1
LAPORAN PENELITIAN PARTISIPASI DALAM PEMILU
“Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voter Turn – Out)”
Disusun Oleh: REVOLT INSTITUTE
KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH KABUPATEN PASAMAN BARAT 2015
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya yang melimpahkan-Nya kepada kita semua. Dengan berbagai keterbatasan dan kemampuan Penulisan laporan ini bertujuan untuk melengkapi laporan riset atau penelitian tentang partisipasi dalam pemilu yang dilaksanakan
oleh
Komisi
Pemilihan
Umum.
Penelitan
ini
dilakukan di Kabupaten Pasaman Barat dengan tema penelitian “Kehadiran dan Ketidakhadiran Pemilih di TPS (Voter Turn – Out)” Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam hal penelitian ini. Peneliti menyadari bahwa laporan penelitian ini tak luput dari kelemahan dan kekurangan. Untuk itu diharapkan kritikan dan tanggapan dari pembaca untuk kesempurnaannya. Semoga laporan penelitian ini bermanfaat untuk kesuksesan pelaksanaan pemilihan umum selanjutnya.
Padang, 05 September 2015
Revolt Institute Lembaga Peneliti
i
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................. i DAFTAR ISI........................................................................ ii DAFTAR TABEL.................................................................. iv DAFTAR GAMBAR .............................................................. v BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................... 1 B. Permasalahan .............................................................. 10 C. Tujuan Penelitian ................................................. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penjelasan Konseptual ............................................. 13 B. Variabel Partisipasi Pemilih .......................................... 16 BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Demografis Lokasi Penelitian. 28 B. Kondisi Sosial Budaya dan Politik............................... 33 C. Politik dan Pemerintahan...................................... 30 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ......................................................... 40
B. Peran Penliti ................................................................. 40 C. Proses Pengumpulan Data ..................................... 41 D. Lokasi dan Subjek Penelitian........................................ 45
E. Waktu Penelitian .......................................................... 45
ii
4
F. Validasi Penelitian........................................................ 45 G. Analisis Data ................................................................ 46 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Faktor Psikologis Pemilih ...................................... 48 B. Faktor Sosial Ekonomi ................................................. 55 a.
Tingkat Pendidikan ................................................ 55
b. Pekerjaan ............................................................... 60
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................ 65
B. Saran ........................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA
iii
5
DAFTAR TABEL Tabel 1
Persentase Partisipasi Pemilu 2009 dan 2014 di Kabupaten Pasaman Barat ....................................... 11
Tabel 2
Kecamatan dan Nagari di Kabupaten Pasaman Barat 29
Tabel 3
Jumlah Penduduk Kabupaten Pasaman Barat Per Kecamatan ............................................................... 29
Tabel 4
Daerah Pemilihan, Jumlah Kursi Pada Pemilu 2014 di Kabupaten Pasaman Barat ................................... 34
Tabel 5
Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Pemilu 2014 di Kabupaten Pasaman Barat Per Kecamatan ............... 38
Tabel 6
Nama-Nama
Bupati
Kabupaten
Pasaman
Barat
1946 – 2015 ............................................................. 39 Tabel 7
Nama – Nama Informan Penelitian........................... 43
Tabel 8
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data ....................... 46
Tabel 9
Perbantingan Partisipasi Pemilih dan Golput Pada Pemilu 2009 dan 2014 ............................................. 49
Tabel 10 Perbandingan Jumlah Pengguna Hak Pilih Pemilu 2014 Tingkat Provinsi Sumatera Barat ..................... 51
iv
6
DAFTAR GAMBAR
Peta 1
Peta Administrasi Kabupaten Pasaman Barat............. 30
Peta 2
Peta Daerah Pemilihan Anggota DPR RI di Provinsi Sumatera Barat Pada Pemilu 2014 ............................. 35
Peta 3
Peta Daerah Pemilihan Anggota DPRD Provinsi
Sumatera Barat Pada Pemilu 2014 ............................. 36 Peta 4
Peta Daerah Pemilihan Anggota DPRD Kabupaten Pasaman Barat Pada Pemilu 2014 .............................. 37
v
1
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Negara yang demokratis memiliki keunggulan tersendiri, karena dalam setiap pengambilan kebijakan mengacu pada aspirasi masyarakat. Masyarakat sebagai tokoh utama dalam sebuah Negara demokrasi memiliki peranan yang sangat penting.
Salah
demokrasi
satu
adalah
peranan
masyarakat
dalam
Negara
partisipasi
masyarakat
dalam
politik.
Masyarakat memiliki peran yang sangat kuat dalam proses penentuan eksekutif dan legislatif baik dipemerintah pusat maupun
daerah.
Pemilihan
umum
(PEMILU)
merupakan
program pemerintah setiap lima tahun sekali dilaksanakan di seluruh wilayah Negara kita. Pemilu merupakan implementasi dari salah satu ciri demokrasi dimana rakyat secara langsung dilibatkan, diikutsertakan didalam menentukan arah dan kebijakan politik Negara untuk lima tahun kedepan. Dalam
sistem
politik
negara
Indonesia,
Pemilu
merupakan salah satu proses politik yang dilaksanakan setiap lima tahun, baik untuk memilih anggota legislatif, maupun untuk memilih anggota eksekutif. Anggota legislatif yang dipilih dalam pemulu lima tahun tersebut, terdiri dari anggota
1
2
legislatif
pusat/parlemen
yang
dalam
ketatanegaraan
Indonesia biasanya disebut sebagai DPR-RI, kemudian DPRD Daerah Pripinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Sementara dalam konteks pemilu untukpemilihan eksekutif, rakyat telah diberi peluang untuk memilih President, Gubernur dan Bupati/ Walikotanya. Besarnya hak rakyat untuk menentukan para pemimipin dalam lembagai eksekutif dan legislatif pada saat ini tidak terlepas dari perubahan dan reformasi politik yang telah bergulir di negara ini sejak tahun 1998, dimana pada masamasa
sebelumnya
hak-hak
politik
masyarakat
sering
didiskriminasi dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa saja dengan cara mobilisasi, namun rakyat sendiri tidak diberikan hak politik yang sepenuhnya untuk menyeleksi para pemimpin, mengkritisi kebijkan, dan proses dialogis yang kritis, sehingga masya-rakat dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan-kepentingannya. Pemilihan umum mengimplikasikan terselenggaranya mekanisme pemerintahan secara tertib, teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang dapat menghormati opini orang lain. Disamping itu lebih lanjut akan lahir suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat selektif atau biasa memilih yang terbaik menurut keyakinannya.
3
Jumlah pemilih merupakan hal yang penting untuk melihat seberapa besar partisipasi warga dalam politik. Hal ini biasanya
dinyatakan
sebagai
persentase
pemilih
yang
memberikan suara pada Pemilu. Terus menurunnya tingkat partisipasi warga dalam mengikuti voting dalam Pemilu tidak hanya menjadi kerisauan dari penyelengaraan Pemilu dan tidak juga menjadi gejala yang sifatnya lokal. Banyak peneliti, yang ingin melihat rahasia dibalik rendahnya partisipasi pemilih. Apalagi gejala tersebut terjadi dibanyak negara, mulai dari negara yang dititelkan telah demokrasi maupun dinegara sedang mengalami transisi ke demokrasi (Arend Lijphart; 1998). Bahkan banyak khasus yang menunjukan pemenang dari sebuah Pemilu adalah jumlah angka warga yang tidak berpartisipasi. Gejala yang sama juga ditemui pada Pemilu di Indonesia. Mesti dengan catatan pentingnya gejala tersebut tidak merata terjadi di semua wilayah atau daerah. Ada daerah yang tingkat partisipasinya sampai pada level mengkhawatirkan, namun pada daerah lainnya tidak. Rendahnya angka partisipasi tidak hanya terjadi pada pemilu nasional tapi juga terjadi pada pemilu lokal (Pilkada). Berdasarkan merupakan
UU
Nomor
penanggungjawab
15
dari
Tahun
2011,
pelaksananaan
KPU Pemilu
4
2014. Dalam hal ini KPU tidak hanya berkewajiban dalam menyelengarakan
Pemilu
tapi
juga
berkewajiban
dalam
meningkatkan kualitas dari penyelengaraan Pemilu. Salah satunya indikatornya adalah partisipasi politik warga dalam menggunakan hak pilih. Menghadapi Pemilu 2014, merujuk pada RPJMN, KPU menetapkan angka partisipasi 75%. Dalam
analisis
politik
modern
partisispasi
politik
merupakan suatu masalaah yang penting dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama hubungannya dengan Negara berkembang. Sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan Negara secara langsung
atau
tidak
langsung,
memengaruhi
kehidupan
kebijakan (public policy). Setiap perhelatan demokrasi atau pemiihan umum yang diselenggarakan oleh Negara Republik Indonesia memiliki dampak
terhadap
berbangsa memberikan
dan
perkembangan
bernegara.
pendidikan
Para
politik
kemajuan elit yang
kehidupan
politik cerdas
sejatinya kepada
masyarakat agar kesadaran berdemokrasi semakin tinggi dari berbagai kalangan. Kesadaran berdemokrasi tersebut akan
5
tinggi jika partisipasi masyarakat dalam memberikan haknya juga tinggi. Karena itu, kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi secara positif dalam sistem politik yang ada, jika seseorang tersebut merasa dirinya sesuai dengan suasana lingkungan dimana dia berada. Apabila kondisi yang terjadi adalah sebaliknya, maka akan lahir sikap dan tingkah laku politik yang tampak janggal atau negatif, misalnya jika seseorang sudah terbiasa berada dalam lingkungan berpolitik yang demokratis, tetapi dia ditempatkan dalam sebuah lingkungan masyarakat yang feodal atau tidak demokratis maka dia akan mengalami kesulitan dalam proses beradaptasi. Meningkatnya penyelenggaraan
keterlibatan
Pemilihan
masyarakat
Umum
(Pemilu),
dalam
menunjukan
semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Demokrasi menghendaki adanya keterlibatan rakyat dalam setiap
penyelenggaraan
yang
dilakukan
negara.
Rakyat
diposisikan sebagai aktor penting dalam tatanan demokrasi, karena pada hakekatnya demokrasi mendasarkan pada logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan dari yang diperintah. Keterlibatan masyarakat menjadi
unsur
dasar
dalam
demokrasi.
