eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (1) 277-292 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
RESIKO IMPLEMENTASI PERUNDINGAN DAMAI MORO ISLAMIC LIBERATION FRONT DENGAN PEMERINTAH FILIPINA (2012-2016) Diana Anisa1 Nim. 0902045173 Abstract The results showed that the risk of the implementation of the peace talks conducted by the Moro Islamic Liberation Front and the Philippine government under the regime of president Benigno Aquino III 2012-2016 period, involved Malaysia as mediator and international actors with the asymmetric authonomy which given a huge authority by the central government is triggering the nations disintegration like ethnic conflict in Mindanao, the internal conflict inside Bangsa Moro and the Christian, the rejection of the implementation of Syariah Supreme Court by the Christians, the worriest of the exclusiveness government, or corruption, the decreasing of national income, a political conflict and a violence syndrome which approaching the election, the upcoming new separatism movement in the southeast, the obstacles from the opposition group which try to thwarf the peace and possioly stimulate the Bangsa Moro to demand a fun independence from Philippines. Keywords : Risk, Implementation, MILF, Philippines. Pendahuluan Filipina adalah negara kepulauan dengan luas wilayah 300.000km² mayoritas penduduk beragama Katolik 83%, Protestan 9%, Islam 5%, dan 3 % beragama lain (www.id.db-city.com). Paska kemerdekaannya pada tanggal 4 Juli 1946, pemerintah harus menghadapi ancaman pemberontakan dari gerakan separatis Muslim di Mindanao Filipina Selatan dan Tentara Rakyat Baru (New People's Army) yang beraliran komunis. Perlawanan yang paling krusial bagi Pemerintah adalah separatis Muslim Moro yang menyebabkan terjadinya konflik Mindanao. Adapun, faktor utama terjadinya konflik antara kelompok separatis Muslim Mndanao dengan pemerintah Filipina adalah karena adanya sentimen masa lalu di mana secara sepihak wilayah Mindanao dimasukkan ke dalam wilayah kesatuan Filipina oleh kolonial Amerika Serikat, sentimen agama yaitu adanya kebencian agama yang ditanamkan oleh Kolonial Spanyol kepada etnis Kristen Filipino untuk memusuhi etnis Muslim Moro dan diskriminasi pasca kemerdekaan. Oleh pemerintah Pusat yaitu penghapusan hukum adat Moro dan pendekatan represif oleh pemerintah yang menyebabkan terjadinya konflik. Konflik ditandai dengan terjadinya aksi saling 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
menyerag antara kelompok etnis Muslim Moro melawan pemerintah Pusat dan etnis Kristen Filipino sejak tahun 1960an yang berdampak pada kesatbilan keamanan, jatuhnya banyak korban jiwa dan menghambat pembangunan sehingga membuat pemerintah menggunakan pendekatan akomodatif dengan menempuh jalur damai dengan kelompok separatis Muslim. Negosiasi damai oleh pemerintah pertama kali dilakukan dengan MIM pada tahun 1968, kemudian MNLF tahun 1976 yang berlanjut sampai mencapai final peace agreement 1996 dengan hasil terbentuknya Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) dan negosiasi damai dengan MILF yang sedang berlangsung sampai saat ini dengan melibatkan aktor-aktor internasional seperti OKI, Muhammadiyah, The Hendry Dunant Center, Asian Foundation, IMT, ICG, Libia, Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, Turki, Brunei, Jepang, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, Australia, Norwegia, Uni Eropa dan lain-lain. Dalam negosiasi damai periode 2012-2016 Malaysia adalah sebagai mediator utama. Negosiasi damai tersebut menghasilkan formula otonomi khusus yang menggunakan sistem parlementer yang akan dijalankan berdasarkan hukum dasar Bangsamoro. Oleh karenanya, upaya perdamaian yang baru ini akan lebih efektif atau mungkin sebaliknya. Pada perjanjian tersebut Pemerintah pusat dan MILF menyepakati formula otonom khusus untuk mengakhiri konflik bersenjata, namun yang harus diwaspadai adalah adanya resiko-resiko yang muncul di dalam mengimplementasikan pemerintahan otonomi khusus setelah pemerintahan tersebut disahkan oleh Kongres. Hal ini yang menjadi alasan peneliti untuk meneliti resiko-resiko implementasi perundingan damai 2012-2016. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Pemetaan Konflik dan Penelusuran Konflik Konflik akan terus terjadi apabila tidak dilakukan pencegahan. Untuk itu perlu dilakukan analisa. Salah satu teknik analsa konflik adalah pemetaan konflik (Mapping Conflict). Pemetaan konflik merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk menganalisa konflik dalam pemecahan dan penyelesaan konflik. Pemetaan konflik, dalam kata-kata Wehr, adalah “langkah pertama dalam campur tangan untuk mengelola sebuah konflik tertentu”. Tindakan ini memberikan pada pihak yang ikut campur tangan dan pihak-pihak yang bertikai sebuah pemahaman yang lebih jelas tentang asal-usul, sifat, dinamika dan kemungkinan penyelesaian konflik (1979, 18). Pemetaan konflik juga merupakan metode menghadirkan sebuah analisa terstruktur terhadap konflik tertentu pada waktu tertentu pula.(Dalam Hugh Miall, 2000 : 142) Berdasarkan adaptasi dari Paul Wehr, panduan pemetaan konflik adalah Conflict Context, Parties, Causes and Consequences, Contrasting beliefs, Goals and Interests, Dynamics dan Functions.(www.Colorado.edu) Konsep Demokrasi a. Democratization and Peacebuilding- Timothy D Sisk Demokratisasi adalah langkah untuk peacebuilding pasca perang. Sebagaimana Timothy D. Sisk menyatakan bahwa ; ketika senjata telah diturunkan setelah perang sipil hari ini, kelompok yang bertikai sering memutuskan perselisihan di meja perundingan dalam ‘proses damai’ yang bergolak dan menyiksa. Ketika
