KONDISI HABITAT DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP KONSERVASI Rafflesia micropylora Meijer DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
MIKA ASRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
KONDISI HABITAT DAN SIKAP MASYARAKAT TERHADAP KONSERVASI Rafflesia micropylora Meijer DI TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER
MIKA ASRI
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
SUMMARY MIKA ASRI. E34060577. Habitat Condition and Local Communities Attitude toward the Conservation of Rafflesia micropylora Meijer in Gunung Leuser National Park. Under Supervision of AGUS HIKMAT and ERVIZAL A.M. ZUHUD. Rafflesia micropylora Meijer is one of its protected plant species because of the scarcity and endemic in the Indonesian tropical rain forest. One of R. micropylora habitats found in Gunung Leuser National Park (GLNP), Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), is especially under the pressure and threat of human activity. Therefore, the presence of R. micropylora in nature must be preserved. The objective of this study was to determine the condition of R. micropylora, habitat conditions and communities attitudes to the conservation of R. micropylora. The expected benefits as input in the conservation efforts for R. micropylora in Southeast Aceh NAD GLNP. The research was conducted in Block Gurah Ketambe GLNP serve from June to August 2010. The data was collected by using purposive sampling method with a single plot of 1 ha. The measurement of knob conditions, biotic and abiotic conditions, and communities attitudes were done in the block. The results showed that the condition of R. micropylora was found one knob. The condition of vegetation in Block Gurah Ketambe GLNP included lowland forest vegetation which was dominated by Parashorea parvifolia species of Dipterocarpaceae. Canopy strata were A, B, and C with the coverage of title at 55.15%. R. micropylora grown on the host species Tetrastigma lanceolarium. The existing animals in this study are orangutans, wild boar, Capricornis sumatraensis, deer, and sun bears. Abiotic (physical) conditions R. micropylora habitat located at an altitude of 510 m.dpl with slope 0-45°. Soil has a pH neutral to slightly alkali with a texture-sandy clay loam with reddish-brown color. Daily temperatures are 27-28°C with a humidity of 85-97%. Community attitudes toward forest areas was that 30 respondents were more familiar with and know the information about R. micropylora from media and discussion of other people. Communities will support the conservation of R. micropylora although some have a little appreciation and don’t really feel the presence of R. micropylora. The habitat of R. micropylora was disturbed by activities of the jungle in form of path tracking and animal observation point. Management activities of R. micropylora habitat was considered ineffective related to the encroachment of forests and cutting T. lanceolarium. The results mentioned above describe the condition of R. micropylora, which was in danger due to a variety of activities. The R. micropylora habitat was in the lowland forest vegetation types dominated by the species P. parvifolia. Public attitudes toward forests usually support the conservation of R. micropylora, it was necessary to give information to the communities so that they take care and monitor the population and R. micropylora habitat. Keyword: Rafflesia micropylora, endemic, habitat, communities attitudes.
RINGKASAN MIKA ASRI. E34060577. Kondisi Habitat dan Sikap Masyarakat Hutan Terhadap Konservasi Rafflesia micropylora Meijer di Taman Nasional Gunung Leuser. Di bawah bimbingan AGUS HIKMAT dan ERVIZAL A.M. ZUHUD. Rafflesia micropylora Meijer merupakan salah satu spesies tumbuhan yang dilindungi karena kelangkaan dan keendemikannya yang terdapat di hutan hujan tropika Indonesia. Salah satu habitat R. micropylora yaitu di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang mengalami tekanan dan ancaman terutama aktivitas manusia. Oleh karena itu, keberadaan R. micropylora di alam harus dijaga kelestariannya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kondisi R. micropylora, kondisi habitat dan sikap masyarakat terhadap konservasi R. micropylora. Manfaat yang diharapkan adalah sebagai masukan dalam upaya konservasi R. micropylora di TNGL Aceh Tenggara NAD. Penelitian ini dilaksanakan di Blok Gurah Ketambe TNGL pada bulan JuniAgustus 2010. Pengambilan data menggunakan metode purposive sampling dengan petak tunggal seluas 1 ha. Dalam petak tersebut dilakukan pengukuran kondisi knop, kondisi biotik dan abiotik, dan sikap masyarakat sekitar habitat R. micropylora. Hasil penelitian menunjukkan kondisi R. micropylora hanya ditemukan satu knop yang lepas dari inangnya. Kondisi vegetasi di Blok Gurah Ketambe TNGL termasuk vegetasi hutan dataran rendah yang didominasi oleh spesies Parashorea parvifolia dari famili Dipterocarpaceae. Strata tajuk vegetasi meliputi strata A, B, dan C dengan nilai penutupan tajuk sebesar 55,15%. R. micropylora tumbuh pada spesies inang Tetrastigma lanceolarium. Satwa yang ada di lokasi penelitian berupa orangutan, babi hutan, kambing hutan, rusa, beruang madu baik ditemukan langsung maupun berdasarkan informasi masyarakat. Kondisi abiotik (fisik) habitat R. micropylora berada pada ketinggian 510 m dpl dengan kelerengan 045°. Tanah memiliki pH netral hingga agak basa dengan tekstur geluh lempunganpasiran yang berwarna cokelat muda-kemerahan. Suhu harian 27-28°C dengan kelembaban 85-97%. Masyarakat sekitar hutan lebih banyak mengenal dan mengetahuai R. micropylora dari berbagai media dan pembicaraan sehari-hari. Sikap masyarakat umumnya mendukung terhadap konservasi R. micropylora. Aktivitas yang mengganggu habitat R. micropylora yaitu adanya jalur jungle tracking dan jalur pengamatan satwa. Aktivitas pengelolaan habitat R. micropylora dinilai belum efektif dilihat dari adanya perambahan hutan dan pemotongan T. lanceolarium. Hasil tersebut di atas menggambarkan kondisi R. micropylora berada dalam keterancaman akibat berbagai aktivitas. Habitat R. micropylora berada dalam tipe vegetasi hutan dataran rendah yang didominasi oleh spesies P. parvifolia. Sikap masyarakat sekitar hutan secara umum mendukung konservasi R. micropylora. Maka perlu kiranya kegiatan penyuluhan kepada masyarakat, menjaga dan memantau populasi R. micropylora dan habitatnya. Kata kunci: Rafflesia micropylora, endemik, habitat, sikap masyarakat.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kondisi Habitat dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Rafflesia micropylora Meijer di Taman Nasional Gunung Leuser adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Mika Asri NRP E34060577
© Hak cipta milik IPB tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
Judul Skripsi : Kondisi Habitat dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Rafflesia micropylora Meijer di Taman Nasional Gunung Leuser Nama : Mika Asri NIM
: E34060577
Menyetujui:
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, MS
NIP. 19620918 198903 1 002
NIP. 19590618 198503 1 003
Mengetahui: Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT, sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul Kondisi Habitat dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Rafflesia micropylora Meijer di Taman Nasional Gunung Leuser. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengupas tentang kondisi R. micropylora, habitat R. micropylora, dan sikap masyarakat sekitar hutan terhadap R. micropylora yang terdapat di Blok Gurah Ketambe TNGL Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Skripsi ini diharapkan dapat dijadikan masukan dalam pengelolaan R. micropylora di TNGL. Akhirnya, tentu skripsi ini jauh dari sempurna, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna dalam penyempurnaan skripsi ini.
Bogor, Maret 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Pulo Piku, Kecamatan Darul Hasanah,
Kabupaten
Aceh
Tenggara,
Nanggroe
Aceh
Darussalam (NAD) pada tanggal 1 April 1988 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Jimidan dan Ibu Hamidah. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri Kuta Pasir pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SLTP Negeri 4 Badar. Kemudian pada tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri Perisai Kuta Cane dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan. Selama studi di IPB, penulis aktif di Organisasi Kemahasiswaan yakni sebagai Staf Biro Sosial Lingkungan, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) IPB (2007/2008), Staf Biro Informasi dan Komunikasi, Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) IPB (2008/2009), Kelompok Pemerhati Flora “Rafflesia” HIMAKOVA (2007-2009), dan Anggota Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) Aceh, serta penulis juga pernah mengikuti berbagai seminar dan kegiatan. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cagar Alam Leuweung Sancang dan Cagar Alam Kamojang Kabupaten Garut. Penulis juga melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi, serta penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKL-P) di Taman Nasional Meru Betiri (Jember dan Banyuwangi) Jawa Timur. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kondisi Habitat dan Sikap Masyarakat Terhadap Konservasi Rafflesia micropylora Meijer di Taman Nasional Gunung Leuser untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB yang dibimbing oleh Dr. Ir. Agus Hikmat, M. Sc dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmatnya dan syalawat beserta salam penulis hadiahkan pahalanya kepada Nabi Besar Muhammad SAW sehingga terselesainya penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, ucapan terimakasih penulis haturkan kepada: 1.
Dosen pembimbing Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A M Zuhud, MS atas kesabaran dan keikhlasannya dalam membimbing, membagi ilmu, dan dukungan materil maupun moril lainnya sampai penulis menyelesaikan tugas akhir.
2.
Dosen penguji Ir. Muhdin, MSc.F.Trop dari Departemen MNH, Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dari Depertemen HHT, dan Dr. Ir. Istomo, MS dari Depertemen SVK yang telah menguji dan memberikan saran dalam penyempurnaan penulisan tugas akhir ini.
3.
Orangtua tercinta Bapak Jimidan dan Ibu Hamidah beserta keluarga tercinta Abang Supian, Abang Pratu Robianto, adik tersayang Rela Daini, dan kepada Kakak Anita Ritawati serta Kakak Reza Maretha, S.Pd atas dukungan cinta, kasih sayang, dan motivasinya yang selama ini telah diberikan.
4.
Pihak pengelola BTNGL Bapak Harijoko selaku kepala TNGL, Bapak ST Mangarahon, dan Abang Zulfan serta seluruh pegawai pengelola TNGL, terimakasih atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian.
5.
Pihak BPKEL Bapak Isya, Bapak Usman, Bapak Mat Plin, Abang Anto, dan Saiful serta seluruh pihak BPKEL terimakasih atas bantuanya selama penulis melakukan penelitian.
6.
Kepada seluruh Dosen Fakultas Kehutanan khusnya Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata khususnya dan Dosen TPB yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas bakti ilmu yang telah diberikan kepada penulis.
7.
Keluarga dan persahabatan lainnya yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu. Sesungguhnya tidak dapat dituliskan dengan dua lembar kertas sampai terselesainya penulisan tugas akhir ini.
iv
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR TABEL .........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.3 Manfaat Penelitian ....................................................................
1 2 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Rafflesia micropylora .................... 2.2 Ekologi dan Habitat R. micropylora ......................................... 2.3 Penyebaran R. micropylora ....................................................... 2.4 Tumbuhan Inang ....................................................................... 2.5 Status Konservasi R. micropylora ............................................. 2.6 Sikap Masyrakat ........................................................................ 2.7 Taman Nasional ........................................................................
3 4 4 5 6 6 6
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 3.2 Alat, Bahan dan Objek Penelitian ............................................. 3.3 Jenis Data .................................................................................. 3.4 Metode Pengambilan Data ........................................................ 3.4.1 Cara penetapan petak contoh .......................................... 3.4.2 Bentuk dan ukuran petak contoh...................................... 3.4.3 Kondisi populasi R. micropylora .................................... 3.4.4 Kondisi habitat R. micropylora . ...................................... 3.4.5 Sikap masyarakat sekitar hutan ........................................ 3.5 Analisis Data .............................................................................. 3.5.1 Kondisi biotik................................................................... 3.5.2 Kondisi abiotik (fisik) ......................................................
9 9 11 11 11 11 13 13 14 15 15 17
BAB IV KONDISI UMUM LAPANGAN 4.1 Sejarah dan Status Kawasan ...................................................... 4.2 Letak dan Luas Kawasan ........................................................... 4.3 Tanah.......................................................................................... 4.4 Hidrologi .................................................................................... 4.5 Iklim ........................................................................................... 4.6 Topografi.................................................................................... 4.7 Geologi ....................................................................................... 4.8 Potensi Kawasan ........................................................................ 4.8.1 Flora .................................................................................
18 18 19 19 20 20 21 21 21
v
4.8.2 Fauna ................................................................................ 4.8.3 Ekowisata ......................................................................... 4.9 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat .........................................
22 23 24
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Populasi Rafflesia micropylora Meijer ........................ 5.2 Kondisi Habitat R. micropylora ................................................. 5.2.1 Kondisi biotik................................................................... 5.2.2 Kondisi abiotik (fisik) ..................................................... 5.3 Sikap Masyarakat TNGL Terhadap R. micropylora .................. 5.3.1 Karakteristik responden ................................................... 5.3.2 Sikap konservasi masyarakat terhadap R. micropylora ... 5.3.3 Aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap habitat R. micropylora ................................................................... 5.3.4 Aktivitas pengelolaan habitat R. micropylora ................ 5.3.5 Usulan program konservasi R. micropylora ....................
27 30 30 45 49 49 50 52 53 55
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ............................................................................... 6.2 Saran .........................................................................................
58 58
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
59
LAMPIRAN ...................................................................................................
62
vi
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Fungsi alat, bahan dan objek penelitian .................................................
9
2. Tingkat pertumbuhan dan kriteria vegetasi pada setiap petak contoh ...
12
3. Luas tanah berdasarkan fungsi pemanfaatan tanah khusus tanaman padi .........................................................................................................
25
4. Produktivitas bidang perikanan, pertanian, dan peternakan di tahun 2004........................................................................................................
25
5. Kondisi bekas bunga R. micropylora pada inang (T. lanceolarium) ....
27
6. Lima spesies tingkat pohon yang memiliki tingkat INP tinggi..............
31
7. Lima spesies tingkat tiang yang memiliki tingkat INP tinggi................
32
8. Lima spesies tingkat pancang yang memiliki tingkat INP tinggi .........
33
9. Lima spesies tingkat semai/tumbuhan bawah yang memiliki tingkat INP tinggi ...............................................................................................
34
10. Keanekaragaman spesies tumbuhan pada petak habitat R. micropylora
35
11. Perbandingan spesies-spesies vegetasi tingkat pohon (diameter > 10 cm) pada berbagai habitat Rafflesia di Sumetera ...................................
37
12. Perbandingan spesies-spesies vegetasi tingkat permudaan anakan
pohon (diameter 2-10 cm) pada berbagai habitat Rafflesia di Sumetera
38
13. Spesies-spesies inang (Tetrastigma) yang ditempeli Rafflesia ..............
42
14. Pohon yang ditumpangi T. lanceolarium ...............................................
44
15. Kompenen fisik tanah pada setiap petak contoh ....................................
46
16. Suhu dan kelembaban udara pada lokasi petak contoh ..........................
48
17. Suhu dan kelembaban udara pada beberapa spesies Rafflesia ...............
48
18. Jumlah responden yang diwawancarai di setiap desa. ...........................
49
19. Data karakteristik responden ..................................................................
50
20. Sikap masyarakat terhadap konservasi R. micropylora ........................
50
vii
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1. Peta lokasi penelitian TNGL ................................................................
10
2. Bentuk petak contoh .............................................................................
12
3. Kondisi knop R. micropylora ...............................................................
28
4. Bagian R. micropylora (Zuhud et al. 1998)...........................................
29
5. Persentase famili tingkat pohon berdasarkan INP ................................
31
6. Persentase famili tingkat tiang berdasarkan INP ..................................
33
7. Persentase famili tingkat pancang berdasarkan INP .............................
34
8. Persentase famili tingkat semai/tumbuhan bawah berdasarkan INP ....
35
9. Bentuk profil hutan vertikal dan horizontal tingkat pohon ...................
40
10. Kondisi habitat R. micropylora ............................................................
41
11. Penyebaran T. lanceolarium pada petak contoh pengamatan ...............
42
12. Bentuk batang Tetrastigma lanceolarium ............................................
43
13. T. lanceolarium mati akibat pohon yang roboh ....................................
44
14. Orangutan sedang melakukan aktivitas di pohon-pohon ......................
45
15. Jalur lintas jungle tracking pada habitat R. micropylora ......................
53
16. Bentuk pembukaan lahan yang mengancam kehilangan R. micropylora 53 17. Bentuk pembukaan lahan kawasan TNGL untuk perkebunan .............
54
viii
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Blok Gurah TNGL ...............
63
2. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di Blok Gurah TNGL .................
64
3. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Blok Gurah TNGL .............
65
4. Hasil analisis vegetasi tingkat semai/tumbuhan bawah di Blok Gurah
TNGL....................................................................................................
67
5. Kuisioner sikap masyarakat terhadap Rafflesia ...................................
70
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan Rafflesia di alam yang memiliki keunikan merupakan warisan dunia (world heritage) dari dunia tumbuhan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tanggal 27 juni 1999 tentang pengawetan spesies tumbuhan dan satwa. Semua spesies Rafflesia merupakan tumbuhan yang dilindungi karena kelangkaan dan keendemikannya yang terdapat di hutan hujan tropika Indonesia. Salah satu spesies Rafflesia adalah Rafflesia micropylora Meijer yang tumbuh di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (Nais 2001). Sriyanto (2005) melaporkan bahwa TNGL mengalami tekanan dan ancaman berupa perambahan hutan, pembalakan liar, kebakaran hutan, spesies invasif, tuntutan hak masyarakat, dan penggunaan lahan non konservasi. Semakin berkurangnya luasan hutan TNGL maka keterancaman habitat R. micropylora akan semakin tinggi. Kehidupan R. micropylora dalam ekosistem ditentukan oleh faktor biotik dan abiotik. Faktor biotik tersebut meliputi tumbuhan inangnya dari marga Tetrastigma, tipe vegetasi, hewan penyerbuk dan penyebar, dan pengaruh manusia. Faktor abiotik diantaranya topografi, iklim, dan tanah. Steenis (1971) diacu dalam Syahbuddin (1981) menyebutkan biji Rafflesia secara alamiah dapat tumbuh pada tumbuhan inangnya melalui infeksi pada luka-luka yang terjadi karena injakan binatang berkuku, seperti gajah, tapir, badak dan lain sebagainya. Tingginya kemungkinan kepunahan Rafflesia di alam dikarenakan perusakan habitat melalui illegal logging, perambahan hutan, dan tuntutan hak masyarakat. Spesies R. micropylora merupakan tumbuhan holoparasit yang berumah dua, sehingga proses perkembangbiakannya cukup rumit. Disamping itu, terjadinya gangguan pada tumbuhan inang dan knopnya mudah rusak akan menyebabkan kematian Rafflesia (Ekawati 2001). Kondisi tersebut menyebabkan populasi Rafflesia di alam semakin menjadi langka. Keberadaan R. micropylora di alam patut dipertahankan kelestariannya dari hutan alam sebagai habitatnya. Jika kelestarian hutan terjaga, maka tumbuhan
2
inang dan R. micropylora akan hidup dengan baik. Kelestarian hutan secara keseluruhan membawa dampak pada berbagai tumbuhan lain maupun satwa yang sangat mendukung kehidupan R. micropylora.
1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan: 1) Mengetahui kondisi populasi R. micropylora. 2) Mengetahui kondisi habitat R. micropylora. 3) Mengetahui sikap masyarakat sekitar TNGL terhadap konservasi R. micropylora.
