KATA PENGANTAR Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Road Map Penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) yang bertujuan untuk menumbuh kembangkan suatu sistem atau jaringan yang akan meningkatkan keunggulan komperatif daerah menuju keunggulan kompetitif yang mempunyai daya saing berbasis inovasi di daerah. Road Map Penguatan SIDa disusun berdasarkan Bersama
Keputusan
Menteri Negara Riset dan Teknolgi dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Sistem Inovasi Daerah. Road Map Penguatan SIDa merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh Tim Perumus yang terdiri dari Dewan Riset Daerah (DRD) serta Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Provinsi Sumatera Barat. Sistem Inovasi Daerah (SIDa) adalah keseluruhan proses dalam satu sistem untuk
menumbuh kembangkan inovasi yang dilakukan antar
institusi pemerintah, pemerintahan daerah, lembaga kelitbangan, lembaga pendidikan, lembaga penunjang inovasi, dunia usaha, dan masyarakat di daerah yang memuat
kondisi Sistem Inovasi Daerah saat ini, tantangan
Inovasi Daerah, kondisi Sistem Inovasi Daerah yang hendak dicapai, arah dan strategi penguatan Sistem Inovasi Daerah, fokus dan program Sistem Inovasi Daerah serta rencana aksi penguatan Sistem Inovasi Daerah Provinsi Sumatera Barat untuk jangka waktu lima tahun dalam rangka meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah, daya saing daerah, serta
untuk mendukung pelaksanaan Masterplan Percepatan Dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Tahun 2011-2025 . Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang yang telah membantu dan mendukung penyusunan Road Map Penguatan SIDa
disampaiakan terima kasih.
Selanjutnya Dokumen ini diharapkan
akan menjadi pedoman atau panduan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta para stakeholder dalam upaya meningkatkan daya saing daerah melalui penguatan Sistem Inovasi Daerah yang berbasis komoditi unggulan daerah. Demikian disampaikan, semoga dokumen ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Padang,
Desember 2012
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat Kepala,
Prof. Dr. Ir. Rahmat Syahni,MS.MSc
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................
i
DAFTAR ISI .............................................................................
iii
DAFTAR TABEL .........................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..........................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
Latar Belakang .................................................... Dasar Hukum Penyusunan.................................... Maksud dan Tujuan ............................................. Hubungan antar dokumen ....................................
1 4 5 5
GAMBARAN UMUM DAERAH ..................................... 2.1. Potensi Ekonomi Daerah ...................................... 2.2. Komoditi Unggulan Dearah ................................... 2.3. Kemampuan Produksi .......................................... 2.4. Klaster Industri ....................................................
7 7 11 25 52
BAB III KONDISI SISTEM INOVASI DAERAH SAAT INI ......... 77 3.1. Kondisi Umum Iptek Daerah ................................ 77 3.2. Kondisi Sistim Inovasi Daerah ............................... 79 3.3. Tantangan dan Peluang ....................................... 82 BAB IV
KONDISI SIDa YANG AKAN DICAPAI…………………… 83 4.1. Konsep Dasar Sistim Inovasi Daerah ..................... 83 4.2. Tujuan dan Sasaran Penguatan ............................ 92
BAB V
STRATEGI DAN KEBIJAKAN ...................................... 95 5.1. Strategi Penguatan SIDa ...................................... 95 5.2. Kebijakan Penguatan SIDa ................................... 96
BAB VI
FOKUS DAN PROGRAM ............................................ 97 6.1. Fokus Penguatan Sistim Inovasi Daerah ................ 97
6.2.
Program Prioritas Penguatan Sistim Inovasi Daerah 103
BAB VII RENCANA AKSI ......................................................... 105 7.1. Aturan Pelaksanaan ............................................ 105 7.2. Rencana Aksi....................................................... 105
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Tabel 2.1
Peringkat Daya Saing Daerah Sumatera Barat di Indonesia Tahun 2002 ...........................................................
2
Kontribusi dan Pertumbuhan PDRB Sumatera Barat Menurut Sektor / Subsektor 2007-2011 ( Dalam Persentase ) ..........................................................................
8
Tabel 2.2
Pengelompokan Sektor-sektor menurut Potensi Ekonomi Daerah Berdasarkan Klassen Typology ......................... 10
Tabel 2.3
Laju Pertumbuhan Produksi Komoditi Unggulan Menurut Jenis Di Provinsi Sumatera Barat 2006-2010 .................. 15
Tabel 2.4
Indeks Koefisien Sektor dan Subsektor Provinsi Sumatera Barat 2006-2010 .......................................................... 17
Tabel 2.5
Jumlah Penyediaan Lapangan Kerja Di Sumatera Barat Menurut Jenis Komoditi Unggulan 2006-2010 ( Dalam Kk Petani ) ...................................................................... 21
Tabel 2.6
Kriteria Penilaian Skor dan Bobot Menurut Unsur Penilaian .......................................................................... 23
Tabel 2.7
Analisis Gabungan Penentuan Komoditi Provinsi Sumatera Barat ...................................................................... 24
Tabel 2.8
Luas dan Produksi Kakao Nasional dari Tahun 2000-2011 26
Tabel 2.9
Volume Dan Nilai Ekspor Serta Volume Dan Nilai Impor Kakao Nasional Dari Tahun 2000-2009 .......................... 27
Tabel 2.10 Data luas Tanaman Perkebunan Sumatera Barat ........... 29 Tabel 2.11 Luas Tanaman perkebunan Rakyat Per Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Barat dari Tahun 2006 sampai dengan Tahun 2010 .................................................... 30
Tabel 2.12 Produksi, Luas Areal dan Produktivitas Tanaman Kakao Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat Pada Tahun 2010 ................................................................ 32 Tabel 2.13 Volume dan Nilai Ekspor Kakao Provinsi Sumatera Barat 2005-2009 ................................................................... 33 Tabel 2.14 Spesifikasi Peralatan Pengolahan Kakao Yang Ada Pada Beberapa Kelompok Tani Kakao Di Provinsi Sumatera Barat .......................................................................... 40 Tabel 2.15 Luas dan Produksi Tanaman Gambir Provinsi Sumatera Barat .......................................................................... 42 Tabel 2.16 Pengembangan Komoditi yang Diprioritaskan ................ 45 Tabel 2.17 Kondisi Perikanan Tangkap Sumatera Barat .................. 48 Tabel 2.18 Produksi Ikan Laut Unggulan Bernilai Ekonomis Penting Di Sumatera Barat (2006-2011) .................................. 50 Tabel 2.19 Jumlah Nelayan Berdasarkan Kategori Di Sumatera Barat (2006 – 2010) ............................................................ 51 Tabel 2.20 Nilai Produksi Ekspor Ikan Tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus dari Tahun 2006-2009 .................... 51 Tabel 2.21 Produksi Ikan Menurut Jenis Yang Didaratkan Di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 2005-2009 Yang Potensi Untuk Industri Pembekuan ............................... 51 Tabel 2.22 Perbedaan Blue Economy dan Green Economy .............. 76 Tabel 3.1
Perkembangan Jumlah Judul Penelitian di Sumatera Barat Tahun 2006-2010 ............................................... 77
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Peta Indonesia .........................................................
3
Gambar 2.1 Sebaran Luas Pertanaman Kakao Berdasarkan Kabupaten/Kota Di Sumatera Barat Pada Tahun 2010, (diganti) ...................................................................
31
Gambar 2.2 Distribusi Jumlah Produksi Kakao Berdasarkan Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Barat Pada Tahun 2010 .............................................................
33
Gambar 2.3 Sub-Klaster Pengembangan Budidaya Tanaman Kakao
56
Gambar 2.4 Pohon Industri Komoditi Kakao .................................
57
Gambar 2.5 Sub-Klaster Fermentasi dan pengeringan Biji Kakao ....
58
Gambar 2.6 Sub-Klaster pengolahan Biji Kakao .............................
59
Gambar 2.7 Klaster Industri ( Pemanfaatan Gambir pada industri Kulit) .......................................................................
67
Gambar 2.8 Klaster Industri ( Tinta Fokus Tinta Pemilu ) ...............
68
Gambar 2.9 Klaster Industri ( Gambir Sebagai Bahan Baku Industri Kosmetik dan Farmasi) ...........................................
69
Gambar 2.10 Klaster Industri ( Kreatif Papan Partikel Berperekat Gambir ) ..................................................................
70
Gambar 2.11 Klaster Hasil Laut Dan Perikanan ...............................
75
Gambar 2.12 Model Pemanfaatan Limbah Tuna ..............................
76
Gambar 2.13 Konsep Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Sumatera Barat
88
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan perekonomian daerah mesti meningkat dan berkelanjutan untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran pada masyarakat suatu daerah. Dalam peningkatan perekonomian daerah, pemerintahan daerah beserta organ-organnya berupaya menjalankan tugas dan fungsi dengan efektif dan efisien serta memiliki strategi dan program pembangunan yang tepat. Berdasarkan perkembangan ekonomi daerah, kapasitas pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota di Sumatera Barat dalam meningkatkan pembangunan ekonomi daerah masih belum maksimal. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan lima tahun terakhir dari tingkat pertumbuhan ekonomi, PDRB, nilai ekspor, pendapatan per kapita dan prosentase pengangguran. Persoalan kapasitas tersebut disebabkan oleh belum lengkapnya infrastruktur dan sistem yang mendukung adanya inovasi daerah. Daya saing daerah Sumatera Barat sebagai daerah investasi dan industri masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia seperti di Pulau Jawa. Di kawasan Sumatera, daya saing Sumatera Barat masih di bawah Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan. Hal ini diperlihatkan pada Tabel 1.1 yang menunjukkan perbandingan capaian Sumbar dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Banyak pakar menyatakan dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa tanpa inovasi, suatu negara atau daerah tidak akan memiliki daya saing tinggi. Daya saing tinggi merupakan faktor penting dalam peningkatan ekonomi. Provinsi yang mempunyai daya saing tertinggi adalah DKI Jakarta sedangkan provinsi dengan daya saing terendah adalah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Namun demikian, sangat disadari bahwa karena studi ini dilakukan pada tahun 2002 yang lalu, sehingga besar kemungkinan peringkat daya saing daerah ini sudah mengalami perobahan dewasa ini. Di samping itu, karena penilaian dilakukan berdasarkan aspek yang cukup luas dan sebagian tidak dapat dinilai secara kuantitatif, maka penilaian juga akan cenderung menjadi kurang tepat dibandingkan dengan kondisi sesungguhnya di lapangan. Namun paling kurang telah diketahui bahwa,
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
1
daya saing merupakan faktor pendorong akselerasi pembangunan dan peningkatan ekonomi daerah. Tabel 1.1 Peringkat Daya Saing Daerah Sumatera Barat di Indonesia tahun 2002 Provinsi
DKI Jakarta Kalimantan Timur Jawa Timur Jawa Tengah Jawa Barat DIY Yokyakarta Bali Sumatera Utara Sulawesi Selatan Riau Kalimantan Tengah Lampung Jambi Sumatera Selatan Kalimantan Selatan Sumatera Barat Kalimantan Barat Sulawesi Tengah NTB Sulawesi Tenggara NTT Maluku Irian jaya Bengkulu Aceh
Kemampuan Ekonomi Daerah
Ketersediaan Infrastrukur
Iklim Investasi
1 2 3 9 13 15 8 7 5 4 12 18 22 16 6 14 20 17 19 23 21 26 11 25 24
1 6 2 8 5 3 7 11 9 10 15 4 13 14 12 17 19 18 23 20 22 21 25 24 26
1 3 9 4 2 7 12 6 10 5 8 19 20 14 23 16 11 21 24 18 13 26 17 25 22
Kualitas Sumber daya Manusia
1 6 5 3 4 2 7 8 14 20 18 10 17 11 16 13 23 21 24 19 25 12 26 18 22
Peringkat Keseluruhan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Sumber : Bank Indonesia, Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, Yokyakarta; BPFE, 2002, halaman 101-110 dengan melakukan beberapa modifikasi.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
2
Seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah memiliki Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 20112025 dengan visi Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Hal ini menjadi arah kebijakan pemerintah dalam prioritas pembangunan nasional pada berbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian, swasta, asing dan pemerintah dapat menanamkan investasi, mendirikan infarstruktur dan industri yang dapat menciptakan pertumbuhan sesuai fokus dan koridor pengembangan ekonomi yang telah ditetapkan. Sayangnya, Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi di Pulau Sumatera tidak termasuk dalam koridor utama I pengembangan ekonomi Sumatera dalam MP3EI 2011-2025 karena koridor utama tersebut hanya melalui Medan, Pekan Baru, Jambi, Palembang dan Lampung (lihat Gambar 1.1). Bagi Sumatera Barat, hal ini merupakan suatu “disadvantage”. Walaupun demikian, keterlibatan daerah Sumatera Barat tetap dapat berperan dengan menjadi pendukung untuk program pembangunan dalam MP3EI tersebut karena MP3EI membutuhkan dukungan dan pasokan untuk infrastruktur yang diinvestasikan dan industri yang dijalankan.
Gambar 1.1. Peta Indonesia Bambar 1.1 Peta Indonesia
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Sumatera Barat memerlukan peningkatan kapasitas pemerintahan dalam peningkatan ekonomi daerah dan peningkatan daya saing daerah serta keterlibatan sebagai pendukung dalam MP3EI 2011-2025. Dalam rangka hal tersebut di atas diperlukan penguatan sistem inovasi daerah secara terarah, komprehensif, terintegrasi,
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
3
dan berkesinambungan yang akan menjadi panduan untuk percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Sumatera Barat dan Indonesia terutama di Sumatera. Untuk itu, diperlukan adanya sistem inovasi daerah Sumatera Barat yang menjadi panduan dalam peningkatan kapasitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi, peningkatan daya saing ekonomi daerah dan keterlibatan daerah Sumatera Barat dalam MP3EI. Hal ini didukung oleh Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri Republik Indonesia masingmasing Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah. 1.2. Dasar Hukum Penyusunan Dasar hukum dalam penyusunan Road Map Penguatan Sistem Inovasi Daerah, antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sinas P3 IPTEK).; Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025; Permendagri Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri; Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri Nomor 03 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang penguatan SIDa; Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2025; Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 5 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015; Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 77 Tahun 2010 tentang Jakstrada IPTEK Provinsi Sumatera Barat 2011-2015;
Dasar hukum di atas diharapkan dapat mendukung programprogram pemerintah terkait dengan penguatan SIDa dalam hal kelembagaan, program, SDM, pendanaan, dan kemitraan. Kelembagaan SIDa harus mampu berkoordinasi dengan SKPD dan Lembaga-lembaga terkait lainnya baik di pusat maupun di daerah.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
4
1.3. Maksud dan Tujuan Penyusunan ini bertujuan untuk menghasilkan Road Map Penguatan Sistem Inovasi Daerah Provinsi Sumatera Barat yang menjadi pedoman untuk penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Sumatera Barat yang komprehensif dan menjadi panduan pembangunan ekonomi daerah berbasis inovasi untuk jangka menengah. 1.4. Hubungan Antar Dokumen Road Map penguatan Sistim Inovasi Daerah (SIDa) disusun bersinergi dan selaras dengan proses dan dokumen perencanaan pembangunan daerah baik dokumen jangka panjang, menengah dan tahunan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Berikut hubungan Roadmap penguatan sistem inovasi di daerah dengan berbagai dokumen perencanaan pembangunan seperti RPJPN, RPJMN, RPJPD Provinsi, RPJMD Provinsi, serta RPJPD dan RPJMD Kabupaten/Kota.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
5
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
6
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH Provinsi Sumatera Barat merupakan suatu daerah yang terletak di pantai barat pulau Sumatera berikut Kepulauan Mentawai. Topografi daerah berbukit-bukit karena dilalui oleh bukit barisan yang terhampar dari utara sampai keselatan dengan tingkat kemiringan yang cukup tinggi. Sementara itu, pada daerah ini terdapat pula hutan lindung yang cukup luas baik yang tergabung dalam Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) maupun yang terletak di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Limapuluh Kota. Akibatnya daerah yang relatif datar dan dapat digunakan sebagai lahan pertanian menjadi relatif kecil dibandingkan dengan provinsi tetangga lainnya. Kegiatan ekonomi utama penduduk adalah dalam bidang pertanian, khususnya perkebunan dan perikanan. Namun demikian, kegiatan sektor jasa, seperti transportasi, perdagangan dan jasa-jasa lainnya, ternyata juga berperan cukup penting dalam kegiatan ekonomi Provinsi Sumatera Barat. Masyarakat yang tinggal di daerah daratan umumnya beragama Islam dan berbudaya Minangkabau, sedangkan masyarakat yang tinggal di Kepulauan Mentawai umumnya beragama Kristen dan berbudaya Mentawai. Perbedaan agama dan budaya tersebut sangat mempengaruhi kebiasaan dan tingkah laku masyarakat yang akhirnya juga mempengaruhi proses pembangunan daerah.Walaupun mempunyai kondisi sosial yang beragam, ternyata kehidupan masyarakat dapat berjalan secara damai dan rukun yang ditandai dengan tidak banyaknya terjadi konflik sosial, sehingga proses pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik dan kondusif. 2.1. Potensi Ekonomi Daerah Analisis potensi pengembangan ekonomi wilayah diperlukan untuk dapat mengetahui secara makro (menyeluruh) sektor dan subsektor yang mempunyai potensi pengembangan yang relatif cukup besar. Analisis ini diperlukan mengingat masing-masing daerah mempunyai potensi pengembangan yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerah bersangkutan. Informasi ini diperlukan dalam penyusunan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Provinsi Sumatera Barat guna dapat menentukan arah dan prioritas pengembangan kegiatan inovasi daerah. Hal ini diperlukan mengingat pengembangan inovasi terkait erat dengan kelayakan ekonomis dari produk yang akan dihasilkan. Aspek kelayakan ekonomi ini menjadi lebih penting Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
7
lagi dalam era globalisasi dewasa ini dimana tingkat persaingan menjadi semakin tajam sehingga produk yang akan dapat bertumbuh dan berkembang baik adalah produk-produk yang mempunyai daya saing tinggi. Pembahasan tentang potensi ekonomi regional Provinsi Sumatera Barat dilakukan dengan memperhatikan Keuntungan Komperatif (Comperative Advantage) dari masing-masing kabupaten dan kota secara relatif dalam provinsi Sumatera Barat. Dengan cara demikian, potensi ekonomi suatu kabupaten dan kota yang diukur dengan nilai tambah dari masing-masing sektor dan subsektor dibandingkan potensi ekonomi ratarata Provinsi Sumatera Barat. Ini berarti bahwa suatu sektor atau subsektor dapat dikatakan mempunyai potensi ekonomi yang cukup besar bilamana kegiatan produksinya relatif lebih mononjol peranannya diban-dingkan dengan daerah lain, baik dari segi jumlahnya maupun pertum-buhannya. Potensi ekonomi daerah dalam hal ini dianalisis dengan memperhatikan kapasitas produksi dari masing-masing sektor ekonomi yang terdapat di daerah. Sedangkan potensi produksi tersebut diketahui dengan memperhatikan dua unsur yaitu: laju pertumbuhan nilai tambah dan kontribusi masing-masing sektor dalam perekonomian daerah. Laju pertumbuhan yang tinggi menunjukkan bahwa sektor tersebut mampu berkembang cepat dan demikian pula sebaliknya. Sedangkan kontribusi menunjukkan peranan kegiatan tersebut dalam perekonomian daerah, dan demikian pula sebaliknya. Gabungan kedua unsur ini dapat menunjukkan potensi ekonomi suatu sektor dalam perekonomian daerah. Tabel 2.1 Kontribusi dan Pertumbuhan PDRB Sumatera Barat Menurut Sektor/Subsektor 2007-2011 (Dalam Persentase) No. 1
2
a b c d e a b
Sektor/subsektor
2007
2011
Laju Pertumbuhan (Dalam %)
22,81 11,44 5.75 1,84 1,24 2,53 3,03
8.039 4.030 2.024 631 468 885 1.028
9.414 4.723 2.375 758 513 1.043 1.252
4,03 4,05 4,08 4,69 2,32 4,19 5,05
0,53
189
220
3,87
Kontribusi Terhadap PDRB 2011 (Dalam %)
Pertanian Tanam pangan & Holtikultura Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Minyak dan gas bumi Pertambangan tanpa gas
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
Nilai PDRB (Rp. Juta)
8
No.
3
4
6
7
8
9
2007 839
2011 1.031
12,14
4.209
5.010
4,05
12,14
4.209
5.010
4,05
Listrik , Gas , dan Air Minum Listrik Gas Air bersih
1,11 1,00
394 357
458 413
3,83 3,71
0,11
36
44
5,14
Bangunan
5,48
1.627
2.261
8,57
Perdagangan Perdagangan Besar dan Eceran Hotel Restoran
17,97 17,32 0,18 0,48
6.057 5.853 52 151
7.419 7.147 74 197
5,20 5,12 9,44 6,87
Pengangkutan dan Komunikasi a. pengangkutan b. komunikasi
15,25 11,14 1,15
4.527 342 1.100
6.294 459 1.698
8,59 7,63 11,46
Keuangan dan Jasa Perusahaan Bank Lembaga keuangan tanpa bank Sewa Bangunan Jasa Perusahaan
5,11 1,82 1,24 1,90 0,14
1.692 590 408 645 49
2.110 751 514 786 59
4,51 6,22 5,94 5,07 4,75
17,09 11,50 5,59 100,00 4,41
5.338 3.527 1.811 32.913
7.055 4.748 2.308 41.276
7,22 9,96 6,25
c
Penggalian
a b
Industri Pengolahan Industri migas Industri tanpa migas
a b c
5 a b c a
a b c d a b
Kontribusi Terhadap PDRB 2011 (Dalam %) 2,50
Laju Pertumbuhan (Dalam %) 5,29
Sektor/subsektor
Jasa - jasa Pemerintahan umum Swasta Jumlah Rata-rata
Sumber: Sumatera Barat Dalam Angka
Nilai PDRB (Rp. Juta)
5,82
Dengan menggunakan data PDRB yang tersedia dapat diketahui tingkat pertumbuhan dan kontribusi masing-masing sektor dalam perekonomian daerah Sumatera Barat seperti terlihat pada Tabel 2.1. Dalam periode waktu yang diambil adalah yang terakhir, yaitu 2007-2011 sesuai dengan data tersedia pada waktu penulisan rencana ini. Pada tabel ini terlihat bahwa kontribusi terbesar dalam perekonomi Sumatera Barat diberikan oleh sektor pertanian yaitu sebesar 23,84% dan disusul oleh sektor perdagangan sebesar 17,74%. Sedangkan kedalam sektor pertanian tersebut, ternyata sektor perkebunan merupakan sektor yang sangat menonjol. Akan tetapi, mengingat sektor perdagangan, pengangkutan dan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
9
komunikasi, keuangan dan jasa-jasa pada dasarnya adalah sektor jasa, maka sebenarnya perekonomian Sumatera Barat dewasa ini sudah mulai didominasi oleh sektor jasa ini. Namun demikian, peranan sektor industri dan pertambangan masih relatif kecil, sehingga Provinsi Sumatera Barat belum dapat dikatakan sebagai daerah industri. Pengelompokkan masing-masing sektor ekonomi tersebut sesuai dengan potensi pengembangannya dapat ditentukan dengan menggunakan matrik typologi Klassen. Dengan menggunakan typologi ini akan dapat diketahui sektor-sektor yang termasuk dalam kelompok sektor berpotensi tinggi, kelompok sektor tertekan, kelompok sektor berkembang dan kelompok sektor-sektor yang terbelakang. Dengan demikian, dalam rangka mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi daerah, sebaiknya pengembangan kegiatan inovasi diprioritaskan pada kelompok sektor yang berpotensi tinggi. Pengelompokkan sektor-sektor sesuai potensi ekonominya dapat dipresentasikan pada Tabel 2.2 berikut ini Tabel 2.2 Pengelompokkan Sektor-sektor Menurut Potensi Ekonomi Daerah Berdasarkan Klassen Typology Laju Pertumbuhan Kontribusi Dalam PDRB
Kontribusi Sektor Rata-Rata
Diatas
Kontribusi Sektor Dibawah rata-Rata
Laju Pertumbuhan Di atas Rata-Rata
Laju Pertumbuhan Di bawah Rata-Rata
Kelompok I Sektor Maju Bangunan, Pengangkutan, Jasa Pemerintahan dan jasa Swasta.
Kelompok II Sektor Potensial Tanaman Pangan, Perkebunan, Industri Non Migas, dan Perdagangan
Kelompok III Sektor Berkembang Hotel, Restoran, Telekomunikasi, Bank, Lembaga Keuangan Non Bank,
Kelompok IV Sektor Tertinggal Peternakan, Kehutanan, Perikanan, Pertambangan, Penggalian, Listrik, Air Bersih, Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan.
Hasil pengelompokkan yang dihasilkan dengan menggunakan Klassen Typologi adalah cukup menarik bila dikaitkan dengan upaya pengembangan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Kelompok I adalah sektor-sektor yang dapat diklasifikasikan sebagai sektor yang sudah cukup maju karena tingkat pertumbuhan dan kontribusi dalam perekonomian daerah cukup tinggi. Sektor ini umumnya tidak banyak lagi memerlukan inovasi sehingga tidak perlu masuk dalam cakupan program SIDa untuk daerah Sumatera Barat.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
10
Sektor dan subsektor yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah: Bangunan, Pengangkutan, Jasa Pemerintahan dan Jasa Swasta.
