MALPRAKTEK PEMOTONGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK OLEH BENDAHARA PEMERINTAH DINAS X Rita Yuliana Kiki Ratnafuri Universitas Trunojoyo
[email protected]
Abstract The aim of this research is to identify malpractice and explain the causes of malpractice tax deduction and tax collection by treasurer the government at the Department X. The research method used in this study is a qualitative approach to making the Department X as a research object as well as the Treasurer of the core informants. Source data obtained from interviews, observation and documentation study. Data collection techniques used is field study and library research. Data analysis techniques used in this study is the analysis of qualitative data with descriptive method. The results showed that there is still a Treasurer who "worked halfhearted" in carrying out its obligations as well as the discrepancy cuts and tax collections made by the Treasurer of the government with the regulations set by the government. Findings obtained among others (1) there is an incompetent Treasurer, (2) does not update the regulations, (3) inflation rates. Keyword: tax deduction, tax collection, government treasurer
PENDAHULUAN Latar Belakang Pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing dalam masyarakat. Pajak telah dianggap sebagai salah satu kewajiban warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam membantu pelaksanaan tugas pemerintah. Pajak merupakan pungutan yang dilakukan pemerintah terhadap wajib pajak tertentu berdasarkan undang-undang yang ada tanpa harus memberikan imbalan langsung. Dengan diterbitkannya pengumuman Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor. PENG-05 PJ.09/2010 (www.depkeu.go.id) menjelaskan bahwa bendahara mempunyai kewajiban untuk melakukan pemungutan/pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai batas waktu yang ditentukan. Pajak-pajak yang harus dipungut/dipotong oleh bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain berupa Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21, pasal 22, pasal 23, pasal 4 ayat (2) dan PPN. Dalam melaksanakan kewajibannya tersebut, masyarakat juga bisa ikut serta untuk mengawasi bagaimana pelaksanaan pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara. Karena, apabila bendahara lalai dalam menjalankan tugasnya, maka akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak sehingga akan menurunkan kemampuan Pemerintah untuk mengatasi pengangguran, kemiskinan dan rencana pembangunan di Indonesia. Bendahara seharusnya melaksanakan kewajibannya dengan sebaik mungkin. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh dari (http://bataviase.co.id/node/44498), pada tahun 2009 dan 2010 Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak telah melakukan penyelidikan tindak pidana dibidang
perpajakan terhadap Bendahara kantor instansi pemerintah. Terdapat kecurangan yang dilakukan oleh Bendahara Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi di Jakarta yang sangat merugikan negara senilai 22,2 miliar. Kecurangan juga terjadi pada Bendahara Dinas Pendidikan pengajaran di Jakarta dengan kerugian senilai 23,6 miliar. Tidak hanya itu saja, Bendahara pada Dinas Pekerjaan umum di Sulawesi juga melakukan kecurangan yang merugikan negara sebesar 4,1 miliar. Selain itu masih banyak Bendahara daerah pada Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Bireuen Muslim Samaun dan di sejumlah daerah lain di Kabupaten Nanggroe Aceh Darussalam yang tidak terbuka untuk memberikan data SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) yang dimiliki oleh Bendahara. Padahal, dari data tersebut bisa terlihat berapa setoran pajak yang didapat dan dibayarkan oleh Bendahara. Berdasarkan fenomenafenomena tersebut dapat diketahui bahwa dalam kenyataannya masih banyak ketidaktertiban Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah yang belum melakukan pemotongan/pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan masih banyak penggelapan pajak yang dilakukan oleh para Bendahara Pemerintah. Transparansi dalam sistem pemerintahan semakin meningkat, tidak terkecuali transparansi dalam perpajakan. Bendahara yang telah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak wajib memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Beberapa peneliti telah meneliti tentang kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Suryadi (2006) menyimpulkan bahwa kepatuhan wajib pajak memiliki pengaruh yang besar terhadap kinerja penerimaan pajak. Hasil studi tersebut juga dibuktikan oleh Simanjuntak (2008) yang membuktikan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah akan mengakibatkan penerimaan pajak yang rendah pula. Selain itu, juga terdapat beberapa fakta yang terkait dengan kepatuhan pajak, salah satunya menurut Simanjuntak (2009), dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa kepatuhan pajak sebagai indikator peran masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan masih sangat rendah. Banyak warga masyarakat yang tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Tingkat kepatuhan memasukkan SPT tahunan di Jawa Timur juga menunjukkan adanya daerah yang memiliki tingkat perkembangan rendah. Daerah-daerah tersebut meliputi Kabupaten Gresik, Sumenep, X, Jember, Bondowoso, Kediri, Batu dan Kabupaten Malang. Daerah-daerah tersebut memiliki tingkat kepatuhan memasukkan SPT tahunan selama tahun 2001 hingga tahun 2006 rata-rata sebesar 33% per tahun. Sedangkan daerah dengan tingkat kepatuhan memasukkan SPT yang terkecil adalah Kabupaten X, yakni rata-rata sebesar 24% per tahun. Berdasarkan atas bukti empiris penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya seperti diuraikan di atas terdapat banyak penelitian yang mengungkapkan tentang kepatuhan Wajib Pajak dan dapat disimpulkan bahwa tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya masih tergolong rendah. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya terletak pada: (1) objek yang diteliti, (2) pendekatan penelitian. Alasan peneliti memilih Bendahara pemerintah sebagai objek penelitian dikarenakan sampai saat ini yang menjadi perhatian para peneliti lainnya adalah kepatuhan Wajib Pajak baik Orang Pribadi maupun Badan, dan masih belum ada yang meneliti tentang bendahara dalam kaitannya dengan penerimaan pajak padahal dalam kenyataannya masih banyak kasus pajak yang melibatkan Bendahara pemerintah. Pertanyaan yang segera muncul adalah apakah Bendahara pemerintah sudah melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam melakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan dimana tidak hanya Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan saja yang mempengaruhi penerimaan pajak, akan tetapi Bendahara juga sangat berpengaruh dalam hal penerimaan pajak. Penelitian ini memilih Dinas X sebagai objek penelitian. Hal yang melatarbelakangi peneliti dalam melakukan penelitian pada Dinas tersebut antara lain karena Dinas X memiliki porsi anggaran yang besar sekaligus sebagai salah satu sektor prioritas di APBN (www.depkeu.go.id). Selain itu, sektor pada Dinas X sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat dan penting untuk prospek pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif untuk mendeskripsikan pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh Bendahara pemerintah pada Dinas X. Fokus Penelitian Penelitian ini difokuskan pada malpraktek apa saja yang terjadi dalam pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh Bendahara Pemerintah pada Dinas X dan mengapa malpraktek tersebut terjadi dalam pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh Bendahara Pemerintah pada Dinas X? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi malpraktek yang terjadi dalam pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh Bendahara Pemerintah pada Dinas X serta menjelaskan penyebab terjadinya malpraktek dalam pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak oleh Bendahara Pemerintah pada Dinas X. Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan diharapkan agar penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: pertama, diharapkan dapat memberikan gambaran perihal pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilaksanakan oleh Bendahara pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak. Kedua, diharapkan dapat memberikan masukan bagi bendahara pemerintah agar lebih memahami peraturanperaturan untuk pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak. Ketiga, diharapkan dapat memberikan pandangan atau wawasan baru mengenai riset dibidang perpajakan terutama berkaitan dengan pelaksanaan pemotongan dan pemungutan yang dilaksanakan oleh Bendahara Pemerintah dan dapat menjadi bahan masukan dan rujukan bagi peneliti yang akan melakukan penelitian yang sejenis.
LANDASAN TEORI Pemotongan dan Pemungutan Pajak Dalam sistem administrasi perpajakan di Indonesia dikenal sistem pemotongan dan pemungutan pajak penghasilan. Setiap pemotongan atau pemungutan PPh memiliki jenis penghasilan, pemotong pajak, tarif pajak dan cara perhitungan yang berlainan. Berikut ini merupakan perbedaan antara pemotongan dan pemungutan pajak.
No.
Tabel 1 Perbedaaan Pemotongan dan Pemungutan Pajak Perbedaan Pemotongan Pemungutan
1.
Dari sisi jenis pajak
2.
Dari sisi Objek
3.
Dari sisi bukti Pajak
Digunakan untuk PPh 21 (Pemotongan atas penghasilan berupa gaji, honorarium), PPh 23 (Pemotongan atas penghasilan berupa hasil imbalan jasa, royalti, dividen,dll), pasal 4 ayat 2 (pemotongan atas penghasilan berupa bunga deposito, hadiah undian,usaha jasa konstruksi,dll) dan juga PPh 26 (Pemotongan atas penghasilan bagi WP Luar Negeri). Pemotongan pajak pada umumnya dikenakan atas penghasilan yang memang akan menjadi penghasilan bagi si penerima, contoh: gaji, imbalan jasa, dan dividen
Bukti potong
Digunakan untuk PPh 22 (pemungutan atas penjualan keBendahara APBN/D, impor, dll) dan untuk PPN
Pemungutan pada umumnya dikenakan atas sesuatu yang belum tentu penghasilan bagi penerima uang, karena objek pemungutan bisa jadi berupa Penjualan, bisa juga berupa Pembelian, contoh: PPh 22 atas impor barang, PPh 22 atas pembelian BBM SSP untuk PPh Pasal 22 dan faktur pajak untuk PPN
Sumber: Daholi (2011) PPh Pasal 21 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Penghasilan yang dikenakan PPh pasal 21 yaitu penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur. Berikut ini perhitungan untuk PPh pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang tata cara pemotongan pajak penghasilan pasal 21 bagi pejabat negara, PNS, anggota TNI, anggota Polri, dan pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah. PPh Pasal 22 Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor atau
