Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek Tamam Anugrah Tamsil, Arifin Nawas, Dianiati Kusumo Sutoyo Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta
Abstrak Multidrugs-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di banyak negara. Hasil pengobatan MDR-TB berdasarkan programmatic management of drug resistant tuberculosis (PMDT) tidak memberikan hasil yang memuaskan dengan proporsi angka kesuksesan pengobatan di banyak negara kurang dari 60% dan proporsi angka putus obat dan kegagalan pengobatan yang tinggi. Regimen pengobatan jangka pendek dengan jangka waktu pengobatan 9-12 bulan dengan menggunakan kombinasi fluorokuinolon generasi ke-4 dengan obat lini ke-2 dan ditambah dengan obat lini pertama yang masih aktif, memiliki angka kesuksesan pengobatan di atas 85% dan efektif untuk digunakan terutama pada negara berkembang dengan dengan sumber daya yang terbatas. WHO mendukung penggunaan regimen pengobatan jangka pendek untuk pengobatan MDR-TB dengan berbagai syarat dan diharapkan menjadi salah satu alternatif paduan pengobatan untuk peningkatan mutu PMDT di masa mendatang. (J Respir Indo. 2014; 34:109-21) Kata kunci: MDR-TB, PMDT, regimen pengobatan jangka pendek
Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) Treatment with Short Term Regimen Abstract
MDR-TB is a major public health concern in several countries. The results of PMDT have not been impressive with the proportion of successfully treated MDR-TB patients in most countries below 60% and the proportion of loss to follow-up and failure were high. Recommended treatment regimens are very long, often poorly tolerated, and difficult to monitor. The short-course MDR-TB treatment with total treatment duration 9-12 months, based on a fourth-generation fluoroquinolon combined with other second-line drug and supplemented by potentially still active first-line drug, was highly effective in developing country were resources are limited, with treatment success above 85%. The WHO support the use of short-course treatment regimen for MDR-TB under the terms and expected it can be use as an alternative treatment to improve the quality of PMDT. (J Respir Indo. 2014; 34:109-21) Key words : MDR-TB, PMDT, short-course treatment regimen.
Korespondensi: dr. Tamam Anugrah Tamsil Email:
[email protected]; Hp: 081265577805
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
109
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
PENDAHULUAN
Masalah di atas pertama kali disampaikan
Multidrugs resistant tuberculosis (MDR-TB) atau tuberkulosis resisten ganda saat ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia baik dari segi morbiditas maupun mortalitas. Tahun 2011 diperkirakan di seluruh dunia prevalensi MDR-TB sekitar 3,8% dari tuberkulosis (TB) kasus baru dan sekitar 20% dari kasus TB dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Sekitar 60% kasus MDRTB secara global terdapat di China, India, dan Rusia. Kasus MDR-TB di Indonesia diperkirakan sekitar
dalam hasil penelitian Grzybowski dan Enarson pada tahun 1978 yang membandingkan kondisi pasienpasien TB paru yang diobati dengan yang tidak menerima pengobatan sama sekali. Kesimpulan penelitian tersebut adalah pasien TB paru yang diobati dengan program yang jelek akan berdampak lebih buruk dibandingkan pasien yang tidak diobati. Angka harapan hidup 5 tahun tetap lebih tinggi pada pasien yang mendapat pengobatan, meskipun angka pasien yang secara bakteriologis tetap
6100 kasus setiap tahun. Persentase kasus MDR-
positif dan pasien dihadapkan pada perburukan TB
TB yang tertinggi terdapat di negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah dengan presentase MDR-
paru yang dideritanya dan bahaya efek samping pengobatan akibat durasi pengobatan yang panjang
TB adalah 9-32% dari TB kasus baru dan 50% dari
serta toksisitas obat.5
kasus TB dengan riwayat pengobatan sebelumnya.1 Keadaan ini secara langsung berdampak pada
Kenyataan di atas bila dibandingkan dengan
semakin tingginya persentase secara global kasus
hasil pengobatan MDR-TB pada berbagai laporan World Health Organization (WHO) Global Tuber
MDR-TB dengan extensively drug-resistant (XDR-
culosis Control didapatkan angka kesembuhan MDR-
TB) dari 9,0% pada tahun 2011 menjadi 9,6% pada tahun 2012.2 Angka mortalitas MDR-TB cukup
TB pasien di seluruh dunia <60%. Secara keseluruhan
tinggi yaitu 25% dan bila disertai infeksi Human
kohort tahun 2009 hanya 48%. Sementara angka
Immunodeficiency Virus (HIV) meningkat menjadi
putus berobat atau kasus tidak terevaluasi lebih lanjut
80%. Bakteri yang telah resisten mengurangi
sebesar 28% dan angka kegagalan sebesar 10%
efektivitas kemoterapi dengan angka kesembuhan
termasuk tinggi. Hasil di beberapa pusat pengobatan
hanya sekitar 49-70% menyebabkan kesulitan
cukup memuaskan, tetapi di sebagian besar negara-
dalam penanggulangan kasus MDR-TB.3 Peningkatan kasus MDR-TB baik
negara di dunia pasien dihadapkan pada kemungkinan
angka kesembuhan berdasarkan hasil penelitian
secara
resisten. Hasil penelitian yang dilaporkan Grzybowski
morbiditas maupun mortalitas diduga disebabkan
dan Enarson menunjukkan kemungkinan bakteri
oleh 3 faktor yaitu faktor pasien, seperti berobat tidak
yang resisten menjadi lebih banyak sehingga dapat
teratur, kurangnya informasi, masalah keuangan,
berkembang menjadi XDR-TB atau total resisten TB.
transportasi, dan lain-lain. Faktor pemberi pelayanan
Kemungkinan penularan bakteri MDR-TB kepada
kesehatan, seperti paduan pengobatan tidak adekuat,
individu yang lain (resistensi primer) dan risiko efek
menambahkan satu obat pada paduan yang gagal,
samping akibat pajanan dengan obat-obatan yang
pengobatan tidak berdasarkan uji kepekaan, tidak ada atau kurangnya pantauan dan faktor sistem pelayanan kesehatan, seperti ketidaktersediaan obat, kualitas obat
bersifat toksik menjadi memanjang sesuai dengan durasi pengobatan.1 Usaha untuk mencapai visi dari strategi
dan kondisi penyimpanan obat yang buruk, organisasi
Stop TB yaitu dunia bebas dari TB, maka hal di
yang lemah, tidak mendapat dukungan dana yang
atas tentu saja harus dicegah. Pengobatan MDR-
cukup, tidak ada sosialisasi pedoman pengobatan serta terbatasnya fasilitas laboratorium. Sehingga dapat dikatakan bahwa MDR-TB merupakan fenomena
TB yang sifatnya pilot project atau pengobatan
buatan manusia sebagai efek dari masalah buruknya
untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya
pelayanan dan sistem kesehatan.4
pengobatan MDR-TB dengan menggunakan short-
110
uji coba dengan standar pengobatan yang diakui internasional telah melahirkan beberapa penelitian
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
course regimen (paduan jangka pendek) yaitu paduan
sebagian besar menganut strategi pengobatan
Bangladesh yang sudah diuji coba di Bangladesh dan
dengan menggunakan paduan standar. Pemberian
beberapa negara Afrika Barat yang memiliki angka
obat anti tuberkulosis (OAT) untuk pengobatan
kesembuhan yang tinggi, yaitu 87,8% dan 90%.
