ISSN 1412-663X
HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius
PERTENTANGAN DAN HARMONI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius
Volume 15, Nomor 1, Januari - April 2016
PEMBINA: Kepala Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENGARAH: Sekretaris Badan Litbang & Diklat Kementerian Agama RI PENANGGUNG JAWAB: Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan MITRA BESTARI: 1. Muhammad Hisyam (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 2. Endang Turmudi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 3. Abdul Aziz (Electoral Research Institute) 4. Ahmad Syafi’i Mufid (Forum Kerukunan Umat Beragama DKI Jakarta) 5. Muchlis Hanafi (Pusat Studi Qur’an) 6. Alpha Amirrachman (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization) 7. Ahmad Najib Burhani (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 8. Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah) 9. Arskal Salim (UIN Syarif Hidayatullah) 10. Erni Budiwanti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 11. Minako Sakai (University of New South Wales) PEMIMPIN REDAKSI: M. Adlin Sila SEKRETARIS REDAKSI: Akmal Salim Ruhana DEWAN REDAKSI: 1. Kustini 2. Nuhrison M. Nuh 3. Ibnu Hasan Muchtar 4. Zainuddin Daulay 5. Haidlor Ali Ahmad 6. Abdul Jamil SIRKULASI & KEUANGAN: Rahmah Nur Fitriani & Nuryati SEKRETARIAT & KEUANGAN: Ahsanul Khalikin, Elma Haryani, Mulyadi, Zabidi, U. Endang Sulanjari REDAKSI & TATA USAHA: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jl. MH Thamrin No 6 Jakarta Telp. 021-3920425/Fax. 021-3920421 Email :
[email protected] SETTING & LAYOUT I Nyoman Suwardika COVER Mundzir Fadli PENERBIT: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI
HARMONI
Januari - April 2016
HARMONI
ISSN 1412-663X
Jurnal Multikultural & Multireligius
Volume 15, Nomor 1, Januari - April 2016
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Pemimpin Redaksi ___5 Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang Zakiyah ___8 Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta Akmal Salim Ruhana___23 Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama Ahsanul Khalikin___38 Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream: Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi Organisasi Zaenal Abidin Eko Putro ___54 Salafi-Wahabi vs NU: (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya) Raudatul Ulum ___68 Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’ Muhammad Ali Mustofa Kamal___79
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang) Muh. Dahlan & Mustolehudin ___96 Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita? Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi___ 110
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Asnawati ___129
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius
Volume 15, Nomor 1, Januari - April 2016
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota Yogyakarta Agus Mulyono___144
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme I Nyoman Yoga Segara___167 Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi Juju Saepudin___189
Telaah Pustaka Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
Ngainun Naim ___203
Lembar Abstrak ___214 Indeks Penulis ___ 226 Ucapan Terima Kasih ___229 Pedoman Penulisan ___230
HARMONI
Januari - April 2016
Pengantar Redaksi
Pengantar Redaksi
5
Pertentangan dan Harmoni dalam Masyarakat Majemuk
Argumentasi utama dalam jurnal Harmoni kali ini adalah bahwa kemajemukan atau pluralitas tidak selamanya negatif. Ibarat pedang bermata dua, konflik di satu sisi dapat menimbulkan pertentangan sementara sisi lain ia memperkuat harmoni atau kerukunan masyarakat. Bahkan, harmoni tercipta manakala masyarakat dapat mengelola kemajemukan di antara mereka. Dalam perspektif sosiologis, dengan terjadinya konflik, masyarakat akan lebih memahami dirinya. Itulah nilai positif dari konflik. Dalam literatur sosiologi, konflik merupakan sebuah sistem sosial yang bersifat fungsional. Bagi Lewis A. Coser, yang menulis buku The Functons of Social Conflict, konflik yang terjadi di dalam masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatif saja, tetapi dapat pula menimbulkan dampak positif. Bagi Coser, konfik adalah salah satu bentuk interaksi dan tak perlu diingkari keberadaannya. Menurut Coser lagi, konflik merupakan cara untuk mempertahankan sistem sosial yang ada.1 Hanya saja, Coser membagi bentuk solidaritas itu ada dua: 1) integrasi di dalam kelompok (in group), dan 2) integrasi di luar kelompok (out-group). Integrasi kelompok dalam akan bertambah tinggi apabila tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar bertambah besar, dan konflik dapat membantu memperkuat batas antara satu kelompok dengan kelompok-kelompok lainnya dalam wilayah itu. Untuk menghindari ekses atau dampak negatif dari bahaya konflik, Coser menyebutkan bahwa efek konflik dapat diredam melalui 1 Lewis A. Coser. The Functions of Social Conflict. Simon and Schuster, 1956.
katup penyelamat (safety valve) yang dapat diartikan sebagai “jalan keluar yang meredakan permusuhan”.2 Atau singkatnya dapat kita sebut dengan mediator. Ia dapat berbentuk institusi sosial dapat juga berbentuk tindakan. Terdapat adagium di masyarakat kita bahwa kerukunan atau harmoni antar umat beragama itu sifatnya alamiah. Tidak usah diatur-atur oleh negara. Apalagi kalau masyarakat diberi sanksi agar hidup rukun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat memerlukan mediator untuk mengelola konflik yang terjadi. Dan mediator itu adalah institusi sosial, meminjam istilah Coser. Untuk kasus Indonesia, negara sudah seringkali merancang institusiinstitusi sosial dalam rangka untuk memediasi potensi konflik yang bersifat laten maupun manifest di masyarakat. Apalagi, Indonesia memandang kerukunan merupakan salah satu pilar penting dalam memelihara persatuan dan keutuhan bangsa Indonesia. Tanpa terwujudnya kerukunan diantara berbagai suku, agama, ras dan antar golongan maka bangsa Indonesia akan mudah terancam oleh perpecahan dengan segala akibatnya yang tidak diinginkan. Menelusuri kembali konsep kerukunan yang digagas oleh para tokoh Indonesia sejak 1970-an, ternyata telah banyak bentuk intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Terkait kebijakankebijakan kerukunan umat beragama di Indonesia, Menteri Agama Mukti Ali memperkenalkan pentingnya dialog antaragama dan ilmu perbandingan agama yang diajarkan sebagai mata kuliah di berbagai perguruan tinggi. Kedua hal itu penting sebagai bentuk penyiapan 2
Ibid., Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
6
Pemimpin Redaksi
kader-kader dan sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan konflik antara agama dan pemikiran yang terbuka, berwawasan luas, serta mendahulukan solusi kebersamaan demi masa depan Indonesia. Upaya ini dilanjutkan Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang memperkenalkan Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dalam Trilogi Kerukunan yaitu: 1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama Ialah kerukunan di antara aliran-aliran / paham-paham /mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama, 2) Kerukunan di antara umat / komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha, dan 3) Kerukunan antar umat / komunitas agama dengan pemerintah. Berbagai kebijakan ini bertujuan untuk mencapai keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk agama atau antara pemeluk agama dengan pemerintah.3 Singkatnya, kerukunan umat beragama harus diciptakan karena ia tidaklah bersifat alamiah. Kerukunan meniscayakan kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, hormat menghormati, harga menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian pancasila. Kalau ini sudah tercipta maka semua golongan agama bisa hidup berdampingan bersama-sama tanpa mengurangi hak dasar masingmasing untuk melaksanakan kewajiban agamanya. Saling hormat menghormati dan bekerjasama intern pemeluk agama, antar berbagai golongan agama dan umat-umat beragama dengan pemerintah menjadi simbol bahwa kerukunan adalah tanggungjawab bersama. 3 Departemen Agama RI, ”Kebijakan Departemen Agama dari Masa Ke Masa, Dalam Kurun Setengah Abad”, Badan Litbang Keagamaan Depag, Jakarta, 1996.
HARMONI
Januari - April 2016
Tidak bisa dipungkiri bahwa beberapa pihak menganggap agama sebagai sumber konflik. Tapi bagi aliran Durkhemian melihat agama sebagai realitas sosial, yaitu suatu unsur penting yang menciptakan stabilitas serta perubahan sosial. Sebagai “realitas intrasosial”, agama itu terpengaruh oleh proses sosial itu sendiri. Emile Durkheim memusatkan telaahnya pada pertanyaan dasar: bagaimana masyarakat dapat menghasilkan dan mempertahankan? Bagi Durkheim, agama menjadi faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat serta kohesi sosialnya.4 Dari segi empirik, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, pada tahun anggaran 2010 telah melaksanakan kegiatan penelitian Potret Kerukunan Umat Beragama Di Provinsi Jawa Timur. Temuan penelitian menunjukkan beberapa faktor yang dipandang potensial bagi upaya perwujudan kerukunan meliputi: 1) kearifan budaya lokal; 2) ajaran agama dan peran para tokoh agama selaku lambang pemersatu; 3) dukungan politis pemerintah untuk mewujudkan kerukunan; 4) saling ketergantungan antar warga dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup keseharian; dan 5) adanya forum-forum dialog multikultural lintas agama, budaya, etnis, melalui berbagai media. Puslitbang Kehidupan Keagamaan juga mempublikasikan hasil kajiannya tentang model-model rembug keragaman dalam membangun toleransi umat beragama (2015). Selain itu, Puslitbang Kehidupan Keagamaan sejak lama meneliti dan mempublikasikan gambaran model kerukunan antar umat beragama berbasis adat setempat atau kearifan-kearifan lokal (local genius atau local wisdom) seperti pela gandong di Ambon, sipakatau dan sipakalebbi di Makassar, tiga batu satu tungku di Papua dsb. 4 Emile Durkheim. The Elementary Forms of the Religious Life, (1912, diterjemahkan oleh Joseph Swain: 1915, The Free Press).
Pengantar Redaksi
Model kerukunan berbasis Kearifan Lokal dengan mendepankan hak-hak komunal (communal rights) ini menjadi fokus utama dari beberapa artikel dalam Jurnal Harmoni Nomor 1 Tahun 2016 kali ini. Misalnya, Zakiyah, menulis artikel yang berjudul Konflik dan Kerukunan antarumat Beragama Di Grabag Kabupaten Magelang. Dia menemukan bahwa masyarakat kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Jawa Tengah mempunyai berbagai tradisi lokal yang dapat menjadi perekat kerukunan antarumat beragama. Beberapa tradisi seperti merti desa, nyadran dan gendurenan. Tradisi masih dilakukan di daerah tersebut dan melibatkan semua kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dapat ikut serta, sehingga dapat meminimalisir prasangka antarumat beragama. Begitupun artikel yang ditulis Akmal Salim Ruhana yang berjudul Relasi Muslim-Buddhis di Panggan, Gunung Kidul, Yogyakarta yang menemukan adanya kesamaan tradisi yaitu Kejawen menjadi pemersatu kelompok Muslim dan Budha di daerah tersebut. Ada tradisi ngesur tanah, pada hari meninggalnya seseorang, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dari hari kematian, selalu dibuat sesajen dan kenduri, yang melibatkan seluruh warga terlepas agama apa yang dianutnya. Dari dua contoh artikel di nomor kali ini, kami ingin mengutip argumentasi dari Muhammad Ali bahwa kita perlu membumikan kemajemukan karena ia menyejarah dalam rancang-bangun negara Indonesia. Persoalannya adalah bagaimana kemajemukan itu dapat dipahami dan diterapkan dalam konteks keIslaman, keIndonesiaan dan kemoderenan.5 Persoalannya adalah masih banyak komponen masyarakat yang menganggap bahwa kemajemukan adalah sesuatu yang membahayakan. 5 Muhammad Ali ‘Mengapa Membumikan Paham Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia?’, Disampaikan pada Diskusi Publik “Masa Depan Kebebasan Beragama di Indonesia, diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina, tgl 19 Juli 2006 di Jakarta.
7
Seiring dengan itu, radikalisme agama membuncah dengan slogannya ‘kembali kepada keaslian ajaran agama’ yang tidak ramah terhadap segala hal yang tidak berasal dari ajaran inti agama yang dianut kelompok mainstream. Artikel yang ditulis oleh Raudatul Ulum berjudul Salafi-Wahabi vs NU menguraikan tentang penolakan masyarakat setempat terhadap keberadaan sebuah sekolah tinggi di Semampir, Surabaya yang disinyalir berideologi Syiah. Begitupun Asnawati dalam artikelnya Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektfi Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) membahas tentang sikap para tokoh agama tentang pentingnya pelaksanaan agama dilindungi oleh UU. Intinya, dari temuan Asnawati, penodaan agama itu adalah melanggar pokok-pokok ajaran agama. Ini bisa dipahami bahwa mereka menganggap UU No.1/PNPS/1965 masih harus dipertahankan. Hanya saja dalam prakteknya, UU ini sering disalahgunakan oleh sekelompok orang untuk seenaknya mengkriminalisasikan seseorang atau kelompok.6 Dari beberapa pokok pikiran diatas, maka negara perlu mengambil sikap untuk melakukan moderasi terhadap berbagai ekses yang terjadi akibat kemajemukan dan perbedaan faham keagamaan di masyarakat. Kalau negara tidak mampu mengelola kedua hal tersebut maka ekses negatif dari kemajemukan akan lebih mengemuka. Dan akan memberi kesan kepada masyarakat bahwa kemajemukan bukanlah sebuah anugrah melainkan bencana bagi pembangunan masyarakat Indonesia yang modern. Dari redaksi mengucapkan selamat membaca dan kami sangat menghargai kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang budiman.
6 Ayu Melissa, “The Threat from the Blasphemy Law”, The Jakarta Post, 5-12-2014.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
8
Zakiyah
Penelitian
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang Zakiyah
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang Email:
[email protected] Diterima redaksi tanggal 18 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
This article discusses about the conflict and harmony between religious followers in the sub-district of Grabag, Magelang district. In the past few years, among religious adherents in the area had ever experienced conflicts both internally and externally. However, the conflict did not lead to exessive violence and riot, was successfully resolved. Until recently, the condition of society is condusive and harmonious. This is due to the important role of religion and local traditions in building social cohesion among religious believers. This research uses qualitative approach. This study was conducted in Grabag Sub district in the villages of Losari, Ngrancah and Grabag. The result shows that local traditions such as nyadran, merti desa and genduranan have become open spaces for people to meet and interact to each other regardless of their religious backgrpund. In these activities, every resident has same opportunity to participate, there is no discrimination and exclusion among them. Such an interaction has become one of the contributing factors to build social cohesion., along with the religious principle and norm practiced by community. The religious harmony is created.
Artikel ini membahas tentang konflik dan kerukunan antarumat beragama di kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Beberapa tahun yang lalu wilayah ini pernah mengalami konflik antar dan inter umat beragama. Konflik tersebut tidak sampai menimbulkan kekerasan dan kerusuhan dalam skala besar, dan dapat teratasi. Hingga saat ini kondisi masyarakat dalam keadaan damai, hal ini di antaranya disebabkan oleh peran agama dan tradisi lokal yang mampu menjadi perekat kerukunan umat beragama. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif di tiga desa di Kecamatan Grabag meliputi desa Grabag, desa Losari dan desa Ngrancah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perayaan nyadran, merti desa dan genduranan merupakan tempat “terbuka” bagi masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama tanpa ada diskriminasi dan ekslusi. Dalam kegiatan tersebut, setiap warga mempunyai kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan warga lainnya. Interaksi tersebut telah menjadi salah satu faktor terbentuknya kohesi sosial, disamping faktor prinsip dan norma agama yang dijalankan oleh masyarakat. Kerukunan umat beragama terbentuk.
Keywords: conflict and religious harmony, local tradition, social cohesion.
Kata kunci: konflik dan harmoni beragama, tradisi lokal, kohesi sosial.
Pendahuluan
protes terhadap kegiatan yang dilakukan oleh jemaat agama Kristen di Kecamatan Muntilan. Pada waktu itu, Front Pembela Islam (FPI) melaporkan dan protes atas dugaan penyiaran agama Kristen yang berkedok kegiatan pengobatan kepada Mapolsek Muntilan Kabupaten Magelang. Kegiatan yang dilaksanakan di sebuah ruko (rumah toko) tersebut
Magelang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Jawa Tengah, menurut data lembaga kajian agama dan sosial Semarang, daerah ini termasuk sebagai daerah “merah”, yaitu wilayah rawan terjadi konflik dan kekerasan. Misalnya, pada tahun 2012 sempat terjadi HARMONI
Januari - April 2016
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
menurut penuturan pendeta dari Jemaat Kristen Indonesia (GKI) Injil Kerajaan Muntilan hanya merupakan peribadatan biasa, dan kegiatan pengobatn tersebut merupakan kelanjutan dari kegiatan bakti sosial setelah bencana letusan gunung Merapi. Dari peristiwa ini kemudian pihak kepolisian turun tangan dan memediasi para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Akhirnya FPI dan GKI bersedia menandatangi surat menerima hasil mediasi tersebut (Kholiludin, 2012). Pada tahun 2015 di desa Ngablak kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang juga terjadi friksi antara umat Islam dan Kristen terkait dengan pembangunan gereja. Masyarakat Muslim yang tinggal di sekitarnya menolak pembangunan tersebut karena tidak memenuhi syarat sebagaimana PBM no. 8 dan 9 tahun 2006 tentang pendirian rumah ibadat. Meskipun tidak sampai menimbulkan kekerasan fisik, peristiwa ini telah memicu ketegangan antar umat beda agama di daerah tersebut (Wawancara dengan Staf KUA kecamatan Ngablak, 28 Juli 2015). Selain itu, kasus pendirian Padmasambhava Stupa pada tahun 2013 di desa Wanurejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang yang ditolak warga sekitar. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Prasetya (2014) menunjukkan bahwa pendirian Padmasambhava Stupa sebagai tempat ibadah tersebut tidak sesuai dengan peraturan PBM no.8 dan 9 tahun 2006, dan adanya perbedaan pandangan antarumat beragama di desa tersebut (Prasetya, 2014: 101). Konflik dan atau perselisihan yang terjadi merupakan sebagian kecil gambaran tentang fenomena mulai merenggangnya ikatan-ikatan sosial di masyarakat dan menurunnya kerukunan antar dan intern umat beragama. Terjadinya kesenjangan dan keretakan kehidupan keagamaan tersebut tentu
9
disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah melemahnya hubungan antar individu di masyarakat, adanya pergeseresan motif dalam berinteraksi di masyarakat yakni mulai adanya motif ekonomi, melemahnya tradisi lokal dan jejaring yang ada di masyarakat, serta terjadinya pergeseran pranata sosial yang ada. Sedangkan, menurut Soekamto konflik bisa terjadi karena beberapa faktor berikut ini; (1) adanya perbedaan sikap dan pendirian antar individu, (2) adanya perbedaan budaya, (3) adanya perbedaan kepentingan baik ekonomi, politik maupun yang lainnya, (4) adanya perubahan sosial (Soekamto, 1990). Sementara itu, dalam pandangan Jamaludin Ancok (2003) disebutkan bahwa adanya perselisihan dan konflik di beberapa tempat akhir akhir ini dikarenakan adanya penurunan kualitas masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor berikut ini; (1) orientasi pembangunan ekonomi pertumbuhan; hal ini menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat untuk mengakumulasi materi sebanyak-banyaknya dan menjadikan ekonomi sebagai motif dalam bermasyarakat, (2) melemahnya infrastruktur sosial pengikat silaturrahmi, (3) Orientasi pengembangan manusia yang berfokus pada aspek kognitif; hal ini hanya fokus pada pengembangan manusia yang berorientasi untuk kompetensi di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan dan mengabaikan aspek pengembangan karakter. Pada gilirannya, hal ini mengakibatkan lemahnya karakter manusia yang dapat berempati dan hidup berdampingan secara damai dengan orang lain (Ancok, 2003: 4-5). Namun demikian, di tengah masyarakat di mana ikatan-ikatan sosial sudah mulai merenggang, masyarakat kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Jawa Tengah mempunyai berbagai tradisi lokal yang dapat menjadi perekat kerukunan antarumat beragama. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
10
Zakiyah
Beberapa tradisi seperti merti desa, nyadran dan gendurenan merupakan tradisi yang dilakukan di daerah tersebut. Dalam pelaksanaan tradisi tersebut semua kalangan masyarakat dari berbagai latar belakang agama dapat ikut serta. Hal ini memberikan peluang bagi mereka untuk saling bertemu dan berinteraksi tanpa memandang perbedaan, sehingga hal ini dan dapat meminimalisir prasangka antarumat beragama. Berdasarkan fenomena seperti dipaparkan di atas maka tema ini penting untuk dibahas karena desa-desa tersebut berpenduduk multi agama, yaitu tentang bagaimana konflik dan kerukunan pada masyarakat di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang, bagaimana prinsip agama dan tradisi lokal dapat berperan sebagai perekat kerukunan antarumat beragama. Karena tradisi lokal merupakan salah satu modal sosial yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung terjadinya kohesi sosial di tengah beragam persoalan sosial keagamaan. Pada saat yang sama, norma agama juga dapat menjadi perekat hubungan antarumat beragama.
Tradisi Lokal, Kohesi Sosial Kerukunan antarumat Beragama
dan
Masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma dan tradisi disinyalir mempunyai tingkat kohesi sosial yang tinggi di bandingkan dengan yang tidak memilikinya. Studi yang dilakukan di beberapa desa di India oleh Anirudh Krishna menunjukkan bahwa desa yang melalukan perayaan agama secara bersama seperti perayaan idul fitri bagi Muslim dan perayaan Diwali bagi umat Hindu menunjukkan bahwa tingkat kerukunannya lebih tinggi, serta jumlah konflik pertanahan lebih sedikit jumlahnya (Krisna, 2002: 120-121) sosial
Schmitt menjelaskan dipandang sebagai
HARMONI
Januari - April 2016
kohesi karakter
masyarakat dalam kaitannya dengan hubungan antara unit-unit sosial seperti individu, kelompok, dan lembagalembaga asosiasi. Selain itu, kohesi sosial juga didefinisikan sebagai proses pengembangan masyarakat yang sedang berlangsung meliputi nilai-nilai bersama, tantangan bersama dan kesempatan yang setara dalam masyarakat berdasarkan sikap percaya, harapan dan timbal balik di antara masyarakat (Schmitt, 2002: 405). Senada dengan definisi tersebut, Stanley mengatakan bahwa kohesi sosial mencakup aspek membangun nilai-nilai bersama dan interpretasi masyarakat, mengurangi perbedaan pendapatan dan kekayaan, sehingga orang orang merasa mereka terlibat dalam urusan masyarakat, merasa menghadapi tantangan bersama, dan merasa menjadi anggota masyarakat (Stanley, 2003: 7). Secara ringkas kohesi sosial dimaknai sebagai perekat yang dapat mengikat masyarakat secara bersama (Capshaw, 2005: 53). Berdasarkan pengertian dan konsep tersebut di atas, kohesi sosial memiliki dua dimensi cakupan yaitu; dimensi ketidaksetaraan, dalam hal ini terdapat cakupan untuk mempromosikan kesetaraan dan upaya mengurangi kesenjangan dalam masyarakat termasuk juga ekslusi sosial. Dimensi kedua, modal sosial. Dimensi ini fokus pada penguatan hubungan sosial, interaksi dan aspek aspek lain yang dikategorikan sebagai modal sosial dalam masyarakat (Schmitt, 2002: 406). Lebih lanjut dijelaskan, dimensi ketidaksetaraan dalam kohesi sosial dapat dilihat dari praktik diskriminasi yang terjadi yakni diskrimasi berdasarkan ras, gender, umur, strata sosial, etnisitas, disabilitas, dan kebangsaan. Selain itu, aspek ekslusi sosial juga tercakup dalam dimensi ketidaksetaraan ini. Ekslusi sosial ini dapat berupa kemiskinan (ekslusi dari partisipasi dalam bidang ekonomi), keterasingan sosial (ekslusi dari partisipasi kegiatan sosial atau organisasi sosial) (Schmitt, 2002: 407-408).
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
Sementara itu, modal sosial sebagai bagian dari kohesi sosial mempunyai makna yang beragam. Putnam (1995) mengartikan modal sosial sebagai organisasi sosial meliputi kerjasama, kepercayaan, dan norma yang dapat berperan dalam menfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk mencapai manfaat bersama (Krishna, 2002: 4; Grootaert dan van Bastelaer, 2002: 2). Sementara Schmitt menyebutkan tiga dimensi dalam modal sosial; pertama, hubungan sosial dan aktifitas di dalam kelompok sosial. Kedua, kualitas hubungan sosial meliputi nilainilai bersama, perasaan keanggotaan, solidaritas, dan kepercayaan. Keiga, kualitas lembaga sosial mencakup aspek kreibilitas, reliabilitas, keberfungsian, dan efisiensi (Schmitt, 2002: 410). Istilah modal sosial juga digunakan untuk ruang lingkup yang berbeda-beda, di antaranya adalah (a) untuk menjelaskan hubungan antara orang-orang pada berbagai level kerjasama misalnya level utama, organisasi, dan lembaga, (b) untuk menjelaskan fungsi dan struktur lembaga lembaga sosial, (c) komitmen bersama terkait dengan nilai dan norma, (d) identitas bersama, (e) rasa memiliki, (f) kepercayaan yang dimiliki (Schmitt, 2002: 409). Di dalam penjelasan yang diberikan oleh Heyneman disebutkan bahwa modal sosial dan modal manusia (human capital) mempunyai kaitan erat dalam kohesi sosial (Heynemen, 2005: 4). Woolcock (1998) mengatakan modal sosial sebagai informasi, trust (kepercayaan), dan norma yang ada di dalam jejaring masyarakat. Sedangkan Fukuyama menekankan definisi modal sosial pada norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat yang dapat memungkinkan mereka untuk saling bekerja sama (Fukuyama, 1997 seperti dikutip oleh Bjørnskov dan Sønderskov, 2013: 1228). Dalam tulisan ini tradisi lokal dimaknai sebagai elemen dari modal sosial yang dapat menjadi perekat
11
kerukunan antarumat beragama. Di dalam pelaksanaan tradisi lokal tersebut akan terlihat nilai-nilai bersama yang dibangun dan norma-norma masyarakat yang dipatuhi, yang pada gilirannya nanti dapat menguatkan hubungan sosial. Selain itu, dalam perayaan tradisi tersebut ada elemen inklusi dari setiap anggota masyarakat di wilayahnya tersebut sehingga memungkinkan mereka untuk saling bekerja sama. Kerukunan antarumat beragama di Indonesia sejatinya juga telah diatur dalam beberapa instrumen hukum dan peraturan yang telah dibuat oleh negara. Di antara aturan tersebut termaktub dalam Undang undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 29 ayat 1 dan pasal 28E ayat (1), (2) dan (3) tentang kebebasan beragama. Pada saat yang sama UUD 1945 pasal 28J juga mengatur tentang kewajiban setiap warga negara untuk meghormati hak kebebasan orang lain serta kewajiban untuk menjaga ketertiban umum. Hal ini secara tersurat memebrikan rambu-rambu dalam upaya menciptakan kerukunan antarumat beragama. Kerukunan umat beragama dapat terwujud diantaranya dengan adanya hubungan antara sesama umat yang dilandasi dengan sikap saling toleransi, saling menghargai, saling pengertian dan menghargai ajaran masing masing agama. Selain itu, kesediaan untuk saling bekerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Adapun konsep kerukunan mencakup tiga aspek yang disebut trilogi meliputi; (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antarumat beragama, (3) kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah. Dalam kerukunan tersebut terdapat tiga elemen penting yaitu kesediaan untuk menerima perbedaan keyakinan, kesediaan untuk membiarkan pemeluk agama lain menjalankan agamanya, kemampuan untuk menerima perbedaan. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
12
Zakiyah
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan Grabag Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Adapun desa yang dipilih adalah tiga desa meliputi desa Losari, desa Ngrancah, desa Grabag. Ketiga desa tersebut dipilih dengan pertimbangan merupakan desa dengan pemeluk agama yang berbeda-beda. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode ini untuk melihat konflik dan kerukunan antarumat beragama yang ada di masyarakat, serta digunakan untuk mengetahui praktik tradisi lokal dan situasi yang ada di lokasi penelitian. Data dikumpulkan dengan wawancara terhadap informan kunci meliputi tokoh agama, tokoh masyarakat, aparat pemerintah desa dan kecamatan, serta anggota masyarakat. Wawancara dilaksanakan pada bulan Juni – Agustus 2015.
Kondisi Geografis dan Sosial Keagamaan Kecamatan Grabag Magelang Grabag merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang Jawa Tengah yang letaknya di bagian utara. Memiliki perbatasan dengan kecamatan Jambu kabupaten Semarang di bagian utara, dan berbatasan dengan kecamatan Pringsurat Kabupaten Temanggung di bagian baratnya. Beberapa desa di wilayah Grabag berbukit-bukit dan dilingkupi oleh persawahan, ladang dan kebunkebun kopi. Satu di antara desa tersebut adalah desa Ngrancah yang menjadi satu dari tiga desa yang diteliti. Untuk menuju ke desa Ngrancah dari pusat kota Grabag dibutuhkan waktu sekitar dua puluh menit dengan berkendara motor. Jalanjalan menuju ke desa tersebut berkelokkelok dan di sekelingnya pohon-pohon besar dan tebing-tebing di pinggirnya. Desa kedua yang diteliti adalah desa Losari letaknya tidak jauh dari desa HARMONI
Januari - April 2016
Ngrancah. Kedua desa ini berdeketan dan hanya dibatasi oleh sawah dan kebunkebun. Desa Losari ini merupakan desa paling ujung yang berdempetan dengan Kabupaten Semarang. Sementara desa ketiga yang menjadi tempat penelitian adalah desa Grabag letaknya di pusat kota kecamatan. Untuk mencapai kecamatan Grabag dari pusat kota Magelang dibutuhkan waktu sekitar 45 menit dengan kendaraan pribadi. Sedangkan jika dengan kendaraan umum butuh waktu sekitar satu setengah jam. Di sana terdapat beberapa moda transportasi umum seperti bis dan mobil angkutan desa yang menghubungkan kecamatan Grabag dengan kota-kota lainnya. Sedangkan untuk ke desa Losari dan Ngrancah transportasi umum terdapat mobil angkutan desa yang hanya beroperasi pada pagi dan siang saat jam anak-anak sekolah berangkat dan pulang dari sekolah, sementara pada jam-jam lainnya hanya ada ojek. Desa yang dipilih menjadi lokus penelitian ini berdasarkan pertimbangan ketiga desa ini merupakan desa dengan penduduk multi agama. Di wilayah kecamatan Grabag terdapat 28 desa dengan jumlah penduduk 87.181 orang dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam, dan pemeluk Katholik sebanyak 423 orang, diikuti oleh pemeluk agama Kristen Protestan sebanyak 181 orang, serta pemeluk agama Buddha sebanyak 42 orang (Data KUA Kecamatan Grabag, 2014; Data profil desa Losari, 2014). Dari keseluruhan desa di kecamatan Grabag, Losari merupakan desa paling heterogen di antara desa-desa yang ada di wilayah ini. Kedua desa yang lain Ngrancah dan Grabag juga mempunyai penduduk dengan pemeluk agama yang berbeda. Menurut data dari kantor desa masing masing diketahui bahwa di Losari terdapat penduduk beragama Islam sebanyak 1515 orang, Kristen 13
13
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
orang, Katholik 263 orang dan Buddha 41 orang. Tempat tinggal mereka menyebar di beberapa dusun yang ada yaitu dusun Losari atau biasa disebut dengan dusun Ngelo, dusun Nawangsari, dusun Kragan, dusun Wates, dusun Kalitelon. Di desa Losari terdapat 4 buah masjid, tiga buah mushola, 1 buah gereja Katholik dan 1 buah vihara. Berikut ini adalah distribusi penduduk desa Losari berdasarkan agama:
Islam dan 27 orang adalah penganut Agama Kristen. Di dusun Tukbugel, selain terdapat masjid juga terdapat satu gereja untuk umat Kristen. Sementara di dua dusun lainnya yaitu dusun Ngrancah dan dusun Pucung semuanya beragama Islam. Jumlah penduduk di dusun Pucung 320 orang dan penduduk dusun Ngrancah berjumlah 675. Berikut ini rincian distribusi penduduk desa Ngrancah berdasarkan agama;
Tabel.1 Distribusi Penduduk desa Losari berdasarkan Agama No Agama 1 2 3 4 5 6 7 8
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Khonghucu Aliran kepercayaan lainnya Jumlah
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 755 760 4 7 126 137 0 0 18 23 0 0 0 903
Jumlah 1.515 11 263 0 41 0 0
0 927
1.830
Sumber: data profil desa Losari, 2014. Terdapat tiga dusun di Desa Ngrancah yaitu dusun Ngrancah, Tukbugel dan Pucung. Dari ketiga dusun tersebut hanya dusun Tukbugel yang mempunyai penduduk multi agama yaitu Islam dan Kristen. Di dusun Tukbugel ini kemudian wawancara dilakukan. Di dusun Tukbugel terdapat 316 penduduk dengan mayoritasnya memeluk agama
Desa Grabag merupakan salah satu desa di kecamatan Grabag dengan jumlah penduduk yang besar bila dibandingkan dengan desa-desa lainnya di daerah ini. Selain itu, berdasarkan luas wilayahnya desa Grabag juga merupakan desa terbesar di kecamatan Grabag yaitu 462.264 Hektar. Data profil desa menunjukkan bahwa desa Grabag mempunyai penduduk
Tabel. 2 Distribusi penduduk desa Ngrancah berdasarkan agama
No
Dusun/desa
Jumlah penduduk
1 Ngrancah 2 Pucung 3 Tukbugel Desa Ngrancah
675 320 316 1.341
Agama Islam 675 320 289 1.314
Kristen
0 0 27 27
Sumber: Kantor Desa Ngrancah, 2014. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
14
Zakiyah
14.236 jiwa yang menyebar di 15 dusun. Mayoritas penduduknya beragama Islam, dan penduduk yang beragama Kristen sebanyak 175 orang, Katholik sebanyak 103 orang, pemeluk agama Buddha 2 orang, dan pemeluk agama Hindu satu orang. Berikut ini adalah rincian distribusi penduduk berdasarkan agamanya;
masyarakatnya yaitu sebagian dari mereka adalah pedagang. Hal ini dapat dipahami karena dusun Ponggol sangat dekat dengan pasar dan jalan utama kecamatan. Selain itu, sebagian yang lainnya adalah karyawan swasta dan atau pekerja kantoran. Sementara penduduk Losari dan Ngrancah sebagian besarnya
Tabel. 3 Distribusi Penduduk desa Grabag berdasarkan agama No
Agama
1 2 3 4 5 6 7 8
Islam Kristen Katholik Hindu Budha Khonghucu Aliran kepercayaan lainnya Jumlah
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan 7.004 6.851 82 93 53 50 1 0 2 0 0 0 0 7.142
Dari 15 dusun yang ada di desa Grabag dipilih dua dusun sebagai lokus penelitian yaitu dusun Ponggol I dan dusun Ponggol II. Di dua dusun tersebut terdapat pemeluk agama yang berlainan yaitu pemeluk Agama Islam dan Kristen. Selain itu, dua dusun ini dapat dikategorikan sebagai dusun dengan ciri perkotaan karena letaknya di pusat kota Kecamatan Grabag dan karakter penduduknya yang berbeda dengan penduduk di desa Losari dan desa Ngrancah. Hal ini di antaranya dapat dilihat dari jenis pekerjaan
HARMONI
Januari - April 2016
0 6.994
Jumlah 13.855 175 103 1 7 0 0 14.136
adalah petani dan buruh tani dengan karakter masyarakat pedesaan (data profil desa Losari, 2014, data profil desa Ngrancah, 2014, data laporan pemerintah desa Grabag, 2014). Dari sisi pendidikan penduduknya terdapat perbedaan yang jelas antara ketiga desa yang diteliti. Jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas di desa Grabag lebih tinggi dibandingkan dengan desa Losari dan desa Ngrancah. Berikut ini data prosentase perbandingan antara ketiganya;
15
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
Tabel. 4 Tingkat pendidikan penduduk desa Grabag, Losari dan Ngrancah No
Tingkat pendidikan
Jumlah pendidikan tamat Grabag
1 2 3 4 4 5 6 7 8
Jumlah Tidak tamat SD 2.711 SD 3.316 SMP 2.572 SLTA 2.912 Diploma I/II 189 Diploma III 208 Sarjana 579 Belum sekolah 1.895 Usia 7-18 tahun sedang sekolah
Losari
% Jumlah 19,1% 59 23,4% 253 18.1% 760 20,5% 197 1,33% 33 1,47% 18 4,09% 36 13,4% 123 345
Ngrancah
% Jumlah 3,22% 173 13,8% 635 41,5% 182 10,7% 137 1,80% 0 0,98% 0 1,96% 21 6,72% 183 18,8% -
% 12,9% 47,3% 13,5% 10,2% 0% 0% 1,56% 13,6% -
Keterangan: prosentasi dihitung dari prosentasi jumlah seluruh penduduk di masing masing desa Konflik dan Kerukunan Masyarakat Grabag
pada
Secara umum kondisi masyarakat di kecamatan Grabag terlihat aman, dan disebutkan oleh beberapa informan bahwa selama beberapa tahun terakhir ini tidak ada perselisihan antar umat beragama di wilayah ini. Di desa Grabag, Losari dan Ngrancah tidak ada insiden berarti yang melibatkan umat beda agama. Meski tentu saja tetap ada beberapa riak-riak kecil perbedaan dan masalah serta konflik antar warga. Seorang tokoh agama di desa Losari mengatakan; “tentu saja ada pertengkaran di dusun ini, biasanya masalah dadah (batas tanah), atau maling ayam, kalau pertengkaran terkait masalah agama atau melibatkan warga beda agama tidak ada” (wawancara dengan tokoh agama, 31 Juli 2015). Masalah masalah kecil tersebut dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan di antara warga dan kadang-kadang juga melibatkan aparat desa untuk membantu meredamnya, namun tidak sampai melaporkannya ke
pihak kepolisian. Konflik terkait masalah agama pernah terjadi pada masa lalu di desa Losari seperti dikatakan oleh seorang tokoh agama, yaitu: “Pada sekitar tahun 1998 pernah ada warga baru dengan pandangan Islam keras, dia mencoba mengajarkan pandangannya tersebut kepada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Namun ide tersebut mendapatkan penolakan dari warga sekitar. Pada waktu itu sempat akan terjadi perkelahian, para pemuda akan mengeroyok orang tersebut. Sekarang orang tersebut sudah tidak tinggal di dusun Losari. Jadi ketika ada paham-paham agama yang cenderung keras, masyarakat cenderung tidak mau menerima” (wawancara dengan tokoh agama Buddha desa Losari dan aparat desa Losari, 31 Juli 2015). Selain peristiwa tersebut, pernah pula hampir terjadi konflik antarumat beragama di desa Losari pada tahun 1990an. Diceritakan oleh seorang tokoh agama Islam desa Losari berikut ini: Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
16
Zakiyah
“Pada tahun sekitar 1990an ada “peristiwa” yang hampir memicu konflik antar umat beragama, pada waktu itu ada acara pengajian di dusun Kragan desa Losari dengan mengundang pembicara yang dahulunya adalah seorang Katholik yang saat itu sudah masuk Islam. Di dalam pembicaraannya ia menceritakan dirinya saat masih menjadi seorang Katholik, dan pembicaraan tersebut dianggap menyinggung umat Katholik. Pengajian tersebut dianggap provokatif, dan hampir menyulut konflik” (Wawancara dengan tokoh agama Islam, 30 Juli 2015). Dua kejadian tersebut tidak sampai menimbulkan kerusuhan yang melibatkan warga beda agama, meskipun diakui sempat menyebabkan situasi agak memanas. Pada peristiwa yang kedua, pihak gereja Katholik berupaya meredam umatnya untuk tidak terpancing dengan “provokasi” yang mulai menyebar di masyarakat dengan mengambil semua rekaman hasil pengajian tersebut dan memusnahkannya. Tindakan ini dilakukan supaya masyarakat Katholik tidak tersulut emosinya dan menjadi lebih tenang (wawancara dengan Tokoh agama Katholik, 30 Juli 2015). Sedangkan untuk peristiwa yang pertama, dikatakan bahwa masyarakat Muslim di desa Losari moyoritas berhaluan ahlussunnah wal jama’ah, sehingga faham-faham Islam keras tidak akan mampu masuk ke dalam pikiran warga Muslim dan cenderung untuk tidak diterima. Sehingga orang yang berhaluan “keras” akan dengan sendirinya tidak akan betah tinggal di daerah ini (wawancara dengan tokoh agama Islam dan aparat pemerintah desa Losari, 29-30 Juli 2015). Selain dua insiden tersebut, jauh sebelumnya pernah terjadi perselisihan antar warga Katholik dan warga Muslim yang hampir menyebabkan kerusuhan. HARMONI
Januari - April 2016
Kejadian ini dipicu oleh perkataan seorang warga Katholik yang dianggap menyinggung umat Islam, seperti diungkapkan oleh tokoh agama Katholik dan tokoh agama Islam berikut ini: “Pada tahun 1990an pernah terjadi konflik yang melibatkan warga beda agama, peristiwanya dipicu oleh perkataan warga Katholik yang dianggap menyinggung umat Islam. Pada saat itu umat Katholik sedang membangun gereja di dusun Nawangsari desa Losari, dan di antara pekerjanya ada warga Muslim. Diduga salah satu warga Katholik bicara yang menyinggung umat Islam. Pada saat itu massa (Islam) dari berbagai dusun dan desa sudah berdatangan ke dusun Nawangsari akan “merusak” gereja tersebut. Massa tersebut mencari warga Katholik yang dianggap menjadi “biang” kericuhan tersebut. Pada saat itu masyarakat sudah tegang, dewan Paroki gereja ke Koramil mengamankan “warga” tersebut, dan bersama dengan tokoh agama Islam melerai warga yang bersitegang, dan perselisihan dapat diakhiri.” (wawancara dengan tokoh agama Katholik desa Losari, 30 Juli 2015). “Pada tahun sekitar tahun 1990an pernah terjadi perselisihan antar warga beda agama, dan gereja hampir dihancurkan oleh “umat Islam”. pada saat itu saya berteriakteriak di depan gereja menenangkan massa yang sudah mulai marah, dan mengajak mereka untuk tidak menghancurkan gereja.” (wawancara dengan tokoh agama Islam, 30 Juli 2015) Setelah peristiwa-peristiwa tersebut, di desa Losari tidak pernah ada lagi perselisihan dan konflik antar umat beragama. Belajar dari pengalaman tersebut, diketahui bahwa
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
potensi pertikaian di masyarakat seringkali karena adanya provokasi, namun provokasi tersebut tidak berhasil sepenuhnya mempengaruhi masyarakat dan tidak sampai menimbulkan konflik ketika tokoh agama ikut berperan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat. Selain itu, prinsipprinsip toleransi pada masing-masing agama yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari juga dapat berkontribusi dalam membangun kerukunan antarumat beragama. Misalnya, seorang warga desa Losari beragama Kristen menyebutkan; “Di dalam agama Kristen terdapat ajaran “cinta kasih” untuk semua manusia. Ajaran ini dapat menjadi perekat kerukunan antarumat beragama. Ajaran ini merupakan dasar untuk mengasihi orang lain. Selain itu, sebagai manusia perlu meniru “lilin”, yakni berbuat baik dengan menerangi sekitarnya” (Wawancara dengan warga beragama Kristen, 30 Juli 2015)
17
bahwa di daerah ini masih dalam situasi kondusif, meskipun ada pula masalahmasalah kecil yang muncul di antara warga. “Misalnya, terdapat beberapa warga yang memelihara anjing, dan binatang tersebut dibiarkan berkeliaran di lingkungan dusun, awalnya ada keberatan dari warga lainnya karena khawatir anjing tersebut akan mengganggu atau menggigit. Namun, setelah ada pembicaraan antar warga dan dipastikan bahwa anjing tersebut tidak mengganggu, maka anjing-anjing tersebut dibiarkan berkeliaran dan warga tidak merasa keberatan” (wawancara dengan bayan Tukbugel, 31 Juli 2015).
Prinsip cinta kasih terhadap semua manusia tidak terbatas pada warga yang seagama juga dituturkan oleh seorang staf gereja Paroki St.Maria Fatima kota Magelang Utara. Menurutnya, “cinta kasih” ini tidak terbatas pada sesama umat Katholik namun juga kepada seluruh umat manusia (Wawancara dengan staff gereja, 29 Juli 2015). Di dalam agama Katholik terdapat “hukum kasih”, yakni ajaran untuk saling mengasihi. Meskipun, dalam agama ini terdapat ajaran untuk “mengulurkan tangan” kepada ajaran kasih dalam agama Katholik, namun di sini tidak ada paksaan (Wawancara dengan Pendeta Soeprijadi, 30 Juli 2015).
Dari contoh peristiwa tersebut, dapat diketahui bahwa komunikasi atau musyawarah antar warga menjadi bagian penting dalam menyelesaikan friksifriksi yang muncul di tengah masyarakat. Faktor lain yang merekatkan hubungan masyarakat beda agama di dusun Tukbugel adalah adanya pernikahan antar warga beda agama. Terdapat pula beberapa rumah tangga yang anggota keluarganya beda agama dan mereka ini masih memiliki hubungan kerabat dengan keluarga lain yang beragama Islam yang tinggal di dusun tersebut. Misalnya, satu kelurga terdiri dari suami beragama Kristen, Istri dan anak-anaknya beragama Islam. keluarga lainnya, ayahnya seorang Muslim dan anaknya beragama Kristen. Terdapat pula dalam satu rumah terdapat dua keluarga; satu keluarga beragama Kristen dan satu keluarga beragama Islam (Wawancara dengan bayan dan warga dusun Tukbugel, 11 dan 20 Juni 2015).
Sementara di desa Ngrancah selama beberapa tahun terkahir juga tidak ada pertikaian yang disebabkan oleh masalah agama dan atau melibatkan warga beda agama. Disebutkan oleh bayan dusun Tukbugel yang menjadi lokus penelitian
Di desa Grabag, masalah keagamaan muncul bukan antara warga beda agama. Adapun hal yang menjadi perhatian warga Muslim di desa tersebut adalah adanya “gerakan” yang dilakukan oleh kelompok Islam beraliran keras. Di Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
18
Zakiyah
desa Grabag telah dibangun masjid dan juga sekolah dasar Islam yang berafilias dan dikelola oleh kelompok tersebut. Beberapa informan menyebutkan bahwa kelompok tersebut mempunyai pemikiran dan ajaran yang “keras” dan berbeda dengan faham ahlussunah waljamaah yang dianut oleh masyarakat muslim di daerah tersebut. “Beberapa waktu yang telah lalu (sekitar tiga tahun yang lalu), masjid tersebut kalau mengadakan pengajian menggunakam loudspeaker dan isi pengajian tersebut di antaranya membid’ahbid’ahkan tahlil dan mengharamkan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat ahlussunah waljamaah”. Sekarang mereka kalau pengajian tidak menggunakan loudspeaker yang keras dan suaranya tidak sampai jauh masuk ke lingkungan sekitar. Pada waktu lalu, kelompok ini pernah berselisih dengan umat agama lain, mereka akan menghancurkan gereja yang ada di dusun Ponggol. Namun penghancuran tersebut tidak terjadi karena masyarakat sekitar gereja dapat meredamnya, karena dikhawatirkan kalau kerusuhan terjadi maka masyarakat sekitar baik Kristen maupun Islam akan terkena dampaknya (wawancara dengan tokoh agama Islam dusun Ponggol desa Grabag, 19 Juni 2015). Peristiwa tersebut di atas, juga dituturkan oleh informan-informan lainnya bahwa di desa Grabag masalah yang menjadi perhatian warga Muslim adalah keberadaan kelompok “keras” ini. Menurut mereka, selain ajarannya yang ekstrem, anggota kelompoknya cenderung ekslusif dan jarang bergaul dengan orang di luar kelompoknya. Misalnya, ketika diundang untuk kenduri (tahlilan), mereka tidak akan datang (wawancara dengan beberapa warga HARMONI
Januari - April 2016
Muslim dusun Ponggol I dan Ponggol II desa Grabag, 16, 17 dan 19 Juni 2015). Keberadaan kelompok ini masih menjadi perhatian warga Muslim mayoritas, mereka warga Muslim menggalakkan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian rutin, mujahadah, pengajaran agama bagi anak-anak, dan kegiatan keagamaan lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menyaring ajaran-ajaran radikal dan membekali serta menguatkan pemahaman keagamaan masyarakat yang berhaluan ahlussunah waljamaah (wawancara dengan pengurus Muslimat NU desa Grabag, 17 Juni 2015). Mayoritas masyarakat Muslim di kecamatan Grabag, termasuk di tiga desa yang diteliti adalah berhaluan ahlussunnah waljamaah yang masih lekat dengan tradisi tradisi lokal dan tradisi keagamaan yang berbaur menjadi satu. Organisasi masyarakat yang berkembang dengan jumlah anggotanya banyak di daerah ini adalah Nahdlatul Ulama (NU), masyarakat menyebut organisasi ini dengan sebutan ahlussunnah waljamaah. Ada pula organisasi Muhammadiyah di kecamatan Grabag tetapi tidak besar dan anggotanya juga tidak banyak (wawancara dengan kepala KUA kecamatan Grabag dan tokoh agama Islam Grabag, 11 dan 15 Juni 2015).
Tradisi Lokal Perekat Antarumat Beragama
Kerukunan
Terdapat berbagai tradisi lokal dan tradisi keagamaan yang berkembang di desa Grabag, Losari dan Ngrancah yang dapat berfungsi sebagai perekat sosial dan peredam perselisihan antar warga, karena dalam kegiatan tersebut semua masyarakat mempunyai kesempatan untuk saling bertemu dan berinteraksi antara satu dengan lainnya. Misalnya, di dusun Tukbugel desa Ngrancah dan dusun Losari terdapat tradisi merti deso, ini merupakan acara ulang tahun
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
desa/dusun yang diikuti seluruh warga kampung. Pada acara tersebut setiap keluarga akan membawa makanan nasi dan lauk pauknya, di antara keluarga tersebut akan ada yang membawa nasi tumpeng dan ingkung ayam. Di dusun Tukbugel yang biasa membawa tumpeng dan ingkung adalah bayan dusun dan tokoh masyarakatnya (wawancara dengan bayan dan warga Tukbugel, serta wawancara dengan warga desa Losari, 31 Juli-1 Agustus 2015). Pada acara tersebut, selain makan bersama semua warga, juga menjadi ajang bertemu dan mengurai masalah masalah yang dihadapi masyarakat pada saat itu. Misalnya, disebutkan oleh seorang tokoh agama Islam desa Losari bahwa pada waktu perayaan merti deso akan ada sambutan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat, biasanya mereka akan bicara tentang pentingnya kebersamaan antar warga dan peneguhan kembali kerukunan yang sudah terjalin. Warga juga mempunyai kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya dan memberikan usulan terkait program desa atau masalah yang dihadapi warga (wawancara dengan tokoh agama Islam desa Losari, 31 Juli 2015). Di dusun Tukbegel, acara merti deso ini juga digunakan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen sawah dan hasil usaha lainnya selama setahun yang telah berlangsung. Perayaan ini biasanya dilengkapi dengan pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk. Adapun biaya untuk perhelatan ini biasanya ditanggung bersama oleh warga dengan iuran yang telah ditetapkan. Saat sekarang ini, iuran tersebut dikumpulkan melalui jimpitan, yaitu setiap hari tiap satu keluarga mengeluarkan iuran yang telah ditetapkan bersama. Ide jimpitan ini muncul saat akan mengadakan pertunjukkan wayang dan membutuhkan uang yang banyak, kalau warga diminta
19
iuran uang banyak sekaligus maka mereka akan keberatan, oleh karenanya untuk meringankan beban warga maka iuran dilakukan secara bertahap melalui jimpitan (wawancara dengan bayan dan warga Tukbugel, 30-31 Juli 2015). Sementara di dusun Ponggol I dan II desa Grabag terdapat tradisi nyadran yaitu tradisi Jawa yang dapat berfungsi sebagai ruang bersama warga dari berbagai latar belakang agama, sosial dan ekonomi. Di dusun Ponggol, tradisi nyadran tersebut pernah surut dan tidak dilaksanakan, mulai tahun lalu tradisi ini dihidupkan kembali atas inisiatif masyarakat desa dan beberapa tokoh masyarakat (Wawancara dengan tokoh masyarakat dusun Ponggol I, Juni 2015). Di dalam acara tersebut akan ada doa yang dibacakan dan makan bersama seluruh warga yang ikut hadir. Tradisi nyadran juga terdapat di dusun Losari dan dusun Tukbugel desa Ngrancah (wawancara dengan warga dusun Tukbugel dan Losari, 12-18 Juni 2015). Tradisi lokal yang juga mengandung ajaran agama adalah tradisi memperingati hari kematian (satu hari, tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari, satu tahun, mendak). Tradisi ini dilaksanakan oleh semua pemeluk agama yang ada di desa Losari. Masing masing mengadakan doa berdasarkan agamanya masingmasing. Misalnya, ketika umat agama Buddha mengadakan “gendurenan” memperingati hari kematian salah satu anggota keluarganya, maka akan membaca doa sesuai dengan ajaran agama Buddha, sedangkan umat lain yang diundang mendoakan menurut keyakinannya masing-masing atau hanya diam saja. Demikian pula ketika umat Islam mengadakan “gendurenan” memperingati hari kematian, maka akan didoakan menurut agama Islam, sedangkan umat agama lain yang hadir sebagai undangan mendoakan menurut Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
20
Zakiyah
keyakinannya masing-masing atau hanya diam saja. Begitu pula jika ada umat Katholik atau Kristen yang mengadakan gendurenan memperingati kematian, akan didoakan menurut ajaran Katholik dan Kristen, sedangkan warga yang beragama lain akan mendoakan sesuai dengan keyakinannya (wawancara dengan tokoh agama Buddha, Katholik, Islam, dan warga Losari, 29-31 Juli 2015). Kehadiran warga pada acara tersebut merupakan aksi saling menghormati meskipun mereka beda agama. Selain tradisi lokal tersebut, kerukunan antar umat beragama dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, di antaranya adalah budaya saling menghormati antar warga dan interaksi yang telah terbangun sejak lama serta prinsip-prinsip agama dan nilainilai jawa yang masih dipegang oleh masyarakat sehingga dapat menjadi perekat sosial diantara mereka. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang pendeta Katholik Gereja St. Maria Fatima Magelang Utara; “Faktor perekat kerukunan antar umat beragama (a) berkat Tuhan, juga di tingkat praksis juga ada seperti perkawinan beda agama, (b) sekolah yang terbuka; misalnya sekolah-sekolah Katholik yang ada tidak mewajibkan untuk mengikuti ajaran agama Katholik, banyak di antara siswa sekolah Katholik adalah anak-anak Muslim, di sekolah tersebut tidak mengajarkan tentang agama Katholik. (c) nilainilai Jawa yang melekat pada semua masyarakat Magelang, maka sudah dengan sendirinya mereka merasa bersaudara secara etnis (persaudaraan etnis). (d) nilainilai agama yang menyatukan; bahwa nenek moyang berasal dari orang yang sama “Abraham” semua diberikan oleh Allah. Kalau HARMONI
Januari - April 2016
misalnya ada perbedaan dalam penyebutan/pelafalan “Allah”, hal ini tidak jadi soal, (e) “hukum kasih”, di agama Katholik terdapat ajaran untuk saling mengasihi” (Wawancara dengan Pendeta Soeprijadi, 30 Juli 2015). Perbedaan dalam agama merupakan fakta, namun keberbedaan tersebut selayaknya bukan menjadi penghambat untuk berinteraksi dan pemicu konflik. Karena sebenarnya di masyarakat sudah ada budaya saling menghormati, tolong menolong dan kegiatan-kegiatan sosial yang melibatkan semua warga dan lainnya. Pendeta Soeprijadi menyebutkan; “Di dalam agama ada perbedaan, namun itu bukan sumber perpecahan, bila ada konflik, sebenarnya disebabkan adanya kepentingan pribadi yang berbeda. Di dalam diri manusia ada nafs untuk bermusuhan. Oleh karenanya perlu untuk mensucikan nafs tersebut. Banyak di antara orangorang itu yang mencari enaknya sendiri, mengorbankan prinsipprinsip. Dalam hidup; nilai harus jelas. Nilai-nilai etika, nilai budaya Berpegang teguh pada prinsip “salah tetap dikatakan salah, dan benar dikatakan benar”, untuk mengatasi keberbedaan; perlu memegang nilai-nilai bersama, nilai-nilai sosial, menghormati kaidah kaidah yang berlaku, karena kultur/budaya itu baik dan tidak ada yang buruk.” Dari beberapa norma yang dipegang oleh masyarakat dan tradisi lokal yang diselenggarakan oleh mereka dapat terlihat bahwa pinsip-prinsip agama dijalankan seiring bersama dengan norma sosial yang ada. Hal ini dapat diketahui dari tradisi lokal yang masih dijalankan. Gendurenan memperingati hari kematian
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang
misalnya, adalah tradisi lokal yang diisi dengan acara keagamaan dan tidak menjadi monopoli dari kelompok agama tertentu. Pemeluk agama Islam, Katholik, BuDdha dan Kristen di desa losari dan dusun Tukbugel, semua menjalankannya. Dalam perayaan ini terdapat hubungan timbal balik antara warga dan hubungan sosial, yang pada gilirannya nanti dapat memperkuat sendi-sendi kerukunan di dalam masyarakat. Tradisi merti desa dan nyadran juga menunjukkan adanya aspek inklusi terhadap semua warga dan partisipasi serta kerjasama di antara mereka yang dapat dimaknai sebagai modal sosial untuk menjadi pendukung terciptanya kohesi sosial di masyarakat. Kerukunan yang di bangun oleh masyarakat Grabag berdasarkan nilainilai agama dan tradisi lokal. Kerukunan masyarakat terjalin tidak hanya di antara sesama umat (internumat beragama), namun juga kerukunan antarumat beragama. Di sana terlihat adanya kesediaan menerima kelompok lain dan kesediaan bekerjasama meskipun dengan warga beda agama.
21
Kesimpulan Kecamatan Grabag, khususnya di tiga desa yang diteliti yaitu Grabag, Losari dan Ngrancah secara umum dalam kondisi aman dan rukun. Namun demikian, dalam lintasan sejarahnya pernah mengalami riak-riak konflik antar umat beragama, baik dalam skala kecil dan ataupun konflik yang hampir menimbulkan kerusuhan massa. Perselisihan yang terjadi semuanya dapat teratasi dan sampai sekarang tidak muncul lagi. Kerukunan yang terjadi pada masyarakat Grabag terbangun atas beberapa faktor pendukung yaitu prinsip-prinsip dan norma agama yang masih dipegang oleh masyarakat, serta tradisi lokal yang masih berjalan sehingga mampu menjadi perekat ikatan-ikatan sosial kemasyarakatan. Di desa-desa yang diteliti masih berkembang tradisi lokal yang terus dilestarikan seperi nyadran, merti desa dan gendurenan. Tradisi tersebut telah menjadi perekat kerukunan antarumat beragama dan menjadi ruang bertemu bagi semua kalangan atau anggota masyarakat tanpa membedakan latar sosial dan agama.
Daftar Pustaka Ancok, Djamaludin. Modal Sosial dan Kualitas Masyarakat. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, diucapkan di hadapan Rapat Majelis Guru Besar Terbuka Universitas Gadjah Mada pada tanggal 3 Mei 2003 di Jogjakarta, 2003 Bjørnskov, Christian dan Sønderskov, Kim Mannemar. Is Social Capital a Good Concept?, Soc Indic Res, 114:1225–1242, 2013. Bjørnskov, Christian dan Sønderskov, Kim Mannemar. “Is Social Capital a Good Concept?” Soc Indic Res (2013) 114:1225-1242. DOI 10.1007/s11205-012-0199-1 Brehm, John dan Rahn, Wendy. Individual-level evidence for the cause and consequences of Social Capital. American Journal of Political Science, 41: 999-1023, 1997. Cashaw, N.Clarck. The social cohesion role of the public sector. Peabody Journal of Education. Vol. 80 (4): 53-77, 2005.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
22
Zakiyah
Grootaert, Christiaan dan van Bastelaer, Thierry. Introduction and overview. Dalam Grootaert, Christiaan dan van Bastelaer, Thierry (ed). The role of social capital in development an empirical assessment. New York: Cambridge University Press, 2002. Hasbullah, Jousairi. Social Capital menuju keunggulan budaya manusia Indonesia. Jakarta:M.R-United Press, 2006. Heyneman, Stephen.P. Introduction to this special issue on organisation and social organisation. Peabody Journal of Education, 80 (4): 1-4, 2005. Kholiludin, Tedi. 2012. Isu-Isu dalam Konflik Bernuansa Agama. Diakses pada 16 Maret 2016, dari: http://elsaonline.com/?p=1429 Krishna, Anirudh. 2002. Active Social Capital Tracing the Roots of Development and Democracy. New York: Columbia University Press, 2002. Prasetya, Farid Agus. Problematika pendirian rumah ibadah dalam perspektif ketatanegaraan, studi kasus atas pembangunan komplek padmasambhava stupa di dusun Bejen desa Wanurejo Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Skripsi tidak diterbitkan, untuk Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014. Schmitt, Regina Berger. Considering social cohesion in quality of life assesment: concept and measurement. Social indicators research. Vol.58(1/3): 403-428, 2002. Stanley, Dick. What do we know about social-cohesion: the research perspective of the federal government’s social cohesion research network. The Canadian Journal of Sociology. Vol.28 (1): 5-17, 2003. Widoyoko, Eko Putro. Teknik penyusunan instrume penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
HARMONI
Januari - April 2016
Penelitian
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
23
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta Akmal Salim Ruhana
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kementerian Agama, Jl. MH Thamrin No. 6 Jakarta Email:
[email protected]. Diterima redaksi tanggal 20 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
As a multireligious country, Indonesia is facing the dynamic relation between majority and minority: between tension and harmony too. The potrait of MuslimBuddhist relation in Panggang,Gunung Kidul, as historically observed, has shown a harmonious and unique interaction. This research tries to elaborate this condition. Through literature study, interview and observation, this research found that Muslim-Buddhist have a common basic need to build harmony, and they also have theological fundamental reason and strongly hold “cultural bonds“ of the ancient Java between them.
Sebagai negara yang multirelijius, Indonesia mengalami dinamika hubungan pemeluk mayoritas-minoritas: antara ketegangan dan kerukunan. Hubungan Muslim-Bhuddis di Panggang, Gunung Kidul, sebagaimana telah menyejarah, menunjukkan interaksi yang harmonis dan unik. Penelitian ini hendak mengelaborasi hal tersebut. Dengan kajian literatur, wawancara, dan pengamatan lapangan, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat memiliki kebutuhan bersama untuk rukun, selain ada landasan perintah teologis juga terikat kuat dalam “sabuk budaya” leluhur Jawa. Terdapat pula ikatan antarwarga bersifat asosiasional seperti arisan warga “sepuluhan” dan tim bola voli RT. Ada juga ikatan “quotidian” berupa budaya makan bersama saat sedekah bumi, dan budaya gotong royong sambatan. Social bonding yang dilakukan masing-masing kelompok agama tidak mendorong pada eksklusivisme kelompok, melainkan menjadi pemerkuatan eksistensi untuk mendukung tujuan bersama.
There are also associational bond among lay people in society such as social gathering “sepuluhan” and volley ball team; and practising quotidian bond such as eating gathering in “sedekah bumi” and working together in “sambatan”. Those social bonding in each group does not bring to exclusivism but sthrengten their existence to hold mutual goals. Keywords: majority-minority, harmony, cultural bond, muslim-buddhist relation, Gunung Kidul, associational ties, quotidian ties. Pendahuluan Salahsatu rahasia tetap terpeliharanya kerukunan antarumat beragama di Indonesia adalah adanya keseimbangan mayoritas-minoritas dalam pemelukan agama di berbagai daerah di Indonesia (Mudzhar, 2011:142-143). Sebagaimana diketahui, meski secara nasional Islam dipeluk
Kata kunci: mayoritas-minoritas, harmoni, sabuk budaya, relasi Islam-Buddha, Gunung Kidul, ikatan asosiasional, ikatan sehari-hari. mayoritas penduduk Indonesia, namun di beberapa provinsi, agama Kristen, Katolik, dan Hindu adalah mayoritas. Hal itu terjadi di Sulawesi Utara, Papua Barat dan Papua yang mayoritas penduduknya Kristen, juga di NTT yang mayoritas penduduknya Katolik, dan Bali yang mayoritas penduduknya Hindu. Gambaran serupa juga terjadi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
24
Akmal Salim Ruhana
di tingkatan kabu paten/kota, sehingga agama yang mayoritas di suatu level bisa menjadi minoritas di level lainnya. Keseimbangan kondisi ini menyebabkan adanya sikap ‘saling kontrol’ atau saling menjaga diri diantara agama-agama yang pemeluknya tersebar di berbagai wilayah Indonesia tersebut. Dengan demikian, potensi ketidakrukunan dalam suatu masyarakat dapat diken dalikan dan kondisi kerukunan terpelihara. Fenomena praktiknya kian unik, karena dalam banyak kasus seperti terjadi kondisi “saling balas” dan solidaritas negatif. Ketika terjadi kasus penolakan pendirian gereja di Bogor (yang notabene daerah mayoritas Islam), beberapa tahun lalu, ada sebagian masya rakat yang mempersulit pendirian masjid di Kupang. Lalu, terbitnya perda-perda bernuansa syariat Islam di beberapa kota diresponi penerbitan perda ‘syariat Kristen’ di Manokwari. Kasus terbaru, kabar mengenai adanya gangguan terhadap umat minoritas Islam di Tolikara, Papua, langsung mendapat respon protes dari umat muslim di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan, di Joyotakan, Solo, sekelompok massa menggeruduk bangunan tempat ibadat milik GIDI keesokan harinya. Kondisi resiprokal ini menunjukkan relasi antarumat beragama mayoritas-minoritas di Indonesia yang cukup dinamis. Relasi antarumat beragama sejatinya sesuatu yang niscaya dalam masyarakat Indonesia yang multikultur dan multirelijius. Berrelasi berarti bersosialisasi atau berinteraksi, sementara itu penduduk Indonesia adalah masyarakat yang memeluk agama. Maka interaksi antarwarga masyarakat berarti sekaligus relasi antarumat beragama. Searah dengan itu, fenomena mayoritasminoritas pemelukan agama pada suatu wilayah juga sesuatu yang niscaya. Selain penjejakan historis, pergerakan penduduk (migrasi) ke berbagai pelosok HARMONI
Januari - April 2016
negeri untuk urusan ekonomi, politik, dan lainnya, menyebabkan peta demografi keagamaan ikut bergerak. Meski terjadi satu-dua kasus ketidakrukunan antarumat beragama, gambaran relasi antarumat beragama pada umumnya berlangsung kondusif rukun. Hasil survei nasional kerukunan umat beragama yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2012 menunjukkan hal itu. Penelitian kuantitatif di 33 provinsi dengan 3.300 responden dan margin of error ± 1.7% itu menunjukkan bahwa indeks kerukunan secara rata-rata nasional sebesar 3,67 (dalam rentang 1-5). Hal ini menegaskan kondisi kerukunan nasional yang berada dalam rentang cukup harmonis. (Ahmad, 2013). Temuan kuantitatif ini diperkuat berbagai potret dan fakta-fakta kualitatif tentang kondisi kerukunan di dalam masyarakat Indonesia. Gambaran kerukunan antarumat beragama dalam situs-situs keagamaan dapat ditemukan di berbagai daerah. Ada masjid yang bersebelahan satu tembok dengan gereja, ada pura yang menye diakan ruang untuk shalat, dan sebagainya (Tim PKUB, 2014). Demikian halnya, berbagai inisiatif masyarakat dalam memelihara kerukunan dapat dilihat dari kegiatan Peacemaking dan Peacekeeping dengan pendekatan Participatory Action Research yang dilakukan para pemuda di 16 kota di Indonesia (Asri, 2013). Fakta-fakta empirik di atas menunjukkan relasi antarumat beragama yang harmonis di tengah keberagaman pemelukan agama dengan komposisi mayoritasminori tasnya. Suatu kondisi yang unik—setidaknya jika merujuk pada perkembangan hubungan umat beragama mayoritas versus minoritas di beberapa negara Eropa belakangan ini. Persis pada titik unik itu penelitian ini hendak didudukkan. Penelitian ini hendak meng elaborasi relasi antarumat beragama yang berjalan harmonis di
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
tengah ‘stigma’ mayoritas-minoritas itu. Secara khusus, penelitian ini hendak memotret dan mendalami relasi harmonis antarumat beragama minoritas Buddha di tengah keberadaan umat mayoritas Islam di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian “bagaimana relasi antarumat beragama minoritas-mayoritas di Kecamatan Panggang?”. Untuk itu, disusun beberapa pertanyaan penelitian: 1) apa yang mendasari pemikiran kelompok agama Islam dan Buddha di Kecamatan Panggang dalam membangun relasi antarmereka?; 2) apa saja bentukbentuk relasi antarkelompok keagamaan mayoritas Islam dan minoritas Buddha di Kecamatan Panggang itu?; dan 3) bagaimana kondisi masing-masing kelompok setelah adanya relasi tersebut? Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui dan mendeskripsikan apa yang mendasari pemikiran kelompok agama Islam dan Buddha di Kecamatan Panggang dalam membangun relasi?; 2) mengetahui dan mendiskripsikan bentuk-bentuk relasi antar kelompok keagamaan mayoritas Islam dan minoritas Buddha itu?; dan 3) mengetahui dan mendiskripsikan kondisi masing-masing kelompok setelah ada relasi tersebut? Kajian tentang relasi antarumat beragama di Indonesia telah cukup banyak dilakukan, baik dalam bingkai konflik maupun kedamaian. Ada yang memetakan dalam lingkup relasi umum antarumat beragama, atau biasa menggunakan terma kerukunan umat beragama, maupun potret-potret kasus hubungan antarumat beragama. Baik dilakukan peneliti kampus, untuk tujuan akademis dan penguatan keilmuan, maupun kalangan peneliti Pemerintah yang banyak berhubungan dengan penyiapan bahan kebijakan.
25
Mujiburrahman (2006), misalnya, mengkaji relasi antara muslim dan Kristen di masa Orde Baru. Dalam kajiandisertasinya ini antara lain dijelaskan bahwa hubungan Kristen-Islam di Indonesia selama ini diwarnai oleh kecurigaan antarkelompok yang cukup dalam. Ada perasaan ‘saling terancam’ satu dengan lainnya. Kalangan Muslim dihantui ketakutan berle bihan bahwa umat Kristen akan melakukan segala cara untuk usaha Kristenisasi, di sisi lain umat Kristen dihantui ketakutan yang juga berlebihan bahwa umat Islam akan melakukan segala cara untuk mendirikan Negara Islam. Negara, dalam konteks relasi Islam-Kristen ini, kerap menjadi lahan pertikaian ketakutan berlebihan kedua kelompok tersebut. Kajian lain dilakukan Fu Xie (2006), yang melihat hubungan antara orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil di Kota Sukabumi dan Kota Bandung. Diantara temuannya, orang Kristen sebagai kelompok minoritas di kedua kota yang diteliti, lebih berperilaku inklusif dibandingkan dengan orang Islam. Hal ini seturut dengan teori Blau yang mengatakan bahwa semakin besar ukuran suatu kelompok maka semakin kecil kemungkinan anggota kelompok tersebut untuk berhubungan dengan kelompok lain. Temuan lain, di kota besar (Bandung), seorang yang aktif di organisasi non-agama akan mempunyai trust terhadap agama lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini sesuai dengan teori Varshney yang mengatakan bahwa di kota-kota besar interaksi sehari-hari tidaklah efektif untuk meningkatkan hubungan, dan cara yang efektif adalah interaksi asosiasional. Selanjutnya, Abdul Mu’ti dan Fajar Riza Ul Haq (2009) mengkaji relasi Kristen dan Islam (khususnya Muhammadiyah) di Ende, Nusa Tenggara Timur. Kajian ini menunjukkan gambaran toleransi antara minoritas Islam dengan mayoritas Kristen Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
26
Akmal Salim Ruhana
(Katolik maupun Protestan) di NTT dalam wadah pendidikan Muhammadiyah. Digambarkan, SMA Muham madiyah di Ende, misalnya, diterima baik oleh masyarakat yang mayoritas beragama Katolik. Lebih dari itu, dua pertiga murid SMA Muhammadiyah itu beragama Katolik, yang mana bagi mereka disediakan guru agama Katolik. Kajian ini memunculkan istilah “Krismuha” (Kristen-Muhammadiyah), wujud relasi ‘konvergensi teologis-sosiologispaedagogis’ antara Kristen/Katolik dan Muhammadiyah. Sementara itu, Umi Maftukhah (2014) mengkaji hubungan antarumat beragama di Losari, Magelang. Dengan menggunakan empat prasyarat fungsional ala Parson (adaptation, goal attainment, integration, dan latent pattern maintenance), ditemukan bahwa masyarakat Losari yang diteliti memenuhi keempat prasyarat itu. Anggota masyarakat mendahulukan kepentingan umum dibanding pribadi (adaptation), yang ditujukan bukan untuk pribadi melainkan untuk tujuan bersama (goal attainment). Mereka juga meleburkan berbagai identitas demi menjaga menghindari konflik dan menjaga kebersamaan (integration), dan meski melebur namun tetap mempertahankan sesuatu dalam dirinya (latent pattern maintenance), yakni nilai agama dan norma-norma bermasyarakat. Relasi yang menegaskan adanya kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat. Kajian terkait hubungan antarumat beragama lainnya adalah peta kerukunan umat beragama, yang telah dilakukan dalam beberapa tahun. Tahun 2009 dilakukan pemetaan kerukunan umat beragama di berbagai daerah Indonesia. Kajian kualitatif ini memotret kondisi kerukunan kehidupan beragama di 10 daerah pedesaan/perkebunan di Indonesia. Selain berhasil mengelaborasi kondisi kehidupan beragama, hubungan antarumat beragama, juga terinventarisasi HARMONI
Januari - April 2016
potensi-potensi konflik, kecenderungan hubungan antar umat beragama, institusiinstitusi lokal yang berperan dalam menjaga kerukunan, usaha-usaha yang dilakukan dalam menjaga integrasi sosial, serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang mendukung lahirnya kondisi integrasi sosial kemasyarakatan (Ali, 2009). Kemudian tahun 2012 dilakukan Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama, yang juga memetakan secara kuantitatif kondisi kerukunan beragama di 33 provinsi. Hasilnya, sebagaimana diulas di atas, penelitian kuantitatif di 33 provinsi dengan 3.300 responden ini menunjukkan indeks kerukunan secara rata-rata nasional sebesar 3,67 (untuk rentang 1-5). Hal ini menegaskan kondisi kerukunan nasional yang berada dalam rentang cukup harmonis. Relasi antarumat beragama pada umumnya (secara gambar nasional) berjalan baik atau harmonis. Kajian lain yang sangat relevan dan bahkan dilakukan dengan objek dan lokus yang sama dengan penelitian kali ini dilakukan oleh Sri Wahyuni (2009). Tidak seperti kajian-kajian relasi antaragama yang kerap menghadapkan Islam dan Kristen, Sri mengkaji relasi Buddha. Kajian ini menyimpulkan bahwa umat Buddha di Girikarto Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, sangat mengerti tentang pluralitas agama dan toleransi. Menurut mereka, masing-masing pemeluk agama harus saling menghormati, tolong menolong, tanpa rasa saling curiga dan diskriminasi. Dalam praktiknya, mereka juga hidup berdampingan dengan toleran dan harmonis. Namun di sisi lain, sikap toleransi mereka juga dilandasi oleh sikap apriopri terhadap agamanya masing-masing, atau keyakinan terhadap agama yang kurang begitu kuat. Mereka tidak membeda-bedakan para pemeluk agama, namun mereka juga tidak peduli ia beragama apa, karena mereka juga tidak terlalu konsisten dengan ajaran agamanya. Mereka lebih disatukan
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
dengan tradisi dan adat kejawen. Sehingga, bentuk pemahaman dan sikap pluralisme mereka berupa sinkretisme. Temuan ini akan mengantarkan kajian kali ini. Pengkajian kali ini berupaya mendalami dasar pijak relasi mayoritasminoritas di lokasi penelitian, dan sisi kekinian kajian topik ini. Kajian ini hendak hadir dalam state of the arts wacana ini untuk melengkapi dan memutakhirkan kajian yang ada sebelumnya.
Konsep dan Teori Kajian ini merujuk desain operasional penelitian ini, menggunakan konsep “relasi” sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat, yaitu jaringan yang terwujud karena interaksi antara satuan-satuan yang aktif. Definisi ini menunjukkan bahwa hakekat dari relasi atau hubungan adalah adanya ‘interaksi’. Interaksi itu sendiri didefinisikan dengan hubungan antara dua orang atau lebih atau antara dua kelompok orang atau lebih atas dasar adanya aksi dan interaksi. Interaksi yang tersirat dalam konsep relasi dalam penelitian ini adalah ‘interaksi sosial’ yaitu jaringan hubungan antara dua orang atau lebih atau antara dua golongan atau lebih yang menjadi syarat bagi kehidupan bermasyarakat (Kuntjaraningrat, 2003: 79, 90). Adapun “kelompok keagamaan”, yang dalam kajian ini adalah kelompok mayoritas Islam dan minoritas Buddha, didefinisikan dengan populasi yang merupakan suatu unit yang hidup terpisah dari unit lain. Di samping itu, kelompok keagamaan dikenal sebagai populasi yang: a. secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; b. mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; c. Memben tuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan d. menentukan ciri kelompoknya
27
sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Barth, 1988:11). Teori ikatan antarwarga yang dibesut Ashutosh Varshney akan digunakan dalam menganalisis. Varshney membagi ikatan antarwarga menjadi dua bentuk, 1) asosiasional, yakni sebagai bentuk ikatan kewargaan (organisasi), misalnya asosiasi bisnis, organisasi profesi, klub olah raga, dan serikat buruh; dan 2) quotidian (keseharian) yaitu bentuk keseharian ikatan kewargaan (tidak memerlukan organisasi), atau berupa interaksi kehidupan yang sederhana dan rutin, seperti saling kunjung atara keluarga yang berbeda agama, kegiatan makan bersama, berpartisipasi bersama dalam upacara-upacara (merayakan hari kemerdekaan), atau bermain bersama di lingkungan. Relasi kelompok mayoritas dan minoritas akan dilihat dalam bentukbentuk ikatan tersebut. Selain itu, digunakan teori modal sosial (social capital), dimana jaringan sosialnya terdiri atas bonding, bridging, dan linking. Bonding kapital sosial bisa berupa nilai, kultur, persepsi dan tradisi atau adat-istiadat (custom). Pengertian social bounding adalah, tipe modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat dalam suatu sistem kemasyarakatan. Bridging social capital bisa berupa institusi maupun mekanisme. Social bridging (jembatan sosial) merupakan ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya berbagai kelemahan sehingga memutuskan untuk membangaun kekuatan di luar dirinya. Adapun linking social capital bisa berupa hubungan/jaringan sosial yang dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat (Lawang, 2004). Fakta-fakta sosial relasi antarumat beragama di lokasi penelitian dipandang Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
28
Akmal Salim Ruhana
sebagai social capital bagi kerukunan, dan turut diuji dengan konsep dan teori ini.
luas wilayah 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Propinsi DI Yogyakarta, Kabupaten ini dibagi atas 18 kecamatan dan 114 desa.
Metode Penelitian
Sebagai lokus penelitian, kecamatan yang dipilih adalah Kecamatan Panggang. Data statistik mengantarkan ‘kompas target lokasi’ ke kecamatan ini. Di sini terdapat desa yang dihuni banyak pemeluk atau umat Buddha. Kecamatan Panggang merupakan satu dari delapan belas kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Berada kurang lebih 38 km barat daya Wonosari, kecamatan ini berbatasan wilayah dengan Kecamatan Playen dan Kecamatan Imogiri (Kabupaten Bantul) di Utara, dengan Kecamatan Paliyan dan Saptosari di Timur, dengan Samudra Indonesia di Selatan, dan Kecamatan Purwosari di Barat.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan beberapa informan kunci, meliputi: tokoh dan umat beragama Islam dan Buddha; perangkat RT, RW/Dukuh, Desa, dan Kecamatan; pejabat berkaitan pada Kementerian Agama Kabupaten Gunung Kidul dan Kanwil Agama Provinsi DI Yogyakarta. Observasi dilakukan dengan langsung mengamati relasi/interaksi antarumat beragama di Panggang, termasuk live in di rumah warga/tokoh masyarakat. Adapun studi dokumentasi dilakukan di awal, saat proses, dan pascapengumpulan data lapangan, sebagai bekal dan pengaya bagi temuan lapangan. Untuk menguji keabsahan data digunakan teknik triangulasi data dengan cara peme riksaan melalui sumbersumber lain. Analisis data dilakukan secara deskriptif-analitik, melalui proses seleksi, tahap editing, pengolahan dan pengelompokan data serta reduksi data. Selanjutnya untuk memperoleh kesimpulan dilakukan analisis dan interpretasi data. Pengumpulan data lapangan dilakukan langsung di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul, dan Kota Yogyakarta, selama 12 hari, mulai 15 hingga 26 Mei 2015.
Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilaku kan di Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten ini berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan beribukota Wonosari. Kota Wono sari terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta, berjarak ± 39 km. Dengan HARMONI
Januari - April 2016
Secara administratif, kecamatan yang berpenghuni 29.965 jiwa (2014) ini memiliki 6 desa/kelurahan, yakni: Desa Girikarto dengan 3.459 jiwa, Desa Girisekar dengan 2.434 jiwa, Desa Girimulyo dengan 5.506 jiwa, Desa Giriwungu dengan 3.928, Desa Girisuko dengan 7.346 jiwa, dan Desa Giriharjo dengan 5.459 jiwa. Mata pencaharian penduduk terutama adalah bertani atau berladang. Dari pengamatan, setiap pagi mulai sekitar jam 07.00 sebagian penduduk tuamuda berjalan kaki menuju ke ladang, atau sebagiannya memilih menggunakan kendaraan roda dua. Mereka hampir seharian berada di ladang. Ada yang mengurus ternak sapi, mengambil kelapa dari pohonnya, dan kebanyakan lainnya mengurus tanaman di kebunnya atau kebun orang lain yang diurusnya. Sekitar pukul 17.00 sore mereka baru pulang, dengan sejumput hasil tanam atau sekadar kayu untuk bahan bakar tungkunya. Demikian setiap hari Senin-Minggu. Selain petani, sebagian lain penduduk bekerja sebagai pekerja bangunan, PNS, pedagang, dan lain-lain. Tingkat pendidikan penduduk yang umumnya masih rendah, membuat tingkat ekonomi
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
pun umumnya rendah. Hanya beberapa dari mereka yang bekerja ke kota, dan berpenghasilan memadai. Meski demikian, mereka tampak mencintai pekerjaan dan hidup sederhananya. Hampir semua penduduk ber etnis Jawa, selain hanya beberapa saja yang bersuku lainnya, seperti dari Padang atau Sunda, yang biasanya pendatang yang berdagang atau bekerja di pemerintahan atau TNI/ Polri. Karena itu, budaya dan adat Jawa dominan di daerah ini. Keba nyakan penduduk mengamalkan budaya Kejawen, dengan adanya praktik seperti: sedekah bumi dua kali setahun yakni pada saat mau menanam dan saat memanen. Lalu setiap bulan Ruwah ada tradisi “ruwahan” atau Nyadran. Mayoritas penduduk di Kecamatan Panggang saat ini beragama Islam. Selain itu, ada penduduk beragama Kristen, Katolik, dan Buddha. Sejauh data yang tersedia pada BPS dan Kementerian Agama setempat, tidak ada penduduk beragama Hindu dan Khonghucu di Kecamatan Panggang. Namun uniknya, diantara kecamatan di Gunung Kidul, di Kecamatan Panggang inilah, atau tepatnya di Desa Giri Karto, terdapat konsentrasi penduduk beragama Buddha. Dan dari 370 orang umat Buddha di Kecamatan Panggang itu, 331 orang diantaranya bermukim di Desa Girikarto dan sisanya (39 orang) berada di Desa Giriwungu. Berikut datanya (Tabel 1).
29
Menurut penuturan sesepuh Desa Girikarto, pada awalnya penduduk di Panggang (dan khususnya Girikarto) adalah pemeluk “Islam Abangan” atau “Islam KTP”, atau tepatnya para penganut Islam Kejawen. Mereka mengaku beragama Islam namun tidak taat melaksanakan ajaran Islam, dan cukup konsisten dan komitmen terhadap amalan tradisi Kejawen. (Mur dan Mar. Wawancara. 21-22 Mei 2015). Lalu, karena adanya perkem bangan kondisi perpolitikan nasional dan kekuasaan lokal, agama Buddha mulai masuk ke Panggang sekitar tahun 1979. Ajaran dan agama Buddha masuk melalui upaya tokoh-tokoh Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), sebuah organisasi tempat bernaung para penganut Kejawen. Selengkapnya dikisahkan Mud, “Disini kan riwayatnya begini, kebanyakan dulu orang-orang sini punya keyakinan ada keraton yang namanya disana Gerindra, Gerindro lah, bukan Gerindranya Pak Prabowo lho ya.. dulu itu ada yang namanya Gerindo lah.. Gerakan Rakyat Indonesia. Gerindo waktu dulu yang menyopiri adalah Ndoro Wisnu, orang Keraton Yogya. Itu pokoknya pada waktu itu, apa namanya, punya keyakinannya mengkristal. Gerindo itu nama perkumpulan. Lambangnya itu
Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemelukan Agama di Kecamatan Panggang dan Desa Girikarto 2014 Islam Kristen Katolik Hindu Buddha Khonghucu
Kecamatan Panggang 28.966 96,67% 418 1,39% 211 0,7% 0 370 1,23% 0 29.965 100%
Desa Girikarto 3.601 90,84% 8 0,20% 24 0,60% 0 331 8,35% 0 3.964 100%
Sumber: Data Cacah Penduduk 2014, Dukcapil Kab. Gunung Kidul Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
30
Akmal Salim Ruhana
seperti bulat, seperti roda bergerigi. Lha, orang-orang sini asal disebut Gerindo itu bangkit. Nah, tahun 80 itu ada tokoh merangkul pemuka Gerindo. Pemuka Gerindo dirangkul gak tahu cara mainnya. Tapi kan memang dulu itu kan disini juga terus terangnya masalah ekonomi. Ya ini kadang-kadang dihasut dengan... ya orang Jawa lah, dikasih apa segala macem, mungkin tertarik atau terpikat di sana.. Nah, sehingga orang yang dimuka itu menyebutkan ‘sing jenengi wargo Gerindo iku ya agomo Buddha.’ (Wawancara, 22 Mei 2015). Dengan begitu maka berduyunduyun masyarakat desa ini berpindah dari agama Islam (KTP) ke agama Buddha. Meski demikian, dilanjutkan Mud, [Pak Wisnu sendiri] oh nggak Buddha. Karena apa? Saya terakhir kali ikut itu, istilahe pasowanan, ngadep Ngodro Wisnu. Di sana mengarahkan tidak ke Buddha tidak ke Islam.. tapi KTP itu harus kosong. Lha, tapi sayup-sayup saya dengar itu adalah kepercayaan, yang sang hiyang. Di sana sebenarnya maunya aliran kepercayaan. Karena Pemerintah tahu hal itu kan lalu ditutup, gak boleh berkembang... Pernah ada masalah KTP kosong, lalu diselesaikan Pemerintah, KTP gak boleh kosong, harus diisi apapun agamanya. Akhirnya habis, gak ada aliran kepercayaan... Lha, akhirnya, disini semua habis ini.. ke Buddha, tahun 80-an. Hanya tinggal 9 orang satu pedukuhan yang Islam, tidak berubah. Nah, saya tekuni yang 9 orang, dari tahun 1980.” (Wawancara, 22 Mei 2015). Perkembangan Buddha dengan peningkatan jumlah pemeluknya itu terus berlangsung. Pembimbingan dan pemberdayaan umat Buddha di desa ini kemudian dilakukan oleh para biksu atau bante dari Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) yang berpusat di Siraman, Wonosari. HARMONI
Januari - April 2016
Bantuan-bantuan materil secara rutin terus mengalir, termasuk renovasi dan pengembangan wihara untuk memenuhi kebutuhan tempat peribadatan. Titik balik terjadi ketika memasuki era reformasi (1998). Perubahan kebijakan dalam kepemimpinan nasional dan gelombang dakwah Islam yang terus masuk menjadikan mulai banyaknya umat Buddha yang berpindah (kembali) ke Islam. Pemeluk Buddha terus menerus turun. Jika sebelumnya berjumlah seribuan, kini menurun drastis hingga tersisa sekitar 400an orang saja. Pasalnya, ‘Islamisasi’ gencar dilakukan, sementara Buddha cenderung diam. Membandingkan data monografi 2008 dan 2015, penurunan jumlah umat cukup tampak. Jika pada 2008 tercatat pemeluk agama Islam di Girikarto sebanyak 3.225 orang dan pemeluk Buddha 515 orang, pada saat penelitian ini dilakukan (2015) jumlah pemeluk Islam 3.601 orang dan pemeluk Buddha hanya 331 orang. (Monografi, 2012, 2015). Pengurangan jumlah umat Buddha di Girikarto, menurut Mardi, ketua RT yang juga sesepuh/pemuka agama Buddha, karena banyaknya praktik perkawinan lintas agama, dimana kebanyakan orang Buddha ‘mengalah’ masuk Islam saat akan menikah. (Mardi dan Laks. Wawancara. 23 Mei 2015). Selain itu, banyak juga yang pindah agama karena ikut agama anak. Kasusnya terjadi ketika sang orang tua sudah sepuh dan khawatir tidak ada yang mengurus masa tuanya kelak, maka ia ikut berpindah masuk agama sang anak yakni Islam. Hal ini diamini Mud, pemuka agama Islam, meski ditam bahkannya bahwa rekonversi ke Islam sebagai hasil dakwah yang dilakukannya bersama kaum muslimin lain. Disampaikannya juga, kembalinya banyak warga desa ke agama Islam karena semakin semaraknya kegiatan di masjid-masjid, sehingga mereka tertarik untuk ikut. Terlebih kegiatan di wihara tidak lebih aktif dari sebelumnya. Di samping itu, kegiatan Peringatan Hari
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
Besar Islam kerap diacarakan secara besar, mengundang penceramah dan jamaah dari luar desa. Hal ini menjadikan acara kian semarak dan memancing minat banyak orang terlibat. Belum lagi ketika Idul Adha, daging kurban dibagikan secara merata ke semua warga, baik muslim maupun bukan. (Mud. Wawancara. 22 Mei 2015). Di Desa Girikarto memang cukup banyak masjid. Di desa ini terdapat 5 masjid dan 8 mushala, yang tersebar di sejumlah pedukuhan dan RT. Adapun umat Kristen memiliki gereja di daerah Petung. Untuk umat Buddha, terdapat 4 buah vihara. Yang terbesar adalah Vihara Girisurya, di daerah Wiloso. Yang lainnya, Vihara Bhakri Wira Dharma di Pundung, Vihara Dharma Ratna di Nglaos, dan Vihara Giri Ratana di Petung. Yang unik dalam profil keberagamaan masyarakat disini adalah tingkat religiusitas nya yang dapat dikategorikan “abangan”. Indikasinya, penduduk di sini mudah sekali keluar-masuk agamaagama. Dari Islam ke Buddha, lalu Islam lagi. Lalu, meski mengaku beragama pun jarang pergi ke wihara ataupun masjid. Profil seorang Laks, misalnya, menarik dicermati sebagai contoh. Keluarga besar Laks (sejak kakek-nenek sampai orang tuanya) beragama Buddha semua. Laks sendiri beragama Islam karena semasa TK sampai SD disekolahkan oleh orangtuanya di sekolah Islam. Laks sudah biasa shalat lima waktu dan sudah pernah khatam (tamat) membaca Quran. Mendapat calon suami seorang Buddhis taat (dari keluarga Buddha yang taat), Laks kemudian ‘terpaksa’ berpindah ke Buddha dulu agar bisa menikah. Harapannya setelah nikah bisa kembali ke Islam. Namun, hingga saat ini Laks tetap di Buddha. Ketika ditanya, “...sebagai yang pernah mengalami agamaagama, enakan di Islam atau di Buddha?”, Laks menjawab, “Kalau aku sih Mas ya, kalau aku enakan di Buddha. Karena gak menuntut gini, gini, gini. Mau ke
31
wihara atau enggak, boleh.. Mau dana atau gak, boleh.. Mau gini gak gini, boleh... hehe.” (Wawancara, 23 Mei 2015). Tergambar sedemikian ringan memahami beragama, berganti identitas agama, bahkan berpindah keyakinan. Hal ini didukung fakta lain yang juga dapat menujukkan tingkat keberagamaan masya rakat disini. Ketika saatnya shalat Jumat tiba, dari pengamatan peneliti di Masjid UH, ternyata ketika khatib naik ke mimbar baru ada lima orang jemaah yang sudah hadir. Jemaah yang akhinya kira-kira berjumlah tiga puluhan baru berdatangan ketika khatib sedang menyampaikan khutbahnya. Yang unik lagi, banyak warga yang menghabiskan waktu siang pada hari Jumat di ladang, alias mereka menyengaja tidak ikut Jumatan. Dalam amatan dan simpulan Sri Wahyuni, masyarakat muslim (dan juga Buddha) di Girikarto memiliki sikap apropri terhadap agamanya masingmasing, atau keyakinan terhadap agamanya kurang begitu kuat. Mereka tidak membeda-bedakan para pemeluk agama, namun mereka juga tidak peduli ia beragama apa, karena mereka juga tidak terlalu konsisten dengan ajaran agamanya. Mereka lebih disatukan dengan tradisi dan adat kejawen. Masyarakat banyak yang menganut kejawen dan tradisi sesajennya, termasuk tradisi-tradisi di seputar siklus hidup (kematian, kelahiran dan tradisi perkawinan). Ada tradisi ngesur tanah, pada hari meninggalnya seseorang, hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dari hari kematian, selalu dibuat sesajen dan kenduri. Ada juga tradisi terkait kelahiran, seperti tradisi tujuhbulanan dan delapanbulanan dengan dawetan. (Wahyuni, 2009:33). Di dalam lingkungan yang “abangan” tersebut sesungguhnya telah muncul kesadaran untuk memperbaiki keberagamaan masyarakat. Ada sejumlah orang yang terus mengembangkan dakwah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
32
Akmal Salim Ruhana
agama Islam di tengah masyarakat Girikarto yang sedang bergeliat itu. Selain dai-dai di masjid masing-masing, atau dari lembagalembaga semisal Muhammadi yah, Nahdlatul Ulama, dan PDHI (Persatuan Djamaah Hadji Indonesia), ada juga ustad muda yang sedang terus mengembangkan dakwah melalui pesantrennya, Darush Sholihin, yakni Ustaz Muh. AT. Meski pesantrennya ada di wilayah Girisekar, namun jangkauan dakwahnya meluas hingga desa dan kecamatan lain di Gunung Kidul. Di pesantrennya ini, selain mengadakan pengajian TKA/TPA harian, ada pengajian mingguan, program Qurban, bazzar, donasi, hingga penerbitan buku. Ustaz muda kreatif ini menggunakan jaringan perkawanan-maya dari lamannya rumaysho.com untuk mengundang simpati dan donasi untuk membiayai berbagai upaya dakwahnya di Gunung Kidul itu. Banyak upayanya yang berhasil, seperti semakin banyaknya yang tertarik dengan ajaran Islam, kemauan berjilbab, dan praktik beragama praktis lainnya. Hanya saja, ini ganjalannya, di kalangan tertentu geliat dakwahnya ini menimbulkan kecurigaan dan respon negatif. Ada pihak yang curiga menge nai sumber pendana an pesantren dan aktivitas dakwah nya. Beberapa orang di Girikarto misalnya berkomentar yang menduga Pesantren DS mendapat bantuan dana dari Arab Saudi atau pihak lain. “Ustaznya tak kelihatan usahanya, tapi bisa membangun dan memberi sumbangan pada proposalproposal yang masuk.” Bahkan ada yang menengarainya sebagai kelompok teroris, dengan meilihat cara berpakaian atau berkerudung santri puterinya. Tuduhantuduhan ini terjawab ketika peneliti mewawancarai Ust Muh AT pada 23 Mei 2015. Bahwa dana berasal dari “hamba Allah” (anonim) yang menyampaikan donasinya via penawaran program dakwah di laman-laman maya yang dikelolanya. Para donatur itu tampak mendapat manfaat dan tertarik dengan berbagai postingan yang up-to-date dalam laman-laman itu. HARMONI
Januari - April 2016
Lalu, ajaran dakwahnya yang berbau salafi sedikit-banyak bertabrakan dengan kebiasaan masyarakat dan tradisi keagamaan masyarakat yang membudaya. Meski tidak diakui secara tegas bahwa dakwahnya adalah a la salafi, namun dalam wawancara dengan Ust. Muh. AT, pada 23 Mei 2015, tersirat cara pandang keagamaan yang mengarah pada posisiposisi madzhab salafi tersebut. Semisal, dalam hal melarang acara tahlilan, sikap keras dalam hal ucapan natal, serta identitas cara berjilbab jamaah perempuannya. Hal ini juga bisa diidentifikasi dari postinganpostingannya pada laman mayanya, maupun buku-buku terbitannya.
