KONSERVASI Rafflesia zollingeriana Koord DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR
DEWI LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Konservasi Rafflesia zollingeriana Koord di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Dewi Lestari NIM E351100051
iv
RINGKASAN
DEWI LESTARI. Konservasi Rafflesia zollingeriana Koord di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan ERVIZAL AM ZUHUD. Rafflesia zollingeriana Koord merupakan tumbuhan langka yang dilindungi di Indonesia menurut Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999. Spesies ini tumbuh endemik di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa R. zollingeriana di TNMB terus menurun populasinya. Padahal masih banyak informasi ilmiah yang belum diketahui dari spesies ini. Oleh karena itu, populasi R. zollingeriana harus segera diselamatkan dan konservasi yang lebih efektif dan efisien harus segera dilakukan. Untuk dapat menyusun strategi konservasi yang efektif dan efisien, informasi mengetahui kondisi populasi, pemanfaatan, stakeholder yang terlibat, kekuatan kelemahan, peluang dan ancaman konservasi R. zollingeriana harus diketahui. Oleh karena itulah penelitian yang bertujuan menganalisis kondisi populasi R. zollingeriana di TNMB; menganalisis pemanfaatan R. zollingeriana; mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam konservasi; menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari konservasi R. zollingeriana di TNMB selama ini; merekomendasikan strategi dan program konservasi; ini dilakukan. Penelitian dilakukan di kawasan TNMB dan lima desa sekitar TNMB (Wonoasri, Curahnongko, Andongrejo, Sanenrejo dan Sarongan). Penelitian dilakukan selama 15 bulan, yaitu dari bulan Mei 2012–Juli 2013. Data penelitian dikumpulkan dengan metode wawancara, survei, observasi dan studi pustaka. Jenis data yang dikumpulkan adalah data kondisi populasi R. zollingeriana, data pemanfaatan dan data pengelolaan konservasi. Data ini dianalisis secara deskriptif, kuantitatif dan kualitatif. Ditemukan 26 sub populasi R. zollingeriana dalam 19 plot pengamatan. Tingkat kematian kenop cukup tinggi dan tingkat keberhasilan kenop untuk mekar rendah sehingga regenerasi alami R. zollingeriana terancam. Oleh karena itu, penelitian teknik budidaya harus segera dilakukan. Dari 19 plot tersebut, 9 di antaranya adalah lokasi tumbuh yang baru terdokumentasikan. Bentuk pemanfaatan R. zollingeriana selama ini adalah pengumpulan kenop untuk jamu dan pariwisata. Pengumpulan kenop berpengaruh negatif terhadap populasi, sementara pariwisata berkembang terbatas dan belum meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar TNMB. Kegiatan konservasi R. zollingeriana dibedakan menjadi 3 kegiatan: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Diidentifikasikan terdapat 12 stakeholder yang terlibat kegiatan perlindungan, 9 stakeholder terlibat kegiatan pengawetan dan 20 stakeholder yang terlibat dalam pemanfaatan. Stakeholder perlindungan terdiri atas 2 stakeholder key player, 1 context setter, 1 subject dan 8 crowd. Stakeholder pengawetan terdiri atas 3 stakeholder key player, 1 context setter, 1 subject dan 4 crowd. Stakeholder pemanfaatan terdiri atas 7 stakeholder key player, 4 subject dan 9 stakeholder crowd.
Analisis SWOT menunjukkan bahwa faktor internal dan eksternal nilainya positif, namun faktor internal bernilai lebih tinggi. Kekuatan bernilai 1.8, kelemahan bernilai 0.95, peluang bernilai 1.6 dan ancaman bernilai 0.6. Strategi yang direkomendasikan adalah strategi agresif: memaksimalkan kekuatan sehingga peluang dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kerjasama dengan dan antar stakeholder key player harus ditingkatkan, komunikasi dengan stakeholder context setter ditingkatkan, demikian pula dengan pemberdayaan stakeholder subject. Program yang diusulkan adalah sosialisasi R. zollingeriana sebagai tanaman langka, unik dan endemik di TNMB, sosialisasi R. zollingeriana sebagai ikon kawasan dan flora identitas daerah. kolaborasi pengembangan ekowisata R. zollingeriana berbasis stakeholder dan kolaborasi pengelolaan konservasi R. zollingeriana berbasis zonasi. Kata kunci: konservasi, Rafflesia zollingeriana Koord, Taman Nasional Meru Betiri
vi
SUMMARY
DEWI LESTARI. Conservation of Rafflesia zollingeriana Koord in Meru Betiri National Park, East Java. Supervised by AGUS HIKMAT and ERVIZAL AM. ZUHUD. Rafflesia zollingeriana Koord is a protected rare plants in Indonesia, according to Government Regulation No. 7 of 1999. This species is endemic to Meru Betiri National Park. However, reality shows that R. zollingeriana population in the national park was declining. Because there are a lot of scientific information that has not known yet, R. zollingeriana population must been saved, more effective and efficient conservation must be done immediately. To be able to formulate effective and efficient conservation strategies, information about: the condition of the population; utilization; stakeholders involved; strengths, weaknesses, opportunities and threats of R. zollingeriana conservation; must be known. Therefore, the study aimed to analyze the population condition R. zollingeriana in the national park; analyze the utilization of R. zollingeriana; identify the stakeholders involved in R. zollingeriana’s conservation; analyze the strengths, weaknesses, opportunities and threats of R. zollingeriana conservation at this time; recommended some strategies and conservation programs of R. zollingeriana. The study was conducted in the Meru Betiri National Park and five villages around it (Wonoasri, Curahnongko, Andongrejo, Sanenrejo and Sarongan). Research conducted over the 15 months, from May 2012 to July 2013. Data were collected by interviews, surveys, observations, and literature study. Data that collected were: data of R. zollingeriana population condition, data of the utilization and data about management of R. zollingeriana conservation. Those data analyzed descriptively, quantitatively and qualitatively. Observations were done in 19 plots and there were 26 sub populations of R. zollingeriana that have been found. The mortality rate of knobs was high enough and blooming success rate for knobs was low, so propagation researches are need to be done. From 19 plots, 9 of them are recently documented populations. R. zollingeriana was utilized for herbal medicine (through knobs collecting and trading) and for tourism. The impact of collecting and trading activity R. zollingeriana were increasing income and welfare of the culprit but decline and extinction of Rafflesia in the other hand. Another forms of utilization was ecotourism of R. zollingeriana. Ecotourism has not developed yet and has not given a significant economical benefit for people. There were 12 stakeholder involved in protection, 9 stakeholder involved in preservation dan 20 stakeholder involved in utilization. Protection stakeholder consist of 2 key player stakeholder, 1 context setter, 1 subject dan 8 crowd. Preservation stakeholder consist of 3 key player stakeholder, 1 context setter, 1 subject dan 4 crowd. Utilization stakeholder consist of 7 key player stakeholder, 4 subject dan 9 crowd stakeholder. SWOT analysis indicated that the value of internal and external factors were positive. The internal factors for conservation of R. zollingeriana have greater
