MEMBANGUN ASRAMA MAHASISWA BERBASIS MASYARAKAT Upaya menjadikan kampus atau pusat pendidikan sebagai pusat pembangunan atau pusat pengembangan wilayah dapat ditempuh dengan berbagai cara. Salah satu syaratnya adalah perlunya dikembangkan upaya untuk menyatukan masyarakat kampus dengan masyarakat sekitarnya. Karena setiap cara mempunyai kelebihan dan kekurangannya, terlebih dulu perlu disatukan manusia-manusia kampus dengan masyarakat sekitarnya. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membangun koperasi atau usaha ekonomi kampus berbasis masyarakat atau sebaliknya yang salah satu usahanya adalah membangun asrama mahasiswa berbasis kemasyarakatan. Seperti kita ketahui, selama ini kampus dikenal sebagai suatu sosok yang sangat terhormat, dihargai karena mempunyai kekayaan intelektual, baik dalam bentuk ilmu pengetahuan atau dalam wujud nyata berupa sumber daya manusia. Namun tidak jarang kampus dianggap sebagai suatu aset yang lepas dari masyarakat sekitarnya, sengaja atau tidak sengaja. Kegiatannya bisa bersifat ekslusif dan diikuti oleh masyarakatnya sendiri, dan tidak jarang dalam kegiatannya itu justru berakibat makin jauh dari masyarakat sekitarnya. Kegiatan itu justru menjadi sangat ekslusif sehingga menjadikan kampus berjarak jauh dengan lingkungannya. Masyarakat sekitar kampus yang mungkin saja sangat sederhana, miskin dan lugu, karena dekat dengan kampus, merasa lebih miskin dan tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan kampus di kampung atau di desanya. Masyarakat bisa merasa tidak mempunyai kegiatan yang relevan dengan kampus. Tidak jarang untuk mendekati kampus masyarakat terhalang karena jarak psychologis itu. Mereka menjadi makin jauh dan tidak ada alasan-alasan lain untuk saling mendekati. Upaya mendekatkannya dengan berbagai jalan, baik itu yang bersifat budaya dan sosial mengalami banyak hambatan karena perbedaan kepentingan dan atau karena alasan-alasan lainnya. Padahal apabila kedua komponen masyarakat itu dapat bersatu dan saling isi mengisi niscaya banyak hal dapat dikerjakan bersama dan bisa dihasilkan kesejahteraan yang bisa dinikmati bersama pula. Lebih-lebih lagi kalau kampus itu harus mandiri dan mengembangkan dirinya menjadi suatu unit ekonomi yang kokoh kuat berdiri dalam lingkungannya. Salah satu cara untuk mendekatkan kampus dengan lingkungannya adalah dengan mengadakan usaha bersama untuk menempatkan mahasiswa dalam asramaasrama yang dibangun dengan berbasis kemasyarakatan. Usaha membangun asrama itu dapat dimulai dengan membangun usaha bersama atau koperasi usaha, baik yang dimotori oleh kampus atau yang dimulai oleh masyarakat sekitarnya. Dalam hubungan ini setiap koperasi atau usaha bersama yang dibangun di kampus, apakah itu koperasi kampus yang dimotori oleh para karyawan atau civitas
1
akademika, atau usaha ekonomi lainnya, harus mempunyai sifat usaha ekonomi yang keanggotaannya terbuka, artinya usaha ekonomi itu boleh dan harus diikuti oleh penduduk sekitar kampus. Upaya ini akan marak dan memberi manfaat yang besar karena tenaga-tenaga profesional dari kampus dapat menjadi pemikir dan pelaksana untuk mengembangkan usaha dengan jangkauan yang sangat luas, tidak saja di sekitar kampus tetapi juga wilayah lain di luar jangkauan kampus atau di luar desanya. Sebaliknya penduduk sekitar dapat menjadi karyawan dari usaha ekonomi itu dan sekaligus partisipan aktif, pemegang saham, mengikutkan penyertaan modal, atau menjadi anggota koperasinya, sehingga kemakmuran dan kesejahteraan penduduk yang sekaligus adalah anggota usaha itu atau anggota koperasi dapat ditingkatkan. Dengan cara itu kesenjangan antara kampus dan masyarakat sekeliling dapat dicegah dan kampus tidak membuat iri hati atau menyebar kebencian di luar wilayahnya. Para tenaga profesional, apakah itu dari fakultas ekonomi atau dari fakultas lainnya dapat terjun sebagai pengurus badan usaha atau koperasi itu sehingga dapat ikut serta merencanakan kegiatan ekonomi kerakyatan yang marak. Sebaliknya para penduduk sekitar kampus dapat “ikut kuliah” dengan terjun sebagai anggota badan usaha yang pengurusnya sebagian adalah para dosen dan mahasiswa yang berasal dari kampus tersebut. Salah satu kegiatan yang dapat dikerjakan oleh badan usaha atau koperasi kampus itu adalah membangun asrama mahasiswa yang berbasis kemasyarakatan. Asrama itu tidak perlu dibangun berupa gedung-gedung besar yang megah tetapi cukup bahwa sebagian rumah penduduk disulap menjadi asrama dengan penghuni tidak lebih dari dua atau empat orang mahasiswa saja di setiap rumahnya. Dengan cara demikian maka asrama itu dibangun dengan berbasis kemasyarakatan yang luas. Para mahasiswa menyebar di rumah-rumah penduduk yang bergabung dalam suatu usaha bersama. Koperasi atau usaha asrama mahasiswa itu memelihara kegiatan secara profesional, dengan tata cara dan kondisi yang tertip, dan setiap rumah pondokan mengikuti standar minimal yang disyarakatkan dengan ketat oleh kebersamaan itu. Mula-mula setiap penduduk yang menjadi anggota usaha itu mempunyai rumah dan fasilitas sederhana apa adanya. Badan usaha atau koperasi yang ada dengan dukungan kredit dari Bank, misalnya Bank Pembangunan Daerah (BPD), mengusahakan perbaikan sarana rumah-rumah itu untuk layak ditempati oleh para mahasiswa yang belajar pada perguruan tinggi tersebut. Sebagai contoh koperasi dapat menentukan standard luasnya kamar untuk setiap mahasiswa, lampu penerangan untuk belajar, kamar mandi dan wc, serta keperluan ibadah dari mahasiswa yang menempati pondokan tersebut. Setiap rumah pondokan menyatu bersama dalam bentuk koperasi atau dalam bentuk usaha bersama yang kemudian bisa mendapat dukungan tenaga tehnis dari universitas, misalnya tenaga ahli penasehat bangunan dari fakultas tehnik untuk renovasi dengan mendapatkan bahan-bahan yang baik dan murah. Mereka bersama membangun ruangan dengan standard yang ditentukan. Setiap rumah dan kamarnya kemudian
2
mendapatkan dukungan standardisasi dengan pengawasan yang ketat dari organisasi bersama agar memenuhi persyaratan minimal layaknya sebuah asrama mahasiswa. Dengan standardisasi bangunan dapat pula diberikan dukungan bagi setiap mahasiswa sehingga sewa kamar relatif seragam dan murah tetapi tidak merugikan pemilik rumah yang sekaligus adalah anggota badan usaha kampus tersebut. Tentunya jarak antara rumah atau asrama dengan kampus juga perlu mendapat perhatian dan jaminan dengan harga sewa yang bervariatip. Di tiap-tiap pondokan dapat disediakan bacaan untuk menunjang tugas-tugas mahasiswa atau setiap beberapa rumah disediakan satu tempat dimana buku-buku mahasiswa yang lama ditinggalkan untuk menjadi bahan bacaan teman lain yang lebih junior. Dengan cara demikian koperasi memelihara juga hubungan antara anggota lama dengan anggota baru yang seluruhnya adalah mahasiswa dari jurusan atau dari fakultas yang sama. Penduduk setempat dengan bantuan dan kerjasama mahasiswa menyediakan fasilitas perpustakaan turun temurun itu sebagai bagian dari pelayanan yang diberikan kepada para mahasiswa baru oleh mahasiswa yang telah lulus terlebih dahulu. Sebagian asrama itu dapat dilengkapi dengan ruang makan dan penyediaan makanan untuk setiap mahasiswa penghuninya. Namun, apabila fasilitas itu tidak dapat diselenggarakan oleh suatu asrama, maka sebagian penduduk lain yang adalah anggota badan usaha itu dapat dibantu untuk membangun dan mengembangkan warung-warung makan yang melayani mereka yang tidak makan di rumahnya atau yang melayani makan ekstra bagi mahasiswa yang kebetulan ingin mendapatkan variasi makan lainnya. Warung-warung makan itu sekaligus dapat melayani keperluan penduduk lain di desa itu sehingga keadaan pedesaan sekitar kampus menjadi bertambah marak karena adanya warung makan yang banyak didatangi oleh para mahasiswa. Penduduk biasa dapat bergaul dan bersahabat dengan para mahasiswa yang makan dari warung yang sama. Anak-anak remaja dari pendidikan menengah, menengah atas dan lainnya dapat ikut nimbrung dalam warung-warung itu, yang sekaligus akan menghidupkan suasana rukun diantara anak-anak muda di pedesaan tersebut. Lebih lanjut dari pada itu sebagian rumah lainnya dapat menyediakan warung kebutuhan alat tulis menulis, warung kebutuhan dapur, atau fasilitas penatu, dan keperluan sehari-hari lainnya. Dengan cara demikian suasana kampung sekitar kampus itu akan lebih hidup dan marak dengan berbagai kegiatan ekonomi yang dinamik. Aspek modal usaha dan dana Salah satu syarat untuk membuka usaha harus ada visi dan misi yang jelas tentang usaha membuat asrama mahasiswa berbasis masyarakat itu. Usaha ini harus mendapat komitmen dari Pimpinan Kampus bahwa usaha itu tidak akan disaingi misalnya kampus membangun suatu asrama mahasiswa yang bersifat raksasa dan menampung banyak mahasiswanya. Apabila komitmen ini tidak ada bisa saja asrama
3
mahasiswa yang berbasis masyarakat itu mendapat saingan dari dirinya sendiri dan akan memperlemah motivasi mahasiswa untuk tinggal dalam suatu asrama dengan basis masyarakat. Kecuali komitmen dalam hal penyediaan sarana yang sama atau hampir sama diperlukan pula komitmen ketenagaan untuk bersama-sama menjadi insan yang membantu pembangunan kebersamaan dan dukungan tehnis untuk membangun lembaga yang sifatnya berbasis kemasyarakatan tersebut. Komitmen ketenagaan ini menyangkut sumber daya untuk mengolah dan mengembangkan usaha serta sumber daya yang dapat menjadi pelaksana usaha bersama tersebut. Tanpa kejelasan tentang siapa saja tokohtokoh yang diajak mengembangkan usaha bersama-sama perlu dikaji dengan seksama feasibility dari upaya-upaya yang diusulkan itu dengan daya jangkau investasi untuk ditanamkan pada usaha yang disebutkan diatas. Komitmen sumber daya manusia ini agak luas, menyangkut sumber daya manusia untuk mengelola usaha serta sumber daya manusia yang dapat menjadi penyelenggara kegiatan-kegiatan ekonomi bersama tersebut. Perlu dipikirkan pula kemampuan sumber daya manusia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan pada tingkat tinggi dan operasional di lapangan. Perlu pula dipikirkan berapa kemampuan ketenagaan, terutama tenaga muda di kampung-kampung yang dapat diajak serta dalam usaha ini agar diperoleh keuntungan ganda yang wajar. Disamping komitmen ketenagaan perlu adanya kemampuan manajemen yang optimal agar bisa dilakukan berbagai pengelolaan yang profesional untuk memperoleh keuntungan yang memadai. Apabila hal ini tidak diselidiki dengan cermat bisa-bisa jenis usaha ini menimbulkan kekecewaan yang tidak ada gunanya. Akhirnya diperlukan dukungan pendanaan yang cukup agar usaha ini bisa dilakukan dengan wajar dengan kegiatan berkelanjutan dan lestari karena kampus akan tetap berada di tempatnya sedangkan sikap dan tingkah laku masyarakat akan makin kondusif kalau proses itu berjalan lancar dan saling menguntungkan. Mudah-mudahan upaya mendekatkan kampus dengan masyarakatnya itu mendapat hasil yang optimal melalui pembangunan asrama mahasiswa berbasis kemasyarakatan dan suasana kampus sebagai pusat ilmu dan technologi makin kondusif sebagai pusat pembangunan bangsa dan negara tercinta.
