buddha meliputi: Yayasan Budhi Cipta Mandala Indonesia kerjasama dengan Rota Rikhap, bergerak di bidang sosial, kesehatan, pendidikan, penghijauan, Bapepam kerjasama dengan Pengajian yang ada di Mandala di bidang Anak Asuh, Palangmerah Internasional Taiwan, Sangha Agung Indonesia Dan Majlis Budayana Indonesia. Kelompok III Mengenali Perekonomian di Kecamatan Medan Denai: Kelompok ini meliputi: PNS (Pegawai Negeri Sipil) 5%, Wiraswasta 45%, Karyawan Swasta 20%, Profesional (Pengacara; Dokter; Insinyur; dan Bankir) 20% dan petani (tanah garapan) 10% Potensi terjadinya konflik dalam bidang perekonomian: Semakin menyempitnya mata pencaharian yang bersumnber dari produksi masyarakat lokal serta retailer yang semakin suram hari depan usahanya sepi pembeli yang disebabkan semakin menjamurnya Indomart dan Alfamart di satu sisi dan
146
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
di sisi lain berdirinya cafe/warung remang-remang yang dipandang dapat merusak moral serta pendidikan generasi muda Kecamatan Medan Denai. Pada kesempatan caffe break ini, dimanfaatkan oleh panitia dan peserta FGD untuk diskusi non formal di antara peserta yang duduk bebas antar peserta agar saling jadi pioner cluster informasi dari masing-masing kelompok yang telah membicarakan topik masing-masing dan menjelaskan temuan masing-masing. Matari II, III, dan IV dari Pemateri Jakarta dan Medan a) Materi II ini meliputi: Analisa 3 P (Person, Proses, Problem); Analisa pohon masalah; analisa sebab akibat. Ini dipimpin fasilitator dengan harapan agar peserta FGD mengenali potensi konflik, memahami konflik, dan mengelola konflik. b) Materi III: Pengenalan budaya damai; analisa nilai damai; analisa kelembagaan lokal c) Materi IV: Mengukur kedaiaman sosial, analisis sebab akibat damai, dan mengukur derajat damai. Materi II, III dan IV ini diharapkan menuntun peserta menggali pengertian damai dan konflik; Menggali kelembagan lokal yang mendukung damai; mengukur derajat damai; melihat situasi masyarakat (dimensi ekonomi, politik, budaya) dan kerentanan bisa terpelihara (maintenance). Setelah penyajian materi II, III, dan IV ini, peserta langsung dibagi lagi kepada tiga kelompok dengan masingmasing berurutan menyebutkan nomor 1,2,dan 3 dan orang
147
III. Bina Damai Etnorelijius
berikutnya menyebutkan ulang urutan 1,2,3 dst. Pesertapeserta bernomor satu mengelompok, bernomor dua dan tida masing-masing seperti kelompok nomor satu tadi. Kelompok satu mengenali atau mengidentifikasi Ukuran Derajat Damai di Medan Denai; Kelompok dua mengenali atau mengidentifikasi Kelembagaan Lokal yang mendukung damai di Kecamatan Medan Denai; Kelompok tiga mengenail atau mengidentifikasi Kerentanan Yang Bisa Dimaintenance di Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Hasilnya adalah sbb: - Kelompok I Membahas Mengenai Ukuran Derajat Damai di Kecamatan Medan Denai: Adanya tradisi gotong-royong membersihkan lingkungan bersama-sama antar pemeluk agama, adanya keragaman suku dan agama, misalnya suku (Batak, Melayu, Jawa, Padang dan Tionghoa), Agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindhu Dharma, dan Buddha), tersedianya rumah ibadah setiap agama, misalnya mesjid, gereja, dan vihara. - Kelompok II Membahas Mengenai Kelembagaan Lokal Yang Mendukung Damai di Kecamatan Medan Denai, antara lain: (a) Perkumpulan olahraga: Para pemuda khususnya di daerah lingkungan jalan pancasila yang dipelopori oleh remaja masjid muhammadiyah mengadakan kegiatan bola volly berdsama masyarakat lingkungan XI dan lingkungan XII Kelurahan Tegal Sari Mandala III (b) Ronda Kampung/Siskamling: Kecamatan Medan Denai melalui kepala lingkungan mengajak warga masyarakat bersama-sama untuk menjaga dan menciptakan kedamaian mengikuti ronda malam keliling lingkungan secara bergantian/terjadwal.
148
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
(c) Gotong royong: warga masyarakat bersama Muspika Kecamatan Medan Denai mengadakan jum’at bersih dan terkadang diadakan pada hari minggu untuk membersihkan jalan-jalan dan parit-parit daerah lingkungan tersebut dalam rangka menciptakan daerah Kecamatan Medan Denai yang bersih dan rapi. (d)Pesta Perkawinan: Pemuda setempat bersama-sama membantu warga masyarakat yang mengadakan pesta perkawinan. (e) Perayaan Hari Besar Nasional: Pemuda-pemuda mengadakan perayaan dengan persetujuan kepala lingkungan dengan menghadirkan kesenian daerah berupa tor-tor dan kesenian modern. (f)
Posyandu: Setiap 3 bulan sekali para Ibu-Ibu yang mempunyai Balita yang belum pernah mengimunisasikan anaknya ataupun untuk melanjutkan imunisasi datang ke posyandu di lingkungan masing-masing.
(g) Serikat Tolong Menolong (STM): Walaupun STM yang berada di Kecamatan Medan Denai masih hubungan antara intern umat beragama tetapi ikut mendukung mengatasi permasalahan yang ada diantara umat beragama. (h) Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD): Organisasi yang dibentuk oleh kecamatan yang berada pada kelurahan masing-masing yang anggotanya juga adalah masyarakat daerah lingkungan tersebut. LKMD juga turut mengadakan penyuluhan kepada masyarakat dalam menciptakan suasana yang aman dan damai.
149
III. Bina Damai Etnorelijius
Kelompok III Membahas Mengenai Kerentanan yang dapat di-maintenance di Kecamatan Medan Denai Secara umum dibahas hal-hal sebagai berikut: - Melakukan pendekatan atau dialog terhadap konflik yang ada - Mengadakan sosialisasi regulasi - Menampung aspirasi warga atas masalah yang ada - Menyampaikan aspirasi itu ke pemerintah - Memahami agama masing-masing Cara mengatasi konflik tersembunyi agar dapat dipertahankan: Hadir pada saat acara suka maupun duka, Saling memahami kebiasaan dan adat masing-masing, Sering berdialog, duduk bersama di tempat biasa ngumpul, tegur sapa, saling menghargai dan mengerti arti dari kerukunan antar beragama dengan cara tidak melakukan hal-hal kebiasaan yang dapat mengganggu ketenangan antar beragama. Contoh: acara pesta atau kemalangan, pemeliharaan ternak, pakter tuak yang ditunjukkan di halayak ramai. Pada pertemuan hari ketiga menyajikan Materi Participatory Action Research (PAR): Dari Nara Sumber Pusat -
150
Pengertian, Sejarah Pendekatan, Tekhnik Pelaksanaan, Analisa Hasil dan Upaya Mempertahankan Pembudayaan Ciri PAR dalam Pemecahan Masalah ke Masa Depan
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
-
Diskusi Terakhir: Refleksi Penyerapan Peserta atas Konsep PAR
-
Peserta tidak lagi dibagi tiga kelompok tetapi dibagi ke dua kelompok saja.
-
Sebagai hasilnya kelompok A dan Kelompok B samasama membuat proposal yang berbeda dalam rangka menjaga kerukunan di Kecamatan Medan Denai sbb:
Kelompok A: Membuat Program Strategi Penguatan Kerukunan Ummat Beragama Berbasis Adat dan Budaya di Kecamatan Medan Denai. Struktur usulannya adalah sbb: 1)
Latar Belakang a) Heterogenitas budaya,agama, suku dan bahasa b) Kemajemukan dapat menimbulkan konflik, jika tak terbina
2)
Permasalahan Belum terbentuk wadah pelestarian budaya setiap suku di Mecamatan Medan Denai
3) Program Pembentukan wadah di Kecamatan medan denai 4)
5)
Tujuan dan Kegunan a)
Penguatan kerukunan umat beragama
b)
Menggali potensi pemuda dan pemudi lestarikan budaya
Pelaksana dan peserta Tim Pelaksana FGD 12 Orang ditambah 24 orang 5 wanita dan 19 pria (rentangan umur 20-45 tahun)
151
III. Bina Damai Etnorelijius
6)
Target Kegiatan Menjaga keharmonisan keberagaman umat beragama di Kecamatan Medan Denai
7)
Sumber dana Pemerintah dan sawadaya
8)
Jadwal Kegiatan tanggal. 8-9 Nov 2011
9)
Pendekatan Kegiatan: Partisipatory Action Research (PAR)
10) Tempat: Aula Kantor Camat Medan Denai 11) Jadwal dan Rincian Kegiatan a) Pembukaan; b) Pembentukan Wadah c) Ramah tamah d) Hiburan/Perlombaan Antar Peserta e) Pelantikan pengurus Kelompok B: Strategi Penguatan Perekat Kelembagaan Sosial Keagamaan di Kecamatan Medan Denai 1. Latar Belakang
2.
a)
Medan Denai dijuluki miniatur Indonesia dari perspektif kemajemukannya
b)
Penting kajian preventif dan preserpatif dari muatan kitab-kitab suci dalam sbuah forum sehingga saling faham lebih dalam dan terus damai.
Permasalahan a)
152
Masih ditemukan pengurus dan anggota institusi keagamaan tertentu yang kurang faham kitab suci masing-masing
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
b) 3.
Belum ada institusi wadah kerjasama kerukunan antar masing-masing institusi keagamaan.
Program a)
Penyusunan pedoman dan sosialisasi pemikiranpemikiran tentang preventif dan preserpatif kondisi kondusif di Kecamatan Medan Denai
b)
Membentuk wadah kerukunan umat beragama di Kecamatan Medan Denai
4. Tujuan dan Kegunaan
5.
a)
Meningkatkan pemahaman para pemimpin dan anggota institusi keagamaan dalam rangka mewujudkan perdamaian antar umat beragama
b)
Terciptanya kondusivitas Kecamatan Medan Denai.
dan
harmonitas
di
Pelaksana dan peserta Tim FGD 12 Orang dan Perluasan 24 orang lainnya yang terdiri dari Pengurus Masing-Masing Institusi Keagamaan di Kecamatan Medan Denai: MUI Kec; Peng. NU; Peng. Al-Wash; Peng. Al-Ittihadiyah; Peng. Muhammadiyah; Peng. BKPRMI; Majlis Ta’lim Kaum Ibu; Majlis Ta’lim Kaum Bapak; Pemuda Gereja Protestan; Wanita Gereja Protestan; Bapak Gereja Protestan; Peng. Gereja Kristen Prot. Indonesia; Peng. Gereja Krist. Prot. Simalungun; Pengurus Gereja Persekutuan Protestan; Pengurus Harian Kristen Indonesia; Pengurus BKAG; Pengurus Gereja Bethel; Pemuda Gereja Katholik; Pengurus Wanita Katolik; Pengurus Vihara Metta Jaya; dan Pengurus HKBP;
153
III. Bina Damai Etnorelijius
6.
Jadwal kegiatan Tgl. 10 sd 11 November 2011 a)
Pembukaan, Bimbingan dan arahan Camat Medan Denai; Penjelasan Arah, Tujuan, Target, dan Bentuk Kegiatan.
b)
Pemahaman tentang damai dan konflik;
c)
Pembentukan Wadah Kerukunan Umat Beragama
d) Penyusunan Program e)
Evaluasi dan Refleksi
Pertemuan hari ke empat a.
Pemaparan Proposal Kelompok A dan B dan analisa SWOT-nya.
b.
Refleksi Kegiatan FGD pada tatanan kebaikan dan kelemahannya
c.
Diskusi Langkah Persiapan Program PAR Berikutnya
Analisis a. Fenomena FGD Menunjukkan hasil terungkapnya rahasia kedamaian antar umat beragama di Kecamatan Medan Denai. Warga antusias tentang kebersamaan mengkaji sumber kedamaian dan terbendungnya konflik menuju kerusuhan terbuka b. Temuan teoritis: Intensitas komunikasi lintas jejaring pranata keberagamaan secara bersahaja memecahkan sumber masalah menjadi modal utama pancapaian kedamaian di Kecamatan Medan Denai. c. Perspektif Hipotesis: Temuan teoritis ini berlaku di Sumatera Utara. Karena itu penelitian ini perlu diperluas ke kota lainnya secara typical purposif sampling. Sehingga memungkinkan simpulan teoritisnya representatif.
154
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Pelaksanaan Partisipatory Action Research (PAR) Pemuka Agama di Medan Denai Persiapan Pelaksanaan PAR Beberapa hari sebelum pelaksanaan PAR, Panitia/Tim Pelaksana PAR di Medan yang terdiri atas unsur peserta PAR menyelenggarakan rapat-rapat persiapan. Tujuan diadakannya Rapat Persiapan yang dihadiri oleh perwakilan dari unsur Kelompok A dan unsur Kelompok B pada waktu FGD sebelumnya, tidak lain adalah untuk menyukseskan kegiatan PAR dalam arti mengefektifkan hasil PAR. Tugas Kelompok A mendiskusikan materi penguatan kerukunan melalui aspek ‚budaya‛, sedangkan Kelompok B mendis-kusikan materi penguatan kerukunan melalui aspek ‚kelembagaan‛. Tema yang diusung dalam kegiatan PAR adalah: ‚Melalui Pertemuan Tokoh Agama dan Adat (Budaya) Kita Tingkatkan Kerukunan Umat Beragama Dengan Menghargai Perbedaan dan Mewujudkan Perdamaian‛. Pada satu hari sebelum pelaksanaan PAR, yakni tanggal 7 Nopember 2011, sekitar jam 20.30 s/d jam 22.00 WIB diselenggarakan rapat Tim Pelaksana PAR untuk mempersiapkan acara Pembukaan dan Pelaksanaan PAR yang akan dilaksanakan esok harinya, bertempat di Ruang Pertemuan Kantor Kelurahan Denai, Kecamatan Medan Denai. Dalam rapat yang juga dihadiri oleh Tim Monitoring PAR dari Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI (sebanyak 3 orang) itu, Ketua Tim/Panitia yakni Drs. Sampurna Silalahi melaporkan kepada Tim Monitoring PAR bahwa untuk memberikan payung dan landasan terhadap kegiatan PAR, maka telah disepakati dibentuk sebuah wadah bernama ‚Forum Kerukunan Partisipator Perdamaian‛. Ide ini direspon
155
III. Bina Damai Etnorelijius
positif karena merupakan kebutuhan yang mereka rasakan perlu dibentuk untuk kepentingan mereka sendiri dalam mengadakan kegiatan PAR. Diadakannya rapat persiapan pelaksanaan PAR itu menunjukkan kesungguhan Tim Pelaksana dalam menyukseskan kegiatan PAR yang mereka lakukan. Pelaksanaan Kegiatan PAR Kelompok (A) Kegiatan PAR Kelompok (A) dilaksanakan pada tanggal 8 s/d 9 Nopember 2011, bertempat di Ruang Rapat Kantor Kelurahan Denai, mulai sekitar jam 09.00 pagi sampai menjelang jam 17.00 sore. Kegiatan diawali dengan Acara Pembukaan secara seremonial, yang dibuka secara resmi oleh Camat Kecamatan Medan Denai Edi Mulyono. Acara pembukaan yang dihadiri oleh berbagai kalangan pejabat seperti: unsur pejabat Kantor Kemenag Kota Medan/Kasi Urais, wakil dari Danramil Kota Medan, Camat Kecamatan Medan Denai, Waka Polsek Medan Denai, Tim Monitoring dari Balitbang dan Diklat Kemenag RI, para Lurah se Kecamatan Medan Denai dan para peserta PAR Kelompok (A) sebanyak 24 yang terdiri atas unsur tokoh agama, tokoh budaya, Kepala Lingkungan dan unsur masyarakat itu mengindikasikan tingginya antusiasme dan respon serta dukungan positif dari kalangan pejabat pemerintah setempat maupun para peserta terhadap kegiatan PAR. Demikian pula Lurah Kelurahan Denai yang menyediakan tempat (berupa Ruang Rapat Kantor Kelurahan) untuk pelaksanaan kegiatan PAR, memperlancar kegiatan PAR.
156
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Dalam acara Pembukaan PAR disampaikan antara lain: Laporan Tim Pelaksana PAR/Ketua Kelompok (A) disampaikan oleh Drs. Sampurna Silalahi, sambutan para pejabat setempat yakni: Kepala Kantor Kemenag Kota Medan diwakili oleh Kasi Urais H. Siregar, Polsek Medan Area diwakili oleh Waka Polsek AKP Iskandar AR., Tim Monitoring dari Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI disampaikan oleh Koordinator Monitoring PAR Prof. DR. Rusmin Tumanggor MA, serta sambutan sekaligus membuka secara resmi kegiatan PAR oleh Camat Kecamatan Medan Denai Edi Mulyono. Acara Pembukaan PAR ditutup dengan do’a secara Islam dan Peserta Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu menyesuaikan yang dipimpin oleh Drs. Hasibuan. Di antara pokok-pokok materi masing-masing sambutan di atas adalah:
Kepala Kantor Kemenag Kota Medan menjelaskan: -
Di Provinsi Sumatera Utara telah ada Forum Komunikasi Umat Beragama yang pada pembentukan dulu, diketuai oleh Prof. DR. HM. Ridwan Lubis
-
Kita patut bangga bahwa di Kecamatan Medan Denai menjadi contoh kerukunan
-
Tak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk tak rukun. Peraturan-Peraturan Pemerintah di antaranya ada yang mengatur kerukunan
-
Tanpa dukungan dari para tokoh agama dan tokoh adat, pelaksanaan ajaran agama dan peraturan pemerintah tersebut sulit diwujudkan
157
III. Bina Damai Etnorelijius
-
Di Medan dan Sumatera Utara pada umumnya, banyak potensi yang dapat menimbulkan ketidakrukunan
-
PBM bukan hanya produk pemerintah, tapi juga produk masyarakat.
Waka Polsek mengingatkan:
Medan diharuskan
Area
mengarahkan
membantu
dan
-
Masyarakat Kamtibmas;
menciptakan
-
Umat beragama diharapkan ikut menjaga damai antarumat;
-
Provokasi menghasilkan gejolak di mana-mana;
-
Adanya geng motor dapat menimbulkan tawuran. Harap masyarakat ikut mencegah.
Tim Monitoring dari Balitbang dan Diklat Keagamaan Kemenag RI (Diwakili oleh Prof. Dr. Rusmin Tumanggor, MA) menekankan: - Dalam kegiatan PAR, peneliti hanya berpartisipasi mendorong agar warga PAR mau duduk urun rembug sesama mereka mendiskusikan hal diri mereka, membimbing langkah-langkah dan arah jika peserta PAR minta, memberikan stimulus sebagai pendorong agar peserta PAR mencari ke tempat atau lembagta terkait yang punya keperdulian, sementara yang aktif mendiskusikan need assesment, kajian SWOT, melahirkan program; mencari dana, melaksanakan program adalah peserta PAR itu sendiri.
158
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
- Akhir Tahun 1990-an awal tahun 2000-an di beberapa daerah di Indonesia terdapat kasus konflik dan berwujud kerusuhan. Saya (Prof. Dr Rusmin Tumanggor, MA) dipercaya dengan teman-teman dari pelbagai Kementerian terkait seperti Kemensos, Menko Kesra, Kementerian Agama, Kementerian Pemberdayaan Daerah Tertinggal, melakukan kajian di wilayah konflik dan rusuh; Sambas, Sampit, Poso, Ternate, Ambon, Aceh, lalu dibuat sistem PAR dari beberapa kementerian. Sebagai contoh diadakan di Jailolo Halmahera Barat, yaitu di Desa Swakonora dan Acango. Metode PAR yang dilakukan di daerah tersebut antara lain sesuai hasil need assesment warga yang mewakili kelompoknya masing-masing dengan cara melakukan turnamen bola lintas 24 desa, perbaikan jembatan lintas desa, lomba seni suara, lari maraton 10 km, dan gotong-royong perbaikan sarana ibadah yang sudah rusak. Akhirnya mereka utuh dan rukun kembali, tidak lagi terlalu terpancing dengan provokasi baru dari pihak-pihak yang masih ingin kerusuhan itu berlanjut. - Cara apapun yang dilakukan, jika teori PAR yang rohnya analisa dan program serta upaya pendanaan utama oleh masyarakat setempat dijalankan dengan baik, maka hasilnya akan positif.
Camat Kecamatan Medan Denai menyatakan: a)
Seluruh unsur jajaran Pemerintah Kecamatan Medan Denai mendukung gagasan ini;
b)
Selama ini peran bantu dan partisipasi masyarakat terhadap kerukunan cukup baik;
159
III. Bina Damai Etnorelijius
c)
Para tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha sebagai agama besar di Kecamatan Medan Denai saling berdampingan dalam membangun kerukunan;
d) Selama ini yang kita kumpulkan para tokoh agama dan tokoh adat. Ke depan para tokoh pemuda kita libatkan; e)
Diharapkan kegiatan PAR ini dapat memberi masukan-masukan kepada pihak Kecamatan Medan Denai;
f)
Pesan Walikota Medan, ‚mari ciptakan cerah dan damai hari ini dan hari esok‛.