Seberapa bertahan? Lalu, di tengah mayoritas muslim yang cukup agresif, seberapa bertahan komunitas minori tas Buddha di Girikarto, Panggang, Gunung Kidul? Pertanyaan ini menarik diajukan untuk menjawab kepenasaranan akan kondisi terus menurunnya populasi umat Buddha di Panggang dari tahun ke tahun belakangan ini. Pertanyaan ini juga sekaligus mengukur seberapa memadai modal sosial (social capital) kelompokkelompok keagamaan dalam berrelasi satu sama lain. Sebagaimana dijelaskan di atas, populasi umat Buddha kecenderungannya terus menurun, sejak era reformasi hingga kini. Jika awal tahun 1980-an ada ribuan pemeluk Buddha di Girikarto, dan mulai tahun 1998-an mulai berkurang, kini diperkirakan tinggal sekitar 400-an orang saja, atau bahkan data resminya saat ini di berjumlah 370 di Kecamatan Panggang (yakni 371 orang di Desa Girikarto dan 39 orang di Desa Giriwungu). Telah disinggung di atas, bahwa diantara penyebab penurunan jumlah umat Buddha di Girikarto, Panggang ini adalah, pertama, berpindahnya pemeluk Buddha ke Islam karena pernikahannya
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
dengan seorang muslim. Baik aturan agama maupun UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur bahwa perkawinan hanya sah jika kedua calon mempelai seagama. Menyiasati keberbedaan agama, biasanya sang mempelai pria atau wanita yang beragama Buddha ‘mengalah’ untuk masuk Islam sebelum perkawinan. Memang setelah berkeluarga sebagian ada yang kembali ke agama asal, sehingga keluarga tersebut multi agama, namun kebanyakan tetap pada agama Islam. Hal ini menyebabkan komunitas umat Buddha perlahan namun pasti terus berkurang. Kedua, orang tua yang sudah sepuh ditengarai banyak yang berpindah agama mengikuti anaknya yang muslim duluan. Hal ini dilatari kekhawatiran tidak ada yang mengurus ketika dirinya meninggal kelak. Ketiga, pindah agama menjadi muslim karena ikut pimpinan. Ada kasus dimana seorang yang telah menjabat pimpinan dan membimbing sekelompok umat di suatu wihara berpindah ke Islam. Hal ini mempengaruhi pengikutnya untuk juga “ikut-ikutan” pindah ke Islam. Meski kasusnya tidak banyak, namun dalam konteks satu pedukuhan, hal ini dinilai cukup efektif. Dan keempat, pindah ke muslim karena tertarik dengan banyaknya aktivitas sosial dan kegiatan bersama, seperti aktivitas Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Utamanya di kalangan pemuda, hal ini cukup efektif karena secara psikologi perkembangan masa muda masa-masanya aktif dan berkreativitas. Lalu, apa mekanisme pertahanan atau penguatan diri (social bonding) yang dilakukan pemuka agama Buddha terhadap umatnya? Pertama, penguatan iman umat akan ajaran Buddha melalui pembinaan rohani berkala satu minggu sekali. Selain melakukan ritual doa-doa yang dilakukan secara bersama-sama, juga diberikan petuah-petuah dari ajaran Sang Buddha. Upaya penerapan nilainilai agama. Biasa digunakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Di Wihara Giri Surya, misalnya, disediakan
33
buku “Tata Cara Sembahyang Agama Buddha Indonesia Berbahasa Jawa”, untuk menjadi panduan bagi umat. Ibadat Minggu ini biasa diikuti segenap umat Buddha di wiharanya masing-masing, ataupun juga bisa dilakukan sendiri di rumah masing-masing. Kedua, penguatan ekonomi umat dengan pemberian bantuan sosial yang biasanya diberikan dari MBI (Majelis Buddhayana Indonesia). Ketiga, sebagai upaya penguatan soliditas dan solidaritas sesama jemaah, diperbanyak acara-acara pertemuan. Semisal, ada arisan mingguan yang diikuti oleh ibuibu Buddhis pada setiap malam Minggu. Lalu ada juga arisan dua mingguan yang diikuti pemuda-pemudi Buddhis. Selain itu, setiap Minggu pagi ada ibadat bersama di wihara dan Sekolah Minggu Buddhis (SMB). Di kalangan muslim, upaya social bonding juga dilakukan. Ada pengajian mingguan di masjid-masjid, acara yasinan atau tahlilan di rumah-rumah jemaah, penyelenggaraan sekolah agama untuk anak-anak muslim, dan lain-lain. Selain itu, ada juga arisan Qurban, selain untuk mempersiapkan pembelian bersama hewan qurban, juga dalam maksud menguatkan ukhuwah Islamiyah melalui pertemuan-pertemuan dalam arisan tersebut. Meski dalam posisinya yang minoritas dan terus menyusut, umat Buddha di Girikarto tetap tenang dan tak tampak kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan Mur, pemuka agama Buddha, mengatakan dengan tenang, “Meski tinggal saya sendiri yang Buddhis, tidak apa-apa, asalkan nilai-nilai Buddha diterapkan oleh semua manusia, “ katanya.
‘Sabuk’ Relasi Muslim-Buddhis Jika upaya social bonding berfokus pada penguatan soliditas internal untuk pertahanan eksistensi kelompok, social bridging lebih melintas batas Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
34
Akmal Salim Ruhana
identitas kelompok untuk pemerkuatan kehidupan bersama. Dalam konteks relasi mayoritas muslim dan minoritas Buddha di Panggang, jaring-jaring yang menguatkan ikatan antarwarga berbeda identitas tampak nyata. Dalam civic engagement sebagaimana dibagi dua oleh Ashutosh Varshney, asosiasional dan quotidian, temuan lapangan penelitian ini mengonfirmasi teori tersebut.
meski ada kasus, namun tidak menonjol adanya masalah soal perbedaan agama dalam keluarga multiagama tersebut. Lebih-lebih, secara umum, masyarakat di sini tampak mudah sekali berpindah agama atau berganti keyakinan. Cara beragama yang cenderung pluralistiksinkretik seperti itu, secara teoritik, lebih mudah terjalinnya social bridging, karena nilai-nilai kelompok menjadi lebih longgar atau bahkan membaur.
Secara “asosiasional”, relasi antara Muslim-Buddhis terjalin dengan adanya sejumlah forum bersama yang merekatkan relasi antarwarga (baca: antarumat), seperti: arisan warga “sepuluhan”, arisan RW/dukuh, organisasi pemelihara kambing oleh Bapak-bapak, dan tim bola voli di setiap RT yang berlomba antar-RT setiap 17-an. Adapun secara “quotidian” yang terjadi adalah adanya budaya saling kunjung saat “kenduren reroyo” (Idul Fitri), makan bersama dalam acara kenduren ruwahan atau sedekah bumi, saling partisipasi saat hari besar keagamaan, saling mengunjungi, budaya sambatan jika ada tetangga yang membangun rumah, serta gotong royong warga membangun fasilitas publik.
Last but not least, yang menguatkan kerukunan di daerah ini adalah adanya nilai-nilai budaya [Jawa, kejawen] yang dipertahankan. Meski beragama Islam ataupun Buddha, masyarakat masih melakukan acara kenduren ruwahan, sedekah bumi, dlsb. secara bersamasama, sebagai penghormatan kepada leluhur. Bahkan, ada mekanisme kontrol, jika ada yang tidak ikut akan ditegur oleh kawan lainnya atau bahkan dihukum sosial, dikucilkan.
Dari pengamatan dan live in di lokasi, ikatan quotidian tampak lebih kuat dibanding asosiasional. Pergaulan seharihari antarwarga berbeda agama tampak lebih menonjol mendekatkan, dibanding forum-forum (yang bahkan tak ada forum lintas agama disini). Hal ini cocok atau mengonfirmasi pendapat Varshney, bahwa dalam kategori masyarakat perde saan kerjasama sehari-hari (quotidian) lebih menonjol dibanding kerjasama asosiasional. Berbanding terbalik kondisinya dengan di perkotaan. Di luar itu, terjadinya kawinmawin antaragama juga menguatkan social bridging ikatan antarwarga. Searah dengan itu, di Girikarto ada beberapa keluarga yang beranggota keluarga yang multiagama, dimana sang suami Islam, istri Budha, dan anak Katolik. Uniknya, HARMONI
Januari - April 2016
Mengapa Mau Berrelasi-Harmonis? Dari paparan di atas, tampak bahwa terbangun relasi antara umat Buddha dan Islam di Girikarto, Panggang, Gunung Kidul. Merujuk pada konsep “relasi” sebagaimana didefinisikan Koentjaraningrat, maka diantara kedua umat yang notabene mayoritas dan minoritas itu telah melakukan interaksi, dan bentuk-bentuk aksi-reaksi dalam bermasyarakat. Relasi antarumat tercipta lebih karena adanya kebutuhan bersama untuk hidup bersama, guyub, rukun, saling tolong menolong. Selain itu, masyarakat di sini juga telah menyejarah mengalami pluralitas agama dan toleransi. Hal ini misalnya tersirat dari pernyataan Mur, pemuka agama Buddha, “Kalau masalah kerukunan di sini itu gak ada bandingnya, Mas, dibanding kalau lain kecamatan. Lain kecamatan kan kadangkala itu ada bentrok. Kalau di sini gak ada.
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
35
[kenapa?] ya karena... ya meskipun lain agama kepercayaan orang sini kan satu jalan, Tuhan, sama, Tuhannya sama. Yang bedanya ya pada waktu kita ibadah, atau kalau kita berdoa di wihara, kalau Islam di masjid. Lain tempatnya tapi kan tujuannya sama, Tuhan.” (Wawancara 24 Mei 2015)
bing oleh Bapak-bapak, dan tim bola voli RT. Ada juga ikatan “quotidian” berupa budaya saling kunjung saat “kenduren reroyo”, makan bersama dalam kenduren ruwahan atau sedekah bumi, saling partisipasi saat hari besar keagamaan, saling mengunjungi, budaya sambatan, serta gotong royong warga.
Modal sosial dalam agama Islam dan Buddha tentang budaya damai cukup tersedia. Namun modal sosial berupa budaya bersama juga sangat menonjol. Bahwa meskipun ber agama berbeda, masyarakat sangat menjunjung budaya Jawa/Kejawen, dengan mengatakan “karena itu sudah kebiasaan orang tua kami.” ‘Sabuk budaya’ ini bahkan melampaui keberbedaan identitas agama dan lainnya. Dapat dikatakan, nilai agama dan pranata hukum tidak lebih menonjol.
3. Dengan adanya relasi bersifat social bridging, yakni dalam lingkup asosiasional dan quotidian di atas, kedua kelompok umat beragama dapat hidup bersama dalam damai. Social bonding yang dilakukan masing-masing kelompok agama tidak mendorong pada eksklusivisme kelompok, melainkan sebentuk pemerkuatan eksistensi untuk mendukung tujuan bersama yang dicitakan.
Penutup
1. Pemerintah daerah dan Kantor Kementerian Agama perlu terus mengembangkan budaya damai antarwarga dengan menekankan pada pengembangan nilai-nilai agama dan budaya lokal. Eksplorasi dan implementasi nilai-nilai tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk program dialog berkala, pembentukan wadah kerukunan warga, ataupun pendampingan kegiatan masyarakat. Penyuluh agama dan tenaga sosial dapat diberdayakan dalam hal ini.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam membangun relasi antarumat beragama, umat Islam dan Buddha di Panggang melandaskan pada kebutuhan bersama untuk guyub, hidup rukun. Selain ada landasan perintah teologis untuk hidup bersama dalam damai, masingmasing umat agama terikat kuat dalam “sabuk budaya” leluhur Jawa, yang bahkan di atas ikatan keagamaan. 2. Bentuk-bentuk relasi antarkelompok keagamaan mayoritas Islam dan minoritas Buddha di Panggang, adalah sebagaimana konsep ikatan warga Varshney. Ada ikatan asosiasional dalam bentuk arisan warga “sepuluhan”, arisan RW/ dukuh, organisasi pemelihara kam-
Penelitian ini memberikan saran pertimbangan sebagai berikut:
2. Peneliti dan akademisi penting mengkaji lebih dalam fenomena ‘inkompatibiltas’ ajaran agama dan praktik budaya masyarakat. Secara praktis, dapat dilakukan penguatan konsep dan praktik “Islam Nusantara yang Berkemajuan” sebagai piranti pribumisasi ajaran agama dalam konteks budaya Indonesia yang beragam dan unik.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
36
Akmal Salim Ruhana
Daftar Pustaka Ahmad, Haidlor Ali (ed.), Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013. Ali, Mursyid, Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009. Asry, M. Yusuf, dkk., Masyarakat Membangun Harmoni: Resolusi Konflik dan Bina Damai Etnorelijius di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2013. Barth, Fredrik. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press, 1988. Endraswara, Suwardi, Agama Jawa: Laku Batin Menuju Sangkan Paran, Yogyakarta: Lembu Jawa, 2012. Fu Xie, “Hubungan antara Orang Kristen dan Islam dalam Masyarakat Sipil (Studi di Kota Sukabumi dan Kota Bandung), disertasi, Jakarta: Fisip UI, 2006. Koentjaraningrat, Kamus Istilah Antropologi. Jakarta: Progres bekerjasama dengan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003 Laporan Tahunan Kehidupan Keagamaan di Indonesia 2012, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012 Lawang, Robert M.Z. Kapita Sosial dalam Perspektif Sosiologi: Suatu Pengantar. Depok: Fisip UI Press, 2004. Mudzhar, Mohamad Atho, Islam in a Globalized World, Jakarta: The Center for Research and Development of Religious Life, The Office of Research and Development, and Training, Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2011. Maftukhah, Umi, “Kerukunan Antarumat Beragama Dalam Masyarakat Plural (Studi Kerukunan Antarumat Islam, Kristen Protestan, Katolik, dan Buddha di Dusun Losari, Kelurahan Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang,” skripsi, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2014. Mujiburrahman, Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order. Leiden: Amsterdam University Press, 2006. Mulkan, Abdul Munir, dkk. Kebatinan dan Dakwah kepada Orang Jawa, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan, 1987. Mu’ti, Abdul, dan Fajar Riza Ul Haq, Kristen Muhammadiyah: Konvergensi Muslim dan Kristen Dalam Pendidikan, Jakarta: Al-Wasat Publishing House, 2009. Pedoman Dasar Umat Buddha Mahayana, Bandung: Angkatan Muda Vihara Buddha Gaya, tt. Pelangi Agama di Ufuk Indonesia: Fakta dan Cerita Kerukunan Beragama, Jakarta: Pusat Kerukunan Umat Beragama, Setjen Kementerian Agama, 2014. Sutiyono, Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
HARMONI
Januari - April 2016
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
37
Tim Peneliti, Penelitian tentang Kerjasama Antar Umat Beragama di Indonesia (Pengaruh Karak teristik Individu, Status Sosial Ekonomi, Sikap Keberagamaan dan Tingkat Kepercayaan/trust terhadap Kerjasama Antar Umat Beragama). Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2008. Wahyuni, Sri, “Pluralisme Agama dan Toleransi Bagi Umat Buddha di Kecamatan Panggang Gunung Kidul,” Laporan Hasil Penelitian, 2009. http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-pesatnya-penyebaran-islam-di-eropa-dan-amerika. html. http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/07/05/241532/tradisi-nyadran-masih-semarakdi-pedesaan, diakses pada 22 Juli 2015. https://id.wikipedia.org/wiki/Kejawen, diakses pada 21 Juli 2015. http://panjimas.com/news/2015/07/19/masjid-di-papua-dibakar-umat-islam-geruduk-gerejaliar-gidi-di-solo/, diakses pada 21 Juli 2015. http://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/04/23/why-muslims-are-the-worlds-fastestgrowing-religious-group/, diakses 22 Juli 2015.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
38
Ahsanul Khalikin
Penelitian
Tradisi di Tengah Keberagamaan Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama Ahsanul Khalikin
Peneliti Madya, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Email:
[email protected] Diterima redaksi tanggal 4 Februari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
Ende society are well known as a harmonious society regardless of the diverse identity and cultural character in language, ethnic groups and religion they have. It is also the case in the social structure of the society where we can find the number of religious adherents namely Catholics as the majority and Muslims as the minority. In fact, actually this region really has two potentials for inter-religious conflict to happen.
Masyarakat Ende dikenal sebagai masyarakat harmonis walaupun dilihat dari keragaman identitas dan karakter budaya keadaan sosialnya cukup beragam dari sisi bahasa, suku dan agama. Demikian pula keragaman struktur sosial masyarakat pun sebenarnya terlihat pada kasus jumlah penganut keagamaan, mayoritas Katolik dan minoritas Islam. Wilayah ini benarbenar memiliki dua kemajemukan yang berpotensi bagi terciptanya konflik besar antar penganut agama. Persoalannya, bagaimana peran tradisi masyarakat ditengah keberagamaan masyarakat yang beragam itu? Penelitian kualitatif sosiologis dengan wawancara, observasi, dan penelusuran dokumen ini menemukan bahwa kearifan lokal dalam berbagai bentuk, baik pandangan hidup, sistem budaya, tradisi perkawinan, kelembagaan sosial, dan lainnya mampu menjadi media efektif dari relasi sosial antar umat beragama. Terlebih ketika semua elemen tiga batu tungku ikut mengikhtiarkan adanya harmoni sosial dalam berbagai keputusannya, baik dalam arti pembangunan infrastruktur, pendidikan, ataupun pemberdayaan masyarakat. Harmoni sosial kelompokkelompok keagamaan di masyarakat Ende benar-benar terjaga sebagai buah dari kekuatan tradisi turun temurun.
The question is, how is the role of local tradition in this diverse society? By applying sociological qualitative research through interviews, observations and documents collections, this research found that local knowledge in its various forms such as a way of life, a system of culture, the tradition of marriage, social institutions; has become an effective tool medium in keeping social relations among religions in Ende. Especially when all the elements of the “three stones” takes part in building social harmony in many factors like infrastructure development, education, community empowerment and so on. The social harmony between religious groups in Ende is getting stable because of the power of the value of local tradition. Keywords: Religious Tradition, interaction media, Ende community, interreligious relationship, three stones (tiga batu tungku).
HARMONI
Januari - April 2016
Kata kunci: Tradisi Keberagamaan, Media Interaksi, Masyarakat Ende, Membangun Relasi.
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
Pendahuluan Sejak abad ke-15 masyarakat Ende mulai bersentuhan dengan para pedagang Arab, penguasa Majapahit, misionaris Katolik dari Portugal, pedagang Bugis dan pedagang dari Tiongkok. Pertemuan mereka dengan berbagai kultur budaya dan etnis lain telah membuat karakternya sangat terbuka dalam menerima para tamu dan pendatang. Sikap toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengalaman ajaran agama dan kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa memandang asal-usul suku-agama-ras dan antargolongan terlihat jelas dalam kehidupan bermasyarakatnya (Yosef Nganggo: 2015). Dalam aspek multikulturalisme, Kabupaten Ende dengan jumlah penduduk 258.658 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende; Ende Dalam Angka, 2010), cukup dipandang istimewa. Ia menjadi tempat persandingan keberagaman. Nilai ke-Indonesia-an beserta pernak-pernik pluralitas etnis, ras, budaya, dan agama, dibangun dengan kuat, sehingga semua kelompok etnik dan agama dapat hidup berdampingan. Padahal pluralitas wilayah Ende sangat tinggi, sebagaimana terlihat dari komposisi etnis yang menghuninya. Masyarakat Ende terdiri dari 32,17% etnik Ende, 2,13% etnik Ngao, 47% etnik Lio, 1,5% etnis Cina, 1,36% etnis Padang, 1% etnis Bali, 1% etnis Madura, 3% etnis Arab, 2% etnis Sabu, 0,5% etnis Timor, 0,5% etnis Rote, 1,5% etnis Sikka, 1% etnis Flores Timur, 1,5% etnis Ngada, 1,2% etnis Manggarai, dan etnis lain-lain sebanyak 2% (Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende; Ende Dalam Angka, 2010). Keberagaman sosio-kultural masyarakat Ende itu merupakan indikasi hidup damainya mereka dari arti perdamaian dan kebersamaan. Di sini, semaian benih-benih toleransi tinggi,
39
simpati, saling menghargai sesama anggota masyarakat begitu terasa. Budaya saling menghargai dan damai sudah berjalan sejak lama dalam masyarakat Ende. Dalam urusan politik pemerintahan pun masyarakat Ende mempunyai toleransi tinggi, tak mempersoalkan agama seseorang. Kerajaan Ende dengan mayoritas penduduk yang beragama Katolik, rajanya seorang beragama Islam, yaitu H. Hassan Aroeboesman (Yosef Nganggo: 2015). Berdasarkan kenyataan di atas, sepertinya pendapat umum yang mengatakan bahwa tiap suku atau bangsa mampu mempertahankan budayanya dengan cara yang tidak mengacuhkan suku atau bangsa-bangsa tetangganya cukup terbukti pada kasus masyarakat Ende. Kenyataan ini tentu menafikan pendapat lain yang menyatakan, bahwa suatu suku atau bangsa mampu mempertahankan budayanya dengan jalan isolasi geografis dan isolasi sosial (lihat Barth, 1988: 9-10). Walaupun sifat-sifat dari suatu batas budaya, yang mampu mempertahankan budayanya dengan tidak memperdulikan suku atau bangsa sekitarnya ataupun budaya luar dapat menghasilkan temuan yang memperlihatkan ketidaktepatan dua pandangan di bawah ini. Pertama, batas-batas budaya dapat bertahan walaupun suku-suku tersebut saling berbaur. Dengan kata lain, adanya perbedaan antaretnik tidak ditentukan oleh tidak terjadinya pembauran, kontak dan pertukaran informasi. Namun, hal ini lebih disebabkan oleh adanya prosesproses sosial berupa pemisahan dan penyatuan, sehingga perbedaan kategori tetap dipertahankan walaupun terjadi pertukaran peran serta keanggotaan di antara unit etnik dalam perjalanan hidup seseorang; Kedua, dapat ditemukan hubungan sosial yang mantap, bertahan lama, dan penting antara dua atau lebih kelompok etnik yang berbeda (lihat Barth, 1988:10). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
40
Ahsanul Khalikin
Dengan kata lain, ciri masingmasing kelompok etnik yang berbeda tersebut tidak ditentukan oleh tidak adanya interaksi dan penerimaan sosial. Interaksi yang demikian tidak akan mengakibatkan pembaruan dengan perubahan budaya dan akulturasi. Perbedaan-perbedaan budaya ini justru akan bertahan walaupun terjadi hubungan antaretnik dan ada saling ketergantungan antar etnik (lihat Barth, 1988:10). Seringkali perbedaan etnik itu juga menjadi penunjuk dari perbedaan agama. Horowitz misalnya, menyebut Etnik bisa disamakan dengan kelompok agama. Ia mencontohkan bahwa seluruh konflik yang didasarkan atas identitasidentitas kelompok yang bersifat akscriptif – ras, bahasa, agama, suku, atau kasta – dapat disebut konflik etnis. Konflik tersebut dapat dicirikan sebagai konflik yang bersifat: keagamaan, rasial, kebahasaan, dan sektarian (Varsney, 2009: 5). Dengan demikian konsep relasi antar umat beragama dalam penelitian, yaitu relasi-relasi antara berbagai kelompok keagamaan (antarumat beragama). Pada kasus masyarakat Ende, keragaman etnik menjadi keniscayaan, jika ditilik dari perjalanan sejarah di masa lalunya. Demikian juga pembentukan sistem sosial yang mengedepankan aspek-aspek toleransi dan penghargaan atas keragaman tersebut sepertinya menjadi keharusan yang diciptakan oleh masyarakat generasi sebelumnya dan dilestarikan oleh generasi sekarang. Termasuk relasi antarumat beragama yang cukup baik di sana karena dilandasi oleh sistem sosial yang ada. Padahal di daerah lain, relasi antarumat beragama itu berjalan kurang baik dan cenderung menimbulkan konflik. Fenomena relasi antarumat beragama yang baik di masyarakat Ende di atas telah menghantarkan pada tiga pertanyaan yang perlu ditelusuri HARMONI
Januari - April 2016
jawabannya. Pertama, apa yang mendasari pemikiran antarumat beragama di wilayah Ende dalam membangun relasi itu? Kedua, apa saja bentuk-bentuk relasi antarumat beragama mayoritas– minoritas? Ketiga, bagaimana kondisi masing-masing antarumat beragama setelah ada relasi tersebut? Penelusuran atas pertanyaan itu setidaknya dapat (i) mengetahui dan mendiskripsikan apa yang mendasari pemikiran antarumat beragama dalam membangun relasi; (ii) mengetahui dan mendiskripsikan bentuk-bentuk relasi antarumat beragama mayoritas– minoritas; dan (iii) mengetahui dan mendiskripsikan kondisi masing-masing antarumat beragama setelah ada relasi. Hal ini tentu dapat menjadi bahan strategis bagi penciptaan iklim relasi antarumat beragama yang kondusif dan pemeliharaan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Kerangka Teori Relasi antar penganut agama sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari pandangan interaksi sosial secara sosiologis pada umumnya. Interaksi sosial menghendaki perjumpaan dalam pergaulan sosial di tengah kehidupan masyarakat. Di dalam hubungan itu, ada bentuk-bentuk interaksi berbagai pihak itu dilakukan. Ada bentuk yang bersifat dominatif yang melansirkan diri pada legitimasi kekuasaan ataupun pada jumlah kepesertaan yang membedakannya menjadi kelompok mayoritas dan minoritas. Ada pula yang mengambil bentuk akomodatif dan negosiatif, di mana semua kepentingan dapat ditampung. Upaya ini cenderung pada ikhtiar pencapaian integrasi sosial yang baik dan berkedudukan sejajar. Bentuk terakhir ini sebenarnya telah dikondisikan oleh masyarakat Indonesia secara turun temurun. Bahkan beberapa
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
kearifan lokalnya telah mengarahkan para pelaku di dalamnya untuk berlaku akomodatif bagi kelompok-kelompok berbeda, baik suku, agama ataupun bahasa. Tujuan kearifan ini adalah sebuah harmoni sosial di dalam masyarakat. Harmoni sosial adalah suatu keadaan keseimbangan dalam suatu poros kehidupan. Kondisi ini merupakan keadaan yang selalu didambakan oleh setiap masyarakat dalam kehidupan mereka. Keharmonisan akan terwujud jika di dalamnya ada sikap saling menghargai dan menyayangi antar anggota keluarga atau masyarakat, walaupun mereka berbeda keadaannya, baik ekonomi ataupun sosial keagamaannya. Pada praktiknya, harmoni sosial terbagi menjadi dua, yaitu harmoni sosial struktur sosial masyarakat dan harmoni sosial identitas dan karakter budaya. Harmoni sosial struktur sosial masyarakat merupakan upaya penciptaan kesatuan hidup bersama dalam masyarakat beragam, yang terkait dengan keragaman struktur sosial masyarakat. Keragaman struktur sosial masyarakat sendiri diartikan sebagai kondisi struktur sosial masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kepemilikan kekuasaan, pengetahuan dan kekayaan. Dengan demikian keragaman struktur sosial masyarakat berkenaan dengan adanya polarisasi antara kelompok penguasa dan yang dikuasai, kelompok berpendidikan dan kurang berpendidikan, kelompok kaya dan miskin. Hal ini cenderung didasarkan pada interaksi sosial yang bersifat dominatif. Sementara itu, harmoni sosial identitas dan karakter budaya merupakan upaya penciptaan kesatuan hidup bersama dalam masyarakat beragam, yang terkait dengan keragaman identitas dan karakter budaya. Adapun keragaman identitas dan karakter budaya yang dimaksud adalah kondisi struktur sosial masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan keragaman
41
budaya (suku bangsa, daerah, agama, dan ras), keragaman sosial (perbedaan profesi dan pekerjaan), dan keragaman tempat tinggal (desa dan kota). Dengan kata lain, keragamaan identitas dan karakter budaya adalah keragaman identitas dan karakter budaya kelompok masyarakat. Harmoni sosial seperti inilah yang terjadi pada masyarakat Ende, khususnya terkait pada aspek hubungan antar penganut agama (http://digilib.uinsby.ac.id/96/5/ Bab%202.pdf). Menciptakan keharmonisan sosial secara identitas dan karakter budaya membutuhkan saling pengertian dalam setiap sendi kehidupan masyarakatnya. Karena jika ditinjau secara sosiologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang disebut masyarakat. Menurut Talcort Parsons, kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai sebuah sistem (sosial). Artinya, kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagianbagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung, dan berada dalam suatu kesatuan. Kehidupan seperti itulah yang disebut sistem sosial (Narwoko 2012). Secara lebih rinci, Talcott Parsons mengatakan bahwa sistem sosial terdiri dari beragam aktor individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang cenderung termotifasi ke arah “optimisasi kepuasan” dan yang hubungannya dengan situasi mereka. Salah satu jalan untuk menciptakan harmoni sosial itu adalah kemampuan beradaptasi, termasuk dalam menegosiasikan berbagai kepentingannya masingmasing. Walaupun di dalam proses beradaptasi itu tidak bisa serta merta melepaskan kemampuan pencapaian tujuan (goal), penyatuan diri baik secara internal ataupun eksternal kelompok di dalam masyarakat (integration), Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
42
Ahsanul Khalikin
dan kemampuan melakukan (pemeliharaan pola).
latensi
Sistem harus melengkapi, memelihara dan memperbaruhi motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut, termasuk didalamnya menciptakan dan mentransmisikan kearifan lokal yang bertujuan menciptakan keharmonisan para penganut agama di dalam masyarakat. Semua proses itu tidak bisa berjalan secara alamiah, tetapi harus diciptakan dan didampingi terus menerus, khususnya oleh para pemimpin informalnya. Dalam konteks masyarakat Ende, tiga elemen dalam tiga batu tungku, yaitu pemerintah, tokoh agama dan tokoh adat menjadi pelaku paling penting mencipta harmoni sosial para penganut berbeda agama itu.
Metode Penelitian Penelitian ini bersifat studi kasus dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan analisis deskriptif. Data dikumpulkan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan informan kunci, yaitu para expert setempat, meliputi beberapa unsur pimpinan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende, Kesbangpol Ende, FKUB Ende, pemuka agama, pemuka masyarakat dan anggota masyarakat sebagai pelaku ‘relasi/interaksi’ antarumat beragama. Sementara observasi digunakan untuk mengamati bagaimana relasi/interaksi antarumat beragama yang terjadi di masyarakat lokasi penelitian. Penelitian ini sendiri dilakukan di daerah yang terdapat komunitas agama minoritas yang berada di tengah-tengah komunitas agama mayoritas, yaitu: Mayoritas Katolik - Minoritas Muslim di Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. HARMONI
Januari - April 2016
Pengujian validitas data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi. Menurut Patton (1987), triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi melalui waktu dan alat yang berbeda. Hasil wawancara misalnya dibandingkan dengan hasil pengamatan, dengan dokumen, membandingkan apa yang dikatakan orang di muka umum dan ketika sendirian, membandingkan antara pendapat rakyat biasa dengan pejabat pemerintah, serta membandingkan antara informasi pada saat situasi penelitian dengan saat normal sepanjang waktu (Moleong, 2002:178). Dalam proses pengumpulan data, seiring itu pula analisis data mulai dilakukan secara deskriptif-analitik. Untuk memperoleh kesimpulan dilakukan analisis dan interpretasi data.
Hasil dan Pembahasan 1. Potret Pluralitas Keagamaan Wilayah Ende Kabupaten Ende adalah salah satu kabupaten di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan luas 2.046,59 km². Secara geografis Kabupaten Ende memiliki letak yang cukup strategis yaitu di bagian tengah Pulau Flores yang diapit oleh empat kabupaten di bagian barat: Nagekeo, Ngada, Manggarai, dan Manggarai Barat, sedangkan di bagian timur dengan dua Kabupaten yakni Kabupaten Sikka dan Kabupaten Flores Timur. Secara administratif Kabupaten Ende meliputi 21 kecamatan, 191 desa dan 23 kelurahan. Wilayah Kabupaten Ende terletak di bagian tengah Pulau Flores dengan batas: sebelah Utara; laut Flores. Sebelah Selatan; laut Sawu. Sebelah Timur; Kabupaten Sikka dari pantai utara. Sebelah Barat; Kabupaten Ngada dari pantai utara.
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
Jumlah penduduk Kabupaten Ende hasil registrasi penduduk akhir tahun 2010 sebanyak 258.658 jiwa yang terdiri dari atas 135.544 jiwa penduduk perempuan dan 123.114 jiwa penduduk laki-laki. Kepadatan penduduk pada tahun 2009 ini 126 jiwa per kilometer persegi, dengan kepadatan penduduk terdapat pada Kecamatan Ende Tengah sebesar 3.615 jiwa per km² dan yang terendah pada Kecamatan Detukeli dengan kepadatan penduduknya 30 jiwa per km². Jumlah Kepala Keluarga penduduk adalah sebesar 57.550 Rukun Tetangga (RT) dengan rata-rata penduduk per RT tidak terlalu bervariasi yakni antara 3-6 jiwa pada setiap kecamatan, sedangkan ratarata penduduk per RT untuk Kabupaten Ende yaitu 4 jiwa per RT. (portal, endekab. go.id/selayang pandang/geografis dan demografis.html). Komposisi penduduk berdasarkan usia 0-14 tahun (anak-anak); laki-laki 39,00%, perempuan 31,40%; usia 1549 tahun (dewasa) laki-laki 44,00%, perempuan 50,50%; usia 50 (lanjut usia) tahun laki-laki 17,00%, perempuan 18,10%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk berusia produktif (15-49 tahun) lebih tinggi, yakni sebesar 112.844 jiwa atau 44,00% dari total penduduk Kabupaten Ende. Dari sudut pluralitas etnik dan agama, masyarakat Ende cukup beragam. Setidaknya ada 10 etnik lokal, dan lebih dari 10 etnik yang merupakan kelompok pendatang. Mereka dengan identitas dan karakter keagamaannya masing-masing hidup bersama di sana. Masyarakat di
43
sini masih memegang kuat kebudayaankebudayaan daerah seperti pada upacara meminang, perkawinan, kematian, membuka ladang, dan panen hasil tanaman pertanian. Di ibukota kabupaten, kebudayaankebudayaan daerah tersebut sedikit terpengaruh dengan budaya-budaya luar. Infiltrasi kebudayaan ikut mempengaruhi kebudayaan setempat, terlebih ketika akses informasi baik melalui media cetak maupun media elektronik mudah dijangkau. Demikian juga dengan perkembangan transportasi yang memudahkan perpindahan penduduk di dari ke Kabupaten Ende. Hal ini dapat terlihat dari semakin banyaknya penduduk yang berasal dari luar kabupaten, misalnya; Ngada, Manggarai, Flores Timur, Lembata, Sumba, Timor, Jawa, Padang, Makassar, Ambon, Toraja, yang juga turut mempengaruhi dinamika kehidupan sosial masyarakat di Kabupaten Ende (endekab.go.id/selayang pandang/social budaya.html). Bukan hanya pluralitas etnik, pluralitas keagamaan di wilayah Ende pun cukup tinggi. Hal ini terlihat dari komposisi pemeluk agama, rumah ibadat dan pemuka agamanya. Penduduk Ende yang memeluk agama pada tahun 2011 sebanyak 265.482 jiwa, terdiri dari 70,06% penganut Katolik, 26,46% Islam, 3,04% Protestan, dan kurang lebih 1% Hindu, Buddha, Konghucu (Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende 2013). Secara lengkap jumlah pemeluk agama penduduk Ende disajikan pada tabel di bawah ini:
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
44
Ahsanul Khalikin
Tabel 1: Jumlah dan Persebaran Penganut Agama di Kabupaten Ende, 2013 KECAMATAN Nangapanda Pulau Ende Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Endi Utara Ndona Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori Maurole Kotabaru Detukeli Lepembusu Kelisoke Detusoko Wewaria 2011
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Jmh
Katolik 11.747 6.879 15.053 10.509 11.704 13.894 5.697 10.499 4.000 12.278 2.405 4.508 9.547 2.475 6.535 11.534 6.997 16.459 17.797 194.707
Islam 6.758 8.571 439 2.356 12.140 10.130 8.240 9.120 2.681 7 5.766 827 466 302 4.062 1.122 120 447 402 65.299
Kristen 30 1.699 1.115 1.970 115 11 11 11 42 36 15 5.155
Hindu 16 250 100 314
Buddha 7
Jumlah 18.535 8.571 7.318 17.409 24.364 23.199 24.204 14.932 13.191 4.007 18.055 3.232 4.985 9.849 6.537 7.699 11.654 6.997 16.942 18.214 265.482
Sumber: Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende. Sarana dan prasarana peribadatan yang sifatnya melibatkan jemaat, masingmasing pemeluk agama memiliki rumah ibadat. Umat Islam memiliki 106 masjid dan 74 mushalla; umat Kristen sebanyak 10 gereja; umat Katolik memiliki 26 gereja dan 40 kapel; dan umat Hindu memiliki 3 pura (Kantor Kementerian Agama Kab. Ende). Dalam bidang pengembangan dan pemberdayaan umat beragama melalui
pemuka agama masing-masing pemeluk agama pun cukup intens. Pada kelompok keagamaan Islam, di dalamnya ada; Imam masjid, mubaligh, khatib, penyuluh agama, dan guru ngaji. Di Katolik ada; pastor, frater, bruder, suster dan katekis. Di Kristen ada; pendeta dan guru injil. Di bawah ini disajikan tabel mengenai komposisi pemuka agama tersebut.
Tabel 2: Jumlah dan Persebaran Pemuka Agama di Kabupaten Ende, 2013 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Jmh
KECAMATAN Nangapanda Pulau Ende Maukaro Ende Ende Selatan Ende Timur Ende Tengah Endi Utara Ndona Ndona Timur Wolowaru Wolojita Lio Timur Kelimutu Ndori Maurole Kotabaru Detukeli Lepembusu Kelisoke Detusoko Wewaria
2010
Islam 114 103 9 11 115 59 76 60 84 0 100 25 26 7 70 32 7 0 0 0 15 913
Katolik 16 9 2 63 17 397 20 42 38 2 2 11 6 11 10 11 16 10 683
Sumber: Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende. HARMONI
Januari - April 2016
Kristen 3 6 11 1 1 1 24
Hindu -
Buddha -
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
Dari tabel-tabel di atas, terlihat bahwa Katolik dianut oleh mayoritas penduduk Ende, dan kemudian disusul Islam. Sebagian lain penduduknya menganut agama di luar keduanya, dan ada pula yang masih belum beragama atau berpegang teguh terhadap kepercayaan nenek moyangnya. Keberadaan Katolik dan Islam tidak terlepas dari sejarah sebelumnya. Menurut sejarahnya, agama Katolik hadir bersaamaan dengan kedatangan orang Portugis, sedangkan agama Islam dengan kedatangan pedagang Gujarat. Orang-orang Gujarat datang ke Ende dengan misi perdagangan, mereka masuk dari sela ke sela, desa ke desa. Sekalipun mereka datang membawa ajaran agama Islam, tetapi agama Islam yang mereka bawa itu tidak bermaksud untuk memaksa orang masuk agama. Memang fokus mereka pertama berdagang tetapi di sisi lain juga mereka berdakwah atau menyebarkan agama Islam, karenanya di basis-basis tertentu, mereka pun tidak memaksakan diri dalam penyebaran agamanya. Demikian juga dengan kehadiran Portugis, mereka datang pada awalnya hanya bertujuan berdagang. Seiring itu, penyebaran agama pun dilakukan. Sebenarnya tujuan mereka baik. Keduanya, baik Portugis maupun pedagang Gujarat, sama-sama berusaha membangun semangat agar masyarakat berpikir maju dan mempunyai inovasi, sekalipun di satu sisi seiring juga membangun aqidah. Persebaran kedua penganut agama di wilayah Ende pun cukup unik. Jika diamati secara seksama, pada bagianbagian pesisir pantai atau khususnya perkotaan Kabupaten Ende mayoritas penduduknya beragama Islam. Secara kasar, prosentasenya mencapai 90% Islam dan 10% Katolik.Sementara di wilayahwilayah dalam ataupun pegunungan, komposisinya berimbang. Di sana
45
adakalanya kebanyakan Islam, tetapi tidak jarang pula kebanyakan adalah Katolik. Komposisi itu tergantung pada sejarah awal penyebarannya, dan kegigihan pemuka-pemuka agama beserta institusi keagamaannya. Tempat domisili dari para pendatang kebanyakan berada di wilayah Katolik. Hal ini disebabkan oleh adanya jaringan kekerabatan ataupun jaringan gereja dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Umumnya mereka berusaha mencari kerja, namun, tidak jarang pula para pendatang itu bukan beragama Katolik, tetapi beragama Kristen. Asal daerah mereka dari Timur, seperti Rote, Alor, Sabu, dan Sumba, dikenal sebagai daerah mayoritas Kristen. Keberadaan mereka itu ikut mempengaruhi corak dan keragaman keagamaan di masyarakat Ende. Walaupun demikian, Ende tetap dikenal sebagai pusat agama pertama Katolik, meskipun para penganutnya banyak menyebar di pinggir-pinggir kota atau pegunungan.
2. Relasi Antarkelompok Keagamaan Sebelum kemerdekaan, Kota Ende dikenal sebagai salah satu tempat pembuangan Sukarno. Pasca kemerdekaan, wilayah ini pun cukup dikenal karena seringkali terjadinya gejolak, khususnya atas nama politik aliran, seperti isu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam banyak kasus, gejolak-gejolak tersebut cepat diselesaikan dengan cara adat dan efektifnya peran dari para tokoh masyarakat. Walaupun kebanyakan dari tokoh itu memiliki tingkat pendidikan rendah, namun mereka berhasil mengemas sistem sosialnya berfungsi dalam menjaga harmoni kehidupan, dan penyelesaian konflik yang terjadi itu. Bahkan, semangat memperkuat kehidupan berbangsa dan kenyamanan bernegara seringkali terlihat jelas dalam setiap tuturan dan praktik Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
46
Ahsanul Khalikin
hidupnya. Mereka lah menjadi pelopor dan penjaga dari berbagai kearifan lokal yang memiliki makna toleransi dan harmoni yang berkembang secara lintas generasinya. Sekarang ini beberapa kearifan lokal dipandang mulai surut, walaupun tetap ada usaha mempertahankannya. Rumah adat Ende yang selama ini tidak dipugari masyarakat adat, pada akhirnya diambil alih oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Ende yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk melakukan renovasinya. Bagi masyarakat Ende, rumah adat, gawi (tarian) adat, tenunan ikat dan beberapa adat istiadat lainnya harus tetap dipertahankan. Kebudayaan material ini menyimbolkan adanya kesamaan filosofi hidup bersama. Mereka sadar dan mengerti tentang tuntutan hidup dalam kebersamaan ditengah perbedaan etnik dan agama. Di dalam sikap itu menuntut tidak adanya jarak antara mayoritas-minoritas para penganut agama. Mereka adalah satu bagian dari keluarga besar. Nilainilai toleransi ini didapatinya melalui pembelajaran dan pengalaman dari orangtuanya secara turun temurun, termasuk dalam persoalan kawin mawin yang bersifat berbeda agama. Jika orang luar melihat dari jauh tanpa disertai data akan menganggap bahwa wilayah Flores khususnya Ende, keadaannya sangat rentan bila dilihat dari sisi keragaman agama. Dugaan ini sebenarnya tidak terbukti pada kasus Ende. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa ketika umat Katolik hendak membangun gereja, maka umat Muslim akan turut ambil bagian. Toleransi dibangun dengan kebersamaan dalam berbagai aktivitas sosial yang saling mendukung. Bagi masyarakat Ende, membangun rumah ibadat tidak akan melihat kelompok HARMONI
Januari - April 2016
tersebut dari sisi agamanya, tetapi dari sisi kebersamaannya. Barangkali ini bentuk toleransi dalam sisi amal ibadah, atau biasa disebut sebagai dialog karya. Tidak hanya itu, bahkan diluar batas-batas toleransi yang semestinya menurut keyakinan suatu agama, di dalam kehidupan masyarakatnya pada kenyataan adanya kawin beda agama. Ada laki-laki yang mengambil istri berbeda agama, dan ada juga perempuan yang mengambil pihak laki-laki berbeda agama. Pilihan itu dalam praktiknya tidak pernah ada unsur pemaksaan. Ada di antara mereka yang masuk Islam dan ada juga yang masuk Katolik. Ikatanikatan seperti itulah yang menjadi dasar, sehingga perbedaan agama dapat menjadi media untuk membangun kekeluargaan dan persatuan. Agama itu bukan satu-satunya alat untuk mempersatukan orang, tapi rasa kekeluargaan justru yang membuat masyarakat bisa rukun, aman dan damai. Keberadaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Ende didasarkan pada rasa kekeluargaan itu, sehingga hubungan antar penganut agama akan lebih rukun. Melalui kebersamaannya, masyarakat bisa meretas segala hiruk pikuk yang selama ini didengar, misalnya bahwa masjid dibakar oleh orang Katolik, dan gereja dibakar oleh orang Islam. FKUB dapat memberikan penjelasan bahwa hal tersebut hanya isu yang dapat membuat masyarakat menjadi retak dalam hubungan bermasyarakatnya. Jika ditelusuri lebih lanjut, ada praktik-praktik hidup yang berkembang di masyarakat yang mampu menciptakan relasi antarkelompok keagamaan dengan baik dan harmonis. Hal ini dapat dilihat dari (i) kesepakatan bersama yang dibangun; (ii) pranata hukum; dan (iii) implementasi nilai-nilai agamanya.
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
Kesepakatan bersama Menurut beberapa informan, jika ada masalah sekecil apapun dalam mengambil keputusan bersama, maka mereka akan menyelesaikannya dengan cara “Tiga Batu Tungku.” Idenya dimotori oleh Bupati Ende Bapak Marselinus Y.W. Petu. Istilah Tiga Batu Tungku menurut masyarakat Ende adalah Pemerintah, Tokoh Agama dan Tokoh Adat. Tujuan dari pertemuan itu pada umumnya untuk menyelesaikan persoalan di dalam masyarakat, khususnya kelompokkelompok keagamaan, dan memberikan sumbangan bagi bangsa atau negara. Pemerintah Daerah akan bekerjasama dengan tokoh masyarakat, dan tokoh masyarakat kemudian akan turun ke tokoh adat. Pada umumnya, para tokoh adat ini memiliki kharisma di tingkat pedesaan, sehingga mereka lah yang menjadi ujung tombak keberhasilan pembangunan desa. Seandainya Pemerintah Daerah Kabupaten Ende akan membangun sesuatu dengan dana yang besar misalnya, seperti akan membangun gereja dan masjid, maka mereka harus terlebih dahulu menghadap tokoh adat. Jika mereka setuju, pembangunan tersebut dapat dimulai. Hal ini terkait dengan kepemilikan tanah yang rata-rata dimiliki oleh para tokoh adat. Sementara aturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, dapat diartikan sebagai media penghubung atau pendukung kesuksesannya saja. Oleh karena itu, sekalipun pemerintah daerah memiliki konsep atau ide yang hebat, tetapi jika tokoh adat belum menyetujuinya, maka hal tersebut tidak akan bisa terwujud. Beberapa prosesi perlu diperhatikan benar oleh pemerintah daerah dalam meminta persetujuan para tokoh adat. Prosesi itu misalnya: duduk, tidur, bermain gawi, minta
47
leluhur, dan lain sebagainya. Jika prosesi ini diperhatikan, dan tokoh adat merasa nyaman di dalamnya, maka rencana yang diajukan bisa jadi akan disetujui oleh tokoh adat.
Pranata Hukum Dari perspektif kebudayaan, Tiga Batu Tungku, juga dapat dimasukkan sebagai bagian dari pranata hukum yang bersifat informal. Jika ada persoalan yang akan ditangani oleh aparat kepolisian, maka persoalan itu harus ditangani terlebih dahulu oleh para tokoh adat. Bila secara adat sudah dianggap selesai, maka aparat tidak boleh menindaklanjutinya. Walaupun banyak kasus, jika masalah memuncak, dan aparat kemudian berusaha mengambil alih, tetapi secara adat menolaknya, maka kasus tersebut harus dihentikan. Sekalipun hukum formalnya bersifat kuat, namun dalam konteks masyarakat Ende, maka hukum adat tersebut dianggap lebih kuat. Dalam menyelesaikan persoalan, para tokoh adat tidak akan melihat sisi nilai-nilai agama, tetapi lebih pada nilai-nilai tradisi yang berkembang. Sepanjang ini nilai-nilai tradisi tersebut tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Posisi adat sebenarnya semakin membuat agama lebih baik. Hal ini strategis, karena masyarakat Ende dikenal berpegang teguh terhadap adat dan tradisinya. Bahkan ada anggapan, bahwa “adat itu bisa membunuh orang secara tidak langsung, dan bila adat itu tidak diikuti, maka kamu pulang bisa mati”. Hampir semua kelompok di dalam masyarakat, termasuk kelompok terdidik pun, masih percaya terhadap ikatan adatnya, sehingga mereka sangat berhatihati dalam bertingkah laku di dalam kehidupan kesehariannya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
48
Ahsanul Khalikin
Nilai-nilai Agama dan Kebangsaan
3. Modal Sosial sebagai Perekat Relasi
Tingkat keberagamaan, khususnya dilihat dari ketaatan dalam beribadat, pada kelompok penganut Katolik, Kristen, dan Islam di Ende cukup tinggi. Mereka taat beribadat dengan berusaha melaksanakan ibadahnya sebaik mungkin. Demikian juga persatuan di antara mereka pun cukup kuat. Mereka akan saling bantu, termasuk dalam membuat rumah ibadah sekalipun, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara Katolik, Islam dan Kristen. Jika ditilik seksama, toleransi masyarakat Ende sepertinya menjadi ukuran atau barometernya orang Flores (Larantuka, Maumere, Bajawa, dan sebagainya). Mereka dikenal memiliki kebersamaan dan mampu mendorong kepentingan bersamanya tanpa pernah membeda-bedakan dari mana asal suku dan agamanya. Sepanjang simbol-simbol dan ritual keagamaannya tidak disentuh secara negatif oleh kelompok lain.
Modal sosial yang menjadi pilihan masyarakat Ende dalam kehidupan sehari-hari adalah berbagai kearifan lokal sebagaimana yang dijelaskan di atas. Modal sosial itu didasari pada kesamaan filosofi dan pemaknaan terhadap nilainilai kebersamaan, penghargaan terhadap perbedaan, dan tidak ada istilah jarak antara mayoritas-minoritas agama lain. Nilai-nilai ini ditransmisikan secara turun temurun lintas generasi. Modal sosial yang berhubungan dengan perekatan sosial pun dijaga sebaik mungkin. Ada beberapa cara untuk merekatkan kembali kelompok-kelompok yang sedang berselisih atau berseteru.
Dalam soal kebangsaan, ada sedikit persepsi yang unik. Mensikapi kepercayaan masyarakat Ende terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, jika keadaan wawasan pendidikan masyarakatnya masih rendah, maka kepercayaan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara menunjukkan perilaku lebih baik. Namun, bila wawasan pendidikan masyarakatnya lebih tinggi, maka kepercayaan terhadap bangsa dianggap lemah. Hal ini didasari dengan berkembangnya “politik tanpa prinsip”. Model ini berkembang karena semakin tinggi pendidikan seseorang, biasanya akan mampu membuat dirinya bangga apa yang dimilikinya. Tetapi di suatu saat, ketika dirinya tidak berdaya, maka dia bisa saja memfitnah orang lain yang dampaknya mengobrak-abrik nilainilai tradisi dan agama di masyarakat (wawancara dengan Dr. Natsir B Kotten, Wakil Rektor I Universitas Flores, Mei 2015).
HARMONI
Januari - April 2016
Pertama; Gawi (tarian adat) untuk mempersatukan kumpulan sedang berseteru. Gawi, salah satu tarian adat yang dilengkapi oleh syair yang memiliki arti sangat mendalam dalam bentuk adat untuk mempertemukan kumpulan berbagai perbedaan unsur. Di dalam tarian gawi, ada syair-syair yang sifatnya mengayomi semua masyarakat, supaya di antara mereka jangan retak, jangan berpisah, dan satu turunan dari nabi Adam. Mereka berharap, para penari bersama itu dapat tetap berpegang teguh dengan pesan-pesan itu. Kedua, adat istiadat melalu perkawinan. Kawin mawin adalah salah satu media untuk mempersatukan bahwa kita sebenarnya satu, yang berbeda adalah agamanya meskipun masih ada hubungan darah. Biasanya orang Ende sendiri yang tidak merantau atau menetap di Ende tidak akan menikah ke luar. Sementara itu, orang Ende yang pergi merantau dan sekolah di luar wilayahnya seperti ke Jawa dan Malaysia, kebanyakan akan kawin dengan orang luar. Namun, tidak semua orang yang merantau akan membawa pasangannya dari luar. Ada semangat yang berkembang bahwa mereka telah dibiayai oleh orangtua, lalu mengapa kemudian kita memberikan
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
makan bagi orang yang tidak membiayai kita. Ada juga prinsip yang hampir sama, yaitu: Orang tua telah biayai anak untuk sekolah setinggi-tingginya, maka anak harus pulang untuk bayar ke orangtuanya (balas budi). Dalam prosesi perkawinan, belis (mas kawin) menjadi hal yang harus diperhatikan, walaupun sifatnya seremonial saja. Pembicaraan mengenai belis harus diselesaikan sebelum acara pernikahan diberlangsungkan. Prinsipnya adalah menghargai keluarga perempuan, dan juga tidak memberatkan keluarga laki-laki. Prinsip ini merupakan pembelajaran penting bagi kaum muda untuk bisa mematuhi adat istiadat dan kebiasaan yang berlangsung di dalam masyarakat. Sementara itu dalam kasus perkawinan berbeda agama, maka pusat perhatiannya adalah pada upaya masingmasing untuk mempertahankan harka dan budaya. Katakan saja orang Katolik, misalnya, membiarkan atau mengijinkan anaknya untuk masuk Islam, setelah terlebih dahulu menyepakati jumlah belisnya. Dalam soal pengajuan dan pemberian belis, harus berada di hadapan banyak orang. Dalam pelaksanaannya bisa disesuaikan dengan kemampuan dari keluarga yang ada, walaupun kekurangannya harus tetap dibayar di kemudian hari. Cara ini adalah salah satu bentuk penghargaan kepada pihak pelamar ataupun pihak penerima lamarannya. Pada awalnya keluarga Islam maupun Katolik pastilah akan ada rasa keberatan, tetapi pada umumnya akan berakhir baik. Di antara mereka, tidak dikenal istilah “tidak ada yang lepas buang”, karena kedua pasangan dan keluarganya berusaha saling tenggang rasa. Ketiga, organisasi-organisasi sosial masyarakat, seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Orang Flores, khususnya orang Ende sebenarnya mudah
49
sekali terusik, apalagi terkait dengan persoalan agama. Walaupun masyarakat Ende sebenarnya dikenal sebagai masyarakat yang toleran, menghormati orang dan agama lain, dan termasuk patuh terhadap orang lain, sepanjang mereka juga bisa menghormati dirinya. Jika mereka terusik dengan informasi atau berita menyesatkan, maka pihak yang paling seringkali membendung itu adalah orang-orang tua, tokoh adat, dan tokoh agama, termasuk mereka yang terlibat dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Ende itu. Selain FKUB, organisasi sosial kemasyarakatan pun dapat berbentuk koperasi dan arisan warga. Bentuk relasi seperti arisan atau perkumpulan secara kekeluargaan tanpa memandang perbedaan agama, ataupun arisan khusus di antara kelompok-kelompok asal wilayah seperti arisan Flores yang terdiri dari orang Ende, Larantuka, dan Maumere. Ada juga bentuk-bentuk arisan khusus, seperti atas nama suku tertentu, arisan suatu organisasi tertentu, dan arisan masyarakat umumnya yang seringkali tidak membedakan agama para pesertanya dapat menjadi media penting perekat sosial kelompok-kelompok berbeda agama. Demikian juga model arisan yang dikembangkan umat Islam, juga memiliki motif untuk saling membantu dan tetap menghargai antara satu dengan lainnya, termasuk kepada peserta yang bukan beragama Islam. Rata-rata arisan-arisan tersebut kebanyakan bersifat permanen, tidak bersifat isidentil. Bahkan ada yang sudah dalam bentuk koperasi, seperti koperasi Al Wathan dan Koperasi Al Hikmah. Koperasi ini bisa diakses oleh penganut agama lain. Organisasi lain yang cukup strategis sebagai media perekatan sosial adalah klub olahraga. Perkumpulan sepakbola misalnya tidak akan membeda-bedakan agama dari para pesertanya. Kegiatan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
50
Ahsanul Khalikin
perkumpulan di bidang olah raga ini bahkan menjadi alat pemarsatu yang cukup efektif. Hal ini terlihat pada kebersamaan mereka saat berlatih, bertanding dan istirahat bersama. Keempat, tradisi yang menenangkan. Ada satu kebiasaan di dalam masyarakat yang memiliki dampak bagi perekatan sosial, yaitu minum air petu (air panas) untuk memulai kegiatan-kegiatan lainnya. Kebiasaan minum air petu (air panas) dapat terlihat pada saat orang hendak melaksanakan pesta kawin, bangun rumah, sunatan, dan lainnya. Kebiasaan ini dimulai dengan cara memberitahukan terlebih dahulu kepada orang-orang yang hendak diundang. Si tuan rumah sebelumnya juga menyiapkan kolekte sebagai tempat sumbangan dari tamu yang diundang. Para tamu akan menaruh uangnya setelah minum air petu. Di masyarakat Ende, jika seseorang hendak melaksanakan hajatan tertentu, seperti; menikahkan anak, sunatan anak, bangun rumah dan lain sebagainya, sekalipun si punya hajat adalah orang kaya raya dan berpendidikan tinggi tetap akan melaksanakan kebiasaan ini. Jika tidak membuat adat atau melakukan minum air petu ini, maka mereka akan dianggap sombong, dan bahkan akan dituduh macam-macam pula, seperti pencuri uang, dan sebagainya. Demikian juga dalam membangun masjid dan gereja, atau ketika anak akan pergi sekolah ke luar kota dan orang tua akan mendampingi wisuda anaknya, maka kelompok agama dan orang tua tersebut dapat melakukan minum air petu. Acara ini boleh dilakukan secara sederhana. Keempat modal sosial perekat relasi sosial di atas benar-benar terlihat pada masyarakat Ende. Di dalamnya sarat dengan nilai-nilai toleransi dan kehidupan harmonis, sehingga mampu menciptakan masyarakat yang saling menghargai perbedaan agama. Terlebih ketika dukungan dari pemerintah, tokoh HARMONI
Januari - April 2016
masyarakat dan tokoh adat dalam “Tiga Batu Tungku” benar-benar didorong untuk melansirkan praktik budaya yang berkembang itu. Pemerintah tidak bisa bergerak sendiri dalam menjalankan program atau kegiatan pendukung harmoni kehidupan masyarakat, tetapi mereka harus melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh adat. Tokoh agama di satu sisi, di sisi lain tokoh masyarakat dan tokoh adat. Oleh karena itulah, untuk membentuk jaringan komunikasi antaragama atau antar pemeluk agama, perlu ada kesadaran bersama bahwa mereka berasal dari manusia yang sama, dan saling membutuhkan antara satu dengan lainnya. Beberapa informan mengilustrasikannya, bahwa “mereka lahir dari satu rahim yang pada awalnya tidak pernah mengenal siapa bapak dan ibunya. Karena itulah, tidaklah perlu membedakan kamu beragama apa dan dari mana sukunya. Karena bisa jadi, besok kamu makan di rumah saya, lusa saya makan di rumah kamu”. Artinya, saling membutuhkan adalah bagian terpenting dalam menciptakan komunikasi antar pemeluk agama. Jika mereka telah menganggap orang yang berbeda sebagai orang yang menyenangkan dan menghargai dirinya, rasa gembira dan rasa riang seringkali diwujudkan dengan baku peluk dan baku cium tanpa memandang agama. Di dalam praktik itu tidak ada lagi jarak apapun, kecuali tata aturan makan di antara mereka. Sementara dalam pergaulan sosial kemasyarakatan, jarak sosial itu hampir tidak terlihat. Orang pulang ibadah haji, misalnya, maka pihak yang menjaganya adalah kelompok muda mudi Katolik. Pada saat Natal, pihak penjaganya berasal dari kelompok remaja masjid. Jadi, upaya memelihara kebersamaan di antara kelompok berbeda agama sebenarnya selalu ada, sepanjang masyarakat dapat memfungsikannya sebagaimana tujuan awalnya.
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
Banyak anggota masyarakat yang menyadari bahwa perlakuan berbeda (diskriminatif) terhadap penganut agama yang berbeda lebih banyak berasal dari pribadi-pribadi orang tertentu. Bisa jadi, perlakuan itu muncul karena didasarkan pengalaman mereka berjumpa dengan orang yang tidak nyaman, atau memiliki kepentingan tertentu dalam mengembangkan agamanya. Diskriminasi biasanya akan terlihat pada upacara siklus kehidupan ataupun penyelenggaraan kegiatan perayaan hari besar keagamaan. Perlakuan diskriminasi itu bisa berkurang atau bahkan hilang ketika para penganut berbeda agama itu telah menemukan satu kondisi dan satu pengalaman bersama tentang kemaslahatan menjaga harmoni di tengah pergaulan sosial di antara mereka. Sayangnya, pengalaman hidup bersama berbeda agama seperti itu tidak semua penganut mengalami dan menghayatinya. Upaya penyadaran melalui pendidikan yang mengedepankan toleransi ataupun penyemaian kembali tradisi yang memiliki nilai-nilai harmoni menjadi bagian tidak terpisahkan mempertemukan kelompok-kelompok beda agama di tengah kehidupan masyarakat.
Kesimpulan Relasi sosial keagamaan di masyarakat Ende didasarkan pada berbagai kearifan lokal yang berkembang secara turun temurun. Terlebih masyarakat di wilayah ini sebenarnya telah terbiasa akan perbedaan dalam banyak aspek, misalnya perbedaan agama, suku, bahasa, adat istiadat, dan jumlah populasi yang cukup terlihat. Salah satu kearifan lokal yang mampu menjaga harmoni kehidupan itu adalah dengan cara pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama di antara tiga unsur yang terikat dengan konsepsi “Tiga Batu Tungku”. Istilah Tiga Batu Tungku menurut masyarakat
51
Ende adalah Pemerintah Daerah, Tokoh Agama dan Tokoh Adat. Melalui tiga batu tungku inilah, keputusan akan keberadilan dari berbagai kelompok dapat dilakukan. Demikian juga dalam penyelesaian berbagai persoalan terkait perselisihan agama ataupun masalah sosial lainnya, maka seluruh unsur dalam tiga batu tungku dapat ikut serta menyelesaikannya. Selain kearifan lokal mengenai tiga batu tungku itu, ada kearifan lokal yang bersifat tradisi turun temurun. Setidaknya ada empat tradisi, yaitu: gawi (tarian adat), perkawinan, organisasi sosial komunitas, dan air petu yang secara langsung memberikan pengaruh positif bagi penciptaan harmoni kehidupan keagamaan di tingkat masyarakat. Karenanya, relasi antarumat beragama di masyarakat Ende terlihat dalam dua bentuk strategis, yaitu: Pertama, asosiasional, bentuk relasi ini mewujud dalam kegiatan arisan atau perkumpulan, seperti; a) arisan keluarga tanpa memandang perbedaan agama. b) arisan khusus orang Flores; Ende, Larantoka, Maumere atau kabupaten lainya. c) arisan masing-masing suku. d) arisan untuk memperkuat suatu organisasi seperti LSM. e) arisan yang sifatnya saling membantu masyarakat Ende. Demikian juga dengan perkumpulan persepakbolaan atau jenis olah raga lainnya sangat efektif membangun ikatan persaudaraan tanpa memandang perbedaan agama. Kedua, quotidian, yaitu kegiatan keakraban atau pergaulan sosial keseharian, seperti kunjung mengunjung penganut berbeda agama, makan bersama berbeda agama, anak-anak bermain bersama berbeda agama, dan saling memberikan hadiah ulang tahun dari penganut berbeda agama. Contoh dari bentuk ini yang paling dianggap efektif pengikat harmoni adalah kerjasama dan kegotongroyongan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
52
Ahsanul Khalikin
dalam membangun rumah individual atau tempat ibadah dari suatu kelompok keagamaan lain. Kedua bentuk itu terlihat jelas dalam kehidupan masyarakat Ende. Dengan demikian, relasi antar umat beragama sebenarnya tidak hanya ditentukan oleh kebijakan formal pemerintah, tetapi juga ditentukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan secara lokal di antara para penganut berbeda agama itu.
Saran Masyarakat Ende secara tradisional telah mengenal adat kebiasaan yang menciptakan harmoni hidup kelompokkelompok berbeda agama. Keadaan seperti ini perlu didukung oleh semua elemen bangsa, sehingga tradisi tersebut dapat tumbuhkembang dengan baik, dan tidak dimanfaatkan atau dinodai oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itulah, penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah dapat melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan tiga unsur yang terikat pada Tiga Batu Tungku untuk membuat perencanaanperencanaan yang berkaitan dengan
strategi pelestarian nilai-nilai hidup harmoni secara lintas generasi, baik secara falsafah ataupun praktik hidupnya. Di tingkat lokal, penelitian ini menyarankan agar dilakukan pembentukan jaringan komunikasi yang sinergis untuk mempertemukan semua tokoh adat, sehingga dapat membicarakan persoalan pembangunan ataupun tata pergaulan sosial, khususnya dalam aspek pencegahan konflik penganut berbeda agama. Hal ini juga harus didorong oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang berusaha membangun kesadaran bersama di tengah kehidupan masyarakat tentang pentingnya kerukunan hidup umat beragama. FKUB harus merangkul elemen dari adat, bukan saja merangkul tokoh-tokoh agama. Elemen adat menjadi strategis, untuk menjawab adanya kecenderungan bahwa keagamaan tidak bisa dilepaskan dari etnisitas masyarakat di Ende. Artinya, semakin banyak merangkul elemen masyarakat, maka semakin tinggi daya tahan masyarakat untuk menghindari konflik berbeda agama itu.
Daftar Pustaka ______, dkk. Kamus Istilah Antropologi, Jakarta: Progres bekerjasama dengan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003. ______, Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ende, 2013. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Ende Dalam Angka Tahun 2010, Penerbit BPS Kabupaten Ende, 2010. Barth, Fredrik. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press, 1988. Bruce J. Cohen, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992 endekab.go.id/selayang pandang/social budaya.html George Ritzer & Douglas J Goodman, Teori Sosiologi, Bantul: Kreasi Wacana 2012. http://digilib.uinsby.ac.id/96/5/Bab%202.pdf
HARMONI
Januari - April 2016
Tradisi di Tengah Keberagamaan: Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama
53
J. Dwi Narwoko & Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Jocobus Ranjabar, Perubahan social dalam Teori Makro Pendekatan Realitas Sosial, Bandung: Alfabeta, 2001. Karel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808 – 1942, Sebuah Profil Sejarah Jilid 2: Pertumbuhan yang Spektakuler dari Minoritas yang Percaya Diri 1903 -1942, Penerbit Ledalero, Maumere, 2006. Koentjaraningrat, Budaya Jawa. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984. Kompas, Atika Walujani Moedjiono (Ed). Ekspedisi Jejak Peradaban NTT, Laporan Jurnalistik Kompas, Penerbit Buku Kompas, 2011. Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2010 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002. Muhammad Ismail DKK, Pengantar Sosiologi, Surabaya: IAIN SA Press, 2013 Nganggo, Yosef, Toleransi Beragama di Kabupaten Ende, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Ende, 2015. Reading, Hugo F. Kamus Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: CV Rajawali, 1986. Varshney, Ashutosh, Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil Pengalaman India, (ptj.Siti Aisah dkk.), Jakarta: Balai Libang Agama, Departemen Agama, 2009.
-o0o-
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
54
Zaenal Abidin Eko Putro
Penelitian
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi Organisasi Zaenal Abidin Eko Putro
Prodi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta, Kampus UI Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 4 Februari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
The Ministry of Religious Affairs through its Directorat General for Christianity Affairs has facilitated the establishment of new union’s synod. It is the response of the proposal of legalization that has been proposed for establishing new synod by a number of small group of churches. Some new synods are able to accept the policy and collaborate with other new synods to establish a union of synod. One of the examples is Sinode Am GPR located in Manado city and the surrounding area. However, after being legalized by the government, the synod is overwhelmed by internal conflict. As a result, the management of the synod did not work well.
Kementerian Agama RI malalui Ditjen Bimas Kristen telah memfasilitasi pembentukan sinode gabungan, untuk menghimpun sinode-sinode baru yang ingin mendapatkan legalitas dari pemerintah. Hal ini terkait dengan wacana moratorium pendirian sinode baru. Beberapa sinode bersedia menerima intervensi pemerintah dan terbentuklah sinode gabungan. Salah satunya adalah Sinode Am GPR yang terkonsentrasi di wilayah Manado dan sekitarnya. Akan tetapi dalam perjalanannya, sinode ini diguncang persengketaan dan perselisihan internal yang berbuah tidak berjalannya roda organisasi sinode.
To look at internal structure of this synod, this study adopts organizational sociology theory form Max Weber. It is to see to what extent organizational culture as well as organizational structure works in the synod. This study aims at describing how the government has facilitated the establishment of new synod, board of new synod. But it did not show good performance. Besides, internal conflict occurred among the boards. This paper is based on the qualitative research through in-depth interview, literature study and observation.
Untuk melihat struktur dan kultur internal sinode ini, dalam paper ini digunakan teori sosiologi organisasi model Weber untuk melihat sejauh mana sebenarnya kultur dan struktur yang berkembang dalam sinode ini. Paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran betapa sinode baru yang diusulkan dan difasilitasi pemerintah pun tidak mulus penataannya, hingga malah tersandera konflik internal. Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam, studi pustaka dan diperkuat observasi lapangan.
Keywords: new synod, oikumenical, evangelical, organizational sociology, internal structure, and priest role.
Kata kunci: Sinode baru, oikumenikal, evangelical, sosiologi organisasi, struktur internal, dan peran pendeta.
HARMONI
Januari - April 2016
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
55
Pendahuluan
Metode Penelitian
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Kristen (Ditjen Bimas Kristen) Kementerian Agama RI dalam satu dekade terakhir disibukkan pengusulan pendirian denominasi atau sinode baru. Lembaga gereja (denominasi) terus bermunculan, yang hingga saat ini menurut data lembaga tersebut mencapai 330 sinode, berkembang dari yang sebelumnya berjumlah 323 sinode. Akan tetapi, selain menampung berbagai usulan, terungkap juga persengketaan internal di tubuh sinode-sinode tersebut. Salah satu denominasi yang permasalahannya sejak dalam beberapa tahun terakhir mencuat adalah Sinode Gereja Am GPR (Gereja Pimpinan Roh Kudus), salah satu sinode baru yang berbasis di Manado dan sekitarnya.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Kekuatan paling nyata penelitian kualitatif terletak pada posisinya yang berusaha mengkonstruksi realitas dan memahami maknanya. Cresswell (1994) mencatat, penelitian kualitatif biasanya sangat memperhatikan proses, peristiwa dan otentisitas. Metode kualitatif dipengaruhi oleh paradigma naturalistik-interpretatif Weberian, perspektif post-positivistik kelompok teori kritis serta post-modernisme seperti dikembangkan oleh Baudrillard, Lyotard, dan Derrida (Somantri, 2005: 58).
Permasalahan menyangkut solid tidaknya organisasi sinode tersebut, sangatlah layak untuk dilihat lebih dalam. Melihat kondisi perselisihan di dalam tubuh sinode tersebut, sebagai salah satu contoh institusi keagamaan dengan karakter kuatnya keanggotaan, patut dipertanyakan seperti apa struktur sosial yang terbangun dalam organisasi tersebut. Begitu pula tentang tanggung jawab serta hierarkhi kewenangan dalam kepengurusan. Dalam disiplin ilmu Sosiologi, dinamika organisasi juga menjadi bagian dari kelompok sosial yang adekuat sifatnya untuk diteliti dan digali lika-liku di dalamnya (Sunarto, 2004: 134-135). Paper ini berusaha untuk menggali permasalahan yang mendera di internal sinode ini ditinjau dari sudut pandang sosiologi organisasi. Data diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam, observasi serta studi terhadap bahan pustaka. Informan yang diwawancarai di antaranya tokohtokoh yang terlibat dalam permasalahan di tubuh sinode Gereja Am GPR, serta informan dari sinode lain yang relatif tidak terjadi gejolak di dalamnya.
Dilihat sebagai proses, rintisan gagasan penelitian ini diawali setelah beberapa lama mengikuti diskusi tentang pengaturan rumah ibadah bersama Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kemenag RI yang bekerja sama dengan Ditjen Bimas Kristen (2014-2015) dan juga sesaat dengan kalangan perwakilan sinode di bawah PGI. Penulis mulai menangkap denyut dinamika di dalam tubuh sinode baru yang lebih bercorak kharismatik. Penelitian terhadap Sinode Aam GPR di Manado dan sekitarnya ini berdasarkan penelusuran sample yang sudah ditentukan. Informasi yang paling akurat diperoleh dari Ditjen Bimas Kristen Kemenag yang mengurusi legalias sinode-sinode di Indonesia. Untuk menggali data, peneliti wewawancarai tokoh-tokoh yang terlibat dalam pendirian Sinode Aam GPR dan juga sekaligus yang terlibat pengorganisasian sinode baru ini. Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan timbulya sengketa. Ditemukan pula kendala-kendala menjalankan roda organisasi dipandang dari sisi para informan yang terlibat di dalamnya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
56
Zaenal Abidin Eko Putro
Gereja dan Minahasa
Denominasi
Baru
Di
Sebagai sinode dominan di Minahasa, peran sinode Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) yang berdiri sejak tahun 1934 (http://www.gmim.or.id/ sejarah-singkat-gmim/, diakses 1 Juni 2016) tidaklah terbantahkan. Perannya sangat dirasakan di masyarakat, sebagai faktor penengah jika terjadi kekalutan dalam masyarakat terkait aspek sosial, ekonomi maupun politik. Peran GMIM begitu dirasakan dalam turut mempopulerkan dan menyetabilkan harga cengkeh di Minahasa misalnya, terutama di tahun 1980an hingga 1990an yang waktu itu dibumbui dengan istilah pembangunan. Banyak pengurus GMIM yang juga pegawai pemerintah berperan dalam hal ini (Borkenhagen, 2004: 15). Peran GMIM di ranah yang lain juga telah teruji. Telah banyak diakui, Manado dan sekitarnya dikenal sebagai kota yang paling aman dari sisi kerusuhan yang membawa serta unsur agama maupun etnis. Sebagai gereja dominan, GMIM juga diakui di sini turut mengambil peran sangat penting dalam menjaga keharmonisan, walaupun wilayah ini contohnya pernah dibanjiri pengungsi akibat kerusuhan berbau agama di Ambon dan Maluku di awal tahun 2000an. Pada saat itu, pimpinan sinode ini aktif menggalang kerja sama dengan berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang agama dan etnis yang sama-sama berusaha mewujudkan Kota Manado dan Minahasa tetap kondusif dan tidak terpengaruh konflik yang sangat mungkin terbawa pengungsi (Thufail, 2011: 152-158). Dengan demikian, posisi sentral GMIM tidak terbantahkan. Akan tetapi, di balik kekuatan GMIM yang demikian menyebar di Minahasa, ternyata muncul pula berbagai sinode lain yang lahir lebih belakangan. Jumlah gereja di luar GMIM juga layak diperhitungkan. Data tahun HARMONI
Januari - April 2016
2000 menyebutkan, terdapat 830 desa di Minahasa yang mendirikan 780 gereja GMIM yang artinya memperkuat data 90 persen penduduk Minahasa beragama Kristen. Di sini pula artinya sekitar 60 persen penduduk Kristen Minahasa bernaung dalam GMIM, sedangkan sisanya bergabung dengan Gereja Advent Hari Ketujuh, Gereja Pantekosta, Gereja Katholik dan gereja-gereja lainnya yang mencapai sekitar 30 persen. Hanya saja, GMIM-lah yang meneruskan peninggalan gereja kolonial yang tergabung dalam Dutch Missionary Society (Borkenhagen, 2004: 75). Inilah yang membedakan GMIM dengan gereja-gereja yang bukan GMIM di wilayah Minahasa. Tumbuhnya banyak denominasi di wilayah Minahasa tidak lepas dari faktor meningkatnya kesejahteraan masyarakat akibat tingginya harga cengkeh di awal tahun 1970-an. Banyak gereja baru didirikan di desa-desa atau direnovasi saat itu. Pada saat yang sama, muncullah pertentangan di dalam tubuh gereja-gereja GMIM, yang kadang berujung tidak terdamaikan. Perselisihan terkadang dipicu persoalan keluarga di antara jemaat dan juga persengketaan antar penduduk desa yang merembet pada perpecahan di dalam tubuh GMIM di tingkat lokal. Oleh sebab itu, kemunculan denominasi-denominasi itu lebih disebabkan bukan karena aktivitas missionary gereja-gereja lain dalam tubuh jemaat GMIM, melainkan terjadi akibat konflik di dalam tubuh jemaat GMIM sendiri (Aritonang & Steenbrink, 2008: 440-441; Hakim, 2009: 183). Karakter gereja Protestan atau sinode di luar GMIM memang cenderung berbeda dengan GMIM. Apabila GMIM dikenal memiliki kedekatan dengan adat Minahasa, maka gereja-gereja atau sinode baru ini lebih pada posisi yang berlawanan dengan adat dan sangat konservatif dalam mengimani Kekristenan. Dalam referensi disebutkan, untuk model sinode atau
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
gereja seperti GMIM ini dikelompokkan ke dalam gereja-gereja oikumenikal, yang berposisi berbeda dengan kelompok evangelikal. Oikumenikal cenderung lebih memusatkan pada dimensi sosial kemanusiaan atau antroposentrisme dari pekabaran Injil, bahwa keselamatan juga berdampak sosial dan kemanusiaan secara keseluruhan. Di lain pihak, gereja-gereja evangelikal cenderung lebih berfokus pada dimensi spiritual individu-individu dari Injil. Konsekuensinya, pertobatan dan kesalehan pribadi merupakan kunci keselamatan (Siwu, 1993: 203204). Untuk konteks Minahasa, dan juga di luar Minahasa tentunya, kelompok kedua ini juga sering disebut kelompok kharismatik. Meminjam istilah Bernice Martin, Wijaya menyebutkan kelompok gereja kharismatik ini dikenal dengan the third force of Christianity. Kekristenan gelombang ketiga ini tidak didasarkan pada kewibawaan tradisi, tetapi pada kemampuan untuk bertahan berkompetisi dengan gereja-gereja lain, baik gereja-gereja yang tergolong tradisional maupun yang sama-sama tergolong gereja “gelombang ketiga”. Aliran ini tidak sependapat dengan aturan-aturan gereja lama dengan kredokredo dan birokrasinya, dan mendasarkan keanggotaan pada keputusan dan komitmen sukarela pribadi yang menjadi jamaat sinode bersangkutan (Wijaya, 2007: xii-xiii). Untuk analisis subjek yang sama, Van Kooij & Tsalatsa (2007: 2-3) menyebut gereja mainstream (GM) untuk oikumenikal dan gereja Kalangan Kharismatik Pantekosta (KKP) untuk evangelikal, yang saling bersaing dalam menunjukkan eksistensinya. Kalangan GM menuduh orang-orang KKP sombong rohani. Demonstrasi mukjizat kesembuhan yang ditampilkan sering dinilai berlebihan dan direkayasa. KKP dinilai terjebak pada karunia-
57
karunia roh yang spektakuler, bahkan cenderung “gila roh”. KKP juga dinilai terlalu berorientasi pada diri sendiri dan menyuburkan ciri-ciri introvert, eksklusif dan individualistis. Sebaliknya pihak KKP menolak, minimal mencela, masyarakat luas yang mereka anggap duniawi, jahat, penuh permusuhan, serta tersesat tanpa harapan. Salah satu kritik tajam KKP adalah pengaruh adat yang masih dominan di dalam gereja, sehingga mempengaruhi kehidupan orang Kristen. Namun sejak kapan sinode baru itu, di luar sinode mainstream, menjejakkan kakinya di dataran tinggi Minahasa, adalah pertanyaan lebih lanjut yang perlu ditelusuri. Jika GMIM dianggap gereja mainstream meneruskan gereja Belanda (Dutch Missionary Society) dan berdiri sejak 1934, maka sebenarnya gereja non mainstream juga telah menjejakkan kaki di Minahasa pada tahun 1920an, yaitu bertepatan dengan kembalinya para tahbisan Pantekosta dari Jawa. Tercatat putra Silian (Minahasa Tenggara) yaitu Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, dua orang Minahasa yang dibaptis di Cepu 30 Maret 1923 oleh Cornelius E. Groesbeck, missionaris Pantekosta dari Amerika dan dibantu oleh J. Thiessen, seorang missionary dari Belanda. Penerusnya adalah Markus Tumigolung termasuk salah perintis Pantekosta pertama kali di tanah Minahasa khususnya di Desa Silian, kemudian menyebar keseluruh desa yang ada di Minahasa bagian tenggara sekarang (Watania, 2015: 4 & 17). Sebagaimana disinggung di atas, kelompok Pantekosta ini ditempatkan sebagai bagian dari sinode atau gereja evangelikal, dan bukan oikumenikal. Atau dalam istilah lain dapat dikategorikan ke dalam Kalangan Kharismatik Pantekosta, yang dilawankan dengan eksistensi gereja-gereja mainstream oukumenikal. Berangkat dari sini, terbuktilah bahwa Pantekosta sebagai salah satu denominasi baru yang berkembangnya belakangan di Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
58
Zaenal Abidin Eko Putro
wilayah Minahasa, ketimbang gereja lokal yang lebih dulu diterima masyarakat secara luas. Jika terdapat 40 persen umat Kristen di Minahasa berada di luar naungan GMIM, maka perlu dicatat keberadaan sinode di luar GMIM seperti Gereja Advent Hari Ketujuh, Gereja Pantekosta, Gereja Katholik dan gereja-gereja lainnya, termasuk Sinode Am GPR. Sinode baru ini difasilitasi pemerintah, dalam hal ini Ditjen Bimas Kristen. Menurut keterangan seorang pendeta GMIM dan juga pejabat struktural di Kemenag di wilayah Sulawesi Utara, pendeta dan gerejanya yang tergabung dengan Sinode Am GPR ini dahulu kebanyakan jemaat Pantekosta (wawancara tanggal 12 Agustus 2015). Karena itu wajarlah menurutnya jika pengelolaan gereja dalam sinode ini hampir sama dengan gereja Pantekosta. Benarlah bahwa struktur dan karakter kepengurusan di dalam sinode ini mencerminkan pada tipe evangelikal ketimbang oikumenikal. Ciri yang paling terlihat adanya unsur ketokohan yang berlebihan (patrimonial) yang mengatur dan menentukan keberlangsungan organisasi sinode. Di sisi lain, ketokohan tersebut membawa serta kharisma yang melekat pada tokoh tersebut, sehingga perpaduan patrimonialisme dan kharisma ini menjadikan manajerial di tubuh sinode ini berjalan di luar harapan. Terjadilah perselisihan dan sengketa antarpengurus yang terdiri dari berbagai unsur gereja atau sinode yang tergabung dalam sinode baru tersebut.
Kultur Organisasi dan Struktur Internal Sinode Am GPR Perselisihan dan sengketa di dalam Sinode Am GPR ini lebih banyak melibatkan antarpengurus yang berasal dari berbagai sinode yang diwadahi ke dalam suatu sinode besar yang difasilitasi pemerintah. Pertikaian terjadi dari mulai HARMONI
Januari - April 2016
aspek personal, teologi, serta manajerial kepengurusan sinode. Permasalahan juga muncul terkait dengan hierarkhi kepengurusan dan kewenangan serta tanggung jawab setiap level kepengurusan yang masih belum berjalan maksimal. Dalam ranah ini, teori sosiologi organisasi dipandang layak untuk dijadikan pisau analisis dalam melihat kasus ini. Apabila sosiologi secara umum memusatkan perhatian pada pemahaman struktur sosial di masyarakat, maka sosiologi organisasi berkutat pada struktur internal dalam suatu organisasi seperti misalnya hierarkhi pengambilan keputusan (manajerial) maupun struktur eksternal yang mengaitkan organisasi dengan pihak luar. Untuk yang terakhir ini contohnya bagaimana organisasi itu membangun aliansi stratagis dengan pihak atau organisasi lain. Oleh sebab itu, sosiologi organisasi juga tidak salah jika dikatakan berpusat pada kerja-kerja organisasi. Max Weber (1864-1920) adalah ahli sosiologi yang dipandang membidani lahirnya Sosiologi Organisasi. Weber telah membedakan antara otoritas (authority) dan kekuasaan (power). Otoritas dimaknai sebagai suatu ketertundukan tanpa paksaan. Otoritas dapat berupa rationallegal yang bersumber pada aturan ataupun bersumber tradisi yang oleh pengikutnya, seorang pemimpin dipandang sebagai sosok yang memperoleh mukjizat, atau keramat. Weber juga membahas mengenai birokrasi yang menurutnya juga bersumber dari unsur rational-legal yang di dalamnya terdapat hierarkhi yang ditentukan aturan dan juga mengikuti aturan. Weber sebenarnya mengkritik bentuk organisasi sebelumnya yang cenderung bersifat patrimonial. Melalui birokrasi, struktur organisasi lebih dominan karena keunggulannya dalam mengefisiensi pekerjaan. Organisasi yang bercirikan patrimonial sangat
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
lekat dengan pengaruh kharisma. Patrimonialisme dengan kharisma yang melekatinya membawa konsekuensi tidak efisiennya manajerial untuk mencapai suatu tujuan. Dalam perkembangannya, sejarah telah mencatat bahwa otoritas tradisional telah tergantikan oleh otoritas birokrasi. Jelaslah bahwa sosiologi Weber ini sangat menekankan kekuatan budaya dan nilai, yang sangat berbeda dengan kondisi material seperti yang ditekankan Karl Marx (Donaldson, www.eolss.net/ sample-chapters/.../e6-99a-20.pdf, diakses tanggal 3 Februari 2016). Tidak dipungkiri bahwa di dalam tubuh Sinode Am GPR yang berbasis di Minahasa ini juga terdapat karakter organisasi seperti yang diuraikan di atas. Terdapat pembagian kewenangan yang tercermin dari tersusunnya kepengurusan. Disusunnya struktur internal dalam Sinode Am GPR tentu diharapkan berjalannya hierarkhi pengambilan keputusan (manajerial) di dalam sinode tersebut yang tidak terpaku pada personal. Di dalam tubuh organisasi Sinode Am GPR juga terdapat birokrasi yang dapat dilacak dari unsur rational-legal dari terbentuknya susunan kepengurusan. Namun, barangkali saja unsur hierarkhi birokrasi yang mengikuti aturan dan ditentukan aturan, yang mestinya membuat urusan dan pekerjaan lebih efisien karena mengikuti aturan legal-rational itu, masih menjadi hambatan.