4
DARI KUKESRA MENUJU GIRI MAKMUR Selama enam tahun terakhir ini BKKBN bersama Bank BNI dan Yayasan Damandiri, dengan dukungan seluruh jajaran pembangunan di seluruh Indonesia, telah berusaha memberikan pendidikan dan pelatihan kepada keluarga-keluarga kurang mampu untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Keluarga yang mendapat dukungan itu jumlahnya tidak tanggung-tanggung, yaitu sebanyak lebih dari 13 juta keluarga dan tersebar di seluruh Indonesia. Menjelang Hari Ibu 2002 ada baiknya upaya ini diangkat kepermukaan karena sesungguhnya upaya ini adalah pemberdayaan perempuan. Sebagian keluarga yang mengikuti proses pemberdayaan itu, karena sudah bertahun-tahun mengalami penderitaan yang sangat menyedihkan, lebih-lebih lagi karena adanya musibah nasional semenjak tahun 1997-1998, belum berhasil dientaskan. Sebagian dari mereka malah makin terpuruk dan masih memerlukan uluran tangan pemerintah atau lembaga-lembaga lain yang lebih besar dan luas jangkauan operasionalnya untuk melanjutkan upaya yang telah dimulai. Tetapi ada pula kelompokkelompok keluarga yang mulai berhasil lepas dari lilitan kemiskinan dan bangkit menjadi warga negara terhormat di kampung, di desa atau di kabupatennya. Bagi keluarga-keluarga yang belum lulus, kadang-kadang upaya menolong mereka itu menjadi lebih sukar karena beberapa alasan. Ada kalanya keluarga kurang mampu itu merasa putus asa dan tidak berdaya. Atau karena alasan-alasan tertentu mereka merasa tidak cocok dengan cara atau para pendamping yang membantu mereka melepaskan diri dari belenggu kemiskinan. Ada kalanya para petugas sendiri bosan karena keluarga yang umumnya mempunyai latar belakang sosial ekonomi sangat rendah, buta huruf, sukar mengikuti perubahan dan merasa tidak mempunyai motivasi untuk maju. Ada saja para petugas tidak sabar menghadapi keluarga yang memerlukan ketelatenan pendampingan yang luar biasa. Mereka tidak sabar karena penggarapan yang sepotong-potong hampir pasti tidak akan banyak menolong. Menurut penelitian Drs. Oos M. Anwas dari Yayasan Damandiri, kelompokkelompok keluarga yang berada di sekitar makam Sunan Giri Gresik, Jawa Timur, termasuk kelompok yang mempunyai pengalaman menarik. Kelompok-kelompok keluarga itu, seperti halnya kelompok lain seperti ini, di tahun 1995-1996 mulai mendapat bantuan pemberdayaan. Kelompok-kelompok itu, yang anggotanya terdiri dari para ibu, seperti juga kelompok lainnya, mula-mula bergabung dalam kelompok Akseptor KB. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi Kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS). Para anggota kelompok ini diajak belajar menabung dengan jumlah tabungan awal sebesar Rp. 2.000,- dan kemudian meningkat terus sesuai kemampuan dan perkembangan yang ada. Latihan belajar menabung itu sekaligus merupakan upaya pemberdayaan keluarga dalam bidang ekonomi. Selama mereka belajar menabung mereka juga
5
bersama-sama berkumpul dan belajar membuat berbagai kerajinan yang kiranya dapat dikembangkan menjadi produk yang laku jual. Bahkan dalam kelompok-kelompok semacam itu, yang biasanya tergabung dalam kelompok PKK, diadakan juga kursuskursus ketrampilan sesuai dengan minat para anggotanya. Ada juga diadakan kursuskursus sesuai dengan permintaan masyarakat yang ada di komunitas tersebut. Kelompok-kelompok semacam ini pada umumnya memilih pengurus yang tidak seluruhnya keluarga kurang mampu. Mereka kemudian bersama-sama mengembangkan kegiatan usaha yang bisa membantu meningkatkan kemampuan ekonomi rumah tangganya. Untuk keperluan itu kelompoknya mendapat kesempatan meminjam uang atau kredit Kukesra dari Bank BNI. Kesempatan kredit itu adalah karena mereka dianggap mempunyai tabungan yang kurang lebih dapat menjadi semacam syarat agunan atau untuk modal awal tanggung jawab renteng antar anggotanya. Pinjaman pertama dimulai dari Rp. 20.000,- untuk setiap keluarga, kemudian Rp. 40.000,- sampai akhirnya setiap keluarga boleh mengambil pinjaman sebesar Rp. 320.000,-. Karena keluargakeluarga itu mempunyai usaha dalam kelompok yang terdiri dari 10 anggota atau 20 anggota, pinjaman yang setiap anggotanya relatif kecil kalau dikumpulkan dalam satu kelompok bisa mencapai jumlah yang cukup besar. Hasil pinjaman para anggota itu biasanya dipergunakan untuk usaha bersama. Dengan adanya pinjaman Kukesra, kelompok yang ada di sekitar makam Sunan Giri Gresik, dimana para keluarga ini umumnya sejak jaman dahulu telah mempunyai kemampuan dan pengalaman khusus dalam membuat barang-barang kerajinan, yaitu membuat perhiasan dari bahan tembaga, perak atau emas, segera memperluas usaha yang telah mereka geluti tersebut. Para Ibu yang tadinya tidak bekerja dan hanya membantu para suaminya di rumah saja, mulai menggeluti kerajinan itu melalui kegiatan kelompoknya. Dengan bimbingan ketua atau pengurus kelompok, para anggota itu menyatu dalam usaha bersama untuk membuat perhiasan dari bahan-bahan tembaga, perak dan sebagian juga dari bahan emas. Hasil dari usaha kelompok itu dijual di sekitar makam Sunan Giri atau dijajakan ke tempat-tempat lain yang dianggap menguntungkan. Karena mereka yang berziarah ke makam Sunan Giri umumnya ummat Islam, termasuk saatsaat menjelang Hari Raya lalu, penjualan hasil kerajinan itu dikombinasikan dengan penjualan barang-barang lain yang bernuansa ke-Islaman. Dengan bergabung dalam kelompok, para Ibu yang semula hanya ikut dalam gerakan KB, mulai ikut aktip dalam gerakan untuk mengentaskan keluarga dan masyarakat dari lembah kemiskinan. Upaya ini tidak mudah karena untuk masyarakat di sekitar makam Sunan Giri itu biasanya para ibu tidak biasa keluar rumah untuk bekerja, tetapi hanya tinggal di rumah membantu suaminya. Karena itu, pada saat-saat awal gerakan ini, sebagian dari para ibu yang tergabung dalam kelompok itu mendapat cemoohan dari sebagian masyarakat yang tidak menyukainya. Namun, karena usaha ini dilakukan dengan dukungan pemerintah dan para alim ulama yang selama ini memberikan dukungan terhadap upaya membangun keluarga sakinah, keluarga yang
6
bahagia dan sejahtera, lama kelamaan merekapun mendapat dukungan untuk ikut serta dalam gerakan ekonomi rumah tangga tersebut. Justru dalam banyak kegiatan keluargakeluarga itu mendapat dukungan dari para pemimpin setempat dan akhirnya juga dari suami-suami yang menjadi sadar bahwa dengan dukungan para ibu itu usaha membangun keluarga yang sejahtera menjadi lebih mudah. Salah satu kelompok yang cukup berhasil dan menonjol adalah sebuah kelompok yang dipimpin oleh Ibu Hasunasih, dari Desa Giri, Kecamatan Kebumas, Kabupaten Gresik. Kelompok ini mula-mula mempunyai anggota sebanyak 15 orang, tetapi karena alasan yang bermacam-macam sekarang anggotanya tinggal 10 orang. Ibu yang sudah agak lanjut usianya ini memimpin kelompoknya dengan aktip, tekun dan mempunyai banyak inovasi yang membuat kegiatan kelompoknya nampak menonjol. Seperti kebanyakan para keluarga yang ada di sekitar Makam Sunan Giri lainnya, anggota kelompok ini juga mempunyai keahlian membuat kerajinan dari tembaga dan perak secara turun temurun. Namun kegiatan ini, karena tidak ada kepemimpinan, karena adanya kendala modal dan adat istiadat yang banyak mengekang, tidak banyak mengalami kemajuan. Sejak para keluarga di Desa itu bergabung dalam kelompok, kendala itu setapak demi setapak mulai dapat diatasi. Untuk mengatasi kendala modal, kelompok ini mulamula termasuk kelompok yang menerima kucuran kredit Kukesra seperti diuraikan diatas. Setiap anggotanya menerima pinjaman mulai dari Rp. 20.000,- sampai sebesar Rp. 320.000,-. Dengan modal dari pinjaman Kukesra itu mereka bersama-sama bergerak dan memproduksi barang-barang kerajinan yang dijual di sekitar Makan Sunan Giri. Penjualan harian memang mula-mula tidak terlalu banyak, lebih-lebih karena persediaan bahan bakunyapun juga sangat terbatas. Tetapi sekarang, karena setiap anggotanya yang berjumlah sepuluh orang itu masing-masing telah mempunyai usaha sendiri, penjualan itu bertambah besar, lebih-lebih pada hari Sabtu dan Minggu dimana pengunjung makan relatif besar jumlahnya. Ibu Ketua Kelompok bahkan telah mempunyai kios yang menjual hasil kerajinan anggota atau produksi yang dihasilkannya sendiri. Ikut Dalam PON di Surabaya Keberhasilan kelompok Ibu Hasunasih ini tidak mudah. Seperti halnya kelompok Ibu-ibu lainnya kelompok ini pada tingkat awalnyapun menghadapi kendala adat masyarakat sekitar makam Sunan Giri. Menurut adat yang ada para Ibu tidak seharusnya keluar rumah untuk melakukan usaha. Tetapi dengan gigih Ibu Hasunasih dan kelompoknya berhasil menangkal kendala itu dengan penuh bijaksana. Seperti halnya kelompok lain di sekitar makam, hasil produksi kelompok ini juga dijual di sekitar makam Sunan Giri, dijual ke toko-toko lain dan melayani pesanan. Kalau ada pesanan, setiap anggota secara gotong royong ikut aktip mendapat bagian untuk memproduksi dengan standar yang ditentukan oleh Ibu Ketuanya. Dengan cara itu kelompok ini mulai berhasil dan menonjol menjelang PON di Surabaya beberapa tahun
7
