MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR: STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN, TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA
ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
ABSTRAK ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria, di bawah bimbingan R.P. AGUS LELANA. Studi kasus dilakukan pada tiga lembaga konservasi eksitu (Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan Usaha Penangkar Ular Komersial CV. Terraria) untuk mempelajari implementasi medik konservasi pada satwa ular. Kajian difokuskan untuk mengamati berbagai bentuk kegiatan medis: rehabilitatif, preventif, kuratif dan promotif serta upaya karantina. Diperoleh gambaran bahwa kondisi regulasi biologis satwa ular sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Temperatur dan kelembaban lingkungan sangat mempengaruhi seluruh fungsi metabolisme dan kegiatan reproduksi. Kelembaban yang rendah menyebabkan satwa ular rentan terhadap peradangan paru-paru (pneumonia). Pencahayaan dan radiasi sinar matahari selain mengoptimalkan fungsi pencernaan, pada beberapa jenis ular juga berperan dalam kawin (photoperiode). Banyaknya deposit lemak melalui konsumsi pakan dengan jumlah yang cukup dan berkualitas mendukung pematangan fertilitas telur pada ular betina. Pemberian pakan yang tidak higienis, seperti tikus liar dan kodok, menyebabkan ular dapat berperan sebagai inang reservoar cacing pentastomum dan sparganum yang bersifat zoonosis. Disimpulkan bahwa keberhasilan medik konservasi pada ular ditentukan dengan: (1) Mempertahankan lingkungan yang mendukung regulasi biologi ular sebagai hewan ectotherm; (2) Mengadakan manajemen terhadap tindakan preventif (deworming), rehabilitatif, dan promotif serta tindakan kuratif; (3) Kualitas sumberdaya manusia yang memadai untuk menjalankan dan mengelola kegiatan penangkaran ular.
ABSTRACT ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F. Conservation Medicine of Snake: a Case Study at Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and CV. Terraria. Under the direction of R.P. AGUS LELANA. Case study was conducted at three exsitu conservation institutions (Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia and Commercial Snake Captive Breeding of CV. Terraria) for observing the implementation of conservation medicine of snake. The study was focused on all of medical aspect that concisted of: rehabilitation, prevention, currative, promotion aspects and quarantine efforts. The observation showed that snake biological regulation was influenced by the environtment condition. The environment temperature and humidity strongly influence to all metabolism function and reproduction cycle. Low humidity might caused snake susceptible to pneumonia. Lighting and sunlight radiation might optimize digestion function, moreover on particular spesies this factor also play an important role on mating periode. Fat deposition due to proper diet consumption induce ovum fertility maturation of female snake. Unhygienic diet such as wild rat and frog might cause snake to be an secondary zoonotic reservoar for a pentastomum and sparganum. This study concluded that the success of conservation medicine were provide by: (1) Maintaining the ultimate environtment to support biological regulation of snake as an ectotherm animal; (2) Providing the management of prevention (deworming), rehabilitation, promotion as well as curative action; (3) Manpower for operating and managing the captive breeding of snake.
MEDIK KONSERVASI SATWA ULAR: STUDI KASUS DI TAMAN MARGASATWA RAGUNAN, TAMAN SAFARI INDONESIA DAN CV. TERRARIA
ZULFA IKHSANNIYATI RUCITA CIWI F
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul
: Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia, dan CV. Terraria
Nama
: Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F
NRP
: B04103066
Disetujui, Pembimbing
Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi. NIP. 131 473 988
Diketahui, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS NIP. 131 129 090
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas kasih sayang dan karunia yang telah diberikan sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Berawal dari latar belakang sebagai mahasiswa kedokteran hewan, minat terhadap ular dan kepedulian terhadap satwaliar maka dalam penyusunan karya tulis ilmiah untuk tugas akhir penulis mengambil tema upaya konservasi satwa ular melalui pendekatan medis dengan judul Medik Konservasi Satwa Ular: Studi Kasus di Taman Margasatwa Ragunan, Taman Safari Indonesia dan CV. Terraria. Pengambilan data dan penulisan telah dimulai dari September 2006 sampai Agustus 2007. Selama penyusunan karya ilmiah ini penulis telah mendapat berbagai bantuan materi, informasi dan saran serta dukungan moral dari
berbagai
pihak.
Sehubungan
dengan
itu
penulis
menyampaikan
penghargaan dan mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Drh. R.P. Agus Lelana, SpMP. MSi beserta keluarga atas bimbingan, kesabaran, seluruh tenaga dan waktu serta perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan tugas akhir. 2. Bapak Drh. Deni Noviana, Ph.D selaku dosen penilai seminar dan skripsi serta atas bantuan saran yang diberikan. 3. Direktorat Jendral PHKA Direktorat KKH Dephut RI beserta staf di gedung Manggala Wana Bakti: Drh. Indra, Ibu Evi dan Ibu Ratna atas bantuan perizinan dan segala informasi yang telah diberikan. 4. Pimpinan Taman Margasatwa Ragunan DKI Jakarta beserta Drh. Edward, Drh. Endang, Mas Bambang, Mas Manto, Bapak Kusno dan seluruh staf perawat di Terrarium Reptil yang telah banyak membantu pengumpulan data. 5. Pimpinan Taman Safari Indonesia beserta Drh. Yohana, Mas Rofandi, Mas Imam, Mas Yanto dan Bang Ucok
yang telah banyak membantu
pengumpulan data. 6. Pimpinan CV. Terraria: Bapak Budi beserta staf, Bapak Alif, Mr.Vladimir, Bapak Arif dan Ibu Dina yang telah banyak membantu pengumpulan data. 7. Koordinator kerjasama IPB – Taman Safari Indonesia, Prof. Dondin Sajuthi, Ph.D atas masukan dan kritik serta pengarahan selama mempersiapkan tempat pengambilan data.
8. Ketua Ophio Jogja Reptiles Club tahun 2003, Bapak Drh. Slamet Raharjo atas segala informasi yang telah diberikan. 9. Bapak Drh. Triatmo B. S. yang telah bersedia meminjamkan berbagai judul buku sebagai sumber referensi, masukan saran dan dukungan moral kepada penulis. 10. Kedua orang tua serta seluruh keluarga besar di Cilegon, Jakarta, Bekasi, dan Bogor atas dorongan, doa, dan dukungannya kepada penulis. 11. Revina “Kakak sulung” atas kesediaannya untuk saling mendukung, segala bantuan moral serta materi yang telah diberikan. 12. Agusriady dan Nining untuk semua kasih sayang, ketulusan, bantuan materi, kritik dan saran serta dukungan moral. 13. Herli, Yasmilia dan Yasmin atas kesediaannya menjadi editor selama penulisan dan mempersiapkan materi presentasi. 14. Dewi, Astri, Mami , Puji, Ramlah, Mbak Irao, Devi, Aji, dan Isaias atas kesediaannya membantu memfasilitasi pengetikan naskah, pengambilan data dan presentasi dalam seminar selama pengerjaan tugas akhir. 15. Kabo, Dewilis, Wywy, Prita, Adam, Togu, Nita dan semua Keluarga besar Gymnolaemata
40
atas
kebersamaan
dan
ketulusan
untuk
saling
menguatkan dan kenangan berharga selama 4 tahun. 16. Anggota H impunan Profesi Satwa Liar: Rama, Mbak Hamria, Aisy, Winy, Liza, Silvi, Rani, Cepi serta seluruh teman-teman yang memiliki minat dan dedikasi terhadap satwaliar atas informasi dan dukungan moral yang telah diberikan. 17. Seluruh teman-teman kiper dan tenaga medis di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga (PPSC) yang telah memberi inspirasi dan dukungan moral.
Serta semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung turut memperlancar penyelesaian penyusunan karya ilmiah ini. Penulis memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang terdapat di dalam karya ilmiah ini dan penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat.
Bogor, 5 September 2007
Zulfa Ikhsanniyati Rucita Ciwi F
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 September 1985 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, dari ayah yang bernama Drs. Fadhllilah Djamud dan ibu R Yeyet Rohayati. Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Inpres Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten pada tahun 1991 kemudian lulus tahun 1997 dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Tsanawiyah Al Khairiyah Pabuaran Kodya Cilegon Propinsi Banten dan lulus tahun 2000. Pendidikan menengah ditempuh di Madrasah Aliyah Negeri 1 Serang Propinsi Banten mulai tahun 2000 sampai tahun 2003. Penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor ditahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan penulis menjadi anggota Himpunan Minat dan Profesi (Himpro) Ruminansia dan Satwa Liar serta Veterinary English Club (VEC).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ Bioekologi Ular ................................................................................. Pemanfaatan Satwa Ular .................................................................. Konsep Medik Konservasi ................................................................
3 3 7 8
METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... Tempat dan Waktu ........................................................................... Bahan dan Metode ...........................................................................
11 11 11
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran ............................... Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices) .............................. Manajemen Kandang ................................................................ Manajemen Pakan .................................................................... Manajemen Sarana dan Prasarana .......................................... Manajemen Sumberdaya Manusia ........................................... Manajemen Pencatatan ............................................................ Tindak Medis yang Baik (Good Medical Practices) .......................... Tindakan Preventif .................................................................... Tindakan Rehabilitatif ............................................................... Karantina .................................................................................. Tindakan Kuratif ........................................................................ Tindakan Promotif ..................................................................... Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practice) .......................... Pemanfaatan Jenis Hasil Penangkaran ...........................................
16 16 17 18 24 27 27 28 29 29 29 30 32 49 50 52
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
56
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
57
LAMPIRAN .................................................................................................
61
DAFTAR TABEL Halaman 1. Struktur taksonomi ular ...........................................................................
3
2. Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran ...........
16
3. Jenis koleksi ular (dokumentasi Februari–Juli 2007) ..............................
17
4. Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria ..........................
19
5. Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ...........................
25
6. Sumber koleksi ular dan kondisi yang mengikutinya ..............................
30
7. Kegiatan karantina ular di TMR, TSI dan CV. Terraria ..........................
31
8. Kasus penyakit yang terjadi (Periode Januari 2004–Januari 2007, rekapitulasi data dari TMR, TSI dan CV. Terraria) .................................
34
9. Kegiatan penangkaran ular di TSI dan CV. Terraria ..............................
51
10. Teknis pengemasan di CV. Terraria .......................................................
53
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Ruang lingkup medik konservasi ..........................................................
8
2. Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi ................
9
3. Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi ..............................
10
4. Kandang ular di TMR (Terrarium 1 dan 2) ............................................
22
5. Kandang ular di TSI ..............................................................................
22
6. Kandang induk sanca hijau (Chondropython viridis) di CV. Terraria ....
23
7. Contoh sumber udara dan pencahayaan .............................................
23
8. Keamanan bentuk dan fasilitas kandang ..............................................
24
9. Contoh keamanan pakan .....................................................................
26
10. Tube feeding pada ular ........................................................................
33
11. Abrasi mulut pada sanca batik (Python reticulatus) .............................
36
12. Mouth rot pada ular ..............................................................................
38
13. Endoparasit pada ular ..........................................................................
43
14. Ektoparasit tungau pada ular (Ophionyssus natricis) ...........................
43
15. Kejadian prolaps hemipenis pada ular .................................................
46
16. Nekropsi ular betina saat siklus lemak .................................................
50
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Daerah Utama Pemeriksaan Fisik Pada Ular....................................
62
2. Bagan Pengambilan Keputusan untuk Satwa yang Akan Ditangkarkan (IUCN 2000).................................................................
64
3. Bagan Pengambilan Keputusan untuk Satwa yang Akan Dilepaskan ke Alam (IUCN 2000).......................................................
65
4. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar luar negeri (SATSLN) dengan stamp CITES..................................................................
66
5. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar luar negeri (SATSLN) tanpa stamp CITES.....................................................................
67
6. Contoh surat angkut tumbuhan dan satwa liar dalam negeri (SATSDN).....................................................................................................
68
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia
sebagai
negara
mega-biodiversity
memiliki
potensi
keanekaragaman hidupan liar yang sangat besar. Dokumen Biodiversity Action Plan for Indonesia mencatat bahwa Indonesia memiliki 10% jenis tumbuhan berbunga dunia, 12% jenis mamalia dunia, 16% jenis reptil dunia, 17% jenis burung dunia, serta 20% jenis ikan dunia. Kelimpahan hidupan liar ini mampu menunjang kebutuhan hidup sebagian masyarakat Indonesia. Sekitar 12 juta diantara populasi penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dari hutan salah satunya adalah dengan menjual satwa yang banyak diminati publik (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Permintaan publik terhadap hidupan satwaliar sebagai hewan peliharaan dan beberapa produk lain (konsumsi, obat-obatan dan asesoris) cenderung meningkat. Salah satunya adalah pemanfaatan reptil jenis ular dengan banyaknya permintaan daging, kulit, organ dalam, bisa dan segala produk yang mungkin dari ular, serta berkembangnya trend ular sebagai hewan kesayangan. Ular juga dimanfaatkan sebagai hewan peraga di kebun binatang dan keperluan penelitian. Hal ini menyebabkan aktivitas eksploitasi ular dari alam meningkat (Hackbart 2003). Saat ini beberapa jenis ular dikategorikan ke dalam Apendiks II dalam CITES (Convention on International Trades of Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) sebagai satwa yang berpotensi terancam punah bila usaha pelestarian tidak segera dilakukan (Samedi et al. 2004). Untuk menata kembali tata cara pemanfaatan satwa secara lestari maka dirumuskan suatu aturan mengenai manajemen pemanfaatan satwa liar berbasis konservasi berupa: pengembangbiakan jenis satwa, terutama spesies satwa yang terancam punah; penyelamatan satwa akibat kegiatan manusia; dan kegiatan penangkaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sebagai upaya menekan eksploitasi dari alam yang semakin marak dilakukan (Santoso 2003). Tujuannya adalah terjaminnya kelangsungan hidup satwa dan kebutuhan hidup manusia
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
berdasarkan
prinsip
kelestarian.
Konsep Pemikiran Eksploitasi sejumlah spesies ular dari habitatnya setiap tahun semakin meningkat dan jika ini tidak diantisipasi maka ular berpotensi terancam punah.
Indonesia telah melakukan program konservasi ular melalui pemeliharaan di habitat buatan beserta kegiatan penangkaran. Beberapa lembaga konservasi yang mengupayakan program tersebut diantaranya adalah Taman Margasatwa Ragunan (TMR) dan Taman Safari Indonesia (TSI). Salah satu contoh lembaga usaha yang diberi izin oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan penangkaran satwa ular dalam rangka memenuhi permintaan publik ialah usaha penangkaran reptil CV. Terraria. Upaya memelihara ular dalam habitat buatan memiliki beberapa kendala yaitu: masalah kesehatan, belum optimalnya upaya reproduksi, serta kejadian kematian yang cukup sering. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan medik konservasi satwa ular. Medik konservasi satwa merupakan serangkaian tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan dalam menunjang program pelestarian satwa liar. Berangkat dari masalah pemeliharaan ular dalam habitat buatan ini, maka dilakukan suatu studi terhadap implementasi medik konservasi pada perawatan ular di habitat buatan yang telah dilaksanakan oleh TMR, TSI dan CV. Terraria sebagai lembaga yang mengupayakan program konservasi.
Tujuan dan Manfaat Tujuan dari studi kasus ini adalah untuk mempelajari implementasi konsep medik konservasi yang telah dilakukan. Hasil studi kasus ini diharapkan dapat memberi informasi yang lebih komprehensif mengenai manajemen perawatan ular di habitat buatan dan keberhasilan upaya penangkaran, serta dapat dijadikan acuan untuk mengevaluasi implementasi konsep medik konservasi dalam rangka meningkatkan keberhasilan program konservasi eksitu ular.
TINJAUAN PUSTAKA Bioekologi Ular Taksonomi dan Distribusi Geografi Penyusunan famili dalam taksonomi ular mengikuti teori evolusi (Tabel 1). Semua famili yang termasuk peralihan ordo Scolecophidia dianggap primitif. Kelompok ular berbisa yang merupakan sebagian besar dari peralihan ordo Xenophidia adalah ular modern yang paling berkembang sampai sekarang. Sedangkan
peralihan
ordo
Henophidia
seperti
famili
Boidae
dianggap
pertengahan diantaranya. Genus Phyton dan Boa tidak seprimitif genus pada famili Typhlopydae namun tidak berkembang dengan sempurna seperti genus pada famili Colubridae dan ular berbisa lain (Hediger 1975) .
Tabel 1 Struktur taksonomi ular (Pope 1949; Hotstetter et al. 1969; Breen 1974; Hediger 1975; Wikipedia.org 2006) Kingdom Animalia Filum Chordata Kelas Sauropsida Ordo Squamata Subordo Serpentes Intermediate ordo Scolecopidhia
Henophidia
Xenophidia
Famili
Genus ( dalam jumlah)
Spesies (dalam jumlah)
Typhlopidae Leptotyphlopidae Anomalepidae Acrochordidae Anillidae Anomochilidae Bolyeridae Cylindrophidae Loxocemidae Trophidopidae Boidae Uropeltidae Xenopeltidae Atractaspididae Colubridae Elaphidae Viperidae Hydrophidae
5 23 Tidak ada informasi 2 9 Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi 22 (Phyton, Boa) 8 1 (Xenopeltis) Tidak ada informasi 250 41 14 16
200 50 Tidak ada informasi 3 Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi Tidak ada informasi 90 (Phyton reticulatus) 40 1 (Xenopeltis unicolor) Tidak ada informasi 2500 180 150 50
Sebagai hewan poikilotermik, ular semakin jarang ditemukan di tempat bersuhu rendah, puncak gunung, padang salju dan daerah kutub kecuali berapa
spesies dari famili Viperidae seperti Vipera ruselli (ular bandotan), Southern Hemisphere Bothrops ammodytoides (ular derik Argentina), Vipera berus (ular derik Eropa) serta Rhamnopis sirtalis (American common garter snake) (Breen 1974). Ular lebih banyak tersebar di daerah tropis hingga subtropis terutama spesies ular ukuran besar yang termasuk famili Boidae seperti spesies dari genus Python dan Boa. Spesies ini umum ditemui di daerah Asia Tenggara seperti Indonesia dan Filipina; India Barat; Indian; Afrika; dan sepanjang daerah Amazon di Amerika. Ular yang termasuk famili Elaphidae (kobra) tersebar di seluruh daratan kecuali benua Eropa (Wikipedia.org 2006). Penyebaran dan kelimpahan jumlah ular semakin tinggi ke arah katulistiwa. Indonesia memiliki ± 400 spesies dan 115 spesies diantaranya adalah ular berbisa. Sebanyak 35 spesies ular berbisa tersebut hidup di terestrial dan selebihnya di ekosistem akuatik (Santoso 2003).
