VIII. STUDI BENTUK DAN EFEKTIVITAS MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR ABSTRAK Bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan tidak sama antara satu upaya dengan dengan upaya yang lain, dan satu lokasi dengan lokasi lain, tergantung pada jenis dan intensitas bencana alam yang terjadi. Kajian secara akurat dan langsung mengenai bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam di suatu tempat, seringkali sulit dilakukan karena bencana alam seringkali sulit diprediksi. Data keberhasilan mitigasi terdiri dari data parameter keberhasilan mitigasi, deskripsi keberhasilan mitigasi, dan data historis sesuai dengan teknik yang digunakan pada model ini, yaitu ISM. Bentuk mitigasi dapat diterapkan dalam menurunkan risiko bencana gelombang badai pasang di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi serta gabungan remangrovisasi, artificial reef dan beach nourishment. pada level tertinggi sedangkan di Kabupaten Ciamis adalah gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi serta sistem peringatan dini pada level tertinggi. Selanjutnya, untuk menentukan mitigasi yang paling efektif di kedua lokasi akan dipergunakan MPE. Kriteria yang digunakan dalam seleksi alternatif adalah kesesuaian dengan sumberdaya manusia lokal, kesesuaian dengan dana yang tersedia, dan akses ibilitas. Kata kunci : mitigasi, lesson learn, parameter
8.1.
Pendahuluan Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu, wilayah pesisir provinsi Jawa
Barat memiliki sepuluh potensi bencana alam seperti angin kencang/puting beliung, gempabumi, tsunami, gelombang badai pasang, banjir, intrusi air laut, abrasi, akresi, erosi, dan gerakan tanah yaitu keruntuhan tanah (land slide) dan amblesan (settlement/land subsidence) (Puradimaja, 2007). Mengingat potensi bencana alam tersebut suatu saat akan terjadi, maka sangat diperlukan upaya mempersiapkan diri untuk mengurangi risiko bencana, yang dikenal sebagai mitigasi bencana sebagaimana telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka terdahulu (lihat Bab 2). Carter (1991) telah menyebutkan bahwa mitigasi bencana yang dibedakan atas mitigasi struktural dan mitigasi non struktural, sangat ditentukan oleh kemampuan SDM, teknologi, prasarana dan sarana serta biaya. Keberhasilan upaya mitigasi tersebut terkait dengan political will dan persepsi pemerintah daerah dalam menyikapi tingkat kepentingan upaya pengurangan risiko bencana, terutama ketika bencana alam tersebut belum terjadi (preparedness). Tingkat efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam yang paling sesuai diterapkan tidak akan sama antara satu upaya dengan upaya yang lain, dan untuk satu lokasi dengan lokasi yang lain. Semuanya akan tergantung pada jenis potensi dan intensitas bencana alam yang terjadi. Kajian secara akurat dan langsung mengenai efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam di suatu tempat seringkali sulit untuk dilakukan,
148
karena bencana alam juga sulit diprediksi. Oleh karena itu, kajian efektivitas mitigasi bencana alam dapat dilakukan dengan mengambil lesson learned dari kajian di tempat lain. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas keberhasilan mitigasi dan bentuk mitigasi yang lebih tepat diterapkan pada berbagai upaya mitigasi dalam mengurangi risiko bencana yang berpotensi terjadi di pesisir. Diawali dengan melakukan telaahan terhadap sistem perlindungan pantai secara alami terhadap gelombang angin dengan terumbu karang dan hutan bakau, gelombang badai pasang dengan hutan bakau/hutan pandan/pinang/ waru/vegetasi pasir dan hutan pepohonan lainnya (Gambar 53) sebagai bentuk mitigasi alami.
Gambar 53. Sistem perlindungan pantai alami Sumber : Prasetya (2006)
Selanjutnya membuat terumbu karang buatan (artificial reef breakwater) untuk melindungi suatu daerah sebagaimana yang telah dilakukan dalam upaya perlindungan Pura Tanah Lot di Bali dari gelombang angin, atau pasang yang setiap hari menggerus karang tempat Pura tersebut berada diatasnya (Gambar 54).
