HIDUP DALAM MASYARAKAT YANG MAJEMUK AGAMA DAN KEYAKINAN Rm. Yosef Lalu, Pr
PENDAHULUAN Kemajemukan adalah sifat dari dunia ini. Tuhan menciptakan umat manusia dalam perbedaan yang tak terhindarkan. Bahwa ada manusia Asia, manusia Eropa, manusia Afrika dan sebagainya adalah kenyataan. Dan bahwa manusia-manusia itu memiliki sejarah, kebudayaan, ada istiadat, bahasa, cita rasa, dll, yang berbeda merupakan kenyataan pula. Keanekaragaman itu indah dan memperkaya. A. MASYARAKAT INDONESIA ADALAH MASYARAKAT YANG MAJEMUK Bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural yang berciri keanekaragaman dalam pelbagai aspek kehidupan. Namun, keanekaragaman itu juga diterima dan dihayati dalam satu kesatuan sebagai bangsa. Suku-suku yang berasal dari ribuan pulau dengan budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama yang berbeda-beda itu, semua-
nya mengikrarkan diri sebagai satu bangsa satu bahasa dan satu tanah air Indonesia. Bangsa Indonesia yang berbedabeda itu selain diikat oleh satu sejarah masa lampau yang sama, yakni penjajahan oleh bangsa asing dalam kurun waktu yang panjang, juga diikat oleh satu cita-cita yang sama yakni membangun masa depan bangsa yang berketuhanan, berperikemanusiaan, bersatu, berkeadilan, dan berdaulat. Oleh para bapa bangsa Pancasila telah ditegaskan sebagai falsafah hidup dan pedoman hidup bangsa. la mempersatukan kita sebagai bangsa. Menolak Pancasila berarti membubarkan bangsa dan Negara kita. Berdasarkan pemahaman seperti itu, maka setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Suku yang satu tidak lebih diunggulkan dari suku lain, agama yang satu tidak mendominasi agama lain. Kodrat bangsa Indonesia memang berbeda-beda dalam kesatuan. Hal tersebut dirumuskan dengan sangat Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
39
bijak dan tepat oleh bangsa Indonesia, yakni “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti beranekaragam namun satu. Kenyataannya keberadaan bangsa Indonesia memang berbeda-beda namun tetap satu bangsa. Bangsa yang utuh dan bersatu serta yang berbeda-beda itu adalah saudara sebangsa dan setanah air. B. BANGSA INDONESIA MEMILIKI KEYAKINAN DAN AGAMA YANG MAJEMUK Kita mengetahui bahwa di dalam masyarakat majemuk tidak ada satu sistim sosial untuk semua dan juga tidak ada satu agama saja. Pilihan atas agama dan penghayatannya ditentukan oleh keinfasan dan tanggungjawab pribadi setiap orang. Namun, diperlukan kerjasama yang nyata dengan orang dan golongan lain di dalam masyarakat sebab hanya dalam suasana kerjasama dan saling menghormati terjaminlah kebebasan agama, yang memungkinkan setiap orang mengabdi Tuhan menurut keyakinan hatinya sendiri. Tugas dan wewenang Negara dan pemerintah tidak terbatas pada kontrol dan pengawasan saja, tetapi terutama menciptakan suasana yang menjamin kebebasan beragama berdasarkan martabat manusia. Maka, oleh Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang penghayatan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang
40
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
Maha Esa, dijelaskan sebagai berikut: · Percaya dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. · Hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup. · Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan kepercayaan. · Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain. Tampak sekali bahwa penjelasan mengenai sila pertama tidak pertamatama menyangkut Tuhan, tetapi terutama agama dan kepercayaan. Lebih khusus lagi, pokok perhatiannya ialah kerukunan umat beragama. Dalam Pancasila, terungkap pengakuan bahwa kepercayaan religius bangsa Indonesia, khususnya sebagaimana dinyatakan dalam bentuk agama, diterima sebagai nilai sosial, dan oleh karena itu akan dilindungi oleh Negara. Pancasila tidak langsung berbicara mengenai Tuhan sendiri, melainkan mengenai sikap manusia terhadap Tuhan. Pancasila tidak hanya mengakui kebebasan beragama, tetapi juga pluralisme agama sebab tidak setiap orang mengenal dan mengakui Tuhan dengan cara yang sama.