Untuk
itu,
penyelenggaraan pemilu sebagai sarana dalam melaksanakan
6
demokrasi, tentu saja tidak boleh dilepaskan dari adanya keterlibatan masyarakat. Partisipasi politik akan berjalan selaras manakala proses politik
berjalan
partisipasi
secara
politik
stabill.
ketika
Seringkali
stabilitas
ada
politik
hambatan
belum
bisa
diwujudkan, karena itu penting untuk dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk melakukan proses stabilisasi politik. Disamping itu pula proses berikutnya melakukan upaya pelembagaan politik sebagai bentuk dari upaya untuk memberikan
kasempatan
kepada
masyarakat
untuk
mengaktualisasikan cita-citanya. Partisipasi politik tidak lebih dari keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan, atau juga dijelaskan secara subtantif bisa berarti upaya atau usaha terorganisir oleh konstituen atau warga Negara yang baik untuk memilih para pemimpin yang mereka nilai baik juga. Partispasi ini mereka
melakukannya
dengan
penuh
tanggung
jawab
terhadap kehidupan bersama dalam lingkup suatu bangsa dan negara. Partisipasi politik ditekankan pada aspek untuk mendukung kepentingan-kepentingan atau visi dan misi elit politik tetentu. Sebagai masyarakat yang bijak kita harus turut serta dalam proses pemilihan umum dalam rangka menentukan
7
pemimpin yang akan memimpin kita. Dengan demikian, secara tidak langsung kita akan menentukan pembuat kebijakan yang akan berusaha mensejahterakan masyarakat secara umum. Dalam turut berpartisipasi dalam proses pemilihan umum sebagai masyarakat yang cerdas kita harus mampu menilai calon
yang
terbaik
yang
sekiranya
mampu
dan
mau
mendengarkan aspirasi masyarakat agar pembangunan yang akan dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat dan tidak memilih calon yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya saja sehingga melupakan janji-janji yang sudah diucapkan dalam masa kampanye. Sebagai pemilik hak pemilih dalam Pemilu kita jangan sampai menyia-nyiakan hak suara hanya untuk iming-iming sementara yang dalam artian kita harus memberikan suara kita kepada calon yang tepat. Ketidakikutsertaan kita sebenarnya justru akan membuat kita susah sendiri karena kita tidak turut memilih tetapi harus mengikuti pemimpin yang tidak kita pilih. Partisipasi pemilih dalam pelaksanaan Pemilu mutlak diperlukan, tanpa adanya partisipasi pemilih, Pemilu hanyalah menjadikan sebagai objek semata dan salah satu kritiknya adalah ketika masyarakat tidak merasa memiliki dan acuh tak acuh terhadap pemilihan umum.
8
Pada dasarnya kesuksesan sebuah Pemilu ditentukan oleh
beberapa
hal
yang
diantaranya
menyangkut
pemilih/konstituen yang merupakan salah satu karakteristik pemerintah demokrasi yaitu pemerintahan didasarkan atas partisipasi masyarakat sebagai sarana kedaulatan rakyat yang memilih dan menentukan pejabat politik ditingkat nasional hingga tingkat daerah lewat Pemilihan Umum. Partisipasi politik di negara-negara yang menerapkan sistem politik demokrasi merupakan hak warga negara, tapi tidak semua warga negara berperan serta dalam proses politik. Hasil survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) merataratakan total partisipasi politik rakyat dalam Pilkada sekitar 60% atau dengan kata lain rata-rata jumlah Golput mencapai 40%.
Sejatinya
Golput
adalah
fenomena
yang
alamiah.
Fenomena ini ada di setiap pemilihan umum di manapun itu, tidak terkecuali di Amerika Serikat. Hanya saja, tentunya hal ini di batasi oleh jumlahnya. Di hampir setiap pemilihan, jumlah Golput akan di anggap sehat jika jumlah Golput dalam kisaran
angka
30%,
meski
banyak
pemilihan
jumlah
Golputnya melampaui titik itu, mencapai kitaran 40%. Sama dengan Pemilu legislatif, target angka 75% juga ditetapkan sebagai dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014. Merujuk pada tingkat partisipasi dalam penyelenggaraan
9
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya, tingkat partisipasi dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden juga cenderung mengalami penurunan. Pemilihan Presiden tahun 2004 angka partisipasi mencapai angka 78,2% pada Pilpres putaran pertama dan 76,6% pada putaran kedua. Sedangkan tingkat partisipasi Pemilu Presiden pada tahun 2009 adalah 72,1%. Tingkat partisipasi mengalami penurunan sebesar 3%. Hal hasil, mesti tidak mengalami penurunan secara signifikan, tingkat partisipasi dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2014 adalah 71,31%. Artinya, dalam hal ini KPU gagal mencapai target 75% dan angka tersebut juga di bawah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya. Pada tingkat lokal Kabupaten Pasaman Barat, jamak dengan
apa
yang
terjadi
pada
level
nasional
ada
kecenderungan terjadi penurunan. Pemilu Legislatif 2009 angka partisipasi 82,33%, pada Pemilu Legislatif
2014
partisipasi pemilih di kabupaten Pasaman Barat kembali mengalami penurunan yaitu pada persentase 77,34%.
Tidak
hanya pada pemilu legislatif, di Kabupaten Pasaman Barat pemilu eksekutif juga mengalami tren penurunan. Pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2009 angka partisipasi pemilih 71,59%. Partisipasi sedikit Selanjutnya kembali mengalami penurunan pada pemilihan presiden dan
10
wakil presiden 2014 yaitu 65,49 %. Sama dengan apa yang terjadi di tingkat nasional jika dibaca lebih jauh, penurunan angka partisipasi juga tidak merata disemua tempat. Kondisi inilah yang membuat penelitian mini menarik, yakni melihat bagaimana disatu tempat tingkat partisipasi masyarakt masih tinggi
sedangkan
ditempat
lain
mengalami
penurunan.
Seterusnya ada pebedaan yang cukup signifikan antara partisipasi pada Pemilu legislatif dengan Pemilu Presiden. B. PERMASALAHAN Berdasarkan panduan penelitian yang diberikan oleh KPU bahwa dalam panduan dituliskan Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara itu pada pemilu 2014, angka partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka
partisipasinya
lebih
rendah
dibandingkan
pemilu
legislatif. Pertanyaannya, kenapa angka partisipasi pemilu legislatif naik dibandingkan Pemilu sebelumnya? Kenapa Partisipasi pemilih sejak pemilu 1999 sampai dengan pemilu 2014 bergerak fluktuatif. Pada pemilu legislatif, penurunan partisipasi pemilih sekitar 10% konsisten terjadi sampai pada pemilu 2009. Sementara itu pada pemilu 2014, angka
11
partisipasinya naik sebesar 5%. Pada kasus Pilpres, tercatat dalam pemilu 2014 pertama kalinya dalam sejarah angka partisipasinya lebih rendah dibandingkan pemilu legislatif. Pertanyaannya, kenapa angka partisipasi pemilu legislatif naik dibandingkan pemilu sebelumnya? Kenapa angka partisipasi Pilpres
menyimpang
dari
pola
pada
pemilu-pemilu
sebelumnya? Selain itu kenapa golput tetap saja hadir dalam setiap pemilu? Apa penyebabnya? Jika diturunkan dalam kasus di Kabupaten Pasaman Barat, maka akan didapatkan data sebagai pada tabel 1 berikut: Tabel 1 Persentase Pelaksanaan Pemilu 2009 dan 2014 Pemilihan Umum
Tingkat Partisipasi (%)
Tingkat Golput (%)
Pileg 2009
82,33
17,67
Pilpres 2009
71,59
28,41
Pileg 2014
77,34
22,66
Pilpres 2014 65,49 34,51 Sumber : Diolah dari data KPUD Kabupaten Pasaman Barat Hasilnya menunjukan bahwa angka partispasi di kedua Pemilu menunjukan penurunan. Penurunan yang lebih besar dapat dilihat dari angka pemilih pada Pilpres. Jika dicermati lebih jauh dengan melihat data-data
partisipasi sampai
ketingkat kecamatan, ditemukan bahwa tingkat partisipasi disejumlah daerah tidak dapat dikatakan rendah, mesti tetap
12
menunjukan ada penurununan dari waktu sebelumnya. Relatif tidak ada yang mengalami tingkat penurunan yang sangat tinggi. Kembali pada TOR yang diberikan oleh KPUD Kabupaten Pasaman Barat, maka penelitian ini akan mencari jawaban apa yang mendorong seseorang berpartisipasi dalam Pemilu ? dari sini dapat dilanjutkan kenapa muncul perbedaan tingkat partisipasi di Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden, terakhir kenapa gejala tidak memilih terus bermunculan dalam setiap Pemilu dan itu menunjukan gejala penambahan. C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan dari penelitian adalah: 1. Menemukan faktor yang mempengaruhi partisipasi dari pemilih. 2. Menemukan kenapa terjadi perbedaan yang cukup besar antara
partisipasi
pada
Pemilu
Legislatif
dan
Pemilu
pemilih
yang
tidak
Presiden. 3. Menemukan
kenapa
jumlah
menggunakan hak pilihnya terus terjadi dan cenderung meningkat. 4. Mencari sejumlah rumusan kebijakan yang dapat diajukan atas kegajal di atas.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENJELASAN KONSEPTUAL Moon dalam Efriza (2012: 535) menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih (turn-out) atau ketidakhadiran pemilih (nonvoting) dalam suatu pemilu. Pendekatan pertama menekankan pada
karakteristik
karakteristik
sosial
institusional
dan
psikologi
sistem
pemilu.
pemilih
dan
Sementara
itu,
pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih. Voter turn-out atau jumlah pemilih dapat diartikan sebagai the percentage of eligible voters who cast a ballot in an election. Berapa jumlah pemilih bergantung pada ketentuan tentang kapan seseorang dinyatakan telah memiliki hak pilih. Jamak, negara membatasi hak pilih seseorang pada usia (voting age). Adapun batasan usia seseorang dinyatakan telah memiliki hak pilih berbeda pada masing-masing negara. Sejumlah negara di Asia seperti Malaysia dan Singapura menetapkan
usia
21
tahun
sebagai
batas
seseorang
dinyatakan telah memiliki hak pilih. Amerika Serikat, hampir
13
14
disebahagian besar negara bahagiannya menetapakan batasan usia pemilih 18 tahun, dan sebahagian kecilnya menetapkan usia 17 tahun. Sedangkan di belahan negara lainnya, seperti di Austria dan Brazil batasan usia lebih kecil lagi yakni usia 16 tahun.
Sedangkan
di
Indonesia
batasan
usia
pemilih
ditetapkan usia 17 tahun. Tapi usia tidak menjadi batasan satu-satunya, selain usia hak pilih seseorang juga ditentukan oleh
status
pernikahan.
Pada
Undang-undang
Pemilu
dinyatakan bahwa seseorang yang sudah/pernah menikah memiliki hak pilih. Ketentuan ini, memungkinkan seseorang yang belum berusia 17 tahun tapi telah/pernah menikah memiliki hak pilih. Secara prinsip hak pilih seseorang diatur berdasarkan usia, seperti yang dijelaskan di atas. Namun tidak semua orang yang telah memiliki hak pilih dapat menggunakan hak pilihnya. Seorang warga negara dapat saja dicabut hak pilihnya. Misalnya, warga negara yang menjadi bahagian sebagai anggota TNI/Polri tidak memiliki hak pilih. Adapun faktor lain, yang menyebabkan seseorang kehilangan hak pilihnya adalah alasan kesehatan seperti gangguan kejiawaan. Pengertiaan lain dari voter turn-out, adalah keterlibatan seseorang dalam Pemilu atau pemberian suara. Pengertian ini tidak pada persoalan apakah seseoarang memiliki hak pilih
15
atau tidak. Tapi jumlah pemilih adalah keterlibatan dalam Pemilu, secara teknis dihitung dari jumlah suara dalam Pemilu kemudian dibagi dengan jumlah pemilih yang terdaftar. Tidak semua orang yang tercatat sebagai pemilih, menggunakan haknya. Jumlah pemilih dalam hal ini dilihat sebagai bentuk partisipasi politik dalam mengikuti Pemilu. Terkait dengan konsep partisipasi politik, dijelaskan oleh para ahli dari banyak sudut pandang. Ada yang menjelaskan partisipasi politik dalam kerangka praksis politik. Artinya, partisipasi politik dijelaskan
dalam
kerangkan
norma-norma
politik
konvensional. Namun ada ahli juga yang mendefenisikan partisipasi
politik
yang
sifatnya
teologis,
yakni
melihat
partisipasi sebagai serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mempengaruhi
otoritas
politik.
