MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN DI PANTAI MAKASSAR SULAWESI SELATAN
RIDWAN BOHARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Pantai Makassar Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Januari 2009
Ridwan Bohari
P062050191
ABSTRACT RIDWAN BOHARI. 2009. Integrated and sustainable Management Policy Models in the coast of Makassar, Sulawesi Selatan. Under supervision of Bambang Pramudya, Hadi S. Ali Kodra and Sugeng Budi Harsono. Decreasing of water quality in the coastal area of Makassar probably comes from three dominant resources i.e. population concentration in the city, industrial activities surround the city and agricultural activities in up land area of Jeneberang river. This research is aimed to design integrated and sustainable management models for coastal area: a) knowing sustainability status of coastal area of Makassar, b) knowing the rate of land use for coastal area of Makassar, c) arranging policy strategies for coastal area d) developing management for coastal area of Makassar. In order to know sustainability status for coastal area of Makassar, Multidimensional scaling (MDS) by using Rapfish computer software was applied. Prospective analysis is applied to create a scenario of sustainable development for coastal area of Makassar in the future by defining key factors which influence on system work. In general there are four steps of suitability analysis were conducted, i.e. (i) develop maps of the area, (ii) develop suitability matrix of every activities would be done (iii) ranking and standardizing and (iv) conducting spatial analysis for knowing suitability in every further activities. To analyze total source of pollution, landscape and water quality in period of 2002 – 2028 dynamic model methods of powersim tool 2.5d and powersim STUDIO were used. Several efforts to reduce total waste burden by means of functional intervention were decreasing population development fractions in the form of socialization policy for family planning (KB), limitation of marital age and limitation of migration in to coastal area of Makassar. While technical policies would be done for reducing waste burden were training in utilizing of wastes from the hotels and municipal such as creating compost and biogas by using such approach: reduce, reuse, recycle, recovery and participation (4R + P) in order to empower people in handling of waste in the coastal area of Makassar. The results of this research indicate that ecological dimension is in the status of less sustainable (47.13%), economical dimension is sustainable enough (53.89%), social-culture dimension is less sustainable (34.82 %), infrastructure and technology dimension is not sustainable (13.28%), law and institutional dimension is sustainable enough (50.74%) and from 45 attributes were analyzed, 20 attributes were urge to be handled because of their sensitivities in increasing indexes and status of sustainability. Key words: coastal area, sustainability
RINGKASAN Sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir yang sangat besar. Salah satu wilayah pesisir yang penting secara ekonomi dan ekologi adalah wilayah pesisir Kota Makassar. Di wilayah ini terdapat kegiatan ekonomi yang berbasiskan sumberdaya alam seperti perikanan, pelabuhan, perhotelan, industri dan pariwisata bahari. Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Berdasarkan hasil penelitian Monoarfa (2002), penyebab menurunnya kualitas perairan pesisir Kota Makassar diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di Kota, kegiatan industri di sekitar Kota Makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang dan sungai Tallo. Terpusatnya penduduk kota menghasilkan limbah yang cukup besar, baik limbah padat maupun limbah cair. Salah satu wilayah pesisir yang penting adalah wilayah pesisir Kota Makassar. Wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang memiliki ciri pemanfaatan beragam dan berkaitan satu sama lain. Di wilayah ini terdapat kegiatan ekonomi yang berbasiskan sumberdaya alam seperti perikanan, pelabuhan, perhotelan, permukiman, industri, dan pariwisata bahari. Untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir pantai Makassar. Menggunakan metode analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan bantuan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap-COASTALMAK (Rapid Apraisial Wilayah Pesisir Kota Makassar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada status kurang berkelanjutan (47,13%) dimensi ekonomi cukup berkelanjutan (53,89%), dimensi sosial-budaya kurang berkelanjutan (34,82%), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan (13,28%), dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,74%). dari 45 atribut yang dianalisis, 20 atribut yang perlu segera ditangani karena sensitif berpengaruh terhadap peningkatan indeks dan status keberlanjutan. Dalam pengelolaan wilayah pesisir agar tetap lestari melibatkan multistakeholder yaitu: (1) Pelaku usaha baik yang bergerak di kawasan pesisir maupun diluar kawasan pesisir, (2) Pemerintah yakni Pemda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, dan Dinas Perhubungan, (3) Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat/Yayasan Lingkungan Hidup, dan masyarakat umum, baik masyarakat nelayan dan non nelayan. Disamping itu masih ada faktor lain sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti kualitas sumberdaya manusia, organisasi, kelembagaan,regulasi, dan infrastruktur. Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir menjadi sangat penting, kompleks dan dinamis. penting karena wilayah pesisir memiliki fungsi ekologi, kompleks karena melibatkan multistakeholders dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dapat berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukan bahwa penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara integratif – holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara parsial – sektoral. Pendekatan kesisiteman, pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sebernetic, holistic,dan efektiveness (SHE), dengan melibatkan seluruh stakeholders. Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran
dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Adanya berbagai macam permasalahan tersebut maka diperlukan suatu strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan agar ciri khas Kota Makassar sebagai ”Water Front City” akan tetap terjaga. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus yaitu (1) mengidentifikasi faktor penentu di masa depan (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Kota Makassar untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Dari berbagai kemungkinan yang terjadi, dirumuskan tiga skenario pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar untuk masa yang akan datang, yaitu : (1) Konservatif-pesimistik dengan melakukan perbaikan seadanya terhadap atribut-atribut (faktor) kunci, (2) Moderat-Optimistik dengan melakukan perbaikan sekitar 50 % atribut-atribut (faktor) kunci, (3) Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan terhadap seluruh atributatribut (faktor) kunci. Berdasarkan kondisi existing lokasi penelitian, dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya, dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan. Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar berstatus kurang berkelanjutan dengan 18 atribut yang sensitif berpengaruh dalam meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Adapun atribut-atribut tersebut meliputi 4 atribut pada dimensi ekologi, 3 atribut pada dimensi ekonomi, 3 atribut pada dimensi sosial dan budaya, 5 atribut pada dimensi infrastruktur dan teknologi, serta 3 atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir di wilayah Kota Makassar adalah skenario Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif sehingga semua dimensi menjadi berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir. Kata kunci: Wilayah pesisir, berkelanjutan
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sutau masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PANTAI MAKASSAR SULAWESI SELATAN
Oleh:
RIDWAN BOHARI P062050191
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar Sulawesi Selatan Nama : Ridwan Bohari NRP
: P062050191
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr Ir Bambang Pramudya, M Eng Ketua
Prof. Dr Ir Hadi S. Alikodra Anggota
Dr Ir Sugeng Budiharsono Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi PSL
Prof. Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. M.S.
Tanggal ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,
Tanggal lulus:
Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar Sulawesi Selatan Nama : Ridwan Bohari NRP
: P062050191
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr Ir Bambang Pramudya, M Eng Ketua
Prof. Dr Ir Hadi S. Alikodra Anggota
Dr Ir Sugeng Budiharsono Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi PSL
Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. M.S.
Tanggal ujian:
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,
Tanggal lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul “ Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Pantai Makassar Sulawesi Selatan”. Pengelolaan Wilayah pesisir sangat penting untuk dikaji, karena ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Ekosistem ini memiliki sumberdaya hayati yang sangat potensil dan perlu dilestarikan dan menopang kepentingan pemerintah daerah serta mata pencaharian masyarakat yang berada di sekitar ekosistem tersebut. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Seiring dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta arahannya dalam menyelesaikan studi. 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramuya,
M. Eng, sebagai ketua komisi
pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 4. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan, dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 5. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS. 6. Rektor Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor. 7. Dekan Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB Bogor.
8. Ketua Jurusan Perikanan yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB Bogor. 9. Cormap – II yang telah memberikan bantuan dana penelitian. 10. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) yang telah memberikan bantuan dana untuk penyelesaian studi. 11. PT. Antang Pomalaa yang telah memberikan bantuan dana penyelesaian studi. 12. Penghargaan tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Drg. Indriyani,
dan
anak-anakku
tersayang
Putri
Aishah
(15
tahun),
Muhammad Ghifari (14 tahun) dan Ahmad Zein Rizal (12 tahun) atas segala kasih sayang dan telah banyak berkorban , dengan penuh kesabaran serta pengertiannya sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan studi ini. 13. Sembah sujud kepada kedua orang tua H. Bohari dan H.Siti Nursiah (Alm) dan Ibu Mertua H.Hasnah Mahmud atas segala perhatiannya yang tak mungkin terbalaskan serta doa yang tak pernah putus dipanjatkan. Kakak dan adikku atas segala kasih sayang dan dorongan semangatnya. 14. Rekan - rekan PSL tahun 2005 15. Kakak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam dan Prof. Dr. Heri Tahir, SH. MH, atas doa dan dorongan semangatnya dalam penyelesaian studi S3 di IPB Bogor. 16. Dr. Ir.Thamrin, Msi, Dr. Auldry Walukow, Msi, Sigit Yudantoro, Ssi, Msi, dan Surya Widyanto atas bantuan tenaga,informasi dan bahan bacaan, serta kesediaan berdiskusi yang telah diberikan kepada penulis. 17. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT. memberkatinya. Amin Bogor, April 2009 Ridwan Bohari
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Watampone pada tanggal 4 Maret 1966 sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara dari pasangan keluarga Bapak H.Bohari dan Ibu H.Siti Nursiah (Alm). Tahun 1984 penulis lulus SMA Neg. 1 Watampone dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin. Tahun 1989 Penulis lulus pada Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Pada Tahun 1998 penulis diterima di Program Kajian Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Tahun 2005 penulis diterima pada program doktor di Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari BPPS-DIKTI. Tahun 2006 – 2007 Keua Umum Forum Komunikasi Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Asal Sulawesi Selatan. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1991. Sebelum melanjutkan pendidikan, penulis aktif sebagai staf PPLH Universitas Hasanuddin sampai sekarang.
Mengikuti berbagai seminar,pelatihan dan lokakarya serta menulis
berbagai artikel. Pada tahun 1993 penulis menikah dengan drg. Indriyani dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Putri Aisyah (15 Tahun), Muhammad Ghifari (14 Tahun) dan Ahmad Zein Rizal (12 Tahun).
DAFTAR ISI DAFTAR ISI …………………………………………………………………………...
xii
DAFTAR TABEL .................................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................
xxiv
I.
II.
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1. 1.2. 1.3. 1.4
Latar belakang ................................................................................. Rumusan Masalah........................................................................ Tujuan Penelitian.............................................................................. Manfaat Penelitian............................................................................
1 2 3 3
1.5.
Kerangka Pemikiran .........................................................................
4
1.6.
Kebaruan (Novety) ...........................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................
8
2.1.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan .............................................
8
2.2.
Daya Dukung Lingkungan ................................................................
9
2.3.
Eksternalitas .....................................................................................
12
2.4.
Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir .........................
15
2.4.1. Batasan wilayah pesisir .........................................................
15
2.4.2. Perencanaan terpadu pembangunan wilayah pesisir ............
16
2.5.
2.4.3. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ......................................................................... Ekologi penting wilayah pesisir ........................................................ 2.5.1. Ekosistem Estuaria ................................................................ 2.5.2. Ekosistem Mangrove ............................................................. 2.5.3. Ekosistem Padang Lamun ..................................................... 2.5.4. Ekosistem Terumbu Karang ..................................................
2.6.
Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan ................................................................................. 2.6.1. Model Pengembangan Kebijakan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan ........................................................................ 2.6.2. Konsep kebijakan Publik ....................................................... 2.6.3. Regulasi yang Terkait Pengelolaan Wilayah Pesisir ............. 2.6.4. Pengembangan Wilayah Pesisir melalui Konsep Megapolitan ........................................................................ 2.6.5. Lanskap Wilayah Pesisir Kota Makassar ..............................
18 21 21 21 22 23 24 24 26 29 30 30
2.6.6. SIG dan Peranannya dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir ...
35
2.7.
Konsep Sistem .................................................................................
37
2.8.
Sistem Dinamik ............. .................................................................
38
2.8.1. Sistem ...................................................................................
38
2.8.2. Sistem Dinamik .....................................................................
40
2.8.3. Pola-pola Dasar Sistem Dinamik ..........................................
42
Pengembangan Analisis Sistem ......................................................
49
2.9.1. Tahapan Pendekatan Sistem ................................................
49
2.9.2. Analisis Kebutuhan ................................................................
50
2.9.3. Formulasi Masalah .................................................................
53
2.9.4. Identifikasi Sistem ..................................................................
54
2.9.5. Pengembangan Model Dinamik ............................................. 2.9.6. Uji Validasi dan Sensitifitas Model .........................................
55 56
2.9.7. Analisis Kebijakan ..................................................................
58
KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ..............................................
59
3.1.
Kondisi Fisik .....................................................................................
59
3.2.
Demografi .........................................................................................
59
3.2.1. Penduduk ....................................................................................
59
3.2.2. Penyebaran Penduduk ..........................................................
59
Kondisi Sosial dan Ekonomi ............................................................
63
3.3.1. Pendidikan .............................................................................
63
3.3.2. Kesehatan ..............................................................................
63
3.3.3. Kemiskinan ............................................................................
63
3.3.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) .............................
64
Gambaran Umum Kota Makassar .. ...............................................
65
3.4.1. Gambaran Umum Kota Makassar dan Pantai Makassar ......
65
3.4.2. Kondisi Fisik ...........................................................................
69
3.4.2.1. Geologi Pantai ................................................................
69
3.4.2.2. Bathimetri dan Hidrologi ............................................
70
3.4.2.3. Oceanografi ...................................................................
71
3.4.2.4. Morfologi Pantai .............................................................
72
3.4.2.5. Pola Angin di Makassar ..................................................
72
3.4.2.6. Ombak ...........................................................................
73
3.4.2.7. Klimatologi ...................................................................
73
2.9.
III
3.3.
3.4.
3.4.3. Kimiawi ..................................................................
IV
74
3.4.3.1. Kualitas Air Perairan ......................................................
74
3.4.3.2. Kecerahan Perairan .......................................................
75
METODOLOGI PENELITIAN .....................................................................
82
4.1.
82
Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................
4.2.
Tahap Penelitian ..............................................................................
84
4.3.
Rancangan dan Pemodelan Penelitian ..........................................
85
4.3.1.
Teknik Pengumpulan Data .................................................
85
4.3.2.
Jenis dan Sumber Data .......................................................
86
4.3.3.
Teknik Sampling Kualitas Air ..............................................
86
4.3.4.
Teknik Analisis dan Pemodelan ..........................................
87
4.3.5.
Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan .......................
88
Rancang Bangun Model ..................................................................
88
4.4.1.
Kerangka Model Sistem Dinamik ........................................
91
4.4.1.1. Model Sosial ..........................................................
94
4.4.1.2. Model Ekonomi ......................................................
95
4.4.1.3. Model Lingkungan .................................................
97
4.4.1.4. Model Penggunaan Lahan .....................................
99
Model Spatial Dinamik ........................................................
100
HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................................
126
5.1.
Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir Perairan Pantai Makassar Sulawesi Selatan ............................................................................. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Pantai Makassar Sulawesi Selatan ............................................................................ Analisis Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar .................................... Analisis Kualitas air di Perairan Pantai Makassar ...........................
126
Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di perairan Patai Makassar................................ 5.5.1. Model Dinamik Beban Limbah dan Kualitas Air .................
182
5.5.2.
Analisis Kecenderungan Sistem .........................................
189
5.5.3.
Uji Validitas ........................................................................
190
5.5.4.
Verifikasi Model ...................................................................
194
Model Kebijakan Pengelolaan Landscape Wilayah Pesisir Kota Makassar ..........................................................................................
197
5.6.1. Model Dinamik Landscape ....................................................
197
5.6.2. Analisis Kecenderungan Sistem ...........................................
198
5.6.3. Uji Validitas ...........................................................................
198
5.6.4. Verifikasi Model Landscape .................................................
200
5.6.5. Analisis Kebijakan .................................................................
200
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar ......................................................................................... KESIMPULAN DAN SARAN .....................................................................
209
6.1.
218
4.4
4.4.2. V
5.2. 5.3. 5.4. 5.5.
5.6.
5.7.
VI
Kesimpulan .....................................................................................
139 160 174
182
218
6.2.
Saran ...............................................................................................
220
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
221
LAMPIRAN ........................................................................................................
227
DAFTAR TABEL Halaman
2.
Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu ............................................................................ Konversi rumus statistik kepersamaan powersim ..................................
57
3.
Penduduk dan persentase menurut Kecamatan tahun 2004 ............
60
4.
Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan menurut Kecamatan di 62 Kota Makassar, tahun 2004 ................................................................... PDRB Sulawesi Selatan dan PDRB Kota Makasar atas dasar harga 65 berlaku, tahun 2000 – 2004 .............................................................. Keadaan daerah kepulauan Kota Makassar (RIPPP Kota Makassar 80 2000 diolah tahun 2009) ......................................................................... Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir 108 Kota Makassar ................................................................................... Kategori status keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir 108 berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-COASTALMAK ........... Parameter fisika dan kimia .................................................................... 111
1.
5. 6. 7. 8. 9.
52
11.
Kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan wilayah pesisir secara 111 terpadu dan berkelanjutan ..................................................................... Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk ..... 116
12.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum .............
117
13.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak .............
118
14.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai ..............
119
15.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi .......................
120
16.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya rumput laut .......
121
17.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya kajapung ..........
122
18.
Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan pantai ................................................................................................. Matriks kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan industri .................
123
10.
19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar ......................................................................................... Pengaruh antar faktor dalam pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar ............................................................................................ Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan pada pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar ............................................................ Hasil analisis skenario pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar ............................................................................................ Perbedaan nilai indeks keberlanjutan nilai Rap-COASTALMAK (MDS) dengan analisis Montecarlo ....................................................... Hasil analisis Rap-COASTALMAK untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) …………………………………………………………..
124 125 125 127 127 138 139
Halaman 26.
Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman ......
142
27.
Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri ..................
146
28.
Kesesuaian lahan dibandingt RTRW
.............................................
146
29.
Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya budidaya tambak ..........
149
30.
Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum .
151
31.
Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan pelabuhan pantai ....
153
32.
Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan pariwisata pantai ....
156
33.
Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan karamba jaring apung di lokasi penelitian .................................................................... Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan budidaya rumput laut di lokasi penelitian ........................................................................ Distribusi kesesuaian Lahan untuk konservasi .................................
158
34. 35.
159 161
45.
Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan 164 wilayah pesisir berdasarkan analisis keberlanjutan ......................... Keadaan masing-masing faktor kunci dalam pengembangan 165 wilayah pesisir Kota Makassar ......................................................... Hasil analisis skenario strategi pengembangan wilayah pesisir Kota 168 Makassar ………………………………………………………………… Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada scenario 1 169 terhadap peningkatan status wilayah pesisir ………………………… Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota 170 Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 1........... Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 171 terhadap peningkatan status wilayah pesisir ........................................ Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota 1772 Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 2 ......................................................................................... Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 173 terhadap peningkatan status wilayah pesisir ....................................... Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota 173 Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 3 .......... Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar 2002-2028 ........ 192
46.
Simulasi jumlah pohon di Kota Makassar .........................................
36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.
200
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Kerangka rumusan masalah .......................................................................
3
2.
Kerangka pikir pengelolaan wilayah pessir ......................................................
6
3.
Prinsip-prinsip keberlanjutan (Munasinghe,1992) ........................................
9
4.
Batasan wilayah pesisir ................................................................ ..............
16
5.
Pilar pengelolaan wilayah pesisir (Budiharsono,2006) .................... ...............
18
6.
Proses SIG dalam menangkap dan menampilkan data ............... ..............
35
7.
Proses SIG dalam identifikasi lokasi sesuai dengan kriteria yang diinginkan ............................................................................. ......................
37
8.
Garis besar pengembangan model dinamik ................................................
41
9.
Diagram input-output sistem (Hartisari,2007) .............................. ..............
42
10.
Struktur dasar model perbaikan yang gagal ................................. ..............
43
11.
Struktur dasar pemindahan beban ............................................... ..............
44
12.
Diagram simpal kausal model batas keberhasilan ...................... ...............
45
13.
Struktur dasar sasaran yang berubah .......................................... ..............
45
14.
Diagram simpal kausal model pertumbuhan dan kekurangan modal .........
47
15.
Struktur dasar sukses bagi yang berhasil .................................... ..............
47
16.
Diagram simpal kausal model eskalasi ........................................ ..............
48
17.
Struktur dasar kesulitan bersama ...............................................................
48
18.
Pendekatan sistem.......................................................................................
50
19.
Diagram input output model pegelolaan wilayah pesisir ............. ..............
55
20.
Hubungan Interaksi sejumlah Sub sistem (Sub Model) yang Berbeda ......................................................................................... .............
56
21.
Grafik penduduk Kota Makassar menurut Kecamatan Th 2004 ... .............
61
22.
Grafik kepadatan penduduk menurut Kecamatan di Kota Makassar Tahun 2004 ..............................................................................................
62
23a. Peta lokasi penelitian di wilayah pesisir Pantai Makassar ............ .............
83
23b. Peta lokasi wilayah studi penelitian di Kota Makassar ................. .............
84
24.
Tahapan penelitian .......................................................................................
85
25.
Tahapan analisis penggunaan lahan .........................................................
88
26.
Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan ..................................... .............
89
27.
Hubungan antara Faktor Biofisik dan Sosial Ekonomi serta
28.
Komponen lain dalam Sistem Penggunaan/Tutupan Lahan .......................
90
Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem ..................................... .............
91
29.
Hubungan keterkaitan (diagram sebab akibat) antar sub sistem ekologi subsistem ekonomi dan penggunaan lahan ...................................
93
30.
Mental model sosial ....................................................................... .............
95
31.
Mental model sub model ekonomi untuk parameter penerimaan pemerintah dan penerimaan rumah tangga ............ ................
96
32.
Mental model lingkungan ............................................................... .............
99
33.
Blok diagram model penggunaan lahan ........................................ ..............
101
34.
Gabungan sistem dinamik dan spatial dinamik ............................. ..............
102
35.
Peta rencana tata ruang wilayah pesisir Kota Makassar ........... .................
105
36.
Illustrasi indeks keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar ........................................................................................ .............
37.
Illustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi pengelolaan wilayah pesisir ............................................................................................. ............
38.
108 109
Tahapan analisis status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar ....................................................................................................
109
39.
Diagram simpal kausal .................................................................. .............
112
40.
Diagram Input-output ..................................................................... .............
113
41.
Penentuan elemen kunci pengembangan wilayah pesisir ............. ............
126
42
Kerangka pemikiran analisis keberlanjutan wilayah pesisir pantai Makassar Sulawesi Selatan ............................................................ ............
43.
Hasil analisis MDS dan leverage pada dimensi ekologi wilayah pesisir Kota Makassar .................................................................................
44.
132
Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi sosial budaya ......... ..............
46.
131
Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekonomi ................. ...............
45.
130
133
Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi ......................................................................................................
47.
134
Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan . ............................................................................................
48.
Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar .................................................................... ............
49
136 137
Peta kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman di lokasi penelitian ........ .............................................................................................
142
50.
Peta kesesuaian lahan untuk kawasan industri di lokasi penelitian ............
145
51.
Peta kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di lokasi penelitian ...........
149
52.
Peta kesesuaian lahan untuk pelabuhan umum di lokasi penelitian ............
151
53.
Peta kesesuaian lahan untuk pelabuhan perikanan di lokasi penelitian ...... ...............................................................................................
154
54.
Peta kesesuaian lahan untuk wisata pantai di lokasi penelitian .................
155
55.
Peta kesesuaian lahan untuk karamba jaring apung di lokasi penelitian ......................................................................................................
56.
Peta kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut di lokasi penelitian ......................................................................................................
57.
159
Peta kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi di lokasi penelitian ......................................................................................................
58.
157
161
Kerangka pemikiran strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan ........................................................... ............
163
59.
Perubahan temperatur di lokasi penelitian ...................................................
174
60.
Konsentrasi PH di lokasi penelitian ..............................................................
175
61.
Perubahan Salinitas di lokasi penelitian .......................................................
175
62.
Konsentrasi Oksigen terlarut di lokasi penelitian .........................................
176
63.
Konsentrasi nilai BOD di lokasi penelitian ....................................................
177
64.
Konsentrasi nilai COD di lokasi penelitian ....................................... ...........
178
65.
Konsentrasi nilai Cd di lokasi penelitian .......................................... ............
179
66.
Konsentrasi nilai Pb di Lokasi Penelitian ......................................... ...........
182
67.
Konsentrasi nilai Cu di Lokasi Penelitian ........................................ ............
182
68.
Model Terpadu Pengelolaan Wilayah Pesisir ................................. ............
183
69.
Model Dinamik Beban Limbah DAS Tallo ...................................... ............
186
70.
Model Dinamik Beban Limbah DAS Jeneberang .......................................
188
71.
Model Dinamik Kualitas Air di Pesisir Makassar ............................ ............
189
72.
Kecenderungan populasi penduduk total ............................... ....................
190
73.
Kecenderungan jumlah masing-masing beban limbah yang masuk keperairan ........................................................ ...............................
190
74.
Hubungan jumlah penduduk dan total beban sumber pencemar ...............
193
75.
Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data empiris ............ ................................................
76.
Grafik perbandingan total sumber pencemar hasil simulasi dan aktual ...........................................................................................................
77.
194
Nilai kapasitas asimilasi BOD dan perkembangan beban
194
limbah BOD ......... ........................................................................................
195
78.
Nilai kapasitas asimilasi BOD .....................................................................
195
79.
Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban pencemaran COD ........................................................................................
196
80.
Nilai kapasitas asimilasi COD ......................................................................
196
81.
Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD .......... ............
197
82.
Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD .......... ...........
197
83.
Model dinamik jumlah pohon di pesisir Makassar ........................... ............
198
84.
Kecenderungan jumlah pohon ........................................................ ............
199
85.
Grafik perbandingan jumlah pohon hasil simulasi dan aktual ......... ............
201
86.
Perkembangan jumlah pohon ......................................................... ............
201
87.
Hasil skenario model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan .... ...................................................................
88.
Pertambahan jumlah penduduk berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk ...............................................................................
89.
206
Penurunan luas pemukiman di wilayah pesisir berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk ........................................ ............
91
204
Penurunan luas lahan pesisir berdasarkan intervensi fraksi Pertambahan penduduk .................................................................. ............
90.
203
206
Penurunan total beban limbah hotel berdasarkan intervensi fungsional ....................................................................................... ............
207
92
Tampilan awal program MoPPeM ................................................... ............
209
93.
Tampilan input data dan output data hasil simulasi model beban limbah ................................................................................. .............
94.
Tampilan input data dan output data hasil simulasi model kualitas air ....................................................................................... ............
95.
215
Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2023 ..................................................................... ............
99.
214
Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2018 .................................................................... .............
98.
213
Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2013 .................................................................. ..............
97.
211
Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2008 .................................................................... .............
96.
210
216
Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2028 ..................................................................... ............
217
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Foto-foto Wilayah Pesisir Pantai Makassar..........................................
227
2.
Data kualitas air Pantai Makassar 1 . .……………………………..........
231
3.
Data kualitas air Pantai Makassar 2 ........……………………………...
231
4.
Data kualitas air Pantai Makassar 3 …………………………………....
232
5.
Data kualitas air Pantai Makassar 4 ...............................…………….
232
6.
Data kualitas air Pantai Makassar 5 ....................................................
232
7.
Data kualitas air Pantai Makassar 6 ....................................................
233
8.
Data kualitas air Pantai Makassar 7 ....................................................
233
9.
Data kualitas air Pantai Makassar 8 .....................................................
233
10. Data kualitas air Pantai Makassar 9 .....................................................
234
11. Data kualitas air Pantai Makassar 10 ...................................................
234
12. Data kualitas air Pantai Makassar untuk Logam Berat ........................
235
13. Persamaan Model Dinamik Beban Limbah dan Kualitas air ................
242
14. Persamaan Model Dinamik Landscape ..............................................
247
15. Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2008 – 2028 ...............................
250
16. Validasi Jumlah Penduduk ...................................................................
252
17. Validasi total sumber pencemar ...........................................................
255
18. Validasi jumlah pohon pada model Lanscape ......................................
258
19. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Tanggal 23 Oktober 1995. .......................................
261
I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut, merupakan aset pembangunan Indonesia yang
penting, karena wilayah ini didukung oleh dua komponen utama yang menjadi tulang punggung pengembangannya. Pertama, komponen biofisik; wilayah pesisir dan laut Indonesia yang membentang kurang lebih 81.000 km garis pantai dan menyebar pada sekitar 17.508 pulau dengan sekitar 5,8 juta km2 wilayah perairan termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), memiliki potensi sumberdaya hayati yang melimpah dan beragam jenisnya. Sumberdaya tersebut memiliki nilai penting baik dari sisi pasar domestik maupun pasar internasional. Kedua, Komponen sosial ekonomi; sebagian besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60 %) hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun).
Hal ini disebabkan secara administratif, sebagian besar daerah
kabupaten dan kota terletak di wilayah pesisir. Berdasarkan wilayah kecamatan, dari 4.028 kecamatan yang ada terdapat 1.129 kecamatan yang dari segi topografi terletak di wilayah pesisir, dan dari 62.472 desa yang ada sekitar 5.479 desa merupakan desa-desa pesisir (Dahuri et al, 2001). Wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistim yang sangat produktif. Namun dibalik potensi tersebut, pembangunan biasanya juga dipusatkan di daerah pesisir, sehingga sering menimbulkan dampak negatif terhadap potensi sumberdaya tersebut. Aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti industri, pertanian, perikanan, permukiman, pertambangan, navigasi, dan pariwisata, sering tumpang tindih, sehingga tidak jarang manfaat atau nilai guna ekosistim tersebut turun.
Aktifitas-aktifitas tersebut seringkali memberikan
dampak pencemaran dan sedimentasi di wilayah pesisir. Pemanfaatan kawasan pesisir selama ini memberikan dampak positif berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir dan devisa negara. Namun, pada kegiatan pemanfaatan ekosistim ini cenderung
dilakukan secara tidak
terkendali, sehingga memberikan implikasi munculnya dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan ekosistim pesisir dan laut (Sugandhy, 1996). Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung terus menerus akan menimbulkan resiko terhadap perubahan serta pencemaran lingkungan pesisir dan laut yang semakin parah dan pada akhirnya akan berdampak lanjut pada penurunan kondisi kehidupan manusia khususnya di wilayah pesisir Kota Makassar.
Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut Kota Makassar sering terjadi karena belum adanya pola pemanfaatan tata-ruang yang baku dan dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Disamping itu, potensi
multi-guna
yang
inherent
pada
sumberdaya
pesisir
dan
laut
menyebabkan banyak pihak yang berupaya untuk memanfaatkannya sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Untuk menanggulangi masalah tersebut di atas, diperlukan suatu bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan laut yang berdimensi ekologis, teknologis, ekonomis dan sosial politik yang bertolak pada aspek berwawasan lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkan suatu penelitian tentang “model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan” yang dapat digunakan sebagai acuan bagi segenap sektor yang berkepentingan.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistim unik yang tersusun dari berbagai komponen yang saling berhubungan timbal balik satu sama lain. Wilayah pesisir dan laut Kota Makassar memiliki empat dimensi persoalan yang saling terkait satu sama lain (Gambar 2). Keempat
dimensi
itu
adalah:
kependudukan,
degradasi
lahan,
konflik
kepentingan dan pencemaran. Keempat dimensi itu pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga dimensi utama, yaitu: sosial, ekonomi dan lingkungan. Untuk memperjelas saling keterkaitan kelima dimensi itu, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Bagaimana membuat konsep penataan ruang berdimensi sosial, ekonomi dan lingkungan di kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. b. Bagaimana membuat model pengelolaan wilayah pesisir yang memberikan manfaat semua stakeholders tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan.
ISU LINGKUNGAN GLOBAL
SUSTAINABLE DEVELOPMENT
WILAYAH PESISIR
EKONOMI
EKOLOGI
SOSIAL
EXISTING
PERIKANAN
PERMUKIMAN
MANGROVE
INDUSTRI
PENCEMARAN LIMBAH
DEGRADASI
TAMBAK
PERDAGANGAN
KONFLIK KEPENTINGAN
PELABUHAN
KEPENDUDUKAN
MODEL PENGELOLAAN WILAYAH SECARA BERKELANJUTAN
Gambar 1. Kerangka rumusan masalah (Bohari,2003)
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merancang model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan; a.
Mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir perairan pantai Makassar
b.
Mengetahui tingkat kesesuaian lahan pesisir Kota Makassar bagi berbagai peruntukan yang mengintegrasikan kepentingan ekosistem darat dan laut
c.
Menyusun strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir perairan pantai Makassar secara berkelanjutan
d.
Membangun model pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar dilihat dari aspek ekonomi, sosial, ekologi dan landskap terhadap ruang
1.4.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam menyusun rencana pembangunan wilayah pesisir dan laut.
b. Bagi pelaku industri dan jasa penelitian ini bermanfaat untuk memahami strategi dan prospek pengembangan usaha sehingga terbangun kemitraan (partnership) dengan berbagai pihak terkait atas dasar saling menguntungkan. c. Bagi penduduk setempat penelitian ini bermanfaat untuk membantu memahami proses perencanaan pembangunan wilayah sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
1.5. Kerangka Pemikiran Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat produktif yang sangat potensial untuk dikembangkan dan salah satunya wilayah pesisir Kota Makassar. Sebagai salah satu wilayah unggulan daerah.
Pola
pengelolaan wilayah pesisir yang belum menerapkan konsep pengelolaan yang berkelanjutan, sehingga berbagai kendala sering dihadapi terutama masyarakat yang bergerak diwilayah pesisir adalah pada sistem budidaya dan penangkapan diantaranya
adalah limbah pencemaran dan wilayah pemanfaatan, tingkat
mortalitas dalam budidaya sangat tinggi, dan zona penangkapan serta wilayah pelayaran sering tumpang tindih. Pengelolaan wilayah pesisir dikatakan berkelanjutan jika sistem tesebut menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat memberikan solusi yang optimal terhadap konflik antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup.
WCED (1987) mendifinisikan pembangunan
berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan ummat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.
Atas dasar definisi tersebut,
pembangunan berkelanjutan mengandung lima dimensi utama yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Masingmasing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri
yang
mencerminkan
untuk
keberlanjutan
dari
dimensi
yang
bersangkutan.
menentukan keberlanjutan dari sistem ini secara keseluruhan (multi dimensi) maupun
masing-masing
dimensi
dilakukan
dengan
menghitung
indeks
keberlanjutan wilayah pesisir (Ikb-Coastal) dengan menggunakan metode multivariabel non parametrik yang disebut multidimensional scalling (MDS). Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka akan digunakan analisis sistem dinamis
dengan aplikasi program “Powersim” agar dinamika antar
variabel dapat terlihat. Model dinamis yang akan digunakan dalam analisis ini adalah model batas keberhasilan (Muhammadi et al., 2001). Pada model ini
kinerja variabel pada awalnya memberi keberhasilan (pertumbuhan) yang makin meningkat,
namun
dengan
berjalanya
waktu,
keberhasilan
itu
sendiri
menyebabkan sistem mencapai batas, sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat dan menjadi pembatas pertumbuhan itu sendiri. Untuk membangun model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ditentukan salah satu variabel yang mewakili masing-masing dimensi tersebut. Dalam
rangka mendukung
pelaksanaan otonomi
daerah melalui
pembangunan bidang perikanan secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan kebijakan dan formulasi strategi kedepan dengan berbagai skenario pengelolaan untuk dapat menghasikan model pengelolaan yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi dimasa datang digunakan anlisis Sistem Dinamik dan Spatial Dinamik sehigga permasalahan yang terjadi diwilayah pesisir dapat dilihat secara menyeluruh (holistik) yang melibatkan semua stakeholders yang ada didalamnya.
Secara skematis
kerangka pemikiran model kebijakan pengelolaan Wilayah Pesiisr secara terpadu dan berkelanjutan di sajikan pada Gambar 1.
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, berikut ini disajikan kerangka pemikiran pada Gambar 2. KONDISI EKSISTING
LIMBAH
TEKANAN EKSPLOITASI
SD WIL PESISIR
DAYA DUKUNG
MANFAAT EKONOMI
FUNGSI LINGKUNGAN
MANFAAT SOSIAL
KONFLIK PEMANFAATAN W ILAYAH PESISIR
ALTERNATIF PENGELOLAAN W ILAYAH PESISIR
MODEL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU DAN BERKELANJUTAN
EKONOMI
EKOLOGI
HUKUM DAN KELEMBAGAAN
TEKNOLOGI
MENINGKATKAN KEMANPUAN EKONOMI
SOSIAL
MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN
MENINGKATKAN MANFAAT SOSIAL
Pengelolaan W ily. Pesisir Berkelanjutan
Gambar 2. Kerangka Pikir Pengelolaan Wilayah Pesisir (modifikasi dari Munasinghe, 1992 , Tunner dan Edgar,1996 dan Elgar, 2000, Kavanagh 2001)
1.6. Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu : (1) analisis sistem dinamik dan spatial dinamik,
rapfish serta dinamik modeling
untuk dapat menghasilkan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan (2) analisis secara komprehensif wilayah pesisir berdasarkan karakteristik wilayah untuk keberlanjutan wilayah pesisir. Penelitian ini menggunakan metode analisis yang menggabungkan antara sistem dinamik dan spatial dinamik yang memasukkan tiga (3) aspek pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi serta aspek spatial.
Hasil dari model ini menggunakan prinsip-prinsip keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain (1) keterpaduan sektor , yaitu antar berbagai
sektor
pembangunan
migas,
perhubungan
dan
pelabuhan,
permukiman, pertanian dll; (2) keterpaduan wilayah/ ekologis yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam satu sistem ekologis, (3) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintahan yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat diwilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level seperti, pusat, provinsi dan kota; (4) keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu melibatkan berbagai bidang ilmu yang terkait dengan pesisir dan laut, seperti ilmu sosial budaya, ekonomi, fisika, kimia, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan dan lain-lain
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh berbagai pihak untuk kepentingan seluruh masyarakat (Alikodra,2006). Konsep pembangunan berkelanjutan diinterpretasikan oleh para ahli secara berbedabeda.
Namun demikian konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya
didasarkan pada kenyataan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya alam dan adanya kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus meningkat.
Kondisi
seperti ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien (Salim,1988 dan Djajadiningrat,2001).
Disamping itu perhatian dari
konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya tanggung jawab moral untuk memberikan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang, sebagaimana konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan adalah upaya sadar dan terrencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa datang. Konsep
pembangunan
yang
berkelanjutan
dan
tetap
memperhatikan
kepentingan generasi mendatang menjadi penting. Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) mulai digunakan secara umum oleh Komisi Pembangunan dan Lingkungan Dunia
(World Commission on
Environmental and Development) atau The Brundlan Commission pada tahun 1987. Budiharsono (2006) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan.
Dimensi ekonomi antara lain berkaitan upaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial merupakan upaya pemecahan masalah kependudukan,
perbaikan
pelayanan
masyarakat,
peningkatan
kualitas
pendidikan, adapun dimensi lingkungan adalah upaya pengurangan dan pencegahan
terhadap
(Munasinghe,1992
dan
pencemaran Moffatt,
serta 2001),
konservasi menjelaskan
sumberdaya bahwa
alam konsep
pembangunan yang berkelanjutan mengintegrasikan tiga aspek kehidupan
(ekonomi, sosial dan lingkungan) dalam suatu hubungan yang sinergis, ketiga aspek kehidupan dan tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut digambarkan dalam suatu ”segitiga mobius” pada Gambar 3.
Gambar 3. Prinsip-prinsip keberlanjutan (Munasinghe, 1992) Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip keberlanjutan ada tiga yaitu : (i) dimensi pembangunan; (2) dimensi keadilan; dan (3) prinsip-prinsip sistemik. Dimensi pembangunan mencakup tiga hal yaitu: (a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan); (b) pemuasan sumberdaya
terhadap
kebutuhan
manusia
melalui
efisiensi
pemanfaatan
(dimensi ekonomi); dan (c) konservasi dan pengembanganm
manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya). 2.2. Daya Dukung Lingkungan. Permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir seperti pencemaran, kelebihan tangkap, erosi, sedimentasi, kepunahan jenis dan konflik penggunaan ruang merupakan akibat dari terlampauinya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk serta segenap aktifitas pembangunan terhadap lingkungannya dimana memiliki kemanpuan yang terbatas (Dahuri et al., 1996).
Turner (1988) menyatakan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan /areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan jumlah atau mutu. Quano (1993) menyatakan, daya dukung perairan adalah kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyenankan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sebagai peruntukannya. Daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan (Krom,1986). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP,1993). Scones (1993) membagi daya dukung lingkungan menjadi 2 yaitu : 1. daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan; 2. daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi.
Menurut Poernomo (1997) daya dukung untuk
lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (kimia, fisika,dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem. Salah satu faktor utama yang menentukan daya dukung perairan pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut. Suatu perairan khususnya untuk areal budidaya ikan harus diperhaikan pengurangan oksigen terlarut yang terjadi serta diikuti oleh meningkatnya
krbondioksida, penurunan pH air, meningkatnya
amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya. Oksigen dipasok melalui dua cara yaitu 1) permukaan air atau transport melewati kolom air oleh difusi dan turbelensi serta fotosintesa.
Aktivitas
2) melalui hasil proses
hewan, tanaman dan bakteri di dalam kolom air dan
sedimen akan mengkonsumsi oksigen melalui proses resfirasi. respirasi memerlukan paokan oksigen
Jika proses
yang berlebih, maka ketersediaan
oksigen akan mempengaruhi kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban
maksimum yang diperkenankan atau
daya dukung
(McLean et al., 1993).
Kebuthan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik.
Nutrien
diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan. Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik wilayah dan kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) di wilayah tersebut. Oleh karena itu daya dukung suatu wilayah dapat dapat ditentukan atau diperkirakan secara : 1).
Kondis biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir
dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir (Dahuri, 2000).
Dengan demikian, tahapan utuk
menetapkan atau menentukan daya dukung wilayah pesisir untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan adalah : 1) Menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal terhadap garis pantai, wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan 2) Menghitung luasan wilayah pesisir yang di kelola 3) Mengalokasikan (zonasi) wilayah pesisir terseut menjadi tiga (3) zona utama yaitu : zona peservasi, zona konsevasi, dan zoa pemanfaatan 4) Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan. Selain tahapan yang tersebut di atas juga dilakuan penghitungan tenang potensi dan dstribusi sumberdaya alam dan jasa lingkngan yang tersedia, misalnya stock assessment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian keersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Anlisis tentang konsep daya dukung untuk pembangunan wilayah pesisir yang lestari harus memperhatikan keseimbangan kawasan. Untuk kegiatan yang bernilai ekonomi, Dahuri (2000) membagi menjadi 3 kawasan yaitu : a). Kawasan preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya, dan sifatsifat alami yang dimiliki seperti green belt, kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah untuk yang bersifat penelitian dan pendidikan, rekreasi
alam yang tidak merusak, kawasan ini paling tidak meliputi 20 % dari total areal.
b). Kawasan konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun tetap dikontrol, seperti perumahan, perikanan rakyat, dan kawasan ini meliputi tidak kurang dari 30 % dari total area.
c). Kawasan pengembangan intensif termasuk didalamnya kegiatan budidaya secara intensif. Limbah yang dibuang dari kegiatan ini tidak boleh meleati batas kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini mencakup 50 % dari total kawasan. 2.3. Eksternalitas Sebelum berkembangnya ilmu ekonomi mikro yang membahas tentang eksternalitas, putusan optimal dapat diperoleh tanpa melibatkan pengaruh pengelolaan sumberdaya yang ada terhadap lingkungan. Masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa disamping adanya dampak positif terhadap lingkungan, pengelolaan lingkungan.
sumberdaya sebagai
juga
menimbulkan
konsekwensinya,
dampak
masyarakakat
negatif menyadari
terhadap bahwa
lingkungan perlu dilestarikan agar kehidupan sekarang maupun dimasa yang akan datang menjadi baik. (Sudjana dan Riyanto, 1999). Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung (Fauzi, 2004) Menurut Daraba (2001), dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktifitas lainnya.
Apabila semua
keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut eksternalitas. Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah ini mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam perhitungan biaya proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui bahwa pemilikan atau pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh seseorang akan menimbulkan manfaat akan menghasilkan produk yang bernilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Hal sebaliknya juga dapat diteliti, yaitu menghasilkan dampak atau barang yang merugikan. Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu
proses yang menimbulkan manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut eksternalitas. Bila manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut ekternalitas positif dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena mekanisme pasar sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya tidak memasukkan biaya eksternalitas dalam biaya produksi (WWF, 2004). Dampak lingkungan
atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel
yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas (kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau perusahaan lain (Fauzi, 2004). Faktor-Faktor Penyebab Eksternalitas Eksternalitas timbul pada dasarnya karena ektivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsif ekonomi yang berwawasan lingkungan.
Dalam
pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidak efisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidak sempurnaan pasar, kegagalan
pemerintah
merupakan
keadaan-keadaan
dimana
unsur
hak
pemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari.
Kalau ini dibiarkan, maka ini akan
memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.
Adapun penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab
terjadinya eksternalitas adalah sebagai berkut (Ginting,2002) 1). Keberadaan Barang Publik Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut,
selanjutnya,
barang
publk
sempurna
(pure
public
good)
didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. utama dari barang publik ini.
Ada dua ciri
Pertama, barang ini merupakan konsumsi
umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan
(joint supply) dan tidak
bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak eksklusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Satu-satunya
mekanisme
yang
membedakannya
adalah
dengan
menetapkan harga (nilai monoter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan
berlebihan
dan
tidak
mempunyai
insentif
untuk
melestarikannya. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau ransangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai lebih rendah dari yang seharusnya (udervalued). 2). Sumberdaya Bersama Keberadaan sumberdaya bersama-SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumberdaya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas. Sumber-sumberdaya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak eskludabel. Sumber-sumbernya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma.
Namun tidak seperti barang
publik, sumberdaya milik bersama memiliki persaingan.
Pemanfaatannya
oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumberdaya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal tragedi barang umum (the tragedy of the commons). 3). Ketidaksempurnaan Pasar Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu
tukar-menukar
hak-hak
kepemilikan
(property
rights)
mampu
mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempurna (Inperfect Maket) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal). 4). Kegagalan Pemerintah Sumber ketidak efisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure).
Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan
pemerntah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari
keuntungan
(rent
seeking)
melaui
proses
politik,
melalui
kebijaksanaan dan sebagainya.
2.4.
Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir Pengelolaan wilayah peisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone
Management /ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan yang luas, sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru bagi masyarakat dunia. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comphrehensive assessment) tentang kawasan pesisir serta sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan.
Proses pengelolaannya dilakukan secara kontinyu dan
dinamis dengan mempertimbangkan aspek social, ekonomi, dan budaya serta aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia.
2.4.1. Batasan wilayah pesisir Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa pesisir adalah suatu wilayah peraliahan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (crosshore) (Gambar 4.). Untuk kepentingan pengelolaan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak
lurus terhadap garis pantai,sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain, hal ini dapat dimengerti sebab suatu negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (Pernetta dan Milliman,1995 dalam Bengan 2001). Menurut Bengen (2001),
wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah
dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengeruhi oleh prosesproses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.
z z
CONTINENTAL INTERIOR
z z
COASTAL ZONE
z
z
z
z
SHELF SEA
INTERFACE LAND / SEA z
z
z
z
NEARSHORE WATERS
z
z
z
z
z
z
z
z SHELF
z
z EDGE ZONE
z
UPLAND
z z
LOWLAND
z z z z z
RIVER BASIN
OPEN OCEAN
z
z
z z z z z
z
SEA / OCEAN z INTERFACE
ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME
z
SHELF z z
ESTUARY
z z
BALTMARSH DURES
z z
NEARSHORE
z
SHORE LINE
z
INNER SHELF
OUTER SHELF
z z
SHELF BREAK
z z z
CONTINENTAL SHELF
z z z z z
z z z
CONTINENTAL z z SLOPE
OCEAN FLOOR
z
Gambar 4. Batasan wilayah pesisir
2.4.2. Perencanaan terpadu pembanguan wilayah pesisir Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu lebih merupakan upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan berbagai kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan
pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan
analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen et al., 1984). Sedangkan Dahuri, dkk., (1996) dan Rustiandi (2003) menyarankan agar keterpaduan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan lautan, dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan koordinasi.
Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi,
sosial dan lingkungan secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pembanguanan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tatanan Konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan di wilayah pesisir hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan. Sedangkan pada tataran Koordinasi, diisyaratkan perlunya kejasama yang harmonis antara stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Konsep pembangunan wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan (PWPLB) mengacu kepada perpaduan antara prinsip pembanguan berkelanjutan ke dalam praktek pembangunan wilayah (Budiharsono.S, 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa ada sepuluh pilar yang merupakan penopang bagi pembangunan wilayah berkelanjutan
yaitu; (1) pembangunan sumberdaya alam berkelanjutan
(sustainable natural resources management); (2) perencanaan partisifatif (participatory planning and sustainable budgeting); (3) Pemberdayaan ekonomi rakyat (economic empowerment); (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia (capacity building and human resource development); (5) Pembangunan
sarana
dan
prasarana
(infrastructure
development);
(6)
Perlindungan sosial (Social protection); (7) Pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance development); (8) pengembangan demokrasi substantif inklusif (democration
substantive inclusive development); (9)
Perdagangan internasional dan antar wilayah (interregional and international trade); dan (10) pertahanan keamanan (defense and security development). Kesepuluh pilar berada dalam satu bingkai spartial seperti Gambar 5.
PERLINDUNGAN SOSIAL PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT
PRASARANA DAN SARANA
PERTAHANAN DAN KEAMANAN y y
PERENCANAAN PARTISIPATIF DAN ANGGARAN BERKELANJUTAN
PENINGKATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN DAN SUMBER DAYA MANUSIA
y y
PERTUMBUHAN EKONOMI PENURUNAN KEMISKINAN KEADILAN KEBERLANJUTAN
DEMOKRASI SUBTANTIF INKLUSIF
TATA PEMERINTAH AN YANG BAIK
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM BERKELANJUTAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN ANTAR WILAYAH
Gambar 5. Pilar pengelolaan wilayah pesisir (Budiharsono, 2006)
2.4.3. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan Berdasarkan Djojobroto (1998), bahwa daerah pesisir Indonesia berbedabeda menurut kondisi geografis dan kependudukan. Oleh karena itu, tujuan dan keadaan lokal
juga berbeda sehingga setiap rencana akan memerlukan
perlakuan yang berbeda. Cicin-Sain (1998) menyatakan bahwa urutan yang terdiri dari 10 tahap dapat direkomendasikan sebagai suatu pedoman perencanaan. Tiap tahap mewakili suatu kegiatan spesifik atau suatu rangkaian kegiatan yang hasilnya memberikan informasi untuk tahap-tahap berikut : (1) tentukan sasaran dan kerangka acuan, (2) aturlah pekerjaan, (3) analisis kesulitan yang ada, (4) Identifikasi kesempatan untuk perubahan, (5) evaluasi
kemampuan sumberdaya, (6) Penilaian alternatif, (7) ambil pilihan yang paling baik, (8) siapkan rencana, (9) Implementasi, (10) Penentuan revisi rencana. Kesepuluh tahapan ini meringkaskan proses perencanaan yang menggambarkan langkah-langkah yang terlibat dalam perencanaan zona pesisir secara terpadu. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya mengandung tiga dimensi ; dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri, et.al., 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antara sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) ; dan antara tingkat pemerintah mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration). Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial dan alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis, maka keterpaduan bidang ilmu mensyaratkan di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan dengan pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu; ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai ekosiostem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan lain-lain) yang saling terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan keterkaitan ekologis tersebut. Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda dengan sumberdaya terresterial, untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang disebut dengan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). ICZM adalah sistim pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh pemerintah pada level lokal/ regional dengan bantuan pemerintah pusat. ICZM berfokus pada pemanfaatan sumberdaya
pesisir
berkelanjutan,
konservasi
biodiversitas,
perlindungan
lingkungan pantai, dan penanggulangan bencana alam di wilayah pantai. Konsep ICZM (Clark,1998) diarahkan untuk mewarnai pembangunan wilayah
pantai melalui pendidikan, pengaturan pengelolaan sumberdaya, dan penilaian lingkungan. Beberapa instrumen utama ICZM adalah: a. Peraturan pemerintah tentang perlindungan bidiversitas dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya pesisir. b. Penilaian lingkungan yang dapat memprediksi dampak dari berbagai kegiatan pembangunan. ICZM dipandang efektif untuk memecahkan berbagai permasalahan lingkungan yang melibatkan interaksi daratan-lautan (termasuk persoalan konflik pemanfaatan
sumberdaya)
melalui
tahapan-tahapan
proses
penilaian
lingkungan. Menurut Clark (1996) dan Kay (2005) menyatakan bahwa beberapa persoalan penting yang dihadapi ICZM adalah sebagai berikut: a. Deplesi sumberdaya; demand terhadap sumberdaya pesisir sampai saat ini dinilai telah melampaui supplay yang tersedia. ICZM menawarkan konsep sustainable use management untuk menjamin ketersediaan sumberdaya terbarui (renewable) untuk saat ini dan masa yang akan datang. b. Polusi ; polusi menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung biologis dan kualitas area wisata. c. Biodiversitas ; konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi adalah tekanan terhadap species yang memiliki nilai etik dan ekonomi tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi species yang terancam punah. d. Bencana alam; ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan sumberdaya pantai dari bencana alam (seperti; banjir, siklon dan amblesan tanah) kedalam perencanaan pembangunan. e. Kenaikan permukaan air laut; kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30 cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir yang di sebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di Atmosfer berpotensi menimbulkan banjir yang mengancam kehidupan masyarakat. f.
