DESENTRALISASI FISKAL DAN EFISIENSI BELANJA PEMERINTAH SEKTOR PUBLIK (Studi Kasus: 38 Kabupaten/Kota di JawaTimur 2006-2010)
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Puguh Hermawan 105020115111010
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
HALAMAN PERSETUJUAN
ii
HALAMAN PENGESAHAN
iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
iv
HALAMAN RIWAYAT HIDUP
v
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
ABSTRAKSI
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.1.1 Pendidikan
4
1.1.2 Kesehatan
5
1.2 Rumusan Masalah
15
1.3 Tujuan Penelitian
16
1.4 Manfaat Penelitian
16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
18
2.1 Landasan Teori
18
2.1.1 Otonomi Daerah
18
2.1.2 Desentralisasi Fiskal: Tinjauan Teoritis
19
2.1.3 Pengaruh desentralisasi Fiskal Terhadap Efisiensi dan Kinerja Sektor Publik
21
2.1.4 Pengeluaran Pemerintah dan Penyediaan Barang Publik
22
2.1.5 Efisiensi dan Penyediaan Barang Publik
26
2.1.6 Efisiensi dan Pemerataan
27
2.2 Penelitian terdahulu
35
2.3 Kerangka Pemikiran Teoritis
38
BAB III METODE PENELITIAN
40
3.1 Jenis dan Sumber Data
40
3.2 Metode dan Alat Analisis Data
40
3.2.1 Public Sector Performance (PSP) dan Public Sector Efficiency (PSE)
41
3.2.2 Data Envelopment Analysis (DEA)
44
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
48 54
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian
54
4.2 Indikator Sosial Ekonomi
56
4.2.1 Angka Harapan Hidup
56
4.2.2 Angka Kematian Bayi
59
4.2.3 Posyandu dan Gizi Balita
62
4.2.4 Rasio Dokter, Rumah Sakit dan Tenaga Medis per Satuan Penduduk
63
4.2.5 Angka Melek Huruf Usia 15 Tahun ke Atas
64
4.2.6 Angka Partisipasi Kasar (APK)
66
4.2.7 Angka Partisipasi Murni (APM)
69
4.2.8 Angka Rata-rata Lama Sekolah
72
4.3 Indikator Kinerja Utama (Standar Musgravian)
74
4.3.1 Tingkat Pengangguran Terbuka
74
4.3.2 persentase Penduduk Miskin terhadap Jumlah Penduduk
77
4.3.3 Pertumbuhan Ekonomi ADHK Tahun 2000
77
4.3.4 Indeks Disparitas Wilayah JawaTimur
82
4.3.5 Indeks Pembangunan Manusia
87
4.3.6 Pemerataan Pendapatan
91
4.3.7 Indeks Gini Ratio
92
4.3.8 Peranan APBD Terhadap PDRB
93
4.4 Hasil Analisis DEA BAB V PENUTUP
96 100
5.1 Kesimpulan
100
5.2 Saran
101
Daftar Pustaka
103
Lampiran
105
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subḥ ānahu wa ta'āla atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Desentralisasi Fiskal dan Efisiensi Belanja Pemerintah Sektor Publik (Studi Kasus: 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2006-2010)”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dalam meraih gelar Sarjana Ekonomi program Strata Satu Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik.
Dengan menjadikan pemerintah lebih
dekat kepada rakyatnya, diharapkan pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan lebih efektif.
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat daripada pemerintah pusat, sehingga sangat potensial bagi daerah untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat. Penelitian ini dipandang penting karena pelayanan publik yang berkualitas adalah salah satu pilar untuk menunjukkan terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah daerah dituntut untuk memberikan pelayanan yang
lebih baik terhadap masyarakat minimal pada pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan terhadap masyarakat miskin seiring berlangsungnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal melalui pengelolaan anggaran belanja daerah. Fokus penelitian ini mencoba menjawab apakah desentralisasi fiskal di Indonesia berdampak pada peningkatan kinerja dan efisiensi sektor publik yang dikaitkan dengan pencapaian indikator sasaran-sasaran pembangunan sehingga
perlu dilakukan pengukuran komposit dari beberapa indikator kinerja publik dan indikator pembangunan yang relevan. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang dengan keikhlasan dan ketulusan telah memberikan dorongan semangat dan dukungan baik moral maupun material kepada penulis dalam rangka penyelesaian studi ini. Secara khusus ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada: 1. Prof. Candra Fajri Ananda SE., M.Sc., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya sekaligus dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis guna menyelesaikan skripsi ini, 2. Bapak Dr. Ghozali Maskie, SE., MS. selaku Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan seluruh staf jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, 3. Seluruh staf pengajar/dosen FEB Universitas Brawijaya yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingannya selama program studi berlangsung, 4. Segenap pimpinan dan staf Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya dan menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, 5. Bapak dan Ibu di Purworejo yang tak henti-hentinya memberikan doa dan restunya kepada penulis. Tak pernah cukup bagi penulis untuk membalas apa yang telah penulis terima selama ini, syukur dan doa selalu penulis panjatkan untuk keduanya yang telah membimbing dan membesarkan penulis hingga seperti sekarang ini.
6. Mbak Avy, Mbak Any, Mas Agung dan Mbak Mila, sekalian, yang telah mendoakan dan mendukungku selama ini, esok dan seterusnya. 7. Seluruh rekan tugas belajar Ditjen Perbendaharaan konsenstrasi Ekonomi Kuantitatif angkatan tahun 2010 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya yang telah yang bahu membahu dalam menempuh perkuliahan sehingga dapat menyelasaikan perkuliah, semoga dapat berkumpul kembali di jenjang berikutnya 8. Teman-teman satu rumah di KSV 11, terima kasih atas kebersamaan, inspirasi, sharing, dan semangat kalian, serta pemilik rumah, bapak Huri sekeluarga atas bantuan yang diberikan, untuk tyan terima kasih laptopnya. 9. Teman-teman dan adek-adekku di Teater EGO, kalianlah inspirasiku untuk selalu bersemangat menghadapi berbagai permasalahan dan kegelisahan yang menyelimuti hari. Tak banyak yang mampu penulis berikan untuk kalian, jangan pernah menyerah dengan berbagai keadaan, “wueeekkk..byooorrrrr...”. 10. Serta pihak-pihak lain yang telah membantu penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan diri penulis. Oleh karena itu saran dan kritik membangun penulis harapkan untuk perbaikan ke depan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pendidikan dan pengetahuan pada umumnya.
Malang, 2 Agustus 2013
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam penyediaan barang publik tidak lepas dari peranan dan fungsi pemerintah (Hyman, 2008) yang meliputi fungsi distribusi, fungsi alokasi, dan fungsi stabilisasi yang memberikan pengaruh terhadap alokasi pengeluaran belanja pemerintah (public expenditure). Pemerintah juga mempunyai peran aktif serta
tanggung
jawab
dalam
mewujudkan
pencapaian
sasaran-sasaran
pembangunan (goals of development) yang dicapai melalui aktivitas pemerintah dalam perekonomian khususnya berkaitan dengan penyediaan barang publik maupun yang berkaitan dengan fungsi utama pemerintah. Dalam era reformasi di Indonesia terjadi perubahan paradigma dalam pembangunan nasional yang semula menganut paradigma pertumbuhan menuju paradigma pemerataan pembangunan
yang
berkelanjutan.
Perubahan
paradigma
ini
kemudian
diwujudkan melalui kebijakan otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah yang telah dimulai sejak 1 Januari 2001 (Nota Keuangan RI, 2002). Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja, dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran, mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja pada semua kementerian negara/lembaga pemerintah harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran (output) dan/atau hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Paradigma baru dalam pembangunan menempatkan manusia sebagai titik sentral bukan lagi sebagai alat pembangunan tetapi merupakan tujuan dari pembangunan.
Pembangunan manusia dapat terwujud dengan menekankan
pada terpenuhinya kehidupan yang layak bagi manusia dan kebutuhan dasarnya yaitu pangan, pendidikan, kesehatan, dan rasa aman. 1
Sehubungan dengan
2
pergeseran paradigma pembangunan, indikator keberhasilan pembangunan pun bertambah.
Tidak hanya menyangkut tingkat pertumbuhan PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) atau peningkatan daya beli dan tingkat pemerataan distribusi pendapatan, tetapi juga peningkatan angka partisipasi sekolah dan indeks kesehatan sesuai ukuran IPM (Indeks Pembangunan Manusia) yang diperkenalkan UNDP. pengembangan
Paradigma baru ini mempunyai fokus utama pada
manusia
(human
growth),
kemakmuran,
keadilan,
dan
keberlanjutan (Alhumami, 2005). Desentralisasi
sesungguhnya
merupakan
alat/instrumen
untuk
mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efisien dan partisipatif (Tanzi, 2002). Jadi, desentralisasi bukan merupakan tujuan. Namun, harus dipahami bahwa desentralisasi
adalah
instrumen
yang
kompleks
sedemikian
sehingga
nampaknya tidak bisa hanya dikaitkan dengan satu tujuan tertentu yang tunggal. Desentralisasi bisa memiliki banyak tujuan, sehingga terdapat resiko munculnya harapan yang berlebihan dari kebijakan ini (Bird, 1999). Akan tetapi, harapan akan membaiknya layanan publik dan berkurangnya kemiskinan, walaupun mungkin menambah dimensi dari desentralisasi, merupakan hal yang sangat wajar bahkan sahih. Dillinger (1994) dalam observasinya tentang pelaksanaan desentralisasi
di
berbagai
belahan
dunia
menemukan
bahwa
pemicu
dilakukannya kebijakan ini adalah keinginan atau upaya untuk memperoleh layanan publik yang lebih baik.
Desentralisasi fiskal sendiri diharapkan
memberikan dampak terhadap alokasi pengeluaran belanja pemerintah berupa meningkatnya efisiensi pengeluaran pemerintah dan juga tidak kalah pentingnya meningkatnya kinerja dan efisiensi sektor publik (Adam dkk, 2008).
Hal ini
berdasarkan asumsi bahwa Pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi, kebutuhan, serta aspirasi masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat, sehingga setiap alokasi dari belanja pemerintah
3
(public expenditure) akan lebih tepat sasaran khususnya untuk melaksanakan serta membiayai sendiri kemajuan pembangunan di daerah masing-masing yang akan mempercepat pencapaian sasaran dari tujuan pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia yang telah berjalan selama ini ditandai dengan berbagai peristiwa penting, baik positif maupun negatif yang dapat digunakan sebagai kerangka evaluasi guna perbaikan implementasi otonomi daerah. Dari sisi positif, desentralisasi akan memberikan dampak positif terhadap distribusi pendapatan masyarakat melalui kebijakan pengeluaran sektor publik, kebijakan fiskal, dan desain dana perimbangan yang lebih menekankan pada kebijakan pengurangan kesenjangan antar daerah (De Mello dkk, 2000; Enikopolov dkk, 2006; Zhang, 1996). Disparitas antar daerah yang dikoreksi melalui kebijakan dana perimbangan dengan berbagai formula yang relatif adil, diimbangi dengan standar ekualisasi telah dilaksanakan di berbagai negara antara lain China, Brazilia, Kanada, dan Rusia, dengan cara yang rasional, transparan, dan akuntabel memberikan implikasi yang sangat positif bagi pembangunan daerah. Berbagai pengalaman empiris di berbagai negara memberikan petunjuk bahwa pelaksanaan asas desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah atau negara bagian yang lebih luas diimbangi dengan usaha stabilisasi di bidang politik, sosial, dan ekonomi, memberikan hasil yang sangat menggembirakan. Kesuksesan pelaksanaan desentralisasi perlu didukung oleh kelembagaan dan tersedianya SDM yang berkualitas dan berkompeten, tersedianya dana untuk meningkatkan pelayanan masyarakat yang diperlukan, administrasi pajak yang efisien, wewenang pemungutan pajak yang memadai agar dapat menjangkau seluruh tingkat pendapatan masyarakat dan golongan, elastisitas terhadap tuntutan pelayanan masyarakat, pejabat lokal yang representatif serta transparansi dalam penyusunan anggaran dan tingkat pajak daerah sejalan dengan tingkat kebutuhan masyarakat lokal. Kemampuan
4
keuangan Pemerintah daerah itu relatif terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan untuk menyediakan infrastruktur dasar dan berbagai fasilitas layanan publik di seluruh negeri.
Kaitan dengan kesejahteraan di sini dilihat dari
bagaimana perkembangan kualitas layanan publik dasar, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang dianggap akan memiliki pengaruh kuat terhadap tingkat kemiskinan di dalam masyarakat (Von Braun, 2002). 1.1.1 Pendidikan Sistem pendidikan Indonesia sangatlah luas dan bervariasi.
Dengan
lebih dari 50 juta siswa dan 2,6 juta guru di lebih dari 250.000 sekolah, sistem ini merupakan sistem pendidikan terbesar ketiga di wilayah Asia dan bahkan terbesar keempat di dunia (setelah China, India dan Amerika Serikat).
Dua
menteri bertanggung jawab untuk mengelola sistem pendidikan, dengan 84 persen sekolah berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan sisa 16 persen sekolah berada di bawah Kementerian Agama.
Dengan
dimasukkannya bidang pendidikan ke dalam desentralisasi, maka pemerintah daerah mengambil alih tanggung jawab pendidikan dari pemerintah pusat, khususnya tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga Sekolah Lanjutan Atas. Pemerintah Daerah sebagai Agent of Development memegang peran sebagai stimulus masyarakat untuk mendapatkan pendidikan sebagai modal untuk bekerja atau berwirausaha seperti teori Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana trasportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
5
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Pendidikan di semua tingkatan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui penanaman sikap disiplin dan keterampilan khusus yang diperlukan untuk berbagai tempat kerja.
Pendidikan juga
memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kesehatan serta berkontribusi terhadap stabilitas politik.
Pentingnya sistem
pendidikan untuk setiap pasar tenaga kerja akan tergnatung kemampuannya untuk menghasilkan melek huruf, tenaga kerja yang siap pakai yang tercipta melalui pendidikan berkualitas tinggi. Akibatnya, dengan ekonomi pembangunan teknologi baru diterapkan untuk produksi, yang menghasilkan peningkatan produksi dalam perekonomian (Musibau Adetunji babatunde Long Run Relationship between Education and Economic Growth in Nigeria: Evidence from the Johansen’s Cointegration Approach). Model pertumbuhan endogen oleh Romer (1990) mengasumsikan bahwa penciptaan ide-ide baru merupakan fungsi langsung dari sumber daya manusia, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan. Pada akhirnya investasi dalam modal manusia menyebabkan pertumbuhan modal fisik yang pada gilirannya menyebabkan pertumbuhan ekonomi (human capital led to growth) (Barro and Lee, 1993; Romer, 1991; Benhabib and Spiegel, 1994). 1.1.2 Kesehatan Konsep pembangunan ekonomi saat ini telah diterapkan dengan lebih luas dan mulai melibatkan banyak faktor.
Di samping faktor yang bersifat
6
ekonomi pembangunan juga perlu didukung dengan kemajuan di bidang non ekonomis atau yang bersifat sosial. Para ahli telah banyak mengkaji indikatorindikator sosial yang menjadi pendukung utama bagi pencapaian pembangunan suatu bangsa. Indikator-indikator tersebut antara lain, tingkat pendidikan, kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan, kecukupan kebutuhan akan perumahan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, pembangunan ekonomi saat ini tidak hanya berorientasi ekonomi saja (mencapai tingkat pendapatan yang setinggitingginya), melainkan telah berubah menuju arah pembangunan kualitas sumber daya
manusia.
Mengingat
pentingnya
peran
manusia
dalam
proses
pembangunan ekonomi, maka peningkatan sumber daya manusia harus menjadi perhatian utama pemerintah.
Peningkatan ini tidak hanya dilihat dari segi
kuantitas saja melainkan jauh lebih penting dari segi kualitas.
Sumber daya
manusia yang berkualitas menjadi syarat perlu dalam proses pembangunan. Kesehatan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kondisi kesehatan yang buruk,
khususnya pada ibu dan anak akan menciptakan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Anak-anak yang kurang sehat akan mengalami gangguan dalam proses pendidikan. Gangguan kesehatan dapat membuat proses pendidikan di bangku sekolah terhambat, sehingga kualitas pendidikan pun akan mengalami penurunan. Begitu pula dengan ketenagakerjaan, tenaga kerja yang tidak sehat tidak akan mampu bekerja secara optimal, sehingga produktivitas para tenaga kerja akan menjadi rendah. Kondisi-kondisi seperti ini kedepannya akan sangat berpeluang besar menghambat proses pembangunan ekonomi negara. Terkait dengan hal tersebut maka untuk mencapai pembangunan ekonomi yang mapan, harus didahulukan dengan perbaikan kualitas sumber daya manusia, terutama di bidang kesehatan.
7
Juanita (2002) menyatakan salah satu modal dasar dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi adalah kondisi kesehatan masyarakat yang baik. dalam
pembangunan
ekonomi
juga
harus
diperhatikan
Di
pelaksanaan
pembangunan kesehatan. Keduanya ini harus berjalan seimbang agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan bagi semua yaitu kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh sebab itu, pembangunan
ekonomi saat ini tidak hanya berorientasi ekonomi saja yaitu mencapai tingkat pendapatan yang setinggi-tingginya, melainkan telah berubah menuju arah pembangunan kualitas sumber daya manusia. Pembangunan kesehatan yang dimaksud merupakan proses perubahan tingkat kesehatan masyarakat dari tingkat yang kurang baik menjadi yang lebih baik sesuai dengan standar kesehatan.
Oleh sebab itu, pembangunan kesehatan dapat disebut juga
pembangunan yang dilakukan sebagai investasi dari sumber daya manusia. Sedangkan
hubungan
antara
pembangunan
kesehatan
dengan
pembangunan ekonomi yaitu masyarakat yang sehat secara fisik dan mental, dapat melakukan aktivitas secara produktif sehingga dapat mengabdi untuk membangun dan memajukan negeri ini. Sumber daya manusia yang berkualitas dengan dukungan kesehatan prima dapat menciptakan suatu inovasi dan terobosan baru untuk meningkatkan pertumbuhan di bidang ekonomi, sosial dan budaya. Penduduk yang sehat akan selalu berpikiran maju dan termotivasi untuk selalu menciptakan perubahan dari kondisinya sekarang ini. Investasi kesehatan yang baik sangat diperlukan pada ibu dan anak, karena bagi anak-anak kesehatan adalah faktor penting dalam kehadiran sekolah. Anak-anak yang kurang sehat tidak akan berprestasi di sekolah dan tidak akan dapat belajar secara efisien. Individu yang kurang sehat tidak mampu menggunakan pendidikan secara produktif disetiap waktu dalam kehidupannya. Begitu juga dengan ketenagakerjaan, tenaga kerja yang tidak sehat tidak akan
8
mampu bekerja secara optimal yang akan berdampak pada penurunan produktivitas para tenaga kerja. Oleh karena itu kesehatan memiliki peran yang penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas yang di kemudian hari akan berpengaruh besar terhadap proses pembangunan ekonomi negara untuk mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang mapan. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya derajat kesehatan adalah seberapa besar tingkat pembiayaan untuk sektor kesehatan (Sujudi, 2003).
Besarnya belanja kesehatan berhubungan positif dengan
pencapaian derajat kesehatan masyarakat. Semakin besar belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah maka akan semakin baik pencapaian derajat kesehatan masyarakat.
Belanja kesehatan yang dikeluarkan pemerintah
termasuk ke dalam alokasi belanja pembangunan.
Belanja pembangunan
merupakan pengeluaran yang bertujuan untuk pembiayaan proses perubahan dan bersifat menambah modal masyarakat baik dalam bentuk pembangunan fisik maupun non fisik. Mils dan Gilson (1990) memberikan kriteria belanja sektor kesehatan secara umum ke dalam lima aspek, yaitu; (1) pelayanan kesehatan dan jasa-jasa sanitasi lingkungan, (2) rumah sakit, institusi kesejahteraan sosial, (3) pendidikan, pelatihan, penelitian medis murni, (4) pekerjaan medis sosial, kerja sosial, (5) praktisi medis dan penyedia pelayanan kesehatan tradisional. Sektor-sektor tersebut yang kemudian akan mendapat alokasi belanja kesehatan dari pemerintah. Kesehatan pada hakekatnya menyangkut kebutuhan dasar dari manusia, baik sehat jasmani, rohani maupun sosial ekonominya.
Dalam
Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 diberikan batasan sehat: keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi.
WHO menyebutkan bahwa kesehatan
adalah keadaan sempurna, baik fisik mental, maupun sosial dan tidak hanya
9
terbebas dari penyakit dan cacat.
Hal ini berarti kesehatan seseorang tidak
hanya diukur dari aspek fisik, metal dan sosial saja, tapi juga produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Tidak dapat disangkal bahwa peranan kesehatan sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Seluruh pembangunan tidak akan berjalan dengan baik bila manusianya tidak sehat dan sakit-sakitan.
Dalam istilah instrumental,
kesehatan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan berbagai cara. Sebagai contoh: kesehatan akan mereduksi kerugian produksi karena penyakit pada pekerja, dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mengurangi ketidakhadiran dan meningkatkan kemampuan belajar masyarakat. Kesehatan juga memungkinkan penggunaan sumber daya alam yang tidak dapat digunakan secara keseluruhan atau sebagian jika sakit.
Selain itu juga memungkinkan
penggunaan alokasi anggaran keuangan kesehatan untuk hal lain jika tidak terdapat penyakit atau kecelakaan. Robert W.
Fogel mengemukakan
bahwa
manusia
memerlukan
kesehatan yang baik untuk dapat bekerja secara efektif dan efisien.
Dalam
penelitiannya, Fogel menemukan bahwa antara sepertiga dan setengah dari pertumbuhan ekonomi Inggris dalam 200 tahun terakhir dipengaruhi oleh peningkatan konsumsi makanan populasinya. Eksistensi dampak dari kesehatan pada pertumbuhan ekonomi dengan besaran yang mirip juga telah diverifikasi dalam periode waktu dan negara yang berbeda, termasuk Amerika Latin dan Meksiko. Menggunakan angka harapan hidup dan mortalitas sebagai indikator kesehatan untuk kelompok umur yang berbeda, sebuah penelitian yang mengestimasi hubungan langsung antara kesehatan dan pertumbuhan ekonmi di Meksiko dari tahun 1970-1995 semakin menguatkan indikasi kesehatan bertanggungjawab untuk sekitar sepertiga dari pertumbuhan ekonomi.
10
Menurut Kartasasmita dalam Pertiwi (2007) desentralisasi pada dasarnya
adalah
penataan
mekanisme
pengelolaan
kebijakan
dengan
kewenangan yang lebih besar diberikan kepada pemerintah daerah dengan tujuan agar penyelenggaraan dan pelaksanaan pembangunan lebih efektif dan efisien. Penerapan desentralisasi di Indonesia mencakup berbagai aspek dengan asumsi bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui akan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing.
Sehingga
diharapkan
dengan adanya
desentralisasi mampu meningkatkan efisiensi dalam berbagai hal. Kondisi yang efisien akan berdampak pada terakselirasinya proses pembangunan ekonomi di daerah.
