DESENTRALISASI FISKAL DAN EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH SEKTOR PUBLIK (Studi Kasus: 38 Kabupaten/Kota di JawaTimur 20062010)
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Puguh Hermawan 105020115111010
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Derajat Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL
Artikel Jurnal dengan judul : DESENTRALISASI FISKAL DAN EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH SEKTOR PUBLIK (Studi Kasus: 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2006-2011)
Yang disusun oleh : Nama
:
Puguh Hermawan
NIM
:
105020115111010
Fakultas
:
Ekonomi dan Bisnis
Jurusan
:
S1 Ilmu Ekonomi
Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 31 Juli 2013
Malang, 31 Juli 2013 Dosen Pembimbing,
Prof. Candra Fajri Ananda,SE.,M.Sc.,Ph.D. NIP. 19641029 198903 1 001
DESENTRALISASI FISKAL DAN EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH SEKTOR PUBLIK (Studi Kasus: 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2006-2010) Puguh Hermawan Candra Fajri Ananda Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email:
[email protected]
ABSTRAK Kajian ini meneliti tentang desentralisasi fiskal dan pengaruhnya terhadap efisiensi belanja pemerintah sektor publik dengan studi kasus pada 38 kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2006-2010. Dengan menggunakan rasio total belanja pemerintah sektor pendidikan dan kesehatan terhadap total APBD sebagai variabel input dan indikator sosial ekonomi serta indikator standar Musgravian sebagai indikator kinerja, penelitian ini menganalisis efisiensi alokasi belanja pemerintah daerah dengan pencapaian sasaran-sasaran pembangunan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Penelitian ini menghasilkan analisis kinerja yang bervariasi pada masing-masing daerah dan indikator kinerjanya. Dari hasil skor efisiensi yang diperoleh dengan menggunakan analisis DEA dapat ditarik kesimpulan bahwa secara keseluruhan, efisiensi alokasi belanja Pemerintah sektor publik di Provinsi Jawa Timur selama tahun 2006-2010 cenderung mengalami peningkatan. Kata kunci: Desentralisasi Fiskal, Efisiensi, Belanja Pemerintah Sektor Publik , Data Envelopment Analyis (DEA),.
A. PENDAHULUAN Desentralisasi merupakan alat/instrumen untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efisien dan partisipatif (Tanzi, 2002). Jadi, desentralisasi bukan merupakan tujuan. Namun, harus dipahami bahwa desentralisasi adalah instrumen yang kompleks sedemikian sehingga nampaknya tidak bisa hanya dikaitkan dengan satu tujuan tertentu yang tunggal. Desentralisasi bisa memiliki banyak tujuan, sehingga terdapat resiko munculnya harapan yang berlebihan dari kebijakan ini (Bird, 1999). Akan tetapi, harapan akan membaiknya layanan publik dan berkurangnya kemiskinan, walaupun mungkin menambah dimensi dari desentralisasi, merupakan hal yang sangat wajar bahkan sahih. Dillinger (1994) dalam observasinya tentang pelaksanaan desentralisasi di berbagai belahan dunia menemukan bahwa pemicu dilakukannya kebijakan ini adalah keinginan atau upaya untuk memperoleh layanan publik yang lebih baik. Desentralisasi fiskal sendiri diharapkan memberikan dampak terhadap alokasi pengeluaran belanja pemerintah berupa meningkatnya efisiensi pengeluaran pemerintah dan juga tidak kalah pentingnya meningkatnya kinerja dan efisiensi sektor publik (Adam dkk, 2008). Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran, mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja pada semua kementerian negara/lembaga pemerintah harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran (output) dan/atau hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Paradigma baru dalam pembangunan menempatkan manusia sebagai titik sentral bukan lagi sebagai alat pembangunan tetapi merupakan tujuan dari pembangunan. Pembangunan manusia dapat terwujud dengan menekankan pada terpenuhinya kehidupan yang layak bagi manusia dan kebutuhan dasarnya yaitu pangan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. Sehubungan dengan pergeseran paradigma pembangunan, indikator keberhasilan pembangunan pun bertambah. Tidak hanya menyangkut tingkat pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) atau peningkatan daya beli dan tingkat pemerataan distribusi pendapatan, tetapi juga peningkatan angka partisipasi sekolah dan indeks kesehatan sesuai ukuran IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang diperkenalkan UNDP. Paradigma
baru ini mempunyai fokus utama pada pengembangan manusia (human growth), kemakmuran, keadilan, dan keberlanjutan (Alhumami, 2005). Pendidikan di semua tingkatan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penanaman sikap disiplin dan keterampilan khusus yang diperlukan untuk berbagai tempat kerja. Pendidikan juga memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kesehatan serta berkontribusi terhadap stabilitas politik. Pentingnya sistem pendidikan untuk setiap pasar tenaga kerja akan tergnatung kemampuannya untuk menghasilkan melek huruf, tenaga kerja yang siap pakai yang tercipta melalui pendidikan berkualitas tinggi. Akibatnya, dengan ekonomi pembangunan teknologi baru diterapkan untuk produksi, yang menghasilkan peningkatan produksi dalam perekonomian (Musibau Adetunji babatunde Long Run Relationship between Education and Economic Growth in Nigeria: Evidence from the Johansen’s Cointegration Approach). Sedangkan dari sektor kesehatan, Broto Wasisto, dkk (1986) dalam Hakimudin (2010), menyebutkan bahwa efisiensi dalam belanja kesehatan terjadi ketika dana yang tersedia secara cukup dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal sehingga mampu mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik. Bastian (2006) menyatakan kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Indikator digunakan sebagai proksi terhadap outcome kinerja. Indikator bermanfaat dalam menilai atau mengukur kinerja instansi. Bastian (2006) juga mendefinisikan indikator kinerja sebagai ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Tujuan yang paling mendasar adalah keinginanan atas akuntabilitas pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat atau masyarakat. Berbagai permasalahan yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah dampaknya seringkali tidak kondusif bagi perekonomian daerah serta kontraproduktif dengan tujuan utama dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sehingga yang justru terjadi adalah tidak efisiennya pengeluaran belanja Pemerintah daerah yang semakin menjauhkan pencapaian-pencapaian sasaran pembangunan yang seharusnya dapat dipercepat melalui proses desentralisasi fiskal. Dampak nyata desentralisasi bagi kehidupan masyarakat dapat dilihat dari tolak ukurnya. Untuk mengetahui apakah desentralisasi fiskal di Indonesia berdampak pada peningkatan kinerja dan efisiensi sektor publik maka perlu dilakukan pengukuran kinerja dan efisiensi sektor publik dengan mengembangkan serangkaian indikator yang obyektif serta relevan untuk mengukur prestasi daerah dalam mengelola keuangan daerahnya dikaitkan dengan pencapaian sasaran pembangunan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kemudian untuk mengetahui kabupaten/kota yang relatif efisien atau terletak pada Production Possibility Frontier (PPF) dan kabupaten/kota mana yang relatif tidak efisien maka dilakukan analisis efisiensi relatif antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur.