kegiatan usaha dibidang lain, pada prinsipnya, Bendahara wajib memungut PPh Pasal 22 atas semua penyerahan barang, namun demikian Bendahara tidak memungut PPh Pasal 22 diantaranya atas: a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. b. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum/PDAM dan benda-benda pos. c. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara. d. Pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras oleh BULOG. Besarnya tarif PPh Pasal 22 atas pengadaan barang yang dananya berasal dari APBN/APBD adalah 1,5%. PPh Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf C Angka 2 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa PPh Pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2): Pemotongan oleh Penyedia Jasa Bendahara pengeluaran Dinas X tidak melakukan pemotongan untuk PPh Pasal 4 ayat (2) karena berdasarkan kontrak yang dilakukan oleh Dinas X dengan pihak penyedia jasa, pelaporan dan pembayaran pajak diserahkan kepada pihak penyedia jasa, jadi Dinas X tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sama sekali. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009, besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan. Peraturan tersebut menunjukkan bahwa penyedia jasa diperbolehkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2). Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak penjualan atas barang mewah, tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar 10% atas pembelian Barang Kena Pajak. Dengan demikian, dapat diperjelas bahwa: a. Jika Bendahara Pemerintah Daerah melakukan pembayaran atas pembelian Barang yang tergolong Barang Kena Pajak (BKP), dan BKP tersebut dibeli dari Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka Bendahara Pemerintah Daerah tersebut wajib memungut PPN. b. Jika Bendahara Pemerintah Daerah melakukan pembayaran atas pembelian Barang yang tergolong BKP, dan BKP tersebut dibeli dari Bukan PKP, maka Bendahara Pemerintah Daerah tersebut tidak memungut PPN. c. Jika Bendahara Pemerintah Daerah melakukan pembayaran atas pembelian Barang yang tidak tergolong BKP, dan BKP tersebut dibeli dari PKP, maka Bendahara Pemerintah Daerah tersebut tidak memungut PPN. d. Jika Bendahara Pemerintah Daerah melakukan pembayaran atas pembelian Barang yang tidak tergolong BKP, dan BKP tersebut dibeli dari
Bukan PKP, maka Bendahara Pemerintah Daerah tersebut tidak memungut PPN. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 548/Kmk.04/2000 tentang tata cara pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah oleh Bendahara pemerintah sebagai pemungut pajak pertambahan nilai, terhadap pembelian barang kena pajak oleh Bendahara Pemerintah Daerah berikut ini tidak dipungut PPN: a. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000,00 (Satu Juta Rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. b. Pembayaran untuk pembebasan tanah. c. Pembayaran atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang menurut perundang-undangan yang berlaku mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan atau dibebaskan dari pengenaan PPN. d. Pembayaran atas pembelian Bahan Bakar Minyak (BBM)/Bukan BBM, yang dibeli dari Pertamina. Bendahara Pemerintah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bendahara adalah setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar dan/atau menyerahkan uang atau surat berharga atau barang-barang negara. Secara sederhana, Bendahara adalah mereka yang bekerja di BUMN atau pemerintah, baik pusat maupun daerah yang mengelola APBN/APBD dan yang ditunjuk oleh atasannya untuk menjadi pejabat Bendahara dengan Surat Keputusan Pengangkatan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, Bendahara Pemerintah, yaitu Bendahara dan Pejabat yang melakukan pembayaran yang dananya berasal dari APBN/APBD, ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Selain sebagai Pemungut, Bendahara Pemerintah juga sebagai pemotong PPh Pasal 21 dan Pasal 23 sebagaimana ketentuan yang berlaku umum. Kewajiban Bendahara Pemerintah Khusus Untuk Pajak Pengumuman Kementerian Keuangan Republik Indonesia Nomor: PENG05/PJ.09/2010 (www.depkeu.go.id) tentang Kewajiban bendahara pemerintah Pusat dan Daerah untuk melakukan Pemotongan dan Pemungutan Pajak menyebutkan bahwa sehubungan dengan masih adanya ketidaktertiban Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah yang belum melakukan kewajiban pemotongan/pemungutan, penyetoran dan pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan ini disampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Setiap Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah di lingkungan Kementerian/Lembaga/instansi Pemerintah, diingatkan kembali kewajiban untuk: a. Melakukan pemotongan/pemungutan pajak; b. Melakukan penyetoran pajak ke Bank Persepsi atau Kantor Pos; dan c. Melakukan pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai batas waktu yang ditentukan atas setiap transaksi yang dananya berasal dari APBN/APBD. 2. Pajak-pajak yang harus dipotong/dipungut oleh Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah antara lain berupa PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan PPN. 3. Atas kelalaian Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam memenuhi kewajibannya, akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak sehingga akan menurunkan kemampuan pemerintah untuk mengatasi
pengangguran, kemiskinan dan pembangunan infrastruktur sebagaimana dirumuskan dalam rencana pembangunan ekonomi Indonesia. 4. Kepada para pimpinan Kementerian/Lembaga/instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah dimohon bantuannya untuk mengingatkan dan mengawasi peiaksanaan sebagaimana dimaksud di atas. 5. Kepada masyarakat diminta untuk ikut mengawasi. Bendahara yang telah mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak wajib memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan perpajakan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian studi kualitatif dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif yang menguraikan tentang pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah. Bendahara pada Dinas X dijadikan sebagai objek dalam penelitian ini. Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan cara: pertama, wawancara tidak terstruktur yang dimulai dari pertanyaan umum dalam area yang luas pada penelitian namun tetap fokus pada tujuan penelitian. Data yang diperoleh yaitu biografi Informan inti dan jawaban pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada saat wawancara. Kedua, observasi, dengan melakukan tinjauan langsung ke Dinas X terhadap pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak kemudian menggambarkan hasil yang telah didapatkan. Data yang diperoleh pada saat observasi yaitu bukti-bukti pemotongan dan pemungutan pajak. Ketiga, Studi dokumentasi, yang dilakukan dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen-dokumen yang mendukung penelitian. Data yang diperoleh saat melakukan studi dokumentasi yaitu Buku Pajak, daftar pembayaran gaji dan sebagainya untuk para pegawai dan peraturan-peraturan pajak yang dipakai di Dinas X. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data serta bahan–bahan dalam penelitian ini dilakukan melalui: a. Studi Pendahuluan Adalah dengan melakukan perijinan dari Universitas Trunojoyo untuk selanjutnya diproses pada Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbang & Linmas) Kabupaten yang selanjutnya mengeluarkan surat ijin untuk melakukan penelitian pada Dinas X. b. Studi Lapangan Adalah suatu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan penelitian langsung di lapangan. Langkah–langkah yang ditempuh untuk penelitian ini antara lain dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi langsung pada Dinas X. c. Studi Kepustakaan Adalah dengan cara membaca dan mempelajari buku–buku dan sumber– sumber tertulis lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Teknik Analisis Data 1. Menjelaskan pelaksanaan pemotongan dilakukan oleh Bendahara Dinas X.
dan pemungutan
pajak yang
2. Meringkas kesesuaian dan ketidaksesuaian antara praktik dan peraturan pemerintah yang selanjutnya ketidaksesuaian ditetapkan sebagai indikator malpraktek di Dinas X. 3. Menjelaskan penyebab terjadinya malpraktek oleh Bendahara Pemerintah di Dinas X. HASIL DAN PEMBAHASAN Dinas X Fasilitas kesehatan merupakan salah satu bentuk sumbangsih dari sektor perpajakan dalam kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, Dinas X merupakan salah satu instansi pemerintah yang sangat berperan dalam kesejahteraan masyarakat. Dinas X dengan 830 pegawainya berkedudukan sebagai unsur pelaksana otonomi daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati. Dinas X membantu Bupati dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Strategi kebijakan pembangunan Dinas X sesuai dengan prioritas utama kegiatan pembangunan, dirumuskan sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 Tahun 2002, tentang bidang kewenangan Pemerintah untuk Tahun 2006 yaitu meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja aparatur daerah melalui reformasi birokrasi dan peningkatan pelayanan publik dengan cara: 1. Melaksanakan manajemen pembangunan yang profesional, bersih, peduli, transparan dan bebas KKN; 2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik; 3. Mengembangkan jaringan dan sistem koordinasi antara instansi pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serta masyarakat guna mensinkronkan dan mengharmoniskan perencanaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi kebijakan. Sebagai penerima APBD terbesar kedua, Dinas X wajib memperhatikan kewajiban perpajakannya guna memperlancar APBD yang dibutuhkan untuk membiayai pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat. Informan Kunci Informan yang sangat berperan penting dalam penelitian ini adalah Bendahara Dinas X. Bendahara pada Dinas X secara hierarkis berada di bawah Kepala Dinas X dan secara fungsional berada di bawah koordinasi Kepala Dinas Pendapatan (Kadispenda). Berdasarkan keputusan Pemerintah Daerah, Bendahara pada Dinas X dibagi menjadi tiga yaitu Bendahara penerimaan, Bendahara pengeluaran dan Bendahara gaji. Kewajiban Bendahara pada Dinas X berdasarkan keputusan Bupati Nomor 188.45i//kpts/433.013/2011 tentang Penunjukan Pejabat Pengelolaan Keuangan di Lingkungan Dinas-dinas Daerah Tahun Anggaran 2011. Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan Bendahara pengeluaran sebagai informan pertama pada Dinas X. Informan yang sangat berperan penting dalam pemotongan dan pemungutan pajak pada Dinas X ini bernama Ibu Dewi. Ibu Dewi baru menjabat sebagai Bendahara pengeluaran selama lima bulan. Sebelum menjabat sebagai Bendahara pengeluaran, Beliau menjabat sebagai Bendahara penerimaan pada Dinas X. Pada saat lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA), Beliau bekerja sebagai pegawai administrasi di salah satu puskesmas. Meskipun bukan seorang sarjana, namun karena keinginannya untuk menjalankan kewajibannya sebagai Bendahara yang baik, Beliau terus
belajar bagaimana harus menjalankan kewajiban-kewajibannya sebagai Bendahara. Informan kedua adalah Bendahara gaji Dinas X sebagai pemotong PPh Pasal 21 atas gaji pegawai Dinas X, bernama Ibu Siti. Ibu Siti memiliki peranan yang sangat penting dalam Dinas X. Ibu Siti merupakan seorang Sarjana Ekonomi dari salah satu Universitas di Surabaya. Ibu Siti berperan sebagai Bendahara gaji pada Dinas X selama 12 tahun berjalan. Kedua informan tersebut dinilai cukup mewakili dan cukup berkompeten dalam memberikan penjelasan-penjelasannya mengenai pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak pada Dinas X melalui wawancara yang dilakukan oleh peneliti. Pemotongan dan Pemungutan Pajak pada Dinas X Manfaat pajak dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan kita seharihari. Secara garis besar, instansi-instansi pemerintah sangat berperan dalam upaya kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitannya dengan mensejahterakan masyarakat, instansi-instansi pemerintah