149
Artificial Reef Breakwater
Daerah yang dilindungi
Gambar 54. Artificial reef breakwater di Tanah Lot, Bali Sumber : Latief (2008)
Sebagaimana telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa mitigasi menggunakan vegetasi yang dikenal sebagai soft protection (Latief, 2008) maka memanfaatkan vegetasi (Gambar 55) sebagai penyangga yang berfungsi mereduksi ancaman gelombang badai pasang dan tsunami, selain mudah dan murah juga tidak akan memutus ekosistem laut-darat bagi hewan dan tumbuhan yang hidup di daerah pantai, serta ketidaknyamanan penduduk pesisir karena aksesibilitasnya berkurang.
Gambar 55. Berbagai pohon bakau yang mampu meredam gelombang Sumber : Latief dan Hadi (2006)
150
Gambar 56. Sistem pelindung pantai alami dengan pohon dan gundukan pasir yang ditutup oleh vegetasi. Sumber : Prasetya (2006)
Penggunaan vegetasi dapat diselesaikan dengan penanganan lanskap buatan yaitu meninggikan sebagian permukaan pantai dengan pasir/tanah dan menutupinya dengan vegetasi sehingga selain memberikan perlindungan, juga memberikan keindahan dan kenyamanan (Gambar 56). Selanjutnya perlindungan pantai juga dapat dilakukan dengan hard solution seperti penguatan tepi pantai agar daratan terpisah dan tidak terganggu oleh hempasan air laut (Gambar 57). Antara batuan dan dasar tepi diberi geotextile agar kedap air laut.
Gambar 57. Konsep slope protection dan pelaksanaannya Sumber : Hanson (2007)
151
Gambar 58. Revitalisasi pasir pantai (beach nourishment) Sumber : Latief (2008)
Salah satu dari penyebab mundurnya garis pantai adalah berkurangnya pasokan sedimen kepantai sehingga net sedimen yang mengendap dipantai menjadi negatif. Untuk mengatasi kekurangan pasokan sedimen ini diusahakan untuk memasok sedimen dari luar (beach nourishment). Karena proses abrasi terus berlangsung maka sedimen yang dipasok ini lama kelamaan akan hilang. Diusahakan agar kehilangan sedimen yang dipasok seminimum mungkin. Keseimbangan garis pantai dan profil pantai stabil perlu dipelajari untuk menentukan volume material yang akan dipasok dan volume yang diperkirakan akan hilang dalam jangka waktu tertentu Di Indonesia metode ini sudah diterapkan di Nusa Dua Bali (Syamsudin dalam Latief, 2008). Kombinasi solusi mitigasi bencana seringkali diperlukan untuk mengatasi menurunnya kualitas ketahanan lingkungan. Untuk mencegah kehilangan sedimen pasir, telah diterapkan kombinasi beach nourishment, pembangunan groin dan detached breakwater seperti terlihat pada Gambar 59.
Gambar 59. Kombinasi beach nourishment, groin dan detached breakwater Sumber : Hanson (2007)
152
Gambar 60. Sistem peringatan dini terintegrasi dengan sistem penyelamatan diri Sumber : Sopaheluwakan (2008)
Pergerakan lempeng tektonik di dasar samudera dengan dampak kolateralnya tsunami akan terdeteksi oleh sistem peringatan dini dengan alat berupa buoy (yang terpasang di permukaan laut dan terikat ke dasar lautan), yang akan mengirimkan signal ke satelit (Gambar 60).
Signal kemudian
diteruskan ke pusat peringatan (warning centre) di pesisir dan pusat kendali nasional (national control center). Petugas di pusat peringatan (warning centre) akan memastikan apakah signal tersebut merupakan ancaman tsunami atau bukan, dan jika benar merupakan ancaman maka petugas akan memberikan tanda bahaya melalui sirine, email, telepon selular, maupun pemberitahuan secara tradisional. Bersamaan dengan pemberitahuan melaui berbagai macam media tersebut, petugas instansi terkait dan masyarakat yang sudah terlatih dalam kegiatan penyelamatan diri akan membantu masyarakat lainnya menuju lokasi terdekat yang aman dari ancaman tsunami (Sopaheluwakan, 2008). Mengingat
upaya
mitigasi
dengan
sistem
peringatan
dini
dan
penyelamatan diri sudah di laksanakan sebagai kegiatan bersama delapan negara yaitu Indonesia, Jerman, Jepang, China, Amerika, Perancis, Australia, dan Malaysia sejak tahun 2005 (Sopaheluwakan, 2008), diharapkan INA TEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) merupakan bentuk mitigasi yang efektif diterapkan di salah satu lokasi penelitian yaitu Ciamis yang berdekatan dengan lokasi patahan utama (megafault/megatrust) di selatan pulau Jawa.