Kelompok II adalah sektor dan subsektor yang sangat potensial
untuk dikembangkan karena mempunyai kontribusi yang besar dalam perekonomian daerah, tetapi mempunyai laju pertumbuhan yang masih rendah. Sektor-sektor tersebut adalah tanaman pangan, perkebunan, industri non migas dan perdagangan. Kelompok ini potensial untuk dikembangkan melalui sistem inovasi agar pertumbuhan dan nilai tambahnya kedepan dapat ditingkatkan sehingga dampaknya terhadap peningkatan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat diperkirakan akan cukup besar.
Kelompok III adalah sektor dan subsektor yang sedang bertumbuh
cepat, tetapi peranannya dalam perekonomian daerah masih relatif kecil. Sektor dan subsektor yang termasuk dalam kelompok ini adalah: hotel, restoran, telekomunikasi, bank dan lembaga non bank. Kelompok ini juga tidak mendesak untuk dikembangkan melalui SIDa karena pertumbuhannya sudah cukup cepat walaupun peranannya dalam perekonomian daerah masih relatif kecil.
Kelompok IV adalah sektor dan subsektor yang termasuk dalam sektor yang tertinggal karena baik pertumbuhannya dan sumbangannya dalam perekonomian daerah masih kecil. Untuk saat sekarang sektor dan subsektor ini belum dapat dimasukkan ke dalam program SIDa karena baik peranan dan sumbangannya masih rekatif kecil. Mungkin dimasa mendatang bila sektor dan subsektor sudah mulai berkembang dengan baik baru akan dapat dimasukkan dalam program SIDa Provinsi Sumatera Barat. 2.2. Komoditi Unggulan Penetapan komoditi unggulan dalam Sistem Inovasi Daerah (SIDa) diperlukan untuk dapat memberikan fokus dan prioritas yang jelas dalam pelaksanaan kegiatan dan pengembangan Sistem Inovasi Daerah. Hal ini sangat penting artinya untuk dapat memberikan arah yang jelas dalam pengembangan Sistem Inovasi Daerah sehingga tujuan dan sasaran dapat diwujudkan dengan baik, walaupun dalam kondisi sumberdana dan tenaga yang dimiliki oleh daerah relatif terbatas. Dalam rangka menjaga ketepatan dan kesahihan penentuan komoditi unggulan tersebut, analisis didasarkan pada beberapa kriteria
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
11
tertentu sesuai dengan pengertian tentang komoditi unggulan serta ketersediaan data yang diperlukan. Pada dasarnya komoditi unggulan adalah produksi barang dan jasa yang diperkirakan akan dapat berkembang dengan baik sesuai dengan potensi ekonomi daerah dan merupakan tulangpunggung kegiatan ekonomi masyarakat Sumatera Barat secara umum. A. Kriteria Penetapan Komoditi Unggulan Daerah Penetapan komoditi unggulan daerah Provinsi Sumatera Barat dalam rangka pengembangan Sistem Inovasi Daerah di dasarkan pada beberapa kriteria pokok. Kriteria tersebut meliputi aspek ekonomi, sosial dan geografi. Berikut ini diuraikan dasar pemikiran dan landasan teoritis yang dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih kriteria penentuan komoditi unggulan daerah tersebut.
1) Kelayakan Ekonomi Secara umum, kelayakan ekonomi suatu produk akan sangat ditentukan oleh tingkat keuntungan yang dapat diperoleh dari hasil produksi dan penjualannya. Sedangkan keuntungan tersebut secara definisi adalah penerimaan per unit (Average Revenue) dikurangi dengan jumlah biaya produksi per unit produksi (Average Cost). Penerimaan per unit tersebut pada dasarnya adalah sama dengan harga komoditi bersangkutan. Besar kecilnya biaya produksi rata-rata perunit akan sangat bervariasi dan ditentukan oleh lokasi sumber bahan baku dan pasar. Karena itu, biaya produksi akan cendrung lebih rendah bilamana lokasi bahan baku dan pasar relatif lebih dekat dengan tempat kegiatan produksi. Disamping itu, jumlah produksi juga turut menentukan biaya produksi karena kegiatan usaha kecil akan mempunyai biaya perunit rata-rata yang lebih tinggi dari bilamana diproduksi dalam jumlah besar.
2) Keuntungan Komparatif Daerah Pada era globalisasi dan otonomi daerah sekarang ini, persaingan ekonomi dan bisnis adalah sangat tajam sekali, tidak hanya dengan produk yang berasal dari luar negeri, tetapi juga produk yang dihasilkan antar daerah. Kondisi ini dipicu oleh adanya globalisasi dalam perekonomian dunia yang semakin nyata. Disamping itu, dan pelaksanaan otonomi daerah dimana masing-masing daerah berlomba-lomba untuk terus meningkatkan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
12
pertumbuhan ekonomi daerahnya masing-masing. Dalam situasi yang demikian, komoditi yang akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah komoditi yang mempunyai daya saing cukup tinggi, baik di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Secara umum, daya saing tersebut ditentukan oleh Keuntungan Komperatif yang dimiliki oleh produk bersangkutan. Sedangkan Keuntungan Komperatif tersebut secara umum akan diketahui dengan membandingkan perkembangan jumlah produksi produk yang sama antar daerah. Secara lebih khusus, daya saing produk pada dasarnya ditentukan oleh harga dan kualitas produk yang dapat dihasilkan. Sedangkan harga akan sangat ditentukan oleh biaya produksi dan transportasi yang harus dikeluarkan oleh para pengusaha dalam menghasilkan produksi. Sedangkan kualitas produksi sangat ditentukan oleh teknologi yang digunakan dalam menghasilkan produk bersangkutan yang terlihat dari jenis peralatan produksi apakah sudah bersifat mekanisasi atau masih banyak bersifat manual.
3) Peranan Terhadap Perekonomian Rakyat Peranan terhadap kegiatan ekonomi rakyat akan diketahui dari jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan oleh kegiatan ekonomi bersangkutan. Bila jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan relatif kecil, maka hal ini menunjukkan bahwa peranan kegiatan tersebut terhadap perekonomi rakyat relatif kecil. Sebaliknya bilamana jumlah lapangan kerja yang dapat disediakan relatif besar, maka hal ini menunjukkan bahwa peranan kegiatan tersebut terhadap perekonomian rakyat juga relatif cukup besar. Sedangkan penyediaan lapangan kerja akan dapat diketahui dari jumlah pekerja yang digunakan oleh kegiatan ekonomi bersangkutan. Ketiga kriteria jelas mempunyai ukuran yang berbeda satu sama lainnya. Karena itu penggabungan ketiga kriteria tersebut untuk dapat melakukan penetapan kriteria unggulan terpaksa dilakukan dengan menggunakan sistem skor dan bobot yang ditentukan berdasarkan data yang tersedia untuk masing-masing kriteria tersebut. Sangat disadari bahwa penggunaan skor dan bobot ini bersifat subjektif karena itu pengambilan kesimpulan harus dilakukan secara hati-hati melalui sebuah Focus Group Discussion (FGD) yang baik dan berkualitas.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
13
B.
Indikator Komoditi Unggulan
Kriteria penetapan komoditi unggulan tersebut di atas tentunya memerlukan data-data tertentu yang sesuai dengan kriteria tersebut. Akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa tidak semua data yang dibutuhkan tersedia secara cukup. Akibatnya diperlukan penentuan indikator-indikator umum yang dapat mewakili kriteria tersebut. Berikut ini diberikan analisis dari beberapa indikator yang dapat digunakan sesuai dengan data yang tersedia. 1) Laju Pertumbuhan Produksi Data tentang biaya produksi rata-rata per unit cukup sulit untuk diperoleh karena memerlukan survei lapangan yang sangat intensif. Di samping itu, besar kemungkinan para petani dan memberikan indikasi bahwa keuntungan pengusaha tidak akan bersedia memberikan informasi yang sebenarnya tentang biaya produksi mereka karena hal ini merupakan rahasia bisnis. Karena itu, untuk kemudahan, perlu digunakan suatu indikator umum yang dapat mewakili variasi dalam biaya produksi tersebut. Indikator umum tersebut adalah laju pertumbuhan produksi rata-rata setiap tahunnya. Bila laju pertumbuhan produksi cukup tinggi, maka hal ini memberikan indikasi bahwa keuntungan dari kegiatan usaha tinggi sehingga mendorong para pemilik usaha untuk meningkatkan produksinya. Demikian pula sebaliknya bilamana tingkat keuntungan yang diperoleh relatif rendah. Indikator umum lainnya yang juga dapat menunjukkan kelayakan ekonomi suatu produk adalah adalah harga pasar produk yang bersangkutan. Bila harga pasar relatif tinggi, maka hal ini menujukkan bahwa komoditi bersangkutan mempunyai kelayakan ekonomi yang lebih tinggi karena dapat memberikan keuntungan yang lebih besar. Demikian pula sebaliknya bilamana harga pasar kemoditi tersebut relatif rendah, maka hal ini menunjukkan kelayakan ekonomi yang lebih rendah karena keuntungan yang akan diperoleh cendrung menjadi lebih kecil. Seperti terlihat pada Tabel 2.3 ternyata dibidang perkebunan, komoditi yang mempunyai laju pertumbuhan produksi yang sangat tinggi terdapat pada komoditi kakao dengan laju pertumbuhan 36,78%. Sedangkan komoditi karet dan sawit ternyata mempunyai laju pertumbuhan yang relatif rendah, yaitu hanya sekitar 6-7% saja rata-rata setiap tahunnya. Bahkan gambir yang merupakan komoditi khusus Sumatera Barat Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
14
ternyata laju pertumbuhannya sangat rendah yaitu rata-rata hanya sekitar 2 persen saja. Sedangkan untuk komoditi hasil kelautan ternyata ikan tuna dan ikan nila merupakan dua komoditi yang mempunyai laju pertumbuhan rata-rata yang cukup tinggi. Sangat mengherankan, produksi ikan kerapu yang sangat potensial dan mempunyai harga cukup tinggi ternyata laju pertumbuhannya sangat rendah. Tabel 2.3 Laju Pertumbuhan Produksi Komoditi Unggulan Menurut Jenis di Provinsi Sumatera Barat 2006-2010 Komoditi
Satuan
2007
2008
2009
2010
Rata-rata Pertumbuhan (%)
Perkebunan: Sawit Ton 326.580 349.317 363.904 395.586 6,60 Karet Ton 89.714 103.880 133.816 134.912 7,05 Kakao Ton 18.381 29.840 40.250 47.045 36,79 Gambir Ton 13.115 13.930 13.932 13.845 2,04 Kelautan: Tuna Ton 3.213,7 738,8 4.731,2 521,8 21,38* Tongkol Ton 20.095,2 13.979,7 20.733,8 20.149,9 0.01 Nila Ton 18.511 21.347 30.873 42.572 32,00 Kerapu Ton 16 14,8 27,1 11,98 30,00* Peternakan: Ayam Ekor 24.528.031 26.580.470 27.678.163 29.026.809 5.44 Sapi Ekor 451.511 470.627 493.098 514.112 4.23 Kerbau Ekor 190.015 196.854 202.997 207.648 2.91 *dihitung diluar data produksi tahun 2010 yang datanya sangat diragukan kebenarannya Sumber: Bappeda Provinsi Sumatera Barat
Dari indikator tersebut terlihat bahwa dari segi kelayakan ekonomi yang diukur dengan rata-rata pertumbuhan produksi ternyata untuk sektor perkebunan komoditi kakao dapat dikatakan mempunyai keunggulan yang cukup tinggi. Sedangkan untuk sektor hasil kelautan terlihat pula bahwa komoditi ikan tuna dan ikan nila merupakan komoditi unggulan provinsi Sumatera Barat. Namun demikian, keunggulan ini harus pula dikonfirmasi dengan unsur pertimbangan lainnya yaitu Keuntungan Komperatif Daerah dan peran dalam ekonomi kerakyatan.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
15
2) Koefisien lokasi Seperti dinyatakan terdahulu bahwa daya saing sangat ditentukan oleh Keuntungan Komperatif Daerah (Regional Comperative Advantage) yang dimiliki oleh masing-masing komoditi unggulan. Sedangkan indikator yang lazim dipakai untuk mengetahui tingkat Keuntungan Komperatif tersebut adalah Koefisien Lokasi (Location Quotient) yang merupakan indek perbandingan peranan masing-masing komoditi secara rekatif dalam suatu daerah. Dalam hal ini, hanya komoditi dengan nilai LQ>1 yang dapat dikatakan relatif unggul dibandingkan dengan komoditi lainnya. Sedangkan data yang digunakan dalam perhitungan indek adalah jumlah produksi masing-masing komoditi menurut wilayah penghasilnya. Karena Sistem Inovasi Daerah ini dilakukan untuk tingkat provinsi, maka perhitungan Koefisien Lokasi juga harus ditentukan untuk tingkat Provinsi Sumatera Barat. Ini berarti bahwa perhitungan Koefisien Lokasi akan diperoleh terlebih dahulu dengan jalan membagi antara jumlah produksi daerah untuk masing-masing komoditi unggulan dengan jumlah produksi unggulan yang sama pada tingkat nasional. Hasil perhitungan ini kemudian dibagi lagi dengan hasil perbandingan antara nilai PDRB Sumatera Barat dengan nilai PDB Indonesia. Seperti terlihat pada Tabel 2.4 ternyata bahwa ternyata sektor pertanian ternyata masih merupakan salah satu potensi ekonomi wilayah yang cukup penting bagi pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai LQ lebih besar dari satu yaitu 1,75 yang memperlihatkan bahwa sektor ini mempunyai Keuntungan Komperatif yang cukup tinggi dibandingkan dengan sektor yang sama secara rata-rata pada provinsi lainnya di Indonesia. Di dalam sektor pertanian tersebut terlihat pula bahwa subsektor tanaman pangan ternyata merupakan potensi ekonomi utama Provinsi Sumatera Barat. Kondisi ini terlihat dari nilai LQ yang cukup tinggi yaitu rata-rata 1,78. Sedangkan subsektor perkebunan ternyata juga merupakan potensi ekonomi wilayah yang sangat besar dengan nilai LQ rata-rata mencapai 2,75. Sedangkan subsektor Kehutanan ternyata juga mempunyai potensi pengembangan yang juga cukup tinggi dengan nilai LQ sebesar 1,71. Sedangkan subsektor perikanan dan peternakan juga mempunyai potensi pengembangan yang cukup besar yang terlihat dari nilai LQ yang lebih besar dari satu.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
16
Potensi pengembangan sektor jasa ternyata juga cukup besar dalam perekonomian daerah Sumatera Barat dan cendrung meningkat. Sektor jasa yang dimaksudkan disini adalah dalam pengertian luas yang meliputi sektor: perdagangan, perhubungan dan komunikasi, dan jasa-jasa lainnya, termasuk juga jasa pendidikan dan kesehatan. Seperti terlihat pada Tabel 2.4 potensi pembangunan yang dimiliki oleh sektor perdagangan ternyata cukup besar yang terlihat dari nilai LQ lebih besar dari satu. Potensi pengembangan subsektor perdagangan ini terutama terletak pada kegiatan perdagangan besar dan eceran dengan nilai LQ rata-rata mencapai 1,26. Perdagangan luar negeri Sumatera Barat masih didominasi oleh komoditi pertanian yang sebahagian besar merupakan bahan mentah dan setengah jadi atau hasil olahannya. Keadaan ini menunjukkan bahwa sektor industri manufaktur di Sumatera Barat masih belum berkembang. Ekspor produk industri utama berupa Karet Olahan, Semen, CPO, Minyak Inti Sawit dan Kayu Lapis. Semen merupakan produk andalan Sumatera Barat sedangkan Batubara menunjukkan tendensi produksi yang terus menurun karena menipisnya deposit tambang luar. Struktur ekspor demikian semakin memperkuat peranan sektor pertanian sebagai basis ekonomi Sumatera Barat di mana sekitar 47,4% tenaga kerja berada di sektor pertanian. Sektor penting berikutnya adalah perdagangan, hotel dan restoran yang menampung sekitar 18% jumlah angkatan kerja. Tabel 2.4 Indeks Koefisien Lokasi Sektor dan Subsektor Provinsi Sumatera Barat 2006-2010 No
Sektor/Sub-sektor
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
1. a. b. c. d. e.
Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan Perternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Pertambangan tanpa gas Penggalian Industri Pengolahan Industri tanpa migas
1.72 1.76 2.57 1.11 1.73 1.24
1.74 1.78 2.69 1.09 1.75 1.21
1.77 1.80 2.80 1.10 1.69 1.21
1.76 1.77 2.85 1.11 1.68 1.23
1.76 1.78 2.83 1.13 1.68 1.22
1,75 1.78 2,74 1,11 1,71 1,22
1.75 1.78 2.75 1.11 1.71 1.22
0.35
0.35
0.36
0.37
0.37
0,36
0.36
0.20 2.97 0.52 0.52
0.20 2.81 0.51 0.51
0.19 2.72 0.51 0.51
0.20 2.67 0.52 0.52
0.19 2.62 0.52 0.52
0,19 2.76 O,52 0,52
0.20 2.76 0.52 0.52
2. a. b. 3. a.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
17
No
Sektor/Sub-sektor
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Listrik dan Air Minum 1.76 1.80 1.74 1.62 1.51 1,69 1.68 Listrik 2.31 2.36 2.34 2.25 2.23 2,30 2.30 Air bersih 1.04 1.06 1.10 1.13 1.17 1,10 1.10 Bangunan 0.83 0.82 0.80 0.79 0.77 0,80 0.80 1.08 1.06 1.06 1.08 1,07 1.07 1.08 Perdagangan Perdagangan Besar dan 1.27 1.27 1.24 1.23 1.28 1,26 1.26 Eceran b. Hotel 0.22 0.22 0.23 0.23 0.23 0,23 0.23 c. Restoran 0.21 0.20 0.20 0.20 0.19 0,20 0.20 Pengangkutan dan 7. 2.06 1.98 1.90 1.76 1.62 1,86 1.87 Komunikasi a. Pengangkutan 2.71 2.71 2.81 2.89 2.89 2,80 2.80 b. Komunikasi 1.06 1.02 0.94 0.00 0.73 0,75 0.75 Keuangan, Persewaan, dan 8. 0.76 0.55 0.55 0.38 0.54 0,56 0.56 Jasa Perusahaan a. Bank 0.43 0.45 0.45 1.28 0.46 0,61 0.61 b. Lembaga keuangan tanpa 1.63 1.65 1.61 2.27 1.54 1,74 1.74 bank c. Jasa Perusahaan 0.09 0.09 0.09 1.14 0.08 0,30 0.30 9. Jasa- jasa 1.79 1.76 1.75 1.75 1.74 1,76 1.76 a. Pemerintahan 2.65 2.61 2.61 2.64 2.64 2,63 2.63 b. Swasta 1.07 1.07 1.07 1.07 1.05 1,06 1.06 Sumber : Perhitungan LQ tahun 2005-2009 diambil dari RPJMD provinsi Sumatera Barat 2010-2015 sedangkan untuk tahun 2010 dan angka rata-rata dihitung sendiri. 4. a. b. 5. 6. a.
Sektor jasa lainnya yang juga sangat potensial untuk dikembangkan adalah sektor perhubungan dan komunikasi dengan nilai Indek Koefisien Lokasi sebesar 1.87. Ke dalam sektor perhubungan dan komunikasi ini, subsektor perhubungan, baik darat, laut dan udara, ternyata merupakan potensi utama dengan nilai LQ mencapai 2,80. Di samping itu subsektor jasa-jasa juga mempunyai potensi yang cukup memadai dengan nilai LQ sebesar 1,76. Ke dalam sektor jasa-jasa ini, subsektor jasa pemerintah merupakan potensi pembangunan berperan cukup penting dengan nilai LQ mencapai 2,63. Salah satu potensi khusus Sumatera Barat adalah dibidang penyediaan tenaga listrik dan air minum karena didukung oleh sumberdaya alam spesifik. Sebagaimana diketahui bahwa daerah ini mempunyai Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
18
beberapa sumberdaya yang sangat potensial digunakan untuk pembangkit tenaga listrik seperti tenaga air dan batubara. Dewasa ini telah berjalan dua Pusat Listrik Tenaga Air, yaitu PLTA Maninjau dan PLTA Singkarak dengan kapasitas yang cukup besar. Karena daerah ini juga mempunyai tambang batubara, telah dibangun pula PLTU Ombilin dan sedang dibangun pula sekarang PLTU Bungus yang keduanya juga mempunyai kapasitas cukup besar. Tersedianya potensi pembangkit tenaga listrik yang cukup besar ini menyebabkan Indek Koefisien Lokasi sektor ini menjadi cukup tinggi yaitu 1,68. Kedalam sektor ini, subsektor listrik merupakan potensi utama dengan nilai LQ mencapai 2,30. Sektor industri pengolahan ternyata masih belum banyak berkembang di Sumatera Barat yang terlihat dari nilai LQ yang masih kecil dari satu. Hal yang sama juga terjadi dengan sektor pertambangan yang ternyata pertumbuhannya terus menurun karena semakin menipisnya deposit tambang luar, sedangkan eksploitasi tambang dalam memerlukan biaya produksi yang jauh lebih besar sehingga eksploitasinya sampai saat ini belum dapat dilakukan. Disamping itu, sektor jasa keuangan juga ternyata belum berkembang secara optimal di Sumatera Barat yang terlihat dari nilai LQ yang juga kecil dari satu. Namun demikian, potensi pengembangan jasa keuangan non bank kelihatannya cukup tinggi dengan nilai LQ mencapai 1,74. Potensi pembangunan wilayah Provinsi Sumatera Barat dapat dikelompokkan atas beberapa wilayah atau kawasan. Dalam hal ini pengelompokkan didasarkan pada potensi sumberdaya alam yang terkandung pada masing-masing wilayah. Analisis ini diperlukan untuk dapat merumuskan strategi dan kebijakan pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah dan kawasan bersangkutan. Pengelompokkan kawasan tersebut meliputi: (a) Kawasan Perikanan dan Kelautan, (b) Kawasan Tanaman Pangan, (c) Kawasan Perkebunan dan (d) Kawasan Pertambangan
Kawasan Perikanan dan Kelautan yang meliputi Kabupaten Mentawai, Pesisir Selatan, Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Sebagai daerah pantai, maka potensi pembangunan yang dimiliki kawasan ini tentunya adalah dalam bidang perikanan dan kelautan. Dewasa ini daerah-daerah perikanan yang cukup potensial untuk dikembangkan guna mendorong proses pembangunan daerah adalah Painan di Kabupaten Pesisir Selatan, Kecamatan Bungus di Kota Padang, Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
19
Kota Pariaman dan Kecamatan Sasak di Kabupaten Pasaman Barat. Kawasan Bungus sudah sejak beberapa tahun yang lalu ditetapkan sebagai pusat perikanan laut untuk kawasan Pantai Barat Pulau Sumatera ini. Hal ini dilakukan mengingat hasil penelitian terdahulu memperlihatkan bahwa lautan Samudra Indonesia yang terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Barat ini ternyata mempunyai potensi ikan tuna yang besar dengan kualitas yang sangat baik.