membutuhkan dana Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) yang berasal dari sektor perpajakan. Disini dapat kita lihat hubungan yang sangat erat antara pajak dengan instansi pemerintah. Bendahara pengeluaran sejalan dengan fungsinya untuk melakukan pembayaran. Bendahara pengeluaran juga mempunyai fungsi sebagai pemotong dan pemungut pajak. Ketika melakukan pembayaran, Bendahara wajib memperhitungkan kewajiban-kewajiban baik berupa pajak maupun bukan pajak untuk transaksi dari pihak ketiga atau rekanan pemerintah karena terdapat beberapa pajak pada Dinas X yang dipotong oleh pihak ketiga atau rekanan pemerintah. Atas transaksi pengadaan barang dan jasa, maka bendahara memastikan apakah transaksi tersebut terutang pajak kepada negara atau tidak. Apabila ada, maka harus dipotong pajak dari total nilai belanja yang akan dibayarkan sehingga pihak penjual atau pemberi jasa hanya akan menerima nilai bersih setelah pajak. Pajak yang dipotong dan dipungut oleh Bendahara pengeluaran pada Dinas X adalah PPh pasal 22, PPh pasal 23, dan PPN. Sedangkan pajak yang dipotong oleh Bendahara gaji adalah PPh Pasal 21. Berdasarkan keterangan dari Bendahara pengeluaran, PPh pasal 21 dikenakan untuk pajak perorangan dan PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPN dikenakan atas nama rekanan. Dalam hal ini pajak perorangan merupakan pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Sedangkan atas nama rekanan merupakan pajak yang dikenakan atas pembelian barang atau jasa dipotong dan dipungut oleh pihak rekanan atau pihak ketiga. Berikutnya akan disajikan deskripsi pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan pada Dinas X. Pemotongan PPh Pasal 21: Penetapan Tarif yang Sama pada Pemotongan Honorarium Berdasarkan penjelasan dari Bendahara gaji Dinas X, Beliau tidak melakukan penyetoran. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Ibu Siti yang menjabat sebagai Bendahara gaji: “Otomatis langsung dipotong dari pemerintah daerah, kita tidak menyetor, rutin tiap bulan, dapat tapi dikeluarkan lagi, jadi dianggap tidak ada. Pemotongannya ya langsung otomatis dari komputer, ada programnya.” Secara keseluruhan, cara pemotongan yang dilakukan oleh Bendahara gaji pada Dinas X sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/Pmk.03/2010 tentang tata cara pemotongan pajak penghasilan pasal 21
bagi pejabat negara, PNS, anggota TNI, anggota Polri, Dan pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Dan Belanja. Beliau menambahkan: “Setiap tahun harus melapor pajak pribadi, kalau tidak lapor kena denda, kalau cuek ya terserah, nanti kan dirasakan sendiri kalau sudah pensiun, kan nanti diperhitungkan waktu pensiun.” Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Beliau sangat paham akan kewajibannya dan selalu taat melaporkan pajak. Namun Beliau mengatakan bahwa masih terdapat sebagian pegawai atau Wajib Pajak yang tidak melaporkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 ke Bendahara karena hal tersebut dianggap tidak penting oleh Wajib Pajak pada Dinas X, sehingga Bendahara hanya melaporkan SPT sebagian Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). PPh pasal 21 yang dipotong oleh Bendahara Dinas X tidak hanya dilakukan pada gaji pegawai Dinas X, tetapi juga dilakukan atas honorarium yang dipotong oleh Bendahara pengeluaran Dinas X. PPh Pasal 21 untuk panitia pelaksana kegiatan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan I dan II dikenakan tarif 0%, untuk non PNS dan PNS golongan III dipotong sebesar 5%, untuk PNS golongan IV beserta pensiunannya dipotong sebesar 15%. PNS yang tidak mempunyai NPWP dikenakan tarif sebesar 18%. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang tata cara pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, anggota POLRI, dan pensiunannya atas penghasilan yang menjadi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, untuk setiap pembayaran honorarium dan imbalan lainnya kecuali biaya perjalanan dinas, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final dengan tarif sebagaimana tercantum pada tabel 5 yang telah digambarkan pada bab sebelumnya. Berdasarkan peraturan tersebut dapat terlihat bahwa Bendahara pengeluaran Dinas X melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas honorarium dengan tarif yang sama yaitu 18% antara golongan III dan golongan IV bagi pegawai yang tidak memiliki NPWP. Persamaan tarif tersebut sangat merugikan pegawai golongan III yang tidak memiliki NPWP karena honorarium yang diterima pegawai golongan III akan menerima honorarium lebih sedikit dari yang seharusnya yaitu hanya dipotong dengan tarif 6%. Pemungutan PPh Pasal 22: Praktik dan Teori telah Sesuai Pajak memang sangat berarti bagi penerimaan suatu daerah. Dalam hal ini, salah satu pajak yang dipungut oleh Bendahara pengeluaran Dinas X yang dananya berasal dari APBD adalah PPh Pasal 22. PPh Pasal 22 dikenakan untuk pembelian barang kena pajak dengan tarif 1,5% dari penghasilan bruto apabila dipungut oleh Bendahara maupun atas nama rekanan atas pembelian barang kecuali untuk pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00, dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Barang kena pajak yang dimaksud adalah barang berwujud kecuali barang berupa tanah atau bangunan dan berupa makanan atau minuman dari pengusaha jasa katering. Tarif tersebut sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang pemungutan pajak penghasilan pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Kesesuaian tersebut dikarenakan sudah terbiasanya Bendahara dalam pemungutan pajak pada barang kena pajak yang hampir setiap hari dilakukan pada saat melakukan pembelian barang kena pajak untuk keperluan Dinas.