153
8.2.
Metode Analisis Bentuk dan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam Analisis bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam diselesaikan
menggunakan dua metode yaitu ISM untuk identifikasi bentuk mitigasi bencana yang dapat diterapkan, dan MPE untuk menentukan efektivitas keberhasilan mitigasi bencana tersebut. Metode ISM secara rinci sudah dijelaskan pada Bab VII sehingga pembahasan akan langsung menuju kepada metode MPE. Data peluang keberhasilan mitigasi adalah data yang dirancang sebagai basis data yang berkaitan dengan keberhasilan kinerja dari upaya-upaya mitigasi yang akan dilaksanakan. Data keberhasilan mitigasi terdiri dari data parameter keberhasilan mitigasi, deskripsi keberhasilan mitigasi, dan data historis (kondisi aktual) parameter keberhasilan upaya pengurangan risiko bencana. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. Penilaian yang diberikan dalam hal ini telah ditetapkan sebelumnya. Skor item label penilaian kriteria yang digunakan dibagi ke dalam 3 (tiga) level skala yaitu tinggi (T), sedang (S), dan rendah (R). Hal yang sangat penting dalam metode ini adalah penentuan bobot dari setiap kriteria yang ada. Kemampuan dari orang yang memberikan judgement sangat berpengaruh terhadap validitas hasil dari metode keputusan ini. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pemilihan keputusan dengan menggunakan MPE (Ma’arif dan Tanjung, 2003) adalah : •
Penentuan alternatif keputusan
•
Penyusunan kriteria keputusan yang akan dikaji
•
Penentuan derajat kepentingan relatif setiap kriteria dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai keinginan pengambilan keputusan
•
Penentuan derajat kepentingan relatif setiap pilihan pada setiap kriteria
•
Penghitungan nilai dari setiap alternatif keputusan
•
Pemeringkatan nilai yang diperoleh dari setiap alternatif keputusan. Penghitungan total nilai setiap pilihan keputusan dapat diformulasikan
sebagai berikut :
∑ (Rk )Tkk m
Total nilai =
j =i
ij
j
154
Keterangan : Rkij
: derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada keputusan ke-i, yang dapat dinyatakan dengan skala ordinal (1,2,3,4,5)
TKKj
: derajat kepentingan kriteria keputusan, yang dinyatakan dengan bobot
n
: jumlah pilihan keputusan
m
: jumlah kriteria keputusan Pemberian jenjang pada tahap akhir adalah berdasarkan urutan nilai
alternatif terbesar hingga alternatif terkecil. Nilai alternatif yang terbesar akan dijadikan studi kasus pada penelitian ini.
Tabel 27. Matriks keputusan dengan metode MPE1 Alternatif
1
2
Kriteria 3 ...
m
Nilai Keputusan Alternatif
Urutan Prioritas
1 2 n Tingkat Kepentingan Kriteria
Sumber : Marimin, 2005
Penggabungan metode ISM dan MPE secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 61. Data penentuan bentuk mitigasi bencana merupakan basis data yang dirancang untuk melayani kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan penentuan bentuk mitigasi bencana. Masukan pada basis data penentuan mitigasi bencana terdiri atas beberapa bagian yaitu data skala penilaian,
pakar/pengambil
keputusan,
alternatif-alternatif
(potensi
pengembangan wilayah), kriteria penilaian, dan hasil penilaian pakar terhadap alternatif berdasarkan kriteria seleksi yang ditetapkan. Kriteria yang digunakan dalam seleksi alternatif adalah kesesuaian dengan sumberdaya manusia lokal, kesesuaian dengan dana yang tersedia, dan aksesibilitas. Sementara data alternatif akan diperoleh dari output sub model prediksi mitigasi bencana dan sub model keberhasilan mitigasi bencana.