yang lalu. Karena itu dalam kesempatan menyongsong PON yang untuk pertama kalinya diadakan di Jawa Timur, atas prakarsa Gubernur Jawa Timur Bapak Imam Utomo, BKKBN diminta untuk mengajak para keluarga yang tergabung dalam kelompok UPPKS untuk ikut PON. Mereka dianjurkan membuat produksi yang bisa dijual sebagai sovenir untuk para peserta dan simpatisan yang menonton PON. Dengan kesempatan itu BKKBN mengadakan inventarisasi seluruh potensi UPPKS yang ada di Jawa Timur. Kelompok dari Ibu Hasunasih ini dianggap pantas untuk ditonjolkan dan diberi kesempatan memproduksi barang-barang sovenir yang kiranya laku di jual untuk para simpatisan dan peserta PON di Surabaya itu. Untuk kesempatan itu, melalui Bank Jatim, kelompok ini mendapat kredit untuk usaha itu sebesar Rp. 15 juta. Dengan modal yang jauh lebih banyak dari kredit Kukesra yang hanya sebesar Rp. 320.000,- untuk setiap anggota itu kelompok ini memperoleh kesempatan membeli bahan baku yang lebih besar jumlahnya. Disamping bahan-bahan tembaga dan perak merekapun mampu membeli emas untuk memproduksi perhiasan yang memberikan nilai tambah lebih tinggi. Mereka juga mampu mempunyai persediaan yang cukup untuk memproduksi barang-barang yang kiranya laku dijual dengan untung yang lebih tinggi. Pada waktu PON diadakan, bahkan sebelum pelaksanaan PON, di Surabaya diadakan beberapa pameran untuk menyongsong PON tersebut. Dalam pameran itu kelompok ini ikut serta dan melakukan penjualan barang-barang produksinya. Dengan cara pemasaran yang lebih luas itu kelompok ini memberi kesempatan anggotanya yang menurut adat lama tidak pernah keluar rumah, sekarang mengikuti proses globalisasi ikut aktip keluar dari kampungnya menjual barang-barang kerajinan yang diproduksi dalam usaha rumah tangga di rumahnya. Pada waktu PON dilangsungkan, dengan modal pinjaman yang lebih besar ini kelompok bisa ikut aktip menjual barang-barang produksi yang lebih besar jumlahnya melalui penjualan di kiosnya sendiri atau melalui penjualan lewat pesanan-pesanan yang datang kepada kelompoknya. Pengalaman mengikuti penjualan selama berlangsungnya PON itu memberi pelajaran yang sangat berharga. Penjualan hasil produksinya tidak saja di sekitar Makam Sunan Giri, tetapi telah sanggup melayani pesanan-pesanan dari mereka yang menjual produksinya jauh di luar desanya. Mereka juga menjadi makin berani mengadakan kegiatan pameran di diluar kota Gresik, yaitu di beberapa tempat di sekitar kota Surabaya atau tempat lain yang kiranya dianggap bisa mengundang pembeli atau pemesan barang-berang produksinya. Karena keberhasilan, penjualan yang lebih lancar dan pembayaran kredit yang tertib, sekarang kelompok ini mendapat kepercayaan memperoleh kredit dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jatim yang bekerja sama dengan Yayasan Damandiri dengan jumlah uang sekitar Rp. 50 juta untuk sepuluh anggotanya. Setiap anggotanya
8
telah mempunyai usaha sendiri-sendiri. Pengalaman ini membuktikan bahwa dengan keuletan yang sungguh-sungguh, dari Kukesra bisa juga kita bangun Giri Makmur dengan keluarga yang sejahtera.
9
PUNDI 100 UNTUK PEDAGANG PASAR Dalam suasana hiruk pikuk serang menyerang saling balas antara teror, perang atau teror di berbagai belahan bumi, para Ibu-ibu di pasar-pasar Kendal, Jawa Tengah, sedang giat melaksanakan program Pundi 100 untuk menjadi pedagang pasar yang bonafid. Program ini adalah upaya pemberdayaan yang dilakukan oleh BPR Nusamba dengan sistem jemput bola dan dukungan dari Yayasan Damandiri. Ibu-ibu itu, antara lain Ibu Hj. Robithoh, Ibu Istikah, Ibu Rokhaniyah, Ibu Maitun, dan Ibu Giarti, yang bukan dari kalangan darah biru atau pedagang profesional, sekarang mulai bernafas lega. Lima, empat atau tiga tahun lalu ibu-ibu itu adalah ibu rumah tangga biasa. Mereka banyak menggantungkan kehidupan keluarganya pada penghasilan suami. Para ibu itu mempunyai asal atau latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Ada yang berasal dari keluarga santri. Ada juga yang suaminya setiap hari dengan setia mengayuh becak untuk menghidupi seluruh anggota keluarganya. Ada pula keluarga petani yang selalu setia menunggu musim untuk bercocok tanam di sawahnya yang sempit, atau sekedar bekerja sebagai buruh tani dan bekerja pada sawah tetangganya. Namun, karena tekanan ekonomi yang makin lama dirasakan makin berat, dan penghasilan suami tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, lebih-lebih anak-anak yang makin besar, maka mereka mulai mengikuti gerakan pemberdayaan keluarga. Mereka mulai “ikut terjun” dalam perjuangan bersama rekan-rekan kaum ibu lainnya. Mereka ada yang bergabung dalam kelompok di desanya. Ada pula yang bergabung dalam kelompok di desa lain. Ada yang dengan prakarsa segar membentuk kelompok sendiri dalam lingkungan yang lebih kecil. Mereka bersama-sama mulai “belajar berdagang” di pasar atau membentuk warung kecil-kecilan di kampungnya. Ada yang mengandalkan modal kecil dari gerakan pembangunan keluarga sejahtera dengan Kukesra. Ada pula yang bergabung dengan usaha lain dengan bantuan modal serba sedikit. “Sekolah usaha” itu mereka jalani dengan tekun tanpa ada rasa malu dan malas. Mereka menyadari bahwa pada umumnya ibu-ibu itu tidak lagi bisa ikut pendidikan formal di SD, SLTP, atau mengikuti kursus-kursus yang mentereng. Alasannya sangat sederhana, kalau tidak buta huruf, ya tingkat sekolah aslinya sangat rendah, atau sudah terlalu tua untuk menjadi murid sekolah yang formal. Mereka sadar. Mereka harus mengikuti latihan ketrampilan yang ada itu seperti orang lari maraton, bukan orang lari seratus meter. Lari maraton berbeda dengan lari seratus meter yang lebih populer. Dalam lari maraton setiap peserta harus punya perhitungan yang matang. Pelari harus tidak sombong karena pujian dan tidak sakit hati karena cercaan. Apapun yang terjadi dia harus mampu mengundang simpati untuk mengiringinya menempuh jarak jauh yang monoton dan melelahkan. Jarak itu tidak bertambah dekat karena pujian,
10
atau tidak bertambah jauh karena cercaan. Lari jarak pendek, karena singkat dan cepat, mudah dilihat siapa menang dan siapa kalah. Karena itu lari maraton bisa kalah populer, tetapi kalau menang, penghargaan yang dapat diraih sama. Penonton yang banyak dan mengiringinya sepanjang perjalanan yang jauh akan merasakan pula kenikmatan kemenangan itu. Lari maraton bagi ibu-ibu yang belajar berusaha itu memerlukan kesabaran dan mental yang kuat karena dilihat oleh tetangganya dan penonton lain yang mungkin mencibirkan bibir melihat apa yang dikerjakannya. Para ibu itu tidak putus asa. Ada yang mulai berjualan gerabah barang belah pecah. Ada yang berjualan kelapa. Ada yang berjualan sembako. Ada pula yang berjualan lauk pauk serta bumbu-bumbu yang bisa mengiringi masakan nasi yang sederhana. Ada pula yang berjualan kompor dan segala kebutuhannya. Pendeknya mereka “membaca pasar”, mereka menjadi “calon pedagang” yang beorientasi pasar seperti layaknya ahli pemasaran yang mengincar rejeki yang bakal datang dari konsumen yang membutuhkan barang-barang dagangannya. Seperti memilih lari maraton yang biasanya tidak populer, siapa tahu dengan memberi perhatian yang khusus pada upaya pro kebutuhan masyarakat dan keluarga pada umumnya itu, mereka bisa berharap membawa manfaat ganda, makin akrab dengan mereka yang membeli kepadanya, bisa menggalang persatuan dan persaudaraan dengan langganan dan ikut menikmati sedikit keuntungan dari perdagangan yang ukurannya masih kecil-kecilan itu. Kesabaran itu nampaknya mendapat penghargaan dari para langganan yang makin banyak. Pada saat yang bersamaan program-program yang sebagian diikuti oleh ibu-ibu itu, seperti Kukesra atau IDT atau Program Kompensasi lainnya, telah membuahkan hasil bahwa ibu-ibu yang semula miskin atau tidak mempunyai usaha, sekarang mulai mempunyai usaha yang sedang menanjak. Kegiatan baru itu disebut Pembinaan Usaha Keluarga Sejatera Mandiri atau Pusaka Pundi atau Pundi. Di wilayah Kabupaten Kendal kebetulan ada BPR Nusamba, sebuah lembaga keuangan mikro yang bekerja sama dengan Yayasan Damandiri mencoba menampung para keluarga yang maju seperti tersebut diatas. Para ibu, yang umumnya “telah lulus” dari dukungan program lain, program Kukesra, dengan modal sekitar Rp. 100.000,sampai Rp. 300.000,- diajak bekerja sama, “dijemput”, untuk memperluas usahanya dengan dukungan modal awal sekitar Rp. 500.000,-. Karena program itu sifatnya “menjemput bola”, para ibu yang sederhana itu tidak harus berdandan rapi untuk pergi ke Kantor BPR Nusamba, tetapi para petugas BPR-nya justru datang ke tempat berjualan atau ke rumah ibu-ibu tersebut di kampungnya atau di pasar tempat ibu itu berjualan. Kedatangan petugas itu sekaligus merupakan silaturahmi untuk “konsultasi, penjajagan, dan melihat kelayakan usaha” ibu -ibu yang bersangkutan. Dalam konsultasi silaturahmi yang biasanya berjalan dengan akrab, para petugas yang saling sepakat dengan para ibu yang bersangkutan bisa membantu mengisi formulir sederhana untuk “mencatat nasabah” yang akan mendapat dukungan dana tersebut. Biasanya dalam satu,