1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan dan acuan dalam konservasi spesies R. micropylora bagi pengelola dan masyarakat di TNGL, Aceh Tenggara, NAD.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi dan Morfologi Rafflesia micropylora Marga Rafflesia pertama kali ditemukan tahun 1818 di Bengkulu oleh Dr. Yoseph Arnold yang dinamai oleh Robert Brown tahun 1820 dalam Transaction Linnean Society vol. XIII (Kooders 1981 diacu dalam Zuhud et al. 1993). Selanjutnya dikatakan oleh Kuijt (1969) diacu dalam Zuhud et al. (1998) bahwa genus Rafflesia termasuk ke dalam famili Rafflesiaceae yang terdiri dari delapan marga (genera) yang beranggotakan sekitar 50 spesies, umumnya terdapat di daerah tropik Indo-Malaysia. Spesies tersebut antara lain Rafflesia, Rhizanthes, dan Sapria. Menurut klasifikasi dunia tumbuhan Taksonomi Rafflesia (Becker et al. 1963 diacu dalam zuhud et al. 1998) yaitu: Divisi
: Spermathophita
Klas
: Angiospermae
Anak Klas
: Dicotyledone
Bangsa
: Aristolochiales
Suku
: Rafflesiaceae
Marga
: Rafflesia
Spesies
: Rafflesia micropylora Meijer
Rafflesia memulai pertumbuhannya dengan pembentukan kecambah yang terdapat di kulit akar dan berkembang menjadi benang-benang (hifa) yang selanjutnya terjadi pembengkakan dan terbentuk knop pada permukaan tumbuhan inang. Knop yang terbentuk dengan inang akan membesar dan robek yang berarti bunga R. micropylora tersebut mekar. R. micropylora memiliki diameter bunga 30-60 cm, kelopak bunga berwarna jingga tua-merah gelap (Zuhud et al. 1998). R. micropylora dikenal sebagai tumbuhan holoparasit, yaitu tumbuhan yang sepenuhnya tergantung pada tumbuhan lain untuk kebutuhan makanannya. Tumbuhan inang dari R. micropylora adalah tumbuhan liana dari spesies Tetrastigma lanceolarium. Rafflesia tidak mempunyai butir-butir klorofil, tetapi mempunyai akar hisap (haustorium) yang berfungsi sebagai penyerap nutrisi yang dibutuhkan (Zuhud et al. 1998).
4
Spesies R. micropylora merupakan sebuah keajaiban di dunia tumbuhan yang memiliki sifat dan cara hidup yang menakjubkan dengan keindahan, cara hidup yang unik, dan ukuran bunga yang besar. Bunga R. micropylora memiliki lima buah kelopak bunga, tanpa batang dan daun. Ukuran kuncup dan kelopak bunga Rafflesia berbeda-beda setiap spesiesnya (Salleh 1991).
2.2 Ekologi dan Habitat R. micropylora Secara umum ekologi R. micropylora ditentukan oleh dua komponen yaitu komponen biotik termasuk aktivitas manusia dan komponen abiotik (fisik). Komponen biotik dari habitat R. micropylora salah satunya adalah tumbuhan inang. Faktor abiotik yang mempengaruhi kehidupan Rafflesia yaitu iklim, tanah dan topografi. Rafflesia yang termasuk tumbuhan holoparasit hidup pada perakaran dan batang tumbuhan liana dari spesies T. lanceolarium (Zuhud et al. 1998). Rafflesia tumbuh di berbagai tipe habitat yang berbeda-beda mulai dari vegetasi hutan pantai hingga pegunungan. Karakteristik vegetasi dapat dilihat dari asosiasi vegetasi hutan hujan tropika primer dengan keanekaragaman yang tinggi dan struktur vegetasi horizontal dan vertikal yang khas. Karakteristik tanah berupa jenis tanah, pH tanah, kandungan zat hara, suhu, tekstur dan struktur tanah, kapasitas tukar kation, organisme tanah, tebal dan berat serasah, kandungan bahan organik dan kelembaban (Zuhud et al. 1998).
2.3 Penyebaran R. micropylora Zuhud et al. (1998) mengatakan bahwa sampai saat ini telah berhasil di identifikasi spesies Rafflesia sebanyak 17 spesies yang ada di dunia dan 12 spesies memiliki penyebaran di Indonesia. Daerah yang menjadi habitatnya yaitu hutan hujan tropika. Spesies Rafflesia yang tersebar di Pulau Sumatera yaitu R. arnoldii var. atjehensis, R. hasseltii, R. gadutensis, R. micropylora, dan R. rochussenii. Dari kelima spesies Rafflesia yang terdapat di Sumatera, ada tiga spesies yang terdapat di daerah NAD yaitu R. arnoldii var. atjehensis, R. micropylora, dan R. rochussenii (Nais 2001).
5
2.4 Tumbuhan Inang Tumbuhan inang dari Rafflesia merupakan tumbuhan liana dari marga Tetrastigma. Tetrastigma termasuk kedalam famili Vitaceae, memiliki 95 spesies dengan penyebaran 57 spesies di Malesia, empat spesies di Taiwan, 12 spesies di India, empat spesies di Thailand, 22 spesies di Indocina, dan 12 spesies di Malaysia (Lattif 1984 diacu dalam Hikmat 1988). Tidak semua spesies Tetrastigma merupakan tumbuhan inang dari Rafflesia. Berdasarkan klasifikasi dunia tumbuhan Backer dan Bakhuizen van Den Brink (1963) diacu dalam Jamil (1998), Tetrastigma lanceolarium dikelompokkan dalam: Divisi
: Spermathophyta
Klas
: Angiospermae
Anak Klas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Rhamnales
Suku
: Vitaceae
Marga
: Tetrastigma
Spesies
: T. lanceolarium
T. lanceolarium merupakan tumbuhan berbiji dan berumah dua, memiliki anakan yang hampir mirip dengan semak-semak maupun pohon muda. Perbedaan tersebut terlihat jika telah terjadi pemanjangan pada bonggol (internode) bagian atas dan batang menjadi lentur sehingga mudah melengkung dan mulai membutuhkan pohon penyokong untuk mendapatkan sinar matahari dengan cepat. Penyokong membantu mempercepat pertumbuhan internode sehingga ketika penyokong tidak tersedia maka pertumbuhannya akan mengalami perlambatan dan kemungkinan akan jatuh ke tanah dan menjalar untuk mencari penyokong kembali. Tetrastigma yang menjalar ke atas akan menempati posisi yang teratas pada tajuk pohon. Penyokong yang digunakan dapat berupa pohon, semak maupun batang liana lainnya (Hernidiah 1999). Sistem pertumbuhan dan perkembangan perakaran Tetrastigma bersifat horizontal, tidak jauh dari permukaan tanah dan termasuk ke dalam lapisan top soil yang kaya akan zat hara, dan perakarannya memiliki percabangan yang banyak. Tetrastigma mempunyai batang bentuk pipih dan bulat. Batang ini
6
dicirikan seperti T. papilosum bentuk batang bulat dan T. lanceolarium batang pipih yang sering menjadi habitat inang R. micropylora. Spesies T. lanceolarium memiliki jaringan kayu yang lunak, berpori-pori dan besar, berkadar air tinggi, kulit batang dan akar berserabut tebal dan mudah pecah-pecah membentuk alur, sebagian besar inang banyak mengandung air (Jamil et al. 2002).
2.5 Status Konservasi R. micropylora Kelangkaan Rafflesia di habitatnya menyebabkan Rafflesia dimasukkan kedalam perlindungan spesies tumbuhan. Hal ini berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 6/PMP/1961 tanggal 9 Agustus 1961 tentang larangan penjualan spesies Rafflesia, serta melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tanggal 27 Juni 1999 tentang pengawetan spesies tumbuhan dan satwa, dengan bentukbentuk pemanfaatannya.
2.6 Sikap Masyarakat
Sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan
dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu. Sikap terdiri dari komponen kognitif (ide yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai), dan emosi (menyebabkan respon-respon yang konsisten (Ramadhani 2006). Menurut Rahayuningsih (2008), faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting (Significant Others), media massa, institusi/lembaga pendidikan dan agama, dan faktor emosional. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia yang saling berhubungan satu sama lain (Supsiloani 2008). Sehingga sikap masyarakat merupakan kondisi mental masyarakat yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu terhadap respon yang diterima.
2.7 Taman Nasional Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
7
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Sistem zonasi pada taman nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006, zona taman nasional terdiri dari: 1) Zona inti, merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. 2) Zona rimba, merupakan bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. 3) Zona pemanfaatan, merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata. 4) Zona lain, antara lain: zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan zona khusus. Secara umum taman nasional memiliki fungsi dan peranan (Widada 2008), antara lain: 1) Sebagai wahana pengembangan ilmu pengetahuan 2) Sebagai wahana pendidikan lingkungan 3) Mendukung pengembangan budidaya tumbuhan dan penangkaran satwa 4) Wahana kegiatan wisata alam 5) Sumber plasma nutfah dan keanekaragaman spesies tumbuhan dan satwa 6) Melestarikan ekosistem hutan sebagai pengatur tata air dan iklim mikro serta sumber mata air bagi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional Kriteria pengelolaan taman nasional yang efektif (Ditjen PHKA 2006 diacu dalam Widada 2008) antara lain: 1) Perencanaan, meliputi: kriteria perumusan tujuan pengelolaan taman nasional, kriteria status hukum dan pemanfaatan kawasan, kriteria pengelolaan data dan informasi, kriteria penataan zona taman nasional, dan kriteria perencaan pengelolaan. 2) Pelaksanaan, meliputi: kriteria perlindungan dan pengamanan kawasan, kriteria konservasi spesies dan ekosistem, kriteria rehabilitasi kawasan dan restorasi
ekosistem,
kriteria
pembangunan
sarana
dan
prasarana
8
kepentingan
pengelolaan,
pemanfaatan
dan
pengusahaan,
kriteria
pemanfaatan taman nasional untuk penelitian dan ilmu pengetahuan, kriteria pemanfaatan taman nasional untuk pendidikan dan kesadaran konservasi, kriteria pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata alam dan rekreasi, kriteria pemanfaatan taman nasional untuk produk jasa lingkungan, kriteria pemanfaatan taman nasional untuk menunjang kepentingan religi, tradisional, budidaya/plasma nutfah/materi kimia aktif dan bahan baku obat/hasil hutan non kayu, dan kriteria pengembangan daerah penyangga. 3) Pengorganisasian, meliputi: kriteria administrasi pengelola, kriteria pengembangan koordinasi dan integrasi, dan kriteria pengembangan kemitraan dan kolaborasi pengelola.
9
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Blok Gurah Ketambe, Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (Gambar 1). Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu bulan Juni-Agustus 2010. 3.2 Alat, Bahan dan Objek Penelitian Alat, bahan dan objek penelitian yang digunakan menurut fungsinya tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Fungsi alat, bahan dan objek penelitian No Alat, Bahan dan Objek Alat 1 Kompas 2 GPS 3 Hagameter 4 Meteran 5 Pita ukur 6 Plastik trasbag 7 Alat tulis 8 Tally sheet 9 Kertas herbarium 10 Label gantung 11 Golok 12 Patok 13 Penggaris 14 Tali raffia 15 Sasak 16 Penjepit 17 Altimeter 18 Thermohygrometer 19 Kertas pH 20 Kalkulator 21 Kamera 22 Field guide Bahan 1 Alkohol 70% 2 Aquades Objek penelitian 1 R. micropylora 2 Vegetasi 3 Tanah di sekitar habitat R. micropylora
Fungsi Penentu arah petak contoh Penentu letak dan posisi lokasi petak contoh Pengukur tinggi vegetasi Pengukur luas petak contoh Pengukur diameter vegetasi Pengepakan herbarium Mencatat data dan informasi penelitian Tabel vegetasi Pengaturan dan pengeringan herbarium Penamaan herbarium Mempermudah pekerjaan lapang Penanda petak contoh Pengukur kedalaman tanah Penanda jalur petak contoh Pengepakan herbarium Pengepak herbarium Ketinggian lokasi Pengukur suhu dan kelembaban udara Pengukur kadar keasaman/kebasaan tanah Penghitung dalam pengolahan data Dokumentasi Buku bantu pencaharian nama latin tumbuhan Pengawetan herbarium Pelarut tanah Objek penelitian Objek penelitian Objek penelitian
10
Peta Lokasi Penelitian di Taman Nasional Gunug Leuser
Blok Gurah Ketambe TNGL
10
Gambar 1 Peta lokasi penelitian TNGL.
11
3.3 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer berupa: (1) Kondisi populasi R. micropylora. (2) Kondisi habitat R. micropylora; berupa data
biotik
(kondisi
vegetasi,
tumbuhan inang, aktivitas satwaliar) dan abiotik (penutupan serasah hutan, tanah, suhu, kelembaban). (3) Sikap masyarakat terhadap keberadaan R. micropylora di TNGL. Data sekunder berupa keadaan lokasi penelitian, diperoleh dari literatur atau pustaka yang telah ada.
3.4 Metode Pengambilan Data 3.4.1 Cara penetapan petak contoh Pengambilan
petak
contoh
ditetapkan
secara
purposive
sampling
berdasarkan penemuan R. micropylora pada petak tunggal. 3.4.2 Bentuk dan ukuran petak contoh Pengamatan dan pengumpulan data vegetasi sekitar R. micropylora dilakukan pada petak tunggal dengan luas 1 ha (100 x 100 m), kemudian petak tersebut dibagi-bagi lagi menjadi petak kecil berukuran 20 x 20 m (Gambar 2), dengan kategori vegetasi dan luas petak ukur seperti tersaji pada Tabel 2.
12
Sumbu Y 100 m d a
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
b 1c
d 21
22
23
24 a
25 b c 100 m Sumbu X
Keterangan: a b c d Petak 11 – 15
: Petak ukuran 2 x 2 m : Petak ukuran 5 x 5 m : Petak ukuran 10 x10 m : Petak ukuran 20 x 20 m : Petak ditemukannya R. micropylora : Petak pengukuran stratifikasi vegetasi
Gambar 2 Bentuk petak contoh. Tabel 2 Tingkat pertumbuhan dan kriteria vegetasi pada setiap petak contoh Petak contoh a
Tingkat Pertumbuhan Semai dan tumbuhan bawah
b
Pancang dan semak
c
Tiang Liana Pohon
d
Kriteria Permudaan dari kecambah sampai tinggi < 150 cm/tumbuhan yang ketika dewasa tidak akan setara atau di bawah tinggi pohon. Permudaan dengan tinggi ≥ 150 cm sampai anakan berdiameter < 10 cm. Diameter ≥ 10 - < 20 cm Tumbuhan merambat. Diameter 20 cm.
Sumber: Soerianegara dan Indrawan (1998)
Ukuran Petak (m) 2x2 5x5 10 x 10 20 x 20
13
3.4.3 Kondisi populasi R. micropylora Kondisi yang diamati meliputi: jumlah knop/bunga R. micropylora yang masih hidup dan yang telah mati, jumlah bunga mekar, diameter knop dan bunga mekar, jenis kelamin bunga mekar, dan tempat tumbuh R. micropylora pada organ inang akar/batang yang ditempelinya, dan posisi inang pada petak contoh. Pengamatan dilakukan pada petak ukuran 1 ha. 3.4.4 Kondisi habitat R. micropylora 3.4.4.1 Data biotik 3.4.4.1.1 Kondisi vegetasi Pengambilan data vegetasi dilakukan untuk tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai, serta pada liana, semak dan tumbuhan bawah. Data vegetasi berupa nama spesies, diameter, jumlah individu. Nama ilmiah spesies tumbuhan yang ditemukan diindentifikasi melalui buku field guide tumbuhan lapang, dan untuk yang tidak teridentifikasi di lapang maka dibuatkan dalam herbarium untuk diidentifikasi selanjutnya ke Herbarium Bogoriensis LIPI Bogor. Selain itu dilakukan pembuatan diagram profil arsitektur hutan untuk mengetahui lapisan-lapisan tajuk pohon (stratifikasi) dan penutupan tajuk dari petak contoh yang diambil dengan ukuran 0,2 ha (20 x 100 m). Profil arsitektur hutan yang digambarkan dan semua pohon berdiameter ≥ 20 cm diukur tinggi pohon dan diameter proyeksi tajuk, serta kedudukannya dalam sumbu x dan y. 3.4.4.1.2 Tumbuhan inang (Tetrastigma lanceolarium) Pengambilan data tumbuhan inang (T. lanceolarium) dilakukan pada petak contoh yang ditemukan R. micropylora. Inang yang ditemukan dihitung banyaknya batang, tinggi batang, diameter batang, spesies inang, spesies dan tinggi pohon yang dipanjat serta pengamatan terhadap kondisi fisik batang dan daun inang, dan letak posisi inang dalam petak contoh. Pengamatan dilakukan pada petak ukuran 1 ha. 3.4.4.1.3 Aktifitas fauna/satwaliar Data aktivitas fauna/satwaliar yang diamati ialah fauna/satwaliar yang terdapat disekitar knop/bunga R. micropylora. Pengamatan tersebut meliputi spesies satwa, jumlah satwa, dan aktivitas yang dilakukannya.
14
3.4.4.2 Data Abiotik (fisik) Data fisik yang diambil meliputi data ketinggian tempat, kemiringan lahan, tebal penutupan serasah hutan, komponen fisik tanah, suhu dan kelembaban udara. Data ketinggian tempat diukur dengan memakai GPS berupa data ketinggian tempat dari atas permukaan laut. Kemiringan lahan dilihat besarnya kemiringan lokasi penelitian dengan mengukur derajat kemiringan lahan. Tebalnya penutupan serasah hutan diukur pada habitat yang ditemukannya R. micropylora dari dasar tanah. Komponen fisik tanah diambil petak contoh tanah dalam tiga petak contoh yang diletakkan pada petak 1, 13, dan 25 pada petak contoh pengukuran vegetasi seluas 1 ha. Data komponen fisik tanah tersebut berupa pH tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), tekstur, struktur, dan warna tanah. Untuk data kelembaban dan suhu udara diambil data kelembaban dan suhu udara harian. 3.4.5 Sikap masyarakat sekitar hutan Wawancara semi terstruktur dengan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan habitat R. micropylora dilakukan untuk mengetahui sikap masyarakat terhadap R. micropylora. Masyarakat yang diwawancarai terutama masyarakat yang memiliki hubungan yang erat dengan hutan, khususnya dengan R. micropylora. Informasi tersebut dapat berupa pandangan masyarakat, hubungan keterikatan, dan manfaat R. micropylora bagi kehidupannya. Penetapan responden dilakukan secara terpilih berdasarkan kriteria yang telah disebutkan, dengan mengambil 30 responden. Aktivitas
kunjungan
wisatawan
dan
pengelolaan,
serta
hubungan
masyarakat dengan Rafflesia diamati untuk mengetahui aktivitas manusia yang berpengaruh. Dari aktivitas tersebut dilihat dampak negatif yang ditimbulkan terhadap habitat maupun R. micropylora. Aktifitas pengelolaan sendiri dilakukan dengan wawancara dengan pengelola TNGL dan observasi lapang secara langsung. Sedangkan upaya konservasi R. micropylora dilihat dari permasalahan yang terjadi di kawasan TNGL dan dihubungkan dengan harapan masyarakat sekitar hutan melalui wawancara tertulis semi terstruktur. Penentuan pemberian solusi
15
dari permasalahan yang ada dilakukan melalui analisis masalah dan harapan masyarakat sekitar hutan. 3.5 Analisis Data 3.5.1 Kondisi biotik Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan dihitung nilai-nilai: indeks nilai penting, indeks keanekaragaman spesies, indeks kekayaan spesies, dan indeks kemerataan. 3.5.1.1 Indeks nilai penting Analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk setiap spesies tumbuhan dilakukan pada masing-masing petak contoh untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi (Soerianegara & Indrawan 1983). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kerapatan suatu spesies (K)
=
Kerapatan relatif suatu spesies (KR) = Frekuensi suatu spesies (F)
=
Frekuensi relatif suatu spesies (FR) = Dominansi suatu spesies (D)
=
Dominansi relatif suatu spesies (DR) =
Jumlah individu suatu spesies Luas petak contoh (ha)
Kerapatan suatu spesies × 100% Kerapatan seluruh spesies Jumlah petak ditemukan suatu spesies Jumlah seluruh petak Frekuensi suatu spesies × 100% Frekuensi seluruh spesies Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak contoh (ha) Dominansi suatu spesies × 100% Dominansi seluruh spesies
Indeks Nilai Penting (INP)
Tingkat semai/tumbuhan bawah, liana dan pancang: INP = KR + FR
Tingkat pohon/tiang: INP = KR + FR + DR
3.5.1.2 Keanekaragaman spesies tumbuhan Keanekaragaman
spesies
dihitung
dengan
Keanekaragaman Shannon (H’), sebagai berikut :
H' = - ∑[Pi LnPi ]
menggunakan
Indeks
16
Pi =
Ni N
Keterangan : H’ : Indeks Keanekaragaman Shannon Pi : Proporsi Nilai Penting Ln : Logaritma Natural Ni : Jumlah INP suatu spesies N : Jumlah INP seluruh spesies
3.5.1.3 Kekayaan spesies (Species richness) Pengukuran kekayaan spesies dalam petak pengamatan, pendekatan yang digunakan adalah Indeks kekayaan spesies Margalef (Magurran 1988), dengan persamaan sebagai berikut:
D mg =
S -1 ln N
Keterangan: Dmg = Indeks kekayaan Margaleft S = Jumlah spesies N = Jumlah individu
3.5.1.4 Indeks kemerataan (Evenness) Pengukuran derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies digunakan indeks kemerataan spesies tumbuhan (Magurran 1988), dengan persamaan sebagai berikut:
H' E= ln S Keterangan: E = Nilai Evennes H’ = Indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wiener S = Jumlah spesies
3.5.1.5 Stratifikasi dan penutupan tajuk vegetasi Penentuan nilai persentase penutupan tajuk menggunakan rumus sebagai berikut: Penutupan tajuk = ∑
Luas penutupan tajuk Luas petak contoh
× 100%
Penentuan stratifikasi tajuk hutan ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut (Soerianegara & Indrawan 1983): Strata A : Lapisan teratas, dengan tinggi pohon ≥ 30 m. Strata B : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 20-30 m.