Kawasan Tanaman Pangan yang meliputi Kabupaten-kabupaten Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Solok dan Pasaman. Daerah ini merupakan daerah subur yang sejak lama berfungsi sebagai “lumbung pangan” Sumatera Barat dengan produksi utama adalah padi, palawija dan tanaman pangan lainnya. Untuk meningkatkan produktivitas lahan, daerah ini sudah sejak` lama dilengkapi dengan fasilitas irigasi yang cukup memadai. Dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan, kedepan daerah ini akan terus dikembangkan sebagai penghasil utama komoditi pangan untuk daerah Sumatera Barat maupun provinsi tetangga terutama Riau. Kawasan Perkebunan yang meliputi Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Dharmasraya, Solok Selatan dan Pasaman Barat. Produk utama daerah ini adalah karet, kelapa sawit dan teh yang merupakan komoditi ekspor utama Sumatera Barat. Untuk meningkatkan nilai tambah sudah dibangun pula industri karet remah (Crumb-rubber) terutama di kota Padang dan pabrik minyak sawit (Crude Palm Oil, CPO) terutama di daerah Pasaman Barat dan Dharmasraya. Kedepan kawasan ini akan terus dikembangkan sebagai daerah perkebunan besar dalam rangka mendukung peningkatan ekspor daerah Sumatera Barat. Kawasan Pertambangan, yang meliputi Kota Sawahlunto dan Kabupaten Sijunjung dengan produksi utama adalah batubara. Walaupun sejak beberapa tahun terakhir ini terjadi penurunan jumlah produksi karena berkurangnya produksi tambang luar, namun demikian potensi tambang dalam sebenarnya masih sangat besar. Disamping itu kualitas batubara produksi daerah ini terkenal cukup baik dan mempunyai harga yang relatif cukup tinggi. Dalam rangka peningkatan produksi batubara daerah ini, pemerintah daerah telah mengundang beberapa investor asing baik dari Australia, Polandia dan China untuk mengelola tambang dalam yang memerlukan teknologi pertambangan yang lebih tinggi.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
20
3) Penyediaan Lapangan Kerja Indikator penyediaan lapangan kerja diperlukan untuk dapat memberikan indikasi tentang besarnya peranan dari suatu komoditi terhadap perekonomian rakyat. Logikanya adalah bahwa bilamana komoditi bersangkutan dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup besar bagi masyarakat maka ini berarti bahwa peranan komoditi tersebut dalam perekonomian rakyat juga cukup besar. Akan tetapi bilamana sebaliknya terjadi yaitu bila jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh komoditi bersangkutan hanya sedikit maka ini berarti bahwa peranannya dalam perekonomian rakyat juga relatif kecil. Data yang dapat mewakili penyediaan lapangan kerja adalah kepala keluarga (KK) yang bekerja dalam kegiatan produksi dari masing-masing komoditi. Kelemahan data ini adalah kita tidak dapat mengetahui jenis pekerjaan anggota keluarga yang sudah dewasa. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini tidak perlu dibedakan antara pekerja penuh atau pekerja paruh waktu karena informasi ini jarang tersedia. Tabel 2.5 memberikan informasi tentang penyediaan lapangan kerja untuk masing-masing komoditi unggulan untuk periode 2006-2010. Tabel 2.5 Jumlah Penyediaan Lapangan Kerja di Sumatera Barat Menurut Jenis Komoditi Unggulan 2006-2010 (Dalam KK Petani) Komoditi Perkebunan:
2007
2008
2009
2010
Rata-rata
Sawit Karet Kakao Gambir Kelautan: Peternakan: Sapi
151.422 144.660 41.320 9.674 33.382
152.244 144.545 49.522 9.727 29.769
154.545 146.645 58.632 9.727 34.984
154.693 152.535 60.076 10.466 34.584
0,71 2,64 11,50 2,53 0,53
177.647
176.188
180.236
201.654
4,01
Sumber : Bappeda Provinsi Sumatera Barat
Informasi yang diperoleh dari Tabel 2.5 menunjukkan bahwa untuk komoditi perkebunan, penyediaan lapangan pekerjaan yang terbesar adalah pada komoditi kakao karena kegiatan ini dilakukan oleh rumah tangga yang tersebar hampir diseluruh daerah Sumatera Barat. Penyediaan lapangan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
21
kerja selanjutnya yang juga cukup besar adalah dalam tanaman karet yang sudah merupakan komoditi tradisional masyarakat daerah yang kebanyakan dikelola dengan sistem perkebunan rakyat yang juga banyak menyerap tenaga kerja. Sedangkan penyediaan lapangan kerja untuk komoditi sawit diperkirakan tidaklah terlalu besar karena kegiatan ini hanya terdapat pada daerah tertentu saja dan kegiatannya dilakukan dengan sistem perkebunan besar yang tidak terlalu menggunakan banyak tenaga kerja. Penyediaan lapangan kerja untuk komoditi gambir ternyata tidak akan banyak jumlahnya karena hanya terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota saja. Untuk komoditi perikanan dan kelautan, jumlah penyerapan tenaga kerja yang terbesar adalah pada budidaya ikan nila yang merupakan kegiatan perikanan darat. Penyediaan lapangan pekerjaan untuk budidaya ikan kerapu juga belum terlalu besar karena kegiatan ini relatif masih baru bagi masyarakar Sumatera Barat. Sedangkan penyerapan tenaga kerja untuk kegiatan penangkapan tuna adalah masih sangat kecil karena kegiatan ini memerlukan alat tangkap dan jenis kapal yang besar dan modern sehingga masyarakat Sumatera Barat sampai saat ini belum terlalu banyak terlibat didalam kegiatan ini. 4)
Penentuan Komoditi Unggulan Daerah
Penentuan komoditi ungglan daerah dilakukan dengan jalan menggabungkan kesemua indikator yang digunakan sebagaimana dianalisis di atas. Akan tetapi karena masing-masing indikator menggunakan ukuran yang berbeda maka penggabungan menjadi tidak dapat dilakukan. Namun demikian penggabungan ini masih dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menggunakan Skala Lickert (1 sd 5) yang diberikan untuk masing-masing indikator tersebut. Untuk kemudahannya pembobotan juga tidak perlu dilakukan yang berarti bahwa masing-masing indikator mempunyai bobot yang sama. Pemberian bobot diberikan lebih besar kepada unsur kelayakan ekonomi sebesar 40 % sedangkan unsur lainnya adalag 30% saja. Hal ini dilakukan mengingat kelayakan ekonomi merupakan unsur utama yang memungkinkan kegiatan ekonomi tersebut tumbah dan dapat berkembang pesat dimasa mendatang. Lebih-lebih lagi dalam era globalisasi dewasa ini dimana tingkat persaingan sangat tajam sekali. Berdasarkan pertimbanghan tersebut, maka untuk dapat melakukan perhitungan skor dan bobot tersebut, terlebih dahulu perlu ditentukan kriteria dasar penilaian sebagaimana diberikan pada Tabel 2.6. Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
22
Tabel 2.6 Kriteria Penilaian Skor dan Bobot Menurut Unsur Penilaian No. A 1
2
3
Unsur Penilaian Penilaian Partial Kelayakan Ekonomi
Daya Saing
Ekonomi Kerakyatan
Indikator
Satuan
Interval
Skor
Bobot
Pertumbuhan Produksi
Persen
<4
1 (sangat rendah)
40 %
5-8
2 (rendah)
9-12
3 (sedang)
13-16
4 (tinggi)
Keuntungan Komperatif Daerah
Penerapan Tenaga Kerja
Koefisien
Orang
>16
5 (Sangat tinggi)
<0,5
1 (sangat rendah)
0,5-0,9
2 (rendah)
1,00-1,40
3 (sedang)
1,50- 2,00
4 (tinggi)
>2.00
5 (Sangat tinggi)
<500
1 (sangat rendah)
500-1.000
2 (rendah)
1.000-5.000
3 (sedang)
5.000-10.000 >10.000 B
Penilaian Gabungan
Skor x bobot
a. Unggul
30%
30%
4 (tinggi) 5 (Sangat tinggi)
400-500 <400
b. Tidak Unggul Sumber : data diolah
Setelah kriteria penilaian skor dan bobot tersebut dapat ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menilai fakta yang diberikan oleh indikator diatas dengan kriteria penilaian ini. Hasil yang diperoleh dipresentasikan pada Tabel 2.7 yang memberikan analisis gabungan dari ketiga unsur penilaian komoditi unggulan daerah. Disini terlihat bahwa dengan menggunakan metode dan kriteria penilaian sebagaimana dijelaskan diatas, maka hasil perhitungan menunjukkan bahwa komoditi unggulan provinsi Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
23
Sumatera Barat adalah kakao dan nila karena kedua komoditi ini mendapatkan hasil penilaian yang paling tinggi dari komoditi yang dianalisis. Sedangkan komoditi industri belum dapat diketahui tingkat keunggulannya karena data tidak tersedia. Kelemahan penilaian yang dilakukan dalam analisis ini adalah bahwa di dalamnya masih terdapat unsur subjektifitas karena menggunakan sistem skor dan bobot yang ditentukan sendiri oleh penulis. Untuk mengatahui kelemahan ini perlu dilakukan diskusi khusus dengan para ahli perkebunan, perikanan (Focus Group Discussion / FGD) untuk menentukan nilai skor dan bobot yang sesuai dengan kondisi sebenarnya dalam masyarakat. Kelemahan lainnya adalah bahwa dalam analisis ini belum dipertimbangkan aspek kesulitan teknis produksi dari masing-masing komoditi unggulan tersebut. Misalnya seperti komoditi unggulan kakao sebenarnya mempunyai kendala teknis yang cukup besar yaitu komoditi ini memerlukan perawatan yang cukup intensif. Bila hal ini tidak dapat dilakukan, maka tanaman ini akan rawan dimakan oleh hama kumbang penggerek yang dapat mengurangi produksi dalam jumlah besar. Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa hal ini sudah menjadi permasalahan produksi yang cukup rumit di Sumatera Barat dewasa ini. Permasalahan ini terjadi juga karena dipicu oleh sistem produksi yang diserahkan pada rumah tangga yang umumnya tidak mempunyai tenaga kerja produktif yang cukup besar. Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya rumah tangga di daerah pedesaan banyak dihuni oleh penduduk usia tua atau anak anak yang tidak dapat bekerja dengan produktivitas penuh. Sementara itu Dinas Perkebunan juga mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk melakukan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada masyarakat. Tabel 2.7 Analisis Gabungan Penentuan Komoditi Provinsi Sumatera Barat
No
Komoditi
A
Perkebunan:
1 2
Kelayakan Ekonomi
Keuntungan Kompertif Daerah BoSkor Nilai bot
Peran Dalam Ekonomi Rakyat BoSkor Nilai bot
Skor
Bobot
Nilai
Karet
2
40
80
5
30
150
3
30
Kelapa Sawit
2
40
80
5
30
150
4
30
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
Penilaian Jumlah Nilai
Kesimpulan
90
200
120
230
Tidak unggul Tidak unggul
24
No
Komoditi
Kelayakan Ekonomi
Keuntungan Kompertif Daerah BoSkor Nilai bot 5 30 150
Peran Dalam Ekonomi Rakyat BoSkor Nilai bot 5 30 150
Penilaian
3
Kakao
5
Bobot 40
3
40
120
5
30
150
3
30
90
360
unggul
Skor
Nilai 200
Jumlah Nilai 500
Kesimpulan Unggul
4
Gambir
B
Perikanan
5
Tuna
5
40
200
5
30
150
2
30
60
410
Unggul
Tongkol
5
40
200
4
30
120
5
30
150
470
Unggul
Kerapu
5
40
200
4
30
120
3
30
90
410
unggul
6
Sumber : data diolah
Berdasarkan analisis ekonomi di atas dapat disimpulkan bahwa komoditi unggulan Provinsi Sumatera Barat adalah kakao dan hasil laut yang meliputi ikan tongkol, tuna dan kerapu. Namun demikian, kebenaran analisis ekonomi ini selanjutnya harus pula dipertimbangkan analisis kemampuan produksi untuk masing-masing komoditi. Hal ini penting artinya untuk menjaga jangan sampai terjadi komoditi tersebut layak secara ekonomi tetapi proses produksinya mengandung banyak kesulitan bagi masyarakat yang melakukan kegiatan produksi tersebut. Indikasi ini dapat terjadi pada komoditi kakao dan hasil laut (tuna, tongkol dan kerapu) yang pada analisis ekonomi diatas dinyatakan unggul, tetapi ada kemungkinan pelaksanaan kegiatan produksinya dalam masyarakat tidaklah mudah karena sifat tanaman yang rawan penyakit seperti kakao atau khusus untuk tuna memerlukan kapal besar yang sulit disediakan oleh nelayan Sumatera Barat umumnya. 2.3. Kemampuan Produksi A.
Kakao
1) Luas, Produksi, Produktivitas dan Nilai Ekspor Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian telah mencatat data luas dan produksi kakao nasional semenjak tahun 1967, dimana luas tanaman kakao nasional saat itu lebih kurang seluas 12.839 ha dengan total produksi sebesar 1.233 ton. Sementara itu ekspor komoditi kakao baru tercatat pada tahun 1969 dengan volume ekspor diperkirakan baru sekitar 410 ton dari 1.763 ton produksi kakao nasional yang ada saat itu. Nilai ekspor kakao pada tahun 1969 tercatat lebih kurang sebesar 155.000 US dolar. Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
25
Pertambahan luas dan produksi tanaman kakao nasional terus menunjukkan peningkatan setiap tahun, dimana pada tahun 2011 luas tanaman kakao nasional sudah mencapai seluas 1.745.789 ha atau 136 kali luas tanaman kakao pada tahun 1967 dengan produksi sebesar 903.092 ton atau 732 kali produksi kakao pada tahun 1967. Pertambahan luas dan produksi kakao nasional ini mengindikasikan bahwa permintaan akan komoditi ini juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data luas dan produksi kakao nasional dari tahun 2000 – 2011 dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 2.8 Luas dan Produksi Kakao Nasional dari tahun 2000 – 2011 LUAS AREAL ( Ha )
NO
TAHUN
1
2000
641,133
2
2001
3
2002
4 5
PR
PBN
PRODUKSI ( Ton)
PBS
Jumlah
52,69
56,094
749,917
710,044
55,291
56,114
798,628
54,815
60,608
2003
861,099
49,913
53,211
2004
1,003,252
38,668
49,04
6
2005
1,081,102
38,295
47,649
7
2006
1,219,633
48,93
8
2007
1,272,781
57,343
9
2008
1,326,784
10
2009
11
2010
12
2011
PR
PBN
PBS
Jumlah
363,628
34,79
22,724
421,142
821,449
476,924
33,905
25,975
536,804
914,051
511,379
34,083
25,693
571,155
964,223
634,877
32,075
31,864
698,816
1,090,960
636,783
25,83
29,091
691,704
1,167,046
693,701
25,494
29,633
748,828
52,257
1,320,820
702,207
33,795
33,384
769,386
49,155
1,379,279
671,37
34,643
33,993
740,006
50,584
47,848
1,425,216
740,681
31,13
31,783
803,594
1,491,808
49,489
45,839
1,587,136
741,981
34,604
32,998
809,583
1,555,596
50,104
45,839
1,651,539
773,707
36,844
34,075
844,626
1,641,130
54,443
50,216
1,745,789
828,255
38,068
36,769
903,092
Sumber: Ditjen Perkebunan (2012)
Tabel 2.8 di atas memperlihatkan bahwa perkebunan kakao di Indonesia di dominasi oleh perkebunan rakyat, dimana pada tahun 2011 luas perkebunan kakao rakyat adalah 94 % dari total luas tanaman kakao nasional dan produksi perkebunan rakyat sejumlah 92 % dari total produksi kakao nasional. Sebagaimana komoditi dari perkebunan rakyat lainnya, tanaman kakao dari perkebunan rakyat terlihat memiliki produktivitas yang relatif lebih rendah. Hal ini tentu ikut memberi kontribusi pada rendahnya produktivitas kakao secara nasional. Pada tahun 2012 rata-rata produktivitas tanaman kakao nasional adalah sebesar 0,52 ton per ha. Data produktivitas tanaman kakao ini merupakan rata-rata dari produktivitas Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
26
tanaman kakao dari Perkebunan Rakyat sebesar 0,50 ton per ha, produktivitas perkebunan Besar Nasional 0,70 ton per ha dan produktivitas Perkebunan Besar Swasta sebesar 0,73 ton per ha. Produksi tanaman kakao di Indonesia sebagian besar di ekspor ke berbagai negara, namun disisi lain Indonesia juga tercatat melakukan impor kakao dari negara lain. Pada tahun 2009 volume ekspor kakao nasional tercatat lebih kurang sebesar 535.236 ton dengan nilai ekspor sebesar 1.413.535 US dolar. Sementara itu pada tahun yang sama Indonesia juga mengimpor kakao sebesar 46.356 ton dengan nilai sebesar 119.321 US dolar. Lebih jelasnya volume dan nilai ekspor serta volume dan nilai impor kakao nasional dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 2.9 Volume dan Nilai Ekspor serta Volume dan Nilai Impor Kakao Nasional dari tahun 2000 – 2009. No
TAHUN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumber:
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Ditjen
EKSPOR Volume (Ton) Nilai (US$) 424.089 341.860 392.072 389.262 465.622 701.034 355.726 621.022 366.855 546.560 463.632 664.338 609.035 852.778 503.522 924.157 515.523 1.268.914 535.236 1.413.535 Perkebunan (2012)
IMPOR Volume (Ton) Nilai (US$) 18.252 18.953 11.841 15.699 36.603 64.001 39.226 76.205 46.974 77.023 52.353 82.326 47.939 74.185 43.528 82.786 53.331 113.381 46.356 119.321
Tabel 2.9 di atas memperlihatkan bahwa volume dan nilai ekspor kakao nasional cendrung meningkat setiap tahun yang sama halnya dengan impor kakao dimana volume dan nilainya juga meningkat setiap tahun. Jika diperhatikan data produksi dan ekspor kakao nasional dari tahun 2000, maka terlihat bahwa lebih dari 50 % produksi kakao nasional diekspor ke berbagai negara. Data tahun 2009 memperlihatkan dari 809.583 ton produksi kakao nasional sebanyak 535.236 ton atau lebih kurang 66 % dari total produksi kakao nasional diekspor ke mancanegara. Disinyalir selama ini ekspor kakao nasional sebagian besar adalah merupakan biji kakao kering yang tidak difermentasi, sehingga di negara pengimpor biji kakao Indonesia dihargai lebih rendah dibanding biji kakao Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
27
dari negara lainnya. Disatu sisi Indonesia mengimpor biji kakao yang difermentasi dari negara lain guna memenuhi kebutuhan industri pengolahan coklat dan makanan berbahan baku coklat di dalam negeri. Kementrian Perindustrian mencatat terdapat lebih kurang sebanyak 105 perusahaan yang mengolah coklat dan makanan dari coklat di dalam negeri. Sebagian supplay bahan baku untuk memenuhi industri pengolahan coklat di dalam negeri ini dilakukan dengan mengimpor biji kakao dari beberapa negara. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapatkan biji kakao fermentasi dari dalam negeri. Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementrian Pertanian pernah mengungkapkan bahwa rata-rata produktivitas kakao Indonesia adalah sebesar 813 kg/ha/tahun. Disisi lain mutu biji kakao yang dihasilkan relatif masih rendah, sehingga di pasar Amerika biji kakao dari Indonesia terkena automatic detention sekitar US$ 300/ton. Bandingkan dengan produktivitas kakao di Pantai Gading yang mencapai 1.500 kg/ha/tahun dan produktivitas kakao di Ghana mencapai 2.000 kg/ha/tahun dengan kualitas yang baik, sehingga di pasar ekspor biji kakao mereka memperoleh harga premium lebih tinggi sekitar US$ 300/ton. Dengan demikian selisih harga kakao Pantai Gading dan Ghana dengan kakao Indonesia adalah sekitar US $ 600 per ton. Kalau tiap tahun kita mengekspor biji kakao sekitar 600.000 ton, maka kehilangan devisa sekitar US$ 360.000.000 atau setara dengan Rp 3,6 triliun. Pertumbuhan yang baik dari pasar biji kakao, produk coklat serta produk olahan coklat juga menyebabkan semakin meluasnya daerah penghasil kakao di Indonesia, termasuk Provinsi Sumatera Barat. Dari survey yang dilakukan, di beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat tanaman kakao telah dibudidayakan semenjak tahun 1980-an. Meski demikian Provinsi Sumatera Barat baru mulai mempopulerkan pengembangan budidaya tanaman kakao semenjak tahun 2006 dengan dicanangkannya provinsi ini sebagai sentra pengembangan kakao di Wilayah Barat Indonesia. Pencanangan ini kemudian memicu pengembangan tanaman kakao pada 17 dari 19 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Semenjak pencanangan sebagai daerah sentra tanaman kakao, maka tanaman ini sudah menjadi prioritas perhatian pemerintah melalui perencanaan pembangunan pertanian. Sebagai wujud perhatian tersebut, maka di dalam dokumen Rencana Pembangunan jangka Menengah (RPJM)
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
28
Provinsi Sumatera Barat tahun 2010-2015, tanaman kakao merupakan tanaman perkebunan yang akan dikembangkan dalam program dan kegiatan pembangunan pertanian lima tahun yang akan datang. Perhatian yang serius dalam pengembangan tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat, menyebabkan relatif tingginya angka pertambahan luas tanaman kakao setiap tahunnya dibandingkan dengan komoditi perkebunan lainnya. Pertumbuhan luas beberapa komoditi perkebunan di Sumatera Barat dapat di lihat pada tabel berikut. Tabel 2.10 Data luas tanaman perkebunan Provinsi Sumatera Barat NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
KOMODITI Kelapa Sawit Karet Kelapa Kakao Gambir Cassiavera Kopi Nilam Pinang
2007 291.734 149.759 90.760 49.743 19.350 38.300 47.511 2.965 9.022
2008 327.653 151.032 91.272 65.103 19.663 38.566 47.907 2.976 9.035
TAHUN
*) Termasuk perkebunan Besar Swasta Sumber : Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2011.
2009 344.351 159.039 91.367 82.450 28.335 38.741 47.413 2.997 9.007
2010 353.300 175.985 91.672 101.014*) 21,400 38.701 47.764 3.880 9.077
Tabel 2.10 di atas memperlihatkan hingga tahun 2010 tanaman kakao sudah menempati urutan ke tiga dalam hal luas penanaman dibanding tanaman perkebunan lainnya di Sumatera Barat, disamping itu tanaman kakao juga memperlihatkan tingkat pertambahan luas yang relatif paling tinggi dari tanaman perkebunan lainnya dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Data menunjukan bahwa tanaman kakao rata-rata tumbuh sebesar 29 % setiap tahun, disusul tanaman gambir sebesar 23 % setiap tahun. Sementara itu tanaman kelapa sawit hanya tumbuh rata-rata sebesar 9 % setiap tahun dan tanaman karet hanya tumbuh rata-rata sebesar 3 % setiap tahun. Sebagaimana ciri perkebunan kakao secara nasional, di Provinsi Sumatera Barat perkebunan kakao sebagian besar juga merupakan perkebunan rakyat yang tersebar pada 19 Kabupaten/Kota yang ada. Dari 19 Kabupaten/Kota yang mengembangkan tanaman kakao, yang merupakan daerah sentra utama adalah Kabupaten Pasaman diikuti oleh Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
29
Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Pasaman Barat. Pendefinisian daerah sentra di sini adalah berdasarkan pada luas penanaman dan jumlah produksi kakao yang dihasilkan. Untuk lebih jelasnya luas tanaman kakao per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dapat di lihat pada tabel berikut. Tabel 2.11 Luas Tanaman Kakao Perkebunan Rakyat Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dari Tahun 2006 sampai dengan tahun 2010.
No
Kabupaten/Kota
2005
Luas (Hektar) 2007 2008
2006
2009
2010
1
Agam
2,790
3,152
4,302
4,477
7,561
8,231
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Pasaman 50 Kota Tanah Datar Padang Pariaman Solok Pesisir Selatan Sijunjung Kep. Mentawai Solok Selatan Pasaman Barat
9,362 769 178 2,002 583 334 439 259 16 3,676
15,039 1,035 312 3,641 1,073 521 658 598 158 7,204
15,639 2,295 625 6,001 2,573 1,221 937 918 349 8,337
15,831 2,980 1,343 15,669 2,573 1,663 1,097 1,668 631 8,737
19,417 5,610 2,351 18,187 3,114 3,143 2,251 1,704 1,016 12,661
21,886 5,686 3,208 21,129 3,957 4,241 2,902 1,863 1,431 15,883
12 13 14 15 16
Dharmasraya Kota Padang Kota Pdg Panjang Kota Paya Kumbuh Kota Solok
50 64 192 20
303 152 192 27
827 268 222 34
1,202 610 5 287 99
1,918 836 15 1,084 229
2,488 1,119 20 1,472 313
17
Kota Sawahlunto
375
1,190
1,820
2,412
3,124
3,951
18
Kota Bukittinggi
3
6
13
13
20
21
19
Kota Pariaman Jumlah
24
99
246
167
515
1,213
21,136
35,360
46,627
61,464
84,756
101,014
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat, 2011
Dari tabel 2.11 di atas dapat kita perhatikan data luas pertanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat dari tahun 2006 hingga tahun 2010 telah terjadi peningkatan seluas 61.975,6 ha atau rata-rata seluas 15.493,9 ha setiap tahunnya. Pencanangan Provinsi Sumatera Barat sebagai daerah sentra pengembangan kakao di Wilayah Barat Indonesia antara lain ditandai dengan penetapan target luas tanaman kakao lebih kurang 108 ribu ha pada tahun 2010. Bila kita perhatikan data capaian luas tanaman kakao dari Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
30
Perkebunan Rakyat di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2010 yaitu seluas 98.706 ha, maka capaian luas penanaman sudah mencapai angka 91 % dari target luas tanaman kakao yang diharapkan. Jika data perkebunan rakyat ini ditambah dengan tanaman kakao dari Perkebunan Besar milik Swasta, maka luasnya sudah menjadi 101.014 ha atau mencapai 93 % dari target luas tanaman kakao pada tahun 2010. Berdasarkan sebaran luas pertanaman kakao yang ada di Provinsi Sumatera Barat, dapat kita lihat bahwa areal terluas perkebunan kakao rakyat terdapat di Kabupaten Pasaman dengan luas mencapai 22 % dari total luas tanaman kakao rakyat dan dengan produksi sebesar 31 % dari total produksi kakao rakyat yang ada di Sumatera Barat. Selanjutnya disusul oleh Kabupaten Padang Pariaman seluas 21% dari total luas perkebunan kakao rakyat dengan produksi sebesar 20% dari total produksi kakao rakyat yang ada di Sumatera Barat, dilanjutkan dengan Kabupaten Pasaman Barat dengan luas mencapai 16% dari total luas perkebunan kakao rakyat dengan produksi sebesar 14% dari total produksi karet rakyat yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Areal yang relatif luas setelah itu berturut-turut adalah Kabupaten Agam (8%) dan Lima Puluh Kota (6%). Lebih jelas sebaran luas tanaman kakao berdasarkan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2010 dapat di lihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Sebaran luas pertanaman kakao berdasarkan Kabupaten/Kota di Sumatera Barat pada tahun 2010. (diganti)
Dengan luas tanaman kakao seluas 101.014 ha pada tahun 2010 (perkebunan rakyat dan perkebunan swasta nasional), dan produksi sebesar 49.769 ton, maka rata-rata produktivitas tanaman kakao di Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
31
Sumatera Barat hanya sebesar 0,49 ton/ha/th, sementara secara teoritis potensi produktivitas tanaman kakao adalah lebih kurang 2 ton/ha/tahun. Data luas tanaman, produksi dan produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 2.11 berikut sedangkan distribusi produksi per Kabupaten/Kota dapat dilihat pada gambar 2.2. Pada tahun 2011 luas tanaman kakao Provinsi Sumatera Barat tercatat seluas 117.014 ha dengan tingkat produksi sebesar 56.000 ton. Jika diperhatikan data tahun 2011 luas dan produksi tanaman kakao Provinsi Sumatera Barat baru sekitar 7 % dari total luas dan produksi kakao nasional. Data di atas menunjukan bahwa produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat relatif rendah dari produktivitas tanaman kakao secara nasional yang sudah mencapai angka 0,52 ton/ha/tahun. Rendahnya produktivitas tanaman kakao ini, mendorong pemerintah untuk melakukan upaya agar produktivitas ini bisa mencapai angka 1,2 ton/ha/tahun. Jika angka produktivitas ini tercapai maka mulai tahun 2015 produksi biji kakao di Sumatera Barat akan mencapai angka 121 ribu ton. Jumlah ini tentu jauh meningkat dari produksi kakao yang ada saat ini yang hanya sebesar 49 ribu ton. Tabel 2.12 Produksi, luas areal dan produktivitas Tanaman Kakao Per Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada Tahun 2010 No
Kab/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kab. Agam Kab. Pasaman Kab. 50 Kota Kab. Tanah Datar Kab. Padang Pariaman Kab. Solok Kab. Pss Selatan Kab. Sijunjung Kab. Solok Selatan Kab. Pasaman Barat Kab. Dhamasraya Kota Sawahlunto Kota Pariaman Kab Mentawai
Produksi (ton)
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
5.354 15.175 2.387 1.092 9.731 1.638 1.485 1.143 421 6.817 994 1.397 231 835
Luas
Produktivitas
6.182 21.886 5.686 3.208 21.129 3.957 4.241 2.902 1.431 15.883 2.488 3.951 1.213 1.863
0,39 0,69 0,42 0,34 0,46 0,41 0,35 0,39 0,30 0,43 0,40 0,35 0,19 0,45
32
No 15 16 17
Kab/Kota
Produksi (ton)
Kota Solok Kota Payakumbuh Kota Padang
Luas
103 546 408
Total
49.769
Produktivitas
313 1.472 1.119
0,33 0,37 0,37
101.014
0,49
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. 2011.