155
Penentuan elemen pembentuk ISM
Penilaian ISM berdasarkan nilai VAXO
Penentuan alternatif dan kriteria penilaian dalam MPE
Proses Pembentukan SSIM dan RM rata-rata
Pembobotan kriteria
Proses Revisi SSIM dan RM rata-rata
Penilaian alternatif berdasarkan pada kriteria
Hasil ISM (Efektif) : - SSIM dan RM final - Lokasi kuadran masingmasing elemen - elemen kunci
Hasil MPE adalah alternatif yang paling sesuai di terapkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan
Penyesuaian antara hasil ISM (penanganan yang paling efektif) dengan hasil MPE (penanganan yang paling sesuai)
Gambar 61. Garis besar penggabungan alat analisis ISM dan MPE Sumber : diolah dari Marimin (2005)
8.3.
Studi Bentuk dan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
8.3.1. Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sangat rawan bencana. Untuk itu diperlukan sistem pengelolaan bencana alam yang secara konseptual memadai. Konsep pengelolaan bencana secara modern mulai berkembang dan populer pada dekade 90-an yang dikenal dengan disaster risk management. Pada dasarnya, konsep ini mengedepankan risiko (risk) yang dikelola (managed) untuk menekan dan memperkecil kerugian secara fisik, sosial dan ekonomi (Bastian, 2006). Begitu pentingnya upaya pengelolaan bencana
156
dalam mereduksi dampak yang ditimbulkan oleh suatu bencana, hingga UNISDR (united nations-international strategy for disaster reduction) pada tanggal 13 Oktober 2004 mengkampanyekan reduksi bencana dunia yang memberi pesan kepada kita ‘belajar dari bencana hari ini untuk menghadapi ancaman esok (learning from today’s disaster for tomorrow’s hazards). Pesan yang disampaikan mengandung makna agar kita senantiasa bercermin dari pengalaman untuk lebih dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi ancaman bencana demi kehidupan yang lebih baik di kemudian hari (Rustiady, 2005). Penanggulangan bencana ini dikenal dengan mitigasi bencana.
8.3.1.1. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Indramayu Hasil diskursus dengan para pakar mengidentifikasi tujuh sub elemen mitigasi bencana yang dikaji meliputi pembuatan peraturan perundangan dan norma standar prosedur manual (NSPM), sosialisasi, sistem penyelamatan diri, pendampingan pendirian bangunan standar, sistem peringatan dini, gabungan remangrovisasi, terumbu karang buatan (artificial reef) dan revitalisasi pantai (beach nourishment), serta gabungan pemecah ombak (breakwater), peredam abrasi (bank revetment), dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar pantai (groyne). Empat elemen pertama dikenal sebagai mitigasi non struktur, dan tiga elemen berikutnya dikenal sebagai mitigasi struktur. Selanjutnya analisis ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti pada Gambar 62. Dalam gambar tersebut terlihat pendampingan pendirian bangunan standar lebih penting daripada sistem peringatan dini karena pakar berpendapat pendirian bangunan dapat cepat selesai, mudah, dan murah. Sistem peringatan dini selain lebih lama, sukar, dan mahal juga tidak terlalu berpengaruh untuk pemberitahuan adanya gelombang pasang di pesisir Indramayu. Demikian seterusnya untuk setiap elemen mitigasi bencana.
157
Gambar 62. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM Kabupaten Indramayu Analisis dengan metode ISM dalam aplikasi program MKP2B2MB menghasilkan informasi tingkat level dan posisi masing-masing mitigasi bencana dalam sektor seperti terlihat pada Gambar 63.
Gambar 63. Hasil analisis elemen keberhasilan mitigasi di Kabupaten Indramayu Dalam matriks (Gambar 64) terlihat dua elemen mitigasi di pesisir Indramayu berada di sektor IV pada level 4, yang berarti sangat kuat dan tidak memiliki ketergantungan dengan elemen lainnya yaitu gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar sepanjang pantai serta gabungan remangrovisasi, artificial reef dan beach nourishment. Hal ini berarti bahwa kedua bentuk gabungan mitigasi tersebut
158
sebagai elemen kunci mempunyai kemampuan besar dalam menurunkan risiko bencana dengan ketergantungan yang kecil terhadap pelaksanaan bentuk mitigasi lainnya.
