Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
MEMPERTAHANKAN DAN MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS LAHAN KERING DAN PRODUKSI JAGUNG DENGAN SISTEM PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI Roy Efendi dan Suwardi Balai Penelitian Tanaman Serealia Abstrak. Kondisi lahan kering di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha di antaranya 70,70 juta ha terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha di dataran tinggi. Lahan tersebut telah dimanfaatkan untuk pertanian, dan yang berpotensi untuk perluasan adalah 35,50 juta ha di dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering maka dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya degradasi lahan, memperlambat kehilangan air tanah dan pengendalian gulma dengan sistem penyiapan lahan konservasi. Sistem budi daya jagung setelah panen dengan meletakkan sisa tanaman di lahan maka dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun merupakan tindakan konservasi vegetatif dimana sisa tanaman atau sisa hasil panen dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik tersebut menambah nutrisi tanah setelah melapuk, tetapi juga dapat berperan sebagai penyangga dari pupuk yang diberikan, mengikat air lebih baik dan meningkatkan daya infiltrasi tanah dari air hujan yang jatuh, mengurangi erosi, aliran permukaan, evaporasi, menurunkan suhu tanah, meningkat kelembabkan tanah, dan menekan perkembangan gulma. Dalam penerapan penyiapan lahan konservasi dengan jangka panjang, penurunan produksi pada suatu musim dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tanah sudah menjadi padat sehingga perlu dilakukan pengolahan tanah sempurna pada musim tanam berikutnya. Dengan demikian, keberlangsungan lahan yang diolah secara konservasi masih dapat dibudidaya jagung selama beberapa musim tanam disertai pengolahan tanah sempurna sesekali. Kata Kunci : Produktivitas, lahan kering, jagung, konservasi.
PENDAHULUAN Kebutuhan jagung nasional untuk pangan, pakan dan industri terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2001 produksi jagung sekitar 9,2 juta ton, namun belum dapat memenuhi kebutuhan peternakan dan industri pakan yang tumbuh pesat. Akibatnya impor bersih jagung, meningkat sekitar 1,0-1,5% tiap tahunnya Di samping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, produksi jagung nasional juga berpeluang memasok sebagian pangsa pasar dunia sekitar 80 juta ton/tahun, dengan perluasan lahan dan intensifikasi produksi jagung nasional sehingga akan memberikan dampak kepada peningkatan pendapatan petani dan perekonomian masyarakat (Swastika et al. 2004). Budi daya jagung sebagian besar diusahakan di lahan kering dan sawah tadah hujan, seperti di Sulawesi Selatan pengembangan jagung 91,12% diarahkan pada lahan kering (Fadhly et al. 2004). Lahan kering di Indonesia yang potensial untuk pengembangan pertanian mencapai sekitar 76,20 juta ha di antaranya 70,70 juta ha terletak di dataran rendah dan 5,50 juta ha di dataran tinggi. Sebagian besar dari lahan tersebut telah dimanfaatkan untuk pertanian, dan yang berpotensi untuk perluasan adalah 35,50 juta ha di dataran rendah dan 0,70 juta ha di dataran tinggi (Kurnia dan Hidayat 2001).