Gambar 2.2 Distribusi Jumlah Produksi kakao Berdasarkan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat pada Tahun 2010. Sejalan dengan peningkatan produksi, ekspor kakao dari Provinsi Sumatera Barat juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Jika dilihat dari data tahun 2005 hingga tahun 2009 volume ekspor kakao dari Sumatera Barat naik rata-rata sebesar 95% per tahun dan nilai ekspor juga naik dengan rata-rata sebesar 131% per tahun. Lebih jelas volume dan nilai ekspor kakao dari Provinsi Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 2.13 Tabel 2.13 Volume dan Nilai Ekspor Kakao Provinsi Sumatera Barat 2005 – 2009 Uraian
Tahun
Volume (000 Ton)
2005 3.202
2006 5.353
2007 8.112
2008 12.284
2009 38.000
Nilai (000 USD)
3.386
4.401
10.717
27.030
80.959
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat. 2011.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
33
2) Permasalahan Salah satu sasaran pembangunan sektor pertanian adalah terwujudnya masyarakat tani yang sejahtera. Hal ini dapat dicapai bilamana hasil pertanian yang diusahakan bisa memberikan nilai profit yang tinggi bagi petani. Penciptaan nilai profit yang tinggi dapat terwujud antara lain dengan peningkatan produktivitas hasil pertanian dan peningkatan nilai tambah produk pertanian di tingkat pelaku usaha tani. Kondisi sebagaimana yang diharapkan di atas belumlah sepenuhnya dapat dicapai pada pertanian kakao di Indonesia dan Sumatera Barat khususnya. Produktivitas tanaman kakao petani masih sangat rendah dengan rata-rata 0,49 ton/ha/tahun dari potensi sebesar 2 ton/ha/tahun. Disatu sisi hampir belum ada nilai tambah dari produk olahan biji kakao yang bisa diperoleh pada tingkat pelaku usaha tani kakao. Jangankan melakukan pengolahan biji kakao, untuk melakukan fermentasi biji kakao dengan harapan dapat dijual sedikit lebih mahal itupun belum dilakukan oleh sebagian besar petani. Ada beberapa yang diduga sebagai penyebab rendahnya produktivitas tanaman kakao di Provinsi Sumatera Barat antara lain: 1. Bibit kakao yang digunakan oleh sebagian besar petani adalah merupakan bibit asalan yang dikembangan sendiri oleh petani, bukan merupakan bibit dari klon unggul. 2. Sebagian besar tanaman kakao ditanam sebagai tanaman tumpang sari dengan berbagai jenis tanaman pohon, namun tidak tertata dengan baik, sehingga tanaman kakao tidak mendapatkan pencahayaan sinar matahari yang cukup. Disisi lain ada juga petani yang mengembangkan tanaman kakao sebagai tanaman monokultur, tapi tidak disediakan tanaman pelindung yang baik, sehingga juga menyebabkan tidak berproduksinya tanaman kakao dengan baik. 3. Sebagian besar petani tidak melakukan pemupukan tanaman kakao dengan benar, sehingga tanaman kakao tidak mempunyai cukup hara untuk makanannya. 4. Sebagian besar petani tidak melakukan pemangkasan tanaman kakao dengan benar, sehingga tanaman tumbuh seperti tanaman hutan. Kondisi ini menyebabkan tidak terdistribusinya penyinaran matahari dengan baik pada pokok tanaman dan mudah berkembang biaknya hama dan penyakit pada tanaman kakao. Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
34
5. Masih rendahnya sistem pengendalian hama penyakit yang dilakukan oleh petani, sehingga hama dan penyakit disamping menyerang buah juga ada yang menyerang pokok tanaman sehingga menyebabkan tanaman menjadi mati. Disamping itu buah atau bakal buah tanaman kakao kemudian tidak berkembang dengan baik dan tidak menghasilkan biji atau kalaupun menghasilkan biji, kualitas biji menjadi sangat rendah. Tanaman kakao adalah tanaman perkebunan dengan tingkat intensitas perawatan yang relatif tinggi, diantaranya adalah pelaksanaan pemangkasan. Oleh sebab itu dari hasil wawancara yang dilakukan dengan petani dimana 1 keluarga tani dengan 1 orang Bapak dibantu oleh istri dan 1 orang anak hanya akan mampu mengelola tanaman kakao maksimal seluas 2 ha. Jika produktivitas tanaman hanya 0,5 ton/ha/tahun, maka hasil yang bisa diperoleh dari 2 ha lahan hanya sebesar 1 ton/ha/tahun. Jika harga biji kakao kering di tingkat petani sebesar Rp. 20.000,- per kg, maka pendapatan petani kakao dengan luas lahan 2 ha hanya sebesar Rp. 20 juta per tahun atau rata-rata lebih kurang Rp. 1,7 juta per bulan. Pendapatan ini tentu masih relatif rendah dibandingkan dengan upaya yang dilakukan dan dibandingkan dengan pendapatan dari komoditi lain pada luasan lahan yang sama. Menjadikan tanaman kakao sebagai produk unggulan Sumatera Barat harus diikuti dengan pemahaman yang komprehensif mulai dari budidaya tanaman hingga produk akhir bisa disajikan. Dengan demikian setiap tahapan resiko dapat diantisipasi dan inovasi dapat dilahirkan untuk menjadikan nilai tambahnya menjadi tinggi dan dinikmati masyarakat. Dari beberapa laporan bahwa serangan hama penyakit telah melumpuhkan bisnis kakao di banyak tempat. Hama penyakit utama tanaman kakao adalah Penggerek Buah Kakao (PBK) dan penyakit Vascular Streak Dieback (VSD). Hal ini mengakibatkan menurunnya produktivitas tanaman menjadi 660 kg/ha/tahun atau sebesar 37% dari produktivitas yang pernah dicapai (1.100 kg/ha/thn). Secara nasional kejadian ini mengakibatkan potensi kehilangan hasil lebih kurang sebesar 184.500 ton/thn atau setara dengan Rp 3,69 triliun per tahun. Selain menurunkan produktivitas, serangan tersebut juga menyebabkan mutu biji kakao rakyat menjadi rendah. Dengan alasan ini selain tidak difermentasinya biji kakao yang diekspor terutama ke Amerika Serikat mengakibatkan diberlakukannya pemotongan harga sebesar US$ 301,5/ton.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
35
Ada 2 produk utama yang dapat dihasilkan dari biji kakao kering yaitu lemak kakao dan bubuk kakao yang merupakan produk kering dari sisa biji yang telah dikeluarkan lemaknya. Produk coklat atau produk makanan dan minuman dari coklat adalah produk yang diolah dari bubuk kakao tersebut. Untuk menghasilkan produk coklat atau produk makanan dan minuman dari coklat yang berkualitas baik harus dengan menggunakan biji kakao yang telah difermentasi. Dengan demikian biji kakao yang difermentasi dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan biji kakao yang tidak difermentasi. Sebagian besar produk biji kakao kering yang dihasilkan petani kakao di Sumatera Barat adalah biji yang tidak difermentasi, sehingga di pasar ekspor biji kakao ini dihargai lebih murah atau sering dikenakan diskon harga dibandingkan dengan biji kakao yang dihasilkan dari negara lain. Dengan demikian harga biji kakao di tingkat petani tentu juga akan dipatok lebih murah. Fermentasi biji kakao dilakukan dengan pemeraman biji di dalam suatu wadah selama 4 - 5 hari, dengan syarat selama pemeraman itu dapat tercapai suhu fermentasi lebih kurang menjadi 45 0C. Dari praktek yang dilakukan kondisi fermentasi yang dimaskud dapat tercapai bilamana biji kakao basah dimasukan ke dalam kotak dengan kapasitas lebih kurang 40 – 50 kg setiap kotak. Kapasitas persyaratan fermentasi ini yang juga di duga menjadi salah satu penyebab tidak dilakuknnya fermentasi biji kakao pada tingkat petani. Sebagian besar petani kakao di Sumatera Barat memiliki lahan budidaya kakao yang relatif kecil (rata-rata 0,5 ha per keluarga tani), sehingga jumlah buah dan biji yang dihasilkan setiap kali pemanenen sangat kecil. Dengan demikian jelas jumlah biji yang dihasilkan petani tidak akan memenuhi persyaratan jumlah untuk dapat dilakukan fermentasi pada setiap petani. Dalam hal ini dapat kita lihat bahwa peningkatan nilai tambah pada tingkat produk primer saja masih sulit dapat diperoleh petani kakao di Sumatera Barat. Ada dua alasan utama yang dikemukakan petani kakao di Sumatera Barat untuk tidak melakukan fermentasi biji antara lain: 1.
Kecilnya volume panen biji kakao setiap petani untuk setiap kali pemanenen, sehingga tidak mencukupi volume biji untuk persyaratan dapat dilakukannya fermentasi.
2.
Hampir tidak ada perbedaan harga di tingkat pedagang pengumpul atas biji kakao yang difermentasi dengan biji yang difermentasi.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
36
Rantai perdagangan biji kakao yang sangat panjang sering pula diperbincangkan sebagai salah satu penyebab rendahnya harga kakao di tingkat petani, sementara margin yang tinggi masih diperoleh oleh pedagang kakao. Untuk itu sudah dilakukan upaya-upaya termasuk memperpendek rantai dagang kakao ini melalui pembentukan kelompok tani dan koperasi yang diharapkan dapat melakukan akses langsung ke pabrik pemakai akhir atau ke eksportir biji kakao. Upaya lain untuk memperpendek rantai perdagangan serta sekaligus memberikan nilai tambah yang tinggi bagi petani, telah dilakukan dengan mendorong dilakukannya pengolahan biji kakao menjadi produk akhir pada tingkat petani atau kelompok tani. Program ini ditandai dengan memberikan bantuan peralatan dan mesin pengolahan biji kakao ke kelompok tani atau koperasi. Pengolahan biji kakao menjadi produk hilir hingga produk makanan berbahan baku coklat untuk mendapatkan nilai tambah yang tinggi dari biji kakao pada prinsipnya tidaklah terlalu sulit. Secara sederhana tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Biji kakao difermentasi lalu dikeringkan 2. Biji yang telah kering di sangrai untuk menurunkan kadar air serta memberikan aroma yang enak. Selanjutnya pisahkan kulit ari dengan inti biji kakao. 3. Inti biji selanjutnya dihancurkan menjadi pasta kakao. 4. Pasta selanjutnya di ekstrak untuk mengeluarkan memisahkan lemak kakao dengan daging biji (ampas).
lemak
atau
5. Lemak kakao yang dihasilkan sudah bisa dipasarkan tanpa pengolahan lebih lanjut. 6. Ampas (daging biji) yang telah dikeluarkan lemaknya selanjutnya dahaluskan untuk mendapatkan bubuk kakao. Bubuk kakao ini sudah dapat digunakan untuk bahan baku pembuatan makanan ataupun minuman. Berdasarkan pada pemahaman mudahnya tahapan proses pengolahan biji kakao sampai dihasilkannya tepung kakao yang diharapkan memberikan nilai tambah yang tinggi, telah mendorong pemerintah untuk menerapkan teknologi pengolahan kakao tersebut pada tingkat petani di daerah-daerah sentra penghasil biji kakao. Di Provinsi Sumatera Barat
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
37
tercatat lebih kurang sebanyak 12 set alat pengolahan kakao telah diserahkan kepada kelompok tani dengan tujuan agar petani dapat mengolah sendiri produksi kakaonya menjadi produk hilir yang mempunyai nilai tambah tinggi. Kenyataannya di lapangan berbagai kendala terutama kendala teknis dalam melakukan pengolahan biji kakao menjadi produk hilir di tingkat petani, telah menyebabkan tidak bisa dilakukannya pengolahan kakao secara komersil oleh petani di daerah sentra produksi kakao. Dengan demikian harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dari tanaman kakao masih belum dapat diperoleh dengan baik. Pada tahapan panen dan pasca panen potensi kehilangan hasil dan turunnya mutu kakao juga terus terjadi akibat dari tata cara panen dan penanganan pasca panen yang kurang baik. Penelitian yang pernah dilakukan di Sumatera Barat dan penelitian yang pernah dilaporkan dari Kabupaten Langkat Sumatera Selatan berkaitan dengan prilaku petani pada pelaksanaan panen dan penanganan pasca panen hampir menunjukan perilaku yang sama. Penelitian ini melaporkan lebih kurang 85 % petani tidak memanen buah pada tingkat kematangan yang sempurna, 50 % petani tidak melakukan sortasi buah pada saat panen, dan 80 % biji kakao basah yang dihasilkan terkontaminasi oleh korosi logam dari alat pengupas. Pada aspek pasca panen, lebih kurang 85 % petani tidak melakukan fermentasi biji, serta tidak melakukan perendaman dan pencucian biji setelah di fermentasi bagi yang melakukan fermentasi. 3) Upaya Yang Sudah Dilakukan Banyak program peningkatan kesejahteraan petani berbasis kakao baik oleh pemerintah maupun oleh institusi lain termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang sudah dilakukan. Program-program tersebut mulai dari perbaikan sistem dan teknik budidaya kakao, pengelolaan pasca panen dengan fermentasi biji kakao hingga pengolahan biji kakao menjadi produk makanan serta pemberdayaan kelompok tani kakao. Beberapa program sudah diluncurkan untuk mengatasi permasalahan sebagaimana yang disebutkan di atas. Program tersebut antara lain; Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT), Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), serta penerapan teknologi pengendalian dengan metoda PSPsP (pemangkasan, sanitasi, panen sering dan pemupukan) untuk pengendalian PBK dan VSD serta penyediaan benih unggul (terakhir benih Somatic Embryogenesis / SE). Namun saja karena
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
38
pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil, maka hasilnya belum optimal. Untuk itu inovasi baru harus dikembangkan sehingga produktivitas tanaman kakao masyarakat bisa menjadi lebih tinggi. Secara komprehensif pada tahun 2011 guna meningkatkan produktivitas tanaman kakao, pemerintah melakukan program yang dinamai dengan Gerakan Nasional (Gernas) kakao. Gernas ini ditandai dengan tiga kegiatan pokok yaitu peremajaan tanaman kakao, rehabilitasi dan intensifikasi. Peremajaan ditujukan untuk mengganti tanaman kakao yang sudah tua, tanaman yang rusak dan tidak produktif, serta tanaman yang terserang hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat. Rehabilitasi ditujukan untuk mengganti tanaman yang kurang produktif dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan sedang. Sementara itu intensifikasi dilakukan pada kebun kakao yang tanamannya tidak terawat dan kurang pemeliharaan. Pada tingkat daerah pemerintah setempat juga telah memprogramkan berbagai kegiatan mulai dari bantuan bibit unggul, penyuluhan, dan sekolah lapang. Dalam pengertian ini upaya pemerintah dalam peningkatan produktivitas tanaman kakao rakyat terlihat sudah sangat sungguh-sungguh. Perbaikan kulitas biji kakao untuk menghasilkan biji kakao yang difermentasi juga sudah didorong dengan melakukan berbagai bentuk penyuluhan, pembentukan kelompok serta pemberian kotak fermentasi. Pembentukan kelompok ditujukan agar kekurangan jumlah biji pada tiap petani untuk dapat difermentasi dapat diatasi dengan cara melakukan fermentasi berkelompok sehingga jumlah biji untuk tiap kotak fermentasi yang memenuhi syarat dapat dicapai. Pada tingkat Provinsi Sumatera Barat upaya terakhir yang sudah dilakukan dalam meningkatkan kesejahteraan petani berbasis tanaman kakao ini adalah dengan meluncurkan program yang disebut dengan Nagari Model Kakao. Program ini merupakan pembinaan terpadu bagi petani kakao agar dapat melakukan budidaya tanaman dan penanganan pasca panen biji kakao dengan cara yang benar. Dengan demikian diharapkan produktivitas buah kakao yang dihasilkan pada nagari sasaran menjadi lebih tinggi dengan dilakukannya perbaikan aspek-aspek budidaya dengan baik serta kualitas biji kakao yang dihasilkan juga cukup tinggi. Kulitas biji kering yang baik dikarenakan biji yang diproduksi diharapkan berkualitas baik karena penerapan aspek budidaya yang baik dan pada penanganan pasca panen dilakukan fermentasi biji yang dihasilkan.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
39
Program peningkatan nilai tambah berbasis kakao yang sudah dilakukan adalah dengan memberikan bantuan peralatan dan mesin pengolahan kakao pada tingkat kelompok tani dan koperasi. Melalui peralatan dan mesin yang ada diharapkan kelompok tani dapat mengolah biji kakaonya menjadi produk hilir antara lain memproduksi lemak kakao dan bubuk kakao yang siap diolah menjadi produk makanan dan minuman. Program ini telah ditandai dengan memberikan bantuan lebih kurang sebanyak 12 set peralatan dan mesin pengolahan kakao yang sudah tersebar di beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Barat. Untuk melangkapi program pengolahan hasil ini Menristek juga telah membentuk Agrotechnopark dengan membangun rumah produksi pengolahan kakao di Kabupaten 50 Kota. Contoh spesifikasi peralatan pengolahan kakao yang pernah diperbantukan kepada masyarakat di Sumatera Barat adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2.14 Tabel 2.14 Spesifikasi Peralatan Pengolahan Kakao Yang Ada Pada Beberapa Kelompok Tani Kakao di Provinsi Sumatera Barat No
Nama Peralatan
Spesifikasi
1
Mesin Diesel
Kapasitas 20 HP
2
Kotak Fermentasi
3
Mesin Pegering (Dryer)
Kapasitas ±20 Kg biji/kotak. Ukuran 35cmx35cmx35cm, tebal 3 cm Kapasitas 1,5 ton/batch (1 batch=50 jam), sumber panas burner minyak tanah, 2 kipas aksial, penggerak mesin diesel 7 PK eks Cina. Lantai Pengering: ayakan alumunium; Rangka mesin: Baja profil kotak, dimensi 3x2x1m (PxLxT)
4
Mesin Sortasi biji kakao (grader) Mesin Sangrai (Roaster)
5 6 7
Mesin Pemecah biji dan pemisah kulit (desheller) Mesin Pemasta kasar
8 9
Kempa lemak Manual Penghalus bubuk (refiner)
10
Pencampur bubuk (mixer)
11
Mesin Alumunium Sealer
Sumber: Identifikasi
Kapasitas 1.200 kg/jam, penggerak motor bakar 5,5 PK. Transmisi pulley dan sabuk karet V Kapasitas 20 kg/batch (1 batch = 30 -45 menit). Penggerak motor listrik ½ HP Sumber Panas burner minyak tanah Kapasitas 80kg/jam, penggerak motor listrik ½ HP. Transmisi Pulley dan sabuk karet V Kapasitas 4 kg/jam, penggerak motor listrik ½ HP Transmisi Pulley dan sabuk karet Manual. Kapasitas 500 g/batch (1 batch = 5 menit) Kapasitas 8 g / batch. (1 batch = 4 jam) Penggerak motor listrik 2 HP Kapasitas 10 kg bubuk coklat/batch (1 batch = 20 menit) penggerak motor listrik 3 HP -
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
40
Dari penjelasan di atas bahwa sesungguhnya berbagai program terlihat sudah sangat komprehensif dalam pengembangan kakao di Sumatera Barat. Program tersebut mulai dari perbaikan sistem budidaya, penanganan pasca panen melalui fermentasi biji hingga pengolahan biji kakao menjadi produk hilir yang siap diolah menjadi produk makanan dan minuman. Jika sekarang ternyata permasalahan kakao untuk meningkatkan kesejahteraan petaninya belum tercapai, maka masih perlu ada upaya lain yang harus dilakukan. Gubernur Sumatera Barat pada suatu kesempatan pertemuan pada tanggal 28 Agustus 2012 mengungkapkan bahwa penanam modal asing sudah ada yang ingin membantu pengembangan kakao di Sumatera Barat. Bantuan tersebut baik dari segi peningkatan sumber daya manusia maupun dalam pengembangan produk turunan kakao. Disamping itu Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Barat saat ini telah menjadikan 10 kelompok tani di Sumatera Barat sebagai percontohan untuk pengembangan kakao fermentasi melalui kerja sama dengan PT ADM Cocoa perwakilan Singapore. Hal ini tentu merupakan angin segar bagi pengembangan industri kakao di Sumatera Barat. B.