11
atau dua kunjungan silaturahmi, kalau memang didapat kesepakatan, seorang ibu yang mempunyai usaha yang layak bisa langsung mendapat bantuan, dan akan segera mendapat dukungan tanpa melalui proses rentetan birokrasi yang berbelit-belit. Dana bantuan kredit Pundi bisa segera dapat dicairkan. Tidak seperti kredit IMF atau Bank Dunia yang memerlukan LoI yang panjang dan berbelit-belit. Para ibu yang mendapat kredit itu umumnya berada bersama dalam satu kelompok, sehingga apabila ada yang berhalangan untuk membayar cicilan, anggota lain yang kebetulan lebih longgar dapat membayarkan terlebih dulu. Tanggung jawab semacam ini adalah suatu tanggung jawab renteng yang ternyata menguntungkan semua pihak. Untuk kredit Pundi yang dimulai dari Rp. 500.000,- itu, ibu-ibu di Kendal meminjamnya untuk selama 100 hari. Mereka ada juga yang menyebut Pundi 100. Dengan Pundi 100 ini para nasabah meminjam untuk 100 hari, membayar cicilan dan bunganya setiap hari, selama 100 hari. Setelah 100 hari, apabila nasabah bisa membayar secara teratur dengan baik, tidak ada tunggakan, pihak BPR Nusamba memberikan bonus berupa pengembalian sebagian dari bunga yang telah dibayar atau hadiah-hadiah lain yang menarik seperti TV, radio, alat-alat dapur, dan lain sebagainya. Sistem bonus ini ternyata sangat menarik karena setiap nasabah tidak mau kehilangan bonusnya setelah 100 hari tersebut. Kalau ada halangan dengan cekatan mereka akan meminta tolong temannya untuk “nalangi” atau membayarkan cicilannya terlebih dahulu. Dan karena sistem jemput bola, bagi manajemen BPR bisa juga menjadi alat kontrol atas kerajinan atau disiplin stafnya, yang bertugas menjemput bola. Kalau “petugas penagih” tidak datang, yang protesnya akan ketidak datangan petugas itu adalah dari nasabah yang pembayaran cicilannya bisa dianggap mangkir. Padahal yang mangkir adalah petugasnya ! Upaya yang nampaknya sederhana itu sekarang membuahkan hasil yang sangat membesarkan hati. Tidak ada satupun nasabah lama yang bertahan pada kredit Rp. 500.000,-. Hampir semua ibu-ibu yang namanya disebut diatas, plafon kreditnya sudah mencapai Rp. 2,500.000,- sampai Rp. 3.000.000,- yang semuanya dapat diberikan tanpa agunan karena ada saling kepercayaan yang luar biasa antar kedua belah pihak. Omset mereka juga tidak tanggung-tanggung. Setiap ibu yang ada itu mempunyai omset sekitar Rp. 1.500.000,- sampai Rp. 2.500.000,- setiap harinya. Mereka sudah ada yang mempunyai lebih dari tiga pembantu yang berasal dari kalangan keluarga sendiri, anaknya sendiri, atau anggota keluarga miskin tetangganya. Kehidupan mereka sudah jauh bertambah baik. Dan BPR bisa bergerak terus membina keluarga lain yang mudahmudahan dapat memperoleh kemajuan yang serupa. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati usaha tersebut.
12
DUKUNGAN EKONOMI KELUARGA MANDIRI Menurut laporan Bank Dunia, pada tahun 2000 lalu di seluruh dunia terdapat sekitar 1,2 milyar penduduk hidup dalam kemiskinan absolut, dengan standar hidup kurang dari satu dolar Amerika seharinya. Phenomena itu tidak membaik dibandingkan keadaan tahun 1987. Sementara di bagian dunia lain, seperenam penduduk dunia, terutama di Eropa, Amerika Utara, dan Jepang, menikmati 80 persen pendapatan dunia dan hidup dengan rata-rata $ 70 seharinya. Di Indonesia, berdasarkan Pendataan Keluarga tahun 2000 yang dilakukan oleh BKKBN pada bulan September 2001 terdapat sekitar 24,4 juta keluarga dari sekitar 47,4 juta keluarga yang ada, atau sekitar 52 persen, berada pada kategori keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I, atau keluargakeluarga yang dengan goncangan sedikit saja bisa jatuh miskin. Gara-gara krisis keuangan yang berlanjut menjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan krisis multidimensi yang belum berkesudahan sekarang ini, hampir pasti keadaan dunia, maupun keadaan kita, belum bisa bertambah baik. Di negara-negara besar masih terjadi goncangan-goncangan yang sangat mengganggu. Jepang yang dikenal sebagai negara kuat di belahan dunia ini sekarangpun ikut digoncang ambang resesi yang bisa sangat berbahaya. Dunia tidak tinggal diam. Mereka mengundang dan mengajak semua kekuatan yang ada untuk bersama-sama mengatasi kemelut dan kemiskinan tersebut. Sebagai komitmen global, para pemimpin dunia sepakat untuk bersama-sama menurunkan tingkat kemiskinan menjadi separo dari keadaannya pada waktu ini pada tahun 2015 nanti. Sebagai komitmen kemanusiaan maupun bagian dari masyarakat dunia, kita mempunyai kewajiban moral untuk menurunkan tingkat kemiskinan di negara kita dengan sungguh-sungguh. Untuk itu kita harus menyepakati strategi yang jitu, memberi fokus pada pemberdayaan sasaran yang tepat, bekerja keras secara gotong royong dan berkelanjutan. Kita bersyukur bahwa langkah-langkah awal untuk itu telah dimulai sejak tahun 1993/1994. Sebagian keluarga miskin, keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I, telah belajar menabung dengan Takesra dan belajar usaha dengan bantuan dana Kukesra melalui BKKBN bersama Yayasan Damandiri, PT Bank BNI dan PT Pos Indonesia serta jajarannya di seluruh Indonesia. Sebagian lainnya telah mengikuti usaha pengentasan kemiskinan melalui Program IDT dengan bantuan hibah untuk penduduk miskin di desa-desa tertinggal. Upaya itu kemudian dilanjutkan dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS) serta berbagai upaya lainnya. Dalam waktu dekat pemerintah juga akan menggelar program untuk memberi kompensasi dan bantuan terhadap keluarga miskin karena kenaikan harga BBM. Tidak seluruh usaha itu berhasil. Tetapi kita juga melihat banyak pula yang mulai menampakkan hasil-hasilnya yang positip. Untuk membantu memantapkan usaha kelompok atau keluarga yang berhasil, telah disepakati bahwa program Kukesra akan ditingkatkan menjadi program pemberdayaan mandiri atau program Kukesra Mandiri.
13
Program ini tetap diarahkan untuk membantu keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I yang sudah berhasil agar bisa melanjutkan menabung dalam bentuk “Tabungan Keluarga Sejahtera ” atau “Takesra”, mendapatkan bimbingan dan memperoleh kredit Kukesra Mandiri yang jenis dan besarnya dana disesuaikan dengan kebutuhan yang lebih riel dan tersedianya dana serta atas alasan manfaat untuk memajukan usaha guna memenuhi permintaan pasar yang meningkat. Dengan program baru ini keluarga yang mempunyai usaha yang berhasil, rajin menabung dalam Takesra, tetap akan dibimbing dalam usaha ekonomi produktif dan diberi kesempatan mengambil kredit dengan jumlah yang lebih besar dengan bunga pasar, yaitu “Kredit Usaha Keluarga Sejahtera Mandiri” atau “Kukesra Mandiri”. Bedanya dengan kredit biasa adalah bahwa mereka yang berhasil akan mendapat dukungan karena pengalamannya yang baik selama mengikuti program Kukesra dan dikenal sebagai nasabah yang rajin. Mereka dikenal sebagai nasabah yang baik karena rajin mencicil pinjamannya dan mempunyai produk atau usahanya berhasil. Mereka akan dibimbing melalui Lembaga Keuangan Mikro (LPM) atau Koperasi atau lembaga profesional lain yang ada di Desa atau di Kecamatannya, sehingga kemampuan pengelolaan usaha dan keuangannya bisa lebih ditingkatkan. Pelaksanaan pengembangan Kukesra Mandiri dapat dimulai karena kemajuan Kukesra yang membesarkan hati. Menurut Laporan Bank BNI, pada akhir Maret 2001 lalu sekitar 11.961.473 keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I di seluruh Indonesia telah mempunyai tabungan Takesra sebesar Rp. 219.501.463.444,- (hampir duaratus duapuluh milyar). Dari penabung sebanyak itu, pada akhir bulan Maret tersebut ada sebanyak 10.888.539 keluarga yang sedang menjadi nasabah Kukesra. Menurut Laporan Bank BNI itu, mereka telah belajar berusaha dan mempergunakan kredit Kukesra lebih dari Rp. 1.592.363.160.000,- (Satu trilliun limaratus sembilan puluh dua milyar tigaratus enampuluh tiga juta seratus enampuluh ribu rupiah) atau hampir Rp. 1,6 triliun. Kredit Kukesra yang mereka pergunakan dibatasi pada jumlah tertinggi untuk setiap keluarga adalah Rp. 320.000,-. Oleh karena itu untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut, mereka membutuhkan dukungan pembinaan dan dana yang lebih besar lagi. Sebagai anggota kelompok yang selama ini dibina oleh para Petugas Lapangan KB (PLKB), untuk memulai usaha yang lebih besar mereka harus mencari dan mendapat dukungan para ahli yang lebih profesional. Dengan pengalaman selama lima tahun terakhir ini, mereka yang sudah sukses, tiba waktunya untuk mendapat kesempatan mengembangkan kemitraan dan mendapat pembinaan dari tenaga-tenaga yang lebih profesional atau bermitra dengan para pengusaha yang lebih berpengalaman. Dari sekitar 600.000 kelompok keluarga miskin yang belajar berusaha atau mempunyai usaha mandiri tersebut kelompok yang dianggap telah maju akan diarahkan untuk bermitra secara mandiri dengan berbagai lembaga yang mempunyai sifat lebih komersial. Dalam hubungan dengan kebutuhan dana yang lebih besar, kelompok ini akan diarahkan untuk berhubungan dengan Lembaga Keuangan Mikro di desanya.