189
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Namun budi daya jagung pada lahan kering perlu menjaga produktivitas lahan. Hal ini dikarenakan lahan kering mudah terdegradasi sehingga produktivitas lahan menjadi cepat menurun. Di daerah iklim tropika seperti Indonesia dengan pola intensitas penyinaran matahari dan curah hujan yang tinggi dan hampir merata sepanjang tahun serta temperatur dan kelembaban udara yang tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung cepat. Kondisi tersebut menyebabkan tanah menjadi reaktif atau peka dan mempunyai tingkat erosi serta pencucian (leaching) yang tinggi. Selain tingkat kesuburan tanah yang rendah dan mudah rapuh, budidaya jagung pada lahan kering dibatasi ketersediaan air yang hanya diperoleh dari curah hujan. Terbatasnya air di lahan tersebut terutama di musim kemarau menyebabkan produktifitas lahan dengan intensitas tanam menjadi rendah. Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering dan produksi jagung dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya degradasi lahan, memperlambat kehilangan air tanah dan pengendalian gulma dengan sistem penyiapan lahan konservasi. SISTEM PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI Penyiapan lahan untuk budidaya jagung pada lahan kering umumnya dilakukan dengan pengolahan tanah sempurna (OTS) secara intensif dimana tanah dibajak beberapa kali kemudian digaru dan diratakan dengan tujuan meningkatkan porositas dan aerasi tanah, ketersediaan unsur hara, memacu perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman. Akan tetapi dampak positif tersebut hanya bersifat sementara karena tanah dibajak beberapa kali kemudian digaru dan diratakan justru membuat permukaan tanah yang tidak dilindungi oleh tinggalan sisa tanaman, sehingga akan memacu erosi dan mempercepat penurunan kadar bahan organik dan kesuburan tanah. (Anderson, 1985., Violic, 1991 dan Utomo, 1995). Oleh karena itu penanaman jagung di lahan kering harus dikelola secara tepat salah satunya adalah dengan penyiapan lahan konservasi agar lahan tersebut dapat digunakan secara berkelanjutan. Penyiapan lahan konservasi adalah pengolahan tanah seperlunya dengan tujuan menciptakan kondisi tanah kondusif untuk pertumbuhan akar dan mengurangi kerusakan struktur tanah akibat pengolahan. Penyiapan lahan secara konservasi dapat dilakukan dengan cara olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT). Sistem penyiapan lahan TOT dan OTM untuk penanaman jagung sudah sejak lama berkembang di Amerika. Pada tahun 1973 penamanan jagung dengan menggunakan sistem pengolahan tanah konservasi seluas ± 16,4 juta ha dan meningkat pada tahun 1987 menjadi ± 45,3 juta ha. Khusus penyiapan lahan tanpa olah tanah pada tahun 1999/2000 telah mencapai 19,75 juta ha (FAO 2000a). Dalam penyiapan lahan TOT, tanah tidak diganggu dan hanya ditugal sebagai lubang tanam benih jagung sedangkan OTM tanah hanya diolah pada barisan penanaman saja. Sebagian sisa-sisa tanaman dibiarkan pada permukaan tanah. Pada penyiapan lahan konservasi umumya gulma dikendalikan dengan menggunakan herbisida. Mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan kering untuk budi daya jagung dapat dilakukan dengan penyiapan lahan konservasi. Pengusahaan budi daya jagung yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun merupakan tindakan konservasi vegetatif di mana sisa tanaman atau sisa hasil panen dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah setelah melapuk, tetapi juga dapat berperan sebagai penyangga dari pupuk yang diberikan, mengikat air lebih baik dan meningkatkan daya infiltrasi tanah dari curah hujan yang jatuh, mengurangi erosi, aliran permukaan, evaporasi, menurunkan suhu tanah, meningkat kelembabkan tanah, dan menekan perkembangan gulma (FAO 2000a).
190
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