Broto Wasisto, dkk (1986) dalam Hakimudin (2010) menyebutkan
bahwa efisiensi dalam belanja kesehatan terjadi ketika dana yang tersedia secara cukup dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal sehingga mampu mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik. Mengacu pada Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian disempurnakan menjadi UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah, serta Perpu nomor 3 tahun 2005 dan UU nomor 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan atas UU nomor 32 tahun 2004.
Desentralisasi di
Indonesia dengan ditandainya adanya perubahan pola hubungan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Yang pada prinsipnya
desentralisasi bertujuan pada efisiensi sektor publik dalam produksi dan distribusi pelayanan, meningkatkan kualitas pembuatan keputusan dengan menggunakan informasi lokal, meningkatkan akuntabilitas dan meningkatkan kemampuan respon terhadap kebutuhan dan kondisi lokal (Giannoni, 2002).
Selain itu
11
menurut laporan World Bank di Uganda (2005) menyatakan bahwa pemerintah lokal lebih responsif terhadap warga negaranya dibanding pemerintah pusat sehingga keputusan yang diambil lebih merefleksikan kebutuhan dan keinginan rakyat.
Sehingga
dengan
adanya
desentralisasi
meningkatkan efisiensi dalam berbagai bidang.
diharapkan
mampu
Karena kondisi yang efisien
akan berdampak pada percepatan proses pembangunan ekonomi di daerah. Broto Wasisto, dkk (1986) dalam Hakimudin (2010), menyebutkan bahwa efisiensi dalam belanja kesehatan terjadi ketika dana yang tersedia secara cukup dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal sehingga mampu mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik. Menurut Mills dan Gilson (1990) (dikutip dari Hakimudin, 2010) dalam literaturnya mencoba membatasi ruang lingkup sektor kesehatan ke dalam lima aspek, yaitu: a. Pelayanan kesehatan, jasa-jasa sanitasi lingkungan (misalnya: air, sanitasi, pengawasan polusi lingkungan, keselamatan kerja, dan lain-lain). b. Rumah sakit, institusi kesejahteraan sosial. c. Pendidikan, pelatihan-pelatihan, penelitian medis murni. d. Pekerjaan medis-sosial, kerja sosial. e. Praktisi medis yang mendapat pendidikan formal, penyedia pelayanan kesehatan tradisional. Guna mencapai tujuan dan sarana pembangunan kesehatan maka diperlukan dana dan sumber pembiayaan, baik yang bersumber dari pemerintah maupun dari swasta dan mayarakat. Wasisto dan Ascobat (1986), menyebutkan secara garis besar sumber pembiayaan untuk upaya kesehatan dapat digolongkan
sebagai
sumber
(masyarakat dan swasta).
pemerintah
dan
sumber
non-pemerintah
12
Sumber pemerintah dapat berasal dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten / kota, dan bantuan luar negeri lainnya. Sedangkan untuk sumber biaya masyarakat atau swasta dapat berasal dari pengeluaran rumah tangga atau perorangan, perusahaan swasta / BUMN untuk membiayai karyawannya, badan penyelenggara jaminan pembiayaan kesehatan termasuk asuransi kesehatan untuk membiayai pesertanya, dan lembaga non-pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan kesehatan yang bersifat sosial dan kemasyarakatan. Ilmu ekonomi pada dasarnya adalah ilmu yang mengkaji tentang alternatif penggunaan sumberdaya yang langka secara efisien. Seiring perkembangannya, penerapan ilmu ekonomi saat ini dapat digunakan dalam berbagai sektor, salah satunya adalah sektor kesehatan. Mils dan Gilson (1990) dalam Hakimudin (2010) mendefinisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi pada sektor kesehatan, sehingga dengan demikian ekonomi kesehatan berkaitan erat dengan hal-hal sebagai berikut: a. Alokasi sumber daya di antara berbagai upaya kesehatan. b. Jumlah sumber daya yang digunakan dalam pelayanan kesehatan. c.
Pengorganisasian
dan
pembiayaan
dari berbagai pelayanan
kesehatan. d. Efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya. e. Dampak upaya pencegahan, pengobatan, dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat. Beberapa
ekonom
beranggapan
bahwa
kesehatan
merupakan
fenomena ekonomi yang dapat dinilai dari stok maupun juga dinilai sebagai investasi. Sehingga fenomena kesehatan menjadi variabel yang nantinya dapat dianggap sebagai suatu faktor produksi untuk meningkatkan nilai tambah barang dan jasa, atau sebagai suatu sasaran dari berbagai tujuan yang ingin dicapai
13
oleh individu, rumah tangga maupun masyarakat, yang dikenal sebagai tujuan kesejahteraan. Oleh sebab itu kesehatan dianggap sebagai modal yang memiliki tingkat pengembalian yang positif baik untuk individu perorangan maupun untuk masyarakat luas. Secara umum, sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial. Menurut Mardiasmo (2004) pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk memenuhi tiga tujuan, yaitu: a. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah.
Ukuran kinerja dimaksudkan untuk dapat
membantu pemerintah berfokus pada tujuan dan sasaran program unit kerja. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas organisasi sektor publik. b. Pengukuran kinerja sektor publik digunakan unutk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan. c. Pengukuran kinerja sektor publik digunakan untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan. Bastian (2006) menyatakan kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan atau program dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Indikator digunakan sebagai proksi terhadap outcome kinerja.
Indikator bermanfaat dalam menilai atau mengukur kinerja instansi.
Bastian (2006) juga mendefinisikan indikator kinerja sebagai ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). Tujuan yang paling mendasar adalah keinginanan atas akuntabilitas pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat atau masyarakat.
14
Indikator
adalah
suatu
variabel
yang
dapat
digunakan
untuk
mengevaluasi keadaan dan memungkinkan untuk dilakukannya pengukuran terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari satu waktu ke waktu yang lain. Walaupun suatu indikator tidak selalu menjelaskan keadaan secara keseluruhan, namun
indikator
sering
sekali
memberikan
petunjuk
tentang
keadaan
keseluruhan. Dalam penggabungan disiplin ilmu ekonomi ke dalam cabang kesehatan perlu adanya pengukuran hasil kesehatan baik dari segi fisik maupun dari segi nilai kesehatan. Hal ini berguna untuk membandingkan besarnya nilai masukan atau input dan nilai keluaran atau output, atau untuk mengevaluasi efisiensi ekonominya. Elemen-elemen pengukuran hasil kesehatan tersebut mencakup definisi, cara pengukuran, bagaimana, serta kapan hal tersebut perlu diukur. Elemen-elemen tersebut kemudian digabungkan menjadi satu indeks tentang status kesehatan. Dalam Rencana Strategis Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010, telah ditetapkan indikator-indikator secara rinci yang mengacu pada indikator Indonesai Sehat 2010, yang terbagi dalam tiga jenis klasifikasi indikator dalam menilai kinerja, yaitu: 1. Indikator proses dan masukan, indikator ini terdiri atas indikator– indikator pelayanan kesehatan, sumber daya kesehatan, manajemen kesehatan, dan indikator-indikator kontribusi sektor terkait. 2. Indikator hasil antara, indikator ini terdiri dari indikator-indikator ketiga pilar yang mempengaruhi hasil akhir, yaitu keadaan lingkungan, perilaku hidup masyarakat, serta indikator-indikator akses dan mutu pelayanan kesehatan. 3. Indikator hasil akhir, yaitu derajat kesehatan. Indikator ini terdiri dari indikator - indikator mortalitas (kematian), yang dipengaruhi oleh indikatorindikator mordibitas (kesakitan) dan indikator status gizi.
15
Berbagai permasalahan yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah dampaknya
seringkali
tidak
kondusif
bagi
perekonomian
daerah
serta
kontraproduktif dengan tujuan utama dari otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sehingga yang justru terjadi adalah tidak efisiennya pengeluaran belanja Pemerintah daerah yang semakin menjauhkan pencapaian-pencapaian sasaran pembangunan yang seharusnya dapat dipercepat melalui proses desentralisasi fiskal. Dampak nyata desentralisasi bagi kehidupan masyarakat dapat dilihat dari tolak ukurnya.
Untuk mengetahui apakah desentralisasi fiskal di Indonesia
berdampak pada peningkatan kinerja dan efisiensi sektor publik maka perlu dilakukan
pengukuran
kinerja
dan
efisiensi
sektor
publik
dengan
mengembangkan serangkaian indikator yang obyektif serta relevan untuk mengukur prestasi daerah dalam mengelola keuangan daerahnya dikaitkan dengan pencapaian sasaran pembangunan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kemudian untuk mengetahui kabupaten/kota yang relatif efisien atau terletak pada Production Possibility Frontier (PPF) dan kabupaten/kota mana yang relatif tidak efisien maka dilakukan analisis efisiensi relatif antar kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur. 1.2 Rumusan Masalah Salah satu tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik.
Dengan menjadikan pemerintah lebih
dekat kepada rakyatnya, diharapkan pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan lebih efektif.
Hal ini berdasarkan asumsi bahwa
pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat daripada pemerintah pusat, sehingga sangat potensial bagi daerah untuk lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat. Penelitian ini dipandang penting karena pelayanan publik yang berkualitas adalah salah satu pilar untuk menunjukkan terjadinya perubahan
16
penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah daerah dituntut untuk memberikan pelayanan yang
lebih baik terhadap masyarakat minimal pada pelayanan dasar seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan pelayanan terhadap masyarakat miskin seiring berlangsungnya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal melalui pengelolaan anggaran belanja daerah. Dari uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mencoba menjawab: 1. Bagaimana kinerja dan efisiensi sektor publik dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur melalui analisis terhadap indikator yang obyektif dan representatif (sebagai komposit dari indiktaor kinerja publik) 2. Bagaimana efisiensi produksi relatif sektor publik antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur melalui pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA) 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1.
Menganalisis indikator yang obyektif dan representatif (sebagai komposit dari indikator kinerja publik) untuk mengukur kinerja dan efisiensi sektor publik dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur
2.
Menganalisis efisiensi produksi relatif sektor publik antar kabupaten/kota dengan menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA)
1.4 Manfaat Penelitian Dengan
model
yang
dikembangkan
tersebut
nantinya
dapat
menghasilkan informasi mengenai total kinerja sektor publik (Public Sector Performance = PSP) dan efisiensi pengeluaran sektor publik (Public Sector
17
Efficiency = PSE). Hasil penelitian diharapkan memberikan kontribusi praktis bagi para pengambil kebijakan (pemerintah pusat dan daerah) yaitu dengan memperhatikan kinerja dan efisiensi sektor publik terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam rangka evaluasi kebijakan desentralisasi fiskal selama ini di Indonesia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi Daerah Otonomi daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan otonomi dimaksudkan agar dapat mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat dan mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Dengan pemberian otonomi kepada daerah maka sistem
yang dianut daerah adalah sistem desentralisasi. Tujuan dari pengembangan otonomi daerah menurut Suparmoko (2001) antara
lain:
memberdayakan
masyarakat,
menumbuhkan
prakarsa
dan
kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan mengembangkan peran dan fungsi DPRD. Di sisi lain masih terdapat sistem pemerintahan yang bersifat sentralisasi di mana pengambilan keputusan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah pusat dengan alasan antara lain:
untuk memelihara aspek
pemerataan antar daerah, kemampuan administrasi di banyak Pemerintah daerah masih lemah, masih terdapat perbedaan yang tinggi dalam kondisi dan kemampuan keuangan antar daerah, untuk mengurangi gerakan separatis, dan untuk perencanaan nasional dalam pembangunan sosial ekonomi. Dengan
adanya
sistem
otonomi,
daerah
akan
lebih
mampu
menyediakan jasa pelayanan publik yang bervariasi sesuai dengan preferensi masing-masing masyarakat. Keuntungan yang lain adalah bahwa pemerintah daerah akan lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya sendiri karena cakupan yang lebih sempit maka akan lebih cepat dan efisien daripada dalam 18
19
cakupan yang luas. Kemudian keuntungan yang didapat dari sistem otonomi daerah akan lebih banyak eksperimen dan inovasi dalam bidang administrasi dan ekonomi yang dapat dilakukan. Akan tetapi dalam hal tertentu pemerintah daerah akan kurang efektif dan efisien dalam mengatasi permasalahan yang ada.
Sebagai misal bila
pemerintah daerah diminta untuk menyediakan barang publik nasional, masalah redistribusi penghasilan, dan pemecahan masalah ekonomi makro yang tentu saja hasilnya tidak memuaskan. Pencapaian tujuan otonomi daerah tentunya tergantung dari kesiapan masing-masing daerah menyangkut ketersediaan sumber daya atau potensi daerah dan terutama sumber daya manusia yang tentunya akan berperan sebagai motor penggerak jalannya pemerintahan daerah.
Pemerintah dalam
rangka meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan otonomi daerah perlu memperhatikan hubungan antar susunan pemerintahan, keanekaragaman daerah, aspek hubungan keuangan pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan lainnya secara adil dan selaras. Peluang dan tantangan dalam persaingan global dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi juga perlu diperhatikan. 2.1.2 Desentralisasi Fiskal : Tinjauan Teoritis Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expenditure assignment). Desentralisasi fiskal ini dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah dalam penyediaan barang dan jasa publik (Prawirasetoto, 2002; Enikolopov dkk, 2006). Namun
banyak
para
ahli yang
memberikan
definisi mengenai
desentralisasi fiskal. Desentralisasi fiskal dijelaskan oleh Bird dan Villancourt
20
(2002) mencakup tiga macam derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan oleh daerah.
Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggung
jawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah.
Kedua, delegasi yang berarti daerah
bertindak sebagai perwakilan pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsifungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) dimana bukan saja implementasi yang diberikan kepada daerah, tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan oleh daerah. Sementara di sisi lain, Bigday (2000) dalam Sarana (2005) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal lebih mengacu pada desentralisasi sektor publik. Barang-barang publik di tingkat daerah yang berfungsi memperlancar aktivitas masyarakat lokal dalam berbagai bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, dan politik disediakan oleh pemerintah dengan pembiayaan dari pajak dan retribusi daerah.
Namun bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan begitu saja,
pengeluaran barang publik di daerah yang manfaatnya lebih bersifat umum bagi seluruh masyarakat dalam suatu negara tetap merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Komponen utama desentralisasi adalah desentralisasi fiskal di mana pemerintah daerah dalam melaksanakan fungsinya diberi kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran sektor publik.
Hal ini perlu dukungan
sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidi atau bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi fiskal terutama mencakup: 1. Staf financing atau cost recovery dalam pelayanan publik terutama melalui pengenaan retribusi daerah, 2. Cofinancing atau coproduction, di mana pengguna jasa publik berpartisipasi dalam bentuk pembayaran jasa atau kontribusi tenaga kerja,
21
3. Peningkatan PAD melalui penambahan kewenangan pengenaan pajak daerah terutama Pajak Properti (PBB), Pajak Penghasilan perseroan (PPh pribadi), cukai atas berbagai komoditas atau berbagai jenis retribusi daerah. 4. Transfer pemerintah pusat terutama yang berasal dari DAU, DAK, sumbangan darurat (Dana Darurat) dan bagi hasil pajak dan bukan pajak. 5. Kebebasan daerah untuk melakukan pinjaman. Elemen lain yang juga penting dalam desain desentralisasi secara komprehensif dipandang dari perspektif pemerintah yaitu desentralisasi ekonomi yang dilaksanakan melalui kebijakan pelimpahan fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah kepada sektor swasta sejalan dengan kebijakan liberalisasi dan ekonomi pasar. 2.1.3 Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Efisiensi dan Kinerja Sektor Publik Salah satu tujuan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi adalah untuk menjadikan pemerintah lebih dekat dengan rakyatnya, sehingga pelayanan pemerintah dapat dilakukan dengan lebih efisien dan efektif. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan aspirasi masyarakat mereka daripada pemerintah pusat sehingga mampu memobilisasi dan menggunakan sumber-sumber ekonomi yang ada dalam rangka penyediaan barang dan layanan publik yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi serta kesediaan masyarakat untuk membayar atas pelayanan publik yang diterimanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Adam dkk (2008); Musgrave (1989), bahwa dampak utama yang diharapkan dari kebijakan desentralisasi fiskal adalah tercapainya efisiensi alokasi sumber daya yang semakin tinggi. Menurut Prawirosetoto (2002), otonomi daerah dan desentralisasi fiskal harus berorientasi kepada efisiensi pelayanan serta produk-produk pemerintah
22
daerah lainnya bagi kepentingan publik di wilayahnya. Orientasi yang demikian akan membuka peluang terjadinya kompetisi antar daerah yang selanjutnya akan memacu
efisiensi.
Pelayanan
publik
yang
paling
efisien
seharusnya
diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum terutama karena: (1) pemerintah lokal lebih menghayati kebutuhan masyarakatnya; (2) keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat; (3) persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya. 2.1.4 Pengeluaran Pemerintah dan Penyediaan Barang Publik Dalam
Guritno
(1993), Rostow dan Musgrave menghubungkan
perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, menengah, dan tahap lanjut. Tahap awal ditandai persentase investasi pemerintah yang besar karena pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi.
Dalam tahap menengah investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pada tahap ini peran swasta semakin besar akan tetapi cenderung menimbulkan kegagalan pasar. Pada tahap lanjut aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti kesejahteraan hari tua, program layanan kesehatan masyarakat. Teori yang lain diungkapkan oleh Wagner dalam Stiglitz (2000) mengenai pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap GNP.
Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan
pemerintah menjadi semakin besar terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan
23
sebagainya. Pandangan Wagner tersebut berdasarkan teori organis mengenai pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya. Sedangkan
teori
Peacock
dan
Wiseman
menyatakan
bahwa
perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah dan meningkatnya GNP menyebabkan penerimaan pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu dan mengharuskan pemerintah memperbesar pengeluarannya maka pemerintah akan berusaha meningkatkan penerimaannya dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang tadinya dilaksanakan oleh swasta ke tangan pemerintah. Teori Peacock dan Wiseman berdasarkan pada suatu analisis
bahwa
pemerintah
senantiasa
berusaha
untuk
memperbesar
pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar. Gambar 2.1: Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah
Sumber: Musgrave, 1989; Stiglitz, 2000
24
Peran dan campur tangan pemerintah dalam perekonomian meliputi 3 golongan besar yaitu peranan alokasi, peranan distribusi, dan peranan stabilisasi. (1) Peranan alokasi yaitu peranan pemerintah dalam alokasi sumbersumber ekonomi yang diusahakan agar pemanfaatannya dapat optimal dan mendukung efisiensi produksi. (2) Dalam peran pemerintah sebagai distributor yaitu mengusahakan terjadinya distribusi pendapatan yang tergantung dari pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran, sistem warisan, dan kemampuan memperoleh pendapatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung pemerintah dapat mengubah distribusi pendapatan dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi mereka yang berpendapatan lebih tinggi dan menerapkan tingkat pajak yang lebih ringan bagi yang berpendapatan rendah.
Sedangkan secara tidak
langsung, pemerintah mempengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran
pemerintah
misalnya
perumahan
mewah
untuk
golongan
pendapatan tertentu, subsidi pupuk, dan sebagainya. (3) Pemerintah berperan dalam stabilisasi perekonomian sebab jika pemerintah tidak ikut campur tangan atau dengan kata lain perekonomian sepenuhnya diserahkan kepada swasta, maka perekonomian akan sangat peka terhadap goncangan (Hyman, 2008). Menurut Dumairy dalam Hirawan (2006) selain peran alokatif, peran distribusi, dan peran stabilitatif dalam kancah perekonomian modern pemerintah juga memiliki peran dinamisatif yaitu peranan pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih cepat tumbuh, berkembang, dan maju. Selain karena adanya kebutuhan akan penyediaan infrastruktur, ada beberapa alasan lain yang menyebabkan perlunya pemerintah melakukan campur tangan dalam perekonomian. Menurut Meir dalam Hamid (1999) alasan tersebut lainnya antara lain: (1) adanya kegagalan pasar (market failure) termasuk adanya
25
persaingan yang tidak sempurna, eksternalitas, penyediaan barang publik, dan informasi yang tidak sempurna; (2) perhatian untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan distribusi pendapatan; (3) tuntutan atau hak untuk pemenuhan fasilitas pokok seperti pendidikan, kesehatan, dan perumahan; (4) penyediaan dana untuk masyarakat tertentu yang menjadi tanggung jawab pemerintah seperti pensiun, beasiswa, dan sebagainya.
Melindungi hak-hak generasi
mendatang juga menjadi campur tangan pemerintah dalam kaitannya untuk mengatasi masalah lingkungan. Sebuah pembangunan
studi daerah
oleh
LPEM-FEUI
menghasilkan
(2002)
temuan
menyangkut
yang
menarik.
belanja Belanja
pembangunan dibagi atas berbagai sektor yang diharapkan berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, seperti pertanian, transportasi, pendidikan, kesehatan, perumahan, irigasi, dan lain-lain.
Secara umum studi ini
membuktikan bahwa indeks kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan. Lalu, yang lebih penting lagi bahwa berbagai faktor yang mempengaruhi, bahkan yang menentukan kemiskinan sangat terkait dengan halhal seputar layanan publik.
Faktor pertama terkait sumber daya manusia,
utamanya menyangkut pendidikan dan komposisi anggota keluarga.
Lalu,
sumber daya fisik seperti kepemilikan tanah dan kualitas tempat tinggal. Kemudian, kualitas infrastruktur juga sangat mempengaruhi kemiskinan seperti fasilitas transportasi, irigasi, jasa kesehatan, pendidikan dan tempat tinggal. Fasilitas tempat tinggal adalah ketersediaan air minum, air bersih untuk mencuci dan mandi, serta toilet. Dari kaca mata pembangunan maka sektor pertanian memang
merupakan
sektor
terpenting
mengingat
sebagian
besar dari
masyarakat miskin adalah petani. Sistem insentif di sektor ini diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat miskin.
26
2.1.5 Efisiensi dan Penyediaan Barang Publik Masalah dalam ekonomi adalah keterbatasan sumber daya (scarcity). Dengan asumsi bahwa sumber daya terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang terbatas maka ilmu ekonomi mempelajari alokasi sumber daya agar efisien. Dalam ilmu ekonomi dipelajari bagaimana keputusan ekonomi diambil oleh para pelaku ekonomi yang memaksimalkan tujuan melalui kompetisi di pasar, sehingga sumber daya dialokasikan secara efisien (Varian, 2003). Konsep efisiensi dalam literatur ekonomi, biasanya mengacu pada sebuah konsep yang disebut dengan efisiensi pareto (pareto efficiency) atau pareto optimal (Stiglitz, 2000; Hyman, 2008). Pareto optimal didefinisikan sebagai sebuah kondisi di mana sudah tidak mungkin lagi mengubah alokasi sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan pelaku ekonomi (better off) tanpa mengorbankan pelaku ekonomi yang lain (worse off). Dengan kata lain, kondisi pareto terjadi ketika semua pelaku ekonomi dalam kondisi kesejahteraan yang optimum. Dalam konteks kaitannya dengan penyediaan barang publik oleh pemerintah, maka yang menjadi tujuan akhir adalah meningkatkan kondisi pareto (pareto improvement) yang belum efisien.