Inti sambutan dari beberapa unsur di atas, di samping memberikan motivasi kepada para peserta PAR, juga berupa harapan agar para peserta PAR dapat mengikuti kegiatan PAR secara sungguh-sungguh sehingga dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam rangka ikut serta mempertahankan dan meningkatkan kerukunan umat beragama di Kecamatan Medan Denai dan Kota Medan pada umumnya yang selama ini telah kondusif. Seusai acara pembukaan, setelah istirahat sekitar 30 menit untuk memberikan kesempatan kepada peserta PAR menikmati sneck, dilanjutkan diskusi dimulai sekitar jam 11.00 WIB. Kegiatan diskusi ini diawali dengan acara perkenalan antara para fasilitator dengan para peserta PAR sebanyak 24 orang selain selain yang 12 peserta FGD yang sekarang berperan sebagai peneliti dan fasilitator PAR. Acara perkenalan ini cukup menarik dan bermanfaat untuk lebih
160
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
mengakrabkan antara peserta PAR dengan para Fasilitator maupun antar sesama pesrta PAR, sehingga diskusi yang akan dilakukan akan tercipta dengan suasana penuh keakraban. Memang, demikianlah suasana yang terlihat dan dirasakan oleh Petugas Monitoring dari Balitbang dan Diklat Keagamaan Kementerian Agama RI. Sekitar jam 12.30 WIB, acara istirahat untuk makan siang dan memberi kesempatan kepada peserta yang beragama Islam untuk salat Dzuhur. Sekitar jam 14.00 WIB. acara diskusi dilanjutkan kembali dengan menampilkan para Fasilitator untuk menyampaikan paparan masing-masing. Dalam paparannya, antara lain dijelaskan tujuan diskusi Kelompok A dimaksudkan untuk membahas materi tentang penguatan kerukunan umat beragama melalui aspek budaya, dengan ilustrasi sesuai pengalaman dan agama masing-masing fasilitator. Sekalipun paparan para fasilitator terkesan kurang mendalam dari segi substansi, namun cukup dapat memberikan tambahan informasi kepada para peserta PAR tentang materi yang akan mereka diskusikan. Dalam acara diskusi, hanya ada 3-5 peserta yang menyampaikan tanggapan, saran, atau usulan. Dibanding dengan jumlah peserta diskusi Kelompok (A) sebanyak 24 orang, jumlah peserta yang memberikan tanggapan tersebut relatif sedikit sehingga acara diskusi terkesan kurang marak karena peserta cenderung kurang responsif. Namun dilihat dari persoalan yang mereka bahas, ternyata terlihat cukup dinamis.
161
III. Bina Damai Etnorelijius
Materi yang mereka bahas dan sarankan antara lain: (1) Perlunya pemeliharaan kerukunan melalui budaya misalnya budaya Batak dengan ‚dalihan na tolu‛nya, bahwa semua orang Batak pada dasarnya sedarah, seketurunan, sehingga bersatu sekalipun beda agama; (2) Melalui perkawinan dapat merekatkan kerukunan; (3) Antara adat dan agama tak dapat dipisahkan; (4) Pemerintah diharapkan meredam anak-anak sekolah dan remaja yang terpengaruh budaya luar seperti ‚face book‛ sebab dapat membuat kacau, sekarang banyak anak yang kurang santun kepada orang tua; (5) Perlu adanya sinergi yang solid antara tokoh adat dan tokoh agama serta dengan masyarakat untuk meningkatkan keadaan lingkungan yang kondusif, aman dan damai. Keadaan lingkungan yang kondusif tak dapat hanya dipercayakan kepada aparat saja. Komentar dan jawaban fasilitator antara lain: (1)
Menipisnya perhatian sebagian orang tua terhadap kenakalan anak-anak mereka (akibat pengaruh teknologi informasi seperti: hand phone (HP) dan face book) dapat mengganggu kerukunan;
(2) Komitmen sebagian guru terhadap kenakalan sebagian anak didik kurang tegas dalam menindak; (3) Kita sepakat bahwa antara agama dan budaya tak dapat dipisahkan; (4) Para tokoh agama dan tokoh adat sangat berperan dalam menanggulangi kriminalitas dan kerusuhan sosial. Jika
162
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
ada permasalahan dalam masyarakat, pertama-tama yang dicari adalah tokoh agama dan tokoh adat/budaya; (5) Atas berbagai tanggapan dan usulan di atas, terutama untuk penguatan kedamaian dalam masyarakat, perlu diadakan kegiatan-kegiatan yang dikoordinasikan dalam suatu wadah atau apalah namanya. Mengenai pembicaraan tentang apa yang perlu dilakukan ke depan, akan dibicarakan besok pagi (hari berikutnya). Dalam acara diskusi/pertemuan pada hari kedua, 9 Nopember 2011, setelah melalui diskusi antar peserta dengan dipandu oleh fasilitator, akhirnya disepakati pembentukan sebuah wadah bernama: ‚Forum Komunikasi Tokoh Adat dan Budaya‛. Di antara peserta PAR Kelompok (A) yang secara spontan diunjuk sebagai pengurus ketika itu yaitu: Amir Hamzah Hasibuan. Pelaksanaan Kegiatan PAR Kelompok (B) Sebagaimana pelaksanaan kegiatan PAR Kelompok (A), kegiatan PAR Kelompok (B) juga diawali dengan Acara Pembukaan. Acara Pembukaan PAR Kelomok (B) dimulai sekitar jam 9.00 s/d jam 10.50 WIB, bertempat di Ruang Pertemuan Kantor Kelurahan Denai. Hadir dalam Acara Pembukaan PAR ini antara lain: Camat Kecamatan Medan Denai yang diwakili Kaur Pemerintahan, Unsur Pejabat Kantor Kemenag Kota Medan, Tim Monitoring dari Balitbang dan Diklat Kemenag RI, para Fasilitator dari Alumni Peserta FGD dan peserta PAR Kelompok (B). Peserta PAR kelompok B sebanyak 24 orang di bawah bimbingan Peneliti PAR yaitu alumni FGD yang juga telah terlatih sebagai ToT, tetapi dengan ciri PAR bukan mengindoktrinasi tapi memotivasi dan menfasilitasii.
163
III. Bina Damai Etnorelijius
Acara Pembukaan diawali dengan Laporan Ketua Kelompok (B) dan dilanjutkan sambutan dari: Tim Monitoring dari Balitbang dan Diklat dan Camat Kecamatan Medan Denai, diakhiri do’a penutup. adalah: 1)
Di antara pokok-pokok materi sambutan di atas
Ketua Tim Monitoring dari Balitbang dan Diklat disampaikan oleh Prof. DR. Rusmim Tumanggor, MA dengan komentar: a)
Menyambut baik atas pelaksanaan PAR Kelompok (B) yang pesertanya meliputi seluruh unsur pranata keagamaan yang didalamnya terdapat orang tua dan pemuda; Bapak-bapak dan Ibu-Ibu.
b)
Marga Tumanggor sendiri sekitar 5% muslim, 73% Kristen, 20% Katolik dan 2% agama lokal Batak yakni Sipelebegu atau Sipelesumangot dan terkadang disebut Parmalin. Karena itu sering memerlukan pertemuan untuk mencairkan komunikasi yang harmonis antar Tumanggor yang beda agama;
c)
Ternate, Sambas, Poso, Ambon, Aceh adalah termasuk daerah-daerah konflik dan kerusuhan masa lalu yang kami ikut meneliti yang bersifat pendataan dan membuat penelitian dengan pendekatan PAR dan kini relatif telah aman;
d) Kita tertantang melahirkan analisa dan gagasan pemikiran, bagaimana mengatasi konflik di berbagai daerah konflik dengan pendekatan yang tepat;
164
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
2)
e)
Dicarikan alternatif dan dilakukanlah selain penelitian, yaitu program-program upaya pencairan hubunganyang dapat membina rapport antara masyarakat yang berkonflik, antara lain melalui kegiatan-kegiatan bersama yang dihasilkan dari program FGD dan PAR sebagaimana yang kita adakan ini;
f)
Tahun ini dilakukan FGD dan PAR di daerah-daerah yang tak ada kerusuhan dan kekerasan walau sumber konflik ada. Pilihan program ini ditentukan oleh Balitbang dan Diklat Keagamaan Kemenag RI untuk mendapatkan rahasia yang tersimpan dalam keadaan kondisi kohesif di daerah-daerah tersebut walaupun ada juga riak-riak konflik namun tetap bisa kendalikan. Daerah tersebut untuk priode program tahun 2011 yakni: Bali, Yagyakarta, Manado dan Medan. Itulah sebabnya Medan (Khususnya Kecamatan Medan Denai) dijadikan lokasi FGD dan PAR pada tahun ini, Dimana pada hari ini Kelompok (B) membahas tentang ‚Penguatan Kedamaian Melalui Kelembagaan‛
g)
Diskusi PAR ini semoga menghasilkan sesuatu yang dapat meningkatkan kedamaian di kalangan masyarakat kita, khususnya Kecamatan Medan Denai, yang bisa jadi suatu waktu jadi cermin bagi Kota Medan dan menjadi bahan analisa untuk pengembangan program ke depan di pelbagai wilayah lain di tanah air yang memerlukan.
Camat Kecamatan Medan Denai, diwakili oleh Kaur Pemerintahan, Danwir Sinaga memotivasi peserta PAR:
165
III. Bina Damai Etnorelijius
Menyambut baik pelaksanaan diskusi lanjutan (Kelompok (B) ini, mudah-mudahan apa yang dihasilkan dalam diskusi dapat meningkatkan kedamaian masyarakat Kecamatan Medan Denai dan Kota Medan pada umumnya. Kecamatan akan selalu merespon semua program yang dapat membawa Kecamatan Medan Denai rukun, damai, tertib dan berkembang. Acara Pembukaan PAR ditutup dengan do’a secara bergantian peserta yang beragama Islam, dipimpin oleh salah seorang peserta PAR yang mulim, demikian untuk Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghucu. Kemudian diberikan kesempatan sekitar 20 menit kepada para peserta untuk istirahat dan menikmati sneck. Sekitar jam 11.15 WIB acara diskusi dimulai, diawali dengan perkenalan antara fasilitator dengan para peserta. Perkenalan dimaksudkan, selain untuk menambah keakraban baik antar sesama peserta PAR maupun dengan para fasilitator juga bermanfaat untuk kelancaran jalannya diskusi. Sekitar jam 12.00 WIB acara di skors selama 1 ½ jam untuk istirahat dan makan siang, sekaligus memberi kesempatan bagi peserta yang beragama Islam melakukan shalat Dzuhur. Bagi peserta yang rumahnya relatif dekat dengan Kantor Kelurahan Denai tempat acara diskusi PAR dilaksanakan, kesempatan istirahat tersebut mereka pergunakan untuk pulang sebentar ke rumah mereka. Jam 13.30 WIB acara diskusi dilanjutkan kembali. Sebelum diskusi dimulai, Panitia membagi copy contoh kegiatan pelaksanaan PAR di Ternate, Semarang, Poso dan Makassar kepada para peserta, dengan maksud agar para peserta memiliki gambaran awal tentang pelaksanaan PAR di
166
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
daerah lain, di samping agar diskusi lebih lancar dan menghasilkan rumusan yang lebih tepat sasaran. Diskusi diawali dengan paparan secara lisan oleh para Fasilitator dari berbagai kalangan agama, yakni Islam, Kristen dan Hindu. Inti pokok paparan para Fasilitator di atas yaitu: - Diharapkan para peserta yang merupakan perwakilan dari kelurahan masing-masing ini memanfaatkan kesempatan ini semaksimal mungkin; - Kelompok ini membahas materi penguatan kedamaian/kerukunan di kalangan umat beragama melalui kelembagaan. Karena itu diharapkan para peserta membahas antara lain tentang apa saja program yang perlu dilakukan untuk penguatan kerukunan masyarakat yang selama ini telah terbina; - Di antara sumber konflik meliputi: perbedaan individu/budaya, perbedaan kepentingan baik individu maupun kelompok, perbedaan ormas keagamaan, serta perubahan nilai secara cepat akibat pengaruh perkembangan teknologi yang menimbulkan inovasiinovasi baru yang menggantikan kebiasaan lama yang sudah mapan; - (4) Dalam hal perbedaan agama, yang penting adalah bagaimana kita menyikapinya. Perbedaan agama itu ibarat warna pelangi, ada warna dominan dan ada yang tidak dominan. Semuanya saling bersinergi sehingga menghasilkan keindahan; - Di Kecamatan Medan Denai Islam dominan, tapi tetap damai. Kenapa bisa demikian, inilah yang perlu kita upayakan penguatannya;
167
III. Bina Damai Etnorelijius
- Perlu adanya peningkatan sikap bijak terutama dari para tokoh agama dalam upaya penyelesaian perbedaan di kalangan masyarakat; - Kebersamaan di kalangan para tokoh agama menjadi penting untuk meningkatkan kerukunan; - Pembangunan rumah ibadat yang tak sesuai dengan PBM dapat memicu konflik; - Banyaknya cafy dapat menimbulkan kerusuhan sosial; - (10)Jika ada perselisihan perlu dibicarakan secara damai; - (11)Apa saja sebenarnya potensi konflik di Kecamatan Medan Denai ini. 3. Lesson Learned Kegiatan Bina Damai Faktor determinan Medan dapat disebut sebagai daerah multikultur yang sangat harmonis dan dapat menjadi contoh hubungan yang sehat antar agama dan etnis di Indonesia. Medan menjadi daerah yang terdiri dari berbagai etnis dan agama yang sudah lama hidup berdampingan dengan sejarah toleransi yang mengagumkan. Medan dihuni oleh berbagai etnis baik yang datang daeri berbagai daerah di sekitar kota Medan di Sumatera Utara maupun daerah atau etnis dari luar Sumatera Utara. Keragaman etnis dan agama di Kota Medan pada akhirnya menjadi modal sosial yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan eksistensi sosial dan budaya di Kota Medan.
168
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Dari penjelasan di atas, maka sudah tepat jika kita mencoba menggali lebih dalam lagi Kota Medan sebagai daerah percontohan multikultarlisme yang sukses di Indonesia. Tidak ada konflik sosial berlatar etnis dan agama yang besar dan dapat mengganggu kelangsungan hubungan dan keragaman di Medan. Beberapa insiden sosial yang merusak hubungan agama dan etnis di daerah lain di Indonesia tidak mempengaruhi secara signifkan terhadap hubungan antar agama dan etnis di Medan. Beberapa kasus sosial yang berpotensi konflik sosial pernah terjadi tetapi tidak sampai meletus dan berdampak sosial. Mengapa medan yang dihuni oleh berbagai etnis dan agama dapat menjaga hubungan antar agama secara baik? Bagaimana Kota Medan membangun infrastruktur sosial dan budaya sehingga bisa membangun hubungan yang harmoinis antar agama dan etnis? Bagaimana peran tokoh agama dan adat dalam merumuskan dan mempengaruhi kehidupan sosial dan agama? Berdasarkan informasi dari berbagai sumber dan tokoh tersebut di atas, maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Tegas terbuka: Kota Medan termasuk kota yang relatif damai dan belum pernah terjadi konflik antar agama dan etnis yang serius dan massif meskipun Medan adalah kota yang sangat heterogen, baik agama maupun etnis. Kota medan juga dibanjiri oleh banyak pendatang dari berbagai daerah di Indonesia yang menambah semakin beragamnya demografi dan karakter penduduk Kota Medan. Kehidupan antar umat beragama yang relatif damai itu menjadi perhatian tersendiri dari banyak kalangan,
169
III. Bina Damai Etnorelijius
apalagi Kota Medan dikenal sebagai daerah yang dikesankan oleh orang di luar sebagai ‚keras‛ dan dalam beberapa hal ‚kasar‛. 2)
Kesadaran Metropolitan Ciri Heterogenitas. Menurut beberapa tokoh agama, kerukunan dan kedamaian Kota Medan disebabkan oleh kesadaran masyarakat kota Medan yang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan orang yang berbeda baik agama mupun etnis. Masyarakat Kota Medan juga sangat memahami daerahnya sebagai daerah motropolitan yang terbuka kepada para pendatang dengan beragam kepentingan di dalamnya. Kesadaran masyarakat medan akan pentingnya menjaga perdamaian dan sikap toleransi atas perbedaan menurut Sampurna Silalahi, tokoh MUI Kota Medan Denai, disebabkan perkawinan campur antar etnis dan agama yang sudah biasa terjadi dari sejak dulu. Ikatan persaudaaraan dari hasil perkawinan dari berbagai etnis dan agama itu mempengaruhi terhadap sikap sosial di antara mereka dan sekaligus mampu menekan permusuhan dan konflik sosial yang bernuansa etnis religius.
3)
Peran Tokoh Agama dan Etnis. Selain karena faktor perkawinan itu, kerukunan di Kota Medan menurut beberapa tokoh juga karena peran aktif dari tokoh-tokoh agama dan etnis untuk saling mengingatkan baik kepada masyarakat yang seagama dan satu etnis maupun yang berbeda agama dan etnis. Tokoh-tokoh agama sangat intensif mengadakah forum silaturhami untuk meningkatkan saling pemahaman dan saling menghormti di antara sesama masyarakat. Tokoh
170
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
agama Kota Medan memiliki kesadaran yang tinggi bahwa intensitas pertemuan mereka sangat berpengaruh kepada masyarakat bawah sebagai simbol persatuan dan persadaudaraan yang harus menjunjung tinggi sikap saling menghormati dan menjauhkan dari konflik. Tokohtokoh agama baik yang berada di FKUB maupun yang tidak bergabung selalu cepat merespon berbagai isu dan kejadian yang berpotensi tejadinya konflik. Kasus terakhir adalah kasus Bom di GKBI Kota Solo yang dapat menciptakan kesalahpahaman dan ketakutan di antara umat beragama. Satu hari setelah kejadian bom Solo, tokoh antar umat beragama di Kota Medan langsung bertemu dan membuat nasehat-nasehat penting untuk saling menjaga persaudaraan dan kerukunan sekaligus mewaspadai dari provokasi dan hasutan yang berbahaya. 4) Dialogis dan Musyawarah. Kota Medan Denai adalah kota yang direkomendasi oleh beberapa tokoh agama untuk menjadi tempat dilangsungkannya FGD karena Medan Denai dianggap model heteregonitas Kota Medan dengan berbagai persoalan namun tetap damai dan rukun. Beberapa persoalan hingga saat ini masih terjadi dan masih dalam proses penyelesaian, namun semangat untuk menjaga kerukunan dan kedamaian di atas segalanya. Kecamatan medan denai misalnya sampai saat ini masih berlangsung persoalan ternak babi di beberapa kelurahan yang meresahkan masyarakat muslim dan sudah berlangsung lama. Beberapa penolakan dan pembersihan sudah mulai muncul, namun proses penyelesaian secara dialogis dan musyawarah masih menjadi pilihan yang paling banyak
171
III. Bina Damai Etnorelijius
ditempuh warga. Persoalan ternak babi saat ini sudah tangani langsung oleh walikota yang berjanji akan merelokasi secara damai ke wilayah yang dianggap tepat. 5) Persoalan Sensitif Diatasi dengan Saling Mengormati. Sama-sama Selain persoalan ternak babi, persoalan lain yang masih terjadi meski dalam skala yang kecil, adalah persoalan pendirian rumah ibadah, baik Gereja, Masjid, maupun Kelenteng dan Vihara. Ada beberapa kasus pendirian rumah ibadah yang dianggap belum selesai persoalan izin dan adminstrasinya pada beberapa tahun lalu, namun dapat diselesaikan secara bijaksana oleh beberapa tokoh agama setempat. 6)
Sumber Konflik Pengangguran
Laten:
Minuman
Keras
dan
Hal lain yang menjadi persoalan sosial di Kota Medan Denai adalah persoalan minum-minuman keras yang dilakukan oleh pemuda pengangguran di beberapa tempat secara sembarangan yang bagi kabanyakan orang dapat mengganggu, namun persoalan ini tidak menimbulkan potensi konflik yang sangat. Hanya tokohtokoh agama mengkhawatirkan peminum minuman keras bisa menjadi penyulur konflik dan berbahaya bagi kebanyakan masyarakat. 7) Derajat damai Derajat damai yang dimaksukan warga masyarakat peserta FGD dam PAR adalah tingginya situasi kondusif kehidupan beragama yang tercermin dari kehangatan komunkasi lintas agama dan lintas etnis serta variasi mata pencaharian. Komunikasi sehar-hari hangat; masalah
172
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
suku duka saling berbagi keperdulian dan partisipasi. Makanan yang terlarang dan yang boleh saling memperhatikan. Kesenian, dapat berjalan sesuai dengan norma umum di medan denai dengan baik. Kegotongroyongan terus hangat. Hubungan upacara adat antar etnis dan ritual serta seremonial keagamaan selalu saling dihargai, atas dasar jejaring kawin-mawin. 8) Agama sebagai faktor perdamaian? Agama disini menjadi faktor penentu sesungguhnya ada beberapa dimensi sebagai penyebabnya. Dimensi pertama, ajaran agama yang dikembangkan oleh ummatnya selalu mencari sisi teks dan ayat yang menawarkan kebersamaan dan toleransi. Tapi yang lebih kental lagi adalah karena faktor sejarah yang telah mendidik warga sumatera utara sejak lama (Mulai Masa Ajaran Agama Yahudi masa Agama yang dikembangkan Nabi Daud dan Sumaiman dan Agama Ru Cikalbakal Agama Khong Hu Cu Masa Dinasti Ke Dua Tiongkok Dinasti sekitar 2500 tahun SM; Berlanjut dengan Masa Islam Abad ke 7-11 dan Kristen Katolik dan Protestan Abad ke 15 Masehi, khususnya lewat lewat temuan data benda situs dan doa-doa yang tertulis dengan aksara Batak di Kitab Suci Batak Sipelebegu yaitu Pustaka di Kecamatan Barus Kabupaten Tapanuli Tengah sebagai tempat yang diperdebatkan awal masuknya AgamaAgama Besar khususnya agama Islam. Dari sinilah kemudian berkembang ke Aceh, Sumatera Barat, Palembang, Jawa, Sulawesi. Begitu juga penyiaran agama Kristen dan Katolok, oleh para missionaris Barat dimulai dari Barus menuju Sibolga, Padang, Sipirok, Rura
173
III. Bina Damai Etnorelijius
Silindung, Tarutung, Danau Toba, dan lambat laun menuju Medan. Seperti Vander Tuk, dari Belanda dan Lodwijk Nomensen dari Jerman. Mereka telah menemukan keragaman agama di Barus termasuk Islam di daerah pesisir pantai di samping agama lokal ‚Sipelesumangot‛. Toleransi yang ditunjukkan para da’i dan missionaris Barat ketika datang ke Sumatera Utara, sudah memperlihatkan budaya kebebasan memilih agama sebagai pegangan hidup untuk menuju hari pembalasan kemudian atau Kiamat. Para dai dan missionaris tidak berupaya mengintervensi ummat sumatera utara yang telah menganut agama tertentu baik agama lokal maupun juridis politis formal. Sehingga penghargaan terhadap pilihan teologi, peribadatan, seremonial, membentuk moral kebersamaan. Walaupun secara teori keimanan modern yang ditafsirkan para da’i dan missionaris bahwa eksistensi Tuhan di masing-masing kitab suci itu berbeda dan harus diterima secara agree in disagreement, akan tetapi yang mendasar bagi masyarakat awam di Sumatera Utara semua agama itu sama membawa kedamaian dan kebahagian hidup kelak. Selama ini pandangan orang awam ini jarang sekali dipertegas secara hitam puti atau benar salah oleh para da’i dan missionaris. 9) Poleksosbud sebagai faktor perdamaian Politik di Sumatera Utara tidak terlalu menekankan ekstrim kepartaian tertentu terhadap masyarakat umum. Karena itu dianggap kebebasan hak sebagaimana telah dicerminkan pada agama.