B. TINJAUAN PUSTAKA Otonomi Daerah Otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan otonomi dimaksudkan agar dapat mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat dan mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Dengan pemberian otonomi kepada daerah maka sistem yang dianut daerah adalah sistem desentralisasi. Dengan adanya sistem otonomi, daerah akan lebih mampu menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan preferensi masing-masing masyarakat. Keuntungan yang lain adalah bahwa pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri karena cakupan yang lebih sempit maka akan lebih cepat dan efisien daripada dalam cakupan yang luas. Kemudian keuntungan yang didapat dari sistem otonomi daerah akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang dapat dilakukan.
Pencapaian tujuan otonomi daerah tentunya tergantung dari kesiapan masing-masing daerah menyangkut ketersediaan sumber daya atau potensi daerah dan terutama sumber daya manusia yang tentunya akan berperan sebagai motor penggerak jalannya pemerintahan daerah. Pemerintah dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan, keanekaragaman daerah, aspek hubungan keuangan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan lainnya secara adil dan selaras. Peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi juga perlu diperhatikan. Desentralisasi Fiskal Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik (Prawirasetoto, 2002; Enikolopov dkk, 2006). Komponen utama desentralisasi adalah desentralisasi fiskal di mana pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsinya diberi kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran sektor publik. Hal ini perlu dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal terutama mencakup: 1) Staf financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah, 2) Cofinancing atau coproduction, di mana pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja, 3. Peningkatan PAD melalui penambahan kewenangan pengenaan pajak daerah terutama Pajak Properti (PBB), Pajak Penghasilan perseroan (PPh pribadi), cukai atas berbagai komoditas atau berbagai jenis retribusi daerah. 4. Transfer pemerintah pusat terutama yang berasal dari DAU, DAK, sumbangan darurat (Dana Darurat) dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. 5. Kebebasan daerah untuk melakukan pinjaman. Elemen lain yang juga penting dalam desain desentralisasi secara komprehensif dipandang dari perspektif pemerintah yaitu desentralisasi ekonomi yang dilaksanakan melalui kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Efisiensi dan Kinerja Sektor Publik Salah satu tujuan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat sehingga mampu memobilisasi dan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang ada dalam rangka penyediaan barang dan layanan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi serta kesediaan masyarakat untuk membayar atas pelayanan publik yang diterimanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adam dkk (2008); Musgrave (1989), bahwa dampak utama yang diharapkan dari kebijakan desentralisasi fiskal adalah tercapainya efisiensi alokasi sumber daya yang semakin tinggi. Menurut Prawirosetoto (2002), otonomi daerah dan desentralisasi fiskal harus berorientasi kepada efisiensi pelayanan serta produk-produk pemerintah daerah lainnya bagi kepentingan publik di wilayahnya. Orientasi yang demikian akan membuka peluang terjadinya kompetisi antar daerah yang selanjutnya akan memacu efisiensi. Pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum terutama karena: (1) pemerintah lokal lebih menghayati kebutuhan masyarakatnya; (2) keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi
dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. Pengeluaran Pemerintah dan Penyediaan Barang Publik Dalam Guritno (1993), Rostow dan Musgrave menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, menengah, dan tahap lanjut. Tahap awal ditandai persentase investasi pemerintah yang besar karena pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Dalam tahap menengah investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pada tahap ini peran swasta semakin besar akan tetapi cenderung menimbulkan kegagalan pasar. Pada tahap lanjut aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti kesejahteraan hari tua, program layanan kesehatan masyarakat. Teori yang lain diungkapkan oleh Wagner dalam Stiglitz (2000) mengenai pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP. Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya. Pandangan Wagner tersebut berdasarkan teori organis mengenai pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Peran dan campur tangan pemerintah dalam perekonomian meliputi 3 golongan besar yaitu peranan alokasi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. (1) Peranan alokasi yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumber-sumber ekonomi yang diusahakan agar pemanfaatannya dapat optimal dan mendukung efisiensi produksi. (2) Dalam peran pemerintah sebagai distributor yaitu mengusahakan terjadinya distribusi pendapatan yang tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran, sistem warisan, dan kemampuan memperoleh pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pemerintah dapat mengubah distribusi pendapatan dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi mereka yang berpendapatan lebih tinggi dan menerapkan tingkat pajak yang lebih ringan bagi yang berpendapatan rendah. Sedangkan secara tidak langsung, pemerintah mempengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah misalnya perumahan mewah untuk golongan pendapatan tertentu, subsidi pupuk, dan sebagainya. (3) Pemerintah berperan dalam stabilisasi perekonomian sebab jika pemerintah tidak ikut campur tangan atau dengan kata lain perekonomian sepenuhnya diserahkan kepada swasta, maka perekonomian akan sangat peka terhadap goncangan (Hyman, 2008). Efisiensi dan Penyediaan Barang Publik Masalah dalam ekonomi adalah keterbatasan sumber daya (scarcity). Dengan asumsi bahwa sumber daya terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang terbatas maka ilmu ekonomi mempelajari alokasi sumber daya agar efisien. Dalam ilmu ekonomi dipelajari bagaimana keputusan ekonomi diambil oleh para pelaku ekonomi yang memaksimalkan tujuan melalui kompetisi di pasar, sehingga sumber daya dialokasikan secara efisien (Varian, 2003). Konsep efisiensi dalam literatur ekonomi, biasanya mengacu pada sebuah konsep yang disebut dengan efisiensi pareto (pareto efficiency) atau pareto optimal (Stiglitz, 2000; Hyman, 2008). Pareto optimal didefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana sudah tidak mungkin lagi mengubah alokasi sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi (better off) tanpa mengorbankan pelaku ekonomi yang lain (worse off). Dengan kata lain, kondisi pareto terjadi ketika semua pelaku ekonomi dalam kondisi kesejahteraan yang optimum. Efisiensi dan Pemerataan Dalam banyak literatur, Mankiw menjelaskan mengenai trade-off antara efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity). Secara sederhana, efisiensi adalah kondisi di mana hasil-hasil perekonomian menjadi sebesar mungkin, sedangkan pemerataan adalah suatu kondisi di mana hasil-hasil perekonomian terdistribusi secara merata. Atau dengan kata lain efisiensi digambarkan sebagai ukuran kue ekonomi, sedangkan pemerataan adalah tentang pembagian kue ekonomi tersebut. Trade-off antara efisiensi dan pemerataan dijelaskan oleh Mankiw bahwa, salah satu usaha pemerintah untuk pemerataan adalah pengenaan pajak yang lebih besar bagi masyarakat yang memiliki