278
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
pembicaraan sukses, penyelesaian damai mencapai langkah utama untuk memperkenalkan proses demokratisasi sebagai sistem jangka panjang menangani konflik sosial yang dalam. Demokratisasi adalah proses bertahap perkenalan politik partisipatori, termasuk pemilu dan pembuatan masyarakat sipil, politik pluralistik melalui ketaatan pada aturan main konstitusional. Mediator internasional dalam perang sipil hari ini, sering mendesak dan pihak yang melibatkan diri dalam perang sering menyetujui, bahwa solusi demokratik adalah cara yang mungkin untuk membuat ulang sistem resmi pada pemerintahan pasca perang. Beberapa pilihan yang digunakan dalam demokratisasi dan peacebuilding adalah (Timothy D Sisk dalam Chester A. Crocker, 2001: 785-788): 1. Partition Mengacu pada pembentukan sebuah Negara baru yang mendapatkan kedaulatan penuh dan pengakuan internasional. 2. Autonomy Otonomi adalah alat untuk memperbolehkan sebuah kelompok etnis atau sebuah kelompok lainnya untuk mengakui identitas tersendiri dalam mengambil alih langsung kontrol dalam hubungan penting dari mereka yang mengizinkan entitas terbesar untuk mengakomodasi kekuatan yang merupakan keinginan umum dari kedua sesi tersebut. Bentuk – bentuk dari otonomi termasuk Federalisme yang simetris, yang semua unit – unitnya menikmati kekuatan yang hampir sama; dan federalisme asimetris, yang mungkin menyediakan kekuatan yang ditinggikan untuk sebagian wilayah. 3. Power Sharing Merupakan sistem untuk menjamin keamanan kelompok di masyarakat multietnis. b. Desentralisasi Asimetris dan Otonomi Khusus Menurut Djohermansyah Djohan desentralisasi asimetris (asymmetric decentralization) bukanlah pelimpahan kewenangan biasa. Ia berbentuk pelimpahan kewenangan biasa. Ia berbentuk pelimpahan kewenangan khusus yang hanya diberikan kepada daerah-daerah tertentu. Secara empiric ia merupakan strategi komprehensif pemerintah pusat guna merangkul kembali daerah yang hendak memisahkan diri ke pangkuan ibu pertwi. Melalui kebijakan desentralisasi asimetris dicoba diakomodasi tuntutan dan identitas lokal ke dalam suatu sistem pemerintahan lokal yang khas. Dengan begitu, diharapkan perlawanan terhadap pemerintah nasional dan keinginan untuk merdeka dapat dieliminasi lewat sistem. (setneg.go.id) Budaya, etnik, ras, dan agama selalu membentuk deviasi sosial dari suatu daerah yang bersifat khusus berdasarkan sejarah yang terbentuk dengan elemen-elemen yang membedakannya dari komunitas lain. Mengabaikan karakteristik yang bersifat unik itu dapat mengganggu stabilitas pemerintahan dan menimbulkan disintegrasi bangsa. Dalam masyarakat majemuk, perbedaan-perbedaan daerah, suku, ras dan pertentangan pandangan hidup, saling memperkuat kecenderungan segresi. Upaya mengintegrasikan dengan memaksakan konsepsi nasional yang seragam justru semakin mendorong berkembangnya perlawanan terhadap pemerintah pusat.(setneg.go.id)
279
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
Otonomi daerah sendiri dapat diartikan sebagai hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. (Sarundajang, 1999 : 27) Otonomi adalah derivate dari sesentralisasi. Daerah-daerah otonom adalah daerah yang mandiri. Tingkat kemandirian diturunkan dari tingkat desentralisasi yang diselenggarakan. Semakin tinggi derajat desentralisasi, semakin tinggi tingkat otonomi daerah. (Rian Nugroho Dwidjowijoto, 2000 : 48) Konsep Implementasi Kebijakan Menurut Mazmanian dan Sabatier menyebutkan bahwa implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau badan peradilan lainnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan berbagai cara untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya.(Waluyo, 2007: 49) Menurut Patton dan Sawicki bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, Unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang telah dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan. Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dan program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9) Rippley dan Franklin menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu: 1. Prespektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan atas mereka. 2. Keberhasilan impIementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan. 3. Implementasi yang herhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan. (Tangkilisan, 2003:21)
280
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