Contohnya, ketika pemerintah
membangun jembatan, mereka berharap masyarakat yang menggunakan jembatan tersebut dapat membayar sejumlah tarif yang ditentukan untuk menutup biaya konstruksi dan perawatan dari biaya jembatan tersebut. Kondisi tersebut menggambarkan kondisi peningkatan pareto yaitu perubahan di mana seseorang menjadi lebih baik dan pelaku ekonomi lainnya pun tidak dirugikan. Para ekonom percaya bahwa peningkatan pareto menjadi tujuan sehingga setiap kebijakan harus ditempatkan dalam tujuan untuk meningkatkan pareto yang disebut sebagai prinsip pareto (pareto principle).
27
2.1.6
Efisiensi dan Pemerataan Dalam banyak literatur, Mankiw menjelaskan mengenai trade-off antara
efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity).
Secara sederhana, efisiensi
adalah kondisi di mana hasil-hasil perekonomian menjadi sebesar mungkin, sedangkan pemerataan adalah suatu kondisi di mana hasil-hasil perekonomian terdistribusi secara merata. Atau dengan kata lain efisiensi digambarkan sebagai ukuran kue ekonomi, sedangkan pemerataan adalah tentang pembagian kue ekonomi tersebut. Trade-off antara efisiensi dan pemerataan dijelaskan oleh Mankiw bahwa, salah satu usaha pemerintah untuk pemerataan adalah pengenaan pajak yang lebih besar bagi masyarakat yang memiliki penghasilan lebih besar, untuk dibagikan kepada mereka yang kurang beruntung. Pada saat bersamaan, hal ini membebaskan pula biaya efisiensi. Insentif terhadap orang-orang yang bekerja menjadi turun, sehingga orang-orang menurunkan produktivitasnya. Akibatnya, hasil perekonomian secara keseluruhan menurun. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pemerintah untuk melakukan pemerataan, pada saat bersamaan akan mengecilkan ukuran kue ekonomi tersebut.
Sehingga kedua hal tersebut
tampaknya sulit untuk dicapai secara bersama. Konsep ekonomi kesejahteraan pada dasarnya berkaitan dengan upaya memaksimumkan kesejahteraan individu dan masyarakat melalui alokasi sumber daya secara optimal. Konsep ekonomi kesejahteraan terutama dicirikan oleh perhatian yang besar terhadap pemerataan (equality) antar individu dalam masyarakat.
Sejumlah studi awal tentang ekonomi kesejahteraan yang
umumnya menjadi acuan adalah Pigou (1912), Bergson (1938), Kaldor (1939), Hicks (1939), dan Scitovsky (1941). keuangan
publik
dan
ekonomi
Sejak tahun 1950-an, studi tentang
publik
kesejahteraan sebagai frameworknya.
mulai
menggunakan
ekonomi
Dalam perkembangannya, ekonomi
28
kesejahteraan sebagai normative economics yang menggunakan ethical assumptions atau value judgments banyak menimbulkan perdebatan (Misalnya lihat Block, 1977; Rothbard, 1997; Barnet and Block, 2009; Taylor, 2010). Terlepas dari perdebatan pro-kontra dalam literatur tersebut, yang menjadi menarikdalam konsep ekonomi kesejahteraan adalah adanya trade-off antara efisiensi dan pemerataan (efficiency-equality trade off).
Okun (1975)
menggambarkan trade-off ini dalam tulisannya Equality or Efficiency: The Big Trade-Off.
Okun menggambarkan bahwa pemerataan dapat dicapai tetapi
konsekwensinya adalah menurunnya efisiensi.
First fundamental theorem of
welfare economics menyatakan bahwa ekuilibrium yang kompetitif dapat mencapai pareto optimum dalam pasar yang sempurna. Dalam kenyataannya, terjadi kegagalan pasar (market failure), sehingga lahirlah second fundamental theorem of welfare economics yang menyatakan bahwa dalam konteks terjadi kegagalan pasar, ekuilibrium yang kompetitif dan memiliki properti pareto yang optimal dapat dicapai melalui lumpsum transfer. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar intervensi pemerintah untuk mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui kebijakan redistribusi dalam bentuk pajak, subsidi, dan pengeluaran publik pemerintah. Fenomena yang menarik dari kebijakan redistribusi adalah kebijakan yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan (welfare state) seperti negaranegara skandinavia.
Negara-negara tersebut bukan hanya mengalami
overshooting dalam subsidi dan pengeluaran publik tetapi juga memiliki disposable income dan gross income yang lebih merata dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Dengan kata lain negara-negara tersebut mampu
mengatasi trade-off antara efisiensi dan pemerataan melalui lumpsum transfer, berbeda dengan kondisi di sejumlah negara lainnya yang gagal mengatasi hal tersebut melalui kebijakan lumpsum transfer.
29
Dalam
papernya,
Sandmo
(2010)
menguraikan
landasan
yang
mendasari kebijakan redistribusi di negara-negara kesejahteraan hubungannya dengan ekonomi kesejahteraan, dan menyajikan beberapa perpektif baru dalam ekonomi kesejahteraan khususnya terkait dengan biaya dan manfaat dari negara kesejahteraan. Ekonomi
kesejahteraan
(welfare
economics)
umumnya
selalu
diasosiasikan dengan negara-negara yang memiliki peranan sektor publik yang cukup besar melalui kebijakan ekonomi dan sosial yang cenderung memberikan perhatian terhadap pemerataan dan keadilan dalam bentuk redistribusi pendapatan, pengeluaran publik untuk penyediaan barang sosial dan sistem jaminan
sosial.
Negara-negara
ini
selanjutnya
disebut
dengan
negara
kesejahteraan (welfare state). Dalam literatur, tidak ada definisi baku tentang negara kesejahteraan. Terdapat beragam definisi tentang ekonomi kesejahteraan yang olehbeberapa peneliti diklasifikasikan dalam dua perspektif: pertama, negara yang ditunjukkan oleh sektor publik yang memberikan perhatian besar terhadap redistribusi (melalui jaminan sosial dan bantuan sosial) dan penyediaan barang sosial seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan; kedua, negara yang memiliki karakteristik kebijakan ekonomi dan sosial yang memberikan prioritas terhadap pemerataan dan perlindungan masyarakat dari resiko sosial. Dengan pendekatan perpektif yang kedua dalam menjelaskan tentang ekonomi kesejahteraan, landasan desain kebijakan kesejahteraan dalam ekonomi kesejahteraan versi neoklasik, terdapat
pula
sejumlah
koreksi
terhadap
landasan
tersebut
dengan
mengemukakan biaya dan manfaat negara kesejahteraan terhadap proses pembangunan ekonomi. Pembahasan tentang ekonomi kesejahteraan sepeti yang dikemukakan dalam tulisan Samuelson (1947) dan Arrow (1951), teori terpenting yang
30
dikemukakan oleh keduanya adalah two equivalence theorems tentang pareto optimum dan competitive equilibria.
Menurut teori tersebut, ekuilibrium yang
kompetitif di mana harga sama dengan biaya marginal akan menghasilkan alokasi yang pareto optimal, tetapi alokasi sumber daya yang terjadi tidak memaksimumkan social welfare (inequity resources allocation). Dengan kata lain ada trade-off antara efisiensi dan alokasi sumber daya yang adil diantara individu dalam masyarakat (efficiency-equity trade off). Untuk mengatasinya dibutuhkan lumpsum
transfer
(lumpsum
taxes
dan
lumpsum
subsidies)
sehingga
memungkinkan mencapai ekuilibrium kompetitif yang memiliki properti efisien dengan alokasi sumber daya yang adil.
Melalui lumpsum transfer, trade off
antara efisiensi dan pemerataan tidak terjadi sehingga kebijakan redistribusi dapat dilakukan tanpa menciptakan diskriminasi harga dan terjadinya inefisiensi. Dengan demikian, kebijakan redistribusi dapat berjalan dalam suatu sistem yang memenuhi kondisi untuk efisiensi sosial atau optimum pareto. Menurut Sandmo pula, formulasi ekonomi kesejahteraan versi ekonomi neoklasik terlalu umum dan tidak memberikan penjelasan yang detail tentang pihak mana yang akan menerima manfaat dan pihak mana yang harus berkontribusi dalam sistem redistribusi.
Kriteria yang umumnya digunakan
adalah redistribusi pendapatan dari orang kaya kepada orang miskin. Tetapi, selama tidak ada standar yang jelas tentang siapa yang dikategorikan sebagai orang kaya dan miskin, desain sistem redistribusi menjadi sulit terutama menentukan siapa yang harus membayar pajak dan siapa yang memiliki hak untuk menerima manfaat dari pajak tersebut. Dalam konteks ini, dasar ideal untuk kebijakan redistribusi yang rasional adalah informasi tentang kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki individu. Dalam kenyataannya, informasi ini sulit untuk diobservasi. Kriteria umum yang digunakan untuk menentukan individu yang kaya atau miskin adalah pendapatan atau konsumsi.
Tetapi jika ada
31
asimetri informasi antara individu dan pemerintah, lumpsum tax akan menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya atau dengan kata lain masih terjadi trade-off antara efisiensi dan pemerataan.
Dengan adanya
constraint tersebut, maka desain kebijakan redistribusi dilakukan melalui second best policy. Dalam penelitiannya, Sandmo juga mengidentifikasi permasalahan dalam sistem redistribusi dengan melihat penerima akhir dari sistem redistribusi. Umumnya,
negara
kesejahteraan
menerapkan
sistem
redistribusi
yang
mengkombinasikan prinsip-prinsip dalam asuransi yang terikat dengan waktu dan kondisi seperti asuransi pensiun, penyandang cacat, dan pengangguran. Dengan sistem tersebut, maka keberhasilan lumpsum transfer dipengaruhi oleh apakah kondisi dan waktu yang mendasarinya bersifat eksogen atau tidak. Manfaat yang diperoleh akan benar-benar merupakan lumpsum jika probabilitas terjadinya berbagai kondisi tersebut bersifat eksogen.
Dalam kenyataannya,
kadang-kadang kondisi tersebut dipengaruhi oleh aksi individu sendiri. Sebagai contoh, probabilitas terjadinya pengangguran sebagiannya dipengaruhi oleh pilihan pekerja atas pendidikan dan training, etos kerja, dan usaha untuk mendapatkan pekerjaan baru jika dia menganggur.
Demikian pula dengan
asuransi kesehatan, menyebabkan orang menjadi kurang berhati-hati terhadap masalah kesehatan.
Dengan demikian ada masalah moral hazard, yang
menyebabkan terjadinya inefisiensi terhadap penerima akhir dari sistem redistribusi.
Akibatnya, sistem redistribusi yang diterapkan tetap mengalami
trade-off antara pemerataan dan efisiensi.
Menurut Sandmo hal ini terkait
dengan pengaturan institusi dan sistim redistribusi, sehingga ia berusaha menjelaskan permasalahan tersebut dengan melihat kinerja pasa asuransi swasta untuk mengetahui apakah desain institusi dan sistem redistribusi dalam
32
negara kesejahteraan dapat memberikan kontribusi positif terhadap efisiensi dalam perekonomian. Mengutip Akerlof (1970) yang menyatakan bahwa banyak pasar asuransi mengalami permasalahan yang berkaitan dengan adverse selection. Hal ini disebabkan oleh perusahaan asuransi yang hanya memiliki informasi umum tentang resiko individu sehingga menawarkan premi pada tingkat yang merefleksikan rata-rata resiko individu secara keseluruhan. Akibatnya, hanya individu yang memiliki tingkat resiko yang tinggi yang membeli asuransi. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan berkurangnya jumlah perusahaan asuransi sehingga perekonomian akan undersupplied dengan cakupan terhadap jumlah resiko yang ada dan ini menjadi alasan adanya asuransi sosial untuk mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, menurut Sandmo mengutip Barr (1987) dan Varian (1980), pada dasarnya asuransi sosial bertujuan untuk meningkatkan kinerja pasar dan efisiensi perekonomian sehingga tidak menciptakan trade-off antara efisiensi dan pemerataan. Di sisi lain Sinn (1990) dan Wildasin mengemukakan bahwa salah satu permasalahan yang kini mengemuka dalam kebijakan negara kesejahteraan adalah pengaruh integrasi ekonomi internasional yang menyebabkan tenaga kerja bersifat mobile sehingga mengurangi kebutuhan terhadap kebijakan redistribusi.
Penelitian tersebut mengingatkan bahwa analisis terkini tentang
kesejahteraan di negara-negara yang menerapkan ekonomi kesejahteraan harus memperhatikan bahwa sekalipun redistribusi pajak dan transfer menyebabkan diskriminasi harga dan inefisiensi, tidak semua efek kebijakan di negara kesejahteraan menunjukkan arah yang sama. Estimasi untuk menentukan biaya sosial yang efisien di negara kesejahteraan juga sulit dilakukan karena tidak adanya standar yang baku tentang model perekonomian yang menjadi pembanding.
33
Dalam papernya, Sandmo juga mensyaratkan bahwa keberartian ekonomi kesejahteraan di negara kesejahteraan harus bersifat empiris karena second best policy yang diterapkan meniscayakan adanya trade off antara efisiensi
dan
manfaat
yang
diperoleh
dari
kebijakan
redistribusi
atau
kemungkinan untuk mencari alternatif kebijakan redistribusi lainnya. Selain itu, juga harus diketahui seberapa besar pengaruh kebijakan tersebut, apakah bersifat positif atau negatif. Contoh studi empiris tentang ekonomi kesejahteraan dapat dilihat pada Atkinson (1987) dan Moffit (1992). Sebelumnya, studi tentang ekonomi kesejahteraan tidak memberikan perhatian seberapa besar efek lumpsum transfer dan perubahan perilaku yang ditimbulkannya. Oleh karena itu, masih menurut Agnar Sandmo studi terkini tentang kesejahteraan seharusnya juga membahas tentang perilaku individu dalam negara kesejahteraan. Studi tentang perilaku individu di negara kesejahteraan pada awalnya fokus pada pengaruh pajak dan jaminan sosial terhadap penawaran tenaga kerja dan perilaku tabungan. Namun beberapa studi lanjutan menunjukkan bahwa pendekatan tersebut memiliki kelemahan. Misalnya, studi tentang penawaran tenaga kerja menjelaskan tentang pengaruh perubahan tarif pajak terhadap kontinuitas bekerja dan partisipasi serikat pekerja yang cenderung hanya bersifat jangka pendek. Studi-studi tersebut tidak menjelaskan efek sistemik dari negara kesejahteraan terhadap insentif untuk bekerja yang cenderung bersifat jangka panjang. Pada dasarnya, perilaku individu dalam negara kesejahteraan tidak hanya dipengaruhi oleh pajak dan jaminan sosial, tetapi juga oleh jumlah pengeluaran publik pemerintah. Studi yang dilakukan oleh Currie menunjukkan bahwa pengeluaran publik di sektor kesehatan dan pendidikan meningkatkan kualitas angkatan kerja. Dengan demikian, studi tentang pengaruh kebijakan negara
kesejahteraan
terhadap
penawaran
tenaga
kerja
seharusnya
34
mempertimbangkan besarnya pengeluaran publik pemerintah.
Selain itu,
kebijakan redistribusi juga harus fokus terhadap pemerataan standar kehidupan masyarakat termasuk distribusi pendapatan, apakah kebijakan redistribusi telah mengurangi kesenjangan. Pembahasan tentang negara kesejahteraan pun berlanjut pada pendekatan
politik
ekonomi
yang
menyatakan
bahwa
dorongan
untuk
menerapkan ekonomi kesejahteraan merupakan akibat dari proses politik karena masyarakat concern terhadap pemerataan dan keadilan.
Akibatnya, negara
kesejahteraan memberikan perhatian yang cukup besar terhadap pemerataan dan keadilan melalui redistribusi pendapatan, dan pengeluaran publik untuk penyediaan barang sosial seperti kesehatan, pendidikan, dan sistem jaminan sosial.
Kondisi tersebut juga menjelaskan mengapa kebijakan negara
kesejahteraan cenderung melampaui target walaupun terdapat asimetri antara biaya dan manfaat dari kebijakan redistribusi. Observasi yang menarik adalah tentang fenomena overshooting terutama di negara-negara kesejahteraan seperti Skandinavia yang bukan hanya lebih merata dalam disposable income, tetapi juga memiliki gross income yang lebih merata dibandingkan dengan negaranegara lainnya.
Selain itu, berkembangnya negara kesejahteraan berkaitan
dengan peranan perilaku paternalistik dalam desain institusi ekonomi. Motivasi munculnya pensiun negara merupakan dorongan dari para politisi dan akademisi bahwa masyarakat tidak cukup rasional untuk memahami apa yang menjadi perhatian
mereka
dalam
jangka
panjang.
Perekonomian
di
negara
kesejahteraan menyediakan area studi yang menarik baik dari aspek teoritis maupun empirical yang tidak hanya melibatkan disiplin ilmu ekonomi tetapi juga berkaitan disiplin ilmu sosial lainnya.
35
Namun dalam penelitiannya, Sandmo tidak menjelaskan proses pengambilan kebijakan di negara kesejahteraan.
Hal ini penting mengingat
sekalipun kita memahami kebijakan optimal yang dapat diambil, hal tersebut belum tentu dapat dicapai jika institusi pembuat kebijakan tidak memilih kebijakan dimaksud.
Beberapa studi yang dilakukan sebelum andmo
menjelaskan tentang fenomena tersebut. Misalnya, studi yang dilakukan oleh Brennan dan Buchanan (1980) menunjukkan bahwa pilihan kebijakan yang dibuat
oleh
para
politisi
cenderung
bersifat
self-interest
dan
tidak
memaksimumkan kesejahteraan masyarakat. Studi lainnya seperti Persson dan Svensson (1989), Tabellini dan Alesina (1990) juga menunjukkan bagaimana pilihan kebijakan untuk memaksimumkan kesejahteraan masyarakat tidak terwujud karena adanya political failure dalam desain kebijakan. Selain itu, tentang tingkat optimal income equalization dari sistem redistribusi, dengan adanya faktor moral hazard dalam sistem redistribusi, income equalization yang melebihi batas optimal akan bersifat disinsentif terhadap perekonomian. Bahkan, pada kondisi tertentu dapat mengakibatkan kegagalan kebijakan redistribusi yang diterapkan. 2.2 Penelitian Terdahulu Antonio Afonso, L Schuknecht, dan Vito Tanzi (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Public Sector Efficiency an International Comparison dalam Working Paper Series European Central Bank telah menghitung efisiensi dari kinerja sektor publik (PSP) dan efisiensi sektor publik (PSE) yang dikompositkan
dalam
7
sub indikator di 23
negara
industri (OECD).
Menggunakan pendekatan Non parametrik: Free Disposable Hull dan Data Envelopment Analysis dengan menggunakan •
Opportunity indicator terdiri dari administratif, indikator kesehatan, indikator pendidikan, dan indikator infrastruktur publik
36
•
Indikator Musgravian terdiri dari distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa negara dengan sektor publik
yang kecil mempunyai skor yang tinggi pada kinerjanya terutama pada indikator administratif dan kinerja ekonomi, sedangkan negara dengan sektor publik yang besar menunjukkan lebih meratanya distribusi pendapatannya. Negara dengan ukuran sektor publik yang kecil menunjukkan signifikansi indikator PSE yang lebih tinggi daripada medium sized-big sektor publik, sehingga berlaku diminishing marginal products of higher public spending.
Pengeluaran
pemerintah yang besar rata-rata 35% lebih rendah dengan PSP yang sama pada pemerintahan yang kecil.
Lima belas negara EU menggunakan pengeluaran
publik 27% lebih tinggi daripada negara dengan efisiensi tertinggi (Jepang, Luxemburg, dan US) pada level indikator PSP yang sama. Antonio Afonso dan Miguel St. Aubyn (2005) dalam Non Parametric Approaches to Education Health: Expenditure Efficiency in OECD Countries dalam Journal of Applied Economics 8, pp 227-246 bertujuan menghitung efisiensi dari kinerja sektor publik (PSP) dan efisiensi sektor publik (PSE) yang dikompositkan dalam 7 sub indikator di 23 negara industri (OECD) dengan menggunakan pendekatan Non parametrik: Free Disposable Hull dan Data Envelopment Analysis dengan variable penelitian: •
Input pendidikan: pengeluaran tiap siswa, jam belajar di sekolah, rasio guru terhadap 100 siswa.
•
Output pendidikan: PISA indeks.
•
Input kesehatan: pengeluaran kesehatan perkapita, jumlah dokter dan perawat, jumlah tempat tidur pasien di rumah sakit.
•
Output kesehatan: angka harapan hidup, tingkat kematian bayi. Hasil penelitannya menunjukkan bahwa
37
Swedia adalah negara dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang efisien apabila inputnya terukur secara fisik (bukan financial resources), implikasinya sumber daya di negara tersebut cenderung mahal. Sebaliknya, Polandia sebagai negara dengan sektor pendidikan dan kesehatan yang tidak efisien apabila inputnya terukur secara fisik, yang berarti sumber daya berupa dokter, perawat, guru, tempat tidur pasien relatif lebih murah. Polandia justru efisien dalam input financial (pengeluaran/kapita). Beberapa negara yang selalu efisien di kedua sektor tersebut tanpa memperhatikan sifat inputnya adalah Meksiko, Jepang, dan Korea. Meksiko adalah negara dengan pengeluaran sumber daya yang sedikit, dan hasilnya juga tidak terlalu baik. Jepang adalah “best performer” dalam menghasilkan output kedua sektor walaupun tidak terlalu banyak Vasanthakumar N. Bhat dalam The European Journal of Health Economics, vol 6 No 3, 2005 menguji efisiensi sistem pelayanan kesehatan di 24 negara OECD dan menganalisis pengaruh susunan kelembagaan terhadap efisiensi pelayanan kesehatan. Metode yang digunakan adalah Pendekatan non parametrik: Data Envelopment Analysis (DEA) menghasilkan: •
Negara Jepang, Denmark, Norwegia, Portugal, Swedia, Belanda, Turki, dan Inggris adalah sudah CRS efisien yang berarti apabila ada peningkatan seluruh input maka output juga akan meningkat dengan persentase yang sama.
•
Penghitungan efisiensi input berguna bagi negara untuk mengetahui penggunaan sumber daya input yang overuse maupun belum optimal.
38
•
Tiap negara harus dapat membandingkan kinerjanya dengan negara lain yang selevel dan mengidentifikasi kebijakan yang tepat.
•
Kelembagaan memiliki dampak yang signifikan terhadap efisiensi pelayanan kesehatan.
Negara dengan supply arrangements dalam
bentuk public contract dan public integrated lebih efisien daripada public reimbursement. Negara dengan sistem pengupahan melalui upah dan gaji serta capitation adalah lebih efisien daripada negara dengan tenaga medis yang bersifat sukarelawan (free for services).