C. PANDANGAN DAN SIKAP KITA TERHADAP AGAMA LAIN Di atas sudah dikatakan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang beragam agama dan keyakinan. Dalam hidup bersama itu tentu saja kita memiliki pelbagai pandangan, keyakinan dan sikap terhadap agama lain. Berikut ini secara singkat dan sederhana disebutkan satu-dua pandangan dan sikap itu. 1. Pandangan dan sikap eksklusif Pandangan dan sikap ini dihayati oleh orang-orang yang menganggap hanya agamanyalah yang benar dan bisa menyelamatkan manusia. Dalam kalangan Gereja katolik pernah ada keyakinan yang kuat bahwa diluar Gereja (katolik) tidak ada keselamatan. “Extra Ecclessiam nula salus”. Ini adalah pandangan dan sikap kaum fundamentalis pada umumnya. Mereka sering tertutup, picik, menggunakan cara-cara kekerasan dan sangat tidak toleran untuk mempertahankan dan menyebarkan keyakinan dan agamanya. 2. Pandangan dan sikap inklusif Pandangan dan sikap ini dimiliki oleh orang-orang yang menerima bahwa dalam agama-agama lain ada kebenaran dan bisa menyelamatkan manusia. Allah ingin menyelamatkan semua orang. Namun mereka tidak menganggap semua agama sama saja. Tetapi
agamaku adalah agamaku, agamamu adalah agamamu. Pada kalangan agama Kristen misalnya tetap berkeyakinan bahwa karya penyelamatan Kritus bukanlah monopoli orang kristen, tetapi membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia, walaupun ada yang tidak menyadarinya. 3. Pandangan dan sikap pluralis Pluralisme agama adalah fenomena kesadaran baru, yang tampaknya masih memerlukan penyadaran tentang maknanya supaya menjadi lebih nyata, lebih obyektif, supaya bisa dijadikan pegangan. Tidak dapat disangkal bahwa kesadaran akan pluralisme agama kiranya secara tidak langsung berkaitan dengan kritik agama modern, yang secara diam-diam atau terang-terangan mengecam pertikaian agama-agama yang sia-sia. Perang dengan motivasi agama sering yang paling kejam dan berlarut-larut. Terkesan agama lebih membawa bencana daripada keselamatan. Agama-agama bersama-sama juga memberi gambaran tentang Tuhan yang kejam. Bacalah ceritera dari Anthony de Mello berikut ini: Pasar Malam Agama Aku dan temanku pergi ke Pasar Malam Agama. Bukan pasar dagang. Pasar agama. Tetapi persaingannya sama sengitnya, propagandanya pun sama hebatnya. Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
41
Di kios Yahudi, kami mendapat selebaran yang mengatakan bahwa Tuhan itu Mahapengasih, dan bahwa bangsa Yahudi adalah umat pilihan-Nya. Ya, bangsa Yahudi. Tidak ada bangsa lain yang terpilih seperti bangsa Yahudi. Di kios Islam, kami mendengar bahwa Allah itu Mahapenyayang dan Mohammad ialah nabi-Nya. Keselamatan diperoleh dengan mendengarkan Nabi Tuhan yang satu-satunya itu. Di kios Kristen, kami menemukan bahwa Tuhan adalah Cinta, dan bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan. Silakan mengikuti Gereja Kudus jika tidak ingin mengambil risiko masuk neraka. Di pintu keluar aku bertanya kepada Temanku, “Apakah pendapatmu tentang Tuhan?” Jawabnya, “Rupanya la penipu, Fanatik, dan bengis!” Dari: Burung Berkicau Anthony de Mello, SJ Para penganut agama rupanya makin memahami bahwa perang agama merupakan ironi yang tidak masuk akal dan mulai mengupayakan jalan damai lewat pamahaman baru. Mereka mau