MDR-TB menurut PMDT dibagi atas 5 kelompok
Paduan jangka pendek dapat dikatakan salah satu terutama di negara-negara berkembang dengan
berdasarkan potensi dan efikasi obat. Kelompok 1, obat oral lini pertama adalah kelompok obat yang paling efektif dan paling baik ditoleransi oleh tubuh,
sumber daya terbatas. 6
yaitu pirazinamid dan etambutol. Kelompok 2, obat
solusi masalah pengobatan MDR-TB secara global
suntik yaitu kanamisin, amikasin, kapreomisin dan Rekomendasi pengobatan MDR-TB menurut
streptomisin. Obat-obat ini bersifat bakterisidal,
PMDT 2008
diberikan pada fase awal dalam dosis maksimal.
Pedoman pengobatan MDR-TB yang paling banyak digunakan di seluruh dunia saat ini adalah sesuai dengan Guidelines for the Programmatic Management of Drug-resistant Tuberculosis (PMDT) WHO emergency update tahun 2008 dan tahun 2011, termasuk di Indonesia. Paduan pengobatan MDR-TB di seluruh Indonesia mengacu pada PMDT tahun 2008 dan pedoman penanggulangan TB yang disusun oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pengobatan MDR-TB merupakan salah satu program dalam penanggulangan TB Nasional dan tercantum dalam International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) standar 12, yaitu pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita TB yang disebabkan oleh bakteri resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan panduan obat khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini ke-2. Paduan obat yang dipilih dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang telah terbukti dengan menggunakan 4 obat yang masih efektif termasuk obat suntik dan harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Tindakan yang berpihak kepada pasien menjadi syarat untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam pengobatan pasien dengan MDR-TB/XDR harus dilakukan.7 Pengobatan MDR-TB menurut PMDT menggu nakan tiga pendekatan pengobatan yaitu paduan standar, paduan empirik, dan paduan perorangan. Pendekatan pengobatan MDR-TB di negara-negara berkembang J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Kelompok 3, obat golongan fluorokuinolon, terdiri dari moksifloksasin, gatifloksasin, levofloksasin, dan ofloksasin. Kelompok ini bersifat bakterisidal kuat dan digunakan apabila bakteri masih sensitif dengan fluorokuinolon. Kelompok 4, obat oral yang bersifat bakteriostatik kuat. Pilihan dalam kelompok ini berupa etionamid, protionamid, sikloserin, dan asam para-aminosalisilat (PAS). Penggunaan obat kelompok 4 ini dimulai dengan dosis rendah terlebih dahulu, kemudian dosis dapat diekskalasi setelah 2 minggu karena sering menimbulkan gangguan pencernaan dan hipotiroid. Kelompok 5, merupakan kelompok obat-obatan yang tidak direkomendasikan oleh WHO karena efiksasinya dalam pengobatan MDR-TB belum jelas. Contoh obat kelompok ini yaitu klofazimin, amoksisilin-klavulanat, imipenem, klaritromisin, dan isoniazid dosis tinggi.8 Paduan disusun menggunakan 4 kelompok obat yang direkomendasikan WHO dan diberikan dalam fase intensif dan fase lanjutan. Pengobatan pada fase intensif disertai dengan pemberian obat suntik (obat kelompok 2) selama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah biakan negatif. Fase lanjutan diberikan setelah fase intensif. Beberapa prinsip panduan pengobatan yang harus diperhatikan antara lain paduan terdiri dari 4 macam obat yang sudah terbukti keefektifannya, pemberian obat harus berdasarkan riwayat pengobatan pasien sebelumnya, dosis diberikan sesuai dengan berat badan pasien. Dosis obat atau perubahan dosis diberikan berdasarkan rekomendasi tim ahli klinik (TAK). Pemberian obat suntik (aminoglikosida atau kapreomisin) diberikan selama minimal 6 111
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
bulan atau 4 bulan setelah konversi biakan (fase
Revisi rekomendasi pengobatan MDR-TB pada
intensif). Lama pengobatan minimal 18 bulan
PMDT 2011
setelah konversi biakan. Efek samping obat harus ditatalaksana segera untuk meminimalkan risiko akibat penghentian pengobatan dan mencegah morbiditas atau mortalitas akibat efek samping.8,9,10
Pada tahun 2011, WHO merekomendasikan pedoman pengobatan MDR-TB yang pada dasarnya hampir sama dengan PMDT 2008 melalui beberapa revisi, terutama pada pada rekomendasi pengobatan dengan obat-obatan lini ke-2 dan pada lamanya waktu pengobatan. Beberapa revisi komposisi
Gambar 1. Contoh paduan OAT MDR-TB menurut PMDT 2008. Dikutip dari (9)
paduan pengobatan dan lamanya waktu pengobatan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Revisi rekomendasi PMDT 2008 dan 2011. PMDT 2008 Paduan sekurang-kurangnya terdiri dari empat kelompok obat yang telah terbukti keefektifannya pada fase intensif
PMDT 2011 Paduan terdiri dari empat kelompok obat yang telah terbukti efektif, pirazinamid harus disertakan dalam fase intensif
Dipertimbangkan untuk menambahkan paduan pada pasien dengan kerusakan paru luas atau penyakit kronik
Tidak ada bukti penambahan paduan untuk membantu daya kerja empat kelompok obat OAT lini ke-2 pada pasien dengan kerusakan paru luas atau kronik
Paduan meliputi pirazinamid dengan atau tanpa etambutol,satu obat kelompok 3, satu obat injenctable agent dan obat kelompok 4
Paduan meliputi pirazinamid, satu obat kelompok 3 satu satu obat injenctable agent dan sikloserin atau PAS bila sikloserin tidak dapat digunakan
Etambutol dapat dipertimbangkan efektif dan dimasukkan ke dalam paduan bila hasil DST menunjukkan masih sensitif
Etambutol dapat dipergunakan, namun tidak dimasukan ke dalam paduan standar
Lama terapi fase intensif minimal selama enam bulan atau empat bulan sesudah konversi biakan
Lama fase intensif minimal delapan bulan dan lama fase intensif disesuaikan dengan respons pasien terhadap pengobatan
Lama pengobatan keseluruhan adalah minimal 18 bulan setelah konversi biakan
Pada pasien MDR-TB yang sebelumnya belum pernah mendapat pengobatan MDR-TB, lama pengobatan 20 bulan dan lama pengobatan disesuaikan dengan respons pasien terhadap pengobatan
Permasalahan penggunaan PMDT Penelitian kohort pada tahun 2009 di 107 negara yang mengobati MDR-TB sesuai PMDT 2008 mendapatkan hasil yang didapatkan tidak memuaskan dengan angka pengobatan lengkap bervariasi dari yang terendah sekitar 44% di negaranegara kawasan Mediterania timur hingga tertinggi 58% (negara-negara kawasan Asia Tenggara), angka kematian tertinggi 19% di Afrika dan angka kegagalan tertinggi di Eropa terutama Eropa
112
Dikutip dari (11)
Timur sebesar 12%. Secara keseluruhan angka kesuksesan pengobatan hanya 48%, angka putus berobat 28%, dan kegagalan pengobatan 10%. Rendahnya angka kesuksesan dan tingginya angka putus berobat dan kegagalan akan menyebabkan permasalahan serius yaitu meningkatkan risiko pasien untuk menderita MDR-TB yang lebih berat dari sebelumnya, mempertinggi angka kematian terutama bila terdapat komorbid seperti HIV/AIDS dan diabetes melitus tipe 2, risiko efek samping obat lini ke-2 yang toksik karena masa pengobatan menjadi J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
panjang serta meningkatkan angka penularan MDR-
rekomendasi untuk jangka waktu pengobatan ber
TB resistensi sekunder dan XDR -TB.