value than the external factors. Value for strength was 1.8, weakness was 0.95, opportunity was 1.6 dan threat was 0.6. Recommended strategies was aggressive strategy: maximize the strengths so that the opportunities can be exploited as much as possible. So cooperation with and among the key player stakeholder, communication with context setter stakeholder and empowerment of subject stakeholder must be enhanced. The proposed program were stakeholder empowerment, stakeholder base of R. zollingeriana ecotourism and zonation based of conservation management. Keywords: conservation, Meru Betiri National Park, Rafflesia zollingeriana Koord
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KONSERVASI Rafflesia zollingeriana Koord DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR
DEWI LESTARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
x
Penguji luar komisi pembimbing : Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS
xii
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT karena atas limpahan berkah, rahmat dan hidayah-Nya sehingga tesis dengan judul “Konservasi Rafflesia zollingeriana Koord di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur” ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Agus Hikmat, MScF Trop dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran selama masa penelitian sampai tersusunnya tesis ini. Terima kasih kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah memberikan kesempatan beasiswa dan The Toyota Foundation yang telah memberikan dukungan finansial selama penelitian. Penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada berbagai pihak, di antaranya: 1. Ayah dan Ibu Haryoso, atas dukungan moril dan kasih sayang yang telah diberikan. 2. Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali dan koordinator kepegawaian UPT BKT KR Eka Karya Bali-LIPI. 3. Ellyn K Damayanti, PhD Agr atas dukungan dan bantuan finansial selama penelitian. 4. Ir Nurrohmah, MSi dan staf Balai Taman Nasional Meru Betiri yang telah memberikan dukungan data dan teknis selama penelitian. 5. Masyarakat Desa Wonoasri, Sanenrejo, Curahnongko, Andongrejo dan Sarongan yang telah memberikan informasi dan dukungan data. 6. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang telah diberikan. 7. Teman-teman Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan 2010 atas kehangatan persahabatan, diskusi-diskusi yang membangun dan mencerahkan serta teman-teman KPM 38 atas dukungan moralnya. 8. Sekretariat Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas bantuan dan dukungan administratif yang telah diberikan 9. Nanang Joko Rianto, SP yang memberikan dukungan moral dan teknis selama penelitian. 10. Ir Drajat, MS dan teman-teman MAPENSA UNEJ atas diskusi-diskusi menariknya. Semoga karya ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Dewi Lestari
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 3 4 5 5
2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Rafflesia Fenologi Rafflesia Konservasi Rafflesia Deskripsi Rafflesia zollingeriana Koord Analisis Stakeholder Analisis SWOT Manajemen Konservasi
6 6 7 8 10 13 14 14
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Metode Analisis Data
15 15 16 16 18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Populasi R. zollingeriana Pemanfaatan R. zollingeriana oleh Masyarakat Sekitar Konservasi R. zollingeriana di TNMB Stakeholder Konservasi R. zollingeriana Faktor Internal dan Eksternal Konservasi R. zollingeriana Strategi dan Program Konservasi R. zollingeriana
19 19 22 33 41 43 54 62
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
66 66 67
DAFTAR PUSTAKA
68
LAMPIRAN
75
RIWAYAT HIDUP
80
xiv
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
6
7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Status kelangkaan Rafflesia berdasarkan kriteria IUCN 1997, WCMC terkini dan IUCN terkini (Nais 2001) 9 Komposisi mata pencaharian responden 17 Variabel pengukuran kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB 18 Luas, jumlah dan kepadatan penduduk di lima desa penelitian (BPS 2011) 21 Jenis mata pencaharian penduduk di lima desa penelitian (Badan Pemberdayaan Masyarakat Jember 2010, Badan Pemberdayaan Masyarakat Banyuwangi 2010, BTNMB 2007) 22 Tingkat pendidikan penduduk di lima desa penelitian (Badan Pemberdayaan Masyarakat Jember 2010, Badan Pemberdayaan Masyarakat Banyuwangi 2010) 22 R. zollingeriana hasil observasi pada Juli 2012 23 Plot R. zollingeriana berdasarkan kemiringan, kedekatan sumber air dan ketinggian 27 Pengamatan R. zollingeriana di plot permanen Sukamade 30 Jumlah, diameter batang dan diameter akar Tetrastigma spp. di setiap plot 32 Desa asal pengumpul R. zollingeriana, jumlah dan persentasenya 36 Rata-rata individu R. zollingeriana yang tumbuh di setiap plot pengamatan 38 Tingkat kepentingan stakeholder dalam perlindungan R. zollingeriana 46 Tingkat kepentingan stakeholder dalam pengawetan R. zollingeriana 47 Tingkat kepentingan stakeholder dalam pemanfaatan R. zollingeriana 48 Tingkat pengaruh stakeholder dalam perlindungan R. zollingeriana 49 Tingkat pengaruh stakeholder dalam pengawetan R. zollingeriana 50 Tingkat pengaruh stakeholder dalam pemanfaatan R. zollingeriana 51 Pengukuran IFAS dan EFAS konservasi R. zollingeriana 61
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
6 7 8
Kerangka pikir penelitian Peta lokasi penelitian Matriks klasifikasi stakeholder berdasarkan pengaruh dan kepentingan Bunga R. zollingeriana (a) Mekar pada akar; (b) Mekar pada batang inang Morfologi bunga R. zollingeriana (a) Lubang diafragma yang berbentuk segi delapan dan penampilan diskus yang terdapat di dalamnya (b) Ramenta di bagian atas dan bawah diafragma Lokasi sebaran R. zollingeriana di TNMB berdasarkan zonasi Lokasi sebaran R. zollingeriana di TNMB pada tahun 1988-2012 Persentase individu R. zollingeriana yang ditemukan
6 16 18 24
25 26 29 28
xv