42
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
bekerjasama. Untuk mewujudkan citacita bahwa agama itu menyelamatkan manusia. Pluralisme agama itu lebih menyentuh pada kesadaran mengenai dilema kebenaran agama. Kalau kebenaran itu satu, mengapa ada banyak agama, yang bahkan saling menyalahkan dan berperang? Pluralisme agama bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: · Mengapa Tuhan membiarkan (atau mungkin menghendaki) ada berbagai agama di atas muka bumi ini? · Apakah semua tradisi keagamaan akhirnya manurut rencana Allah, bermuara ke dalam satu agama, yang mencakup kebenaran seperti sudah terdapat dalam aneka aliran keagamaan itu? Orang-orang pluralis percaya bahwa Allah giat dalam berbagai agama dan menyelamatkan orang melalui sarana mereka masing-masing. Dahulu dan sekarang. Disemua benua, dimanamana. Allah adalah Bapa yang mencintai semua orang. Agama-agama yang berbeda rasanya kurang penting, yang lebih penting adalah benar-benar percaya dan hidup sesuai dengan keyakinan subyektif dan orang-orang yang berbeda agama itu. Kaum pluralis berkeyakinan bahwa pluralisme agama adalah sikap moral yang bersifat imperatif, yang menuntut lebih jauh
keterlibatan bersama dalam menangani dunia yang lebih baik dan sejahtera daripada terus bertengkar dan berperang untuk mengklaim kebenaran tertentu. (cape deh!). Tentu saja pembicaraan mengenai pluralisme agama memerlukan ruang yang lebih besar lagi, bukan saja karena cakupannya yang luas, tetapi juga karena masalahnya yang belum jelas. Biarlah para teolog kita terus menggumulinya. Dalam uraian singkat ini, hanya mau diperlihatkan bahwa setelah melewati berbagai pemurnian melalui peristiwa-peristiwa sejarah, agama apa pun tampaknya dewasa ini harus dimurnikan melalui gejala pluralisme yang tidak terelakan. Mengabaikan kenyataan pluralisme dengan menganggap diri sebagai kebenaran yang tidak tersentuh oleh pengalamanpengalaman religius lain hanya akan menjauhkan agama dan kehidupan nyata. Di salah satu wilayah pesisir, umat beragama Katolik dan beragama Islam sangat rukun. Mereka umumnya masih berkerabat satu sama lain. Yang menarik ialah bahwa pada musim naik haji, kadangkala terjadi bahwa keluarga dari orang yang mau naik haji pergi kepada bapak pastor paroki setempat sambil membawa stipedium, minta didoakan supaya yang naik haji pergi dan pulang dengan selamat dan supaya peristiwa naik haji itu bisa membawa banyak berkat.
Di tempat lain, pernah terjadi bahwa dalam satu upacara tahbisan imam, semua ulama dan pelbagai agama mendoakan dengan cara masing-masing agama supaya imam yang baru ditahbiskan sungguh menjadi imam yang baik! Apakah peritiwaperstiwa itu bisa dilihat sebagai suatu fenomena dan pluralism keagamaan? D. KERUKUNAN, TOLERANSI, DIALOG DAN KERJA SAMA ANTARA AGAMA Sesudah kita melihat sepintas tentang kemajemukan masyarakat dan agama, pandangan dan sikap antara penganut agama di Indonesia kini kita lihat pula secara singkat manyangkut “budaya” hidup bersama dan para penganut agama dalam bentuk