Sinode Am GPR dan Sengketa Internal Sinode Am GPR difasilitasi Dirjen Bimas Kristen Kemenag di bawah kepemimpinan Jason Lase di tahun 2008 untuk mewadahi sinode-sinode yang ingin mendapatkan legalitas berupa Surat Keputusan (SK) sinode baru dari Kemenag RI. Sejak lebih kurang lima tahun belakangan ini, pihak Kemenag, khususnya Dirjen Bimas Kristen tidak lagi
59
mengakomodir munculnya sinode baru. Menurut pihak Dirjen Bimas Kristen, sejauh ini sudah terdapat 323 sinode gereja di seluruh Indonesia dan bahkan lebih. Atas berbagai pertimbangan, Dirjen Bimas Kristen tidak lagi dapat menerima pengajuan ijin untuk pembentukan sinode baru (moratorium). Jika terdapat usulan dari umat Kristen untuk mendapatkan pengesahan pendirian sinode, seringkali disarankan untuk bergabung dengan sinode lain yang sudah ada. Karena itu, beberapa sinode baru di Sulawesi Utara seperti Gereja Kristen Pimpinan Rohul Kudus (GKPR), Gereja Pimpinan Rohukudus Yahweh (GPRY), Gereja Filadelpia Pimpinan Rohkudus (GFPR), Gereja Pemulihan Firman (berpusat di Ambarawa), Gereja Gerakan Pimpinan Rohulkudus (GGPR), Kehilat Nasrani Pimpinan Rohulkudus, Kehilat Pemulihan Indonesia (berpusat di Magelang), Gereja Mesianik Indonesia Papua (berpusat di Jayapura), Kehilat Netzarin Tujuh Kaki Dian (berpusat di Timika) serta Kehilat Yehudim Torat Chayim (berpusat di Jakarta) diarahkan untuk bergabung dalam Sinode Am GPR yang dulunya bernama Sinode GPR. Atau, jika suatu sinode itu bergejolak internalnya sebuah saran juga untuk diselesaikan lewat pengadilan. Namun, saran pertamalah yang sering diindahkan pimpinan sinode (Wawancara Melius Lahagu, Ditjen Bimas Kristen, tanggal 7 Mei 2016). Di luar sinode-sinode yang cukup besar di Manado, baik yang oikumenikal dan meainstream seperti GMIM, maupun yang evangelikal seperti GPdI (Pantekosta) dan seterusnya, muncullah sinode-sinode baru yang juga ingin mendapatkan pengesahan dari pemerintah. Sinodesinode baru ini lebih tepatnya termasuk juga ke dalam kelompok evangelikal. Atas saran Dirjen Bimas Kristen, sinodesinode yang ingin berdiri sendiri itu bersedia bergabung dalam Sinode Am GPR. Namun, sejak awal pembentukan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
60
Zaenal Abidin Eko Putro
hingga dalam perjalanannya, Sinode Am GPR ini tidak henti dirundung badai. Kekurangharmonisan di dalam tubuh sinode ini paling kuat terasakan manakala mencoba mencicipi ruangruang diskusi dan musyawarah di dalam sinode ini. Problem paling kelihatan di antaranya problem kepengurusan sinode, masalah perbedaan teologi, serta masalah kontroversi personal salah satu tokoh utama di dalam sinode ini. Dalam kunjungannya ke Minahasa Bulan Agustus 2015 lalu, perwakilan Ditjen Bimas Kristen yang hadir ke Manado, Melius Lahagu mendapatkan laporan serta ungkapan bernada kekurangpuasan dari satu kelompok terhadap kelompok lain dalam sinode ini. Pada intinya mereka sama-sama ingin meminta ketegasan sikap pemerintah dalam menyelesaikan kekisruhan di dalam tubuh sinode ini.
Kepemimpinan Sinode Dalam aspek kepemimpinan, tampak sekali di antara pengurus dan perwakilan sinode lain di dalamnya tidak dapat menerima keberadaan satu sama lain. Pengurus yang rata-rata pendeta ini belum secara bulat menyepakati model kepengurusan sinode, pembagian kekuasaan (sharing of power) serta representasi masing-masing perwakilan sinode-sinode dalam Sinode Am, sehingga belum saling menerima satu sama lain yang duduk dalam kepengurusan. Beberapa saat setelah terbentuknya Sinode Am GPR, mereka para perwakilan dalam satu sinode baru ini sebenarnya cukup puas dan berjalan seperti layaknya sebuah sinode. Namun keharmonisan itu hanya seumur jagung, lantas muncullah ketidakpuasan di sana-sini. Akibatnya masing-masing sinode dalam Sinode Am GPR ingin eksis sendiri-sendiri, bahkan di antara pengurus hariannya sekalipun. Perlu disebutkan bahwa HARMONI
Januari - April 2016
sebelum mereka bergabung dalam sinode ini, sudah terdapat dua sinode, yaitu GKPR, pimpinan Petrus Dengah dan GPRY, pimpinan Yohan Mawati yang merintis pendirian Sinode Am ini. Dua orang ini merupakan gembala sidang sekaligus tokoh sentral di masing-masing sinodenya, yang belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Agama. Yohan Mawati merupakan pendeta senior yang tampaknya menjadi figur sangat diperhitungkan dalam sinode gabungan ini. Awalnya ia merasa saran Dirjen Kemenag untuk menyatu dalam Sinode Am GPR itu terbaik untuk dijalankan karena pemerintah tidak lagi menerima pendaftaran sinode baru. Karena itu pihaknya, bersama Petrus Dengah, membuka diri untuk menerima sinode-sinode lain bergabung bersama sinodenya (GPRY) dan Dengah (GKPR) ke dalam Sinode Am GPR. Dirjen Bimas Kristen kemudian mengeluarkan SK yang menempatkan dua sinode induk ini sebagai tuan rumah bagi sinodesinode lain yang bergabung dalam Sinode Am GPR ini. Namun belakangan, ia merasa kecewa dengan besarnya peran yang ingin diambil perwakilanperwakilan sinode lain yang seharusnya tidak melebihi dari kewenangan yang dimilikinya sebagai perwakilan sinode induk yang menurutnya, telah bersedia menampung sinode-sinode lain. Sinodenya dianggapnya merupakan sinode induk yang memberi jalan dan fasilitas sinode lain di mata pemerintah untuk bisa bergabung dalam satu sinode, yaitu Sinode Am GPR. Dalam perumpamaan Yohan Mawati, mereka yang tergabung dalam Sinode Am GPR itu dahulu adalah seperti orang-orang yang kelaparan dan kedinginan di luar rumah. Atas kebaikan hati pemilik rumah, orang-orang tersebut dipersilakan masuk dan tinggal di rumah tersebut. Namun setelah dipersilakan masuk dan menikmati segala fasilitas yang
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
ada, malah lama kelamaan mereka ingin memiliki rumah itu. Ada pula yang ingin membawa pergi tiang rumahnya. Karena itu ia merasa kecewa dengan perwakilan sinode lain, termasuk kecewa kepada keponakannya sendiri karena bernaung di sinode lain, yang menurutnya ia fasilitasi untuk dapat bereksistensi sesuai dengan saran pemerintah (Wawancara Yohan Mawati, tokoh sinode Am GPR, tanggal 9 Agustus 2015). Sejak pembentukan awalnya, memang sebenarnya telah tercium bibitbibit kekisruhan terlihat dari belum bulatnya konsep kepengurusan sinode baru ini. Menurut Petrus Dengah, dalam kepengurusan Sinode Am ini, ia mengusulkan agar tidak ada kepengurusan melainkan keterwakilan saja. Usulan dari dirinya selanjutnya waktu itu adalah, adanya klausul pula dalam perjanjian bahwa jika pemerintah ingin berhubungan dengan sinode tingkat bawah, maka akan ada perwakilan sinode yang ditunjuk ketua sinode. Di samping itu, kepemimpinan Sinode Am ini sebaiknya menurut Dengah merupakan pimpinan kolektif. Tidak perlu adanya pengurus harian, seperti ketua, sekretaris dan bendahara. Karena jika pengurus harian ini diwujudkan, dirinya khawatir kalau seseorang yang menduduki jabatan tersebut memanfaatkan jabatannya untuk menguntungkan sinodenya sendiri atau sinode lainnya dan malah akan merugikan sinode gabungannya. Selain itu, langkah tersebut dianggap pula dapat menyelesaikan masalah ketidakharmonisan dalam Sinode Am GPR. Setiap ketua sinode di bawah Sinode Am ini tetap memegang peranan. Dalam perkembangannya, dikirimlah nama-naman dari masing-masing sinode. Perwakilan dari Gereja Kristen Pimpinan Rohkudus (GKPR) dipilih Petrus Dengah sendiri, sementara dari Gereja Pimpinan Rohkudus Yahweh (GPRY) ditunjuklah Tommy. Periode
61
perwakilan itu hanya sampai Desember 2012. Maka, terjadilah kesepakatan dan lantas diaktekan notaris mengesahkan Sinode Am GPR seperti itu. Sinode GKPR pimpinan Dengah sendiri mempunyai sejumlah gereja, di antaranya di Airmadidi terdapat 5 gereja, di Manado terdapat 3 gereja, dan di Bitung 13 gereja. Di luar usulan-usulan itu, ia tidak kalah heran munculnya keinginan kelompok yang dulunya menentang Sinode Am GPR, belakangan malah ingin bergabung Sinode Am dengan adanya klausul seperti itu. Artinya di sini terdapat kesan, seolah-olah penolakan atas anjuran pemerintah melalui Ditjen Bimas Kristen hanya muslihat saja. Diakui terdapat beberapa sinode lain yang sama-sama ingin diakui pemerintah yang awalnya menolak intervensi pemerintah dengan konsep penggabungan ini. Ternyata, mereka bukanlah suka atau tidak suka dengan Sinode Am GPR, melainkan masalah pribadi kepemimpinan. Beberapa sinode yang sebelumnya menentang, ternyata setelah Sinode Am GPR berdiri mereka ingin bergabung. (Wawancara dengan Petrus Dengah, pimpinan Gereja Kristen Pimpinan Rohkudus, GKPR, tanggal 10 Agustus 2015). Akan tetapi dalam perjalanannya, rupanya faktor kekuatan pengaruh dan kharisma masing-masing individu perwakilan pengurus sinode yang rata-rata juga gembala sidang atau pendeta ini turut menyebabkan skema penyelesaian ketegangan antarsinode kecil di dalamnya itu tidak berjalan mulus seperti diharapkan pihak Dirjen Bimas Kristen. Pihak perwakilan dari sinode lain tidak dapat menerima besarnya peran dan pengaruh individu lainnya, sebut saja peran sentral sosok Yohan Mawati. Mereka menginginkan agar pengurus Sinode Am dipilih secara demokratis. Tidak kalah gesit, mereka pun juga mendekati Dirjen Bimas Kristen agar keinginannya membentuk Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
62
Zaenal Abidin Eko Putro
kepengurusan sinode yang menurut mereka demokratis dapat terwujud. Dokri Gumolung, sekum Sinode Am dari Gereja Filadelpia Pimpinan Rohkudus, mantan orang dekat Yohan Mawati yang juga dosen Universitas Negeri Manado (Unema) menyesalkan pihak-pihak yang tidak lagi menghormati susunan kepengurusan hasil musyawarah antarsinode. Segala upaya untuk menjalankan kepengurusan Sinode Am GPR secara demokratis belum berhasil. Karena itu, pihaknya menginginkan agar masing-masing sinode dalam Sinode Am dikukuhkan saja oleh Dirjen Bimas Kristen dengan mengeluarkan SK untuk masing-masing sinode tersebut. Dengan kata lain, sebenarnya dirinya yang kini mengembangkan sinodenya sendiri dan kini bangunan gerejanya di kawasan Malalayang hampir rampung berdiri dan telah menghabiskan dana sebesar 3 miliar, tidak terlalu mementingkan berdirinya Sinode Am itu sendiri (Wawancara dengan Dokri Gumolung, pimpinan Gereja Filadelpia Pimpinan Rohkudus, tanggal 8 Agustus 2015). Seorang pendeta dari Sinode Gereja Gerakan Pimpinan Rohulkudus (GGPR), AN yang sinodenya juga tergabung dalam Sinode Am GPR, mempunyai kesan kurang simpatik pula terhadap figur Yohan Mawati. Pihaknya tidak meragukan pengaruh Yohan Mawati dalam Sinode Am GPR bentukan Dirjen Bimas Kristen ini. Namun ia tidak bisa menerima figur Yohan Mawati karena melihat sikap Yohan Mawati terhadap pimpinan sinodenya. Ia sendiri pernah ditegur secara keras oleh Yohan Mawati. (Wawancara dengan AN, pimpinan Gereja Gerakan Pimpinan Rohulkudus (GGPR), tanggal 9 Agustus 2015). Tidak dipungkiri bahwa saat ini terjadi saling klaim di dalam tubuh Sinode Am GPR yang difasilitasi pemerintah ini, baik tentang komposisi serta sah atau tidaknya struktur kepengurusan HARMONI
Januari - April 2016
sinode yang baru. Sebagian menyepakati hasil musyawarah besar (Mubes) tanggal 7 April 2015 yang memutuskan kepengurusan sinode yang baru, sementara sebagian menolak dan tidak mengakui hasil Mubes tersebut. Mubes ini difasilitasi oleh Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI yang berlangsung di sebuah hotel di Jakarta. Pihak Yohan Mawati termasuk yang menolak, sedangkan pihak Dokri Gumolung lebih menerima. Namun di luar keriuhan pihak yang menerima fasilitasi Dirjen Bimas Kristen untuk bergabung dalam satu sinode, ternyata masih ada gerakan ketidaksetujuan dari sinode lain atas saran Dirjen Bimas Kristen untuk membentuk Sinode Am GPR ini. Salah satu kelompok ini terdeteksi misalnya dari kelompoknya Ersi Mayori yang mempunyai sinode sendiri. Bahkan kelompok yang tidak setuju ini pernah berencana menyomasi dirjen Bimas Kristen. Mereka ingin Dirjen mencabut SK karena mereka tidak bersedia berada di Sinode Am. Dalam persidangan awal somasi mereka kalah, dianggap tidak layak untuk dilajutkan perkaranya. Namun begitu, mereka juga tetap tidak mau bergabung. Tanpa menafikan pihak-pihak yang berselisih dalam sinode ini, Yohan Mawati dan Petus Dengah, dua pimpinan perwakilan dari sinode penggagas Sinode Am, terus berusaha menjaga eksistensi organisasi Sinode Am, walau badai terus menghantam sinode gabungan ini.
Perbedaan Teologis Faktor pemicu lain terjadinya kekisruhan dalam Sinode Am GPR ini juga karena terjadi masalah dalam penafsiran teologi. Tidak dapat ditutupi adanya perbedaan penafsiran teologi antarsinode yang tergabung dalam Sinode Am GPR ini. Seperti disampaikan sebelumnya, Sinode Am ini GPR ini merupakan kumpulan beberapa sinode
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
dengan karakteristik yang berbeda-beda, termasuk perbedaan teologi Kekristenan yang mereka anut. Perbedaan paling menyolok itu sekitar pada penggunaan istilah Yesus yang diubah menjadi Yahweh oleh sebagian sinode anggota. Dikenal pula oleh sebagian sinode adanya ibadah hari Sabat (sabtu) dan praktik sunat bagi laki-laki. Pihak sinode anggota lain tidak setuju dengan perubahan itu dan masih tetap menginginkan penyebutan Yesus, ibadah hari minggu dan tidak mengharuskan sunat. Menurut Petrus Dengah, masuknya doktrin baru di sinode ini turut menyumbang terhadap polemik dalam sinode ini. Ia sendiri tidak setuju dengan doktrin Yahweh, paham itu tidak sesuai dengan doktrin pihaknya. Terdapat kelompok yang mengartikan secara alkitabiah dari Kristen yang mereka berbeda dengan pihaknya. “Dulu juga pernah ditawarkan kepada kami terdapat 4 doktrin, pertama mengganti nama Allah dengan Yahweh. Kedua, mereka beribadah harus berkiblat ke Yerussalem, kami tidak mau. Ketiga, mereka harus menggunakan kerudung, seperti muslim. Padahal dalam al Kitab dianjurkan memakai baju apapun tidak masalah, kami menolak ini. Dan keempat, harus tidak bernatal, tidak merayakan natal. Mereka merayakan tabernakel, seperti Yahudi. Kami tidak mau seperti Yahudi. Karena Yahudi yang menyalibkan Yesus, kami tidak mau ala Yahudi. Kami mau substansi al Kitabnya. Terakhir, sunat. Menurut kami itu perjanjian lama, jadi tidak diikuti. Setelah ketidaksetujuan doktrin itu, berpisahlah GKPR. Setelah terjadi perpecahan itu, terjadilah perebutan kepemimpinan yang kemudian ditengahi oleh Dirjen tadi.” (Petrus Dengah, Ibid) Menurutnya, paham itu termasuk paham Yudaisme. Karena itu, terjadilah dualisme paham sehingga tidak dapat bersatu dalam satu sinode gabungan.
63
Berangkat dari situlah dirinya dan beberapa kawannya langsung mencari solusi dengan mendatangi Kanwil Kemenag Sulut waktu itu. Mereka meneruskan ke Dirjen Bimas Kristen di Jakarta. Sampai berjalan lebih kurang delapan tahun pergumuluan, tidak juga dapat terpecahkan karena Kementerian Agama tidak lagi memberikan ijin terhadap sinode baru. Walau terdapat perbedaan penafsiran teologis, mereka didorong harus tetap berada dalam Sinode Am atau diselesaikan melalui jalur pengadilan. Namun begitu, dimulailah konsultasi dengan pihak yang memiliki doktrin berbeda, lebih spesifik dengan pihak Yohan Mawati. Diperoleh informasi, pihak Yohan Mawati mulai mengenalkan doktrin Yahweh sejak pertengahan tahun 1990an. Kelompok Yohan Mawati malah seperti mendapat amunisi pengalaman di Malaysia dengan pelarangan sebutan Allah bagi umat Kristen belum lama ini. Menurut mereka, Allah adalah Tuhan milik umat Islam dan untuk umat Kristen, versi mereka, seharusnya menyebutnya berbeda. Isu seperti ini sempat muncul dalam sesi tanya jawab yang berlangsung di dalam gereja milik sinode GPRY pimpinan Yohan Mawati di Malalayang, Manado pada tanggal 8 Agustus 2015, yang dihadiri peneliti dan pejabat dari Ditjen Bimas Kristen Kemenag RI. Perbedaan doktrin ini juga diakui oleh beberapa perwakilan sinode lain yang tergabung dalam sinode gabungan ini. Mereka mengaku awalnya setuju dan mengikuti Yohan Mawati. Namun, setelah Yohan Mawati mengenalkan doktrin Yahweh, satu per satu dari mereka mulai menjauh. Hal ini seperti diakui pimpinan Gereja Gerakan Pimpinan Rohulkudus (GGPR) serta pimpinan Gereja Filadelfia Pimpinan Rohulkudus. Pihak GGPR menengarai perubahan doktrin itu terjadi sejak kepulangan Yohan Mawati melawat ke Israel sekitar tahun 1990an (AN, Ibid). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
64
Zaenal Abidin Eko Putro
Akan tetapi, Yohan Mawati tetap kukuh dengan pendirian doktrinnya, sehingga dalam doa-doa pun sebutan Yahweh digunakan. Hal ini turut membuat perwakilan sinode lain merasa tidak nyaman berada dalam Sinode Am GPR dengan pengaruh Yohan Mawati dan doktrinnya yang terlalu kuat. Terhimpun informasi bahwa di dalam tubuh sinode GPRY pimpinan Yohan Mawati sendiri terjadi friksi mengenai sesebutan Yahweh ini. Hal ini diketahui juga oleh sinode lain yang tidak sependapat dengan penafsiran tersebut. Petrus Dengah mengetahui hal itu setelah ia merasa kesulitan untuk memperoleh nama yang diusulkan dari pihak Yohan Mawati untuk duduk sebagai perwakilan di Sinode Am GPR. Akibat friksi itu, menurut Dengah, di dalam tubuh sinode GPRY pimpinan Yohan Mawati sendiri telah terpecah menjadi 12 sinode kecilkecil. Salah satu yang masih bersedia menerima pada sebutan Yahweh, yaitu kelompok Dokri Gumolung dari Gereja Filadelpia Pimpinan Rohkudus. Kelompok Dokri, bekas sekum Sinode Am GPR dan pernah menjadi orang dekat Yohan Mawati, hanya bersedia menerima Yahweh, namun menolak berkiblat ke Yerussalem, Hari Raya Tabernakel, dan juga sunat (Petrus Dengah, Ibid). Atas perbedaan doktrin ini, pihak yang bertentangan dalam tubuh Sinode Am GPR ini ini mendesak Ditjen Bimas Kristen untuk segera mengeluarkan keputusan, yaitu pertama, mengembalikan SK pimpinan Sinode Am seperti awal pembentukannya yang hanya diwakili oleh dua jemaat GPR Yahweh dan GKPR dan kedua, setelah pecah menjadi lebih kurang 10 majelis (gereja/sinode) sendirisendiri, sebaiknya masing-masing diberi SK oleh Ditjen Bimas Kristen untuk mengakhiri polemik ini karena memang sudah susah disatukan lagi (Yohan Mawati, Ibid & Dokri Gumolung, Ibid). HARMONI
Januari - April 2016
Petrus Dengah sepaham dengan Yohan Mawati dalam hal ini. Bahwa seharusnya SK Kemenag dikembalikan lagi pada sinode asal, dua sinode yaitu GKPR dan GPRY. Dua sinode ini yang mengundang sinode-sinode kecil lain, kemudian dikumpulkan untuk mendirikan Sinode Am. Terkait dengan hasil Mubes 7 April 2015 di Jakarta, tentang perombakan pengurus, ia masih merasa bersyukur karena Dirjen Bimas Kristen belum mengeluarkan SK untuk kepengurusan Sinode Am baru (Petrus Dengah, Ibid).
Peran dan Fungsi Pendeta Secara umum, peran pendeta dalam Sinode Am sangat sentral, seperti pada umumnya gereja kharismatik atau evangelikal. Gembala sidang diberi kepercayaan penuh untuk membina jemaat, termasuk mengelola keuangan dan aset. Dalam hal hierakhi keputusan dan kewenangan juga jenjangnya terlalu pendek. Tidak ditemukan struktur berjenjang yang berlapis-lapis, kecuali mungkin pimpinan tertinggi sebagai Gembala Sidang dan pendeta di bawahnya yang langsung bergerak. Hal tersebut berkorelasi dengan implemantasi doktrin yang menyangkut finansial. Doktrin perpuluhan sangat ketat dijalankan dalam gereja-gereja yang tergabung dalam Sinode Am. Doktrin perpuluhan ini sebenarnya lebih dahulu dijalankan oleh sinode lain seperti Pantekosta. Menurut salah satu sumber dari lingkungan Kemenag Sulawesi Utara, para pendeta yang tergabung dalam Sinode Am GPR ini dulunya adalah orang-orang jemaat Gereja Pantekosta, sehingga tidak salah jika menerapkan doktrin yang sama (Wawancara dengan John Tilaar, Kepala Kantor Kementerian Agama Minahasa Utara yang juga pendeta GMIM, tanggal 12 Agustus 2015).
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
Kombinasi antara kuatnya figur pendeta, kemandirian pendeta dalam mengelola asset gereja serta besarnya dana dari jemaat, menjadikan sebuah kewajaran jika bangunan-bangunan fisik gereja yang didirikan gereja ataupun sinode kharismatik ini jauh lebih megah daripada gereja-gereja Lutheran atau gereja adat. Dalam hal ini sebut misalnya gereja-gereja yang dinaungi sinode GMIM di seantero Minahasa misalnya. Bentuk bangunan gerejanya pun tidak lagi mewakili bentuk adat sebagaimana direpresentasikan oleh bangunanbangunan gereja GMIM dengan ciri khasnya atap yang lancip dan menjulang ke atas, di tambah salib di bagian puncaknya. Perbedaan lain dengan gereja Lutheran-oikumenikal, gereja-gereja kharismatik seperti yang ditempuh Sinode Am GPR ini dalam hal pengawasan terhadap pendeta. Begitu besarnya peran yang dimiliki pendeta, tidak diimbangi dengan adanya pengawasan yang dapat mengontrol ruang gerak pendeta. Kepercayaan jemaat terhadap pendetanya begitu total. Berbeda dengan gereja Lutheran seperti GMIM misalnya, kontrol terhadap pendeta sangat ketat, baik dari kalangan pendeta lain maupun dari jemaat. Pendeta juga tidak diperkenankan memegang uang gereja. Pengelolaan keuangan gereja dan dana jemaat hanya dilakukan oleh jemaat sendiri (John Tilaar, Ibid). Menurut Jeffri Mangero, salah seorang pendeta GMIM, pendeta dalam sinode GMIM juga diawasi dalam pengertian dijadikan bahan persidangan jika misalnya memberikan khutbah atau menafsirkan ayat berbeda dengan penafsiran mainstream. Apalagi jika terkait dengan penggunaan dana. Karena itu, konflik maupun polemik di antara pendeta di dalam tubuh GMIM segera dapat cepat ditangani dengan mekanisme berjenjang. Tidak terdapat
65
tokoh pendeta yang benar-benar sentral, seperti dalam gereja kharismatik, yang boleh menafsirkan ayat dan firman menurut penafsirannya sendiri. Dalam memilih kepengurusan sinode pun juga dilakukan melalui pemilihan terbuka, sehingga siapa yang terpilih merupakan figur yang paling banyak didukung mayoritas anggota (Wawancara dengan Jeffri Mangero, salah satu pendeta GMIM, tanggal 11 Agustus 2015). Begitu pula dalam hal pendidikan menjadi pendeta. Sinode GMIM sangat ketat menyeleksi seseorang untuk menjadi pendeta dengan melalui jenjang pendidikan yang cukup lama. Mereka rata-rata harus menempuh pendidikan teologi hingga jenjang sarjana. Berbeda pendeta-pendeta Sinode Am GPR yang dijumpai selama penelitian, mereka ada yang mengaku baru setelah pensiun terpanggil untuk menjadi pelayan Tuhan, ada pula karena ingin berubah alias bertobat secara total dari dunia kelam kemudian dengan menyerahkan diri menjadi pelayan Tuhan. Ada pula karena terkesima atau mengalami ketakjuban karena proses pengurapan medis dan seterusnya. Karena itu tidak heran jika dalam gereja kharismatik juga dikenal dengan bahasa roh, bahasa yang tidak bisa dicerna oleh orang awam Kristen sekalipun.
Penutup Sinode Am GPR dibentuk atas fasilitasi Dirjen Bimas Kristen Kemenag untuk mewadahi sinode-sinode yang ingin mendapatkan legalitas berupa Surat Keputusan (SK) sinode baru dari Kemenag RI. Dirjen Bimas Kristen tidak lagi mengakomodir munculnya sinode baru dan jika terdapat usulan dari umat Kristen untuk mendapatkan pengesahan pendirian sinode, seringkali disarankan untuk bergabung dengan sinode lain yang sudah ada. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
66
Zaenal Abidin Eko Putro
Namun, setelah Sinode Am GPR berdiri, kekurangharmonisan di dalam tubuh sinode ini pun muncul. Bahkan problem ini telah dilaporkan kepada Dirjen Bimas Kristen dan terus menjadi pantauan. Ketegangan antarpengurus ini juga masih terasa kuat terasakan manakala mencoba mencicipi ruangruang diskusi dan musyawarah di dalam sinode ini. Problem paling kelihatan di antaranya problem kepengurusan sinode, masalah perbedaan teologi, serta masalah kontroversi personal salah satu tokoh utama di dalam sinode ini. Pengurus yang hampir semuanya pendeta ini belum secara bulat menyepakati model kepengurusan sinode, pembagian kekuasaan (sharing of power) masingmasing perwakilan sinode-sinode dalam sinode ini, hingga saling menerima satu sama lain yang duduk dalam kepengurusan. Ditinjau dari sudut pandang sosiologi organisasi, permasalahan yang menyangkut sinode ini juga terkait dengan hierarkhi kepengurusan dan kewenangan serta tanggung jawab setiap level kepengurusan yang masih belum berjalan maksimal. Pengambilan keputusan tidak terlalu berjenang karena peran tokoh sentral sangat dominan. Di
dalam tubuh organisasi Sinode Am GPR sebenarnya juga terdapat birokrasi yang dapat dilihat dari terdapatnya unsur rational-legal dengan terbentuknya susunan kepengurusan. Namun, unsur hierarkhi birokrasi yang mengikuti aturan dan ditentukan aturan, yang mestinya membuat urusan dan pekerjaan lebih efisien, masih menjadi dambaan. Sebagi kelompok yang dicirikan KKP yang bercorak evangelikal (kharismatik), dalam sinode ini, gembala sidang diberi kepercaaan penuh untuk membina jemaat, termasuk mengelola keuangan dan aset. Dalam hal hierakhi keputusan dan kewenangan juga jenjangnya terlalu pendek. Tidak ditemukan struktur berjenjang yang berlapis-lapis, kecuali mungkin pimpinan tertinggi sebagai Gembala Sidang dan pendeta di bawahnya yang langsung bergerak. Berdasarkan uraian ini, maka sebenarnya unsur kharisma seorang tokoh dan kecenderungan patrimonial yang beroperasi dalam sinode itu sulit terbantahkan, setidaknya hingga saat ini. Karena itu, walaupun sistem pengelolaan organisasinya mengikuti irama kekinian, namun budaya organisasi yang berkembang masih lebih lekat pada gaya organisasi tradisional.
Daftar Pustaka Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink, Kare. A History of Christianity in Indonesia. Leiden & Boston: Brill. 2008. Borkenhagen, Lea Monique. Minahasa’s Clove Agriculture: The Church and the Production of Power through the Indonesian State. A Dissertation University of California, Berkeley. ProQuest Information and Learning Company. 2004. Donaldson, Lex. Organizational Sociology. www.eolss.net/sample-chapters/.../e6-99a-20. pdf, diakses tanggal 3 Februari 2016. Nuhrison. Gereja Masehi Injili Di Minahasa Provinsi Sulawesi Utara, dalam Hakim, Bashori A. Direktori Aliran, Faham Dan Gerakan Keagamaan Di Indonesia. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Departemen Agama RI, 2009. HARMONI
Januari - April 2016
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi ...
67
PGI. Gerakan Oikumene Tegar Mekar di Bumi Pancasila. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1993. Ramstedt, Martin & Thufail, Fadjar Ibnu. Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Pada Masa Pasca Orde Baru. Jakarta: Grasindo, Pusat Penelitian Sumberdaya Regional LIPI & Max Planck Institute for Social Antrhopology. 2011. Sunarto, Kamanto. Pengantar Sosiologi. Edisi Revisi. Depok: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2004. Somantri, Gumilar Rusliwa. Memahami Metode Kualitatif. Jurnal Makara, Vol. 9, No. 2, Desember 2005. Van Kooij, Rijnardus A. & Tsalatsa, Yam’ah A. Bermain dengan Api: Relasi Antara Gerejagereja mainstream dan Kalangan Kharismatik dan Pantekosta. Jakarta: Gunung Mulia, 2007. Watania, Andre Kristian. Sejarah Perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Pusat Silian (1956-2014). Jurnal Skripsi. Universitas Sam Ratulangi. 2015.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
68
Raudatul Ulum
Penelitian
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya) Raudatul Ulum
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 1 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
The dispute between the adherents of Salafi-Wahabi and Nahdlatul Ulama often occure in various places in Indonesia. The perspectives of the two groups are different and difficult to collaborate. This is also the case in the sub-district of Semampir – east Java when the people of Kecamatan Semampir – Desa Sidotopo Kidul – East Java rejected violently the establishment of the STAI Ali Bin Abi Thalib – an educational institutions founded by Salafi-Wahabi adherents. This study was conducted to understand the various issues concerning the causes of the conflict and what efforts have been made by the Ministry of Religious Affair to elaborate that dissindents. Through observation techniques and in-depth interviews with the people who involved in the conflict, we conclude that the main problem of the conflict are due to differing opinions about religious understanding and theological concept. The SalafiWahabi-affiliated institution criticized the traditions of NU through the publication of newsletter and bulletin, radio broadcasting and Friday sermons. The disagreement of the two parties, Salafi Wahabi and NU, is derived from their missionary endeavor and religious attitudes which are extremely contradictive and difficult to compromise. This study provides recommendations to stakeholders such as Ministry of Religious Affairs – East Java government and other civil society organizations working in the field of religion to continue the discussions, dialogues and other effective communication methods in order to unify and resolve the conflict.
Perseteruan antara aliran keagamaan Salafi Wahabi dengan Warga NU kerapkali terjadi pada berbagai segmen dan tempat di Indonesia. Konsepsi yang dibangun dalam menjalankan dakwah masing-masing kelompok berbeda dan sulit dipertemukan, begitu pula terhadap hal yang terjadi di Kecamatan Semampir Kota Surabaya. Dua pihak berbeda aliran mengalami gesekan yang memuncak pada aksi penolakan keberadaan lembaga Salafi Wahabi STAI Ali bin Abi Thalib oleh warga Sidotopo Kidul Kecamatan Semampir Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan untuk memahami berbagai hal menyangkut sebab musabab konflik itu terjadi sampai dengan upaya apasaja yang telah dilakukan untuk menangani gesekan sosial tersebut. Melalui teknik pengamatan dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik dapat dipahami kalau aspek perbedaan pada pemahaman teologis adalah masalah utama, khususnya munculnya pendapat yang antitradisi keagamaan NU melalui bulletin, khotbah jumat dan siaran radio STAI Ali bin Abi Thalib. Pola dakwah dan sikap keagamaan dua kelompok sangat bertentangan sehingga sulit ditemukan jalan keluarnya, pola dakwah NU yang inklusif dengan budaya lokal bahkan cenderung akomodatif berlawanan dengan salafi wahabi yang menginginkan pemurnian Islam dari segala bentuk pengaruh tradisi dan budaya. Masing-masing bersikeras cara keberagamaan masing-masing yang paling benar. Penelitian ini akhirnya memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait terutama Kementerian Agama Jawa Timur dan Kota Surabaya, serta Pemda Kota Surabaya untuk terus melakukan dialog dan langkah-langkah positif dengan terus membangun komunikasi kepada kedua belah pihak, aspek mediasi cukup bermanfaat meredakan ketegangan.
Keywords: NU, religious tradition, Salafi Wahabi, religious conflict, East Java.
Kata kunci: Tradisi Keagamaan, NU, Salafi Wahabi, Jawa Timur.
HARMONI
Januari - April 2016
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya)
Pendahuluan Kota Surabaya pada tanggal 7 Februari 2015 di bagian utara telah terjadi suatu peristiwa konflik antaraliran dalam Islam, ditandai dengan adanya aksi demontrasi menentang keberadaan STAI Ali Bin Abi Thalib yang di lakukan oleh masyarakat sekitar Kelurahan Sido Topo. Penentangan yang dilakukan oleh warga di sekitar Ma’had Ali (Kampus) STAI Ali Bin Abi Thalib tersebut disebabkan terbitnya bulletin jum’at Al Iman yang mensyirikkan, membid’ahkan tradisi keagamaan masyarakat sekitar seperti jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada umunya . Pihak STAI telah melakukan beberapa kali klarifikasi dan meminta maaf, serta mediasi dilakukan pihak pemerintah dari tingkat camat sampai dengan gubernur Jawa Timur. Namun, semua proses mediasi belum menemukan titik temu (sesuai dengan surat gubernur Jawa Timur yang dikirimkan kepada Menteri Agama). Pihak-pihak yang menolak mengatasnamakan Forum Warga Sidotopo, Ikatan Keluarga Madura (IKAMRA), MWC NU Semampir, menuntut pembubaran STAI Ali Bin Abi Thalib. Pada perkembangan selanjutnya mereka meminta kampus tersebut dipindahkan dari lokasi Sidotopo Kidul. Kelompok penentang memberikan batas waktu pembubaran pada tanggal 7 Mei 2015. Namun sebelum aksi pembubaran pada batas waktu yang dimaksud dapat dicegah oleh berbagai pihak, baik kepolisian, perangkat pemerintahan kota Surabaya dan provinsi Jawa Timur, serta TNI AD (Danrem 084 Baskara Jaya. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memahami sebab perseteruan yang terjadi antara warga NU Sidotopo Kidul dengan STAI Ali Bin Abi Thalib. Penelitian bersifat kualitatif investigatif dengan penekanan pencarian fakta-fakta
69
dan sebab suatu kejadian. Informan merupakan pihak yang diyakini terlibat dalam suatu kejadian. Para informan terdiri dari pihak-pihak penentang/ penolak keberadaan STAI Ali bin Abi Talib yang terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat Sidotopo Kidul, 1) H Sulton/H Abd Wali, 2) K.H. Ahmad Rosidi, 3) K.H. Murobi, 4) Ustadz Hafidz, Ketua MWC NU Semampir), 5) Ustadz Haji Ismail, 6) Ustadz Badruzzaman, 7) Haji Abd. Rahman, 8) Ustadz Amir Mahmud, 9) H. Mat Barah, 10) H. Adras. Wawancara juga dilakukan kepada pihak-pihak pengurus STAI Ali Bin Abi Thalib itu sendiri, 1) Ustadz Mubarok Bamualim, 2) Slamet Mulyono, 3) Ustadz Mulyono. Sedangkan informan lain yang diwawancarai adalah Kepala Seksi Binsyar Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur Ersyad dan Kepala TU Kementerian Agama Kota Surabaya, Kepala KUA Semampir serta penyuluh agama Munawar. Informan dari pemerintahan kota Surabaya adalah Camat Semampir, Siti Hindun Robba. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui teknik wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait dalam kasus penentangan keberadaan STAI Ali Bin Abi Thalib, Pihak Pengurus STAI, pejabat pemerintahan dari Kementerian Agama kota Surabaya dan Camat Semampir Kota Surabaya. Selain wawancara, juga dilakukan analisis dokumen tertulis berkaitan dengan fakta kejadian, dengan harapan ada peluang lebih besar memahami persoalan atas kasus, verifikasi sebab-sebab kejadian dan bangunan nalar konfliknya. Dalam penelitian ini juga dilakukan sedikit pengamatan. Mengingat desain penelitian tidak memungkinkan pengamatan dalam jangka waktu yang lama, namun teknik ini cukup membantu memahami kondisi lapangan terutama posisi gedung dan keberadaan masyarakat sekitar. Untuk menambah pemahaman terhadap unit analisis, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
70
Raudatul Ulum
peneliti juga menggunakan studi dokumentasi yang sekaligus menjadi alat triangulasi terhadap hasil wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah bersifat kualitatif berbasis studi kasus, menekankan pada narasi dan nalar fenomenologis. Hal tersebut disebabkan dengan sifat penelitian actual yang dilakukan dengan investigasi, tidak didasarkan pada asumsi atau preposisi tertentu.
Hasil dan Pembahasan Letak geografis STAI Ali bin Abi Thalib berada Kecamatan Semampir yang merupakan bagian utara Kota Surabaya. Kecamatan Semampir cukup unik karena beberapa kasus serupa seringkali terjadi, tepatnya di Kelurahan Sidotopo Kidul. Sebagian besar penduduk Kecamatan Semampir adalah suku Madura dan suku Jawa, mereka keseharian rata-rata menggunakan bahasa Madura. Tingkat kemiskinan di kecamatan ini merupakan yang tertinggi di kota Surabaya. Sebagian besar penduduk di Semampir bermata pencaharian sebagai buruh dan tukang (20.874 jiwa), (http://dispendukcapil. surabaya.go.id/index.php, diakses 19 Oktober 2015).
STAI Ali Bin Abi Thalib Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, website dan dokumen tentang STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya adalah perguruan tinggi Islam Swasta di Indonesia yang berada Surabaya. STAI Ali bin Abi Thalib Surabaya ini didirikan berdasarkan pada Surat Keputusan Dirjen Pendis Kemenag RI: Dj.I/495/2007 (http:// stai-ali.ac.id/profil/sejarah-singkat/, diakses 15 Oktober 2015). Sebelum berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Abi Thalib, berdirilah sebuah lembaga pengajaran bahasa Arab HARMONI
Januari - April 2016
dan Ilmu-ilmu Islam yang dikenal dengan nama Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya. Dengan masa belajar dua tahun, Ma’had Ali Al-Irsyad mengadopsi kurikulum dari Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud Saudi Arabia. Keberadaan STAI Ali Bin Abi Thalib tidak dapat dipisahkan dari Yayasan Al Iskan sebagai lembaga yang memayunginya. Adapun Al Iskan, awalnya memiliki hubungan kuat dengan Al Irsyad Jawa Timur karena peran Cholid Bawazier pada dua lembaga tersebut. Cholid Bawazier adalah mantan pimpinan Al Irsyad Jawa Timur yang diyakini oleh H. Adras Ridwan memiliki jaringan ke Timur Tengah terutama Saudi Arabia (diperlihatkan beberapa dokumen kronologi pendirian STAI Ali Bin Abi Thalib). Menurutnya jaringan Saudi Arabia melalui alumni Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud dan Cholid Bawazier menyambungkan jaringan keuangan yang kuat bagi STAI.
Memahami Budaya dan Kehidupan Sosiologis Mayoritas penduduk di kota Surabaya secara kultural merupakan suku Jawa dan sebagian suku Madura, golongan etnis lain adalah minoritas mereka terdiri dari orang-orang yang lahir di kota tersebut serta para pendatang dari berbagai kabupaten di sekitar kota Surabaya. Sedangkan di sekitar Kecamatan Semampir, pluralitas antarsuku cukup beragam, entitas Arab, Madura, Banjar, Bugis mewarnai keberagaman tersebut (wawancara dengan Camat Semampir, 9 Oktober 2015). Pendatang dari Madura, jumlahnya sangat banyak. Dalam hal etos perantau tersebut, Kuntowijoyo menjelaskan tradisi merantau orang Madura sudah berlangsung sejak lama (Kuntowijoyo, 2002: 75-82). Keberadaan suku Madura di Kecamatan Semampir adalah mereka yang mengalami urbanisasi. Berbeda
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya)
dengan perspektif ilmu kependudukan, Kholidah menjelaskan definisi urbanisasi diartikan sebagai persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Dengan kata lain, perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikategorikan dua macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap (Kholidah, 2011:2-5). Bagi orang Madura yang berada di perantauan, mereka akan tetap memegang budaya kekeluargaannya, yakni merasa malu jika perbuatan yang dilakukan itu salah, sopan santun, keramahan, dan “taretan dhibi” (saudara sendiri) (Sakinah, 2011), bermakna satu darah Madura sebagai satu ikatan. Beberapa informan mengaku berasal dari Kabupaten Sampang, Kecamatan Omben. Sebagian besar masyarakat Madura di Semampir bekerja di kegiatan ekonomi informal, terutama sektor perdagangan barang bekas. Berdasarkan pengamatan, tumpukan besi tua bukanlah benda asing di sepanjang Sidotopo, begitu juga ke daerah Sidotopo Kidul. Masyarakat Madura dikenal juga memiliki budaya yang khas, unik, stereotipikal, dan stigmatik. Istilah khas disini menunjukkan bahwa entitas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan etnografi komunitas etnik lain. Kekhususankultural ini antara lain tampak pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka kepada empat figur utama dalam kehidupan yaitu Buppa, Babu, Guruh, ban Ratoh (Ayah, Ibu, Guru dan Pemimpin Pemerintahan) (Wiyata, 2003:1).
71
Setelah ketundukan kepada kedua orang tua, aspek penting setelahnya adalah figur guruh, yaitu penghormatan pada figur guru, utamanya kyai dan ustadz bagi masyarakat Madura. Mereka adalah orang-orang yang patut dihargai dan dihormati sebaik-baiknya. Dalam hal menyangkut karakter pengendalian faktor luar bagi orang Madura adalah berada pada kyai. Untuk itu, pelibatan kyai dan tokoh agama dalam hal mengelola konflik dan persoalan orang Madura tidak bisa dihindarkan. Unsur pemerintahan, Ratoh itu membuktikan loyalitas masyarakat Madura terhadap pemerintah, hal ini dapat dibuktikan sejak zaman Majapahit sampai NKRI masyarakat Madura cenderung tunduk penuh pada pemerintahan yang sah. Mungkin pemberontakan Trunojoyo adalah pengecualian karena perlawanan terhadap Belanda cenderung lebih kental dibanding hubungan antara Kraton Mataram dengan Madura. Dengan begitu, posisi ulama dalam hal mengatasi berbagai masalah yang melibatkan orang Madura sangat penting dan menentukan. Untuk kasus STAI dan Ali bin Abi Thalib, menurut pengakuan Ustadz Mubarok mereka sudah mencoba mendekati K.H. Abdurahman Navis, tokoh ulama bertenis Madura, namun beliau cukup sibuk untuk banyak terlibat teknis, hanya saja menurutnya pak kyai cukup menjaga jarak untuk tidak banyak memberikan ruang bagi warga Sidotopo Kidul mengancam keberadaan STAI.
Kehidupan Keagamaan Warga Sidotopo Kidul seperti sebagian besar etnik Madura lainnya adalah Warga NU, mereka beragama Islam yang kental dengan nuansa tradisional, ciri khas dari keislaman tradisional di Indonesia adalah kegiatan maulidan, tahlilan, ziarah kubur, yasinan dan berbagai tradisi yang lekat dengan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
72
Raudatul Ulum
kenusantaraan. Keislaman dengan nuansa tradisi ini sangat melekat pada diri Nahdlatul Ulama yang memang berkomitmen melindungi ‘kebiasaan baik’ dalam tradisi keagamaan masyarakat setempat sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, atau bahkan dapat dipahami sebagai bentuk penghormatan nilai Islam itu sendiri. “Kita ini beraliran Ahlussunnah Waljamaah, warga NU yang melaksanakan tahlilan, yasinan, ziarah kubur dan maulidan sudah biasa disini” tutur KH. Hafidz. Seperti umumnya warga NU, mereka sudah terbiasa melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat tradisional seperti berlangsung secara turun menurun. Di pihak lain, STAI Ali Bin Thalib merupakan wujud lembaga pendidikan Islam yang bermanhaj salafi, seperti tertera dalam visi misi lembaga ini (http:// stai-ali.ac.id/, diakses 15 Oktober 2015). Perkembangan manhaj salafi di Indonesia cukup fenomenal dan menimbulkan berbagai kontroversi. Posisi berhadaphadapan antara manhaj ahlussunnah waljamaah model NU dengan gerakan puritanisme (pemurnian ajaran Islam) berlangsung cukup lama dengan berbagai variasi ketegangan. Titik mula ketegangan dapat dikatakan bermula sejak berdirinya Muhammadiyah (1926) yang mengusung puritanisme cukup menghadirkan gejolak di kalangan Islam tradisional. Hanya saja ketegangan tersebut tidak mewujud serius, tidak ditemukan suatu peristiwa kekerasan yang terbuka. Wahabi dinisbatkan pada pemikiran dan gerakan yang dicetuskan Abdullah Bin Abdul Wahab, kelompok ini akhirnya lebih suka mengaku sebagai manhaj salaf, ahlussunnah. Konsepsi pembaharuan kekinian seringkali merujuk pada Syaikh Nasiruddin Al Bani (Al Ilslamiyah Edisi 93//Volume II No. 02 TH. 1436 H/2014). Bagi warga Madura, tradisi keagamaan tidak bisa dipisahkan dari Islam itu sendiri. HARMONI
Januari - April 2016
Tahlilan, maulidan, ziarah kubur adalah suatu simbol kesalehan bagi masyarakat Madura, karena kalau menghindari tradisi yang sudah turun menurun akan dianggap berislam secara minimal. Istilah “Islam minimalis” seringkali muncul dalam joke-joke ceramah banyak ustadz dan kyai di kalangan NU bagi mereka yang tidak qunut atau cenderung abai pada tradisi setempat. Islam minimal dilekatkan terhadap mereka yang mulai meninggalkan tradisi keagamaan masyarakat Madura, tidak mau tahlilan, tidak ziarah kubur, tidak membaca kunut di sholat subuh dan tidak zikir zahar setelah sholat wajib, shalat jumat dengan mengumandangkan adzan sekali, serta meninggalkan tabarukkan.
Konflik Dalam perspektif positivisme konflik itu adalah bagian dari dinamika gerakan struktural (Susan, 2009:40). Dengan mengutip pandangan Simmel (1903), Susan menjelaskan fenomena konflik dipandang sebagai proses sosialisasi, seperti halnya asosialisasi, sosialisasi dianggap bisa melahirkan disasosialisasi yaitu individu individu mengalami interaksi saling bermusuhan karena adanya feeling hostility secara alamiah. Lingkaran kehidupan sosiologis berbagai individu tiba-tiba saja mengelompok atau kembali kepada kelompoknya karena ketidaknyamanan yang atas tindakan kelompok lain. Dalam hal ini dua kelompok kembali bersitegang karena keyakinan. “Kalau sampai akhir tahun tidak ada tindakan dari pemerintah, gedung STAI (Ali Bin Abi Thalib) ini akan di bakar oleh warga” tegas Haji Sulton (Wawancara dengan Haji Sulton 6 Oktober 2015). Haji Sulton bersama dengan kelompok yang menamakan diri TIM 9 (Tim ini terdiri atas: 1) H Sulton/H Abd Wali, 2) K.H. Ahmad Rosidi, 3) K.H. Murobi, 4) Ustadz Hafidz, Ketua MWC NU Semampir), 5) Ustadz Haji Ismail,
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya)
6) Ustadz Badruzzaman, 7) Haji Abd. Rahman, 8) Ustadz Amir Mahmud, 6) H. Mat Barah) adalah penolak keberadaan STAI Ali Bin Abi Thalib. Menurut mereka keberadaan lembaga pendidikan tersebut meresahkan warga, situasi panas itu terjadi karena tidak ada jalan keluar dari ketegangan yang berlarut-larut. Dalam hal menyangkut waktu, untuk sementara Tim 9 dapat menahan warga agar situasinya masih terkendali. Kronologi yang mengisahkan adanya gesekan tampaknya dimulai sejak meninggalnya seorang tokoh masyarakat (Madura) bernama Haji Mustofa yang seringkali sholat lima waktu di mesjid STAI. Ketegangan terjadi saat tokoh tersebut disholatkan di Mesjid dimaksud sesuai dengan wasiat, namun seperti kebiasaan orang Madura pada umumnya setelah disholati sekalian dibacain tahlil secara bersama-sama di mesjid. Pihak pengurus STAI menolak untuk ditahlili di mesjid tersebut, dan meminta untuk dilakukan di rumah musibah saja. Letupan kecil seperti ini cukup membekas di lingkungan Sidotopo Kidul. “bapak boleh tanyakan langsung kepada keluarga atau warga sekitar disini perlakukan STAI Ali Bin Abi Thalib” ujar Haji Sulton. Dengan demikian indikasi STAI Ali Bin Abi Thalib beraliran salafi wahabi, puritan, semakin kuat dalam penerimaan warga di sekitarnya. Melalui berbagai dokumen yang diperoleh, STAI Ali Bin Abi Thalib cukup gencar membid’ahkan tradisi keagamaaan masyarakat di sekitar ma’had. Kehadiran STAI Ali Bin Abi Thalib memberikan goncangan bagi masyarakat sekitar, menganggap tahlilan, maulidan dan ziarah kubur bid’ah mengandung kemusyrikan melukai hati pengamalnya. Masyarakat marah dan tidak terima. Puncaknya adalah demontrasi pada tanggal 7 Februari 2015 dimulai pukul 09.00 WIB (Wawancara dengan Haji Sulton, 6 Oktober 2015 disertai bukti dokumen
73
surat pemberitahuan kepada Polsek Semampir) dengan membentangkan spanduk dan orasi mengecam keberadaan dan aktifitas dakwah STAI. Titik krusial gesekan antara STAI Ali bin Abi Thalib dengan masyarakat di sekitarnya adalah sikapnya terhadap tradisi keagamaan. Sekian lama ketegangan ini berlangsung, lingkup dan sebaran konflik cukup meluas. Tidak kurang dukungan muncul dari berbagai arah, terutama dari kyai dan santri dari Madura. Hal tersebut dibuktikan dengan ramainya peserta pengajian, maulid dan istighosah yang sempat digelar pasca demonstrasi (dokumentasi video istighotsah 14 Maret 2015). Kasus perseteruan STAI Ali Bin Abi Thalib menarik perhatian banyak pihak, terutama pemerintah, meskipun secara resmi tidak ada pernyataan walikota, namun Gubernur Jatim mengirimkan surat secara resmi kepada Menteri Agama (Surat Gubernur Nomor 300/7280/203.4/2015 perihal Penyelesaian Permasalahan antara STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya dengan Masyarakat Setempat tertanggal 14 Juli 2015). Begitu juga dengan KOPERTAIS Wilayah IV menyampaikan permintaan penanganan yang dilampiri dengan kronologi. Pemicu ketegangan memuncak adalah terbitnya bulletin Al Iman edisi 205 Tahun kelima No. 9 Rabiul Awal 1436 H. Bulletin tersebut secara khusus membahas tradisi maulidan, yang inti perayaan tersebut, sebagai berikut: Acara maulidan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in maupun salafus shalih. Untuk itu, perayaan maulid adalah bid’ah. Orang-orang yang merayakan maulid menyerupai apa yang dilakukan oleh orang nasrani yang merayakan natal, tahun baru atau peringatan tentang kelahiran Yesus Kristus. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
74
Raudatul Ulum
Merayakan Maulidan adalah sarana yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam perbuatan kesyirikan, karena dalam acara maulidan terdapat pujianpujian yang berlebihan terhadap Rasulullah, sehingga mendudukkan beliau pada posisi Tuhan. Sikap STAI Ali Bin Abi Thalib yang cenderung anti tradisi seperti ritual sosial yang sering dilakukan oleh warga NU tidak hanya tergambar dari isi bulletin, tetapi dapat dibuktikan melalui tulisan yang termuat di Majalah Adz Zakhiirah Al Islamiyah. Satu artikel yang ditulis Ustadz Fadlan Fahamsyah, Lc., MHI berjudul Perayaan-Perayaan Terlarang menempatkan perayaan maulid, khaul ulama, peringatan as-sura bersamasama dengan peringatan valentin dan ulang tahun sebagai perayaan terlarang. Berikut perayaan terlarang dilakukan oleh muslim-muslimah: 1) Merayakan Natal, Tahun Baru dan Valentine’s Day, 2) Merayakan Haul (peringatan kematian) para wali, kyai dan orang shalih, 3) Mengadakan selamatan kematian 1-7 hari, 40, 100 dan 1000 hari, 4) Merayakan Maulid Nabi, 5) Ritual doa dan kirim doa kepada mayit, 6) Memeringati As-suro, 10 Muharram, 7) Merayakan ulang tahun. Dalam hal menyikapi ketegangan antarkelompok tersebut, telah dilakukan mediasi oleh berbagai pihak terkait, tidak kurang dari Camat Semampir, Danrem 084/Bhaskara Jaya sampai dengan Gubernur Jawa Timur. Deadline warga yang berdemonstrasi untuk menutup atau membubarkan diri pada STAI Ali Bin Abi Thalib dijawab dengan pengumpulan massa 2000-an orang pada kegiatan bertajuk Daurah Ilmiyah, menurut pengakuan Ustadz Mubarok, mereka datang untuk menghadiri kegiatan “Daurah Ilmiyah” bertajuk “Membendung Radikalisme” tanggal 7-8 Mei 2015 di aula STAI. Sejatinya menurut beliau daurah akan dilaksanakan selama empat hari, tetapi Kapolres meminta HARMONI
Januari - April 2016
cukup dua hari saja. “Loh kita ini punya massa juga Pak, itu yang mau datang 10.000 orang, tapi saya minta 2000 orang saja” tutur Ustadz Mubarok. Momentum kegiatan daurah ini menarik, karena bersamaan dengan batas deadline yang disampaikan oleh Tim 9 dan H. Adras (Haji Adras merupakan Sekjen DPP Ikatan Keluarga Madura, adik dari Ketua Tim 9 Haji Sulton, keduanya secara tertulis menandatangani batas waktu permintaan pembubaran). Di sisi lain, menjelang batas waktu tersebut pihak STAI tampak seperti sedang mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan bentrok fisik dengan penentangnya. Sebelum batas waktu yang diminta oleh warga Sidotopo Kidul agar STAI dibubarkan atau membubarkan diri 7 Mei 2015, telah terjadi pertemuan penting pada 1 April 2015 di Makorem 084/Bhaskara Jaya. Draf perdamaian sempat diajukan oleh Warga Sidotopo Kidul berupa nota kesepahaman, namun proses tersebut deadlock tanpa ada solusi sama sekali. Ada banyak mediasi yang dilakukan oleh berbagai pihak, MUI, Camat dan Walikota sebelum masa waktu yang ditentukan untuk pembubaran. Berdasarkan penjelasan dan kronologi yang ada, dapat dipahami bahwa hampir semua langkah yang dilakukan tidak menemui jalan keluar. Coser (1956) (Paloma, 1994:113-117) menegaskan bahwa kohesi sosial dalam kelompok mirip sekte itu tergantung pada penerimaan secara total seluruh aspek-aspek kehidupan kelompok. Untuk kelangsungan hidupnya kelompok “mirip-sekte” dengan ikatan tangguh itu bisa tergantung pada musuh-musuh luar. Konflik dengan kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar yang realistis, tetapi konflik seringkali juga sering berdasar atas isu yang nonrealistis. Konflik realistik didasarkan atas munculnya kekecewaan atas tuntutan tuntutan khusus terhadap hal yang
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya)
menguntungkan terhadap obyek (yang akhirnya mengecewakan), sedangkan non realistik adalah pertentangan yang tidak berasal dari hubungan antagonistik melainkan hanya untuk meredakan ketegangan dari satu pihak, misalnya pembalasan dendam atas ilmu hitam (Lewis A. Coser, dikutip oleh Astrid Ivonna pada http://www.astalog. com/2603/apa-yang-dimaksud-dengankonflik-non-realistis.htm, diakses 1 Juni 2016, 14.40 WIB). Dengan demikian, pola konflik antara dua pihak di STAI dan Jamaah NU di Semampir tampak seperti pola realistik, berbagai motif kekecewaan warga Sidotopo Kidul terhadap STAI Ali Bin Abi Thalib disebabkan tuntutan terhadap keterbukaan mesjid dan yayasan terhadap amaliyah di sekitarnya. Problem mendasar untuk mencari penyelesaian adalah aspek kompromi kedua pihak yang terlalu kecil dengan tidak adanya kesepakatan dari pertemuan ke pertemuan, sedangkan penguatan ke dalam terus dilakukan. Aspek potensial terjadinya konflik terletak pada sikap keseharian pihak STAI, terutama dalam hal metode dakwah salafi yang mereka kembangkan. Ada tiga output dakwah yang harus benar-benar hati-hati, 1) terbitan bulletin Al Iman, materi yang disajikan jangan sampai menciptakan momentum serupa, 2) siaran radio Al Iman, 3) komunikasi dakwah lisan yang mungkin saja tersampaikan pada khotbah jumat.
Hambatan dan Potensi Penyelesaian Kasus Hambatan utama dalam penyelesaian konflik adalah tidak adanya kesepahaman tentang perbedaan manhaj (cara pandang terhadap ajaran Islam). Masing-masing pihak enggan mendialogkan pemahaman keagamaan masing-masing. Pihak STAI merasa tidak ada yang salah dengan cara mereka
75
berdakwah, karena mereka yakin bahwa yang mereka lakukan itu benar, segala tindakan adalah panggilan dakwah. Begitu juga dalam hal teritorial, selama ini mereka berada dalam otonomi pendidikan yang cenderung eksklusif dan menganut paham yang berbeda dengan warga sekitar. Posisi berhadaphadapan tidak bisa dihindari karena para kyai dan ustadz di lingkungan Sidotopo Kidul Kecamatan Semampir cenderung menyampaikan dakwah dengan berbagai cara yang lekat dengan tradisi di masyarakat Madura. Dalam pandangan Coser (Paloma, 1994:117) kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok akan membantu memantapkan batasbatas struktural. Jika konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antara konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk dipertahankan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin besar rasa kasih sayang yang sudah tertanamkan makin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan. Memaknai konflik antarmereka kedua pihak lebih mudah dipahami karena keintiman dua pihak tidak terjalin, meskipun upaya dari STAI yang berusaha mengurangi ketegangan dengan memberikan bantuan pada kegiatan perayaan maulid, ternyata tidak terlalu memberikan dampak terhadap hubungan keduanya. Jadi, mengurai aspek realistik dan nonrealistic dalam konflik antara dua kelompok tersebut tidak relevan karena jalinan keintiman sosial antarindividu juga tidak terjalin. Pihak warga menginginkan sesuatu yang mustahil dipenuhi oleh pihak STAI, satu dari sekian tuntutan agar Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
76
Raudatul Ulum
kampus dan yayasan terbuka terhadap warga sekitar, terutama penerimaan amaliyah yang dalam pandangan salafi wahabi adalah bid’ah sulit diwujudkan. Sedangkan di sisi lain, warga terlanjur merasa bahwa pihak STAI mengancam kehidupan keberagamaan mereka, sehingga kalaupun islah, syarat yang diminta adalah keterlibatan warga ke dalam yayasan. Tiadanya titik temu dapat dipahami dari pemahaman kedua pihak terhadap objek konflik. Sama sekali berbeda, permintaan warga dianggap oleh pihak STAI sebagai upaya perampasan dan intervensi kepada hak milik yayasan dan kemandirian yayasan Al Iskan. “mereka itu katanya sudah mengkapling-kapling tanah disini” ujar ustadz Maryono. Opini pengkaplingan area yayasan memang tampak seperti pernyataan yang kurang bisa diterima akal karena berdasarkan wawancara dan arah penjelasan tidak memerlihatkan motif perampasan aset fisik sebagai incaran. Hambatan berikutnya adalah meluasnya informasi gesekan, bahkan sampai ke Kabupaten Rembang, seperti yang tertera dalam dokumen dukungan sebagian besar pesantren di Jawa Timur mendatangani persetujuan pembubaran. Tidak kurang dari pesantren Sidogiri sampai dengan Sarang (Kabupaten Rembang) melalui Gus Najih ikut menandatangi persetujuan pembubaran. Menurut pengakuan H Sulton dan temantemannya, Gubernur Jawa Timur pun membuka peluang pembubaran hanya saja untuk mencari celah hukumnya sangat sulit. Potensi penyelesaian konflik antara STAI Ali Bin Abi Thalib dengan Warga Sidotopo Kidul adalah rasa ukhuwah islamiyah masih dapat dirasakan. Ada sebuah asa yang sulit dihindari tentang persatuan Islam, hanya saja seringkali cara menyatukannya sulit karena berbeda sikap sangat tegas dalam hal tradisi. HARMONI
Januari - April 2016
Karena perbedaan pandang dan kekakuan pada pemahaman terutama pada tradisi sosial keagamaan, bisa dipastikan sulit untuk melakukan mediasi melalui aspek tersebut. Meskipun dalam pengakuan pihak STAI mereka sudah cukup banyak membantu materi kepada warga sekitar, mulai dari sumur bor, bantuan sembako dan uang untuk kegiatan maulidan. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah mengintervensi “waktu”, pihak mediator dapat memperlambat atau mempercepat ledakan antara kedua belah dengan suatu sistem kontrol sepernuhnya oleh negara. Wujud dialog, atau mengalihkan konsentrasi konflik dapat dilakukan. Posisi penyuluh keagamaan cukup vital untuk mengembangkan informasi positif antarpihak. Pihak kemenag atau kecamatan selalu berupaya menyampaikan informasi yang positif tentang STAI kepada warga, begitu juga sebaliknya. Jadi dalam hal mengelola keadaan ini, penting untuk memahami bahwa manajemen konflik itu bertujuan untuk memoderasi atau memberadabkan efek-efek konflik tanpa perlu menangani akar konflik dan sebab sebabnya (Ruberstein, 1996:1) dalam (Susan, 2009:127), sehingga yang perlu dibangun ke depan adalah aspek potensial islah yang tidak lagi mengurai sebab musabab.
Penutup Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian yang dilakukan, ada sejumlah simpulan yang dapat disampaikan, yaitu: 1. Masalah perseteruan sebab khilafiyah antara warga bertradisi NU terutama beretnis Madura dengan STAI Ali Bin Abi Thalib yang beraliran Salafi (Wahabi) di Sidotopo Kidul tidak bisa dipandang remeh. Upaya mediasi yang cenderung seremonial tidak memberikan dampak terhadap perdamaian.
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya)
2. Masing-masing pihak sangat memahami kalau mereka berbeda dalam hal pemahaman agama, meskpun seagama, sulit dicarikan titik temu. Pengaruh konflik aliran di berbagai tempat, serta ketegangan dialog Sunni vs Wahabi adalah unsur penguat perseteruan di Sidotopo Kidul. 3. Karakter gerakan salafi yang keras dan (radikal) bertemu dengan karakter etnis Madura dan warga Surabaya yang fanatik dalam hal keagamaan tradisional. Hal tersebut merupakan tantangan bagi pemerintah untuk mengendalikan perseteruan ini. 4. Situasi ketegangan kedua belah belum dapat dikatakan mereda. Pihak STAI Ali Bin Abi Thalib, masih cukup percaya diri bahwa mereka juga punya massa, namun di sisi lain banyaknya dukungan dari berbagai pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah, ledakan konflik hanya menunggu momentum. 5. Beberapa hal sehubungan dengan solusi rekonsiliasi belum tergali dengan baik, misalnya saat ada tawaran draf perdamaian yang mestinya terjadi tawar menawar, malah cenderung tertolak dari awal. 6. Pembubaran STAI Ali Bin Abi Thalib adalah kajian tersendiri, jika itupun diperlukan karena alasan-alasan keselamatan bersama. Pihak STAI Ali Bin Abi Thalib cenderung pasrah terhadap penyelesaian yang penting tidak dibubarkan atau dipindahkan, hanya saja kesepakatan antara kedua pihak tidak tercapai. 7. Konflik tidak dapat dihilangkan, namun bisa diintervensi. Intervensi pada waktu, sebaran dan dampaknya.
77
Rekomendasi Berdasarkan hasil, pembahasan dan simpulan penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan adalah: 1. Pihak Kantor Wilayah Kementerian Agama perlu untuk meneruskan langkah-langkah yang sudah ditempuh dengan terus berkomunikasi dengan kedua belah pihak. Komunikasi intens merupakan instrument penting untuk memantau perkembangan situasi di lapangan. 2. Kementerian Agama Kota Surabaya perlu lebih aktif memahami dan melakukan pendekatan masalah STAI Ali Bin Abi Thalib dengan warga Sidotopo Kidul. 3. Mengingat kentalnya perseteruan, Ditjen Pendis perlu menugaskan tim khusus untuk mendalami berbagai kemungkinan terkait keamanan STAI Ali Bin Abi Thalib. Jadi jikalau pemindahan penting dilakukan perlu dilakukan kajian tersendiri. 4. Tidak ada istilah selesai dalam hal konflik. Semua pihak telah bekerja sesuai tugas dan fungsinya. Pemantauan Situasi perlu terus menerus dilakukan terutama oleh pemerintah Kota Surabaya sampai pada tingkat Kelurahan dan Kementerian Agama, 5. Penyuluh Kementerian Agama cukup vital dalam hal membangun komunikasi pada kedua belah pihak. Penyuluh yang ada sudah cukup baik bekerja, namun perlu ditambah tenaga dan materi resolusi konflik perlu diberikan. 6. Mediasi melalui pendekatan personal dapat membangun kepercayaan kepada pemerintah. Meskipun mediasi secara seremonial tetap dapat dilakukan.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
78
Raudatul Ulum
Daftar Pustaka Agus, Bustanuddin, 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Creswell, W, Jhon, 1994. Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, California: SAGE Publications,Inc. Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: Matabangsa. Lubiyana, Khalidah., Nugraha, Rendra, Dwi., Widi, Rahma., Al Siddiq, Huda, Imamul., Tiffan, Denis, Pitaloka, Rahmawati, Dian., Noviandini, Diah., Noor Ifansyah., Raditya, Dion 2011. Laporan Penelitian Sosialogi Perkotaan, Segregasi. Universitas Airlangga Majalah Adz Zakhiirah Al IslamiyahEdisi 93//Volume II No. 02 TH. 1436 H/2014 Poloma, M, Margareth 1994. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Rifai, Mien Ahmad. 2007. Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya. Yogyakarta: Pilar Media Susan, Novri, 2009. Sosiologi Konflik dan Isu Isu Konflik Kontemporer, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Silla, Adlin., Mufid, A. Syafi’I., Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, , 2010. Gerakan Keagamaan Transnasional di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama. Wiyata, A. Latif, 2003. Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya Madura . Jakarta: CERIC-FISIP UI, 2003.
Website: http://stai-ali.ac.id/ http://blog.umy.ac.id/sakinah/2011/12/31/perilaku-komunikasi-antar-budaya-sukumadura http://dispendukcapil.surabaya.go.id/index.php http://basundoro-fib.web.unair.ac.id/artikel.html
HARMONI
Januari - April 2016
Penelitian
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
79
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’) Muhamad Ali Mustofa Kamal Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo Email:
[email protected] Diterima redaksi tanggal 14 November 2015, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
Elite society in the series of the Qur’anic stories become interesting when those stories contain educational mission and enlightenment for mankind. The research uses descriptive-qualitative method with literary anthropological approach. The research focuses on how the implication of the attitude of elite society in the Qur'an. The research shows that the derivation of the word “al-mala'” ( )المالare mentioned 30 times in the Qur'an and spread in twelve surah, in the form of ma'rifat” (gnosis) for 29 times and in the form of “nakirah” for once only. Generally, the word “al-mala’” 'in the Qur'an refers to human, it is mentioned only two time that refers to angels namely in the Qur’an, chapter 37, verse 8 and chapter 38, verse 69. The type of “almala'” can be divided into three, namely propaganda against the apostle, who did not oppose the apostles preaching, and hypocrite. Term al-mala’ also has a relationship with kubara’) (كبراءand syaazah ) (شاذةdescribing the social construction of the society. Some valuable lessons and implications of the research results provide the urgency of the elite society behavior (al-mala') in the story of the Qur’an in the order of civilization. It shows the general trend of them, and the importance of elite cadres with the strengthening of theology and faith as they have a vital role in the progress and the collapse of a civilization.
Masyarakat elite dalam rangkaian kisahkisah al-Qur’an menjadi menarik ketika dikaitkan dengan penegasan al-Qur’an bahwa kisah yang dimuatnya memiliki misi pendidikan & pencerahan bagi umat manusia. Desain penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif yang mengelaborasi sumber literer dengan pendekatan antropologi sastra. Penelitian ini memfokuskan pada persoalan bagaimana implikasi dari model perilaku masyarakat elite dalam al-Qur’an.Hasil penelitian menemukan bahwasanya konteks masyarakat elite termaktub dalam alQur’an dalam derivasi kata al-mala’ )ْ(المالyang disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 30 kali dan tersebar dalam 12 surat, dalam bentuk ma’rifat 29 kali dan nakirah 1 kali. Pada umumnya kata almala’ dalam al-Qur’an merujuk pada manusia, hanya dua kali saja penyebutannya merujuk pada malaikat yaitu pada QS.[37]:8 dan QS.[38]: 69. Tipologi al-mala’ ada tiga, yaitu yang menentang dakwah rasul, tidak menentang dakwah rasul& munafik.Kata al-mala’ juga memiliki relasi dengan kubara’) (كبراءand syaazah)(شاذة yang menggambarkan konstruksi sosial masyarakatnya. Beberapa implikasi dari hasil elaborasi antropologis terhadap perilaku masyarakat elite dalam kisah al-Qur’an adalah mengajarkan urgensi posisi elite dalam tatanan peradaban, menunjukkan kecenderungan umum dari mereka & pentingnya kaderisasi elite secara baik dengan penguatan akidah dan keimananan karena memiliki peran vital bagi kemajuan & runtuhnya peradaban.
Keywordd: al-mala’, behavior, civilization, kubara’, story, elite society.
Kata kunci: al-mala’, perilaku, peradaban, kubara’, kisah, masyarakat elite. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
80
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Pendahuluan Kajian al-Qur’an yang diperkaya dengan aspek antropologi merupakan sebuah upaya mencari setitik hidayah dari lautan al-Qur’an yang tak bertepi (Djuned, 2011:1). Dalam khazanah ilmu al-Qur’a>n, kisah al-Qur’an didefinisikan dengan berita-berita tentang para nabi dan umat terdahulu serta peristiwaperistiwa yang terkait dengan mereka yang mengandung pelajaran bagi umat manusia berikutnya (Hadi Ma’rifah, 2009: 418-419). Kisah al-Qur’an secara tipologis berbeda dengan kisah dalam konteks susastera, baik dari segi tema maupun cara penyajiannya (Sayyid Qutb, 2004: 143). Kisah-kisah al-Qur’an umumnya tidak utuh dan runtut serta terpenggal-penggal bertebaran di selasela ayat. Antara bagian awal, tengah, dan akhir kisah terpisah-pisah. Sebagian penggalan kisah disebutkan secara berulang-ulang. Selain itu unsur waktu dan tempat sering tidak disebutkan. Dan karakter fisik tokoh-tokoh kisah bukan menjadi perhatian. Al-Qur’an lebih fokus pada kepribadian, motivasi-motivasi, dan perilaku-perilakunya (Naqrah, 1974: 348, 360). Kisah-kisah al-Qur’an terdiri dari tiga unsur utama pembentuknya, yaitu tokoh (syakhs}), peritiwa (al-h}adas}), dan dialog (h}iwa>r) (Naqrah, 1974: 348). Dalam unsur tokoh pada umumnya kisah al-Qur’an tidak terlepas dari individu-individu tertentu yang menjadi tokoh utama dan memiliki peran yang signifikan dalam peristiwa yang diceritakan. Jika dilihat dari segi status dari tokoh-tokoh tersebut ditemukan tiga status yang sangat menonjol, yaitu agamawan, penguasa, dan hartawan. Hal itu ditunjukan dengan penggunaan istilah nabi>, rasu>l, malik, dan mala’.
HARMONI
Januari - April 2016
Tiga status pertama sudah dikenal dengan sangat baik dan kisah kisahnya mendapat perhatian cukup signifikan dari para ilmuwan sehingga karya-karya tentang mereka sangat banyak. Nabi> dan rasu>l adalah status tertinggi dalam konteks agama wahyu. Mereka merupakan orang-orang pilihan yang mengemban tugas menyampaikan agama Allah kepada umat manusia (QS.[3]:33). Malik biasa diartikan dengan ‘raja’. Ia merujuk pada status tertinggi dalam sistem kekuasaan (al-Asfahani, tt: 492-493). Status yang terakhir yaitu mala’ biasa diartikan dengan ‘para pemuka dan pemimpin’. Status ini mengacu pada para pemimpin, pemuka, dan tokoh masyarakat yang menempati posisi dan berperan penting dalam tata sosial (Ibnu Manzur, tt: 4252). Semua status itu mengindikasikan beberapa posisi dan peranan penting dalam tata sosial masing-masing. Menurut sumber The Grolier Encyclopedia of Knowledge (tt: 6), Status-status tadi dalam istilah sosiologi dikenal dengan istilah ‘elite’, yaitu individu-individu atau kelompokkelompok dalam suatu masyarakat yang memerankan kekuasaan, memiliki superioritas, atau kekayaan, atau status dan prestise yang tinggi. Merekalah yang mengisi lembaran-lembaran catatan sejarah sehingga dalam antropologi dikenal ungkapan ‘sejarah adalah kuburan elite’ (Bottomore, 2006: 1). Maka dapat dipahami jika semua unsur-unsur elite juga menjadi dominan dalam pembicaraan kisah-kisah al-Qur’an. Mengkaji kisah al-Qur’an dengan fokus pada sosok elite yang berperan dalam kisah-kisahnya menjadi menarik ketika dikaitkan dengan penegasan alQur’an bahwa kisah yang dimuatnya memiliki misi pendidikan dan
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
pencerahan bagi umat manusia (QS.[7]: 175; [11]: 111). Kaum elit bisa berperan positif dan bisa pula berperan negatif dalam konteks peradaban. Ketika mengambil peran positif, kaum elit menjadi penentu kemajuan peradaban suatu masyarakat. Sebaliknya, ketika peran negatif menjadi pilihan, mereka pula yang menghancurkan suatu peradaban (Keller, 1984: 1). Dengan kata lain kaum elit bisa menjadi berkah dan anugrah bagi masyarakat dan bisa pula menjadi biang bencana bagi mereka sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah kejatuhan dan kemajuan bangsa-bangsa di dunia. Dengan demikian, kajian kisah elit dalam al-Qur’an akan memberi wawasan bagaimana dan sejauh mana peran kaum elit terhadap peradaban masyarakat, dan bagaimana pula alQur’an menyoroti perilaku mereka sehingga menyebabkannya layak menjadi pelajaran bagi umat manusia. Dari tiga status elite yang dominan dalam kisah al-Qur’an sebagaimana dijelaskan tadi, penelitian ini akan membahas pada salah satu term saja yaitu al-mala’. Ada beberapa alasan pengkhususan tersebut. Pertama, al-mala’ dipandang sangat relevan dengan problem sosial yang sering berulang dalam sejarah yaitu mengenai peran dan moralitas elite. Kedua, term itu muncul dalam konteks struktur sosial yang luas dalam kisah-kisah al-Qur’an. Terutama dalam kaitannya dengan misi reformasi para nabi dan rasul. Ketiga, term tersebut belum mendapatkan perhatian yang signifikan dalam kajian kisah al-Qur’an dibanding dengan kisah nabi dan rasul, dan kisah penguasa. Di samping itu semua secara lebih khusus dilihat dari
81
studi tafsir ada indikasi penyederhanaan atau simplikasi dalam memaknai al-mala’ oleh beberapa mufassir baik yang klasik maupun modern. Penelitian ini memfokuskan pada sebuah pertanyaan penelitian antropologis, yaitu: Bagaimana implikasi dari model perilaku masyarakat elite dalam alQur’an? Untuk menyelesaikan persoalan tersebut, peneliti menggunakan metode antropologi sastra (Endraswara, 2013: 34). Pada desain antropologi ini, dinisbatkan pada al-Qur’an sebagai kitab sastra, yaitu dilakukan dengan melihat aspek budaya manusia dan masyarakat pada teks al-Qur’an sebagai kelompok variabel yang berinteraksi yang kemudian memberikan gambaran cerminan kehidupan masyarakat pendukungnya. Data-data ayat-ayat alQur’an dikategorisasikan menjadi paparan data etnografi (Endraswara, 2013: 60). Pada tahap akhir dilakukan analisis isi (content analysis) untuk menemukan aneka ragam kehidupan manusia dari sisi pandang budayanya, dalam konteks penelitian ini adalah ragam masyarakat elite dan implikasinya pada tatanan kehidupan bermasyarakat. Hasil dan Pembahasan Pengertian dan Konsep Masyarakat Elite dalam Perspektif al-Qur’an Istilah ‘elite’ berasal dari bahasa Latin ‘eligere’ yang berarti memilih. Pada mulanya istilah itu berarti bagian yang menjadi pilihan atau bunga dari barangbarang yang ditawarkan untuk dijual. Makna ini menunjukkan bahwa penggunaan istilah ‘elite’ pertama kali adalah untuk merujuk objek-objek yang bernilai pilihan. Penggunaannya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
82
Muhamad Ali Mustofa Kamal
kemudian meluas tidak saja merujuk pada barang-barang berkualitas, tapi juga merujuk pada bagian yang menjadi pilihan atau bunga suatu bangsa, budaya, kelompok usia, dan orang-orang yang menduduki posisi sosial yang tinggi (Keller, 1984:33). Senada dengan penjelasan di atas, T.B. Bottomore menyebutkan asal usulnya secara lebih rinci. Menurutnya istilah ‘elite’ merujuk pada dua makna. Pertama, elite diartikan dengan barang-barang yang berkualitas tinggi, dan yang kedua elite diartikan dengan kelompok-kelompok sosial yang unggul. Makna yang pertama telah digunakan sejak abad ketujuh belas. Dan makna yang kedua merupakan perluasan makna yang pertama dan menjadi makna resmi yang tercatat dalam kamus- kamus bahasa. Awal penggunaannya dalam bahasa Inggris menurut Oxford English Dictionary adalah pada tahun 1823 ketika kata itu telah diterapkan untuk kelompok-kelompok sosial. Namun perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa istilah itu baru digunakan secara luas dalam tulisan-tulisan sosial dan politik pada akhir abad kesembilan belas di Eropa, atau pada tahun 1930-an di Inggris dan Amerika, ketika kata itu disebarkan melalui teori-teori sosiologi tentang elite, terutama dalam tulisan Vilfredo Pareto (Bottomore, 2006: 1). Berdasarkan informasi tersebut istilah ‘elite’ dalam konteks bahasa merujuk pada dua makna. Pertama, elite berarti barangbarang pilihan atau barang-barang yang berkualitas tinggi, dan kedua, elite berarti kelompok sosial yang unggul atau pilihan yang menempati posisi sosial yang tinggi. Penggunaan masing-masing makna tersebut dapat dibedakan dengan melihat jenis katanya dalam konteks HARMONI
Januari - April 2016
kalimat. Istilah ‘elite’ diartikan dengan makna pertama ketika ia merupakan kata sifat seperti dalam kata sekolah elite, perumahan elite, dan sebagainya. Sedangkan istilah ‘elite’ diartikan dengan makna kedua ketika ia merupakan kata benda. Kedua makna itu dan penggunaannya sama-sama lazim dalam komunikasi baik lisan maupun tulis, dan juga sama-sama tercatat dalam kamus. Maka tidak tepat apa yang dikatakan TB. Bottomore bahwa hanya makna yang kedualah yang kemudian tercatat dalam kamus. Makna elite yang berkaitan dengan studi ini adalah makna yang kedua, yaitu kelompok sosial yang unggul atau pilihan yang menempati posisi sosial. yang tinggi. Makna ini masih belum cukup memberi kejelasan mengenai sisi-sisi keunggulan dan posisi sosial yang dimaksud. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, ada beberapa catatan penting mengenai konsep elite. Pertama, elite merupakan bagian kecil atau minoritas dibanding keseluruhan anggota masyarakat. Artinya hanya sebagian kecil saja dari anggota masyarakat yang unggul atau menjadi pilihan dan menempati posisi sosial yang tinggi. Kedua, keunggulan elite dapat dipilah dalam tiga hal, yaitu unggul dalam kualitas pribadi, atau dalam posisi sosial, dan atau dalam prestise. Masing-masing sisi keunggulan tersebut bisa dipilah lagi menjadi dua, yaitu ada yang bedasarkan keturunan atau warisan dan ada pula yang berdasarkan capaian atau upaya pribadi. Ketiga, terlepas dari pertimbangan bentuk-bentuk atau macam-macam keunggulan di atas, keunggulan elite juga dapat ditandai dalam tiga sisi, yakni sisi ekonomi atau kekayaan, sisi politis atau kekuasaan,
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
dan sisi ilmu pengetahuan atau intelektual. Jadi ada elite ekonomi yaitu orang-orang terkaya, ada elite politik yaitu orang-orang yang paling berkuasa, dan ada elite intelektual yaitu orangorang yang paling terdidik. Keempat, keunggulan-keunggulan tadi bersifat relatif sesuai pandangan masyarakat tertentu. Artinya keunggulan itu bisa jadi tidak dianggap suatu keunggulan berdasarkan sudut pandang masyarakat atau pihak lain. Ini menjadi indikasi bahwa konseptualisasi yang diusung bahasa merupakan perekaman dari konvensi-konvensi sosial atau masyarakat terhadap suatu istilah yang memungkinkan relatifitas makna sesuai konteks tertentu dan juga memungkinkan perbedaan-perbedaan dengan pihak lain yang memiliki konteks tertentu pula. Pada gilirannya konseptualisasi tersebut akan bersifat umum dan lebih merupakan penjelasan mengenai apa yang terjadi, bukan mengenai apa yang seharusnya. Konsep elite dalam konteks bahasa, seperti penjelasan di atas, lebih fokus pada kualifikasi elite dan implikasinya. Ia memberi kesan bahwa ketika beberapa individu mencapai kualifikasi unggul baik secara bawaan maupun capaian, dan baik secara ekonomi, politik, dan intelektual, maka mereka akan mencapi posisi sosial yang tinggi dan mendapatkan prestise atau penghormatan dari masyarakatnya. Jadi dengan merujuk konsepsi bahasa, pengertian elite dapat disimpulkan sebagai berikut: bagian kecil dari suatu masyarakat yang memiliki atau dianggap memiliki kualifikasi berkualitas atau unggul, baik secara bawaan maupun capaian, dan baik secara ekonomi, politik, maupun intelektual, yang menyebabkan mereka
83
meraih posisi dan prestise yang tinggi dalam masyarakat tersebut. Timbulnya fenomena elite dapat diterangkan dengan dua teori, yaitu teori stratifikasi sosial dan teori struktur sosial. Keduanya merupakan prinsip universal yang berlaku dalam konteks kehidupan sosial di mana pun dan kapan pun. Yang pertama dicetuskan oleh Pareto bahwa fenomena elite merupakan implikasi dari ketidaksetaraan kualitas individu dalam setiap lingkup kehidupan sosial. Setiap manusia memiliki perbedaan kadar kemampuan yang menentukan fungsinya dalam kehidupan sosial. Orang-orang yang memiliki kemampuan tertinggi di bidangnya itulah yang disebut elite. Berdasarkan ini dan dalam rangka keseimbangan sosial menurut Pareto masyarakat dapat dibagi dua lapisan: 1) lapisan nonelite atau masyarakat umum, dan 2) lapisan elite, yang dibagi menjadi dua lagi: a) elite yang memerintah; b) elite yang tidak memerintah (Bottomore, 2006 :2-3). Adapun yang kedua yaitu teori struktur sosial dicetuskan oleh Gaetano Mosca bahwa dalam semua masyarakat, dari yang paling terbelakang hingga yang paling maju, selalu muncul dua kelas manusia yaitu kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, atau yang memimpin dan yang dipimpin. Pihak yang memimpin atau berkuasa jumlahnya selalu lebih sedikit, menjalankan fungsi politik, dan menikmati keistimewaan-keistimewaan yang diberikan oleh kekuasaan. Sedangkan pihak yang dipimpin jumlahnya lebih banyak, diperintah dan dikendalikan oleh pihak yang pertama. Pihak yang pertama mencapai kekuasaan disebabkan mereka Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
84
Muhamad Ali Mustofa Kamal
terorganisir dan terdiri dari individuindividu yang unggul yang biasanya memiliki atribut yang nyata yang sangat dihargai dan berpengaruh dalam masyarakat di mana mereka hidup (Bottomore, 2006: 4-5). Dengan demikian, skema konseptual Pareto dan Mosca mencakup gagasan umum berikut: 1) dalam setiap masyarakat ada, dan harus ada, suatu minoritas yang menguasai anggota masyarakat yang lain; 2) minoritas ini terdiri dari orang- orang yang menduduki jabatan-jabatan komando politik dan mereka yang secara langsung mempengaruhi keputusankeputusan politik. Dalam al-Qur’an, konteks masyarakat elite termaktub dalam derivasi kata al-mala’ )ْ (المالyang disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak tiga puluh kali dan tersebar dalam dua belas surat. Kata al-mala’ diungkapkan al-Qur’an dalam bentuk ma’rifat dan nakirah. Yang ma’rifah terbagi dua, 21 kali diungkapkan dengan memakai alif la>m )ْ (المالdan 8 kali dengan id}a>fah kepada d}ami>r atau kata ganti ) ملئهم, ملئه, (مأله. Adapun dalam bentuk nakirah )ْ(مال hanya diungkapkan sekali saja. Kata almala’ juga disebutkan al-Qur’an dalam bentuk kata kerja baik bentuk mud}a>ri‘ maupun ma>d}i> seperti ) إمتألت, ملئت, (ألمألن. Bentuk lain yang juga ditemukan adalah bentuk ism al-fa>‘il seperti ) (ملئونdan bentuk mas}dar seperti )(ملئ. Dari tiga puluh kali pengungkapannya, hanya sekali saja terdapat dalam surat madaniah, dan selebihnya terdapat dalam surat makiah. Surat madaniyah yang dimaksud adalah surat al-Baqarah ayat 246. Adapun kata al-mala’ dalam surat-surat makiyah adalah sebagai berikut: QS. Al-A‘ra>f (7): 60, 66, 75, 88, 90, 103, 109,127; QS. Hu>d (11): 27, 38, 97; QS. HARMONI
Januari - April 2016
Yu>suf (12): 43; QS. Al-Mu’minu>n (23): 24, 33, 46; QS. Al-Syu‘ara>’ (26): 34; QS. AlNaml (27): 29,32, 38; QS. Al-Qas}as} (28): 20, 32, 38; QS. Al-S}a>ffa>t (37): 8; QS. S}a>d (38): 6, 69; QS. Al-Zukhru>f (43): 46. Fakta ini menunjukkan bahwa pembicaraan alQur’an tentang al-mala’ hampir semuanya diungkapkan pada periode Makkah dan hanya sekali saja diungkapkan pada periode Madinah. Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa keterikatan pembicaraan tentang al-mala’ dalam kisah al-Qur’an dengan konteks historis kenabian Rasulullah SAW di Makkah lebih dominan dari pada pembicaraannya dalam konteks historis kenabian di Madinah. Atau dengan kata lain kontak umat Islam dengan kelompok al-mala’ lebih intensif terjadi di Makkah dari pada di Madinah. Term al-mala’ relatif disepakati ulama dalam pemaknaannya. Term itu diartikan dengan ‘para pemimpin dan tokoh dalam suatu masyarakat’. Perbedaan mengemuka dalam menentukan asal-usul atau akar kata dari term tersebut, dan dalam menentukan korelasi makna antara akar kata dan makna yang disepakati tadi. Namun, pada gilirannya justru perbedaan itu memperkaya dan memperjelas pemahaman terhadap konsep term tersebut. Ada dua pendapat mengenai kata dasar al-mala’. Pendapat pertama mengatakan bahwa istilah al-mala’ berasal dari kata dasar mala’a yang makna dasarnya menurut Ibnu Fa>ris menunjukkan makna ‘kesetaraan dan kesempurnaan’ (al-musa>wah wa al-kama>l) (Ibnu Faris, 1979: 346). Kata dasar mala’a berarti ‘memenuhi’. Dalam memahami kaitan antara makna ‘memenuhi’ dengan makna dasar ‘kesetaraan dan kesempurnaan’ yang diungkapkan oleh
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
Ibnu Fa>ris tadi dapat ditelusuri dalam penggunaanya. Dalam Asa>s al-Bala>gah Al-Zamakhsyari> memberi contoh dengan kalimat mala’tu al-wi‘a>’ wa (saya memenuhi sebuah wadah) (Zamakhsyari, 1998: 223). Artinya materi yang dimasukkan pada wadah itu sudah dalam posisi setara dengan kapasitas maksimal atau sempurna dari wadah tersebut. Makna ini menuntut terwujudnya dua hal, yaitu materi yang memenuhi dan media yang dipenuhi. Jika materinya berupa air dan medianya adalah gelas, maka makna ‘memenuhi’ baru bisa diterapkan ketika air setara dengan batas maksimal daya tampung gelas. Pada saat itu baik gelas sebagai media maupun air sebagai materi berada dalam kadar atau kapasitas sempurna. Kata al-Mala’ yang bersanding dengan konteks kubara’ )(كبراء, sebagaimana disebutkan pada sejumlah ayat al-Qur’an, seperti firman Allah pada surat Saba’ ayat 31-33:
Artinya: 31. dan orang-orang kafir berkata: "Kami sekali-kali tidak akan
85
beriman kepada Al Quran ini dan tidak (pula) kepada kitab yang sebelumnya". dan (alangkah hebatnya) kalau kamu Lihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebahagian dari mereka menghadap kan Perkataan kepada sebagian yang lain; orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Kalau tidaklah karena kamu tentulah Kami menjadi orang-orang yang beriman". 32. orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah: "Kamikah yang telah menghalangi kamu dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepadamu? (Tidak), sebenarnya kamu sendirilah orang-orang yang berdosa". 33. dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "(Tidak) sebenarnya tipu daya(mu) di waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kamu menyeru Kami supaya Kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya". kedua belah pihak menyatakan penyesalan tatkala mereka melihat azab. dan Kami pasang belenggu di leher orang-orang yang kafir. mereka tidak dibalas melainkan dengan apa yang telah mereka kerjakan.( QS. Saba’: ayat 31-33). Penjelasan konteks kubara’ )(كبراء dan dhu’afa’ ) (ضعفاءini disinggung pada banyak ayat al-Qur’an lain, seperti QS. Al-A’raf ayat: 40, 75, 76, 88, 133; QS. Yunus ayat: 75, Ibrahim: 21, alMukminun ayat: 46, al-Ankabut ayat: 39, Ghafir ayat: 47, 48, 15, 38). Ayat-ayat diatas menggambarkan konteks elite sebagai seorang pemerintah atau pemimpin pada kaumnya. Konotasi Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
86
Muhamad Ali Mustofa Kamal
penggunaan Kubara’ disini lebih mengedepankan fenomana dhu’afa’ (kaum lemah) yang bisa dimaknai juga masyakarat kecil (wong cilik) sebagai relasi hubungan sosial kemasyarakatan. Munculnya komunitas elite pada suatu wilayah menunjukkan adanya komunitas lemah (wong cilik) pada komunitas tersebut. Al-Qur’an mengeskplorasi karakter Kubara’ ini dengan tipologi orang-orang yang materialistik, yang suka menyombongkan harta kekayaannya dan mengagungagungkan jabatan kekuasaan-nya yang sebagian menindas masyarakat lemah, pada persoalan theologis terjadi gesekan keimanan yang kebanyakan golongan yang masih ingkar pada ajaran Rasul. Pada dimensi yang lain, redaksi Kubara’ ini juga memiliki relasi makna dengan syaadzah ) (شاذةyang disebytkan oleh alQur’an dengan redaksi asyaddu )(أشد yang bermakna kuat. Sebagaimana pada ayat Fushilat ayat 15:
Artinya: 15. Adapun kaum 'Aad Maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: "Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?" dan Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) kami. (QS. Fushilat: 15).