17
Strata C : Terdiri dari pohon-pohon yang tingginya 4-20 m. Strata D : Lapisan perdu dan semak, tingginya 1-4 m. Strata E : Lapisan tumbuhan-tumbuhan penutup tanah, tingginya 0-1 m. 3.5.3 Kondisi abiotik (fisik) Data abiotik (fisik) yang meliputi tanah, suhu dan kelembaban udara disajikan melalui tabulasi, di analisis secara deskriptif kualitatif.
18
BAB IV KONDISI UMUM LAPANGAN 4.1 Sejarah dan Status Kawasan Perlindungan kawasan TNGL merupakan usulan dari tokoh-tokoh Aceh sejak 93 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1912. Para tokoh itu meminta kepada pemerintah kolonial untuk melindungi kawasan hutan di Singkil dan Lembah Alas, dan tidak mengijinkan penebangan hutan di sana. Pada tahun 1928, penanam karet Belanda, yaitu dr.F.C. van Heurn menyiapkan proposal yang pertama. Tahun 1934, suaka alam Gunung Leuser ditetapkan dengan luas 416.500 ha. Tahun 1936 Lahan basah Kluet seluas 20.000 ha dimasukkan sebagai tambahan suaka, dan dua tahun kemudian terjadi penambahan suaka di Sekundur seluas 79.100 ha, Langkat Barat dan Langkat Selatan seluas 127.075 ha ditetapkan. Pada tahun 1980, dideklarasikan 5 taman nasional pertama di Indonesia, yaitu Leuser, Ujung Kulon, Gunung Gede Pangrango, Baluran, dan Komodo. Menurut SK Menteri Kehutanan No. 276/Kpts-II/91 tahun 1997 diacu dalam Wiratno (2007) luas TNGL adalah 1.094.962 ha. Pada tahun 1981, Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai Biosphere Reserve atau Cagar Biosfer, atas usulan dari pemerintah Indonesia. Pengakuan global ini pun berlanjut lagi dengan ditetapkannya TNGL sebagai Tropical World Heritage Site of Sumatra, bersamasama dengan TN Kerinci Seblat, dan Bukit Barisan Selatan pada tahun 2004 (Wiratno 2007).
4.2 Letak dan Luas Kawasan TNGL secara geografis terletak di koordinat 02° 50' - 04° 10' LU dan 96° 35' - 98° 30' BT yang terdapat di dua provinsi yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Kabupaten Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya) dan Provinsi Sumatera Utara (Kabupaten Langkat dan Karo). TNGL dengan luas 1.094.692 ha terbagi ke dalam Provinsi NAD seluas ± 867.789 ha, dan Provinsi Sumatera Utara seluas ± 226.903 ha (TNGL 2010).
19
Kabupaten Aceh Tenggara-Kuta Cane (NAD) merupakan salah satu tempat terdapatnya R. micropylora yang secara geografis terletak antara 3° 55' 23” - 4° 16' 37” LU dan 96° 43' 23’’ - 98° 10' 32” BT, dan secara administratif Kabupaten Aceh Tenggara di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues, di sebelah timur dengan Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten Aceh Timur, di sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Provinsi Sumatera Utara, dan di sebelah barat dengan Kabupaten Aceh Selatan. Wilayah Kabupaten Aceh Tenggara terletak diketinggian 25-1.000 m dpl, berupa daerah perbukitan dan pegunungan. Suhu udara berkisar antara 25ºC sampai 32ºC (Anonim 2010).
4.3 Tanah Pada kawasan TNGL minimal terdapat 11 macam jenis tanah. Tiga jenis tanah mendominir kawasan ini, yaitu kompleks podsolik cokelat, podsolik dan litosol (38,41%), kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol (31,97%), dan andosol (13,76%). Jenis-jenis tanah tersebut mencakup organosol dan gleihumus, regosol, podsolik merah kuning (batuan endapan), podsolik merah kuning (batuan aluvial), regosol, andosol, litosol, podsolik merah kuning (bahan endapan dan batuan beku), kompleks podsolik merah kuning latosol dan litosol, kompleks podsolik cokelat, podsolik dan litosol, serta kompleks resina dan litosol (TNGL 2010).
4.4 Hidrologi Berdasarkan TNGL (2010), hidrologi di kawasan TNGL dicirikan oleh sungai panjang, yaitu Sungai Alas dan oleh anak-anak sungai yang berhulu dari banyak gunung diantaranya Gunung Leuser, Gunung Kemiri, Gunung Bendahara, Gunung Parkinson dan lain-lain. Anak-anak sungai ini bermuara ke Samudera Indonesia ataupun ke Selat Malaka. Secara garis besar terdapat beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) yang airnya berasal dari kawasan TNGL, yaitu : 1) Bakongan, Krueng Kluet, Krueng Baro, Krueng Susoh, Krueng Batee dan Krueng Tripa.
20
2) Krueng Tripa dan Lesten. 3) Lesten/Jampur/Amiang 4) Sekundur/Besitang, Sei Lepan, Sei Batang Serangan, Sei Musam, Sei Bohorok, Sei Berkail, Sei Wampu, Sei Bekular, dan Sei Bingei. 5) Waihni Gumpang, Waihni Marpunga, Lawe Ketambe, Lawe Kompas, dan Lawe Bengkung. Disamping keberadaan sungai-sungai tersebut di kawasan ini juga terdapat 2 (dua) buah danau kecil, yaitu Danau Laot Bangko yang terdapat di daerah Kluet (10 ha) dan Danau Marpunga (6 ha) di daerah Marpunga. Beberapa lokasi air panas juga ditemukan disini, seperti di Lawe Gerger (hutan lindung Serbolangit), dan Kappi serta lokasi air bergaram yang merupakan tempat pengasinan satwa liar (di Alas, Kappi, Leuser, dan Muara Renun).
4.5 Iklim Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Furguson (1958) diacu dalam TNGL (2010), kawasan TNGL termasuk tipe iklim A yaitu musim kemarau terjadi pada Bulan Maret-Agustus dan musim hujan pada Bulan September-Pebruari. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1.000 s/d 3.000 mm pertahun. Suhu rata-rata minimum berkisar antara 23-25ºC dan rata-rata maksimum 30-33ºC, dan kelembaban udara relatif antara 65-75%.
4.6 Topografi Kawasan TNGL berada di pegunungan yang berbukit dan bergelombang. Sebagian kecil saja areal yang berupa dataran rendah, yaitu di daerah SekundurLangkat pantai Timur dan di daerah Kluet pantai Barat. Berbagai elemen morfologi terlihat nyata, seperti rangkaian pegunungan dengan berbagai lipatan patahan dan rengkahan, gugusan bukit terjal dan bergelombang, gunung-gunung, kubah-kubah, dataran tinggi, plato, celah, lembah, jurang, lereng, dataran rendah, pantai, kompleks, dan aliran sungai dengan berbagai bentukan dan sistem pola sungai dengan cabang-cabangnya. Sedikitnya terdapat 33 bukit atau gunung dan ada beberapa yang belum tercatat. Salah satu puncak tertinggi TNGL adalah puncak Gunung Leuser, yaitu 3.149 m dpl (TNGL 2010).
21
4.7 Geologi Bagian utara kawasan TNGL adalah pegunungan Leuser Simpoli yang terbentuk dari formasi "Munkap mata-sedimen dan Glanalei" yang diperkirakan berasal dari periode Permo-Carboniferous dan baru sedikit mengalami pelapukan. Jenis batuannya antara lain Phylite hitam dan kelabu, metasilstone, metasandstone, fine graned quaatzite, dan marbble. Jenis batuan yang terdapat di sekitar Lembah Alas, gugusan Bendara dan jalur Kluet - Rameh, antara lain guartzbiolite
schists
banded,
gneiss,
cucocratic,
fine
granular
gneiss,
amphibolete, banded dan massive marble. Formasi Alas Barat diperkirakan berasal dari periode Nesozoic dengan jenis batuan blackshale to slate, siltstone, hard sand stone, minor grey wache, conglomerate, banded, massive limestone, dolomite, dan chert (TNGL 2010).
4.8 Potensi Kawasan 4.8.1 Flora TNGL memiliki penyebaran vegetasi yang lengkap, mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi dan hutan pegunungan. Kawasan ini hampir seluruhnya ditutupi oleh lebatnya hutan Dipterocarpaceae dengan beberapa sungai dan air terjun. Vegetasi dominan adalah hutan tropis basah. Van Steenis (1937) diacu dalam TNGL (2010) membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL dalam beberapa zona, yaitu ; - Zona Tropika (termasuk zona Collin, terletak 500-1.000 m dpl). Zona ini merupakan daerah berhutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis tegakan yang berdiameter besar yang tingginya bisa mencapai 40 meter, serta berbagai jenis liana dan epifit yang menarik seperti anggrek. - Zona Montane (termasuk zona sub montane, terletak 1.000-1.500 m dpl). Zona ini merupakan hutan montane dengan tegakan kayu yang tidak terlalu tinggi, yaitu berkisar antara 10 - 20 m, banyak dijumpai lumut yang menutupi tegakan kayu atau pohon, dengan kelembaban udara yang tinggi. - Zona Sub Alpine (2.900 - 4.200 m dpl); merupakan zona hutan Ercacoid yang tidak berpohon lagi, dimana vegetasinya merupakan campuran dari pohon-
22
pohon kerdil dan semak-semak serta beberapa spesies tundra, anggrek dan lumut. Berdasarkan TNGL (2010) diperkirakan TNGL memiliki 3.000 s/d 4.000 spesies tumbuhan, terutama di hutan dataran rendah, diantaranya terdiri dari spesies kayu komersial, pohon buah-buahan, rotan (74 spesies), palem, jenis tanaman obat, dan bumbu-bumbuan. Kayu komersial dari famili Dipterocarpaceae terdapat 95 spesies, antara lain meranti, keruing, shorea, dan pohon kapur (Dryobalanops aromatica). Pohon buah-buahan antara lain jeruk hutan (Citras macroptera), durian hutan (Durio exeleyanus dan D. zibethinus), menteng (Baccaurea montheyana dan B. racemosa), dukuh (Lansium domesticum), mangga (Mangifera foetida dan M. guadrifolia), rukem (Flacourtia rukem), dan rambutan (Nephelium lappaceum). Spesies lainnya, antara lain palem daun sang (Johannesteijsmania altifrons) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di daerah Langkat, beberapa spesies bunga Rafflesia (R. micropylora, R. arnoldii var. atjehensis, R. rochussenii, R. arnoldii ), dan Rhizanthes zippelii serta berbagai tumbuhan pencekik (ara). 4.8.2 Fauna TNGL (2010) mencatat sebanyak 34 ordo dari fauna yang terdiri dari 144 famili dengan 717 spesies dan 89 spesies diantaranya termasuk jenis satwa langka dan tidak terdapat di taman nasional lain. Beberapa satwa yang hidup di TNGL, yaitu: a) Mamalia, antara lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), kedih (Presbytis thomasi), siamang (Hylobates sindactylus), musang congkok (Prionodon linsang), kukang (Nycticebus coucang), kucing emas (Felis temmincki), pulusuan (Arctonyx collaris), bajing terbang (Lariscus insignis), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), ajak (Cuon alpinus), harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus), rusa (Cervus unicolor), kijang (Muntiacus muntjak), badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), tapir (Tapirus indicus), b) Burung, antara lain kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kuntul (Egretta sp.), itik liar (Cairina sp.), rajawali kerdil (Microhierax spp), rangkong (Buceros bicornis),
23
julang ekor abu-abu (Annorhinus gaeleritus), julang emas (Rhiticeros undulatus), kangkareng (Anthracoceros convextus), dan beo nias (Gracula religiosa). c) Reptil, antara lain buaya muara (Crocodilus porosus), penyu belimbing (Dermochelys sp.), kura-kura gading (Orlitia borneensis), dan senyulong (Tomistoma sp.). 4.8.3 Ekowisata Lokasi-lokasi yang memiliki potensi wisata, yaitu : a) Gurah, melihat dan menikmati panorama alam, lembah, sumber air panas, danau, air terjun, pengamatan satwa dan tumbuhan seperti bunga Rafflesia, orangutan, burung, ular dan kupu-kupu. b) Rehabilitasi orangutan Bohorok, melihat atraksi orang hutan di tempat rehabilitasi orangutan dan wisata alam berupa panorama sungai, bumi perkemahan dan pengamatan burung. c) Kluet, bersampan di sungai dan danau, trekking pada hutan pantai dan wisata goa. Daerah ini merupakan habitat harimau Sumatera. d) Sekundur, berkemah, wisata goa dan pengamatan satwa. e) Ketambe dan Suak Belimbing, penelitian primata dan satwa lain yang dilengkapi rumah peneliti dan perpustakaan. f) Gunung Leuser (3.404 m dpl), dan Gn. Kemiri (3.314 m dpl), memanjat dan mendaki gunung. g) Sungai Alas, kegiatan arung jeram dari Gurah-Muara Situlen-Gelombang, selama 3 hari. Atraksi budaya di luar TNGL antara lain Festival Danau Toba pada bulan Juni di Danau Toba dan Festival Budaya Melayu pada bulan Juli di Medan. Musim kunjungan terbaik yaitu bulan Juni sampai Oktober. Sarana dan Prasarana yang dimiliki berupa kantor, radio komunikasi, pusat informasi, guest house, bumi perkemahan, jalan setapak, menara pengamat, dan shelter (TNGL 2010). Cara menuju lokasi (menggunakan kendaraan roda empat): - Medan-Kutacane ± 240 km atau 8 jam - Kutacane-Gurah/Ketambe ± 35 km atau 30 menit - Medan-Bohorok/Bukit Lawang ± 60 km atau 1 jam
24
- Medan-Sei Betung/Sekundur ± 150 km atau 2 jam - Medan-Tapaktuan ± 260 km atau 10 jam
4.9 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Hingga tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Aceh Tenggara adalah169.409 jiwa dengan kepadatan 37 jiwa/km . Komposisi penduduk terdiri dari 77.385 laki-laki dan 92.024 perempuan dengan tingkat pertumbuhan 1,67% per tahun (Anonim 2010). Kabupaten Aceh Tenggara sering disebut dengan tanah Alas didominasi oleh suku Alas. Suku Alas sebagian besar tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Desa yang dijadikan sebagai responden yaitu Desa Ketambe, Desa Simpur Jaya pada Kecamatan Ketambe dan Desa Pulo Piku pada Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, NAD. Ketiga desa ini jika di tinjau dari wilayah perbatasan kawasan TNGL termasuk ke dalam zona perbatasan dengan TNGL. Disebutkan dalam data TNGL (2010) ada 37 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Diantara desa tersebut, ketiga desa yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian termasuk ke dalam desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNGL. Namun demikian desa yang paling erat dengan kawasan TNGL ialah Desa Ketambe dan Simpur Jaya. Dari ketiga desa tersebut sebagian besar Desa Simpur Jaya seluruhnya bermata pencaharian dari hasil berkebun, Desa Ketambe sudah banyak yang bermata pencaharian sebagai pedagang, jasa penyedia, jasa wisata, dan sebagai masyarakat berkebun, dan Desa Pulo Piku memiliki mata pencaharian sebagai petani dan berkebun. Diantara ketiga desa yang terdapat, Desa Simpur Jaya merupakan desa yang paling tertinggal yang terletak di kawasan Kecamatan Ketambe dan merupakan salah satu desa yang masih sangat tergantung dengan keberadaan kawasan TNGL. Selain itu pada saat wawancara dengan masyarakat Simpur Jaya (Agustus 2010) terjadi penangkapan terhadap warga Simpur Jaya oleh petugas keamanan terkait masalah illegal logging dan perambahan hutan di kawasan TNGL. Sebanyak 6 orang warga yang ditangkap berdasarkan informasi dari petugas TNGL (Bapak ST Mangarahon, 52 Tahun). Karena ketergantungan masyarakat
25
Simpur Jaya terhadap hutan, berarti seluruh kegiatan masyarakat Simpur Jaya berada dalam kawasan TNGL. Tanah Alas merupakan lumbung penghasil padi untuk daerah Aceh. Dari luas keseluruhan wilayah Aceh Tenggara, hanya 9,74% yang dimanfaatkan sebagai lahan budidaya. Luas lahan persawahan di wilayah Aceh Tenggara adalah 17.224 ha dengan pembagian tanah berdasarkan fungsinya seperti tersaji di Tabel 3. Tabel 3 Luas tanah berdasarkan fungsi pemanfaatan tanah khusus tanaman padi No. Fungsi Pemanfaatan 1. Sawah beririgasi 2. Sawah berpengairan sederhana 3. Sawah tadah hujan Sumber: Anonim (2010)
Luas Tanah (ha) 2.500 13.972 752
Produktivitas 107.153 ton gabah
Selain ketersediaan air yang melimpah dan iklim Aceh Tenggara juga sangat cocok untuk membudidayakan berbagai jenis ikan air tawar. Selama ini yang sudah dibudidayakan adalah ikan mas dan mujair. Namun prospek yang bagus juga ada pada pembudidayaan ikan jurung, lele, belut, dan gabus, yang selama ini ditangkap dari sungai-sungai yang ada di wilayah Aceh Tenggara. Selain bidang perikanan, ternak yang dibudidayakan masyarakat daerah Aceh Tenggara dominannya adalah kerbau dan sapi, namun banyak juga yang membudidayakan kambing, domba dan unggas. Produktivitas bidang perikanan, pertanian, dan peternakan seperti tersaji pada Tabel 4. Tabel 4 Produktivitas bidang perikanan, pertanian, dan peternakan di tahun 2004 No.
