Fokus Fokus
MP3EI DAN PEMBANGUNAN KLASTER INDUSTRI KELAPA SAWIT DI INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Sa’id, MA.Dev Guru Besar Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor
Dwi Aryanthi, SE, MM
Alumni Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor
Agrimedia
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
45 45
D
alam tiga dekade terakhir banyak pihak yang terperangah dengan pesatnya peertumbuhan ekonomi di RRCina, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya, bahkan oleh negera-negara industri maju sekaliber Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Perancis, Rusia maupun Jepang. Walaupun kaya dalam khazanah peradaban dan budaya, tetapi RRCina belum pernah menjadi pusat teknologi unggulan dunia, sehingga inovasi teknologinya masih banyak diragukan oleh pasar global, sampai ketika Cina membuktikan bahwa negara tersebut sanggup memberi makan penduduknya yang berjumlah lebih dari 1,3 milyar orang, sanggup membuat berbagai terobosan industri otomotif, transportasi dan juga hampir semua industri kebutuhan yang diperlukan oleh peradaban modern. Keberhasilan Cina di atas, tidak mungkin terjadi tanpa program pembangunan ekonomi Cina yang terstruktur dengan baik, dan secara serentak terjadi di seluruh pelosok koridor ekonomi Cina. Di tingkat kawasan ASEAN, negara yang muncul dan berhasil melakukan transformasi ekonomi melalui pembangunan koridor ekonomi yang komprehensif dan terkawal dengan baik adalah Malaysia. Dengan berpatokan pada Vision 2020, Malaysia dalam dekade terakhir ini telah tumbuh sebagai negara ekonomi baru yang besaran Gross Domestic Product (GDP) perkapitanya sudah mendekati USD 10.000 di akhir 2013 ini. Keberhasilan Malaysia di atas sangat jelas terjadi melalui pembangunan yang intensif di enam koridor ekonomi Malaysia, yakni di Kuala Lumpur dan Sekitarnya, NCER, ECER, ISDA, Sabah, dan Serawak. Dengan semangat yang sama seperti RRCina dan Malaysia di atas, sejak bulan November 2011 yang lalu, Pemerintah Indonesia mencanangkan
46 46
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), suatu program pembangunan ekonomi yang dilakukan secara serentak di enam koridor ekonomi Indonesia, yakni koridor Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. MP3EI di atas diharapkan dapat dijadikan sebagai arah dan pedoman pembangunan ekonomi Indonesia dari tahun 2011–2025. Fokus dari pengembangan MP3EI diletakkan pada delapan program utama, diantaranya adalah pertanian, yang lebih rinci lagi dijabarkan dalam 22 kegiatan ekonomi utama, salah satu diantaranya adalah kelapa sawit (Kemenko Perekonomian, 2011). Secara konseptual kerangka desain pembangunan ekonomi MP3EI diperlihatkan pada Gambar 1. Dari gambar tersebut terlihat dengan jelas bahwa keberhasilan implementasi MP3EI akan dipengaruhi oleh 3 strategi yang diluncurkan, yakni (1) pengembangan potensi melalui koridor ekonomi, (2) penguatan konektivitas nasional, dan (3) penguatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) serta ilmu pengetahuan dan teknologi nasional. Sejak tahun 2007, bagi Indonesia kelapa sawit merupakan komoditas unggulan utama, karena kontribusi nyatanya berada di atas karet dan kakao, dua komoditas lain yang ditumbuhkembangkan melalui program MP3EI. Kelapa sawit merupakan primadona perdagangan ekspor bagi Indonesia yang kontribusinya pada GDP semakin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan berpatokduga ke Malaysia yang berhasil memperoleh devisa yang besar dari keberhasilannya membangun industri hilir kelapa sawitnya di dalam negeri, banyak produsen kelapa sawit dunia, khususnya Indonesia dan Thailand, yang berkeinginan untuk memperoleh devisa yang lebih besar dari industri kelapa sawit.