Abrasi pantai; abrasi pantai adalah masalah yang mengancam masyarakat yang tinggal didekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan nonsturuktural seperti penataan kembali garis pantai dan memberikan jarak aman dari garis pantai untuk semua kegiatan pembangunan.
g. Pemanfaatan lahan; pemanfaatan lahan (misalnya: untuk industri dan permukiman) menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistim pesisir
(misalnya: penurunan bidiversitas karena polusi). ICZM mengantisipasi hal itu dan merekomendasikan solusinya. h. Hinterlands; ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir. i.
Landscape; landscape wilayah pesisir bersifat unik sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melindungi dan untuk menjamin akses masyarakat ke wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan landscape pesisir.
j.
Konflik pemanfaatan sumberdaya ; wilayah pesisir adalah tempat terjadinya konflik di antara para pengguna sumberdaya. ICZM menyediakan platform metodologi resolusi konflik secara internal.
2.5. Ekologi Penting Wilayah Pesisir Ekosistem pesisir dan laut tropis seperti: estuaria, hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang mempunyai potensi besar untuk menunjang produksi perikanan. Karena produktifitasnya yang tinggi di perairan tersebut maka ekosistim pesisir merupakan habitat yang baik bagi ikan-ikan, baik untuk tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), atau sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground).
2.5.1
Ekosistem Estuaria Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan
laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain (Supriharyono, 2002; Dahuri, 2004): 1. Tempat bertemunya arus air sungai dengan arus pasang surut yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, percampuran air dan ciri-ciri fisika lainnya serta membawa pengaruh besar pada biotanya. 2. Percampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.
4. Kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta tofografi daerah eustuaria tersebut.
2.5.2
Ekosistem Mangrove Ekosistim mangrove adalah kesatuan ekologis dari berbagai biota
teresterial (insekta, ular, primata dan burung) dan akuatik (ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan dan organisme pengurai) serta vegetasi hutan mangrove itu sendiri. Vegetasi hutan mangrove ini merupakan vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Selanjutnya Alikodra (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove dalam skala ekologis, merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama dukungannya
bagi
stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Alikodra (2004) dan Dahuri (2004) selanjutnya menyatakan bahwa fungsi dan manfaat hutan mangrove adalah: 1. Bagi ekosistim daratan, sebagai peredam gelombang dan angin badai, serta pelindung dari abrasi. Bagi ekosistim laut terutama terumbu karang dan sekitarnya, mangrove berfungsi sebagai pelindung terutama untuk penahan lumpur dan perangkap sedimen yang berasal dari daratan; 2. Penghasil sejumlah detritus dari serasah (daun dan dahan) mangrove. Produktivitas primer yang tinggi, dapat mencapai 2.920 gC/m²/tahun menjamin keberlangsungan proses tropik pada ekosistim hutan mangrove. 3. Daerah asuhan (nursery ground , daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan ( spawning ground ). Berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya; 4. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar dan bahan baku arang dan kertas (pulp); 5. Lokasi pariwisata.
2.5.3. Ekosistem Padang Lamun Tumbuhan lamun yang merupakan pembentuk ekosistim padang lamun adalah jenis vegetasi yang telah beradaptasi untuk hidup di bawah permukaan air laut. Di Indonesia, terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 species, di antaranya marga Hydrocharitaceae dengan speciesnya Enhalus acroides (Dahuri, 2003 dan Iriana, 1999).
Seperti halnya ekosistim hutan mangrove, maka ekosistim padang lamun juga mempunyai potensi biotik yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa fungsi ekologis ekosistem padang lamun, antara lain: 1. Sistem
perakaran
lamun
yang
padat
dan
saling
menyilang
dapat
menstabilkan dasar laut dan mengakibatkan kekokohan tanaman lamun itu sendiri. 2. Padang
lamun
berfungsi
sebagai
perangkap
sedimen
kemudian
mengendapkan dan menstabilkan. 3. Padang lamun segar merupakan makanan bagi ‘ikan’ duyung, penyu laut, bulu babi. Beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti kerapu, baronang, kuda laut hidup di lamun. 4. Daun lamun yang gugur menjadi sumber serasah yang dapat diuraikan menjadi detritus yang merupakan bahan makanan bagi biota detrivora. 5. Berfungsi sebagai habitat perlindungan alami ikan-ikan kecil, udang dan rajungan (swimming crab). 6. Pada permukaan daun lamun, hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya bersel tunggal), hewan-hewan renik dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam-macam jenis ikan yang hidup di padang lamun; padang lamun dapat meredam kekuatan hidrodinamis dan berfungsi sebagai pelindung dari sengatan sinar matahari. 7. Dapat dijadikan bahan makanan dan pupuk, misalnya samo-samo, Enhalus acroides, oleh penduduk Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.
2.5.4. Ekosistem Terumbu Karang Ekosistim terumbu karang mencakup beberapa komunitas biota laut ikan, krustase/ udang, moluska/ kekerangan, plankton, ekinodermata dan hewan karang batu itu sendiri yang hidup pada habitat yang sama. Keseluruhan biota dan habitatnya tersebut terkait satu dengan lainnya melalui interaksi ekologis, baik berupa aliran energi maupun aliran materi. Terumbu karang sesungguhnya adalah hewan klasik yang rangkanya tersusun oleh ± 98% bahan kalsium karbonat (kapur). Hewan ini tergolong Filum Onidaria yang mempunyai 2 (dua) kelas yaitu: Anthozoa dan Hydrozoa dengan keseluruhan jenis diperkirakan mencapai 2.500 species (Supriharyono, 2000 dan Dahuri, 2003).
Struktur morfologinya dan produktivitas yang tinggi menjadikan terumbu karang ini berperan dalam kesatuan ekosistim perairan pesisir dalam menunjang ketersediaan sumberdaya perikanan. Lebih dari 30% ikan-ikan yang merupakan pemasok protein ditangkap di daerah terumbu karang. Beberapa sumberdaya perikanan karang yang bernilai ekonomis sangat penting seperti ikan napoleon, kerapu, baronang, udang lobster, udang kipas, kima, kerang mutiara dan ikanikan hias. Potensi ikan karang (consumable) yang diperkirakan sebesar 81.000 ton/tahun telah dimanfaatkan melebihi dari potensinya sebesar 106.000 ton. Sementara potensi lobster diperkirakan sebesar 12.380 ton/tahun juga telah dimanfaatkan melebihi potensinya, yaitu 50.000 ton. Potensi ikan hias Indonesia diperkirakan sebesar 1.214 juta ekor. Selain manfaat dari sumberdaya perikanan, juga terdapat sumberdaya farmaseutik yaitu terdapatnya senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, suplemen makanan dan kosmetika yang sangat prospektif (Dahuri, 2003). Ketersediaan sumberdaya biotik perikanan menyebabkan tereksploitasi dengan sangat intensif. Berbagai teknik penangkapan ikan karang seperti penggunaan bom dan racun potasium sianida sangat membahayakan ekosistim ini. Hal ini menjadi sangat krusial karena pertumbuhan terumbu karang relatif sangat lambat; tipe Acropora (genus Folliaceous) yang mempunyai laju pertumbuhan terbesar hanya bertumbuh sebesar 5-10 cm/tahun (diameter) dan 2,5 cm/tahun (tinggi); sedangkan tipe terumbu karang massif misalnya Mostastrea annularis hanya bertumbuh sebesar 0,5-2,0 cm/tahun (diameter) dan 0,25 - 0,75/tahun (tinggi). Tahun 1995 di Indonesia luas keseluruhan terumbu karang diperkirakan 50.000 km². Namun demikian laju kerusakan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daya pulih (pertumbuhan) sehingga diperkirakan luas penutupan karang sudah jauh berkurang dengan kondisi sebelumnya. Berbagai aktivitas manusia mempengaruhi ekosistim karang antara lain: Penambangan karang, penggunaan bahan peledak dan sianida, pengerukan sekitar terumbu karang, pembuangan limbah, penggundulan hutan di daerah upland, kepariwisataan yang tidak terkontrol dan penangkapan ikan hias.
Lebih jauh dinyatakan Jompa,1996
bahwa kondisi terumbu karang di daerah Pantai Makassar sudah dalam kategori jelek dengan tutupan karang hidup kurang dai 10 %.
2.6. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan 2.6.1. Model pengembangan kebijakan wilayah pesisir berkelanjutan Dalam menganalisis realitas sosial dan ekonomi komunitas masyarakat yang menggantungkan hajat hidupnya pada keberlangsungan sumberdaya laut dan pesisir, perlu terlebih dulu kita memahami pola pemanfaatan dan distribusi sumberdaya tersebut, dan konsep dasar (paradigma) yang melatar-belakangi mekanisme pengelolaan tersebut. Pengembangan kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan, sangat erat terkait dengan politik ekonomi pembangunan, perkembangan teknologi, kualitas sumberdaya manusia, dan juga didorong oleh ide atau gagasan baru mengenai paradigma pembangunan (Dunn 1994 dan Dahuri 2003). Rancangan model pengembangan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir yang dibahas berikut, merupakan suatu tawaran untuk membangun kerangka berfikir yang ideal dalam memanfaatkan sumberdaya sekaligus mengendalikan kerusakan ekosistem pesisir dan laut dengan menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan (Dunn,1996 dan Charles 2001), yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk Paradigma OSY (optimum sustainable yield). Secara garis besar, model ini ditopang oleh empat komponen utama yang saling berinteraksi, yakni: 1.
Keberlanjutan ekologis
2.
Keberlanjutan ekonomi
3.
Keberlanjutan sosial budaya (komunitas)
4.
Keberlanjutan kelembagaan (administrasi, legal dan politik) Dalam derivasi bentuk strategi selanjutnya, maka komponen-komponen
kebijakan ini kemudian diturunkan kedalam suatu kerangka arah kebijakan. Ada 5 (lima) arah kebijakan yang perlu diperhatikan (Dahuri, 2003), yakni: a. Memahami faktor ketidak-pastian (uncertainty) yang sudah merupakan faktor inherent (built-in) dan tidak terpisahkan dalam mengelola sumberdaya alam. Dari arah kebijakan ini perlu disusun sejumlah strategi untuk mengantisipasi hal ini. b. Mengatasi persoalan kompleksitas ekosistim, terutama mengingat bahwa daerah tropik merupakan wilayah dimana keragaman biologis dan struktur habitat sangat tinggi. Salah satu jalan keluar adalah penerapan prinsip
kehati-hatian
(precautionary
principle)
untuk
mengantisipasi
dinamika
ekosistim yang kompleks dan serba tidak pasti tersebut. c. Memperkuat struktur kelembagaan masyarakat lokal; misalnya melalui Program-program pemberdayaan masyarakat atau peningkatan kapasitas kelembagaan untuk mencapai kemandirian lokal. d. Mengkaji kemungkinan aplikasi sejumlah bentuk dan mekanisme alternatif hak-hak pemanfaatan sumberdaya sesuai kebutuhan komunitas dan stakeholders. Misalnya pengelolaan berdasarkan hak adat dan hak ulayat. e. Diversifikasi aktifitas ekonomi masyarakat pesisir untuk pengembangan mata pencaharian
alternatif.
Perlu
dihindari
kelebihan
investasi
dalam
pengembangan industri penangkapan ikan agar tidak terjadi over-capacity seperti banyak dialami di negara maju yang mengalami kolaps sumberdaya perikanan akibat over investment.
2.6.2
Konsep Kebijakan Publik Secara umum istilah kebijakan
dipergunakan untuk menunjuk prilaku
seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan
tertentu
(Anderson,1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Santoso
(1993)
dikemukakan para ahli
dengan
mengkompilasi
berbagai
definisi
yang
menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan
mengenai kebijakan publik dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu 1) para ahli yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah disebut kebijakan publik, (2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat,
yakni mereka yang
memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu. Sedangkan kubu yang lainnya menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.
Penjelasan lebih lanjut dan pandangan kelompok pertama
para ahli
tersebut adalah melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan yaitu perumusan kebijakan, pelaksanaan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian, dengan kata lain bahwa kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dan para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Pandangan dan kelompok kedua menyatakan kebijakan publik terdiri dari keputusan dan tindakan artinya
kebijakan publik
sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal
dan akibat-
akibat yang bisa diramalkan. Dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semua harus diperhitungkan yaitu: (1) Dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada masalah-masalah publik dan dampak kebijakan pada orang-orang yang terlibat, dengan demikian mereka atau individu-individu yang diharapkan untuk dipengaruhi oleh kebijakan harus dibatasi.
Ada juga
dampak yang diinginkan (intended consequences) dan ada dampak yang tidak diinginkan (unintended consequences); (2) Kebijakan yang mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok diluar sasaran atau tujuan kebijakan, atau juga dinamakan dampak yang melimpah (externalities of spillover effects), (3) Kebijakan yang mungkin mempunyai dampak pada keadaankeadaan sekarang dan keadaan-keadaan dimasa yang akan datang, dengan kata lain kebijakan yang berdampak berdasarkan dimensi waktu yakni masa sekarang dan masa yang akan datang; (4) Kebijakan yang mempunyai dampak dalam bentuk biaya langsung dan biaya tidak langsung, artinya ada biaya yang langsung dikeluarkan oleh program tersebut dan ada biaya tidak langsung dikeluarkan oleh pihak lain, apakah oleh pemerintah, swasta atau masyarakat; dan (5) Kebijakan yang mempunyai dampak terhadap biaya-biaya yang tidak bisa dihitung, tetapi dapat dirasakan oleh semua pihak. Analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab pertanyaan: (1) apa hakekat permasalahan, (2) kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya, (3) seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, (4) alternatif kebijakan apa yang tesedia untuk menjawab masalah, dan hasil apa yang diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan tersebut membuahkan informasi tentang; masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan,hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan.
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan; (2) peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; (3) rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah; (4) pemantauan (deskripsi) menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan; dan (5) evaluasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari kosekuensi pemecahan masalah. Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, evaluatif dan preskriptif.
Sebagai disiplin ilmu
terapan, analisis kebijakan meminjam tidak hanya ilmu sosial dan prilaku tetapi juga administrasi publik, hukum, etika dan berbagai macam cabang analisis sistyem dan matematika terapan.
Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk
menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan: (1) nilai yang pencapaianya merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Dalam menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan tersebut, dapat digunakan satu atau lebih dari tiga pendekatan analisis, yaitu: 1)
Pendekatan empiris: ditekankan terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari kebijakan publik.
pertanyaan utama bersifat faktual dan
macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. 2)
Pendekatan valuatif: ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. pertanyaan berkenaan dengan nilai (berapa nilainya) dan tife informasi yang dihasilkan bersifat valuatif.
3)
Pendekatan normatif: ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah publik, dan informasi yang dihasilkan besifat preskriptif. Analisis kebijakan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui
apa sesungguhnya yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukan hal
tersebut dan apa yang menyebabkan mereka melakukan dengan cara yang berbeda-beda. Analisis kebijakan merupakan suatu proses pencarian kebenaran yang bermuara pada penggambaran
dan penjelasan mengenai sebab-sebab
dan akibat dari tindakan pemerintah. Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu : (1) analisis prospektif, (2) analisis retrosfektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 1994). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya berkaitan dengan produksi dan transformasi informal setelah tindakan kebijakan dilakukan. Sedangkan analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan analisis retrospektif.
2.6.3. Regulasi yang Terkait Dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir Beberapa peraturan perundangan yang terkait dan menjadi pedoman dalam pengelolaaan wilayah pesisir secara tarpadu dan berkelanjutan di Pantai Makassar sebagai berikut : 1.
Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan ekosistemnya
2.
Undang-undang nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan
3.
Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
4.
Undang-undang nomor nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
5.
Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
6.
Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
7.
Peratuan pemerintah nomor 47 tahun 1997 tentang Rencana tata Ruang Wilayah Nasional
8.
Peraturan pemerintah nomor 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
9.
Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 34 tahun 2002 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 11. Peraturan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan Nomor 4 tahun 1985 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Sulawesi Selatan 12. Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah Kota Makassar
13. Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2002 tentang Rencana Strategis Kota Makassar Kebijakan-kebijakan tersebut di atas menjadi pedoman bagi pemerintah Kota Makassar dalam menyusun rencana pengeloaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.
Pemerintah Kota Makassar sebenarnya telah
melaksanakan beberapa program-program dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar diantaranya program minasamaupeta dan juga relokasi terhadap pedagang kaki lima di wilayah pesisir dengan harapan bisa melakukan pembaharuan dan penataan di kawasan pantai serta mendukung perkembangan ekonomi kerakyatan dan industri pariwisata
2.6.4. Pengembangan wilayah pesisir melalui konsep megapolitan Pengembangan Wilayah Pesisir Sulawesi Selatan melalui konsep megapolitan “Mamminasata” meliputi Wilayah Makassar, Maros, Gowa dan Takalar. Memiliki luas sekitar 2462 km2 dengan penduduk 2,25 juta jiwa ( 2005) wilayah Mamminasata menyumbangkan 36 % dari PDRB Sul-Sel, sedangkan Kota Makassar memberikan kontribusi 77 % dari pertumbuhan ekonomi Mamminasata (JICA, 2006). Berdasarkan kesepakatan antar wilayah dirumuskan tujuan perencanaan tataruang Maminasata, yaitu (i) untuk menetapkan target dan persepsi yang sama untuk Mamminasata kedepan untuk manfaat semua orang dan semua stakeholder (ii) untuk menciptakan wilayah metropolitan yang harmonis, sejalan dengan
perlindungan
lingkungan
dan
peningkatan
amnetas
(iii)
untuk
meningkatkan standar hidup masyarakat, menjamin lapangan kerja dan layanan sosial yang memadai dan (iv) sebagai model bagi pengembangan wilayah metropolitan lainnya di Indonesia.
2.6.5. Lanskap wilayah pesisir Kota Makassar Lanskap kota merupakan suatu lanskap buatan manusia yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya (Simonds,1983) menurut Kaplan (1948) perencanaan kawasan kota membagi kawasan kota menjadi dua. untuk alasan keindahan, kawasan depan (front area) ditujukan untuk kawasan yang visualisasinya menarik dan indah seperti perkotaan, perkantoran, mal, dan kompleks perumahan dan sentra bisnis lainnya. Kawasan ini cenderung ditata sebaik mungkin sehingga selain bersifat fungsional juga memiliki nilai estetika yang tinggi. Kawasan depan juga ditujukan untuk menutupi kawasan belakang (backstage area) yang cenderung
lebih padat dan tidak
nyaman. Kawasan belakang digunakan untuk perindustrian, pemukiman padat dan daerah belakang (hinterland). Guna peningkatan kualitas estetika dan ekologis kota di Indonesia, pemerintah
Indonesia
melalui
Kementerian
menyelenggarakan program bangun praja.
Lingkungan
Hidup
Program bangun praja adalah
program penilaian estetika dan ekologi kota melalui penilaian keindahan (taman, penghijauan) dan kebersihan (pengelolaan sampah, badan perairan) kota.
Estetika Estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap keadaan lingkungannya yang menurut porteous (1977) dipengaruhi oleh empat unsur yaitu vision (pandangan), sound (suara), smell (bau), dan taclity (rasa). Vision merupakan hal yang dapat dilihat dengan mata dan merupakan sense yang dominan jika dibandingkan dengan sense lainnya. Preferensi visual dipengaruhi oleh ruang, jarak, kualitas cahaya, warna, bentuk, gradien tekstur dan kontras.
Pada kawasan perkotaan preferensi visual ditampakkan pada
ketertiban, keteraturan, keterpeliharaan, ketertataan dan keindahan. Menurut Porteous (1977) secara visual seseorang dapat melakukan penilaian terhadap apa yang dilihatnya secara langsung tanpa harus menimbulkan respon secara emosional bila dibandingkan dengan binatang yang lebih mengandalkan penciuman dan pendengaran, manusia lebih banyak mengandalkan penglihatan
dalam menilai suatu lanskap. Penilaian yang dilakukan secara visual adalah proses gabungan dari proses fisik dan psikis. Berdasarkan analisis faktor, variabel atau kriteria-kriteria yang ada pada faktor ekologi (kering-basah, ramai-tenang, padat-renggang, bising-sunyi, macetlancar, gaduh-sepi, terasa sesak-terasa segar) dan faktor estetika (tidak teraturteratur, semrawut - tertib, tidak terpelihara - terpelihara, kumuh - tertata, suram jelas). Pada penelitian Priharyaningsih, 2005, dapat mewakili gambaran kesan atau effek psikologi yang dapat ditimbulkan secara visual dari suatu landskap. Menurut Nasar (1988) kompleksitas merupakan banyaknya bentuk, warna dan garis yang dapat diamati pada suatu lanskap.
Semakin kompleks suatu
pemandangan dapat menimbulkan ketidak teraturan dan ketidaknyamanan bagi pengamat. Pada dasarnya manusia menyukai segala sesuatu yang tertata dan teratur baik. Menurut Eckbo (1964) suatu lanskap memiliki kualitas keindahan, kualitas keindahan lanskap ini ditentukan oleh
reaksi manusia yang berlaku sebagai
pengamat. Reaksi dari pengamat ini dipengaruhi oleh latar belakang sipengamat seperti masa kecilnya, pendidikan, latihan dan pengalaman.
Tanpa adanya
reaksi yang diberikan manusia maka kualitas dalam lanskap tidak ditentukan. Hal-hal seperti pengalaman dan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh seseotang dapat mempengaruhi penilaian terhadap apa yang dilihatnya. Disamping itu masih ada variabel lainnya yang juga dapat mempengaruhi penilaian seperti usia dan tingkat sosial-ekonomi (Laurie, 1990). Sound dipelajari dalam istilah lingkungan sebagai soun scape yang menjadi komponen penting dalam lingkungan sensor kita.
Sound di wilayah
perkotaan dapat berupa kebisingan, tetapi secara perlahan manusia dapat beradaptasi. Preferensi sound seseorang dengan yang lainya dapat berlainan. Namun kualitas kebisingan yang aman untuk manusia di Indonesia dapat diketahui dari pengukuran kemudian dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sumber kebisingan diperkotaan adalah kendaraan, mesin pabrik, alat pembangunan gedung dan lain-lain. Penanaman pohon dan semak dapat mengurangi tingkat kebisingan (laurie, 1990). Kualitas penyerapan bunyi pada beberapa jenis berbeda-beda menurut ukuran dan kepadatan daun. Smell merupakan komponen penting yang dapat memuaskan kebutuhan, keamanan dan afiliasi. Dalam lingkungan smell scape berupa slum area, pabrik,
perumahan dan sebagainya. Penelitian mengenai Smellscape lebih mengarah kepada polusi udara, tidak kepada pemanfaatan aroma bagi pengguna lingkungan.
Walaupun preferensi smell seseorang dengan yang caranya
mungkin berbeda,
namun preferensi untuk bau yang ditimbulkan akibat
pencemaran seperti dari tempat pembuangan sampah cenderung sama. Tactility menghasilkan touchscape yang berkaitan dengan suhu dan kelembaban, suhu dan kelembaban pada kawasan perkotaan dapat ditata melalui penataan hardmaterial dan softmaterial. Estetika lingkungan merupakan bagian atau komponen yang penting serta merupakan aspek yang menentukan kualitas tata ruang secara mikro. Masalah estetika lingkungan dipengaruhi juga oleh kesukaan terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu pada penataan kota seperti diamanatkan oleh undang-undang perlu melibatkan masyarakat secara langsung atau setidaknya didahului dengan penelitian dan kajian sehingga manpu mewadah perubahan fungsi dan tuntutan kebutuhan serta prilaku penduduk kotanya (Budihardjo, 1997) Persepsi dan Preferensi Persepsi adalah bagian dari kognisi manusia yang merupakan proses yang terjadi sebagai akibat
ransangan terhadap panca indera.
Manusia
dikaruniai beberapa indera yang penting bagi kehidupannya seperti penglihatan (vision), pendengaran (sound), penciuman (smell), dan sentuhan (tactility). Persepsi
dari
individu
tergantung
pada
keadaan
psikologinya
yang
mempengaruhi kemampuan penglihatan, rasa, penciuman, pendengaran, dan sentuhan (Porteous,1977).
Persepsi manusia dipengaruhi juga oleh berbagai
faktor antara lain usia dan tingkat kehidupan sosial ekonomi (Laurie,1990), latar belakang intelektual dan pengalaman emosional, pergaulan dan sikap sesorang (Eckbo, 1964).
Sedangkan Nasar (1988) menyatakan bahwa
persepsi
seseorang terhadap kwalitas suatu lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang terhadap lanskap tersebut. Preferensi didefinisikan sebagai tindakan untuk memilih ditentukan oleh banyak faktor. Preferensi seseorang terhadap sesuatu didasarkan atas persepsi. Apabila seseorang merasa puas melihat obyek maka ia akan menilai obyek tersebut bagus.
Sedangkan perasaan tidak puas dalam menilai suatu obyek
akan membuat obyek tersebut bernilai tidak bagus dan manusia cenderung untuk menghindari obyek seperti ini (Nasar,1988). Faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat antara lain adalah usia, jenis kelamin, tingkat sosial, tingkat pendidikan, dan budaya. Preferensi juga dipengaruhi oleh rasa keterkaitan seseorang terhadap suatu tempat dimana ia biasa hidup atau tinggal lama didalamnya.
Dengan kata lain preferensi
seseorang dipengaruhi juga oleh rasa familiaritas (Nasar,1988). Whitomone et al (1996) dan Gunawan (1994) menyatakan bahwa dasar pendidikan dan pelatihan khusus dibidang lingkungan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memberikan penilaian visual. Namun penilaian berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Dalam hasil penelitian Faisal (1997) secara keseluruhan memiliki kecenderungan yang sama. Persepsi masyarakat seringkali bertentangan dengan prinsip sustainable lanskap. Lingkungan alam yang sustainable pada umumnya menampilkan lanskap hutan dengan biodivesitas tinggi tetapi tidak teratur. Menurut Nasar(1988) masyarakat lebih menyukai lanskap dengan campur tangan manusia yang tinggi. Ekologi Masalah lingkungan merupakan isu yang semakin menonjol dan kompleks sejalan dengan semakin intensifnya intervensi manusia terhadap lingkungan
dapat didefinisikan sebagai jumlah total
suatu kondisi dalam
makhluk hidup. Didalamnya terdapat interaksi antara komponen non hidup seperti; kimia, fisik dengan komponen hidup (hayati). Ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dengan organisme dan organisme dengan lingkungan disebut ekologi. Iverson et al. (1993) menyatakan bahwa kualitas visual dari suatu lingkungan yang alami menjadi randah karena kehadiran lingkungan terbangun atau adanya unsur buatan manusia (man-made). Dalam penelitian Faisal (1997) struktur bangunan secara visual dapat menimbulkan dapat menimbulkan penilaian bahwa lingkungan seperti ini memberi kesan sempit, sulit dipelihara dan tidak tertata dengan baik. Menurut Whitmore et al (1995) area yang relatif dinilai memiliki kualitas visual rendah dikarenakan adanya gangguan budaya (kultural) seperti kehadiran manusia dengan pemukimannya. Sehingga Iverson et al (1993) mengatakan beberapa studi tentang penilaian visual yang dilakukan dengan metode yang berbeda mencapai kesimpulan yang sama bahwa unsur buatan manusia mempengaruhi kualitas lingkungan.
Temperatur dan kelembaban berpenagruh pada salah satu sense yang dikemukakan oleh Parteous (1977) yaitu tactility.
Tingginya temperatur atau
rendahnya kelembaban akan menyebabkan ketidaknyamanan.
Sedangkan
persepsi pada keadaan rendahnya temperatur atau tingginya kelembaban akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Pada seseorang yang
dibesarkan pada lingkungan dengan temperatur rendah atau kelembaban yang tinggi akan terbiasa dengan kondisi tersebut.
2.6.6. SIG dan Peranannya dalam Pengeloaan Wilayah Pesisir Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan.
Sistem
komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1995). Yang paling utama adalah kemampuan SIG menyajikan data spasial yang dilengkapi dengan informasi sebab SIG dapat menangkap data spasial baik dari peta ataupun data atribut yang memiliki informasi geografis. SIG juga mampu menerima peta dari berbagai skala dan proyeksi dan mentransformasi menjadi skala yang standar sehingga hasilnya yang diperoleh juga menjadi standar (Gambar 6)
Maps of different scales and projection
Numerical Data
Maps of consistent scale and projection
GIS Air Photo
Consistent numerical data
Gambar 6. Proses SIG dalam menangkap dan menampilkan data. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang perikanan, pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi bahkan pada bidang politik. Selain itu berbagai bentuk analisis spasial dapat dilakukan dengan menggunakan
SIG
termasuk diwilayah pesisir
khususnya dikawasan pantai. Gunawan
(1998)
menjelaskan
bahwa
SIG
dalam
pengelolaan
sumberdaya pesisir dapat digunakan untuk menyajikan data dasar keruangan yang terkait dengan masalah (1) fisik pesisir, yaitu berupa data dasar keruangan termasuk tofografi/bathimetri, morfologi, penutupan tanaman, aliran sedimen, erosi dan deposisi, iklim, batas habitat dan sebagainya dan (2) lingkup manusia/sosial, yaitu berupa data dasar keruangan termasuk batas administratif, distribusi populasi, jaringan transportasi, distribusi dan berbagai karakteristik manusia/sosial lainnya.
SIG umumnya dipahami memiliki kontribusi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir yakni (1) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintegrasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang optimal.
Kombinasi sektor atau kegiatan yang sinergis dan mempunyai
keunggulan komparatif secara ekonomis tetapi dampak lingkungannya minimal dapat ditampilkan, sehingga pihak perencana dapat menyeleksi sektor atau kegiatan yang layak dan tidak layak dilakukan, (2) merupakan alat yang digunakan
untuk
menunjang
pengelolaan
sumberdaya
wilayah
pesisir.
Kemampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan ruang wilayah pantai yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Keuntungan menggunakan GIS dal;am melakukan analisis data spasial dikawasan pesisir juga diungkapkan oleh Pheng (1989), yang mengatakan bahwa selain dapat menerjemahkan data spasial dari sumber informasi yang tradisional seperti peta dan tabel yang memiliki informasi geografis, GIS juga dapat mengintergrasikan informasi spasial dengan data digital sehingga memudahkan melakukan pembaharuan terhadap data apabila terjadi perubahan. Selain itu, dengan GIS juga dapat membantu untuk membuat model spasial yang kompleks yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan untuk alokasi sumberdaya alam dan juga membanun skenario mengenai prediksi dampak pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan dari data spasial yang diambil terutama apabila adanya beberapa alternatif pemanfaatan sumberdaya dengan lokasi yang berbeda-beda, maka GIS bisa membantu untuk melakukan pengambilan keputusan mengenai area yang tepat sesuai dengan yang diinginkan (Gambar 7).
User Criterion
Soil Type
Water Salinity
Suitable for Agriculture
Water Quality
GIS Soil Acidity
Bathymetry
Gambar 7. Proses SIG dalam identifikasi lokasi sesuai dengan kriteria yang diinginkan 2.7. Konsep Sistem Sistem adalah kumpulan dari beberapa elemen atau komponen yang saling terkait dan terorganisir
satu sama lain dalam rangka mencapai suatu
tujuan ( Hardjomidjojo, 2002), selanjutnya dikatakan bahwa Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks. Pengertian ini mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian dan menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependen satu sama lain (Marimin, 2004). Sedangkan pendekatan sistem didefenisikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefenisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan (Eriyatno, 1998).
Menurut Manetch dan Park (1977) dalam Mersyah (2005), suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisikondisi berikut : 1. Tujuan sistem didefenisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan 2. Prosedur pembuatan keputusan dalam sistem ini adalah terdesentralisasi atau cukup jelas batasannya 3. Dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan dilakukan. 2.8. Sistem Dinamik 2.8.1. Sistem Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyatno 1999 dan Forrester 1976). Disiplin akademik dan ilmu pengetahuan mempunyai pandangan masing – masing dan tersendiri atas keutuhan alamiah. Bertentangan dengan keutuhan alamiah tersebut, para ilmuwan dimasing – masing disiplin mengembangkan beragam model yang seringkali tidak konsisten, parsial, temporal dan bersifat diskrit (tidak berkesinambungan). Kenyataan yang mendasar dari persoalan aktual adalah kompleksitas, dimana unitnya adalah keragaman. Oleh karena keragaman yang begitu besar
tidak
mungkin dikaji atau dikendalikan oleh satu atau dua metode spesifik saja. Dalam hal ini, teori sistem mempertanyakan bahwa kesisteman adalah suatu meta – konsep atau meta – disiplin; dimana formalitas dan proses dari keseluruhan disiplin ilmu dan pengetahuan sosial; dapat dipadukan dengan berhasil (Gigh 1993 dan Carnavayal 1992 dalam Kholil 2005) . Disebabkan pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang terkenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting yang dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk dapat bekerja secara sempurna suatu pendekatan sistem mempunyai delapan unsur yang meliputi 1) metodologi untuk perencanaan
dan
pengelolaan,
2)
suatu
tim
yang
multidisipliner,
3)
pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model
matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi dan 8) aplikasi komputer (Eriyatno 1999). Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem tersebut diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau berkeadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup (closed system)
dimana interaksi dengan lingkungan
sangat kecil sehingga bisa diabaikan, dan atau terbuka (open system) dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi, Aminulah, dan Soesilo 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dapat dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamik dan sistem statis (Djojomartono dan Pramudya 1983 dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu, jadi merupakan fungsi dari waktu. Sistem dinamik ditandai dengan adanya ”time delay”
yang menggambarkan ketergantungan out put terhadap
variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Secara lengkap karakteristik pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999 dan Kholil 2005). Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu sibernetik (goal oriented), holistik dan efektivitas. Sibernetik (goal oriented) artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada ”problem oriented”, tetapi lebih ditekankan pada ” apa tujuan” dari penyelesaian masalah tersebut. efektivitas maksudnya sebuah sistem yang telah dikembangkan haruslah dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem haruslah merepresentasikan
kondisi
nyata
yang
sebenarnya
terjadi,
dan
holistik
mengharuskan merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu.
2.8.2. Sistem Dinamik
Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Validasi model sistem dinamik pada dasarnya adalah suatu proses membangun kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi ini, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan
valid secara absolut, jika tidak terdapat bukti bahwa model dapat
merepresentasikan suatu realita dengan benar – benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti – bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik secara umum dapat dibagi menjadi tiga katagori utama sebagai berikut: •
Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model,
dan
disesuaikan
dengan
keadaan
pada
sistem
yang
sebenarnya. •
Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model;
•
Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan.
Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.
2) Konstruksi model (tahap pengembangan model) Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi.
3) Tahap analisis sensivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan, kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Garis besar pengembangan model dinamik (Gambar 8). Permasalahan Konsep sistem Diagram sebab akibat Konstruksi model
Validasi OK ?
Tidak
Simulasi
Selesai
Analisis kebijakan
Gambar 8. Garis besar pengembangan model dinamik Diagram
input-output
merepresentasikan
input
lingkungan,
input
terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen
pengendalian.
Sedangkan
parameter
rancangan
sistem
dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang
menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram inputoutput desain sistem pengelolaan danau (Gambar 3).
Input Lingkungan Output Yang Diinginkan
Input Tak Terkontrol Proses
Output Yang Tak Diinginkan
Input Terkontrol UMPAN BALIK
Gambar 9. Diagram input-output sistem (Hartisari 2007)
2.8.3. Pola – Pola Dasar Sistem Dinamik Kim dan Anderson (1998) dan Muhamadi (2001) mengemukakan bahwa secara empiris ada 8 pola dasar sistem dinamis : 1) Perbaikan yang gagal (fixes that fail), 2) Pemindahan beban (shifting the burden), 3) Batas Keberhasilan (limit to succes), 4) Sasaran yang berubah (drifting goals), 5) Kemajuan dan kekurangan modal (growth and underinvestment), 6) Sukses bagi yang berhasil (sucess to the succesful), 7) Eskalasi (escalation), dan 8) Kesulitan bersama (tragedy of the commons). Pola – pola dasar sistem dinamik atau pola lingkaran dinamika sistem adalah terdiri atas lingkaran umpan balik. Selanjutnya, gabungan lingkaran umpan balik membuat kerumitan yang tidak dapat dimengerti, penyederhanaan terhadap kerumitan tersebut dapat dikenali melalui pola lingkaran umpan balik (Aminullah 2004). Sejauh ini telah dapat dikenali tiga kelompok
pola,
yaitu
pengelolaan
sistem,
pemecahan
masalah,
dan
kecenderungan pelaku. Kelompok pertama adalah pola – pola pengelolaan sistem terdiri dari : i) tindakan perbaikan yang tertunda, ii) penyesuaian tujuan, iii) batas pertumbuhan, dan iv) pertumbuan dan kekurangan modal. Kelompok pola kedua adalah pola – pola pemecahan masalah yang terdiri dari : v) perbaikan yang gagal dan vi) pergeseran beban. Kemudian kelompok pola ketiga adalah
pola – pola kecenderungan pelaku terdiri dari : vii) sukses bagi yang berhasil, viii) percepatan, dan ix) kesulitan bersama. 2.8.3.1. Perbaikan yang Gagal (Fixes that Fail) Perbaikan yang gagal adalah suatu tindakan perbaikan cepat pada suatu gejala yang tanpa disadari akan menimbulkan akibat lain yang akan memperburuk gejala tersebut. Struktur dasar dari perbaikan yang gagal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4 memperlihatkan dua bagian yang dinamik. Bagian dinamik pertama memuat gejala masalah dan perbaikan cepat. Bagian dinamik kedua memuat tentang akibat yang tidak disengaja atau tidak disadari yang ditimbulkan oleh perbaikan. Struktur dasar perbaikan yang gagal diawali oleh suatu gejala masalah. Saat gejala masalah muncul, segera dilakukan perbaikan untuk mengurangi masalah (Simpal (-)). Namun, perbaikan tersebut setelah beberapa waktu membawa kita kepada suatu akibat yang tidak disengaja, yang sebenarnya justru membangkitkan atau memperburuk gejala masalah tersebut (Simpal (+)).
+
Gejala Masalah
+
Simpal (- )
Perbaikan
Simpal (+ )
+
Akibat yang tidak disengaja
Gambar 10. Struktur dasar model perbaikan yang gagal
2.7.3.2. Pemindahan Beban (Shifting the Burden) Pemindahan beban adalah tindakan pemecahan gejala masalah secara cepat (sementara) yang tanpa disadari akan menimbulkan efek samping yang justru akan memperburuk gejala masalah tersebut. Model baku pemindahan beban biasanya dimulai dengan sebuah gejala masalah yang akan membuat kita cenderung untuk lebih menerapkan pemecahan gejala masalah daripada
pemecahan masalah yang sebenarnya (mendasar). Struktur model baku pemindahan beban, seperti yang digambarkan pada Gambar 11. Pemecahan Gejala Masalah
+
Simpal ( - )
-
Gejala Masalah
+
Simpal ( + )
Efek Samping
Simpal ( - )
+
Pemecahan Gejala Mendasar
-
Gambar 11. Struktur dasar pemindahan beban Ciri – ciri utama dalam model baku pemindahan beban adalah : 1. Gejala masalah yang selalu berulang dan suatu tindakan perbaikan cepat dan mudah segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dari gejala masalah. 2. Dugaan adanya tindakan yang lebih efektif untuk menyelesaikan gejala masalah, namun tindakan ini membutuhkan waktu lama, modal, komitmen, atau perubahan. 3. Perilaku pemecahan gejala masalah yang tampaknya bersifat mendorong atau
memperkuat,
yang
mengakibatkan
semakin
meningkatnya
kepercayaan terhadap pemecahan gejala masalah.
2.7.3.3. Batas Keberhasilan (Limit to Succes) Pada suatu sistem yang menggambarkan situasi Batas Keberhasilan, kegiatan pertumbuhan pada awalnya membawa keberhasilan yang semakin meningkat. Namun, dengan berjalannya waktu keberhasilan itu sendiri menyebabkan sistem mencapai batas sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat. Di sini keberhasilan memicu munculnya mekanisme pembatasan, kemudian menyebabkan keberhasilan itu menurun. Kecenderungan yang ditunjukkan akan ditentukan oleh kegiatan pertumbuhan awal. Struktur model
batas keberhasilan diperlihatkan pada Gambar 6. Struktur ini berciri proses penguatan (R1) dan proses keseimbangan (B2). Pembatas
+
-
R1
Usaha
+ B2
Unjuk Kerja
+
Pembatasan Kegiatan
+
Gambar 12. Diagram simpal kausal model batas keberhasilan
2.7.3.4. Sasaran yang Berubah (Drifting Goals) Sasaran yang berubah adalah suatu keadaan di mana terdapat perbedaan antara unjuk kerja yang ditargetkan dengan yang dicapai, yang selanjutnya dilakukan
tindakan
perbaikan
untuk
meningkatkan
atau
menurunkan
target/sasaran. Model baku sasaran yang berubah berawal dari terjadinya selisih antara unjuk kerja yang ditargetkan dengan yang sesungguhnya (aktual). Untuk menghilangkan selisih tersebut, perlu dilakukan tindakan koreksi/perbaikan, yang membutuhkan waktu, tenaga, dana, dan atau perhatian. Tindakan koreksi tidak selalu dijamin akan berhasil. Selain itu pengaruhnya baru nyata dirasakan setelah beberapa waktu, sehingga diperlukan kesabaran.
Pilihan lain untuk
menghilangkan selisih adalah dengan menurunkan target atau sasaran unjuk kerja yang diinginkan yang sesuai dengan tingkat unjuk kerja aktual (Gambar 7).
Simpal (-)
Sasaran
+ Selisih
-
Simpal (-)
Aktual
Tekanan Terhadap Sasaran Lebih Rendah
+ + Tindakan Koreksi
+ Gambar 13. Struktur dasar sasaran yang berubah Ciri dari struktur model baku sasaran yang berubah adalah adanya dua simpal (-) atau hubungan keseimbangan. Simpal (-) pertama terdiri dari unjuk
kerja aktual, selisih antara unjuk kerja aktual dan yang ditargetkan, dan tindakan koreksi/perbaikan untuk meniadakan selisih. Simpal pertama ini mengandung sebuah penundaan waktu yang terjadi antara tindakan koreksi dan pengaruhnya terhadap unjuk kerja aktual. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukannya waktu yang relatif lama untuk merasakan pengaruhnya nyata dari tindakan koreksi.
Contoh Diagram simpal kausal Target
: Penghematan air tanah secara bertahap dari 15.000 m3/bulan menjadi 8.000 m3/bulan
Tekanan pada target
: Keharusan memenuhi ketentuan perijinan pengambilan air tanah maksimum 8.000 m3/bulan.
Tindakan koreksi
: Melakukan
perbaikan
instalasi
pipa
distribusi,
perbaikan atau penyediaan peralatan produksi baru, pembangunan
jaringan
sirkulasi
air,
pelatihan
kepedulian penghematan air kepada karyawan, dan lain-lain. Aktual
: Unjuk kerja penghematan air tanah sesuai yang ditargetkan.
2.7.3.5. Kemajuan dan Kekurangan Modal (Growth and Underinvestment) Kemajuan dan kekurangan modal adalah keadaan ketidakseimbangan antara peningkatan kebutuhan dengan kapasitas pertambahan modal untuk memenuhi kebutuhan. Dalam situasi kemajuan dan kekurangan modal, akan terjadi pertumbuhan yang mendekati batas yang dapat dieleminasi atau ditunda bila dibuat kapasitas penanaman modal yang memadai. Meskipun demikian, sebagai hasil dari kebijakan atau perlambatan di dalam sistem, permintaan yang menurun akan membatasi pertumbuhan lebih lanjut. Penurunan permintaan kemudian
diikuti
oleh
pengurangan
kapasitas
penanaman
modal yang
menyebabkan timbulnya kinerja yang lebih buruk. Pada Gambar 8 diperlihatkan contoh diagram simpal kausal dari struktur model kemajuan dan kekurangan modal dengan mengambil kisah sebuah perusahaan alat listrik.
+ Upaya Pertumbuhan
Simpal (+)
-
Kebutuhan
Standar Kinerja
Simpal (-)
+
+
Dampak Faktor Pembatas
-
Pemenuhan Kebutuhan Modal
Simpal (-)
Kapasitas
+
+
+
+
Kapasitas Penanaman Modal
Gambar 14. Diagram simpal kausal struktur model pertumbuhan dan kekurangan modal
2.7.3.6. Sukses Bagi yang Berhasil (Sucess to the Succesful) Sukses bagi yang berhasil adalah suatu keadaan yang bersaing dalam meraih sukses (kemenangan). Bagi yang berhasil adalah karena kecendeungan untuk lebih banyak menempatkan sumber daya daripada pihak yang lain untuk terus
meningkatkan susksesnya. Suatu model sukses bagi yang berhasil
menggambarkan dua atau lebih individu, kelompok, proyek, inisiatif, dan sebagainya, yang saling bersaing untk mencapai sukses (Gambar 9).
+ Keberhasilan A
Simpal (+)
+ Sumber Daya untuk A
-
Akses Sumber Daya untuk A tidak Untuk B
+
-
Simpal (+)
Keberhasilan
Sumber Daya untuk B
+
Gambar 15. Struktur dasar sukses bagi yang berhasil
2.7.3.7. Eskalasi (Escalation) Eskalasi adalah dua pihak terlibat dalam suatu persaingan untuk saling mengungguli satu sama lain. Situasi eskalasi menggambarkan keadaan dimana dua pihak atau lebih terlibat dalam situasi di mana masing-masing pihak saling
bereaksi terhadap tindakan pihak yang lain. Secara umum, diagram simpal kausal model ini terlihat pada Gambar 10.
+ Aktivitas
Hasil
-
Hasil
+
+
Simpal (+)
Simpal (+)
Kualitas A relatif
+
+
Ancaman terhadap A
-
Ancaman terhadap B
Aktivitas
+
Gambar 16. Diagram simpal kausal model eskalasi
2.7.3.8. Kesulitan Bersama (Tragedy of the Commons) Kesulitas bersama adalah suatu kejadian yang melibatkan dua pihak atau lebih yang bersama – sama menggunakan sumberdaya terbatas dan mendapatkan keuntungan yang sebanyak – banyaknya yang berakhir dengan kesulitan bersama. Model kesulitan bersama didasarkan atas struktur dasar batas keberhasilan (Gambar 17). Pendapatan Bersih A
+
Simpal (+) Aktivitas
+
Simpal (+)
Aktivitas Total
+
-
Pendapatan per Aktivitas Individu
Simpal (+)
+
Aktivitas
+
Simpal (+) Pendapatan Bersih B
+
+ +
Gambar 17. Struktur dasar kesulitan bersama Ciri model ini adalah ada tiga fase pembentukan prilaku. Fase pertama adalah fase stabil. Pada fase ini, peningkatan aktivitas tidak menyebabkan penurunan
sumberdaya alam dan pendapatan, sehingga pelaku tidak sadar akan adanya keterbatasan. Fase kedua adalah fase penurunan sedikit secara bertahap. Pada saat ini konsumsi semakin besar, sehingga jumlah sumberdaya alam semakin menurun. Turunnya sumberdaya alam ini menimbulkan kepanikan sehingga konsumsi meningkat dengan cepat. Kondisi ini menimbulkan fase ketiga yaitu penurunan jumlah sumberdaya alam secara cepat.
2.9. Pengembangan Analisis Sistem 2.9.1. Tahapan Pendekatan Sistem Masalah pengelolaan wilayah pesisir melibatkan banyak pihak seperti masyarakat, industri, usaha, pemerintah, Dinas Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, PDAM,
dan LSM menyebabkan upaya
pengelolaan wilayah pesisir menjadi semakin kompleks karena masalahnya melibatkan partisipasi masyarakat, regulasi, kelembagaan, dan pendanaan. Jadi kawasan wilayah pesisir merupakan suatu sistem yang terdiri dari sumber daya yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan, sumber daya dana yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu dalam pengelolaan wilayah pesisir perlu pendekatan sistem dengan memperhatikan keterpaduan dan keberlanjutan. Melihat banyaknya pihak yang terlibat, maka masalah pengelolaan wilayah pesisir menjadi masalah yang kompleks. Alternatif pendekatan yang cocok adalah pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pihak secara terpadu. Pendekatan kesisteman dengan multidisiplin ilmu merupakan alternatif terbaik bagi penyelesaian masalah pengelolaan wilayah pesisir yang kompleks tersebut. Hal ini karena melalui pendekatan kesisteman ini akan dapat diidentifikasi kebutuhan seluruh pihak terkait (stakeholder), sehingga dapat dicari satu penyelesaian holistik dan terpadu yang dapat memberikan hasil lebih efektif. Dalam pendekatan sistem dilakukan beberapa tahap proses yang terdiri dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi model serta implementasi (Gambar 18). Pelaksanaan semua tahapan tersebut dalam satu ketentuan kerja merupakan analisis sistem ( Eriyatno 1999 dan Hartisari 2007). Sistem model dinamik merupakan salah satu pendekatan kesisteman yang memiliki beberapa keunggulan antara lain; 1) dapat menyederhanakan model masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, dan 2) adanya umpan
balik (feed back) dalam model (Muhamadi 2000 dan Kholil 2005).
Dalam
pengembangan model dinamik, penggunaan perangkat lunak (soft ware tool) computer sangat diperlukan. Melalui perangkat lunak powersim dapat dilakukan simulasi terhadap model yang telah dikembangkan untuk melihat tren (pola) sistem pada masa yang akan datang seiring perubahan waktu. Sehingga perubahan (perbaikan) yang diperlukan untuk mendapatkan sistem model yang diinginkan dapat dilakukan. Ada dua jenis perbaikan yang dapat dilakukan : a) perbaikan
struktural,
yakni
dengan
melakukan
penyempurnaan
model
(menambah/mengurangi), dan b) perbaikan fungsional, yakni dengan melakukan penyempurnaan unsur-unsur sistem.
Mulai
A
Analisis Kebutuhan
Pemodelan Sistem
Formulasi Masalah
Verifikasi dan Validasi
Identifikasi Sistem
Implementasi
Selesai
A Gambar 18 . Pendekatan sistem (Hartisari 2007)
Davidsen (1993) dalam Kholil (2005), menyatakan ada dua pertimbangan dasar yang harus dipikirkan dalam melakukan perbaikan (baik perbaikan struktural maupun fungsional), yaitu : a) feasibility dan b) desirability. Feasibility menekankan bahwa perbaikan dilakukan agar model dapat dilaksanakan dalam dunia nyata (real world), sedangkan desirability menekankan perbaikan model dilakukan agar dapat didukung oleh semua unsur dan sumber daya.
2.9.2. Analisis Kebutuhan
Analis kebutuhan merupakan tahap awal dari rangkaian proses pengembangan
sistem
model.