Bidang Jenis Komoditi Ikan mas 1. Perikanan Ikan mujair 2. Perikanan Pertanian Jagung 3. Kedelai 4. Pertanian 5. Peternakan Unggas 6. Peternakan Sapi 7. Peternakan Kambing 8. Peternakan Domba 9. Peternakan Kerbau Sumber: Anonim (2010)
Produktivitas (ton) 243,80 1.152,54 151.092,85 133,99 192.436 84.746 22.527 12.200 122.470
Luas Tanah (ha) 4.534,17 27.054
Spesies tanaman perkebunan potensial di wilayah Aceh Tenggara adalah kemiri, karet, kopi, kelapa, dan kakao. Belakangan ini, yang jumlah produksinya
26
mengalami pertumbuhan sangat pesat adalah kakao karena penanaman kakao oleh masyarakat baru dilakukan sekitar sepuluh tahun terakhir. Limpahan produksi kakao ini sangat membantu perekonomian masyarakat karena harganya relatif tinggi dan stabil. Tapi selain itu mereka juga mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan.
27
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Populasi Rafflesia micropylora Meijer Lokasi ditemukannya knop (kuncup) Rafflesia micropylora Meijer berada di Blok Gurah Ketambe Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Namun berdasarkan informasi dari masyarakat, terdapat empat lokasi tumbuh R. micropylora yang biasa ditemukan di TNGL, Aceh Tenggara, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Lokasi-lokasi tersebut yaitu di Stasiun Riset Ketambe, Blok Gurah Ketambe, Desa Suka Rimbun Kecamatan Ketambe, dan di dekat kebun masyarakat Ketambe. Selain itu, R. micropylora yang dekat dengan daerah Ketambe dapat ditemui di Blok Air Panas, Desa Lawe Panas, Kecamatan Putri Betung, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi NAD. Dari keempat lokasi tersebut, R. micropylora hanya ditemukan di blok Gurah Ketambe TNGL. Knop R. micropylora yang ditemukan berjarak sekitar 6 m dari inangnya yaitu akar reriang gana (Tetrastigma lanceolarium). Knop tersebut ditemukan dalam keadaan utuh lepas dari inangnya. Diduga knop tersebut baru sehari atau dua hari lepas dari inangnya akibat adanya gangguan. Dari hasil bekas tumbuh R. micropylora pada inangnya ditemukan sejumlah lima bekas tempelan tempat tumbuh. Pada kelima bekas tumbuh R. micropylora tersebut satu diantarannya adalah bekas tumbuh knop R. micropylora
yang
tercabut (Tabel 5). Tabel 5 Kondisi bekas knop R. micropylora pada inang (T. lanceolarium) Bekas knop R. micropylora Knop 1 Knop 2 Knop 3 Knop 4 Knop 5
Diameter inang (cm) 3,5 2,22 0,95 1,91 2,38
Tinggi dari permukaan tanah (cm) 168 0 0 0 0
Berdasarkan Tabel 5, bekas knop R. micropylora memiliki diameter yang berbeda-beda pada setiap ukuran diameter inang. Kisaran diameter inang dimulai dari 0,95-3,5 cm. Ukuran diameter knop Rafflesia yang ditemukan terlepas dari inangnya mencapai 14,96 cm (Gambar 3). R. micropylora mekar dengan diameter bunga 30-60 cm (Zuhud et al. 1998).
28
Gambar 3 Kondisi knop R. micropylora. Daun pelindung (bractea) yang mulai mengering dan berwarna cokelat kehitaman
merupakan
ciri
khas
bagi
R.
micropylora
pada
tahapan
perkembangannya (Gambar 3). Disebutkan oleh Zuhud et al. (1998) bahwa knop R. micropylora dengan ukuran kurang dari 10 cm warna pelindung berubah menjadi cokelat kemerah-merahan sampai cokelat kehitam-hitaman, dan pelindung sudah mengering serta warnanya berubah menjadi cokelat tua kehitamhitaman hingga hitam pada ukuran lebih kurang 15 cm. Dilihat dari struktur penyusunnya (Gambar 4), knop R. micropylora yang merupakan tumbuhan berumah dua ini adalah knop R. micropylora bunga jantan. Jenis kelamin knop ini ditandai adanya anther pada bagian dalamnya dan tidak memiliki ovarium. Processes pada knop ini memiliki 20 buah dengan tinggi 1,752,5 cm dari pangkal margo superior discus. Margo superior discusnya memiliki diameter 10,3 cm, dengan tinggi ramenta 0-0,75 cm.
29
2 1 3 4 7 5
12
8
9
6 11 13
10
14 Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14.
Diaphragm Segmenta perigone Ramenta Processes Margo superior discus Anther Lobe perigone Discus
Annalus interior Annalus exterior Bractea Sulcus coronalis Cupula Tempat menempelnya dengan inang
Gambar 4 Bagian R. micropylora (Zuhud et al. 1998). Sebagai spesies tumbuhan berumah dua, keberadaan bunga jantan dan bunga
betina
pada
R.
micropylora
sangat
mempengaruhi
proses
perkembangbiakannya. Proses penyerbukan dan pembuahan yang sempurna akan terjadi jika terdapat dua spesies bunga jantan dan bunga betina R. micropylora yang mekar dalam waktu yang bersamaan dan lokasi yang berdekatan. Proses perkembangbiakan tersebut juga tidak bisa dilakukan sendiri oleh bunga R. micropylora melainkan melalui bantuan satwa, angin dan air terhadap inangnya (Zuhud et al. 1998). Satu knop R. micropylora tumbuh pada inangnya tidak memberikan kerugian yang nyata. Keberadaan knop R. micropylora tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan inang T. lanceolarium, karena satu batang inang dapat tumbuh Rafflesia pada berbagai fase pertumbuhan dan tidak diikuti tanda-tanda
30
kerusakan pada inang (Misnawaty 2007). Namun berdasarkan Nais (2001) menyatakan bahwa pengaruh tumbuhan parasit terhadap inangnya dapat menyebabkan terjadinya kompetisi dalam memperoleh air, kompetesi dalam memperoleh nutrisi organik maupun anorganik, terganggunya metabolisme inang, terganggunya potensi reproduksi inang, dan kesehatan inang menurun/terganggu.
5.2 Kondisi Habitat R. micropylora 5.2.1 Kondisi biotik Kondisi biotik habitat R. micropylora meliputi kondisi vegetasi di sekitarnya, tumbuhan inang R. micropylora, aktivitas satwaliar di sekitar habitat R. micropylora. 5.2.1.1 Kondisi vegetasi Vegetasi adalah tingkat yang paling berperan dalam keberadaan hutan. Keberadaan vegetasi dapat dibedakan berdasarkan tingkatan pertumbuhannya yaitu tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai/tumbuhan bawah. Tingkatan vegetasi menggambarkan banyaknya jumlah spesies, besarnya diameter batang, dan tingginya vegetasi yang didapat pada suatu lokasi tersebut. Dari jumlah, diameter, dan tinggi vegetasi yang didapat menggambarkan keberadaan vegetasi tersebut dalam hal kedominanan spesies, kerapatan, dan penyebarannya yang terdapat pada lokasi tersebut. 5.2.1.1.1 Tingkat pohon Dari hasil analisis vegetasi, didapat 30 spesies tingkat pohon dengan 13 famili. Habitat R. micropylora merupakan tipe vegetasi hutan dataran rendah. Ciri-ciri tipe vegetasi hutan dataran rendah yaitu adanya spesies kayu penting dari famili Dipterocarpaceae antara lain: Shorea, Hopea, Dipterocarpus, Vatica, dan Dryobalanops (Soerianegara & Indrawan 1983). Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi didominasi oleh spesies Parashorea parvifolia dari famili Dipterocarpaceae dan diikuti oleh Hydnocarpus woodii (Flacourtiaceae), Glochidion kollmannianum (Euphorbiaceae), Toona sureni (Meliaceae), dan Aglaia odorata (Meliaceae) sebagaimana tersaji di dalam Tabel 6 dan secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1.
31
Tabel 6 Lima spesies tingkat pohon yang memiliki tingkat INP tinggi No 1 2 3 4 5
Nama Ilmiah Parashorea parvifolia Hydnocarpus woodii Glochidion kollmannianum Toona sureni Aglaia odorata
Famili Dipterocarpaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Meliaceae Meliaceae
KR (%) 8,26 19,83 17,35 3,30 4,13
FR (%) 7,89 13,15 13,15 3,94 5,26
DR (%) 32,18 13,11 8,91 9,23 3,30
INP (%) 48,33 46,10 39,42 16,48 12,69
Spesies P. parvifolia memiliki nilai INP tertinggi dan diameter terbesar dengan nilai Dominansi Relatif (DR) 32,18% dalam petak contoh. Dilihat dari tingkat kerapatan menunjukkan bahwa spesies H. woodii memiliki kerapatan paling tinggi yaitu Kerapatan Relatif (KR) mencapai 19,83%. Sedangkan untuk nilai frekuensi H. woodii dan G. kollmannianum mempunyai nilai frekuensi tertinggi dengan frekuensi relatif yang sama sebesar 13,15%. Hal ini menunjukkan bahwa kedua spesies ini mempunyai tingkat penyebaran yang lebih merata dibanding spesies lainnya. Namun selain lima spesies tingkatan pohon yang tertinggi, spesies Trigonostemon sp. dari famili Euphorbiaceae merupakan spesies yang memiliki INP terendah dengan nilai INP 2,36%. Gambar 5 menunjukkan persentase famili berdasarkan INP. Persentase famili tertinggi diperoleh Euphorbiaceae dengan nilai INP sebesar 28%, diikuti oleh famili Meliaceae, Sapindaceae, Moraceae, dan Rutaceae. Hal ini disebabkan famili Euphorbiaceae banyak ditemukan di petak pengamatan di antaranya spesies G. kollmannianum, Mallotus oblongifolius, Macaranga hypoleuca, Cleistanthus myrianthus, Koilodpas brevipes. 30 INP (%)
25 20 15 10 5 -
Famili
Gambar 5 Persentase famili tingkat pohon berdasarkan INP.
32
Berdasarkan penelitian Mukmin (2008) di Cagar Alam Penanjung Pangandaran Jawa Barat, famili yang memiliki INP tertinggi tingkat pohon yaitu Meliaceae dan Euphorbiaceae pada tingkat ke tiga. Hal tersebut menunjukkan bahwa habitat Rafflesia pada hutan hujan dataran rendah masih memiliki kemiripan famili vegetasi. 5.2.1.1.2 Tingkat tiang Analisis tingkat tiang didapat 35 spesies dari 18 famili, dengan lima spesies yang dominan berdasarkan INP yaitu Glochidion kollmannianum, Hydnocarpus woodii,
Mallotus
oblongifolius,
Diospyros
sumatrana,
dan
Syzygium
magnoliaefolium, seperti tersaji pada Tabel 7 dan daftar lengkap spesies tingkat tiang tersaji pada Lampiran 2. Tabel 7 Lima spesies tingkat tiang yang memiliki tingkat INP tinggi No 1 2 3 4 5
Nama Ilmiah Glochidion kollmannianum Hydnocarpus woodii Mallotus oblongifolius Diospyros sumatrana Syzygium magnoliaefolium
Famili Euphorbiaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Myrtaceae
KR (%) 13,04 13,04 10,86 6,52 5,43
FR (%) 12,32 9,58 6,84 5,47 5,47
DR (%) 12,89 10,93 12,12 7,15 8,04
INP (%) 38,26 33,56 29,84 19,15 18,96
Pada lima spesies yang memiliki INP tertinggi tingkat tiang tidak semua spesies menunjukkan dominansi yang sama dengan tingkat pohon, hanya dua spesies saja yang sama dominan yaitu H. woodii dan G. kollmannianum. Spesies G. kollmannianum menduduki nilai INP ketiga di tingkat pohon, namun pada tingkat tiang G. kollmannianum memiliki nilai INP terbesar. Spesies P. parvifolia tidak termasuk kedalam lima besar spesies yang memiliki INP terbesar pada tingkat tiang, namun P. parvifolia memiliki INP tertinggi pada tingkat pohon. Keberadaan tingkat vegetasi ditentukan oleh kemampuan vegetasi tersebut dalam mendapatkan cahaya yang digolongkan ke dalam spesies toleran, semi toleran, dan intoleran. Jika dilihat dari persentase famili tingkat tiang berdasarkan nilai komulatif INP menunjukkan famili Euphorbiaceae tertinggi dengan INP sebesar 31,42% diikuti oleh Meliaceae, dan Rutaceae (Gambar 6).
33
INP (%)
35 30 25 20 15 10 5 Euphorbiaceae
Meliaceae
Rutaceae
Lainnya
Famili
Gambar 6 Persentase famili tingkat tiang berdasarkan INP.
5.2.1.1.3. Tingkat pancang Jumlah spesies yang didapat pada vegetasi tingkat pancang yaitu 52 spesies dengan 24 famili. Dari 52 spesies vegetasi tingkat pancang, Glochidion kollmannianum merupakan spesies yang paling dominan dengan nilai INP 22,31%, dan diikuti oleh spesies Aglaia argentea, Hydnocarpus woodii, Parashorea parvifolia, dan Aglai odorata sebagaimana yang tersaji pada Tabel 8. Selain 5 spesies yang paling dominan terdapat 21 spesies lainnya yang memiliki INP terendah dengan nilai INP 1,10% (Lampiran 3). Tabel 8 Lima spesies tingkat pancang yang memiliki tingkat INP tinggi No 1 2 3 4 5
Nama Ilmiah Glochidion kollmannianum Aglaia argentea Hydnocarpus woodii Parashorea parvifolia Aglaia odorata
Famili Euphorbiaceae Meliaceae Flacourtiaceae Dipterocarpaceae Meliaceae
KR (%) 10,54 10,18 11,27 8 6,18
FR (%) 11,76 9,55 6,61 7,35 8,08
INP (%) 22,31 19,74 17,89 15,35 14,27
Nilai kerapatan vegetasi tertinggi pada tingkat pancang dimiliki oleh H. woodii dengan nilai KR 11,27% dan diikuti oleh spesies G. kollmannianum, Aglaia argentea, P. parvifolia dan A. odorata. Spesies yang paling menyebar ialah G. kollmannianum, A. argentea, A. odorata, P. parvifolia, dan H. woodii. Salah
satu
kemampuan
menyebarnya
suatu
spesies
ditentukan
oleh
kemampuannya dalam menyesuaikan habitatnya, terutama terhadap media tanah dan kebutuhan unsur hara yang diperlukan. Spesies yang menyebar tidak selalu menggambarkan penyebaran terhadap famili. Gambar 7 menunjukkan famili Euphorbiaceae memiliki nilai INP tertinggi dan diikuti oleh famili Meliaceae, dan Anonaceae.
34 25
INP (%)
20 15 10 5 Euphorbiaceae
Meliaceae
Annonaceae
Lainnya
Famili
Gambar 7 Persentase famili tingkat pancang berdasarkan INP. Jika diperhatikan dari famili tingkat pohon, tiang, dan pancang memiliki persamaan famili di tingkat pertama dan kedua yaitu famili Euphorbiaceae dan Meliaceae. Sebagai perbandingan, di habitat R. patma Cagar Alam Penanjung Pangandaran Jawa Barat di tingkat pancang yaitu Euphorbiaceae dan Meliaceae juga menempati posisi pertama dan kedua (Mukmin 2008). Hal ini mengindikasikan bahwa pada tingkat pancang habitat Rafflesia di hutan hujan dataran rendah yang mendominasi adalah famili Euphorbiaceae dan Meliaceae. 5.2.1.1.4 Tingkat semai/tumbuhan bawah Vegetasi tingkat semai/tumbuhan bawah memiliki jumlah spesies yang paling banyak ditemukan, yaitu mencapai 73 spesies dengan 33 famili. Spesies yang paling dominan ditemukan adalah Parashorea parvifolia dengan INP 26,23%, diikuti oleh Elatostema vitatum, Toona sureni, Boesenbergia sp. dan Smythea lanceata (Tabel 9). Daftar lengkap spesies tingkat semai/tumbuhan bawah dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 9 Lima spesies tingkat semai/tumbuhan bawah yang memiliki tingkat INP tinggi No 1 2 3 4 5
Nama Ilmiah Parashorea parvifolia Elatostema vitatum Toona sureni Boesenbergia sp Smythea lanceata
Famili Dipterocarpaceae Urticaceae Meliaceae Zingiberaceae Rhamnaceae
KR (%) 19,22 10,69 6,97 4,34 5,58
FR (%) 17 4,67 2,80 4,67 1,86
INP (%) 26,23 15,37 9,78 9,01 7,45
Spesies P. parvifolia merupakan spesies yang hampir menyebar di setiap petak contoh, dan termasuk kedalam INP terbesar pada tingkat semai. Spesies P. parvifolia termasuk juga kedalam INP terbesar pada tingkat pohon. Hal ini
35
menunjukkan bahwa P. parvifolia tingkat regenerasinya cukup baik. Walaupun demikian, jika dilihat dari famili ranking berdasarkan nilai INP, maka famili Euphorbiaceae memiliki nilai INP tertinggi sebesar 24% diikuti oleh Araceae, Rubiaceae, dan Meliaceae (Gambar 8). Jumlah famili yang terdapat di tingkat semai/tumbuhan bawah merupakan jumlah famili yang terbanyak didapat jika dibandingkan dengan jumlah famili tingkat pohon, tiang, dan pancang. Hal ini berarti tingkat semai memiliki famili
INP (%)
yang lebih beragam dibanding dengan tingkat pancang, tiang dan pohon. 16 14 12 10 8 6 4 2 -
Famili
Gambar 8 Persentase famili tingkat semai/tumbuhan bawah berdasarkan INP.
5.2.1.1.5 Keanekaragaman spesies tumbuhan Tingginya keanekaragaman tumbuhan terutama yang berhabitus pohon merupakan salah satu indikator bahwa hutan tersebut masih alami. Nilai-nilai pengukuran keanekaragaman spesies (Dmg, H’, dan E) untuk tingkat vegetasi semai/tumbuhan bawah, pancang, tiang, dan pohon tersaji dalam Tabel 10. Tabel 10 Keanekaragaman spesies tumbuhan pada petak habitat R. micropylora Tingkat Vegetasi Dmg H’ E Pohon 7,08 2,96 0,83 Tiang 7,51 3,17 0,89 Pancang 9,07 3,37 0,85 Semai/tumbuhan bawah 10,97 3,72 0,87 Keterangan: Dmg: Kekayaan spesies, H’: Indeks keanekaragaman, E: Kemerataan spesies
36
Besarnya nilai kekayaan spesies (Dmg) menunjukkan bahwa tingkat semai/tumbuhan bawah tertinggi dengan nilai Dmg = 10,67, kemudian tingkat pancang Dmg = 9,07, tiang Dmg = 7,51, dan tingkat pohon Dmg = 7,08. Kekayaan spesies ditentukan oleh tingkat penemuan spesies pada suatu komunitas vegetasi yang dipengaruhi oleh banyaknya jumlah spesies dan jumlah individu yang terdapat pada suatu komunitas (Afrianti 2007). Selain itu, tingkat semai/tumbuhan bawah memiliki keanekaragaman yang tertinggi juga, dan diikuti oleh tingkat vegetasi pancang, tiang dan pohon. Pohon memiliki
nilai
keanekaragaman
yang
sedang.