penghasilan lebih besar, untuk dibagikan kepada mereka yang kurang beruntung. Pada saat bersamaan, hal ini membebaskan pula biaya efisiensi. Insentif terhadap orang-orang yang bekerja menjadi turun, sehingga orang-orang menurunkan produktivitasnya. Akibatnya, hasil perekonomian secara keseluruhan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan, pada saat bersamaan akan mengecilkan ukuran kue ekonomi tersebut. Sehingga kedua hal tersebut tampaknya sulit untuk dicapai secara bersama. Konsep ekonomi kesejahteraan pada dasarnya berkaitan dengan upaya memaksimumkan kesejahteraan individu dan masyarakat melalui alokasi sumber daya secara optimal. Konsep ekonomi kesejahteraan terutama dicirikan oleh perhatian yang besar terhadap pemerataan (equality) antar individu dalam masyarakat.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengambil studi pada 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dengan menggunakan data runtut waktu (time series) dan data cross section. Data runtut waktu mencakup tahun 2006 sampai 2010 untuk indikator kinerja sektor publik. Dalam penelitian ini tahapan metode yang dilakukan adalah pertama mendefinisikan dan menghitung kinerja sektor publik (Public Sector Performance/PSP), selanjutnya mendefinisikan dan menghitung efisiensi sektor publik (Public Sector Efficiency/PSE). Setelah diketahui PSP dan PSE masing-masing unit pemerintah daerah, selanjutnya dilakukan penghitungan perbandingan kinerja antar unit Pemerintah daerah dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA). Public Sector Performance (PSP) dan Public Sector Efficiency (PSE) Dampak positif dari desentralisasi fiskal telah disebutkan sebelumnya salah satunya tercermin dari efisiensi pengeluaran publik. Dengan merujuk pada Afonso dkk (2005), penelitian ini akan menyusun indeks kinerja dan efisiensi sektor publik dengan metode PSP dan PSE. Secara teknis, angka PSP diperoleh dengan melakukan kompilasi terhadap sub-sub indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi. Nilai PSP tergantung pada indikator-indikator kinerja ekonomi tertentu, yang terdiri dari indikator sosial ekonomi dan indikator musgravian. PSP
PSP 1
di mana: i: unit pemerintah i atau dalam penelitian ini adalah Pemda i j: kinerja unit pemerintah pada sektor j atau dalam penelitian ini adalah kinerja pemerintah daerah sektor j Nilai PSP merupakan fungsi dari berbagai kinerja sosial ekonomi. PSPij = f(Ik)
(2)
di mana: i: indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi k: sub indikator dalam masing-masing indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi Oleh karena itu, perubahan pada PSP tergantung pada perubahan nilai-nilai indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi yang relevan. Atau dapat dinotasikan sebagai berikut:
∆PSPij
∂f 3 ∂Ik
Dengan demikian, semakin besar pengaruh positif dari belanja publik yang relevan pada setiap sub indikator kinerja sektor publik akan menghasilkan perbaikan maupun peningkatan pada indeks PSP. Berdasarkan hal tersebut maka perubahan-perubahan yang terjadi pada indikator-indikator sosial ekonomi dapat dilihat sebagai perubahan pada kinerja sektor publik. Untuk menaksir PSP, penelitian ini menggunakan 5 sub indikator kinerja publik yaitu kesehatan, pendidikan, distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi. Data Envelopment Analysis (DEA) Menurut Cooper, et.all (1999) teknik DEA dilihat sebagai “such as mathematical programming which can handle large numbers of variables and constrains....”. Dengan demikian metode DEA dapat mengatasi keterbatasan metode rasio dan regresi yang tidak dapat menggunakan banyak input dan output. DEA bekerja dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan dievaluasi, input serta output unit tersebut. Selanjutnya, dihitung nilai produktivitas dan mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien atau tidak menghasilkan output secara efektif. Produktivitas yang diukur bersifat komparatif atau relatif, karena hanya membandingkan antar unit pengukuran dari 1 set data yang sama. DEA adalah model analisis faktor produksi untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari set unit kegiatan ekonomi (UKE). Skor efisiensi dari banyak faktor input dan output dirumuskan sebagai berikut (Talluri, 2000);
(4)
D. HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator Sosial Ekonomi Angka Harapan Hidup (AHH) Berdasarkan hasil estimasi BPS, tren Angka Harapan Hidup (AHH) di Jawa Timur selama kurun waktu 2005-2010 menunjukkan arah yang positif. Hal ini tentunya memberikan indikasi bahwa kesehatan masyarakat Jawa Timur semakin baik. Pada dasarnya tinggi rendahnya AHH dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya kondisi lingkungan perumahan yang sehat dan pola konsumsi makanan yang berimbang. Pada tahun 2010 AHH penduduk Jawa Timur diperkirakan sebesar 69,57 tahun atau naik sekitar 1,67 poin selama 5 tahun. Secara demografis AHH untuk penduduk laki-laki cenderung lebih rendah dibandingkan perempuan. Pada gambar 4.1 nampak bahwa perbedaan AHH antara laki-laki dan perempuan di Jawa Timur mencapai 3 - 4 poin. Pada tahun 2010, AHH penduduk perempuan mencapai 71,61 tahun, sedangkan AHH penduduk laki-laki mencapai 67,63 tahun. Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tingkat kesehatan ataupun daya tahan tubuh penduduk laki-laki lebih rentan dibandingkan penduduk perempuan. Sebaran AHH menurut wilayah kabupaten/kota menunjukkan pola yang sama dari tahun ke tahun, yaitu sebanyak 19 kabupaten/kota di Jawa Timur mempunyai angka harapan di bawah angka yang dicapai Jawa Timur pada tahun 2010 yaitu 69,57. Sementara kabupaten/kota yang telah mencapai angka di atas rata-rata Jawa Timur dicapai oleh Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Gresik, Kota Blitar, Kota Mojokerto, Kota Madiun dan Kota Surabaya. Angka Kematian Bayi Sejalan dengan perbaikan kesehatan penduduk di Jawa Timur yang ditunjukkan dengan kenaikan angka harapan hidup, maka upaya penurunan angka kematian bayi juga menunjukkan kemajuan yang cukup baik dalam lima tahun periode 2005-2010. Pada tahun 2010, AKB di Jawa Timur sebesar 29,99 per 1000 kelahiran hidup, atau turun sebesar 6,66 poin dibandingkan tahun 2005. Untuk mencapai target yang diharapkan dalam MDG (Millenium Development Goals) ke-4, nampaknya upaya yang dilakukan Jawa Timur masih harus ditingkatkan. Adapun target AKB yang ditetapkan dalam MDG’S