Analisis
kebutuhan
bertujuan
untuk
mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku (aktor) yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan kajian pustaka/empiris, stakeholder yang terlibat disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan aktor yang terlibat, ada dua jenis kebutuhan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisi : a) kebutuhan masing – masing individu (individual needs)
yang dapat mengarah pada conflict of
interest, dan kebutuhan bersama (common needs) yang menjadi masalah bersama (common problem). Tabel 1. Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu No . 1.
Aktor/Stake holder Masyarakat Nelayan
2
Masyarakat umum
3.
Pemerintah Daerah
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 1) 2) 1)
Dinas Perikanan dan Kelautan
2) 3) 1) 2)
4
5
Dinas Kehutanan
6
Dinas Kesehatan
7
Dinas Pariwisata
8
PDAM
9.
Lembaga Keuangan
10.
Pengusaha
Kebutuhan
3) 4) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2) 3) 1) 2)
Kesejahteraan keluarga meningkat Harga jual ikan hasil tangkapan menguntungkan Produktivitas nelayan meningkat Terbukanya lapangan pekerjaan Tersedianya lahan untuk usaha budidaya ikan Produksi budidaya laut meningkat Pemasaran yang baik dengan harga yang tinggi Peningkatan pendapatan Kontuinitas permintaan Tersedianya sarana produksi Harga jual yang tinggi Tersedianya sarana & prasarana perikanan yang memadai Tidak tercemarnya perairan Tidak mendangkalnya wilayah pesisir Pemukiman di wilayah pesisir Tersedianya jalur transportasi Lingkungan yang sehat Master plan pengelolaan wilayah pesisir terpadu (perencanaan, penataan, pengelolaan) Peningkatan pendapatan PAD Fungsi perairan lestari Fungsi perairan lestari Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat/nelayan Terbuka lapangan kerja Kontunuitas produksi ikan Fungsi hutan lestari Tidak adanya aktivitas perambahan hutan Erosi diminimalkan Produksi ikan terjamin mutunya Kesehatan lingkungan masyarakat terjamin Gizi masyarakat terjamin Sarana rekreasi/ekowisata Nilai estetis wilayah pesisir tertata PAD meningkat Fungsi perairan lestari Air tidak tercemar Keuntungan usaha Keamanan usaha Keuntungan usaha Resiko kegagalan pengembalian pinjaman modal kecil Kemitraan Ketersediaan bahan baku
11 12 13
Dinas PU PLN LSM
14
Penyedia transportasi
15
Perguruan Tinggi
jasa
3) 4) 1) 1) 1) 2) 3) 4) 5) 6) 1) 2)
Daya saing kompetitif Iklim usaha yang kondusif Kebutuhan air terjamin Pengembangan PLTA Lingkungan sehat Tidak terjadi konflik sosial Transparansi Good clean governance Keamanan Peningkatan kesejahteraan masyarakat Keamanan berusaha Kemitraan dengan pedagang atau nelayan
1) 2)
Kegiatan penelitian Praktikum
2.9.3. Formulasi Masalah Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara para stakeholder terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan sistem (Eriyatno 2003). Berdasarkan analisis kebutuhan tersebut, maka dalam upaya pengelolaan wilayah pesisir secara lestari, maka permasalahan yang mengancam kelangsungan wilayah pesisir adalah: 1. Rusaknya fungsi ekologis Rusaknya fungsi ekologis wilayah pesisir dapat disebabkan oleh meningkatnya
beban
pencemaran,
menyebabkan turunya kualitas air
dan
sedimentasi
sehingga
wilayah pesisir. Hal ini akan
menyebabkan rusaknya fungsi ekologis wilayah pesisir sebagai :
Sumber plasma nutfah
Tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna
Tempat hidup biota air
Pengendali banjir
Rekreasi/Wisata
Memelihara iklim mikro, di mana keberadaan ekosistem wilayah pesisir dapat mempengaruhi kelembaman dan tingkat curah hujan setempat
Sarana tranportasi
2. Lemahnya regulasi Lemahnya regulasi dalam pengelolaan wilayah pesisir disebabkan oleh belum ditegakkannya undang – undang, sehingga aktivitas pencemaran di wilayah pesisir dan perambahan hutan di sekitar wilayah pesisir terus berlangsung.
3. Gangguan keslingmas Meningkatnya limbah cair (feces-tinja) rumah tangga, hotel dan restoran akan meningkatkan bakteri E. coli serta akan membawa penyakit pada ikan dan ketika ikan dikonsumsi masyarakat akan membawa penyakit pada masyarakat akhirnya akan mengganggu keslingmas. Begitu pula meningkatnya pencemaran logam berat dan residu pestisida (pertanian) di wilayah pesisir akan membawa penyakit pada manusia. 4. Lemahnya SDM Meningkatnya aktivitas masyarakat terhadap pengrusakan hutan di sekitar wilayah pesisr dan meningkatnya pencemaran di wilayah pesisir, hal ini disebabkan oleh:
SDM yang tidak memiliki wawasan tentang
pentingnya pelestarian lingkungan, rendahnya tingkat pendidikan, dan lemahnya prilaku sosial (kesadaran masyarakat).
2.9.4. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi sistem tersebut adalah untuk memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Menurut Eriyatno (1999) identifikasi sistem dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebab akibat dan diagram input output (black box) (Gambar 19). Diagram sebab akibat merupakan interkoneksi antar peubah – peubah penting yang
diturunkan
dari
identifikasi
kebutuhan
dan
masalah
yang
telah
diformulasikan pada suatu sistem tertutup (closed-loop system) untuk melihat interaksi antar komponen sistem terkait.
INPUT LINGKUNGAN • Iklim • Curah hujan
INPUT TAK TERKENDALI • Peraturan/Kebijakan Pemerintah • Erosi DAS • Sedimentasi • Jumlah penduduk
OUTPUT YG DIKEHENDAKI • Wilayah pesisir lestari /Kualitas air perairan terjaga • Pencemaran lingkungan terkendali • Potensi sumber daya ikan lestari
MODEL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN
OUTPUT YG TAK DIKEHENDAKI • Terjadinya pencemaran air • Terjadinya pendangkalan di wilayah pesisir • Penurunan hasil ikan (kualitas & kuantitas)
MANAJEMEN PENGELOLAAN
Gambar 19. Diagram input output model pengelolaan wilayah pesisir
2.9.5. Pengembangan Model Dinamik Sistem dinamik menawarkan dua keuntungan yaitu: (1) Relatif mudah untuk menggabungkan antara pemahaman kualitatif dengan data kuantitatif; (2) Simulasi bisa dilakukan pada saat ketersediaan data tidak memadai untuk melakukan analisis data statistik. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999).
Gubungan subsistem wilayah pesisir yang memiliki karakteristik kompleks dan dinamis (Gambar 20).
BOD BOD
Jumlah Penduduk
PLTD
Hotel Subsistem Penduduk
Subsistem Industri
Pertumbuahan pemukiman
Budidaya Limbah domestik
Restaurant Jumlah Sungai COD
Debit air sungai
Subsistem Sumber Air wilayah pesisir
Limbah domestik Prilaku budaya Jumlah penduduk
Subsistem Sosial Ekonomi
Konversi lahan hutan Kualitas air perairan Subsistem Pertanian dan Kehutanan
Pendapatan
Pendidikan Luas lahan terpakai
Subsistem sedimentasi
Erosi
Luas lahan terpakai Limbah pertanian Kosentrasi N dan P
Pendangkala n wilayah Kekeruhan
OD
Gambar 20. Hubungan Interaksi sejumlah subsistem (sub model) yang berbeda
2.9.6. Uji Validasi dan Sensitivitas Model Untuk menguji kebenaran sebuah model dengan kondisi obyektif dilakukan uji validasi. Ada dua uji validasi yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan ”konstruksi model ” valid secara ilmiah. Sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauh mana model sesuai dengan kinerja sistem nyata (keadaan yang sebenarnya) atau
kesesuaian dengan data empirik. Validitas struktur meliputi dua pengujian, yakni validitas konstruksi dan validitas kestabilan. Validitas konstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Sedangkan uji validitas kestabilan dilakukan dengan menguji konsistensi antara model agregat dan model rinci. a. Uji Validasi kinerja : Validitas kinerja dilakukan dengan cara pengujian menggunakan statistik AME (absolute mean eror) dan AVE (absolute variation eror). Nilai batas penyimpangan yang dapat diterima adalah 5 – 10%. Tabel 2. Konversi rumus statistik ke persamaan powersim No 1
Rumus statistik
Persamaan powersim
Penyimpangan means absolut (AME)
E1 = abs(Sr-Ar)/Ar
AME = (Si-Ai) Ai
Sr = integrate (S)/t(n) – t(0))
Si = Si N
Ar = integrate (A)/t(n)-t(0))
Ai = AiN 2
Penyimpangan variasi absolut (AVE)
E2 = abs(Ss-Sa)Sa
AVE = Ss-Sa Sa
Ss=sqrt(integrate ((S-Sr)^2)(t(n)-t(0)))
2
Sa=sqrt(integrate((A-Ar)^2)(t(n)-t(0)))
Ss = ((Si – Si) N) 2
Sa = ((Ai – Ai) N) 3
Saringan Kalman (KF)
E3 = Vs (Vs + Va)
KF = Vs/(Vs+Va)
Vs = integrate ((S-Sr)^2)(t(n)-t(0+1))
2
Va = integrate ((A-Ar)^2)(t(n)-t(0+1))
Vs = (Si-Si) (N-1) 2
Va = (Ai-Ai) (N-1) 4
Koefisien diskrepansi (U)
U = Se (Ss + Sa)
U = Se (Ss+Sa)
Se = sqrt (integrate ((S-Sr)-(A-Ar))^2)(t(n)2
Se = ({(S-Si)-(A-Ai)} N) 5
t(0)) 2
2
DW = {(Ai-Si)t – (Ai-Si)t-1} /{(Ai-Si)t}
DW = d1/d2 d1 = integrate ((d-delayinf(d,1,1,0))^2) d2 integrate ((d)^2) d = (A-S)
Keterangan : A = nilai aktual S = nilai simulasi N = interval waktu pengamatan Sa = deviasi nilai aktual Ss = deviasi nilai simulasi
b. Uji Sensitivitas
^2 = pangkat dua n = waktu sqrt = akar integrate = sigma fungsi waktu S = nilai simulasi Abs = nilai absolut
Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu dilakukan uji sentivitas, dengan menggunakan fungsi – fungsi sepeti IF, STEP, GRAPH, dan PULSE (Davidesen 1994 dalam Kholil 2005). Uji sensitivitas dilakukan untuk mengetahui respon model terhadap stimulus, tujuannya untuk menemukan alternatif tindakan baik untuk mengakselerasi kemungkinan pencapaian positif, maupun untuk mengantisipasi dampak negatif. Uji sensitivitas dilakukan dengan dua macam (Muhamadi, 2001) : 1) Intervensi fungsional, yakni dengan memberikan fungsi – fungsi khusus terhadap model, dan 2) intervensi struktural, yakni dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model, dengan cara mengubah struktur modelnya.
2.9.7. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dilakukan untuk mempengaruhi sistem agar sesuai dengan apa yang diinginkan (Davidsen, 1994 dalam Kholil, 2005). Dalam sistem dinamis analisis kebijakan dilakukan terhadap hasil simulasi model (Muhamadi, 2001). Ada dua tahap analisis kebijakan yaitu : pengembangan kebijakan alternatif dan analisis kebijakan alternatif. Pengembangan kebijakan alternatif adalah suatu proses berfikir kreatif menciptakan ide – ide baru untuk mempengaruhi sistem agar mencapai tujuan yang diinginkan, baik dengan cara mengubah parameter maupun struktur modelnya. Sementara itu analisis kebijakan alternatif dilakukan untuk memilih satu kebijakan terbaik dari beberapa alternatif kebijakan yang ada, dengan mempertimbangkan perubahan sistem lama ke sistem baru, serta perubahan lingkungan ke depan.
III. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
3.1. Kondisi Fisik Wilayah pesisir Kota Makassar Sulawesi selatan, dipengaruhi
DAS
Jeneberang dan Tello, DAS Jeneberang memberikan kontribusi sedimen sedang Sungai Tello memberikan kontibusi limbah yang memberikan dampak pada perairan pantai di Kota Makassar. Kota Makassar terletak antara 119024’17’38” bujur timur dan 508’6’9” lintang selatan yang berbatasan Kabupaten Pangkep 2di sebelah Utara, Kabupaten Maros disebelah timur, Kabupaten Gowa di sebelah selatan dan Selat Makassar di sebelah barat. Luas wilayah kota Makassar tercatat 175,77 km persegi yang meliputi 14 kecamatan.
Berdasarkan pencatatan Stasiun
Meteorologi Maritim Paotere, secara rata-rata kelembaban udara sekitar 67 – 90 persen, curah hujan 428 mm, hari hujan 16 hari, temperatur udara sekitar 26,40 28,3 0C, dan rata-rata kecepatan angin 81 knot. Secara administratif Kota Makassar terbagi atas 14 kecamatan, 143 kelurahan (BPS, 2005). 3.2.
Demografi
3.2.1. Penduduk Dalam pelaksanaan pembangunan di wilayah pesisir, penduduk merupakan faktor yang sangat dominan karena penduduk bukan saja sebagai pelaksana melainkan juga menjadi sasaran dari pembangunan itu sendiri, untuk menunjang keberhasilan pembangunan, maka perkembangan penduduk perlu terus dipantau dan diarahkan sehingga dapat berperan optimal dalam pembangunan Dari segi penduduk, Kota Makassar merupakan tempat domisili bagi 1.179.023 jiwa yang terdiri dari 582.382 laki-laki dan 596.641 perempuan dengan laju penduduk sekitar 1,65 % pada priode 2001-2004 (Makassar Dalam Angka 2004). Rasio jenis kelamin penduduk Kota Makassar yaitu sekitar 97 persen, yang berarti setiap 100 penduduk wanita terdapat 97 penduduk laki-laki (BPS, 2005). 3.2.2. Peyebaran Penduduk Penduduk Kota Makassar pada akhir tahun 2004 menurut perhitungan proyeksi penduduk tercatat sebayak 1.179.023 jiwa (Tabel 3.). tersebar pada 14 kecamatan, grafik dibawah ini menggambarkan penduduk Kota Makassar dirinci menurut kecamatan.
Daerah dengan jumlah penduduk terbanyak adalah
kecamatan tamalate yaitu sebanyak 143.987 jiwa (12,21 %),diikuti kecamatan
Rappocini 136,128 jiwa (11,55%) dan Panakukang 129.240 jiwa (10,96%). besarnya jumlah penduduk ditiga kecamatan tersebut dikarenakan wilayah itu merupakan yang luas dan merupakan wilayah pengembangan kota. Sebaliknya kecamatan dengan jumlah penduduk relatif paling sedikit adalah masing-masing kecamatan Ujung Pandang 27.165 jiwa (2,30 %), Wajo 32.091 (2,72 %) dan Ujung Tanah 45.491 jiwa (3,86%). Relatif kecilnya penduduk di kecamatan ini disebabkan
daya
dukung
hunian
yang
sempit
dan
padat
dan
tidak
memungkinkan pengembangan. wilayah kecamatan-kecamatan tersebut adalah pusat perbelanjaan, pelayaran dan jasa serata berbagai bangunan infra struktur pemerintah Kota Makassar. Tabel 3. Penduduk dan persentase menurut kecamatan tahun 2004 Kecamatan
Jumlah Penduduk (Des 2004)
Persentase
01. Mariso
52278
4,43
02. Mamajang
56493
4,79
03. Tamalate
143987
12,21
04. Rappocini
136128
11,55
05. Makassar
79148
6,71
06. Ujung Pandang
27165
2,30
07. Wajo
32091
2,72
08. Bontoala
54063
4,59
09. Ujung Tanah
45491
3,86
10. Tallo
127648
10,83
11. Panakukang
129240
10,96
12. Manggala
92411
7,84
13. Biringkanaya
118633
10,06
14. Tamalate
84247
7,15
Jumlah
1179023
100,00
Sumber: Makassar Dalam Angka 2004
Tamalate Biringkanaya Manggala Panakukang
Kecam
Tallo Ujung Tanah
Gambar 21 . Grafik penduduk kota Makassar menurut kecamatan tahun 2004 Namun jika dilihat menurut tingkat kepadatan penduduk (Tabel 4), tampak bahwa kecamatan dengan jumlah penduduk besar ternyata kepadatannya relatif lebih rendah yaitu Kecamatan Biringkanaya Tamalanrea jiwa/km2.
sebesar 2.460 jiwa/km2, diikuti
2.646 jiwa/km2, Manggala 3.828 jiwa/km2 dan Tamalate 7.125
Sedangkan kecamatan yang kepadatan penduduknya relatif lebih
tinggi adalah Makassar 31.408 jiwa/km2, Mariso 28.724 jiwa/km2 dan Bontoala 25.744 jiwa/km2.
Tabel 4. Luas, wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan menurut kecamatan di Kota Makassar tahun 2004
Luas (km2)
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Kepadatan (jiwa/km2)
01. Mariso
1.82
52278
28724
02. Mamajang
2.25
56493
25108
03. Tamalate
20.21
143987
7125
04. Rappocini
9.23
136128
14748
05. Makassar
2.52
79148
31408
06. Ujung Pandang
2.63
27165
10329
07. Wajo
1.99
32091
16126
08. Bontoala
2.10
54063
25744
09. Ujung Tanah
5.94
45491
7658
10. Tallo
5.83
127648
21895
11. Panakukang
17.05
129240
7580
12. Manggala
24.14
92411
3828
13. Biringkanaya
48.22
118633
2460
14. Tamalate
31.84
84247
2640
Jumlah
175.77
1179023
6708
Kecamatan
Sumber: Makassar dalam angka 2004
Tamalanre Biringkanaya a
Manggal
Kecamatan
Panakukang a Tallo Ujung Tanah Bontoala Wajo Ujung Makassar Rappocini Tamalate Mamajang Mariso
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
Kepadatan per km2 (jiwa)
Gambar 22. Grafik kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kota Makassar tahun 2004 3.3. Kondisi Sosial dan Ekonomi 3.3.1. Pendidikan
Peningkatan dan pengembangan sumberdaya manusia merupakan program nasional yang sangat penting, salah satunya diupayakan melalui pembangunan di bidang pendidikan sebagaimana halnya di Kota Makassar. Program tersebut diaktualisasikan melalui gerakan nasional orang tua asuh dan program wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun.
Upaya ini merupakan
langkah nyata untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Untuk menilai tingkat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan, dapat dilihat melalui beberapa indikator seperti kemampuan membaca dan menulis angka partisipasi sekolah, pendidikan tinggi yang ditamatkan serta ketersediaan sarana pendidikan. 3.3.2. Kesehatan Salah satu tujuan dari pembangunan nasional dibidang kesehatan adalah terciptanya taraf hidup sehat bagi setiap penduduk khususnya penduduk kota Makassar yang lebih baik dari waktu kewaktu. Peningkatan kesehatan merupakan salah satu indikasi peningkatan kesejahteraan penduduk. Upaya perbaikan taraf kesehatan masyarakat antara lain dapat ditempuh melalui penyediaan sarana dan prasarana kesehatan yang berkesinambungan baik dari segi mutu maupun jumlahnya, seperti rumah sakit, puskesmas,klinik/ BKIA, dokter dan tenaga medis.
Selain upaya tersebut yang tidak kalah
pentingnya adalah penyebarluasan informasi, sebagai langkah promotif dan preventif kepada masyarakat tentang pentingnya prilaku ”hidup sehat”
3.3.3. Kemiskinan Karakteristik utama komunitas masyarakat pesisir saat ini adalah kondisi masyarakatnya yang miskin. Hingga kini sebagian besar masyarakat pesisir yang didominasi oleh nelayan masih senantiasa dililit kemiskinan demikian halnya masyarakat pesisir kota Makassar. Berbagai fenomena kerusakan lingkungan dapat diasosiasikan pula dengan kondisi kemiskinan ini, akibat keterpaksaan mereka mengeksploitasi sumberdaya yang secara ekologis amat rentan (seperti terumbu karang yang merupakan daerah nursery dan spawning ikan) dengan cara yang tidak ramah lingkungan dan semata terdorong oleh Kecenderungan pemenuhan kebutuhan ekonomi orientasi jangka pendek. Semuanya ini akibat tidak adanya alternatif mata pencaharian bagi komunitas ini.
Kemiskinan komunitas ini juga menjadi alasan sulitnya mengembangkan kualitas SDM di kawasan pesisir. Secara garis besar ada tiga faktor yang saling terkait dalam hal ini, yakni: a. Rendahnya kualitas SDM b. Keterbatasan alokasi dana untuk fasilitas publik di pesisir c.Kecenderungan pemenuhan kebutuhan ekonomi orientasi jangka pendek. Untuk mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat pesisir dibutuhkan pendekatan secara komprehensif yang mempertimbangkan ketiga hal di atas secara simultan (Sayogyo, 1996 dan DKP,2002).
3.3.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu daerah adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil diharapkan mampu meningkatkan kemampuan faktor-faktor produksi yang merangsang bagi berkembangnya ekonomi dalam skala yang lebih besar, serta memberi dampak pada peningkatan penduduk yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Produk domestik regional bruto
(PDRB) merupakan data dasar dan
utama dalam kerangka perencanaan pembangunan didaerah, disamping sebagai sumber informasi tentang kondisi dan prekonomian makro regional, oleh karena itu data series PDRB pada dasarnya tidak hanya bermanfaat bagi bagi kepentingan teknis perencanaan pembangunan, tetapi juga dapat menjadi bahan untuk menentukan kebijakan baik bagi para pelaku pembangunan maupun untuk segenap pelaku ekonomi. Perkembangan ekonomi Kota Makassar bergerak positip dari tahun ketahun. Pada tabel 5. Dapat dilihat bahwa PDRB Kota Makassar pada tahun 2004 telah mencapai angka 13.127,24 milyar rupiah. Bila dibandingkan dengan PDRB tahun 2003 maka terjadi peningkatan sekitar 17,93 %, serta mengalami perubahan sebesar 1,85 kali lipat dibandingklan dengan tahun 2000 yang nilainya hanya 7.114,36 milyar rupiah. Tabel 5. PDRB Sulawesi Selatan dan PDRB Kota Makassar atas dasar harga berlaku, tahun 2000-2004
PDRB Sul-Sel
PDRB Makassar
(milyar rp)
(milyar rp)
Persentase Makassar terhadap Sulsel
2000
30.763,33
7.114,36
23,13
2001
34.770,98
8.475,44
24,38
2002
38.522,67
9.664,67
25,09
2003
42.855,87
11.131,68
25,97
2004
48.509,53
13.127,24
27,06
Tahun
Sumber: BPS,2005 3.4. GAMBARAN UMUM KOTA MAKASSAR 3.4.1. Gambaran Umum Kota Makassar dan Pantai Makassar 3.4.1.1. Letak dan Administrasi Kota Makassar merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis, Kota Makassar terletak antara 508’ 19” LS sampai 1190 24’ 17,38” BT dengan luas 175,79 km2 yang terbagi dalam wilayah daratan dan kepulauan. Batasbatas wilayah meliputi : Sebelah utara
: Kabupaten Pangkep
Sebelah timur
: Kabupaten Maros
Sebelah selatan
: Selat Makassar
Sebelah barat
: Kabupaten Gowa
Pesisir pantai Kota Makassar mempunyai potensi sumberdaya hayati, sumberdaya manusia dan jasa lingkungan yang cukup besar. Dengan panjang garis pantai sekitar 30 km, jumlah penduduk di kawasan pesisir dan pulau kecil 147.292 jiwa, potensi tersebut antara lain berupa :
(1)
Kawasan pertambakan
(2)
Desa nelayan
(3)
Sarana transportasi laut dan sungai
(4)
Kawasan Industri Makassar (KIMA)
(5)
Kawasan Indusrtri transportasi laut
(6)
Situs budaya di Tallo
(7)
Kawasan Pulau Lakkang
(8)
Kawasan pelayaran rakyat di Paotere
(9)
Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Paotere
(10) Pangkalan angkatan laut (11) Kawasan Pelabuhan Soekarno Hatta (12) Kawasan Pantai Losari, Tanjung Bunga, dan Barombong Semakin intensifnya kegiatan pembangunan di Kota Makassar baik pada lahan atas maupun pada kawasan pesisir dan lautan itu sendiri, meningkatkan ancaman dan kerusakan terhadap ekosistem dan sumberdaya pesisir dan lautan. Kerusakan ekosistim laut yang terjadi, terutama disebabkan oleh orientasi pembangunan yang sebahagian besar diarahkan ke ekosistem di daratan, dan kebijaksanaan pembangunan yang hanya berorientasi pada pertimbangan ekonomi, sementara pertimbangan lingkungan kurang diperhatikan, bahkan sering memarjinalkan masyarakat setempat. Sebagian kekayaan sumberdaya alam di Pesisir Pantai Kota Makassar telah mengalami kerusakan atau degradasi. Sejak awal tahun 1990-an penomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin meningkat dan meluas. Laju kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun dan stok perikanan. Permasalahan lain yang sering ditemukan adalah adanya konflik pemanfaatan dan kewenangan yang dapat mengurangi efektivitas pengelolaan. Pada aspek hukum ditemukan ketidakpastian hukum, adanya ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir. Selanjutnya pada aspek sosial ekonomi terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, marginalisasi kemiskinan dan lain-lain. Kerusakan
terumbu
karang
umumnya
disebabkan
oleh
kegiatan
penangkapan ikan yang destruktif (destructive fishing), penambangan karang (coral mining), pembuangan jangkar perahu (anchoring), dan sedimentasi. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem mangrove yang disebabkan oleh konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain, seperti tambak, kawasan industri dan pemukiman serta pemanfaatan kayu untuk bahan bakar dan bangunan. Selain itu, wilayah pesisir yang dekat dengan pusat kota mengalami pencemaran yang sangat memprihatinkan terutama bahan berupa sedimen, unsur hara, pestisida, organisme patogen, dan sampah serta bahan tidak melapuk seperti plastik. Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuari di Pesisir Pantai Kota Makassar berimplikasi pada penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan. Sebagai contoh, terganggunya siklus hidup komunitas
perikanan (ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan, dan lain-lain) karena kerusakan tempat untuk memijah (spawning ground) dan untuk daerah asuhannya (nursery ground). Sebagai konsekuensi logisnya, kemampuan hidup (life survival) komunitas sumberdaya ikan menjadi sangat rendah, ditambah lagi dengan tingkat kematian alamiah (natural mortarity) dan kematian akibat tingginya intensitas penangkapan (fishing mortality). Secara faktual sebagian besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir masih menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan dengan masyarakat darat lainnya. Dengan demikian, kemiskinan menjadi pemicu eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya pesisir. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya. Untuk itu, persoalan yang mendasar adalah: mekanisme pengelolaan pesisir yang efektif agar dapat memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan untuk pulih kembali secara alami. Untuk menjaga kelangsungan sumberdaya alam hayati tersebut diperlukan upaya pengelolaan secara terpadu dan terencana dengan konsep yang dilahirkan dari suatu proses yang melibatkan semua komponen
masyarakat,
yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem pesisir dan laut, misalnya berupa konservasi dengan menyisihkan kantung-kantung wilayah alam yang dapat dianggap mewakili berbagai tipe ekosistem dan dikelola sebagai kawasan konservasi. Pantai Losari Makasar terletak di sebelah barat Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan daerah kawasan yang kompleks, dinamis dengan berbagai aktivitas perekonomian dan pembangunan yang cukup tinggi. Kegiatan yang dominan terdiri dari pembangunan fisik yang meliputi perkantoran, permukiman, bangunan jasa lainnya, aktivitas perdagangan, pelabuhan, wisata bahari, olahraga dan penangkapan ikan. Demikian pula di 11 pulau-pulau kecil yang terdapat dalam wilayah Kota Makassar ikut berkembang dalam berbagai dimensi pembangunan. Dinamika pembangunan dalam segala dimensi di kota ini baik di darat maupun di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin meningkatkan ancaman dan kerusakan ekosistim pesisir dan lautan. Kawasan pesisir termasuk Pantai Losari Makassar sebagai ekosistem alami memberikan 4 (empat) fungsi terhadap kebutuhan dasar manusia dan pembangunan ekonomi, yaitu: (i) mendukung
kegiatan sebagai sumber kehidupan; (ii) keindahan dengan keramahan; (iii) sumber bahan baku; dan (iv) penampungan limbah. Karena itu dari perspektif bio-ekologi,
pembangunan
sumberdaya
kawasan
pesisir
berkelanjutan
membutuhkan adanya panduan utama, yang meliputi: (i) Penataan ruang yang harmonis; (ii) Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam; (iii) Pengendalian polusi/pencemaran; dan (iv) Meminimalisasi kerugian yang disebabkan oleh dampak lingkungan. Pemanfaatan kawasan pesisir untuk kegiatan sosial ekonomi
dapat
menimbulkan
kepentingan
antara
budidaya,
pariwisata,
pemukiman, pelabuhan, transportasi dan lainnya. Kawasan Pesisir Pantai Losari Makassar, secara administrasi termasuk ke dalam wilayah kecamatan, terletak di bagian barat Kota Makassar. Daerah ini umumnya sudah mengalami pengerasan dengan tembok pematang pantai, karena sebagian besar pantai di daerah ini merupakan Daerah Pusat Rekreasi Pantai. Hanya sebagian lokasi di sebelah utara pantai merupakan komplek perhotelan (Pantai Gerbang Makassar Hotel dan Makassar Golden Hotel) serta dermaga penyeberangan ke Pulau Lae-Lae dan Kayangan. Saat ini Pantai Losari Makassar merupakan tempat rekreasi bagi sebagian warga kota dan pendatang dari berbagai daerah. Kawasan Pantai Losari pada malam hari cukup dengan aktifitas warga mulai dari wisata malam, berjualan dan lain sebagainya. Letak Pantai Losari Makassar yang berhubungan langsung dengan perairan laut Selat Makassar, sebenarnya dapat mengurangi efek pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah kota yakni dengan terjadinya pergerakan air kearah laut lepas, namun Tanjung Bunga, Pulau Lae-lae dan Barrier yang berada tepat di depan Pelabuhan Soekarno-Hatta memposisikan pantai ini dalam keadaan semi tertutup sehingga sirkulasi air ke laut lepas tidak berlangsung cepat. Berubahnya kondisi perairan Pantai Losari Makassar ditenggarai oleh banyak pihak sebagai akibat dari akumulasi limbah kota melalui saluran pembuangan limbah yang bermuara di Pantai Losari. Asumsi ini berkembang dengan melihat perubahan warna dan aroma air Pantai Losari Makassar yang mengindikasikan kondisi perairan yang tidak normal. Apabila kondisi ini terus berlangsung maka dikuatirkan fungsi pantai ini sebagai alternatif tempat rekreasi dan muara pembuangan limbah kota akan hilang dan akan menghambat proyeksi pengembangan Kota Makassar di masa yang akan datang.
3.4.1.2. Visi Pembangunan Pesisir Kota Makassar
Visi Pembangunan Kota Makassar sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah kota adalah: “Makassar adalah kota maritim, niaga, pendidikan, budaya, dan jasa yang berorientasi global berwawasan lingkungan dan paling bersahabat“ Visi pembangunan tersebut masih membutuhkan rumusan konsep kemaritiman yang jelas dan terarah agar dapat dijabarkan dalam kebijakan pembangunan maritim yang strategis dan memiliki nilai sejarah Bugis-Makassar Misi Pembangunan 1. Mengembangkan
kultur
maritim
dengan
dukungan
infrastruktur
bagi
kepentingan lokal, regional, nasional dan internasional; 2. Mendorong tumbuhnya pusat-pusat perniagaan melalui optimalisasi potensi lokal; 3. Mendorong peningkatan kualitas manusia melalui pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan derajat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; 4. Mengembangkan apresiasi budaya dan pengamalan nilai-nilai agama berbasis kemajemukan masyarakat; 5. Mengembangkan sistem pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa melalui peningkatan professionalisme aparatur; 6. Mendorong terciptanya stabilitas, kenyamanan dan tertib lingkungan; 7. Peningkatan infrastruktur kota dan pelayanan publik
3.4.2. KONDISI FISIK 3.4.2.1. Geologi Pantai Secara umum, bentuk lahan Kota Makassar cukup unik dengan bentuk menyudut di bagian utara, sehingga mencapai dua sisi pantai yang saling tegak lurus di bagian utara dan barat. Di sebelah utara kawasan pelabuhan hingga Sungai Tallo telah berkembang kawasan campuran termasuk armada angkutan laut, perdagangan, pelabuhan rakyat dan samudera, sebagian rawa-rawa, tambak dan empang dengan perumahan kumuh hingga sedang.
Kawasan
pesisir dari arah tengah ke selatan berkembang menjadi pusat kota dengan beragam fasilitas perdagangan, jasa pelayanan, dan rekreasi hunian. Di bagian selatan
telah
berkembang
kawasan
sub
pusat
kota
dengan
fasilitas
perdagangan, pendidikan, pemukiman, fasilitas rekreasi dan resort yang
menempati pesisir pantai membelakangi laut yang menggunakan lahan hasil reklamasi pantai. Realitas tersebut di atas menjadikan beban Kawasan Pesisir Kota Makassar saat ini dan dimasa mendatang akan semakin berat terutama dalam hal daya dukung dan kondisi fisik lahan termasuk luasnya yang terbatas. Ditambah lagi pertumbuhan dan perkembangan penduduk sekitarnya yang terus berkompetisi untuk mendapatkan sumberdaya di dalamnya. Secara geografis kawasan pantai Kota Makassar memanjang dengan posisi utara-selatan sepanjang 6 (enam) km. Di sepanjang pantai dijumpai pendangkalan delta dan lidah pasir yang terbentuk akibat proses sedimentasi dari Sungai Jeneberang. Delta tersebut berada diantara dua saluran sungai yang bermuara di laut, sedangkan lidah pasirnya berkembang ke arah utara sampai ke Pantai Losari Makassar. Berdasarkan perkiraan yang ada, di kawasan Pesisir Pantai Kota Makassar berlangsung proses erosi yang tidak konstan. Hal ini terlihat dari terbentuknya garis pantai yang berkelok-kelok. Proses ini juga sudah tentu dipengaruhi oleh resistensi batuan, batuan struktur batuan, garis pantai, dan energi yang menerpanya. Terdapatnya pulau-pulau karang sepanjang bagian barat Pantai Makassar memberikan indikasi bahwa Pantai Makassar merupakan pantai primer. Tampak pula bahwa dominasi energi yang datang dari daratan lebih kuat daripada yang datang dari lautan, hal ini ditunjukan dengan adanya proses sedimentasi yang lebih besar dari sungai yang bermuara di laut. 3.4.2.2. Batimetri dan Hidrografi Kedalaman perairan pantai Kota Makassar disekitar dermaga Soekarno-Hatta menunjukan kedalaman yang bervariasi antara 9 – 17 m yang secara umum di bagian utara cenderung menjadi lebih dalam, dengan garis kontur sejajar garis dermaga. Daerah laut yang terdalam terdapat pada jarak 650 m dari dermaga dengan kedalaman hingga 17 m. Disekitar Sungai Jeneberang secara umum memperlihatkan topografi yang landai dengan kemiringan lereng 0 – 15° dengan kedalaman 0 – 20 m sepanjang 750 m ke arah laut. Perairan yang tepat berada di depan muara Sungai Jeneberang mempunyai kemiringan lereng 30 – 40° dengan kedalaman 0 – 20 m. Kota Makassar berada di antara dua daerah aliran sungai, yaitu DAS Jeneberang dan DAS Tallo. Karakteristik kedua DAS ini adalah sebagai berikut:
DAS Jeneberang: Luas DAS adalah 727 km2 dan panjang sungai utama adalah 75 km. Debit maksimum dan minimum dari DAS ini masing-masing adalah 2800 m3/det dan 4,5 m3/det.
DAS Tallo: Luas DAS adalah 418,6 km2 dan panjang sungai utama adalah 70,5 km. Debit maksimum dan minimum dari DAS ini masing-masing adalah 775 m3/det dan 0,7 m3/det. Pada saat ini Sungai Jeneberang utamanya berperan dalam memasok air
untuk keperluan pertanian dan bahan baku untuk air minum, sedangkan Sungai Tallo lebih berperan sebagai tempat pembuangan air dari sejumlah kanal/saluran dan sungai-sungai kecil yang mengalir di dalam kota. Kota Makassar merupakan daerah yang beriklim tropika basah (Am), ditandai dengan jumlah hujan pada bulan-bulan basah dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan kering. Curah hujan rata-rata bulanan dari tahun 1990 sampai 2000 berkisar di antara 13-677 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Juli. Jumlah rata-rata hari hujan setiap bulan antara 2-22 hari. Periode dengan tingkat curah hujan tinggi terjadi mulai bulan Nopember sampai April (>100 mm), curah hujan sedang terjadi pada bulan Mei (60-100 mm), sedangkan periode dengan tingkat curah hujan rendah mulai dari bulan Juni sampai Oktober (<100 mm). 3.4.2.3. Oseanografi Arus susur pantai Kota Makassar dibangkitkan oleh ombak yang datangnya menuju arah barat daya hingga barat dan membentuk sudut terhadap garis pantai. Adapun akibat sudut datang ombak yang miring tersebut berakibat arus susur pantai yang arah dan pengaruhnya relatif ke arah utara. Selain arus pantai, arus tolak pantai juga terbangkit setelah ombak laut melepaskan energinya terhadap bibir pantai, kemudian arus tolak pantai ini berkerja mengaduk material tepi pantai secara sinambung. Berdasarkan hasil studi, menunjukan bahwa arus alir mengalir sejajar dengan garis pantai dengan laju arus berkisar 0,22 hingga 0,40 m/detik. Dari hasil ini ditarik kesimpulan (1) arah arus selama pasang dan surut sejajar dengan garis pantai, (2) laju arus pasang surut (utara – selatan) berkisar antara 0,46 – 0,48 m/detik sedangkan laju arus pasang naik (selatan – utara) berkisar antara 0,38 – 0,55 m/detik, (3) laju arus utara – selatan lebih besar daripada laju arus selatan – utara. Sebaran sedimen diketahui dengan mengacu pada debit Sungai Jeneberang, yaitu antara 238,8 – 1.152 m3/detik dengan debit rata-rata tahunan
sebesar 33,05 m3/ detik dengan kadar lumpur yang terbawa antara 25 – 200 gr/liter. Pengaruh perkembangan sedimentasi ini berdampak pada daerah sekitar Tanjung Bunga relatif kearah barat laut hingga utara. Namun mengingat berfungsinya
DAM
Bili-Bili
sebagai
alternatif
pembendungan
muatan
sedimentasi, diperkirakan muatan sedimentasi menuju muara akan menurun hingga
0,2
x
106
m/tahun
atau
seperempat
kali
volume
semula.
Sebaran sedimen yang lain datang dari Sungai Tallo dengan debit alir 143,07 liter/detik. Kecepatan sedimentasi Sungai Tallo yang bermuara di Pelabuhan Paotere berkisar antara 29,6 – 76,1 cm dengan rata-rata kecepatan sedimentasi 52,85 cm/tahun. Lambatnya kecepatan aliran Sungai Tallo dengan laju sedimentasi yang cukup tinggi, menimbulkan kecenderungan mengalami perubahan alur membentuk meander. Ditambah dengan kondisi kemiringan yang landai (1/10.000) dan pasang surut air laut yang dapat menjalar hingga jarak 20 km, maka kecepatan sedimentasi seperti ini menjadi rawan bagi daerah Pelabuhan Paotere, pemukiman termasuk Kawasan Industri Makassar. 3.4.2.4. Morfologi Pantai Proses yang sedang berlangsung di sepanjang Delta Jeneberang sangat dipengaruhi oleh berkurangnya suplai sedimen karena pembangunan DAM Serbaguna Bili-Bili dan sejumlah DAM-DAM pendukungnya, sementara arus-arus pantai terbangkit seperti sediakala terutama pada saat angin berhembus dari arah barat daya dan barat laut. Hal ini mengakibatkan perubahan keseimbangan pantai akibat perubahan suplai sedimen dan laju pengangkutan sedimen oleh arus-arus dekat pantai, sehingga di sepanjang pantai ke utara hingga Losari terjadi pendangkalan dan di tempat lain terjadi penggerusan di sekitar pantai (erosi). 3.4.2.5. Pola Angin di Makassar Mintakat tepian pesisir merupakan ekotone (interface) antara lithosfera, hidrosfera, dan atmosfera, atau sebagai ruang bagi keberlangsungan dinamika interaksi ketiga sfera tersebut yang senantiasa menuju pada keadaan keseimbangannya. Di lain pihak kenyataan menunjukkan bahwa dari waktu ke waktu secara alami ketiga komponen tersebut tidak akan berada pada keadaan tunak, sehingga keseimbangan mintakat tepian tersebut selalu berubah di antara titik-titik dalam suatu dimensi perpaduan ruang-waktu. Kenyataan ini jelas berlaku pula bagi mintakat tepian sepanjang pantai Losari. Sepanjang waktu dari
musim ke musim dengan bergantinya arah angin, maka berganti pula arah hempasan ombak yang berakibat pada pergantian pola perkembangan dan penyusutan hamparan. 3.4.2.6. Ombak Di sepanjang pantai Losari ombak pada umumnya membentuk pola sesuai arah angin. Berdasarkan hasil pengamatan ombak cenderung dari arah Barat Daya kemudian terefraksi hingga sepanjang pantai Losari dengan tegak lurus arah normal pantai. Mintakat tepian hamparan Delta Jeneberang menghadap ke arah barat, sehingga pada musim barat mintakat ini menerima hempasan ombak yang terbangkit oleh hembusan angin yang dominan dari arah barat daya, barat, dan barat laut. Ombak yang terbangkit oleh angin yang datangnya dari arah barat dan barat daya akan menginduksi arus susur pantai ke arah utara, sebaliknya ombak yang terbangkit oleh angin yang datangnya dari barat laut akan menginduksi arus susur pantai ke arah selatan. Walaupun demikian arus susur pantai ke arah utara lebih dominan dibandingkan dengan arus susur pantai ke arah Selatan. Hal ini dapat menjelaskan fenomena pengangkutan sedimen yang dominan ke arah utara. Ruas Pantai Tanjung Bunga diprediksikan akan selalu mundur karena sudah tidak mendapat suplai sedimen dari muara utara Sungai Jeneberang yang sudah tertutup. Sedimen yang disebabkan oleh erosi pantai secara perlahan akan terangkut ke utara kemudian membelok ke arah Teluk Losari.
Proses ini dapat menyebabkan pendangkalan Teluk Losari secara
perlahan-lahan. 3.4.2.7. Klimatologi Keadaan iklim Kota Makassar termasuk iklim tropis yang panas dan lembab yang menurut Koppen termasuk tipe ama. Suhu udara berkisar antara 26,3°C hingga 33,3°C pada periode 1997 hingga 1998. bulan Mei hingga November merupakan periode lama penyinaran matahari (>80%) dibandingkan bulan-bulan lainnya. Hal ini mengindikasikan tingkat penguapan air permukaan yang tinggi sehingga berakibat tingkat tekanan udara meningkat dengan rata-rata 1010 milibar.
3.4.3. Kimiawi
Daerah pesisir Kota Makassar khususnya Pantai Losari sudah didapati kandungan limbah yang berasal dari uraian bahan-bahan organik yang berasal dari limbah rumah sakit, rumah tangga, perhotelan, dan pedagang kaki lima. Hal ini telah menurunkan kualitas air yang secara fisik ditandai dengan perubahan warna air laut dan bau yang tak sedap. Dan telah menimbulkan dampak yang cukup berat bagi organisme perairan, hal ini ditandai dengan berkurangnya organisme perairan seperti ikan, kepiting dan udang yang hidup di pesisir Pantai Makassar. 3.4.3.1. Kualitas Air Perairan Hasil
Penelitian
Nypah
(2003)
dikonsentrasikan pada beberapa
di
perairan
Pantai
Losari
Makassar
buah mulut saluran buangan utama Kota
Makassar yang bermuara pada Pantai Losari (sampling). Kesimpulan hasil penelitian tersebut menunjukkan kualitas air buangan
yang melalui saluran
utama kota yang bermuara pada Pantai Losari, meliputi: 1. Konsentrasi logam berat Cu/tembaga pada air buangan yang berkisar 0.0078 – 0.0317 mg/l , Pb/timbal yang berkisar antara 1,4 -1,6 mg/l, Fe (besi) pada air buangan yang berkisar antara 0,20 – 1,20 mg/l sedangkan untuk logam Hg tidak terdeteksi pada seluruh stasiun sampling Hal ini mengindikasikan telah terjadi pencemaran logam berat Cu, Pb, dan Fe terhadap limbah cair Kota Makassar yang melalui saluran buangan utama yang bermuara pada Pantai Losari. 2. Padatan tersuspensi (suspended solid) yang terkandung pada air buangan tersebut berkisar 320-690 mg/l,dengan suhu air berkisar antara 29-30 oC serta derajat keasaman (pH) berkisar antar 6.38 - 6.58, Secara fisik kondisi limbah cair Kota Makassar yang melalui saluran buangan utama yang bermuara di Pantai Losari telah mengalami pencemaran berat, terutama oleh padatan tersuspensi. 3. Kadar oksigen terlarut (DO) berkisar antara 0,64 – 1,28 mg/l dan pada beberapa stasiun tidak terukur. Sedangkan untuk BOD yang terukur sekitar 0,72 mg/l dan konsentrasi COD berkisar antara 82 – 92 mg/. konsentrasi nitrat (NO3) berkisar antara 0.997-1.184 mg/l, konsentrasi phospat (PO4) berkisar antara 5.3 – 8.506 mg/l. Hasil analisis kualitas kimiawi limbah cair mengindikasikan terjadinya pencemaran sedang sampai berat.
4. Kandungan Coli form & Coli tinja yang ditemukan pada air buangan tersebut mencapai 2.400.000 / 100 ml sampel, hal ini menunjukkan telah terjadi pencemaran berat Coli form dan Coli tinja 5. Secara keseluruhan limbah cair Kota Makassar yang melalui saluran buangan kota yang bermuara Pada Pantai Losari memiliki potensi yang sangat besar dalam pencemaran Pantai Losari Makassar dan penurunan kualitas lingkungan baik secara fisik, kimiawi maupun biologis terhadap ekosistem di Pantai Losari. 3.4.3.2. Kecerahan Perairan Intensitas matahari sangat berpengaruh terhadap kecerahan perairan, karena keberadaan intensitas matahari yang terserap kedalam perairan sangat membantu keberlangsungan hidup biota laut dalam proses assimiliasi. Keputusan Menteri KLH Kep. 02/Men KLH/I/1998 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut membutuhkan intensitas kecerahan > 5 m. Tingkat kecerahan disepanjang pantai Losari Makassar mengalami fluktuasi yang berbeda dalam setiap periode musim. Sedangkan di 11 (sebelas) pulau terluar masih memiliki tingkat kecerahan cukup tinggi. 3.5. KONDISI SOSIAL 3.5.1. Kependudukan Kota Makassar berpenduduk 1.497.493 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,62 % per tahun (BPS, 2003). Kota Makassar terdiri dari 14 Kecamatan, 142 Kelurahan/desa. Dari 14 Kecamatan, terdapat 3 (tiga) kecamatan yang memiliki wilayah pesisir dan laut dengan panjang garis pantai 30 km yaitu Kecamatan Ujungpandang, Kecamatan Ujung Tanah dan Kecamatan Tallo. Jumlah penduduk ketiga wilayah kecamatan tersebut khusus yang berdomisili di wilayah pesisir sampai pulau-pulau kecil sebanyak 147.292 jiwa.
3.5.2. Sosial Ekonomi Pelabuhan laut menjadi jantung perekonomian kota. Dari pelabuhan ini semua hasil komoditas hasil produksi Makassar didistribusikan baik untuk pasar
domestik maupun ekspor. Pelabuhan laut Soekarno-Hatta menjadi persinggahan kapal-kapal penumpang, jelas sangat menguntungkan bagi Kota Makassar. Kegiatan perekonomian di Kota Makassar lebih didominasi oleh sektor jasa. Kota ini sangat bergantung pada sektor penerimaan pajak dan retribusi. Tahun 2001 Pemda Kota Makassar telah memasukkan 45,7 milyar dari pajak dan retribusi. 3.5.3. Perdagangan Kegiatan perdagangan di Kota Makassar tergolong maju. Pusat-pusat perrniagaan dari pasar-pasar tradisional, pasar grosir sampai mal-mal modern sangat berkembang pesat. Sektor perdagangan dalam total kegiatan ekonomi tahun 2000 bernilai Rp. 1,7 trilium. Sebagai kontributor utama, sektor ini mampu menyerap pasar tenaga kerja sebesar 34,24 % dari total 904.644 penduduk usia kerja berdasarkan data survei Sosial Ekonomi Nasional (Sensus) 2000. Dari sektor industri, sebelum dipasarkan sebagian besar komoditas sumberdaya alam mengalami proses pengolahan di Kota Makassar. Beragam industri pengolahan telah tersediah di Kota Makassar, mulai dari industri rumah tangga sampai industri modern. Di Kecamatan Tallo menjadi sentra industri furniture dan industri logam atau pusat kerajinan tenun sutera. Hanya yang menjadi permasalahan saat ini karena kebanyakan industri dan pabrik termasuk dalam skala besar bercampur dengan permukiman dan sarana umum, sehingga Kota Makassar lebih terkesan terlalu padat. Sebagai solusi dari permasalahan tersebut di atas, pemda telah mengalokasikan areal Kawasan
Industri
Makassar
(KIMA)
seluas
200
hektar
di
Kecamatan
Biringkanaya.
3.6. Tata Ruang dan Karakateristik Penggunaan Pantai Losari Makassar yang terbentang di sepanjang Jalan Metro Tanjung Bunga sampai pada Plasa Fort Rotterdam memiliki beberapa karakteristik fungsi lahan yang berbeda tiap segmen. Pengelompokan segmen sebagaimana terdapat dalam Pemerintah Kota (2001), membagi kawasan ke dalam 5 (lima) segmen, yakni : Segmen A. Dimulai dari ujung Jalan Metro Tanjung Bunga (Kanal Lette) sampai dengan Gorong-gorong Haji Bau, berada disekitar laguna.
Berkarakter
tradisional dengan fungsi lahan permukiman penduduk dengan tingkat
kepadatan tinggi.
Sebagian masyarakat di daerah tersebut merupakan
masyarakat yang bekerja pada sektor informal/pedagang kaki lima dan nelayan. Segmen B. Berada pada simpang jalan Haji Bau-Penghibur (Oriz Cafe) sampai dengan simpang Jalan Datumuseng-Penhibur (Rumah Sakit Stella Maris). Karakter fungsi lahan perumahan, Kegiatan Pengelolaan Pusat Jajan Wisata Laguna, dan fasilitas umum (rumah sakit) dengan sifat aktifitas yang relatif tenang (perumahan, hotel dan rumah sakit. Segmen C. Berada pada simpang jalan Datumuseng – Penghibur (ruko sampai dengan Jalan Bau Massepe – Penhibur (Ruko).
Karakter fungsi lahan
perumahan didominasi oleh ruko/pertokoan dengan sifat aktifitas sebagai lokasi usaha dengan intensitas aktifitas yang tidak terlalu besar. Termasuk dalam segmen ini adalah Kawasan Perbelanjaan Somba Opu. Segmen D. Dimulai dari simpang Jalan Bau Massepe – Penhibur (Ruko dan Hotel Makassar Golden) sampai dengan simpang Jl. Pattimura – Jl. Pasar Ikan. (Hotel Pantai Gapura) Karakter fungsi lahan komersial, yang didominasi oleh hotel dan pusat-pusat perbelanjaan dengan sifat aktifitas sebagai lokasi usaha/komersial dengan intensitas yang relatif besar. Segmen E. Dimulai dari Simpang Jl. Pattimura – Jl. Pasar Ikan sampai dengan Simpang Tiga Jl. Ujung Pandang – Jl. Riburane – Jl. Ahmad Yani. Karakteri fungsi lahan rekreasi dan dermaga perahu/boat.