Anatomi dan Fisiologi a. Anatomi Tubuh Tehupuring (2003) mengatakan, secara umum tubuh ular dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a.
sepertiga bagian depan meliputi trakhea, esofagus dan jantung
b.
sepertiga bagian tengah meliputi jantung, lambung dan paru-paru
c.
sepertiga bagian belakang meliputi usus halus, pankreas, limpa, kantung empedu, kelenjar adrenal, usus besar, gonad, saluran reproduksi, ginjal, lemak tubuh dan kloaka. Pada daerah kaudal kloaka terdapat musk gland pada betina dan sepasang hemipenis pada jantan.
Os thoracalis (tulang rusuk) tidak memiliki sternum sehingga menggantung bebas dan tidak melindungi jantung yang terletak di bagian ventral. Paru-paru ular memanjang dan di ujung membentuk kantung udara. Fungsi kantung udara adalah sebagai cadangan udara yang dipompa saat menelan mangsa yang besar (Hediger 1975). Saluran esofagus sangat tipis dan tidak mengandung otot polos. Saluran ini terus menuju lambung tanpa batas yang jelas karena lambung tidak memiliki cardiac sphincter. Proses pencernaan berlangsung sangat cepat sedangkan proses penyerapan berlangsung sangat lambat dan membutuhkan
waktu berhari-hari (O’ Malley 2005). Ular tidak memiliki kantung kemih sehingga saluran urinari langsung menuju kloaka (Hediger 1975). Ular tidak memiliki kelopak mata. Sebagai gantinya terdapat lapisan bening dari semacam material gelas yang melapisi seluruh kornea, disebut spektakel (spectacle). Spektakel sebenarnya merupakan diferensiasi dari kulit yang akan terkelupas saat molting (Hotstetter et al. 1969).
b. Temperatur Tubuh Temperatur tubuh ular bersifat ectotherm (Underwood 1970). Kemampuan refleks homeotermik pada ular kurang berkembang sehingga temperatur tubuhnya mengalami fluktuasi cukup besar mengikuti temperatur lingkungan (hewan
poikilotermik).
Sebagai
satwa
ectotherm
maka
seluruh
fungsi
metabolisme ular bergantung temperatur lingkungan (temperature-dependent) (Ross dan Marzec 1990). Menurut Funk (1996) ular memiliki Prefered Optimum Temperatur Zone (POTZ); suatu temperatur tertentu di lingkungan yang dapat mendukung keseluruhan fungsi metabolisme ular secara optimal. POTZ ular umumnya 27°-30°C dan bervariasi untuk beberapa spesies ular lain (Scott 1995). Spesies ular yang berhabitat di daerah temperatur sedang (temperate spesies) memiliki POTZ pada suhu ± 24°C sedangkan spesies ular tropis memiliki POTZ pada suhu ± 28°C (O’ Malley 2005). Temperatur tubuh ular harus berada pada POTZ tertentu yang disebut Prefered Body Temperatur (PBT), agar fungsi metabolisme berlangsung baik. Kondisi ini ditandai dengan aktif bergerak, berjemur, berlangsungnya fungsi pencernaan, fungsi hormon reproduksi (Funk 1996), dan sistem imunitas yang bekerja maksimal (Mader 1996). Hediger (1975) mengatakan, suhu rendah di bawah POTZ atau melewati toleransi PBT akan menghambat sensor indra peraba dan pergerakan, serta mengakibatkan paralisis dengan mortalitas hampir 100%. Kondisi ini menggambarkan kebergantungan ular terhadap ketersediaan energi panas untuk mengontrol temperatur tubuh melalui proses termoregulasi. Termoregulasi dilakukan dengan memasukan dan mengeluarkan panas dari matahari atau sumber lain dengan cara meluruskan atau meregangkan tubuh sedangkan untuk bertahan hidup ketika temperatur lingkungan rendah ular melakukan hibernasi (Ummas.edu 2006).
c. Kelembapan Kelembapan lingkungan juga sangat mempengaruhi homeostasis tubuh ular. Kelembapan yang rendah menyebabkan ular mengalami dehidrasi, pneumonia dan kegagalan inkubasi telur (Ross dan Marzec 1990; Klingenberg 1993; Ackerman 1995). Kondisi sebaliknya menyebabkan ular mengalami dermatits (Ackerman 1995). Spesies ular yang berhabitat di padang pasir (spesies padang pasir) membutuhkan kelembapan 30-50%; spesies subtropis 60-80%; dan spesies tropis 80-90% (Mitchell 2003).
d. Fisiologi Reproduksi Siklus hormonal reproduksi pada jantan dan betina dipengaruhi oleh musim dan kondisi temperatur, umumnya musim penghujan dan saat temperatur rendah (Ross dan Marzec 1990). Kematangan seksual lebih dipengaruhi oleh ukuran tubuh dari pada tingkat umur. Betina memulai siklus lemak dan siap kawin saat mencapai ukuran tubuh tertentu yang dipengaruhi faktor kuantitas pakan. Ular yang tumbuh dengan perawatan dan pemberian pakan optimal biasanya mulai mengalami kematangan seksual pada umur 2-3 tahun (Mader 1996).
Ular
yang
mengalami
kekurangan
pakan
tidak
akan
mencapai
kematangan seksual (Vladimir 2007). Ketika kopulasi betina dan jantan akan saling bertumpuk atau melilit. Organ reproduksi betina disebut musk gland dan organ kopulator jantan disebut hemipenis yang berjumlah sepasang. Saat kopulasi hanya satu hemipenis yang dimasukan ke dalam musk gland dan jika kopulasi selesai hemipenis akan ditarik kembali ke dalam kloaka (Hediger 1957). Sebagian besar jenis ular bersifat vivipar seperti pada Python, dan sebagian lagi bersifat ovovivipar seperti pada Boa. Jumlah telur yang dihasilkan beragam. Telur mengalami inkubasi normal pada kelembapan relatif 75-85% dan temperatur ideal 25,5°- 28,80C selama ± 55-60 hari (Animal hospital-usa.com 2006). Ross dan Marzec (1990) mengatakan bahwa kelembapan yang dibutuhkan untuk inkubasi telur ular adalah = 88–100 %. Sedangkan Phyton dan Boa, umumnya membutuhkan kelembapan relatif pada 90-100 %.
e. Molting (Ecdysis) Molting atau ecdysis adalah proses pergantian kulit yang terjadi secara berkala. Proses ini terjadi di bawah kontrol hormonal serta berhubungan dengan
nutrisi dan pertumbuhan (Mader 1996). Frekuensi molting bergantung kepada banyak faktor terutama temperatur lingkungan, frekuensi dan jumlah pakan, serta tingkat aktivitas yang dialaminya. Umumnya ular berganti kulit 4-8 kali pertahun. Ular muda yang sedang tumbuh mengalami pergantian kulit yang lebih sering, terutama pada beberapa tahun pertama setelah menetas atau dilahirkan (Ummas.edu 2006). Hediger (1975) mengatakan proses molting ditandai dengan adanya inaktifitas yaitu ular cenderung diam dan menolak makan, warna kulit kusam dan spektakel yang memutih keruh. Molting yang normal terjadi ± 14 hari dan setelah molting, warna kulit baru cerah dan berkilauan. Ular akan defekasi dan sangat lapar sehingga nafsu makannya tinggi.
Pemanfaatan Satwa Ular Herpetologist di universitas Massachusetts percaya bahwa manusia telah mengeksploitasi ular sejak berabad-abad lalu untuk kebutuhan hidupnya (Ummas.edu 2006). Beberapa negara timur khususnya China, menganggap daging, darah, bisa dan empedu ular adalah obat berkhasiat tinggi. Bisa ular dipercaya dapat menyembuhkan beberapa penyakit serius melalui pengenceran beberapa ribu kali dan telah dibuktikan oleh para ahli pengobatan tradisional. Sampai saat ini bisa ular digunakan untuk mencegah serangan jantung dan stroke, serta membasmi kanker dan mengobati alergi berat (Dwiyono 2004). Selain itu, kulit beberapa jenis ular memiliki ketebalan dan corak menarik yang dianggap bernilai tinggi untuk dijadikan produk perhiasan, sepatu, tas, dompet, hiasan dinding, dan pakaian. Semakin bergesernya anggapan sebagian masyarakat terhadap ular dengan menganggap ular sebagai satwa eksotik yang menarik, maka beberapa spesies satwa ini juga semakin banyak dijadikan hewan peliharaan (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Pemanfaatan ini dijadikan peluang bagi para pengusaha untuk mengambil keuntungan melalui perdagangan ular. Menurut Soehartono dan Mardiastuti (2003), jumlah kulit mentah ular dan ular hidup yang diperdagangkan di seluruh dunia mencapai ratusan ribu hingga jutaan pertahun. Negara pengimpor terbesar spesies ular untuk dipelihara sebagai koleksi kebun binatang dan hewan kesayangan dari Indonesia adalah Amerika dan Eropa sedangkan negara pengimpor terbesar produk ular berupa daging dan obat-obatan adalah Hongkong, China dan Taiwan.
Konsep Medik Konservasi Medik konservsi lahir untuk menyatukan konsep kesehatan manusia dan kesehatan hewan yang akhir-akhir ini menunjukan korelasi yang semakin berarti (Weinhold 2003). Secara sederhana, manusia berinteraksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi ini hampir selalu mengakibatkan homeostasis
lingkungan
terganggu
dan
menimbulkan
perubahan
dalam
ekosistem. Salah satu tanda yang dapat dikenali akibat perubahan ekosistem adalah mencuatnya suatu agen penyakit dari lingkungan, hewan, tumbuhan maupun manusia. Konsep medik konservasi adalah pendekatan baru ilmu konservasi yang selama ini biasa dikaji melalui ilmu biologi dan kehutananan. Mencuatnya suatu agen penyakit dari ekosistem salah satunya bersumber dari satwa yang sakit karena
mengalami
ketidakseimbangan
homeostasis
tubuh.
Gangguan
homeostasis terjadi akibat adanya gangguan pada jumlah populasi, kondisi habitat, ketersediaan pakan, serta perubahan lingkungan. Oleh karena itu, para pelaku konservasi yang berlatar belakang ahli medis hewan mulai melakukan pendekatan strategi konservasi satwaliar dari sudut pandang medis. Satwa yang sehat akan menjalani aktivitasnya dengan normal, terutama aktivitas reproduksi sebagai upaya untuk mempertahankan populasi. Profesi dokter hewan didefinisikan sebagai orang yang mendapat kualifikasi dan wewenang untuk mengatasi penyakit dan cedera pada hewan.
Gambar 1 Ruang lingkup medik konservasi. (Lelana 2004)
Dalam ruang lingkup medik konservasi (Gambar 1), tanggung jawab dan wewenang dokter hewan menjadi lebih luas yaitu: tindakan pencegahan
(preventif) yang meliputi aspek manajemen pemeliharaan, higiene dan sanitasi; penyembuhan (kuratif), yang meliputi tindakan pengurangan sakit dan penyakit serta pemulihan; penanganan penyakit zoonosa yang berujung pada jaminan kesehatan masyarakat; dan keberhasilan reproduksi di habitat buatan untuk menurunkan tingkat eksploitasi dari alam dan mendukung program reintroduksi sebagai upaya memantapkan kembali kestabilan ekosistem di habitat asli. Peran dokter hewan dalam otoritas medik konservasi terwujud melalui beberapa kontrol dalam penanganan satwa, yaitu kontrol fisiologi, kontrol mikrobiologi, kontrol perilaku (behavior), kontrol genetik, kontrol reproduksi, kontrol kualitas, dan kontrol adaptasi (Gambar 2).
Gambar 2 Diagram alir kerangka pemikiran strategi medik konservasi. (Lelana 2004)
Medik konservasi berupa wujud dari serangkaian tindakan medik veteriner berupa tindakan rehabilitatif, preventif, kuratif, dan promotif yang diterapkan dalam menunjang program pelestarian satwaliar. Termasuk aspek sumberdaya manusia dan alat-alat pendukung lain yang menunjang satwa dapat tetap hidup secara normal dan sehat. Dokter hewan dapat dianggap sebagai salah satu sumberdaya manusia dalam bidang konservasi, diharapkan lewat konsep medik konservasi dan pengembangan sumberdaya manusianya, efektifitas dan efisiensi konservasi sebagai upaya pelestarian akan berkesinambungan dan lebih optimal (Gambar 3). Riki (2005) mengatakan, melalui pengetahuan dokter hewan terhadap penyakit satwa, peranan dokter hewan sebagai pelaku medik konservasi menjadi sangat penting dalam pelestarian satwa. Diagnosa berbagai jenis penyakit, evaluasi kesehatan berkala, berbagai tindakan preventif, manajemen reproduksi
serta perbaikan nutrisi satwa yang ditangkarkan secara eksitu menjadi bagian penting dalam konservasi satwa.
Upaya pelestarian: berkesinam bungan
Konsep baru: Strategi medik konservasi:
SDM: kualitas & kuantitas
Gambar 3 Diagram efisiensi dan efektifitas upaya konservasi. (Lelana 2004)
Tinjauan dasar di atas merupakan abstraksi dari medik konservasi. Sesuai dalam definisi medik konservasi menurut Lelana (2004) yaitu: 1. Segala urusan yang berhubungan dengan penanganan medik maupun keterlibatan tenaga medik secara langsung atau tidak langsung dalam program pelestarian satwa liar dan dampaknya terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia. 2. Merupakan salah satu strategi sistem kesehatan hewan nasional dalam mengharmonikan
kesehatan
hewan,
masyarakat
dan
lingkungan.
(Pengganti UU No. 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan) 3. Merupakan salah satu strategi dalam pelestarian spesies/ plasma nutfah berikut habitatnya.
METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Studi kasus dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2007 s.d. 31 Juli 2007 di (1) Taman Margasatwa Ragunan, (2) CV. Terraria dan (3) Taman Safari Indonesia Unit 1 Bogor. Penelusuran literatur dan pengumpulan informasi dari berbagai pihak dilakukan selama 1 tahun, sejak September 2006 s.d. Agustus 2007.
Bahan dan Metode Bahan terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh dari perpustakaan
maupun
melalui
observasi
di
lapangan,
wawancara,
dan
mempelajari data rekam medik (medical record). Wawancara petugas mencakup kiper, teknisi medis, tenaga ahli (dokter hewan dan ahli biologi hewan) serta pengelola penangkaran satwa. Materi wawancara lebih ditekankan pada aspek medik konservasi dan implementasinya di lapangan. Hasil dari kegiatan ini dianalisa dan dikonfirmasi dengan literatur yang telah ada Informasi yang akan dikumpulkan diajukan dalam daftar pertanyaan sebagai berikut:
Aspek Preventif Manajemen Umum 1. Apakah sistem catatan untuk informasi siap untuk diperiksa setiap saat? 2. Apakah catatan itu menyediakan informasi yang cukup relevan dengan pemeliharaan ular? Manajemen Kandang 1. Apakah
kondisi
kandang
sedemikian
rupa
sehingga
tidak
ada
kemungkinan dapat mencelakai atau mencederai ular (material dan konstruksi kandang, sirkulasi udara, pencahayaan, suhu dan kelembapan serta ukuran)? 2. Apakah
fasilitas
kandang
dapat
memenuhi
kebutuhan
ular
mengekspresikan perilaku alami dan normalnya (bentuk tempat air dan air untuk minum dan berendam; tempat berlindung, bak, lorong dan semak-semak)?
3. Apakah semua bangunan dan perlengkapan termasuk peralatan listrik yang terpasang tidak menimbulkan resiko atau tidak mengganggu jalannya kegiatan operasional? 4. Apakah kandang yang dihuni beserta area yang berdampingan bebas dari sampah dan peralatan? 5. Bagaimana pengaturan kebersihan kandang? 6. Apakah ukuran kandang disesuaikan dengan jumlah populasi ular yang menghuni kandang tersebut? 7. Apakah pohon-pohon di dalam maupun di luar kandang dalam kondisi aman? 8. Apakah
standar
kebersihan
kandang
dan
ruang
pengobatan
memuaskan? 9. Apakah semua kandang memiliki sistem saluran yang baik? 10. Apakah kandang karantina dilegalisir oleh pihak karantina hewan? Manajemen Pakan dan Air 1. Apakah kuantitas dan kualitas pakan yang disediakan untuk ular sudah memuaskan? 2. Apakah variasi jenis pakan untuk ular mendapat perhatian? 3. Bagaimana mengatur jadwal pemberian pakan? 4. Apakah penetapan menu pakan melibatkan ahli nutrisi ular (termasuk dokter hewan)? 5. Darimana mendapatkan suplai pakan? 6. Bagaimana manajemen suplai pakan (pakan sehat, tidak sakit, dan tidak membawa parasit atau agen infeksius lain)? 7. Apakah pakan diberikan dalam kondisi hidup, sehingga naluri ular untuk memangsa tetap ada? 8. Apakah pakan yang diberikan diyakini dimakan oleh ular (terutama pada kandang bersama)? 9. Darimana sumber air yang digunakan? 10. Apakah kebersihan dan kualitas air terkontrol sehingga bebas dari kontaminasi bakteri, parasit dan agen infeksius lain serta zat kimiawi yang terkandung di dalamnya? 11. Apakah kuantitas air yang diberikan diyakini mencukupi? 12. Bagaimana pengaturan penempatan air dalam kandang?
Manajemen Kesehatan Ular 1. Apakah kondisi fisik dan kesehatan ular dikontrol setiap hari? 2. Apakah petugas dilarang merokok agar tidak berakibat buruk bagi ular? 3. Apakah dilakukan pemeriksaan parasit dan program preventif vaksinasi? 4. Apakah ada fasilitas peralatan medis? Bila ya, apakah lengkap dan terawat? 5. Adakah catatan penyakit dan tindakan pengobatan yang dilakukan?