pada tahun 2015 yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa program kesehatan yang terkait dengan AKB antara lain program pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan dasar, pembangunan sarana kesehatan dan lain-lain. Dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, rentang AKB berkisar antara 20,28 hingga 67,02. Masih terdapat 19 kabupaten/kota yang AKB-nya lebih rendah dibandingkan rata-rata estimasi AKB provinsi yaitu 29,99. Sementara beberapa daerah yang masih perlu mendapatkan perhatian lebih serius karena AKB-nya masih cukup tinggi, di antaranya adalah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan wilayah pulau Madura. Di daerah itu juga menunjukkan persentase penolong persalinan oleh tenaga medis masih cukup rendah. Posyandu dan Gizi Balita Secara umum Posyandu berada pada wilayah RT/RW/Dusun di setiap Desa/Kelurahan dengan tingkat aktifitas yang berbeda pula, tergantung keaktifan dari Kader penggerak Posyandu. Jumlah Posyandu d Jawa Timur tahun 2009 sebesar 43.310 dan menjadi 45.410 Posyandu pada tahun 2010, atau mengalami peningkatan sebesar 4,85 persen. Namun demikian, peningkatan jumlah Posyandu ini belum meningkatkan potensi layanan, karena berdasarkan rasio Posyandu per satuan balita selama 2009-2010, dari 17 Posyandu menjadi 15 Posyandu untuk setiap 1000 balita. Di sisi lain prevalensi gizi balita juga merupakan salah satu indikator kepedulian pemerintah daerah di bidang kesehatan terhadap generasi penerus bangsa. Kasus balita gizi buruk daritahun ke tahun selalu berfluktuasi. Dalam Indonesia Sehat 2010 target balita gizi buruk adalah sebesar 15 persen (Depkes, 2003). Balita gizi buruk di Jawa Timur terus mengalami penurunan persentase, dari 5,59 persen tahun 2005, tahun 2007 sebesar 4,80 persen. Sementara berdasarkan hasil survei oleh BPS gizi balita di Jawa Timur tahun 2008-2009, persentasenya sebesar 4,47 persen tahun 2008 dan 4,33 persen tahun 2009. Dan pada tahun 2010 persentasenya sebesar 2,50 persen. Dengan demikian maka target dalam Indikator Indonesia Sehat 2010, sudah tercapai jauh sebelum tahun 2010. Secara nasional pun target ini sudah terlampaui, karena tahun 2005 balita gizi buruk di Indonesia hanya sebesar 8,80 persen. Rasio Dokter, Rumah Sakit dan Tenaga Medis per Satuan Penduduk Jumlah penduduk Jawa Timur berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 adalah sebesar 37.476.757 orang, sementara jumlah dokter sebesar 7.300, dengan demikian rasio dokter per satuan penduduk tahun 2010 sebesar 0,195 per seribu penduduk selama tahun 2010. Yang berarti terdapat 1920 dokter setiap 100.000 penduduk. Jika dibandingkan dengan target dalam Indonesia Sehat 2010 yaitu sebesar 40 dokter per 100.000 penduduk maka rasio dokter per satuan penduduk di Jawa Timur tahun 2010 baru mencapai 50 persennya. Selama tahun 2009-2010 jumlah rumah sakit di Jawa Timur, mengalami pertambahan dari 226 menjadi 232 rumah sakit. Pertambahan tersebut terjadi pada rumah sakit milik swasta yang bertambah 6 rumah sakit, sedangkan jumlah rumh sakit pemerintah masih tetap, yaitu 48 rumah sakit (20092010). Jumlah rumah sakit swasta pada tahun 2009 sebanyak 178, kemudian bertambah menjadi 184 rumah sakit pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, maka rasio rumah sakit per satuan penduduk di Jawa Timur 2009-2010 relatif tetap yaitu 0,056 rumah sakit per 10.000.000 penduduk. Sedangkan jumlah tenaga medis di Jawa Timur tahun 2009-2010 mengalami pertambahan, dari 2.832 tenaga medis tahun 2009 bertambah enjadi 3.014 tenaga medis tahun 2010. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk, maka terjadi peningkatan rasio dari 0,108 menjadi 0,115 tenaga medis setiap 1.000 penduduk. Atau setiap 100.000 penduduk terdapat 11 orang tenaga medis selama 2009-2010. Angka Melek Huruf Usia 15 Tahun ke Atas Sasaran pencapaian indikator melek huruf usia 15 tahun ke atas menjadi sasaran global dan nasional. Adapun target global, tertuang dalam salah satu dari enam tujuan kerangka kerja Dakar (2000) dalam Education for All (Pendidikan Untuk Semua), yaitu tercapainya 50 persen peningkatan melek huruf dewasa pada tahun 2015 dari situasi 1990, lebih khusus lagi untuk penduduk perempuan. Adapun situasi melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia pada tahun 1990, penduduk laki-laki 86,70 persen, perempuan 72,50 persen, dan total 79,50 persen (UNESCO, 2002;208). Sementara target global Indonesia tahun 2015 untuk melek huruf usia 15 tahun ke atas, penduduk laki-laki 93,35
persen, perempuan 86,25 persen, dan total 89,75 persen. Target global untuk Indonesia ini lebih rendah dai sasaran nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Kemendiknas 2010-2014, yaitu pada tahun 2014 angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas tinggal 4,2 persen. Di Jawa Timur angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan dari 86,97 persen tahun 2009 menjadi 88,02 persen pada tahun 2010. Capaian angka melek huruf tahun 2010 ini masih di bawah target EFA Indonesia tahun 2015, yang terpaut sekitar 1,73 persen. Capaian tersebut juga masih di bawah target RPJMN 2010-2014 Kementerian Pendidikan Nasional 2010 dan terpaut sebesar 6,58 persen. Angka Partisipasi Kasar (APK) Sasaran Nasional APK tahun 2009 tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Sasran APK SD (termasuk SDLB, MI, dan Paket A) sebesar 115,75 persen, SLTP/MTs/Paket B sebesar 98,09 persen, dan SLTA/SMK/MA/Paket C sebesar 69,34 persen. APK SD di Jawa Timur tahun 2010 sebesar 113,53 persen, naik 0,23 persen poin dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar 113,30 persen. APK Sdtahun 2010 yang sebesar 113,53 persen ternyata belum mencapai sasaran APK SD dalam RPJMN yang sebesar 115,76 persen (terpaut 2,23 persen poin). Namun tidak demikian halnya dengan APK SLTP dan SLTA. APK SLTP Jawa Timur tahun 2010 sebesar 103,81 persen, meningkat sebesar 1,12 persen poin dibandingkan dengan APK SLTPJawa Timur tahun 2009 yang sebesar 102,69 persen. Capaian APK SLTP Jawa Timur tahun 2010 ini, lebih tinggi dari sasaran APK SLTP dalam RPJMN yaitu sebesar 98,09 persen. APK SLTA juga terjadi peningkatan sebesar3,54 persen poin, yaitu dari 71,43 persen di tahun 2009 menjadi 75,07 persen di tahun 2010. Capaian ini lebih tinggi 5,73 persen poin dari sasaran APK SLTA dalamRPJMN tahun 2010 sebesar 69,34 persen. Peningkatan APK SLTP dan SLTA di Jawa Timur 2009-2010 menjadi indikasi bahwa upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan, teruatama melalui program “Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun”, sesuai