Negara dengan
peran dokter sebagai gatekeeper adalah lebih efisien daripada tanpa gatekeeper. Antonio Afonso dan Sonia Fernandez (2003) dalam penelitiannya yang berjudul Efficiency of Local Government Spending : Evidence for the Lisbon Region dengan menggunakan pendekatan DEA bertujuan menghitung efisiensi pengeluaran pemerintah lokal di Lisbon.
Indikator-indikator yang digunakan
adalah administrasi umum, pendidikan, aktivitas sosial, sanitasi dasar, dan perlindungan lingkungan. Hasilnya menunjukan secara umum 51 municipalities di Lisbon relatif tidak efisien. 2.3
Kerangka Pemikiran Teoritis Implementasi desentralisasi fiskal dan otonomi daerah dan Peranan
Pemerintah
akan
mempengaruhi Pengeluaran
dan
Belanja
Pemerintah.
Disamping itu peranan Pemerintah juga sangat mempengaruhi tujuan maupun sasaran
pembangunan.
Selanjutnya
pengeluaran
belanja
menentukan akan peningkatan kinerja dan efisiensi sektor publik.
Pemerintah
39
Gambar 2.2: Kerangka Pemikiran
IMPLEMENTASI DESENTRALISASI FISKAL Pelimpahan wewenang kepada daerah Tujuan Otonomi Daerah • Mendekatkan pemerintah dkepada masyarakat • Meningkatnya efisiensi pengeluaran pemerintah • Meningkatnya efisiensi dan kinerja sektor publik
PERANAN PEMERINTAH: Fungsi Distribusi, Alokasi, dan Stabilisasi penyediaan barang publik
PENGELUARAN BELANJA PEMERINTAH
KINERJA DAN EFISIENSI SEKTOR PUBLIK MENINGKAT Untuk mengetahu apakah setelah adanya desentralisasi fiskal terjadi peningkatan kinerja dan efisiensi sektor publik
Indikator komposit kinerja publik untuk mengukur indikator Public Sector Performance (PSP) dan Public Sector Efficiency (PSE)
Melakukan analisis efisiensi relatif antar kabupatn/kota dengan metode Data Envelopment Analysis (DEA)
Sumber: Dari berbagai sumber, diolah.
TUJUAN/SASARAN PEMBANGUNAN (GOALS OF DEVELOPMENT)
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini akan mengambil studi pada 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dengan menggunakan data runtut waktu (time series) dan data cross section. Data runtut waktu mencakup tahun 2006 sampai 2010 untuk indikator kinerja sektor publik. Pengukuran kinerja sektor publik tahun 2006 hingga 2010 ini dimaksudkan agar penelitian ini dapat membandingkan kinerja sektor publik apakah terjadi peningkatan atau justru penurunan seiring dengan makin besarnya total pengeluaran pemerintah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data
yang
diperoleh
berdasarkan
dipublikasikan oleh instansi tertentu.
informasi
yang
telah
disusun
dan
Data tesebut diperoleh dari beberapa
publikasi antara lain publikasi BPS, Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, dan Bappenas. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi pustaka.
Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan informasi melalui
pendalaman literatur-literatus yang berkaitan dengan objek studi. 3.2 Metode dan Alat Analisis Data Dalam penelitian ini tahapan metode yang dilakukan adalah pertama mendefinisikan
dan
menghitung
kinerja
sektor
publik
(Public
Sector
Performance/PSP), selanjutnya mendefinisikan dan menghitung efisiensi sektor publik (Public Sector Efficiency/PSE). Setelah diketahui PSP dan PSE masingmasing
unit
pemerintah
daerah,
selanjutnya
dilakukan
penghitungan
perbandingan kinerja antar unit Pemerintah daerah dengan menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA).
40
41
3.2.1 Public Sector Performance (PSP) dan Public Sector Efficiency (PSE) Dampak positif dari desentralisasi fiskal telah disebutkan sebelumnya salah satunya tercermin dari efisiensi pengeluaran publik. Dengan merujuk pada Afonso dkk (2005), penelitian ini akan menyusun indeks kinerja dan efisiensi sektor publik dengan metode PSP dan PSE.
Secara teknis, angka PSP
diperoleh dengan melakukan kompilasi terhadap sub-sub indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi.
Nilai PSP tergantung pada indikator-indikator
kinerja ekonomi tertentu, yang terdiri dari indikator sosial ekonomi dan indikator musgravian. 𝑛
PSP𝑖 = � PSP𝑖𝑗 𝑗=1
(3.1)
di mana: i : unit pemerintah i atau dalam penelitian ini adalah Pemda i j : kinerja unit pemerintah pada sektor j atau dalam penelitian ini adalah kinerja pemerintah daerah sektor j
Nilai PSP merupakan fungsi dari berbagai kinerja sosial ekonomi. PSPij = f(Ik)
(3.2)
di mana: i : indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi k : sub indikator dalam masing-masing indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi
Oleh karena itu, perubahan pada PSP tergantung pada perubahan nilainilai indikator musgravian dan indikator sosial ekonomi yang relevan. Atau dapat dinotasikan sebagai berikut:
𝑛
∆PSP𝑖𝑗 = � 𝑖=𝑘
∂f ∂I𝑘
(3.3)
42
Dengan demikian, semakin besar pengaruh positif dari belanja publik yang relevan pada setiap sub indikator kinerja sektor publik akan menghasilkan perbaikan maupun peningkatan pada indeks PSP.
Berdasarkan hal tersebut
maka perubahan-perubahan yang terjadi pada indikator-indikator sosial ekonomi dapat dilihat sebagai perubahan pada kinerja sektor publik. Untuk menaksir PSP, penelitian ini menggunakan 5 sub indikator kinerja publik yaitu kesehatan, pendidikan, distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi. Komposisi total indikator PSP yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar III.1. Gambar 3.1: Total Indikator Public Sector Performance (PSP) Kesehatan • • • INDIKATOR SOSIAL EKONOMI
Angka kematian bayi Angka Harapan Hidup Cakupan Imunisasi dasar pada bayi
Pendidikan • • • •
Enrollment Sekolah Dasar Enrollment SLTP Angka Melek Huruf Rata-rata Lama Sekolah TOTAL PSP INDIKATOR Distribusi
•
Gini Indeks Stabilitas
INDIKATOR STANDAR MUSGRAVIAN
• •
Stabilitas pertumbuhan PDRB (koefisien variasi) Laju inflasi (year on year)
Kinerja Ekonomi • • •
PDRB per kapita Pertumbuhan PDRB Tingkat Pengangguran Terbuka
Sumber: Afonso, dkk (2005) dengan modifikasi.
43
Tahap berikutnya adalah menghitung indikator efisiensi sektor publik dengan indeks PSE. Berdasarkan persamaan 3.1 dan persamaan 3.3, nilai indikator efisiensi sektor publik dapat dihitung yaitu dengan cara membandingkan antara nilai indeks kinerja sektor publik yang diukur melalui indikator PSP dengan sejumlah belanja publik yang relevan (PEX) yang digunakan untuk mencapai outcome sektor publik. Dengan demikian indeks PSE dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
dengan;
PSE𝑖 =
𝑃𝑆𝑃𝑖 𝑃𝐸𝑋𝑖
(3.4)
𝑛
𝑃𝑆𝑃𝑖𝑗 𝑃𝑆𝑃𝑖 =� 𝑃𝐸𝑋𝑖𝑗 𝑃𝐸𝑋𝑖 𝑖=𝑘
(3.5)
Marginal Productivity dari pengeluaran publik bernilai positif dan menurun, maka 𝜕𝑃𝑆𝑃𝑖𝑗 > 0, 𝜕𝑃𝐸𝑋𝑖𝑗
𝜕 2 𝑃𝑆𝑃𝑖𝑗 < 0, 𝜕𝑃𝐸𝑋2 𝑖𝑗
(3.6)
di mana : PEX adalah rata-rata pengeluaran publik (normalisasi) Untuk menghasilkan kinerja sektor publik dari berbagai komponen indikator yang mempunyai satuan yang berbeda, maka dilakukan normalisasi data untuk tiap indikator kinerja. Normalisasi dilakukan dengan cara menghitung rata-ratanya, dan setiap nilai dibagi dengan nilai rata-ratanya tersebut. Sedangkan untuk indikator dengan orientasi kinerja yang terbalik (misalnya pengangguran yaitu semakin tinggi tingkat pengangguran semakin buruk kinerja ekonomi unit Pemda), normalisasinya dilakukan melalui pembagian nilai rataratanya dengan nilai sub indikator tersebut. Kemudian untuk sub indikator kinerja publik yang mempunyai tolok ukur lebih dari 1 maka terlebih dahulu dilakukan pembobotan. Sebagai contoh, sub indikator kinerja pendidikan mempunyai 4 tolok ukur, yaitu APK SD, APK SMP,
44
APM, tingkat melek huruf, dan rata-rata lama sekolah serta diasumsikan bahwa setiap tolok ukur memberikan kontribusi yang sama terhadap tingkat capaian kinerja sektor pendidikan maka setiap variabel tolok ukur sub indikator pendidikan diberi nilai 25%. 3.2.2 Data Envelopment Analysis (DEA) Menurut Cooper, et.all (1999) teknik DEA dilihat sebagai
“such as
mathematical programming which can handle large numbers of variables and constrains....”.
Dengan demikian metode DEA dapat mengatasi keterbatasan
metode rasio dan regresi yang tidak dapat menggunakan banyak input dan output. DEA bekerja dengan langkah mengidentifikasi unit-unit yang akan dievaluasi, input serta output unit tersebut. Selanjutnya, dihitung nilai produktivitas dan mengidentifikasi unit mana yang tidak menggunakan input secara efisien atau tidak menghasilkan output secara efektif. Produktivitas yang diukur bersifat komparatif atau relatif, karena hanya membandingkan antar unit pengukuran dari 1 set data yang sama.
DEA adalah model analisis faktor
produksi untuk mengukur tingkat efisiensi relatif dari set unit kegiatan ekonomi (UKE). Skor efisiensi dari banyak faktor input dan output dirumuskan sebagai berikut (Talluri, 2000); 𝑒𝑓𝑓𝑖𝑐𝑖𝑒𝑛𝑐𝑦 =
Jumlah output tertimbang Jumlah input tertimbang
(3.7)
DEA berasumsi bahwa setiap UKE akan memilih bobot yang memaksimumkan rasio efisiensinya (maximize total weighted output/total weighted input).
Karena setiap UKE menggunakan kombinasi input yang
berbeda untuk menghasilkan kombinasi output yang berbeda pula, maka setiap UKE akan memilih seperangkat bobot yang mencerminkan keragaman tersebut. Secara umum UKE akan menetapkan bobot yang tinggi untuk input yang
45
penggunaanya sedikit dan untuk output yang dapat diproduksi dengan banyak. Bobot-bobot tersebut bukan merupakan nilai ekonomis dari input dan outputnya, melainkan sebagai penentu untuk memaksimumkan efisiensi dari suatu UKE. Sebagai gambararan, jika suatu UKE merupakan perusahaan yang berorientasi pada keuntungan (profit-maximizing firm) dan setiap input dan outputnya memiliki biaya per unit serta harga jual per unit, maka perusahaan tersebut akan berusaha menggunakan sesedikit mungkin input yang biaya per unitnya termahal dan berusaha memproduksi sebanyak mungkin output yang harga jualnya tinggi. DEA memiliki beberapa nilai manajerial. Pertama, DEA menghasilkan efisiensi untuk setiap UKE, relatif terhadap UKE yang lain di dalam sampel. Angka efisiensi ini memungkinkan sesorang analisis untuk mengenali UKE yang paling membutuhkan perhatian dan merencanakan tindakan perbaikan bagi UKE yang tidak/kurang efisien.
Kedua, jika suatu UKE kurang efisien (efisiensi <
100%) DEA menunjukkan sejumlah UKE yang memiliki efisiensi sempurna (efficient reference set, efisiensi=100%) dan seperangkat angka pengganda (multipliers) yang dapat digunakan oleh manajer untuk menyusun strategi perbaikan. Informasi tersebut memungkinkan seseorang analisis membuat UKE hiptetis yang menggunakan input yang lebih sedikti dan menghasilkan output paling tidak sama atau lebih banyak dibandingkan UKE yang tidak efisien, sehingga UKE hipotetis tersebut akan memiliki efisiensi yang sempurna jika menggunakan bobot input dan bobot output dari UKE yang tidak efisien. Pendekatan tersebut member arah strategis bagi manajer untuk meningkatkan efisiensi suatu UKE yang tidak efisien melalui pengenalan terhadap input yang terlalu banyak digunakan serta output yang produksinya terlalu rendah. Sehingga seorang manajer tidak hanya mengetahui UKE yang tidak efisien, tetapi ia juga mengetahui seberapa tingkat input dan output harus disesuaikan agar dapat memiliki efisiensi yang tinggi.
46
Sebagai ilustrasi, bila terdapat 3 UKE yang menggunakan dua input dan satu output dapat dilihat pada Gambar III.2 dimana input dinormalisasi dengan output untuk setiap unit. UKE A dan B terletak pada efficient frontier, sedangkan UKE C terletak pada garis OC yang memotong garis efficient frontier. Efficient frontier merupakan potongan-potongan garis yang membentuk kurva linier yang mengarah ke atas dan kekanan dan memasih memenuhi kondisi tertentu, yaitu potongan-potongan garis yang merupkan lingkup terbawah (terendah) dari UKE di dalam sampel. Efficient frontier mengelilingi/melingkupi titik-titik yang mewakili setiap UKE. Dari sinilah nama Data Envelopment Analysis Berasal. Gambar 3.2: Efisiensi Frontier dengan Tiga Input
Sumber: Annonim (1999), Hadad, et al. (2003), Sherman dan Zhu (2006)
Berdasarkan Gambar III.2 di atas dapat ditentukan efisiensi suatu UKE atas dasar posisi relatifnya terhadap efficient frontier. Setiap UKE ditunjukan oleh sebuah titik koordinatnya merupakan rasio tingkat input1/output dan tingkat input2/output. Untuk UKE yang letaknya lebih ke bawah dan lebih ke kiri dari UKE yang lain merupakan UKE yang lebih efisien dari UKE yang kedua tersebut, sebab UKE yang pertama mampu memproduksi tingkat output yang sama
47
dengan mengunakan dua jenis input dengan jumlah yang lebih rendah dibandingkan UKE yang kedua sehingga titik O (origin) merupakan orientasi setiap UKE agar menjadi efisien. Garis OC memotong efficient frontier pada C’. Efisiensi UKE C sama dengan rasio antara segmen garis OC’ dibagi segmen garis OC. Karena OC’ < OC, maka rasio OC’/OC menghasilkan nilai kurang dari satu (efisiensi UKE C = OC’/OC < 1) sehingga UKE C tidak efisien. Suatu UKE dianggap efisien jika rasio efiseinsinya sama dengan 1 atau 100% dan ini terjadi jika suatu UKE terletak pada efficient frontier. Jika suatu UKE terletak pada efficient frontier, maka kedua segment garis tersebut akan sama panjang dan rasio kedua segmen sama dengan satu. Jika suatu UKE terletak di atas dan di kanan suatu efficient frontier, maka rasio kedua segmen garis tersebut akan kurang dari 1. Selanjutnya efisiensi untuk mengukur kinerja proses produksi dalam arti yang luas dengan mengoperasionalkan variabel-variabel yang mempunyai satuan yang berbeda-beda, yang kebanyakan seperti dalam pengukuran barangbarang publik atau barang yang tidak mempunyai pasar tertentu (non-traded goods), maka alat analisis DEA merupakan pilihan yang paling sesuai (Damanhuri dan Susilowati, 2004). Analisis DEA didesain secara spesifik untuk mengukur efisiensi relatif suatu unit produksi dalam kondisi terdapat banyak input maupun banyak output, yang biasanya sulit disiasati secara sempurna oleh teknik analisis pengukuran efisiensi lainnya (Silkman dalam Nugroho, 1995). Jadi secara singkat berbagai keunggulan dan kelemahan metode DEA adalah (Purwantoro, 2004) sebagai berikut: (a) Keunggulan DEA •
Dapat menangani banyak input dan ouput
•
Tidak perlu asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan output
48
•
UKE (Unit Pengambil Keputusan) dibandingkan secara langsung dengan sesamanya
•
Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Sebagai contoh X1 dapat dalam unit dan X2 dapat dalam dollar tanpa apriori keduanya.
(b) Keterbatasan DEA: •
Bersifat Statis spesifik
•
Merupakan extreme point technique, kesalahan pengukuran dapat berakibat fatal
•
DEA sangat bagus untuk estimasi efisiensi relatif UKE (unit kegiatan ekonomi) tetapi sangat lambat untuk mengukur efisiensi absolut dengan kata
lain
bisa
membandingkan
sesama
UKE
tetapi
bukan
membandingkan maksimisasi secara teori. •
Uji hipotesis secara statistik atas hasil DEA sulit dilakukan
•
Menggunakan perumusan linier programming terpisah untuk tiap UKE (perhitungan secara manual sulit dilakukan apalagi untuk masalah berskala besar)
•
Bobot dan input yang dihasilkan oleh DEA tidak dapat ditafsirkan dalam nilai ekonomi.
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Public Sector Performance (PSP) adalah outcome atau keberhasilan sektor publik (pemerintah propinsi) dalam rangka melakukan fungsi distribusi, alokasi, dan distribusi maupun dalam rangka penyediaan pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan.
Untuk menaksir PSP penelitian ini
menggunakan 5 sub indikator kinerja publik, yaitu kesehatan, pendidikan, distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi.
Dua sub indikator pertama adalah
49
indikator sosial ekonomi (opportunity indicators).
Sedangkan 3 indikator
berikutnya adalah indikator kinerja yang mengacu pada indikator kinerja Musgravian (standard musgravian indicators). Sub indikator kesehatan terdiri dari 3 komponen yaitu angka harapan hidup, angka kematian bayi, dan persentase anak yang diimunisasi wajib. Sub indikator pendidikan terdiri dari 4 komponen yaitu angka partisipasi SD, angka partisipasi SMP, tingkat melek huruf, dan rata-rata lama sekolah.
Sub indikator distribusi terdiri dari 1
komponen yaitu gini ratio. Sub indikator stabilitas terdiri dari 2 komponen yaitu variasi laju pertumbuhan PDRB dan laju inflasi. Sub indikator kinerja ekonomi terdiri dari 3 komponen yaitu laju pertumbuhan PDRB, PDRB per kapita, dan tingkat pengangguran terbuka. Definisi operasional variabel yang telah disebutkan di atas penjelasannya sebagai berikut: 1. Angka Harapan Hidup Angka harapan hidup adalah suatu perkiraan rata-rata lamanya hidup per penduduk (dalam tahun) sejak lahir yang akan dicapai oleh penduduk dalam suatu wilayah dan waktu tertentu yang dihitung berdasarkan angka kematian menurut kelompok umur. Angka harapan hidup dihitung dengan formula sebagai berikut:
2. Angka Kematian Bayi
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑘𝑒ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑘𝑜ℎ𝑜𝑟𝑡 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜ℎ𝑜𝑟𝑡
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi pada bayi sebelum mencapai usia satu tahun. Angka kematian bayi dihitung dengan formula sebagai berikut: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑏𝑎𝑦𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 𝑑𝑖 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢 𝑠𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎 𝑠𝑒𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑥 1000 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑎𝑛 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑑𝑖 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑘𝑢𝑟𝑢𝑛 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
50
3. Cakupan Imunisasi Dasar Pada Bayi Adalah jumlah bayi yang telah mendapat imunisasi wajib yang dinyatakan dalam persentase. Nilai cakupan dapat lebih besar dari 100% karena dimungkinkan terdapat bayi yang berada di daerah perbatasan. 4. Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Dasar (SD) APK SD adalah perbandingan antara jumlah murid SD dengan penduduk kelompok usia sekolah yang sesuai yang dinyatakan dalam persentase. Hasil angka ini digunakan untuk mengetahui banyaknya persentase murid yang bersekolah SD. APK SD dihitung dengan formula sebagai berikut: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑢𝑟𝑖𝑑 𝑆𝐷 𝑥 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑆𝐷 (𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 7 − 12 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
Semakin tinggi APK berarti semakin banyak anak usia sekolah yang
bersekolah di SD pada suatu wilayah tertentu. Nilai APK dapat lebih besar dari 100% karena banyak murid bersekolah di luar usia resmi sekolah yang terletak di daerah kota atau di perbatasan. Begitupun untuk APK Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sebagai catatan, nilai APK pada suatu jenjang pendidikan, dapat lebih dari 100 persen, karena dalam penghitungan APK, memungkinkan terdapat murid yang berumur di luar sekolah pada jenjang tersebut. 5. Angka Partisipasi Murni (APM) APM adalah perbandingan penduduk menurut usia pendidikan yang terdaftar sekolah pada tingkat pendidikan yang bersesuaian (murid usia 7-12 tahun di SD, usia 13-15 di SLTP, dan usia 16-18 tahun untuk SLTA) dengan jumllah penduduk 7-12 untuk SD, usia 13-15 tahun untuk SLTP, dan usia 16-18 tahun untuk SLTA. APM SD dihitung dengan formula sebagai berikut:
51
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑢𝑟𝑖𝑑 𝑢𝑠𝑖𝑎 7 − 12 𝑑𝑖 𝑆𝐷/𝑠𝑒𝑑𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡) 𝑥 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 𝑆𝐷 (𝑘𝑒𝑙𝑜𝑚𝑝𝑜𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 7 − 12 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛)
Begitupun untuk mengukur APM SLTP, dan APM SLTA digunakan
formula
yang
sama
terhadap
penduduk
usia
SLTP/sederajat
dan
SLTA/sederajat. 6. Tingkat Melek Huruf Tingkat melek huruf adalah jumlah penduduk berusia 10 tahun yang dapat membaca dan menulis huruf dengan total jumlah penduduk usia 10 tahun ke atas dan dinyatakan dalam persentase. Angka ini digunakan untuk melihat besarnya porsi penduduk yang dapat membaca dan menulis sebagai dasar bagi pelaksanaan pendidikan. Semakin tinggi angka melek huruf semakin baik. Tingkat melek huruf dihitung dengan formula: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 10 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑚𝑒𝑚𝑏𝑎𝑐𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑥 100% 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑢𝑠𝑖𝑎 10 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 𝑘𝑒 𝑎𝑡𝑎𝑠
7. Rata-rata Lama Sekolah
Rata-rata lama sekolah adalah jumlah rata-rata jumlah tahun yang dihabiskan oleh penduduk berusia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal yang pernah dijalani. 8. Gini Ratio (GR) Koefisien gini digunakan untuk melihat adanya hubungan antara jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh keluarga atau total individu dengan total pendapatan. Ukuran GR sebagai ukuran pemerataan pendapatan mempunyai kisaran nilai antara 0 sampai dengan 1. Bila GR mendekati 0 menunjukkan adanya ketimpangan yang rendah dan bila GR mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang tinggi (Todaro, 2003) .
