MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR YANG BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM DI PESISIR INDRAMAYU DAN CIAMIS
RUSWANDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. Al-Rum (30) : 41)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir Indramayu dan Ciamis” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2009
Ruswandi P 062050544/PSL
Penguji Luar pada waktu Ujian Tertutup: Dr.rer.nat. Totok Hestionoto Penguji Luar pada waktu Ujian Terbuka: Prof. Ir. Safwan Hadi, PhD. Dr.Ir. I Wayan Nurjaya
ABSTRACT Indramayu and Ciamis as two marine regencies in West Java Province have huge natural coastal resources. Besides that these regency have high natural disaster potency which threat the sustainibility of the natural resources exixtence so need disaster mitigation efforts. The research’s goal is to formulate the direction of the sustainable coastal development policy which disaster mitigation perspective. This research use some analysis method that are KBMS, combination of SWOT and AHP, ISM, MPE and AHP which are packaged as the policy model of sustainable coastal zone development which disaster mitigation perspective known as MKP2B2MB. Research result shown there are four regulation have close relationship with disaster mitigation in coastal zone, that are Act number 07 year 2004, Act number 24 year 2007, Act number 26 year 2007 and Act number 27 year 2007. Coastal zone development policy in Indramayu and Ciamis recently still not yet aims to the Integrated Coastal Zone Management. Natural disaster potency which is more dominant in Indramayu is storm tide and in Ciamis is earthquake, tsunami and storm tide. Mitigation which must be implemented in Indramayu are combination of breakwater, slope protection/bank revetment/seawalls, and groyne and in Ciamis is early warning system. Furthermore are made up development policy which will be implemented in Indramayu and in Ciamis whereas the synthesis policy is to develope the infrastructure of coastal zone with disaster perspective and to increase the stakeholder participation to attain comanagement in order to eliminate the domination of other people to another people and to match the various importances by considering the national and local competences. In order to achieve policy goal and policy objective, the policy is obliged to has basic strategy, appropriate strategy and strategic stages. The sustainable coastal development strategic base is to increase food security by coastal based green industrial development, local competitiveness capacity increasement and conservation. Disaster mitigation strategic base is to allocate proportional budget to create economic infrastructure development and its facilities based on local characteristics which fully integrated with coastal protection system. The quarter track strategy was proposed consists of pro growth, pro job, pro poor and pro mitigation in this research known as novelty. Strategic stages of coastal sustainable development are to arrange coastal spatial planning suitable with status and area function, and to increase monitoring and controlling for natural coastal resources utilization. Strategic stages of coastal disaster mitigation are to empower coastal people on disaster mitigation affair, to revise coastal spatial plan and its regulation by considering mitigation aspect and to provide data, hazard map and risk assesment, to provide NSPM of building in prone areas, and to simplify disaster mitigation SOP with SMART. Furthermore determinate shortterm targets and longterm targets. There are two policy goals which are obliged to achieve, that is the opimation productivity of coastal area and the optimation of livelihood prop up system. At last the policy ultimate objective are able to determinated that is the sustainable of natural coastal resources and people livelihood, safe, delicate and prosperous Key Words : coastal, integrated, sustainable, disaster mitigation, novelty, complementary, co-management, policy, strategy, target, goal, objective.
RINGKASAN Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang secara geografis terletak di antara dua benua, dua samudera, pertemuan empat lempeng tektonik besar (mega-plate) dan tiga sistem patahan besar (mega-fault) serta memiliki sekitar 500 gunungapi dan 128 diantaranya masih aktif, beriklim tropis basah dengan kondisi topografis yang beragam, sehingga
Indonesia
selain memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi juga sangat rentan terhadap bencana alam. Sekitar 60% penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di wilayah pesisir seluas sekitar 4.050.000 km 2, dimana sekitar 80% atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin.
Mayoritas
masyarakat miskin yang tinggal di pesisir dengan kondisi sub standar, adalah yang paling menderita akibat peristiwa bencana alam. Bencana alam tidak akan dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Kegiatan pembangunan yang telah dihasilkan dalam waktu yang cukup lama dengan biaya dan tenaga yang sangat besar, dalam seketika dapat luluh lantak akibat dilanda bencana. Hal ini menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan agar lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana. Penelitian
ini
bertujuan
untuk
merumuskan
arahan
kebijakan
pengembangan wilayah pesisir sebagai masukan bagi pemerintah. Untuk itu akan digunakan lima alat analisis yaitu: mengevaluasi implementasi kebijakan yang saat ini berjalan dengan metode knowledge based management system (KBMS); mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir digunakan metode ASWOT yaitu gabungan metode SWOT (strengths, weakness, opportunities and threats) dan metode AHP (analytical hierarchy process); mengidentifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir dan upaya mitigasi bencana
digunakan
metode
interpretative
structural
modelling
(ISM);
menentukan bentuk mitigasi bencana yang paling efektif digunakan metode perbandingan
eksponensial
(MPE)
dan
merumuskan
arahan
kebijakan
pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana digunakan metode AHP. Kelima alat analisis tersebut dikemas dalam satu program aplikasi Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana yang disingkat MKP2B2MB. Dalam
tahap
implementasi
rancangan
program
aplikasi
MKP2B2MB, diperlukan data yang akurat sehingga dapat dilaksanakan validasi
model dengan metode triangulasi, yaitu penelusuran data/informasi dari tiga sisi yang saling melengkapi, studi literatur, observasi lapangan, dan survey pakar melalui diskursus yang intensif. Knowledge sharing melalui diskursus dengan pakar setelah diolah menghasilkan kesimpulan bahwa implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indaramayu dan Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat, masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone management) dan menerapkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir dengan metode ASWOT , telah menentukan bahwa yang dominan di Kabupaten Indramayu adalah sektor minyak dan gas bumi serta sektor perikanan, di Kabupaten Ciamis adalah sektor pariwisata dan sektor perikanan. Kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam minyak dan gas bumi sebagai national competence dapat meningkatkan
kegiatan
perikanan
sebagai
local
competence
dengan
mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand), jadi saling melengkapi (complementary) bukan kompetitor. Identifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir dengan metode ISM, telah menentukan bahwa yang dominan di Kabupaten Indramayu adalah gelombang badai pasang dikuti oleh abrasi dan banjir, di Kabupaten Ciamis yang dominan adalah gempabumi, tsunami dan gelombang badai pasang diikuti oleh abrasi dan banjir. Kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut, hendaknya mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi khususnya di pantai utara Jawa sejak tahun 1970an dan di pantai selatan Jawa sejak tahun 1990an. Oleh karena itu maka kebijakan pengembangan hendaknya tidak lagi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial sehingga kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Identifikasi bentuk mitigasi bencana dengan ISM dan kesesuainya dengan MPE telah menentukan bahwa di Kabupaten Indramayu bentuk mitigasi yang dapat dibangun adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi sejajar pantai diikuti oleh gabungan remangrovisasi, terumbu karang buatan dan revitalisasi gisik/pantai. Di Kabuapaten Ciamis adalah sistem peringatan dini diikuti oleh penyelamatan diri.
Kebijakan
pengembangan wilayah pesisir hendaknya sudah memperhitungkan anggaran
yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai kesepakatan global untuk merubah paradigma lama yang responsif, reaktif, dan kedaruratan. Analisis dengan AHP telah menentukan alternatif kebijakan untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu yaitu mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana. Di Kabupaten Ciamis, meningkatkan partisipasi stakeholder untuk menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak pada
pihak lain. Sintesis dari berbagai kebijakan
tersebut menghasilkan suatu model kebijakan yaitu mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi stakeholder untuk mencapai Co-management dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan. Oleh karena kebijakan itu adalah kesepakatan yang menetapkan keputusan untuk merubah suatu kondisi menjadi lebih baik, maka perlu ditentukan strategi yang dirancang sebagai upaya untuk mencapai tujuan. Landasan strategi umum pengembangan sumber daya alam adalah meletakkan pengembangan ekonomi lokal atas dasar prakarsa/ inisiatif serta kekhasan daerah yang bersangkutan (endegenous development), melalui pemanfaatan sumberdaya lokal yang di perkokoh dengan ikatan modal sosial. Landasan strategi pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan membangun industri berbasis pesisir yang ramah lingkungan dan meningkatkan daya saing lokal serta melakukan kemitraan yang saling menguntungkan dengan melaksanakan program CSR sebagai
pendamping
pengembangan
program
wilayah
pesisir
perlindungan berperspektif
sosial. mitigasi
Landasan
strategi
bencana
adalah
mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan prasarana dan sarana ekonomi berbasis kekhasan daerah yang terintegrasi sepenuhnya dengan sistem perlindungan pesisir.
Berdasarkan hal itu maka
sintesis kedua landasan strategi tersebut menghasilkan Strategi Empat Jalur (quarter track strategy) yaitu pro growth, pro job, pro poor dan pro mitigation yang dinyatakan sebagai kebaruan (novelty) dalam penelitian ini. Selanjutnya strategi perlu
dijabarkan
dalam
langkah-langkah
strategis
berkelanjutan
seperti
melakukan penataan ruang wilayah pesisir sesuai dengan status dan fungsi wilayah
tersebut,
serta
meningkatkan
pengawasan
dan
pengendalian
pemanfaatan sumberdaya alam pesisir agar tidak melampaui ambang batas. Kemudian langkah-langkah strategis mitigasi bencana seperti mempersiapkan data dan peta rawan bencana alam serta prakiraan risiko bencana yang akan terjadi, dan mempersiapkan NSPM (norm standard procedure manual) bangunan rumah, bangunan gedung, bangunan jalan dan bangunan air di wilayah rawan bencana (prone area). Berdasarkan langkah-langkah strategis tersebut
akhirnya dapat
ditentukan sasaran jangka pendek seperti meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan menurunkan risiko bencana, serta sasaran jangka panjang seperti meningkatkan investasi di wilayah pesisir dan meningkatkan kualitas lingkungan wilayah pesisir. Selanjutnya ditentukan tujuan kebijakan (goals policy) yaitu optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan. Adapun hasil akhir yang diharapkan (ultimate objectives) dengan terumuskannya kebijakan pengembangan wilayah pesisir ini adalah sumber daya alam pesisir yang berkelanjutan, mata pencaharian masyarakat pesisir yang berkelanjutan dan
kehidupan masyarakat pesisir yang aman,
nyaman dan sejahtera. Butir-butir kesimpulan secara keseluruhan telah menjawab tujuan penelitian yang ditentukan berdasarkan permasalahan yang melatarbelakangi kegiatan penelitian, dan saran yang dikemukakan diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengambil keputusan yang saat ini sedang mempersiapkan penyelesaian berbagai peraturan pemerintah terkait pengelolaan wilayah pesisir dan pihak terkait khususnya masyarakat pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis yang dalam kesehariannya bersentuhan langsung dengan permasalahan ini. Dengan demikian, penelitian ini telah mengemukakan suatu kajian lengkap yang diawali terhadap implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang dijalankan selama ini, sampai dengan hasil akhir diharapkan dapat tercapai dan secara keseluruhan merupakan suatu model kebijakan bagi pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2003. Hak Cipta dilundungi Undang-undang. 1). Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikankepentingan yang wajar IPB 2). Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR YANG BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM DI PESISIR INDRAMAYU DAN CIAMIS
RUSWANDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Disertasi
:
Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam di Pesisir Indramayu dan Ciamis
Nama
:
Ruswandi
NIM
:
P062050544/PSL
Program Studi
:
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Asep Saefuddin, MSc., Ph.D Ketua
Dr. Ir. Etty Riani Harsono, MS Anggota
Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira Anggota
Priyadi Kartono, PhD. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi PSL
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M S NIP. 131 471 836
Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS NIP. 130 891 386
Tanggal Ujian: 14 Januari 2009
Tanggal Lulus:
Januari 2009
PRAKATA Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudiul ‘Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana di Pesisir Indramayu dan Ciamis’. Disertasii ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor (S3) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan berbagai masukan dalam penyelesaian disertasi ini, khususnya kepada Bapak Ir. Asep Saefuddin, MSc., Ph.D, sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Syafri Mangkuprawira, Ibu Dr. Ir. Etty Riani Harsono, MS dan Bapak Priyadi Kardono, PhD., sebagai anggota komisi pembimbing, Bapak Dr.rer.nat. Totok Hestirianoto MSc sebagai penguji luar pada waktu ujian tertutup, Bapak Prof. Ir. Safwan Hadi, PhD dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya sebagai penguji luar pada waktu ujian terbuka serta Bapak Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS sebagai Dekan Sekolah Pascasarjana, Bapak Prof. Dr. Ir. Marimin sebagai Sekretaris Fakultas Pasca Sarjana dan Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS sebagai Ketua Program Studi PSL. Saya juga menyampaikan rasa terima kasih kepada para knowledge expert, yaitu Bapak Dr. Ir. Hamzah Latief, Bapak Ir. Djoko Suroso, PhD, Bapak Dr. rer. nat. Sumantri Tahrir, Bapak Dr. Ir. Subandono Diposaptono, dan Bapak Ir. Danny Hilman, PhD. Tidak lupa saya juga menyampaikan terimakasih kepada para nara sumber Bapak Prof. Dr. Ir. Deny Juanda Puradimaja, DEA Kepala Bapeda Provinsi Jawa Barat, Bapak Ir. Darsono Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, Bapak Ir. Abdul R Hakim Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan Bapak Ir. Derajad Hediana Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Ciamis. Akhirnya saya juga menyampaikan rasa terimakasih kepada Bapak Prof. Ir. Bambang Bintoro Soedjito, PhD, Ibu Dr. Ir. Aida VH, Ibu Dr. Ir. Ekawati, Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, Bapak Prof. Ir. Akhmad Fauzi, PhD dan Kepala BPSDM Departemen Pekerjaan Umum
Bapak Ir. Iwan ND yang telah
memberikan ijin saya sekolah lagi di IPB. Secara khusus saya juga menyampaikan terima kasih kepada istri saya
tercinta Dra. Ridda Farida, dan anak-anak kami : Magistra SKG, M Sandi, dan M. Ridwan yang telah mengorbankan waktu dan suasana, dan selalu memberikan saya ruang untuk selalu belajar dan menyelesaikan tugas perkuliahan. Mereka seolah-olah ikut dalam proses perkuliahan selama lebih kurang tiga tahun. Saya berkesimpulan istri saya dan ketiga anak kami, semua lulus dan berhasil mengalami berbagai kesulitan,suasana suka duka selama lebih kurang tiga tahun. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pihak manapun.
Jakarta,
Januari 2009
Ruswandi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Bandung, pada tanggal 1 Mei 1952, sebagai anak ke tujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan keluarga Bapak H. R. M Tahrir dan Ibu H. R. A. Aminah. Pada saat ini penulis sudah berkeluarga dengan istri tercinta Ridda Farida, dan sudah dikaruniai tiga orang anak yang diberi nama Magistra, M Sandi S, dan M. Ridwan T. Pendidikan formal dimulai dari Sekolah Dasar sampai Pasca Sarjana Strata Dua penulis selesaikan di kota Bandung. Lulus SD St. Yusuf pada tahun 1964, lulus SMP St. Aloysius pada tahun 1968, dan SMA Negeri 1 Bandung pada tahun 1971. Lulus Sarjana Teknik Arsitektur (S1) Institut Teknologi Bandung pada tahun 1976 dan Pasca Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota (S2) Institut Teknologi Bandung bekerjasama dengan University College London pada tahun 1985. Pendidikan informal dimulai setelah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum, pada tahun 1980. Program Diploma Urban Studies With Areal Photography, International Institute for Aero Space and Earth Sciences (ITC) pada tahun 1981. Enschede, The Netherlands. Programme Certificate on Computerize Aided Housing Design, Building Research Institute (BRI), Tsukuba, Japan pada tahun 1985. Programme Certificate on Building Materials and Modular Coordination, UNIDO ASEAN (Kuala Lumpur, Bangkok, and Manila) pada tahun 1988. Programme Certificate on Rental Housing MOC-HUDC Tokyo Japan pada tahun 1995. Programme Certificate on Newton Development, Research Institute Human Settlement (KRIHS) Seoul Korea pada tahun 1999. Programme Certificate on Disaster Risk Reduction, Taipei Taiwan, pada tahun 2006. Selama dua puluh delapan tahun bekerja sebagai PNS di Departemen Pekerjaan Umum, penulis pernah mengikuti program kedinasan SPADYA Departemen PU pada tahun 1993 di Bandung dan SPAMEN LAN pada tahun 1999 di Jakarta. Penulis mengawali karir PNS sebagai Peneliti Madya di Puslitbang Pemukiman, Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1980-1988. Wakil Direktur Teknik Bidang Perencanaan Badan Pengelola Komplek Kemayoran (BPKK) pada tahun 1989-1992. Kabag Perencanaan dan Evaluasi Kantor Menteri Negara Perumahan dan Pemukiman pada tahun 1993-1999. Kabag
Program Dana Luar Negeri Sekretariat Jenderal Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada tahun 2000-2001. Kasubdit Penataan dan Revitalisasi Kawasan Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada tahun 2001-2004. Kepala Kantor Pemberdayaan BPSDM Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah pada tahun 2004-2005. Direktur Pencegahan Bakornas Penanggulangan Bencana pada tahun 2005-2008. Sejak Agustus 2008, kembali ke Departemen Pekerjaan Umum menunggu proses penempatan lebih lanjut. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan ke Program Doktor Kelompok Minat Kebijakan Manajemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Kelas Khusus Angkatan ke lima, Institut Pertanian Bogor dan selesai pada tahun 2008. Penulis berharap sepanjang perjalanan hidup dan perjuangan penulis dan keluarga selalu mendapat ridha dari Allah SWT. Amien.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL...............................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................
xiiv
I.
II.
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
1.1.Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2.Kerangka Pemikiran............................................................................
8
1.3.Perumusan Masalah ...........................................................................
10
1.4.Tujuan Penelitian ................................................................................
10
1.5.Manfaat Penelitian ..............................................................................
11
1.6.Hipotesa dan Asumsi..........................................................................
11
1.7.Kebaruan (Novelty) ............................................................................
11
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................
12
2.1.Wilayah Pesisir....................................................................................
12
2.1.1.Pentingnya Sumberdaya Pesisir ...............................................
14
2.1.2.Kondisi dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir..........
15
2.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir.........................................
16
2.3. Potensi Bencana Bencana Alam di Wilayah Pesisir .........................
23
2.4. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ...............................................
26
2.5. Mitigasi Bencana Alam ......................................................................
28
2.5.1.Siklus Penanggulangan Bencana Alam......................................
30
2.5.1.1.Mitigasi Pasif (Non Struktural) ..........................................
31
2.5.1.2.Mitigasi Aktif (Struktural) ...................................................
31
2.5.2.Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana Alam ...................
32
2.5.3.Gambaran Risiko Bencana Alam................................................
33
2.5.4.Pemetaan Risiko Bencana Alam ................................................
34
2.6. Keterkaitan Pengembangan Wilayah Pesisir, Pembangunan Berkelanjutan dan Mitigasi Bencana Alam........................................
35
2.7.Pemberdayaan Masyarakat ..............................................................
36
2.8.Permodelan ........................................................................................
37
2.9.Penelitian Sejenis ..............................................................................
40
i
III. METODE PENELITIAN ............................................................................
46
3.1.Tempat dan Waktu Penelitian ...........................................................
46
3.2.Rancangan Penelitian ......................................................................
47
3.2.1.Jenis dan Sumber Data .............................................................
49
3.2.2.Metode Pengumpulan Data .......................................................
50
3.2.3.Metode Analisis Data ..................................................................
50
3.3.Batasan Penelitian ............................................................................
54
3.4.Definisi Operasional ..........................................................................
54
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN .....................................
61
4.1.Kabupaten Indramayu .......................................................................
61
4.1.1.Kondisi Oseanografi, Kualitas Perairan dan Iklim ......................
61
4.1.1.1.Parameter Hidro Oseanografi ........................................
61
4.1.1.1.1.Batimetri ...........................................................
61
4.1.1.1.2.Pasang Surut ...................................................
62
4.1.1.1.3.Gelombang ......................................................
62
4.1.1.2.Kualitas Perairan.............................................................
62
4.1.1.3.Proses Geodinamika Pesisir...........................................
63
4.1.1.3.1.Abrasi ...............................................................
63
4.1.1.3.2.Akresi ...............................................................
64
4.1.1.3.3.Intrusi Air Laut ..................................................
64
4.1.1.4. Iklim dan Cuaca..............................................................
64
4.1.1.5. Geologi ...........................................................................
65
4.1.2.Kondisi Sosial Ekonomi ..............................................................
65
4.1.2.1.Dinamika Perekonomian .................................................
65
4.1.2.2.Fasilitas Perekonomian ...................................................
66
4.1.2.3.Sarana Pendidikan ..........................................................
66
4.1.2.4.Sarana Kesehatan...........................................................
67
4.1.2.5. Produksi Perikanan .........................................................
67
4.1.2.6. Fasilitas Perindustrian ....................................................
68
4.1.2.7. Fasilitas Pariwisata .........................................................
68
4.1.2.8. Fasilitas Jasa..................................................................
69
4.2.Kabupaten Ciamis ...............................................................................
69
4.2.1.Kondisi Oseanografi, Kualitas Perairan dan Iklim .....................
70
4.2.1.1.Parameter Hidro Oseanografi .........................................
70
4.2.1.1.1.Batimetri ...........................................................
70
ii
4.2.1.1.2.Pola Arus Laut .................................................
71
4.2.1.1.3.Pasang Surut Laut ...........................................
72
4.2.1.1.4.Gelombang Laut ..............................................
72
4.2.1.2.Kualitas Perairan .............................................................
73
4.2.1.2.1.Parameter Fisika..............................................
73
4.2.1.2.1.1.Padatan Tersuspensi Total (TSS) Perairan ...............................
73
4.2.1.2.1.2.Temperatur Laut ............................
73
4.2.1.2.1.3.Salinitas .........................................
73
4.2.1.2.1.4.Kecerahan Perairan ......................
74
4.2.1.2.2.Parameter Kimiawi Perairan ............................
74
4.2.1.2.2.1.Derajat Keasaman (pH) ................
74
4.2.1.2.2.2.Nitrat ..............................................
74
4.2.1.2.2.3.Fosfat.............................................
75
4.2.1.2.2.4.Oksigen Terlarut............................
75
4.2.1.2.2.5.Logam Berat ..................................
75
4.2.1.2.3.Parameter Biologi Perairan..............................
75
4.2.1.2.4.Indikator Potensi Perikanan Tangkap .............
76
4.2.1.3.Iklim dan Cuaca ..............................................................
76
4.2.1.4.Geologi............................................................................
77
4.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi ..........................................................
77
4.2.2.1.Dinamika Ekonomi .........................................................
77
4.2.2.2.Fasilitas Perekonomian..................................................
77
4.2.2.3.Sarana Pendidikan.........................................................
78
4.2.2.4.Sarana Kesehatan .........................................................
78
4.2.2.5.Fasilitas Perikanan.........................................................
79
4.2.2.6.Fasilitas Perindustrian....................................................
79
4.2.2.7.Fasilitas Pariwisata ........................................................
79
4.2.2.8.Fasilitas Jasa .................................................................
80
V. EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR .................................................................................
81
5.1. Pendahuluan ......................................................................................
81
5.2. Metode Analisis Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan ..................................................
82
5.3. Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan .....................................................................................
86
iii
5.3.1.Kebijakan -kebijakan Terkait Pengembangan Wilayah Pesisir..........................................................................................
86
5.3.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Jawa Barat ............................................................................................
89
5.3.3.Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir..........................................................................................
90
5.3.3.1. Penentuan Kaidah Dasar (Rule Base) ..........................
90
5.3.3.2.Aplikasi Metode KBMS dalam Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat......................................................................
92
5.4. Kesimpulan Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir...................................................................................
95
VI. STUDI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR .................
97
6.1.Pendahuluan .......................................................................................
97
6.2.Model Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir ..................... 100 6.3.Analisis Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir .......... 106 6.3.1.Kabupaten Indramayu ................................................................. 106 6.3.1.1.Minyak dan Gas Bumi ..................................................... 106 6.3.1.2.Pertanian dan Perkebunan ............................................... 108 6.3.1.3.Perikanan .......................................................................... 108 6.3.1.4.Pariwisata.......................................................................... 108 6.3.1.5. Aplikasi Metode ASWOT dalam Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Indramayu ............... 109 6.3.1.6. Kesimpulan Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Indramayu ........................................................ 114 6.3.2. Kabupaten Ciamis ........................................................................ 115 6.3.2.1.Pertambangan ................................................................. 115 6.3.2.2.Pertanian dan Perkebunan ............................................... 117 6.3.2.3.Perikanan ......................................................................... 117 6.3.2.4.Periwisata.......................................................................... 117 6.3.2.5.Aplikasi Metode ASWOT dalam Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir Ciamis ........................
118
6.3.2.6. Kesimpulan Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Ciamis ............................................................................ 120 6.4. Kesimpulan Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir ............ 123 VII. POTENSI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR JAWA BARAT .. 125 7.1. Pendahuluan ...................................................................................... 125 7.2. Metode Analisis Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
iv
Provinsi Jawa Barat ........................................................................... 126 7.3. Hasil Analisis Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Jawa Barat ............................................................... 128 7.3.1.Kabupaten Indramayu ............................................................ 129 7.3.1.1.Angin Kencang/Puting Beliung .................................... 129 7.3.1.2.Gelombang Badai Pasang ........................................... 129 7.3.1.3.Abrasi ........................................................................... 130 7.3.1.4.Erosi.............................................................................. 131 7.3.1.5.Gerakan Tanah ............................................................ 131 7.3.1.6.Gempa Bumi ................................................................ 131 7.3.1.7.Tsunami........................................................................ 132 7.3.1.8.Banjir ........................................................................... 132 7.3.1.9.Akresi............................................................................ 132 7.3.1.10.Instrusi Air Laut ........................................................ 133 7.3.2.Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Wilayah Pesisir Indramayu....................................................... 134 7.3.3.Kabupaten Ciamis ................................................................. 136 7.3.3.1.Angin Kencang/Puting Beliung .................................... 136 7.3.3.2.Gelombang Badai Pasang ........................................... 137 7.3.3.3.Abrasi ........................................................................... 137 7.3.3.4.Erosi.............................................................................. 137 7.3.3.5.Gerakan Tanah ............................................................ 138 7.3.3.6.Gempa Bumi ................................................................ 138 7.3.3.7.Tsunami........................................................................ 140 7.3.3.8.Banjir ........................................................................... 141 7.3.3.9.Akresi............................................................................ 142 7.3.3.10.Instrusi Air Laut ........................................................ 142 7.3.4. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Wilayah Pesisir Ciamis............................................................. 142 7.4. Kesimpulan Studi Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Jawa Barat ......................................................................................... 145 VIII. STUDI EFEKTIVITAS KEBERHASILAN DAN BENTUK MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR ............................................. 147 8.1. Pendahuluan ...................................................................................... 147 8.2. Metode Analisis Bentuk dan Efektivitas Keberhasilan Mitigasi Bencana Alam .................................................................................... 153 8.3. Studi Bentuk dan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam
v
di Wilayah Pesisir .............................................................................. 155 8.3.1.Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam ....................................... 155 8.3.1.1. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Indramayu . 156 8.3.1.2. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Ciamis ....... 159 8.3.2.Studi Efektivitas Mitigasi Bencana Alam .................................. 162 8.3.2.1. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Indramayu ........ 162 8.3.2.2. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Ciamis ............ 164 8.4. Kesimpulan Studi Efektivitas Keberhasilan dan Bentuk Mitigasi Alam…............................................................... 167 IX. MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA............ 169 9.1. Pendahuluan ...................................................................................... 169 9.2. Metode Analisis Model Kebijakan
................................................. 170
9.2.1. Prinsip Dasar AHP ..................................................................... 171 9.2.2. Langkah-Langkah Penyelesaian .............................................. 173 9.3. Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam ................................................ 178 9.4. Kesimpulan Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam ........................
184
X. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA............................................................................... 186 10.1. Pembahasan Umum ..................................................................... 186 10.2. Rumusan Arahan Kebijakan ......................................................... 189 10.3. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam ............. 195 10.3.1. Langkah-langkah strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu yang Berkelanjutan ............................................
196
10.3.2. Langkah-langkah strategi Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir ................................................................. 196 10.4. Sasaran dan Tujuan....................................................................... 199 XI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 201 11.1. Kesimpulan ...................................................................................... 201 11.2. Saran ................................................................................................ 202 11.2.1.Umum.................................................................................. 202
vi
11.2.2.Khusus ................................................................................ 203 DAFTAR PUSTAK A ........................................................................................ 205 LAMPIRAN.......................................................................................................
vii
212
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Data yang dibutuhkan untuk pembuatan peta risiko bencana ...............
34
2.
Jenis dan sumber data
........................................................................
49
3.
Jumlah Penduduk Kabupaten Indramayu ..............................................
61
4.
Kisaran nilai suhu dan salinitas pada wilayah pantai Jawa Barat bagian utara ............................................................................................
63
5.
Produksi domestik regional bruto (PDRB) atas harga konstan di Kabupaten Indramayu.............................................................................
66
Tingkat ketersediaan fasilitas perekonomian di Kabupaten Indramayu ............................................................................
66
7.
Tingkat ketersediaan fasilitas pendidikan di Kabupaten Indramayu ......
67
8.
Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kabupaten Indramayu ..................
67
9.
Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu...............................................................................................
68
Tingkat ketersediaan fasilitas perindustrian di Kabupaten Indramayu...............................................................................................
68
11.
Tingkat ketersediaan fasilitas pariwisata di Kabupaten Indramayu .......
69
12.
Tingkat ketersediaan fasilitas jasa di Kabupaten Indramayu .................
69
13.
Luas kecamatan pesisir, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan distribusi penduduk di setiap kecamatan Kabupaten Ciamis .......
70
14.
Luas pantai dan panjang wilayah pantai Kabupaten Ciamis ................
70
15.
Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga konstan di Kabupaten Ciamis ...............................................................................
77
16.
Jenis fasilitas perekonomian di Kecamatan Pangandaran ....................
78
17.
Jumlah sekolah dan murid di pesisir Kab. Ciamis ..................................
78
18.
Sarana dan prasarana kesehatan di Kab. Ciamis .................................
78
19.
Prasarana dan sarana PPI di Kab. Ciamis .............................................
79
20.
Faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan wilayah di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Indramayu.................................. 104
21.
Produksi minyak dan gas bumi di Kabupaten Indramayu ...................... 106
22.
Produksi komoditi sayuran wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu .... 108
23.
Potensi pertambangan di Kabupaten Ciamis ......................................... 115
24.
Produksi komoditi sayuran wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis .......... 117
25.
Potensi pariwisata di Kabupaten Ciamis ................................................ 118
26.
Jenis sarana dan tingkat kerusakan di Kabupaten Ciamis akibat tsunami ......................................................................................... 140
6.
10.
viii
27.
Matriks keputusan dengan metode MPE................................................ 154
28.
Kriteria dalam menentukan efektivitas mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu ......................................................................... 163
29.
Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu ........ 164
30.
Kriteria dalam menentukan bentuk mitigasi bencana di Kabupaten Ciamis...................................................................................................... 165
31.
Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis .............. 166
32.
Skala komparasi...................................................................................... 172
33.
Rangkuman hasil penelitian model pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ........................ 192
34.
Kesimpulan komprehensif hasil penelitian model pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ................................................................................................... 193
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Peta sebaran lempeng tektonik dunia ....................................................
1
2.
Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di kepulauan Indonesia dan sekitarnya ........................................................................
2
3.
Pola arah arus permukaan laut musiman di perairan Indonesia............
2
4.
Peta setting gelombang pasang di Samudra Hindia ( arah Barat Daya) .......................................................................................................
3
5.
Kebijakan pembangunan hasil kajian .....................................................
5
6.
Latar belakang penelitian model kebijakan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana ...................................................
8
7.
Kerangka pemikiran penelitian pengembangan wilayah pesisir ............
9
8.
Wilayah pesisir sebagai daerah pertemuan antara darat (coast dan backshore) dan laut (foreshore, inshore dan offshore) ..........................
12
9.
Sistem kebijakan ....................................................................................
17
10.
Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan.................................
17
11.
Siklus penanggulangan bencana............................................................
30
12.
Kaitan kemampuan lingkungan, kerentanan, dan risiko bencana .........
34
13.
Keterkaitan pengembangan wilayah pesisir, pembangunan berkelanjutan, dan mitigasi bencana ......................................................
36
14.
Keterkaitan logika....................................................................................
38
15.
Kerangka mata pencaharian nelayan untuk memahami sistem pengelolalaan sumberdaya alam pesisir ................................................
41
16.
Lokasi penelitian pada peta skematis Provinsi Jawa Barat ...................
46
17.
Matrik keterkaitan pendekatan dalam penelitian ...................................
47
18.
Tahapan pelaksanaan penelitian dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana ........................................
48
19.
Kerangka analisis....................................................................................
51
20.
Konfigurasi model arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ............
51
Halaman pertama program aplikasi KP2B2MB dengan lima jendela model dan alat analisis yang berbeda .......................................
54
Rencana tata ruang dan lingkungan Keaukaha .....................................
85
21. 22.
23. Manajemen dialog pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu ........
x
92
24. Manajemen dialog pendapat pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis ...............
94
25.
Garis besar alat analisis ASWOT ...........................................................
26.
Garis besar hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ............................................................................ 105
27.
Potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ............ 107
28.
Contoh input penilaian pakar dengan pairwise comparison metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu...... 109
29.
Laporan input pakar metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu ...................................................................
110
Hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Indramayu ............................................................................
113
31.
Potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Ciamis ..................
116
32.
Contoh input penilaian pakar dengan pairwise comparison metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis............
119
Laporan input pakar metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis .........................................................................
119
30.
33.
101
34.
Hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Ciamis ....................................................................... 122
35.
Garis besar alat analisis ISM ..................................................................
126
36.
Matrik driver power-dependence dalam analisis ISM ...........................
128
37.
Diagram alir model sumber potensi bencana ........................................
128
38.
Abrasi di pantai Kabupaten Indramayu .................................................
130
39.
Peta kawasan rawan banjir pesisir pantai utara Jawa Barat .................
133
40.
Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu ..............................................
134
41.
Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu ............................................................................. 135
42.
Matriks Driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu ................................................................ . 135
43.
Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam Di Kabupaten Indramayu ........................................................................
136
44.
Tektonik lempeng Asia Tenggara termasuk Indonesia .........................
139
45.
Plot gempa yang terjadi di Indonesia dari 1960-2000 ......................... . 130
46.
Proses penunjaman lempeng (subduction) ..........................................
xi
140
47.
Pembangkitan tsunami oleh gempabumi tektonik dasar laut.................
141
48.
Zona pembangkitan tsunami berdasarkan aktivitas seismik..................
141
49.
Contoh input hubungan antar elemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis ....................................................
143
Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis...............................................................................
143
50. 51.
Matriks driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis ................................................................................... 144
52.
Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis...............................................................................
145
53.
Sistem perlindungan pantai alami...........................................................
148
54.
Artificial reef breakwater di Tanah Lot, Bali ............................................
149
55.
Berbagai pohon bakau yang mampu meredam gelombang ..................
149
56.
Sistem pelindung pantai alami dengan pohon dan gundukan pasir yang ditutup oleh vegetasi. .....................................................................
150
57.
Konsep slope protection dan pelaksanaannya.......................................
150
58.
Revitalisasi pasir pantai (beach nourishment)........................................
151
59.
Kombinasi beach nourishment, groin dan detached breakwater ...........
151
60.
Sistem peringatan dini terintegrasi dengan sistem penyelamatan diri...
152
61.
Garis besar penggabungan alat analisis ISM dan MPE.........................
155
62.
Contoh input hubungan antarelemen metode ISM Kabupaten Indramayu ............................................................................
157
Hasil analisis elemen keberhasilan mitigasi di Kabupaten Indramayu .........................................................................
157
63. 64.
Matriks driver power – dependence untuk elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu................................................................ 158
65.
Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu ............................................................................
159
Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis ....................................................
160
Hasil analisis untuk elemen keberhasilan mitigasi Kabupaten Ciamis .....................................................................
160
Matriks driver power – dependence untuk elemen mitigasi bencana alam di Ciamis......................................................................................
161
66. 67. 68. 69.
Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Ciamis ......... ... 162
xii
70.
Garis besar alat analisis AHP...............................................................
171
71.
Model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.......................................................
177
Struktur hierarki model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu ............................................................................
179
Struktur hierarki model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di Kabupaten Ciamis .....................................................................................................
180
Diagram rumusan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana ............
194
Diagram alir rumusan arahan kebijakan, landasan strategi dan strategi empat jalur (quater track strategy) pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana serta langkah-lagkah strategis yang dibutuhkan ............................................
198
Diagram alir strategi, sasaran jangka pendek dan panjang serta tujuan utama............................................................................................
200
72.
73.
74. 75.
76.
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Substansi mitigasi di UU terkait kebencanaan ........................................ 212
2.
Garis besar diskursus akuisi pengetahuan dengan enam pakar .............
219
3.
Categorisation of spatially relevant natural hazards ................................
222
4.
Ilustrasi posisi gelombang badai dan gelombang tsunami ......................
223
5.
Program aplikasi MKP2B2MB ...................................................................
211
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang secara geografis terletak di antara dua benua, dua samudera, pertemuan empat lempeng tektonik besar (mega-plate), dan tiga sistem patahan besar (mega-fault) (Gambar 1) serta memiliki sekitar 500 gunung api dimana 128 diantaranya masih aktif, beriklim tropis basah dengan kondisi topografis yang beragam, Indonesia selain memiliki potensi sumber daya alam yang tinggi (Dahuri et al., 1996) juga sangat rentan terhadap bencana alam (Diposaptono, 2007). Data BNPB (2007) tentang gempa bumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, longsor, intrusi air laut dan angin puting beliung secara keseluruhan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kerentanan yang sangat tinggi.
Sebaran gempa bumi dan kejadian tsunami
dapat dilhat pada Gambar 2. Pola arah arus laut musiman di perairan Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3, dan gelombang pasang pada Gambar 4. Sekitar 60% penduduk Indonesia atau 140 juta jiwa terkonsentrasi di wilayah pesisir seluas sekitar 4.050.000 km 2, dimana sekitar 80% atau 112 juta jiwa diantaranya adalah masyarakat miskin (Tim KPK-Kantor Menko Kesra, 2006).
Oleh karena itu mayoritas masyarakat miskin yang tinggal di pesisir
(Allison dan Horemans, 2006) adalah yang paling menderita akibat peristiwa bencana alam.
Gambar 1. Peta sebaran lempeng tektonik dunia Sumber : Departemen ESDM, 2007
2
Gambar 2. Sebaran lokasi gempa tektonik dan kejadian tsunami di kepulauan Indonesia dan sekitarnya Sumber : ITDBL/WRL, 2005 dalam Latief dan Hadi, 2006
Sumber:
Gambar 3. Beberapa pola arus (permukaan dan dalam) di perairan Indonesia Sumber : Gordon, 1996
Menurut Coburn et al. (1994) bencana tidak akan dapat dihindari, tetapi dapat disiasati untuk mengurangi timbulnya risiko bencana yang menambah penderitaan masyarakat. Kegiatan pembangunan yang telah dihasilkan dalam waktu yang cukup lama dengan biaya dan tenaga yang sangat besar, dalam seketika dapat luluh lantak akibat dilanda bencana. Hal ini sepatutnya menjadi perhatian pemerintah dalam membuat kebijakan dan strategi pembangunan
3
ekonomi di masa mendatang baik untuk program jangka menengah maupun jangka panjang yang lebih akomodatif terhadap mitigasi bencana.
Gambar 4. Peta setting gelombang pasang di samudera Hindia (arah Barat Daya) Sumber :LIPI dan DKP dalam Setyawan (2007).
Sebagaimana diketahui bahwa saat ini kebijakan politik pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh pemerintah lebih menekankan kepada tiga jalur pembangunan yakni
pro growth, pro job, dan pro poor, yang lebih dikenal
sebagai
strategy
triple-track
(Yudhoyono,
2004)
dengan
misinya
(1)
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan membangun infrastruktur yang menciptakan investasi dan ekspor. Pertumbuhan ini diyakini dapat memasok devisa negara yang tinggi sehingga dapat memperlancar pelaksanaan pembangunan, (2) menata sektor riil untuk menyerap angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru. Sektor riil ini harus bergerak di seluruh level ekonomi. Ia tidak hanya fokus di area ekonomi khusus. Dengan bergeraknya sektor riil ini, maka lapangan kerja akan tercipta dan pengangguran akan terkurangi, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan pesisir untuk pengentasan kemiskinan. Langkah ini penting dilakukan karena 60 % orang miskin di Indonesia hidup di sektor pertanian dan perdesaan pesisir. Oleh karena itu pemerintah juga mengembangkan pembangunan pertanian dan perdesaan pesisir, dengan APBN atau bekerjasama dengan swasta (Sanim, 2006).
4
Berkaitan dengan pertumbuhan, pemerintah berkewajiban untuk secara berkesinambungan
membangun
infrastruktur
di
seluruh
negeri.
Kalau
infrastruktur dibangun lebih baik, maka ekonomi lokal akan tumbuh berkembang. Masyarakat akan mendapatkan keadilan, karena ada sejumlah kemudahan dalam
kehidupan
sehari-harinya
yaitu
peluang
lapangan
pekerjaan.
Pengalokasian dana pembangunan infrastruktur yang telah mencapai triliunan rupiah harus diikuti dengan dana untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, karena kalau tidak akan terjadi kemerosotan daya beli masyarakat dan kemiskinan akan terus meningkat. Kebijakan dan strategi ini secara empirik selain akan mengejar pertumbuhan, juga akan mendatangkan pemerataan dan keadilan bagi masyarakat luas (Yudhoyono, 2004). Dari sudut pandang ekonomi pembangunan, langkah-langkah strategis yang ditetapkan pemerintah ini merefleksikan keberpihakan pada pertumbuhan (pro growth), penciptaan lapangan pekerjaan (pro job) dan kemudahan bagi masyarakat luas dalam kehidupannya (pro poor) (Sanim, 2006). Selanjutnya juga harus diperhatikan bahwa mengembangkan ekonomi nasional tidak hanya sektoral saja, melainkan juga kedaerahan, regional dan otonomi daerah. Meniscayakan the center of growth itu juga terbagi di daerah-daerah. Mengembangkan gagasan lokal ke tingkat regional dan nasional akan meningkatkan daya saing dan keunggulan daerah adalah realistis, dan inilah pilihan pemerintah di era reformasi dan otonomi daerah (Yudhoyono, 2004). Tetapi kejadian rangkaian bencana alam telah menyadarkan kita semua bahwa hasil pembangunan yang telah dicapai dapat dengan seketika luluh lantak. Tsunami di Provinsi NAD dan Sumut pada tahun 2004 mengakibatkan korban meninggal sekitar 200 ribu jiwa dan kerugian sekitar 48 trilyun, tsunami di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2006 mengakibatkan korban meninggal sekitar 700 jiwa dan kerugian sekityar 1,3 triliun serta gempa bumi di Provinsi DIY dan Jawa Tengah pada tahun 2006 mengakibatkan korban meninggal sekitar 5.700 jiwa dan kerugian sekitar 29 triliun (BNPB, 2007). Kerugian harta benda dan jiwa telah memberikan beban yang sangat berat bagi pemerintah sehingga menimbulkan suatu pertanyaan, yaitu apakah strategi pro growth, pro job, dan pro poor yang ditempuh pemerintah sejak tahun 2004 dan dikenal sebagai triple track strategy tersebut sudah memadai?. Upaya pengurangan risiko bencana sesuai Deklarasi Hyogo 2005 yang dicanangkan pasca gempa bumi Kobe di Jepang dan tsunami Aceh di Indonesia tersebut perlu diakomodasi (MPBI, 2006).
5
Karena pembangunan infrastruktur itu adalah untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan berdampak pada berbagai kemudahan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya, maka pro growth, pro job, dan pro poor nampaknya dapat tetap dipertahankan. Beberapa peraturan seperti Instruksi Presiden telah diterbitkan dan secara jelas mengemukakan keberpihakan pemerintah yang lebih besar kepada masyarakat miskin, antara lain Inpres No 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai dan
Inpres No 5 Tahun 2008 tentang
Pelaksanaan Penyaluran Kredit Usaha Rakyat. Tetapi kajian terhadap berbagai bencana alam di Indonesia telah mengemukakan bahwa kemerosotan kualitas lingkungan dan ketidaksiapan aparat serta masyarakat mengakibatkan berbagai bencana alam tersebut sangat merusak lingkungan permukiman dan menimbulkan kerugian harta benda yang sangat besar dan sangat menghambat
kegiatan ekonomi. Untuk itulah
dikemukakan sumbangsih pemikiran yaitu, strategi pemerintah menjadi
pro
growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation yang akan dikenal sebagai quarter track strategy (Gambar 5).
Strategi pembangunan saat ini (2004-2009), ‘triple track strategy’ Pro Growth, Pro Job and Pro Poor
Strategi pembangunan mendatang (2009- ……..), ‘quarter track strategy’
Deklarasi Hyogo (2005), ttg paradigma penanggulangan bencana
Pro Growth, Pro Job, Pro Poor and Pro Mitigation
Preventif, Pro Aktif and Kesiapsiagaan
Gambar 5. Kebijakan pembangunan hasil kajian Hal
inipun
pada
hakehatnya sudah
ditempuh
program penanaman sepuluh juta pohon, program program
perbaikan terumbu karang
misalnya melalui
remangrovesasi
dan
serta terbitnya berbagai peraturan dan
perundangan, yaitu UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No 27 tentang Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memberikan nuansa perbaikan kualitas lingkungan dan mitigasi.
6
Di wilayah pesisir sampai saat ini masih terdapat pemahaman regime pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumber daya dan membatasi akses masyarakat pesisir dalam memanfaatkannya,
sementara
regime
pengelolaan
tradisional
(common
property), pemilikan pribadi/swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku (Pratikto, 2005). Selain itu lemahnya penegakan hukum dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan buatan di wilayah pesisir yang mengakibatkan pembangunan terus berlangsung yang akan memberikan dampak berkurangnya daya dukung lingkungan dan tidak dilibatkannya peran serta masyarakat, mengakibatkan sosialisasi program pemerintah tidak berjalan dengan baik (Pratikto, 2005) sehingga pada waktu terjadinya bencana maka yang paling besar menerima dampaknya adalah masyarakat itu sendiri. Sampai tahun 2005, di Indonesia terdapat 45 kota besar dan 185 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies) terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia yang beroperasi dengan memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir sehingga wilayah pesisir saat ini mempunyai
tingkat
kerusakan biofisik yang sangat menghawatirkan (Pratikto, 2005). Maka sudah sewajarnya jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, agar pengembangannya tidak bertambah semerawut dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumber daya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi tekonologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumber daya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (WCED, 1984). Guna mengatasi permasalahan yang kompleks tersebut diperlukan penanganan lintas sektor dan multi disiplin sesuai dengan perubahan paradigma, bahwa upaya-upaya preventif, proaktif dan kesiapsiagaan untuk mengurangi risiko bencana atau mitigasi dengan mengedepankan ketahanan masyarakat dan lingkungan
(ACDRR;
UN
ISDR,
2007).
Hal
ini
menegaskan
bahwa
7
pemberdayaan masyarakat perlu dilaksanakan secara kolektif (Parsons et al., 1994) sehingga memudahkan sosialisasi program pengurangan risiko bencana. Oleh karena itu, Indonesia dapat mencontoh negara lain yang memiliki permasalahan serupa, seperti penanganan bencana gempa bumi dan tsunami di Jepang atau bencana taifun, banjir, dan longsor di Taiwan. Mereka memecahkan permasalahan tersebut dengan membuat dahulu ‘model untuk menentukan kebijakan dan strategi yang harus dilakukan dalam pengurangan risiko bencana dengan melibatkan peran serta masyarakat. Setelah mengetahui pembangkitan (G), penjalaran (S), dan run-up Tsunami (H), Jepang mengembangkan Model TEWS (tsunami early warning system) yaitu sistem peringatan dini dan kecepatan menyampaikan informasi kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri (ACDRR, 2007). Begitupun dengan Taiwan yang telah mengembangkan rainfall - based debris-flow warning model (NDRC, 2007). Model tersebut dapat memprediksi potensi bencana akibat terjadinya longsor pada suatu daerah dengan menggunakan parameter intensitas curah hujan (I), lamanya curah hujan (T), akumulasi curah hujan (R), dan curah hujan terdahulu (P). Dengan demikian permodelan diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks, dinamis dan probabilistik. Menurut Sargent (1999) permodelan sistem ini pada hakekatnya adalah perwujudan dari entitas, model komputerisasi (decision support system ) dan model konseptual yang keseluruhannya didukung oleh validitas data dan informasi (Eriyatno, 2007). Adapun latar belakang penelitian secara ringkas disajikan dalam Gambar 6. Berkaitan dengan latar belakang tersebut, penelitian ini akan merancang alternatif kebijakan pengembangan wilayah pesisir dengan mengambil kasus di dua lokasi, yaitu: Kecamatan Indramayu/Kecamatan Juntinyuat di Kabupaten Indramayu dan Kecamatan Pangandaran di Kabupaten Ciamis. Obyek yang akan diteliti meliputi lingkungan binaan dan perangkat kebijakan, melalui proses identifikasi permasalahan verifikasi dan validasi serta diskusi dengan para pakar dan masyarakat pesisir dan merumusan arahan kebijakan bagi pengembangan kedua wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
8
Negara Kepulauan Terbesar dengan Panjang Pesisir Kedua di dunia yang Rawan Bencana
Mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pesisir sbg penduduk Miskin Diperlukan kebijakan baru yang berperspektif mitigasi bencana
Mereka tinggal di lingk. Binaan Sub Standar dgn Kerentanan Tinggi Adanya penguasaan regime Open Access, Common Property, QuasiPrivate Property,dan State Property
Permasalahan yang Kompleks, Dinamis, dan Probabilistik tsb membutuhkan Pendekatan Sistem sbg Upaya Pemecahannya
Pengalaman Negara Maju
Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berprespektif Miitigasi Bencana
Gambar 6. Latar belakang penelitian model kebijakan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
1.2.
Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang kemiskinan, kerentanan dan dimensi
pembangunan di wilayah pesisir Indonesia tersebut, pemerintah memiliki dua pilihan strategi yaitu pertama Pengembangan Wilayah Pesisir yang pro growth, pro job dan pro poor atau kedua yaitu pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation. Strategi pertama menghasilkan pertumbuhan yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan, tetapi dapat menguras sumberdaya ekonomi yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. Ketika terjadi bencana alam, kerentanan wilayah pesisir tersebut akan memperbesar risiko bencana sehingga kegiatan ekonomi dapat terhenti dan kemiskinan akan meningkat.
Sebaliknya strategi kedua yang
9
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang moderat tetapi tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya alam, sehingga dapat mempertahankan ketahanan lingkungan dan ketika terjadi bencana alam risiko yang ditimbulkan sudah tentu akan dapat direduksi. Oleh karena itu pemerintah hendaknya menempuh kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dengan strategi
pro growth, pro job, pro poor,
dan pro
mitigation (Gambar 7). Kemiskinan dan kerentanan di wilayah pesisir Indonesia
Dimensi pembangunan di wilayah pesisir Indonesia
Pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor dan pro mitigation
Pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job dan pro poor
Pertumbuhan yang tinggi dan membuka lapangan pekerjaan
Pertumbuhan yang moderat, dpt mengurangi kemiskinan dan pengangguran
Pengurasan Sumberdaya Ekonomi yang berlebihan
Mencegah dan mengurangi risiko bencana seperti kerusakan sumber daya ekonomi
Tanpa Mitigasi
Kerusakan sumberdaya ekonomi dan lingkungan yg akan mengurangi lapangan pekerjaan dan pendapatan penduduk serta meningkatkan kemiskinan
Kejadian Bencana Alam
Dengan Mitigasi
Pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana : pro growth, pro job, pro poor dan pro mitigation
Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian pengembangan wilayah pesisir
10
1.3
Perumusan Masalah Berdasarkan kompleksitas permasalahan pengembangan wilayah pesisir
yang ditimbulkan baik oleh faktor internal maupun oleh faktor eksternal, maka untuk membangun model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana perlu disusun dahulu rumusan permasalahan yang akan melandasi kegiatan penelitian tersebut. Perumusan masalah dalam kegiatan penelitian hendaknya terkait dengan kebijakan pengembangan, potensi pengembangan, potensi bencana alam, dan upaya mitigasinya yaitu : 1. Bagaimana implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan? 2. Faktor-faktor apakah yang menjadi potensi pengembangan wilayah pesisir? 3. Faktor-faktor apakah yang menjadi potensi bencana alam di wilayah pesisir? 4. Bagaimana bentuk dan efektivitas mitigasi untuk menurunkan risiko bencana? 5. Bagaimana
model
kebijakan
pengembangan
wilayah
pesisir
yang
berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam? 6. Bagaimana rumusan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam?