Peters (1982) mengatakan, implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa faktor: 1. Informasi Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dan isi kebijakan yang akan dilaksankaannya dan basil-basil dan kebijakan itu. 2. Isi Kebijakan Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidak tepatan atau ketidak tegasan intern ataupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu. 3. Dukungan Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut. 4. Pembagian Potensi Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para aktor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang. (Tangkilisan, 2003:22) Metode Penelitian Jenis penelitian adalah deskriptif analisis untuk menggambarkan dan menganalisa konflik Mindanao dan upaya demokratisasi, dan jenis prediktif adalah untuk memprediksi potensi resiko implementasi dari perundingan damai 2012-2016. Jenis Data yang disajikan adalah data kualitatif dan kuantitatif yang berasal dari sumber sekunder hasil interpretasi data primer baik berupa buku, artikel dan akses media elektrnik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur yang berhubungan dan relevan dengan topik yang dibahas dalam skripsi penelitian ini. Teknik analisis data adalah analisis kualitatif yaitu menganalisa data sekunder menggunakan teori dan konsep untuk menjelaskan suatu kejadian yang sedang diteliti. Hasil Penelitian Pemetaan Konflik 1. Sejarah Konflik Sejarah konflik Filipina ditandai dengan kedatangan Negara-negara penjajah di Flipina seperti Spanyol, Amerika Serikat dan Jepang. Imperialisme Spanyol di Filipina berlangsung selama 350 tahun (1565-1898). (thamrin.kuliahkaryawan.info). Di tahun 1565, Spanyol datang ke Filipina melakukan imperialisme dengan mendirikan koloni dan melancarkan misionarisme, namun ketika Spanyol melakukan upaya ekspansi kekuasaan di bagian selatan, mendapat perlawanan keras dari Muslim Moro. Kemudian, Amerika Serikat melanjutkan imperialisme di Filipina yang berlangsung selama 50 tahun (1898-1946).(thamrin.kuliahkaryawan.info), pada masa pendudukan, Amerika mendirikan pemerintahan persemakmuran di Filipina. Selain itu, Jepang juga melakukan imperialisme di Filipina yang berlangsung selama 4 tahun (1941-1945). (digilib.uns.ac.id). Dan pada masa pendudukan Jepang terjalin persatuan antara kelompok Moro dan Kristen Filipino dalam
281
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
mengacau Jepang. Setelah, Jepang berhasil dikalahkan oleh rakyat Filipina dengan bantuan dari Amerika, Filipina dberikan kemerdekaan oleh Amerika. Negara Flipina diproklamasikan sebagai Republik yang merdeka pada tanggal 4 Juli 1946. (Majul, 1989 : 23). Namun, pemerintahan Filipina yang baru merdeka pada waktu itu ditandai dengan permusuhan antara kelompk Moro dengan kelompok Kristen Filipino sehingga terjadi beberapa peristiwa. Pada masa rezim Ferdinand E Marcos, Maret 1968, terjadi peristiwa Jabidah Massacare yaitu pembunuhan 23 orang Muslim oleh pemerintah Filipina. (www.rappler.com). Akibat ketidakadlan pemerintah terhadap Moro menyebabkan perlawanan Moro yang ditandai dengan terbentuknya MIM sebagai gerakan separatis pertama yang memperjuangkan aspirasi Bangsamoro secara legal dan damai, mendapat banyak dukungan dari rakyat Mindanao. Kemudian Pemerintah memberlakukan kebijakan Martial Law yakni operasi militer yang menargetkan masyarakat muslim Mindanao dan mempersenjatai Kristen Visayan, Illaga dan mengirimkan tentara-tentara untuk menyerang kelompok Islam yaitu Blackshirt dan Barracuda. Pertempuran ditandai dengan beberapa insiden; 1. Insiden Upi yakni pembunuhan terhadap enam orang Islam pada Maret 1971 oleh penetap Visayan. 2. Penyerangan barrio-barrio yakni pembunuhan dan pengusiran besar-besaran terhadap orang-orang Islam pada Juni 1971 oleh tentara Illaga.70 orang Islam dibunuh di dalam masjid. 3. Aktifis-aktfis Bangsamoro menyusun manifesto yang diterbitkan pada tanggal 2 Juli 1971 di Manila Times.( Majul, 1989:37-53) 2. Akar Konflik Adapun, konflik di Mindanao terjadi bermuara pada ketidak adilan yang bersumber dari masa lalu yang menyebabkan sentiment masa lalu, perbedaan agama dan kebijakan pemerintah pasca kemerdekaan. a. Sentimen Masa lalu Sentimen masa lalu yakni ketidak adilan kolonialisasi Spanyol dan Amerika yang berpihak kepada kelompok Kristen Filipino daripada kelompok Moro. pada masa kolonialisasi, Spanyol mengambil alih secara paksa tanah Moro, melakukan tindak kekerasan, pembantaian, mengambil alih kekuasaan, menganak tirikan etnis Muslim dari etnis Kristen Filipino atau indio, dan berkerjasama dengan indio untuk memerangi Moro yang ditandai dengan terjadinya “Perang Moro. Kemudian, kekuasaan imperalisme beralih ke colonial Amerika. Pada masa kolonialisasi, Amerika melakukan imigrasi secara besar-besaran etnis Kristen Filipino utara dan tengah ke Pulau Mindanao dan Kepulauan Sulu, Hal tersebut sebagai upaya untuk meminoritaskan rakyat Moro yang merupakan pemilik tanah Mindanao. Oleh karena itu Moro menjadi minoritas di tanah sendiri. Kemudian, kolonial Amerika, menerapkan sistem pendidikan Barat sekuler yang bertentangan dengan sistem pendidikan Islam yang diterapkan oleh Bangsamoro. Pada masa transisi kemerdekaan, Amerika Serikat mendukung Filipina untuk secara administratif menggabungkan wilayah Mindanao
282
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