dasarkan analisis dari pasien yang tidak meninggal
1, 12
Keadaan di atas menimbulkan kritik, terutama
atau tidak putus berobat. Efektivitas dan kelayakan
oleh Chiang dkk. tahun 2013 yang membandingkan
dari paduan yang direkomendasikan di lapangan
hasil pengobatan PMDT yang direkomendasikan WHO dengan laporan penelitian Grzybowski dan Enarson tahun 1978. Penelitian tersebut
dengan demikian tidak menjadi pertimbangan serta
membandingkan kelompok pasien yang menerima
obat lini kedua yang bersifat toksik, memiliki banyak
pengobatan dengan pasien yang tidak diobati sama
efek samping, dan jangka waktu pengobatan yang
sekali dengan hasil pada kelompok pasien yang
lama sehingga banyak pasien yang putus obat.13
12
angka pasien yang putus berobat dan kematian diabaikan. Paduan yang direkomendasikan adalah
menerima pengobatan walaupun angka kematian
Program pengobatan TB berdurasi panjang
lebih rendah, namun angka pasien yang pemeriksaan
tidak semuanya memberikan hasil yang tidak me
bakteriologis tetap positif karena pengobatan tidak
muaskan. Tahun 1962 di Taiwan, hasil dari 2 tahun
adekuat akan menderita perburukan penyakit dan
penelitian kohort menunjukkan angka kesembuhan
menjadi sumber penularan MDR-TB resistensi primer dengan bakteri yang lebih ganas.
62%, angka kegagalan 26% dan kematian 13%,
Tahun 2011 WHO mengeluarkan PMDT
Tuberculosis Programmes (NTPs) lainnya saat itu
2011 yang merekomendasikan lama pengobatan fase intensif sekurang kurangnya 8 bulan dan lama keseluruhan pengobatan sekurang-kurangnya 20 bulan bagi pasien MDR-TB yang sebelumnya belum pernah mendapatkan pengobatan OAT lini ke-2. Lama pengobatan minimal fase intensif menjadi lebih lama 2 bulan. Kedua rekomendasi ini dibuat berdasarkan bukti dengan kualitas sangat rendah yang berasal dari data metaanalisis pasien secara individual.12 Hasil penelitian kohort terhadap 9.153 pasien yang dilaporkan oleh Ahuja dkk.1 tahun 2012 menunjukkan hasil yang tidak memuaskan karena hanya 54% pasien yang sembuh, 8% mengalami kegagalan pengobatan atau kambuh, 15 % meninggal dan 23 % pasien mengalami putus pengobatan. Chiang dkk.12 pada tahun 2013, mempermasalahkan terlalu panjangnya jangka waktu pengobatan dari paduan yang direkomendasikan oleh WHO (total lama pengobatan minimal 20 bulan) dan mengatakan bahwa pada beberapa hasil penelitian kohort terhadap pasien MDR-TB yang diobati dengan jangka waktu pengobatan yang terlalu panjang sekitar 20-50% pasien MDR-TB terpapar dengan efek samping obat yang berat.12,14 Programmatic
Management
of
Drug-resis
tant Tuberculosis (PMDT 2011) sangat terfokus pada keberhasilan berpedoman odds ratio dan J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
termasuk tinggi dibanding hasil pengobatan National namun hal tersebut disebabkan peran pemerintah Taiwan yang memberikan bantuan besar di bidang sosial ekonomi dan psikososial sehingga proporsi pasien yang putus berobat dapat dikurangi. Hal ini tidak dapat dilakukan di banyak negara, terutama negara berkembang yang memiliki sumber daya terbatas.13 Program International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) sudah pernah menghadapi masalah rendahnya angka kesembuhan yaitu hanya 56% pada pengobatan TB selama 12 bulan yang dimulai tahun 1979. Angka kesembuhan yang rendah disebabkan oleh tingginya angka putus obat. Sebagai usaha mengatasi masalah ini, IUATLD mencoba memperpendek jangka waktu pengobatan menjadi 8 bulan yang dilaporkan oleh Enarson pada tahun 1991 dengan angka kesembuhan lebih dari 80%.15 Pengobatan MDR-TB dengan paduan jangka pendek penelitian kohort yayasan proyek damien Pengobatan MDR-TB telah dilakukan berbagai penelitian untuk menemukan paduan pengobatan yang efektif, berdurasi singkat dan berbiaya murah, agar dapat diterapkan terutama di negara-negara berkembang yang terbatas dalam hal sumber daya baik material maupun manajemen. Salah satunya 113
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
adalah penelitian kohort yang diadakan oleh Yayasan
meliputi pasien berusia lebih dari 65 tahun pada
Proyek Damien di Bangladesh yang dimulai dari
kelompok yang diberikan paduan standar berbasis
bulan Mei 1997 hingga akhir bulan Desember 2007.
ofloksasin, menderita penyakit hati berat atau insufisiensi
Penelitian kohort ini bertujuan untuk menganalisis
kardio respirasi, hasil pemeriksaan apusan dahak dan
hasil pengobatan dengan menggunakan 6 paduan
biakan negatif sebelum diberikan paduan pengobatan
standar berbasis fluorokuinolon (ofloksasin atau
OAT lini ke-2 dan hasil uji kepekaan menunjukkan
gatifloksasin), kanamisin dan protionamid sebagai
masih sensitif terhadap rifampisin atau isoniazid.
obat-obatan utama, ditambah dengan obat-obatan
Enam paduan yang digunakan dalam penelitian
lini pertama dan klofazimin. Berdasarkan data
kohort ini dapat dilihat pada Tabel 2.6
pengobatan sebelumnya, lebih dari 90% sampel termasuk dalam kriteria kasus gagal dan kasus
Paduan Bangladesh
kambuh setelah menjalani pengobatan dengan OAT
Pada paduan pengobatan berbasis gatifloksasin
kategori 2. Pada kelompok yang menerima paduan
sebesar 206 sampel selama 9 bulan didapatkan
berbasis ofloksasin terdapat 24 sampel resisten
angka kesembuhan dan pengobatan lengkap sebesar
terhadap rifampisin dan isoniazid saja, 172 sampel
87,8%, angka putus pengobatan 5,8%, angka kega
resisten etambutol, 159 sampel resisten streptomisin,
galan pengobatan dan kekambuhan 0,5% serta
2 sampel resisten ofloksasin, 3 sampel resisten
angka kema tian 5,3%. Pada paduan pengobatan
kanamisin, dan 31 sampel resisten pirazinamid.