Aspek Kuratif Manajemen Kesehatan Ular 1. Apakah dilakukan penanganan segera terhadap ular yang menderita sakit atau terluka? 2. Apakah pencatatan pengobatan dilaksanakan dengan baik? 3. Apakah tersedia ruang pengobatan yang bersih serta berventilasi untuk pemeriksaan rutin bagi ular yang diberi penenang? 4. Apakah alat transportasi untuk pengobatan atau operasi yang dilakukan di luar karantina tersedia setiap saat? 5. Adakah fasilitas untuk perawatan bagi ular yang menderita sakit atau luka? 6. Apakah obat-obatan, vaksin dan produk obat lainnya disimpan secara benar dan aman, kemudian kuncinya hanya dipegang oleh petugas yang berwenang? Apakah penggunaan obat terkontrol dengan baik? 7. Apakah fasilitas dan peralatan untuk melaksanakan pemeriksaan post mortem tersedia dan cukup memadai?
Aspek Rehabilitatif Manajemen Kandang Apakah ada fasilitas inkubator, bila ya, bagaimana kondisi suhu dan kelembabannya? Manajemen Kesehatan Ular 1. Bagaimana manajemen kesehatan anak ular dan pemeliharaan telur di dalam inkubator? 2. Adakah fasilitas dalam pengendalian, pemberian anastesi, dan perawatan paska pembiusan dalam kondisi memuaskan?
Manajemen Penangkaran Apakah ada program reintroduksi pada ular-ular yang dipelihara di kebun binatang? Bila ya, bagaimana prosedurnya?
Aspek Promotif Manajemen Umum 1.
Apakah fasilitas untuk penangkaran dan pengangkutan ular tersedia?
2.
Apakah perencanaan dan penghitungan telah dibuat sebelum membuat persiapan
membawa
keluar
ular
berkaitan
dengan
pengawasan,
keamanan dan kesejahteraan ular? 3.
Bagaimana prosedur pengiriman ular hidup ke luar daerah (luar kota/ lintas negara)?
4.
Bagaimana kriteria ular yang akan ditukar dengan taman margasatwa lain atau untuk diekspor?
5.
Apakah ada program reintroduksi pada ular-ular yang dipelihara di kebun binatang? Bila ya, bagaimana prosedurnya?
Aspek Keselamatan Satwa, Petugas dan Lingkungan Manajemen Umum 1.
Apakah semua prosedur pengamanan termasuk peraturan P3K dan prosedur darurat mendapat perhatian dan tersedia dalam bentuk dokumen tertulis?
2.
Apakah prosedur pengamanan pada saat ular terlepas digunakan secara baik?
3.
Adakah catatan tentang individu atau kelompok ular yang dikenal, dipelihara, dan dirawat?
4.
Apakah sistem manajemen cukup untuk melaksanakan pengawasan kandang, kebersihan, pemberian pakan, dan air yang disyaratkan?
Manajemen Kesehatan 1.
Atas saran dokter hewan, apakah petugas memakai pakaian pelindung dan peralatan yang berbeda untuk area isolasi dan pakaian pelindung serta peralatan itu dibersihkan dengan baik?
2.
Apakah fasilitas dan peralatan untuk melaksanakan pemeriksaan post mortem tersedia dan cukup memadai?
Manajemen Penangkaran 1.
Bagaimana hubungan yang terjalin antara pihak penangkaran terhadap masyarakat sekitar?
2.
Apakah ada penetapan jumlah ular yang diambil dari alam, jumlah ular yang berhasil dan hasil yang ditangkarkan?
3.
Bagaimana macam dan distribusi produk hasil budidaya pada pengelola penangkaran untuk budidaya?
4.
Apakah
ada
sistem
pengawasan
keamanan
produk
yang
telah
terdistribusi?
Aspek Sumberdaya Manusia 1. Apakah jumlah petugas cukup untuk melaksanakan pemeliharaan ular secara tepat? 2. Apakah petugas diberi latihan dan pengalaman dengan ular yang dipelihara? Apakah jumlah keseluruhan petugas cukup untuk benar-benar melaksanakan pemeliharaan ular? 3. Apakah pengelola penangkaran atau taman margasatwa dapat menjamin pemeliharaan ular pada saat mendatang (minimal 3 tahun)? 4. Apakah pengelola penangkaran atau taman margasatwa bertanggung jawab penuh setiap hari terhadap seluruh ular yang dipelihara?
HASIL DAN PEMBAHASAN Lembaga Konservasi dan Usaha Penangkaran Fungsi
utama
lembaga
konservasi
eksitu
adalah sebagai
tempat
pengembangbiakan dan penyelamatan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Selain lembaga konservasi, kegiatan pengembangbiakan satwa juga dapat dilakukan oleh setiap orang dan badan hukum dalam bentuk lembaga usaha penangkaran yang hasilnya dapat dijual untuk memenuhi permintaan publik terhadap jenis satwaliar (Santoso 2003). Pada Tabel 2, beberapa lembaga konservasi eksitu tersebut adalah Taman Margasatwa Ragunan (TMR) dan Taman Safari Indonesia (TSI) sedangkan lembaga usaha penangkaran contohnya adalah CV. Terraria.
Tabel 2 Gambaran umum lembaga konservasi dan usaha penangkaran TMR Lembaga konservasi eksitu milik pemerintah daerah Peraga dan penelitian satwa
Pengelola TSI Lembaga konservasi eksitu milik perusahaan swasta Peraga, breeding dan penelitian satwa
Ragunan, DKI Jakarta
Cisarua, Bogor
Gunung Sindur, Parung Bogor
Cenderung berawan 0 ± 29,5 C ± 80 % 14 spesies
Cenderung hujan 0 ± 21 C ± 85 % 21 spesies
Panas berawan 0 ± 31,9 C ± 84,5 % 9 spesies
Dokter Hewan, Teknisi Medis Veteriner (D3), Kurrator SLTA, D3 Veteriner
Dokter Hewan, Teknisi Medis Veteriner (D3), Kurrator SLTA, D3 Veteriner
Herpetologist
0 - 20 tahun
0 - 15 tahun
5 - > 20 tahun
• Alat restrain
Cukup
Lengkap
Lengkap
• Inkubator telur
Tidak ada
Ada
Ada
• Ruang nekropsi
Ada
Ada
Tidak ada
• Pemusnahan kadaver
Krematorium
Krematorium
Septi tank
Profil Kelembagaan Tujuan Lokasi Mikroklimat • Cuaca • Temperatur • Kelembapan Jumlah jenis ular Sumberdaya manusia • Tenaga ahli • Staf perawat • Pengalaman petugas dengan ular Sarana dan prasarana
CV. Terraria Eksportir dan captive breeding komersil Perdagangan
SLTA
Pemeliharaan ular di luar habitatnya wajib mengikuti syarat manajemen yang
memenuhi
standar
kesehatan
dan
pengayaan
perilaku
satwa,
mempekerjakan tenaga ahli dalam perawatan dan bidang medis serta memiliki
sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan operasional (Santoso 2003). Sebagian dari koleksi di ketiga lembaga ini merupakan spesies yang statusnya dilindungi pemerintah yaitu: sanca bodo (Phyton molurus bivittatus), sanca hijau (Chondrophyton viridis) dan sanca timor (Apodora papuanus) (Santoso 2003) dan sebagian lagi merupakan spesies yang termasuk golongan Apendiks II CITES (Samedi et al. 2004) sedangkan selebihnya belum memiliki status apapun karena populasinya masih berlimpah di alam (Tabel 3). Tabel 3 Jenis koleksi ular (dokumentasi Februari – Juli 2007) Pengelola No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Jenis Ular Phyton reticulatus/ sanca batik* Chondrophyton viridis/ sanca hijau* Apodora papuanus/ sanca timor* Leiophyton albertisi/ sanca coklat* Liasis fuscus/ sanca hitam* Morelia amethistina amethistina/ sanca kuning* Phyton curtus brongersmai/ sanca darah* Phyton molurus bivittatus albino/ sanca † sawah albino Phyton molurus bivittatus/ sanca bodo Morelia spilota variegata/ sanca karpet* Xenopeltis unicolor/ sanca pelangi Liasis mackloti savuensis/ sanca sewu ‡ Reticulatus calico/ sanca batik kaliko Candoia aspera/ candoia tanah* Candoia carinata/ boa pohon* Boa constrictor constrictor/ common boa Achcrocordus javanicus/ ular karung Elaphe guttata guttata/ ular jagung Elaphe radiata/ ular sapi Ptyas koros/ ular koros Boyga dendrophilia dendrophilis/ cincin mas Naja sputatrix/ kobra* † Naja naja kaouthia/ kobra albino Ophiopagus hannah/ king kobra* Chaloselasma ibodostoma/ malayan viper Enhyridis enhyridis/ kadut belang Bungarus multicintus multicintus/ many banded krait Maticora bivirgata flaviceps/ malayan longglanded coral snake
TMR
TSI
Ada Ada Ada Ada Ada
Ada Ada Ada Ada Ada
CV. Terraria Ada Ada Ada Ada Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Tidak ada
Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Ada Ada Tidak ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada
Tidak ada Tidak ada Ada Ada Ada Ada Ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Tidak ada Ada Ada Ada Ada Tidak ada
Tidak ada Ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada
†
‡
*Golongan appendix II yang umum diperdagangkan; Jenis impor; Spesies jarang
Pemeliharaan yang Baik (Good Care Practices) Ular adalah satwa ectotherm yang fungsi metabolismenya bergantung pada temperatur lingkungan (temperature-dependent) (Ross dan Marzec 1990). Menurut Funk (1996) ular memiliki Prefered Optimal Temperatur Zone (POTZ);
suatu temperatur tertentu di lingkungan yang dapat mendukung keseluruhan fungsi metabolisme ular secara optimal. Tubuh ular membutuhkan POTZ agar metabolisme berlangsung baik. Kecendrungan temperatur tubuh ular terhadap POTZ disebut Prefered Body Temperatur (PBT) dan pada kondisi ini ular aktif bergerak,
berjemur,
melangsungkan
fungsi
pencernaan,
fungsi
hormon
reproduksi (Funk 1996), dan memiliki sistem imunitas yang baik (Mader 1996). Temperatur lingkungan yang tidak memenuhi PBT ular merupakan sumber sakit dan stress. Ular menjadi lebih pasif terhadap lingkungan, tidak nafsu makan dan cenderung diam. Selain temperatur, kelembapan juga merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan dan reproduksi. Kelembapan suboptimal menyebabkan pneumonia dan kegagalan hibernasi pada ular (Klingenberg 1993). Fisiologi dan biologi dasar ini wajib menjadi pertimbangan dasar dalam menciptakan habitat buatan yang prima sehingga dapat mendukung kesehatan dan produktivitas ular seperti di habitat asli. Manajemen di habitat buatan tersebut meliputi: manajemen kandang, manajemen pakan, manajemen sarana dan prasarana, manajemen pencatatan, manajemen sumberdaya manusia dan manajemen reproduksi.
Manajemen Kandang Menurut Mader (1996) kriteria kandang ular ideal dalam habitat buatan yaitu: aman dari resiko kemungkinan ular terlepas dan menyerang; memiliki ukuran yang sesuai untuk aktivitas ular di dalamnya; memiliki fasilitas dasar untuk pengayaan dan pengaturan sistem mikroklimat; bentuk dan semua fasilitas kandang tidak boleh menimbulkan resiko mencederai ular; memenuhi syarat kebersihan; serta memiliki ventilasi dan pencahayaan matahari yang baik. Akses jalan keluar seperti pintu kandang harus selalu terkunci atau tertutup rapat dan tidak ada kemungkinan akses jalan keluar lain. Ular yang tidak merasa nyaman dalam kandang cenderung berusaha melepaskan diri mencari tempat yang kondisinya lebih baik. Ular juga membutuhkan area pribadi untuk bergerak dengan leluasa sesuai ukuran tubuhnya, sehingga kandang harus memiliki ukuran yang memadai. Ukuran kandang harus disesuaikan dengan ukuran dan jumlah ular agar setiap ekor ular dapat menentukan daerah aktivitasnya masing-masing. Menurut Alif (2007), meletakkan ular dalam kandang secara individu adalah lebih baik karena
memudahkan observasi, kontrol pakan, kontrol parasit dan penyakit menular lain serta dapat mencegah stress karena kondisi kandang yang tenang dan memungkinkan ular beraktivitas dengan leluasa tanpa adanya dominansi dari ular lain. Fasilitas dasar yang dapat memenuhi perilaku dan kebutuhan fisiologi ular yaitu tempat bertengger, tempat bersembunyi serta air untuk minum dan berendam. Tempat bertengger dapat terbuat dari kayu asli, pipa PVC atau dahan pohon imitasi. Kelebihan pipa PVC adalah mudah dibersihkan dan didesinfeksi. Ular cenderung mengekspresikan perilaku gugup dengan menyerang akibat kontak dengan manusia dan kondisi kandang yang ribut (Ackerman 1995). Keadaan ini menimbulkan stress sehingga ular memerlukan tempat bersembunyi guna merasa lebih aman. Kandang juga wajib memiliki persediaan air di dalam tempat yang bentuknya memadai untuk keperluan minum dan berendam. Berendam adalah salah satu cara ular mendapatkan kelembapan di habitat asli. Menurut Alif (2007) penempatan air dalam kolam harus cukup agar ular mampu merendam seluruh tubuhnya dan cukup minum. Pada Tabel 4, diperoleh gambaran pengaturan mikroklimat berupa sumber panas, pengaturan suhu, kelembapan serta pencahayaan yang disediakan di habitat buatan. Ular membutuhkan sumber panas untuk mempertahankan PBT yang mendukung seluruh fungsi metabolisme. Selain sumber panas, fungsi metabolisme sangat dipengaruhi oleh kondisi kelembapan dan pencahayaan di lingkungan.
Tabel 4 Pengaturan mikroklimat di TMR, TSI dan CV. Terraria TMR
TSI
Sumber panas Pengaturan suhu
Mikroklimat
Matahari Lingkungan
Matahari, Lingkungan, thermostat
Pengaturan kelembapan Pergerakan udara
Air Lubang ventilasi Matahari
Elemen heater, lampu par 0 0 Thermostat: 24 – 27 C (kandang peraga); 0 0 29 -30 C (kandang karantina) Air, humidifier: 80% Blower Lampu UV, bohlam dan lampu pijar
Matahari
Pencahayaan
CV. Terraria
Air, humidifier: 90% Lubang ventilasi
Sumber panas di habitat asli adalah matahari. Panas matahari mengatur suhu lingkungan sehingga tercipta POTZ yang mendukung PBT ular. Panas matahari,
pergerakan
udara
dan
air
menentukan
kondisi
kelembapan.
Pencahayaan matahari berupa radiasi UVB dibutuhkan untuk mengaktifkan
provitamin D3 dari kulit serta sangat mempengaruhi siklus biologi ular yang bersifat diurnal (photoperiode) (Mader 1996). Menurut Raharjo (2007), pengaturan mikroklimat di habitat buatan, kurang optimal untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan ular seperti di habitat asli. Selain itu kebutuhan kondisi mikroklimat dapat bervariasi tergantung jenis dan daerah asal setiap spesies. Oleh karena itu, dibutuhkan alat pengaturan mikroklimat buatan yang dapat diatur untuk menciptakan kondisi habitat buatan yang mirip dengan habitat asli. Higrometer dibutuhkan untuk mengontrol temperatur dan kelembapan dalam kandang. Kondisi temperatur daerah TMR dan CV. Terraria (Tabel 2), dapat mendukung PBT ular, sehingga dalam Tabel 4, matahari dapat menjadi sumber panas dan pencahayaan secara alami dengan syarat bentuk kandang yang cukup mendapat sinar matahari. Adapun temperatur di daerah TSI (Tabel 2) ternyata tidak dapat mendukung PBT ular, sehingga sumber pemanas dan pencahayaan seperti heater atau lampu harus tersedia. Menurut Mader (1996), kondisi temperatur, cuaca dan pergerakan udara di habitat buatan tidak dapat mendukung kelembapan yang optimal sehingga alat pengatur kelembapan seperti humidifier dibutuhkan untuk menciptakan kondisi kelembapan sesuai kebutuhan fisiologi setiap spesies ular. Sebagian besar trauma perlukaan pada ular adalah akibat kondisi kandang. Oleh karena itu, maka fasilitas dan bentuk kandang harus dimodifikasi seaman mungkin untuk mencegah hal tersebut. Kolam pada kandang cukup diisi air setengah penuh agar saat ular berendam permukaan air yang naik tidak keluar membasahi dasar kandang. Tumpahan air yang merembes ke lapisan dasar kandang dapat mengenai heater dan sumber listrik di bawahnya, sehingga menyebabkan korsleting listrik dan berbahaya bagi ular yang sedang berada di dasar kandang tersebut. Dalam upaya mencegah abrasi mulut, kandang tidak boleh menggunakan jaring kawat berlubang (Wikipedia.org 2006). Kandang yang terbuat dari besi berlubang atau berjeruji disarankan dilapisi dengan solar tab, sehingga dapat meredam benturan ular saat menyerang (Rofandi 2007). Kandang yang terbuat dari kaca harus dilengkapi dengan tempat bersembunyi, mengingat kaca kurang baik untuk meredam benturan serangan ular sehingga ular yang merasa gugup dapat bersembunyi untuk menghindar.
Letak alat pemanas dan sumber listrik di kandang harus disembunyikan di belakang fasilitas pengayaan kandang, seperti di tempat bertengger atau alas kandang. Sumber listrik dalam kandang seperti lampu par, lampu UV dan sumber pemanas harus ditutup agar tidak kontak dengan ular dan menghindari trauma luka bakar. Kondisi peralatan harus selalu dikontrol dan dipastikan tetap berfungsi baik. Alat pemanas yang tidak berfungsi dengan baik dapat membuat kondisi temperatur kandang berubah dan menimbulkan stress pada ular. Kandang harus memenuhi syarat kebersihan dan sanitasi yang baik. Seluruh
fasilitas
didesinfeksi, agar
dan
material
kandang
harus
mudah
dibersihkan dan
bebas dari kontaminasi agen infeksi, feses dan urin. Alas
kandang harus terbuat dari material yang dapat menyerap air dengan sempurna, agar kandang tidak lembab dan kotor. Alas kandang ukuran kecil, seperti boks, kontainer atau akuarium, dapat menggunakan kertas koran, karena paling baik menyerap air dan cepat kering (Boyer 1993). Kandang dan fasilitas kandang harus dibersihkan setiap hari dan didesinfeksi secara berkala (Mader 1996). Menurut hasil observasi dan wawancara di tempat studi maka desinfektan yang
dapat
digunakan
adalah:
Virkon’s®
yang
mengandung
senyawa
peroksisen, surfaktan dan asam organik. Menurut Alif (2007), desinfektan ini kurang efektif jika digunakan untuk membasmi sarang ektoparasit di kandang. Adapun
Super Algicide® yang mengandung isothiazolone dapat digunakan
sebagai anti alga/ anti lumut, anti jamur dan anti bakteri atau TH4 sebagai Anti jamur, anti bakteri dan anti viral. Menurut Yohana (2007), kandang yang terkontaminasi jasad renik dapat didesinfeksi dengan menggunakan TH4 dan setelah kering permukaan kandang dibakar dengan spirtus dan tidak dipakai dalam waktu minimal 3 bulan. Menurut Mader (1996) sodium hipoklorit (NaClO) 5,25% juga merupakan desinfektan yang efektif. Penggunaan desinfektan sebaiknya bergantian untuk mencegah resiko resistensi (Yohana 2007).