Keberadaan Benteng Fort
Rotterdam memberi nuansa historis terhadap segmen kawasan ini. 3.7. Pengendalian Limbah Letak Pantai Losari Makassar yang sangat sangat dekat dengan berbagai macam pusat aktivitas Kota Makassar seperti perkantoran, pertokoan dan perdagangan,
restauran,
perhotelan
dan
juga
pemukiman
penduduk
menyebabkan Pantai Losari memiliki potensi tercemar yang sangat besar. Ditambah lagi opini publik yang umumnya menempatkan salah satu fungsi pantai adalah sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah karena lebih murah dan instan yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas pantai dan lingkungannya. Terjadinya peningkatan konsentrasi logam berat yang signifikan pada perairan Pantai Losari Makassar, berasal dari hasil buangan berbagai macam aktifitas kota yang disalurkan melalui tunel-tunel atau saluran utama kota yang langsung mengarah ke pantai.
Kondisi fisik perairan yang buruk akibat dari tingginya padatan tersuspensi yang masuk ke perairan baik melalui saluran buangan utama kota ataupun melalui sungai menyebabkan terjadinya penurunan tingkat penetrasi cahaya matahari secara signifikan ke perairan, hal ini terjadi akibat banyaknya partikel-partikel tersuspensi tersebut yang membuat keruh perairan sehingga matahari sulit menembus perairan dan hal ini akan mengancam kelangsungan ekosistem biologis yang ada di perairan tersebut. Selain hal tersebut padatan tersuspensi juga dapat secara langsung merusak lapisan insang organisme perairan. Kondisi biologis air limbah kota yang disalurkan melalui saluran utama kota yang bermuara pada Pantai Losari Makassar telah tercemar berat oleh Coli form & Coli tinja sangat berpotensi dalam penyebaran penyakit di sepanjang Pantai Losari. 3.8. Potensi dan Permasalahan Kawasan Pantai Losari Makassar Posisi Kawasan Pantai Losari Makassar yang berada pada koridor pesisir Pantai Barat Sulawesi memiliki sejumlah potensi yang strategis dan menarik, antara lain; sebagai lintas regional Takalar-Gowa-Makassar dan menjadi simpul transportasi (transit Coridor) darat dan laut (kepulauan). Sebagai koridor pengikat/penghubung antara kota lama dan pengembangan kota di bagian selatan, sebagai salah satu edge (batas tepi) Kota Makassar, dan keunggulan komparatif lainnya yang sangat potensial adalah Pantai Losari Makassar sebagai Collective Memory serta bagian sejarah perkembangann Kota Makassar. Selain potensi yang menarik tersebut, Kawasan Pantai Losari juga memiliki sejumlah konflik yang mewarnai potensi tersebut, antara lain: kondisi sirkulasi kendaraan yang bergerak menuju/melintas di koridor Penghibur pasca pembangunan Jl. Metro Tanjung Bunga dan Jembatan Barombong, kondisi eksisting lingkungan di sekitar Pantai Losari Khususnya buangan limbah cair domestik di pesisir, kondisi tanggul yang sudah mulai rusak ditelan usia dan proses abrasi pantai, dan sejumlah permasalahan lingkungan dan sosial lainnya. (Rencana Tapak, 2001). 3.8.1. Isu-isu Pengelolaan Sepanjang Garis Pantai Kota Makassar 1. Adanya keinginan pemerintah untuk mereklamasi Pantai Losari Makassar,
yaitu dengan memperluas daratan pada Pantai Losari Makassar dengan cara penimbunan pantai untuk pembangunan taman dan fasilitas hiburan lainnya,
dengan alasan untuk memperindah pemandangan fisik dan panorama Pantai Losari Makassar. 2. Sedimentasi yang tinggi didaerah sepanjang garis pantai akibat aktivitas dari
daratan yang terjadi melalui abrasi pantai dan sedimen-sedimen yang terbawa dari daratan oleh arus sungai. Pasca bencana alam berupa longsornya Gunung Bawakaraeng dikhawatirkan sedimentasi yang berakibat pendangkalan pada Pantai Losari akan terjadi. Tak kurang dari 1,3 milyar kubik tanah longsoran akan tiba di laut melalui Sungai Je’neberang. 3. Pembuangan sampah-sampah dan limbah rumah tangga ari penduduk
sekitar pantai serta pedagang kaki lima sehingga dapat menyebabkan penumpukan sampah pada daerah pantai. 4. Polusi udara seperti bau tak sedap benyak berasal dari adanya TPI yang ada
didekat Pantai Losari dan TPI Potere. Dan berasal dari asap-asap pabrik, kendaraan bermotor dan aktivitas transportasi laut. 5. Pembuangan limbah-limbah minyak yang berasal dari kapal-kapal besar
maupun kapal-kapal pengangkut lainnya yang melintasi daerah perairan sekitar Makassar yang dapat menyebabkan pencemaran limbah. 6. Penggusuran terhadap rumah-rumah penduduk akibat perluasan daerah
rekreasi permandian seperti daerah sepanjang Tanjung Bunga. 7. Aktivitas Industri besar di sekitar perairan Makassar membuat makin
tingginya polusi udara yang terjadi. Erosi pantai akibat tingginya kegiatan pembangunan disekitar pantai dan akibat aktivitas masyarakat atau pengunjung. 3.8.2. Pengembangan Pariwisata Perencanaan Kawasan Pantai Losari Makassar sebagain kawasan wisata berpayung pada Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Sulawesi Selatan, perencanaan tersebut mengintegrasikan produk perencanaan pada beberapa sektor terkait dan wilayah ruang yang bersinggungan dengan kawasan perencanaan (Tabel 6.)
Tabel 6. Keadaan daerah kepulauan Kota Makassar ( RIPPP Kota Makassar 2000 diolah tahun 2009) No Nama Pulau 01 Barrang Lompo 02 Barrang Caddi 03 Kodingareng Lompo 04 Kodingareng Caddi 05 Lae-Lae 06 Samalona 07 Kayangan 08 Bone Tambung 09 Lanjukang 10 Langkai 11 Lumu-Lumu Jumlah
Luas (Ha) 48,00 6,00 48,00 0,5 5,00 3,00 3,50 5,00 8,00 8,00 5,00 140,00
Jarak Dari Pantai Losari 9 Mil 6 Mil 11 Mil 7 Mil 1 Mil 7 Mil 1 Mil 10 Mil 18 Mil 16 Mil 12 Mil
3.8.3. Arahan Pengendalian Saat ini Beberapa point rekomendasi yang relevan dengan kondisi terkini limbah Kota Makassar yang bermuara di Pantai Losari : (Nypah, 2003 dan Bapedalda Kota Makassar) adalah :
Pengadaan sebuah water treatment yang berfungsi sebagai instalasi pengolah limbah cair Kota Makassar yang bermuara pada Pantai Losari. Water treartment tersebut dilengkapi dengan kapasitas untuk mendegradasi kadar limbah termasuk kelompok logam berat, mikrobiologi (e-coli dan coli form lainnya) dan variabel pencemar lainnya, hingga dibawah ambang batas kemampuan toleransi perairan dan lingkungan Pantai Losari Makassar.
Perlunya pengetatan pelaksanaan peraturan standar baku mutu limbah terhadap berbagai aktifitas perkotaan terutama kelompok aktifitas masyarakat yang
memberikan
suplai
limbah
yang
besar
dan
berperan
dalam
menimbulkan terjadinya pencemaran.
Pengadaan dan/atau optimalisasi fungsi instalasi pengolahan limbah pada tiap aktifitas domestik seperti perkantoran, restoran, perhotelan, dan jenis aktifitas lainnya terutama pada kelompok aktifitas domestik dan industri terutama pada wilayah Pantai Losari dan sekitarnya.
Adanya perbaikan saluran pembuangan limbah kota yang mencakup kualitas fisik saluran yang memenuhi standar kualitas fisik saluran pembuangan limbah kota sehingga aliran limbah dapat berlangsung normal dan tidak terhambat serta meresap kedalam tanah. Rujukan tentang perbaikan saluran pembuangan
limbah
ini
didasarkan
pada
hasil
pengamatan
yang
memperlihatkan adanya beberapa kategori saluran berdasarkan tingkat optimal fungsinya mulai dari saluran yang termasuk dalam kategori minim mengalirkan limbah ke muara pembuangan higga saluran yang tidak mengalirkan limbah sama sekali.
Perlunya peningkatan kualitas pemahaman masyarakat tentang eksistensi Pantai Losari Makassar. Motivasi kegiatan penyadaran tersebut adalah peran strategis Pantai Losari Makassar bagi masyarakat kota sebagai wahana estetik, transportasi, akumulasi limbah kota, maupun fungsi ekologisnya secara khusus. Membangun penyadaran tersebut dapat ditempuh dengan optimalisasi peraturan daerah yang telah ada maupun kegiatan penyadaran yang menggunakan pendekatan persuasif yang menyentuh empati masyarakat bahwa Pantai Losari adalah aset bersama masyarakat kota ini dan Indonesia sebagai pantai terpanjang di Indonesia.
Perlunya monitoring berkelanjutan yang berlangsung pada tiap satuan waktu tertentu yang dianggap representatif untuk memprediksi kemungkinan perubahan lingkungan Pantai Losari Makassar yang disebabkan oleh limbah cair dan padat sisa aktifitas masyarakat Kota Makassar. Dengan demikian maka langkah antisipatif dapat dirancang sedini mungkin dan relevan dengan konteks permasalahan di lapangan.
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Wilayah penelitian secara ekologis meliputi wilayah DAS Jeneberang dan DAS Tallo yang berada dihulu dan
terkait dengan wilayah pesisir Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian (gambar 23a.) terletak antara 119024’17’38” bujur timur dan 508’6’9” lintang selatan yang berbatasan Kabupaten Pangkep di sebelah utara, Kabupaten Maros disebelah timur, Kabupaten Gowa di sebelah selatan dan Selat Makassar di sebelah barat. Penelitian akan dilakukan mulai Juni sampai dengan Desember 2007. Lingkup wilayah studi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan Kota Makassar, adalah merupakan resultante dari batas administrasi, batas sosial dan batas ekologis sebagai berikut; Batas Administrasi Batas administrasi terkait dengan batas administrasi pemerintahan dimana Kota Maksassar bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa, bagian barat berbatasan dengan Selat Makassar, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Maros, secara administrasi wilayah studi berada pada batasbatas administrasi Kota Makassar yang terdiri dari 14 kecamatan yang berada di wilayah pesisir Kota Makassar. Batas Sosial Batas sosial terkait dengan ruang di wilayah pesisir yang merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem dan struktur sosial) sesuai dengan proses dinamika sosial suatu kelompok masyarakat. Batas Ekologis Batas studi ini terkait dengan ruang pesebaran limbah diperairan pantai Kota Makassar serta di wilayah darat terkait dengan DAS Jeneberang dan DAS Tello yang mempengaruhi pesisir Kota Makassar.
Gambar 23a. Lokasi penelitian di wilayah Pantai Makassar Sulawesi Selatan
BATAS WILAYAH STUDI
4 mil
Gambar 23b. Lokasi wilayah studi penelitian di wilayah Pantai Makassar Sulawesi Selatan
4.2.
Tahap Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kebijkan pengelolaan wilayah
pesisir kota Makassar secara terpadu dan berkelanjutan. untuk mencapai hal tersebut pelaksanaan penelitian akan dilakukan beberapa tahap.
Tahapan
proses pelaksanaan penelitian ditunjukkan pada Gambar 24.
START Tahap Penelitian
Survey dan identifikasi faktorfaktor social ekonomi dan ekologi
Pengumpulan data primer dan sekunder
Parameter Lingkungan
GIS
Kondisi ekosistim wilayah pesisir
Analisis Kesesuaian Lahan
Sumber pencemar Analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir
Analisis Prospektif
Analisis Landscape
Rapfish EKONOMI
EKOLOGI
SOSBUD
TEKNOLOGI
Kapasitas Asimilasi
HUKUM DAN KELEMBAGAAN
Model Dinamik Powersim GIS
Trade off Analisis
Strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan
Gambar 24. Tahapan penelitian
Analisis Kebijakan
4.3.
Rancangan dan Pemodelan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
melalui studi kasus drengan menggunakan soft system methodology dan hard system methodology.
pendekatan sistem probabilistik akan digunakan untuk
merumuskan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan.
secara terpadu dan
Penelitian ini menggunakan beberapa metode, analisis, sintetis
dan alat bantu sebagaimana dijelaskan berikut ini. 4.3.1. Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh dengan cara observasi langsung di lapangan/lokasi penelitian, diskusi, wawancara langsung dengan pakar dan stakeholder dan pengisian kuisioner oleh stakeholder di lokasi penelitian. Data sekunder diperoleh dengan cara menulusuri berbagai sumber seperti hasil penelitian dan dokumen ilmiah dari instansi terkait. 4.3.2. Jenis dan Sumber data Jenis dan sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari responden oleh para pihak yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir, sedang data sekunder bersumber dari penelusuran dokumen. jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini antara lain; a. Aspek ekonomi ; yang meliputi PDRB, jumlah penghasilan, serapan tenaga kerja, jumlah usaha, struktur upah tenaga kerja b. Aspek sosial; kependudukan,yang meliputi tingkat kemiskinan, jenis lapangan kerja, jumlah dan struktur penduduk,perubahan penduduk, kepadatan penduduk, jumlah tenaga kerja, jumlah pengangguran c. Aspek biofisik; kesesuaian lahan, luas lahan tambak, mangrove, luas wilayah pemukiman, luas wilayah perkebunan, hutan, pertanian, persen penutupan terumbu karang, persen penutupan padang lamun, kondisi ekowisata bahari, pencemaran perairan d. Aspek teknologi; penyebaran tempat pendaratan ikan, metode budidaya perikanan yang tidak ramah lingkungan, penggunaan alat tangkap yang destruktif, pemanfaatan teknologi penanganan limbah, ekoteknologi pada wisata bahari
e. Aspek hukum dan kelembagaaan; ketersediaan peraturan pengelolaan wilayah pesisir secara formal, ketersediaan aturan adat dan kepercayaan agama,penyuluhan hukum pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir, transparansi dalam kebijakan, zonasi peruntukan lahan.
4.3.3. Teknik Sampling Kualitas Air 4.3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan Di Wilayah pesisir Kota Makassar dan sungai, dilakukan pengambilan sampel pada masing – masing sungai dan dilakukan 10 kali ulangan. Di Wilayah pesisir, penelitian diawali dengan penentuan lokasi pengambilan sampel yang dilakukan dengan pertimbangan dapat mewakili aktivitas di daratan, dan aktivitas di perairan. Pengambilan sampel air dilakukan dengan menggunakan botol sampel di lima wilayah pesisir yaitu muara Sungai Tello, Pelabuhan Paotere, muara Sungai Jeneberang, Tanjung Merdeka, dan Pantai Losari. dengan tehnik sampel campuran (composite sample). Lokasi sampling dipilih/ditentukan secara sengaja (purposive sampling). Penentuan lima lokasi sampling ini
didasarkan pada 1) tujuan
pengambilan sampel, 2) jenis sumber air yang akan disampel, 3) pola aliran air yang akan disampel dan 4) pola aliran air badan air yang akan disampel, khusus air permukaan (Hardjojo dan Djokosetiyanto 2005).
4.3.3.2. Pengambilan Sampel Air Contoh air diambil secara komposit dengan menggunakan alat pengambil sampel. Selanjutnya contoh air dimasukkan dalam botol dan diberi label nama. Kemudian sampel air dimasukkan ke dalam cool box untuk dibawa ke laboratorium guna keperluan analisis. Waktu pengambilan contoh air bersamaan dengan waktu pengambilan beberapa parameter pendukung seperti suhu, pH, dan kecerahan secara in situ. Contoh sampel ini kemudian diawetkan dengan H2SO4
Pekat
sebelum dilakukan analisis di laboratotium. (Tabel 4). Posisi (lintang – bujur) Lokasi sampling atau masing – masing stasiun pengamatan ditentukan dengan menggunakan GPS (global posisioning system) (Hutagalung et al. 1997). Pengumpulan data kualitas air dilakukan selama enam bulan. Analisis dan pengukuran parameter sampel air dilakukan di Laboratorium Kualitas air UNHAS
4.3.4. Teknik Analisis dan Pemodelan a. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan dilakukan dengan melalui review kebijakan dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu baik di tingkat nasional, regional maupun kebijakan yang bersifat sektoral (Dunn 1994 dan Saaty 1998). Berdasarkan analisa ini ditentukan tingkat keterpaduan dari masing-masing kebijakan yang sudah dikembangkan dalam keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir. b. Analisis Spatial (Keruangan) Untuk mengetahui kondisi eksisting pemanfaatan ruang pada berbagai jenis peruntukkan. Analisis spasial dengan teknik tumpang tindih (overlay) menggunakan Sistem informasi geografi (SIG). Sistem informasi geografi (SIG) atau geographic information system (GIS) adalah sistim informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan.
4.3.5. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan Pemodelan spasial untuk manganalisis perubahan penggunaan lahan di wilayah Makassar menggunakan program GIS (geografic information system) version 2.3, tahap analisis penggunaan lahan pada Gambar 25. Kondisi eksisting penggunaan lahan
Kondisi sosial ekonomi dan biogeofisik wilayah
GIS
Skenario
Simulasi
Peta penggunaan lahan dimasa datang
Gambar 25. Tahapan analisis penggunaan lahan
4.4. Rancang Bangun Model Pengembangan pemodelan spasial dinamik dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji berbagai model yang telah ada. Kajian ini dibagi ke dalam tiga kategori yakni model ekonomi, model ekologi, dan model sosial berdasarkan pembangunan
berkelanjutan.
Budiharsono
(2008)
mengatakan
bahwa
pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting, yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi ke arah yang seimbang. Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah kependudukan,
perbaikan
pelayanan
masyarakat,
peningkatan
kualitas
pendidikan, dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah, serta konservasi/preservasi
sumberdaya
alam.
Dengan
demikian,
tujuan
Pembangunan Berkelanjutan terfokus pada ketiga dimensi, keberlanjutan laju pertumbuhan
ekonomi
yang
tinggi
(economic
growth),
keberlanjutan
kesejahteraan sosial yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance). Hubungan keterkaitan antara dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan disajikan pada Gambar 26.. Pemodelan yang dibangun mempertimbangkan ketiga dimensi di atas dalam satu kesatuan, sehingga ada suatu trade-off antara satu dimensi dengan dimensi lainnya. Pemodelan
ini nantinya dapat digunakan untuk menyusun
alternatif-alternatif skenario pembangunan yang mendukung terwujudnya proses pembangunan berkelanjutan. Selain mempertimbangkan ketiga dimensi tersebut dalam penyusunan model tersebut juga dikaitkan dengan perubahan-perubahan penatagunaan lahan (land use changes) akibat adanya pembangunan tersebut. Mengingat dikaitkan dengan perubahan tata guna lahan, maka model yang digunakan bukan merupakan model statik tetapi merupakan model sistem dinamik yang akan digabungkan dengan model dinamis spasial.
Ekonomi • Pertumbuhan • Efisiensi • Stabilitas
Penurunan Kemiskinan Keberlanjutan Keadilan Co-evolusi
Sosial
Lingkungan
• Pemberdayaan • Keliatan/keanekaragaman • Inklusi • Sumber daya alam • Konsultasi • Polusi Gambar 26. Unsur-unsur Pembangunan Berkelanjutan Selanjutnya, ketiga subsistem tersebut akan dilihat kinerjanya terhadap perubahan lahan secara spasial. Dalam menganalisis perubahan lahan, penting memberi penjelasan tentang terminologi perubahan untuk mendeteksinya dalam dunia nyata. Pada umumnya perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai (secara kuantitatif) perubahan besaran (bertambah atau berkurang) dari suatu jenis penggunaan atau tutupan lahan. Pendeteksian dan pengukuran perubahan tergantung kepada level ruang (spasial): semakin tinggi detil dari level spasial, semakin besar luas perubahan penggunaan lahan yang dapat dicatat dan direkam. Fokus analisis perubahan penggunaan lahan terletak pada dua hal yang saling berkaitan: (1) faktor yang mendorong atau menyebabkan perubahan penggunaan lahan dan (2) dampak dari perubahan penggunaan lahan tersebut (baik
secara
ekologi
maupun
sosial-ekonomi).
Faktor-faktor
pendorong
perubahan penggunaan lahan biasanya terbagi dalam 2 kategori, yaitu: kondisi bio-fisik dan kondisi sosial-ekonomi. Faktor bio-fisik melibatkan karakteristik dan proses ekologi alamiah seperti cuaca dan variasi iklim, bentukan lahan, topografi, proses geomorfik, erupsi vulkanik, suksesi tumbuhan, jenis tanah, pola aliran, dan
ketersediaan
sumberdaya
alam.
Sedangkan
faktor
sosial-ekonomi
melibatkan persoalan demografi, sosial, ekonomi, politik dan kelembagaan, serta
proses-proses yang terjadi di dalamnya seperti perubahan penduduk, perubahan struktur industri, perubahan teknologi, kebijakan pemerintah, dan sebagainya. Faktor bio-fisik tidak mempengaruhi perubahan penggunaan lahan secara langsung, kebanyakan hanya menyebabkan terjadinya perubahan pada tutupan lahan, atau mempengaruhi keputusan pengelolaan terhadap lahan tersebut. Keputusan pengelolaan terhadap suatu tutupan lahan menjadi faktor perubahan yang berkaitan dengan aktivitas manusia. Hubungan antara faktor bio-fisik dan sosial-ekonomi dari suatu sistem tutupan lahan terlihat melalui Gambar 27.
Gambar 27.
Hubungan antara faktor bio-fisik dan sosial-ekonomi serta komponen lain dalam sistem penggunaan/tutupan Lahan
4.4.1. Kerangka Model Sistem Dinamik Salah satu cara yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan pendekatan sistem adalah menggunakan konsep simulasi sistem dinamis. Dengan menggunakan simulasi, maka model akan mengkomputasikan jalur waktu dari Peubah model untuk tujuan tertentu dari input sistem dan parameter model. Karena itu model sistem akan dapat memberikan penyelesaian dunial riil yang kompleks. Model juga dapat digunakan untuk keperluan optimasi, dimana suatu kriteria model dioptimalkan terhadap input atau struktur sistem alternatif. Karena itu, model dapat dibangun dengan basis data (data base) atau basis pengetahuan (knowledge base) atau kombinasi keduanya. Rancang bangun model ini dilaksanakan dengan tahapan kerja yang sistematis sesuai dengan pendekatan sistem. Secara keseluruhan kegiatan ini dirancang berdasarkan tahapan seperti dalam pendekatan sistem yang dimulai dari analisis kebutuhan hingga evaluasi, seperti Gambar 28.
II.
OPERASION
Gambar 28. Tahapan kerja dalam pendekatan sistem
Sesuai
dengan
tahapan
tersebut
dan
berdasarkan
pendekatan
pembangunan berkelanjutan dikembangkan ke dalam suatu sistem keterkaitan antar komponen yang saling mempengaruhi baik positive feedback, maupun negative feedback. Keluaran dari sistem tersebut menghasilkan perilaku
integratif. Diagram keterkaitan sistem yang menunjukkan hubungan antar subsistem dari keseluruhan sistem secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 29.
Kesehatan Pencemaran Air
Pendidikan Penduduk
Pendapatan
Kawasan Lindung Investasi
Teknologi Kawasan Budidaya
Erosi
Gambar 29.
Sampah
-
Produksi
Tenaga Kerja
PDRB
Penerimaan
Hubungan keterkaitan (diagram sebab-akibat) antar subsistem sosial, sub-sistem ekologi, dan sub-sistem ekonomi dan penggunaan lahan.
Komponen-komponen penyusun utama dari sub-sistem ekologi terletak pada isu modal, eksploitasi, dan konservasi sumberdaya lingkungan untuk berbagai aktivitas manusia, serta masalah polusi yang terutama berkaitan dengan akibat dari eksploitasi lingkungan tersebut. Sub-sistem sosial terfokus pada komponen-komponen yang dibentuk berdasarkan isu-isu demografi dan gambaran kesejahteraan sosial masyarakat terutama yang berkaitan dengan jumlah penduduk, angkatan kerja, tingkat pendidikan, tingkat kesuburan, tingkat harapan hidup, dan produktivitas tenaga kerja dari aspek-aspek sumberdaya lingkungan. Kajian sub-sistem ekonomi diarahkan kepada upaya mengelaborasi isu tingkat pendapatan, pasar, jumlah investasi, kesenjangan pendapatan masyarakat, belanja dan utang pemerintah, serta regulasi yang berkaitan dengan aspek-aspek pengelolaan lingkungan.
4.4.1.1. Model Sosial Model sosial seperti yang disajikan pada Gambar 30. terdiri dari beberapa sub model yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lain, yaitu sub model penduduk dan sub model tenaga kerja. Sub model penduduk terdiri dari beberapa peubah yang pada akhirnya akan menentukan jumlah penduduk, yaitu migrasi masuk, migrasi keluar, tingkat pertumbuhan penduduk yang dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian,dan beberapa faktor yang mempengaruhi masingmasing peubah yang nantinya akan berpengaruh pada laju penambahan dan laju pengurangan penduduk pertahun.
Tingkat pendidikan penduduk merupakan
salah satu peubah penting dalam menentukan produktivitas penduduk, yang pada akhirnya akan mempengaruhi angkatan kerja dan lapangan kerja. Untuk sub model tenaga kerja terdiri dari peubah lapangan kerja dan angkatan kerja, yang mempengaruhi lapangan kerja adalah jumlah lapangan kerja, jumlah tenaga kerja, jumlah transmigran, jumlah urbanisasi, sedangkan angkatan kerja dipengaruhi oleh jumlah angkatan kerja, tingkat kesempatan kerja dan permintaan terhadap tenaga kerja.
Gambar 30. Mental model sosial 4.4.1.2.
Model Ekonomi
Pada aspek ekonomi, faktor yang menjadi perhatian utama adalah produksi barang, jasa, dan modal dalam suatu wilayah.
Produksi barang dan jasa
berkaitan dengan permintaan terhadap barang dan jasa tersebut. Besarnya permintaan dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam suatu proses pembangunan wilayah pesisir. Produksi barang dan jasa akan meningkatkan penerimaan dan konsumsi baik oleh masyarakat maupun pemerintah dan swasta. Penerimaan pemerintah diperoleh dari hasil kegiatan produksi. Pada model ini terdapat 10 sektor produksi (sesuai dengan lapangan usaha pada PDRB) yaitu perikanan, pertanian, pertambangan dan galian, industri pengolahan, listrik gas dan air bersih, pengangkutan dan komunikasi, bangunan dan konstruksi,
jasa keuangan, dan jasa lainnya. Produksi berpengaruh terhadap PDRB. Nilai PDRB menentukan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya akan berpengaruh terhadap investasi. Penerimaan masyarakat ditentukan oleh produksi, sumbangan, dan bantuan pemerintah. Penerimaan masyarakat ini selanjutnya digunakan untuk konsumsi dan tabungan. Besarnya penerimaan masyarakat menetukan gini rasio wilayah. Submodel penerimaan pemerintah dan penerimaan rumah tangga secara detail disajikan pada Gambar 31.
Gambar 31. Mental model sub model ekonomi untuk parameter penerimaan pemerintah & penerimaan rumah tangga
4.4.1.3.
Model Lingkungan
Dalam model lingkungan seperti yang disajikan pada Gambar 32, level penting yang paling berpengaruh antara lain limbah cair, sampah (limbah padat), emisi dan curah hujan. Limbah cair dan sampah merupakan faktor penting dalam kaitannya dengan pencemaran tanah dan air, sedangkan emisi terkait dengan pencemaran udara; dan curah hujan terkait dengan faktor bencana iklim seperti kekeringan dan banjir. Pencemaran air ditandai dengan adanya penambahan limbah cair berasal dari transportasi air, pertanian (pestisida), perikanan, industri dan sampah. Kualitas air dipengaruhi oleh komponen penyusun sifat kimia air antara lain fosfat,
turbiditas,
nitrit,
nitrat
dan
klorofil-a.
Adanya
penambahan
dan
pengurangan limbah cair akan mengakibatkan penyakit pada ekosistem sekitar dan penduduk, yang secara langsung akan berpengaruh pada kualitas air baku yang akan dimanfaatkan oleh penduduk. Sampah merupakan salah satu level yang berpengaruh besar dalam model lingkungan. Limbah padat atau sampah tersebut berasal dari pasar, penduduk, sampah lain, dan sampah dari aktivitas industri. Penambahan sampah secara terus menerus akan mengakibatkan banjir dan penyakit. Level ini akan menghasilkan tenaga kerja dan kebutuhan akan adanya lahan TPA. Teknologi pengolahan sampah dibutuhkan untuk mengatasi penambahan level ini. Pencemaran udara ditandai dengan adanya emisi. Emisi merupakan gas hasil dari pencemaran udara yang dapat terukur besarnya dalam ppm (part per million), penambahan emisi tersebut berasal dari kegiatan industri, kendaraan bermotor, sampah, kebakaran hutan. Penambahan emisi ini akan berakibat secara langsung
pada gas rumah kaca yang mempengaruhi iklim, berupa
intensitas curah hujan yang akan dihasilkan. Kebakaran hutan, banjir, longsor merupakan bencana yang merupakan resultan akibat adanya pengaruh curah hujan dan kegiatan penduduk. Bencana tersebut berpengaruh besar pada penduduk berupa berkurangnya jumlah penduduk sebagai korban langsung dari bencana tersebut, ataupun timbulnya penyakit dari bencana yang dihasilkan. Oleh sebab itu, nantinya dibutuhkan teknologi mitigasi bencana.
Gambar 32. Mental model lingkungan
4.4.1.4. Model Penggunaan Lahan Model penggunaan lahan mengacu kepada kebijakan tata ruang, yang membagi penggunaan lahan menjadi 2 (dua) kawasan utama: kawasan budidaya (KB) dan kawasan lindung (KL). Kawasan budidaya terdiri dari lahan pertanian (PTN), hutan produksi dan rakyat (H), lahan perikanan (PIK), kawasan permukiman (Pm), lahan pertambangan (Pt), kawasan pariwisata (Par), dan kawasan industri (I). Kawasan lindung terdiri dari hutan lindung (HL), suaka alam (SA), danau (D), sungai (S) dan hutan lindung yang terdiri dari hutan mangrove primer (Mp), dan hutan mangrove sekunder (Ms). Kawasan lindung merupakan pembatas untuk luasan kawasan budidaya dan hanya bisa bertambah (tidak diperkenankan adanya pengurangan). Blok diagram model penggunaan lahan disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33. Blok diagram model penggunaan lahan 4.4.2. Model Spasial Dinamik Hasil analisis model sistem dinamik tentang perubahan spasial khususnya penggunaan lahan hanya berupa data numerik, yaitu hanya menunjukkan angka perubahan lahan setiap tahun, akan tetapi tidak dapat menunjukkan lokasi yang
berubah dan berapa luasnya serta perubahan dari penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lainnya. Model spasial dinamik dapat menunjukkan lokasi perubahan penggunaan lahannya. Dalam model spasial dinamik hasil analisis sistem dinamik yang berupa data numerik dan grafik dijadikan input untuk analisis spasial dinamik.
Hasil
analisis spasial dinamik adalah peta perubahan penggunaan lahan pada beberapa tahun yang akan datang. Gabungan antara kedua model tersebut disajikan pada Gambar 34. Sistem Dinamik/Analisis Non
Perubahan Sosial – Ekonomi - Lingkungan
Perubahan Penggunaan Lahan
Spasial Dinamik/Analisis Spasial
Faktor Pendorong Perubahan Lokasi
Alokasi Penggunaan Lahan
Gambar 34. Gabungan sistem dinamik dan spasial dinamik Tahapan pembuatan model spasial dinamik adalah sebagai berikut: 1. Peta tutupan lahan dari Citra Landsat TM 7 seamless dari tahun 2001 2003 (eksisting) dikonversi ke dalam bentuk raster, 2. Setiap jenis penggunaan lahan dibuat peta binarinya. Artinya setiap peta hanya mengandung satu jenis penggunaan lahan, wilayah dengan nilai 0 berarti pada wilayah itu tidak ada jenis penggunaan lahan tersebut. Pada wilayah dengan nilai 1 berarti terdapat jenis penggunaan lahan tersebut. 3. Setiap peta tersebut dikonversi ke bentuk teks dengan cara diekspor dari program ArcView lalu diberi nama dengan cov1_0.0 sampai dengan cov1_6.0. Data setiap jenis penggunaan lahan ini menjadi variabel terikat atau dependen. 4. Peta penggunaan lahan disajikan dalam bentuk raster dengan ukuran sel grid 250 meter, sehingga 1 sel grid mempunyai luas 250 meter kali 250
meter sama dengan 6250 meter persegi atau 6.25 hektar. Peta penggunaan lahan dalam bentuk teks yang merupakan variabel tidak bebas (dependent variable) dipadankan dengan variabel bebas atau independent variable
yang merupakan driving factors. Kemudian
dianalisis secara statistik dengan program SPSS (statistical package for social science) dengan regresi logistik. Hasil regresi logistik ini dijadikan input data ke dalam program dari software spasial dinamik. 5. Input data selanjutnya adalah matrik konversi setiap penggunaan lahan. Angka 1 menunjukkan konversi boleh terjadi sedangkan 0 adalah ketidakmungkinan terjadinya konversi. Pada baris pertama adalah matriks untuk air, tampak bahwa air hanya akan terkonversi menjadi air lagi (nilai 1), sedangkan untuk menjadi jenis menggunaan lain tidak mungkin (nilai 0). 6. Input selanjutnya adalah nilai stabilitas yang berkisar antara 0 sampai 1. Semakin stabil, atau tidak mudah untuk terkonversi semakin mendekati nilai 1. Penetapan stabilitas untuk pemodelan adalah sebagai berikut. Air, kawasan terbangun dan sawah diberi nilai 1 dengan asumsi bahwa ke tiga jenis penggunaan tanah tersebut stabil. Berikut disajikan contoh nilai stabilitas penggunaan lahan, Hutan dan perkebunan diberi nilai 0.8 dan Lainnya serta pertanian lahan kering dengan nilai 0.5. Dalam pemodelan dengan spasial dinamik terdapat aturan pengambilan keputusan (decision rules) untuk menentukan konversi mana yang diperbolehkan. Indikator dalam penentuan keputusan tersebut adalah stabilitas. Selang nilai stabilitas adalah 0 sampai 1, stabilitas bernilai 0 (nol) artinya sangat dinamik (mudah dikonversi) dan nilai 1 (satu) artinya stabil yaitu tak dapat dikonversi. Regresi logistik merupakan bentuk dari regresi yang digunakan bila variabel tidak bebas (dependen) dichotomous dan variabel bebas (independen) kontinyu atau kategorial. Dichotomous mengandung arti bahwa jenis land cover tertentu dalam satu sel grid bernilai 0 atau 1. Nilai 0 berarti tidak ada sedangkan 1 berarti terdapat penggunaan lahan tersebut. Persamaan regresi yang digunakan adalah :
β : merupakan hasil langsung dari perhitungan regresi p : peluang munculnya jenis land use dan driving factor x Untuk
menghitung
pengaruh
relatif
dari
setiap
variabel
terhadap
penggunaan lahan, dihitung Exp (B). Exp (B) menunjukkan apakah peluang dari penggunaan lahan tertentu pada grid sel meningkat (lebih dari 1) atau menurun (lebih rendah dari 1) akibat dari satu peningkatan pada variabel bebas. Pada perhitungan relatif influence digunakan persamaan sebagai berikut : Pengaruh relatif = Exp(B X selang), untuk B >1 Pengaruh relatif = -1/Exp(B X selang), untuk B <1 (Verburg et al. 2003) Pengaruh relatif kemudian diurutkan sesuai dengan nilai yang tertinggi. Semakin tinggi nilainya semakin besar pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Urutan pengaruh ini merupakan input untuk alokasi, dimasukan pula secara berurutan sesuai dengan hasil perhitungan. 7. Setelah data siap dan lengkap sesuai program atau software yang dibuat, kemudian di run, berdasar pada skenario yang telah ditentukan. Simulasi yang dilakukan adalah 20 atau bisa juga untuk jangka waktu lainnya tahun. Bila data yang dimasukkan sesuai dengan program maka simulasi akan berjalan. Hasil simulasi berupa data teks yang perlu dikonversi kedalam aplikasi GIS (Arc View atau Arc GIS) untuk dapat disajikan dalam bentuk spasial. 8. Peta yang digunakan dalam model spasial dinamik adalah: a. Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 b. Citra Landsat tahun 2006 c. Peta Tutupan Lahan dari Departemen Kehutanan d. Peta Jenis Tanah dari Puslitanah, Peta Kemiringan Lahan dll e. Peta Geologi dari Direktorat Geologi f.
Peta Prasarana Wilayah dari Departemen Pekerjaan Umum
g. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (draft) h. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau Sulawesi (draft) i.
Peta Jalan dari Jalan tol sampai jalan setapak dari DPU
4.3.9. Penyusunan Peta Tata Ruang Wilayah Pesisir Kota Makassar Hasil model spasial dinamik yang berupa pola pemanfaatan lahan pada 20 tahun mendatang kemudian dioverlay dengan peta Rupa Bumi skala 1 : 50.000 dan struktur ruang dari Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWProv).
Apabila RTRWP belum ada maka dapat dioverlay dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau (RTRWP).
Dari overlay tersebut akan
diperoleh Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kota Makassar. Secara rinci pada Gambar 35.
HASIL ANALISIS SPASIAL DINAMIK (PETA PROYEKSI
PETA RUPA BUMI SKALA 1 : 50.000. dll
PENGGUNAAN LAHAN -
STRUKTUR TATA RUANG DARI RTRWPROV/ RTRWPULAU
OVERLAY
PETA TATA RUANG WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR SKALA 1 : 100.000
Gambar 35. Peta rencana tata ruang wilayah pesisir Kota Makassar
Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam pemodelan spasial adalah citra satelit landsat enhanced thematic mapper+7 untuk wilayah pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan. Data sosial ekonomi dan geofisik wilayah diperoleh dari berbagai sumber;
Kondisi eksisting penggunaan lahan wilayah pesisir Kota Makassar Kondisi eksisting penggunaan lahan Kota Makassar diperoleh dari data citra satelit landsat enhanced tematic mapper+7. Citra satelit tersebut diinterpresetasikan menjadi peta penggunaan lahan eksisting.
Kondisi sosial ekonomi Kondisi sosial ekonomi wilayah pesisir Kota Makassar meliputi kepadatan penduduk , tingkat pendidikan , kondisi tempat tinggal dan mata pencaharian penduduk, tingkat pendidikan, kondisi tempat tinggal dan mata pencaharian penduduk bidang pertanian dan perikanan. Kondisi geofisik Kondisi geofisik wilayah pesisir Kota Makassar diwakili oleh jenis tanah, geologi, ketinggian elevasi, slope, kualitas air, kedalaman perairan. c. Analisis Keberlanjutan Untuk menganalisis tingkat keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar menggunakan perangkat lunak
Rapfish (Kavanagh, 2001 dan Budiharsono,
2007). Tahap penentuan atribut pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan berdasar pada lima (5) dimensi yaitu; ekonomi ekologi, sosial,teknologi, hukum dan kelembagaan, tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal (5 dimensi).
Analisis ordinasi ”Rapfish” berbasis metode
multidimensional scaling (MDS), selanjutnya penyusunan Indeks dan Status keberlanjutan. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang diperlukan dalam analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar adalah data primer berupa atribut-atribut yang terkait dengan lima dimensi keberlanjutan pembangunan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan. Data primer dapat
bersumber dari para responden dan pakar yang terpilih, serta hasil pengamatan langsung di lokasi penelitian. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar dilakukan melalui wawancara, diskusi, kuisioner, dan survey lapangan dengan responden di wilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik penelitian. Metode Analisis Data. Analisis keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dilakukan dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) yang disebut dengan pendekatan Rap-Coastal yang merupakan pengembangan dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan ini, dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Pengelolaan wilayah pesisir (ikb-Coastal) Analisis dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (1) penentuan atribut pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan yang mencakup lima dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, dan hukum dan kelembagaan; (2) penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan
setiap
dimensi;
dan
(3)
penyusunan
indeks
dan
status
keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 – 3 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan.mulai dari yang buruk (0) sampai baik (3). Tabel 7. berikut menyajikan atribut-atribut dan skor yang digunakan untuk menilai keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir pada setiap dimensi.
Tabel 7. Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar Dimensi dan Atribut
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial-Budaya Dimensi Teknologi Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada tabel 7. berikut. Tabel 8. Kategori status keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-COASTALMAK Nilai Indeks 00,00 – 25,99 26,00 – 49,99 50,00 – 74,99 75,00 – 100,0
Melalui
metode
Kategori Buruk Kurang Cukup Baik
MDS,
maka
posisi
titik
keberlanjutan
dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0 % (buruk) dan 100 % (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50 % (> 50 %), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50 % (< 50 %). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada gambar 10. Buruk 0%
Baik 50 %
100 %
Gambar 36. Ilustrasi indeks keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar sebesar 50 % (Berkelanjutan)
Nilai indek keberlajutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti pada Gambar 37. Ekologi 53,95 100 80 41,7 Hukum dan Kelembagaan
60
56,24
40
Ekonomi
20 0
36,5
34,82
Teknologi
Sosial-Budaya
Gambar 37. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi pengelolaan wilayah pesisir Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengeloaan wilayah pesisir. Dalam analisis tersebut di atas akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor karena kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasikan data atau ada data yang hilang, dan tingginya nilai stress (nilai stress dapat diterima jika nilainya < 25 %), (Kanvanagh, 2001, Fauzi dan Anna, 2002). Untuk mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi pengelolaan wilayah pesisir digunakan analisis Monte Carlo . Berikut tahapan analisis status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar pada Gambar 12. MULAI
Kondisi Pembangunan W ilayah Pesisir
Penentuan Atribut Sebagai Kriteria Penilaian
Penilaian (Skor) Setiap Atribut
MDS ( Ordinasi Setiap Atribut)
Analisis Monte Carlo
Analisis RAP - COASTAL
Analisis Sensivitas
STATUS / INDEKS Keberlanjutan Pengelolaan W ilayah Pesisir
Gambar 38. Tahapan analisis status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar
d. Trade-off Analysis Trade-off analysis (Brown,2001) dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengetahui skenario pengelolaan yang terbaik dalam jangka waktu 20 tahun kedepan
dengan memperkirakan dampak-dampak yang mungkin terjadi
terhadap kriteria ekonomi, sosial, ekologi, teknologi serata hukum dan kelembagaan. Pilihan skenario terbaik adalah skenario yang memberikan manfaat yang paling maksimal dengan tingkat kerugian yang paling minimal dari aktifitas pengelolaan yang dilakukan dengan menggunakan software ”Powersim” dan GIS analisis. e. Analisis Kapasitas Asimilasi Nilai kapasitas asimilasi didapatkan dengan cara membuat grafik hubungan antara konsentrasi masing – masing parameter limbah di perairan danau dengan total beban pencemaran parameter tersebut di muara sungai. Titik perpotongan dengan nilai baku mutu yang berlaku untuk setiap parameter disebut sebagai nilai kapsitas asimilasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pencemaran di muara sungai secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : y = f(x) ...........................................................................................................(2) Secara matematis persamaan regresi linier dapat dituliskan : y = a + bx ......................................................................................................(3) Dimana : x = nilai parameter di sungai y = nilai parameter di perairan danau a = nilai tengah/rataan umum b = koefisien regresi untuk parameter di sungai Peubah x merupakan jumlah nilai dari seluruh muara yang diamati untuk parameter tertentu dan y merupakan nilai parameter di perairan danau. Pengambilan contoh air menggunakan perahu motor Tempel. Parameter yang diukur meliputi parameter fisika dan kimia (Tabel 9). Alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Tabel 9. Parameter fisika – kimia No 1 2 3 4 5 6 7 8
Parameter Fisika : Kedalaman
Satuan
Alat
Metode
m
In situ
Suhu Salinitas Kimia : pH DO
0
Batu duga/ Ehosonder Termometer Hg Salinometer
BOD5 COD Logam berat (Pb, Cd,Cu)
mg/L mg/L mg/L
pH meter Peralatan titrasi/DO meter Peralatan titrasi Peralatan titrasi AAS
Potensiometrik, In situ Titrasi Winkler, Laboratorium /In situ Titrasi, Laboratorium Titrasi, Laboratorium Spektrofotometrik, Laboratorium
C
0/00
mg/L
In situ In Situ
f. Analisis Kebijakan dengan Model Dinamik Model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan dilakukan dengan pengkajian terhadap hasil simulasi model. Sistim dinamik digunakan karena dapat memadukan hal yang konkrit (fisik) dan abstrak secara berimbang (Forrester, 1994).
Analisis kebutuhan Kebutuhan stakeholder dalam memodelkan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan di Kota Makassar disajikan pada Tabel 10. Tabel 10.
No.
Kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan
Stakeholder
1
Pemkot Makassar
2
Pengusaha
3
Nelayan
4
Pedagang
5 6 7
Perbankan Koperasi Masyarakat
Kebutuhan -
Peningkatan PAD Perluasan lapangan kerja Pertumbuhan Industri Penurunan volume limbah Peningkatan keuntungan Penurunan biaya produksi Kelancaran pasokan bahan baku Peningkatan pendapatan Tercukupinya BBM Keseimbangan stok Sumber Daya Perairan Peningkatan keuntungan Kelancaran pasokan barang dagangan Peningkatan keuntungan Peningkatan keuntungan Peningkatan pendapatan Tersedianya lapangan kerja Penurunan volume limbah Adanya rasa aman
8
LSM
Tersedianya lapangan kerja Penurunan volume limbah Adanya rasa aman
-
Formulasi Permasalahan Berdasarkan analisis kebutuhan yang telah diuraikan pada tabel, dirumuskan permasalahan sebagai berikut; 1. Perencanaan pembangunan yang bersifat sektoral 2. Perencanaan dan pengelolaan wilayah darat dan laut yang masih terpisah 3. Pertumbuhan jumlah penduduk dan tuntutan ekonomi 4. Degradasi SDA pesisir 5. Keterbatasan sumber daya lahan 6. Pencemaran yang meningkat 7. Masih kurangnya kesadaran stakeholder pada masalah lingkungan
Identifikasi Sistem •
Diagram simpal kausal Diagram simpal kausal yang menggambarkan hubungan sebab akibat antara berbagai variabel dalam pengelolaan wilayah pesisir, secara keseluruhan disajikan pada Gambar 39.
+ kesehatan masyarakat +
+
+ kondisi sosial masyarakat
kesejahteraan masyarakat
PAD
sumberdaya tanah dan air
-
+ +
+ pendapatan
+ jumlah penduduk
+
+ sumberdaya pesisir dan laut
-
pendapatan masysrakat
kesehatan masyarakat
+ -
-
jumlah industri pencemaran air
Gambar 39. Diagram simpal kausal
•
Diagaram input output Diagram Input output sistem pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan bekelanjutan seperti disajikan pada Gambar 40. Input lingkungan: - UU No. 23/1997 (UULH) - UU No. 32/2004 (Otda) - UU No. 24/1992 (UUTR)
Input tak terkontrol: - Permukiman penduduk - Jenis dan konsentrasi limbah
Output yang dikehendaki: - Pertumbuhan industri - Perluasan lapangan kerja - Peningkatan pendapatan
Model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan Input terkontrol: - penggunaan lahan Industri - Teknologi pengolahan limbah
Output yang tidak dikehendaki: - Peledakan jumlah penduduk - deplesi S D A - Tingkat pencemaran tinggi - Penggunaan lahan tidak terkendali
Umpan balik
Gambar 40. Diagram input output •
Validasi Model Uji validasi yang akan dilakukan adalah uji validasi struktur dan kinerja
model. Uji validasi struktur model dilakukan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana struktur model yang telah dibangun dapat menjelaskan struktur sistem nyata yang berlaku. Untuk itu model harus diuji kestabilan strukturnya. Kestabilan struktur
adalah
kekuatan
(robustness)
struktur
dalam
dimensi
waktu
(Muhammadi dkk,2001) . Uji validitas kinerja model dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dilambangkan dapat diterima sebagai model verifikasi. •
Verifikasi Model Setelah dilakukan validasi model dan dinyatakan valid dan stabil.
Selanjutnya dilakukan verifikasi melalui simulasi. Simulasi adalah aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku suatu sistem melalui penelaan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya samadengan atau seperti pada sistem yang sebenarnya. (Eriyanto, 1999).
g. Analisis Kesesuaian Lahan Dalam dimensi ekologis, penempatan satu kegiatan pembangunan dengan yang lainnya haruslah sesuai dengan ciri biologi, fisik, kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung. Analisis kesesuaian lahan yang akan dilakukan di wilayah pesisir Kota Makassar meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman, pelabuhan, industri, buddaya tambak, budidaya rumput laut, budidaya keramba jaring apung dan pariwisata pantai secara umum terdapat 4 (empat) tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu: (i) penyusunan peta kawasan, (ii) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang akan dilakukan, (iii) pembobotan dan pengharkatan, dan (iv) melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan dilakukan. 1. Penyusunan peta kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesaman karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta wilayah pesisir Kota Makassar dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistim Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip wilayah sehingga informasi spasialnya dapat diketahui: • Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan. • Kegiatan penggunaan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan • Kesesuaian wilayah pesisir dengan peruntukannya, penggunaan lahan lahan dan peruntukannya, dan keharmonisan spasial dengan wilayah lain disekitarnya. • Hasil
penyusunan
peta
wilayah
pesisir
yang
telah
sesuai
dengan
peruntukannya yang seharusnya dapat saja berbeda dengan penggunaan wilayah pesisir pada saat sekarang.
2. Penyusunan Matriks Kesesuaian Kesesuaian lahan wilayah pesisir untuk berbagai pemanfaatan seperti wilayah pemukiman, pelabuhan umum, industri, budidaya tambak dan pariwisata pantai didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dsari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter data dan cara analisisnya sampai dengan hasil akhir. Dalam penelitian ini kesesuaian lahan dibagi dalam 4 kelas yaitu: •
Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable), yaitu lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari pengusahaan lahan tersebut.
•
Kelas S2 : sesuai (suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk pengusahaan lahan tersebut.
•
Kelas S3 : tidak sesuai saat Ini (currently not suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih mungkin diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan mejadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan introduksi teknologi yang tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya yang rasional.
•
Kelas N : tidak sesuai permanen (permanently not suitable), yaitu lahan yang mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari. Kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman, kawasan industri,
kawasan
budidaya tambak, kawasan pelabuhan umum, kawasan pelabuhan
perikanan pantai dan kawasan pariwisata pantai, wilayah budidaya rumput laut, wilayah budidaya karamba apung, disajikan pada Tabel 10,11,12,13,14,15,16, 17,dan18.
