KONSEP PENCEGAHAN KORUPSI PADA LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA
I.
Pendahuluan Sebagai bangsa yang sadar akan perjuangan mewujudkan kesejahteraan
masyarakat-bangsanya, maka setiap langkah usaha mencapai cita-cita terutama melalui
program-program
pembangunan
nasional
hendaknya
dibarengi
kejujuran, keikhlasan dan pengorbanan yang tinggi, sebagaimana dicontohkan para pendahulu, pejuang-pejuang bangsa yang bukan hanya jujur dan ikhlas bagi membela tanah air, bahkan fikiran, harta, tenaga malah jiwa sekalipun dipertaruhkan untuk membela bangsa dan negeri ini. Sejarah, ternyata memberi tulisan lain bagi bangsa dan masyarakat diharibaan ibu pertiwi ini, karena generasi berikut telah mengotori perjalanan sejarahnya dengan ketidak jujuran, ketidak ikhlasan, selalu minta pamrih, malah melakukan penyalahgunaan kekuasaan, sehingga negeri tercinta ini termasuk yang kesohor sebagai negara yang terkorup di dunia. Negeri yang dulu termasyur dengan rempah-rempahnya dan masyarakatnya yang ramah tamah, ternyata telah menyimpan potensi kebengisan, dendam, iri dengki pada sesama bangsanya dengan terbukti berkembangnya korupsi. Sebab kita mengetahui bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Ia tidak saja merugikan, tetapi
menghancurkan masyarakat, bangsa dan negara.
II. Latar Belakang Saat ini, korupsi terjadi di seluruh penyelenggara Negara, baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Bahkan terjadi hampir di semua institusi resmi seperti BUMN, dan strata sosial politik seperti LSM, partai politik, dan sebagainya.
Keadaan sekarang sangat memprihatinkan, karena ditengah
maraknya demokrasi, marak pula praktek korupsi.
1
Mohamad Hatta, Wakil Presiden Indonesia pertama adalah pioner yang mengingatkan bahwa Korupsi telah menjadi “budaya”.
Di era Orde Baru,
Soemitro Djojohadikoesoemo kembali mengingatkan bahwa sekitar 30% anggaran pembangunan telah dikorupsi. Sejak itu, berbagai lembaga pemberantasan korupsi dibentuk, tetapi korupsi terus berkembang seiring kemajuan pembangunan. Gerakan reformasi 1998 telah menjadikan isu sentral Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Saat itu, seluruh bangsa Indonesia seolah terhipnotis isu tersebut, sehingga memberi dukungan moral untuk mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto dan rezim Orde Baru. Lahirnya Orde Reformasi, membawa harapan baru pemberantasan KKN, tetapi korupsi yang telah menjadi budaya, sangat tidak mudah menghilang dari bumi Indonesia. Memang kondisi korupsi di Indonesia, ibarat kapal yang beban muatannya melebihi sewajarnya. Tengoklah BLBI, betapa negeri ini telah dirugikan, sementara koruptor BLBI leluasa hidup senang di luar negeri, menikmati kemewahan di atas penderitaan rakyat. Begitu pula para koruptor-koruptor yang berkeliaran di antara kita menikmati hasil korupsinya dengan riang-gembira – karena ketentuan hukum yang ada sangat ringan dan tidak membuat jera bagi para koruptor. Apalagi disinyalir bahwa korupsi ini terjadi malah di para penegak hukum itu sendiri, baik yang ada di instansi peradilan, kepolisian maupun kejaksaan yang institusi-institusi ini sesungguhnya diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, malah justru sebaliknya di lembaga tersebut korupsi kian subur. Anehnya lagi, agama atau kehidupan agama tidak dapat berbuat banyak dalam mengikis dan menghilangkan korupsi di Indonesia. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami oleh yudikatif, eksekutif, tetapi juga lembaga legislatif yang merupakan wakil-wakil rakyat terhormat, mereka harusnya berperan mengontrol dan mengawasi pelaksanaan amanat rakyat yang dijalankan ekskutif, tetapi justru mereka sendiri ikut terseret korupsi. Gambaran ini cukup mengerikan bagi suatu bangsa yang sedang membangun
yang
ingin
mewujudkan
masyarakat
bangsanya
hidup 2
berkecukupan, sejahtera, adil dan makmur. Coba kita perhatikan prilaku eksekutif, legislatif, yudikatif, BUMN, dan partai politik. Upaya pemberantasan korupsi selama ini yang menitik beratkan pada langkah represif, ternyata tidak efektif, karena setelah dipenjarakannya lebih dari 2000 orang koruptor korupsi semakin meningkat. Ini membuktikan bahwa selain upaya represif, harus ada upaya lain dalam memberantas korupsi, yang kami yakini upaya lain itu adalah langkah preventif / pencegahan.