Perbedaan
cara
pandang
tersebut kemudian didebatkan dalam sejumlah konsepsi seperti penelitian Muller (1982) tentang partisipasi demokratis (konvensional hukum
dan
dalam
metode
konvensional
demokrasi)
dan
aktivitas
agresi
politik
partisipasi
(pembangkangan sipil dan kekerasan politik). Studi serupa juga dilakukan oleh Levric (2010) tentang perbedaan antara kegiatan (partisipasi) legal dan ilegal. Dalam keragaman defensisi tersebut, dapat berikut diambil dua defenisi yang relatif relefan. Partisispasi politik adalah “political engagement”
16
or “public involvement in decision making” (Uhlaner: 2001). Lebih lengkap, partisipasi politik dapat juga diartikan sebagai “…defined political participation in terms of the degree to which citizens are exercising their right to engage in political activities (e.g., to protest, to speak freely, to vote, to influence or to get more energetically involved (Munroe: 2002). Dalam konteks Pemilu, ditunjukan dengan keikutsertaan seseorang dalam Pemilu. Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk membuka tabir, kenapa seseorang menggunakan hak pilihnya dan sebagian lain tidak menggunakan hak pilihnya. Penelitian mini ini, akan melihat pada aspek kedua, yakni jumlah pemilih dari sisi partisipasinya dalam Pemilu. B. VARIABEL PARTISIPASI PEMILIH Banyak penelitian yang telah dilakukan untuk melihat apa saja yang mempengaruhi partisipasi pemilih dalam Pemilu. Benny Geys (2005) dalam artikelnya Explaining Voter Turn-out: A Review of Aggregate-level Research melakukan analisis terhadap 83 penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli. Merujuk dari penelitian tersebut Benny Geys, kemudian
mengelompokkan
mempengaruhi
partisipasi
tiga dari
variabel pemilih.
peting
Ketiga
yang
variabel
17
tersebut adalah variabel sosio-ekonomi, variabel politik dan variabel kelembagaan. Berikut akan dipaparkan secara singkat ketiga variabel tersebut. Pertama; Variabel sosio-ekonomi; Pada variabel sosioekonomi, dapat dilihat dari lima penekanan yakni; (1). Ukuran populasi; berkaitan dengan jumlah dari pemilih. Dari sejumlah penelitian ditemukan bahwa ukuran populasi memiliki efek negatif maupun positif. Artinya masyarakat dengan populasi yang lebih besar memiliki kemungkinan untuk banyak pilihan termasuk untuk tidak berpartisipasi dalam Pemilu. Sedangkan pada masyarakat dengan populasi yang lebih kecil akan terjadi sebaliknya. (2). Konsentrasi populasi; Variabel ini sering digunakan sebagai proxy untuk perbedaan antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan. Secara sosiologi masyarakat kota dan desa memiliki karakteristik yang berbeda. Struktur masyarakat perkotaan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
masyarakat
pedesaan.
Hal
itu
ditandai
dengan
masyarakatnya perkotaan yang lebih individualis sedangkan daerah pedesaan lebih komunal. Daerah perkotaan memiliki kepadatan penduduk dan daerah pedesaan lebih longgar. Terkait dengan jumlah pemilih, Filer (1977) menyatakan bahwa daerah yang memiliki populasi yang padat dengan lebih berpotensi untuk dimobilisasi mendatangi bilik-bilik suara. Hal
18
sama juga dapat ditemukan pada masyarakat komunal, mobilitas
akan
jauh
lebih
mudah
dibandingkan
pada
masyaralat yang individual. (3). Stabilitas populasi; Stabilitas penduduk dipengaruhi tingkat mobilitasnya relatif rendah. Hal ini bisa ditandai dengan pertumbuhan penduduk didasari pada angka kelahiran sedangkan angka kematian sedikit. Artinya, pertumbuhan penduduk bukan karena pendatang yang singgah atau berdomisili hanya untuk beberapa saat. Stabilitas
populasi
juga
dipengaruhi
oleh
status
rumah
tempatan. Masyarakat dengan kepemilikan rumah sendiri lebih mungkin untuk berada di daerah yang sama untuk jangka waktu
yang
lebih
lama
dibandingkan
yang
kepemilikan
rumahnya kontrak atau sewa. Stabilitas populasi dapat diharapkan untuk meningkatkan tingkat partisipasi pemilih karena tiga alasan. Pertama, masyarakat yang populasinya stabil akan lebih mudah untuk mengidentifikasi keberadaanya dan
membentuk
solidaritas
kelompok
(Hoffman-Martinot,
1994; Ashworth et al., 2002) Kedua, pada masyarakat yang populasinya stabil dan berada di daerah yang sama untuk waktu yang cukup lama cenderung memiliki pengetahuan yang memadai terkait isu-isu lokal dan calon. (Filer et al., 1993). (4). Homogenitas, diperlukan
homogenitas untuk
merupakan
mendapatkan
kohesi.
prasyarat
yang
Kohesi
akan
19
meningkatkan
solidaritas
kelompok.
Homogenitas
akan
mendorog peningkatan partisipasi ketika ia terakomodir dalam politik, tapi bisa juga menjadi faktor yang melemahkan jika ia tidak terakomodir. Jumlah pemilih cenderung lebih tinggi di negara-negara di mana kesetiaan politik didasari pada kelas, etnis, bahasa, atau kesetiaan agama. Seterusnya, di negaranegara yang sangat multikultural dan multibahasa, bisa sulit untuk kampanye pemilu nasional untuk melibatkan semua sektor dari populasi. Berikutnya, keterlibatan pada Pemilu sebelumnya juga mempengaruhi partisipasi. Bagi yang pada tahun sebelumnya mengikuti Pemilu maka sangat mungkin pada tahun berikunya ia akan ikut kembali berpartisipasi. Disini
pengalaman
mengikuti
Pemilu
menjadi
hal
yang
mendorong seseorang berpartisipasi. Artinya, voting atau pemberian suara membentuk kebiasaan. Kebiasaan akan menjadi perulangan bergantung pada pengalaman dari apa yang mereka lakukan sebelumnya. Artinya, ketika individu pada pengalam sebelumnya menerima dampak yang baik pada aksi mereka sebelumnya cenderung akan terjadi pengulangan pada tindakan selanjutnya. Kebiasaan dalam pemilih pemilu mungkin menyiratkan bahwa jumlah pemilih yang hadir bisa sampai batas tertentu dapat dijelaskan oleh pemilih masa lalu. Pada sisi lain kebiasaan juga dipengaruhi oleh budaya.
20
Dorongan
untuk
memilih
tidak
dapat
dilepaskan
dari
keyakinaan masyarakat terhadap sistem demokrasi. Untuk mengembangkan
kebiasaan
atau
budaya
demokrasi
membutuhkan waktu dan kondisi sosial tertentu. Sedangkan keinginan warga untuk mendatangi tempat pemungutan suara, ikut serta dalam Pemilu tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan demokrasi tersebut. Demokrasi memberi kesadaran politik dengan menumbuhkan rasa tangungjawab dari warga negara, menimbulkan
keminatan
pada
politik,
dan
pengetahuan
tentang arti dari pemungutan suara. Sejumlah penelitian menunjukan di negara-negara Eropa Timur dan Amerika Latin pada awal-awal diperkenalkannya demokrasi rendah dari kehadiran pemilih. Berdasarkan penelitian yang telah ada, hipotesa yang selalu ingin diuji adalah partisipasi masyarakat pada negara yang baru mengenal demokrasi akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara yang telah mengenal lama demokrasi. Kedua; Variabel Politik; Dalam varibel ini terdapat tiga poin, yakni, (1). Kedekatan (atau keterpinggiran), salah satu tujuan dari Pemilu adalah mempengaruhi kebijakan, maka seberapa besar ia dapat mempengaruhi kebijakan akan mempengaruhi minat dari pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Kedekatan juga dapat dilihat dari hubungan antara
21
elite/kandidat dan pemilih. Semakin kecil kesenjangan adalah antara dua pihak tersebut, semakin dekat pemilu dan tingkat partisipasi pemilih lebih tinggi diharapkan menjadi. Jumlah pemilih cenderung lebih tinggi di negara-negara di mana kesetiaan politik dengan kelas, etnis, bahasa, dan agama. (2). Kampanye,
kampanye
partisipasi
politik,
mempengaruhi
karena;
Pertama,
tinggi
rendahnya
kampanye
akan
meningkatkan informasi dan kesadaran tingkatan dalam pemilih. Kedua peningkatan probabilitas dari masyarakat. Kampanye akan tidak selalu memberikan informasi terkait tentang calon, tapi juga tanggungjawab dari masyarakat untuk berpartisipasi. melahirkan melahirkan
Namun tingkat
tidak
semua
partisipasi,
penurunan
karena
kampanye
sebaliknya kampanye
akan
bisa
yang
juga
mereka
dapatkan adalah kampanye hitam atau kampanye negatif. Di Amerika Serikat, kampanye negatif menjadi salah satu faktor yang menjadikan jumlah pemilih mengalami penurunan. Dengan demikian pengaruh kampanye pada peningkatan atau penurunan jumlah partisipasi bergantung pada pesan yang dibawa
dalam
kampanye.
Dimana
kampanye
dilakukan
(pemasaran) dapat memiliki efek terhadap suara dan minat orang
untuk
berpartisipasi.
Keberpihakan
merupakan
dorongan penting untuk pemilih, dengan sangat partisan lebih
22
mungkin untuk memilih. (3). Fragmentasi politik, secara umum mengacu pada pengertian jumlah dari partai yang ikut dalam Pemilu. Meski dalam sejumlah penelitian lainnya fragmentasi diartikan
tidak
hanya
sebatas
jumlah
partai
tapi
juga
menyangkut hal-hal lain dalam kepemiluan. Secara teoretis, fragmentasi
politik
ikut
mempengaruhi
baik
dalam
meningkatkan atau menurunkan jumlah dari pemilih. Jumlah partai yang banyak pada satu sisi akan memberi banyak alternatif bagi pemilih untuk menentukan pilihan. Banyak alternatif yang ditawarkan pada pemilih, sehingga ia dapat melihat platform dari masing-masing partai dan mencari mana yang sesuai. Sejumlah penelitian menunjukan Negara dengan sistem multipartai cenderung memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi. Namun pada sisi lain jumlah partai yang banyak juga
berdampak
pada
kompleksitas
dari
sistem
politik,
sehingga pemilih lebih sulit untuk mengambil keputusan dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak memilih. Sebaliknya, dengan
jumlah
partai
yang
lebih
sedikit
akan
lebih
mempermudah untuk menentukan pilihan. Tapi pemilih tidak punya alternatif yang banyak untuk menentukan pilihan. Ketika ia kecewa pada satu partai sulit unjtuk mencari alternatif yang lain.
23
Ketiga, Variabel Kelembagaan, faktor institusional atau kelembagaan hal yang mendasar dalam penyelenggaraan Pemilu. Perubahan sistem dalam kenegaraan selalu dimulai dengan pergeseran dari sisi aturan formal. Aturan formal yang diterbitkan oleh negara sebagai pemegang otoritas dominan. Salah satu kekuatan dari otoritas yang dimiliki oleh negara adalah
kemampuannya
untuk
memaksa.
Maka
faktor
institusional memiliki potensi untuk mengubah dari prilaku dari
warganya.