Tabel 11. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk No
Parameter
Bobot
kategori dan Skor S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
3
3-8
4
8-15
3
0-2
2
>16
1
6
>20
4
15-20
3
10-15
2
<10
1
3
Kemiringan lahan (%) Ketersediaan air tawar (ltr/det) Landuse
4
A
4
B
3
C
2
D
1
4
Jarak dari
3
>200
4
100-200
3
50-100
2
<50
1
4
Tidak
4
Tidak
3
Tidak
2
Tidak
1
1 2
Pantai (m) 5
Drainase
tergenang
tergenang
tergenang
tergenang
6
Jarak dari jalan yang 5 0 - 500 4 berhubungan dengan sarana dan prasarana penting (m) Sumber: Sjafi’i 2000, Sugiarti 2000. (modifikasi)
500- 1000
3
> 1000
2
Keterangan : A. Pengembangan industri, pengembangan perkotaan, sawah B. Kebun campuran,sawah, semak belukar, alang-alang C. Cadangan pengembangan, hutan produksi, rawa air asin, rawa air tawar D. Hutan lindung, hutan suaka alam Evaluasi Kelayakan : 3,15 – 3,80 : Sangat sesuai 2,50 - 3,15 : Sesuai 1,85 – 2,50 : Sesuai bersyarat 1,20 – 1,85 : Tidak sesuai
>1000
1
Tabel 12. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum No 1
Kategori dan Skor Parameter Kemiringan
Bobot
S1
Skor
S2
Skor
S3
Skor
N
Skor
3
0-2
4
2-8
3
8 - 15
2
> 16
1
4
>15
4
12-15
3
10 - 12
2
< 10
1
2
lempung berpasir
4
pasir
3
pasir
2
Karang
1
3
0 - 20
4
21 - 40
3
41 - 50
2
>50
1
3
0 - 20
4
21 - 30
3
31 - 40
2
>40
1
3
3
4
2
3
1
2
1
3
0 – 0,5
4
0,6 – 1,5
3
1,6 - 2
2
Tidak ada >2
1
4
Sangat Terlindung
4
Terlindung
3
Terlindung cenderung terbuka
2
Terbuka
1
lahan (%) 2
Kedalaman perairan (m)
3 4
Dasar perairan Tinggi
berlumpur
berkarang
gelombang (cm) 5
Kec.Arus (cm/det)
6 7 8
Fasilitas transportasi Amplitudo pasut (m) Keterlindungan
Sumber : Kramadibrata,1985 (modifikasi) Evaluasi Kelayakan : 3,15 – 3,8 : Sangat sesuai 2,50 – 3,15 : Sesuai 1,85 – 2,50 : Sesuai bersyarat 1,20 – 1,85 : Tidak sesuai
Tabel 13. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak No 1 2 3
Parameter Kemiringan lahan (%) Jenis tanah Fisiografi wilayah
Bobot
4 4 3
4 5 6
S1 0–2
Skor 3
Aluvial Dataran pasang surut
3 3
Kategori Skor S2 Skor 2 -8 2 Aluvial Delta pasang surut 25 - 35 1,0 – 1,5
2
N
Skor
>8
1
Podsolik Perbukitan
1 1
15 - 25 Salinitas ( %O ) 4 3 2 > 35 1 0,8 – 1,0 Amlitudo pasut 3 3 2 > 1,5 1 < 500 500 Jarak dari 4 3 2 > 2.000 1 2000 sungai (m) 7 Landuse 3 A 3 B 2 C 1 < 200 8 Jarak dari 4 3 2.0002 > 4.000 1 pantai 4.000 < 1.000 9 Jarak dari jalan 4 3 1.0002 > 2.000 1 (m) 2.000 Sumber : Modipikasi dari Puslitbang Perikanan, 1992 dan Poernomo, 1992 Keterangan : A. Rawa air asin B. Cadangan pengembangan, sawah, semak belukar, alang-alang C. Hutan Lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, kebun campuran, rawa air tawar, pengembangan industri, pengembangan perkotaan
Evaluasi Kelayakan 2,3 – 3,0 : Sangat sesuai 1,6 – 2,3 : Sesuai 1,0 – 1,6 : Tidak sesuai
Tabel. 14. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai
No 1 2 3 4 5 6
7 8
Parameter Kedalaman perairan (m) Material dasar perairan Kecepatan arus (m/det) Kecerahan perairan (%) Jarak dari pantai (m) Penutupan lahan pantai Jarak dari sungai (m) Jarak dari sumber pencemar (m)
Bobot
S1
6
0–5
Skor
Kategori dan Skor S2 Skor
N
Sko r
3
5 - 10
2
> 10
1
2
lumpur
1
2
> 3,8
1
3
pasir
3
karang berpasir
5
10 – 13
3
3,8 - 10
5
Tinggi (> 75)
3
4
< 100
3
100-200
2
> 200
1
3
Semak belukar rendah, savana
2
hutan bakau, pemukiman pelabuhan
1
5002.000
2
> 2.000
1
2
< 2.000
1
4
Kelapa, lahan terbuka
3
< 500
3
3
> 5.000
3
Sumber : Bakosurtanal 1996 dan Dahyar, 1999 (modifikasi) Evaliasi Kelayakan : 2,3 – 3,0 : Sangat sesuai 1,6 – 2,3 : Sesuai 1,0 – 1,6 : Tidak sesuai
Sedang (> 50-75)
2.0005.000
2
Rendah ( < 25 )
1
Tabel 15. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi
No 1 2
Parameter Jarak dari pantai (m)
Bobot 3
Kategori dan Skor Skor S3
S1
Skor
S2
< 100
4
100 - 150
3
Mangrove
Vegetasi 3 Mangrove 4 Pantai 3 Kemiringan 2 0 -15 4 (%) Karang 4 Vegetasi 4 3 hidup Laut 5 Salinitas 3 30 - 32 4 (ppt) 6 Suhu perairan (o 3 29 - 30 4 C) 7 Tekanan Sangat 4 4 Penduduk serius Sangat 8 Aspirasi 4 4 mendukung masyarakat Sumber : Soedharma et al, 1992, (modifikasi) Evaluasi Kelayakan 3,15 – 3,80 : Sangat sesuai 2,5 – 3,15 : Sesuai 1,85 – 2,50 : Sesuai bersyarat 1,20 – 1,85 : Tidak sesuai
Skor
N
Skor
150 - 200
2
>200
1
3
Mangrove
2
Semak belukar
1
15 - 25
3
25 - 40
2
> 40
1
Karang hidup
3
Karang hidup
2
Karang mati
1
32 - 34
3
30 - 31
2
< 30
1
30 - 33
3
28 - 29
2
Serius
3
Kurang serius
2
Tidak serus
1
Mendukung
3
Kurang mendukung
2
Tidak mendukung
1
< 27
> 40 > 33
1
Tabel 16. Matrik kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya rumput laut Kategori dan Skor No 1 2 3
Parameter Kecepatan arus (cm/det) Tinggi gelombang Material dasar perairan
4
PH perairan
5
Kedalaman perairan (m) Salinitas (ppt)
6 7
Suhu perairan
Bobot 4
S1
Skor
20-30
4
30-40
4
0 -15
3
pasir karang, dan lamun
4
3
7,5-8
4
3
1,0-2,5
4
2,5-2,7
4
32 - 34
4
30 - 32
4
24 - 29
Sumber : Wahyuningrum, 2001 (modifikasi) Evaluasi Kelayakan 3,15 – 3,80 : Sangat sesuai 2,50 – 3,15 : Sesuai 1,85 – 2,50 : Sesuai bersyarat 1,20 – 1,85 : Tidak sesuai
4
S2
4
15-25 pasir karang, dan lamun 7-7,5 & 8-8,5
29 - 30
Skor
N
Sko r
2
<20 & >40
1
25 -35
2
>35
1
pasir berkarang
2
pasir berkar ang
1
-
2
<7& >8,5
1
2,7-10
2
>10
1
28 - 30
2
30 - 31
2
Skor 3 3
S3
-
3
3 3 3 3
<28 & > 34 <24 & >31
1 1
Tabel 17. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya kajapung No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Parameter Kecepatan arus (m/det) Tinggi pasut Kedalaman air dari dasar jaring pH perairan Oksigen terlarut Salinitas (ppt) Suhu perairan (°C) Nitrat (mg/ l) Phospat (mg/l)
Bobot
S1
Skor
Kategori dan Skor S2 Skor
N
4
10 - 13
3
3,8 - 10
2
< 3,8
4
> 1,0
3
0,5–1,0
2
< 0,5
4
> 10
3
4 -10
2
<4
3
8
3
6-9
2
< 6 & >9
4
4
3
3-5
2
<3
4
> 30
3
20 - 30
2
< 20
4
30 -32
3
28 - 30
2
< 28
3 3
< 0,1 < 0,1
3 3
0,1-0,9 0,1-0,9
2 2
> 0,9 > 0,9
Sumber : Modifikasi dari Tiensongrusmee, dkk (1986) Evaluasi Kelayakan. 2,3 – 3,0 : Sangat sesuai 1,6 – 2,3 : Sesuai 1,0 – 1,6 : Tidak sesuai
Skor 1 1 1 1 1 1 1 1
1
Tabel 18. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan pantai
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Parameter Produktifitas perikanan (ton/thn) Kecepatan arus (cm/det) Tinggi gelombang (cm) Amplitudo pasut Tipe pasut Jarak dari Fishing ground (mil) Jarak ke pemukiman nelayan (km) Keterlindungan Tekstur tanah
Bobot 3
S1
Skor
S2
Skor
>800
4
600-800
3
2
0 - 20
4
21-30
3
2
21-40
4
21-40
3
2
0- 0,5
4
2
Harian Tunggal
4
2
<5
4
2
<5
4
3 1
Kemiringan lahan 2 (%) 11 Kedalaman 2 perairan (m) 12 Fasilitas 2 transportasi Sumber : Masrul, 2002 (modifikasi) Evaluasi Kelayakan : 3,15 – 3,80 : Sangat sesuai 2,50 – 3,15 : Sesuai 1,85 – 2,50 : Sesuai bersyarat 1,20 – 1,85 : Tidak sesuai
Sangat Terlindung Lempung Berpasir 0-2 >9 3
4 4 4 4 4
0,6-1,5 Campuran Tunggal
5 - 10 Terlindung Pasir Berlumpur
6-9 2
3 3
6 - 12
2-8
3
3 3 3 3 3
3
S3 400-600 21-30 21-40 1,6-2 Campuran Ganda 12-15 11-15 Terlindung cenderung terbuka Pasir Berkarang 8 - 15 3-6
1
Skor 2 2 2 2 2 2
N < 400
2 2 2
2
1
>40
1
>50
1
>2 Campuran Ganda
1
> 15 > 15
2 2
Skor
Terbuka Karang >16 <3 Tidak ada
1 1 1 1 1 1 1 1
Tabel 19. Matriks kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan industri No Parameter/kriteria 1 Kemiringan/kelerengan (%) S1 : 3 – 8 S2 : 9 - 15 S3 : 0 - 2 N : > 16 2 Jarak dari jalan (m) S1 : 0 - 200 S2 : 200 - 500 S3 : > 500 3 Ketersediaan air tawar (l/dtk) S1 : >20 S2 : 15 - 20 N : > 10 4 Drainase S1 : tidak tergenang S2 : tidak tergenang S3 : tergenang priodik N : tergenang 5 Penggunaan lahan S1 : alang-alang, semak, hutan, kebun campuran S2 : Pemukiman, perkebunan, campuran pemukiman dan kebun N : jalur hijau, hutan lindung, hutan bakau, penyangga, rawa Sumber : Masrul 2002 (Modifikasi)
Bobot 20
Skor 4 3 2 1
20 4 3 2 15 4 3 2 15 4 3 2 15 4 3 2
h. Analisis Prospektif Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Kota Makassar untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang brpengaruh terhadap kinerja sistem. Pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar dengan menggunakan penilaian analisis prospektif seperti pada Tabel 20.
Tabel 20. Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar
Sumber : Hardjomidjojo,2006
Pedoman pengisian berpengaruh langsung antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah : 1. Dilihat dulu apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya diberi nilai 0 2. Jika tidak, selanjutnya dilihat apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya diberi nilai 3 3. Jika tidak, baru dilihat apakah berpengaruh kecil = 1, atau berpengaruh sedang = 2 Pengaruh antar faktor, selanjutnya seperti Tabel 21
disusun dengan menggunakan matriks,
Tabel 21. Pengaruh antar faktor dalam pengembangan Wilayah pesisir, Kota Makassar
Sumber : Godet (1999), Bourgeois (2007)
Kemungkinan-kemungkinan
masa
depan
yang
terbaik
dapat
ditentukan
berdasarkan hasi penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktorfaktor atau elemen-elemen yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan
129 wilayah pesisir di Kota Makassar yang menuntut untuk segera dilaksanakan tindakan. Adapun cara menentukan elemen kunci, dapat dilihat seperti gambar berikut
P e n g a r u h
Faktor Penentu INPUT
Faktor Penghubung STAKE
Faktor Bebas UNSED
Faktor Terkait OUTPUT
Ketergantungan men kunci pengembangan wilayah pesisir (Hardjomidjojo,2006, Bourgeois and Jesus, 2004, Bourgeois, 2007).
Hasil analisis berbagai faktor atau variabel seperti pada Gambar diatas menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada : a. Kuadran I (INPUT) memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan penentu atau penggerak. (driving variabels) yang paling kuat dalam sisitem b. Kuadran II (STAKES), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variabels). Faktor pada kuadran ini dianggap peubah yang kuat c. Kuadran III (OUTPUT), memuat faktor-faktor yang mempuyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi. d. Kuadran IV (UNUSED), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ke tergantungan kecil (rendah)
130 Berdasarkan faktor dominan yang berpengaruh terhadap sistem, maka dibangun keadaan yang mungkin terjadi dimasa depan dari faktor-faktor tersebut sebagai alternatif panyusunan skenario pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar. Tabel 21. menyajikan keadaan yang mungkin terjadi dimasa depan dan faktor-faktor yang dominan pada pengembangan wilayah pesisir. Tabel 21. Keadaan yang mungkin Terjadi di masa depan pada Pengembangan Wilayah Pesisir Kota Makassar
Berdasarkan Tabel 21 diatas, maka dibangun skenario pengembangan wilayah pesisir di Kota Makassar. Skenario yang mungkin terjadi dimasa depan seperti terlihat pada Tabel 22 berikut. Tabel 22.
Hasil analisis skenario pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan
131 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. 1. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir Pantai Makassar Sulawesi Selatan Wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistim yang sangat produktif. Namun dibalik potensi tersebut, pembangunan biasanya juga dipusatkan di daerah pesisir, sehingga sering menimbulkan dampak negatif terhadap potensi sumberdaya tersebut. Aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti industri, pertanian, perikanan, permukiman, pertambangan, navigasi, pariwisata, sering tumpang tindih, sehingga tidak jarang manfaat atau nilai guna ekosistim tersebut turun.
Aktifitas-aktifitas tersebut seringkali memberikan
dampak di wilayah pesisir. Pemanfiaatan kawasan pesisir selama ini memberikan dampak positif berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir dan devisa negara. Namun, pada kegiatan pemanfaatan ekosistim ini cenderung
dilakukan secara tidak
terkendali, sehingga memberikan implikasi munculnya dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan ekosistim pesisir dan laut. Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung terus menerus akan menimbulkan resiko terhadap perubahan serta pencemaran lingkungan pesisir dan laut yang semakin parah dan pada akhirnya akan berdampak lanjut pada penurunan kondisi kehidupan manusia. Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut sering terjadi karena belum adanya pola pemanfaatan tata-ruang yang baku dan dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Disamping itu, potensi
multi-guna
yang
inherent
pada
sumberdaya
pesisir
dan
laut
menyebabkan banyak pihak yang berupaya untuk memanfaatkannya sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Untuk menanggulangi masalah tersebut di atas, diperlukan suatu bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan laut yang berdimensi ekologis, teknologis, ekonomis dan sosial politik yang bertolak pada aspek berwawasan lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkan suatu penelitian tentang “analisis keberlanjutan pengeloaan wilayah pesisir Kota Makassar” yang dapat digunakan sebagai acuan bagi segenap sektor yang berkepentingan. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis indeks dan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar dari lima dimensi. untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan
132 sebagai tujuan khusus yaitu (1) menilai indeks dan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi serta hukum dan kelembagaan. (2) mengidentifikasi atribut-atribut/ variabel yang sensitif berpengaruh
pada perkembangan wilayah pesisir (3)
mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinansi pengembangan wilayah pesisir dan (4) mengidentifikasi indikator-indikator keberlanjutan yang dapat dicapai melalui perbaikan setiap atribut. Kota Makassar memiliki sumberdaya pesisir
yang cukup potensial
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pendapatan daerah. Berbagai potensi tersebut seperti perikanan, pariwisata, perhotelan, kepelabuhanan, dan industri pesisir. Mengingat potensi yang besar tersebut, maka dalam pengelolaannya perlu dilakukan secara terpadu (integrated coastal manajemen) dengan melibatkan semua stakeholder yang terkait. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar
cenderung
dilakukan
secara
parsial
dengan
mengandalkan
egosektoral masing-masing instansi yang menyebabkan pengelolaannya menjadi tidak optimal dan syarat dengan konflik kepentingan yang sangat mengancam keberlanjutan dalam pengelolaannya. Dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, diamanatkan bahwa sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat baik generasi masa kini maupun generasi yang akan datang. Untuk mengukur tingkat keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir, dapat dilihat dari tiga dimensi pembangunan keberlanjutan yang meliputi dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial (Munasinghe, 1993). Dalam perkembangannya, ketiga dimensi keberlanjutan tersebut, selanjutnya dapat dikembangkan pada beberapa dimensi seperti yang di kemukakan oleh Kavanagh (2001) yang membagi menjadi lima dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauhmana status keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir di kota Makassar dimana hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pembangunan di wilayah pesisir Kota Makassar.
133
Pemanfaatan Potensi wilayah Pesisir secara Optimal dan Berkelanjutan
Pembangunan wilayah Pesisir Kota Makassar
Pemanfaatan Tidak Optimal, Konflik Kepentingan, dan Pencemaran
Peningkatan Kesejahteraan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Permasalahan
Perlu Dikaji lima Dimensi Keberlanjutan
Ekologi
Infrastuktur dan Teknologi
Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir
Sosial Budaya
Hukum dan Kelembagaan
Ekonomi
Pembangunan wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
Gambar 42. Kerangka pemikiran
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang dipertimbangkan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari 14 atribut yaitu (1) status kepemilikan lahan usaha perikanan (2) Frekwensi kejadian kekeringan (3) Frekwensi kejadian banjir (4) Pencetakan tambak baru oleh pemerintah
(5)
Intensitas konversi lahan perikanan (6) Kondisi sarana jalan usaha perikanan (7) Kondisi sarana jalan desa (8) Produktifitas usaha perikanan (9) Zona agriklimat (10) Curah hujan
(11) Temperatur (12) Penggunaan pupuk (13)
Kelas
kesesuaian lahan (14) Kegiatan petambak berpindah. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap- COASTALMAK diperoleh nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 47,12 % dengan status kurang berkelanjutan.
Hasil analisis leverage diperoleh 4 atribut yang
sensitif berpegaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1)
134 Intensitas konversi lahan perikanan (2) Kondisi prasarana jalan desa (3) ketersediaan informasi zona agroklimat (4) Produktifitas usaha perikanan Atribut-atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi meningkat untuk masa yang akan datang, pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap yang memberikan dampak positip dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatip terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Hasil MDS dan leverage dapat dilihat seperti Gambar 43 Leverage of Attributes
RAPFISH Ordination 80
Kegiatan perikanan lainnya
1.71 1.08
Kelas kesesuaian lahan
60
Penggunaan Pupuk
Up
2.37 1.40
40
1.77
Curah Hujan
4.63
Zona agroklimat
20
47,13
Bad 0 0 -20
Real Fisheries Good
Reference anchors Anchors
A tribut
O th e r D is tin g i s h i n g F e a tu re s
Temperatur
Produktivitas Usaha Perikanan
3.84
Kondisi prasarana jalan desa
3.77
3.54 status keberlanjutan, serta atribut sensitif 20 Gambar 40 60 3. 80 Indeks 100 120dan mempengaruhi keberlanjutan dimensi ekologi 4.47 Kondisi Prasanaran Jalan Usaha Perikanan
Intensitas konversi lahan Perikanan
3.59
Pencetakan Tambak baru oleh Pemerintah
1.34
Frekuensi Kejadian Banjir
-40
1.53
Kejadian Kekeringan
Down
-60
Fisheries Status
Gambar
b.
0.09
Status Kepemilikan Perikanan
43. Hasil analisis MDS dan leverage pesisir Kota Makassar
Root Mean Square Change % in Ordination w hen Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 1
0
1
2
3
4
pada dimensi kologi wilayah
Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari 11 atribut yaitu (1) jumlah pasar (2) Pasar produk perikanan (3) persentase penduduk miskin (4) Harga komoditas unggulan (5) jumlah tenaga kerja (6) Kelayakan usaha (7) Jenis komoditas unggulan (8) Kontribusi sektor perikanan terhadp PDRB Kota Makassar (9) Kelayakan usaha industri perikanan (10) Tingkat ketergantungan konsumen (11) Keuntungan usaha perikanan Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-COASTALMAK diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi sebesar 53,89 dengan status cukup berkelanjutan. Ini berarti bahwa untuk pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar dilihat dari dimensi ekonomi telah memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan dimensi ekologi.
5
135 Hasil analisis leverage diperoleh 3 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu (1) kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB
(2) kelayakan usaha perikanan (3) kelayakan usaha industri
perikanan seperti terlihat pada Gambar 44. RAPFISH Ordination 60
Leverage of Attributes Keuntungan Usaha Perikanan
Up
1,51
Tingkat ketergantungan Konsumen Kelayakan Usaha Industri perikanan
3,50
Kontribusi sektor perikanan thd PDRB 20
53,89
Bad
Good
Real Fisheries Reference anchors
0 0
20
40
60
80
100
120
A ttrib u te
O th e r D i s ti n g i s h i n g F e a tu r e s
40
0,95
5,29
Jenis Komoditas Unggulan
0,06
Kelayakan Usaha Perikanan
5,25
Jumlah Tenaga Kerja Perikanan
2,00
Anchors
Harga Komoditas Unggulan -20
1,94
Persentase Penduduk Miskin
1,15
Jumlah Pasar Produk Perikanan
0,58
Jumlah Pasar Ikan
-40
0,83 0
Down
-60
Fisheries Status
1
2
3
4
5
6
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 44. Indeks dan status keberlanjutan, serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekonomi
c. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya Atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari sembilan atribut: (1) tingkat pendidikan formal masyarakat; (2) tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan (3) jarak pemukiman ke kawasan usaha perikanan (4) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan (5) jumlah desa dengan penduduk bekerja disektor perikanan
(6) peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan (7) pola
hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan (8) akses masyarakat dalam kegiatan perikanan (9) persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung. Hasil analisisis MDS dengan Rap-COASTALMAK diperoleh indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial-budaya wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir sebesar 34,82 persen. Berdasarkan klasifikasi kondisi atau status keberlanjutan, maka dimensi sosial budaya termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Hasil analisis leverage diperoleh tiga atribut yang sesitif terhadap nilai indeks keberlanjuran dimensi sosial-budaya : (1) pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan (2) peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan
136 (3)
pemberdayaan
masyarakat
dalam
kegiatan
perikanan.
Nilai
indeks
keberlanjutan dan atribut yang sensitif hasil analisis MDS dan leverage seperti pada Gambar 45. Munculnya atribut yang sensitif, seperti disebutkan di atas, diduga diakibatkan oleh masih minimnya pelibatan masyarakat dalam kegiatan perikanan, melalui program-program yang dikembangkan oleh pemerintah. Hal ini lebih banyak dirasakan oleh masyarakat yang bermukim di Kecamatan Mariso dan Kecamatan Ujung Pandang. Kegiatan pemberdayaan masyarakat lebih bayak terlihat di kedua kecamatan tersebut. dan terlihat masyarakat di kedua kecamatan tersebut lebih banyak berinteraksi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan
serta
lembaga-lembaga
sosial
masyarakat,
maka
kegiatan
pemberdayaaam masyarakat di wilayah ini kedepan diharapkan dapat dirasakan pada seluruh masyarakat, karena seluruh desa di wilayah studi ini dicirikan dengan jumlah penduduk yang lebih besar bekerja di sektor perikanan.
Leverage of Attributes
RAPFISH Ordination 60
Persentase desa yang tidak ada akses penghubung
Up
Akses masy dalam kegiatan perikanan
40
Peran masy. adat dlm perikanan
20 Bad
Real Fisheries
Good
Reference anchors
0 0
20
40
60
34,82
80
100
120
Anchors
A ttr ib u te
O th e r D i s ti n g i s h i n g F e a tu r e s
Pola Hub masy dalam kegiatan perikanan
Jumlah desa dgn Pendduk bekerja disektor perikanan Pemberdayaan masy. dlm kegiatan perikanan Jarak permukiman ke kawasan perikanan
-20
Tingkat penyerapan tenaga kerja
-40 Tingkat pendidikan formal
-60
Down Fisheries Status
0 2 4 6 8 10 Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 45. Indeks dan status keberlanjutan, serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi sosial budaya
d. Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Atribut yang diperkirakan memberikan pengeruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari sembilan atribut, antara lain: (1) tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan (2) ketersediaan teknologi informasi perikanan (3) ketersediaan industri pengolahan
137 hasil perikanan (4) penggunaan mesin budidaya (pompa air), pemupukan dll (5) Standarisasi mutu produk perikanan (6) dukungan sarana dan prasarana jalan (7) dukungan sarana dan prasarana umum (kesehatan, pendidikan, dll) (8) ketersediaan basis data perikanan (9) penerapan sertifikasi produk perikanan. Berdasarkan hasil analisis MDS dengan Rap-COASTALMAK diperoleh indeks keberlanjutan, untuk dimensi infrastruktur dan teknologi wilayah pesisir Kota Makassar sebesar 13,28 persen.
Kondisi ini ternasuk dalam kategori
kurang berkelanjutan. Hasil analisis leverage diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi : (1) dukungan sarana dan prasarana jalan, (2) tingkat penguasaan teknologi perikanan. adapun nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif hasil analisis MDS dan Leverage, seperti Gambar 46.
RAPFISH Ordination 60
Leverage of Attributes Penerapan sertifikasi produk perikanan
Up
Ketersediaan basis data perikanan 40
Dukungan sarana dan prasarana jalan
20
13,28 Good
Bad
Real Fisheries
0
Reference anchors 0
20
40
60
80
100
120
A tt r ib u te
O th e r D i s ti n g i s h i n g F e a tu r e s
Dukungan sarana dan prasarana umum
Standarisasi mutu produk perikanan Penggunaan teknologi dlm budidaya perikanan
Anchors
Ketersediaan industri pengolahaan hasil perikanan -20
Ketersediaan teknologi informasi perikanan Tingkat penguasaan teknologi perikanan
-40
0 -60
Down Fisheries Status
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 46. Indeks dan status keberlanjutan, serta Atribut yang Sensitif Mempengaruhi Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Munculnya atribut yang sensitif pertama, seperti dukungan sarana dan prasarana jalan, lebih disebabkan karena wilayah ini belum diperhatikan, karena wilayah ini masih terisolasi sehingga akses kewilayah lainnya masih tertutup. sementara masa depan produk perikanan di wilayah ini cukup baik. seperti permintaan produk hasil perikanan seperti jenis udang dan ikan segar ke Jepang. cukup besar namun belum mampu dipenuhi, baik secara kuantitatif maupun dari
138 segi kualitatif, karena selain produk masih rendah, mutu produk tersebut juga masih rendah. Munculnya atribut lain yang sensitif, seperti tingkat penguasaan teknologi perikanan. Masyarakat di wilayah ini umumnya belum menggunakan peralatan teknologi perikanan yang memadai. melainkan lebih banyak menggunakan peralatan secara tradisional dalam kegiatan perikanan. Disisi lain, sarana dan prasarana yang dimiliki wilayah ini, baik sarana dan prasarana umum maupun sarana dan prasarana jalan, juga masih terlihat sangat minim. Sarana dan prasarana umum yang masih minim terutama sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, dan sarana sosial lainya. Sedangkan sarana dan prasarana jalan yang masih terlihat sangat minim adalah sarana dan prasarana jalan penghubung antar kecamatan dan antar desa dengan kualitas yang jelek. kondisi jalan masih ada yang berupa jalan tanah dan becek serta belubang-lubang sehingga sulit dilalui kendaraan bermotor.
e. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjuta dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sembilan atribut, antara lain: (1) keberadaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP) (2) keberadaan lembaga sosial (3) keberdaan lembaga keuangan mikro (LKM) (4) keberadaan lembaga kelompok nelayan (5) mekanisme lintas sektoral dan pengembangan wilayah pesisir (6) ketersediaan peraturan perundang-undangan pengembangan wilayah pesisir (7) sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah (8) ketersediaan perangkat hukum adat/agama, dan (9) perjanjian kerjasama antar wilayah. Hasil analisis MDS dengan Rap-COASTALMAK diperoleh nilai indeks keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan wilayah pesisir Kota Makassar, untu pengembangan kawasan pesisir sebesar 50,74 persen. Kondisi ini termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan Berdasarkan hasil analisis leverage
diperoleh tiga atribut sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan : (1) ketersediaan lembaga sosial,
(2) keberadaan lembaga keuangan mikro, (3)
mekanisme lintas sektoral dalam pengembangan wilayah pesisir. Adapun nilai indeks keberlajutan dan atribut yang sensitif hasil analisis MDS dan leverage, seperti Gambar 47.
139 Leverage of Attributes
RAPFISH Ordination 60
Keberadaan Balai Penyuluh Perikanan (BPP)
Up
Ketersediaan lembaga sosial 40
Ketersediaan lembaga kelompok perikanan
20
Good
Real Fisheries Reference anchors
0 0 Bad
20
40
60
80
100
120
Anchors
50,74
A ttr ib u te
O th e r D i s ti n g i s h i n g F e a tu r e s
Keberadaan lembaga keuangan mikro
Mekanisme lintas sektoal dlm pengemb kawasan pesisir Ketersediaan peraturan perundangan pesisir Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
-20
Ketersdiaan pengkat hukum adat/agama Perjanjian kerjasama dgn swasta
-40
-60
0
Down
1
2
3
4
5
6
7
Fisheries Status
Gambar 47. Indeks dan status keberlanjutan, serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Munculnya atribut sensitif pertama, berupa ketersediaan lembaga sosial, lebih disebabkan karena wilayah ini belum banyak disentuh oleh lembagalembaga sosial sehingga banyak persoalan-persoalan sosial yang terabaikan, ada lembaga sosial tetapi belum berjalan secara optimal dan masih dalam jumlah yang terbatas. Dalam rangka rangka pengembangan wilayah pesisir diperlukan keberadaan lembaga-lembaga sosial sebagai kontrol dan dapat mempercepat pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Munculnya atribut sensitif
kedua, mengenai keberadaan lembaga
keuangan mikro, di wilayah ini masih banyak persoalan keuangan skala mikro tidak terselesaikan hal ini terjadi karena lembaga ini belum berjalan optimal dan dalam jumlah yang sangat terbatas sehingga persoalan-persoalan skla mikro banyak tidak terselesaikan, sehingga masalah proses produksi banyak terhambat.
Untuk
pengembangan
wilayah
pesisir
secara
berkelanjutan,
keberadaan lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan untuk menangani persoal-persoalan keuangan skala mikro terutama yang menyangkut proses produksi. Adapun nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosisal budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan, seperti pada Gambar 48. Berikut;
8
Root Mean Square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
140
Ekologi (47.12 %)
100
80 60
Hukum dan Kelembagaan (50.74 %)
40
Ekonomi (53.89 %)
20 0
Infrastruktur dan Teknologi (13.28 %)
Sosial dan Budaya (34.82 %)
Gambar 48. Diagram layang (kite diagram) nilai Indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar
f. Status Keberlanjutan Multidimensi Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir saat ini (existing condition), sebesar 41,09 persen dan termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. ini berarti bahwa jika dilihat dari sisi strength sustainibility, dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Kota Makassar termasuk dalam kategori belum berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir, karena masih ada dimensi keberlanjutan berada pada kategori kurang berkelanjutan atau tidak berkelanjutan, yaitu dimensi ekologi, sosial budaya, infrstruktur dan teknologi. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 52 atribut dari lima dimensi keberlanjutan. Dari 52 atribut yang dianalisis, terdapat 14 atribut sensitif berpengaruh atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar. Atribut-atribut yang perlu diintervensi meliputi atribut intensitas konversi lahan perikanan, kondisi prasarana jalan desa, ketersediaan informasi zona agroklimat dan produktifitas usaha perikanan (dimensi ekologi), kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB kota Makassar dan
kelayakan usaha perikanan
(dimensi ekonomi), pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan, peran masyarakat adat dalam perikanan, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan (dimensi sosial budaya), dukungan sarana dan prasarana jalan, tingkat penguasaan teknologi perikanan
141 (dimensi infrastruktur dan teknologi), ketersediaan lembaga sosial, keberadaan lembaga keuangan mikro, mekanisme lintas sektoral dalam pengembangan wilayah pesisir (dimensi hukum dan kelembagaan) perbaikan terhadap atribut-atribut tersebut merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh stakeholder yang terkait dalam pengembangan wilayah pesisir, namun yang paling penting adalah peran dari pemerintah, baik pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, maupun pemerintah Kota Makassar sebagai fasilitator dalam membuat program pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar dan selanjutnya menyerahkan kepada masyarakat setempat untuk pengembangannya secara mandiri. Untuk melihat tingkat kesalahan dalam analisis MDS dengan RapCOASTALMAK, dilakukan analisis Monte Carlo, analiss ini dilakukan pada tingkat kepercayaan sekitar 95 persen. Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo, menujukkan bahwa kesalahan dalam analisis MDS dapat diperkecil. Ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks pada analisis Monte Carlo.
Ini berarti, kesalahan dalam proses
analisis dapat diperkecil. Ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indek pada analisis Monte Carlo. Ini berarti, kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring seiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dikaukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan nalisis Rap-COASTALMAK (MDS) dengan analisis monte carlo Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial dan Budaya Infrastruktur dan Teknologi Hukum dan Kelembagaan Multidimensi Sumber : Data diolah tahun 2008
MDS 47,13 53,89 34,82 13,28 50,74 41,09
Monte Carlo 47,72 54,05 35,78 15,21 49,69 42,19
Perbedaan 0,59 0,16 0,96 1,93 1,05 1,10
Untuk mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, dilihat
142 dari nilai stress dan nilai koefisien determinasi (R). Nilai ini diperoleh secara otomatis dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap-COASTALMAK. hasil analisis dianggap akurat dan dapat dipertanggung jawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai koefisien determinasi (R) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Hasil analisis MDS dengan RapCOASTALMAK menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggung jawabkan.
Ini terlihat dari nilai stress yang hanya
berkisar antara 12 sampai14 persen dan nilai koefisien determinasi (R)yang diperoleh berkisar 0,93 sampai 0,95.
Adapun nilai stress dan koefisien
determinasi seperti Tabel 25. berikut. Tabel 25. Hasil analisis Rap-COASTALMAK untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) Parameter Stress R2 Iterasi
A 0,122 0,946 3
B 0,127 0,942 3
Dimensi Keberlanjutan C D E 0,136 0,133 0,139 0,939 0,925 0,952 3 3 3
F 0,115 0,936 3
Keterangan : A = Dimensi ekologi, B = Dimensi ekonomi, C = Dimensi sosial-budaya, D = Dimensi infrastruktur-teknologi, E = Dimensi hukumkelembagaan, dan F = multidimensi Sumber : Data diolah tahun 2008
Berdasarkan hasil analisis MDS dengan Rap-COASTALMAK wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir dapat disimpulkan sebagai berikut. Secara
multidimensi,
wilayah
pesisir
Kota
Makassar
untuk
pengembangan kawasan pesisir termasuk dalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 41,09 %. Status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar pada setiap dimensi masing-masing dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan (47,13%), dimensi ekonomi cukup berkelanjutan (53,89%), dimensi sosialbudaya kurang berkelanjutan (34,82 %), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan
(13,28 %) dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup
berkelanjutan (50,74 %) Atribut-atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu diintervensi terhadap peningkatan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk
143 pengembangan wilyah pesisir sebanyak 14 atribut dari 52 atribut yang meliputi intensitas konversi lahan perikanan, kondisi prasarana jalan desa, ketersediaan informasi zona agroklimat,dan produktifitas usaha perikanan (dimensi ekologi), kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Makassar, kelayakan usaha perikanan (dimensi ekonomi), pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan, peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan (dimensi sosial budaya), dukungan sarana dan prasarana jalan, tingkat penguasaan teknologi perikanan (dimensi infrastruktur dan teknologi), ketersediaan lembaga sosial,keberadaan lembaga keuangan mikro, mekanisme lintas sektoral dalam pengembangan wilayah pesisir ( dimensi hukum dan kelembagaan) Dalam analisis multi-dimensional (MDS) dengan Rap-COASTALMAK pengaruh galat dapat diperkecil pada taraf kepercayaan 95 persen. demikian,
analisis
dengan
Rap-COASTALMAK
ini
dapat
Dengan
dipakai
untuk
mengeveluasi tingkat keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir. Untuk mempertahankan dan meningkatkan status keberlanjutan kedepan, perlu dilakukan intervensi (perbaikan) terhadap atribut yang berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan wilayah dengan mengacu pada indikator pembangunan berkelanjutan sebagaimana ditetapkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (2004) dan Commision on Sustainable Development/CSD (2001) yang disesuaikan dengan rencana pengembangan wilayah pesisir. Perlu diprioritaskan perbaikan atribut pada dimensi keberlanjutan yang mempunyai indeks keberlanjutan yang lebih rendah, yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial dan budaya, serta dimensi infrastruktur dan teknologi, sedangkan dimensi ekonomi dan hukum dan kelembagaan berdasarkan kondisi existing, nilai indekks keberlanjutan kedepan dapat dipertahankan atau lebih ditingkatkan. Perbaikan terhadap atribut-atribut sebaiknya tidak hanya dilakukan pada atribut yang sensitif berpengaruh terhadap peningkatan status keberlanjutan, tetapi juga atribut-atribut yang tidak sensitif agar status keberlanjutan wilayah pesisir dapat ditingkatkan mendekati nilai indeks keberlanjutan 100 persen. Tentunya dengan pertimbangan kemampuan finansial, waktu, dan tenaga.
144 5. 2. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kota Makassar diarahkan untuk pengembangan 9 peruntukan yaitu (i) pemukiman (ii) industri (iii) budidaya tambak (iv) pelabuhan umum, (v) pelabuhan pantai, (vi) pariwisata pantai (vii) budidaya karamba jaring apung, (viii) budidaya rumput laut dan (ix) konservasi Analisis
didasarkan
atas
faktor
pembatas
untuk
masing-masing
peruntukan ditinjau dari aspek biofisik. Analisis ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan atau kesesuaian lahan untuk pengembangan dari kesembilan peruntukan tersebut
diatas.
Hasil analisis kesesuaian lahan dikelompokkan
kedalam empat kategori/kelas, yaitu (i) sangat sesuai (S1), (ii) sesuai (S2), (iii) sesuai bersyarat (S3), dan (iv) tidak sesuai (N). Berdasarkan analisis spasial dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) dengan cara tumpan susun (overlay) diperoleh hasil kesesuaian lahan untuk masing-masing peruntukan sebagai berikut.
1. Kesesuaian Lahan untuk kawasan Pemukiman Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman meliputi 6 parameter yaitu: (i) kemiringan lahan (ii) ketersediaan air tawar (iii) jarak dari pantai, (iv) jarak dari sarana jalan, (v) land use dan (vi) drainase. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 8 kecamatan yang mempunyai akses langsung dengan wilayah pesisir Kota Makassar, ternyata kategori sangat sesuai seluas 6.662,6 ha, kategori sesuai seluas 4.176,5 ha, kategori sesuai bersyarat seluas 1.001,4 ha, dan kategori tidak sesuai seluas 419,8 ha, untuk lebih jelasnya luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman dapat dilihat pada Tabel 26, sedangkan peta lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman dapat dilihat pada Gambar 49.
145 119°16'
119°20'
119°24'
119°28'
119°32'
Kesesuaian Permukiman
P. Bonetambung P. Barrang Lompo
5°4'
5°4'
P. Barrang Caddi
BIRINGKANAYA TAMALANREA
P. Kodingareng Keke
UJUNGTANAH P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
TALLO
5°8'
5°8'
WAIO P. Lae-lae
UJUNGPANDANG P. Kodingareng Lompo U
MARISO B
T S
119°20'
2 Km
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut
TAMALATE
119°16'
0
119°24'
119°28'
119°32'
Gambar 49. Peta kesesuaian lahan untuk pemukiman di lokasi penelitian Tabel 26 . Luas dan Lokasi Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Kecamatan
Biringkanaya
Tidak Sesuai (Ha)
Sesuai Bersyarat (Ha)
Sesuai (Ha)
Sangat Sesuai (Ha)
JUMLAH
(Ha)
11,7
23,8
1.360,5
2.553,4
3.949,3
5,5
6,8
56,4
217,4
286,1
Tallo
49,9
171,6
112,0
498,9
832,4
Tamalanrea
78,0
696,8
1.366,8
1.601,9
3.743,5
249,9
100,0
1.259,9
1.105,5
2.715,3
0,0
-
3,1
285,1
288,3
24,9
2,3
17,8
206,9
252,0
0,0
-
0,0
193,4
193,5
1.001,4
4.176,5
Mariso
Tamalate Ujungpandang Ujungtanah Waio JUMLAH
419,8
6.662,6 12260,4
5°12'
5°12'
2
146 Pengembangan
pemukiman
di
Kawasan
pesisir
Kota
Makassar
dimaksudkan sebagai pengembangan seluruh fasilitas yang terkait sebagai satu kesatuan dalam pemukiman penduduk.
Hal tersebut mengacu pada definisi
pemukiman menurut BAPPENAS (2000) yaitu penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk pengembangan perumahan, sarana dan prasarana umum, perdagangan, perkantoran, fasilitas rekreasi, dan yang banyak berhubungan dengan aktifitas kehidupan masyarakat. Berdasarkan registrasi penduduk tahun 2007, jumlah penduduk Kota Makassar mencapai 1.235.239 jiwa, dengan perincian yaitu; Kecamatan Mariso 53.828 jiwa, Kecamatan Mamajang 59.533 jiwa, Kecamatan Tamalate 150.014 jiwa, Kecamatan Rappocini 140.822 jiwa, Kecamatan Makassar 81.645 jiwa, Kecamatan Ujung Pandang 28.206 jiwa, Kecamatan Wajo 34.504 jiwa, Kecamatan Bontoala 60.850 jiwa, Kecamatan Ujung Tanah 47.723 jiwa, Kecamatan Tallo 133.426 jiwa, Kecamatan Panakkukang 132.479, Kecamatan Manggala 97.556, Kecamatan Biringkanaya 126.839 jiwa, dan Kecamatan Tamalanrea 87.817 jiwa. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar tahun 2005 – 2010 dan kondisi exsisting maka, wilayah kecamatan Makassar dan kecamatan Ujung Pandang diarahkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, pelabuhan laut dan peti kemas, industri kimia serta penataan kembali perumahan penduduk. Wilayah Kecamatan Makassar
dan Kecamatan Ujung Pandang
diarahkan
untuk perdagangan dan jasa, pusat pemerintahan Kota Makassar, transportasi regional
dan pengembangan pemukiman. Sedangkan wilayah Kecamatan
Panakukang, Biringkanaya dan Tamalanrea diarahkan untuk pusat pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan, pusat pendidikan, industri dan parawisata. Pembangunan pemukiman merupakan jenis pembangunan fisik yang paling berkembang, sebagai akibat dari perkembangan perekonomian kota dan pertambahan jumlah penduduk.
Dalam pengembangan kawasan pemukiman
diwilayah pesisir Kota Makassar, ada beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain, masih terbatasnya kemampuan daerah dalam upaya memperbaiki lingkungan pemukiman, belum meratanya penyediaan fasilitas, tingginya laju pertumbuhan
penduduk
di
wilayah
perkotaan
yang
berdampak
pada
ketidakseimbangan lahan dan jumlah penduduk, serta kepadatan yang tinggi pada lingkungan perkotaan.
147 Penduduk yang selama ini berdomisili di wilayah pesisir, menggunakan lahan hanya mempertimbangkan kemudahan dalam memanfaatkan sumberdaya alamnya saja. Hal tersebut diiringi dengan terbatasnya sarana dan prasarana serta informasi tentang potensi sumberdaya dan lingkungan. Fenomena tersebut mendorong tumbuhnya pemukiman
dan usaha-usaha penanganan atau
pengelolaan sumberdaya alam dengan mengutamakan jarak yang mudah dicapai dan dekat dengan pasar , namun dilakukan secara tidak terkendali dan tidak terencana. Hal ini mengakibatkan perkembangan tata ruang wilayah tidak terintegrasi dan tidak terarah serta terkesan tradisional dan kumuh. Menurut Dahuri et al (2000), bentuk dan hakekat pemukiman di wilayah pesisir harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologis pesisir secara menyeluruh. Hal yang sangat mendesak adalah kebutuhan yang meningkat akan pemukiman dewasa ini, menuntut pengaturan tata ruang pemukiman diwilayah pesisir
secara terpadu dan
berwawasan lingkungan. Tata ruang pemukiman di wilayah pesisir yang tidak terpadu dan tidak berwawasan lingkungan akan menyebabkan degtradasi mutu lingkungan, dalam bentuk erosi, sedimentasi,abrasi, pencemaran lingkungan dan banjir. Beberapa petunjuk yang harus dilakukan dalam pengembangan kawasan pemukiman di wilayah pesisir menurut Dahuri et. al (2000) petunjuk pelaksanaan tersebut meliputi daerah vital, pengelolaan limpasan air (run off) dan pengelolaan daerah banjir serta rawan bencana. Banyak komponen ekosistem di wilayah pesisir merupakan komponen vital dan peka terhadap gangguan perubahan lingkungan. Daerah-daerah vital tersebut seperti ekosistem hutan mangrove dan sistem aliran air alami harus dibebaskan dari berbagai jenis pemanfaatan, kecuali kegiatan rekreasi, seperti wisata bahari yang tidak menimbulkan perubahan lingkungan.
Semua kegiatan dan pengembangan pemukiman harus dibawah
pengawasan dan tidak menyebabkan terjadinya degradasi mutu lingkungan seperti kualitas,volume, dan kelancaran air, maupun sistem drainase alami dan sumber lainnya. Sistem aliran air dan drainase alami merupakan bagian integral dari ekosistem di wilayah pesisir, oleh sebab itu harus dikelola dengan baik dan dicegah terhadap perubahan-perubahan yang merusak.
148 2. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Industri Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan industri meliputi 5 parameter, yaitu; (i) kemiringan lahan, (ii) jarak dari jalan (iii) ketersediaan air tanah, (iv) drainase dan (v) land use. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 8 kecamatan di wilayah pesisir Kota Makassar ternyata kategori sangat sesuai seluas 2.493,4 ha, kategori sesuai seluas 6.867,6 ha, dan kategori tidak sesuai seluas 1.804,7. ha untuk lebih jelasnya luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri dapat dilihat pada tabel 27. Sedangkan peta kesesuaian lahan untuk kawasan industri dapat dilihat pada Gambar 50. 119°18'
119°21'
119°24'
119°27'
119°30'
119°33'
Kesesuaian Industri 5°3'
5°3'
P. Bonetambung P. Barrang Lompo
P. Barrang Caddi
5°6'
5°6'
BIRINGKANAYA TAMALANREA
P. Kodingareng Keke
UJUNGTANAH P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
WAIO
TALLO
P. Lae-lae
5°9'
5°9'
UJUNGPANDANG Kodingareng Lompo U
MARISO B
T S
5°15'
119°24'
119°27'
119°30'
119°33'
Gambar 50. Peta kesesuaian lahan untuk kawasan industri di lokasi penelitian
5°15'
119°21'
2 Km
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut
TAMALATE
119°18'
0
5°12'
5°12'
2
149 Tabel. 27.
Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri
Kecamatan
Tidak Sesuai (Ha)
Sesuai Bersyarat (Ha)
Sesuai (Ha)
Sangat Sesuai (Ha)
Biringkanaya
274.7
389.9
2,476.7
Mariso
13.7
69.0
203.4
286.1
Tallo
285.1
47.8
499.5
832.4
Tamalanrea
912.4
446.0
1,791.1
594.0
3,743.5
Tamalate
293.3
135.7
1,194.9
1,091.3
2,715.3
Ujung pandang
0.0
0.0
288.2
288.3
Ujung tanah
25.5
6.3
220.3
252.0
Waio
0.0
0.0
193.4
193.5
JUMLAH
1,804.7
1,094.7
6,867.6
808.0
JUMLAH (Ha)
2,493.4
3,949.3
12,260.4
Tabel 28. Kesesuaian Lahan dibanding RTRW
Kecamatan
Tidak Sesuai (Ha)
Biringkanaya
Sesuai Bersyarat (Ha) 53.440
Sesuai (Ha)
Sangat Sesuai (Ha)
135.9
15.5
Tallo
0.0
0.0
37.9
Tamalanrea
0.4
23.2
252.2
Ujungtanah
0.0
JUMLAH
0.4
76.6
204.9 37.9
77.6
8.9 434.9
JUMLAH (Ha)
353.4 8.9
93.1
605.0
Pembangunan industri bertujuan untuk memperluas kesempatan kerja, pemerataan kesempatan berusaha, meningkatkan eksport dalam menunjang pembangunan daerah dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan energi serta sumberdaya manusia sejalan dengan hal tersebut, maka dewasa ini pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membuka berbagai kegiatan dalam bidang industri karena ditunjang oleh ketersediaan dan kesesuain lahan yang tinggi.
150 Pada kegiatan pengembangan industri harus mempertimbangkan jenis industri yang akan dikembangkan, karakter dan volume limbah yang dihasilkan dan metode atau teknik pengolahan limbah.
Untuk menentukan lokasi
pembuangan limbah industri harus diatur sedemikian rupa, sehingga relatif kecil pengaruhnya terhadap lingkungan. Beberapa pedoman dalam kaitannya dengan pengendalian limbah industri
harus memiliki kriteria antara lain (i) tidak
mencemari lingkungan sekitarnya, (ii) tidak mengganggu baik secara higienis maupun secara estetika (iii) terhindar dari pengaruh banjir, dengan demikian buangan limbah industri mempunyai pengaruh yang minim terhadap kerusakan lingkungan. Buangan limbah industri mempunyai potensi merusak lingkungan, selain bersifat toksik terhadap organisme laut.
Semua jenis limbah industri
terutama yang bersifat toksik dilarang dibuang ke sungai, saluran, estuaria, perairan pantai maupun daerah lepas pantai tampa melalui proses pengolahan limbah terlebih dahulu.
Buangan limbah industri dari hasil pengolahan harus
memenuhi ketentuan standar baku mutu yang berlaku. (RTRW Kota Makassar 2005-2015) Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar 20052015 sektor industri merupakan salah satu sektor pengembangan perekonomian Kota Makassar yang perlu dipacu pertumbuhan dan perkembangannya. Sektor industri yang potensil untuk dikembangkan adalah industri hasil perikanan dan pertanian (agro industri) baik dalam skala kecil, menengah maupun besar, dalam mendukung sektor industri tersebut, maka perlu juga direncanakan industri pendukung
dalam bentuk industri pengolahan air mineral, industri kerajinan,
bahkan industri kimia dan logam. Mengantisipasi kebutuhan kebutuhan pengembangan sektor
industri
tersebut, maka setiap jenis industri dalam struktur tata ruang Kota Makassar, perlu memiliki ruang masing-masing dengan penempatan pada suatu kawasan yang sesuai dengan kriteria kesesuaian lahannya, sehingga dapat tercipta aglomerasi kegiatan yang sejenis.
yang diharapkan dapat meningkatkan
efisiensi, baik dari segi hubungan antar industri, penyediaan dan pemanfaatan fasilitas. maupun yang bersifat organisasi dan koordinasi. Pengembangan kegiatan industri di wilayah pesisir Kota Makassar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, disatu sisi akan memberikan keuntungan pada lingkungannya, yakni menyerap tenaga kerja, memperlancar pemenuhan kebutuhan serta meningkatkan perekonomian.
Pada sisi lain
151 kegiatan industri akan menghasilkan buangan limbah yang dapat mengganggu keseimbangan lingkungan.
Hasil analisis spasial tersebut diatas kegiatan-
kegiatan industri yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di wilayah pesisir Kota Makassar dapat dialokasikan untuk kegiatan industri karena didukung oleh tingkat kesesuaian dan kesediaan lahan yang tinggi, sehingga dimasa yang akan datang dapat menunjang tingkat pendapatan asli daerah (PAD) Dalam penentuan lokasi yang potensil bagi kawasan industri perlu mempertimbangkan segi keuntungan ekonomis yang diperoleh apabila suatu industri berlangsung di tempat tersebut dibandingkan dengan tempat lainnya, kriteria ekonomis dalam menilai faktor lokasi yaitu; (i) orientasi bahan baku, (ii) sifat pengolahan industri (iii) orientasi pemasaran dan (iv) kemudahan memperoleh tenaga kerja dan aglomerasi serata deglomerasi, selain kriteria ekonomi tersebut, masih ada masih ada kriteria lain yang perlu dipertimbangkan dalam penempatan suatu jenis industri yaitu; (i) bagi industri yang tidak mengelola sumberdaya alam dapat ditempatkan
di wilayah perkotaan dan
kawasan industri, dan (ii) bagi industri yang mengolah sumberdaya alam harus ditempatkan di kawasan industri. Kegiatan industri yang berskala besar saat ini di wilayah pesisir Kota Makassar adalah industri pengolahan hasil perikanan dan industri pengolahan kayu. Potensi sumber pencemaran air di wilayah pesisir Kota Makassar dapat berasal dari kawasan industri, kawasan pemukiman, rumah sakit, perhotelan, kegiatan pertanian dan kegiatan pertambakan. Kegiatan-kegiatan ini memiliki potensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya.