1.4
Tujuan Penelitian Penelitian
ini
bertujuan
untuk
merumuskan
arahan
kebijakan
pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan 2. Mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir 3. Mengidentifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir 4. Mengevaluasi efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam 5. Mengembangkan
model
kebijakan
pengembangan
wilayah
pesisir
berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana 6. Merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana
11
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk: 1. Ilmu pengetahuan dalam bidang aplikasi pendekatan sistem dan permodelan sistem; 2. Semua pihak yang berkepentingan dengan pengembangan wilayah pesisir dan penanggulangan bencana; 3. Sebagai acuan pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah pesisir serta peraturan dan perundangan tentang penanggulangan bencana.
1.6. Hipotesa dan Asumsi Hipotesa dalam penelitian ini adalah strategi pengembangan wilayah pesisir tiga jalur (triple track development strategy) dinilai kurang memadai untuk tetap dipergunakan oleh pemerintah. Sebagai asumsi adalah merosotnya ketahanan
lingkungan
dan
kesiapan
masyarakat
serta
aparat,
dalam
menghadapi bencana alam yang telah menimbulkan kerugian harta benda dan jiwa yang sangat besar.
1.7. Kebaruan ( Novelty ) Kebaruan dari penelitian ini adalah arahan model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation yang disebut sebagai strategi pengembangan wilayah pesisir empat jalur (quarter track development strategy).
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Wilayah Pesisir Wilayah pesisir sampai sekarang belum mempunyai definisi yang baku
(Latief, 2008). Namun, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, dimana batas wilayah pesisir ke arah darat adalah jarak secara arbiter dari rata-rata pasang tinggi (mean high tide), dan batas ke arah laut adalah batas yurisdiksi wilayah provinsi atau state di suatu negara (Dahuri et al., 1996). Beberapa pakar menyebutkan batasan wilayah pesisir (coastal area) yang mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore) dan zona dekat pantai (nearshore zone). Gisik (beach) mencakup pantai burit (backshore) dan pantai depan (foreshore). Zona dekat pantai (nearshore zone) juga disebut zona tepi pantai dangkal (inshore zone). Pantai burit (backshore) juga dikenal sebagai tanggul gisik (berm). Pada saat paras air tinggi/pasang (high water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai lereng pantai depan (foreshore slope), dan pada saat paras air rendah/surut (low water level) daratan yang terkena muka air laut tersebut dikenal sebagai teras pasang air laut rendah (low tide terrace) (Salahudin dan Makmur, 2008). Lihat Gambar 8.
Gambar 8. Wilayah pesisir (coastal area) mencakup pesisir (coast), gisik (beach) atau pantai (shore), dan zona dekat pantai (nearshore zone) Sumber : Brahtz 1972; Soegiarto, 1976; Beatley, 1994; Dahuri, dkk., 1996 dalam Latief, 2008
13
Latief (2008) menyebutkan bahwa garis batas wilayah pesisir yang konkrit tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis imajiner yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan karakteristik pesisir setempat. Di wilayah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat berada jauh dari garis pantai (shoreline).
Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung
berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan relatif sempit. Untuk kepentingan pengelolaan /perencanaan, batas wilayah pesisir ke arah darat bisa sampai ke hulu daerah aliran sungai apabila di situ terdapat kegiatan manusia yang secara nyata menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan sumberdaya di bagian hilir. Sedangkan ke arah laut, cenderung menyesuaikan dengan batas yurisdiksi yang berlaku di setiap provinsi, kabupaten atau kota (Dahuri et al., 1996). Batas wilayah pesisir ke arah darat adalah 50 km (Lundin, 1996 dalam Latief, 2008) atau 150 km dari garis pantai (shoreline) (Hinrichson, 1998 dalam Latief, 2008). Keduanya sepakat bahwa ke arah laut menggunakan batas yurisdiksi wilayah negara provinsi (Latief, 2008).
Sumberdaya pesisir adalah
sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam wilayah pesisir meliputi mangrove, terumbu karang, padang lamun, ikan, pasir, dan lain-lain. Sebagai pertemuan dua ekosistem, wilayah pesisir memiliki beberapa karakteristik (Pratikto, 2005), yaitu: 1. Daerah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas; 2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan; 3. Daerahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut; 4. Memiliki gradien perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan; 5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional. Kelima karakteristik tersebut bermuara pada tiga keunikan wilayah pesisir (Pratikto, 2005), yaitu: 1. Ekosistem
pesisir
yang
sangat
kompleks,
dinamis, dan
mudah
mengalami kerusakan/rentan (vulnerable) apabila dimanfaatkan manusia; 2. Sumber daya pesisir yang kaya tersebut dimanfaatkan berbagai pihak untuk
14
berbagai kepentingan (multiple use) sehingga menimbulkan konflik; 3. Di perairan pesisir masih terdapat pemahaman regime pengelolaan akses terbuka (open access) sehingga yang kuat sering lebih menguasai sumberdaya
dan
membatasi
akses
masyarakat
pesisir
dalam
memanfaatkannya, sementara regime pengelolaan tradisional (common property), pemilikan swasta (quasi-private property) serta penguasaan pemerintah (state property) masih berlaku. Wilayah pesisir memiliki beberapa bentuk dan tipe geomorfologi gisik (beach) atau
pantai (shore) yang sangat bergantung pada letak, kondisi, dan
posisi pantai itu seperti pantai terjal, pantai berbatu, pantai berpasir, pantai landai, pantai campuran, pantai dalam, pantai netral, pantai paparan, pantai pulau, pantai tenggelam, dan pantai timbul (Pratikto, 2005), sebagai contoh: •
Tipe pantai landai terdapat di pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera dan pantai selatan Kalimantan;
•
Tipe pantai campuran terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia Timur;
•
Tipe pantai terjal terdapat di sebagian pantai selatan Jawa dan pantai barat Sumatera;
•
Pada pulau-pulau besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), sering terdapat sungai besar yang mengalir ke laut, yang sangat berpengaruh terhadap bentuk dan tipe pantai di sekitarnya serta material yang membentuknya, ada yang membentuk laguna (Segara Anakan), delta (Delta Mahakam) atau gumuk pasir. Mengingat kondisi wilayah pesisir yang unik dengan berbagai tipe
tersebut, maka faktor-faktor yang bekerja di wilayah pesisir seperti angin, gelombang, pasang surut, arus, dan salinitas jauh lebih berfluktuasi daripada di lautan atau perairan darat (sungai dan danau). Besaran (magnitude) faktor tersebut berubah secara berangsur dari arah darat ke laut lepas. Karakteristik geomorfologi dan oseanografi yang sangat dinamis namun rentan terhadap dampak eksploitasi, inilah yang mendorong kebutuhan sehingga wilayah pesisir harus dikelola dan diatur pemanfaatannya secara khusus dan hati-hati (Latief, 2008), baik itu untuk kepentingan
pemanfaatan
sumberdaya
alamnya,
maupun mitigasi bencana.
2.1.1. Pentingnya Sumberdaya Pesisir Sampai tahun 2005, di Indonesia terdapat 45 kota besar dan 185 kabupaten berada di wilayah pesisir yang menjadi tempat pusat pertumbuhan
15
ekonomi, industri , dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten pesisir ini (marine cities and marine regencies), terdapat sekitar 80 % dari industri Indonesia beroperasi yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir. Sampai tahun 2000, sekitar 30 % PDB Indonesia berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya pesisir dan jasa-jasa lingkungannya. Sumberdaya pesisir Indonesia merupakan pusat biodiversitas laut tropis terkaya di dunia, dimana 30 % hutan bakau dunia ada di Indonesia; 30 % terumbu karang dunia ada di Indonesia, 60 persen konsumsi protein berasal dari sumberdaya ikan, 90 % ikan berasal dari perairan pesisir dalam 12 mil laut dari garis pantai (shoreline) (Pratikto, 2005). Ekosistem pesisir dapat mengurangi dampak bencana alam yang sering menimpa Indonesia seperti tsunami, gelombang pasang, banjir, dan abrasi (Dahuri et al., 1996).
2.1.2. Kondisi dan Permasalahan Pengelolaan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan jasa lingkungan yang penting bagi kehidupan bangsa. Menurut Ma’arif (2007) sumberdaya yang terkandung di wilayah pesisir berdasarkan nilai ekonomis meliputi : •
Nilai ekosistem terumbu karang (ikan karang, lobster) memberikan nilainya 466 – 567 juta US$, ekosistem mangrove sebesar 569 juta US$, dan rumput laut sebesar 16 juta US$;
•
Nilai ekspor udang mencapai Rp. 1 triliun dan ikan hias sebesar 32 juta US$/thn (1996). Sumbangan pada devisa negara sebesar 1,9 milyar US$ (2005);
•
25% kegiatan perekonomian Indonesia dari kegiatan di pesisir (Hopley Suharsono, 2000) dan mampu menyerap 14 juta tenaga kerja;
•
Nilai migas dari kawasan pesisir sebesar 5,2 trilliun (ADB, 1995). Selain itu wilayah pesisir memiliki potensi SDA seperti emas, nodule, mangan, pasir besi, timah, lempung kaolin, dan pasir kuarsa;
•
Nilai ekonomi kegiatan pariwisata menyumbangkan 248 – 348 juta US$. Wilayah
pesisir
merupakan
suatu
wilayah
multiguna
dan
14
sektor memanfaatkan potensi sumberdaya pesisir. Pesisir sangat rentan terhadap perubahan lingkungan seperti abrasi
dan
penerima dampak dari
daratan seperti deforestasi, erosi dan sedimentasi serta eutrofikasi. Wilayah pesisir saat ini mempunyai tingkat kerusakan biofisik mengkhawatirkan karena
16
42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik dan 6 % sangat baik, 40 % mangrove telah rusak dan 40 % gisik (beach) telah mengalami abrasi (Pratikto, 2005).
2.2. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir Keragaman karakteristik wilayah pesisir yang dimiliki negara Indonesia memerlukan kebijakan pembangunan yang terintegrasi sehingga memudahkan penerapannya. Adanya berbagai potensi sumber daya alam, bencana alam dan kendala kondisional, situasional serta lokasional di wilayah pesisir mengharuskan pemerintah menyiapkan seperangkat kebijakan pembangunan wilayah pesisir yang pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation. Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peranannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan. Dengan demikian selain kebijakan merupakan suatu pengetahuan, masyarakat juga mempunyai rasa memiliki terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu masyarakat menjadi sangat peka dan akan cepat mengetahui bilamana kebijakan pemerintah tidak berpihak kepadanya (Ma’arif dan Tanjung, 2003). Selanjutnya dikemukakan juga bahwa kebijakan adalah keputusan publik yang penyusunannya dipengaruhi oleh nilai sosial. Menurut Sanim (2006) kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Setidaknya ada tiga alasan utama perlunya kebijakan publik, yaitu (1) mencegah keterbatasan prasarana dan sarana (kegagalan pasar); (2) memberikan ruang gerak yang memadai bagi pelaku usaha lokal (keterbatasan kerangka kompetitif); dan (3) menentukan harga/tarif yang
terjangkau
oleh
masyarakat
(tujuan
distribusional).
Dunn
(1998)
menyatakan bahwa ada tiga komponen atau elemen dalam suatu sistem kebijakan, yang jika dikaitkan dengan pembangunan wilayah pesisir dapat digambarkan sebagaimana Gambar 9. Analisis
kebijakan
yang
meliputi
social policy,
economical policy,
ecological policy, technical policy adalah aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik yang ditujukan untuk menciptakan, dan secara kritis menilai, serta mengkomunikasikan pengetahuan tentang proses kebijakan.
Diketahui
juga bahwa analisis kebijakan sosial adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi,
17
tetapi tidak untuk menggantikan politik dan membangun elit teknokratis (Dunn, 1998). • • • •
Analis Kebijakan Pemerintah Pengusaha Koperasi dan UKM • Perguruan Tinggi • Masyarakat • LSM PELAKU KEBIJAKAN KEBIJAKAN PUBLIK
LINGKUNGAN KEBIJAKAN • Kriminalitas : Penebangan pohon, peledakan perairan, penambangan pasir gisik (beach) • Penganggur/ w arga berpendidikan rendah • diskriminasi
• • • • •
Wilayah pesisir Aksesibilitas : Infrastruktur dan dana Peningkatan kapasitas Pengurangan risiko bencana Privatisasi gisik (beach)
Gambar 9. Sistem kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi
Menurut Dunn dalam Nugroho (2007), metode analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang dipakai dalam pemecahan masalah manusia (Gambar 10). Menyediakan informas i mengenai nilai dari konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang
Menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan
Definisi
Prediksi
Preskripsi
Menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu
Kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah yang terjadi saat ini
Deskripsi
Evaluasi
Menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan
Gambar 10. Prosedur umum dalam metode analisis kebijakan Sumber : Dunn, 1998 dimodifikasi
Dalam pembangunan wilayah pesisir, mengikuti prosedur umum analisis kebijakan (Dunn, 1998),
maka
lima
komponen
dalam
analisis
kebijakan dapat diuraikan sebagai berikut (Forum Mitigasi, 2007): 1. Definisi, yaitu informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan (Dunn dalam Nugroho, 2007). Indonesia adalah negara rawan bencana alam yang mengakibatkan
18
kerugian
harta dan jiwa dalam jumlah besar. Sejak tahun 1600 sampai
dengan tahun 2005, bencana tsunami telah menimbulkan korban sekitar 361.905 jiwa di Indonesia dan Filipina (ITDB/WRL, 2005 dalam Latief et al., 2000). Selain bencana tsunami yang melanda pesisir bagian Barat pulau Sumatera, bagian Selatan pulau Jawa dan lainnya, hampir sebagian besar provinsi
maritim
Indonesia
juga
dilanda
gelombang
pasang
yang
menimbulkan abrasi. Setyawan (2007) dan Prasetya (2006) menyebutkan bahwa di Indonesia, abrasi pesisir dimulai pada tahun 1970 an wilayah pantai utara pulau Jawa ketika hutan mangrove berubah menjadi tambak ikan dan kegiatan budidaya perairan lainnya, serta perkembangan disepanjang pantura yang tidak terkelola dan pengelolaan sungai-sungaii yang kurang tepat. Abrasi pesisir terjadi hampir diseluruh provinsi maritim (Bird dan Ongkosongo, 1980; Syamsudin et al., 2000; Tjardana, 1995, dalam Prasetya, 2006) seperti Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan, Sumatera Barat, Nusa Tenggara, Papua, Sulawesi Selatan (Nurkin, 1994 dalam Prasetya, 2006), Bali (Prasetya dan Black, 2003 dalam Prasetya, 2006) dan Jawa Barat (Setyawan, 2007). Guna menangani abrasi pesisir tersebut dari 1996 sampai 2005 pemerintah telah mengeluarkan US$ 79.667 juta (Prasetya, 2006). Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemerintah membutuhkan kebijakan baru untuk melakukan pengembangan wilayah pesisir. 2. Prediksi, yaitu informasi mengenai konsekuensi di masa yang akan datang akibat penerapan alternatif kebijakan, termasuk jika tidak melakukan sesuatu (Dunn, dalam Nugroho 2007). Kepulauan Indonesia dan Filipina karena lokasinya dekat dengan patahan besar gempa bumi yang aktif, sehingga sangat rentan terhadap ancaman tsunami yang dapat mencapai pesisir hanya dalam beberapa menit. Sejarah pola kejadian Tsunami mengindikasikan bahwa cepat atau lambat suatu gempa bumi besar akan terjadi lagi dan tsunami Samudra Hindia akan melanda kembali pesisir di sekitarnya (Latief dan Hadi, 2006). Oleh karena itu guna menghindari kembali terulangnya tragedi 2004 di NAD dan Sumatra Utara dan 2006 di Jawa Barat, serta tidak mungkin ada yang dapat mencegah terjadinya bencana, maka kebijakan baru pengembangan wilayah pesisir yang akan diusulkan tersebut hendaknya ditekankan kepada tindakan pengurangan risiko bencana sesuai dengan Deklarasi Hyogo (2005), yaitu mengutamakan
kepada
peningkatan
ketahanan
lingkungan
dan
19
masyarakatnya. Untuk itu wilayah pesisir pengelolaannya harus diberi perlindungan yang memadai dengan solusi lunak, solusi keras atau kombinasi (Latief, 2008). 3. Preskripsi, yaitu informasi mengenai nilai konsekuensi alternatif kebijakan di masa mendatang (Dunn dalam Nugroho, 2007) Prasetya (2006) mengemukakan parameter utama yang dibutuhkan untuk memahami identifikasi abrasi sebagai masalah di zona pesisir yaitu : • Geomorfologi pantai yaitu tipe garis pantai dan sensitivitas terjadinya pantai • Angin merupakan faktor utama penyebab timbulnya gelombang; • Gelombang merupakan kekuatan terpenting penyebab abrasi pantai; • Air pasang merupakan tenaga influential terhadap morfodinamik pantai; • Vegetasi pantai merupakan komponen yang menjaga stabilias kemiringan pantai, dan pelindung garis pantai; • Aktivitas manusia sepanjang pantai mempengaruhi stabilitas garis pantai; Aktivitas manusia di pantai (onshore) dan lepas pantai (offshore), penambangan pasir dan terumbu karang, serta pengerukan muara dapat meningkatkan abrasi pantai (shore abrasion). Selanjutnya tindakan peningkatan ketahanan lingkungan pesisir membutuhkan konsekuensi sebagai berikut: • Solusi lunak, seperti pengisian gisik (beach nourishment), membangun gunuk (dune building), rekonstruksi (reconstruction), dan revegetasi pesisir (coastal revegetation). • Solusi keras, seperti krib/tanggul tegak lurus pantai (groyne), perlindungan lereng (slope
protection/seawall/bank revetment), pemecah ombak
(breakwater) dan penguat ujung krib/tanggul (artificial headland). • Kombinasi pengisian gisik (beach nourishment), krib tegak lurus gisik (groynes), revegatasi (revegetation) dan terumbu karang buatan (artificial reefs). • Implikasi sosial dan lingkungan,
pedoman umum mengelola abrasi
pesisir dan pilihannya termasuk biaya. Latief (2008) mengemukakan bahwa solusi keras dapat dibangun untuk melindungi pesisir dari bahaya alami seperti gelombang badai dan tsunami. Keduanya dapat menyebabkan timbulnya masalah besar di lingkungan pesisir dan dampaknya akan menimbulkan biaya pemulihan yang cukup besar. Baru-baru ini mangrove dan tipe lain dari hutan pesisir serta
20
vegetasi
sangat
dipertimbangkan
sebagai
alternatif
yang
paling
memungkinkan untuk dipergunakan bersama struktur buatan untuk meredam berbagai bahaya alami yang sering terjadi di wilayah pesisir. 4. Deskripsi, yaitu informasi mengenai konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan (Dunn dalam Suharto, 2006). Untuk memperoleh informasi saat ini, masa lalu dan mendatang para pakar menggunakan alat analisis untuk membantu mengidentifikasi situasi hutan dan pepohonan yang sesuai untuk melindungi pesisir (Latief dan Hadi, 2006) terhadap (i) tsunami; (ii) siklon; (iii) abrasi/erosi pantai; (iv) angin dan semburan garam. Langkah yang dilakukan untuk membangun alat tersebut adalah sebagai berikut: •
Mengidentifikasi
berbagai
kriteria
yang
dapat
mempengaruhi
kemungkinan memanfaatkan hutan untuk perlindungan pesisir. •
Membuat urutan garis besar tahapan kepentingan dan tingkat informasi yang dapat diberikan.
•
Meletakan kriteria dalam format yang berbeda.
•
Melakukan uji kriteria untuk kondisi lokasi spesifik.
Saran-saran yang telah dibuat untuk kriteria awal yang memungkinkan sebagai berikut: •
Apakah garis pesisir dipengaruhi oleh bahaya alami?
•
Apakah perlindungan pesisir saat ini ada?
•
Apakah disitu ada penduduk atau aset yang hendak dilindungi?
Kriteria yang muncul dalam alat analisis disarankan sebagai berikut: •
Adakah ruang yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan?
•
Adakah biaya yang tersedia untuk menumbuhkembangkan pepohonan?
•
Adakah bentuk lain perlindungan pesisir yang lebih sesuai?.
5. Evaluasi yang akan mengemukakan kegunaan alternatif kebijakan dalam memecahkan masalah, (Latief dan Hadi, 2006; Fritz dan Blaunt, 2006; Takle et al., 2006; Prasetya, 2006; Preuss, 2006; dalam FAO, 2006) adalah sebagai berikut : •
Hutan dan pohon pesisir, dalam kondisi tertentu, bertindak sebagai perisai hidup (bioshields) untuk melindungi kehidupan dan harta benda berharga terhadap bahaya pesisir, termasuk tsunami, siklon, angin dan
21
semburan garam serta abrasi pesisir. •
Tingkat perlindungan yang ditawarkan/diberikan perisai hidup pesisir tergantung pada sejumlah variable, termasuk (i) karakteristik bahaya (seperti tipe, kekuatan, frekuensi); (ii) ciri-ciri lokasi (seperti batimetri, geomorfologi); dan (iii) karakteristik perisai hidup (seperti tipe hutan dan pohon, lebar, tinggi dan kerapatan hutan).
•
Perhatian harus diberikan untuk menghindarkan generalisasi tentang peran perlindungan hutan dan pohon berdasarkan fakta dari satu atau sejumlah daerah; banyaknya faktor yang melindungi peran dari hutan atau pohon harus difahami dan dimasukan
dalam
pertimbangan
sebelum tindakan diambil. Perhatian ini penting sekali karena kebijakan yang diputuskan harus menciptakan perlindungan yang benar dalam menghadapi bahaya pesisir. •
Hutan dan pohon pesisir tidak dapat
menyiapkan perlindungan
efektif menghadapi seluruh bahaya (seperti gelombang tsunami yang besar dan kuat, banjir dari siklon dan tipe-tipe tertentu abrasi pantai); penyiapan untuk bentuk perlindungan lain dan (dalam kegiatan ekstrim) untuk evakuasi harus yang diutamakan. Perhatian harus diberikan karena tidak untuk menciptakan keputusan yang salah dalam membuat perlindungan terhadap bahaya pesisir (coastal hazard). •
Pentingnya perlindungan pesisir sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan dan pengelolaan adalah suatu keharusan.
•
Pilihan untuk melindungi termasuk: solusi lunak dan keras serta kombinasi dari keduanya. Jika tidak ada solusi yang samasekali sesuai dan dapat diterapkan, maka diperlukan zonafikasi tata guna lahan pesisir untuk melindungi
permukiman
dan
bangunan sebagai aset yang
berharga di zona yang rentan tersebut. •
Hal ini penting untuk mencocokan spesies pohon dengan lokasi untuk menghindarkan kematian sebagian besar pohon dan kegagalan tujuan penghutanan. Beberapa tipe hutan dan spesies pepohonan tidak dapat bertahan hidup atau tumbuh dengan subur di daerah terbuka yang spesifik terkena bahaya pesisir; oleh karena itu pepohonan tersebut bukan solusi yang tepat untuk perlindungan.
22
•
Pengembangan perisai hidup tidak mungkin diterapkan dalam segala situasi, dengan kata lain, keterbatasan biologis, batasan ruang, ketidaksesuaian dengan prioritas tata guna lahan dan hambatan biaya.
•
Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang fungsi hutan dan tanaman dalam perlindungan pesisir akan tetap tidak memadai dan disitu masih ada kekurangan dalam penelitian yang multidisiplin dan kerjasama dalam bidang ini. Daerah spesifik memerlukan perhatian termasuk penelitian tentang hutan non mangrove di pesisir, koleksi data, pengembangan model interaksi antara fisik dan parameter ekologi.
•
Adanya kebutuhan untuk mengetahui, bahwa untuk menstabilkan dan menumbuh kembangkan pohon dan hutan tersebut membutuhkan suatu ukuran dan kepadatan tertentu. Oleh karena itu untuk dapat menjadi perisai hidup yang diandalkan, membutuhkan waktu bertahuntahun, sehingga dapat menghadapi bahaya di pesisir.
•
Penelitian yang dibutuhkan dan inisiatif lapangan terkait dengan hutan dan perlindungan pesisir sudah pernah dilakukan beberapa tahun yang lalu; hal ini dapat dijadikan sebagai landasan bekerja untuk memperbaiki pemahaman tentang peran perlindungan yang dapat diberikan oleh hutan dan pohon.
Permasalahan multi sektor di lingkungan wilayah pesisir tersebut perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Zone Management). Salah satu indikator untuk menilai keberhasilan program ICZM tersebut, adalah manfaat sosial ekonominya. Secara empiris ukuran manfaat ekonomi dalam suatu sistem multi sektor seperti wilayah pesisir adalah challenging task in green accounting and sound environmental analysis. Oleh karena itu kebijakan yang mengedepankan kepentingan regime ekonomi semata hendaknya dievaluasi secepatnya, karena masyarakat mempunyai hak untuk memanfaatkan wilayah pesisir. Dengan demikian selain Pengelolaan Pesisir Terpadu, kebijakannya
harus Menuju Pemanfaatan
Sumberdaya Yang Berkelanjutan (Peng et al., 2006). Keterkaitan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian sumberdaya
pesisir
yang
mengintegrasikan
berbagai
kegiatan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut membutuhkan suatu model pengembangan wilayah pesisir yang sibernitik karena bertindak berdasarkan analisis tajam untuk mencapai tujuan, holistik karena melibatkan semua pihak
23
yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat serta efisien (SHE) karena mempertimbangkan potensi yang dimiliki untuk pengembangan pesisir dan potensi bencana yang dapat terjadi (Eriyatno, 2007).
2.3. Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Pesisir sebagai kawasan peralihan yang menghubungkan ekosistem darat dan laut, selain kaya akan sumberdaya alam juga sangat rentan terhadap perubahan akibat aktivitas manusia dan bencana alam (Dahuri et al., 1996). Berdasarkan diskursus dengan pakar terkait diketahui bahwa di lokasi penelitian terdapat enam elemen penyebab bencana alam yaitu angin kencang/puting beliung, gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, dan gerakan tanah. Selanjutnya ada empat elemen sebagai akibat bencana yaitu abrasi, akresi, erosi dan intrusi air laut. Pada hakekatnya beberapa elemen diantaranya saling terkait, sehingga untuk kepentingan penelitian ini hasil diskursus menetapkan sepuluh elemen tersebut merupakan elemen potensi bencana alam yang perlu dikaji. Elemen potensi bencana alam tersebut adalah sebagai berikut 1. Angin Kencang/Puting Beliung Angin kencang/puting beliung
terjadi
akibat adanya perbedaan
tekanan udara yang sangat tinggi pada zona tertentu di atmosfer. Perbedaan tersebut menimbulkan gerakan putaran angin yang kuat, disertai dengan hujan lebat dan menimbulkan efek destruktif karena membawa energi yang besar. Berbeda dengan badai tropis, angin kencang/puting beliung berlangsung singkat, dari hitungan detik hingga beberapa menit. Di wilayah pesisir angin puting beliung sulit dikurangi dampak merusaknya sekalipun dengan mangrove padat, karena datangnya angin tersebut dari atas (Fritz and Blount, 2006). 2. Gelombang Laut Berdasarkan gaya pembangkitnya, gelombang laut (ocean wave) secara garis besar dikelompokkan dalam tiga macam, yaitu: •
Gelombang angin atau ombak (wind wave), gelombang ini dibangkitkan oleh angin (Macmillan, 1966; Mihardja dalam Latief, 2008)
•
Gelombang pasang surut atau gelombang pasang (tidal wave) sering disebut pasang surut (tide) disingkat pasut yang terlihat secara kasat mata sebagai pasang naik (flood tide) dan pasang surut (ebb tide). Keadaan pasang surut ini di laut sangat ditentukan oleh posisi bumi – bulan – matahari. Pada waktu
24
bulan purnama dimana posisi bumi – bulan – matahari dalam satu garis lurus, maka muka laut saat pasang sangat tinggi dan sewaktu surut sangat rendah. Bila posisi bumi–bulan–matahari membentuk sudut 90 derajat, maka muka laut saat pasang tidak terlalu tinggi dan saat surut tidak terlalu rendah (Macmillan, 1966; Latief, 2008). •
Gelombang badai (storm surge), yaitu gelombang yang timbul akibat angin kuat atau badai (storm) yang menekan air laut ke arah garis pantai dengan ketinggian kurang lebih empat meter mengakibatkan runtuhnya lereng gisik (landfall). Badai tersebut terjadi akibat persentuhan uap yang dtiimbulkan oleh kenaikan suhu muka air laut dengan lapisan atmosferr yang dingin dan basah sehingga terjadi perpindahan energi dari laut ke atmosfer
Jika
gelombang badai terjadi pada saat pasang, maka kekuatan pasang dan kekuatan badai menyatu dan menghasilkan gelombang badai yang lebih dahsyat. Fenomena ini dikenal sebagai gelombang badai pasang (storm tide) yang ketinggiannya kurang lebih enam meter (Setyawan, 2007; Mihardja dalam Latief, 2008; Hadi, 2008; www.geology.com). 3. Tsunami Tsunami adalah gelombang besar yang ditimbulkan oleh adanya gempabumi, keruntuhan, dan/atau letusan gunung api di dasar laut dengan periode panjang yang mengganggu keseimbangan kondisi muka dan badan air laut yang terjadi secara spontan. Adapun pembangkit gelombang panjang tsunami ini diantaranya adalah gempa bumi dangkal (kedalaman epicentre kurang dari 40 km) yang berpusat di tengah perairan dengan magnitude yang cukup besar, yaitu lebih dari 6,4 SR. Syarat lainnya adalah gempa tektonik yang terjadi merupakan gempa vertikal yang melibatkan pergeseran vertikal lempengan dengan luasan yang cukup besar. Berdasarkan jarak bangkitannya, tsunami dibedakan atas tiga jenis yaitu tsunami jarak pusat gempa ke lokasi sejauh 200 km, (terjadi kurang dari 30 menit), tsunami jarak menengah sejauh 200 -1000 km (terjadi 30 menit–2 jam setelah gempa), dan tsunami jarak jauh lebih dari 1000 km (terjadi lebih dari 2 jam setelah gempa) (Diposaptono dan Budiman, 2006). 4. Abrasi Abrasi atau kikisan laut dapat terjadi secara alami dengan adanya pengaruh perubahan arus akibat pertumbuhan suatu delta, dimana abrasi gisik (beach
25
brasion) tersebut merupakan upaya alami mencapai keseimbangan. Selain itu abrasi dapat berupa pengikisan gisik (beach) oleh gelombang, yang didorong oleh angin akibat perubahan musim (Latief, 2008). 5. Erosi Ada tiga macam erosi yaitu erosi gisik (beach) yang dicirikan oleh adanya tebing laut (sea cliff) yang terjal dan terdapatnya singkapan endapan batuan, erosi tebing sungai yang terjadi akibat gerusan arus sungai pada
tebing
sungaisungai besar dan erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang menggerusi material hasil pelapukan (Latief, 2008). 6. Gerakan Tanah Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan dengan kompresibilitas tinggi. Jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah longsoran dan amblesan. Apabila beban di atas lapisan keras melebihi daya dukung yang diijinkan maka kemungkinan besar akan terjadi longsor/keruntuhan (land slide) atau amblesan/perosokan (settlement/land subsidence). Daerah yang berpotensi terjadinya gerakan tanah yaitu daerah pematang pantai, di mana lapisan keras berada pada kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya terdapat lapisan lempung/lanau lunak (Puradimaja, 2007b). 7. Gempa bumi Gempa bumi merupakan peristiwa alam, terjadi secara mendadak, timbul karena adanya pelepasan energi, sebagai akibat pergeseran relatif batuan/lempeng tektonik/kerak bumi, dalam banyak kasus menimbulkan banyak kerugian harta benda bahkan benda dan korban manusia (Puradimaja, 2007a). Gempa bumi tektonik merupakan penyebab utama terjadinya tsunami, mencapai 90.3% kejadian, dan selebihnya disebabkan oleh erupsi gunung berapi dan longsoran kerak bumi. Berdasarkan database kejadian tsunami, di wilayah Lautan Hindia, yang meliputi Indonesia, Filipina dan Taiwan tercatat 282 kejadian tsunami dari tahun 1600 – 2005, dan sebagian besar berada pada zona subduksi kepulauan Indonesia – Filipina (ITDB/WRL, 2005 dalam Latief dan Hadi, 2006). 8. Banjir Kondisi yang terjadi adalah debit air sungai melebihi volume maksimum kapasitas alur sungai. Biasanya banjir yang terjadi tidak berlangsung lama karena air cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah dan ke laut. Hal yang harus diwaspadai adalah banjir bandang akibat perubahan lahan di daerah hulu (Puradimaja, 2007a).
26
9. Akresi Akresi muncul akibat adanya pendangkalan di muara sungai yang disebabkan oleh tingginya kandungan material tersedimentasi yang berasal dari hasil erosi akibat aktivitas`manusia di bagian hulu. Oleh karena itu, kecepatan timbulnya akresi dapat diperlambat dengan aktivitas penghijauan di areal tangkapan air dan sekitar bendungan. 10. Intrusi Air Laut Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap.
2.4. Konsep Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan gagasan ataupun konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi, tetapi yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini
sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat ikut menikmatinya
(WCED, 1984). Istilah pembangunan berkelanjutan mulai dipopulerkan setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT-Bumi) di Brazil pada tahun 1992. KTT-Bumi merupakan penegasan kembali kesepakatan bersama bangsa-bangsa di muka bumi yang sadar akan pentingnya kelestarian lingkungan hidup atau pentingnya mengatasi masalah lingkungan global. Hal ini bisa terjadi karena pelestarian lingkungan hidup sangat penting dan tidak dapat dipisahkan begitu saja prioritasnya dengan pembangunan sektor lainnya. Pembangunan berkelanjutan juga didefinisikan sebagai ’upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (UU No. 23, tahun 1997).
27
Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar atau tiga dimensi keberlanjutan
(Triple-P),
yaitu:
keberlanjutan
usaha
ekonomi
(profit),
keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet). Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain
sehingga
ketiganya harus diperhatikan secara seimbang (Munasinghe, 1993). Dengan semakin terkonsentrasinya sebagian besar kegiatan manusia di pesisir, hilangnya hutan mangrove, hancurnya terumbu karang, meningkatnya penambangan pasir pantai dan semakin banyaknya industri membuang limbahnya ke wilayah pesisir, maka sudah sewajarnyalah jika pengembangan wilayah pesisir memperhatikan konsep pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Salim, 1980) sebagaimana dijelaskan dalam No. UU No. 23, tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (PBBL) adalah konsep untuk mengelola pengembangan wilayah pesisir agar tidak bertambah semerawut dan membahayakan generasi mendatang (Sugandhy dan Hakim, 2007). Konsep ini diperlukan untuk menjaga agar ambang batas tetap pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak karena tergantung kepada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia (Peng et al., 2006). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa Pengembangan Wilayah Pesisir (PWP) adalah pendekatan pengelolaan wilayah dengan ekosistem pesisir yang sangat kompleks, dinamis dan memiliki kerentanan tinggi, karena memiliki kekayaan sumberdaya alam yang multiple use dan berpotensi menimbulkan konflik serta masih berlakunya penguasaan ruang terbuka oleh kelompok tertentu. Sedangkan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan (PBBL) adalah konsep pembangunan untuk menjaga agar kegiatan manusia tidak melalui ambang batas pemanfaatan laju pemanfaatan alamiah. Oleh karena itu, pendekatan PWP dan strategi PBBL adalah
saling
terkait dan saling
melengkapi (complementary). Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan (PMB) atau the sustainable livelihood approach (SLA) sebagai suatu integrasi kerangka kerja konseptual dengan prinsip operasional untuk menyiapkan pedoman formulasi kebijakan dan
28
praktek
pembangunan,
sudah
banyak
diterapkan
dalam
penelitian
pengembangan wilayah pesisir dan kehidupan nelayan. Program yang sudah dilaksanakan di 25 negara pesisir Benua Afrika bagian Barat telah berhasil menyusun kebijakan inisiatif pengurangan kemiskinan (poverty reduction iniative policy), dan mengidentifikasi bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources ). PMB (SLA) sebagai suatu penelitian yang dipersiapkan untuk menjadi suatu kerangka kebijakan dan sudah diterapkan di 25 negara Afrika tersebut (Allison dan Horemans, 2006), untuk dapat diterapkan di negara kepulauan yang rawan bencana seperti Indonesia ini, nampaknya masih perlu disintesiskan dengan PWP dan berbagai konsep pembangunan lainnya agar terpadu. Guna mewujudkan hal tersebut, penelitian ini diharapkan akan arahan kebijakan pengembangan
wilayah
pesisir
menghasilkan suatu
yang
sesuai
dengan
permasalah di dua lokasi penelitian di Indonesia.
2.5.
Mitigasi Bencana Alam Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko, baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran atau peningkatan kemampuan menghadapi ancaman. Bencana adalah rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, oleh faktor alam maupun faktor non alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Coburn et al., 1994). Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (Carter, 1991). Dengan demikian pengurangan risiko bencana alam adalah suatu upaya untuk menekan kerugian masyarakat yang diakibatkan oleh peristiwa bencana alam (BNPB, 2007). Jika upaya ini ditingkatkan menjadi suatu kebijakan maka upaya tersebut ditujukkan untuk mengamankan seluruh aset pemerintah termasuk seluruh hasil pembangunan yang selama ini telah dilaksanakan agar tidak rusak, sehingga hasil pembangunan akan tetap dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Menurut Diposaptono (2007) dan Latief (2008), upaya mitigasi bencana secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara yaitu upaya struktur/fisik
29
(hard/soft solution) yang sering disebut hardware dan upaya non struktur/non fisik yang disebut juga dengan software. •
Upaya mitigasi struktur dilakukan dalam mitigasi bencana melalui dua metode yaitu metode perlindungan alami revegetasi/remangrovisasi, sand dune, pengisian gisik (beach
nourishment), dll dan metode perlindungan
buatan seperti peredam abrasi (bank
revetment), pemecah ombak
(breakwater), pengaman lereng (slope protection/seawall), dll. •
Upaya non struktur
yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana
seperti pembuatan peta rawan bencana, pembuatan peraturan perundangan terkait,
norma standar prosedur manual (NSPM) dan
sosialisasi yang
intensif kepada masyarakat dan aparat terkait dalam upaya pengurangan resiko bencana (mitigasi bencana) seperti pelatihan penyelamatan diri. Mitigasi pada umumnya sangat spesifik terhadap tipe bencana yang dampaknya akan direduksi (Depdagri, 2006). Pada bencana gelombang pasang, tindakan mitigasi yang dilakukan saat ini umumnya meliputi: •
Kajian bahaya (identifikasi dan peta rendaman gelombang pasang)
•
Real
time
monitoring gelombang pasang dan sistem peringatan
dini (pendistribusian informasi kepada penduduk). •
Pemberdayaan masyarakat (respons dan awareness penduduk) Applegate, et al. (2006) menyatakan bahwa pasca bencana tsunami
Samudra Hindia (2004) dan Huricane Teluk Mexico Katrina dan Rita (2005), menghimbau negara-negara maritim diseluruh dunia untuk melakukan perbaikan pengamatan pengurangan risiko bencana. Dinyatakan bahwa tidak mungkin mengurangi jumlah bencana yang akan terjadi, tetapi dapat dan harus mengurangi risiko bencana yang terjadi. Langkah penting yang segera diambil adalah melakukan modernisasi jaringan dan integrasi sistem pengamatan. Lembaga Pengetahuan dan Teknologi Nasional Amerika Serikat - Bidang Pengurangan Risiko Bencana dalam laporan bulan Juni 2005 menyebutkan tantangan utama dalam pengurangan risiko bencana adalah identifikasi tiga tema menuju suatu masyarakat pegas bencana (three themes in moving towards a disaster resilient society) yaitu : • Menyediakan informasi bahaya /bencana dimana dan kapan hal ini diperlukan • Memahami proses alamiah gejala/tanda bahaya
• Membangun strategi dan teknologi mitigasi bencana gempa bumi, banjir pesisir dalam kaitan dengan tsunami, badai Hurikane, gunungapi, longsor dan
30
amblesan (due to tsunami, severe storms including hurricane, volcanoes, landslides and settlements).
2.5.1. Siklus Penanggulangan Bencana Alam Pasal 1 ayat 5 UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi: penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (Gambar 11). Mitigasi bencana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 47 UU No. 24 tahun 2007 dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan yang rawan bencana. Oleh karena itu keberhasilan upaya mitigasi ini pada hakekatnya ditentukan oleh kemampuan masyarakat untuk mengurangi risiko bencana tersebut. Jika kemampuannya tinggi maka risikonya kecil, dan jika kemampuannya rendah maka risikonya besar. Dengan demikian diperlukan pemberdayaan masyarakat, dan untuk itu motivasi mempunyai peran yang sangat besar. Mangkuprawira (2007) menyatakan bahwa motivasi dapat berasal dari masyarakat itu sendiri, tetapi juga bisa dibangkitkan dari l uar. Oleh karena itu keberhasilan upaya mitigasi ditentukan oleh peran serta masyarakat.
Bencana Bahaya Langsung Yang Berpotensi Merusak Aset Bangsa dan Negara Kedaruratan Pemulihan
Mitigasi
Pencegahan
Pembangunan
Pasca Bencana
Pra Bencana
Kesiapsiagaan
Gambar 11. Siklus penanggulangan bencana Sumber : Diolah dari UU No. 24 Tahun 2007 dan Manajemen Bencana, Carter (1991)
Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam, yaitu mitigasi pasif (non struktural) dan mitigasi aktif (struktural).
31
2.5.1.1. Mitigasi Pasif (Non Struktural) •
Penyusunan peraturan perundang-undangan.
•
Penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah.
•
Pembuatan pedoman/standar/prosedur.
•
Pembuatan brosur/poster.
•
Pembuatan rencana alternatif tindakan kedaruratan (contigency plan).
•
Penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana
•
Internalisasi penanggulangan bencana (PB) dalam muatan lokal pendidikan.
•
Pembentukan satuan tugas bencana/ perkuatan unit-unit sosial masyarakat.
•
Pengarusutamaan PB dalam pembangunan dan sosialisasi
2.5.1.2. Mitigasi Aktif (Struktural) •
Pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya.
•
Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman.
•
Pembangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi.
•
Pembuatan bangunan struktur (Hanson, 2007) seperti: pengaman lereng (slope
protection/seawalls),
pemecah
ombak
(breakwater/detached
breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne), dan pengaman gisik (beach protective). Coburn et al., (1994) menyebutkan bahwa mitigasi struktural meliputi upaya fisik yang dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Selanjutnya Hanson (2007) merinci bahwa mitigasi struktural antara lain sistem peringatan dini, pembangunan pemecah ombak (breakwater), peredam abrasi (bank revetment), krib/tanggul tegak lurus untuk mencegah gerakan sedimentasi sejajar gisik (groyne) pembuatan permukiman panggung, relokasi permukiman (retreat), coastal protection (dune/vegetation), dan slope protection (sea wall). Kemudian Latief (2008) menambahkan bahwa dalam rangka stabilisasi pesisir diperlukan upaya lain yaitu pengisian gisik (beach nourishment), remangrovesasi, perlindungan gisik alami dengan menaikkan tanah/pasir ditutupi vegetasi, serta menumbuh kembangkan terumbu karang (reef replantation/artificial reef). Pemecah ombak (breakwater) adalah struktur yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, sedemikian rupa sehingga dibelakang struktur tercapai perairan yang tenang (Latief, 2008). Peredam abrasi (bank revetment) adalah
32
suatu struktur yang dibangun untuk melindungi pantai (beach protection) dari gelombang, biasanya dibangun dari batu yang diletakan di permukaan yang miring. Pengaman lereng (slope protection /seawall) adalah suatu struktur yang dibangun di sepanjang pantai untuk melindungi pantai dan kerusakan lain dari pukulan gelombang.
Umumnya lebih padat dan mampu bertahan terhadap
kekuatan gelombang besar dibandingkan dengan sebuah bangunan sekat (bulk head ) (Puradimaja, 2007a). Pengisian gisik (beach nourishment) adalah kegiatan menambang pasir di lepas-pantai dan ditempatkan di pantai untuk mengganti pasir yang tergerus oleh gelombang atau ombak. Hal ini dilakukan untuk melindungi fungsi dari pantai dan rekreasi (Wikipedia, 2008). Erchinger (1984) dalam Setyandito (2008), merumuskan bahwa tujuan utama pembuatan pantai pasir buatan antara lain: •
Pembuatan dan atau restorasi pantai rekreasi
•
Reklamasi pantai
•
Pemeliharaan garis pantai (terhadap chronic abrasion atau lee-side abrasion)
•
Pengurangan energi gelombang datang ke pantai atau dune Krib sejajar pantai (groin) adalah selain dengan krib tegak lurus pantai
maka untuk menanggulangi erosi akibat tidak seimbang suplai sedimen dan kapasitas angkutan (Latief, 2008). Setyandito (2008) menambahkan bahwa groin adalah bangunan yang dipergunakan untuk : •
Mempertahankan agar gisik buatan (artificial beach) dapat bertahan dalam waktu yang cukup lama
•
Menekan biaya perawatan agar supaya tidak terlalu mahal; dengan adanya bangunan pelindung material pasir yang hilang dapat ditekan Terumbu karang buatan (artificial reef) adalah bentuk bangunan atau
benda yang di turunkan kedasar perairan sehingga berfungsi layaknya habitat ikan. Banyak bentuk konstruksi dan jenis material yang diaplikasikan pada terumbu buatan, dari balok kayu biasa, papan, kotak beton, kotak besi dan kapal, bus bekas dan bahkan ban bekas. Dewasa ini dalam kegiatan yang disebut sebagai perbaikan ekosistem terumbu karang, banyak dilakukan dengan cara transplantasi terumbu karang dan pembuatan terumbu karang buatan (artificial reef) yang oleh masyarakat awam dikenal sebagai ‘rumpon’ (Mawardi, 2003).
2.5.2. Rencana Aksi Pengurangan Risiko Bencana Alam •
Ada beberapa upaya dalam mengurangi risiko bencana yaitu (Bappenas dan
33
BNPB, 2007) atau mitigasi dijadikan prioritas nasional dan daerah dengan didukung oleh sistem kelembagaan yang kuat •
Melakukan identifikasi, kajian dan
pemantauan risiko bencana dan
memperkuat peringatan dini •
Menggunakan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk membangun budaya aman dan ketahanan terhadap bencana
•
Mengurangi faktor utama penyebab bencana
•
Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana untuk menjamin pelaksanaan tanggap darurat yang efektif .
2.5.3. Gambaran Risiko Bencana Alam Gambaran risiko bencana alam yang dapat terjadi (Bappenas dan BNPB, 2007) adalah sebagai berikut : •
Ancaman Bahaya (hazard) Ada dua macam potensi bahaya, yaitu potensi bahaya utama (main hazard) dan potensi bahaya ikutan (collateral hazard). Beberapa potensi tersebut, antara lain adalah gempa bumi, tsunami, gelombang pasang dan abrasi.
•
Kerentanan (vulnerability) Kerentanan adalah keadaan atau perilaku manusia atau masyarakat yang Menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman. Kerentanan dapat berupa fisik, ekonomi, sosial dan lingkungan.
•
Kemampuan (capability) Kemampuan
adalah
kesiapan masyarakat
menghadapi
bahaya.
Disini kemampuan adalah kebalikan dari kerentanan, semakin mampu masyarakat semakin kecil kerentanannya. •
Risiko (risk) Semakin
tinggi ancaman bahaya di suatu daerah semakin tinggi risiko
daerah tersebut
terkena
bencana,
tetapi
semakin
tinggi
tingkat
kemampuan masyarakat semakin kecil risiko yang dihadapinya. Kaitan antara kemampuan lingkungan, kerentanan, dan risiko bencana dapat dilihat pada Gambar 12.
34
Kemampuan Lingkungan Pesisir Berkurang
Kerentanan Bertambah
Kemampuan Lingkungan Pesisir Bertambah
Kerentanan Berkurang
Risiko Bencana Bertambah
Risiko Bencana Berkurang
Gambar 12. Kaitan kemampuan lingkungan, kerentanan dan risiko bencana Sumber : Diolah dari Mitigasi Bencana, Coburn et al., (1994)
2.5.4. Pemetaan Risiko Bencana Alam Guna menerapkan berbagai hal yang telah dikemukakan, maka berbagai risiko bencana seyogyanya
divisualisasikan dalam bentuk peta
risiko bencana dan untuk itu dibutuhkan sejumlah data (lihat Tabel1). Tabel 1. Data yang dibutuhkan untuk pembuatan peta risiko bencana alam No
Kebutuhan Data
1 2 3 4
Kabupaten ‘rawan bencana’ 2007 Data dan Peta Penggunaan Lahan Data Tingkat Konversi Guna Lahan dalam 5 tahun terakhir Data Keberadaan Obyek Vital 2007
5 6 7 8 9
Data dan Peta Pola Penyebaran Pemukiman Data Kesehatan dan Kemiskinan Data Histori Banjir dan Gempa bumi Data dan Peta Prasarana Jalan Data Kebijakan/Peraturan Daerah yang mengatur tentang kebencanaan di kabupaten rawan bencana tersebut Data Infrastruktur dan Bangunan termasuk yang terkait dengan IMB Data Kegiatan Pemerintah dan Masyarakat (Pelatihan, Sosialisasi, Penyuluhan dll) tentang kebencanaan sejak tahun 2002-2007 Data Partisipasi Masyarakat dalam kebencanaan (Organisasi Masyarakat) Data Histori Banjir dan Tanah Longsor Data Histori Kekeringan Kabupaten rawan bencana Data Histori Tsunami di Kabupaten rawan bencana
10 11 12 13 14 15
Sumber : Bappenas -BNPB 2007
35
Hal ini diperlukan sebagai acuan
pengakomodasian
kegiatan yang
akan
dilaksanakan disuatu wilayah. Sehingga proses penataan ruang memiliki legitimasi dari aspek kebencanaan (Bappenas dan BNPB, 2007). Selain itu peta risiko bencana ini merupakan respon terhadap himbauan BAKOSURTANAL yang menyatakan bahwa peta yang dibutuhkan untuk menghadapi bencana alam harus lebih detail daripada peta rupa bumi yang biasa dibuat oleh BAKOSURTANAL dengan skala 1:25.000. Untuk perencanaan antisipasi dan evakuasi bencana alam daerah diperlukan peta yang lebih detil yaitu skala 1:2.500. Sejauh ini BAKOSURTANAL hanya bertugas membuat sistem standar agar sebuah peta yang dibuat oleh instansi tertentu mudah dimengerti oleh instansi lainnya (Matindas dalam Komara, 2006). Peta yang lazim disebut peta risiko bencana atau peta rawan bencana adalah suatu peta tematik, artinya peta yang mengusung hanya satu atau beberapa tema misalnya peta kerawanan longsor atau gunungapi dan seterusnya. Ini berbeda dengan peta umum yang menyajikan kondisi topografi (seperti lokasi jalan, gunung, sungai, informasi ketinggian, dan tutupan lahan) dan batas administrasi (batas kecamatan atau kabupaten) yang biasa disebut peta rupa bumi (sebagai terjemahan dari topographic map). Peta rupa bumi biasanya dijadikan peta dasar bagi berbagai peta tematik yang dibuat secara spesifik untuk keperluan khusus tersebut.
2.6
Keterkaitan Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Pemanfaatan SDA Terkendali dan Manajemen serta Mitigasi Bencana Alam Manajemen bencana adalah upaya penanganan bencana sejak dari
kedaruratan, pemulihan, pembangunan, pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan (Carter, 1991). Mitigasi bencana adalah upaya pengurangan risiko bencana (Coburn et al, 1994) yang berpotensi terjadi di wilayah pesisir. Pemanfaatan sumberdaya alam yang terkendali adalah untuk memastikan bahwa ambang batas lingkungan tidak terlampaui sehingga keberlanjutannya terjamin. Oleh karena itu laju pemanfaatannya tidak lagi hanya mengutamakan kepentingan ekonomi (profit) saja, tetapi juga harus memperhatikan kepentingan sosial (people) dan ekologi (planet) sehingga terjadi keseimbangan (Munasinghe, 1993). Karena mata pencaharian berkelanjutan akan mempengaruhi kualitas lingkungan (Allison dan Horemans, 2006). Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
36
adalah kegiatan di wilayah pesisir yang melibatkan berbagai sektor yang saling melengkapi seperti perkapalan, transportasi laut, perikanan, pariwisata bahari (Peng et al, 2006). Kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah kegiatan penelitian yang sedang dilakukan dan berpedoman pada
ketiga penelitian tersebut, dan diharapkan dapat
menemukan arahan kebijakan yang sesuai dengan permasalahan pesisir saat ini sehingga dapat diterapkan di pesisir Kabupaten Indramayu dan pesisir Kabupaten Ciamis (Penelitian, 2008) (Gambar 13).
Kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana
Penelitian (2008)
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu
Peng et al (2006) Allison dan Horemans (2006) Munasinghe(1993)
Pemanfaatan SDA terkendali Manajemen dan mitigasi bencana
Coburn et al (1994) Carter (1991)
Gambar 13. Keterkaitan kebijakan pengembangan wilayah pesisir, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan/terkendali, manajemen dan mitigasi bencana
2.7.
Pemberdayaan Masyarakat Berkaitan dengan permasalahan pesisir yang merupakan konsentrasi
mayoritas penduduk miskin di Indonesia dan kerentanan terhadap bencana alam serta kesepakatan dunia terhadap upaya pengurangan risiko bencana, maka untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan lingkungan pesisir sebagaimana yang
telah
dideklarasikan
tersebut
(ACDRR,
2007)
dibutuhkan
upaya
pemberdayaan masyarakat kolektif yang sistemik (Parson et al., 1994). Dalam konteks penanggulangan bencana, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan (empowerement setting): mikro, mezzo, dan makro. Disini mikro disetarakan dengan lingkungan terkecil ditingkat komunitas Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW), mezzo disetarakan dengan
37
lingkungan menengah
ditingkat
Kelurahan
atau
Kecamatan
dan makro
disetarakan dengan lingkungan besar ditingkat Kabupaten (Diolah dari Suharto, 2006). Hal ini sesuai dengan prinsip otonomi daerah, kabupaten
karena pemerintah
memiliki kewenangan dalam urusan pemerintahan, keuangan
termasuk penganggulangan bencana. •
Aras Mikro. Pemberdayaan dilakukan terhadap klien dalam hal ini RT/RW melalui bimbingan, konseling, stress management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau melatih klien dalam menjalankan tugastugas kehidupannya.
Model ini sering disebut sebagai Pendekatan yang
Berpusat pada Tugas (task centered approach). •
Aras Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien yaitu Kelurahan atau Kecamatan dengan menggunakan kelompok sebagai media intervensi.
Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya
digunakan sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan penanggulangan bencana yang akan/sedang dihadapinya. •
Aras Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas yaitu Kabupaten. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial, kampanye, aksi sosial, pengorganisasian masyarakat, manajemen konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan ini. Strategi Sistem Besar memandang
klien
sebagai pemilik kompetensi untuk
memahami situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang tepat untuk bertindak. Jika strategi pemberdayaan ini telah dijalankan, maka selain masyarakat juga aparat terkait dalam upaya pengurangan risiko bencana tersebut akan meningkat
kemampuannya.
Pemerintah
kabupaten
akan
mempunyai
kemampuan untuk menentukan bentuk mitigasi bencana yang paling sesuai diterapkan. Dengan demikian harapan tercapainya ketahanan lingkungan dan masyarakat sebagaimana yang dikumandangkan dalam Deklarasi Hyogo (2005) akan terwujud.
2.8.
Permodelan Guna mendukung pengambil keputusan mengkaji dampak kebijakan
yang akan diterapkan, pengembangan ilmu komputasi dan matematik yang terintegrasi dengan permasalahan sosial yang sedang terjadi merupakan suatu
38
solusi yang terbaik. Kebutuhan multifungsi pada laut dan daerah estuaria yang terus meningkat, memerlukan pengetahuan tentang sistem manajemen strategik yang dituangkan dalam suatu pemodelan interdisiplin tentang sumberdaya wilayah pesisir. Walaupun pengintegrasian berbagai disiplin pengetahuan tersebut tidak sepenuhnya menjamin akan menyelesaikan permasalahan secara akurat,
permodelan
sistem
sangat
dibutuhkan
untuk
mengidentifikasi
kecenderungan yang akan terjadi di waktu mendatang (Wind dan Kok, 2002). Model menurut Marimin (2005) adalah simplifikasi dari sistem dan sistem adalah kumpulan berbagai komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir dengan baik serta mempunyai tujuan yang sama. Menurut Manetch dan Park (1977) sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang berinteraksi dan terorganisir untuk mencapai tujuan, sedangkan O’Brien (1999), mendefinisikan sistem sebagai suatu bentuk atau struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Dengan demikian, berarti setiap sistem harus
memiliki
komponen atau elemen yang saling
berinteraksi (terkait) dan terorganisir dengan suatu tujuan atau fungsi tertentu. (Gambar 14). Unity
Analysis
Synthesis
Parts And Relationship
Parts
Complexity Theory Dynamic
Expert Management System
Group Decision Making
Gambar 14. Keterkaitan logika Sumber : Diolah dari Eriyatno dan Sofyar, 2007
Dikaitkan dengan judul penelitian ‘Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berperspektif Mitigasi Bencana, Kasus Pesisir Indramayu dan Ciamis’, beberapa hal yang dapat dikemukakan sebagai berikut : •
Kebijakan, pengembangan wilayah pesisir, berkelanjutan, berperspektif dan mitigasi bencana adalah komponen atau elemen yang saling terkait dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan
39
•
Tujuannya adalah merumuskan suatu kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi sebagaimana yang dikemukakan Aelen dalam Eriyatno dan Sofyar (2007) ‘policy research is namely normative research about alternative ways organizing and gathering information so that a decision maker can make the most inteligent choices’
•
Hasil
penelitian
harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif
menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam suatu kebijakan berupa Model IESS (Inteligent Executive Support System), dalam bentuk sistem pakar atau EMS (Expert Management System) yang mengandung Inference Engine dan Exploration Generator (Eriyatno, 2007) •
Peneliti harus memahami bagaimana membangun kebijakan secara komprehensif yang smart, dengan teknik berbasis pengetahuan merumuskan konsepsi
instrument
pembangunan
berkelanjutan
dan
pencegahan
dampak melalui pemikiran sintesis (Eriyatno, 2007) •
Metoda sintesis digunakan karena fokus kepada sasaran yang akan dicapai pada masa mendatang dengan mengembangkan substansi yang konseptual atau artifisial, tidak seperti metoda analisis yang fokus pada masalah yang telah terjadi dengan memperbaiki sistem yang tidak baik (Eriyatno, 2007)
•
Metoda sintesis melibatkan sasaran akhir, obyek dalam pikiran dan integrasi berbagai elemen, komponen dan sub sistem untuk membentuk suatu sistem (parts and relationship) (Dubrovsky dalam Eriyatno, 2007)
•
Hasil penelitian membuktikan bahwa minat kelompok fisik dan sosial dari berbagai disiplin ilmu telah melahirkan complexity theory yang menjadi teori sistem yang memberikan penjelasan konseptual dalam aplikasi group dynamics sebagai sumber ilmiah pengembangan model (Wheelan dalam Eriyatno, 2007)
•
Untuk memudahkan pengambil keputusan, penyiapan alternatif kebijakan dapat dilakukan melalui permodelan sistem (Eriyatno, 2007 dan Marimin, 2007) Keunggulan permodelan sistem yang utama menurut Ma’arif dan Tanjung
(2003) adalah memvisualisasikan secara cepat abstraksi suatu integrasi elemen. Melalui model tersebut, dapat diprediksi hal yang terkait dengan jawaban atas permasalahan. Ada lima tipe model yang seringkali diaplikasikan dalam dunia nyata, yaitu (Ma’arif dan Tanjung, 2003):
40
•
Model fisik, yang berdasarkan analogi
•
Model deskriptif, yang bersifat kualitatif dan mengedepankan dialog dengan para pakar terkait
•
Model matematik, yang terdiri dari simbol-simbol persamaan untuk menjelaskan suatu sistem. atribut model adalah variabel dan aktivitas model adalah fungsi
•
Model prosedural, yang terdiri dari diagram alir yang menjelaskan langkah – langkah yang terjadi dalam sistem
•
Model simulasi, yang merupakan gabungan antara model prosedural dan model matematik
2.9.
Penelitian Sejenis Ada beberapa hasil penelitian dan tulisan ilmiah yang membahas tentang
wilayah pesisir dan mitigasi bencana serta model pengembangannya secara berkelanjutan. Berikut ini dikemukakan beberapa ringkasan diantaranya. Fandora (2006) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Pengelolaan Pesisir Terpadu’ telah mengemukakan perbedaan antara wilayah pesisir utara dan selatan Jawa Barat. Diawali dengan penjelasan tentang karakteristik wilayah, potensi kawasan, permasalahan dengan penekanan kepada laju abrasi di pesisir utara dan pertambangan yang merusak lingkungan di pesisir selatan, sampai dengan perlunya pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal zone management). Selanjutnya dikemukakan hambatan utama untuk menerapkan pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yaitu tidak adanya kepastian hukum.
Akhirnya dikemukakan bahwa RUU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil diharapkan dapat menjadi solusi seluruh permasalahan yang menghambat penerapan pengelolaan pesisir terpadu tersebut. Setyawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Bencana Geologi Di Daerah Pesisir’ mengemukakan bahwa selama ini masyarakat berpendapat bahwa gelombang yang dapat menimbulkan kerusakan, hanya gelombang yang berasal dari bagian Barat dan Selatan Indonesia saja. Hal ini ternyata tidak benar, karena konfigurasi kepulauan Indonesia
dengan empat pulau besar
mengakibatkan arus yang terjadi di perairan dalamnya akan mengakibatkan gelombang pasang merusak pantura Jawa.
Abrasi yang terjadi di pesisir
Indramayu merupakan yang terparah kedua setelah abrasi di pesisir NAD. Wind dan Kok (2002) dalam tulisan ilmiahnya yang berjudul ‘Permodelan
41
Interdisiplin, Tantangan dan Peluangnya’ mengemukakan bahwa untuk menata kegiatan rekreasi bahari di pesisir Wadden Belanda Utara seperti olahraga air, pemancingan ikan, penerbangan ringan dan kegiatan yang kontroversi yaitu eksploitasi gas alam, diperlukan pendekatan Sistem Pengambilan Keputusan yang akan menyelesaikan analisis dari berbagai disiplin keilmuan.
Seluruh
kegiatan pariwisata bahari tersebut menyesuaikan dengan tujuan kebijakan pembangunan yaitu, perlindungan Pesisir Wadden sebagai kawasan alami yang berkelanjutan. Kondisi perbatasan pengelolaan kegiatan kawasan Wadden, harus aman terhadap banjir pesisir dan aksesibilitas keluar masuk kawasan harus terpelihara sehingga seluruh aktifitas ekonomi dan rekreasi tetap terjaga. Allison dan Horemans (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Pendekatan Mata Pencaharian Berkelanjutan’ menggabungkan suatu kerangka kerja konseptual operasional untuk menyiapkan pedoman perumusan kebijakan dan praktek pengembangan pesisir. Prinsip Sustainable Livelihood Approach (SLA) adalah meletakan kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dalam pusat analisis, mengutamakan batas-batas sektor, memperkuat hubungan makro-mikro menjadi lebih responsif dan partisipatif, membangun pada kekuatan, dan menerapkan wawasan keberlanjutan.
Konteks Kerentanan • Guncangan • Kecenderungan • Musiman
Aset Matapencaharian • Manusia • Alam • Keuangan • Fisik • Sosial
PIP • Kebijakan • Kelembagaan • Proses
Hasil Matapencaharian • Pendapatan/ Kesejahteraan meningkat • Kerentanan Menurun • Ketahanan Pangan meningkat • Berkelanjutan meningkat dgn basis sumber daya alam • Pemberdayaan termasuk Sosial
Gambar 15. Kerangka matapencaharian nelayan untuk memahami sistem pengelolalaan sumberdaya alam pesisir Sumber
: Allison dan Horemans (2006)
Pendekatan
SLA
ini
sudah
diterapkan
secara
luas
dalam
penelitian
pengembangan pesisir dan perikanan, dan sudah didesiminasikan sebagai
42
rancangan pengembangan program internasional, walaupun pengalaman lapangan secara luas belum terdokumentasikan. Program SLA yang melibatkan 25 negara Afrika Barat telah membantu meluruskan kebijakan perikanan berkelanjutan dengan inisiatif pengurangan kemiskinan di pesisir sekaligus membuktikan bahwa kemiskinan tidak langsung menjadi pemicu terjadinya eksploitasi sumberdaya ikan yang berlebihan (over-exploited fish resources). Tobey dan Torrel (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Kemiskinan pesisir dan pengelolaan kawasan pesisir yang diproteksi di daratan Tanzania dan Zansibar (Marine Protected Area)’, membahas keterkaitan antara kemiskinan dan konservasi pesisir
serta menemukan bahwa kemiskinan masyarakat
pesisir seringkali memicu masyarakat melanggar peraturan pengelolaan.
Oleh
karena
itu
kemiskinan
menambah
perundangan
kesulitan
upaya
mewujudkan program konservasi (yang merupakan landasan ketahanan lingkungan untuk mengurangi risiko bencana). Mereka menyimpulkan bahwa keefektifan dan keberhasilan program Proteksi Kawasan Pesisir (MPA) dalam mencapai tujuan konservasi dan pembangunan sangat beragam, tetapi persepsi masyarakat sangat positif sehingga keberhasilan program MPA itu membutuhkan waktu lama dan investasi yang besar. Peng et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Ukuran manfaat sosio ekonomi dari Pengelolaan Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Management): Aplikasi di Xiamen’, China mengemukakan sebuah pendekatan sistematik untuk mengukur seluruh manfaat social eokonomi dikaitkan dengan program pengelolaan pesisir terpadu (ICZM).
Permasalahan multi sektor di
lingkungan wilayah pesisir perlu diselesaikan dengan pengelolaan pesisir terpadu (integrated coastal zone management). Pakar sepakat bahwa indikator penilaian keberhasilan dari program pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah manfaat sosio-ekonomi. Tetapi secara spesifik konsep terpadu masih belum jelas, karena peran dari berbagai variable penting dalam kerangka kerja analitik dan interaksi diantaranya belum dipahami dengan baik. Kasus Xiamen sangat menarik untuk dikemukakan karena wilayah pesisir yang semula aktifitasnya semrawut dan membuat kualitas lingkungan pesisir rusak (abrasi, polusi, dan kumuh) dalam sepuluh tahun melalui The Xiamen Demonstration Project yang dimulai pada tahun 1992 dan merupakan kerjasama antara the Global Environment Facility/United Nations Development Program/International Maritime Organization (GEF/UNDP/IMO) Regional Program for the Prevention and Management of
43
Marine Areas in the East Asian Seas (MPA-EAS). Xiamen telah berubah menjadi suatu wilayah pesisir yang menarik dan aktifitasnya meningkat serta kualitas lingkungannya bertambah baik. Daratan seluas 1.565 km 2 dan lautan seluas 340 km 2 dengan garis pantai sepanjang 234 km telah menarik penduduk yang pada tahun 1980 kurang dari 1 juta jiwa menjadi sekitar 2 juta jiwa pada tahun 2001. Kegiatan ekonomi meningkat dengan pembangunan pelabuhan, transportasi laut, perkapalan, perikanan, permukiman pesisir, hotel, dan aquaculture serta wisata bahari. Program ICZM telah mereduksi multi konflik akibat pemanfaatan wilayah yang tumpang tindih dan meningkatkan perlindungan terhadap satwa langka seperti ikan lumba-lumba putih yang di dunia hanya ada di pesisir Xiamen. Dalam waktu sekitar 8 tahun manfaat sosioekonomi yang diperoleh dari program ICZM telah meningkat sekitar 40 %. Pendapatan dari pelabuhan meningkat 4.4 kali, pendapatan dari transportasi meningkat 35.09 kali, pendapatan dari perikanan menurun 0.7 kali, pendapatan dari pariwisata meningkat 2.74 kali dan pendapatan total meningkat 3.1 kali. Menurut UNDP, ICZM yang diterapkan di Xiamen, Cina dianggap berhasil dan dapat dijadikan pembelajaran bagi negara maritim lainnya. WRI–IUC–UNEP (1992) dalam publikasi ilmiahnya yang berjudul Global Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save, Study, and Use Earth’s Biotic Wealth Sustainably and Equitably mengemukakan konsep Bioregion yaitu batas darat dan perairan yang ditentukan bukan oleh batas secara politik, akan tetapi oleh batas geografis dari komunitas manusia dan sistem lingkungan . Luas area ini harus cukup besar guna mempertahankan integritas komunitas biologi wilayah tersebut; untuk menyokong proses ekologi yang penting seperti siklus nutrien dan limbah, migrasi dan aliran arus; untuk menjaga habitat dari spesies penting; dan juga komunitas manusia. Hanson
(2007)
dalam
tulisan
ilmiahnya yang berjudul Upaya
Pengurangan Risiko Bencana di Pesisir (coastal disaster counter measures) mengemukakan bahwa upaya pencegahan bencana pesisir dapat dilakukan dengan berbagai upaya, yaitu Tidak ada tindakan (no action), Relokasi/Mundur (retreat), Akomodas/Adaptasi (accommodation/adaptation), protection/revetment/seawall),
Pemecah
ombak
Stabilisasi
(slope
(breakwater/detached
breakwater), Penahan sedimentasi sejajar pantai (groyne), Pengaman pantai (beach protective) dan vegetasi. • Tidak ada tindakan (no action) adalah tetap meneruskan kegiatan
44
pembangunan seperti biasa, dimana penggunaan lahannya sangat tidak teratur dengan keuntungan tidak dibutuhkan biaya pengelolaan, tidak ada dampak sampingan dan tidak ada pembangunan konstruksi. Tetapi kerugiannya
adalah
berlangsungnya
abrasi dan
banjir
pesisir
yang
berkelanjutan, serta dibutuhkannya biaya tidak langsung yang cukup besar seperti
evakuasi
warga
yang menjadi korban bencana, pembangunan
hunian sementara, rehabilitasi kawasan dan kegiatan sosioekonomi yang terganggu. • Relokasi (retreat) pantai. Sebagai melaksanakan
dengan bentuk
memundurkan
pembangunan
permukiman
skala
rendah
menjauh dari secara
umum
evakuasi gradual dengan durasi dan tempo yang cukup
seimbang serta adanya perubahan nilai kepemilikkan. Keuntungan yang diperoleh adalah kegiatan pembangunan skala rendah dengan biaya sedang. Tetapi kerugiannya adalah berkurangnya fungsi lahan dan perlu investasi serta implikasi sosial secara luas. • Akomodasi
melalui
upaya
adaptasi
yaitu
meninggikan
hunian
dengan mengangkat lantai rumah sedemikian rupa sehingga terhindar dari hantaman gelombang pasang. Keuntungannya adalah tidak ada masalah sosial dan pembangunan prasarana perlindungan pantai. Tetapi kerugiannya adalah
semua
pembiayaan
pembangunan
dipikul
sendiri,
dan
jika
konstruksinya kurang baik berisiko rubuh dihantam gelombang pasang atau tsunami. • Stabilisasi dengan membuat pengaman lereng (slope protection/seawalls) pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), tanggul/krib (groyne), pengaman gisik (protective beaches) dan vegetasi. o Pengaman lereng (slope protection/revetment/seawalls) yang memisahkan daratan dan lautan untuk meredam hantaman gelombang. Kerugiannya biaya awal cukup tinggi, mengurangi akses ke pantai, meningkatkan refleksi gelombang, tidak ada proteksi tanggul pantai dan abrasi jatuh menyimpang. o Pemecah gelombang (breakwater) yang sejajar dengan pantai atau terpisah tetapi tetap sejajar pantai (detached breakwater). Keuntunganya efisien menahan pergerakan sedimentasi, melindungi terjadinya abrasi lepas pantai, energi gelombang terbatas dan tidak ada struktur di pantai. Kerugiannya tidak melindungi terhadap banjir, erosi jatuh menyimpang.
45
o Krib (groyne) yang tegak lurus pantai dengan konstruksi dan panjang yang
terbatas
untuk
mencegah
sedimentasi
yang
bergerak
sejajar/sepanjang pantai, menghambat abrasi atau mencegah material pantai runtuh tergerus ke lokasi sedimentasi yang bergerak tadi. Kerugiannya abrasi jatuh menyimpang. o Pengaman gisik (protective beaches) dengan membuat gunuk (dune kondisi pasca kerusakan minor, biayanya murah, estetis dan tahan lama. Kerugiannya adalah sensitif terhadap gelombang yang berkepanjangan, dan awal perawatannya memerlukan persyaratan tertentu .
III. METODE PENELITIAN 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah pesisir Kecamatan Indramayu,
Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, dan wilayah pesisir Kecamatan Pangandaran Kabupaten Ciamis. Letak Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis dalam peta skematis Provinsi Jawa Barat ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Lokasi penelitian pada peta skematis Provinsi Jawa Barat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2007 sampai pertengahan Juni 2008. Pertimbangan penentuan lokasi adalah sebagai berikut : 1. Di Indonesia ada dua setting lingkungan pesisir yang berbeda yang dilanda oleh bencana gelombang badai, yaitu pesisir yang menghadap samudera Hindia dan pesisir yang berada di lingkungan dalam perairan Indonesia, yaitu wilayah pesisir Indramayu yang menghadap ke timur (Setyawan, 2007). 2. Selain gelombang pasang, pantai utara Jawa juga terkena abrasi pantai yang mengakibatkan hilangnya lahan daratan pesisir pantai dan bergesernya garis pantai ke daratan, serta akresi yang mengakibatkan timbulnya lahan daratan di muara-muara sungai (DKP dan DPU, 2007). 3. Kawasan pantai Pangandaran adalah andalan sektor pariwisata Provinsi Jawa Barat yang pada tahun 2006 baru saja mengalami bencana tsunami (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).
47
3.2
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan gabungan pendekatan manajemen bencana
(Carter, 1991), mitigasi bencana (Coburn, et al 1994), pemanfaatan sumberdaya alam terkendali (Munasinghe, 1993; Allison dan Horemans, 2006), pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Dahuri et al., 1996; Cicin-Sain dan Knecht, 1998; Kay and Alder, 1999; Peng et al., 2006), dan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi (penelitian, 2008) sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab II terdahulu. Pendekatan penanggulangan
manajemen bencana,
bencana
mitigasi
untuk
bencana
mengetahui
siklus
mengetahui
upaya
untuk
pengurangan risiko bencana alam secara struktural dan non struktural; pemanfaatan sumberdaya alam terkendali untuk mengetahui apakah kegiatan tersebut sudah melampaui ambang batas pemanfaatan ekosistem alamiah atau belum; pengelolan wilayah pesisir terpadu untuk mengetahui apakah diantara pihak terkait secara horizontal dan vertikal sudah terpadu atau belum; dan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Indramayu dan Ciamis sudah terpadu berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana belum (Gambar 17). Kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan beprspektif mitigasi bencana (P2B2MB) (Penelitian, 2008)
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu (Dahuri et al., 1996); (Peng, 2006) Pemanfaatan sda terkendali (Munasinghe, 1993); (Alison and Horeman, 2006); Manajemen dan Mitigasi Bencana (Carter, 1991); (Coburn, 1994)
1 3
T=1
4
T=1 ST=2
ST=2 T=1 T=1
4 3
1
Gambar 17. Matrik keterkaitan pendekatan dalam penelitian Berdasarkan Gambar 17 di atas, keterkaitan keempat pendekatan yaitu : Manajemen dan mitigasi bencana, pemanfaatan sumber daya alam terkendali, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana (P2B2MB) dapat diberikan nilai berdasarkan aspek keterkaitannya. Sebagai contoh KP2B2MB
48 dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, keduanya membahas keterpaduan di wilayah pesisir yaitu ICZM, jadi KP2B2MB terkait (T) dengan pengelolaan wilayah pesisir terpadu dan diberi nilai 1. Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dengan pemanfaatan sumberdaya terkendali keduanya selain membahas keterpaduan di wilayah pesisir juga sudah membahas manfaat indikator, sehingga sangat terkait (ST) dan diberi nilai 2 kemudian seterusnya keterkaitan diantara keempat kegiatan. Matriks Keterkaitan pendekatan menghasilkan nilai sebagai berikut : •
P2B2MB memperoleh nilai 4
•
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu memperoleh nilai 1 + 3 = 4.
•
Pemanfaatan sumber daya alam terkendali memperoleh nilai 1 + 3 = 4
•
Manajemen dan Mitigasi Bencana memperoleh nilai 4
Dengan demikian melalui matrik tersebut di atas dapat diketahui nilai keterkaitan antarpendekatan sekaligus nilai total dari setiap pendekatan dan ternyata sama, dengan demikian pendekatan penelitian yang akan dilaksanakan sudah tepat. Tahapan pelaksanaan penelitian seperti pada Gambar 18 berikut : Pengumpulan data
Tata Laksana
Telaah Literatur: • Pustaka/Jurnal • Laporan • Kebijakan
Observasi Lapangan: Kasus di dua lokasi
Diskusi dengan Pakar Multi Disiplin
Pengembangan Model Basis Data : Literatur, lapangan, wawancara dan kebijakan
Basis Model : Berbagai Sub Model
Basis Pengetahuan : Diskusi dengan para Pakar Multi disiplin dengan manajemen sistem
Mekanisme Inferensi : Interpretasi terhadap data, model dan pengetahuan
Identifikasi Sistem : Mengintegrasikan Komponen Sistem
Implementasi Verifikasi dan Validasi Formulasi Kebijakan Menggunakan konsep wilayah pesisir dan konsep mitigasi bencana
Gambar 18. Tahapan pelaksanaan penelitian Berdasarkan tahapan pelaksanaan tersebut di atas, maka akan ada sejumlah pakar yang akan menjadi narasumber penyelesaian penelitian ini yang
49 memahami substansi keseluruhan model. Pakar yang menjadi narasumber terdiri dari para pakar yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat lokal, BUMN/D, perguruan tinggi dan dunia usaha terkait dengan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan. Pakar ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan: 1. Mempunyai pendidikan yang kompeten sesuai dengan bidang yang dikaji; 2. Memiliki kredibilitas tinggi, bersedia, dan atau berada pada lokasi yang dikaji.
3.2.1. Jenis dan Sumber Data Dalam merumuskan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana, data yang dibutuhkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan pakar kemudian diformulasikan ke dalam analisis kuantitatif. Tabel 2. Jenis dan sumber data No 01
02
03
04
05
KEGIATAN PENELITIAN
JENIS DATA
Evaluasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir
Primer
Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir
Primer
Identifikasi Potensi Penyebab Bencana
Primer
Identifikasi Upaya Mitigasi dan Kajian Efektivitas Keberhasilan Mitigasi Bencana
Primer
Penyusunan arahan Kebijakan
Primer
Sekunder
Sekunder
Sekunder
Sekunder
Sekunder
BENTUK DATA Hasil wawancara dengan pakar Laporan Peraturan/Perun dangan Hasil wawancara dengan pakar Laporan Peraturan/Perun dangan
Hasil wawancara dengan pakar Laporan kronologis bencana alam Hasil wawancara dengan pakar Laporan kronologis kejadian bencana alam
Hasil wawancara dengan pakar Laporan kronologis kejadian bencana alam
SUMBER DATA • • • •
Bappenas Dep PU Dep K dan P LIPI
• Bapeda Jabar • Dinas PU Jabar • Dinas KP Prov Jabar • Deptan • Dephut • BPBD Kab. Ciamis dan Indramayu • BPBD Prov. • Dep. K dan P • Bakornas PB
PENGOLAHAN DATA Teknik Metode Knowledge Based Manageme nt System (KBMS) Metode SWOT dan Analitycal Hierarchy Process (AHP)
Alasan Memperoleh Evaluasi yang disertai rekomendasi Memperoleh faktor-faktor internal dan ekternal serta potensi yang merupakan elemen kunci
Interpretive Structural Modeling (ISM)
Memperoleh manfaat ganda, yaitu Elemen Kunci dan Kekuatan Pendorong Memperoleh manfaat ganda, yaitu Elemen Kunci dan Kekuatan Pendorong dan Perbedaan sangat signifikan Pemanfaatan yang luas dgn Sistem Penilaian Berjenjang
• • • •
LIPI Dep K dan P Dep PU BNPB
Interpretive Structural Modeling (ISM) dan Metode Perbanding an Ekspo nensial (MPE)
• • • • • •
LIPI BNPB Bappenas Dep PU Dep K dan P LIPI
Analitycal Hierarchy Process (AHP)
50 Data sekunder diperoleh dari instansi terkait (Bappenas, BNPB, Departemen. Pekerjaan Umum, Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, Bapeda Provinsi Jawa Barat,
Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat,
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, dan Satkorlak PB/BPBD Provinsi Jawa Barat) dalam bentuk peraturan perundangan. Adapun jenis dan sumber data dalam penelitian ini secara lengkap disajikan pada Tabel 2.
3.2.2. Metode Pengumpulan Data Dalam tahap implementasi rancangan, diperlukan data yang akurat sehingga dapat dilaksanakan validasi model dengan metode triangulasi (triangulation methods) yaitu penelusuran data/informasi dari tiga sisi, yaitu: (1) melalui studi literatur, (2) melalui observasi lapangan, dan (3) melalui kuisioner survey pakar (expert survey methods). Penggunaan ketiga metode ini dapat saling melengkapi (complementary) informasi yang dibutuhkan sehingga dalam menangkap realitas masalah lebih bisa diandalkan (Eriyatno dan Sofyar, 2007). Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: peta tematik baik dalam bentuk digital maupun hard copy, yang memuat land use, land cover, dan topografi serta risiko bencana. Sedangkan alat yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: software Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana (MKP2BMB), serta personal computer dan scanner. Untuk merekam peristiwa penting akan digunakan camera dan video recorder.
3.2.3. Metode Analisis Data Persoalan yang dihadapi dalam model arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana sangat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan permodelan. Menurut Eriyatno (2007) dan Marimin (2007) langkah-langkah dalam permodelan meliputi: o Rekayasa model, meliputi jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan membuat model konseptual; o Membuat kerangka analisis (Gambar 19) o Menentukan alat analisis, terdiri dari 5 metode yaitu pengetahuan berbasis manajemen sistem (KBMS), gabungan AHP dan SWOT (ASWOT), permodelan interpretasi
struktural (ISM),
(MPE), dan analisis proses berjenjang (AHP);
perbandingan eksponensial
51 o Merumuskan arahan kebijakan; o Menentukan pakar dan membuat jadwal penelitian. Strategi Pem bangunan : Pro Growth, Pro Job dan Pro Poor
Faktor Sustainable Development dan Mitigation
Strategi yang diusulkan : Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro Mitigation
Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembang Wilayah Pesisir KBMS
Identifikasi Potensi Pengemban gan Wilayah Pesisir SWOT + AHP
Identifikasi Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir ISM
Identifikasi Upaya Mitigasi dan Efektifitas Keberhasilan ISM - MPE
Alternatif Kebijakan Pengem Wil Pesisir Lanjutan Berperspektif Mitig Bencana AHP
Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan berperspektif Mitigasi Bencana dengan karakteristik Pantura dan Panselat Pulau Jawa
Gambar 19. Kerangka analisis Adapun model yang dirancang diberi nama KP2B2MB (Gambar 20). INDIKATOR
MKP2B2MB
KONSEP
Data Evaluasi Implementasi Kebijakan Wilayah Pesisir
Sub Model Evaluasi Implementasi Kebijakan Wilayah Pesisir
Data Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir
Sub Model Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir
Data Identifikasi Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Data Kajian Efektivitas dan Penentuan Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Alternatif Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan perperspektif Mitigasi
• • •
Pembangunan Berkelanjutan Pengembangan Wilayah Pesisir Pengurangan Risiko Bencana
Mekanisme Inferensi
Sub Model Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Sub Model Kajian Efektivitas dan Penentuan Mitigasi Bencana Sub Model Alternatif Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi
Sistem Pengolahan Terpusat
Kebijakan Pengembangan Wilayah
Gambar 20. Konfigurasi model arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana (KP2B2MB)
52 Kelima metode yang dipergunakan sebagai alat analisis tersebut yaitu: • Pengetahuan berbasis manajemen sistem (KBMS), adalah pengalihan pengetahuan (knowledge sharing) pakar kepada peneliti melalui dialog dengan bantuan teknik komputer (Marimin, 2007). Hasilnya berupa lampiran kerja (working sheet) disimpan dalam mesin inferensi (inference engine) sebagai pencari solusi.
Komponen basis pengetahuan dalam KBMS selain dapat
direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga direpresentasikan dengan pengetahuan dinamik (procedural knowledge), yaitu representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknik berbasis kaidah/aturan (rule base) yaitu teknik pengembangan yang menggunakan pernyataan-pernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan • Gabungan AHP dan SWOT (ASWOT) untuk mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir. SWOT (Humprey, 1960) menentukan faktor internal (kekuatan dan peluang) dan faktor eksternal (kelemahan dan ancaman) yang akan menjadi elemen faktor dalam struktur berjenjang AHP. AHP (Saaty, 1993) menentukan prioritas kebijakan dengan menangkap secara rasional persepsi stakeholder, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) menjadi faktor-faktor terukur (tangible) sehingga dapat dibandingkan. Penggunaan kedua metode tersebut (SWOT dan AHP) yang selanjutnya disebut ASWOT, dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik • Permodelan interpretasi struktural (ISM) untuk mengidentifikasi potensi bencana alam di wilayah pesisir dan upaya mitigasi bencana. Metode ISM (Marimin, 2007) yang berbasis komputer ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. Tahapan ISM antara lain: inisialisasi (pakar, elemen, dan data antarelemen), agregasi model, dan penentuan elemen driver power sumber bencana. Sumber potensi bencana ditentukan berdasarkan elemen yang mempunyai driver- power tertinggi dan dependence terendah. Diawali dengan menentukan elemen pembentuk ISM, yaitu jenis bencana yang potensial terjadi dan upaya mitigasinya serta menentukan keterkaitan pengaruh antarelemen
53 melalui diskursus dengan para pakar (VAXO). Selanjutnya menetapkan hubungan kontekstual antarelemen dan menyusun matriks (SSIM dan RM) sehingga menemukan elemen kunci. • Metode perbandingan eksponensial (MPE) untuk menentukan bentuk mitigasi bencana paling efektif, yaitu kesesuaian dengan kriteria pelaksanaan di lapangan. MPE (Maarif dan Tanjung, 2003) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Penilaian yang diberikan dalam hal ini telah ditetapkan sebelumnya. Skor item label penilaian
kriteria yang digunakan
dibagi ke dalam 3 (tiga) level skala yaitu tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R). Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot dari setiap kriteria yang ada. Kemampuan dari orang yang memberikan judgement sangat berpengaruh terhadap validitas hasil dari metode keputusan ini. • Analisis proses berjenjang (AHP) seperti penjelasan diatas untuk memilih alternatif kebijakan dan merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana. Prinsip dasar penyelesaian
persoalan
dengan
metode
AHP
adalah decomposition,
comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency.
Teknik
komparasi berpasangan yang digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden
merupakan
kelompok,
maka
seluruh
anggota
diusahakan
memberikan pendapat (judgement). Kelima metode tersebut dikemas dalam model kebijakan pengembangan wilayah
pesisir
berkelanjutan
MKP2B2MB (Gambar 21).
berperspektif
mitigasi
bencana
disingkat
54
Gambar 21. Halaman pertama program aplikasi MKP2B2MB dengan lima model dan alat analisis yang berbeda.
3.3.
Batasan Penelitian Penelitian ini mencakup wilayah administratif Kecamatan Juntinyuat dan
Kecamatan Indramayu Kabupaten Indramayu dan wilayah pesisir Kecamatan. Pangandaran Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Secara administratif batas wilayah studi ke arah daratan yang akan digunakan adalah kawasan permukiman nelayan wilayah pesisir, sedangkan batas ke arah laut adalah garis pantai (shoreline) yaitu garis yang dibentuk oleh perpotongan antara laut dan darat (Salahudin dan Makmur, 2008). Ruang lingkup penelitian ini meliputi identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir, potensi bencana alam di wilayah pesisir, kajian efektivitas dan penentuan mitigasi bencana alam di wilayah pesisir, dan alternatif kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
3.4. •
Definisi Operasional Abrasi adalah berkurangnya daratan yang berbatasan dengan laut atau sungai akibat kikisan air atau angin (Salahudin dan Makmur, 2008)
55 •
Akresi adalah majunya garis pantai yang terjadi akibat pendangkalan di muara sungai (Latief, 2008).
•
Angin kencang atau puting beliung adalah angin yang berputar dengan kecepatan lebih dari 83 Km/Jam yang bergerak secara garis lurus dengan lama kejadian maksimum lima menit (Zakir et al., 2006)
•
Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, atau kerusakan lingkungan (Latief, 2008).
•
Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan karena meningkatnya volume air akibat hujan, peluapan air sungai, dan gelombang badai serta pecahnya bendungan (Puradimaja, 2007a).
•
Bencana alam adalah peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan maupun korban baik harta maupun jiwa akibat letusan gunung berapi, gempabumi, tsunami, gelombang pasang, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, angin puting beliung/topan/badai, hama hutan, kerusakan ekologi (Latief, 2008).
•
Desa pesisir atau desa pantai adalah suatu permukiman desa dalam wilayah pesisir yang berorientasi ke arah laut (Latief, 2008).
•
Erosi atau kikisan adalah proses rusak, lepas atau hancurnya bahan kerak bumi (pelapukan) akibat berbagai faktor (gerusan air, angin atau kegiatan manusia) (Salahudin dan Makmur, 2008; Latief, 2008)).
•
Garis pantai (shoreline) adalah garis perpotongan antara laut dan darat (Salahudin dan Makmur, 2008).
•
Garis tepi pesisir (coastline) adalah garis yang memberikan konfigurasi daratan sepanjang suatu pesisir (Salahudin dan Makmur, 2008).
•
Gelombang pasang atau gelombang pasang surut sering juga disebut pasut (tidal wave) adalah gelombang panjang yang sangat periodik sehingga memprakirakan gelombang ini lebih mudah dari pada gelombang laut lainnya (Latief, 2008).
•
Gelombang badai pasang (storm tide) adalah fenomena gelombang laut yang terjadi karena tiupan angin badai, yang ukurannya di atas ukuran gelombang normal, yang melanda ke daratan (Setyawan, 2007)
•
Gempa bumi (earthquake) adalah suatu peristiwa pelepasan energi gelombang seismik secara tiba-tiba diakibatkan oleh adanya deformasi lempeng tektonik yang terjadi pada kerak bumi (BMG, 2006).
56 •
Gerakan tanah adalah suatu fenomena pelapukan tanah dalam wilayah pesisir yang dapat terjadi pada lereng/tebing berupa longsor/keruntuhan (land
slide)
atau
pada
daratan
berupa
amblesan/perosokan
(settlement/land subsidence) (VSI, 2006). •
Gisik (beach) adalah jalur landai ditepi laut yang terentang diantara garis paras laut rendah dan medan yang sudah bercorak lain (zona gumuk, zona tetumbuhan, tebing curam) ( Salahuddin dan Makmur, 2008).
•
Gumuk pasir (dune) adalah tumpukan pasir di daerah pantai, yang terjadi oleh pengaruh angin yang keras (Latief, 2008).
•
Intrusi air laut adalah proses masuknya air laut ke daratan dalam wilayah pesisir akibat pengambilan air tanah secara penghisapan yang berlebihan (Puradimaja, 2007a).
•
Kemampuan (capacity ) adalah penguasaan sumberdaya, cara, dan kekuatan yang dimiliki masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk
mempertahankan
dan
mempersiapkan
diri
mencegah,
menanggulangi, meredam, serta dengan cepat memulihkan diri dari akibat bencana (Latief, 2008). •
Kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor atau proses fisik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang mengakibatkan
peningkatan
kerawanan
masyarakat
dalam
menghadapi bahaya (hazards) (Latief, 2008). •
Kesiapsiagaan (preparedness) adalah upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian Iangkah-Iangkah yang tepat guna dan berdaya guna (Latief, 2008).
•
Krib sejajar pantai (breakwater) adalah konstruksi pengamanan pantai yang diletakkan pada jarak tertentu untuk mereduksi energi gelombang dan mengubah arah gelombang (Latief, 2008).
•
Krib tegak lurus pantai (groyne) adalah kontruksi pengamanan pantai
terhadap
abrasi
yang
disebabkan
oleh
terganggunya
keseimbangan gerakan sedimen sejajar pantai (longsore senddrift) (Latief, 2008). •
Landas kontinen (continental shelf) adalah bagian tepian kontinen yang terletak diantara
coastline dan continental slope yang landai dengan
kemiringan sekitar 0.1 derajat (Salahuddin dan Makmur, 2008) •
Lepas pantai (offshore) adalah daerah dalam wilayah pesisir yang terletak
57 antara daratan belakang ( backshore) d an daratan dalam (inshore) (Puradimaja, 2007a). •
Lereng daratan depan (foreshore slope) adalah lereng dari foreshore (Puradimaja, 2007a).
•
Mitigasi bencana (disaster mitigation) adalah upaya sistematik untuk menurunkan risiko bencana baik secara struktural melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik maupun non struktural melalui peraturan perundangan, kelembagaan maupun pelatihan (Latief, 2008).
•
Pantai (shore) atau tepi laut adalah jalur sempit darat yang berbatasan langsung dengan laut (Salahuddin dan Makmur, 2008)
•
Pantai burit (backshore) adalah zona gisik (beach zone) yang terletak antara pantai depan (foreshore) dan garis pesisir (coastline) (Salahudin dan Makmur, 2008).
•
Pantai depan (foreshore) adalah bagian yang miring dari pantai yang terletak antara tanggul (berm) dan tikas air rendah (Salahudin dan Makmur, 2008).
•
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar dapat melaksanakan penanggulangan bencana baik pada sebelum, saat maupun sesudah bencana (Latief, 2008).
•
Pemecah gelombang (breakwater) adalah struktur yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, sedemikian rupa sehingga dibelakang struktur tercapai perairan yang tenang (Latief, 2008).
•
Pemulihan (recovery) adalah keputusan dan aksi yang diambil setelah kejadian bencana dengan tujuan untuk memulihkan atau meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat korban bencana. Dalam tahap ini ada kegiatan rehabilitasi untuk memfungsikan kembali bangunan dan lingkungan dalam jangka pendek dan rekonstruksi untuk jangka menengah dan jangka panjang (Latief, 2008).
•
Penanganan
bencana
(disaster management) adalah seluruh
kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana, mencakup pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, dan pemulihan (Latief, 2008).
58 •
Penataan
ruang
adalah
proses
perencanaan
tata
ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Latief, 2008). •
Pencegahan (prevention) adalah aktivitas untuk menghindari Atau mencegah pengaruh yang merugikan dari ancaman bahaya (hazards) (Latief, 2008).
•
Pencemaran laut adalah masuknya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Latief, 2008).
•
Pengelolaan
wilayah
pesisir
terpadu
(integrated
coastal
zone
managment) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang mengintegrasikan antara berbagai kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; perencanaan horizontal dan vertikal; ekosistem daratan dan laut; sains dan manajemen sehingga pengelolaan sumberdaya pesisirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berkelanjutan (GESAMP dalam Latief, 2008). •
Perairan pesisir (coastal waters) adalah perairan laut yang termasuk kedalam kawasan pesisir (Salahuddin dan Makmur, 2008) yang menghubungkan gisik (beach) dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, lagoon, dan daerah lainnya (Latief, 2008).
•
Peringatan dini (early warning) adalah upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa kemungkinan bencana akan segera terjadi, peringatan dini harus bersifat menjangkau masyarakat (accesible), segera (immediate), tegas tidak membingungkan (coherent) dan resmi (Latief, 2008).
•
Pesisir (coast) adalah jalur daratan yang berbatasan dengan laut yang mencakup gisik (beach) dan yang terentang kearah darat sampai sejauh lingkungan laut terasakan pengaruhnya (lebar jalur tersebut tidak tentu, dapat mencapai beberapa kilometer (Salahuddin dan Makmur, 2008).
•
Peta rawan bencana (hazard map) adalah peta yang memberikan informasi
fundamental
tentang
jenis
bahaya,
sejarah
kejadian,
probabilitas , dan tingkat bahaya dalam kajian risiko bencana (Sadisun, 2007) •
Rencana darurat (contingency plan) adalah serangkaian tindakan
59 penanggulangan
darurat
yang
direncanakan
sebelumnya
untuk
mengurangi risiko akibat bencana alam (Latief, 2008). •
Risiko (risk) adalah kemungkinan timbulnya kerugian pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang timbul karena suatu bahaya menjadi bencana. (Latief, 2008).
•
Sempadan
pantai
adalah
daerah
sepanjang
pantai
yang
diperuntukan bagi pengamanan dan pelestarian pantai (Latief, 2008). •
Tanggap
darurat
(emergency
response)
adalah
upaya
yang
dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian (Latief, 2008). •
Tanggul gisik (berm) adalah bagian atas dari suatu gisik, yang miring landai kearah darat terbentuk oleh endapan bahan hasil gelombang (Salahuddin dan Makmur, 2008).
•
Tepi pantai dangkal (inshore) adalah zona yang dekat, yang bergerak atau mengarah ke pantai (Salahudin dan Makmur, 2008).
•
Terumbu karang (reef) adalah jenis hewan laut berukuran kecil yang disebut polip, hidupnya menempel pada substrat seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni. Hewan ini
menghasilkan
deposit
berupa
kalsium
karbonat
yang
terakumulasi menjadi terumbu (Latief, 2008). •
Terumbu karang buatan (artificial reef) adalah habitat buatan yang dibangun di laut dengan maksud memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat memikat jenis -jenis organisme laut untuk hidup dan menetap serta terbuat dari timbunan bahan-bahan, (Latief, 2008).
•
Tsunami adalah gelombang panjang yang dibangkitkan oleh fenomena alam yang menggangu keseimbangan kondisi muka dan badan air laut yang terjadi secara spontan (Latief, 2008).
•
Wilayah pesisir (coastal area) adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dimana, batas ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air. Batas ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat, seperti penggundulan hutan (Latief, 2008).
60 •
Zona daratan dalam (inshore zone) adalah daerah dengan lebar yang bervariasi yang meluas dari garis air rendah hingga breaker zone (Latief, 2008).
•
Zona empasan gelombang (breaker zone) adalah bagian dari daerah dekat pantai dimana gelombang yang datang dari lepas pantai mencapai ketidakstabilan dan pecah (Salahudin dan Makmur, 2008).
•
Zona tepi daratan pantai (nearshore zone) adalah daerah yang meluas dari garis pantai ke arah laut melampaui daerah gelombang pecah (breaker zone) (Puradimaja, 2007a).
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Kabupaten Indramayu Secara geografis Kabupaten Indramayu berada pada 107°52'-108°36' BT dan 6°15'-6°40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan dataran atau daerah landai dengan kemiringan tanahnya rata-rata 0 - 2 %. Batas administratif Kabupaten Indramayu adalah : • Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa; • Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon; • Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Subang; • Sebelah timur berbatasan dengan laut Jawa dan Kabupaten Cirebon. Luas total Kabupaten Indramayu yang tercatat adalah seluas 204.011 ha. Luas ini terbagi menjadi 31 kecamatan dan 310 desa. Dari kecamatan yang ada terdapat 11 kecamatan yang merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat, Balongan, Indramayu, Sindang, Cantigi, Arahan, Losarang, Kandanghaur, dan Sukra. Luas seluruh kecamatan pesisir Kabupaten Indramayu adalah 68.703 km 2 atau 35 % luas kabupaten dengan garis pantai mencapai 114,1 km dan 37 desa pesisir (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).
Pada tahun 2005 penduduk Kabupaten Indramayu berjumlah
1.640.745 jiwa dengan penduduk laki-laki dan perempuan masing-masing 809.739 jiwa dan 831.006 jiwa, seperti disajikan pada Tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Indramayu Tahun
Laki-laki
Perempuan
Total
2005
809.739
831.006
1.640.745
Sumber: BPS (2005) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.1.1. Kondisi Oseanografi, Kualitas Perairan dan Iklim 4.1.1.1. Parameter Hidro Oseanografi 4.1.1.1.1. Batimetri Perairan laut wilayah barat Indonesia termasuk bagian dari paparan sunda dan umumnya mempunyai karakteristik perairan yang relatif dangkal. Hal ini seperti terlihat pada perairan pesisir utara Provinsi Jawa Barat, dimana kondisi pantai umumnya landai dengan kemiringan antara 0,06 Cirebon sampai 0,4
% di wilayah Ujung Karawang.
% di wilayah Teluk
Perbedaan kelandaian
62
pantai ini biasanya berkaitan dengan dinamika perairan pantai, dimana wilayah teluk umumnya menunjukkan wilayah yang relatif lebih landai dibandingkan dengan wilayah tanjung. Diperkirakan bahwa pada jarak rata-rata 4 km (2,3 mil laut) dari garis pantai kedalaman mencapai 5 meter, kemudian pada jarak ratarata 13 km (7 mil laut) kedalaman menjadi 10 meter, dan pada jarak 21 km (~ 13 mil laut) kedalaman mencapai 20 meter (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).
4.1.1.1.2. Pasang Surut Pasang surut (pasut) merupakan gerakan permukaan air laut yang teratur secara periodik. Walaupun secara umum pergerakan pasang dan surut ini dapat dipengaruhi oleh posisi bulan dan matahari, namun karakter perairan pantai seperti wilayah kepulauan dan kedalaman juga memberikan sumbangan terhadap sifat pasut secara lokal. Berdasarkan data prakiraan dari dua stasiun (Tanjung Priok dan Cirebon), tipe pasut di wilayah pantaiutara Jawa Barat termasuk kategori campuran mengarah ke semidiurnal.
Kisaran maksimum
tinggi pasang dan surut terbesar adalah 1 meter dan kisaran tinggi pasang dan surut kedua adalah 0,5 - 0,7 meter (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).
4.1.1.1.3. Gelombang Gelombang laut adalah penjalaran energi yang dibangkitkan oleh angin (Hadi, 2008).
Kekuatan gelombang laut dipengaruhi oleh kecepatan angin,
periode angin dan kondisi terbuka dan tertutupnya perairan terhadap angin. Dengan memperhatikan penyebab timbulnya gelombang, maka secara tidak langsung kondisi gelombang perairan dapat diperoleh dari data angin yang bertiup pada perairan tersebut. Dengan demikian kondisi gelombang juga akan menunjukkan pola musiman (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007). •
Pada musim barat gelombang dari barat dengan ketinggian > 1,7 m (45 %), sedangkan gelombang teduh antara 30 - 50 %.
•
Musim peralihan I gelombang tetap dari barat namun ketinggian dan frekuensinya semakin kecil. Gelombang dari timur makin dominan (40 %).
•
Musim timur gelombang dari timur (40 %).
•
Musim peralihan II walaupun masih terdapat gelombang dari arah timur, namun masih didominasi oleh gelombang dari arah barat.
4.1.1.2. Kualitas Perairan Hasil monitoring kualitas air laut di pesisir utara Jawa Barat (BPLHD
63
Provinsi Jawa Barat, 2006) diperoleh informasi bahwa kondisi perairan laut di pesisir utara Jawa Barat adalah tercemar sedang dengan nilai Indeks Pencemaran berkisar dari 7,391 – 9,843.
Parameter-parameter pH, fosfat,
sianida, minyak dan lemak, raksa dan krom valensi 6, nilainya di semua stasiun memenuhi nilai baku mutunya masing-masing. Kandungan fenol (berkisar dari 0,011 – 0,860 mg/l) di semua stasiun telah melebihi nilai baku mutu untuk biota laut, yaitu 0,002 mg/l. Kandungan PAH, PCB dan pestisida, semuanya berada di bawah nilai baku mutunya masing-masing. •
Parameter yang memenuhi nilai baku mutu di semua stasiun : pH, fosfat, CN, minyak/ lemak, Hg, Cr6+.
•
Parameter yang tidak memenuhi nilai baku mutu di beberapa stasiun : kekeruhan, DO, NH3, Ar, Cd, Cu, Pb, Zn, Ni, dan surfaktan.
•
Parameter yang melebihi nilai baku mutunya di semua stasiun : fenol Suhu
dan
salinitas di
wilayah
perairan
pantai
utara
Jawa Barat
berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa, seperti disajikan pada Tabel 4 berikut ini: Tabel 4. Kisaran nilai suhu dan salinitas pada wilayah pantai utara Jawa Barat Wilayah pengamatan Blanakan (Subang) – Eretan (Indramayu) S. Cimanuk (Indramayu) Pantura Jawa Barat
Tahun
Kisaran suhu (° C)
Kisaran salinitas (‰)
1994
25-29
30-31
Paryono (1995)
1994
28-29
30-33
2006
26,8-29,7
30-34
Suswanti (1995) BPLHD Jawa Barat (2006)
Sumber pustaka
Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukkan adanya dua puncak maksimum (28,7 °C) dan dua puncak minimum (27,5 °C). Puncak maksimum terjadi dalam musim peralihan (Mei dan November), sedangkan puncak minimum terjadi bulan Agustus dan Pebruari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 °C sampai 28,7 °C. Ratarata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 ‰ – 33,7‰. Salinitas maksimum pertama (33,7‰) dan kedua (33,3‰) terjadi dalam bulan September dan November, sedangkan salinitas minimum pertama (31,8 ‰) dan kedua (31,3 ‰) terjadi sekitar Pebruari dan Mei (BPLHD Jawa Barat, 2006).