174
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Secara ekonomi sifat saling tolong menolong sudah terjadi sejak lama karena perasaan takut awrwahnya dimarahi oleh roh nenekmoyang dan atau Tuhan jika mengambil atau tidak memberi hak milik orang lain yang ada di bawah kekuatannya begitu kental. Walaupun pada dimensi lain tingkat pencopetan orang-orang tertentu dikalangan masyarakat tinggi juga, tapi hal itu bukanlah disenangi itu oleh masyarakat secara umum (suatu penyimpangan misterius) di Sumatera Utara. Segi sosial adalah adanya filosofi Aceh yang menekankan Udep Tsare Mate Syahid, filosofi Melayu menyatakan dimana bumi diinjak disitu langit dijunjung, Batak Tapanuli Dalihan Na Tulu (Teman Semarga, Pihak Mertua, Pihak Keluarga Laki-laki yang mengawini audara kita yang wanita) dan Batak Dairi Fak.Fak kesatuan sosial bernama Lima Jejaring Kerabat (Silih Si lima). Keterikatan dari segi kekerabatan dan penyesuaian diri lewat kawinmawin sangat mempengaruhi tingkat kerukunan. Disini ada pandangan bahwa kerabat itu alamiah yaitu jejaring ayah, jejaring ibu, jejaring mertua, jejaring suami saudara kita yang wanita ini sampai hari kemuadian, sementara Agama adalah pilihan cara hidup yang mana hari ini agama seseorang Sipelebegu, tahun depan Kristiani, tahun selanjutnya Islam. Dari segi budaya yaitu setiap ada acara suka duka, perkawinan, orang sakit, turun ke sawah atau terkait sektor kegiatan mata pencaharian lainnya, selalu saling menolong. Disini sebahagian besar warga yang berasal dari Batak tertanam juga ketakutan hukum kemarahan makhluk gaib (Sapata).
175
III. Bina Damai Etnorelijius
10) Kepribadian. Warga Kota Medan, sudah terbentuk dengan keberanian, keterbukaan, dan ketegasan setiap ada unsur kesenjangan dari pihak yang terkait dengan hak dan kewajiban. Baik orang Aceh, Minang, Jawa, Cina, India, dan Batak, Melayu. Jadi atas kesimbangan kualitas kepribadian ini tidak satupun suku bangsa yang dominan. Karena jika ada sesuatu masalah oleh pihak tertentu yang merugikan pihak lainnya, dalam musyawarah antar suku bangsa tersebut tidak ada interest sehingga sama-sama membela siapapun yang dirugikan atau dibahayakan tertentu dan segera dituntaskan kewajibannya. Dengan kata lain ditengah yang dilabelkan orang luar bahwa orang medan denai tekenal kasar dan keras merupakan modal bersama untuk sama-sama menjaga hak dan kewajibannya apapun suku bangsanya dan agamanya.Ini juga merupakan modal kerukunan itu. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan paparan di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa konsep-konsep yang berperan dalam kerukunan di Kota Medan khususnya Kecamatan Medan Denai adalah nilai agama, nilai ekonomi, nilai kerabatan, dan nilai kebudayaan. Dengan kata lain, sebagai proposisi teoritis dari FGD dan PAR yaitu: Kerukunan di Kecamatan Medan Denai ditentukan oleh kekuatan nilai agama, ekonomi, kerabat, dan kebudayaan. Oleh karena itu maka dalam upaya memelihara kedamaian di Kota Medan khususnya Kecamatan Medan
176
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Denai, kami merekomendasikan perlu penguatan nilai-nilai agama, ekonomi, kekerabatan dan kebudayaan di kalangan masyarakat.
B. Bina Damai di Kabupaten Badung Kuta Selatan dijadikan lokus Kajian Penyadaran dan Pendampingan dalam Penguatan Kedamaian dengan sejumlah pertimbangan. Pertama, penduduk Kuta Selatan heterogen dari segi agama dan budaya. Kedua, kearifan lokal, dipegang oleh masyarakat terutama adat, di sini terdapat simpul kedamaian dan kerukunan, seperti keberadaan ‚Banjar Panca Bhinneka‛ di Tanjung Benoa, dimana sejak lama terdapat dua komunitas agama (Hindu dan Islam) yang hidup rukun dan damai. Pada tahun 1995 dibangun kawasan monumental simbol kerukunan dan kedamaian ‚Puja Mandala‛ yang digagas oleh Soesilo Sudarman Menteri Parawisata, Pos dan Telekomunikasi, dilanjutkan Job Ave dan mendapat dukungan Gubernur Bali Ida Bagus Oka, Bupati Badung Alit Putra, serta PT BTDC Nusa Dua. BTDC menyediakan lahan untuk pembangunan rumah ibadat lima agama seluas 20.000M2, yang kemudian diberi nama: Pura Jagadnata, Gereja Kristen Bukit Doa, Vihara Buddha, Gereja Katolik Maria Segala Bangsa, dan Masjid Ibnu Batutah, kompleks ini terletak di Banjar Bualu Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan Kabupaten Badung. Ketiga, kehidupan antarumat beragama cukup rukun dan damai, sekalipun penduduk sangat
177
III. Bina Damai Etnorelijius
heterogen dengan mobilitas migrasi yang tinggi sebagai daerah wisata internasional. 1. Gambaran Wilayah Dari segi goegrafis, Kuta Selatan ialah salah satu dari enam kecamatan di Kabupaten Badung5, Provinsi Bali6. Daerah ini terletak pada lintang selatan 08o45’58,7‛ dan bujur timur 115o10’41.3‛, luas wilayah 101,13 m2 atau 24,16% dari luas Kabupaten Badung, dan 1,80% dari luas Provinsi Bali, dengan ketinggian 28m dari permukaan laut, jarak ke Denpasar ibukota Provinsi Bali 18,3 km (BPS, 2010:1 dan BPS, 2009:4-5). Kuta Selatan dengan ibukotanya Jimbaran berbatasan sebelah selatan, timur dan barat dengan Samudera India, sebelah utara dengan Kecamatan Kedongara, Kecamatan Kuta, Kota Denpasar. Wilayah ini terbagi pada 6 desa dinas/kelurahan dan 9 desa adat, dengan banjar sebanyak 26 buah, dan 36 lingkungan. Lokasi Kuta Selatan dapat dilihat pada peta berikut:
5
Kabupaten Badung terdiri atas enam kecamatan: Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi, Abiansemal, dan Petang. 6 Provinsi Bali terbagi pada sembilan kabupaten/kota, yaitu: Jembrana, Buleleng, Tabanan, Badung, Kota Denpasar, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem.
178
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Peta Kuta Selatan Secara demografis, penduduk Kuta Selatan pada tahun 2009 tercatat 70.967 jiwa, terdiri dari 36.153 laki-laki (50,94%) dan 34.814 perempuan (49.06%), 16.985 kepala keluarga, ratarata perkepala keluarga 4 jiwa dengan kepadatan penduduk perkilo meter 702 (BPS, 2010:8 dan 22). Di Kuta Selatan jumlah penduduk pendatang lebih banyak daripada penduduk yang pergi meninggalkan wilayah tersebut. Sebagai contoh Pendatang 2.624 jiwa (77.09%), sedangkan yang pergi hanya 780 jiwa (22.91%) (BPS, 2009:53). Laju pertambahan penduduk tahun 2008/2009 sebesar 2,15% (BPS, 2010:54). Kondisi Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik Dari segi sosial, Bali memiliki kebudayaan Bali yang muncul melalui proses evolusi yang panjang. Datangnya agama Hindu adalah melalui suatu persamaan-persamaan
179
III. Bina Damai Etnorelijius
dan pertautan budaya dengan budaya masyarakat setempat. Ajaran Hindu terintegrasi dengan kebudayaan setempat karena adanya kesejajaran atau persamaan, saling melengkapi secara dinamis (I Ketut Wiana, 2004:36-37). Harapan hidup penduduk terus meningkat dalam tujuh tahun terakhir (2003 hingga 2009). Pada tahun 2009 angka harapan hidup penduduk Kabupaten Badung adalah 71.75 tahun (BPSb, 2010:63-64). Di bidang pendidikan, Kuta Selatan memiliki lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Taman kanak-kanak tercatat 38 sekolah dengan 1.797 siswa dan 133 guru, sekolah dasar negeri dan swasta 48 unit dengan 13.491 siswa dan 607 guru, SLTP 3 negeri 6 swasta, SMU/SMK 2 negeri 5 swasta, dan perguruan tinggi negeri 3 buah (BPS, 2010:33). Penduduk menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan terdiri dari: 7.613 tidak/belum sekolah, 12.417 belum sekolah, 33.787 lulus SD, 6.346 lulusan SLTP, 7.887 lulusan SMU/SMK, 1.645 lulusan diploma, dan lulusan sarjana sebanyak 1.272 orang (BPS, 2010:34). Dari segi sumber mata pencaharian utama penduduk Kuta Selatan cukup beragam. Terbanyak ialah pertanian bahan makanan 42.457 jiwa (59.83%), menyusul peternakan 8.351 jiwa (11.77%), perdagangan 5.762 jiwa (8.12%), perikanan 2.205 jiwa (3.11%), perkebunan 1.078 jiwa (1.52%), dan industri 1.705 jiwa (2.40%) (BPS, 2010:28). Dalam kehidupan politik dapat dilihat dari hasil pemilihan legislatif. Pada tahun 1999 terpilih wakil rakyat yang duduk di DPR-D Kabupaten Badung sebanyak 35 orang. Dengan perincian
180
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Fraksi Partai Golongan Karya 4 orang, Fraksi TNI/POLRI 4 orang, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (Perjuangan) 24 orang, dan Fraksi Gabungan 3 orang (BPS, 2009). Tidak jauh berbeda perolehan suara pada pemilu tahun 2004. Wakil rakyat yang terpilih, dan menduduki kursi DPR-D Kabupaten Badung sebanyak 40 orang. Komposisi dalam fraksi, yaitu: Fraksi PDI (P) memperoleh wakil terpilih 21 orang, Fraksi Partai Golongan Karya 9 orang, dan Fraksi Bersatu sebanyak 10 orang. Dilihat dari perolehan kursi DPR-D tersebut PDI (P) pada tahun 2004 mengalami penurunan 3 kursi, sementara Fraksi Golkar mengalami lonjakan 5 kursi. Fraksi Gabungan menghilang dan muncul Fraksi Bersatu sebanyak 10 kursi. Pada Pemilu tahun 2009 daftar terpilih anggota DPR-D sebanyak 40 orang, dengan perincian 9 orang dari Partai Golongan Karya, 14 PDI (P), 9 dari Partai Demokrat, 1 dari Partai Hati Nurani Rakyat, 1 Partai Nasional Indonesia Marhaenisme, dan 2 orang dari Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indonesia, Namun secara umum PDI (P) tetap memegang kursi terbesar di DPR-D, apalagi ditambah partai baru yang sehaluan. Namun secara umum kondisi perpolitikan tetap stabil.
181
III. Bina Damai Etnorelijius
Tabel 1 Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Badung Menurut Fraksi Tahun 2009 Fraksi Hasil Pemilu 1987 1992 1997 1999 2004 2009 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1. Fraksi Partai 27 16 23 4 9 9 Golkar 2. Fraksi 9 5 6 4 TNI/POLRI 3. Fraksi Partai 8 6 1 24 21 19 Demokrasi Indonesia (Perjuangan) 4. Fraksi Partai 1 Persatuan Pembangunan 5. Fraksi 3 Gabungan 6. Fraksi Bersatu 10 7. Fraksi 5 Kebangkitan Persatuan Demokrat 8. Fraksi 7 Perhimpunan Pelopor Peduli Badung Jumlah 45 27 30 35 40 40 Sumber : Sekretariat DPRD Kabupaten Badung, Badung dalam Angka 2010
182
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Pada kesempatan pemilu pernah para kontestan menghubungi dan meminta dukungan dari seorang tokoh agama Hindu yang berpengaruh (sulinggih). Namun semua yang datang didukung. Begitu pula para kandidat yang memberi natura untuk dukungan suara, umumnya masyarakat menerima tetapi pilihan tetap keputusan masingmasing. Hanya dukungan kepada PDI (P) tetap tinggi karena terkait pada dua hal. Pertama, secara geneologis, mantan Presiden ke 1 Soekarno dari ibu berdarah Bali. Kedua, pada pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, orang dihadapkan pada pilihan ikut PKI tidak bertuhan, jika tidak maka ikut Partai Nasional Indonesia (PNI) yang nasionalis. Sedangkan fanatisme terhadap nasionalis dan Bung Karno bagi sebahagian besar masyarakat Bali menjelma pada PDI (P) (I. Made Wiana, 10 Oktober 2011). Keunikan Bali juga nampak pada pranata sosial-politik. Dual Struktur pemerintahan. Dari tingkat provinsi hingga tingkat banjar (rukun tetangga), struktur pemerintahan diiringi dengan struktur adat yang terdiri dari: Majelis Agung, Majelis Madya, Majelis Alit, Bendesa Adat, dan Banjar Adat. Termasuk juga struktur aparat keamanan (pecalang). Pembagian kewenangan antara dua struktur ini adalah fenomena menarik, meski memunculkan dua potensi dampak: konflik dan damai. Integrasi budaya lokal dalam kebijakan negara (Perda Desa Pekraman). Meski tidak seluruh desa sudah merealisasikan Perdes Desa Pekraman, tetapi sudah dapat dilihat banyak wilayah di Bali bahwa integrasi ini secara umum berjalan dengan baik dan disepakati oleh mayoritas warga Bali.
183
III. Bina Damai Etnorelijius
Tabel 2 Jumlah Desa, Banjar, dan Lingkungan di Kabupaten Badung Tahun 2009 Ibukota Kecamatan
Desa
Jumlah Banjar
Jumlah
Kecamata n
Dinas/Ke l
Ada t
Dinas *)
Lingkung an *)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1
Kuta Selatan
Jimbaran
6
9
24
36
2
Kuta
Kuta
5
6
-
27
3
Kuta Utara
Keroboka n
6
8
44
45
4
Mengwi
Mengwi
20
38
136
56
5
Abiansemal
Blahkuh
18
34
123
-
6
Petang
Petang
7
27
46
-
2009
xxx
62
122
373
164
2008
xxx
62
120
372
164
2007
xxx
62
120
372
164
2006
xxx
62
120
369
164
2005
xxx
62
120
360
161
Jumlah
Keterangan : Sumber
184
:
*) Banjar dinasLLingkungan Definitif. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pemdes Kabupaten Badung
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kehidupan Kegamaan Mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, tetapi keragaman agama di Bali bukan hal baru. Penganut agama Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan bahkan Konghucu telah ratusan tahun ada di Bali. Pertautan Hindu dan Islam misalnya, sudah dimulai sejak zaman kerajaan Bali lama. Di beberapa daerah seperti Petang dan Tanjung Benoa, Muslim Bugis sudah masuk ke wilayah tersebut sejak abad ke- 15. Bahkan raja-raja lama Bali menempatkan kaum Muslim sebagai bagian dari prajurit raja.7 Pertautan antara Hindu dengan Buddha juga bagian dari sejarah lama Bali. Kelompok Siwa Buddha yang masih eksis hingga sekarang, misalnya, meski secara administratif mereka dimasukkan dalam kategori agama Hindu, tetapi praktek spiritualitas mereka diyakini adalah ajaran Buddha. Bahkan Pedande (sebutan untuk tokoh spiritual yang mengacu kepada ajaran Buddha) masih dipakai dalam beberapa upacara agama Hindu.8 Keragaman terdapat dalam internal agama masingmasing. Di kalangan Hindu memiliki banyak varian, baik sebelum maupun sesudah pemerintah nasional mempersatukan mereka dalam nama Hindu. Kristen di Bali terdiri dari 50 denominasi tergabung dalam Majelis Pelayanan antar Gereja (MPAG). Penganut Buddha terdiri dari berbagai aliran yang sama-sama hidup di Bali dan tergabung dalam WALUBI. Lembaga ini adalah tempat bertemunya 9 Majelis Buddha yang ada di Bali. Demikian juga dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali yang menaungi organisasi dalam Islam. 7 8
Wawancara dengan H. Roichan Wawancara dengan I Ketut Gede Karyana Govinda Putra
185
III. Bina Damai Etnorelijius
Keragaman dan perbedaan yang dalam banyak kasus lain menjadi penyebab ketegangan dan konflik namun kasus Bali secara umum menjadi modal sosial yang terintegrasi dan terkelola dengan cukup baik. Kerukunan dan kedamaian menjadi kata kunci kesadaran yang dipegang kuat oleh semua elemen masyarakat. Demikian pula dengan kalangan elite politik dan pemerintah di Bali. Kerukunan dan kedamaian ini didukung beberapa prinsip penting yang dianut: yakni prinsip persamaan dan kesetaraan pada diri umat beragama, mengedepankan persamaan dan mengendalikan aspek perbedaan, serta prinsip kebersamaan dalam menghadapi masalah kemanusiaan sebagai bagian dari pesan keagamaan yang menjadi tanggung jawab dari semua pemeluk agama. Integrasi ini pulalah yang membuat masyarakat tidak terpecah belah meski dua kali diguncang bom. Diakui ada riak-riak dan ketegangan kecil pasca dua bom tersebut. Ini pula yang mempercepat proses pemulihan kondisi Bali sebagai daerah tujuan wisata. Pembinaan kerukunan umat beragama ini juga menjadi perhatian utama pemerintah di daerah ini. Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, misalnya, tahun 2010 mengedepankan penyelenggarakan pembinaan kerukunan umat beragama di daerah rawan konflik dengan pendekatan budaya lokal, seperti di Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar. Upaya ini bertujuan antara lain untuk melestarikan adat istiadat dan kearifan lokal yang mendukung kerukunan umat beragama (IGAK Suthayasa, 2011:2).