Walaupun pemerintah telah menyediakan atau
menentukan suatu kawasan industri, namun hingga saat ini terdapat industri yang didirikan tidak sesuai seperti yang telah disediakan oleh pemerintah. Limbah industri sebagian besar mengalir ke parairan pantai Makassar, limbah yang terbuang tersebut terdiri dari cairan organik, cairan limbah pengolahan hasil perikanan dan pertanian, plastik, kaleng, pestisida dan sampah alami (derbis) yang dihasilkan penduduk di sekitar wilayah pantai yang banyak ditemukan sampah dan limbah rumah tangga yang berpotensi mencemari lingkungan.
152 3. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak meliputi 7 parameter, yaitu (i) salinitas perairan, (ii) jenis tanah, (iii) jarak dari sungai (iv) jarak dari jalan, (v) jarak dari pantai, (vi) landuse, dan (vii) kemiringan lahan Tabel 29. luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak Tidak Sesuai (Ha) Biringkanaya 1.995,9 Mariso 0,2 Tallo 82,8 Tamalanrea 618,8 Tamalate 761,8 Ujungpandang 31,2 Ujungtanah 114,6 Waio 187,4 JUMLAH 3.792,7
Kecamatan
119°16'
119°20'
Sesuai Bersyarat (Ha) 17,5 198,2 207,4 132,5 19,6 225,6 54,5
Sesuai (Ha) 1.836,7 270,3 2.230,8 1.455,7 16,1 37,6 6,1 5.853,2
855,2
119°24'
Sangat Sesuai (Ha) 99,2 87,7 271,9 761,5 478,3 15,4 45,2 1.759,3
JUMLAH (Ha) 3.949,3 286,1 832,4 3.743,5 2.715,3 288,3 252,0 193,5 12.260,4
119°28'
119°32'
Kesesuaian Tambak
P. Barrang Lompo
5°4'
5°4'
P. Barrang Caddi
BIRINGKANAYA TAMALANREA
P. Kodingareng Keke
UJUNGTANAH P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
P. Lae-lae
TALLO
5°8'
5°8'
WAIO
UJUNGPANDANG
. Kodingareng Lompo
MARISO
U B
T S
119°20'
119°24'
2 Km
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut
TAMALATE
119°16'
0
119°28'
119°32'
Gambar 51. Peta kesesuain lahan untuk budidaya tambak di lokasi penelitian
5°12'
5°12'
2
153 Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 8 kecamatan di wilayah pesisir Kota Makassar ternyata kategori sangat sesuai seluas 1.759,3 ha, kategori sesuai seluas 5.853,2 ha dan kategori tidak sesuai seluas 3.792,7 ha.
Untuk lebih jelasnya luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan
budidaya tambak dapat dilihat pada tabel 29. Sedangkan peta lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak dapat dilihat pada Gambar 51. Dalam program pengembangan tambak yang berwawasan lingkungan dan bernuansa wisata tetap menjadi prioritas pemerintah daerah Kota Makassar dan upaya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Kota Makassar yang berorientasi pembangunan yang aman dan lestari dengan sasaran pada 2 aspek yaitu aspek produksi dan aspek wisata tambak sasaran aspek produksi adalah untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan produksi tambak yang sudah dicapai selama ini, sedangkan sasaran
aspek wisata tambak adalah untuk
memberikan nilai tambah terhadap lahan pertambakan yang ada agar dapat berfungsi ganda, yakni disamping sebagai sarana produksi
sekaligus juga
sebagai sarana obyek wisata yang merupakan ungkapan yang merefleksikan sekaligus mengabadikan
kebanggaan, potensi dan kekhasan Kota Makassar
yakni hutan mangrove yang merupakan green belt
yang melingkari Kota
Makassar yang memiliki fungsi-fungsi fisik, ekologis, dan sosial ekonomi yang menjadi andalan jaminan keberlangsungan kota.
4. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum meliputi 6 parameter, antara lain 5 parameter untuk wilayah perairan yaitu kedalaman perairan, material dasar perairan, tinggi gelombang, kecepatan arus dan keterlindungan, serta 1 parameter untuk wilayah daratan yaitu kemiringan lahan. Analisis kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum dilakukan dengan cara menggabungk an wilayah daratan dengan wilayah perairan sesuai kriteria kesesuaian lahannya. Berdasarkan analisis spatial yang dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa total luas lahan yang sangat sesuai adalah 51,3 ha, lahan yang sesuai seluas 42,5 ha, dan lahan tidak sesuai seluas 11.876,2 ha. Untuk lebih jelasnya luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum dapat dilihat pada Tabel 30, sedangkan peta lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum dapat dilihat pada Gambar 52.
154 119°16'
119°20'
119°24'
119°28'
119°32'
Kesesuaian Pelabuhan Umum
P. Bonebatang
5°00'
5°00'
119°12'
P. Bonetambung P. Barrang Lompo
5°4'
5°4'
P. Barrang Caddi
BIRINGKANAYA TAMALANREA
P. Kodingareng Keke
UJUNGTANAH P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
5°8'
TALLO
5°8'
WAIO P. Lae-lae
UJUNGPANDANG P. Kodingareng Lompo
MARISO
U B
5°16'
119°20'
2
4 Km
119°24'
119°28'
119°32'
Peta kesesuaian lahan untuk pelabuhan umum di lokasi penelitian
Tabel 30. Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum Tidak Sesuai (Ha) Biringkanaya 3.908,4 Mariso 268,7 Tallo 817,0 Tamalanrea 3.649,8 Tamalate 2.656,3 Ujungpandang 246,7 Ujungtanah 170,8 Waio 158,5 JUMLAH 11.876,2 Kecamatan
Sesuai Bersyarat (Ha) 14,8 16,8 14,0 63,7 48,4 41,5 56,3 34,887 290,3
Sesuai (Ha) 14,8 0,2 0,026 27,4 0,0 0,0 0,0 42,5
Sangat Sesuai (Ha) 11,3 0,5 1,4 2,6 10,6 24,8 51,3
JUMLAH (Ha) 3.949,3 286,1 832,4 3.743,5 2.715,3 288,3 252,0 193,5 12.260,4
Pelabuhan-pelabuhan laut di Kota Makassar merupakan entry gate yang sangat penting bagi pendistribusian barang kebutuhan konsumsi, produksi dan konstruksi di berbagai daerah di Sulawesi Selatan.
Melalui pelabuhan Kota
Makassar distribusi barang kebutuhan dan penumpang sebagian disalurkan melalui transportasi darat dan selebihnya melalui laut.
Pelabuhan laut Kota
Makassar juga merupakan gerbang ekspor keluar negeri (Terutama Taiwan dan Jepang) dan berbagai wilayah dalam negeri untuk komoditas pertanian dan
5°16'
Gambar 52.
119°16'
S
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut
TAMALATE
119°12'
T
0
5°12'
5°12'
2
155 perikanan, produk asal Sulawesi Selatan, terutama ikan beku, udang beku, coklat, kopra dan kayu gergajian. Besarnya volume lalulintas kapal penumpang dan barang dari dan menuju Kota Makassar, merupakan indikator tingkat kemudahan pencapaian Kota Makassar, menggunakan moda laut, serta pengaruhnya terhadap bagianbagian lain di Kota Makassar. Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan tersebut diatas diketahui bahwa total luas perairan yang sangat sesuai untuk dilalui kapal adalah seluas 51,3 ha2 dan total luas daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan adalah 42,5 ha perairan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki kedalaman perairan > 9 m, material dasar perairan adalah lempung berpasir, tinggi gelombang 0 – 20 cm, kecepatan arus 0 – 20 cm/det, amplitudo pasut 0 – 0,5 m, tipe pasut harian tunggal dan keterlidungannya adalah pada daerah yang perairannya sangat terlindung, untuk daratan kemiringan lahannya 0 - 2 %.
5. Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Pantai Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan pantai meliputi 12 parameter antara lain 7 parameter untuk perairan yaitu kedalaman perairan, tinggi gelembung, amplitudo pasut, tipe pasut tinggi gelombang, material dasar perairan dan keterlindungan ; 2 parameter untuk daratan yaitu kemiringan lahan dan fasilitas transportasi serta 3 parameter untuk teknis perikanan yaitu produktifitas perikanan, jarak dari fishing ground dan jarak ke pemukiman nelayan. analisis kesesuaian lahan kawasan pelabuhan perikanan dilakukan dengan cara menggabungkan wilayah daratan (kategori sesuai dengan luas 44,9 ha) dengan wilayah perairan sesuai kriteria kesesuaiannya serta pertimbangan teknis perikanan. Berdasarkan analisis spasial yang dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa total luas perairan yang sangat sesuai untuk dilalui kapal adalah 51,3 ha. Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakter sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan > 9 m, material dasar perairannya lempung berpasir, tinggi gelombang 0 – 20 cm, kecepatan arus 0 – 20 cm/detik, amplitudo pasut 0 – 0,5 m. Tipe pasut harian tunggal dan keterlindungannya adalah pada daerah yang perairannya sangat terlindung; untuk daratan, kemiringan lahannya 0 – 2 % dan untuk fasilitas transportasi diberikan nilai 3
156 pada daerah yang sarana dan prasarana transportasinya telah tersedia dan dapat diakses dengan mudah, sedangkan untuk sisi teknis perikanan, produktifitas perikanan > 800 ton/tahun, jarak dari fishing ground < 5 m, jarak ke pemukiman nelayan < 5 km. Kawasan pelabuhan perikanan yang termasuk kategori sesuai, total luas perairan yang sesuai untuk dilalui oleh kapal adalah 44,9 ha, dan total luas daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan adalah 44,9 ha. Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakter kedalaman 6 – 9 m, material dasar perairannya adalah pasir berlumpur, tinggi gelombang 21 – 40 cm. Kecepatan arus 21 – 30 cm/detik, amplitudo pasut 0,6 – 1,5 m, tipe pasut adalah campuran tunggal dan keterlindungan adalah pada daerah yang perairannya terlindung. Kemiringan lahan daratnya
0 – 2 % untuk fasilitas
transportasi diberikan nilai 2 pada daerah yang dekat dengan sarana prasarana yang telah tersedia. Pada kegiatan perikanan, produktifitas perikanannya mencapai 600 – 800 ton/tahun, dan untuk kegiatan perikanan ini jarak dari fishing ground 6 – 12 mil dan dari pemukiman nelayan 5 – 10 km. Adapun luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan pantai dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan pantai Kecamatan Biringkanaya Mariso Tallo Tamalanrea Tamalate Ujungpandang Ujungtanah Waio JUMLAH
Tidak Sesuai (Ha) 3.908,4 271,2 828,0 3.652,1 2.604,9 282,4 249,1 193,5 11.989,6
Sesuai Bersyarat (Ha) 26,1 14,9 4,3 85,0 4,7 5,9 2,9 143,8
Sesuai (Ha) 14,8 6,3 23,7 44,9
Sangat Sesuai (Ha) 82,0 82,0
JUMLAH(Ha) 3.949,3 286,1 832,4 3.743,5 2.715,3 288,3 252,0 193,5 12.260,4
Kawasan pelabuhan perikanan yang termasuk kategori sesuai bersyarat, total luas perairan yang sesuai bersyarat untuk dilalui oleh kapal adalah 143,8 ha dan total luas daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan adalah 44,9 ha. Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristisk sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan 3 – 6 meter, material dasar perairannya adalah pasir berkarang, tinggi gelombang 41 – 50 cm,
157 kecepatan arus 31 – 40 cm/detik amplituod pasut 1,6 – 2 m, tipe pasut adalah campuran ganda dan keterlindungannya adalah daerah yang perairannya terlindung tetapi cenderung terbuka, sedangkan untuk daratan kemiringan lahannya 0 – 2%, untuk fasilitas transportasindiberikan 1 pada daeha yang sarana dan prasarananya transportasi baru akan dibangun sedangkan untuk sisi teknis perikanan, produktifitas perikanan 400 – 500 ton/tahun, jarak dari fishing ground 12 – 15 mil dan jarak ke pemukiman nelayan 11 – 15 km. Kawasan pelabuhan perikanan yang termasuk kategori tidak sesuai total luas perairan yang tidak sesuai untuk dilalui oleh kapal adalah 44.989,6 ha . dan total luas daratan yang sesuai untuk sarana dan prasarana pelabuhan adalah 44,9 ha, perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan 3 meter, material dasar perairannya adalah karang, tinggi gelombang 50 cm kecepatan arus 40 cm/detik, amplituod pasut 2 meter, tipe pasut adalah campuran ganda dan berada pada daerah yang perairannya terbuka, untuk daratan kemiringan lahannya 0 – 2% untuk fasilitas transportasi tidak diberikan nilai pada daerah yang belum ada fasilias transportasinya, sedangkan untuk sisi teknis perikanan, produktifitas perikanan < 400 ton/tahun, jarak dari fishing good > mil, dan jarak pemukiman nelayan > 15 km. Untuk jelasnya peta hasil kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan dapat dilihat pada Gambar 53. 119°16'
119°20'
119 °24'
119°28'
119°32'
Kesesuaian Pelabuhan P erikanan
P. Bon ebatang
5°00'
5°00'
119 °12'
P. Bon etam bung P. Barra ng Lom po
5°4'
5°4'
P. Barra ng Cadd i
B IR IN G K AN AY A TA M A LA N R E A
P. Kod ingareng Ke ke
U JU N G TA N AH P. Sam a lona
P. Lae-lae C add i
5°8'
TA LLO
5°8'
W A IO P. Lae-lae
U JU N G P A N D AN G P. Kod ingareng Lom po
M A R ISO
U B
5°16'
119°20'
119 °24'
2
4 Km
119°28'
119°32'
Gambar 53. Peta kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan
5°16'
119°16'
S
Pantai Sungai Jalan Batas K ecam atan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat S esuai Sesuai Sesuai B ersyarat Tidak Sesuai Laut
TAM ALA TE
119 °12'
T
0
5°12'
5°12'
2
158 6. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai Wilayah pesisir Kota Makassar sejak dulu terkenal sebagai restoran terpanjang dengan ciri khas pedagang kaki lima di sepanjang Pantai Losari dan memiliki pemandangan yang indah. untuk itu untuk pengembangan parawisata sangat baik disekitar kawasan Pantai Losari. Dalam rangka memenuhi hal tersebut,
maka Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuaian
lahan untuk kawasan pariwisata pantai
meliputi 5 parameter, antara lain
kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, jarak dari pantai dan penutupan lahan. Berdasarkan analisis spatial yang dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa total luas lahan pariwisata pantai yang sangat sesuai adalah 106 ha, lahan yang sesuai 260,8 ha, dan lahan yang tidak sesuai seluas 11.893,5 ha.
Untuk lebih jelasnya
luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk
kawasan pariwisata pantai dapat dilihat pada Tabel 32, sedangkan peta lokasi kesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai dapat dilihat pada Gambar 54. 1 1 9 °1 6 '
1 1 9 °2 0 '
1 1 9 °2 4 '
1 1 9 °2 8 '
1 1 9 °3 2 '
K e se s u a ia n W is ata
P . B o n e ta m b u n g
5°4'
5°4'
P . B a rra n g L o m p o
P . B a rra n g C a d d i
B IR IN G K A N A Y A T AM A LA N R EA
P . K o d in g a re n g K e k e
U JU N G TAN AH P . S a m a lo n a
P . L a e -la e C a d d i
TALLO
5°8'
5°8'
W A IO P . L a e -la e
U JU N G PA N D AN G P . K o d in g a re n g L o m p o U
M A R IS O B
T S
TAM ALATE
1 1 9 °1 6 '
1 1 9 °2 0 '
1 1 9 °2 4 '
0
2 Km
P a n ta i Sungai Ja la n B a ta s K e ca m a ta n B a ta s 4 n M B a ta s 1 2 n M S a n g a t S e su a i Sesuai S e s u a i B e rs ya ra t T id a k S e s u a i La u t
1 1 9 °2 8 '
1 1 9 °3 2 '
Gambar 54. Peta kesesuaian lahan untuk wisata pantai di lokasi penelitian
5°12'
5°12'
2
159 Tabel 32. Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai Kecamatan Biringkanaya Mariso Tallo Tamalanrea Tamalate Ujungpandang Ujungtanah Waio JUMLAH
Tidak Sesuai (Ha) 3.926,2 271,2 803,9 3.647,0 2.565,7 282,4 203,6 193,4 11.893,5
Sesuai Sesuai Bersyarat (Ha) (Ha) 22,2 8,2 25,9 96,5 75,7 5,9 26,4 260,8
Sangat Sesuai (Ha) 0,9 6,6 2,519 0,0 73,9 0,0 22,0 0,0 106,0
JUMLAH (Ha) 3.949,3 286,1 832,4 3.743,5 2.715,3 288,3 252,0 193,5 12.260,4
Permasalahan umum dalam upaya mengembangkan sektor pariwisata di Kota Makassar antara lain -
belum maksimalnya usaha-usaha menggali dan mengembangkan obyekobyek wisata secara profesional
-
Masih terbatasnya sarana dan prasarana penunjang serta pemandu profesional
-
Masih terbatasnya investasi dari pihak swasta dan sub sektor pariwisata
-
Tenaga profesional di bidang parawisata belum tersedia secara memadai Secara umum kawasan parawisata Kota Makassar bisa dibagi kedalam
dua kawasan yaitu kawasan obyek wisata pegunungan (daratan) dan kawasan obyek wisata bahari yang memiliki obyek dan daya tarik wisata yang beragam, obyek wisata pegunungan (daratan) meliputi obyek wisata air terjun di Maros dan di Gowa. Obyek wisata flora dan fauna yang khas di Sulawesi Selatan serta beberapa bangunan bersejarah seperti Benteng Roterrdam, Benteng Somba Opu. Obyek wisata bahari meliputi obyek wisata Pantai Losari, Tanjung Bunga, Tanjung Bayam, Pulau Kayangan, dan Pulau Barang Lompo.
7. Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Karamba Jaring Apung Parameter yang digunakan dalam menganalisis kesesuain lahan untuk penangkaran ikan dengan karamba jaring apung, meliputi 9 parameter yaitu kedalaman air dari dasar jaring, temperatur perairan, salinitas, kecepatan arus, tinggi pasang surut, pH perairan, oksigen terlarut, nitrat dan posfat. Berdasarkan hasil
analisis spasial
yang dilakukan terhadap parameter tersebut diketahui
bahwa lahan yang sangat sesuai berada di sekitar perairan pantai Makassar.
160 Total luas perairan yang ternasuk kategori sangat sesuai adalah 699,9 ha (Tabel 33). Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman air dari dasar jaring > 10 meter, temperatur perairan 30 – 32oC, salinitas perairan > 30 permil, kecepatan arus 10 – 13 cm/detik, tinggi pasang surut > 1 m, PH perairan 8, oksigen terlarut > 6 ppt, kadar nitrat <0,1 mg/liter, dan kadar posfat < 0,1 mg/liter. Lahan yang termasuk pada kategori sesuai, total luas perairannya adalah 1.261,4 km2. perairan dengan kelas sesuai
dicirikan dengan karakteristik
sebagai berikut : memiliki kedalaman air dari dasar jaring 4 – 10 meter, temperatur perairan 28 – 30oC, salinitas perairan 20 – 30 permil, kecepatan arus 3,8 – 10 cm/detik, tinggi pasang surut 0,5 – 1 m, PH perairan 6 - 9, oksigen terlarut 3 – 5 ppt, kadar nitrat 0,1 – 0,9 mg/liter, dan kadar posfat 0,1 – 0,9 mg/liter. Lahan yang termasuk pada kategori sesuai bersyarat, total luas perairannya adalah 0 km2. perairan dengan kelas sesuai bersyarat dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman air dari dasar jaring 4 meter, temperatur perairan 28oC, salinitas perairan 20 permil, kecepatan arus 3,8 cm/detik, tinggi pasang surut 0,5 m, PH perairan <6 dan >9, oksigen terlarut <3 ppt, kadar nitrat >0,9 mg/liter, dan kadar posfat >0,9 mg/liter. Untuk jelasnya hasil analisis kesesuaian lahan, untuk karamba jaring apung dapat dilihat pada Gambar 55. 119 °15'
119 °18'
119 °21'
119 °24'
119 °27'
119 °30'
119 °33' 5°00'
5°00'
119°12'
K e s e s u a ia n K e ra m b a J a r in g A p u n g
P . B o n e b a ta n g
5°3'
5°3'
P . B o n e ta m b u n g P . B a r ra n g L o m p o
P . B a r ra n g C a d d i
5°6'
5°6'
B IR IN G K A N A Y A TAM ALANR EA
P . K o d in g a r e n g K e k e
U JU N G TA N A H P . S a m a lo n a
P . L a e - la e C a d d i
W A IO
TALLO
U JU N G P A N D A N G
5°9'
5°9'
P . L a e - la e P . K o d in g a r e n g L o m p o
U
M A R IS O B
T S
5°15'
119 °18'
119 °21'
119 °24'
4
Km
119 °27'
119 °30'
5°15'
119 °15'
2
P a n ta i Sungai J a la n B a ta s K e c a m a ta n B a ta s 4 n M B a ta s 1 2 n M S angat S esuai Sesuai S e s u a i B e rs y a ra t T id a k S e s u a i Laut
TAM ALATE
119°12'
0
5°12'
5°12'
2
119 °33'
Gambar 55. Peta Kesesuaian lahan untuk Karamba jaring apung di Lokasi Penelitian
161 Tabel 33. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan keramba jaring apung di lokasi penelitian Kategori lahan Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai JUML AH
8.
luas KJA (unit/ha) 699,9 1.261,4 108.158,2 110.119,6
Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Rumput Laut Parameter yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan
budidaya rumput laut meliputi 7 parameter yaitu : kedalaman perairan, material dasar perairan, temperatur perairan, salinitas, PH perairan, kecepatan arus, tinggi gelombang. Berdasarkan hasil analisis spasial (Tabel 34.) yang dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa lahan yang sangat sesuai adalah 324,3 Km2, perairan denga kelas sangat sesuai dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki kedalaman perairan 1,0 – 2,5 m, material dasar perairan adalah pasir, karang dan lamun, temperatur perairan 24 – 29oC, salinitas perairan 32 – 34 permil, pH perairan 7,5 – 8, kecepatan arus 20 – 30 cm/detik, dan tinggi gelombang 0 – 15 cm. Lahan dengan kategori sesuai total luas perairan adalah 1.639,3 Km2, perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki kedalaman perairan 2,5 – 2,7 m, material dasar perairan adalah pasir, karang dan lamun, temperatur perairan 29 - 30oC, salinitas perairan 30 – 32 permil, pH perairan 7 - 7,5 dan 8 – 8,5, kecepatan arus 30 – 40 cm/detik, dan tinggi gelombang 15 – 25 cm. Untuk kategori sesuai bersyarat total luas perairan adalah 108.049 Km2, perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki kedalaman perairan 2,7 - 10 m, material dasar perairan adalah berkarang, temperatur perairan
30 - 31oC, salinitas perairan 28 – 30 permil, dan tinggi
gelombang 25 – 35 cm. Untuk jelasnya analisis kesesuain lahan untuk budidaya rumput laut dapat dilihat pada Gambar 56.
162 119°16'
119°20'
119°24'
119°28'
119°32'
Kesesuaian Rumput Laut
5°00'
5°00'
119°12'
P. Bonebatang
P. Bonetambung P. Barrang Lompo
5°4'
5°4'
P. Barrang Caddi
BIRINGKANAYA TAMALANREA
P. Kodingareng Keke
UJUNGTANAH P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
TALLO
5°8'
5°8'
WAIO P. Lae-lae
UJUNGPANDANG P. Kodingareng Lompo
MARISO
U B
5°16'
119°20'
2
4 Km
119°24'
119°28'
119°32'
Gambar 56. Peta kesesuaian lahan untuk budidaya rumput Laut Tabel 34. Luas kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya rumput laut di Lokasi penelitian Kategori lahan Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai JUMLAH
9.
luas (ha) 324,3 1.639,3 108.049,0 106,9 110.119,6
Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Konservasi Parameter yang digunakan untuk menganalisis kesesuain lahan untuk
kawasan konservasi (mangrove dan terumbu karang) meliputi 8 parameter yaitu kemiringan lahan, jarak dari pantai, vegetasi pantai, vegetasi laut, temperatur perairan, salinitas, tekanan penduduk, dan aspirasi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameter tersebut diketahui bahwa total luas lahan kawasan yang sangat sesuai untuk konservasi mangrove adalah di pesisir pantai Kota Makassar dengan luas 7,3 Ha dan untuk konservasi karang adalah di perairan Pantai Kota Makassar dengan luas 32,9 Km2 (Tabel 35). Lahan dengan kelas ini dicirikan denga karakteristik
5°16'
119°16'
S
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan Batas 4 nM Batas 12 nM Sangat Sesuai Sesuai Sesuai Bersyarat Tidak Sesuai Laut
TAMALATE
119°12'
T
0
5°12'
5°12'
2
163 sebagai berikut : Kemiringan lahan 0 – 15 %, jarak dari pantai < 100 meter, vegetasi pantai adalah mangrove, vegetasi laut adalah karang hidup, temperatur perairan 29 – 30 oC, salinitas 30 – 32 permil, tekanan penduduk sangat serius, dan aspirasi masyarakat sangat mendukung. Lahan dengan kategori sesuai, luas kawasan untuk konservasi mangrove adalah seluas 32,9 Ha dan untuk konservasi terumbu karang adalah seluas 7,3 Km2. Lahan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut: Kemiringan lahan 15 - 25 %, jarak dari pantai 100 - 150 meter, vegetasi pantai adalah mangrove, vegetasi laut adalah karang hidup, temperatur perairan 30 – 33
o
C, salinitas 32 – 34 permil, tekanan penduduk serius, dan aspirasi
masyarakat mendukung. Lahan dengan kategori sesuai bersyarat, total luas kawasan untuk konservasi mangrove adalah seluas 180,2 Ha dan untuk konservasi terumbu karang adalah seluas 7 Km2. Lahan dengan kelas ini dicirikan denga karakteristik sebagai berikut: Kemiringan lahan 25 – 40 %, jarak dari pantai 150 - 200 meter, vegetasi pantai adalah mangrove, vegetasi laut adalah karang hidup, temperatur perairan 28 – 29 oC, salinitas 30 – 31 permil, tekanan penduduk kurang serius, dan aspirasi masyarakat kurang mendukung. Lahan dengan kategori tidak sesuai total luas kawasan untuk konservasi mangrove dan terumbu karang adalah seluas 11.961,9 Ha. Lahan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : Kemiringan lahan > 40 %, jarak dari pantai 200 meter, vegetasi pantai adalah mangrove dan semak belukar, vegetasi laut adalah karang mati, temperatur perairan 27 dan > 33 oC, salinitas < 30 dan < 34 permil, tekanan penduduk tidak serius, dan aspirasi masyarakat tidak mendukung. Untuk jelasnya hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang dapat dilhat pada Gambar 57. Mengingat wilayah/posisi Kota Makassar merupakan daerah yang sangat potensil dan sangat strategis untuk berbagai kegiatan pembangunan, maka untuk menjaga kelestarian sumber daya pesisir dan laut terutama ekosistem mangrove dan terumbu karang tersebut dalam kaitan dengan fungsinya sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah atau berkembang biak (spawning ground) dan tempat tumbuh besar atau pengasuhan (nursery ground) bagi sebagian besar biota laut, maka harus diperhatikan kaidah-kaidah pemanfaatan secara berkelanjutan antara lain:
164 •
Konversi terhadap ekosistem mangrove hanya dapat dilakukan sampai dengan batas 40% dari total luas kawasan mangrove yang ada.
•
Konversi terhadap ekosistem mangrove yang berada di pinggir sungai harus memperhatikan lebar sempadan yaitu > 100 meter.
•
Konversi terhadap ekosistem mangrove yang berada di pinggir pantai harus memperhatikan lebar sempadan pantai yaitu > 200 meter.
•
Penangkapan ikan karang dapat dilakukan di sekitar terumbu karang tetapi tidak boleh menggunakan bahan peledak (bom ikan) dan atau bahan beracun (potasium sianida). 119 °15'
119 °18'
119°21'
119 °24'
119 °27'
119 °30'
119 °33'
K e s e s u a ia n K o n s e r v a s i
5°00'
5°00'
119 °12'
P . B on e b a tan g
5°3'
5°3'
P . B on e ta m b u n g P . B a r ra n g L o m p o
P . B a r ra n g C a d d i
5°6'
5°6'
B IR IN G K A N A Y A TAM ALANR EA
P . K o d in g a r e n g K e k e
U JU N G T A N A H P . S a m a lo n a
P . L a e - la e C a d d i
W A IO
TALLO
P . L a e - la e
5°9'
5°9'
U JU N G PA N D A N G P . K o d in g a r e n g L o m p o U
M A R IS O B
T S
5°15'
119 °15'
119 °18'
119°21'
119 °24'
119 °27'
119 °30'
Gambar 57. Peta kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi Tabel 35 . Distribusi kesesuaian lahan untuk konservasi Kecamatan Biringkanaya Mariso Tallo Tamalanrea Tamalate Ujungpandang Ujungtanah Waio JUMLAH
Tidak Sesuai (Ha) 3.934,0 278,6 809,3 3.556,1 2.650,2 288,2 252,0 193,4 11.961,9
Sesuai Bersyarat (Ha) 0,2 7,0 22,0 158,0 10,8 198,0
Sesuai (Ha) 15,0 0,5 1,0 9,4 7,0 0,0 0,0 0,0 32,9
2
4 Km
Sangat Sesuai (Ha) 7,3 7,3
JUMLAH (Ha) 3.949,2 286,1 832,4 3.743,5 2.715,3 288,3 252,0 193,5 12.260,4
119 °33'
5°15'
119 °12'
0
P a n ta i Sungai J a la n B a ta s K e c a m a ta n B a ta s 4 n M B a ta s 1 2 n M S angat S esuai Sesuai S e s u a i B e rs y a ra t T id a k S e s u a i Laut
5°12'
5°12'
2
TAM ALATE
165 10. Kompilasi Lahan kawasan budidaya KJA dan budidaya Rumput laut Berdasarkan hasil peta kompilasi antara budidaya karamba jaring apung (kja) dan budidaya rumput laut di wilayah perairan pantai Makassar (Gambar. 58). terlihat bahwa luas wilayah budidaya karamba jaring apung sebesar 108.623,6 Ha dan luas budidaya rumput laut sebesar 1.496 Ha (Tabel 36) Tabel 36. Luas lahan budidaya karamba jaring apung dan budidaya rumput laut di wilayah pesisir pantai Makassar. No
Jenis budidaya
Luas lahan (Ha)
1.
Karamba jaring Apung (KJA)
2.
Rumput laut
108.623,6 1.496,0
Jumlah
119°15'
119°18'
119°21'
119°24'
119°27'
119°30'
119°33' 5°00'
5°00'
119°12'
110.119,6
Kompilasi Keramba Jaring Apung dan Rumput Laut
P. Bonebatang
P. Bonetambung
5°3'
5°3'
P. Barrang Lompo
P. Barrang Caddi
5°6'
5°6'
BIRINGKANAYA TAMALANREA
P. Kodingareng Keke
UJUNGTANAH P. Samalona
P. Lae-lae Caddi
WAIO
TALLO
P. Lae-lae
UJUNGPANDANG
5°9'
5°9'
P. Kodingareng Lompo U
MARISO B
T S
0
2
4 Km
5°12'
5°12'
2
TAMALATE
Pantai Sungai Jalan Batas Kecamatan 5°15' 119°12'
119°15'
119°18'
119°21'
119°24'
119°27'
119°30'
119°33'
Gambar 58. Peta kompilasi kawasan karamba jarring apung dan budidaya rumput laut
5°15'
KJA RUMPUT LAUT
166 5.3. ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR SECARA BERKELANJUTAN DI PERAIRAN PANTAI MAKASSAR Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya
wilayah ini merupakan suatu wilayah yang unik secara geologis,
ekologis, dan merupakan domain biologis
yang sangat penting bagi banyak
kehidupan di daratan dan di perairan, termasuk manusia (Beatley et al.,1994). Wilayah pesisir juga unik dari segi ekonomi karena wilayah ini menyediakan ruang bagi aktivitas manusia yang menghasilkan manfaat ekonomi yang besar (Cincin-Sain and Knecht, 1998). Selain itu, Wilayah pesisir merupakan mosaik dari ekosistem dan sumberdaya yang sangat beragam, sehingga pesisir merupakan wilayah yang strategis bagi kondisi ekonomi dan kesejahteraan sosial serta pembangunan negara (Cincin-Sain and Knecht, 1998). Salah satu wilayah pesisir yang penting secara ekonomi dan ekologi adalah wilayah pesisir Kota Makassar. Wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang memiliki ciri pemanfaatan beragam dan berkaitan satu sama lain.
Di
wilayah ini terdapat kegiatan ekonomi yang berbasiskan sumberdaya alam seperti perikanan, pelabuhan dan pariwisata bahari. Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan
berupa pencemaran
dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Berdasarkan hasil penelitian Monoarfa (2002), penyebab menurunnya kualitas perairan Kota Makassar diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di Kota, kegiatan industri di sekitar Kota Makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang serta sungai Tallo. Terpusatnya penduduk kota menghasilkan limbah yang cukup besar, baik limbah padat maupun limbah cair.
limbah tersebut masuk ke Wilayah perairan pantai
Makassar dan mengakibatkan pendangkalan pantai serta perubahan parameter kualitas air seperti kandungan DO, nilai BOD, nilai COD dan munculnya senyawa-senyawa beracun dan eutrofikasi. Adanya berbagai macam permasalahan tersebut maka diperlukan upaya pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar secara berkelanjutan agar ciri khas Kota Makassar sebagai ”water front city” akan tetap terjaga. Dalam pengelolaan tersebut tidak lepas dari tiga indikator utama dalam menejemen lingkungan yaitu adanya manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Upaya untuk meminimalkan
167 dampak negatif dari suatu pengelolaan wilayah pesisir serta memelihara kestabilan ekosistemnya dapat dilakukan dengan menyusun suatu rencana pengelolaan berwawasan lingkungan sehingga penataan kawasan tersebut dapat lebih optimal dan tidak melampaui daya dukungnya.
Dalam konteks
pengelolaan wilayah pesisir secara optimal dan berkelanjutan diperlukan arahan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (Dahuri, 2000). Makassar sebagai water front city memang sangat rentang terhadap barbagai perubahan, namun perubahan tersebut diharapkan bisa tetap memperhatikan aspek-aspek lingkungan karena kota pantai merupakan suatu ekosistem yang kompleks dan juga dinamis. Untuk itu suatu strategi kebijakan pengeloaan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kota Makassar perlu dilakukan agar lingkungan wilayah pesisir tersebut tetap terjaga. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus yaitu (1) mengidentifikasi faktor penentu di masa depan (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan Kebijakan Pembangunan wilayah Pesisir Kota Makassar
Pemanfaatan Potensi wilayah Pesisir secara Optimal dan Berkelanjutan
Pemanfaatan Tidak Optimal, Konflik Kepentingan, dan Pencemaran
Ekologi
Infrastuktur dan Teknologi
Skenario Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir
Gambar
Peningkatan Kesejahteraan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Permasalahan
Perlu Dikaji lima Dimensi Keberlanjutan
Sosial Budaya
Hukum dan Kelembagaan
Ekonomi
Pembangunan wilayah Pesisir yang Berkelanjutan
59. Kerangka pemikiran strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan
168 Strategi pengembangan menggunakan
pengembangan
wilayah
pesisir
wilayah
secara
berkelanjutan
analisis
pesisir
prospektif
yang
Kota
bertujuan
Makassar dilakukan
untuk
untuk dengan
memprediksi
kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Analisis prospektif dilakukan melalui tiga tahap yaitu (1)
mengidentifikasi faktor kunci dimasa depan, (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama, dan (3) mendefenisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan di masa depan sekaligus menentukan strategi pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki. Penentuan faktor-faktor kunci dalam analisis ini dilakukan dengan penentuan faktor-faktor kunci yang sensitif berpengaruh pada kinerja sistem hasil analisis keberlanjutan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan diperoleh 18 faktor (atribut) yang sensitif seperti pada Tabel 37. dibawah ini. Tabel 37. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan wilayah pesisir berdasarkan analisis keberlanjutan No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Faktor Analisis Keberlanjutan
Produktivitas usaha perikanan Intensitas konversi lahan perikanan Ketersediaan informasi zona agroklimat Kondisi sarana dan prasarana jalan desa Kelayakan usaha perikanan Kelayakan usaha industri perikanan Kontribusi perikanan thd PDRB Pola hub masyarakat dlm kegiatan perikanan Peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan Tingkat penguasaan teknologi perikanan Dukungan sapras jalan Ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan Penggunaan Teknologi dalam budidaya Ketersediaan Basis Data Perikanan Perjanjian kerjasama dengan swasta Keberadaan LKM Mekanisme kerjasama lintas sektoral
Hasil penentuan faktor-faktor
kunci di atas, selanjutnya disusun
keadaan (state) yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang. Keadaan masing-masing faktor seperti disajikan pada Tabel 38. berikut;
166 Tabel 38. Keadaan masing-masing faktor kunci dalam pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar No 1 2 3
Faktor
1A Produktivitas usaha Tetap seperti saat ini perikanan (Sedang) 2A Intensitas konversi lahan Meningkat tidak terkendali perikanan (tinggi) 3A Ketersediaan informasi Tetap seperti saat ini (tidak zona agroklimat tersedia)
4
Kondisi sarana dan prasarana jalan desa
5
Kelayakan usaha perikanan
6
Kelayakan usaha industri perikanan
7
Kontribusi perikanan thd PDRB
4A Tetap seperti sekarang (Agak baik) 5A Tidak layak karena tidak memberikan keuntungan secara ekonomi 6A Tidak layak karena tidak memberikan keuntungan secara ekonomi 7A Tetap seperti sekarang (Rendah) 8A
Keadaan (State) 1B Meningkat secara bertahap sesuai kemampuan petani 2B Tetap seperti sekarang (Sedang) 3B Disediakan tetapi hanya pada tempat tertentu saja 4B Dilakukan perbaikan pada jalan tertentu saja 5B Mengalami peningkatan atas usaha sendiri petani/nelayan (agak layak) 6B Layak karena memberikan keuntungan ekonomi 7B Ada upaya peningkatan tetapi tidak maksimal 8B
1C Meningkat dengan adanya perbaikan teknologi 2C Menurun karena adanya kebijakan lahan abadi (rendah) 3C Disediakan pada semua tempat yang dapat diakses oleh nelayan 4C Dilakukan perbaikan pada semua jalan desa 5C Mengalami peningkatan karena ada pembinaan (layak) 6C
7C Meningkat secara tajam karena ada perbaikan teknologi
167
terusan Tabel 38 8
Pola hub masyarakat dlm kegiatan perikanan
9
Peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan
10
Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan
11
Tingkat penguasaan teknologi perikanan
12
Dukungan sapras jalan
13
Ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan
14
Penggunaan Teknologi dalam budidaya
Tidak saling menguntungkan karena mengandalkan hubungan kekeluagaan 9A Tidak berperan aktif
Saling menguntungkan krn mengutamakan kerjasama kelompok 9B Berperan lebih dominan tanpa diimbangi teknologi yang ada
10A Masyarakat tidak diberdayakan
10B Ada pemberdayaan masyarakat tetapi pada kegiatan tertentu saja
11A Mengalami kemunduran karena tidak ada alih teknologi kepada masyarakat 12A Tetap seperti sekarang (cukup memadai)
11B Masyarakat menguasai teknologi tetapi tidak ada peningkatan
13A Pengolahan hasil dengan industri sederhana
13B Pengolahan hasil dengan industri dengan teknologi sedang
14A Pengolahan hasil dengan industri sederhana
14B Pengolahan hasil dengan industri dengan teknologi sedang
12B Meningkat tetap hanya pada jalan tertentu saja
9C Berperan yang diimbangi dengan introduksi teknologi Masyarakat selalu diberdayakan setiap ada kegiatan perikanan 11C Masyarakat lebih menguasai teknologi melalui pengenalan teknologi baru 12C Meningkat pada semua akses jalan (Kab, Kec, Desa, usahatani) 13C Pengolahan hasil dengan industri dengan teknologi Modern 14C Pengolahan hasil dengan industri dengan teknologi Modern
terusan Tabel 38
15 16 17 18
168
15A Ketersediaan Basis Data Tetap seperti sekarang (tidak Perikanan tersedia) 16A Perjanjian kerjasama Tidak tersedia dengan swasta 17A Keberadaan LKM Tidak tersedia Mekanisme kerjasama lintas sektoral
18A Tidak tersedia
15B Tersedia dan dapat diakse oleh nelayan 16B Tersedia tetapi tidak berjalan efektif 17B Tersedia tetapi tidak berjalan efektif 18B Tersedia tetapi tidak berjalan efektif
15C
16C Tersedia dan berjalan efektif 17C Tersedia dan berjalan efektif 18C Tersedia dan berjalan efektif dengan melibatkan instansi yang terkait
Berdasarkan Tabel 38. di atas, terdapat keadaan yang peluangnya kecil atau tidak mungkin untuk terjadi secara bersamaan (mutual incompatible). Ini ditandai oleh garis yang menghubungkan antara satu keadaan dengan keadaan lainnya seperti produktifitas usaha perikanan meningkat secara bertahap sesuai kemampuan petani tambak dengan Intensitas konversi lahan meningkat tidak terkendali (tinggi). Demikian pula dengan hubungan keadaan lainnya, namun karena faktor kunci yang diskenariokan banyak dan ditampilkan dalam beberapa lembaran sehingga hubungan yang tidak mungkin dapat terjadi bersamaan tidak bisa ditampilkan pada lembaran yang berbeda, tetapi dalam penyusunan skenario, hubungan ini tetap diperhatikan. Dari berbagai kemungkinan yang terjadi seperti tersebut di atas, dapat dirumuskan tiga kelompok skenario pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir secara berkelanjutan yang berpeluang besar terjadi dimasa yang akan datang, yaitu : (1) Konservatif-pesimistik dengan melakukan perbaikan seadanya terhadap atribut-atribut (faktor) kunci, (2) Moderat-Optimistik dengan melakukan perbaikan sekitar 50 % atribut-atribut (faktor) kunci, (3) Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan terhadap seluruh atributatribut (faktor) kunci. Adapun skenario yang dapat disusun seperti Tabel 39. Tabel 39. Hasil analisis skenario strategi pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar No. 0
Skenario Strategi Kondisi eksisting
1.
Konservatif-Pesimistik
2.
Moderat-Optimistik
3.
Progresif-Optimistik
Susunan Faktor 1B, 2A, 3A, 4C, 5C, 6A, 7A, 8B, 9C, 10A, 11B, 12A, 13A, 14C, 15A, 16A, 17A, 18C 1B, 2B, 3A, 4C, 5C, 6A, 7B, 8A, 9C, 10B, 11B, 12A, 13B, 14B, 15A, 16B, 17C, 18C 1B, 2B, 3B, 4C, 5C, 6B, 7B, 8B, 9C, 10C, 11C, 12A, 13B, 14C, 15B, 16C, 17C, 18C 1C, 2C, 3C, 4C, 5C, 6B, 7C, 8B, 9C, 10C, 11C, 12C, 13C, 14C, 15B, 16C, 17C, 18C
Penyusunan skenario seperti pada Tabel 37. di atas, didasarkan atas pertimbangan kemampuan pemerintah sebagai fasilitator dalam menerapkan program rintisan pengembangan wilayah pesisir dan alokasi waktu pelaksanaan
program yaitu sekitar 5 tahun, yang selanjutnya diserahkan kepada Badan
Pengelola Wilayah Pesisir. Dengan demikian alokasi waktu pelaksanaan dapat dibagi ke dalam jangka pendek yaitu sekitar 1 – 2 tahun ke depan, jangka menengah sekitar 3 – 5 tahun ke depan, dan jangka panjang yaitu lebih dari 5 tahun ke depan. Berikut uraian setiap skrenario dan status keberlanjutan yang dapat dicapai untuk masa yang akan datang. Skenario 1. Konservatif-Optimistik Seperti telah dijelaskan di atas, bahwa status keberlanjutan wilayah pesisir untuk pengembangan wilayah pesisir dapat ditingkatkan melalui memperbaiki faktor-faktor (atribut) kunci yang berpengaruh terhadap peningkatan status wilayah. Pada skenario ini, dilakukan perbaikan seadanya dengan kata lain perbaikan yang dilakukan didasarkan pada efisiensi biaya yang dikeluarkan dapat ditekan sekecil mungkin. Beberapa atribut kunci yang diupayakan dapat diperbaiki seperti produktifitas usaha perikanan, Intensitas konversi lahan perikanan, kelayakan usaha industri perikanan, kontribusi perikanan terhadap PDRB , dan ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan. Adanya perbaikan-perbaikan
atribut
kunci
tersebut,
akan
mengakibatkan
terjadi
perubahan nilai skoring atribut yang diperbaiki seperti pada Tabel 40. Tabel 40. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario1 terhadap peningkatan status wilayah pesisir No
Atribut Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8
Produktivitas usaha perikanan Intensitas konversi lahan perikanan Ketersediaan informasi zona agroklimat Kondisi sarana dan prasarana jalan desa Kelayakan usaha perikanan Kelayakan usaha industri perikanan Kontribusi perikanan thd PDRB Pola hub masyarakat dlm kegiatan perikanan Peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan Tingkat penguasaan teknologi perikanan Dukungan sapras jalan Ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan Penggunaan Teknologi dalam budidaya Ketersediaan Basis Data Perikanan Perjanjian kerjasama dengan swasta Keberadaan LKM Mekanisme kerjasama lintas sektoral
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Skoring Existing Skenario 1 2 2 0 1 0 0 2 2 2 2 0 0 0 1 1 1 2
2
0
1
1 1 0
1 1 1
0 0 0 2 0
1 0 1 2 0
Perubahan nilai skoring beberapa atribut kunci di atas, selanjutnya dilakukan
analisis
Rap-COASTALMAK
untuk
melihat
seberapa
besar
peningkatan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir. Besarnya perubahan nilai indeks berdasarkan hasil analisis Rap-COASTALMAK, seperti pada Tabel 41. berikut. Tabel 41. Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 1. No.
Dimensi Keberlanjutan
Nilai Indeks Existing 47,13
Nilai Indeks Skenario 1 50,94
Perbedaan
1.
Ekologi
3,80
2.
Ekonomi
53,89
56,52
2,63
3.
Sosial-Budaya
34,82
44,25
9,43
4.
Infrastruktur-Teknologi
13,28
29,79
16,51
5.
Hukum-Kelembagaan
45,06
47,05
1,99
Pada tabel 41 di atas, memperlihatkan adanya peningkatan nilai indeks keberlanjutan terhadap semua dimensi. Hampir semua dimensi memiliki nilai indeks diatas dari nilai 50 %, kecuali dimensi infrastruktur dan teknologi, sosial budaya dan hukum dan kelembagaan yang masih dibawah 50 %.
Namun
demikian, jika dilihat dari nilai indeks keberlanjutan pada semua dimensi, umumnya berada pada status kurang berkelanjutan. Hal ini berimplikasi bahwa kondisi wilayah pesisir Kota Makassar belum mampu mendukung sepenuhnya untuk pengembangan kawasan pesisir. Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan nilai indeks melalui perbaikan beberapa atribut kunci belum dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu upaya perbaikan atribut-atribut kunci perlu tetap dilanjutkan untuk masa yang akan datang. Adanya dukungan kebijakan yang kuat dari pemerintah secara terpadu baik pemerintah pusat, pemerintah propinsi, maupun pemerintah kota, dapat membawa status wilayah pesisir Kota Makassar meningkat menjadi berkelanjutan. Skenario 2. Moderat-Optimistik Berbeda dengan skenario 1, upaya perbaikan beberapa
atribut kunci
pada skenario 2, dilakukan sekitar 50 % dari seluruh atribut kunci (atribut yang sensitif). Hal ini didasarkan atas poertimbangan bahwa penanganan wilayah pesisir seyogyanya dilakukan secara bertahap dengan tetap mempertimbangkan kemampuan biaya yang tersedia. Kondisi ini, akan berimplikasi pada pencapaian pengembangan wilayah untuk pengembangan wilayah pesisir dalam waktu yang
lebih cepat sulit untuk direalisasikan, sementara ada beberapa atribut yang perlu penanganan yang lebih serius dan sesegera mungkin karena berpengaruh terhadap atribut lainnya. Atribut-atribut tersebut antara lain adalah penyediaan sarana dan prasarana jalan yang sangat menghambat akses menuju wilayah jika tidak ditangani secepatnya. Adapun atribut-atribut kunci yang diperbaiki seperti terlihat pada Tabel 42. Tabel 42. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status wilayah pesisir No
Atribut Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8
Produktivitas usaha perikanan Intensitas konversi lahan perikanan Ketersediaan informasi zona agroklimat Kondisi sarana dan prasarana jalan desa Kelayakan usaha perikanan Kelayakan usaha industri perikanan Kontribusi perikanan thd PDRB Pola hub masyarakat dlm kegiatan perikanan Peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan Tingkat penguasaan teknologi perikanan Dukungan sapras jalan Ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan Penggunaan teknologi dalam budidaya Ketersediaan basis data perikanan Perjanjian kerjasama dengan swasta Keberadaan LKM Mekanisme kerjasama lintas sektoral
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Skoring Existing Skenario 2 2 2 0 2 0 1 2 2 2 2 0 1 0 1 1 1 2
2
0
2
1 1 0
2 1 1
0 0 0 2 0
2 1 2 2 0
Hasil perubahan nilai skoring beberapa atribut kunci pada tabel 43 diatas, selanjutnya dilakukan analisis Rap-COASTALMAK untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir pada setiap dimensi. Besarnya perubahan nilai indeks berdasarkan hasil analisis Rap-COASTALMAK, seperti pada Tebel 43.
Tabel 43. Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 2. No.
Dimensi Keberlanjutan
Nilai Indeks Existing 47,13
Nilai Indeks Skenario 2 58,15
Perbedaan
1.
Ekologi
11,02
2.
Ekonomi
53,89
60,87
6,98
3.
Sosial-Budaya
34,82
52,53
17,71
4.
Infrastruktur-Teknologi
13,28
43,87
30,59
5.
Hukum-Kelembagaan
45,06
48,43
3,37
Pada Tabel 43 di atas, terlihat bahwa semua dimensi memiliki nilai indeks keberlanjutan di atas 50 % atau sudah berada pada status cukup berkelanjutan kecuali pada dimensi infrastruktur - teknologi serta hukum dan kelembagaan. Namun untuk mencapai kondisi ideal, upaya peningkatan nilai indeks ini masih dapat dilakukan dengan memaksimalkan perbaikan terhadap atribut yang ada. Beberapa atribut yang masih memiliki peluang untuk diperbaiki antara
lain
pemberdayaan
masyarakat
dalam
kegiatan
perikanan
dan
produktivitas usaha perikanan, peningkatan tingkat penguasaan teknologi perikanan, dukungan sarana dan prasarana jalan, ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan, meningkatkan penggunaan teknologi dalam budidaya, ketersediaan basis data perikanan, perjanjian kerjasama dengan swasta serta mekanisme kerjasama lintas sektoral dalam pengembangan wilayah pesisir. Penanganan atribut-atribut tersebut dapat dilakukan seperti pada skenario 3 dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu. Skenario 3. Progresif-Optimistik Pada skenario 3 ini, upaya perbaikan dilakukan terhadap seluruh atribut kunci. Dengan perbaikan ini tentunya dibutuhkan biaya yang besar dan membutuhkan waktu yang lama. Dalam hal ini dapat dilakukan dalam tiga masa waktu yaitu jangka pendek dengan melakukan perbaikan-perbaikan atribut yang mendesak untuk ditangani, kemudian jangka menengah dan jangka panjang dengan melakukan perbaikan terhadap atribut penunjang pengembangan wilayah pesisir. Ini dapat dilakukan dengan komitmen yang kuat dari pemerintah sebagai fasilitator dalam merintis pengembangan wilayah pesisir. Beberapa faktor kunci yang diupayakan dapat diperbaiki seperti pada Tabel 44.