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jumlah kenop hidup dan mati R. zollingeriana berdasarkan kelas diameter Pemagaran R. arnoldii untuk menghindarkan bunga dan kenop dari kerusakan Variasi morfologi daun Tetrastigma spp. yang ditemukan di plot pengamatan Bentuk dan persentase pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB Tetrastigma spp. batangnya berair dan bisa diminum Perkembangan jumlah kenop R. zollingeriana di plot permanen Krecek pada tahun 2010-2011 Habitat R. zollingeriana Pemasangan papan informasi, pagar dan tangga di plot permanen Krecek Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder perlindungan R. zollingeriana Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder pengawetan R. zollingeriana Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder pemanfaatan R. zollingeriana Matriks SWOT konservasi R. zollingeriana
30 31 33 34 34 36 40 42 52 52 53 62
DAFTAR LAMPIRAN 1 Spesies-spesies Rafflesia yang berhasil dideskripsikan hingga tahun 2011 dan tempat penyebarannya
77
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Rafflesia adalah tumbuhan yang unik karena ukuran bunganya yang besar dan kehadirannya yang baru disadari ketika kuncup dan bunganya mekar (Zen 2001). Meski bersifat holoparasit hanya terhadap inang dari spesies Tetrastigma spp. (Barkman et al. 2004; Barcelona et al. 2011), tumbuhan ini menghasilkan bunga yang berukuran besar. Populasi Rafflesia umumnya kecil (Nais 2001). Populasi Rafflesia lobata di Gunung Igtuog Filipina hanya sebanyak 76 individu (Galang dan Madulid 2006). Populasi Rafflesia manillana yang ditemukan di 3 lokasi di Mt. Makiling pada tahun 2007 hanya sebanyak 86 individu (Yahya et al. 2010). Populasi Rafflesia bengkuluensis di 7 titik di Talang Tais Bengkulu hanya berkisar 2-7 individu per sub populasi (Susatya 2011). Populasi Rafflesia arnoldi di 5 lokasi di Sumatera Barat juga hanya sebanyak 80 individu (Syahbuddin dan Chairul 2010). Jumlah populasi cukup besar hanya ditunjukkan oleh Rafflesia kerri, yaitu sebanyak 440 individu. Populasi ini ditemukan oleh Nadia et al. (2012) pada 17 lokasi di Dataran Tinggi Lojing Kelantan, Malaysia. Kecilnya populasi Rafflesia ini disebabkan oleh hambatan sifat biologi dan atribut ekologinya (Susatya 2003). Hambatan tersebut antara lain adalah tingkat reproduksinya yang rendah (Nais 2001) karena bunganya yang berumah dua (Meijer 1997; Refaei et al. 2011) namun jarang mekar bersamaan, sehingga sangat membutuhkan bantuan serangga penyerbuk untuk polinasinya (Zuhud et al. 1999; Kahono et al. 2010; Davis et al. 2008). Terdapat 1110 kenop Rafflesia yang diamati Nais (2001) selama 3 tahun, 10.18% diantaranya berhasil mekar dengan proporsi bunga betinanya hanya sebesar 12.39% dan yang berhasil membentuk buah hanya 35.71%. Seks rasio yang tidak berimbang juga ditunjukkan oleh penelitian Galang (2006) pada populasi R. lobata di Filipina, yaitu sebesar 6:1. Kecilnya populasi Rafflesia juga disebabkan oleh kemampuan bertahan hidupnya yang rendah. Rafflesia patma yang dijumpai Mukmin et al. (2009), 33.33% individunya mati sebelum mekar, hanya 8.65% yang berhasil mekar. Ribuan individu Rafflesia diamati Nais di Malaysia juga menunjukkan kematian sebelum mekar hingga 90% (Milius 1999). Tak hanya itu, kelangkaan juga disebabkan oleh siklus hidup Rafflesia yang panjang (Sofiyanti dan Yen 2012). R. arnoldii membutuhkan waktu kurang lebih 5 tahun, dari mulai terpencarnya biji hingga terbentuknya biji kembali (Meijer 1997). Semakin kecilnya populasi juga dipicu oleh faktor eksternal seperti pengambilan kenop untuk obat, fragmentasi hutan dan perusakan habitat oleh manusia (Nais 2001). Penurunan populasi R. patma di Leweung Sancang, dari yang semula 256 individu (Priatna 1989) menjadi 96 individu (Suwartini et al. 2008) disebabkan oleh perambahan hutan dan penebangan kayu. Penurunan populasi Rafflesia banahaw di Filipina terjadi karena tanah longsor dan bencana angin topan yang merusakkan inangnya (Barcelona et al. 2007). Sementara populasi R. hasseltii di Taman Nasional Bukit Tigapuluh terancam oleh adanya
2
perladangan berpindah, pencurian kayu dan kegiatan pengusaha (Zuhud et al. 1999). Terdapat 30 spesies Rafflesia yang telah berhasil dideskripsikan hingga saat ini. Spesies yang berhasil dideskripsikan dalam empat tahun terakhir adalah R. aurantia Barcelona, Co & Balete (Barcelona et al. 2009), Rafflesia meijeri Wiriad. & Sari (Wiriadinata dan Sari 2009), Rafflesia verrucosa Balete, Pelser, Nickrent & Barcelona (Balete et al. 2010) dan Rafflesia lawangensis Mat-Salleh, Mahyuni & Susatya (Mat-Salleh et al. 2010). Kemungkinan deskripsi jenis baru masih terbuka namun berpacu dengan tingkat kepunahan populasi akibat tekanan internal dan eksternal yang semakin besar. Apalagi hingga kini budidaya Rafflesia juga belum berhasil dilakukan. Hanya metode transplantasi yang dilaporkan berhasil dilakukan untuk beberapa jenis, antara lain Rafflesia keithii (Nais 2001), R. patma, R. arnoldii dan Rafflesia rochussenii (Astuti et al. 2001). Oleh karena itu, Rafflesia patut menjadi prioritas konservasi. Apalagi Rafflesia spp. telah ditetapkan sebagai tumbuhan yang dilindungi di Indonesia menurut Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999. Selain karena keunikan dan kelangkaannya, konservasi Rafflesia meningkatkan motivasi konservasi hutan secara keseluruhan. Rafflesia hanya mampu hidup di hutan primer (Zuhud 1989; Syahbuddin dan Chairul 2010). Oleh karena itu, supaya populasinya terus berlanjut, ekosistem hutan harus dipertahankan tetap dalam kondisi primer. Dengan demikian, menyelamatkan Rafflesia berarti menyelamatkan hutan secara keseluruhan. Ketiga puluh spesies Rafflesia yang telah dideskripsikan tersebut menyebar di Asia Tenggara, yaitu di Thailand, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Sebagian besarnya, menyebar di Indonesia, yaitu 7 spesies menyebar di pulau Sumatra, 4 spesies menyebar di Kalimantan dan 3 spesies menyebar di Jawa. Pulau Jawa yang luas hutannya hanya sebesar 3 040 023.97 ha (Ditjen Planologi Kehutanan 2010), atau 2.32% dari keseluruhan hutan Indonesia, menjadi habitat bagi tiga spesies Rafflesia, yaitu R. patma Blume, R. rochussenii Teijsm. & Binn dan Rafflesia zollingeriana Koord. R. patma menyebar di Nusa Kambangan Cilacap, Cagar Alam Pananjung Pangandaran Ciamis (Gamasari 2007), Cagar Alam Leweung Sancang Garut (Priatna et al. 1989) dan Cagar Alam Bojonglarang Cianjur (Ali 2013). Sementara R. rochussenii menyebar di Jampang, Garut, Gunung Mandalawangi, Gunung Salak, Gunung Pangrango (Zuhud et al. 1998), dan R. zollingeriana hanya menyebar di Taman Nasional Meru Betiri (Darmadja et al. 2011). Dibandingkan dua spesies yang lain, R. zollingeriana memiliki wilayah penyebaran yang lebih terbatas, yaitu hanya di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan hanya tumbuh di hutan dataran rendah kering, pada ketinggian 1270 m di atas permukaan laut (Mat-Salleh et al. 2001). Keberadaan R. zollingeriana yang dikenal dengan nama lokal patmosari juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk jamu (Zuhud 1988). Dengan demikian, R. zollingeriana lebih rentan terhadap kepunahan. Oleh karena itulah R. zollingeriana dijadikan fokus kajian ini.