HARMONI
Januari - April 2016
Orang-orang yang dimaksud dengan konteks “man asyaddu” adalah yang menonjolkan materinya dan kekuatannya. Dalam persoalan dengan kepemimpinan/pemerintahan, “man asyaddu” ini adalah komunitas yang kapitalistik. Yang muka memamerkan dan menyombongkan (kubara’) harta dan sisi materialistiknya. Penyebutkan syaadzah di ayat lain, disinggung juga pada QS.Thoha ayat: 71, 127; Qof ayat: 36; Zukhruf ayat: 8, Ghofir ayat: 21, 46, 82. Konteks pemaknaan syaazah dan kubara’ pada ayat-ayat al-Qur’an menggambarkan fenomena sosiologis dan antropologis pada masyarakat yang mengindikasikan tipologi elite dan penguasa yang masih menjadikan kekuasaan dan harta pada ranah kapitalistik yang menumbuhkan celah pembatas dan konfilik horizontal antara elite dan penguasa. Namun perlu dicatat bahwasanya elite pada konteks kubara’ dan syaazah ini adalah seperti logam mata uang yang saling melengkapi dua sisinya. Kubara’ sebagai elite tinggi (borjuis) sedangkan syaazah sebagai elite kuat. Dalam al-Qur’an sendiri akar kata al-mala’ yang pertama ini yang digunakan, sebagaimana dalam alQur’an QS. Al-A’ra>f [7]: 18; QS. Hu>d [11]: 119; QS. Al-Sajdah [32]: 13; QS. S}a>d [38]:85; QS. Al-Kahf [18]: 18; QS. Al-Jinn [72]: 8. Semua penggunaanya menunjukkan keterkaitan dengan makna dasar ‘penuh’. Penggunaannya dalam alQur’an umumnya berkaitan dengan fisik dan terkadang berkaitan dengan jiwa. Al-mala’ yang dimaknai dengan ‘para pemimpin dan tokoh terkemuka dalam suatu masyarakat’ sangat erat dengan makna dasar ‘memenuhi’ atau ‘penuh’ dari kata itu, baik secara fisik maupun secara jiwa. Menurut al-Ra>zi> para
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
pemimpin dan tokoh masyarakat disebut al-mala’ karena secara fisik biasanya merekalah yang memenuhi bagian depan perhelatan-perhelatan (al-Razi, 1981: 156). Pendapat lain dikemukakan oleh Ibnu Manz}u>r dan al-Azhari>. Menurut keduanya mereka disebut al-mala’ karena para pemimpin merupakan orang-orang yang dipenuhi oleh hal-hal yang dibutuhkan orang lain. Pendapat yang mendekati dikemukakan oleh Ibnu Fa>ris yang berargumen bahwa mereka disebut al-mala’ karena mereka dipenuhi berbagai kemuliaan. Adapun dari sudut kejiwaan para pemimpin dan tokoh masyarakat disebut al-mala’ karena kharisma mereka memenuhi pandangan dan perasaan masyarakat umum sehingga mereka sering menjadi pusat perhatian dan menimbulkan rasa kagum dan hormat (al-Razi, 1981: 156-157). Pendapat yang kedua mengatakan bahwa al-mala’ berasal dari akar kata ma>la’a yuma>li’ ()مالء يملئ. Menurut Ibn ‘Asyur (1984: 190) akar kata tersebut bermakna yu‘a>win wa yuwa>fiq (saling menolong dan bersepakat). Jika dikatakan ma>la’a al-qaum, maka sama dengan ‘a>wana wa wa>faqa artinya suatu masyarakat saling tolong-menolong dan bersepakat. Para pemimpin dan tokoh masyarakat disebut al-mala’ karena mereka biasanya saling bahu membahu dan tolong menolong dalam pendapatnya sehingga mereka menyatu dalam pendapat dan tindakan (Shihab, 2002: 181). Ibnu Manz}u>r memberikan penekanan khusus dalam definisinya dengan menambahkan batasan ‘yang dirujuk pendapatnya’. Jadi al-mala’ adalah para pemimpin dan tokoh masyarakat yang pendapatnya menjadi rujukan. Makna ini senada dengan
87
pendapat al-As}faha>ni> (tt: 526) dan alMara>gi> (1946: 214). Menurut mereka almala’ adalah dewan musyawarah yang berkumpul untuk memutuskan suatu pendapat. Penekanan khusus ini menegaskan peran utama al-mala’ sebagai pihak-pihak yang memutuskan gerak laju peradaban suatu masyarakat melalui pendapat-pendapat mereka dalam forum-forum musyawarah. Pada umumnya kata al-mala’ dalam al-Qur’an merujuk pada manusia, hanya dua kali saja penyebutannya merujuk pada malaikat yaitu pada QS. [37]:8 dan QS.[38]: 69. Dan semua kata al-mala’ yang merujuk kepada manusia berkaitan dengan kisah umat terdahulu selain pada surat S}a>d ayat 6 yang merujuk pada kafir mekah. Adapun kisah-kisah yang terkait dengan istilah al-mala’ adalah kisah nabi Nu>h as, Hu>d as, Sha>lih} as, Syu‘aib as, Yu>suf as, Mu>sa> as, Sulaima>n as, dan kisah seorang rasul38 dan seorang nabi yang tidak disebutkan namanya. Kata al-mala’ juga terkait dengan kisah penguasa yaitu T}a>lu>t, Fir‘au>n, seorang Raja di masa Yu>suf as, dan Ratu Saba’. Penggunaan term al-mala’ dalam alQur’an umumnya diikuti dengan preposisi min )(من. Yang dominan adalah redaksi min qaumih (dari sebagian kaumnya). Preposisi ini menurut al-Ra>zi> (1981:156) bermakna tab‘i>d (sebagian) yang mengindikasikan bahwa tokoh atau pemimpin selalu merupakan minoritas dari jumlah total anggota masyarakatnya. Dan ini merupakan hukum sosial universal yang juga ditemukan oleh para sosiolog maupun antropolog bahwa dalam masyarakat apapun, baik yang primitif maupun modern, selalu saja yang memiliki power adalah bagian kecil dari masyarakat tersebut (Bottomore, 2006 :4-5). Dengan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
88
Muhamad Ali Mustofa Kamal
demikian penggunaan preposisi tadi menjadi indikasi kuat bahwa di antara karakteristik golongan al-mala’ adalah mereka merupakan minoritas dalam konteks sosialnya. Titik temu atau kesamaan yang paling dekat antara kisah al-Qur’an dengan jenis kisah lainnya terletak pada unsur-unsurnya, yaitu, peristiwa (ah}da>s|), tokoh (syakhs}iyyah), dan dialog (h}iwa>r). Penyajian ketiga unsur ini disesuaikan dengan prinsip fokus terhadap tujuan, sehingga tidak detil dan bersifat global saja. Pada umumnya peristiwa-peristiwa dalam kisah al-Qur’an tidak menyebutkan unsur waktu dan tempat. Tokoh atau pelaku sejarahnya biasanya hanya disebutkan sebagian sifat-sifatnya saja. Dan unsur dialog sebagai ciri utamanya menggambarkan peristiwa dengan cara yang bisa mengungkap hal yang tersembunyi dan menghentak perasaan (Naqrah,1974: 348-349). Model dan Karakter Masyarakat Elite: Tinjauan Antropologi Penggunaan istilah al-mala’ dapat dibedakan ke dalam dua konteks utama. Konteks pertama dan yang paling dominan adalah konteks perdebatan antara golongan al-mala’ dengan para nabi dan rasul, dan konteks yang kedua adalah konteks musyawarah antara raja (al-Malik) dengan para pejabat dan tokoh masyarakatnya. Pemilahan dan pemahaman terhadap dua konteks itu sangat penting untuk mencapai pemaknaan yang komprehensip terhadap term al-mala’ dan untuk menghindari kesalahpahaman yang sering terjadi yaitu membatasi makna almala’ hanya pada barisan penentang para nabi dan rasul saja. Menurut HARMONI
Januari - April 2016
penelusuran penulis, karakterisitik almala’ dapat dikategorisasikan menjadi 3 hal: a) al-Mala’ yang menentang para Rasul Dalam konteks yang pertama alQur’an merekam dialog para nabi dan rasul dengan para tokoh dan pemimpin kaumnya. Ada dua model struktur sosial dalam konteks dialog tersebut. Struktur pertama terdiri dari rasul, al-mala’ (pemimpin dan tokoh), dan masyarakat umum. Model struktur ini tercermin dalam kisah Nu>h as, Hu>d as, S}a>lih} as dan Syu‘aib as. Term ini digunakan sebanyak 9 kali dalam konteks kisah keempat Nabi tersebut, yaitu 4 kali dalam kisah Nu>h} as, masing-masing 1 kali dalam kisah Hu>d as dan S}a>lih} as, dan 2 kali dalam kisah Syu‘aib as. Satu kali lagi tepatnya dalam surat al-Mu’minu>n diperdebatkan antara merujuk pada Hu>d as atau pada S}a>lih} as. Dalam model struktur ini al-mala’ merupakan pemuka dan pemimpin masyarakat yang menolak misi Nabi dan Rasul. Mereka memimpin kendali dalam penolakan misi tersebut. Dalam istilah Ibnu ‘Asyu>r mereka menjadi jubir yang mengatasnamakan kaumnya dalam menghadapi para nabi dan rasul (Ibnu Asyur, 1984: 190). Golongan al-mala’ dalam konteks ini lebih menyerupai konteks para tokoh dan pemimpin Mekah di masa Nabi SAW. Mereka adalah para tokoh dan pemimpin yang berkedudukan, kaya, cerdik pandai, dan terhormat. Karakteristik seperti itu tercermin dari persepsi mereka terhadap Nuh as dan pengikutnya (QS.[11]: 27). Karakteristik golongan al-mala’ sebagai orang kaya ditunjukkan pula oleh indikasi-indikasi lain dalam beberapa ayat. Di antaranya mereka merupakan orang-orang yang diberi keluasaan harta (QS.[23]: 33); mereka
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
tidak mau bergabung dengan orang miskin dan meminta agar nabi mereka mengusir orang-orang tersebut dari sisinya (QS.[11]: 29); dan mereka merendahkan orang-orang lemah (QS.[7]: 75). Karakteristik al-mala’ sebagai para pemimpin ditunjukkan oleh beberapa ayat bahwa mereka memiliki power dalam menghalang-halangi nabi dan para pengikutnya dan menakutnakuti serta mengancam mereka (QS.[7]: 86, 88). Indikasi lain bahwa al-mala’ adalah para pemimpin ditunjukkan oleh upaya-upaya mereka untuk mengarahkan dan mempengaruhi para pengikutnya agar tidak menjadi pengikut nabi atau rasul (QS.[23]: 24). Adapun karakteristik al-mala’ sebagai orang pandai bersiasat selain ditunjukkan oleh anggapan mereka dalam ayat di atas, juga ditunjukkan oleh kemampuan mereka mengaburkan dakwah nabi dengan pengertianpengertian lain yang menyesatkan. Kemampuan seperti itu tentu memerlukan kelihaian bermain logika dan analisa sosio-historis di masa itu. Di antaranya mereka menafsirkan dakwah Nabi Nu>h as sebagai upaya mencari popularitas dan kedudukan (QS.[23]: 24). Dalam ayat lain berkaitan dengan dakwah Syu‘aib as mereka mencoba mengkaburkannya dengan mengatakan bahwa dakwah tersebut akan membawa kerugian (QS.[7]: 90). Kerugian yang dimaksud mereka adalah kerugian berkurangnya harta karena mengikuti saran Syu‘aib as untuk meninggalkan kecurangan dalam aktifitas perekonomian. Sedangkan model struktur sosial yang kedua terdiri dari rangkaian: rasul atau nabi, penguasa, al-mala’, dan masyarakat. Dalam model kedua ini al-
89
mala’ berkolaborasi dengan penguasa dalam menolak misi nabi atau rasul. Keduanya bahu membahu dalam menekan rasul dan kaumnya sehingga misi yang dibawa terhambat dan tidak diterima oleh masyarakat. Model struktur kedua ini tercermin dalam kisah Musa as yang menghadapi Fir‘au>n dan al-mala’ sekaligus. Term al-mala’ dalam konteks ini merujuk pada para tokoh dan pejabat utama yang dekat dengan Fir‘au>n, seperti Ha>ma>n (QS.[40]: 36). Dengan kedudukan seperti itu tentu saja mereka mendapat fasilitas harta sehingga selain dapat dikategorikan sebagai orang-orang berkedudukan juga dapat dianggap sebagai orang-orang kaya. Kondisi demikian tersurat dalam pengaduan Musa as (QS.[10]: 88). Kedua model struktur sosial yang melatarbelakangi pengungkapan al-mala’ dalam al-Qur’an setidaknya memberikan gambaran bahwa ada dua model al-mala’ dalam konteks perdebatan dengan para nabi dan rasul. Model yang pertama yaitu al-mala’ yang independen dan dominan dalam aksi penolakannya terhadap misi rasul. Sedangkan model yang kedua yaitu al-mala’ yang disamping memanfaatkan kelebihan dirinya sendiri juga berkolaborasi dengan penguasa. Tentu menghadapi model yang kedua ini lebih berat kondisinya dibanding yang pertama. Dan mungkin inilah rahasia dominannya kisah Musa as dalam al-Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi Nabi SAW dalam mengemban misi dakwahnya dalam menghadapi kelompok tokoh dan pemimpin kafir Makkah. Penyebutan almala’ dalam kisah Nabi Musa as merupakan pengungkapan terbanyak dalam al-Qur’an yaitu sebanyak tiga belas kali. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
90
Muhamad Ali Mustofa Kamal
b) al-Mala’ yang tidak dakwah para Rasul
menentang
Konteks yang kedua dari pembicaraan al-Qur’an mengenai term al-mala’ dalam periode Makkah adalah konteks aktifitas musyawarah antara penguasa dengan para pejabat dan para pemuka masyarakat. Pembicaraan mengenai golongan al-mala’ dalam konteks ini berkaitan dengan kisah Sulaima>n as, Ratu Saba’, dan seorang Raja di masa Yu>suf as. Dalam konteks ini pembicaraan al-Qur’an lebih fokus pada peran golongan al-mala’ sebagai dewan musyarah yang diminta pendapatpendapatnya oleh penguasa. Al-Qur’an mengisahkan permintaan para penguasa itu dengan redaksi aftu>ni> ) (أفتونيyang artinya ‘terangkanlah kepadaku’. Redaksi itu disampaikan oleh seorang Raja di masa Yusuf as ketika meminta al-mala’ menta’wil mimpinya (QS.[11]: 43). Redaksi yang sama juga disampaikan oleh Ratu Balqis ketika meminta pendapat al-mala’ dalam menanggapi surat yang dilayangkan oleh Sulaima>n as (QS. [27]: 32). Cara yang senada juga dilakukan Sulaima>n as ketika meminta almala’ menghadirkan istana Ratu Saba’ sebelum kedatangannya (QS. [27]: 38). Pada umumnya para mufassir memaknai al-mala’ dalam konteks ini dengan para pemuka dan para tokoh. Makna ini terlalu umum dan tidak memberikan pembeda dengan al-mala’ dalam konteks struktur sosial yang pertama tadi. Konteks ini lebih dekat kepada kisah Fir’aun di mana al-mala’ berada di bawah kekuasaan penguasa. Dalam hal ini Ibnu Kas|i>r memberikan makna yang lebih spesifik dan jelas. Menurutnya al-mala’ dalam konteks Raja di masa Yusuf as adalah para dukun, pemuka, dan para HARMONI
Januari - April 2016
pejabat (Ibnu Kasir Vol XIII, 2000 :47). Dan dalam konteks Ratu Saba>’, dia memaknai al-mala’ dengan para pejabat, menteri, dan para pemuka (Ibnu Kasir Vol X,2000 :403). Yang menarik dalam konteks ini adalah pembicaraan alQur’an tentang golongan al-mala’ yang menghadirkan karakter berbeda dengan konteks pertama tadi. Tidak ada arogansi dan agresifitas pengingkaran kenabian. Jadi al-mala’ dalam konteks kedua ini adalah para pemimipin dan pemuka yang beriman, atau yang kafir dan kemudian beriman, dan atau yang belum dapat dipastikan keimanannya tapi mereka tidak memusuhi nabi dan rasul. Dengan demikian tidak tepat kalau dikatakan bahwa term al-mala’ dalam alQur’an digunakan hanya untuk merujuk para pemuka yang durhaka (Shihab vol.IX, 2002: 181). c) al-Mala’ yang berkarakter Munafik Karakter masyarakat elite munafik dikisahkan al-Qur’an dalam surat alBaqarah dari ayat 246 sampai ayat 252 berkaitan dengan krisis kepemimpinan dan kaderisasi. Penggunaan term al-mala’ dalam periode Madinah, seperti telah disebutkan sebelumnya, hanya sekali saja yaitu pada QS.[2]: 246; yang bercerita tentang permintaan pemuka Bani Israil terhadap nabinya agar dipilih seorang raja yang akan memimpin mereka dalam menghadapi penindasan Raja Jalu>t. Term al-Mala’ dalam konteks ini adalah pemuka-pemuka Bani Israil yang beriman yang telah mengalami degradasi keimanan. Al-mala’ berada dalam struktur sosial yang terdiri dari raja, nabi, al-mala’, dan Bani Israil. Keimanan mereka ditunjukkan oleh sikap mereka menyampaikan usulan kepada nabi dan kata-kata ‘di jalan Allah’ (fi> sabi>lilla>h) dalam usulan
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
tersebut. Sedangkan degradasi keimanan mereka ditunjukkan oleh pengingkaran sebagian besar dari mereka untuk ambil bagian dalam jihad yang mereka usulkan sendiri. Mereka juga menolak kepemimpinan T}a>lu>t yang merupakan wahyu melalui sang nabi dengan alasan kemiskinan dan bukan keturunan bangsawan(QS.[2]: 247). Tema pembicaraan tentang al-mala’ dalam ayat di atas fokus pada pembinaan dan kaderisasi kaum beriman untuk menghasilkan generasi unggul dalam mencapai kejayaan. Dan hal itu dikemukakan dalam konteks kepemimpinan yang kuat seperti yang dilakukan T}a>lu>t. Kepemimpinan T}a>lu>t dipilih sebagai contoh bukan tanpa makna. Ia dipilih karena kepemimpinannya dengan seizin Allah menjadi cikal bakal kejayaan Bani Israil di masa kerajaan Daud as dan Sulaiman as (Sayyid Qutb Juz I, 2004: 3-4). Daud as sendiri adalah salah satu lulusan kaderisasi T}a>lu>t yang perang tandingnya dengan Ja>lu>t menjadi legenda dunia sepanjang masa. Pembicaraan al-mala’ seperti itu jelas menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman pengikut Nabi SAW yang sedang meretas negara Madinah yang mulai dirongrong oleh gerakan kemunafikan. Kisah tadi mengingatkan bahwa keimanan tidak cukup menjadi garansi untuk mencapai kejayaan, tapi keimanan harus teruji dalam aksi nyata. Penjelasan lebih lanjut mengenai al-mala’ merujuk pada pemuka-pemuka masyarakat yang beriman tapi masih mengalami degradasi yang serius dari keimanannya. Pembicaraan (khitab) diarahkan kepada orang-orang beriman untuk meraih keimanan yang sejati dengan mengeliminasi degradasi-
91
degradasi yang akan menjadi hambatan dalam menggapai kejayaan. 3. Peranan Masyarakat Elite Di antara peran elite yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat adalah upaya mereka mempertahankan strata sosialnya. Mereka melakukan upaya-upaya dalam rangka mempertahankan hak-hak istimewanya. Ada dua upaya yang dilakukan elite untuk mencapai hal itu: pertama, mengendalikan ide atau kekuasaan ideologi; kedua, mengendalikan informasi dan menggunakan teknologi. Dua upaya ini bisa dilakukan secara damai, dan bisa pula secara paksa (Henslin, 2007: 188189). Melihat peran yang dimainkannya al-mala’ dikategorikan sebagai pengelola pemerintahan Mekah sehingga Khali>l ‘Abd al-Kari>m (1997: 131) dan Eltija>ni>‘ Abd al-Qadi>r (1995: 133) menyebutnya dengan h}uku>mah al-mala’ (pemerintahan al-mala’). Model pemerintahan ini adalah model pemerintahan yang dikenal dalam ilmu sosial dengan pemerintahan elite atau oligarki, yaitu model pemerintahan yang dikelola oleh para tokoh dan orangorang terkemuka dalam suatu masyarakat. Dalam konteks ini al-mala’ adalah kelompok minoritas yang menguasai simpul-simpul kekuasaan pada masyarakat Mekah karena harta, kehormatan, dan pengaruh mereka; mereka mempertahankan fungsi-fungsi politik agar selalu dalam genggamannya; dan mereka berupaya melanggengkan penguasaannya atas anggota masyarakat yang lain yang terdiri dari orang-orang miskin, para budak, kaum mawa>li>,dan orang-orang asing yang datang ke
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
92
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Mekah untuk tujuan beribadah atau berniaga. Kisah al-mala’ sebagaimana tercermin dalam pembahasan diatas sangat terkait erat dengan sosok nabi dan rasul. Semua pembicaraan al-Qur’an tentang mereka tidak terlepas dari konteks interaksi mereka dengan para nabi dan rasul. Setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan keterkaitan itu yaitu: pertama, misi para nabi dan rasul bersifat universal mencakup seluruh lapisan manusia tidak terkecuali al-mala’ sebagai kaum elite; dan kedua, kaum al-mala’ merupakan pihak yang menduduki posisi penting yang sangat berpengaruh terhadap tatanan masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Misi para nabi dan rasul merupakan ruh dan basis berlangsungnya kisah al-mala’, yaitu pada persoalan penegakan dakwah tauhid dan transformasi sosial. Al-Mala’ dalam konteks problematika sosial yang intens disoroti oleh al-Qur’an adalah berkaitan dengan dua hal, yaitu pertama adalah problem ekploitasi dan penindasan kaum elite terhadap masyarakat lemah. Persoalan ini dikisahkan dalam kisah Nuh as, Hud as, Salih as, Syu’aib as dan kisah Musa as. Adapun yang kedua adalah problem kecurangan dalam aktifitas perekonomian. Sedangkan ketiga adalah problem hegemoni kekuasaan. Problem pertama terdapat dalam kisah Nu>h} as (QS.[11]: 27-29), Hu>d as, S}alih} as (Qs.[7]: 74; QS.[4]:147), Syu‘aib as (QS.[7]: 85-90), dan kisah Mu>sa> as (QS.[7]: 105; QS.[2]: 49), problem yang kedua hanya diceritakan al-Qur’an dalam kisah Syu‘aib as, Sedangkan problem yang ketiga hanya dalam kisah Musa as dan perseteruannya dengan Fir’aun. Secara HARMONI
Januari - April 2016
garis besar cara-cara masyarakat elite dalam menolak dan menentang dakwah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mempropagandakan kerancuankerancuan untuk mempengaruhi ide atau pemikiran, dan yang mengarah pada pemaksaan. Sebab-sebab yang melatarbelakangi kaum elite menolak dakwah rasul diantaranya adalah sikap sombong,taklid pada ajaran leluhur, cinta kedudukan dan kekuasaan, kemewahan hidup dan kebodohan, pengaruh elite yang lain, mengingkari kebangkitan di hari kiamat, tidak menyukai nasihat. Pembicaraan al-Qur’an mengenai peran dan pengaruh al-mala’ sebagai kaum elite berbeda dengan model studi elite dalam ilmu sosial yang hanya fokus pada tataran kehidupan dunia saja. AlQur’an memberi penjelasan lebih dari itu dengan memberi informasi dan pemahaman kepada manusia bahwa peran dan pengaruh elite tidak saja sebatas di dunia ini, tapi juga menentukan nasib masyarakatnya di kehidupan akhirat kelak. a) Konteks Kehidupan Dunia Peranan al-mala’ atau elite dalam konteks dunia secara garis besar bisa dipilah lagi sesuai dengan tipe dan modelnya menjadi peranan negatif dan peranan positif. Peranan negatif diperankan oleh elite yang menentang dakwah rasul dan elite munafik. Elite kafir di dunia berperan dalam menimbulkan krisis-krisis atau problemproblem sosial seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Mereka mengeksploitasi dan menindas rakyatnya demi nafsu materi dan kekuasaan. Elite munafik tidak jauh berbeda dari mereka. Akibat pengakuan iman yang palsu mereka menjadi sebab
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
keterpurukan dan ketertindasan. Imannya tidak lagi efektif dalam mencerahkan peradaban mereka, seperti dalam kisah T}a>lu>t. Peran mereka yang lebih mengerikan dan membahayakan adalah perilaku-perilakunya telah mengundang azab Allah. Semua elite yang menentang dakwah rasul dibinasakan bersama peradaban yang dibangunnya tanpa meninggalkan sisa kecuali puing-puing kehancuran. Kontras dengan elite seperti itu, elite yang tidak menentang dakwah rasul telah memberikan peran yang positif bagi masyarakatnya. Kisah almala’ menunjukkan elite seperti itu telah menghadirkan kesejahteraan dan kemakmuran dengan tetap mampu mengontrol diri dengan bersyukur dan tunduk pada koridor-koridor Ilahi. Kemegahan kerajaan Sulaima>n as dan Ratu Saba’ menjadi bukti nyata dalam sejarah. b) Konteks kehidupan akhirat Peranan elite dalam pandangan alQur’an jauh melampaui kehidupan dunia. Kehancuran dan kebinasaan bukan akhir dari peranan mereka. Beberapa ayat menunjukkan di akhirat nanti akan terjadi pertentangan dan perdebatan (takhas}um) di antara penduduk neraka. Masyarakat lemah yang merasa tertipu oleh elite-elite mereka mengadu kepada Allah bahwa kesesatan mereka dikarenakan kungkungan elite-elite itu dan mereka meminta agar elite-elite tersebut diberi azab yang lebih berat. Di antaranya alQur’an mencatat berita demikian dalam QS.[33]: 67-68; Namun ayat lain menunjukkan bahwa kaum elite menolak dakwaan rakyatnya tersebut. Mereka berlepas diri dan merasa tidak pernah menyesatkan rakyatnya.
93
Menurut mereka rakyatnya sendiri yang memilih kesesatan (QS.[34]:31-33). Ini menegaskan bahwa Allah tidak akan menerima alasan apapun dari manusia yang merasa terpengaruh oleh orang lain dalam berbuat kesesatan. Allah telah menciptakan manusi suci dan berpotensi agar bisa memilih jalan hidayah. Sebaliknya, orang-orang yang beriman di akhirat nanti merasakan kebahagiaan karena aliansi mereka dengan sesama orang beriman di dunia (QS.[43]: 67-73). Melalui kisah al-mala’ al-Qur’an sangat intens menyoroti perilaku negatif elite. Kecenderungan perilaku mereka di sepanjang sejarah kenabian umumnya hampir sama. Semuanya berporos penindasan dan perilaku sewenangwenang terhadap masyarakat umum karena memperturutkan nafsu material dan kekuasaan. Pada gilirannya kebijakan-kebijakan mereka jauh dari orientasi pro rakyat, bahkan sebaliknya merugikan dan menyengsarakan mereka. Klimaksnya sikap demikian menyebabkan kehancuran peradaban dengan turunnya siksa Allah. Di sisi lain al-Qur’an menunjukkan sikap sebagian kecil elite yang berperilaku positif. Sikap mereka berbasis pada sikap syukur yang mendalam dan continue, serta sikap toleran meskipun berbeda keyakinan. Implikasi sikap demikian ternyata menghadirkan stabilitas dan kesejahteraan sosial yang luar biasa. Penjelasan al-Qur’an tersebut memberikan pelajaran berharga bagi orang-orang yang sedang berada dalam posisi elite agar menghindari sikap sombong dan berbuat semena-mena terhadap masyarakatnya dengan kembali meluruskan motivasi dan mengekang nafsu material dan kekuasaan yang tidak benar. Sebaliknya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
94
Muhamad Ali Mustofa Kamal
mereka harus mengambil sikap syukur dengan menyadari besarnya anugrah Allah kepada mereka dan mendayagunakan anugerah tersebut untuk kebaikan diri mereka dan masyarakatnya. Bagi para agamawan dan cendekiawan sudah seharusnya mereka mengambil peran kenabian dengan melakukan kontrol terhadap kaum elite dan berpihak kepada kaum lemah serta selalu memperjuangkan nasib mereka, sebagaimana telah dicontohkan para rasul. Menghindari kerjasama dan kompromi dengan penguasa dan elite-elite yang zalim. Penutup Sosok al-mala’ (masyarakat elite) dalam kisah al-Qur’an adalah orangorang yang memiliki keunggulan baik secara ekonomi, politis, intelektual, dan
sosial budaya. Ada tiga nilai inti yang merupakan pelajaran berharga dari hasil elaborasi antropologis terhadap kisah almala’ atau elite dalam kisah al-Qur’an. Kisah itu mengajarkan urgensi posisi elite dalam tatanan peradaban, menunjukkan kecenderungan umum dari mereka, dan pentingnya kaderisasi elite secara baik. Masyarakat Elite memiliki peran yang vital bagi kemajuan dan runtuhnya suatu peradaban. Tipologi mereka secara umum cenderung menzalimi masyarakat kecil. Oleh karena itu diperlukan kaderisasi elite yang berpijak pada basis nilai keimanan dan profesionalitas untuk menjamin hadirnya peran positif mereka dalam membangun peradaban. Kaderisasi elite ini dilakukan dengan menguatkan aspek akidah dan keimanan masyarakat elite tersebut pada content dan urgensi dakwah rasulullah.[ ]
Daftar Pustaka Al-Qur’an dan terjemahan-nya, dalam al-Qur’an in word.1.3 Abd al-Kari>m, Khali>l‘.Quraisy min al-Qabi>lah ila> al-Daulah al-Markaziyah. Beirut: Muassasah al-Intisya>r al-‘Arabi. Cet. II, 1997. Abd al-Qadi>r, Eltija>ni. Us}u>l al-Fikr al-Siya>si> fi> al-Qur’a>n al-Makki>. ‘Amma>n:Da>r al-Basyi>r. Cet. I. 1995. al-As}faha>ni. tt. Mu‘ja>m Mufrada>t AlFa>z} al-Qur’a>n. Beirut: Da>r al-Fikr. Bakker, Anton. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986. Djuned, Daniel. Antropologi Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga. 2011. al-Dujja>ni>, Za>hiyah. Ah}san al-Qas}as} baina I‘za>j a-Qur’a>n wa Tah}ri>f al-Taurah. Beirut: Da>r alTaqri>b bain al-Maz|a.hib al-Isla>miyyah, cet.III. 2001. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Antropologi Sastra. Yogyakarta: Ombak. 2013 Fathulla>h, Abd al-Satta>r. al-Madkhal ila> al-Tafsi>r al-Maud}u>`i>. Kairo: Da>r al-Tauzi>` wa al-Nasyr al-Islamiyyah. 1991. HARMONI
Januari - April 2016
95
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
Henslin, James M. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, ter. Kamanto Sunarto. Jakarta: Erlangga. 2007. Ibnu ‘A>syu>r, Muh}ammad T}a>hir. Tafs>r al-Tah}ri>r wa al-Tanwi>r. Tunisia: Al-Da>r al-Tu>nisiah li al-Nasyr. 1984. Ibnu Fa>ris. Mu’jam Maqa>yis al-Lugah., Beirut: Da>r al-Fikr. Juz V. 1979. Ibnu Kas}i>r, Muhammad bin Isma‘i>l. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m. Kairo: Muassasah Qurt}ubah. 2000. Ibnu Manz}u>r. Lisa>n al-‘Arab. Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif. Vol. VI. tt.. Keller, Suzanne. Penguasa dan Kelompok Elit: Peranan Elit-Penentu dalam Masyarakat Modern, terj. Zahara D. Noer. Jakarta: Rajawali. 1984. Ma’rifah, Muh}ammad Ha>di>. Syubuha>t wa Rudu>d H}aul al-Qur’a>n al-Kari>m. Qum: Muassasah al-Tamhi>d. Cet. IV. 2009. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. edisi iv. cet.2. 2000. al-Mara>gi>, Ah}mad Mus}t}afa>. Tafsi>r al-Mara>gi>. Mesir: Syirkah Mus}t}afa> al-Ba>bi> al-H}alabi. Juz II. 1946. Naqrah, Al-Taha>mi>. Si>ku>lu>jiyyah al-Qis}s}ah fi> al-Qur’a>n. Aljazair: Syirkah Tu>nisiah. 1974. Qut}b, Sayyid . Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Syuru>q. 2004.
al-Tas}wi>r al-Fanniy fi> al-Qur’a>n. Kairo: Da>r al-Syuru>q. 2004. al-Qat|t|a>n, Manna>’. Maba>his} fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: Maktabah Wahbah. 2000. al-Ra>zi>, Fakhruddi>n. Mafa>tih} al-Gaib. Beirut: Da>r al-Fikr. Juz XIV. Cet. I. 1981. al-Ru>mi>, Fahd bin ‘Abd al-Rah|ma>n. Dira>sa>t fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riyad: Maktabah al-Malik al-Fahd. 2004. Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishba>h. Jakarta: Lentera Hati. 2002. Sugono, Dendy dkk. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008. Surakhmad, Winarno. Pengantar Metode Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito. 1982. Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Nawesea Press. 2009. al-Sya‘ra>wi>, Mutawa>li>. Qas}as} al-Anbiya>’. tk.: Da>r al-Quds. cet.I. 2006. T.B. Bottomore. Elite dan Masyarakat, Terj. Abdul Harris dan Sayid Umar. Jakarta: Akbar Tanjung Institute. 2006. The Grolier Encyclopedia of Knowledge. Vol. VII. Amerika: Grolier Incorporated. artikel ‘elite’. tt. al-Zamakhsyari>. Asa>s al-Bala>gah. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Juz II. Cet. I. 1998.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
96
Muh. Dahlan & Mustolehudin
Penelitian
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang) Muh. Dahlan Balai Litbang Agama Makassar Jl. A.P. Peta Rani No. 72 Makassar Email :
[email protected] Mustolehudin Balai Litbang Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav 69 – 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang Telepon 024-7601327 Faks. 024-7611386 Email :
[email protected]
Diterima redaksi tanggal 14 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
The new regulations on marriage cost as mandated by Government Regulation No. 48 of 2014 explaines that the service charge of marriage at the KUA is zero rupiah, and 600,000 rupiahs if the marriage is conducted outside the office. However, the practice is different in different regions. This study was conducted to determine the implementation of the regulation. Beside that, this study was held to find out the response of the Muslim leaders and people, as well as the constraints faced by the officers and the public. By using qualitative methods, this research builds three main findings. Firstly, the regulation has largely been done by the Ministry of Religious Affairs of the Konawe and the city of Semarang and the Minstry of Religious in Regency or City. Secondly, KUA officials with this PP should feel duties and functions, as has been set out clearly the cost of marriage at KUA and outside the office of Rp600,000. And thirdly, the factors that limit the implementation of this regulation is the community itself. They put more trust to the Imam in their hometown in Konawe and modin in Semarang in administering their marriage cost. As a result, the service charge of marriage becomes more expensive because there have to pay additional charges beyond a predetermined fee.
Peraturan baru tentang biaya nikah sebagaimana amanat PP No 48 Tahun 2014 dijelaskan bahwa biaya layanan nikah di KUA adalah nol rupiah dan diluar kantor Rp600.000. Namun demikian praktik di masyarakat biaya nikah di berbagai daerah terjadi variasi yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi PP tersebut. Selain itu, untuk mengetahui respon penghulu dan masyarakat, serta kendala-kendala seperti apa yang terjadi pada petugas dan masyarakat. Dengan menggunakan metode kualitatif, dalam penelitian ini diperoleh tiga temuan utama. Pertama, PP tersebut secara umum sudah dilaksanakan oleh Kementerian Agama di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang, dan Kementerian Agama Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia dengan kendala yang berbeda-beda. Kedua, petugas KUA dengan adanya PP ini justru merasa tugas pokok dan fungsinya semakin jelas, karena telah diatur biaya nikah di KUA nol rupiah, dan diluar kantor Rp600.000. Ketiga, kendala penerapan PP ini adalah masyarakat itu sendiri yang lebih mempercayakan kepada imam kampung istilah di Kabupaten Konawe dan modin di Kota Semarang untuk mengurus keperluan administrasi biaya nikah, sehingga biaya layanan nikah menjadi lebih banyak karena ada pungutan diluar biaya yang telah ditentukan.
Keywords: Cost of Marriage, PP No 48 of 2014, Imam Kampung, Modin.
Kata kunci : Biaya Nikah, PP No 48 tahun 2014, Imam Kampung, Modin.
HARMONI
Januari - April 2016
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
Pendahuluan Perkawinan adalah lembaga yang mulia dan mempunyai kedudukan yang terhormat dalam hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Rahman, 2006 : 1). Perkawinan berdasarkan UU perkawinan No 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. KUA sebagai ujung tombak Kementerian Agama memiliki peran strategis dalam pelayanan pernikahan bagi masyarakat. Layanan nikah di KUA pasca ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 tahun 2014, belum optimal dalam pelaksanaannya. Dalam rilis berita harian Republika disebutkan bahwa pasca diberlakukannya PP tersebut, di KUA Kota Tasikmalaya terjadi praktik pungutan liar. Hal ini menimpa pasangan X (30 tahun) dan Y (25 tahun) yang melangsungkan akad nikah di kantor KUA dipungut biaya Rp 500.000. Padahal menurut PP tersebut jika melangsungkan akad nikah di kantor adalah gratis (Republika, 26 Agustus 2014). Biaya nikah seperti diatur dalam PP Nomor 48 tahun 2014 pasal 6 ayat (1) tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk. Kemudian dalam ayat (2) disebutkan dalam hal nikah atau rujuk dilaksanakan diluar KUA Kecamatan dikenakan biaya transportasi dan jasa profesi sebagai penerimaan dari KUA Kecamatan. Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan bahwa biaya nikah atau rujuk bagi warga negara yang tidak mampu secara ekonomi dan atau korban bencana yang melaksanakan di luar KUA Kecamatan tidak dikenakan biaya atau tarif Rp 0,00 (nol rupiah). (PP 48 Tahun 2014).
97
Peraturan ini lahir pasca terjadinya kasus dugaan gratifikasi yang dilakukan oknum penghulu KUA di Kediri. Sebagaimana diberitakan dalam Liputan 6 yang ditulis (Panggabean, 2013), kasus pemberian gratifikasi pernikahan berawal dari dari kasus pidana yang dialami Kepala Kantor KUA Kota Kediri, Romli, karena diduga melakukan pungutan liar atau menerima gratifikasi senilai Rp 195 ribu di luar ketentuan sebesar Rp 30 ribu. Pemberian berupa apapun oleh masyarakat kepada Pegawai Pemerintah dinilai sebagai gratifikasi. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Berbagai kasus tentang layanan nikah sempat mencuat ke permukaan seperti kasus KUA di Kediri yang akhirnya Romli sebagai penghulu di KUA tersebut ditetapkan sebagai tersangka (Segara dan Fakhrudin, 2014). Penelitian ini secara khusus mengungkap layanan nikah di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara dan Kota Semarang, Jawa Tengah. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini menjadi penting dilakukan untuk mengetahui implementasi PP Nomor 48 Tahun 2014 yang telah diberlakukan sejak bulan Juli 2014. Fokus masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bagaimana implementasi PP Nomor 48 Tahun 2014; 2) Bagaimana respon penghulu dan masyarakat dengan penerapan PP tersebut; dan 3) faktorfaktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan PP Nomor 48 Tahun 2014. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
98
Muh. Dahlan & Mustolehudin
Kerangka Konseptual Studi tentang layanan nikah, telah dilakukan peneliti terdahulu. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Kustini dan Wahidah. Penelitian yang dilakukan di daerah perbatasan tepatnya di Kabupaten Nunukan terdapat beberapa problem. Beberapa problem yang muncul diantaranya adalah prosedur administrasi kependudukan, keterbatasan infrastruktur dan supra struktur pelayanan, hingga tuntutan menjaga pelaksanaan nilai-nilai agama (syariat Islam). (Kustini dan Wahidah, 2015 : 85). Sementara itu, penelitian yang dilakukan (Mujahidah, 2015 : i) di Kecamatan Pinang menjelaskan bahwa P3N merupakan mitra kerja dari KUA. Namun setelah PMA Nomor 24 Tahun 2014, sebagian P3N ada yang merespon positif dan sebagian yang lain merespon negatif. Pemberlakuan PP 48 Tahun 2014 oleh masyarakat Ngawi yang diteliti (Yulistyowati, 2015) diperoleh temuan bahwa masyarakat menilai melaksanakan akad nikah di KUA sangatlah simple, dan apabila akad nikah dilaksanakan di rumah cukup mahal, 3) masyarakat juga mendapatkan kepastian soal tarif nikah sehingga tidak ada yang dirugikan karena terbuka dan transparan. Selaras dengan problematika layanan nikah oleh KUA pasca diberlakukannya PP tersebut, Kementerian Agama RI sebagai salah satu pelayan bagi masyarakat, perlu meningkatkan layanan nikah yang dilakukan oleh KUA kepada publik. Pelayanan kepada publik sebagaimana diatur oleh Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 tahun 2003 disebutkan bahwa pelayanan publik adalah : Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan HARMONI
Januari - April 2016
Badan Usaha Milik Daerah, dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengertian di atas tentu saja terkait dengan fungsi pemerintah dalam pelayanan publik yaitu enviromental service (pelayanan lingkungan), development service (pelayanan pengembangan), dan protective service (perlindungan). Betapa luasnya bentuk pelayanan publik ini, maka pemerintah tidak hanya melayani umat dalam kegiatan atau aktivitas keagamaan saja, melainkan juga mencakup hal-hal lingkungan, pengembangan, hingga perlindungan. Dalam UU No. 25 tahun 2009 pasal 4 dijelaskan bahwa asas pelayanan publik adalah kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, ketepatan waktu, dan kecepatan, kemudahan dan keterjangkauan. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 yang mengatur tentang biaya nikah sesungguhnya untuk memudahkan adminitrasi bagi masyarakat secara luas. Dalam pandangan teori pelayanan Fitsimmons, setidaknya terdapat lima indikator pelayanan yaitu: a) Realibility; yakni pemberian pelayanan tepat sasaran; b) Tangibles; adalah kualitas sumber daya manusia dan sumber daya lainnya yang memadai; c) Responsivness; yakni pelayanan secara cepat; d) Assurance; yakni perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan, dan e) Empathy; adalah kemauan untuk memahami dan mengerti keinginan dan kebutuhan konsumen. Kemudian dalam perspektif teori implementasi kebijakan, sebagaimana
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
dikemukakan Weimer dan Vining (1999:396; Subarsono, 2005:103-104) ada tiga hal yang memengaruhi keberhasilan implementasi suatu program, yaitu: 1) logika kebijakan; 2) lingkungan tempat kebijakan dioperasikan, dan 3). kemampuan implementator kebijakan. Keluarnya PP No. 48 tahun 2014 ini menjadi kontekstual karena calon pengantin dapat melakukan pernikahan tanpa biaya (nol rupiah) jika dilakukan di KUA dan boleh dilakukan di rumah atau di luar kantor KUA dengan syarat membayar Rp. 600.000. Sementara keluarga yang tidak mampu secara ekonomi (dengan pembuktian dari Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan) itu boleh melakukan pernikahan dimana saja tanpa biaya (pasal 19 ayat 1 PMA No. 24 tahun 2014). Ruang yang disediakan peraturan ini cukup lentur dan bisa menampung aspek kultural dari peristiwa pernikahan. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan peneliti terdahulu dan teori di atas, penelitian ini ingin mengetahui implementasi PP No. 48 Tahun 2014 di wilayah luar Jawa tepatnya di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara dan Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah.
Metode Penelitian Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan kajian pustaka. Observasi dilakukan terhadap kondisi KUA lokus penelitian dan aktivitas praktik pencatatan perkawinan. Wawancara dilakukan dengan sejumlah key informan yaitu para petugas KUA, penghulu, P3N/modin/imam kampung, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Sedangkan kajian pustaka dilakukan untuk penggalian informasi yang dilakukan terhadap beberapa peraturan pemerintah, peraturan menteri Agama (PMA), sejumlah buku, laporan hasil
99
penelitian, dan dokumen yang relevan dan terkait dengan tema penelitian. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Konawe dengan mengambil 4 sampel KUA Kecamatan, dan Kota Semarang dengan 3 sampel KUA Kecamatan.
Hasil dan Pembahasan Setting Sosial Keagamaan Kabupaten Konawe dan Kota Semarang Kabupaten Konawe merupakan kabupaten terbesar di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan jumlah kecamatan sebanyak 24. Sebelum menjadi kabupaten, kabupaten ini awalnya merupakan pusat kerajaan Konawe yang luasnya meliputi sebagian besar daerah Sulawesi Tenggara saat ini. Kabupaten Konawe sejak tahun 2000 sudah mengalami pemekaran selama dua kali. Satunya melahirkan Kabupaten Konawe Selatan dengan ibu kota bernama Andoloo. Penduduk Konawe mayoritas beragama Islam. Suku Tolaki yang menjadi suku asli orang Konawe biasanya identik sebagai orang Islam. Suku asli lain yang identik dengan Islam adalah Buton dan Mekongga. Sedangkan suku yang identik dengan Kristen adalah suku Mornene yang ada di Kabupaten Bombana. Kondisi sosial keagamaan Kabupaten Konawe tentu berbeda dengan masyarakat Kota Semarang. Secara sosiologis Kota Semarang merupakan kota industri. Keberadaan industri tersebut secara geografis mempengaruhi pola pikir kehidupan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan masyarakat. Kawasan industri di Kota Semarang berada di daerah kawasan industri Terboyo, kawasan industri Pedurungan, kawasan industri Candi Gatot Subroto Krapyak, kawasan industri Tambakaji, kawasan industri Wijayakusuma Tugu, kawasan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
100
Muh. Dahlan & Mustolehudin
industri Bukit Semarang Baru, lingkungan industry kecil Bugangan Baru, dan kawasan industri Sinar Centra Cipta. (Disperindag Kota Semarang, 2014). Sebagian besar penduduk Kota Semarang adalah pemeluk agama Islam. Jumlah penduduk yang memeluk agama Islam adalah 1312.564 jiwa. Secara administratif, Kota Semarang terdiri dari 16 Kecamatan. (BPS Kota Semarang 2014). Terkait dengan sumber daya manusia yang dimiliki Kementerian Agama Kota Semarang terutama di KUA yang memiliki tugas pokok dan fungsi melayani masyarakat dalam bidang perkawinan berjumlah 33 orang. Dari jumlah 33 orang pegawai tersebut, 16 orang merupakan kepala KUA dan 17 orang adalah pegawai dengan jabatan fungsional penghulu yang bertugas melayani masyarakat dalam melaksanakan pernikahan.
Implementasi PP Nomor 48 Tahun 2014 Suatu peraturan tidak akan dapat terlaksana dengan baik tanpa adanya sosialisasi. Demikian pula dengan keluarnya PP No 48 Tahun 2014 yang mengatur tentang biaya nikah. Di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang, sosialisasi dilakukan dari tingkat pusat Kementerian Agama RI sampai tingkat bawah KUA yang bekerjasama dengan dinas lain seperti Pemerintah Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia. Di Kabupaten Konawe, sosialisasi dapat berjalan dengan baik. Hal ini sebagaimana penjelasan Kepala KUA Pondidaha berikut ini: Saya ingat puasa atau setelah puasa kayaknya waktu itu, ada pertemuan pak kandep di Jakarta. Dia menelpon untuk menunda dulu biaya nikah karena ada perubahan peraturan biaya nikah. Setelah itu, ada pertemuan di kemenag. HARMONI
Januari - April 2016
Saya setelah itu membuat surat ke kepala desa melanjutkan peraturan itu kepada mereka. Biasanya juga, kalau ada pertemuan, termasuk di pesta nikah saya biasa sosialisasikan lagi kepada masyarakat. Jadi, menurut saya informasi ini sudah tersebar luas kepada masyarakat dan masyarakat sudah paham adanya perubahan peraturan biaya nikah. Selain oleh KUA sendiri, di Kabupaten Konawe sosialisasi juga dilakukan dengan bantuan imam-imam kampung di kabupaten tersebut. Untuk Kota Semarang, sosialisasi dilakukan oleh Kementerian Agama Kota bekerja sama dengan Walikota Semarang yang selanjutnya PP tersebut disosialisasikan sampai tingkat RT RW. Hal ini sebagaimana keterangan Sugiyono ketua RT 09 RW 1 Tambakaji Ngaliyan Semarang pada rapat RT bulan Juni 2014 berikut ini: Bapak-bapak warga RT 09 pada tanggal 3 Juni 2014 yang lalu, dalam rapat RW dirumah bapak Sarno ada sosialisasi tentang biaya nikah gratis jika dilakukan di KUA dan membayar 600.000 jika nikah diluar kantor. Monggo bagi warga yang akan berencana menikahkan anaknya dapat membaca PP No 48 2014 yang sudah ditempel dimading RT. (wawancara, 2014) Selanjutnya terkait dengan penerapan PP tersebut, secara umum di Kabupaten Konawe sudah berjalan dengan baik meskipun belum optimal dalam pelaksanaannya. Penerapan PP tentang biaya nikah di Kementerian Agama Kabupaten Konawe dan Kota Semarang berdasarkan UU No. 25 tahun 2009, pelayanan publik sesungguhnya ditujukan untuk melakukan pelayanan kepada semua lapisan masyarakat. Masyarakat terkait dengan layanan nikah berhak mendapat layanan administrasi, kepastian hukum dan layanan-layanan lainnya yang mempermudah masyarakat dan aparatur pemerintah dalam hal ini KUA.
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
Berikut ini adalah data peristiwa nikah dari Pembimas Kementerian Agama Kabupaten Konawe bulan Januari 2015:
101
menikah. Setidaknya terdapat beberapa faktor belum optimalnya pelaksanaan PP ini ditingkat masyarakat paling bawah (grassroot).
Tabel 1 Nikah di KUA dan Nikah diluar kantor No
KUA
Nikah di Kantor
1
Unaha
2
Nikah di Luar Kantor 9
Tidak Mampu
2
Abuki
4
1
3 4
Lambuya Wawotobi
2 13
13 11
5
Pondidaha
5
2
7
6
Sampara
2
9
11
7
Soropia
3
7
10
8
Wawoni Barat
-
3
3
11 5 1
16 24
9
Waworete
-
8
8
10
Anggaberi
1
5
6
11
Bondoala
6
5
11
12
Latoma
13
Tongauna
12
4
16
14
Wonggeduku
7
7
14
15
Uepai
5
6
11
16
Wawoni Tengah
1
1
2
17
Wawoni Utara
4
4
18
Wawoni Selatan
1
2
19
Puriala
3
3
20
Besulutu
2
1
3
21
Meluhu
3
22
Amonggedo
23
Routa Jumlah
1
3 2
2 0
69
Sumber : Database Kemenag Konawe 2015. Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa secara umum pelaksanaan PP No 48 Tahun 2014 di Kabupaten Konawe telah dilakukan. Namun demikian pelaksanaan tersebut belum sepenuhnya optimal. Meskipun telah diatur oleh pemerintah tentang besaran biaya nikah, pungutan di luar biaya tersebut masih terjadi. Hal ini disebabkan kuatnya peran imam kampung dalam pengurusan calon pengantin yang akan
102
1
172
Menurut Fitsimmons praktik pungutan diluar biaya nikah terjadi karena belum adanya kemauan untuk memahami dan mengerti keinginan dan kebutuhan konsumen. Konsumen atau masyarakat belum sepenuhnya dapat melepaskan diri dari kepentingan peran imam kampung atau modin ketika mempunyai rencana untuk menikahkan anggota keluarganya. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
102
Muh. Dahlan & Mustolehudin
Pertama: persepsi masyarakat tentang pelaksanaan belum sepenuhnya berubah. Kedua, peran para imam desa ini tidak terlepas dari adanya peraturan desa (Perdes) yang mewajibkan catin membayar sejumlah dana tertentu. Besarannya antara Rp. 500.000- 600.000. Jumlah uang ini ‘disatukan’ dengan biaya nikah yang diatur dalam PP No. 48 Tahun 2014. Sehingga untuk lebih efektif, masyarakat lebih cenderung membayar semuanya ke para imam desa, atau orang yang dipercayakan pihak desa untuk mengurus administrasi pernikahan. Ketiga, secara psikologis, orang yang akan menikah biasanya lebih ingin praktis dan tidak ingin dipersulit untuk urusan bank. Mereka tidak ingin repot-repot antri di bank. Oleh karena itu, mereka lebih senang mengikuti jalur-jalur seperti imam desa dan oknum pegawai di KUA.
jumlah peristiwa nikah di KUA di Kota Semarang sejak bulan Juli sampai dengan bulan Nopember 2014 terdapat 4087 peristiwa nikah, dengan rincian 1541 nikah di dalam kantor KUA tanpa biaya (gratis) dan 2546 nikah di luar kantor dengan biaya Rp600.000. Berikut ini prosentase peristiwa nikah di KUA dan diluar kantor pada 16 Kecamatan di Kota Semarang.
Adanya peraturan desa tersebut, menimbulkan tafsir tersendiri bagi masyarakat, sehingga memunculkan dualisme pembayaran biaya nikah, dengan jumlah yang hampir sama. Hal ini seperti keterangan warga bernama Endang (nama samaran) yang melakukan pernikahan pada bulan November tahun 2014 di Kelurahan Palarahi, Wawotobi (Konawe) lalu:
Berdasar data peristiwa nikah di KUA ini menunjukkan bahwa regulasi PP ini oleh masyarakat Semarang direspon cukup baik. Hal ini dapat diketahui dari jumlah peristiwa nikah yang cukup signifikan. Angka 1541 peristiwa nikah di KUA adalah bukti nyata, bahwa masyarakat telah mengetahui peraturan tersebut, dan KUA sebagai pelaksana teknis telah melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dari prosentase di atas menunjukkan bahwa dalam lima bulan terakhir di lima kecamatan menunjukkan angka yang cukup tinggi yaitu di atas 100 peristiwa nikah di kantor (KUA). Lima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Semarang Utara 176, Kecamatan Semarang Barat 156 peristiwa, Kecamatan Pedurungan 139 peristiwa, Kecamatan Ngaliyan 137 peristiwa, Kecamatan Gunungpati 126 peristiwa, dan Kecamatan Temabalang 121 peristiwa.
Saya menikah hari jumat. Menurut informasi, kalau menikah di kantor biayanya lima ratus ribu sedangkan kalau menikah di rumah biayanya 1,1 juta. Biaya itu diserahkan sepenuhnya kepada pak imam. Dia yang menguruskan semuanya. (Wawancara Nopember 2014) Implemtasi PP ini, di Kota Semarang reltif dapat dilaksanakan dengan baik, meskipun juga masih terdapat kendalakendala di masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Agama Kota Semarang,
HARMONI
Januari - April 2016
Diagram Pie Nikah di KUA
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
Diagram Pie Nikah diluar Kantor
Berdasarkan diagram pie di atas, dapat diketahui bahwa peristiwa nikah di luar kantor ternyata lebih banyak dilakukan masyarakat Kota Semarang jika dibandingkan dengan nikah di KUA (dalam kantor). Pelaksanaan PP No. 48 Tahun 2014 di KUA di wilayah Kementerian Agama Kabupaten Konawe dan Kota Semarang secara umum dapat dikatakan sudah sesuai dengan peraturan yang ada, meskipun perlu diakui masih terdapat berbagai kendala. Berdasarkan indikator yang dikemukakan Fitsimmons, layanan nikah di dua wilayah tersebut belum tepat sasaran, karena masih ada pihak ketiga yaitu imam kampung dan modin yang menjadi perantara administrasi biaya nikah. Padahal calon pengantin dapat mengurus sendiri keperluan untuk melaksanakan nikah baik untuk menikah dikantor maupun nikah di luar kantor. Namun di kedua wilayah tersebut, belum semua anggota masyarakat mengurus sendiri keperluan untuk melaksanakan nikah. Terkait dengan kendala yang terjadi dalam praktik di masyarakat, meskipun secara resmi nikah di luar kantor mempelai atau calon pengantin telah membayar Rp600.000 melalui rekening bank, praktik pungutan diluar biaya resmi tersebut masih terjadi dalam masyarakat. Hal ini karena sebagian masyarakat masih mempercayakan kepada modin/imam
103
kampung kelurahan untuk mengurus administrasi biaya nikah. Praktik semacam ini dalam perspektif pelayanan publik terjadi akibat pergeseran moral yang terjadi dalam masyarakat. Sikap moral praktik gratifikasi terjadi akibat budaya masa lalu yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Anggota masyarakat dan aparat pemerintah mengani tindakan balas jasa dianggap merupakan hal lumrah. Praktik semacam ini, antara satu kelurahan dengan kelurahan lain bervariasi jumlah yang diberikan kepada modin. Mengenai hal ini, seorang kepala KUA menjelaskan bahwa masyarakat pada dasarnya sudah paham akan biaya nikah yang dikeluarkan. Namun demikian terkadang masyarakat tidak mau mengurus sendiri proses administrasi pencatatan nikah, sehingga karena diurus oleh orang lain secara otomatis biaya menjadi membekak. PP No 48 Tahun 2014 sesungguhnya menjadi solusi untuk mencegah praktik gratifikasi yang terjadi di masyarakat dengan oknum KUA terkait pembiayaan nikah. Namun pada kenyataannya, praktik semacam ini masih saja terjadi. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama sesungguhnya tengah berupaya untuk melakukan pelayanan berbasis pada clean government. Namun dalam praktiknya di masyarakat tidak semudah seperti yang dibayangkan. Selain itu, sikap masyarakat yang terkadang merasa tidak enak jika tidak memberi tips masih melekat pada sebagian masyarakat luas. Dalam istilah Jawa terjadi ewuh pekewuh (malu) jika tidak memberi. Hal ini seperti diceritakan warga bernama J, ketika menikahkan putrinya di KUA memberi pesan; “mengko nek bar ijab ojo lali naibe dikei seikhlase nggo tuku rokok”. Nanti jika ijab sudah selesai, jangan lupa sekedar memberi uang rokok seikhlasnya. (wawancara, 16-12-2014). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
104
Muh. Dahlan & Mustolehudin
Terkait dengan praktik-praktik semacam ini, perlu adanya edukasi kepada masyarakat, kepada petugas agar pelaksanaan PP No 48 tahun 2014 dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam pandangan masyarakat, seperti yang terjadi Kabupaten Konawe bahwa sosialisasi ke pelosok desa belum sepenuhnya optimal. Masih terdapat informasi yang berbeda antara warga satu dengan warga lainnya. Hal ini sebagaimana pernyataan ibu Nina, salah seorang guru di Wawotobi:
Respon Penghulu dan Masyarakat
Saya tahu biaya nikah katanya sudah berubah sekarang. tetapi saya tidak tahu berapa jumlahnya. Dulu waktu saya menikah tahun 2002, jumlahnya sekitar 300 ribu tetapi sekarang katanya sudah naik. Cuma kita tidak tahu berapa naiknya. Katanya juga sudah harus ke bank.
Penerapan PP Nomor 48 tahun 2014 mendapat respon yang cukup beragam baik dari penghulu sebagai pelaksana teknis KUA maupun dari masyarakat. Seorang petugas KUA Wonggeduku, menjelaskan sejak terbitnya PP ini administrasi pernikahan lebih tertib dan rapi. Semua data harus tersimpan rapi karena ini terkait dengan sistem pembayaran yang berbasis pada administrasi itu. Terutama data berkaitan dengan pemanfaatan kantor KUA sebagai tempat menikah dan para petugas yang menikahkan. Semua harus jelas karena kalau tidak jelas itu berdampak tidak baik untuk sistem pembayaran. Berikut ini wawancara dengan KUA Wonggeduku: Saya rasakan pak lebih rapimi sekarang. Kalau dulu kita bisa lapor satu tahun atau paling cepat setengah tahun. Kan, sedikit uangnya yang disetor Cuma 30 ribu dulu. Kalau sekarang, setiap bulan harus disetor ke kemenag kabupaten. Kalau salah-salah rugi sendiri. Bisa-bisa tidak dapat kita uang. Kalau dulu langsung dapat. Jadi ada semua bagusnya pak, terserah kita bagaimana saja. (Wawancara) Penerapan PP tersebut seperti dikatakan oleh seorang penghulu di Semarang sebenarnya justru menguntungkan bagi petugas karena biaya nikah yang ditetapkan pemerintah sangat jelas yaitu bagi masyarakat yang melaksanakan nikah di kantor biayanya nol rupiah dan di luar kantor Rp600.000. (wawancara, 15-12-2014). HARMONI
Januari - April 2016
Melalui pernyataan informan tersebut diketahui bahwa sosialisasi belum sepenuhnya sampai kepada masyarak at secara luas, sehingga masyarakat lebih percaya kepada imam kampung untuk mengurus biaya nikah ketika akan mengawinkan anaknya. Hal ini cukup berbeda yang terjadi Kota Semarang, bahwa Kementerian Agama melalui KUA bekerjasama dengan pihak pemerintah kecamatan membuat surat kepada Camat yang selanjutnya disampaikan kepada masing-masing lurah dan disosialisasikan melalui rapat RT RW dan ditempel melalui mading. Terkait dengan ditetapkannya PP 48 Nomor 2014 mendapat respon yang beragam dari anggota masyarakat. Menurut J bahwa biaya nikah masih enakan yang dulu. Dengan biaya Rp200.000 melalui bantuan modin semua urusan administrasi sudah beres (wawancara, 16-12-2014). Mengenai hal ini, seorang informan dengan inisial M mengatakan bahwa biaya nikah Rp600.000 nikah di rumah cukup memberatkan bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Meskipun ada pilihan nikah di KUA dengan biaya nol rupiah, pada kenyataannya masyarakat lebih senang menikahkan di rumah. (wawancara, 1812-2014).
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
Lebih lanjut M menjelaskan bahwa nikah tidak hanya menyangkut masalah pencatatan saja, akan tetapi menikah termasuk masalah syiar agama. Maka masyarakat lebih senang menikahkan di rumah. Menurutnya nikah termasuk ibadah, nikah merupakan bagian dari sosialisasi kepada tetangga. Alasan anggota masyarakat lebih memilih menikah di luar kantor atau di rumah adalah untuk menjaga muru’ah (keperwiraan), untuk keberkahan, karena masalah tempat (di rumah bisa disaksikan sanak saudara dengan tempat yang luas), karena gengsi, dihadiri banyak tokoh agama atau masyarakat, dan lain-lain.
Kendala Implementasi PP 48 2014 Penerapan PP Nomor 48 tahun 2014 secara umum di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang sudah berjalan dengan baik. Namun demikian penerapan aturan ini bukannya tanpa kendala. Menurut seorang Kepala KUA di Semarang, bahwa regulasi tentang biaya nikah tidak jadi kendala bagi kami, justru kendala tersebut ada di masyarakat yang masih memasrahkan secara total kepada modin dalam pengurusan administrasi biaya nikah. Di KUA berusaha untuk bersih, tetapi jika masyarakat mau meminta bantuan kepada modin silahkan, namun mohon dipisahkan antara kepentingan modin dengan kelembagaan KUA. (wawancara, 18-12-2014). Menurutnya perlu ada kerja sama yang intensif antara pemerintah kabupaten/kota dengan Kementerian Agama untuk mencari titik temu, agar semuanya berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku contohnya dalam hal biaya nikah. Oleh karena itu pungutan yang dilakukan modin untuk mengurus adminstrasi catin agar tidak disenderkan kepada KUA (wawancara, 15-12-2014).
105
Mengenai hal ini, penghulu lain membenarkan bahwa kami sebenarnya lebih enak bekerja tanpa modin. Dengan ditetapkannya peraturan ini, kami bekerja lebih tenang. (wawancara, 17-12-2014). Demikian pula P seorang kepala KUA di Kecamatan lain menyatakan bahwa:”masih banyak modin yang ikut bermain dengan mengatasnamakan atau mencatut nama Kepala KUA, padahal menurutnya sama sekali tidak benar. Mengapa mereka begitu percaya kepada modin, karena masyarakat tidak mau disibukkan dan diberatkan dengan urusan pernikahan, sehingga menyerahkan sepenuhnya kepada modin. Kondisi ini juga berlaku bagi orang tua yang berpikiran maju. Masyarakat rela membayar lebih dari ketentuan yang ditetapkan” (Fakhrudin dan Segara). Sementara itu, seorang pejabat di Kementerian Agama Kota Semarang menjelaskan :”Masih terdapat anggapan bahwa biaya nikah sama saja seperti dulu. Masyarakat masih belum memahami regulasi secara lengkap dan menyerahkan segala urusan pernikahan kepada modin yang tetap membuka peluang modin untuk “bermain” dalam biaya nikah”. Kendala-kendala di atas juga dibenarkan oleh Q seorang Kepala KUA di Kecamatan XB:” Mengingat PP tersebut berlaku mulai Juli 2014, terjadi sedikit perubahan terutama soal biaya atas pelaksanaan pernikahan yang sudah jauh-jauh hari didaftarkan. Atas hal tersebut, sampai bulan September pernikahan lebih banyak dilangsungkan di kantor KUA, dan kini mulai Oktober kembali lebih banyak dilakukan di rumah. Secara umum, regulasi sudah dijalankan meskipun tidak bisa dihindari apalagi di tingkat bawah masih terjadi penyimpangan terutama soal biaya tambahan yang dikenakan oleh modin. Kebijakan penerapan tarif biaya nikah, dalam kasus PP 48 tahun 2014 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
106
Muh. Dahlan & Mustolehudin
diketahui bahwa alasan logis dibalik penerbitan PP ini adalah pencegahan tindak gratifikasi. Sudah menjadi rahasia publik kalau sebelum PP ini keluar, biaya pernikahan sangat jauh dari ketentuan. Di Konawe dan Semarang, sebelum PP ini keluar biaya pernikahan yang harus dibayar oleh catin untuk mendapatkan pelayanan pencatatan dan buku nikah sebesar antara Rp. 500.000- 700.000 bahkan ada kasus tertentu mencapai jutaan (tergantung kemampuan ekonominya). Model ini memang bisa dikategorikan sebagai pungli atau pungutan liar, apapun alasannya. Hal ini karena jumlah yang ditetapkan oleh penyedia layanan berbeda dengan yang diatur oleh undang-undang dan jumlahnya pun berfluktuasi tergantung dari kesepakatan para pemberi layanan. Karena alasan itulah, PP No 48 dikeluarkan sebagai revisi dari PP No. 47 tahun 2004 tentang penerimaan negara bukan pajak dalam hal biaya pernikahan. Jumlahnya meningkat pesat dari Rp. 30.000 menjadi Rp. 600.000. Untuk menggantikan ‘pemasukan’ para KUA/ Penghulu yang selama ini diperoleh melalui cara lama, PP ini melalui PMA no 46 tahun 2014 dan Juknis Bimas Islam 487 tahun 2014 mengatur bahwa 80% dari jumlah setoran nikah bisa digunakan kembali untuk para penyelenggara pernikahan mendapatkan ‘honorarium’. Mulai dari supervisor, pengelola administrasi pernikahan, pengajar di suscatin, dan penghulu. Berdasarkan hal Itu berarti PP 48 tahun 2014 dengan mekanisme pembayaran melalui bank telah berhasil menghentikan praktik pungli dari sisi kepala KUA atau penghulu. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak diperhitungkan oleh PP 48 tahun 2014, dan turunannya PMA 46 tahun 2014 dan Juknis Bimas Islam no 487 tahun 2014. Selama ini, HARMONI
Januari - April 2016
sistem pembayaran sebelum PP 48 dikeluarkan melibatkan tiga komponen, pihak KUA, imam kampung, dan pihak kelurahan. Pihak KUA bekerja untuk pencatatan administrasi pernikahan dan pengeluaran buku nikah, imam kampung plus saksi bekerja untuk pelaksanaan akad nikah, dan pihak desa bekerja untuk administrasi kependudukan atau pengantar kepala desa (N1). Uang nikah di luar Rp. 30.000 itulah yang menjadi pendapatan tambahan para Kepala KUA, modin/imam kampung dan oknum di pemerintah desa. Kedua, Lingkungan Kebijakan Diimplementasikan. Latar belakang sosial PP 48 tahun 2014 adalah masyarakat kota. Temuan inspektorat jenderal tentang gratifikasi yang diterima oleh para Kepala KUA dalam hal pernikahan lebih banyak merujuk pada kasus yang terjadi di Kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan Makassar. Transaksi dalam hal biaya nikah apalagi jika melibatkan orang berada memang sangat menggiurkan. Selain biaya administrasi seringkali pihak KUA mendapatkan hadiah tambahan dari sang pembuat hajat. Lalu bagaimana jika PP yang berbasis pada masyarakat kota itu diterapkan kepada masyarakat yang sebagian besar masih bisa disebut sebagai masyarakat desa, meski faktanya tempat mereka disebut kelurahan? Soal biaya ganda adalah salah satu efeknya. Desa memiliki struktur sendiri yang mengelola agama yang disebut imam desa. Desa juga memiliki kewenangan dalam pelayanan pernikahan yang disebut pengantar desa. Dua ruang ini menjadi wilayah permainan untuk mengeluarkan kebijakan desa yang berorientasi kepada kepentingan desa dan orang-orang yang tidak mendapatkan bagian dari Rp. 600.000 itu. Hal lain soal penyetoran uang di bank. Ada dua hal disini, pertama soal
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
kebiasaan masyarakat desa yang tidak terbiasa dengan penyetoran di bank. Mereka lebih nyaman untuk memberikan kepada imam saja. Kedua, soal jarak. Layanan bank di kecamatan tidak bisa menjangkau semua desa. Sementara aturan menyebutkan bahwa PPS (Panitia Penerima Setoran) hanya berlaku untuk kecamatan yang tidak memiliki bank atau KUA tipe D. Artinya, KUA yang di dalam wilayahnya terdapat bank tidak boleh membentuk PPS sebagai alat bantu masyarakat. Persoalan lain yang tak kalah serius adalah masyarakat itu sendiri. Jika kita membaca masyarakat sebagai lingkungan sosial tempat kebijakan ini diimpelementasikan. Masyarakat Konawe adalah korban. Kebijakan ini sama sekali tidak berpihak kepada masyarakat. Perubahan kebijakan tidak mempengaruhi masyarakat malah semakin berat bebannya akibat dari tidak adanya koordinasi antara kementerian agama dan pemerintah setempat. Masyarakat harus membayar dua kali lipat dari ketentuan yang seharusnya. Dua pihak institusi negara yang punya kepentingan, masyarakat yang menjadi korbannya. Padahal, kebutuhan masyarakat terhadap negara dalam hal pernikahan sangat sederhana yaitu pencatatan administrasi saja. Jika dikaitkan dengan UU no 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Pembayaran biaya adminisrtasi pernikahan yang sedemikian tinggi sangat tidak peka terhadap kepentingan publik. Negara seharusnya membebaskan seluruh biaya administrasi pencatatan pernikahan, sebagaimana negara membebaskan pembayaran pencatatan akta kelahiran, kematian, dan kartu tanda penduduk.
107
Kesimpulan Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, secara umum bahwa PP Nomor 48 tahun 2014 tentang biaya nikah sudah dilaksanakan oleh KUA di Kabupaten Konawe dan KUA di Kota Semarang. Hal ini dapat diketahui dari jumlah peristiwa nikah sejak PP ini diterapkan sampai dengan Nopember 2014 sampai dengan sekarang dapat berjalan dengan baik. Namun demikian dalam pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan, yaitu masih terdapat pungutan di luar biaya resmi Rp600.000 bagi masyarakat yang menikahkan anaknya di luar kantor maupun bagi mereka yang melakukan akad nikah dikantor KUA sekalipun. Kedua, Kepala KUA atau penghulu dengan diberlakukan PP tersebut, merasa lebih tenang dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai penghulu. Hal ini disebabkan biaya nikah sudah diatur dengan jelas bagi anggota masyarakat (catin) yang menikah di luar kantor biayanya Rp600.000 dan bagi mereka (catin) menikah di kantor KUA biayanya nol rupiah. Ketiga, kendala-kendala yang terjadi terkait dengan penerapan PP No 48 tahun 2014 adalah dari masyarakat sendiri yang masih mempercayakan segala urusan kepada modin/imam kampung, sehingga dampak dari pengurusan administrasi oleh modin/ imam kampung berimplikasi pada pengeluaran lain untuk modin kelurahan atau imam kampung desa. Selain itu kendala lagi bagi petugas KUA yang menjalankan tugas menikahkan calon pengantin di luar kantor adalah belum cairnya anggaran transport seperti yang diatur dalam PMA 46 tahun 2014.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
108
Muh. Dahlan & Mustolehudin
Daftar Pustaka Badrun ,Pat dkk, 2008, Pelayanan Departemen Agama di Kawasan Timur Indonesia, Balai Litbang Agama Makassar. BPS 2014, Kabupaten Konawe dalam Angka Dalam Angka Tahun 2014 Data Base Administrasi Pernikahan Kab. Konawe Tahun 2014-2015 Data Base Keagamaan Kementerian Agama Kabupaten Konawe 2014 Fakhrudin, Segara, I Nyoman Yoga. 2014. Laporan Hasil Penelitian Biaya Perkawinan di KUA Kecamatan Semarang Barat dan KUA Kecamatan Mijen Pasca Ditetapkannya PP Nomor 48 Tahun 2014. KepMENPAN No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Kustini dan Bulan, Wahidah R. 2015. Pelayanan Pernikahan di Kabupaten Nunukan : antara mengatasi keterbatasan dan menjaga Kemaslahatan. Jurnal Harmoni Vol. 14 No.3 September – Desember 2015, hlm. 85 Lembar Akademik PMA No 24 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan. Lembar Akademik PP No 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2004 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku pada Departemen Agama. Mujahidah. 2015. Implementasi Pengenaan Tarif Akad Nikah (studi kasus Penyelenggaraan Pernikahan di KUA Kecamatan Mantingan Kabupaten Ngawi dalam Perspektif Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014). Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah. Munandar ,Utami ,2008,Pengembangan Kreatifitas Jogyakarta.
Anak Berbakat, Pustaka Pelajar,
Murtadho, Ali. 2009. Konseling Perkawinan Perspektif Agama-Agama. Semarang : Walisongo Press. Panggabean, Edward. 2013. Kasus Gratifikasi Kepala KUA Kediri Jadi Momok Penghulu. Liputan6 19 Desember 2013. Peraturan Dareah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2011 tentang Rencana tata Kelola Wilayah tahun 2011 – 2031. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Urusan Agama Kecamatan. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak Atas Biaya Nikah dan Rujuk di Luar Kantor Kecamatan Urusan Agama Kecamatan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negera Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama. HARMONI
Januari - April 2016
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe ...
109
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negera Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Agama Rahman, Abdur. 1992. Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta : Renika Cipta. Ramulyo, Mohd Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam Sutau Analisis Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : PT Bumi Aksara. Sabiq, Sayyid. 2005. Fiqih Sunnah Jilid 2. Jakarta : Pena Pundi Aksara. Subarsono,A.G,2005, Analisis Kebijakan Publik; Konsep,Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Syaukani, Imam (ed). 2007. Optimalisasi Peran KUA Melalui Jabatan Fungsional Penghulu. Jakarta : Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama. Tim Peneliti Puslitbang I, 2008, Laporan Penelitian tentang KUA, Puslitbang I badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Tim Peneliti Puslitbang I, 2013, Laporan Penelitian Tentang Indeks Biaya Pernikahan di KUA, Puslitbang I, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Tim Peneliti Puslitbang I,2006, Laporan Penelitian Tentang KUA, Puslitbang I Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Tri Haryanto, Joko. 2010. Pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA) terhadap Masyarakat di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. Semarang : BLA Semarang Ulfatmi. 2011. Keluarga Sakinah Dalam Perspektif Islam (Studi terhadap Pasangan yang Berhasil Mempertahankan Keutuhan Perkawinan di Kota Padang. Jakarta : Kementerian Agama RI. Weimer, David L dan Vining, Aidan R,1999, Policy Analysis, Concept and Practice,third edition,Prentice Hal, New Jersey.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
110
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Penelitian
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita? Aam Slamet Rusydiana
Konsultan pada Sharia Economic Applied Research & Training (SMART) Consulting, Indonesia. Email:
[email protected]
Salman Al-Farisi
Peneliti junior pada SMART Consulting Diterima redaksi tanggal 22 Februari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
Zakat is one of the pillars of Islam. Not only Zakat has dimension of ritual but also social dimension. Meaning that, paying zakat (almsgiving) is not seen only as religious ritual but also it could touch humanity aspect by empowering its potency to maximize public wealth. On the other hand, the research related to zakat in Islamic economics area is still under study, if compared to the study of Islamic banking sector.
Zakat adalah salah satu rukun Islam. Zakat tidak hanya berdimensi ibadah (vertikal) tetapi juga berdimensi sosial. Berbicara mengenai zakat, ia tidak hanya sebagai ibadah ritual saja, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan dengan memberdayakan potensinya untuk kemaslahatan publik. Pada sisi lain, penelitian terkait zakat dalam ekonomi Islam masih relatif langka dibandingkan riset terkait perbankan syariah. Padahal riset zakat penting juga untuk dilakukan.
This study tries to review a number of research on zakat. The study uses descriptive statistical analysis based on selected 120 journal publications related to zakat, both national and international journal. The entire sample is derived from academic journal that have been published in the last six years, from 2010 to 2015.
Penelitian ini mencoba melakukan reviuter kait riset-riset bertema zakat.Studi ini menggunakan analisis statistik deskriptif atas 120 publikasi jurnal yang bertema zakat, baik jurnal nasional maupun internasional. Publikasi jurnal yang menjadi sampel adalah yang terbit selama 6 tahun sejak 2010 hingga 2015.
The research shows that research on zakat is still dominated by the discussion of zakat institution (28%), followed by management of zakat (22%), zakat distribution (19%) and poverty (19%). The last theme is about zakat collection (13%). Malaysia and Indonesia became the highest zakat study area, while the majority of publications area is Indonesia, Malaysia and United States. In addition, the use of quantitative method and that of mixed methods is still low than the qualitative approach.
Hasilnya menunjukkan bahwa riset zakat masih didominasi oleh diskusi terkait institusi zakat (28%) diikuti oleh subjek pembahasan mengenai manajemen zakat (22%), distribusi zakat (19%), pengentasan kemiskinan (19%) dan terakhir terkait pengumpulan zakat (13%). Malaysia dan Indonesia menjadi area studi zakat paling banyak. Sementara itu mayoritas area publikasi adalah Indonesia, Malaysia dan Amerika Serikat. Kesimpulan lainnya adalah, perbandingan metode penelitian kuantitatif dan metode ‘mixed’ masih lebih sedikit dibandingkan dengan pendekatan kualitatif.
Keywords: Zakat Literatures, Zakat Issue, Research on Zakat.
Kata kunci: Literatur Zakat, Isu Zakat, Riset Zakat.
HARMONI
Januari - April 2016
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
Latar Belakang Zakat sebagai salah satu rukun Islam mempunyai ciri khas yang berbeda karena ia tidak hanya berdimensi vertikal seperti rukun Islam lainnya –yaitu hubungan ibadah kepada Allah SWT– tetapi juga berdimensi horizontal yaitu hubungan ibadah terhadap sesama manusia. Dimensi horizontal ini mempunyai efek yang luas: secara sosial diharapkan dapat membangun masyarakat madani atas dasar silaturahmi, dan secara ekonomi menurut Mustaq Ahmad adalah sumber utama kas negara dan sekaligus merupakan sokoguru dari kehidupan ekonomi yang dicanangkan Alquran. Zakat merupakan injeksi dalam perekonomian sehingga memunculkan kekuatan baru dalam penghimpunan investasi yang signifikan sehingga akan mendorong peningkatan produksi dalam siklus perekonomian suatu daerah. Bahkan secara makro zakat akan dapat meningkatkan agregat demand karena meningkatnya purchasing power (daya beli) masyarakat atas barang-barang dan jasa (Abdullah, (2011), dan Ali et.al (2013)). Ketika zakat diiplementasikan secara tersistem, dalam artian bahwa zakat adalah peraturan yang mengikat dalam diri setiap muslim dengan peran pemerintah sebagai regulator sekaligus badan amil zakatnya, maka secara pasti akan menyebabkan munculnya lapanganlapangan kerja baru yang sangat luas sehingga setiap warga negara mempunyai lahan pekerjaan dan otomatis akan terjadi migrasi pengangguran menjadi karyawan dalam jumlah yang sangat besar. Zakat juga berperan penting dalam mewujudkan terciptanya keadilan dalam bidang ekonomi di mana seluruh anggota warga negara mempunyai sumber pendapatan dan income untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dalam rangka menjalankan roda kehidupan di muka bumi ini (Johari et.al (2014) dan Almatar (2015)). Oleh karena diperlukan lapangan
111
pekerjaan yang cukup sebagai sumber atau ladang pendapatan yang halal. Dengan zakat maka akan terkumpul dana baru (fresh capital) yang bebas dari tekanan-tekanan apapun karena memang bersifat sukarela dan merupakan hak para kaum miskin. Institusi zakat, saat ini tidak hanya sebagai ritualitas keagamaan tetapi bisa menyentuh aspek kemanusiaan dengan memberdayakan potensinya untuk kesejahteraan publik semaksimal mungkin. Namun di sisi lain riset dan pengembangan terkait zakat dan pengelolaannya masih sangat kurang, padahal hal ini sangat penting dilakukan. Beberapa manfaatnya, melalui penelitian kita menjadi tahu sudah sejauh mana potret perkembangan zakat di Indonesia. Bagaimana pula best practice tentang pengelolaan dan manajemen zakat di Indonesia. Berapa potensi dan sudah sampai mana kita mencapainya. Dengan demikian penulis tertarik dalam mengkaji tentang perkembangan riset seputar zakat ini. Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa saja area kajian tentang zakat dan berapa persentasenya? 2. Secara pendekatan metodologi penelitian, bagaimana komposisi riset terkait zakat secara umum? 3. Bagaimana persentase jumlah publikasi, tipe riset, pendekatan penelitian, subjek bahasan hingga area studi tentang zakat selama 6 tahun terakhir?
Fokus Kajian Kajian dalam penelitian ini memfokuskan pada eksplorasi terhadap Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
112
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
120 penelitian up to date terkait zakat yang telah terpublikasi pada jurnal ilmiah. Ada beberapa isu yang hendak diketahui jawabannya. Umpamanya, berapa persentase riset terkait zakat selama 6 tahun terakhir. Bagaimana jenis/ tipe penelitian zakat dan komposisinya. Bagaimana pendekatan penelitian tentang zakat dikaitkan dengan penggunaan metode penelitian baik kuantitatif, kualitatif maupun mixed. Time series 6 tahun terakhir yang dikumpulkan oleh penulis ditujukan untuk melihat perkembangan penelitian tentang zakat di tahun- tahun terakhir ini. Sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran untuk penelitian selanjutnya, aspek penelitian zakat apa saja yang harus dikembangkan agar dapat menjadi referensi kebijakan. Selain itu, penentuan time series tahun 2010-2015 didasarkan pada pemberlakuan UU No 23 tahun 2011 dan PP No 14 Tahun 2014, dimana penulis ingin mengetahui perkembangan penelitian zakat setelah adanya regulasi tentang kewajiban zakat dan pengelolaan zakat. Sedangkan terkait pengambilkan dan pengumpulan sampel jurnal ilmiah diambil oleh penulis dengan cara hanya menyaring jurnal ilmiah baik skala nasional maupun internasional yang telah terpublikasi selama 6 tahun terakhir yaitu 2010-2015. Adapun bahasa yang digunakan dalam jurnal- jurnal tersebut terdiri dari Bahasa Indonesia maupun bahasa internasional seperti Bahasa Inggris. Misalnya, beberapa riset yang menjadikan Malaysia sebagai objek studi dilakukan oleh Hanapi (2015), Johari et.al (2015) dan Said et.al (2014). Dan beberapa riset yang lainnya. Sementara itu riset yeng lain menjadikan Indonesia sebagai objek kajian seperti yang dilakukan oleh Huda et.al (2014) dan Rusli (2013). Negara lain juga menjadi area studi dalam penelitian zakat yang penulis telaah. HARMONI
Januari - April 2016
Selain yang tersebut di atas, fokus kajian juga mencoba menelaah lebih dalam terkait apa saja metode penelitian kuantitatif yang dipakai dan apa yang dominan dipakai. Bagaimana pula subjek pembahasan tentang zakat dan komposisinya. Tidak kalah penting, negara mana saja yang menjadi area studi dan area publikasi tentang riset zakat di seluruh dunia. Penelitian ini menggunakan analisis statistika deskriptif berdasarkan 120 publikasi jurnal terkait zakat, baik nasional maupun internasional. Seluruh sampel publikasi jurnal telah terpublikasi 6 tahun terakhir mulai tahun 2010 hingga 2015. Studi hanya memfokuskan secara spesifik terhadap tulisan jurnal bertema zakat. Selanjutnya, setelah dilakukan review dan analisis, penelitian terkait zakat ini dibagi ke dalam 5 (lima) kategori utama yaitu: 1) Manajemen zakat, 2) Distribusi dana zakat, 3) Zakat dan kemiskinan, 4) Institusional zakat serta 5) Pengumpulan (koleksi) dana zakat. Termasuk ke dalam term institusional adalah kelembagaan, payung hukum dan regulasi tentang zakat. Pengklasifikasian ini dibuat berdasarkan penelaahan isi, abstraksi dan keseluruhan penelitian secara umum. Meskipun tidak menutup kemungkinan terjadinya irisan-irisan kategori dan klasifikasi.
Analisis dan Pembahasan Jumlah Publikasi per Tahun Pada bagian ini menjelaskan jumlah publikasi jurnal dari tahun 2010 hingga 2015. Terdapat 120 jurnal yang terpublikasi baik jurnal nasional maupun internasional yang berhubungan dengan zakat dari observasi 6 tahun terakhir. Gambar 1 menjelaskan distribusi jurnal per tahun yang menunjukkan jumlah jurnal terpublikasi bervariasi dari tahun
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
2010 hingga 2015 dengan range 12 hingga 28 jurnal. Adapun publikasi jurnal terkait zakat terbanyak yaitu pada tahun 2014 (23%). Sedangkan publikasi jurnal yang lebih sedikit dibandingkan tahun lainnya yaitu pada tahun 2010 (10%). Percentage Article
Gambar 1. Jumlah Publikasi per Tahun Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa penelitian tentang zakat cenderung diminati oleh peneliti- peneliti baik skala nasional maupun internasional yang digambarkan dengan peningkatan jumlah publikasi jurnal. Hal ini disebabkan oleh peran zakat yang menjadi salah satu instrumen pendorong pertumbuhan ekonomi dan perekonomian yang dinamis. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa zakat menjadi salah satu instrumen pengentasan kemiskinan. Keberhasilan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, membuktikan bahwa keyakinan terhadap kewajiban membayar zakat sama dengan halnya menegakkan sholat yang dapat membuahkan kesholihan sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia dianjurkan untuk saling tolong menolong terhadap sesama dalam kebaikan dan ketaqwaan. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi serta kaya dan miskin merupakan sunatullah. Di sinilah, diperlukan adanya kesholihan sosial dari diri manusia itu sendiri. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat Al- Maa’uun ayat 1-7 yang artinya “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang
113
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah SWT mengecam orang- orang yang sholat tetapi lalai dalam memberikan bantuan kepada anak yatim, fakir dan miskin. Sehingga diperlukan adanya peningkatan kesadaran dari diri setiap Muslim terhadap kewajiban dan peranan penting pembayaran zakat. Sebab, zakat tidak hanya sebagai rukun sosial, melainkan juga berfungsi mensucikan harta, membersikan jiwa, menghilangkan rasa takabur, pelit, sirkulasi harta dan dapat mengurangi kemiskinan serta kejahatan sosial di masyarakat. Menurut sebuah hasil penelitian kerjasama BAZNAS-IPB yang didasarkan pada Produk Domestik Bruto (PDB) 2010, potensi zakat di Indonesa adalah Rp217 Trilyun. Jika diekstrapolasikan dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi nasional tahun-tahun sesudahnya, maka potensi tersebut pada akhir 2015 sudah mencapai Rp 286 Trilyun. Akan tetapi aktualisasi penghimpunan dana zakat hingga tahun 2015 baru mencapai 5 triliyun (BAZNAS: 2016). Sehingga pada faktanya, masih terdapat gap antara potensi zakat dan aktualisasi penghimpunan zakat. Maka dari itu pembahasan tentang zakat masih menjadi objek yang menarik untuk dibahas dan dikembangkan.