Tabel 44 . Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status wilayah pesisir No
Atribut Kunci
1 2 3 4 5 6 7 8
Produktivitas usaha perikanan Intensitas konversi lahan perikanan Ketersediaan informasi zona agroklimat Kondisi sarana dan prasarana jalan desa Kelayakan usaha perikanan Kelayakan usaha industri perikanan Kontribusi perikanan thd PDRB Pola hub masyarakat dlm kegiatan perikanan Peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan Tingkat penguasaan teknologi perikanan Dukungan sapras jalan Ketersediaan industri pengolahan hasil perikanan Penggunaan Teknologi dalam budidaya Ketersediaan Basis Data Perikanan Perjanjian kerjasama dengan swasta Keberadaan LKM Mekanisme kerjasama lintas sektoral
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Skoring Existing Skenario 3 2 3 0 3 0 2 2 2 2 2 0 1 0 2 1 1 2
2
0
3
1 1 0
2 2 2
0 0 0 2 0
2 1 2 2 1
Hasil perubahan nilai skoring beberapa atribut kunci di atas, selanjutnya dilakukan analisis Rap-COASTALMAK untuk melihat seberapa besar peningkatan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir pada setiap dimensi. Besarnya perubahan nilai indeks berdasarkan hasil analisis Skanario 3, seperti pada Tabel 45. berikut. Tabel 45. Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 3. No.
Dimensi Keberlanjutan
Nilai Indeks Existing 47,13
Nilai Indeks Skenario 3 68,97
Perbedaan
1.
Ekologi
21,84
2.
Ekonomi
53,89
64,75
10,68
3.
Sosial-Budaya
34,82
58,93
24,11
4.
Infrastruktur-Teknologi
13,28
63,99
50,71
5.
Hukum-Kelembagaan
45,06
63,97
18,91
Pada tabel 45 di atas, terlihat bahwa peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada semua dimensi sudah mendekati kondisi aktual yaitu berada pada nilai 60 %
atau pada status berkelanjutan, kecuali dimensi sosial budaya yang nilainya masih di bawah dari nilai 60 %. Rendahnya nilai indeks keberlanjutan pada dimensi sosial budaya disebabkan oleh masih banyaknya atribut dimensi sosial budaya yang belum dipertimbangkan untuk ditangani dalam penyusunan skenario ini karena atribut-atribut tersebut tidak sensitif berpengaruh terhadap pengembangan wilayah. Oleh karena itu untuk lebih memantapkan keberlanjutan pengembangan kawasan pesisir di wilayah kota Makassar, penanganan terhadap atribut-atribut yang tidak sensitif merupakan suatu hal yang sulit untuk dipungkiri. Hal ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan yang hanya mencapai nilai sekitar 60 %, sementara perbaikan terhadap atribut yang sensitif ditangani secara maksimal.
Ini berarti bahwa nilai indeks keberlanjutan sekitar 40 %
adalah faktor error dari atribut yang tidak diperhitungkan dalam peningkatan nilai indeks keberlanjutan pada setiap skenario yaitu atribut yang tidak sensitif berpengaruh. Berdasarkan kondisi existing lokasi penelitian, dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya, dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan. Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar berstatus cukup berkelanjutan dengan 18 atribut yang sensitif berpengaruh dalam meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Adapun atribut-atribut tersebut meliputi 4 atribut pada dimensi ekologi, 3 atribut pada dimensi ekonomi, 3 atribut pada dimensi sosial dan budaya, 5 atribut pada dimensi infrastruktur dan teknologi, serta 3 atribut pada
dimensi
hukum
dan
kelembagaan.
Untuk
meningkatkan
status
keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir di wilayah Kota Makassar adalah skenario progresif-optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif sehingga semua dimensi
menjadi
berkelanjutan
untuk
pengembangan
wilayah
pesisir.
Keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir yang diharapkan dapat mengikuti dua tipe yaitu tipe indikator kondisi dan tipe indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari perkembangan sumberdaya sampai pada batas optimal
5. 4. Analisis Kualitas Air Wilayah Pesisir Pantai Makassar Sulawesi Selatan Perairan Pantai Kota Makassar mempunyai peranan yang penting, bukan saja bagi masyarakat nelayan tetapi juga bagi pengusaha sebagai daerah pengembangan parawisata.
Berdasarkan rencana tataruang Kota Makassar
Provinsi Sulawesi Selatan perairan Pantai Makassar diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata, untuk itu kualitas lingkungan perairan harus tetap terjaga agar lingkungan yang ada tetap sesuai dengan peruntukannya, karenanya kajian terhadap kualitas air perlu dilakukan dengan dibandingkan dengan
baku
mutu
lingkungan
yang
berlaku,
yaitu
Kepmen
No.02/MENKLH/1988, bagi peruntukan untuk budidaya perikanan (Biota laut) dan pariwisata serta rekreasi (khususnya mandi, renang, dan selam) kajian terhadap parameter sebagai ukuran kualitas air meliputi aspek fisika yaitu; suhu, salinitas, pH, Oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biokimia (BOD5), kebutuhan oksigen kimiawi (COD) dan logam berat.
Suhu Hasil pengukuran suhu pada seluruh stasiun pengukuran diperoleh kisaran antara 28,0 – 32,00C
(Lampiran 3 - 12). Nilai terendah terdapat pada
stasiun II dengan kisaran 28,0 – 290C dan tertinggi pada stasiun 2 dan dan stasiun 5 dengan kisaran 29,5 - 320C . Grafik nilai suhu pada setiap stasiun pengamatan pada stasiun disajikan pada Gambar 60. Dari hasil studi memperlihatkan perbadaan suhu selama pengamatan adalah sebesar 28,0 - 320C
kondisi ini masih dalam keadaan kondisi normal
atau bersifat alami bagi kehidupan biota air berdasarkan Kepmen KLH No 2/MENKLH/I/1988 untuk perairan alami kisaran suhu yang baik bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan adalah 28 – 30 oC.
Temperatur (°C) 33 32 31
St.1
°C
30
St.2
29
St.3
28
St.4
27
St.5
26 25 24 Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Sampel 7
Sampel 8
Sampel 9
Sampel 10
Sampel
Gambar 60. Perubahan Temperatur di Lokasi Penelitian
pH Derajat
kemasaman
(pH)
mempunyai
pengaruh
besar
terhadap
kehidupan sehingga pH sering digunakan sebagai petunjuk untuk mengatakan baik dan buruknya suatu perairan. Derajat kemasaman (pH) pada pengamatan antar stasiun berkisar antara 6,0 – 8, (Tabel lampiran 3 - 12). Gambar histogram derajat kemasaman (pH) berdasarkan pengukuran pada masing-masing stasiun (Gambar 61.).
Pada
Gambar 61. Terlihat bahwa pH sampling di stasiun 5 paling rendah. Kondisi ini terjadi karena pada sampling pertama di stasiun 5 banyak terdapat bahan organik di lokasi tersebut, padahal saat itu jumlah air yang mengalir di lokasi tersebut relatif minim sehingga tidak memungkinkan flashing bahan organik tersebut, akibatnya maka bahan organik tersebut menumpuk dan diuraikan, baik secara aerobik dan anaerobik, sehingga akan menghasilkan CO2 dan bahan lain yang pada akhirnya akan menurunkan pH menjadi lebih rendah.
pH 9 8 7
St.1
pH
6
St.2
5
St.3
4
St.4
3
St.5
2 1 0 Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Sampel 7
Sampel 8
Sampel 9
Sampel 10
Sampel
Gambar 61. Konsentrasi pH di Lokasi Penelitian
Salinitas Hasil pengukuran pengukuran salinitas pada perairan Pantai Makassar diperoleh nilai berkisar antara .10 – 35 permil (Tabel lampiran ) pola sebaran untuk masing-masing stasiun pengamatan terlihat pada Grafik 62. Kadar salinitas tersebut merupakan kadar alami pada perairan.
variasi nilai
antar stasiun tidak terlalu besar. Hal ini berkaitan dengan sifat dari suatu pesisir yang dinamis karena dipengaruhi oleh adanya pasang surut. Bila dibandingkan dengan baku mutu air laut untuk budidaya perikanan maupun untuk kepentingan pariwisata dan rekreasi (khususnya mandi, renang, dan selam) kisaran nilai tersebut masih berada pada kisaran alami (10 – 35 permil). Nybakken (1988) menyatakan bahwa daerah pesisir (litoral), merupakan perairan yang dinamis, yang menyebabkan variasi salinitas tidak begitu tinggi. organisme yang hidup di daerah pesisir cenderung mempunyai toleransi terhadap perubahan salinitas sampai dengan 15 permil. Pada sampling I di satasiun 2 diperoleh salilinitasnya paling rendah yakni 10 permil. Kondisi ini terjadi karena pada saat dilakukan pengambilan sampel turun hujan lebat sehingga air di stasiun 2 (lebih dekat dengan muara) salinitasnya menurun drastis. Salinitas (‰ ) 40
(‰)
35 30
St.1
25
St.2
20
St.3
15
St.4
10
St.5
5 0 Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Sampel 7
Sampel 8
Sampel
Gambar 62. Perubahan salinitas di Lokasi penelitian
Sampel 9
Sampel 10
Kandungan Oksigen Terlarut (DO) Kadar kandungan oksigen terlarut diperlukan oleh organisme perairan untuk pernapasan dan penguraian bahan-bahan organik.
Nilai DO dapat
dijadikan petunjuk untuk kegiatan hidup yang terjadi dalam suatu perairan. Kandungan rata-rata oksigen terlarut pada setiap stasiun berkisar antara 5,0 -11 mg/l (Tabel Lampiran 3 -12 ).
Grafik
memperlihatkan Gambar hiostogram
oksigen terlarut. Rendahnya DO pada sampling 1, 2 dan 3 diduga ada kaitannya dengan konsentrasi bahan organik yang tinggi pada waktu tersebut. Hal ini terlihat dengan jelas pada Gambar 63. Dalam hal ini nilai COD pada sampling 1, 2 dan 3 tinggi sehingga diperlukan oksigen yang tinggi untuk menguraikan bahan organik tersebut, karenanya maka kandungan oksigen terlarut pada sampling 1, 2, dan 3 menjadi rendah. Namun demikian kelarutan bahan organik tersebut masih masuk kategori yang cukup baik untuk mendukung kehidupan organisme di dalamnya.
Oksigen Terlarut (ppm) 12 10
Gambar Histogram Oksigen Terlarut
St.1
ppm
8
St.2
6
St.3 St.4
4
St.5
2 0 Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Sampel 7
Sampel 8
Sampel 9
Sampel 10
Sampel
Gambar 63. Konsentrasi Oksigen Terlarut di Lokasi Penelitian Kebutuhan Oksigen Biokimia Kebutuhan oksigen biokimia (BOD5) menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme untuk menguraikan bahan organik dalam air. Nilai BOD5 tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara tidak langsung jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik. jika konsumsi oksigen tinggi yang ditunjukkan oleh semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, berarti terdapat kandungan bahan organik yang membutuhkan banyak oksigen.
Menurunnya oksigen terlarut dapat dalam air dapat menyebabkan terganggunya proses metabolisme suatu biota perairan, jika konsentrasi oksigen terlarut terlalu rendah, mikro organisme aerobik tidak dapat hidup berkembang biak.
dan
Namun sebaliknya mikroorganisme yang bersifat anaerob
akan menjadi aktif. Kisaran BOD5 pada lokasi penelitian berda pada kisaran (3,4 – 9,2 ppm), hal ini terlihat bahwa keberadaan BOD di lokasi penelitian lebih rendah dibanding standar baku mutu Nomor 51/ MENLH/10/1995
yaitu 50 -150 mg/L seperti
terlihat pada Gambar 64.
BOD (ppm) Pantai Makassar
Nilai (ppm )
10 9 8
St.1
7 6
St.3
St.2
5
St.4
4 3
St.5
2 1 0 Data 1
Data 2
Data 3
Data 4
Data 5
Data 6
Data 7
Data 8
Data 9
Data 10
Lokasi Sampel
Gambar 64. Konsentrasi nilai BOD di lokasi penelitian
Kebutuhan Oksigen Kimia (COD) Nilai COD merupakan ukuran jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi seluruh bahan organik secara kimia dengan menggunakan kalium bikarbonat (K2Cr2O7) (Alaerts dan Santika, 1987). Nilai COD selalu lebih besar atau sama dengan kebuthan oksigen biokimia suatu perairan, hal ini karena jumlah senyawa kimia yang dapat dioksidasi secara kimia lebih besar dibandingkan dengan secara biokiamia (Saeni,1989). Kebutuhan oksigen kimia (COD) ialah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik di dalam air secara kimiawi. Oleh karena itu uji COD merupakan analisis kimia yang dapat digunakan untuk mengukur jumlah bahan organik yang sukar dipecah maupun yang dapat dipecah secara
mikrobiologis seperti yang terukur dalam uji BOD5 (Jenie dan Rahayu, 1990). Nilai COD maksimum yang dianjurkan dalam baku mutu air laut untuk biota laut adalah tidak lebih dari 80 ppm (Kep. Men No. 02/MENKLH/1988). Kisaran COD pada lokasi penelitian berkisar antara ( 8,0 – 126 ppm), hal ini menunjukkan bahwa kisaran COD pada lokasi penelitian di Wilayah pesisir Pantai Makassar masih berada pada kisaran yang diperbolehkan. sesuai standar baku mutu Nomor 51/ MENLH/10/1995 tanggal 23 Oktober 1995 seperti terlihat pada Gambar 65.
COD (ppm) Pantai Makassar
Nilai (ppm)
140 120
St.1
100
St.2 St.3
80
St.4
60
St.5
40 20 0 Data 1
Data 2
Data 3
Data 4
Data 5
Data 6
Data 7
Data 8
Data 9
Data 10
Lokasi Sampel
Gambar 65. Konsentrasi nilai COD di lokasi penelitian
Logam berat Logam berat pada perairan alami mempunyai kadar yang sangat rendah, dan akan meningkat bila terjadi pencemaran oleh zat pencemar yang mengandung logam berat.
Bahan bahan logam berat Hg, Cd, Pb, dan Cu,
merupakan bahan yang berbahaya karena sifatnya toksik bagi kehidupan organisme dalam kurun waktu tertentu. Faktor yang mempengaruhi daya racun logam berat dalam air menurut Bryan (1976), adalah bentuk senyawa logam berat tersebut, baik bentuk organik, anorganik, bentuk netral, dan adanya logam lain. salah satu sifat logam berat, sulit dihancurkan secara alami dan cenderung terakumulasi dalam rantai makanan alami melalui proses biomagnifikasi (Clark,1974). Kadmium (Cd) adalah logam berwarna putih perak, lunak, mengkilap, tidak larut dalam basa, mudah bereaksi, serta menghasilkan kalium oksida bila
dipamanaskan. Cd umumnya terdapat dalam kombinasi dengan klor (Cd klorida) atau belerang (Cd sulfit). Cd memiliki nomor atom 40, berat atom 112,4 g/mol, titik leleh 3210C, dan titik didih 7670C. Kisaran Cd pada lokasi penelitian. Kisaran Kadmium (Cd) pada lokasi penelitian bekisar antara (0,083 – 0,129 mg/L) hal ini terlihat bahwa keberadaan Kadmiun pada lokasi penelitian sedikit berada diatas standar baku mutu perairan sesuai Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 yaitu Cd = 0,05 - 0,1 mg/L. (seperti terlihat pada Gambar 66.) Konsentrasi Cd (ppm) 0,14 0,12
St.1
0,1
St.2
ppm
0,08
St.3
0,06
St.4
0,04
St.5
0,02 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sampel
Gambar 66. Konsentrasi Cd di lokasi penelitian Timbal (Pb) adalah logam berat yang secara alami terdapat dalam kerak bumi. Namun timbal juga berasal dari kegiatan manusia. Pb memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif, sehingga disa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul perkaratan. Pb adalah logam lunak berwarna
abu-abu
kebiruan
mengkilat
serta 0
mudah
dimurnikan
dari
0
pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 328 C (662 F); titik didih 17400 C (31640 F); dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20. Kisaran Pb pada lokasi penelitian seperti telihat pada Gambar 67. berkisar antara (0,434 – 0,838 mg/L) hal ini terlihat bahwa keberadaan Pb di lokasi penelitian masih berada dibawah standar baku mutu Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 yaitu (0,1 – 1,0 mg/L).
Hasil Analisa Sampel Konsentrasi Pb 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Sampel 4
Sampel 5
Sampel 6
Kode
Absorbansi
Sampel 7
Sampel 8
Sampel 9
Sampel 10
Konsentrasi Pb (ppm)
Gambar 67. Konsentrasi nilai Pb di lokasi penelitian Kuprum atau tembaga (Cu) memiliki sistem kristal kubik, yang secara fisik berwarna kuning dan apabila menggunakan mikroskop akan berwarna pink kecoklatan sampai keabuan. Cu termasuk golongan logam, berwarna merah, serta mudah berubah bentuk. Secara fisika, logam berat Cu digolongkan ke dalam logam penghantar listrik yang baik sehingga Cu banyak digunakan dalam bidang elektronika. Kisaran Cu pada lokasi penelitian yaitu berada pada kisaran (0,027 – 0,039 mg/L) keberadaan Cu pada lokasi penelitian masih berada dibawah satandar baku mutu Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 yaitu (2,0 – 3,0 mg/L).
Hal ini menandakan bahwa keberadaan Cu dilokasi penelitian masih
diperbolehkan. seperti terlihat pada Gambar 68. Relatif tingginya Pb di lokasi penelitian diduga berasal dari kegiatan antropogenik yakni dari pembakaran BBM baik yang dilakukan di daratan (transportasi dan industri) maupun dari kegiatan di laut (transportasi). Kondisi yang sama juga terjadi konsentrasi Cd, dalam hal ini Cd yang masuk kedalam perairan diduga berasal dari kegiatan industri. Berbeda dengan Pb dan Cd, konsentrasi Cu dalam perairan relatif rendah.
Hal ini
disebabkan Cu diperlukan untuk pembentukan haemocianin pada hewan avertebrata terutama dari phyllum krustase. Konsentrasi Cu (ppm) 0,045
ppm
0,04 0,035
St.1
0,03
St.2 St.3
0,025
St.4
0,02
St.5
0,015 0,01 0,005 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Sampel
Gambar 68. Konsentrasi Cu di lokasi penelitian
5.5. Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar 5.5.1. Model Dinamik Beban Limbah dan Kualitas Air Pengembangan model dinamik Beban Limbah dan Kualitas Air meliputi : (a) sub model dinamik sumber pencemar, (b) sub model dinamik beban pencemaran dan (c) sub model dinamik kualitas air perairan pantai Makassar. Simulasi dilakukan selama periode waktu 26 tahun dimulai 2002- 2028, skenario modelnya adalah : 1) Kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk dan dampaknya pada penurunan beban limbah. 2) Kebijakan penurunan fraksi pengunjung hotel, serta dampaknya terhadap penurunan beban limbah. Pemodelan diartikan sebagai suatu gugus pembuatan model yang akan menggambarkan sistem yang dikaji (Eriyatno 1999). Tujuan utama dari penelitian ini adalah membangun model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Model pengelolaan Makassar
perairan wilayah pesisir perairan pantai
disusun berdasarkan dua sub model yaitu: a) Sub model beban
limbah yang masuk ke perairan pesisir dan b) Sub model kualitas air Perairan pantai Makassar. Gambaran hubungan umum kedua submodel tersebut disajikan pada Gambar 69. Sub Model beban limbah
Sub Model Kualitas air Wilayah Pesisir
Daya Dukung (Kapasitas asimilasi) Gambar 69. Model terpadu pengelolaan wilayah pesisir
Pemodelan sistem dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak (software) program Powersim versi 2.5 d.
a. Sub Model Beban Limbah Model beban limbah terdiri atas beberapa sub – sub model beban pencemaran, yaitu : BOD, dan COD, sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang sesuai dengan masing-masing sub-model, kemudian diintegrasikan menjadi satu model beban limbah perairan di Wilayah pesisir. Model dinamik beban limbah ditunjukkan
pada Gambar 70 dan 71.
Model dinamik beban limbah wilayah pesisir dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut : TBL = BP BOD + BP COD.................................................................................(11) Hal ini memenuhi persamaan total massa (Jerald 1996) sebagai berikut : t
M = Q ∫ C (t )dt ....................................................................................(12a) 0
d (TBP) = +C (t ) .................................................................................(12b) dt t =n
TBL = +
∫ C (t )dt
.................................................................................(13)
t = 2002 t =n
TBL =
∫
t =n
C1(t )dt +
t =2002
∫
t =2002
t =n
C2(t )dt +
∫
t =n
C3(t )dt +
t =2002
∫ C4(t)dt
.......................................(14)
t =2002
Dalam model dinamik sederhana persamaan 14 ditulis menjadi : TBL = (BL BOD*fk2) + (BL COD*fk3)...............................................................(15) Keterangan : TBL
= Total Beban limbah
BL
= Beban limbah
BL BOD
= Beban limbah Biological oxygen demand
BL COD
= Beban limbah Chemical oxygen demand
Terusan Gambar 69 Beban Limbah Septi Tank dari Pemukiman
kont_3
FkNsP_1
Fk_BODsP_1 BLBODsP_1
BLNsP_1 JPddkDT_1 BLCODsP_1 BLP_sP_1
FkCODsP_1
FkP_sP_1
Beban Limbah Cair Langsung dari Hotel kont_1 Fk_COD_Hl
BLCOD_Hl
JPgj LjPgj
kont_1 Fk_Pgj
Fk_N_Hl
BL_N_Hl
BLBOD_Hl
BL_P_Hl kont_1
Fk_BOD_Hl
kont_1
Fk_P_Hl
Beban limbah septi Tank dari Hotel
kont
FkNsH
Fk_BODsH BLBODsH
BLNsH JPgj BLCODsH BLPsH
FkCODsH
FkPsH
Total Beban Limbah Pemukiman
Total Beban Limbah Hotel
BLBODLp BLCOD_Hl Tot_BLBOD Tot_COD_BLH
BLBODsP BLCODsH
l
BLCODlP BLBOD_Hl
Tot_BLCOD
Tot_BOD_BLH
BLCODsP Tot_BL_P
Tot_BL
BLBODsH Tot_BL_H
BL_NLp Tot_BLN
BL_N_Hl Tot_N_BLH
BLNsP BLNsH BLP_sP Tot_BLP
BLPsH Tot_P_BLH
BL_PLp BL_P_Hl
Gambar 70. Model dinamik beban limbah DAS Tallo
Beban Limbah Septi Tank dari Pemukiman
kont_3
FkNsP_1
Fk_BODsP_1 BLBODsP_1
BLNsP_1 JPddkDT_1 BLCODsP_1 BLP_sP_1
FkCODsP_1
FkP_sP_1
Terusan Gambar 70 Beban Limbah Cair langsung di Pemukiman DAS Jeneberang
kont_3 BLCODlP_1
JPddkDT_1
Fk_CODLp_1
LPddkDT_1 LBTp
kont_3
FkPddkDT_1
Fk_NLp_1
BL_NLp_1
BLBODLp_1 BL_PLp_1
kont_3
Fk_BODLp_1
kont_3
Fk_PLp_1
Beban Limbah Cair Langsung dari Hotel kont_2 BLCOD_Hl_1 Fk_COD_Hl_1 JPgj_1 kont_2
kont_2
Fk_N_Hl_1
BL_N_Hl_1
BLBOD_Hl_1
BL_P_Hl_1
Fk_BOD_Hl_1
kont_2
Fk_P_Hl_1
Beban limbah septi Tank dari Hotel
kont_3
FkNsH_1
Fk_BODsH_1 BLBODsH_1
BLNsH_1
JPgj_1
BLCODsH_1 BLPsH_1
FkCODsH_1
FkPsH_1
Total Beban Limbah Hotel
Total Beban Limbah Pemukiman
BLBODLp_1
Fk_COD_Hl_1 Tot_COD_BLH_1 Tot_BLBOD_1
BLBODsP_1
BLCODsH_1
BLCODlP_1
BLBOD_Hl_1 Tot_BLCOD_1
Tot_BOD_BLH_1 BLBODsH_1
BLCODsP_1 Tot_BL_P_1
Tot_BL_1
Tot_BL_H_1 BL_N_Hl_1
BL_NLp_1 Tot_BLN_1
BLNsP_1
BLNsH_1 Tot_N_BLH_1
BLP_sP_1
BLPsH_1 Tot_BLP_1 Tot_P_BLH_1
BL_PLp_1 BL_P_Hl_1
Gambar 71. Model dinamik Beban limbah DAS Jeneberang
b. Sub Model Kualitas Air Wilayah Pesisir Model kualitas air Wilayah pesisir terdiri atas beberapa sub – sub model kualitas air wilayah pesisir, yaitu : BOD, dan COD (Gambar 72). Kedua sub-sub model tersebut dibuat secara parsial berdasarkan persamaan yang sesuai dengan masing-masing sub-model, kemudian diintegrasikan menjadi satu model Kualitas air Wilayah pesisir.
d ( BOD) = +C1(t ) ................................................................................(16) dt t =n
BOD = +
∫ C1(t )dt
t = 2002
..............................................................................(17)
Dalam model dinamik sederhana persamaan 17 ditulis menjadi : KA BOD
= (KA BOD*fk1) .........................................................................(18)
Untuk parameter yang lain analog dengan persamaan tersebut. Keterangan : KA BOD = Kualitas air BOD Model Kualitas Air BOD
Tot_BLBOD
KAs_BOD Tot_BOD_BLH
Tot_BL_BOD KA_BOD
Tot_BLBOD_1
Constant_a Tot_BOD_BLH_1 Constant_b
Model Kualitas air COD
KAs_COD Tot_BLCOD Constant_a1
Constant_c1
Tot_COD_BLH
Tot_BL_COD Tot_BLCOD_1 KA_COD
Tot_COD_BLH_1
Gambar 72. Model dinamik Kualitas air di Pesisir Kota Makassar
5.5.2. Analisis Kecenderungan Sistem Analisis kecenderungan sistem ditunjukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model (Gambar 73 dan 74). Perilaku simulasi ditetapkan selama 26 tahun, yakni dimulai tahun 2002 sampai dengan 2028.
Dalam kurun waktu simulasi tersebut, diungkapkan
perkembangan yang mungkin terjadi pada peubah-peubah yang dikaji. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa jumlah penduduk di sekitar perairan wilayah pesisir terus meningkat dari 1.191.456 jiwa pada awal simulasi dan menjadi 2.249.338 jiwa pada akhir tahun simulasi. Pola peningkatan jumlah penduduk diikuti pula oleh beban limbah yang dihasilkan. Pada awal simulasi jumlah beban limbah Tallo 14.415,00 ton/tahun meningkat menjadi 23.546,31 ton/tahun. Pada awal simulasi jumlah beban limbah Jeneberang 51.554,55 ton/tahun meningkat menjadi 97.898,11 ton/tahun.
Pop_Pddk
1.193.500 1.193.000 1.192.500 1.192.000 1.191.500 2.002
2.008
2.014
2.020
2.028
Time
Gambar 73. Kecenderungan populasi penduduk total 90.000
60.000
2 2 2
2 2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
1 2
Tot_BL_T Tot_BL_J
30.000 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2.002 2.008 2.014 2.020 2.028
Time
Gambar 74. Kecenderungan jumlah masing – masing beban limbah yang masuk ke perairan
5.5.3. Uji Validitas Secara garis besar uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima dan dibenarkan secara akademik atau tidak. Dalam penelitian ini dilakukan dua pengujian validasi yaitu uji validitas struktur dan validitas kinerja.
a. Uji Validitas Struktur Uji ini bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata (Muhamadi 2001).
Secara empirik
pertambahan total sumber pencemar dipengaruhi oleh sumber pencemar dari : penduduk (timbulan sampah dan tinja), erosi pertanian dan erosi pemukiman, Peningkatan jumlah sumber pencemar akan meningkatkan beban pencemaran dan menurunkan daya dukung Wilayah pesisir Kota Makassar. Hasil simulasi terhadap sub model dinamik sumber pencemar pada Gambar 75. Memperlihatkan bahwa
peningkatan jumlah penduduk diikuti oleh
peningkatan total beban sumber pencemar secara eksponensial (Tabel 46). Penelitian ini memperkuat simpulan Mustafa et al. (2008) dan Dahuri (2003) bahwa Faktor sumber pencemar perairan adalah limbah domestik (perkotaan) (domestic –urban wastes), limbah cair perkotaan (urban stormwater), limbah cair pemukiman (sewage), pertambangan, limbah industri (industrial wastes), limbah pertanian (agriculture wastes) , limbah perikanan budidaya dan air limbah pelayaran (shipping waste water).
Tabel 46. Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar 2002-2028
Gambar 75. Hubungan jumlah penduduk dan total beban sumber pencemar
b. Uji Validitas kinerja (output model) Validasi kinerja model merupakan pengujian sejauh mana kinerja model yang dibangun (output model) sesuai dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta atau diterima secara akademik. Validasi output dapat dilakukan dengan cara membandingkan data hasil keluaran model yang dibangun dengan data empiric. Beberapa jenis teknik uji statistik yang dapat digunakan dalam pengujian validasi kinerja model antara lain adalah absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE) serta U-Theil’s, dengan batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5-10%. Disamping itu juga digunakan uji Durbin Watson (DW) dan Kalman filter (KF). Dalam penelitian ini pengujian validasi kinerja terhadap model yang dibangun menggunakan uji Kalman Filter, dengan tingkat fitting (kecocokan) yang dapat diterima 47,5-52,5% (Barlas 1996 dalam Kholil 2005). Pengujian validitas kinerja ini dilakukan terhadap sub model sumber pencemar (co model) yaitu total sumber pencemar dan jumlah penduduk yang menjadi sumber utama terjadinya pencemaran. Setelah melalui berbagai penyempurnaan baik secara struktur maupun fungsional maka hasil simulasi terhadap kedua sub model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan data empiris (aktual). Angka – angka perkembangan hasil simulasi tertera pada Lampiran 16,17 dan 18. Validasi kinerja terhadap sub model sumber pencemar untuk variabel jumlah penduduk
dengan menggunakan rumus AME, AVE, KF dan DW
diperoleh nilai masing – masing 0,0171 (1,71%), 0,0175 (1,75%), 0,519 (51,9%),
dan 0,111, dengan demikian nilai – nilai AME dan AVE tersebut berada pada batas (5-10%) dan 47,5-52,5% untuk KF serta DW<2 menunjukkan pola fluktuasi kurang tajam. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel jumlah penduduk ditunjukkan pada Gambar 76.
Gambar 76. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data empiris
Hasil pengujian validasi kinerja pada sub model sumber pencemar untuk variabel total sumber pencemar dengan menggunakan rumus AME, AVE, KF dan DW diperoleh nilai masing – masing
0,017 (1,7%), 0,0566 (5,66%), 0,524
(52,4%), dan 0,0247, dengan demikian nilai – nilai AME dan AVE tersebut berada pada batas (5-10%) dan 47,5-52,5% untuk KF serta DW<2 menunjukkan pola fluktuasi kurang tajam. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel total sumber pencemar ditunjukkan pada Gambar 77.
Gambar 77. Grafik perbandingan Total sumber pencemar hasil simulasi dan aktual
5.5.4. Verifikasi Model 5.5.4.1. Verifikasi Model Beban Limbah Banyaknya
oksigen
terlarut
yang
diperlukan
bakteri
untuk
mengoksidasikan bahan organik disebut sebagai Konsumsi Oksigen Biologis (KOB) atau Biological Oksigen Demand, yang biasa disingkat BOD. Beban limbah BOD di perairan sangat dipengaruhi oleh beban limbah yang masuk ke badan air. Hasil simulasi periode 2002 – 2028 menunjukkan beban limbah BOD meningkat dari 19.353,26 ton menjadi 35.600,00 ton. Beban limbah BOD pada periode 2002- 2028 telah berada di atas nilai kapasitas asimilasi BOD yaitu 4,7375 ton (Gambar 78 dan 79). Artinya perairan wilayah pesisir tidak mampu menerima limbah yang masuk ke perairan, kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi perairan. Oleh sebab itu dibutuhkan penanganan terhadap sumber limbah BOD melalui intervensi kebijakan.
30.000 20.000
1
1
1
1
1
1
1
1 10.000
2
Tot_BL_BOD KAs_BOD
2 2 2 2 2 2 2 2.004 2.008 2.012 2.016 2.020 2.024 2.028
Time
Gambar 78. Nilai kapasitas asimilasi BOD dan Perkembangan beban limbah BOD
KAs_BOD
4,78 4,76 4,74 4,72 4,70 2.004
2.008
2.012
2.016
2.020
2.024
Time
Gambar 79. Nilai kapasitas asimilasi BOD
2.028
Kebutuhan Oksigen Kimia atau Chemical Oxygen Demand (COD) mengga mbarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O (Effendi 2003). Peningkatan total beban limbah akan mempengaruhi menurunnya kualitas air COD di perairan . Hasil simulasi menunjukkan beban limbah COD meningkat dari 36.939, 65 ton menjadi 68.044,42 ton. Beban limbah COD pada periode 2002 - 2028 nilainya berada di atas nilai kapasitas asimilasi COD yaitu 4,172 ton. (Gabar 80.) Artinya pada periode 2002-2028 air perairan menerima pencemaran limbah yang masuk ke parairan yang mengakibatkan terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Kondisi ini akan mengganggu keseimbangan ekologi perairan wilayah pesisir (Gambar 81).
KAs_COD
4,20
4,17
4,14 2.004 2.008 2.012 2.016 2.020 2.024 2.028
Time
Gambar 80. Nilai kapasitas asimilasi COD
Gambar 81. Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban pencemaran COD
5.5.4.2. Verifikasi Model Kualitas Air wilayah pesisir Konsentrasi COD di perairan dipengaruhi oleh beban limbah di DAS inlet. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata – rata konsentrasi COD pada periode 2002 - 2028 meningkat dari 49,67 mg/l menjadi 62,95 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu COD yaitu 30 mg/l (Gambar 82).
60 50
1
1
1
1
1
1
1
40
1
30
2
2
2
2
2
2
2
2.004
2.008
2.012
2.016
2.020
2.024
2.028
20
2
KA_COD BM_COD
Time
Gambar 82. Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD Beban limbah yang terus meningkat akan mempengaruhi konsentrasi BOD di perairan pesisir. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata – rata konsentrasi BOD pada periode 2002 - 2028 meningkat dari 4,34 mg/l menjadi 12,43 mg/l, nilai ini berada di atas nilai baku mutu BOD yaitu 20 mg/l (Gambar 82).
40
20
2
1 2.004
2
1 2.008
2
1 2.012
2
1 2.016
2 1
2.020
2 1
2.024
2 1
1 2
KA_BOD BM_BOD
2.028
Time
Gambar 82. Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD
5.6. Model Kebijakan Pengelolaan Landscap di Wilayah Pesisir Kota Makassar 5.6.1. Model Dinamik Landscape Pengembangan model dinamik Landscape yaitu perkembangan jumlah pohon di Kota Makasar. Simulasi dilakukan selama periode waktu 25 tahun dimulai 2003 - 2028, skenario modelnya adalah : Kebijakan penurunan dan penambahan fraksi jumlah pohon. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis estetika dan keindahan Kota Makasar. Model dinamik jumlah pohon ditunjukkan
pada Gambar 83. Model dinamik
jumlah pohon di Kota Makasar dibangun berdasarkan persamaan matematik sebagai berikut :
d (TJP) = +C (t ) .................................................................................(12b) dt t =n
TJP = +
∫ C(t )dt .................................................................................(13)
t =2002
Dalam model dinamik sederhana persamaan 14 ditulis menjadi : TJP = (J Pohon*fk pohon)......................................................................(15) Keterangan : TJP
= Total Jumlah pohon
J Pohon
= Jumlah pohon
Gambar 83. Model dinamik jumlah pohon di Pesisir Kota Makassar
5.6.2. Analisis Kecenderungan Sistem Perilaku simulasi ditetapkan selama 25 tahun, yakni dimulai tahun 2003 sampai dengan 2028.
Simulasi tersebut menunjukkan kecenderungan jumlah
pohon berkembang secara tidak linier, tetapi mengikuti bentuk persamaan polinomial.
Persamaan tersebut memiliki kecenderungan yang mengikuti
persamaan y = 1852x2 -(7x106)x+ (7x109) dengan koefisien determinasi sebesar R2 = 0,993 (Gambar 84).
Jumlah Pohon Persamaan Polinomial
Gambar 84. Kecenderungan Jumlah Pohon
5.6.3. Uji Validitas Secara garis besar uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima dan dibenarkan secara akademik atau tidak. Dalam penelitian ini dilakukan dua pengujian validasi yaitu uji validitas struktur dan validitas kinerja.
a. Uji Validitas Struktur Uji ini bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata (Muhamadi 2001).
Secara empirik
pertambahan jumlah pohon dipengaruhi oleh laju peningkatan penanaman pohon setiap tahun. Tabel 46.
Tabel 46. Simulasi jumlah pohon di Kota Makassar Time 2.002 2.003 2.004 2.005 2.006 2.007 2.008 2.009 2.010 2.011 2.012 2.013 2.014 2.015 2.016 2.017 2.018 2.019 2.020 2.021 2.022 2.023 2.024 2.025 2.026 2.027 2.028 15.000.000
J_Pohon 175.255,00 110.418,27 91.437,47 57.612,22 60.829,48 68.603,46 77.370,60 87.257,74 98.407,91 110.982,39 125.163,06 141.155,01 159.189,51 179.527,33 202.462,55 228.326,76 257.493,88 290.385,54 327.477,16 369.304,84 416.473,08 469.663,50 529.644,68 597.283,26 673.556,44 759.566,04 856.554,48
Fk_Pohon -0,374 -0,174 -0,374 0,0564 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129 0,129
b. Uji Validitas kinerja (output model) Jenis teknik uji statistik yang dapat digunakan dalam pengujian validasi kinerja model antara lain adalah absolute mean error (AME) dan absolute variation error (AVE) serta U-Theil’s, dengan batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5-10%. Disamping itu juga digunakan uji Durbin Watson (DW) dan Kalman filter (KF). Dalam penelitian ini pengujian validasi kinerja terhadap model yang dibangun menggunakan uji Kalman Filter, dengan tingkat fitting (kecocokan) yang dapat diterima 47,5-52,5% (Barlas 1996 dalam Kholil 2005). Pengujian validitas kinerja ini dilakukan terhadap model Landscape (co model) yaitu jumlah pohon. Validasi kinerja terhadap model Jumnlah pohon untuk variabel jumlah pohon dengan menggunakan rumus AME, AVE, KF dan DW diperoleh nilai masing – masing 0,0229 (2,29%), 0,0228 (2,28%), 0,50 (50%), dan 0,00193, dengan demikian nilai – nilai AME dan AVE tersebut berada pada
batas (5-10%) dan 47,5-52,5% untuk KF serta DW<2 menunjukkan pola fluktuasi kurang tajam. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel jumlah penduduk ditunjukkan pada Gambar 85.
Gambar 85. Grafik perbandingan jumlah pohon hasil simulasi dan aktual
5.6.4. Verifikasi Model Landscape Hasil simulasi periode 2002 – 2028 menunjukkan bahwa jumlah pohon meningkat dari
175.255 pohon menjadi 856.554,48 pohon. Oleh sebab itu
dibutuhkan penananganan terhadap jumlah pohon demi mempertahankan estetika kota melalui intervensi kebijakan (Gambar 86).
Gambar 86. Perkembangan Jumlah Pohon
5.6.5. Analisis Kebijakan 5.6.5.1. Skenario – Skenario Kebijakan Model Beban Limbah dan Kualitas Air Skenario yang dilakukan adalah skenario pesimis (P), moderat (M), optimis (O) dan sangat optimis (SO). Skenario pesimis adalah kondisi eksisting dimana laju pertumbuhan penduduk adalah: 1,95 % (Das Tallo), 2,53% (Das Jeneberang), 1% (pengunjung hotel di Das Tallo dan Das Jeneberang). Skenario moderat adalah intervensi fungsional terhadap laju pertambahan penduduk dari 1,95 % menjadi 1% (Das Tallo), 1% (pengunjung hotel), dan 2,53% (Das Jeneberang). Skenario optimis adalah intervensi fungsional terhadap laju pertambahan penduduk sebesar 1,95 % (Das Tallo), 1% (pengunjung hotel), dan 2,53% menjadi 1 % (Das Jeneberang). Skenario sangat optimis adalah intervensi fungsional terhadap laju pertambahan penduduk sebesar 1,95 % menjadi 1% (Das Tallo), 1% menjadi 0,05% (pengunjung hotel) dan 2,53% menjadi 1 % (Das Jeneberang) (Gambar 87).
Gambar 87. Hasil skenario model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan
5.6.5.2. Skenario – Skenario Kebijakan Model Landscape a. Pengembangan Kebijakan Alternatif Analisis kebijakan adalah pengetahuan tentang cara – cara yang strategis dalam mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu aspek penting dalam proses analisis kebijakan dengan metode sistem dinamis adalah simulasi model. Simulasi model adalah tiruan perilaku sistem nyata. Dengan menirukan perilaku sistem nyata tersebut maka proses analisis akan lebih cepat, bersifat holistik, hemat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini akan diuraikan tentang bagaimana melakukan analisis kebijakan tersebut secara teknis dan operasional dengan simulasi model (Muhamadi 2001).
Analisis
kebijakan ini dilakukan dengan melakukan intervensi fungsional dan intervensi struktural. Intervensi fungsional adalah intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter. Intervensi struktural adalah
intervensi dengan
mengubah unsur, mengubah hubungan yang membentuk struktur model atau intervensi dengan menambahkan sub model penghubung ke dalam model awal. Fasilitas intervensi adalah dengan menggunakan fungsi – fungsi khusus seperti : IF, STEP, GRAPH, Sinus, Setengah sinus, Trend, Ramp, Pulsa, Random dan Forecast.
Penggunaan fasilitas ini sesuai dengan antisipasi perubahan
parameter yang mungkin terjadi dalam dunia nyata. 500.000
Jiw a
400.000 JPddkDT JPddkDT-M
300.000
200.000 0203040506 070809101112131415161718192021222324 25262728
Gambar 88. Pertambahan jumlah penduduk berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Pertama – tama dilakukan intervensi fungsional terhadap parameter penduduk yaitu dengan kebijakan menurunkan fraksi pertambahan jumlah penduduk dari 1,95 % menjadi 1% (Das Tallo) Gambar 88. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penurunan fraksi pertumbuhan jumlah penduduk dapat menurunkan beban limbah
dari
31.032,92
ton
menjadi
30.007,94
ton
(Beban
limbah BOD) dan 59.511,30 ton menjadi 57.333,67 ton (beban limbah COD) pada tahun 2028.
Penelitian ini memperkuat simpulan Kholil (2005), bahwa
upaya penurunan beban limbah akan dapat berhasil secara efektif bila kebijakan yang ditempuh adalah dengan mengurangi pertumbuhan penduduk. Secara teknis penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya pembatasan migrasi, pembatasan usia nikah, dan sosialisasi program KB secara besar – besaran. Pertambahan penduduk merupakan faktor pengungkit (leverage factor) hal ini memperkuat simpulan Neto et al. (2006) pertambahan populasi dan perkembangan industri sejalan dengan meningkatnya
pencemaran
air
dan
degradasi
lingkungan.
Sedangkan
pembatasan kaum imigran dari luar Kota Makassar dapat dilakukan melalui kebijakan PEMDA dengan pengembangan pusat – pusat bisnis, industri, perikanan, pertanian, perkebunan dan perumahan di wilayah penyangga kota (hinterland) Makassar dan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Maros, sehingga terjadi perpindahan mobilisasi penduduk dari Kota Makassar ke daerah hinterland tersebut. Total beban limbah berkurang dari 21.086,28 ton menjadi 17.583,21 ton setelah diadakan kebijakan penurunan fraksi pertambahan penduduk dari 1,95 % menjadi 1% (Das Tallo). Secara teknis penurunan pertambahan jumlah penduduk di sekitar wilayah pesisir dapat ditempuh melalui beberapa kebijakan misalnya penerapan penegakan hukum pada wilayah pemukiman di sempadan sungai 50-100 meter dan pesisir 50 -100 meter dari titik pasang tertinggi (Kepres No 32 Tahun 1990 pasal 16 – 18). Teknis kebijakan lain adalah pembangunan pemukiman baru (perumahan) di kawasan yang layak lingkungan (sesuai RTRW). Secara teknis penurunan beban limbah pemukiman dapat ditempuh dengan penegakan regulasi. Kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk berdampak pada perlambatan pemakaian lahan pesisir, sehingga pada tahun 2028 lahan pesisir yang belum terpakai sebesar 3003,52 ha. Apabila tanpa intervensi fungsional maka luas pesisir akan tersisa (3003,16 ha) pada akhir simulasi tersebut (Gambar 89).
3.007 3.006 3.005 LTS-A
3.004
LTs_M
3.003 3.002
02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Gambar 89. Penurunan luas lahan pesisir berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk Dampak dari kebijakan penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk adalah terjadi penurunan luas lahan pesisir terpakai pada lahan pemukiman. Pada akhir simulasi luas pemukiman berkurang dari 11,19 ha menjadi 7,03 ha. (Gambar 89 dan Gambar 90). Teknis kebijakan dalam upaya memperlambat peningkatanan luas pemukiman di wilayah pesisir ditempuh melalui pelarangan ijin mendirikan bangunan (IMB) di kawasanan yang tidak sesuai RTRW, IMB BTN susun, rumah panggung, pemberian pengharggaan bagi developer yang mengikuti persyaratan ekologis (pasal 7 UU No. 4 Tahun 1992), penegakan hukum melalui Kepres No. 32 Tahun 1990 pasal 16 – 18 tentang pelarangan pembangunan pemukiman di daerah sempadan.
7,0 6,5 6,0 LPm k
5,5
LPm k -M
5,0 4,5 0203 04050607 08091011 1213141516 17181920 21222324 25262728
Gambar 90. Penurunan luas permukiman di wilayah pesisir berdasarkan intervensi fraksi pertambahan penduduk
Secara bersama – sama perlu juga dilakukan kebijakan intervensi dalam bentuk intervensi fungsional
terhadap pertumbuhan jumlah penduduk dan
jumlah pengunjung hotel. Pertumbuhan penduduk menghasilkan peningkatan beban limbah pemukiman dalam limbah cair, demikian pula untuk peningkatan pengunjung hotel juga meningkatkan limbah cair hotel. Untuk menekan berkurangnya jumlah limbah cair hotel dan pemukiman maka perlu diadakan sosialiasasi guna meningkatkan partisipasi masyarakat. Hasil simulasi model setelah dilakukan intervensi fungsional pada pengunjung hotel menunjukkan total beban limbah hotel berkurang dari 468 ton menjadi 423,78 ton pada akhir simulasi
(Gambar.91).
Upaya
penurunan
beban
limbah
hotel
melalui
pengurangan pengunjung berdampak buruk terhadap sektor pendapatan (ekonomi) hotel dan masyarakat,
hal ini memberikan petunjuk bahwa upaya
pemecahan masalah melalui intervensi STEP tersebut mengikuti bentuk struktur Archetype Shifting the Burden.
500
450
Tot_BL_H Tot_BL_H-SO
400
02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Gambar 91. Penurunan total beban limbah hotel berdasarkan intervensi fungsional Secara teknis penurunan limbah hotel melalui penurunan pengunjung hotel sulit diterapkan karena menyangkut sumber pendapatan ekonomi hotel dan penduduk. Teknis kebijakan yang dapat dilakukan adalah pelatihan pemanfaatan limbah hotel misalnya kompos dan sumber energi biogas dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation (4R + P). Hal ini merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam hal penanganan limbah di wilayah pesisir Kota Makassar.
5.6.5.3. Analisis Kebijakan Alternatif Berdasarkan pengembangan kebijakan di atas maka dilakukan analisis kebijakan alternatif dalam pengelolaan Wilayah Pesisir yang sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat melalui beberapa cara, yaitu : 1) Penduduk : Sosialisasi program KB dan pembatasan usia nikah adalah kebijakan
yang
diinginkan
dan
layak,
dimana
mendapat
dukungan
pemerintah daerah propinsi Sulawesi Selatan karena jumlah penduduk Kota Makassar yang tinggi. Jumlah penduduk Kota Makassar pada tahun 2006 diperkirakan 1.223.540 jiwa yang terdiri dari penduduk asli dan pendatang (imigrasi) (BPS Makassar 2006). Kepadatan penduduk di Kota Makassar sekitar 5,077 orang per km2. 2) Limbah cair pemukiman dan hotel : Pengolahan dengan pendekatan sumber. Pergeseran pendekatan dari pendekatan ujung-pipa (end-pipe of solution) ke pendekatan sumber. Pengembangan program pengelolaan limbah dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation (4R + P) yang meliputi, antara lain: waste to energy dan kompos. Sumber energi Biogas yang utama adalah kotoran ternak Sapi, Kerbau, dan Kuda. Satu ekor 3
ternak sapi dapat menghasilkan kurang lebih 2 m biogas (gas bio) per hari. 1 3
m biogas setara dengan 0,46 kg LPG, 0,62 liter minyak tanah, atau 3,5 kg kayu bakar (Ditjen PPHP DEPTAN 2008). Kebijakan ini diinginkan karena sejalan dengan kebijakan zero waste dan diversifikasi energi renewable. 3) Pemukiman : IMB sesuai RTRW dan Penegakan hukum melalui Kepres No. 32 Tahun 1990 pasal 16–18 tentang pelarangan pembangunan pemukiman di daerah sempadan. Kebijakan ini dinginkan dalam rangka kelestarian Wilayah Pesisir 4) Jumlah pohon : Peningkatan jumlah vegetasi melalui program reboisasi dan rehabilitasi yang melibatkan masyarakat, LSM, Dinas Pertanian, Perkebunan, PU, Kehutanan dan lain – lain.
5.6.5.4. Perangkat Lunak Model Pengelolaan Wilayah Pesisir Kota Makassar (MoPPeM) A. Konfigurasi Program Program terdiri dari lima subsistem, yaitu subsistem Menu utama, subsistem sumber pencemar, subsistem beban limbah, subsistem kualitas air dan subsistem causal loop.
B. Instalasi Program Perangkat lunak yang digunakan adalah Powersim 2005. Powersim 2005 membutuhkan spesifikasi komputer yaitu Windowa NT/XP/Vista, Memori RAM 256 MB, Hardisk 40 MB, dan VGA 64 MB.
C. Langkah – Langkah Menjalankan Program 1) Klik program MoPPeM di direktori D 2) Klik Folder MoPPeM 3) Klik COVER dan klik ’MASUK’
Gambar 92. Tampilan awal program MoPPeM
4) Klik MENU UTAMA dan silahkan disimulasikan model yang diperlukan seperti beban limbah, kualitas air dan causal loop. 5) Klik menu ‘Beban limbah’ dan klik masing – masing submenu beban limbah secara bertahap seperti ‘COD, BOD DAN PENDUDUK.’ Dan klik variasi fraksi jumlah penduduk pada Fr_JPddk pada tombol Input Data.