B
A
C
Gambar 4 Kandang ular di TMR (Terrarium 1 dan 2). Jumlah ular pada kandang ini maksimal 5 ekor sanca batik (Python reticulatus) ukuran sedang. (kiri atas) (A,? ) Pintu depan kandang berupa jendela kaca yang digeser dan (B,? ) adalah pintu pada bagian belakang kandang. Fasilitas dasar berupa: (kanan atas) semak-semak untuk tempat bersembunyi, (kiri bawah) tempat bertengger dari batang kayu serta kolam tempat minum dan berendam di dasar kandang (kanan bawah; C, ? ).
A A
C
B
Gambar 5 Kandang ular di TSI. Jumlah ular pada kandang ini maksimal 1 ekor sanca batik (Python reticulatus) ukuran besar. (A,? ) adalah pintu kandang. Fasilitas dasar adalah tempat bertengger (B,? ) serta kolam tempat minum dan berendam di dasar kandang (C,? ).
Gambar 6 Kandang induk sanca hijau (Chondropython viridis) di CV. Terraria. Ukuran kandang ini hanya untuk satu ekor ular. kandang sebelah kiri adalah sepasang jantan dan betina yang disatukan saat kawin. Pintu kandang adalah jendela kaca yang digeser. Fasilitas dasar adalah tempat bertengger dari pipa PVC dan tempat minum di dasar kandang. Lubang ventilasi terdapat di bagian belakang kandang (? ).
Gambar 7 Contoh sumber udara dan pencahayaan. (atas) Kandang dengan atap dibagi 2 yaitu atap permanen dan atap kawat berlubang. Atap permanen melindungi dari hujan dan panas matahari, sedangkan atap kawat sebagai sumber udara dan matahari saat ular butuh berjemur. (bawah) Kandang dengan ventilasi berupa blower dan lampu UV, lampu pijar atau bohlam sebagai sumber pencahayaan.
A
B
Gambar 8 Keamanan bentuk dan fasilitas kandang. (kiri atas) Kandang yang dilapisi solar tab. (kanan atas) Lampu yang ditutup. (bawah) Thermostat (A,? ) dan sumber panas yang disembunyikan di alas kandang dan di dalam batu tempat bertengger (B,? ).
Manajemen Pakan Hal utama yang harus dikontrol saat pemberian pakan adalah kondisi POTZ untuk mendukung temperatur tubuh ular (PBT) dalam melangsungkan fungsi enzim pencernaan dan fungsi penyerapan makanan. Pakan yang baik adalah cukup jumlahnya, bergizi, serta bebas dari sumber penyakit. Pada Tabel 5 dapat dipelajari bahwa dalam manajemen pakan terdapat tiga hal penting; yaitu menu dan kuantitas pakan sesuai kebutuhan ular; kontrol kualitas pakan; serta pengawasan saat pemberian pakan. Menu pakan diberikan berdasarkan jenis ular, tahap perkembangan, ukuran tubuh dan disesuaikan dengan pakan yang biasa didapatkan di alam. Pakan tersebut umumnya ayam, mencit dan tikus. Variasi menu pakan juga perlu dilakukan terutama terhadap ular yang mengalami anoreksia (Yohana 2007). Ular yang baru datang di habitat buatan sebaiknya diberi menu pakan yang
paling sering ia pilih di alam sebelum membiasakan dengan pakan yang telah disediakan. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil dampak stress dalam proses adaptasi di habitat buatan. Kuantitas pakan yang cukup sangat dibutuhkan untuk menyimpan cadangan energi dalam bentuk glikogen di hati dan lemak dalam tubuh (Ackerman 1995). Kekurangan jumlah asupan pakan pada ular yang dikandangkan menyebabkan kelaparan yang merupakan sumber stress dan penurunan ketahanan tubuh (Scott 1995).
Tabel 5 Manajemen pakan ular di TMR, TSI dan CV. Terraria Lokasi
Pakan Jenis ular Menu Ular sendok Sanca hijau
TMR
Sanca batik, sanca albino Koleksi lain
Sanca batik, sanca albino, sanca sawu TSI Ular air Koleksi lain
CV. Terraria
Sanca batik Induk dan dewasa Sanca darah Sanca hijau, sanca karpet, sanca kuning, sanca hitam Anakan Anakan sanca hijau
Ular koros, tikus putih Tikus, mencit, burung Finch (mprit/ pipit) Ayam.
Pemberian Pakan
Kontrol Kualitas Pakan Pemeriksaan fisik terhadap pakan dari suplayer.
• •
Jadwal pakan seminggu 1x. Ditunggu oleh perawat.
Tikus, mencit, katak Ayam. Variasi pakan; marmut, burung, anak kambing dan anak rusa Ikan mas segar Mencit dan tikus. Ayam 1,5 kg 2-3 ekor Marmut 250 gr 4–8 ekor Tikus dewasa 4–5 ekor
Bayi mencit atau tikus Bayi mencit
• Mencit dan tikus diternakkan secara higienis • Pellet berkualitas, deworming tiap bulan, suplemen vitamin, mineral. • Menyediakan air bersih • Ayam diperiksa secara fisik dan dilakukan Test AI secara cepat • Mencit dan tikus diternakkan secara higienis • Pellet berkualitas, deworming tiap bulan, suplemen vitamin, mineral. • Menyediakan air bersih • Pakan tidak cacat • Ayam dan marmut dari suplier atau pasar dan diberikan pada hari yang sama atau disimpan dalam gudang pakan hanya sebagai persediaan selama satu kali jadwal pakan
• Jadwal pakan seminggu 1x. • Ditunggu oleh perawat.
• Jadwal pakan ular sanca batik 6 hari 1x, jenis ular lain 12 hari 1x. • Ditunggu oleh perawat. • Pakan yang tidak dimakan akan diambil, diberikan keesokan harinya.
Kriteria hewan mangsa untuk pakan adalah lincah, bersih, tubuh tidak cacat, bulu atau rambut utuh dan cukup gemuk (Vladimir 2007). Mencit dan tikus harus tersedia setiap saat. Selain itu hewan ini dapat berfungsi sebagai pembawa parasit cacing golongan sub filum pentastomum, sparganum dan
golongan protozoa Cryptosporodium yang merupakan zoonosis (Mader 1996). Oleh karena itu, mencit dan tikus harus diternakan secara higienis dengan pemberian pellet berkualitas, air bersih, deworming sebulan sekali, pemberian vitamin serta tambahan mineral. Ayam dapat menjadi sumber wabah salmonellosis pada ular terutama jenis ular sanca albino (Python molurus bivittatus albino) (Mader 1996). Oleh karena itu, ayam hidup harus disuplai dari peternakan dengan sanitasi yang baik, memiliki sertifikat sehat, dan diperiksa kembali sebelum diberikan pada ular (Yohana 2007). Persediaan ayam hidup harus dikandangkan secara khusus dalam gudang pakan maupun diberi air bersih untuk minum dan pellet yang baik dan bersih. Kandang dan peralatan pemeliharaan mencit dan tikus maupun gudang tempat menyimpan persediaan pakan juga harus didesinfeksi secara berkala. Perawat satwa harus memastikan bahwa pakan benar–benar ditelan dengan baik dan tidak terjadi regurgitasi. Jika pakan tidak dimakan dalam waktu 15-30 menit, maka mangsa yang dijadikan pakan, terutama tikus dan mencit, harus diambil kembali mengingat hewan ini dapat menyerang ular dan menimbulkan luka gigitan yang serius (Barten 1996).
Gambar 9 Contoh keamanan pakan. (kiri atas) Tikus atau mencit yang diternakan. (kiri bawah dan kanan) Persediaan marmut dan ayam dalam gudang pakan yang bersih
Manajemen Sarana dan Prasarana Pada Tabel 2 dapat dilihat kelengkapan sarana dan prasarana pada ketiga tempat studi. Perawatan ular dalam jumlah besar dan bervariasi harus didukung dengan peralatan alat restrain untuk mencegah trauma fisik dan stress pada saat handling. Peralatan tersebut meliputi tongkat ular, forceps untuk membuka mulut, probe untuk sexing dan sonde lambung untuk melakukan pencekokan (Fowler 1978). Perawatan ular dalam program konservasi harus dilengkapi dengan sarana inkubator untuk mendukung kegiatan penangkaran. Menurut Raharjo (2007) fasilitas sumber pemanas, pengaturan temperatur dan kelembapan dibutuhkan untuk menciptakan keadaan seperti di habitat aslinya. Manansang et al. (2004) mengatakan bahwa lembaga konservasi harus memiliki freezer atau refrigerator guna menyimpan kadaver untuk keperluan nekropsi. Mader (1996) mengatakan bahwa ular yang mati sebaiknya disimpan dalam refrigerator dan segera dilakukan nekropsi. Menurut Nugroho (2007) kadafer ular akan rusak atau mengalami autolisis setelah 72 jam setelah mati sehingga nekropsi harus dilakukan sebelum 72 jam. Agar pelayanan kesehatan dan pelayanan medis dapat terlaksana dengan baik, maka lembaga konservasi perlu didukung dengan bangunan rumah sakit dan peralatan medis yang meliputi meja pemeriksaan, alat bedah, alat pembiusan, alat pemeriksaan dasar diagnostik, listrik yang cukup, peralatan pemeriksaan sampel darah serta penyediaan obat yang memadai. Jika ini tidak dapat dipenuhi seperti pada lembaga usaha penangkaran, minimal perlu disediakan ruangan yang bersih dan berventilasi baik untuk melakukan pemeriksaan. Sebagai upaya untuk mencegah penularan dan penyebaran infeksi diperlukan fasilitas untuk memusnahkan kadaver seperti bangunan krematorium atau septi tank (Manansang et al. 2004).
Manajemen Sumberdaya Manusia Pada Tabel 2 dapat dilihat sumberdaya manusia pada ketiga tempat studi, pada umumnya meliputi: dokter hewan, para medis, herpetologist (ahli reptil), kurrator (ahli perilaku dan biologi hewan), serta perawat satwa (petugas kandang) yang merawat ular secara langsung. Setiap petugas yang bekerja langsung dengan satwa harus memiliki keahlian dan pengetahuan dasar tentang ular agar perawatan dan program penangkaran optimal. Petugas wajib mengikuti pelatihan secara rutin tentang
manajemen
restrain,
pengaturan
mikroklimat
setiap
spesies
ular
dan
pengetahuan umum tentang fisiologi reproduksi ular. Petugas harus mengenakan alat pelindung untuk menghindari resiko terkontaminasi kuman dan parasit, transmisi zoonosis serta bisa ular. Zoonosis asal ular dapat ditularkan langsung lewat udara, material kandang dan air yang terkontaminasi feses dan urin, atau melalui gigitan ektoparasit. Alat pelindung tersebut berupa pakaian khusus untuk bekerja dengan satwa, sarung tangan, masker, sepatu bot serta baju pelindung dari gigitan ular berbisa. Semua petugas juga wajib mencuci tangan setelah membersihkan kandang dan memegang ular.
Manajemen Pencatatan Dari hasil studi, diperoleh gambaran bahwa aspek-aspek yang direkam dan sistem pencatatan meliputi identitas ular, akitivitas makan, waktu ganti kulit, aktivitas reproduksi, kasus penyakit dan tindakan kuratif yang diberikan. Menurut Vladimir (2007), manajemen pencatatan meliputi pencatatan terhadap identitas dan biodata ular, hal-hal yang berkaitan dengan informasi biologi, kegiatan perawatan dan kegiatan medis. Catatan identitas dan biologi ular meliputi nama ilmiah, daerah asal, tanggal lahir atau menetas, jenis kelamin, umur pertama kali molting dan tanggal setiap molting, serta aktifitas reproduksi yang terdiri dari observasi tanda birahi, waktu terakhir kali kawin dan keberhasilan kawin. Catatan kegiatan perawatan meliputi umur pertama kali diberi pakan setelah molting pertama, tanggal setiap pemberian pakan, jenis pakan, kejadian pakan yang tidak dimakan, regurgitasi dan muntah. Catatan kegiatan medis dicatat dalam medical record card setiap individu yang meliputi adanya gejala kelainan perilaku dan fisiologi ular, teknik dan hasil diagnosa yang dilakukan, jenis kasus penyakit, tindakan pengobatan yang diberikan, lama pengobatan dan keberhasilan pengobatan sedangkan hasil pemeriksaan post mortem. Hasil diagnosa post mortem dicatat dalam laporan kegiatan hasil nekropsi. Mobilitas ular harus selalu diikuti dengan mobilitas data tersebut agar tidak terjadi pertukaran identitas dan status kesehatan dapat selalu terkontrol (Vladimir 2007; Yohana 2007). Catatan tersebut harus dievaluasi setiap bulan agar setiap kekurangan dapat diperbaiki.
Tindak Medis yang Baik (Good Medical Practices) Tindakan Preventif Tindakan preventif yang paling utama adalah manajemen pemeliharaan yang memenuhi kebutuhan regulasi biologis terhadap mikroklimat yang optimal serta pakan yang cukup dan higienis. Selain itu, tindakan preventif terhadap parasit harus dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan feses rutin yang diselingi dengan pemberian obat cacing secara berkala (deworming) (Mader 1996). Tindakan preventif terhadap endoparasit di TMR dilakukan secara berkala setiap dua bulan. Pemeriksaan feses dilakukan pada bulan pertama dan deworming pada bulan kedua. Tindakan preventif terhadap endoparasit di TSI dilakukan melalui pemeriksaan feses dilakukan setiap sebulan sekali, disertai dengan kegiatan deworming setiap 3 bulan sekali. Mader (1996) mengatakan bahwa vaksinasi terhadap Pseudomonas aeruginosa menggunakan bakteri yang telah dimatikan sebaiknya juga dilakukan pada ular terutama selama ma sa karantina untuk mengurangi kejadian pneumonia Pseudomonas.
Tindakan Rehabilitatif Tindakan rehabilitatif adalah pengkondisian ular yang baru sembuh dari sakit dan baru datang ke habitat buatan seperti lembaga konservasi atau usaha penangkaran. Ular yang baru sembuh dari sakit diberi terapi cairan dan elektrolit agar cairan tubuh kembali seimbang. Selain itu, terapi ini dilakukan untuk menghindari resiko kerusakan ginjal akibat penggunaan antibiotik yang bersifat nefrotoksik (Yohana 2007). Perbaikan ma najemen pengaturan mikroklimat dan sanitasi kandang harus terus dikontrol agar persembuhan berjalan baik. Kondisi ular yang baru datang ke lembaga konservasi dan usaha penangkaran bervariasi menurut sumbernya yaitu: dari hasil tangkapan alam oleh pemburu atau masyarakat; dari sumbangan BKSDA (polisi hutan) sebagai hasil sitaan; dari penangkaran; dari hasil breeding sendiri; atau dari sumbangan masyarakat (Tabel 6). Ular yang baru tiba di penangkaran sering mengalami dehidrasi, stress, dan kelemahan umum akibat proses transportasi dan pengemasan. Apabila kondisi ini tidak segera ditangani dengan baik ular tidak mampu bertahan hidup secara sehat maupun produktif.
Tabel 6 Sumber koleksi ular dan kondisi yang mengikutinya Pengelola Sumber Koleksi
TMR
TSI
CV. Terraria
Kondisi Ular
Tangkapan alam pemburu/ kolektor
tidak ada
tidak ada
ada
Sumbangan BKSDA Penangkaran Breeding mandiri Sumbangan Masyarakat • Dipelihara sejak kecil • Baru ditangkap
ada ada ada
ada ada ada
tidak ada tidak ada ada
• Umumnya ular mengalami dehidrasi, kelemahan umum • Stress, kondisi tubuh turun, anoreksia, kecacingan, investasi kutu dan caplak • Terjadi trauma luar dan trauma dalam • Beberapa ular terkadang terserang penyakit infeksi seperti pneumonia dan mouth rot Sama dengan diatas Bersih dan bebas parasit Bersih dan bebas parasit
ada
ada
tidak ada
Bersih
ada
ada
tidak ada
Trauma luar dan trauma dalam: Bagian tubuh yang tertarik hingga satu atau lebih persendian os vertebrae terlepas atau fraktur
Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengatasi dehidrasi, yaitu dengan meletakkan ular ke dalam kotak berisi air bersih agar ular dapat merendam tubuhnya dan minum sampai puas. Setelah dehidrasi teratasi, ular ditempatkan dalam kandang khusus yang dilengkapi dengan tempat bersembunyi baik secara individu maupun bersama. Ukuran kandang harus disesuaikan agar kapasitas tampung tidak terlalu padat. Hal ini dimaksudkan agar ular mendapatkan rasa aman dan dapat menghilangkan stress. Rasa aman juga dapat diupayakan dengan sedapat mungkin menghindari kontak antara ular dan manusia (Alif dan Vladimir 2007). Ular yang mengalami kelemahan umum dianjurkan harus secepatnya diberi substitusi energi siap pakai melalui pemberian ATP (Biosolamine®) agar metabolisme basal tetap berlangsung (Triatmo 2007). Upaya rehabilitatif pada ular yang baru datang dilanjutkan dengan kegiatan karantina.