DAMPAK PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI Ciri khas penyiapan lahan konservasi adalah pengolahan tanah dan masih adanya sisa-sisa tanaman pada permukaan tanah minimal 30% (FA0, 2000a). Adanya sisa-sisa tanaman atau hasil panen yang ditinggalkan di permukaan lahan akan memberikan dampak yang positif dalam menunjang budidaya jagung pada lahan kering. Hasil penelitian Vetsch dan Randall (2002) selama dua tahun menunjukan bahwa residu organik lebih tinggi pada permukaan tanah lahan yang disiapkan secara konservasi (TOT dan OTM) dibanding penyaiapan lahan konvensional (OTS) (Tabel 1). Residu bahan organik pada permukaan tanah cara penyiapan lahan konservasi dapat berfungsi sebagai mulsa yang dapat berpengaruh terhadap kodisi fisik tanah. Tabel 1. Residu organik yang menutupi permukaan tanah pada beberapa sistem penyiapan lahan pada pertanaman jagung (rata-rata pertanaman jagung tahun 1998-2000). Sistem penyaiapan lahan Tanpa olah (TOT) Olah tanah minimum (OTM) Olah tanah sempurna (OTS) Sumber: Vetsch dan Randall (2002)
Persentase penutupan permukaan tanah (%) Setelah olah Sebelum tanam Setelah tanam 98 95 87 86 84 54 46 39 26
1. Memperbaiki dan Mempertahankan Kondisi Fisik Tanah Residu organik pada permukaan tanah berfungsi sebagai mulsa yang dapat melindungi tanah dari energi kinetik hujan, sehingga mencegah atau mengurangi pecahnya agregat, penyumbatan dan pemadatan tanah. Hasil penelitian Lopez-Belido et al. 1996 menunjukkan bahwa tanah yang diolah dalam, tanpa meninggalkan sisa tanaman pada permukaan tanah bila setiap musim tidak diolah lagi akan menjadi padat. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya pori aerasi, yaitu 11,8 persen. Sebaliknya dengan pengolahan tanah sekali saja dan diberi mulsa tanah tetap gembur. Hal ini disebabkan pori aerasi tanah pada perlakuan tersebut setelah 8 bulan tidak diolah masih cukup tinggi yaitu 15 - 17 persen, hampir sama dengan yang diolah setiap tanam. Hasil yang sama juga didapat pada penelitian Kurnia (1996), menunjukkan peran mulsa organik dapat mengurangi bobot isi tanah, meningkatkan pori aerasi dan stabilitas agregat tanah (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh pemberian mulsa terhadap bobot isi, pori aerasi dan stabilitas agregat. Pori aerasi (% Stabilitas Perlakuan Bobot isi (g/cc) volume) agregat Tanpa mulsa 0,91 17 47 Mulsa jerami padi+sisa tanaman 0,87 22 56 Mulsa Mucuna sp 0,88 21 50 Sumber: Kurnia (1996) Kondisi fisik tanah dapat mempengaruhi perkembangan akar jagung. Hasil penelitian Saturnino and Landers (1997) dalam FAO (2000b) menghitung jumlah akar jagung setiap kedalan 10 cm setelah 15 tahun secara konstan melakukan penyiapan lahan secara konservasi dan konvensional menunjukan jumlah akar jagung lebih banyak pada lahan yang disiapkan secara konservasi dibanding jumlah akar pada lahan yang disiapkan secara konvensional (Tabel 3). Hal ini menunjukan TOT dengan pergiliran tanaman
191
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
jagung dan kedelai kondisi fisik tanah masih dapat menunjang pertumbuhan akar sehingga memperluas penyerapan hara dalam tanah. Tabel 3. Jumlah akar jagung pada tingkat kedalam dari permukaan tanah pada lahan yang disiapkan secara konservasi dan konvensional. Kedalam tanah (cm) 00-10 10-20 20-30 30-40 40-50 50-60 60-70 70-80 80-90 90-100
Penyiapan lahan konservasi (tanpa olah tanah) 142 80 72 74 84 83 79 61 45 16
Penyiapan lahan konvensional (olah tanah sempurna) 103 65 37 56 64 101 55 71 28 27
2. Mencegah Erosi Tanah Residu bahan organik pada permukaan tanah juga berfungsi mengurangi aliran air permukaan tanah sehingga dapat menekan erosi tanah. Hasil penelitian Janssen dan Hill (1994) semakin tinggi persentase sisa tanaman yang menutupi permukaan tanah akan mengurangi aliran air permukaan tanah sehingga dapat mencegah terjadi erosi tanah (Tabel 4) Tabel 4. Pengaruh residu tanaman pemukaan tanah terhadap aliran permukaan dan erosi tanah. Residu organik pada Aliran air permukaan tanah permukaan tanah (%) 0 45 41 20 71 26 93 0,5 Sumber: Janssen dan Hill (1994) 3.
Erosi (t/area) 12.4 3,2 1,4 0,3
Mempertahankan Kelembaban dan Menekan Fluktuasi Suhu Tanah
Budidaya jagung pada lahan kering dengan intensitas curah hujan rendah perlu menekan terjadinya evaporasi air tanah menjaga kelembaban tanah. Sistem penyiapan lahan konservasi dapat meningkatkan jumlah air yang disimpan dalam tanah. Hal ini disebabkan residu organik pada permukaan tanah berperan sebagai mulsa yang berfungsi mempertahankan kelembaban tanah, menurunkan evaporasi air tanah dan meningkatakan infiltrasi air kedalam tanah. Hasil penelitian Griffith et al.(1992) menunjukan evaporasi selama 5 bulan pada lahan yang disiapkan secara konservasi lebih kecil yaitu 41 mm dibanding penyiapan lahan konvensional sebesar 187 mm (Tabel 5).