berbasis ofloksasin pada 221 sampel selama 15-
Pada kelompok yang menerima paduan berbasis
21 bulan didapatkan angka rata-rata kesembuhan
gatifloksasin terdapat 21 sampel resisten terhadap
sebesar 69,1%. Angka rata-rata putus pengobatan
rifampisin dan isoniazid saja, 132 sampel resisten
cukup tinggi yaitu 13,2%. Angka rata-rata kegagalan
etambutol, 165 sampel resisten streptomisin, 21
pengobatan sebesar 7,2%, angka rata-rata kematian
sampel resisten ofloksasin, dan 29 sampel resisten
sebesar 9,98% dan tidak ditemukan kasus kekambuhan
pirazinamid. Pemeriksaan apusan dan biakan dahak
selama pengobatan diberikan. Selama penelitian
dilakukan secara periodik selama pengobatan dan
didapatkan efek samping yang timbul tidak berat dan
hingga 2 tahun setelah pasien dinyatakan sembuh.6
dapat diatasi dalam 4 bulan pengobatan fase intensif.
Jumlah sampel awal pada penelitian ini adalah
Pemantauan kadar gula darah secara ketat dapat
427 sampel dengan kriteria inklusi terdiri dari sampel
mengurangi risiko terjadinya disglikemia walaupun
dengan kemungkinan besar menderita MDR-TB dan
pemberian gatifloksasin diberikan dalam dosis yang
sampel yang terbukti MDR-TB. Kriteria eksklusi
tinggi.6
Tabel 2. Paduan pengobatan penelitian kohort Yayasan Proyek Damien.6 Panduan 1 2 3 4 5 6 100,0
Fase Intensif 3*KCOEHZP 3(+)KCOEHZP 3(4)KCOEHZP 3(+)KCOEHZP 3(+)KCOEHZP 4(+)KCGEHZP Total pasien
Fase Lanjutan 1 12OEHZP 12OEHZP 12OEZP 12OEHZ 12OEHZC 5GEZC
Fase Lanjutan 2 6EP
Pasien Memenuhi Kriteria Jumlah Persentase 59 44 35 45 38 206
13,8 10,3 8,2 10,5 8,9 48,2 427 Dikutip dari (6)
114
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
Hasil penelitian kohort ini menunjukkan bahwa
pengobatan dalam paduan Bangladesh karena memi
penggunaan paduan pengobatan berbasis gatifloksasin
liki aktivitas antimikobakterial terutama terhadap
dengan lama pengobatan fase intensif selama 4 bulan
Mycobacterium tuberculosis yang tidak bereplikasi atau
dan lama pengobatan fase lanjutan selama 5 bulan
bereplikasi lambat.6
dengan paduan 4 Km-E-Z-H-Gfx-Pto-Cfz / 5 E-Z-Gfx-
Penggunaan paduan Bangladesh saat ini
Cfz memberikan hasil yang memuaskan dalam hal
sudah dilakukan di beberapa negara Afrika seperti
keberhasilan terapi, lebih mudah dikontrol, mampu
Kamerun, Burkina Faso, Benin, dan Togo dengan
mengobati sampel dengan resistensi ofloksasin sebe
perbedaan pada lama pengobatan yaitu 12 bulan
lumnya, dan murah dalam segi pembiayaan (total
dan digunakannya protionamide dalam fase lanjutan.
biaya hanya 225 euro). Penelitian kohort ini kemudian
Hasil penelitian pilot di Kamerun menggunakan
dilanjutkan dengan sampel 476 pasien MDR-TB yang
paduan Bangladesh selama 12 bulan pengobatan
sebelumnya belum pernah diobati dengan obat-obatan
pada 88 pasien MDR-TB yang terdaftar selama tahun
lini kedua. Sebanyak 466 pasien yang menjalani uji
2008-2010 didapatkan angka kesembuhan sebesar
kepekaan terhadap obat-obatan lini kedua, sebanyak
92 %, dan selama 636 bulan pengamatan pasien
53 pasien (11,4%) resisten terhadap ofloksasin dan
setelah pengobatan diberikan tidak ditemukan
2 pasien resisten terhadap kanamisin (0,4%). Angka
kekambuhan. Penelitian pilot lainnya tahun 2008 di
kesuksesan pengobatan (sembuh dan pengobatan
Togo, Benin, dan Burkina Faso didapatkan angka
lengkap) didapatkan pada 410 pasien (86,1%) dari 476
kesembuhan 90% pada 120 pasien MDR-TB (20%
pasien dan terdapat 3 pasien yang mengalami kekam
positif HIV) yang mendapatkan pengobatan dengan
6
buhan (0,7%) selama pengamatan pasca-pengobatan.
paduan jangka pendek berbanding dengan 59%
Paduan jangka pendek yang digunakan ke
(17% sembuh dan 42% pengobatan lengkap) pada
mu dian di namakan paduan Bangladesh sesuai
339 pasien MDR-TB yang diobati dengan paduan
dengan nama negara tempat pertama kali paduan
jangka panjang yang direkomendasikan WHO.
ini diujicobakan. Paduan Bangladesh bertujuan
Selama pengamatan setelah pengobatan tidak
meningkatkan keberhasilan terapi dan memperkecil
ditemukan kekambuhan.6 Hasil pengobatan MDR-
angka kegagalan pengobatan, putus berobat dan
TB pada keenam paduan pada penelitian kohort
kematian dengan maksimalisasi penggunaan fluoro
Yayasan Proyek Damien dapat dilihat pada Tabel 3.
kuinolon generasi keempat dan isoniazid. Obat-
Obat-obatan pada paduan Bangladesh sebelumnya
obatan yang kurang efektif dan bersifat toksik (para-
tidak digunakan dalam paduan pengobatan MDR-
aminosalisilat dan sikloserin) dihindari, sementara
TB yang direkomendasikan WHO (PMDT), yaitu
penggunaan obat suntik dan protionamide dibatasi.
fluorokuinolon generasi keempat (contohnya mok
Penggunaan obat ini diperlukan untuk mengurangi
sifloksasin atau gatifloksasin), isoniazid dosis tinggi
kemungkinan terjadinya resistensi terhadap fluoro
dan klofazimin berdasarkan hasil-hasil penelitian
kuinolon. Klofazimin di masuk kan dalam paduan
secara in vivo, in vitro maupun klinik.