3
Perumusan Masalah Rafflesia spp. telah ditetapkan sebagai tumbuhan yang dilindungi di Indonesia menurut Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999. Selain karena keunikan dan kelangkaannya, konservasi Rafflesia juga harus dilakukan untuk meningkatkan motivasi konservasi hutan secara keseluruhan. Rafflesia hanya mampu hidup di hutan primer (Zuhud 1989; Syahbudin dan Chairul 2010). Oleh karena itu, supaya populasinya terus berlanjut, ekosistem hutan harus dipertahankan tetap dalam kondisi primer. Dengan demikian, menyelamatkan Rafflesia berarti menyelamatkan hutan secara keseluruhan. Status kelangkaan R. zollingeriana adalah langka (Wiriadinata 2001) atau R (Rare) menurut WCMC (2013). Sementara Nais (2001) menggolongkannya ke dalam kriteria vulnerable, sedangkan Susatya (2011) menggolongkannya ke dalam kriteria CR (Critical Endangered). Oleh Balai Taman Nasional Meru Betiri (BTNMB) R. zollingeriana juga telah ditetapkan sebagai spesies yang habitatnya dilindungi dan dibina oleh pengelola (BTNMB 2003). Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa R. zollingeriana di TNMB terus menurun populasinya. Pada plot permanen di Krecek, tinggal 2 sub populasi yang tersisa dari 8 sub populasi yang ditemukan setahun sebelumnya. Hal sama juga terjadi di plot permanen Sukamade. Hanya ada 1 sub populasi yang bertahan dari 5 sub populasi yang ditemukan sebelumnya di tahun 2002 (BTNMB 2003). Di luar plot permanen, populasi alami Rafflesia juga berkurang signifikan. Tahun 1988, populasi Rafflesia ditemukan di 8 lokasi, sementara pada tahun 2003, populasi hanya dapat ditemukan di 3 lokasi (Hikmat 2006). Seiring dengan penurunan populasi R. zollingeriana tersebut, tantangan informasi teknik budidaya dan regenerasi dari spesies ini belum terjawab. Oleh karena itu, tak ada kata lain, populasi R. zollingeriana di kawasan ini harus benarbenar dilindungi dan diawetkan supaya tidak punah sehingga dapat dikaji lebih jauh. Hal ini sesuai dengan prinsip save it, study it, and use it dalam Convention on Conservation of Biodiversity. Konservasi suatu ekosistem atau spesies adalah penyelamatan sebelum hilang (rusak) dan pengkajian kegunaannya sehingga pemanfaatan secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia dapat dilakukan (Putro et al. 2012). Untuk dapat menjaga keberlanjutan populasi R. zollingeriana, diperlukan strategi konservasi yang efektif dan efisien. Strategi ini dapat dirumuskan jika keadaaan populasi, informasi mengenai pemanfaatan selama ini, sejauhmana konservasi telah dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, bagaimanakah kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman konservasi yang telah dilakukan selama ini diketahui. Oleh karena itulah, pertanyaan yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah kondisi populasi R. zollingeriana di TNMB ? 2. Bagaimanakah pemanfaatan R. zollingeriana ? 3. Siapakah stakeholder yang terlibat dalam konservasi R. zollingeriana selama ini ? 4. Bagaimanakah kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari pengelolaan konservasi R. zollingeriana di TNMB selama ini ? 5. Bagaimanakah strategi dan program konservasi R. zollingeriana yang sebaiknya dilakukan ?
4
Keadaan populasi R. zollingeriana di TNMB saat ini penting dipelajari untuk memperoleh informasi mengenai populasi, regenerasi, preferensi habitat, persebaran, status konservasi dan strategi konservasi bagi spesies tumbuhan tersebut (Wihermanto 2004; Partomihardjo dan Naiola 2009). Silvertown (1982) mengemukakan bahwa setidaknya ada dua hal utama yang harus dilakukan dalam setiap kajian populasi, yaitu mengetahui jumlah atau ukuran dari populasi serta proses yang mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap ukuran populasi. Sementara Widyatmoko dan Irawati (2007) mengungkapkan bahwa kelimpahan, pola penyebaran, struktur populasi, serta demografi populasinya adalah beberapa aspek yang harus dipelajari dalam studi populasi. Pemanfaatan R. zollingeriana penting diketahui karena pemanfaatan sumberdaya alam adalah kata yang tidak dapat dipisahkan dari konservasi (Asanga 2005). Demikian pula dengan hutan. Kelestarian hutan sangat terkait pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya. Jika masyarakat lokal memperoleh akses pada produk hutan dan memperoleh pendapatan, mereka akan berkontribusi pada konservasinya (Fisher 1995). Untuk itulah pemanfaatan R. zollingeriana oleh masyarakat sekitar perlu dipelajari sehingga bagaimana pemanfaatan masyarakat sekitar terhadap R. zollingeriana dan sejauhmana pemanfaatan ini berdampak pada populasi R. zollingeriana bisa diketahui. Stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan R. zollingeriana di TNMB penting untuk dipelajari karena pengelolaan konservasi sumberdaya hayati di Indonesia saat ini diarahkan ke pengelolaan multi-stakeholder. Kebijakan pengelolaan konservasi multi-stakeholder ini telah disahkan pelaksanaannya melalui penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan Peraturan Pemerintah No P.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam. Dalam pengelolaan sumberdaya hayati dan ekosistem yang pasti akan melibatkan banyak stakeholder, identifikasi stakeholder sangat penting dilakukan untuk mengetahui siapa stakeholder yang harus diajak bekerjasama, siapa yang tak perlu diajak bekerja sama dan bagaimana cara memperlakukan mereka sehingga bisa lebih berkontribusi dalam pencapaian tujuan (Bryson 2004). Penilaian terhadap kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap pengelolaan R. zollingeriana selama ini perlu dilakukan untuk merumuskan strategi konservasi berikutnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Rangkuti (1997) bahwa untuk merencanakan strategi selanjutnya, kekuatan dan kelemahan komponen internal, serta peluang dan ancaman yang muncul dari komponen eksternal dalam suatu proyek atau dalam bisnis usaha harus dievaluasi.
Tujuan Dengan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Menganalisis kondisi populasi R. zollingeriana di TNMB 2. Menganalisis pemanfaatan R. zollingeriana oleh masyarakat sekitar 3. Mengidentifikasi stakeholder yang terlibat dalam konservasi R. zollingeriana
5
4. Menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dari pengelolaan konservasi R. zollingeriana di TNMB 5. Merekomendasikan strategi dan program konservasi R. zollingeriana selanjutnya
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pihak terkait, mengenai perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan R. zollingeriana. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran mengenai strategi dan program konservasi R. zollingeriana yang sebaiknya dilakukan, supaya pelaksanaannya lebih efisien dan efektif.
Kerangka Pemikiran Konservasi adalah upaya untuk mengelola sumberdaya alam hayati secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (UU No 5 Tahun 1990). Tindakan konservasi mencakup tiga kegiatan yaitu: (1) Perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) Pengawetan keragaman jenis baik flora maupun fauna termasuk ekosistemnya, dan (3) Pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal dan berkelanjutan. Kegiatan perlindungan dilakukan dengan menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, melakukan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan dan mengatur cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Pengawetan jenis tumbuhan dilakukan dengan membiarkan agar populasi semua jenis tumbuhan dan satwa tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya, menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan untuk menghindari bahaya kepunahan. Pengawetan dilaksanakan di dalam dan di luar kawasan suaka alam. Sedangkan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dapat dilaksanakan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman obat-obatan, pemeliharaan untuk kesenangan. Ketiga kegiatan tersebut saling terkait. Perlindungan dan pengawetan dilakukan supaya ekosistem dan keanekaragaman hayati dapat berlanjut dan dimanfaatkan. Sementara pemanfaatan dilakukan untuk menjamin keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati. Konservasi sumberdaya alam tidak dapat terpisah dari pemanfaatan ekonomis, karena jika masyarakat lokal memperoleh akses pada produk hutan dan memperoleh pendapatan, mereka akan berkontribusi pada konservasi (Fisher 1995). Pengelolaan konservasi harus melibatkan berbagai stakeholder. Pengelolaan tidak bisa lagi bertumpu hanya pada satu pemangku kepentingan, melainkan harus menyebar dalam kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang telah dapat mengatur dirinya sendiri menurut wewenang, peran dan fungsi serta tanggung jawabnya masing-masing (Anshari 2006). Jika kerja sama telah tercapai, tata
6
kelola mandiri (self governance) diharapkan terwujud sehingga pengelolaan konservasi tidak lagi berdasarkan inisiatif proyek tetapi dilakukan atas dasar kesadaran dan kemandirian. Hal sama juga diharapkan terjadi dalam konservasi R. zollingeriana. Perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan R. zollingeriana harus berjalan beriringan. Pemanfaatan yang dilakukan harus menjamin keberlanjutan R. zollingeriana sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar TNMB. Jika mendapat manfaat ekonomi dari R. zollingeriana, partisipasi mereka dalam konservasi diharapkan akan meningkat. Untuk dapat mencapai tujuan keberlanjutan pemanfaatan, maka konservasi harus dilakukan dengan melibatkan semua stakeholder terkait.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.