52
Secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 0,00 < G < 0,35
: pemerataan tinggi / ketimpangan rendah
0,35 < G < 0,50
: pemerataan / ketimpangan sedang
G > 0,50
: pemerataan rendah / ketimpangan tinggi
9. PDRB per kapita PDRB per kapita adalah PDRB suatu daerah dibagi dengan jumlah penduduk pertengahan tahun daerah tersebut dan dinyatakan secara absolut dalam rupiah per tahun. 10. Pertumbuhan Ekonomi Laju pertumbuhan didekati dengan laju pertumbuhan PDRB. PDRB yang digunakan dalam penelitian ini adalah PDRB pendekatan produksi atas harga konstan 2000 dalam satuan juta rupiah.
Laju pertumbuhan PDRB
merupakan laju pertumbuhan dari tahun ke tahun yang dihitung dengan formula:
di mana: G PDRB t PDRB t-1
𝐺=
𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡 − 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1 𝑥 100% 𝑃𝐷𝑅𝐵𝑡−1
: laju pertumbuhan PDRB : PDRB periode t : PDRB periode t-1
11. Tingkat Pengangguran Terbuka Tingkat pengangguran terbuka adalah ukuran yang menunjukkan seberapa banyak dari jumlah angkatan kerja yang sedang aktif mencari pekerjaan dan dihitung dengan jumlah pencari kerja dibagi jumlah angkatan kerja dikali 100% atau dituliskan dalam formula: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑐𝑎𝑟𝑖 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑥 100% 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐴𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎
Sedangkan untuk Public Sector Efficiency (PSE) digunakan untuk menghitung indikator efisiensi sektor publik. Untuk menaksir PSE digunakan total
53
pengeluaran pemerintah daerah (belanja publik daerah) yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB (a share of PDRB) yang diasumsikan dapat mencerminkan opportunity cost yang dikeluarkan oleh sektor publik (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk mencapai target kinerja sektor publik yang telah ditetapkan. 1. Belanja pemerintah sektor kesehatan yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB yang digunakan sebagai proksi atas opportunity cost untuk mencapai target kinerja layanan di bidang kesehatan.
Belanja
pemerintah sektor kesehatan meliputi besarnya pengeluaran pemerintah dari anggaran pendapatan belanja yang dialokasikan untuk sektor kesehatan. 2. Belanja pemerintah sektor pendidikan yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB yang digunakan sebagai proksi atas opportunity cost untuk mencapai target kinerja layanan bidang pendidikan. Belanja pemerintah sektor pendidikan meliputi besarnya pengeluaran pemerintah dari anggaran pendapatan belanja yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. 3. Total belanja pemerintah dalam melakukan fungsi distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB sebagai proksi atas opportunity cost untuk mencapai target kinerja layanan dalam melakukan fungsi distribusi, stabilisasi, dan kinerja ekonomi. Indikator-indikator efisiensi publik (PSE) di atas menjadi input dalam analisis berikutnya, dan sebagai variabel outputnya digunakan indikator Public Sector Performance (PSP) sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Provinsi Jawa Timur terletak pada 111 derajat 0 menit hingga 114 derajat 4 menit Bujur Timur dan 7 Derajat 12 menit hingga 8 derajat 48 menit Lintang Selatan. Wilayah Jawa Timur terdiri dari 90 persen wilayah daratan yang mencapai 47.156 kilometer persegi. Jumlah pulau di Jawa Timur ± 441 pulau yang terdiri dari 17 pulau berpenghuni dan 423 pulau tak berpenghuni. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur, secara administratif terbagi menjadi 38 daerah yang terdiri dari 29 daerah Kabupaten dan 9 daerah Kota, yang terbagi dalam wilayah Kecamatan, Desa, dan Kelurahan, sebanyak 657 kecamatan dan 8.486 desa/kelurahan. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 diketahui bahwa wilayah Jawa Timur dihuni penduduk sebanyak 37.476.011 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki sebesar 18.488.290 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 18.987.721 jiwa. Provinsi Jawa Timur merupakan daerah berpenduduk terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Barat yang berpenduduk 43.170.260 jiwa.
Sebaran
jumlah penduduk di Kabupaten/Kota sangat bervariasi, jumlah tertinggi adalah Kota Surabaya dengan jumlah penduduk 2.765.908 jiwa dan terendah yaitu Kota Mojokerto dengan jumlah penduduk sebesar 120.132 jiwa. Pasca krisis ekonomi berbagai program pembangunan diarahkan untuk memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Upaya ini
telah
sesuai
dengan
substansi
pembangunan
yangbertujuan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan dan pemerataan.
Berbagai strategi pembangunan ekonomi dan terciptanya
pemerataan ekonmi uang berkeadilan. Adapun wujud nyata dari upaya tersebut adalah menurunnya jumlah penduduk miskin. 54
55
Kemiskinan pada umumnya berupa kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kedua hal ini menggambarkan kemiskinan yang merupakan kondisi
secara ekonomi seseorang yang belum bisa memenuhi kebutuhan dasar. Penduduk adalah setiap orang, baik warga negara Republik Indonesia maupun warga negara asing yang berdomisili di dalam wilayah Republik Indonesia selama enam bulan atau lebih dan mereka yang berdomisili kurang lebih enam bulan tetapi bertujuan menetap. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih kecil dari Garis Kemiskinan. Garis kemiskinan adalah suatu garis yang menunjukkan nilai pengeluaran makanan per orang untuk memenuhi kebutuhan dasar 2100 kkal per hari ditambah dengan pengeluaran non makanan selama 1 bulan. Pembangunan
ditujukan
kesejahteraan masyarakat.
untuk
mencapai
kemakmuran
dan
Seiring dengan berbagai upaya penjabaran dan
implementasi program pembangunan terjadi distorsi pembangunan salah satunya kemiskinan.
Berbagai strategi untuk mengatasi distorsi tersebut
menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah dan persentase penduduk miskin di Jawa Timur pada periode 2006-2010 menunjukkan tren penurunan.
Jumlah penduduk miskin nampak terjadi
penurunan dari 21,09 persen pada tahun 2006 menjadi 19,98 persen pada tahun 2007. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 5,53 juta orang (15,26 persen). Dibandingan dengan penduduk miskin pada tahun 2009 yang berjumlah 6,022 juta (16,68 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesat 493,29 ribu orang. Turunnya persentase penduduk miskin selama periode 2009-2010, sebagai wujud upaya keras Pemerintah Pusat maupun Daerah
untuk
meningkatkan
daya
beli masyarakat.
Program-program
pengentasan kemiskinan yang digencarkan Pemerintah masih serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, namun dengan peningkatan jumlah sasaran. Adapun
56
program pengentasan kemiskinan yang digulirkan antara lain program PNPM Mandiri, Raskin, PKH, BLT, Jamkesmas, BOS ditambah beberapa program daerah di antaranya Gerdutaskin. Berbagai upaya dan strategi yang dilakukan memberikan kontribusi penurunan kemiskinan dengan tetap meningkatkan ketajaman sasaran program pengentasan kemiskinan. Dari sisi perekonomian menunjukkan kinerja ekonomi Jawa Timur secara makro pada tahun 2006 mengalami pertumbuhan ekonomi tumbuh 5,80 persen hingga tahun 2007 tumbuh 6,11 persen dan setelah itu pada tahun 2008 mengalami penurunan pertumbuhan menjadi 5,94 persen dan pada tahun 2009 turun lagi dengan laju pertumbuhan sebesar 5,01 persen. Sampai dengan tahun 2009, kabupaten/kota yang mengalami laju pertumbuhan tertinggi di Jawa Timur adalah kota Batu dengan laju pertumbuhan sebesar 6,10 persen, sedangkan daerah dengan laju pertumbuhan ekonomi paling lambat adalah kabupaten Sumenep dengan laju sebesar 4,10 persen. Dilihat dari dimensi pembangunan manusia dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia selama periode 2006-2009 menunjukkan perbaikan kualitas sumber daya manusia. Pada tahun 2006 IPM Jawa Timur pada angka indeks 69,18, meningkat menjadi 70,38 pada tahun 2008, dan selanjutnya pada tahun 2009 mencapai angka indeks sebesar 71,06. 4.2 Indikator Sosial Ekonomi 4.2.1
Angka Harapan Hidup Angka Harapan Hidup (AHH) merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk menilai derajat kesehatan masyarakat.
Dengan AHH ini
evaluasi kinerja pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk pada umumnya dan meningkatkan derajat kesehatan pada khususnya bisa diukur. AHH sangat berkaitan dengan perkembangan kondisi sosial ekonomi suatu wilayah. Keberhasilan program kesehatan dan program sosial ekonomi
57
pada umumnya dapat dilihat dari peningkatan usia harapan hidup penduduk di suatu wilayah.
Bila pembangunan sosial ekonomi semakin baik, maka
kecenderungannya AHH akan semakin tinggi, atau sebaliknya bila AHH lebih rendah
mengindikasikan
terjadinya
kontradiksi
pada
beberapa
sektor
pembangunan sosial ekonomi suatu wilayah. AHH yang rendah di suatu wilayah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan dan program sosial lainnya, termasuk kesehatan lingkungan, kecukupan gizi, dan program pemberantasan kemiskinan. Idealnya Angka Harapan Hidup dihitung berdasarkan Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate/ASDR) yang datanya diperoleh dari catatan registrasi kematian secara bertahun-tahun sehingga dimungkinkan dibuat Tabel Kematian. Karena sistem registrasi penduduk di Indonesia belum berjalan dengan baik maka untuk menghitung Angka Harapan Hidup digunakan dengan cara tidak langsung dengan input data dari hasil Survei Sosial Ekonom Nasional (Susenas) yang dikumpulkan BPS setiap tahun. Angka Harapan Hidup (AHH) yang rendah di suatu daerah harus diikuti dengan program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk kesehatan
lingkungan,
kecukupan
gizi
dan
kalori
termasuk
program
pemberantasan kemiskinan, karena faktor-faktor tersebut pada gilirannya akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan memperpanjang usia harapan hidupnya. Berdasarkan hasil estimasi BPS, trend AHH di Jawa Timur selama kurun waktu 2005-2010 menunjukkan arah yang positif.
Hal ini tentunya
memberikan indikasi bahwa kesehatan masyarakat Jawa Timur semakin baik. Pada dasarnya tinggi rendahnya AHH dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya kondisi lingkungan perumahan yang sehat dan pola konsumsi makanan yang berimbang.
58
Secara umum peningkatan AHH akan memberikan implikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Dengan demikian upaya peningkatan umur harapan hidup penduduk perlu diiringi dengan upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakatnya, sehingga penduduk lansia tidak menjadi beban bagi penduduk lainnya. Gambar 4.1: Angka Harapan Hidup Jawa Timur 2005-2010 73 72 71 70
69.93
70.28
69 68
67.945
68.74
68.3
67 66
65.96
70.75
66.32
66.73
71.15
71.2
69.15
69.2
67.15
67.2
71.61 69.62 Laki-laki 67.63
Perempuan Rata-rata
65 64 63 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS Jatim, diolah.
Pada tahun 2010 AHH penduduk Jawa Timur diperkirakan sebesar 69,57 tahun atau naik sekitar 1,67 poin selama 5 tahun. Secara demografis AHH untuk penduduk laki-laki cenderung lebih rendah dibandingkan perempuan. Pada gambar.4.1 nampak bahwa perbedaan AHH antara laki-laki dan perempuan di Jawa Timur mencapai 3 - 4 poin.
Pada tahun 2010, AHH
penduduk perempuan mencapai 71,61 tahun, sedangkan AHH penduduk laki-laki mencapai 67,63 tahun. Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa tingkat kesehatan ataupun daya
tahan tubuh
penduduk
laki-laki lebih
rentan
dibandingkan penduduk perempuan. Sebaran AHH menurut wilayah kabupaten/kota menunjukkan pola yang sama dari tahun ke tahun, yaitu sebanyak 19 kabupaten/kota di Jawa Timur
59
mempunyai angka harapan di bawah angka yang dicapai Jawa Timur pada tahun 2010 yaitu 69,57. Sementara kabupaten/kota yang telah mencapai angka di atas rata-rata Jawa Timur dicapai oleh Kabupaten Pacitan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Magetan, Kabupaten Gresik, Kota Blitar, Kota Mojokerto, Kota Madiun dan Kota Surabaya.
Sehingga dapat dikatakan Pemerintah daerah tersebut telah
menjalankan peranan alokasi pemerintah di mana alokasi sumber ekonomi dapat memberikan manfaat yangptimal dan mendukung efisiensi, dalam hal ini dilihat dari Angka Harapan Hidup yang meningkat dari tahun ke tahun. 4.2.2
Angka Kematian Bayi Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator kesehatan.
Penurunan angka kematian bayi secara tidak langsung menjadi salah satu indikator terhadap angka kemiskinan di suatu daerah. Penurunan kematian bayi juga akan mengurangi keraguan untuk mempunyai anak dengan jumlah sedikit, sehingga dengan keluarga kecil diharapkan keadaan ekonomi rumah tangga akan membaik dan keluarga tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar dengan lebih baik. Kematian bayi sangat berkaitan dengan kondisi kehamilan ibu, pertolongan persalinan yang aman dan perawatan bayi baru lahir. Penyebab langsung kematian bayi baru lahir adalah infeksi atau bayi lahir dengan berat badan rendah.
Beberapa penyebab tidak langsung antara lain disebabkan
faktor-faktor yang berkaitan dengan pngaruh lingkungan luar, misalnya tingkat pendidikan ibu yang masih rendah, tingkat sosial ekonomi yang rendah, serta keadaan sosial budaya yang tidak mendukung gizi ibu hamil. Faktor lain tidak langsung juga mencakup jumlah sarana dan pelayanan kesehatan pada saat persalinan dan setelah bayi lahir.
60
AKB adalah banyaknya bayi yang meninggal sebelum mencapai usia 1 tahun. AKB per 1000 kelahiran hidup pada tahun yang sama. Nilai normatif AKB kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock), antara 40 – 70 tergolong sedang namun sulit untuk diturunkan (medium rock), dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan (soft rock). Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan BPS pada tahun 1995 diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian bayi antara lain infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), komplikasi perinatal, dan diare. Gangguan ketiga penyebab ini memberi andil bagi 75 persen kematian bayi. Pada tahun 2001 pola penyebab kematian bayi ini tidak banyak berubah dari periode sebelumnya, yaitu karena sebab-sebab perinatal, kemudian diikuti oleh infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, Tetanus Neotarum, saluran cerna, dan penyakit saraf. Sejalan dengan perbaikan kesehatan penduduk di Jawa Timur yang ditunjukkan dengan kenaikan angka harapan hidup, maka upaya penurunan angka kematian bayi juga menunjukkan kemajuan yang cukup baik dalam lima tahun periode 2005-2010. Pada tahun 2010, AKB di Jawa Timur sebesar 29,99 per 1000 kelahiran hidup, atau turun sebesar 6,66 poin dibandingkan tahun 2005.
Untuk mencapai target yang diharapkan dalam MDG (Millenium
Development Goals) ke-4, nampaknya upaya yang dilakukan Jawa Timur masih harus ditingkatkan. Adapun target AKB yang ditetapkan dalam MDG’S pada tahun 2015 yaitu 17 per 1000 kelahiran hidup. Beberapa program kesehatan yang terkait dengan AKB antara lain program pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan dasar, pembangunan sarana kesehatan dan lainlain.
61
Gambar 4.2: Angka Kematian Bayi Jawa Timur 2005-2010 45 40 35 30
41.64 36.53 31.42
40.18 35.2 30.22
25
37.55 36.05 35.87 32.815 31.465 31.3 28.08 26.88 26.73
34.3 29.89 25.48
Laki-laki
20
Perempuan
15
Rata-rata
10 5 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
Sumber: BPS Jatim, diolah.
Angka
kematian
bayi
berdasarkan
jenis
kelamin
menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan, yaitu pada bayi laki-laki cenderung lebih rentan dibandingkan perempuan. Dari hasil estimasi diperoleh AKB laki-laki sebesar 34,30; sedangkan AKB perempuan sebesar 25,48. Tantangan lain yang harus mendapatkan perhatian serius adalah upaya untuk memperkecil kesenjangan antara kabupaten/kota. Dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, rentang AKB berkisar antara 20,28 hingga 67,02. Masih terdapat 19 kabupaten/kota yang AKB-nya lebih rendah dibandingkan rata-rata estimasi AKB provinsi yaitu 29,99.
Sementara beberapa daerah yang masih perlu
mendapatkan perhatian lebih serius karena AKB-nya masih cukup tinggi, di antaranya adalah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan wilayah pulau Madura. Di daerah itu juga menunjukkan persentase penolong persalinan oleh tenaga medis masih cukup rendah. Penyebab langsung kematian bayi dan balita sebenarnya relatif dapat ditangani secara mudah, dibandingkan upaya untuk meningkatkan perilaku
62
masyarakat dan keluarga yang dapat menjamin kehamilan, kelahiran, dan perawatan bayi baru lahir yang lebih sehat. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memperbaiki perilaku keluarga dan masyarakat, terutama perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk upaya mencari pelayanan kesehatan serta memperbaiki akses, memperkuat mutu manajemen terpadu penyakit bayi dan balita, memperbaiki kesehatan lingkungan termasuk air bersih dan sanitasi, pengendalian penyakit menular, dan pemenuhan gizi yang cukup. 4.2.3
Posyandu dan Gizi Balita Dalam rangka untuk mendapatkan Sumber Daya Manusia yang
berkualitas,
maka
Pemerintah
Daerah
Provinsi
Jawa
Timur
sangat
memperhatikan terhadap generasi penerus, yaitu dengan adanya revitalisasi Posyandu. Dengan adanya program ini diharapkan generasi-generasi yang akan datang benar-benar dapat menjadi generasi penerus yang berkualitas.
Pos
Pelayanan Terpadu (Posyandu) adalah ujung tombak pemantauan gizi balita. Posyandu merupakan garda paling depan bagi upaya pemantauan tumbuh kembang balita, dengan menghimpun peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM). Dalam Posyandu terdapat lima program prioritas, yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, imunisasi dan penanggulangan diare. Secara umum Posyandu berada pada wilayah RT/RW/Dusun di setiap Desa/Kelurahan dengan tingkat aktifitas yang berbeda pula, tergantung keaktifan dari Kader penggerak Posyandu. Jumlah Posyandu d Jawa Timur tahun 2009 sebesar 43.310 dan menjadi 45.410 Posyandu pada tahun 2010, atau mengalami peningkatan sebesar 4,85 persen. Namun demikian, peningkatan jumlah Posyandu ini belum meningkatkan potensi layanan, karena berdasarkan rasio Posyandu per satuan balita selama 2009-2010, dari 17 Posyandu menjadi 15 Posyandu untuk setiap 1000 balita.
63
Di sisi lain prevalensi gizi balita juga merupakan salah satu indikator kepedulian pemerintah daerah di bidang kesehatan terhadap generasi penerus bangsa. Kasus balita gizi buruk daritahun ke tahun selalu berfluktuasi. Dalam Indonesia Sehat 2010 target balita gizi buruk adalah sebesar 15 persen (Depkes, 2003). Balita gizi buruk di Jawa Timur terus mengalami penurunan persentase, dari 5,59 persen tahun 2005, tahun 2007 sebesar 4,80 persen.
Sementara
berdasarkan hasil survei oleh BPS gizi balita di Jawa Timur tahun 2008-2009, persentasenya sebesar 4,47 persen tahun 2008 dan 4,33 persen tahun 2009. Dan pada tahun 2010 persentasenya sebesar 2,50 persen. Dengan demikian maka target dalam Indikator Indonesia Sehat 2010, sudah tercapai jauh sebelum tahun 2010. Secara nasional pun target ini sudah terlampaui, karena tahun 2005 balita gizi buruk di Indonesia hanya sebesar 8,80 persen. 4.2.4
Rasio Dokter, Rumah Sakit dan Tenaga Medis per Satuan Penduduk Jumlah penduduk Jawa Timur berdasarkan hasil Sensus Penduduk
tahun 2010 adalah sebesar 37.476.757 orang, sementara jumlah dokter sebesar 7.300, dengan demikian rasio dokter per satuan penduduk tahun 2010 sebesar 0,195 per seribu penduduk selama tahun 2010. Yang berarti terdapat 19-20 dokter setiap 100.000 penduduk.
Jika dibandingkan dengan target dalam
Indonesia Sehat 2010 yaitu sebesar 40 dokter per 100.000 penduduk maka rasio dokter per satuan penduduk di Jawa Timur tahun 2010 baru mencapai 50 persennya. Selama tahun 2009-2010 jumlah rumah sakit di Jawa Timur, mengalami pertambahan dari 226 menjadi 232 rumah sakit. Pertambahan tersebut terjadi pada rumah sakit milik swasta yang bertambah 6 rumah sakit, sedangkan jumlah rumah sakit pemerintah masih tetap, yaitu 48 rumah sakit (2009-2010). Jumlah rumah sakit swasta pada tahun 2009 sebanyak 178, kemudian bertambah menjadi 184 rumah sakit pada tahun 2010. Dari jumlah tersebut, maka rasio
64
rumah sakit per satuan penduduk di Jawa Timur 2009-2010 relatif tetap yaitu 0,056 rumah sakit per 10.000.000 penduduk. Sedangkan jumlah tenaga medis di Jawa Timur tahun 2009-2010 mengalami pertambahan, dari 2.832 tenaga medis tahun 2009 bertambah menjadi 3.014 tenaga medis tahun 2010.
Bila dibandingkan dengan jumlah
penduduk, maka terjadi peningkatan rasio dari 0,108 menjadi 0,115 tenaga medis setiap 1.000 penduduk. Atau setiap 100.000 penduduk terdapat 11 orang tenaga medis selama 2009-2010. 4.2.5
Angka Melek Huruf Usia 15 Tahun ke Atas Salah satu variabel dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) adalah angka melek huruf umur 15 tahun ke atas. Melek huruf merupakan kunci dasar dalam elemen pengetahuan.
Melek huruf juga merupakan
gambaran kasar terhadap akses pendidikan. Selain itu melek huruf juga menjadi dasar bagi setiap manusia, untuk pertama kali mempelajari dan mengetahui bagaimana upaya dalam membangun.
Hal inilah yang menjadikan indikator
melek huruf, sebagai indikator yang paling esensial di antara indikator pembangunan manusia yang lain. Melek huruf adalah orang atau seseorang yang dapat membaca dan menulis, minimal kata-kata/kalimat sederhana dalam aksara tertentu (UNDP, 1990).
Sebaliknya orang atau seseorang yang tidak dapat membaca dan
menulis huruf (Latin, Arab, Jawa, Cina dan lain-lain) disebut sebagai buta aksara. Jika seseorang hanya dapat membaca saja atau menulis saja, dianggap sebagai buta aksara. Termasuk dalam kelompok melek huruf adalah orang buta yang dapat membaca dan menulis huruf Braille, yang digolongan dapat membaca dan menulis huruf latin. Selain itu orang cacat yang sebelumnya dapat membaca dan
65
menulis kemudian karena cacatnya tidak dapat membaca dan menulis, digolongkan dapat membaca dan menulis. Sasaran pencapaian indikator melek huruf usia 15 tahun ke atas menjadi sasaran global dan nasional.