Tindakan Karantina Tindakan karantina bertujuan untuk mencegah penularan penyakit dari ular yang baru tiba di habitat buatan kepada ular sehat maupun untuk mengendalikan penyebaran penyakit zoonosis. Agar tindakan karantina efektif harus tersedia tempat khusus untuk melakukan kegiatan karantina (Mader 1996). Kegiatan karantina yang dilakukan pada ketiga tempat studi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Kegiatan karantina ular di TMR, TSI dan CV. Terraria Aspek Bangunan Karantina Kegiatan Karantina
Lama karantina
TMR
TSI
CV. Terraria
Ada
Ada
Ada
Pemeriksaan fisik; Pemeriksaan feses; Pemeriksaan ektoparasit; Treatment propilaktif long acting antibiotik: lincomycin, gentamicin; Pengobatan trauma dan endo/ektoparasit
Pemeriksaan fisik; Pengukuran berat, panjang dan lingkar tubuh; Sexing; Pemeriksaan feses; Pemeriksaan ektoparasit; Adaptasi dan observasi pakan; Treatment propilaktif dengan trimetropim sulfaguanidin dan Metronidazole; Dijemur matahari pagi (8.30-9.30 WIB) 15–30 menit. Pengobatan trauma dan endo/ ektoparasit
Pemeriksaan fisik; Pemeriksaan feses; Pemeriksaan ektoparasit. Pengobatan trauma dan endo/ektoparasit
1 bulan
3 bulan
2 bulan
Dari Tabel 7 dapat dipelajari bahwa kegiatan karantina mencakup pemeriksaan fisik, pengukuran tubuh, deteksi dan kontrol parasit, pemberian treatment propilaktif dan melakukan adaptasi pakan. Menurut Raharjo (2003) pemeriksaan umum pada ular meliputi observasi perilaku dan pemeriksaan fisik yang meliputi daerah kepala, ruang mulut, kulit, muskuloskletal, kardiovaskular dan auskultasi, pernapasan, coelomic activity, kloaka dan ekor (Lampiran 1). Kegiatan pengukuran tubuh terutama untuk menentukan dosis obat dan data awal pertumbuhan. Sedangkan determinasi jenis kelamin dibutuhkan dalam melakukan penangkaran. Sementara itu adaptasi pakan dilakukan dengan memperkenalkan pakan yang telah disediakan dan dengan melakukan observasi terhadap nafsu makan, sifat atau perilaku individu ular dalam menerima pakan, dan memastikan pakan dapat ditelan baik. Selama masa karantina dilakukan pengambilan sampel feses pada defekasi pertama untuk diperiksa secara kualitatif dan kuantitatif terhadap adanya endoparasit serta dilakukan pemeriksaan terhadap adanya infestasi ektoparasit oleh kutu, tungau dan caplak. Apabila hasilnya positif maka dilakukan pemberian obat cacing dan antiektoparasit. Selama masa karantina juga dilakukan pengobatan terhadap adanya penyakit infeksi dan perawatan trauma (Edwar 2007). Ular yang mengidap penyakit menular seperti aspergillosis dan cryptosporodiosis dieuthanasi menggunakan penthotal jenuh 100 % yang disuntikan melalui jantung (Yohana 2007). Trimetropim
sulfaguanidin
(Hiprasulfa®)
dan
metronidazole (Flagyl)
digunakan sebagai tindakan propilaktif untuk mengeliminasi protozoa/ amoeba sedangkan antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi sekunder (Edwar 2007; Yohana 2007). Apabila sarana dan prasarana memadai ular, dijemur selama 15–
30 menit pada pukul 08.30-09.30 pagi untuk mendapatkan provitamin D3 (Yohana 2007) dan agar fungsi metabolisme dapat berlangsung baik (Mader 1996). Klingenberg (1993) mengatakan herpetoculturist mengkarantina ular baru dalam tempat terpisah selama 30 hari dan merupakan masa lama karantina yang efektif. Namun menurut Lloyd (in press) dibutuhkan periode karantina selama 90 hari untuk mencegah resiko infeksi virus pada ular dan semua reptil seperti golongan famili Paramyxovirus. Masa karantina akan diperpanjang jika ular harus menjalani pengobatan terhadap suatu penyakit sampai ular dinyatakan telah sehat.
Tindakan Kuratif Sistem imunitas memegang peranan paling utama dalam persembuhan. Menurut Klingenberg (1996) syarat utama pengobatan pada ular adalah dengan menaikan temperatur lebih hangat sehingga mencapai maksimum POTZ, menjaga asupan nutrisi, memberikan terapi cairan, serta memperkecil stress melalui kondisi kandang yang bersih dan tenang. Apabila syarat utama tidak terpenuhi maka sistem imunitas tidak akan terbentuk dan bekerja secara optimal. Kondisi ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, penyakit cenderung bertambah parah dan ular sulit untuk dapat tertolong. Terapi cairan yang telah digunakan adalah larutan laktat ringer, ringer dekstrose, dan larutan salin normal. Pemilihan penggunaan cairan tergantung kasus yang dihadapi (Yohana 2007). Menurut Barten (1996) terapi cairan pada ular harus berupa LRS + 2,5% dekstrosa sebanyak 2% dari total berat badan. Pemberian pakan pada ular yang mengalami anoreksia harus dilakukan dengan bantuan petugas melalui force feeding (pencekokan). Force feeding dilakukan sebagai upaya terakhir ketika berbagai upaya pemberian pakan seperti penggantian menu pakan juga tidak berhasil. Teknik pencekokan dilakukan dengan dua cara yaitu pemberian pakan secara paksa dan melalui tube feeding. Pemberian pakan secara paksa dilakukan dengan menggunakan hewan mangsa yang dipotong menjadi beberapa bagian yang lebih kecil dan telah dilumuri telur mentah yang dikocok (Mader 1996). Tim medis di TMR melumuri potongan tersebut dengan pasta atau nutrijel kemudian direndam ke dalam campuran telur mentah dan gula merah yang dikocok (Rumiyati 2007). Tim medis di TSI memberikan cairan laktat ringer dan vitamin pada potongan pakan
sebelum diberikan pada ular. Teknik ini memudahkan pakan terdorong ke dalam saluran pencernaan dan memiliki kualitas nutrisi yang lebih baik. Teknik ini tidak boleh dilakukan pada ular dengan kondisi kelemahan yang buruk atau pada ular yang sakit parah karena akan meningkatkan stress serta resiko trauma di mulut dan sepanjang saluran pencernaan serta pengeluaran cadangan energi yang lebih besar untuk mencerna makanan (Ross dan Marzec 1990). Teknik tube feeding dilakukan dengan menghaluskan pakan untuk diambil sarinya kemudian diberi vitamin dan dimasukan secara perlahan ke dalam lambung menggunakan sonde lambung. Sonde lambung dipastikan masuk ke esofagus (Yohana 2007). Teknik ini lebih aman karena resiko ular mengalami stress dan trauma perlukaan sangat kecil. Nutrisi mudah diserap dan dapat langsung digunakan untuk mendukung sistem imunitas serta persediaan energi (Ross dan Marzec 1990).
Gambar 10 Tube feeding pada ular. Syringe dan sonde lambung dipegang lebih tinggi dari ular dan diinjeksikan perlahan ke dalam lambung ular. Tanda panah adalah udara dalam kateter yang seharusnya tidak boleh ada. (Ross dan Marzec 1990).
Melalui analisa catatan medik dan wawancara dengan tim medis diketahui penyakit yang umum diderita oleh ular yang hidup di habitat buatan seperti yang terdapat pada Tabel 8. Beberapa kasus penyakit infektif dan parasit seperti aspergillosis, salmonellosis, zygomicosis, cryptosporodiosis, serta kecacingan oleh pentastomum dan sparganosis oleh sparganum bersifat zoonosis (Mader 1996).
Tabel 8 Kasus penyakit yang terjadi (Periode Januari 2004–Januari 2007, rekapitulasi data dari TMR, TSI dan CV. Terraria) Kasus Penyakit Stress Cedera (luka terjepit kandang, luka tergesek materi kandang, vulnus bernanah, busuk, dermatitis, luka bakar) Mouth rot (stomatitis ulseratif) Infeksi saluran pernafasan (pneumonia) Pencernaan (gastritis, enteritis, hepatitis, konstipasi) Endo/ ekto parasit Kelainan kardiovaskular Tumor ginggiva Dermatitis dan dysecdysis Prolaps hemipenis Abnormalitas muskuloskeletal Jumlah
Jumlah 14 11 5 9 19 5 3 1 4 1 1 73
Tindakan kuratif yang dilakukan adalah dengan melakukan diagnosa, perawatan luka secara higienis dan pengobatan penyakit infeksi menggunakan antibiotik atau jika diperlukan dengan melakukan pembedahan. Diagnosa melalui pemeriksaan klinis, pemeriksaan feses, tes laboratorium serta rontgen. Ular yang didiagnosa mengidap penyakit menular harus dieuthanasi karena pengobatan masih sulit dilakukan dan penularan penyakit dapat menyebar dengan cepat (Yohana 2007). Menurut Mader (1996) penyakit infektif pada ular umumnya diawali oleh bakteri gram negatif aerob yang merupakan mikroflora normal pada ruang mulut, saluran pencernaan dan saluran pernafasan yang bersifat patogen oportunistik. Infeksi terjadi karena jumlah mikroflora tersebut meningkat drastis secara signifikan saat ketahanan tubuh melemah. Bakteri tersebut terdiri atas: Pseudomonas spp. terutama Pseudomonas aeruginosa, Aeromonas spp., Salmonella spp., Klebsiella spp. terutama Klebsiella pneumoniae, dan Proteus spp. Rolf (1990) mengatakan bahwa infeksi awal umumnya sangat cepat diikuti oleh infiltrasi bakteri gram positif. Infeksi lanjutan yang lebih parah diakibatkan oleh adanya infiltrasi bakteri gram negatif anaerob yaitu Bacteroides spp. (Mader 1996). Antibiotik yang digunakan adalah bakterisidal spektrum luas untuk mencegah
septikemia
yaitu
enrofloksasin
(Baytril®)
11
mg/kg
secara
intramuskular setiap 48 jam, atau amikasin (Amikin®) dengan dosis 5 mg/kg pada dosis pertama, dilanjutkan dengan dosis 2.5 mg/kg setiap 72 jam secara intramuskular. Seftazidim (Fortaz®) juga umum digunakan karena sangat efektif
mengeliminasi Pseudomonas, dengan dosis 20 mg/kg secara intramuskular atau subkutan setiap 72 jam (Mader 1996). Penggunaan
antiseptik
sangat
diperlukan
untuk
mencegah
dan
menghambat infeksi sekunder pada luka atau infeksi organisme pada stomatitis. Antiseptik yang digunakan oleh tim medis dan herpetolog di tempat pengamatan adalah alkohol, povidone iodine (Betadine®), H2O2 3% dan kalium permanganat (PK).
Suedmeyer
(1992)
mengatakan
penggunaan
klorheksidin
diasetat
(Nolvasan® 2%) sangat dianjurkan, karena antiseptik ini efektif melawan infeksi oleh hampir semua galur Pseudomonas spp. yang umum menyebabkan infeksi pada ular. Menurut Kaplan dan Jareb (1995) Nolvasan dan Betadin memiliki sifat sitotoksik yang rendah sehingga aman untuk penggunaan oral. Ular tidak mampu mengeluarkan mukus yang dihasilkan di paru-paru dan sepanjang saluran pernafasan seperti pada kasus pneumonia atau produksi mukus dari mulut yang terjadi pada penyakit mouth rot. Akumulasi mukus yang terlalu berlebih menimbulkan kesulitan bernapas dan menyebabkan kondisi bertambah parah. Produksi mukus harus dihentikan dengan pemberian sedasi atropin sebanyak 0,02-0,04 mg/kg dua kali dalam sehari secara subkutan sampai mukus berkurang (Boyer 1993) atau dengan pemberian bromheksin (Bisolvon) (Yohana 2007). Debuf (1990) mengatakan, PBT mempengaruhi farmakokinetik dan biotransformasi obat pada ular. Sehingga penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat dapat meningkatkan resiko toksisitas atau tidak menunjukan respon sama sekali. Oleh karena itu, menurut Sedgwick (1996) agar pengobatan pada ular efektif, penghitungan dosis obat harus berdasarkan metabolisme basal ular yaitu dengan metode allometric scalling.
a. Stress. Ular adalah reptil yang memiliki tingkat stress tinggi (Mader 1996). Sumber stress utama adalah kondisi temperatur yang tidak mendukung PBT ular, fluktuasi mikroklimat lingkungan yang besar, kurangnya pencahayaan dan sumber panas, serta transportasi dan pengemasan yang buruk. Stress juga dipicu oleh menu pakan yang tidak sesuai dan kuantitas pakan yang kurang, fasilitas dasar pengayaan kandang yang tidak tersedia atau tidak sesuai perilaku alamiah setiap spesies ular, kontak dengan manusia, serangan tikus dan mencit
sebagai mangsa, dan perlakuan yang berlebihan seperti terlalu banyak dipegang dan handling saat pencekokan atau pengobatan. Melalui hasil pengamatan di lapangan, stress pada ular ditandai dengan anoreksia, perilaku yang cenderung menjadi lebih pasif atau pada beberapa individu cenderung menjadi lebih agresif karena gugup. Hasil analisa dari laporan kegiatan nekropsi di TMR menyatakan bahwa ular yang mati tanpa ditemukan kelainan patologi anatomi pada organ dalam didiagnosa mati karena stress. Frye (1991) mengatakan stress pada ular dapat secara langsung menekan sistem
imunitas
sehingga
ular
mudah
mengalami
infeksi.
Berdasarkan
pengamatan dan wawancara dengan tim medis dan tenaga ahli di tempat studi, tindakan
untuk
mengatasi
stress
adalah
dengan
mengeliminasi
segala
kemungkinan pemciu stress dan pemberian multivitamin.
b. Trauma Perlukaan Trauma luka umumnya disebabkan material, bentuk serta fasilitas kandang (Gambar 11), gigitan tikus dan mencit, perkelahian antara ular yang ditempatkan bersama serta kontak dengan sumber pemanas.
B
A B
Gambar 11 Abrasi mulut pada sanca batik (Python reticulatus). (A,? ) Abrasi mulut yang terjadi akibat benturan saat menyerang jendela kaca. Foto diambil dari luar kandang lewat jendela kaca. Daerah yang terlihat berkabut pada gambar (B,? ) adalah kaca yang kotor oleh saliva dari mulut ular tesebut.
Melalui hasil wawancara dengan tim medis di TMR dan TSI luka harus dibersihkan dengan antiseptik. Menurut Yohana (2007) pada kondisi tertentu ular dapat direndam cairan antiseptik yang sudah diencerkan selama 10 menit.
Apabila terdapat jaringan yang membusuk atau mengalami nekrosa maka bagian tersebut harus dibuang. Setelah luka dibersihkan, maka daerah luka diberi obat anti radang dan antibiotik topikal pada peradangan yang disebabkan bakteri atau anti jamur pada peradangan yang disebabkan jamur. Menurut Rumiyati (2007) ekor dengan luka yang telah mengalami nekrosa harus diamputasi dan dijahit kembali kemudian diberi antibiotik penisilin-streptomisin (penstrep) dan terapi suportif dengan Neurobion. Oleh tim medis di TSI, ular yang mengalami trauma perlukaan akan diisolasi selama perawatan (Yohana 2007). Menurut Alif (2007) koleksi ular di CV. Terraria sangat jarang mengalami luka serius. Luka ringan dapat sembuh hanya dengan pemberian Betadin secara rutin. Menurut Barten (1996) luka akibat gigitan mangsa sangat beresiko terhadap adanya kontaminasi sehingga harus rutin dibilas dengan larutan salin steril berlebih. Luka diberi antibiotik topikal disertai dengan terapi bakterisidal secara sistemik. Antibiotik topikal yang dapat diberikan ialah neosporin atau silver sulfadiazin 1% yang merupakan antibiotik paling kuat melawan infeksi sekunder pada luka oleh Pseudomonas spp. dan bakteri gram negatif lain. Perawatan luka bakar tergantung dari derajat keparahannya. Lesi yang luas dan besar menyebabkan ular kehilangan cairan dan elektrolit sehingga perlu dilakukan substitusi cairan elektrolit secara intramuskular, intracoelomic atau subkutan sebagai tindakan awal. Yohana (2007) menghangatkan cairan elektrolit tersebut agar tidak menimbulkan coldshock saat diberikan pada ular mengingat kondisi temperatur daerah TSI yang terlalu rendah untuk PBT ular (Tabel 2). Luka bakar kemudian diberi neomisin sulfat dan bioplasenton (Besmecon, bioplasenton®) atau Levertran zalf untuk merangsang pertumbuhan jaringan baru. Menurut Stephen (1996) antibiotik secara sistemik tidak digunakan untuk tindakan propilaktif pada luka bakar kecuali jika ada indikasi sepsis.
c. Mouth rot Mouth rot atau stomatitis ulseratif biasanya merupakan infeksi awal oleh bakteri dari lingkungan atau bakteri komensal dari saluran pencernaan yang terjadi akibat kelemahan dan ketahanan tubuh yang menurun saat stress (Ackerman 1995). Ketahanan tubuh yang menurun dapat pula diakibatkan oleh infeksi virus. Hal ini telah dibuktikan melalui suatu kajian histopatologi mouth rot pada sanca hijau (Chondropython viridis) dengan ditemukannya badan inklusi intranuklear pada sel epitel mukosa mulut (Yusmidar 2004). Mouth rot juga dapat
merupakan infeksi sekunder dari abrasi mulut yang tidak dibersihkan atau merupakan kejadian yang mengikuti pneumonia (Boyer 1993).
Gambar 12 Mouth rot pada ular. (A,? ) Plak perkejuan di rongga mulut dan pembentukan mukus berlebih; (B,? ) kerusakan dan kebutaan mata kanan dan kiri akibat abses yang diawali mouth rot. Mouth rot sembuh melalui pengobatan tetapi bola mata tidak dapat tertolong.