192
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Tabel 5. Evaporasi tanah pada lahan pertanaman jagung dengan sistem penyiapan lahan konservasi dan konvensional.
Bulan
Curah hujan (mm)
179 Mei 97 Juni 101 Juli 41 Agustus 91 September Total 509 Sumber; Griffith et al.(1992)
Penyiapan lahan Penyiapan lahan konservasi konvensional ---------------- evaporasi (mm) ------------63 21 66 10 21 3 14 2 23 5 41 187
Hasil penelitian Chassot et al. (2001) menunjukan bahwa temperatur tanah kedalaman 5 cm pada penyiapan lahan konservasi lebih rendah dibanding tanah terbuka. Hal ini dimungkinkan adanya residu organik (mulsa) yang menutupi permukaan tanah sehingga cahaya matahari tidak dapat langsung mencapai tanah. Sedangkan pada malam hari mulsa dapat mencegah pelepasan panas sehingga fluktuasi temperatur tanah harian rendah (Tabel 6). Tabel 6. Rata-rata suhu tanah harian, maksimum dan minimum pada kedalaman 5 cm. Sistem Lokasi Waktu penyiapan lahan OTS 17-31 Mei TOT Schafisheim OTS 1 – 15 Juni TOT OTS 17-31 Mei TOT Zollikofen OTS 1 – 15 Juni TOT Sumber: Chassot, Stamp dan Richner. 2001. 4.
Temperatur tanah (OC) Suhu rataSuhu Suhu rata maksimum minimum 18.3 23.6 13.3 17.2 22.0 13.2 19.7 24.0 15.9 19.4 23.2 16.1 17.2 22.1 12.9 16.1 19.7 12.9 19.6 23.6 16.0 19.2 22.6 16.3
Menjaga Kelangsungan Hidup Organisme dan Ketersediaan C Dalam Tanah
Cara penyiapan lahan sangat mempengaruhi jumlah dan biodiversifikasi organisme dalam tanah (Karg and Ryszkowski 1996; Ryszkowski et al. 2002). Pada umummya pengolahan tanah intesif mengancam keragaman organisme tanah. Hal ini disebabkan pengolahan lahan dengan dibajak akan merusak lubang-lubang cacing dan juga memungkinkan membunuh cacing selama proses pengolahan. Sedang akan pada pengolahan lahan konservasi justru menciptakan kondisi yang mendukung keberlangsungan kehidupan organisme tanah (Brookfield 2001). Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa penempatan sisa-sisa tanaman memperkuat pengaruh awal pada komposisi dari komunitas perombak bahan organik dan jumlah cacing lebih besar dijumpai pada ekosistem lahan tanpa olah tanah dibanding pada agroekosistem lahan dengan pengolahan tanah sempurna (Beare et al. 1997; Guggenberger et al. 1999; Hubbard et al. 1999).
193
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Berkurangnya laju dekomposisi sisa-sisa tanaman dapat diakibatkan oleh iklim mikro yang kurang kondusif terhadap aktivitas mikrobia di lapisan permukaan residu. Pengaruh penghancuran agregat tanah berkaitan erat dengan peningkatan laju dekomposisi bahan organik tanah yang akhirnya berkaitan dengan aktivitas biota tanah yang menggunakan bahan organik sebagai salah satu sumber bahan makan dan energi. Potensi yang menguntungkan dari TOT adalah tidak terganggunya C-organik, pengkayaan atmosfer CO2 yang kurang berbahaya (Cole et al., 1995 Dalam Six et al., 1999). Peningkatan C-organik dalam tanah pada lahan TOT oleh Paustian et.al, (1997) Dalam Six et al., (1999) dikatakan sebagai akibat meningkatnya kombinasi antara kurangnya laju dekomposisi sisa-sisa tanaman dan kurangnya gangguan terhadap tanah. Pengolahan lahan konservasi berperan peningkatan bahan organik tanah yang merupakan salah satu sumber utama ketersediaan karbon dalam tanah sebagai bahan makanan bagi biota tanah Wander dan Bollero (1999). PENYIAPAN LAHAN KONSERVASI PENGENDALIAN GULMA
SEBAGAI
KOMPONEN
PENTING
Kedalam tanah (cm)
Keberadaan benih gulma yang bertahan hidup di permukan tanah dan di dalam tanah merupakan cadangan biji gulma (seed bank) yang potensial untuk kembali tumbuh. Benih gulma terdiri atas dari biji baru yang dihasilkan gulma yang jatuh ke permukaan tanah atau benih gulma lama yang berada di dalam tanah dan bertahan beberapa tahun, sehingga keberadaan benih gulma merupakan indikator populasi gulma diwaktu lampau dan sekarang. Banyak faktor yang mendukung keberadaan dan perkecambahan benih gulma pada lahan pertanaman jagung seperti ukuran biji, saat kemasakan biji, cara perkembangbiakan, dan pengolahan tanah, namun faktor yang paling menentukan berkecambahnya biji gulma pada lahan pertanaman adalah pengolahan tanah (Wilson et al. 1985). Clarence et al. (2002) menyatakan, kebanyakan benih gulma berada di permukaan tanah pada tanah yang tidak diolah dan penelitian di Ontario memperlihatkan bahwa kedalaman 5 cm dari permukaan tanah yang tanpa diolah terdapat benih gulma 74%, tanah yang digulut pada barisan tanaman 33%, tanah yang dirotari 61% dan tanah yang dibajak dengan singkal 37% ( Gambar 1).