Jenis Penelitian dari Masing- Masing Publikasi Tabel 1 menunjukkan jenis (tipe) penelitian yang digunakan untuk setiap publikasi jurnal yang diamati. Menurut Sekaran (2013), secara umum terdapat empat tipe penelitian yaitu analisis, deskriptif, empiris, dan penelitian eksploratori. Dalam observasi ini, hanya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
114
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
menggunakan tiga jenis tipe penelitian yaitu analisis, deskriptif dan empiris. Pertama, penelitian analisis digunakan untuk mencoba menjawab persoalan mengapa hal tertentu atau bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Jenis penelitian ini biasanya berhubungan dengan sebab akibat. Kedua, penelitian deskriptif mencoba untuk menentukan, menggambarkan, atau mengidentifikasi hal tertentu. Penelitian deskriptif menggunakan deskripsi, klasifikasi, pengukuran, dan perbandingan untuk menggambarkan suatu fenomena. Dan ketiga, metode penelitian empiris yaitu metode penelitian yang menggunakan observasi studi lapangan (empiris) atau data yang terkumpul dari tanya jawab seperti dalam bentuk kuesioner.
Jurnal yang digunakan sebagai objek dalam penelitian ini merupakan jurnal ilmiah baik Nasional maupun Internasional yang telah terpublikasi selama 6 tahun terakhir. Penelitian ini dibatasi dengan time series selama 2010 hingga 2015, ditujukan untuk melihat bagaimana perkembangan penelitian tentang zakat yang up to date, selama tahun- tahun terakhir ini. Dalam melakukan penelitian perlu didukung dengan alat analisis yang menggunakan metodologi penelitian. Dengan hal itu, penelitian menjadi lebih akurat dan menarik. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penggunaan jenis penelitian deskriptif masih mendominasi penelitian yang menggunakan pendekatan empiris dan analisis metodologi. Dengan demikian,
Tabel 1. Jenis Penelitian dari Masing- Masing Publikasi
Year of Publication 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Total Percentage
Research Types Analytical Descriptive Empirical 2 8 2 10 8 1 4 14 3 6 9 3 14 12 2 11 7 4 47 58 15 0.39 0.48 0.13
Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa jenis metodologi penelitian yang terbanyak digunakan dari jurnal terpublikasi baik jurnal nasional dan internasional terkait zakat selama tahun 2010 hingga 2015 yaitu jenis penelitian deskriptif sejumlah 58 jurnal (48%), kemudian diikuti oleh jenis penelitian analisis sejumlah 47 jurnal (39%) dan terakhir yaitu jurnal yang menggunakan penelitian empiris sebanyak 15 jurnal (13%). HARMONI
Januari - April 2016
Total 12 19 21 18 28 22 120 1
disimpulkan bahwa sebaran ragam penelitian zakat terbanyak di dalam kelompok penelitian pendekatan deskriptif. Berdasarkan pertemuan International Working Group on Zakat Core Principles, tahun 2016 diperkirakan menjadi momentum penguatan kerjasama zakat dunia. Hal ini ditandai dengan semakin mengkristalnya hasil pembahasan empat kali pertemuan
115
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
IWG ZCP (International Working Group on Zakat Core Principles) sepanjang tahun 2014-2015 lalu yang akan merencanakan peluncuran dokumen ZCP. Keberadaan dokumen tersebut diharapkan menjadi sumber referensi pengelolaan zakat dunia sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tata kelola sistem perzakatan dunia. Dalam mengukur efektivitas dana penyaluran zakat dapat menggunakan perhitungan rasio ACR. Ketentuan tentang perhitungan rasio ACR (Allocation to Collection Ratio), yaitu perbandingan antara jumlah zakat yang disalurkan dengan jumlah zakat yang dihimpun. Perhitungan ini penting sebagai indikator kinerja penyaluran zakat lembaga yang ada. Jika suatu lembaga nilai ACR-nya 90 persen, maka artinya 90 persen zakat yang dihimpun telah disalurkan. Amil menggunakan dana sebanyak 10 persen untuk memenuhi seluruh kegiatan operasionalnya. Dengan demikian, semakin rendah persentase nilai ACR menunjukkan semakin lemahnya kemampuan manajemen penyaluran lembaga zakat sehingga perlu dilakukan langkah untuk memperbaikinya (BAZNAS: 2016). Berbicara mengenai pengelolaan zakat dan pengukuran kinerja serta efisiensi lembaga zakat, maka diperlukan penelitian yang menggunakan pendekatan
analisis metodologi. Adanya gap antara potensi zakat Indonesia dengan aktualisasi dana yang terhimpun, diperlukan adanya pengukuran tingkat efisiensi dengan analisis kuantitatif. Sebagai contoh analisis efisiensi dapat menggunakan metodologi Data Envelopment Analysis (DEA) yang dapat menghasilkan output tingkat efisiensi, potential improvement dan variabel apa saja yang berkontribusi besar dalam tingkat efisiensi lembaga zakat. Maka dari itu diperlukan adanya penambahan keragaman penelitian zakat dengan variasi pendekatan empiris atau analitikal. Pendekatan Penelitian Masing- Masing Publikasi Berdasarkan Punch (2013), ada 3 jenis pendekatan penelitian yaitu pendekatan kualitatif, pendekatan kuantitatif dan pendekatan metodologi campuran (mixed method). Tabel 2 menunjukkan metodologi penelitian yang digunakan untuk setiap jurnal terpublikasi dalam kurun waktu 6 tahun yaitu 2010 hingga 2015. Dalam observasi ini, pendekatan penelitian yang terbanyak digunakan adalah pendekatan kualitatif sejumlah 73 jurnal (61%). Kemudian pendekatan kuantitatif sejumlah 44 jurnal (37%) dan terakhir yaitu jurnal yang menggunakan pendekatan kombinasi (mixed method) sejumlah 3 jurnal (3%).
Tabel 2. Pendekatan Penelitian Masing- Masing Publikasi
Year of Publication
Qualitative 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Total Percentage
Research Types Quantitative 10 9 17 12 14 11 73 0.61
Mixed 2 9 4 6 13 10 44 0.37
Total 0 1 0 0 1 1 3 0.03
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
12 19 21 18 28 22 120 1 No. 1
116
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa keragaman jurnal yang menggunakan pendekatan kualitatif, kuantitatif dan metodologi campuran masih didominasi oleh pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif lebih dititikberatkan pada analisis kajiankajian teori yang pada umumnya tidak memerlukan data penelitian baik data primer maupun sekunder. Sehingga diperlukan adanya peningkatan jumlah penelitian zakat yang menggunakan pendekatan kuantitatif dan metodologi campuran tanpa mengesampingkan pendekatan kualitatif. Hal ini diperlukan, mengingat peran zakat yang potensial dalam mengentaskan kemiskinan. Sehingga dengan peningkatan keragaman pendekatan penelitian tentang zakat diharapkan dapat memberikan output kebijakan yang bermanfaat.
Adapun metodologi kuantitatif lainnya yang masih belum digunakan dalam penelitian zakat selama 6 tahun terakhir, seperti ANP Jaringan, ANP BOCR, Two Stage DEA, Malmquist Productivity Index (MPI) dan lainnya. Dari penggunaan metode-metode tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran perkembangan zakat yang lebih detail.
Subjek Jurnal Zakat Tabel 3 menunjukkan subjek pembahasan masing-masing jurnal terkait zakat berdasarkan publikasi jurnal zakat selama tahun 2010 hingga 2015. Adapun dalam observasi ini berdasarkan lima subjek yaitu terkait manajemen zakat, distribusi zakat, pengentasan kemiskinan, dan pengumpulan zakat serta institusi zakat. Dari publikasi jurnal 2010- 2015 terpilih dalam pengamatan, subjek pembahasan terkait jurnal zakat terbanyak yaitu mengenai institusi zakat sejumlah 33 jurnal (28%) dari 120 sampel jurnal, kemudian diikuti oleh subjek pembahasan mengenai manajemen zakat sejumlah 26 jurnal (22%), distribusi zakat sejumlah 23 jurnal (19%), pengentasan kemiskinan sejumlah 23 jurnal (19%) dan terakhir terkait pengumpulan zakat sejumlah 15 jurnal (13%).
Terkait jenis metodologi penelitian kuantitatif yang digunakan dalam jurnal publikasi yang diobservasi, metode yang paling banyak digunakan adalah sebagai berikut: metode Multiple Regression Analysis (6), Structural Equation Modeling/ SEM (5), Factor Analysis (5), Panel Regression (4), Vector Error Correction Model/VECM (3), Analytic Hierarchy Process/AHP (3), dan Data Envelopment Analysis/DEA (3).
Tabel 3. Subjek Pembahasan Jurnal Zakat
HARMONI
Januari - April 2016
2011
2012
2013
2014
2015
Management Distribution Poverty Collection Institution Total
Year of Publication 2010
Subject of Article
4 0 2 2 4 12
3 3 4 3 6 19
4 7 5 0 5 21
6 3 4 3 2 18
6 4 3 4 11 28
3 6 5 3 5 22
Total 26 23 23 15 33 120
% 0.22 0.19 0.19 0.13 0.28
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
Salah satu aspek penting dalam zakat yaitu mengenai penghimpunan dan penyaluran dana zakat. Zakat merupakan salah satu instrumen yang digunakan dalam mengentaskan kemiskinan dan menjadikan perekonomian yang dinamis. Problematika kemiskinan hingga saat ini masih termasuk masalah utama yang menjadi target berbagai negara untuk segera diatasi. Dari keterangan tersebut, maka diperlukan adanya peningkatan penghimpunan dan penyaluran dana zakat dari para muzakki kepada mustahik zakat. Berdasarkan penelitian BAZNAS dan IPB dikatakan bahwa masih terdapat gap yang besar antara potensi zakat dengan aktualisasi penghimpunan dana zakat dengan rasio sebesar 217 triliyun: 5 triliyun (BAZNAS: 2016). Hal ini menjadi gambaran bahwa diperlukan adanya peningkatan pembahasan mengenai penghimpunan dan penyaluran dana zakat salah satu contoh yaitu pengukuran efisiensi lembaga zakat dalam menghimpun dan menyalurkan dana zakat.
Area Studi dan Publikasi Berdasarkan Negara Tabel 4 menunjukkan daftar terbanyak publikasi berdasarkan letak geografis (negara). Tabel ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu lokasi studi 120 jurnal publikasi terpilih dan area publikasi jurnal tersebut. Pada bagian pertama, mengenai lokasi studi jurnal. Dari tabel 4 dapat diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia menjadi area studi terbanyak terkait penelitian zakat selama 6 tahun terakhir yaitu dengan rincian sebagai berikut; sejumlah 40 jurnal (Indonesia) dan 39 jurnal (Malaysia). Lalu diikuti oleh Nigeria (4 jurnal), Pakistan (3 jurnal), Bangladesh (2 jurnal) dan negara- negara lainnya (9 jurnal).
117
Senada dengan area studi, dari segi area publikasi jurnal, Indonesia menjadi negara yang terbanyak publikasi terkait penelitian zakat sejumlah (33 jurnal), Malaysia (20 jurnal), USA/ Amerika Serikat (17 jurnal), United Kingdom (8 jurnal), dan Middle East (7 jurnal). Sisanya adalah Negara-negara lain. Adapun area publikasi dari 120 jurnal zakat terpilih bervariasi yaitu terdapat 80 jenis jurnal. Dalam penelitian zakat ini, International Journal of Business and Social Science menjadi jurnal terbanyak dalam mempublikasikan jurnal terkait zakat yaitu sejumlah 8 jurnal, kemudian diikuti oleh Middle-East Journal of Scientific Research (5 jurnal), Journal of Islamic Economics, Banking and Finance (4 jurnal), Tazkia Islamic Finance and Business Review (4 jurnal), Jurnal BIMAS Islam (4 jurnal), International Journal of Economics, Management & Accounting (3 jurnal), Jurnal Ekonomi dan Keuangan (3 jurnal), Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam (3 jurnal), Journal of Economic Cooperation and Development (2 jurnal), Australian Journal of Basic and Applied Sciences (2 jurnal), AlIqtishad (2 jurnal), International Journal of Management and Commerce Innovations (2 jurnal) dan jurnal lainnya (1 jurnal).
Tabel 4. Area Studi dan Publikasi Berdasarkan Negara Country Malaysia Middle East Nigeria Indonesia Pakistan USA (Amerika) UK (England) Kanada Bangladesh Australia Others Total
Studied Area Publication Area 39 20 0 7 4 0 40 33 3 5 0 17 0 8 0 4 2 6 0 4 9 16 97
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
120 No. 1
118
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui negara apa saja yang memberikan kontribusi besar dalam perkembangan penelitian zakat selama 6 tahun terakhir, jurnal apa saja yang produktif dalam mempublikasikan jurnal ilmiah khususnya penelitian tentang zakat. Hasil tinjauan (review) ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan penelitian zakat dari berbagai negara.
Temuan Ada beberapa temuan terkait penelitian ini. Analisis 120 publikasi jurnal terkait studi zakat dari tahun 2010 hingga 2015 adalah sebagai berikut: Terdapat keragaman pembahasan jurnal terkait zakat yang terpublikasi telah didiskusikan. Jurnal terkait zakat cenderung menunjukkan tren yang meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah publikasi terbanyak yaitu pada tahun 2014 sebanyak 28 jurnal dari 120 sampel jurnal terpublikasi. Akan tetapi jurnal ilmiah yang terpublikasi menurun di tahun 2015. Maka dari itu perlu ditingkatkan kembali produktivitas berupa output penelitian, dalam hal ini yaitu penelitian zakat yang dapat dijadikan sebagai alat kebijakan. Disebabkan oleh sudah adanya regulasi UU No 23 Tahun 2011 tentang kewajiban zakat dan Peraturan Pemerintah Tentang Pengelolaan Zakat, akan tetapi belum mencapai tingkat efisiensi optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya gap antara potensi dan aktualisasi dana zakat yang terhimpun. Maka dari itu, diharapkan dengan banyaknya penelitian zakat yang beragam dapat menjadi solusi dalam penentuan kebijakan. Umumnya penggunaan metode penelitian deskriptif untuk menjawab fenomena zakat di suatu negara tertentu masih mendominasi metode penelitiannya yaitu sejumlah 58 jurnal HARMONI
Januari - April 2016
(48%) dari 120 sampel jurnal. Sedangkan metode penelitian analisis 47 jurnal (39%) dan metode penelitian empiris sebanyak 15 jurnal (13%). Sebagaimana pada umumnya, penelitian deskriptif hanya sebatas membahas perbandingan kajiankajian teori, sedangkan permasalahan pengelolaan zakat diperlukan adanya data empiris. Hal ini menjadi gambaran bahwa diperlukan banyaknya penelitian zakat yang menggunakan data empiris dan analisis. Maka dari itu, diharapkan dengan adanya review publikasi jurnal zakat ini selama 6 tahun terakhir dapat meningkatkan output penelitian zakat yang berdasarkan data analisis dan empiris sehingga dapat mengetahui lebih detail apa saja determinan pengelolaan zakat. Secara umum dari 120 publikasi jurnal menggunakan metode pendekatan kualitatif dalam membahas zakat sebanyak 73 jurnal (61 %), pendekatan kuantitatif 44 jurnal (37%), dan pendekatan mixed method 3 jurnal (3%). Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa masih sangat sedikit penelitian zakat terpublikasi yang menggunakan metodologi campuran selama 6 tahun terakhir. Padahal problematika pengelolaan zakat yang belum dapat mencapai potensi dana zakat Indonesia hingga saat ini memerlukan penelitian analisis empiris sehingga mengetahui permasalahan apa yang sebenarnya terjadi. Subjek pembahasan 120 publikasi jurnal zakat tersebut lebih banyak terkait institusi zakat, kemudian disusul terkait manajemen, distribusi, pengentasan kemiskinan dan pengumpulan dana zakat. Pembahasan subjek zakat masih perlu peningkatan khususnya mengenai pengumpulan dana zakat. Sebagaimana Berdasarkan pertemuan International Working Group on Zakat Core Principles, tahun 2016 diperkirakan menjadi
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
momentum penguatan kerjasama zakat dunia. Hal ini ditandai dengan semakin mengkristalnya hasil pembahasan empat kali pertemuan IWG ZCP (International Working Group on Zakat Core Principles) sepanjang tahun 20142015 lalu yang akan merencanakan peluncuran dokumen ZCP. Keberadaan dokumen tersebut diharapkan menjadi sumber referensi pengelolaan zakat dunia sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas tata kelola sistem perzakatan dunia. Dengan hal ini diharapkan adanya penelitian lebih lanjut mengenai efektivitas dokumen ZCP ini. Malaysia dan Indonesia menjadi area studi zakat terbanyak dari sampel publikasi jurnal tersebut dibandingkan negara lainnya. Di samping itu, jurnaljurnal Indonesia, Malaysia dan USA menjadi terbanyak dalam publikasi jurnal tentang zakat. hal tersebut menjadi gambaran negara dan jurnal apa saja yang produktif dalam penelitian zakat. Secara umum, hasil dari analisis di atas dapat diketahui bahwa isu zakat menjadi pembahasan yang intensif oleh pakar- pakar Muslim dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan dominasi publikasi jurnal 2 tahun terakhir yaitu 2014 dan 2015 (total 43%) yang lebih banyak dibandingkan dengan tahun sebelumnya terkait isu zakat. Selain itu, isu- isu tentang zakat lebih banyak dikaji atau dibahas dengan menggunakan metode deskriptif dan kualitatif. Subjek pembahasan yang terbanyak didiskusikan adalah terkait institusional zakat. Maka dari itu diperlukan adanya peningkatan dan perluasan pembahasan zakat dan penelitian zakat yang menggunakan pendekatan analisis dan empiris sehingga dapat menjawab permasalahan manajemen zakat yang belum mencapai target sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini.
119
Kesimpulan dan Rekomendasi Penelitian tentang zakat memiliki peran penting untuk umat Islam dalam menyadari kewajiban menunaikan zakat sebagai salah satu rukun Islam. Selain itu, dapat meningkatkan kesadaran dari optimalisasi dana zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan masyarakat. Pembahasan penelitian zakat masih didominasi oleh pembahasan institusi zakat dari tahun 2010 hingga 2015. Sebab, mayoritas penulis, rata- rata mengangkat isu terkait kelembagaan zakat yang berlandaskan payung hukum yang kuat, sehingga dengan hal tersebut diduga dapat meningkatkan kesadaran dan kepercayaan masyarakat untuk membayar zakat yang kemudian akan dikelola serta disalurkan kepada pihak-pihak yang berhak menerima-nya (ashnaf). Di masa mendatang diperlukan penelitian yang lebih banyak mengenai permasalahan pengelolaan zakat untuk menjawab permasalahan tersebut sesuai studi empiris-analisis, di mana diketahui bahwa masih terjadi gap antara potensi dan aktualisasi dana terhimpun hingga saat ini. Selain itu, perbandingan metode penelitian kuantitatif masih lebih sedikit dibandingkan dengan pendekatan kualitatif. Hal ini menjadi potensi untuk meningkatkan penelitian tentang zakat dengan menggunakan metode kuantitatif. Dari penelitian ini dapat ditelaah (reviewed) bahwa masih diperlukan adanya peningkatan penelitian zakat yang beragam dan berdasarkan studi empiris. Untuk meningkatkan jumlah penelitian zakat di tahun selanjutnya, maka dapat dilakukan dengan adanya berbagai macam kajian yang dilakukan oleh instansi terkait atau diselenggarakannya kompetisi forum riset zakat yang dapat memberikan sumbangsih terhadap solusi permasalahan pengelolaan zakat. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
120
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Daftar Pustaka
2010 Dhar, Pranam and Jafar Ali Akhan. (2010). “The Role of Zakat in Islamic Accounting and Finance: An Overview”. Journal of Business and Economic Issues Vol 2. No.1 July 2010 p.37-45. Beranek, Ondrej. (2010). “The (Mis)use of Islamic Charity: Past, Present and Future”. Oriental Archive, 78, 2010. Nikmatuniayah. (2010). “Perlunya Pelaporan Zakat untuk Publik”. Jurnal Teknis, Vol. 5 No. 2. p. 91-96. Abu Bakar, Nur Barizah and Hafiz MA. Rashid. (2010). “Motivations of Paying Zakat on Income, Evidence from Malaysia”. International Journal of Economic and Finance Vol. 2 No. 3. p. 76-84 Loo, Ern Chen, Chris Evans and Margaret McKerchar. (2010). “Challenges in Understanding Compliance Behaviour of Taxpayers in Malaysia”. Asian Journal of Business and Accounting 3(2) 2010 p.101-117.
2011 Abdullah, Muhammad and Suhaib, Abdul Quddus. (2011). “The Impact of Zakat on Social Life of Muslim Society”. Pakistan Journal of Islamic Research Vol 8. Abioye, Mustafa Murtala Oladimeji, Mohamad, Muslim Har Sani and Adnan, Muhammad Akhyar. (2011). “Antecedents of Zakat Payers Trust, the Case of Nigeria”. International Journal of Economics, Management & Accounting, Supplementary Issue 19: 133-164. Adebayo, Dr. R. Ibrahim. (2011). “Zakat and Poverty Alleviation, a Lesson for the Fiscal Policy Makers in Nigeria”. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol. 7 No. 4. Azharsyah. (2011). “Maksimalisasi Zakat sebagai Salah Satu Komponen Fiskal dalam Sistem Ekonomi Islam”. Jurnal Syariah Vol. 3 No. 1. Bakar, Mahyuddin Haji Abu and Ghani, Prof. Dr. Abdullah Haji Abd. (2011). “Towards Achieving the Quality of Life in the Management of Zakat Distribution to the Rifhtful Recipients”. International Journal of Business and Social Science Vol. 2 No. 4. Din, Hafiz Salah Ud and Atta Malik Amer. (2011). “The Role of Zakat in Establishment of a Model Society”. Gomal University Journal of Research 27(1): 149-158. Jumaizi and Wijaya, Zainal A. (2011). “Good Governance BAZIS dan Dampaknya thd Keputusan dan Loyalitas Muzaki”. Majalah Ilmiah Informatika Vol. 2 No. 3. Mohsin, Magda Ismail A., Lahsasna, Ahcene, Ismail, Ezamshah. (2011). “Zakat from Salary and EPF, Issues and Challenges”. International Journal of Business and Social Science Vol. 2 No. 1. HARMONI
Januari - April 2016
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
121
Shariff, Anita Md, Jusoh, Wan Noor Hazlina Wan, Mansor, Norudin and Jusoff, Kamaruzaman. (2011). “A Robust Zakat System, Towards a Progressive SocioEconomic Development in Malaysia”. Middle-East Journal of Scientific Research 7 (4): 550-554 ISSN 1990-9233. Wiliasih, Ranti, Usman, Hardius, Marzuki, Khafid, Mardoni, and Yosi, Marcelo. (2011). “Relationship between Quality of Life and Reguler Zakat Exercise”. International Journal of Business and Social Science Vol. 2 No. 16. Yusoff, Mohammed B. (2011). “Zakat Expenditure, School Enrollment and Economic Growth in Malaysia”. International Journal of Business and Social Science Vol. 2 No. 6.
2012 Abdullah, Luqman Haji, Ahmad, Wan Marhaini Wan, Rahman, Noor Naemah Abdul, Ali, Abdul Karim, Nor, Mohd Roslan Mohd, Khalil, Shahidra Abdul and AlNahari, Ameen Ahmed Abdullah Qasen. (2012). “Juristic Discourse on the Delay in Payment and Distribution of Zakat”. Middle-East Journal of Scientific Research 12 (2): 176-181, ISSN 1990-9233. Abdullah, Naziruddin, Yusop, Mohd Mahyudi Mohd, and Hj. Awang, Che Omar. (2012). “A Technical Note on the Derivation of Zakat Effectiveness Index (ZEIN)”. International Journal of Economics, Management and Accounting Vol. 20, No.1: 75-86. Ahmad, Wan Marhaini Wan and Mohamad, Shamsiah. (2012). “Classical Jurists View on the Allocation of Zakat, Is Zakat Investment Allowed”. Middle-East Journal of Scientific Research 12 (2): 195-203, ISSN 1990-9233. Awang, Rohila @ Norhamizah and Mokhtar, Mohd Zulkifli. (2012). “Comparative Analysis of Current Values and Historical Cost in Business Zakat Assessment, an Evidence from Malaysia”. International Journal of Business and Social Science Vol. 3 No. 7. Febianto, Irawan and Ashany, Arimbi Mardilla. (2012). “The Impact of Qardhul Hasan Financing using Zakat Funds on Economic Empowerment, Case Study DD West Java Indonesia”. Asian Business Review, Volume 1, Issue 1, ISSN 2304-2613. Halim, Hazlina Abdul, Said, Jamaliah, Yusuf, Sharifah, Norzehan Syed. (2012). “Individual Characteristics of the Successful Asnaf Entrepreneurs, Opportunities and Solutions for Zakat Organisation in Malaysia”. International Business and Management Vol. 4, No. 2, 2012, pp. 41-49 ISSN 1923-8428. Hendri, Davy. (2012). “ZIS Institutions and Inclusive Asset-building Policy Agenda”. Tazkia Islamic Finance and Business Review Volume 7.1. Hummida, Dayang Binti Abang Abdul Rahman and Mohammed, Mustafa Omar. (2012). “The Role of Baitulmal towards the Education of Poor Muslims in Sarawak”. Journal of Contemporary Issues and Thought Vol. 2.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
122
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Ibrahim, Abdullah, Abdullah, Abdul Aziz, Rizuan, Mohd Bin Abdul Kadir and Wafa, Syed Mohd Ghazali Syed AdwamWafa. (2012). “Assessing Financial Reporting on Adopting Business Zakat Guidelines on Malaysian Government Linked Companies”. International Journal of Business and Social Science Vol. 3 No. 24. Isnawati and Wirawan, Bintang. (2012). “Peranan Lazdai dalam Pengelolaan Dana Zakat untuk Bidang Pendidikan (Studi pada Lembaga Amil Zakat Amal Insani (LAZDAI) Lampung)”. Jurnal Sociologie, Vol. 1, No. 4: 308-315. Maerani, Ira Alia S.H. M.H. (2012). “Aplikasi Nilai-nilai Islam dalam Perda tentang Pengelolaan Zakat dan Problematikanya pada Era Otda di Kota Semarang”. Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2. Mahalli, Amalia Kasyful. (2012). “Potensi dan Peranan Zakat dalam Mengentaskan Kemiskinan di Kota Medan”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1, No.1. Nadzri, Farah Aida Ahmad, AbdRahman, Rashidah and Omar, Normah. (2012). “Zakat and Poverty Alleviation, Roles of Zakat Institutions in Malaysia”. International Journal of Arts and Commerce Vol. 1 No. 7. Noor, Abd. Halim Mohd, Rasool, Mohamed Saladin Abdul, Rahman, Rashidah Abdul, Yusof, Rozman Md and Ali, Siti Mariam. (2012). “Assessing Performance of Nonprofit Organization, A Framework for Zakat Institutions”. British Journal of Economics, Finance and Management Sciences Vol. 5 (1). Rahman, Azman Ab. (2012). “The Role of Zakat in Islamic Banking Institutions in Developing the Economy of the Poor and Needy in Malaysia”. Tazkia Islamic Finance and Business Review Volume 7.2. Rahman, Azman Ab, Alias, Mohammad Haji, Omar, Syed Mohd Najib Syed. (2012). “Zakat Institution in Malaysia, Problems and Issues”. GJAT Journal Vol. 2 No. 1 ISSN: 2232-0474. Sarea, Dr. Adel. (2012). “Zakat as a Benchmark to Evaluate Economic Growth, An Alternative Approach”. International Journal of Business and Social Science Vol. 3 No. 18. Siswantoro, Dodik. (2012). “The Need of Standardization of Individual Zakat Calculation in Indonesia”. Tazkia Islamic Finance and Business Review Volume 7.1. Tarar, Ayesha and Riaz, Madiha. (2012). “Impact of Zakat on Economy, Structure and Implementation in Pakistan”. Journal of Economics and Sustainable Development ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN 2222-2855 (Online) 2855 (Online) Vol. 3, No. 10. Wahab, Norazlina Abd and Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2012). “Efficiency of Zakat Institutions in Malaysia, an Application of DEA”. Journal of Economic Cooperation and Development, 33, 1, 95- 112. Yusoff, Mohammed B. and Densumite, Sorfina. (2012). “Zakat Distribution and Growth in the Federal Territory of Malaysia”. Journal of Economics and Behavioral Studies Vol. 4, No. 8, pp. 449-456, ISSN: 2220-6140.
HARMONI
Januari - April 2016
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
123
2013 Ali, Ahmad Fahme Mohd, Noor, Zaleha binti Mohd, Aziz, Muhammad Ridhwan Ab, Ibrahim, Mohd Faisol, Johari, Fuadah. (2013). “Impact of Zakat Distribution on Poor and Need Recipients, an Analysis in Kelantan Malaysia”. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 7(13) Pages: 177-182. Amuda, Yusuff Jelili. (2013). “Empowerment of Nigerian Muslim Households through Waqf Zakat Sadaqat and Public Funding”. International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol. 4, No. 6. Firmansyah, Irman and Aam S. Rusydiana. (2013). “Pengaruh Profitabilitas thd Pengeluaran Zakat pada BUS di Indonesia dengan Ukuran Perusahaan sebagai Variabel Moderasi”. Jurnal Liquidity Vol. 2 No. 2 Hlm. 110- 116. Hermawan, Wawan. (2013). “Politik Hukum Zakat di Indonesia”. Jurnal Pendidikan Agama Islam – Ta’lim Vol. 11 No. 2. Hossain, Md. Ismail. (2013). “Analysis on Poverty Alleviation by Mosque Based Zakat Administration in Bangladesh, an Empirical Study”. Journal of Poverty, Investment and Development Vol.1. Htay, Sheila Nu Nu, Salman, Syed Ahmed, Ilyas, Soe Myint @ Haji. (2013). “Integrating Zakat Waqf and Sadaqah, Myint Myat Phu Zin Clinic Model in Myanmar”. Tazkia Islamic Finance and Business Review Volume 8.2. Huda, Nurul, Anggraini, Desti, Ali, Khalifah Muhamad, Rini, Nova, Mardoni, Yosi. (2013). “Komparasi AHP dan ANP dalam Penentuan Solusi Pengelolaan Zakat, (Kasus DKI dan SulSel)”. Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan Volume 17, Nomor 3: 357 – 375 ISSN 1411-0393. Istutik. (2013). “Analisis Implementasi Akuntansi Zakat dan Infak-Sedekah (PSAK 109) pada LAZ di Kota Malang”. Jurnal Akuntansi Aktual, Vol. 2, No. 1 hlm. 19–24. Johari Fuadah, Aziz, Muhammad Ridhwan Ab, Ibrahim, Mohd Faisol and Ali, Ahmad Fahme Mohd. (2013). “The Roles of Islamic Social Welfare Assistant (Zakat) for the Economic Development of New Convert”. Middle-East Journal of Scientific Research 18 (3): 330-339, ISSN 1990-9233. Kholis, Nur, Sobaya, Soya, Andriansyah, Yuli, dan Iqbal, Muhammad. (2013). “Potret Filantropi Islam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. La Riba Jurnal Ekonomi Islam Vol. VII, No. 1. Mohsin, Magda Ismail A. (2013). “Potential of Zakat in Eliminating Riba and Eradicating Poverty in Muslim Countries {Case Study: Salary Deduction Scheme of Malaysia}”. EJBM-Special Issue: Islamic Management and Business Vol.5 No.11: ISSN 2222-1719. Nadhari, Abdullah Khatib. (2013). “Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2 ISSN: 2088-6365. Punch, Keith F. 2013. Introduction to Social Research: Quantitative and Qualitative Approaches. USA: Sage
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
124
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Razak, Mohamad Idham Md, Omar, Assoc. Prof. Dr. Roaimah, Ismail, Maymunah, Hamzah, Afzan Sahilla Amir, Hashim, Assoc. Prof. Dr. Mohd Adnan. (2013). “Overview of Zakat Collection in Malaysia, Regional Analysis”. American International Journal of Contemporary Research Vol. 3 No. 8. Rusli, Hamzah, Abubakar, Syahnur, Sofyan. (2013). “Analisis Dampak Pemberian Modal Zakat Produktif thd Pengentasan Kemiskinan di Aceh Utara”. Jurnal Ilmu Ekonomi Vol. 1 No. 1 pp. 56- 63 ISSN 2302-0172. Sarea, Dr. Adel Mohammed. (2013). “Accounting Treatment of Zakat, Additional Evidence from AAOIFI”. Journal of Islamic Banking and Finance, Vol. 1 No. 1. Sari, Mutiara Dwi, Bahari, Zakaria, Hamat, Zahri. (2013). “Review on Indonesian Zakat Management and Obstacles”. Social Sciences 2(2): pp. 76-89. Sekaran, Uma. 2013. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach, 6th Edition. USA: Wiley. Suprayitno, Eko, Kader, Radiah Abdul, Harun, Azhar. (2013). “The Impact of Zakat on Aggregate Consumption in Malaysia”. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol. 9 No. 1. Wahab, Norazlina Abd and Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2013). “Determinants of Efficiency of Zakat Institutions in Malaysia, A Non-parametric Approach”. Asian Journal of Business and Accounting 6(2), 2013 ISSN 1985–4064. 2014 Ahmad, Ismail HJ and Ma’in Masturah. (2014). “The Efficiency of Zakat Collection and Distribution, Evidence from Two Stages Analysis”. Journal of Economic Cooperation and Development, 35, 3 pp 133- 170. Aji, Hastomo. (2014). “Intensi Muzakki Membayar Zakat Pendekatan Teori Planned Behaviour Modifikasi (Studi Terhadap Pegawai Kementerian Agama Pusat)”. Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III. Ali, Ahmad Fahme Mohd, and Aziz, Muhammad Ridhwan Ab. (2014). “Zakat Poverty Line Index and Gender Poverty in Malaysia: Some Issues and Practices”. International Journal of Business and Social Science Vol. 5, No. 10. Ali, Ahmad Fahme Mohd, Aziz, Muhammad Ridhwan Ab, and Ibrahim, Mohd Faisol. (2014). “Zakat Poverty Line Index and Urban-Rural Poverty in Malaysia, a Critical Analysis”. Pensee Journal Vol. 76, No. 7. Ananda, David Bayu and Wibisono, Ari. (2014). “C4.5 Decision Tree Implementation in Sistem Informasi Zakat (SIZAKAT) to Automatically Determining the Amount of Zakat Received by Mustahik”. Journal of Information Systems, Volume 10, Issue 1. Gufroni, Acep Irham, Wisandani, Iwan and Sukmawati, Heni. (2014). “Sistem Informasi UPZ Terintegrasi Berbasis Web, Studi Kasus Baznas Kota Tasikmalaya”. Jurnal Sistem Komputer Vol. 4 No. 2, ISSN: 2087- 4685.
HARMONI
Januari - April 2016
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
125
Gurning, Herfita Rizki Hasanah and Ritonga, Haroni Doli Hamoraon. (2014). “Analisis Tingkat Kesadaran Masyarakat Medan Baru dalam Membayar Zakat”. Jurnal Ekonomi da Keuangan Vol.3 No.7. Htay, Sheila Nu Nu and Salman, Syed Ahmed. (2014). “Proposed Best Practices of Financial Information Disclosure for Zakat Institution, a Case Study of Malaysia”. World Applied Sciences Journal 30 (Innovation Challenges in Multidiciplinary Research & Practice): 288-294, 2014, ISSN 1818-4952. Huda, Nurul, Anggraini, Desti, Ali, Khalifah Muhamad, Mardoni, Yosi, and Rini, Nova. (2014). “Prioritas Solusi Permasalahan Pengelolaan Zakat dengan Metode AHP, Studi di Banten dan KalSel”. Al-Iqtishad: Vol. VI No. 2. Huda, Nurul, Anggraini, Desti, Ali, Khalifah Muhamad, Rini, Nova, and Mardoni, Yosi. (2014). “Solutions to Indonesian Zakat Problems, AHP Approach”. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol. 10 No. 3. Ibrahim, Ahmad Asad, Elatrash, Radwan Jamal, and Farooq, Mohammad Omar. (2014). “Hoarding versus Circulation of Wealth from the Perspective of Maqasid Shariah”. International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management Vol. 7 No. 1. Johari, Fuadah, Ali, Ahmad Fahme Mohd, Aziz, Muhammad Ridhwan Ab and Ahmad, Nursilah. (2014). “The Importance of Zakat Distribution and Urban-Rural Poverty Incidence among Muallaf (New Convert)”. Asian Social Science; Vol. 10, No. 21, ISSN 1911-2017. Johari, Fuadah, Aziz, Muhammad Ridhwan Ab, Ali, Ahmad Fahme Mohd. (2014). “The Role of zakat in reducing poverty and income inequality among new convert in Selangor Malaysia”. Journal Research in Islamic Studies Vol. 1 No. 3, pp. 43- 56. Johari, Fuadah, Aziz, Muhammad Ridhwan Ab., Ibrahim, Mohd Faisol, and Ali, Ahmad Fahme Mohd. (2014). “Zakat Distribution and Programme for Sustaining Muallaf Belief and Thought”. Jurnal Teknologi (Social Sciences) 66:1, 35–43. Khamis, Mohd Rahim, Mohd, Rohani, Salleh, Arifin Md, and Nawi, Abdol Samad. (2014). “Do Religious Practices Influence Compliance Behaviour of Business Zakat among SMEs”. Journal of Emerging Economies and Islamic Research Vol. 2, No. 2. Muhtada, D. (2014). “Islamic Philanthropy and the Third Sector, the Portrait of Zakat Organizations in Indonesia”. ISLAMIKA INDONESIANA, Vol. 1, Issue 1: 122-142. Munif, Ahmad. (2014). “Zakat Madu Pada Masa Khalifah Umar Ibn Khattab RA. (Analisis Fiqhiyah dan Kebijakan Publik)”. Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III. Mustofa. (2014). “Sistem Ekonomi Keuangan Publik Berbasis Zakat”. Jurnal Madani, Vol 4. No 1, ISSN: 2087-8761. Noor, Abd Halim Mohd and Khairi, Nur Zehan. (2014). “What Determine Professionalism, a Study on Zakat Institutions Integration Efforts into the Mainstream Economy”. Middle-East Journal of Scientific Research 22 (7): 983-993, ISSN 1990-9233.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
126
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Omar, W. A. Wan, Hussin, Fauzi and G. H. Asan Ali. (2014). “The Trend Analysis of Islamization in Malaysia using Islamization Index as Indicator”. Asian Economic and Financial Review, 4(10): 1298-1313. Rosmawati, Rosi. (2014). “Pengembangan Potensi Dana Zakat Produktif melalui LAZ untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat”. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Vol. 1 No. 1. Said, Jamaliah, Ahmad, Mahfuzah and Yusuf, Sharifah Norzehan Syed. (2014). “Effectiveness of Capital Assistance Program, Evidence from Malaysia”. Research Journal of Applied Sciences, Engineering and Technology 8(4): 488-495, ISSN: 20407459. Said, Hasani Ahmad. (2014). “Tafsir Ahkam: Zakat Sebagai Solusi Perekonomian Umat di Indonesia”. Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III. Salehi, Mahdi and Poour, Arash Ariyan. (2014). “A Study on the Influences of Islamic Values on Iranian Accounting Practice and Development”. Journal of Islamic Economics, Banking and Finance, Vol. 10 No. 2. Salleh, Muhammad Syukri. (2014). “Organizational and Definitional Reconfiguration of Zakat Management”. International Journal of Education and Research Vol. 2 No. 5. Siradj, Mustolih. (2014). “Long Road of Sharia Zakat Legislation in Indonesia: A study of Law No. 23 of 2011 about Zakat Management”. Jurnal Bimas Islam Vol.7. No.III. Yona, Rika Delfa. (2014). “Tarik Ulur Peran Pemerintah Dalam Pengelolaan Zakat”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 4, No. 2, ISSN: 2088-6365. Yusoff, Mohammed B. (2014). “Zakat distribution, education, and real income per capita in Malaysia”. Review of Strategic and International Studies Vol. VI No. 3, ISSN: 23268085.
2015 Almatar, Dr. Fatima. (2015). “Zakat vs Taxation the Issue of Social Justice and Redistribution of Wealth”. European Journal of Business, Economics, and Accountancy Vol. 3 No. 3 ISSN 2056- 6018. Fuadi, Thayeb, Dr. H. M. Hasballah, Suhaidi, Dr, and Kamello, Dr. Tan. (2015). “Conflict Setting between Zakat as a Deduction of Income Tax (Taxes Credit) and Zakat as Deduction of Taxable Income (Taxes Deductable), A Research in Aceh Indonesia”. IOSR Journal of Economics and Finance (IOSR-JEF) e-ISSN: 2321-5933, p-ISSN: 23215925.Volume 6, Issue 2. Ver. I, PP 40-49. Hanapi, Mohd Shukri. (2015). “Paddy Zakat Accounting and Its Relationship with the Social Wellbeing of Farmers, A Case Study in Perlis”. Sains Humanika 4:2, 47–52. Hasibuan, Khoiruddin. (2015). “Zakat and Its Effect to Community Empowerment, Case Studies DD Jogjakarta and Its Network”. Jurnal Al- ‘Ibrah Vol. 11 No. 1.
HARMONI
Januari - April 2016
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita?
127
Hoque, Nazamul, Khan, Mohammad Aktaruzzaman and Mohammad, Kazi Deen. (2015). “Poverty Alleviation by Zakat in a Transitional Economy, A Small Business Entrepreneurial Framework”. Journal of Global Entrepreneurship Research (5:7). Huda, Nurul and Andriati, Rizky. (2015). “The Influences of Productive Zakat Mentoring to the Saving Behavior and the Prosperity of Poor Housewife”. Al-Iqtishad: Vol. VII No. 2. Hussain, Akhtar and Abdullah. (2015). “Importance of Zakat in the Establishment of the Society”. GJRA - Global Journal for Research Analysis Volume-4, Issue-4, ISSN No 2277 – 8160. Ibrahim, Sheriff Muhammad. (2015). “Exploring the Motivational Factors for Corporate Zakat Payments”. International Journal of Management and Commerce Innovations Vol. 3, Issue 1, pp: (429-436), ISSN 2348-7585. Ibrahim, Sheriff Muhammad. (2015). “The Role of Zakat in Establishing Social Welfare and Economic Sustainability”. International Journal of Management and Commerce Innovations, ISSN 2348-7585 (Online) Vol. 3, Issue 1, pp: (437-441). Iqbal, Nadeem and Akhtar, Muhammad Ramzan. (2015). “Statistical Evaluation, Measuring and Managing Poverty in Rural Pakistan”. Pakistan Journal of Statistics Vol. 31(6), 709-716. Johari, Fuadah, Ali, Ahmad Fahme Mohd and Aziz, Muhammad Ridhwan AB. (2015). “The Role of Zakat Distribution among Muallaf in Reducing Poverty in Selangor Malaysia”. Journal of Economic Policy Researches Vol. 2, No. 1 (39-56). Kahf, Monzer and Yafai, Samira Al. (2015). “Social Security and Zakat in Theory and Practice”. International Journal of Economics, Management and Accounting 23, no. 2: 189-215. Kantarci, Hasan Bulent. (2015). “The-Importance of Zakat in Struggle against Circle of Poverty and Income Redistribution”. International Journal of Social, Behavioral, Educational, Economic, Business and Industrial Engineering Vol: 9, No: 1. Kasri, Rahmatina and Ahmed, Habib. (2015). “Assessing Socio-Economic Development based on MS Principles, Normative Framework, Methods and Implementation in Indonesia”. Islamic Economic Studies Vol. 23, No. 1, (73-100). Maghfiroh, Siti. (2015). “Model Manajemen Strategis Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Zakat Infak Sedekah, Studi Kasus pada LAZIS Qaryah Thayyibah Purwokerto”. Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol.5, No. 2 ISSN: 20886365. Mastura, Farah Binti Noor Azman and Zainol Bin Bidin. (2015). “Determinants of Attitude toward Zakat on Saving”. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 9(31), Pages: 7-13 ISSN: 1991-8178. Mastura, Farah Noor Azman and Zainol Bidin. (2015). “Factors Influencing Zakat Compliance Behavior on Saving”. International Journal of Business and Social Research Volume 05, Issue 01.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
128
Aam Slamet Rusydiana & Salman Al-Farisi
Nurhayati, Sri and Siswantoro, Dodik. (2015). “Factors on Zakat Preference as a Tax Deduction in Aceh Indonesia”. International Journal of Nusantara Islam, Vol.03 No.01; (1– 20). Othman, Azhana, Noor, Abdul Halim Mohd, Salleh, Arifin Md. (2015). “An Analysis Relationship between Social Exclusion and Non-Recipients Asnaf of Zakat Fund (NRAZF)”. Australian Journal of Sustainable Business and Society Volume 1 No. 2. Sarntisart, Saran. (2015). “The Economic Implications of Religious Giving”. I J A B E R, Vol. 13, No. 2, (2015): 687-716. Syafei, Zakaria. (2015). “Public Trust of Zakat Management in the Office of Religious Affairs Serang Banten Indonesia”. Journal of Management and Sustainability; Vol. 5, No. 3, ISSN 1925-4725 E-ISSN 1925-4733.
HARMONI
Januari - April 2016
Penelitian
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
129
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Asnawati
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 22 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
Historically, the exsistence of UU N0. 1/ PNPS/1965 was made to protect the Nation and Society,where misleading or religious humiliation are viewed as a revolutional tread. By the rise of certain orders/sects, which was assumed against the religious teachings and laws then it is essentially needed to have national awareness by bringing out this regulations. On the other hand supporting the exsistence of the Regulation or UU No. 1/ PNPS/1965 was considered as a form of freedom in expressing their faith, meanwhile on the other side is considering to triggering conflict because it is against the mainstream of religious understanding.This condition has become the main factor to create chaos in religious life.
Secara historis, lahirnya UU N0. 1/PNPS/1965 dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Dengan timbulnya berbagai aliran yang dianggap bertentangan dengan ajaaran dan hukum agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengelarkan undangundang ini.
The religious leaders and the Islamic organization leaders in Mataramshows that there are same tendencies in viewing the Regulation or UU No.1/PNPS/1965. Most of religious leaders and the Islamic organization leaders said that they knew the Regulation or UU No.1/PNPS/1965, while some of them said that they have not know it, even reading it, yet. Among the religious leader said that there weresome case of religious desacration among others, for example: the case ofCongregation of Ahmadiyah, A thariqah (spiritual path) that teaches Inner Marriage (Nikah Batin) who can be married more than 4 wives in Lombok Tengah, Namatan Prayer, and“Amak Bakrie”who confess his self as the prophet.
Ungkapan yang dikemukakan oleh para pemuka agama dan pemimpin Ormas Islam di Kota Mataram, menunjukkan adanya kecenderungan yang sama dalam memandang UU No.1/PNPS/1965. Sebagian pemuka agama dan pimpinan Ormas Islam mengatakan sudah tahu dan pernah membaca UU No.1/PNPS/1965, sedangkan sebagian kecil mengatakan belum mengetahui, bahkan belum pernah membacanya. Diantara pemuka agama mengatakan pernah terjadi kasus penodaan agama, yaitu: kasus Jemaat Ahmadiyah, Aliran tarekat yang mengajarkan nikah batin, Nikah lebih dari 4 istri di Lombok Tengah, Namatan Sholat, dan Amak Bakrie yang mengaku sebagai nabi.
The objective of this research is to comprehend knowledge and understanding of the religious leaders and the Islamic organization leaders in understanding the content of Regulation/UU No. 1/PNPS/Year 1965. The conclusion of this research related about the knowledge and understanding the content of the Regulation orUU No. 1/PNPS/Year 1965 is understandable by religious leaders. According to them, religious desecration is against the main teachings of religion. Due to the benefit of that particular regulation they consider that this Regulationmust be aprehend. Meanwhile, related to the punishment for the man who practising religious desecration is 5 years maximum in prison especially for the initiator for the sake of deterrent effect. Keywords: religious leaders, UU PNPS.
defamation,
Islamic
Di satu pihak mendukung lahirnya UU No. 1/ PNPS/1965, karena dipandang sebagai bentuk kebebasan dalam mengekspresikan keyakinannya, sementara di sisi lain dianggap menimbulkan keresahan karena bertentangan dengan paham keagamaan arus utama (mainstream). Kondisi tersebut menjadi kurang kondusif untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan keagamaan yang dijamin oleh undang-undang.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman para pemuka agama dan pemimpin Ormas Islam dalam memahami isi UU No. 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kesimpulan dari hasil penelitian terkait kasus penistaan/penodaan agama di Kota Mataram NTB yaitu, nikah lebih dari 4 istri, Namatan Sholat dan Amak Bakrie, sudah diselesaikan di pengadilan, kecuali kasus Jemaat Ahmadiyah yang masih menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah daerah NTB. Mengenai pengetahuan dan pemahaman sebagian besar pemuka agama Islam di Kota Mataram sudah tahu dan pernah membaca isi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Inti nya menurut mereka penodaan agama itu adalah melanggar pokok-pokok ajaran agama. Ini bisa dipahami bahwa mereka menganggap UU ini harus dipertahankan. Sementara itu terkait dengan hukuman bagi pelaku penodaan agama maksimal 5 tahun penjara khususnya bagi para penggagas tidaklah cukup, karena belum memberikan efek jera. Kata kunci: Kebebasan beragama, kurang kondusif, arus utama, dan UU No. 1/PNPS/1965, kasus penistaan/penodaan dan sangsi hukuman. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
130
Asnawati
Pendahuluan Latarbelakang Pasca Reformasi khususnya setelah tahun 2005 telah terjadi peningkatan secara tajam kasus-kasus penodaan agama di kalangan muslim. Zainal Abidin Bagir saat menjadi saksi ahli pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK) atas perkara pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pada Kamis, 31 Januari 2013 menyampaikan bahwa selama hampir 40 tahun pertama penggunaan Undang-Undang Nomor 1/PNPS tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama mulai tahun 1965 sampai tahun 2005 terdapat sekitar 15 kasus. Namun dalam kurun waktu hanya 7 tahun, sejak 2005 hingga 2012 ada sekitar 40 kasus. (Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi 2013:4). Dengan kata lain dalam waktu 10 tahun terakhir ini ada peningkatan yang tajam atas kasus penodaan agama di Indonesia. Secara historis, ada beberapa hal yang melatarbelakangi lahirnya undangundang ini antara lain: Pertama, undangundang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/ kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undangundang ini. Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para HARMONI
Januari - April 2016
ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/ penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Ahmad Suaedy dan Rumadi, Buletin The Wahid Institute, No.2/Juni 2006). Beragam kasus penodaan agama biasanya dikenakan Pasal 156 a UndangUndang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau pada UndangUndang Nomor 1/PNPS tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, khususnya Pasal 4. Kedua UU tersebut dijadikan sebagai landasan hukum untuk menjerat pelaku penistaan/penodaan agama. Setelah melakukan beberapa persidangan, MK melalui Putusannya Nomor 140/PUU-VII/2009 menetapkan bahwa UU Pencegahan Penodaan Agama masih diperlukan dan sama sekali tidak bertentangan dengan perlindungan HAM sebagaimana diatur di dalam UUD 1945. Menurut MK, penafsiran sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UndangUndang No1/PNPS/Tahun 1965 adalah penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang. Terjadinya perbedaan pendapat dalam menafsirkan tentang apa yang dimaksud dengan penodaan agama dikarenakan undang-undang ini tidak secara jelas memuat pengertian tentang apa yang dimaksud dengan penodaan agama. (Djafar, M Alamsyah, 2010:4345). Sedangkan dalam pasal 1 UndangUndang No. 1/PNPS/Tahun 1965 hanya menyebutkan bahwa: “setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.” (Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama. 2012: 180). Dalam memahami pasal 1 undangundang ini ada yang menafsirkan bahwa setiap penafsiran yang berbeda dengan paham Ahlussunnah Wal Jamaah (mainstream) dianggap telah menodai agama. Sebagai contoh pada 30 November 2002 Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) Bandung mengeluarkan pernyataan, ”Menuntut aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan dan kegiatan yang secara sistematis dan massif melakukan penghinaan terhadap Allah, Rasulullah, umat Islam, dan para ulama. ”Mereka terpicu tulisan Ulil Abshar Abdallah, di harian Kompas, 18 November 2002, berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, yang dirujuk sebagai contoh penghinaan agama. Selanjutnya FUUI menyatakan, “Menurut syariat Islam, oknum yang menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama dapat diancam dengan hukuman mati.”(Gatra, No 02-03 Tahun X. 2003: 107). Adanya perbedaan dalam memaknai konsep “Penistaan/Penodaan Agama” tersebut sering menimbulkan konflik di masyarakat. Konflik di masyarakat akibat penistaan/penodaan agama telah ada di daerah-daerah, termasuk juga wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Hal ini dikarenakan NTB merupakan wilayah yang masyarakatnya cukup majemuk, plural dan riligius. Isu penyesatan terhadap seseorang atau kelompok di NTB sering terjadi mulai dari Ama’ Bakri, Ahmadiyah, Syiah, dan kelompok-kelompok tarekat. Penelitian tentang Penistaan/ Penodaan Agama dalam Persfektif Pemuka Agama Islam di Kota Mataram Prov. NTB menjadi penting, karena setelah tahun 2005 khususnya pasca reformasi telah terjadi peningkatan secara
131
tajam kasus-kasus penodaan agama di kalangan muslim.
Rumusan Masalah dan Tujuan Pertanyaan penelitian dalam studi kasus (menurut Robert K. Yin, 1996:29) sesuai dengan kata kunci yang lazim digunakan “bagaimana dan mengapa”, maka rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana pengetahuan pemuka agama Islam di Kota Mataram Prov. NTB terhadap isi UU No 1/PNPS/Tahun 1965? (2) Bagaimana konsep ”penistaan/penodaan agama” yang berupa penafsiran, kegiatan (yang dianggap menyimpang) menurut para pemuka agama Islam di Kota Mataram? (3) Bagaimanakah bentuk hukuman mereka yang melakukan penodaan agama menurut perspektif para pemuka agama Islam di Kota Mataram ? (4) Apa yang dimaksud dengan pokok-pokok ajaran agama Islam dan kaitannya dengan penistaan/penodaan agama? Dan (5) Bagaimana tanggapan pemuka agama Islam di Kota Mataram terhadap pelaksanaan UU. 1/PNPS/tahun 1965? Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus yang menggunakan metode wawancara. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik sehingga data yang dipaparkan didasarkan pada serangkaian proses dimana peneliti berinteraksi secara langsung dengan para informan. Tujuan penelitian ini ialah untuk menjawab lima permasalahan sebagaimana rumusan masalah tersebut.
Metode Penelitian Metode pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan sebelum melakukan data lapangan dengan mempelajari Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
132
Asnawati
berbagai sumber-sumber informasi tertulis dan dokumen yang relevan. Sedangkan data lapangan dilakukan dengan metode wawancara mendalam dengan para pimpinan ormas-ormas Islam dan tokoh-tokoh masyarakat (kiai, tuan guru, ustadz, cendikiawan) yang ada di Kota Mataram, mengenai pandangannya terkait dengan UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Selain itu juga dilakukan Focus Group Discussion (FGD).
Hasil dan Pembahasan Geografi dan Demografi NTB Pada tanggal 14 Agustus 1958, propinsi Sunda Kecil dipisah menjadi tiga propinsi, masing-masing adalah Bali, Nusa Tenggara barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pulau Bali menjadi propinsi tersendiri dengan ibukotanya Denpasar. Sementara Pulau Lombok dan Sumbawa disatukan menjadi propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan ibukota Mataram. Sebagian besar penduduk NTB merupakan suku Sasak menganut agama Islam. Agama kedua terbesar yang dianut di NTB adalah agama Hindu, yang dipeluk oleh para penduduk keturunan Bali yang berjumlah sekitar 5% dari seluruh populasi di sana. Pemeluk Kristen, Buddha dan agama lainnya juga dapat dijumpai, terutama pendatang dari berbagai suku dan etnis yang bermukim di pulau ini. Data Kanwil Kementerian Agama NTB tahun 2009 menyebutkan bahwa pemeluk agama Islam sebanyak 4.129236 orang, Kristen 12.412 orang, Katolik 14.810, Hindu 144.104, dan Buddha 31.740. Organisasi keagamaan Islam terbesar di NTB adalah Nahdlatul Wathan (NW), yang anggotanya sekitar 2 juta orang. Organisasi ini pecah HARMONI
Januari - April 2016
menjadi dua, yaitu NW Pancor dan NW Anjani. (Hamdi, Saepul, 2012: 2). Selain NW, organisasi keagamaan Islam yang eksis di NTB adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), dan masih ada lainnya.
Perspektif Pemuka Agama tentang Penistaan/Penodaan Agama Pengetahuan Pemuka Agama di NTB tentang Isi UU No 1/PNPS/Tahun 1965 Pengetahuan Pemuka Agama tentang Isi UU No 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, menurut Prof. Saiful Muslim, UU tersebut pernah dibaca bahkan sudah di uji di Mahkamah Konstitisi (MK), artinya UU itu sudah final dan masih layak digunakan. Di contohkannya bahwa di Mataram pernah terjadi kasus penistaan/penodaan agama, seperti Ahmadiyah, yang sudah dikarantinakan karena sudah ada keputusan di Kejakasaan Negeri Selong Lombok Timur dan Lombok Barat selain adanya SK Bupati serta kasus Amak Bakrie. Tentang UU No.1 PNPS /1965, bagi Tgh. Sahdan Ilyas, memang pernah membacanya dan cukup bagus bahkan sangat diperlukan untuk menjerat pelaku penodaan/penistaan agama. Karena UU ini merupakan langkah preventif agar tidak muncul pelaku penodaan agama. Di masa Orde Baru tahun 1980-an terjadi kasus penistaan/penodaan agama, dan berdasarkan fatwa MUI NTB, pelaku mendapat hukuman 10 tahun penjara, karena mengaku pernah melihat Tuhan bagai seberkas cahaya bagi sorang guru tarekat serta juga melakukan poligami dengan 9 orang istri. Sebagai seorang tokoh NW Anjani yaitu H. Alidah Nur mengatakan pernah membaca isi UU No.1 PNPS/1965, ketika
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
ada pertemuan silaturrahmi dengan para tokoh agama. Namun bagi Dr. Fachrurrozi, dengan UU tersebut perlu dilihat kembali substansinya, dan bila sudah tidak lagi mengakomodir, maka perlu direview serta dilihat tingkat implementasinya, tingkat eksekusinya sudah optimal atau belum. Sementara Drs. Abdul Aziz Fahmi Ketua KUB Kemenag NTB menyampaikan: sudah membaca dan memahami isinya, yang intinya mengenai atau yang menyerupai praktik agama yang menyimpang dari praktik agama yang sesungguhnya (mainstream). Contoh kasus Amak Bakrie (usia 75 tahun), di Lombok Timur mengaku sebagai nabi, mendapat wahyu di gunung Rinjani yang menerima wangsit (wahyu), sudah dihukum 1 tahun penjara. Bagi Harfin Zuhdi (Ketua LTM NU), mengatakan bahwa UU tersebut bukanlah tentang pencegahan kebebasan beragama, tetapi tentang penyalahgunaan atau penodaan agama. Adapun penodaan agama adalah penodaan yang dilakukan oleh sesorang atau sekelompok orang yang menyerang kehormatan suatu agama seperti melecehkan Allah SWT, Nabi Muhammad SAW, Alquran dan syariat Islam. Termasuk ke dalam penodaan agama adalah tindakan mengubah-ubah ajaran agama/melakukan pemalsuan agama oleh seseorang/sekelompok orang terhadap agama yang dianutnya. Lain halnya dengan pandangan Tgh. Taqyuddin Mansyur (Ketua PWNU) yang pernah mendengar tentang UU PNPS, akan tetapi belum pernah membaca. Selain itu juga belum pernah mendengar ada kasus penodaan/penistaan agama yang divonis hukuman dengan UU PNPS. Pernah ada tarekat yang dianggap sesat oleh beberapa tokoh masyarakat, akan tetapi belum pernah divonis sesat oleh pengadilan. Begitu juga dengan Tgh. Shofwan Hakim (Ketua Forum Pondok Pesantren NTB), juga belum pernah membaca UU No.1PNPS/1965.
133
Tetapi terjadi kasus aliran tarekat yang menyimpang yaitu Namatan sholat, tetapi kasus ini belum sampai ke pengadilan, karena sulit untuk dibuktikan, karena selalu berkelit. Menurut Ir. H. Subhan sebagai tokoh Muhammadiyah, bahwa secara detail belum melihat dan membaca isi undang-undang PNPS tersebut, namun dapat memahaminya, dimana UU tersebut secara umum terkait tentang aturan yang menghina agama orang lain (baik dari segi tindakan maupun dalam berbicara). Pandangan Dr. Muslihun mengenai UU No.1/PNPS/1965 hanya sepintas melihatnya. Namun terkait dengan kasus penodaan/penistaan agama dan divonis 4 tahun penjara karena mengajarkan nikah bathin di Lombok Utara, dimana murid-muridnya dianggap belum sah pernikahannya bila istrinya itu belum berhubungan badan dengannya, kemudian kasus orang yang mengajarkan namatan solat; dan kasus orang yang mengaku sebagai nabi.
Konsep Penodaan Agama Menurut Pemuka Agama NTB Konsep penodaan agama menurut Ketua MUI sangat setuju dengan definisi penodaan agama yang ada dalam UU No.1/PNPS/1965. Yang dimaksud dengan penodaan itu biasanya ada unsur kesengajaan, sedangkan penyimpangan, bisa karena ketidaktahuan. Tetapi kalau penistaan biasanya kepada orang yang mempunyai kemampuan melakukan penafsiran. Adapun kata penafsiran dalam UU No.1/PNPS/1965, selalu menjadi alasan penguatan pendapat mereka untuk melakukan penyimpangan. Jadi, penafsiran itu boleh, tetapi penafsiran tidak boleh menerjang rambu-rambu yang telah ada. Oleh sebab itu, penafsiran perlu dibatasi. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
134
Asnawati
Pernyaataan setuju disampaikan Ketua KUB dengan konsep penodaan yang ada dalam UU. No.1/PNPS/1965, bahwa pelaku penistaan/penodaan agama adalah orang yang melanggar aqidah yang disepakati oleh mayoritas ulama sebagai prinsip dasar agama Islam. Karena sangat jelas sekali dalam Islam, bahwa orang yang melakukan penistaan agama itu bisa dikategorikan murtad, hukumannya bisa dibunuh, halal darahnya, karena selain murtad, juga meresahkan masyarakat. Tetapi karena negara ini berdasarkan Pancasila, maka di ambil langkah penindakan hukum pelanggaran penistaan/penodaan agama dengan undang-undang yang berlaku, dalam hal ini UU PNPS. Sedangkan penistaan agama adalah orang yang mengamalkan dan mengajarkan ajaran agama yang berbeda dengan ajaran yang dianut oleh kebanyakan orang, apalagi sampai menimbulkan konflik. Misalnya, ada orang yang mengaku nabi, tapi di masyarakat meyakini bahwa la nabiya min ba’dii (tidak ada nabi setelah aku, Nabi Muhammad SAW). Umat Islam mayoritas di dunia meyakini bahwa nabi Muhammad adalah khotamun nabiyin (pamungkas para nabi), tapi ada orang yang menyatakan dirinya sebagai nabi, ini yang menyebabkan dia melakukan penodaan agama dan meresahkan masyarakat. Ketua PWNU juga menyatakan setuju dengan definisi penodaan agama yang ada dalam UU No.1/PNPS/1965. Karena itu apapun bentuk penyimpangan dalam agama, disebut penodaan, yaitu seperti menyalahkan amalan kelompok lain. Sedangkan mengenai penafsiran, tidak bisa orang menakwilkan agama dengan bebas. Karena penafsiran dan penakwilan itu harus dibatasi berdasarkan koridor penafsiran. Definisi penodaan agama dalam UU No. 1/PNPS/1965 menurut Ketua Forum HARMONI
Januari - April 2016
Pondok Pesantren, sudah cukup baik, sehingga jika ada penafsiran yang keluar dari al-Quran, Hadits dan ijma’ ulama bisa ditindak. Seperti ijma ulama tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad, kalau ada yang mengaku sebagai nabi maka bisa ditindak dengan UU No. 1/PNPS/1965 ini. Menurutnya, penodaan agama itu adalah melakukan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran agama yang sudah final menurut agama masing-masing. Dalam Islam itu ada hal-hal pokok yang antar umat Islam tidak berbeda, seperti masalah keesaan Allah, al-Quran, dan ini sudah final. Kalau perbedaan tentang masalah furu’iyah, seperti sholat subuh ada yang qunut ada yang tidak, sholat terawih ada yang 8 rakaat dan ada yang 20 rakaat, atau lainnya itu tidak dipersoalkan. Kalau ada penafsiranpenafsiran yang terlalu jauh dari koridor penafsiran ini tidak bisa diterima, seperti manfasara bira’yihi dakholan nar. Menurutnya, ayat-ayat yang baku tentang hal-hal ghaib, tentang akhirat atau lainnya, yang hukumnya sudah qot’i tidak bisa ditafsirkan semaunya sendiri. Tokoh Muhammadiyah mengatakan setuju dengan definisi penodaan dalam UU No.1/PNPS/196. Sedangkan, penistaan dari kata-kata nista (kotor, rendah), artinya merendahkan dengan perkataan, perbuatan, sehingga orang yang disebutkan menjadi tersinggung dan marah. Seperti kasus Ahmadiyah. Sementara menurut tokoh NW Anjani, bahwa perbuatan penistaan adalah hampir sama dengan penodaan. Seperti Ahmadiyah karena menyimpang dari keyakinan agama Islam, maka dikatakan melakukan penistaan/ penodaan agama. Sedangkan penistaan adalah mencela/menyinggung agama. Karena itu penafsiran harus dibatasi, karena bila tidak ada rambu-rambunya, dikhawatirkan kepada umat yang sudah meyakininya, dapat timbul keraguannya. Berbeda dengan kebebasan
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
berpendapat,yang hanya sebatas mengemukakan. Karena itu dalam agama harus mengikuti kriteria yang harus dipenuhi. Kemudian pandangaan sekretaris PW.Nahdlatul Wathon Pancor, sangat setuju dengan definisi penodaan dalam UU No. 1/PNPS/1965 ini. Menurutnya penodaan agama adalah perbuatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang qath’i dan tidak bisa dibuat-buat. Jika dalam Islam dikatakan Muhammad nabi terakhir, dan jika ada orang yang memiliki pandangan lain mengenai nabi, maka itulah yang disebut penodaan agama. Terkait penafsiran dalam Islam, tidak bisa dilakukan pada semua ranah. Islam membagi ranah itu menjadi dua; ranah ubudiyah/aqidah dan ranah muamalah. Kalau ranah ubudiyah atau aqidah tidak diperbolehkan sama sekali melakukan penafsiran. Kalau Tuhan itu satu, tidak boleh dikembangkan ada tuhan anak dan tuhan bapak. Sama juga nabi Muhammad itu nabi terakhir bagi umat Islam, tidak bisa ditafsirkan bisa ada nabi setelah nabi Muhammad, seperti Mirza Ghulam Ahmad. Tetapi kalau penafsiran yang berkaitan dengan muamalah, ekonomi, hubungan bisnis, itu masih bisa dilakukan penafsiran atau elaborasi sesuai dengan perkembangan terkini. Yang dimaksud di muka umum pada UU ini adalah mengajarkan ajaran agama yang menyimpang kepada orang lain. Harus diberikan penjelasan, jangan sampai yang dimaksud di muka umum itu hanya memberi ceramah baik di depan orang secara umum, maupun dalam kelompok terbatas. Penyimpangan dalam Islam itu ukurannya adalah dalam aqidah. Aqidah itu bersih dari syirik tapi bisa saja menyembah selain Alah. Atau memuja kepada benda tertentu, yang jauh dari ibadah. Salat dikerjakan harus seperti yang diajarkan Rasulallah.
135
Penyimpangan adalah yang jauh dari ajaran yang sebenarnya (aqidah, muamalah), yaitu merubah hukum yang sudah jelas haram kemudian direkayasa menjadi halal. Jadi yang dimaksud menyampaikan ajaran di muka umum adalah menyampaikan ajarannya kepada orang lain, baik sedikit maupun banyak, termasuk menyampaikan gagasannya itu di media massa, seperti koran, majalah, website, dan sebagainya, dibaca banyak orang dan daya tahannya lama. Berbeda kalau hanya disampaikan lewat lisan, tidak lama orang akan lupa. Yang demikian ini termasuk penistaan. Ketua Dewan Dakwah NTB: sepakat dan setuju dengan definisi penodaan agama yang ada dalam UU PNPS, termasuk istilah penafsirannya juga sudah pas. Artinya, jika ada usaha untuk menafsirkan dan penafsirannya itu tidak sesuai dengan persyaratan penafsiran yang ada, maka itu adalah penyimpangan. Karena itu mengenai konsep penistaan/penodaaan agama, dalam al-Quran itu ada istilah istihza’ (mengolok-olok agama) dan ada juga istilah lahwun wa la’ibun (meringanringankan agama atau menganggap sebagai permainan). Misalnya menginjainjak al-Quran adalah sebagai bagian dari istihza’. Menurutnya, penafsiran dalam Islam itu ada aturannya, yaitu; pertama penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an; kedua al-Quran dengan Sunnah; dan ketiga al-Qur’an dengan aqwalush shahabat wat tabiin. Tidak bisa agama diberikan penafsiran secara asal-asalan. Pernyataan setuju mengenai definisi penodaan yang terdapat dalam UU No.1/PNPS/1965, disampaikan oleh Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Mataram. Menurutnya, penistaan itu dari kata nista yang berarti pelecehan terhadap hal-hal yang diyakini prinsipil oleh umat Islam. Sesuatu hal yang prinsip kemudian dilecehkan, maka perbuatan tersebut Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
136
Asnawati
dikatakan telah melakukan penodaan. Karena itulah penodaan termasuk kategori lebih berat dari penistaan. Nista itu tidak sekeras noda. Dimana setiap penodaan ada penistaan tetapi setiap penistaan belum tentu melakukan penodaan. Penodaan itu sama halnya dengan merendahkan (menodai) atau melakukan penghinaan atau mengolok-olokkan. Tingkat dari penistaan, bisa kemungkinan besar atau kecil, yang substantif atau tidak. Menurut Dr. Fachrurozi, salah satu bentuk penistaan agama yang terjadi di Lombok ini adalah Ahmadiyah. Karena Ahmadiyah di sini sudah melanggar masalah ushuliyah (prinsip dasar) yang disepakati agama Islam, yaitu meyakini adanya nabi setelah Nabi Muhammad. Menurut keyakinan warga Ahmadiyah, kata “khotam” dalam khotamun nabiyyin itu diartikan cincin yang bisa dipindah. Jadi, menurut mereka, kenabian setelah nabi Muhammad juga bisa berpindah. Walaupun Ahmadiyah melakukan penistaan agama, penyelesaiannya tidak bisa dilakukan dengan cara radikal, dengan cara gholizhol qalbi, seperti yang dilakukan MMI dan FPI. Namun penanganan kasus-kasus semacam ini perlu dilakukan dengan pendekatan persuasif, wajadilhum billati hiya ahsan, baik secara struktural melalui pemerintah maupun dengan cara kultural melalui tokoh masyarakat/agama. Penistaan, menurut Dr. Fachrurrozi adalah pelecehan terhadap masalah-masalah ushuliyah (pokok) dalam agama yang sudah mujma’alaih (disepakati ulama), seperti rukun iman, rukun Islam, al-Qur’an dan kenabian. Sedangkan penodaan agama itu lebih berat dari penistaan. Ibarat gelas berisi air putih jernih dinodai dengan tinta hitam. Dalam istilah bahasa Arab itu ada tashir (penistaan) dan tahkir (penodaan). Menurut Ketua KUB Drs. Abdul Aziz Fahmi bahwa penistaan/penodaan adalah orang yang melakukan perbuatan HARMONI
Januari - April 2016
dengan menyamakan atau menyerupai pokok-pokok ajaran Islam yang tidak bersumber pada al-Qur’an dan hadits (mengingkari). Artinya, penodaan agama adalah bila setiap orang yang dengan sengaja menambah atau mengurangi pokok-pokok ajaran agama dengan paham atau perbuatan di muka umum dengan maksud untuk mempengaruhi atau mengajak masyarakat agar mengikutinya. Seperti Ahmadiyah, mengakui ada nabi sesudah nabi Muhammad, menambah alQur’an dan hadist nabi dengan ungkapan Mirza Gulam Ahmad. Sedangkan penistaan agama adalah setiap orang yang dengan sengaja di depan umum melakukan perbuatan menghina pokokpokok ajaran agama atau simbol-simbol agama. Contoh, pembakaran Al-qur’an, penghinaan terhadap nabi/rasul. Terkait dengan agama-agama selain 6 agama di Indonesia, seperti agama Zoroaster, Tao, Yahudi dan sebagainya, menurutnya adalah agama-agama yang mendapat jaminan dari pemerintah karena difasilitasi. Mereka dapat melakukan aktifitas keagamaannya, asalkan sepanjang tidak melakukan sesuatu yang membahayakan bagi kehidupan keagamaan di Indonesia. Karena keberadaannya itu di jamin dalam UU. PNPS tahun 1965. Karena di Indonesia tidak ada agama resmi, yang ada hanya agama yang dilayani dan difasilitasi, dan tidak menutup kemungkinan agamaagama ini akan difasilitasi. Sedangkan menurut Harfin Zuhdi Ketua LTM NU NTB juga menyatakan setuju dengan pernyataan definisi penodaan agama yang ada di dalam UU PNPS tersebut. Penistaan/penodaan agama adalah segala perbuatan yang menggunakan kata-kata tertulis dan gambar yang secara langsung maupun tidak langsung menodai kesucian Allah SWT, kehormatan Nabi Muhammad SAW, dan Al Quran. Termasuk penodaan agama adalah melakukan stigmatisasi
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
atau pelabelan negatif yang bercitra buruk, mulai penghinaan hingga kekerasan, dan atau tindakan penganut agama tertentu yang memasuki ranah agama lain yang bukan haknya. Baginya, pengertian di muka umum adalah segala tindakan, ucapan atau hasutan terhadap penistaan agama yang dipublikasikan secara luas kepada orang lain di tempat publik atau tempat umum yang bisa diakses oleh orang lain.
Hukuman Terhadap Orang yang Melakukan Penistaan/Penodaan Agama Menurut Ketua MUI NTB, diberikan sanksi bagi pelaku penodaan/ penistaan agama, dalam UU No. 1/ PNPS/1965, perlu dilihat kesalahannya. Penistaan atau penodaannya seperti apa, sehingga dia harus dihukum. Kalau memang penodaan/penistaannya besar, hukumannya harus lebih dari 5 (lima) tahun, supaya ada efek jera. Orang yang berani melakukan penodaan/penistaan agama biasanya orang pintar, mempunyai ilmu. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dinasehati atau didakwahi., tetapi proses hukum juga harus berjalan. Dalam Islam, perbuatan penodaan agama (seperti Muzailamah Alkazdab yang mengaku nabi) harus diperangi. Pandangan yang sama terkait lamanya hukuman bagi pelaku tindak penodaan/penistaan agama, menurut Ketua FKUB, dan Ketua KUB bahwa sanksi terhadap pelaku penistaan/ penodaan agama yang ada dalam UU PNPS maksimal 5 (lima) tahun ini perlu ditambah, karena masih terlalu ringan, sehingga tidak ada efek jera. Misalnya Lia Aminuddin setelah keluar penjara melakukan kegiatan serupa lagi, maka ada tingkatan kedua dengan pelarangan, dan terakhir baru pembubaran Dan kalau dia lebih lama di lembaga pemasyarakatan tentu akan lebih banyak mendapatkan bimbingan untuk bertobat.
137
Karena pelaku penodaan agama dalam Islam bisa dikategorikan murtad, yang hukumannya harus dibunuh. Demikian pula halnya menurut Ketua PWNU dan Ketua Forum Pondok Pesantren NTB mengatakan bahwa, sanksi terhadap pelaku penistaan/ penodaan agama, juga maksimal 5 tahun penjara. Karena dalam Islam, orang yang menistakan agama itu bisa dihukum murtad, membawa kekufuran dan harus taubat, kalau tidak maka sanksinya adalah dibunuh. Tapi kalau kita memakai UU No. 1/PNPS/1965 itu, harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut pemuka agama Muhammadiyah dan tokoh NW Anjani serta pengasuh Pesantren Bagu Lombok Barat, berpandangan sama, yaitu hukuman yang diberikan kepada yang telah melakukan penghinaan terhadap agama, mestinya lebih dari 5 tahun, sebab yang di hukum dibawah 5 tahun belum memberikan efek jera, namun tetap perlu diberi nasehat. Menurut Ketua Dewan Dakwah NTB, bahwa sanksi terhadap pelaku penodaan/penistaan agama diserahkan kepada hakim saja, bisa fleksibel dalam menjatuhkan hukuman. Bagi pendiri aliran sesat misalnya mungkin bisa sampai dihukum mati, tetapi untuk pengikutnya, apalagi yang minus pengetahuan agamanya, maka dengan hukuman 5 tahun penjara terlalu berat. Jadi harus ada perbedaan vonis hukuman antara pendiri ajaran sesat dengan pengikutnya. Dalam ajaran Islam, pelaku penodaan agama itu harus diperangi. Berbeda dengan pendapat pemuka-pemuka agama di atas dengan Sekretaris PWNW Pancor dan Pembantu Dekan I Fakulktas Dakwah IAIN Mataram, berpendapat bahwa hukuman bagi pelaku penodaan/penistaan agama dalam UU PNPS yang maksimal 5 tahun Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
138
Asnawati
penjara sudah cukup memberikan efek jera bagi pelakunya. Karena kalau terlalu lama, mungkin dia mempunyai keluarga yang membutuhkannya, seperti keluarga yang harus dia nafkahi. Dan lebih baik orang yang melakukan penodaan/ penistaan agama dinasehati dulu sebelum dihukum. Tetapi bila penodaannya itu mengenai masalah ushul/prinsip agama, seperti aqidah/ubudiyah bisa menjadi murtad, dan hukumannya dibunuh. Ketua LTM NU NTB mengemukakan bahwa menurut ajaran Islam (fiqh) hukuman bagi pelaku penistaan agama bisa di ta’zir, dipenjara atau bisa juga dibunuh, karena diqiaskan kepada hukum murtad.
Pokok-Pokok Ajaran Agama Menurut Pemuka Agama NTB
Islam
Menurut Ketua FKUB NTB, pokokpokok ajaran Islam itu menyangkut aqidah dan syariah. Akidah berkaitan dengan ketuhanan dan keesaan Allah, dan syariah berkaitan dengan ibadah dan muamalah. Menurutnya, perbedaan aliran/sekte dalam Islam adalah suatu hal biasa, seperti empat mazhab dalam fikih (Imam Malik berbeda dengan Hanafi, Syafii berbeda dengan Hanbali) itu hal biasa dan mereka toleran. Menurut Ketua PWNU NTB bahwa pokok-pokok ajaran Islam adalah Iman, Islam, dan Ihsan. Kalau ada orang yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam itulah disebut melakukan penistaan agama. Menurut Ketua Forum Pondok Pesantren NTB, pokok-pokok ajaran agama adalah ajaran-ajaran agama yang berkaitan dengan akidah, rukun iman dan ibadah yang tidak ada khilaf di antara ulama. Kaitannya dengan aliran sesat di intern umat Islam itu sudah jelas, tidak bisa diterima dan wajib diluruskan. HARMONI
Januari - April 2016
Sementara itu menurut Sekretaris PWNW Pancor: bahwa pokok-pokok ajaran Islam adalah rukun Islam yang lima, yang disebut ibadah mahdhoh, ibadah yang tidak bisa ditafsirkan. Kalau ini ditafsirkan bisa terjadi kesesatan, karena sangat sensitif. Selain rukun Islam yang lima, bisa juga terjadi penyimpangan tetapi tidak sekuat di ibadah mahdhoh. Menurutnya, kriteria penodaan/penistaan agama itu; pertama dia mempunyai paham yang sesat dari hal-hal yang mujma’ alaih; kedua, ajaran itu dia sebarkan atau di sampaikan kepada orang lain, kemudian ketiga yang paling penting adalah ada kesepakatan ulama secara umum (MUI) bahwa yang di sampaikan itu adalah ajaran sesat. Menurut KUB Kemenag bahwa pokok-pokok ajaran dalam adalah ajaran fundamental dalam (rukun Islam). Ini yang tidak diselewengkan.
NTB, Islam Islam boleh
Menurut Harfin Zuhdi Ketua LTM NU mengatakan pokok-pokok ajaran agama Islam itu ada dua, yaitu rukun Iman dan rukun Islam. Adapun dalil rukun Iman terdapat dalam al-Quran antara lain: “Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitabkitab, nabi-nabi (:Q.S. Al-Baqarah: 177); Sedangkan dalil rukun Islam adalah hadits Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda: “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: syahadat bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, naik haji, dan puasa Ramadhan.” [HR Muslim]. Pokok-pokok ajaran Islam itu adalah aqidah, syari’ah dan akhlaq. Menurut Ketua FKUB, UU PNPS ini sudah dilaksanakan dengan baik.
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Namun menurutnya perlu ditambah pasal-pasal yang menyangkut penyimpangan dan sanksinya. Dan yang berhak menentukan bahwa seseorang itu melakukan penistaan/penodaan agama adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) bersama Kementerian Agama setelah mendapatkan laporan dari masyarakat. Menurut Ketua Forum Pondok Pesantren, Sekretaris PWNW Pancor dan Ketua Dewan Dakwah NTB mengatakan bahwa implementasi UU ini sudah baik namun masih kurang maksimal, karena masih ada orang yang memiliki penafsiran sendiri yang menyimpang, tetapi belum ditindak oleh pemerintah. Dan yang berhak memvonis pelaku penodaan/penistaan agama adalah MUI dan pemerintah/Kementerian Agama ikut berkontribusi. Menurut Ketua KUB dan LTM NU, mengatakan sesungguhnya UU. PNPS itu sudah sangat bagus dan jelas, ada tahapan-tahapan yang akan dilakukan. Mestinya harus ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah, sehingga tidak mandul. Karena itu perlu direvisi agar lebih baik.
Analisis dan Pembahasan Setelah mengamati apa yang diungkapkan para pemimpin Ormas Islam dan tokoh masyarakat di atas, menunjukkan bahwa adanya kecenderungan yang sama dalam memandang UU No.1 /PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini. Dari 12 informan yang telah kami wawancarai di atas, terdapat 7 orang yang menyatakan sudah tahu dan pernah membaca UU ini. Sisanya 5 orang mengaku belum tahu dan belum pernah membacanya. Dan sebagian besar informan menyatakan bahwa di NTB pernah terjadi kasus
139
penodaan agama, di antaranya yaitu: kasus Jemaat Ahmadiyah, Aliran tarekat yang mengajarkan nikah batin yang dilakukan Rudi Hartono, Nikah lebih dari 4 istri di Lombok Tengah, Namatan Sholat, dan Amak Bakrie yang mengaku sebagai nabi. Berkaitan dengan definisi penodaan agama yang terdapat dalam UU ini, semua informan mengatakan setuju dengan konsep definisi tersebut. Dan pendapat mereka tentang konsep penistaan/penodaan agama cenderung sama, meskipun mereka ungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda. Pendapat mereka tentang konsep penistaan/penodaan agama di atas tidak lepas dari pemahaman mereka tentang pengertian murtad. Dimana dalam beberapa kitab disebutkan bahwa pengertian murtad itu antara lain: Pertama, pendapat Imam asShowi (w : 1241 H) dari madzhab Maliki yang mengatakan: “ Riddah adalah seorang muslim yang kembali menjadi kafir dengan perkataan yang terangterangan, atau perkataan yang membawa kepada kekafiran, atau perbuatan yang mengandung kekafiran. (“Muhammad as-Showi al-Maliki, Hasyiyah ash-Showi ‘ala asy-Syarh as-Shogir, Jilid VI, hal. 144). Kedua, Imam an-Nawawi (w: 676 H) dari madzhab Syafi’i mengungkapkan: “Riddah adalah memutus Islam dengan niat atau perkataan, atau dengan perbuatan, baik dengan mengatakan hal tersebut karena mengolok-ngolok, atau karena ngeyel, atau karena keyakinannya“. (Muhyiddin anNawawi, Minhaj ath-Thalibin, (Bairut: Dar al-Fikr, t. th.), hal. 293). Mengenai pandangan tentang sanksi pelaku penistaan/penodaan agama, sebagian besar informan, yaitu 9 orang menyatakan hukuman maksimal 5 tahun penjara belum cukup, harus ditambah. Sedangkan 3 orang lainnya menyatakan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
140
Asnawati
bahwa hukuman maksimal 5 tahun penjara sudah cukup memberi efek jera. Sedangkan dalam ajaran Islam, menurut semua informan, orang yang melakukan penodaan agama dikatagorikan murtad, harus diperangi dan bahkan dibunuh. Dan hampir semua informan menyatakan bahwa yang berwenang menetapkan pelaku bentuk penistaan/penodaan agama adalah pemerintah (Kemenag) dan MUI. Terkait pandangan informan mengenai kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama ini terdapat perbedaan pandangan. Ada 5 orang informan yang mengatakan bahwa pelaksanaan UU ini sudah baik, terbukti sudah berhasil menjerat para pelaku penodaan agama. Ada 3 orang informan yang menyatakan pemerintah belum maksimal dalam melaksanakan UU ini, karena menurut mereka masih banyak pelaku penodaan agama yang belum ditindak. Sedangkan sisanya, 4 orang tidak menjawab/tidak tahu.
Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, terkait dengan pengetahuan pemuka agama terhadap UU No. 1/ PNPS/1965 menunjukkan adanya kecenderungan yang sama dari para pemuka agama dalam memandang UU No.1 /PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dimana sebagian dari para pemuka agama menyatakan sudah tahu dan pernah membaca UU No.1/PNPS/1965. Dan sebagian lagi mengatakan belum tahu dan belum pernah membaca isi UU No.1/PNPS/1965. Bahkan di NTB pernah terjadi beberapa kasus terkait dengan penistaan/penodaan agama, seperti kasus HARMONI
Januari - April 2016
Jemaat Ahmadiyah, Aliran tarekat yang mengajarkan nikah batin, Nikah lebih dari 4 istri di Lombok Tengah, dan Amak Bakri yang mengaku sebagai nabi. Kasus tersebut sudah diselesaikan di pengadilan kecuali kasus Jemaat Ahmadiyah masih menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah NTB. Kedua, terkait dengan konsep penistaan/penodaan agama berupa penafsiran para pemuka agama, bahwa sebagian dari mereka setuju dengan konsep penodaan agama dan harus dipertahankan, karena dianggap melanggar pokok-pokok ajaran agama. Ini bisa dipahami karena sebagian besar sudah tahu dan pernah membaca UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Ketiga, hukuman bagi pelaku penodaan agama yang maksimal 5 tahun penjara khususnya bagi para penggagas tidaklah cukup, bahkan perlu ditamah karena belum memberikan efek jera. Hukuman berat tersebut bisa menjadi upaya preventif agar tidak terjadi lagi tindakan penistaan terhadap agama. Keempat, sebagian besar pandangan pemuka agama Islam tentang pokokpokok ajaran Islam adalah ajaran-ajaran yang menyangkut aqidah dan syariah atau rukun iman dan rukun Islam. Kelima,terkait dengan pelaksanaan UU No.1/PNPS/1965, menurut para pemuka agama sudah cukup baik, terbukti dengan telah dijatuhinya sanksi hukuman bagi pelaku penodaan agama. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa pemerintah belum maksimal dalam melaksanakan UU No.1/PNPS/1965, karena masih banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku penodaan agama, belum di tindak, meskipun ada yang menjawab tidak tahu.
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
Rekomendasi Berdasarkan hasil temuan lapangan dan kajian di atas, berapa hal yang dianggap penting sebagai perhatian dan mendesak untuk diambil langkah kongkrit oleh Pemerintah adalah beberapa rekomendasi terkait berikut. Pertama, pentingnya untuk melakukan sosialisasi UU No. 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama ini, karena masih banyak pemuka agama yang belum tahu
141
dan belum pernah membaca UU tersebut. Sosialisasi menjadi tambah penting karena pada dasa warsa terakhir ini kasus penodaan agama cenderung meningkat. Kedua, perlu segera dilakukan revisi untuk perbaikan dan penyempurnaan UU PNPS ini, karena banyak sekali perubahan situasi dan kondisi yang perlu diakomodir di dalamnya. Selain itu, UU ini masih terdapat hal-hal yang bersifat umum sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan penafsiran di masyarakat.
Daftar Pustaka An-Nawawi, Muhyiddin, Minhaj ath-Thalibin, Bairut: Dar al-Fikr, t. th. Assasriwarni, Undang-Undang No. 1 /PNPS/1965 Tentang pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama dari Perspektif Agama di Indonesia, Makalah. As-Showi, Muhammad al-Maliki, Hasyiyah ash-Showi ‘ala asy-Syarh as-Shogir, Jilid VI. Badan Pusat Statistik (BPS) NTB, Statistik NTB, Mataram: UD. Cita Darmayani, 1995. Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Bappeda Propinsi NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka, Mataram: BPS NTB dan BAPPEDA, 2004. Banum, Sri Muslim, Hasil Penelitian: Islam di Pulau Lombok, Mataram: STAIN Mataram, 1999. BPS NTB 2012, NTB Dalam Angka Tahun 2012 Budiwanti, Erni, Islam Sasak, Yogyakarta: LkiS, 2000. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat, Jakarta: CV. Eka Darma, 1997. Dja’far, Alamsyah M, Mengadilikeyakinan: KajianPutusanMahkamahKonstitusiatas UU PencegahanPenodaan Agama, Jakarta: ICRP, 2010. Djelenga, Lalu, Keris di Lombok, Mataram: Yayasan Pusaka Selaparang, 2002. Dwi Handes, Agung Dhedy, Peranan Kejaksaan dalam Pengawasan AliranKepercayaandan Pencegahan/Penyalahagunaan dan/atau penodaan Agama di Tinjau dari Perspektif penegakan Hukum Pidana. Fakultas Hukum. Programpascasarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. 2011, Tesis. Hamdi, Saipul, Politik Islah: Re-Negosiasi Islah, Konflik, dan Kekuasaan dalam Nahdlatul Waton di Lombok, dalam Jurnah Kawiatara Pascasarjana UGM, Vol. 1, Nomor 1 2012. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
142
Asnawati
http://obi32softskill-repository.blogspot.com/2012/10/penduduk-masyarakat-dankebudayaan.html diakses pada Kamis, 24 Oktober 2013. Kantor Perwakilan Badan Pusat Statistik (BPS), Statistik NTB, Mataram: UD. Cita Darmayani, 1995. Kompilasi Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, edisi kesebelas, Kementerian Agama RI, Badan Litbang dan Diklat, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2012, hal 185. Mudzhar, M. Atho. Makalah. Pengaturan kebebasan Beragama dan Penodaan Agama di Indoensidi Indonesia dan Berbagai Negara. Di Sampaikan pada kegiatan kajian Putusan Mahkamah Konstitusitentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama terhadap UUD 1945, di Hotel Inna Muara Padang, Penyelenggara Kementerian Hukum dan HAM RI, Senin, 28 Juni. 2010. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, No. 140/PUU-VII/2009. Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 84/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Kamis, 31 Januari 2013. Rumadi, Delik Penodaan Agama dan Kehidupan beragama dalam KUHP. Makalah, UIN Jkt. Suaedy, Ahmad dan Rumadi, Pasal Penodaan Agama dalam KUHP dalam Buletin the Wahid Institute, No.2/Juni 2006. Team Penyusun Monografi Daerah NTB, Monografi Daerah NTB, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977. Wacana, Lalu dkk, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah NTB, Mataram, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991. www.hasanulismailr.blogspot.com/2009/06/pengertian,hal 1203, diunduh tgl 25 Maret 2012. Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, Profil Propinsi Republik Indonesia: Nusa Tenggara Barat, Jakarta: PT. Intermasa, 1992.