Bakteri menyebabkan peradangan awal pada bagian lunak mulut yang menimbulkan gejala klinis berupa adanya ptekhi di ginggiva dan mukosa disertai peningkatan produksi mukus. Selain itu, terdapat akumulasi jaringan mati membentuk perkejuan (plak) di ronga mulut dan mulut yang bau (Gambar 12). Penetrasi lebih dalam pada infeksi yang berkelanjutan dapat langsung menuju mata dan menyebabkan abses seperti pada Gambar 12 atau menuju gigi dan tulang rahang yang menyebabkan osteomyelitis dan deformitas tulang rahang sehingga mengalami pembesaran kemudian menyebar ke seluruh tengkorak (Boyer 1993). Selama pengobatan plak dalam rongga mulut dibersihkan menggunakan swab yang dibasahi antiseptik. Rongga mulut selalu diperiksa setiap hari karena plak biasanya berulang untuk beberapa hari. Kemudian rongga mulut disemprot larutan antiseptik dan diberi antibiotik topikal (Alif 2007; Rumiyati 2007; Yohana 2007). Antiseptik yang sering digunakan tim medis di TMR untuk mencuci mukosa mulut pada mouth rot adalah Albotyl dan antibiotik topikal yang digunakan adalah kemisetin. Apabila terdapat indikasi sepsis maka dilakukan pemberian antibiotik secara sistemik menggunakan penstrep atau oksitetrasiklin (Edward 2007). Antibiotik topikal yang digunakan TSI adalah penstrep dan amoksilin. Antibiotik sistemik yang digunakan saat terdapat indikasi sepsis adalah amikasin,
enrofloksasin, penstrep atau gentamisin (Yohana 2007) sedangkan Vladimir (2007) mengatakan mukosa mulut ular yang mengalami mouth rot di CV. Terraria dapat sembuh dengan baik menggunakan gentamisin secara topikal. Menurut Draper et al. (1981) isolat bakteri yang didapatkan dari mulut ular yang mengalami mouth rot, adalah golongan bakteri gram negatif sebanyak 80,3 % terutama Pseudomonas, Aeromonas dan Proteus. Oleh karena itu, antibiotik yang digunakan adalah dari golongan aminoglikosida secara topikal yaitu gentamisin (Garamicyn). Ular yang menunjukan gejala sepsis diberi antibiotik sistemik menggunakan amikasin atau enrofloksasin.
c. Infeksi Saluran Pernapasan (Pneumonia) Pneumonia dapat merupakan kelanjutan dari mouth rot (Boyer 1993) atau merupakan penyakit primer yang disebabkan oleh temperatur lingkungan yang terlalu rendah untuk PBT ular, kelembapan suboptimal dan defisiensi vitamin A. Kondisi ini mengakibatkan sel epitel saluran pernapasan mengalami metaplasia dan peningkatan produksi mukus sehingga ular menjadi suseptibel terhadap infeksi mikroba. Pada ular ketahanan tubuh yang melemah akibat stress juga mengakibatkan infeksi awal pada saluran pernafasan (Mader 1996). Infeksi dapat berupa bakteri dari lingkungan maupun mikroflora normal, virus, parasit, dan jamur (Mader 1996). Bakteri patogen yang menyebabkan pneumonia terutama adalah Pseudomonas, Aeromonas, Salmonella, Klebsiella dan Proteus (Hilf et al. 1990). Virus yang menyebabkan pneumonia adalah famili Paramyxovirus (Ophidian Paramyxovirus, OPMV) (Murray 1996), sedangkan parasit penyebab pneumonia adalah cacing nematoda genus Rhabdia spp.. (cacing paru) dan golongan cacing pentastomum (cacing lidah) (Ackerman 1995). Pneumonia akibat jamur (mycotic pneumonia) bukan merupakan kasus yang umum dan hanya terjadi pada ular dengan keadaan imunitas yang sangat buruk akibat stress dan penggunaan antibiotik yang berlebihan. Jamur tersebut umumnya Aspergillus, Candida, Mucor, Geotrichum, Rhizopus dan Penicillium (Junge dan Miller 1992) Ular yang mengalami pneumonia bernapas menggunakan mulut dan nafas berbunyi seperti mendengkur, terdapat banyak eksudat mukus di rongga mulut dan mulut menjadi bau. Posisi kepala ditegakkan membentuk sudut 45-90 derajat dengan tubuh untuk memudahkan bernafas. Mulut ular selalu terbuka dan ular mengalami anoreksia.
Menurut Klingenberg (1993), kultur bakteri dari mukosa mulut dan trakhea harus dilakukan untuk mendiagnosa jenis bakteri penyebab pneumonia agar dapat menentukan antibiotik spesifik yang sensitif terhadap bakteri tersebut. Ackerman (1995) menganjurkan melakukan penghitungan dan diferensiasi sel darah terutama leukosit untuk mengetahui tingkat kejadian infeksi. Peningkatan jumlah azurofil dapat memperkirakan kejadian kronis atau tingkat keparahan. Pemeriksaan feses dan swab dari glotis juga harus dilakukan untuk memastikan agen penyebab pneumonia adalah parasit. Diagnosa ini penting pada ular yang baru datang dari tangkapan alam seperti yang telah digambarkan pada tabel 6. Pengobatan yang telah dilakukan di TSI dan CV. Terraria adalah dengan menggunakan antibiotik sistemik yaitu gentamisin, amikasin, dan enrofloksasin (Yohana 2007; Vladimir 2007). Amikasin tidak digunakan di TMR dan sebagai gantinya digunakan oksitetrasiklin (Edwar 2007). Mader (1996) mengatakan bahwa pada kultur bakteri yang diisolasi dari ular yang mengalami pneumonia, sebagian besar selalu merupakan bakteri gram negatif aerob. Sehingga drug of choice terhadap penyakit ini adalah antibiotik dari golongan aminoglikosida yaitu gentamisin dan amikasin atau golongan sefalosporin generasi ke tiga yaitu seftazidim. Ketiga antibiotik ini sangat aktif terhadap Pseudomonas. Gentamisin dan seftazidim dapat digunakan sambil menunggu hasil kultur bakteri. Amikasin digunakan jika terdapat indikasi bakteri resisten terhadap gentamisin dan seftazidim (Klingenberg 1993), atau dapat langsung digunakan sebagai pengobatan awal terutama sebagai drug of choice pada pneumonia Klebsiella karena bakteri Klebsiella kebanyakan sensitif terhadap gentamisin namun beberapa telah menjadi resisten (Yohana 2007). Enrofloksasin juga dijadikan salah satu antibiotik pilihan karena merupakan antibiotik spektrum luas yang sangat kuat terhadap hampir semua bakteri gram negatif aerob terutama Aeromonas spp dan Pseudomonas aeruginosa, golongan bakteri gram positif dan semua bakteri patogen enterik lain (Ackerman 1995). Apabila pada hasil kultur bakteri terdapat bakteri anaerob maka penggunaan antibiotik diganti dengan metronidazol (Mader 1996). Menurut Yohana (2007) terapi simtomatis untuk meredakan mukus dapat dilakukan dengan pemberian injeksi Bisolvon. Terapi suportif selama pengobatan dilakukan melalui perbaikan kondisi lingkungan, yaitu dengan menempatkan ular pada kondisi suhu optimum sesuai kebutuhan PBT setiap spesies atau pada temperatur ± 28°-30°C, pemberian multivitamin terutama vitamin A serta
melakukan perbaikan ventilasi dan sanitasi kandang agar penyakit tidak berulang. Pengobatan pneumonia akibat infeksi jamur pada ular jarang berhasil sehingga
tindakan
pencegahan
melalui
manajemen
pemeliharaan
dan
pertimbangan pemakaian antibiotik sangatlah penting. Selain itu, pneumonia oleh infeksi jamur Aspergillus bersifat zoonosis sehingga tindakan euthanasi dan pemusnahan harus dilakukan (Junge dan Miller 1992).
c. Gangguan Pencernaan Berdasarkan pengamatan, gangguan pencernaan seperti pada Tabel 8, ditandai dengan regurgitasi, muntah, anoreksia, diare dan konstipasi. Secara umum, gejala regurgitasi, muntah, dan anoreksia dapat segera dikenali karena terjadi 1-3 hari sesudah pemberian pakan (Yohana 2007) sedangkan konstipasi baru dapat diketahui jika ular tidak defekasi sampai jadwal pakan berikutnya dan terlihat mengalami pembesaran pada bagian tubuh terutama daerah dekat kloaka. Adanya masa padat berupa tinja yang mengeras dapat dirasakan pada palpasi di sepanjang saluran pencernaan. Lewat analisa dari data rekam medik di TMR, pada kejadian gangguan pencernaan akut umumnya ular hanya menunjukan gejala anoreksia dan ditemukan mati oleh perawat. Melalui hasil nekropsi, dapat diketahui bahwa ular
mengalami gastritis dan enteritis
hemoragika, hepatitis atau konstipasi. Lambung ular tidak memiliki cardiac sphincter. Semua gangguan dari lambung dan esofagus maupun selain dari faktor tersebut dapat menyebabkan makanan yang telah berada di lambung dengan mudah terdorong kembali ke esofagus atau mulut (O’ Malley 2005). Menurut Funk (1996) gangguan tersebut umumnya berupa luka dan peradangan yang disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit, serta beberapa jenis fungi dan virus. Regurgitasi dan muntah juga dapat terjadi pada kondisi temperatur lingkungan yang tidak sesuai PBT sehingga kerja enzim pencernaan di lambung berhenti, handling 1-4 hari setelah makan, dan perasaan tidak aman karena tidak memiliki tempat untuk sembunyi saat makan (Mader 1996). Ular yang lama tidak makan sampai mengalami kaheksia akan mengalami penurunan produksi enzim pencernaan sehingga force feeding pada ular tersebut juga cenderung dimuntahkan kembali (Ackerman 1995). Diare terutama disebabkan adanya parasit pencernaan dan mikroba seperti Salmonella spp. dan Arizona spp. di sepanjang saluran intestinal (Cambre et al.
1980). Konstipasi terjadi akibat temperatur lingkungan yang terlalu rendah, dehidrasi, serta perubahan menu makanan. Ular yang mengalami regurgitasi dan muntah diberi anti muntah (Primperan) sebagai
terapi
simtomatis.
Gejala
gangguan
pencernaan
kebanyakan
disebabkan oleh protozoa sehingga ular diberi Hiprasulfa® dan metronidazol sebagai anti protozoa (Yohana 2007). Menurut Vladimir (2007) ular yang diketahui mengalami konstipasi harus dijemur selama beberapa menit di bawah sinar matahari atau direndam air hangat untuk mencapai suhu optimum. Hal ini dilakukan untuk melancarkan kembali aktifitas pencernaan supaya masa padat dalam saluran pencernaan dapat dikeluarkan sebagai feses. Pemberian spasmolitik seperti Buscopan dan laksatif sebagai pencahar di TMR juga dilakukan untuk memudahkan defekasi (Rumiyati 2007).
d. Endo/ Ektoparasit Pada Tabel 8, jenis endoparasit ular terdiri atas cacing pencernaan dan cacing pernafasan yang dapat bermigrasi ke seluruh tubuh, serta protozoa pada saluran pencernaan. Melalui hasil wawancara dan analisa data rekam medik di tempat studi, maka jenis parasit yang sering ditemukan dari pemeriksaan feses di TMR dan TSI adalah telur cacing Strongyloida dan jenis cacing cestoda (cacing pita). Melalui hasil pengamatan di CV. Terraria terdapat suspek sparganosis oleh tahap pleurocercoid cacing pita pada ular sapi (Elaphe radiata) dan suspek kecacingan Kalichepalus pada anakan ular sanca hijau (Chondropython viridis) (Gambar 13). Parasit protozoa umumnya dari genus
Entamoeba, dan
Cryptosporodium. Namun menurut Yohana (2007) Cryptosporodium sulit ditemukan pada pemeriksaan feses. Infestasi ektoparasit sering disebabkan oleh tungau (Ophionyssus natricis) yang ditemukan di antara sisik kulit (Gambar 14) dan caplak. Umumnya infestasi cacing pada ular adalah jenis cacing yang dapat bermigrasi ke seluruh organ. Mader (1996) mengatakan, infestasi cacing pencernaan yaitu oleh golongan nematoda yang terdiri atas: cacing dewasa Kalichepalus spp., larva dari cacing ini bermigrasi ke seluruh organ dan subkutaneus; Strongyloides spp. yang menyebabkan gastritis dan enteritis hemoragika; serta Ascaridia yang menyebabkan diare. Infestasi cacing pernafasan dapat berasal dari golongan nematoda yaitu Rhabdias spp. (cacing paru) dan larva cacing kalichepalus yang bermigrasi ke paru-paru; golongan
Gambar 13 Endoparasit pada ular. (kiri atas) (? ) Larva cacing nematoda pada kolam tempat minum dan berendam. (kanan atas) Suspek sparganosis (? ) pada subkutaneus ular sapi (Elaphe radiata). (kiri bawah) Suspek kecacingan oleh Kalichepalus yang bermigrasi ke daerah subkutan membentuk penonjolan (? ). (kanan bawah) Sayatan pada penonjolan berisi cacing
Gambar 14 Infestasi ektoparasit tungau Ophionyssus natricis (? ).
artrophoda yaitu pentastomum (cacing lidah) yang menyebabkan pentastomiasis pada ular, yang terdiri atas genus Armillifer pada Python dan Viper, Kirichepalus pada famili Elaphidae (kobra) dan Porochepalus pada Boa dan subfamili
Crotalinae (ular derik) (Hendrix dan Robinson 2006); Jenis cacing cestoda yang menyebabkan sparganosis di daerah muskular dan subkutan yaitu tahap pleurosercoid (sparganum) dari genus Spirometra dan Botridium (Lane dan Mader 1996). Infestasi
protozoa
sering
disebabkan
oleh
Cryptosporodium
dan
Entamoeba invadens. Patogenitas protozoa ini tinggi, cepat menular dan menimbulkan mortalitas hampir 100% (Lane dan Mader 1996). Semua jenis endoparasit ini ditularkan dari tikus, mencit dan katak kepada ular dan sebagiannya dapat ditularkan lagi kepada manusia. Pada ular, luka akibat gigitan dan migrasi endoparasit hampir selalu diikuti infeksi mikroba. Selain itu, tungau merupakan vektor bakteri Aeromonas hydrophila yang menyebabkan septikemia pada ular (Mader 1996). Berkaitan dengan hal tersebut maka manajemen keamanan pakan dan sanitasi kandang sangatlah penting sebagai salah satu tindakan preventif terhadap parasit. Pemeriksaan feses secara berkala perlu dilakukan karena semua stadium cacing (telur, larva dan dewasa) dapat diketahui dari feses. Swab pada mukosa trakhea dan ruang mulut sebaiknya juga dilakukan karena larva beberapa jenis cacing juga terdapat di daerah tersebut. Obat cacing yang digunakan tim medis di TMR adalah Triveksan® tablet yang mengandung @ mebendazol 150 mg dan pirantel pamoat 100 mg dengan dosis 1-2 tablet untuk ular dengan berat 5-10 kg dan 4 tablet untuk ular dengan berat lebih dari 10 kg. Deworming secara injeksi menggunakan ivermektin 1% dengan dosis 1cc/ 50kg pada 1/3 bagian belakang tubuh sampai kloaka secara subkutan di menggunakan
daerah
lateral.
kombinasi
Tim
medis
di
TSI
albendazol-metronidazol.
melakukan
deworming
Adapun
trimetropim
sulfaguanidin (Hiprasulfa®) dan metronidazol digunakan sebagai tindakan preventif terhadap protozoa. Tablet obat dimasukan ke dalam daging mangsa yang akan diberikan atau melalui pencekokan. Menurut Klingenberg (1993), antiparasit yang dapat mengontrol 99% endoparasit pada reptil adalah fenbendazol
(Panacur®),
praziquatel
(Droncit®),
metronidazol
(Flagyl®),
sulfadimetoksin, 2,2-diklorvinil dimetilfosfat (No-pest®strip), triklorvon konsentrat (Neguvon®) dan ivermectin (Ivomec®). Ular yang mengalami infestasi tungau dapat direndam dalam air hangat sedang selama ± 30 menit atau dengan menyemprotkan air pada bagian kulit yang terdapat tungau. Teknik ini aman dan efektif untuk melepaskan tungau dari
kulit meskipun tidak 100% efektif pada bagian tubuh ular yang tidak terendam atau tersemprot. Teknik ini hanya dapat dilakukan pada infestasi tungau ringan (Alif 2007; Vladimir 2007). Menurut Edwar (2007) ektoparasit dapat diatasi dengan melakukan dipping pada ular ke dalam 1 liter air yang mengandung Amitraz 12,5 mg atau Deltamethrin 50 gr. Mader (1996) mengatakan, antiektoparasit yang paling aman dan efektif untuk digunakan adalah pirethroid dalam bentuk spray seperti DuraKyl® (0,35% resmetrin). Penggunaan ivermectin juga sangat efektif membasmi tungau dan caplak jika diaplikasikan secara subkutan dengan dosis 0,2mg/kg setiap minggu selama tiga minggu (Rosskopf 1992) atau dengan melarutkan ½ cc (5 mg) sediaan ivermectin (Ivomec® 1%) ke dalam seperempat liter air kemudian disemprotkan pada daerah kulit yang terinfestasi tungau (Abraham 1992). Fasilitas kandang dan kandang harus didisinfeksi agar sarang dan telur ektoparasit musnah. Menurut Vladimir (2007) penyemprotan kandang ular menggunakan racun serangga yang mengandung organofosfat (HIT®) cukup efektif pada infestasi tungau ringan. Klingenberg (1993) mengatakan, kandang dapat didesinfeksi dengan larutan air sabun dan bahan pemutih pakaian (NaClO), sedangkan fasilitas dan asesori kandang harus direndam dalam larutan NaClO 5%.
e. Kelainan Kardiovaskular Pada Tabel 8, kasus penyakit pada kardiovaskular hanya ditemukan di salah satu tempat studi. Kasus ini diketahui melalui nekropsi pada ular yang ditemukan mati oleh perawat. Jantung ular mengalami pembengkakan dan berisi cairan,
disertai
adanya
gastroenteritis.
Menurut
Mader
(1996)
kelainan
kardiovaskular pada ular, umumnya merupakan efek dari gangguan nutrisi, penyakit infeksi oleh mikroba dan parasit serta penyakit sistemik lain atau akibat trauma pada organ dalam.
f. Tumor/ Neoplasia Pada Tabel 8, kasus tumor terdapat pada salah satu tempat studi, yaitu adanya neoplasia pada daerah ginggiva ular sanca batik (Python reticulatus). Tindakan kuratif yang dilakukan adalah dengan melakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tersebut kemudian ular diberi AINS (Banamin®) sebanyak 0,2 ml (Yohana 2007).