dengan yang diharapkan. Dalam Renstra Depdiknas 2006-2010 disebutkan bahwa melalui Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun, makajumlah lulusan SLTP/MTs/SMPLB setiap tahunnya akan mengalami penambahan. Efek dari peningkatan APK ini akan meningkatkan jumlah lulusan di tingkat SLTP dan tentu berdampak pada bertambahnya partisipasi pendidikan pada jenjang di atasnya. Selain dari data APK, data yang mendukung situasi tersebut adalah meningkatnya angka transisi SLTP dari 95,45 persen tahun 2009 menjadi 97,48 persen di tahun 2010, sedangkan angka transisi SLTA juga mengalami peningkatan dari 78,98 persen menjadi 86,11 persen selama 2009-2010. Data sebaran APK Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2010, menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara capaian APK pendidikan pada jenjang tertentu dengan jenjang diatasnya. Hasil analisis korelasi terhadap APK SD, SLTP, dan SLTA Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2009, diperoleh hail korelasi APK SD-SLTP sebesar 0,709 korelasi APK SLTP-SLTA sebesar 0,853 dan korelasi APK SD-SLTA sebesar 0,694, dimana semua nilai korelasi adalah signifikan. Jika sasaran APK tahun 2010 dalam RAPJMN 2004-2009, digunakan sebagai acuan capaian APK Kabupaten/Kota, maka lebih dari setengah kabupaten di Jawa Timur belum mencapai sasaran APK SD (terdapat 25 kabupaten). Jumlah kabupaten yang belum mencapai sasaran APK SLTP berjumlah 11 kabupaten dan 17 kabupaten yang memiliki APK SLTA di bawah sasaran. Fokus wilayah yang perlu mendapat perhatiandari capaian APK adalah Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Mengingat capaian APK untuk semua jenjang pendidikan di wilayah tersebut,di bawah sasaran APK 2010 dalam RPJMN 2010-2014. Angka Partisipasi Murni (APM) Dalam Renstra Depdiknas 2010-2015, APM merupakan tanggung jawab dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Mandikdasmen). Sasaran APM di setiap jenjang dalam Renstra tersebut memiliki periodisasi pembangunan yang berbeda. Untuk APM SD ditetapkan masuk dalam periode 2005-2009, yaitu 95,00 persen di tahun 2009. APM SLTP masuk dalam periode pembangunan 2010-2015, yaitu tercapai 92,00 persen pada tahun 2015. Sedangkan APM SLTA
masuk dalam periode pembangunan 2015-2020, yang ditargetkan 90,00 pada akhir periode pembangunan (2020). Selama 2009-2010, terjadi peningkatan APM Jawa Timur pada jenjang pendidikan SD,SLTP dan SLTA. Pada jenjang SD, terjadi peningkatan APM sebesar 0,18 persen poin, dari 97,71 persen tahun 2009, menjadi 97,89 persen tahun 2010. APM SLTP naik sebesar 0,56 persen poin, dari 85,44 pesen tahun 2009 menjadi 86,00 persen di tahun 2010. Sementara jenjang SLTA, APM tahun 2010 sebesar 56,10 persen mengalami peningkatan sebesar 4,14 persen poin terhadap besaran tahun 2009. Karena APM SLTP dan SLTA belum menjadi agenda Nasional tahun 2010, maka perhatian lebih difokuskan pada APM SD. Capaian APM SD Jawa Timur telah mencapai target sejak tahun 2009. Tidak hanya pada level provinsi, juga pada sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur telah mencapai target ini. Data APM SD tahun 2010 kabupaten/kota menunjukkan bahwa 17 kabupaten/kota belum mencapai target APM SD Nasional. Bila diperhatikan, terdapat nilai APM yang janggal pada beberapa wilayah, karena idealnya nilai maksimum APM adalah 100 persen. Namun dalam data APM SD 2010 terlihat ada 12 kabupaten/kota dengan capaian APM SD di atas 100,00 persen. Ini dapat terjadi karena pada daerah yang relatif baik infrastruktur serta kualitas pendidikannya, menyebabkan banyak siswa dari kabupaten/kota lain bersekolah di kabupaten/kota tersebut (siswa komuter). Angka Rata-rata Lama Sekolah Berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur, selama 20052010 terjadi peningkatan kualitas penduduk dari setara lulus tingkat sekolah dasar (6 tahun), menjadi setara kelas satu pada jenjang pendidikan SLTP. Walaupun terjadi kenaikan, namun kenaikan tersebut relatif lebih lambat, karena selama enam tahun hanya terjadi peningkatan sebesar 0,52 poin atau ratarata hanya terjadi kenaikan 0,09 poin per tahunnya. Jika kondisi ini terus terjadi, maka secara linier diperkirakan tingkat pendidikan sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas, baru setara lulus SLTP (9 tahun) pada tahun 2028, tahun 2058 setara lulus tingkat SLTA (12 tahun), dan baru tahun 2089 mencapai nilai harapan (maksimal) rata-rata lama sekolah dalam IPM, yaitu 15 tahun. Walaupun bobot dalam formulasi IPM rata-rata lama sekolah lebih rendah dibandingkan angka melek huruf, namun dengan melakukan intervensi pada peningkatan rata-rata lama sekolah, akan memberi pengaruh signifikan pada pencapaian melek huruf. Hal ini berdasarkan hasil analisis korelasi antara rata-rata lama sekolah dan melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur tahun 2009, memberikan tingkat korelasi yang sangat kuat yaitu 0,911. Maka bisa dipastikan wilayah dengan rata-rata lama sekolah yang tinggi, akan memiliki tingkat melek huruf yang tinggi pula. Namun jika sumber daya bagi terlaksananya program peningkatan rata-rata lama sekolah adalah terbatas, maka terdapat lima belas kabupaten dengan proritas utama, antara lain Kabupaten Sampang, Bangkalan, Bondowoso, Sumenep, Pamekasan, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Ngawi, Bojonegoro,Tuban, Ponorogo, Banyuwangi, Jember, dan Lamongan. Harapan yang ingin dicapai dengan intervensi pada wilayah ini adalah dampak ikutannya, yaitu terjadinya peningkatan angka melek huruf yang masih relatif rendah. Indikator Kinerja Utama (Standar Musgravian) Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Pada tahun 2010 nilai TPT di Jawa Timur mencapai 4,25 persen, atau mengalami penurunan sebesar 0,83 poin dibanding nilai TPT 2009 yaitu sebesar 5,08 persen. Dari data yang diperoleh juga diketahui bahwa jumlah penduduk bukan angkatan kerja pada tahun 2010 mengalami peningkatan sekitar 0,099 juta orang dibandingkan tahun 2009 yaitu dari 8,932 juta orang tahun 2009 menjadi 9,032 juta orang pada tahun 2010. Persentase Penduduk Miskin Terhadap Jumlah Penduduk Jumlah penduduk miskin nampak terjadi penurunan dari 21,09 persen pada tahun 2006 menjadi 19,98 persen pada tahun 2007. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 5,53 juta orang (15,26 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2009 yang berjumlah 6,022 juta(16,68 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 493,29 ribu orang. Turunnya