14
Mereka diharapkan bisa menjadi lokomotif atau penampung bagi anggota kelompok lain yang belum berhasil. Mereka yang menonjol atau berkembang itu diharapkan mau menjadi pelopor dan penuntun untuk rekan-rekan lain yang belum berhasil. Karena itu, dalam program Kukesra Mandiri ini BKKBN dan jajaran pembina di lapangan diharapkan bisa mengajak kelompok atau perorangan yang berhasil itu tetap mengikuti bimbingan profesional dan mulai belajar pada Lembaga Keuangan Mikro atau Bank untuk memanfaatkan dana yang tersedia di pasar dengan bunga biasa. Untuk keberanian itu mereka akan tetap mendapat bimbingan profesional agar bisa mengelola usaha dengan skala ekonomi yang lebih besar. Untuk mendukung upaya lanjutan itu telah ditanda tangani kesepakatan baru antara Yayasan Damandiri, BKKBN, Bank BNI dan lembaga lain terkait agar skim baru itu segera dapat diwujudkan. Selanjutnya telah pula ditunjuk beberapa Lembaga Keuangan Mikro untuk membantu kelompok yang berhasil mewujudkan cita-citanya. Sesuai dengan kesepakatan yang ada, dana untuk keperluan ini telah mulai disediakan oleh Yayasan Damandiri melalui Bank BNI segera setelah berakhirnya perjanjian kerjasama yang lama pada akhir Maret 2001 yang lalu. Pada bulan Juni ini telah tersedia dana dari hasil cicilan Kukesra pada bulan April dan Mei 2001 yang langsung dialihkan untuk keperluan Kukesra Mandiri tersebut, sehingga diharapkan kegiatan Kukesra Mandiri dapat dimulai di lapangan dengan mulus. Karena profesionalisme yang menjadi acuan utama, maka pendekatan yang ditempuh untuk Kukesra Mandiri ini berbeda dengan pendekatan di masa Kukesra, yaitu lebih bersifat profesional dan nasabah yang akan mendapat bantuan menjadi sangat selektip. Para pembina yang adalah para petugas lapangan KB dan para petugas dari masingmasing LKM telah diminta oleh Ibu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Kepala BKKBN untuk menyegarkan semangat, meningkatkan profesionalisme, dan lebih tekun meningkatkan kemampuan manajemen dan pemasaran produk-produk para anggota kelompok. Dengan program Kukesra Mandiri, program PUNDI, program-program pengentasan kemiskinan lainnya, serta partisipasi masyarakat yang luas, diharapkan komitmen kita untuk menurunkan tingkat kemiskinan separo dari keadaannya dewasa ini pada tahun 2015 yang akan datang mudah-mudahan dapat tercapai.
15
PETANI DESA DAN HARAPAN MASA DEPANNYA Untuk menutup tahun 2002 ada baiknya kita lirik masyarakat Indonesia, yang mayoritas adalah petani yang agamis dengan harapan masa depannya. Seperti diketahui, lebih 60 persen penduduk Indonesia hidup dari kegiatan pertanian di pedesaan. Banyak anggota masyarakat hidup dari menggarap sawahnya sendiri, namun makin banyak, yang karena miskin dan tidak memiliki sawah, terpaksa hanya bisa bekerja sebagai buruh tani. Indonesia adalah juga negara yang masyarakatnya sangat religius. Antara 80-90 persen penduduknya beragama Islam. Karena itu kehidupan masyarakatnya sangat diwarnai dengan kehidupan yang penuh dengan suasana keagamaan yang kental. Tidak beda dengan desa lainnya, daerah yang kita angkat kepermukaan sebagai artikel penutup tahun, hasil penelitian Tim Drs. Oos M. Anwas dari Yayasan Damandiri, adalah suatu desa di daerah pegunungan yang cukup sejuk di Tasikmalaya. Daerah itu adalah Desa Salebu, Mangunreja, Tasikmalaya. Masyarakat Desa ini rajin bertani, bercocok tanam, dan umumnya rajin beribadah. Lebih dari itu masyarakat juga sangat terkenal ketekunannya mempelajari agama Islam dengan cara mendirikan pesantren untuk anak-anak dan santri remaja. Dalam menyongsong bulan suci Ramadhan, secara sengaja Yayasan Damandiri, bekerja sama dengan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), mengungkapkan kehidupan keluarga sederhana yang karena ketekunannya beribadah dan bekerja keras telah dapat mengangkat kehidupan keluarganya menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera. Untuk itu, di Desa Salebu itu kita sengaja menemui Ibu U. Suharah, seorang Ibu muda yang patut diangkat kepermukaan. Ibu Suharah sewaktu masih remaja, seperti anak muda lainnya di Tasikmalaya, dikirim oleh orang tuanya belajar menuntut ilmu dan sekaligus nyantri di Pondok Pesantren Cipasung di Tasikmalaya. Selama mengikuti pelajaran di Pondok Pesantren itu Suharah muda aktif sekali melakukan berbagai kegiatan, terutama yang bersifat keagamaan. Ia juga senang memasak, sehingga banyak disenangi oleh teman-temannya sesama di pondokan. Karena termasuk remaja yang rajin dan banyak kegiatan, Suharah mudah bergaul di pesantrennya. Ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Enong yang makin akrab selama masa sekolah. Perkenalan yang berlanjut menjadi percintaan di sekolah itu akhirnya membawa mereka berdua kejenjang pernikahan. Pernikahan yang dilandasi cinta yang mendalam itu menjadi bekal dalam membangun keluarga yang bahagia dan sejahtera sampai sekarang. Setelah menikah, Enong muda bekerja sebagai pegawai negeri. Belum sempat bekerja, isterinya, yang semula belum mengenal KB, segera dikaruniai anak. Belum sempat membangun keluarga yang lebih sejahtera anak berikutnya segera juga
16
menyusul. Sebagai pegawai negeri yang masih muda gaji mereka menjadi terasa sangat terbatas dan tidak mencukupi untuk membiayai keluarga yang makin besar anggotanya. Ibu Suharah muda yang rajin mengajar ngaji anak-anak di rumahnya mulai timbul pikiran dan niatnya untuk membantu suami dengan bekerja sebisanya. Kegemarannya memasak semasa muda dipraktekkannya dengan mencoba berdagang makanan matang yang dititipkan pada warung tetangganya. Hal ini dilakukan beberapa tahun dan dirasakan memberi manfaat yang sangat membantu. Pada waktu suaminya dipindahkan tugasnya ke daerah lain, yaitu Cigalontang, mereka melihat kebun cabe yang tumbuh dengan subur. Mereka mulai tertarik dan bercita-cita untuk bercocok tanam, menanam cabe atau tumbuhan lain yang membawa keuntungan. Tapi untuk beberapa lama niat itu hanya tinggal sebagai niat saja dan tidak dapat dilaksanakan. Belum lama bertugas mereka dipindahkan lagi ke Desa Salebu yang sekarang ini. Cita-cita yang lama terpendam mulai dicoba. Ibu Suharah mulai bercocok tanam sayursayuran di belakang rumahnya. Hasil tanaman sayuran ini tidak langsung dijual mentah, tetapi dimasak dan dititipkan di warung-warung. Dengan sabar hasil penjualan sayur dan makanan itu ditabungnya untuk menambah modal dan untuk usaha menanam sayur-sayuran yang lebih bervariasi dan lebih banyak. Pada saat yang bersamaan Ibu Suharah mulai mengikuti KB dan bergabung dengan kelompok Akseptor KB yang kemudian membentuk kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera atau UPPKS. Para anggota UPPKS yang umumnya merupakan kumpulan arisan dari para peserta KB yang karena mempunyai kesamaan dalam penerimaan KB berkumpul dan berkoordinasi untuk memudahkan mendapatkan alat kontrasepsi. Mereka bersatu agar pelayanan alat kontrasepsi tidak terlambat yang bisa berakibat fatal karena kalau terlambat alat kontrasepsinya mereka bisa-bisa mengandung lagi. Padahal mereka sudah bertekad untuk mensukseskan proses pelembagaan dan pembudayaan norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera (NKKBS). Arisan atau kumpulan peserta KB itu berkembang. Organisasi yang semula bernama UPPKA, dimana KA artinya kelompok akseptor KB, berubah menjadi UPPKS dimana KS artinya keluarga sejahtera. Peserta yang semula hanya para akseptor KB, sekarang siapa saja bisa menjadi peserta, yaitu khususnya mereka yang mempunyai rasa peduli terhadap usaha untuk memberdayakan keluarga menjadi keluarga sejahtera. Aktifitas yang semula hanya untuk keperluan KB, yaitu mengkoordinasikan penyaluran alat kontrasepsi, berubah dan berkembang menjadi lebih luas mencakup upaya-upaya pemberdayaan pada umumnya. Mereka mulai belajar kegiatan ekonomi produktif dengan belajar menabung, belajar mempergunakan kecakapan bersama untuk usaha-usaha ekonomi mikro yang memberi manfaat peningkatan kesejahteraan.