Driver Power
Dependence
Gambar 64. Matriks driver power–dependence untuk elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
Hasil analisis ISM di Kabupaten Indramayu terlihat seperti pada Gambar 65. Elemen yang menjadi elemen kunci adalah elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi sejajar pantai, serta elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef dan beach nourishment pada level 4. Selanjutnya elemen pendampingan pendirian bangunan standar pada level 3. Kemudian elemen peraturan perundangan dan pembuatan NSPM serta sosialisasi mitigasi bencana
pada level 2. Terakhir diikuti elemen sistem
peringatan dini dan sistem penyelamatan diri pada level 1.
159
Level 1
SISTEM PERINGATAN DINI
SISTEM PENYELAMATAN DIRI
Level 2
PERATURAN PERUNDANGAN DAN PEMBUATAN NSPM
SOSIALISASI
Level 3
Level 4
PENDAMPINGAN PENDIRIAN BANGUNAN STANDAR
GABUNGAN PEMECAH OMBAK, PEREDAM ABRASI DAN PENAHAN SEDIMENTASI SEJAJAR PANTAI
GABUNGAN REMANGROVESASI, ARTIFICIAL REEF DAN BEACH NOURISHMENT Elemen Kunci
Gambar 65. Struktur hirarkhi sub elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
8.3.1.2. Aplikasi Metode ISM dalam Studi Bentuk Mitigasi Bencana Alam yang dapat Diterapkan di Ciamis Hasil diskursus dengan para pakar mengidentifikasi tujuh sub elemen mitigasi bencana yang dikaji meliputi pembuatan peraturan perundangan dan norma standar prosedur manual (NSPM), sosialisasi, sistem penyelamatan diri, pendampingan pendirian bangunan standar, sistem peringatan dini, gabungan remangrovisasi, terumbu karang buatan (artificial reef) dan revitalisasi pantai (beach nourishment), serta gabungan pemecah ombak (breakwater), peredam abrasi (bank revetment), dan penahan sedimentasi yang bergerak sejajar pantai (groyne). Empat elemen pertama dikenal sebagai mitigasi non struktur, dan tiga elemen berikutnya dikenal sebagai mitigasi struktur. Aplikasi metode ISM dalam aplikasi MKP2B2MB dimulai dengan input hubungan antarelemen seperti yang dapat dilihat pada Gambar 66. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa elemen sistem peringatan dini lebih penting daripada elemen pendampingan pendirian bangunan standar. Demikian seterusnya untuk setiap elemen mitigasi bencana yang lainnya.
160
Gambar 66. Contoh input hubungan antarelemen metode ISM dalam program MKP2B2MB untuk Kabupaten Ciamis Hasil kajian mengenai bentuk mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan di Kabupaten Ciamis disajikan pada
Gambar
67 yang
memperlihatkan elemen sistem peringatan dini dan elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi pada sektor IV dan level 4.
Gambar 67. Hasil analisis untuk elemen keberhasilan mitigasi Kabupaten Ciamis
161
Driver Power
Dependence
Gambar 68. Matriks driver power–dependence untuk elemen mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis Berdasarkan matriks driver power – dependence (Lihat Gambar 68) mitigasi tersebut diketahui bahwa bentuk mitigasi yang dapat menurunkan risiko gempabumi dan tsunami di pesisir Ciamis adalah sistem peringatan dini dan gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, serta penahan sedimentasi sejajar pantai. Kenyataan menunjukkan pada peristiwa bencana alam yang terjadi pada tahun
2006
di
Kecamatan
Pangandaran
Kabupaten
Ciamis,
adanya
ketidaksiapan aparat dan masyarakat, serta minimnya ketersediaan prasarana dan sarana mitigasi bencana struktur mengakibatkan jatuhnya korban ratusan jiwa. Hasil analisis ISM di Kabupaten Ciamis terlihat seperti pada Gambar 69. Elemen yang menjadi elemen kunci adalah elemen sistem peringatan dini dan elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi
sejajar
pantai
pada
level
4.
Selanjutnya
elemen
sistem
penyelamatan diri dan elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef, dan beach nourishment pada level 3, diikuti elemen pendampingan pendirian bangunan standar pada level 2. Kemudian elemen peraturan perundangan dan pembuatan NSPM serta sosialisasi mitigasi bencana pada level 1.