Gambir
Gambir adalah ekstrak air panas dari daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang kemudian diendapkan, ditiriskan, dicetak dan dikeringkan. Proses pengekstraksian dilakukan dengan pengempaan baik secara tradisional maupun menggunakan alat kempa hidrolik. Sekitar 80% ekspor gambir dari Indonesia di pasok oleh Provinsi Sumatera Barat. Data BPS Provinsi Sumatera Barat (2009) menyebutkan luas tanaman Gambir Sumatera Barat lebih kurang 19.575 ha dengan total produksi 13.956 ton yang terpusat pada dua Kabupaten yaitu Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Pesisir Selatan yang keseluruhannya adalah merupakan perkebunan rakyat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.15 Dengan menggunakan data produksi di atas dan harga gambir pada tingkat petani lebih kurang sebesar Rp. 25.000,- per kg, dengan demikian total uang beredar dari komoditi gambir ini yang langsung dinikmati oleh petani (pemilik dan pengolah) lebih kurang sebesar Rp. 327,9 miliar per
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
41
tahun atau rata-rata Rp. 27,3 miliar per bulan (setara dengan 14 % APBD Provinsi Sumatera Barat tahun 2010). Tabel. 2.15 Luas dan Produksi Tanaman Gambir Provinsi Sumatera Barat No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kepulauan Mentawai Pesisir Selatan Sijunjung Padang Pariaman Agam 50 Kota Pasaman Pasaman Barat Kota Padang Kota Sawah Lunto Jumlah Tahun 2008 2007 2006 2005 2004 2003
Luas (ha) 2 4.737 84 184 384 13.336 609 140 89 10 19.575 19.350 19.121 19.658 19.457 17.800
Produksi (Ton)
Sumber: Sumatera Barat Dalam Angka (BPS 2009)
1 3.320 38 137 134 9.699 450 103 67 7 13.956 13.115 12.973 13.249 12.436 23.375
Produktivitas (ton/ha) 0,50 0,70 0,45 0,74 0,35 0,73 0,74 0,74 0,75 0,70 0,71 0,68 0,68 0,67 0,64 1,31
Dengan menggunakan data produksi di atas dan harga gambir pada tingkat petani lebih kurang sebesar Rp. 25.000,- per kg, dengan demikian total uang beredar dari komoditi gambir ini yang langsung dinikmati oleh petani (pemilik dan pengolah) lebih kurang sebesar Rp. 327,9 miliar per tahun atau rata-rata Rp. 27,3 miliar per bulan (setara dengan 14 % APBD Provinsi Sumatera Barat tahun 2010). Jika dipedomani penelitian Hasan (1994), dimana setiap ha kebun gambir terdapat lebih kurang 2.500 pokok tanaman dengan produktivitas 7,2 kg daun basah per batang per kali panen. Dengan demikian dengan pemanenan 2 kali setiap tahun akan dihasilkan total produksi daun basah lebih kurang sebesar 704.700 ton. Dengan rendemen getah gambir sebesar 10 %, maka total potensi produksi gambir Provinsi Sumatera Barat tahun 2008 lebih kurang sebesar 70.470 ton. Dengan harga Rp. 25.000,- per kg (pada bulan Agustus 2010 harga gambir di Kabupaten 50 Kota sampai pada level Rp. 30.000,- per kg), maka potensi ekonomi Gambir Sumatera Barat Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
42
menjadi sebesar Rp. 1.761,75 miliar per tahun atau Rp. 146,812 miliar per bulan. Potensi ini sekaligus juga menunjukan bahwa potensi pendapatan petani gambir seyogianya sebesar Rp. 45 juta per ha per tahun (jauh melebihi pendapatan dari pertanian kelapa sawit). Indonesia memang sebagai pemasok gambir utama dunia, tapi produk yang berasal dari tanaman yang komponen kimia dan kegunaaan utamanya sama dengan gambir masih banyak yang lain. Tanaman penting penghasil produk sejenis gambir itu adalah Mimosa (Acacia spp), Quebracho(Schinopsis spp), Kastania(Castanea sativa) dan Valonea (Quercus macrolepsi). Ekstrak tanaman-tanaman tersebut sebahagian besar digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Penggunaan gambir sebagai penyamak kulit telah sangat jauh berkurang sejak awal tahun tujuh puluhan. Komponen kimia utama gambir adalah katekin dan tanin. Katekin merupakan monomer dari tanin dimana menurut Fengel dan Wegener (1985) jika 3 sampai 8 molekul katekin membentuk polimer maka polimer yang terbentuk tergolong kepada tanin, tepatnya tanin kondensasi. Sesuai dengan struktur kimianya tersebut maka katekin dan tanin juga akan mempunyai manfaat yang berbeda pula. Katekin lebih banyak manfaatnya untuk bidang kosmetik dan farmasi sedangkan tanin utamanya digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Tanin yang diproduksi dunia 90% diantaranya digunakan sebagai penyamak kulit. Indonesia sebagai penghasil ekstrak gambir lebih banyak mengekspor yang sudah berlangsung sejak akhir abad ke 18 sampai sekarang. Pada tahun 2006 Indonesia mengekspor gambir sejumlah hampir 8000 ton(BPS,2008) dan 84% diantaranya diekspor ke India. Sebagai Provinsi penghasil utama gambir adalah Sumatera Barat disamping Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau dan Bengkulu. Di negara India gambir digunakan untuk penyegar mulut, campuran pada betel bite (seperti ramuan pada sirih kunyahan di Indonesia) dan bahan pewarna alami pada tekstil. Peningkatan kebutuhan gambir Indonesia oleh India bermula sejak pembatasan penebangan pohon katha di India pada tahun 1992. Pohon katha penghasil katekin sebagaimana yang juga terkandung dalam gambir. Gambir Indonesia sesampai di India diolah kembali untuk tujuan utama peningkatan kandungan katekin. Produk lain dari gambir Indonesia di India adalah Pan Masala yang merupakan penyegar mulut yang dijual dalam kemasan plastik. Pan Masala juga dibuat Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
43
dari berbagai komponen dan salah satunya adalah katekin(Linkenheil dan Steinmann, 1998) Gambir tidaklah seharusnya hanya digunakan sebagai ramuan penyegar mulut dan pewarna saja sebagaimana penggunaan dinegara India sebagai importer gambir utama Indonesia. Gambir dapat digunakan sebagai bahan baku perekat, bahan penyamak kulit, zat pewarna dalam spektrum yang lebih luas dan pengikat emisi formaldehid(Formaldehyde Scavenger). Bakhtiar(2011) mengelompokkan kegunaan gambir menjadi 4 kelompok : 1.
Bahan baku obat seperti untuk obat diare dan obat kumur
2.
Bahan kosmetik seperti anti aging, anti acne dan anti ketombe
3.
Bahan pada industri makanan dan minuman seperti pengawet, minuman kesehatan, teh dan permen gambir
4.
Bahan industri kimia seperti pengawet kayu, lem, anti korosi, tinta, filter AC, bahan tambahan pada pengeboran minyak bumi, zat warna dan zat samak.
Usulan untuk perbaikan pengolahan gambir telah banyak disampaikan oleh kalangan akademisi maupun oleh konsultan asing yang pernah bekerja di Sumatera Barat namun tetap belum menampakkan hasil yang maksimal. Sejalan dengan perbaikan cara pengolahan diharapkan sekalian dapat dihasilkan produk gambir kering yang lebih bermutu dan dalam bentuk yang beragam. Persoalan utama komoditi gambir adalah berfluktuasi harga jual petani. Penyebab dari hal itu adalah ketergantungan pasar ekspor. Sebenarnya gambir dapat dipasarkan dalam negeri sebagai bahan baku industri. Sesuatu yang ironis adalah pemanfaatan tannin mimosa sebagai penyamak kulit pada industri penyamakan kulit yang dikombinasikan dengan bahan penyamak khrom. Padahal mimosa, yang merupakan komoditi impor, dapat digantikan oleh gambir. Disamping itu pemanfaatan gambir dalam negeri sebagai bahan baku industri selain untuk penyamakan kulit dapat dilakukan. Dengan adanya Sistem Inovasi Daerah maka pada masa datang akan lebih mempercepat pengembangan industri yang berbahan baku gambir disamping tetap melakukan perbaikan cara pengolahan gambir di tingkat petani gambir.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
44
1)
Pengembangan Komoditi Unggulan Gambir
Dari hasil penelusuran literatur maka dapat diprioritas beberapa pengembangan komoditi gambir yang dikaitkan dengan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Pengembangan tersebut dengan mempertimbangkan teknologi yang tersedia, sumber daya manusia dan kelembagaan yang diharapkan dapat mendukung. Tabel berikut menyajikan prioritas dimaksud. Tabel 2.16 Pengembangan Komoditi yang Diprioritaskan No. 1. 2. 3 4 5 6
Pengembangan Perbaikan teknologi pengolahan Gambir sebagai penyamak kulit Gambir sebagai perekat papan partikel dengan limbah TKKS Gambir sebagai bahan baku tinta dan zat warna Gambir sebagai bahan baku anti aging, acne dan ketombe Gambir sebagai anti diare dan obat kumur
Lembaga penyedia teknologi Unand dan poli pertanian Unand
Kekuatan/ Keunggulan utama
Ketersediaan teknologi
Skala
Peningkatan mutu dan diversifikasi produk Pengganti mimosa yang diimpor Produk ramah lingkungan
Tersedia
kecil
Tersedia Tersedia
kecil menengah menengah
Tinta Pemilu tak perlu lagi diimpor
Tersedia
menengah
Unand dan Baristand
Katekin gambir sangat unggul
tersedia
menengah
Unand
Gambir sangat unggul
tersedia
Menengah
Unand
Unand
Sumber : Identifikasi dan data diolah
2) Perbaikan Teknologi Pengolahan Teknologi pengolahan gambir masih memerlukan perbaikan dengan tujuan: 1. Peningkatan rendemen pengolahan 2. Peningkatan mutu produk 3. Diversifikasi produk Peningkatan rendemen pengolahan dapat dilakukan dengan introdusir alat pengolahan yang cocok dengan kebutuhan dan budaya petani gambir. Beberapa teknologi telah tersedia yang dihasilkan oleh lembaga penelitian dan perguruan tinggi tetapi masih terkendala lambatnya adopsi oleh petani pengolah. Kegiatan selanjutnya adalah lebih banyak kepada penyediaan alat
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
45
pengolahan sebagai hasil modifikasi dan introduksinya kepada petani pengolah. Permasalahan penting sekitar mutu produk gambir adalah pencampuran gambir dengan bahan bukan gambir pada saat dilakukannya proses pengolahan. Untuk mengatasi hal itu adalah pembuatan perda tentang mutu gambir yang sudah sejak lama diinginkan tapi ternyata sulit realisasinya. Diversifikasi produk suatu hal yang perlu dilakukan kedepan sesuai dengan kebutuhan riil industri masa datang. Produk yang ditawarkan kepada konsumen saat ini pada umumnya gambir kering dengan kadar air dibawah 16% sesuai dengan SNI 031-3391.2000 dan bentuk gambir cetakan. Penawaran lain yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk: 1. Pasta gambir 2. Gambir bentuk biskuit 3. Tepung gambir 4. Gambir berkadar katekin tinggi C. Komoditi Hasil Laut Bagi Indonesia, kelautan dan perikanan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. Sekitar 2.274.629 orang nelayan dan 1.063.140 rumah tangga budidaya, menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan. 2. Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup signifikan dan cenderung meningkat dari tahun ketahun. 3. Mulai terpenuhinya kebutuhan sumber protein hewani bagi sebagian masyarakat. 4. Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia Dalam kerangka pembangunan nasional, maka peningkatan kontribusi kelautan dan perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negatif dimasa yang akan datang. Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis. Disisi lain, disadari juga bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
46
pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan makanan termasuk didalamnya ikan. Disamping itu, timbulnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telah menggeser pola makan masyarakat, khususnya sumber protein hewani dari yang bersifat “red meal” (sapi, unggas dan sebagainya) ke “white meal” (ikan). Kondisi tersebut diatas telah berimplikasi pada meningkatnya permintaan ikan dunia Dalam mengelola sumberdaya perikanan, setiap pemerintah memiliki tujuan-tujuan tertentu. Tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan pemerintah Indonesia adalah untuk memakmurkan rakyat. Disebutkan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah milik negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sejalan dengan itu, di dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004, dan disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dikemukakan bahwa pemerintah melaksanakan pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumberdaya ikan beserta lingkungannya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Arti milik negara adalah milik pemerintah. Pemerintahpun memiliki tanggung jawab untuk menata pemanfaatan sumberdaya tersebut sehingga rakyat secara maksimum dapat memetik manfaatnya. Provinsi Sumatera Barat yang berada di sisi Barat pantai Barat pulau Sumatera pada bagian Utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, bagian Selatan dengan Provinsi Bengkulu, bagian Timur dengan Provinsi Riau dan Provinsi Jambi, dan bagian Barat dengan Samudera Hindia, terdiri dari 19 (sembilan belas) kabupaten/kota, 7 (tujuh) kabupaten/kota di antaranya berhubungan dengan laut, yaitu ; Kabupaten Pasaman Barat, Agam, Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sumatera Barat mempunyai potensi kelautan dan perikanan yang relatif besar, seperti; panjang garis pantai termasuk termasuk Kepulauan Mentawai 2.543,80 km, luas perairan teritorial dan ZEE 186.500 km2, potensi lestari sumberdaya ikan (ikan pelagis besar, pelagis kecil, ikan demersal, moluska) sebesar 312.550 ton per tahun, pulau-pulau kecil 185 buah, potensi mangrove 39.832 ha, dan terumbu karang 6.974,91 ha, selain itu juga terdapat potensi padang lamun dan rumput laut, terdapat 32
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
47
lokasi pendaratan penyu, serta di Sumatera Barat telah diakomodir 6 (enam) kawasan menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Selain potensi perikanan yang terdapat di laut, Sumatera Barat juga mempunyai potensi perairan umum yang dapat dijadikan sebagai lokasi budidaya perikanan dengan luas 53.700 ha yang terdiri dari danau,sungai, telaga, dan rawa. Pada kawasan pesisir dan lautan terkandung sumberdaya alam yang cukup besar, terutama sumberdaya kelautan dan perikanan yang perlu mendapat perhatian dari pihak terkait untuk meningkatkan pemberdayaannya. Namun begitu lebih kurang 74,85% produksi perikanan adalah bersumber dari perikanan tangkap diperairan laut, 6,15% dari perairan umum, sedangkan 19% dari perikanan budidaya yang dilakukan diperairan tawar. Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang relatif besar tersebut belum banyak memberikan kesejahteraan bagi masyarakat terutama masyarakat dalam pengembangan industri dalam paket meningkatkan nilai tambah dari produk perikanan dan kelautan. Hal ini disebabkan adanya beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dalam kemasan produk perikanan dan kelautan terutama dalam pengembangan perekonomiannya melalui pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Menurut Komisi Stock Assesment Nasional, potensi perairan pantai Barat Sumatera Barat adalah 340.712 ton/tahun, dan baru termanfaatkan lebih kurang 54,9% atau 187.088 ton/tahun. Tabel 2.17 Kondisi Perikanan Tangkap Sumatera Barat No 1 2 3 4 5 6 7
Kab/Kota Kep Mentawai Pesisir Selatan Pdg Pariaman Agam Pasaman Barat Padang Pariaman
Jumlah Nelayan 3.216 13.998 4.381 2.152 2.762 6.898 1.177
Jumlah Perahu/kapal Tanpa Motor 621 951 107 437 732 110 57
Sumber : DKP Provinsi Sumatera Barat
Motor Tempel 532 773 823 102 598 694 345
0-5 19 256 125 367 32
Kapal Motor (GT) 5 - 10 10 - 20 20 – 30 54 3 195 28 8 4 2 18 237 40 33 1.095 15 49 -
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan INOVASI perekonomi daerah dalam bidang kelautan dan perikanan adalah; 1) Potensi belum digarap secara maksimal, sehingga produksi belum dapat Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
48
menunjang pengembangan kegiatan ekonomi dalam pengembangan inovasi daerah. 2) Masih kurangnya tenaga terdidik dan terlatih pada bidang kelautan dan perikanan, 3) Sentuhan teknologi dalam pengelolaan dalam pengembangan industri perikanan dan kelautan di Sumatera Barat masih belum berkembang 4) masih kurangnya kepercayaan lembaga keuangan untuk memberikan modal, 5) Kurangnya dukungan lintas sektor dalam pengembangan usaha nelayan dan investor, 6) Belum adanya mekanisme yang sistematis untuk menyusun kebijakan khusus bagi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan keluatan, dan 7) Belum maksimalnya anggaran lintas sektor baik pusat maupun daerah untuk program-program pengolahan. Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan suatu program gerakan pengembangan inovasi daerah dalam bidang perikanan dan kelautan bagi kesejahteraan ekonomi masyarakat secara menyeluruh, sehingga secara bertahap pengembangan kesejahteraan kehidupannya pada segala aspek terutama ekonomi dapat berubah ke arah yang lebih baik. Walaupun demikian sebelum suatu program dilakukan terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan diperlukan suatu badan yang menangani secara komprehensif melaksanakan dan melakukan penelitian dan kajian secara berkesinambungan sampai terbentuknya pengembangan industri dalam kemasan yang terpola pada gerakan inovasi daerah di Sumatera Barat. Penetapan indikator produk unggulan perikanan dan kelautan pada Sistem Inovasi Daerah : 1. 2. 3. 4. 5.
Produksi Nilai ekonomi Keterlibatan tenaga kerja Program yang telah dan sedang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengembangan produk perikanan dan keluatan dan dukungan Nasional Koordinasi dan sinergi berbagai program pada kawasan kabupaten/ kota dalam pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan keluatan di Sumatera Barat.
Berdasarkan indikator di atas dan melihat jumlah produksi estimasi tahunan terutama jenis ikan tongkol, tuna, cakalang (TTC) disamping tersedianya potensi ikan demersal yang hidup dikarang, seperti ikan kerapu dan genus lainnya. Khusus untuk ikan tongkol dan tuna ternyata kawasan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
49
perairan Sumatera Barat pada perairan pantai dan lepas pantai mulai dari Selat Mentawai sampai pada ZEEI di lepas pantai merupakan penghasil ikan tongkol dan tuna yang bernilai ekonomis penting dapat komoditi unggulan untuk dikonsumsi dalam negeri dan diekspor ke mancanegara. Penetapan Sumatera Barat sebagai sentral utama produksi ikan tongkol dan tuna kawasan barat Indonesia bagian barat yang dicanangkan Presiden RI pada tahun 2006 dan hasil kesepakatan IMTGT tahun 2007 di Phuket Thailand membuka peluang daerah ini untuk memodernisasi potensi sumberdaya perikanannya, khususnya ikan tuna dan tahun 2012 Kementerian Keluatan dan Perikanan RI menambah unggulan untuk wilayah barat Indonesia menjadi provinsi Sumatera Barat sebagai sentra Tuna, Tongkol dan Cakalang (TTC). Kedepan, pengembangan industri ikan tongkol dan tuna di Sumatera Barat diperkirakan akan mengalami kemajuan yang sangat pesat, karena kondisi tersebut didukung oleh topografi wilayah Sumatera Barat yang sangat strategis di Kawasan Barat Indonesia. Hal ini akan menjadi modal besar sebagai penghasil ikan tongkol dan tuna yang selama ini ditangkap di wilayah perairan Samudera Hindia dan sebagian besar didaratkan di Muara Baru Jakarta. Pada hal ada pelabuhan Bungus sebagai tempat pendaratan ikan yang lebih dekat dari lokasi atau sentral penangkapan. Tabel 2.18 Produksi Ikan laut unggulan bernilai ekonomis penting di Sumatera Barat (2006-2011) Jenis Ikan
Tahun/Ton
Tuna
2006 6.961,1
2007 3.213,7
2008 736,8
2009 4.731,2
2010 521,8
2011 4000,6
Tongkol
20.256,5
20.095,2
13.979,7
20.733,8
20.149,9
22.473
244.1
11.806,2
8.877,0
7.835,7
7.407,6
7.385
Tenggiri
3.010,8
3.913,6
3.862,2
3.088,5
2.642,2
6.221,8
Kerapu
2.153,2
4.336,7
1.916,2
2.352,3
2.310,1
1.796,7
Cakalang
Sumber : Statistik Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 2010
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
50
Tabel 2.19 Jumlah nelayan berdasarkan kategori di Sumatera Barat (2006-2010) Kategori/orang
Tahun 2006 18.832
2007 5.953
2008 5.766
2009 22.631
2010 22.406
Nelayan sambilan utama
8.148
5.262
5.316
8.063
5.674
Nelayan tambahan
7.240
22.167
18.687
4.290
6.504
34.220
33.382
29.769
34.984
34584
Nelayan Penuh
Jumlah
Sumber : Statitistik Kelautan dan Perikanan, 2010 Tabel 2.20 Nilai produksi ekspor ikan tuna di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus dari tahun 2006 – 2009 No.
TAHUN
PRODUKSI (TON)
NILAI PRODUKSI (Rp)
1
2006
747,02
9.924.336.500
2
2007
6,58
558.875.000
3
2008
346,11
21.125.502.000
4
2009
720,67
48.999.686.880
5
2010
521.8
49.559.173.000
Tabel 2.21 Produksi Ikan Menurut Jenis yang didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 2005 – 2009 yang potensi untuk industri Pembekuan JENIS IKAN - SPECIES
TAHUN 2005
2006
2007
2008
2009
Tenggiri - Barred Spanish mackerel
-
-
0,20
3,58
0,34
Tongkol Komo - Eastern little tuna
120,60
59,41
258,96
118,44
63,83
-
372,32
0,50
118,98
434,87
103,90
905,61
147,77
278,37
254,80
0,16
0,11
0,23
0,21
0,13
628,93
2012,86
796,97
823,65
987,48
Tuna Mata Besar - Bigeye tuna Tuna Sirip Kuning/Madidihang - Yellowfin tuna Udang Karang / Udang Barong - Lobster JUMLAH – TOTAL
Sumber : Statistik Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus 2009 Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
51
Untuk itu pemerintah Sumatera Barat harus terus berusaha pengembangkan sarana dan prasaran infrastruktur di Pelabuhan Samudera Bungus. Keberhasilan pembangunan infrastrukur pendukung utama kegiatan ekspor, seperti pengembangan PPS Bungus, Bandara BIM bertaraf internasional dan fasilitas cargo langsung ke luar negeri dapat mempercepat pembangunan perikanan daerah ini serta menjadi daya tarik bagi investor sektor perikanan berekspansi didaerah ini. Bila semua kondisi perikanan Sumatra Barat makin baik maka pemanfaatan ikan tuna dapat ditingkatkan. 2.4. Klaster Industri A.
Kakao
Klaster Industri Kakao di Sumatera Barat Melalui Program SIDa Memperhatikan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 111/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Prioritas Industri Berbasis Agro Tahun 2010 – 2014 yang diikuti dengan Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 113/M-Ind/Per/10/2009 tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Kakao dapat di lihat bahwa pengembangan industri kakao dalam negeri cukup menjadi perhatian pemerintah. Hal ini karena Industri Kakao Indonesia mempunyai peranan penting di dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu (petani kakao) maupun ke hilirnya (intermediate industri/grinders). Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2008 jumlah industri pengolahan kakao di Indonesia sebanyak 16 (enam belas) perusahaan dan yang masih berjalan 3 (tiga) perusahaan dengan tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang produk pengolahaan sekitar 61% dari total kapasitas terpasang. Adapun pengelompokkan Industri Kakao dan Coklat Olahan terdiri dari: 1. Industri Hulu: buah coklat, biji coklat, liquor (MASS) 2. Industri Antara: Cake dan Fat, cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder (kakao olahan) 3. Industri Hilir: Industri cokelat, industri makanan berbasis coklat (roti,kue, confectionary/ kembang gula cokelat). Berkaitan dengan kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah tersebut, maka kiranya kita di Sumatera Barat dapat memanfaatkan moment tersebut untuk ikut pula mengembangkan industri olehan kakao di Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
52
Sumatera Barat. Kesempatan pengembangan industri pengolahan kakao ini juga didukung dengan dilahirkannya program Sistem Inovasi Daerah. Sistem Inovasi Daerah (SIDa) merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktek baik/terbaik) serta proses pembelajaran di daerah. SIDa merupakan bagian dari kebijakan Sistem Inovasi Nasional (SINAS) dan merupakan penjabaran Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Tujuan SIDa adalah meningkatkan daya ungkit bagi pembangunan daerah, fokus pada transfer pengetahuan dan teknologi, membantu UMKM mencapai skala ekonomi yang baik, menciptakan lingkungan yang kreatif untuk mendorong tumbuhnya inovasi dan kerjasama, mendorong sinergitas para stakeholders sebagai pendamping klaster. Harapan besar dalam pengembangan industri olahan kakao di Sumatera Barat, ternyata tidak mudah diwujudkan. Terdapat banyak permasalahan yang dihadapi mulai dari keterbatasan rantai pasok, keterbatasan untuk melakukan efisiensi kolektif, akses pasar, proses produksi maupun pengadaan bahan baku serta keterbatasan dalam melakukan inovasi, yang semua itu menyebabkan produk olahan kakao yang dihasilkan bukan saja kurang berkualitas tapi akan sulit bersaing di pasaran. Untuk keluar dari permasalahan semua itu bisa dicoba dilakukan melalui pendekatan klaster. Klaster dapat dipahami dengan berbagai pendekatan antara lain dapat didefinsisikan sebagai pusat kegiatan usaha pada sentra yang telah berkembang, ditandai oleh munculnya pengusaha-pengusaha yang lebih maju, terjadi spesialisasi produksi pada masing-masing usaha tani dan kegiatan ekonominya saling terkait dan saling mendukung Klaster tidak bisa terbentuk secara individual, akan tetapi harus dalam bentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi atau koorporasi lain yang mampu menangkap peluang pasar yang membutuhkan volume pasar yang besar, standar yang homogen serta pemenuhuhan permintaan dan penawaran yang kontinyu Klaster terdiri dari kelompok pelaku usaha yang memiliki kompetensi yang berbeda namun berhubungan, berlokasi dalam wilayah tertentu, dimana melalui sebuah bentuk interaksi tertentu diantara mereka untuk Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
53
meningkatkan daya saing, spesialisasi dan identitas pelaku usaha dalam perekonomian global. Dalam penumbuhan dan pengembangan Klaster ditemukan 4 karakteristik klaster yaitu: 1. Adanya konsentrasi pelaku utama dalam suatu wilayah 2. Adanya interaksi antar pelaku usaha 3. Kombinasi sumberdaya dan kompetensi antar pelaku usaha yang berinteraksi 4. Pembentukan dan interaksi antar pelaku usaha dalam institusi pendukung yang berfungsi membantu klaster secara keseluruhan. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penumbuhan klaster yaitu: 1. Keberadaan kelompok tani/kelompok usaha 2. Bentuk kerjasama di bidang produksi 3. Kerjasama di bidang pemasaran 4. Produk yang dihasilkan dari kawasan sentra 5. Perkembanagn sentra produksi 6. Dukungan keuangan dari lembaga penyedia keuangan, bank atau koperasi 7. Dukungan kebijakan pengembangan sentra produksi 8. Ketersediaan lahan 9. Tingkat adopsi dan inovasi teknologi 10. Keahlian tenaga kerja 11. Potensi pasar Dalam operasionalnya penumbuhan klaster bagi pelaku usaha perlu didukung oleh pelatihan, penelitian dan identifikasi pasar, penyediaan logistik dan inovasi teknologi. Hal lain yang perlu dilakukan adalah kerjasama antar pelaku usaha yang dapat memberikan kesempatan tumbuhnya ruang belajar secara kolektif untuk meningkatkan kualitas produk yang dapat menjangkau segmen pasar yang lebih menguntungkan. Berkaitan dengan komoditi kakao, pendekatan klaster (cluster) dikenal sebagai upaya yang sistematik dalam mengembangkan industri kecil melalui pengelompokan industri yang sejenis di dalam wilayah tertentu ( sectoral and spatial concentration of firms). Rangkaian kegiatan pengolahan kakao mulai dari sistem produksi, pengolahan primer, sekunder dan tertier yang berada ditengah-tengah masyarakat perlu dibangun secara bersama dalam bentuk klaster, sehingga kakao dapat menjadi komoditas penggerak perekonomian rakyat. Pengembangan klaster kakao dapat dipandang
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
54
sebagai industri strategis bermuatan lokal bagi Sumatra Barat yang dapat tumbuh dan mampu bersaing. Industri kakao Indonesia ke depan memiliki peranan penting khususnya dalam perolehan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja, karena industri ini memiliki keterkaitan yang luas baik ke hulu maupun ke hilirnya. Disamping memberikan pendapatan bagi petani melalui penjualan biji kakao, namun apabila diolah di dalam negeri menjadi kakao olahan (cocoa liquor, cocoa cake, cocoa butter, dan cocoa powder), akan mempunyai nilai yang lebih tinggi serta menyerap tenaga kerja. Selain itu industri hilir olahan kakao juga telah berkembang di Indonesia seperti industri cokelat, industri makanan berbasis coklat (roti, kue, confectionary/kembang gula cokelat), dan penggunaan coklat untuk industri makanan dan minuman secara luas. Dalam implementasinya, melalui pendekatan klaster yang merupakan upaya untuk mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik industri pendukung dan terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi, penelitian, pelatihan, pendidikan, infrastruktur informasi, teknologi, sumber daya alam, serta lembaga terkait, diharapkan perusahaan atau industri terkait akan memperoleh manfaat sinergi dan efisiensi yang tinggi dibandingkan jika bekerja sendiri. Jika kita rujuk rencana aksi pengembangan kakao di Sumatera Barat yang telah disusun oleh BAPPEDA Provinsi Sumatera Barat, maka berdasarkan masalah yang ada, beberapa klaster dapat dikembangkan untuk menyelesaikan tiap masalah yang dihadapi. Dalam hal peningkatan produktivitas budidaya tanaman kakao serta menghasilkan kualitas buah yang baik, masalah yang masih dihadapi adalah: 1. Produktivitas rendah 2. Belum semua petani menggunakan bibit unggul 3. Rendahnya perawatan 4. Sebagian besar sudah terserang hama dan penyakit 5. Sebagian tanaman sudah tua dan tidak produktif Berdasarkan kondisi yang ada maka arah kebijakan yang dirumuskan adalah: 1. Meningkatkan luas tanaman kakao 2. Peningkatan tekhnologi budidaya 3. Meningkatkan SDM Petani dan Penyuluh 4. Menekan serangan hama dan penyakit Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
55
Untuk itu prioritas yang hendak dilakukan dalam pengembangan komoditi kakao adalah: 1. Penyediaan bibit unggul 2. Pemangkasan tanaman 3. Pemberantasan hama dan penyakit 4. Pemupukan tanaman 5. Pelatihan spesifik penyuluh 6. Pelatihan SDM Petani 7. Pembuatan demplot 8. Kajian Serangan Hama penyakit di Sumatera Barat 9. Rehabilitasi lahan Untuk menunjang penyelesaian masalah pada tahapan budidaya tanaman kakao ini, maka sub-klaster yang bisa dibangun adalah pengembangan bibit unggul serta penyediaan pupuk organik dan pestisida alami. Lebih jelas rangkaian sub-klaster pengembangan budidaya tanaman kakao dapat di lihat pada Gambar 2.3 berikut:
Gambar 2.3. Sub-klaster Pengembangan Budidaya Tanaman kakao
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
56
Buah kakao berkualitas adalah buah kakao yang tidak terserang hama dan penyakit serta produktivitas buah yang tinggi. Jika kondisi ini tercapai, maka penanganan pascapanen pada tingkat petani termasuk dalam hal melakukan fermentasi biji dapat didorong untuk dilaksanakan. Guna meracang klaster industri pengolahan kakao maka pohon industri kakao sebagaimana pada gambar 2.4 berikut dapat dipedomani.