17
Mulai dengan kredit lunak Dalam kegiatan KB, kelompok-kelompok UPPKS itu semula saling berlomba untuk tampil menonjol, baik dalam kebersamaan maupun dalam usaha-usahanya. Termasuk dalam usaha ini kemudian juga usaha-usaha dalam kegiatan ekonomi mikro. Kelompok yang menonjol mendapat penghargaan. Salah satu penghargaan komunitas yang diberikan adalah tambahan modal untuk kegiatan kelompok itu. Dengan tambahan modal itu usaha ekonomi mikro dari kelompok-kelompok itu mulai berkembang dan mendapat momentum baru. Jumlah anggota keluarga yang bisa ikut serta dalam kegiatan mereka bertambah banyak karena adanya modal tambahan tersebut. Untuk melestarikan usaha itu mulai tahun 1995 para anggota UPPKS diajak belajar menabung. Tabungan pertama untuk setiap anggota dirangsang oleh Yayasan Damandiri dengan diberikan kepada mereka buku tabungan yang telah diisi dengan uang kontan Rp. 2000,-. Dengan tabungan awal itu mereka diajak untuk mulai berhimpun dan bersama-sama melakukan usaha bersama yang bersifat ekonomi. Dengan tabungan yang kemudian diberi nama tabungan Takesra itu mereka boleh mempergunakan tabungannya untuk bergerak dalam bidang ekonomi mikro dengan teman-temannya sesama anggota UPPKS. Setiap kelompok dengan anggota antara 10 – 20 orang, masing-masing dengan tabungan Rp. 2000,- bisa meminjam dengan jumlah pinjaman sebanyak 10 kali lipat dari tabungannya untuk usaha ekonomi produktif. Sejak Januari tahun 1996 setiap anggota UPPKS bisa mulai meminjam dana dari Kukesra yang diselenggarakan oleh Bank BNI dengan nilai 10 kali lipat dari tabungannya yang masing-masing Rp 2.000,-, yaitu masing-masing mendapat pinjaman Kukesra sebesar Rp 20.000,-. Dengan anggota kelompok sebanyak 20 orang, maka untuk satu kelompok jumlah pinjaman bisa mencapai Rp. 400.000,- yang dipandang cukup untuk memulai suatu usaha kelompok kecil-kecilan di desanya. Apabila sudah berhasil dan pinjamannya dikembalikan dengan baik, anggota kelompok UPPKS itu bisa pinjam dana dengan jumlah dua kali lipat, yaitu Rp. 40.000,-, begitu seterusnya kalau berhasil lagi dinaikkan menjadi Rp. 80.000,- dan seterusnya. Pada tahapan terakhir tiap anggota kelompok bisa pinjam sebesar Rp. 320.000,-. Dengan jumlah pinjaman itu tiap anggota bisa mulai mempunyai usaha sendiri secara mandiri. Ibu Suharah termasuk salah satu anggota yang mendapat kesempatan mempergunakan dana pinjaman Kukesra tersebut mulai dari Rp. 20.000,- sampai akhirnya membesar seperti diuraikan di atas. Dengan modal tambahan itu Ibu Suharah makin rajin menanam sayuran-sayuran untuk bahan pembuatan makanan yang dititipkan pada warung-warung tetangganya.
18
Setelah modalnya bertambah banyak Ibu Suharah mampu pula menyewa tanah tetangganya untuk bercocok tanam dengan lebih luas. Jenis tanaman yang ditanampun selalu bertambah dan bervariasi, seperti cabe, buncis, tomat, ketimun dan lain sebagainya. Kalau semula tanaman itu diolah untuk sayuran dan hanya dijual di warungwarung, dalam keadaan produksi yang makin banyak, sayuran-sayuran itu dijual ke pasar yang lebih luas dan lebih jauh lagi jaraknya. Pak Enong tetap bekerja sebagai pegawai negeri. Namun demikian pak Enong selalu membantu isterinya di belakang layar dengan berbagai nasehat dan inovasiinovasi yang cocok untuk mengembangkan usaha yang lebih menguntungkan. Kehidupan suami isteri yang harmonis itu seakan-akan merupakan tonggak yang sangat kuat untuk pengembangan ide-ide brilian yang bisa dipraktekkan di lapangan. Salah satu contoh, pada suatu hari pak Enong mendapat informasi tentang kambing Bogor. Ide itu segera direalisasikan dengan membuat kandang dan memelihara kambing di belakang rumahnya. Dengan pengalaman kambing mereka berani mencoba upaya penggemukan sapi dan berhasil. Usaha yang makin besar itu memerlukan lebih banyak tenaga kerja. Untuk itu Ibu Suharah mengambil tenaga anak-anak muda yang ada di kampungnya. Dengan tambahan tenaga muda itu kegiatan kebun sayur-sayuran dan peternakan Ibu Suharah juga bertambah mantab. Hasil sayuran dan peternakan tidak lagi dimasak untuk dijual di warung-warung desa, tetapi sudah dikirim ketempat-tempat yang lebih jauh. Bahkan, melalui agennya di Bandung, beberapa jenis sayur-sayurannya terutama buncis yang terpilih telah dikirim untuk ekspor ke Singapura dan Malaysia. Berkat pendidikannya di Pondok Pesantren di Cipasung, untuk memelihara kegiatan kemasyarakatannya, Ibu Suharah dengan suaminya tetap rajin mengajar ngaji anak-anak di desanya disertai pendalaman keagamaan yang lebih sistematis. Kegiatan ini ternyata menarik perhatian masyarakat desanya. Untuk memberikan kesempatan lebih besar lagi, dengan menyisihkan hasil keuntungan dari kebun dan dagangannya, keluarga Enong dan Suharah tersebut menyempatkan diri membangun madrasah dimana anakanak muda diajarinya untuk mengaji dan belajar keagamaan. Di dalam madarasah tersebut Ibu Suharah dan suaminya secara bergiliran, juga dengan tenaga pengajar lainnya, memberikan pelajaran mengaji dan pendalaman keagamaan bagi generasi muda dari desanya. Pengalaman sebagai lulusan Pondok Cipasung dipandang cukup untuk memberikan pelajaran yang sangat berharga itu. Disamping pelajaran mengaji, kepada anak-anak muda itu diajarkan juga kegiatan bercocok tanam untuk sekaligus membantu kegiatan bercocok tanam yang menghasilkan produk yang makin bermutu. Disinilah kegiatan nyantri berpadu dengan baik dengan kegiatan ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan bagi keluarga dan masyarakat sekitarnya. Masyarakat bergabung bekerja sama menggalang kebersamaan untuk mencari jalan bagaimana membangun keluarga sejahtera, bekerja keras dalam bidang pertanian, memasarkan produk-produk mereka dengan berbagai cara serta menikmati karunia Tuhan Yang Maha Esa dengan penuh rasa syukur kepadaNya.
19
MENGGARAP SAMUDERA MENEBAR KESEJAHTERAAN Usaha Kecil Menengah (UKM) yang menurut rencana akan makin digalakkan selama tahun 2003 dengan modal yang lebih besar, tidak terbatas pada usaha-usaha yang bisa diselenggarakan di desa daratan seperti kegiatan pertanian, industri dan perdagangan saja. Sebagai negara maritim yang kaya dengan kekayaan lautnya, usaha itu bisa juga di selenggarakan di laut atau di pantai dengan prospek yang sama baiknya. Sebagai salah satu contoh konkrit dari usaha yang menjajikan itu kita tengok Kampung Kassi, Kelurahan Candro, Kecamatan Tamalatea, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kampung ini adalah sebuah wilayah pesisir yang indah dan menarik. Untuk memanfaatkan wilayah pantai yang kaya itu banyak anggota masyarakat bekerja keras sebagai nelayan dan menggantungkan hidupnya dengan melaut secara teratur. Dengan cara itu penduduk tidak hidup bermewah-mewah, tetapi bisa hidup dengan cukup sejahtera dan mempunyai masa depan yang cerah. Kehidupan melaut memang tidak seluruhnya dapat dilakukan dengan teratur dan selalu aman. Dalam waktu-waktu tertentu, laut bisa ganas dan tidak bersahabat. Dalam keadaan seperti itu, kegiatan melaut terlalu berbahaya untuk dilakukan. Kehidupan melaut harus diseling dengan kegiatan ekonomi di darat. Kalau memungkinkan kegiatan di darat ini harus senada dengan kegiatan di laut. Namun, tidak selalu kegiatan di darat bisa disesuaikan dengan kegiatan di laut dengan sama-sama menguntungkan. Karena itu keluarga-keluarga nelayan harus menguasai kehidupan di laut dan juga di darat dengan variasi yang cocok dengan lingkungan dan keahlian masing-masing. Untuk masyarakat Kassi, yang biasa digoda dengan kehidupan laut yang ganas, mereka bisa memanfaatkan kehidupan di darat, terutama oleh para ibu rumah tangganya, dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bahan bakunya tersedia di kampungnya. Menurut penelitian Drs. Oos M. Anwas dari Yayasan Damandiri dan para ahli lainnya dari TPI, yang sedang menyiapkan acara tayangan layar kaca, kebiasaan melaut itu sudah turun temurun sejak dahulu kala. Namun karena sifat nelayan yang sangat tergantung pada situasi gelombang, kehidupan mereka di masa lalu relatif sangat sederhana. Untuk menopang kehidupan dikala tidak melaut, masyarakat biasa membuat gula merah sebagaimana nenek moyangnya di masa lalu. Bahan-bahan untuk itu, seperti buah kelapa dan lainnya, tersedia melimpah di kampungnya. Karena pantai dan laut yang menjanjikan itu, beberapa tahun lalu pernah datang sebuah keluarga Tionghoa dari Makassar ke kampung ini. Berbeda dengan kebiasaan masyarakat lainnya, keluarga ini mencoba keberuntungannya dengan melakukan pengolahan produk berbasis kelautan. Mereka menanam rumput laut di pantai kampung Kassi. Dalam usahanya itu mereka dibantu oleh penduduk kampung Kassi sendiri. Usaha yang nampaknya sederhana dan mudah dijalankan itu mengalami kemajuan yang cukup
20