kerukunan, toleransi dan kerjasama antara agama-agama itu! 1. Kerukunan antara agama Kiranya semua agama mengajarkan dan mengharapkan kerukunan antar umat manusia, termasuk kerukunan antara penganut umat beragama. Seperti sudah dikatakan di atas, tampak sekali bahwa penjelasan mengenai sila pertama dari Pancasila tidak pertamatama menyangkut Tuhan, tetapi terutama agama dan kepercayaan. Lebih khusus lagi, pokok perhatiannya ialah kerukunan umat beragama. Dalam Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
43
Pancasila, terungkap pengakuan bahwa kepercaya-an religius bangsa Indonesia, khusunya sebagaimana dinyatakan dalam bentuk agama, diterima sebagai nilai sosial dan oleh karena itu akan dilindungi oleh Negara. Pancasila tidak langsung berbicara mengenai Tuhan sendiri, melainkan mengenai sikap manusia terhadap Tuhan. Pancasila tidak hanya mengakui kebebasan beragama, tetapi juga pluralisme agama sebab tidak setiap orang mengenal dan mengakui Tuhan dengan cara yang sama. Kita bersyukur bahwa dalam sejarah agama-agama di Indonesia kita mengalami masa-masa yang relatif sungguh rukun, walaupun disana-sini ada gejolak-gejolak kecil pernah terjadi. Dalam hal ini kita sering dipuji dan menjadi contoh untuk bangsa-bangsa lain. Sayang bahwa akhir-akhir ini kerukunan antara agama-agama di Indonesia mulai cukup terganggu di banyak tempat. Hal ini disebabkan antara lain: · Agama sering diperalat atau ditunggangi demi kepentingan lain yang bersifat politis dan ekonomis. · Fanatisme sempit karena kurang memahami agamanya sendiri dan agama orang lain. · Kelompok-kelompok ekstrim garis keras dan perda-perda yang senyatanya tidak sesuai dengan Pancasila
44
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
·
·
·
sepertinya dibiarkan berkembang oleh pemerintah. Merasa posisi dan pengaruhnya terancam karena adanya agama lain. Merasa agama lain sebagai saingan. Pencemaran simbol-simbol agama oleh pemeluk agama lain. Hal ini sering membakar emosi massa karena agama sering diyakini sebagai benteng terakhir untuk menegakan martabat pribadi atau kelompoknya. Dan sebagainya.
2. Toleransi Untuk mengelak pelbagai gejolak dan memupuk kerukunan antara agama antara lain dibutuhkan sikap toleran. Seorang yang toleran berarti orang yang bisa menerima, menanggung, dan menahan diri untuk bersikap sabar, membiarkan orang berpendapat lain, dan berhati lapang terhadap orang-orang yang berlainan aliran. Sikap toleransi tidak berarti membenarkan pandangan/ aliran yang dibiarkan itu, akan tetapi mengakui kebebasan serta hak-hak asasi para penganutnya untuk berpandangan lain. Kiranya dapat dibedakan tiga jenis toleransi. · Toleransi negatif: isi ajaran dan penganut agama lain tidak dihargai, tetapi mereka dibiarkan saja karena menguntungkan (misalnya, dari segi ketenangan dalam politik, ekonomi) atau karena sikap acuh tak acuh terhadap agama.
·
·
Toleransi positf: isi ajaran ditolak, tetapi penganutnya diterima serta dihargai. Toleransi ekumenis: isi ajaran serta penganutnya dihargai karena dalam ajaran mereka itu terdapat unsurunsur kebenaran juga dan bernilai untuk memperdalam pendirian dan kepercayaan sendiri.