186
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Sumber dan Potensi Kedamaian Dari hasil wawancara dengan berbagai tokoh agama dan budaya, diperoleh gambaran yang dapat dijadikan pelajaran berharga untuk menjawab apa yang menjadi sumber utama potensi damai sehingga Bali dapat mempertahankan kondisi damai hingga saat ini. Pertama, bertemunya kepentingan real semua warga masyarakat, terutama dalam hal ekonomi. Sebagai daerah pariwisata, kedamaian, keamanan, dan kenyamanan adalah prasyarat utama yang menarik wisatawan masuk ke Bali. Semua elemen masyarakat, secara ekonomi sangat bergantung kepada wisatawan, domestik maupun mancanegara. Ketidaknyamanan wisatawan adalah ancaman bagi perekonomian warga Bali Kedua, nilai budaya Bali; Budaya dalam arti adat maupun agama. Dalam banyak hal, sulit memisahkan dan membedakan mana yang adat dan mana yang menjadi bagian dari tradisi Hindu. Secara umum, nilai-nilai budaya ini terintegrasi dalam tata kehidupan warga Bali, terutama warga asli Bali. Ini karena nilai-nilai tersebut melekat pada tradisi, ritual, upacara, yang masih dipertahankan hingga saat ini. Termasuk juga tata kelola pemerintahan modern yang dikompromikan dengan tata kelola pemerintahan adat. Hal ini juga diperkuat oleh tradisi Hindu yang terbuka dan tidak berkarakter misionaris dan ekspansif. Nilai-nilai budaya (sekaligus agama) yang kemudian disebut sebagai kearifan lokal, antara lain:
187
III. Bina Damai Etnorelijius
• Manyama Beraya (Semuanya bersaudara) • Asah, Asih, Asuh (kita semua sama, saling mengasihi, saling menjaga) • Sagalak Sagilik Salunglung Sabayantaka (Selalu ada dalam kebersamaan--suka dan duka) • Paras Paros Sarpanaya (Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing) • Jele Melah Gumi Gelah (Baik buruk, punya kita) • Tat Twam Asi (Aku adalah engkau, engkau adalah aku) Ketiga, dipengaruhi oleh dua sumber potensi damai sebelumnya, nilai agama yang muncul di Bali adalah nilai agama yang toleran dan ramah terhadap perbedaan. Meski di banyak tempat lain Islam muncul dengan wajah keras, tetapi Islam mainstream di Bali adalah Islam toleran. Demikian juga dengan Kristen yang terdiri dari banyak denominasi. Beberapa denominasi yang di luar Bali sangat agresif dan cenderung kurang adaptasi terhadap budaya lokal, di Bali muncul dengan wajah yang sangat adaptif dan menghargai budaya dan tradisi lokal yang berkembang. Bahkan, Muslim Bali dan kelompok Kristen Bali nampak memiliki perisai internal untuk membendung kelompok-kelompok aliran keras dari agama mereka. Pemeluk agama di Kabupaten Badung pada tahun 2009 tercatat 388. 514 orang, yang terdiri dari: 346.241 Hindu (89.12%), 29.242 Islam (7.53%), 1.093 Buddha (0.28%), 6.368 Kristen (1.64%), 5.570 Katolik (1.43%) (BPSb, 2010:163). Sedangkan di Kecamatan Kuta Selatan: Hindu 60.736 orang (85.58%), Islam 8.415 orang (11.86%), Buddha 210 orang
188
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
(0.31%), Kristen 931 orang (1.31%), dan Katolik 675 orang (0.95%) (BPSb,2010:163). Khonghucu belum terdata, karena tidak melaporkan diri sebagai penganut Khonghucu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Banyaknya Pemeluk Agama Menurut Kecamatan di Kabupaten Badung Tahun 2009 Hindu (1)
Islam Budha
(2)
(3)
1. Kuta Selatan
60.736
8.415
2. Kuta
22.040
3. Kuta Utara
53.671
4. Mengwi
Kristen Kristen Jumlah Protestan Katholik
(4) 210
(5)
(6)
(7)
931
675
70.967
14.937 429
1.060
869
39.335
835
232
2.862
2.760
60.360
101.792 3.900
138
1.405
1.234
108.469
5. Abiansemal
80.027
809
20
110
25
80.991
6. Petang
27.975
346
64
-
7
28.392
Jumlah 2009
346.241 29.242 1.093
6.368
5.570
388.514
2008
342.205 28.855 1.079
6.263
5.478
383.880
2007
336.468 28.375 1.065
6.171
5.401
377.480
2006
323.802 34.784 1.040
6.041
5.287
370.954
2005
338.772 23.961 1.502
5.300
4.842
374.377
Sumber : Data Tahun 2005 Kementrian Agama Kabupaten Badung Data Tahun 2006 – 2009 (Badan Pusat Statistik) Hasil Proyeksi Sensus Penduduk Tahun 2000. Badung dalam Angka 2010.
189
III. Bina Damai Etnorelijius
Masing-masing umat beragama memiliki rumah ibadat. Rumah ibadat di Kabupaten Badung pada tahun 2009: Pura/Kahayangan Hindu 1.976 buah (354 Kahayangan Tiga, 11 Sad+ Dang Kahayangan 20 Kahayangan lainnya), Islam 36 buah (20 Masjid dan 16 Mushalla), 43 Gereja Kristen, 7 Gereja Katolik, dan 5 Vihara (BPSb,2010:162). Sejak diberlakukannya PBM No.9 dan 8 tahun 2006, tepatnya sejak tahun 2007 hingga penelitian ini dilakukan tidak ada rumah ibadat yang bertambah. Dari segi jumlahnya tetap sama, kecuali mushalla mengalami penambahan pada tahun 2007 sebanyak 9 bertambah 7 menjadi 16. Sebaliknya Gereja Kristen dari 49 pada tahun 2007 dan 2008 menurun 6 sehingga menjadi 43 buah. Sedangkan data rumah ibadat Hindu dan Buddha tetap jumlahnya
Gereja Kristen Gereja Katolik Klenteng/ Vihara
3
4
5
6
7
8
9
10
27
4
97
4
-
2
5
1
2
2
Kuta
21
-
96
10
-
1
9
1
2
3
Kuta Utara
18
1
101
5
-
6
8
4
-
4
Mengwi
114
2
555
-
-
6
20
1
1
5
Abiansem al
93
-
386
-
-
1
1
-
-
6
Petang
81
4
176
1
-
-
-
-
-
Jumlah 354 2009
11
20
-
16
43
7
5
354
11
20
-
16
49
7
5
2008
190
Musholla
1
2 Kuta Selatan
Langgar
1
Masjid
Kecamatan
Karyawan Tiga Sad + Dang Kahyanga Kahyanga n n lainnya
Tabel 3 Banyaknya Tempat Peribadatan (Bangunan Suci) Menurut Kecamatan di Kabupaten Badung Tahun 2009
1.411 1.411
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
2007 2006
354
11
354
10
1.411 1.411
336 10 2005 1.411 SumbSumber sSumber: Kementerian Agama Kabupaten Badung
20
-
9
49
7
5
18
-
9
49
7
5
18
-
9
17
6
5
Organisasi dan yayasan keagamaan yang terdaftar di Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpollinmas) pada tahun 2011 hanya 17 dari 71 organisasi/yayasan yang tercatat se Kabupaten Badung. Organisasi keagamaan Hindu ada tiga, yaitu: Perhimpunan Pemuda Hindu (PERADAH), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Persatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PC. KMHDI). Organisasi Islam terdari dari: Pemuda Muhammadiyah (PM), Nahdlatul Ulama (NU), Muslimat NU, Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Gerakan Pemuda Anshor, Wanita Islam Badung, Pengajian Al Hidayah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Nasyiatul Aisyah (NA), Aisyiyah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Organisasi Buddha hanya tercatat WALUBI. Pada saat penelitian ini dilakukan organisasi keagamaan Kristen dan Katolik tidak ada yang terdaftar di Kantor Bakesbangpollinmas. Penganut agama Buddha terdiri dari berbagai aliran yang sama-sama hidup di Bali dan tergabung dalam WALUBI. Lembaga ini adalah tempat bertemunya 9 Majelis Buddha yang ada di Bali. WALUBI Bali tidak sama dan tidak berada dalam struktur WALUBI (Perwakilan Umat Buddha Indonesia) Nasional. Di tingkat nasional, 9 Majelis tersebut
191
III. Bina Damai Etnorelijius
terpisah-pisah, dan sebagian berkonflik, namun di Bali bisa bergabung menjadi satu wadah bersama. Pemeluk Kristen di Bali terdiri dari 50 denominasi tergabung dalam Majelis Pelayanan Antar Gereja (MPAG). Dalam konteks nasional, hanya sebagian dari 50 denominasi tersebut yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Badung, dipimpin oleh Bupati Badung sebagai ketuanya, sesuatu yang tak lazim di daerah lain. Dalam tingkat yang lebih kecil, Paguyuban kerukunan antar umat beragama Puja Mandala juga diketuai oleh Lurah Benoa. Dalam banyak kasus, para tokoh semua agama nampak sigap mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya gesekan antaragama, atau gesekan apapun yang potensial menggunakan dan menyeret-nyeret isu agama ke dalamnya. Sistem deteksi dini berjalan, karena pihak pemerintah, aparat kepolisian, maupun intelijen juga membangun kerja sama yang intensif dengan para tokoh agama. Kordinasi antartokoh agama juga berjalan intensif dan efektif. FKUB juga memiliki peran penting dalam banyak isu agama, dibanding dengan FKUB di daerah-daerah lain yang biasanya hanya fokus pada kasus rumah ibadat. 2. Dinamika Kegiatan Bina Damai Pelaksanaan Riset, FGD dan PAR Riset Awal Kajian ini diawali dengan riset untuk mendukung terlaksananya FGD dan PAR secara optimal. Riset awal ini
192
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dilakukan dari tanggal 6 s.d 11 Oktober 2011, dan mengambil lokasi di Kuta Selatan dengan pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan. Dalam mhal ini peneliti menggunakan teknik studi kepustakaan dan wawancara mendalam. Melalui informan kunci dikembangkan penggalian informasi dan data dari para pihak terkait, seperti ketua dan sekertaris FKUB, pimpinan majelis-majelis agama dari enam agama, tokoh dan aktivis organiasai keagamaan dan karang taruna, pemuka agama dan tokoh adat Bali. Nama informan terlampir. Riset awal ini untuk menjawab dua masalah penelitian, yaitu: (1) Apakah faktor determinan yang menjadi penyangga bagi tetap terjaganya kedamaian di Provinsi Bali yang memiliki potensi dan kerentanan konflik?, (2) Mengapa faktor tersebut dapat hidup dan lestari dalam masyarakat sehingga kondisi kedamaian dapat terus terjaga. Secara teknis pada waktu riset awal ini juga menyiapkan calon peserta FGD dan memetakan stuasi sosialekonomi kultural dan keagamaan di Kabupaten Badung. Hasil riset ini menjadi panduan bagi fasilitator melaksanakan proses FGD dan pelaksanaan PAR dengan para kader perdamaian di Kabupaten Badung. Pelaksanaan FGD Focus Group Discussion (FGD) diikuti oleh para tokoh muda lintas agama di Kabupaten Badung. Kegiatan ini bertujuan pembekalan peningkatan pengetahuan dan kemampuan dalam menganalisis kedamaian hingga menyusun rencana aksi untuk perkuatan perdamain. Di samping itu untuk menggali faktor-faktor yang berperan dalam memelihara kedamaian antarumat beragama. Kegiatan
193
III. Bina Damai Etnorelijius
ini diselenggarakan dari tanggal 14 sampai 17 Oktober 2011 di Hotel Gria Agung Mahajaya, Badung. Acara FGD yang diikuti 24 orang dibuka oleh Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali, selanjutnya peserta mendapat penjelasan dengan tujuan dan target capaian kegiatan, serta teknis pelaksanaannya oleh M. Yusuf Asry. Lebih lanjut peserta memperoleh pembekalan dari tiga nara sumber, yaitu (1) Prof. H. Abdurrahman Mas’ud Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan tentang Kebijakan Pemerintah dalam Pembangunan Agama dan Kerukunan Umat Beragama, (2) Drs. IGAK Suthayasa, M. Si., Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali tentang Kehidupan Beragama dan Kegiatan Pemeliharaan Kerukunan Antarumat Beragama di Provinsi Bali, dan (3) H. Raehan Mukhlis (Sekertaris FKUB Provinsi Bali) tentang Membangun Perdamaian dari Perspektif FKUB. Pada acara penutupan dilaksanakan pembacaan Deklarasi Pembentukan Forum Aksi Damai Lintas Agama Kabupaten Badung oleh I Wayan Sumatra selaku Ketua terpilih. Acara ini disaksikan dengan menandatanganinya yaitu I Nyoman Arya, S.Ag., M.PdH, M. Yusuf Asry dan Anick. Selanjutnya pembacaan Pernyataan Pengintegrasian oleh M. Yusuf Asry (Puslitbang Kehidupan Keagamaan), dan menyerahkannya kepada Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Bali, yang dalam hal ini diwakili oleh Kasubag Humas Informasi dan Komunikasi dan Kerukunan Umat Beragama I. Nyoman Arya. Kegiatan ini dipandu oleh dua fasilitator yaitu Anick dan M. Yusuf Asry. Diawali dengan icebreaking perkenalan, pembuatan kontrak belajar oleh peserta hingga membentuk
194
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
tiga kelompok, masing-masing 5 orang. Tiap kelompok menghasilkan proposal PAR. Kelompok A dua judul: 1. Peranan Puja Mandala dalam Dialog Kata dan Kerja untuk Perdamaian di Kuta Selatan. 2. Donor darah Bersama (Taman Griya Nusa Dua). Kelompok B empat judul: 1. Donor Darah Lintas Agama. 2. Pengobatan misal Gratis Lintas Agama. 3. Bersih-bersih Tempat Ibadah. 4. Peranan Paguyuban Kerukunan Umat Beragama Puja Mandala dalam Meningkatkan Kerukunan. Kelompok C tiga judul: 1. Gotong Royong Bersih-bersih Rumah Ibadah. 2. Peran Pecalang: Sosialisasi Awig-Awig Desa yang Fleksibel di Kuta Selatan. 3. Peran Puja Mandala sebagai Simbol Kerukunan Umat. Dari tiga kelompok digabung menjadi dua kelompok yaitu A dan B, dengan anggota masing-masing 12 orang. Tiap kelompok memilih sebuah dari judul yang ada, dengan pertimbangan dapat dilaksanakan sesuai kondisi, situasi dan dana. Kedua kelompok memilih judul kegiatan PAR, sebagaimana pada tabel berikut: Tabel 5 Proposal PAR Menurut Kelompok dan Pelaksanaannya Kelompok A Weekend for Peace Building a.
Dialog antarUmat Beragama
b.
Sosialisasi Awig-Awig Desa Adat Bualu
Kelompok B Fun Bike for Peace Building Pemuda Lintas Agama Badung-Bali
Keterangan Karena faktor izin maka kegiatan kelompok I dilaksanakan bersama dengan kelompok II pada tanggal 12
195
III. Bina Damai Etnorelijius
Catatan:
Catatan:
Peserta dialog meliputi: Lurah Benoa, Bendesa adat Bualu, FKAUB, tokoh agama, tokoh adat, siswa SMP dan SMA dan Sekolah Tinggi Pariwisata sebanyak 150 orang.
Peserta fun bike direncanakan sekitar 2000 orang, meliputi masyarakat umum lintas agama, pelajar, karang taruna, tokoh agama dan wisatawan.
Peserta sosialisasi ialah para tokoh adat, pemuka agama, siswa SMP dan SMA serta penduduk pendatang di Kuta Selatan
November 2011 bertempat di Komplek Puja Mandala. Sedangkan kegiatan kelompok II ditunda, dan akan dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2011.
Pelaksanaan PAR Pelaksanaan PAR pada Kelompok A dan B secara bersama-sama di Pelataran Komplek Rumah Ibadat ‚Puja Mandala‛ tanggal 12 November 2011. Acara dibuka oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, yang diwakili Kepala Bagian Tata Usaha (Drs. H. Syamsul Bahri).
196
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Peserta dialog dan sosialisasi awig-awig ialah Lurah Benoa, Bendesa adat Bualu, FKAUB, tokoh agama, tokoh adat, siswa SMP dan SMA dan Sekolah Tinggi Pariwisata di Kuta Selatan sebanyak 200 orang. Nara sumber yang hadir empat orang, yaitu: 1) Drs. I Wayan Solo, M.Si (Lurah Benoa, Ketua Paguyuban Umat Beragama Puja Mandala, dan tokoh Agama Hindu) dengan tema Kontribusi Kearifan Lokal dalam Mendukung Perdamaian. 2)
Drs. H. Imam Muhayat, M.A (tokoh Islam Puja Mandala) dengan tema Konstribusi Umat Islam dalam Memelihara Kedamaian.
3)
Pdt. DR. I Wayan Damayana, S.Th, M.Si (tokoh Kristen Puja Mandala) dengan tema Konstribusi Umat Kristen dalam Memelihara Kedamaian.
197
III. Bina Damai Etnorelijius
4)
I Nyoman Arya, S.Ag, M.Pd.H (Kepala Sub Bagian Humas, Informasi dan Komunikasi, dan Kerukunan Umat Beragama Kanwil Kemenag Provinsi Bali) dengan tema Local Wisdom Membentuk Kebahagiaan dalam Keberagaman.
Dalam sesi tanya jawab cukup hidup dan di antara penanggap mengusulkan kegiatan PAR seperti yang dilakukan agar diselenggarakan berkelanjutan. Manfaatnya cukup dirasakan untuk saling kenal dan berkomunikasi antarumat beragama. Hanya secara umum materi awig-awig agar lebih menjadi perhatian dari pemakalah untuk disosialisasikan dengan muatan yang memadai.
Salah satu pertunjukan hiburan dengan tema kerukunan antarumat beragama, 12 November 2011
198
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Evaluasi dan Refleksi Secara umum kegiatan kajian yang meliputi riset, FGD dan PAR terlaksana sesuai program. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa catatan. Waktu FDG dibanding materi pokok dan pembekalan nara sumber dinilai terlalu sempit. Demikian pula persiapan PAR selain tergesagesa karena masalah teknis (perizinan dan pendanaan) juga pelaksanaannya terlalu singkat (satu hari) sehingga kurang terkondisi interaksi antar peserta lintas agama yang optimal Peserta FDG dari segi kualifikasi dinilai memenuhi kriteria, dan hampir seluruhnya para pemuda, serta juga terakomodasi kegenderan. Peserta FDG atas inisiatif bersama telah dapat membentuk Forum Aksi Damai Lintas Agama (Fadla), sebagai wadah komunikasi untuk memelihara kedamaian antarumat beragama di Bali. Wilayah Kuta Selatan dinilai berpotensi konflik, seperti konflik antara pendatang dengan penduduk setempat dalam masalah steriotip etnis, dan antarumat beragama dalam kasus pendirian rumah ibadat. Kerukunan dan kedamaian masih terkesan diliputi oleh ‚keterpaksaan‛ terkait masalah adat dan keyakinan agama. FGD merumuskan potensi damai ini dalam turunan faktor dan sikap yang dimiliki oleh Bali dan masyarakat Bali, sebagai berikut: • Kepercayaan bahwa kesucian Bali dijaga oleh 9 Dewa dan Pura Sengker • Keramahtamahan masyarakat Bali • Kerendahan hati masyarakat Bali
199
III. Bina Damai Etnorelijius
• Kearifan lokal • Tradisi agama yang toleran • Sejarah toleransi Bali (Bali Aga) • Tradisi bertapa/meditasi Penghormatan dan penghargaan dari masyarakat nonHindu yang ada maupun yang datang ke Bali • Pembaruan antaragama dan etnis • Peran FKUB dan tokoh agama yang signifikan dalam menjaga kedamaian • Budaya malu dan social punishment yang masih berlaku • Negara tidak mencampuri urusan agama, melainkan hanya menfasilitasi • Komitmen kuat pemerintah untuk menjaga tradisi dan kebudayaan Sumber dan Potensi Konflik • Perbatasan desa adat dan desa dinas. • Stereotipe berlatar agama dan etnis • Relasi dan pendekatan sosial yang kurang komunikatif. • Budaya dan tradisi bawaan pendatang • Kebijakan KIPEM/KIPS untuk pendatang • Internal agama, terutama dalam kasus Konghucu dan Hindu • Konteks global konflik antar agama (media)
200
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
FGD menghasilkan rumusan yang juga mengkonfirmasi dan melengkapi sumber potensi konflik ini, sebagai berikut: - Pertentangan antara adat dan agama - Sukuisme/etnosentrisme - Nasional/Jakarta Minded - Generalisasi - Prejudice - Stereotipe - Ekonomi - Politik - Sosial Budaya - Sidak Pecalang - Pendatang - Perbatasan - Penyiaran agama (proseliterasi) - Bantuan Luar Negeri - Nikah beda agama - Pengangkatan anak - Peringatan hari besar agama - Pendidikan - Pemakaman jenazah - Penodaan agama/sempalan - Pemahaman agama yang sempit/dangkal - Globalisasi/modernisasi
201
III. Bina Damai Etnorelijius
Aktor Perdamaian Dalam konteks masyarakat Bali secara umum, maupun Kabupaten Badung dan Kecamatan Kuta Selatan, dapat disimpulkan beberapa aktor yang berpengaruh dalam mengkondisikan kedamaian terpelihara di wilayah tersebut. Pertama, jajaran pemerintah, pusat sampai daerah. Karena Bali adalah daerah tujuan wisata internasional, maka pemerintah pusat pun turut terlibat dalam penciptaan kondisi di tingkat lokal sekelas kecamatan dan kelurahan sekalipun. Bali Tourism Development Center (BTDC) misalnya, adalah Badan Usaha Milik Negara yang dikelola atas nama pemerintah pusat. Pertemuan-pertemuan internasional yang dikelola oleh pemerintah pusat juga sering ditempatkan di wilayah ini (Nusa Dua), sehingga pemerintah pusat turut memantau langsung pengkondisian suasana nyaman dan damai di wilayah ini. Ide membuat tempat peribadatan dalam satu lokasi yang disebut Puja Mandala misalnya, datang dari Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi saat itu, Joop Ave. Pemerintah lokalpun kemudian banyak terlibat dalam membangun tata kelola perdamaian dalam kaitannya dengan Puja Mandala. Kedua, tokoh agama. Tokoh agama ini menjadi partner utama pemerintah dalam mengkoordinasikan segala kemungkinan celah rawan konflik, terutama terkait dengan isu agama dan etnis. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Badung, misalnya, dipimpin oleh Bupati Badung sebagai ketuanya, sesuatu yang tak lazim di daerah lain. Dalam tingkat yang lebih kecil, Paguyuban Tokoh Agama Puja Mandala juga diketuai oleh Lurah Benoa.