Terkaid
dengan
penyelenggaraan
Pemilu,
institusional menjadi fokus dari perhatian banyak peneliti. Meningkatkan jumlah pemilih salah satunya dipengaruhi oleh faktor institusioanl. Prosedur mengatur jalannya Pemilu seperti sistem pemilu, persyaratan pendaftaran, voting wajib dan sebagainya dapat memiliki efek pada jumlah orang yang terlibat dalam pemungutan suara. (1). Sistem pemilu, sistem pemilu
memiliki
efek
pada
tingkat
partisipasi.
Sistem
porposional dinilai lebih memberi peluang partisipasi lebih tinggi karena alasan semua partai baik yang besar maupun kecil memiliki potensi untuk mendapatkan kursi. Sehingga pemilih potensial akan tetap berupaya untuk mendatanggi TPS (Jackman 1987). Argumentasi lainnya adalah dengan sistem porposional hubungan kelompok akan lebih kuat sehingga berkorelasi dengan meningkatkan jumlah pemilih.
24
Namun,
argumentasi
lainnya
menyatakan
bahwa
pemilihan dengan sisitem porposional juga berdampak pada penurunan jumlah pemilih karena sistem ini lebih rumit dipahami oleh rata-rata masyarakat dan kedua sistem ini memungkinkan terjadi banyak koalisi sehingga memunculkan ketidakpuasan.
Kerumitan
tersebut
menjadi
argumentasi
kenapa sisitem porposional ini menjadi penyebab rendahnya anggak dari pemilih. (Ladner dan Milner 1999). Akhirnya sistem
distrik
atau
sistem
mayoritas
lebih
mendorong
partisipasi dari pemilih. (2). Voting wajib, mewajibkan kepada warga negara untuk mengikuti Pemilu akan berdampak pada partisipasi
pemilih.
Karena
pemilih
berusaha
untuk
menghindari diri dari sanksi yang diakibatkan jika mereka tidak menggunakan hak pilih yang mereka miliki. Sehingga bagi sejumlah ahli menyebutkan wajib voting merupakan temuan yang kuat dalam meningkatakn anggka partisipasi. Salah satu contoh negara yang menerapkan wajib voting adalah
Australia.
Hasilnya,
anggka
partisipasi
mencapai
93,23% untuk DPR dan 93,88% untuk Senat. (3) Pemilu serentak, pemilu serentak dibanyak negara menunjukkan peningkatan anggka partisipasi. Hal ini disebabkan karena sejumlah argumentasi. Pertama, dengan pemilu serentak dapat mengoptimalkan kampanye, sehingga dari kampanye tersebut
25
dapat
menigktakan
berpartisipasi.
Kedua,
kesadaran berkaitan
pemilih dengan
untuk
ikut
biaya
atau
pengorbanan yang dikeluarkan oleh pemilih lebih sedikit, karena dengan pemilu serentak mereka hanya satu kali datang untuk semua level Pemilu. Hal ini juga harus menyebabkan tingkat partisipasi pemilih lebih tinggi. Pemilu yang dilakukan secara
terpisah
dapat
menyebabkan
kelelahan
pemilih.
Kelelahan pemilih dapat menurunkan jumlah pemilih. Jika ada banyak Pemilu dalam suksesi dalam jangka waktu yang dekat akan menyebabkan jumlah pemilih akan menurun. Swiss misalnya pemilih rata-rata diundang untuk pergi ke tempat pemungutan suara rata-rata tujuh kali dalam setahun. (4). Persyaratan pendaftaran, persyaratan yang lebih mudah akan memungkinkan untuk tinggi tingkat partisipasi dibandingkan dengan persyaratan yang rumit. Hal ini berkaitan dengan prosedural yang akan dilalui oleh pemilih untuk menjadi pemilih. berkaitan dengan pendataan siapa saja warga negara yang telah memenuhi persyaratan sebagai pemilih. Secara umum pendataan pemilih bukanlah hal yang rumit, terutama bagi negara-negara yang telah melakukan banyak Pemilu. Karena proses pendaftaran pemilih hanya memastikan dua hal yakni mencatat siapa saja yang telah memasuki usia pilih (pemilih pemula) dan memastikan yang sudah terdaftar masih
26
tercatat sebagai pemilih dan tidak kehilangan hak pilihnya. Parancis dapat menjadi contoh, di negara ini ketika salahsatu warga memasuki usia 18 tahun secara otomatis langsung terdaftar
sebagai
pemilih.
Pendataan
pemilih
biasanya
diintegralkan dengan data kependudukan. Kendala dalam pendataan pemilih adalah mobilitas, semakin tinggi mobilitas masyarakat maka proses pendataan pemilih semakin sulit dilakukan. Di beberapa negara proses pendataan pemilih dilakukan secara periodik dan berlaku dalam selang waktu tertentu. Inggris misalnya, pendataan pemilih dilakukan pada bulan Oktober, dan akan mulai berlaku pada Februari dan berlaku sampai Januari pada tahun berikutnya. Artinya, jika pemilihan dilakukan jauh setelah proses pendataan pemilih dilaksanakan, besar kemungkinan banyak pemilih yang belum tercatat. Namun, ada juga yang melakukan pendataan pemilih setiap
akan
diadakan
Pemilu,
tujuanya
untuk
menjaga
keakuratan data dan memberi kesempatan yang luas pada masyarakat untuk mengikuti Pemilu. Lebih maju lagi, ada negara yang tidak membutuhkan pendaftaran, artinya pemilih dapat datang ke TPS saat dilakukan Pemilu. Terobosan lain adalah memudahkan dalam memilih, seperti voting melalui saluran internet. Ide akan bahwa jumlah pemilih akan meningkat karena orang bisa memberikan suara
27
mereka dari kenyamanan rumah mereka sendiri, meskipun beberapa percobaan dengan voting internet telah menghasilkan hasil yang beragam. Berdasarkan di variabel di atas yang merupakan hasil dari proses agregasi atau meta analisis, menunjukan bahwa banyak hal yang menentukan kenapa partisipasi masyarakat dapat meningkat maupun dapat mengalami penurunan. Untuk kepentingan penelitian ini, tentu tidak memungkinkan melihat semua variabel secara utuh. Maka, penelitian ini akan lebih fokus pada psikologi pemilih dan sosial ekonomi. Selanjutnya, bagaimana
perbaikan
secara
kelembagaan
yang
dapat
dilakukakan ke depan juga akan lebih mudah terpotret dan dirumuskan.
28
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN A. Kondisi Geografis dan Demografis Lokasi Penelitian Kabupaten Pasaman Barat merupakan salah satu dari 3 (tiga) Kabupaten Pemekaran di Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten ini berdiri atas dasar Undang-undang Nomor 38 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Dharmasraya, Solok Selatan dan Pasaman Barat. Secara geografis Kabupaten Pasaman Barat terletak di antara 00°33’ Lintang Utara sampai 00°11’ Lintang Selatan dan 99°10’ sampai 100°04’ Bujur Timur. Kabupaten ini terletak pada ketinggian antara 0 - 2.912 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi di Kabupaten Pasaman Barat
yaitu Gunung Talamau dengan ketinggian
2.912 meter di atas permukaan laut. Sebahagian besar wilayah datar, sebahagian lagi berupa daerah berbukit, pegunungan dan
pulau-pulau
kecil.
Dan
didominasi
juga
dengan
sebahagian wilayah lautan dan pesisir pantai. Kabupaten Pasaman Barat memiliki luas wilayah 3.864,02 km² dengan administrasi pemerintahan yang meliputi 11 kecamatan, 19 nagari dan 212 jorong/Korong. Keadaan Kecamatan, nagari dan jorong dapat dijelaskan melalui tabel di bawah ini:
28
29
Tabel 2 Kecamatan dan Nagari di Kabupaten Pasaman Barat NO 1 2 3 4 5 6
KECAMATAN Talamau Sungai Beremas Lembah Malintang Ranah Batahan Koto Balingka Pasaman
NAGARI Kajai, Talu, Sinuruik Aia Bangih Ujung Gading Batahan, Desa Baru Parit Lingkuan Aua, Aia Gadang, Aua Kuning 7 Gunung Tuleh Muaro Kiawai, Robi Jonggor 8 Sasak Ranah Pasisie Sasak 9 Sungai Aua Sungai Aua 10 Luhak Nan Duo Koto Baru, Kapa 11 Kinali Kinali, Katiagan Mandiangin Sumber : Data BPS Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2013 Jumlah Penduduk Kabupaten Pasaman Barat Hasil sensus 2013 sebanyak 392.907 Jiwa yang tebagi kedalam kecamatan sebagaimana tergambar pada tabel 3 di bawah ini. Tabel 3 Jumlah Penduduk Kabupaten Pasaman Barat Per Kecamatan Jumlah Penduduk 1 Sungai Beremas 23.813 2 Ranah Rambatan 25.024 3 Koto Balingka 28.009 4 Sungai Aur 33.672 5 Lembah Malintang 44.940 6 Gunung Tuleh 20.862 7 Talamau 26.596 8 Pasaman 69.149 9 Luhak Nan Duo 40.193 10 Sasak Ranah Pasisie 14.011 11 Kinali 66.638 Jumlah 392.907 Sumber : Data BPS Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2013 No
Kecamatan
30
PETA ADMINISTRASI KABUPATEN PASAMAN BARAT
31
Kabupaten
Pasaman
Barat
memiliki
batas
wilayah
administrasi sebagai berikut: Utara
: Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara
Selatan : Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat Barat
: Samudera Indonesia
Timur
: Kabupaten Pasaman Sumber Daya Alam di daerah dataran tinggi dengan
gunung-gunung dan perbukitan di bagian Timur Kabupaten Pasaman Barat, dataran rendah dengan daerah pertanian serta kawasan pantai dan laut dengan garis pantai sepanjang lebih kurang 152 km merupakan modal dan kekuatan untuk meningkatkan ekonomi daerah, mengandung potensi yang sangat
menjanjikan
seperti
potensi
ekonomi
bidang
pertambangan, kehutanan, perkebunan, tanaman pangan, peternakan, perikanan serta pariwisata dan potensi lainnya. Daerah Sentra Perkebunan Sawit Penghasil utama komoditas bahan baku minyak goreng itu adalah kecamatankecamatan yang kini bergabung dengan Pasaman Barat. Sebut saja Kecamatan Pasaman (lokasi ibu kota berada) dan Kecamatan Lembah Melintang. Luas areal perkebunan kelapa sawit seluruhnya kurang lebih 102.000 hektare, Sebagian
32
besar, sekitar 77.000 hektare termasuk perkebunan inti dan plasma, sementara sisanya adalah perkebunan rakyat. Pasaman
Barat
adalah
salah
satu
contoh
dari
pembangunan wilayah yang berkembang pesat terutama karena adanya proyek ADB (Area Development Project) tahun 1975. Berbagai bentuk program dikembangkan oleh pemeritah untuk
merangsang
pertumbuhan
ekonomi
dan
memacu
ketertinggalan daerah ini dari daerah kabupaten-kabupaten lain di Sumatera Barat. Setelah selesai pembangunan jalan dan lancarnya transportasi, mulai pula daerah Kinali “terbuka” dengan dunia luar. Beberapa investor swasta berdatangan untuk menanamkan investasinya dengan membuka sejumlah perkebunan kelapa sawit yang dimulai tahun 1990. Pada saat ini, di Nagari Kinali terdapat enam perusahaan perkebunan yang telah beroperasi dan menghasilkan. Dalam menggunakan Perkebunan).
pengelolaan konsep Pihak
perkebunan
PIR-Bun
inti
kelapa
(Perusahaan
bertindak
sebagai
Inti
sawit Rakyat
pelaku
yang
berfungsi menyiapkan lahan kebun dan tanaman (kelapa sawit) sampai siap berproduksi. Selanjutnya menyediakan masukan produksi berupa pupuk dan pestisida, memberikan bimbingan teknis penyuluhan, menyediakan akses kredit, membangun sarasa fisik dan menampung seluruh produksi
33
yang dihasilkan. Pihak inti biasanya menguasai dan mengelola kebun sendiri yang disebut kebun inti. Pihak yang bertindak sebagai plasma adalah para petani atau warga setempat yang telah memenuhi syarat sebagai anggota PIR. Melihat kondisi daerah Pasaman Barat seperti sekarang tentu saja sangat berbeda jauh dengan keadaan pada waktu sebelum masuknya ekonomi perkebunan.Kehadiran ekonomi perkebunan khususnya perusahaan perkebunan kelapa sawit membawa dampak bagi peningkatan kesejahteraan penduduk dan perkembangan ekonomi wilayah. Disamping meningkatnya kesejahteraan tentu saja juga akan berakibat pada terjadinya berbagai perubahan sosial budaya yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan
dalam
masyarakatnya.