162
Level 1
PERATURAN PERUNDANGAN DAN PEMBUATAN NSPM
SOSIALISASI
PENDAMPINGAN PENDIRIAN BANGUNAN STANDAR
Level 2
Level 3
PENYELAMATAN DIRI
GABUNGAN REMANGROVESASI, REEF ARTIFICIAL, DAN BEACH NOURISHMENT
Level 4
SISTEM PERINGATAN DINI
GABUNGAN PEMECAH OMBAK, PEREDAM ABRASI DAN PENAHAN SEDIMENTASI
Elemen Kunci
Gambar 69. Struktur hirarkhi sub elemen potensi bencana alam di Kabupaten Ciamis.
8.3.2.
Studi Efektivitas Mitigasi Bencana Alam
8.3.2.1. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Indramayu Setelah kajian yang dilakukan menunjukkan potensi bencana yang berpeluang besar terjadi dan berbagai bentuk mitigasi yang dapat diterapkan di kedua lokasi tersebut, selanjutnya akan dikaji bentuk mitigasi bencana yang paling efektif pada kedua lokasi tersebut sesuai dengan tujuan penelitian menggunakan metode MPE. Hasil diskursus dengan pakar mitigasi telah dapat menetapkan empat parameter yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian, yaitu : •
Dinamika Perairan Pesisir
•
Ketersediaan dana
•
Kesesuaian dengan SDM lokal
•
Aksesibilitas ke lokasi mitigasi dan Waktu penyelesaian yang dibutuhkan Hal tersebut penting, mengingat dalam penerapan salah bentuk mitigasi
bencana, dinamika perairan pesisir sangat menentukan bentuk mitigasi yang
163
paling efektif untuk diterapkan di lokasi penelitian. Di sisi lain, ketersediaan dana juga merupakan pertimbangan utama sebab segala tindakan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana membutuhkan biaya yang besar. Karena masyarakat setempat yang akan bersentuhan langsung dengan bentuk mitigasi yang akan diterapkan, maka kesesuaian dengan SDM lokal juga merupakan kriteria yang menentukan. Selanjutnya akses ke lokasi mitigasi dan waktu yang dibutuhkan. Kriteria yang dipilih oleh pakar tersebut dapat dilihat pada Tabel 27 berikut: Tabel 28. Kriteria dalam menentukan efektivitas mitigasi bencana di Kabupaten Indramayu
Sumber : Diskursus dengan para pakar (2008)
Hasil
pembobotan
pakar
seperti
Tabel 28,
selanjutnya dianalisis
dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) yang dikompilasi dalam software MKP2B2MB untuk mendapatkan bentuk mitigasi bencana yang paling efektif di Indramayu. Diketahui bahwa elemen gabungan pembuatan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi dan elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef dan beach nourishment dalam menanggulangi bencana gelombang badai pasang di Indramayu memperoleh score 97. Tetapi bahasa program MKP2B2MB memberikan sorting lebih awal bagi elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi dan penahan sedimentasi daripada
164
elemen gabungan remangrovesasi, artificial reef, dan beach nourishment. Kesimpulannya sekalipun metode ISM telah menempatkan elemen-elemen tersebut pada ranking tertinggi, tetapi empat kriteria MPE telah menempatkan elemen gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimen pada ranking 1 sebagai prioritas mitigasi di Indramayu. Hal ini dapat dikatakan sebagai pembenaran, karena masyarakat lokal sudah mengenal upaya mitigasi sejenis yang lebih sederhana teknik pelaksanaannya. Tabel 29. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Indramayu
8.3.2.2. Aplikasi Metode MPE dalam Menentukan Efektivitas Mitigasi Bencana Alam di Ciamis Penentuan efektivitas mitigasi bencana dilakukan juga untuk Kabupaten Ciamis. Metode pembobotan pakar seperti pada Tabel 30 menunjukan bahwa dinamika perairan pesisir dan ketersediaan dana memiliki bobot tertinggi. Selanjutnya kesesuaian dengan SDM lokal dan aksesibilitas ke lokasi mitigasi serta waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan pembangunan
165
bentuk mitigasi tersebut. Hasil pembobotan ini dilakukan analisis dengan MPE yang dikompilasi dalam software mitigasi
MKP2B2MB
untuk mendapatkan
bencana yang paling efektif diterapkan di Ciamis.