Dibajak
Rotari
Gulud pada barisan tanam
Tanpa olah tanah
Sumber: Clement et al., 1996. Gambar 1. Pengaruh metode pengolahan tanah terhadap distribusi vertikal jumlah biji gulma setelah 6 musim.
194
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Menurut Clements et al. (1996), pengolahan tanah dapat mematikan biji-biji gulma atau juga memacu perkecambahan biji. Kedalaman pembenaman biji gulma di dalam tanah akibat pengolahan tanah berpengaruh terhadap daya perkecambahan yang berbedabeda. Benih gulma yang terkubur di dalam tanah sedalam 0, 3, 8, 15 dan 23 cm memberikan perkecambahan masing-masing 30, 62, 66, 52 dan 35%. Dengan mempertahankan benih gulma berada di permukaan tanah menyebabkan perkecambahan atau berkecambah gulma lebih seragam, sehingga mempermudah pengendaliannya dengan herbisida. Selain itu, benih gulma yang berada di permukaan tanah akan mudah di rusak oleh serangga, predator dan penyakit yang disebabkan organisme tanah. 1.
Pengaruh Cara Penyiapan Lahan Terhadap Perkembangan Gulma.
Dalam budidaya jagung, cara penyiapan lahan yang berbeda akan menciptakan kondisi tanah yang berbeda, hal tersebut akan mempengaruhi pertumbuhan gulma. Hasil penelitian Efendi et al. (2004), terlihat bahwa cara penyiapan lahan konservasi (OTM dan TOT) dapat menekan pertumbuhan gulma. Hal tersebut dapat dilihat dari bobot kering gulma yang lebih rendah pada lahan pertanaman jagung dengan persipan lahan OTM dan TOT dibandingkan OTS. Menurut Eadie et al. (1992) dan Hooker et al. (1997), penyiapan lahan pertanaman jagung dengan tanpa olah tanah sangat efektif menekan atau menghambat pertumbuhan gulma, karena keberadaan benih gulma yang tetap bertahan di permukaan tanah akan memperpanjang masa dormansi benih gulma. Selain itu Buchler et al. (1990) melaporkan bahwa pada area pertanaman OTS ditemukan berbagai spesies benih gulma dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan TOT. 2.