Klasifikasi
nilai
indeks
keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu selang nilai >3 memiliki nilai keanekaragaman yang tinggi, penyebaran jumlah individu tiap famili tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Selang 1-3 memiliki nilai keanekaragaman yang sedang, penyebaran jumlah individu tiap famili sedang dan komunitas yang sedang. Sementara nilai < 1 memiliki keanekaragaman yang rendah, penyebaran jumlah individu tiap famili rendah dan komunitas yang rendah (Barbour et al. 1987 diacu dalam Afrianti 2007). Nilai indeks kemerataan spesies yang memiliki selang antara 0-1. Dimana nilai 0 menunjukkan tingkat kemerataan spesies tumbuhan pada tingkat sangat tidak merata. Nilai yang mendekati 1 menunjukkan hampir seluruh spesies yang ada mempunyai kelimpahan yang sama (Magurran 1988). Nilai indeks kemerataan (Evenness) hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap tingkatan vegetasi tersebut memiliki kelimpahan yang hampir sama, walau dari nilai tersebut untuk nilai indeks kemerataan tingkat tiang yang paling tinggi di antara keempat tingkatan vegetasi tersebut. Nilai indeks kemerataan tingkat tiang memperlihatkan hampir menyebar merata pada setiap petak contoh jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan/permudaan lainnya. Jika dibandingkan dengan penelitian habitat Rafflesia lainnya yang terdapat di hutan Sumatera menunjukkan komposisi spesies yang berbeda, seperti tersaji pada Tabel 11.
37
Tabel 11 Perbandingan spesies-spesies vegetasi tingkat pohon (diameter > 10 cm) pada berbagai habitat Rafflesia di Sumetera No Nama Spesies Famili SYH HND EKW PNL 1 Villebrunea rubescens Urticaceae 9 9 2 Nauclea purpurascens Rubiaceae 9 3 Sauraia vulcanica Sauriaceae 9 4 Sloanea sigun Tiliaceae 9 5 Commersonia batramia Sterculiaceae 9 6 Litsea velutina Lauraceae 9 7 Styrax agresten Styracaceae 9 8 Turpinia sphaerocarpha Staphyllaceae 9 9 Macaranga gigantean Euphorbiaceae 9 10 Dyera costulata Apocinaceae 9 11 Artocarpus elasticus Moraceae 9 12 Tetracera asiatica Delleniaceae 9 13 Oroxylum indica Bignonaceae 9 14 Glycosmis pentaphylla Rutaceae 9 15 Artocarpus sp. Moraceae 9 16 Pseudovaria reticulata Annonaceae 9 17 Baccaurea cf. Pyriformis Euphorbiaceae 9 18 Litsea robusta Lauraceae 9 19 Stromboisa javanica Ulmaceae 9 20 Baccaurea macrocarpa Euphorbiaceae 9 Myrtaceae 9 21 Syzygium kunstleri 22 Dacryodes longifolia Burseraceae 9 23 Artocarpus lanceifolius Moraceae 9 24 Cratoxylon cochinchinense Guttiferae 9 25 Aporasa arborea Euphorbiaceae 9 26 Euvodia macrocarpa Rutaceae 9 27 Knema lauria Myrtaceae 9 28 Hellicia serrata Proteaceae 9 29 Santiria laevigata Burseraceae 9 30 Glochidion sp. Euphorbiaceae 9 31 Aglaia argentea Meliaceae 9 32 Murraya paniculata Rutaceae 9 33 Pterospermum javanicum Sterculiaceae 9 34 Ficus sp. Moraceae 9 35 Nephelium rubescens Sapindaceae 9 36 Salacia sp. Celastraceae 9 37 Aphanamixis polystachya Meliaceae 9 38 Ardisia fuliginosa Myrsinaceae 9 39 Smythea lanceata Rhamnaceae 9 Keterangan: SYH (Syahbuddin 1981), HND (Hernidiah 1999), EKW (Ekawati 2001), PNL (Penelitian ini)
Berdasarkan Tabel 11, hanya satu spesies pada tingkat pohon yang sama dengan habitat lainnya yaitu spesies Villebrunea rubescens. Spesies tersebut berada pada habitat R. arnoldii yang diteliti oleh Syahbuddin (1981) di Cagar Alam (CA) Palupuh dan sama dengan yang diteliti oleh Ekawati (2001) pada R. arnoldii di Gunung Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat. Sedangkan dari perbandingan spesies-spesies vegetasi tingkat permudaan anakan
38
pohon (diameter 2-10 cm) pada berbagai habitat Rafflesia yang ada di Sumatera (Tabel 12), tiga spesies yang sama dengan penelitian di tempat lain. Tabel 12 Perbandingan spesies-spesies vegetasi tingkat permudaan anakan pohon (diameter 2-10 cm) pada berbagai habitat Rafflesia di Sumetera. No Nama Spesies Famili SYH HND EKW PNL 1 Villebrunea rubescens Urticaceae 9 9 2 Roureopsis sp. Connaraceae 9 3 Milletia sericea Papilinaceae 9 4 Nauclea purpurascens Rubiaceae 9 5 Pravinia mindanaensis Rubiaceae 9 6 T. lanceolarium Vitaceae 9 7 Caryota mitis Arecaceae 9 9 8 Syzygium sp. Myrtaceae 9 9 Artocarphus fulficortex Moraceae 9 10 Sterculiaceae oblongata Sterculiaceae 9 11 Mamecylon costatum Meliaceae 9 12 Santiria laevigata Burseraceae 9 9 13 Fordia cf. Joharensis Fabaceae 9 14 Litsea robusta Lauraceae 9 15 Ficus sp. Moraceae 9 16 Mysetia sp. Rubiaceae 9 18 Palaquium dasyphyllum Sapotaceae 9 19 Litsea firma Lauraceae 9 20 Strombosia javanica Nemaceae 9 21 Tetrastigma papilosum Vitaceae 9 Euphorbiaceae 9 22 Macaranga tribola 24 Syzygium sp. Myrtaceae 9 25 Euvodia macrocarpa Rutaceae 9 26 Burkilanthus malaccensis Rutaceae 9 27 Dacryodes longifolia Burseraceae 9 29 Litsea sp. Lauraceae 9 30 Cinnamomum cassia Lauraceae 9 31 Koilodpas brevipes Euphorbiaceae 9 32 Smythea lanceata Rhamnaceae 9 33 Ichnocarpus sp. Apocynaceae 9 34 Dalbergia sp. Fabaceae 9 35 Derris elliptica Papilionaceae 9 36 Glochidion sp. Euphorbiaceae 9 37 Aglaia argentea Meliaceae 9 38 Trivalvaria macrophylla Annonaceae 9 39 Smythea lanceata Rhamnaceae 9 40 Pterospermum javanicum Sterculiaceae 9 Keterangan: SYH (Syahbuddin 1981), HND (Hernidiah 1999), EKW (Ekawati 2001), PNL (Penelitian ini)
Tiga spesies tersebut yaitu Villebrunea rubescens, Caryota mitis dan Santiria laevigata. Spesies V. rubescens terdapat pada habitat R. arnoldii yang di CA Batang Palupuh (Syahbuddin 1981) yang memiliki kesamaan dengan Ekawati (2001) di Gunung Sago pada spesies V. rubescens. Sementara spesies Caryota mitis sama dengan yang diteliti Syahbuddin (1981) dan Hernidiah (1999) dan di habitat R. arnoldii CA Batang Palupuh pada habitat R. hasseltii di Taman
39
Nasional Bukit Tigapuluh Riau-Jambi. Spesies Santiria laevigata terdapat pada habitat yang diteliti oleh Hernidiah (1999) dan Ekawati (2001). Spesies yang ada pada berbagai habitat tingkat permudaan anakan pohon belum menunjukkan kesamaan spesies yang signifikan, terutama pada spesies vegetasi R. micropylora pada penelitian ini. Tidak terdapat satu spesies pun yang sama baik dari tingkat pohon maupun dari tingkat permudaan anakan pohon dari berbagai habitat Rafflesia yang terdapat di Sumatera. Ketidaksamaan vegetasi dari berbagai habitat Rafflesia yang ada, menunjukkan bahwa Rafflesia memiliki karakteristik habitat yang sangat unik pada setiap tipe habitatnya. 5.2.1.1.6 Stratifikasi dan penutupan tajuk vegetasi Dari pengambilan stratifikasi penutupan tajuk dengan lima petak seluas 0,2 ha (Gambar 9), didapat nilai strata tajuk yang digambarkan berada pada strata A, B, dan C. Strata tajuk A yaitu spesies Parashorea parvifolia, Artocarpus sp., dan Hydnocarpus woodii. Kemudian pada strata B ditunjukkan oleh spesies Eucalyptus sp., Mallotus oblongifolius, Pterospermum javanicum, Aglaia odorata, dan Diospyros perfida. Sementara untuk strata C merupakan spesies yang paling banyak ditemukan di antaranya spesies Mallotus oblongifolius, Eucalyptus sp., Glochidion kollmaniannaum, dan Hydnocarpus woodii. Besarnya nilai penutupan tajuk yang ada yaitu 55,15%. Nilai penutupan tajuk sedemikian akan menguntungkan bagi spesies vegetasi tertentu untuk pertumbuhannya, baik pertumbuhan tinggi maupun pertumbuhan diameter batang. Misalnya famili Dipterocarpaceae pada intensitas cahaya 50-70% sangat bagus untuk pertumbuhan tinggi, bobot kering, indeks luas daun dan tingkat kematian semai yang rendah (Tjondronegoro 1983 diacu dalam Soerianegara 1991). Sementara Soerianegara (1991) menunjukkan pada penelitiannya dengan intensitas cahaya 40-50% merupakan intensitas cahaya yang optimal bagi anakan semai dari famili Dipterocarpaceae. Hal ini memperlihatkan salah satu spesies yang diuntungkan tersebut dengan keadaan penutupan tajuk yang demikian ialah spesies P. parvifolia.
40
Keterangan:
Knop Rafflesia A : Strata A (tinggi pohon ≥ 30 m) B : Strata B (tinggi pohon ≥ 20-29 m) C : Strata C (tinggi pohon ≥ 4-19 m) 1. Artocarpus sp. 2. Eucalyptus sp. 3. Mallotus oblongifolius 4. Eucalyptus sp. 5. Eucalyptus sp. 6. Eucalyptus sp. 7. Aglaia odorata 8. Diospyros perfida 9. Eucalyptus sp. 10. Hydnocarpus woodii 11. Kayu kemong 12. Hydnocarpus woodii
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Glochidion kollmaniannaum Mallotus oblongifolius Mallotus oblongifolius Hydnocarpus woodii Glochidion kollmaniannaum Hydnocarpus woodii Cryptocarya mentek Glochidion kollmaniannaum Diospyros perfida Murraya paniculata Aglaia odorata Parashorea parvifolia Parashorea parvifolia Mallotus oblongifolius Cryptocarya mentek
Gambar 9 Bentuk profil hutan vertikal dan horizontal tingkat pohon. Penutupan tajuk akan memberi dampak yang positif bagi pertumbuhan salah satu spesies yaitu P. parvifolia dari famili Diterocarpaceae. Hal ini dibuktikan dengan terdapatnya spesies P. parvifolia mendominasi pada tingkat semai.
41
Gambar 10 Kondisi habitat R. micropylora. Penutupan tajuk berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro. Namun pada penutupan tajuk vegetasi yang terbuka (Gambar 9) kurang mendukung terhadap pertumbuhan R. micropylora. Hernidiah (1999) mengatakan, selain cahaya matahari yang masuk ke lantai hutan yang mempengaruhi secara langsung terhadap keberadaan Rafflesia, terjadinya pembukaan tajuk yang berlebihan menyebabkan Rafflesia akan mengalami kekeringan dan pada akhirnya kematian. Akan tetapi, keberhasilan suatu tumbuhan pada suatu habitat ditentukan oleh kemampuan sifat adaptasi mekanisme fisiologis terhadap keadaan lingkungan yang khusus. Apabila keadaan lingkungan setempat tidak cukup mendukung maka keadaan optimal tidak akan tercapai (Soerianegara 1991). Selanjutnya Soerianegara dan Indrawan (1983) menyatakan bahwa stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya persaingan dimana spesies tertentu berkuasa (dominan) dari spesies lain, pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang dibawahnya. 5.2.1.2 Kondisi tumbuhan T. lanceolarium Spesies inang yang ditemukan adalah akar reriang gana (T. lanceolarium). Dari 25 petak contoh seluas 1 ha hanya terdapat dua petak contoh terdapatnya inang R. micropylora yaitu pada petak contoh ke 13 dan ke 17 (Gambar 11). Andayani (2004) menyebutkan bahwa jumlah penyebaran inang Rafflesia
di
Ketambe TNGL sebanyak 0,1/ha. Hal ini memperlihatkan bahwa keadaan inang Rafflesia di Ketambe TNGL sangat sedikit sehingga peluang untuk tumbuhnya Rafflesia sangat kecil. Kecilnya peluang pertumbuhan R. micropylora bisa
42
mengakibatkan kelangkaan spesies R. micropylora, dan jika habitatnya terganggu maka peluang untuk kepunahannya semakin besar.
Sumbu Y 100 m 5
1
2
3
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
18
19
20
23
24
16
21
17
22
4
25
100 m Sumbu X Gambar 11 Penyebaran T. lanceolarium pada petak contoh pengamatan. Keterangan :
(T. lanceolarium)
Spesies T. lanceolarium juga merupakan salah satu inang Rafflesia yang terdapat di Pulau Jawa seperti R. patma, R. rochussenii dan R. zollingeriana (Zuhud et al. 1998). Sebagai perbandingan spesies-spesies inang yang ditempeli oleh Rafflesia tersaji pada Tabel 13. Tabel 13 Spesies-spesies inang (Tetrastigma) yang ditempeli Rafflesia No. 1
Spesies Inang T. lanceolarium
Rafflesia sp. Wilayah Penyebaran R. keithii Borneo R. pricei Borneo R. tengku-adlinii Borneo R. kerrii Thailand R. arnoldii Sumatera R. manillana Luzon R. micropylora Sumatera R. patma Jawa
Lokasi Ditemukan Sabah Sabah Sabah Thailand Gunung Leuser Gunung Makiling Gunung Leuser Jawa Tengah dan Jawa Timur
43
Lanjutan Tabel 13 Spesies-spesies inang (Tetrastigma) yang ditempeli Rafflesia No.
Spesies Inang
2
T. papillosum
3 4 5
T. diepenhorstii T. quadrangulum T. scortechinii
Rafflesia sp. R. tuan-mudae R. cantleyi R. precei R. kerrii R. keithii R. kerrii R. hasseltii
6 7
T. curtisii T. glabratum
R. arnoldii R. patma
Wilayah Penyebaran Borneo Malaya Borneo Thailand Borneo Thailand Malaya Sumatera Sumatera dan Jawa
Lokasi Ditemukan Sarawak Perak Sabah Thailand Sabah Thailand Tioman, Chendering, Perak Batang Palupuh Lampung Tengah dan Timur
Sumber: Nais (2001)
Spesies T. lanceolarium memiliki batang yang terlihat kering dan pecah namun berbentuk bulat (Gambar 12). Selain itu, T. lanceolarium dicirikan dengan penampang melintang batang bulat, memiliki perakaran dengan percabangan yang banyak, berdiameter batang realatif besar, mengeluarkan tunas dan tumbuh terus menerus ke arah lantai hutan dengan membuat perakaran baru, serta jika menemukan tumbuhan penyokong akan merambat sampai ke atas tajuk menutupi kanopi pohon penyokong (Jamil et al. 2002).
Gambar 12 Bentuk batang Tetrastigma lanceolarium. Jumlah inang yang ditemukan di petak contoh sebanyak empat individu (Tabel 14). Kecilnya peluang bertemu dengan inang Rafflesia tersebut mengindikasikan semakin kecil pula peluang bertemunya Rafflesia di daerah tersebut.
44
Tabel 14 Pohon yang ditumpangi T. lanceolarium Inang Diameter Pohon ditumpangi Diameter ke (cm) pohon (cm) 1 5.09 Glochidion kollmannianum 32 2 3.82 Glochidion kollmannnianum 27,38 3 3.5 Aglaia argentea 19,1 4 5.73 Mallotus oblongifolius 20,38 Keterangan: TBC : Tinggi Bebas Cabang , TT: Tinggi Total.
TBC (cm) 4 4 8 4
TT (cm) 23 11 12 7
Spesies T. lanceolarium ini memanjati pohon yang dominan pada tingkat tiang dan pancang yaitu spesies G. kollmaniannaum dari famili Euphorbiaceae. Spesies A. argentea dan M. oblongifolius termasuk juga ke dalam lima spesies yang memiliki nilai INP terbesar pada tingkat tiang dan pancang. Pohon yang ditumpanginya tidak selalu memberi dampak positif bagi pertumbuhannya. Dampak negatif juga bisa menyebabkan kematian pada inang itu sendiri. Seperti robohnya pohon yang ditumpangi/pohon lain di sekitarnya yang menyebabkan spesies T. lanceolarium juga ikut roboh atau tertimpa oleh pohon tersebut dan mengalami kematian (Gambar 13). Namun kematian alami dari spesies T. lanceolarium ini hanya kecil jika dibandingkan dengan kematian yang diakibatkan oleh pembukaan lahan.
Gambar 13 T. lanceolarium mati akibat pohon yang roboh.
5.2.1.3 Aktivitas fauna/satwaliar Sebagian besar aktivitas fauna/satwa yang berada di habitat R. micropylora sejauh ini masih memberikan dampak yang positif terhadap perkembangbiakan Rafflesia. Berdasarkan informasi dari masyarakat, di habitat R. micropylora sering dijumpai satwaliar seperti babi hutan, kambing hutan, rusa, landak, trenggiling,
45
beruang madu, monyet ekor panjang, beruk, owa, orangutan, dan bajing. Satwasatwa tersebut khususnya satwa berkuku efektif dalam menyebarkan biji terhadap penginfeksian tumbuhan parasit kedalam organ inangnya (Zuhud et al. 1998). Lokasi habitat R. micropylora dekat dengan pusat rehabilitasi orangutan dan stasiun penelitian TNGL. Orangutan ditemukan langsung ketika penelitian berjalan (Gambar 14). Namun keberadaan orangutan ini diduga dapat merusak populasi R. micropylora. Hal ini terlihat dari bekas aktivitas seperti mencari makan yang dilakukan oleh orangutan di lantai hutan yang menganggap knop R. micropylora merupakan makanannya dan menyebabkan knop R. micropylora tercabut dari inangnya.
Gambar 14 Orangutan sedang melakukan aktivitas di pohon-pohon.
5.2.2 Kondisi abiotik (fisik) Berdasarkan kondisi fisik habitat, pengukuran yang dilakukan pada petak contoh dengan ketinggian 510 m dpl, kemiringan lahan mencapai 45°, memiliki komponen fisik tanah yang berbeda-beda pada setiap petak contoh tanahnya (Tabel 15). Komponen fisik tanah merupakan salah satu bagian penentu pertumbuhan vegetasi. Karena pertumbuhan vegetasi sangat tergantung dengan kondisi iklim dan tanah (Thorenaar 1997). Tipe vegetasinya berdasarkan ketinggian tergolong kedalam tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah.