Tabel 30. Kriteria dalam menentukan bentuk mitigasi bencana di Kabupaten Ciamis
Sumber : Diskursus dengan para pakar (2008)
bentuk
166
Tabel 31. Indikator bentuk mitigasi bencana alam di Kabupaten Ciamis
Pada Tabel 31 terlihat ada dua elemen yang memiliki score sama 93, yaitu elemen sistem peringatan dini dan elemen penyelamatan diri dari gempabumi dan tsunami. Tetapi bahasa program menempatkan elemen sistem peringatan dini lebih awal daripada elemen penyelamatan diri dari gempabumi dan tsunami, sehingga elemen sistem peringatan dini menempati ranking 1. Kesimpulannya walaupun metode ISM menempatkan elemen sistem peringatan dini dan elemen sistem penyelamatan diri pada ranking 1, tetapi empat kriteria MPE yaitu dinamika perairan pesisir, ketersediaan dana, kesesuaian dengan SDM lokal, aksesibilitas ke lokasi mitigasi dan waktu yang dibutuhkan telah menempatkan elemen sistem peringatan dini menjadi prioritas mitigasi bencana di Pesisir Ciamis. Pesisir Ciamis yang terbuka menghadap Samudra Hindia membutuhkan sistem peringatan dini untuk memberitahukan masyarakat agar secepatnya menyelamatkan diri sebelum tsunami datang. Kecepatan informasi
167
peringatan dini sangat diperlukan mengingat selang waktu antara bangkitan dalam hal ini gempa bumi dan timbulnya tsunami sangat singkat.
8.4. Kesimpulan Studi Efektivitas Keberhasilan dan Bentuk Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir Berdasarkan hasil uraian pada bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa potensi bencana alam yang lebih dominan terjadi di Kabupaten Indramayu adalah gelombang badai pasang dan di Kabupaten Ciamis adalah gempabumi dan tsunami. Untuk mereduksi risiko bencana yang timbul maka mitigasi struktur merupakan bentuk mitigasi bencana alam yang memiliki tingkat keberhasilan yang lebih efektif untuk diterapkan di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Ciamis. Mitigasi struktur memiliki tingkat ketergantungan yang besar di Kabupaten Ciamis mengingat lokasi lempeng tektonik di selatan pulau Jawa, sehingga wilayah ini memiliki tingkat kerawanan bencana gempa bumi dan tsunami yang lebih besar dibandingkan dengan di Indramayu yang hanya gelombang badai pasang. Namun demikian, untuk penerapan bentuk mitigasi di Kabupaten Indramayu, pakar memilih bentuk mitigasi struktur gabungan pemecah ombak, peredam abrasi, dan penahan sedimentasi serta gabungan remangrovisasi, reef artificial, dan beach nourishment. Mengingat mitigasi ini efektif meredam abrasi yang sudah parah melanda pesisir dan membahayakan permukiman nelayan serta instalasi kilang migas Balongan. Di Kabupaten Ciamis, pakar lebih memilih kombinasi mitigasi struktur sistem peringatan dini dan sistem penyelamatan diri, serta pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi yang efektif agar ketahanan masyarakat dan lingkungan yang di deklarasikan di Hyogo pada tahun 2005 dapat diwujudkan. Dengan telah diketahuinya bentuk mitigasi yang paling efektif untuk diterapkan di Pesisir Indramayu dan Pesisir Ciamis, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan wilayah pesisir sudah harus memperhitungkan anggaran yang proporsional untuk mewujudkan penyelesaian pembangunan sistem perlindungan pesisir yang terpadu. Dengan demikian upaya yang dilakukan akan lebih bersifat pro aktif, yang menekankan kepada upaya pencegahan dan kesiapsiagaan. Hal ini sesuai
dengan kesepakatan
global untuk secepatnya melakukan perubahan paradigma lama yang responsif, reaktif, dan menekankan kepada upaya kedaruratan. Berdasarkan hasil analisis efektivitas keberhasilan dan bentuk mitigasi bencana alam di wilayah pesisir, dapat dinyatakan bahwa tidak ada bentuk
168
mitigasi bencana yang dapat efektif berdiri sendiri. Hal ini disebabkan setiap bentuk mitigasi mempunyai kelemahan yang dapat dilengkapi dan diperkuat oleh bentuk-bentuk mitigasi lainnya (complementary).