2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Rafflesia Rafflesia adalah tumbuhan yang unik. Berwujud bunga besar, berukuran 2– 120 cm. Tumbuhan ini bersifat holoparasit, seluruh kebutuhan makannya tergantung pada inang (Zuhud 1988). Namun proses parasitisme tersebut masih misterius. Mursidawati (2012) menunjukkan bahwa tak ada organ semacam haustorium yang dibangun oleh Rafflesia untuk mengambil kebutuhan nutrisinya dari inang. Genus ini pertama kali dideskripsikan oleh Brown (1921) berdasarkan spesimen yang ditemukan oleh Raffles dan Joseph Arnold pada tahun 1818 di Pulau Lebar dekat Sungai Manna, Bengkulu. Secara taksonomi, Rafflesia termasuk ke dalam kingdom Plantae meski hanya memiliki bunga, tidak memiliki daun, batang dan akar. Rafflesia tetap digolongkan tumbuhan karena memiliki alat reproduksi jantan berupa pollen dan alat reproduksi betina berupa ovule. Rafflesia termasuk subkingdom Viridaeplantae, filum Tracheophyta, subfilum Spermatophyta, infrafilum Angiospermae, kelas Magnoliopsida-Dicotyledon,
7
subkelas Magnolidae, superordo Rafflesianae, Ordo Rafflesiales, famili Rafflesiaceae dan genus Rafflesia (Zuhud 1989). Menurut Beaman et al. (1988), dasar penentuan spesies Rafflesia ada 8 variabel, yaitu ukuran, diameter diafragma, jumlah proses di atas diskus, ukuran dan jumlah titik putih di mahkota dan diafragma, jumlah dan ukuran jendela pada bagian bawah diafragma, jumlah kepalasari, bentuk, panjang dan posisi tumbuh ramenta, dan jumlah mahkota (perigone) dan kelopak. Berdasarkan kriteria tersebut, hingga tahun 1997, ada 13 spesies Rafflesia yang berhasil dideskripsikan (Meijer 1997). Jumlah ini bertambah menjadi 17 spesies pada tahun 1998 (Zuhud et al. 1998) dan berdasar penelusuran pustaka penulis, jumlah ini berkembang menjadi 30 spesies pada tahun 2011. Daftar dari spesies-spesies tersebut tersaji dalam Lampiran 1.
Fenologi Rafflesia Fenologi adalah ilmu yang berkaitan dengan fenomena (gejala) biologi yang berkala, dalam hubungannya dengan iklim, misalnya waktu berbunga dan berbuahnya tanaman tertentu (Hadiat et al. 2004). Atau bisa dikatakan ilmu yang mempelajari penampakan aktivitas tumbuhan yang terjadi secara berkala pada waktu-waktu tertentu dalam satu tahun. Fenologi berdasar pada hasil observasi tentang tahapan perkembangan tumbuhan (phenophase) eksternal yang tampak, seperti perkecambahan biji, pembungaan, perubahan warna daun, gugur daun dan semi daun. Fenologi Rafflesia penting diamati untuk menentukan kapan sebaiknya wisatawan datang berkunjung dan lokasi mana yang sebaiknya dikunjungi (Nais 2001). Di Malaysia pembungaan R. keithii, R. pricei dan R. tengku-adlinii adalah sepanjang tahun, tidak tergantung pada cuaca dan curah hujan. Namun waktu puncaknya adalah Agustus-Oktober dan April-Juli (Nais 2001). Persentase mekarnya bunga Rafflesia tergolong rendah. Dari 86 kuncup R. keithii yang diamati Nais (2001), hanya 13 bunga yang berhasil mekar. Dari 28 kuncup R. tengku-adlinii yang diamati, hanya 10 kuncup yang berhasil mekar dan dari 996 kuncup R. pricei yang diamati, hanya 91 kuncup berhasil mekar. Menurut Nais (2001), ada 3 tahap perkembangan kuncup sebelum mekar, yaitu tahap awal (pasca kemunculan kenop) yang berlangsung selama 2-3 bulan, tahap menengah yang merupakan masa pembesaran kenop dan tahap sebelum mekar. Kenop terutama mati pada masa transisi dari tahap 1 ke tahap 2. Hal ini kemungkinan besar terjadi karena ketidakcukupan nutrisi dari inang dan adanya gangguan hewan. Hidayati et al. (2000) menyatakan bahwa kematian R. patma di Cagar Alam Pangandaran terjadi karena dimakan landak dan tupai, diinjak mamalia, dipatuk dan dicakar burung, terinjak oleh pengunjung dan banjir. Sementara Nais (2001), menyatakan kematian kuncup Rafflesia di Malaysia terjadi karena dirusak oleh tikus (27%), diganggu oleh tawon (7%) dan tanpa alasan jelas (66%). Waktu perkembangan kuncup ke mekar sangat lama, 9 bulan untuk R. adlinii, 12 bulan untuk R. pricei dan 16 bulan untuk R. keithii (Nais 2001). Sementara R. patma memerlukan waktu 230 hari (7.5 bulan) dan butuh waktu sekitar 3-4 tahun untuk menghasilkan biji lagi (Hidayati et al. 2000).
8
Proporsi bunga jantan dan betina Rafflesia tidak berimbang. Bunga jantan lebih banyak daripada bunga betina. Hal ini diduga terjadi karena faktor lingkungannya yang kurang mendukung, yaitu karena suplai nutrisinya yang kurang cukup (Nais 2001). Bunga betina biasa membutuhkan kondisi lingkungan yang lebih kondusif, yaitu CO2 tinggi, tanahnya lembab, suhu yang sejuk, intensitas penyinaran yang tinggi dan pemupukan, sedangkan bunga jantan sebaliknya (Doust and Doust 1988). Pembungaan Rafflesia sangat pendek, yaitu kurang dari 8 hari. Viabilitas benangsarinya hanya bertahan dalam tempo 72 jam dan akan menurun jadi 12 jam jika polen tersebut terendam air (Nais 2001). Saat mekar, bunga banyak dikunjungi serangga. Serangga ini muncul karena tertarik pada bau busuk yang dikeluarkan, karena warna, corak bercak pada perigone yang menarik dan karena suhu hangat Rafflesia yang menyerupai bangkai hewan (Patino et al. 2002). Serangga juga tertarik pada Rafflesia karena adanya polen dan bentuk bunganya yang menawarkan perlindungan dan tempat istirahat (Nais 2001). Bau busuk yang dikeluarkan Rafflesia bervariasi tergantung spesiesnya, ada yang sangat busuk (R keithii) bisa tercium hingga 10 meter, ada yang malah tidak tercium (R tengku-adlinii). Bau terkuatnya muncul pada hari ke-3 sampai ke-4 setelah mekar dan meredup hingga hari ke-5 dan ke-6 dan akan sama sekali hilang pada hari ke-7 (Nais 2001). Nais (2001) melaporkan bahwa setidaknya ada dua spesies lalat, yaitu Lucilia papuensis dan Chrysoma pinguis yang mengerubuti bunga Rafflesia yang mekar di Malaysia. Selain itu adapula Drosophila spp., tawon dan ulat. Jumlah serangga ini biasanya meningkat seiring meningkatnya intensitas bau yang dikeluarkan oleh bunga (Hidayati et al. 2000). Lalat ini berkunjung terutama saat sore (jam 13.00 – 17.00) dan puncak kunjungan terjadi pada hari ke-2 dan ke-3 setelah bunga mekar. Di habitat ex-situ, bunga R. patma dikunjungi 23 spesies serangga (Kahono et al. 2010), 18 spesies di antaranya adalah lalat.