pesat. Karena relatif sederhana dan mudah dikerjakan, banyak warga masyarakat kampung Kassi yang mau dan ikut membantu bekerja padanya. Selama bekerja pada keluarga Tionghoa itu masyarakat bisa melihat bahwa budidaya rumput laut relatif mudah, pengerjaannya ringan dan sangat menguntungkan. Sebagian penduduk desa yang bekerja pada keluarga Tionghoa itu secara tidak langsung ikut memanfaatkan kesempatan yang ada untuk belajar, menyiapkan benih, memelihara rumput laut dan akhirnya memanen hasil persemaian. Keluarga Tionghoa yang menjadi pemilik modal tidak berkeberatan ada penduduk kampung yang ikut belajar bagaimana memilih bibit dan menanam rumput laut, karena pada tingkat awal kemauan dan kepandaian penduduk kampung itu memperlancar usahanya. Setelah mendapat cukup pengalaman, sekitar lima tahun lalu mulai ada penduduk yang memberanikan diri mencoba menanam rumput secara mandiri lepas dari pengusaha Tionghoa yang berasal dari Makassar itu. Usaha kecil-kecilan ini membawa hasil yang menggembirakan. Karena keberhasilan itu, secara spontan usaha beberapa orang ini diikuti oleh penduduk lainnya. Berlomba-lombalah penduduk kampung Kassi mematok pantai dengan batang-batang bambu untuk menanam rumput laut di pantai Kassi yang sebelumnya dibiarkan kosong saja. Kegiatan yang boleh dikatakan “liar” tersebut mempunyai akibat yang sangat luas. Terjadi persaingan tidak sehat antar penduduk. Lama kelamaan usaha dari keluarga Tionghoa tersebut bangkrut karena tidak banyak lagi orang yang mau bekerja padanya. Disamping itu persaingan antar penduduk yang menanam rumput laut di Kassi juga bertambah berat karena hampir setiap keluarga yang mampu mematok pantai ikut beramai-ramai menanam rumput laut. Bahkan mereka yang tidak mempunyai keahlian dan modalpun, tetap mematok pantai, “merasa memiliki pantai” dan ikut menghalangi pantai itu dengan patok-patoknya. Dengan adanya kegiatan massal penanaman rumput laut seperti itu, ada juga berakibat pada kualitas rumput laut yang dipanen dan dijual kepada konsumennya. Mereka berlomba menjual rumput laut yang relatif “muda” dengan harga bersaing. Para produsen rumput laut bersaing dengan para tetangganya sendiri memperebutkan para pembelinya. Untuk mengurangi persaingan dan membina persatuan antar para penggarap rumput laut yang menjanjikan itu, untung ada seorang bernama Pak Tawang yang mengambil prakarsa membentuk kelompok dengan anggota para penggarap rumput laut di kampung Kassi. Dengan penuh kesabaran Pak Tawang mengajak tetangganya untuk bersatu dan bersama-sama menggarap pantai yang ada di desa Kassi itu untuk kesejahteraan masyarakat dan anggotanya, bukan menjadikan pantai yang ada di desa itu sebagai ajang saling tarung dan bersaing memperebutkan pembelinya. Dengan adanya kelompok tersebut penggarapan rumput laut di Kassi berjalan lebih teratur. Menurut para penggarap, menanam rumput laut sangat mudah, tidak perlu
21
dipupuk. Penggarapan hanya seminggu sekali untuk membersihkan lumpur atau lumut yang melekat pada rumput laut itu. Tanaman rumput laut itu terapung di permukaan laut. Makin besar angin, makin baik karena angin mampu menggerakkan tanaman dan juga sekaligus membersihkan kotorannya. Usia menanam sampai panen rata-rata sekitar 30 sampai 40 hari. Lebih dari 40 hari sebetulnya makin baik dan rumput laut bisa tumbuh besar, tetapi karena keterbatasan modal, mereka biasanya ingin segera memanen dan menjualnya. Pada saat panen seluruh keluarga terlibat, yaitu untuk mengangkat rumput dan menjemurnya. Pada saat panen dilakukan juga pembibitan yaitu dengan memotong-motong pendek, mengikatkannya dengan tali dan menanamnya kembali ke laut selagi masih basah. Pekerjaan pembibitan ini biasanya dilakukan oleh para isteri dan anak-anak. Pada musim pancaroba, apabila musim tidak menguntungkan untuk melaut, para nelayan biasanya menyelingi penanaman rumput laut itu dengan sesekali melaut untuk mencari ikan atau membantu isteri mereka membuat gula. Dengan adanya kelompok yang dipimpin oleh Pak Tawang, sebagian dari berbagai kesukaran yang dialami oleh para petani rumput laut dapat diatasi. Mereka bisa makin gotong royong mengolah rumput laut bersama-sama. Dengan cara gotong royong mereka bisa mengatur cara-cara mendapatkan dukungan untuk memperluas usahanya, antara lain mendapatkan modal yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatannya. Secara kebetulan beberapa waktu yang lalu pemerintah bersama dengan Yayasan Damandiri mengembangkan upaya pemberdayaan masyarakat kurang mampu. Kerjasama yang dilakukan di beberapa daerah itu juga dilakukan di Propinsi Sulawesi Selatan. Yayasan Damandiri, yang sangat peduli terhadap usaha untuk membantu keluarga kurang mampu membangun ekonomi mikronya, menyediakan dukungan dan dana melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) di Makassar, Sulawesi Selatan berupa Skim PUNDI. Dukungan Skim PUNDI itu berupa dana yang disediakan untuk keluarga kurang mampu yang tergabung dalam kelompok atau keluarga yang mempunyai usaha sebagai perorangan yang rajin dan usahanya maju. Kelompok yang dipimpin pak Tawang ini mendapat kesempatan untuk mendapatkan bantuan untuk usahanya. Dengan usaha yang makin maju itu, dalam kesempatan pengembangan pembinaan PUNDI yang juga dilakukan oleh Bank BPD Sulawesi Selatan dengan Yayasan Damandiri, kelompok pak Tawang mendapat kesempatan yang baik untuk mendapatkan modal tambahan. Untuk para anggotanya, pak Tawang sebagai Pimpinan Kelompok menjadikan kelompoknya menanggung secara tanggung renteng. Dengan cara itu kredit yang semestinya ditanggung oleh masingmasing anggota dapat diberikan dengan adanya agunan yang dijamin oleh seluruh anggota kelompoknya secara tanggung renteng. Dengan adanya sistem menanggung secara bersama-sama itu kegiatan menanam rumput laut dapat diatur bersama untuk mengurangi persaingan antar anggota. Mereka
22
juga bisa bersama-sama memelihara kualitas rumput laut yang dipanen dan dijual kepada konsumen atau pengumpulnya di kota Makassar. Dengan bukti-bukti nyata yang makin menguntungkan itu pak Tawang makin yakin bahwa laut bisa juga memberi kehidupan yang makin mensejahterakan masyarakatnya kalau dikelola dengan baik. Sebaliknya pak Tawang juga makin yakin bahwa dengan persatuan dan kesatuan yang kompak kehidupan ekonomi bersama dengan anggota masyarakat lainnya bisa menghasilkan kesejahteraan bersama yang penuh dengan kedamaian dan kesejahteraan. Karena itu ia selalu menganjurkan kepada petani yang belum membentuk kelompok agar segera membentuk kelompok dan melakukan usaha secara gotong royong.
23
MELESTARIKAN UKIRAN TRADISIONAL Indonesia adalah negeri kaya yang mempunyai budaya yang beraneka ragam. Salah satu unsur budaya yang beraneka ragam tersebut adalah adanya ukiran dengan motif khusus yang berbeda dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Dengan kemajuan jaman, ada sebagian motif ukiran dari suatu daerah membaur dengan motif ukiran dari daerah lainnya. Tetapi ada pula sekelompok anggota masyarakat yang tetap memberikan perhatian dengan mengetengahkan ciri-ciri khusus pada ukiran yang ada, sehingga dengan melihat sepintas saja bisa diketahui dari mana karya seni itu dihasilkan. Di Kampung Karang Anyar, Desa Grimak Indah, Nermada, Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, ada semacam usaha yang sungguh-sungguh seperti itu. Biarpun usaha itu bukan merupakan usaha raksasa dengan modal besar, karena masih bersifat perorangan, namun karena ketekunan yang mengolahnya, usaha ini mulai dikenal masyarakat dan mendapatkan pasaran yang makin menarik. Menurut penelitian Drs. Oos M. Anwas dari Yayasan Damandiri, Kampung Karang Anyar termasuk sebuah desa yang cukup subur dan sejuk. Disana sini banyak diketemukan air mengalir yang jernih, kolam-kolam ikan dan persawahan yang terpelihara dengan rapi. Masyarakatnya kebanyakan bertani atau memelihara ikan di kolam-kolam yang tersebar luas di kampung tersebut. Masyarakatnya terlihat akrab dan kelihatan saling rukun. Mereka taat beragama terlihat dari banyaknya masjid dan mushola yang setiap kali mendengungkan azan pada saatnya tiba waktu shalat. Tokoh yang kita angkat kepermukaan kali ini adalah Bapak Lalu Rahman Hadi yang baru berusia sekitar 30 tahun. Ia adalah seorang pekerja yang ulet dan kebetulan sekaligus adalah seorang da’i yang rajin memberikan ceramah keagamaan dalam setiap kesempatan berkumpul dengan anggota masyarakat sekelilingnya. Untuk menjangkau anggota masyarakat yang masih remaja tidak segan-segan Pak Lalu mengumpulkan remaja masjid yang ada di desa itu di mushola setiap malam Jum’at. Dalam kesempatan seperti itu, Pak Lalu memberikan ceramah yang lebih serius dan menjadikan kegiatan tersebut suatu pendidikan keagamaan yang bermutu. Karena pengalaman masa muda, yaitu pada saat pak Lalu ketemu Ibu Sarmini, isterinya yang sekarang, adalah pada waktu masih sama-sama muda dan keduanya giat sebagai anggota remaja Masjid. Mereka berdua sebelumnya telah banyak melakukan kegiatan bersama. Karena itu pada waktu inipun mereka sering mengadakan ceramah yang dikerjakannya berdua bersama isterinya. Lalu Rahman Hadi adalah seorang sosok pemuda yang mempunyai pendidikan dasar yang lumayan. Ia lulusan SMIK yang menamatkan pendidikannya pada sekitar tahun 1994. Sebagai warga desa biasa, sejak sekolah ia nyambi bekerja pada perusahaan kerajinan dan ukiran di desanya. Namun karena pemuda Lalu Rahman Hadi mempunyai cita-cita mandiri yang sangat tinggi, ia selalu “berontak” dan ingin membuka usahanya