Wawancara: Wawancara dengan Tgh. Sahdan Ilyas pada hari Jum’at, 6 September 2013 Wawancara dengan Prof. Saiful Muslim pada hari Minggu, 8 September 2013 Wawancara dengan Drs. Abdul Aziz Fahmi pada hari Selasa, 10 September 2013 Wawancara dengan M. Harfin Zuhdi pada hari Rabu, 11 September 2013 Wawancara dengan Tgh. Taqyuddin Mansyur pada hari Minggu, 8 September 2013 Wawancara dengan Tgh. Shofwan Hakim pada hari Senin, 9 September 2013 Wawancara dengan Ir. H. Subhan pada hari Kamis, 5 September 2013 Wawancara dengan Tgh. Muharror Mahfudz pada hari Selasa, 10 September 2013 HARMONI
Januari - April 2016
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
143
Wawancara dengan Dr. Muslihun pada hari Sabtu, 7 September 2013 Wawancara dengan Tgh. KH. Turmudzi Badruddin Selasa, 10 September 2013 Wawancara dengan Dr. Fachrurozi pada hari Kamis, 5 September 2013 Wawancara dengan Drs. H. Alidah Nur pada hari Jum’at, 6 September 2013
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
144
Agus Mulyono
Penelitian
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota Yogyakarta Agus Mulyono
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 20 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
This research found the model of empowerment in“St. Albertus Agung” Jetis Church and “Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela” Kumetiran Churchin Yogyakarta shows that the management of both synagogues has been put in a hierarchical structure starting from the Diocese, to the Vicariate (bishop representatives with specific region), and then to the parish by parish priests and his officials. This pattern is a typical of Catholicism, and the same pattern of organization applies also to the parish. The difference is on the way of the organization operates, which depends on the leadership and creativity of the Parish Priest.
Hasil penelitian model pemberdayaan Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran di Kota Yogyakarta menunjukan bahwa pengelolaan kedua rumah ibadat digariskan secara hirarkis mulai dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas Pastor Paroki.
Meanwhile the economic empowerment of the people to the church is not too visible. The main reason is the economic empowerment of the people is mostly oriented to charity. Whereas, the church facilitates some trainings like trade training to enhance their income. For other programs, the church also provides funds with mortgage payment relief as has been practiced in the parish of Santo Albertus Jetis Yogyakarta. The provision of this fund is caricative in naure. The donation that the two churches receive consists of gwriless and sound systems and some funds for the youth councelling. In the beginning of the year, the church planned to establish pastoral services and they evaluate the program by the end of the year as an overall evaluation for the whole program. Keywords: Diocese, Vicariate, the parish priest, Eucharisti, and charitable. HARMONI
Januari - April 2016
Pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak begitu kelihatan. Adapun upaya yang difasilitasi adalah berupa pelatihanpelatihan kepada umat untuk menambah penghasilan mereka misalnya, berdagang. Ada juga pemberian pinjaman dana dengan keringanan pembayaran cicilan seperti yang dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis Yogyakarta. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif. Bantuan yang diterima oleh kedua gereja tersebut adalah berupa hibah barang/peralatan seperti sarana wireless/sound system, dan bantuan sejumlah dana untuk kegiatan pembinaan orang muda Katolik. Pada awal tahun Dewan Paroki Pleno merencanakan program pelayanan pastoral paroki dan pada akhir tahun Dewan Paroki Pleno melakukan evaluasi dan refleksi pelayanan pastoral atas semua program dan kegiatan dalam setahun. Kesadaran untuk terlibat dalam melayani umat dan menyumbangkan tenaga, dana dan waktu untuk terlibat dalam pembangunan iman umat paroki tanpa gaji atau honor, ini menjadi faktor pendukung keberadaan kedua gereja tersebut. Sedangkan faktor penghambatnya adalah masih rendahnya kesediaan sebagian jemaat gereja dalam memberikan dana kolekte, tidak seimbang jika dibanding dengan gaya hidup mereka. Kata kunci: Keuskupan, Kevikepan, Pastor Paroki, Ekaristi, dan Karitatif.
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
Pendahuluan Umat Katolik Indonesia berada di bawah kepemimpinan Paus/Uskup Agung Roma dalam kesatuan dengan para Uskup di seluruh dunia. Uskup adalah orang yang ditahbiskan untuk menerima kepenuhan imamat dan ditunjuk untuk memimpin suatu keuskupan dengan pelayanan pengajaran, reksa pastoral dan ibadah. Sebagai pengganti para rasul, bersama seluruh dewan para uskup, ia mempunyai tanggung jawab bagi seluruh Gereja (Dokumen Konsili Vatikan II, LG 22-23). Uskup bersama pembantu mereka, yaitu para imam/romo dan diakon, mereka bertugas memimpin umat, sebagai guru dalam ajaran (tugas mengajar), imam dalam ibadat suci (tugas menguduskan), dan pelayan dalam bimbingan (tugas menggembalakan/ memimpin/ melayani dengan teladan dan wibawa) (Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, LG 20-27). Umat Katolik yang di parokiparoki di D.I. Yogyakarta berada di bawah kepemimpinan (reksa pastoral) Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Semarang. Propinsi Gerejawi Keuskupan Agung Semarang diketuai oleh Uskup Metropolit yang adalah Uskup Agung untuk memimpin wilayah keuskupan yang ditentukan dan disetujui oleh Paus (Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 435). Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kegembalaan, maka Keuskupan Agung Semarang dibagi menjadi 4 wilayah kevikepan yaitu a. Kevikepan Semarang b. Kevikepan Kedu c. Kevikepan Yogyakarta d. Kevikepan Surakarta Keuskupan Agung Semarang untuk wilayah Kevikepan DI Yogyakarta dipimpin seorang Romo Vikep, yang wilayah kegembalaannya terdiri dari
145
30, antara lain: Paroki Kidul Loji, Paroki Babadan, Paroki Baciro, Paroki Banteng, Paroki Bantul, Paroki Bintaran, Paroki Boro, Paroki Gamping, Paroki Ganjuran, Paroki Jetis, Paroki Kalasan, Paroki Kelor, Paroki Klepu, Paroki Kotabaru, Paroki Kumetiran, Paroki Medari, Paroki Minomartani, Paroki Mlati, Paroki Nanggulan, Paroki Pakem, Paroki Pangkalan, Paroki Pringwulung, Paroki Promasan, Paroki Pugeran, Paroki Sedayu, Paroki Somohiran, Paroki Wates, Paroki Wonosari, Paroki Pringgolayan, dan Paroki Nandan. Kevikepan (vikaris episkopal) merupakan pembagian wilayah pelayanan keuskupan yang terdiri parokiparoki yang dipimpin oleh seorang wakil Uskup yang disebut Romo Vikep. Kevikepan Yogyakarta terdiri dari 33 Paroki. Salah satunya adalah Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta. Paroki adalah jemaat tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam gereja partikular dan yang reksa pastoral (arah kegembalaan/ kepemimpinannya) dibawah otoritas Uskup diosesan/ keuskupan, dipercayakan kepada pastorparoki sebagai gembala/ pemimpinnya sendiri (Hukum Gereja Katoliki, KHK. 515). Dalam paroki itu, umat menjadi warga Gereja melalui baptisan. Di dalam Paroki terdapat pembinaan iman umat dan karya pelayanan dilaksanakan: pelayanan kepada orang sakit, orangorang yang tua, dan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Pusat kehidupan paroki adalah perayaan Ekaristi dan pewartaan Sabda Allah. Pastor Paroki/Romo Paroki adalah pemimpin (gembala) masing-masing paroki yang diserahkan kepada dirinya dan menunaikan tugas kepemimpinan (reksa pastoral) jemaat yang dipercayakan kepada dirinya di bawah otoritas Uskup setempat yang dipanggil mengambil bagian dalam pelayanan Kristus, untuk menjalankan tugas-tugas mengajar, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
146
Agus Mulyono
menguduskan dan memimpin jemaat dengan kerjasama dengan imam/pastor, diakon dan umat beriman kristiani awam menurut hukum Gereja Katolik (Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 519) Perayaan Sakramen Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup rohani Kristiani dimana perayaan tersebut untuk mengenang perjamuan malam terakhir yang diadakah oleh Kristus. Dalam perjamuan itu Yesus mengumpamakan tubuh dan darah-Nya dalam rupa roti dan anggur yang dibagi-bagikan kepada para rasul. Perbuatan simbolis ini menunjukkan bahwa Yesus mengorbankan tubuh dan darahNya (nyawaNya) untuk menyelamatkan semua orang. Dengan demikian perayaan Ekaristi merupakan perayaan kurban dan persembahan diri bagi orang lain, yang merupakan panggilan semua orang kristiani untuk memberikan diri membagikan kebaikan Tuhan. Sakramen Ekaristi sering disebut sakramen cintakasih, lembang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah (Konsili Vatikan II, SC art. 47) Setiap paroki harus mengikuti ARAH DASAR PASTORAL (baca: mirip GBHN RI) yang telah ditetapkan oleh Uskup agung bersama dewannya. Arah dasar pastoral Keuskupan Agung Semarang tahun 2011-2015, adalah seperti pada kutipan berikut: “Umat Allah Keuskupan Agung Semarang, sebagai persekutuanpaguyuban murid-murid Yesus Kristus, dalam bimbingan Roh Kudus, berupaya menghadirkan Kerajaan Allah sehingga semakin signifikan dan relevan bagi warganya dan masyarakat . Dalam masyarakat Indonesia yang sedang berjuang menuju tatanan hidup baru yang adil, damai, sejahtera dan demokratis, umat Allah berperan secara aktif mengembangkan habitus baru berdasarkan semangat Injil dan HARMONI
Januari - April 2016
beriman mendalam dan tangguh serta ambil bagian mewujudkan kesejahteraan umum. Langkah pastoral yang ditempuh adalah: -
pengembangan umat Allah, terutama optimalisasi peran kaum awam, secara kesinambungan dan terpadu dalam mewujudkan iman di tengah masyarakat;
- pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel; serta -
pelestarian keutuhan ciptaan.
Langkah tersebut didukung oleh tata penggembalaan/kepemimpinan yang sinergis, mencerdaskan dan memberdayakan umat beriman, serta memberikan peran pada berbagai kharisma yang hidup dalam diri pribadi maupun kelompok. Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dengan tulus, setia, dan rendah hati bertekad bulat melaksanakan upaya tersebut, serta mempercayakan diri pada penyelenggaraan ilahi seturut teladan Maria, hamba Allah dan Bunda Gereja. Allah memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya (Bdk. Flp. 1:6)”. Skema Organisasi Paroki yang ada di Keuskupan Semarang: a. Pimpinan Tertinggi: Uskup Roma/ Takhta Suci/ Paus di Vatikan b. Uskup Agung Semarang c. Romo Vikaris Episkopal (vikep) D.I. Yogyakarta d. Romo Paroki-Paroki yang ada di KevikepanYogyakarta e. Ketua Bidang, f. Ketua Tim Kerja. g. Ketua wilayah, h. Ketua Lingkungan i. Umat
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana hasil kajiannya bersifat deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus yang menjelaskan model pemberdayaan Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran di Kota Yogyakarta. Masalah Penelitian: 1. Bagaimana model pengelolaan kedua Gereja itu dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama? 2. Bagaimana pengurus kedua Gereja itu dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada? 3. Bagaimana mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfaatan), dan pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima kedua Gereja itu? 4. Apa faktor yang menjadi pendorong dan penghambat pengelolaan kedua Gereja itu dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdaya an umat? Adapun tujuan dari penelitian ini ialah: a) Mengetahui model-model pengelolaan kedua Gereja itu dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama; b) Mengetahui upaya pengurus kedua Gereja itu dalam mengoptimalisasikan modal sosial yang ada; c) Mengetahui mekanisme pengumpulan, pengelolaan, pendistribusian (pemanfa atan), pengawasan terhadap dana bantuan yang diterima; d) Mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat kedua Gereja dalam pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat.
Gambaran Umum Wilayah Penelitian Umat Katolik Indonesia berada di bawah kepemimpinan Paus/Uskup
147
Agung Roma dalam kesatuan dengan para Uskup di seluruh dunia. Kuasa kepemimpinan dalam gereja diberikan kepada mereka yang tertahbis didasarkan pada penetapan ilahi, orang-orang beriman kristiani awam (jemaat) dapat diikutsertakan menurut norma hukum gereja (bdk. KHK. 129,1 &2). Fungsi greja adalah persekutuan (komunio), perayaan ibadat (liturgia), pelayanan (diakonia) dan kesaksian hidup (martyra). Gereja adalah himpunan umat yang percaya kepada Allah sehingga umat Allah wajib ikut melaksanakan fungsi gereja tersebut. Keuskupan adalah bagian dari umat Allah, yang dipercayakan kepada Uskup untuk digembalakan dalam kerjasama dengan para imam, sedemikian rupa sehingga dengan mengikuti gembalanya (pemimpinnya) dan dihimpun olehnya dengan Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk gereja partikular, di mana sungguh-sungguh terwujud dan berkarya gereja Kristus yang satu,kudus, katolik dan apostolik (KHK. 369). Uskup adalah orang yang ditahbiskan untuk menerima kepenuhan imamat dan ditunjuk untuk memimpin suatu keuskupan dengan pelayanan pengajaran, reksa pastoral dan ibadah. Sebagai pengganti para rasul, bersama seluruh dewan para uskup, ia mempunyai tanggung jawab bagi seluruh gereja (Dokumen Konsili Vatikan II, LG 22-23). Uskup bersama pembantu mereka, yaitu para imam/romo dan diakon, mereka bertugas memimpin umat, sebagai guru dalam ajaran (tugas mengajar), imam dalam ibadat suci (tugas menguduskan), dan pelayan dalam bimbingan (tugas menggembalakan/memimpin/melayani dengan teladan dan wibawa) (Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, LG 20-27). Umat Katolik yang di parokiparoki D.I. Yogyakarta berada di bawah kepemimpinan (reksa pastoral) Provinsi Gerejawi Keuskupan Agung Semarang. Propinsi Gerejawi Keuskupan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
148
Agus Mulyono
Agung Semarang diketuai oleh Uskup Metropolit yang adalah Uskup Agung untuk memimpin wilayah keuskupan yang ditentukan dan disetujui oleh Paus (Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 435). Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan kegembalaan, maka Keuskupan Agung Semarang dibagi menjadi 4 wilayah kevikepan yaitu 1. Kevikepan Semarang 2. Kevikepan Kedu 3. Kevikepan Yogyakarta 4. Kevikepan Surakarta Keuskupan Agung Semarang untuk wilayah Kevikepan D.I. Yogyakarta dipimpin seorang Romo Vikep, yang wilayah kegembalaannya terdiri dari 30, antara lain Paroki Kidul Loji, Paroki Babadan, Paroki Baciro, Paroki Banteng, Paroki Bantul, Paroki Bintaran, Paroki Boro, Paroki Gamping, Paroki Ganjuran, Paroki Jetis, Paroki Kalasan, Paroki Kelor, Paroki Klepu, Paroki Kotabaru, Paroki Kumetiran, Paroki Medari, Paroki Minomartani, Paroki Mlati, Paroki Nanggulan, Paroki Pakem, Paroki Pangkalan, Paroki Pringwulung, Paroki Promasan, Paroki Pugeran, Paroki Sedayu, Paroki Somohiran, Paroki Wates, Paroki Wonosari, Paroki Pringgolayan, dan Paroki Nandan. Kevikepan (vikaris episkopal) merupakan pembagian wilayah pelayanan keuskupan yang terdiri parokiparoki yang dipimpin oleh seorang wakil Uskup yang disebut Romo Vikep. Kevikepan Yogyakarta terdiri dari 33 Paroki. Salah satunya adalah Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta. Paroki adalah jemaat tertentu kaum beriman kristiani yang dibentuk secara tetap dalam gereja partikular dan yang reksa pastoral (arah kegembalaan/kepemimpinannya) di bawah otoritas Uskup diosesan/ keuskupan, dipercayakan kepada pastorparoki sebagai gembala/pemimpinnya HARMONI
Januari - April 2016
sendiri (Hukum Gereja Katoliki, KHK. 515). Dalam paroki itu, umat menjadi warga gereja melalui baptisan. Di dalam Paroki terdapat pembinaan iman umat dan karya pelayanan dilaksanakan pelayanan kepada orang sakit, orangorang yang tua, dan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. Pusat kehidupan paroki adalah perayaan Ekaristi dan pewartaan Sabda Allah. Pastor Paroki/Romo Paroki adalah pemimpin (gembala) masing-masing paroki yang diserahkan kepada dirinya dan menunaikan tugas kepemimpinan (reksa pastoral) jemaat yang dipercayakan kepada dirinya di bawah otoritas Uskup setempat yang dipanggil mengambil bagian dalam pelayanan Kristus, untuk menjalankan tugas-tugas mengajar, menguduskan dan memimpin jemaat dengan kerjasama dengan imam/pastor, diakon dan umat beriman kristiani awam menurut hukum gereja Katolik (Hukum Gereja Katolik, KHK. Kan. 519) Perayaan Sakramen Ekaristi adalah puncak dan sumber hidup rohani Kristiani di mana perayaan tersebut untuk mengenang perjamuan malam terakhir yang diadakah oleh Kristus. Dalam perjamuan itu Yesus mengumpamakan tubuh dan darahNya dalam rupa roti dan anggur yang dibagi-bagikan kepada para rasul. Perbuatan simbolis ini menunjukkan bahwa Yesus mengorbankan tubuh dan darahNya (nyawaNya) untuk menyelamatkan semua orang. Dengan demikian perayaan Ekaristi merupakan perayaan kurban dan persembahan diri bagi orang lain, yang merupakan panggilan semua orang kristiani untuk memberikan diri membagikan kebaikan Tuhan. Sakramen Ekaristi sering disebut sakramen cintakasih, lembang kesatuan, ikatan cintakasih, perjamuan Paskah (Konsili Vatikan II, SC art. 47) Setiap paroki harus mengikuti ARAH DASAR PASTORAL (baca: mirip GBHN RI) yang telah ditetapkan
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
oleh Uskup agung bersama dewannya. Arah dasar pastoral Keuskupan Agung Semarang tahun 2011-2015, adalah seperti pada kutipan berikut: “Umat Allah Keuskupan Agung Semarang, sebagai persekutuanpaguyuban murid-murid Yesus Kristus, dalam bimbingan Roh Kudus, berupaya menghadirkan Kerajaan Allah sehingga semakin signifikan dan relevan bagi warganya dan masyarakat. Dalam masyarakat Indonesia yang sedang berjuang menuju tatanan hidup baru yang adil, damai, sejahtera dan demokratis, umat Allah berperan secara aktif mengembangkan habitus baru berdasarkan semangat Injil dan beriman mendalam dan tangguh serta ambil bagian mewujudkan kesejahteraan umum. Langkah pastoral yang ditempuh adalah: (1) pengembangan umat Allah, terutama optimalisasi peran kaum awam, secara kesinambungan dan terpadu dalam mewujudkan iman di tengah masyarakat, (2) pemberdayaan kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel, dan (3) pelestarian keutuhan ciptaan. Ketiga langkah tersebut didukung oleh tata penggembalaan/kepemimpinan yang sinergis, mencerdaskan dan memberdayakan umat beriman, serta memberikan peran pada berbagai kharisma yang hidup dalam diri pribadi maupun kelompok. Umat Allah Keuskupan Agung Semarang dengan tulus, setia, dan rendah hati bertekad bulat melaksanakan upaya tersebut, serta mempercayakan diri pada penyelenggaraan ilahi seturut teladan Maria, hamba Allah dan Bunda Gereja. Allah memulai pekerjaan baik di antara kita akan menyelesaikannya (Bdk. Flp. 1:6)”. Skema Organisasi Paroki yang ada di Keuskupan Semarang adalah sebagai berikut:
149
1. Pimpinan Tertinggi: Uskup Roma/ Takhta Suci/Paus di Vatikan 2. Uskup Agung Semarang 3. Romo Vikaris Episkopal (vikep) D.I. Yogyakarta 4. Romo Paroki-Paroki yang ada di KevikepanYogyakarta 5. Ketua Bidang 6. Ketua Tim Kerja 7. Ketua wilayah 8. Ketua Lingkungan 9. Umat
Kota Yogyakarta Selayang Pandang Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti adalah Negara Mataram dibagi dua, yaitu setengah masih menjadi hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah. Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara, yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan. Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
150
Agus Mulyono
dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755. Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah hutan yang disebut beringin, di mana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang di sana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan kraton. Sebelum kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Ia menempati pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan. Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian, berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di kraton yang baru. Peresmiannya terjadi tanggal 7 Oktober 1756 Kota Yogyakarta dibangun pada 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII HARMONI
Januari - April 2016
menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional. Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah D.I Yogyakarta. Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi kota praja atau kota otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I yang menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta. Untuk melaksanakan otonomi tersebut walikota pertama yang dijabat oleh Ir. Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari D.I Yogyakarta
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya UndangUndang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana D.I Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr. Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955. Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta. Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II di mana terikat
151
oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain. Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undangundang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya. Kota Yogyakarta terletak di lembah tiga sungai, yaitu Sungai Winongo, Sungai Code (yang membelah kota dan kebudayaan menjadi dua), dan Sungai Gajahwong. Kota ini terletak pada jarak 600 KM dari Jakarta, 116 KM dari Semarang, dan 65 KM dari Surakarta, pada jalur persimpangan BandungSemarang-Surabaya-Pacitan. Kota ini memiliki ketinggian sekitar 112 m dpl. Meski terletak di lembah, kota ini jarang mengalami banjir karena sistem drainase yang tertata rapi yang dibangun oleh pemerintah kolonial, ditambah dengan giatnya penambahan saluran air yang dikerjakan oleh Pemkot Yogyakarta. Kota Yogyakarta telah terintegrasi dengan sejumlah kawasan disekitarnya, sehingga batas-batas administrasi sudah tidak terlalu menonjol. Untuk menjaga keberlangsungan pengembangan kawasan ini, dibentuklah sekretariat bersama Kartamantul (Yogyakarta, Sleman, dan Bantul) yang mengurusi semua hal yang berkaitan dengan kawasan aglomerasi Yogyakarta dan daerah-daerah penyangga (Depok, Mlati, Gamping, Kasihan, Sewon, dan Banguntapan). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
152
Agus Mulyono
Tabel 1: Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kecamatan Mantrijeron Kraton Mergangsan Umbulharjo Kotagede Gondokusuman Danurejan Pakualaman Gondomanan Ngampilan Wirobrajan Gedongtengen Jetis Tegalrejo Jumlah
Sampai Tahun 2012 31. 695 17. 561 29. 448 78. 831 32. 052 45. 526 18. 433 9. 366 13. 097 16. 402 24. 969 17. 273 23. 570 35. 789 394. 012
Sumber: Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012 Islam merupakan agama mayoritas yang dianut masyarakat Yogyakarta, dengan jumlah penganut Kristen dan Katolik yang relatif signifikan. Seperti kebanyakan dari Islam, kota-kota pedalaman Jawa, mayoritas masih mempertahankan tradisi Kejawen yang cukup kuat. Yogyakarta juga menjadi tempat lahirnya salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada 1912 di Kauman, Ngupasan, Gondomanan, Yogyakarta. Hingga saat ini, Pengurus Pusat Muhammadiyah masih tetap berkantor pusat di Yogyakarta. Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, karena hampir 20% penduduk produktifnya adalah pelajar dan terdapat 137 perguruan tinggi. Kota ini diwarnai dinamika pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Perguruan tinggi yang dimiliki oleh pemerintah adalah HARMONI
Januari - April 2016
UGM, UNY, ISI Yogyakarta, dan UIN Sunan Kalijaga. Dari 3.629.726 penduduk di DIY, 92,28 persen di antaranya memeluk agama Islam. Disusul oleh pemeluk agama Katholik sebanyak 4,73 persen, Pemeluk agama Kristen 2,60 persen, Hindu 0,24 persen, dan Budha 0,14 persen. Sejalan dengan komposisi di atas, jumlah tempat peribadatan yang tersebar di DIY juga didominasi oleh tempat ibadah umat Islam berupa masjid, mushola dan langgar yang tercatat sebanyak 96,40 persen. Kemudian rumah ibadah Kristen dan Katholik masing-masing 1,58 persen dan 1,71 persen serta tempat ibadat umat Hindu dan Budha masingmasing 0,18 persen dan 0,12 persen. Jamaah haji dari D.I. Yogyakarta yang berangkat pada awal tahun 2012 M/1432H sebanyak 3.093 orang atau menurun sebesar 5,41 persen dibandingkan dengan awal tahun 2011M/1431H yang tercatat sebesar 3.270 orang. Berdasarkan asal jamaah, sebagian besar dari Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta masing-masing sebesar 37,96 persen, 26,32 persen dan 19,98 persen dari keseluruhan jamaah, sedangkan sisanya 8,31 persen dan 7,44 persen berasal dari Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Gunungkidul.
Gereja St. Albertus Agung Yogyakarta (Gereja Jetis)
Jetis
Profil Gereja Sekitar tahun 1952 Rm. E. Hardjawardaya, Pr dan Rm. Sumaatmadja, Pr yang bertugas sebagai Pastor Pembantu di Paroki St. Antonius Kotabaru menawarkan gagasan agar kring-kring di sebelah Barat Kali Code, yakni Kring Bangirejo, Jetis dan Gondolayu disatukan dalam satu koordinasi wilayah kerja demi efektifitas reksa pastoral. Gagasan tersebut disambut dengan baik. Pada 1954 ketiga kring itu menyatu dan menjadi Stasi Jetis.
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
Pada awalnya, Stasi Jetis belum memiliki gedung gereja sendiri, sehingga perayaan Ekaristi pada hari Minggu ataupun hari raya diselenggarakan di rumah umat, di tempat umum ataupun di kantor instansi pemerintah yang memungkinkan, seperti SMPN VI, SPG/ SMA XI, STM Jetis dan kantor Balai Penyamakan kulit di Jl. Diponegoro (kini: Rumah Makan “Sari Raja”). Pertengahan 1959, Stasi Jetis berada dalam reksa pastoral Rm. Carlo Carri, SJ. Dengan telaten, Rm. Carri mengadakan pendekatan dengan tokoh-tokoh awam di Stasi Jetis untuk menjajaki kemungkinan mendirikan gereja di wilayah Jetis. Pada tanggal 15 Oktober 1960, di Jetis berdiri Susteran Amal Kasih Darah Mulia dan diresmikan oleh Sr. Patricia, ADM sebagai provinsial. Atas kebaikan Suster-suster ADM, umat Stasi Jetis diperbolehkan mengadakan Perayaan Ekaristi di Kapel Susteran. Karena perkembangan umat semakin pesat, maka untuk efektifitas pendampingan dan reksa pastoral umat, Kring Bangirejo dimekarkan menjadi dua kring, yakni Kring Blunyah dan Kring Bangirejo. Kring Jetis dimekarkan menjadi dua, yakni Kring Cokrokusuman dan Kring Cokrodiningratan. Mengingat alasan kedekatan teritorial, Kring Kricak yang sebelumnya menjadi wilayah Paroki Kumetiran digabung menjadi bagian Stasi Jetis.
153
Atas prakarsa Rm. Carri dan tokoh-tokoh awam di wilayah Stasi Jetis maka pada 8 Oktober 1963, dibentuklah “Pengurus Gereja dan Papa-Miskin Room Katolik Di Wilayah Gereja Albertus Agung Soegijopranoto di Yogyakarta” (PGPM) oleh pejabat Uskup Semarang, Mgr. Justinus Darmojuwono. Akta Notaris PGPM disahkan di hadapan Notaris RM. Soeprapto pada tanggal 4 November 1963. Persoalan besar yang dihadapi oleh PGPM ialah dimanakah akan didirikan gedung gereja? Pengurus mulai melirik beberapa tempat yang memungkinkan untuk mendirikan gereja. Beberapa pilihan mulai bermunculan namun belum ada yang sesuai. Di tengah kesibukan mencari tanah itu, umat Stasi Jetis harus rela melepas kepergian Rm. Carri yang diangkat sebagai Sekretaris Keuskupan Agung Semarang. Sebagai penggantinya adalah Rm. H. Natasusila, Pr, mulai bulan Agustus 1964. Sementara itu, perkembangan umat semakin pesat. Hal itu karena lahirnya kring-kring baru, yakni Kring Karangwaru dan Poncowinatan. Sedangkan Kring Gowongan dan Penumping yang sebelumnya menjadi bagian dari Paroki Kumetiran digabungkan ke Jetis sehingga Stasi Jetis saat itu mempunyai 12 kring. Bertambahnya jumlah kring ini semakin memperkuat keinginan umat untuk memiliki gedung gereja sendiri.
Gambar 1: Gereja St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta dan Sekolah
Sumber: foto peneliti, 2014 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
154
Agus Mulyono
Untuk memperlancar reksa pastoral dan usaha pencarian tanah maka dibentuklah Dewan Paroki yang pertama. Berkat usaha dan doa yang tidak mengenal lelah, pada bulan Agustus 1964 Stasi Jetis berhasil membeli tanah milik ibu Mohamad Adeline seluas 3945 m² dengan harga Rp. 850.000. Tanah tersebut sudah disertifikatkan dengan status hak pakai atas nama PGPM Albertus Soegiyopranoto Yogyakarta pada tgl. 22 Agustus 1968 dengan no SK 116/HP/68. Sebagai ungkapan syukur karena telah mendapatkan tanah bagi gereja, maka pada bulan November 1965 diadakan misa syukur. Misa syukur inilah yang kemudian dianggap sebagai LAHIRNYA PAROKI JETIS. Dan sebagai ungkapan hormat dan cinta kepada Mgr. Albertus Soegijapranoto, SJ sebagai Pahlawan Nasional dan khususnya tekad untuk meneladani semangat dan pengabdian beliau kepada bangsa, negara dan gereja maka nama pelindung yang dipilih untuk Paroki Jetis adalah nama baptis Mgr. Soegijapranoto, SJ yakni St. Albertus Agung. Setelah memiliki gedung gereja sendiri, umat Jetis semakin bersemangat dalam hidup menggereja. Hal ini terbukti dengan banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh umat dan tumbuhnya kelompok-kelompok, antara lain: Kelompok Legio Maria yang terbentuk pada September 1968. Karena pesatnya perkembangannya, paroki Jetis bahkan dijadikan sebagai pusat legio maria di wilayah DIY, Magelang dan Jateng Selatan dengan nama Komisium Pohon SUKA CITA. Banyak dari anggota legio tersebut sekarang menjadi aktivis paroki, tetapi sayang sekarang legio tersebut sudah tidak ada. Namun mulai bulan Juli tahun 2007 tumbuh “kelompok” doa kerahiman/koronka dan senakel, yakni doa bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00. HARMONI
Januari - April 2016
Mudika Paroki (PALMA: Putra Albertus Magnus) yang sudah mengadakan berbagai kegiatan, seperti pentas solidaritas, menggelar lomba koor antar SD se-DIY, menghidupkan perpustakaan paroki, pendakian ke sumbing, latihan kepemimpinan, dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak mlempem namun toh ada kegiatan yang menyolok yakni mendirikan Radio Komunitas pada bulan Juli 2003. Radio Komunitas ini bernama Lima Cemara, sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian No. 10 tanggal 11 Juli 2006. Antiokhia: wadah pembinaan iman remaja. Hingga saat ini Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan Antiokhia di paroki-paroki kevikepan Yogyakarta. Perkembangan umat Paroki Jetis dapat dikatakan meningkat dengan pesat. Hal ini mendorong adanya pemekaran lingkungan sehingga lahirlah lingkungan-lingkungan yang baru. Pada 1983, lingkungan Kricak dimekarkan menjadi dua, yakni Kricak dan St. Paulus Jatimulyo. Empat tahun kemudian, pada 1987, lingkungan St. Paulus Jatimulyo dipilah menjadi tiga, yakni St. Paulus Jatimulyo, St. Thomas Jatimulyo dan St. Alfonsus Jatimulyo. Seakan tidak mau kalah, pada tahun itu juga lingkungan Kricak kembali membidani lahirnya lingkungan Bangunrejo, sedangkan lingkungan Jogoyudan dipilah menjadi dua, yaitu Jogoyudan Lor dan Jogoyudan Kidul. Di samping itu mulai tahun 1980, stasi Nandan, yang sebelumnya termasuk wilayah Paroki St. Aloysius Gonzaga Mlati digabungkan dengan paroki Jetis. Hal ini mengingat letak geografisnya dan demi optimalnya pelayanan pastoral. Bahkan sejak tanggal 1 Agustus 1996 Stasi Nandan sudah mempunyai gedung gereja yang diberkati oleh Rm. Yoh. Harjaya, Pr selaku Administrator
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
Diosesan Keuskupan Agung Semarang. Perkembangan umat Nandan sangat dipengaruhi oleh ketekunan bruderbruder Karitas, yang dirintis oleh Br. Alfons Wiryataruna dan juga para romo dan frater dari Konggregasi Redemtoris. Karenanya pelindung yang dipakai adalah St. Alfonsus Maria de Ligouri. Pada 2000 status Stasi Nandan berubah menjadi paroki administratif. Bahkan pada ulang tahun ke-8, sudah mempunyai gedung pastoran yang diberkati Uskup Agung Semarang, Mgr. Ign. Suharyo pada 21 Agustus 2004. Dan sejak 15 Juli 2005 pastoran sudah ditempati Rm. Ig. Jayasewaya, Pr. Karenanya seluruh reksa pastoral sudah tidak tergantung dengan paroki Jetis, sekaligus sebagai persiapan untuk menjadi paroki penuh. Sejak 1 Agustus 2012 Uskup Agung Semarang Mgr. Johannes Pujasumarta menetapkan Paroki St. Alfonsus Nandan menjadi Paroki Penuh yang tertuang dalam Surat Keputusan Pendirian Paroki Nomor 0549/b/i/b-79/12. Dengan demikian maka Paroki St. Alfonsus Nandan sudah tidak menjadi bagian reksa pastora Paroki St. Albertus Agung Jetis Yogyakarta (Paroki Jetis).
Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial Untuk mengatur kegiatan di Paroki Jetis, perencanaan seluruh kegiatan dan program dilaksanakan berdasarkan arah dasar yang ditetapkan Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan Agung Semarang menurunkan Arah Dasar Pastoral kepada Kevikepan untuk diteruskan kepada Paroki. Kemudian Paroki membuat rencana anggaran pengeluaran belanja dengan meminta setiap bidang dan tim kerja menyusun program dan kegiatan yang realistis dan disertakan rincian anggaran biaya.
155
Selama ini sumber dana Paroki berasal dari persembahan sukarela umat berupa iuran per KK, di mana jumlahnya tidak ditentukan. Kemudian dari Kolekte umat dua kali setiap kali perayaan Ekaristi berasal dari sumbangan bebas dari umat, sumbangan terima kasih dari umat atas pelayanan administrasi, dan bantuan lainnya dari Kemenag Kota Yogyakarta berupa hibah wireless/sound system. Mengenai kolekte, dikumpulkan ketika perayaan Ekaristi dibagi menjadi dua, yaitu kolekte 1 disebut kolekte umum dengan jumlah sekitar 6 juta lebih per minggu untuk keperluan paroki dan keuskupan. Berdasarkan kebijakan paroki, misalnya amplop dibagi kepada jemaat untuk perayaan Natal dan seterusnya. Kolekte 2 disebut kolekte pembangunan yang berjumlah sekitar 3 juta lebih dengan maksud khusus, pendidikan calon imam, pendirian gereja, pengadaan kursi dan seterusnya. Untuk pengelolaan dana paroki dibagi berdasarkan bidang-bidang yang ada dalam paroki. Membiayai bidang masing-masing (6 bidang-tim kerja dst.). Untuk rumah tangga pastoran (khusus pastor dan yang tinggal di situ serta untuk keperluan sehari-hari) biaya hidup pastor, transportasi dan rumah, ada tukang masak/diberi oleh umat, uang saku. Dan sebagian dana lagi untuk melanjutkan SD Kanisius Gowongan yang sudah dinyatakan ditutup oleh Yayasan Kanisius. Dalam hal pengontrolan program dan kegiatan dilaksanakan secara bersama-sama melalui rapat berkala 1 (satu bulan sekali) untuk saling mengingatkan pelaksanaan kegiatan dan program. Kemudian pada akhir tahun dilaksanakan rapat pleno untuk mendengarkan laporan keuangan dan melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan program.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
156
Agus Mulyono
Kegiatan Gereja Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta dipimpin oleh Pastor Paroki, yaitu Romo Rafael Tri Wijayanto, dibantu oleh romo pembantu paroki, yaitu Romo Riawinarta, Pr. Setiap hari Paroki Jetis didatangi oleh para jemaatnya. Hari Senin dan Sabtu Paroki Jetis didatangi jemaat yang akan melaksanakan ibadat misa harian, kegiatan ibadat tersebut dimulai pukul 05.30 wib dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kemudian hari Sabtu dilaksanakan perayaan Ekaristi pada pukul 17.30 dengan menggunakan bahasa Indonesia. Selanjutnya pada hari minggu dilakukan peribadatan selama tiga kali, dimulai pada pukul 05.30 dengan menggunakan bahasa Jawa, ibadat pada pukul 07.30 dan 17.30 menggunakan bahasan Indonesia. Jumlah jemaat yang beribadat di Paroki Jetis sekitar 2.500 orang. Untuk ibadat keagamaan di luar perayaan Ekaristi, yang dilaksanakan oleh umat adalah doa Rosario (bulan Mei dan Oktober), ibadah Jalan Salib, yaitu mengenang perjalanan peristiwaperistiwa Yesus sampai disalibkan (selama masa pra paskah), doa Meditasi Kristiani untuk merenungkan Allah Tritunggal dilaksanakan setiap Rabu jam 18.00 WIB, doa devosi untuk pertobatan Indonesia dilaksanakan setiap Senin, doa Paus Yohanes Paulus II untuk keluargakeluarga dilaksanakan setiap Selasa, doa untuk biarawan-biarawati dan selibater awam dilaksanakan setiap Rabu, doa untuk pembangunan umat Allah Gereja Santo Albertus Agung Jetis dilaksanakan setiap Jumat dan Doa untuk para Imam/ romo/pastor dilaksanakansetiap Sabtu. Untuk pelayanan dan pembinaan iman umat, dilakukan pembinaan iman melalui renungan Sabda Allah/Khotbah (homili) dalam perayaan Ekaristi, baik di paroki secara rutin setiap hari Minggu dan setiap dua bulan sekali di tiap lingkungan, pelayanan pemberkatan HARMONI
Januari - April 2016
pernikahan, pelayanan sakramen pem baptisan, pelayanan pengurapan orang sakit, sarasehan pastor dengan umat ketika kunjungan ke lingkunganlingkungan. Contoh tema: soal santet, perdukunan, masalah aktual umat local, kunjungan keluarga oleh romo/ pemimpin paroki, pelayanan ibadah arwah dan pemakaman, dan pembinaan berupa Retret/Rekoleksi (pembinaan iman secara khusus dalam jangka waktu 1-3 hari terdiri dari masukan rohani/ narasumber tentang kehidupan seharihari, pendalaman kitab suci, ibadat tobat (mohon ampun atas dosa, diakhiri dengan perayaan ekaristi). Dalam memberdayakan umat di Paroki Jetis dilakukan beberapa kelompok Kategorial. Ada kelompok orang muda Katolik atau sering disebut muda-mudi (Mudika) Paroki (PALMA: Putra Albertus Magnus) yang sudah mengadakan berbagai kegiatan seperti pentas solidaritas, menggelar lomba koor antar SD se-DIY, menghidupkan perpustakaan paroki yang jarang digunakan lagi kerena umat lebih memilih yang lebih praktis seperti internet, pendakian ke sumbing, latihan kepemimpinan, dll. Memasuki tahun 2000 kelompok ini agak mlempem namun ada kegiatan yang menyolok, yakni mendirikan Radio Komunitas pada bulan Juli 2003. Radio Komunitas ini bernama Lima Cemara, sebagaimana tertuang dalam Akta Pendirian No. 10 tanggal 11 Juli 2006. Ada “Kelompok” doa kerahiman/koronka dan senakel, yakni doa bersama Romo Paroki setiap hari Jumat Pk. 15.00 dan ada Antiokhia, yaitu wadah pembinaan iman remaja. Hingga saat ini Jetis dapat dikatakan sebagai pelopor pengembangan Antiokhia di paroki-paroki kevikepan Yogyakarta. Selanjutnya mengenai pemberdayaan ekonomi umat dilakukan melalui Tim Kerja Pengembangan Sosial Ekonomi. Pemberdayaan ekonomi umat terutama untuk membantu ekonomi umat yang
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
kurang mampu, seperti sebagai modal usaha. Untuk memperoleh pembiayaan, umat mengajukan melalui pengurus PSE lingkungan, ketua lingkungan, lalu PSE Paroki melakukan survei atas keadaan pemohon, yang akhirnya diputuskan Pastor Paroki. Dana pinjaman tidak dikenakan bunga. Pembayaran baru dilakukan pada bulan ke-4, dan pembiayaan tersebut dapat dicicil 10 kali. Ada beberapa aksi sosial yang telah dilakukan oleh paroki Jetis di antaranya, pada saat ulang tahun Paroki, dengan pemeriksaan kesehatan gratis. Pada saat HUT Kemerdekaan RI memberi sumbangan kepada masyarakat, turut ikut tugas ronda, bantuan santunan kepada orang sakit, bantuan santunan dana bagi orang berduka dan bantuan biaya sekolah kepada anak-anak yang tidak mampu. Keberadaan Paroki Jetis tidak lepas dari keberadaan almarhum Romo YB Mangunwijaya (Romo Mangun). Di mana pada 1969 Romo Mangun ditugaskan di sini. Romo Mangun adalah imam Katolik yang pernah ditugaskan oleh Bapak Uskup di Paroki Santo Albertus Agung Jetis Yogyakarta (1969-1976) dan sebelumnya bertugas di Paroki Salaman Magelang (1967). Keberadaan Romo Mangun di Paroki Jetis ini atas ijin Uskup Agung Semarang. Romo Mangun melaksanakan pastoral kategorial (kegiatan pelayanan di bidang sosial sebagai imam Katolik) di daerah kali Code, dengan tinggal dan hidup di Paroki Santo Albertus Jetis sampai akhir hidupnya. (wawancara dengan A. Ferry T. Indratno, pegawai Dinamika Edukasi Dasar, Gejayan, Yogyakarta, 28 Mei 2014). Sejak 1969 Romo Mangun memulai kativitas sosial yang berfokus pada kemanusiaan dan religiusitas, tak pernah membawa keagamaan kekatolikannya. Seperti dapat dicontohkan, ketika Romo Mangun mendengar adanya berita tentang rencana pemerintah melakukan
157
penggusuran penduduk di kali Code dengan tujuan membangun waduk dan taman kota, Romo Mangun merasa terpanggil menolong dan memberi perhatian orang-orang miskin di pinggiran kali Code, terutama anak-anak dan wanita. Melalui bakatnya dibidang arsitektur, dan bakat-bakat lainnya, Romo Mangun bersama warga kali Code, menata dan membangun rumah penduduk dengan arsitektur khasnya. Dibidang pendidikan, Romo Mangun melihat bahwa pendidikan formal yang sedang berlaku tidak relevan bagi masa depan anak-anak miskin. Romo Mangun berinisiatif menggagas sebuah pendidikan dasar yang membebaskan. Pendidikan dasar yang digagas Romo Mangun tersebut dikelola untuk menghasilkan peserta didik yang kreatif, integral, dan komunikatif. Dibidang hubungan antar agama, Romo Mangun menggagas komunitas Lintas Agama (Interfidei) bersama Gus Dur (Islam) dan Ibu Gedong Oka (Hindu). Gerakan ini masih aktif dan berjalan. Dibidang sastra, Romo Mangun memasukkan ideide perbaikan sosial melalui novel, antara lain, Burung-Burung Manyar, BurungBurung Rantau, dll. Di bidang politik, ide Romo Mangun tampak dalam tulisan artikelnya di berbagai Media Nasional, seperti Politik Hati Nurani.
Faktor Pendukung dan Penghambat Faktor Pendukung Arahan dan pedoman yang diturunkan dari keuskupan agung Semarang telah menjadi pedoman yang cukup ideal bagi Paroki Jetis, sehingga tidak mengalami kesulitan dalam beberapa pelaksanaanya. Dalam ajaran agama Katolik terkandung pemahaman bahwa apa yang telah diberikan adalah anugerah Tuhan yang perlu disyukuri, dan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
158
Agus Mulyono
digunakan untuk kesejahteraan diri dan sesama, khususnya orang miskin yang membutuhkan pertolongan. Ketentuan yang telah ditetapkan keuskupan sangat jelas tentang presentase pembagian dana kolekte untuk kegiatan sosial, yaitu 25% sehingga memudahkan gereja dalam mendistribusikan/meman faatkan dana kolekte melalui PSE.
Faktor Penghambat Sebagian jemaat kurang disiplin dalam pelaksanaan perayaan Ekaristi: datang terlambat, pulang lebih cepat, main HP saat ibadat, pakaian tidak pantas, dan berisik saat ibadat Masih rendahnya kesediaan sebagian jemaat gereja dalam memberikan dana kolekte, tidak seimbang jika dibanding dengan gaya hidup mereka, misalnya ketika melangsungkan perkawinan mampu menyelenggara kannya dengan biaya yang relatif besar.
Model Pemberdayaan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran (Gereja Kumetiran) Profil Gereja Paroki HSP Maria Tak Bercela Kumetiran memiliki sejarah yang cukup panjang dan terkait erat dengan usaha misi dan situasi politik pada waktu itu. Pada 1922, Rm Frans Strater SJ, seorang pimpinan Jesuit di Yogyakarta mencoba mengembangkan kerasulan pewartaan dan menanamkan ajaran Gereja Katolik di wilayah Yogya karta. Tujuannya agar Kerajaan Allah dapat dikenal, diketahui dan dirasakan oleh masyarakat. Ia setiap hari mengadakan kunjungan ke pedesaan-
HARMONI
Januari - April 2016
pedesaan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Ia membangun kapel untuk pelayanan rohani. Ia juga mendirikan beberapa sekolahan termasuk di antaranya Sekolah Guru Agama. Untuk men dukung pendidikan tersebut, Rm. Frans Strater SJ juga mendirikan As rama khusus bagi siswa-siswi SGA. Atas bantuan KRT Harjokusuma, seorang bupati yang kemudian menjadi Patih KPH Danurejo VIII, Rm. Frans Strater mendapat sebidang tanah seluas 5.400 m2 lengkap dengan sebuah bangunan rumah yang berbentuk tiga joglo milik Bpk. Raden Penewu Karto Kaskoyo (seorang perangkat kraton) yang terletak di tengah-tengah kampung Pringgokusuman. Karena seorang asing, Rm Strater tidak boleh memiliki tanah, maka sertipikat tanah tersebut kemudian diatas namakan Rama Djoyoseputro SJ. Pada 1939, tempat dan bangunan tersebut menjadi asrama calon guru agama. Namun fungsi itu tidak berlangsung lama sebab pada 1942 di Yogyakarta kedatangan tentara Dai Nippon. Mereka menangkap dan menginternir orangorang Eropa dan meram pas semua bangunan yang dikuasai oleh orangorang Eropa tersebut. Seminari dan Gereja Kotabaru pun tak lepas dari pendudukan Jepang. Tempat-tempat itu dijadikan gedung pemerintahan dan gudang perbekalan sehingga peribadatan tidak mungkin diadakan di Gereja Ko tabaru apalagi para gembala juga ditangkap dan dilarang mengajar agama. Akibat dari penangkapan dan pelarangan pengajaran agama tersebut, asrama SGA tidak berfungsi lagi karena tidak ada siswa yang belajar. Pada 1943, asrama SGA tutup.
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
Gambar 2: Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran
Sumber: foto peneliti, 2014 Bagaikan ada benih tumbuh di atas tanah yang tandus, demikianlah yang terjadi dengan keadaan Gereja. Setelah para gem bala ditangkap oleh tentara Jepang, muncul tokoh-tokoh awam katolik yang mengambil alih kegiatan gerejani. Mereka memberikan pelajaran agama di rumah-rumah, mempersiapkan orang untuk menerima bap tisan dan menyelenggarakan ibadat sabda. Usaha ini terus berkem bang, sampai akhirnya Bruder Endrodarsono SJ yang waktu itu meng urus asrama Calon Guru Agama menawarkan agar asramanya itu digunakan untuk melaksanakan kegiatan Gerejani, sebagai pengganti Gereja Kotabaru yang dikuasai oleh Jepang. Pada 13 Agustus 1944, untuk pertama kalinya di asrama Calon Guru Agama itu diadakan perayaan Ekaristi oleh Rm B. Su marno SJ dari Paroki Bintaran. Sejak saat itulah secara rutin asrama SGA itu menjadi tempat beribadat. Atas peran serta kaum awam katolik dan ketekunan Bruder Endro dalam mengajar agama, membimbing anak-anak muda, perkembangan umat semakin meningkat. Kemudian ada peristiwa yang menggembirakan untuk masyarakat Indonesia, khususnya juga umat katolik Yogyakarta. Tentara Jepang ditarik kembali ke negaranya karena kota
159
Hirosima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Mereka mengembalikan kepada para pemiliknya semua gedung yang dikuasainya, termasuk diantaranya Gereja Kotabaru. Maka dengan diserahkannya Gereja Kotabaru, Gereja ini dapat difungsikan kembali untuk peribadatan, umat Kotabaru yang selama mengungsi ke Kumetiran untuk mengikuti peribadatan. Sebagian besar umat memang kembali ke Kotabaru, tetapi umat di sekitar Kumetiran atau umat di bagian barat Jalan Malioboro tetap menginginkan beribadat di Gereja Kampung bekas asrama SGA itu. Karena banyaknya umat yang tetap bertahan dan kemandirian umat di Gereja Kampung Kumetiran, maka sejak 31 Desember 1945, secara administratif Gereja Kampung Kumetiran tidak lagi dilayani oleh Gereja Kotabaru dan kemudian ditetapkan sebagai Paroki mandiri dengan nama Pelindung Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela. Sejak tahun berdirinya, yakni tahun 1944 sampai 2005 ini, telah puluhan imam berkarya di Paroki Kumetiran secara silih berganti. Masing-masing imam itu memberi warna dan perannya sendiri untuk kehidupan umat paroki Kumetiran. Rm. Aleksander Sandiwan Broto Pr (19501959) mulai menata kehidupan paroki. Pada 8 Desember 1950 Rm A. Sandiwan membentuk Yayasan Gereja dan Ke miskinan (sekarang Pengurus Gereja dan Papa Miskin) untuk mengurus harta benda paroki baik yang bergerak maupun tak bergerak. Pada 11 Maret 1951, ia membentuk Pengurus Paroki untuk pertama kalinya. Semula Pengurus Paroki itu hanya terdiri dari Peng urus Harian saja, baru dalam perjalanan waktu ada pembenahan dan penyempurnaan. Tahun 1952, Rm Sandiwan mulai membenahi wilayah teritorial Kumetiran. Ia membagi Gereja Kumetiran dalam 8 kring dan satu stasi Gamping (sekarang telah berdiri menjadi paroki sendiri). Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
160
Agus Mulyono
Mengingat perkembangan umat semakin meningkat dan gereja ti dak bisa menampung umat, maka Rm Sandiwan mengajukan ijin un tuk membangun gedung gereja baru kepada Rm Kanjeng A. Soegijopranoto SJ saat ada Krisma di Kumetiran 25 Mei 1952. Rm Kanjeng mengijinkan bahkan hendak membantunya. Pembangunan gereja itu terealisasi pada 30 Desember 1955 dan diber kati/diresmikan pada 16 Februari 1958 oleh Rm Kanjeng sendiri. Setelah selesai pembangunan gedung gereja, Rm Sandiwan merenovasi gereja tiga joglo menjadi panti paroki untuk kepentingan pelayanan non sakramental. Sungguh besar jasa Rm Sandiwan bagi umat Kumetiran, terutama untuk mengusahakan kemandirian paroki. Lain dengan Rm Sandiwan, Rm E Hardjowardoyo (1959) yang waktu itu menjadi pastor pembantunya memberi perhatian pada paduan suara paroki. Ia membentuk paduan suara paroki, semula ada dua kelompok yakni kelompok koor putra yang diberi nama Paduan Suara Gregorius dan koor putri dengan nama Paduan Suara Caecilia. Dalam perjalanan waktu kedua kelompok koor tersebut disatukan menjadi Paduan Suara Gregorius Caesilia (atau lebih dikenal GC). Dari waktu ke waktu, Paroki Kumetiran semakin tertata. Rm. B. Liem Bian Bing SJ (1961-1970) menata kembali Dewan Paroki Kumetir an. Ia bersama Dewan Paroki membuat Garis-Garis Besar Haluan Paroki dengan prioritas perhatian pada keterlibatan umat di bidang liturgi, pewartaan, persekutuan dan sosial. Dalam bidang sosial, ia mendirikan Poliklinik Darma Bhakti untuk pelayanan kepada masyarakat umum. Dan dalam bidang pewartaan, ia mengadakan kunjungan ke kring-kring. Kunjungan ini tidak hanya meneguhkan kehidupan kring tetapi juga mempengaruhi perkembangan umat se cara kwantitatif. HARMONI
Januari - April 2016
Kegiatan kunjungan ke kring dan keluarga ini dilanjutkan oleh Rm Joannes Reijnders (1973-1979). Dengan sepeda simpleknya, ia rajin pergi ke kring-kring. Tidak hanya mengunjungi keluarga, tetapi Rm Reijnders juga melatih koor di tingkat kring. Maka wajar kalau pada masa Rama Rejnders, koor dari tingkat kring sampai paroki menjadi sangat hidup dan bersaing antar kring. Di tingkat kring, Rm Reijnders juga mengadakan misa kring. Saat misa di Kring Kentheng, yang waktu itu meliputi Kentheng, Nusupan dan Bedog, muncul suatu ide untuk mendirikan kapel. Akhirnya didapat sebidang tanah dibulak Ngeban, seluas 455 m2 milik Kas Desa Nusupan. Di tempat itulah didirikan kapel dengan nama Kapel Santa Lidwina. Pada tahun 1980, pembangunan kapel telah selesai dan diberkati oleh Rm R. Mardisuwignya Pr (1978-1980) yang meneruskan karya Rm Reijnders yang telah pindah ke Solo. Perhatian Rm Mardisuwignya adalah kaum muda, khususnya pendampingan mereka untuk persiapan perkawinan. Rm. Mardisuwignya kemudian diganti oleh Rm. Evaristus Rus giarto Pr (1980-1984). Perhatian Rm Rusgiarto pada bidang pewartaan dan liturgi. Ia membenahi pendampingan para katekumenat. Para katekumenat diajar secara intensif, kemudian mereka diuji untuk ke layakan menerima baptisan. Dalam baptisan bayi, ia menuntut para orang tua untuk mengikuti rekoleksi sebagai persiapan membaptiskan putra-putrinya. Tujuan rekoleksi itu adalah agar para orang tua tahu makna baptisan anak-anaknya dan menyadari tanggungjawabnya untuk mendampingi perkembangan iman anak-anak mereka. Dalam bidang liturgi, Rama Rusgiarto mencoba membuat dramatisasi untuk menggantikan homili, menampilkan sendratari dalam perayaan ekaristi dan menggunakan gamelan sebagai iringan alternatif perayaan ekaristi. Usaha Rama Rusgiarto ini sungguh mewarnai ke
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
hidupan paroki Kumetiran, terutama menjadikan perayaan ekaristi semakin hidup dan sakramen semakin dihayati. Melalui pendampingan para gembala dengan segala bentuknya itu, umat Kumetiran semakin bertambah banyak. Namun keadaan ini be lum memuaskan Rm Johanes Hadiwikarto Pr (1986-1989) yang berkarya sesudahnya. Rama Hadiwikarto justru menghendaki agar perkembangan umat secara kuantitatif harus dibarengi dengan pe ningkatan mutu dan kualitas hidup iman. Salah satu kualitas hidup iman adalah kalau mereka mempunyai perhatian juga pada mereka yang kekurangan dan bisa menjadi garam bagi masyarakat. Ia ke mudian mendirikan dana sehat untuk pelayanan kesehatan masyarakat. Ia juga mengajak para awam yang bekerja dalam kepengurusan tingkat RT/RW untuk melaksanakan tugas itu sebagai panggilan pe layanan masyarakat mewujudkan tugas Kristus menjadi garam dan terang dunia. Devosinya yang kuat kepada Maria menjadi inspirasi umat untuk menempatkan Maria di tengah kehidupannya. Maria tidak hanya di jadikan sebagai pelindung paroki, tetapi juga menjadi pelindung hidup beriman. Untuk itulah kemudian didirikan Gua Maria untuk mewujudkan kedekatannya dengan Maria dalam bentuk doa dan keteladanan. Setelah Rama Hadiwikarto, silih berganti imam yang berkarya di Kumetiran. Tetapi yang patut dicatat adalah kehadiran Rm Gabriel Alimo Notobudyo Pr (1995-2010). Banyak karya baik fisik maupun non fisik yang diwujudkannya. Secara fisik, bersama Panitia Pem bangunan ia membebaskan tanah di Jalan Kumetiran 13, 15, 17 dan memulai pembangunan fisik, mulai dari pembangunan Gedung Pastoran, Gedung Gereja dan akhirnya Kapel Bedog dan Panti Paroki. Gedung Gereja diberkati
161
oleh Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. I. Suharyo Pr dan diresmikan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 8 Desember 2001. Secara non fisik, Rm. Notobudyo memberi perhatian terhadap pewartaan kitab suci. Ia mengatakan bahwa sebagai orang Katolik ha rus mengenal kitab suci. Orang tidak mungkin kenal Kristus kalau tidak membaca kitab suci. Untuk itulah ia mengadakan kursus kitab suci dan sekolah penginjilan kepada semua umat yang berminat. Tujuan dari kursus itu adalah agar umat selain memiliki semangat penginjilan, juga memiliki pengetahuan yang cukup akan kitab suci sehingga bisa mewartakan secara benar dan memadai. Dengan demikian semakin sempurnalah kehidupan umat paroki Kumetiran. Secara fisik, tempat untuk beribadat dan pelayanan pastoral sudah memadahi dan secara non fisik, macam-macam pen dampingan iman umat telah tertata rapi. Tugasnya sekarang adalah menjaga, merawat dan mengusahakan agar umat semakin terdampingi imannya sehingga semakin gembira dalam mengikuti Yesus Kristus mewartakan kabar gembira dan semakin erat bersatu dalam membangun paguyuban-paguyuban yang berpengharapan. Tahun 2010 sampai sekarang, Rm. Fl. Hartosubono, Pr. menjadi Pastor Kepala. Dalam gerak Paroki beliau menata kembali visi-misi Paroki yang dibagi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Beliau juga membuat terobosan-terobosan demi semakin terlayaninya umat di Paroki Kumetiran dan semakin tertatanya Paroki dalam hal per-administrasi-an. Demi efektifitas dan efisien pelayanan, beliau membagi wilayah-wilayah dan lingkunganlingkungan ke dalam sistem rayon. Dengan berdiri kokoh di tengah pemukiman kota Yogyakarta, kiranya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
162
Agus Mulyono
Gereja Kumetiran dapat menjadi tempat bernaung yang meneguhkan kehidupan religi umatnya sekaligus memancarkan kasih Tuhan melalui ajaran sosial gereja dalam masyarakat multikultural kota Yogyakarta dengan mengedepankan toleransi dan solidaritas dengan seluruh masyarakat untuk memberdayakan diri menghadapi berbagai persoalan.
Pengelolaan Dana dan Optimalisasi Modal Sosial Kegiatan di gereja Kumetiran pada setiap tahunnya diawali dengan perencanaan seluruh kegiatan dan program yang juga dilaksanakan berdasarkan arah dasar yang ditetapkan Keuskupan Agung Semarang. Keuskupan Agung Semarang menurunkan Arah Dasar Pastoral kepada Kevikepan. Kevikepan meneruskan kepada Paroki dan Paroki membuat rencana anggaran pengeluaran belanja dengan meminta setiap bidang dan tim kerja menyusun program dan kegiatan yang realistis dan disertakan rincian anggaran biaya. Pengontrolan program dan kegiatan dilaksanakan secara bersama-sama melalui rapat berkala, setiap satu bulan sekali untuk saling mengingatkan pelaksanaan kegiatan dan program, dan pada akhir tahun dilaksanakan rapat pleno, untuk mendengarkan laporan keuangan dan melakukan evaluasi pelaksanaan kegiatan dan program. Seperti halnya di Gereja Jetis, selama ini sumber dana paroki berasal dari persembahan sukarela umat berupa iuran tiap kepala keluarga, di mana jumlahnya tidak tidak ditentukan. Kemudian dari Kolekte umat dua kali setiap kali perayaan Ekaristi, berasal dari sumbangan bebas dari umat, sumbangan terima kasih dari umat atas pelayanan administrasi. Dan bantuan lainnya dari Kemenag Kota Yogyakarta berupa hibah wireless, kegiatan peningkatan SDM dalam bentuk HARMONI
Januari - April 2016
kegiatan-kegiatan pro diakon. Sedangkan dari Pemkot Yogyakarta mendapat bantuan setiap tahun sebesar 4 juta. Pemberian dana ke gereja juga dilakukan pada saat Paskah, umat Katolik diharuskan berpuasa selama 40 hari, puasa yang dimaksud adalah mengurangi kecenderungan nafsu duniawi. Umat Katolik biasanya mengurangi pengeluaran yang bersifat komsumtif dan menyisihkannya untuk kemudian diberikan kepada sesama yang membutuhkan melalui gereja. Untuk itu gereja Kumetiran banyak menerima dana selama ibadat Paskah. Dana tersebut disebut Dana Puasa Pembangunan, dana ini relatif lebih besar dibanding dengan dana yang diperoleh gereja lewat ibadat rutin mingguan. Pengumpulan kolekte dilakukan ketika ada perayaan Ekaristi. Kolekte tersebut dibagi dua, yaitu kolekte 1 disebut kolekte umum: untuk keperluan Paroki dan keuskupan. Berdasarkan kebijakan Paroki, misalnya amplop dibagi kepada jemaat untuk perayaan Natal dan seterusnya, dan kolekte 2 disebut kolekte pembangunan. Maksud khusus, pendidikan calon imam, pendirian gereja, pengadaan kursi dst. Tiap bulan Gereja Kumetiran menyetorkan dana ke Keuskupan Agung semarang sekitar 18 juta.
Kegiatan Gereja Gereja Kumetiran dipimpin oleh 1 orang Romo Kepala Rm. Fl. Hartosubono, Pr. dan dibantu oleh Romo Pembantu. Paroki Kumetiran terdiri dari 13 wilayah dan 59 lingkungan. Total umat di Paroki menurut sensus 2010 sebanyak 8.284 orang. Perayaan Ekaristi yang hadir tiap Minggu diperkirakan 3.200 orang dengan umat yang berasal dari berbagai etnis, namun yang paling banyak adalah etnis Jawa dan China. Untuk menjangkau semua umat, maka dibuat kebijakan
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
perayaan Misa/Ekaristi secara rutin, dua kali sebulan ditiap lingkungan. Wilayah dan lingkungan ini dibagi menjadi tiga rayon, dan tiap rayon dilayani secara tetap oleh satu orang romo. Sarana dan prasarana yang dimiliki paroki sebagai tempat pembinaan umat, ada 1 kantor sekretariat, gedung gereja, 2 aula paroki, 2 gudang, 1 tempat parkir, 4 ruang belajar keagamaan dan TK Indriasari yang dikelola oleh ibu-ibu paroki. Untuk mengelola paroki ada 97 pengurus dan 87 pembimbing agama. Dalam pelayanan ibadat rutin, gereja Kumetiran menyelenggara kan kegiatan ibadat dari hari Senin s.d. Sabtu mulai jam 05.30-06.00 wib. Pada hari Sabtu jam 18.00-19.30 wib dan pada hari Minggu jam 06.00-07.30 wib, 08.0009.30 wib, dan 17.00-18.30 wib. Untuk peringatan hari besar keagamaan dapat diketahui seperti data di bawah ini: a. Tanggal 1 Januari : Hari Raya Santa Maria Bunda Allah b. Tanggal 5 Januari : Penampakan Tuhan
Hari
Raya
c. Tanggal 5 Maret : Hari Rabu Abu (permulaan masa Puasa Katolik) d. Tanggal25 Maret : Hari Raya Kabar Sukacita e. Tanggal 13 April : Hari Minggu Palma (peringatan kisah Yesus memasuki Kota Yerusalem sebelum penyaliban) f. Tanggal 17 April : Kamis Putih (peringatan perjamuan malam terakhir Yesus sebelum wafatNya) g. Tanggal 18 April : Jumat Agung (wafatnya Yesus/Isa Almasih) h. Tanggal 19 April : Sabtu Suci (sehari sebelum kebangkitan Yesus) i.
Tanggal 20 April : Hari Kebangkitan Yesus Kristus
Raya
j.
Tanggal 29 Mei : Kenaikan Tuhan
k. Tanggal 8 Juni : Pentakosta (Hari Kudus) l.
Hari
163 Raya
Hari Raya turunnya Roh
Tanggal 15 Juni : Hari Tritunggal Mahakudus
Raya
m. Tanggal 22 Juni : Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus n. Tanggal 24 Juni : Hari Kelahiran Yohanes Pembaptis
Raya
o. Tanggal 27 Juni : Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus p. Tanggal 29 Juni : Hari Raya Santo Petrus dan Santo Paulus Rasul q. Tanggal 10 Agustus : Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga r. Tanggal 17 Agustus Kemerdekaan RI
: Hari Raya
s. Tgl 1 November : Hari Raya Semua Orang Kudus t. Tgl 2 November : Peringatan Mulia Arwah Semua orang Beriman u. Tgl 23 November : HariRaya Yesus Kristus Raja Semesta Alam v. Tgl 8 Desember : Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung tanpa noda w. Tgl 25 Desember : Hari Raya Natal Selain ibadat rutin, ada juga pembinaan keagamaan bagi anak-anak, Pembinaan Iman Anak (PIA), Pembinaan Keagamaan Remaja (PIR), dan pembinaan untuk orang tua dengan berbagai aktivitas, di antaranya: Wara Semedi, Legio Maria, Komunitas Tritunggal Maha Kudus, Kelompok Doa Kerahiman Ilahi, Kelompok Doa Kharismatik, Sekolah Evangelisasi, Sekolah Ketua Lingkungan, Pendalaman Kitab Suci, dan Mitagorgi. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
164
Agus Mulyono
Untuk kegiatan sosial diadakan Klinik Kesehatan, Pangrukti Laya, Dana Kesehatan dan Pralenan. Klinik kesehatan digunakan oleh jemaat dan warga sekitar yang membutuhkan. Selain kegiatan sosial, Gereja Kumetiran juga mempunyai kegiatan pemberdayaan yang namanya pemberdayaan ekonomi dengan Dana Papa Miskin. Pada dasarnya, untuk pelayanan ke jemaat para pembimbing keagamaan siap melayani, dengan pelayanan yang murah namun tidak murahan. Dan pada kenyataannya umat memang senang dilayani. Selama ini gereja Kumetiran memiliki gerak dinamika yang baik, kesatuan umat terjaga, kedalaman iman terpelihara, komunitas antar umat, pengurus, Dewan Paroki, dan pastor paroki berjalan baik. Hal yang seperti ini jelas memberi gambaran paroki yang gembira dan hidup. Kehidupan vital paroki ini memberi agambaran yang jelas. Pewartaan berjalan dengan baik dengan dampak positif tambahnya baptisan baru, Komuni Pertama dan Krisma. Liturgi di Paroki Kumetiran ini juga berkembang dengan baik. Kehidupan devosi di paroki ini subur, terlebih dengan dibangunnya kapel Adorasi Sakramen Maha Kudus, sehingga umat mendapat kesempatan untuk berdoa, berdevosi. Kelompokkelompok doa, paguyuban-paguyuban umat (a.l. Paguyuban Tiranus) berjalan baik. Kelompok koor, pemazmur, Lektor, Misdinar cukup baik. (B. Saryanto, Pr.)
Faktor Pendukung dan Penghambat Faktor pendukung Gereja Kumetiran mempunyai dana yang cukup yang disebut juga dengan Paroki yang mandiri yang tidak memperoleh subsidi, sehingga justru dapat menyetorkan sebagian dananya ke keuskupan Agung Semarang sampai 18 juta. HARMONI
Januari - April 2016
Para pembimbing keagamaan selalu siap memberikan pelayanan kepada umat ketika dibutuhkan.
Faktor penghambat Sarana parkir baik untuk mobil maupun motor, yang kapasitasnya terbatas sehingga seringkali ketika ada acara keagamaan, kendaraan para jemaat sampai ke bibir jalan raya dan dikhawatirkan mengganggu jalan umum. Masih ada sedikit “benturan budaya” antara etnis Jawa dan Cina, hal tersebut terjadi baik ketika dalam kepengurusan dan pelaksanaan perayaan hari-hari besar kegamaan.
Penutup Simpulan Pengelolaan rumah ibadat Gereja Jetis dan Gereja Kumetiran dalam memberikan pelayanan di bidang keagamaan dan pemberdayaan umat beragama digariskan secara hirarkis mulai dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas Pastor Paroki. Pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak begitu kelihatan. Adapun upaya yang telah dilakukan adalah untuk membantu ekonomi umat yang kurang mampu, seperti sebagai modal usaha. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif, bantuan bagi umat yang kurang mampu. Umat yang kurang mampu dibantu
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota...
berupa dana membiayan uang sekolah atau uang sosial bagi yang sakit atau berduka. Kesadaran umat cukup tinggi dalam memberikan persembahan sukarela (iuran bulanan) yang dikelola untuk memberi penghidupan yang layak bagi para uskup/imam, pelaksanaan karya-karya pembinaan iman umat dan pelaksanaan karya amal kasih terutama bagi mereka yang berkekurangan. Adapun bantuan yang diterima oleh Santo Albertus Jetis Yogyakarta dan paroki Santa Perawan Maria Tak Bercela adalah berupa hibah barang/peralatan seperti sarana wireless/ sound system, dan bantuan sejumlah dana untuk kegiatan pembinaan orang muda Katolik. Pada awal tahun Dewan Paroki Pleno merencanakan program pelayanan pastoral paroki, masukan umat, kondisi paroki dan pelayanan berdasarkan data terkini. Dan pada akhir tahun Dewan Paroki Pleno melakukan evaluasi dan refleksi pelayanan pastoral atas semua program dan kegiatan dalam setahun Faktor pendukung diantaranya adanya kesadaran untuk terlibat dalam melayani umat dan menyumbangkan tenaga, dana dan waktu untuk terlibat
165
dalam pembangunan iman umat paroki tanpa gaji atau honor. Sedangkan faktor penghambatnya adalah kurangnya disiplin umat pada pelaksanaan perayaan Ekaristi: datang terlambat, pulang lebih cepat, main HP saat ibadat, ada yang berpakaian tidak pantas dan berisik saat ibadat.
Rekomendasi Segenap komponen yang berpengaruh pada masyarakat Katolik agar lebih mengintensifkan internalisasi ajaran berderma kepada seluruh lapisan masyarakat Katolik, sehingga mereka dapat meningkatkan pengamalan apa yang ditetapkan dalam ajaran agama dan dapat meningkatkan pemberian bantuan kepada masyarakat yang tidak mampu baik yang karitatif maupun pemberdayaan. Perlu pembinaan umat secara rutin dan berkelanjutan melalui kunjungan ke lingkungan-lingkungan secara rutin ketika Perayaan Ekaristi, maupun pada saat-saat dibutuhkan jemaat. ***
Bahan Pustaka Alisjahbana S.Takdir. Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia: Dilihat dari Jurusan Nilai-Nilai, Jakarta: PT. Dian Rakyat. 1982. Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta dalam Angka Tahun 2012 Bagus Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II Bdk. Hukum Gereja Katolik, KHK. http://romojost.blogspot.com/2013/02/ybmangunwijaya.html http://www.jogjajavacarnival.com/sejarah-kota-jogja-2/ Hubb J.W.M. Boelaars, OFM Cap. Indonesianisasi, Dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia, Kanisius 2005 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
166
Agus Mulyono
Mardiatmaja P.B.S & Weinata Sairin (Pengulas dan Editor). 50 Mutiara Pemikiran Pendidikan Kristiani Untuk Bangsa, Jakarta: Ayub. Modouw J, Pendidikan dan Peradaban Papua: Suatu Tinjauan Kritis Transformatif, Yogyakarta: Bajawa Press, 2013. Pertemuan Konsultasi Antara Pimpinan Gereja dan Tokoh Katolik se-Tanah Papua Tahun 2007. Kesepakatan Timika, Yogyakarta: Kanisius, 2007. Soekanto Soerjono, Kamus Sosiologi, Cet. Ke-3, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993.
HARMONI
Januari - April 2016
Penelitian
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
167
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme I Nyoman Yoga Segara
Institut Hindu Dharma Negeri Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 15 Januari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
This research is motivated by a mixed This research was motivated by a response on the release of The Religious Courts (Badan Peradilan Agama), saying that in 2014 there was a significant increase on the divorce rate among Muslims. Over the period of four years (2010-2014), there have been 2 million couples registered their marriages but nearly 300.000 divorce cases or about 15% out of that figure ended up in the religious courts. Surprisingly, 70% of the divorce cases were filed by women, and the remaining were filed by men. The religious courts also release some cases saying that the divorce rate has increased in some other areas. This research questions whether or not the divorce rate in the city of Ambon is also very high. The assumption is that Ambon has no high rate of divorce as the area still maintains local tradition and the traumatic feeling of the past conflict. This research adopts qualitative approach through interview techniques, observation, and focused group discussion. Inspired by the concept of dialectical triad and the Anthropology of feminism as a framework, this study also successfully demonstrates that the divorce trends happen as well in the city of Ambon. The conclusion of this research is; firstly, it is due to physical and non physical violence and the collapse of religious values in marriage that encourage women to ask for divorce. Secondly, there is a lack of response of the social structure, especially the role of the government through Religious Court and Religious Affairs Office (Kantor Urusan Agama). And the thirdly, traditional institutions, such as tiga batu tungku and saudara kawin are fading away. If this last institution operates well it can become an advisory media to preserve the family and the marriage.
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh respon yang beragam atas rilis Badan Peradilan Agama yang menyatakan bahwa pada 2014 telah terjadi kenaikan signifikan perceraian dikalangan umat Islam. Dalam rentang empat tahun (2010-2014), dari 2 juta pasangan yang mencatatkan perkawinannya, hampir 300.000 atau sekitar 15% mengakhirinya di Pengadilan Agama. Yang mengejutkan, dari perceraian tersebut, 70% dilakukan oleh perempuan, selebihnya cerai talak. Badan Peradilan Agama juga merilis beberapa daerah yang angka cerai gugatnya sangat tinggi. Namun penelitian yang dilakukan di Kota Ambon menyisakan pertanyaan apakah cerai gugat juga sangat tinggi? Dugaan ini didasarkan atas Ambon bukan daerah mainstream yang angka cerai gugatnya tinggi, masih memiliki adat istiadat yang kuat dan masih traumatic dari konflik berkepanjangan. Untuk dapat menggali permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui teknik wawancara, observasi dan focus group discussion. Terinspirasi dari konsep triad dialektika dan antropologi feminisme sebagai kerangka kerja, penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa tren cerai gugat juga sedang melanda Kota Ambon. Kesimpulan penelitian, yaitu pertama, kekerasan fisik dan non fisik, serta runtuhnya nilai-nilai agama dalam perkawinan mendorong perempuan berani menggugat cerai. Kedua, respon struktur sosial, terutama pemerintah dalam hal ini Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama sangat lemah, dan Ketiga, pranatapranata adat, seperti tiga batu tungku dan saudara kawin mulai terabaikan, padahal institusi ini jika dimafatkan dapat menjadi media pembimbingan bagi keluarga untuk melestarikan perkawinan.
Keywords: anthropology of feminism, contested divorce trend, social structure, traditional institution.
Kata kunci: antropologi feminisme, tren cerai gugat, perempuan, struktur sosial, pranata adat. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
168
I Nyoman Yoga Segara
Pendahuluan Pada 2014 lalu, Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) telah merilis bahwa dalam rentang empat tahun (2010-2014), dari 2 juta pasangan yang mencatatkan perkawinannya, hampir 300.000 atau sekitar 15% mengakhiri biduk mahligainya diketukkan palu hakim Pengadilan Agama (PA). Yang mengejutkan, dari perceraian tersebut, 70% dilakukan oleh perempuan (cerai gugat), selebihnya cerai talak. Rilis tersebut segera mendapat tanggapan beragam. Kesimpulan sementara mengarah pada meningkatnya kesadaran perempuan untuk mengambil keputusan, pengaruh media dan gaya hidup, kesetaraan dalam penguasaan modal ekonomi, dan lemahnya pemahaman agama. Meski kesimpulan ini terasa masuk akal, namun masih menyisakan diksi yang sumir bahwa perempuan dipuji karena memiliki keberanian, pada saat bersamaan tetap dipandang lemah secara moral. Gejala serupa pernah menjadi perhatian Henrietta L. Moore (1998:35) ketika meneliti suku Kaulong di New Britain yang menganggap perempuan itu suci sekaligus saat bersamaan dianggap pencemar bagi laki-laki. Ambiguitas pandangan terhadap tren cerai gugat menarik untuk didiskusikan kembali, bukan lagi soal meningkatnya tren tersebut, tetapi mengapa dan bagaimana cerai gugat itu bisa terjadi. Pertanyaan ini penting untuk mengeksplorasi faktor-faktor penyebab perceraian mengingat data yang diperlihatkan Badilag yang menyebut lima faktor tertinggi, yaitu Tidak Ada Keharmonisan sebanyak 97.615 kasus, Tidak Ada Tanggung Jawab (81.266 kasus), Ekonomi (74.559 kasus), Gangguan Pihak Ketiga (25.310 kasus), dan Cemburu (9.338 kasus). Bagi sebagian kalangan, lima faktor ini dianggap terlalu HARMONI
Januari - April 2016
generik dan mereduksi dinamika dan pergulatan yang ada di dalamnya. Selain itu, lima faktor tersebut dianggap pula menjadi terminologi yang lebih dekat sebagai bahasa hukum an sich, dan terlalu menyederhanakan alasan-alasan cerai gugat sehingga menghilangkan tegang lemahnya keberanian perempuan. Dengan demikian, cerai gugat yang makin meninggi dan alasan dibaliknya serta dampaknya terhadap perempuan dan dunia sekitarnya menjadi lapangan penelitian yang sangat penting. Menariknya, pokok masalah ini dapat membuka banyak perspektif, tidak sekadar kalkulasi data dan angka. Ini adalah salah satu dari banyak alasan mengapa penelitian ini dilakukan, tidak saja di daerah yang oleh Badilag penuh masalah, di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, serta sebagian besar wilayah Indonesia Barat dan Tengah, tetapi juga di Kota Ambon. Masalahnya, apakah tren cerai gugat sedang melanda Kota Ambon? Pertanyaan ini mengandung sejumlah keraguan, bahkan terdapat ketidakpercayaan bahwa apa yang terjadi di Banyuwangi, Indramayu, Gresik dan daerah lain di kawasan Indonesia Barat, juga akan terjadi di Ambon. Memang telah sejak lama, stereotipe bahwa Ambon dan daerah Indonesia Timur lainnya tidak memiliki arus perubahan yang kencang, kecuali beberapa konflik yang menderanya. Namun, data awal cerai gugat di PA Ambon serupa dengan daerah lainnya. Tren cerai gugat di Kota Ambon masih terisolasi dari diskusi mainstream. Nuansa konflik dan masa transisi yang belum final masih melekat diingatan banyak orang sehingga meragukan Ambon akan mengalami masalah serupa. Sederhananya, mungkin orang Ambon masih sibuk menata hidup setelah lama tercerai berai sehingga lupa bagaimana cara bercerai. Stereotipe ini penting
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
untuk ditelusuri. Pertanyaan awalnya apakah cerai gugat semakin meningkat di Ambon pasca konflik? Bagaimana perempuan mengambil positioning dalam perkawinan? Bagaimana peran pranata sosial, dalam hal ini adat dan budaya dalam perkawinan? Ini adalah sejumlah masalah yang mendorong penelitian ini masuk ke dalam pergulatan antara perempuan, perkawinan-perceraian dan pranata adat. Artikel ini akan menjawab masalahmasalah tersebut, di mana perkawinan dan perceraian menjadi core penelitian. Meski harus diakui, sebagaimana juga dalam banyak studi tentang perkawinan (lihat Gough, 1995 dan Goodenough, 1970 dalam Roger M. Keesing, 1992 [1981]:6), memahami perkawinan Ambon sebenarnya juga tidak mudah karena sebagai salah satu struktur kebudayaan, perkawinan juga harus ditelisik melalui stratifikasi sosial masyarakatnya. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya, penelitian ini sedikit “dipaksa” memasuki wilayah ini, termasuk bagaimana sistem adat perkawinan negeri Ambon. Membahas sistem perkawinan yang dianut sebuah masyarakat juga dapat disebut gampang-gampang susah. Dipilihnya perkawinan dan perceraian sebagai lapangan studi dimaksudkan untuk melihat medan sosial yang sesungguhnya antara pasangan keluarga dan pranata adatnya. Hal ini menjadi penting karena buat peneliti, penyelidikan terhadap organisasi masyarakat, dengan muatannya yang kompleks, tetap dapat ditelusuri melalui, salah satunya pola kekerabatan dan kekeluargaan. Cara ini, sekali lagi, tidak selalu menjadi satusatunya jalan yang mudah. Namun sekurang-kurangnya, kekerabatan dan kekeluargaan yang, biasanya, dipraktekkan melalui perkawinan, pada titik tertentu, dan mungkin juga secara universal, seringkali memainkan peranannya untuk memperlihatkan
169
karakteristik sebuah kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan Maluku pada umumnya. Sebagai daerah yang, lagi-lagi, secara generik karena kearifan-kearifan lokalnya yang kuat serta pilihan kolektivitasnya, Ambon dianggap memiliki mekanisme untuk mempertahankan kekeluargaan dan persaudaraan melalui salah satunya konsep Siwalima (Wakano, 2012). Asumsi ini juga dilekatkan pada kemampuan mereka dalam mempertahankan perkawinan. Namun data yang ditemukan di PA memperlihatkan fenomena sebaliknya. Atas dasar ini, masalah penelitian yang paling pokok adalah mengapa cerai gugat saat ini menjadi semakin meningkat? Untuk mendalami persoalan ini, peneliti mengajukan pertanyaan penelitian, yaitu (1) Apa saja alasan-alasan istri berani memutuskan cerai gugat? (2) Bagaimana perempuan memandang dirinya dalam perkawinan dan perceraian? dan (3) Bagaimana struktur sosial merespon fenomena tren cerai gugat? Dengan demikian, penelitian ini akan memiliki posisi yang signifikan untuk menjawab masalah dan pertanyaan penelitian, yaitu (1) Menemukan alasanalasan istri dalam memutuskan cerai gugat, (2) Mendeskripsikan pandangan perempuan terhadap dirinya dalam perkawinan dan perceraian, dan (3) Menguraikan struktur sosial merespon fenomena tren cerai gugat.
Kerangka Konsep Untuk memahami perceraian seyogyanya juga memahami perkawinan agar terbangun cara yang lebih komprehensif dalam memahami peristiwa atau kejadian, terutama cerai gugat. Begitupun keberanian perempuan menceraikan suaminya juga dapat dilihat dengan memahaminya sebagai satu persoalan yang terintegrasi dengan habituasi entah kebudayaan, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
170
I Nyoman Yoga Segara
agama hingga kondisi sosial yang melingkupinya. Konflik dan setelahnya menjadi satu setting sosial yang menarik untuk menempatkan perceraian dalam konteks bagaimana kesadaran perempuan terbangun dan bagaimana respon adat dan budaya, termasuk institusi menanggapinya. Kota Ambon yang menjadi lokus penelitian ini adalah negeri yang unik sekaligus tertangkap sebagai negeri yang sedang mencari identitas baru pasca konflik yang teramat mencekam. Ada ingatan kolektif yang membuat “manusia Ambon” diimajinasikan masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan, trauma, dan juga dendam sejarah. Semua kelakuan ini secara sadar merasuki ingatan masa kini banyak orang. Ekspresi dari ingatan kolektif dapat mewujud ke dalam banyak bentuk, termasuk disorentasi dalam hidup. Segala peristiwa dan kejadian di luar diri, secara sadar juga memengaruhi apa yang ada di dalam diri. Ada internalisasi sekaligus eksternalisasi terhadap peristiwa dan kejadian sejarah, bahkan masa lalu sekalipun. Jika pendekatan di atas coba dikaitkan ke dalam penelitian ini, maka pengalaman sosial manusia atau individu dalam relasinya dengan yang lain akan menjadi fokus yang sangat penting untuk didalami. Konsepsi triad dialektika Berger & Luckman (1966) tentang eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi memperlihatkan bahwa struktur pengetahuan (nomos) yang bermakna, yang diobyektivasi dalam realitas adalah untuk menjelaskan tindakantindakan individu. Artinya, individu memiliki kemampuan untuk melakukan internalisasi ke dalam dirinya. Namun realitas sosial selalu bersifat konstruktif yang dikonstruksi oleh manusia melalui pelbagai tindakan atau interaksi sosial yang disebut Berger sebagai eksternalisasi. Tindakan sosial yang tercermin dari tren HARMONI
Januari - April 2016
cerai gugat adalah cara baru bagaimana perempuan memandang dirinya dan orang lain, sehingga dapat dipahami keberanian mereka sebagai upaya untuk mempergunakan pelbagai makna-makna yang tersedia. Penelitian ini tidak hanya menyoal perempuan secara ontologis, tetapi juga bagaimana ia dan dunianya bergerak untuk dipahami sebagai setting sosial yang penuh maknawi. Irwan Abdullah (2001:8-9) menyatakan bahwa representasi perempuan dalam penelitian sepatutnya tidak lagi melihat soal perempuan hanyalah sebagai “capital”, korban dari sebuah struktur dan digugat hanya karena mereka absen pada bidang yang dikuasai laki-laki. Meneruskan pikiran Irwan Abdullah (2001:14-16) yang diinspirasi Olesen (1994), perempuan haruslah dipahami lebih dalam dan memikirkan sejauhmana implikasinya dalam penataan kehidupannya, melalui: Pertama, pendekatan subjektif di mana perempuan harus dilihat sebagai kelompok yang sadar dan memahami posisi kultural dan strukturalnya dalam masyarakat. Kedua, pendekatan relasional, melihat kontrol laki-laki dalam struktur sosial, struktur dan percakapan yang dapat dipahami sebagai proses pembentukan kelas atau status yang didasarkan oleh hubungan-hubungan yang terbentuk. Ketiga, pendekatan struktural yang melihat berbagai bentuk interaksi dalam kaitannya dengan sejarah pembentukan struktur. Keempat, pendekatan kebijakan sosial yang mencoba menerjemahkan fenomena ke dalam konsep dan indikator kebijakan. Berangkat dari empat pendekatan Olesen, penelitian ini mencoba melompat tidak hanya sekadar membahas perempuan, tubuhnya, tetapi mendengar suaranya, pikirannya dan cara pandangnya terhadap dunia sosial di mana mereka bertumbuh.
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
Alasan lain mengapa penelitian ini tidak ingin disebut hanya sebagai studi tentang perempuan semata karena seperti dinyatakan para antropolog seperti Milton (1979), Shapiro (1981) dan Strathern (1981) dalam Moore (1998:1617) yang menjelaskan bahwa jika fokus pada wanita atau “cara pandang wanita” muncul sebagai alternatif terhadap fokus pada pria atau “cara pandang pria”, maka sebagian besar kekuatan penelitian feminis akan hilang melalui pemisahan yang secara konsisten membatasi pekerjaan tersebut sebagai “bukan laki-laki”: “antropologi wanita”. Kekhawatiran mereka dapat dipahami karena antropologi wanita, tidak seperti antropologi lainnya, terdiri atas wanita mempelajari wanita, di mana wanita mempelajari wanita bukanlah sebuah “ghettoisasi” tetapi justru marjinalisasi. Menurut Moore ini adalah kekhawatiran yang sangat mendasar, yang akhirnya akan mengaburkan perbedaan antara antropologi tentang wanita dengan antropologi feminisme. Berdasarkan diskusi teoritik di atas, peneliti terinspirasi menjadikan antropologi feminisme hanya sebagai kerangka kerja (frame work) untuk didialogkan selama penelitian. Lebih lanjut, Moore (1998:23-25) menguraikan bahwa dalam antropologi, feminisme bisa saja mengacu pada kesadaran wanita atas penindasan dan pemerasan dalam kerja, di rumah dan masyarakat, serta diartikan sebagai kesadaran tindakan politik yang dilakukan oleh wanita untuk mengubah situasi ini. Hasil akhirnya adalah antropologi feminisme sebagai suatu kritik budaya, politik dan sebagai dasar tindakan politik, diidentifikasikan dengan wanita – bukan wanita dalam konteks sosial dan historisnya tetapi wanita sebagai kategori sosiologis.
171
Metode Penelitian Penelitian dengan masalah yang sensitif, seperti perceraian dan di daerah yang juga masih belum pulih dari konflik, dibutuhkan pendekatan yang tidak biasa. Mendesain setting penelitian menjadi langkah awal yang harus dilakukan. Mengenal Ambon dari beragam literatur, lalu mendekatkan diri pada orang-orang yang dikenal sebelumnya, menjadi cara lain untuk melebur, meski tidak sepenuhnya bisa immersion. Selanjutnya, sebagai penelitian kualitatif dan sebagaimana yang sudah banyak disampaikan para ahli, metode ini menuntut kedalaman wawancara dan pengamatan. Namun waktu yang singkat menjadi pembatas untuk in depth interview, apalagi participant observation. Namun agar dua aspek ini tetap terpenuhi, peneliti memainkan strategi baru di lapangan, salah satunya dengan memanfaatkan salah satu struktur kebudayaan paling istimewa, yakni bahasa sebagai pintu masuk. Teknik lainnya adalah snowballing karena untuk kasus Ambon menjadi lebih tepat ketimbang memaksakan teknik purposive di mana informan sudah ditentukan. Teknik ini bermula dari lemparan satu pertanyaan saat bertemu seorang pegawai di Kankemenag Kota Ambon, dan selanjutnya ia memberikan banyak data dan informan. Selain melakukan pengamatan, kegiatan penting lainnya adalah melakukan wawancara dengan seluruh subjek, yang tidak saja dilakukan di ruang-ruang serius, tetapi juga untuk halhal ringan dan kecil, seperti warung dan ruang tunggu kantoran. Dengan demikian, melalui penelitian lapangan ini peneliti berharap menemukan pengalaman baru dan memaparkannya ke dalam narasi yang berangkat dari aneka peristiwa dan aktivitas, termasuk bagaimana posisi mereka dalam bingkai sosial, ekonomi, Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
172
I Nyoman Yoga Segara
politik dan budaya, sebagaimana Geertz (1973:5) meyakini bahwa penelitian antropologi berbasis etnografi adalah untuk memperkaya sensitivitas peneliti (lihat juga Spradley, 2007), termasuk pengalaman dan kesadarannya. Sementara sumber data dari subjek yang digali melalui wawancara mendalam dielaborasi secara konsisten, dengan maksud untuk menangkap cara pandang subjek, dan hubungannya dengan kehidupan. Bagaimanapun, subjek adalah mereka yang menyadari visi dan dunianya sendiri (Malinowski, 1984 [1922]:25; lihat juga Bruner, 1986). Agar suara informan dapat didengar dan dirangkum, peneliti juga menggunakan teknik focus group discusion (FGD). Teknik ini cukup efektif karena peneliti mendapat banyak hal baru yang akan sangat berguna bukan saja untuk penelitian ini tetapi juga penelitian selanjutnya. Secara lengkap, subjek penelitian ini adalah empat perempuan, dua orang tua para perempuan, tiga teman dekat para perempuan, tiga Kepala KUA, dua
petugas PA, tiga akademisi, dua aktivis LSM, dan dua tokoh agama. Kepada mereka semua, isi kepalanya peneliti rangkum menjadi narasi dan kemudian dibenturkan sekaligus didiskusikan dengan beberapa konsep yang relevan.