Agrimedia
Fokus
Sumber: Kemenko Perekonomian, 2012
Gambar 1. Kerangka Desain Pendekatan Masterplan P3EI Oleh karena itu, sejak dicanangkannya program hilirisasi industri kelapa sawit oleh Kementerian Perindustrian sejak beberapa tahun yang lalu, maka telah terjadi gerakan penggalakkan pengembangan industri hilir kelapa sawit, diantaranya melalui pembangunan klaster industri kelapa sawit di dalam negeri. Kebangkitan dan keberhasilan pembangunan klaster industri kelapa sawit di Indonesia diharapkan mampu menghasilkan nilai tambah industri kelapa sawit tertinggi di dalam negeri, menghindari kesulitan dalam perdagangan global produk CPO terutama di Amerika Utara dan Uni Eropa, serta memperbaiki citra dan posisi daya saing industri kelapa sawit Indonesia, yang saat ini selalu berada di bawah bayang-bayang Malaysia.
Agrimedia
Program hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia yang ditetapkan oleh Pemerintah dilaksanakan salah satu diantaranya melalui pembangunan klaster industri kelapa sawit (KIKS) di Sei Mangkei (Sumatera Utara), Dumai (Riau), serta Maloy (Kalimantan Timur) (Rajasa, 2011). Pembangunan KIKS di ketiga daerah di atas diharapkan juga dapat menandingi kemajuan industri hilir kelapa sawit Malaysia, yang secara nyata telah membangun Palm Oil Industrial Cluster di Lahad Datu (Wai and Rose, 2011), dan di lokasi strategis lainnya, diantaranya di ECER, Terengganu, wilayah Iskandar, dan lain-lain. Keberhasilan dari pembangunan dan pengembangan klaster industri di ketiga wilyah KIKS merupakan indikator keberhasilan pemerintah dan stakeholder dalam menjalankan program-program MP3EI.
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
47 47
Kondisi Klaster Industri Kelapa Sawit Indonesia dan Malaysia
dari 50 km, sehingga memudahkan dalam proses distribusi bahan baku.
Kondisi ketiga klaster industri kelapa sawit di Indonesia memang masih dalam tahap pembangunan. KIKS yang telah terbentuk saat ini dan telah beroperasi adalah KIKS Sei Mangkei dan Dumai, sedangkan KIKS Maloy masih dalam tahap pembangunan diperkirakan akan selesai di akhir tahun 2014. KIKS Sei Mangkei terletak di desa Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara dengan perusahaan inti penghela pertumbuhan (champion) adalah PTPN III. Kapasitas produksi pabrik kelapa sawit yang terletak di KIKS Sei Mengkei milik PTPN III mampu memproduksi 165 ton TBS/jam. Sementara PKS dari perusahaan perkebunan pemerintah lainnya yang ada didaerah sekitarnya mampu memproduksi 300 ton TBS/jam dan PKS swasta memiliki kapasitas produksi 104 ton/jam (Gumbira Sa’id et al, 2012). Di dalam KIKS Sei Mangkei telah selesai dibangun beberapa industri dengan status dalam tahap pengujian operasi, yakni pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) berkapasitas 75 ton/jam, pabrik tenaga listrik biomassa sawit (PLTBS) dengan kapasitas 2x3,5 MW, Pabrik Palm Kernel Oil (PKO) 400 ton/ hari. Pembangunan klaster ini dibagi ke dalam tiga tahap yaitu tahap pertama dibangun seluas 46 ha (2008–2010) kemudian dilanjutkan dengan tahap kedua seluas 104 ha (2010–2011). Tahap ketiga akan diperluas menjadi 640 ha untuk kurun waktu 2013–2018. Pembangunan KIKS Sei Mangkei di atas memiliki total luas area sekitar 640 ha, dengan dukungan pasokan bahan baku berupa minyak sawit mentah dari PTN III dan pemasok lainnya. Jarak antara perkebunan kelapa sawit sebagai pemasok bahan baku dengan KIKS Sei Mangkei dirancang kurang