Gambar 2.4. Pohon Industri Komoditi Kakao
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
57
Bilamana produktivitas buah kakao petani dapat ditingkatkan serta buah yang dihasilkan berkualitas baik, maka produksi biji kakao yang dihasilkan oleh setiap petani relatif akan tinggi. Dengan demikian kondisi rendahnya produksi biji kakao tiap petani yang selama ini menghalangi petani untuk melakukan fermentasi akan teratasi, sehingga mendorong petani untuk melakukan fermentasi juga relatif mudah dapat dilakukan. Dengan kualitas biji yang sama dihasilkan oleh setiap petani, maka untuk mengajak petani melakukan fermentasi secara berkelompok juga relatif mudah dapat diterapkan. Dengan penjelasan di atas sub-klaster yang dapat dibangun adalah sebagaimana Gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.5. Sub-Klaster Fermentasi dan Pengeringan Biji Kakao Biji kakao yang difermentasi baik yang dihasilkan oleh petani secara individu maupun yang dihasilkan oleh kelompok tani, selanjutnya dapat dijual ke pedagang atau dapat juga diolah menjadi produk olahan kakao (produk antara) seperti bubuk kakao dan lemak kakao. Pengolahan kakao sampai tahap menghasilkan bubuk kakao dan lemak kakao pada dasarnya Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
58
sudah cukup dikenal masyarakat Sumatera Barat dengan sudah banyaknya peralatan pengolahan ini yang sudah diserahkan ke masyarakat. Selama ini kendala utama dalam mengoperasikan peralatan pengolahan kakao ini adalah sulitnya mendapatkan biji kakao yang difermentasi dan semua peralatan pengolahan di datangkan dari pulau Jawa atau belum ada bengkel lokal yang cukup menguasai pembuatan peralatan termasuk memperbaiki peralatan yang ada. Untuk itu guna dapat diwujudkannya pengolahan kakao ini di tingkat petani, maka harus dibangun dalam bentuk klaster (sub-klaster pengolahan kakao). Lebih jelasnya dapat di lihat pada Gambar 2.6 berikut.
Gambar 2.6. Sub-Klaster Pengolahan Biji kakao Sub-Klaster sebagaimana yang dijelaskan di atas dapat digabung menjadi sebuah klaster di suatu daerah atau dalam satu kawasan atau bisa saja dalam satu wilayah provinsi. Pertimbangannya adalah kelayakan berdirinya masing-masing unit pendukung klaster dimaksud.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
59
B. Klaster Gambir 1) Gambir sebagai Bahan Penyamak Kulit Gambir telah digunakan sejak lama sebagai penyamak kulit seperti dapat ditemukan pada Gnamm(1949) dimana gambir dimasukkan sebagai zat samak terbaik. Larutan penyamak yang dibuat dari gambir cepat mencapai optimal dan larutannya keruh stabil. Hasil penyamakan dengan gambir memberikan warna kuning menarik, lembut dan bila dipegang terasa ringan dan halus. Gambir sangat cepat menyamak . Gambir jarang digunakan tanpa campuran tapi selalu dicampur dengan ekstrak zat samak yang lain. Peran penting gambir adalah juga pada penyamakan kombinasi. Yang paling terkenal adalah apa yang dikenal dengan nama sistem penyamakan “Dongola” dimana pada penyamakan kulit mentah diperlakukan dengan campuran larutan gambir, kalialaun dan garam dapur. Semua kulit yang disamak dengan gambir akan liat dan elastis. Pada pewarnaan juga digunakan gambir. Zat samak yang terkandung dalam gambir adalah produk kondensasi dari katekin yang terkandung dalam gambir. Ekstrak yang diperoleh dari daun gambir mengandung katekin 20% sedangkan 27-38% merupakan zat samak (tanin) yang tersusun dari berbagai derajat kondensasi Markmann (2009), mengkategorikan gambir kepada jenis ekstrak yang spesial untuk penyamakan kulit. Gambir menyatu secara cepat dengan protein kulit untuk memproduksi hasil samakan yang lembut, enak diraba dan terasa halus. Sesuai dengan sifatnya yang menggembungkan, gambir cocok digunakan untuk penyamakan ulang dari kulit yang telah terlalu tipis dan keras. Pada akhir penyamakan, gambir bertindak sebagai penyempurna tanpa mengubah intensitas penyamakan. Anonymous (1978b) menjelaskan bahwa gambir berasal dari daun dan ranting tanaman belukar yang banyak tumbuh di Cina, India, dan negara-negara kepulauan Malaya. Yang digunakan adalah ekstrak padat yang diolah secara setengah industri. Gambir memberikan hasil penyamakan kulit yang lunak, lembut dan berwarna terang. Penggunaan gambir sebagai penyamak kulit beberapa tahun terakhir sudah menurun dengan sangat cepatnya tepatnya sejak awal tahun tujuh puluhan. Secara global diketahui bahwa jumlah produksi tanin dunia tiap tahunnya adalah 250.000 ton. Sekitar 90% dari tanin yang dihasilkan merupakan tanin kondensasi yang di dominasi oleh tanin dari tanaman
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
60
Quebracho dan Mimosa. Tanin sebahagian besar digunakan untuk penyamakan kulit dimana 80-90% tanin digunakan untuk kegiatan dimaksud(Lehnen,2006) Penyamakan kulit ternyata bahwa mengambil porsi terbesar pada pemanfaatan tanin. Hal demikian berarti pasar gambir masih terbuka untuk bahan penyamak kulit. Mungkin saja masa lalu terjadi inkonsistensi mutu gambir sehingga para importer gambir Indonesia menjadi tidak tertarik lagi. Berarti kedepan masih terbuka prospek pasar gambir untuk tujuan penggunaan sebagai penyamak kulit. Kembali kesoal prinsip pasar dimana soal mutu yang stabil, jumlah yang cukup dan waktu yang tepat perlu dijadikan perhatian sehingga pamor gambir dapat kembali sebagai bahan penyamak kulit. Di Indonesia industri penyamakan kulit boleh dikatakan tidak ada yang menggunakan gambir sebagai bahan penyamak kulit termasuk UPTD pengolahan kulit di Padang Panjang. Bahan penyamak kulit yang umum digunakan di Indonesia adalah mimosa. Mimosa di impor dari Negara di Afrika. Harga mimosa yang paling murah Rp 40000,-. Ini merupakan sesuatu yang ironis mengingat Indonesia penghasil gambir yang dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Alasan utama tidak digunakannya gambir sebagai bahan penyamak kulit adalah teknologinya tidak tersedia. Zaman dahulu pemanfaatan gambir sebagai penyamak kulit pada umumnya di luar negeri dan teknologinya tidak dipublikasikan. Hal ini terbukti misalnya tak ada paten gambir pada web site Delphion.com. Di Universitas Andalas saat ini sedang gencar melaksanakan penelitian tentang penyamakan kulit menggunakan gambir. Dari hasil sementara terbukti bahwa gambir dapat digunakan sebagai bahan penyamak kulit. Beberapa formula dan prosesnya telah ditemukan. Direncanakan tahun 2013 akan dibuatkan dalam skala pilot. Pemanfaatan gambir pada industri kulit sangat berpeluang sekali dimana aksi yang dapat dilakukan adalah: 1.
Pengembangan klaster industri kulit skala kecil mulai dari pengawetan kulit sampai produk akhir
2.
Peningkatan kapasitas UPTD yang telah ada dengan target utama menghasilkan kulit setengah jadi, yang akan mensupply industri hilir.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
61
Pemanfaatan gambir untuk penyamakan kulit nantinya dapat diperluas sampai keseluruh pelosok tanah air bila Sumatera Barat sukses melakukannya. Indonesia tak perlu lagi impor mimosa untuk menyamak kulit dan sekaligus nantinya budidaya tanaman gambir akan berkembang baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Aspek Teknis Pemanfaatan Gambir sebagai Bahan Baku Industri Kulit. 1.
Gambir tersedia cukup di Sumatera Barat
2.
Gambir yang diproduksi secara tradisional oleh petani pengolah pada sentra produksi gambir sekarang telah memenuhi syarat untuk dijadikan bahan baku untuk penyamakan kulit. Perbaikan yang diperlukan adalah agar petani tidak mencampur gambir dengan bahan bukan gambir.
3.
Pemanfaatan gambir masih dalam bentuk pasta sangat dimungkinkan sehingga dapat memperpendek proses produksi pengolahan gambir sehingga petani pengolah gambir dapat bekerja lebih efisien. Penyamakan kulit tidak memerlukan gambir dalam keadaan kering karena pada penyamakan kulit, gambir akan dicampur juga dengan air
4.
Kulit mentah sebagai bahan baku untuk industri penyamakan cukup tersedia di Sumatera Barat dan Provinsi tetangga. Selama ini kulit mentah Sumatera Barat lebih banyak di jual ke pulau Jawa.
5.
Di Sumatera Barat telah ada sejak dulu industri penyamakan kulit dan industri hilir kulit seperti pembuatan sepatu. Saat ini juga telah ada dan masih beroperasi industri penyamakan kulit yang di kelola oleh Pemerintah Kota Padang Panjang dalam skala menengah.
6.
Gambir sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan penyamak kulit.
7.
Teknologi penyamakan kulit tersedia pada litbang yang ada di Sumatera Barat
2) Gambir sebagai Perekat Papan Partikel dengan Serat TKKS Papan partikel dapat dibuat berupa papan partikel datar dan papan partikel bentukan (extrusion particleboard). Papan partikel menurut Standar Nasional Indonesia adalah lembaran hasil pengempaan panas campuran partikel kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya dengan perekat organik Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
62
dan bahan lainnya. Papan partikel datar adalah papan partikel yang dibuat dengan cara pengempaan mendatar (flat pressing) yaitu dengan pengempaan antara dua lapisan datar. Papan partkel dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan baku mebel. Pada bangunan, papan partikel dapat digunakan sebagai bahan lantai, loteng dan partisi. Sebagai bahan baku mebel saat ini sedang populer di Indonesia menggantikan kayu solid yang makin susah didapat. Sebuah mebel dapat saja hanya terdiri dari papan partikel tanpa kayu solid atau kayu lapis. Konsumen Indonesia dapat menerima mebel berbahan baku papan partikel. Selain kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya, pada pembuatan papan partikel juga digunakan perekat dan bahan tambahan. Perekat yang umum digunakan adalah ureaformaldehid, melaminformaldehid dan fenolformaldehid. Bahan tambahan pada pembuatan papan partikel yang umum ditambahkan pada pembuatan papan partikel ada 4 macam yaitu bahan penolak air, ekstender, pestisida(fungisida dan insektisida), dan bahan anti api. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah limbah pengolahan tandan buah segar kelapa sawit menjadi minyak mentah kelapa sawit. Diperkirakan TKKS mengambil bahagian 20-25 % dari berat tandan buah segar. Semisal dari Provinsi Sumatera Barat saja kapasitas terpasang Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit adalah 850 ton/jam dengan jam kerja rata-rata 20 jam/hari maka tiap harinya akan diperoleh limbah TKKS dapat mencapai 4250 ton. Limbah ini pemanfaatan utamanya dijadikan mulsa dibawah areal batang kelapa sawit dan dalam jumlah sedikit dibakar bersama cangkang dan sabut kelapa sawit. Serat dari tandan kosong kelapa sawit memenuhi syarat untuk dijadikan bahan baku papan partikel karena mengandung lignin dan selulosa sebagaimana layaknya kayu. Proses untuk pembuatan papan partikel dari TKKS dengan menggunakan perekat berbahan baku gambir telah didaftarkan patennya dengan judul “Proses Pembuatan Papan Partikel Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Perekat Berbahan Baku Gambir.” Nomor Pendaftaran P00200900127. Keistimewaan papan partikel serat TKKS dengan perekat berbahan baku gambir adalah seperti berikut. Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
63
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Permukaan papan yang menarik karena kelihatan struktur seratnya dan berwarna coklat. Kepekatan warna coklat juga dapat diatur dengan larutan gambir Pemanfaatan limbah Serat sedemikian hanya ada di daerah sub tropis sehingga jadi menarik bagi orang dari negara sub tropis. Perekat yang digunakan dapat diperbaharui atau alami. Bebas emisi formaldehid karena perekat dibuat dari gambir dapat juga tanpa formaldehid. Dapat dirancang dan dibuat sesuai kebutuhan untuk meja komputer, plafon, loud speaker, papan partisi dan bahan dekorasi daun pintu. Permukaan dapat diberi berbagai perlakuan dan diutamakan dengan bahan alam seperti pandan, mensiang, bambu, rotan dan rumbia. Perekatan bahan alam tersebut dapat dilakukan dengan sistem kempa panas.
Industri yang dapat dikembangkan dari gambir sebagai perekat papan partikel adalah: 1.
2.
Industri skala besar atau padat modal Peluang industri tersebut dapat melalui kerjasama dengan industri pengolahan kelapa sawit atau dengan industri papan partikel yang menghasilkan produk akhir berupa mebel. Industri kreatif Berupa industri skala kecil akan tetapi target akhirnya adalah memproduksi benda kreatif yang ramah lingkungan mulai dari bahan baku limbah sampai pada penggunaan perekat tanpa formalin atau formaldehid.
Aspek Teknis Pemanfaatan Gambir pada Industri Papan Partikel 1. 2.
3.
Gambir tersedia cukup di Sumatera Barat Gambir yang diproduksi secara tradisional oleh petani pengolah pada sentra produksi gambir sekarang telah memenuhi syarat untuk dijadikan bahan baku untuk perekat papan partikel. Perbaikan yang diperlukan adalah agar petani tidak mencampur gambir dengan bahan bukan gambir. Pemanfaatan gambir masih dalam bentuk pasta sangat dimungkinkan sehingga dapat memperpendek proses produksi pengolahan gambir sehingga petani pengolah gambir dapat bekerja lebih efisien. Perekat
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
64
4.
5. 6. 7.
untuk papan partikel tidak memerlukan gambir dalam keadaan kering karena pada pembuatan perekat, gambir dicampur juga dengan air. Tersedianya limbah tandan kosong kelapasawit yang cukup banyak di Sumatera Barat. Kapasitas pabrik pengolahan kelapasawit melebihi 850 ton/jam sehingga tiap jam akan dihasilkan lebih kurang 170 ton tandan kosong kelapasawit, yang sebahagiannya masih dibuang ke areal kebun. Teknologi pembuatan papan partikel dengan perekat gambir telah tersedia. Papan partikel akan menjadi bahan baku industri kreatif dehingga akan bernilai jual tinggi dan sekaligus akan melibatkan banyak tenaga kerja. Papan parikel yang dibuat adalah ramah lingkungan karena memanfaatkan limbah dan tak mengandung formalin seperti umumnya papan partikel.
3) Gambir sebagai Bahan Baku Tinta dan Zat Warna Target dari penggunaan gambir sebagai bahan pewarna adalah untuk memenuhi kebutuhan tinta pemilu yang seringkali diimpor padahal bahan baku utamanya dapat digunakan gambir. Teknologi pembuatan tinta pemilu sudah tersedia di Sumatera Barat yaitu di Universitas Andalas dan Baristand Depperindag. Aspek Teknis pemanfaatan gambir sebagai bahan baku tinta PEMILU. 1. 2. 3.
Gambir tersedia cukup di Sumatera Barat Gambir yang tersedia telah memenuhi syarat sebagai bahan baku tinta Proses pembuatan tinta telah ada teknologinya pada litbang yang ada di Sumatera Barat
4) Gambir sebagai Bahan Baku Antiaging, Acne dan Ketombe Produk kosmetik banyak menggunakan gambir sebagai salah satu bahan bakunya seperti anti aging, anti acne dan anti ketombe. Teknologi pengolahannya telah tersedia di Universitas Andalas. Aksi yang dapat dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan industri kosmetik dengan target membangun industri kosmetik yang memanfaatkan gambir sebagai bahan bakunya di Sumatera Barat. Aksi dapat juga berupa pengolahan
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
65
gambir menjadi bahan baku yang siap jual ke industri kosmetik yang ada di Indonesia. Aspek Teknis Pemanfaatan Gambir Sebagai bahan baku industri Kosmetik dan Farmasi. 1. Bahan baku gambir untuk Industri kosmetik dan farmasi membutuhkan kualitas gambir terbaik. 2. Tersedianya bahan baku cukup 3. Teknologi pengolahannya telah tersedia di Sumatera Barat dan bahkan telah diproduksi dalam skala kecil dan dipasarkan. 5) Gambir sebagai Bahan Baku Diare dan Obat Kumur Sama halnya dengan produk kosmetik, produk farmasi juga banyak menggunakan gambir sebagai salahsatu bahan bakunya seperti obat anti diare dan obat kumur. Teknologi pengolahan kedua produk tersebut telah tersedia di Universitas Andalas. Aksi yang dapat dilakukan adalah menjalin kerjasama dengan industri farmasi dengan target membangun industri farmasi yang memanfaatkan gambir sebagai bahan bakunya di Sumatera Barat. Aksi dapat juga berupa pengolahan gambir menjadi bahan baku yang siap jual ke industri kosmetik yang ada di Indonesia.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
66
KLASTER INDUSTRI PEMANFAATAN GAMBIR PADA INDUSTRI KULIT KLASTER INDUSTRI PEMANFAATAN GAMBIR PADA INDUSTRI KULIT
Gambar 2.7 Klaster Industri Gambar 2.7 Klaster Industri
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
67
KLASTER INDUSTRI TINTA FOKUS TINTA PEMILU
Gambar 2.8 Klaster Industri
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
68
KLASTER INDUSTRI GAMBIR SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI KOSMETIK DAN FARMASI KLASTER INDUSTRI GAMBIR SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI KOSMETIK DAN FARMASI
Gambar 2.9 Klaster Industri Gambar 2.9 Klaster Industri
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
69
KLASTER INDUSTRI KREATIF PAPAN PARTIKEL BERPEREKAT GAMBIR
Gambar 2.10. Klaster Industri C.