persentase penduduk miskin selama periode 2009-2010, sebagai wujud upaya keras Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Program-program pengentasan kemiskinan yang digencarkan Pemerintah masih serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, namun dengan peningkatan jumlah sasaran. Adapun program pengentasan kemiskinan yang digulirkan antara lain program PNPM Mandiri, Raskin, PKH, BLT, Jamkesmas, BOS, ditambahdengan beberapa program daerah di antaranya Gerdutaskin. Berbagai upaya dan strategi yang dilakukan memberikan kontribusi penurunan kemiskinan dengan tetap meningkatkan ketajaman sasaran program pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan Ekonomi ADHK Tahun 2000 Seiring dengan proses pembangunan yang berkelanjutan, nampak bahwa PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku senantiasa mengalami peningkatan selama kurun waktu lima tahun (periode 20062010). Pada tahun 2006 PDRB Jawa Timur sebesar Rp.472,29 triliun, meningkat menjadi Rp.536,98 triliun (2007), Rp.621,39 triliun (2008), Rp.686,85 triliun (2009), dan Rp.778,46 triliun (2010). Nilai PDRB yang dihasilkan tersebut masih mengandung pengaruh perubahan harga, sehingga belum bisa digunakan untuk menghitung pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, karena pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan oelh perubahan jumlah nilai produk barang dan jasa yang sudah bebas dari pengaruh harga (pertumbuhan riil). Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh 5,80 persen, kemudian meningkat pertumbuhannya menjadi 6,11 persen pada tahun 2007, melambat pada tahun 2008 menjadi 5,94 persen, dan 5,01 persen pada tahun 2009, dan kemudian meningkat kembali 6,76 persen pada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,80 persen, sedikit melambat dari tahun sebelumnya akibat dampak dari kenaikan harga BBM. Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian Jawa Timur mampu bangkit pada tahun 2007 sehingga mampu mencapai pertumbuhan sebesar 6,11 persen. Membaiknya kondisi ekonomi Jawa Timur tidak bertahan lama,karena pada akhir tahun 2007 hingga kuartal kedua tahun 2008, kenaikan harga minyak dunia meningkat hingga mencapai 147 dollar AS er barrel. Secara perlahan, kenaikan itu juga berdampak pada kenaikan harga BBM di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong naiknya harga barang dan jasa. Kondisi ini terus berlanjut dengan terjadinya krisis finansial yang dimulai dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat, hingga meluas di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Bagai efek domino, Jawa Timur juga terkena imbas, sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 melambat kembali dan hanya mencapai 5,94 persen. Dampak Krisis Keuangan Global yang terjadi pada akhir tahun 2008 terus berlanjut hingga tahun 2009, ekspor beberapa komoditi unggulan Jawa Timur khususnya ke negara-negara Amerika dan Eropa ikut merosot, dan berakibat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2009 terus melambat dengan hanya tumbuh sebesar 5,01 persen. Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur mulai menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, sebagai dampak dari membaiknya perekonomian global yang mendorong naiknya ekspor Jawa Timur, baik ke luar negeri atau luar daerah. Dengan kondisi yang cukup kondusif tersebut, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama tahun 2010 mampu mencapai level 6,67 persen. Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen,sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan,hotel dan restoran tumbuh paling cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,63 persen, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian,sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-masing sebesar 8,41 persen, 7,49 persen, dan 7,37 persen. Sementara itu sektor pertanian dan sektor industri pengolahan sebagai sektor yang dominan di Jawa Timur, hanya tumbuh sebesar 3,96 persen dan 3,09 persen. Dampak kenaikan harga BBM pada tahun 2005-2006 mulai berkuran pada tahun 2007, sehingga perekonomian Jawa Timur mengalami peningkatan dengan tumbuh sebesar 6,11 pesen. Sektor listrik, gas, dan air bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 13,70 persen, diikuti sektor pertambangandan penggalian, sector keuangan, sewa dan jasa perusahaan serta sektor
perdagangan, hotel, dan restoran masing-masing sebesar 10,35 persen, 8,40 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang masihmenjadi penyumbang terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh 4,77 persen dan 3,14 persen. Indeks Disparitas Wilayah Jawa Timur Penghitungan disparitas wilayah di sini ditunjukkan oleh indeks disparitas yang dikenal sebagai indeks Williamson. Semakin besar angka ini berarti semakin melebar kesenjangan yang terjadi di wilayah tersebut. Sebaliknya, semakin kecil indeks ini, semakin mengecil kesenjangan antar wilayahnya. Selama periode 2006 - 2010, indeks Williamson mengalami fluktuasi namun terdapat kecenderungan menurun. Pada tahun 2006 indeks kesenjangan bernilai 115,87 atau terjadi penurunan sebesar -0,06 persen dibanding tahun sebelumnya, kemudian pada tahun 2007 indeks Williamson mencapai 115,34 atau mengalami penurunan sebesar -0,46 persen dibanding tahun 2006. Adanya kenaikan harga BBM tahun 2008 serta terjadi krisis global menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan tahun 2007. Tetapi perlambatan ekonomi pada tahun2008 itu belum begitu terasa, karena tingkat kesenjangan di Jawa Timur yang ditunjukkan dengan nilai Indeks Williamson yang mengalami penurunan sebesar -0,07 persen atau mempunyai indeks 115,26. Indeks Pembangunan Manusia Seberapa jauh pertumbuhan ekonomi berdampak pada pembangunan manusia, dapat dijelaskan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan mengevaluasi angka IPM, keterbandingan/posisi pembangunan manusia antar kabupaten/kota di Jawa Timur dapat diketahui baik dari angka IPM-nya sendiri maupun dari tiga komponen pembentuknya (indikator kesehatan, indikator pendidikan dan indikator daya beli). Secara umum angka IPM di Jawa Timur selama periode 2006-2010 menunjukkan kenaikan. Angka IPM tahun 2006 bernilai 69,18; dan selanjutnya meningkat terus menjadi 69,78 (2007); 70,38 (2008); 71,06 (2009) dan pada tahun 2010 mencapai 71,55. Hasil penghitungan IPM tahun 2010, diperoleh gambaran bahwa 19 kabupaten/kota mempunyai IPM lebih tinggi daripada IPM Jawa Timur, sedangkan 19 kabupaten/kota lainnya memiliki nilai IPM lebih rendah daripada angka IPM Jawa Timur. Nilai IPM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,28 sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan angka IPM 77,18 dan urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,10. IPM terendah tercatat Kabupaten Sampang dengan nilai 59,58, namun angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 58,68. Dalam kurun waktu 2006-2010, IPM kabupaten/kota mengalami kenaikan walaupun tidak menunjukkan kenaikan yang drastis. Kenaikan IPM ini di antaranya disebabkan oleh adanya berbagai program pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk meningkatkan angka IPM, seperti program di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi dan peningkatan kualitas sarana prasarana masyarakat lainnya. Keberhasilan