Konservasi Rafflesia Hingga kini, baru spesies Rafflesia magnifica yang diketahui status konservasinya, yaitu Critically Endangered (Madulid et al. 2008). Namun demikian, Nais (2001) telah melakukan assessment terhadap beberapa spesies Rafflesia berdasarkan kriteria IUCN 1997, WCMC terkini dan IUCN terkini. Hasil assessment tersebut menyatakan bahwa status kelangkaan sebagian spesies adalah rentan, terancam punah, punah dan sebagian besarnya belum diketahui. Hasil assessment ini tersaji dalam Tabel 1. Rafflesia kemudian dikonservasi oleh berbagai pihak, termasuk kebun raya. Menurut Astuti et al. (2001), Kebun Raya Bogor (KRB) telah berhasil melakukan konservasi ex-situ terhadap beberapa spesies Rafflesia. Pada tahun 1856, KRB berhasil menanam R. arnoldii. Tumbuhan ini berhasil berbunga pada Februari 1857. Keberhasilan serupa juga terjadi pada tahun 1872, 1874 dan 1875. R. rochussenii juga berhasil ditanam pada tahun 1850 dan berbunga 3 tahun kemudian. Spesies ini kembali ditanam pada tahun 1924, berhasil berbunga pada tahun 1929.
9
Tabel 1 Status kelangkaan Rafflesia berdasarkan kriteria IUCN 1997, WCMC terkini dan IUCN terkini (Nais 2001) No Jenis Status Status Status menurut menurut menurut kriteria baru kriteria kriteria IUCN WCMC WCMC saat (IUCN 1997) ini 1 Rafflesia arnoldii R. Brown Vulnerable VU var. arnoldii var. atjehensis (Koord.) Vulnerable VU Meijer Sinonim R. titan Jack 2 R. patma Blume Endangered VU 3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
R. manillana Teschemacher Sinonim R. lagascae Blanco, R. cumingii R. Brown, R. panchoana Madulid, Tandang & Agoo R. rochussenii Teijsm. & Binnend. R. tuan-mudae Beccari R. hasseltii Suringar R. schadenbergiana Göppert R. cantleyi SolmsLaubach R. borneensis Koorders R. ciliata Koorders R. witkampii Koorders R. zollingeriana Koorders R. gadutensis Meijer R. keithii Meijer R. kerrii Meijer R. micropylora Meijer R. pricei Meijer R. tengku-adlinii Salleh & Latiff
Endangered
Endangered
EN
-
Endangered
VU
Indetermined -
Vulnerable Vulnerable Endangered
VU VU CR
Rare
Vulnerable
VU
Rare Vulnerable Rare Vulnerable -
Indetermined Indeterminate Indeterminate Endangered Endangered Vulnerable Rare Vulnerable Rare Endangered
DD DD DD VU EN VU VU VU LR (cd) EN
Keterangan: EW = extinct in the wild, CR = critically endangered, EN = endangered, VU= vulnerable, LR= low risk, DD = data defficient
Pada tahun 1991-2001, upaya penanaman Rafflesia kembali dilakukan dengan menginfeksikan biji Rafflesia dari Bengkulu dan Jambi pada Tetrastigma koleksi KRB dan memindahkan inang Tetrastigma coriceum yang telah terinfeksi
10
R. patma dari kawasan hutan CA Leweung Sancang ke dalam KRB. Kedua upaya ini gagal menumbuhkan kuncup. Keberhasilan baru dicapai beberapa tahun kemudian, ketika R. patma yang diambil dari CA Pangandaran pada tahun 2004 berhasil mekar di Kebun Raya Bogor pada tahun 2010, 2011 dan 2012 (Mursidawati S 6 November 2012, komunikasi pribadi). Selain Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas juga berhasil mengkonservasi R. rochussenii secara ex-situ. Tak hanya di Indonesia, konservasi ex-situ juga berhasil dilakukan oleh Malaysia. Rafflesia keithii yang tumbuh di Sabah berhasil ditanam di luar habitat alaminya pada tahun 1997 (Nais 2001). Selain konservasi ex-situ, konservasi in-situ juga dilakukan di habitat alaminya. Di Taman Wisata Megamendung, Sumatera Barat, upaya konservasi Rafflesia arnoldii dilakukan dengan pengawasan, pemberian penerangan pada masyarakat, pembuatan pagar kawat berduri di sekitar lokasi, pembuatan tugu Rafflesia arnoldi dan pembuatan jalan setapak (Hartini 2001). Sementara inventarisasi dan pemantauan penyebarannya dilakukan oleh universitas Bengkulu (Zen 2001). Di Malaysia, upaya konservasi in-situ dilakukan bersama-sama dengan masyarakat lokal melalui skema insentif (Nais 1998; Nais 2001). Masyarakat sekitar yang mengumpulkan kenop Rafflesia diminta menjadi guide bagi wisatawan yang datang. Karena nilai yang didapatkan dari menjaga keberadaan Rafflesia itu untuk tujuan ekowisata jauh lebih tinggi dari nilai yang didapatkan dari pengumpulan kenop, maka aktivitas pengumpulan kenop pun berkurang dan populasi lebih terjaga.