4.1.1.3. Proses Geodinamika Pesisir 4.1.1.3.1. Abrasi Abrasi atau pengikisan pantai, meninggalkan jejak membentuk garis pantai
64
yang bergerigi dengan tebing berbentuk ‘cliff’’ berukuran pendek, tergantung topografi setempat. Abrasi terjadi di Pantai Eretan Wetan, Balongan dan sekitar Juntinyuat.
Di pantai Eretan hampir mencapai badan jalan negara Jakarta-
Cirebon, sedang abrasi di bagian timur telah merusak Taman Wisata Tirtamaya dan lahan sawah (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).
4.1.1.3.2. Akresi Akresi ialah bertambahnya daratan yang berbatasan dengan laut karena adanya proses pengendapan, baik oleh material endapan yang dibawa oleh sungai maupun endapan laut.
Bentuk akresi berupa delta, estuaria, dan
pematang pantai. Penambahan terjadi pada daerah-daerah di mana sungai Cimanuk bermuara, dengan besar pertambahan dari 0 hingga 7 km ke arah laut , seluas kurang lebih 45 km 2. Akresi telah membentuk Delta Cimanuk yang dari tahun ketahun semakin meluas, yang berkembang mulanya ke arah barat yang kemudian berpindah ke arah timur. Pembuatan Kanal Cimanuk ke arah timur laut telah menyebabkan terbentuknya anak Delta Cimanuk. menguntungkan
karena
Munculnya Delta Cimanuk ini telah
bertambahnya
lahan
pantai,
tetapi
disisi
lain
mengakibatkan pendangkalan di muara-muara sungai, dermaga/pelabuhan tempat pendaratan kapal nelayan dan kapal ikan.
4.1.1.3.3. Intrusi Air Laut Pengambilan air bawah tanah yang intensif dapat menimbulkan dampak negatif pada lingkungan, yaitu terjadinya krisis air bawah tanah, penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah dan intrusi air laut dan oenecaran air bawah tanah. Di Cekungan Indramayu yaitu di Kandanghaur, batas air laut sudah mencapai 7 km dari garis pantai, dan batas air bawah tanah payau/tawar sudah mencapai 17 km dari garis pantai.
4.1.1.4. Iklim dan Cuaca Iklim
di
wilayah
Indonesia
dipengaruhi
oleh
angin
muson
yang
mengakibatkan dua musim yaitu musim barat dan musim timur. Selama periode 14 tahun (1980-1993) angin umumnya berasal dari barat laut (29,35 %), timur laut (22,01 %) dan Utara (18,32 %).
Kecepatan angin umumnya (41,35 %)
bertiup dengan kisaran antara 3-5 m/det, sedangkan (0,62 %) kecepatan angin sangat lemah yaitu < 1 m/det yang dapat diklasifikasikan pada kondisi teduh. Pergantian musim juga ikut memberikan pengaruh terhadap pergerakan
65
massa air seperti arus. Pada musim barat pergerakan arus umumnya menuju ke arah timur atau arus timur dengan kecepatan berkisar antara 3-14 mil per hari. Musim timur arus bergerak sebaliknya yaitu
menuju arah barat dengan
kecepatan berkisar antara 1 - 13 mil per hari. Musim peralihan I (bulan Maret sampai bulan Mei) dan peralihan II (bulan September sampai bulan November) kecepatan arus laut masing-masing adalah 1 mil per jam dan 6 mil per jam. Di wilayah pantai arus umumnya merupakan arus gabungan yang ditimbulkan oleh arus regional dan arus pasut (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007).
4.1.1.5. Geologi Daerah pantai Jawa Barat bagian utara khususnya daerah Indramayu sebagian besar merupakan daerah dataran pantai dengan berbagai jenis sebaran batuan.
Kondisi ini akan berpengaruh terhadap keairan baik air
permukaan, air tanah dangkal, maupun air tanah dalam. Bahan galian yang telah dimanfaatkan masyarakat berupa pasir sungai, pasir pantai, lempung/tanah liat dan sirtu. § Pasir sungai, merupakan endapan hasil sedimentasi karena itu endapan ini masih berada di lingkungan sungai, terakumulasi di sekitar kelokan sungai dan di sekitar muara sungai; Pasir sungai ini diambil di sepanjang alur sungai Cimanuk; § Pasir pantai, cukup melimpah disepanjang muara sungai Cimanuk, pengambilan pasir di daerah pantai, lebar pantai berpasir ini berkisar 5-30 m; § Lempung/tanah liat, penyebaran cukup melimpah, sebagian besar terdapat di bagian tengah, dan timur cukup baik untuk bahan pembuatan batu bata dan genteng dan cukup baik untuk bahan urugan.
4.1.2. Kondisi Sosial Ekonomi 4.1.2.1. Dinamika Perekonomian Data PDRB Kabupaten Indramayu dari tahun 2001-2005 menunjukkan bahwa ada peningkatan dari tahun ketahun, namun pada sektor industri pengolahan tahun 2003 mengalami penurunan. Ditinjau secara sektoral, presentase PDRB yang tertinggi diperoleh dari sektor Pertambangan dan Penggalian yaitu sebesar 43,88 %. produksi domestik regional bruto dapat dilihat pada Tabel 5.
66
Tabel 5. Produksi domestik regional bruto (PDRB) atas harga konstan di Kabupaten Indramayu No Lapangan Usaha 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Minum Bangunan Pariwisata Transportasi Keuangan dan Perbankan Jasa-Jasa PDRB
PDRB (Jutaan Rupiah 2003* 2004*
2005**
LPE (%)
Kontribusi (%)
2.436.417,37
2.514.794,75
2.581.133,76
1,85
15,84
8.163.923,32
8.177.201,11
8.207.725,19
0,23
50,38
2.992.322,40
2.822.623,46
2.509.827,42
-8,88
15,41
41.672,12
43.648,14
45.773,87
4,49
0,28
137.554,98 1.436.248,52 375.091,77
142.162,05 1.548.752,67 381.467,27
147.286,65 1.673.589,19 396.027,21
4,93 9,20 5,82
0,90 10,27 2,43
161.856,96
164.470,26
167.648,31
3,89
1,03
526.432,48 16.271.619,92
542.267,65 16.337.387,36
562.308,62 16.291.320,22
4,40 -0,12
3,45 100,00
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2005, Kabupaten Indramayu Dalam Angka, 2005
4.1.2.2. Fasilitas Perekonomian Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten pesisir yang mempunyai tingkat ketersediaan fasilitas perekonomian paling tinggi kedua setelah kota Cirebon. Jenis fasilitas perekonomian yang tersedia di Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Tingkat ketersediaan fasilitas perekonomian di Kabupaten Indramayu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kecamatan Pesisir Krangkeng Karangampel Juntinyuat Balongan Indramayu Sindang Cantigi Arahan Losarang Kandanghaur Sukra Total
Jumlah bank umum (kanpus/cab/ capem) 1 7 2 2 12
Jumlah BPR (BPR baru/PT.bank pasar/PT.bank desa/dst) 1 2 1 2 17 11 1 2 14 1 1 53
Jumlah koperasi 10 4 6 6 28 7 1 8 9 7 86
Skor 283 208 183 217 1.558 542 33 92 750 258 292 402
Kategori rendah rendah rendah rendah tinggi sedang rendah rendah sedang rendah rendah rendah
Sumber : Potensi desa (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.1.2.3. Sarana Pendidikan Kabupaten Indramayu merupakan wilayah dengan tingkat ketersediaan fasilitas pendidikan terendah ketiga setelah Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Jenis fasilitas pendidikan yang tersedia di Kabupaten Indramayu dapat
67
dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat Ketersediaan Fasilitas Pendidikan di Kabupaten Indramayu No
Kecamatan Pesisir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Krangkeng Karangampel Juntinyuat Balongan Indramayu Sindang Cantigi Arahan Losarang Kandanghaur Sukra Total
TK 12 10 16 7 29 14 7 8 15 11 129
Jumlah Fasilitas Pendidikan (unit) SD SLTP SLTA SMK Akademi 45 5 2 1 37 7 4 1 63 11 5 16 4 1 66 10 9 6 6 34 6 1 1 14 1 21 2 39 7 1 2 39 9 7 3 2 44 9 3 1 418 71 31 15 10
Skor
Kategori
318 278 458 125 547 256 87 146 280 327 325 286
sedang sedang tinggi rendah tinggi sedang rendah rendah sedang sedang sedang sedang
Sumber: Potensi desa (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.1.2.4. Sarana Kesehatan Kabupaten Indramayu merupakan wilayah dengan tingkat ketersediaan fasilitas kesehatan paling rendah kedua setelah Kabupaten Karawang. Ketersediaan fasilitas kesehatan di masing-masing kecamatan pesisir di wilayah Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kabupaten Indramayu
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
11
50
-
-
449
Kategori
2
Skor
P.syandu
P.Bd. -
T.O.
3
Apt
2
P.dr.
-
Pustu
-
Pus
-
Karangampel 2 1 2 Juntinyuat 2 3 Balongan 2 1 2 Indramayu 1 1 3 5 Sindang 2 1 Cantigi 1 2 Arahan 1 1 Losarang 2 4 Kandanghaur 2 1 2 2 Sukra 1 2 6 Total Pesisir 1 4 6 20 29 Sumber: Potensi desa (2006) dalam Bapeda
Ketersediaan Polindes
Krangkeng
Poli
1
Kecamatan Pesisir
RSB
No
RS
Jumlah Fasilitas Kesehatan (unit)
rendah
10 13 66 2 4 685 sedang 5 13 85 1 714 sedang 3 6 33 1 331 rendah 26 49 109 2 3 7 1.494 tinggi 2 12 70 5 591 sedang 1 7 30 6 311 rendah 1 3 35 5 289 rendah 3 13 77 1 1 664 sedang 8 22 78 3 2 831 sedang 1 21 99 4 3 902 sedang 60 170 732 21 13 18 660 sedang Provinsi Jawa Barat (2007)
4.1.2.5. Produksi Perikanan Perikanan Jawa Barat sampai saat ini bertumpu pada produksi perikanan di wilayah Pantura. Berdasarkan data profil daerah Jawa Barat tahun 2006, produksi perikanan tangkap meningkat dan yang terbesar adalah Kabupaten
68
Indramayu sebagaimana terlihat pada Tabel 9. Tabel 9. Perkembangan produksi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu No 1 2 3 4 5 6
Produksi Perikanan Indramayu (%) 50.55 60.94 55.85 54.00 46.16 47.48 49.41
Tahun 1995 1997 1999 2001 2003 2005 Rata-rata
Produksi Perikanan Pantura (ton) 91251.61 107190.18 120131.96 132306.24 131444.60 141812.60
Sumber: Potensi desa (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.1.2.6. Fasilitas Perindustrian Kabupaten Indramayu merupakan wilayah dengan tingkat ketersediaan fasilitas perindustrian paling tinggi kedua setelah Kota Cirebon. Jenis fasilitas perindustrian yang dominan terdapat di Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Tingkat ketersediaan fasilitas perindustrian di Kabupaten Indramayu No
Kecamatan Pesisir
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Krangkeng Karangampel Juntinyuat Balongan Indramayu Sindang Cantigi Arahan Losarang Kandanghaur Sukra Total
IB1 1 2 2 20 20 2 47
IB2 6 3 35 1 2 47
Jenis Fasilitas (unit) IK/KRT/ IKK IKL PA PG/K JIK KK 27 5 6 7 1 22 2 2 20 25 10 57 99 24 9 2 2 1 1 11 5 24 3 27 25 22 3 5 237 66 38 37 59
IM
IK2
PLN
18 45 38 150 52 7 12 102 22 25 3 2 191 2 135 94 765 133
1 1
Skor
Kategori
70 134 276 43 461 808 4 2 270 227 111 219
rendah rendah sedang rendah sedang tinggi rendah rendah sedang rendah rendah rendah
Sumber: Potensi desa (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007) Keterangan: IB1
Industri besar di atas 100 pekerja
IB2
Industri besar di atas 20 sampai 90 pekerja
IK/ KRT/ KK
Industri kecil (5-19 orang pekerja)/kerajinan rumah tangga (1-4 pekerja) kerajinan dari kulit
IKK
Industri kerajinan kayu
PG/K
Pengrajian gerabah
IKL PA JIK
Industri kerajinan dari logam/logam mulia Pengrajin anyaman Industri kerajinan dari kain/tenun
IM
Industri makanan
IK2
Industri k ecil lainnya
nPL N
Perusahaan listrik non PLN
4.1.2.7. Fasilitas Pariwisata Kabupaten Indramayu merupakan kabupaten pesisir di pantai utara Pulau Jawa yang mempunyai tingkat ketersediaan fasilitas pariwisata paling tinggi ketiga setelah Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Jenis fasilitas yang tersedia
69
dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Tingkat ketersediaan fasilitas pariwisata di Kabupaten Indramayu No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Jumlah hotel
Krangkeng Karangampel Juntinyuat Balongan Indramayu Sindang Cantigi Arahan Losarang Kandanghaur Sukra Total
1 8 1 10
Jumlah penginapan (hostel/motel/wisma) 2 1 2 1 6
Skor
Kategori
144 44 533 56 44 75
rendah rendah rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah
Sumber : Podes (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.1.2.8. Fasilitas Jasa Kabupaten Indramayu merupakan wilayah dengan tingkat ketersediaan fasilitas jasa paling rendah kedua setelah Kabupaten Cirebon. Jenis fasilitas yang tersedia dapat terlihat pada Tabel 12.
4.2.
Penyewaa n alat pesta
Skor
Kategori
Salon kecantikan
Tempat pangkas rambut
Biro/agen perjalanan
Krangkeng 16 10 1 5 4 Karangampel 21 15 9 13 12 Juntinyuat 29 22 9 14 14 Balongan 16 7 6 8 9 Indramayu 56 25 29 1 17 30 Sindang 23 18 15 9 15 Cantigi 3 4 1 1 1 Arahan 6 8 3 1 Losarang 23 8 4 7 5 Kandanghaur 23 22 5 28 17 Sukra 35 27 15 17 14 Total 251 166 97 1 119 122 Sumber : Podes (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
Bengkel las
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Usaha FC
Kecamatan Pesisir
Bengkel elektronik
No
Bengkel kendaraan bermotor
Tabel 12. Tingkat ketersediaan fasilitas jasa di Kabupaten Indramayu
6 14 19 7 46 23 9 6 11 32 26 199
10 23 35 9 21 28 4 3 17 20 21 191
454 748 1.011 473 1.764 916 141 272 587 878 1.253 773
rendah rendah rendah rendah sedang rendah rendah rendah rendah rendah sedang rendah
Kabupaten Ciamis Secara geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108020’ sampai
dengan 108 040’ Bujur Timur dan 70 4’20“ Lintang Selatan. Secara administrasi memiliki batas: •
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kuningan;
•
Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya;
70
•
Sebelah timur berbatasan dengan Kota Banjar dan Provinsi Jawa Tengah;
•
Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Luas wilayah Kabupaten Ciamis secara keseluruhan mencapai 248.763
ha, wilayah selatan berbatasan langsung dengan garis pantai Samudra Indonesia yang membentang di 6 (enam) kecamatan dengan panjang garis yang mencapai 91 km. Dengan adanya garis pantai tersebut, Kabupaten Ciamis memiliki wilayah laut seluas 67.310 ha. Luas kecamatan, penduduk, kepadatan penduduk, dan distribusi penduduk di tiap kecamatan pesisir Kabupaten Ciamis terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Luas kecamatan pesisir, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Kabupaten Ciamis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Pesisir Kalipucang Pangandaran Parigi Cijulang Sidamulih Ciderak Jumlah
Luas wilayah (Km 2) 137 61 98 93 78 118 585
Jumlah penduduk 33.326 45.084 40.960 24.838 24.668 40.334 172.256
Kepadatan penduduk (orang/Km 2) 243 739 418 267 316 342 2325
Sumber: BPS (2005) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat, (2007)
Luas pantai dan panjang pantai Kabupaten Ciamis dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Luas pantai dan panjang wilayah pantai Kabupaten Ciamis No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Pesisir Kalipucang Pangandaran Parigi Cijulang Sidamulih Ciderak Jumlah
Luas pantai (ha) 11.100 13.320 7.400 11.840 6.290 17.390 5069
Panjang pantai (km) 15 18 10 16 8,5 23,5 91
Sumber: BPS (2005) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.2.1. Kondisi Oseanografi, Kualitas Perairan, dan Iklim 4.2.1.1. Parameter Hidro Oseanografi 4.2.1.1.1. Batimetri Perairan laut wilayah Jawa Barat Selatan merupakan daerah pertemuan antara Lempeng Australia
dan Lempeng Euroasia, hal ini menyebabkan
karakteristik perairan relatif dalam.
Secara umum kondisi perairan pantai atau
tanjung lebih curam dibandingkan dengan teluk, hal ini terlihat dari kemiringan di Teluk Pangandaran, Teluk Parigi dan Teluk Pelabuhan Ratu yang mencapai 0,3 % dan 0,6 %, sedangkan pada pantai yang menghadap ke perairan terbuka seperti Sindangbarang kemiringannya mencapai sekitar 14%. Diperkirakan di
71
daerah teluk pada jarak 7–8 km kedalamannya mencapai 50 m dan pada jarak sekitar 20 mil dari garis pantai cenderung mempunyai kedalaman lebih dari 1000 meter.
4.2.1.1.2. Pola Arus Laut A. Pola Arus di Lepas Pantai Perairan Indonesia mempunyai pola arus permukaan yang sangat di pengaruhi oleh monsoon barat daya (Desember-Maret) dan monsoon tenggara (Juni-September). Pengaruh kedua monsoon ini jelas terlihat di Pantai Selatan Jawa. Pada monsoon barat daya arus permukaan di Laut Selatan Jawa bergerak dari Barat ke Timur atau ke arah Timur, pada monsoon tenggara arus bergerak dari Timur ke Barat. Pola pergerakan arus rata-rata bulanan dibangkitkan oleh pasut dan angin, dimana yang lebih dominan adalah pengaruh pergerakan angin. Di Pantai Selatan Jawa Barat terjadi empat musim yang berbeda, yakni : •
Musim Barat (Desember – Maret) dimana angin bertiup dari Barat ke Timur. Pergerakan arus di lepas pantai adalah mengarah ke barat yang disebabkan oleh Arus Ekuatorial Selatan sedangkan di dekat pantai atau sekitar 50 km dari garis pantai terdapat arus menyusur sepanjang pantai yang bergerak ke arah timur yang dikenal dengan nama Arus Selatan Jawa.
• Musim Peralihan I (April – Mei) dimana terjadi peralihan angin dari Timur ke Barat.
Arah arus menuju ke Barat
cukup kecil yang diakibatkan oleh
kekuatan angin yang relatif kecil. • Musim Timur (Juni – September) dimana angin bertiup dari Timur ke Barat. Pergerakan arus secara umum adalah mengarah dari timur ke barat. Pada musim ini arus Selatan Jawa diperkuat oleh adanya angin monsoon sehingga kecepatannya maksimum. Upwelling terjadi pada musim ini. •
Musim Peralihan II (Oktober – November) dimana angin mulai membelok kearah Timur atau mulai terjadi peralihan musim timur ke musim barat. Perubahan pola arus akibat perubahan musim di sepanjang Pantai Selatan Jawa Barat terlihat di sekitar pantai. Namun untuk daerah lepas pantai, pola arus sangat dominan dipengaruhi oleh arus ekuatorial selatan (south equatorial current).
72
B. Pola Arus di Dekat Pantai Sistem arus dekat pantai umumnya dipengaruhi oleh gelombang laut yang pecah. Pecahnya gelombang tersebut menimbulkan arus sejajar pantai (longshore current) dan arus balik (rip current) yang berarah menuju laut. Arus balik tersebut tidak bergerak di permukaan karena pergerakannya terhalang hempasan ombak yang datang terus-menerus, tetapi menyusur dasar laut dengan daya seret kuat menuju tempat yang lebih dalam.
4.2.1.1.3. Pasang Surut Laut Tipe pasang surut perairan pada daerah penelitian adalah semidiurnal, yaitu terjadi kenaikan dan penurunan muka air laut dua kali sehari. Dengan demikian tunggang pasang surut (pasut) di daerah kajian cukup besar yaitu saat purnama terbesar 196 cm dan saat perbani terkecil terendah 190 cm, sehingga perlu dipertimbangkan untuk usaha budidaya tambak.
4.2.1.1.4. Gelombang Laut Gelombang merupakan faktor fisik dominan di perairan Pantai Selatan Jawa Barat, karena sebagian besar perairan ini mempunyai tinggi gelombang cukup besar di perairan lepas pantai yaitu antara 2 – 5 m, sehingga hampir dipastikan dengan kondisi gelombang yang tinggi ini akan menghambat upaya budidaya perikanan dan berpotensi menimbulkan bahaya bagi wisata pesisir. Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari jenis gelombang swell (gelombang rambat) dan wind waves (gelombang angin). Swell merupakan gelombang rambat yang berasal dari wilayah Samudera Hindia yang kemudian merambat mencapai pesisir. Pada umumnya swell lebih tinggi dari pada gelombang anginl (wind waves). Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi swell dan wind wave. Tinggi gelombang angin pada dasarnya relatif kecil untuk daerah pantai terutama pada perairan teluk yang berkisar antara 95 – 105 cm. Namun demikian untuk laut terbuka dengan bentuk zona paparan yang sempit yang banyak terdapat di
sejumlah lokasi sangat memungkinkan
terjadinya hempasan gelombang dahsyat ke pantai. Gelombang akan pecah di dekat pantai dengan tinggi gelombang yang masih besar sehingga energi yang sampai ke pantai masih relatif kuat.
73
4.2.1.2. Kualitas Perairan 4.2.1.2.1. Parameter Fisika 4.2.1.2.1.1. Padatan Tersuspensi Total (TSS) Perairan Padatan tersuspensi total dipengaruhi oleh banyaknya partikel halus dari sedimen, hancuran vegetasi, plankton, dan limbah organik yang masuk ke suatu perairan, baik yang berasal dari perairan maupun daratan sekitarnya. Limbah organik tersebut dapat berasal dari limbah domestik dan limbah non-domestik lainnya. Dari daratan, padatan tersuspensi masuk melalui muara sungai atau melalui hembusan angin ke perairan tersebut. Dengan demikian, faktor musim sangat mempengaruhi kondisi padatan tersuspensi total suatu perairan. Meningkatnya
padatan
tersuspensi
total
pada
suatu
perairan
akan
mempengaruhi penetrasi sinar matahari ke dalam kolom air tersebut. Hal ini akan mempengaruhi proses fotosintesis di perairan tersebut yang akhirnya akan mempengaruhi kandungan oksigen. Menurut Keputusan Men.KLH Kep.02/ Men KLH/I/1988 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) TSS yang sesuai untuk budidaya laut adalah kurang dari 5 -25 mg/l.
4.2.1.2.1.2. Temperatur Laut Temperatur sangat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Secara langsung laju pertumbuhan ikan akan meningkat sejalan dengan kenaikan temperatur sampai batas tertentu yang dapat menekan kehidupan ikan dan bahkan menyebabkan kematiannya. Secara tidak langsung pengaruh temperatur menjalar melaui kemampuan kontrolnya terhadap kelarutan gas-gas dalam air, termasuk oksigen. Dalam hal ini semakin tinggi temperatur akan semakin kecil kelarutan oksigen dalam air, sementara itu kebutuhan oksigen bagi biota akan semakin besar karena adanya peningkatan metabolisme ikan. Kisaran temperatur laut daerah kajian masih dalam kisaran antara 27 – 320 C, yaitu kisaran terbaik untuk aktifitas perikanan.
4.2.1.2.1.3. Salinitas Salinitas perairan daerah kajian rata-rata adalah 31–32,5 0/00. Sedangkan kisaran salinitas berdasarkan nilai ambang untuk budidaya adalah 25–34 0/00 Berdasarkan kisaran tersebut maka perairan tersebut merupakan perairan yang mempunyai daya dukung terhadap aktivitas budidaya laut, dimana salinitas merupakan variabel lingkungan yang mempengaruhi tingkat kenyamanan biota
74
yang akan dibudidayakan selain dipergunakan untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhannya.
4.2.1.2.1.4. Kecerahan Perairan Pengukuran
tingkat
kecerahan
dimaksudkan
untuk mengetahui
keberadaan intensitas sinar matahari yang masuk ke perairan. Sinar matahari merupakan sumber energi bagi kehidupan jasad hidup di perairan diperlukan oleh tumbuhan air untuk proses fotosintesis. Menurut Keputusan Menteri KLH Kep. 02/Men KLH/I/1988 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) kecerahan yang memenuhi standar budidaya laut adalah lebih besar dari 5 m dan tingkat kecerahan perairan di pesisir selatan Jawa Barat adalah 5,5 - 8,0 m dan rata-rata 6 m, berarti berada di atas standar baku mutu untuk budidaya perikanan. 4.2.1.2.2. Parameter Kimiawi Perairan 4.2.1.2.2.1. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan ukuran kondisi asam dan basar suatu perairan yang dapat digunakan sebagai indeks kualitas lingkungan. Air dengan kondisi asam akan menyebabkan ikan lemah, lebih mudah terkena infeksi dan tingkat kematian (mortalitas) tinggi. Air yang sedikit basa umumnya sangat ideal untuk biota laut, karena membantu konversi zat-zat organik menjadi substansi yang dapat diasimilasi seperti ammonia dan nitrat (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 1997). Kisaran derajat keasaman (pH) pada daerah kajian penelitian 7,5-8,2 atau rata-rata 7,8. 4.2.1.2.2.2. Nitrat Nitrat merupakan indikator adanya keberadaan nutrien di perairan dan merupakan bentuk yang langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan laut seperti fitoplankton dalam proses fotosintesis. Selain untuk proses fotosintesis nitrat yang komponen utamanya tersusun dari nitrogen juga berfungsi untuk sintesis protein, penyusun gen, dan pertumbuhan organisme. Oleh karena itu nitrat merupakan salah satu faktor pembatas bagi kehidupan organisme di perairan. Namun apabila konsentrasi nitrat di perairan berlebih dapat menimbulkan akibat sampingan yang membahayakan, yaitu dapat merangsang pertumbuhan fitoplankton dengan cepat (algae bloom) yang akan membuat perairan menjadi septik. Kisaran konsentrasi nitrat pada daerah kajian penelitian antara 0,69 – 0,78 mg/l. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perairan
75
daerah kajian masih mempunyai daya dukung yang baik untuk usaha budidaya laut meskipun tidak terdapat nilai ambang baku mutu nitrat di perairan untuk budidaya perikanan. 4.2.1.2.2.3. Fosfat Selain
nitrat, fosfat
juga merupakan salah satu nutrien terpenting
yang dibutuhkan oleh organisme laut untuk pertumbuhannya. Karena merupakan zat hara di perairan, maka fosfat dibutuhkan pula oleh organisme nabati (fitoplankton) selama proses fotosintesis.
Dari hasil pengamatan konsentrasi
fosfat di perairan tersebut dapat dikatakan bahwa perairan tersebut mempunyai daya dukung yang baik untuk usaha budidaya laut karena mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik sekali (lebih dari 0,201 mg/l). 4.2.1.2.2.4. Oksigen Terlarut Kebutuhan oksigen bagi biota laut mempunyai dua aspek penting yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada keadaan metabolisme. Ikan memerlukan oksigen dalam proses pembakaran makanan untuk menghasilkan energi guna beraktivitas. Oleh karena itu ketersediaan oksigen bagi biota menentukan lingkaran aktivitas ikan, konversi makanan, demikian juga laju pertumbuhan tergantung pada oksigen dengan persyaratan bahwa selama faktor kondisi lainnya optimum.
Dari hasil
pengamatan di daerah kajian, oksigen terlarut (DO) di perairan berkisar rata-rata antara 7,3 – 7,8 mg/l. Menurut Keputusan Menteri KLH Kep.02/Men KLH/I/1988 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) yang diinginkan lebih dari 6 ppm (Anonim, 1991). Dengan demikian perairan tersebut mempunyai daya dukung yang baik untuk usaha budidaya laut. 4.2.1.2.2.5 . Logam Berat Keberadaan logam berat di perairan sangat penting untuk diperhatikan, sebab peningkatan konsentrasi logam berat dalam air laut akan diikuti oleh peningkatan logam berat dalam tubuh ikan dan organisme lainnya, dan apabila organisme tersebut dikonsumsi maka akan membahayakan kesehatan. Berdasarkan hasil laporan penelitian bahwa rata-rata konsentrasi logam berat di perairan Pantai Selatan Jawa Barat, khususnya di daerah kajian menunjukkan masih di bawah konsentrasi yang diperbolehkan untuk budidaya laut. 4.2.1.2.3. Parameter Biologi Perairan Kelimpahan dan keanekaragaman fitoplankton digunakan
sebagai
76
parameter indikator biologi perairan. Peranannya yang sangat penting dalam hal keseimbangan ekosistem perairan disebabkan oleh keberadaannya dapat yang menentukan produktivitas primer perairan. Hal ini karena fitoplankton secara langsung maupun tidak akan dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi lainnya. Kelimpahan fitoplankton merupakan salah satu indikator kesuburan perairan. Keberadaan fitoplankton yang banyak akan meningkatkan proses fotosintesis sehingga menghasilkan makanan (biomassa fitoplankton) dan oksigen yang lebih banyak pula. Hal ini akan menarik zooplankton dan pada akhirnya akan menarik ikan-ikan untuk datang ke daerah tersebut. Sehingga perairan tersebut akan kaya oleh ikan maupun biota laut lainnya dan digunakan untuk budidaya laut. Jenis fitoplanton dominan pada lokasi penelitian adalah Diatom dengan kelimpahan 462534 – 534627 sel/L. 4.2.1.2.4. Indikator Potensi Perikanan Tangkap Data potensi perikanan tangkap di daerah pesisir lokasi penelitian diketahui melalui peta perikanan tangkap yang merupakan overlay data arus hasil simulasi data sebaran klorofil dan sebaran temperatur yang terlihat dari citra satelit ModisAqua 2007 serta potensi upwelling yang ditentukan melalui teori transpor ekman. upwelling dan downwelling di daerah pantai maupun di lepas pantai ini berhubungan dengan daerah divergensi (kekosongan massa) dan konvergensi (penumpukan massa) yang terbentuk oleh transpor ekman. Daerah upwelling ditandai oleh: • Suhu yang lebih dingin daripada daerah sekitarnya • Salinitas dan densitas yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya • Muka air yang lebih rendah daripada daerah sekitarnya • Kandungan nutrien yang lebih tinggi daripada daerah sekitarnya
4.2.1.3. Iklim dan Cuaca Kabupaten Ciamis memiliki iklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh iklim pantai dengan kisaran temperatur normal rata-rata 200-340 C. Temperatur di dataran rendah pada umumnya 340 C dan kelembaban 50%, dan pada daerah dataran tinggi temperatur berkisar antara 180 sampai 220 C dengan kelembaban berkisar 61 – 73%. Curah hujan rata-rata pertahun 217,195 mm dengan jumlah hari hujan efektif selama satu tahun 84 hari. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November, musim hujan (Oktober–Mei) dan musim kemarau (bulan Juni– September).
77
4.2.1.4. Geologi Daerah pesisir pantai selatan Jawa Barat memiliki keragaman sumberdaya mineral yang potensial. Bahan galian yang terdapat di sepanjang daerah pesisir Ciamis dan sebagian besar telah dimanfaatkan yaitu andesit, tanah liat, batu kapur, dan batu kali. Jumlah produksi terbesar bahan galian adalah komoditi andesit.
4.2.2. Kondisi Sosial Ekonomi 4.2.2.1. Dinamika Ekonomi Produk domestik regional bruto (PDRB) di Kabupaten Ciamis selama tahun 2003–2004 mengalami kenaikan, pada tahun 2003 PDRB sebesar Rp 5.283.843,01 sedangkan pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp 5.514.292,48 atau meningkat per tahun 4,36%. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan merupakan sektor pembagi terbesar (rata-rata >30%), sektor pariwisata merupakan sektor pembagi tertinggi kedua (rata-rata >24%) untuk sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor pembagi terkecil (ratarata< 1%). Adapun produksi domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan di Kabupaten Ciamis dapat dilihat pada Tabel 15.
4.2.2.2. Fasilitas Perekonomian Fasilitas perekonomian Kabupaten Ciamis diwakili oleh Kecamatan Pangandaran. Jenis fasilitas perekonomiannya ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 15. Produksi domestik regional bruto (PDRB) atas dasar harga konstan di Kabupaten Ciamis N0.
Sektor
1.
Pertanian dan perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Pariwisata Transportasi Keuangan dan Perbankan Jasa-Jasa PDRB
2 3 4. 5 6 7. 8 9
2003 Nilai (Juta Rp)
%
1.916.926.25
36,28
20.186,64
0,38
369.477,36
2004 Nilai (Juta Rp) 1.963.214,47
%
Pertambahan per Tahun (%)
35,60
2,41
20.911,35
0,38
3,59
6,99
387.951,83
7,04
5,00
33.707.33
0,64
35.035,43
0,64
3,94
438.619,58 1.246.033,01 420.978,69 293.051,14
8,30 23,58 7,97 5,55
458.182,42 1.326.012,70 441.665,76 313.535,98
8,31 24,05 8,01 5,69
4,46 6,42 4,91 6,99
544,863.00 5.283.843,01
10,31 100,00
567.783,14 5.514.292,48
10,30 100,00
4,21 4,26
Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
78
Tabel 16. Jenis fasilitas perekonomian di Kecamatan Pangandaran No. 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
Jenis fasilitas
Jumlah
Koperasi : a. koperasi simpan pinjam b. koperasi unit desa / KUD c. BPKD d. koperasi produksi e. koperasi lainnya Jumlah pasar selapan / umum a. umum b. ikan c. wisata Pasar bangunan permanen / semi permanen Jumlah toko/ kios / warung Bank Stasiun bus Jumlah telepon umum
12 3 1 1 4 3 1 1 1 3 2124 7 1 76
Sumber : Data monografi Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis (2006)
4.2.1.1.
Sarana Pendidikan
Kondisi pendidikan di Kabupaten Ciamis saat ini masih memprihatinkan karena yang bisa menyelesaikan pendidikan tingkat SMU sedikit (Tabel 17). Tabel 17. Jumlah sekolah dan murid di pesisir Kabupaten Ciamis No.
TK
Kecamatan
SK
SD MD
1. Kalipucang 5 128 2. Pangandaran 8 316 3. Parigi 18 319 4. Cijulang 10 358 5. Sidamulih 6 99 6. Cimerak 8 184 Total 55 1404 Sumber: Bapeda Provinsi Jawa Barat Keterangan SK : Sekolah
4.2.1.2.
SK
31 30 36 20 19 36 172 (2007)
MD
3.862 5.373 4.013 2.146 2.641 4.107 22.142
SLTP SK MD
2 4 2 2 1 3 14
1.068 1.832 1.125 611 671 957 6264
SMU SK
0 3 1 1 0 0 5
MD
0 1.053 679 153 0 0 1885
MD : Murid
Sarana Kesehatan
Kondisi
prasarana
dan sarana kesehatan di kecamatan pesisir
Kabupaten Ciamis, secara umum relatif kurang (Tabel 18) Tabel 18. Sarana dan prasarana kesehatan di Kabupaten Ciamis Praktek Swasta Apotek Dokter Bidan 1. Kalipucang 2 1 9 1 2. Pangandaran 2 4 7 5 3. Parigi 4 3 7 4. Cijulang 2 2 3 5. Sidamulih 2 1 8 6. Cimerak 1 2 4 Total 13 13 38 6 Sumber: Kabupaten Ciamis dalam angka (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007) No.
Kecamatan
Rumah Sakit
Balai Pengobatan
79
4.2.1.3.
Fasilitas Perikanan
Dengan meningkatnya fungsi pariwisata di Kecamatan Pangandaran, terjadi peningkatan eksploitasi perikanan laut yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari prasarana dan sarana PPI di Kabupaten Ciamis pada Tabel 19. Tabel 19. Prasarana dan sarana PPI di Kabupaten Ciamis No.
Kecamatan / Jumlah Kapal Kapasitas Tampung Kapasitas Maks PPI (Buah) Kapal (Ton) Tangkap (Kg) 1. Legok Jawa 50 0,5 200 2. Batu Karas 400 0,5 3. Bojongsalawe 50 0,5 4. Pangandaran 400 2 5. Majingklak 20 0,5 6. Cihidang 40 0,5 Sumber: Kabupaten Ciamis dalam angka (2006) dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
4.2.1.4.
Fasilitas Perindustrian
Di Kabupaten Ciamis tidak ada industri besar di atas 20 pekerja kecuali industri kecil di bawah 20 pekerja yang terkait dengan pengolahan ikan dan bahan bangunan. Dari total produksi perikanan sebesar 1.205,68 ton, sebagian diolah oleh industri kecil untuk diekspor ke Eropa. Selain itu, terdapat bahan galian yang terkait dengan industri konstruksi seperti andesit, pasir besi, batu kapur, batu kali, dan tanah liat. Jumlah produksi terbesar bahan galian adalah komoditi andesit, yaitu Rp 399.075,00.
4.2.1.5.
Fasilitas Pariwisata
Kebijakan, strategi, serta program pembangunan seperti yang tertuang dalam Perda No.1 tahun 2004 tentang Renstra Pemerintah Provinsi Jawa Barat, mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pengembangan wilayah. Berdasarkan RIPPDA Provinsi Jawa Barat, perencanaan pengembangan wisata difokuskan pada pengembangan Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi. Objek Daerah Tujuan Wisata (ODTW) yang dikelompokkan dalam KWU ini diantaranya adalah Pantai Batu Karas dan Pantai Pangandaran. Semua objek wisata yang dikelompokkan dalam KWU ini memiliki daya tarik wisata unggulan berjenis wisata alam pantai dan laut, yaitu Pantai Batu Hiu dan Pantai Indah Pangandaran. Selain daya tarik wisata alam pantai dan laut, KWU Pantai Pangandaran ini juga memiliki daya tarik lainnya misalnya Cagar Alam Pananjung. Keindahan alam “green canyon” atau juga dikenal dengan nama cukang taneuh, serta terdapat area konservasi penangkaran satwa langka penyu
80
hijau. Pada umumnya ODTW di KWU Pantai Pangandaran bertipe mass tourism, seperti terlihat di objek wisata Pantai Pangandaran, Batu Hiu, Karang Nini dan lainnya. Tetapi disamping itu ada beberapa objek wisata yang memiliki ke khasan seperti objek wisata Batukaras yang diperuntukkan untuk wisata minat khusus olah raga air selancar (surfing). Pesatnya perkembangan ODTW di KWU Pantai Pangandaran ini didukung oleh baiknya dukungan prasara dan sarana baik itu aksesibilitas maupun akomodasi, sehingga tingkat kunjungan wisatawan nusantara maupun mancanegara cukup tinggi.
4.2.1.6.
Fasilitas Jasa
Kabupaten Ciamis merupakan wilayah dengan tingkat ketersediaan fasilitas jasa sedang, dengan jenis fasilitas seperti berikut : •
Jasa komunikasi, yaitu memanfaatkan jaringan telepon, televisi, dan surat kabar. Warung telepon dan telepon seluler sebagian telah masuk hampir merata di semua daerah, tetapi warung internet masih langka.
•
Jasa Koperasi Unit Desa (KUD) sudah cukup merata dan berjalan baik. .
V. EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR ABSTRAK Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat dengan kasus, Kabupaten Indramayu di pantai utara dan Kabupaten Ciamis di pantai Selatan. Penelusuran mengemukakan adanya UU dan PP yang dijadikan acuan yaitu UU No 32 Thn 2004, UU No 33 Thn 2004 dan PP No 25 Thn 2000. Fenomena dilapangan menunjukkan bahwa aspek ekonomi seperti pemanfaatan pesisir untuk tambak ikan, wisata, pelabuhan dan permukiman serta industri banyak dijumpai menggantikan ekosistem hutan mangrove yang berfungsi ekologis. Proses evaluasi diselesaikan menggunakan teknik KBMS yaitu transfer knowledge seorang atau lebih knowledge expert melalui diskursus dengan menggunakan sistem teknologi transformasi Di pesisir Utara pemerintah memberikan perhatian kepada sektor perikanan dan sektor yang relatif baru yaitu migas , di pesisir Selatan pemerintah memberikan perhatian kepada sektor perikanan dan pariwisata Teknik KBMS didukung oleh 7(tujuh) parameter yaitu Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan, Ketersediaan prasarana dan sarana, Pembangunan industri berbasis wilayah pesisir, Proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD, Rejim penguasaan pemerintah, Program pemberdayaan masyarakat melalui CSR dan Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana. Berdasarkan pengelompokan parameter dan permutasi diperoleh 24 rule base dengan hasil diskursus yang menyimpulkan bahwa kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat khususnya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis masih perlu diarahkan pada konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management ), karena masih sektoral dan bias daratan sehingga belum optimal pemanfaatannya. Selanjutnya di Kabupaten Indramayu perencanaan pengembangan wilayah pesisir dan penguasaan pemerintah melalui program pemberdayaan masyarakat bantuan Pertamina sudah cukup baik, kecuali di dalam pengembangan sektor pariwisata yang kurang mendapat perhatian dengan baik. Di Kabupaten Ciamis, pengembangan sektor pariwisata dan perikanan sudah merupakan salah satu sektor unggulan dalam pengembangan wilayah pesisir. Kata Kunci : transfer knowledge, diskursus, terpadu
5.1.
teknologi informasi, parameter, rule base,
Pendahuluan Dalam kaitannya dengan pembangunan sumberdaya pesisir, pemerintah
pusat membuat kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan menjadikan sektor laut sebagai sektor tersendiri. Setiap kebijakan yang ada, perlu di tindak lanjuti oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat memiliki kebijakan pengembangan wilayah pesisir dan laut yang disusun dalam pembangunan kelautan, mengacu pada beberapa peraturan dan perundangan yang secara bertahap telah mengubah sistem pembangunan yang berlaku selama ini. Undang-undang tersebut antara lain UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
82
Pemerintah
dan
Kewenangan
Provinsi
sebagai
Otonom,
memberikan
kewenangan yang luas, nyata, demokratis, dan bertanggung jawab kepada daerah dalam pengaturan pembagian sumberdaya nasional.
Pengaruh
pemberlakuan UU tersebut tidak terbatas pada pengelolaan sumberdaya alam, tetapi juga berpengaruh terhadap sistem pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan pengembangan daerah wilayah pesisir dan laut tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga berorientasi pada pemeliharaan ekosistem pesisir. Namun demikian implementasi kebijakan pengelolaan kawasan pesisir pada umumnya masih dititik beratkan pada peningkatan ekonomi. Fenomena dilapangan menunjukkan bahwa aspek ekonomi antara lain peningkatan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja di sektor Perikanan dan Pertanian, seringkali lebih diprioritaskan dibandingkan aspek sosial dan ekologi. Sejak tahun 1970 an, perubahan pemanfaatan wilayah pesisir pantura Jawa untuk tambak ikan, wisata, pelabuhan dan permukiman serta industri banyak dijumpai menggantikan ekosistem hutan mangrove yang berfungsi ekologis (Prasetya, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat.
5.2.
Metode Analisis Implementasi Kebijakan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan
Pengembangan
Evaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan di Provinsi Jawa Barat akan dilakukan dengan menggunakan metode Knowledge Based Management System (KBMS). Setiarso (2006) menyebutkan bahwa knowledge management adalah pengelolaan pengetahuan dimana orang-orang dari berbagai tempat yang berbeda mulai saling bicara tentang pengelolaan tersebut. Sistem pengelolaan berbasis pengetahuan (KBMS) memerlukan empat fungsi yaitu: creating knowledge, finding knowledge, using knowledge, dan packaging knowledge yang akan membentuk suatu pengetahuan untuk menjawab pertanyaan mengenai know-how, know-what, dan know-why. Untuk itu diperlukan upaya membangun knowledge sharing, yang dalam hal ini adalah dari para knowledge expert atau pakar kepada knowledge engineer atau peneliti.
Selanjutnya disebutkan bahwa salah satu tantangan
knowledge management adalah menjadikan manusia senang berbagi knowledge
83
mereka. Menghadapi tantangan tersebut disarankan untuk menggunakan tiga C yaitu: culture, co-opetition (menyatukan kerjasama dengan persaingan) dan commitment. Dengan demikian penelitian yang menggunakan metode KBMS ini mengutamakan kepercayaan sepenuhnya (trust fall) kepada pakar (knowledge expert) yang dipastikan akan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) tentang wilayah pesisir dan mitigasi bencana. Deetz dalam Darmanagara dan Fardiaz (2007) mengusulkan empat discourse alih-alih paradigma. Discourse tersebut adalah: normative, interpretive, critical and dialogic. Selanjutnya dilakukan klasifikasi knowledge dan bentuk knowledge management yaitu discourse normative menitikberatkan penggunaan knowledge untuk kegiatan problem solving dan decision making dengan pemanfaatan teknologi informasi. Discourse n i terpretive menitikberatkan pada pemanfaatan knowledge oleh individu daripada knowledge itu sendiri. Discourse critical menitikberatkan perimbangan hak akses terhadap knowledge dan aspek sosio-politik dalam hal kesamaan hak dalam memperoleh knowledge. Discourse dialogic menitikberatkan proses transformasi budaya berbicara/berkomunikasi yang menerapkan teknologi informasi dalam proses knowledge managementnya. Dalam penelitian ini, yang akan dipergunakan adalah discourse normative dan dialogic karena sesuai dengan tujuan penelitiannya yaitu melakukan evaluasi implementasi kebijakan yang sedang berjalan. Ignizio dalam Yunanto (2007) mengemukakan bahwa keahlian pakar dalam memecahkan suatu masalah diperoleh dengan cara merepresentasikan pengetahuan seorang atau beberapa orang pakar dalam format tertentu dan menyimpannya dalam basis pengetahuan. Sistem pengelolaan berbasis pengetahuan (KBMS) adalah sistem yang menggunakan kaidah (rules) untuk merepresentasikan pengetahuan di dalam basis pengetahuannya. Mesin inferensi (inference engine) merupakan bagian yang bertindak sebagai pencari solusi dari suatu permasalahan berdasar pada kaidah-kaidah yang ada dalam basis pengetahuan. Selama proses inferensi, mesin inferensi memeriksa status dari basis pengetahuan dan memori kerja (working memory) untuk menentukan fakta apa saja yang diketahui dan untuk menambahkan fakta baru yang dihasilkan ke dalam memori kerja tersebut. Fakta-fakta yang merupakan hasil dari proses inferensi disimpan dalam memori kerja sebagai data. Data evaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir merupakan basis data yang terdiri dari parameter-parameter yang menjadi dasar
84
penilaian dalam melakukan evaluasi. Parameter ini disusun sesuai dengan keadaan lokasi penelitian berkaitan dengan keberhasilan program pembangunan dalam kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang telah diimplementasikan di tempat lain. Guna menyamakan persepsi dalam diskursus (discourse normative dan dialogic) antara pakar (knowledge expert) dengan peneliti (knowledge engineers), telah dipilih suatu proceeding pertemuan ilmiah internasional yang diselenggarakan pada tahun 2006 di Thailand dengan tema Perlindungan Pesisir setelah Tsunami: Apa peran hutan dan pohon?. Dari sejumlah tulisan dalam pertemuan ilmiah tersebut, terpilih yang paling sesuai untuk disandingkan yaitu Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir (Preuss, 2006) dengan kasus Rencana Pemulihan Pesisir Keaukaha di Hawai. Pesisir Keaukaha pernah hancur dilanda tsunami pada tahun 1946 dan 1960, serta dihantam badai musim dingin pada tahun 1961. Proyek pemulihan tersebut berpedoman pada optimalisasi pelaksanaan penataan
ruang dan
lingkungan pesisir. Hal ini dapat terlihat dengan telah ditetapkannya zona-zona Industri, pariwisata, resort, kepadatan rendah, terbuka, kebun buah-buahan, pengelolaan sepanjang pantai dan penataan batas kepemilikan /peruntukan sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 22. Lokasi situasi proyek pembangunan oleh publik dan swasta wajib mematuhi
persyaratan landskap
dan harus
mundur dibelakang batas keamanan terhadap gelombang badai dan tsunami dengan tidak memperdulikan siapapun pemiliknya. Penanaman pohon di lokasi pariwisata dan industri lainnya tetap harus dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab pemiliknya. Kepadatan pepohonan ini
dimaksudkan sebagai
perlindungan terhadap badai dan tsunami. Oleh karena referensi ini berasal dari proceeding FAO 2006 yang merupakan kumpulan tulisan dari para pakar yang reputable sehingga falsifikasi (anomali informasi) tidak akan terjadi dan prosedur koroborasi (perkuatan referensi) penelitian sudah terpenuhi.
85
Gambar 22. Rencana tata ruang dan lingkungan Keukaha Sumber
: Hawaii County, 1978 dalam Preuss (2006)
Berdasarkan diskursus normatif/dialogik tersebut telah berlangsung knowledge aqcuisition dan evaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir akan dapat diselesaikan oleh KBMS dengan menggunakan basis data yang terdiri dari parameter-parameter yang menjadi dasar penilaian dalam melakukan evaluasi. Parameter ini disusun sesuai dengan keadaan lokasi penelitian dan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan wilayah pesisir yang telah diimplementasikan. Tiga kriteria penilaian dapat ditetapkan, yaitu (i) rendah, (ii) sedang, dan (iii) tinggi. Selain itu, diperlukan juga data untuk membangun aturan atau kaidah dasar (rule base) yang merupakan rekomendasi basis data yang bersifat normatif (Marimin, 2007). Komponen
basis
pengetahuan
dalam
KBMS
selain
dapat
direpresentasikan dengan pengetahuan statik (declarative knowledge), bisa juga direpresentasikan dengan pengetahuan dinamik (procedural knowledge), yaitu representasi menggunakan kaidah produksi dan representasi logika. Teknik berbasis
kaidah/aturan
(rule
base)
yaitu
teknik
pengembangan
yang
86
menggunakan pernyataan-pernyataan IF premis (pernyataan) dan THEN aksi/kesimpulan.
Kaidah produksi digunakan untuk pengetahuan prosedural
yang distrukturisasi ke dalam bentuk: Jika, suatu keadaan tertentu (kondisi), maka keadaan lain dapat terjadi (aksi) dengan tingkat kepastian tertentu (certainty factor) yang ditulis CF dengan nilai positif dan benar, agar pengguna tidak dapat memberikan nilai negatif dari suatu parameter saat pelacakan. Nilai CF ditentukan dengan pernyataan yang benilai benar, yaitu nilai CF lebih besar atau sama dengan 0,2. (Kristanto, 2004; Arhami, 2005). Knowledge acquisition para pakar direpresentasikan dalam bentuk program komputer menggunakan rule base berdasarkan kriteria if, then dan else.
5.3.
Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berkelanjutan
5.3.1. Kebijakan-Kebijakan terkait Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menghendaki adanya keberlanjutan (sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan. Melihat hal-hal tersebut, diperlukan suatu kebijakan dalam pengelolaannya sehingga sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir antara lain : 1) UUD 1945 pasal 33, menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat 2) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup 3) UU No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah 4) UU No. 33 tahun 2004, tentang
Perimbangan
Keuangan
antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 5) UU No. 7 tahun 2004, tentang Pengelolaan Sumber Daya Air 6) UU No. 24 tahun 2007, tentang Penanggulangan Bencana 7) UU No. 26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang 8) UU No. 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil 9) Perpres No. 19 tahun 2006 RKP 2007, salah satu prioritasnya adalah Mitigasi dan penanggulangan bencana. 10) Perpres No. 18 tahun 2007, tentang RKP 2008, salah satu prioritasnya adalah Penanganan bencana dan pengurangan risiko bencana.