Pemotongan PPh Pasal 23: Penggelembungan Tarif pada Pemotongan PPh Pasal 23 Sebagai salah satu unsur APBD, pajak mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan suatu daerah. Hal tersebut dapat terlihat dari fasilitas-fasilitas umum yang dibangun dari dana yang berasal dari pajak. Selain PPh Pasal 22, Bendahara pengeluaran Dinas X juga wajib untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 yang digunakan untuk belanja jasa seperti jasa katering. Ibu Dewi memotong PPh Pasal 23 dengan tarif sebesar 4% untuk pajak umum (PPh Pasal 23) dan 10% untuk pajak daerah atas belanja jasa di atas Rp1.000.000,00. Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh Bendahara pada Dinas X tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seharusnya Bendahara mempunyai kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 atas belanja jasa di atas Rp1.000.000,00 dengan tarif 2%. Karena berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008, imbalan sehubungan dengan jasa katering dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Untuk kesekian kalinya ketidaksesuaian dalam menentukan tarif tidak terhindarkan dari kewajiban seorang Bendahara. Beliau menetapkan tarif tersebut berdasarkan lembar peraturan yang dibuat oleh Bendahara sebelumnya. Hal tersebut dinyatakan: “ya dari teman, dari yang sudah tau, Bendahara sebelumnya.” Bagaimana kompetensi seorang Bendahara dapat dipertanggungjawabkan apabila sangat mudah sekali bagi Bendahara mempercayai satu lembar peraturan yang tidak dicari kebenaran antara lembar peraturan dari teman dengan Peraturan Menteri keuangan, bahkan Beliau tidak menyadari bahwa terdapat ketidaksesuaian dalam salah satu penentuan tarif untuk PPh Pasal 23. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tercantum bahwa imbalan sehubungan dengan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto. Imbalan jasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jasa katering/tata boga. Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2): Pemotongan oleh Penyedia Jasa Bendahara pengeluaran Dinas X tidak melakukan pemotongan untuk PPh Pasal 4 ayat (2) karena berdasarkan kontrak yang dilakukan oleh Dinas X dengan pihak penyedia jasa, pelaporan dan pembayaran pajak diserahkan kepada pihak penyedia jasa, jadi Dinas X tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) sama sekali. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009, besarnya PPh Pasal 4 ayat (2) harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor sendiri oleh Wajib Pajak penyedia jasa yang bersangkutan. Peraturan tersebut menunjukkan bahwa penyedia jasa diperbolehkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2). Pemungutan PPN: Praktik dan Teori telah Sesuai PPN untuk pembelian minimal Rp1.000.000,00 dikenakan tarif 10%. Pada Dinas X, terdapat pajak-pajak untuk pembelian barang dan jasa yang dipotong oleh Bendahara akan tetapi dengan mengatasnamakan Pengusaha Kena Pajak rekanan pemerintah yang mempunyai NPWP dan sebelumnya telah melakukan perjanjian dengan dinas pemerintahan. Hal tersebut sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 548/Kmk.04/2000 Tentang Tata Cara Pemungutan, Penyetoran Dan Pelaporan Pajak Pertambahan
Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Oleh Bendahara Pemerintah Sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang menyebutkan bahwa untuk pemungutan PPN dengan tarif 10% dikecualikan untuk pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp1.000.000,00 dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah. Dalam menentukan tarif PPN, Bendahara telah melakanakan kewajibannya sebagai pemungut PPN sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. “BEKERJA SETENGAH HATI” Pajak dimaksudkan untuk menjalankan roda pemerintahan, menjalankan aktivitas pelayanan publik di segala bidang kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dengan pajak, aneka pembangunan dalam segala bidangpun digalakkan, sebut saja sekolah-sekolah, rumah sakit, sarana transportasi, dan lain-lain. Pajak memang tidak habisnya untuk diperbincangkan. Bahkan akhir-akhir ini menjadi topik yang hangat untuk dijadikan diskusi. Sudah bukan rahasia lagi, pajak identik dengan korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Bahkan di beberapa tempat, penyelewengan pajak berlangsung secara lihai seakan-akan sudah menjadi kebutuhan. Bendahara Pemerintah sudah berusaha untuk menjalankan kewajiban dan tanggungjawabnya sebagai pihak yang mewakili pemerintah untuk melakukan pemotongan dan pemungutan pajak, akan tetapi dapat terlihat bahwa masih terdapat ketidaksesuaian antara peraturan pemerintah dengan apa yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian yang dilakukan Bendahara tersebut. Ketidaksesuaian dalam