Beberapa fasilitas dasar klaster yang ada di KIKS Sei Mangkei antara lain gedung perkantoran, water treatment in take and plant, unit water treatment, saluran induk, jaringan listrik, fasilitas Teknologi Informasi, perumahan karyawan, tempat ibadah, serta jalan akses masuk klaster yang telah tersedia dengan baik (Gambar 2). Infrastruktur pendukung yang terdapat di kawasan Sei Mangkei antara lain jalan raya, jalan kereta api, jalan tol Kualanamu-Tebing Tinggi, fly over Kuala Tanjung, dan peningkatan kapasitas sejumlah ruas jalan di sekitar kawasan industri sebagai jalan penghubung kawasan Sei Mangkei ke pelabuhan (Bank Indonesia, 2012). Di kawasan industri Sei Mangkei terdapat dua pelabuhan pendukung yaitu Belawan dan Kuala Tanjung. Kegiatan ekspor produk dari KIKS Sei Mangkei akan dilakukan melalui pengapalan (shipment) dari Pelabuhan Kuala Tanjung.
48 48
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
Namun demikian, pada saat ini terdapat kendala konektivitas dari KIKS Sei Mangkei karena jarak antara kawasan industri dan pelabuhan adalah sekitar 40 km, dan rel kereta api sebagai sarana perhubungan masih belum tersedia. Selain itu, pelabuhan Kuala Tanjung yang direncanakan akan dibangun, masih sangat jauh dari harapan ideal yang diinginkan. Hambatan pada operasional dan investasi di KIKS Sei Mangkei, karena secara formal KIKS di atas masih belum memiliki sarana pembangkit listrik, struktur jalan kereta api dan pelabuhan ekspor yang memadai, sehingga masih belum dapat diramalkan kemajuannya yang nyata.
Agrimedia
Fokus
Sumber: Bank Indonesia, 2012
Gambar 2. Peta Pengembangan Klaster industri Sei Mangkei Berbeda dengan KIKS Sei Mangkei, di KIKS DumaiPelintung telah terjadi aglomerasi beberapa industri hilir kelapa sawit. Saat ini, PT Wilmar Indonesia yang berlokasi di Kawasan Industri Dumai-PelintungPelintung (1038 Ha), dianggap secara informal sebagai perusahaan inti penghela pertumbuhan (champion) (Gumbira Sa’id et al, 2012). Walaupun pada saat ini sedang dilakukan penyusunan naskah akademik untuk penetapan lokasi klaster industri kelapa sawit yang diperbaharui, yang mungkin berada di luar kawasan Industri Dumai-Pelintung, namun untuk studi ini masih digunakan ketetapan areal lokasi yang lama. Luas areal klaster Dumai-Pelintung mencapai 5,084 hektar dan telah memiliki 137 unit pabrik kelapa sawit (PKS), 29 diantaranya adalah unit PKS non-kebun yang menampung produksi perkebunan rakyat dengan total kapasitas industri pengolahan CPO adalah 5.852 ton/jam. Beberapa industri yang sudah beroperasi di Kawasan Industri Dumai - Pelintung adalah PT Wilmar Nabati Indonesia (Cooking oil, PKE, CPKO), PT Ciliandra Perkasa (Refinery), PT Wilmar Bioenergi Indonesia (Biodiesel, Glycerine Refining, PFAD Biodiesel, ME Distillation), PT Petro Andalan (Fuel Trading), PT Wilmar Chemical, PT Sentana Adidaya Pratama (Distributor utama & impor bahan kimia), serta PT Murini Sam
Agrimedia