kedalam kesatuan wilayah Filipina tanpa memberitahu pihak Moro. Atas hal tersebut, Moro mengajukan petisi dan Amerika Serikat tidak menerima petisi yang diajukan Moro agar wilayah Mindanao tidak dimasukkan dalam wilayah Filipina, yakni petisi masyarakat Sulu, Zamboanga Declaration dan Dansalan Declaration. b. Sentimen Agama Sentimen agama yang ada antara Kristen Filipino dengan Moro terjadi karena adanya doktrin agama oleh Spanyol kepada Indio. Kristen Filipino melakukan penyerangan kepada Muslim Mindanao karena motif Agama yang didoktrin oleh Spanyol untuk melakukan pelayanan Agama yang tercermin dari perang salib abad pertengahan dan Presiden Manuel Quezon menghapuskan hukum Muslim Moro denagn menerapkan undang-undang nasional sebagai upaya doktrinisasi. c. Diskriminasi dan Marginalisasi Selain adanya sentmen masa lalu dan sentimen agama, konflik juga disebabkan karena diskriminasi dan marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Filipina pasca kemerdekaan, diantaranya adalah sebagai berikut; 1. Pemberlakuan hukum positif Filipina yang menghapuskan hukum Islam dan hukum adat Moro. 2. Undang-undang agrarian seperti Akta Tanah 1902, Akta Komisi Philipina No. 718 dan Akta Tanah Umum 1903 yang mengatur tata pengelolaan pemilikan tanah yang baru. UU Agraria tersebut menyatakan pembatalan terhadap bukti kepemilikan tanah yang didasarkan kepada hukum adat Moro.(Surwandono, 2013:46) 3. Pada masa rezim Ferdinand E Marcos, Maret 1968, terjadi peristiwa Jabidah Massacare yaitu pembunuhan 23 orang Muslim oleh pemerintah Filipina. (www.rappler.com) 4. Kebijakan Martial Law pada tahun 1972. Undang-undang darurat perang yang menargetkan Bangsamoro. Karena besarnya reaksi terhadap pembunuhan Jabidah. Pihak-pihak yang Terlibat Konflik a. Pihak Utama Pihak utama yang terlibat dalam konflik Mindanao adalah gerakan-gerakan separatis Muslim Moro yang didirikan oleh beberapa pemimpin Moro yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak Bangsamoro secara terorganisir sejak tahun 1968. Adapun pihak utama yang terlibat konflik adalah Moro Islamic Movement (MIM), Bangsa Moro Liberation Organizaton (BMLO), Moro National Liberation Front (MNLF), Moro Islamic Liberation Front (MILF), Moro National Liberation Front-Reformist Group (MNLF-Reformist), Abu Sayyaf Group (ASG), Bangsamoro Islamic Freedm Fighter (BIFF), dan Pemerintah Filipina. Pertama, MIM didirikan pada tahun 1968 oleh Datu Udtog Matalam. (philippinereporter.com). MIM Bertujuan untuk memperjuangkan aspirasiaspirasi Islam, menuntut keadilan dan kemerdekaan di Mindanao. Kemudian
283
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
MIM berdamai dengan pemerintah untuk mengakhiri konflik diantara mereka. Namun, kemputusan tersebut menyebabkan gerakan MIM terpecah menjadi beberapa gerakan, diantaranya adalah BMLO, MNLF, MILF, MNLF-RG dan ASG. Kedua, BMLO didirikan pada tahun 1971 (philippinereporter.com) oleh Salipada Pendatum dan Rashid Luqman dari Lanao del Sur (Majul , 1989 : 93) yang bertujuan untuk membentuk negara Islam di Mindanao. Ketiga, MNLF secara resmi didirikan pada tahun 1972 sebagai gerakan pembebasan nasional dari Muslim di Filipina.(Banlaoi , 2009:50). pada awalnya bertujuan untuk mendirikan Negara merdeka di Mindanao, namun kemudian berdamai dengan pemerintah dan menerima otonomi diperluas. Pilihan politik yang diambil oleh Nur Misuari tersebut ditolak oleh pemimpin lain yang tetap menginginkan Negara merdeka yaitu Hasim Salamat yang kemudian membentuk MILF bersama pemimpin lainnya yakni Murad Ebrahim. Keempat, MILF secara resmi dibentuk pada tahun 1977 setelah memisahkan diri dari MNLF.(people.opposingviews.com). Pada awalnya MILF bertujuan untuk memisahkan diri dari Filipina dengan mendirikan Negara Islam di Mindanao. Namun kemudian berdamai dengan pemerintah dengan tawaran pemberian pemerintahan otonomi khusus untuk Bangsamoro di Mindanao. Adapun, Selain Hasim Salamat dan Murad Ebrahim yang memisahkan diri dari MNLF pimpinan Nur Misuari, hal yang sama juga dilakukan oleh Dimas Pudato. Kelima, Dimas pundato adalah wakil ketua MNLF dari muslim Maranao dari Lanao del Sur. Pada Maret 1982, ia memutuskan hubungan dengan Misuari dan membentuk kelompok MNLF-Reformis Group (RF). Kelompok ini dipimpin oleh elit Maranao. MNLF-RF bertujuan untuk membangun masyarakat Islam dalam provinsi Moro berdasarkan syariah oleh negosiasi dengan kelompok tersebut.(Ferrer dalam Robert Day McAmis : 95). Namun, MNLF kemudian berdamai dengan pemerintah dan mendukung perdamaian dan demokrasi. Keenam, ASG didirikan pada tahun 1991 oleh anggota radikal MNLF yang keberatan dengan negosiasi MNLF dengan pemerintah Filipina. Karena kecenderungan ASG yang menggunakan taktik kekerasan, termasuk pemboman dengan profil yang tinggi, serangan bersenjata, pembunuhan, dan pemenggalan kepala, hal ini terlihat menjadi lebih radikal daripada kelompok induknya.(www.start.umd.edu). Diduga, ASG memiliki hubungan dengan jaringan teroris seperti Al-Qaidah, Jemaah Islamiyah (JI) dan ISIS. Ketujuh, BIFF adalah kelompok yang memisahkan diri dari MILF yang telah diakui oleh MILF. BIFF memiliki kekuatan 300 pejuang yang dipimpin oleh gerilyawan terlatih Umrah Ameril Kato, seorang mantan komandan MILF yang menentang perundingan perdamaian antara pemerintah dan MILF. BIFF memisahkan diri dari MILF pada tahun 2008 setelah penandatanganan yang gagal dari Memorandum of Agreement pada Ancestral Domain (MOAAD).(www.globalsecurity.org).
284
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