menentukan tarif tersebut juga tidak menutup kemungkinan terjadinya kecurangan dalam pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pemerintah yang dapat menguntungkan Bendahara dengan alasan ketidakpahaman Bendahara tersebut pada peraturan-peraturan perpajakan. Namun, penggelembungan tarif yang dilakukan oleh beberapa Bendahara juga dapat menguntungkan negara karena penggelembungan tarif yang ada bisa menguntungkan negara apabila pajak yang disetorkan sesuai dengan penggelembungan tarif yang ditetapkan oleh Bendahara. Berdasarkan temuan yang ada, dapat terlihat bahwa masih terdapat Bendahara yang bekerja setengah hati dalam melaksanakan kewajibankewajibannya. Adapun temuan-temuan tersebut antara lain: 1. Terdapat Bendahara yang tidak kompeten 2. Tidak memperbarui peraturan-peraturan 3. Temuan terkait ketidaksesuaian pemotongan dan pemungutan pajak pada Dinas X antara lain: a. Persamaan pemotongan tarif untuk honorarium pada pegawai golongan III dan IV yang tidak memiliki NPWP yang dilakukan oleh Bendahara pengeluaran Dinas X. b. Perubahan ketentuan tetang tarif 2% menjadi 4% pada pemotongan PPh Pasal 23 atas jasa katering yang dilakukan oleh Bendahara pengeluaran Dinas X. Apapun yang melatarbelakangi ketidaksesuaian antara peraturan pemerintah dengan apa yang dilakukan oleh para Bendahara tersebut, tanpa sadar mereka telah merugikan negara. Ketidaksesuaian dalam penentuan tarif tersebut sangat mempengaruhi jumlah penerimaan pajak yang notabene penerimaan pajak tersebut sangat berpengaruh pada APBN dan APBD. Jika penerimaan pajak negara dalam satu tahun tidak tercapai, APBN akan
terganggu. Jika APBN terganggu, APBD pasti akan kena imbasnya juga. Sehingga pemerintah sangat berharap agar peran serta semua pihak dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan dapat menjalankannya dengan optimal.
PENUTUP Simpulan Penelitian ini menunjukkan pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh Bendahara pada Dinas X yang masih belum optimal. Bentuk ketidaksesuaian tersebut antara lain: (1) masih terdapat Bendahara yang tidak kompeten, (2) tidak memperbarui peraturan terbaru, (3) tarif 2% menjadi 4%, (4) Persamaan pemotongan tarif untuk honorarium. Penelitian ini juga dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mendorong terjadinya ketidaksesuaian tarif pemotongan dan pemungutan pajak pada Dinas X. Adapun faktor-faktor yang dapat teridentifikasi adalah ketidakpahaman Bendahara dalam pemotongan dan pemungutan pajak. Hal itu mengakibatkan penerimaan pajak negara tidak maksimal. Apabila para Bendahara pemerintah lebih memahami peraturan-peraturan atas pemotongan dan pemungutan pajak serta tidak mempunyai kecenderungan mengurangi tarif pajak, hal itu akan sangat berguna bagi semua pihak. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan maupun kelemahan. Disisi lain, keterbatasan dan kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi penelitian yang akan datang. Pendekatan penelitian ini hanya deskripstif kualitatif sehingga hasil yang diperoleh hanya penjelasan. Oleh karena itu peneliti selanjutnya masih sangat memungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Selain itu peneliti juga sulit untuk mendapatkan kedalaman informasi dikarenakan para informan terlalu hati-hati apabila menerima orang dari luar lingkungan instansi pemerintah masuk ke instansi dimana Beliau bekerja karena mereka khawatir akan terjadi sesuatu suatu saat nanti karena wawancara tersebut dan para informan tersebut juga tidak mempunyai banyak waktu untuk memberikan informasi lebih banyak. Sehingga semakin dalam penelitian, semakin kabur pencerahan yang didapat. Oleh karena itu masih banyak hal yang perlu dipahami dan diteliti sehingga hasilnya lebih dapat digeneralisasikan. Saran Mengingat bahwa penerimaan pemerintah dari sektor pajak sangat dominan, sementara disisi lain masih banyak kebutuhan negara yang bersumber dari penerimaan pajak, maka perlu dilakukan optimalisasi sosialisasi dan pemeriksaan-pemeriksaan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada pemotong dan pemungut pajak pada lingkungan instansi pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan pajak. Terkait dengan optimalisasi tersebut, hendaknya pemotong dan pemungut pajak tidak hanya memandang pajak sebagai beban. Lebih dari itu, pajak juga merupakan masalah hukum. Sehingga pemotong dan pemungut pajak dapat menyadari bahwa apabila berhadapan dengan pajak juga berhadapan dengan hukum. Pemahaman tersebut akan memudahkan dalam upaya penegakan hukum terkait dengan kecurangan pajak. Untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak yang maksimal, institusi perpajakan harus melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan penerimaan pajak, salah satunya adalah pengawasan.