(Palm Oil Mill, Instalasi Gas Metan) (Pokja KIKS DumaiPelintung-Pelintung, 2012). Infrastruktur yang terdapat di wilayah KIKS ini antara lain transportasi (darat, laut, kereta api), serta pengembangan fasilitas umum (air minum, listrik, telekomunikasi, penanganan limbah industri). Dan rencana pengembangan infrastruktur di wilayah ini yaitu pengembangan Pelabuhan RORO dari Dumai ke Malaka, pembangunan Jalan Tol dari Pekanbaru ke Dumai, pembangunan jalan kereta api dari PekanbaruDuri-Dumai-Rantau Prapat, pembangunan prasarana komunikasi, listrik, dan air bersih, serta pengolahan limbah. Selain perbaikan infrastruktur, pembenahan aspek hukum menjadi fokus pemerintah provinsi Riau dengan tujuan yaitu menciptakan iklim investasi yang kondusif di sektor perkebunan dan industri pengolahannya melalui jaminan keamanan, kemudahan perizinan, mengurangi “high cost economy” dan memberikan insentif bagi pengusaha; pengembangan sistem pelayanan terintegrasi (one stop service) untuk memudahkan proses investasi di Kota Dumai, sehingga prosedur dan proses investasi di Kota Dumai jelas, transparan, dan dapat diselesaikan tepat waktu; pengembangan sistem tata ruang (Rencana Umum Tata Volume 18 No. 2, Desember 2013
49
Ruang) yang baik, sehingga tidak ada tumpang tindih dalam peruntukan lahan di suatu kawasan tertentu, dan tetap menjaga ruang terbuka hijau, fasilitas umum, dan fasilitas sosial secara proporsional agar kondisi lingkungan tetap nyaman. Pengembangan industri kelapa sawit di KIKS DumaiPelintung lebih diarahkan pada pengembangan investasi dan fasilitas pendukung untuk diversifikasi produk sawit (hilirisasi). Beberapa langkah untuk pengembangan investasi tersebut yaitu peningkatan investasi untuk pengembangan kawasan perkebunan kelapa sawit terintegrasi dengan klaster industrinya, penciptaan iklim yang kondusif dan rasa aman bagi investor melalui pembentukan tim pemantau kondisi iklim investas dan pelayanan pengaduan investor di Propinsi Riau, penyusunan mapping dan zoning antara luas areal kebun kelapa sawit dengan jumlah dan kapasitas oleh pabrik kelapa sawit dalam suatu kawasan tertentu, khususnya Kawasan Strategik Nasional (KSN)sebagai kawasan pengembangan industri kelapa sawit yang baru, dan peningkatan peran lembaga penelitian dan perguruan tinggi sebagai sumber teknologi maupun dukungan petani pekebun dan pelaku usaha lainnya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing minyak sawit dan produk olahan kelapa sawit Indonesia lainnya dibandingkan dengan negara pesaing (khususnya Malaysia). Kendala yang terjadi dalam KIKS Dumai-Pelintung tidak jauh berbeda dengan KIKS Sei Mangkei. Dimana, kondisi jalan raya sebagai akses penghubung transportasi darat selain kereta api hampir 70% berada dalam kondisi rusak ringan, sedang dan berat. Selain itu, pelabuhan yang ada di KIKS Dumai-Pelintung yang menunjang perdagangan produk kelapa sawit milik PT Wilmar sebagai champion di wilayah klaster tersebut. kendala
50
Volume 18 No. 2, Desember 2013