Deskripsi Rafflesia zollingeriana Koord R. zollingeriana pertama kali dijumpai Koorders pada tahun 1902 di Puger, Jember. Saat ini, habitat alaminya hanya dijumpai di TNMB (Darmadja et al. 2011). Oleh masyarakat setempat, Rafflesia ini dikenal dengan nama patmosari. Analisis vegetasi yang dilakukan Hikmat (1988) menunjukkan bahwa areal yang ditumbuhi Rafflesia didominasi oleh pohon Diospyros maritima Blume, Pterospermum diversifolium Blume dan Erythrina variegata L. Sedangkan tingkat saplingnya, didominasi oleh Diospyros maritima Blume, Tetrastigma sp. dan Pterospermum diversifolium Blume. Sedangkan pada tingkat seedling, didominasi oleh Diospyros maritima Blume, Donax canniformis Rolfe dan Colocasia sp. Sedangkan untuk areal non Rafflesia, pohon didominasi oleh Spondias pinnata (L.f.) Kurz, Sterculia campanulata Wall. ex Mast. dan Ervatomia sphaerocarpus. Untuk tingkat saplingnya, didominasi oleh Elatostema nigrescens Miq, Polyalthia rumphii Merr dan Tetrastigma sp. Sedangkan untuk tingkat seedling/tumbuhan bawah didominasi oleh spesies Aglaia variegata, Polyalthia rumphii dan Pandanus sp. Pada habitat Rafflesia, jumlah spesies maupun kerapatan tumbuhan lebih rendah daripada habitat non Rafflesia, namun jumlah luas bidang dasar pohonnya lebih besar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa R. zollingeriana menyukai tumbuh di kondisi vegetasi primer yang berpepohonan besar karena memberikan lindungan yang cukup terhadap permukaan lantai hutan, sehingga tumbuhan
11
bawah tidak tumbuh berlimpah. Kehadiran tumbuhan bawah dan sapling yang berlimpah adalah ancaman bagi R. zollingeriana karena ini akan menimbulkan kompetisi pengambilan unsur hara. Menurut Zuhud (1988), R. zollingeriana di TNMB sebagian besar tumbuh pada inang yang tumbuh di tanah litosol, dengan warna coklat, coklat tua coklat tua kekuningan dan coklat tua keabu-abuan. Suhu tanah berkisar 21.5 0C-24.5 0C. Sementara tekstur tanahnya tanah lempung, lempung berpasir dan pasir berlempung. Drainase tanahnya baik sampai agak baik. pH tanah agak masam sampai netral, KTK sedang sampai tinggi, kejenuhan basa sangat tinggi, K, Na, Ca dan Mg tinggi sampai sangat tinggi, C organik sedang sampai tinggi, N total rendah sampai sedang, C/N sedang dan P sangat rendah. R. zollingeriana sebagian besar tumbuh pada ketinggian 0-50 m dpl, namun dapat pula mencapai ketinggian 300 m dpl dengan tingkat kemiringan 61-80% (sangat curam). Tempat tumbuhnya berjarak 5-100 m dari pantai, namun adapula yang berjarak lebih dari 200 m (Zuhud 1989). Suhu rata-rata pada habitat R. zollingeriana adalah 23.2 0C sementara kelembaban rata-rata 89.1%. Kelembaban ini lebih tinggi daripada kelembaban di habitat non Rafflesia. Kuncup R. zollingeriana kebanyakan tumbuh pada akar (96.5%) dan batang (3.5%). Kuncup terkecil ditemukan berdiameter 1 cm dan bunga yang sedang mekar berdiameter 33 cm. Kematian kuncup yang belum mekar ditemukan sebesar 34% (Hikmat 1988). Inang Inang R. zollingeriana di TNMB terdiri atas Tetrastigma lanceolarium Roxb dan Tetrastigma papillosum (Blume) Planch (Hikmat 1988). Oleh Meijer (1997), T. lanceolarium ini direvisi namanya menjadi T. leucostaphylum (Dennst.) Alston dan kemudian direvisi kembali oleh Veldkamp (2009) menjadi T. coriaceum (DC.) Gapnep. Tetrastigma mempunyai jaringan kayu yang lunak, berpori banyak dan besar. Permukaan kulit akar dan batangnya kasar dan pecah-pecah. Batangnya mengandung banyak air (Jamil 1998). Batang utama Tetrastigma tidak melilit pohon penyokong, namun merambat dengan mengeluarkan sulur-sulur dari pangkal tangkai daun dan melilit atau menempel pada pohon penunjangnya. Sementara daunnya majemuk dengan bentuk menjari, terdiri atas 1-6 helai daun, mempunyai sulur dan tanpa cakram yang melekat. Bunganya tersusun dalam tangkai, di mana buahnya berkelompok, berbentuk bulat atau elips dengan diameter sekitar 1-1.5 mm. Bijinya berjumlah 14/buah, berkerut melintang di atas ventral dan ukuran biji relatif kecil (Zuhud 1988). Tetrastigma memerlukan cahaya matahari langsung sehingga merambati tumbuhan penyokong hingga bagian atasnya. Pohon yang dirambati memiliki tajuk yang luas, percabangan yang banyak dan merupakan pohon tinggi yang bebas naungan dari pohon lain. Dari petak kajian, ada 34 spesies pohon yang dirambati Tetrastigma, beberapa di antaranya adalah Pterospermum diversifolium Blume, Diospyros maritima Blume, Erythrina variegata L, Sterculia campanulata Wall ex Mast, Litsea monopetala Pers, Terminalia catappa L, Acalypha caturus Blume, Ficus variegata Blume dan lain-lain (Zuhud 1988).
12
Pertumbuhan dan perkembangan akar cenderung horizontal, tidak jauh dari permukaan tanah. Sistem perakarannya memiliki banyak percabangan. Akar tumbuhan yang ditumbuhi Rafflesia muncul atau sebagian muncul di permukaan tanah. Tetapi ada pula yang tertimbun sedalam 1 cm. Perbanyakan sebagian besar bukan melalui biji, melainkan dari tunas akar (Zuhud 1988). Menurut Hikmat (1988), diameter inang yang ditumbuhi kuncup berukuran 0.4–10.2 cm. Kuncup terutama muncul di akar yang berdiamater 0.6–5 cm (paling banyak pada diameter 1.1-2 cm). Menurut Zuhud (1989), ada hubungan yang nyata antara populasi Rafflesia dengan populasi Tetrastigma. Semakin tinggi populasi Tetrastigma, maka populasi Rafflesia yang bisa didukungnya semakin besar pula. Jika Y adalah populasi Rafflesia dan X adalah populasi Tetrastigma, berikut adalah persamaannya Y = 6.4 + 3.5 X,
koefisien hubungan (r) = 0.87
Kuncup yang mati sebagian besar terjadi pada kuncup yang berdiameter kecil < 5 cm. Dari 42 bunga yang mekar, hanya 4 individu yang berhasil membentuk biji (9%). Tingkat kematian alami kuncup tinggi, yaitu sebesar 34%, terutama pada musim kemarau (Hikmat 1988). Bunga Perbedaan bunga jantan dan bunga betina R. zollingeriana ditentukan oleh diameter diafragma, ukuran bunga dan munculnya lendir anther berwarna putih kekuningan (Jubil 1984 seperti yang dikutip dalam Zuhud 1988). Diafragma bunga jantan berukuran lebih besar dari bunga betina dan ukuran bunganya yang lebih pendek dan lebih tipis daripada bunga betina. Bunga tersebut akan mekar selama 5-6 hari, setelah itu akan membusuk dan menghitam. Bagian yang segera busuk adalah segmen tenda, diafragma, tabung tenda, cakram. Sedangkan bagian yang terakhir rusak adalah buah yang terletak di sekitar tugu tengah dan kupula. Bagian bunga akan hancur sekitar 2-3 minggu sesudah mekar. Sedangkan buahnya akan terus menempel pada akar dan kemudian akan pecah setelah biji matang. Buah Bentuk buah dari R. zollingeriana kerucut terpancung gabungan dari cakram, tugu tengah dan kupula bunga betina. Buah tersebut berdiameter + 7- 11 cm dan tinggi + 6 cm (Zuhud 1989). Buah ini beberapa lama masih menempel pada inang hingga bagian bunga yang lain hancur terurai. Saat kering, buahnya sangat keras, seiring dengan masaknya biji, maka buah mulai pecah dan hancur karena terjadi pembusukan. Selanjutnya, lepaslah biji yang berukuran + 0,5 mm ke permukaan tanah ataupun terbawa hewan. Jika memperoleh kondisi yang kondusif, biji akan tumbuh. Siklus Hidup Awal pertumbuhan biji dalam inang ditandai oleh pembengkakan pada akar/batang inang berbentuk bulat, mulai dari beberapa mm hingga sebesar biji kelereng. Bulatan itu terus berkembang sampai kuncup mencapai diameter +15 cm, kemudian robek dan mekarlah bunga (Zuhud 1988).