24
sendiri. Dengan modal cita-cita yang tinggi dan tekad yang membara itu ia memutuskan untuk bekerja mandiri dan keluar dari perusahaan di desanya. Ia mencoba berjuang sendiri dan bekerja sebagai tukang yang mencari pekerjaan sendiri. Biarpun bekerja sambil bersekolah, ia bercita-cita bahwa ongkos yang diterimanya dari bekerja sendiri, atau keuntungan dari usaha yang akan bisa dikerjakannya sendiri, akan cukup untuk biaya sekolah. Namun karena pengalaman yang sangat terbatas, dan persaingan yang belum biasa dijalaninya, akhirnya ia tidak sanggup untuk bertahan sebagai tukang yang mandiri. Untuk melanjutkan pendidikannya ia terpaksa jatuh bangun dan bekerja seadanya. Setelah menamatkan pendidikannya di SMIK, diputuskannya untuk mencoba keberuntungannya dengan mengembara ke Jakarta. Di Jakarta anak muda Lalu Rahman Hadi mencoba keberuntungannya membuka usaha yang sama. Namun, seperti halnya di Lombok, persaingan usaha kerajinan dan ukiran di Jakarta nampaknya jauh lebih berat lagi. Usahanya gagal dan ia terpaksa harus segera kembali ke Lombok. Sebagai pemuda yang lontang lantung di tempat kelahirannya sendiri Lalu Rahman Hadi muda dengan cita-citanya yang tinggi itu tidak putus asa. Ia mencoba kerja apa saja dengan tetap mempunyai keinginan membara untuk suatu ketika membuka usaha kerajinan dan ukiran seperti yang dicita-citakannya. Untuk mendapatkan posisi yang baik, atau tempat yang kiranya cocok dan menguntungkan, Lalu Rahman Hadi muda berkeliling dari suatu kampung ke kampung lainnya. Pada suatu hari didapatkannya tempat bekerja yang dirasanya nyaman di Nermada, Mataram, Lombok. Ia merasa bahwa tempat ini bakal memberikan kesempatan dan keuntungan untuk usaha dan masa depannya. Diputuskannya untuk menetap dan mulai membuka usahanya di tempat ini. Dengan modal awal sebesar Rp. 10.000,-, beberapa tahun yang lalu, Lalu Rahman Hadi muda mulai membelanjakan uang itu untuk membeli bahan kayu untuk diukirnya. Bahan yang telah selesai segera dijual dan hasil penjualannya segera dibelikan bahan kembali untuk diukir lebih lanjut. Kehidupan seperti itu berulang berbulan dan bertahun sehingga kehidupannya sungguh sangat menyedihkan. Pada saat yang bersamaan ia harus membentuk keluarga dan mengarungi samudera kehidupan yang penuh godaan ini dengan isterinya Sarmini yang kemudian memberinya seorang anak yang sekarang telah berusia 3 tahun. Setelah jatuh bangun dengan persaingan yang cukup ketat selama bertahuntahun, usahanya mulai menampakkan hasil yang memuaskan. Hasil penjualan barangbarang yang dihasilkannya mulai menarik pembeli dengan nilai yang makin tinggi. Ia makin bisa memberikan ciri khusus kepada hasil produksinya sehingga dikenal sebagai produk dengan ciri budaya Nusa Tenggara Barat. Ciri itu antara lain dari gambar daun yang dilukisnya sendiri. Keahlian melukis ciri ini tidak dapat diwakili atau ditiru oleh produsen lain, sehingga merupakan ciri khusus yang kemudian dipahat oleh para karyawannya.
25
Bantuan Kredit Bank Dalam kegiatan menolong keluarga yang semula adalah keluarga pra sejahtera atau keluarga sejahtera I atau keluarga baru yang sedang berjuang menyusun keluarga yang bahagia dan sejahtera, Yayasan Damandiri menggelar kerjasama dengan BKKBN dan beberapa Bank Pembangunan Daerah (BPD), termasuk BPD NTB. Kerjasama awal dengan BKKBN dilakukan bersama Bank BNI, yaitu dengan memberikan keluargakeluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I latihan untuk membuka usaha yang mandiri. Mereka diajak belajar menabung. Kalau berhasil mereka diberi kesempatan mempergunakan kredit yang bisa dipergunakan untuk keperluan produksi barang-barang yang bisa dijual. Mereka yang sudah menabung dan mendapat kredit Kukesra diberi kesempatan untuk belajar usaha yang mempunyai nilai ekonomi. Usaha itu diawali dalam bentuk kelompok agar bisa saling tolong menolong sesama anggotanya. Kalau usaha itu makin maju, diharapkan dapat dikembangkan sebagai suatu koperasi yang lebih maju. Maksudnya adalah agar kelemahan yang ada pada setiap individu keluarga dapat ditolong oleh kekuatan yang ada pada kelompoknya. Pada tingkat awal kelompok-kelompok itu disebut kelompok-kelompok UPPKS atau Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera. Kelompok-kelompok ini diajak untuk bersama-sama mulai belajar berusaha dalam usaha ekonomi mikro yang menguntungkan. Pola kebersamaan dalam usaha itu, seperti halnya koperasi, selalu diajarkan karena kesadaran bahwa pada umumnya anggota masyarakat yang ada tidak mempunyai bakat untuk segera bisa berusaha secara mandiri sendirian. Setiap usaha pada awalnya ditekankan sebagai usaha yang mendahulukan kebersamaan dan diniatkan menguntungkan. Termasuk dalam usaha ini adalah usaha-usaha dalam kegiatan ekonomi mikro. Kelompok yang menonjol mendapat penghargaan. Salah satu penghargaan komunitas yang diberikan adalah tambahan modal untuk kegiatan kelompok itu. Dengan tambahan modal itu usaha ekonomi mikro dari kelompok-kelompok itu mulai berkembang dan mendapat momentum baru. Jumlah anggota keluarga yang bisa ikut serta dalam kegiatan mereka bertambah banyak karena adanya modal tambahan tersebut. Untuk melestarikan usaha itu, mulai tahun 1995 yang lalu para anggota UPPKS diajak untuk belajar menabung. Tabungan pertama untuk setiap anggota dirangsang oleh Yayasan Damandiri dengan diberikan kepada mereka buku tabungan yang telah diisi dengan uang kontan Rp. 2000,-. Dengan tabungan awal itu mereka diajak untuk mulai berhimpun dan bersama-sama melakukan usaha bersama yang bersifat ekonomi. Dengan tabungan yang kemudian diberi nama tabungan keluarga sejahtera (Takesra) itu mereka boleh mempergunakan tabungannya untuk bergerak dalam bidang ekonomi mikro dengan teman-temannya sesama anggota UPPKS. Setiap kelompok dengan anggota antara 10 – 20 orang, masing-masing dengan tabungan Rp. 2000,- bisa
26
meminjam dengan jumlah pinjaman sebanyak 10 kali lipat dari tabungannya untuk usaha ekonomi produktif. Sejak Januari tahun 1996 setiap anggota UPPKS bisa mulai meminjam dana Kukesra yang diselenggarakan oleh Bank BNI dengan nilai 10 kali lipat dari tabungannya yang masing-masing Rp 2.000,-, yaitu masing-masing mendapat pinjaman Kukesra sebesar Rp 20.000,-. Dengan anggota kelompok sebanyak 20 orang, maka untuk satu kelompok jumlah pinjaman bisa mencapai Rp. 400.000,- yang dipandang cukup untuk memulai suatu usaha kelompok kecil-kecilan di desanya. Apabila sudah berhasil dan pinjamannya dikembalikan dengan baik, anggota kelompok UPPKS itu bisa pinjam dana dengan jumlah dua kali lipat, yaitu Rp. 40.000,-, begitu seterusnya kalau berhasil lagi dinaikkan menjadi Rp. 80.000,- dan seterusnya. Pada tahapan terakhir tiap anggota kelompok bisa pinjam sebesar Rp. 320.000,-. Dengan jumlah pinjaman itu tiap anggota bisa mulai mempunyai usaha sendiri secara mandiri. Sebagai kelanjutan dari usaha ini, terutama untuk mereka yang berhasil dengan “latihan” menabung dan menggunakan kredit Kukesra, Yayasa n Damandiri mengadakan kerjasama dengan Bank-bank Pembangunan Daerah (BPD), termasuk BPD NTB. Tujuannya adalah membantu keluarga yang berhasil dan sedang bangkit, termasuk keluarga Bapak dan Ibu Lalu Rahman Hadi, dengan pinjaman dan pendampingan yang disebut PUNDI atau Pembinaan Usaha Mandiri. Karena itulah keluarga Bapak dan Ibu Lalu Rahman Hadi yang mulai mengembangkan usahanya dengan berhasil itu mendapat kesempatan memperoleh bantuan PUNDI dengan pinjaman sampai dengan Rp. 5 juta. Dengan tambahan modal itu keluarga Lalu Rahman Hadi mempekerjakan karyawan yang lebih banyak dan menghasilkan produk-produk yang lebih bervariasi. Karena sistem rekruitmen yang dijalankan oleh pak Lalu tergolong unik, yaitu mengambil tenaga-tenaga yang sama sekali belum berpengalaman, banyak anak muda yang diambilnya menjadi karyawan dan diajarinya untuk bekerja mengukir dan menjadi ahli memproduksi barang-barang yang laku jual. Barang-barang yang diproduksi dan laku jual itu sangat beragam. Ada tempat tisu, topeng, vas bunga, tempat permata, pigura, tongkat, dan lainnya. Bahkan tidak jarang pak Lalu Rahman Hadi berkeliling ketempat-tempat penjualan barang-barang souvenir untuk mempelajari apa saja yang menarik perhatian masyarakat untuk diciptakanya, bisa memuaskan dan memperluas pasaran yang baru. Untuk memberikan ciri khas garapannya yang asli dan dari Lombok, ukiran yang dikerjakannya diberi ciri khusus. Setiap produk diberi tanda daun dan tangkai yang mengandung arti kesuburan pulau Lombok. Motif ini digambar sendiri oleh pak Lalu Rahman Hadi dan merupakan semacam “tanda merek” dagang yang asli. Untuk mengikuti selera pasar, pak Lalu Rahman Hadi selalu mengadakan perjalanan berkeliling Artshop yang ada di Pulau Lombok. Kemudian tidak segan-segan ia mengadakan berbagai improvisasi dan mengeluarkan model-model baru yang
27
dianggapnya bisa menarik pasar. Dengan cara demikian, biarpun karyanya banyak yang ingin meniru, tetapi karena kecepatannya menciptakan model-model yang baru relatif tinggi, sampai kini ia tetap bisa menguasai pasar dan usahanya berhasil menolong anakanak muda yang bekerja padanya.
28