Klaster Perikanan
Industri pengolahan hasil laut (khususnya ikan) merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan di Sumatera Barat. Dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional, industri pengolahan hasil laut telah ditetapkan pengembangannya melalui pendekatan klaster dalam membangun daya saing yang berkelanjutan. Pengembangan industri pengolahan hasil laut dengan pendekatan klaster diperlukan jaringan yang saling mendukung dan menguntungkan antara industri pengguna dengan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
70
industri pendukung serta industri terkait lainnya melalui kerjasama dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta maupun lembaga lainya termasuk perguruan tinggi dan lembaga litbang. Permintaan pasar dunia terhadap produk industri pengalengan ikan sangat besar, sementara kontribusi produk industri pengalengan ikan nasional sangat kecil yaitu 4%. Pemain utama regional dan dunia pada industri pengolahan ikan khususnya tuna dan sardines adalah Thailand, Spanyol, Filipina, Australia, Afsel, Srilangka, Mardives, Maroko, Peru dan Chili. Negara Thailand masih merupakan negara eksportir utama tuna kaleng, namun Philipina terus berkembang. Sedangkan Amerika Serikat pada saat ini masih merupakan negara importir utama tuna kaleng. Dimana negara pengkonsumsi tuna kaleng terus meningkat terutama di Eropa. Ekspor ikan tuna dalam kaleng kontribusinya relatif besar, hal ini berhubungan dengan permintaan ikan tuna dalam kaleng yang jauh lebih besar dibanding dengan ikan dalam kaleng jenis sarden, mackerel, salmon dan lainnya. Sebaliknya di pasar dalam negeri volume pasar ikan tuna dalam kaleng jauh lebih kecil daripada ikan sardines dan mackerel dalam kaleng. Hal inilah yang mengakibatkan industri pengolahan ikan tuna dalam kaleng di Indonesia lebih memfokuskan ke pasar ekspor. Melihat dari kecenderungan tersebut diatas, maka dalam pengembangan industri pengolahan ikan dan hasil laut untuk mengisi pangsa pasar dunia, maka harus di upayakan. Dilihat dari besarnya kebutuhan ikan tuna untuk dunia, maka Sumatera Barat punya peluang besar untuk meningkatkan produksi sehingga dapat diolah baik dalam bentuk ikan tuna kaleng maupun ikan tuna beku dan ikan tuna olahan beku. Untuk mendukung peningkatan produksi maka pemerintah Sumatera Barat perlu meningkatkan pula fasilitas pendorong produksi baik produksi tangkap maupun pengolahan. Untuk itu pemerintah Sumatera Barat harus terus berusaha mengembangkan sarana dan prasaran infrastruktur di Pelabuhan Samudera Bungus. Keberhasilan pembangunan infrastrukur pendukung utama kegiatan ekspor, seperti pengembangan PPS Bungus, Bandara BIM bertaraf internasional dan fasilitas cargo langsung ke luar negeri dapat mempercepat pembangunan perikanan daerah ini serta menjadi daya tarik bagi investor sektor perikanan
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
71
berekspansi didaerah ini. Bila semua kondisi perikanan Sumatra Barat makin baik maka pemanfaatan ikan tuna dapat ditingkatkan. Pengembangan terhadap industri pengolahan ikan tuna dan sejenisnya, Provinsi Sumatera Barat khususnya Kota Padang mempunyai potensi dan peluang besar untuk dikembangkan. Hal ini sangat didukung dengan ketersediaan dari SDA dan sarana prasarana seperti Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Dari tabel di atas produksi ikan tuna dan sejenisnya pada kabupaten/Kota tahun 2008 sebesar 29.225,3 ton per tahun dan Pelabuhan Samudera Bungus tahun 2008 dan 2009 masingmasing sebesar 823,85 ton dan 987,48 ton per tahun. Dengan besarnya potensi SDA, produksi ikan tuna dan sejenisnya di Sumatera Barat maka sangat diperlukan sekali pengembangan fasilitas penolong lainnya seperti ketersediaan es curah, ruang pendingin (cool storage), sarana penangkapan, perbaikan kapal BBM, air bersih dan berbagai fasilitas lainnya. 1) Komponen penguatan Klaster pengembangan Inovasi Industri Kelautan dan Perikanan di Sumatera Barat Dari data Produksi yang berdasarkan Penetapan produk unggulan perikanan dan kelautan pada Sistem Inovasi Daerah yang mengacu pada nilai ekonomi, keterlibatan tenaga kerja, program yang telah dan sedang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dalam pengembangan produk perikanan dan keluatan dan dukungan Nasional, dan koordinasi dan sinergi berbagai program pada kawasan kelautan dan perikanan kabupaten/kota dalam pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan, sehingga akan tumbuhnya nilai tambah dari produksi yang dihasilkan pada komoditi yang ditetapkan dan dapat menunjang dari komponen yang mendukung industri. Komponen dari sarana dan prasarana dalam mendukung pengembangan industri kelautan perikanan maka diharapkan akan tumbuh dan berkembang sebagai berikut : 1. Industri kapal ; pada industri kapal perikanan akan dapat tumbuh industri kapal berbasis industri yang berdasarkan kearifan lokal yang saat ini telah tumbuh dengan sendirinya, seperti yang terdapat pada setiap kawasan pesisir yang produksinya hanya di bawah 30 GT di Sumatera Barat, sedangkan industri kapal yang berbasis teknologi adalah kapal-kapal yang dibuat dengan kapasitas diatas 30 GT. Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
72
2. Industri Pabrik Es; pada industri ini yang dapat dijadikan untuk komponen utama pada pengembangan klaster di kawasan pesisir adalah untuk menunjang dan meningkatkan nilai tambah dari produksi yang dihasilkan dari proses penangkapan. Industri ini diharapkan dapat tumbuh disetiap basis penghasil komoditi perikanan disetiap kabupaten dan kota. 3. Depot BBM ; komponen yang harus tumbuh dan juga menjadi komponen utama pada sentra-sentra produksi perikan tangkap adalah tersedianya Bahan Bakar Minyak yang dapat diakses langsung oleh kapal-kapal perikanan yang beraktifitas melaut. Disetiap adanya Pelabuhan Perikanan. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) harus tersedia depot BBM ini, peran dari Pemerintah pada tersedianya BBM untuk kawasan tempat terkosentarsi perikanan harus jelas dan terpola, sehingga kebijakan yang lahir pada tersedianya BBM adalah berpihak pada perikanan rakyat dan industri yang bergerak dibidang perikanan. 4. Penyediaan Air Bersih ; komponen ini haruslah menjadi penting karena menyangkut mutu dan kualitas dari produksi yang dihasilkan. Pada kawasan pantai penyediaan air bersih juga menjadi kendala yang serius, untuk itu peran pemerintah dan swasta diharapkan dapat tumbuh dikawasan pesisir. 5. Perbengkelan/docking kapal ; untuk mendukungan berjalannya faktor produksi dan perawatan komponen kapal yang pergi melaut untuk penangkapan ikan dilaut lepas, maka peran perbengkelan yang dapat melakukan perbaikan mesin-mesin kapal baik sekala industri kecil dan besar diharapkan dapat tumbuh di kawasan sentra-sentra produksi perikanan tangkap, sehingga setiap komponen yang menjadi kendala dalam perbaikan dan perawatan peralatan yang menunjang dapat diatas secepat mungkin sehingga waktu dan trip penangkapan dapat berjalan dengan yang ditentukan oleh masing-masing manajemen disetiap usaha dan perusahaan perikanan. 6. Transportasi darat,laut dan udara; faktor transportasi dalam pengembangan industri perikanan haruslah perhatian, lalu lintas arus barang (hasil produksi perikanan secara menyeluruh) berjalan dengan lancar.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
73
7. Pusat Pelatihan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan ; Pusatpusat pelatihan dalam meningkat SDM terutama dalam alih teknologi diharapkan tumbuh disetiap kabupaten/kota. Pemerintah dan dunia usaha harus berperanan dalam mengembangkan pusat-pusat pendidikan, sehingga peran Perguruan Tinggi menjadi faktor penggerak utama dalam menunjang kegiatan pergerakan industri kelautan dan perikanan. 8. Industri Pengolahan Perikanan; untuk mengatasi kelebihan produksi yang berlimpah pada musim-musim tertentu dan tidak terjadinya penurunan harga secara drastis dari melimpahnya produksi maka industri pengolahan hasil perikanan dapat ditumbuhkan untuk mengatasi masalah ini dan ini juga dapat mendorong pihak swasta lebih berperan aktif dalam pengolahan hasil perikanan ini. 9. Jamin pasar ; untuk mendukung kesinambungan produksi dari setiap produk yang dihasilkan baik dalam bentuk segar dan olahan hasil perikanan harus mendapat dukungan dari keinginan dan permintaan pasar. Perlu ditumbuhkan organisasi yang menjadi perpanjangan dari proses dan komoditi produksi seperti Koperasi, BUMD dan pusat informasi pasar. Klaster hasil laut tuna, tongkol, cakalang (TTC) dapat dilhat pada gambar di bawah ini dimana Ikan Tongkol dapat dibekukan, dipindang dan dijual dalam bentuk segar. Cakalang dapat dibekukan dan dibuat ikan asap. Sedangkan ikan tuna dibuat bakso ikan, ikan kaleng, Nuged, ikan beku dan abon ikan. Pemasaran ikan beku ke Jepang, Hongkong, Eropa dan AS dapat melalui badara BIM. Pemasaran dalam negeri yang sudah berjalan ke Jambi, Riau dan Kepri.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
74
KLASTER HASIL LAUT DAN PERIKANAN
Gambar 2.11 : Klaster Hasil Laut Konsep yang dikembangkan dalam klaster industri hasil perikanan adalah konsep blue ekonomi dimana produk hasil perikanan diolah industri secara berkelanjutan dan tidak ada sisa limbah, limbah digunakan sebagai baku industri yang lain yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tabel dibawah adalah perbedaan konsep blue economy dan green economy. Dari gambar di bawah ini bahwa klaster hasil laut ikan Tongkol Tuna Cakalang (TTC) dapat dibuat produk lain yang berekonomi tinggi (Tabel.2.21). Dari hasil limbah TTC dapat dibuat tepung, minyak ikan, kolagen, gelatin dan lain-lain untuk keperluan bidang farmasi.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
75
Tabel 2.22. Perbedaan Blue Economy dan Green Economy No
Blue Economy
Green Economy
1 2 3
Berbasis sustainability (berkelanjutan) Efisinsi sumberdaya alam Tanpa Limbah (Zero waste atau leave nothing to waste) - Limbah dijadikan bahan baku bagi produk lain
4
Kepedulian sosial (lebih nyata) -Melipatgandakan pendapatan masyarakat -Melipatgandakan perluasan lapangan kerja -Lebih banyak peluang bisnis Multiple Revenue/Cashflow � Melipat gandakan pendapatan perusahaan Karena : 1. Memanfaatkan sumberdaya alam lebih efisien 2. Memanfaatkan limbah sebagai bahan baku
Berbasis sustainability (berkelanjutan) Efisinsi sumberdaya alam Pengurangan limbah (minimizing wasrte atau low carbon) -Limbah sebagai beban pengelolaan limbah (cost) -Menambah ongkos produksi Kepedulian sosial (normatif) -Peningkatan pendapatan masyarakat -Peningkatan lapangan pekerjaan
5
Business As Usual (Single Revenue) � Perusahaan perlu investasi lebih � besar Harga produk lebih mahal
Gambar 2.12 : Model Pemanfaatan Limbah Tuna
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
76
BAB III KONDISI SITEM INOVASI DAERAH SAAT INI 3.1
Kondisi Umum Iptek Daerah
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan IPTEK. Dalam kurun waktu 2006-2010, upaya untuk meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan IPTEK telah dilakukan melalui 4 (empat) program, yaitu (a) Program Penelitian dan Pengembangan IPTEK untuk menunjang Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (b) Program diseminasi dan difusi IPTEK (c) Program Penguatan Kelembagaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (d) Program Peningkatan Kapasitas IPTEK. Program tersebut dilaksanakan dalam kerangka penguatan elemen SINas/SIDa yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2002. Perkembangan Kegiatan Penelitian Perkembangan kegiatan penelitian dan pengembangan di Sumatera Barat yang dikelola oleh sebuah lembaga kelitbangan baik diperguruan tinggi maupun oleh lembaga litbang lainnya telah menghasilkan temuan dan berbagai rekomendasi untuk dimanfaatkan oleh lembaga dan instansi terkait dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan program pembangunan. Pada Tabel dibawah dapat dilihat perkembangan hasil penelitian dari tahun 2006 – 2010. Tabel 3.1 Perkembangan Jumlah Judul Penelitian di Sumatera Barat Tahun 2006-2010.
Jumlah Judul Penelitian No 1. 2.
Bidang/Jenis
Tahun
Riset Murni Riset Aplikatif/Terapan
2006 195 109
2007 243 154
2008 221 104
2009 123 142
Jumlah
304
397
325
265
Sumber :
Data identifikasi dari lembaga litbang di Sumatera Barat
Permasalahan kegiatan penelitian dan pengembangan : 1. Secara umum hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga Litbang dan perguruan tinggi belum dimanfaatkan oleh dinas dan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
77
instansi terkait. Lembaga-lembaga pemerintah belum merasakan adanya kebutuhan terhadap hasil penelitian dalam merencanakan dan melaksanakan program kerja dalam bidang masing-masing. 2. Kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan efisiensi dan nilai tambah proses produksi usaha kecil menengah masih rendah. Usaha kecil dan menengah, yang merupakan usaha dominasi di Sumatera Barat, masih mengandalkan proses produksi dengan teknologi yang konvensional, sehingga nilai tambah proses produksi masih sangat rendah malahan sebagian besar produk usaha masyarakat dijual dalam bentuk produk primer tanpa melalui pengolahan dengan teknologi yang berbasiskan IPTEK. 3. Publikasi dan sosialisasi hasil litbang masih terbatas yang disebabkan oleh relatif kecilnya jurnal ilmiah yang terakreditasi di Sumatera Barat. Demikian pula teknologi yang telah dihasilkan dari kegiatan litbang tidak banyak masyarakat dan kalangan dunia usaha yang memanfaatkannya untuk kepentingan peningkatan hasil usahanya. Disamping itu hasil penelitian perguruan tinggi dan lembaga-lembaga litbang pada taraf keilmuan telah cukup banyak malah sudah ada yang mengajukan paten namun tidak banyak masyarakat yang mengetahuinya, sehingga hasil penelitian tersebut baru digunakan penemuan sebagai sekedar tambahan kredit untuk naik pangkat. Manfaat bagi masyarakat belum banyak dirasakan. 4. Budaya ilmu pengetahuan dan teknologi masih belum berkembang dalam masyarakat, hal ini bisa dilihat dari kondisi masyarakat yang cenderung konsumtif, lebih suka membeli dan memakai produk yang dihasilkan pihak lain ketimbang menghasilkan karya inovasi yang dihasilkan sendiri. Demikian juga dari lembaga-lembaga birokrasi masih banyak kebijakan dan program yang dicanangkan tidak didasarkan pada hasil litbang yang umumnya membutuhkan waktu, serta belum dialokasikannya dana penelitian yang memadai. 5. Koordinasi dan sinergi lembaga penelitian dalam menghadirkan dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerah masih lemah. Perguruan tinggi melaksanakan kegiatan dalam berbagai bidang sesuai dengan arahan para penyandang dana. Demikian juga balai penelitian sebagai perpanjangan tangan litbang departemen pusat melaksanakan penelitian sesuai arahan pusat. Sebagian dari dinas provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota juga melaksanakan penelitian, tetapi Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
78
sampai saat ini belum ada koordinasi antara lembaga tersebut untuk mengarahkan kegiatan penelitian bagi kepentingan agar produk yang dihasilkan lebih bermanfaat 3.2. Kondisi Sistim Inovasi Daerah Berdasarkan kondisi IPTEK Sumatera Barat tersebut diatas, secara umum, inovasi daerah di Sumatera Barat telah ada dan berjalan, namun belum mampu untuk meningkatkan daya saing untuk dapat meningkatkan ekonomi daerah. Hal ini diyakini karena belum adanya SIDa dan penguatannya. Oleh sebab itu, untuk penguatan SIDa, dapat dikatakan, bahwa hal tersebut belum dilakukan di Sumatera Barat seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri Nomor 3 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang penguatan SIDa. Pada tahun 2012, baru dilaksanakan persiapan untuk penguatan SIDa dengan penyusunan Road Map Penguatan SIDa. Untuk tingkat kematangan SIDa Sumatera Barat telah dikaji oleh Kemenristek pada tahun 2011, dengan menggunakan metode ANIS (Analysis of National Innovation Systems) yang menganalisi hasil survei pendapat para ahli (expert opinion survey) di Sumatera Barat. Metode ANIS ini mengidentifikasi faktor-faktor penentu tingkat kematangan SIDa dan mengelompokkannya menjadi tiga level: 1. Level makro yang terkait dengan kebijakan inovasi dengan ruang lingkup kebijakan inovasi nasional, kebijakan inovasi daerah, master plan, regulasi pro inovasi, kebijakan klaster, pendidikan dan pelatihan dan R &
D foresight.
2. Level messo yang terkait dengan dukungan kelembagaan dan program inovasi yaitu: a.
b.
Kelembagaan inovasi dengan ruang lingkup pusat transfer teknologi, taman teknologi (technopark), Penyedia layanan inovasi, inkubasi teknologi dan bisnis, klaster, program litbang terapan, pendanaan litbang bersama dan intermediasi serta lembaga promosi bisnis Program pendukung inovasi dengan ruang lingkup pembiayaan science, technology & innovation, program litbang dasar, program litbang terapan, pendanaan litbang bersama, itermediasi teknologi, dukungan kewirausahaan, program pengembangan klaster, dan dukungan kerjasama internasional.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
79
3. Level mikro yang terkait dengan kapasitas inovasi yang meliputi universitas, institusi riset dasar, institusi riset swasta, inovator, investor swasta, wirausahawan, UKM, dan perusahaan besar. Metode ANIS menilai tingkat kematangan SIDa pada setiap level yang dipengaruhi oleh sistem yang telah terjalin dan interaksi para aktor. Aktor pada level makro (kebijakan) adalah otoritas publik dan pembuat kebijakan yang menjalankan fungsi menetapkan dan mengatur kerangka kebijakan SIDa. Aktor pada level mikro adalah lembaga-lembaga pendukung inovasi dan program-program pemerintah yang terkait dengan inovasi. Aktor pada level mikro yaitu perusahaan, universitas, institusi kebijakan, institusi riset, dan sebagainya. Hasil kajian ANIS dengan 38 responden pejabat pemerintah, pebisnis dan akademisi pada tahun 2011 menunjukkan terdapat berbagai kekuatan dan kelemahan SIDa Sumatera Barat yang ditinjau dari tiga level tersebut. A.
Kekuatan SIDa Sumatera Barat
Berdasarkan ANIS, kekuatan SIDa Sumatera Barat terdapat pada: 1. Level Makro: - Telah adanya kebijakan inovasi nasional (berupa SINAS), - Telah adanya kebijakan inovasi daerah (tercantum di dalam RPJMD Sumatera Barat), - Tersedianya pendidikan dan pelatihan (berupa berbagai kebijakan pendidikan menegah dan tinggi serta pelatihan dalam rangka peningkatan SDM) - Tersedianya R & D foresight (berupa Jakstrada Sumatera Barat yang disusun oleh DRD). 2. Level Messo: - Telah ada kelembagaan Agrotechnopark, - Telah ada penyedia layanan inovasi, dan - Telah ada lembaga promosi bisnis. 3. Level Mikro yang menunjukkan telah adanya kapasitas inovasi yang meliputi: -
Berbagai universitas baik negeri maupun swasta sebagai lembaga pendidikan dan riset dasar dan terapan, Balai-balai litbang, Investor swasta,
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
80
-
UKM (Usaha Mikro dan Menengah) Perusahaan-perusahaan besar.
Berbagai institusi pendidikan baik negeri maupun swasta terdapat di Sumbar yang melaksanakan tridharma perguruan tinggi pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat seperti Universitas Andalas, Universitas Negeri Padang, Universitas Bung Hatta, Institut Teknologi Padang, Universitas Ekasakti, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, Politeknik Unand, Politeknik Pertanian, Universitas Putra Indonesia, UMMY, ATIP, akademi-akademi dan sebagainya. Untuk penerapan dan pelatihan teknologi juga terdapat balai dan unit pelayanan teknis seperti UPTD Rekayasa Diskperindag, Balai Mekanisasi Pertanian (BMP) Dinas Pertanian Provinsi di Bukittinggi dan TPH di Dinas Perkebunan Sumatera Barat, Balai Latihan Kerja (BLK), Baristand, balai-balai penelitian pertanian dan holtikultura, dan sebagainya. B.
Kelemahan SIDa Sumatera Barat
1. Level Makro, kelemahan terdapat pada: - Belum adanya master plan khusus SIDa, - Belum adanya kebijakan klaster dan - Belum adanya regulasi pro inovasi. 2. Level Messo, kelemahan terjadi pada belum adanya dan belum kuatnya - Pusat transfer teknologi, - Inkubasi teknologi dan bisnis, - Lembaga dan program klaster, - Program litbang terapan, - Pendanaan litbang bersama dan - Intermediasi teknologi. 3. Level Mikro, dimana titik-titik kelemahan terdapat pada minimnya: - Jumlah inovator dan - Jumlah wirausahawan untuk produk dari hasil inovasi. Di Sumatera Barat tidak lagi memiliki lembaga kelitbangan yang dulu disebut Balitbangda (Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah) yang sekarang disingkat menjadi BPPD. Balitbangda Sumbar pernah ada sejak 2001 Sampai dengan 2008. Menurut Undang-undang Nomor 18 tahun 2002 tentang SINAS P3 IPTEK dan peraturan Mendagri Nomor 20 tahun 2011 tentang Pedoman Penelitian dan Pengembangan dilingkungan Kemendagri
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
81
dan Pemerintahan Daerah bahwa setiap daerah mesti memiliki sebuah badan untuk penelitian dan pengembangan. Untuk mengelola SIDa, perlu dibentuk kembali badan litbang daerah tersebut yang disingkat BPPD Sumatera Barat. 3.3.
Tantangan dan Peluang
Tantangan SIDa Sumatera Barat saat ini dan ke depan, antara lain: 1. Sumatera Barat tidak termasuk di koridor utama I Sumatera di dalam MP3EI 2. Belum jelas peranan daerah yang belum termasuk di koridor utama I Sumatera di dalam MP3EI 3. Daya saing daerah lain semakin meningkat 4. Daerah lain telah melaksanakan Penguatan SIDa. Peluang SIDa Sumatera Barat saat ini dan ke depan, antara lain: 1. Sumatera Barat dapat menjadi daerah pendukung dan pensuplai untuk daerah yang termasuk di koridor utama I Sumatera di dalam MP3EI 2. Pemerintah mendukung dan memfasilitasi penguatan SIDa Sumatera Barat 3. Untuk mengundang investor ke daerah Sumatera Barat 4. Sumatera Barat berada di pusat segitiga pertumbuhan (Growth Triangle, GT) Indonesia-Malaysia-Singapore (IMS-GT) dan pusat segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand (IMT-GT).
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
82
BAB IV KONDISI SIDa YANG AKAN DICAPAI 4.1. Konsep Dasar Sistim Inovasi Daerah Sistem Inovasi Daerah (SIDa) secara prinsip telah diatur oleh Peraturan Bersama Menristek dan Mendagri Republik Indonesia masingmasing Nomor 03 Tahun 2012 dan Nomor 36 Tahun 2012 tentang Penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Untuk menyiapkan dan/atau memperkuat SIDa diperlukan konsep dasar yang jelas dan dapat diimplementasikan. Pada bab ini diuraikan konsep dasar Sistem Inovasi Daerah berdasarkan peraturan bersama menteri tersebut. Inovasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan bersama tersebut di atas adalah kegiatan penelitian, pengembangan, penerapan, pengkajian, perekayasaan, dan pengoperasian yang selanjutnya disebut kelitbangan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi. Sistem Inovasi Daerah yang selanjutnya disingkat SIDa adalah keseluruhan proses dalam satu sistem untuk menumbuhkembangkan inovasi yang dilakukan antarinstitusi pemerintah, pemerintahan daerah, lembaga kelitbangan, lembaga pendidikan, lembaga penunjang inovasi, dunia usaha, dan masyarakat di daerah. Penguatan Sistem Inovasi Daerah diperlukan untuk mengefektifkan dan mengefisiensikan pengelolaan inovasi dalam rangka akselerasi peningkatan ekonomi daerah. Ruang lingkup penguatan Sistem Inovasi Daerah meliputi: 1. Kebijakan penguatan Sistem Inovasi Daerah, 2. Penataan unsur Sistem Inovasi Daerah, 3. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah. A.
Kebijakan Penguatan Sida
Secara nasional, Menteri Negara Riset dan Teknologi bersama Menteri Dalam Negeri menetapkan kebijakan nasional penguatan SIDa yang tercantum dalam rencana strategis (Renstra) lima tahunan kementerian. Di daerah, Gubernur menetapkan kebijakan penguatan SIDa di provinsi dan Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
83
kabupaten/kota di wilayahnya. Berdasarkan hal ini, Bupati/Walikota menetapkan kebijakan penguatan SIDa di kabupaten/kota. Kebijakan penguatan SIDa tercantum dalam: 1. Roadmap Penguatan Sistem Inovasi Daerah, 2. RPJMD, 3. RKPD. Kebijakan penguatan SIDa disusun oleh tim koordinasi. Gubernur dan bupati/walikota menugaskan tim koordinasi melakukan penyusunan Roadmap Penguatan SIDa yang memuat: 1. Kondisi SIDa saat ini, 2. Tantangan dan peluang SIDa, 3. Kondisi SIDa yang akan dicapai, 4. Arah kebijakan dan strategi penguatan SIDa, 5. Fokus dan program prioritas SIDa, 6. Rencana aksi penguatan SIDa.
Roadmap Penguatan SIDa mengakomodasi seluruh program dan kegiatan yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi, anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan lain-lain pendapatan yang sah dan tidak mengikat. Tim
koordinasi provinsi dan kabupaten/kota mengintegrasikan Roadmap Penguatan SIDa sebagaimana dimaksud di atas ke dalam dokumen RPJMD. Dalam hal peraturan daerah tentang RPJMD sudah ditetapkan, pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota melakukan perubahan peraturan daerah yang mengatur tentang RPJMD. Perubahan peraturan daerah tersebut harus mengintegrasikan Roadmap Penguatan SIDa. Tim koordinasi provinsi dan kabupaten/kota mengintegrasikan rencana aksi penguatan SIDa tersebut ke dalam dokumen RKPD. Dalam hal dimana peraturan kepala daerah tentang RKPD sudah ditetapkan, kepala daerah melakukan perubahan peraturan kepala daerah yang mengatur tentang RKPD. Perubahan peraturan tersebut harus mengintegrasikan rencana aksi penguatan SIDa. Menteri Negara Riset dan Teknologi bersama Menteri Dalam Negeri melakukan sinkronisasi, harmonisasi dan sinergi kebijakan penguatan SIDa tingkat pusat. Di daerah, Gubernur melakukan sinkronisasi, harmonisasi dan
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
84
sinergi kebijakan penguatan SIDa di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya. Kemudian, Bupati/Walikota melakukan sinkronisasi, harmonisasi dan sinergi kebijakan penguatan SIDa di kabupaten/kota. Sinkronisasi, harmonisasi dan sinergi kebijakan penguatan SIDa tersebut meliputi: 1. Melakukan identifikasi dan inventarisasi kebijakan penguatan SIDa; 2. Melakukan analisis potensi sinergi kebijakan penguatan SIDa;dan 3. Memadukan kebijakan-kebijakan antardaerah dan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat untuk penguatan SIDa. B.
Penataan Unsur SIDa
Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri melaksanakan penataan unsur SIDa secara nasional. Gubernur melaksanakan penataan unsur SIDa di provinsi. Bupati/walikota melaksanakan penataan unsur SIDa di kabupaten/kota. Unsur SIDa sebagaimana dimaksud dalam peraturan bersama tersebut adalah: 1) Kelembagaan SIDa, yang terdiri atas: a.
Lembaga/organisasi, yang meliputi: (1) Institusi pemerintah, dimana penataannya dilakukan dengan cara mensinergikan program dan kegiatan kementerian dan lembaga dalam penguatan SIDa. (2) Pemerintahan daerah, dimana penataannya dilakukan dengan cara: � Membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah � Meningkatkan kapasitas dan peran BPPD sebagai koordinator dalam penguatan SIDa. (3) Lembaga kelitbangan, dimana penataannya dilakukan dengan cara meningkatkan kapasitas dan peran ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Lembaga pendidikan, dimana penataannya dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan kelitbangan di lingkungan lembaga pendidikan sesuai kebutuhan daerah. (5) Lembaga penunjang inovasi, dimana penataannya dilakukan dengan cara mensinergikan program dan kegiatan semua lembaga yang dapat menunjang penguatan SIDa. (6) Dunia usaha, dimana penataannya dilakukan dengan cara:
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
85
memanfaatkan hasil-hasil kelitbangan yang menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis, meningkatkan kemitraan dengan lembaga/organisasi SIDa. (7) Organisasi kemasyarakatan di daerah, dimana penataannya dilakukan dengan cara memberdayakan organisasi kemasyarakatan dan mensinergikan dengan penguatan SIDa.
2)
b.
Peraturan, yang merupakan ketentuan yang mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi penguatan SIDa, dimana penataannya dilakukan dengan cara membuat peraturan baru, merubah peraturan, dan mencabut peraturan terkait SIDa.
c.