7.000
Time
6.000
01 Jan 2002
4.105,55
01 Jan 2015
5.272,68
01 Jan 2028
6.770,83
5.000 4.000
Tot_BLBOD
Tot_BLBOD
3.000
KAs_BOD
2.000 1.000
01 Jan 2002
01 Jan 2028
FkPddkDT KAs_BO D
0,0193
4,78
0,0195
Fk_Pgj
4,76 4,74 4,72 4,70 01 Jan 2002
0,005
0,015
01 Jan 2015
01 Jan 2028
0,025
BL COD
MENU
Gambar 93. Tampilan input data dan output data hasil simulasi model beban limbah Ketika di klik BL COD maka akan muncul Beban limbah COD untuk keadaan tanpa intervensi, dan intervensi fungsional. 6) Klik menut ‘Kualitas air’ dan klik submenu kualitas air secara bertahap seperti BOD, dan COD
Time 10.000
T o t_BLC O D
Tot_BL_COD-P
01 Jan 2002
37.113,43
01 Jan 2015
50.431,46
01 Jan 2028
68.600,00
KAs_C O D
5.000
01 Ja n 2002
01 Ja n 2028
FkPddkDT
0,0193
KAs_COD
4,20 0,0195
Fk_Pgj
4,17
4,14 0,005
0,015
0,025 01 Ja n 2002 01 Ja n 2015 01 Ja n 2028
MENU
BL BOD
Gambar 94. Tampilan input data dan output data hasil simulasi model kualitas air 7) Klik menu causal loop untuk mengetahui hubungan sebab akibat dari elemen – elemen yang ada pada sistem. 8) Klik menu kebijakan untuk mengetahui kebijakan pengelolaan wilayah pesisir
5. 7. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Perubahan penggunaan lahan permukiman arahnya ke jalan yang merupakan salah satu aksesbilitas yang sangat mudah di kota Makasar, sedangkan perubahan penggunaan lahan
kearah aksesbilitas sungai sudah
mulai berkurang karena panjang aksesbilitas sungai pertambahan tidak signifikan dengan pertambahan panjang aksesbilitas jalan. Untuk konversi perubahan penggunaan lahan di Kota Makasar terjadi di daerah pesisir yang merupakan kawasan tambak yang merupakan mata pencaharian penduduk setempat namun karena kebutuhan akan lahan permukiman maka laju luas konversi penggunaan lahan tambak lebih cepat di bandingkan dengan laju konversi penggunaan lahan lainnya. Arah perubahan penggunaan lahan dalam
setiap 5 tahun di Kota Makasar dapat dilihat pada Spatial dynamic modeling dengan perubahan jangka selama 5 tahun dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2028. Besaran perubahan penggunaan lahan untuk setiap lahan per tahun dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2028 dapat dilihat pada tabel Data Dynamic Modelling dengan menggunakan software POWERSYM yang menganalisa perubahan penggunaan lahan pertahun. Besaran perubahan penggunaan lahan untuk setiap lahan per tahun dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2028 dapat dilihat pada tabel Data Dynamic Modelling dengan menggunakan software POWERSYM yang menganalisa perubahan
penggunaan
lahan
pertahun.
Perubahan
penggunaan
yang
mengalami peningkatan antra lain ; pemukiman, dan tambak. Besaran perubahan penggunaan lahan pemukiman yaitu pada tahun 2008 sebesar 4736 ha menjadi 6265,47 ha pada tahun 2028 dan perubahan penggunaan lahan tambak sebesar 4515 pada tahun 2008 menjadi 5805 ha sedang yang mengalami penurunan yaitu sawah irigasi ada tahun 2008 sebesar 4113 ha menjadi 1888,34 ha pada tahun 2028 dan luas lahan mangrove tahun 2008 sebesar 1886 ha menjadi 797,5 ha pada tahun 2028. (lampiran 13).
Gambar 95. Peta kondisi eksisting penggunaan lahan wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2008
Gambar 96. Peta proyeksi penggunaan lahan wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2013
Gambar 97. Peta proyeksi penggunaan lahan wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2018
Gambar 98. Kondisi Existing Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2018
Gambar 98. Peta proyeksi penggunaan lahan wilayah pesisir Kota Makassar tahun 2023
Gambar 99. Peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2028
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis fisik, dan hasil simulasi model dinamik dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Kapasitas asimilasi untuk parameter BOD sebesar 4,737527 ton/bulan, dan COD sebesar 4156,667 ton/bulan. 2) Parameter BOD dan COD telah berada di atas nilai kapasitas asimilasi, hal ini menunjukkan daya dukung perairan telah menurun. 3) Pendekatan model dinamik untuk pengelolaan pesisir dapat membantu untuk mengetahui perkembangan beban limbah. Sehingga kebijakan strategis berkaitan dengan degradasi perairan dapat diantisipasi secara lebih dini. 4) Sub Model Kualitas Air perairan pesisir dapat digunakan sebagai alternatif dalam penanganan konsentrasi masing – masing parameter kualitas air yaitu BOD, dan COD. 5) Pertumbuhan penduduk merupakan faktor pengungkit (leverage factor) terhadap penanganan beban limbah. 6) Upaya pengurangan total beban limbah yang lebih besar adalah melalui intervensi fungsional dengan cara penurunan fraksi pertumbuhan penduduk dalam bentuk kebijakan sosialisasi KB, pembatasan usia nikah dan pembatasan migrasi masuk ke wilayah pesisir Makasar. 7) Teknis kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengurangan beban limbah adalah pelatihan pemanfaatan limbah hotel dan pemukiman misalnya kompos dan sumber energi biogas dengan pendekatan Reduce, Reuse, Recycle, Recovery dan Participation (4R + P). Hal ini merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat dalam hal penanganan limbah di wilayah pesisir Kota Makassar. 8) Model dinamik sumber pencemar merupakan bentuk Archetype yang kompleks, yang terdiri dari Limit to Success, Shifting the Burden dan Tragedy of the Commons. 9) Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan kawasan pesisir termasuk dalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan 41,09 %. Status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar pada setiap dimensi masing-masing dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan (47,13%), Dimensi ekonomi cukup
berkelanjutan (53,89%), dimensi sosial-budaya kurang berkelanjutan (34,82 %), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan (13,28 %) dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,74 %) Atribut-atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu diintervensi terhadap peningkatan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilyah pesisir sebanyak 14 atribut dari 52 atribut yang meliputi intensitas konversi lahan perikanan, kondisi prasarana jalan desa, ketersediaan informasi zona agroklimat,dan produktifitas usaha perikanan (dimensi ekologi), kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Kota Makassar, kelayakan usaha perikanan (dimensi ekonomi), pola hubungan masyarakat dalam kegiatan perikanan, peran masyarakat adat dalam kegiatan perikanan, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan perikanan (dimensi sosial budaya), dukungan sarana dan prasarana jalan, tingkat penguasaan teknologi perikanan (dimensi infrastruktur dan teknologi), ketersediaan
lembaga
sosial,keberadaan
lembaga
keuangan
mikro,
mekanisme lintas sektoral dalam pengembangan wilayah pesisir ( dimensi hukum dan kelembagaan) Dalam
analisis
Multi-Dimensional
(MDS)
dengan
Rap-COASTALMAK
pengaruh galat dapat diperkecil pada taraf kepercayaan 95 persen. Dengan demikian, analisis dengan Rap-COASTALMAK ini dapat dipakai untuk mengeveluasi tingkat keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir. 9) Berdasarkan hasil analisis kesesuaian lahan dengan menggunakan Sistim Informasi Geografis (SIG) terlihat bahwa wilayah pesisir Kota Makassar dapat di manfaatkan untuk berbagai kegiatan dengan jenis pemanfaatan meliputi (i) Kawasan pemukiman dengan kategori sangat sesuai seluas 6.662,6 ha, sesuai 4.176,5 ha, sesuai bersyarat 1.001,4 ha dan tidak sesuai 419,8 ha, (ii) Kawasan industri kategori sangat sesuai seluas 2,493.4 ha, sesuai 6,867.6 ha dan tidak sesuai 1.804,7 ha (iii) Kawasan Budidaya Tambak dengan kategori sangat sesuai seluas 1.759,3 ha, sesuai 5.853,2 ha dan tidak sesuai 3.792,7 ha (iv) Kawasan Pelabuhan Umum dengan kategori sangat sesuai seluas 51,3 ha, sesuai 42,5 ha dan tidak sesuai 15.876,2 ha (v) Kawasan Pariwisata dengan kategori sangat sesuai seluas 106,0 ha, sesuai 260,8 ha, dan tidak sesuai 11.893,5 ha.
10) Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar berstatus cukup berkelanjutan dengan 18 atribut yang sensitif berpengaruh dalam meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Adapun atribut-atribut
tersebut
meliputi 4 atribut pada dimensi ekologi, 3 atribut pada dimensi ekonomi, 3 atribut pada dimensi sosial dan budaya, 5 atribut pada dimensi infrastruktur dan teknologi, serta 3 atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang
perlu
dilakukan
untuk
meningkatkan
status
keberlanjutan
pengembangan wilayah pesisir di wilayah Kota Makassar adalah skenario Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif sehingga semua dimensi menjadi berkelanjutan
untuk
pengembangan
wilayah
pesisir.
Keberlanjutan
pengembangan wilayah pesisir yang diharapkan dapat mengikuti dua tipe yaitu tipe indikator kondisi dan tipe indikator trend yang menggambarkan kecenderungan linier dari perkembangan sumberdaya sampai pada batas optimal.
6.2. Saran – Saran 1) Perlu pengendalian beban limbah agar berada di bawah nilai kapasitas asimilasi. 2) Untuk mengetahui dan memprediksi total beban limbah setiap tahun maka perlu dikembangkan pendekatan model dinamik beban limbah. 3) Pemerintah Kota Makasar perlu meningkatkan program pengendalian pencemaran khususnya yang menyangkut pengendalian beban limbah baik limbah pemukiman dan limbah hotel. 4) Mengingat hasil analisis kesesuaian lahan bersifat normatif dan terlihat beberapa tempat masih terjadi tumpang tindih (overlay) dalam kesesuaian lahan, maka untuk lebih memperjelas hasil analisis kesesuaian lahan tersebut, diharapkan adanya penelitian lanjutan seperti kajian analisis daya dukung dan kajian lain yang dianggap relevan dengan perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir pantai Makassar. 5) Untuk menjaga kelestarian perairan pantai Makassar, perlu dibuat kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, melainkan juga tetap memperhatikan jaminan kelestarian lingkungan.
222 DAFTAR PUSTAKA Alaert, G. dan SS. Santika.1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional Surabaya. Alikodra, H. S., 2004. Ekosistem Mangrove Sebagai Pelindung Alami Wilayah Pesisir. Lingkungan dan Pembangunan 24 (1); 50-55. PPSML-UI. Jakarta. Alikodra, H.S., 2006. Telaahan Strategi Pembangunan Berkelanjutan Kawasan Pantura DKI Jakarta. Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. Badan Perencana Daerah. Jakarta. Bakosurtanal, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine. Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig. Bakosurtanal. Cibinong Bakosurtanal. 2000. Pedoman Kesesuaian Lahan. www.bakosurtanal.go.id. [BPS] Badan Pusat Statistik 2006. Makasssar
Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan.
[BPS] Badan Pusat Statistik 2005. Produk Domestik Regional Bruto Kota Makassar Tahun 2004. Makassar [BPS] Badan Pusat Statistik 2005.
Indikator Kesejahteraan Rakyat Kota Makassar
Tahun 2004. Makassar [BPS] Badan Pusat Statistik) Kota Makassar 2004. Makassar Dalam Angka 2004. Makassar. Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Teknis Pengelolaan dan Pengenalan Ekosistem Mangrove. PKSPL, Bogor. Bohari, R., 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut. Makalah, pada seminar lingkungan hidup di Kab. Barru. Sulawesi Selatan. Bohari, R., 2003. Potensi dan Tantangan Pengelolan wilayah pesisir dan Laut. Makalah pada Advokasi Lingkungan di Kabupaten Selayar. Sulawesi Selatan Bohari, R. 2004. Pengelolaan Lingkungan dan Permukiman Wilayah Pesisir. Makalah pada Pelatihan pendidikan lingkungan bagi Pemuda wilayah pesisir. Makassar Boyd, C.E. 1982. Water Quality in Warm Waterfish Pond. Agricultural Experiment Station, Auburn, Alabama.
An
Burn University
Brown K. E. Topkins. W. N. Aldger 2001. Trade off Anallysis for participatory Coastal Zone Decision- Making Overseas Development Group University of East Anglia Norwich U.K. Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan Pertama. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Budiharsono, S. 2006. Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Sekertariat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Budiharsono,S. 2007. Penentuan Status dan Faktor Pengungkit Pengembangan Ekonomi Lokal. Direktorat Perekonomian Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta
Budiharsono,S. 2008. Laporan Usulan Teknis Danau Toba. LPTKT. Jakarta Cincin-Sain B., and Robert W.B. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management. Concepts and Practices. Island Press Washington, DC. Covello,California Charles T.,A., 2001. Sustainable Fisheries System. Saint Mary’s University Halifax, Nova Scotia, Canada. Clark, J. R. 1996. Coatal Zone Management Handbook. Stated of Amerika. Washinngton D.C.
Lewis Publishers. United
Clark, J. R. 1998. Coastal Zone Management for New Country. Ocean and Coastal Management, Northern Ireland: Elsivier Sciences Ltd. Vol. 37. No.2 Dahuri, H.R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut, Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dahuri, R., 2000. Analisis Kebijakan dan Program Penglolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Makalah disampaikan pada Pelatihan Menajemen Wilayah Pesisir. Fakultas Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor. Dahuri, H.R., J. Rais, S.P. Ginting dan H.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prandya Paramita, Jakarta. Daraba D. 2001. Eksternalitas dan Kebijakan Publik [Makalah]. Bogor, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Direktorat Jenderal Perikanan. 1999. Program Peningkatan Ekspor Hasil Perikanan. Protekan 2003. Departemen Pertanian, Ditjen Perikanan, Jakarta. Djajadiningrat S.T.,2001. Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Djojobroto, S., 1998. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Zona Pesisir Terpadu. Departemen Dalam Negeri. Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah. Djojomartono M. 2000. Dasar-Dasar Analisis Sistem Dinamik. Program Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan 2002. Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan 2002. pesisir terpadu. Jakarta
Pedoman Umum Perencanaan
Dunn, W.N. 1994. Public Policy Analysis : An Introductio. Second Edition. Prentice Hall, Inc, A.Simon & Schulter Company, Englewood Clidds, New Jersey 07632. Dunn, W.N. 1998. Analisis Kebijakan Publik. Kerangka Analisa dan Prosedur Perumusan Masalah. Himinindita Graha Widya. Yogyakarta. Dunn, W.N. Jogyakarta.
1999.
Analisis Kebijakan Publik.
Gajah Mada University Press.
EPA, 1973. Water Quallity Criteria. Ecologycal Research Series. Washington, D.C. Elgar E., 2000. Sustainable Development and Integrated Appraisal in a Developing Word. Edward Elgar Publishing Inc. USA
Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajement. IPB Press. Bogor. Eriyatno dan F.Sofyar. 2007. Riset Kebijakan: Metode Penelitian untuk Pasca sarjana. IPB Press. Bogor. ESRI (Environmental System Research Institute, Inc). 1995. Understanding GIS ESRI. California. Fauzi A. dan Anna S. 2002. Evaluasi Staus Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatam Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4 (3). Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. Jakarta, PT. Gramedia Pustaka. Forrester, J.W. 1994. System Dynamics. System Thinking, Soft OR. System Dynamics Review 10 (2): 1-14. Ginting R. 2002. Kebijakan Publik dalam Eksternalitas [Makaah]. Bogor. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Gunawan, I. 1998. Typical Geographic Information System (GIS) Application for Coastal Resources Management Indonesia. J. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Lautan Indon. 7 (10) : 23 Hartrisari, H.H. 2002. Panduan Lokakarya Analisis Prospektif. Fakultas Teknologi Pertanian. Jurusan Teknik dan Teknologi Industri. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Iriana, D. 1999. Sumberdaya Laut, Pengertian, Potensi dan Pemanfaatannya. Seminar Nasional Pengembangan Kelautan Indonesia. BK-PTN INTIM, Makassar. [JICA] Japan International Cooperation Agency. 2006. Rencana Tata Ruang Terpadu untuk Wilayah Metropolitan Mamminasata. Provinsi Sulawesi Selatan. Kri International Corp. Nippon Koei Co, LTD. Jompa J., Winarni M., dan Daud T., 2002. Dampak Pembangunan Kawasan Pesisir Makassar bagi Kualitas Air dan Kehidupan Biota Laut. Universitas Hasanuddin. Makassar Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). University of British Columbia. Kay R., and Jacqueline Alder. 2005. Coastal Planning and Management. Taylor & Francis. London and Newyork [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 1997. Agenda 21 Indonesia. Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta Kramadibrata, S. 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganeca Exact. Bandung Krom, M. D., 1986. An Evaluation of The Concept of Assimilative Capacity as Applied to Marine Water. Ambio. XV (4): 208-214p.
Lee, C.D., S.B. Wang & C.L. Kuo, 1978. Benthis Macroinverte and Fish as Biological Indicator of Water Quality, with Reference on Water pollution Control in Developing Countries. Bangkok. Thailand. Makassar, 2006. Profil Kota Makassar. data/kependudukan.html. Tanggal 27 april 2007
http://www.Makssar.go.id.
Marimin, 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.Jakarta: Grasindo Marimin, 2004. Teori dan Aplikasi sistem Pakar Dalam Teknologi Manajerial. IPB Press. Bogor. Manetsch Tj and Park. 1997. System Analysis and Simulation With Application to Economic and Social System. Part I. third Edition. Departement of Electrical Enginering and System Science. Michigan State University East Lansing. Michigan.
.
2002.
Kajian Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Lautan Kabupaten Garut. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan) McLean, W.E., J.O.T. Jensen and D.F. Alderdice., 1993. Oxigen Consumption Rates and Water FlowREcuirements of Pacific Salmon (Oncorhynchus spp) in The Fish Culture Environment. Aquaculture, Vol. 109: 281-313p. Mersyah, R. 2005. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Moffatt I., Nick H., and Mike D.,W. 2001. Measuring and Modelling Sustainable Development. The publisshing Group. London Muhammadi, E. Aminullah, dan B. Susilo. 2001. Analisis Sistim Dinamis Lingkungan Hidup. UMJ Press. Jakarta Munasinghe M. 1992. Environmental Economic and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORD BANK. Washintong D.C. 20433. U.S.A. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut. Penerbit PT. Gramedia Jakarta.
Suatu Pendekatan Ekologis, (terjemahan).
Odum, E.P., 1971. Fundamental of Ecology. Third Edition. Toppan Co. Ltd. Tokyo. Pheng, K.S. 1989. Application of Remote Sensing and Geographic Information System in Coastal Area Management. In Chua and Pauly [editor]. Coastal Area Management in Southeast Asia : Policies, Management Strategies and Case Studies. Proceedings of Workshop at the ASEAN/US Coastal REsourches Management Project. Malaysia, October 25th -27th. Ministry of Science, Technology and the Environmental, Kuala Lumpur. Malaysia. Pramudya B., 2006. Pendekatan Sistem dalam Pengelolaan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Poernomo, A, 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Balitbang Pertanian, Balitbang Perikanan, Kerjasama United Stated Agency For International Development Fisheries and Development Project (USAID/FRDP). Quano, 1993. Training Manual on Assessment of The Quantity and Type of Land Based Pollutant Discharge Into the Marine and Coastal Environment. UNEP. Bangkok Rustiadi, Sunsun S, dan Dyah R. P. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Konsep Dasar dan Teori. Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor. Saaty. T.L. 1988. Decisiom Making. The Analytic Hierarchy Process. University of Pittsburgh. USA. Salim E. 1988. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3S, Jakarta. Sayogyo. 1996. Grasindo. Jakarta
Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. PT.
Scones, J.B., 1993. Global Equity and Environment Crisis: An Argument fo ReducingWorking Hours n The North. orld Development 19, 1: 73-84p. Sjafi’i, B.I.E. 2000. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado Sulawesi Utara. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan) Soedharma dkk, 1992. Penanganan Pelestarian Penyu di Pantai Selatan Jawa Barat. Laporan Akhir Kerjasama Fakultas Perikanan IPB dengan Biro Kependudukan dan Lingkungan Hidup Setwilda Jawa Barat. Sorensen, J.C., Mc. Crary, and M.J. Hersman. 1984. Instutional Arrangement for Management of Coastal Resources. Research Planning Institutes, Inc., Columbia, South Carolina. Sugandhy, A. 1996. Pengendalian Polusi di Laut dan Pesisir untuk menunjang Pembangunan Benua Maritim Indonesia. Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indonesia dalam rangka Mengaktualisasi Wawasan Nusantara, Ujung Pandang. Sugiarti, 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir di Kotamadya Dati II Pasuruan Jawa Timur. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan). Sujana E., Riyanto. 1999. Penegakan Hukum Lingkungan dalam Persfektif Etika Bisnis di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Supriharyono, 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Thomas/Callan. 2007. Environmental Economics. Applications, Policy and Thery. Thomson Higher Education 5191 Natorp Boulevard. Mason, OH 45040. USA. Tunner, R,K and W.N. Adger 1996. Coastal Zone Resouces Assesment Guide Lines LOICZ Report and Studies No 4. Netherlands Institute for Sea Research Texel the Netherlands Verburg, P,H., 2002. The Conversion of Land Use and Its Effect . Model Version For Regional Extend (CLUE-s Version 2,0) Wageningen University.
Verburg, P.H., P. Schoot, M. Dijst, and T.A. Vedkamp. 2004. Land Use Change Modelling: Current Practice and Researc Priorities. Geo Journal 61: 306-324 [WCED] Word Commission on Environment and Development, 1987. Our Common Future. Oxford University Press. South Melbourne, Australia. World Wide Fund for Nature (WWF). 2004. Pelatihan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam (Keterkaitan Ekologi dan Ekonomi): Tarakan 27 Juli – 30 Juli 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992. Tentang Penataan Ruang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007. Tentang Penataan Ruang
Kondisi Pantai Losari Pada Saat Air Laut Surut
Masyarakat Nelayan Yang Memanfaatkan Pantai Losari Sebagai Tempat Mencari Nafkah
Kondisi Laguna yang Terletak di Sepanjang Jalan Metro Tanjung Bunga
Kondisi Perairan Pantai Losari dan Pintu Gerbang menuju Tanjung Bunga
Lampiran 2. Data Kualitas Air Pantai Makassar 1
Data Kualitas Air Pantai Makassar 1 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 30 2 Salinitas (‰) 30 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 3,5 5 Oksigen Terlarut (ppm) 5 6 BOD (ppm) 4,2 7 COD (ppm) 32 Data Kualitas Air Pantai Makassar 2 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 32 2 Salinitas (‰) 35 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 3 5 Oksigen Terlarut (ppm) 7,2 6 BOD (ppm) 7 7 COD (ppm) 30
22-Apr-08
St.2 32 10 7 4,5 6,8 5,6 62
St.3 30 34 7,5 3 6,2 5 68
St.4 29,5 32 7 11 6,8 6 66
St.5 32 32 6 4 5,2 3,4 52 15-Jun08
St.2 30 25 6,5 4 6,8 6 78
St.3 31 35 7,5 4 7 5,8 58
St.4 31 31 7,5 5,5 8,2 8 60
St.5 31 33 7 6,5 6,8 5 44
Lampiran 4. Data Kualitas Air Pantai Makassar 3
Data Kualitas Air Pantai Makassar 3 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 28 2 Salinitas (‰) 34 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 3 5 Oksigen Terlarut (ppm) 6 6 BOD (ppm) 4,8 7 COD (ppm) 36
22-Jun08
St.2 38 35 7,5 3,5 6 5,2 12
St.3 29 35 7,5 4 5 4,2 20
St.4 28 35 8 5 5,6 4,8 22
St.5 28 35 8 7,5 7 5,8 126
Lampiran 5. Data Kualitas Air Pantai Makassar 4
Data Kualitas Air Pantai Makassar 4 No Parameter St 1 1 Temperatur (ºC) 30 2 Salinitas (‰) 34 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 2,5 5 Oksigen Terlarut (ppm) 7,8 6 BOD (ppm) 7 7 COD (ppm) 72
29-Jun08
St 2 28 34,5 8 3,5 5,8 5 82
St 3 28 35 8 3,5 6,4 6 18
St 4 27 35 8 5,5 6,4 5,8 30
St 5 29 35 8 6,5 9,5 7,7 26
Lampiran 6. Data Kualitas Air Pantai Makassar 5
Data Kualitas Air Pantai Makassar 5 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 30 2 Salinitas (‰) 34 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 3 5 Oksigen Terlarut (ppm) 6 6 BOD (ppm) 5,6 7 COD (ppm) 60
06-Jul08
St.2 30-,0 30 8 4 7,5 6,8 48
St.3 29 34 8 4,5 7,5 7 56
St.4 29,5 35 8 6 8 7,2 70
13-Jul08
Lampiran 7. Data Kualitas Air Pantai Makassar 6
No 1 2 3 4 5 6 7
Parameter Temperatur (ºC) Salinitas (‰) pH Kedalaman (m) Oksigen Terlarut (ppm) BOD (ppm) COD (ppm)
St.1 32 34 7,5 2,5 7,8 7 20
St.2 30 35 7 3,5 5,8 5 24
St.5 31 35 8 6,5 8,5 6,5 80
St.3 28 35 8 5,5 6,4 5,8 22
St.4 28 35 8 5,5 7,5 6,8 20
St.5 29 35 7,5 6,5 7,4 6,6 22
Lampiran 8. Data Kualitas Air Pantai Makassar 7
Data Kualitas Air Pantai Makassar 7 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 31 2 Salinitas (‰) 30 3 pH 8 4 Kedalaman (m) 3 5 Oksigen Terlarut (ppm) 6 6 BOD (ppm) 5,6 7 COD (ppm) 26
20-Jul08
St.2 31 29 7,5 3,5 6,8 6,2 8
St.3 30 34 8 4 8,8 7,8 20
St.4 30 34 7,5 5 10 9,2 24
St.5 31 34 8 6 10 8,2 22
Lampiran 9. Data Kualitas Air Pantai Makassar 8
Data Kualitas Air Pantai Makassar 8 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 28,5 2 Salinitas (‰) 35 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 3,5 5 Oksigen Terlarut (ppm) 7,5 6 BOD (ppm) 6,8 7 COD (ppm) 26
27-Jul08
St.2 31 34 8 3 8 7,2 8
St.3 31 35 7,5 4,5 8,5 8 20
St.4 31 35 8 6 9 8,2 24
St.5 32 34,5 8 6,5 7,5 6 22
Lampiran 10. Data Kualitas Air Pantai Makassar 9
Data Kualitas Air Pantai Makassar 9 No Parameter St.1 1 Temperatur (ºC) 31 2 Salinitas (‰) 35 3 pH 7,5 4 Kedalaman (m) 3 5 Oksigen Terlarut (ppm) 8 6 BOD (ppm) 6,8 7 COD (ppm) 32
04-Agust08
St.2 31 35 8 3 7,8 7 54
St.3 29 34,5 8 4 8,8 8 22
St.4 29 35 8 4,5 8,6 6,8 36
St.5 28 35 7,5 5,5 10,8 9 22
Lampiran 11. Data Kualitas Air Pantai Makassar 10
Data Kualitas Air Pantai Makassar 10 No Parameter St.1 1 Temperatur(ºC) 29 2 Salinitas (‰) 34,5 3 pH 8 4 Kedalaman (m) 3,5 5 Oksigen Terlarut (ppm) 7,8 6 BOD (ppm) 7 7 COD (ppm) 30
11-Agust08
St.2 28,5 35 7,5 2,5 7,5 7 26
St.3 29 35 7,5 4,5 9,6 8,8 16
St.4 29 35 8 4 10 8 16
St.5 28 35 8 6 11 7 18
237
Lampiran 12. Data Kualitas Air Pantai Makassar Untuk Logam Berat HASIL ANALISA SAMPEL KONSENTRASI Pb No Jenis Sampel Kode Contoh 1 Sampel 5 St 1 2 Sampel 5 St 2 3 Sampel 5 St 3 4 Sampel 5 St 4 5 Sampel 5 St 5 6 Sampel 7 St 1 7 Sampel 7 St 2 8 Sampel 7 St 3 9 Sampel 7 St 4 10 Sampel 7 St 5 11 Sampel 8 St 1 12 Sampel 8 St 2 13 Sampel 8 St 3 14 Sampel 8 St 4 15 Sampel 8 St 5 16 Sampel 9 St 1 17 Sampel 9 St 2 18 Sampel 9 St 3 19 Sampel 9 St 4 20 Sampel 9 St 5 21 Sampel 10 St 1 22 Sampel 10 St 2 23 Sampel 10 St 3
Sampel 5St 1 Sampel 5St 2 Sampel 5St 3 Sampel 5St 4 Sampel 5St 5 Sampel 7St 1 Sampel 7St 2 Sampel 7St 3 Sampel 7St 4 Sampel 7St 5 Sampel 8St 1 Sampel 8St 2 Sampel 8St 3 Sampel 8St 4 Sampel 8St 5 Sampel 9St 1 Sampel 9St 2 Sampel 9St 3 Sampel 9St 4 Sampel 9St 5 Sampel 10St 1 Sampel 10St 2 Sampel 10St 3
Absorbansi 0,009 0,012 0,011 0,008 0,013 0,009 0,009 0,01 0,009 0,009 0,011 0,013 0,013 0,012 0,014 0,013 0,013 0,011 0,012 0,013 0,013 0,015 0,014
Konsentrasi Pb (ppm) 0,491 0,665 0,607 0,434 0,723 0,491 0,491 0,549 0,491 0,491 0,607 0,723 0,723 0,665 0,78 0,723 0,723 0,607 0,665 0,78 0,723 0,838 0,78
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Sampel 10 Sampel 10 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6
St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5
Sampel 10St 4 Sampel 10St 5 Sampel 1St 1 Sampel 1St 2 Sampel 1St 3 Sampel 1St 4 Sampel 1St 5 Sampel 2St 1 Sampel 2St 2 Sampel 2St 3 Sampel 2St 4 Sampel 2St 5 Sampel 3St 1 Sampel 3St 2 Sampel 3St 3 Sampel 3St 4 Sampel 3St 5 Sampel 4St 1 Sampel 4St 2 Sampel 4St 3 Sampel 4St 4 Sampel 4St 5 Sampel 6St 1 Sampel 6St 2 Sampel 6St 3 Sampel 6St 4 Sampel 6St 5
0,014 0,014 0,008 0,009 0,009 0,011 0,01 0,011 0,008 0,01 0,01 0,01 0,011 0,008 0,008 0,01 No Data 0,01 0,013 0,013 0,013 0,012 0,012 0,012 0,012 0,013 0,013
0,78 0,78 0,434 0,491 0,491 0,607 0,549 0,607 0,434 0,549 0,549 0,549 0,607 0,434 0,434 0,549 No Data 0,549 0,723 0,723 0,723 0,665 0,665 0,665 0,665 0,723 0,723
HASIL ANALISA SAMPEL KONSENTRASI Cd No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Jenis Sampel Sampel 5 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 10 Sampel 10
Kode Contoh St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2
Sampel 5St 1 Sampel 5St 2 Sampel 5St 3 Sampel 5St 4 Sampel 5St 5 Sampel 7St 1 Sampel 7St 2 Sampel 7St 3 Sampel 7St 4 Sampel 7St 5 Sampel 8St 1 Sampel 8St 2 Sampel 8St 3 Sampel 8St 4 Sampel 8St 5 Sampel 9St 1 Sampel 9St 2 Sampel 9St 3 Sampel 9St 4 Sampel 9St 5 Sampel 10St 1 Sampel 10St 2
Absorbansi 0,008 0,008 0,008 0,009 0,009 0,008 0,006 0,007 0,007 0,007 0,006 0,007 0,006 0,006 0,007 0,004 0,006 0,006 0,004 0,004 0 0
Konsentrasi Cd (ppm) 0,121 0,121 0,121 0,129 0,129 0,121 0,106 0,113 0,113 0,113 0,106 0,113 0,106 0,106 0,113 0,091 0,106 0,106 0,091 0,091 Tt Tt
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
Sampel 10 Sampel 10 Sampel 10 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6
St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4
Sampel 10St 3 Sampel 10St 4 Sampel 10St 5 Sampel 1St 1 Sampel 1St 2 Sampel 1St 3 Sampel 1St 4 Sampel 1St 5 Sampel 2St 1 Sampel 2St 2 Sampel 2St 3 Sampel 2St 4 Sampel 2St 5 Sampel 3St 1 Sampel 3St 2 Sampel 3St 3 Sampel 3St 4 Sampel 3St 5 Sampel 4St 1 Sampel 4St 2 Sampel 4St 3 Sampel 4St 4 Sampel 4St 5 Sampel 6St 1 Sampel 6St 2 Sampel 6St 3 Sampel 6St 4
0 0 0 0,009 0,008 0,008 0,007 0,007 0,005 0,005 0,005 0,003 0,003 0 0 0 0,004 No Data 0 0 0 0 0 0 0,007 0,007 0,006
Tt Tt Tt 0,129 0,121 0,121 0,113 0,113 0,098 0,098 0.098 0,083 0,083 Tt Tt Tt 0,091 No Data Tt Tt Tt Tt Tt Tt 0,113 0,113 0,106
49
Sampel 6
St 5
Sampel 6St 5
0,006
0,106
Sampel 5St 1 Sampel 5St 2 Sampel 5St 3 Sampel 5St 4 Sampel 5St 5 Sampel 7St 1 Sampel 7St 2 Sampel 7St 3 Sampel 7St 4 Sampel 7St 5 Sampel 8St 1 Sampel 8St 2 Sampel 8St 3 Sampel 8St 4 Sampel 8St 5 Sampel 9St 1 Sampel 9St 2 Sampel 9St 3 Sampel 9St 4 Sampel 9St 5
Absorbansi 0,003 0,003 0,002 0,002 0,002 0,002 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003
Konsentrasi Cu (ppm) 0,039 0,039 0,027 0,027 0,027 0,027 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039
HASIL ANALISA SAMPEL KONSENTRASI Cu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jenis Sampel Sampel 5 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 5 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 7 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 8 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 9 Sampel 9
Kode Contoh St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
41 42 43 44
Sampel 10 Sampel 10 Sampel 10 Sampel 10 Sampel 10 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 1 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 2 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 3 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4 Sampel 4
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 1 St 5 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5
Sampel 10St 1 Sampel 10St 2 Sampel 10St 3 Sampel 10St 4 Sampel 10St 5 Sampel 1St 1 Sampel 1St 2 Sampel 1St 3 Sampel 1St 4 Sampel 1St 5 Sampel 2St 1 Sampel 2St 2 Sampel 2St 3 Sampel 2St 4 Sampel 2St 5 Sampel 3St 1 Sampel 3St 2 Sampel 3St 3 Sampel 3St 4 Sampel 3St 1 Sampel 3St 5 Sampel 4St 1 Sampel 4St 2 Sampel 4St 3 Sampel 4St 4 Sampel 4St 5
0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,002 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003 No Data 0,003 0,003 0,003 0,003 0,003
0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,027 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039 No Data 0,039 0,039 0,039 0,039 0,039
45 46 47 48 49
Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6 Sampel 6
St 1 St 2 St 3 St 4 St 5
Sampel 6St 1 Sampel 6St 2 Sampel 6St 3 Sampel 6St 4 Sampel 6St 5
0,003 0,003 0,003 0,003 0,003
0,039 0,039 0,039 0,039 0,039
244 Lampiran 13. Persamaan Model Dinamik Beban Limbah dan Kualitas Air
init
JPddkDT = 173846
flow
JPddkDT = +dt*LPddkDT
init
JPddkDT_1 = 636148
flow
JPddkDT_1 = +dt*LPddkDT_1
flow
JPgj = +dt*LjPgj
init
LTs = 3007.29
flow
LTs = -dt*LLTs
init
Pop_Pddk = 1191456
flow
Pop_Pddk = +dt*LPddk
doc
Pop_Pddk = Jiwa
aux
LjPgj = Fk_Pgj*JPgj
aux
LLTs = Fr_Pmk2*LPmk
aux
LPddk = Pop_Pddk*Fk_Pddk*LBTp*Auxiliary_6
aux
LPddkDT = FkPddkDT*JPddkDT*LBTp
aux
LPddkDT_1 = FkPddkDT_1*JPddkDT_1*LBTp
aux
Auxiliary_6 =
GRAPH(TIME,0,0.1,[8.8,8.8,8.6,8.4,8.2,7.7,7.2,6.4,5.7,3.9,0.2"Min:0;Max:10"]) aux
BL_N_Hl = Fk_N_Hl*JPgj
aux
BL_N_Hl_1 = Fk_N_Hl_1*JPgj
aux
BL_NLp = Fk_NLp*JPddkDT
aux
BL_NLp_1 = Fk_NLp_1*JPddkDT_1
aux
BL_P_Hl = Fk_P_Hl*JPgj
aux
BL_P_Hl_1 = Fk_P_Hl_1*JPgj
aux
BL_PLp = Fk_PLp*JPddkDT
aux
BL_PLp_1 = Fk_PLp_1*JPddkDT_1
aux
BLBOD_Hl = Fk_BOD_Hl*JPgj
aux
BLBOD_Hl_1 = Fk_BOD_Hl_1*JPgj
aux
BLBODLp = Fk_BODLp*JPddkDT
aux
BLBODLp_1 = Fk_BODLp_1*JPddkDT_1
aux
BLBODsH = Fk_BODsH*JPgj
aux
BLBODsH_1 = Fk_BODsH_1*JPgj
aux
BLBODsP = Fk_BODsP*JPddkDT
aux
BLBODsP_1 = Fk_BODsP_1*JPddkDT_1
aux
BLCOD_Hl = Fk_COD_Hl*JPgj
aux
BLCOD_Hl_1 = Fk_COD_Hl_1*JPgj
aux
BLCODlP = Fk_CODLp*JPddkDT
aux
BLCODlP_1 = Fk_CODLp_1*JPddkDT_1
aux
BLCODsH = FkCODsH*JPgj
aux
BLCODsH_1 = FkCODsH_1*JPgj
aux
BLCODsP = FkCODsP*JPddkDT
aux
BLCODsP_1 = FkCODsP_1*JPddkDT_1
aux
BLNsH = FkNsH*JPgj
aux
BLNsH_1 = FkNsH_1*JPgj
aux
BLNsP = FkNsP*JPddkDT
aux
BLNsP_1 = FkNsP_1*JPddkDT_1
aux
BLP_sP = FkP_sP*JPddkDT
aux
BLP_sP_1 = FkP_sP_1*JPddkDT_1
aux
BLPsH = FkPsH*JPgj
aux
BLPsH_1 = FkPsH_1*JPgj
aux
Fk_BOD_Hl = 53*kont_1
aux
Fk_BOD_Hl_1 = 53*kont_2
aux
Fk_BODLp = 53*kont
aux
Fk_BODLp_1 = 53*kont_3
aux
Fk_BODsH = 12.6*kont
aux
Fk_BODsH_1 = 12.6*kont_3
aux
Fk_BODsP = 12.6*kont
aux
Fk_BODsP_1 = 12.6*kont_3
aux
Fk_COD_Hl = 101.6*kont_1
aux
Fk_COD_Hl_1 = 101.6*kont_2
aux
Fk_CODLp = 101.6*kont
aux
Fk_CODLp_1 = 101.6*kont_3
aux
Fk_N_Hl = 22.7*kont_1
aux
Fk_N_Hl_1 = 22.7*kont_2
aux
Fk_NLp = 22.7*kont
aux
Fk_NLp_1 = 22.7*kont_3
aux
Fk_P_Hl = 3.8*kont_1
aux
Fk_P_Hl_1 = 3.8*kont_2
aux
Fk_PLp = 3.8*kont
aux
Fk_PLp_1 = 3.8*kont_3
aux
FkCODsH = 24.2*kont
aux
FkCODsH_1 = 24.2*kont_3
aux
FkCODsP = 24.2*kont
aux
FkCODsP_1 = 24.2*kont_3
aux
FkNsH = 5.4*kont
aux
FkNsH_1 = 5.4*kont_3
aux
FkNsP = 5.4*kont
aux
FkNsP_1 = 5.4*kont_3
aux
FkP_sP = 0.9*kont
aux
FkP_sP_1 = 0.9*kont_3
aux
FkPsH = 0.9*kont
aux
FkPsH_1 = 0.9*kont_3
aux
Jml_NPrL = Fk_NPrL*Pop_Pddk
aux
KA_BOD = Constant_a*Tot_BL_BOD-Constant_b
aux
KA_COD = Constant_a1*Tot_BL_COD+Constant_c1
aux
LBTp = 1-LPmk/LTs_akh
aux
LPmk = Fk_Pmk*Pop_Pddk
aux
LTs_akh = IF(LTs<0, 0, LTs)
aux
Pdpt_B = Fr_Pdpt_B*PPrL
aux
PPrL = FrPPrL*Jml_NPrL
doc
PPrL = Ton/thn
aux
Tot_BL_BOD =
Tot_BLBOD+Tot_BLBOD_1+Tot_BOD_BLH+Tot_BOD_BLH_1 aux
Tot_BL_COD =
Tot_BLCOD+Tot_BLCOD_1+Tot_COD_BLH+Tot_COD_BLH_1 aux
Tot_BL_H_J =
Tot_BOD_BLH_1+Tot_COD_BLH_1+Tot_N_BLH_1+Tot_P_BLH_1 aux
Tot_BL_Hotel = Tot_BL_H_J+Tot_BL_HT
aux
Tot_BL_HT = Tot_BOD_BLH+Tot_COD_BLH+Tot_N_BLH+Tot_P_BLH
aux
Tot_BL_J = Tot_BL_H_J+Tot_BL_P_J
aux
Tot_BL_P_J = Tot_BLBOD_1+Tot_BLCOD_1+Tot_BLN_1+Tot_BLP_1
aux
Tot_BL_Pemukiman = Tot_BL_P_J+Tot_BL_PT
aux
Tot_BL_PT = Tot_BLBOD+Tot_BLCOD+Tot_BLN+Tot_BLP
aux
Tot_BL_T = Tot_BL_HT+Tot_BL_PT
aux
Tot_BLBOD = BLBODLp+BLBODsP
aux
Tot_BLBOD_1 = BLBODLp_1+BLBODsP_1
aux
Tot_BLCOD = BLCODlP+BLCODsP
aux
Tot_BLCOD_1 = BLCODlP_1+BLCODsP_1
aux
Tot_BLN = BL_NLp+BLNsP
aux
Tot_BLN_1 = BL_NLp_1+BLNsP_1
aux
Tot_BLP = BL_PLp+BLP_sP
aux
Tot_BLP_1 = BL_PLp_1+BLP_sP_1
aux
Tot_BOD_BLH = BLBOD_Hl+BLBODsH
aux
Tot_BOD_BLH_1 = BLBOD_Hl_1+BLBODsH_1
aux
Tot_BS_Pencemar = Tot_BL_Hotel+Tot_BL_Pemukiman
aux
Tot_COD_BLH = BLCODsH+BLCOD_Hl
aux
Tot_COD_BLH_1 = BLCODsH_1+Fk_COD_Hl_1
aux
Tot_N_BLH = BL_N_Hl+BLNsH
aux
Tot_N_BLH_1 = BL_N_Hl_1+BLNsH_1
aux
Tot_P_BLH = BL_P_Hl+BLPsH
aux
Tot_P_BLH_1 = BL_P_Hl_1+BLPsH_1
const BM_BOD = 20 const BM_COD = 30 const Constant_a = 0.0007 const Constant_a1 = 0.0006 const Constant_b = 9.2098 const Constant_c1 = 27.506 const Fk_NPrL = 0.0599 const Fk_Pddk = 0.0003977612
const Fk_Pgj = 0.01 const Fk_Pmk = 0.0000246 const FkPddkDT = 0.019463628
const FkPddkDT_1 = 0.025269573
const Fr_Pdpt_B = 1810041 const Fr_Pmk2 = 0.01 const FrPPrL = 8.2673 doc
FrPPrL = Ton
const KAs_BOD = 4.737527492
const KAs_COD = 4.171943402
const kont = 360/1000000 const kont_1 = 360/1000000 const kont_2 = 360/1000000 const kont_3 = 360/1000000
Lampiran 14. Persamaan Model Dinamik Landscape
init
J_Pohon = 175255
flow
J_Pohon = +dt*Lj_JPohon
init
J_Pohon_1 = 92886
flow
J_Pohon_1 = +dt*Lj_JPohon_1
init
J_Pohon_2 = 175255
flow
J_Pohon_2 = +dt*Lj_JPohon_2
init
LTs = 3007.29
flow
LTs = -dt*LLTs
init
LTs_1 = 3007.29
flow
LTs_1 = -dt*LLTs_1
init
LTs_2 = 3007.29
flow
LTs_2 = -dt*LLTs_2
init
Pop_Pddk = 1191456
flow
Pop_Pddk = +dt*LPddk
doc
Pop_Pddk = Jiwa
init
Pop_Pddk_1 = 1191456
flow
Pop_Pddk_1 = +dt*LPddk_1
doc
Pop_Pddk_1 = Jiwa
init
Pop_Pddk_2 = 1191456
flow
Pop_Pddk_2 = +dt*LPddk_2
doc
Pop_Pddk_2 = Jiwa
aux
Lj_JPohon = Fk_Pohon*J_Pohon*LBTp
aux
Lj_JPohon_1 = Fr_STEP_DOWN_JPohon_M*Fk_Pohon_1*J_Pohon_1*LBTp_1
aux
Lj_JPohon_2 = (Fk_Pohon_2*J_Pohon_2*LBTp_2)-
Fr_Pohon_UP*(Fk_Pohon_2*J_Pohon_2*LBTp_2) aux
LLTs = Fk_LPmk*LPmk
aux
LLTs_1 = Fk_LPmk_1*LPmk_1
aux
LLTs_2 = Fk_LPmk_2*LPmk_2
aux
LPddk = Fk_Pddk*Pop_Pddk*LBTp
aux
LPddk_1 = Fk_Pddk_1*Pop_Pddk_1*LBTp_1
aux
LPddk_2 = Fk_Pddk_2*Pop_Pddk_2*LBTp_2
aux
Fk_Pohon = GRAPH(TIME,2002,1,[-0.3735977,-0.1735977,-
0.3735977,0.163997,0.2907746"Min:-0.3735977;Max:0.2907746"]) aux
Fk_Pohon_1 = GRAPH(TIME,2005,1,[-0.3735977,0.163997,0.2907746"Min:-
0.3735977;Max:0.2907746"]) aux
Fk_Pohon_2 = GRAPH(TIME,2002,1,[-0.3735977,-0.1735977,-
0.3735977,0.163997,0.2907746"Min:-0.3735977;Max:0.2907746"]) aux
Fr_STEP_DOWN_JPohon_M = STEP(50%, 2002)
aux
Jml_NPrL = Fk_NPrL*Pop_Pddk
aux
Jml_NPrL_1 = Fk_NPrL_1*Pop_Pddk_1
aux
Jml_NPrL_2 = Fk_NPrL_2*Pop_Pddk_2
aux
LBTp = 1-LPmk/LTs
aux
LBTp_1 = 1-LPmk_1/LTs_1
aux
LBTp_2 = 1-LPmk_2/LTs_2
aux
LPmk = Fk_Pmk*Pop_Pddk
aux
LPmk_1 = Fk_Pmk_1*Pop_Pddk_1
aux
LPmk_2 = Fk_Pmk_2*Pop_Pddk_2
aux
Pdpt_B = Fk_Pdpt_B*PPrL
aux
Pdpt_B_1 = Fk_Pdpt_B_1*PPrL_1
aux
Pdpt_B_2 = Fk_Pdpt_B_2*PPrL_2
aux
PPrL = FrPPrL*Jml_NPrL
doc
PPrL = Ton/thn
aux
PPrL_1 = FrPPrL_1*Jml_NPrL_1
doc
PPrL_1 = Ton/thn
aux
PPrL_2 = FrPPrL_2*Jml_NPrL_2
doc
PPrL_2 = Ton/thn
const Fk_LPmk = 0.001 const Fk_LPmk_1 = 0.001 const Fk_LPmk_2 = 0.001 const Fk_NPrL = 0.0599 const Fk_NPrL_1 = 0.0599 const Fk_NPrL_2 = 0.0599 const Fk_Pddk = 0.003977612
const Fk_Pddk_1 = 0.003977612
const Fk_Pddk_2 = 0.003977612
const Fk_Pdpt_B = 1810041 const Fk_Pdpt_B_1 = 1810041 const Fk_Pdpt_B_2 = 1810041 const Fk_Pmk = 0.0000246 const Fk_Pmk_1 = 0.0000246 const Fk_Pmk_2 = 0.0000246 const Fr_Pohon_UP = 25% const FrPPrL = 8.2673 doc
FrPPrL = Ton
const FrPPrL_1 = 8.2673 doc
FrPPrL_1 = Ton
const FrPPrL_2 = 8.2673 doc
FrPPrL_2 = Ton
252
Lampiran 15. Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2008 – 2028 Mangrove
Permukiman
RTH
Sawah irigasi
Semak dan alang
2008
1.886,00
4.736,00
8,00
4.113,00
373,00
4.515,00
15.631
2009
1.850,21
4.839,24
8,00
4.009,76
363,64
4.560,15
15.631
2010
1.814,09
4.943,77
8,00
3.905,23
354,16
4.605,75
15.631
2011
1.777,58
5.049,07
8,00
3.799,93
344,61
4.651,81
15.631
2012
1.736,06
5.155,44
8,00
3.693,56
334,96
4.702,98
15.631
2013
1.694,06
5.262,76
8,00
3.586,24
325,23
4.754,71
15.631
2014
1.650,15
5.371,00
8,00
3.478,00
315,41
4.808,44
15.631
2015
1.604,26
5.480,12
8,00
3.368,88
305,52
4.864,22
15.631
2016
1.556,35
5.590,09
8,00
3.258,91
295,54
4.922,10
15.631
2017
1.506,35
5.700,86
8,00
3.148,14
285,50
4.982,15
15.631
2018
1.454,19
5.812,41
8,00
3.036,59
275,38
5.044,43
15.631
2019
1.399,80
5.924,69
8,00
2.924,31
265,20
5.109,00
15.631
2020
1.343,12
6.037,65
8,00
2.811,35
254,96
5.175,93
15.631
2021
1.284,06
6.151,26
8,00
2.697,74
244,65
5.245,28
15.631
Tahun
Tambak
Total
2022
1.222,56
6.265,47
8,00
2.583,53
234,30
5.317,14
15.631
2023
1.158,53
6.380,23
8,00
2.468,77
223,89
5.391,58
15.631
2024
1.091,88
6.495,50
8,00
2.353,50
213,43
5.468,68
15.631
2025
1.022,54
6.611,23
8,00
2.237,77
202,94
5.548,53
15.631
2026
950,39
6.727,37
8,00
2.121,63
192,41
5.631,20
15.631
2027
875,37
6.843,86
8,00
2.005,14
181,84
5.716,79
15.631
2028
797,35
6.960,66
8,00
1.888,34
171,25
5.805,40
15.631
254
Lampiran 16. Validasi Jumlah Penduduk
Lampiran 17. Validasi Total Sumber Pencemar
Lampiran 18. Validasi Jumlah Pohon pada Model Landscape
Lampiran 19. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Tanggal 23 Oktober 1995.
No 1 2 3 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Parameter Fisika Temperatur Zat padat terlarut Zat padat tersuspensi Kimia pH Besi terlarut (Fe) Mangan terlarut (Mn) Barium (Ba) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Krom Heksavalen (Cr6+) Krom total (Cr) Cadmium (Cd) Air Raksa (Hg) Timbal (Pb) Stanum (Sn) Arsen (As) Selenium (Se) Nikel (Ni) Kobalt (Co) Sianida (CN) Hidrogen Sulfida (H2S) Fluorida (F) Klorin bebas (Cl2) Amonia bebas (NH3-N) Nitrat (NO3-N) Nitrit (NO2-N) BOD5 COD Senyawa aktif biru metilen Fenol Minyak nabati Mnyak mineral
Satuan o
Golongan Mutu Limbah Cair
C mg/L mg/L
38 2000 200
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
5,0 2,0 2,0 2,0 5,0 0,1 0,5 0,05 0,002 0,1 2,0 0,1 0,05 0,2 0,4 0,05 0,05 2,0 1,0 1,0 20 1,0 50 100 5,0 0,5 5,0 10,0
40 4000 400 6,0-9,0 10 5,0 3,0 3,0 10 0,5 1,0 0,1 0,005 1,0 3,0 0,5 0,5 0,5 0,6 0,5 0,1 3,0 2,0 5,0 30 3,0 150 300 10 1,0 10 50