202
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Dalam banyak kasus, para tokoh semua agama nampak sigap mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya gesekan antar agama, atau gesekan apapun yang potensial menggunakan dan menyeret-nyeret isu agama ke dalamnya. Sistem deteksi dini berjalan, karena pihak pemerintah, aparat kepolisian, maupun intelijen juga membangun kerja sama yang intensif dengan para tokoh agama. Koordinasi antar tokoh agama juga berjalan sangat intensif dan efektif. FKUB juga memiliki peran penting dalam banyak isu agama, dibanding dengan FKUB di daerah-daerah lain yang biasanya hanya fokus pada kasus rumah ibadat. Ketiga, tokoh adat. Bali adalah kasus unik di mana pemerintah berintegrasi dengan pemimpin adat. Integrasi ini tidak hanya bersifat nonformal. Secara formal, struktur pemerintahan di pemerintahan Provinsi Bali secara keseluruhan menganut sistem dualisme struktur. Gubernur berjalan seiring dengan Ketua Majelis Agung (adat); Bupati dengan Majelis Madya; Camat dengan Majelis Alit, Lurah dengan Bandesa Adat; dan di tingkat terendah, Banjar dibagi menjadi dua: Banjar Dinas dan Banjar Adat. Begitu juga dengan aparat kepolisian dengan pecalang. Dengan dualisme struktur ini, tokoh adat memiliki wewenang dan pengaruh penting dalam tata kelola masyarakat, terutama yang terkait dengan tradisi/adat lokal dan tradisi agama. Peran Faktor Agama dalam Memelihara Kedamaian Secara umum diketahui, bahwa ajaran dan nilai-nilai agama laksana dua mata pisau. Di satu sisi bisa menjadi sumber konflik yang fatal. Di sisi lain, bisa menjadi sumber kedamaian antarpemeluknya. Sejarah konflik antaragama
203
III. Bina Damai Etnorelijius
menunjukkan betapa nilai, ajaran, dan watak agama menjadi salah satu faktor penting pemicu konflik. Dalam konteks perdamaian di Bali, faktor agama (Hindu maupun non-Hindu) menjadi faktor signifikan yang supportif. • Watak Agama Hindu Secara umum, terutama dalam konteks Bali, Hinduisme memiliki watak yang terbuka. Penghayatan keagamaan berjalan seiring dengan penghayatan realitas kehidupan. Di samping doktrin-doktrinnya yang tidak kaku, keterikatan pengikut dengan kitab sucinya juga tidak seperti dalam Islam dan Kristen. Karena keterbukaan ini pula, kaitan antara agama dan adat sulit untuk dipisahkan. Meski begitu, doktrin-doktrin umum yang sifatnya universal terintegrasi secara kuat dalam tradisi, ritual, adat, dan seni. Doktrin yang kemudian mewujud dan dianggap sebagai kearifan lokal itulah yang secara positif sangat supportif terhadap penciptaan budaya damai, kerendahhatian, dan keramahtamahan di kalangan penganut Hindu. Di samping itu, watak lain dalam Hindu adalah nonmisionari/non-dakwah. Dalam beberapa kesempatan wawancara, secara khusus tim menanyakan perihal proseliterasi dari Hindu ke agama lain misalnya: keluarga Hindu tidak merasa kehilangan ketika anaknya (terutama perempuan) berpindah agama mengikut suaminya atau dengan alasan lain. Mereka justru merasa bertambah keluarga dan saudara. Meski perlu dicatat, ada sedikit kasus di mana anggota keluarga (terutama laki-laki) berpindah agama, maka dia mengalami eksklusif dari
204
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
keluarga tersebut. Namun secara umum, keluarga besar multi-relijius dapat ditemukan di Bali dam nampak tidak dipermasalahkan. • Kesadaran kerukunan di kalangan non-Hindu Seperti disebut sebelumnya, secara umum agama-agama non-Hindu di Bali muncul dalam wajah yang toleran dan ramah. Ada beberapa faktor yang bisa dilihat dalam konteks ini: Sejarah Pembauran Pembauran dan pertautan antar-agama di Bali adalah fakta historis. Penerimaan raja-raja Hindu Bali terhadap pendatang Muslim Bugis pada beberapa abad yang lalu berperan dalam membangun karakter Bali. Sejarah pembauran ini juga mencakup sejarah perkawinan silang antara warga Hindu dan non-Hindu. Sejarah pembauran ini juga terjadi pada masuknya kekristenan dan agama-agama lain. Kesadaran sebagai minoritas Kesadaran ini nampak dalam kompromi-kompromi yang dilakukan oleh para penganut non-Hindu terhadap tradisi dan adat Bali. Meski dalam beberapa kasus menyiratkan keterpaksaan, tetapi kecenderungan memahami posisi sebagai minoritas cukup tinggi mewarnai cara bersikap dan berperilaku. Kesadaran penghargaan terhadap tradisi dan budaya lokal Di luar kesadaran sebagai minoritas, pada dasarnya agama-agama tersebut memiliki doktrin dan semangat toleran dan penghargaan terhadap yang lain, meskipun harus diakui
205
III. Bina Damai Etnorelijius
di sisi lain juga memiliki sejarah dan nilai intoleran. Namun dalam konteks Bali, watak toleran dan penghargaan terhadap perbedaan inilah yang dominan mewarnai agama-agama yang datang atau berada di Bali. Moderasi dan internal filtering Faktor lain dalam konteks ini adalah, karena kuatnya adat Bali, secara alamiah penganut agama lain yang datang ke Bali memoderasi dirinya, banyak terjadi karakter tidak mewujud di luar Bali. Di samping itu, dalam internal agamaagama (Islam dan Kristen misalnya) terdapat mekanisme filtering melalui tokoh-tokoh agama dan forum-forum keagamaan yang ada di Bali dalam kerangka membentung karakter agama-agama yang ‚keras‛. Melalui MPAG misalnya, beberapa denominasi yang dianggap agresif ekspansif dalam agenda misionarinya, berhasil dimoderasi agar menampilkan karakter yang lebih ramah (soft). Tokohtokoh FKUB misalnya, juga bersinergi dengan berbagai pihak untuk mengantisipasi dan mengambil tindakan terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap ‚keras‛ dan eksklusif. Peran Faktor Non-agama dalam Memelihara Kedamaian •
Pariwisata Dalam konteks Bali saat ini secara keseluruhan, posisinya sebagai daerah wisata menjadi faktor dominan yang berpengaruh meredam setiap konflik dan potensi konflik yang ada. Ini karena pariwisata adalah identik dengan
206
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kenyamanan kehidupan. •
dan
keamanan,
serta
keberlanjutan
Budaya Bali Budaya Bali dan tradisi Hindu sulit dibedakan, secara keseluruhan budaya Bali sangat supportif terhadap perdamaian. Keramah-tamahan, kerendahan hati, dan keterbukaan menjadi karakter Bali yang sangat memengaruhi penerimaan masyarakat Bali terhadap orang/pihak lain atau pendatang.
•
Sejarah pembauran Sebagaimana telah dipaparkan, pembauran dan pertautan antaragama di Bali adalah fakta historis. Pembauran ini secara alamiah membuat agama menjadi identitas yang sifatnya individual, private. Kohesi sosial yang muncul lebih dominan terkait dengan hubungan kekeluargaan, persaudaraan, relasi non-agama, dan relasi kemanusiaan secara umum.
3. Lesson Learned Kegiatan Bina Damai Secara umum Provinsi Bali dan khususnya Kuta Selatan merupakan wilayah damai, tetapi terdapat potensi dan gejala konflik. Beberapa konflik kecil yang terjadi berpangkal pada masalah utama yaitu pendekatan dan relasi sosial yang kurang antarumat beragama. Sebagai daerah wisata internasional, heterogenitas dan posisi Kuta Selatan sangat memungkinkan potensi konflik menjadi konflik terbuka karena berbagai kepentingan.
207
III. Bina Damai Etnorelijius
Kondisi kedamaian di Kuta Selatan dipengaruhi oleh faktor dominan yang mendukung yaitu: keberadaan kawasan rumah ibadat Puja Mandala, Banjar Panca Bhinneka, Struktur Adat dan Kearifan Lokal (awig-awig Bali). Selain itu juga didukung oleh peran pemerintah, tokoh agama dan FKUB terhadap perdamaian. Upaya memelihara dan mempertahankan perdamaian terwujud dalam konsensus bersama antara semua elemen tersebut, untuk mengantisipasi dan menjaga kondisi damai melalui relasi dan kordinasi antara pemerintah, tokoh adat dan pemuka agama Asumsi daerah damai itu muncul karena potensi konflik yang ada mampu diantisipasi, diredam, dan dilokalisir ketika sudah nampak di permukaan. Kesadaran antisipatif ini jika dimiliki oleh semua elemen masyarakat akan sangat efektif dalam menciptakan dan mempertahankan kondisi damai. ‚Kepentingan bersama‛ menjadi faktor utama untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi damai. Dalam kasus Kuta Selatan, faktor utama tersebut ialah pariwisata. Pariwisata terkait langsung dengan kenyamanan, keamanan dan kedamaian. Terganggunya pariwisata menyebabkan terganggunya semua aspek kehidupan. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Berdasarkan kajian dan hasil pembelajaran bina damai di Kabupaten Bandung dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut:
208
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Sumber sekaligus potensi kedamain pada masyarakat heterogen di Kabupaten Badung Bali ialah faktor ketergantungan ekonomi berbasis parawisata, semua umat beragama membutuhkan kedamaian. Kearifan lokal yang mendukung kerukunan dan kedamaian dalam heterogenitas etnorelijius ialah karakter tradisi Hindu bersifat terbuka yang memandang semuanya bersaudara (manyama baraya) dan sejenisnya, serta dalam penyiaran agama lebih bersifat ke dalam lingkungan umat (internal), dan peran komunikasi kawasan rumah ibadat ‚Puja Mandala‛ sebagai kearifan lokal. Secara umum kegiatan focus group discussion (FGD) dan participatory action research (PAR) bina damai terlaksana sesuai program, tetapi kurang kondusif dalam interakasi sosial antarpeserta lintas agama yang terkendala oleh keterbatasan pembekalan dan waktu pelaksanaannya. Dalam kedamaian masyarakat Badung yang heterogen terdapat potensi yang dapat menjadi sumber konflik ialah stereotif berlatar belakang agama dan etnis, relasi dan pendekatan sosial yang kurang komunikatif, perbedaan tradisi dan budaya antarwarga dan pendatang, kebijakan kependudukan bagi pendatang, dan pengaruh media dalam globalisasi konflik, serta moderasi sikap keberagamaan oleh lingkungan budaya dan tradisi yang menyatu dengan kehinduan. Pelajaran dari kegiatan bina damai ialah, bahwa kedamaian terpelihara dan bertahan ditengah potensi konflik melalui konsensus untuk hidup damai, serta relasi koordinasi yang terbangun antara pemuka agama, tokoh adat dan pemerintah serta pera
209
III. Bina Damai Etnorelijius
Rekomendasi Dengan mengacu pada temuan kajian dan pembalajaran bina damai dan kesimpulan di atas, maka direkomendasikan: Masalah administrasi kependudukan bagi para pendatang perlu mengacu pada ketentuan yang berlaku standar sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penerapan hukum adat yang melekat dengan agama Hindu hendaknya diberlakukan secara arif pada hal-hal yang bersifat universal, dan yang bersifat kekhususan dengan mengedepankan prinsip konsensus bersama umat beragama. Untuk mengatasi relasi yang kurang kumunikatif antarumat beragama, maka pemerintah daerah dan Kantor Kementerian Agama setempat hendaknya meningkatkan intensitas relasi dan pendekatan sosial-budaya melalui pertemuan silaturahim antar pemuka agama dan umat dari berbagai agama secara berkala dan rutin. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Badung dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Badung dalam Angka 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, Kecamatan Kuta Selatan dalam Angka 2010. Kecamatan Kuta Selatan, Jimbaran, 2010.
210
‚Data
Monografi
Kecamatan‛,
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
‚Fadla Gelar Dialog Perdamaian Antarumat Beragama‛ dalam DenPost, 14 November 2011. Muhayat, Imam, ‚Psikosimbolis Puja Mandala, dan Korelasinya Terhadap Harmonisasi Umat Beragama: Tinjauan Kritis Terhadap Remaja Muslim‛, Tesis Program Pascasarjana Magister Studi Islam, Universitas Muhammadiyah Yoyakarta, 2007. Wiana, I. Ktut, Drs., Mengapa Bali Disebut Bali?, Paramita Surabaya, 2004. Yudabakti, I. Made dan I. Wayan Matra, Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali, Paramita, Surabaya, 2007. Radar Bali, 8 Oktober 2011. 3. C.
Bina Damai di Kota Manado
Meski kemajemukan agama dan etnis berpotensi menyebabkan gesekan atau konflik, namun potensi itu tidak selalu memanifes. Kota Manado Sulawesi Utara, misalnya, yang diketahui masyarakatnya memiliki banyak ragam etnis dan agama, ternyata senantiasa relatif kondusif dan cukup sulit untuk sekadar menyebut kasus-kasus keagamaan. Tulisan ini hendak menggambarkan upaya pemeliharaan keharmonisan masyarakat melalui serangkain kegiatan yang dilakukan oleh kalangan generasi muda lintas agama. Dengan mengangkat kondisi kerukunan di Kecamatan Tuminting, Kota Manado, dua kelompok membuktikan resep keandalan Manado sebagai percontohan daerah yang heterogen dan rukun.
211
III. Bina Damai Etnorelijius
1. Gambaran Wilayah Kota Manado, ibu kota provinsi Sulawesi Utara, terletak di ujung utara pulau Sulawesi. Dengan luas wilayah daratan adalah 15.726 ha dan memiliki garis pantai sepanjang 18,7 km, kota ini dikelilingi oleh perbukitan dan barisan pegunungan, bahkan daratan (dalam kota)nya pun berbukit. Di sebelah Utara, kota ini berbatasan dengan Kabupaten Minahasa Utara dan Selat Mantehage, di Selatan dengan Kabupaten Minahasa, di Barat dengan Teluk Manado, dan di Timur dengan Kabupaten Minahasa. Secara administratif, terdapat 9 kecamatan dengan 87 kelurahan. Mayoritas penduduk kota Manado berasal dari suku Minahasa. Selain suku Bantik yang merupakan penduduk asli Manado, terdapat suku Sangir, Gorontalo, Mongondow, Arab, Babontehu, Talaud, Tionghoa, Siau, Borgo, Jawa, Batak, Makassar dan suku bangsa lainnya. Di Sulut sendiri terdapat 3 suku besar yang menjadi penduduk asli, yakni: Minahasa, Bolaang Mongondow, dan Sangihe Talaud. Sebagian besar penduduk Kota Manado bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), guru atau pegawai swasta (41,44%), sebagai wiraswasta (20,57%), pedagang (12,85%), petani/peternak/nelayan (9,17%), buruh (8,96%), serta sektor jasa dan lain-lain (7%). Agama yang dianut masyarakat Kota Manado adalah Kristen, Islam, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Data pada Kementerian Agama (2010) menyebutkan: pemeluk Kristen 273.996 jiwa, Islam 171.742 jiwa, Katolik 30.115 jiwa, Budha 14.327 jiwa, Hindu 6.455 jiwa, dan Khonghucu 600 jiwa. Terdapat 523 gereja Kristen, 177 masjid, 21 gereja Katolik, 16 vihara, 2 pura, dan 1 lithang.
212
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Di antara kecamatan di Kota Manado yang memiliki heterogenitas etnis dan agama cukup tinggi adalah Kecamatan Tuminting. Di kecamatan yang berpenduduk 55.314 jiwa ini, jumlah pemeluk Islam dan Kristennya hampir berimbang. Selengkapnya, pemeluk Islam berjumlah 26.025 jiwa, Kristen 25.732 jiwa, Katolik 1.291 jiwa, Buddha 283 jiwa, dan Hindu 31 jiwa. Tidak ada pemeluk Khonghucu di sini. (Kec. Tuminting Dalam Angka 2010). Terdapat rumah ibadat mesjid 34 buah dan gereja 46 buah. Kecamatan ini dibatasi Teluk Manado/Laut Sulawesi di bagian Barat, Kecamatan Bunaken di Utara, Kecamatan Singkil di Timur dan Kecamatan Wenang di Selatan. Dalam luas wilayah 403,57 Ha atau 4,0357 km2, terdapat penduduk 55.314 jiwa (tahun 2008), artinya tingkat kepadatannya 13.706 jiwa/km.2 Dari segi etnis sangat beragam, setidaknya ada etnis Minahasa, Gorontalo, dan Arab, dengan terdapat kampungkampung tempat konsentrasi penduduk dengan pemelukan agama yang sama. Unik. Seperti Kampung Arab yang dihuni banyak keturunan Arab, muslim, dimana terdapat banyak masjid; dan Kampung Cina dihuni kebanyakan keturunan Tionghoa dengan Klentengnya. Namun kesan segregasi sosialagama ini tidak seutuhnya benar karena di dalam kampungkampung itu tetap terdapat pemeluk agama lain dan hubungan antar kampung berjalan biasa dan cair. Jika terjadi masalah bentrokan remaja, misalnya, lebih dilihat dari segi kenakalan remajanya, bukan soal kampung komunitas Islam dan lainnya. Di Manado atau bahkan di Sulawesi Utara secara umum terdapat forum komunikasi antar umat beragama yang sudah melegenda, yakni BKSAUA (Badan Kerja Sama Antar Umat Beragama). Forum ini cukup berpengaruh dan diperhitungkan
213
III. Bina Damai Etnorelijius
dalam masalah-masalah terkait hubungan antarumat beragama di Sulut. Pascalahirnya PBM tahun 2006, muncul forum sejenis yakni FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Meski sejatinya keberadaan FKUB menggantikan forum-forum sejenis (termasuk BKSAUA), namun atas pertimbangan historisitas dan efektivitasnya maka BKSAUA tetap ada, berdampingan dengan FKUB. Keduanya berjalan seiring dan berkoordinasi dengan baik dengan Kanwil Kementerian Agama Sulawesi Utara. Corak keagamaan masyarakat dalam konteks Manado juga menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan dalam hal terpeliharanya relasi agama dan etnis yang harmonis dalam setting sosial keagamaan Manado yang majemuk. Corak keagamaan masyarakat Manado yang relatif moderat khususnya di kalangan Muslim menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi positif dalam pemeliharaan dan penguatan budaya damai di tengah tengah merebaknya fenomena radikalisme agama yang terlihat dalam berbagai bentuk dan ekspresi keagamaan dewasa ini. Corak keagamaan moderat sebagaimana terpetakan dalam kegiatan Bina Damai Etnoreligius di Manado memperlihatkan bahwa agama telah dioperasionalkan secara sadar oleh sebagian masyarakat sebagai agama keselamatan untuk seluruh umat sekalian alam. Tidak dapat dipungkiri bahwa pernah terjadi peristiwa sosial yang menyebabkan terjadinya konflik di Manado pada tahun 1972 namun kondisi tersebut dapat diatasi secara cepat oleh para tokoh agama salah satunya melalui instrumen dialog antar tokoh agama Manado dengan melibatkan masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa dialog telah menjadi satu pilihan yang logis dan etis dalam memberikan solusi serius dan
214
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
mendalam dalam setiap persoalan yang muncul terkait keyakinan atau agama. Mencermati realitas sosial-ekonomi masyarakat Manado yang sebagian besar meyakini bahwa Manado sebagai tanah yang diberkati, faktanya memang realitas sosial ekonomi disana relatif stabil dan tidak terjadi kesenjangan yang berarti. Anatomi masyarakat seperti ini cenderung mengedepankan pilihan rasional dalam merespon setiap persoalan termasuk dalam hal radikalisme agama yang justeru akan mendestruksi bangunan damai yang sudah hidup di masyarakat Manado sejak bertahun-tahun lamanya. Realitas demikian telah mengonfirmasi suatu fakta bahwa tiadanya faktor kesenjangan ekonomi telah memberikan dampak positif pada terpeliharanya budaya damai di Manado. Hal ini penting dikemukakan mengingat terdapat sebuah teori yang menjelaskan adanya korelasi antara factor kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dengan menguatnya kecenderungan radikalisme agama sebagaimana pernah dilansir oleh beberapa lembaga penggiat perdamaian seperti Setara Institute. Frustrasi atas ketidakadilan sosial memicu radikalisme mengatasnamakan agama. Radikalisme agama ‚muara‛ kemarahan masyarakat akibat ketimpangan sosial. Radikalisasi hanya katalisator. Penyebab utamanya, selain genealogi masa lalu, juga akibat frustrasi sosial. Situasi seperti ini telah mendorong terjadinya ruang publik yang sehat di Manado ketika pandangan dan sikap keberagamaan yang moderat menjadi pilihan dan menempatkan fanatisme keagamaan sempit sebagai sikap yang akan mengerosi nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan
215
III. Bina Damai Etnorelijius
dalam setting sosial keagamaan Manado yang plural dan damai. 2. Dinamika Kegiatan Bina Damai Bagian ini memaparkan pelaksanaan kegiatan pendampingan masyarakat dengan pendekatan PAR yang dilakukan oleh kedua kelompok, Cinta Damai dan Harmoni, yang notabene adalah para ‘alumni’ FGD Peace keeping melalui pendekatan PAR tahun 2011 lalu. Meski proposal telah dipersiapkan secara baik, namun pelaksanaan kegiatan sangat bergantung pada realitas kesiapan waktu pencairan stimulan, jadual monev fasilitator pusat, dan kondisi faktual di lapangan. Berikut gambaran singkat pelaksanaan kegiatan kedua kelompok. Sebagaimana alur PAR, kelompok Cinta Damai pertamatama melakukan kegiatan dengan melakukan assesment dengan melakukan serangkaian pengumpulan data dan informasi dengan menemui beberapa pihak meliputi: tokoh agama, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah setempat di Tuminting. Tim peneliti kelompok Cinta Damai berhasil memperoleh data penting terkait dengan tujuan penelitian diantaranya adalah data monografi Tuminting sebagaimana tergambar di bawah ini. Kelurahan Tuminting merupakan salah satu dari 10 kelurahan (Sindulang Satu, Sindulang Dua, Kampung Islam, Bitung Karangria, Sumompo, Maasing, Mahawu, Tumumpa Satu dan Tumumpa Dua) yang ada di Kecamatan Tuminting, Kota Manado. Penduduknya, sesuai data per 1 November 2011
216
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
berjumlah 1.792 KK, dengan jumlah jiwa sebanyak 6.453.000, tersebar di 6 lingkungan. Dengan keragaman agama (Kristen – 3.802 jiwa; Katolik – 218 jiwa; Islam – 2.364 jiwa; Hindu – 21 jiwa; Buddha – 48 jiwa) dan budaya (Minahasa, Gorontalo Sangihe-Talaud, Bugis, Jawa, Arab, Cina) penduduk Kelurahan Tuminting telah berbaur, kawin-mawin, baik antar agama maupun antar budaya sehingga tidak terlalu terlihat perbedaan atau pengelompokan dalam aktivitas hidup sehari-hari. Dan sebagai pusat Kecamatan sekaligus pusat perekonomian, adanya pasar tradisional, pasar swalayan, kompleks pertokoan dan sebuah pabrik kopi, maka matapencaharian penduduknya juga beragam (PNS, Karyawan swasta, PKL, Pedagang toko dan pasar, Jasa dll) Ada 6 gereja dan 2 mesjid untuk masing-masing agama, Kristen dan Islam, sebagai tempat beribadah. Umat Katolik, Gerejanya ada di Kelurahan Bitung Karangria yang berbatasan dengan Kelurahan Tuminting. Umat Budha, tempat ibadanya di vihara Kebajikan Agung yang ada di kelurahan Buha, Kecamatan Mapanget yang berbatasan langsung dengan Kec. Tuminting. Umat Hindu beribadah di Pure Jagadhita, kelurahan Taas-Kecamatan Tikala. Selain memperoleh data tersebut, tim peneliti juga melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh untuk memperoleh informasi. Setelah ditentukan waktu dan tempat untuk pertemuan dengan Toga, Tomas dan Pemerintah, kelompok segera melakukan perkunjungan dengan tujuan untuk mendapatkan informasi dan penjelasan mengenai kehidupan keumatan dan kemasyarakatan.