konektivitas masih menjadi masalah utama dalam klaster industri kelapa sawit karena pelabuhan dan juga kebijakan di KIKS Dumai-Pelintung masih berpihak pada pihak swasta. Klaster industri yang terkahir adalah KIKS Maloy, terletak di kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas sekitar satu juta hektar kebun kelapa sawit serta produksi CPO 2,94 juta ton/tahun (Gumbira Sa’id et al, 2012). Berbeda dengan KIKS Dumai-Pelintung dan Sei Mangkei, KIKS Maloy belum terbentuk pembangunannya baru dimulai pada tahun 2011 dan diharapkan selesai akhir tahun 2014 (Gumbira Sa’id et al, 2012). Maloy dipilih sebagai lokasi pengembangan klaster industri sawit Indonesia karena kawasan tersebut, khususnya Kalimantan Timur, memiliki sumbangan yang cukup besar terhadap produksi minyak kelapa sawit (CPO) Indonesia (Gumbira Sa’id et al, 2012). Selama kurun waktu 2009 sampai dengan 2010 terdapat 26 industri pengolah CPO dengan total kapasitas produksi sebesar 1300 ton/jam (Tim Pokja KIPI Maloy, 2012). Kawasan Maloy dinilai potensial dan sangat strategis karena berada di Lintasan Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) yang merupakan Lintasan laut perdagangan internasional dan berada di Kawasan pusat ekonomi dunia masa depan (Pacific Rim) (Pemprov Kaltim, 2010). Selain itu, kawasan Maloy sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional karena berada dalam Kawasan Andalan Sasamawa (Sangatta, Sangkulirang dan Muara Wahau). Maloy menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru wilayah timur Indonesia yang menjadi hub untuk interkoneksitas Kalimantan dan Sulawesi. Geoposisi Maloy secara jelas dapat dilihat pada Gambar 3.
Agrimedia
Fokus
Sumber: Pemprov Kaltim, 2010
Gambar 3. Geoposisi Maloy Kalimantan Timur Pembangunan KIPI Maloy telah mencapai penerbitan surat keputusan (SK) Penetapan Lokasi oleh Bupati Kutai Timur tentang kawasan Industri Maloy dan telah dilakukan kerja sama antara Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dengan PT Pelindo pada tanggal 28 September 2010 terkait dengan pembangunan pelabuhan Maloy (Pemprov Kaltim, 2010). Pada tahun 2010 dilakukan penyusunan Studi identifikasi Air Baku KIPI Maloy dan pada tahun 2011 dialokasikan anggaran sebesar Rp 15 Milyar untuk pembebasan lahan. Adapun fasilitas pelabuhan yang direncanakan di maloy, Kabupaten Kutai Timur terdiri dari Causeway (1000 m x 6 m), Tretsle (500 m x 6 m), Loading Platform (32 m x 17 m) dengan breasting dolphin dan mooring dolphin, dan dapat dilabuhi oleh kapal dengan kapasitas 70.000 DWT. Saat ini infrastruktur di Maloy belum terbentuk, kondisi infrastruktur seperti jaringan jalan, pelabuhan laut, fasilitas air bersih dan saluran listrik. Ketersediaan jalan raya menjadi salah satu sarana yang penting dalam mendorong pembangunan dan keberhasilan klaster industri Maloy nantinya. Infrastruktur jalan akan digunakan untuk menghubungkan kawasan
Agrimedia
kalster industri Maloy dengan pelabuhan dan daerah lainnya. Untuk mencapai Maloy telah dibangun jalan lintas Kalimantan yang terdiri dari 3 poros, yaitu poros Selatan, Tengah, dan Utara. Infrastruktur perhubungan darat yang tersedia telah memadai untuk angkutan antar kota dalam provinsi maupun antar kota antar provinsi. Pembangunan jembatan seperti jembatan Dondang dan Mahakam II yang memperpendek jarak tempuh Samarinda-Balikpapan merupakan bagian pembangunan Highway Sangatta (Bontang)-SamarindaBalikpapan. Pembangunan jalan pintas utara Kalimantan Timur Sangatta, Kutai Timur, dan Tanjung Redeb, Berau akan mempercepat arus angkutan barang/jasa. Beberapa program pembangunan jalan dan jembatan pada Bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur merupakan program dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Proyek pembangunan tersebut antara lain pengerjaan jalan tol Samarinda-Balikpapan, pembangunan jembatan Pulau Balang Balikpapan-Penajam Paser Utara, pelabuhan Kariangau Balikpapan, pelabuhan Palaran Samarinda dan pembangunan jalan dan pelabuhan internasional Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