Tabel 3. Hasil pengobatan MDR-TB penelitian kohort Yayasan Proyek Damien. Hasil Pengobatan Lengkap Sembuh Meninggal Putus obat Gagal Kambuh Total
Paduan 1+2 N % 0 71 11 15 6 0 103
0,0 68,9 10,7 14,6 5,8 0,0 00
Paduan 3 N % 0 20 5 7 3 0 35
0,0 57,1 14,3 20,0 8,6 0,0 100
Paduan 4 N % 0 30 4 4 6 0 44
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
0,0 66,7 8,9 8,9 13,3 0,0 100
Paduan 5 N % 0 32 2 3 1 0 38
0,0 84,2 5,3 7,9 2,6 0,0 100
Paduan 6 N % 11 170 11 12 1 1 206
5,3 82,5 5,3 5,8 0,5 0,5 100
N
Total %
11 323 33 41 17 1 427
2,6 75,7 7,7 9,6 4,0 0,2 100
Dikutip dari (6)
115
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
Peran fluorokuinolon generasi keempat dalam
dengan hasil pemeriksaan hapusan dahak positif
pengobatan MDR-TB menghambat enzim DNA gyrase dan topoisomerase
tuberkulosis. Sampel kemudian diberikan paduan pengobatan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid dalam dosis standard ditambah dengan pemberian
IV yang menyebabkan kegagalan replikasi DNA pada
moksifloksasin 400 mg dengan plasebo ethambutol
bakteri dan mikobakteri. Perbedaan efek bakterisidal
sebanyak 85 sampel, atau ethambutol 15-20 mg/kg
obat-obatangolonganfluorokuinolondilihatberdasarkan
dengan plasebo moksifloksasin sebanyak 85 sampel.
nilai minimum inhibitory concentration (MIC), yaitu
Penelitian ini menggunakan analisis intention to treat
konsentrasi terendah dari suatu antibiotika yang dapat
(ITT) dengan tujuan menilai proporsi sampel yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme tertentu.
hasil pemeriksaan dahaknya mengalami konversi
Nilai MIC berlawanan dengan sensitivitas antibiotika,
setelah 8 minggu pengobatan. Pada hasil penelitian
semakin kecil nilai MIC maka semakin besar sensitivitas
59 dari 74 sampel (80%) apusan dahak mengalami
antibiotika tersebut terhadap mikroorganisme tertentu.
konversi menjadi negatif pada kelompok yang diberikan
Nilai MIC dinyatakan dalam MIC90 atau konsentrasi
moksifloksasin dibandingkan 45 dari 72 sampel
Fluorokuinolon secara farmakologis bekerja
terendah antibiotika yang dapat menghambat 90%
(63%) pada kelompok yang diberikan etambutol
pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Berdasarkan
(perbedaan 17,2 % CI 2,8-31,7; p=0,03). Selama
nilai MIC90, fluorokuinolon generasi keempat seperti
terapi terdapat 16 kejadian yang tidak diinginkan,
moksifloksasin dan gatifloksasin memiliki nilai MIC90
namun hanya satu saja yang berhubungan dengan
yang kecil terhadap Mycobacterium tuberculosis dikuti
penelitian yaitu polineuropati pada kelompok yang
oleh levofloksasin, ofloksasin dan siprofloksasin. Selain
diberikan etambutol.17
nilai MIC90, gatifloksasin dan moksifloksasin memiliki
Hasil yang hampir sama didapatkan oleh penelitian fase 2 oleh Rustomjee dkk.18 terhadap
juga memiliki nilai mutant prevention concentration (MPC90) yang kecil terhadap Mycobacterium tuber culosis bila dibandingkan dengan levofloksasin dan siprofloksasin.16 Nilai MIC90 dan MPC90 fluorokuinolon terhadap Mycobacterium tuberculosis dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil-hasil penelitian beberapa tahun terakhir secara in vitro dan in vivo, menunjukkan bahwa fluorokuinolon generasi keempat memiliki aktivitas antimikobakterial yang tinggi terhadap Mycobacterium tuberculosis sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu obat dalam pengobatan TB termasuk MDRTB. Penelitian fase II Conde dkk.17 secara double blind randomised control trial di Brazil terhadap 170 sampel Tabel 4. Nilai MIC90 dan MPC90 fluorokuinolon pada Mycobacterium tuberculosis. Jenis Flourokuinolon Siprofloksasin 500 mg Ofloksasin 400 mg Levofloksasin 750 mg Gatifloksasin 400 mg Moksifloksasin 400 mg
116
MIC90 (mg/l) 0,5-1,3 0,5-1,0 0,5-1,0 0,25-0,5 0,25-0,5
MPC90 (mg/l) 2,0 2,0 1,8 1,0 1,2 Dikutip dari (16)
217 sampel dengan pemeriksaan dahak positif TB. Penelitian ini bertujuan membandingkan hasil konversi sputum setelah 8 minggu pada kelompok kontrol yang terdiri dari obat lini pertama yang biasa digunakan dalam pengobatan TB dengan kelompok yang pengunaan etambutol digantikan oleh salah satu fluorokuinolon yaitu moksifloksasin, gatifloksasin, atau ofloksasin. Hasil penelitian pada kelompok yang diberikan moksifloksasin atau gatifloksasin sebagai pengganti etambutol didapatkan lebih banyak jumlah sputum yang mengalami konversi setelah 8 minggu pengobatan dibandingkan dengan kelompok kontrol.18 Penelitian lainnya oleh Veziris dkk.19 pada tahun 2003 di Perancis mendapatkan hasil bahwa pemberian moksifloksasin dapat dijadikan salah satu alternatif dalam pengobatan TB saat rifampisin dan isoniazid sudah mengalami resistensi. Pene litian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas pemberian paduan pengobatan lini ke-3 yang direkomendasikan WHO yang terdiri dari amikasin, etionamid, pirazinamid dan ofloksasin yang diberikan dalam fase intensif selama 2 bulan. Dilanjutkan dengan pemberian J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
ofloksasin dan etionamid dalam fase lanjutan selama 10 bulan menggunakan paduan pengobatan standar yang terdiri dari rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid pada 2 bulan fase intensif, dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid pada 4 bulan fase lanjutan. Paduan pengobatan lini ke-3 ini merupakan paduan yang direkomendasikan WHO untuk pasien TB paru yang hasil uji kepekaannya tidak tersedia dan belum pernah diuji keefektifannya pada studi laboratorium dan uji klinik. Penelitian ini juga mencoba untuk membandingkan efek pemberian levofloksasin dan moksifloksasin pada paduan lini ke-3 terhadap Mycobacterium tuberculosis dengan mengganti ofloksasin dengan levofloksasin atau moksifloksasin. Sampel penelitian adalah mencit yang diberikan pengobatan 2 minggu setelah terinfeksi
serta disglikemia khususnya pada penggunaan gatifloksasin. Nilai MIC moksifloksasin dan gatifloksasin yang tidak terlalu berbeda terhadap Mycobcterium tuberculosis menjadikan kedua obat ini dapat saling menggantikan tanpa mengurangi efektivitas paduan paduan yang diberikan.6 Penelitian Koh WJ dkk.20 di Korea Selatan yang dipublikasikan tahun 2013 terhadap 182 pasien MDR-TB yang masih sensitif terhadap levofloksasin dan moksifloksasin mendapatkan hasil penggunaan moksifloksasin pada paduan pengobatan MDR-TB memiliki efektivitas yang sama dengan levofloksasin. Hasil konversi sputum setelah 3 bulan pengobatan pada kelompok yang diberikan levofloksasin 750 mg/hari adalah 68 (88,3%) dari 77 pasien. Kelompok yang diberikan moksifloksasin 400 mg/hari 67 (90,5%) dari 74
Mycobacterium tuberculosis dan pengobatan diberikan
pasien. Efek samping obat terjadi pada 7 pasien
dalam 5 kali seminggu. Hasil penelitian setelah 6 bulan pengobatan, untuk kelompok yang diberikan
dalam kelompok yang diberikan levofloksasin (7,7%) dan 4 pasien (5,02%) dalam kelompok yang diberikan
paduan pengobatan standar, baik limpa maupun
moksifloksasin (p=0,75). Tidak terdapat pasien yang
paru mencit memberikan hasil biakan negatif dan
mengalami efek samping yang serius.20 Penelitian
rerata jumlah colony forming unit (CFU) <0,07 log10.