Kedelapan, dalam konflik Mindanao, Pemerintah Filipina, selama lima rezim Pemerintahan Filipina dalam upaya melindungi keamanan Nasional dan menyelesaikan konflik Mindanao melalui pendekatan konfrontatif dan akomodatif. Pemerintah Filipina mempertahankan wilayah Mindanao karena populasi etnis Kristen Filipino banyak di Mindanao, merupakan wilayah terbesar kedua yang tersubur dan memiliki cadangan sumber daya alam terbesar yang sangat mempengaruhi pendapatan nasional Filipina. Sebesar 60% tanaman utama (karet, kakao, nanas, pisang, singkong, kopi, jagung dan kelapa) yang dihasilkan di Filipina berasal dari Mindanao. Mindanao memiliki 16 sungai utama yang menghasilkan ribuan ton ikan setiap hari. (panaghiusa.org). Mindanao memiliki cadangan terbesar di Negara itu dari mineral berikut: Tembagas 5 miliar ton, Emas 3-4 miliar ton, aluminium 292 juta ton, dan Besi 411 juta ton.(panaghiusa.org) b. Pihak Kedua Terdapat dua kelompok yang berperan sebagai pihak kedua dalam konflik Mindanao yaitu Kelompok Kristen Filipino yang merupakan masyarakat yang berasal dari utara adalah kelompok bersenjata yang bekerjasama dengan pemerintah untuk memerangi kelompok Moro, mereka memiliki kepentingan secara politik, ekonomi dan sosial di Mindanao dan Etnis Lumads yang merupakan etnis pribumi minoritas di Mindanao berada dalam tarik-menarik kekuatan Moro dan kekuatan Kristen Filipino. c. Pihak ke Tiga Pihak ketiga yang terlibat dalam konflik Mindanao berasal dari dunia Islam maupun dari yang lainnya. Seperti, OKI, Libia, Indonesia, Malaysia, Amerika Serikat, Jepang, Negara Eropa, dan lain-lain. Proses Perundingan Damai GRP-MILF Proses perundingan damai GRP-MILF berlangsung selama 5 rezim periode pemerintahan Filipina. Perundingan damai tersebut dapat ditandai dari beberapa hal seperti, dicapai perjanjian gencatan senjata pada 17 Januari 1987, kemudian, MILF membentuk dewan perdamaian pada Desember 1992, selanjutnya dicapai kesepakatan MalMar menyangkut proyek irigasi pada 29 Januari 1995. (www.crisisgroup.org) Pada 3 Agustus 1996 pertemuan pertama antara sekertaris ekskutif GRP, Rubin Torres dan wakil ketua MILF, Ghazali Jafaar, di Davao City, dibentuk Komite Teknis GRP dan MILF untuk penciptaan perdamaian, dicapai kesepakatan General Framework of Agreement of Intent between the GRP and the MILF pada 27 Agustus 1998 yang mengantarkan sampai pada dicapainya Agreement on Join Effort to Pursue a Just, Equitable and Lasting Peace pada 2 September 1999 di Sultan Kudarat yang berlanjut pada peresmian perdamaian di Dawah Centre, Simuay, Sultan Kudarat, Maguindanao pada 25 Oktober 1999. Namun, perjanjian damai terhenti ketika terjadi perang besar-besaran pada kurun waktu antara 27 April-9 Juli 2000. (www.crisisgroup.org)
285
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
Pada Juli 2008, MILF dan pemerintah Filipina sepakat untuk memperluas wilayah otonomi Muslim dengan dicapainya kesepakatan Memorandum of Agreement on Ancestral Domain (MOA-AD).(www.kompasiana.com). Namun, pada 4 Agustus 2008, Mahkamah Agung Filipina menolak pemberlakuan MOA-AD. Akibatnya, ketegangan kembali terjadi di Cotabato Utara, Lanao del Norte, dan Sarangani yang menewaskan sedikitnya 30 orang. Pada 2008 hingga 2009, terjadi 43 kali konflik bersenjata antara militer Filipina dan pejuang Moro. (www.republika.co.id ). Kemudian perundingan damai dibuka kembali yaitu pada masa rezim Pemerintahan Presiden Benigno Aquino III (2010-2016), dicapai kesepkatan damai Framework Agreement on The Bangsamoro (FAB) 2012, Comprehensive Agreement on The Bangsamoro (CAB) 2014, Bangsamoro Basic Law (BBL) 2014. Hasil Perundingan Damai GRP-MILF 2012-2016 tahun tentang. 1. Framework Agreement on The Bangsamoro 2012 (c-r.org) FAB ditandatangani oleh juru runding pemerintah, Marvic Leonen, dan juru runding MILF, Moghager Iqbal, di istana Malacanang Manila, pada senin (15/10). (www.bbc.com). Penandatangan disaksikan oleh Presiden Filipina Benigno Aquino III, pemimpin MILF, Al Haj Murad Ebrahim yang pertama kalinya menginjakkan kaki di istana dan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak. Malaysia menjadi penengah perundingan sehingga dicapai kesepakatan awal tersebut. (www.bbc.com) Adapun poin-poin FAB 2012 adalah pasal 1 mengenai pembentukan pemerintahan Bangsamoro, pasal 2 pemerintahan Bangsamoro akan diatur berdasarkan Undang-Undang Dasar, pasal 3 mengenai kekuasaan, pasal 4 mengenai Pajak Pedapatan dan Pembagian kekayaan, , pasal 5 mengenai Wilayah, pasal 6 mengenai Hak Dasar, pasal 7 mengenai Transisi dan Implementasi, pasal 8 mengenai Normalisasi, dan pasal 9 mengenai ketentuan hal-hal lain, bahwa perjanjian ini tidak akan diimplementasikan secara sepihak dan para pihak berkomitmen untuk bekerja lebih lanjut untuk merincikan kerangka perjanjian damai dengan knteks dari dokumen ini dan melengkapi perjanjian komprehensif pada akhir tahun. 2. Comprehensive Agreement on The Bangsamoro 2014 Panel perdamaian dipimpin oleh ketua MILF Mogagher Iqbal dan Miriam Coronel Ferrer menandatangani perjanjian damai. Sementara presiden Filipina Benigno Aquino III, Ketua MILF Murad Ebrahim dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak berdiri sebagai saksi dalam acara yang dibuat setelah 7 tahun.(www.rappler.com) Adapun CAB adalah dokumen 5 halaman yang terdiri dari 12 perkara diantaranya adalah sebagai berikut; 1. Perjanjian penghentian permusuhan umum yang ditandatangai pada 18 Juli 1997 di Cagayan de Or City, Filipina. 2. Kerangka umum dari maksud perjanjian antara Pemerintah Republik Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro ditandatangani pada 27 Agustus 1998 di Sultan kudarat, Maguindanao, Filipina.