217
III. Bina Damai Etnorelijius
Saat bertemu dengan Bapak Yamin Wahab, Imam Mesjid ‚Baitul Mahmur‛, didapatkan informasi mengenai kehidupan jemaah yang meskipun terdiri dari beragam budaya (Gorontalo, Bugis, Jawa Arab, Minahasa) namun tetap terbina kebersamaan dalam setiap kegiatan-kegiatan keagamaan. Perbedaan tradisi/ budaya dijadikan sebagai kekayaan untuk saling mendukung dan melengkapi. Dalam kehidupan sosial/kemasyarakatan tetap terpelihara toleransi yang sudah sekian lama terbina di antara masyarakat yang beda agama. Bahkan dalam kegiatan-kegiatan hari besar keagamaan maupun peristiwa duka/pesta nampak kerjasama untuk saling membantu dan menghargai. Sebagai Imam Mesjid, Bapak Yamin Wahab sangat disegani dan berperan dalam membina kerukunan jemaah maupun keharmonisan hidup bermasyarakat. Semisal, pernah terjadi baku lempar batu antar pemuda (Kristen) di kelurahan Bitung Karangria, dan ada batu yang mengenai Mesjid yang menimbulkan kemarahan jemaah khususnya para pemuda dan remaja Mesjid. Bapak Yamin Wahab dapat menenangkan dan memberi penjelasan setelah ditelusuri penyebab ‘batu nyasar’. Dalam perkunjungan di Kantor Jemaat GMIM ‚NAZARET‛, tim peneliti bertemu Pdt. Teddy Tiwang, STh, sebagai Pendeta Jemaat. Dari percakapan yang berlangsung diperoleh informasi dan keterangan sekitar kehidupan antar jemaat maupun jemaat dengan masyarakat. Meskipun sebagian besar anggota jemaat berlatar belakang tradisi/budaya SangiheTalaud, namun kerukunan selalu terbina. Apalagi berbaurnya tradisi/budaya, dengan kawin-mawin maka semakin erat terikat persaudaraan di antara anggota jemaat. Kehidupan bersama antar agama pun nampak jelas hubungan yang saling menerima dan memberi, saling menghormati dan menghargai.
218
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Bila ada keributan yang disebabkan perkelahian dan melibatkan orang-orang yang beda agama, maka persoalan tersebut dilihat sebagai tindak kriminal biasa, yang tidak akan berdampak pada kerukunan dan toleransi hidup beragama. Pertemuan dengan Pemerintah Kelurahan Tuminting dan Tokoh masyarakat, kami berjumpa dengan Drs. Boyke Pandean sebagai Lurah Tuminting, dan beberapa tokoh masyarakat yang juga dipercaya sebagai Kepala Lingkungan, a.l: Denny Muhaling, Eduward Takasana, Tans Himur dan Risnawati Abdul. Percakapan dimulai dengan penjelasan tentang keberadaan kelompok ‚Cinta Damai‛ dan mengenai maksud dan tujuan pertemuan. Awalnya muncul keraguan kelompok ’kader dadakan’ untuk menyampaikan penjelasan di hadapan Pemerintah dan Tokoh Masyarakat. Kelompok berupaya untuk menghindari kesan ‘mengusik’ kehidupan masyarakat yang ada di Kelurahan Tuminting. Namun setelah mendengar sambutan Pemerintah dan tokoh masyarakat yang memberi apresiasi atas kehadiran kelompok dan apa yang telah dilakukan kelompok dengan menjumpai tokoh agama serta kegiatan Lomba Kebersihan Lingkungan yang nanti akan dilaksanakan setelah direncanakan bersama. Dari informasi dan pejelasan serta tanggapan dari tokoh agama, tokoh masyarakat, dan Pemerintah Kelurahan Tuminting, kelompok sepakat, walau masih berupa asumsi, bahwa kehidupan rukun dan damai di Kelurahan Tuminting bersumber dari kearifan lokal masyarakat Sulawesi Utara yaitu: ‚sitou timou tumou tou‛ (Manusia Hidup Memanusiakan Manusia Lain) serta apayang menjadi semboyan masyarakat Sulawesi Utara yaitu: torang samua basudara, deng baku-baku sayang (Kita Semua Bersaudara dan Saling Menyayangi).
219
III. Bina Damai Etnorelijius
Dari proses assessment tersebut, kelompok ini sesuai proposal awal berencana membuat lomba Funbike dan Bazaar. Kegiatan ini diharapkan mampu memupuk kebersamaan segenap masyarakat dan sebagai wujud nyata kepedulian bagi sesama. Hanya saja, sebagaimana akan dijelaskan di bagian monitoring dan evaluasi, kegiatan ini terkendala kondisi alam (hujan) dan secara timing yang berbarengan dengan event lokal yang menyedot perhatian baik kalangan muda dan maupun tua. Karenanya, kelompok ini mengubah kegiatannya menjadi Lomba Kebersihan Lingkungan antar blok/lingkungan. Kegiatan ini diyakini akan menggerakkan masyarakat di setiap kelompok masyarakat untuk saling berinteraksi dalam kebersamaan yang melintasi perbedaan-perbedaan. Dalam kegiatan Lomba Kebersihan Lingkungan telah disepakati bersama bahwa penilaian tidak hanya kebersihan lingkungan tetapi juga soal tingkat keamanan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Untuk penilaian tingkat keamanan diukur dari jumlah laporan masyarakat per lingkungan yang ditangani oleh Pemerintah Kelurahan. Sedangkan untuk penilaian partisipasi masyarakat dilihat dari keterlibatan masyarakat dalam menjaga dan memelihara kebersihan. Pada saat pengumuman Lomba Kebersihan Lingkungan pada hari Jumat, 25 November 2011, yang dipusatkan di Lingkungan III, telah diawali dengan kegiatan bersih-bersih di masing-masing lingkungan dan penanaman pohon (program Pemerintah Kota). ‘Setiap partisipasi ada apresiasi’ pemenang Lomba Kebersihan, juara 1-3 mendapat dana stimulus guna melengkapi inventaris masing-masing lingkungan. Bersamaan dengan itu juga dilaksanakan permainan ketangkasan, yang di
220
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
dalamnya terkandung unsur kerjasama, dan diakhiri makan bersama dengan menu utama Tinutuan, makanan khas Manado. Dari kegiatan ini, kelompok melakukan refleksi. Bahwa rukun dan damai di Kelurahan Tuminting adalah nyata. Semboyan torang samua basudara, deng baku-baku sayang bukanlah semata semboyan, namun tergambar dalam sedikit momen khusus yang mereka adakan ini. Dengan Lomba Kebersihan Lingkungan, misalnya, semua masyarakat dari masing-masing blok/lingkungan dengan latar belakang yang beragam dapat sama-sama saling membantu, baku bantu, baku sayang, dan semakin menyadari indahnya kebersamaan dalam damai. Sedangkan kelompok Harmoni, sebagaimana kelompok Cinta Damai, ada beberapa penyesuaian kegiatan yang dilakukan kelompok ini. Mengikuti alur PAR, kelompok ini mulamula melakukan assessment dengan melakukan serangkaian pengumpulan data dan informasi dengan menemui beberapa pihak, yakni: tokoh agama, tokoh masyarakat, dan aparat pemerintah setempat di Bitung Karangria. Tim peneliti kelompok Harmoni pertama sekali menemui tokoh agama Kristen, Ibu pendeta Jenny Tulungan, S. Th., selaku ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat Petra Bitung Karangria. Selain melakukan silaturahmi dengan Ibu Pendeta Jenny Tulungan, STh di ruang kerjanya (sekertariat Gereja Petra), juga dilakukan diskusi dan tanya jawab dengan beberapa pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan kedamaian dan kebersamaan di daerah Bitung Karangria. Ibu Pendeta menyampaikan bawah selam 4 tahun bertugas sebagai ketua BPMJ ‚Petra‛ Bitung Karangria dan tinggal di
221
III. Bina Damai Etnorelijius
lingkungan tersebut, tidak pernah terjadi konflik dan tidak ada hal sekecil apapun yang bisa memicu untuk menjadi konflik. Harapannya ke depan agar kedamaian tetap terjaga hingga masa yang akan datang. Rencana bertemu tokoh agama Islam yang semula akan bertemu dengan Imam Mesjid Darussalam, tapi urung karena beliau tidak berada di tempat. Akhirnya tim bertemu dengan salah satu tokoh Agama Islam yaitu Bapak Irwan Mamonto, SH, pengurus Badan Ta’mir Mesjid Darussalam, yang juga berprofesi sebagai pengacara. Setelah diterima dengan baik dan berkenalan, tim melakukan wawancara, menggali informasi tentang bagaimana tingkat kedamaian antar umat beragama di Kelurahan Bitung Karangria. Menurut Bapak Irwan, sudah sekian tahun tinggal di daerah itu, mulai lahir sampai sekarang, tidak pernah ada terjadi konflik apapun baik agama maupun etnis. Hal ini, menurutnya, karena masyarakat yang ada di Kelurahan Bitung Karangria tingkat kesadarannya tinggi, dimana kerukunan diwujudkan melalui hari besar agama dan kerja bakti bersama di rumah-rumah Ibadah dan di rumah duka. Harapannya ke depan kiranya masyarakat tetap menjaga kerukunan, kedamaian dan kebersamaan yang sudah terbina selama ini, serta melawan provokator yang mau menghancurkan kedamaian di wilayah ini. Tim juga menggali informasi dari tokoh masyarakat dan pemuda. Bapak Olden Mantiri, guru sekaligus penatua, menyatakan bahwa selalu terjadi kerjasama yang baik antar umat beragama, yaitu melalui ‘rukun duka’ tanpa mengenal agama dan etnis, hari raya ketupat bersama, dan Natal bersama seluruh warga. Adapun tokoh pemuda, Pengurus Karang Taruna Bitung Karangria, menyatakan bahwa tidak pernah
222
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
terjadi konflik antar umat beragama kecuali konflik personal. Menurutnya, karena semua pihak belajar dari pengalaman daerah yang sudah terjadi konflik, dimana semua orang tidak bisa berbuat apa-apa karena semua harta benda tempat tinggal habis serta tidak bisa beraktivitas, maka mereka memilih menghindari adanya konflik. Demikian halnya pihak pemerintah daerah setempat, yakni Pak Lurah, menegaskan bahwa di masyarakat di Kelurahan Bitung Karangria tidak pernah terjadi konflik sara, yang ada hanyalah konflik pribadi, tapi tidak sampai mempengaruhi orang lain. Meski di Kelurahan Bitung Karangria terdapat banyak suku dan agama, namun tingkat toleransinya cukup tinggi. Untuk menegaskan statemennya itu, diketahui data etnis dan pemeluk agama di Bitung Karangria. Secara etnis, di Bitung Karangria ada suku Batak, Minang, Banten, Sunda, Jawa, Bali, Dayak, Bugis, Makasar, Ambon, dan Flores. Secara pemelukan agama, Muslim 489 jiwa, Katolik 189 jiwa, Protestan 2.025 jiwa, dan Budha 81 jiwa. Dari proses assessment tersebut di atas, tim menyimpulkan bahwa adanya heterogenitas di satu sisi dan kedamaian di sisi yang lain telah dirasakan semua pihak di Bitung Karangria. Ketiadaan sejarah konflik di daerah ini, adanya kesadaran meruginya hidup berkonflik (belajar dari wilayah konflik), harapan-harapan untuk terus menjaga kedamaian, adalah diantara poin yang menguatkannya. Hanya saja, dengan harapan-harapan terus menjaga itu tersirat adanya kekhawatiran akan ancaman di masa depan. Misalnya, dengan kalimat ‚(ayo) melawan provokator yang mau menghancurkan kedamaian di wilayah ini,‛ artinya, masyarakat perlu terus disadarkan mengenai kedamaian dan anti-konflik.
223
III. Bina Damai Etnorelijius
Untuk itu, tim bersama ibu lurah setempat kemudian melakukan perencanaan (melanjutkan proposal yang disusun) dengan memberi alternatif-alternatif kegiatan yang dapat memberi penguatan akan kesadaran bersatu dalam keberbedaan, dan bersama secara sadar menjaga kedamaian. Maka digelarlah sejumlah kegiatan lomba sebagai wahananya. Kegiatan lomba ini di awali dengan Jalan Sehat Bersama seluruh masyarakat dan dengan garis start dari rumah dinas camat pada pukul 05.00 wita. Pagi itu seluruh masyarakat sudah berkumpul untuk jalan sehat, namun tiba-tiba hujan mengguyur Kota Manado dengan sangat deras. Sebagian peserta pulang ke rumah dan sebagian masih bertahan sampai hujan berhenti. Setelah hujan berhenti dilanjutkan dengan Senam Bersama di Kantor Kelurahan Bitung Barangria bersama dengan Lurah, masyarakat dan panitia. Setelah selesai senam bersama dilanjutkan dengan sarapan pagi bersama sambil berdiskusi tentang situasi dan kondisi yang terjadi karena hujan. Menjelang siang, kegiatan lomba masak dilakukan. Tema lomba masak ‚kreasi cakalang fishfood‛ ini diikuti oleh 5 kelompok dengan 3 orang peserta yang beda agama di tiap kelompoknya. Maksud dan tujuan lomba ini yaitu untuk menciptakan kebersamaan, kerukunan kerjasama dan kedamaian. Kriteria penilaian yaitu: kerjasama, ketepatan waktu, kebersihan, keindahan menyajikan, rasa. Kegiatan ini berlangsung dengan aman, tertib dan harmonis. Para team penilai terdiri dari 3 orang, yaitu; Lurah, Ibu Pendeta, dan perwakilan pemuda. Hasil penilaian lomba mendapatkan 3 kelompok yang terbaik. Namun yang paling menarik ternyata yang mendapat juara 1 adalah terdiri dari nenek-nenek yang
224
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
sudah berumur 60 tahunan. Lomba ini akhirnya ditutup dengan makan bersama dan foto bersama. Dari rangkaian lomba di atas, tim melakukan refleksi bahwa secara substansial kegiatan lomba ini bisa menunjukan kepada kita semua, kaum muda, yang pergaulannya cenderung mudah konflik, serta seluruh masyarakat pada umumnya, bahwa ternyata kedamaian, kebersamaan, serta kerukunan itu sudah lama tercipta, dan harus terus dijaga. Kita para generasi muda penerus menjadi pihak yang wajib mempertahankannya. Refleksi juga mengonfirmasi pernyataan bahwa Sulawesi Utara terkenal dengan slogan ‚Torang Samua Basudara ‚ dan Kota Manado juga terkenal dengan ‚Kota Tinutuan‚ (Bubur Manado). Artinya Kota Manado terdiri dari bermacam-macam agama dan etnis tetapi tetap satu. Sama dengan ‚Tinutuan‛ yang terdiri atas bermacam-macam sayur dan bahan-bahan lainnya namun tetap enak dalam satu sajian. Adanya tingkat toleransi yang sangat tinggi, rasa persaudaraan, dan kebersamaan membuat masyarakat Manado tetap damai. 3. Lesson Learned Kegiatan Resolusi Konflik Situasi sosial yang sudah harmonis selama bertahuntahun dipandang oleh pelaku kegiatan dan anggota masyarakat pada umumnya merupakan harta berharga yang dimiliki oleh masyarakat Manado. Jika ada peristiwa konflik terjadi umumnya tidak terkait dengan persoalan etnoreligius melainkan hanya peristiwa kriminal murni. Situasi semacam ini telah menjadi faktor pendorong tumbuh berkembangnya semangat kebersamaan dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat. Situasi ini pula mendorong pelaku kegiatan dan
225
III. Bina Damai Etnorelijius
anggota masyarakat untuk terus memelihara suasana perdamaian tersebut dengan cara melakukan rekayasa sosial yang positif sebagaimana maksud dan tujuan utama diselenggarakannya kegiatan Peace Keeping dengan pendekatan Participatory Action Research yang difasilitasi oleh Puslitbang Kementerian Agama RI. Situasi sosial keagamaan yang berlangsung harmonis disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang berhasil teridentifikasi dari pelaku kegiatan di kedua kelompok meliputi: a. Secara historis suasana kedamaian dan perdamaian di Manado sudah berlangsung sejak lama b. Tingkat pendidikan masyarakat Manado pada umumnya relatif tinggi sehingga tidak mudah terprovokasi. c. Kearifan lokal begitu hidup dalam masyarakat Manado seperti Pranata Sosial bernama Sosial Duka hidup di tingkat lingkungan. Sosial duka menjadi pranata sosial yang merekatkan dan menguatkan kebersamaan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan etnik pada saat anggota masyarakat wafat. Disamping itu pranata lain yang sangat populer adalah Torang Samua Basudara. d. Di Manado, tokoh agama memiliki posisi sentral yang masih menjadi panutan dan masih didengar dan dituruti fatwa, pandangan dan perintahnya. e. Masyarakat Manado telah belajar dari pengalaman buruk masyarakat di daerah lain yang mengalami berbagai tragedi kemanusiaan dan kesulitan akibat konflik agama maupun konflik etnik. Kondisi tersebut menghadirkan suatu harapan dan keinginan serta komitmen untuk terus
226
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
membangun, memelihara kedamaian dan perdamaian di Manado. 1. Para pelaku kegiatan dalam Kelompok Harmoni dan Kelompok Cinta Damai merasakan dukungan yang baik dari kalangan tokoh agama yang ada di Manado yang memberikan respon sangat positif terhadap kegiatan yang mereka laksanakan. Para tokoh agama berharap agar kegiatan tersebut terus dilaksanakan untuk meningkatkan perdamaian dan kedamaian di Manado. 2. Kegiatan ini diikuti oleh berbagai lapisan agama dan usia serta profesi 3. Muncul pemikiran bersama dari para pelaku kegiatan di kedua kelompok untuk melembagakan kelompok tersebut secara resmi berbadan hukum 4. Suasana keakraban, semangat kebersamaan, persaudaraan terbangun secara sadar seraya memiliki kesadaran untuk mendiseminasi spirit tersebut ke ranah publik yang lebih luas lagi. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari kegiatan ini, sebagai berikut: 1. Kota Manado yang berpenduduk majemuk memang damai. Hal ini terbukti dari absennya kasus-kasus etnorelijius di Kota Manado—bahkan ketika wilayah tetangganya, Poso/Sulawesi Tengah dilanda konflik keagamaan.