lainnya oleh Lee dkk.21 yang dipublikasikan tahun 2011
Hasil penelitian setelah 9 bulan pengobatan, pada kelompok yang diberikan paduan pengobatan lini ke-3 dengan moksifloksasin baik paru maupun limpa
dengan sampel 171 pasien MDR-TB dengan 123 pasien yang bertujuan membandingkan efektivitas
memberikan hasil biakan negatif dan rerata jumlah
levofloksasin 750 mg/hari selama 594 hari dengan 48 pasien yang mendapatkan moksifloksasin 400 mg/
CFU <0,07 log10. Kelompok yang diberikan levoflok
pengobatan pada kelompok yang mendapatkan
sasin setelah pengobatan bulan ke-9 sebagian besar
hari selama 673 hari. Rerata umur 42 tahun dengan
limpa dan paru mencit memberikan hasil biakan
kedua kelompok memiliki karakteristik demografi,
masih positif dengan rerata jumlah CFU 0,29±0,36
klinik, dan gambaran radiologi yang sama. Angka
log10 dan pada akhir pengobatan bulan ke-12
keberhasilan pengobatan adalah 78,9% pada kelompok
sebagian besar limpa dan paru mencit sebagian
levofloksasin dan 83,3% pada kelompok yang diberikan
besar hasil biakan telah negatif dan rerata jumlah
moksifloksasin (p=0,42). Angka kematian, kegagalan
CFU 0,07 log10. Kelompok yang diberikan ofloksasin
pengobatan dan kekambuhan hampir sama pada
sebagian besar hasil biakan masih positif baik pada limpa maupun paru pada akhir pengobatan bulan ke-12 dengan rerata jumlah CFU 1,71±1,89 log10.19 Penelitian-penelitian secara klinik juga di la kukan untuk menguji efikasi dan keamanan peng
kedua kelompok (p=0,44).21 Penggunaan ofloksasin sebagai obat golo ngan fluorokuinolon yang paling banyak digunakan di seluruh dunia karena harganya yang relatif murah, menyebabkan risiko terjadinya resistensi My
gunaan gatifloksasin dan moksifloksasin dalam
cobacterium tuberculosis terhadap ofloksasin juga
pengobatan MDR-TB. Efek samping penggunaan
mengalami peningkatan karena buruknya pengawasan
fluorokuinolon yang sering ditemukan antara lain
terhadap pelaksanaan pengobatan dan lemahnya
keluhan saluran cerna seperti mual dan muntah,
kebijakan program penanggulangan TB nasional di
hepatotoksik, perubahan tingkah laku, sakit kepala,
negara-negara berkembang.8 Hasil penelitian Van
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
117
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
deun dkk.6 dan Kam dkk.22 menunjukkan bahwa
menunjukkan klofazimin memiliki aktivitas in vitro
fluorokuinolon
(gatifloksasin
yang baik terutama pada kelompok MDR dan XDR.
atau moksifloksasin) dan ketiga (levofloksasin)
Nilai MIC klofazimin pada kelompok MDR (0,06-
dapat digunakan dalam pengobatan MDR-TB pada
8,00 mg/l) tidak berbeda secara bermakna dengan
sampel yang sebelumnya sudah resisten terhadap
amikasin (0,25-8,00 mg/l), namun lebih rendah
ofloksasin.
daripada nilai MIC ofloksasin (0,125-8,00 mg/l)
generasi
keempat
6,22
dan kapreomisin (0,5-8,00 mg/l).25 Penelitian Lu Peran klofazimin dalam pengobatan MDR-TB Klofazimin
atau
riminophezanin
memiliki
aktivitas antimikobakterial namun penggunaannya terbatas pada pengobatan penyakit lepra sejak tahun 1962. Secara farmakologis klofazimin akan ter akumulasi di dalam sel mononuclear phagocyte system (MPS) dan menghambat replikasi Mycobacterium tuberculosis di dalam sel makrofag. Klofazimin memiliki waktu paruh yang panjang (70 hari) dan dapat terakumulasi dan mengalami kristalisasi dalam jaringan lemak dan MPS menyebabkan timbulnya efek samping berupa gangguan gastrointestinal dan timbulnya ruam kemerahan pada kulit. Efikasi yang belum jelas dan belum diketahuinya dosis penggunaan yang aman menyebabkan klofazimin termasuk
golongan
obat-obatan
yang
tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan MDR-TB.8,23 Hasil-hasil penelitian dalam beberapa tahun terakhir mendapatkan hasil bahwa klofazimin memiliki aktivitas in vitro dan in vivo terhadap Mycobacterium tuberculosis termasuk galur MDRTB. Penelitian Lu dkk.24 yang dipublikasikan tahun 2008 mendapatkan nilai MIC klofazimin terhadap galur Mycobacterium tuberculosis H(37)Rv dan galur MDR-TB pada sampel mencit sebesar 0,12-0,24 mg/l dan 0,12-1,92 mg/ldan terjadi pengurangan CFU menjadi 1,39-2,92 log10 bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.24 Penelitian Gui dkk.25 yang dipublikasikan tahun 2011 dengan tujuan membandingkan aktivitas in vitro klofazimin dibandingkan dengan OAT lainnya yaitu isoniazid, rifampisin, ofloksasin, amikasin, dan kapreomisin terhadap kelompok Mycobacterium tuberculosis yang mengalami resistensi yaitu monoresisten, poliresisten, MDR, dan XDR. Hasil penelitian
118
dkk.26 mendapatkan hasil klofazimin menunjukkan aktivitas antimikrobial yang sama baik dengan rifampisin terhadap Mycobacterium tuberculosis yang tidak bereplikasi maupun bereplikasi dengan lambat pada pengukuran dengan menggunakan low-oxygen recovery assay (LORA). Mikobakterium yang tidak bereplikasi atau bereplikasi dengan lambat merupakan salah satu penyebab timbulnya resistensi terhadap OAT.26 Penelitian-penelitian secara klinik juga dilakukan untuk menguji efikasi klofazimin dan keamanannya penggunaannya dalam pengobatan MDR-TB. Pene litian Xu dkk.27 terhadap 39 pasien yang mendapatkan klofazimin 100 mg/hari dalam paduan pengobatan MDR-TB sejak Januari 2008 sampai Maret 2011 di Shanghai mendapatkan hasil 38% sembuh (15 dari 39 pasien), 11 pasien pengobatannya diteruskan, 4 pasien putus berobat dan 9 mengalami kegagalan pengobatan, tidak terdapat kematian dan sebanyak 22 pasien mengalami konversi biakan selama 12 bulan pengobatan. Efek samping obat terjadi pada 34 pasien berupa ruam pada kulit, ichthyosis, dan keluhan pencernaan dan tidak terdapat efek samping obat yang serius.27 Penelitian lainnya oleh Xu dkk.28 terhadap 44 pasien dari 144 pasien MDR-TB/XDR -TB yang mendapatkan klofazimin 100 mg per hari pada paduan pengobatannya, didapatkan angka kesuksesan pengobatan yang hampir sama antara kelompok yang diberikan klofazimin dengan kelompok yang tidak diberikan klofazimin yaitu 19 dari 30 pasien (63,3%) berbanding dengan 65 dari 100 pasien (65%), dengan angka kegagalan, putus berobat dan kematian yang hampir sama antara kedua kelompok. Pemberian klofazimin tidak mempersingkat waktu konversi biakan dahak. Kelompok yang diberikan klofazimin jangka waktu rata-rata konversi biakan J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