51 51
Maloy di Kabupaten Kutai Timur. Oleh karena itu, pada tahun anggaran 2012 proyek-proyek di atas masih mendapat porsi alokasi APBD yang cukup besar dari Bidang Bina Marga terutama untukpembangunan belanja pengadaan konstruksi jalan akses Maloy, Kalimantan Timur. KIKS Maloy memang belum terbentuk dan masih dalam tahap pembangunan. Namun kondisi infrastruktur saat ini di Maloy sangat terbatas. Kondisi jalan raya hampir 90% rusak ringan, sedang, dan berat. Pelabuhan hanya
dapat dimasuki oleh kapal-kapal kecil ataupun kapal nelayan. Dan saat ini pelabuhan hanya digunakan untuk kegiatan bisnis perusahaan pertambangan. Pelabuhan di wilayah Kalimantan Timur sendiri terdapat beberapa pelabuhan baik yang sudah jadi maupun dalam proses perencanaan pembangunan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2. Saat ini di Kabupaten Kutai Timur terdapat tiga pelabuhan, yaitu duaberada di Sangatta (milik KPC, 1.800 m2; dan Pertamina, 725 m2), dan pelabuhan umum di Sangkulirang seluas 607 m2.
Tabel 2. Pelabuhan-pelabuhan Berserta Fasilitasnya di Kalimantan Timur Tahun 2011 Gudang (M2)
Lapangan Penumpukan (M2)
Terminal Penumpang (m2)
14.805 937 X 15
4400
19650
800
ADA
10.269 489 X 21
2450
7528
2500
IV
ADA
1200 100 X 12
700
6000
800
Tarakan Malundung
III
ADA
3750 250 X 15
1700
3224
1269
Samboja
V
-
Tanjung Laut
III
ADA
470 58,75 X 8
600
4770
300
Tanah Grogot
IV
ADA
560 70 X 8
100
3000
Sangkulirang
V
TDK ADA
607,5 40,5 X 15
Tanjung Selor
V
TDK ADA
2007 223 X 9
Pulau Bunyu
V
TDK ADA
Tanjung Redep
V
ADA
Sangatta
V
TDK ADA
Lon Tuan
III
TDK ADA
Tanjung Santan
IV
TDK ADA
Sungai Nyamuk
V
TDK ADA
Kelas
DLKR / DLKP
Beton (M2)
Samarinda
II
ADA
Semayang (Balikpapan)
II
Nunukan Tunon Taka
Pelabuhan
Peralatan (M2)
144 12 X 12
Trestle
160 X 6
300
604,12 89,5 X 6,75 464 58 X 8 272 34 X 8
256 32 X 8
189 21 X 9
130 X 75 55 X 3
16,1
100
2626
200
2-4
Sumber: Dinas Perhubungan, 2012
52 52
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
Agrimedia
Fokus Kondisi ketiga KIKS di Indonesia saat ini memang belum optimal masih pada tahap pembangunan dan pengembangan. Jika dibandingkan dengan Malaysia dilihat dari infrastruktur, manajemen klaster, dan juga pengembangan industri hilir, KIKS yang terdapat di Indonesia tertinggal. Peringkat daya saing Indonesia tahun 2010–2011 berada pada posisi 44, sedangkan Malaysia berada pada posisi 26 (World Economic Forum, 2011). Hal ini disebabkan pembangunan industri kelapa sawit di Malaysia memang lebih difokuskan pada sektor hilir dengan pembangunan industri/ manufaktur pengolahan produk kelapa sawit. Terlihat dari proyekproyek manufaktur yang diterima oleh Malaysia pada rentan waktu 2008–2012 sekitar 70.8% atau sekitar 3,005 proyek pembangunan manufaktur adalah untuk produksi, 18,4% atau 783 proyek untuk active