227
III. Bina Damai Etnorelijius
2. Secara historis suasana kedamaian dan perdamaian di Manado sudah berlangsung sejak lama. Kondisi ini telah memberikan kontribusi yang sangat positif bagi terwujudnya budaya damai dan kondusif di Manado. Tingkat pendidikan masyarakat Manado pun pada umumnya relatif tinggi sehingga tidak mudah terprovokasi. Selain itu, efektifnya forum-forum antarumat beragama seperti BKSAUA dan FKUB memberi dukungan kuat pada kedamaian. Masyarakat Manado juga telah belajar dari pengalaman buruk masyarakat di daerah lain yang mengalami berbagai tragedi kemanusiaan dan kesulitan akibat konflik agama maupun konflik etnik. Kondisi tersebut menghadirkan suatu harapan dan keinginan serta komitmen untuk terus membangun, memelihara kedamaian dan perdamaian di Manado. 3. Kearifan lokal begitu hidup dalam masyarakat Manado seperti pranata sosial bernama Sosial Duka hidup di tingkat lingkungan. Sosial duka menjadi pranata sosial yang merekatkan dan menguatkan kebersamaan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan etnik pada saat anggota masyarakat wafat. Disamping itu pranata lain yang sangat populer adalah Torang Samua Basaudara, atau ‚sitou timou tumou tou‛. 4. Terjadi kerjasama yang baik antara semua pihak terutama tokoh agama, tokoh masyarakat dan pemerintah dalam upaya menyemai, membangun dan memelihara perdamaian dan kedamaian di Manado melalui forumforum formal dan informal seperti FKUB, BKSAUA dan forum-forum kultural lainnya di masyarakat. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengupayakan
228
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
kerukunan dan budaya damai, serta fasilitasinya terhadap forum-forum antarumat beragama menjadi faktor penguat. 5. Posisi sentral tokoh agama di masyarakat Manado relatif efektif dan strategis dalam upaya menyebarkan pandangan pandangan keagamaan yang moderat dan toleran. Pembumian makna dialog terus disampaikan ke masyarakat bawah untuk menerima cahaya kedamaian ini guna menjalankan kehidupan dalam suasana yang tenang tanpa ketakutan dan kecemasan. Di samping itu tokoh agama juga berupaya keras dalam menyampaikan pesan agama untuk terus membangun kesadaran dalam beragama yang tidak hanya sekadar berwajah kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Kesalehan sosial, selain bermakna kepedulian di bidang ekonomi, juga kepedulian untuk tidak menghardik umat dari agama lain, menegakkan kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. 6. Dinamika politik lokal memang berpotensi mengganggu kedamaian yang ada. Selain itu, adanya tindakan kriminal yang disebabkan minuman keras juga menjadi tantangan bagi kedamaian masyarakat. Rekomendasi Searah dengan kesimpulan-kesimpulan di atas, dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Kegiatan sejenis peacekeeping ini perlu diselenggarakan secara berkelanjutan di berbagai daerah lainnya di Manado, dan mungkin kota-kota lain di nusantara. Kegiatan peace keeping pun sejatinya tidak hanya mencapai target group kelompok pemuda dan dewasa melainkan melibatkan
229
III. Bina Damai Etnorelijius
kelompok remaja. Seluruh kecamatan dan kelurahan diperlukan kegiatan sejenis yang memberikan pengetahuan dan wawasan pluralisme dengan metode yang menarik dan tidak membosankan. Semakin banyak tokoh-tokoh muda lintas agama yang dapat dilibatkan dalam pelatihan sejenis maka semakin besar pengaruhnya terhadap penguatan sistem sosial yang mendukung pada kedamaian dan kerukunan. 2. Perlu dilakukan kerjasama intensif dengan kalangan media dalam upaya membangun ruang publik yang kondusif dalam mewujudkan upaya penguatan budaya damai. Tidak jarang, bias pemberitaan atau pemberitaan yang kurang pas di media terkait sesuatu hal merembet ke masalah etnis dan agama. 3. FKUB dan lembaga sejenis perlu diperkuat oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat dengan memberikan kegiatan atau program yang memungkinan tokoh-tokoh agama dari berbagai level hingga ke bawah bisa saling bertemu dan berkomunikasi. Seringnya komunikasi dan pertemuan antar tokoh agama dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan damai di wilayah Manado. 4. pemerintah daerah harus memiliki roadmap kerukunan umat beragama yang dapat menjadi acuan hingga puluhan tahun ke depan dengan membangun kebijakan yang berpihak pada upaya memobilisasi seluruh potensi sumber daya secara merata dan berkeadilan. Distribusi ekonomi yang adil dan merata adalah kunci penting untuk tetap terpeliharanya kedamaian dan kerukukan. Bila diperlukan, upaya untuk pengentasan kemiskinan dan distribusi aset
230
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
ekonomi langsung melibatkan institusi-institusi keagamaan setelah terlebih dahulu dilakukan survey yang mendalam dan memadai. 5. Di lingkungan masyarakat sendiri perlu didorong secara terus menerus untuk melestarikan dan memperkuat sistem nilai dan norma yang sudah berkembang dengan baik. Generasi muda menjadi sasaran penting disini sebagai pihak penerus yang dipastikan partisipasi dan perannya karena bakal menjadi penentu dan penerus sistem nilai yang sudah berkembang dengan baik itu. 6. Perhelatan politik dan budaya yang terjadi sudah seharusnya tidak menjadikan agama dan etnis sebagai sumber isu dan mobilisasi suara karena dapat memicu kecemburuan dan kebencian secara tersembunyi. Seharusnya, politik menjadikan agama dan etnis ini dalam posisi yang netral dan tidak menjadi komoditas politik yang diperjualbelikan. Searah dengan itu, kasus-kasus kriminal yang dapat mengganggu kedamaian masyarakat perlu mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. DAFTAR PUSTAKA BPS Kota Manado, Manado Dalam Angka 2010, Manado: BPS, 2010. BPS Kota Manado, Kecamatan Tuminting Dalam Angka 2010, Manado: BPS, 2010. Data Informasi Keagamaan 2010, Manado: Kanwil Keagamaan Prov. Sulut, 2010.
231
III. Bina Damai Etnorelijius
Rudito, Bambang, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003. Tumanggor, Rusmin, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnorelijius dengan Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagaman dan INCIS, 2010. D. Bina Damai di Kabupaten Bantul 1. Gambaran Wilayah Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bagian Utara berbatasan dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul, bagian Barat berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo, dan bagian Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Kabupaten Bantul terdiri dari 17 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Banguntapan. Kecamatan Banguntapan merupakan kecamatan yang memiliki jumlah penduduk terbanyak di antara kecamatan lain di Kabupaten Bantul, yaitu berjumlah 120.015 jiwa, terdiri dari 60.832 lakilaki dan 59.183 perempuan. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada tahun 2010 di Kabupaten Bantul, prosentase penduduk angkatan kerja sebesar 70,15%, sementara prosentase jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 94,76% dari jumlah angkatan kerja.
232
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Sedangkan jumlah penduduk Kabupaten Bantul menurut agama adalah Islam (96,65%), Katolik (2,41%), Kristen (1,82%), Hindu (0,08%) dan Buddha 0,04%. Data jumlah rumah ibadah tahun 2009 adalah sebagai berikut: Mesjid 1673 buah, mushalla 1816 buah, gereja Katolik 11 buah, gereja Kristen 33 buah, Kapel 13 buah, dan Pura 2 buah.9 Berikut ini adalah gambaran sosial dan perekonomian wilayah yang secara khusus memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan konflik bernuansa agama dan etnis yang pernah terjadi di Banguntapan. Deskripsi ini adalah hasil diskusi peserta FGD tentang beberapa mata pencaharian warga masyarakat Banguntapan, yaitu sebagai berikut: Pertama, pengembang perumahan kompleks. Keberadaan pemukiman baru di Banguntapan secara serius telah menggeser lahan pertanian menjadi semakin menyempit. Selain itu dengan pemukiman baru yang umumnya dihuni pendatang baru seringkali menimbulkan terjadinya gap antara penduduk lama dan baru. Bahkan keberadaan mereka diakui telah stabilitas ekonomi lokal. Kedua, Peternakan ayam dan sapi. Jenis mata pencaharian ini secara langsung telah berpotensi terhadap munculnya konflik di tengah masyarakat. Yakni tidak adanya instalasi pembuangan air limbah yang dikeluarkan peternakan dimaksud sehingga jelas mengakibatkan polusi udara bagi masyarakat sekitar. 9
Lihat, Bantul Dalam Angka, 2011, h.143
233
III. Bina Damai Etnorelijius
Ketiga, sektor pertanian. Meskipun secara umum warga masyarakat masih banyak yang bertani, tetapi kondisi pertanian semakin mengarah pada kondisi makin memburuk. Artinya hasil bumi dari sektor pertanian semakin menurun setiap tahunnya. Permasalahan yang seringkali dihadapi petani adalah permasalahan harga yang sering turun atau tidak stabil, pupuk langka, serangan hama, ketersediaan air yang tersumbat atau tidak merata, dan perbaikan irigasi yang kurang diperhatikan, serta persoalan modal. Keempat, pengepul barang bekas (pemulung). Diakui peserta FGD keberadaan pengepul barang bekas semakin tumbuh subur di wilayah ini, selain mudah pemasarannya juga tidak membutuhkan modal besar. Namun masalah yang ditimbulkannya cukup membuat masyarkat menjadi resah. Yakni lingkungan sekitar menjadi terkesan kumuh, banyak nyamuk dan tikus, bau (polusi udara), dan terutama limbahnya yang tidak terkelola. Selain itu banyak pemulung nakal yang melakukan aktivitas di luar pekerjaan yang semestinya, seperti mencuri atau masuk ke rumah –rumah tanpa ijin. Kelima, Industri tahu-tempe. Seperti halnya jenis mata pencaharian peternakan ayam, limbah air hasil produksi tahutempe tidak dikelola secara baik, sehingga mengganggu masyarakat sekitar. Keenam, perikanan. Meskipun dari aspek pemasaran mudah dan pembibitannya juga mudah, tetapi pengelola perikanan sering berebut irigasi air untuk pengairan masingmasing kolam ikan. Selain keenam jenis mata pencaharian di atas, terdapat dua lainnya yaitu pengrajin batu bata dan usaha penggilingan
234
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
padi. Permasalahan terkait usaha penggilingan padi umumnya terkait rebutan lahan. Sementara untuk pengrajin batu adalah resiko musibah dan kematian yang tinggi, dan utamanya permodalan. Menyikapi permasalahan yang muncul dari perekonomian lokal, beberapa kearifan lokal yang biasanya diakukan guna menekan atau tidak memicu konflik lebih luas adalah dengan: 1)
Nyep-nyep, kebiasaan memberikan kompensasi atas dampak produksi pertanian, peternakan, perikanan, dan seterusnya, baik berupa barang, makanan, uang dan lain sebagainya bagi warga sekitar yang terkena dampak langsung.
2)
Budaya menolong, membantu dan peduli pada keluarga miskin. Banyak pengusaha lokal atau keluarga yang dipandang telah berkecukupan melakukan adopsi atau mengangkat pegawai dari keluarga sekitar yang miskin.
3)
Gotong royong dan bersih dusun. Kegiatan ini merupakan sarana bertemu antar warga yang difasilitasi kepala dusun guna mempererat kekerabatan dan keintiman antar tetangga.
4)
Nilai kultur Jawa yang berbunyi nrimo ing pandum= menerima dengan tulus ketentuan dari Tuhan. Ini berarti memberikan makna bahwa bekerja dan berusaha haruslah dengan tulus dan ikhlas, fair dan tidak semata berorientasi materi.
235
III. Bina Damai Etnorelijius
2. Dinamika Kegiatan Bina Damai Pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) Peserta FGD (Focus Group Discussion) terbagi dalam 2 (dua) kelompok. Kelompok pertama, lebih fokus pada upaya pelestarian budaya saling membantu, utamanya kepada masyarakat yang kurang mampu (miskin dan terlantar). Untuk itu dipandang penting memberikan bantuan berupa pembayaran SPP sekolah untuk siswa dari kalangan ekonomi lemah (miskin) sebanyak 95 - 100 orang siswa. Beasiswa ini juga dimaksudkan untuk mengurangi gap psikologis atas kemiskinan di Banguntapan. Kelompok kedua, lebih fokus pada upaya mempererat kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama, dengan melakukan kegiatan jalan sehat lintas agama dan etnis, yang diikuti sejumlah 500 orang. Dalam kelompok ini juga dilakukan sosialiasi hidup rukun melalui berbagai media informasi, seperti spanduk, pamflet, kaos, topi, siaran radio dan koran, termasuk ikrar bersama tokoh masyarakat dan pemuka agama se Kecamatan Banguntapan. Kedua kelompok ini secara bersama bersepakat membentuk Forum Pendampingan dan Penguatan Kedamaian atau disingkat dengan FP2K. Dengan keberadaan forum tersebut, diharapkan menjadi media efektif bertemunya pemuka agama dan sekaligus ajang klarifikasi dan membincangkan berbagai persoalan perdamaian di Banguntapan.
236
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Pelaksanaan Participatory Action Research (PAR) Secara umum kegiatan ini dapat dinilai berhasil. Pertama, atensi kehadiran dan partisipasi masyarakat sesuai target. Kedua, kegiatan dihadiri oleh Sekda Kab. Bantul, Wakapolres Bantul, Camat Banguntapan, Kepala Kemenag Kab. Bantul, Ketua FKUB, Lurah dan pegawai kecamatan. Ketiga, dilakukan ikrar bersama antar pemuka agama. Keempat, terdapat 100 KK dari keluarga miskin mendapat santunan kemanusiaan untuk biaya pendidikan (SPP). Kelima, terjadi proses saling kenal, saling sapa serta suasana hikmat dan penuh kebersamaan antar sesama umat beragama di Banguntapan. Keenam, terdapat partisipasi dari funding lokal yang turut memeriahkan kegiatan PAR dan menyemarakkan suasana kebersamaan, yaitu dari TVS, Minuman Liang Panda, Makanan Siap Saji, Danramil, Kecamatan, dan lainnya.
Evaluasi dan Monitoring Tingkat keberhasilan PAR tidak saja dipengaruhi oleh efektifitas proses FGD, tetapi juga representasi tokoh yang terlibat dalam kegiatan PAR. Yakni bahwasanya peserta yang terlibat dalam kegiatan FGD dan PAR adalah benar-benar berlatar belakang tokoh masyarakat dan pemuka agama yang secara langsung berkomunikasi dengan pengikut dan atau masyarakat di komunitasnya. Hanya saja, peserta FGD adalah berjenis kelamin lakilaki dan hanya 1 orang saja yang perempuan. Selain itu umumnya adalah dari kalangan berusia tua, bukan pemuda.
237
III. Bina Damai Etnorelijius
Proses PAR secara terarah dan terkoordinir atas komando dari mantan komandan Danramil Banguntapan yang sekaligus peserta FGD. Dengan bantuan pihak Damramil, Polisi, Puskesmas, Kecamatan dan KUA Banguntapan, seluruh kegiatan PAR berjalan sukses dan lancar. Refleksi Aktivitas apapun dapat menjadi pemicu konflik di tengah kondisi masyarakat yang rukun dan damai. Kegiatan FGD dan PAR menjadi media efektif yang dapat ditindaklanjuti ke semua wilayah di Banguntapan. Diakui oleh peserta dan pejabat setempat kegiatan semacam ini belum pernah dilakukan dan mampu menjadi media efektif bagi penguatan modal sosial yang dimiliki saat ini. 3. Lesson Learned Kegiatan Bina Damai Faktor determinan Dalam kajian ini terbukti bahwa kerukunan hidup antar ummat beragama di Banguntapan Bantul memang terjadi. Meskipun damai bukan berarti nirkonflik. Beberapa faktor yang dipandang mendorong tumbuh-kembangnya kedamaian di wilayah Banguntapan adalah nilai-nilai kultural lokal berupa sikap saling menjaga dan menghormati perbedaan dan kemajemukan yang tetap terjaga, dukungan budaya keraton dan representasi tokoh dan pemuka agama yang terlibat dalam upaya perdamaian.
238
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Derajat damai Meski tidak secara kuantitatif dapat diketahui sebarapa besar kelompok masyarakat yang terkategori damai dalam derajat yang tinggi, dan sebaliknya seberapa banyak masyarakat dalam kategori damai dalam derajat rendah, tetapi secara umum dapat dikatakan masyarakat Banguntapan memiliki derajat damai dalam kategori cukup. Yakni masyarakat memiliki tingkat toleransi yang cenderung menguat. Penilaian ini diketahui dari tingkat dukungan pihak perusahaan dan atau partisipasi masyarkat dalam kegiatan yang dilakukan oleh peserta FGD atau pelopor perdamaian untuk kedamaian sosial di Banguntapan. Apresiasi pihak sponshorship dan atensi masyarakat ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang dirancang pelopor kedamaian menjadi indikasi adanya dukungan masyarakat terhadap prinsip kemajemukan dan kerukunan hidup antar ummat beragama secara lebih luas. Agama sebagai faktor perdamaian Keunikan pemeluk agama di wilayah ini adalah adanya irisan dengan kebudayaan setempat yaitu kultur Jawa. Karena itu kerukunan antarumat beragama ditopang oleh adanya kesamaan kultur atau tradisi yang sama. Poleksosbud sebagai faktor perdamaian Kultur Jawa menjadi domain kehidupan bersama di wilayah ini. Selain itu keberadaan Sultan atau Raja Jawa yang tetap eksis mendorong kebudayaan Jawa tetap terjaga di
239
III. Bina Damai Etnorelijius
tengah masyarakat yang majemuk. Pengaruh budaya keraton secara tidak langsung mendorong masyarakat tetap mempertahankan nilai-nilai kultural setempat meskipun tidak sepenuhnya imun terhadap budaya asing atau luar Jawa. Daerah ini secara konsisten terus berupaya mempertahankan kultur Jawa, termasuk dunia pendidikan atau kampus-kampus yang ada di Yogyakarta. Penegasan kultur Jawa dan keraton sebagai kekhasan daerah menjadi magnet yang menguntungkan bagi masyarakat Jawa dan pemerintah setempat. Karena itu tidak sulit melakukan koordinasi dalam mengembangkan budaya damai di wilayah ini, yang secara inhern damai adalah bagian dari budaya Jawa itu sendiri. 4. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Berdasarkan kajian dan hasil pembelajaran bina damai di Kabupaten Bantul dapat diambil kesimpulan, sebagai berikut: Faktor dominan yang mendukung kerukunan dan kedamaian relasi antarumat beragama pada masyarakat bantul yang heterogen ialah nilai-nilai kultural lokal berupa sikap saling menjaga dan menghormati perbedaan dalam kemajemukan. Kearifan lokal yang mendukung kerukunan dan kedamaian dalam heterogenitas etnolejius ialah pengaruh budaya kraton dan representasi tokoh serta pemuka agama yang terlibat dalam perdamaian.
240
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Kegiatan focus group discussion (FGD) dan participatory action research (PAR) bina damai terlaksana sesuai program, dengan representasi tokoh dan kepedulian yang tinggi dari pemerintah daerah. Namun kurang kondusif dalam interakasi antarpeserta lintas agama yang terkendala oleh keterbatasan pembekalan dan waktu. Tingkat toleransi antarumat beragama cenderung menguat dengan dukungan lingkungan dan partisipasi masyarakat terhadap prinsip kemajemukan dan kerukunan hidup antarumat beragama. Rekomendasi Dengan mengacu pada temuan kajian dan pembalajaran bina damai dan kesimpulan di atas, maka dikomndasikan: Kader perdamaian produk kajian penyadaran dan pendampingan melalui penguatan kedamaian hendaknya diberdayakan oleh pemerintah daerah dengan fasilitasi sesuai keperluan. Pengembangan budaya kraton kiranya dapat lebih diintensifkan terutama yang mendukung kerukunan umat beragama dan kedamaian. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kantor Kementerian Agama setempat hendaknya memediasi peningkatan interaksi sosial antar peserta lintas agama secara rutin dan berkala.