Munculnya
diversifikasi ekonomi akan berpengaruh terhadap perubahan prilaku sosial ekonomi dan gaya hidup (lifestyle) masyarakat dibanding dengan keadaan sebelumnya. B. Kondisi Sosial Budaya dan Politik Pasaman Barat
adalah
heterogen penduduknya,
kabupaten
baik
dari
segi
yang
mempunyai
latar
belakang
budaya, etnik dan agama. Pada masa lampau sejumlah wilayah
di
daerah
ini
jadi
penampungan
program
transmigrasi, sehingga sebagian penduduknya adalah etnik
34
Jawa.
Karena letaknya
berbatasan
Sumatera Utara, sejak lama daerah
dengan
provinsi
ini juga didiami oleh
kelompok Etnik Mandailing. Dalam pelakasanaan Pemilihan Legislatif Kabupaten Pasaman Barat memperebutkan 40 Kursi DPRD yang dibagi kedalam 4 daerah Pemilihan diantaranya. Untuk mengetahui lebih jelas dapat dilihat tabel 4 di bawah ini. Tabel 4 Daerah Pemilihan, Jumlah Kursi Pada Pemilu 2014 di Kabupaten Pasaman Barat Daerah Pemilihan Pasaman Barat 1
Jumlah Kecamatan Kursi Pasaman 10
Pasaman Barat 2
12
Pasaman Barat 3
10
Pasaman Barat 4
8
Jumlah Kursi 40 Sumber : Diolah dari data Untuk
dapat
Jumlah Penduduk 77.894 Talamau 32.528 Kinali 74.075 Luhak Nan Duo 44.452 Sasak Ranah Pasisia 17.859 Lembah Malintang 49.026 Gunung Tuleh 24.343 Sungai Aur 38.529 Sungai Beremas 27.359 Ranah Batahan 26.305 Koto Balingka 32.949 Jumlah Penduduk 445.319 KPUD Kabupaten Pasaman Barat
mengetahui
daerah
pemilihan
pada
Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kabupaten Pasaman Barat, dapat dilihat pada peta di bawah ini :
35
PETA DAERAH PEMILIHAN ANGGOTA DPR RI DI PROVINSI SUMATERA BARAT PADA PEMILU 2014
36
PETA DAERAH PEMILIHAN ANGGOTA DPRD PROVINSI SUMATERA BARAT PADA PEMILU 2014
37
PETA DAERAH PEMILIHAN ANGGOTA DPRD KABUPATEN PASAMAN BARAT PADA PEMILU 2014
38
Pada Pemilu 2014, Partsipasi Pemilih pada pemilihan anggota legislatif 77,34% dan pada saat pemilihan presiden 65,49%. Rincaian partisipasi per kecamatan dapat dilihat dari tabel 5 di bawah ini. Tabel 5 Tingkat Partisipasi Masyarakat Pada Pemilu 2014 Pileg 2014 Pilpres 2014 (%) (%) 1 Sungai Beremas 63,26 54,39 2 Lembah Malintang 76,96 62,27 3 Pasaman 78,02 65,79 4 Talamau 72,39 63,42 5 Kinali 78,88 66,59 6 Gunung Tuleh 83,97 70,26 7 Ranah Rambatan 77,13 70,75 8 Koto Balingka 74,84 62,02 9 Sungai Aur 79,57 64,27 10 Luhak Nan Duo 82,34 70,52 11 Sasak Ranah Pasisie 80,86 70,41 Sumber : Diolah dari data KPUD Kabupaten Pasaman Barat No
Kecamatan
Tercatat kabupaten Pasaman Barat semenjak masih menjadi kabupaten Pasaman telah memiliki 18 orang Bupati, namun semenjak menjadi Kabupaten Pasaman Barat baru 2 Bupati Pasaman Barat. Berikut Nama-nama Bupati Pasaman Barat terlihat dari tabel 6 di bawah ini.
39
Tabel 6 Nama-Nama Bupati Kab. Pasaman Barat 1946 – 2015 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 * No.
Nama-Nama Bupati Masa Jabatan Darwis Taram Dt. Tumanggung 1946 – 1947 Basrah Lubis 1947 – 1949 Sutan Bahrumsyah 1950 – 1951 AM Jamaluddin 1951 Syahbuddin Latif Dt. Bungsu 1951 – 1954 A. Muin Dt. Rangkayo Marajo 1954 – 1955 Marah Amir 1955 – 1958 Johan Rifa’i 1958 – 1965 Bongar Sutan Pulungan, SH 1965 – 1966 Drs. Zainoen 1966 – 1975 Drs. Saruji Ismael 1975 – 1985 Rajuddin Nuh, SH 1985 – 1990 H. Taufik Martha 1990 – 2000 Drs. H. Baharuddin R 2000 – 2003 Drs. Zambri 2004 – 2005 H. Sofyan, SH 2005 Drs. H. Syahiran, MM 2005 – 2010 Drs. Baharuddin R, MM 2010– 2015 1 – 14 ketika masih bergabung dengan Kab. Pasaman
40
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian dengan
strategi
pendekatan
dilakukan studi
didasari
dengan
kasus.
atas
pendekatan
Pilihan
harapan
kualitatif
kualitatif
untuk
sebagai
mendapatkan
informasi yang lebih mendalam. Pilihan untuk menggunakan cara kualitatif dipandang akan lebih baik untuk mendekati apa yang diingini dari tujuan dari penelitian. Selain itu, pendekatan secara kualitatif juga didasari pada pertimbangan data awal dilapangan, dimana ditemukan terdapat sejumlah daerah yang angka
partisipasinya
relatif
masih
tinggi
walau
tetap
menunjukan gejala penurunan. Pada sisi lain ada sejumlah daerah yang terus menunjukan penurunan relatif besar. Untuk itu dengan menggunakan kualitatif dan menjadikan daerahdaerah tersebut sebagai khasus diharapkan dapat menjawab apa yang menjadi tujuan dari penelitian ini. B. Peran Peneliti Penelitian dasarnya
telah
penelitian
ini
tentang
partisipasi
banyak
dilakukan.
merupakan
dalam Bagi
penelitian
pemilu
peneliti
lanjutan.
pada
sendiri, Sehingga
sejumlah data-data awal mengenai dinamika partispasi pemilih
40
41
di Sumatera Barat relatif telah terkumpulkan dari penelitianpenelitian sebelumnya. Argumentasi lain yang dapat menjadi pendukung dari pilihan penelitian ini adalah keterlibatan peneliti secara baik secara aktif maupun pasif dalam aktivitas organisasi kepemiluan. Posisi tersebut pada satu sisi akan menjadi kemudahan dalam melakukan pada penelitian, walau pada sisi lainnya peneliti akan dihadapkan pada tantangan untuk meletakkan peran sebagai orang ketiga terhadap objek yang akan diteliti. C. Prosedur Pengumpulan Data Strategi pengumpulan data akan dilakukan dengan empat
jenis
dokumentasi. penjelasan
strategi
yaitu
Wawancara
tentang
faktor
wawancara,
dilakukan yang
observasi,
untuk
dan
mendapatkan
mempengaruhi
tingkat
partisipasi dari pemilih. Agar mendapat informasi yang lebih kompleks wawancara dilakukan dengan sejumlah narasumber atau informan. Dalam hal ini, yang dijadikan informan adalah sejumlah anggota PPK, PPS, KPPS, dari sisi penyelengara Pemilu, kemudian dengan tokoh masyarakat dan masyarakat pemilih. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur dan terbuka. Tujuannnya adalah untuk membuka ruang seluasluasnya atas informasi yang didapat dilapangan. Namun dalam
42
melakukan wawancara tetap memperhatikan kerangka dan tujuan dari penelitian yang dilakukan. Mengingat penelitian yang dilakukan tidak menyediakan waktu yang panjang. Artinya, dengan fokus pada kerangka penelitian dan tujuan dari
penelitian,
data
yang
dikumpulkan
dapat
langsung
mengarah pada tujuan penelitian. Selanjutnya, dalam menentukan informan yang akan diwawancarai dilakukan dengan cara menemui anggota dari PPK, PPS dan KPPS. Secara formal ketiga unsur tersebutlah yang paling bertanggungjawab dan mengetahui kondisi pada lokasi penelitian. Setelah mendapatkan informasi dari anggota PPK, PPS dan KPPS, wawancara akan dikembangkan ke tokoh masyarakat dan masyarakat pemilih. Tokoh-tokoh masyarakat tersebut dipilih berdasarkan informasi yang didapat dari anggota PPK atau PPS atau KPPS. Informan dari tokoh masyarakat
berkembang
secara
dinamis
sesuai
dengan
kebutuhan di lapangan. Begitu juga dengan masyarakat pemilih.
Sebagai
langkah
dilakukan pada kegiatan
awal,
wawancara
awal
telah
Bimbingan Teknis Pelaksanaan
Pemilu Kepala Daerah yang dilakukan oleh KPUD Pasaman Barat. Dari pertemuan ini informan dalam penelitian ini dikembangkan di lapangan.
43
Maka
secara
diwawancarai informan.
keseluruhan
dalam
Berikut
penelitian
dipaparkan
jumlah ini
informan
berjumlah
lebih
jelas
16
informan
yang orang dari
penelitian pada tabel 7 di bawah ini: Tabel 7 Nama – Nama Informan Penelitian Nama Afreno Vatra
Umur Pendidikan Jabatan (Th) Terakhir 39 SLTA PPK. Kec. Pasaman
Erwin Saputra
28
SLTA
Hendri Saputra, S.Kom Mariani
28
S1
40
-
M. Ridwan
38
SLTA
Sesra Budio
25
S1
Tomi S.Pd.i
28
S1
Zulfahmi Rahmat Bonar, S.Sos -
29 39
SLTA S1
50
BA
Zulkifli
50
S1
Yulhelfi Heldi
31
Fery Noviardi Syafridal
30 60
Wanhar
28
Indra Oloan
31
Indra,
PPK. Kec. Nan Duo PPK. Kec. Nan Duo
Luhak Luhak
PPK Kec. Luhak Nan Duo Mantan PPK Kec. Luhak Nan Duo PPK Kec. Luhak Nan Duo PPK Kec. Gunung Tuleh Da’i PPK Kec. Gunung Tuleh Tokoh Masyarakat Camat Kec. Gunung Tuleh PPK Kec. Sei. Beremas PPK Se. Beremas Tokoh masyarakat/Sek. Walinagari 2002 Panwascam Pasaman Barat Tokoh Pemuda Pasaman Barat
S1
Alamat Nagari Aur Kuning Kec. Pasaman Simp. Tiga Kec. Luhak Nan Duo Durian Tuga Jor. Kapa Kec. Luhak Nan Duo Jambak Simp. Tiga Kec. Luhak Nan Duo Jambak Kec. Luhak Nan Duo Jl. Lintas Muaro Kiawai Kec. Gunung Tuleh Nagari Rabi Jongor Rabi Jongor Kec. Gunung Tuleh Rabi Jongor Kec. Gunung Tuleh Air Bangis Air Bangis Air Bangis Ujung Gading Ujung Gading
Selain melakukan wawancara mendalam juga akan dilakukan
wawancara
bertujuan
selain
kelompok.
untuk
mendapat
Wawancara tambahan
kelompok data
juga
44
diperankan
sebagai
didapatkan.