Adapun target global, tertuang dalam
salah satu dari enam tujuan kerangka kerja Dakar (2000) dalam Education for All (Pendidikan Untuk Semua), yaitu tercapainya 50 persen peningkatan melek huruf dewasa pada tahun 2015 dari situasi 1990, lebih khusus lagi untuk penduduk perempuan. Adapun situasi melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia pada tahun 1990, penduduk laki-laki 86,70 persen, perempuan 72,50 persen, dan total 79,50 persen (UNESCO, 2002;208). Sementara target global Indonesia tahun 2015 untuk melek huruf usia 15 tahun ke atas, penduduk lakilaki 93,35 persen, perempuan 86,25 persen, dan total 89,75 persen.
Target
global untuk Indonesia ini lebih rendah dari sasaran nasional yang tertuang dalam
Rencana
Pembangunan
Jangka
Menengah
Nasional
(RPJMN)
Kemendiknas 2010-2014, yaitu pada tahun 2014 angka buta aksara penduduk berusia 15 tahun ke atas tinggal 4,2 persen. Di Jawa Timur angka melek huruf penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan dari 86,97 persen tahun 2009 menjadi 88,02 persen pada tahun 2010. Capaian angka melek huruf tahun 2010 ini masih di bawah target EFA Indonesia tahun 2015, yang terpaut sekitar 1,73 persen. Capaian tersebut juga masih di bawah target RPJMN 2010-2014 Kementerian Pendidikan Nasional 2010 dan terpaut sebesar 6,58 persen. Permasalahan rendahnya capaian melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas ini, terutama terjadi pada penduduk perempuan yang tingkat melek hurufnya hanya sebesar 84,20 persen, terpaut lebih dari delapan persen dengan penduduk laki-laki dengan persentase melek huruf sebesar 92,80 persen di tahun 2010. Untuk melek huruf laki-laki, sejak tahun 2009 sudah berada di atas
66
target EFA Indonesia tahun 2015, sedangkan untuk penduduk perempuan masih terpaut 5,55 persen. Sejalan dengan agenda global isu utama melek huruf ini lebih fokus pada penduduk perempuan, maka situasi Jawa Timur menguatkan kondisi ini arena 72,31 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang buta huruf adalah perempuan, artinya lebih dari 2/3 kelompok sasaran buta huruf di Jawa Timur adalah perempuan. Jika target RPJMN 2010 menjadi acuan, maka kelompok sasaran utama pemberantasan buta aksara di Jawa Timur lebih difokuskan pada kelompok usia 40 tahun ke atas yang capaiannya di bawah 95 persen. Bila dibedakan menurut jenis kelamin, maka untuk penduduk perempuan dimulai pada kelompok usia 40 tahun ke atas, sedangkan untuk laki-laki dimulai pada kelompok usia 40 tahun ke atas. Terjadinya penurunan proporsi melek huruf penduduk perempuan dalam kelompok 15-39 tahun. bidang
pendidikan
Ini menjadi indikasi bahwa dampak pembangunan
dalam
empat
dasawarsa
terakhir,
terutama
untuk
memudahkan akses pendidikan (utamanya melalui program SD Inpres dan Wajib Belajar) yang secara nyata menurunkan hambatan bagi penduduk perempuan. 4.2.6
Angka Partisipasi Kasar (APK) Upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan dilakukan melalui
perluasan terhadap daya tampung satuan pendidikan, memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik dari berbagai golongan masyarakat yang berbeda secara sosial, ekonomi, gender, geografis wilayah, serta tingkat kemampuan fisik dan intelektual. Salah satu indikator kunci keberhasilan (Key Development
Milestones)
terhadap
pemerataan
serta
perluasan
akses
pendidikan (Renstra Depdiknas 2006-2010) yang berlangsung saat ini adalah APK. Sasaran
Nasional
APK
tahun
2009
tertuang
dalam
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Sasaran APK
67
SD (termasuk SDLB, MI, dan Paket A) sebesar 115,75 persen, SLTP/MTs/Paket B sebesar 98,09 persen, dan SLTA/SMK/MA/Paket C sebesar 69,34 persen. Gambar 4.3: Angka Partisipasi Kasar SD, SLTP, dan SLTA 2009-2010 dan RPJMN 140 120 100
113.3
98.09 75.07
71.43
80
115.75
113.53 103.81
102.69
69.34
60 40 20 0 2009
2010 SD
SLTP
RPJMN SLTA
Sumber: BPS Jatim, diolah.
APK SD di Jawa Timur tahun 2010 sebesar 113,53 persen, naik 0,23 persen poin dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar 113,30 persen. APK Sdtahun 2010 yang sebesar 113,53 persen ternyata belum mencapai sasaran APK SD dalam RPJMN yang sebesar 115,76 persen (terpaut 2,23 persen poin). Namun tidak demikian halnya dengan APK SLTP dan SLTA. APK SLTP Jawa Timur tahun 2010 sebesar 103,81 persen, meningkat sebesar 1,12 persen poin dibandingkan dengan APK SLTP Jawa Timur tahun 2009 yang sebesar 102,69 persen. Capaian APK SLTP Jawa Timur tahun 2010 ini, lebih tinggi dari sasaran APK SLTP dalam RPJMN yaitu sebesar 98,09 persen. APK SLTA juga terjadi peningkatan sebesar3,54 persen poin, yaitu dari 71,43 persen di tahun 2009 menjadi 75,07 persen di tahun 2010. Capaian ini lebih tinggi 5,73 persen poin dari sasaran APK SLTA dalam RPJMN tahun 2010 sebesar 69,34 persen.
68
Peningkatan APK SLTP dan SLTA di Jawa Timur 2009-2010 menjadi indikasi bahwa upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan, terutama melalui program “Penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun”, sesuai dengan yang diharapkan. Dalam Renstra Depdiknas 2006-2010 disebutkan bahwa melalui Penuntasan Wajar Dikdas 9 Tahun, maka jumlah lulusan SLTP/MTs/SMPLB setiap tahunnya akan mengalami penambahan. Efek dari peningkatan APK ini akan meningkatkan jumlah lulusan di tingkat SLTP dan tentu berdampak pada bertambahnya partisipasi pendidikan pada jenjang di atasnya. Selain dari data APK, data yang mendukung situasi tersebut adalah meningkatnya angka transisi SLTP dari 95,45 persen tahun 2009 menjadi 97,48 persen di tahun 2010, sedangkan angka transisi SLTA juga mengalami peningkatan dari 78,98 persen menjadi 86,11 persen selama 2009-2010. Data sebaran APK Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2010, menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara capaian APK pendidikan pada jenjang tertentu dengan jenjang di atasnya. Hasil analisis korelasi terhadap APK SD, SLTP, dan SLTA Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2009, diperoleh hasil korelasi APK SD-SLTP sebesar 0,709 korelasi APK SLTP-SLTA sebesar 0,853 dan korelasi APK SD-SLTA sebesar 0,694, dimana semua nilai korelasi adalah signifikan. Dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan APK pada jenjang yang lebih tinggi, mesti dimulai dengan program lebih nyata untuk peningkatan APK pada jenjang di bawahnya terlebih dahulu. Salah satu agenda program Pemerintah Provinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah Wajar Dikdas 12 tahun, maka diperlukan upaya peningkatan capaian APK SLTP, terutama untuk Kabupaten/Kota yang masih rendah capaiannya. Jika sasaran APK tahun 2010 dalam RAPJMN 2004-2009, digunakan sebagai acuan capaian APK Kabupaten/Kota, maka lebih dari setengah
69
kabupaten di Jawa Timur belum mencapai sasaran APK SD (terdapat 25 kabupaten).
Jumlah kabupaten yang belum mencapai sasaran APK SLTP
berjumlah 11 kabupaten dan 17 kabupaten yang memiliki APK SLTA di bawah sasaran. adalah
Fokus wilayah yang perlu mendapat perhatian dari capaian APK Kabupaten
Blitar,
Kabupaten
Malang,
Kabupaten
Banyuwangi,
Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan, dan Kabupaten Sumenep. Mengingat capaian APK untuk semua jenjang pendidikan di wilayah tersebut,di bawah sasaran APK 2010 dalam RPJMN 2010-2014. 4.2.7
Angka Partisipasi Murni (APM) Selain APK, indikator tonggak-tonggak kunci keberhasilan (Key
Development
Milestones)
terhadap
pemerataan
serta
perluasan
akses
pendidikan (Renstra Depdiknas 2010-2015) yang berlangsung saat ini adalah Angka Partisipasi Murni (APM).
Dalam Renstra Depdiknas 2010-2015, APM
merupakan tanggung jawab dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Mandikdasmen). Sasaran APM di setiap jenjang dalam Renstra tersebut memiliki periodisasi pembangunan yang berbeda. Untuk APM SD ditetapkan masuk dalam periode 2005-2009, yaitu 95,00 persen di tahun 2009. APM SLTP masuk dalam periode pembangunan 2010-2015, yaitu tercapai 92,00 persen pada tahun 2015. Sedangkan APM SLTA masuk dalam periode pembangunan 2015-2020, yang ditargetkan 90,00 pada akhir periode pembangunan (2020).
70
Tabel 4.1: APM SD, SLTP,SLTA Jawa Timur 2009-2010 dan Sasaran APM dalam Renstra Depdiknas (Persen) APM (1)
SD
SLTP
SLTA
(2)
(3)
(4)
(5)
2009
97,71
85,44
51,96
2010
97,89
86,00
56,10
2009
95,00
-
-
2015
-
92,00
-
2020
-
-
90,00
Jatim
Sasaran Renstra Depdiknas
Sumber: BPS, Diknas Jawa Timur, diolah.
Selama 2009-2010, terjadi peningkatan APM Jawa Timur pada jenjang pendidikan SD,SLTP dan SLTA.
Pada jenjang SD, terjadi peningkatan APM
sebesar 0,18 persen poin, dari 97,71 persen tahun 2009, menjadi 97,89 persen tahun 2010. APM SLTP naik sebesar 0,56 persen poin, dari 85,44 pesen tahun 2009 menjadi 86,00 persen di tahun 2010. Sementara jenjang SLTA, APM tahun 2010 sebesar 56,10 persen mengalami peningkatan sebesar 4,14 persen poin terhadap besaran tahun 2009. Karena APM SLTP dan SLTA belum menjadi agenda Nasional tahun 2010, maka perhatian lebih difokuskan pada APM SD. Capaian APM SD Jawa Timur telah mencapai target sejak tahun 2009. Tidak hanya pada level provinsi, juga pada sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Timur telah mencapai target ini.
Data APM SD tahun 2010 kabupaten/kota menunjukkan bahwa 17
kabupaten/kota belum mencapai target APM SD Nasional.
71
Gambar 4.4 :Sebaran APM SD Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2010 (Persen) 115.87 115.79 115.12 111.5 107.43 106.55 105.92 105.64 103.16 102.45 102.18 101.51 99.82 98.8 97.98 97.85 97.71 97.13 97.12 96.89 96.87 96.69 93.26 93.02 92.77 92.65 91.76 90.79 90.54 89.25 89.08 88.68 88.57 88.2 88.16 87.06 81.03 80.41 79.7
Sidoarjo Kota Surabaya Gresik Jombang Lamongan Kota Blitar Jember Kota Pasuruan Kota Malang Sumenep Bojonegoro Mojokerto Kota Madiun Tuban Kota Kediri Pamekasan JAWA TIMUR Kota Mojokerto Situbondo Kota Batu Banyuwangi Nganjuk Kediri Blitar Pasuruan Malang Kota Probolinggo Sampang Lumajang Probolinggo Magetan Ngawi Madiun Tulungagung Trenggalek Bangkalan Ponorogo Pacitan Bondowoso
0
20
40
60
80
100
120
140
Sumber: BPS, Diknas Provinsi Jawa Timur, diolah.
Bila diperhatikan, terdapat nilai APM yang janggal pada beberapa wilayah, karena idealnya nilai maksimum APM adalah 100 persen.
Namun
dalam data APM SD 2010 terlihat ada 12 kabupaten/kota dengan capaian APM SD di atas 100,00 persen. Ini dapat terjadi karena pada daerah yang relatif baik
72
infrastruktur serta kualitas pendidikannya, menyebabkan banyak siswa dari kabupaten/kota lain bersekolah di kabupaten/kota tersebut (siswa komuter). Selain itu ada fenomena menarik lainnya, mengapa di daerah tertentu seperti
Bondowoso,
Pacitan,
dan
Ponorogo
APM-nya
rendah,
adalah
dikarenakan banyaknya penduduk yang menyekolahkan anaknya di sekolahsekolah non formal seperti pesantren, di mana di sekolah tersebut memiliki jenjang pendidikan khusus, yang secara usia seharusnya dapat dimasukkan dalam kategori usia sekolah, namun dalam statistik tidak masuk dalam kategori tesebut, sehingga menimbulkan bias.
Oleh karena itu, melihat fenomena
tersebut, dalam pengumpulan data, seharusnya kategori tersebut dapat disamakan atau disetarakan sebagaimana sekolah formal lainnya sebagaimana dalam program pemerintah wajib belajar 9 tahun yang telah berjalan. 4.2.8
Angka Rata-rata Lama Sekolah Angka rata-rata lama sekolah merupakan gambaran pemenuhan
kebutuhan penduduk terhadap akses pendidikan.
Dengan membandingkan
besaran rata-rata lama sekolah antar wilayah atau waktu, dapat diketahui perbedaan atau perkembangan tingkat kualitas penduduk. Angka rata-rata lama sekolah juga merupakan salah satu komponen dalam indeks pendidikan, bersama dengan angka melek huruf, untuk menyusun komposit indeks pembangunan manusia dalam HDI/IPM.
73
Gambar 4.5. Rata-rata Lama Sekolah di Jawa Timur 2005-2010 7.32
7.06
7.14
7.17
2008
2009
6.9 6.68
2005
2006
2007
2010
Sumber: BPS, Diknas Provinsi Jawa Timur, diolah.
Berdasarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur, selama 2005-2010 terjadi peningkatan kualitas penduduk dari setara lulus tingkat sekolah dasar (6 tahun), menjadi setara kelas satu pada jenjang pendidikan SLTP. Walaupun terjadi kenaikan, namun kenaikan tersebut relatif lebih lambat, karena selama enam tahun hanya terjadi peningkatan sebesar 0,52 poin atau rata-rata hanya terjadi kenaikan 0,09 poin per tahunnya. Jika kondisi ini terus terjadi, maka secara linier diperkirakan tingkat pendidikan sebagian besar penduduk usia 15 tahun ke atas, baru setara lulus SLTP (9 tahun) pada tahun 2028, tahun 2058 setara lulus tngkat SLTA (12 tahun), dan baru tahun 2089 mencapai nilai harapan (maksimal) rata-rata lama sekolah dalam IPM, yaitu 15 tahun. Masih rendahnya capaian rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas ini, terutama terjadi pada penduduk perempuan, dengan rata-rata lama sekolah sebesar 6,7 tahun atau setara lulusan SD, terpaut satu tahun lebih dengan penduduk laki-laki, yang memiliki rata-rata lama sekolah 7,8 tahun atau setara kelas satu SLTP di tahun 2009. Pembangunan pendidikan di Jawa Timur
74
selama ini baru membawa dampak peningkatan capaian pendidikan tertinggi penduduk di kelompok usia 20-24 tahun dan 25-29 tahun setara lulusan SLTP. Sehingga tepat kiranya, salah satu upaya Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam rangka RPJMD 2009 2009-2014 untuk mengakselerasi situasi ini melalui program Wajar Dikdas 12 tahun (setara SLTA). Walaupun bobot dalam formulasi IPM rata-rata lama sekolah lebih rendah dibandingkan angka melek huruf, namun dengan melakukan intervensi pada peningkatan rata-rata lama sekolah, akan memberi pengaruh signifikan pada pencapaian melek huruf. Hal ini berdasarkan hasil analisis korelasi antara rata-rata lama sekolah dan melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas di Jawa Timur tahun 2009, memberikan tingkat korelasi yang sangat kuat yaitu 0,911. Maka bisa dipastikan wilayah dengan rata-rata lama sekolah yang tinggi, akan memiliki tingkat melek huruf yang tinggi pula. Namun jika sumber daya bagi terlaksananya program peningkatan rata-rata lama sekolah adalah terbatas, maka terdapat lima belas kabupaten dengan proritas utama, antara lain Kabupaten
Sampang,
Bangkalan,
Bondowoso,
Sumenep,
Pamekasan,
Lumajang, Probolinggo, Situbondo, Ngawi, Bojonegoro,Tuban, Ponorogo, Banyuwangi, Jember, dan Lamongan.
Harapan yang ingin dicapai dengan
intervensi pada wilayah ini adalah dampak ikutannya, yaitu terjadinya peningkatan angka melek huruf yang masih relatif rendah. 4.3 Indikator Kinerja Utama (Standar Musgravian) 4.3.1
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Penduduk dipandang dari sisi ketenagakerjaan merupakan suplai bagi
pasar tenaga kerja di suatu wilayah. Namun tidak semua penduduk mampu melakukannya karena hanya penduduk yang berusia kerjalah yang bisa menawarkan tenaganya di pasar tenaga kerja.
Penduduk usia kerja dibagi
menjadi dua golongan yaitu yang termasuk angkatan kerja dan yang termasuk
75
bukan angkatan kerja. Penggolongan usia kerja di Indonesia mengikuti standar internasional yaitu usia 15 tahun atau lebih. Angkatan kerja sendiri terdiri dari mereka yang aktif bekerja dan mereka yang sedang mencari pekerjaan. Mereka yang terakhir itulah yang dinamakan sebagai pengangguran terbuka. Sementara yang termasuk dalam kelompok bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih bersekolah, ibu rumah tangga, pensiunan dan lain-lain. Tabel 4.2 Indikator Ketenagakerjaan di Jawa Timur, 2006-2010 Kegiatan Utama
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
17,67
18,75
18,88
19,31
18,70
1,58
1,37
1,30
1,03
0,83
67,36
68,99
69,32
69,25
69,08
8,19
6,79
6,42
5,08
4,25
1. Bekerja (Jutaan) 2. Pengangguran (Jutaan) 3. TPAK (%) 4. TPT (%) Sumber: BPS, diolah.
Jumlah pengangguran terbuka dari angkatan kerja berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru. Hal ini penting karena tingginya angka pengangguran akan menimbulkan konsekuensi negatif bagi masyarakat misalnya meningkatnya kriminalitas. Di samping itu, trend indikator ini akan menunjukkan keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun. Dari Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS, manunjukkan bahwa pada tahun 2010 adanya indikasi mengenai perubahan struktur penduduk usia kerja menurut kategori (angkatan kerja dan bukan angkatan kerja). Hal ini terlihat dari data yang menunjukkan adanya penurunan jumlah angkatan kerja.
Penurunan jumlah angkatan kerja tentunya akan
berdampak terhadap jumlah kelompok penduduk yang bekerja, serta penurunan tingkat pengangguran. Pada tahun 2010 nilai TPT di JawaTimur mencapai 4,25
76
persen, atau mengalami penurunan sebesar 0,83 poin dibanding nilai TPT 2009 yaitu sebesar 5,08 persen. Selanjutnya penduduk usia kerja yang termasuk kategori bukan angkatan kerja adalah mereka yang sebagian besar waktunya digunakan untuk kegiatan sekolah atau mengurus rumah tangga atau kegiatan lainnya seperti kegiatan organisasi sosial, keagamaan, olah raga dan lainnya. Dari data yang diperoleh diketahui bahwa jumlah penduduk bukan angkatan kerja pada tahun 2010 mengalami peningkatan sekitar 0,099 juta orang dibandingkan tahun 2009 yaitu dari 8,932 juta orang tahun 2009 menjadi 9,032 juta orang pada tahun 2010. Peningkatan jumlah bukan angkatan kerja terjadipada kelompok kegiatan sekolah dan mengurus rumah tangga. Peningkatan jumlah penduduk pada kelompok kegiatan sekolah tentunya memberikan warna positif bagi penyiapan kualitas ketenagakerjaan di Jawa Timur di masa yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan upaya yang signifikan dalam menyiapkan SDN tersebut sehingga menjadi tenaga kerja yang siap masuk dalam pasar kerja khususnya sebagai pekerja mandiri. Sementara tingginya kelompok penduduk usia kerja yang termasuk dalam kegiatan mengurus rumah tangga, dimungkinkan karena sebagian dari mereka merasa sulit untuk diterima di pasar kerja karena ketebatasan pendidikan/keterampilan atau kepemilikan modal untuk melakukan kegiatan usaha.
Hal ini tentunya juga perlu menjadi perhatian bersama antara
pemerintah, pelaku ekonomi dan masyarakat dalam memberikan kesempatan atau peluang kerja bagi kelompok tersebut sehingga mampu meningkatkan ekonomi dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
77
4.3.2
Persentase Penduduk Miskin Terhadap Jumlah Penduduk Pembangunan
ditujukan
kesejahteraan masyarakat.
untuk
mencapai
kemakmuran
dan
Seiring dengan berbagai upaya penjabaran dan
implementasi program pembangunan terjadi distorsi pembangunan salah satunya kemiskinan.
Berbagai strategi untuk mengatasi distorsi tersebut
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah dan persentase penduduk miskin di Jawa Timur pada periode 2006-2010 menunjukkan tren penurunan. Jumlah penduduk miskin nampak terjadi penurunan dari 21,09 persen pada tahun 2006 menjadi 19,98 persen pada tahun 2007. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada tahun 2010 sebesar 5,53 juta orang (15,26 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada tahun 2009 yang berjumlah 6,022 juta(16,68 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 493,29 ribu orang.
Turunnya persentase penduduk miskin selama periode 2009-2010,
sebagai wujud upaya keras Pemerintah Pusat maupun Daerah untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Program-program pengentasan kemiskinan yang digencarkan Pemerintah masih serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, namun dengan peningkatan jumlah sasaran.
Adapun program pengentasan
kemiskinan yang digulirkan antara lain program PNPM Mandiri, Raskin, PKH, BLT, Jamkesmas, BOS, ditambah dengan beberapa program daerah di antaranya Gerdutaskin.
Berbagai upaya dan strategi yang dilakukan
memberikan kontribusi penurunan kemiskinan dengan tetap meningkatkan ketajaman sasaran program pengentasan kemiskinan. 4.3.3
Pertumbuhan Ekonomi ADHK Tahun 2000 Seiring dengan proses pembangunan yang berkelanjutan, nampak
bahwa PDRB Jawa Timur atas dasar harga berlaku senantiasa mengalami peningkatan selama kurun waktu lima tahun (periode 2006-2010). Pada tahun
78
2006 PDRB Jawa Timur sebesar Rp.472,29 triliun, meningkat menjadi Rp.536,98 triliun (2007), Rp.621,39 triliun (2008), Rp.686,85 triliun (2009), dan Rp.778,46 triliun (2010). Nilai PDRB yang dihasilkan tersebut masih mengandung pengaruh perubahan
harga,
sehingga
belum
bisa
digunakan
untuk
menghitung
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur dapat dilihat dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, karena pertumbuhan ekonomi ini benar-benar diakibatkan oelh perubahan jumlah nilai produk barang dan jasa yang sudah bebas dari pengaruh harga (pertumbuhan riil). Tabel 4.3 Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2006-2010 Keterangan
2006
2007
2008
2009
2010
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
1. PDRB ADHB (Miliar 472.287 536.982 Rupiah) 2. PDRB ADHK (Miliar 271.798 288.404 Rupiah) 3. Pertumbuhan 5,80 6,11 Ekonomi (%) Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, diolah.