Toleransi sejati bukan sikap acuh tak acuh, yang menyamakan semua aliran yang berbeda tanpa menghormati atau mencari kebenaran; bukan laksana kopi susu, yang mencampurkan bagianbagian yang dianggap cocok dan macam-macam kepercayaan (sinkretisme); bukan pula sikap mengorbankan prinsip sendiri dengan berkompromi dalam hal-hal pokok. Toleransi sejati didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat setiap manusia, hati nurani serta keyakinan dan keikhlasan sesama manusia terserah apapun agama, ideologi, atau pandangannya. Seorang yang toleran dalam arti positif bersedia mengadakan wawancara atau berdialog dengan sikap terbuka untuk mencari pengertian dan kebenaran, memperkaya pengalamannya sendiri dengan pengalaman orang lain tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakini. Toleransi agama berakar dalam sejarah dan sikap suku-suku bangsa Indonesia. Tradisi toleransi dan kerukunan terbukti dalam Gerakan
Nasional dan Perang Kemerdekaan, waktu penganut segala agama bahu membahu berjuang membela Negara Proklamasi. Demikian juga semasa bersama-sama mempertahankan diri, waktu umat agama seluruhnya diancam komunisme. Tradisi luhur ini perlu dipertahankan dan dikembangkan dalam Negara Pancasila dan tidak boleh dikorbankan demi kepentingan politik sementara atau keuntungan fasilitas oleh pimpinan salah satu kaum agama. Said Aqil siraj, tokoh NU, dalam satu kesempatan pernah mengatakan bahwa Indonesia tanpa Islam, Kristen, Hindu dan Budha tidak dapat dibayang kan keberadaannya. 3. Dialog dan Kerjasama Dialog adalah bentuk komunikasi dari hati ke hati. Kiranya perlu dibedakan antara dialog dan diskusi. Dalam diskusi kita boleh adu pendapat, lebih banyak pikiran yang berperanan. Dalam dialog, kiranya hatilah yang berperanan. Dalam dialog, kita saling mengungkapkan pikiran dan perasaan untuk dapat saling mengerti. Dalam dialog, dielakkan sikap saling menuduh dan menyerang. Hasil dialog adalah lebih saling mengerti dan menghangatkan relasi dengan tidak perlu meninggalkan prinsip-prinsip dan keyakinan kita. Di dalam dialog tidak ada kata menang atau kalah. Hanya ada saling pengertian dan relasi yang semakin baik. Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
45
Dalam dialog antar agama, terdapat beberapa bentuk dialog yang dapat diperkembangkan yaitu: a. Dialog kehidupan Kita sering hidup bersama dengan umat beragama lain dalam satu lingkungan atau daerah. Dalam hidup bersama itu, kita tentu berusaha untuk bertegur sapa, bergaul, dan saling mendukung serta saling membantu satu sama lain. Hal itu dilakukan bukan saja demi tuntutan sopan santun dan etika pergaulan, tetapi juga tuntutan iman kita. Dengan demikian, terjadilah dialog kehidupan. b. Dialog karya Dalam hidup bersama dengan umat beragama lain, kita sering diajak dan didorong untuk bekerjasama demi kepentingan bersama atau kepentingan yang lebih luas dan luhur. Kita bekerjasama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan sosial karitatif, kegiatan rekreatif, dan kegiatankegiatan lainnya. Dalam kegiatankegiatan seperti itu, kita dapat lebih saling mengenal dan menghargai. c. Dialog iman Dalam hal hidup beriman, kita dapat saling memperkaya walaupun kita berbeda agama. Kenneth Cragg, seorang uskup Anglikan dan juga seorang Islamolog pernah berkata: Apa
46
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
yang anda pikirkan dan rasakan bila sayup-sayup mendengar suara azan dan menara mesjid? Kalau anda jujur dan cukup religius bukankah anda dapat terajak untuk berdoa? Ada banyak ajaran iman yang sama, ada banyak visi dan misi agama kita yang sama. Lebih dari itu semua, kita mempunyai perjuangan yang sama dalam menghayati ajaran iman kita. Dalam hal ini, kita dapat saling belajar, saling meneguhkan, dan saling memperkaya. Dialog yang benar berarti kesaksian iman, bukan perbandingan (atau konfrontasi) perumusan iman. Sebagaimana agama harus dimengerti “dari dalam”, dan pengalaman iman pribadi, begitu juga dialog antar agama pertama-tama berarti penghayatan iman bersama. Oleh karena itu, dialog antar agama, yang adalah dialog iman, tidak pernah dapat dilepaskan dari kasih dan pengharapan. Kasih sebagai tanda penyerahan kepada Tuhan; pengharapan sebagai keterbukaan untuk karya Roh, yang “bertiup ke mana Ia mau”. Apa kiranya dapat kita pelajari dan petik dari dialog-dialog ini? Di sini, disebut satu-dua manfaat yang dapat kita petik, antara lain: F Dari agama Islam, kita dapat belajar sikap pasrah kepercayaan yang teguh kepada Tuhan yang Maha Esa, ketekunan dalam berdoa secara