program tersebut juga tergantung pada pola pikir masyarakt setempat dalam pemanfaatan sarana tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam strategi 4 track (growth with equity) di antaranya meliputi peningkatan IPM. Pemerataan Pendapatan Ketimpangan pemerataan pendapatan versi Bank Dunia di Jawa Timur pada periode 2007-2010 cenderung mengalami perbaikan. Dengan kata lain ketimpangan pendapatan yang terjadi lambat laun mengecil seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik. Penduduk yang mempunyai pendapatan berkategori 20 persen ke atas pada tahun 2007 dapat menikmati kue ekonomi sebanyak 43,47 persen bergerak mengecil masing-masing 43,22 persen (2008); 42,55 persen (2009) dan pada tahun 2010 menjadi 40,67 persen. Sementara kelompok yang berpendapatan 40 persen menengah dan 40 persen ke bawah cenderung semakin banyak yang dapat menikmati kue pembangunan. Dengan demikian kesenjangan semakin menurun, dan semakin dirasakannya kue ekoonomi di tingkat pendapatan yang lebih bawah. Penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah menjadi fokus penting untuk evaluasi ketimpangan yang terjadi. Penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah ternyata semakin dapat menikmati hasil geliat ekonomi dari 19,83 persen (2007) menjadi 19,92 persen (2008), selanjutnya
menjadi 19,86 persen pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 meningkat kembali menjadi 20,81 persen. Berdasarkan skala kesenjangan yang telah ditetapkan, karena penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah menikmati hasil kegiatan ekonomi di atas nilai 17 persen, maka ketimpangan pendapatan yang terjadi selama kurun waktu 2006-2010 itu masuk kategori ketimpangan pendapatan rendah. Indeks Gini Ratio Berdasarkan nilai gini rasio, tingkat ketimpangan rata-rata konsumsi per kapita di Jawa Timur 2009 2010 masuk dalam kategori rendah (kurang dari 0,36). Nilai gini rasio tahun 2010 sebesar 0,31 meningkat dibandingkan tahun 2009 yang nilainya 0,29, naik 0,02 poin. Dengan demikian, kenaikan rata-rata konsumsi per kapitaselama 2009-2010, walaupun berada di bawah tingkat kenaikan harga (inflasi), justru menyebabkan meningkatnya ketimpangan dalam distribusi konsumsi dan pendapatan. Terjadinya penurunan ketimpangan selama 2009-2010 ini terutama terjadi di wilayah pedesaan,yang turun sebesar 0,02 poin, sedangkan penurunan di wilayah perkotaan hanya sebesar 0,01 poin. Walaupun nilai gini rasio pada wilayah perkotaan dan perdesaan, masuk dalam ketimpangan rendah, namun terdapat perbedaan sebesar 0,07 poin antara wilayah perkotaan dan perdesaan di tahun 2010. Perbedaan ini semakin meningkat dibandingkan tahun 2009, yang memiliki perbedaan sebesar 0,06 poin. Ini menjadi indikasi bahwa wilayah perdesaan memiliki kecenderungan lebih cepat menuju tingkat pemerataan sempurna. Peranan APBD Terhadap PDRB APBD Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun pada periode 2006-2010 cenderung meningkat. Pada tahun 2007 APBD Provinsi Jawa Timur naik sebesar 16 persen dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2008 naik sebesar 19 persen, kemudian tahun berikutnya (2009) mengalami kenaikan lagi sebesar 11 persen, sedangkan pada tahun 2010 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 38 persen. Jika dilihat rasio APBD Jawa Timur terhadap PDRB dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan walaupun naiknya rasio tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan pada periode tersebut terjadi kegiatan ekonomi yang relatif stabil. Pada periode 2006-2009 rasio APBD mencapai kisaran 1,09 – 1,14 persen. Hal ini juga menunjukkan pada periode tersebut terjadi kegiatan ekonomi di sektor riil yang semakin baik, karena dengan APBD yang cenderung stabil mampu meningkatkan nilai tambah PDRB. Besaran rasio APBD terhadap PDRB pada tahun 2009 tersebut menggambarkan bahwa kinerja Pemerintah Jawa Timur cukup baik karena angka yang dicapai lebih kecil jika dibandingkan dengan standar kinerja yang ditetapkan yaitu sebesar 1,45 persen. Pada tahun 2010 rasio APBD Provinsi Jawa Timur terhadap PDRB Jawa Timur juga semakin meningkat yaitu sebesar 1,38 persen. Ini menggambarkan bahwa di tahun 2010 kinerja Pemerintah Jawa Timur semakin membaik jika besaran standar kinerja yang ditetapkan sama dengan tahun sebelumnya. Peranan pemerintah sampai dengan saat ini masih cukup besar, namun besarnya peranan pemerintah bukan hanya dinilai dari besarnya anggaran yang dibelanjakan. Bagi masyarakat Jawa Timur peran pemerintah yang paling berarti adalah dampak positif akibat kebijakan publik yang dibuat. Rasio APBD terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada tahun 2007 mengalami kenaikan hingga mencapai angka sebesar 1,11 persen, kemudian dua tahun berikutnya naik menjadi 1,14 persen. Selanjutnya pada tahun 2010 rasio APBD mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga mencapai 1,38 persen. Jika peran masyarakat yang disebabkan kebijakan publik yang mengena semakin besar, maka persentase peranan APBD terhadap PDRB ADHB akan terjadi sebaliknya yaitu persentasenya akan menurun. Hasil Analisis DEA Hasil analisis DEA dengan metode Ouput Oriented terhadap nilai PSP-nya menghasilkan skor efisiensi sebagai berikut:
Tabel 1: Skor Efisiensi Tahun 2006-2010 No Kabupaten 2006 2007 2008 1 2 3 4 5 6 7 8
2009
2010
Mean
Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang
94,95 100 91,84 94,4 94,4 94,45 100
95,45 95 94,4 95,6 94,4 92,26 98
94,6 94,89 93,26 94,4 95,56 92,4 98,24
95,87 100 93,26 98,2 100 95,45 98,6
96,49 98,24 94,58 96,4 98,4 95,8 100
95,472 95,426 93,468 95,8 96,552 94,072 98,368
Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo
96,62 100 94,5 100 100 94,95 100 91,84
100 98,62 95,23 98,25 98,26 94,5 100 100
96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4
98,2 98,24 95,56 94,6 94,26 92,4 98,24 96,4
98,64 100 95,6 98,25 95,25 98,24 95,56 94,6
97,972 98,62 95,03 97,268 97,204 95,108 98,76 95,448
Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban
94,4 94,4 94,45 100 96,62 100 94,5 100
94,95 100 91,84 94,4 94,4 94,45 100 92,4
95,6 94,4 92,26 100 100 98,62 95,23 98,25
96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4 95,6
94,26 92,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25
95,09 95,092 94,406 97,81 96,542 97,466 95,874 96,9
Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar
100 94,4 94,4 94,45 94,5 96,62 96,62 94,5
98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100
95,45 100 94,4 95,6 94,4 92,26 100 100
94,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45
95,45 100 94,4 95,6 94,4 94,26 95,24 98,25
96,708 97,808 95,168 95,23 94,56 95,326 97,112 97,64
Kota Malang 100 100 33 Kota Probolinggo 100 94,5 34 Kota Pasuruan 94,95 100 35 Kota Mojokerto 100 100 36 Kota Madiun 91,84 94,4 37 Kota Surabaya 100 98 38 Kota Batu 100 94,45 Sumber ; Hasil Kalkulasi DEA, diolah.