Dalam
trianggulasi hal
ini
atas
sempat
informasi
dilakukan
yang
dua
kali
wawancara kelompok. Pengumpulan data selanjutnya dilakukan dengan cara observasi. Observasi dilakukan dengan cara turut serta secara langsung kelapangan. Dalam hal ini peneliti terlibat dalam mendampingi
informan
dalam
melaksanakan
aktivitas
keseharian. Peneliti akan mengamati dan mencatat aktivitas yang dilakukan oleh aktor sesuai dengan tujuan penelitian. Terkahir
pengumpulan
data
dilakukan
dengan
cara
dokumentasi. Data dari dokumentasi merupakan bahagian penting dari penelitian ini. Penentuan daerah yang dijadikan fokus dari penelitian ini mermula dari data dokumentasi. Dari data ini ditemukan tingkat partisipasi dari pemilih dan dinamika dari partisipasi tersebut. Data dikumentasi juga digunakan untuk mendapatkan informan yang lebih kompleks terhadap
perubahan
dari
sisi
kelembagaan
dalam
penyelengaraan Pemilu. Hal tersebut terkaid dengan pilihan penelitian untuk melihat seberapa jauhkan aspek kelembagaan ini mempengaruhi partisipasi pemilih. Dokumentasi dapat diperoleh dari arsip PPK, realis KPUD Pasaman Barat dan datadata sekunder lainnya yang didapat langsung dari KPUD Pasaman Barat.
45
D. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Pasaman Barat. Agar penelitian
dapat
dilakukan
secara
mendalam,
Penelitian
dilakukan di 5 (Lima) Kecamatan dari 11 (Sebelas) Kecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman diantaranya: Kecamatan Sungai Beremas, Lembah Melintang, Pasaman, Gunung Tuleh, Luhak Nan Duo yang telah dipilih berdasarkan keuni kan data partispasi Pileg dengan Pilpres tahun 2014 yang dimiliki. E. Waktu Penelitian 1. Pengumpulan data 15- 20 Juni 2015, 2. Redusi Data 20-22 Juni 2015 3. Penyajian Data 23-30 Juni 2015 4. Penyimpulan Data 1 Juli sampai 8 Agustus 2015 F. Validasi Penelitian Validasi dalam dalam penelitian ini dilakukan sepanjang penelitian tersebut dilakukan. Pengumpulan data dengan menggunakan wawancara dan observasi sekaligus merupakan tahap validasi. Apa-apa yang dapat dari observasi dapat ditrianggulasikan ketika melakukan wawancara. Begitu hasil wawancara
dapat
ditrianggulasikan
ketika
melakukan
wawancara dengan informan lainnya serta melihat langsung dalam observasi lapangan. Untuk menjaga keoriginalan data
46
baik melalui wawancara maupun observasi dilakukan proses pencatatan dan pendokumentasian. Pemilihan informan yang memiliki kompetensi dengan tujuan penelitian dan usaha untuk
melakukan
member
checking
juga
akan
menjadi
pertimbangan untuk mendapat tingkat keakuratan data. G. Analisis Data Hasil
wawancara
dan
observasi
akan
dilakukan
pengkodingan secara matrik. Dalam pelaksanaanya materi wawancara
berkembang
seiring
dengan
masukan
yang
diberikan oleh responden dan dipandang dapat mempertajam dan memperkaya informasi. Bentuk pengkodingan dilakukan dalam bentuk open koding, axial coding maupun selected coding.
Pengkodingan
dimaksudkan
untuk
mempermudah
interprestasi dari hasil temuan lapangan. Untuk lebih rincinya dapat digambarkan pada tabel 8 di bawah ini : Tabel 8 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1.
Faktor yang menyebabkan Orang hadir dalam Pemilu
a. PPK, PPS dan KPPS b. Akademisi. c. Masyarakat
Teknik Pengumpulan Data Wawancara, observasi dan studi dokumentasi.
2.
Faktor yang menyebabkan Orang tidak hadir dalam Pemilu
a. PPK, PPS dan KPPS b. Akademisi. c. Masyarakat
Wawancara, observasi dan studi dokumentasi.
No.
Jenis Data
Sumber Data
Teknik Pengumpulan Data Pedoman wawancara dan lembaran pencatat. Pedoman wawancara.
47
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN Setelah
berakhirnya
kekuasaan
Orde
Baru,
terjadi
perubahan mendasar dalam tatanan kehidupan politik Indonesia. Esensi perubahan bidang politik itu bertumpu pada perubahan paradigma kebijakan politik dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Konsekuensinya terjadi pada pemberian wewenang dari pusat ke daerah untuk mengatur daerahnya sendiri yang lebih dikenal dengan otonomi daerah. Di bawah sistem baru ini peran serta masyarakat di bidang politik semakin terbuka. Sejalan dengan peraturan UU tersebut, terjadi perubahan dalam sistem pemilihan di Indonesia, yaitu dari sistem perwakilan ke sistem pemilihan langsung oleh rakyat. Sejak Pemilu pertama pasca Orde Baru pada tahun 1999 yang sering disebut sebagai pemilu transisi untuk masuk format politik yang lebih demokratis salah satunya indikatornya adalah partisipasi
politik
warga
dalam
menggunakan
hak
pilih.
Selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011, KPU merupakan penanggungjawab dari pelaksananaan Pemilu 2014. Dalam
hal
ini
menyelengarakan
KPU Pemilu
tidak tapi
hanya
berkewajiban
dalam
juga
berkewajiban
dalam
meningkatkan kualitas dari penyelengaraan Pemilu. Menghadapi
47
48
Pemilu 2014, merujuk pada RPJMN, KPU menetapkan angka partisipasi 75%. Moon dalam Efriza (2012: 535) menguraikan bahwa secara umum terdapat dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih (turn-out) atau ketidakhadiran pemilih (non-voting) dalam suatu pemilu. Pendekatan tersebut
menekankan pada psikologi
pemilih dan Faktor Sosial Ekonomi dengan acuan pendekatan diatas pada bab ini akan dibahas dengan rinci dua poin penting yang mempengaruhi kehadiran dan ketidakhadiran masyarakat dalam pemilih tersebut A. Faktor Psikologis Pemilih Penjelasan
kehadiran
pemilih
(turn-out)
atau
ketidakhadiran pemilih (non-voting) dari faktor psikologis pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua kategori. Penjelasan Pertama melihat bahwa perilaku golput disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab
secara
pribadi.
Hal
itu
dikarenakan
apa
yang
diperjuangkan kandidat atau parpol tidak selalu sejalan dengan kepentingan perorangan secara langsung. penjelasan kepribadian.
Kedua
lebih
menitikberatkan
Sementara itu, faktor
orientasi
49
Data yang didapat dilapangan masyarakat menggagap Pemilu tidak dapat merubah nasib masyarakat di Pasaman Barat. Bahkan masyarakat menganggap masa kampanye dalam Pileg hanya lipstick para calon pejabat, lalu setelah terpilih menjadi anggota legislatif mereka tidak akan kenal lagi dengan masyarakat. Sikap acuh tak acuh masyrakat tersebut tercermin dari pebandingan hasil pemilu 2009 dan 2014. Hasil pemilu 2014 baik Legislatif ataupun presiden mengalami penurunan yang cukup signifikan. Datanya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel Perbandingan Partisipasi Pemilih dan Golput Pada Pemilu Legislatif dan Presiden dapat dilihat di bawah ini. Tabel 9 Perbantingan Partisipasi Pemilih dan Golput Pada Pemilu 2009 dan 2014 Pemilihan Umum
Tingkat Partisipasi (%)
Tingkat Golput (%)
Pileg 2009
82,33
17,67
Pilpres 2009
71,59
28,41
Pileg 2014
77,34
22,66
Pilpres 2014 65,49 34,51 Sumber : Diolah dari data KPUD Kabupaten Pasaman Barat Sherman
dalam
Efriza
(2012:
538)
melihat
bahwa
perilaku golput disebabkan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomali,
dan
alienasi.
Secara
teoritis,
perasaan
apatis
50
sebenarnya merupakan penjelmaan atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau rangsangan (anggapan) perasaan
(stimulus) bahwa
kepuasan
politik,
aktivitas atau
atau
politik
hasil
adanya tidak
secara
perasaan
menyebabkan
langsung.
Anomi
menunjukkan pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka peristiwa
merasa dan
tidak
mungkin
kebijaksanaan
mampu
politik.
Bagi
mempengaruhi para
pemilih
semacam ini, memilih atau tidak memilih, tidak mempunyai pengaruh
apa-apa,
karena
keputusan-keputusan
politik
seringkali berada di luar kontrol para pemilih. Melihat dari perbandingan hasil pemilihan umum di Sumatera Barat data menunjukkan bahwa pada pemilihan anggota legislatif, lebih banyak masyarakat menggunakan hak pilihnya dari pada pemilihan presiden dan wakil presiden. dapat dilihat dari tabel 10 di bawah ini.
51
Tabel 10 Hak Pilih Perbandingan Jumlah Pengguna Perbandingan JumlahPileg Pengguna Hak Pilih Pemilu 2014 2014 dan Pilpres 2014 Tingkat Provinsi Sumatera Barat Tingkat Provinsi Sumatera Barat NO
PENGGUNA HAK PILIH LK PR JML LK PR JML LK PR JML LK PR JML LK PR JML
1. Pengguna hak pilih dalam DPT
2. Pengguna hak pilih dalam (DPTb)/Pemilih dari TPS lain
3. Pengguna hak pilih dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) 4. Pengguna hak pilih dalam Daftar Pemilih Khusus Tambahan (DPKTb)/pengguna KTP atau identitas lain atau paspor 5. Jumlah seluruh pengguna Hak Pilih (1+2+3+4)
PILEG 2014 JUMLAH % 1,140,803 61.32% 1,309,072 69.38% 2,449,875 65.38% 6,628 0.36% 5,806 0.31% 12,434 0.33% 7,830 0.42% 6,686 0.35% 14,516 0.39% 42,345 2.28% 44,943 2.38% 87,288 2.33% 1,197,606 46.71% 1,366,507 53.29% 2,564,113 68.43%
PILPRES 2014 JUMLAH % 1,036,159 56.63% 1,238,675 66.45% 2,274,834 61.58% 5,056 0.28% 5,002 0.27% 10,058 0.27% 945 0.05% 883 0.05% 1,828 0.05% 33,065 1.81% 34,542 1.85% 67,607 1.83% 1,075,225 45.67% 1,279,102 54.33% 2,354,327 63.74%
Sumber : Data KPU Provinsi Sumatera Barat Keadaan serupa juga terjadi di Kabupaten Pasaman Barat kehadiran pemilih pada pemilu legislatif 2014 setara dengan 77,33% dari jumlah pemilih terdaftar, sementara pada pemilhan presiden lebih rendah lagi yaitu 63, 49%. Keadaan ini terjadi disebabkan karena faktor psikologi masyarakat. Dari hasil wawancara dengan beberapa orang anggota PPK dan Tokoh masyarakat di Pasaman Barat menyatakan masyarakat menganggap
pemilu
presiden
tidak
akan
mendatangkan
pengaruh yang signifikan terhadap nasib mereka hal ini dipengaruhi oleh rendahnya tingkat melek politik masyarakat. Melek politik didefenisikan sebagai suatu kondisi dimana seseorang sadar akan adanya pengaruh politik terhadap dirinya dan
menyadari
bahwa
ia
bisa
punya
potensi
untuk
52
mempengaruhi
kondisi
politik.