286
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
3. Perjanjian pada kerangka umum pada penerusan pembicaraan damai yang dtandatangani pada 24 Maret 2001 di Kuala Lumpur, Malaysia. 4. Perjanjian Damai antara Pemerintah Republik Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro yang ditandatangani pada 22 Juni 2001 di Tripoli, Libia. 5. Deklarasi kelanjutan untuk negosiasi perdamaian antara Pemerintah Republik Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro yang dtandatangani pada 3 Juni 2010 di Kuala Lumpur, Malaysia. 6. Poin-poin keputusan pada Hukum Dasar oleh GRP-MILF selama April 2012 ditandatangani pada 24 April 2012 di Kuala Lumpur, Malaysia. 7. Kerangka Perjanjian Bangsamoro yang diparaf pada 12 Oktober 2012 di Kuala Lumpur, Malaysia dan ditandatangani pada 15 Oktober 2012 di Manila, Filipina. 8. Tambahan pada Susunan Transisi Perjanjiandan Cara yang ditandatangani pada 27 Februari 2013 di Kuala Lumpur, Malaysia. 9. Tambahan pada Generasi Pendapatan dan pembagian kekayaan yang ditandatangani pada 13 Juli 2013 di Kuala Lumpur, Malaysia. 10. Tambahan pada Pembagian Kekuasaan yang ditandatangani pada 8 Desember 2013 d Kuala Lumpur, Malaysia. 11. Tambahan pada Normalisasi yang ditandatangani pada 25 Januari 2014 di Kuala Lumpur, Malaysia 12. Lampiran pada Perairan Bangsamoro yang ditandatangani pada 25 Januari 2014 di Kuala Lumpur, Malaysia. (peacemaker.un.org) 3. Undang-Undang Dasar Bangsamoro/ Bangsamoro Basic Law 2014 Komisi bersama yaitu Komisi Transisi Bangsamoro yang telah dibentuk oleh Pemerintah dan MILF telah merancang undang-undang dasar Bangsamoro atau BBL (Bangsamoro basic law). BBL adalah undang-undang yang akan digunakan untuk menjalankan pemerintahan otonomi khusus di Mindanao. BBL berisi 17 pasal mengenai ketentuan-ketentuan yang diusulkan berdasarkan House Bill No 4994 yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan pemerintah Filipina dalam kongres ke 16 pada 30 September 2014. (jlp-law.com) Adapun poin-poin Undang-undang Bangsamoro adalah, pasal 1 mengenai Nama dan tujuan, pasal 2 mengenai Identitas Bangsamoro, pasal 3 Wilayah Bangsamoro, pasal 4 mengenai Prinsip Umum dan Kebijakan, pasal 5 mengenai Kekuasaan Pemerintahan, pasal 6 mengenai hubungan Pemerintah Pusat dan Lokal adalah asimetris, pasal 7 yaitu Pemerintahan Bangsamoro memiliki otoritas khusus dalam rekruitmen kursi legislatif dan ekskutif, pasal 8 mengenai Wali, Pasal 9 mengenai Hak Dasar, pasal 10 mengenai Sistem Peradilan Bangsamoro,Pasal 11 mengenai Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, pasal 12 mengenai Otonomi Fiskal dengan kekhususan dana perimbangan daerah, pasal 13 mengenai Ekonomi dan Pusaka berdasarkan keadilan, pemerataan dan berkelanjutan, Pasal 14 mengenai Rehabilitasi dan Pembangunan, pasal 15 mengenai Plebisit, pasal 16 mengenai Otoritas Transisi Bangsamoro, dan pasal 17 mengenai Amandemen dan Revisi. Keterpisahan kalusul dimana apabila ada ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional maka tidak mempengaruhi bagian lain, sehingga tetap berlaku sepenuhnya.
287
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
Resiko Otonomi Milf oleh Filipina A. Pemerintahan Otonomi Khusus yang Ditawarkan oleh Pemerintah Filipina kepada MILF Otonomi khusus yang ditawarkan adalah sebagai kebebasan Bangsamoro untuk mengatur, mengelola, dan mengurus rumah tangganya sendiri, membuat hukum, undang-undang, mengatur ketertiban dan keamanan dengan menjalankan pemerintahannya sendiri secara mandiri dengan kewenangan yang luas dalam hal birokrasi, politik, legislatif, ekskutif, perekonomian, sosial, pendidikan, kesehatan dan sumber daya alam. Melalui otonomi khusus juga diharapkan akan dapat meningkatkan dan mengakselerasi ketertinggalan pembangunan di Mindanao. Berdasarkan rancangan Undang-Undang Dasar Bangsamoro House Bill No. 4994 yang telah dibuat dan diajukan oleh pemerintahan transisi Bangsamoro, otonomi tersebut akan memiliki keistimewaan dan kewenangan khusus yang diusulkan. Pertama, hak ekslusif Bangsamoro yang terdiri dari hak entitas Bangsamro dan Ancestral Domain Bangsamoro di mana pemerintahan yang akan dibentuk adalah pemerintahan entitas Bangsamoro maka berdasarkan pemerintahan tersebut kelompok Moro yang mendapatkan hak ekslusif. Berdasarkan pasal 2 dari BBL yang mendefinisikan orang-orang Bangsamoro ialah “Mereka yang pada saat penaklukan dan kolonialisasi dianggap pribumi atau penduduk asli Mindanao dan kepulauan Sulu dan pulau-pulau yang berdekatan termasuk Palawan, dan keturunan mereka, apakah yang berdarah campuran atau lengkap, berhak untuk mengidentifikasikan diri mereka sebagai Bangsamoro.” Hal tersebut berimplikasi pada Ancestral Domain Bangsamoro. Berdasarkan Pasal 9 yang mendefinisikan secara ekslusif jaminan hak-hak dasar kepada Bangsamoro. Pada ayat 4 mengenai keadilan transisi yang dapat memberikan wewenang kepada Bangsamoro untuk memiliki kembali Ancestral Domain dan tanah leluhur yang dimiliki sebelum kedatangan orang-orang Spanyol pada tahun 1521. Kedua, Kekuatan Eksklusif Pemerintahan Bangsamoro. Yakni ketentuan untuk memiliki lambang bendera, simbol dan lagu sendiri. Adapun bentuk pemerintahan Bangsamoro adalah Self Governance dengan pola hubungan yang Asimetris. Berdasarkan Pasal 7 BBL, bentuk pemerintahan Bangsamoro adalah sistem pemerintahan parlementer yang terpisah dari pemerintahan Nasional. Pemerintahan Bangsamoro akan diperkuat dengan beberapa badan independen. Seperti Badan Parlemen Bangsamoro, yaitu kekuasaan pemerintahan Bangsamoro akan di pegang oleh DPR. Berdasarkan pasal 7, ayat 4. Komposisi Parlemen harus terdiri dari setidaknya enam puluh (60) anggota, kecuali ditentukan lain oleh Parlemen. Parlemen akan melaksanankan fungsi legislatif dan ekskutif. Otoritas legislatif, di mana parlemen berwenang untuk membuat undang-undang dan otoritas ekskutif harus dilaksanakan oleh kabinet, yang akan dipimpin oleh menteri kepala. Dengan menggunakan sistem pemerintahan parlementer, Bangsamoro akan memiliki dewan pemimpin sendiri. Berdasarkan pasal 7, ayat 5, “ Dewan Pimpinan Bangsamoro terdiri dari menteri kepala, gubernur, walikota, perwakilan masyarakat adat non-Moro, perwakilan perempuan, perwakilan masyarakat pemukim dan sektor lainnya….”.