palnning, 4,9% atau 208 proyek untuk machinery installation and factory construction, sisanya sekita 5,9% atau 249 proyek lainnya belum terlaksana (Malaysia Investment Development, 2012). Selain itu, faktor lainnya adalah kesiapan infrastruktur dan fasilitas yang terdapat di klaster industri Malaysia merupakan faktor penentu berkembangnya klaster Sabah dan masuknya investor. KIKS di Malaysia terletak di beberapa lokasi strategis seperti ECER, Terengganu, dan Sabah. Sabah dan merupakan daerah yang memproduksi kelapa sawit terbesar di Malaysia dan memiliki dua KIKS yang terletak di wilayah Lahad Datu (2,032 hektar) dan Sandakan (1,120 hektar) (Malaysia Economic Corridors, 2013). KIKS atau yang biasa dikenal sebagai POIC (Palm Oil Industrial Cluster) Lahad Datu adalah KIKS pertama yang dibangun di Malaysia. Letak geografis Lahad Datu sangat strategis yaitu berada di antara Filipina dan Indonesia. Industri hilir kelapa sawit yang perkembangannya sangat baik dan direspon positif oleh investor adalah industri biomass, refinery, oleokimia, makanan, phytonutrients, biodiesel, palm kernel milling, dan industri jasa pendukung. Lahad Datu dibangun dengan dua tahap dengan total investasi mencapai RM 4.5 milyar atau sekitar Rp 15,5 milyar dengan 41 perusahaan
Agrimedia
telah berinvestasi di tahap satu dan dua (Malaysia Investment Development, 2012). Berbeda dengan Lahad Datu yang masih dalam tahap proses pembangunan, industri hilir kelapa sawit di Sindakan telah terbentuk. Infrastruktur dan fasilitas seperti dermaga liquid cargo, pelabuhan ekspor dan impor, akses jalan raya, jaringan telekomunikasi, dan sistem pembuangan dan pengolahan limbah telah terbentuk untuk memastikan para investor dapat beraktivitas di Sandakan (Malaysia Investment Development, 2012). Fasilitas yang ada di klaster industri Lahad Datu terdiri dari lembaga keuangan, pusat perdagangan, rumah sakit, perumahan. Sekolah, pusat penelitian dan pengembangan, perpustakaan, dan kawasan rekreasi serta hotel. Sebagai pusat bisnis, kawasan ini memiliki fasilitas yang sangat lengkap dengan standar internasional yang menyebabkan kawasan ini menjadi kawasan bisnis modern. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas di KIKS Malaysia menjadi faktor yang menyebabkan daya saing industri kelapa sawit Malaysia lebih unggul dan investor mau berinvetasi sangat besar di Malaysia. Jika melihat kondisi infrastruktur di Indonesia dan Malaysia sangat jauh berbeda. Menurut Iman (2013) pembangunan infrastruktur di wilayah klaster industri kelapa sawit masih diarahkan untuk ekspor dalam bentuk CPO terlihat dari: peningkatan kualitas jalan (lebar jalan dan kekuatan tekanan jalan) sepanjang perkebunan menuju penggilingan kelapa sawit kemudian ke kawasan industri maupun pelabuhan yang perlu disesuiakan dengan beban lalu lintas angkutan barang, peningkatan kapasitas dan kualitas rel kereta api di beberapa lokasi untuk mengangkut CPO dari penggilingan sampai ke pelabuhan, dan peningkatan kapasitas dan kualitas pelayanan pelabuhan untuk mengangkut produksi CPO. Infrastruktur darat di wilayah KIKS Indonesia sekitar 50% berada dalam kondisi rusak ringan, sedang, dan berat, rel kereta api juga masih dalam tahap pembangunan (Aryanthi, 2013).