Menurut Done (1996) etiologi tumor pada ular belum banyak diketahui. Salah satu etiologi yang telah dilaporkan adalah akibat infeksi virus golongan oncorna
virus
type-C yaitu Retrovirus
yang
menyebabkan
tumor
jenis
myxofibroma dan rhabdomyosarcoma. Laporan mengenai terapi yang berhasil dengan mengunakan obat kimia sangat terbatas namun pembedahan untuk mengangkat masa tumor yang terkapsulasi dan bersifat benignan pada beberapa ular dilaporkan cukup berhasil.
g. Prolaps Hemipenis Kejadian prolaps hemipenis terjadi di salah satu tempat studi. Prolaps salah satu hemipenis terjadi pada sanca albino (Python molurus bivittatus albino) beberapa saat setelah melakukan kopulasi. Tindakan kuratif yang telah dilakukan adalah dengan mereposisi hemipenis secara manual ke dalam kloaka. Sebelum melakukan reposisi, daerah kloaka dibius lokal menggunakan lidocain dan setelah dilakukan reposisi kloaka dijahit dan diberi NaCl fisiologis, Levertran zalf dan gentamisin. Hemipenis kembali prolaps beberapa kali setelah dilakukan reposisi dan kemudian diamputasi (Edwar 2007).
Gambar 15 Kejadian prolaps hemipenis pada ular. (kiri) Sepasang hemipenis keluar dari kloaka (Ross dan Marzec 1990). (kanan) Kondisi kloaka setelah hemipenis direposisi dan dijahit.
Ross dan Marzec (1990) mengatakan bahwa pada kejadian tertentu salah satu atau kedua hemipenis yang dikeluarkan setelah melakukan kopulasi tidak dapat ditarik kembali ke dalam kloaka karena mengalami pembesaran akibat terisi penuh dengan darah. Hemipenis harus secepatnya direposisi agar tidak terkontaminasi kotoran dan mengalami lecet atau cedera akibat tergesek material kandang.
Reposisi dilakukan dengan melakukan sedikit penyayatan secara steril dengan menggunakan ujung jarum suntik berukuran 18, atau melalui punktur pada hemipenis untuk mengeluarkan sedikit darah sampai hemipenis yang membesar tersebut kembali ke ukuran normal. Setelah ukuran hemipenis kembali normal, maka sebelum direposisi luka sayatan harus diberi antiseptik. Hemipenis direposisi ke dalam kaudal kloaka dengan posisi ujung hemipenis berada dekat mulut kloaka. Menurut Ross dan Marzec (1990), teknik ini efektif untuk mengatasi prolaps hemipenis pada seekor ular sehingga dapat melakukan kopulasi pada siklus kawin berikutnya.
h. Abnormalitas Muskuloskeletal Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, abnormalitas pada muskuloskletal ditandai dengan adanya kejang otot atau konvulsi yang terjadi pada ular sanca bodo (Python molurus bivittatus) serta gerakan merayap yang abnormal akibat fraktur pada os vertebrae yang terjadi pada sanca batik (Python reticulatus) pada salah satu tempat studi. Gejala konvulsi dapat dihilangkan dengan pemberian vitamin B1 sebanyak 3 cc (Rumiyati 2007) sedangkan tindakan kuratif terhadap kasus fraktur pada ular masih dianggap sulit karena bagian tulang yang patah langsung berhubungan dengan medulla spinalis dan organ di dalam rongga tulang rusuk (Rumiyati 2007; Yohana 2007). Menurut Funk (1996), gangguan muskuloskletal pada ular ditandai dengan seizure, konvulsi dan tremor. Hal ini berhubungan erat dengan disfungsi syaraf di SSP akibat malnutrisi dan gangguan fungsi metabolisme yang disebabkan oleh hipoglisemia, hipokalsemia serta defisiensi biotin dan tiamin atau dapat terjadi akibat: hipoksia; trauma kepala; septikemia; infeksi bakteri; viral dan protozoal meningitis; neoplasia SSP; keracunan logam, insektisida dan obat antiparasit. Fraktur
pada
reptil
sering
dapat
dihubungkan
dengan
gangguan
metabolisme tulang (Ackerman 1995). Namun, fraktur yang terjadi pada ketiga tempat studi lebih sering diakibatkan oleh trauma akibat cara penangkapan, proses transportasi dan pengemasan yang buruk (Tabel 6). Diagnosa penyakit ini berdasarkan anamnesa ular terhadap kemungkinan kondisi-kondisi tersebut dan pengobatan awal dengan vitamin B1 menunjukan respon yang bagus.
i. Dermatitis dan Dysecdysis Dermatitis adalah peradangan pada bagian kulit dan dysecdysis adalah kegagalan ular melakukan proses molting (ecdysys) dengan sempurna. Hasil analisa catatan medik pada tempat studi menyatakan bahwa kasus penyakit kulit yang terjadi yaitu: dermatitis dan dysecdysis di TMR; dermatitis yang diduga akibat infeksi jamur dan bakteri serta kulit yang mengalami dysecdysis di TSI; dermatitis oleh infeksi jamur di CV. Terraria. Melalui analisa catatan medik dan wawancara dengan tim medis di tempat studi maka menurut Edwar (2007), dermatitis di TMR dapat diatasi dengan pemberian injeksi ivermektin 1%, antibiotik long acting dan terapi suportif dengan vitamin A, D, E, dan K. Menurut tim medis di TSI ular yang mengalami dermatitis direndam ke dalam air hangat yang sudah diberi betadin atau PK selama ± 10 menit dan kulit yang mengalami infeksi diberi salep ketokonazol. Treatment ini disertai dengan pemberian enrofloksasin sistemik dan pencekokan ketokonazol peroral. Ular yang mengalami dysecdysis dibantu perawat untuk melepaskan kulit yang tertinggal kemudian diberi Vigantol E dan Neurobion 5000 dengan dosis sesuai berat badan secara intramuskular selama 3 hari sekali kemudian dilanjutkan setiap seminggu sekali sampai ular dapat melakukan molting dengan sempurna. Ular yang terinfeksi jamur diobati dengan griseovulfin dan larutan fungasol topikal (Yohana 2007). Menurut Alif (2007) infeksi jamur pada kulit akan hilang bersama kulit lama yang mengalami molting sehingga di CV. Terraria, ular diberi asupan nutrisi dan kondisi lingkungan yang baik agar mampu melakukan proses ganti kulit dengan sempurna. Dysecdysis diatasi dengan membantu ular tersebut melepaskan kulit yang tertinggal dan dilakukan dalam keadaan kulit yang basah. Menurut Mader (1996) dermatitis pada ular dapat berupa abses; abrasi; kulit melepuh dengan ukuran vesikula 1 cm (blisters) atau lebih (bullae); pembentukan kallus, karbunkula, kerak dan kista; perubahan warna; serta lesi penebalan yang memiliki struktur dan warna yang berbeda dari kulit sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa bakteri, jamur, parasit, virus dan kondisi gangguan nutrisi. Dermatitits oleh bakteri terutama Pseudomonas dan Aeromonas
sangat
baik diterapi dengan gentamycin eye ointmen (Gentocyn® atau Garamycin®), Betadine cair atau salep, silvaden krim 1%, dan Nolvasan 2%. Dermatitis yang sangat parah terjadi akibat infeksi bakteri anaerobik sehingga penggunaan gentamisin dikombinasikan dengan metronidazol atau penisilin. Antijamur yang
efektif pada dermatitis akibat infeksi jamur yaitu tolnaftat dan mikonazol topikal. Infeksi jamur pada kulit dapat dihilangkan juga dengan merendam ular ke dalam larutan povidon iodine dua kali sehari setiap hari sampai sembuh. Apabila infeksi jamur parah, maka antijamur seperti griseovulfin dan nistatin dapat diberikan secara sistemik atau dengan memberikan ketokonazol secara peroral. Dysecdysis terjadi akibat kelembapan dan temperatur yang rendah, dehidrasi, gangguan nutrisi, luka yang lama tidak sembuh, ektoparasit, neoplasia, hipo/ hipertiroidismus, dan adanya reaksi radang di daerah kepala pada daerah proses molting dimulai yaitu ujung nostril. Ular harus direndam dalam air hangat. Kulit yang tertinggal diusap dengan lembut menggunakan kain atau handuk basah
agar
terkelupas.
Spektakel
lama
dapat
digosok
dengan
swab
menggunakan kapas basah (Boyer 1993).
Tindakan Promotif Tindakan promotif ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup satwa secara biologis. Contohnya adalah dengan meningkatkan fungsi reproduksi, laju pertumbuhan, dan kualitas kesehatan untuk memperpanjang umur di habitat buatan. Melalui pengamatan di tempat studi, tindakan promotif terhadap fungsi reproduksi yang telah dilakukan adalah mempersiapkan calon indukan dan meningkatkan kemampuan reproduksi melalui observasi tanda-tanda birahi, pemberian pakan yang maksimal, serta pemberian suplemen vitamin A, D dan E untuk mendukung siklus lemak (Tabel 9). Menurut
Mader
(1996)
temperatur
rendah
dan
musim
penghujan
dibutuhkan ular untuk melakukan hibernasi sebagai persiapan aktivitas reproduksi ular. Dalam konteks itu, maka tindakan promotif dilakukan untuk meningkatkan fungsi reproduksi ular agar dapat bereproduksi lebih dari satu kali dalam setahun atau setidaknya berhasil bereproduksi setiap satu tahun sekali. Tindakan promotif yang dapat dilakukan adalah dengan manipulasi kondisi mikroklimat, pemberian pakan yang maksimal, pemilihan indukan melalui determinasi jenis kelamin, merawat jantan dan betina secara terpisah, memastikan ular betina sehat dan memiliki cadangan energi untuk bereproduksi melalui kuantitas pakan yang baik, serta mempersiapkan periode hibernasi (Ross dan Marzec 1990). Periode hibernasi dipersiapkan dengan melakukan pengaturan temperatur pada 200-240C untuk jenis ular tropis atau disesuaikan dengan kondisi
temperatur saat musim penghujan. Setelah hibernasi, maka ular akan menunjukan tanda–tanda birahi dan aktifitas reproduksi dapat berlangsung.
Penangkaran yang Baik (Good Breeding Practice) Melalui hasil pengamatan maka kegiatan penangkaran meliputi tindakan promotif dalam persiapan indukan dan upaya meningkatkan fungsi reproduksi; menentukan dan memperhitungkan musim kawin dengan tepat sesuai setiap jenis spesies; kegiatan mengawinkan; inkubasi telur atau betina gravid; serta perawatan anakan (Tabel 9). Tidak
tercapainya
fungsi
reproduksi
dan
daya
tetas
telur
dalam
penangkaran sebaiknya dievaluasi terhadap faktor pakan, dan temperatur. Pada ular, kematangan seksual lebih dipengaruhi oleh ukuran tubuh dari pada tingkat umur (Mader 1996). Oleh karena itu, pemberian pakan harus intensif menjelang musim kawin dan pada ular muda. Menurut Ross dan Marzec (1990) sejumlah pakan dibutuhkan agar cadangan lemak cukup untuk menginduksi fungsi reproduksi yaitu perkembangan kuning telur (vitellogenesis) supaya telur fertil (Gambar 16). Proses vitellogenesis akan terhambat jika betina kekurangan cadangan lemak atau tidak cukup gemuk. Ular tidak menunjukan tanda birahi akibat tidak adanya ovulasi karena tidak ada telur yang matang. Adapun PBT yang sesuai dengan temperatur lingkungan akan mendukung fungsi hormonal reproduksi (Ross dan Marzec 1990).
B
B A
Gambar 16 Nekropsi pada ular betina saat siklus lemak ( Ross dan Marzec 1990). . (A,? ) Deposit lemak di dalam tubuh. (B,? ) Sejumlah telur matang yang siap untuk dibuahi, mengandung vitellin (kuning telur) dan inti sel telur betina. (Ross dan Marzec 1990)
Tabel 9 Kegiatan penangkaran ular di TSI dan CV. Terraria NO
Kegiatan
Keterangan TSI Ular menolak makan menjelang waktu kawin
1.
Menentukan tanda birahi
2. 3.
Waktu Meningkatkan fungsi reproduksi
Desember - Maret. Pemilihan induk melalui kondisi fisik yang sehat, molting yang sempurna, sisik yang mulus dan mengkilap, gerakan yang normal
4.
Inkubator
30 -32 C, 80 – 85 % untuk semua jenis
5.
Inkubasi
Inkubasi dalam lemari inkubator ± 65 hari tergantung jenis
6.
Perawatan anak
7.
Daya tetas telur dan pembesaran
1. Anak ular baru lahir dari induk yang ovovivipar dipisahkan dan diberi tempat perindividu dengan fasilitas dasar tempat minum. 2. Tali pusar dibersihkan alkohol dan betadin. 3. Panjang dan berat diukur setiap bulan. 4. Setelah molting anakan diperkenalkan pakan mencit baru lahir yang dipotong-potong • Daya tetas ular tanah 90%, • Sanca batik 60-70%, • Sanca hijau 60%. • Keberhasilan perawatan sampai mencapai umur dewasa rata-rata 70-80 %
0
0
CV. Terraria 1. Menentukan saat dewasa kelamin atau terakhir kawin 2. Mulai menolak makan 3. Aktif pada malam hari. 4. Pada betina badannya cenderung membesar Mei, Juni, Juli 1. Betina disuntik subkutan vitamin A, D dan E sebanyak 2 ml pada sepertiga bagian belakang. 2. Betina disuntik menjelang musim kawin dan setelah telur menetas, sedangkan jantan saat memasuki musim kawin. 3. Pemberian pakan intensif menjelang musim kawin. 4. Induk tidak terlalu sering diberi perlakuan, 5. kontak dengan manusia diminimalisir 6. mendapat pakan yang berkualitas 0 30,5 – 31 C, 90 % (sanca hijau), 0 32 C, 90 % (sanca kembang dan sanca darah) Ruangan Inkubator, suhu dan kelembapan ketat dipertahankan tetap. Ruangan tertutup dari sinar matahari dan sirkulasi udara, agar suhu dan kelembapan stabil. Terdapat rak dan box untuk telur yang dipisahkan menurut jenisnya. Telur diletakan dalam wadah mika yang tertutup atasnya untuk melindungi tetesan air dari atap 1. Saat telur menetas, anak langsung diletakan perindividu dalam kotak kecil dengan fasilitas dasar tenggeran dan tempat minum. 2. Ruangan karantina kelembapannya sedikit lebih tinggi dari ular dewasa. 3. Setelah molting pertama kali, mulai diberi anak mencit hidup • Daya tetas telur untuk semua jenis mencapai 70 – 80 % • Keberhasilan perawatan sampai dewasa > 90 %,
Keberhasilan kawin dipengaruhi ketepatan musim kawin, induk fertil yang birahi dan pejantan siap kawin serta tekanan suhu (Ross dan Marzec 1990). Vladimir (2007) mengatakan musim kawin ular umumnya tepat setelah musim penghujan selesai. Betina yang sedang birahi badannya cenderung membesar, tidak mau makan, selalu berjemur dan kulitnya terlihat mengkilap (Alif dan Vladimir 2007). Ross dan Marzec (1990) mengatakan saat tekanan suhu rendah ular akan langsung melakukan kopulasi. Pada Tabel 9 dapat dilihat keberhasilan daya tetas dan perawatan sampai dewasa sangat dipengaruhi kelembapan dan suhu. Sebagian besar penyebab telur gagal menetas terletak pada kesalahan kelembapan dan suhu. Ross dan Marzec (1990) mengatakan bahwa kelembapan yang dibutuhkan untuk inkubasi telur ular adalah = 88–100 %, umumnya Phyton dan Boa adalah 90-100 %. Anak ular yang baru lahir memiliki cadangan makan dari induk untuk 2–3 minggu. Setelah itu anak ular mulai mengalami molting dan defekasi sebagai tanda pencernaan mulai berfungsi dan mulai membutuhkan pakan. Menurut Vladimir (2007), perkenalan pertama kali pada pakan adalah moment penting. Prinsip utamanya adalah merangsang naluri memangsa pada anak ular sehingga diberikan mangsa hidup.
Pemanfaatan Jenis Hasil Penangkaran Pengawasan Produk Ular Hasil Penangkaran dan Tangkapan Alam Hasil penangkaran ular yang diekspor ke Amerika dan Jepang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ular sebagai hewan kesayangan dan koleksi kebun binatang. Adapun ekspor ke China, Hongkong, Taiwan dan Singapura sebagian besar untuk memenuhi konsumsi daging, kulit atau bagian lainnya. Pengawasan produk ular hidup yang diperjualbelikan diantaranya adalah untuk memastikan bahwa ular tersebut adalah murni hasil penangkaran dan bukan hasil tangkapan alam yang dapat diketahui melalui hasil pemeriksaan feses (Alif 2007). Pengawasan pemerintah dan internasional terhadap kegiatan ekspor ular hasil tangkapan alam adalah melalui sistem kuota yang telah ditetapkan oleh CITES setiap tahun. Angka kuota tiap spesies bergantung dari hasil survei pemerintah dan CITES terhadap keadaan populasinya di alam. Spesies yang populasinya di alam berada pada titik kritis kuotanya 0. Angka ini berarti tidak ada jumlah yang boleh diambil, atau boleh diambil hanya dalam jumlah tertentu
untuk dijadikan indukan. Kuota yang lebih kecil dari tahun sebelumnya menunjukan bahwa jumlahnya di alam turun atau permintaan konsumen internasional terhadap jenis tersebut menurun. Menurut Arif (2007) angka kuota biasanya turun atau tetap. Pembagian jatah kuota di dalam negeri kemudian diatur oleh pemerintah dan disepakati oleh para eksportir dan pemburu/ kolektor terdaftar.
Prosedur Pengiriman Ular Prosedur ekspor ke luar wilayah Indonesia, harus memperhatikan beberapa hal yang wajib diselesaikan secara teknis maupun secara administrasi. Persiapan secara teknis dilakukan sambil menunggu kelengkapan dokumen untuk keperluan pengiriman. Prinsip pengemasan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh IATA. Kegiatan pengemasan dapat dipelajari pada Tabel 10. Tabel 10 Teknis pengemasan di CV. Terraria No. 1.
Tahap persiapan Penyortiran
2.
Karantina sebelum dikemas
3.