Pengaruh Penyiapan Lahan terhadap Hasil Jagung
Perubahan fisik tanah seperti kandungan bahan organik tanah, kestabilan agregat dan bobot isi (bulk density) lebih besar pada tanah tanpa olah dari pada tanah yang diolah secara konvensional (Hill, 1990, Kladivko et al., 1986). Selain itu, serapan air dan hara dilaporkan lebih besar pada budidaya jagung tanpa oleh tanah daripada olah tanah konvensional (Hargrove, 1985). Namun demikian jagung yang dibudidayakan pada lahan yang disiapkan secara konservasi dari segi pertumbuhan dan hasil sangat beragam tergantung dari kondisi fisik tanah (Herberk et al. 1986). Beberapa penelitian menunjukan bahwa budidaya jagung berhasil dengan baik melalui sistem penyiapan lahan konservasi jika dikerjakan pada tanah bertekstur ringan sampai sedang dan berdrainase baik, dan akan gagal jika dibudidayakan pada tanah bertekstur berat misalnya tanah liat (LopezBelido 1996)
195
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Tabel 7. Hasil jagung pada beberapa tipe dan tekstur tanah dengan cara penyiapan lahan yang berbeda
Tipe atau tekstur tanah
Cara penyiapan lahan t/ha (15,5%) Bajak Sisir Olah tanam Tanpa olah singkal minimum tanah
Tekstur Ringan, drainase baik1 Hancooka Spoonera
6,2 5,5
6,1 5,9
5,8 5,9
6,7 5,8
Tekstur sedang, drainase baik1 Arlingtonb Lancastera
8,8 8,3
8,8 8,4
8,7 8,2
8,6 8,0
Tekstur berat, drainase buruk1 Marshfileda Valdersc
6,5 9,2
6,5 6,6
6,4 8,8
6,3 8,5
Liat berat 2 *(73,23,4) Liat3 *(46,29,22) Lempung berdebu4 *(19,56,25) Lempung berdebu5 *(27,62,11) Lempung berpasir6 *(13,27,60)
2,39 6,67 2,91 4,70 7,91
-
2,44 6,78 2,64 4,20 7,20
3,33 6,33 3,02 4,40 6,92
Keterangan : a Rata-rata 5 tahun, b. Rata-rata 6 tahun, c. Rata-rata 4 tahun, 1 Daniel et al. (1986), 2 Widiyati et al. (2001), 3Fadhly et al. (2004), 4Efendi dan Fadhly (2004), 5Efendi et al. (2004), 6Akil et al. (2005), *presentase komposisi kandungan liat,debu dan pasir
Hasil penelitian Daniel et al. (1986) menunjukkan bahwa penyiapan lahan tanpa olah tanah pada tanah bertekstur ringan dan draianse tanah yang baik dapat meningkatkan hasil jagung sebesar 8%. Sedangkan pada tipe tanah bertekstur sedang, drainase baik dan tekstur berat, drainase buruk menunjukan hasil jagung yang lebih rendah dengan penyiapan lahan konservasi (TOT atau OTM) dibanding dengan OTS. Pada tanah dengan tekstur lempung berpasir, lempung berdebu, dan liat, jagung yang dibudidayakan dengan tanpa olah tanah memberikan hasil yang sama tingginya dengan hasil jagung yang dibudidayakan dengan pengolahan tanah konvensional. Pada tanah dengan tekstur liat berat terjadi penurunan hasil yang nyata sekitar 28%. Hal serupa terjadi pada pengolahan tanah minimum dengan penurunan hasil 27% (Tabel 7). Hal ini menunjukan bahwa pada tipe fisik tanah berat seperti tanah liat adalah keras, padat, liat dan lengket perlu diolah agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Karena itu, budidaya jagung dengan penyiapan lahan konservasi berhasil diterapkan secara luas pada daerah dengan tanah tekstur ringan sampai sedang dan berdrainase baik (Vetsch dan Randall, 2002). Penelitian jangka panjang pada tanah Latosol Coklat Kemerahan di Lampung yang sebelumnya berupa alang-alang ternyata cara penyiapan lahan dapat berubah. Sampai musim ke-10, hasil jagung tanpa olah tanah praktis sama atau lebih baik daripada hasil jagung pada olah tanah intensif (tanah selalu diolah sempurna bila akan memulai pertanaman jagung). Namun mulai musim tanam ke-12, 14 dan 16 kondisinya berbalik. Hasil jagung pada perlakuan tanpa olah tanah lebih rendah dari pada olah tanah intensif, karena lapisan permukaan tanah 0 -10 cm telah memadat. Selanjutnya setelah dilakukan pengolahan tanah pada musim ke-17, maka musim ke-19 dan 21, hasil jagung pada tanpa olah tanah lebih baik lagi dibandingkan dengan olah tanah intesif (Tabel 8).