46
Tabel 15 Kompenen fisik tanah pada setiap petak contoh Petak Contoh Tanah Petak 1
pH
KTK
Kematangan
7,5
Sedang
Matang
Tekstur Geluh lempungan
Struktur
- Granuler - Bulat - Poros di horizon A Petak 2 7 Sedang Matang Geluh - Granuler lempungan - Bulat pasiran - Poros di horizon A Petak 3 8 Sedang Matang Geluh - Remah pasiran - Bulat - Sangat poros di horizon A Keterangan : pH = Sifat keasaman tanah, KTK = Kapasitas Tukar Kation
Warna Cokelat muda Cokelat muda Cokelat kemerahan
Tanah pada habitat R. micropylora memiliki pH rata-rata 7,5 yang termasuk pH netral dan mendekati pH agak basa. Sebagai perbandingan habitat pada R. patma memiliki pH tanah masam sampai netral dan habitat R. rochussenii memiliki pH tanah masam hingga agak masam (Zuhud et al. 1998). Hal tersebut menunjukkan secara umum habitat Rafflesia memiliki pH tanah masam hingga hampir agak basa. Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah yang sedang ini merupakan salah satu dari beberapa unsur tanah yang dinilai untuk kesuburan tanah. Kesuburan tanah dapat dilihat dari unsur yang terkandung dalam tanah. Pertumbuhan tanaman, produksi tanaman, dan fungsi tanaman sangat erat hubungannya dengan faktor penting kesuburan tanah seperti pH, kadar bahan organik, N, P, dan K (Winarso 2005 diacu dalam Mukmin 2008). Beberapa unsur tanah yang ditampilkan oleh pH, KTK, tekstur, struktur dan warna tanah adalah penentu tesedianya karbohidarat, protein, dan lemak bagi tegakan vegetasi yang ada di TNGL. Hal ini terutama untuk kebutuhan pertumbuhan T. lanceolarium yang di transfer ke R. micropylora secara langsung dari inang tersebut. Unsur hara yang diperoleh dari akar dan melalui daun akan dirubah menjadi senyawa organik seperti karbohidrat, protein, lemak dan sebagianya yang berguna bagi tumbuhan. Tanah dikatakan subur apabila tata air, udara, dan unsur hara dalam keadaan cukup, seimbang dan sesuai dengan tuntunan tanaman (Soerianegara 1991). Selanjutnya Sarief (1985) diacu dalam Soerianegara (1991) menyebutkan fungsi tanah dalam peningkatan produksi vegetasi ialah sebagai sebagai sumber unsur bagi tumbuh-tumbuhan, dan
47
sebagai matrik tempat akar tanaman berjangkar dalam penyimpanan air untuk kebutuhan tumbuhan, serta tempat unsur hara. Kematangan tanah dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung dalam tanah. Banyaknya air yang terkandung dalam tanah sangat tergantung kepada kadar drainase tanah dan tekstur maupun struktur penyusun tanahnya. Tanah yang bertekstur liat akan lebih lambat pertumbuhan vegetasinya dibandingkan dengan tanah yang bertektstur liat berdebu. Semakin kasar tekstur tanahnya akan semakin bagus jika dibandingkan dengan tekstur tanah yang halus liat (Soerianegara 1991). Berdasarkan tekstur dan struktur tanah yang terdapat di Blok Gurah Ketambe TNGL sangat bagus untuk mendukung pertumbuhan tegakan vegetasi yang berada di lokasi tersebut. Jika melihat dari tekstur tanahnya tergolong kedalam geluh lempung, geluh lempung pasiran, dan geluh pasiran. Tekstur tanah ini hampir sama dengan tekstur pada R. arnoldii dengan tanah satuan berpasir dan R. patma dengan tanah lempung berpasir (Zuhud et al. 1998). Tanah lempung dicirikan oleh partikel kecil yang berdiameter 0,002 mm berat dan kadang-kadang lembab, dan tanah yang agak berpasir dicirikan dengan bersifat kering dan kurang subur dan terbentuk dari partikel besar lebih dari 2 mm ( Q A International 2009). Tekstur tanah mempunyai hubungan yang erat dengan struktur tanah (Tabel 14). Tekstur dan struktur tanah yang demikian memberikan warna tanah yang cokelat muda hingga cokelat kemerah-merahan. Sedikit berbeda dengan R. arnoldii dengan tekstur tanahnya yang satuan batu berpasir dan memiliki warna tanah yang cokelat kehitaman (Zuhud et al. 1998). Suhu dan kelembaban udara di sekitar habitat Rafflesia tersebut mempengaruhi kadar air tanah dan akan berdampak kepada bentuk tipe pembentukan vegetasi hutan yang ada. Seperti yang dikatakan Istomo et al. (2008) bahwa faktor yang mempengaruhi kelembaban antara lain adanya tegakan pohon, terutama tegakan pohon yang rapat. Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan kelemban udara rata-rata di lokasi habitat R. micropylora berkisar antara 2728°C dan dengan kelembaban di lokasi 85 - 97% (Tabel 16). Hal ini menunjukkan habitat R. micropylora dalam kondisi lembab – sangat lembab.
48
Tabel 16 Suhu dan kelembaban udara pada lokasi petak contoh No. 1 2 3 4 5 6
Tanggal 8 Agustus 2010 8 Agustus 2010 8 Agustus 2010 25 September 2010 25 September 2010 25 September 2010
Jam (WIB) 10.50 13.20 14.50 10.57 11.47 15.27
Suhu (°C) 27 28 28 27 27 27,5
Kelembaban (%) 90 85 89 97 90 90,5
Kelembaban di Blok Gurah TNGL hampir mencapai udara jenuh dengan uap air dimana akan terjadi titik-titik air. Kelembaban udara dan suhu udara mempengaruhi dalam kecepatan transpirasi bagi tumbuhan. Semakin lembab di lokasi tersebut maka proses transpirasi bagi vegetasi akan semakin lambat, dan sebaliknya jika kelembaban semakin tidak lembab (kering) dan suhu udara semakin panas maka transpirasi vegetasi tersebut akan semakin cepat. Artinya semakin cepat proses transpirasi yang terjadi dalam vegetasi maka semakin kering dan akan semakin banyak membutuhkan kadar air untuk pertumbuhannya. Tumbuhan yang kekurangan air akan mengalami pertumbuhan yang lambat dan berada dalam riap pohon yang kecil/kerdil. Akan tetapi ketersedian air yang seimbang akan menghasilkan pertumbuhan pohon yang tinggi dan riap yang besar menjadi pohon raksasa (Istomo et al. 2008). Lokasi habitat R. micropylora ini dekat dengan sumber aliran air kurang dari 150 m dari tempat menempelnya R. micropylora terhadap inang. Suhu udara yang berasal dari sinar matahari akan menyebabkan perubahan iklim mikro tanah seperti pertukaran udara (aerasi) dan air dalam tanah berkurang (drainase). Suhu udara yang tinggi akan menurunkan kelembaban tanah sehingga evaporasi meningkat, namun aerasi dalam tanah berjalan lancar. Proses tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat fisik tanah seperti tekstur tanah (Soerianegara 1991). Sebagai perbandingan habitat pada beberapa tempat tumbuhnya Rafflesia mempunyai kelembaban udara antara 80 – 96 % (Zuhud et al. 1998), seperti tersaji pada Tabel 17. Tabel 17 Suhu dan kelembaban udara pada beberapa spesies Rafflesia No Spesies Rafflesia 1 R. patma 2 R. rochussenii 3 R. arnoldi 4 R. zollingeriana Sumber: Zuhud et al. (1998)
Suhu udara (°C) 32,5 15 - 25 21,1 – 26,4 21,1 – 26,1
Kelembaban udara (%) 85-94 85-95 82-96 80-96
49
Secara umum perbandingan habitat Rafflesia yang dilihat dari kelembaban udara dan suhu udara tidak memberikan gambaran habitat yang sama dengan habitat R. micropylora yang berada di Blok Gurah Ketambe TNGL. Namun secara rata-rata yang mendekati dengan habitat R. micropylora adalah habitat spesies R. arnoldi dan R. zollingeriana. Beberapa perbandingan habitat Rafflesia yang disajikan pada Tabel 17 tersebut di atas, R. micropylora memiliki habitat dengan kelembaban tertinggi mencapai 97%. Namun berbeda dengan suhu udara tertinggi berada pada habitat spesies R. patma yaitu 32,5°C. Hal tersebut menggambarkan bahwa Rafflesia memiliki suhu udara mulai dari 15-32,5°C dan memiliki kelembaban udara 80-97%. Perbedaan suhu udara dipengaruhi oleh jumlah radiasi matahari yang diterima, pengaruh daratan atau lautan, pengaruh ketinggian tempat, pengaruh angin secara tidak langsung, pengaruh panas laten (panas yang disimpan dalam atmosfer), penutupan tanah, tipe tanah (tanah gelap indeks suhunya lebih tinggi), pengaruh sudut datang sinar matahari. Sementara kelembaban udara di beberapa habitat dipengaruhi oleh curah hujan (musim hujan atau musim kemarau), dan tegakan pohon disekitar habitat (Istomo et al. 2008).
5.3 Sikap Masyarakat TNGL Terhadap R. micropylora 5.3.1 Karakteristik responden Jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 30 orang, yang diambil dari tiga desa yaitu Desa Ketambe, Desa Simpur Jaya, Kecamatan Ketambe, dan Desa Pulo Piku, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara, seperti tersaji pada Tabel 18. Desa Simpur Jaya merupakan salah satu desa yang termasuk kedalam kawasan TNGL bahkan kawasan desa dekat dengan zona inti TNGL yang dijadikan sebagai Kawasan Stasiun Penelitian. Tabel 18 Jumlah responden yang diwawancarai di setiap desa No. 1 2 3 Jumlah
Desa Simpur Jaya Ketambe Pulo Piku
Jumlah responden 13 10 7 30
Persentase (%) 43,33 33,33 23,33 100
Sebagian responden yang hidup di sekitar kawasan TNGL masih sangat mengandalkan keberadaan TNGL sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar, terutama bagi masyarakat Simpur Jaya yang memang tergolong tinggal
50
dalam kawasan TNGL (Tabel 19). Selain masyarakat Simpur Jaya, masyarakat sekitar Desa Ketambe dan Desa Pulo Piku sangat tergantung dengan keberadaan TNGL terlihat dari data sebagian responden yang didapat mengenai tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, dan ketergantungan terhadap hutan. Tabel 19 Data karakteristik responden No. 1.
2. 3.
4.
5.
Karakteristik Berdasarkan Tingkat Umur : < 25 Tahun 25 – 50 Tahun > 50 Tahun Berdasarkan Tingkat Pendidikan : < SMA > SMA Berdasarkan tingkat pekerjaan : Petani Wiraswasta PNS Buruh bangunan Besarnya penghasilan per bulan (Rp) : < 500.000,500.000,- – 1.000.000,> 1.000.000,Ketergantungan terhadap hutan : Tergantung Hampir tergantung Tidak tergantung
Persentase (%) 17 63 20 70 30 73,4 20 3,3 3,3 50 36,7 13,3 26,7 10 63,3
Tingkat pendidikan sangat menggambarkan kehidupan masyarakat sekitar. Karena pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir dan tindakan masyarakat dalam hal pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan (Suwartini 2008). 5.3.2 Sikap konservasi masyarakat terhadap R. micropylora Sikap masyarakat sekitar hutan TNGL terhadap R. micropylora memiliki karakteristik seperti tersaji dalam Tabel 20. Tabel 20 Sikap masyarakat terhadap konservasi R. micropylora No. 1 2
3
4
Karakteristik Pengenalan terhadap Rafflesia: - Kenal - Tidak kenal Pengetahuan terhadap Rafflesia bahwa flora langka dan di lindungi oleh Undang-Undang: - Tahu - Tidak tahu Pandangan terhadap konservasi Rafflesia: - Mendukung - Tidak mendukung - Tidak tahu Pemanfaatan terhadap Rafflesia: - Pernah
Persentase (%) 60 40 66,7 33,3 73,3 26,7 6,7
51
Lanjutan Tabel 20 Sikap masyarakat terhadap konservasi R. micropylora No. 5
6
7
Karakteristik - Tidak pernah Kebanggaan terhadap keberadaan Rafflesia: - Bangga - Tidak bangga - Tidak tahu Persaan ketika melihat Rafflesia sedang mekar: - Kagum - Biasa saja - Takut Melarang jika Rafflesia di curi/dirusak: - Melarang - Tidak melarang
Persentase (%) 93,3 76,7 3,3 20 63,3 33,3 3,3 63,3 36,7
Dari pengetahuan masyarakat sekitar hutan terhadap pengenalan R. micropylora lebih dari setengahnya (60%) mengenal R. micropylora. Namun demikian, bukan berarti mereka mengenal tempat tumbuh secara tepat, melainkan hanya sekedar tahu bahwa bunga tersebut tumbuh di daerah Ketambe. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan tidak pernah menemukan secara langsung keberadaan R. micropylora, melainkan dikenal melalui media-media seperti pamplet, televisi dan melalui pembicaraan sehari-hari. Sebanyak 66,7% masyarakat sekitar hutan tahu bahwa R. micropylora merupakan bunga langka dan dilindungi oleh undang-undang. Akan tetapi pengetahuan tersebut tidak sampai kepada pemahaman undang-undang yang dimaksud. Persepsi seperti ini tercermin dari 26,7% masyarakat yang tidak tahu terhadap konservasi R. micropylora. Sebanyak 73,3% masyarakat sekitar hutan peduli terhadap konservasi R. micropylora. Hanya 6,7% yang memanfaatkan R. micropylora (Tabel 20). Pemanfaatan tersebut juga tidak dimanfaatkan secara langsung melainkan dengan pemanfaatan jasa wisatanya saja. Hal ini jika ditinjau dari segi pemanfaatannya tidak mengancam keberadaan R. micropylora. Namun pada beberapa spesies Rafflesia banyak dimanfaatkan sebagai obat-obatan, sepeti di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Spesies R. haselltii dimanfaatkan oleh suku Malayu di Riau sebagai obat luka dan untuk meningkatkan kesuburan wanita (Hernidiah 1999). Selain itu menurut Priatna et al. (1989) di Pulau Jawa dan Kalimantan Rafflesia dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan obat/jamu.
52
Sebagian besar sikap masyarakat (63,3%) kagum ketika ketemu dengan R. micropylora saat mekar. Perasaan kagum ini diungkapkan karena R. micropylora memiliki ciri khas yang hanya mampu tumbuh di tempat-tempat tertentu dan mempunyai siklus hidup yang menarik. Sebanyak 33,3% masyarakat yang menjawab dengan sikap yang biasa saja karena responden tidak mengenal keberadaan R. micropylora dan tidak mengerti siklus hidup Rafflesia. Hal menarik terdapat pada sebagian responden (3,3%) menjawab dengan rasa takut. Hal tersebut didasarkan adanya cerita atau kepercayaan “bahwa bunga Rafflesia adalah bunga bangkai yang dapat memakan segalanya seperti memakan lalat, babi hutan dan bahkan manusia sekalipun yang lewat di dekat sekitarnya dapat terhisap masuk kedalam bunga tersebut”. Sikap masyarakat dalam hal menjaga Rafflesia yaitu tinggi (63,3%), namun belum mampu mengatasi R. micropylora berada dalam keadaan aman di habitat alaminya. Kasus yang mengancam kepunahan R. micropylora ini salah satunya yaitu masyarakat kurang menghargai dan tidak merasa memiliki keberadaan R. micropylora. Kondisi seperti ini menyebabkan sebagian masyarakat sekitar hutan melakukan pemusnahan atau pemotongan T. lanceolarium dan R. micropylora secara langsung. Pemusnahan dipicu oleh rasa kekesalan akibat ketidak adilan yang dirasakan oleh sebagian anggota masyarakat dalam hal pembagian jatah sebagai guide bagi turis-turis asing yang berkunjung untuk melihat R. micropylora yang sedang mekar. 5.3.3 Aktifitas manusia yang berpengaruh terhadap habitat R. micropylora. Aktifitas yang dilakukan di sekitar habitat R. micropylora berupa jungle tracking dan lalu lintas bagi pengamatan satwa. Sehingga aktifitas ini sangat mengganggu terhadap keberadaan R. micropylora. Dalam kasus ini terlihat banyaknya jalur lintas jungle tracking yang terdapat di habitat R. micropylora (Gambar 15).
53
Gambar 15 Jalur lintas jungle tracking pada habitat R. micropylora. Jalur lintas jungle tracking dan pengamatan satwa ini dapat mengancam keberadaan R. micropylora. Dampak besar yang dapat ditimbulkan dari kegiatan pada jalur ini, terinjaknya inang dan knop R. micropylora secara langsung maupun tidak langsung yang dapat menimbulkan kematian inang dan R. micropylora. Selain itu, aktivitas yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan R. micropylora adalah kegiatan pembukaan lahan pada habitat di TNGL oleh masyarakat menjadi perkebunan, seperti di Desa Suka Rimbun (Gambar 16)
Fhoto By: Thomas Sondergaard
Gambar 16 Bentuk pembukaan lahan yang mengancam kehilangan R. micropylora. 5.3.4 Aktivitas pengelolaan habitat R. micropylora Selain Pemda, pihak Balai Taman Nasional Gunung Leuser (BTNGL) merupakan badan pengelola yang sangat penting dalam pengelolaan TNGL. Bentuk Pengelolaan terhadap habitat R. micropylora belum dilakukan secara
54
khusus, hanya dilakukan melalui pengamanan kawasan TNGL. BTNGL mengelola kawasan semenjak terbentuknya sampai tahun 2007. Namun kemudian Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP-KEL) mengambil alih pengelolaan dari BTNGL. Setelah bergantinya pengelolaan TNGL dari BTNGL ke BP-KEL, pengelolaan yang dilakukan oleh pihak BP-KEL hampir sama dengan yang dilakukan oleh pihak BTNGL. Belum ada pengelolaan secara khusus terhadap konservasi R. Micropylora, seperti pemantauan perkembangan R. micropylora, pengamanan habitat, gangguan manusia, pemagaran R. micropylora dari satwa yang mengganggu, pembuatan jalur pengamatan R. micropylora, dan pemberian papan informasi mengenai R. micropylora. Aktifitas pengamanan kawasan yang dilakukan oleh pihak BP-KEL belum cukup maksimal dalam menangani kasuskasus pembukaan lahan hutan yang mengancam keberadaan R. micropylora (Gambar 17).
Gambar 17 Bentuk pembukaan lahan kawasan TNGL untuk perkebunan. Kerusakan habitat R. micropylora disebabkan salah satunya dengan pembukaan lahan untuk perkebunan. Untuk itu perlu dilakukan penangan dengan melakukan penyuluhan atau penjagaan kawasan hutan. Beberapa harapan dari masyarakat sekitar hutan yang mungkin akan membantu memberikan solusi terbaik, sehingga kawasan hutan TNGL tidak diganggu gugat di lain hari kelak. Harapan masyarakat sekitar hutan tersebut terhadap pengelola TNGL yaitu: A. Harapan masyarakat Desa Ketambe, Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara: 1. Pemberian bibit pertanian maupun perkebunan.