621.392 686.848
778.456
305.539 320.861
342.254
5,94
5,01
6,67
Berdasarkan Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur mampu tumbuh 5,80 persen, kemudian meningkat pertumbuhannya menjadi 6,11 persen pada tahun 2007, melambat pada tahun 2008 menjadi 5,94 persen, dan 5,01 persen pada tahun 2009, dan kemudian meningkat kembali 6,76 persen pada tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 mencapai 5,80 persen, sedikit melambat dari tahun sebelumnya akibat dampak dari kenaikan harga BBM. Namun seiring berjalannya waktu, perekonomian Jawa Timur mampu bangkit pada tahun 2007 sehingga mampu mencapai pertumbuhan sebesar 6,11 persen. Membaiknya kondisi ekonomi Jawa Timur tidak bertahan lama,karena pada akhir tahun 2007 hingga kuartal kedua tahun 2008, kenaikan harga minyak
79
dunia meningkat hingga mencapai 147 dollar AS er barrel. Secara perlahan, kenaikan itu juga berdampak pada kenaikan harga BBM di dalam negeri yang pada akhirnya mendorong naiknya harga barang dan jasa.
Kondisi ini terus
berlanjut dengan terjadinya krisis finansial yang dimulai dari kasus subprime mortgage di Amerika Serikat, hingga meluas di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia.
Bagai efek domino, Jawa Timur juga terkena imbas,
sehingga pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 melambat kembali dan hanya mencapai 5,94 persen. Dampak Krisis Keuangan Global yang terjadi pada akhir tahun 2008 terus berlanjut hingga tahun 2009, ekspor beberapa komoditi unggulan Jawa Timur khususnya ke negara-negara Amerika dan Eropa ikut merosot, dan berakibat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur pada tahun 2009 terus melambat dengan hanya tumbuh sebesar 5,01 persen. Memasuki tahun 2010, perekonomian JawaTimur mulai menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan, sebagai dampak dari membaiknya perekonomian global yang mendorong naiknya ekspor Jawa Timur, baik ke luar negeri atau luar daerah.
Dengan kondisi yang cukup koncusif tersebut,
pertumbuhan ekonomi Jawa Timur selama tahun 2010mampu mencapai level 6,67 persen. Pada tahun 2006 perekonomian Jawa Timur sebesar 5,80 persen,sedikit melambat dibandingkan tahun 2005 sebagai dampak terjadinya kenaikan harga BBM. Sektor perdagangan,hotel dan restoran tumbuh paling cepat dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 9,63 persen, diikuti oleh sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan, serta sektor pengangkutan dan komunikasi yang masing-masing sebesar 8,41 persen, 7,49 persen, dan 7,37 persen. Sementara itu sektor pertanian dan sektor industri
80
pengolahan sebagai sektor yang dominan di Jawa Timur, hanya tumbuh sebesar 3,96 persen dan 3,09 persen. Dampak kenaikan harga BBM pada tahun 2005-2006 mulai berkuran pad atahun 2007, sehingga perekonomian Jawa Timur mengalami peningkatan dengan tumbuh sebesar 6,11 pesen. Sektor listrik, gas, dan air bersih tercatat mengalami pertumbuhan paling tinggi, yaitu sebesar 13,70 persen, diikuti sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan serta sektor perdagangan, hotel, dan restoran masing-maing sebesar 10,35 persen, 8,40 persen dan 8,39 persen. Sedangkan sektor industri pengolahan dan sektor pertanian yang masih menjadi penyumbang terbesar kedua dan ketiga dalam perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh 4,77 persen dan 3,14 persen. Tabel 4.4 Pertumbuhan PDRB Sektoral Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2006-2010 (persen) Sektor
2006
2007
2008
2009
2010
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
3,96
3,14
3,12
3,92
2,13
8,41
10,35
9,31
6,92
9,18
3,09
4,77
4,36
2,80
4,35
4,09
13,70
3,00
2,72
6,43
1,43
1,21
2,71
4,25
6,64
9,63
8,39
8,07
5,58
10,67
7,37
7,83
8,98
12,98
10,07
7,49
8,40
8,05
5,30
7,27
9. Jasa-jasa
5,37
5,77
6,32
3,76
4,34
PDRB
5,80
6,11
5,94
5,01
6,67
(1) 1. Pertanian 2. Pertambangan & Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Konstruksi 6. Perdaganan, Hotel & Restoran 7. Pengangkutan & Komunikasi 8. Keuangan, Sewa & Jasa Perusahaan
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, diolah.
81
Secara psikologis, krisis keuangan global yang terjadi pada tahun 2008 berpengaruh pada perlambatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,94 persen. Tercatat tiga sektor besar yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan. Sektor-sektor yang masih mengalami pertumbuhan tinggi adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor keuangan, sewa, dan jasa perusahaan masing-masing tumbuh sebesar 9,31 persen, 9,98 persen, 8,07 persen, dan 8,05 persen. Pada tahun 2009 perekonomian Jawa Timur hanya mampu tumbuh sebesar 5,01 persen, karena dampak krisis ekonmi masih berlanjut. Beberapa ekspor andalan Jawa Timur keluar negeri merosot tajam.
Namun demikian,
tercatat beberapa sektor masih mengalami pertumbuhan tinggi, yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor jasa-jasa masing-masing tumbuh sebesar 12,98 persen, 6,92 persen, dan 5,76 persen. Sektor-sektor andalan di Jawa Timur seperti sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri pengolahan dan sektor pertanian masing-masing hanya tumbuh sebesar 5,58 persen, 2,80 persen. Sementara sektor lainnya ratarata masih tumbuh pada level 2 sampai 4 persen. Memasuki tahun 2010, perekonomian Jawa Timur membaik seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian global, sehingga pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mencapai 6,67 persen, pertumbuhan tertinggi selama lima tahun (2006-2010). Tingginya pertumbuhan ekonomi Jawa Timur ini terutama didukung oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran yang tumbuh sebesar 10,67 persen. Membaiknya kondisi perekonomian global memberi dampak terhadap
membaiknya
daya
beli
masyarakat
yang
mendorong
sektor
perdagangan, baik perdagangan luar negeri maupun perdagangan antar wilayah.
82
Sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor petambangan dan penggalian, serta sektor keuangan, sewa dan jasa perusahaan tercatat mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, masing-masing seesar10,07 persen, 9,18 persen, dan 7,27 persen. Sementara itu, sektor industi pengolahan dansektor pertanian tumbuh masing-masing sebesar 4,35 persen dan 2,13 persen. 4.3.4
Indeks Disparitas Wilayah Jawa Timur Pertumbuhan ekonomi yang bervariasi antar wilayah menyebabkan
adanya keterbandingan ekonomi antar wilayah.
Kondisi ini dipengaruhi oleh
struktur ekonomi masing-masing daerah bergantung padapotensi ekonomi. Wilayah yang berbasis ekonomi industri, perdagangan, dan jasa tentunya mempunyai struktur ekonomi yang berbeda dengan wilayah yang berbasis pertanian atau sektor lainnya.
perbedaan struktur ekonomi bukan menjadi
masalah jika pendapatan per kapita yang dinikmati masyarakat tidak terdapat ketimpangan yang menyolok.
Jika itu terjadi, maka terdapat daerah-daerah
terbelakang dengan rata-rata penduduk yang mempunyai pendapatan per kapita yang rendah.
Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi hanya terkonsentrasi
pada wilayah-wilayah tertentu saja. Kesenjangan ekonomi atau yang dikenal dengan disparitas daerah sangat dipengaruhi oleh kreatifitas Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan segala potensi yang ada untuk meningkatkan ekonominya. Untuk itu Pemerintah Jawa Timur perlu untuk melihat disparitas antar kabupaten/kota di Jawa Timur, dengan tujuan menciptakan program yang dapat mempersempit jurang kesenjangan antar wilayahdi Jawa Timur. Penghitungan disparitas wilayah di sini ditunjukkan oleh indeks disparitas yang dikenal sebagai indeks Williamson. Semakin besar angka ini berarti semakin melebar kesenjangan yang terjadi di wilayah tersebut.
83
Sebaliknya, semakin kecil indeks ini, semakin mengecil kesenjangan antar wilayahnya. Tabel 4.5 Indeks Williamson Jawa Timur Tahun 2006-2010 Tahun
Indeks Perubahan Williamson
(1)
(2)
(3)
2006
115,87
-0,60050
2007
115,34
-0,45741
2008
115,26
-0,06936
2009
115,85
-0,51189
2010
115,14
-0,61286
Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur, diolah.
Selama periode 2006 - 2010, indeks Williamson mengalami fluktuatif namun terdapat kecenderungan menurun. Pada tahun 2006 indeks kesenjangan bernilai 115,87 atau terjadi penurunan sebesar -0,06 persen dibanding tahun sebelumnya, kemudian pada tahun 2007 indeks Williamson mencapai 115,34 atau mengalami penurunan sebesar -0,46 persen dibanding tahun 2006. Adanya kenaikan harga BBM tahun 2008 serta terjadi krisis global menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan tahun 2007. Tetapi perlambatan ekonomi pada tahun2008 itu belum begitu terasa, karena tingkat kesenjangan di Jawa Timur yang ditunukkan dengan nilai Indeks Williamson yang mengalami penurunan sebesar -0,07 persen atau mempunyai indeks 115,26. Kenaikan BBM dan krisis finansial khususnya di negara-negara Eropa dan Amerika yang dikenal sebagai subprime mortgage sangat terasa pada tahun 2009.
Pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,94 persen pada tahun 2008
menjadi 5,01 persen pada tahun 2009, dan indeks Williamson juga melebar dari 115,26 pada tahun 2008 menjadi 115,85 atau mengalami pelebaran sebesar
84
0,51 persen. Beruntungnya,dampak dari krisis finansial tersebut tidak berlanjut pada tahun 2010.
Selain karena sudah berpengalaman dalam menghadapi
situasi krisis sebagaimana yang terjadi pada tahun 1998, fundamental ekonomi dalam negeri jauh lebih baik dibanding tahun 1998, maka Jawa Timur kembali mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Apalagi Jawa Timur sangat mengandalkan sektor riil dan berbeda struktur perekonomiannya dibanding Jakarta yang sangat mengandalkan sektor perbankan yang notabene sangat rentan terhadap krisis finansial.
Kondisi tersebut menyebabkan Jawa
Timur mampu tumbuh pada tahun 2010 sebesar 6,67 persen, merupakan tertinggi selama lima bulan terakhir. Pertumbuhan pada tahun 2010 ini cukup berkualitas karena indeks kesenjangan wilayahnya menurun menjadi 115,14 atau terjadi penurunan -0,61 persen dibadning tahun 2009. Disparitas antar wilayah juga dapat dilihat dari keterbandingan relatif angka PDRB per kapita kabupaten/kota dengan rata-rata provinsi. Penyajian angka ini berupa ranking PDRB per kapit, yang dapat dimanfaatkan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai referensi memacu daerahnya menjadi lebih baik dan dapat bersaing dengan kabupaten/kota lainnya. Secara umum, pengelompokan daerah yang dibagi berdasarkan 3 kategori : (i)
Kabupaten/kota dengan PDRB per kapita nomor urut 1 sampai 7 adalah kabupaten/kota berkategori PDRB per kapita tinggi;
(ii)
Kabupaten/kota dengan PDRB per kapita nomor urut 8 sampai 27 adalah kabupaten/kota berkategori PDRB per kapita sedang;
(iii)
Kabupaten/kota dengan PDRB per kapita nomor urut 28 sampai 38 adalah kabupaten/kota berkategori PDRB per kapita rendah.
Dalam
kurun
waktu
lima
tahun
(periode
2006-2010)
kabupaten/kota mengalami peningkatan PDRB per kapita.
seluruh
Ini menunjukkan
85
bahwa geliat ekonomi masing-masing kabupaten/kota mengalami peningkatan meskipun level pertumbuhannya bervariasi. Dari tabel keterbandingan relatif diketahui bahwa posisi kabupaten/kota masih ditempati kabupaten/kota yang sama, yaitu Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Mojokerto dan Kota Probolinggo. Tujuh daerah yang masuk kategori ber-PDRB per kapita tinggi ini sulit digeser oleh daerah-daerah lain di Jawa Timur. Kabupaten Tulungagung, Kota Batu, Kabupaten Banyuwangi, dan Kota Madiun walaupun posisinya selama 5 tahun tetap, namun masih berada di bawah posisi rata-rata Jawa Timur. Keempat kabupaten/kota itu masuk kategori ber-PDRB per kapita sedang bersama
16
kabupaten/kota
lainnya
yaitu:
Kota
Pasuruan,
Kabupaten
Bojonegoro, Kabupaten Tuban, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Malang, Kabupaten Situbondo, Kota Blitar, Kabupaten Blitar, Kabupaten Jombang, Kabupaten Magetan, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Nganjuk. Sedangkan yang berkategori PDRB per kapita rendah adalah Kabupaten Kediri, Kabupaten Madiun, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Trenggaek, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Pacitan. Selain
dari
perbandingan
relatif
antar
wilayah,keterbandingan
antarwilayah juga bisa dilihat dari perbandingan absolutnya. Perbandingan ini dilakukan dengan cara menyajikan perbandingan tingkat pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB per kapita kabupaten/kota terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan nilai PDRB per kapita JawaTimur. Penyajian perbandingan absolut antar daerah ini dibagi menjadi empat kuadran, sehingga tampak penyebaran masing-masing daerah, mana saja daerah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang diikutiPDRB
86
per kapita yang tinggi pula atau sebaliknya.
Secara rinci pengelompokan
perbandingan absolut antar daerah dikelompokkan menjadi empat kuadran sebagai berikut: (i)
Kuadran
I
ditempati
kabupaten/kota
yang
pertumbuhan
ekonominya lebih cepat dibadning Jawa Timur dan mempunyai PDRB per kapita yang juga lebih besar dibanding Jawa Timur. Selama
lima
tahun,Kota
Surabaya
dan
Kabupaten
Gresikkonsisten menduduki kondisi ideal di Kuadran I. (ii)
Pada kuadran II ditempati kabupaten/kota dengan tingakt pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibanding Jawa Timur, tetapi PDRB per kapitanya lebih rendah daripada rata-rata PDRB per kapita provinsi Jawa Timur.
(iii)
Kabupaten/kota yang menenempati kuadran III mempunyai PDRB per kapita lebih kecil dibanding Jawa Timur dan pertumbuhan ekonominya juga lebih lambat dibanding Jawa Timur.
Kabupaten/kota
yang
struktur ekonominya
maih
didominasi oleh sektor pertanian banyak yang menempati kuadran ini.
Kabupaten di wilayah Madura serta sebagian
daerah Tapal Kuda dari tahun ke tahun terus berada pada kuadran ini.
Sebuah terobosan arah pembangunan yang
signifikan perlu terus dicari untuk mengejar ketertinggalan daerah-daerah ini dengan daerah-daerah lain yang lebih maju di Jawa Timur. (iv)
Kabupaten/kota yang mempunyai PDRB per kapita yang tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dibanding Jawa Timur meempati kuadran IV. Kota kediri dan Kabupaten Sidoarjo
87
selama periode 2006-2010 tetap tidak berubah menempati kuadran ini. 4.3.5
Indeks Pembangunan Manusia Seberapa jauh pertumbuhan ekonomi berdampak pada pembangunan
manusia, dapat dijelaskan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan mengevaluasi angka IPM, keterbandingan/posisi pembangunan manusia antar kabupaten/kota di Jawa Timur dapat diketahui baik dari angka IPM-nya sendiri maupun dari tiga komponen pembentuknya (indikator kesehatan, indikator pendidikan dan indikator daya beli). Secara umum angka IPM di Jawa Timur selama periode 2006-2010 menunjukkan kenaikan. Angka IPM tahun 2006 bernilai 69,18; dan selanjutnya meningkat terus menjadi 69,78 (2007); 70,38 (2008); 71,06 (2009) dan pada tahun 2010 mencapai 71,55.
Hasil penghitungan IPM tahun 2010, diperoleh
gambaran bahwa 19 kabupaten/kota mempunyai IPM lebih tinggi daripada IPM Jawa Timur, sedangkan 19 kabupaten/kota lainnya memiliki nilai IPM lebih rendah daripada angka IPM Jawa Timur. Nilai IPM tertinggi dicapai oleh Kota Blitar sebesar 77,28 sedangkan urutan kedua ditempati Kota Surabaya dengan angka IPM 77,18 dan urutan ketiga adalah Kota Malang sebesar 77,10. IPM terendah tercatat Kabupaten Sampang dengan nilai 59,58, namun angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 58,68. Dalam kurun waktu 2006-2010, IPM kabupaten/kota mengalami kenaikan walaupun tidak menunjukkan kenaikan yang drastis. Kenaikan IPM ini di antaranya disebabkan oleh adanya berbagai program pemerintah baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk meningkatkan angka IPM, seperti program di bidang kesehatan, pendidikan maupun ekonomi dan peningkatan kualitas sarana prasarana masyarakat lainnya. Keberhasilan program tersebut juga tergantung
88
pada pola pikir masyarakt setempat dalam pemanfaatan sarana tersebut, sebagaimana yang tertuan dalam strategi 4 track (growth with equity) di antaranya meliputi peningkatan IPM. Kecepatan peningkatan indeks pembangunan manusia diukur dengan reduksi shortfall (ketertinggalan) per tahun. Selama periode 2006-2010 besaran reduksi shortfall adalah 1,67.
Posisi masing-masing kabupaten/kota yang
berkaitan dengan pencapaian pembangunan manusia dicerminkan oleh besaran IPM dan reduksi shortfall per tahun yang dibandingkan dengan reduksi shortfall Provinsi JawaTimur. Dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, terdapat 9 kabupaten/kota yang memiliki reduksi shortfall dan angka IPM yang lebih tinggi dari angka IPM Jawa Timur.
Kemudian pada kuadran II hanya terdapat 2 kabupaten/kota yang
memiliki shortfall lebih tinggi dari shortfall Jawa Timur tetapi mempunyai IPM yang lebih rendah daripada Jawa Timur yaitu Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Ngawi. Sedangkan kabupaten/kota yang memiliki reduksi shortfall dan IPM keduanya lebih rendah daripada Jawa Timur (berada di kuadran III) sebanyak 17 daerah. Kabupaten/kota yang berada di kuadran IV atau memiliki IPM lebih tinggi dari Jawa Timur tetapi mempunyai reduksi shortfall rendah sebanyak 10 daerah. Daerah yang memiliki shortfall terendahadalah Kabupaten Bangkalan (1,48), sedangkan yang mempunyai shortfall paling bagus adalah Kota Batu (1,79). Gambar 4.2, Gambar 4.3 dan Gambar 4.4 menunjukkan posisi masingmasing kabupaten/kota berdasaranangka IPM yang dibandingkan dengan tiga komponennya (indikator kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan). tersebut
diharapkan
mampu
memudahkan
pengambil
kebijakan
Gambar dalam
menentukan prioritas sasaran program guna percepatan peningkatan angka IPM pada masing-masing wilayah di masa mendatang.
89
Indeks kesehatan tertinggi berhasil dicapai Kota Blitar yaitu sebesar 78,65 dan angka terendah sebesar 60,10 dicapai oleh Kabupaten Probolinggo. Sebanyak 18 kabupaten/kota berada pada kuadran I yang memiliki nilai IPM dan indeks kesehatan yang lebih tinggi dari angka Jawa Timur. Hanya 2 kabupaten yang menempati kuadran II yaitu Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Ngawi. Pada kuadran III terdapat 17 kabupaten yang memiliki nilai IPM dan indeks kesehatan yang lebih rendah daripada angka Jawa Timur, termasuk di dalamnya sebagian daerah tapal kuda. Kuadran IV ditempati oleh Kota Pasuruan dan Kota Batu. Pemerintah Daerah dalam usaha meningkatkan nilai indeks kesehatan ini perlu memperhatikan pada daerah yang memiliki indeks kesehatan masih rendah, antara lain dengan pembangunan sarana kesehatan yang memadai. Selain itu masyarakat yang berada di daerah tersebut sangat membutuhkan adanya pembinaan terhadap pola fikir mereka tentang pentingnya pemanfaatan sarana kesehatan secara optimal. Lebih lanjut, karena komponen indeks kesehatan pada penghitungan IPM dicerminkan oleh besaran angka harapan hidup, maka peningkatan angka harapan hidup akan bisa dicapai dengan meminimalkan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan.
Beberapa faktor yang cukup sensitif terhadap
perubahan angka kematian bayi dan ibu seperti pola makanan yang bergizi dan penolong kelahiran/persalinan, perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak terkait. Komponen kedua pendukung IPM yaitu indeks pendidikan, pada tahun 2010 tercatat tertinggi dicapai KotaMalang sebesar 89,59 sedangkannilai terendah dicapai Kabupaten Sampang sebesar 52,31. Dari Gambar 4.3 kuadran I ditempati 19 kabupaten/kota yang mencakup seluruh wilayah kota.
Pada
kuadran II terdapat 3 kabupaten/kota yang memiliki IPM lebih rendah dari Jawa
90
Timur, tetapi mempunyai indeks pendidikan yang lebih tinggi dari indeks Jawa Timur yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Nganjuk, dan Kabupaten Madiun. Sebanyak 16 kabupaten berada di kuadran III dan tidak ada kabupaten/kota yang menempati kuadran IV. Dari hasil penghitungan indeks kesehatan dan indeks pendidikan, dapat dikatakan bahwa sebagian besar wilayah dengan indeks kesehatan rendah juga merupakan daerah yangmemiliki indeks pendidikan rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang ada yaitu semakin rendah tingkat pendidikan yang dimiliki di suatu wilayah maka tingkat kesehatan masyarakat pun juga semakin rendah. Indeks kesehatan dan pendidikan penduduk yang tinggal di sebagian besar wilayah tapal kuda terlihat relatif rendah dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Jawa Timur. Kondisi tersebut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap rendahnya nilai pembangunan manusiadi wilayah tapal kuda. Diduga salah satu penyebab rendahnya IPM di wilayah tersebut adalah pengaruh kultur yang cukup melekat pada masyarakat terhadap kemampuan memanfaatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang ada. Hal ini juga dapat diartikan bahwa usaha dalam meningkatkan IPM akan mengalami kesulitan jika dilihat dari segi kesehatan maupun pendidikan, karena kedua komponen tersebut berkaitan erat dengan konisi sosial dan budaya masyarakat yangtidak mudah mengalami perubahan, seperti masih banyak ditermukan rumah tangga yang lebih memilih dukun daripada tenaga medis sebagai penolong kelahiran bayi. Sedangkan komponen ketiga pendukung angka IPM yang perlu dievaluasi adalah indeks daya beli atau PPP (Purchasing Power Parity / Daya Beli).