dahak ± standar deviasi 9,4±7,4 minggu berbanding
sebaiknya dihindari karena tidak memberikan efek
9,1±5,7 minggu pada kelompok yang tidak diberikan
terapi dan meningkatkan risiko terjadinya efek
klofazimin. Efek samping obat terjadi pada 39
samping obat.29
dari 44 pasien yang mendapatkan klofazimin, 20
Penelitian klinik dilakukan untuk mengetahui
pasien memerlukan pengurangan dosis klofazimin
efikasi isoniazid dosis tinggi sebagai bagian dalam
menjadi 100 mg selang sehari untuk mengatasi efek
paduan pengobatan MDR-TB saat ini belum banyak
samping obat yang terjadi dan selama pengobatan
dilakukan. Penelitian Katiyar dkk.30 di India yang
tidak terdapat efek samping obat yang serius.28
dipublikasikan tahun 2008 mencoba untuk mem
Penentuan efikasi dan keamanan penggunaan
bandingkan waktu konversi biakan sputum, proporsi
klofazimin dalam paduan pengobatan MDR-TB saat
biakan sputum yang menjadi negatif dalam 6 bulan,
ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut dengan
gambaran radiologis dan efek samping yang terjadi
sampel yang lebih besar.
setelah satu tahun pengobatan, pada kelompok yang diberikan isoniazid dosis tinggi (16-20 mg/
Peran isoniazid dosis tinggi dalam pengobatan
kgBB/hari), isoniazid dosis normal (5 mg/kgBB/hari)
MDR-TB
dan plasebo yang ketiganya diberikan bersama
Isoniazid telah digunakan sebagai salah satu obat dalam paduan pengobatan TB lini pertama selama 60 tahun terakhir. Isoniazid adalah pro drug yang diaktifkan oleh mycobacterial catalaseperoxidase enzyme atau KatG dan bekerja meng hambat pembentukan dinding sel dengan cara menghalangi protein yang terlibat dalam metabolisme asam mikolat. Resistensi terhadap isoniazid dapat disebabkan oleh mutasi dari gen KatG ser 315 thr dan pada gen inhA. Gen inhA merupakan bagian dari asam lemak FAS-II yang diperlukan dalam sintesis asam mikolat. Resistensi terhadap gen KatG ser 315 thr merupakan penyebab terbanyak resistensi terhadap isoniazid.29 Hipotesis yang berlaku saat ini adalah Mycobacterium tuberculosis yang mengalami mutasi
panduan pengobatan MDR-TB yang direkomendasikan WHO. Hasil penelitian mendapatkan pada kelom pok yang diberikan isoniazid dosis tinggi waktu konversi biakan sputum 2,38 kali lebih cepat (95% CI 1,45-1,91, p=0,001) daripada kelompok lainnya, dan proporsi biakan sputum yang menjadi negatif setelah 6 bulan pengobatan 2,37 kali lebih besar daripada kelompok lainnya. Kelompok yang diberikan isoniazid dosis tinggi gambaran radiologis menunjukkan perkembangan yang lebih baik, dan tidak didapatkan efek samping yang serius akibat pemberian isoniazid seperti neuropati perifer atau hepatotoksik.30 Rekomendasi WHO untuk penggunaan paduan jangka pendek
pada gen KatG ser 315 thr menyebabkan resistensi
Penggunaan paduan jangka pendek untuk
tinggi terhadap isoniazid, namun seringkali masih
pengobatan MDR-TB telah mendapatkan du kungan
sensitif terhadap tioamid, sebaliknya bila mutasi
dari WHO dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi
terjadi pada gen inh A menyebabkan resistensi
antara lain, 1) proyek pengobatan dengan paduan
yang rendah terhadap isoniazid namun seringkali
jangka pendek harus melalui persetujuan dari komite
resisten terhadap tioamid. Pemberian isoniazid
etik nasional di negara yang memutuskan akan
dalam dosis 10-15 mg/kgBB/hari dapat digunakan
menggunakan paduan ini 2) pelaksanaan pengobatan
untuk membunuh Mycobacterium tuberculosis yang
harus berdasarkan standar internasional yang berlaku
mengalami resistensi pada gen inhA atau pada
3) pengamatan pelaksanaan pengobatan dengan
galur yang memiliki resistensi yang rendah terhadap
paduan jangka pendek dilakukan oleh lembaga
isoniazid, sebaliknya bila mutasi terjadi pada gen
pengawasan yang bersifat independen. Pelaksanaan
KatG ser 315 thr, penggunaan isoniazid dosis tinggi
pengobatan memer lukan dukungan dana maupun
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
119
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
sarana baik dari program penanggulangan TB nasio nal dari negara yang bersangkutan dan juga WHO dengan tujuan meningkatkan mutu PMDT di masa mendatang.11 KESIMPULAN Mutidrug resistant tuberculosis saat ini meru
DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2012 WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva; Switzerland: WHO; 2012. 2. World Health Organization. Global tuberculosis report 2013 WHO/HTM/TB/2012.6. Geneva; Switzerland: WHO; 2013.
pakan masalah kesehatan masyarakat yang penting
3. Aditama TY, Soepandi PZ. Tuberkulosis, terapi
di dunia baik dari segi morbiditas maupun mortalitas
dan masalahnya. Edisi III. Jakarta: Laboratorium
dan merupakan fenomena buatan manusia sebagai
Mikrobiologi RSUP Persahabatan/WHO Colla
efek dari masalah akibat pelayanan dan sistem
borating Center for Tuberculosis; 2000. p.31-47.
kesehatan yang buruk. Pengobatan MDR-TB yang tidak adekuat akan memberikan masalah baru yaitu
4. Aditama TY. MOTT dan MDR. J Respir Indo. 2004;241:57-9.
meningkatnya kasus resistensi sekunder, resistensi
5. Grzybowski S, Enarson DA. The fate of cases of
primer dengan galur bakteri yang lebih ganas,
pulmonary tuberculosis under various treatment
XDR-TB, efek samping pengobatan dan kematian.
programs. Bull Int Union Tuberc Lung Dis.