288
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
Selain badan parlemen, Bangsamoro akan memiliki Komisi pemilihan umum, komisi hak asasi manusia, badan audit sendiri, badan kepolisian, dan Mahkamah Syariah. Komisi pemilihan umum yang diatur berdasarkan pasal 7, ayat 9. Kode Pemilihan Bangsamoro. Menciptakan lembaga independen seperti komisi pemilihan umum. Dengan ini memungkinkan untuk memiliki kantor Pemilihan Bangsamoro dan menyediakan ruang untuk partai politik lokal, Komisi hak asasi manusia diatur berdasarkan pasal 9, ayat 7. Komisi Hak Asasi Manusia Bangsamoro. Berdasarkan ketentuan tersebut memungkinkan Bangsamoro untuk memiliki badan komisi hak asasi manusia independen yang melaksanakan fungsi untuk perlindungan hak asasi di Bangsamoro dan Badan audit sendiri diatur berdasarkan pasal 5, memungkinkan Bangsamoro memiliki badan audit sendiri yang bertanggungjawab atas dana publik. Kemudian mengenai Badan Kepolisian berdasarkan Pasal 9 BBL diatur pembentukan badan keamanan khusus daerah otonom, yaitu kepolisian Bangsamoro. Kepolisian Bangsamoro dapat mengelola birokrasinya sendiri yaitu Polisi Bangsamoro akan berada di bawah Komisi Polisi Bangsamoro yang anggotanya akan ditunjuk oleh Menteri Kepala. Pasal 5 Ayat 6, komposisi badan tersebut terdiri dari sebelas anggota. Enam di antaranya dari Parlemen Bangsamoro, sementara lima lainnya diambil dari sektor lain. Semua anggota harus ditunjuk oleh Menteri kepala dan diumumkan oleh Parlemen Bangsamoro. Dan dana yang besar dikucurkan untuk membangun kekuatan kepolisian Bangsamoro sebesar 187 miliar peso. Sedangkan, Mahkamah Syariah ditaur berdasarkan pasal 10, Bangsamoro akan memiliki sistem peradilan sendiri berdasarkan syariat Islam yang akan diterapkan hanya pada muslim saja, hukumnya bersumber dari Al-Quran, Al-Sunnah, Al-Qiyas dan Al-Ijma. Ketiga, mengenai Wilayah Bangsamoro. Berdasarkan Pasal 3 BBL mengatur bahwa wilayah inti Bangsamoro adalah teritorial ARMM. Ketentuan dalam pasal 3 Ayat 2 poin d, bahwa daerah yang berdekatan dengan wilayah inti dapat bergabung dengan Bangsamoro. Syaratnya, 10 persen warga bersedia untuk bergabung yang dapat dilakukan dengan dua mekanisme, yaitu petisi dan resolusi. Keempat, mengenai Pemekaran. Berdasarkan pasal 6, ayat 8 mengenai pemekaran. Memungkinkan adanya pemekaran. Kelima, mengenai Sumber Penerimaan Bangsamoro terdiri atas pendapatan asli daerah, dana pinjaman, dana hibah, dan lain-lain juga memperoleh dana perimbangan daerah. Berdasarkan pasal 12 bagian 10 bahwa ketentuan pembagian hasil pemungutan pajak sumber daya alam sebesar 25% untuk pemerintah Pusat dan 75% untuk Bangsamoro, termasuk saham dari unit pemerintah daerah. Dari bahan bakar fosil dan uranium 50%. Dana Pengembangan Khusus untuk rehabilitasi dan tujuan pembangunan dari pemerintah Pusat untuk Bangsamoro, yang dimulai tahun kedua sebesar Sepuluh Miliar Peso (Php10,000,000,000.00) yang harus dibayarkan kepada Pemerintah Bangsamoro selama lima (5) tahun, pada tingkat Dua Miliar Peso (PhP2,000,000,000.00) pertahun.
289
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
Keenam, mengenai pengangkatan Wali yang diatur Berdasarkan pasal 8 yaitu kekhususan pengangkatan Wali dari Bangsamoro yang berfungsi secara seremonial sebagai kepala Titular. Ketujuh, mengenai Perekenomian dan Warisan yang diatur berdasarkan pasal 13, Parlemen Bangsamoro memiliki kewenangan untuk membuat hukum yang berkaitan dengan ekonomi dan warisan Bangsamoro yang responsif terhadap kebutuhan rakyatnya, meliputi sumber daya alam, perdagangan dan industri, sistem perbankan dan keuangan, serta transportasi dan komunikasi. B. Resiko Implementasi Pemerintahan Otonomi Khusus Implementasi pemerintahan otonomi khusus pada akhirnya akan berpotensi mengakibatkan disentegrasi Bangsa. Adapun beberapa resiko impelementasi otonomi khusus Bangsamoro seperti terjadinya konflik yaitu, potensi konflik antar etnis yaitu otonomi khusus yang bernuansakan etnisitas dalam hal ini adalah etnis Moro sebagai basis dari pemerintahan otonomi khusus yang mendapatkan hak eksklusif sebagaimana dalam pasal 2 dan 9 dalam BBL, maka akan memicu timbulnya konflik etnis di Mindanao antara Moro, Lumads dan Kristen Filipino yang disebabkan karena adanya arogansi, kecemburuan, sentimen dan kepentingan dari masing-masing etnis di Mindanao. Kemudian, potensi terjadinya konflik internal kelompok Moro maupun kelompok Kristen Filipino karena tidak semua dari kalangan Muslim maupun Kristen dapat menerima kesepakatan damai, Kemudian, terjadinya penolakan penerapan sistem peradilan syariah dari kalangan Kristen Nasionalis oleh karena melanggar prinsip konstitusi pemisahan Gereja dan Negara, kekhawatiran tidak adanya inklusifitas karena Bangsamoro sebagai basis dari pemerintahan Bangsamoro, potensi terjadinya korupsi karena luasnya kewenangan keuangan dan ekonomi yang dimiliki pemerintah otonom dan menyebabkan lemahnya kewenangan pemerintah pusat, Kerugian bagi pemerintah Pusat Filipina karena berkurangnya pendapatan daerah yang disebabkan pembagian yang sedikit dari hasil pengelolaan sumber daya alam sementara Pusat harus memberikan dana yang besar ke daerah otonomi khusus. Wilayah otonomi khusus yang terdiri dari beberapa kelompok yang saling berperang dapat beresiko terjadinya pertarungan politik dan sindrom kekerasan menjelang penyelenggaraan PILKADA di Mindanao yang dilihat dari konflikkonflik yang telah terjadi antara etnis Moro-etnis Kristen Filipino maupun antar klan. Otonomi khusus yang bernuansa etnisitas ini juga berpotensi munculnya separatisme baru di Mindanao yang berangkat dari pemekaran yang dapat memicu pada terbentuknya separatisime untuk menuntut pemisahan diri di wilayah Mindanao dan Kesultanan Sulu yang berpotensi menjadi separatis baru karena wilayah leluhurnya terancam oleh kesepakatan damai antara MILFFilipina yang difasilitasi oleh Malaysia akan menghapuskan wilayah Sulu dari kesatuan Filipina, sehingga dapat dimiliki oleh Malaysia. Selain itu, dapat menyebabkan konflik antar daerah yang ditimbulkan dari kecemburuan dari daerah lain dan dapat menjadi pemicu bangkitnya separatis bernuansa komunis di