F
F
F
F
teratur, dan sikap tegar menolak kemaksiatan. Dari agama Kristen/katolik kita dapat belajar tentang kepercayaan akan Kerajaan Allah, dimana orang dapat percaya dan berharap tentang terciptanya suasana kasih tanpa batas terhadap Allah dan sesama yang menjamin kesejahteraan lahir bathin manusia. Dari agama Hindu dan Buddha (juga aliran Kepercayaan), kita dapat belajar, misalnya tentang penekanan pada hal-hal batin. Agama-agama Hindu dan Buddha (demikian juga agama-agama oriental lainnya) sangat menekankan doa batin, meditasi, kontemplasi, yoga, dan berbagai sendi bermeditasi lainnya yang sangat disukai dan dipraktikkan di seluruh dunia. Dari agama Konghucu (juga agama Buddha), kita dapat belajar tentang penekanan dan penghayatan umatnya pada hidup moral dan perilaku. Mereka sangat menekankan praktik hidup yang baik. Agama Konghucu dan agama Buddha adalah agama moral. Dari Aliran Kepercayaan dan agama asli, kita dapat belajar tentang kedekatan mereka pada alam lingkungan hidup. Agama asli percaya akan keharmonisan seluruh kosmis. Ada mata rantai kehidupan yang melingkupi seluruh alam raya, yang
tidak boleh dirusakkan. Maka, umat agama asli selalu membuat upacara sebelum mereka mengolah tanah atau menebang pohon, semacam tindakan minta izin kepada sesama saudara sekehidupan. Dalam gerakan melestarikan ekologi saat ini rupanya kita perlukan menimba inspirasi dari agama asli ini. F Kalau kita perhatikan dan melaksanakan semua usaha ini, dengan sendirinya akan tercipta persaudaraan yang sejati dan kerjasama antara pemeluk agama-agama. E. PENDIDIKAN AGAMA DALAM MASYARAKAT MAJEMUK Sesudah mendengar masukan yang sederhana dan mungkin kurang teratur ini, saya mengajak para pendidik untuk berdialog tentang bagaimana kita mendidik para anak didik kita untuk bersikap terbuka, toleran, inklusif dan pluralis dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam kehidupan beragama. Izinkan saya untuk memberikan satu dua catatan dalam hal ini: 1. Pendidikan untuk bersikap terbuka, toleran, inklusif dan pluralis, harus dimulai sejak usia dini. Kata orang sifat dan karakter seseorang secara dasariah terbentuk pada usia 0 s.d 4 tahun. Jadi pendidikan untuk sikap yang terbuka terhadap kemajemukan harus sudah dimulai dalam keluarga. Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013
47
Anak-anak tidak boleh dihasut untuk bersikap tertutup dan fanatik. 2. Pendidikan yang membentuk sikapsikap terbuka ini tidak cukup hanya secara verbal (dengan kata-kata), tetapi lebih-lebih dengan keteladanan, dengan kesaksian hidup. Kita sendiri harus bersikap terbuka. Sikap kita mewarnai suasana keluarga atau lembaga pendidikan kita. 3. Sikap-sikap yang perlu dibina dalam hubungan dengan penganut agama lain dapat disebut antara lain: a. Sikap terbuka untuk bergaul, berinteraksi dan berdialog.
b. Sikap solider sebagai sama-sama umat beriman, yang mengakui Tuhan yang sama, yang diimani oleh Ibrahim, bapa kaum beriman. c. Sikap adil, bahwa sebagai warga bangsa dan warga agama kita mempunyai hak dan peluang yang sama. d. Sikap positif, tidak berprasangka buruk dan menjauhkan pelbagai macam fobia (Islam fobia, Katolik fobia...dsbnya).
Pimpinan Dan Staf Komisi Kateketik Konferensi Waligereja Indonesia
Mengucapkan Selamat Natal 25 Desember 2013 dan Selamat Memasuki tahun Baru 2014
TUHAN BESERTA KITA 48
Praedicamus Vol. XII, No. 44, Oktober-Desember 2013