Hasil dan Pembahasan Data Perkawinan dan Perceraian dalam Angka Untuk dapat memasuki lebih jauh tujuan pertama penelitian ini, penting terlebih dahulu disampaikan gambaran data tentang perkawinan dan perceraian. Hal ini dilakukan agar ada perimbangan terhadap dua peristiwa penting dalam kehidupan seorang manusia. Mengingat perkawinan dicatat di KUA dan perceraian diputus melalui ketokan palu hakim di PA, maka data akan diambil dari dua institusi dan dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang makin jelas. Berikut data perkawinan yang tercatat di Kantor Kemenag Kota Ambon:
Tabel 1: Peristiwa Nikah dalam 5 Tahun Terakhir di Kota Ambon No.
2010
1.
1.425 pasang
2011 1.484 pasang
2012 1.561 pasang
Sumber: Kantor Kemenag Kota Ambon, 2015
HARMONI
Januari - April 2016
2013
2014
1.574 pasang
1.493 pasang
2015 413 pasang s.d bulan Maret 2015
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
Di bawah ini adalah data perceraian dan perkara lain yang tercatat di PA Ambon, dengan catatan data perceraian untuk tahun 2015 dimulai dari Januari hingga Maret 2015, sedangkan mediasi untuk tahun 2010 dimulai pada bulan Desember 2010.
173
cerai talak. Pada 2013 angka perceraian sebesar 19,44% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 12,20% adalah cerai gugat, sisanya 7,37% cerai talak. Ketiga, pada 2014 angka perceraian sebesar 23,38% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan
Tabel 2: Keadaan Perkara pada Pengadilan Agama Ambon Tahun 2010-2015 No.
Perkara
1.
Perceraian
2.
Tahun 2010
2011
2012
2013
2014
2015
260
256
237
306
349
96
Cerai Gugat
153
165
151
192
226
68
3.
Cerai Talak
107
91
86
116
123
28
4.
Isbat Nikah dengan tujuan cerai
12
9
7
9
7
0
5.
Jumlah pasangan yang melakukan mediasi
8
81
61
83
94
0
6.
Gugatan cerai yang berhasil dimediasi
0
3
3
4
5
0
Sumber: PA Ambon, 2015 Berdasarkan data di atas, tampak bahwa Pertama, angka perceraian pada 2010 sebesar 18,25% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 10,74% adalah cerai gugat, sisanya 7,51% cerai talak. Pada 2011 angka perceraian sebesar 17,25% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 11,12% adalah cerai gugat, sisanya 6,13% cerai talak. Kedua, pada 2012 angka perceraian sebesar 15,18% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 9,67% adalah cerai gugat, sisanya 5,51%
dari perceraian yang tercatat, sebanyak 15,14% adalah cerai gugat, sisanya 8,24% cerai talak. Pada 2015 angka perceraian sebesar 23,24% bila dibandingkan data perkawinan yang tercatat. Sedangkan dari perceraian yang tercatat, sebanyak 16,46% adalah cerai gugat, sisanya 6,78% cerai talak. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa dari data perkawinan dan perceraian dalam kurun waktu antara tahun 2010-2015 tercatat 7950 peristiwa nikah terdapat perceraian sebanyak 1504 (18,92%), sedangkan cerai gugat sebanyak 955 (12,01%) dan cerai talak sebesar 551 (6,93%). Untuk lebih lengkap dapat dilihat dalam rekapitulasi di bawah ini:
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
174
I Nyoman Yoga Segara
Tabel 3: Perbandingan Perkawinan dan Perceraian Tahun Kete-rangan
2010
2011
2012
Jml
%
Jml
1425
100
1484
100
1561
100
Perceraian Cerai Gugat
260 18.25
256
17.25
237
153 10.74
165
11.12
Cerai Talak Isbat Nikah dengan Tujuan Jumlah Pasangan yang melakukan mediasi Gugatan Cerai Yang Berhasil dimediasi
107
7.51
91
12
0.84
8
0
Peristiwa Nikah
%
Jml
2013 %
2014
Jml Total
2015
20102015
Jml
%
Jml
%
Jml
%
1574
100
1493
100
413
100
15.18
306 19.44
349
23.38
96
23.24
1504 18.92
151
9.67
192 12.20
226
15.14
68
16.46
955 12.01
6.13
86
5.51
116
7.37
123
8.24
28
6.78
551
6.93
9
0.61
7
0.45
9
0.57
7
0.47
0
-
44
0.55
0.56
81
5.46
61
3.91
83
5.27
94
6.30
0
-
327
4.11
-
3
0.20
3
0.19
4
0.25
5
0.33
0
-
15
0.19
7950
% 100
Sumber: diolah dari data Kankemenag Kota Ambon dan PA Ambon Data yang cukup menarik adalah kecilnya gugatan cerai yang berhasil dimediasi. Gejala ini patut menjadi perhatian mengingat mediator itu tidak saja dilakukan di PA tetapi juga KUA. Menurut Bachtiar, Panitera Sekretaris di PA mengatakan bahwa “pasangan yang sudah memutuskan bercerai biasanya sangat susah untuk dimediasi lagi, selain sudah berketetapan hati untuk berpisah, juga karena sering terbawa emosi, tak jarang ada keributan-keributan kecil” (wawancara tanggal 15 April 2015). Mediasi tidak hanya yang formal, ada kalanya teman, kerabat dan orang tua keduabelah pihak memainkan peran mediasi. Ada juga lembaga konsultan perkawinan. Ini perlu diperhitungkan.
HARMONI
Januari - April 2016
Memaknai Ulang Data PA Ambon Bachtiar, Panitera Sekretaris PA Ambon saat peneliti temui pada 18 April 2015 memberikan data berupa hard copy yang memperlihatkan daftar faktor-faktor penyebab perceraian yang peristilahannya banyak tidak dipahami para informan. Bahkan beberapa faktor tersebut ada yang tumpang tindih, misalnya Faktor Menyakiti Jasmani, selain berisi “Kekejaman Jasmani” juga “Kekejaman Mental”. “Cemburu” dimasukkan sebagai Faktor Moral. “Kawin Paksa” dianggap sebagai Faktor Meninggalkan Kewajiban. Sedangkan “Dihukum” dan “Cacat Biologis” menjadi faktor tersendiri. Yang lebih membingungkan adalah “Tidak Ada Keharmonisan” dimasukkan sebagai Faktor Terus Menerus Berselisih. Selanjutnya lihat lebih lengkap Tabel 4 di bawah ini.
175
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
Tabel 4: Faktor-Faktor Penyebab Perceraian FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN
Kekejaman Jasmani
Kekejaman Mental
Jumalh
Tidak Ada Tanggung Jawab
13 22 20 32 37 5
12 8 3 10 3 1
2 1
9 10 7 15 12 1
50 51 43 39 48 17
-
12 11 13 12 10 7
3 1 3 -
-
1 -
-
25 35 32 50 46 9
77 62 52 69 104 39
-
205 203 171 229 263 80
7
129
37
3
54
248
0
65
7
0
1
0
197
403
0
1151
Jumlah:
Dihukum
Lain-Lain
Ekonomi
Tidak Ada Keharmonisan
Kawin Paksa
Gangguan Pihak Ketiga
Cemburu
4 1 1 1 -
Politis
Krisis Akhlak
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
1 2 3 4 5 6
Terus Menerus Berselisih
Tahun
No
Menyakiti Jasmani Kawin Di Bawah Umur
Meninggalkan Kewajiban
Moral
Sumber: diolah dari data PA Ambon, 2015 Catatan: Khusus data tahun 2015 dimulai dari Januari s.d Maret 2015 Meski faktor Tidak Ada Keharmonisan selalu menempati urutan teratas, tetap saja oleh para informan data ini dianggap bias. Mereka menolak istilah itu karena kekerasan mereka anggap sebagai penyebab paling tinggi cerai gugat. Namun sebagaimana yang telah dijelaskan, faktor ini perlu dimaknai ulang karena sebagian besar informan. “Kami ingin semuanya segera berakhir. Tak penting apa yang saya alami masuk kategori mana, karena saya sendiri tidak pernah tahu istilah hukum, yang jelas tidak ada keharmonisan saja”, kata NAF (wawancara tanggal 15 April 2015).
tidak harmonis karena perbedaan visi dan mendapat semacam “kekerasan simbolik” saat suaminya selalu bilang “kenapa kamu tidak bisa melayani orangtuaku dengan baik seperti kebanyakan orangorang di Ambon” (wawancara tanggal 16 April 2015). NS yang menyadari kalau memperlakukan orang tua (mertua) tidak bisa dilakukannya, karena meskipun orang tuanya asli Ambon, sewaktu di Bandung tidak pernah diajarkan seperti itu. Orangtuanya malah membiarkan anak-anaknya menjadi seperti budaya di mana mereka tumbuh, tidak dipaksa harus seperti budaya asli orang tua.
Pendapat yang hampir sama juga dikatakan informan lain. Tidak ada keharmonisan menjadi istilah yang terlalu generik karena bagi mereka tidak harmonis adalah akumulasi dari seluruh masalah yang dihadapi. NS misalnya, ia yang lebih banyak merasa
Ketika peneliti mencoba menanyakan hal ini, Bachtiar tidak bisa memberikan komentar karena data tersebut sudah menjadi keputusan mengikat. “Kami tentu tidak bisa mengubah item-item itu. Kami tidak memiliki kewenangan seperti itu”, ujar Bachtiar. Apa Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
176
I Nyoman Yoga Segara
yang disampaikan Pansek PA Ambon ini tentu saja tidak bisa disalahkan. Namun peneliti mencoba untuk menelusuri apakah memang ada ketentuan seperti tertera dalam Tabel 4 di atas.
Sebab-Sebab Perkawinan
Dalam penelurusan virtual, peneliti hanya menemukan alasan-alasan perceraian sebagaimana tertuang jelas pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Bab V Tatacara Perceraian, Pasal 19 yang menyatakan bahwa Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; (2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya; (3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; (5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; (6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Untuk memahami tujuan kedua penelitian ini, peneliti terinspirasi untuk membaca filsafat bahasa, atau sekurangnya teori semiotika, karena untuk mengetahui bangunan pikiran dan perasaan perempuan, ekspresi melalui tanda, simbol dan wacana menjadi pintu masuk yang lapang. Meskipun tentu saja tidak selalu mudah menangkap ekspresi. Hal ini karena manusia mampu menyembunyikannya dan memainkan dramaturgi (lihat Goffman, 1959). Namun sebagai pintu masuk dapat dipahami melalui peristiwa bahasa yang selalu terkait dengan tempat dan waktu; memiliki subjek, yakni “siapa yang berbicara”; menunjuk pada sesuatu yang sedang dibicarakan, dan lokus bagi terjadinya proses komunikasi, pertukaran pesan-pesan dan peristiwa (lihat Anang Santoso, 2009:18). Sedangkan mengapa simbol juga teramat penting untuk dipahami karena representasi adalah tindak menghadirkan sesuatu melalui sesuatu yang lain di luar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Anang Santoso, 2009:18). Tanda, simbol, wacana dan representasi dapat ditemukan dalam ujaran-ujaran para informan.
Dari uraian tersebut, tidak ada turunan pernyataan dari masing-masing alasan perceraian, sebagaimana dalam Tabel 4. Ada kemungkinan data itu hanyalah cara paling mudah untuk menyimpulkan sebuah perceraian. Yang menarik tentu saja bukan soal istilah, tetapi keyakinan untuk bercerai yang boleh jadi tidak dipahami sepenuhnya oleh para perempuan, seperti keluh kesah AL yang mengatakan “Yang penting cerai dan lepas dulu dari kekejaman suami”. HARMONI
Januari - April 2016
Keruntuhan
Mahligai
Perempuan Menggugat: Representasi sebuah Keteguhan Hati
“Daripada saya menderita seumur hidup, lebih baik bercerai”, begitu kata AL dengan mantap. Ia bahkan berani taruhan jika masih bersama suaminya, studi S1 tidak akan bisa diselesaikannya. Memang, saat bertemu dengannya, setiap kata yang menghambur keluar dari bibirnya penuh semangat kemenangan, padahal pernikahannya baru seumur jagung. “Mungkin kalau luka badan dapat saya sembuhkan, tapi jika batin terluka, seumur hidup tak akan dapat disembuhkan”, lanjut AL seraya menceritakan bahwa
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
tiap jam dua malam selalu mendapat siksaan dipukul, dijambak dan ditampar. “Sepertinya dia mengalami gangguan mental”, kenangnya. Memang, menurut ibunya, GB (wawancara tanggal 18 April 2015), AL tiap malam selalu mendapat siksaan berat. Kejadian ini yang biasanya mulai jam dua malam sudah seperti ritual di keluarganya. Ia tidak tahan melihat anak yang dirawatnya sejak bayi merah itu mendapat perlakuan kasar. Sempat GB dan AL menerka-nerka apakah suami AL menggunakan guna-guna. GB juga menduga kalau suami AL hanya mengincar warisan karena suami AL masih keponakan GB. Kini, AL yang masih tercatat tenaga honorer sedang menatap masa depan untuk meneruskan karir sebagai PNS di sebuah perguruan tinggi agama Islam di Ambon. Nasib kurang mujur juga dirasakan NAN, meski ia dan suami sempat mereguk masa-masa indah selama tiga tahun. Namun memasuki tahun ketiga, selama hampir delapan bulan malah merasakan neraka perkawinan. Ia tidak hanya mendapatkan siksaan jasmani dan mental, tetapi juga kenyataan pahit melihat dengan kepala sendiri suaminya berselingkuh. “Setelah sekitar lima sampai delapan bulan mendapatkan siksaan, saya memantapkan diri untuk bercerai. Saya melakukannya sendiri, bahkan orang tua sendiri tidak ikut mengurus perceraian saya”, lirih NA sembari mengatakan bahwa ini semua dilakukannya agar tidak membuka aib dan membiarkan dirinya menanggung sendiri akibat perceraiannya. Namun kesedihannya sedikit terobati ketika ia setelah bercerai pada 2009, mendapat beasiswa untuk studi S2 di Jawa (wawancara tanggal 16 April 2015. NAN adalah seorang dosen di perguruan tinggi agama negeri Islam. Suaminya juga dosen dan memilih jalan buntu perceraian pada 2009. NAN dan
177
suami sempat enam bulan pacaran sebelum memutuskan menikah). NS, perempuan yang lahir dan besar di Bandung, mengaku siap berpisah karena khawatir hidupnya akan kacau berantakan. “Sepertinya sudah tidak ada visi dengan suami. Daripada hidup saya tidak karuan, lebih baik bercerai”, ucap perempuan berkacamata, anak dari orang tua asli Ambon, namun lahir dan dewasa di Bandung. Karenanya, meski terdengar “Ambon” sesekali terselip logat Sunda yang masih kental. Perbedaan budaya yang sangat tajam, dianggap NS sebagai pemicu utama perceraian yang diambilnya pada 2011. Padahal menurutnya, kesamaan hobby sebagai pencinta alam tidak cukup untuk mempersatukan visi dalam rumah tangga. Kisah pilu NF agak sedikit berbeda, sekaligus mengenaskan. Meski sebagai PNS, ia tetap masih mampu membagi waktu untuk mengais rejeki sehingga cukup mapan sebagai seorang istri. Ketika segala sesuatu telah berjalan dengan baik, prahara mulai menghampirinya. Sang suami yang saat itu belum bekerja justru seolah menjadi tumbal akan suksesnya. “Setelah berpikir matang dan merasa tidak ada perubahan dari perilaku suami, saya putuskan untuk bercerai”, katanya mantap. Ia telah cukup merasakan siksaan batin karena selain berhasil menghidupi keluarga, malah keberhasilan itu disalahgunakan suami untuk berselingkuh. “2009 saya bercerai”, ujar NF yang ketika wawancara sempat hampir menangis. Empat penggalan cerita haru para perempuan tersebut adalah suara tentang keberanian dan kesadaran dalam memutuskan cerai gugat di PA Ambon. Namun seperti diakui oleh semua informan, keputusan pahit untuk bercerai bukan tanpa sebab, atau tiba-tiba jatuh dari langit. Menyelami cerita mereka, peneliti merasakan bahwa sebuah Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
178
I Nyoman Yoga Segara
perceraian tidak pernah sesederhana bagi mereka yang berada di luar bingkai cerita itu. Kompleks dan dramatis. Tentu, pilihan cerai bukan sesungguhnya mereka kehendaki. Kadang ada penyesalan setelahnya. Klasik memang, tetapi mereka harus memilih. Perempuan, ketika memilih sebuah keputusan maha penting dalam hidupnya, pastilah telah melewati pendakian yang panjang. Ketika berani memilih bercerai apalagi menceraikan suami, itu adalah puncak tertinggi dari sebuah keteguhan, kekokohan dan ketetapan hati. Pilihan itu adalah representasi dari bulatnya sebuah tekad untuk membebaskan diri dari penderitaan. Perempuan, dengan demikian adalah makhluk yang tidak selalu dipersepsikan makhluk pasif dan lemah, tapi sebaliknya sangat aktif. Berkenaan dengan hal ini, Blumer (1969) dalam Symbolic Interaction menjelaskan bahwa sebetulnya manusia memiliki kesanggupan untuk mengembangkan konsep-konsep tentang pikiran, interpretasi, tindakan, pengambilan peran, komunikasi, pemetaan tindakan, sehingga bertindak melalui kata dan isyarat adalah wujud tindakan sosial antarkelompok. Meraih bahagia dengan cara menderita (bercerai) adalah konsepsi yang mereka akhirnya pilih.
Sudi Bercerai Karena Suami Meredupkan Sumbu Agama Perkawinan, dalam semua pandangan agama adalah peristiwa yang suci. Begitupun dalam Islam. Hukum perkawinan adalah peristiwa yang tak terpisahkan antara akidah dan akhlak Islami. Dua hal ini menjadi dasar utama sebuah perkawinan yang diharapkan memiliki nilai transendental dan sakral dalam mencapai tujuan syari’at Islam. Norma ilahi ini mengatur hubungan HARMONI
Januari - April 2016
manusia dengan kaidah ibadah, dengan sesamanya dan dengan alam. Salah satu komponen dari kaidah mu’amalah yang sekaligus mencakup kaidah ibadah adalah hukum yang berkenaan dengan al-ahwalus syakhshiyah, yang muatannya antara lain mengenai hukum munakahat atau perkawinan (lihat lebih lengkap H.M Anshary MK, 2010:10). Berbagai ketentuan dalam perkawinan menurut syari’at Islam mengikat setiap muslim, dan setiap muslim perlu menyadari bahwa di dalam perkawinan terkandung nilai-nilai ubudiyah yang dalam al-Qur’an disebut dengan mitsaaqan ghalidza, yaitu suatu ikatan janji yang kokoh. Artinya, nilai agama menjadi landasan utama sebuah perkawinan (H.M Anshary MK, 2010:11). Jika dikaitkan dengan hukum negara, jelas pula dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana sebagian materinya adalah kumpulan tentang hukum munakahat yang terkandung dalam al-Qur’an. Kandungan al-Qur’an ini dapat dibaca jelas dalam ketentuan yang menyatakan bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkawinan adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama (lihat UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 Ayat [1]). Sejalan dengan norma baik dalam agama maupun peraturan perundangundangan, hampir semua informan menyatakan bahwa mereka berani menggugat karena justru suami mereka telah melanggar ajaran agama. Menurut NF, ketika belum berselingkuh, suaminya adalah laki-laki yang taat beribadah, rajin sholat dan imam yang baik bagi istri dan anak-anaknya. NF menceritakan bagaimana ia dengan ikhlas memberikan suaminya mobil untuk disewakan lalu disalahgunakan kepercayaan itu dengan melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain. “Sejak itu, ia berubah
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
perangai. Ia menjadi semakin rapi dan selalu menggunakan parfum. Ia juga rajin menyetrika baju sendiri, biasanya tidak pernah seperti itu. Kalau di rumah juga sering salah tingkah dengan selalu memegang hp ke mana saja, bahkan ke kamar mandi. Yang lebih menjengkelkan adalah sering pulang malam hingga subuh, menelantarkan anak dan istri”, ujar NF sedikit pilu ketika mengenang kisah pahit awal perceraiannya (wawancara tanggal 15 April 2015). Suami meninggalkan kaidah agama dengan tidak lagi menjalankan kewajiban juga dialami oleh AL. Ia menganggap suami sudah tidak bisa dijadikan sandaran hidup apalagi teladan dalam agama. AL menceritakan bahkan di depan ibunya sendiri dipukul dan dijambak, serta di luar rumah bersama teman-temannya sering mabuk-mabukkan. Pendapat bahwa perempuan berani meninggalkan suami dan menggugat cerai karena alasan norma agama telah hilang dalam perkawinan dapat dibaca dari suara NA. Ia merasa suaminya bisa saja dikembalikan ke jalan yang benar dari perselingkuhannya, namun yang tidak ia maafkan adalah kekerasan fisik dan batin yang dialaminya. Bahkan di depan adiknya yang ketika itu main ke rumah, ia juga mendapatkan perlakuan kasar. “Sebagai seorang dosen, saya tidak bisa lagi menerima perlakuan ini”, tegas NA yang selama mendapat penyiksaan tidak pernah menceritakan kepada teman-teman kantornya, hanya mata sembab yang membuat Nur Tunny dapat mengerti masalah yang dihadapi sang sahabat (wawancara tanggal 16 April 2015). Husen Henan, Kepala KUA Kota Ambon ketika diminta memberikan pandangan terhadap fenomena ini, sangat yakin bahwa pemahaman para suami telah membuat mereka menjadi orangorang yang tidak bisa lagi mengendalikan
179
emosi sehingga kebanyakan berujung pada kekerasan. Menurutnya, masalah ini tidak saja terjadi di kota Ambon tetapi juga di kampung-kampung. “Dalam hal ini, saya juga merasa gagal karena tidak mampu lagi memberikan pendasaran agama pada keluarga-keluarga terutama saat pencatatan perkawinan”, ujar Husen sembari mengatakan bahwa fungsi KUA sudah mulai berkurang karena sedikit saja ada masalah, mereka langsung pergi ke PA” (FGD tanggal 18 April 2015).
Kekerasan sebagai Sumber Utama Ketidakharmonisan Kekerasan tidak menjadi faktor tertinggi dari perceraian di Ambon (lihat kembali tabel 4). Namun sebagaimana diakui oleh informan dan orang-orang disekitarnya, kekerasan justru menjadi pemantik utama tidak ada keharmonisan atau penyebab perselisihan terus menerus. Oleh informan, kekerasan entah fisik maupun non fisik diyakini menyalahi syari’at Islam. Bagi kalangan aktivis, fenomena ini dianggap tak lepas dari konflik berkepanjangan. Informan Abidin Wakano malah menyebutnya sebagai sumber penyebab disorientasi kehidupan manusia Ambon karena bagaimanapun di alam bawah sadar mereka masih menyisakan sejarah kelam konflik antarsaudara. Sementara Hilda lebih radikal lagi dengan selalu menyatakan bahwa perempuan berani menggugat karena mereka tidak pernah mengalami orgasme dalam hubungan intim. Hilda melihat telah terjadi disorientasi seksual para lelaki Ambon (FGD tanggal 18 April 2015). Pendapat Hilda Dj. Rolobessy sangat menarik karena terinspirasi dari buku the ‘O’ project yang digunakannya untuk mendampingi dan mengajarkan perempuan Ambon menjadi istri yang baik dalam melayani suami dan bagaimana mendapatkan kualitas hubungan seksual. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
180
I Nyoman Yoga Segara
Yang menarik adalah bentuk kekerasan yang diterima informan awalnya adalah kekerasan-kekerasan fisik, seperti diakui dan dialami oleh AL. Meski ia mengatakan bahwa mungkin kekerasan fisik seperti luka dapat disembuhkan, tetapi yang paling menyiksanya adalah luka batin yang tidak akan bisa ia obati seumur hidup. AL sering dihina sebagai anak pungut yang dipelihara oleh mertuanya (wawancara tanggal 18 April 2015). Kekerasan berupa kata-kata yang tidak bisa diterima informan juga dialami oleh NS. Ia merasa sakit hati karena selalu dibandingbandingkan dengan perempuan asli Ambon yang mampu melayani mertua dan suami sesuai adat yang berlaku. “Masalah perbedaan budaya selalu menjadi sumber konflik utama di antara kami. Rasanya berat saya menerima perlakuan dianggap tidak bisa melayani mertua dan suami seperti perempuan asli Ambon lainnya”, keluh NS sembari heran karena hobby sebagai sesama pencinta alam ternyata tidak bisa mempersatukan visi mereka. Cerita mengenaskan malah diterima NAN. Ia yang memberikan suaminya pekerjaan malah mendapat perlakuan kasar dan penuh intimidasi setelah perselingkuhan suaminya terbongkar. Cerita NAN dibenarkan Nur Tunny, teman dekat NAN pernah selama empat bulan melihat wajah NAN memar-memar kebiruan dan mata selalu bengkak jika ke kantor. Pada akhirnya NAN bahkan tidak sanggup menerima kenyataan ini dan sempat “lari” ke rumah orang tuanya sebelum ia benar-benar menggunggat suami di PA Ambon. Apa yang diterima para informan, lalu menganggapnya sebagai petaka yang disudahi dengan perceraian adalah puncak ketidaksiapan mereka menerima kekerasan baik berupa kekerasan fisik dengan tubuh sebagai objeknya maupun kekerasan yang menyerang jiwa dan batin. Pelbagai bentuk kekerasan ini selalu berada dalam ruang kekuasaan, mekanisme yang tidak bisa dipisahkan. HARMONI
Januari - April 2016
Bahkan mekanisme kekuasaan mencari ruang yang halus sampai tidak dirasakan secara sadar, dipatuhi dan diterima begitu saja. Oleh Pierre Bourdieu (1992 [1991]) kondisi ini dianggap sebagai kekerasan simbolik yang dimaknai sebagai kekerasan yang lembut dan tidak kasat mata. Artinya kekerasan simbolik adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tak tampak, yang dibaliknya menyembunyikan praktik-praktik dominasi (Anang Santoso, 2009:146, lihat kembali Bourdieu, 2010 [1998]). Kekerasan non fisik atau kekerasan simbolik dalam pandangan ahli kebudayaan dianggap jauh lebih menikam, misalnya melalui kata-kata yang dimainkan agar terdengar rasional dianggap sebagai metáfora. Hal ini oleh Rudyansjah (2009:24) dijelaskan sebagai satu kiasan di mana kata-kata, yang sebenarnya mengandung arti tertentu, lalu digunakan sedemikian rupa dengan cara memaksimalkan kemiripan dan analogi kata-kata yang sedang disandingkan pada kiasan tersebut, sehingga kalimat itu pada akhirnya bisa memiliki arti berbeda daripada arti harafiah kata-kata itu sebenarnya.
Karena Pendampingan Istimewa Terhadap Perempuan Pasca Konflik “Sekarang ini tiap Polres ada tempat pelayanan terhadap anak dan perempuan”, begitu Hilda Dj. Rolobessy memulai sesi tanya jawab saat FGD. Ia menceritakan bahwa fokus pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pasca konflik adalah memberikan perlindungan, pelayanan dan pendampingan kepada anak dan perempuan. Sejak itu, banyak bermunculan LSM yang menjadi pioneer bukan saja pendampingan dalam hal pemulihan mental tetapi juga bergerak ke aspek lain seperti penguatan ekonomi, pemberdayaan dan motivasi (FGD tanggal 18 April 2015). Menanggapi pernyataan ini, Hilda dan Abidin Wakano mengamini sebagai pola umum yang berlaku di
181
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
semua daerah pasca konflik. Sambil berseloroh, menurut mereka, janganjangan kekerasan yang dilakukan para suami karena tidak ada pendampingan dan pemberdayaan terhadap laki-laki. Pendampingan yang istimewa kepada anak dan perempuan juga diakui oleh Nuraini Lapiah. Ia yang juga seorang janda sering melakukan roadshow untuk memberdayakan perempuan, terutama melalui majelis taklim. Bersama dengan aliansi perempuan Kota Ambon, perempuan Makassar ini begitu gencar ikut dalam kampanye meningkatkan kesadaran perempuan dan memperjuangkan hak-haknya. “Tidak aneh kalau aliansi perempuan di sini berkembang pesat”, terangnya sekaligus juga ikut memberikan komentar kalau perceraiannya dulu disebabkan oleh suami yang berselingkuh (wawancara tanggal 20 April 2015). Menurut Nuraini Lapiah, sejak pasca konflik ada LSM yang khusus bergerak dibidang pemberdayaan perempuan. Yang terbesar adalah Lembaga Pemberdayaan Perempuan dan Anak Maluku (LAPAN). LSM ini terdiri dari banyak aliansi perempuan. Ia sendiri adalah anggota Gerakan Konsolidasi Perempuan Muslim Maluku (GKPMM) yang bergerak dari satu pengajian ke pengajian, yang selain memberikan ceramah juga memutarkan video dan film-film inspiratif. Nuraini Lapiah, diakhir pertemuan dengan peneliti memberi pesan yang sangat menarik. Menurutnya, sumber perceraian dengan perselingkuhan justru terjadi ketika kondisi ekonomi sangat bagus, dan KDRT berlangsung di tengah kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tentu pendapat ini perlu direnungkan dan didiskusikan lebih dalam lagi. NS dan NAN serta Nur Tunny yang juga seorang aktivis juga merasakan ada perubahan terutama karena perempuan
mendapat perhatian khusus pemerintah. Banyak organisasi perempuan bermunculan, program dan kegiatan juga makin sering. Bagaimanapun atmosfer itu ikut dinikmati para informan, meskipun mereka tidak secara eksplisit mengatakan bahwa mereka berani menggugat cerai setelah mengikuti pendampingan dan kegiatan perempuan. Pergerakan perempuan yang dimulai pasca konflik, bagaimanapun secara tidak disadari telah menggemakan ideologi perempuan yang dibangun melalui berbagai bahasa, simbol dan wacana. Meskipun istilah pengarustamaan gender telah lama populer, namun hal ini mendapatkan arenanya setelah begitu massif pemberdayaan terhadap perempuan. Selain para aktivis perempuan, seperti Hilda dan Nuraini Lapiah serta informan NS, NAN dan Nur Tunny, informan lainnya, Jamilah, perempuan kelahiran Cirebon yang menikah di Ambon, juga mengatakan bahwa saat ini pemberdayaan perempuan lebih terasa bahkan dikampung-kampung. Hanya saja memang keberanian perempuan menggugat cerai lebih banyak dilakukan oleh perempuan berpendidikan atau pekerja di kota Ambon, padahal di kampung masalahnya juga sama namun mereka masih mau menahan diri. Penjelasan ini mengingatkan peneliti pada komentar Deni, pendamping peneliti yang setia mendampingi selama penelitian dengan tegas mengatakan bahwa semua lelaki Ambon sama saja, baik di kota maupun di kampung, suka ongkang-ongkang dan kasar, cuma caranya saja yang beda. Menyoal Struktur Sosial Perkawinan dan Perceraian
dalam
Fungsi KUA yang “Tercuri” Berdasarkan Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
182
I Nyoman Yoga Segara
Peradilan Agama, serta UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka sejak tahun 2006, PA resmi berpisah dengan Kementerian Agama dan menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung (MA). Tak pelak, perubahan ini mengatur soal perceraian yang sepenuhnya ditangani PA di bawah MA. Informan Bachtiar, Sekretaris Pansek PA Ambon merasa bahwa apa yang dilakukannya selama ini telah sesuai dengan tugas dan fungsinya (tusi) sebagai amanat dari peraturan dan perundang-undangan. Salah satu regulasi yang mengatur ini adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 yang berbunyi: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam…” Adanya perubahan-perubahan tersebut juga berdampak tidak lagi ada sinkronisasi antara PA dan struktur Kementerian Agama, seperti KUA dalam menangani perceraian. Peran KUA terkait perkawinan kini hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk, serta pembekalan terhadap penasehatan pra perkawinan atau kursus calon pengantin (Suscatin). Mediasi perceraian dilakukan oleh KUA dan Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) kini sudah tidak berlaku lagi. Padahal berdasarkan PMA Nomor 3 Tahun 1975 tentang Kewajiban P2N dan Tata Kerja PA, dalam Pasal 28 (3) disebutkan: “Pengadilan Agama setelah mendapatkan penjelasan tentang maksud talak itu, berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat meminta bantuan kepada BP4 setempat, agar kepada suami istri dinasehati untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.” Setelah berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006, maka mediasi perceraian itu tetap dilakukan oleh PA namun berada di bawah MA, di mana proses mediasi tersebut dijembatani oleh seorang hakim HARMONI
Januari - April 2016
yang ditunjuk PA tersebut. Namun demikian, berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi, BP4 tetap dilibatkan dalam proses mediasi pasangan yang mengajukan perceraian ke PA, meskipun tetap saja perannya tidak sebesar di masa lalu. Dengan demikian, terhadap pasangan yang membangun perkawinan kini kewenangan Kementerian Agama hanya sebatas melakukan pencatatan perkawinan dan rujuk saja, serta melakukan bimbingan perkawinan yang biasanya dilakukan melalui Suscatin, dan tidak lagi berwenang memediasi sebagai upaya mengantisipasi perceraian. Bahkan kini Kementerian Agama telah mengeluarkan peraturan bahwa Suscatin bisa dilakukan oleh lembaga lain di luar Kementerian Agama yang sudah mendapat sertifikasi dari Kementerian Agama. Dengan kewenangan yang semakin terbatas tersebut, maka Kementerian Agama dituntut untuk dapat lebih maksimal dalam merancang dan menetapkan kebijakan terkait pembinaan perkawinan. Perubahan yang signifikan ini dirasakan betul oleh para Kepala KUA Kota Ambon. Lukman Maba (KUA Kec. Nusaniwe) bersama Husen Henan (KUA Kec. T.A Baguala) dan Syarifudin Tunny (KUA Kec. Sirimau) ketika berdiskusi dengan peneliti sepakat bahwa tugas mereka untuk melakukan pembimbingan dan pembinaan kepada para calon pengantin sudah mulai berkurang. Begitupun tugas-tugas mediasi jika ada masalah juga sudah berkurang. “Sebetulnya akar masalah ada pada pendasaran agama bagi pasangan keluarga. Pembinaan agama tidak banyak yang dilakukan karena suscatin juga sifatnya boleh ada boleh tidak. Dalam setahun paling ada 6 orang yang dimediasi, itupun tidak ada yang mau rujuk”, keluh Husen dalam diskusi tersebut (wawancara tanggal 18 April 2015).
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
Menurut para Kepala KUA, perubahan melalui regulasi tahun 2006 telah membuat banyak hal juga berubah. Tugas dan kewajiban Kepala KUA seolah “tercuri” dengan celah yang begitu mudah, misalnya mediasi tidak harus dilakukan di KUA tetapi di PA, sehingga sedikit saja ada masalah mereka biasanya langsung menuju PA. “Jadi permasalahan sekarang adalah masyarakat lebih memilih PA menyelesaikan masalah, sementara mediator di PA belum tentu memiliki pengetahuan agama. Sudah begitu, peran KUA tidak lagi sebesar dulu. Suscatin itu seperti kewajiban. Banyak petugas kami nganggur”, keluh Lukman Mabo menimpali Husen yang memang lebih banyak bicara. “Tapi mau apalagi, wong ini sudah keputusan pemerintah”, Lukman melanjutkan penjelasannya. Para Kepala KUA mengaku prihatin, namun tidak bisa berbuat banyak. KUA sebagai struktur yang dibentuk pemerintah namun tidak bisa menjalin kerjasama dengan para agen yang menggunakan jasanya. Husen malah dengan tegas menyatakan bahwa faktor lemahnya agama telah membuat para laki-laki yang semestinya menjadi imam keluarga gampang melakukan kekerasan. Mereka berharap selain struktur formal seperti KUA, para agen (masyarakat) juga mau menggunakan lembaga adat dan budaya sebagai media menyelesaikan masalah. “Tetapi saudara kawin juga sudah banyak ditinggalkan”, kata Husen yang menerangkan bahwa di Ambon ada istilah saudara kawin yang secara adat dijadikan tempat menyelesaikan masalah keluarga. Dalam konsep struktur-agen yang dikembangkan Anthony Giddens (1984:xxi) yang menyatakan bahwa struktur bukan hanya sesuatu yang bersifat kasat mata, akan tetapi boleh jadi bersifat virtual. Pranata sosial seperti saudara kawin juga bisa dimasukkan sebagai struktur.
183
Dalam hukum Islam, masalah perkawinan dan perceraian seperti di atas tampaknya sangat kompleks dan tidak sederhana. Para Kepala KUA sepakat bahwa akibat perkawinan, khususnya perceraian tidak boleh tidak harus melibatkan kebijakan pemerintah atau negara. KUA sebagai bagian dari perpanjangan tangan pemerintah harus dikembalikan sebagian tugasnya terutama dalam memediasi perceraian. “Di PA memang ada mediator tetapi apakah mereka memiliki pengetahuan yang kuat tentang agama?” tanya Husen agak tautologis. Padahal menurut Husen, dan juga diamini kedua rekannya yang lain, bahwa dalam Pasal 65 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 Jo Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 ditegaskan bahwa: “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Selanjutnya di dalam angka 7 Penjelasan Umum UU Nomor 7 Tahun 1989 ditegaskan bahwa: “UndangUndang Perkawinan bertujuan antara lain melindungi kaum wanita pada umumnya dan pihak istri pada khususnya...”. Atas hal ini, Muhammad Amin Suma (2004) menyatakan bahwa secara implisit dan prinsipil, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebetulnya berusaha untuk mempersulit terjadinya perceraian.
Pranata Sosial dan Budaya: “peretak” sekaligus perekat perkawinan Maluku adalah landscape yang dipenuhi ragam budaya dan terikat ke dalam apa yang disebut Siwalima, pemersatu marga. Siwalima adalah akar budaya Maluku yang merupakan pandangan kosmologis yang bersifat monodualistik yang menjadi nilai inti pembentuk kepribadian dan karakteristik masyarakat Maluku. Siwalima akhirnya menjadi semacam pondasi bagi mereka Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
184
I Nyoman Yoga Segara
untuk membangun kerukunan dan persaudaraan dengan menghargai perbedaan suku, agama dan golongan. Apapun yang membedakan mereka dianggap Orang Basudara (orang yang bersaudara) yang diaksentuasikan ke dalam filosofi “potong di kuku, rasa didaging” atau “ale rasa, beta rasa” (kamu rasa, saya juga rasa). Persaudaraan seperti ini bersifat proeksistensi karena sama-sama merasa memiliki dan punya tanggung jawab terhadap yang lain (Abidin Wakano, 2012:6). Siwalima diinternalisasikan ke dalam lima bentuk persaudaraan. Pertama, Pela. Kata ini berasal dari bahasa lokal dari kata “pelau” yang berarti saudara laki-laki. Secara terminologis, kata Pela diartikan sebagai ikatan persahabatan atau persaudaraan yang dihubungkan di antara seluruh masyarakat pribumi dari dua negeri atau lebih ikatan tersebut. Ada dua jenis Pela, yaitu pela tuni atau pela darah dan pela tempat sirih. Keduanya merupakan pengakuan dan penerimaan antara sesama manusia meskipun berbeda agama dan negeri. Kedua, Gandong. Kata ini berasal dari kata “kandung” yang menyiratkan persaudaraan berdasarkan garis keturunan atau geneologis. Meski tersebar diberbagai pulau, mereka sepakat untuk saling melindungi dan membantu dengan ungkapan darah satu darah semua, hidup satu hidup semua (darah kamu adalah juga darahku dan darah kita semua, hidup kamu adalah juga hidupku dan hidup kita semua). Bila Pela hanya menyiratkan persahabatan antara dua desa, maka Gandong cakupannya lebih luas, lebih dari dua desa. Ketiga, Famili (marga), adalah hubungan kekerabatan berdasarkan kesamaan marga atau fam, dan ini menjadi tradisi bagi masyarakat Maluku yang menempatkan marga (lumah tau) sebagai keluarga inti. Satu marga sesungguhnya satuan keluarga inti. Marga yang sama bisa tersebar ke berbagai negeri baik HARMONI
Januari - April 2016
dalam bentuk fam yang sama atau sedikit perubahan fonemik. Yang unik adalah meski satu marga dianut oleh dua agama berbeda, dahulu mereka dapat berbaur, misalnya, saling mengunjungi saat hari raya, baik Idul Fitri untuk Islam dan Natal untuk Nasrani (Abidin Wakano, 2012:6-12). Berdasarkan pranata sosial di atas, harusnya berpengaruh kuat ke dalam perkawinan, namun dalam hal tertentu, justru menjadi peretak. Informan Abidin Wakano menjelaskan bahwa pada dasarnya orang Ambon itu keluarga besar yang dilandasi nilai kolektivitas. Namun justru di dalam kolektivitas itu tersimpan bara yang sewaktu-waktu meledak. Tren cerai gugat atau perceraian menjadi tinggi di Ambon juga andil dari kondisi ini. Ada api dalam sekam yang tidak disadari apalgi diantisipasi. “Perceraian juga bisa karena pengaruh orang disekitar keluarga atau bahkan sanak saudara karena di sini juga terjadi kompetisi. Misalnya, jika istri saya mampu mengajak saudaranya tinggal di rumah atau memberikan pertolongan, maka saya juga harus melakukan hal yang sama. Jadi bisa saling kuat-kuatan untuk merangkul saudara masing-masing”, terang Abidin yang merasa beruntung mengawini perempuan suku Batak sehingga tidak perlu ada kontestasi antarkeluarga. Dosen IAIN Ambon ini juga mengatakan untuk urusan kontestasi dalam keluarga ini, ia mengakui semakin jauh suku baik istri maupun suaminya, maka keluarga akan semakin aman. Hal berbeda akan terjadi jika kawin sesama orang Ambon, apalagi berbeda marga (wawancara tanggal 17 April 2015). Apa yang disampaikan Wakano dan kondisi yang sedang berkembang di Ambon dapat ditemukan dalam penjelasan Roger M. Keesing dalam Cultural Anthropology yang menyatakan bahwa untuk memahami perkawinan perlu melakukan berbagai komparasi, terlebih berkenaan dengan kesukuan. Menurutnya, secara karakteristik
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
perkawinan itu bukan hanya semata hubungan antarindividu tetapi hubungan antarkelompok; perkawinan sering menimbulkan perpindahan atau peralihan berbagai hak-hak baik berpindah dari istri ke kelompok suami atau sebaliknya. Keesing selanjutnya membahas lebih jauh isu ini ke dalam tema perkawinan sebagai ajang kontrak dan transaksi (1992 [1981]:6-8). Dan fenomena yang terjadi di Ambon sebetulnya lumrah dan universal, tapi masalahnya, dinamika internal negeri Ambon menjadi lebih menarik karena di dalamnya juga dikenal adanya ikatan marga, meskipun dibeberapa kepulauan yang lain, seperti pulau Buru masih terdapat kastanisasi. Bagi ahli kebudayaan, kontestasi dalam keluarga menjadi cara mereka untuk menjadikan hidup sebagai ruang dialogis, sebagaimana Bakhtin (dalam Rudyansjah, 2009:42, 43) juga melihat bahwa keberadaan hidup sebagai proses dialog antara si pelaku dengan dirinya sendiri maupun dengan the other dalam arti luas yang mencakup tidak hanya orang lain, namun juga kebudayaan, sejarah dan lingkungan yang ada disekelilingnya. Bakhtin juga menyebut kemampuan pelaku merespons ke semua hal itu sebagai proses authoring atau answerability, dan proses ini tidak hanya memperlihatkan pelbagai struktur pemaknaan yang mau dirajut si pelaku dalam dialognya dengan dirinya sendiri, sejarah, kebudayaannya, serta pelaku lainnya di dalam kehidupannya, melainkan juga menampilkan pelbagai struktur kekuasaan yang beroperasi di dalam kehidupannya. Dengan demikian, kontestasi dalam struktur sosial masyarakat Ambon bukan lagi sebuah panggung yang bersifat fisik semata, tetapi juga melampaui arena pertarungan antara spirit dan logos di mana keberlangsungan semua fakta tentang kisah masa lalu dapat terolah ke alam kesadaran, sekaligus dapat dimaknai hingga ke sifatnya yang batiniah.
185
Kontestasi dalam relasi antarkeluarga besar adalah proses pengkonstitusian pelbagai konteks pemaknaan yang menyejarah yang dilangsungkan dalam sebuah permainan, dengan merayakan selera yang telah ditentukan bersama. Ketegangan, keseriusan sekaligus kejenakaan yang muncul akhirnya adalah cara mereka untuk saling mengapresiasi usaha yang mereka perjuangkan. Perkawinan sebagai arena untuk memainkan modal yang dimiliki oleh pasangan keluarga. Dengan modal itu pula mereka menjadikannya sebagai alat perjuangan. Karenanya, banyak pasangan merasa lebih aman kalau memiliki suami atau istri berbeda suku. Bagi mereka, semakin jauh suku pasangan semakin berkurang ketegangan dalam rumah tangga.
“Tiga Batu Tungku” dan “Saudara Kawin”: Kearifan Lokal Yang Mulai Terabaikan Ambon sebagaimana telah disampaikan di atas adalah negeri dengan ragam budaya dan kearifan-kearifan lokal. Selain Siwalima, dalam tulisan Abidin Wakano dapat ditemukan bahwa sebetulnya masih banyak lagi kearifan lain, misalnya sistem pemerintahan lokal di Maluku pada tingkat negeri terbentuk dari sebuah proses yang dimulai dari struktur terkecil, yaitu keluarga. Kumpulan dari beberapa rumah tangga dalam satu keluarga membentuk satu Rumatau atau Lamatau. Artinya kesatuan kelompok geneologis yang lebih besar sesudah keluarga adalah Rumatau atau Lamatau (Abidin Wakano, 2012:18-19). Selain kearifan lokal tersebut, dalam FGD, Abidin Wakano malah menyampaikan bahwa sebetulnya masih ada lagi kearifan yang lain untuk mencegah perceraian di Ambon. Menurutnya tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh setidaknya dapat dimanfaatkan untuk menimba Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
186
I Nyoman Yoga Segara
ilmu pengetahuan agama. Tiga batu tungku ini masih hidup, terutama di kampung-kampung, namun di kota juga masih ada. Dalam penjelasannya, Wakano mengatakan raja itu adalah pemimpin negeri yang dihormati dan disegani. Ia terpilih menjadi orang yang akan memimpin masyarakat. Imam adalah orang terpilih untuk menjadi tempat menanyakan semua hal yang dihadapi dalam hidup. Imam juga menjadi legitimasi agama dan adat yang dilakukan oleh tokoh agama dan adat. “Sekarang ini tiga batu tungku tidak banyak dijadikan tempat untuk curhat. Mungkin media sosial sudah begitu kuat menjadi rujukan. Banyak TV menayangkan acara-acara rohani. Tiga Batu Tungku sepertinya sudah digantikan oleh media, sehingga tidak lagi menjadi sandaran”, jelas Wakano yang ketika itu diamini oleh Samad Umarella dan M. Syafin Soulisa. Pernyataan Wakano agak sejalan dengan Nuraini Lapiah yang mengatakan bahwa gaya hidup masyarakat Ambon sudah banyak berubah akibat perkembangan media dan teknologi, terutama handphone. Aktivis perempuan ini juga menduga bahwa media itu tidak memiliki filter lagi, seperti bebas merasuki hidup orang Ambon, apalagi pasca konflik semuanya menjadi serba bebas, seperti kran terbuka yang meluberkan kebebasan. “Ada semacam eforia kebebasan, terlebih ketika bebas dari konflik”, tegas Nuraini Lapiah. Masih dalam konteks untuk mencegah perceraian, ada kearifan lokal lainnya yang kini juga sudah mulai ditinggalkan, yaitu saudara kawin. “Andaikan mereka memanfaatkan saudara kawinnya, pasti perceraian tidak akan besar”, begitu informan Wahab Putuhena memberi kesan ketika peneliti menyodorkan tingginya angka perceraian. Cukup lama peneliti memahami apa yang dimaksud saudara kawin, sebuah istilah dalam bahasa Indonesia namun berakar kuat budaya negeri Maluku. HARMONI
Januari - April 2016
Menurut Wahab, saudara kawin hanya dianut di wilayah Maluku, dan sampai kini tetap hidup terutama di daerah pinggiran yang adat istiadatnya masih kuat. Makin ke tengah kota, pemanfaatan saudara kawin makin kecil. Wahab menceritakan bahwa ketika menikah, keluarga besar masing-masing pengantin akan melakukan kesepakatan adat untuk menunjuk salah seorang saudara lakilaki jauh dari pihak perempuan untuk dijadikan saudara kawin. Lebih lanjut, Wahab menjelaskan bahwa saudara kawin ini punya tugas penting untuk menjaga keutuhan keluarga, memberi nasehat baik diminta maupun tidak diminta. Secara adat, saudara kawin memiliki tugas untuk mencegah dan menyelesaikan masalah dan berbeda dengan BP4 atau seperti penghulu. Semua informan kunci dalam penelitian ini ternyata juga tidak menjadikan saudara kawin untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. “Jangankan saudara kawin, orang tua sendiri tidak ikut campur tangan terlalu jauh”, terang NAN dan NF. Sementara AL mengatakan malah ibunya, GB yang meminta untuk segera menyelesaikan masalahnya. Orang terdekat NF, Fatimah mengaku tiba-tiba saja mendengar kalau NF sudah mendaftarkan cerai gugatnya, sedangkan Nur Tunny, teman dekat NAN juga kaget kalau NAN tanpa diskusi dengannya sudah mengajukan gugatan cerai. Tampaknya, dari semua pernyataan informan, peran adat dan budaya tidak mendapat porsi yang besar. Bahkan pula, semua informan kunci juga tidak melakukan mediasi ke KUA. Akhirnya dapat dipahami kegelisahan Husen dan Kepala KUA lainnya bahwa KUA sebagai struktur pemerintah saat ini merasa sudah tidak berdaya. Yang membuat mereka menjadi makin gelisah adalah perbedaan pandang terhadap lembaga mediasi yang dalam Pasal 5 Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi dinyatakan
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
bahwa mediator adalah mereka yang bersertifikasi. Padahal hakam diutamakan mediatornya adalah wakil keluarga kedua belah pihak. Jika hukum negara dan hukum Islam dapat berdampingan, maka dapat disimpulkan bahwa mediator itu sedapat mungkin mereka yang mengerti agama, dan hakam juga dapat dilakukan mulai dari wakil keluarga kedua belah pihak. Ini berarti tiga batu tungku dan saudara kawin dapat menjadi struktur sosial yang terlembagakan di Ambon untuk mencegah dan menyelesaikan masalah dalam perkawinan.
Penutup Berdasarkan hasil dan analisis terhadap temuan penelitian di atas, ada tiga simpulan yang dapat disampaikan sekaligus menjawab pertanyaan penelitian, yaitu Pertama, angka cerai gugat di Ambon berbanding lurus dengan laporan Badilag di mana dalam kurun waktu 2010-2015 tercatat 7950 peristiwa nikah dan terdapat perceraian sebanyak 1504 atau 18,92%. Dari perceraian yang terjadi, cerai gugat terjadi sebanyak 955 (12,01%) dan cerai talak sebesar 551 (6,93%). Dari cerai gugat tersebut, faktor penyebab paling besar adalah Tidak Ada Keharmonisan (12.39%), Tidak Ada Tanggung Jawab (7.495), Gangguan Pihak Ketiga (5.64%), dan Krisis Akhlak
187
(3.61%). Meski demikian, berdasarkan fakta di lapangan, justru Kekerasan (baik jasmani maupun mental) menempati urutan pertama meskipun dalam bahasa hukum dikuantifikasi hanya 2.09%. Selain kekerasan, faktor lain yang menjadi penyebab cerai gugat adalah ketika nilai agama tidak lagi menjadi pondasi yang kuat dalam mengalasi perkawinan. Satu hal yang tidak bisa diabaikan adalah pendampingan khusus yang sangat besar porsinya terhadap perempuan pasca konflik. Kedua, struktur sosial, dalam hal ini lembaga pemerintah, seperti PA dan KUA dalam merespon fenomena cerai gugat memiliki pandangan yang berbeda. PA menganggap tugas dan fungsi sudah sesuai dengan amanat peraturan dan perundang-undangan, sementara KUA memandangnya sebagai keterambilan tusi, terutama masalah pembinaan agama dan mediasi perceraian. Ketiga, melanjutkan respon struktur sosial terhadap perceraian, di negeri Maluku sebetulnya masih hidup pranata sosial yang lain untuk mencegah bahkan ke fungsi terjauhnya menyelesaikan perceraian. Pranata sosial itu adalah tiga batu tungku yang terdiri dari raja, imam dan tokoh. Pranata yang lain adalah saudara kawin. Namun keduanya saat ini tidak terlalu mendapat perhatian, bahkan seolah terabaikan.
Daftar Pustaka Buku: Abdullah, Irwan. 2009. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anshary, H.M. 2010. Hukum Perkawinan di Indonesia. Masalah-Masalah Krusial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Berger, Peter L. & Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. Garden City, New York. Bourdieu, Pierre. 1992. Language & Symbolic Power. Translated by H. Raymond & M. Adamson. Oxford: Blackwell Publisher. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
188
I Nyoman Yoga Segara
Bourdieu, Pierre. 2010. Dominasi Maskulin. Terjm. Stepanhus Aswar Herwinarko dari La Domination Masculine, 1998. Yogyakarta: Jalasutra. Blumer, Herbert. 1969. Symbolic Interaction. New York: Prentice Hall. Bruner, Edward. 1986. Experience and Its Expressions dalam Bruner (ed) The Anthropology of Experience. Chicago: University of Illinois. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. London, Hutchinson & CO Publisher LTD (The Thick Description: Toward an Interpretive Theory of Culture [1973a]; Religion as a Cultural System in Interpretation of Cultures [1973b]; Person, Time and Conduct in Bali in Interpretation of Cultures [1973c]). Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. Outline of the Theory of Structuration. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Goffman, Erving. 1959. The Presentation of Self in Everyday. New York: Doubleday. Kessing. Roger M. 1992. Antropologi Budaya, Suatu Perspektif Kontemporer. Terjm. Samuel Gunawan dari Cultural Anthropology. A Contemporary Perspective. 1981. Jakarta: Erlangga. Malinowski, B. 1984 (1922). Argonauts of the Western Pacific. Waveland Press Inc. Moore, Henrietta L., 1998. Feminisme dan Antropologi. Terjm. Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP UI dari Feminism and Anthropology. Jakarta: Yayasan Obor. Rudyansjah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah, dan Tindakan. Sebuah Kajian Tentang Lanskap Budaya. Jakarta: Rajawali Press. Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Terjm. Misbah Zulfa Elizabeth dari The Ethnographic Interview, 1979. Yogyakarta: Tiara Wacana. Wakano, Abidin. 2012. Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku. Jakarta: Penerbit Cahaya Pineleng Laporan: Laporan Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2014. Peraturan dan Perundang-Undangan: Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Republik Indoensia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Virtual: http://www.solusiislam.com/2014/01/Inilah-sebab-dan-alasan-wanita-dibolehkanminta-cerai.html diakses tanggal 2 Mei 2015, jam 17:50
HARMONI
Januari - April 2016
Penelitian
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
189
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi Juju Saepudin
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Jl. Rawa Kuning No. 6 Pulo Gebang Cakung - Jakarta Timur Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 3 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstract
Abstrak
The birth and the existence of the Association of Indonesian Muslim Intellectuals (ICMI) has become a phenomenon in the politics of Islam in Indonesia, especially about its existence and its influence after the collapse of the New Order era. This paper presents the results of research related to the dynamics of ICMI in the Reformation Era. With qualitative approach and descriptive analysis, it can be concluded that in the Reformation Era, ICMI has decreased its influence and its appeal because their failure in making one of the power house in the national politics prior to the fall of the New Order Era and to have the clash of political functions and religious functions resulting in the identity loss of ICMI. Therefore, it is important to revitalize ICMI role as an agent of social change, in order that ICMI can play a major role in the dynamics of political Islam and nation-building in the field of religion, social, politic, education and empowerment of civil society in Indonesia towards civil society.
Kelahiran dan keberadaan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menjadi fenomena tersendiri dalam belantika politik Islam di Indonesia, terlebih tentang eksistensi serta pengaruhnya pasca tumbangnya Orde Baru. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian terkait dinamika ICMI pada Era Reformasi. Dengan pendekatan kualitatif dan analisis secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa pada Era Reformasi ICMI mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, hal itu disebabkan karena kegagalan dalam upaya menjadikan salah satu power house dalam politik nasional menjelang tumbangnya Orde Baru disamping benturan fungsi politik dan fungsi keagamaan yang berakibat loss identity dalam tubuh ICMI. Oleh sebab itu, dirasa penting revitalisasi peran ICMI sebagai agent of social change, supaya bisa memainkan peran besar dalam dinamika politik Islam dan pembangunan bangsa di bidang agama, sosial, politik, pendidikan dan pemberdayaan civil society di Indonesia menuju masyarakat Madani.
Keywords: Revitalization, ICMI, Reformation Era, Madani Society.
Kata kunci: Revitalisasi, ICMI, Reformasi, Masyarakat Madani.
Pendahuluan
pada era 70-an hingga awal 80-an sangat mencorakan sikap antagonistik yang menyebabkan kemunduran bagi umat Islam dalam segi politik, sosial dan budaya.
Pasang surut hubungan pemerintah Orde Baru (Orba) terhadap dunia Islam dari yang bersikap antagonis sampai yang bersikap akomodatif telah memberi dampak pada perkembangan masyarakat Islam di Indonesia. Sikap pemerintah
Era
Umat Islam menyadari bahwa perlawanan konfrontatif tidak akan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
190
Juju Saepudin
berhasil. Oleh sebab itu, kalangan cendekiawan muda melakukan reorientasi terhadap makna politik Islam yang selama ini dielaborasi dalam corak legalitas dan formalitas. Orientasi poltik baru tersebut lebih mengarah kepada politik substantif dan integratif. Artinya pendekatan yang lebih mengutamakan kepada aspek kandungan nilai Islam sebagai sumber inspiratif bagi kekuatan politis serta sikap saling menerima dan menyesuaikan antara umat Islam dan negara. Memasuki tahun 1990-an, dengan berkembangnya dunia pendidikan telah membuka keran perkembangan daya fikir melalui dunia pendidikan, kesempatan pun diberikan kepada golongan baru untuk mengisi dalam pemerintahan karena banyak dari generasi muda Islam telah mengenyam pendidikan tinggi. Perubahan sikap pemerintah kepada Islam mulai terasa menjadi lebih akomodatif, peranan Islam mulai berpengaruh, di samping kekuatan ABRI dan mahasiswa dalam rangka mengeliminasi kekuatan komunis. Menurut Effendy ada dua alasan utama orde baru merekrut kaum muslim, dalam hal ini para aktifis dan cendekiawan muslim. Pertama, dari sudut sosiologis terbukanya akses pada pendidikan dan aktifitas ekonomi, yang memberikan para cendekiawan banyak kesempatan untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Pulangnya mereka dari menuntut ilmu disertai dengan mobilitas sosial menjadikan nilai tawar umat Islam semakin tinggi sehingga mereka harus diakomodasi ke dalam struktur negara. Kedua, peningkatan kualitas pendidikan umat Islam serta kemampuan cendekiawan Islam dalam melontarkan gagasan pemikiran Islam sehingga membuat pemerintah tidak mungkin mengabaikan keberadaan mereka, apalagi pemikiranpemikiran tersebut dalam beberapa hal HARMONI
Januari - April 2016
sesuai dengan arah dan kebijakan politik yang dikembangkan orde baru (Bachtiar Effendi, 1998 : 37-38). Kelahiran ICMI sebagai suatu wadah organisasi yang digagas oleh generasi baru yang lebih terdidik dikalangan umat telah berdampak pada perkembangan Islam sebagai gerakan kultural walaupun dari segi politik terdapat penurunan namun di luar politik mengalami kemajuan. Perkembangan yang lebih mencolok adalah hilangnya sekat-sekat pemisah antar ormas dengan lembaga-lembaga yang lainnya. ICMI sebagai suatu wadah organisasi berawal dari gagasan gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema, “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo. Namun kegiatan tersebut baru bisa dilaksanakan ada tanggal 6 Desember 1990 karena berbagai kendala. Symposium di buka oleh Presiden Soeharto dan di hadiri oleh beberapa menteri dan panglima ABRI, serta para birokrasi orde baru, peristiwa 3 hari yang bersejarah ini diikuti oleh lebih dari 500 intelektual muslim dari berbagai gerakan di seluruh Indonesia. Pada hari kedua, sekitar 460 undangan dengan membubuhkan tanda tangannya pada progam pendirian sebuah perhimpunan yang baru dan memilih B.J. Habibie sebagai ketuanya (ICMI : 2015). Secara internal, ICMI memiliki kekuatan berupa orientasi pada nilainilai kemanusiaan dan peradaban yang luhur, anggotanya terdiri dari orangorang yang memiliki berbagai disiplin ilmu dan profesi yang juga berada di berbagai organisasi kemasyarakatan,
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
keagamaan Islam dan organisasi politik serta keberadaan ICMI adalah lintas wilayah, ruang dan waktu. Tampilnya tokoh-tokoh ICMI di dalam beberapa kabinet pemerintahan telah membawa perubahan orientasi pemahaman dan kebijakan dari pendekatan makro ke pendekatan mikro. Konsep trickle down effect dari pertumbuhan ke kesejahteraan telah mulai dilakukan dengan percepatan pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dan pendekatan keberpihakan, mulai dikembangkan dan diterapkan ke dalam kebijakan-kebijakan pembangunan yang secara langsung berdampak pada masyarakat secara umum dan umat Islam pada khususnya (Kartasasmita : 2015). Namun demikian, pasca tumbangnya orde baru keberadaan ICMI sampai saat ini masih didera berbagai masalah dan kesulitan, ICMI belum bisa berkiprah secara optimal dalam pengelolaan organisasi dan dalam pemecahan masalah bangsa, yang berdampak pada perubahan yang belum signifikan bagi kemajuan ICMI sendiri maupun bagi kemajuan umat, masyarakat dan bangsa. Hal tersebut bisa terlihat dari kondisi eksternal yang dihadapi ICMI, berupa berbagai indikator makro dalam berbagai bidang kehidupan dan juga posisi Indonesia dalam peta pembangunan bangsa-bangsa. Untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa di atas, ICMI perlu melakukan revitalisasi agar bisa berperan lebih aktif, berkualitas dan lebih produktif dalam mengatasi permasalahan dalam berbagai bidang kehidupan, melalui pengembangan program-program yang inovatif, strategis dan mampu memberikan multiplier effect bagi perbaikan dan peningkatan berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia dan senantiasa dilaksanakan secara taat asas atau sesuai dengan khittah
191
perjuangan ICMI sebagai aktualisasi paradigma pembangunan peradaban yang Islami, berakhlak mulia, sejahtera dan berdaya saing. Berdasarkan uraian di atas, ulasan terkait revitalisasi peran ICMI di era reformasi menjadi penting adanya dan harus direspon positif semua pihak, karena potensi cendekiawan muslim di Indonesia dapat melahirkan banyak pemikiran brilian yang dapat membawa perubahan, pembaruan dan kemajuan bagi umat Islam dan juga Indonesia.
Kerangka Konseptual Konsep Revitalisasi Kata dasar dari revitalisasi yaitu “vital” artinya penting. Imbuhan “re” sebelum kata “vital” bisa diartikan sebagai proses pengulangan, dan atau sikap sadar untuk melakukan upaya atau usaha (Rahman : 2009). Jadi kata “revitalisasi” berarti upaya untuk melakukan perbaikan dari beberapa kekurangan yang ada dan diketahui sebelumnya. Perbaikan dimaksud biasanya lebih sering digunakan untuk hal-hal yang tidak nampak secara kasat mata, seperti paradigma, konsep dan yang lainnya. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, revitalisasi berarti proses, cara dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya (Alwi, 2005 : 1142). Revitalisasi berarti menjadikan sesuatu perbuatan menjadi vital atau membangkitkan kembali vitalitas sehingga sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali. Seiring perkembangan selanjutnya, istilah revitalisasi digunakan oleh banyak kalangan dalam segala bidang, dari bidang kajian yang abstrak sampai dengan yang nampak secara kasat mata. Berbagai macam pengertian lain tentang revitalisasi dari banyak kalangan muncul sedemikian rupa yang Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
192
Juju Saepudin
dimungkinkan satu sama yang lain bertentangan. Dalam khazanah dinamika keilmuan kontemporer, hal itu wajar terjadi karena pada prinsipnya tidak akan ada definisi yang definitif. Artinya batasan pengertian terhadap suatu istilah tertentu, sulit –untuk tidak mengatakan mustahil– akan dapat menggambarkan istilah itu secara utuh dan menyeluruh. Dalam tataran aplikatif sebagaimana digunakan banyak kalangan belakangan ini, revitalisasi tidak ubahnya seperti istilah kata biasa, sama dengan kata reorganisasi, reformulasi, reinterpretasi dan yang lainnya yang bisa dijadikan sebagai suatu bangunan teori tertentu yang lahir karena gejolak sejarah masa lalu. Revitalisasi sebagai bangunan sebuah teori, bisa digunakan dalam berbagai bidang kajian dengan prinsipprinsip dasar sebagai berikut : 1) objek revitalisasi (tempat atau masalah yang akan diberdayakan) jauh dalam rentang waktu sebelumnya sudah pernah menjadi vital (sudah pernah terberdaya); 2) saat akan melakukan revitalisasi, tempat atau masalah yang menjadi objek dimaksud dalam kondisi menurun atau kurang terberdaya lagi; 3) target dilakukannya revitalisasi adalah untuk memulihkan kembali kondisi suatu tempat atau masalah, minimal sama dengan vitalitas yang pernah digapai sebelumnya, tambah bagus apabila lebih baik lagi (Rahman: 2009).
terhormat dalam al-Quran dan hanya layak bagi seorang yang berilmu dan berhikmah, sebagaimana dalam firman Allah SWT : “Dan tatkala dia cukup dewasa Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS Yusuf [12] : 22). Antara ilmu dan hikmah ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, baik ilmu yang murni (pure science) maupun terapan (appplied science) diperlukan oleh bangsa yang akan dan sedang membangun. Disamping itu, faktor penting yang sangat menentukan adalah ada tidaknya hikmah di tengah bangsa itu, terutama di kalangan pengendali dan pelaku pembangunan bangsa itu. Orang yang memiliki ilmu dan hikmah inilah yang disebut dalam al-Quran sebagai cendekiawan atau pribadi ulul albab.
Cendekiawan Muslim
Dalam Mu’jam Mufahras li Alfadz alQuran disebutkan bahwa kata ulul albab berulang sebanyak 16 kali dalam 10 surah dengan konteks yang berbeda-beda. Kata ulul albab diterjemahkan dengan “orang yang berakal”, artinya orang yang mampu mengambil kesimpulan, pelajaran dan peringatan dari ayat-ayat qauliyah yang terdapat dalam al-Quran maupun ayatayat kauniyah yang terdapat di alam raya. Ulul albab adalah orang yang memiliki sikap keilmuan dengan melakukan secara teratur upaya-upaya pengamatan, penelitian, pengakajian dan penafsiran terhadap gejala-gejala alam. Dari kajian itu akan muncul kesadaran yang dalam akan kebesaran Allah SWT sebagai pencipta segala sesuatu keseimbangan fikir dan zikir (Irawan : 2015)
Cendekiawan muslim adalah dua kata kunci yang sarat makna dan menuntut peran nyata bagi yang menyandangnya. Kata “cendekiawan” dalam al-Quran dikenal dengan istilah ulul albab, yang merupakan perwujudan aktifitas akal dan hati. Kepribadian ulul al-bab menempati posisi penting dan
Kata kunci “muslim” menunjukkan bahwa berislamnya seseorang menuntut adanya totalitas. Karakter Islam yang syumul mewarnai seluruh aspek kehidupan sehingga pola fikir, emosi, perasaan dan juga fisik terwarnai dengan Islam. Dengan syahadah, seorang muslim meyakini dia memang diciptakan hanya
HARMONI
Januari - April 2016
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
untuk beribaah kepada Allah, bahwa tidak ada yang dapat memberinya kemudharatan kecuali atas izin Allah, sehingga dengan demikian tidak ada satupun yang ditakutinya. Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia telah menjadi aset umat Islam Indonesia, memenuhi kebutuhan umat Islam akan wadah yang terbuka. Kehadiran ICMI telah diakui menjadi angle untuk mencantolkan amal shaleh, forum untuk berkumpulnya kaum terdidik dari berbagai faham dan tingkat pemahaman serta pengalaman keagamaan dan entry point untuk siapa saja yang mau ke pangkuan Islam.
Era Reformasi Reformasi berasal dari kata reformation dengan akar kata reform yang artinya “make or become better by removing or putting right what is bad or wrong (Wibisono, 1998 : 1). Secara harfiah reformasi memiliki arti suatu gerakan untuk memformat ulang, menata ulang atau menata kembali hal-hal yang menyimpang untuk dikembalikan pada format atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat (Imawan : 1999). Reformasi merupakan suatu gerakan yang menghendaki adanya perubahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik secara konstitusional. Gerakan reformasi di Indonesia, lahir sejak 21 Mei 2008 sebagai jawaban atas krisis yang melanda berbagai segi kehidupan. Krisis politik, ekonomi, hukum dan krisis sosial serta krisis kepercayaan merupakan faktor-faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi merupakan bagian dari dinamika masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan terhadap
193
pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan tersebut. Reformasi di bagi dalam 3 bentuk : reformasi prosedural, reformasi struktural dan reformasi kultural, (Hermawan, dkk : 2015) Pertama, Reformasi Prosedural yaitu tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran normatif atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju aturan demokratis. Undang-undang yang mengatur bidang politik harus menjamin adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas politik. Undang-undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif dari identitas masingmasing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan penguasa. Secara prosedural era reformasi mengandung harapan adanya repositioning pola relasi antara masyarakat dan negara karena negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat untuk melakukan usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap negara. Kedua, Reformasi Struktural yaitu tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik menuju birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif, penegak keadilan, transparantif dan demokratis yang menegakkan istilahistilah suport system. Ketiga, Reformasi Kultural yaitu tuntutan untuk melakukan perubahan pola fikir, cara pandang dan budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
194
Juju Saepudin
segala perubahan menuju bangsa yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan agenda reformasi prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir, 2003 : 27). Data yang sudah terkumpul diolah dan dianalisis sehingga menghasilkan gambaran deskriptif terkait dinamika ICMI. Dengan analisis tersebut, melahirkan kesimpulan berupa proporsi-proporsi yang berkaitan dengan tema penelitian.
Temuan dan Pembahasan Cikal Bakal ICMI Embrio ICMI mulai dirintis sejak tahun 1964, di era tersebut merupakan mulai memuncaknya kekuatan orde baru yang ditandai dengan pendirian Persami (Persatuan Sarjana Muslim Indonesia)1 dimotori oleh 100 orang sarjana Muslim yang lebih dari separuhnya adalah alumni aktifis HMI, persatuan ini didirikan di Mega Mendung Bogor, dengan pucuk kepemimpinan HM. Subchan Z.E (ketua PB. NU) dan H.M Sanusi (anggota PP Muhammadiyah). Namun persatuan ini lumpuh karena konflik internal di samping meninggalnya Sekjen Persami 1 Sebelumnya berdiri beberapa persatuan dan ikatan kelompok non Muslim, seperti : ISKI (Ikatan Sarjana Kristen Indonesia ) dan PIKI (Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia) pada tahun 1958.
HARMONI
Januari - April 2016
Bintoro Tjkroamidjojo pada tahun 1974 (Anwar: 1995: 251). Dengan lumpuhnya kekuatan tersebut, menjadi alasan persatuan cendekiawan untuk mendirikan kembali sebuah ikatan persatuan kaum intelektual muslim. Pada tanggal 26-28 Desember 1984 Majelis Ulama Indonesia dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat dari berbagai Perguruan Tinggi menyelenggarakan sebuah pertemuan pertama di Cibogo, dengan menghasilkan beberapa kesepakatan: 1) pembentukan beberapa tim konsultasi cendekiawan muslim baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka membantu MUI dan lembaga keagamaan; 2) pembentukan berbagai lembaga kajian di bidang pendidikan, masalah agama dan kemasyarakatan, zakat dan lembaga keuangan, agama dan adat istiadat, teknologi dan pengembangan masyarakat serta etika dan pengembangan ilmu pengetahuian. Pertemuan tersebut di atas kemudian disusul dengan kegiatan lokakarya yang diadakan di CiawiBogor pada tanggal 8-9 Maret 1986, dilanjutkan dengan pertemuan Cibogo pada 7-8 Mei 1986, yang menghasilkan Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FKPI). Dalam pertemuan ini muncul keingianan untuk membentuk suatu wadah bagi cendekiawan muslim, namun tidak terealisir karena masih adanya anggapan forum tersebut belum diperlukan. Pada tanggal 25-27 Juli 1986, diadakan lokakarya yang dimotori oleh FKPI, namun pertemuan ini tidak juga memformalkan ikatan cendekiawan muslim sebagai wadah resmi karena masih adanya keraguan akan persetujuan pemerintah. Dalam sekup yang tidak formal, pada tahun 1989 M. Imadudin Abdurrahim seorang cendekiawan yang merupakan tokoh Masjid Salman ITB Bandung, mengumpulkan sekitar
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
50 orang cendekiawan muslim, namun setelah wadah terbentuk resmi langsung dibubarkan kepolisian. Dari sekian banyak usaha yang diupayakan tercermin tidak mudahnya membentuk wadah cendekiawan muslim. Pada bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang terjadi diskusi kecil sekelompok mahasiswa yang merasa prihatin dengan kondisi umat Islam, terutama karena “berserakannya” keadaan cendekiawan muslim, sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam. Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing. Forum itu kemudian memunculkan gagasan untuk mengadakan simposium dengan tema, “Sumbangan Cendekiawan Muslim Menuju Era Tinggal Landas” yang direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 29 September - 1 Oktober 1990. Mahasiswa Unibraw yang terdiri dari Erik Salman, Ali Mudakir, M. Zaenuri, Awang Surya dan M. Iqbal berkeliling menemui para pembicara, di antaranya Immaduddin Abdurrahim dan M. Dawam Rahardjo (ICMI : 2015). Dari hasil pertemuan tersebut pemikiran mereka terus berkembang sampai muncul ide untuk membentuk wadah cendekiawan muslim yang berlingkup nasional. Kemudian para mahasiswa tersebut dengan diantar Imaduddin Abdurrahim, M. Dawam Rahardjo dan Syafi’i Anwar menghadap Menristek Prof. B.J. Habibie dan meminta beliau untuk memimpin wadah cendekiawan muslim dalam lingkup nasional. Pada tanggal 6 Desember 1990, simposium dibuka oleh Soeharto dan dihadiri oleh beberapa menteri dan panglima ABRI, serta para birokrasi orde baru, peristiwa 3 hari yang bersejarah
195
ini diikuti oleh lebih dari 500 intelektual muslim dari berbagai gerakan di seluruh Indonesia. Pada hari kedua, sekitar 460 undangan dengan membubuhkan tanda tangannya pada progam pendirian sebuah perhimpunan yang baru dan memilih B.J. Habibie sebagai ketuanya, namun perhimpunan sebelumnya di usulkan diganti nama dari “Ikatan Sarjana Muslim Indonesia” menjadi ”Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia”, dengan demikian keanggotaan perhimpunan tersebut menjadi terbuka bagi konstituen yang lebih luas dan cakupan aktivitasnya melampui batas-batas akademis (http:// mudakarya75.blogspot.com/2011/12/ moch-rifan-, di unduh pada tanggal 10 Desember 2014). Tanggal 7 Desember 1990 merupakan lembaran baru dalam sejarah umat Islam Indonesia di era orde baru, secara resmi ICMI dibentuk di Malang. Saat itu juga secara aklamasi disetujui kepemimpinan tunggal dan terpilih Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Ketua Umum ICMI yang pertama. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa dengan berdirinya ICMI tidak berarti kita hanya memperhatikan umat Islam, tetapi mempunyai komitmen memperbaiki nasib seluruh bangsa Indonesia, karena itu juga merupakan tugas utama.
Visi-Misi dan Program ICMI Visi dan misi ICMI sebagai organisasi cendekiawan berorientasi pada pelaksanaan program-program kekaryaan dalam pemberdayaan umat yang didukung oleh pemikiran kecendekiawanan dengan mempersiapkan kader-kader pemimpin di segala bidang kehidupan untuk mencapai kualitas iman dan taqwa, kualitas fikir, kualitas karya, kualitas kerja dan kualitas hidup. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
196
Juju Saepudin
Dalam menghadapi berbagai tantangan internal keorganisasian dan eksternal kebangsaan, ICMI mengembangkan visi “Menjadi organisasi cendekiawan yang mendorong terwujudnya kekuatan imtaq dan iptek umat bagi terwujudnya masyarakat yang maju, adil dan sejahtera”. Untuk mewujudkan visi tersebut ICMI mengembangkan misi: 1) meningkatkan kualitas keimanan dan ketaqwaan melalui pembinaan akhlakul karimah; 2) meningkatkan kualitas fikir melalui peningkatan kualitas sistem dan proses pendidikan; 3) meningkatkan kualitas karya dan kerja melalui peningkatan kualitas sistem dan proses pelatihan; 4) meningkatkan kualitas hidup melalui pemberdayaan kegiatan sosial dan ekonomi umat, kesehatan serta karya dan kinerja litbang yang berkualitas dan; 5) mampu meningkatkan kualitas keluarga dan keturunan melalui pembentukan keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. (https://id-id.facebook.com/ notes/icmi-ikatan-cendekiawan-muslimseindonesia/garis-besar-program-kerjaicmi, diunduh 11 desember 2014). Untuk mewujudkan visi dan melaksanakan misi ICMI tersebut dikembangkan program kerja yang difokuskan pada perubahan pada faktor “A” diarahkan pada peningkatan kualitas SDM, institusi dan teknologi., dan faktor “B” yang diarahkan pada pemberdayaan dan peningkatan kualitas sistem dan proses ekonomi, politik dan sosial sehingga dapat melangsungkan pengelolaan berbagai kegiatan secara lebih baik., beretika dan bertanggung jawab serta menghasilkan kinerja yang lebih baik., produktif dan berkeadilan serta revitalisasi ICMI yang dijabarkan ke dalam 11 pokok kegiatan yang meliputi kegiatan: revitalisasi organisasi, kaderisasi anggota, pengembangan usaha (secara mandiri dan melalui kemitraan, termasuk pengembangan lembaga keuangan mikro dan makro), penelitian HARMONI
Januari - April 2016
dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, publikasi, asistensi, advokasi dan fasilitasi. Program dan kegiatan yang telah disepakati dilaksanakan dengan menempuh pendekatan: fungsionalisasi dan fasilitasi, institusionalisasi, desiminasi, integrasi jaringan dan mobilisasi; dalam bentuk kajian kebijakan, pelembagaan, pengembangan jaringan dan kegiatan langsung yang dapat dilaksanakan secara mandiri, kemitraan, melalui batom atau sub-batom dan bentuk kelembagaan lainnya yang sesuai dengan ketentuan AD dan ART ICMI. Pelaksanaan program ICMI diupayakan berbasis pada masjid dengan berbagai bentuk atau pola sehingga fungsi masjid dapat dioptimalkan untuk membangun masyarakat madani. Masyarakat madani yang dimaksud adalah masyarakat yang memenuhi lima kriteria kualitas, sebagai berikut: Pertama, masyarakat yang menjunjung tinggi akhlak, moral, etika dan supermasi hukum sebagai resonansi dari kualitas iman dan taqwa. Kedua, masyarakat yang mampu berfikir logis (rasional), sistematis, dan konsisten sebagai resonansi dari kualitas fikir, sehingga di samping mampu menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan (alam dan sosial) dan teknologi yang berdaya saing tinggi, juga mampu menghargai perbedaan dengan berlandaskan pada nilai-nilai kritis dan demokratis. Ketiga, masyarakat yang mampu berkarya dan bekerja secara profesional, efisien, dan produktif berlandaskan pada metode, tehnik dan cara yang inovatif. Keempat, masyarakat yang memiliki kualitas hidup yang sejahtera dengan memenuhi berbagai persyaratannya, seperti: kesempatan kerja, pendapatan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Kelima, masyarakat dengan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta berketurunan yang berkualitas.
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
Dinamika ICMI Era Reformasi Dalam sejarah Islam Indonesia terdapat polarisasi umat Islam yang amat kaya. Sejak masuknya Islam ke Indonesia2 sampai zaman pra-kemerdekaan, Islam sudah menunjukan wajahnya yang beraneka ragam, yang dipresentasikan oleh organisasi masyarakat (ormas) atau organisasi politik (orpol). Oleh para pengamat Islam, keanekaragaman ini diindentifikasi dengan memakai berbagai nama atau label. ICMI adalah sebuah organisasi yang merupakan wadah dialog intelektual bagi para cendekiawan muslim Indonesia yang mempunyai komitmen pada nilai-nilai keislaman tanpa melihat aliran warna politik dari kelompok mereka (Ensiklopedi Islam, 1993 : 186). Ketika ICMI dilahirkan di Malang, banyak kalangan ketika itu menilai konstalasi peta politik berubah, meskipun ICMI bukan sebuah partai politik, tapi individu-individu di dalamnya banyak dikenal ketokohannya seperti Imanuddin Abdurrahim, M. Amin Rais, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo dan tokoh lainnya. Awal pembentukan ICMI membuat rezim pada masa itu khawatir akan pengaruhnya, namun posisi Habibie ketika itu menjadi jaminan bahwa ICMI tidak akan bermain api dengan penguasa ketika itu, yaitu Presiden Soeharto. Sebagai muslim yang
wadah cendekiawan lahir dari perjalanan
2 Para sejarawan dalam seminar Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia, yang berlangsung di Medan pada tahun 1963 dan dikuatkan dengan seminar yang sama di Banda Aceh pada tahun 1978, sepakat bahwa ajaran Islam masuk ke Indonesia pada abad VII dibawa langsung dari Mekah-Arab Saudi. Seminar tersebut tiga butir kesepakatan, yaitu (1) Ajaran Islam telah masuk ke Indonesia sejak abad I Hijriah atau abad VII Masehi. (2) Ajaran Islam masuk ke Indonesia tidak melalui India, tetapi langsung dari Mekah-Arab Saudi. (3) Madzhab Syafi’i adalah madzhab yang mewarnai Islam di Indonesia. Hasil seminar tersebut dengan tegas membantah pendapat yang mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad VIII oleh pedagang Gujarat dari India. Materi dasar Nahdlatul Ulama Ahlussunnah Waljamaah ; Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia, (Semarang : PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, 2002), h.33
197
panjang ICMI difeodalisasi dalam sebuah hirarki pendidikan yang formalistik meskipun tidak sepenuhnya terjadi, sehingga menjadi hegemoni yang tidak lagi egaliter. Posisi cendekiawan muslim, digradasi dalam sebuah badan-badan otonom untuk meningkatkan kinerja dan mengoptimalkan tujuan organisasi, di antaranya : Orbit (Orang Tua Bimbingan Terpadu), Pinbuk (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Masika (Majelis Sinergi Kalam), MKPD (Majelis Kajian Pembangunan Daerah), Cides (Centre for Information and Development Studies), LPBH (Lembaga Pengkajian dan Bantuan Hukum), Mupakat (Majelis Usaha Pelayanan Kesehatan), BUMI (Bina Usaha Mandiri Indonesia), Iiftihar (International Islamic Forum Science, Technology and Human Resources Development). ICMI sebagai organisasi kemasyarakatan yang bercirikan kebudayaan sebagaimana yang terumuskan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), secara tegas menyatakan bahwa organisasi ini tidak mempunyai tujuan politik. Berdirinya ICMI tidak dilatarbelakangi oleh politik, melainkan didorong oleh kesadaran budaya kaum cendekiawan muslim untuk meningkatkan perannya dalam pembangunan bangsa. Meskipun sudah dinobatkan sebagai gerakan sosialkebudayaan, tetapi lebih sering dilihat dengan kacamata politik. Hal itu disebabkan karena banyak kader-kader ICMI yang terlibat kegiatan politik praktis. Walapun dalam melakukan aktivitas politiknya tidak membawa dan mengenakan “baju” organisasi atau tidak secara langsung, tetapi oleh sebagian kalangan diangagap sebagai “sepak terjang dan track-record” politik ICMI. Anggapan-anggapan ini semakin terlihat pada figur Ketua Umum ICMI BJ Habibie sebagai motor penggerak kegiatan ICMI. Sehingga langkah yang diayunkannya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
198
Juju Saepudin
selalu membawa dampak kepada ICMI, atau setidaknya nama ICMI selalu terbawa (Makmur dan Mashad, 1996 : 61). Misalnya, berhasil memasukan kader-kader ICMI dalam DPR/MPR, kabinet dan kepengurusan Golkar, yang oleh para pengamat politik dinilai sebgai peng-ijo royo-royo-an dari senayan hingga Kabinet Reformasi. Menurut William R. Liddle, seorang pakar ilmu politik kenamaan sekaligus guru besar asal Ohio State University Amerika Serikat, di tubuh ICMI terdapat unsur primordial di dalamnya yang berasal dari kaum yang sama, hampir semua orang yang bergabung di dalam ICMI berasal dari tradisi tersebut. ICMI primordial dalam arti agama Islam menyuruh para pemeluknya untuk bekerja keras, membuat prestasi, mengejar achievement (pencapaian) demi kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. (Rais, 1999 : 88). Spritualisme dan kerja nyata cendekiawan muslim telah mengantarkan ICMI sebagai sebuah organisasi maha penting, sarana kepentingan umat Islam. Namun, sejak tumbangnya orde baru “spritualitas” gagasan ICMI semakin tidak relevan hingga bahkan tidak terasa signifikan karena peran formalistik dari sebuah gelombang besar spiritual para intelektual yang memiliki kepekaan komitmen terhadap perubahan seolah terabaikan. Dengan demikian, terkesan gelombang besar itu tidak saja menjatuhkan segala benteng ideologis orde baru, tetapi menjadi sebuah awal dari tsunami bagi organisasi ICMI yang terlibat sangat sentral dalam masa-masa akhir orde baru. Puncak dari tsunami itu adalah penolakan laporan pertanggung jawaban presiden B.J. Habibie dalam sidang MPR/DPR. Para pengamat politik pada umumnya sepakat bahwa ICMI pasca reformasi telah mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, setelah ia HARMONI
Januari - April 2016
mengalami kegagalan dalam upaya menjadi salah satu powerhouse dalam politik nasional menjelang tumbangnya orde baru. Sejarah pembentukan dan perkembangan ormas Islam yang satu ini memang tak mungkin lepas dari sebuah rekayasa politik dari gabungan dua kekuatan: sebagian elite rezim orde baru (yang direpresentasikan oleh mantan Presiden ke III, Prof. Dr. Ing. BJ Habibie) dan kelompok cendekiawan Muslim (seperti Adi Sasono, Dawam Rahardjo, dan Nurcholish Majid untuk menyebut beberapa nama paling beken di dalamnya). Dalam tempo yang teramat singkat, ICMI telah menjadi salah satu pemain utama dalam perebutan kekuasaan antar fraksi-fraksi elite orba pada awal dan pertengahan 1990-an, dan menjadi rival paling kuat bagi kelompok militer dan kaum “sekuler” serta non Muslim yang juga saling berebut pengaruh dan beraliansi (Hikam : 2014) Pergerakan reformasi yang dicetuskan pada tahun 1998 telah mengubah hampir seluruh aspek dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sistem politik, pemerintahan, ekonomi, pendidikan, bahkan hukum mengalami perubahan secara struktural. Dengan perubahan tersebut, mulai mencuat berbagai harapan untuk memajukan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan oleh para founding fathers dalam Mukadimah UUD 1945. Akan tetapi seiring perjalanan waktu, aktivitas reformasi tersebut diwarnai oleh berbagai situasi yang menimbulkan sedikit problem internal di berbagai gerakan, termasuk ICMI. Suksesi kepemimpinan nasional yang terjadi beberapa kali mengakibatkan adanya pergeseran visi pergerakan. Para pejuang reformasi menjadi kurang kritis dalam menangkap gejala perubahan, sehingga menyebabkan reformasi terbawa arus yang dapat mengubah visi awal reformasi.