Pengobatan MDR-TB yang direkomendasikan WHO saat ini tidak memberikan hasil yang memuaskan. Penyebabnya diduga karena terbatasnya sarana pendukung, lemahnya peran serta pemerintah dalam membantu program pengobatan dan jangka waktu paduan yang terlalu panjang sehingga berisiko meningkatkan angka putus berobat dan efek samping akibat paparan obat lini kedua yang toksik. Proyek pengobatan menggunakan paduan jangka pendek berbasis pada penggunaan fluoro kuinolon generasi ke-4 terbukti memberikan hasil yang memuaskan terutama di negara-negara ber kembang dengan sumber daya yang terbatas. Masa pengobatan yang pendek yaitu 9 bulan, maksimalisasi obat-obat anti TB yang kuat dan penggunaan obatobatan tambahan seperti obat suntikan, klofazimin dan protionamid, menjadikan paduan jangka pendek dapat mempunyai angka keberhasilan yang tinggi serta mampu menekan angka putus berobat, efek samping obat akibat paparan obat yang toksik, dan jangka waktu pengobatan yang lama, serta kekambuhan karena munculnya resistensi selama pengobatan. World Health Organization mendukung penggunaan paduan jangka pendek untuk pengo batan MDR-TB dengan berbagai syarat dan di harapkan paduan jangka pendek dapat digunakan sebagai salah satu alternatif paduan pengobatan untuk peningkatan mutu PMDT di masa mendatang. 120
1978;53(2):70-4. 6. Van Deun A, Maug AKJ, Salim MAH, Das PK, Sarkes MR, Daru P, et al. Short highly, effective, and inexpensive standardized treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Am J respir Crit Care Med. 2010;182:684-92. 7. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC). 2nd edition. Geneva, Switzerland: WHO; 2012. 8. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: emergency update 2008. Geneva, Switzerland: WHO; 2008. 9. Depkes RI. Pedoman penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Jakarta; 2011. 10. Depkes RI. Pedoman penanggulangan tuberkulosis di Indonesia. Jakarta; 2007. 11. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drug-resistant tuberculosis: emergency update 2011. Geneva, Switzerland: WHO; 2011. 12. Chiang CY, Van Deun A, Enarson DA. A poor drug-resistant tuberculosis programme is worse than no programme: time for change. Int J Tuberc Lung Dis. 2013;17(6):714-8. 13. Ahuja SD, Ashkin D, Avendano M, Banerjee R, Bauer M, Bayona JN, et al. Mutidrug resistant pulmonary tuberculosis treatment paduans and out
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
Tamam Anugrah Tamsil: Pengobatan Multidrugs Resistant Tuberculosis (MDR-TB) dengan Paduan Jangka Pendek
comes: an individual patient data meta-analysis
susceptibility among clinical isolates of multidrug-
of 9153 patients. PloS Med. 2012;9(8):120-8.
resistant tuberculosis: correlation with ofloxacin
14. Reichman LB, Lardizabal A. Drug resistant
susceptibility. Microb Drug Resist. 2006;12:11-7.
tuberculosis: how are we doing. Int J Tuberc
23. Moloko CC, Steel HC, Fourie PB, Germishuizhen
Lung Dis. 2013;17(6):711. 15. Enarson DA. Principles of IUATLD collaborative tuberculosis programmes. Bull Int Union Tuberc Lung Dis.1991;66(4):195-200.
WA, Anderson R. Klofazimine: current status and future prospects. J Antimicrob Agents Chemother. 2012;67:290-8. 24. Lu Y, Zheng M, Wang B, Fu L, Zhao W, Peng L, et
16. Johnson JL, Hadad DJ, Boom WH. Early and
al. Activities of klofazimine against Mycobacterium
extended bacterial activity of levofloxacin, gatifloxa
tuberculosis in vitro and in vivo. Zhonghua Jie He
cin and moxifloxacin in pulmonary tuberculosis. Int
He Hu Xi Zha Zhi. 2008;31:752-5.
J Tuberc Lung Dis. 2006;10:605-12.
25. Gui XW, Xiao HP, Hu ZY, Cui ZL, Wang J, Lu
17. Conde MB, Efron A, Loredo C, De Souza GRM,
JM. In vitro activities of klofazimine against
Graca NP, Cezar MC, et al. Moxifloxacin versus
different drug-resistant types of Mycobacterium
ethambutol in early treatment of tuberculosis: a
tuberculosis. Zhonghua Jie He He Hu Xi Zha
double blind randomised controlled phase II trial.
Zhi. 2011;34(8):579-81.
Lancet. 2009;373:1183-9.
26. Lu Y, Zheng M, Wang B, Fu L, Zhao W, Peng
18. Rustomje R, Limpahardt C, Kanyok T, Davies
L, et al. Klofazimine analogs with efficacy
GR, Levin J, Mthiyane T, et al. A phase II study of
against experimental tuberculosis and reduced
the sterilising activities of ofloxacin, gatifloxacin
potential for accumulation. J Antimicrob Agents
and moxifloxacin in pulmonary tuberculosis. Int J
Chemother. 2011;51:1-25.
Tuberc Lung Dis. 2008;12(2):128-38. 19. Veziris N, Truffot-Pernot C, Aubry A, Jarlier V, Lounis N. Flouroquinolone containing third-line paduan against mycobacterium tuberculosis in vivo. J Antimicrob Agents Chemother. 2003;47:3117-22.
27. Xu HB, Jiang RH, Xiao HP. Klofazimine in the treatment of multidrug-resistant tuberculosis. Clin Microbial Infect. 2012;18:1104-10. 28. Xu HB, Jiang RH, Xiao HP, Tang SJ, Li L. Role of klofazimine in the treatment of multidrug-resistant
20. Koh WJ, Lee SH, Kang YA, Lee CH, Choi JC,
tuberculosis: a retrospective observational cohort
Lee JH, et al. Comparison of levofloxacin versus
assessment. J Antimicrob Agents Chemother.
moxifloxacin for multidrug-resistant tuberculosis.
2011; 5(6):1-4.
Am J Respir Crit Care Med. 2013;188(7):858-64.
29. Field SK, Fisher D, Jarand JM, Cowie RL.
21. Lee J, Lee CH, Kim DK, Yoon HI, Kim JY, Lee SM.
New treatment options for multidrug-resistant
Retrospective comparison of levofloxacin and
tuberculosis. Ther Adv Resp Dis. 2012;6(5):255-68.
moxifloxacin on multidrug-resistant tuberculosis
30. Katiyar SK, Bihari S, Prakash S, Mamtani M,
treatment outcomes. Korean J Intern Med.
Kulkarni H. A randomised controlled trial of high-
2011;26(2):153-9.
dose isoniazid adjuvant therapy for multidrug-
22. Kam KM, Yip CW, Cheung TL, Tang HS, Leung OC, Chan MY. Stepwise decrease in moxifloxacin
J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014
resistant tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis. 2008;12(12):139-45.
121