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
53 53
Selain itu, infrastruktur khususnya pelabuhan yang ada di Indonesia belum mampu menampung kapal-kapal dengan beban hingga 20.000 DWT dan fasilitas-fasilitas pelabuhan yang ada di Malaysia seperti pipeline, interchange, liquid cargo, liquid dan bulk terminal belum ada di Indonesia. Sedangkan, untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan dibutuhkan dana investasi sebesar $31,5 juta (Ditjen Perhubungan Laut, 2012). Dana investasi yang sangat besar membutuhkan investor dalam negeri ataupun asing untuk mau berinvestasi di wilayah KIKS. Ketidaksiapan infrastruktur di KIKS Indonesia menyebabkan investor tidak terlalu berminat melakukan investasi di ketiga wilayah KIKS. Dan perusahaan swasta sebagai salah satu pihak yang sangat berperan penting dalam KIKS memilih untuk melakukan investasi di kawasan industri berikat sendiri. Melihat kondisi di atas, diperlukan konsistensi dan upaya pemerintah dalam menjalankan programprogram yang telah dirumuskan dalam MP3EI untuk mencapai keberhasilan pembangunan klaster industri yang ideal. Tidak hanya pemerintah, dibutuhkan kerja sama dengan pihak lain seperti perusahaan, masyarakat, lembaga-lembaga penelitian, dan pihak akademisi dalam membangun dan menjalankan klaster industri. Proses penumbuhan industri biasanya hanya difokuskan pada tenaga kerja dan investasi. Faktor lainnya yang harus diperhatikan, sesuai dengan strategi utama MP3EI, faktor ketersediaan SDM dan perkembangan IPTEK merupakan faktor penentu dalam proses tersebut. sehingga, pusat penelitan dan pengendalian sistem pengelolaan kelapa sawit yang telah direncanakan dalam MP3EI perlu diarahkan diantaranya menjadi pusat teknologi hilir kelapa sawit (Iman, 2013).
Ditjen Perhubungan Laut. 2012. Kebijakan pemerintah dalam mebangun pelabuhan di Indonesia. Makalah Seminar Nasional Maritim. Bogor: Gedung perikanan IPB. Gumbira-Sa’id E, Raharja S, Pahan I, Qowim ASF, Evalia NA, dan Agustina L. 2012. Kajian kelengkapan infrastruktur dan jenis industri residen pada klaster industri kelapa sawit Indonesia dalam menunjang program MP3EI. Prosiding Seminar Nasional UNNES. Semarang : Universitas negeri Semarang, 30 Oktober 2011. Iman MS. 2013. Kelapa Sawit: Pemerintah harus konsisten dengan MP3EI [artikel]. Terhubung pada:www.sohibuliman.net [9 Desember 2013]. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI. Malaysia Economic Corridors. 2013. Palm Industrial Cluster. Terhubung pada: www.mycorridor. malaysia.gov.my [9 Desember 2013]. Pemprov Kalimantan Timur. 2010. Pembangunan Infrastruktur Propinsi Kalimantan Timur. Samarinda: Pemprov Kalimantan Timur. Tim Pokja KIKS Maloy. 2012. Pengembangan KIKS Maloy. Samarinda: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kalimantan Timur. [WEF]World Economic Forum. 2011. The Global Competitiveness Report. Geneva: World Economic Forum.
Referensi Aryanthi D. 2013. Strategi pengembangan klaster industri kelapa sawit Indonesia berbasiskan konektivitas perdagangan internasional [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis, Institut Pertanian Bogor. [BI] Bank Indonesia. 2012. Pengembangan Ekonomi Daerah. Jakarta: Bank Indonesia. Dinas Perhubungan Kalimantan Timur. 2012. Rencana Induk Pelabuhan Maloy Kalimantan Timur. Kaltim: Dinas Perhubungan Kalimantan Timur.
54 54
Volume Volume 18 18 No. No. 2, 2, Desember Desember 2013 2013
Agrimedia