87
11) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang. 12) PP No.25 tahun 2000 , tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Otonom. 13) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. 14) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. 15) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu. 16) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, bahwa unsur-unsur utama pengelolaan pesisir terpadu terdiri dari : 1) Penyusunan rencana strategis (strategic plan); 2) Penyusunan rencana zonasi ruang pesisir (zoning plan); 3) Penyusunan rencana pengelolaan zona spesifik/kawasan (management plan); 4) Rencana kegiatan (action plan) sebagai penjabaran dari rencana strategis yang sudah ada. Jika dikaitkan dengan topik penelitian yaitu pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana alam, maka dari sekian peraturan yang telah disebutkan di atas, hanya empat peraturan yang terkait dengan substansi mitigasi pada undang-undang kebencanaan (Forum Mitigasi Bencana, 2007) yaitu : 1) UU No. 07 tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air (SDA), 2) UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PB), 3) UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (TR), dan 4) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Oleh karena berbagai UU tersebut ternyata masih memiliki berbagai hal yang perlu diselaraskan terutama dalam hal terminologi dan substansi (Lampiran 1), maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bukan dengan melakukan judicial review
terhadap UU tersebut. Akan lebih baik jika pemerintah
88
secepatnya menyusun serangkaian PP yang
dapat menutupi berbagai
kekurangan yang terdapat dalam UU tersebut. Wilayah pesisir dan lautan di Jawa Barat memiliki sumberdaya alam yang cukup melimpah, namun demikian terdapat berbagai permasalahan yang perlu ditangani secara terpadu, salah satunya adalah masalah degradasi lingkungan yang mempengaruhi potensi perekonomian yang ada (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007) Untuk mencapai pengelolaan secara terpadu bagi setiap pengguna (stakeholder), maka diperlukan data dasar yang akurat dan selalu aktual (up to date), sehingga para pengambil keputusan memiliki landasan yang kuat dalam menetapkan kebijakan pengelolaan di wilayah pesisir yang terintegrasi dengan baik, baik dari segi sumberdaya alam dan lingkungannya maupun bagi kepentingan pembangunan ekonomi masyarakatnya. Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan salah satu core business pesisir selatan Provinsi Jawa Barat sebagai daerah yang memiliki potensi perikanan maupun wisata bahari Kabupaten Ciamis merupakan salah satu daerah di Selatan yang sangat terkenal dengan perikanan tangkap dan wisata pantai khususnya Pangandaran. Namun demikian, pemerintah juga menyatakan pesisir Selatan merupakan wilayah rawan bencana alam, khususnya tsunami. Sementara pesisir Utara Jawa Barat secara umum memiliki potensi sumberdaya yang dapat pulih seperti hutan mangrove, terumbu karang, budidaya tambak, budidaya laut, wisata bahari, perikanan laut dan konservasi serta sumberdaya yang tidak dapat pulih dan relatif baru yaitu migas. Berdasarkan hal ini maka perhatian terhadap pesisir Utara khususnya perikanan dan migas merupakan hal yang wajar (Bapeda Jabar, 2007). Pemanfaatan sumberdaya pesisir Jawa Barat yang tidak memenuhi kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya. Kegiatan pembangunan di kawasan ini akan dapat mempengaruhi produktivitas
sumberdaya
akibat
proses
produksi
dan
residu,
karena
pemanfaatan yang berbeda dari sumberdaya pesisir sering menimbulkan konflik yang dapat berdampak timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan pembangunan nasional akan berhasil jika dikelola secara terpadu
(integrated
coastal
zone
management,
ICZM).
Pengalaman
membuktikan bahwa pengelolaan atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses iteratif dan evolusioner untuk mewujudkan
89
pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang terlibat (stakeholders) dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir, sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan koordinasi (Peng et al., 2006). Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus berdasarkan kepada: (i) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis) yang berlangsung di wilayah pesisir yang sedang dikelola; (ii) kondisi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (iii) kebutuhan saat ini dan yang akan datang terhadap barang (produk) dan jasa lingkungan pesisir. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan
yang
serasi.
Keterpaduan
pengelolaan
wilayah
pesisir
sekurangnya mengandung tiga dimensi: (i) sektoral, (ii) bidang ilmu dan (iii) keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral berarti diperlukan adanya suatu kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antarsektor atau instansi (horizontal integration); dan antartingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration). Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu (interdisciplinary approaches), yang melibatkan berbagai bidang ilmu yang relevan. Hal ini wajar mengingat wilayah pesisir pada dasarnya merupakan pertemuan berbagai sistem yang terjalin secara kompleks dan dinamis.
5.3.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Jawa Barat Wilayah pesisir Provinsi Jawa Barat memiliki nilai strategis karena selain merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, juga memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang kaya. Mengingat nilai yang terkandung di dalamnya cukup besar, maka pengelolaannya layak dilakukan secara terpadu dengan melibatkan berbagai sektor terkait. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menekankan perlunya pengelolaan secara terpadu sebagaimana diamanatkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 10 tahun
90
2002, kenyataanya pengelolaan pesisir Jawa Barat masih bersifat sektoral dan bias daratan. Kebijakan pengelolaan pesisir Jawa Barat sama dengan kebijakan pesisir lainnya yang sektoral dan bias daratan, sehingga menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa. Pratikto (2005) mengemukakan bahwa dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas oleh kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing belum oleh nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin. Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir cenderung eksploitatif, tidak efisien, dan tidak berkelanjutan.
Ini disebabkan oleh faktor ambiguitas pemilikan dan
penguasaan sumberdaya, ketidakpastian hukum, dan konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat. Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property), sementara dalam pasal 33 UUD tahun 1945 dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Di beberapa wilayah pesisir atau pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property) bahkan ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pemilikan pribadi (quasi private proverty) (Pratikto, 2005). Dari sisi daratan, penguasaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil masih mengalami ketidakpastian hukum. Di dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya mengatur sebatas pemilikan/ penguasaan tanah sampai pada garis pantai sedangkan wilayah pesisir yang merupakan wilayah pantai dan laut tidak diatur dalam UU ini. Secara khsusus terdapat ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di dalam UU tersebut, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.
5.3.3. Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir 5.3.3.1. Penentuan Kaidah Dasar (Rule Base) Untuk
mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah
pesisir khususnya di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, dapat dilihat dari tujuh parameter hasil diskursus normative dialogik dengan pakar terkait (Lampiran 2) yang meliputi :
91
Parameter 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir Parameter 2. Ketersediaan prasara dan sarana pesisir Parameter 3. Pembangunan industri berbasis wilayah pesisir Parameter 4. Proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD Parameter 5. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime) Parameter 6. Program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing Parameter 7. Pengembangan perkebunan dan
sektor
pariwisata,
perikanan,
pertanian,
pertambangan yang berperspektif mitigasi
bencana. Berdasarkan akuisi pengetahuan (knowledge acquisition) pakar tersebut, ketujuh parameter tersebut disarankan dikelompokan kedalam tiga kelompok besar yang memiliki kesamaan yaitu (i) kelompok pertama adalah optimalisasi pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam
APBD (Parameter 1, 2, 3, dan 4) (Preuss, 2006), (ii)
kelompok kedua adalah peran Pemerintah
yang meliputi Rejim penguasaan
pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (Marine Protected Area) dan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR (Parameter 5 dan 6) (Tobey and Torell, 2006), (iii) kelompok ketiga adalah pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana (Parameter 7) (Wind dan Kock, 2002). Hal ini dilakukan untuk mempermudah pemahaman terhadap knowledge yang di transfer oleh pakar dalam KBMS. Selanjutnya berdasarkan diskursus dengan para pakar (2008), tiga kelompok parameter tersebut dengan menggunakan rumus permutasi yaitu penggabungan beberapa objek dari suatu grup dengan memperhatikan urutan. Rumus tersebut yaitu (n r ) (Wikipedia, 2008), dimana n adalah jumlah kelompok parameter (tiga kelompok parameter) dan r adalah jumlah yang harus dipilih dalam urutan permutasi (dalam hal ini tiga urutan permutasi adalah tinggi, sedang, dan rendah). Berdasarkan hal tersebut maka akan terbentuk 27 urutan permutasi. Namun berdasarkan hasil diskursus dengan pakar, hanya 24 rule base (teknik berbasis kaidah-kaidah) yang sesuai dan memadai untuk menjadi dasar evaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat.
92
5.3.3.2. Aplikasi Metode KBMS dalam Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat Hasil
penjajakan
pendapat
dengan
pakar
dan
praktisi
dalam
mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan pesisir di Kabupaten Indramayu seperti pada Gambar 23 terlihat bahwa praktisi memberikan penilaian optimalisasi pelaksanaan tata ruang dalam penyediaan prasarana dan sarana berbasis industri pesisir serta proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD ‘sedang’, rejim penguasaan pemerintah di pesisir mengutamakan program pemberdayaan masyarakat
‘sedang’, dan pengembangan sektor pariwisata
dengan nilai ‘rendah’.
Gambar 23. Manajemen dialog pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu Berdasarkan hasil analisis pendapat praktisi melalui Manajemen Dialog dalam KBMS tersebut dapat disimpulkan temuan sebagai berikut: 1. Optimalisasi pelaksanaan tata ruang dan lingkungan pesisir, ketersediaan prasara dan sarana pesisir, pembangunan industri berbasis wilayah pesisir, dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi yang berkembang terkonsentrasi di wilayah pantura sejak 1970-an telah mengabaikan perencanaan tata ruang wilayah pesisir sehingga mengakibatkan konversi hutan mangrove menjadi kolam tambak dan kegiatan permukiman lainnya serta menimbulkan kemerosotan kualitas lingkungan pesisir pantura. Pencemaran pesisir dan laju
93
abrasi yang tinggi (nomor dua setelah pesisir NAD) (Setyawan, 2007) serta jumlah anggaran yang dialokasikan untuk penanganan selama sepuluh tahun terakhir (Prasetya, 2006) menunjukkan kompleksitas tekanan yang terjadi terhadap wilayah pesisir pantura. 2. Rejim
penguasaan pemerintah (state propertyregime) dan program
pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing dinilai ‘sedang’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah yang sering mengabaikan kepentingan masyarakat pesisir seperti kasus pengerukan pasir sekitar 3 juta m 3 dari Pulau Gosong seluas 20 ha untuk kepentingan pembangunan instalasi kilang minyak Balongan seluas 250 ha hektar dengan mengabaikan kegiatan tradisional kultural masyarakat setempat yang memanfaatkan Pulau Gosong untuk berlabuh dan menangkap ikan termasuk dampak gelombang pasang. Selain itu kompensasi pemerintah yang kurang wajar terhadap masyarakat pesisir seperti program CSR yang secara resmi baru ditandatangani pada tahun 2007 antara Pertamina Unit IV dengan masyarakat wilayah pesisir dengan jumlah yang relatif kecil (Pemerintah Kabupaten Indramayu, 2007). Sesungguhnya CSR dapat dilakukan lebih intensif oleh Pertamina Unit IV Balongan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan aparat pesisir Indramayu yang melibatkan perguruan tinggi lokal (Universitas Wiralodra) dan LSM untuk menjadi pendamping masyarakat. Diharapkan melalui CSR akan terbuka arus informasi dan akses kepada pasar serta sumber pendanaan, sehingga selain akan dapat meningkatan kemampuan ekonomi masyarakat pesisir juga akan meningkatkan kepedulian masyarakat dan aparat terhadap kelestarian ekosistem pesisir Indramayu. 3. Pengembangan
sektor
dan pertambangan
pariwisata,
yang
perikanan,
berperspektif
pertanian,
mitigasi
perkebunan
bencana
dinilai
‘rendah’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam penanganan pencemaran akibat kebocoran pipa SBM yang dalam sepuluh tahun terakhir sudah terjadi delapan kali pencemaran dan menggenangi pesisir sepanjang 15 km sangat kurang memadai (Uliyah, 2008).
Akibatnya mengganggu pengembangan
sektor perikanan karena pendapatan nelayan merosot dan semakin terpuruknya sektor pariwisata dengan pantainya yang sebelumnya sudah rusak akibat abrasi. Untuk Kabupaten Ciamis, hasil analisis pendapat pakar
94
dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir mendapatkan temuan (Gambar 24) sebagai berikut :
Gambar 24. Manajemen dialog pendapat pakar dengan KBMS dalam mengevaluasi implementasi kebijakan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis 1. Optimalisasi penataan ruang pesisir, penyediaan prasarana dan sarana pesisir,
pembangunan
industri
berbasis
pesisir
dan
proporsi
dana
pembangunan wilayah pesisir dalam APBD dinilai ‘sedang’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah kurang terintegrasi yang berdampak terhadap kegiatan antarsektor sebagaimana dijelaskan berikut ini (Puradimaja, 2007) : •
Rencana tata ruang daerah belum terintegrasi dengan kawasan pesisir
•
Penegakan hukum yang masih lemah dalam mengatasi penyimpangan rencana tata ruang wilayah (RTRW)
•
Kurangnya kuantitas dan kualitas prasarana jalan penghubung ke dan dari jalur tengah dan utara
•
Pelabuhan nusantara di Pelabuhan Ratu sedang masa transisi menuju ke pelabuhan samudra
•
Belum terdapat pelabuhan udara yang siap secara operasional
2. Rejim penguasaan pemerintah (state propertyregime) dan program pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat melalui CSR/Sharing dinilai ‘sedang’, Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah didalam pengendalian penguasaan atas lahan di Pesisir Ciamis dinilai kurang memadai. Sebagai contoh,
95
dikuasainya kawasan antara semenanjung cagar alam dengan daratan di belakangnya oleh swasta. Kawasan tersebut merupakan pertemuan antara pantai barat dan pantai timur yang memiliki lansekap indah dan strategis dalam upaya penanggulangan bencana.
Pada
waktu
tsunami
melanda
pantai Pangandaran, kawasan ini tergenang oleh air ± 2 meter sehingga menyulitkan gerakan penyelamatan diri. Oleh karena di Ciamis tidak ada perusahaan besar seperti Pertamina di pesisir Indramayu, maka upaya meningkatkan ketahanan ekonomi setiapsektor hendaknya dilakukan dengan sharing kepentingan diantara stakeholder (para pemangku kepentingan) wilayah pesisir. Karena bagaimanapun juga, seluruh manfaat pesisir memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana konsep bioregion yang bisa mencapai ribuan hingga ratus ribuan hektar, tetapi bisa juga tidak lebih dari luas daerah tangkapan air atau seluas satu provinsi (CicinSain dan Knecht, 1998). 3. Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan yang berperspektif mitigasi bencana dinilai ‘tinggi’. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah melalui Perda No.1 tahun 2004 tentang Renstra Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang mengisyaratkan bahwa pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata memegang peranan penting dalam pengembangan wilayah. Perencanaan tata ruang telah menekankan kepada jalur selatan, dimana Ciamis sebagai primadona Kawasan Wisata Unggulan (KWU) Provinsi. Secara internal pengembangan sektor kepariwisataan diharapkan dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, dan secara eksternal diharapkan mampu menjadi sektor utama yang memberikan dampak menyebar pada wilayah sekitarnya demi menciptakan pemerataan wilayah.
5.4.
Kesimpulan Evaluasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Dari berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, hanya empat peraturan perundangan yang terkait langsung dengan kebencanaan dan mitigasinya di wilayah pesisir yaitu UU No. 07 tahun 2004 tentang Sumber
96
Daya Air, UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU no. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. 2. Oleh karena berbagai UU tersebut ternyata masih memiliki berbagai hal yang perlu diselaraskan terutama dalam hal terminologi dan substansi, maka upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah bukan dengan melakukan judicial review
terhadap UU tersebut. Tetapi lebih baik jika pemerintah
secepatnya menyusun serangkaian PP yang dapat menutupi berbagai kekurangan yang terdapat dalam UU tersebut. 3. Analisis pendapat pakar dan praktisi dalam mengevaluasi implementasi kebijakan pengembangan wilayah pesisir menunjukkan •
Kelompok
pertama,
yaitu
parameter
1,2,3,dan
4
(optimalisasi
pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kabupaten Ciamis dinilai ‘sedang’; yang berarti akan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan. •
Kelompok kedua, yaitu parameter 5 dan 6 (peran pemerintah
yang
meliputi rejim penguasaan pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (m arine protected area dan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kabupaten Ciamis ‘sedang’; yang juga berarti akan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan. •
Kelompok ketiga, yaitu parameter 7 (pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mitigasi bencana) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘rendah’ yang berarti belum menerapkan
pendekatan
pembangunan
berkelanjutan
dan
untuk
Kabupaten Ciamis ‘tinggi’ yang berarti sudah menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan.
4. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat khususnya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone management) dan menerapkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
VI. STUDI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR ABSTRAK Potensi sumberdaya alam Provinsi Jawa Barat yang cukup melimpah, baik di kawasan darat maupun laut. Potensi sumberdaya alam tersebut dapat dikelompokkan ke dalam potensi sumberdaya alam yang dapat pulih, tidak dapat pulih, dan jasa lingkungan. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis. Untuk mencapai tujuan tersebut telah digunakan analisis ASWOT yang merupakan gabungan metode analisis AHP dengan SWOT. Melalui SWOT akan diperoleh faktorfaktor eksternal dan internal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut di masa mendatang. Melalui AHP akan diperoleh keputusan-keputusan mengenai prioritas pembangunan sektor ekonomi, serta faktor-faktor SWOT yang menjadi penunjang pembangunan sektor ekonomi yang diprioritaskan tersebut. Dari hasil analisis ASWOT diperoleh keputusan bahwa pembangunan wilayah pesisir tidak tepat lagi dilakukan secara ego sektoral, oleh karena membawa dampak terhadap ketimpangan pendapatan yang semakin lebar. Berdasarkan analisis pakar, prioritas utama pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu adalah sektor perikanan dan minyak dan gas bumi, sedangkan di Kabupaten Ciamis adalah sektor perikanan dan pariwisata. Dari hasil analisis ini, secara eksplisit terlihat bahwa pembangunan sektor perikanan tetap menjadi salah satu leading sector untuk wilayah pesisir. Dalam rangka mengembangkan sektor tersebut di Kabupaten Indramayu perlu diperhatikan faktor-faktor kekuatan dan peluang seperti potensi tempat pemasaran hasil-hasil perikanan domestik dan ekspor, serta optimalisasi pemanfataan potensi sumber daya pesisir yang masih sangat besar. Sementara faktor kelemahan dan ancaman yang perlu diantisipasi adalah pendangkalan muara sungai, dan berubahnya orientasi generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain daripada menjadi nelayan. Di Kabupaten Ciamis faktor kekuatan dan peluang yang paling besar dalam pengembangan sektor perikanan adalah potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI yang masih belum dimanfaatkan optimal. Namun demikian, beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dan diantisipasi ancamannya adalah lemahnya kualitas SDM, tidak adanya prasarana dan sarana perikanan yang memadai, serta masih banyaknya pencurian ikan di wilayah ZEEI. Kata Kunci : ASWOT, ego sektoral, ketimpangan, leading sector, ZEEI,
6.1.
Pendahuluan Pembangunan ekonomi yang semakin maju untuk mencapai tujuan
kesejahteraan hidup masyarakat yang berjalan selama ini ternyata selalu diiringi dengan kemunduran kualitas sumber daya alam. Selain itu kompleksitas pembangunan juga menghasilkan efek eksternalitas berupa limbah, sampah dan buangan lainnya. Pengalaman empiris telah menunjukan bahwa pembangunan yang begitu antusias mengejar pertumbuhan ekonomi seringkali mengabaikan keberlanjutan lingkungan hidup dan penyediaan sumberdaya alam. Contohnya pada sumberdaya pesisir. Sejak tahun 1970-an hancurnya hutan mangrove di Indonesia diawali dengan pembangunan tambak udang, permukiman dan kegiatan ekonomi lainnya di pantura Jawa dalam rangka mengejar penerimaan devisa, yang akhirnya menimbulkan abrasi pantai (Prasetya, 2006). Selain itu, pembangunan industri dan kilang minyak di lepas pantura
mengakibatkan
rusaknya ekosistem pesisir juga bertambah parah. Wilayah pesisir saat ini
98
mempunyai tingkat kerusakan biofisik yang sangat
mengkhawatirkan karena
42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik dan 6 % sangat baik, 40 % hutan mangrove telah rusak dan 40 % bibir pantai telah mengalami abrasi pratikto, 2005). Guna menangani abrasi pesisir di seluruh Indonesia tersebut dari 1996 sampai 2005 pemerintah telah mengeluarkan US$ 79.667 juta, dan yang berhasil dengan baik hanya di Bali (Prasetya, 2006). Sesungguhnya faktor penyebab menurunnya keberlanjutan hidup pada sumberdaya ini bukan semata-mata karena kebijakan pemerintah saja. Masyarakat turut bertanggung jawab juga terhadap kerusakan tersebut. Akibat permintaan pasar terhadap komoditas pesisir meningkat (seperti ikan, teripang dll) dan keinginan untuk menambah pendapatannya membuat masyarakat (khususnya nelayan) melakukan eksploitasi sumberdaya pesisir secara berlebihan. Segala cara dilakukan untuk memperoleh tangkapan lebih banyak lagi termasuk penggunaan pukat harimau untuk menaikkan produksinya. Penggunaan bom ikan, tablet potas dan sianida telah menyebabkan kerusakan terumbu karang dan merusak biota laut yang akhirnya merusak ekosistem pesisir dalam jumlah besar (Darsono, 2007). Pemerintah telah menetapkan UU No. 22 Tahun 1999 mengenai sistem pemerintahan desentralisasi atau Otonomi Daerah, dan salah satu pasal yang patut dicermati adalah yang berkaitan dengan masalah pesisir dan kelautan yaitu pasal 10 yang menyebutkan bahwa daerah provinsi berwenang mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai, sementara daerah kabupaten/kota berwenang mengelola wilayah laut sejauh 4 mil laut. Jenis kewenangan tersebut mencakup peraturan kegiatan-kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut. Kewenangan tersebut
terwujud
dalam
bentuk
pengaturan
kepentingan
administratif,
pengaturan tata ruang serta penegakan hukum. Dengan demikian jelas bahwa implementasi kebijakan sumberdaya pesisir pada suatu daerah akan membawa sejumlah implikasi terhadap aktivitas ekonomi masyarakat, contohnya Provinsi Jawa Barat. Sebagai salah satu daerah maritim, Jawa Barat memiliki sumberdaya pesisir yang berlimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bahkan eksploitasi sumberdaya tersebut selama ini telah memperdalam kesenjangan antara golongan pelaku usaha. Dalam kaitan dengan ketersediannya, potensi sumberdaya wilayah pesisir ini secara garis besar dapat dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tak dapat pulih (non-renewable
99
resources ), dan jasa lingkungan (enviromental services ).
Ketiga potensi ini
walaupun telah dimanfaatkan, tetapi masih belum optimal dan terkesan tidak terencana dan terprogram dengan baik. Potensi sumberdaya alam yang dapat pulih di kawasan pesisir meliputi perikanan tangkap, budidaya rumput laut, budidaya kerang, keramba jaring apung (KJA), hutan mangrove, dan pertanian tanaman pangan. Sedangkan potensi sumberdaya alam yang tidak dapat pulih adalah minyak dan gas bumi. Potensi jasa lingkungan antara lain meliputi fungsi pariwisata, perlindungan terhadap intrusi air laut, hatchery alami ikan, pembiakan alami penyu. Mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir, sulit dilaksanakan oleh pemerintah sendiri. Hal tersebut diakibatkan kurangnya sumber daya manusia, dana, fasilitas dan rendahnya legitimasi pemerintah yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta lambatnya proses transformasi kebijakan aplikatif di tingkat daerah. Karena berbagai alasan ini maka diperlukan kebijakan pengelolaan pesisir yang terintegrasi dengan baik dari segi sumberdaya alamnya dan kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh. Secara
konseptual
ada
tiga
implikasi
pokok
dari
perencanaan
pembangunan daerah. Pertama, perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang realistik, memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan nasional (horisontal dan vertikal) dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut. Kedua, sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah, dan sebaliknya yang baik bagi daerah belum tentu baik secara nasional. Ketiga, perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah, misalnya adminsitrasi, proses pengambilan keputusan, otoritas, biasanya berbeda pada tingkat daerah dengan yang tersedia pada tingkat pusat. Selain itu, derajat pengendalian kebijakan sangat berbeda pada dua tingkat tersebut. Oleh karena itu perencanaan daerah yang efektif harus bisa membedakan, yang seyogyanya dilakukan dan yang dapat dilakukan, dengan menggunakan sumber daya pembangunan sebaik mungkin yang benarbenar dapat dicapai, dan mengambil manfaat dari informasi yang lengkap yang tersedia pada tingkat daerah karena kedekatan para perencanaannya dengan obyek perencanaan (Arsyad, 1999). Adanya beberapa kendala dalam suatu daerah menyebabkan perencana di daerah tersebut harus berani mengurangi kegiatan dalam penyusunan
100
program pembangunannya. Pada saat melihat fakta kondisi yang ada, maka kepentingan tiap program dapat bersifat (1) harus segera dilaksanakan segera, (2)
dapat dilakukan di saat yang lain, dan (3) dapat dilakukan pada tahap
selanjutnya. Sementara bila dilihat dari karakteristiknya, program satu dengan program lainnya dapat bersifat (1) komplementer, output yang ada menjadi input bagi yang lain atau (2) tidak terkait langsung satu sama lain. Atas dasar kondisi tersebut, maka daftar program yang tersusun perlu disusun urutan prioritasnya, yang berarti mengenali lebih dalam urgensi dan karakteristik tiap program yang ada dikaitkan dengan keberadaan program yang lain. Keperluan untuk menentukan prioritas program dalam perencanaan pembangunan daerah semakin terasa penting jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini. Salah satu ciri utama otonomi daerah, sebagaimana yang tersirat dalam UU No. 25 Tahun 1999, adalah daerah otonom memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakannya sendiri untuk pembiayaan pembangunan daerah. Permasalahan banyak muncul ketika pemerintah daerah otonom mulai merencanakan anggaran pembangunan sektoral. Disini sering kali terlihat penempatan anggaran pembangunan sering tidak sesuai dengan potensi wilayah yang ada. Sektor yang sebenarnya menjadi tulang punggung perekonomian daerah malah diinjeksi dana pembangunan lebih sedikit dibandingkan sektor yang kurang berperan terhadap perekonomian setempat. Terkait dengan kondisi semacam ini maka penting sekali untuk dilakukan suatu studi penyusunan program pembangunan sektoral yang lebih efektif untuk dijadikan sebagai prioritas pembangunan daerah di Jawa Barat, khususnya yang berada di wilayah pesisir yakni Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis.
6.2.
Model Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir Data potensi pengembangan wilayah merupakan basis data yang
dirancang untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan pemilihan
potensi
pengembangan
wilayah
pesisir.
Basis
data
potensi
pengembangan wilayah memberikan data kepada sub model (selanjutnya tetap dikatakan model) potensi pengembangan wilayah dan Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana (selanjutnya disebut MKP2B2MB) untuk menentukan potensi wilayah unggulan yang dikembangkan dalam rekayasa model ini.
101
Masukan pada basis data potensi pengembangan wilayah pesisir terdiri dari data potensi pengembangan wilayah pesisir serta faktor ekternal dan internal yang
berpengaruh
terhadap
potensi
wilayah
tersebut.
Data
potensi
pengembangan wilayah pesisir dianalisis dengan metode ASWOT yang merupakan gabungan dari AHP dan SWOT. SWOT adalah suatu metode analisis yang didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (oppotunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats) (Rangkuti dalam Marimin, 2005). AHP adalah suatu metode pengambilan keputusan yang dapat menyederhanakan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategik, dan dinamik menjadi bagian-bagian kecil yang tertata dalam suatu hierarki sehingga dapat ditangani dengan lebih mudah (Marimin, 2005). Dengan demikian penggabungan kedua metode ini akan lebih memudahkan lagi, karena komponen SWOT secara grafis tertata secara berjenjang (Gambar 25). Analisis SWOT
Analisis AHP
Komponen SWOT sebagai faktor dalam struktur AHP
Struktur ASWOT
Penilaian ASWOT - Pairwise comparison - Integrasi Multi Pakar - Consistency Ratio (<0,1)
Hasil ASWOT Alternatif potensi pengembangan yang memiliki bobot tertinggi
Gambar 25. Garis besar alat analisis ASWOT Selanjutnya pembahasan akan diawali untuk mengetahui faktor internal
dengan
penyelesaian
SWOT
dan eksternal yang mempengaruhi wilayah
pesisir. Secara konseptual analisis faktor-faktor eksternal dan internal mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut (Humprey, 1960) :
102
1) Mengidentifikasikan faktor-faktor eksternal yang secara strategis merupakan peluang dan ancaman terhadap pelaksanaan pembangunan wilayah pesisir 2) Mengidentifikasikan faktor-faktor kunci internal yang merupakan kekuatan dan kelemahan yang dihadapi dalam pembangunan wilayah pesisir. 3) Mengumpulkan data dan informasi mengenai faktor-faktor tersebut. 4) Apabila dianggap perlu, membuat proyeksi mengenai perkembangan faktorfaktor tersebut selama periode perencanaan. Data faktor ekstenal dan internal yang diperoleh dari hasil analisis SWOT tersebut,
selanjutnya
diolah
dengan
AHP
untuk
menentukan
potensi
pengembangan wilayah pesisir dan wilayah studi. Sesuai dengan bahan referensi yang dipublikasikan oleh berbagai institusi terkait, maka faktor eksternal dan internal yang berpengaruh sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 20. Penggunaan kedua metode tersebut (SWOT dan AHP) yang selanjutnya disebut ASWOT, dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik dengan cara: 1) Membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya/ekonomis, manfaat dan risiko dari setiap alternatif. 2) Mengamati secara sistematis dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik; 3) Memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan. 4) Membuat strategi pemanfaatan ruang secara optimal, dengan cara memilih/menentukan prioritas kegiatan. Dalam
ASWOT,
penelitian
prioritas
kebijakan
dilakukan
dengan
menangkap secara rasional persepsi stakeholder, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang tidak terukur (intangible) menjadi faktor-faktor yang terukur (tangible), sehingga dapat dibandingkan. untuk
masing-masing
wilayah
studi
Secara umum struktur dapat
dilihat
pada
ASWOT
Gambar
26.
104 Tabel 20. Faktor-faktor internal dan eksternal pengembangan wilayah di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Indramayu
b. Ancaman (Threats)
Eksternal
a. Peluang (Opport)
b. Kelemahan (Weakness)
Internal
a. Kekuatan (strengths)
Faktor Kunci
Kabupaten Indramayu
Kabupaten Ciamis
1. Memiliki potensi sumberdaya perikanan pantai dan tambak dengan panjang pantai 114 km dan luas tambak 11.939 ha (0,017) 2. Memiliki pangkalan pendaratan ikan (PPI) sebanyak 14 buah dan jumlah nelayan yaitu 1.563.390 jiwa (34,5%) (0,033) 3. Dukungan prasarana dan sarana perikanan yang memadai (242 buah kapal motor dan 3.782 buah perahu motor) (0,029) 4. Memiliki 1 tempat pariwisata dalam keadaan rusak parah (pantai Tirtamaya) dan 1 tempat belum dikembangkan (P. Biawak) (0,047) 5. Dekat dengan 2 tempat pemasaran produk perikanan domestik dan ekspor (Jakarta dan Bandung) (0,077) 6. Memiliki potensi sumberdaya migas (minyak mentah 3.396.210 per tahun dan gas alam 28,767 MMSCF per tahun) serta 2 kilang minyak (Balongan dan Mundu) (0,048)
1. Memiliki potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI, dengan panjang pantai 91 km dan luas tambak 2.782,42 ha (0,064) 2. Memiliki pangkalan pendaratan ikan (PPI) sebanyak 10 tempat pelelangan ikan (TPI) dan 6 kolam dinas) dan jumlah nelayan yaitu 97.822 jiwa (0,057) 3. Memiliki prasarana dan sarana transportasi darat (kereta api, mobil), laut (4 buah kapal motor dan 2,071 buah perahu motor) dan udara (bandara Nusa Wiru) (0,032) 4. Memiliki 2 tempat wisata andalan yang terawat baik (Pangandaran dan Batu Karas) (0,021) 5. Dekat dengan 1 tempat pemasaran produk perikanan (Bandung) (0,039) 6. Memiliki potensi sumberdaya pertambangan/galian (0,037)
1. Kurang baiknya teknologi handling produksi pasca panen sehingga mengurangi tingkat mutu produksi perikanan yang akan dipasarkan (0,035) 2. Belum memadainya prasarana dan sarana PPI seperti pemecah ombak, peredam abrasi, air bersih, tempat pengolahan hasil perikanan, waserda, bengkel, dan lain-lain (0,023) 3. Kondisi alam dengan gelombang pasang (0,074) 4. Tingginya laju abrasi dan pendangkalan sungai (0,025) 5. Masih terjadi konflik antar nelayan, khususnya pengguna jaring arad (pukat) dengan jenis alat tangkap lainnya (0,030) 6. Kelembagaan penanggulangan bencana di daerah masih lemah (0,034) 7. Belum memadainya peran CSR (baru dimulai tahun 2007) (0,029) 1. Belum optimalnya pemanfaatan potensi wilayah pesisir (0,091) 2. Kebutuhan dan permintaan pasar domestik dan luar negeri (0,056) 3. Pengembangan hutan mangrove sebagai obyek wisata bahari (tersebar disepanjang 161,72 km garis pantai) (0,039) 4. Dukungan regulasi (UU No.22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000) (0,063) 1. Bertambah banyaknya negara yang menerapkan persyaratan kualitas produk (ISO 9000, ISO 14000, HACCP) (0,036) 2. Peningkatan persaingan pasar domestik dan dunia dengan kabupaten lain (0,038) 3. Sedimentasi muara akibat penyodetan sungai Cimanuk (0,029) 4. Kesadaran terhadap bencana kurang (0,028) 5. Adanya embargo dunia terhadap hasil perikanan budidaya (0,031) 6. Berubahnya orientasi pekerjaan (0,087)
1. SDA ikan tidak dimanfaatkan optimal akibat rendahnya daya jangkau dan teknologi nelayan ke daerah penangkapan ikan (0,031) 2. Kurang memiliki prasarana dan sarana perikanan yang memadai (0,025) 3. Kondisi alam dengan tsunami (0,051) 4. Degradasi ekosistem akibat kegiatan pemanfaatan yang salah (bom, potas) (0,016) 5. Konflik antar kepentingan, yaitu pariwisata dan perikanan (penggunaan pantai untuk kegiatan yang berbeda) yang menyebabkan rendahnya kerjasama stakeholder dan pencemaran akibat kegiatan pariwisata (sampah yang berserakan di pantai) (0,055) 6. Kelembagaan penanggulangan bencana di daerah masih lemah (0.008) 7. Lemahnya kualitas SDM (0,065) 1. Belum optimalnya pemanfaatan potensi wilayah pesisir (0,098) 2. Kebutuhan dan permintaan pasar domestik dan luar negeri (0,073) 3. Pengembangan paket wisata bahari (marineculture) (0,032) 4. Dukungan regulasi (UU No.22 tahun 1999 dan PP No.25 tahun 2000) (0,047) 1. Bertambah banyaknya negara yang menerapkan persyaratan kualitas produk (ISO 9000, ISO 14000, HACCP) (0,072) 2. Peningkatan persaingan pasar domestik dan dunia dengan kabupaten lain (0,035) 3. Sedimentasi muara Sagara Anakan akibat penyodetan sungai di Cilacap (0,026) 4. Kesadaran terhadap bencana kurang (0,016) 5. Adanya embargo dunia terhadap hasil perikanan budidaya (0,067) 6. Banyaknya pencurian ikan di ZEEI (0,036)
Sumber : Renstra Pengembangan Bisnis Kelautan Provinsi Jawa Barat dimodifikasi melalui diskursus dengan pakar dan praktisi.
105
Level 1. Fokus
IDENTIFIKASI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
Komponen SWOT
Level 2. Faktor SWOT
STRENGHTS
a
Level 3. Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir
b
Pertambangan
c
WEAKNESS
d
e
Perikanan
OPPORTUNITIES
f
g
Pertanian
h
i
Perkebunan
THREATS
j
k
l
Pariwisata
Gambar 26. Garis besar hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir berdasarkan metode ASWOT Keterangan : a, b, c, .....dan seterusnya = Faktor-faktor internal dan eksternal mengenai pengembangan wilayah pesisir hasil analisis SWOT 105
106
6.3.
Analisis Identifikasi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir Wilayah pesisir Jawa Barat khususnya di Kabupaten Indramayu dan
Kabupaten Ciamis memiliki potensi sumberdaya yang cukup beragam baik potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui. Potensi sumberdaya pesisir tersebut meliputi pertambangan (minyak dan gas bumi), perikanan (mangrove, terumbu karang, rumput laut, padang lamun, budidaya tambak, budidaya laut, perikanan laut dan konservasi), pariwisata (wisata bahari), pertanian dan perkebunan. Masing-masing potensi wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
6.3.1. Kabupaten Indramayu Sebagai salah satu kabupaten pesisir di utara Jawa Barat, Indramayu memiliki potensi pesisir yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat daerah sebagaimana terlihat pada Gambar 27.
6.3.1.1. Minyak dan Gas bumi Pada tahun 1977 telah diresmikan kilang LPG Mundu di Kecamatan Karangampel, Indramayu, kapasitas terpasang mengolah bahan baku natural gas sebesar 1.000.000 NM3/hari (37 MMSCFD). Bahan baku adalah non assosiated gas sebesar 600.000 NM3/hari dan associated gas sebesar 400.000 NH3/hari.
Dalam rangka tersedianya bahan bakar minyak (BBM), Pertamina
mengoperasikan beberapa kilang minyak di Indonesia, salah satunya yaitu di Kecamatan Balongan, Kabupaten Indramayu. Kilang UP VI Balongan dengan luas area kilang adalah sekitar 250 ha, dapat memenuhi kebutuhan BBM untuk DKI Jakarta (40 %) dan sebagian Jawa Barat (Bapeda Jabar, 2007). Tabel 21. Potensi minyak dan gas bumi di Kabupaten Indramayu No. 1. 2. 3.
Produk minyak dan gas bumi LPG Minasol-M Lean Gas
Jumlah 100 ton/hari 56 kl/hari 656.00 N3M/hari
Sumber : Departemen ESDM dalam Puradimaja (2007)
107
Gambar 27. Potensi pengembangan wilayah pesisir Kabuipaten Indramayu 107
108
6.3.1.2. Pertanian dan Perkebunan Komoditi tanaman pangan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu terdiri dari tanaman seperti kacang panjang, cabe, terong, kangkung, ketimun
dan bawang merah. Produksi tanaman pangan di wilayah pesisir
Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Produksi komoditi sayuran wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu
Kangkung
Ketimun
Bawang merah
Krangkeng Karangampel Juntinyuat Balongan Indramayu Sindang Cantigi Arahan Losarang Kandanghaur Sukra Jumlah
Terong
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Kecamatan Pesisir
Cabe
No
Kacang panjang
Komoditi
2.475,00 2.413,00 532,60 330,00 300,00 177,00 83,36 216,00 1.053,83 7580,79
10,00 25,00 21,20 96,50 152,7
120,00 172,00 2.338,00 49,00 641,54 3320,54
10,00 10
318,00 315,00 1.510,00 200,00 375,00 52,00 231,00 320,00 12.170,00 15491
15.739,20 15.739,20
Sumber : Kabupaten Indramayu dalam Angka tahun 2005
6.3.1.3. Perikanan Dari enam kabupaten/kota yang ada di wilayah pesisir utara Jawa Barat, Kabupaten Indramayu merupakan daerah pesisir dengan tingkat kontribusi produksi perikanan terbesar. Rata-rata produksi perikanan di daerah ini adalah sebesar 58.243,80 ton/tahun, dengan jumlah alat tangkap rata-rata sebanyak 6.329 unit, maka hasil tangkapan rata-rata per satuan unit alat tangkap dapat dihitung sebesar 9,33 ton per unit alat tangkap (CPUE/catch per unit effort)
6.3.1.4. Pariwisata Kabupaten Indramayu memiliki beberapa potensi wisata bahari yang tersebar di sepanjang 161,72 kilometer garis pantai. Potensi lokasi wisata yang telah banyak dikenal ada 3 (tiga), yaitu Pantai Tirtamaya, Koloni Kera, dan Pulau Biawak yang semuanya di luar lokasi penelitian. Obyek wisata yang terdapat di lokasi adalah kegiatan wisata lainnya yang sudah merupakan tradisi di setiap daerah nelayan adalah pesta laut yang diadakan setiap tahun.
109
6.3.1.5. Aplikasi Metode ASWOT dalam Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir Indramayu Hasil analisis SWOT yang tercantum dalam Gambar 28 digunakan untuk studi potensi pengembangan wilayah pesisir Indramayu, telah menunjukkan bahwa kekuatan pendorong (strength) utama dalam pengembangan pesisir Indramayu adalah sebagai tempat pemasaran hasil-hasil perikanan domestik dan ekspor (S5). Ini terlihat dari nilai skoring pendapat pakar yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.077 (7,7%) dibandingkan dengan faktor kekuatan lainnya. Untuk pengembangan ke depan, peluang (opportunities) yang menjadi prioritas untuk diperhatikan adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah pesisir (O1) dimana para pakar memberikan nilai skoring sebesar 0,091 (9,1%). Kelemahan yang perlu mendapat perhatian serius adalah terjadinya kondisi alam dengan gelombang pasang (W3) dengan nilai skor 0,074 (7,4%) dan ancaman yang perlu perhatian serius adalah berubahnya orientasi generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain daripada menjadi nelayan (T6) dengan nilai skoring 0,087 (8,7%). Selanjutnya hasil analisis SWOT tersebut dimasukkan ke dalam struktur ASWOT yang dikemas dalam program aplikasi MKP2B2MB. Analisis ASWOT untuk Kabupaten Indramayu dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan menginputkan penilaian pakar menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang dapat dilihat seperti pada Gambar 28.
Gambar 28. Contoh input penilaian pakar dengan pairwise comparison metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu
110
Hasil analisisnya direkam dalam laporan input pakar termasuk consistency index (CI) dan consistency ratio (CR). Secara keseluruhan CR=0.1 yang menunjukkan penilaian pakar konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Contoh laporan penilaian pakar dapat dilihat pada Gambar 29.
Gambar 29. Laporan input pakar metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu Hasil analisis ASWOT dapat dilihat pada Gambar 30. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sektor minyak dan gas bumi serta perikanan merupakan potensi pengembangan wilayah pesisir yang perlu mendapatkan perhatian utama untuk dikembangkan di Indramayu. Hal ini terlihat dari nilai skoring yang lebih tinggi hasil penilaian oleh pakar dengan nilai skoring masing-masing sebesar 0,246 (24,6%) untuk sektor minyak dan gas bumi dan 0,244 (24,4%) untuk sektor perikanan. Selanjutnya disusul oleh potensi pertanian sebagai prioritas ketiga, perkebunan sebagai prioritas keempat dan pariwisata sebagai prioritas kelima dengan nilai skoring masing-masing 0,191 (19,1%), 0,186 (18,6%) dan 0,132 (13,2%). Penilaian pakar yang mensejajarkan prioritas pembangunan minyak/gas bumi dan perikanan dalam pengembangan wilayah pesisir di Indramayu telah menunjukan adanya pemikiran yang baru untuk mensinergikan kedua sektor tersebut dalam porsi pembangunan yang sama. Sepertinya pakar sepakat bahwa pola pembangunan yang ego sektoral sudah tidak tepat lagi dijalankan untuk saat ini dan di masa mendatang. Pengalaman di masa lalu telah membuktikan
111
bahwa pengembangan wilayah pesisir yang bersifat sektoral sering kali menyebabkan terjadinya konflik kepentingan antar kegiatan ekonomi. Di Indramayu, terjadi konflik antar kegiatan yaitu penambangan minyak dan gas bumi di lepas pantai yang selalu dianggap nelayan mengganggu aktifitas perikanan tangkap. Masyarakat nelayan merasa terusik dengan keberadaan penambangan tersebut, oleh karena zona tangkapan ikannya menjadi menyempit, sehingga mengurangi perolehan pendapatan. Di pihak lain, manajemen penambangan minyak dan gas bumi di wilayah tersebut tampaknya kurang memperhatikan keberadaan nelayan yang hidupnya sangat tergantung dengan tangkapan ikan. Meskipun penambangan minyak dan gas bumi menghasilkan petro dolar dalam jumlah yang besar, namun efek multiplier yang dirasakan masyarakat nelayan sangat kecil, bahkan dapat dikatakan tidak ada. Akibatnya kesenjangan pendapatan dan penguasaan aktifitas ekonomi antara nelayan dengan penambangan minyak dan gas bumi terlihat sangat mencolok. Dilandasi oleh kenyataan ini akhirnya setiap pakar beranggapan bahwa prioritas minyak dan gas bumi serta perikanan semestinya ditempatkan dalam posisi yang sama, harus ada kontribusi pembangunan dari sektor minyak dan gas bumi terhadap sektor perikanan. Meskipun hal tersebut tidak muncul dalam proses produksinya, namun sudah seyogyanya sektor tersebut membantu kenaikan produksi perikanan yang dapat dilakukan melalui pengembangan kelembagaan kemasyarakatan seperti membuat community based development (CBD) dalam rangka meningkatkan program ekonomi kerakyatan seperti pemberdayaan ekonomi mayarakat pesisir (PEMP) dan kredit untuk rakyat (KUR) di sektor perikanan. Program PEMP dengan dana yang berasal dari APBN dan dana kompensasi BBM, telah dilaksanakan di 265 kabupaten/kota, dan telah menghasilkan Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir-Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) sebanyak 323 buah (Saad dalam Direktorat Jenderal Kelautan, 2005). KUR adalah Kredit Modal Kerja (KMK) dan atau Kredit Investasi (KI) dengan plafon kredit Rp500 juta yang diberikan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKM-K) (Retnadi, 2008). Realisasi KUR hingga 31 Maret 2008 menunjukkan realisasi KUR dari 6 bank pelaksana telah mencapai Rp. 3,2 Trilyun dengan jumlah debitur 188000 pengusaha mikro dan kecil. Untuk itu, manajemen penambangan minyak dan gas bumi hendaknya bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal dalam meningkatkan kapasitas
112
masyarakat pesisir dengan cara perguruan tinggi melakukan pendampingan, dan manajemen
penambangan
minyak
dan
gas
bumi
mendanai
upaya
pendampingan tersebut. Sebagai suatu kegiatan sosial dari PT Pertamina Unit IV Balongan kepada masyarakat pesisir Indramayu, program corporate sosial responsibility (CSR) ini diharapkan dapat mempercepat pemahaman masyarakat pesisir terhadap berbagai program pemerintah seperti PEMP dan KUR yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan.
113
Level 1. Fokus
IDENTIFIKASI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
Komponen SWOT
Level 2. Faktor SWOT
STRENGTH
S1 (0,017)
S2 (0,033)
W1 (0,035)
Level 3. Potensi Pengembangan Wil. Pesisir
S3 (0,029)
W2 (0,023)
Minyak dan Gas Bumi (0,246)
W3 (0,074)
S4 (0,047)
S5 (0,077)
W4 (0,025)
W5 (0,030)
Perikanan (0,244)
WEAKNESS
S6 (0,048)
W6 (0,034)
O1 (0,091)
W7 (0,029)
THREATS
OPPORTUNITIES
O2 (0,056)
T1 (0,036) 3)
Pertanian (0,191)
O3 (0,039)
T2 (0,038) 7)
T3 (0,029)
Perkebunan (0,186)
O4 (0,063)
T4 (0,028)
T5 (0,031)
T6 (0,087)
Pariwisata (0,132)
Gambar 30. Hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Indramayu 113
Keterangan : Lihat Tabel 19.
114
6.3.1.6. Kesimpulan Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Indramayu Hasil analisis ASWOT menunjukkan bahwa faktor strength, weakness, opportunities, dan threats (SWOT) menghasilkan dua sektor utama yang menjadi potensi utama wilayah pesisir Indramayu yaitu sektor minyak dan gas bumi dengan skor sebesar 0,246 (24,6%) dan sektor perikanan dengan nilai skor 0,244 (24,4%). Semua kekuatan dan peluang sektor perikanan yang besar tersebut akan lambat perkembangannya tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Untuk itu dari awal semua pakar telah sepakat bahwa kontribusi perusahan penambangan minyak/gas bumi dalam meningkatkan kapasiktas masyarakat pesisir sangat dibutuhkan dalam hal ini Pertamina Unit IV Balongan. Program Corporate Sosial Responsibility (CSR) diharapkan dapat mempercepat pemahaman masyarakat pesisir terhadap berbagai program pemerintah seperti PEMP dan KUR yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan. Program CSR ini dapat diatur oleh pemerintah daerah Indramayu melalui peraturan daerah yang mewajibkan perusahaan penambangan minyak dan gas bumi untuk membina dan mendampingi kegiatan masyarakat nelayan. Manajemen penambangan minyak dan gas bumi hendaknya bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal dengan cara perguruan tinggi melakukan pendampingan, dan manajemen penambangan minyak dan gas bumi mendanai upaya pendampingan tersebut. Disini kolaborasik perusahaan penambangan dengan pemerintah daerah selain memberikan motivasi bagi masyarakat nelayan disekitarnya untuk menumbuhkembangkan usaha mereka dalam melakukan penetrasi pasar. Mengingat sektor perikanan Kabupaten Indramayu merupakan yang terbesar di Provinsi Jawa Barat (49,41%) dan kedekatannya dengan pusat pasar domestik sebagai kekuatan utama (S1= 0,077), maka sekalipun perikanan di laut Jawa sudah over fishing, tetapi karena wilayah pesisir menjadi basis kegiatan perikanan yang dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan pesisir (Dahuri, 2004), maka perikanan sebagai suatu sistem yang kompleks dan dinamis dalam tataran empiris dapat melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks karakteristik dan spasial. Berdasarkan hasil diskursus dengan pakar ditetapkan bahwa sektor perikanan di Indramayu masih potensial untuk dikembangkan di masa mendatang.
115
6.3.2.
Kabupaten Ciamis Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten di pesisir laut
selatan Jawa Barat yang memiliki potensi pesisir yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat daerah. Adapun potensi pesisir Kabupaten Ciamis dapat dilihat pada Gambar 31.
6.3.2.1. Pertambangan Daerah pesisir Jawa Barat bagian selatan adalah daerah tektonik aktif, sehingga kemungkinan adanya potensi minyak dan gas bumi adalah kecil. Daerah pesisir pantai selatan Jawa Barat dapat dikatakan memiliki keragaman sumberdaya mineral yang cukup potensial. Bahan galian yang terdapat di sepanjang daerah pesisir sebagian besar telah dimanfaatkan. Potensi pertambangan kabupaten Ciamis dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Potensi pertambangan di Kabupaten Ciamis No
Potensi tambang
Lokasi
1
Batu gamping
Kec. Kalipucang, pamarican, padaherang, cimerak, banjarsari, parigi, cigugur, banjarsari, cijulang
- Dalam tahap eksploitasi - Jumlah 127.410.000 ton - Cadangan sangat besar
2
Fosfat
Kec. Padaherang, parigi, cijulang, dan Banjarsari
3
Dolomitan
Kec. Kalipucang, pamarican, padaherang, cimerak, banjarsari, parigi, cigugur, banjarsari, cijulang
- Jenis endapan guano - Tahap eksplorasi - Cadangan besar - Cadangan besar - Tahap eksplorasi - Untuk pertanian
4
Kaolin
5
Zeolit
6
Tras
7
Emas
8
Pasirbesi
Kec cihaeurbeuti
Kec. Kalipucang, padaherang
Kec. Rancah, Parigi, Cigugur Kec. Cimerak Kec. Cijulang-Cimerak
Sumber : Puradimaja (2007)
Keterangan
- Jumlahnya 95.600 ton - Cadangan besar - Tahap eksplorasi - 9.6 juta ton - Cadangan besar - Tahap eksplorasi - 620 ribu ton - Cadangan besar - Tahap eksplorasi - 125 ribu m³ - Sangat Potensial - Tahap eksploitasi
116
116
Gambar 31. Potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Ciamis
117
6.3.2.2. Pertanian dan Perkebunan Komoditi tanaman pangan yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis terdiri dari tanaman seperti kacang panjang, cabe, terong, kangkung, ketimun dan bawang merah. Produksi tanaman pangan (komoditi sayuran) di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Produksi komoditi sayuran wilayah pesisir Kabupaten Ciamis
Kangkung
Ketimun
Bawang daun
Cimerak Cijulang Parigi Sidamulih Pangandaran Kalipucang Jumlah
Terong
1 2 3 4 5 6
Kecamatan Pesisir
Cabe
No
Kacang panjang
Komoditi (dalam ton)
13,5 26,5 370,40 216,10 40,20 20,60 687,30
3,4 0 15,60 7,30 7,90 2,70 36,90
0,00 46,90 215,10 29,50 43,30 31,90 366,70
17,20 11,70 271,40 12,00 9,00 20,30 341,6
54,00 15,60 382,00 31,50 37,60 47,30 568
8,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 8,50
Sumber : Kabupaten Ciamis dalam Angka, Tahun 2005
6.3.2.3. Perikanan Produksi perikanan di kecamatan pesisir Kabupaten Ciamis diperoleh dari laut, tambak, kolam, sawah, keramba/jaring apung, dan perairan umum. Total produksi ikan terbesar adalah produksi ikan laut sebesar 1.205,68 ton (Darsono, 2008). Beberapa kecamatan pesisir memiliki potensi distribusi ikan ke luar daerah, diantaranya adalah Kecamatan Cijulang, Kecamatan Parigi, dan Kecamatan Pangandaran. Komoditi yang didistribusi keluar daerah adalah sama, yaitu perikanan laut dan perikanan tambak.