Jadi
meskipun
terlihat
masyarakat ikut berpartispasi dalam pemilu tetapi belum mampu
memaknai
pentingnya
pengaruh
politik
secara
menyeluruh terhadap dirinya artinya masyarakat sama sekali tidak faham kehidupan berdemokrasi. Keadaan
ini
disebabkan
rendahnya
stimulus
yaitu
pendidikan politik dan demokrasi. Hal ini terkonfirmasi dalam hasil wawancara dengan penyelenggara pemilu pada tingkat PPK, PPS, diakui bahwa sosialisasi pemilu di tengah-tengah masyarakat baru pada tahapan teknis pelaksanaan pemilu dalam artian sosialisasi hanya tahapan tanggal, tempat dan cara memberikan suara, tidak substansi nilai baik pemilu tersebut. Rendahnya tingkat melek politik membuat masyarakat menganggap pemilihan legislatif terutama pada tingkat DPRD Kabupaten
lebih
penting.
Pileg
juga
dimaknai
sebagai
solidaritas atau dorongan atas kepentingan kelompok. dalam istilah
yang
lebih
popular
ditengah
masyarakat
“Tagak
kampuang bela kampuang, tagak nagari bela nagari” pada dasarnya masyarakat mengganggap anggota DPRD akan dapat memperjuangkan nasib mereka secara langsung. Pemilu dinilai oleh
masyarakat
sebagai
salah
satu
jalan
untuk
memperjuangkan pembangunan di daerah mereka. Masyarakat
53
menilai bahwa besar kecilnya perhatian pemerintah kepada daerah mereka dipengaruhi oleh hasil dari Pemilu. Pemilu legislatif merupakan mekanisme yang tepat bagi masyarakat untuk membuat kontrak politik. Jika pilihan mereka tepat dan dapat memenangkan Pemilu maka ada harapan untuk mendapatkan perhatian atau perioritas dalam pembangunan. Harapan tersebut biasanya berkaitan dengan pembangunan yang sifatnya fisik. Harapan tersebutlah yang kemudian menjadi argumentasi masyarakat secara kolektif mengambil peran dalam setiap perhelatan Pemilu. Antusias masyarakat dalam Pemilu tidak hanya terlihat dalam kegiatan voting tapi juga dapat dilihat saat dilakukan pada masa kampanye. Tahapan kampanye, dijadikan sebagai waktu yang paling tepat untuk melekukan “transaksi politik”. Transaksi politik antara masyarakat sebagai pemilih dengan anggoat legislatif yang akan saling berebut untuk mendapatkan kursi di legislatif. Transaksi politik tersebut dapat berupa janji, dan atau bentuk bantuan langsung yang diberikan.
Berupa
janji,
biasanya
berhubungan
dengan
komitmen untuk membantu daerah jika terpilih menduduki jabatan politik. Sedangkan bantuan langsung, dilakukan saat masa kampanye ketika calon-calon mengunjungi daerah.
54
Selain itu, ketidakhadiran pemilih pada saat pemilihan umum juga disebabkan faktor kepercayaan politik. Pada literatur ilmu politik, konsep kepercayaan oleh para ahli banyak
digunakan
untuk
menjelaskan
ketidakaktifan
(inactivity) seseorang dalam dunia politik. Menurut Khoirudin dalam Efriza (2012: 540), fenomena meningkatnya golput harus dipandang
dalam
dua
perspektif.
Pertama,
munculnya
ketidakpercayaan terhadap saluran politik dalam bentuk partai. Ketidakhadiran
masyarakat
dalam
pemilu
juga
besar
disebabkan oleh harapan masyarakat yang sudah tertumpu kepada anggota DPRD kabupaten dengan transaksi politik yang mereka lakukan ternyata tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Sebaliknya, kehadiran masyarakat dalam pemilu juga disebabkan oleh faktor kepercayaan politik. Terlihat dalam temuan dilapangan, seperti halnya yang terjadi di Kecamatan Sungai Bremas, meskipun angka ketidakhadiran paling tinggi dikecamatan ini namun masyarakat mampu mengantarkan mantan kepala Jorong Selawai Timur yang bernama
Jufri
Darwis
menjadi
anggota
legislatif
dengan
langkah mengoptimalkan suara jorong selawai timur kepada satu
kandidat.
kepercayaan
Keadaan masyarakat
ini
terjadi terhadap
tidak
terlepas
dirinya
dari
karena
55
keberhasilannya memimpin jorong dalam bahasa masyarakat disebut “lakek tangannya alah jaleh”. B. Faktor Sosial Ekononi Pada bahagian pertama telah dipaparkan mengenai faktor psikologi yang mempengaruhi kehadiran pemilih (turnout) atau ketidakhadiran pemilih (non-voting) dalam suatu pemilu pada bahagian kedua ini akan dipaparkan faktor Sosial Ekonomi
Setidaknya
ada
beberapa
indikator
yang
bisa
digunakan mengukur variabel status sosial-ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, dan pekerjaan. Hasil temuan Verba dalam Efriza (2012: 543) memaparkan bahwa tingkat kehadiran pemilih lebih tinggi pada masyarakat yang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi. Keadaan yang sama juga ditemukan pada penelitian di Pasaman Barat. a. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut,
disamping
memungkinkan
seseorang
menguasai
aspek-aspek birokrasi. .“in high school and college, we learn the political system and about how the issue affect our lives, are exposed to peer pressure to participate in the political process, and an acquire a sense of efficacy, of control over our
56
fate. All these influences predispose us to vote. The poorly educated, by contrast, are predisposed to avoid politics because of their lack of interest in the political process, their unawareness of its relevance to their lives,and their lack of the skills necessary to deal with the bureaucratic aspects of voting and registration.” (di sekolah dan perkuliahan, kita belajar mengenai
sistem
politik
dan
bagaimana
suatu
isu
mempengaruhi hidup kita, dan diterangkan untuk menekan teman sebayanya untuk berpartisipasi dalam proses politik, dan suatu perolehan dari rasa keberhasilan, dari mengambil alih takdir kita. Segala pengaruh ini mempengaruhi kita untuk
memberikan
suara.
Yang
kurang
berpendidikan
dengan perbedaan terpengaruh untuk menghindari politik karena kekurangan mereka terhadap kepentingan dalam suatu proses politik, ketidakpedulian atas hubungannya terhadap kehidupan mereka, dan kekurangan kemampuan mereka perlu dihadapkan pada aspek-aspek birokratik dari memilih dan mendaftar). Salah satu daerah yang memiliki tingkat partisipasi yang paling tinggi di Pasaman Barat adalah Gunung Tuleh. Adapun tingkat partisipasi di Kecamatan ini pada Pemilu legislatif 2014 adalah 83,97% Sedangkan angka untuk Pilpres 2014 tingkat partisipasi masyarakat merosot, yakni
57
70,26% tetapi meskipun partisipasi Pilpres merosot sebanyak 13,72%, angka 70,26% merupakan partispasi yang cukup tinggi dibanding kecamatan lain di Pasaman Barat. Dari temuan
dilapangan
tingginya
Partisipasi
pemilih
di
Kecamatan Gunung Tuleh pada saat Pileg dan Pilpres disebabkan tingginya antusias masyarakat Gunung Tuleh mengikuti pemilu. Antusias masyarakat masyarakat dalam memilih dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat Gunung Tuleh yang relatif tinggi. Menandai tingginya tingkat pendidikan di Gunung Tuleh masyarakat Pasaman Barat sering mengistilahkan “Kalau nak cadiak pai lah ka Paroman (Gunung Tuleh), kalau nak kayo pailah Ujuang Gadiang (Kalau mau Pintar pergi belajar ke Gunung Tuleh, Kalau ingin kaya/pandai berdagang pergi ke Ujung Gading). Adagium tersebut muncul karena sangat banyak masyarakat Gunung Tuleh
yang
menempuh
pendidikan
diperguruan
tinggi.
Tingginya keinginan masyarakat gunung tuleh mencapai pendidikan sering digambarkan melalui istilah “bialah atok rumah tajua asa anak sikola” (Asalkan anak dapat sekolah biar menjual atap rumah). Tingginya minat mengenyam pendidikan di Gunung Tuleh membawa konsekuensi masyarakat setamat SMA banyak keluar daerah untuk berkuliah. Data wawancara
58
menyebutkan lebih dari 50% tamatan SMA pergi kuliah keluar daerah. Menariknya pada saat Pileg 2014, bagi mahasiswa yang sanak Familinya yang maju menjadi Caleg DPRD Kabupaten, akan pasti pulang kampung agar dapat ikut serta memilih caleg yang di dukungnya. Ada juga sebagian dari mahasiswa yang di suruh pulang oleh Caleg, dengan membiayai ongkos bagi mahasiswa tersebut. Disisi
lain
mahasiswa
mampu
menjadi
tampaik
batanyo (reference group). Mahasiswa dalam pemilu mengajak masyarakat akan pentingnya ikut serta dalam pemilu. Sehingga bagi masyarakat Gunung Tuleh Pileg dinilai oleh masyarakat
sebagai
salah
satu
langkah
untuk
memperjuangkan pembangunan di daerah mereka. Melalui anggota dewan terpilih ada harapan dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat Gunung Tuleh artinya Jika pilihan mereka tepat dan dapat memenangkan Pemilu maka ada harapan untuk mendapatkan perhatian atau perioritas dalam pembangunan. Tingginya tingkat pendidikan dalam suatu masyrakat juga membawa konsekuensi hadirnya tokoh-tokoh sentral didaerah tersebut. Karena, partisipasi masyarakat juga dipengaruhi kehadiran tokoh-tokoh sentral dalam lingkungan masyarakat. Tokoh-tokoh ini biasanya berasal dari kalangan
59
birokrasi pemerintahan, guru, tokoh agama, adat dan pemilik modal (ekonomi) dan mahasiswa. Peran serta tokoh-tokoh sentral
dalm
Pemilu
itu
beragam,
ada
yang
menjadi
penyelenggara Pemilu, menjadi team sukses dan beberapa diantaranya maju sebagai salah satu caleg dalam pesta demokrasi tersebut. Bagi tokoh masyarakat yang berasal dari kalangan
pemerintahan
partisipasi
mereka
biasanya
diwujudkan menjadi penyelenggara dalam Pemilu. Penetapan hari libur nasional saat pemilihan memberi ruang bagi mereka
untuk
Keterlibatan
terlibat
yang
paling
dalam banyak
kepanitiaan ditemui
di
Pemilu. tingkat
Keleompok Penyelenggara Pemungutan Suata (KPPS). Bagi PNS, yang paling banyak terlibat dalam KPPS mereka bekerja sebagai guru. Kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari sebaran guru yang sampai ke pelosok daerah. Keterlibatan PNS dalam panitian Pemilu kemudian mendapat
dukungan
dari
Kementerian
Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN-RB) yang tidak melarang PNS di kepanitian Pemilu selagi tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai PNS. Keterlibatan PNS
dalam
proses
penyelengaraan
terkait
dengan
kemampuan standar administrasi yang dimiliki oleh setiap PNS.