196
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Tabel 8. Hasil jagung pada dua cara oalah tanah berkelanjutan jangka panjang dalam pola tanam serealia-legum Cara penyiapan lahan
Hasil biji jagung (t/ha) pada musim tanam ke… 4 7 10 12 14 16 17* 19
21
3.8
5.3
6.1
5.7
6.0
4.3
3.7
6.7
2.1
3.2
4.6
5.6
6.1
5.5
5.5
3.3
3.0
6.7
3.8
3.2
4.8
5.8
6.4
6.0
5.6
6.3
6.4
5.8
2.8
4.1
5.7
6.4
6.8
6.4
6.3
4.6
5.0
6.7
4.7
5.1
1 A. Pemupukkan 100 kg N/ha 1. Olah tanah intesif 2. Tanpa olah tanah B. Pemupukkan 200 kg N/ha 1. Olah tanah intesif 2. Tanpa olah tanah
* semua petak perlakuan diolah Sumber: Utomo (1997).
Dalam penerapan penyiapan lahan konservasi dengan jangka panjang, penurunan produksi pada suatu musim dapat digunakan sebagi petunjuk bahwa tanah sudah menjadi padat sehingga perlu dilakukan pengolahan tanah sempurna pada musim tanam berikutnya. Dengan demikian, keberlangsungan lahan yang diolah secara konservasi masih dapat dibudidaya jagung selama beberapa musim tanam disertai pengolahan tanah sempurna sesekali. KESIMPULAN Pada daerah tropik seperti di Indonesia lahan kering umumnya rapuh dan mudah terdegradasi, sehingga penerapan penyiapan lahan intesif dengan cara diolah sempurna (OTS) justru mempercepat terjadinya degradasi tanah. Sebaliknya cara penyiapan lahan dengan cara konservasi yaitu olah tanah minimum (OTM) dan tanpa olah tanah (TOT) dapat mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan. Hal ini dimungkinkan karena budidaya jagung dengan penyiapan lahan konservasi membuat permukaan tanah dilindungi oleh residu tanaman yang berpengaruh terhadap kondisi fisik tanah seperti bahan organik tanah tetap tinggi, meningkatkan infiltrasi air ke dalam tanah, mengurangi erosi, dan menjaga kelembaban tanah. Selain itu penyiapan lahan konservasi menunjang kelangsungan hidup mikroorganisme tanah dan salah satu komponen pengendalian gulma yang efektif. Kondisi tersebut sangat mendukung untuk meningkatkan produksi jagung. Penyiapan lahan konservasi untuk budidaya jagung umummnya berhasil diterapkan pada tipe tanah ringan sampai sedang dan berdrainase baik untuk beberapa musim dan perlu sesekali dilakukan pengolahan tanah sempurna. DAFTAR PUSTAKA Akil, M., M. Rauf, I.U. Firmansyah, Syafruddin, Faesal, R. Efendi, dan A. Kamaruddin. 2005. Teknologi budidaya jagung untuk pangan dan pakan yang efisien dan berkelanjutan pada lahan marjinal. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, p.15-23. Anderson, G. 1985. No-tillage effect on yield and plant density of maize hybrids, Agronomy Journal. 78:811-816 Beare, M.H., Reddy M.V., Tian G., dan S.C. Srivastava. 1997. Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in the tropics : The role of decomposer biota. Applied Ecology 6:87-108. Brookfield, H., 2001: Exploring Agrodiversity. Columbia University Press, New York, 608 pp.