Pengemasan
Kegiatan Jenis–jenis yang sesuai dengan kriteria pemesanan seperti anakan Chondropython yang telah makan 5-7 kali sejak molting pertama atau jenis sanca batik dan sanca dipong umur 2-3 hari setelah menetas. Ular dipilih yang giginya utuh dan sempurna, tidak cacat, bebas penyakit serta garansi nafsu makan yang baik. Ular diletakkan secara individu dalam kandang yang ukurannya disesuaikan. Dipuasakan selama 4-5 hari namun tetap diberi air adlibitum. Pada hari ke 5 saat pengemasan akan dilakukan, boks atau akuarium diguyur air untuk terakhir kali agar ular puas minum dan membasahi tubuh. Ular dimasukan ke dalam kantung terigu yang diberi sobekan kertas koran. Kantung tersebut disusun dalam peti berukuran 100 x 75 x 18-20 cm. Peti terbuat dari triplek setebal 18 mm yang alasnya berupa stereoform. Dinding peti diberi lubang sebagai ventilasi kemudian dilapisi stereoform yang juga dilubangi. Di bagian luar dinding peti dilapisi kembali dengan kassa nyamuk. Jika suhu negara tujuan saat itu sedang di bawah nol derajat celcius maka di seluruh bagian dalam dinding peti dilapis kembali kain karung terigu yang dilubangi sesuai lubang pada peti. Terakhir, bagian atas peti dilapis kain kasa nyamuk, stereoform, karung terigu dan ditutup menggunakan triplek yang dipaku rapat.
Ular hasil tangkapan alam dari kolektor/ pemburu terdaftar menetap sementara selama ± 3-14 hari di eksportir (misalnya pengelola CV. Terraria sebagai eksportir dan penangkar terdaftar) sedangkan ular hasil penangkaran juga mulai dikarantina sebelum diekspor ke negara tujuan. Selama masa tersebut dilakukan penyortiran jenis yang dianggap sehat dan tidak cacat, serta segala persiapan agar pengiriman lancar dan aman untuk ular.
Tujuan ular dipuasakan adalah untuk mencegah muntah selama perjalanan dan pemberian air pada hari terakhir menjelang pengemasan adalah untuk mencegah dehidrasi. Pengaturan pengemasan yang baik dan benar membutuhkan informasi mengenai suhu dan musim yang sedang berlangsung di negara tujuan. Hal ini penting untuk mencegah ular mati membeku saat tiba di negara yang sedang mengalami suhu di bawah nol derajat (Alif 2007). Persiapan secara administrasi adalah pemenuhan kelengkapan dokumen keterangan mengenai ular yang diambil dari alam dan hasil penangkaran, berikut jumlah setiap jenis yang akan dikirim serta surat izin ekspor dari Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen. PHKA). Pengiriman ular hasil tangkapan alam harus dilengkapi dengan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN) yang dikeluarkan dan disahkan oleh BKSDA daerah penangkapan berasal. Satwa serta surat tersebut, dikirim oleh kolektor terdaftar kepada eksportir terdaftar di daerah lain dengan menggunakan transportasi laut atau udara. Setelah sampai di daerah tujuan, satwa diperiksa petugas pelabuhan dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Satu kali kegiatan ekspor dapat berupa pengiriman hasil tangkapan alam beserta hasil penangkaran. Hasil penangkaran tidak memerlukan SATS-DN. Eksportir mengajukan permohonan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada BKSDA Wilayah tempat eksportir tersebut berdomisili, terhadap jumlah dan jenis hasil penangkaran yang akan diekspor. BAP diajukan eksportir kepada BKSDA Wilayah 1 (propinsi) untuk mengisi formulir surat permohonan ekspor (Form C). Seluruh
kelengkapan
dokumen
tersebut
adalah
syarat
untuk
mendapatkan surat ijin ekspor berupa Surat Angkut Tumbuhan dan Satwaliar Luar Negeri (SATS-LN). SATS-LN dengan stamp CITES dari Direktorat Keanekaragaman dan Konservasi Hutan (Dir. KKH) dan CITES untuk spesies ular yang masuk ke dalam Apendiks CITES (satwa Apendiks) seperti pada Tabel 3. SATS-LN tanpa stamp CITES untuk jenis ular selain satwa apendiks yang dikeluarkan hanya oleh Ditjen. PHKA. Setelah surat izin ekspor didapatkan maka sehari sebelum pengiriman, eksportir harus membuat permohonan sertifikat kesehatan dari balai karantina pelabuhan udara di kota asal pengiriman (mis. Bandara Soekarno Hatta), mengisi pemberitahuan ekspor barang di kantor bea dan cukai pelabuhan
setempat serta menghubungi maskapai penerbangan yang dipilih untuk pemberitahuan dan pemesanan tempat di pesawat. Pada hari pengiriman, kemasan serta satwa di dalamnya diperiksa oleh dokter hewan karantina dan kelengkapan dokumen diperiksa oleh pegawai bea dan cukai pelabuhan udara. Setelah semua prosedur ini dilewati maka pengiriman siap dilakukan dengan menyertakan SATS-LN, sertifikat kesehatan hewan, surat keterangan bea dan cukai serta sertifikat perjalanan oleh maskapai penerbangan bersangkutan.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN 1. Ketergantungan ular terhadap alam mutlak menjadi pertimbangan dalam medik konservasi satwa ular. 2. Kegiatan paling mendasar dalam medik konservasi satwa ular: ü Tindakan preventif melalui pemenuhan kebutuhan regulasi biologis dalam manajemen pemeliharaan, aktivitas deworming serta perlakuan yang memperhatikan
kesejahteraan
hewan
dapat
memperkecil
kejadian
penyakit. ü Tindakan rehabilitatif dengan pengkondisian ular yang baru datang ke habitat buatan maupun baru sembuh dari sakit dapat membuat ular berumur panjang, sehat dan produktif. ü Tindakan promotif melalui manipulasi mikroklimat, pakan dan perawatan indukan dapat membuat satwa ular rutin berkembang biak lebih dari satu kali dalam setahun. ü Keberhasilan tindakan kuratif bergantung pada temperatur, nutrisi, terapi cairan dan kondisi kandang, perawatan penyakit secara higienis, serta pengobatan dengan dosis dan jenis obat yang spesifik. 3. Penerapan medik konservasi pada pemeliharaan dan penangkaran satwa ular semakin mempercepat upaya konservasi dan menekan eksploitasi dari alam.
SARAN 1. Lembaga konservasi eksitu satwa ular hendaknya mengembangkan sistem diagnosa laboratorium untuk ketepatan diagnosa. Selain pemeriksaan feses, perlu dilakukan pengambilan darah rutin setiap enam bulan sekali untuk melakukan analisa hematologi sebagai kontrol kesehatan ular dan acuan dasar melakukan diagnosa penyakit. 2. Faktor-faktor
penting
yang
mempengaruhi
reproduksi
ular
sebaiknya
dievaluasi berdasarkan data reproduksi setiap jenis ular yang telah diteliti sebelumnya untuk meningkatkan keberhasilan program penangkaran. 3. Mengaplikasikan obat pada reptil sebaiknya menggunakan prinsip allometric scale karena adanya resiko toksisitas dan respon pengobatan yang dapat bervariasi pada setiap jenis ular.
DAFTAR PUSTAKA Abraham R. 1992. Ivermectin as a Spray for Treatment of Snakes Mites. Bulletin of the Association of Reptilian and Amphibians Veterinarians. 2 (1) Ackerman L. 1995. The Biology, Husbandry and Health Care of Reptiles. USA; TFH Publications Alif M. 2007, komunikasi pribadi Anonim. 2006. Snake of Massachusetts, Introduction to Massachusetts Snakes. http://www.ummas.edu/nrec/snake pit [14 September 2006] Anonim. 2006. Snake Reproduction. http://www.animalhospitalusa.com/Reptiles/snake-Reproduction.htm [14 September 2006] Anonim. 2006. Ular. http://wikipedia.org/wiki/adiparwa [14 September 2006] Nugroho A 2007, komunikasi pribadi
Debuf Y, editor. 2000. The Veterinary Formulary, Handbook of Medicines Used In Veterinary Practice. London; The Pharmaceutical Press Barten SL. 1996. Bites From Prey. Dalam Mader RD. Reptil Medicine and Surgery. California; WB Saunders Company Boyer TH. 1993. A Practicioner’s Guide to Reptilian Husbandry and Care. USA; American Animal Hospital Association Breen
JF. 1974. Encyclopedia T.F.H.Publications, Inc
of
Reptiles
and
Amphibians.
U.S.A;
Cambre RC, Green DE, Smith EE, Montali RJ, Bush M. 1980. Salmonellosis and Arizonosis in the Reptil Collection at the National Zoological Park. Journal of the American Veterinary Medical Association. 177, 800 Done LB. 1996. Neoplasia. Dalam Mader RD: Reptil Medicine and Surgery. California: WB Saunders Company Draper CS, Walker RD, Lawler HE. 1981. Patterns of Oral Bacterial infections in Captive Snakes. Journal of the American Veterinary Medical Association 179, 1223 Dwiyono S. 2004. Khasiat Bisa Ular. Milis Nasional Indonesia PPI-India
Edwar S 2007, komunikasi pribadi Funk RS. 1996. Snakes dalam Mader RD: Reptil Medicine and Surgery. California: WB Saunders Company Fowler ME 1978. Restrain and Handling of Wild and Domestic Animals. USA; Iowa State University Press Frye FL. 1991. Infectious Disease dalam Biomedical and Surgical Aspect of Captive Reptile Husbandry. Volume ke-1. Edisi ke-2. Melbourne; FL, Krieger Publishing Co Hackbarth R. 1990. Reptile Diseases. Inggris: TFH Publications, inc Hediger H. 1975. Introduction to Snakes and Blind Snake, Primitive Snake, and Wart Snakes dalam Grzimek Bernhard, editor. Grzimeks Animal Life Encyclopedia. New York; Van Nostrand Reinhold Company Hendrix CM, Robinson E. 2006. Diagnostic Parasitology for Veterinary Technicians. Edisi ke-3. Missouri; Mosby Elsevier. Hilf M, Wagner RA, Yu FL. 1990. A Prospective Study of Upper Airway Flora, in Healty Boids Snakes and Snakes with Pneumonia. Journal Zoo Wildlife Med 21 (3): 318 Hotstetter et al. 1969. Biology of the Reptilia. Volume ke-1. Morphology A. Gans Parson Bellairs, editor. London; Academic Press Junge RE, Miller RE. 1992. Reptile Respiratory Disease dalam Kirk RW: Current Veterinary Therapy XI. Philadelphia; WB Saunders. Kaplan M, Jareb R. 1995. Ulcerative Stomatis (Mouth rot) in Reptiles. Journal of Wildlife Rehabilitation 18 (2): 13 Klingenberg RJ. 1993. Understanding Reptile Parasite, a Basic Manual For Herpetoculturist and Veterinarians. USA; Advanced Vivarium Systems Lane TJ, Mader RD. 1996. Parasitology dalam Mader RD: Reptil Medicine and Surgery. California; W. B. Saunders Company Lelana R.P.A. 2004. Medik Konservasi. Makalah Seminar. Bogor; Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Lloyd ML. 1992. Ophidian Paramyxovirus–Historical Overview and Current Recommendations on Control dalam Fifteenth Internasional Herpetological Symposium. In press Manansang J, Tumbelaka L.I, Tirtodiningrat KMT A., Palguna H. 2004. Pedoman Etika dan Kesejahteraan Satwa, PKBSI. Jakarta; PKBSI Mader DR. 1996. Reptil Medicine and Surgery. California; W. B. Saunders Company Mitchell M. 2003. Ophidia (Snakes) dalam Fowler ME, Miller RE: Zoo and Wild Animal Medicine. Edisi ke-5. Missouri; Saunders Murray MJ. 1996. Pneumonia and Normal Respiratory Disease dalam Mader RD. Reptil Medicine and Surgery. California; W. B. Saunders Company O’Malley B. 2005. Clinical Anatomy Physiology of Exotic Spesies, Structure and Function of Mammals, Birds, Reptiles and Amphibians. Missouri; Mosby Elsevier Pope CH. 1949. Snakes Alive and How They Live. New York; Viking Press Raharjo S. 2003. Ular: Tinjauan Medis dan Klinis (Phyton, Kobra dan Jali) dalam: Semiloka Satwa Exotic Ular Dipandang Dari Segi Medis, Konservasi dan Hukum. 15 Maret 2003. Surabaya; KMPV Pet and Wild Animal Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Raharjo S 2007, komunikasi pribadi Ross RA, Marzec G. 1990. The Reproductive Husbandry of Phytons and Boas. California; The Institute for Herpetological Research Rosskopf WJ. 1992. Ivermectin as a Treatment for Snakes Mites. Bulletin of the Association of Reptilian and Amphibian Veterinarians; 2(1) Rumiyati E. 2007, komunikasi pribadi
Samedi et al. 2004. Pengenalan Jenis Flora dan Fauna Yang Diperdagangkan. Volume ke-1, Reptilia, Appendiks II CITES. Jakarta; Direktorat KKH Ditjen PHKA Departemen Kehutanan Santoso T. 2003. Hukum dan Konservasi Jenis Ular dalam: Semiloka Satwa Exotic. Ular Dipandang Dari Segi Medis, Konservasi dan Hukum. 15 Maret 2003. Surabaya; KMPV Pet and Wild Animal Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga
Scott PW. 1995. Nutritional Disorder dalam Ackerman L: The Biology, Husbandry and Health Care of Reptiles. USA; TFH Publications Sedgwick CJ, Borkowski R. 1996. Allometric Scaling: Extrapollating Treatment Regimens for Reptil dalam Mader RD: Reptil Medicine and Surgery. California: WB Saunders Company Siswandi R. 2005. Medis Konservasi Sebagai Bagian Integral Dari Upaya Konservasi Yang Berkelanjutan [Karya Tulis Ilmiah]. Bogor; Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Soehartono T., Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta; Japan Ineternational Agency Suedmeyer WK. 1992. Use of Chlorhexidine in The Treatment of Infectious Stomatitis. JAARV 2(1): 6 Tehupuring BC. 2003. Anatomi Ular Ditinjau Dari Kulit, Taring/ Gigi Bisa dalam: Semiloka Satwa Exotic Ular Dipandang Dari Segi Medis, Konservasi dan Hukum. 15 Maret 2003. Surabaya; KMPV Pet and Wild Animal Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Triatmo BS 2007, komunikasi pribadi Underwood G et al. 1970. Biology of the Reptilia. Volume II, Morphology B. Gans Parson, editor. London; Academic Press Inc Vladimir 2007, komunikasi pribadi Yohana TH. 2007, komunikasi pribadi Yusmidar. 2004. Kajian Patologi Penyakit Mouth rot pada Ular. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Lampiran 1
Daerah Utama Pemeriksaan Fisik Pada Ular
Daerah/ titik pemeriksaan Kepala ü Gerakan kepala ü ü ü ü ü
Gerakan lidah Bibir atas dan bawah Lubang hidung Heat sensing pit Spektakel
ü Seluruh mata ü Konformasi kepala dan rahang ü Sisik dan kulit terutama daerah ventral Ruang mulut ü Bau ü Ginggiva dan seluruh mukosa ü Gigi ü Saliva ü Glottis dan Internal narres Kulit ü Penampilan kulit dan sisik ü Keutuhan ü Celah – celah sisik dorsal, lateral, ventral ü Kulit sepanjang tubuh Muskuloskletal ü Tonus otot ü Tulang rusuk ü Koordinasi gerakan merayap
Kardiovaskular/ auskultasi ü Denyut jantung ü Suara pernapasan/ auskultasi ü
Mendesis
Kondisi normal - abnormal Terangkat tegas saat bergerak, menolak saat dipegang – lemah, diam saat dipegang Aktif dijulurkan - hanya sesekali Mulus – ada abrasi Bersih – ada leleran atau bekas discharge Normal – abnormalitas Jernih, licin setelah ecdysis; dan keruh kebiruan, mengkerut menjelang ecdysis – keruh, bengkak, sebagian atau seluruh spektakel lama tidak ikut terkelupas setelah ecdysis Jernih, menyembul proporsional – strabismus, abses sampai pecah Normal - pembengkakan Bersih – ada kutu dan sisa kulit mati Tidak berbau – bau busuk kuat Pink pucat sampai keputihan, lembut dan mengkilat – pteki pada ginggiva, erithema ringan dan discharge perkejuan, neoplasia Utuh – goyah dan tanggal Normal cenderung kering – berlebihan Normal – abnormalitas Lentur, cerah mengkilap terlihat seperti berminyak – kering, ada bekas lipatan, dysecdysis, bercak jamur Normal – luka, erithema, pustula, pembengkakan dll Bersih - Infestasi kutu dan caplak Normal – bungkul multifokal oleh cacing subkutan Muskulus penuh, tubuh terlihat cenderung membulat – emasiasi, dehidrasi bentuk tubuh menyegitiga Tulang rusuk tidak terlihat, sulit dipalpasi – terlihat jelas. Merayap di permukaan kasar dengan koordinasi gerakan otot ventral dan lateral yang kompak dan teratur dengan rangkaian persendian os vertebrae di sepanjang tubuh yang dapat diputar, bergerak melingkar atau dibelokan sempurna - Gerakan merayap pada daerah tubuh tertentu tidak mampu membelok dengan lentur dan tetap pada posisi bagian abnormal tersebut. (fraktur tulang bengkak, membengkok dan kaku) Normal – tachikardi, bradikardi, aritmia Tidak ada suara – terdengar suara seperti ngorok (mucus dalam pulmo dan sepanjang saluran pernapasan), terdengar suara bronki saat auskultasi. Saat marah dan reaksi defensif – tetap terdengar pada keadaan biasa
Coelomic Cavity (ular ukuran kecil sampai sedang) ü Daerah ventral di antara ujung rusuk ü Pakan yang telah terurai Kloaka dan Ekor ü Kloaka ü Ekor
Jantung, liver, hati dan kantung empedu mudah terpalpasi - sulit teraba tertutup lemak tebal pada obesitas, posisi berubah pada trauma dalam Tetap terasa mengisi lambung dan saluran pencernaan – kosong Normal, bersih – edema, erithema, leleran dan kebengkakan, prolaps kloaka, prolaps hemipenis Normal, utuh – luka, putus, cacat
Lampiran 2
Bagan
Pengambilan
Keputusan
Ditangkarkan (IUCN 2000)
untuk
Satwa
yang
Akan
Lampiran 3
Bagan
Pengambilan
Keputusan
Dilepaskan ke Alam (IUCN 2000)
untuk
Satwa
yang
Akan
Lampiran 4
Contoh Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN) dengan Stamp CITES
Lampiran 5
Contoh Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN) Tanpa Stamp CITES
Lampiran 6
Contoh Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri (SATS-DN)