55
2. Penetapan batas-batas TNGL dengan melibatkan masyarakat. 3. Pemberdayaan masyarakat. 4. Pengelolaan guest house oleh masyarakat. 5. Meningkatkan pendapatan masyarakat. 6. Bekerjasama melindungi hutan. 7. Bimbingan untuk usaha mandiri seperti berkebun, berdagang dll. 8. Memanfaatkan jasa hutan secara lestari. B. Harapan masyarakat Desa Simpur Jaya, Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara: 1. Pemberian bibit cokelat, bibit padi darat, dan hak pakai lahan untuk berkebun. 2. Menyediakan lapangan pekerjaan kepada masyarakat. 3. Menjadikan
Rafflesia
sebagai
objek
wisata
yang
melibatkan
masyarakat. C. Harapan masyarakat Desa Pulo Piku, Kecamatan Darul Hasanah, Kabupaten Aceh Tenggara: 1. Memberikan bantuan berupa sarana pendidikan. 2. Menangkap cukong kayu. 3. Memberikan subsidi pupuk dan pemberian bibit perkebunan maupun pertanian. Selain itu, saran masyarakat yang menegaskan perlunya memperjelas batasbatas kawasan menjadi hal yang penting dalam mengelola kawasan TNGL, dan melibatkan masyarakat sekitar hutan setiap program konservasi yang dilakukan pengelola TNGL. 5.3.5 Usulan program konservasi R. micropylora Dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di masyarakat sekitar hutan, perlu kiranya melakukan kegiatan untuk mewujudkan konservasi R. micropylora, berupa: 1) Penyuluhan terhadap masyarakat sekitar hutan supaya tidak lagi membuka lahan baru pada kawasan TNGL. Kegiatan penyuluhan kepada masyarakat sekitar hutan merupakan salah akses dalam pola pengelolaan pendekatan antara petugas pengelola dengan
56
masyarakat sekitar hutan. Komunikasi yang baik akan menciptakan kerjasama yang baik dalam mengkonservasi habitat R. micropylora. Kegiatan penyuluhan ini diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mengetahui dan memahami batas-batas kawasan TNGL serta bentuk kegiatan yang diperbolehkan/tidak diperbolehkan dalam kawasan TNGL. Selain itu, ditanamkan ke dalam persepsi dan sikap masyarakat sekitar hutan untuk mengkonservasi R. micropylora dan habitatnya. 2) Rehabilitasi kawasan. Masyarakat dilibatkan dalam program rehabilitasi kawasan yang telah rusak. Kegiatan tersebut diberikan melalui tawaran program dana hibah kepada masyarakat dengan syarat masyarakat dapat memelihara tumbuhan yang ditanam sampai berhasil tumbuh dan pada jangka waktu lima tahun. Jika tumbuhan yang masyarakat tanam tidak dapat tumbuh maka dana hibah yang telah diberikan kepada masyarakat harus dikembalikan. 3) Bekerjasama dalam menjaga dan melindungi R. micropylora. Melibatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kekuasaan (stakeholders) dalam mengambil keputusan untuk pengelolaan R. micropylora dan habitatnya. Misalnya wujud kegiatan tersebut dapat berupa kebijakan khusus yang memuat peraturan dari kepala daerah untuk melindungi R. micropylora dan kekayaan spesies lainnya yang terdapat dalam kawasan TNGL. Keterlibatan masyarakat selain dari pihak pengelola kawasan harus memiliki dedikasi yang tinggi untuk mengkonservasi R. micropylora. 4) Meningkatkan pendapatan dan kepedulian masyarakat lokal. Salah satu cara meningkatkan pendapat masyarakat sekitar hutan ialah dengan pemanfaatan R. micropylora melalui jasa ekowisata. Pemanfaatan tersebut tanpa mengganggu dan merusak R. micropylora dan habitatnya melalui wisata minat khusus dalam bentuk paket wisata. Pengembangan paket wisata dapat melibatkan sejumlah fasilitas yang ada di masyarakat. Seperti rumah penginapan (guest house), kendaraan, jasa guide wisata, konsumsi, dan fasilitas lainnya. Dari berbagai fasilatas tersebut dapat memberikan keuntungan langsung yang dapat meningkatkan pendapat masyarakat sekitar hutan.
57
Pengembangan paket wisata R. micropylora sebagai maskot paket wisata dapat menuntun paket wisata lainnya, menikmati keindahan alam sekitar habitat R. micropylora, unsur-unsur sejarah kawasan, kebudayaan dan adat istiadat masyarakat sekitar hutan. Selain itu, berbagai souvenir juga dapat ditawarkan seperti gantungan kunci, desain baju kaos, atau kerajinan lainnya yang mencirikan R. micropylora. Selain paket wisata, masyarakat sekitar hutan dapat berusaha mandiri dari hasil pembinaan terhadap peningkatan pemanfaatan komoditi yang ada dalam masyarakat sekitar. Komoditi tersebut dapat berupa komoditi-komoditi unggulan yang berpotensi tinggi dan memiliki nilai jual yang tinggi bagi peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan (tanaman tepat guna). Seperti tanaman kakao, karet, spesies tumbuhan obat, hias dan tumbuhan lainnya. Selain itu, membina dalam mengembangkan teknik pertanian merupakan cara yang tepat bagi peningkatan kualitas produksi pertanian. Keberadaan R. micropylora di alam menggambarkan bahwa hutan tersebut masih memiliki ekosistem yang asli. Selain itu, karena penyebarannya yang terbatas hanya terdapat pada tipe vegatasi hutan hujan tropis tertentu menjadikan R. micropylora sebagai warisan dunia dari dunia tumbuhan yang artinya setiap umat manusia bertanggung jawab untuk melindunginya, dan juga sebagai bentuk apresiasi manusia yang harus menghormati hubungannya dengan alam. Dalam hal ini, R. micropylora sebagai makhluk titipan Tuhan yang diberikanNya kepada manusia dalam menjaga amanah dan melestarikannya sampai ke anak cucu generasi berikutnya.
58
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Kondisi populasi R. micropylora yang berada di Blok Gurah Ketambe TNGL berada dalam keadaan terancam akibat berbagai aktivitas, terutama penebangan dan perambahan hutan. 2. Habitat R. micropylora berada dalam tipe vegetasi hutan dataran rendah dengan nilai keanekaragaman spesies pohon sedang yang didominasi spesies pohon Parashorea parvifolia dari famili Dipterocarpaceae. 3. Secara umum sikap masyarakat sekitar mendukung upaya konservasi R. micropylora, walaupun sebagian masyarakat masih ada yang menganggu inang R. micropylora atau merambah habitatnya.
6.2 Saran 1. Perlunya penyuluhan kepada masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan TNGL. 2. Menjaga dan memantau habitat dan populasi R. micropylora beserta inangnya secara teratur. 3. Perlu penelitian lebih menyeluruh tentang penyebaran R. micropylora di TNGL dengan menggunakan SIG.
59
DAFTAR PUSTAKA Afrianti UR. (2007) Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi Sengkubak (Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.) di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Andayani Y. 2004. Inventarisasi Tumbuhan Tetrastigma sp sebagai Inang Bunga Rafflesia sp di Taman Nasional Gunung Leuser [skripsi]. Banda Aceh: Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan. Yayasan Teungku Chik Pante Kulu Darussalam. [Anonim]. 2010. Potret Aceh Tenggara Masa Kini. http://agaramedia.com/?p ilih=hal&id=5 [18 April 2010]. ------------. 2010. Sumber Daya Alam Aceh Tenggara. http://agaramedia. com/?pilih=hal&id=20 [18 April 2010]. Ekawati R. 2001. Status Konservasi Rafflesia arnoldi R.Br. Di Gunung Sago Halaban Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat [tesis]. Bogor: Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Istomo, Djamhuri E, Hilwan I, Mulyana D, Syaufina L, Hernowo JB. 2008. Panduan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH). Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jamil N, Purbowo BS, Andriyanto, Sucipto A. 2002. Inventarisasi Tumbuhan Rafflesia (di Sub Seksi Ambulu) [laporan]. Jember: Bagian Proyek Pemantapan Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri. Jamil N. 1998. Studi Rancangan Pengelolaan Areal Konservasi Berbasis Pelestarian Rafflesia hasseltii Suringar. Di Areal HPH PT. Injapsin Company. [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hernidiah N. 1999. Kajian Habitat dan Masalah Pelestarian Rafflesia hasseltii Suringar di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Riau-Jambi [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Hikmat A. 1988. Kajian Karakteristik Lingkungan Biotik Rafflesia (Rafflesia zollingeriana Kds.) di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom Helm Limited.
60
[Menhut] Menteri Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 56 /Menhut-II/2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Menhut. Misnawaty. 2007. Pencandraan Rafflesia arnoldii Pada T. lanceolarium. Ilmuilmu Pertanian Indonesia. 3: 440-443. Mukmin H. 2008. Kajian Populasi dan Habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Pananjungan Pangandaran Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Nais J. 2001. Rafflesia of The World. Sabah Park, Kota Kinabalu. Malaysia. Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta: Presiden RI. Presiden Republik Indonesia. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Presiden RI. Priatna DR, Zuhud EAM, Alikodra HS. 1989. Kajian Ekologis Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leuweung Sancang Jawa Barat. Media Konservasi Vol. II. No. 2. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. QA International. 2009. Visual Ilmu Pengetahuan Populer Untuk Pelajar dan Umum: Memahami Iklim dan Lingkungan. PT Bhuana Ilmu Populer. Rahayuningsih SU. 2008. Psikologi Umum 2. Universitas Gunadarma. Jakarta. Ramadhani N. 2006. Sikap dan Perilaku: Dinamika Psikologi Mengenai Perubahan Sikap dan Perilaku [laporan]. Program Doktor. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Salleh KM. 1991. Rafflesia Magnificent Flower of Sabah. Borneo Publishing Company. Kota Kinabalu. Soerianegara I. 1991. Pengaruh Intensitas Cahaya dan Pemupukan Terhadap Pertumbuhan Anakan Hopea mengerawan Miq. Pada Tanah Latosol dan Podsolik Merah Kuning [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soerianegara I, Indrawan A. 1983. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
61
Sriyanto A. (Ed.). 2005. Hasil Workshop Penilaian Efektivitas Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Mempergunakan WWF’s RAPPAM Metodelogi. Draft Translasi Bahasa Indonesia. Ditjen PHKA dan Mitra, Jakarta : iii +44p. Supsiloani. 2008. Analisa Nilai Budaya Masyarakat dan Kaitannya dalam Pembangunan Wilayah di Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Suwartini R. 2008. Kajian Kondisi Populasi Rafflesia patma Blume dan Sikap Masyarakat Sekitar di Cagar Alam Leuweung Sancang Kabupaten Garut [skipsi]. Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Syahbuddin. 1981. Studi Ekologi di Dalam Usaha Pelestarian Rafflesia arnoldi R.Br di Cagar Alam Batang Palupuh [tesis]. Bogor: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Thorenaar A. 1997. Ilmu Tumbuh-tumbuhan untuk Bidang Kehutanan (Bagian III: Keanekaragaman Vegetasi-vegetasi di Indonesia). Bandung. [TNGL] Taman Nasional Gunung Leuser. 2010. Panduan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser 2010-2029. Medan. Widada. 2008. Mendukung Pengelolaan Taman Nasional yang Efektif Melalui Pengembangan Masyarakat Sadar Konservasi yang Sejahtera. Jawa Timur. Wiratno. 2007. Seperempat Abad Leuser.
[email protected] [20 Desember 2009]. Zuhud EAM, Ekarelawan, Hikmat A, Nugroho YAF. 1993. Bioekologi dan Penangkaran Rafflesia rochusseni T. et Binn Untuk Pelestarian Pemanfaatannya di Gunung Salak [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Zuhud EAM, Hikmat A, Jamil N. 1998. Rafflesia Indonesia: Keanekaragaman, Ekologi dan Pelestariannya. Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Suaka Margasatwa Indonesia (THE INDONESIAN WILDLIFE FUND) dan Laboratorium Konservasi Tumbuhan. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
62
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Blok Gurah TNGL
Nama lokal Babi kurus Balik sumpah Balik angin Bayur Cegale Kemuning Gempol kambing Gerupol rawan Intap Jambu hutan Jerik jambu Kayu harun Kayu hutan Kayu jakhak Kayu kemong Pohon cemara Jermak Tikus Kayu pano Kayu rotan kecil daun Kembilin Kerakah biawak Kerakah pagar anak Setur badak Lelegen Medang kunyit Matoa Langsat khimbe Megakhe bulung Munel sedang Pakem Setur padi Surin
Nama ilmiah Glochidion sp. Aglaia argentea Blume Aglaia argentea Blume Pterospermum javanicum Jungh. Ficus sp. Murraya paniculata Jack Sageraea lanceolata Miq. Parashorea parvifolia Wyatt. Smith Syzygium magnoliaefolium DC. Cleistanthus myrianthus Kurz Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Macaranga hypoleuca Muell.Arg Diospyros perfida Bakh. Eucalyptus sp. Glochidion kollmannianum J.J. Smith Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Paranephelium nitidum King Glycosmis pentaphylla (Retz.) DC. Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Cryptocarya mentek Blume ex Nees Pometia pinnata J.R.& G.Forest. Nephelium rubescens Hiern. Hydnocarpus woodii Merr. Pometia pinnata J.R.& G.Forest. Aglaia odorata Lour Toona sureni (BL.) Merrill
Famili Euphorbiaceae Meliaceae Meliaceae Sterculiaceae Moraceae Rutaceae Annonaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Sapindaceae Rutaceae Euphorbiaceae Lauraceae Sapindaceae Sapindaceae Flacourtiaceae Sapindaceae Meliaceae Meliaceae
K 1 1 1 1 1 1 1 1 10 3 1 5 1 5 4 1 1 6 21 1 2 1 1 1 1 1 1 3 24 1 5 4
KR 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 8,26 2,48 0,83 4,13 0,83 4,13 3,31 0,83 0,83 4,96 17,36 0,83 1,65 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 0,83 2,48 19,83 0,83 4,13 3,31
F 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,24 0,12 0,04 0,08 0,04 0,16 0,12 0,04 0,04 0,12 0,40 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,40 0,04 0,16 0,12
FR 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 7,89 3,95 1,32 2,63 1,32 5,26 3,95 1,32 1,32 3,95 13,16 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 1,32 13,16 1,32 5,26 3,95
D 447,85 368,15 1366,32 1912,82 1284,16 447,85 4030,65 2300,96 47250,56 1666,88 390,13 3102,55 346,82 3132,88 3707,25 630,65 1016,64 4300,64 13087,18 1244,03 995,62 796,18 718,55 1146,50 459,87 1494,35 1052,95 2393,39 19259,55 796,18 4848,25 13559,08
DR 0,31 0,25 0,93 1,30 0,87 0,31 2,75 1,57 32,18 1,14 0,27 2,11 0,24 2,13 2,52 0,43 0,69 2,93 8,91 0,85 0,68 0,54 0,49 0,78 0,31 1,02 0,72 1,63 13,12 0,54 3,30 9,23
INP 2,45 2,39 3,07 3,44 3,02 2,45 4,89 3,71 48,34 7,56 2,41 8,88 2,38 11,53 9,78 2,57 2,83 11,84 39,43 2,99 3,65 2,68 2,63 2,92 2,46 3,16 2,86 5,43 46,11 2,68 12,70 16,49
H' 0,03 0,03 0,04 0,05 0,04 0,03 0,06 0,05 0,29 0,09 0,03 0,1 0,03 0,12 0,11 0,04 0,04 0,12 0,26 0,04 0,05 0,04 0,04 0,04 0,03 0,04 0,04 0,07 0,28 0,04 0,13 0,15
63
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Lanjutan Lampiran 1 Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Blok Gurah TNGL No Nama lokal 33 Temeter 34 Terop 35 Urel tenge Jumlah
Nama ilmiah Trigonostemon sp. Artocarpus sp. Mallotus oblongifolius Muell.Arg.
Famili Euphorbiaceae Moraceae Euphorbiaceae
K 1 2 6 121
KR 0,83 1,65 4,96 100
F 0,04 0,08 0,12 3,04
FR 1,32 2,63 3,95 100
D 326,11 3015,61 3931,45 146828,58
DR 0,22 2,05 2,68 100
INP 2,36 6,34 11,58 300
H' 0,03 0,08 0,12 2,96
Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di Blok Gurah TNGL No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Ilmiah Nephelium rubescens Hiern. Salacia sp. Aglaia argentea Blume Ardisia fuliginosa Blume Smythea lanceata Summerhayes Tidak teridentifikasi Ficus sp. Aphanamixis polystachya (Wall.) R.N. Parker Sageraea lanceolata Miq. Macaranga hypoleuca Muell.Arg Parashorea parvifolia Wyatt. Smith Syzygium magnoliaefolium DC. Koilodpas brevipes Merr. Cleistanthus sp. Cleistanthus myrianthus Kurz Diospyros sumatrana Miq. Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Eucalyptus sp. Glochidion kollmannianum J.J. Smith Murraya paniculata jack Maniltoa psilogyne Harms.
Famili Sapindaceae Celastraceae Meliaceae Myrsinaceae Rhamnaceae Tidak teridentifikasi Moraceae Meliaceae
K 4 4 16 4 12 4 4 4
KR 1,09 1,09 4,35 1,09 3,26 1,09 1,09 1,09
F 0,04 0,04 0,16 0,04 0,08 0,04 0,04 0,04
FR 1,37 1,37 5,48 1,37 2,74 1,37 1,37 1,37
D 390,13 412,74 1655,41 484,39 2050,32 412,74 368,15 673,89
DR 0,64 0,68 2,72 0,80 3,37 0,68 0,60 1,11
INP 3,10 3,13 12,54 3,25 9,37 3,13 3,06 3,56
H' 0,04 0,04 0,13 0,04 0,1 0,04 0,04 0,05
Annonaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Rutaceae Fabaceae
8 4 8 20 4 4 16 24 4 4 4 12 48 4 4
2,17 1,09 2,17 5,43 1,09 1,09 4,35 6,52 1,09 1,09 1,09 3,26 13,04 1,09 1,09
0,08 0,04 0,08 0,16 0,04 0,04 0,12 0,16 0,04 0,04 0,04 0,08 0,36 0,04 0,04
2,74 1,37 2,74 5,48 1,37 1,37 4,11 5,48 1,37 1,37 1,37 2,74 12,33 1,37 1,37
716,24 509,55 1666,88 4901,73 540,59 673,89 3129,30 4356,37 1071,34 484,39 368,15 1336,94 7852,87 561,78 561,78
1,18 0,84 2,74 8,05 0,89 1,11 5,14 7,15 1,76 0,80 0,60 2,19 12,9 0,92 0,92
6,09 3,29 7,65 18,96 3,34 3,56 13,59 19,15 4,22 3,25 3,06 8,20 38,26 3,38 3,38
0,07 0,04 0,09 0,17 0,05 0,05 0,14 0,17 0,05 0,04 0,04 0,09 0,26 0,05 0,05
64
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Nama Lokal Langsat khimbe Akar tanduk Balik angin Mate kukukhen Banitan tikus Batang kusa Cegale Gelingang merak sedang Gempol kambing Pohon cemara Intap Jambu hutan Jerik bunge Jerik gelimo Jerik jambu Kayu arang Kayu jakhak Kayu kacang Kayu karan Kayu pano Kayu rotan kecil daun Kemuning Kemuning dewal
Lanjutan Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di Blok Gurah TNGL No Nama Lokal 24 Lelegen 25 Tampang 26 Medang kunyit 27 Munel 28 Munel sedang 29 Pala hutan 30 Pepening 31 Setur badak 32 Setur padi 33 Temeter 34 Urel tenge 35 Wakhan Jumlah
Nama Ilmiah Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Blumeodendron tokbrai J.J. Smith Cryptocarya mentek Blume ex Nees Suregada glomerulata Baill. Hydnocarpus woodii Merr. Myristica sp. Glycosmis pentaphylla (Retz.) DC. Aglaia odorata Lour Trigonostemon sp. Mallotus oblongifolius Muell.Arg. -
Famili Euphorbiaceae Euphorbiaceae Lauraceae Euphorbiaceae Flacourtiaceae Myristicaceae Rutaceae Meliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Vitaceae
K 8 4 4 4 48 4 4 8 8 4 40 12 368
KR 2,17 1,09 1,09 1,09 13,04 1,09 1,09 2,17 2,17 1,09 10,87 3,26 100
F 0,08 0,04 0,04 0,04 0,28 0,04 0,04 0,08 0,08 0,04 0,20 0,12 2,92
FR 2,74 1,37 1,37 1,37 9,59 1,37 1,37 2,74 2,74 1,37 6,85 4,11 100
D 1656,05 644,90 796,18 963,38 6658,60 828,34 1071,34 1341,40 1789,17 1071,34 7388,54 1527,07 60915,88
DR 2,72 1,06 1,31 1,58 10,93 1,36 1,76 2,20 2,94 1,76 12,13 2,51 100
INP 7,63 3,52 3,76 4,04 33,56 3,82 4,22 7,12 7,85 4,22 29,85 9,88 300
H' 0,09 0,05 0,05 0,05 0,24 0,05 0,05 0,08 0,09 0,05 0,22 0,11 3,17
Lampiran 3 Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Blok Gurah TNGL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama ilmiah Koilodpas brevipes Merr. Smythea lanceata Summerhayes Ichnocarpus sp. Dalbergia sp. Derris elliptica Glochidion sp. Aglaia argentea Blume Trivalvaria macrophylla Miq. Smythea lanceata Summerhayes Pterospermum javanicumJungh. Polyalthia subcordata Blume Ficus sp. Planchonia valida Blume Aphanamixis polystachya (Wall.) R.N. Parker
Famili Euphorbiaceae Rhamnaceae Apocynaceae Fabaceae Papilionaceae Euphorbiaceae Meliaceae Annonaceae Rhamnaceae Sterculiaceae Annonaceae Moraceae Lecythidaceae Meliaceae
K 16 32 80 320 16 32 448 16 16 16 16 16 16
KR 0,36 0,73 1,82 7,27 0,36 0,73 10,18 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36 0,36
F 0,04 0,04 0,08 0,16 0,04 0,04 0,52 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04
FR 0,74 0,74 1,47 2,94 0,74 0,74 9,56 0,74 0,74 0,74 0,74 0,74 0,74
INP 1,1 1,46 3,29 10,21 1,1 1,46 19,74 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1 1,1
H' 0,02 0,03 0,06 0,15 0,02 0,03 0,22 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02
48
1,09
0,04
0,74
1,83
0,04
65
Nama lokal Aging bunge Akar entap Akar palo rawan Akar rengut galang Akar tuba duri Babi kurus Balik angin Banitan kecil daun Banitan tikus Bayur Bunge kemarau Cegale Dukut dasih Gelingang merak sedang
Lanjutan Lampiran 3 Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Blok Gurah TNGL Nama lokal Gempol Kambing Jerik kawal Geseng bunge Intap Jambu Hutan Jerik jambu Kayu arang Kayu gadung rawan
23 24
Kayu jakhak Kayu mekhampok
25 26 27 28 29 30
Kayu nasi Kayu pano Kayu Rotan kecil daun Kemuning Kerakah pagar anak Ketupat
31 32 33
Kukuran jantan Langsat khimbe Latong rusa
34 35 36 37 38 39 40 41 42
Lelegen Mate kukukhen Medang kunyit Medang sawa Menit Mentar bunge Munel Munel sedang Pepenuh
Nama ilmiah Sageraea lanceolata Miq. Salacia sp. Koilodpas brevipes Merr. Parashorea parvifolia Wyatt. Smith Syzygium magnoliaefolium DC. Cleistanthus myrianthus Kurz Diospyros sumatrana Miq. Chisocheton tomentosus (Roxb.) D.J. Mabberley Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Elatostema vitiense (A.Gray ex Wedd.) A.C.Smith Tidak teridentifikasi Eucalyptus sp. Glochidion kollmaniannaum J.J. Smith Murraya paniculata jack Paranephelium nitidum King Psychotria rhinocerotis Reinw.ex Blume Tidak teridentifikasi Nephelium rubescens Hiern. Dendrocnide stimumalans (L.f.) Chew. Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Ardisia fuliginosa Blume Cryptocarya mentek Blume ex Nees Conandrium sp. Diospyros sp. Callicarpa longifolia Lam Suregada glomerulata Baill. Hydnocarpus woodii Merr. Schefflera polybotrya Koord.