6.3.2.4. Pariwisata Hampir semua objek wisata dikelompokkan dalam KWU yang memiliki daya tarik berjenis wisata alam pantai dan laut. Pada umumnya ODTW di Kabupaten Ciamis bertipe mass tourism, seperti terlihat di objek wisata Pantai Pangandaran, Batu Hiu, Karang Nini dan lainnya ( lihat Tabel 25). Selain itu, KWU Pantai Pangandaran ini juga memiliki daya tarik lainnya seperti keindahan alam “green canyon” atau juga dikenal dengan nama cukang taneuh, serta terdapat area konservasi penangkaran satwa langka penyu hijau.
118
Tabel 25. Potensi pariwisata di Kabupaten Ciamis Jenis Pariwisata
• KWU Pantai Barat • KWU Pantai Timur • KWU Pantai Parigi
Obyek Daya Tarik Wisata • • • • • •
Pantai Batu Karas Pantai Batu Hiu Pantai Indah Pangandaran, Cagar Alam Pananjung, “Green canyon” atau cukang taneuh, Area konservasi penangkaran satwa langka penyu hijau.
Sumber : Dinas Pariwisata dalam Puradimaja (2007)
6.3.2.5. Aplikasi Metode ASWOT dalam Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir Ciamis Hasil analisis SWOT mengenai potensi pengembangan wilayah pesisir di Ciamis menunjukkan bahwa Kabupaten Ciamis mempunyai potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI yang sangat besar (S1) yang menjadi kekuatan (strength) dan mendapat skor sebesar 0,064 (6,4%), sedangkan faktor potensi peluang (opportunities) yaitu potensi sumber daya wilayah pesisir yang belum dimanfaatkan secara optimal (O1) mempunyai skor sebesar 0,098 (9,8%). Namun di sisi lain, lemahnya kualitas SDM (W7) yang merupakan faktor kelemahan (weakness), pakar telah menilainya sebesar 0,065 (6,5%). Untuk faktor ancaman (threats) yaitu bertambah banyaknya negara yang menerapkan persyaratan kualitas produk (T1) mendapat skor 0,072 (7,2%). Seluruh potensi ekonomi di atas selanjutnya dianalisis dengan menggunakan ASWOT yang bertujuan untuk mendapatkan skala prioritas pembangunan sektoral dan faktor-faktor utama dari masing-masing komponen SWOT yang dianggap pakar patut diperhatikan dalam rangka membangun wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Ciamis. Analisis ASWOT untuk Kabupaten Ciamis dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan menginputkan penilaian pakar menggunakan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang dapat dilihat seperti pada Gambar 32.
119
Gambar 32. Contoh input penilaian pakar dengan pairwise comparison metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis Hasil analisisnya direkam dalam laporan input pakar termasuk Consistency Index (CI) dan Consistency Ratio (CR). Secara keseluruhan CR=0,1 yang menunjukkan penilaian pakar konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Contoh laporan penilaian pakar dapat dilihat pada Gambar 33.
Gambar 33. Laporan input pakar metode ASWOT dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis Selanjutnya hasil analisis SWOT tersebut dimasukkan ke dalam struktur ASWOT dan hasil pengolahan datanya disajikan dalam Gambar 34 yang memperlihatkan bahwa setiap pakar tampaknya sepakat sektor pariwisata dan perikanan menjadi prioritas paling utama dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Ciamis. Hasil pembobotan kepentingan dari berbagai alternatif pembangunan menunjukkan skala prioritas dari sektor pariwisata dan
120
perikanan adalah yang paling tinggi dari semua potensi pengembangan wilayah pesisir, masing-masing dengan skor 0,244 (24,4%) dan 0,249 (24,9%). Sedangkan sektor pertanian menempati prioritas yang ketiga dengan skor sebesar 0,223 (22,3%), menyusul kemudian pada prioritas yang keempat yakni sektor perkebunan dengan skor sebesar 0,159 (15,9%), dan yang terakhir untuk prioritas yang kelima adalah sektor pertambangan yang mempunyai skor sebesar 0,125 (12,5%).
6.3.2.6. Kesimpulan Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir di Ciamis Hasil analisis ASWOT mengenai pembobotan kepentingan dari berbagai alternatif pembangunan menunjukkan skala prioritas dari sektor pariwisata dan perikanan adalah yang paling tinggi dari semua potensi pengembangan wilayah pesisir, dengan masing-masing skor 0,249 (24,9%) dan 0,244 (24,4%). Sektor pariwisata dan perikanan selama ini selalu dianggap masyarakat sebagai milik bersama dan di kelola secara bersama (common property resources ). Pengembangan sektor pariwisata bahari dapat menjadi sarana pembelajaran bagi masyarakat pesisir khususnya nelayan untuk mengakui adanya hak kepemilikan. Oleh karena itu, diperlukan sinergitas sektor pariwisata dan sektor perikanan melalui sharing kepentingan para pemangku wilayah pesisir dalam bentuk peningkatan partisipasi stakeholder. Karena bagaimanapun juga, seluruh manfaat pesisir memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana konsep bioregion yang bisa mencapai ribuan hingga ratus ribuan hektar, tetapi bisa juga tidak lebih dari luas suatu daerah tangkapan air atau bisa seluas satu provinsi Sektor pariwisata mempunyai efek multiplier terhadap pendapatan masyarakat. Sektor pariwisata bahari dapat menghasilkan derived demand. untuk pengembangan usaha-usaha ekonomi lainnya di luar sektor perikanan, seperti industri berbasis pesisir, hotel, dan restoran. Namun demikian, sektor perikanan merupakan suatu indikator utama dalam pendekatan kebijakan wilayah pesisir secara terpadu integrated coastal resources management atau integrated coastal zone management. Dilandasi oleh pemikiran-pemikiran seperti di atas pada akhirnya semua pakar sepakat bahwa pembangunan sektor pariwisata dan perikanan harus diprioritaskan bersama dalam pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis. Dalam konteks ini, sektor pariwisata diharapkan dapat menjadi
121
komplemen pembangunan sektor perikanan, bukannya kompetitor. Dengan kata lain sektor perikanan tetap dijadikan sebagai salah satu leading sector pembangunan wilayah pesisir.
122
Level 1. Fokus
IDENTIFIKASI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR
Komponen SWOT
Level 2. Faktor SWOT
STRENGHTS
S1 (0,064)
W1 (0,031)
Level 3. Potensi Pengembangan Wil. Pesisir
S2 (0,057)
W2 (0,025)
S3 (0,032)
W3 (0,051)
Pertambangan (0,125)
WEAKNESS
S4 (0,021)
W4 (0,016)
S5 (0,039)
W5 (0,055)
S6 (0,037)
W6 (0,008)
Perikanan (0,244)
W7 (0,065)
OPPORTUNITIES
O1 (0,098)
T1 (0,072)
Pertanian (0,223)
O2 (0,073)
T2 (0,035)
THREATS
O3 (0,032)
T3 (0,026)
T4 (0,016
O4 (0,047)
T5 (0,067)
Perkebunan (0,159)
Keterangan : Lihat Tabel 19
Pariwisata (0,249)
122
Gambar 34. Hirarki identifikasi potensi pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Ciamis
T6 (0,036)
123
6.4. Kesimpulan Studi Potensi Pengembangan Wilayah Pesisir •
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa Kabupaten Indramayu memiliki kekuatan pendorong (strength) utama dalam pengembangan pesisir yaitu tempat pemasaran hasil-hasil perikanan domestik dan ekspor (S5). Ini terlihat dari nilai skoring pendapat pakar yang lebih tinggi yaitu sebesar 0,077 (7,7%) dibandingkan dengan faktor kekuatan lainnya. Untuk pengembangan ke depan, peluang (opportunities) yang menjadi prioritas untuk diperhatikan adalah mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah pesisir (O1) dimana para pakar memberikan nilai skoring sebesar 0,091 (9,1%). Kelemahan yang perlu mendapat perhatian serius adalah terjadinya kondisi alam dengan gelombang pasang (W3) dengan nilai skor 0,074 (7,4%) dan ancaman yang perlu perhatian serius adalah berubahnya orientasi generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain daripada menjadi nelayan (T6) dengan nilai skoring 0,087 (8,7%).
•
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa Kabupaten Ciamis mempunyai potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI yang sangat besar (S1) yang menjadi kekuatan (Strength) dan mendapat skor sebesar 0,064 (6,4%), sedangkan faktor potensi peluang (Opportunities) yaitu potensi sumber daya wilayah pesisir yang belum dimanfaatkan secara optimal (O1) mempunyai skor sebesar 0,098 (9,8%). Namun di sisi lain, lemahnya kualitas SDM (W7) yang merupakan faktor kelemahan (Weakness), pakar telah menilainya sebesar 0,065 (6,5%). Untuk faktor ancaman (Threats) yaitu bertambah banyaknya negara yang menerapkan persyaratan kualitas produk (T1) mendapat skor 0,072 (7,2%).
•
Berdasarkan
analisis
ASWOT
diperoleh
keputusan
bahwa
prioritas
pembangunan wilayah pesisir untuk Kabupaten Indramayu adalah sektor minyak dan gas bumi dengan skor sebesar 0,246 (24,6%) dan sektor perikanan dengan nilai skor 0,244 (24,4%). . Sementara di Kabupaten Ciamis adalah sektor pariwisata dengan skor 0,249 (24,9%) dan sektor perikanan dengan skor 0,244 (24,4%). •
Pembangunan potensi wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Ciamis sudah tidak dapat lagi menerapkan pengembangan ego sektoral. Karena pola
pembangunan
semacam
ini
akan
menyebabkan
kesenjangan
pendapatan yang semakin melebar. Oleh karena itu menurut penilaian pakar, pembangunan wilayah pesisir di kedua wilayah tersebut harus menerapkan
124
lintas sektor dengan tetap mempertahankan sektor perikanan sebagai salah satu leading sector. •
Semua kekuatan dan peluang sektor perikanan yang besar tersebut di Indramayu akan lambat perkembangannya tanpa adanya bantuan dari pihak lain. Untuk itu dari awal semua pakar telah sepakat bahwa kontribusi perusahan penambangan minyak/gas bumi sangat dibutuhkan dalam hal ini Pertamina Unit IV Balongan. Demikian juga didalam mengatasi kelemahan dan menghadapi ancaman dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut peran perusahaan penambangan tersebut sangat diperlukan. Hal ini dapat saja diatur oleh pemerintah daerah Indramayu melalui peraturan daerah yang mewajibkan perusahaan penambangan minyak dan gas bumi untuk membina dan
mendampingi
kegiatan
masyarakat
nelayan.
Disini
perusahaan
penambangan selain memberikan motivasi bagi masyarakat nelayan disekitarnya untuk menumbuhkembangkan usaha mereka, juga memberi bantuan pemberian modal, peralatan, serta pendampingan dalam melakukan penetrasi pasar. Selain itu, menurut pakar, sektor perikanan di Indramayu masih potensial untuk dikembangkan di masa mendatang. •
Semua pakar sepakat bahwa pembangunan sektor pariwisata dan perikanan harus diprioritaskan bersama dalam pembangunan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis. Dalam konteks ini, sektor pariwisata diharapkan dapat menjadi komplemen pengembangan sektor perikanan, bukannya kompetitor. Hal ini disebabkan sektor pariwisata mempunyai efek multiplier terhadap pendapatan masyarakat dan dapat menghasilkan derived demand untuk pengembangan usaha-usaha ekonomi lainnya di luar sektor perikanan, seperti industri berbasis pesisir, hotel, dan restoran. Oleh karena itu, sektor perikanan
tetap
dijadikan
sebagai
salah
satu
leading sector
pembangunan wilayah pesisir. •
Kebijakan
pemanfaatan
competence
dapat
sumberdaya
meningkatkan
alam
kegiatan
migas
sebagai
perikanan
national
sebagai
local
competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand), jadi saling melengkapi bukan kompetitor (complementary).
VII. STUDI POTENSI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR JAWA BARAT ABSTRAK Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang pantai (shoreline) kedua, Indonesia selain memiliki kekayaan sumber daya alam pesisir yang melimpah juga memiliki potensi bencana alam yang sangat tinggi. Konfigurasi empat pulau besar dan deretan pulau kecil yang menempatkan Laut Jawa sebagai perairan dalam di tengah kepulauan Indonesia, memposisikan pantura Jawa menjadi sasaran gelombang badai pasang yang mengakibatkan abrasi parah di pesisir Indramayu. Posisi lempeng tektonik di sebelah selatan Jawa mengakibatkan Gempa bumi menimbulkan tsunami yang melanda dahsyat pesisir Ciamis . Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bencana alam yang berpotensi terjadi di pesisir tersebut. Data potensi bencana terdiri atas data pakar, sumber potensi bencana, dan pendapat pakar mengenai hubungan kontekstual antars umber potensi bencana sesuai dengan teknik yang digunakan pada model ini yaitu interpretive structural modeling (ISM). Hasil analisis data dan pendapat pakar menunjukkan bahwa di Kabupaten Indramayu bencana alam gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi,diikuti oleh banjir dan abrasi. Selanjutnya di Kabupaten Ciamis bencana alam tsunami menempati peringkat tertinggi, yang kemudian diikuti oleh Gempa bumi dan gelombang badai pasang. Kata Kunci: potensi bencana, interpretive structural modelling, gelombang badai pasang
7.1.
Pendahuluan Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya alam di wilayah pesisir sekaligus potensi terjadinya bencana alam. Hasil diskursus dengan pakar terkait menunjukan bahwa ada perbedaan antara penyebab bencana dan akibat bencana. Penyebab bencana contohnya adalah gempa bumi yang dapat mengakibatkan terjadinya tsunami. Gempa bumi juga terjadi disebabkan oleh gerakan dinamis berbagai lempeng di perut bumi. Contoh lain adalah perubahan iklim yang mengakibatkan banjir dan perubahan iklim ini juga diakibatkan oleh pemanasan global. Dengan demikian diketahui ada rangkaian gerakan di dalam bumi (geologycal hazard) dan di atmosfer (hydro meteorologycal hazard) yang menjadi penyebab terjadinya bencana alam (natural hazard) dan akibat yang akan ditimbulkannya kemudian (disaster) di permukaan bumi (Thome, 2006)(Lampiran 3). Oleh karena keterkaitan dan sifatnya yang merugikan maka untuk kepentingan penelitian, diskursus dengan pakar menetapkan penyebab dan akibat bencana tersebut dianalisis sebagai elemen potensi bencana. Bencana alam yang berpotensi terjadi tersebut antara lain gempa bumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, erosi, abrasi, akresi, gerakan tanah jenis amblesan/perosokan dan longsoran/keruntuhan, intrusi air laut, serta angin kencang. Bencana alam tersebut berisiko buruk bagi masyarakat yang bermukim menggantungkan hidupnya di pesisir, dan juga bagi ekosistem pesisir itu sendiri.
126
Identifikasi potensi bencana alam disamping potensi sumberdaya alam merupakan salah satu aspek penting dalam pertimbangan perumusan kebijakan pengembangan wilayah. Dengan memahami potensi bencana alam yang mungkin terjadi maka langkah preventif proaktif dan kesiapsiagaan sebelum terjadinya bencana, serta langkah penanggulangan ketika terjadi bencana, dan langkah pemulihan setelah terjadi bencana dapat dimasukkan dalam rumusan kebijakan pengembangan wilayah. Sejauh ini, identifikasi potensi bencana alam di kawasan pesisir belum dilakukan secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kebijakan pengembangan wilayah pesisir
yang
pada
umumnya
belum
berdasarkan pada mitigasi bencana (Forum Mitigasi Bencana, 2007). Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis bencana alam yang berpotensi terjadi di pesisir, dengan mengambil kasus pantai utara (pantura) di Kabupaten Indramayu dan pantai selatan (pansela) di Kabupaten Ciamis. 7.2.
Model Analisis Potensi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Provinsi Jawa Barat Model analisis sumber potensi bencana digunakan untuk menentukan
potensi bencana dengan menggunakan metode interpretrative structural modelling (ISM). Untuk itu perlu ditentukan dahulu elemen pembentuk ISM, yaitu jenis bencana yang potensial terjadi di pesisir pantura dan pansela, serta menentukan keterkaitan pengaruh antara masing-masing elemen tersebut melalui diskursus dengan para pakar (VAXO).
Penentuan elemen pembentuk ISM
Penilaian ISM berdasarkan nilai VAXO
Proses Pembentukan SSIM dan RM rata-rata
Proses Revisi SSIM dan RM rata-rata
Hasil ISM : SSIM dan RM final, Lokasi kuadran masing-masing elemen dan Elemen kunci
Gambar 35. Garis besar alat analisis ISM Sumber : Saxena dalam Marimin (2005)
127
Selanjutnya
menetapkan
hubungan
kontekstual
antarelemen
dan
menyusun structural selfinteraction matrix (SSIM) dan reachability matrix (RM). Setelah RM diperoleh, bencana yang paling potensial untuk pantura dan pansela akan dapat ditetapkan. Secara garis besar metode ISM (Saxena dalam Marimin, 2005) dapat dilihat pada Gambar 35. Metode ISM yang berbasis komputer ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. Tahapan ISM antara lain: inisialisasi (pakar, elemen, dan data antarelemen), agregasi model, dan penentuan elemen driver power sumber bencana. Sumber potensi bencana ditentukan berdasarkan elemen yang mempunyai driver- power tertinggi dan dependence terendah (Marimin, 2005). Data sumber potensi bencana merupakan basis data yang dirancang berkaitan dengan penentuan driver power dari penyebab potensi bencana yang diolah pada model sumber potensi bencana. Data tersebut terdiri dari data pakar tentang sumber potensi bencana, dan pendapat pakar mengenai hubungan kontekstual antarsumber potensi bencana sesuai dengan teknik yang digunakan pada model ini yaitu ISM. Marimin (2005) menyebutkan bahwa hubungan kontekstual antarelemen (dalam hal ini sumber potensi bencana) berupa label V, A, X, dan O dengan pengertian : V : Jika sumber potensi pertama mempengaruhi/lebih penting dari sumber potensi ke dua A : Jika sumber potensi ke dua mempengaruhi/lebih penting dari sumber potensi pertama X : Jika sumber potensi pertama dan sumber potensi ke dua sama sama mempengaruhi/sama penting O : Jika tidak ada hubungan kontekstual diantara kedua sumber potensi bencana Setelah elemen disusun berdasarkan VAXO tersebut, ditetapkan hubungan kontekstual
antarsubelemen dan dilanjutkan menyusun structural
self interaction matrix (SSIM). Tabel reachability matrix dihasilkan setelah dilakukan pengecekan dengan transivity, agar diketahui adanya hubungan antarsub elemen. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi aturan transivity diolah guna menetapkan pilihan berjenjang dan diklasifikasikan dalam 4 sektor dengan matrik (Marimin, 2005) seperti pada Gambar 36:
128
Sektor 1 Weak driver–weak dependent variable (autonomous). Variabel sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem Sektor 2
Weak driver–strongly dependent variable (dependent). Variabel sektor ini merupakan variabel tidak bebas.
Sektor 3
Strong driver–strongly dependent variable (linkage). Hubungan antarvariabel tidak stabil.
Sektor 4 Strong driver – weak dependent variable (independent). Variabel sektor ini merupakan variabel bebas. 12 10 8
Sektor 4
DDDD
Driver Power
0 0 2 2 44 Sektor 1
Sektor 3
6 8 10 12 4 2 Sektor 2 0
Dependence
Gambar 36. Matrik driver power-dependence dalam analisis ISM Sumber : Marimin (2005)
Adapun langkah penyusunan model terlihat seperti pada Gambar 37 berikut ini :
Mulai
Inisialisasi :: Pakar (Pi ), i = 1 ... m :: Elemen Potensi (Ej ), j = 1 ... n :: Pendapat Pakar (Aijk) dalam bentuk VAXO
Konversi VAXO ke Biner (Mijk)
Rata-Rata Pendapat
Penentuan Matriks SSIM
Tidak Matriks Singular
V jk
Ya Penentuan Driver Power, Dependence, dan Level Elemen
m ∑ 0 , i =1 = m ∑ i =1 1,
M
ijk
p M p
< 0 .5
ijk
≥ 0.5
Selesai
Gambar 37. Diagram alir model sumber potensi bencana Sumber : Diolah dari Marimin (2005)
7.3.
Hasil Analisis Potensi Bencana Alam di Wilayah Provinsi Pesisir Jawa Barat Puradimaja (2007) menyebutkan sejumlah jenis bencana yang berpotensi
terjadi di pesisir Jawa Barat adalah gempa bumi, tsunami, gelombang badai
129
pasang, banjir, intrusi air laut, abrasi, akresi, erosi, dan gerakan tanah yaitu longsoran/keruntuhan tanah (land slide) dan amblesan/perosokan (settlement /land subsidence). Namun berdasarkan hasil diskursus dengan para pakar diketahui bahwa secara spesifik jenis bencana yang berpotensi terjadi di pesisir Indramayu adalah angin kencang/puting beliung, gelombang badai pasang, banjir, intrusi air laut, abrasi, akresi, erosi dan gerakan tanah jenis amblesan/perosokan (settlement/land subsidence). Di Pesisir Ciamis adalah angin kencang/puting beliung, gelombang laut, banjir, erosi, gerakan tanah jenis longsor/keruntuhan (land slide), Gempa bumi, tsunami, abrasi, akresi, dan intrusi air laut.
7.3.1. Kabupaten Indramayu 7.3.1.1. Angin Kencang/Puting Beliung Iklim di Pantura Jawa Barat tidak lepas dari iklim Indonesia yang dipengaruhi oleh angin muson yang mengakibatkan dua musim yaitu musim barat dan timur (Puradimaja, 2007). Pada saat musim angin barat, angin kencang menyebabkan gelombang tinggi dari wilayah barat ke timur. Namun pada musim angin timur, angin kencang menyebabkan gelombang tinggi dari wilayah timur ke arah barat. Fenomena ini berdampak pada perilaku gelombang yang mengkikis lereng pemisah darat dan laut sehingga mengakibatkan abrasi (Puradimaja, 2007). Selain angin kencang tersebut, masyarakat pantura juga mengenal angin puting beliung seperti yang baru terjadi pada awal tahun 2008 dan telah merusak 90 rumah di dua desa Pesisir Indramayu (Nugroho, 2008). Angin puting beliung dikenal dengan beberapa istilah lokal misalnya di Cirebon dikenal dengan angin kumbang, sedangkan di Kabupaten Bandung dikenal dengan angin puyuh atau sirit batara (Zakir et al., 2006).
7.3.1.2. Gelombang Badai Pasang Kajian yang dilakukan terhadap wilayah Indramayu dengan metode SMB (sverdrup munk bretch neider) menunjukkan bahwa pada umumnya gelombang sesuai dengan arah angin yaitu dari arah barat laut, utara dan timur laut masingmasing sebesar 22,25 %, 10,88 % dan 20,10 % (Puradimaja, 2007). Secara keseluruhan yaitu sebesar 28,40 % tinggi gelombang mencapai antara 0,5-0,8 meter, sedang gelombang teduh dengan ketinggian < 0,3 m sebesar 28,40 %. Selain itu pesisir Indramayu juga dilanda fenomena gelombang badai pasang yang terjadi sewaktu-waktu pada lokasi-lokasi tertentu menyusul terjadinya badai
130
atau tiupan angin yang sangat kencang di lautan (fenomena metereologi). Tinggi gelombangnya dapat mencapai beberapa meter di daerah dekat sumber angin, dan gelombang terus berlangsung selama angin bertiup dan reda bersama dengan redanya tiupan angin (Setyawan, 2007).
7.3.1.3. Abrasi Prasetya (2006) menyebutkan bahwa abrasi di wilayah pantura sudah terjadi sejak tahun 1970, sejak terkonsentrasinya kegiatan ekonomi di pesisir pulau Jawa dan puncaknya pada tahun 1995. Penyebabnya belum diketahui secara jelas apakah merupakan proses alam sebagai akibat pertumbuhan anak Delta Cimanuk atau pengaruh langsung dari penambangan pasir laut. Tetapi jika melihat dinamika gerak arus laut yang didasarkan pada teori, kemungkinan besar pertumbuhan anak Delta Cimanuk sebagai penyokong terjadinya abrasi di gisik ini, kemudian dipacu penambangan pasir laut. Di Gisik Tirtamaya dan Gisik Krangkeng-Juntinyuat, abrasi telah merusak areal Taman Wisata dengan penyebab yang tidak berbeda. Abrasi ini telah merusak lahan pertanian dan tambak udang seperti terlihat pada Gambar 38. Kemunduran garis pantai (shoreline) di Pesisir Indramayu mengakibatkan terjadinya pengurangan sebesar 1-5 m per tahun (Puradimaja, 2007). Indramayu termasuk kedalam jenis klasifikasi pantai mundur (retrogation coast) (Valentin dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007). Nampaknya ada dua proses yang bertanggung jawab atas mundurnya garis pantai, yaitu abrasi laut dan stagnasi suplai endapan aluvium.
Gambar 38. Abrasi di Pantai Kabupaten Indramayu Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat (2007)
Di Pantai Limbangan, abrasi diduga ada kaitan dengan kegiatan pengerukan di Pelabuhan Khusus (Pelsus) Jeti. Untuk memperdalam alur agar kapal-kapal besar pembawa liquid petroleum gas (LPG) bisa berlabuh, pasir dikeruk dan dibuang ke tengah laut (Puradimaja, 2007).
131
7.3.1.4. Erosi Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, erosi sama dengan abrasi yaitu proses penggerusan daratan oleh arus air. Perbedaannya abrasi merupakan penggerusan oleh arus air laut, sedangkan erosi merupakan penggerusan oleh air sungai. Abrasi yang banyak terjadi di wilayah pesisir Jawa Barat termasuk Indramayu berupa runtuhan. Erosi umumnya terjadi pada alur sungai yang membelok sedangkan yang terjadi pada tebing gusur luar tingkungan, selalu dihantam oleh kekuatan arus air sungai. Pada daerah dataran lanjutan proses erosi ini membentuk meander (Puradimaja, 2007). Selain erosi tebing sungai yang dapat terjadi secara alami, perilaku manusia dapat pula mempercepat proses erosi seperti di sekitar lokasi terjadi penambangan batukali. Pengambilan bongkahan batukali dapat mempercepat arus air sungai, sehingga kekuatan arus menghantam tebing lebih kuat dan terjadi lekukan pada kaki tebing sungai. Karena sudah tidak ada penahan maka tebing sungai bagian atas runtuh membahayakan permukiman.
7.3.1.5. Gerakan Tanah Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan kompresibilitasnya tinggi, sehingga apabila beban yang ada di atas lapisan keras tersebut melebihi daya dukung yang diijinkan maka kemungkinan
besar
akan
terjadi
longsor/keruntuhan
amblesan/perosokan (settlement/land subsidence).
(land
slide)
atau
Dari hasil pengamatan
lapangan, analisis sifat fisik tanah pelapukan dan kemiringan lereng, dapat terlihat bahwa daerah penelitian merupakan daerah yang mempunyai kerentanan gerakan tanah sangat rendah. Artinya di Indramayu pada zona ini, jarang terjadi gerakan tanah jenis longsor/keruntuhan (Puradimaja, 2007). Di daerah yang berpotensi terjadi gerakan tanah yaitu daerah pematang/ pemisah daratan dan lautan di mana lapisan keras berada pada kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya didapatkan lapisan lempung/lanau lunak. Demikian pula dibeberapa tempat di daerah dataran rawa setempat bagian atas sudah padat akan tetapi bagian bawah masih merupakan lapisan lempung/lanau lunak sehingga bila ada beban yang cukup berat juga akan mengakibatkan terjadinya amblesan/ perosokan (land subsidence/settlement) (Puradimaja, 2007).
7.3.1.6. Gempa bumi Wilayah kepulauan Indonesia sangat rawan gempa bumi karena
132
lokasinya ada di zona batas Lempeng-Lempeng Eurasia, Hindia-Australia, dan Pasifik yang bergerak relatif terhadap satu-sama lainnya sekitar 6-12 cm/tahun. Dikaitkan dengan wilayah pesisir, Indramayu terletak agak jauh dari pertemuan lempeng tersebut. Sumber gempa bumi yang dominan potensi merusaknya adalah yang di bawah laut pada zona subduksi di bagian atas/dangkal, yaitu dari sepanjang palung laut dalam yang merupakan pertemuan lempengnya sampai kedalaman 60 km, misalnya di sepanjang pesisir barat Sumatra dan selatan Jawa (Hilman, 2008). Gempa bumi di Indramayu pada tanggal 9 Agustus 2007 terjadi karena tumbukan lempeng di kedalaman 286 km, sehingga walaupun kekuatannya 7,3 SR karena tidak masuk kedalam kriteria bencana maka tidak menimbulkan dampak kerusakan (Suhardjono, 2007). Fenomena geologi meyakini bahwa gempa bumi dangkal tidak akan pernah terjadi di Indramayu, dengan demikian gempa bumi dan dampak kolateralnya (tsunami) dapat diabaikan (Hilman, 2008).
7.3.1.7. Tsunami Berdasarkan
penjelasan
sebelumnya
mengenai
gempa bumi,
menurut para pakar gempa bumi dan kelautan, tsunami diyakini tidak akan pernah terjadi di pesisir Indramayu (Hilman, 2008).
7.3.1.8. Banjir Wilayah pesisir utara Jawa Barat yang merupakan dataran rendah dan tempat bermuaranya beberapa sungai termasuk DAS Cisanggarung, Cimanuk dan Citarum memiliki potensi terjadinya banjir di setiap musim penghujan (Puradimaja, 2007). Berdasarkan peta rawan banjir Provinsi Jawa Barat (LREP, 1999), hampir seluruh kabupaten dan kota di wilayah pesisir utara Jawa Barat memiliki kategori rawan banjir.
Berdasarkan peta digital lahan sawah rawan
banjir yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian, mulai dari Kabupaten Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, maka sebagian besar sawah diwilayah kabupaten tersebut memiliki potensi rawan banjir. Demikian juga meluapnya Sungai Cimanuk menyebabkan banjir di Kecamatan Indramayu. Peta kawasan rawan banjir pantura Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 39.
7.3.1.9. Akresi Akresi adalah proses penumpukan pasir di daerah gisik akibat dari gerakan dan gelombang yang membawa pasir ke daerah tersebut (Puradimaja, 2007). Di pesisir Indramayu, penumpukan terjadi pada muara Sungai Cimanuk,
133
dengan besar pertambahan penumpukan pasir dari 0 hingga 7 km ke arah laut, seluas kurang lebih 45 km 2. Akresi atau pertambahan gisik akibat penumpukan pasir tersebut telah membentuk Delta Cimanuk yang dari tahun ketahun semakin meluas, yang mulanya ke arah barat dan kemudian menyebar ke arah timur. Pembuatan Kanal Cimanuk ke arah timur laut ditakini telah menyebabkan terbentuknya anak Delta Cimanuk. Munculnya anak Delta Cimanuk ini telah menguntungkan karena bertambahnya lahan pantai, namun di sisi lain dapat mengakibatkan pendangkalan di muara-muara sungai, dan dermaga/pelabuhan tempat pendaratan kapal nelayan atau kapal ikan lainnya.
Gambar 39. Peta kawasan rawan banjir pesisir pantai utara Jawa Barat Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat
7.3.1.10. Intrusi Air Laut Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan, seperti air untuk kebutuhan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap. Di wilayah Indramayu, khususnya di Kandanghaur air payau sudah merembes hingga 8 km dan air asin 6 km. Diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, intrusi air laut akan mencakup 50% luas wilayah gisik atau pantai utara (pantura) Jawa Barat (BPLHD Jawa Barat, 2007).
134
7.3.2. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Alam Wilayah Pesisir Indramayu Hasil diskursus dengan para pakar menetapkan bahwa bencana alam yang berpotensi terjadi di Kabupaten Indramayu terdiri dari sepuluh sub elemen yaitu Gempa bumi, tsunami, abrasi, gelombang badai pasang, angin kencang/puting beliung, gerakan tanah jenis longsor/keruntuhan (land slide), banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi. Walaupun dari sudut pandang geologi, pesisir Indramayu diyakini tidak akan mengalami Gempa bumi dangkal yang akan mengakibatkan dampak kolateral tsunami, studi potensi bencana alam dalam penelitian ini tetap akan memasukan Gempa bumi dan tsunami sebagai sub elemen potensi bencana alam. Analisis ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 40.
Gambar 40. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Indramayu Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu dapat di lihat pada Gambar 41.
Gelombang badai pasang menempati posisi
pada sektor IV dan level 5, yang menunjukan mempunyai potensi yang sangat besar terjadi di Kabupaten Indramayu dengan tingkat ketergantungan terhadap potensi lainnya sangat rendah. Semakin kecil level sub elemen bencana, akan semakin kecil dampak risiko bencananya.
Adapun matriks driver power-
dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Gambar 42. Kondisi
tersebut disebabkan kejadian gelombang
135
badai pasang tidak terlalu dipengaruhi oleh sub elemen lainnya, melainkan karena posisi pantai di Kabupaten Indramayu sangat landai sehingga sangat rentan terhadap bahaya gelombang badai pasang. Selain itu gelombang badai pasang dipengaruhi oleh adanya pergantian musim sehingga cukup memberikan pengaruh terhadap pergerakan massa air seperti arus.
Gambar 41. Tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu
Gambar 42. Matriks Driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Indramayu
136
Pada musim barat pergerakan arus umumnya menuju ke arah timur atau arus timur dengan kecepatan berkisar antara 3 -14 mil per hari. Musim timur arus bergerak sebaliknya yaitu menuju arah barat dengan kecepatan berkisar antara 1 - 13 mil per hari. Musim peralihan I (bulan Maret sampai bulan Mei) dan peralihan II (bulan September sampai bulan November) kecepatan arus laut masing-masing adalah 1 mil per jam dan 6 mil per jam (Latief, 2008). Berdasarkan analisis ISM yang telah dilakukan, akhirnya dapat ditentukan bahwa dari sepuluh jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu, yang berpotensi paling merusak adalah gelombang badai pasang sebagai elemen kunci. Selanjutnya diikuti oleh banjir dan abrasi, serta jenis bencana lainnya sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 43. Level 1
GEMPABUMI
TSUNAMI
Level 2
EROSI
AKRESI
Level 3
GERAKAN TANAH
INTRUSI AIR LAUT
Level 4
BANJIR
ABRASI
Level 5
PUTING BELIUNG
JENIS AMBLESAN
Elemen Kunci
GELOMBANG BADAI PASANG
Gambar 43. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten. Indramayu
7.3.3. Kabupaten Ciamis 7.3.3.1. Angin Kencang/Puting Beliung Puradimadja (2007) menyebutkan bahwa musim Timur yang berlangsung pada periode Juni sampai September sangat berpotensi membangkitkan angin kencang/puting
beliung
dengan
kecepatan
maksimum
yang
merusak.
Sebagaimana yang terjadi pada musim timur pada hari Rabu 28 September 2007 pukul 16.30 telah menerjang Ciamis yang mengakibatkan puluhan rumah rusak
137
dan puluhan pohon besar tumbang. Angin tersebut terus menuju Tasikmalaya dan merusak puluhan rumah lainnya (Ridha, 2007).
7.3.3.2. Gelombang Badai Pasang Gelombang merupakan faktor fisik dominan di perairan Pantai Selatan (pansela) Jawa Barat, karena sebagian besar perairan ini mempunyai tinggi gelombang cukup besar di perairan lepas pantai yaitu antara 2-5 m, sehingga menghambat
budidaya perikanan dan berpotensi menimbulkan bahaya bagi
wisata pesisir. Berdasarkan sumbernya, gelombang di pantai selatan dapat dibedakan dari
jenis
gelombang
swell
(gelombang rambat), wind waves
(gelombang angin) dan gelombang tinggi yang terjadi akibat super posisi swell dan wind wave (Latief, 2008). Selain akibat superposisi tersebut, fenomena gelombang badai pasang dapat terjadi sewaktu-waktu pada lokasi tertentu karena badai atau tiupan angin yang sangat kencang pada saat pasang di lautan (fenomena meteorologi) sering terjadi melanda pansela Ciamis (Hadi, 2008).
7.3.3.3. Abrasi Panjang garis pantai (shoreline) pesisir selatan provinsi Jawa Barat membentang dari kabupaten Ciamis sampai dengan kabupaten Sukabumi dengan panjang pantai sekitar 355 km. Pengikisan gisik atau abrasi yang telah berlangsung selama 15 tahun terakhir telah meningkat antara kurun waktu 2001 sekitar 30,05 ha/tahun dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 35,35 ha/tahun Pengikisan pantai ini dijumpai di bagian Barat Pangandaran sepanjang 1 km (Puradimadja, 2007).
7.3.3.4. Erosi Erosi yang dijumpai di lokasi penelitian adalah erosi permukaan yang terjadi akibat adanya aliran air permukaan yang mengerosi material hasil pelapukan. Jenis erosi lainnya adalah erosi sungai umumnya terjadi pada sungaisungai besar yang mengalir di daerah timur Pesisir Selatan Jawa Barat. Erosi ini umumnya secara alami terjadi pada sungai dengan morfologi tua dan salah satu cirinya adalah erosi mendatar (melebar) serta terjadi proses pendangkalan. Erosi yang terjadi mengancam tebing sungai dan tanggul-tanggul yang dibuat, terutama pada alur sungai yang membelok (kelokan sungai). Selain secara alami, aktivitas manusia dapat pula mempercepat proses erosi tersebut. Aktivitas yang dapat mempercepat proses ini adalah pertambangan/penggalian bahan
138
bangunan (pasir, kerikil, batukali). Aktivitas ini mempercepat arus sungai dan proses sedimentasi dengan cepat sehingga menambah laju erosi. Dalam beberapa kasus aktivitas ini membahayakan keberadaan infrastruktur yang berada di sungai seperti jembatan dan tanggul-tanggul.
7.3.3.5. Gerakan Tanah Salah satu jenis gerakan tanah yaitu longsor/keruntuhan tanah (land slide) kerap terjadi di Ciamis yang merupakan daerah dengan pegunungan terjal. Keruntuhan tanah ini sering terjadi akibat faktor alam (seperti curah hujan yang tinggi) dan kegiatan manusia yang bersifat destruktif. Ada beberapa faktor penyebab tingginya potensi keruntuhan tanah di Jawa Barat (Puradimaja, 2007): •
Banyaknya batuan dari endapan gunung api seperti lava dengan tanah penutup yang tebal dan subur dimana air sering menumpang di atasnya, tanah jenis ini terdapat di Ciamis Selatan.
•
Antara September-Maret/April ditandai oleh curah hujan yang relatif tinggi yakni rata-rata 220-650 mm/bulan dan hujan harian pernah mencapai 92 mm/hari. Kejadian tanah runtuh umumnya berlangsung pada musim hujan dan puncaknya pada Oktober-Januari yang dimulai dengan hujan lebih dari dua hari berturut-turut dengan curah hujan harian berkisar antara 46-76 mm;
•
Tata lahan di lereng atas, banyak ditanami jenis tanaman berakar kurang kuat seperti lahan basah (sawah) dan perladangan. Hal ini menyebabkan tanah menjadi jenuh air sehingga sangat potensial terjadinya keruntuhan.
7.3.3.6. Gempa bumi Perihal gempa bumi telah dijelaskan terdahulu merujuk kepada Hilman (2008). Indonesia dan sekitarnya merupakan daerah yang memiliki konvergensi lempeng yang sangat rumit, dimana terdiri dari subduksi, collision, back-arc thrusting, back-arc and opening faults. Berdasarkan kondisi tersebut apabila ditinjau dari sudut pandang geofisik, hal ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu daerah yang paling aktif di dunia (Latief, 2008), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 38. Tidak kurang dari 460 gempa bumi dengan magnitudo M > 4.0 terjadi setiap tahunnya (Hilman, 2008). Banyak diantara gempa bumi besar tersebut yang menimbulkan kerusakan serta jumlah korban sangat besar (Latief, 2008). Banyak diantara gempa bumi dangkal yang besar yang terjadi di bawah laut membangkitkan tsunami berkekuatan besar. Dalam Gambar 44, tampak
139
bahwa Indonesia berada pada kawasan rawan gempa bumi, hal ini ditunjukkan dengan titik-titik merah sebagai catatan kejadian gempa bumi dengan kedalaman yang relatif dangkal, selain itu juga kawasan Indonesia dipenuhi oleh titik hijau untuk gempa bumi kedalaman sedang serta titik biru untuk gempa bumi dengan sumber gempa pada kedalaman yang relatif dalam.
Gambar 44. Tektonik lempeng Asia Tenggara termasuk Indonesia Sumber : Hall,1997 dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007.
Gambar 45. Plot Gempa bumi yang terjadi di Indonesia dari 1960-2000 Sumber : Triyoso dalam Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007
Dari sudut pandang geologi, Indonesia ditempatkan sebagai kawasan yang rawan bencana alam yang disebabkan oleh pergerakan dari lempenglempeng bumi yang dikenal sebagai subduksi (subduction). Pergerakan ini diantaranya ada yang menujam dan dapat membangkitkan aktivitas vulkanik sehingga secara keseluruhan dapat menyebabkan rangkaian bencana alam gempa bumi, gunung merapi bahkan tsunami (Puradimaja, 2007).
140
Gambar 46. Proses penunjaman lempeng (subduction) Sumber : Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007
7.3.3.7. Tsunami Tsunami adalah gelombang laut dengan periode panjang berupa gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut. Gangguan impulsif itu bisa berupa Gempa bumi tektonik, erupsi vulkanik, atau longsor/keruntuhan (land slide) di dasar laut. Bencana tsunami yang terjadi di Ciamis mengakibatkan terjadinya kerusakan besar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Jenis sarana dan tingkat kerusakan di Ciamis akibat tsunami No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Jenis sarana
Tingkat kerusakan Ringan Berat/hancur
Rumah 703 703 Sekolah 1 2 Hotel/penginapan 346 Perahu 229 unit Alat tangkap ikan 947 Jalan 8.500 m 2 11.700 m 2 Jembatan 1 unit 5 unit Sarana ibadah 3 12 Puskemas 1 Kantor pemerintah 41 Sawah 110 ha Kebun 27 ha Pantai wisata Pangandaran Sumber : KLH-UNEP-ITB. ESRI South Asia dan Almega Geosystems, 2006
Keterangan
Hancur Hancur Rusak berat
141
Gambar 47. Pembangkitan tsunami oleh Gempa bumi tektonik dasar laut Sumber : Latief (2008) Pusat Kajian Tsunami ITB
Gambar 48. Zona pembangkitan tsunami berdasarkan aktivitas seismik Sumber : Latief (2008) Pusat Kajian Tsunami ITB
7.3.3.8. Banjir Di daerah barat pesisir Selatan Jawa Barat daerah banjir hanya dijumpai disekitar sungai-sungai utama dan terjadi pada saat musim hujan. Kondisi yang terjadi adalah debit air sungai melebihi volume maksimum kapasitas alur sungai. Biasanya banjir yang terjadi tidak berlangsung lama karena air cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah dan laut. Hal yang harus diwaspadai adalah adanya banjir bandang akibat perubahan lahan di daerah hulu. berdasarkan peta prakiraan daerah potensi rawan banjir November-Desember, untuk wilayah Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007, yang terbilang tinggi tingkat potensi banjirnya adalah daerah Bogor dan Ciamis. Memasuki Desember mendatang, daerah potensi rawan banjir yang termasuk tingkat potensi tinggi antara lain
142
Ciamis dan Indramayu. Besarnya sedimentasi pada aliran sungai utama mengakibatkan pendangkalan di daerah muara. Akibatnya semua aliran pada anak sungai yang menginduk pada sungai utama tersebut ikut tertahan dan melimpah ke daerah sekitarnya (Puradimaja, 2007).
7.3.3.9. Akresi Perihal akresi telah dijelaskan terdahulu merujuk kepada Puradimaja (2007). Majunya garis pantai (shoreline) terjadi akibat pendangkalan di muara sungai, misalnya yang terjadi di Segara Anakan dan Teluk Tangkisan, Ciamis. Pendangkalan ini disebabkan oleh tingginya kandungan material yang tersedimentasi. Material ini terdiri dari endapan aluvial dan aluvial pasiran yang berasal dari hasil erosi di bagian hulu. Selain dari tingginya material sedimentasi, rendahnya gradien sungai serta melemahnya arus sungai di daerah muara mengakibatkan terjadinya banjir sungai. Pendangkalan yang terjadi karena adanya banjir rutin dengan frekuensi yang cukup tinggi menghasilkan endapan limpah banjir setiap tahunnya dan berkembangnya muara sungai yang cukup jauh kearah laut.
7.3.3.10. Intrusi Air Laut Daerah pesisir Selatan secara umum masih merupakan daerah dengan tingkat kependudukan dan industri yang rendah, kecuali pada beberapa lokasi tertentu. Hal ini mengakibatkan pengambilan air tanah belum seintensif daerah pesisir pantai utara Jawa Barat, sehingga intrusi air laut secara umum relatif belum terjadi. Kualitas air di muara yang bersifat payau merupakan kualitas alami air tanah daerah tersebut, mengingat daerah tersebut merupakan daerah pasang surut dan ketersediaan air tanah sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Luasan pantai di sepanjang pesisir ini yang cenderung sempit, maka penggunaan air tanah di sepanjang pesisir harus benar-benar diperhatikan untuk menghindari fenomena ini terjadi.
7.3.4. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Potensi Bencana Alam Wilayah Pesisir Ciamis Diskursus terdahulu dengan pakar menetapkan bahwa enam penyebab dan empat akibat bencana
yang sebagian besar memiliki keterkaitan,
seluruhnya dinilai sebagai sepuluh elemen bencana alam yang berpeluang besar terjadi di Kabupaten Ciamis, yaitu gempa bumi, tsunami, abrasi, gelombang badai pasang, angin kencang/puting beliung, gerakan tanah jenis longsor/ keruntuhan (land slide), banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi.
143
Analisis ISM untuk Kabupaten Ciamis dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 49. Hasil penelitian mengenai tingkat level sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis dapat dilihat pada Gambar 50.
Gambar 49. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis
Gambar 50. Tingkat level sub elemen potensi bencana di Kabupaten Ciamis
144
Hasil analisis ISM menentukan bahwa gempa bumi, tsunami
dan
gelombang badai pasang merupakan bencana alam yang berpotensi paling besar terjadi di Kabupaten Ciamis. Sub elemen tsunami, gempa bumi dan gelombang badai pasang berada pada sektor IV level 4 (lihat Gambar 50), artinya bahwa elemen-elemen tersebut memiliki tingkat ketergantungan paling rendah terhadap kejadian bencana alam lainnya. Matriks driver powerdependence elemen-elemen potensi bencana alam di Ciamis dapat dilihat pada Gambar 51.
Driver Power
Dependence
Gambar 51. Matriks Driver power – dependence untuk elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis Tsunami merupakan dampak turunan dari gempa bumi. Potensi tsunami di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis disebabkan oleh kondisi geotektonik dan topografi. Kondisi tektonik daerah ini mempunyai tingkat seismisitas yang relatif tinggi dibandingkan dengan kawasan utara sehingga di beberapa daerah di kawasan selatan sering terjadi gempa bumi dan tsunami, yang dapat berkembang menjadi bencana alam. Di samping itu kondisi oseanografi sebagai daerah open sea terhadap Samudera Hindia relatif rawan terhadap proses abrasi, keruntuhan dan gerakan tanah.
145
Level 1
Level 2
INSTRUSI AIR LAUT
ANGIN KENCANG / PUTING BELIUNG
AKRESI
GERAKAN TANAH JENIS LONGSORAN/KERUNTUHAN
ABRASI
Level 3
Level 4
INSTRUSI AIR LAUT
EROSI
GEMPA BUMI
TSUNAMI
GELOMBANG BADAI PASANG
Elemen Kunci
Gambar 52. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis Berdasarkan analisis ISM yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan bahwa dari sepuluh jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis, yang berpotensi paling merusak adalah gempa bumi, tsunami dan gelombang badai pasang sebagai elemen kunci. Selanjutnya diikuti oleh abrasi dan gerakan tanah jenis longsoran , serta jenis bencana lainnya dapat dilihat dalam Gambar 52.
7.4. Kesimpulan Studi Potensi Bencana Jawa Barat
Alam di Wilayah Pesisir
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa data sumber potensi bencana merupakan basis data yang dirancang berkaitan dengan penentuan driver power dari penyebab potensi bencana yang diolah pada model sumber potensi bencana. Data sumber potensi bencana terdiri dari data pakar, sumber potensi bencana, dan pendapat pakar mengenai hubungan kontekstual antar sumber potensi bencana sesuai dengan teknik yang digunakan pada model ini yaitu IS M (interpretive structural modelling).
146
Analisis data dan pendapat pakar menghasilkan temuan sebagai berikut, di Kabupaten Indramayu bencana alam gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi pada level 5 sebagai elemen kunci. Selanjutnya dikuti oleh abrasi dan banjir pada level 4, kemudian intrusi air laut, gerakan tanah jenis amblesan, dan puting beliung pada level 3. Erosi dan akresi berada pada level 2, dan terakhir yaitu Gempa bumi dan tsunami pada level 1. Fenomena geologi menyatakan bahwa gempa bumi dapat terjadi di Indramayu, tetapi diluar kedalaman lebih dari 60 km, dengan demikian dampak kolateralnya yaitu tsunami tidak akan terjadi. Selanjutnya di Kabupaten Ciamis bencana alam gempa bumi, tsunami dan gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi level 4 dan menjadi elemen kunci, yang kemudian diikuti oleh abrasi pada level 3. Kemudian angin kencang/puting
beliung,
dan
gerakan tanah jenis longsoran/keruntuhan
menempati level 2, serta banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi pada level 1. Dengan telah diketahuinya potensi bencana yang mengancam wilayah pesisir Indramayu dan pesisir Ciamis, maka kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut sudah harus mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi sejak tahun 1970an di pantai utara (pantura) Jawa. Dengan demikian kebijakan pengembangan tidak lagi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial sehingga kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
VIII. STUDI BENTUK DAN EFEKTIVITAS MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR ABSTRAK Bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan tidak sama antara satu upaya dengan dengan upaya yang lain, dan satu lokasi dengan lokasi lain, tergantung pada jenis dan intensitas bencana alam yang terjadi. Kajian secara akurat dan langsung mengenai bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam di suatu tempat, seringkali sulit dilakukan karena bencana alam seringkali sulit diprediksi. Data keberhasilan mitigasi terdiri dari data parameter keberhasilan mitigasi, deskripsi keberhasilan mitigasi, dan data historis sesuai dengan teknik yang digunakan pada model ini, yaitu ISM. Bentuk mitigasi dapat diterapkan dalam menurunkan risiko bencana gelombang badai pasang di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi serta gabungan remangrovisasi, artificial reef dan beach nourishment. pada level tertinggi sedangkan di Kabupaten Ciamis adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi serta sistem peringatan dini pada level tertinggi. Selanjutnya, untuk menentukan mitigasi yang paling efektif di kedua lokasi akan dipergunakan MPE. Kriteria yang digunakan dalam seleksi alternatif adalah kesesuaian dengan sumberdaya manusia lokal, kesesuaian dengan dana yang tersedia, dan akses ibilitas. Kata kunci : mitigasi, lesson learn, parameter
8.1.
Pendahuluan Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, wilayah pesisir provinsi Jawa
Barat memiliki sepuluh potensi bencana alam seperti angin kencang/puting beliung, gempabumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, intrusi air laut, abrasi, akresi, erosi, dan gerakan tanah yaitu keruntuhan tanah (land slide) dan amblesan (settlement/land subsidence) (Puradimaja, 2007). Mengingat potensi bencana alam tersebut suatu saat akan terjadi, maka sangat diperlukan upaya mempersiapkan diri untuk mengurangi risiko bencana, yang dikenal sebagai mitigasi bencana sebagaimana telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka terdahulu (lihat Bab 2). Carter (1991) telah menyebutkan bahwa mitigasi bencana yang dibedakan atas mitigasi struktural dan mitigasi non struktural, sangat ditentukan oleh kemampuan SDM, teknologi, prasarana dan sarana serta biaya. Keberhasilan upaya mitigasi tersebut terkait dengan political will dan persepsi pemerintah daerah dalam menyikapi tingkat kepentingan upaya pengurangan risiko bencana, terutama ketika bencana alam tersebut belum terjadi (preparedness). Tingkat efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam yang paling sesuai diterapkan tidak akan sama antara satu upaya dengan upaya yang lain, dan untuk satu lokasi dengan lokasi yang lain. Semuanya akan tergantung pada jenis potensi dan intensitas bencana alam yang terjadi. Kajian secara akurat dan langsung mengenai efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam di suatu tempat seringkali sulit untuk dilakukan,
148
karena bencana alam juga sulit diprediksi. Oleh karena itu, kajian efektivitas mitigasi bencana alam dapat dilakukan dengan mengambil lesson learned dari kajian di tempat lain. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas keberhasilan mitigasi dan bentuk mitigasi yang lebih tepat diterapkan pada berbagai upaya mitigasi dalam mengurangi risiko bencana yang berpotensi terjadi di pesisir. Diawali dengan melakukan telaahan terhadap sistem perlindungan pantai secara alami terhadap gelombang angin dengan terumbu karang dan hutan bakau, gelombang badai pasang dengan hutan bakau/hutan pandan/pinang/ waru/vegetasi pasir dan hutan pepohonan lainnya (Gambar 53) sebagai bentuk mitigasi alami.