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
Ketika era reformasi yang digulirkan mahasiswa tahun 1998 membuat banyak tokoh turun untuk mendirikan dan bergabung dengan partai politik, dengan tujuan dapat memperoleh kekuasaan. Reformasi bergulir dengan cepat, Soeharto turun, Dwifungsi ABRI dicabut, UUD 1945 diamandemen. Perubahan ini berjalan demikian cepat, sementara itu ICMI seperti kendaraan kosong. Hiruk pikuk reformasi, disikapi dengan berbagai kepentingankepentingan jangka pendek bagaimana bisa menjadi presiden, menteri, gubernur, bupati, atau anggota dewan. Meskipun demikian ruh kecendekiawanan para tokoh dan mahasiswa Islam masih hidup. Meskipun geliatnya secara politis tidak bergema dengan lincah di kancah nasional, hal ini kuat terlihat setelah Habibie tidak lagi memimpin ICMI. Terasa ada sesuatu semangat yang hilang ketika itu, mungkin “icon” imtaq dan iptek melekat pada figur Habibie. Akhirnya, realitas perjalanan ICMI dan geraknya pada muktamar ke IV di Makasar belum melahirkan hasil-hasil yang dipandang dan dirasakan langsung oleh umat. Orang-orang “tua” di ICMI pasca muktamar tidak terlihat geliatnya, terlebih-lebih diberbagai wilayah dan daerah. Pentinya revitalisasi peran ICMI dalam meneruskan cita-cita reformasi, karena ICMI menyimpan potensi besar sebagai aset masa depan. Sebagai bagian dari intelektual muslim, ICMI memiliki semangat yang masih berkobar-kobar, berpadu dengan idealisme dan fikiran yang kritis. Selain itu, para tokoh ICMI juga memiliki jiwa intelektualitas sebagai bagian dari dunia pendidikan yang dapat mendorong semangat menuju perubahan ke arah yang lebih baik. Keunggulan-keunggulan tersebut jika dioptimalkan akan menghasilkan output cemerlang yang kaya akan gagasan dan ide-ide brilian. Karena ICMI memilki dua fungsi sebagai modal perjuangan,
199
yaitu fungsi politik dan fungsi keagamaan (Tebba, 1993 : 91) Secara tidak langsung ICMI memainkan peran tersebut karena selain bergerak di bidang keagamaan juga bergerak di bidang politik, hal ini dapat dilihat dari lolosnya berbagai program dalam mengembangkan Islam, sampai akhirnya segi ekonomi sosial dan pendidikan masyarakat dapat lebih maju. Reformasi pada esensinya tidak menjangkau hal-hal yang bersifat fundamental. Reformasi lebih memusatkan perubahan pada hal-hal yang bersifat struktural (ada pada sistem lama), dan tidak mengubah hal-hal mendasar. Para pendukung reformasi berpendapat bahwa kegagalan tidak berada pada dasar pemikiran, tetapi pada sistem sosial tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya perbaikan-perbaikan pada sistem tanpa mengubah dasar dari sistem tersebut. Salah satu contoh nyata adalah Indonesia, yang melakukan reformasi pada tahun 1998. Buktinya adalah tidak adanya perubahan pada Pancasila sebagai dasar negara dan Mukadimah UUD ’45. Selain itu, basic structure dari elemen kenegaraan juga tidak diubah, hanya fungsi dan peranan yang ditinjau ulang. ICMI di era reformasi memang menghadapi sebuah dilema dalam berinteraksi di masyarakat, di satu sisi ICMI sebagai wadah intelektual muslim yang tidak memiliki keberpihakan kepada organisasi politik tertentu. Di sisi lain, tokoh-tokoh ICMI banyak yang terlibat dalam politik praktis yang berbeda. Benturan ini mengakibatkan ICMI di era reformasi sekarang ini mengalami sedikit loss identity, sehingga berimplikasi pada ketidakmunculan peranan ICMI itu sendiri, baik dalam konteks sebagai politik ilmu atau dalam konteks agama (dakwah) sebagai bagian dari masyarakat. Hal ini jelas merupakan kemunduran, mengingat dulu ICMI dapat mengambil bagian sebagai agent of social change dari masyarakat dengan menempatkan diri sebagai garda terdepan. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
200
Juju Saepudin
Penutup ICMI telah menjadi aset umat Islam Indonesia dalam memenuhi kebutuhan akan wadah yang terbuka. Kehadirannya telah menjadi angle forum berkumpulnya intelektual muslim dari berbagai faham dan tingkat pemahaman serta pengalaman keagamaan, sehingga menjadi entry point bagi Islam. Pembentukan ICMI merupakan tonggak terpenting dalam hubungan akomodatif antara Islam dan negara, karena dalam organisasi ini bertemu para tokoh Islam yang ada dalam birokrasi dengan tokoh Islam yang ada di luar birokrasi. ICMI telah menunjukan eksistensinya di pentas sejarah perpolitikan nasional, bahkan B.J. Habibie menjadi pemain utama di dalam menentukan kebijakaan pada era orde baru. Dalam perkembangannya, ketika reformasi bergulir ICMI terjebak oleh logika kekuasaan di dalam merespon persoalan keumatan. Hal itu dapat dilihat ketidakberdayaan ICMI setelah mengalami kegagalan dalam upaya menjadi salah satu powerhouse dalam politik nasional serta benturan fungsi dalam tubuh ICMI yang berakibat loss identity dan berimplikasi pada ketidakmunculan peranan ICMI itu sendiri, baik dalam konteks sebagai politik ilmu atau dalam konteks agama. Agenda dan cita-cita reformasi dalam membangun bangsa adalah perjalanan yang panjang. Bahkan bisa disebut sebagai sebuah never ending journey bagi yang mencintai negeri dan para patriot bangsa. Sementara tantangan yang menghadang bangsa, dan juga ICMI sebagai organisasi masa selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu. ICMI telah memberikan sumbangsih besar bagi bangsa dan negara. ICMI berperan penting dalam menjadikan kalangan intelek sebagai bagian dari HARMONI
Januari - April 2016
gerakan modernisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberadaan ICMI tidak bisa disangkal ikut memainkan peran politik umat Islam. Akan tetapi di era reformasi ini peran itu makin menyurut, karena sudah banyak partai Islam yang tampil memperjuangkan kepentingan umat Islam. ICMI di era reformasi sekarang ini adalah sebagai perekat internal umat Islam Indonesia. ICMI sebaiknya tetap tampil sebagai gerakan kultural dengan tidak meninggalkan wacana politik. Ini tidak berarti bahwa ICMI lantas a-politik, tetapi politik yang dikembangkannya adalah politik alokatif. Melalui peran seperti itu, ICMI diharapkan akan mampu mewujudkan integrasi politik dan sosial kultural antara Islam dan negara. Sejarah telah menunjukkan bahwa ICMI sebagai faktor pemersatu bangsa. Disini pentingnya revitalisasi peran ICMI dalam memperkuat komitmen kebangsaan melalui penguatan Islam washatiyyah, Islam yang memberikan keteduhan, di tengah gejala meningkatnya pemikiran dan gerakan Islam transnasional yang terkadang melahirkan gerakan Islam sempalan, ICMI bersama ormas-ormas Islam lainnya harus menjadi kekuatan baru sekaligus darah segar kebangkitan umat di saat bangsa ini mengalami sejumlah permasalahan dengan terus memperkuat Islam washaton. Islam yang rahmatan lil ‘alamien.
Ucapan Terimakasih Pada bagian akhir dari tulisan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. H. Didin Saefuddin, MA (Anggota ICMI Pusat) yang telah memberikan catatan penting dan pembenahan dalam berbagai aspek untuk penyempurnaan artikel ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Saudara Sasmita, SIP (Penjaga
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
Perpustakaan Balitbang Agama Jakarta) yang telah membantu menelusuri dan mencarikan buku-buku yang bertemakan ICMI sebagai sumber referensi. Tak lupa penulis haturkan terima kasih
201
kepada redaktur Jurnal Harmoni yang telah memberikan masukan, saran dan membantu secara teknis dalam penyempurnaan tulisan hasil ini serta bersedia menerbitkan tulisan ini.
Daftar Pustaka
Al-Quran dan Terjemahnya. Madinah : Khadim al-Haramain Asy-Syarifain Raja Fahd. Tt. Alwi, Hasan. Et. al (ed). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005. Anwar, M. Syafi’i. Pemikran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta : Paramadina,1995. Effendy, Bachtiar. Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998. Ensiklopedi Islam. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993. Hermawan, Dany Cahyo, dkk. Kebebasan di Era reformasi,[diunduh pada tanggal 10 Juni 2015] dari http://www.academia.edu /6206893/ KEBEBASAN_ DI_ ERA_ REFORMASI. Hikam, Muhammad AS. ICMI Pasca Reformasi : Kekuatan Civil Society atau Inkubator Islam Politik di Indonesia [diunduh pada tanggal 12 Juni 2015] dari http://www. mashikam.com/2010/12/icmi-paska-reformasi-kekuatan-civil. https://id-id.facebook.com/notes/icmi-ikatan-cendekiawan-muslim-se-indonesia/garisbesar -program-kerja-icmi, diunduh pada tanggal 11 desember 2014. http://mudakarya75.blogspot.com/2011/12/moch-rifan-, di unduh pada tanggal 10 Desember 2014. ICMI. [diunduh pada tanggal 4 Juni 2015], dari http://illsionst.blogspot.co.id/2011/05/ icmi.html Imawan, Riswanda. “Makna Reformasi : Salah Kaprah”, Kedaulatan Rakyat. 22 Juni, 1999. Irawan, Ade Didik. Menyongsong Kebangkitan Cendekiawan Muslim Muda [diunduh pada tanggal 10 Juni 2015] dari http://adedidikirawan.blogspot.com Kartasasmita, Ginanjar. Revitalisasi Cendekia, [diunduh pada tanggal 4 Juni 2014], dari http://koran.republika.co.id/. Makmur A. Makka dan Dharorudin Mashad. ICMI: Dinamika Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Pustaka Cidesindo, 1996. Materi Dasar Nahdlatul Ulama Ahlussunnah Waljamaah. Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia, Semarang : PW. LP Ma’arif NU Jawa Tengah, 2002 Nazir, M. Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2003. Rahma, Yudik Ainur. Revitalisasi Pendidikan Pesantren (Kajian Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007), [diunduh pada tanggal 10 Juni 2015] dari, http://revitalisasi pendidikan pesantren. blogspot.com. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
202
Juju Saepudin
Rais, M. Amin. Sikap Kami, Surabaya: Pustaka Anda, 1999. Dhuafa, Jakarta : Amanah Putra Nusantara, 1995. Tebba, Sudirman. Islam Pasca Orde Baru, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993. Wibisono, Koento. Pancasila dalam Persepektif Gerakan Reformasi: Aspek Sosial Budaya, Yogyakarta : Universitas Gajah Mada,1998.
HARMONI
Januari - April 2016
Telaah Pustaka
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
203
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural Ngainun Naim IAIN Tulungagung Email:
[email protected] Judul Buku: Harmoni di Negeri Seribu Agama (Membumikan Teologi dan Fikih Kerukunan) Penulis: Abdul Jamil Wahab Penerbit: Quanta, Jakarta Edisi: 2015 Tebal: xxii+174 halaman ISBN: 978-602-02-6974-0
Abstract
Abstrak
It is important to build the harmony in the livelihood among religious followers in Indonesia continuously. We can appreciate their valuable contribution through thought and real action. The idea of teologi kerukunan and fikih kerukunan has important meaning in daily life. The two concept became the basic of theory to implement the harmonious life in multicultural Indonesia society, both theoretically and practically.
Usaha membangun kerukunan dalam kehidupan antarumat beragama di Indonesia harus terus-menerus dilakukan. Kontribusi dalam bentuk pemikiran dan tindakan penting untuk diapresiasi. Gagasan teologi kerukunan dan fikih kerukunan memiliki makna penting dalam konteks kehidupan yang harmonis. Kedua konsep tersebut dapat menjadi basis teoretis dan praktis untuk mewujudkan kerukunan dalam masyarakat Indonesia yang multikultural.
Keywords: harmony, teologi kerukunan, fikih kerukunan, multicultural.
Kata kunci: kerukunan, teologi kerukunan, fikih kerukunan, multikultural.
Pendahuluan
Kerukunan sesungguhnya menjadi harapan sebagian besar warga masyarakat. Tetapi ada juga manusia yang justru menikmati dan menangguk untung dari konflik. Bagi kelompok semacam ini, kerukunan berarti ancaman karena berbagai keuntungan yang biasa diperoleh dari konflik menjadi lenyap.
Kerukunan menjadi agenda besar yang harus terus dipertahankan dan diperjuangkan di Indonesia. Dipertahankan karena kondisi rukun yang telah ada merupakan anugerah luar biasa. Diperjuangkan karena kerukunan adalah idealitas kehidupan yang harus diwujudkan. Ketidakrukunan membawa banyak kerugian bagi semua pihak. Fakta menunjukkan bahwa konflik dan kekerasan begitu mudahnya tersulut. Faktor kecil dan remeh bisa dengan cepat melebar menjadi kerusuhan. Penanganan persoalan yang kurang tepat menjadikan konflik berkembang menjadi begitu rumit dan berkepanjangan.
Pada tataran praktis, memang tidak mudah untuk memberikan solusi praktis bagi terciptanya kerukunan yang berlaku universal. Setiap kasus konflik membutuhkan penanganan secara khusus. Tetapi ada satu hal yang semestinya disadari bersama, yakni pentingnya memberikan kontribusi pemikiran maupun aksi bagi terciptanya Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
204
Ngainun Naim
kerukunan. Melalui kesadaran untuk selalu memberikan kontribusi secara aktif-produktif, maka kerukunan yang diidealkan diharapkan dapat terwujud dalam makna yang sesungguhnya.
Perbedaan pendidikan, pola pikir, latar belakang budaya, dan keragaman lainnya menjadikan umat beragama memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda terhadap toleransi.
Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keragaman tertinggi di dunia, baik dari sisi agama maupun budaya. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000. Ada ratusan bahasa, budaya, dan agama. Sejarah Indonesia sesungguhnya sangat kaya terkait dengan pengelolaan keragaman. Pengalaman ini merupakan modal sosial yang sangat penting (Adeney-Risakotta (ed.), 2015: 23).
Dengan kondisi semacam itu, diperlukan pemikiran secara lebih serius untuk membangun sikap hidup yang lebih arif dalam kehidupan yang heterogen. Sosialisasi pemahaman dan kesadaran di level masyarakat sesungguhnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Masyarakat perlu diberi pemahaman secara intensif agar memiliki kedewasaan dalam beragama. Kedewasaan dalam beragama akan memiliki dampak yang luas terhadap kedewasaan berbagai bidang kehidupan yang lain (Tobroni, 2012: 77).
Membangun kerukunan merupakan kerja abadi. Selama manusia hidup, perbedaan akan selalu ada. Potensi konflik juga selalu terbuka lebar. Hal produktif yang penting untuk dilakukan adalah melakukan usaha—dalam bentuk apa pun—agar keragaman itu bisa menjadi orkestra kehidupan yang harmonis. Jika tidak ada usaha secara serius, kehidupan tidak lagi diwarnai dengan keindahan sebagaimana orkestra. Usaha-usaha membangun toleransi dan kesadaran terhadap kemajemukan sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan. Dialog, diskusi, pertemuan, dan kerja sama di antara para tokoh agama menjadi kegiatan yang semakin popular. Kegiatan-kegiatan tersebut sedikit banyak telah memberi kontribusi signifikan terhadap tumbuhnya kesadaran toleransi. Selain itu, dengan kegiatan-kegiatan para tokoh agama, ruang-ruang perbedaan, prasangka, dan berbagai persepsi negatif terhadap mereka yang berbeda dapat diminimalisir. Namun juga harus dicermati secara kritis bahwasanya dampak dari pertemuan para tokoh lintas agama tampaknya kurang tersosialisasi secara optimal di kalangan umat. Jika para tokoh agama memiliki kesadaran toleransi, umatnya belum tentu memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama. HARMONI
Januari - April 2016
Sosialisasi bisa dilakukan melalui banyak media. Sosialisasi secara kultural dalam kehidupan sehari-hari cukup efektif untuk menanamkan pemahaman dan kesadaran. Kelemahannya jumlah yang menjadi sasaran terbatas. Memanfaatkan jejaring sosial bisa menjangkau masyarakat dalam skala luas, tetapi kurang mendalam. Namun demikian, strategi apa pun penting untuk dilakukan agar kehidupan harmonis dapat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Teologi Pluralisme Kemajemukan merupakan realitas yang tidak mungkin untuk ditolak atau dihindari. Ia telah hadir dan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Sebagai bagian erat dari kehidupan, kemajemukan seharusnya dipahami, diterima, dan diapresiasi secara konstruktif. Sikap semacam ini dapat memberikan kontribusi bagi terciptanya kerukunan. Namun demikian tidak sedikit yang menolak terhadap kemajemukan. Kemajemukan dinilai sebagai anomali
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
yang harus diluruskan. Penolakan ini disebabkan oleh berbagai macam faktor. Salah satunya adalah pandangan tentang klaim kebenaran (truth claim). Pandangan ini meyakini bahwa hanya mereka saja yang benar, sementara yang lain salah. Kelompok semacam ini ada di semua agama, termasuk agama Islam. Ada banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk kepada kelompok Islam yang gemar melakukan pembenaran terhadap ideologinya sendiri dan menyalahkan yang lain. Oliver Roy menyebutnya sebagai Islam fundamental, Lee Kuan Yew menyebutnya dengan gerakan militan Islam, Adam Schwarz menggunakan istilah Islam militan, Robert W. Hefner menggunakan istilah antiliberal, Muhammad Abid Al-Jabiri menggunakan istilah ekstremisme Islam, Muhammad Sa’id Al-Asymawi menyebutnya dengan ekstremisme, dan R. William Liddle memakai istilah Islam skripturalis. Selain istilah-istilah tersebut, beberapa istilah yang juga sering muncul ke ruang publik adalah: Islam fundamentalis, Islam ekstrem, Islam militan, Islam antiliberal, dan Islam radikal. Sebutan bisa jadi bermacam-macam karena setiap ilmuwan menggunakan paradigma dan parameter tertentu. Namun demikian, semuanya memiliki esensi yang hampir sama. Kelompok semacam ini sesungguhnya tidak sematamata melakukan aktivitasnya berdasarkan orientasi agama, melainkan juga sarat dengan muatan politik (Mudzhar, 2003: 11). Horace M. Kallen, sebagaimana dikutip Khamami Zada (2002: 1617), mengidentifikasi adanya tiga kecenderungan umum radikalisasi kelompok yang bersemangat melakukan penyeragaman ini. Pertama, radikalisasi itu dilakukan sebagai bentuk respon atas dinamika kehidupan yang tengah berlangsung. Realitas yang tidak sesuai dengan apa yang mereka idealkan
205
dievaluasi, ditolak, atau bahkan dilawan. Persoalannya, hampir semua hal tidak sesuai dengan idealisasi mereka, baik ide, institusi, ataupun gaya hidup. Kedua, radikalisasi itu tidak hanya berhenti pada penolakan saja, tetapi juga berupa aksi untuk menggantinya. Gerakan penggantian dilakukan dalam kerangka melakukan penyeragaman. Kondisi ini dimungkinkan karena radikalisasi bukan sekadar identitas formal melainkan telah menjadi pandangan dunia (world view). Ketiga, kaum radikalis meyakini secara ideologis bahwa apa yang mereka yakini dan lakukan kebenarannya bersifat mutlak. Tidak ada sifat dan sikap ragu sedikit pun. Kebenaran tidak ada di luar yang mereka yakini. Implikasinya, pada tataran aksi mereka cenderung emosional dan kurang rasional. Tidak jarang jalan kekerasan dilakukan demi tercapainya tujuan. Kepentingan ideologi merupakan sebuah titik orientasi yang mengakar kuat pada pemikiran, pengetahuan, dan kesadaran. Mereka akan melakukan berbagai upaya agar kepentingan ideologinya terwujud. Salah satu bentuknya, selain dengan jalan kekerasan, adalah dengan jalan menafsirkan produk hukum yang ada secara sewenangwenang (Ichwan, dalam Bruinessen (ed.), 2014: 150). Tidak hanya itu. Mereka juga sering mereduksi pemaknaan ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak sejalan dengan kepentingan ideologi mereka. Sebaliknya, mereka mengeksplorasi secara luas terhadap ayat-ayat yang sejalan dengan kepentingan ideologinya (El Fadl, 2002: 13). Bagi Abdul Jamil Wahab, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, mewujudkan kerukunan di dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia merupakan sebuah keharusan. Dalam konteks kerukunan, multikultural sendiri sesungguhnya mengisyaratkan Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
206
Ngainun Naim
banyaknya potensi, peluang, hambatan, dan tantangan dalam konteks kerukunan. Oleh karena itu, membangun kerukunan jelas bukan pekerjaan sederhana dan mudah. Dibutuhkan usaha dan kerja keras karena jejak sejarah Indonesia menunjukkan betapa kerukunan itu harus diperjuangkan. Ada egoisme, perasaan lebih unggul, dan hal-hal lain yang mengganggu sehingga membangun kerjasama yang merupakan modal untuk mewujudkan kerukunan tidak selalu mudah untuk diwujudkan. Landasan terwujudnya kerukunan adalah toleransi. Toleransi itu memiliki dua fungsi, yaitu ”mengemukakan pandangan dan menerima pandangan dalam batas-batas tertentu, namun tidak merusak keyakinan agama masingmasing” (h. 6). Toleransi (tasamuh) secara istilah adalah sikap membolehkan atau membiarkan ketidaksepakatan dan tidak menolak pendapat, sikap, ataupun gaya hidup yang berbeda dengan pendapat, sikap, dan gaya hidup sendiri. Sikap toleran pada tataran implementasi tidak hanya dilakukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan aspek spiritual dan moral yang berbeda, tetapi juga harus dilakukan terhadap aspek yang luas, termasuk aspek ideologi dan politik. Wacana toleransi biasanya ditemukan dalam etika perbedaan pendapat (adab al-ikhtilaf) dan dalam perbandingan agama. Salah satu etika berbeda pendapat adalah tidak memaksakan kehendak dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang merugikan pihak lain. Dalam perbandingan agama, misalnya ditemukan prinsip, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”, dan “Tidak ada paksaan dalam beragama” (Ali, 2003: 147). Toleransi yang menjadi bagian dari kesadaran warga masyarakat berimplikasi pada sikap saling menghormati, menghargai, dan memahami satu sama lain. Lebih jauh, kehidupan yang damai dan penuh kebersamaan dapat HARMONI
Januari - April 2016
diwujudkan. Mengembangkan toleransi dalam konteks kehidupan sekarang ini bukan hal yang sama sekali baru. Sejarah Islam sesungguhnya memiliki khazanah dan kekayaan pengalaman toleransi (Madjid, 2008: 11). Toleransi yang dikelola secara baik merupakan modal penting untuk membangun kerukunan nasional. Kerukunan nasional menjadi aspek determinan dalam pembangunan nasional. Sulit melakukan pembangunan nasional jika konflik sering terjadi di masyarakat. Energi akan terforsir hanya untuk mengurusi hal-hal yang semacam itu. Adanya toleransi merupakan salah satu prasyarat untuk menjadikan bumi ini sebagai surga dunia yang di dalamnya tidak ada lagi konflik yang dapat merugikan kemanusiaan (Misrawi, 2010: 45). Upaya membangun kerukunan di Indonesia sesungguhnya sudah berlangsung sejak lama. Jejak historis ikhtiar pemerintah terkait hal ini bisa ditemukan pada tahun 1967 melalui Musyawarah Antaragama. Sebagai sebuah langkah awal, kegiatan tersebut sangat penting artinya karena menandai jejak awal usaha serius pemerintah untuk menciptakan kerukunan. Hanya sayangnya, pertemuan tersebut belum mencapai kesepakatan. Salah satu sebabnya karena perwakilan gereja tidak bisa menyepakati butir-butir tertentu tentang penyebaran agama kepada orang yang sudah beragama. Menteri Agama periode 1971-1978, Prof. Dr. A. Mukti Ali, memiliki perhatian khusus terhadap persoalan ini. Ia memperkenalkan konsep agree in disagreement. Tawaran ini kemudian diikuti dengan berbagai langkah praktis untuk implementasinya (Banawiratma, dkk., 2010: 41-42). Menteri Agama sesudah Mukti Ali, Alamsjah Ratu Perwiranegara, juga memberikan perhatian terhadap kerukunan antarumat beragama.
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
Namun demikian terdapat perbedaan strategi antara Mukti Ali dan Alamsjah. Mukti Ali lebih menekankan pada jalan dialog untuk mewujudkan kerukunan, sedangkan Alamsjah menekankan pentingnya dialog melalui penciptaan peraturan (Banawiratma, dkk.,: 2010, 45). Produk kebijakan Alamsjah Ratu Perwiranegara yang sangat terkenal adalah Tri Kerukunan Umat Beragama yang mencakup; (1) kerukunan intern umat beragama, (2) kerukunan antarumat beragama, dan (3) kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah (Masykuri Abdillah, dalam Azra (ed.), 1998: 340). Dinamika kehidupan sosial keagamaan yang mengalami perubahan dan juga orientasi personal menjadikan perhatian terhadap persoalan kerukunan juga mengalami pergeseran. Munawir Sadzali, Menteri Agama sesudah Alamsjah, lebih dikenal sebagai menteri yang melakukan usaha modernisasi di lingkungan Kementerian Agama. Tarmidzi Taher dan M. Quraish Shihab meneruskan dan mengembangkan apa yang telah dilakukan oleh para pendahulunya. Namun demikian kerukunan tetap menjadi perhatian para Menteri Agama sesuai dengan konteks dan kondisi zaman masing-masing. Di era reformasi, upaya untuk mewujudkan kerukunan semakin gencar dilakukan. Hal ini disebabkan oleh realitas semakin banyaknya konflik dan kekerasan di berbagai daerah. Salah satu upaya yang penting untuk dicatat adalah pendirian Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). FKUB merupakan forum yang dibentuk oleh masyarakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dan difasilitasi oleh pemerintah daerah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Sedangkan jumlah pengurus, komposisi, keanggotaan dan tugas FKUB provinsi
207
dan kabupaten/kota telah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 (Firdaus, 2014: 71). Semua usaha tersebut penting untuk dilihat sebagai bagian dari usaha untuk membangun harmoni di negara multikultural ini. Selain ikhtiar yang bersifat praktis, aspek penting yang tidak bisa diabaikan adalah membangun pemahaman dan kesadaran terhadap pluralisme. Hal ini penting dilakukan agar tumbuh cara pandang yang apresiatif terhadap pluralisme. Menurut Abdul Jamil Wahab, pluralisme merupakan konsep dan realitas yang diterima oleh (sebagian) masyarakat Muslim. Ada dua alasan yang menjadi latar belakangnya. Pertama, pengalaman konflik yang terjadi sepanjang sejarah seyogyanya menjadi pelajaran berharga dalam memahami pluralisme. Kemajemukan jika tidak dikelola secara baik dapat menjadi bom waktu yang bisa meledak pada suatu saat. Kedua, kemajemukan etnis dan pluralitas agama merupakan sebuah keniscayaan (h. 13-14). Secara teologis, ada beberapa prinsip yang penting dipahami berkaitan dengan usaha membangun kerukunan dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia. Prinsip pertama adalah prinsip kebebasan beragama. Substansi prinsip ini adalah tidak ada paksaan dalam beragama. Pemaksaan—apa pun bentuknya—tidak akan mampu melahirkan keimanan yang sejati dan sah. Keimanan lahir dari kesadaran dan ketulusan hati. Kedua, prinsip toleransi (tasamuh}). Prinsip ini pada dasarnya berkaitan dengan relasi antarumat beragama. Setiap orang yang beriman seyogyanya menghargai penganut agama lain untuk menyatakan dan menerapkan keimanannya. Jika ini mampu terwujud secara baik maka toleransi akan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
208
Ngainun Naim
Ketiga, prinsip aksiologis. Prinsip ini menyatakan bahwa tujuan hidup setiap penganut keyakinan adalah kebaikan, mencegah keburukan, dan meyakini bahwasanya Zat Maha Tinggi merupakan referensi permanen bagi relasi antarumat beragama dan keyakinan.
di buku ini setidaknya memberikan deskripsi bahwa perbedaan agama dan etnis bukan halangan untuk hidup secara rukun. Justru kehidupan semakin kaya warna karena masing-masing pihak bisa menghormati dan mengapresiasi satu sama lain.
Keempat, kompetisi dalam kebaikan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap pemeluk agama berhak sekaligus wajib untuk bersaing secara sehat dan jujur untuk mengembangkan keyakinannya (Ali, 2003: 12-13).
Eksemplar pertama yang dipilih adalah Kampung Jawa Tondano Minahasa. Kampung ini didirikan pada tahun 1830 oleh salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang diasingkan, yaitu Kyai Modjo. Pada awalnya, kampung ini dihuni orang Islam Jawa. Seiring perjalanan waktu, Kampung Jawa Tondano kian plural. Mereka yang tinggal di kampung ini bukan hanya orang Jawa saja. Pernikahan antara pengikut Kyai Modjo dengan penduduk asli menjadikan kampung ini memiliki keunikan tersendiri. Kini, mereka yang tinggal bukan hanya kaum Muslim saja, tetapi ada juga penganut Kristen dan Katolik. Relasi sejarah karena faktor perkawinan menjadikan warga kampung ini bisa hidup rukun, meskipun menganut agama yang berbeda.
Sejalan dengan keempat prinsip dalam konteks membangun kerukunan antarumat beragama, Abdul Jamil Wahab berpendapat bahwa teologi pluralis sangat diperlukan sebagai dasar pijakan dalam membangun hubungan harmonis dan kerukunan antarumat beragama. Melalui teologi pluralisme diharapkan setiap penganut agama akan mengetahui bahwa ia tidak sendirian. Ia hidup bersama dengan entitas lain yang memiliki keunikan dan karakter yang berbeda. Interaksi dengan entitas berbeda memerlukan sikap toleran agar kerukunan selalu terjaga (h. 14). Secara teologis, pluralisme memiliki basis yang cukup kokoh. Dinamika kehidupan dan interaksi sosial yang semakin intensif berimplikasi pada terjadinya pertemuan orang dengan berbagai latar belakang. Hal ini mengindikasikan pentingnya cara pandang yang menghargai kemajemukan. Pada titik inilah teologi pluralisme menemukan signifikansinya.
Pola interaksi di Kampung Jawa Tondano merepresentasikan pola interaksi sosial masyarakat Minahasa dan Tomohon. Bahkan di Minahasa juga terdapat etnis Yahudi. Umat Yahudi juga memiliki tempat ibadah sendiri, yaitu Sinagog. Realitas semacam ini menarik dijadikan sebagai bahan untuk memperkaya kehidupan dalam skala luas.
Eksemplar Praktik Kerukunan
Eksemplar kedua adalah Dusun Susuru Ciamis Jawa Barat. Potret pluralitas agama di Susuru dipaparkan secara menarik oleh Abdul Jamil Wahab:
Buku ini menarik karena menghadirkan lima eksemplar pluralisme dari berbagai wilayah di Indonesia. Sesungguhnya praktik pluralisme telah ada di banyak tempat di Indonesia. Pilihan terhadap kelima eksemplar
Jarak antara Masjid Jami Al-Ikhlas Susuru dengan tempat Bangunan Gereja Katolik Santo Simon hanya berjarak 50 meter dari masjid dan berseberangan dengan bangunan Madrasah Tsanawiyah Al-Ikhlas. Sekitar 30 meter ke arah barat
HARMONI
Januari - April 2016
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
dari bangunan gereja adalah bangunan pesantren. Sedangkan jarak masjid dengan penyelenggaraan sarasehan penganut kepercayaan hanya terhalang oleh jalan desa dan saling berhadapan (h. 40). Penelitian Abdul Jamil Wahib di Dusun Susuru menemukan bahwa pada awalnya masyarakat dusun ini beragama Islam. Seiring perkembangan waktu, masuk aliran kepercayaan ”Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang” atau yang lebih dikenal sebagai Agama DjawaSunda (ADS). Setelah ADS dibubarkan oleh pemerintah, para pengikutnya kemudian memeluk berbagai agama. Ada yang memeluk Islam, Katolik, Protestan, dan Hindu. Meskipun menganut agama berbeda, masyarakat Dusun Susuru hidup rukun. Mereka saling menghormati satu sama lain. Hal itu dapat dicermati pada berbagai aktivitas hidup seharihari mereka. Misalnya saat ada warga yang meninggal dunia, warga dari semua agama datang melayat dan mengantarkan jenazah sampai ke kuburan. Area pekuburan berlaku untuk semua warga masyarakat, tanpa membedakan latar belakang agama. Abdul Jamil Wahab mencatat beberapa faktor yang mendukung kohesivitas sosial masyarakat Dusun Susuru. Pertama, nilai-nilai agama yang mengandung nilai-nilai toleransi. Pada tataran praktis, toleransi diwujudkan dengan saling menghormati satu dengan yang lainnya. Kedua, peran tokoh agama yang selalu menjalin komunikasi secara baik dengan para tokoh agama yang berbeda dan menyebarluaskan pentingnya kerukunan kepada para pengikutnya. Ketiga, masih adanya hubungan kekerabatan antaranggota masyarakat. Warga masyarakat memiliki kesadaran bersama bahwa mereka itu leluhurnya sama. Dan keempat, masih
209
fungsionalnya kearifan lokal di kalangan masyarakat sehingga tradisi leluhur terus dipertahankan (h. 47). Eksemplar ketiga adalah Desa Banuroja Kabupaten Pohuwato Gorontalo. Masyarakat Gorontolo termasuk multietnis dan multiagama. Namun demikian, hubungan sosial kemasyarakatan berlangsung dengan baik. Penelitian Abdul Jamil Wahab menunjukkan bahwa di Gorontalo, khususnya di Desa Banuroja, tidak ditemukan adanya isu yang bersifat mengganggu kerukunan antarumat beragama, seperti kasus penyebaran agama. Bahkan masjid, gereja, dan pura berdiri berdampingan. Selain itu, posisi rumah-rumah ibadah itu juga dekat dengan Pesantren Salafiyah Safi’iyah yang dipimpin K.H. Gufron Nawawi. Paradigma keberagamaan inklusif para tokoh agama di Banuroja menjadikan toleransi tumbuh secara baik di antara mereka. Lebih jauh, toleransi itu kemudian dikembangkan kepada masyarakat pengikutnya. Bahkan Abdul Jamil Wahab menyatakan, ”Tampaknya tidak berlebihan jika Desa Banuroja Kabupaten Pohuwato dijadikan sebagai Laboratorium Kerukunan di Indonesia. Beragam suku bangsa dan agama sejak lama hidup secara berdampingan, rukun, dan damai” (h. 53). Eksemplar keempat adalah Kota Tjina Peunayong Banda Aceh. Banda Aceh bukanlah kota yang semua warganya Muslim. Menurut Abdul Jamil Wahab, Banda Aceh termasuk dalam kategori masyarakat majemuk. Struktur masyarakatnya melahirkan konsolidasi keanggotaan individu pada kelompokkelompok sosial yang mewadahi orangorang dengan latar belakang suku bangsa, agama, ras atau aliran. Masyarakat Banda Aceh memiliki budaya saling menghormati, toleran, dan hidup damai. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
210
Ngainun Naim
Sikap ini misalnya terlihat pada Festival Peunayong yang digelar setiap tahunnya di Banda Aceh. Kawasan Peunayong merupakan saksi sejarah tentang keberagaman etnik dan budaya di Banda Aceh. Mereka hidup secara rukun. Meskipun ada perda penerapan syariat Islam, secara umum relasi antarumat beragama tidak terganggu. Eksemplar terakhir yang dipilih adalah masyarakat Teluk Gong di Penjaringan Jakarta Utara. Di kawasan ini terdapat 17 masjid, 35 mushola, 18 gereja, 8 vihara, 7 klenteng, dan 13 cetia. Fakta ini menunjukkan bahwa kemajemukan menjadi bagian yang tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari warga Teluk Gong. Masyarakat Teluk Gong memiliki kesadaran toleransi yang tinggi, meskipun berbeda etnis dan agama. Secara umum tidak ada persoalan berarti yang mengganggu interaksi sosial antarwarga. Karena itu, fenomena di Teluk Gong dapat dijadikan sebagai pelajaran untuk mengembangkan kerukunan di tempattempat yang lain di Indonesia.
Teologi Kerukunan Aspek menarik yang diulas di buku ini adalah tawaran tentang teologi kerukunan. Sesungguhnya Abdul Jamil Wahab sudah menguraikan secara implisit tentang apa yang ia maksud dengan teologi kerukunan. Tetapi akan lebih kuat dan tegas jika ia membuat definisi operasinal tentang apa yang disebut teologi kerukunan. Salah satu definisi menyebutkan bahwa teologi kerukunan adalah, ”dasar, konsep, dan aplikasi kerukunan antaranak manusia yang didasarkan atas ajaran langit” (Syahrin Harahap, 2011: 16). Definisi lainnya menyebutkan bahwa teologi kerukunan adalah pemahaman keagamaan yang menghargai terhadap kemajemukan agama-agama sehingga mampu mewujudkan kerukunan HARMONI
Januari - April 2016
hidup dalam masyarakat majemuk. Teologi kerukunan mengajak untuk meningkatkan keberimanan kepada Tuhan dan membangun kesadaran bersama untuk melakukan perbuatan baik kepada siapa pun (Naim, 2011: 12). Menurut Abdul Jamil Wahab, teologi kerukunan penting untuk dibumikan. Realitas kehidupan masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan tinggi merupakan realitas yang potensial sekaligus sebagai ancaman. Potensial dalam arti kemajemukan tersebut jika bersinergi akan dapat melejitkan kemampuan yang ada. Dan ancaman dalam arti jika tidak dikelola secara baik maka ia dapat berubah menjadi bencana. Melihat berbagai perspektif yang ada, membumikan teologi kerukunan penting dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, bangsa Indonesia masih memiliki potensi konflik. Banyak faktor yang bisa dianggap potensial dalam memicu konflik. Selain faktor perbedaan agama, etnis, dan segregasi geografis, disparitas lapisan sosial yang tajam juga merupakan faktor pemicu konflik yang penting untuk diperhatikan. Kedua, semakin tumbuh dan berkembangnya seruan kebencian dan kekerasan dari individu atau kelompok. Seruan ini dilakukan dengan memanfaatkan berbagai media yang ada (h. 87). Aspek menarik di buku ini adalah eksplorasi Abdul Jamil Wahab secara lebih mendalam dan detail terhadap teologi kerukunan. Abdul Jamil Wahab berhasil membangun konsepsi relasi harmonis antara agama dengan budaya lokal. Perspektif ini penting karena agama tidak mungkin terlepas dari budaya lokal. Keduanya saling mempengaruhi sehingga menghasilkan Islam yang memiliki corak khas. Selanjutnya Abdul Jamil Wahab mengeksplorasi teologi kerukunan dalam Al-Qur’an. Al-Quran memiliki kandungan
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
ajaran yang memiliki semangat eksklusif dan inklusif. Penelusuran Abdul Jamil Wahab menemukan bahwa eksklusivitas itu sudah diantisipasi dengan ayat-ayat yang konstruktif untuk tumbuhnya toleransi. Hal ini menunjukkan bahwa kerukunan itu menjadi aspek yang penting dalam kehidupan. Aspek yang juga dikupas secara panjang lebar adalah ayatayat yang berkaitan dengan nonMuslim. Pembahasannya mencakup perintah untuk berbuat baik kepada non-Muslim, larangan menyakiti dan perintah untuk mencintai non-Muslim, dan perintah menegakkan keadilan. Pada bagian akhir pembahasan diambil beberapa kesimpulan. Pertama, ada begitu banyak ayat Al-Qur’an yang menuturkan pluralisme. Jika terdapat ayat yang mengandung makna antipluralisme, sejatinya itu tidak berarti saling bertentangan. Ayat-ayat semacam ini tidak boleh dibaca secara apa adanya dan sembarangan. Pembacaan semacam itu membuat pembaca terperangkap ke dalam lubang-lubang kontradiksi. Kedua, era kehidupan global dengan segenap dinamikanya pada saat sekarang ini tidak memungkinkan manusia untuk hidup seorang diri. Demikian juga dengan umat Islam. Interaksi dengan umat yang berbeda agama menjadi kemestian. Pada kondisi semacam ini sinergitas antar pemeluk agama dan keyakinan menjadi sebuah kebutuhan (h. 101-102). Ayat-ayat Al-Qur’an memang memiliki karakteristik yang berbedabeda. Ia bisa ditafsirkan dengan berbagai perspektif. Selaras dengan spirit dasar nilai-nilai kemanusiaan maka tafsir AlQur’an seyogyanya berkontribusi pada kehidupan manusia yang lebih baik. Apa yang dilakukan oleh Abdul Jamil Wahab sesungguhnya dalam kerangka membangun kerukunan hidup antarumat beragama.
211
Fikih Kerukunan Tawaran menarik lain di buku ini adalah fikih kerukunan. Fikih kerukunan dimaksudkan sebagai fikih yang mendukung terhadap terciptanya kerukunan di masyarakat. Konstruksi fikih yang dominan dalam pemahaman masyarakat Muslim Indonesia tidak seluruhnya mendukung terhadap terciptanya kerukunan. Abdul Jamil Wahab menyatakan bahwa fikih kerukunan penting untuk disusun karena beberapa alasan. Pertama, pemahaman terhadap teks tidak pernah tunggal. Selalu muncul berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Ada banyak faktor yang mempengaruhi dihasilkannya sebuah pemahaman. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan hukum Islam terkait dengan berbagai konteks. Kedua, konsepsi teologi yang lahir pada masa awal Islam terkait dengan kontestasi politik. Karena berbagai faktor, persoalan politik ini kemudian berkembang menjadi persoalan teologi (Nasution, 2006: 3). Implikasinya, teologi muncul dengan semangat saling menegasikan. Ketiga, orientasi fikih cenderung kurang luas, yaitu soal halal haram. Orientasi semacam ini berimplikasi pada kekurangmampuan fikih untuk merespon dinamika perubahan yang kian kompleks. Implikasinya, nilai-nilai agama tidak lagi menjadi pemandu yang menggerakkan masyarakat. Keempat, kesenjangan antara teologi dan fikih dengan realitas kemanusiaan. Banyak sekali persoalan kemanusiaan yang tidak direspon secara kreatifkonstruktif oleh teologi dan fikih. Kelima, fikih muamalat sebagai bidang yang mencakup kehidupan sosial umat Islam memiliki penggunaan yang luas. Namun demikian, sedikit Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
212
Ngainun Naim
sekali ketentuan dalil hukum yang jelas dan pasti. Karena itu dibutuhkan reinterpretasi dan reaktualisasi agar fikih muamalat mampu menjawab tantangan dinamika sosial yang ada (h. 114-115). Berdasarkan pertimbangan itulah Abdul Jamil Wahab menawarkan fikih kerukunan. Tawarannya memang belum bersifat utuh dan komprehensif. Namun sebagai tawaran awal, fikih kerukunan memiliki makna yang signifikan untuk dikembangkan secara lebih utuh. Jika ini mampu dilakukan maka fikih kerukunan akan menjadi bidang kajian yang menarik. Istilah lain yang sejalan dengan fikih kerukunan adalah fikih kebhinekaan. Fikih kebhinekaan merupakan sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Maarif Institut untuk mengembangkan pemahaman tentang pentingnya menghargai kebhinekaan masyarakat. Tiga topik besar yang menjadi pokok perhatian adalah umat, kewargaan, dan kepemimpinan non-Muslim (Wahid, dkk: 2015). Sebagai buku kumpulan makalah, konstruksi fikih kebhinekaan yang ditawarkan dalam buku yang diedit Wawan Gunawan Abd. Wahid, dkk. tersebut belum terlalu jelas. Hal ini disebabkan karena tidak ada kesatuan sistematis dan metodologis untuk merekonstruksi apa yang disebut sebagai fikih kebhinekaan. Pemikiran bidang hukum Islam kini menghadapi tantangan yang tidak ringan. Salah satunya adalah bagaimana hukum Islam dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap pembinaan dan pembentukan hukum nasional, bukan bagaimana supaya hukum Islam dapat diberlakukan bagi orang yang beragama Islam di Indonesia. Sebagian besar pemikir hukum Islam Indonesia berbicara tentang bagaimana menerapkan hukum Islam di Indonesia hanya bagi orang Islam. Upaya kontekstualisasi hukum Islam HARMONI
Januari - April 2016
dengan budaya dan realitas masyarakat Indonesia akan menghasilkan produk yang lebih artikulatif dan sesuai dengan masyarakat Indonesia (Najib, 2011: 5-6). Tantangan semacam ini memang tidak ringan. Dibutuhkan pemikiran secara komprehensif dan serius untuk menyusun agenda fikih kerukunan sebagaimana digagas Abdul Jamil Wahab. Jika ini mampu dilakukan maka kontribusinya sangat signifikan bagi kehidupan umat beragama di Indonesia.
Penutup Kehidupan umat beragama di Indonesia bersifat dinamis. Relasinya tidak jarang diwarnai oleh pasang surut. Di tengah dinamika kehidupan yang semakin kompleks, dibutuhkan pemahaman dan kesadaran bersama terhadap keberadaan mereka yang berbeda. Karena itulah, toleransi menjadi modal penting untuk membangun kerukunan. Pemahaman dan kesadaran toleransi tidak bisa tumbuh secara natural. Dibutuhkan berbagai upaya, baik secara konseptual maupun praktis, untuk menjadikan toleransi sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Teologi kerukunan dan fikih kerukunan adalah kontribusi pemikiran yang penting dalam kerangka mewujudkan relasi antarumat beragama yang harmonis di Indonesia. Agenda yang penting untuk ditindaklanjuti adalah rekonstruksi teologi kerukunan dan fikih kerukunan secara lebih sistematis dan metodologis. Kerja intelektual semacam ini tidak bisa instan. Namun jika ini mampu diwujudkan maka gagasan semacam ini akan memperkaya khazanah pemikiran dan praktis kehidupan keagamaan di Indonesia.
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural
213
Daftar Pustaka Abd. Wahid, Wawan Gunawan. dkk. eds. Fikih Kebhinekaan, Pandangan Islam tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung-Jakarta: Mizan dan Maarif Institut, 2015. Abdillah, Masykuri. ”Alamsjah Ratu Perwiranegara; Stabilitas Nasional dan Kerukunan,” dalam dalam Azyumardi Azra. ed. Menteri-Menteri Agama RI: Biografi SosialPolitik. Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI, 1998. Abou El Fadl, Khaled. The Place of Tolerance in Islam. Boston: Beacon Press, 2002. Adeney-Risakotta, Bernard. ed. Mengelola Keragaman di Indonesia, Agama dan Isu-isu Globalisasi, Kekerasan, Gender, dan Bencana di Indonesia. Bandung-Yogyakarta: Mizan bekerjasama dengan ICRS, 2015. Ali, Muhamad. Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan. Jakarta: Kompas, 2003. Banawiratma, J.B. dkk. Dialog Antarumat Beragama, Gagasan dan Praktik di Indonesia. Bandung: Mizan, 2010. Firdaus, Muhammad Anang. ” Eksistensi FKUB dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama di Indonesia”. Jurnal Kontekstualita, Vol. 29, No. 1, 2014. Harahap, Syahrin. Teologi Kerukunan. Jakarta: Prenada, 2011. Ichwan, Moch. Nur. ”Menuju Islam Moderat Puritan: Majelis Ulama Indonesia dan Politik Ortodoksi Keagamaan,” dalam Martin van Bruinessen. ed. Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme. Bandung: Mizan, 2014. Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Cet. Ke-3. Jakarta: Paramadina & Dian Rakyat, 2008. Misrawi, Zuhairi. Madinah. Jakarta: Kompas, 2010. Mudzhar, Mohamad Atho. Islam and Islamic Law in Indonesia, A Socio-Historical Approach. Jakarta: Office of Religious Research and Development, and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003. Naim, Ngainun. Teologi Kerukunan, Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras, 2011. Najib, Agus Moh. Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional. Jakarta: Kementerian Agama RI, 2011. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. 5. Jakarta: UI Press, 2006. Tobroni. Relasi Kemanusiaan dalam Keberagamaan (Mengembangkan Etika Sosial Melalui Pendidikan. Bandung: Karya Putra Darwati, 2012. Zada, Khamami. Islam Radikal, Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
Lembar Abstrak
214
ISSN 1412-663X
INDEKS ABSTRAK JURNAL VOL. 15 NO 1 TAHUN 2016 INDONESIA 1.
INGGRIS
Konflik dan Kerukunan Antarumat Beragama di Grabag Kabupaten Magelang Zakiyah
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Semarang Email:
[email protected] Diterima redaksi tanggal 18 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Artikel ini membahas tentang konflik dan kerukunan antarumat beragama di kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Beberapa tahun yang lalu wilayah ini pernah mengalami konflik antar dan inter umat beragama. Konflik tersebut tidak sampai menimbulkan kekerasan dan kerusuhan dalam skala besar, dan dapat teratasi. Hingga saat ini kondisi masyarakat dalam keadaan damai, hal ini di antaranya disebabkan oleh peran agama dan tradisi lokal yang mampu menjadi perekat kerukunan umat beragama. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif di tiga desa di Kecamatan Grabag meliputi desa Grabag, desa Losari dan desa Ngrancah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perayaan nyadran, merti desa dan genduranan merupakan tempat “terbuka” bagi masyarakat tanpa membedakan latar belakang agama tanpa ada diskriminasi dan ekslusi. Dalam kegiatan tersebut, setiap warga mempunyai kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan warga lainnya. Interaksi tersebut telah menjadi salah satu faktor terbentuknya kohesi sosial, disamping faktor prinsip dan norma agama yang dijalankan oleh masyarakat. Kerukunan umat beragama terbentuk.
This article discusses about the conflict and harmony between religious followers in the sub-district of Grabag, Magelang district. In the past few years, among religious adherents in the area had ever experienced conflicts both internally and externally. However, the conflict did not lead to exessive violence and riot, was successfully resolved. Until recently, the condition of society is condusive and harmonious. This is due to the important role of religion and local traditions in building social cohesion among religious believers. This research uses qualitative approach. This study was conducted in Grabag Sub district in the villages of Losari, Ngrancah and Grabag. The result shows that local traditions such as nyadran, merti desa and genduranan have become open spaces for people to meet and interact to each other regardless of their religious backgrpund. In these activities, every resident has same opportunity to participate, there is no discrimination and exclusion among them. Such an interaction has become one of the contributing factors to build social cohesion., along with the religious principle and norm practiced by community. The religious harmony is created.
Kata kunci: konflik dan harmoni beragama, tradisi lokal, kohesi sosial.
Keywords: conflict and religious harmony, local tradition, social cohesion.
HARMONI
Januari - April 2016
Lembar Abstrak
2.
215
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta
Akmal Salim Ruhana
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Kementerian Agama, Jl. MH Thamrin No. 6 Jakarta Email:
[email protected]. Diterima redaksi tanggal 20 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Sebagai negara yang multirelijius, Indonesia mengalami dinamika hubungan pemeluk mayoritas-minoritas: antara ketegangan dan kerukunan. Hubungan Muslim-Bhuddis di Panggang, Gunung Kidul, sebagaimana telah menyejarah, menunjukkan interaksi yang harmonis dan unik. Penelitian ini hendak mengelaborasi hal tersebut. Dengan kajian literatur, wawancara, dan pengamatan lapangan, penelitian ini menemukan bahwa masyarakat memiliki kebutuhan bersama untuk rukun, selain ada landasan perintah teologis juga terikat kuat dalam “sabuk budaya” leluhur Jawa. Terdapat pula ikatan antarwarga bersifat asosiasional seperti arisan warga “sepuluhan” dan tim bola voli RT. Ada juga ikatan “quotidian” berupa budaya makan bersama saat sedekah bumi, dan budaya gotong royong sambatan. Social bonding yang dilakukan masing-masing kelompok agama tidak mendorong pada eksklusivisme kelompok, melainkan menjadi pemerkuatan eksistensi untuk mendukung tujuan bersama. Kata kunci: mayoritas-minoritas, harmoni, sabuk budaya, relasi Islam-Buddha, Gunung Kidul, ikatan asosiasional, ikatan sehari-hari.
As a multireligious country, Indonesia is facing the dynamic relation between majority and minority: between tension and harmony too. The potrait of MuslimBuddhist relation in Panggang,Gunung Kidul, as historically observed, has shown a harmonious and unique interaction. This research tries to elaborate this condition. Through literature study, interview and observation, this research found that Muslim-Buddhist have a common basic need to build harmony, and they also have theological fundamental reason and strongly hold “cultural bonds“ of the ancient Java between them. There are also associational bond among lay people in society such as social gathering “sepuluhan” and volley ball team; and practising quotidian bond such as eating gathering in “sedekah bumi” and working together in “sambatan”. Those social bonding in each group does not bring to exclusivism but sthrengten their existence to hold mutual goals. Keywords: majority-minority, harmony, cultural bond, muslim-buddhist relation, Gunung Kidul, associational ties, quotidian ties.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
216
ISSN 1412-663X 3.
Tradisi di Tengah Keberagamaan Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama Ahsanul Khalikin
Peneliti Madya, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI Email:
[email protected] Diterima redaksi tanggal 4 Februari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Masyarakat Ende dikenal sebagai masyarakat harmonis walaupun dilihat dari keragaman identitas dan karakter budaya keadaan sosialnya cukup beragam dari sisi bahasa, suku dan agama. Demikian pula keragaman struktur sosial masyarakat pun sebenarnya terlihat pada kasus jumlah penganut keagamaan, mayoritas Katolik dan minoritas Islam. Wilayah ini benarbenar memiliki dua kemajemukan yang berpotensi bagi terciptanya konflik besar antar penganut agama. Persoalannya, bagaimana peran tradisi masyarakat ditengah keberagamaan masyarakat yang beragam itu? Penelitian kualitatif sosiologis dengan wawancara, observasi, dan penelusuran dokumen ini menemukan bahwa kearifan lokal dalam berbagai bentuk, baik pandangan hidup, sistem budaya, tradisi perkawinan, kelembagaan sosial, dan lainnya mampu menjadi media efektif dari relasi sosial antar umat beragama. Terlebih ketika semua elemen tiga batu tungku ikut mengikhtiarkan adanya harmoni sosial dalam berbagai keputusannya, baik dalam arti pembangunan infrastruktur, pendidikan, ataupun pemberdayaan masyarakat. Harmoni sosial kelompokkelompok keagamaan di masyarakat Ende benar-benar terjaga sebagai buah dari kekuatan tradisi turun temurun. Kata kunci: Tradisi Keberagamaan, Media Interaksi, Masyarakat Ende, Membangun Relasi.
HARMONI
Januari - April 2016
Ende society are well known as a harmonious society regardless of the diverse identity and cultural character in language, ethnic groups and religion they have. It is also the case in the social structure of the society where we can find the number of religious adherents namely Catholics as the majority and Muslims as the minority. In fact, actually this region really has two potentials for inter-religious conflict to happen. The question is, how is the role of local tradition in this diverse society? By applying sociological qualitative research through interviews, observations and documents collections, this research found that local knowledge in its various forms such as a way of life, a system of culture, the tradition of marriage, social institutions; has become an effective tool medium in keeping social relations among religions in Ende. Especially when all the elements of the “three stones” takes part in building social harmony in many factors like infrastructure development, education, community empowerment and so on. The social harmony between religious groups in Ende is getting stable because of the power of the value of local tradition. Keywords: Religious Tradition, interaction media, Ende community, interreligious relationship, three stones (tiga batu tungku).
Lembar Abstrak
4.
217
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi Organisasi Zaenal Abidin Eko Putro
Prodi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta, Kampus UI Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 4 Februari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Kementerian Agama RI malalui Ditjen Bimas Kristen telah memfasilitasi pembentukan sinode gabungan, untuk menghimpun sinode-sinode baru yang ingin mendapatkan legalitas dari pemerintah. Hal ini terkait dengan wacana moratorium pendirian sinode baru. Beberapa sinode bersedia menerima intervensi pemerintah dan terbentuklah sinode gabungan. Salah satunya adalah Sinode Am GPR yang terkonsentrasi di wilayah Manado dan sekitarnya. Akan tetapi dalam perjalanannya, sinode ini diguncang persengketaan dan perselisihan internal yang berbuah tidak berjalannya roda organisasi sinode.
The Ministry of Religious Affairs through its Directorat General for Christianity Affairs has facilitated the establishment of new union’s synod. It is the response of the proposal of legalization that has been proposed for establishing new synod by a number of small group of churches. Some new synods are able to accept the policy and collaborate with other new synods to establish a union of synod. One of the examples is Sinode Am GPR located in Manado city and the surrounding area. However, after being legalized by the government, the synod is overwhelmed by internal conflict. As a result, the management of the synod did not work well.
Untuk melihat struktur dan kultur internal sinode ini, dalam paper ini digunakan teori sosiologi organisasi model Weber untuk melihat sejauh mana sebenarnya kultur dan struktur yang berkembang dalam sinode ini. Paper ini bertujuan untuk memberikan gambaran betapa sinode baru yang diusulkan dan difasilitasi pemerintah pun tidak mulus penataannya, hingga malah tersandera konflik internal. Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam, studi pustaka dan diperkuat observasi lapangan.
To look at internal structure of this synod, this study adopts organizational sociology theory form Max Weber. It is to see to what extent organizational culture as well as organizational structure works in the synod. This study aims at describing how the government has facilitated the establishment of new synod, board of new synod. But it did not show good performance. Besides, internal conflict occurred among the boards. This paper is based on the qualitative research through in-depth interview, literature study and observation.
Kata kunci: Sinode baru, oikumenikal, evangelical, sosiologi organisasi, struktur internal, dan peran pendeta.
Keywords: new synod, oikumenical, evangelical, organizational sociology, internal structure, and priest role.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
218
ISSN 1412-663X 5.
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya) Raudatul Ulum
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 1 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Perseteruan antara aliran keagamaan Salafi Wahabi dengan Warga NU kerapkali terjadi pada berbagai segmen dan tempat di Indonesia. Konsepsi yang dibangun dalam menjalankan dakwah masing-masing kelompok berbeda dan sulit dipertemukan, begitu pula terhadap hal yang terjadi di Kecamatan Semampir Kota Surabaya. Dua pihak berbeda aliran mengalami gesekan yang memuncak pada aksi penolakan keberadaan lembaga Salafi Wahabi STAI Ali bin Abi Thalib oleh warga Sidotopo Kidul Kecamatan Semampir Kota Surabaya. Penelitian ini dilakukan untuk memahami berbagai hal menyangkut sebab musabab konflik itu terjadi sampai dengan upaya apasaja yang telah dilakukan untuk menangani gesekan sosial tersebut. Melalui teknik pengamatan dan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh yang terlibat dalam konflik dapat dipahami kalau aspek perbedaan pada pemahaman teologis adalah masalah utama, khususnya munculnya pendapat yang antitradisi keagamaan NU melalui bulletin, khotbah jumat dan siaran radio STAI Ali bin Abi Thalib. Pola dakwah dan sikap keagamaan dua kelompok sangat bertentangan sehingga sulit ditemukan jalan keluarnya, pola dakwah NU yang inklusif dengan budaya lokal bahkan cenderung akomodatif berlawanan dengan salafi wahabi yang menginginkan pemurnian Islam dari segala bentuk pengaruh tradisi dan budaya. Masing-masing bersikeras cara keberagamaan masing-masing yang paling benar. Penelitian ini akhirnya memberikan rekomendasi kepada berbagai pihak terkait terutama Kementerian Agama Jawa Timur dan Kota Surabaya, serta Pemda Kota Surabaya untuk terus melakukan dialog dan langkah-langkah positif dengan terus membangun komunikasi kepada kedua belah pihak, aspek mediasi cukup bermanfaat meredakan ketegangan. Kata kunci: Tradisi Keagamaan, NU, Salafi Wahabi, Jawa Timur. HARMONI
Januari - April 2016
The dispute between the adherents of Salafi-Wahabi and Nahdlatul Ulama often occure in various places in Indonesia. The perspectives of the two groups are different and difficult to collaborate. This is also the case in the sub-district of Semampir – east Java when the people of Kecamatan Semampir – Desa Sidotopo Kidul – East Java rejected violently the establishment of the STAI Ali Bin Abi Thalib – an educational institutions founded by Salafi-Wahabi adherents. This study was conducted to understand the various issues concerning the causes of the conflict and what efforts have been made by the Ministry of Religious Affair to elaborate that dissindents. Through observation techniques and in-depth interviews with the people who involved in the conflict, we conclude that the main problem of the conflict are due to differing opinions about religious understanding and theological concept. The SalafiWahabi-affiliated institution criticized the traditions of NU through the publication of newsletter and bulletin, radio broadcasting and Friday sermons. The disagreement of the two parties, Salafi Wahabi and NU, is derived from their missionary endeavor and religious attitudes which are extremely contradictive and difficult to compromise. This study provides recommendations to stakeholders such as Ministry of Religious Affairs – East Java government and other civil society organizations working in the field of religion to continue the discussions, dialogues and other effective communication methods in order to unify and resolve the conflict. Keywords: NU, religious tradition, Salafi Wahabi, religious conflict, East Java.
Lembar Abstrak
219
akat Elite dalam Al-Qur’an: Masyarakat Elite dalam Al-Q ndekatan Antropologi Al-Qur’an (Sebuah Pendekatan Antropolog 6. atas Term al-Mala’) atas Term al-Mala’) Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term al-Mala’)
Muhamad Ali Mustofa Kamal
Muhamad Ali Mustofa Kamal
sitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wo Muhammad Ali Mustofa Kamal mail:
[email protected] Email:
[email protected] Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo ovember 2015, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016 Diterima redaksi tanggal 14 November 2015, diseleksi tanggal 27 M Email:
[email protected] Diterima redaksi tanggal 14 November 2015, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Abstrak
Abstract
Abstrak
the Qur’anic when those mission and The research method with pproach. The e implication ociety in the ows that the ala'” ( )المالare e Qur'an and the form of es and in the once only. ala’” 'in the is mentioned angels namely verse 8 and type of “althree, namely stle, who did reaching, and also has a a’) (كبراءand the social Some valuable the research y of the elite n the story of civilization. It hem, and the es with the d faith as they gress and the
Masyarakat elite dalam rangkaian kisahkisah al-Qur’an menjadi menarik ketika dikaitkan dengan penegasan al-Qur’an bahwa kisah yang dimuatnya memiliki misi pendidikan & pencerahan bagi umat manusia. Desain penelitian ini bersifat deskriptif-kualitatif yang mengelaborasi sumber literer dengan pendekatan antropologi sastra. Penelitian ini memfokuskan pada persoalan bagaimana implikasi dari model perilaku masyarakat elite dalam al-Qur’an.Hasil penelitian menemukan bahwasanya konteks masyarakat elite termaktub dalam alQur’an dalam derivasi kata al-mala’ )ْ(المالyang disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 30 kali dan tersebar dalam 12 surat, dalam bentuk ma’rifat 29 kali dan nakirah 1 kali. Pada umumnya kata almala’ dalam al-Qur’an merujuk pada manusia, hanya dua kali saja penyebutannya merujuk pada malaikat yaitu pada QS.[37]:8 dan QS.[38]: 69. Tipologi al-mala’ ada tiga, yaitu yang menentang dakwah rasul, tidak menentang dakwah rasul& munafik.Kata al-mala’ juga memiliki relasi dengan kubara’) (كبراءand syaazah)(شاذة yang menggambarkan konstruksi sosial masyarakatnya. Beberapa implikasi dari hasil elaborasi antropologis terhadap perilaku masyarakat elite dalam kisah al-Qur’an adalah mengajarkan urgensi posisi elite dalam tatanan peradaban, menunjukkan kecenderungan umum dari mereka & pentingnya kaderisasi elite secara baik dengan penguatan akidah dan keimananan karena memiliki peran vital bagi kemajuan & runtuhnya peradaban.
Elite society in the series of the Qur’anic stories become interesting when those stories contain educational mission and enlightenment for mankind. The research uses descriptive-qualitative method with literary anthropological approach. The research focuses on how the implication of the attitude of elite society in the Qur'an. The research shows that the derivation of the word “al-mala'” ( )المالare mentioned 30 times in the Qur'an and spread in twelve surah, in the form of ma'rifat” (gnosis) for 29 times and in the form of “nakirah” for once only. Generally, the word “al-mala’” 'in the Qur'an refers to human, it is mentioned only two time that refers to angels namely in the Qur’an, chapter 37, verse 8 and chapter 38, verse 69. The type of “almala'” can be divided into three, namely propaganda against the apostle, who did not oppose the apostles preaching, and hypocrite. Term al-mala’ also has a relationship with kubara’) (كبراءand syaazah ) (شاذةdescribing the social construction of the society. Some valuable lessons and implications of the research results provide the urgency of the elite society behavior (al-mala') in the story of the Qur’an in the order of civilization. It shows the general trend of them, and the importance of elite cadres with the strengthening of theology and faith as they have a vital role in the progress and the collapse of a civilization.
Masyarakat e kisah al-Qur’ dikaitkan den bahwa kisah misi pendidik manusia. De deskriptif-kual sumber lite antropologi memfokuskan implikasi dari elite dalam menemukan masyarakat e Qur’an dalam )ْ(المالyang di sebanyak 30 surat, dalam nakirah 1 ka mala’ dalam manusia, h penyebutanny yaitu pada Q Tipologi al-m menentang da dakwah rasul& memiliki relas syaazah)(شاذة konstruksi sos implikasi dari terhadap peri kisah al-Qu urgensi pos peradaban, m umum dari kaderisasi el penguatan aki memiliki per runtuhnya per
r, civilization,
Kata kunci: al-mala’, perilaku, peradaban, kubara’, kisah, masyarakat elite.
Keywordd: al-mala’, behavior, civilization, kubara’, story, elite society.
Kata kunci: al kubara’, kisah
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
220
ISSN 1412-663X 7.
Implementasi PP. No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang) Muh. Dahlan Balai Litbang Agama Makassar Jl. A.P. Peta Rani No. 72 Makassar Email :
[email protected] Mustolehudin Balai Litbang Agama Semarang Jl. Untung Suropati Kav 69 – 70 Bambankerep, Ngaliyan, Semarang Telepon 024-7601327 Faks. 024-7611386 Email :
[email protected]
Diterima redaksi tanggal 14 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Peraturan baru tentang biaya nikah sebagaimana amanat PP No 48 Tahun 2014 dijelaskan bahwa biaya layanan nikah di KUA adalah nol rupiah dan diluar kantor Rp600.000. Namun demikian praktik di masyarakat biaya nikah di berbagai daerah terjadi variasi yang berbeda-beda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi PP tersebut. Selain itu, untuk mengetahui respon penghulu dan masyarakat, serta kendala-kendala seperti apa yang terjadi pada petugas dan masyarakat. Dengan menggunakan metode kualitatif, dalam penelitian ini diperoleh tiga temuan utama. Pertama, PP tersebut secara umum sudah dilaksanakan oleh Kementerian Agama di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang, dan Kementerian Agama Kabupaten/Kota lainnya di Indonesia dengan kendala yang berbeda-beda. Kedua, petugas KUA dengan adanya PP ini justru merasa tugas pokok dan fungsinya semakin jelas, karena telah diatur biaya nikah di KUA nol rupiah, dan diluar kantor Rp600.000. Ketiga, kendala penerapan PP ini adalah masyarakat itu sendiri yang lebih mempercayakan kepada imam kampung istilah di Kabupaten Konawe dan modin di Kota Semarang untuk mengurus keperluan administrasi biaya nikah, sehingga biaya layanan nikah menjadi lebih banyak karena ada pungutan diluar biaya yang telah ditentukan.
The new regulations on marriage cost as mandated by Government Regulation No. 48 of 2014 explaines that the service charge of marriage at the KUA is zero rupiah, and 600,000 rupiahs if the marriage is conducted outside the office. However, the practice is different in different regions. This study was conducted to determine the implementation of the regulation. Beside that, this study was held to find out the response of the Muslim leaders and people, as well as the constraints faced by the officers and the public. By using qualitative methods, this research builds three main findings. Firstly, the regulation has largely been done by the Ministry of Religious Affairs of the Konawe and the city of Semarang and the Minstry of Religious in Regency or City. Secondly, KUA officials with this PP should feel duties and functions, as has been set out clearly the cost of marriage at KUA and outside the office of Rp600,000. And thirdly, the factors that limit the implementation of this regulation is the community itself. They put more trust to the Imam in their hometown in Konawe and modin in Semarang in administering their marriage cost. As a result, the service charge of marriage becomes more expensive because there have to pay additional charges beyond a predetermined fee.
Kata kunci : Biaya Nikah, PP No 48 tahun 2014, Imam Kampung, Modin.
Keywords: Cost of Marriage, PP No 48 of 2014, Imam Kampung, Modin.
HARMONI
Januari - April 2016
Lembar Abstrak
8.
221
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita? Aam Slamet Rusydiana
Konsultan pada Sharia Economic Applied Research & Training (SMART) Consulting, Indonesia. Email:
[email protected]
Salman Al-Farisi
Peneliti junior pada SMART Consulting Diterima redaksi tanggal 22 Februari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Zakat tidak hanya berdimensi ibadah (vertikal) tetapi juga berdimensi sosial. Berbicara mengenai zakat, ia tidak hanya sebagai ibadah ritual saja, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan dengan memberdayakan potensinya untuk kemaslahatan publik. Pada sisi lain, penelitian terkait zakat dalam ekonomi Islam masih relatif langka dibandingkan riset terkait perbankan syariah. Padahal riset zakat penting juga untuk dilakukan. Penelitian ini mencoba melakukan reviuter kait riset-riset bertema zakat.Studi ini menggunakan analisis statistik deskriptif atas 120 publikasi jurnal yang bertema zakat, baik jurnal nasional maupun internasional. Publikasi jurnal yang menjadi sampel adalah yang terbit selama 6 tahun sejak 2010 hingga 2015. Hasilnya menunjukkan bahwa riset zakat masih didominasi oleh diskusi terkait institusi zakat (28%) diikuti oleh subjek pembahasan mengenai manajemen zakat (22%), distribusi zakat (19%), pengentasan kemiskinan (19%) dan terakhir terkait pengumpulan zakat (13%). Malaysia dan Indonesia menjadi area studi zakat paling banyak. Sementara itu mayoritas area publikasi adalah Indonesia, Malaysia dan Amerika Serikat. Kesimpulan lainnya adalah, perbandingan metode penelitian kuantitatif dan metode ‘mixed’ masih lebih sedikit dibandingkan dengan pendekatan kualitatif. Kata kunci: Literatur Zakat, Isu Zakat, Riset Zakat.
Zakat is one of the pillars of Islam. Not only Zakat has dimension of ritual but also social dimension. Meaning that, paying zakat (almsgiving) is not seen only as religious ritual but also it could touch humanity aspect by empowering its potency to maximize public wealth. On the other hand, the research related to zakat in Islamic economics area is still under study, if compared to the study of Islamic banking sector. This study tries to review a number of research on zakat. The study uses descriptive statistical analysis based on selected 120 journal publications related to zakat, both national and international journal. The entire sample is derived from academic journal that have been published in the last six years, from 2010 to 2015. The research shows that research on zakat is still dominated by the discussion of zakat institution (28%), followed by management of zakat (22%), zakat distribution (19%) and poverty (19%). The last theme is about zakat collection (13%). Malaysia and Indonesia became the highest zakat study area, while the majority of publications area is Indonesia, Malaysia and United States. In addition, the use of quantitative method and that of mixed methods is still low than the qualitative approach.
Keywords: Zakat Literatures, Zakat Issue, Research on Zakat. Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
222
ISSN 1412-663X 9.
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Asnawati
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 22 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016 Secara historis, lahirnya UU N0. 1/PNPS/1965 dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi. Dengan timbulnya berbagai aliran yang dianggap bertentangan dengan ajaaran dan hukum agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengelarkan undangundang ini. Di satu pihak mendukung lahirnya UU No. 1/ PNPS/1965, karena dipandang sebagai bentuk kebebasan dalam mengekspresikan keyakinannya, sementara di sisi lain dianggap menimbulkan keresahan karena bertentangan dengan paham keagamaan arus utama (mainstream). Kondisi tersebut menjadi kurang kondusif untuk menciptakan kerukunan dalam kehidupan keagamaan yang dijamin oleh undang-undang. Ungkapan yang dikemukakan oleh para pemuka agama dan pemimpin Ormas Islam di Kota Mataram, menunjukkan adanya kecenderungan yang sama dalam memandang UU No.1/PNPS/1965. Sebagian pemuka agama dan pimpinan Ormas Islam mengatakan sudah tahu dan pernah membaca UU No.1/PNPS/1965, sedangkan sebagian kecil mengatakan belum mengetahui, bahkan belum pernah membacanya. Diantara pemuka agama mengatakan pernah terjadi kasus penodaan agama, yaitu: kasus Jemaat Ahmadiyah, Aliran tarekat yang mengajarkan nikah batin, Nikah lebih dari 4 istri di Lombok Tengah, Namatan Sholat, dan Amak Bakrie yang mengaku sebagai nabi. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman para pemuka agama dan pemimpin Ormas Islam dalam memahami isi UU No. 1/PNPS/ Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Kesimpulan dari hasil penelitian terkait kasus penistaan/penodaan agama di Kota Mataram NTB yaitu, nikah lebih dari 4 istri, Namatan Sholat dan Amak Bakrie, sudah diselesaikan di pengadilan, kecuali kasus Jemaat Ahmadiyah yang masih menjadi “pekerjaan rumah” pemerintah daerah NTB. Mengenai pengetahuan dan pemahaman sebagian besar pemuka agama Islam di Kota Mataram sudah tahu dan pernah membaca isi UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Inti nya menurut mereka penodaan agama itu adalah melanggar pokok-pokok ajaran agama. Ini bisa dipahami bahwa mereka menganggap UU ini harus dipertahankan. Sementara itu terkait dengan hukuman bagi pelaku penodaan agama maksimal 5 tahun penjara khususnya bagi para penggagas tidaklah cukup, karena belum memberikan efek jera. Kata kunci: Kebebasan beragama, kurang kondusif, arus utama, dan UU No. 1/PNPS/1965, kasus penistaan/penodaan dan sangsi hukuman. HARMONI
Januari - April 2016
Historically, the exsistence of UU N0. 1/ PNPS/1965 was made to protect the Nation and Society,where misleading or religious humiliation are viewed as a revolutional tread. By the rise of certain orders/sects, which was assumed against the religious teachings and laws then it is essentially needed to have national awareness by bringing out this regulations. On the other hand supporting the exsistence of the Regulation or UU No. 1/ PNPS/1965 was considered as a form of freedom in expressing their faith, meanwhile on the other side is considering to triggering conflict because it is against the mainstream of religious understanding.This condition has become the main factor to create chaos in religious life. The religious leaders and the Islamic organization leaders in Mataramshows that there are same tendencies in viewing the Regulation or UU No.1/PNPS/1965. Most of religious leaders and the Islamic organization leaders said that they knew the Regulation or UU No.1/PNPS/1965, while some of them said that they have not know it, even reading it, yet. Among the religious leader said that there weresome case of religious desacration among others, for example: the case ofCongregation of Ahmadiyah, A thariqah (spiritual path) that teaches Inner Marriage (Nikah Batin) who can be married more than 4 wives in Lombok Tengah, Namatan Prayer, and“Amak Bakrie”who confess his self as the prophet. The objective of this research is to comprehend knowledge and understanding of the religious leaders and the Islamic organization leaders in understanding the content of Regulation/UU No. 1/PNPS/Year 1965. The conclusion of this research related about the knowledge and understanding the content of the Regulation orUU No. 1/PNPS/Year 1965 is understandable by religious leaders. According to them, religious desecration is against the main teachings of religion. Due to the benefit of that particular regulation they consider that this Regulationmust be aprehend. Meanwhile, related to the punishment for the man who practising religious desecration is 5 years maximum in prison especially for the initiator for the sake of deterrent effect. Keywords: religious leaders, UU PNPS.
defamation,
Islamic
Lembar Abstrak
10.
223
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota Yogyakarta Agus Mulyono
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 20 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016 Hasil penelitian model pemberdayaan Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran di Kota Yogyakarta menunjukan bahwa pengelolaan kedua rumah ibadat digariskan secara hirarkis mulai dari Uskup (Keuskupan), diturunkan lagi kepada Kevikepan (perwakilan uskup dengan wilayah tertentu), kemudian dilaksanakan dalam paroki oleh pastor paroki beserta jajarannya. Pola ini merupakan kekhasan Katolik, dan pola organisasinya sama untuk Paroki-Paroki. Perbedaannya, berjalan tidaknya organisasi Paroki tergantung kepemimpinan dan kreativitas Pastor Paroki. Pemberdayaan ekonomi umat untuk kedua gereja di atas tidak begitu kelihatan. Adapun upaya yang difasilitasi adalah berupa pelatihanpelatihan kepada umat untuk menambah penghasilan mereka misalnya, berdagang. Ada juga pemberian pinjaman dana dengan keringanan pembayaran cicilan seperti yang dilakukan di paroki Santo Albertus Jetis Yogyakarta. Pemberdayaan ekonomi umat pada umumnya bersifat karitatif. Bantuan yang diterima oleh kedua gereja tersebut adalah berupa hibah barang/peralatan seperti sarana wireless/sound system, dan bantuan sejumlah dana untuk kegiatan pembinaan orang muda Katolik. Pada awal tahun Dewan Paroki Pleno merencanakan program pelayanan pastoral paroki dan pada akhir tahun Dewan Paroki Pleno melakukan evaluasi dan refleksi pelayanan pastoral atas semua program dan kegiatan dalam setahun. Kesadaran untuk terlibat dalam melayani umat dan menyumbangkan tenaga, dana dan waktu untuk terlibat dalam pembangunan iman umat paroki tanpa gaji atau honor, ini menjadi faktor pendukung keberadaan kedua gereja tersebut. Sedangkan faktor penghambatnya adalah masih rendahnya kesediaan sebagian jemaat gereja dalam memberikan dana kolekte, tidak seimbang jika dibanding dengan gaya hidup mereka. Kata kunci: Keuskupan, Kevikepan, Pastor Paroki, Ekaristi, dan Karitatif.
This research found the model of empowerment in“St. Albertus Agung” Jetis Church and “Hati Santa Perawan Maria Tak Bercela” Kumetiran Churchin Yogyakarta shows that the management of both synagogues has been put in a hierarchical structure starting from the Diocese, to the Vicariate (bishop representatives with specific region), and then to the parish by parish priests and his officials. This pattern is a typical of Catholicism, and the same pattern of organization applies also to the parish. The difference is on the way of the organization operates, which depends on the leadership and creativity of the Parish Priest. Meanwhile the economic empowerment of the people to the church is not too visible. The main reason is the economic empowerment of the people is mostly oriented to charity. Whereas, the church facilitates some trainings like trade training to enhance their income. For other programs, the church also provides funds with mortgage payment relief as has been practiced in the parish of Santo Albertus Jetis Yogyakarta. The provision of this fund is caricative in naure. The donation that the two churches receive consists of gwriless and sound systems and some funds for the youth councelling. In the beginning of the year, the church planned to establish pastoral services and they evaluate the program by the end of the year as an overall evaluation for the whole program. Keywords: Diocese, Vicariate, the parish priest, Eucharisti, and charitable.
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
224
ISSN 1412-663X 11.
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme
I Nyoman Yoga Segara
Institut Hindu Dharma Negeri Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 15 Januari 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh respon yang beragam atas rilis Badan Peradilan Agama yang menyatakan bahwa pada 2014 telah terjadi kenaikan signifikan perceraian dikalangan umat Islam. Dalam rentang empat tahun (2010-2014), dari 2 juta pasangan yang mencatatkan perkawinannya, hampir 300.000 atau sekitar 15% mengakhirinya di Pengadilan Agama. Yang mengejutkan, dari perceraian tersebut, 70% dilakukan oleh perempuan, selebihnya cerai talak. Badan Peradilan Agama juga merilis beberapa daerah yang angka cerai gugatnya sangat tinggi. Namun penelitian yang dilakukan di Kota Ambon menyisakan pertanyaan apakah cerai gugat juga sangat tinggi? Dugaan ini didasarkan atas Ambon bukan daerah mainstream yang angka cerai gugatnya tinggi, masih memiliki adat istiadat yang kuat dan masih traumatic dari konflik berkepanjangan. Untuk dapat menggali permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui teknik wawancara, observasi dan focus group discussion. Terinspirasi dari konsep triad dialektika dan antropologi feminisme sebagai kerangka kerja, penelitian ini berhasil memperlihatkan bahwa tren cerai gugat juga sedang melanda Kota Ambon. Kesimpulan penelitian, yaitu pertama, kekerasan fisik dan non fisik, serta runtuhnya nilai-nilai agama dalam perkawinan mendorong perempuan berani menggugat cerai. Kedua, respon struktur sosial, terutama pemerintah dalam hal ini Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama sangat lemah, dan Ketiga, pranatapranata adat, seperti tiga batu tungku dan saudara kawin mulai terabaikan, padahal institusi ini jika dimafatkan dapat menjadi media pembimbingan bagi keluarga untuk melestarikan perkawinan.
This research is motivated by a mixed This research was motivated by a response on the release of The Religious Courts (Badan Peradilan Agama), saying that in 2014 there was a significant increase on the divorce rate among Muslims. Over the period of four years (2010-2014), there have been 2 million couples registered their marriages but nearly 300.000 divorce cases or about 15% out of that figure ended up in the religious courts. Surprisingly, 70% of the divorce cases were filed by women, and the remaining were filed by men. The religious courts also release some cases saying that the divorce rate has increased in some other areas. This research questions whether or not the divorce rate in the city of Ambon is also very high. The assumption is that Ambon has no high rate of divorce as the area still maintains local tradition and the traumatic feeling of the past conflict. This research adopts qualitative approach through interview techniques, observation, and focused group discussion. Inspired by the concept of dialectical triad and the Anthropology of feminism as a framework, this study also successfully demonstrates that the divorce trends happen as well in the city of Ambon. The conclusion of this research is; firstly, it is due to physical and non physical violence and the collapse of religious values in marriage that encourage women to ask for divorce. Secondly, there is a lack of response of the social structure, especially the role of the government through Religious Court and Religious Affairs Office (Kantor Urusan Agama). And the thirdly, traditional institutions, such as tiga batu tungku and saudara kawin are fading away. If this last institution operates well it can become an advisory media to preserve the family and the marriage.
Kata kunci: antropologi feminisme, tren cerai gugat, perempuan, struktur sosial, pranata adat.
Keywords: anthropology of feminism, contested divorce trend, social structure, traditional institution.
HARMONI
Januari - April 2016
Lembar Abstrak
12.
225
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi
Juju Saepudin
Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta Jl. Rawa Kuning No. 6 Pulo Gebang Cakung - Jakarta Timur Email :
[email protected] Diterima redaksi tanggal 3 Maret 2016, diseleksi tanggal 27 Mei 2016 dan direvisi 5 Juni 2016
Kelahiran dan keberadaan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) menjadi fenomena tersendiri dalam belantika politik Islam di Indonesia, terlebih tentang eksistensi serta pengaruhnya pasca tumbangnya Orde Baru. Tulisan ini menyajikan hasil penelitian terkait dinamika ICMI pada Era Reformasi. Dengan pendekatan kualitatif dan analisis secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa pada Era Reformasi ICMI mengalami penurunan pengaruh dan daya tarik, hal itu disebabkan karena kegagalan dalam upaya menjadikan salah satu power house dalam politik nasional menjelang tumbangnya Orde Baru disamping benturan fungsi politik dan fungsi keagamaan yang berakibat loss identity dalam tubuh ICMI. Oleh sebab itu, dirasa penting revitalisasi peran ICMI sebagai agent of social change, supaya bisa memainkan peran besar dalam dinamika politik Islam dan pembangunan bangsa di bidang agama, sosial, politik, pendidikan dan pemberdayaan civil society di Indonesia menuju masyarakat Madani.
The birth and the existence of the Association of Indonesian Muslim Intellectuals (ICMI) has become a phenomenon in the politics of Islam in Indonesia, especially about its existence and its influence after the collapse of the New Order era. This paper presents the results of research related to the dynamics of ICMI in the Reformation Era. With qualitative approach and descriptive analysis, it can be concluded that in the Reformation Era, ICMI has decreased its influence and its appeal because their failure in making one of the power house in the national politics prior to the fall of the New Order Era and to have the clash of political functions and religious functions resulting in the identity loss of ICMI. Therefore, it is important to revitalize ICMI role as an agent of social change, in order that ICMI can play a major role in the dynamics of political Islam and nation-building in the field of religion, social, politic, education and empowerment of civil society in Indonesia towards civil society.
Kata kunci: Revitalisasi, ICMI, Reformasi, Masyarakat Madani.
Keywords: Revitalization, ICMI, Reformation Era, Madani Society.
Era
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
Indeks Penulis
226
ISSN 1412-663X A Aam Slamet Rusydiana Konsultan pada Sharia Economic Applied Research & Training (SMART) Consulting, Indonesia.
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita? Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Agus Mulyono Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Program Gereja St. Albertus Agung Jetis dan Gereja Hati Santa Perawan Maria Tak Tercela Kumetiran di Kota Yogyakarta Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Ahsanul Khalikin Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Tradisi di Tengah Keberagamaan Media Interaksi Masyarakat Ende dalam Membangun Relasi Antarumat Beragama Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Akmal Salim Ruhana Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Relasi Muslim-Buddhis di Panggang Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Asnawati Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Penistaan/Penodaan Agama dalam Perspektif Pemuka Agama Islam di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016
I I Nyoman Yoga Segara Institut Hindu Dharma Negeri
Tren Perempuan Menggugat Cerai di Kota Ambon: Sebuah Pendekatan Antropologi Feminisme Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 J Juju Saepudin Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta
Revitalisasi Peran ICMI pada Era Reformasi Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016
HARMONI
Januari - April 2016
Indeks Penulis
227
M Muhamad Ali Mustofa Kamal Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo
Masyarakat Elite dalam Al-Qur’an: (Sebuah Pendekatan Antropologi Al-Qur’an atas Term AlMala’) Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Muh. Dahlan Balai Litbang Agama Makassar
Implementasi PP No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang) Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Mustolehudin Balai Litbang Agama Semarang
Implementasi PP No. 48 Tahun 2014 antara Regulasi dan Praktik (Studi Kasus di Kabupaten Konawe dan Kota Semarang) Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 N Ngainun Naim IAIN Tulungagung
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 R Raudatul Ulum Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI
Salafi-Wahabi vs NU (Pertentangan Keberadaan STAI Ali bin Abi Thalib di Semampir Surabaya) Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 S Salman Al-Farisi Peneliti Junior pada SMART Consulting
Sudah Sampai Mana Riset Zakat Kita? Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
228
ISSN 1412-663X Z Zaenal Abidin Eko Putro Prodi Jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta, Kampus UI
Potret Ketegangan Internal Sinode Non Mainstream Studi Kasus Gereja Am GPR Manado Ditinjau dari Sosiologi Organisasi Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016 Zakiyah Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang
Konflik dan Kerukunan Antarumat BEragama di Grabag Kabupaten Magelang Volume 15, Nomor 1, Januari-April 2016
HARMONI
Januari - April 2016
Ucapan Terimakasih
Indeks Penulis
229
Redaksi Jurnal Harmoni mengucapkan terimakasih dan memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari atas peran serta dan selalu aktif demi meningkatkan kualitas Jurnal Harmoni. Selain itu juga telah memberikan perhatian, kontribusi, koreksi dan pengkayaan wawasan secara konstruktif. Mitra Bestari dimaksud adalah: 1. Muhammad Hisyam (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 2. Endang Turmudi (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 3. Abdul Aziz (Electoral Research Institute) 4. Ahmad Syafi’i Mufid (Forum Kerukunan Umat Beragama DKI Jakarta) 5. Muchlis Hanafi (Pusat Studi Qur’an) 6. Alpha Amirrachman (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization) 7. Ahmad Najib Burhani (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 8. Atho Mudzhar (UIN Syarif Hidayatullah) 9. Arskal Salim (UIN Syarif Hidayatullah) 10. Erni Budiwanti (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) 11. Minako Sakai (University of New South Wales)
Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
230
Ngainun Naim
Pedoman Penulisan
PEDOMAN PENULISAN JURNAL HARMONI PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEAGAMAAN KEMENTERIAN AGAMA RI
1. Artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertakan abstrak dalam bahasa Inggris dan Indonesia. 2. Konten artikel mengenai: a) Pemikiran, Aliran, Paham dan Gerakan Keagamaan; b) Pelayanan dan Pengamalan Keagamaan; c) Hubungan Antar Agama dan Kerukunan Umat Beragama. 3. Penulisan dengan menggunakan MS Word pada kertas berukuran A4, dengan font Times New Roman 12, spasi 1,5, kecuali tabel. Batas atas dan bawah 3 cm, tepi kiri dan kanan 3,17 cm. maksimal 15 halaman isi di luar lampiran. 4. Kerangka tulisan: tulisan hasil riset tersusun menurut sistematika berikut: a. Judul. b. Nama c. Alamat lembaga dan email penulis d. Abstrak. e. Kata kunci. f. Pendahuluan (berisi latar belakang, perumusan masalah, teori, hipotesis- opsional, tujuan) g. Metode penelitian (berisi waktu dan tempat, bahan/cara pengumpulan data, metode analisis data). h. Hasil dan pembahasan. i.
Penutup (kesimpulan dan saran)
j.
Daftar pustaka (harus mengacu pustaka 80% terbitan 5 tahun terakhir dan 80% berasal dari sumber primer).
5. Judul diketik dengan huruf kapital tebal (bold) pada halaman pertama. Judul harus mencerminkan isi tulisan. 6. Nama penulis diketik lengkap di bawah judul beserta alamat lengkap. Bila alamat lebih dari satu diberi tanda asteriks *) dan diikuti alamat penulis sekarang. Jika penulis lebih dari satu orang, kata penghubung digunakan kata “dan”. 7. Abstrak diketik dengan huruf miring (italic) berjarak 1 spasi maksimal 150 kata. 8. Kata kunci terdiri dari 5 kata, ditulis italic. 9. Pengutipan dalam artikel berbentuk body note. a. Setelah kutipan, dicantumkan penulisnya, tahun penulisan dan halaman buku dimaksud. Contoh: ….(kutipan)…(Madjid, Nurcholis, 1997: 98). HARMONI
Januari - April 2016
Pedoman Penulisan
231
b. Buku yang dikutip ditulis secara lengkap pada bibliografi. 10. Penulisan daftar pustaka disusun berdasarkan nomor urut pustaka yang dikutip: a. Buku dengan penulis satu orang. Contoh:
Hockett, Charles F. A Course in Modern Linguistics. New York: The Macmillan Company, 1963.
b. Buku dengan dua atau tiga pengarang. Contoh:
Oliver, Robert T., and Rupert L. Cortright. New Training for Effective Speech. New York: Henry Holt and Company, Inc., 1958.
c. Buku dengan banyak pengarang, hanya nama pengarang pertama yang dicantumkan dengan susunan terbalik. Contoh:
Morris, Alton C., et.al. College English, the First Year. New York: Harcourt, Brace & World, Inc., 1964.
d. Buku yang terdiri dari dua jilid atau lebih. Contoh:
Intensive Course in English, 5 Vols. Washington: English Language Service, Inc., 1964.
e. Sebuah edisi dari karya seorang pengarang atau lebih. Contoh:
Ali, Lukman, ed. Bahasa dan Kasusastraan Indonesia sebagai Cermin Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung, 1967.
f. Sebuah kumpulan bunga rampai atau antologi. Contoh:
Jassin, H.B. ed. Gema Tanah Air, Prosa dan Puisi. 2 jld. Jakarta: Balai Pustaka, 1969.
g. Sebuah buku terjemahan. Contoh: Multatuli. Max Havelaar, atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, terj. H.B. Jassin, Jakarta: Djambatan, 1972. h. Artikel dalam sebuah himpunan. Judul artikel selalu ditulis dalam tanda kutip. Contoh:
Riesman, David. “Caracter and Society,” Toward Liberal Education, eds. Louis G. Locke, William M. Gibson, and George Arms. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1962.
i. Artikel dalam ensiklopedi. Contoh:
Wright, J.T. “Language Varieties: language and Dialect,” Encyclopaedia of Linguistics, Information and Control (Oxford: Pergamon Press Ltd., 1969), hal. 243251.
“Rhetoric,” Encyclopaedia Britannica, 1970, XIX, 257-260.
j. Artikel majalah. Contoh:
Kridalaksana, Harimurti. “Perhitungan Leksikostastistik atas Delapan Bahasa Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 15
No. 1
232
ISSN 1412-663X Nusantara Barat serta Penentuan Pusat Penyebaran Bahasa-bahasa itu berdasarkan Teori Migrasi,” Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, Oktober 1964, hal. 319-352.
Samsuri, M.A. “Sistem Fonem Indonesia dan suatu Penyusunan Edjaan Baru,” Medan Ilmu Pengetahuan, 1:323-341 (Oktober, 1960).
k. Artikel atau bahan dari harian. Contoh:
Arman, S.A. “Sekali Lagi Teroris,” Kompas, 19 Januari 1973, hal. 5. Kompas, 19 Januari 1973.
l. Tesis dan Disertasi yang belum diterbitkan. Contoh:
Parera, Jos. Dan. “Fonologi Bahasa Gorontalo.” Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, 1964.
m. Bila pustaka yang dirujuk terdapat dalam prosiding. Contoh:
Mudzhar, M Atho. Perkembangan Islam Liberal di Indonesia, Prosiding Seminar Pertumbuhan Aliran/Faham Keagamaan Aktual di Indonesia. Jakarta, 5 Juni, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009.
n. Bila pustaka yang dirujuk berupa media massa. Contoh:
Azra, Azyumardi. 2009, Meneladani Syaikh Yusuf Al-Makassari, Republika, 26 Mei: 8.
o. Bila pustaka yang dirujuk berupa website. Contoh:
Madjid, Nucrcholis, 2008, Islam dan Peradaban. www.swaramuslim.org., diakses tanggal ....
p. Bila pustaka yang dirujuk berupa lembaga. Contoh:
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti dan Angka Kreditnya. LIPI, 2009. Jakarta.
q. Bila pustaka yang dirujuk berupa makalah dalam pertemuan ilmiah, dalam kongres, simposium atau seminar yang belum diterbitkan. Contoh:
Sugiyarto, Wakhid. Perkembangan Aliran Baha’i di Tulungagung. Seminar Kajian Kasus Aktual. Bogor, 22-24 April. 2007.
r. Bila pustaka yang dirujuk berupa dokumen paten. Contoh:
Sukawati, T.R. 1995. Landasan Putar Bebas Hambatan. Paten Indonesia No ID/0000114.
s. Bila pustaka yang dirujuk berupa laporan penelitian. Contoh:
Hakim, Bashori A. Tarekat Samaniyah di Caringin Bogor. Laporan Penelitian. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama Jakarta. 2009.
11. Kelengkapan tulisan: gambar, grafik dan kelengkapan lain disiapkan dalam bentuk file .jpg. Untuk tabel ditulis seperti biasa dengan jenis font menyesuaikan. Untuk foto hitam putih kecuali bila warna menentukan arti. 12. Redaksi: editor/penyunting mempunyai wenang mengatur pelaksanaan penerbitan sesuai format HARMONI. HARMONI
Januari - April 2016