III. Permasalahan Dari uraian tersebut diatas dapat diketahui berbagai masalah KKN dilingkungan penyelenggara negara dan politisi. Melihat motif bagaimana penyelenggara negara dan politisi di pusat dan daerah pada umumnya melakukan
korupsi / KKN, yang secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga hal yaitu: 1. Corruption by need, yaitu korupsi yang dilakukan untuk mendapatkan tambahan pendapatan (income) untuk memenuhi keperluan hidup. Etika profesi yang seharusnya dihormati tidak lagi dapat dilaksanakan jika
dari
profesi
yang
dijalani,
seseorang
tidak
memperoleh
penghasilan yang mencukupi kebutuhan hidup minimalnya. Disini dia terpaksa melakukan perbuatan tercela sekedar untuk survive. 2. Corruption
by
greed,
yaitu
korupsi
yang
dilakukan
karena
keserakahan. Umumnya dipraktekkan oleh pribadi yang sudah mempunyai status sosial yang tinggi / mapan. Penghasilan sah yang diperoleh setiap bulan sudah cukup untuk hidup secara layak, tetapi dengan keserakahannya ia masih melakukan korupsi. 3. Corruption by political interest, yaitu korupsi yang dilakukan dengan motif kepentingan politik. Dalam hal ini, para penyelenggara negara dan politisi, ditengarai banyak melakukan korupsi untuk meraih kekuasaan politik.
3
Ketiga jenis korupsi tersebut diatas di Indonesia menggurita baik pada bidang ekskutif, legislatif, yudikatif, BUMN/BUMD dan sektor-sektor lainnya. Sejauh ini upaya represif sebagai alat memerangi ketiga jenis korupsi ini ternyata tidak berhasil seperti yang diharapkan bahkan terasa semakin meningkatnya angka tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu strategi pemberantasan korupsi harus dirubah. Upaya pencegahan / preventif yang selama ini hampir terlupakan, harus lebih diutamakan dan diperbesar porsinya dari pada porsi penindakan / represif yuridis. Korupsi di Indonesia sebagai akibat dari sistem yang koruptif selama ini dengan langkah-langkah represif sebenarnya hanyalah upaya mematikan akibat dari sistem yang koruptif tersebut tetapi tidak menghapuskan penyebabnya. Oleh karena
itu
kami berpendapat
lebih
efisien
dan
efektif
menghilangkan
penyebabnya dari pada “mengobati” penyakitnya (prevention is better than cure).
IV. Tujuan Untuk melakukan perubahan sistem yang bebas dari sifat koruptif dan sikap mental serta
perilaku yang
tidak ingin melakukan penyalahgunaan
wewenang yang sedang diembannya dan seluruh masyarakat yang bebas dari sifat koruptif.
V. Sasaran Untuk mencapai tujuan tersebut diuraikan beberapa sasaran sebagai berikut : 1. Terwujudnya perubahan dan perbaikan atas sistem / peraturan-peraturan yang memungkinkan terbukanya peluang korupsi. 2. Terlaksananya perbaikan sistem penggajian sebagai penghargaan terhadap profesi sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup. 3. Terwujudnya gerakan yang mengkampanyekan anti korupsi pada seluruh lapisan masyarakat semenjak usia dini.
4
4. Terwujudnya seluruh komponen masyarakat yang bersih / bebas dari praktek KKN. 5. Terwujudnya kesadaran setiap penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya secara periodik sesuai peraturan yang berlaku.
VI. Program Untuk mencapai target-target tersebut diatas dilakukan program sebagai berikut : 1. Melakukan kajian-kajian ilmiah mengenai sistem dan praturan-peraturan yang berlaku selama ini yang baik sifatnya maupun substansinya dinilai sebagai koruptif, selanjutnya dapat memberikan solusi berupa sistem dan peraturan-peraturan baru sebagai penggantinya yang bebas dari KKN . 2. Untuk memperbaiki sistem penggajian perlu dipikirkan tentang rayonisasi terutama untuk keseimbangan antara perolehan gaji dan kebutuhan hidup sesuai dengan kondisi daerah masing-masing. 3. Perlu penghematan anggaran terutama pada aparat pemerintah pusat dan daerah dalam hal kunjungan kedinasan, efektifitas dan efesiensi kegiatan, pengadaan barang dan jasa dan pemeliharaan asset negara. 4. Perlu diwaspadai tentang penyusunan APBN/APBD/DAU/DAK yang cenderung koruptif, tumpang tindihnya program dan sekaligus dipikirkan kembali tentang efektifitas sistem rolling sehingga tidak ada lagi sistem anggaran hangus. 5. Perlu efektifitas partisipasi masyarakat yang selama ini kampanye anti korupsi dilakukan secara sporadis baik oleh tokoh-tokoh agama maupun para pendidik lainnya menjadi satu kegiatan formal yang terencana secara sistemik. 6. Melakukan edukasi dan pelatihan
tentang etika dan
pentingnya
pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), pelayanan publik dengan pengelolaan mutu yang akuntabel, teknik
5
perencanaan dan pengelolaan keuangan serta manajemen keuangan bagi para pejabat non keuangan. 7. Melakukan sosialisasi terhadap laporan kekayaan penyelenggara negara agar dapat dimonitor dan dievaluasi peningkatan / penurunan asset setiap penyelenggara negara dan menerapkan sanksi yuridis bagi yang melanggarnya.
Lembaga Pencegah Korupsi (LPK)
6