Variabel ini cukup berpengaruh, karena identik dengan capaian
kesejahteraan masyarakat secara ekonomi. Gambar 4.10 menunjukkan daerah yang berada di kuadran I sebanyak 8 kabupaten/kota dengan 2 daerah di antaranya adalah Kabupaten Blitar dan Kabupaten Sidoarjo, sedangkan sisanya
91
adalah daerah perkotaan. Tidak satu pun kabupaten/kota menempati kuadran II. Pada kuadran III ditempati oleh 19 kabupaten yang sebagian besar wilayahnya juga merupakan daerah tapal kuda, sedangkan pada kuadranIV terdapat 11kabupaten. Sebaran nilai IPM dan PPP yang ditunjukkan pada Gambar 4.10, memperlihatkan bahwa nilai PPP tertinggi pada tahun 2009 dicapai oleh Kota Surabaya sebesar 67,14 sedangkan untuk PPP terendah adalah Kabupaten Bojonegoro sebesar 59,08. Selama periode 2006-2010 indeks daya beli kabupaten/kota di Jawa Timur mengalami perbaikan meskipun mengalami beberapa kendala akibat faktor intern dan ekstern.
Seiring menggeliatnya ekonomi di daerah yang
ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat pada tahun 2010seuruh kabupaten/kota juga mengalami peningkatan, sehingga mampu mendongkrak IPM.
Secara visual kondisi kabupaten/kotamenurut IPM dan
Indeks PPP sebagaimana Gambar 4.10. 4.3.6
Pemerataan Pendapatan Ketimpangan pemerataan pendapatan versi Bank Dunia di Jawa Timur
pada periode 2007-2010 cenderung mengalami perbaikan. Dengan kata lain ketimpangan pendapatan yang terjadi lambat laun mengecil seiring pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik.
Penduduk yang mempunyai pendapatan
berkategori 20 persen ke atas pada tahun 2007 dapat menikmati kue ekonomi sebanyak 43,47persen bergerak mengecil masing-masing 43,22 persen (2008); 42,55 persen (2009) dan pada tahun 2010 menjadi 40,67 persen. Sementara kelompok yang berpendapatan 40 persen menengah dan 40 persen ke bawah cenderung semakin banyak yang dapat menikmati kue pembangunan. Dengan demikian kesenjangan semakin menurun, dan semakin dirasakannya kue ekoonomi di tingkat pendapatan yang lebih bawah.
92
Penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah menjadi fokus penting
untuk
evaluasi
ketimpangan
yang
terjadi.
Penduduk
yang
berpendapatan 40 persen kebawah ternyata semakin dapat menikmati hasil geliat ekonomi dari 19,83 persen (2007) menjadi 19,92 persen (2008), selanjutnya menjadi 19,86 persen pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 meningkat kembali menjadi 20,81 persen. Berdasarkan skala kesenjangan yang telah ditetapkan, karena penduduk yang berpendapatan 40 persen ke bawah menikmati hasil kegiatan ekonomi di atas nilai 17 persen, maka ketimpangan pendapatan yang terjadi selama kurun waktu 2006-2010 itu masuk kategori ketimpangan pendapatan rendah. 4.3.7
Indeks Gini Ratio Berdasarkan nilai gini rasio, tingkat ketimpangan rata-rata konsumsi per
kapita di Jawa Timur 2009 2010 masuk dalam kategori rendah (kurang dari 0,36). Nilai gini rasio tahun 2010 sebesar 0,31 meningkat dibandingkan tahun 2009 yang nilainya 0,29, naik 0,02 poin. Dengan demikian, kenaikan rata-rata konsumsi per kapita selama 20092010, walaupun berada di bawah tingkat kenaikan harga (inflasi), justru menyebabkan meningkatnya ketimpangan dalam distribusi konsumsi dan pendapatan. Pergeseran tersebut terjadi karena berkurangnya share di kuintil 5, sedangkan kuintil 3 dan 4 mengalami peningkatan.
Sedangkan pada kuintil
bawah, kuintil 1 mengalami peningkatan, sedangkan kuintil 2 mengalami penurunan share. Terjadinya penurunan ketimpangan selama 2009-2010 ini terutama terjadi di wilayah pedesaan,yang turun sebesar 0,02 poin, sedangkan penurunan di wilayah perkotaan hanya sebesar 0,01 poin. Walaupun nilai gini rasio pada wilayah perkotaan dan perdesaan, masuk dalam ketimpangan rendah, namun terdapat perbedaan sebesar 0,07 poin antara wilayah perkotaan dan perdesaa di
93
tahun 2010. Perbedaan ini semakin meningkat dibandingkan tahun 2009, yang memiliki perbedaan sebesar 0,06 poin. Ini menjadi indikasi bahwa wilayah perdesaan memiliki kecenderungan lebih cepat menuju tingkat pemerataan sempurna. Pola perubahan share konsumsi antar kuintil, berbeda antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Pada wilayah perkotaan terjadi pergeseran kuintil 4 dan 5, menuju kuintil di bawahnya. Sedangkan di wilayah perdesaan terdapat kecenderungan kuintil 1 dan 2 semakin mendekati share pada kuintil 4 dan 5. Situasi ini yang mengindikasikan kemerataan di perdesaan akan lebih cepat dibandingkan perkotaan. Tidak semua wilayah dengan tingakt rata-rata konsumsi per kapita sebulan yang tinggi memiliki tingkat kemampuan yang tinggi juga. Seperti dalam pembahasan sebelumnya, kabupaten/kota yang walaupun memiliki rata-rata konsumsi per kapita sebulan tinggi, namun memiiki tingkat ketimpangan yang rrelatif rendah, jika dibandingkan dengan situasi Provinsi Jawa Timur, terutama untuk Kota Probolinggo dan Batu. 4.3.8
Peranan APBD Terhadap PDRB Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional .
pembangunan daerah mempunyai tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
di
daerah
baik
dari
sisi
sosial
maupun
ekonomi.
Pelaksanaanpembangunan seyogyanya dilaksanakan secara serasi, selaras dan terpadu antar sektor. Terkait dengan hal di atas, maka Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk perencanaan pembangunan.
Penyusunan anggaran
tersebut ditata dalam suatu sistem anggaran yang gunanya untuk meningkatkan
94
penyelenggaraan
di
daerah,
baik
tugas
umum
pemerintahan
maupun
pembangunan. APBD memuat seluruh pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBD dirinci dalam berbagai pos anggaran.
Secara umum realisasi APBD
Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan APBD Pemerintah Kabupaten/Kota seJawa Timur independen. Jika APBD merupakan besaran anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan pemerintah daerah, maka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang dan jasa yang diproduksi oleh penduduk suatu wilayah pada kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Bila dibandingkan, maka besaran APBD hanya merupakan bagian kecil dari PDRB. Namun demikian, peran APBD dalam perekonomian tidak dilihat dari besar kecilnya nominal, tetapi dari nilai kebijakan yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi (PDRB). APBD Provinsi Jawa Timur dari tahun ke tahun pada periode 2006-2010 cenderung meningkat. Pada tahun 2007 APBD Provinsi JawaTimur naik sebesar 16 persen dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2008 naik sebesar 19 persen, kemudian tahun berikutnya (2009) mengalami kenaikan lagi sebesar 11 persen, sedangkan pada tahun 2010 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 38 persen. Jika dilihat rasio APBD Jawa Timur terhadap PDRB dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan walaupun naiknya rasio tersebut tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan pada periode tersebut terjadi kegiatan ekonomi yang relatif stabil. Pada periode 2006-2009 rasio APBD mencapai kisaran 1,09 – 1,14 persen. Hal ini juga menunjukkan pada periode tersebut terjadi kegiatan ekonomi di sektor riil yang semakin baik, karena dengan APBD yang cenderung stabil mampu meningkatkan nilai tambah PDRB. Besaran rasio APBD terhadap PDRB pada tahun 2009 tersebut menggambarkan bahwa kinerja Pemerintah
95
Jawa Timur cukup baik karena angka yang dicapai lebih kecil jika dibandingkan dengan standar kinerja yang ditetapkan yaitu sebesar 1,45 persen. Pada tahun 2010 rasio APBD Provinsi Jawa Timur terhadap PDRB Jawa Timur juga semakin meningkat yaitu sebesar 1,38 persen. Ini menggambarkan bahwa di tahun 2010 kinerja Pemerintah Jawa Timur semakin membaik jika besaran standar kinerja yang ditetapkan sama dengan tahun sebelumnya. Peranan pemerintah sampai dengan saat ini masih cukup besar, namun besarnya peranan pemerintah bukan hanya dinilai dari besarnya anggaran yang dibelanjakan. Bagi masyarakat Jawa Timur peran pemerintah yang paling berarti adalah dampak positif akibat kebijakan publik yang dibuat.
Rasio APBD
terhadap PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada tahun 2007 mengalami kenaikan hingga mencapai angka sebesar 1,11 persen, kemudian dua tahun berikutnya naik menjadi 1,14 persen. Selanjutnya pada tahun 2010 rasio APBD mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga mencapai 1,38 persen. Jika peran masyarakat yang disebabkan kebijakan publik yang mengena semakin besar, maka persentase peranan APBD terhadap PDRB ADHB akan terjadi sebaliknya yaitu persentasenya akan menurun.
4.4 Hasil Analisis DEA Setelah dijelaskan sebelumnya tentang gambaran umum variabel yang digunakan, maka sub bab ini akan menyajikan hasil dari analisis DEA. Software yang digunakan dalam analisis DEA ini adalah Banxia Frontier Analyst 4. Analisis DEA dalam penelitian ini menggunakan nilai Public Sector Efficiency (PSE) sebagai input dan nilai Public Sector Performance (PSP) sebagai outputnya. Public Sector Efficiency (PSE) digunakan untuk menghitung indikator efisiensi sektor publik. Untuk menaksir PSE digunakan total pengeluaran
96
pemerintah daerah (belanja publik daerah) yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB (a share of PDRB) yang diasumsikan dapat mencerminkan opportunity cost yang dikeluarkan oleh sektor publik (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk mencapai target kinerja sektor publik yang telah ditetapkan. 1. Belanja pemerintah sektor kesehatan yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB yang digunakan sebagai proksi atas opportunity cost untuk mencapai target kinerja layanan di bidang kesehatan.
Belanja
pemerintah sektor kesehatan meliputi besarnya pengeluaran pemerintah dari anggaran pendapatan belanja yang dialokasikan untuk sektor kesehatan. 2. Belanja pemerintah sektor pendidikan yang dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB yang digunakan sebagai proksi atas opportunity cost untuk mencapai target kinerja layanan bidang pendidikan. Belanja pemerintah sektor pendidikan meliputi besarnya pengeluaran pemerintah dari anggaran pendapatan belanja yang dialokasikan untuk sektor pendidikan. 3. Total belanja pemerintah dalam melakukan fungsi distribusi, stabilitas, dan kinerja ekonomi dinyatakan dalam persentase tertentu dari PDRB sebagai proksi atas opportunity cost untuk mencapai target kinerja layanan dalam melakukan fungsi distribusi, stabilisasi, dan kinerja ekonomi. Hasil analisis DEA dengan metode Ouput Oriented terhadap nilai PSPnya menghasilkan skor efisiensi seperti yang tertera pada tabel 4.7. Secara umum, efisiensi kabupaten/kota di Jawa Timur berfluktuasi dari tahun ke tahun. Seperti yang diperolehdari hasil analisis DEA tersebut, pada tahun 2006 penyebaran skor efisiensi cukup merata, beberapa kabupaten/kota yang meraih skor 100 persen atau dianggap efisien tidak hanya didominasi perkotaan saja.
97
kecilnya nilai input pada tahun 2006, menyebabkan skor efisiensi di beberapa kabupaten/kota menjadi cukup tinggi. Berbeda dengan tahun berikutnya (20072008) di mana terjadi krisis ekonomi global mengakibatkan perubahan pada variabel-variabel input dan output dalam penelitian ini, sehingga skor efisiensi mengalami kecenderungan menurun.
Yang menarik dari poin ini adalah
penurunan skor efisiensi terjadi di kabupaten/kota kota besar, hal ini dikarenakan kota tersebut cukup terpengaruh dengan adanya tingginya inflasi akibat krisis global yang terjadi saat itu.
Sedangkan untuk daerah kabupaten/kota yang
mengandalkan perekonomiannya dari sektor pertanian cenderung stabil, bahkan mengalami kenaikan. Untuk tahun 2009-2010 di mana sistem perekonomian di daerah-daerah perkotaan sudah cukup stabil, skor efisiensi beranjak naik. Begitupun di daerah lain relatif lebih stabil daripada tahun-tahun sebelumnya, meskipun peningkatan skornya tidak terlalu tinggi.
98
Tabel 4.6 Skor Efisiensi Tahun 2006-2010 Kabupaten
2006
2007
2008
2009
2010
Mean
Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Kota Batu
94,95 100 91,84 94,4 94,4 94,45 100 96,62 100 94,5 100 100 94,95 100 91,84 94,4 94,4 94,45 100 96,62 100 94,5 100 100 94,4 94,4 94,45 94,5 96,62 96,62 94,5 100 100 94,95 100 91,84 100 100
95,45 95 94,4 95,6 94,4 92,26 98 100 98,62 95,23 98,25 98,26 94,5 100 100 94,95 100 91,84 94,4 94,4 94,45 100 92,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 100 94,5 100 100 94,4 98 94,45
94,6 94,89 93,26 94,4 95,56 92,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4 95,6 94,4 92,26 100 100 98,62 95,23 98,25 95,45 100 94,4 95,6 94,4 92,26 100 100 98,62 95,23 98,25 95,23 98,25 98,8 96,8
95,87 100 93,26 98,2 100 95,45 98,6 98,2 98,24 95,56 94,6 94,26 92,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4 95,6 94,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4 95,6 94,4 94,4 100 100
96,49 98,24 94,58 96,4 98,4 95,8 100 98,64 100 95,6 98,25 95,25 98,24 95,56 94,6 94,26 92,4 98,24 96,4 96,24 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4 95,6 94,4 94,26 95,24 98,25 95,45 100 94,4 95,6 94,4 100 100
95,472 95,426 93,468 95,8 96,552 94,072 98,368 97,972 98,62 95,03 97,268 97,204 95,108 98,76 95,448 95,09 95,092 94,406 97,81 96,542 97,466 95,874 96,9 96,708 97,808 95,168 95,23 94,56 95,326 97,112 97,64 98,814 96,826 96,64 97,046 94,658 99,36 98,25
Sumber ; Hasil Kalkulasi DEA.
99
Perlu untuk kembali mengingatkan bahwa modus optimalisasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah output oriented, yaitu memaksimalkan output pada tingkat input yang tetap dengan modus skala pengembalian yang tetap (Constant Return to Scale). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk melakukan efisiensi pengeluaran pemerintah sektor publik. Sesuai dengan hasil skor efisiensi yang diperoleh, hampir semua kabupaten/kota memiliki tingkat efisiensi yang tinggi (di atas 80 persen) tentunya dengan peningkatan dan penurunan yang wajar. Secara keseluruhan, rata-rata skor efisiensi di Jawa Timur cukup stabil dari tahun ke tahun (antara 96,4-96,7). Hal ini disebabkan pemerataan pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur yang stabil dari tahun ke tahun (periode 2006-2010). Tentunya hal ini tidak selalu baik bila tidak ada perubahan yang signifikan. Peningkatan skor efisiensi yang relatif kecil dari tahun 2006 hingga tahun 2010 dapat diartikan bahwa secara keseluruhan, efisiensi di Jawa Timur cukup stabil, dengan peningkatan yang relatif kecil, JawaTimur kurang berhasil dalam peningkatan efisiensi belanja pemerintah daerah di kabupaten/kotanya.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis efisiensi di atas dan uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan 1. Secara umum, efisiensi kabupaten/kota di Jawa Timur berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan menaik, terutama tahun 20062007 (sebelum krisis ekonomi) dan 2008-2009 (pasca krisis ekonomi) terjadi di daerah kabupaten/kota dengan rasio APBD untuk sektor publik, kesehatan dan pendidikan lebih tinggi. 2. Terjadinya peningkatan yang signifikan atas efisiensi alokasi anggaran pemerintah sektor publik sejak tahun 2006-2010 didominasi oleh daerah perkotaan, seperti Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Batu, di mana di daerah tersebut untuk alokasi Beanja Pemerintah Daerah sektor Publik bidang kesehatan dan pendidikan memperoleh skor efisiensi relatif tertinggi. 3. Dari sektor kesehatan, beberapa daerah yang masih perlu mendapatkan perhatian
lebih
serius
karena
beberapa
indikator
kinerja
sosial
menunjukkan nilai efisiensi yang rendah, di antaranya adalah Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, dan wilayah pulau Madura. 4. Sedangkan dari sektor pendidikan, yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius adalah lima belas kabupaten dengan proritas utama, antara lain
Kabupaten
Pamekasan,
Sampang, Lumajang,
Bangkalan, Probolinggo,
Bondowoso, Situbondo,
Sumenep, Ngawi,
Bojonegoro,Tuban, Ponorogo, Banyuwangi, Jember, dan Lamongan.
100
101
Sementara indikator lain menunjukkan hasil yang bervariasi sesuai dengan kondisi di daerah kabupaten/kota masing-masing. 5. Temuan menarik lainnya, adalah angka partisipasi murni di beberapa daerah yang relatif rendah, seperti Bondowoso, Pacitan, dan Ponorogo APM-nya rendah, adalah dikarenakan banyaknya penduduk yang memilih untuk menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah non formal seperti pesantren, di mana di sekolah tersebut memiliki jenjang pendidikan khusus, yang berbeda dengan jenjang di sekolah formal pada umumnya. 5.2 Saran Sesuai hasil pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, maka saran yang dapat disampaikan adalah: 1. Dalam menjalankan perannya untuk mencapai tujuan pemerintah, akan berhasil bila dilaksanakan melalui perencanaan yang baik, pelaksanaan serta pengawasan yang tepat. Oleh karena itu, dalam merencanakan alokasi anggaran, diharapkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat benar-benar memperhatikan kebutuhan daerahnya untuk mencapai efisiensi kinerjadi daerahnya, terutama sektor-sektor yang berpengaruh signifikan terhadap peningkatan efisiensi di daerah tersebut. 2. Melihat besarnya pengaruh sektor pendidikan dan kesehatan dalam meningkatkan
efisiensi
kinerja
pemerintah,
hendaknya
porsi
anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk sektor pendidikan dan kesehatan dapat ditingkatkan untuk beberapa tahun ke depan, untuk mendongkrak peningkatan efisiensi di beberapa daerah terutama yang memperoleh skor efisiensi relatif rendah untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
102
3. Melalui
pendekatan
output,
maka
pemerintah
daerah
perlu
memperhatikan alokasi belanja untuk bidang pendidikan di daerah dengan skor efisiensi relatif rendah, yang dapat meningkatkan efisiensinya di bidang pendidikan, seperti peningkatan program pemberantasan buta huruf, maupun program-program yang dapat meningkatkan angka partisipasi murni maupun angka partisipasi kasar siswa usia sekolah. 4. Demikian pula alokasi belanja untuk bidang kesehatan, terutama daerah-daerah dengan skor efisiensi relatif rendah, melalui program peningkatan kesehatan masyarakat, bisa dengan penambahan jumlah puskesmas, rumah sakit, penambahan jumlah dokter, tenaga medis, dan pelayanan kesehatan, sehingga mengurangi angka kematian bayi, ibu melahirkan dan anak, yang pada akhirnya akan bermuara pada meningkatnya efisiensi belanja pemerintah sektor publik, bidang kesehatan, yang berdampak pada tercapainya kesejahteraan masyarakat. 5. Program yang telah dijalankan pemerintah seperti wajib belajar 9 tahun, hendaknya diikuti dengan adanya penyetaraan kategori untuk jenjang pada beberapa sekolah non formal, seperti yang terjadi di daerah-daerah dengan skor efisiensi kecil akibat timpangnya angka partisipasi murni siswa usia sekolah di daerah tersebut, sehingga dalam penelitian selanjutnya tidak terjadi bias sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Antonis., dkk. 2008. Fiscal Decentralization and Public Sector Efficency: Evidence from OCED Countries. Afonso, Antonio, L. Schuknecht and V. Tanzi (2005). “Public Sector Efficiency: An International Comparison”, Public Choice, 123 (3-4), 321 – 47 Bird, R. and Rodriguez, E. R.. 1999. Decentralization and poverty alleviation. International experience and the case of the Philippines. Public Admin. Dev., 19: 299–319. Conceicao, D. Maria and Sampaio Da Seusa. 2005. Technical Efficiency of the Brazilian Muncipalities: Correcting Nonparametric Frontier Measurement for Outlier. Journal of Productivity Analysis, 24, 157-81. Dillinger, William. 1994. Decentralization and Its Implications for Urban Service Delivery, Urban Management Programme Discussion Paper 16, World Bank. Ebejer, Ivan and Ulrike Mandl, 2009, The Efficiency of Public Expenditure inn Malta, Economic Analysis from the European Commission’s Decorate-General for Economic and Financial Affairs. Gujarati, D. 2004. Ekonometrika Dasar. Zain dan Sumarno [Penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Gupta, Sanjeev, K. Honjo, and M. Verhoeven. 1997. The Efficiency of Government Expenditure: Experiences from Africa, IMF Working Paper, WP/97/153. Hakimudin, Dimas Rizal, 2010, Analisis Efisiensi Belanja Kesehatan Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Tengah tahun 2005-2007. Hyman, David N. 2008. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy with Applications, 9th Edition. New York: Thomson SouthWestern. Juanita. 2002. Kesehatan dan Pembangunan Nasional. Medan: Universitas Sumatera Utara Kurnia, Akhmad Syakir, 2010. Model Pengukuran Kinerja dan Efisiensi Sektor Publik Metode Free Disposable Hull (FDH), Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol.11, No.1:1-20. Mankiw, Gregory., 2007. Makroekonomi Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta. NN, (2006). Public Sector Efficiency: Evidence for New EU member States and Emerging market, European Central Bank Working Paper Series, No.581.
103
Romer, Paul M. 1990. The Journal of Political Economy, The Problem of Development: A Conference of the Institute for the Study of Free Enterprise Systems. Vol. 98, No. 5, Part 2. Septianto, Hendi. 2009. Data Envelopment Analysis (DEA) dan Terapannya: Studi Kasus pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kota Semarang tahun 2009 Sharipova, Elena, 2001, The Efficiency and Effectiveness of Public Expenditure (Approaches to Estimating Efficiency of Public Expenditure). Sujudi, Ahmad. 2003. Investasi Kesehatan untuk Pembangunan Ekonomi. Jakarta: Departemen Kesehatan. Tanzi, Vito. 2002. The Proceedings of a 2000 International Conference on Managing Fiscal Decentralization.
Von Braun, J. and U. Grote. 2002. Does Decentralization Serve the Poor? In Managing Fiscal Decentralization ed. E. Ahmad, and V. Tanzi. London and New York: Routledge. Widarjono, Agus. 2010. Yogyakarta.
Analisis Statistika Multivariat. UPP STIM YKPN,
104