290
Resiko Implementasi Perundingan Damai Moro Islamic Liberation Front - Filipina (Diana A)
bagian tenggara yang dilakukan oleh CCP (Communist Central Party) untuk menuntut hal yang sama atau bahkan kemerdekaan kepada pemerintah pusat. Implementasi otonomi khusus mendapat hambatan dari kelompok penentang yang berusaha untuk menggagalkan perdamaian yaitu dari kalangan konservatif dari Kristen Filipino maupun separatis Muslim Moro. Lebih dari semua resiko yang ada, hal yang paling ditakutkan pada impelemtasi pemerintahan adalah dapat berpotensi memicu Bangsamoro untuk menuntut kemerdekaan penuh di Mindanao mengingat luasnya cakupan otonomi yang diberikan. Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa MILF dan pemerintahan Presiden Benigno Aquino III telah memperoleh titik temu dalam kompromi mereka melalui proses perundingan yang difasilitasi dan dimediasi oleh pemerintah Malaysia. MILF menurunkan tuntutan mereka dari Self-determination menjadi Self-government. Sehingga wilayah Mindanao tetap terintegrasi ke dalam wilayah kesatuan Filipina. Dengan kata lain wilayah tersebut tetap berada pada kekuasaan Filipina, tetapi melalui penerapan demokrasi lokal di mana pemerintah pusat memiliki sedikit interfensi pada pemerintahan entitas Bangsamoro. Pemerintahan tersebut dijalankan berdasarkan Bangsamoro Basic Law. Dengan demikian Bangsamoro memiliki status yang eksklusif sebagai penghargaan kepada mereka atas sejarah, identitas dan pejuangannya. Pemerintahan tersebut bertujuan untuk menciptakan keadilan sosial dan meningkatkan kesejahteraan di Mindanao dengan kewenangan-kewenangan khusus di segala bidang dan pemberian dana perimbangan daerah yang besar . Namun demikian, otonomi khusus juga dibayangi dengan adanya resiko-resiko implementasi yang diwarnai konflik, penolakan-penolakan, penyalahgunaan wewenang seperti korupsi, kecemburuan dari daerah lain, bangkitnya separatis bernuansa komunis, munculnya separatisme baru, penuntutan kemerdekaan secara penuh oleh Bangsamoro sehingga pada akhirnya pemberian otonomi khusus tersebut akan berpotensi mengakibatkan disentegrasi Bangsa. Referensi Buku Hugh Miall, dkk. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Majul, Cesar Adib. 1989. Dinamika Islam Filipina. Jakarta : LP3ES. Rian Nugroho Dwidjowijoto. 2000. Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Sarundajang . 1999. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta:Sinar Harapan. Surwandono. 2013. Manajemen Konflik Separatisme :Dinamika Negosiasi dalam penyelesaian Konflik Mindanao. Yogyakarta : Jusuf Kalla School of Government dan Pustaka Pelajar.
291
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016:277-292
Waluyo. 2007. Manajemen Publik. Bandung : CV. Mandar Maju. Sumber Internet BBC Indonesia, 2012, “Filipina Capai Kesepakatan dengan MILF” (Online), (http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2012/10/121015_philippines_rebels.sht ml, diakses 10 September 2015 ) Conciliation Resources, 2012, “Framework Agreement on The Bangsamoro” (Online), (http://c-r.org, diakses 22 Oktober 2015) DB.City.com, “Filipina”, (Online), ( http://id.db-city.com/Filipina, diakses 2 Juni 2014 ) Djohermansyah Djohan, 2010,“Desentralisasi Asimetris Ala Aceh” (Online), (setneg.go.id, diakses pada 02 Maret 2016) Panaghiusa, “Why Mindanao” (Online), (panaghiusa.org, 13 Maret 2016). Rappler, 2014, “HIGHLIGTS: Signing of The Bangsamoro” (http://www.rappler.com, diaskes 28 Mei 2015)
(Online),
Republic of Phillipines House of Representatives, 2014, “ Bangsamoro Basic Law: House Bill No.4994” (Online), (http:jlp-law.com, diakses 2 ktober 2015). Robert Day McAmis. 2002. Malay Muslims: The History and Challenge of Resurgent Islam in Southeast Asia. UK : Wm. B. Erdmans Publishing Co. (Online),(https://books.google.co.id/books?id=59PnSwurWj8C&pg=PA95&l pg=PA95&dq=mnlf+reformist&source=bl&ots=LbJCwb7mcW&sig=JW5Bg FFstpr5rJpJrDwYZO47piQ&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=mnlf %20reformist&f=false, diakses 13 Juli 2015). Rommel C. Banlaoi, 2009. Philippine Security in the Age of Terror : National, Regional, and Global Challenges in the Post-9/11 World. New York : CRC Press. (Online), (https://books.google.co.id/books?id=hi_NBQAAQBAJ&printsec=frontcover &hl=id&source=gbs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false, diakses 13 Juli 2015). Tangkilisan, Hessel Nogi. S. 2003. Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Lukman Offset. (Online), (www.landasanteori.com, diakses 02 Maret 2016). UN Peacemaker,2014, “ Comprehensive agreement on the bangsamoro- UN Peacemaker” (Online), (peacemaker.un.org, diakses 22 Oktober 2015) Wehr, Paul, 2005, “Conflict Mapping”(Online), (http:www.Colorado.edu, diakses 28 Oktober 2015).
292