Kemampuan
tersebut
dibutuhkan
dalam
setiap
60
rangkaian Pemilu seperti pengelolaan TPS dan penghitung dan
pelaporan
suara.
Selain
itu,
ada
kecederungan
independensi tenaga dengan latar belakang PNS lebih dapat terkontrol dibandingkan dengan yang lainnya. Selain keterlibatan
persoalan PNS
teknis
sebagai
penyelengaraan
panitia
Pemilu
Pemilu,
juga
relatif
mempengaruhi kehadiran pemilih untuk datang ke TPS. Karena selain memiliki kemampuan adminitratif dan teknis, bekerja
disektor
formal
mempengaruhi
status
sosial
seseorang. Hal terakir inilah (status sosial) yang kemudian menjadi pendorong orang datang ke TPS. b. Pekerjaan Pekerjaan
berpengaruh
besar
terhadap
kehadiran
pemilih (turn-out) atau ketidakhadiran pemilih (non-voting) dalam suatu pemilu. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada
lembaga-lembaga
atau
sektor-sektor
yang
tidak
mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
61
Faktor pekerjaan adalah pekerjaan sehari-hari pemilih. Faktor pekerjaan pemilih ini dalam memiliki kontribusi terhadap jumlah orang yang tidak memilih. Berdasarkan data Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 dari 107,41 juta orang
yang
bekerja,
paling
banyak
bekerja
di
sektor
pertanian yaitu 42,83 juta orang (39,88%), disusul sektor perdagangan sebesar 22,21 juta orang (20,68%), dan sektor jasa kemasyarakatan sebesar 15,62 juta orang (14,54%). Data di atas menunjukkan sebagian besar penduduk Indonesia bekerja di sektor informal, dimana penghasilanya sangat terkait dengan intensitasnya bekerja. Banyak dari sektor informal yang baru mendapatkan penghasilan ketika mereka bekerja, tidak bekerja berarti tidak ada penghasilan. Seperti tukang ojek, buruh harian, nelayan, petani harian. Kemudian ada pekerjaan masyarakat yang mengharuskan mereka untuk meninggal tempat tinggalnya seperti para pelaut, penggali tambang. Kondisi seperti membuat mereka harus tidak memilih, karena faktor lokasi mereka bekerja yang jauh dari TPS. Maka dalam faktor pekerjaan cukup singifikan pada pada faktor internal membuat pemilih untuk tidak memilih. Pemilih dalam kondisi seperti ini dihadapkan pada dua pilihan menggunakan hak pilih yang akan
62
mengancam berkurang yang penghasilannya atau pergi bekerja dan tidak memilih. Dari temuan dilapangan di Pasaman Barat adalah daerah yang memiliki partisipasi pemilih paling rendah yaitu kecamatan
Sungai
Bremas,
Partisipasi
pemilihan legislatif 2014 hanya
pemilih
pada
63,26% sementara pada
pilpres 2014 partisipasi sebanyak 54,39%. Hasil wawancara didapatkan
faktor
yang
menyebkan
ketidakhadiran
masyarakat didalam pemilu adalah lebih dari 90% pekerjaan masyarakat Sungai Bremas disektor Informal yaitu sebagai Petani, Pedagang dan Nelayan. Dari 90% yang bekerja disektor Informal 60% nya berprofesi sebagai Nelayan. Menjadi
Nelayan
di
Sungai
Bremas
mengharuskan
meninggalkan tempat tinggalnya selama 5 – 7 hari dilaut. Meskipun
keinginan
masyarakat
cukup
tinggi
untuk
berpartisipasi dalam setiap pelaksaan pemilu ketergantungan perekonomian masyarakat terhadap alam memaksa mereka untuk tidak hadir dan memlih di TPS pada saat pemilihan umum. Wawancara dilapangan menyatakan apabila bulan sedang gelap dipastikan kuantitas masyarakat yang pergi melaut juga akan lebih banyak. Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.26 Tahun 2013 Tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS Dalam
63
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 3 menyatakan bahwa (1) Hari dan tanggal pemungutan suara Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di TPS ditetapkan sebagai hari libur atau hari
yang
diliburkan.(2)
Pemungutan
suara
di
TPS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai pukul 07.00 sampai dengan pukul 13.00 waktu setempat. Batasan pemungutan suara seperti yang ditetapkan PKPU diatas menjadi sumber ketidakhadiran masyarakat Sungai Bremas diPasaman Barat. Selain melaut, nelayan di Sungai Bremas menghabis waktu selama kurang lebih satu minggu, biasanya kalaupun sudah kedaratan pada pagi hari . Nelayan juga tidak akan bisa langsung dating ke TPS untuk menggunakan
hak
suaranya.
Sesampai
didarat
ada
pekerjaan lain yang tidak bisa mereka tinggalkan yaitu membongkar
ikan
sampai
kepada
pembagian
hasil
tangkapan ikannya. Aktivitas itu mereka lakukan sampai pada siang hari, sementara proses pemilihan sudah tutup pada siang hari tersebut. Jadi, secara keseluruhan berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa dua faktor yang dapat menjelakan
64
kehadiran pemilih (turn-out) atau ketidakhadiran pemilih (non-voting). Pertama, Faktor Psikologi Pemilih. Psikologi juga dipengaruhi sementara
oleh Melek
tingkatan Politik
melek
politik
masyarakat
masyarakat,
dipengaruhi
oleh
sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Kedua Faktor sosial-ekonomi, dalam menjelaskan faktor socialekonomi dapat dijelaskan oleh tingkat pendidikan dan pekerjaan masyarakat.
65
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian menunjukan bahwa ada dua faktor yang dapat menjelakan kehadiran pemilih (turn-out) atau ketidakhadiran pemilih Psikologi
(non-voting). juga
Pertama,
dipengaruhi
Faktor
oleh
Psikologi
tingkatan
melek
Pemilih. politik
masyarakat, sementara Melek Politik masyarakat dipengaruhi oleh sosialisasi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Kedua Faktor sosial-ekonomi, ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih diantaranya: 1. Tingkat pendidikan tinggi menciptakan kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut,
disamping
memungkinkan
seseorang
menguasai
aspek-aspek birokrasi. Sehingga pendidikan tidak jarang melahirkan tokoh-tokoh sentral dalam masyarakat ayang akan menjadi reference 2. “Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih menghargai partisipasi warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan pemerintah
(Formal)
cenderung
lebih
tinggi
tingkat
kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang
65
66
bekerja pada sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah (Informal). 3. Pendapatan tinggi memudahkan orang menanggung beban finansial akibat keterlibatannya dalam proses pemilu “para pemilih yang tingkat. B. Saran Adapun Saran yang diberikan dari penelitian ini adalah; 1. Pemilu serentak; rekomendasi ini didasari pada tiga hal, pertama alasan pemilih ikut berpartisipasi adalah kedekatan pemilih umum
dengan adalah
objek
yang
partispasi
dipilihnya.
pemilih
Kecenderungan
lebih
didasari
pada
kepentingan kelompok dari pada personal. Kepentingan kelompok lebih terwakili dalam Pemilu legislatif, khususnya saat menentukan pilihan ditingkat DPRD. Maka dengan dilakukan
Pemilu
serentak,
efek
tersebut
akan
ikut
mempengaruhi tingkat partisipasi di Pemilu lainnya. 2. Sosialisasi dan Pendidikan Politik; pengetahuan tentang kepemiluan
memiliki
korelasi
dengan
partisipasi
pada
Pemilu. Fakta dilapangan menunjukan pengetahuan pemilih terhadap Pemilu sangat terbatas. Munculnya apatisme terhadap Pemilu lebih disebabkan karena harapan tidak teralisasi dalam kenyataan. Pilihan untuk apatis, karena
67
kecewa
dengan
pendidikan
politik
pilihan
merupakan
masih
kurang.
bentuk
Penelitian
bahwa ini
juga
menunjukan bahwa pengetahuan kita tentang efek struktur kelembagaan pada pemilih ikut memperluas partisipasi pemilih. 3. Perlakuan Khusus untuk daerah Sosial, Ekonomi, Budaya yang
Unik.
Ekonomi,
Khususnya
Budaya.
berhubungan
Salah
satu
alasan
dengan
Sosial,
yang
banyak
disebutkan kenapa tidak ikut memilih adalah karena harus bekerja. Jika masyarakat yang bekerja pada sector Formal menikmati pemilu sebagai hari libur nasioanal, tetapi tidak bagi
yang
bekerja
di
sektor
Informal.
Maka
mempertimbangkan penambahan waktu pemungutan suara.
68
DAFTAR PUSTAKA Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Budiardjo, Miriam. 1982. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga University Press BPS Kabupaten Pasaman Barat, 2013. Kabupaten Pasaman Barat Dalam Angka. Pasaman Barat: Badan Pusat Statistik Creswell, John. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif Kuantitaif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faulks, Keith. 2010. Sosiologi Politik. Bandung: Nusa Media. Haboddin, Muhtar dan Gregorius Sahdan (ed). 2009. Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada Di Indonesia. Yogyakarta: IPD Horizon, Lisa. 2007. Metodologi Penelitian Kencana Prenada Media Group
Politik.
Jakarta:
Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia Lijphart, Arend. 1994. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Mujani, Saiful, dkk . 2012. Kuasa Rakyat. Jakarta: Mizan Publika Marsh, David & Gerry Stoker. 2010. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Bandung: Nusa Media Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL UGM Prihatmoko, Joko. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ritzer, George-Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana Salim, Agus. 2006. Teori & Yogyakarta: Tiara Wacana
Paradigma
Penelitian
Sosial.
69
Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press Surbakti, Ramlan. 2007. Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia Surbakti, Ramlan. 1997. Partai Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pemilu
dan
Demokrasi.
Suseno, Franz Magnis. 1990. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama, hal. 290-293. Jakarta Syafiie, Inu Kencana. 2003. Teori dan Analisis Politik Pemerintahan (Dari Orde Lama, Orde Baru sampai Reformasi), PT. Perca, hlm 27. Jakarta. Tuori, Kaarlo. 2002. Legislation Between Politics and Law, dalam Luc Witngens (Ed.) Legisprudence New Theoretical Approach to Legislation. Hart Publishing. V.
Verney, Douglas. 1995. “Pemerintahan Parlementer dan Presidentil” dalam Sistem Pemerintahan Parlementerdan Presidentil [Parliamentary versus Presidential Government]., disadur oleh Ibrahim R. dkk, Arend Lijphart, ed., cet.1, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Zakaria, Fareed . 2003. The Future of Freedom. Diterjemahkan oleh Ahmad Lukman (2004) Masa Depan Kebebasan: Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Lain. Ina Publikatama, hal. 121-122. Jakarta.