Bagi Dinas X agar lebih melakukan pengawasan pada Bendahara sehingga ketidaksesuaian dalam kewajiban-kewajiban Bendahara yang bekerja pada Dinas tersebut dapat terhindarkan. Bagi Bendahara Pemerintah agar lebih memahami tentang pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku karena Bendahara Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting dalam pelaksanaan pemotongan dan pemungutan pajak sehingga dapat menambah penerimaan pajak yang nantinya akan berguna bagi semua pihak. Hasil-hasil penelitian ini dan keterbatasan-keterbatasan yang ditemukan dalam penelitian dapat dijadikan sumber ide bagi pengembangan penelitian dimasa yang akan datang. Bagi peneliti selanjutnya dapat menggunakan pendekatan kritik hingga etnografi sehingga hasilnya bisa lebih dikembangkan dan bahkan bisa ditemukan teori baru apabila penelitian terus dikembangkan. Dengan demikian diharapkan model nantinya dapat dikembangkan sebagai acuan Direktorat Jenderal Pajak dan berguna bagi semua pihak. Daftar Pustaka Agoes dan Trisnawati. 2009. Akuntansi Perpajakan Edisi 2. Salemba Empat: Jakarta Agustinah, Dian. 2007. Analisis Gender, Umur, Pendidikan, dan Pendapatan Terhadap Tax Evasion. Skripsi Universitas Trunojoyo Madura. Daholi. 2011. Perbedaan Pemungutan dan Pemotongan Pajak. http://ngertipajak.com/17 Maret 2011. Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat. Kewajiban Bendahara Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Melakukan Pemotongan/Pemungutan Pajak. Pengumuman Nomor: PENG05/PJ.09/2010. http://kanwilpajakwpbesar.go.id/24 Maret 2011. Doli, Dominicus. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan untuk Wajib Pajak Badan. Universitas Brawijaya. Herawati, Nurul. 2007. Desentralisasi dan Efisiensi: Suatu Pengujian Empiris Dampak Desentralisasi Terhadap Kualitas Pelayanan Publik pada Sektor Pendidikan. Yogyakarta. Mardiasmo. 2006. Perpajakan Edisi Revisi 2006. Andi: Yogyakarta Mcgee, R. W and Michael Tyler. 2006. Tax Avasion And Ethics A Demographic Study Of 33 Countries. Andreas School Of Basiness Working Paper, Barry University, Miami Shores, FL 33161 USA. http://www.ssrn.com. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya: Bandung. NN. 2010. Menkeu Resah Bendahara Pemerintah Tak Setor Pajak. http://bataviase.co.id./17 Maret 2011. NN. 2010. Kewajiban Perpajakan Bagi Bendahara. http://pelayananpajak.blogspot.com/17 Maret 2011. Peraturan Menteri Keuangan. Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf C Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Nomor 244/PMK.03/2008. http://www.sjdih.depkeu.go.id/17Juni 2011 Peraturan Menteri Keuangan. Pemungutan Pajak Penghasilan PasaL 22 Sehubungan Dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang Dan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain. Nomor 154/PMK.03/2010. http://www.sjdih.depkeu.go.id/17Juni 2011
Peraturan Menteri Keuangan. Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Nomor 262/pmk.03/2010. http://www.sjdih.depkeu.go.id/17Juni 2011 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2009. Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa Konstruksi. http://www.sjdih.depkeu.go.id/17Juni 2011 Poerwadarminta, W.J.S. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Balai Pustaka: Jakarta. Resmi, Siti. 2003. Perpajakan: Teori dan Kasus. Salemba Empat: Jakarta. Simanjuntak, Timbul Hamonangan. 2009. Kepatuhan Pajak (Tax Compliance) dan Bagi Hasil Pajak dalam Perekonomian di Jawa Timur. JESP Vol. 1, No. 2. _____. 2008. Analisis Kepatuhan Pajak dan Dampaknya pada Dana Perimbangan Keuangan dan Pengeluaran Pemerintah Daerah serta Kesejahteraan Masyarakat Kabupaten/ Kota di Provinsi Jawa Timur. Disertasi tak diterbitkan, Universitas Airlangga Surabaya. Silitonga dan Sati. 2011. Anggaran kesehatan 2011 naik signifikan. http://cybernews.cbn.net.id/27 April 2011. Suryadi. 2006. Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu Survey di Wilayah Jawa Timur. Jurnal Keuangan Publik Vol. 4, No.1, Hal 117. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. http://www.kanwilpajakwpbesar.go.id/21 Juli 2011 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. http://www.pajak.go.id/ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. http://www.pajak.go.id/17Juni 2011