Famili Annonaceae Celastraceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Meliaceae
K 32 16 16 352 96 32 80
KR 0,73 0,36 0,36 8 2,18 0,73 1,82
F 0,04 0,04 0,04 0,4 0,24 0,08 0,12
FR 0,74 0,74 0,74 7,35 4,41 1,47 2,21
INP 1,46 1,1 1,1 15,35 6,59 2,2 4,02
H' 0,03 0,02 0,02 0,19 0,11 0,04 0,07
16
0,36
0,04
0,74
1,1
0,02
Euphorbiaceae Urticaceae
16
0,36
0,04
0,74
1,1
0,02
16
0,36
0,04
0,74
1,1
0,02
Tidak teridentifikasi Myrtaceae Euphorbiaceae
64 48
1,45 1,09
0,08 0,12
1,47 2,21
2,93 3,3
0,06 0,06
464
10,55
0,64
11,76
22,31
0,24
Rutaceae Sapindaceae Rubiaceae
16 16
0,36 0,36
0,04 0,04
0,74 0,74
1,1 1,1
0,02 0,02
32
0,73
0,08
1,47
2,2
0,04
Tidak teridentifikasi Sapindaceae Urticaceae
16 16
0,36 0,36
0,04 0,04
0,74 0,74
1,1 1,1
0,02 0,02
128
2,91
0,08
1,47
4,38
0,08
48 176 32 48 32 48 96 496 48
1,09 4,00 0,73 1,09 0,73 1,09 2,18 11,27 1,09
0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,04 0,16 0,36 0,08
0,74 0,74 0,74 0,74 0,74 0,74 2,94 6,62 1,47
1,83 4,74 1,46 1,83 1,46 1,83 5,12 17,89 2,56
0,04 0,08 0,03 0,04 0,03 0,04 0,09 0,21 0,05
Euphorbiaceae Myrsinaceae Lauraceae Myrsinaceae Ebenaceae Verbenaceae Euphorbiaceae Flacourtiaceae Araliaceae
66
No 15 16 17 18 19 20 21 22
Lanjutan Lampiran 3 Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di Blok Gurah TNGL No 43 44
Nama lokal Pohon cemara Pucuk mekhegen
45 Setur badak 46 Setur Padi 47 Surin 48 Tampang 49 Tekhahen 50 Temeter 51 Terop 52 Urel tenge Jumlah
Nama ilmiah Macaranga hypoleuca Muell.Arg Psychotria rhinocerotis Reinw.ex Blume Glycosmis pentaphylla (Retz.) DC. Aglaia odorata Lour Toona sureni (BL.) Merrill Blumeodendron tokbrai J.J. Smith Parashorea parvifolia Wyatt. Smith Trigonostemon sp. Artocarpus sp. Mallotus oblongifolius Muell.Arg.
Famili Euphorbiaceae Rubiaceae Rutaceae Meliaceae Meliaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Moraceae Euphorbiaceae
K 16
KR 0,36
F 0,04
FR 0,74
INP 1,1
H' 0,02
16
0,36
0,04
0,74
1,1
0,02
48 272 16 192 48 16 32 160 4400
1,09 6,18 0,36 4,36 1,09 0,36 0,73 3,64 100
0,08 0,44 0,04 0,20 0,08 0,04 0,04 0,16 5,44
1,47 8,09 0,74 3,68 1,47 0,74 0,74 2,94 100
2,56 14,27 1,1 8,04 2,56 1,1 1,46 6,58 200
0,05 0,18 0,02 0,12 0,05 0,02 0,03 0,11 3,37
Lampiran 4 Hasil analisis vegetasi tingkat semai/tumbuhan bawah di Blok Gurah TNGL No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama lokal Akar cengkaduk Akar entap Akar kukut galang Akar labu imbo Akar palo rawan Akar Rengut Galang Akar susu Akar tanduk Akar tombang Akar tombang 2
11 12 13 14
Anggrek tanah Asam peder Babi kurus Balik angin
Nama ilmiah Piper miniatum Blume Smythea lanceata Summerhayes Zizyphus horsfieldii Miq. Mallotus peltatus Muell.Arg. Ichnocarpus sp. Dalbergia sp. Psychotria sp. 1 Salacia sp.1 Rhaphidophora sylvestris Engl. Rhaphidophora korthalsiana Herb.Lugd.But ex Engl. Phaius sp. Garcinia sp. Glochidion sp. Aglaia argentea Blume
Famili Piperaceae Rhamnaceae Rhamnaceae Euphorbiaceae Apocynaceae Fabaceae Rubiaceae Celastraceae Araceae Araceae
K 100 3600 100 100 700 800 100 200 1700 500
KR 0,16 5,58 0,16 0,16 1,09 1,24 0,16 0,31 2,64 0,78
F 0,04 0,16 0,04 0,04 0,16 0,24 0,04 0,04 0,2 0,08
FR 0,47 1,87 0,47 0,47 1,87 2,80 0,47 0,47 2,34 0,93
INP 0,62 7,45 0,62 0,62 2,95 4,04 0,62 0,78 4,97 1,71
H' 0,01 0,12 0,01 0,01 0,06 0,07 0,01 0,02 0,09 0,04
Orchidaceae Clusiaceae Euphorbiaceae Meliaceae
100 200 300 1200
0,16 0,31 0,47 1,86
0,04 0,08 0,08 0,28
0,47 0,93 0,93 3,27
0,62 1,24 1,40 5,13
0,01 0,03 0,03 0,09
67
Lanjutan Lampiran 4 Hasil analisis vegetasi tingkat semai/tumbuhan bawah di Blok Gurah TNGL No 15 16 18 19 20 21
Nama lokal Banitan kecil daun Bayam rusa Bulung gigit Cegale Dukut dasih Gedeng
22
Gelingang merak sedang Gempol Kambing Geseng bunge Intap Jambu Hutan Jejarum merah Jejarum putih Jerik jambu Jerik kawal Kayu Jakhak Kayu kesebeh Kayu mekhampok
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
42 43
Kopi Kukuran jantan
Famili Annonaceae Vitaceae Zingiberaceae Moraceae. Lecythidaceae Araceae
Alocasia longiloba Miq. Homalomena humilis (Jack) Hook.f. Tectaria crenata Paranephelium nitidum King Psychotria rhinocerotis Reinw.ex Blume Suregada glomerulata Baill. Tidak teridentifikasi
Araceae Araceae Polypodiaceae Sapindaceae Rubiaceae
Meliaceae Annonaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Myrtaceae Rubiaceae Rubiaceae Euphorbiaceae Celastraceae Euphorbiaceae Myrsinaceae Urticaceae Tidak teridentifikasi Myrtaceae Euphorbiaceae
Euphorbiaceae Tidak teridentifikasi
K 300 800 1300 100 100 1700
KR 0,47 1,24 2,02 0,16 0,16 2,64
200
F 0,08 0,04 0,24 0,04 0,04 0,28
FR 0,93 0,47 2,80 0,47 0,47 3,27
INP 1,40 1,71 4,82 0,62 0,62 5,91
H' 0,03 0,04 0,08 0,01 0,01 0,1
0,31
0,04
0,47
0,78
0,02
300 200 12400 900 200 1100 100 200 200 3100
0,47 0,31 19,22 1,40 0,31 1,71 0,16 0,31 0,31 4,81
0,12 0,04 0,6 0,24 0,08 0,16 0,04 0,04 0,08 0,2
1,40 0,47 7,01 2,80 0,93 1,87 0,47 0,47 0,93 2,34
1,87 0,78 26,23 4,20 1,24 3,57 0,62 0,78 1,24 7,14
0,04 0,02 0,26 0,08 0,03 0,07 0,01 0,02 0,03 0,11
200
0,31
0,08
0,93
1,24
0,03
1600 200
2,48 0,31
0,24 0,08
2,80 0,93
5,28 1,24
0,09 0,03
1500
2,33
0,32
3,74
6,06
0,1
300 300 300 100
0,47 0,47 0,47 0,16
0,12 0,08 0,08 0,04
1,40 0,93 0,93 0,47
1,87 1,40 1,40 0,62
0,04 0,03 0,03 0,01
200
0,31
0,08
0,93
1,24
0,03
200 2200
0,31 3,41
0,04 0,28
0,47 3,27
0,78 6,68
0,02 0,11
68
37 38 39 40 41
Kayu nasi Kayu pano Kayu rotan kecil daun Keladi merah Keladi Tanah Keluang kare Kerakah pagar anak Ketupat
Nama ilmiah Trivalvaria macrophylla Miq. Tetrastigma lanceolarium Planch. Tidak teridentifikasi Ficus sp. Planchonia valida Blume Schismatoglottis calyptrata Zool. & Morr. Aphanamixis polystachya (Wall.) R.N. Parker Sageraea lanceolata Miq. Koilodpas brevipes Merr. Parashorea parvifolia Wyatt. Smith Syzygium magnoliaefolium DC. Ixora sp. Psychotria sp. 2 Cleistanthus myrianthus Kurz Salacia sp.1 Mallotus oblongifolius Muell.Arg. Ardisia fuliginosa Blume Elatostema vitiense (A.Gray ex Wedd.) A.C.Smith Tidak teridentifikasi Eucalyptus sp. Glochidion kollmannianum J.J. Smith
Lanjutan Lampiran 4 Hasil analisis vegetasi tingkat semai/tumbuhan bawah di Blok Gurah TNGL No Nama lokal 44 Kunyit hutan 45 Lange 46 Langsat khimbe 47 Latong rusa 48 Mate kukukhen 49 Medang kunyit 50 Medang sawa 51 Meranti petima 52 Mpedang 53 Mpedang cut 54 Mpedang Tanoh 55 Munel sedang 56 Ngekhing 57 Pakam 58 Pakis 59 Pangang babi 60 Pepenuh 61 Rampah 62 Resam 63 Semeje 64 Sesirung 65 Setur badak 66 Setur Padi 67 Sirih hutan 68 Surin 69 Tampang 70 Tampu biasa 71 Tekhahen 72 Temeter 73 Urel tenge Jumlah
Nama ilmiah Boesenbergia sp. Tacca integrifolia Ham. ex Hook.f. Nephelium rubescens Hiern. Dendrocnide stimumalans (L.f.) Chew. Ardisia fuliginosa Blume Cryptocarya mentek Blume ex Nees Conandrium sp. Tidak teridentifikasi Rhaphidophora sp. Anthrophium callifolium Diplazium sp. Hydnocarpus woodii Merr. Ventilago oblongifolia Blume Pometia pinnata J.R.& G.Forest. Asplenium spp Leea rubra Blume Schefflera polybotrya Koord. Dalbergia sp. Selaginella plana Hiron Capparis sp. Elatostema vitatum Glycosmis pentaphylla (Retz.) DC. Aglaia odorata Lour Piper miniatum Blume Toona sureni (BL.) Merrill Blumeodendron tokbrai J.J. Smith Macaranga tanarius Muell.Arg. Parashorea parvifolia Wyatt. Smith Trigonostemon sp. Mallotus oblongifolius Muell.Arg.
Famili Zingiberaceae Taccaceae Sapindaceae Urticaceae Myrsinaceae Lauraceae Myrsinaceae Tidak teridentifikasi Araceae Adiantaceae Athyriaceae Flacourtiaceae Rhamnaceae Sapindaceae Polypodiaceae Leeaceae Araliaceae Fabaceae Selaginellaceae Capparaceae Urticaceae Rutaceae Meliaceae Piperaceae Meliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae
K 2800 100 200 200 900 600 100 200 700 100 500 1200 1100 100 300 600 100 100 1200 300 6900 100 300 200 4500 100 100 100 200 400 64500
KR 4,34 0,16 0,31 0,31 1,40 0,93 0,16 0,31 1,09 0,16 0,78 1,86 1,71 0,16 0,47 0,93 0,16 0,16 1,86 0,47 10,70 0,16 0,47 0,31 6,98 0,16 0,16 0,16 0,31 0,62 100
F 0,4 0,04 0,08 0,08 0,16 0,12 0,04 0,04 0,16 0,04 0,12 0,28 0,08 0,04 0,08 0,04 0,04 0,04 0,12 0,12 0,4 0,04 0,08 0,04 0,24 0,04 0,04 0,04 0,04 0,12 8,56
FR 4,67 0,47 0,93 0,93 1,87 1,40 0,47 0,47 1,87 0,47 1,40 3,27 0,93 0,47 0,93 0,47 0,47 0,47 1,40 1,40 4,67 0,47 0,93 0,47 2,80 0,47 0,47 0,47 0,47 1,40 100
INP 9,01 0,62 1,24 1,24 3,26 2,33 0,62 0,78 2,95 0,62 2,18 5,13 2,64 0,62 1,40 1,40 0,62 0,62 3,26 1,87 15,37 0,62 1,40 0,78 9,78 0,62 0,62 0,62 0,78 2,02 200
H' 0,13 0,01 0,03 0,03 0,06 0,05 0.01 0,02 0,06 0,01 0,04 0,09 0,05 0,01 0,03 0,03 0,01 0,01 0,06 0,04 0,19 0,01 0,03 0,02 0,14 0,01 0,01 0,01 0,02 0,04 3,72
69
70
Lampiran 5 Kuisioner sikap masyarakat terhadap Rafflesia. 1. Nama : 2. Alamat : 3. Umur : 4. Suku : 5. Pendidikan Terakhir; a. Tidak tamat SD
d. SMA
b. Tamat SD
e. Perguruan Tinggi
c. SMP 6. Pekerjaan: a. Petani
c. ABRI
e. Buruh
b. PNS
d. POLRI
f. Wiraswasta
7. Penghasilan; a. < 250.000/Bln
c. 500.000 – 1.000.000/Bln
b. 250.000 – 500.000/Bln
d. > 1.000.000/Bln
8. Seberapa sering saudara masuk hutan; a. Setiap hari
e. Kurang dari tiga bulan sekali
b. Seminggu sekali
f. Kurang dari setahun 1 sekali
c. Dua minggu sekali
g. Tidak pernah
d. Sebulan sekali 9. Tujuan saudara masuk hutan; a. Mencari nafkah sehari-hari
c. Penelitian
b. Ekowisata
d. Lain-lain:………………
10. Apakah saudara mengenal Rafflesia? a. Ya b. Tidak 11. Pernahkah saudara memanfaatkan Rafflesia? a. Ya b. Tidak 12. Jika Pernah, dimanfaatkan sebagai apa saja? a. Tumbuhan obat
c. Sumber pendapatan
b. Koleksi/ hiasan
d. Upacara adat-istiadat
71
e. Lainnya:………….. 13. Bagian yang dimanfaatkan? a. Knop b. Bunga c. Lainya:…………. 14. Bagaimana cara pemanfaatannya? a. Di buat jamu b. Langsung dikonsumsi c. Lainnya:…………. 15. Kalau seandainya di jual, kemana di jual? a. Tengkulak b. Pasar c. Lainnya:………… 16. Berapa harga jual per knop/bunga? Rp.:………………….. 17. Pada bulan apa biasanya dipanen?, Bulan:……….. 18. Berapa kali dalam setahun masa panen? a. Sekali
c. 3 kali
b. 2 kali
d. > 3 kali
19. Apakah saudara mengetahui bahwa Rafflesia merupakan flora langka? a. Ya b. Tidak 20. Apakah saudara mengetahui bahwa Rafflesia merupakan flora yang di lindungi oleh Undang-Undang? a. Ya b. Tidak 21. Pandangan saudara terhadap Rafflesia? a. Mendukung pelestariannya b. Tidak mendukung c. Tidak tahu 22. Apakah saudara bangga dengan bunga Rafflesia yang tumbuh di hutan di sekitar tempat tinggal anda. a. Ya
72
b. Tidak c. Tidak tahu 23. Bagaimana perasaan saudara ketika melihat bunga Rafflesia yang sedang mekar di hutan. a. Kagum b. Biasa saja c. Takut Alasannya:………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… ……………………………………………………………………………… 24. Bagaimana sikap saudara jika orang lain mengambil kuncup/bunga Rafflesia ? a. Melarang b. Membiarkan 25. Jika melarang, bagaimana tindakan selanjutnya? a. Melaporkan ke pihak terkait b. Bertindak secara langsung 26. Harapan saudara terhadap Taman Nasional Gunung Leuser:……………