197
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Buchler, D.B., J.D. Doll, R.T. Proost, and M.R. Visocky. 1995. Integrating mechanical weeding with reduce herbicide use in conservation tillage corn production systems. Agron. J. 87:507-512. Chassot, A., P. Stamp dan W. Richner. 2001. Root distribution and morphology of maize seedling as affected by tillage and fertilizer placement. Plant and Soil 231:123-135. Clements, D.R., D.L. Benoit, S.D. Murphy, and C.J. Swanton. 1996. Tillage effects on weed seed return and seedbank composition. Weed Sci. 44:314-322. Daniel, T.C., D.H. Mueller, E.E. Schulate dan L.G. Bundy. 1986. Making conservation tillange work of corn production on your soil type. Department of Agriculture Journalism, University of Wiscom-Madison. Efendi, R., A.F. Fadhly, M. Akil, dan M. Rauf. 2004. Pengaruh sistem pengolahan tanah dan penyiangan gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung. Seminar Mingguan. Balai penelitian Tanaman Serealia, Maros, 26 Maret 2004, 17p. Fadhly, A.F., R. Efendi, M. Rauf, dan M. Akil. 2004. Pengaruh cara penyiangan lahan dan pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil jagung pada tanah bertekstur berat. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, 18 Juni 2004, 14p. FAO. 2000a. Conservation Agriculture Matching Production with Sustainability. WWW. FAO.org FAO. 2000b. Zero tillage development in tropical Brazil; The story of a successful NGO activity by Jhon N. landers. FAO agriculture Service Bulletin No.147. FAO, Rome. Griffith D.R., J.F. Moncrief, D.J. Eckert, J.B.Swan dan D.D.Breitbach.1992. Crop respon to tillage systems. 9.25-33. Dalam Midwest Plan Service Commite (Ed) Conservation tillage systems and management: Crop residue management with no-till, ridge-till, mulch-till. Iowa State University, Ames,IA. Guggenberger, G., S.D Frey., J. Six, K. Paustian, dan E.T. Elliot. 1999. Bacterial and fungal cellwall residues in conventional and no-tillage agroecosystems. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:11881198. Hill, R.L. 1990. Long-term conventional and no-till effects on selected soil physical properties. Soil Sci. Soc. Am. J. 54:161-166. Hubbard, V.C., Jordan D., and J.A. Stecker. 1999. Earthworm response to rotation and tillage in a Missouri claypan soil. Biol. Fertil. Soils J. 29:343-347. Karg, J. and L. Ryszkowski, 1996: Animals in arable land. Dalam: Dynamics of an Agricultural Landscape. L. Ryszkowski, N. French, and A. Kedziora (eds.), Panstwowe Wydawnictwo Rolnicze i Lesne. Poznan: 138–172 Kladivko, E.J., D.R. Griffith, and J. V. Mannering. 1986. Conservation tillage effects on soil properties and yield of corn and soybeans in Indiana. Soil Tillage Res. 8:277-287. Kurnia, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah. Disertasi Doktor. Program Pasca Sarjana IPB Bogor. Kurnia, U. dan A. Hidayat. 2001. Potensi, peluang dan pemanfaatan lahan kering untuk peningkatan produksi pangan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Konsultatif Sumberdaya Lahan dan Air. Direktorat Perluasan Areal, Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta 11 Juni 2001. Lopez-Belido, L., M. Fuentes, J.E. Castillo, F.J. Lopez-Garrido dan E.J. Fernandez. 1996. Longterm tillage, corporation, and nitrogen fertilizer effect on wheat yield under rainfed Mediterranean condition. Agronnomy Journal 88 :783-791. Ryszkowski, L., 2002: Integrity and sustainability of natural and man-made ecosystems. In: Just ecological integrity. P. Miller and L. Westra (eds), Rowman and Littlefield Publishers, New York. Six, J., Elliot E.T., and K. Paustian. 1999. Aggregate and soil organic matter dynamics under conventional and no-tillage systems. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:1350-1358. Swastika, D.K.S., F. Kasim, K. Suhariyanto, W. Sudana, R. Hendayana, R.V. Gerpacio, and P.L. Pingali. 2004. Maize in Indonesia: Production systems, constraints, and research priorities. Mexico, D.F.: CIMMYT, 40p. Utomo, M. 1995. Reorientasi kebijaksanaan olah tanah. Pros. Sem. Nas., V BDP OTK, Bandar Lampung, 1995. hlm 1 -7.
198
Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009
ISBN :978-979-8940-27-9
Vetsch dan Randall.2002. Corn production affected by tillage and starter fertilizer. Agron J 94:532-540 Vetsch, A.J. dan G.W. Randall. 2002. Corn production as affected by tillage system and starter fertilizer. Agron. J. 94:532-540. Violic, A.D. 1991. Defining conventional and conservation tillage. Dalam The Maize Conservation Tillage Working Document No.7. CIMMYT., Mexico. 1991. Widiyati, N., A.F. Fadhly, R. Amir, dan E.O. Momuat. 2001. Sistem pengolahan tanah dan efisiensi pemberian pupuk NPK terhadap petumbuhan dan hasil jagung. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. 5:15-20. Wilson, R.G., E. D. Kerr and L. A. Nelson 1985. Potential for Using Weed Seed Content in the Soil to Predict Future Weed Problems. Weed Sci. 33(2): 171 – 175.
199