98,62 95,23 98,25 95,23 98,25 98,8 96,8
100 94,4 95,6 94,4 94,4 100 100
95,45 100 94,4 95,6 94,4 100 100
98,814 96,826 96,64 97,046 94,658 99,36 98,25
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Secara umum, efisiensi kabupaten/kota di Jawa Timur berfluktuasi dari tahun ke tahun. Seperti yang diperolehdari hasil analisis DEA tersebut, pada tahun 2006 penyebaran skor efisiensi cukup merata, beberapa kabupaten/kota yang meraih skor 100 persen atau dianggap efisien tidak hanya didominasi perkotaan saja. Kecilnya nilai input pada tahun 2006, menyebabkan skor efisiensi di beberapa kabupaten/kota menjadi cukup tinggi. Berbeda dengan tahun berikutnya (2007-2008) di mana terjadi krisis ekonomi global mengakibatkan perubahan pada variabel-variabel input dan output dalam penelitian ini, sehingga skor efisiensi mengalami kecenderungan menurun. Sesuai dengan hasil skor efisiensi yang diperoleh, hampir semua kabupaten/kota memiliki tingkat efisiensi yang tinggi (di atas 80 persen) tentunya dengan peningkatan dan penurunan yang wajar. Secara keseluruhan, rata-rata skor efisiensi di Jawa Timur cukup stabil dari tahun ke tahun (antara 96,4-96,7). Hal ini disebabkan pemerataan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur yang stabil dari tahun ke tahun (periode 2006-2010). Tentunya hal ini tidak selalu baik bila tidak ada perubahan yang signifikan. Peningkatan skor efisiensi yang relatif kecil dari tahun 2006 hingga tahun 2010 dapat diartikan bahwa secara keseluruhan, efisiensi di Jawa Timur cukup stabil, dengan peningkatan yang relatif kecil, Jawa Timur belum berhasil dalam peningkatan efisiensi belanja pemerintah daerah di kabupaten/kotanya.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis efisiensi di atas dan uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan 1. Secara umum, efisiensi kabupaten/kota di Jawa Timur berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan menaik, terutama tahun 2006-2007 (sebelum krisis ekonomi) dan 2008-2009 (pasca krisis ekonomi) terjadi di daerah kabupaten/kota dengan rasio APBD untuk sektor publik, kesehatan dan pendidikan lebih tinggi. 2. Terjadinya peningkatan yang signifikan atas efisiensi alokasi anggaran pemerintah sektor publik sejak tahun 2006-2010 didominasi oleh daerah perkotaan, seperti Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Batu, di mana di daerah tersebut untuk alokasi Beanja Pemerintah Daerah sektor Publik bidang kesehatan dan pendidikan memperoleh skor efisiensi relatif tertinggi. 3. Dari sektor kesehatan, beberapa daerah yang masih perlu mendapatkan perhatian lebih serius karena beberapa indikator kinerja sosial menunjukkan nilai efisiensi yang rendah, di antaranya adalah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan wilayah pulau Madura. 4. Sedangkan dari sektor pendidikan, yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius adalah lima belas kabupaten dengan proritas utama, antara lain Kabupaten Sampang, Bangkalan, Bondowoso, Sumenep, Pamekasan, Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Ngawi, Bojonegoro,Tuban, Ponorogo, Banyuwangi, Jember, dan Lamongan. Sementara indikator lain menunjukkan hasil yang bervariasi sesuai dengan kondisi di daerah kabupaten/kota masing-masing. 5. Temuan menarik lainnya, adalah angka partisipasi murni di beberapa daerah yang relatif rendah, seperti Bondowoso, Pacitan, dan Ponorogo APM-nya rendah, adalah dikarenakan banyaknya penduduk yang memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah non formal seperti pesantren, di mana di sekolah tersebut memiliki jenjang pendidikan khusus, yang berbeda dengan jenjang di sekolah formal pada umumnya. 5.1 Saran Sesuai hasil pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, maka saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Dalam menjalankan perannya untuk mencapai tujuan pemerintah, akan berhasil bila dilaksanakan melalui perencanaan yang baik, pelaksanaan serta pengawasan yang tepat. Oleh karena itu, dalam merencanakan alokasi anggaran, diharapkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat benar-benar memperhatikan kebutuhan daerahnya untuk
2.
3.
4.
5.
mencapai efisiensi kinerjadi daerahnya, terutama sektor-sektor yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan efisiensi di daerah tersebut. Melihat besarnya pengaruh sektor pendidikan dan kesehatan dalam meningkatkan efisiensi kinerja pemerintah, hendaknya porsi anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk sektor pendidikan dan kesehatan dapat ditingkatkan untuk beberapa tahun ke depan, untuk mendongkrak peningkatan efisiensi di beberapa daerah terutama yang memperoleh skor efisiensi relatif rendah untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Melalui pendekatan output, maka pemerintah daerah perlu memperhatikan alokasi belanja untuk bidang pendidikan di daerah dengan skor efisiensi relatif rendah, yang dapat meningkatkan efisiensinya di bidang pendidikan, seperti peningkatan program pemberantasan buta huruf, maupun program-program yang dapat meningkatkan angka partisipasi murni maupun angka partisipasi kasar siswa usia sekolah. Demikian pula alokasi belanja untuk bidang kesehatan, terutama daerah-daerah dengan skor efisiensi relatif rendah, melalui program peningkatan kesehatan masyarakat, bisa dengan penambahan jumlah puskesmas, rumah sakit, penambahan jumlah dokter, tenaga medis, dan pelayanan kesehatan, sehingga mengurangi angka kematian bayi, ibu melahirkan dan anak, yang pada akhirnya akan bermuara pada meningkatnya efisiensi belanja pemerintah sektor publik, bidang kesehatan, yang berdampak pada tercapainya kesejahteraan masyarakat. Program yang telah dijalankan pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun, hendaknya diikuti dengan adanya penyetaraan kategori untuk jenjang pada beberapa sekolah non formal, seperti yang terjadi di daerah-daerah dengan skor efisiensi kecil akibat timpangnya angka partisipasi murni siswa usia sekolah di daerah tersebut, sehingga dalam penelitian selanjutnya tidak terjadi bias sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. UCAPAN TERIMA KASIH
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga panduan ini dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Prof. Candra Fajri Ananda, SE., M.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya sekaligus Dosen Pembimbing yang memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan.
DAFTAR PUSTAKA Arize, A.C. 1996. The impact of exchange-rate uncertainty on export growth : evidence from Korean data. International Economic Journal, Vol.10, (No.3) : 36-41. Adam, Antonis., dkk. 2008. Fiscal Decentralization and Public Sector Efficency: Evidence from OCED Countries. Afonso, Antonio, L. Schuknecht and V. Tanzi (2005). “Public Sector Efficiency: An International Comparison”, Public Choice, 123 (3-4), 321 – 47 Bird, R. and Rodriguez, E. R.. 1999. Decentralization and poverty alleviation. International experience and the case of the Philippines. Public Admin. Dev., 19: 299–319. Conceicao, D. Maria and Sampaio Da Seusa. 2005. Technical Efficiency of the Brazilian Muncipalities: Correcting Nonparametric Frontier Measurement for Outlier. Journal of Productivity Analysis, 24, 157-81. Dillinger, William. 1994. Decentralization and Its Implications for Urban Service Delivery, Urban Management Programme Discussion Paper 16, World Bank.
Ebejer, Ivan and Ulrike Mandl, 2009, The Efficiency of Public Expenditure inn Malta, Economic Analysis from the European Commission’s Decorate-General for Economic and Financial Affairs. Gujarati, D. 2004. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Gupta, Sanjeev, K. Honjo, and M. Verhoeven. 1997. The Efficiency of Government Expenditure: Experiences from Africa, IMF Working Paper, WP/97/153. Hakimudin, Dimas Rizal, 2010, Analisis Efisiensi Belanja Kesehatan Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2007. Hyman, David N. 2008. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy with Applications, 9th Edition. New York: Thomson South-Western. Juanita. 2002. Kesehatan dan Pembangunan Nasional. Medan: Universitas Sumatera Utara Kurnia, Akhmad Syakir, 2010. Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Sektor Publik Metode Free Disposable Hull (FDH), Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.11, No.1:1-20. Mankiw, Gregory., 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. NN, (2006). Public Sector Efficiency: Evidence for New EU member States and Emerging market, European Central Bank Working Paper Series, No.581. Romer, Paul M. 1990. The Journal of Political Economy, The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise Systems. Vol. 98, No. 5, Part 2. Septianto, Hendi. 2009. Data Envelopment Analysis (DEA) dan Terapannya: Studi Kasus pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kota Semarang tahun 2009 Sharipova, Elena, 2001, The Efficiency and Effectiveness of Public Expenditure (Approaches to Estimating Efficiency of Public Expenditure). Sujudi, Ahmad. 2003. Investasi Kesehatan untuk Pembangunan Ekonomi. Kesehatan.
Jakarta: Departemen
Tanzi, Vito. 2002. The Proceedings of a 2000 International Conference on Managing Fiscal Decentralization. Von Braun, J. and U. Grote. 2002. Does Decentralization Serve the Poor? In Managing Fiscal Decentralization ed. E. Ahmad, and V. Tanzi. London and New York: Routledge. Widarjono, Agus. 2010. Analisis Statistika Multivariat. UPP STIM YKPN, Yogyakarta.