Norma/etika/budaya yang merupakan nilai-nilai profesionalisme dalam mendukung terciptanya kondisi yang kondusif bagi penguatan SIDa, dimana penataannya dilakukan dengan cara mengembangkan profesionalisme dan menginternalisasikan nilainilai sosial bagi penguatan SIDa.
Jaringan SIDa yang merupakan interaksi antar lembaga/organisasi dalam SIDa untuk mensinergikan kemampuan yang dimiliki masingmasing lembaga dalam satu rantai kegiatan. Penataan jaringan SIDa dilakukan dengan: a.
Komunikasi intensif antara lembaga SIDa yang dilakukan melalui: (1) Penyelenggaraan kelompok diskusi terfokus, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya; (2) Menjalin kerjasama kelitbangan antar lembaga/organisasi SIDa; dan (3) Forum komunikasi penelitian dan pengembangan daerah.
b.
Mobilisasi sumber daya manusia yang dilakukan melalui: (1) Kerjasama kepakaran, keahlian, kompetensi, keterampilan sumber daya manusia untuk penguatan SIDa antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; (2) Kerjasama kepakaran, keahlian, kompetensi, sumber daya manusia untuk penguatan SIDa dan (3) Kerjasama kepakaran, keahlian, kompetensi, sumber daya manusia untuk penguatan kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
keterampilan antardaerah; keterampilan SIDa antar
86
(4) Kerjasama kepakaran, keahlian, kompetensi, keterampilan sumber daya manusia untuk penguatan SIDa antara lembaga pemerintahan dan lembaga non pemerintahan.
c.
Optimalisasi pendayagunaan HKI, informasi, sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi, yang dilakukan melalui: (1) Pemanfaatan HKI; (2) Pemanfaatan informasi SIDa; dan (3) Pemanfaatan sarana dan prasarana SIDa.
3)
Sumber daya SIDa, yang terdiri dari: a.
Kepakaran, keahlian, kompetensi, keterampilan manusia dan pengorganisasiannya;
b.
Kekayaan intelektual dan informasi,
c.
Sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penataan sumber daya SIDa dilakukan untuk meningkatkan daya guna dan nilai guna sumber daya SIDa, yang meliputi: a.
Pemanfaatan keahlian dan kepakaran yang sesuai dengan tematik dan/atau spesifik sumber daya SIDa,
b.
Pengembangan kompetensi manusia dan pengorganisasiannya,
c.
Pengembangan struktur dan strata keahlian jenjang karir,
d.
Peningkatan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan intelektual,
e.
Pemanfaatan data dan informasi,
f.
Pengembangan sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
87
Gambar 2.13 : Konsep Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Sumatera Barat Keterangan A = DRD B = Peneliti Mitra DRD dan Lemlit Vertikal di daerah dan Lemlit PTN/S C = Jejaring Litbang (Lemlit, PT)
C.
D = Lembaga Litbang Daerah E = DPRD F = SKPD terkait G= Goverment
Pengembangan SIDa
Secara nasional, Menteri Negara Riset dan Teknologi dan Menteri Dalam Negeri melaksanakan pengembangan SIDa. Gubernur melaksanakan pengembangan SIDa di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya. Bupati/Walikota melaksanakan pengembangan SIDa di kabupaten/kota. Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
88
Pengembangan SIDa tersebut didelegasikan kepada tim koordinasi yang meliputi kegiatan: 1. Pembangunan komitmen dan konsensus unsur-unsur SIDa di daerah, yang dilakukan melalui sosialisasi, fasilitasi, dan alokasi sumber daya. 2.
Pemetaan potensi dan analisis SIDa yang dilakukan melalui: a. Identifikasi dan pengumpulan data, b. Pemetaan, c. Analisis faktor kebijakan, unsur SIDa, program dan kegiatan.
3.
Melanjutkan penguatan SIDa, yang dilakukan berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan penguatan SIDa. Hasil evaluasi pelaksanaan penguatan SIDa tersebut menjadi acuan untuk penyusunan RKPD tahun berikutnya.
D.
Tim Koordinasi
Menteri Negara Riset dan Teknologi bersama Menteri Dalam Negeri membentuk Tim Koordinasi Nasional Penguatan SIDa. Tim Koordinasi Nasional mempunyai tugas, sebagai berikut: 1. Menyusun dokumen Roadmap nasional penguatan SIDa, 2. Mengintregrasikan program SIDa dalam dokumen rencana strategis kementerian dan lembaga, 3. Melakukan sinkronisasi, harmonisasi dan sinergi SIDa, 4. Melakukan penataan unsur SIDa secara nasional, 5. Melakukan pengembangan SIDa secara nasional, 6. Memersiapkan rumusan kebijakan penguatan SIDa, 7. Mengoordinasikan penyusunan program dan kegiatan penguatan SIDa secara nasional, 8. Melakukan monitoring dan evaluasi; dan 9. Melaporkan hasil pelaksanaan penguatan SIDa. Tim Koordinasi Nasional yang dimaksud terdiri dari: Ketua I Ketua II Sekretaris I
: Deputi Bidang Jaringan Iptek Kemenristek : Kepala BPP Kemendagri : Asisten Deputi Jaringan Iptek Pusat dan Daerah Kemenristek Sekretaris II : Sekretaris BPP Kemendagri Anggota : Pejabat Struktural/Fungsional di lingkungan Kemenristek dan Kemendagri.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
89
Tim Koordinasi Nasional yang dimaksud ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi. Gubernur membentuk Tim Koordinasi Penguatan SIDa di tingkat provinsi. Bupati/walikota membentuk Tim Koordinasi Penguatan SIDa di tingkat kabupaten/kota. Tim Koordinasi yang dimaksud mempunyai tugas, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Menyusun dokumen Roadmap penguatan SIDa, Mengintregrasikan program SIDa dalam dokumen RPJMD, Melakukan sinkronisasi, harmonisasi dan sinergi SIDa, Melakukan penataan unsur SIDa di daerah, Melakukan pengembangan SIDa di daerah, Memersiapkan rumusan kebijakan penguatan SIDa di daerah, Mengkoordinasikan penyusunan program dan kegiatan penguatan SIDa di daerah, Melakukan monitoring dan evaluasi, dan Melaporkan hasil pelaksanaan penguatan SIDa.
Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari: Pengarah Penanggung Jawab Ketua Sekretaris Anggota
: : : : :
Kepala Daerah Sekretaris Daerah BPPD Sekretaris BPPD 1. Kepala Dinas/Badan/Kantor yang terkait 2. Lembaga/Organisasi lainnya yang terkait
Tim Koordinasi tersebut ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah. Koordinasi dimaksud untuk menerpadukan SIDa dengan sistem inovasi nasional di tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Tim Koordinasi Nasional melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian dan tim koordinasi tingkat provinsi untuk penguatan SIDa paling sedikit empat kali dalam satu tahun atau sesuai kebutuhan. Tim Koordinasi Provinsi melakukan koordinasi dengan tim koordinasi tingkat Provinsi dan kabupaten/kota untuk penguatan SIDa paling sedikit satu kali dalam satu tahun atau sesuai kebutuhan. Tim Koordinasi Kabupaten/Kota melakukan koordinasi paling sedikit satu kali dalam satu tahun atau sesuai kebutuhan.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
90
E.
Pembinaan Dan Pengawasan
Menteri Dalam Negeri melalui Kepala BPP Kemendagri melaksanakan pembinaan dan pengawasan umum penguatan SIDa. Menteri Negara Riset dan Teknologi melalui Deputi Bidang Jaringan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian Riset dan Teknologi melaksanakan pembinaan dan pengawasan teknis penguatan SIDa. Gubernur melaksanakan pembinaan dan pengawasan penguatan SIDa di provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya. Bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan penguatan SIDa di kabupaten/kota. Pembinaan penguatan SIDa sebagaimana dimaksud meliputi: 1. Koordinasi penguatan SIDa, 2. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan penguatan SIDa, 3. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan penguatan SIDa, 4. Pendidikan dan pelatihan, 5. Melaksanakan kegiatan kelitbangan dalam rangka penguatan SIDa, dan 6. Perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penguatan SIDa. Pengawasan penguatan SIDa sebagaimana dimaksud di atas meliputi: 1. Pengawasan secara berkala terhadap pelaksanan penguatan SIDa antarsusunan pemerintahan, dan dilakukan oleh Tim Koordinasi Nasional kepada Tim Koordinasi Provinsi dan Tim Koordinasi Provinsi kepada Tim Koordinasi Kabupaten/Kota dengan periode setiap 6 bulan dan setiap akhir tahun anggaran. 2. Pengawasan secara tentatif terhadap pelaksanan penguatan SIDa antarsusunan pemerintahan, dilakukan oleh Tim Koordinasi Nasional kepada Tim Koordinasi Provinsi dan Tim Koordinasi Provinsi kepada Tim Koordinasi Kabupaten/Kota pada waktu tertentu sesuai kebutuhan. F.
Pendanaan
Pendanaan penguatan SIDa bersumber dari: 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan/atau 3. Sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
91
G.
Pelaporan
Gubernur melaporkan pelaksanaan penguatan SIDa provinsi kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. Laporan tersebut disampaikan satu kali. Bupati/Walikota melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan penguatan SIDa kabupaten/kota kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi, melalui Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. 4.2.
Tujuan dan Sasaran Penguatan SIDa
Tujuan Penguatan SIDa :
1. 2.
Menyusun kebijakan untuk mendukung pelaksanaan MP3EI untuk menjadi daerah pendukung dan pensuplai pada daerah yang termasuk koridor utama I Sumatera. Meningkatkan daya saing daerah melalui penguatan Sistem Inovasi Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk meningkatkan minat investor menanamkan modalnya di Sumatera Barat.
Sasaran Penguatan SIDa : 1.
Kerangka Umum yang Kondusif Bagi Inovasi dan Bisnis a. Basis Inovasi data dan bisnis b. Regulasi yang kondusif c. Infrastruktur dasar inovasi dan bisnis d. Insentif untuk inovasi dan bisnis
2.
Kelembagaan dan Daya Dukung IPTEK/Litbangyasa serta Kemampuan Absorpsi UMKM a. Kelembagaan IPTEK/Litbangyasa b. Daya Dukung IPTEK/Litbangyasa c. Daya Absorpsi UMKM
3.
Kolaborasi Bagi Inovasi dan Meningkatkan Difusi Inovasi, Praktik Baik/Terbaik dan atau Hasil Litbangyasa serta Pelayanan Berbasis Teknologi a. Kemitraan strategis dan kolaboratif untuk inovasi b. Peningkatan Difusi inovasi c. Pelayanan berbasis teknologi
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
92
4.
Pengembangan Budaya Inovasi a. Penguatan budaya inovasi melalui jalur pendidikan dan pelatihan b. Penguatan Kohesi sosial c. Apresiasi dan kampanye inovasi d. Penumbuhan usaha baru inovatif
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
93
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
94
BAB V STRATEGI DAN KEBIJAKAN 5.1
Strategi Penguatan Sida
Strategi penguatan SIDa Sumatera Barat dilakukan dengan, antara lain: 1.
Menggerakkan inovasi melalui R & D Lembaga R & D akan menghasilkan penelitian yang perlu dikelola menjadi inovasi.
2.
Meningkatkan Promosi Produk Inovasi Penyebarluasan informasi terhadap produk inovasi (harga, mutu, dan lain-lain)
3.
Menggerakkan pusat-pusat Inkubator Teknologi Dengan menempatkan orang-orang yang berkompeten untuk memberikan saran, masukan, fasilitasi dan bantuan teknologi kepada produsen.
4.
Pengendalian Pemasaran Produk Menumbuhkembangkan lembaga pemasaran (koperasi dan ventura) yang memberikan proteksi terhadap produk-produk hasil inovasi dari produk-produk luar (regional/internasional)
5.
Pengembangan Klaster Mengembangkan produk turunan, produk penunjang dan produk sampingan
6.
Dukungan Lembaga Permodalan/Pendanaan Untuk penguatan SIDa dibutuhkan dukungan dana dari lembagalembaga keuangan baik pemerintah maupun swasta (perbankan, modal ventura, koperasi, LKMA, CSR).
7.
Meningkatkan keterlibatan dan dukungan masyarakat dalam penguatan SIDa Membaca aspirasi masyarakat dalam memilih produk untuk dikembangkan menjadi Sistem Inovasi.
8.
Peningkatan SDM dengan Pelatihan dan Pendidikan Mamfasilitasi peningkatan kemampuan SDM produsen melalui pendidikan, magang serta pelatihan di pusat-pusat inkubator teknologi (Alsintan Center, ATP)
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
95
5.2 Kebijakan Penguatan SIDa Kebijakan penguatan SIDa Sumatera Barat berdasarkan sasaran, strategi, kebijakan, dan program pada RPJMD Provinsi Sumatera Barat tahun 2010-2015, selain itu kelembagaan SIDa harus mampu berkoordinasi dengan SKPD dan Lembaga-lembaga terkait lainnya baik di pusat maupun di daerah, serta pentingnya dukungan Lembaga Negara dan Swasta. Adapun kebijakan penguatan SIDa sebagai : 1.
Meningkatkan kerjasama lembaga litbang perguruan tinggi dengan industri, perdagangan melalui pola kemitraan pemerintah dan swasta (public-private partnership), organisasi kemasyarakatan dalam rangka memperkuat Sistem Inovasi Daerah (SIDa);
2.
Mengembangkan budaya inovasi dan kreativitas melalui pengembangan kawasan percontohan untuk kegiatan-kegiatan tertentu;
3.
Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumberdaya IPTEK untuk menghasilkan produk litbang yang bermanfaat bagi produksi daerah, dengan: a.
Menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuhnya investasi dalam bidang litbang terutama pemerintah, swasta dan internasional;
b.
Mendorong berkembangnya lembaga independen yang mau menyediakan dana litbang yang terkait dengan kebutuhan pembangunan daerah;
c.
Meningkatkan produktivitas litbang daerah untuk memenuhi kebutuhan pengembangan teknologi di sektor produksi dan meningkatkan daya saing produk daerah dan budaya inovasi.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
96
BAB VI FOKUS DAN PROGRAM 6.1. Fokus Dan Program Prioritas Sida 1. Kakao a. Strategi Jaminan kesinambungan berproduksi kakao dan kualitas kakao Adanya upaya perbaikan budidaya tanaman kakao rakyat dalam rangka peningkatan produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao dengan memberdayakan secara optimal potensi daerah serta dengan melibatkan pemangku kepentingan dan seluruh sumber daya yang ada di Sumatera Barat pada kab/kota daerah sentra kakao. b.
Kebijakan Pengutan SIDa Komoditi Kakao 1) Mempersiapkan Sarana prasarana untuk menunjang produksi Sarana Prasarana penunjang produksi yang diperlukan dalam rangka mendukung kebijakan penguatan SIDa untuk komoditi kakao dapat dilakukan dalam bentuk : a) Budidaya (1) Penyiapan lahan (2) Bibit (3) Saprodi (pupuk, peralatan produksi, dll) (4) Pemeliharaan (penyiangan, pemangkasan, pencegahan hama penyakit) b) Pasca Panen (1) Sortasi (2) Fermentasi (3) Pengolahan hasil � Setengah Jadi � Barang Jadi c) Regulasi Peningkatan Produksi (terkait sarpras, bantuan SKPD teknis)
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
97
2) Jaminan dan pengendalian Pasar Diperlukan kelembagaan yang mampu mengendalikan mata rantai perdagangan coklat 3) Pemberdayaan Petani Meningkatkan SDM petani kakao melalui sekolah lapang (SL), pelatihan pengolahan hasil, pelatihan budidaya tanaman kakao 4) Kelembagaan (Kelompok Tani) Pembentukan kelembagaan tani kakao untuk memudahkan dalam berusaha tani. 5) Penyuluhan Memperkuat peran serta penyuluh dalam mendampingi petani kakao 6) Pemerintah mendorong Inovasi pada komoditi kakao Pemerintah mendorong Inovasi pada komoditi kakao bentuk :
dalam
a) Inovasi relevan (research) melalui kelembagaan Litbang Pemerintah, Perguruan Tinggi dan Swasta b) Mendirikan pusat informasi dan inkubator teknologi (terkait harga komoditi kakao, ketersediaan pupuk, dll) 7) Promosi Promosi untuk komoditi kakao dilakukan dalam bentuk pameran-pameran dalam skala nasional dan internasional, TIK. 8) Permodalan Memperkuat dukungan permodalan dalam bentuk lembaga keuangan mikro (BPR Syariah, BMT), ventura dan perbankan lainnya disamping bantuan modal dari pemerintah daerah. 9) Partisipasi Dunia Usaha dalam pengembangan inovasi untuk komoditi kakao
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
98
Merangkul perusahaan-perusahaan di daerah untuk memberikan dana stimulan (CSR) guna pengembangan komoditi unggulan kakao c. Menumbuhkan Klaster dari Produk Primer Untuk mendukung Produksi dan Pengolahan hasil 1) Regulasi (pemerintah memberikan keleluasaan terkait pengembangan industri komoditi) 2) Klaster Produksi (terkait budidaya, pengolahan hasil komoditi) 2. Gambir a. Strategi Jaminan kesinambungan kuantitas dan kualitas produk gambir kering. Jaminan kesinambungan melalui peraturan daerah tentang pemanfaatan lahan yang telah ada dan berlaku saat ini atau tak ada pengalihan pemanfaatan lahan. Peningkatan kualitas dan diversifikasi produk gambir kering sesuai dengan kebutuhan dalam negeri. Banyak sekali produk yang dapat dibuat dari gambir dan banyak juga industri yang menggunakan gambir sebagai salah satu bahan baku untuk menghasilkan produk tertentu. Mempercepat pembuatan perda tentang produk gambir. b. Kebijakan penguatan SIDa komoditi gambir 1. Mempersiapkan produksi
sarana
dan
prasarana
untuk
penunjang
a) Perbaikan kualitas produk gambir kering konvensional. Diperlukan peralatan pengolahan yang standard berupa : -
alat alat alat alat alat
kempa pengendapan penirisan cetak pengering
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
99
b) Diversifikasi produk olahan gambir terutama produk dalam bentuk tepung, untuk ini perlu pengenalan dan pendampingan pada penggunaan teknologi baru untuk peralatan : -
alat pengering alat penepung
c) Perda tentang penjaminan kualitas gambir sesuai SNI yang telah ada dan atau sesuai dengan permintaan kualitas oleh konsumen 2. Promosi produk gambir versi baru ke dunia industri yang relevan. Contoh kasus ini adalah produk gambir untuk industri penyamakan kulit 3. Jaminan dan pengendalian pasar gambir dalam negeri Perlu lembaga yang mampu mengendalikan mata rantai pemasaran gambir 4. Penyuluhan Memberikan penyuluhan kepada petani pengolah gambir tentang pentingnya penjaminan mutu dan cara memproduksi produk gambir diversifikasi nantinya yang dihasilkan melalui kegiatan SIDa 5. Dukungan pemerintah untuk tumbuhnya inovasi pemanfaatan gambir a) Dukungan kepada lembaga riset yang ada di Sumatera Barat untuk melakukan inovasi b) Mendirikan pusat informasi dan inkubator teknologi industri hilir gambir 6. Promosi Promosi untuk komoditi gambir melalui pameran dalam skala nasional dan internasional. Promosi juga dilakukan melalui media elektronik dan safari ke industri yang berpeluang sebagai pemanfaat gambir sebagai salah satu bahan baku industrinya. 7. Permodalan. Bantuan permodalan perlu bagi industri kecil/menengah pemanfaat gambir agar dapat lebih cepat berkembang. Lembaga keuangan yang ada di Sumatra Barat dan pemerintah daerah perlu Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
100
memberikan bantuan modal untuk cepatnya berkembang industri terkait dengan komoditi gambir. c. Menumbuhkan klaster industri hilir gambir Diharapkan terealisir suatu industri pemanfaat gambir yang utama dan besar sehingga dengan begitu dapat diharapkan munculnya klaster industri hilir gambir. Sebagai ilustrasi, jika ada industri sepatu yang kulitnya disamak dengan gambir 3. Perikanan. a. Strategi Revitalisasi usaha dan pengolahan perikanan tuna, cakalang dan tongkol Sumatera Barat dalam rangka pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Sumatera Barat mempunyai daerah penangkapan yang luas dan dapat ditingkatkan produksinya termasuk daerah Pengelolaan Samudera Hindia. Potensi ikan pelagis besar (termasuk tuna) Samudera Hindia sebesar 266,26 X 10 3 ton/tahun (Dirjen Perikanan Tangkap, 2007). Selain diekspor dalam bentuk segar dan beku, peluang diversifikasi produk tuna adalah tuna kaleng, nugget dan lain-lain. Sarana dan pasarana seperti Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, Balai Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPMHP), Pelabuhan Teluk Bayur, Bandara Internasional Minangkabau, Pelabuhan Perikanan Pantai Carocok, Pelabuhan Perikanan Pantai Sikakap dan puluhan Pangkalan Pendaratan Ikan di Sumatera Barat sangat mendukung untuk pengembangan usaha dan pengolahan perikanan tuna, calakang dan tongkol. b.
Kebijakan SIDa Hasil Laut dan Perikanan 1.
Peningkatan dan Pengembangan Sarana dan prasarana perikanan Sarana dan prasarana perikanan untuk mendukung perikanan tuna, cakalang dan tongkol meliputi: a.
Revitaliasi Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, Pelabuhan Pantai Sikakap, Pelabuhan Pantai Carocok dan beberapa Pangkalan Pendaratan Ikan di beberapa Kabupaten/ Kota di Sumatera Barat.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
101
b. c. d. e. f. 2.
Pembangunan Galangan Kapal Perikanan Tuna Pembangunan Depot BBM untuk perikanan Perbengkelan/ docking kapal perikanan Pembangunan fasilitas air bersih Penambahan jumlah kapal pengawas sumberdaya perikanan di Propinsi/Kabupaten/kota pesisir.
Pengembangan Sumberdaya manusia Pengembangan sumberdaya manusia perikanan tuna, cakalang dan tongkol meliputi antara lain: a. Pelatihan penangkapan untuk menggunakan peta citra satelit b. Pelatihan pengolahan tuna, cakalang dan tongkol bagi masyarakat dan pengusaha c. Pelatihan bagi petugas Balai Mutu Pengujian Hasil Perikanan d. Pelatihan pengemasan hasil perikanan e. Pelatihan manajemen keuangan bagi nelayan dan pengolah ikan
3.
Pengawasan dan Pelestarian Sumberdaya Perikanan Sumatera Barat a. b.
Peningkatan kegiatan patrol rutin dan patrol gabungan Koordinasi rutin antara Pol Airud, Dinas Perikanan dan Kelautan, TNI Al dan instansi penegak hukum lainnya. c. Pemberian sanksi yang tegas bagi pembom, pemutas dan pencuri asing d. Meningkat peran Pokwasmas dalam pelestarian sumberdaya perikanan 4. Pengembangan Industri pengolahan a. b. c. d. e.
Penambahan jumlah Unit Pengolah Ikan (UPI) tuna, cakalang dan tongkol Penambahan pabrik es Pengembangan klaster industri pengolahan tuna, cakalang dan tongkol seperti tepung ikan, minyak ikan, nugget, ikan asap, abon ikan, dan lain-lain Fasilitasi Pemerintahan dalam akses permodalan industri pengolahan Mengembangkan kebijakan pengembangan industri perikanan dan iklim usaha yang sehat
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
102
5. Peningkatan Mutu Hasil Perikanan a. Penerapan pengolahan ikan dalam rantai dingin b. Peningkatan Peran lembaga pengawas mutu hasil perikanan (BPMHP) c. Pemerintah Indonesia mengembangkan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) didasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP d. Unit Pengolahan harus memenuhi standar mutu konsumsi dalam negeri maupun ekspor berpedoman standar pengolahan sesuai jenis komoditas; mulai dari penanganan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, dan pendistribusian harus berpedoman pada persyaratan sanitasi, standar mutu produk hasil perikanan sesuai standar mutu yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). 6.
Jaminan Pasar a. Pengembangan pasar Amerika, Hongkong, Eropa dan Jepang b. Pemerintah menyediakan informasi Pasar Tuna di luar negeri c. Dukungan pemerintah untuk memfasilitasi ketepatan waktu penyerahan barang dengan cara membuka jalur pelayaran /penerbangan langsung, karena ikan mudah rusak d. Pembentukan kerjasama antar bank devisa guna mendukung kegaitan ekport tuna dan cakalang Indonesia e. Meningkat perundingan-perundingan di tingkat multilateral, regional dan bilateral tentang perdagangan tuna dan cakalang f. Meningkatkan promosi ekspor ke Negara tujuan.
6.2. Program Prioritas Penguatan SIDa Program Prioritas Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat yang tertuang dalam RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2015 dimana dengan adanya Sistem Inovasi Daerah akan membentuk jejaring yang berbasis inovasi sehingga dapat lebih mengakselerasi pengembangan potensi daerah melalui pelaksanaan programprogram prioritas daerah dimaksud. Program-program prioritas penguatan SIDa antara lain meliputi : �
Program penelitian dan Pengembangan IPTEK untuk menunjang pemerintah dan pembangunan Daerah.
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
103
�
Program Prioritas RPJMD Bidang Perkebunan
�
Program Prioritas RPJMD Bidang Kelautan Perikanan
�
Program Prioritas RPJMD Bidang Infrastruktur
�
Program Prioritas RPJMD Bidang Perdagangan dan UIKM
Roadmap Penguatan SIDa Provinsi Sumatera Barat
104