Gambar 53. Sistem perlindungan pantai alami Sumber : Prasetya (2006)
Selanjutnya membuat terumbu karang buatan (artificial reef breakwater) untuk melindungi suatu daerah sebagaimana yang telah dilakukan dalam upaya perlindungan Pura Tanah Lot di Bali dari gelombang angin, atau pasang yang setiap hari menggerus karang tempat Pura tersebut berada diatasnya (Gambar 54).
149
Artificial Reef Breakwater
Daerah yang dilindungi
Gambar 54. Artificial reef breakwater di Tanah Lot, Bali Sumber : Latief (2008)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa mitigasi menggunakan vegetasi yang dikenal sebagai soft protection (Latief, 2008) maka memanfaatkan vegetasi (Gambar 55) sebagai penyangga yang berfungsi mereduksi ancaman gelombang badai pasang dan tsunami, selain mudah dan murah juga tidak akan memutus ekosistem laut-darat bagi hewan dan tumbuhan yang hidup di daerah pantai, serta ketidaknyamanan penduduk pesisir karena aksesibilitasnya berkurang.
Gambar 55. Berbagai pohon bakau yang mampu meredam gelombang Sumber : Latief dan Hadi (2006)
150
Gambar 56. Sistem pelindung pantai alami dengan pohon dan gundukan pasir yang ditutup oleh vegetasi. Sumber : Prasetya (2006)
Penggunaan vegetasi dapat diselesaikan dengan penanganan lanskap buatan yaitu meninggikan sebagian permukaan pantai dengan pasir/tanah dan menutupinya dengan vegetasi sehingga selain memberikan perlindungan, juga memberikan keindahan dan kenyamanan (Gambar 56). Selanjutnya perlindungan pantai juga dapat dilakukan dengan hard solution seperti penguatan tepi pantai agar daratan terpisah dan tidak terganggu oleh hempasan air laut (Gambar 57). Antara batuan dan dasar tepi diberi geotextile agar kedap air laut.
Gambar 57. Konsep slope protection dan pelaksanaannya Sumber : Hanson (2007)
151
Gambar 58. Revitalisasi pasir pantai (beach nourishment) Sumber : Latief (2008)
Salah satu dari penyebab mundurnya garis pantai adalah berkurangnya pasokan sedimen kepantai sehingga net sedimen yang mengendap dipantai menjadi negatif. Untuk mengatasi kekurangan pasokan sedimen ini diusahakan untuk memasok sedimen dari luar (beach nourishment). Karena proses abrasi terus berlangsung maka sedimen yang dipasok ini lama kelamaan akan hilang. Diusahakan agar kehilangan sedimen yang dipasok seminimum mungkin. Keseimbangan garis pantai dan profil pantai stabil perlu dipelajari untuk menentukan volume material yang akan dipasok dan volume yang diperkirakan akan hilang dalam jangka waktu tertentu Di Indonesia metode ini sudah diterapkan di Nusa Dua Bali (Syamsudin dalam Latief, 2008). Kombinasi solusi mitigasi bencana seringkali diperlukan untuk mengatasi menurunnya kualitas ketahanan lingkungan. Untuk mencegah kehilangan sedimen pasir, telah diterapkan kombinasi beach nourishment, pembangunan groin dan detached breakwater seperti terlihat pada Gambar 59.
Gambar 59. Kombinasi beach nourishment, groin dan detached breakwater Sumber : Hanson (2007)
152
Gambar 60. Sistem peringatan dini terintegrasi dengan sistem penyelamatan diri Sumber : Sopaheluwakan (2008)
Pergerakan lempeng tektonik di dasar samudera dengan dampak kolateralnya tsunami akan terdeteksi oleh sistem peringatan dini dengan alat berupa buoy (yang terpasang di permukaan laut dan terikat ke dasar lautan), yang akan mengirimkan signal ke satelit (Gambar 60).
Signal kemudian
diteruskan ke pusat peringatan (warning centre) di pesisir dan pusat kendali nasional (national control center). Petugas di pusat peringatan (warning centre) akan memastikan apakah signal tersebut merupakan ancaman tsunami atau bukan, dan jika benar merupakan ancaman maka petugas akan memberikan tanda bahaya melalui sirine, email, telepon selular, maupun pemberitahuan secara tradisional. Bersamaan dengan pemberitahuan melaui berbagai macam media tersebut, petugas instansi terkait dan masyarakat yang sudah terlatih dalam kegiatan penyelamatan diri akan membantu masyarakat lainnya menuju lokasi terdekat yang aman dari ancaman tsunami (Sopaheluwakan, 2008). Mengingat
upaya
mitigasi
dengan
sistem
peringatan
dini
dan
penyelamatan diri sudah di laksanakan sebagai kegiatan bersama delapan negara yaitu Indonesia, Jerman, Jepang, China, Amerika, Perancis, Australia, dan Malaysia sejak tahun 2005 (Sopaheluwakan, 2008), diharapkan INA TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) merupakan bentuk mitigasi yang efektif diterapkan di salah satu lokasi penelitian yaitu Ciamis yang berdekatan dengan lokasi patahan utama (megafault/megatrust) di selatan pulau Jawa.
153
8.2.
Metode Analisis Bentuk dan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam Analisis bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam diselesaikan
menggunakan dua metode yaitu ISM untuk identifikasi bentuk mitigasi bencana yang dapat diterapkan, dan MPE untuk menentukan efektivitas keberhasilan mitigasi bencana tersebut. Metode ISM secara rinci sudah dijelaskan pada Bab VII sehingga pembahasan akan langsung menuju kepada metode MPE. Data peluang keberhasilan mitigasi adalah data yang dirancang sebagai basis data yang berkaitan dengan keberhasilan kinerja dari upaya-upaya mitigasi yang akan dilaksanakan. Data keberhasilan mitigasi terdiri dari data parameter keberhasilan mitigasi, deskripsi keberhasilan mitigasi, dan data historis (kondisi aktual) parameter keberhasilan upaya pengurangan risiko bencana. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Penilaian yang diberikan dalam hal ini telah ditetapkan sebelumnya. Skor item label penilaian kriteria yang digunakan dibagi ke dalam 3 (tiga) level skala yaitu tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R). Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot dari setiap kriteria yang ada. Kemampuan dari orang yang memberikan judgement sangat berpengaruh terhadap validitas hasil dari metode keputusan ini. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan menggunakan MPE (Ma’arif dan Tanjung, 2003) adalah : •
Penentuan alternatif keputusan
•
Penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji
•
Penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai keinginan pengambilan keputusan
•
Penentuan derajat kepentingan relatif setiap pilihan pada setiap kriteria
•
Penghitungan nilai dari setiap alternatif keputusan
•
Pemeringkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan. Penghitungan total nilai setiap pilihan keputusan dapat diformulasikan
sebagai berikut :
∑ (Rk )Tkk m
Total nilai =
j =i
ij
j
154
Keterangan : Rkij
: derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i, yang dapat dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3,4,5)
TKKj
: derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot
n
: jumlah pilihan keputusan
m
: jumlah kriteria keputusan Pemberian jenjang pada tahap akhir adalah berdasarkan urutan nilai
alternatif terbesar hingga alternatif terkecil. Nilai alternatif yang terbesar akan dijadikan studi kasus pada penelitian ini.
Tabel 27. Matriks keputusan dengan metode MPE1 Alternatif
1
2
Kriteria 3 ...
m
Nilai Keputusan Alternatif
Urutan Prioritas
1 2 n Tingkat Kepentingan Kriteria
Sumber : Marimin, 2005
Penggabungan metode ISM dan MPE secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 61. Data penentuan bentuk mitigasi bencana merupakan basis data yang dirancang untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan penentuan bentuk mitigasi bencana. Masukan pada basis data penentuan mitigasi bencana terdiri atas beberapa bagian yaitu data skala penilaian,
pakar/pengambil
keputusan,
alternatif-alternatif
(potensi
pengembangan wilayah), kriteria penilaian, dan hasil penilaian pakar terhadap alternatif berdasarkan kriteria seleksi yang ditetapkan. Kriteria yang digunakan dalam seleksi alternatif adalah kesesuaian dengan sumberdaya manusia lokal, kesesuaian dengan dana yang tersedia, dan aksesibilitas. Sementara data alternatif akan diperoleh dari output sub model prediksi mitigasi bencana dan sub model keberhasilan mitigasi bencana.
155
Penentuan elemen pembentuk ISM
Penilaian ISM berdasarkan nilai VAXO
Penentuan alternatif dan kriteria penilaian dalam MPE
Proses Pembentukan SSIM dan RM rata-rata
Pembobotan kriteria
Proses Revisi SSIM dan RM rata-rata
Penilaian alternatif berdasarkan pada kriteria
Hasil ISM (Efektif) : - SSIM dan RM final - Lokasi kuadran masingmasing elemen - elemen kunci
Hasil MPE adalah alternatif yang paling sesuai di terapkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan
Penyesuaian antara hasil ISM (penanganan yang paling efektif) dengan hasil MPE (penanganan yang paling sesuai)
Gambar 61. Garis besar penggabungan alat analisis ISM dan MPE Sumber : diolah dari Marimin (2005)
8.3.
Studi Bentuk dan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
8.3.1. Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat rawan bencana. Untuk itu diperlukan sistem pengelolaan bencana alam yang secara konseptual memadai. Konsep pengelolaan bencana secara modern mulai berkembang dan populer pada dekade 90-an yang dikenal dengan disaster risk management. Pada dasarnya, konsep ini mengedepankan risiko (risk) yang dikelola (managed) untuk menekan dan memperkecil kerugian secara fisik, sosial dan ekonomi (Bastian, 2006). Begitu pentingnya upaya pengelolaan bencana
156
dalam mereduksi dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana, hingga UNISDR (united nations-international strategy for disaster reduction) pada tanggal 13 Oktober 2004 mengkampanyekan reduksi bencana dunia yang memberi pesan kepada kita ‘belajar dari bencana hari ini untuk menghadapi ancaman esok (learning from today’s disaster for tomorrow’s hazards). Pesan yang disampaikan mengandung makna agar kita senantiasa bercermin dari pengalaman untuk lebih dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman bencana demi kehidupan yang lebih baik di kemudian hari (Rustiady, 2005). Penanggulangan bencana ini dikenal dengan mitigasi bencana.
8.3.1.1. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Indramayu Hasil diskursus dengan para pakar mengidentifikasi tujuh sub elemen mitigasi bencana yang dikaji meliputi pembuatan peraturan perundangan dan norma standar prosedur manual (NSPM), sosialisasi, sistem penyelamatan diri, pendampingan pendirian bangunan standar, sistem peringatan dini, gabungan remangrovisasi, terumbu karang buatan (artificial reef) dan revitalisasi pantai (beach nourishment), serta gabungan pemecah ombak (breakwater), peredam abrasi (bank revetment), dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar pantai (groyne). Empat elemen pertama dikenal sebagai mitigasi non struktur, dan tiga elemen berikutnya dikenal sebagai mitigasi struktur. Selanjutnya analisis ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti pada Gambar 62. Dalam gambar tersebut terlihat pendampingan pendirian bangunan standar lebih penting daripada sistem peringatan dini karena pakar berpendapat pendirian bangunan dapat cepat selesai, mudah, dan murah. Sistem peringatan dini selain lebih lama, sukar, dan mahal juga tidak terlalu berpengaruh untuk pemberitahuan adanya gelombang pasang di pesisir Indramayu. Demikian seterusnya untuk setiap elemen mitigasi bencana.
157
Gambar 62. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM Kabupaten Indramayu Analisis dengan metode ISM dalam aplikasi program MKP2B2MB menghasilkan informasi tingkat level dan posisi masing-masing mitigasi bencana dalam sektor seperti terlihat pada Gambar 63.
Gambar 63. Hasil analisis elemen keberhasilan mitigasi di Kabupaten Indramayu Dalam matriks (Gambar 64) terlihat dua elemen mitigasi di pesisir Indramayu berada di sektor IV pada level 4, yang berarti sangat kuat dan tidak memiliki ketergantungan dengan elemen lainnya yaitu gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar sepanjang pantai serta gabungan remangrovisasi, artificial reef dan beach nourishment. Hal ini berarti bahwa kedua bentuk gabungan mitigasi tersebut
158
sebagai elemen kunci mempunyai kemampuan besar dalam menurunkan risiko bencana dengan ketergantungan yang kecil terhadap pelaksanaan bentuk mitigasi lainnya.
Driver Power
Dependence
Gambar 64. Matriks driver power–dependence untuk elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
Hasil analisis ISM di Kabupaten Indramayu terlihat seperti pada Gambar 65. Elemen yang menjadi elemen kunci adalah elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi sejajar pantai, serta elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef dan beach nourishment pada level 4. Selanjutnya elemen pendampingan pendirian bangunan standar pada level 3. Kemudian elemen peraturan perundangan dan pembuatan NSPM serta sosialisasi mitigasi bencana
pada level 2. Terakhir diikuti elemen sistem
peringatan dini dan sistem penyelamatan diri pada level 1.
159
Level 1
SISTEM PERINGATAN DINI
SISTEM PENYELAMATAN DIRI
Level 2
PERATURAN PERUNDANGAN DAN PEMBUATAN NSPM
SOSIALISASI
Level 3
Level 4
PENDAMPINGAN PENDIRIAN BANGUNAN STANDAR
GABUNGAN PEMECAH OMBAK, PEREDAM ABRASI DAN PENAHAN SEDIMENTASI SEJAJAR PANTAI
GABUNGAN REMANGROVESASI, ARTIFICIAL REEF DAN BEACH NOURISHMENT Elemen Kunci
Gambar 65. Struktur hirarkhi sub elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
8.3.1.2. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Ciamis Hasil diskursus dengan para pakar mengidentifikasi tujuh sub elemen mitigasi bencana yang dikaji meliputi pembuatan peraturan perundangan dan norma standar prosedur manual (NSPM), sosialisasi, sistem penyelamatan diri, pendampingan pendirian bangunan standar, sistem peringatan dini, gabungan remangrovisasi, terumbu karang buatan (artificial reef) dan revitalisasi pantai (beach nourishment), serta gabungan pemecah ombak (breakwater), peredam abrasi (bank revetment), dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar pantai (groyne). Empat elemen pertama dikenal sebagai mitigasi non struktur, dan tiga elemen berikutnya dikenal sebagai mitigasi struktur. Aplikasi metode ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 66. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa elemen sistem peringatan dini lebih penting daripada elemen pendampingan pendirian bangunan standar. Demikian seterusnya untuk setiap elemen mitigasi bencana yang lainnya.
160
Gambar 66. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis Hasil kajian mengenai bentuk mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan di Kabupaten Ciamis disajikan pada
Gambar
67 yang
memperlihatkan elemen sistem peringatan dini dan elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi pada sektor IV dan level 4.
Gambar 67. Hasil analisis untuk elemen keberhasilan mitigasi Kabupaten Ciamis
161
Driver Power
Dependence
Gambar 68. Matriks driver power–dependence untuk elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis Berdasarkan matriks driver power – dependence (Lihat Gambar 68) mitigasi tersebut diketahui bahwa bentuk mitigasi yang dapat menurunkan risiko gempabumi dan tsunami di pesisir Ciamis adalah sistem peringatan dini dan gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, serta penahan sedimentasi sejajar pantai. Kenyataan menunjukkan pada peristiwa bencana alam yang terjadi pada tahun
2006
di
Kecamatan
Pangandaran
Kabupaten
Ciamis,
adanya
ketidaksiapan aparat dan masyarakat, serta minimnya ketersediaan prasarana dan sarana mitigasi bencana struktur mengakibatkan jatuhnya korban ratusan jiwa. Hasil analisis ISM di Kabupaten Ciamis terlihat seperti pada Gambar 69. Elemen yang menjadi elemen kunci adalah elemen sistem peringatan dini dan elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi
sejajar
pantai
pada
level
4.
Selanjutnya
elemen
sistem
penyelamatan diri dan elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef, dan beach nourishment pada level 3, diikuti elemen pendampingan pendirian bangunan standar pada level 2. Kemudian elemen peraturan perundangan dan pembuatan NSPM serta sosialisasi mitigasi bencana pada level 1.
162
Level 1
PERATURAN PERUNDANGAN DAN PEMBUATAN NSPM
SOSIALISASI
PENDAMPINGAN PENDIRIAN BANGUNAN STANDAR
Level 2
Level 3
PENYELAMATAN DIRI
GABUNGAN REMANGROVESASI, REEF ARTIFICIAL, DAN BEACH NOURISHMENT
Level 4
SISTEM PERINGATAN DINI
GABUNGAN PEMECAH OMBAK, PEREDAM ABRASI DAN PENAHAN SEDIMENTASI
Elemen Kunci
Gambar 69. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis.
8.3.2.
Studi Efektivitas Mitigasi Bencana Alam
8.3.2.1. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Indramayu Setelah kajian yang dilakukan menunjukkan potensi bencana yang berpeluang besar terjadi dan berbagai bentuk mitigasi yang dapat diterapkan di kedua lokasi tersebut, selanjutnya akan dikaji bentuk mitigasi bencana yang paling efektif pada kedua lokasi tersebut sesuai dengan tujuan penelitian menggunakan metode MPE. Hasil diskursus dengan pakar mitigasi telah dapat menetapkan empat parameter yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian, yaitu : •
Dinamika Perairan Pesisir
•
Ketersediaan dana
•
Kesesuaian dengan SDM lokal
•
Aksesibilitas ke lokasi mitigasi dan Waktu penyelesaian yang dibutuhkan Hal tersebut penting, mengingat dalam penerapan salah bentuk mitigasi
bencana, dinamika perairan pesisir sangat menentukan bentuk mitigasi yang
163
paling efektif untuk diterapkan di lokasi penelitian. Di sisi lain, ketersediaan dana juga merupakan pertimbangan utama sebab segala tindakan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana membutuhkan biaya yang besar. Karena masyarakat setempat yang akan bersentuhan langsung dengan bentuk mitigasi yang akan diterapkan, maka kesesuaian dengan SDM lokal juga merupakan kriteria yang menentukan. Selanjutnya akses ke lokasi mitigasi dan waktu yang dibutuhkan. Kriteria yang dipilih oleh pakar tersebut dapat dilihat pada Tabel 27 berikut: Tabel 28. Kriteria dalam menentukan efektivitas mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu
Sumber : Diskursus dengan para pakar (2008)
Hasil
pembobotan
pakar
seperti
Tabel 28,
selanjutnya dianalisis
dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) yang dikompilasi dalam software MKP2B2MB untuk mendapatkan bentuk mitigasi bencana yang paling efektif di Indramayu. Diketahui bahwa elemen gabungan pembuatan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi dan elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef dan beach nourishment dalam menanggulangi bencana gelombang badai pasang di Indramayu memperoleh score 97. Tetapi bahasa program MKP2B2MB memberikan sorting lebih awal bagi elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi daripada
164
elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef, dan beach nourishment. Kesimpulannya sekalipun metode ISM telah menempatkan elemen-elemen tersebut pada ranking tertinggi, tetapi empat kriteria MPE telah menempatkan elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimen pada ranking 1 sebagai prioritas mitigasi di Indramayu. Hal ini dapat dikatakan sebagai pembenaran, karena masyarakat lokal sudah mengenal upaya mitigasi sejenis yang lebih sederhana teknik pelaksanaannya. Tabel 29. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
8.3.2.2. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Ciamis Penentuan efektivitas mitigasi bencana dilakukan juga untuk Kabupaten Ciamis. Metode pembobotan pakar seperti pada Tabel 30 menunjukan bahwa dinamika perairan pesisir dan ketersediaan dana memiliki bobot tertinggi. Selanjutnya kesesuaian dengan SDM lokal dan aksesibilitas ke lokasi mitigasi serta waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pembangunan
165
bentuk mitigasi tersebut. Hasil pembobotan ini dilakukan analisis dengan MPE yang dikompilasi dalam software mitigasi
MKP2B2MB
untuk mendapatkan
bencana yang paling efektif diterapkan di Ciamis.
Tabel 30. Kriteria dalam menentukan bentuk mitigasi bencana di Kabupaten Ciamis
Sumber : Diskursus dengan para pakar (2008)
bentuk
166
Tabel 31. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis
Pada Tabel 31 terlihat ada dua elemen yang memiliki score sama 93, yaitu elemen sistem peringatan dini dan elemen penyelamatan diri dari gempabumi dan tsunami. Tetapi bahasa program menempatkan elemen sistem peringatan dini lebih awal daripada elemen penyelamatan diri dari gempabumi dan tsunami, sehingga elemen sistem peringatan dini menempati ranking 1. Kesimpulannya walaupun metode ISM menempatkan elemen sistem peringatan dini dan elemen sistem penyelamatan diri pada ranking 1, tetapi empat kriteria MPE yaitu dinamika perairan pesisir, ketersediaan dana, kesesuaian dengan SDM lokal, aksesibilitas ke lokasi mitigasi dan waktu yang dibutuhkan telah menempatkan elemen sistem peringatan dini menjadi prioritas mitigasi bencana di Pesisir Ciamis. Pesisir Ciamis yang terbuka menghadap Samudra Hindia membutuhkan sistem peringatan dini untuk memberitahukan masyarakat agar secepatnya menyelamatkan diri sebelum tsunami datang. Kecepatan informasi
167
peringatan dini sangat diperlukan mengingat selang waktu antara bangkitan dalam hal ini gempa bumi dan timbulnya tsunami sangat singkat.
8.4. Kesimpulan Studi Efektivitas Keberhasilan dan Bentuk Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Berdasarkan hasil uraian pada bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa potensi bencana alam yang lebih dominan terjadi di Kabupaten Indramayu adalah gelombang badai pasang dan di Kabupaten Ciamis adalah gempabumi dan tsunami. Untuk mereduksi risiko bencana yang timbul maka mitigasi struktur merupakan bentuk mitigasi bencana alam yang memiliki tingkat keberhasilan yang lebih efektif untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis. Mitigasi struktur memiliki tingkat ketergantungan yang besar di Kabupaten Ciamis mengingat lokasi lempeng tektonik di selatan pulau Jawa, sehingga wilayah ini memiliki tingkat kerawanan bencana gempa bumi dan tsunami yang lebih besar dibandingkan dengan di Indramayu yang hanya gelombang badai pasang. Namun demikian, untuk penerapan bentuk mitigasi di Kabupaten Indramayu, pakar memilih bentuk mitigasi struktur gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi serta gabungan remangrovisasi, reef artificial, dan beach nourishment. Mengingat mitigasi ini efektif meredam abrasi yang sudah parah melanda pesisir dan membahayakan permukiman nelayan serta instalasi kilang migas Balongan. Di Kabupaten Ciamis, pakar lebih memilih kombinasi mitigasi struktur sistem peringatan dini dan sistem penyelamatan diri, serta pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi yang efektif agar ketahanan masyarakat dan lingkungan yang di deklarasikan di Hyogo pada tahun 2005 dapat diwujudkan. Dengan telah diketahuinya bentuk mitigasi yang paling efektif untuk diterapkan di Pesisir Indramayu dan Pesisir Ciamis, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan wilayah pesisir sudah harus memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan penyelesaian pembangunan sistem perlindungan pesisir yang terpadu. Dengan demikian upaya yang dilakukan akan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai
dengan kesepakatan
global untuk secepatnya melakukan perubahan paradigma lama yang responsif, reaktif, dan menekankan kepada upaya kedaruratan. Berdasarkan hasil analisis efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam di wilayah pesisir, dapat dinyatakan bahwa tidak ada bentuk
168
mitigasi bencana yang dapat efektif berdiri sendiri. Hal ini disebabkan setiap bentuk mitigasi mempunyai kelemahan yang dapat dilengkapi dan diperkuat oleh bentuk-bentuk mitigasi lainnya (complementary).
IX. MODEL KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM Abstrak Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis mengalami berbagai persoalan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya seperti adanya konflik kepentingan, belum teridentifikasinya faktor yang berpengaruh, belum jelasnya tujuan yang ingin dicapai, serta alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir Jawa Barat dikaitkan dengan mitigasi bencana sehingga perlu dibangun model kebijakan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Penelitian bertujuan untuk membangun model kebijakan pengeloaan wilayah pesisir secara terpadu yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Penelitian menggunakan metode analisis hierarki proses (AHP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa alternatif kebijakan pengelolaan yang dapat dikembangkan di Kabupaten Indramayu adalah pengembangan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana dengan tujuan mengoptimasi produktivitas wilayah pesis ir, sedangkan di Kabupaten Ciamis adalah peningkatan peran stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir dengan tujuan untuk optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka peran stakeholder sangat diharapkan terutama pemerintah daerah sebagai pengambil keputusan dalam pengembangan wilayah pesisir terpadu yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Dalam pengembangan wilayah pesisir ini juga dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah faktor penetapan status dan fungsi wilayah sesuai dengan fungsi dan tujuan pemanfaatannya. Kata kunci : Model kebijakan, terpadu, berkelanjutan, mitigasi bencana, stakeholder
9.1.
Pendahuluan Penduduk Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 202 juta, di mana
60 persen di antaranya hidup di wilayah pesisir serta memanfaatkan sumberdaya di sekitarnya sebagai sumber penghidupannya. Dengan sumberdaya pesisir yang besar, maka sudah sepantasnya jika kebijakan pembangunan ekonomi seoptimal mungkin dibangun dan diarahkan pada pembangunan ekonomi yang berorientasi pada sumberdaya alam berbasis pesisir dan kelautan.
Kebijakan
pemerintah untuk memfokuskan pembangunan ekonomi masyarakat pada kebijakan ekonomi berbasis pesisir akan membawa konsekuensi terhadap kemampuan berproduksi dan konsumsi masyarakat. Sehingga, dapat diprediksi bahwa penerapan kebijakan ekonomi yang demikian itu akan membuat kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya yang bermata pencaharian di pesisir dan perikanan akan meningkat. Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya pesisir yang cukup melimpah adalah wilayah Pesisir Jawa Barat. Berbagai potensi sumberdaya alam Pesisir Jawa Barat yang dapat dikembangkan selain sektor perikanan
adalah pengelolaan industri minyak dan gas bumi di Kabupaten
Indramayu dan pengembangan pariwisata di Kabupaten Ciamis. Sehubungan
170 dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah menetapkan bahwa salah satu core business bisnis utama Jawa Barat yang perlu dikembangkan adalah bisnis pesisir dan kelautan (Bapeda Provinsi Jabar, 2007). Dalam pengembangan bisnis pesisir dan kelautan tersebut, berbagai persoalan perlu dikaji dan ditangani secara besama oleh seluruh stakeholder yang terkait terutama para pengambil keputusan dalam pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat.
Berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan kelautan seperti terjadinya konflik kepentingan antar pemangku kepentingan, belum teridentifikasinya faktor dominan yang berpengaruh dalam pengembangan wilayah pesisir, dan belum jelasnya tujuan yang ingin dicapai, serta alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan di pesisir Jawa Barat dikaitkan dengan mitigasi bencana. Hal ini penting dipecahkan dalam rangka merumuskan arahan kebijakan menuju keterpaduan dalam pengembangan wilayah pesisir Jawa Barat yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Penelitian bertujuan untuk membangun model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, yaitu pro growth, pro job, pro poor dan pro mitigation.
9.2. Metode Analisis Model Kebijakan Untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi becana digunakan pendekatan analisis hierarki proses (AHP). AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur kedalam bagian komponen yang tersusun secara hirarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari komponen dalam hirarki yang telah disusun. Keharusan nilai numerik pada setiap variabel masalah membantu pengambil keputusan dalam mempertahankan pola pikir yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Penyusunan secara hierarki dalam AHP mencerminkan pemikiran untuk memilah elemen sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa pada tiap tingkat. Tingkat puncak yang disebut fokus hanya satu elemen yaitu sasaran keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat berikutnya masing-masing dapat memiliki beberapa elemen. Elemen dalam suatu tingkat
171 akan dibandingkan antara satu dengan lainnya terhadap suatu kriteria yang berada di tingkat atas, maka elemen dalam setiap tingkat harus dari derajat besaran yang sama. Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks tidak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau variabel ke dalam suatu hirarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan pada setiap variabel dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dalam mempengaruhi hasil. Secara garis besar metode AHP dapat dilihat pada Gambar 70 berikut: STRUKTUR AHP: Fokus Faktor Aktor Tujuan Alternatif
Penilaian AHP - Pairwise comparison - Integrasi Multi Pakar - Consistency Ratio (<<0,1)
Hasil AHP Alternatif potensi pengembangan yang memiliki bobot tertinggi
Gambar 70. Garis besar alat analisis AHP
9.2.1. Prinsip dasar AHP Prinsip dasar penyelesaian persoalan dengan metode AHP adalah decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. •
Decomposition Decomposition adalah proses penguraian persoalan menjadi unsurunsurnya. Penguraian dilanjutkan terhadap unsur-unsurnya sampai tidak dapat diuraikan lagi, sehingga didapatkan beberapa tingkatan dari persoalan tersebut untuk mendapatkan hasil akurat
•
Comparative judgement Comparative judgement adalah membuat penilaian tentang kepentingan
172 relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil penilaian dapat disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparation. •
Synthesis of Priority Synthesis of priority adalah menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif pentingnya. Penentuan peringkat dilakukan dengan cara mencari eigenvector pada setiap matrik pairwise comparison untuk mendapatkan local priority. Karena matrik pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesis diantara local priority. Pengurutan elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa dinamakan priority setting.
•
Logical Consistency Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa obyek serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah menyangkut tingkat hubungan antarobyek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Konsistensi logis menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
•
Pairwise Comparison Penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen keputusan pada setiap
tingkat
pembandingan.
hirarki
dilakukan
dengan
judgement
melalui
Nilai tingkat kepentingan ini dinyatakan dalam bentuk
kualitatif dengan membandingkan antarelemen. Untuk digunakan skala penilaian.
kuantifikasi
Menurut Saaty (1993), skala penilaian 1
sampai 9 merupakan yang terbaik berdasarkan nilai RMS (root mean Square deviation) dan MAD (Median Absolute Deviation). Nilai dan definisi pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Skala komparasi Tingkat Kepentingan 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8 1/ (1- 9) Sumber : Saaty (1993)
Definisi Sama pentingnya Sedikit lebih penting Jelas lebih penting Sangat jelas lebih penting Mutlak lebih penting Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari skala 1 – 9.
173
9.2.2. Langkah-langkah Penyelesaian •
Matriks pendapat individu Pada penentuan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen elemen keputusan di setiap tingkat hirarki keputusan dilakukan dengan judgement melalui komparasi berpasangan. Nilai yang didapat disusun dalam bentuk matrik individu dan gabungan yang kemudian diolah untuk mendapatkan peringkat. Jika C 1, C1, …….. Cn merupakan set elemen suatu tingkat keputusan dalam hirarki, maka kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan setiap elemen terhadap elemen lainnya akan membentuk matrik A yang berukuran n x n. Apabila Ci dibandingkan dengan C j, maka aij
merupakan
nilai
matriks
pendapat
hasil
komparasi
yan g
mencerminkan nilai tingkat kepentingan Ci terhadap Cj. Nilai matriks aij = 1/ a1 j, yaitu nilai kebalikan dari nilai matriks aij. Untuk i = j , maka nilai matriks aij = aji = 1, karena perbandingan elemen terhadap elemen itu sendiri adalah 1. Formulasi matriks A yang berukuran n x n dengan elemen C1, C 1, …….. Cn untuk ij = 1, 2, 3, ……n dan ij adalah sebagai berikut : Hasil Transformasi Matriks Pendapat C1 C2 C3 .. C1 1 a12 a13 .. C2 1 / a12 1 a23 .. C3 1 / a13 1 / a23 1 .. .. .. .. .. .. Cn 1 / a1n 1 / a2n 1 / a3n .. •
Cn a1n a2n a3n .. 1
Matriks pendapat gabungan Matriks pendapat gabungan (G), merupakan susunan matriks baru yang elemen-elemen matriksnya ( gij) berasal dari rata -rata geometrik pada elemen matriks pendapat individu (ai j) yang Rasio Konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan. Formulasi nilai rata -rata geometrik adalah sbb. : g ij =
m
m
∏
k =1
a ij (k ) ....................................................................................
Keterangan : gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i dan kolom ke-j
(2)
174 aij ij k m •
= elemen matrik pendapat individu pada baris ke-i dan kolom ke-j untuk matriks pendapat individu dengan Rasio Konsistensi (CR) yang memenuhi persyaratan ke-k. = 1, 2, …..…………. n = 1, 2, …………….. m = jumlah matriks pendapat individu dengan CR memenuhi persyaratan Pengolahan horizontal Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemen keputusan pada tingkat hirarki keputusan. Tahapan perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal ditunjukkan persamaan berikut : Perkalian baris (Zi) dengan rumus : m
Z i = m ∏ a ij ( k )
..........................................................................................................................
(3)
k =1
Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen (VPi) dengan rumus: m
n
VP i
∏ a ij(k )
.......................................................................... k =1 n m ∑ n ∏ a ij(k) i= 1 k = 1
=
(4)
Perhitungan nilai Eigen maksimum (λ mak) dengan rumus :
( )
( )
VA = a ij × VP , dengan VA = va i .............................................
VB =
VA , dengan VB = (vb ) ................................................... i VP i
λ max
1 = n
(5) (6)
n
∑ vb
i
, untuk i = 1, 2, 3, …. n. .....................................
(7)
i=1
Perhitungan indeks konsistensi (CI) dengan rumus :
CI =
λ max − n ..................................................................................... n− 1
(8)
Perhitungan rasio konsistensi (CR) dengan rumus :
CR
=
CI RI
..........................................................................................
(9)
Dengan RI : Indeks acak (random index) Nilai Indeks Acak (RI) bervariasi sesuai dengan orde matriksnya. Untuk lebih jelasnya, indeks acak untuk orde tertentu dapat dilihat pada tabel berikut :
175 Orde (n) RI
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49
Nilai rasio konsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1 merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian nilai CR merupakan tolok ukur bagi konsistensi hasil komparasi berpasangan dalam suatu matrik pendapat. •
Pengolahan Vertikal Pengolahan
vertikal
digunakan
untuk
menyusun
prioritas
pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama (ultimate goal). Jika didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap sasaran utama, maka : s
CVij = ∑ CH ijt(i−1) × VWt (i− 1)
.................................................................... (10)
t =1
Untuk : i = 1, 2, 3, ……………. p j = 1, 2, 3, ……………. r t = 1, 2, 3, ……………. s Keterangan : s
∑ CH
ijt ( i − 1)
= nilai prioritas pengaruh eleme n ke-j pada tingkat ke-i
t =1
terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i –1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horizontal.
VWt (i − 1)
= nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(i-1) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil pengolahan vertikal. = jumlah tingkat hirarki keputusan = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke- (i - 1).
p r s
Jika di dalam hirarki keputusan terdapat dua faktor yang tidak berhubungan, maka nilai prioritas sama dengan nol. Vektor prioritas untuk tingkat ke-i (CV) didefinisikan sebagai berikut :
(
)
CV i = CV ij , untuk j = 1, 2, 3, ……… ............................................... (11)
176 Menurut Saaty (1993 ),
teknik
komparasi
berpasangan
yang
digunakan dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal
baik
permasalahan
tersebut.
Jika
responden
merupakan
kelompok, maka seluruh anggota diusahakan mem berikan pendapat (judgement). Secara skematis, struktur AHP dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 70.
177
Fokus
Faktor
Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berprespektif Mitigasi Bencana
Status dan fungsi wilayah
Fungsi kelembagaan
Pemberdayaan masyarakat
Penanggulangan bencana
Aktor Pemerintah
Tujuan
Alternatif
LSM
Optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan
Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
Masyarakat lokal
BUMN dan BUMD
Optimasi produktivitas wilayah pesisir
Mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
Perguruan tinggi
Dunia usaha
Meningkatkan kemampuan lingkungan wilayah pesisir
Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir
Meningkatkan partisipasi stakeholder
Gambar 71. Model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana 177
178
9.3. Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam Dalam pengembangan wilayah pesisir Jawa Barat secara terpadu diperlukan data dasar akurat dan aktual, sehingga dalam pengambilan keputusan memiliki landasan yang kuat dalam merumuskan arahan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang terintergrasi dari segi sumberdaya alam dan kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat serta didukung upaya mitigasi yang baik. Berkaitan dengan hal tersebut, dilakukan kajian model kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Provinsi Jawa Barat yang difokuskan pada dua wilayah pesisir yang rentan terhadap potensi bencana alam yaitu wilayah pesisir Kabupaten Indramayu sebagai representasi pantai utara (pantura) dan Kabupaten Ciamis sebagai representasi pantai selatan (pansela). Hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai arahan dalam merumuskan kebijakan pengembangan wilayah pesisir terpadu di Indramayu dan Ciamis yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Penelitian rumusan kebijakan wilayah pesisir ini disusun dalam lima level (Gambar 50) yang meliputi: Level pertama adalah fokus yaitu model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana;
level
kedua
adalah
faktor-faktor
yang
berpengaruh
dalam
pengembangan wilayah pesisir yang meliputi faktor status dan fungsi wilayah, fungsi kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, dan penanggulangan bencana; level ketiga adalah aktor yang berperan yaitu pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), masyarakat lokal, badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD), perguruan tinggi, dan dunia usaha; level keempat adalah tujuan yang ingin dicapai yang meliputi optimasi sistem penyangga kehidupan, optimasi produktivitas wilayah pesisir, dan meningkatkan kemampuan lingkungan wilayah pesisir; dan level kelima adalah alternatif kebijakan
yang
dapat
diterapkan
yaitu
penyempurnaan
peraturan
pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana, mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir, mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana, memperbaiki kualitas sumberdaya manusia, dan meningkatkan partisipasi stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir.
Hasil analisis model kebijakan pengembangan
wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis seperti pada Gambar 72 dan Gambar 73.
179
Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berprespektif Mitigasi Bencana
Fokus
Faktor
Aktor
Tujuan
Alternatif
Status dan fungsi wilayah (0.4755)
Pemerintah (0,2795)
LSM (0,1451)
Optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan (0,3551)
Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana (0,0838)
Fungsi kelembagaan (0.0915)
BUMN dan BUMD (0,2616)
Pemberdayaan masyarakat (0.2745)
Masyarakat lokal (0,1342)
Optimasi produktivitas wilayah pesisir (0,3640)
Mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir (0,1957)
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana (0,2702)
Penanggulangan bencana (0.1585)
Perguruan tinggi (0, 0655)
Dunia usaha (0,1141)
Meningkatkan kemampuan lingkungan wilayah pesisir (0,2808)
Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir (0,2205)
Meningkatkan partisipasi stakeholder (0,2298)
Gambar 72. Struktur hierarki model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu 179
180
Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan dan Berperspektif Mitigasi Bencana
Fokus
Faktor
Aktor
Tujuan
Alternatif
Status dan fungsi wilayah (0,4755)
Pemerintah (0,2842)
Fungsi kelembagaan (0,1585)
Masyarakat lokal (0,2134)
Optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan (0,3716)
Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana (0,083)
Dunia usaha (0,2324)
Pemberdayaan masyarakat (0,2745)
BUMN dan BUMD (0,1103)
Optimasi produktivitas wilayah pesisir (0,3465)
Mengupayakan pendanaan peng embangan wilayah pesisir (0,196)
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana (0,237)
Penanggulangan bencana (0,0915)
Perguruan tinggi (0, 0863)
LSM (0,0735)
Meningkatkan kemampuan lingkungan wilayah pesisir (0,2850)
Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir (0,223)
Meningkatkan partisipasi stakeholder (0,2583)
Gambar 73. Struktur hierarki model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di Kabupaten Ciamis 180
181
Pada Gambar 72 terlihat bahwa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu adalah pengembangan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana. Ini terlihat dari tingginya nilai skoring yang diberikan oleh pakar yaitu sebesar 0,2702 (27,02 %) dengan consistency ratio (CR) = 0 dan selanjutnya diikuti oleh alternatif lainnya. Untuk wilayah pesisir Kabupaten Ciamis, alternatif kebijakan yang dapat dilakukan dalam pengembangan wilayah pesisir di daerah ini adalah meningkatkan partisipasi Stakeholder dengan nilai skoring sebesar 0,258 (25,80 %) dengan consistency ratio (CR) = 0 (Gambar 74) Pengembangan prasarana dan sarana wilayah pesisir Indramayu dapat berupa jalan lingkungan, drainasi, air bersih, instalasi pengolahan air limbah, llistrik, telepon, televisi, pangkalan pendaratan ikan, industri pengolahan ikan, industri pertambangan, pertanian dan pariwisata serta sistem perlindungan pesisir
terhadap bahaya gelombang pasang. Secara garis besar tata letak
permukiman mengikuti rencana tata ruang yang sudah mempunyai kekuatan hukum, sehingga pengembangan prasarana dan sarana menjadi terarah serta memudahkan pelaksanaannya. Karena wilayah pesisir menjadi basis kegiatan perikanan yang dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan pesisir (Dahuri, 2004) maka perikanan sebagai suatu sistem yang kompleks dan dinamis dalam tataran empiris dapat melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks karakteristik dan spasial. Berdasarkan hal tersebut maka, pengelolaan perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. PPI yang berkembang baik sebagai local competence dapat menggerakan kegiatan ekonomi wilayah pesisir. Industri minyak dan gas bumi di Balongan
dapat
melakukan
pembinaan
masyarakat
pesisir
sehingga
kapasitasnya meningkat dan memahami teknologi informasi. Sehingga selain masyarakat mengetahui akses ke pasar dan sumber pendanaan juga dapat memahami sinyal tanda bahaya yang diberikan oleh sistem perlindungan pesisir tentang bahaya gelombang pasang. Meningkatkan partisipasi stakeholder di Ciamis dapat berupa sharing kepentingan para pemangku wilayah pesisir. Karena bagaimanapun juga, seluruh manfaat pesisir memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya sebagaimana konsep bioregion
182
yang bisa mencapai ribuan hingga ratus ribuan hektar, tetapi
bisa juga tidak
lebih dari luas suatu daerah tangkapan air atau bisa seluas satu provinsi (CiicinSain dan Knecht, 1998). Ini berarti pendekatan kebijakan wilayah pesisir secara terpadu integrated coastal resources management (Dahuri et al. 1996; Cicin-Sain dan Knecht 1998; Kay dan Alder 1999) atau integrated coastal zone management (Peng et al., 2006) menjadi salah satu prasyarat di mana perikanan menjadi salah satu indikator utama. Untuk itu dibutuhkan peran stakeholder yang merupakan perpaduan antara unsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan Co-management yang menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi. Melalui model ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dilaksanakan
dengan
menyatukan
lembaga-lembaga
terkait
terutama
masyarakat dan pemerintah serta stakeholder lainnya dalam setiap proses pengelolaan sumberdaya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Pembagian tanggung jawab dan wewenang antarpihak terkait dapat terjadi dalam berbagai pola, tergantung kemampuan dan kesiapan sumberdaya manusia dan institusi yang ada di masing-masing daerah. Susunan dalam model pengelolaan ini bukanlah sebuah proses struktur yang statis terhadap hak dan aturan, melainkan sebuah struktur yang dinamis dalam menciptakan sebuah struktur lembaga yang baru. Dalam jangka panjang, pelaksanaan Co-management ini diyakini akan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik yaitu (Rudyanto, 2004): 1. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut dalam menunjang kehidupan. 2. Meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga mampu berperan serta dalam setiap tahapan pengelolaan secara terpadu. 3. Meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bentuk-bentuk pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan. Dalam
Co-management
pengelolaan
wilayah
pesisir
Kabupaten
Indramayu dan Kabupaten Ciamis, aktor yang paling berperan adalah pemerintah dan selanjutnya masyarakat. Ini terlihat dari tingginya nilai skoring pada aktor pemerintah baik di Kabupaten Indramayu maupun di Kabupaten Ciamis dengan nilai skoring masing-masing 0,2795 (27,95 %) dan 0,2842
183
(28,42 %) dengan consistency ratio (CR) = 0. Keberhasilan pengelolaan dengan model Co-management ini sangat dipengaruhi oleh kemauan pemerintah untuk mendesentralisasikan tanggung jawab dan wewenang dalam pengelolaan kepada nelayan dan stakeholder lainnya. Oleh karena Co-management membutuhkan dukungan secara legal maupun finansial seperti formulasi kebijakan yang mendukung ke arah Comanagement, mengijinkan dan mendukung nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengelola dan melakukan restrukturisasi peran para pelaku pengelolaan perikanan. Oleh karena itu pengelolaan Co-management dalam pengelolaan wilayah pesisir, menggabungkan antara pengelolaan sumberdaya yang sentralistis yang selama ini banyak dilakukan oleh pemerintah (government based
management)
dengan
pengelolaan
sumberdaya
yang
berbasis
masyarakat (community based management). Hirarki tertinggi berada pada tataran hubungan saling kerjasama (cooperation), baru kemudian pada hubungan consultative dan advisory. Hubungan kerjasama yang dilakukan dapat mencakup kerjasama antarsektor, antarwilayah, serta antaraktor yang terlibat (Rudyanto, 2004) 1. Kerjasama Lintas Sektor Pada kawasan pesisir, tidak hanya sektor perikanan yang berperan besar. Sektor lainnya pun memiliki peran besar karena saling terkait untuk dapat memecahkan permasalahan yang ada. Misalnya saja yang berkaitan dengan perekonomian masyarakat pesisir, sektor industri dan jasa menjadi sektor yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. Keterkaitan dengan kelestarian lingkungan juga tidak lepas dari peran serta dan keterlibatan sektor industri, dimana biasanya limbah industri dibuang ke perairan. Infrastruktur pendukung juga menjadi hal penting untuk dapat mengembangkan wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan. Untuk itu, kerjasama lintas sektor sangat perlu diperhatikan karena sektor memiliki kepentingannya sendiri. Setiap sektor harus saling mendukung. Peran pemerintah daerah dalam hal ini sangat besar agar terjadi sinergi dalam pengembangan setiap sektor, sehingga tidak ada yang saling merugikan. 2. Kerjasama Antarwilayah Kawasan pesisir pada dasarnya tidak dapat dibatasi secara administratif. Berkaitan dengan hal ini, maka wilayah yang termasuk dalam suatu
kawasan (adanya homogenitas
baik secara ekologis maupun
184
ekonomis)
haruslah
saling
bekerjasama
untuk
meminimasi
konflik
kepentingan. Kerjasama antarwilayah dapat digalang melalui pembentukan forum kerjasama/komunikasi antarpemerintah daerah yang memiliki kawasan pesisir untuk mengantisipasi sejak dini timbulnya perkembangan terburuk seperti konflik antarnelayan. Kesepakatan dan penetapan norma kolektif tentang pemanfaatan sumberdaya lokal sesuai dengan semangat otonomi daerah harus disosialisasikan secara luas dan benar kepada masyarakat nelayan sesuai dengan aras makro strategi sistem besar pemberdayaan (Parson et al., 1994), agar masyarakat luas memiliki cara pandang sama. 3. Kerjasama Antaraktor (stakeholders) Upaya
pengurangan
kesenjangan
sektoral
dan
daerah
jelas
memerlukan strategi khusus bagi penanganan secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk itu, diperlukan adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk menjembatani persoalan kemiskinan dan kesenjangan sektoral di daerah tersebut, melalui mekanisme kerjasama antaraktor (stakeholders) yang melibatkan unsur masyarakat (kelompok nelayan), pihak swasta, dan pemerintah.
Pengelolaan
kawasan
pesisir
yang
belum
memberikan
kesejahteraan bagi masyarakatnya tersebut, perlu mendapat perhatian yang serius berupa terobosan pemikiran bagi upaya percepatan pembangunan dan pengembangan ekonomi lokal yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pengelolaannya (Suharto, 2006). Upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan sektoral dan daerah tersebut yang berintikan suatu paradigma baru, dimana inisiatif pembangunan daerah tidak lagi digulirkan dari pusat, namun merupakan inisiatif lokal (daerah) untuk memutuskan langkah terbaik dalam mengimplementasikan rencana pengelolaan kawasan dan rencana aksi yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki (Suharto, 2006).
9.4.
Kesimpulan Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa alternatif kebijakan yang dapat dikembangkan dalam pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu adalah pengembangan prasarana dan sarana wilayah
pesisir
berperspektif
mitigasi
bencana
dengan
tujuan
untuk
mengoptimasi produktifitas wilayah pesisir. Sedangkan di Kabupaten Ciamis,
185
kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dapat diarahkan pada peningkatan peran stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir dengan tujuan untuk optimasi sistem penyangga kehidupan. Untuk itu, perlu diwujudkan sinergitas antarunsur masyarakat pengguna (kelompok nelayan, pengusaha perikanan, dll) dan pemerintah yang dikenal dengan Co-management sebagai upaya menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga pembiasaan aspirasi pada satu pihak lainnya dapat dieliminasi. Dalam pengembangan wilayah pesisir ini faktor yang paling berpengaruh adalah faktor penetapan status dan fungsi wilayah sesuai dengan fungsi dan tujuan pemanfaatannya. Status dan fungsi pesisir Indramayu adalah penghasil perikanan terbesar di Provinsi Jawa Barat, pemasok minyak dan gas bumi untuk provinsi Jakarta dan provinsi Jawa Barat. Pesisir Ciamis adalah kawasan wisata unggulan provinsi Jawa Barat dengan potensi perikanan yang melimpah. Penempatan PPI sebagai local competence harus sesuai dengan rencana tata ruang dan perencanaan tata letak bangunan (building lay out plan) serta perancangan bangunan (building design) harus mempertimbangkan aspek mitigasi bencana. Oleh karena itu maka selain secara estetika indah sesuai dengan fungsinya, kompleks tersebut memiliki ketahanan terhadap bahaya bencana alam yang berpotensi terjadi di Pesisir Indramayu yaitu gelombang pasang dan di Pesisir Ciamis yaitu tsunami.
X. RUMUSAN ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA ALAM 10.1. Pembahasan Umum Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis merupakan dua kabupaten pesisir di Provinsi Jawa Barat. Secara geografi dilihat dari garis pantai (shoreline) Provinsi Jawa Barat bagian utara memiliki garis pantai sepanjang 365,059 km yang terbentang dari Kabupaten Bekasi sampai Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu memiliki garis pantai sepanjang 114 km. Bagian selatan memiliki garis pantai sepanjang 398,05 km mulai dari Kabupaten Sukabumi sampai Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Ciamis memiliki garis pantai sepanjang 79,50 km. Secara topografi pantai utara Provinsi Jawa Barat relatif landai, pantai selatan merupakan daerah berbukit dan sebagian lainnya relatif landai (Bapeda Provinsi Jawa Barat, 2007). Berdasarkan hasil analisis KBMS (lihat Bab V) melalui diskursus dengan pakar, diketahui beberapa hal sebagai berikut : • Kelompok parameter satu, optimalisasi pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan prasarana dan sarana pesisir, pembangunan industri berbasis pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kabupaten Ciamis dinilai ‘sedang’. Nilai sedang dan sedang mengindikasikan bahwa kedua kabupaten tersebut akan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan. •
Kelompok parameter dua, peran pemerintah yang meliputi rejim penguasaan pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (marine protected area dan program pemberdayaan masyarakat melalui CSR) untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kabupaten Ciamis ‘sedang’. Nilai sedang dan sedang ini juga mengindikasikan bahwa kedua kabupaten tersebut akan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan.