241
III. Bina Damai Etnorelijius
242
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
BAB IV ANALISIS BENTUK-BENTUK RESOLUSI KONFLIK DAN BINA DAMAI Resolusi Konflik adalah satu dari sekian banyak strategi dan metoda yang ditawarkan arah menyelesaikan konflik. Setiap metoda dan strategi itu memiliki tujuannya sendirisendiri, sehingga sulit untuk mengklaim bahwa satu metoda atau strategi lebih unggul dari yang lain. Metoda dan strategi apa saja bisa dipergunakan, tergantung tujuan yang hendak dicapai. Morton Deutsch (Deutsch, 2000) seorang pakar resolusi konflik mengembangkan teori kerjasama (cooperation) dan kompetisi (competitive) untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses konflik dan resolusinya. Dasar pendapat ini karena Deutsch melihat bahwa dalam hampir semua konflik yang terjadi terdapat campuran antara motif kerjasama (cooperative) dan motif persaingan (competitive). Kunci untuk memahami kerjasama/persaingan ini adalah adanya sasaran atau tujuan yang saling tergantung satu sama lain dari pihak yang berkonflik. Sasaran-sasaran itu bisa saja bersifat interdependen negatif, kalau keberhasilan pihak yang satu berkorelasi negatif dengan pihak yang lain. Keadaan ini cenderung menghasilkan relasi kompetitif yang bersifat ‛win – lose‛. Sebaliknya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai bersifat interdependen yang positif, kalau keberhasilan pihak yang satu berkorelasi dengan keberhasilan pihak yang lain atau kegagalan pihak yang satu berkorelasi
243
IV. Analisis Bentuk-bentuk Resolusi Konflik dan Bina Damai
dengan kegagalan pihak yang lain. Situasi ini cenderung akan menghasilkan relasi yang kooperatif karena pihak-pihak yang berkonflik berorientasi pada ‛win – win‛. Hubungan-hubungan yang kooperatif ini mengungkapkan sejumlah karakter yang positif, termasuk komunikasi dan koordinasi yang efektif, sikap yang terbuka dan bersahabat, perasaan untuk saling menguatkan. Sebaliknya dalam hubungan yang kompetitif cenderung menghasilkan sesuatu yang bertentangan, efek negatif, misalnya meghambat proses komunikasi, menghambat kegiatan koordinasi, kecurigaan, kurangnya rasa percaya diri, keinginan untuk mengurangi kekuasaaan, bahkan menguasai pihak lain. Sebab itu Deutsch berpendapat bahwa proses konstruktif dari resolusi konflik sama dengan proses kooperatif dalam metode problem solving, dan proses destuktif dari resolusi konflik sama dengan proses kompetitif. Sebab itu kuncinya adalah mendorong terwujudnya hubungan yang kooperatif di antara pihak yang berkonflik. Karaktersitik dari proses yang berlangsung ditentukan oleh tipe relasi sosial yang ada. Relasi sosial yang bersahabat memperkuat gesture tubuh dan cenderung membangkitan respons yang kooperatif. Sebaliknya sikap yang curiga dan dominatif cenderung memprovokasi respons yang kompetitif (Deutsch, 2000: 27 – 29). Resolusi konflik etnoreligious adalah suatu upaya untuk membangun proses konstruktif dari berbagai komunitas agama yang berbeda-beda untuk membangun masyarakat nir kekerasan, dengan mengurai kebuntuan mulai dari akarnya. Misalnya bagaimana nilai-nilai kebersamaan antar
244
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
etnoreligious itu dapat dibangun untuk kepentingan dan kebaikan bersama yang adil. Persoalan yang ada dalam masyarakat, misalnya masalah ketidakadilan sosial, kemiskinan, kerusakan lingkungan, ketebelakangan, dan berbagai masalah kemanusiaan lainnya dirasakan sebagai masalah bersama. Sebab itu berbagai bentuk resolusi konflik menjadi penting untuk dikembangkan sehingga akan terbangun hubungan pertemanan dan persahabatan di antara etnoreligious yang ada. Selain bentuk-bentuk resolusi konflik seperti olah raga bersama antariman, expo religi, dan panggung seni bernuansa agama, kegiatan workshop antar iman dalam bentuk live-in interacting adalah salah satu bentuk resolusi konflik yang paling efektif. Dalam kegiatan yang berlangsung selama beberapa hari itu para peserta dari berbagai agama yang berbeda dari berbagai kategori seperti pemuka agama, agamawan-wati muda antariman, pemuda-pemudi antar iman akan berinteraksi dan tinggal bersama untuk membangun hubungan yang akrab dan membangun agenda bersama antar iman. Selama beberapa hari itu peserta diajak untuk merontokkan prasangka, memperkenalkan keunikan dan kekayaan spiritual agama masing-masing, mengangkat teksteks kitab suci yang mendorong terwujudnya perdamaian, melakukan analisis mengenai persoalan setempat yang dipandang mengancam kebersamaan, dan kemudian menyepakati wadah bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan bersama untuk mengatasi isu konflik tersebut, serta menyusun agenda kegiatan bersama yang bertujuan untuk membangun saling pengertian dan menghilangkan prasangka.
245
IV. Analisis Bentuk-bentuk Resolusi Konflik dan Bina Damai
Kegiatan seperti ini sudah dilakukan sejak tahun 2005 oleh Dialogue Centre PPS Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, atau oleh Dian/Interfidei. Melalui kegiatan ini lahirlah kader-kader bina damai dari kalangan agamawan muda di berbagai kota-kota yang dipandang rawan konflik etnoreligious, seperti di Banjarmasin, Pontianak, Palangka Raya, Tarakan, Palu, Manokwari dan Sorong. Forum-forum agamawan muda ini kemudian simpulsimpul bina damai setempat dan juga menjadi mitra jaringan strategis Dialogue Centre untuk membangun masyarakat yang damai atau nir kekerasan. Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh forum-forum agamawan muda itu adalah acara dialog bulanan dengan tema tertentu yang disoroti dari berbagai agama, misalnya masalah kemiskinan, korupsi, atau kerusakan lingkungan setempat. Selain itu dialog-dialog yang bertujuan untuk membangun saling pengertian antariman masing-masing seperti ajaran masing-masing agama tentang keselamatan, dosa, kebaikan dan ritus terus dilakukan. Salah satu bentuk kegiatan bina damai yang juga penting untuk mengembangkan sikap saling menghormarti perbedaan adalah acara buka puasa bersama yang diawali dialog dengan tema tertentu. Dialog adalah sebuah proses belajar. Sebagai suatu proses belajar, dialog mendorong Figure 1 kita juga bukan hanya untuk memahami kekayaan berbagai budaya dan kekayaan ruhani dari agama-agama lain, tetapi juga sekaligus memperkaya dan memperbaharui pemahaman sendiri. Dialog tidak menghilangkan perbedaan, malahan mengajarkan dan menyadarkan akan adanya realita
246
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
perbedaan itu. Melalui dialog kita belajar dan mengerti bahwa ada perbedaan, belajar untuk memahami dan mengerti tradisi yang berbeda, dan kemudian belajar hidup dalam perbedaan itu, dan pada akhirnya belajar untuk membangun kebersamaan dalam perbedaan itu. Dialog bukan untuk membangun sebuah harmoni palsu, tetapi untuk membangun suatu kebersamaan yang dinamis. Karena itu dialog pasti bukanlah kepentingan sesaat, juga bukan untuk kepentingan sekelompok atau segolongan orang. Sasaran akhir dialog selalu untuk kepentingan bersama, dan lebih berjangka panjang. Itu sebabnya dialog selalu merupakan proses yang tidak selalu mudah dan sering melelahkan. Dialog bukanlah tujuan tetapi metode yang sangat manusiawi dan bermartabat dalam menyelesaikan berbagai perbedaan, dan dalam kontek masyarakat Indonesia yang tingkat kemajemukannya sangat tinggi ini maka dialog sudah semestinya menjadi gaya hidup.
247
IV. Analisis Bentuk-bentuk Resolusi Konflik dan Bina Damai
248
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
BAB V PENUTUP Berdasarkan uraian, simpulan dan saran dari masingmasing daerah penelitian, maka dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi pokok yang bersifat umum, sebagai berikut:
A. Kesimpulan Dinamika kegiatan resolusi pasca konflik hasil Penyadaran dan Pendampingan Melalui Penguatan Kedamaian cukup variatif oleh pemuda dari berbagai agama melalui pendekatan focus group discussion (FGD) dan partisipary action research (PAR). Di antarnya yang dominan ialah dialog kultural, konsensus untuk kedamaian, kerjasama sosial keagamaan, penyuluhan kerukunan entnorelijius, dan sosialisasi bahaya konflik etnolelijius. Resolusi konflik dalam bentuk program sangat beragam dan dinamis, sesuai faktor penyebab dan perkembangannya. Melalui pendekatan FGD dan PAR merupakan salah satu upaya dapat merajut kembali konflik etnorilijius oleh pemuda lintas agama, tokoh adat dan pemimpin ormas sosial-keagamaan sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah. Namun secara keseluruhan kegiatan PAR belum optimal sebagai suatu program yang dinilai ‚baru‛ oleh masyarakat tetapi menjanjikan, serta sangat tergantung pada fasilitasi pemerintah dan adanya intervensi birokrasi. Pada
249
V. Penutup
masyarakat heterogen dalam etnis dan agama terdapat nilainilai toleransi dan kearifan lokal untuk hidup damai antaretnis dan antarumat beragama. Namun kepentingan nonagama yang dominan di daerah tertentu belum mampu membentengi masyarakat dari konflik, seperti isu stereotip etnisitas, segregasi etnis dan agama, dominasi sosial budaya tertentu, ketimpangan sosial ekonomi, dan kepentingan politik. Konflik terbuka (manifest) biasanya diawali oleh konflik tersembunyi (latent), yang muncul kepermukaan oleh faktor pemicu biasanya diawali masalah kecil ‚sepele‛ yang bersifat individual berkaitan dengan kenakalan remaja dan kasus kriminal. Kemudian menjadi konflik komunal karena melibatkan sentimen keetnisan dan keagamaan, serta memobilisasi konflik di dan dari daerah lain. Konflik etnorelijius terbuka (manifest) dengan intensitas tinggi biasanya terjadi antara umat Kristiani dan Muslim seperti di Kupang Nusa Tenggara Timur, Kota Ambon Maluku, dan Poso Sulawsi Tengah, kecuali di Manado mayoritas Kristen kondusif damai karena peran kearifan lokal -Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSUB) kemudian bersama FKUB serta antisipasi Pemerintah daerah yang tinggi. Sementara di daerah mayoritas Muslim dan Hindu konflik bersekala tinggi tidak terjadi, seperti di Kabupaten Bantul Provinsi DI. Yogyakarta dan Kabupaten Badung Provinsi Bali. Berkaitan dengan pelajaran yang dapat diambil (lesson learned) dari konflik etnorelijius, yaitu menumbuhkan kesadaran bahwa konflik merugikan bagi semua, dan melelahkan. Dalam kondisi tersebut resolusi yang ditawarkan
250
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
berpeluang diterima oleh masyarakat, pengaruh provokasi elite agama dan politik.
kecuali
karena
Kajian etnorelijius telah mendorong terkondisinya kedamaian pasca konflik dan juga menghasilkan kader perdamaian, bahkan di antaranya telah terbentuk forum lintas etnis dan agama untuk kedamaian. Misalnya, Forum Kumunikasi Pemuda Lintas Agama (Forkupelia) di Kota Pontianak Kalimantan Barat, dan Forum Aksi Damai Lintas Agama (Fadla) di Kabupaten Badung Provinsi Bali, Forum Komunikasi Tokoh Adat dan Budaya (FKTAB) di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara. Forum tersebut merupakan gerakan dan model partisipasi masyarakat dalam proses pencairan kebekuan pasca konflik yang bernuansa etnis dan agama. Namun kedamaian sosial pasca konflik yang belum tuntas penyelesaiannya atau lebih pada pengendapan permasalahan yang bersifat sementara akan berpotensi besar muncul kembali sewaktu-waktu dalam hal ini jika terdapat faktor pemicunya seperti pengalaman kasus yang terjadi berulangkali di Ambon dan Poso. Dinamika kegiatan bina damai terkait dengan penguatan kedamaian pada masyarakat heterogen dalam etnis dan agama oleh pemuda dari berbagai agama melalui pendekatan focus group discussion (FGD) dan partisipary action research (PAR) cukup beragam. Di antarnya yang dominan ialah dialog kultural, perlombaan seni dan olahraga, kerjasama sosial keagamaan, penyuluhan kerukunan entnorelijius, dan sosialisasi kearifan lokal yang mendukung kerukunan umat beragama.
251
V. Penutup
Faktor dominan yang mengkondisikan kedamaian ialah sosilsiasi nila-nilai ajaran agama dan ketergantungan hidup pada ekonomi bersama, nilai kekerabatan dan budaya dalam hal kerukunan, dan pendidikan masyarakat yang ‚relatif‛ tinggi yang dilatari oleh kearifan lokal tentang kerukunan. Di samping itu adalah peran aktif lembaga kerukunan seperti Badan Kerjasama Antarumat Beragama (BKSUB) dan kearifan lokal seperti ‚sosial duka‛ dan ungkapan ‚Torang Samua Basaudara‛ di Manado, dan kawasan rumah ibadat agama-agama ‚Puja Mandala‛ di Kuta Selatan Badung Bali, peran aktif FKUB, serta koordinasi pemerintah daerah, pemuka agama, tokoh adat dan masyarakat. Pembelajaran yang dapat diambil (lesson learned) dari kegiatan bina damai, bahwa tercipta dan terpeliharanya kedamaian disebabkan oleh kesadaran akan kepentingan bersama terutama kepentingan ekonomi seperti parawisata di Bali. Oleh karena itu disadari bahwa konflik dapat mengganggu dan mengancam seluruh aspek kehidupan. Di daerah damai bukanlah bebas dari potensi konflik. Banyak faktor yang dapat mempengaruhinya, seperti lemahnya pendekatan sosial-kultural, dan rapuhnya relasi sosial antarumat beragama, serta dominannya kepentingan politik yang menggunakan simbol agama yang melibatkan sentimen keagamaan umat beragama. B.
Rekomendasi
Dari uraian dan kesimpulan direkomendasikan, sebagai berikut:
252
di
atas,
maka
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
1.
Dialog kultural dan dialog tokoh panutan tentang kerukunan agama dan etnis pasca konflik yang bernuansa etnis dan agama hendaknya diprogramkan secara terncana oleh Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan tokoh adat/masyarakat.
2.
Toleransi beragama merupakan modal sosial untuk kerukunan harus diperkuat melalui memperkokoh hubungan kekerabatan, revitalisasi peran forum lintas agama dan kearifan lokal.
3.
Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian Agama di daerah hendaknya mengapresiasi dan fasilitasi terhadap keberadaan dan kepedulian kelompok pemuda lintas agama dalam kegiatan perdamaian umat beragama dalam masyarakat.
4.
Kalangan dunia pendidikan, baik dilingkungan Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seyogyanya berperan optimal untuk perdamaian yang dapat dilaksanakan melalui: (1) perogram pertukaran pemuda, mahasiswa dan siswa antar daerah yang pernah terjadi konflik dengan daerah damai, (2) menjadikan pendidikan multikultural sebagai bahan ajar di lembaga pendidikan sejak dini hingga perguruan tinggi, dan (3). Melaksanakan program bersama ‚live in‛ pada suatu komunitas etnis atau agama yang berbeda.
5.
Potensi konflik sosial karena kesenjangan sosial-ekonomi hendaknya diatasi oleh pemerintah daerah dengan pemerataan pembangunan ekonomi ke daerah minus
253
V. Penutup
melalui pelatihan-pelatihan kewirausahaan (entrepreneurship) antarumat beagama, training of trainers (TOT) tentang aspek sosiologi, antropologi dan agama sebagai kader perdamaian yang diselenggarakan secara berkelanjutan dengan mengikut-sertakan orang dewasa, pemuda dan remaja.
6.
Pengembangan kearifan lokal yang mendukung kerukunan di tiap daerah agar diinventarisasikan dan menyosialisasikannya kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga mempercepat akselerasi dan pembauran masyarakat pendatang dengan penduduk asal setempat.
7.
Forum kerukunan lintas agama dan/atau sejenisnya yang telah terbentuk oleh masyarakat hendaknya difasilitasi dan dikembangkan oleh Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat, bersama Kementerian Agama provinsi dan kabupaten/kota seperti Forum Komunikasi.
8.
Dalam rangka pemberdayaan FKUB yang telah terbentuk Pemerintah Daerah dan Kantor Kementerian agama di daerah hendaknya mamfasilitasi pembentukan FKUB di tingkat kecamatan dan kelurahan/desa sebagai garda terdepan berhubungan dengan masyarakat.
9.
Sosialisasi PBM No. 9 dan 8 tahun 2006 hendaknya terus ditingkatkan, baik frekwensi maupun jangkauan sasarannya hingga tingkat kecamatan dan kelurahan/desa, dengan mengindari kesan seremonial.
254
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA Atok, Kristinus, dan Francis Ateng serta Yoh. Supriyadi, Merajut Damai: Pembelajaran dan Promosi Pluralisme dan Perdamaian di Bumi Kalimantan Barat, Yayasan Pemberdayaan Pefor Nusantara Kerjasama Yayasan TIFA, Pontianak, 2006. Atok, Kristinus, dkk., Membangun Relasi Etnik: Pembelajaran dari Beberapa Kampung di Kalimantan Barat, YPB Kerjasama Cordaid, Pontianak, 2005. Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Mataram, 2011, Mataram Dalam Angka, 2011, BPS Kota Mataram. Badan Pusat Statistik, 2010, Nusa Tenggara Timur Dalam Angka Tahun 2010; BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur. BPS Kota Manado, Kecamatan Tuminting Dalam Angka 2010, Manado: BPS, 2010. BPS Kota Manado, Manado Dalam Angka 2010, Manado: BPS, 2010. Coser, Lewis, The Function of Social Conflict, Free Press, New York, 1965. Data Informasi Keagamaan 2010, Manado: Kanwil Keagamaan Provinsi Sulawesi Utara, 2010. Hakim, Bashori, A., 2001, Laporan Studi Kasus Kerusuhan Sosial di Mataram, Nusa Tenggaran Barat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta. Kantor Kemenko Kesra, Memelihara Kerukunan Pendidikan Multikultural, Jakarta, 2009.
Melalui
255
Daftar Pustaka
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), 2012, Data Penduduk Berdasarkan Agama, Provinsi NTB, 2012, Kanwil Kemenag Provinsi NTB. Kelompok I Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram – NTB., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok I (Proposal Kegiatan FGD di Kecamatan Ampenan Kota Mataram – Rehabilitasi Gereja Kristen HKBP Desa Taman Sari, Kecamatan Ampenan), Kota Mataram. Kelompok II Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram- Nusa Tenggara Barat., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok II (Analisa Pohon Masalah, Kajian Konflik), Kota Mataram. Kelompok III Kegiatan FGD/PAR di Kota Mataram - Nusa Tenggara Barat., 2009, Rumusan FGD/PAR Kelompok III (PAR Untuk Pendampingan Penyadaran/Peace Making di Kelurahan Cakra Utara Kecamatan Cakranegara dan Kelurahan Selagalas Kecamatan Sandubaya, Kota Mataram. Kristianus, Kisah Penting dari Kampung Orang Dayak dan Madura di Sebangki, Yayasan Pangingu Kerjasama Cordaid, Pontianak, 2009. Musahadi HAM dkk, 2007, Mediasi & Resolusi Konflik di Indonesia, WMC & IAIN Walisongo Semarang. Rasjidi, M,. Al-Djami’ah, Nomor Khusus, Mei 1968 Tahun ke VIII:.35. Riza Sihbudi & Moch Nurhasim (Editor), 2001, Kerusuhan Sosial di Indonesia, Grasindo. Rudito, Bambang, dkk. (Ed.), Akses Peran Serta Masyarakat: Lebih Jauh Memahami Community Development, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.
256
Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia
Salim, Mohammad Haitami, Mempererat Kerukunan Etnis dan Umat Beragama dalam Tatanan Masyarakat Multikultur di Kalimantan Barat, STAIN Pontiank Press (akan diterbitkan), Pontianak, 2012. Sangaji, Ariyanto, Sejarah dan Anatomi Konflik Poso, Makalah disampaikan pada Workshop Model Resolusi Konflik dalam Konsepsi Kalangan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 18 Oktober 2005. Syafi’i, Mufid, A., (Edt.), 2009, Studi Aliran/Faham Keagamaan di Indonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta. Tumanggor, Rusmin, dkk., Panduan Pengelolaan Konflik Etnorelijius dengan Pendekatan Riset Aksi Partisipatori, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagaman dan INCIS, 2010. Yewango, A.A., Agama dan Kerukunan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
257