•
Kelompok parameter tiga, pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan, dan migas yang berperspektif mitigasi bencana untuk Kabupaten Indramayu dinilai ‘rendah’ yang berarti belum menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Untuk Kabupaten Ciamis dinilai ‘tinggi’ yang berarti sudah berkelanjutan.
menerapkan pendekatan
pembangunan
187
Berdasarkan
uraian
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
kebijakan
pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat khususnya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis, masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara menerapkan
terpadu (integrated
coastal
zone
management)
dan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Berdasarkan hasil analisis ASWOT (lihat Bab VI) dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut: • Hasil analisis SWOT di Kabupaten Indramayu : S : Dekat dengan tempat pemasaran domestik dan ekspor (0,077) W : Kondisi alam dengan gelombang pasang (0,074) O : Belum optimalnya pemanfaatan potensi wilayah pesisir (0,091) T : Berubahnya orientasi pekerjaan (0,087) • Hasil analisis SWOT di Kabupaten Ciamis : S : Potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI (0,064) W : Lemahnya kualitas SDM (0,065) O : Belum optimalnya pemanfaatan potensi wilayah pesisir (0,098) T : Bertambah banyaknya negara yang menerapkan persyaratan kualitas produk (0,072) • Hasil analisis ASWOT di Kabupaten Indramayu : Sektor minyak dan gas bumi dengan skor sebesar 0,246 (24,6%) dan sektor perikanan dengan nilai skor 0,244 (24,4%) • Hasil analisis ASWOT di Kabupaten Ciamis : Sektor pariwisata dengan skor 0,251 (25,1%) dan sektor perikanan dengan skor 0,248 (24,8%). Berdasarkan
uraian
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
kebijakan
pemanfaatan sumberdaya alam migas sebagai national competence, dapat meningkatkan kegiatan perikanan yang secara tradisional leading sector sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan. Kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand), jadi saling melengkapi (complementary) bukan kompetitor. Berdasarkan hasil analisis ISM (lihat Bab VII) dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut : • Di Kabupaten Indramayu : Bencana alam gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi
188
sebagai elemen kunci pada level 5. Selanjutnya dikuti oleh abrasi dan banjir pada level 4, kemudian intrusi air laut, gerakan tanah jenis amblesan, dan puting beliung pada level 3. Erosi dan akresi berada pada level 2, dan terakhir yaitu gempabumi dan tsunami pada level 1. • Di Kabupaten Ciamis : Bencana alam gempabumi dan tsunami menempati peringkat tertinggi dan menjadi elemen kunci, yang kemudian diikuti oleh abrasi dan bencana alam gelombang badai pasang pada level 3. Kemudian angin kencang/puting beliung, dan gerakan tanah jenis longsoran/keruntuhan menempati level 2, serta banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi pada level 1. Berdasarkan
hal
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
kebijakan
pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut, harus mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi sejak tahun 1970 an di pantai utara Jawa. Dengan demikian kebijakan pengembangan tidak lagi hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial sehingga kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. Berdasarkan hasil analisis ISM untuk mengetahui bentuk mitigasi dan MPE untuk mengetahui efektivitas mtigasi (lihat Bab VIII) dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut : • Hasil analisis ISM di Kabupaten Indramayu menetapkan 2 elemen kunci : gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar gisik dan gabungan remangrovesasi, artificial reef, beach nourishment • Hasil analisis ISM di Kabupaten Ciamis menetapkan dua elemen kunci yaitu sistem peringatan dini dan gabungan pemecah ombak peredam abrasi, penahan sedimentasi. • Hasil analisis MPE di Kabupaten Indramayu menetapkan gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi sejajar gisik sebagai mitigasi yang paling efektif. • Hasil analisis MPE di Kabupaten Ciamis menetapkan sistem peringatan dini sebagai mitigasi yang paling efektif. Berdasarkan
hal
tersebut
dapat
disimpulkan
bahwa
kebijakan
pengembangan wilayah pesisir sudah harus memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan harus lebih bersifat pro aktif, yang menekankan
189
kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai kesepakatan global untuk secepatnya merubah paradigma lama yang responsif, reaktif, dan kedaruratan. Berdasarkan hasil analisis AHP (lihat Bab IX) dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut : • Di Kabupaten Indramayu : Pengembangan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana dengan tujuan untuk mengoptimasi produktifitas wilayah pesisir. • Di Kabupaten Ciamis: Peningkatan peran stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir dengan tujuan untuk optimasi sistem penyangga kehidupan. Berdasarkan urauan diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, dibutuhkan sinergi antarunsur masyarakat pengguna dan pemerintah (Co-management) yang bertujuan menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga pembiasan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi. Alternatif kebijakan untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu: mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana. Alternatif kebijakan untuk diterapkan di Kabupaten Ciamis: meningkatkan partisipasi stakeholder untuk menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi dalam upaya mencapai Co-management.
10.2. Rumusan Arahan Kebijakan Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, dapat disusun rangkuman hasil penelitian model pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana (Lihat Tabel 33). Selanjutnya pembahasan akan mengemukakan kesimpulan komprehensif (Lihat Tabel 34) sebagai dasar rumusan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis (Lihat Gambar 74). Berdasarkan pembahasan yang menggunakan analisis AHP dihasilkan alternatif kebijakan sebagai berikut : • Untuk Kabupaten Indramayu, mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berspektif mitigasi bencana.
190
• Untuk Kabupaten Ciamis,
meningkatkan partisipasi stakeholder untuk
menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasan aspirasi pada pihak lain dapat dieliminasi dalam upaya mencapai Co-management. Oleh karena kebijakan pengembangan sumber daya alam itu dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum, maka ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi (Sanim, 2006), yaitu : • Mencegah keterbatasan prasarana dan sarana (kegagalan pasar); • Memberikan ruang gerak yang memadai bagi pelaku usaha lokal (keterbatasan kerangka kompetitif); • Menentukan
harga/tarif
yang
terjangkau
oleh
masyarakat
(tujuan
distribusional). Dalam
merumuskan
kebijakan
pengembangan
wilayah
pesisir
berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana, upaya untuk mencegah keterbatasan prasarana dan sarana, yang ada yaitu dengan cara membangun perlindungan pesisir terpadu yang sekaligus dapat menjadi pangkalan pendaratan ikan dan ditempat terpisah dapat menjadi tambatan perahu wisata bahari. Upaya ini selain memberikan peluang meningkatnya ekonomi masyarakat lokal (local competences) juga memberikan perlindungan terhadap bencana pesisir (coastal disaster protection) dalam rangka optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kemudian upaya memberikan ruang gerak yang memadai bagi pelaku usaha lokal, dapat dilakukan dengan meningkatkan partisipasi stakeholder melalui regulasi dari pemerintah kabupaten yang membuka peluang pasar dan permodalan; advokasi dari perguruan tinggi lokal; dan kolaborasi baik sesama pengusaha lokal (complementary among local competences ) maupun lintas strata (national and local competences). Selanjutnya upaya untuk menentukan harga/tarif yang terjangkau oleh masyarakat, dapat dipenuhi dengan menerapkan co-management guna mencegah dominasi oleh satu pihak kepada pihak lain, sehingga akan memudahkan kesepakatan antara pelaku dan pengguna untuk menentukan harga/tarif yang menguntungkan bagi seluruh pihak dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir.
191
Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
berdasarkan
ketiga
persyaratan tersebut di atas maka dapat dirumuskan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana adalah :
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi stakeholder untuk mencapai co-management dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan
192
Tabel 33. Rangkuman hasil penelitian model pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR (KBMS) 1. Hasil analisis KBMS , 3 Kelompok Parameter dan 24 Rule Base : • Optimalisasi pelaksanaan tata ruang pesisir, ketersediaan sarana dan prasarana dan pembangunan industri berbasis wilayah pesisir dan proporsi dana pembangunan wilayah pesisir dalam APBD untuk Kab. Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kab. Ciamis dinilai ‘sedang’; yang berarti kebijakannya akan menerapkan pembangunan berkelanjutan. • Peran Pemerintah yang meliputi Rejim penguasaan pemerintah untuk memproteksi kawasan pesisir (Marine Protected Area dan program pemberday aan masyarakat melalui CSR untuk Kab. Indramayu dinilai ‘sedang’ dan untuk Kab. Ciamis ‘sedang’; yang juga berarti akan menerapkan pembangunan berkelanjutan. • Pengembangan sektor pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas yang berperspektif mit igasi bencana untuk Kab. Indramayu dinilai ‘rendah’ yang berarti belum menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dan untuk Kab. Ciamis ‘tinggi’ yang berarti sudah menerapkan pembangunan berkelanjutan. 2.Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat khususnya Kab. Indramayu dan Kab. Ciamis masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone management ) dan menerapkan pembangunan berkelanjutan (sustainable development )
STUDI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PSISIR (ASWOT)
STUDI POTENSI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR (ISM)
1. Hasil analisis SWOT di Kab. Indramayu : S : tempat pemasaran hasil-hasil perikanan domestik dan ekspor W : terjadinya kondisi alam dengan gelombang pasang O : mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya wilayah pesisir T : berubahnya orientasi generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain daripada menjadi nelayan
1. Hasil Analisis ISM di Kab.Indramayu : Bencana alam gelombang badai pasang menempati peringkat tertinggi sebagai elemen kunci. Selanjutnya dikuti oleh abrasi dan banjir pada level 4, kemudian intrusi air laut, gerakan tanah jenis amblesan, dan puting beliung pada level 3. Erosi dan akresi berada pada level 2, dan terakhir yaitu gempabumi dan tsunami pada level 1.
2. Hasil analisis SWOT di Kab.Ciamis : S : potensi sumberdaya ikan di wilayah ZEEI yang sangat besar W: lemahnya kualitas SDM O : potensi sumber daya wilayah pesisir yang belum dimanfaatkan secara optimal T : bertambah banyaknya negara yang menerapkan persyaratan kualitas produk (ISO 9000, ISO 14000, HACCP)
2. Hasil Analisis ISM di Kab.Ciamis : Bencana alam gempabumi dan tsunami menempati peringkat tertinggi dan menjadi elemen kunci, yang kemudian diikuti oleh abrasi dan bencana alam gelombang badai pasang pada level 3. Kemudian angin kencang/puting beliung, dan gerakan tanah jenis longsoran/keruntuhan menempati level 2, serta banjir, erosi, intrusi air laut, dan akresi pada level 1.
3. Hasil Analisis ASWOT di Kab.Indramayu : Potensi tertinggi : s ektor minyak dan gas bumi dengan skor sebesar 0.246 (24.6%) dan sektor perikanan dengan nilai skor 0.244 (24.4%). 4. Hasil Analisis ASWOT di Kab.Ciamis : Potensi tertinggi : s ektor pariwisata dengan skor 0.251 (25.1%) dan sektor perikanan dengan skor 0.248 (24.8%). 5.
Kebijakan pemanfaatan sda migas sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan ( derive demand), jadi saling melengkapi bukan kompetitor (complementary)
3. Kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut harus mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi sejak tahun 1970an di pantai utara Jawa. Dengan demikian kebijakan pengembangan tidak lag i hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial sehingga kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana.
STUDI EFEKTIFITAS KEBERHASILAN DAN BENTUK MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR (ISM dan MPE) 1. Hasil analisis ISM di Kab.Indramayu menetapkan 2 elemen kunci : Gabungan Pemecah Ombak, Peredam Abrasi, Penahan Sedimentasi Sejajar Pantai dan Gabungan Remangrovesasi, Artificial Reef, Beach Nourishment 2. Hasil analisis ISM di Kab.Ciamis menetapkan 2 elemen kunci yaitu sistem peringatan dini dan gabungan pemecah ombak Peredam Abrasi, Penahan Sedimentasi. 3. Hasil analisis MPE di Kab.Indramayu menetapkan Gabungan Pemecah Ombak, Peredam Abrasi dan Penahan Sedimentasi Sejajar Pantai sebagai mitigasi yang paling efektif. 4. Hasil analisis MPE di Kab.Ciamis menetapkan sistem peringatan dini sebagai mitigasi yang paling efektif.
ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERSPEKTIF MITIGASI BENCANA (AHP) 1. Hasil analisis AHP di Kab. Indramayu : Guna mewujudkan tujuan optimasi produktifitas wilayah pesisir diperlukan alternatif kebijakan pengembangan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana. 2. Hasil analisis AHP di Kab. Ciamis: Guna mewujudkan tujuan optimasi sistem penyangga kehidupan diperlukan alternatif kebijakan peningkatan peran stakeholder dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dengan demikian dapat dihindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembias an aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi dalam upaya mencapai Co- management.
5. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir hendaknya memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan menjadi lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai kesepakatan global untuk secepatnya merubah paradigma lama yang responsif, reaktif, dan kedaruratan menjadi preventif, proaktif, dan kesiapsiagaan.
192
193 192 Tabel 34. No.
1.
2.
3.
Kesimpulan komprehensif hasil penelitian model pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana MODEL
KESIMPULAN
E valuasi Implementasi Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir dengan alat analisis Knowledge Base Manajemen System (KBMS)
Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Jawa Barat, khususnya Kab.Indramayu dan Kab.Ciamis masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (integrated coastal zone management) dan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development)
Studi Potensi Pengembangan Wilayah Psisir Kombinasi AHP dan SWOT (ASWOT)
Studi Potensi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir Interpretive Structural Modeling (ISM)
4.
Studi Efektifitas Keberhasilan Dan Bentuk Mitigasi Bencana Alam Di Wilayah Pesisir (ISM dan MPE)
5
Model Kebijakan Pengembangan Wilayah Pesisir Berkelanjutan Berspektif Mitigasi Bencana (AHP)
1. Potensi sumberdaya alam di pesisir Indramayu adalah minyak dan gas bumi serta perikanan, di pesisir Ciamis adalah pariwisata dan perikanan 2.Kebijakan pemanfaatan sda migas sebagai national competence dapat meningkatkan kegiatan perikanan sebagai local competence dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat meningkatkan permintaan terhadap hasil perikanan (derive demand), jadi saling melengkapi bukan kompetitor (complementary). 1. Laju kemerosotan kualitas lingkungan pantai utara Jawa sejak tahun 1970an terus meningkat akibat gelombang pasang, banjir, dan abrasi. Pantai selatan terlalu terbuka, tidak ada pengaman sangat berisiko ketika terjadi tsunami. 2. Kebijakan pengembangan yang akan diterapkan untuk kedua wilayah pesisir tersebut sudah harus mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan yang telah terjadi sejak tahun 1970an di pantai utara Jawa, sehingga tidak boleh berorientasi hanya pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga aspek ekologi dan sosial. Dengan demikian kebijakan pengembangan menjadi berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana. 1. Upaya yang dilakukan akan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai kesepakatan global untuk secepatnya merubah paradigma lama yang responsif, reaktif, dan kedaruratan 2. Berdasarkan hasil analisis efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam di wilayah pesisir, dapat dinyatakan bahwa tidak ada bentuk mitigasi bencana yang dapat efektif berdiri sendiri. Hal ini disebabkan setiap bentuk mitigasi mempunyai kelemahan yang dapat dilengkapi dan diperkuat oleh bentuk-bentuk mitigasi lainnya (complementary). 3. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir sudah memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan akan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai kesepakatan global untuk secepatnya merubah paradigma lama yang responsif, reaktif, dan kedaruratan. 1. Kebijakan yang akan diterapkan di Kab.Indramayu: mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berspektif mitigasi bencana. 2. Kebijakan yang akan diterapkan di Kab.Ciamis: meningkatkan partisipasi stakeholder untuk menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasan aspirasi pada satu pihak dapat dieliminasi dalam upaya mencapai co-management.
194
PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR YANG DIJALANKAN SELAMA INI LEBIH MENEKANKAN ASPEK EKONOMI DARIPADA SOSIAL, EKOLOGI, DAN MITIGASI
1
KELEMPOK PARAMETER SATU KAB. INDRAMAYU ‘SEDANG’ KAB, CIAMIS ‘ SEDANG’
EVALUASI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR (KBMS)
STUDI POTENSI PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR Kombinasi AHP dan SWOT (ASWOT)
STUDI POTENSI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR (ISM)
KELEMPOK PARAMETER DUA KAB. INDRAMAYU ‘SEDANG’ KAB, CIAMIS ‘ SEDANG’ KELEMPOK PARAMETER TIGA KAB. INDRAMAYU ‘RENDAH’ KAB, CIAMIS ‘ TINGGI’ KAB. INDRAMAYU PRIORITAS PEMBANGUNAN SEKTOR MIGAS DAN PERIKANAN
KAB. CIAMIS PRIORITAS PEMBANGUNAN SEKTOR PARIWISATA DAN PERIKANAN DI KAB . INDRAMAYU : GELOMBANG PASANG
DI KAB. CIAMIS ADALAH GEMPA BUMI DAN TSUNAMI
Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di kab. indramayu dan Kab. ciamis masih perlu diarahkan menuju pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan
Kebijakan pemanfaatan sda migas dapat meningkatkan kegiatan perikanan dengan mengarahkan nelayan kepada akses pasar dan permodalan, kegiatan pariwisata dapat (derive demand ), jadi saling melengkapi bukan kompetitor (complementary)
Kebijakan pengembangan harus mempertimbangkan laju kemerosotan kualitas lingkungan. kebijakan pengembangan tidak lagi hany a berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek ekologi dan sosial mitigasi bencana
ALTERNATIF KEBIJAKAN UNTUK KAB.INDRAMAYU: Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berspektif mitigasi bencana ALTERNATIF KEBIJAKAN UNTUK KAB.CIAMIS : Meningkatkan partisipasi stakeholder untuk menghindari peran dominan yang berlebihan dari satu pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sehingga pembiasan aspirasi pada pihak lain dapat dieliminasi dalam upaya mencapai Comanagement.
ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR BERKELANJUTAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA : Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi stakeholder untuk mencapai Comanagement dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan
(AHP)
STUDI EFEKTIFITAS DAN BENTUK MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR (ISM DAN MPE)
BAGIAN PENELITIAN
DI KAB.CIAMIS SISTEM PERINGATAN DINI
Kebijakan pengembangan wilayah pesisir sudah memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu. Upaya yang dilakukan akan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan.
HASIL ANALISIS
KEBIJAKAN PARSIAL
DI KAB. INDRAMAYU GABUNGAN PEMECA H OMBAK, PEREDAM ABRASI, DAN PENAHAN SEDIMENTASI SEJAJAR PANTAI
ALTERNATIF KEBIJAKAN
ARAHAN KEBIJAKAN
194
Gambar 74. Diagram rumusan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana
195
10.3. Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir yang Berkelanjutan Berperspektif Mitigasi Bencana Alam Pada awal penelitian telah dikemukakan bahwa kebaruan (novelty) dalam penelitian ini adalah sumbangsih pemikiran untuk merevisi strategi pemerintah yang dikenal sebagai triple track strategy menjadi quarter track strategy yaitu pro growth, pro job, pro poor, dan pro mitigation (Lihat Bab I). Berdasarkan hal tersebut serangkaian analisis dengan berbagai metode telah diselesaikan dan arahan kebijakan telah berhasil dirumuskan. Selanjutnya agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan maka antara kebijakan dan strategi perlu disiapkan landasan strateginya. Mintzberg (1994) menyebutkan bahwa strategi adalah sebuah pola dalam sebuah arus keputusan, kebijakan atau tindakan dan Glueck (1980) menyebutkan bahwa strategi adalah suatu rencana yang didesain untuk memastikan tercapainya tujuan utama. Dengan demikian pembahasan akan dilanjutkan untuk menyusun landasan strateginya. Sebagai landasan strategi umum pengembangan sumber daya alam yang dipergunakan adalah meletakkan pengembangan ekonomi lokal atas dasar prakarsa/ inisiatif serta kekhasan daerah yang bersangkutan (endegenous development), melalui pemanfaatan sumberdaya lokal yang di perkokoh dengan ikatan modal sosial (Sanim, 2006).
Hasil penelitian mengemukakan bahwa
endegenous development Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis adalah sektor perikanan. Sektor migas merepresentasikan pro growth dan program CSR yang terdapat dalam sektor migas merepresentasikan pro poor, serta sektor pariwisata yang merepresentasikan pro job. Landasan strategi pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan membangun industri berbasis pesisir yang ramah lingkungan (pro-growth) dan meningkatkan daya saing lokal serta melakukan kemitraan yang saling menguntungkan (pro-job) dengan melaksanakan program CSR bagi BUMN besar sebagai pendamping program bantuan dan perlindungan sosial, Pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri, dan kredit usaha rakyat yang dilaksanakan pemerintah (pro-poor). Landasan strategi pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana adalah mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan prasarana dan sarana ekonomi berbasis kekhasan daerah yang bersangkutan (pro-mitigation) yang terintegrasi sepenuhnya dengan sistem perlindungan pesisir.
196
Berdasarkan uraian di atas maka rangkaian penjelasan hasil-hasil analisis, alternatif-alternatif kebijakan yang memungkinkan, rumusan arahan kebijakan, landasan strategi umum pengembangan wilayah pesisir, landasan strategi pengembangan berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana dan strategi empat jalur (quarter track strategy ) sebagai kebaruan (novelty) serta landasan strategis yang perlu dilakukan keseluruhannya telah dibahas (lihat Gambar 75).
Selanjutnya akan dikemukakan langkah-langkah strategis yang
diperlukan.
10.3.1. Langkah-langkah strategis Pengembangan Wilayah Pesisir Terpadu yang Berkelanjutan Menurut Cicin dan Knecht (1998), keberlanjutan hanya dapat tercapai jika ada keterpaduan antara dimensi sektor, ekologis, hirarki pemerintahan, antarnegara, dan disiplin ilmu. Pada dasarnya pengembangan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Untuk mencapai keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang berkelanjutan, beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain: • Mengembangkan kajian-kajian penelitian dan teknologi pengelolaan wilayah pesisir yang ramah lingkungan. • Mengembangkan sistem informasi manajemen di wilayah pesisir dan meningkatkan keterampilan masyarakat. • Memberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan usaha-usaha yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir. • Meningkatkan kapasitas kelembagaan terpadu dan pemasaran produk unggulan wilayah pesisir. • Melakukan penataan ruang wilayah pesisir sesuai dengan status dan fungsi wilayah tersebut. • Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam pesisir agar tidak melampaui ambang batas.
10.3.2. Langkah-langkah strategis Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Sebagai kegiatan yang sifatnya rutin dan berkelanjutan, mitigasi bencana hendaknya merupakan sistem dan prosedur yang sederhana (Coburn et al., 1994). Prosedur yang sederhana ini akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk memahaminya, dan diharapkan akan cepat memiliki
197
kemampuan untuk dapat melakukannya secara mandiri. Berkaitan dengan hal tersebut beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain : • Meningkatkan
koordinasi
dengan
berbagai
pihak terkait termasuk
kerjasama internacional sesuai dengan UU 22/1999 dan UU 24/2007. • Memberdayakan masyarakat pesisir dalam bidang penanggulangan bencana •
Merevisi RTRW Pesisir dan peraturannya dengan mempertimbangkan aspek mitigasi bencana alam.
• Mempersiapkan data dan peta rawan bencana alam serta prakiraan risiko bencana yang akan terjadi. • Mempersiapkan NSPM (norm standard procedure manual) bangunan rumah, bangunan gedung dan bangunan air di wilayah rawan bencana • Menyederhanakan SOP mitigasi bencana dengan SMART. Dari beberapa langkah-langkah di atas baik yang berkaitan dengan pengembangan wilayah pesisir maupun mitigasi bencana di wilayah pesisir khususnya Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis (Gambar 75), selanjutnya diharapkan pemerintah setempat dapat menyusun program-program pengelolaan dan mitigasi untuk mendukung penerapan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu yang bekelanjutan dan mitigasi bencana. Pemerintah Kabupaten sesuai dengan UU 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah memiliki kewenangan untuk menentukan program pembangunan sekaligus dengan anggaran pembangunannya, termasuk bentuk mitigasi yang efektif dan sesuai untuk diterapkan
198
198 Hasil analisis
Rumusan arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana
Landasan strategi umum pengembangan sumber daya alam
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi stakeholder untuk mencapai co-management dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan
meletakkan pengembangan ekonomi lokal atas dasar prakarsa/ inisiatif serta kekhasan daerah yang bersangkutan (endegenous development), melalui pemanfaatan sumberdaya lokal yang di perkokoh dengan ikatan modal sosial (Sanim, 2006)
adalah
Hasil penelitian mengemukakan bahwa endegenous development Kab. Indramayu dan Kab. Ciamis adalah sektor perikanan.
Landasan strategi pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan
Strategi empat jalur (Quarter track strategy)
adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan membangun industri berbasis pesisir yang ramah lingkungan dan meningkatkan daya saing lokal serta melakukan kemitraan yang saling menguntungkan
• • •
Pro growth Pro job
• • •
dengan melaksanakan program CSR bagi BUMN besar sebagai pendamping program bantuan dan perlindungan sosial, Pemberdayaan masyarakat PNPM Mandiri, dan kredit usaha rakyat yang dilaksanakan pemerintah
Langkah-langkah Strategis Berkelanjutan
Langkah-langkah Strategis Mitigasi Bencana
Pro poor • •
Landasan strategi pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
• •
adalah mengalokasikan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan pembangunan prasarana dan sarana ekonomi berbasis kekhasan daerah yang bersangkutan (endegenous development) yang terintegrasi sepenuhnya dengan sistem perlindungan pesisir
• Pro mitigation
Mengembangkan teknologi pengelolaan pesisir yang ramah lingkungan Mengembangkan sistem informasi manajemen dan keterampilan masyarakat Memberdayakan masyarakat pesisir melalui pengembangan usaha-usaha yang dapat dikembangkan di wilayah pesisir Meningkatan kapasitas kelembagaan terpadu dan pemasaran produk unggulan pesisir Melakukan penataan ruang wilayah pesisir sesuai dengan status dan fungsi wilayah Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam pesisir
•
Meningkatkan koordinasi pihak terkait termasuk kerjasama internasional sesuai dengan UU 22/1999 dan UU 24/2007 Memberdayakan masyarakat pesisir dalam bidang penanggulangan bencana Merevisi RTRW pesisir dan peraturannya dengan mempertimbangkan aspek mitigasi Mempersiapkan data, peta rawan bencana dan prakiraan risiko yang akan terjadi Mepersiapkan NSPM bangunan rumah, bangunan gedung, bangunan jalan dan bangunan air di wilayah rawan bencana Menyederhanakan SOP mitigasi bencana dengan SMART.
Gambar 75. Diagram alir rumusan arahan kebijakan, landasan strategi umum, landasan strategi pengembangan dan strategi empat jalur pengembangan wilayah pesisir berkelanjutan berperspektif mitigasi bencana serta langkah-langkah strategis yang diperlukan 198
199
10.4. Sasaran dan Tujuan Dengan telah diselesaikannya secara lengkap mengenai strategi, maka pembahasan dilanjutkan kepada sasaran, tujuan dan hasil yang diharapkan. Berdasarkan hasil analisis AHP terdahulu, diketahui bahwa tujuan yang ingin dicapai (goals) dalam pengelolaan wilayah pesisir di kabupaten Indramayu adalah optimasi produktivitas wilayah pesisir sedangkan di wilayah pesisir Kabupaten Ciamis adalah optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan. Oleh karena strategi adalah pola dalam arus kebijakan yang dirancang untuk memastikan tercapainya tujuan utama (Mintzberg, 1999; Glueck, 1998) maka pembahasan dilanjutkan untuk mengetahui tahapan antara strategi dan tujuan yaitu sasaran. Sasaran umumnya dibedakan atas minimal dua tahap dan maksimal tiga tahap tergantung tujuan yang diharapkan dapat tercapai (Glueck, 1998). Oleh karena analisis dengan AHP menghasilkan dua tujuan,
maka sasaran juga
disesuaikan hanya ada dua tahapan, yaitu jangka pendek dan jangka panjang (Gambar 76). Guna mencapai optimasi produktifitas wilayah pesisir sebagai tujuan, dua sasaran ditetapkan dalam jangka pendek yaitu meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan meningkatkan produktifitas SDM di pesisir. Guna mencapai optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan, dua sasaran lain ditetapkan dalam jangka pendek, yaitu meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir dan menurunkan risiko bencana. Guna mencapai optimasi produktifitas wilayah pesisir dalam jangka panjang telah ditetapkan dua sasaran yaitu meningkatkan investasi dan menurunkan kemiskinan absolut dan pengangguran. Guna mencapai optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan, dua sasaran lain ditetapkan dalam jangka panjang, yaitu mempersem pit jurang kesenjangan ekonomi antarpenduduk dan antarwilayah serta meningkatkan kualitas lingkungan wilayah pesisir. Dengan demikian akan diperoleh hasil yang diharapkan (ultimate objectives) dari penelitian ini yaitu sumber daya alam pesisir yang berkelanjutan, mata pencaharian masyarakat pesisir yang berkelanjutan, dan kehidupan masyarakat pesisir yang aman, nyaman dan sejahtera. Berdasarkan hal tersebut maka seluruh pembahasan arahan kebijakan sampai dengan sasaran jangka pendek dan sasaran jangka panjang dalam kegiatan penelitian ini telah diselesaikan. Selanjutnya pembahasan akan mengemukakan kesimpulan akhir dan saran dari penelitian ini.
Sasaran Jangka Pendek • meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir
• meningkatkan produktivitas SDM di pesisir
Langkah-langkah Strategis Berkelanjutan
• meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir • menurunkan risiko bencana
Sasaran Jangka Panjang
Langkah-langkah Strategis Mitigasi Bencana
Hasil yang diharapkan (Ultimate Objectives)
• meningkatkan investasi • menurunkan kemiskinan absolut dan pengangguran • mempersempit jurang kesenjangan ekonomi (antarpenduduk dan antarw ilayah)
Tujuan (Goals) • optimasi produktivitas wilayah pesisir • optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan
•
Sumber daya alam pesisir yang berkelanjutan
•
Mata pencaharian masyarakat pesisir yang berkelanjutan
•
Kehidupan masyarakat pesisir yang aman, nyaman dan sejahtera
• meningkatkan kualitas lingkungan wilayah pesisir
Gambar 76. Diagram alir strategi, sasaran jangka pendek dan panjang, tujuan, dan hasil yang diharapkan 200
XI. KESIMPULAN DAN SARAN 11.1. Kesimpulan 1. Kebijakan pengembangan wilayah pesisir di
Jawa Barat, yaitu di
Kabupaten Indramayu dan di Kabupaten Ciamis diarahkan
menuju pengelolaan
wilayah
masih perlu
pesisir secara terpadu
(integrated coastal zone management) dan menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 2. Potensi pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu adalah minyak dan gas bumi serta perikanan, dan di Kabupaten Ciamis adalah pariwisata dan perikanan. 3. Potensi bencana alam di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu adalah gelombang badai pasang (storm tide) diikuti oleh banjir dan abrasi, dan di Kabupaten Ciamis adalah gempa bumi dan tsunami diikuti oleh gelombang badai pasang (storm tide) dan banjir. 4. Bentuk mitigasi bencana alam yang paling sesuai untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi sejajar pantai diikuti oleh gabungan remangrovisasi, artificial reef dan beach nourisment. 5. Model kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana adalah sintesis kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Indramayu dan kebijakan pengembangan wilayah pesisir di Kabupaten Ciamis. 6. Arahan kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan
berperspektif
mitigasi
bencana
adalah
mengembangkan
prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana serta meningkatkan partisipasi stakeholder untuk mencapai comanagement dalam rangka optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi perlindungan sistem penyangga kehidupan Selain enam kesimpulan sebagai jawaban terhadap enam tujuan penelitian tersebut, akan dikemukakan strategi, sasaran jangka pendek dan jangka panjang, tujuan dan hasil yang diharapkan dengaan diterapkannya kebijakan tersebut, yaitu : •
Strategi pembangunan empat jalur yang diusulkan yaitu pro growth, pro job, pro poor dan pro mitigation, adalah kebaruan (novelty) dalam
202
penelitian ini yang dirancang untuk mencapai tujuan pengembangan wilayah pesisir yang berkelanjutan dan berperspektif mitigasi bencana •
Sasaran
jangka
pendek
adalah
meningkatkan
pendapatan
masyarakat pesisir, meningkatkan produktivitas SDM di pesisir, meningkatkan keberdayaan masyarakat pesisir dan menurunkan risiko bencana •
Sasaran jangka panjang adalah meningkatkan investasi, menurunkan kemiskinan dan pengangguran, mempersempit jurang kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kualitas lingkungan wilayah pesisir
•
Tujuan kebijakan (policy goals) adalah optimasi produktivitas wilayah pesisir dan optimasi sistem perlindungan penyangga kehidupan.
•
Hasil yang diharapkan (ultimate objectives) yaitu sumber daya alam dan mata pencaharian masyarakat pesisir yang berkelanjutan, serta kehidupan masyarakat pesisir yang aman, nyaman dan sejahtera.
11.2. Saran 11.2.1. Umum 1. Pajak dan retribusi tidak lagi hanya sebagai income-generating untuk menyumbang
Pendapatan Asli Daerah saja tetapi harus mampu
berkontribusi dalam pengurangan risiko bencana, yaitu IMB untuk menegakan building code, galian C untuk meregulasi eksplorasi DAS dan Ijin Usaha untuk melindungi terhadap pencemaran. 2. Alokasi belanja anggaran untuk Mitigasi Bencana di daerah rawan bencana yang harus rutin tersedia memadai setiap tahun jangan hanya untuk pembangunan prasara dan sarana fisik saja, tetapi harus juga untuk peningkatan kapasitas masyarakat dan aparat . 3. Guna menghindari kegagalan pembangunan sistem perlindungan pesisir terpadu, maka keterlibatan pakar terkait harus dilakukan sejak tahap perencanaan, pengawasan pelaksanaan dan pemanfaatannya. 4. Sistem Pakar yang mengedepankan dialogic discourse hendaknya dipahami dan dikuasai dengan baik oleh para pejabat karena akan membantu menyelesaikan permasalahan secara cepat dan ilmiah. 5. Selain KBMS, ASWOT (AHP dan SWOT), ISM, ISM dan MPE, dan AHP sebagaimana yang telah dikemukakan masih ada satu metoda yang layak dipertimbangkan untuk digunakan sebagai alat analisis
203
yaitu SOAR (Strengths, Opportunities, Apreciations and Results), sebagai alternative strategic planning yang mulai dikenal pada awal tahun 2000 telah mengedepankan inquiry, imagination, inovation, dan inspiration. 6. Potensi bencana alam yang tinggi terjadi di wilayah pesisir kepulauan Indonesia hendaknya menjadi pemicu lahirnya para pakar dibidang penanggulangan bencana alam, dan untuk itu perguruan tinggi secepatnya membuka program pasca sarjana dibidang kebencanaan.
11.2.2. Khusus Di pesisir Indramayu : 1. Pemerintah daerah perlu membuat suatu rencana tata ruang wilayah pesisir yang mendeliniasi secara jelas area permukiman, area usaha khusus untuk eksplorasi minyak dan gas bumi dengan nelayan, area penghijauan dengan garis sempadan pantai, area rawan bencana yang tidak boleh menjadi daerah terbangun dan area penyelamatan yang memadai serta jalur evakuasi yang harus diterapkan secara konsekuen. 2. Pembangunan prasarana dan sarana pesisir berperspektif mitigasi yang segera dibangun adalah: • Jalan akses ke lokasi pusat kegiatan pesisir, seperti pangkalan pendaratan ikan, sekolah, puskesmas dan pemukiman. • Jaringan listrik, telepon, air bersih dan sanitasi • Sarana transportasi darat dan laut yang bagi masyarakat di pesisir merupakan hal sangat penting. • Prasarana perlindungan pesisir untuk pusat kegiatan sosial dan ekonomi berupa gabungan peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar pantai dan pemecah ombak. 3. Memastikan program CSR yang dilakukan oleh Pertamina dapat meningkatkan meningkat.
kapasitas
masyarakat
agar
taraf
ekonominya
Pengembangan ekonomi lokal membutuhkan akses
modal, teknologi, dan pasar. Dengan demikian program CSR Pertamina Unit IV Balongan akan menjadi pendamping pelaksanaan program pemerintah dalam rangka perlindungan sosial, seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Kredit Usaha Rakyat (KUR),
204
dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dalam pelaksanaannya Pertamina
dapat
memanfaatkan
Universitas
Wiralodra
untuk
mendampingi masyarakat dalam meningkatkan kapasitasnya. 4. Wilayah pesisir Indramayu rentan terhadap ancaman pencemaran, kegiatan penambangan minyak di Balongan. Masyarakat sekitar yang kesehariannya berhubungan dengan perairan pesisir dan memiliki sensitivitas tinggi terhadap perubahan yang terjadi pada perairan, dapat dimanfaatkan sebagai pengawas lingkungan sekitar area eksplorasi. 5. Pemanfaatan sumberdaya pesisir Indramayu yang sesuai dengan daya dukung (carrying capacity) kawasan tersebut perlu dilakukan dalam rangka peningkatan produktivitas kawasan. Langkah ini dapat didukung dengan penyediaan teknologi yang memadai seperti ketersediaan kapal dan alat tangkap. Di pesisir Ciamis 1. Sumberdaya alam yang melimpah di ZEE harus dimanfaatkan optimal oleh nelayan Ciamis. SDM yang lemah di sektor perikanan harus diatasi dengan meningkatkan partisipasi stakeholder. 2. Potensi pariwisata pansela yang terus meningkat secara bersamaan juga dapat mengembangkan sektor perikanan karena pariwisata dapat menjadi drive demand sektor perikanan dengan terserapnya hasil tangkap perikanan. Selain sektor perikanan, perkembangan wisata pantai di Ciamis juga dapat membuka peluang usaha baru bidang jasa seperti jasa pengadaan penginapan, jasa penyewaan fasilitas wisata, dan usaha terkait lainnya. 3. Kemitraan strategis antarsektor dalam bentuk co-managment akan mampu meningkatkan motivasi masyarakat pansela di Ciamis agar dapat memanfaatkan SDA yang melimpah di ZEE tersebut.
212
Lampiran 1. Substansi mitigasi di UU terkait kebencanaan Sumber : Forum Mitigasi Bencana, 2007
UU 7 tahun 2004 SDA IIstilah dan pengertian : No 1.
Bencana : -
2.
Mitigasi : -
3.
Bencana alam : -
UU 24 tahun 2007 PB
UU 26 tahun 2007 PR
UU 27 tahun 2007 PWP3K
Bencana : Peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis Mitigasi : Serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana
Bencana : -
Bencana pesisir : Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayatipesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Mitigasi : -
Bencana alam Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan,
Bencana alam: -
Mitigasi bencana: Upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun non struktur atau non fisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Bencana alam Kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan
213
angin topan, dan tanah longsor 4.
Bencana non alam : -
5.
Kegiatan pencegahan bencana : -
6.
Rawan bencana : -
7.
Pencegahan bencana : -
Bencana non alam Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit Kegiatan pencegahan bencana Serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana Rawan bencana Kondisi atau karakteristik geologis,biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untukjangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu
Bencana non alam : -
Pencegahan bencana Serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Bencana non alam : -
Kegiatan pencegahan bencana : -
Kegiatan pencegahan bencana :-
Rawan bencana : -
Rawan bencana : -
Pencegahan bencana : -
Pencegahan bencana :-
214
8.
Risiko bencana :-
9.
Penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana : -
Rehabilitasi : -
pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana Risiko bencana Potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat Penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana : Pasal 5 Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana Rehabilitasi : Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Risiko bencana :-
Risiko bencana : -
Penanggung jawab penyelenggara an penanggulanga n bencana : -
Penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana : Pasal 57 Mitigasi bencana Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat. Rehabilitasi: Proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula
Rehabilitasi : -
215
No
UU 7 tahun 2004 SDA
Pasal demi pasal 1. Penanggung jawab pelaksanaan Pasal 51 (3) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud padaayat (1) diselenggarakan dengan melibatkan masyarakat.(4) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, serta pengelola sumber daya air wilayah sungai dan masyarakat.
2.
Pelaksanaan Pencegahan/mitig asi bencana Pasal 51 (1) Pengendalian daya rusak air dilakukan secara menyeluruh yang mencakup upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. (2) Pengendalian daya rusak air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan pada upaya pencegahan melalui perencanaan pengendalian daya rusak air yang disusun secara terpadu dan menyeluruh dalam pola pengelolaan
UU 24 tahun 2007 PB
UU 26 tahun 2007 PR
Penanggung jawab pelaksanaan Pasal 5 Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Penanggung jawab pelaksanaan Pasal 6 (1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan: a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
Pelaksanaan Pencegahan/mitigasi bencana Pasal 31 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4 (empat) aspek meliputi:a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat; b. kelestarian lingkungan hidup; c. kemanfaatan dan efektivitas; dan d. lingkup luas wilayah. Bagian Kedua Tahapan Pasal 33 Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap meliputi:
Pelaksanaan Pencegahan/mitig asi bencana Pasal 20…. (5) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yangditetapkan dengan peraturan perundangundangan dan/atau perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UndangUndang, Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
UU 27 tahun 2007 PWP3K Penanggung jawab pelaksanaan Pasal 56 Dalam menyusun rencana pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil terpadu, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat mitigasi bencana diWilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya. Pasal 57 Mitigasi bencana Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dengan melibatkan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat. Pelaksanaan Pencegahan/mitigasi bencana Pasal 58 Penyelenggaraan mitigasi bencana Wilayah Pesisir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dilaksanakan dengan memperhatikan aspek:a. sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat;b. kelestarian lingkungan hidup;c. kemanfaatan dan efektivitas; serta d. lingkup luas wilayah.
216
sumber daya air.
Objek hukum Pasal 52 Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya daya rusak air.
Metodologi Pelaksanaan Pasal 53 (1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1)dilakukan baik melalui kegiatan fisik dan/atau nonfisik maupun melalui penyeimbangan hulu dan hilir wilayah sungai. (2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih diutamakan pada kegiatan non fisik.(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)ditentukan oleh pengelola sumber daya air
a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pasca bencana. Objek hukum
Metodologi Pelaksanaan Pasal 34 Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi: a meliputi: a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Pasal 47 (1) Mitigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf c dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi
Objek hukum Paragraf 5 Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota Pasal 28. c. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Metodologi Pelaksanaan Penjelasan Penjelasan ...Ayat (5) Keadaan yang bersifat mendasar, antara lain, berkaitan dengan bencana alam skala besar, perkembangan ekonomi,perubah an batas teritorial negara yang ditetapkan dengan peraturan perundangundangan. Pasal 5 d. kawasan rawan bencana alam, antara lain, kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan
Objek hukum Pasal 59 (1) Setiap Orang yang berada di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil wajib melaksanakan mitigasi bencana terhadap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan kerusakan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
Metodologi Pelaksanaan Pasal 59 (2) Mitigasi bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan struktur/fisik dan/atau nonstruktur/nonfisik.(3) Pilihan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh instansi yang berwenang.
217
yang bersangkutan.
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.(2) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. pelaksanaan penataan ruang; b. ...
rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir; dan...
Aturan turunan (4) Ketentuan mengenai pencegahan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pasal 54 (1) Penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dilakukan dengan mitigasi bencana.(2) Penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait dan masyarakat melalui suatu badan koordinasi penanggulangan bencana pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.(3) Ketentuan mengenai penanggulangan kerusakan dan bencana akibat daya rusak air diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Kewenangan dan
Aturan turunan PP Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Aturan turunan Penjelasan ... Ayat (3) Hak prioritas pertama bagi Pemerintah dan pemerintah daerah dimaksudkan agar dalam pelaksanaan pembangunan kepentingan umum yang sesuai dengan rencana tata ruang dapat dilaksanakan dengan proses pengadaan tanah yang mudah. …. d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lainlain bencana;
Aturan turunan Pasal 59 (4) Ketentuan mengenai mitigasi bencana dan kerusakan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Kewenangan dan
Kewenangan dan
Kewenangan dan
218
Sanksi Pasal 55 (1) Penanggulangan bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional menjadi tanggung jawab Pemerintah.(2) Bencana akibat daya rusak air yang berskala nasional ditetapkan dengan keputusan presiden. Pasal 56 Dalam keadaan yang membahayakan, gubernur dan/atau bupati/walikota berwenang mengambil tindakan darurat guna keperluan penanggulangan daya rusak air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). Pasal 57 … Pasal 57
Sanksi
Sanksi
Sanksi Pasal 73 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang dengan sengaja: .... h. tidak melaksanakan mitigasi bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diakibatkan oleh alam dan/atau Orang sehingga mengakibatkan timbulnya bencana atau dengan sengaja melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerentanan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1).(2) Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
219
Lampiran 2. Garis besar diskursus akuisi pengetahuan dengan enam pakar. Pakar 1. Dr. Hamzah Latief (Universitas Tohoku) menyebutkan pohon dan hutan di pesisir memiliki kemampuan untuk memberikan perlindungan karena mampu meredam gelombang pasang atau tsunami. Tetapi karena menanam pohon untuk mencapai kerapatan dan ketinggian yang memungkinkan terbentuknya hutan yang mampu meredam gelombang pasang atau tsunami itu dibutuhkan waktu yang cukup lama, maka tata ruang wilayah pesisir perlu dioptimalkan (parameter 1) sehingga publik dapat merencanakan kegiatan jangka panjang tanpa harus melanggar peruntukan yang telah ditetapkan dan mempunyai kekuatan hukum tersebut. Pakar 2.
Djoko Suroso, PhD (Universitas Queensland) menyebutkan bahwa SDA
Pesisir
harus
dimanfaatkan
secara
bijaksana
dengan
menyeimbangkan aspek ekonomi dan lingkungan. Eksploitasi SDA yang tidak terkendali selain menurunkan kualitas lingkungan pesisir sehingga pesisir semakin rentan terhadap bencana alam seperti banjir yang mengakibatkan rusak dan tidak berfungsinya prasarana dan sarana pesisir (parameter 2) sehingga mengganggu kegiatan ekonomi yaitu kegagalan panen. Dampak kolateralnya menurunnya
ketahanan
pangan
dan
hal
ini
adalah
mengakibatkan
kemiskinan struktural masyarakat pesisir meningkat. Pakar 3.
Dr. rer. nat. Sumantri Tahrir (Universitas Kiel) menyebutkan bahwa abrasi dan erosi adalah proses penggerusan daratan oleh arus air. Abrasi sering diterapkan untuk penggerusan lapisan masif oleh hantaman gelombang air laut dan erosi sering diterapkan untuk penggerusan tebing terjal bisa
di
laut
dan juga
di sungai
(Schwartz, 1982). Dampak penggerusan ini adalah hilangnya daratan pesisir sepanjang satu sampai lima meter per tahun. Guna menangani abrasi dan erosi dalam sepuluh tahun terakhir ini, pemerintah
telah
mengeluarkan biaya sekitar USD 79.667 juta.
Mengingat perkembangan kegiatan ekonomi di pantura Jawa terus meningkat,
maka
sudah
saatnya
pemerintah
mengutamakan
220
pembangunan
industri
berbasis pesisir (parameter 3) dengan
menerapkan konsep Marine Protected Area (MPA) yang merupakan kewenangan pemerintah (state property regime) (parameter 5). Pakar 4.
Dr. Subandono Diposaptono (Universitas Tohoku) dari
empat
upaya
mengantisipasi
menyebutkan
bahaya gelombang pasang
atau Tsunami yaitu retreat, adaptive, stabilization dan vegetation yang
terbaik
adalah
menggabungkan
solusi
adaptive
yaitu
membangun Rumah Panggung dengan solusi protective yaitu membangun slope protection/bank revetment/sea walls yang diikuti dengan remangrovetation/reforestation dan beach nourishment/sand dune. Jika kondisi keuangan APBD memungk inkan (parameter 4) maka pesisir terbuka diberi perlindungan dengan membangun detached breakwater untuk memecah ombak dan groin untuk mencegah pergerakan sedimentasi sejajar pantai. Pakar 5.
Ir. Darsono (IPB) menyebutkan potensi Indramayu secara tradisional kultural adalah perikanan dimana nelayan melaut sampai ke Natuna dan beristirahat di Pontianak, pertanian dan perkebunan. Eksplorasi migas di Balongan dan di Mundu sumbangan
besar
terhadap
itu walaupun memberikan
negara,
belum
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat lokal, karena semuanya diperuntukan oleh/untuk Jakarta dan Jawa Barat sedangkan CSR baru dimulai pada 2007 dengan anggaran yang relatif kecil (parameter 6). Potensi Ciamis adalah perikanan yang digarap seadanya ini (karena tidak adanya motivasi masyarakat untuk menjadi nelayan handal), dan pariwisata (yang baru akan mencoba bangkit kembali dari keterpurukan pasca Tsunami khususnya memulihkan citra aman untuk dikunjungi oleh para wisatawan nusantara (wisnu) maupun manca negara (wisman). Pakar 6.
Danny
Hilman, PhD (Universitas California) menyebutkan bahwa
wilayah kepulauan Indonesia sangat rawan gempabumi karena lokasinya ada di zona batas Lempeng-Lempeng
Eurasia, Hindia-
Australia, dan Pacific yang bergerak relatif terhadap satu-sama lainnya sekitar 6–12 cm/tahun.
Dikaitkan dengan wilayah pesisir,
221
sumber gempabumi yang dominant potensi merusaknya adalah yang di bawah laut pada zona subduksi di bagian atas/dangkal, yaitu dari sepanjang
palung
laut
dalam
yang
merupakan
pertemuan
lempengnya sampai kedalaman 60 km, misalnya di sepanjang pantai barat Sumatra dan selatan Jawa.
Gempa pada
zona subduksi
dangkal ini, yang disebut juga sebagai ‘megathrust’, umumnya mempunyai potensi kekuatan maximum lebih dari skala magnitude 8. Karena pergerakan patahan gempanya mengakibatkan dasar laut terangkat maka gempa megathrust ini berpotensi menimbulkan tsunami besar yang akan melanda wilayah pesisir. Gempa-tsunami di NAD tahun 2004 dan di wilayah Pangandaran, Ciamis tahun 2006 adalah contoh bencana gempa tipe megathrust ini. Mengingat wilayah pantai di sepanjang zona subduksi ini mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap gempabumi dan tsunami, maka sudah selayaknya pemerintah membuat
kebijakan perencanaan pembangunan di
wilayah ini (pariwisata, perikanan, pertanian, perkebunan dan migas) (parameter 7) yang berperspektif mitigasi bencana.
222
Lampiran 3. Categorisation of spatially relevant natural hazards Source: Integration of Natural Hazards, Risk, and Climate Change into Spatial Planning Change (Thomé 2006)
Natural hazards Geo-hazards
Earthquakes
Affected by climate change No
Tsunamis Volcanic eruptions Landslides* Hydro-meteorological hazards
Yes
Avalanche Drought Extreme temperature Flood Forest fire Storms Storm surges
*Including all kinds of mass movements, cavity collapses and ground failures
223
Lampiran 4. Ilustrasi posisi gelombang badai dan gelombang tsunami Ilustrasi Posisi Gelombang Badai dan Gelombang Tsunami di Pesisir Curam yang banyak ditemukan di Pansela Pulau Jawa. Sumber : Prasetya, 2006. Protection from Coastal Erosion. The role of coastal forests and trees in protecting against coastal erosion. Regional Technical Workshop. Thailand
224
Ilustrasi Posisi Gelombang Badai dan Gelombang Tsunami di Pesisir Pantura Pulau Jawa. Sumber : Prasetya, 2006. Protection from Coastal Erosion. The role of coastal forests and trees in protecting against coastal erosion. Regional Technical Workshop. Thailand
I
225
Lampiran 5. Program aplikasi MKP2B2MB HALAMAN UTAMA PROGRAM APLIKASI MKP2B2MB
226
RULE BASE KBMS
227
228
229
230
231
232
233
HASIL ASWOT KABUPATEN INDRAMAYU
234
Keterangan : ALT 1 = Minyak dan Gas ALT 2 = Perikanan ALT 3 = Pertanian ALT 4 = Perkebunan ALT 5 = Pariwisata
235
HASIL ASWOT KABUPATEN CIAMIS
236
237
HASIL ISM POTENSI BENCANA KABUPATEN INDRAMAYU
238
HASIL ISM POTENSI BENCANA KABUPATEN CIAMIS
239
HASIL ISM EFEKTIFITAS MITIGASI BENCANA KABUPATEN INDRAMAYU
240
HASIL ISM EFEKTIFITAS MITIGASI BENCANA KABUPATEN CIAMIS
241
HASIL MPE KABUPATEN INDRAMAYU
242
HASIL MPE KABUPATEN CIAMIS
243
HASIL AHP KABUPATEN INDRAMAYU
244
Keterangan : ALT 1 = Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
ALT 2 = Mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir ALT 3 =
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
ALT 4 = Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir ALT 5 = Meningkatkan partisipasi stakeholder
245
HASIL AHP KABUPATEN CIAMIS
246
Keterangan : ALT 1 = Menyempurnakan peraturan pengembangan wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
ALT 2 = Mengupayakan pendanaan bagi pengembangan wilayah pesisir ALT 3 =
Mengembangkan prasarana dan sarana wilayah pesisir berperspektif mitigasi bencana
ALT 4 = Memperbaiki kualitas SDM wilayah pesisir ALT 5 = Meningkatkan partisipasi stakeholder