13
Tanda-tanda lain dari kenop yang akan mekar adalah kenopnya berbentuk segi lima, mengkilat dan warna kenop mulai kemerah-merahan. Ujung kelopaknya menghitam dan perigonenya mulai membuka satu per satu hingga processus terlihat dari diafragmanya. Proses mekar tersebut berlangsung 18-24 jam, sedang mulai munculnya kenop hingga menjadi bunga mekar memakan waktu 6-7 bulan (Darmadja et al. 2011). Kehadiran Hewan sebagai Polinator, Pengurai dan Pemencar Biji Menurut Hikmat (1988), fauna yang berperan penting dalam kehidupan R. zollingeriana adalah fauna penyerbuk, fauna pengurai dan fauna penyebar biji. Kehadiran fauna untuk pemencaran biji juga diidentifikasikan oleh Bouman dan Meijer (1994); Banziger (2004); Mursidawati (2012). Fauna penyerbuk terdiri atas lalat hijau (Lucilia sp.), lalat biru (Protocalliphora sp.), lalat bercak kehitaman/abu-abu (Sarcophaga sp.), lalat buah (Drosophila sp.) dan lalat bermata hijau (Tabanus sp.). Sementara fauna pengurai jaringan bunganya berupa rayap tanah (famili Rhinotermitidae), semut merah (famili Formicidae), kumbang kecil (famili Histeridae), springtails (famili Entomobrydae), spesies cacing kecil (kelas Nematoda). Kehadiran fauna pengurai penting bagi proses pemencaran biji, karena membantu melenyapkan bagian bunga yang menghalangi keluar/tersebarnya biji. Terakhir, fauna penyebar biji terdiri atas rayap tanah (famili Rhinotermidae), semut merah (famili Formicidae), babi hutan (Sus scrofa L), landak (Hystrix brachyura L), tupai (Tupaia glis) dan muntjak (Muntiacus muntjak). Kehadiran babi, kijang dibutuhkan untuk penyebaran biji agar tumbuh di akar, sementara kehadiran tupai serta semut dibutuhkan untuk tumbuhnya Rafflesia di bagian batang. Selain oleh fauna, penyebaran biji bisa pula terbantu oleh air. Ancaman Kepunahan Aktivitas manusia yang mengancam kelangsungan hidup R. zollingeriana adalah pemungutan kenop secara liar dan penebangan pohon yang disuluri inang (Hikmat 1988). Kenop yang diambil untuk bahan jamu adalah kenop yang belum sempat mekar dan melakukan penyerbukan, sehingga reproduksi generatif terhenti dan kelangkaan terjadi.
Analisis Stakeholder Stakeholder atau yang dikenal dengan istilah pemangku kepentingan adalah komunitas atau organisasi yang secara permanen menerima dampak dari aktivitas atau kebijakan, di mana mereka berkepentingan terhadap hasil aktivitas atau kebijakan tersebut (Iqbal 2007). Setiap kelompok ini memiliki sumber daya dan kebutuhan masing-masing yang harus terwakili dalam proses pengambilan keputusan dalam kegiatan. Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholder dilakukan dengan cara: (1) Melakukan identifikasi stakeholder; (2) Mengelompokkan dan membedakan antar stakeholder; dan (3) Menyelidiki hubungan antar stakeholder. Identifikasi stakeholder merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan stakeholder yang benar-benar mengetahui permasalahan.
14
Setelah stakeholder teridentifikasi, langkah selanjutnya yaitu mengelompokkan dan membedakan antar stakeholder. Menurut Ackermann (1998) yang dikutip oleh Reed et al. (2009) metode analisis yang digunakan yaitu menggunakan matriks pengaruh dan kepentingan untuk mengklasifikasikan stakeholder ke dalam key players, context setters, subjects, dan crowd. Pengaruh (influence) merujuk pada kekuatan (power) yang dimiliki stakeholder untuk mengontrol proses dan hasil dari suatu keputusan. Kepentingan (importance) merujuk pada kebutuhan stakeholder di dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009). Key player merupakan stakeholder yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan suatu proyek. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi resiko sehingga harus dipantau. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasitasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Meskipun demikian, mereka dapat menjadi pengaruh jika membentuk aliansi dengan stakeholder lainnya. Crowd merupakan stakeholder yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Pengaruh dan kepentingan akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu, sehingga perlu menjadi bahan pertimbangan.
Analisis SWOT Analisis SWOT adalah sebuah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan dan kelemahan komponen internal, serta peluang dan ancaman yang muncul dari komponen eksternal dalam suatu proyek atau dalam bisnis usaha (Rangkuti 1997). Analisis ini dilakukan dengan menyusun matriks faktor strategi internal (Internal Strategic Factor Analysis Summary/IFAS) dan matriks faktor eksternal (External Strategic Factors Analysis Summary/EFAS). Masing-masing faktor dihitung nilai pengaruhnya dengan cara mengalikan nilai bobot dengan nilai peringkatnya. Selanjutnya, dibuat matriks SWOT untuk mengetahui alternatif-alternatif strategi yang ada. Keputusan mengenai strategi mana yang akan diambil didasarkan atas justifikasi yang dibuat secara kualitatif maupun kuantitatif. Selanjutnya, prioritas strategi yang akan diambil tersebut kemudian diformulasikan (Rangkuti 1997).
Manajemen Konservasi Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional, mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah spesies tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Setiap orang juga dilarang melakukan
15
kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional (UU No 5 tahun 1990). Sedangkan konservasi adalah upaya untuk mengelola sumberdaya alam hayati secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (UU No 5 Tahun 1990). Menurut paradigma non-equilibrium (Meffe et al. 1994), kawasan konservasi merupakan suatu sistem ekologi yang tidak stabil, terbuka pada pertukaran bahan dan energi dari sekitarnya. Dengan kata lain, kawasan konservasi tidak mempertahankan dirinya sendiri secara internal, namun sangat dipengaruhi oleh gangguan periodik yang mempengaruhi struktur dan fungsi internalnya. Oleh karena itu, perspektif pengelolaan kawasan konservasi yang muncul dewasa ini lebih menekankan proses, dinamika dan hubungan-hubungan daripada stabilitas statis yang tidak berubah (Putro et al. 2012). Perencanaan konservasi pun dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh luar dan semua bagian ekosistem, termasuk manusia (Djohan 1995). Pengelolaan sumberdaya alam tidak mungkin dilakukan oleh satu stakeholder karena banyak kepentingan dari berbagai pihak yang berpartipasi di dalamnya. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia pun mulai diarahkan pada pengelolaan dengan melibatkan banyak stakeholder tersebut. Pergeseran kebijakan pengelolaan konservasi satu stakeholder menjadi multi-stakeholder ini telah disahkan pelaksanaannya melalui penerbitan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan Peraturan Pemerintah No P.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam.
3 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 15 bulan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei–Desember 2012, sementara pengolahan, analisis dan penyusunan tesis dilakukan pada Januari-Juli 2013. Penelitian dilakukan di kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan lima desa: Wonoasri, Curahnongko, Andongrejo dan Sanenrejo (Kabupaten Jember) dan Sarongan (Kabupaten Banyuwangi). Peta lokasi penelitian ini tersaji dalam Gambar 2.
16
Gambar 2 Peta lokasi penelitian.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS, alat tulis, pita ukur, alat perekam dan kamera. Sedangkan bahan yang digunakan adalah daftar pertanyaan (kuisioner dan panduan wawancara).
Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Data dikumpulkan dengan metode wawancara, survei, observasi dan studi pustaka sebagai berikut : 1. Data kondisi populasi R. zollingeriana di TNMB Data mengenai populasi R. zollingeriana dikumpulkan dengan mengobservasi keberadaan Rafflesia pada plot berukuran 0.1 ha. Plot ditentukan secara purposif. Luasan plot 0.1 ha ditentukan berdasarkan Soerianegara dan Indrawan (1988) yang menyatakan bahwa luasan petak contoh untuk pohon adalah sebesar 0.1 ha. Data yang dikumpulkan adalah titik koordinat plot, ketinggian, keberadaan inang (jumlah inang, diameter batang dan akar) dan keberadaan kenop Rafflesia (jumlah, ukuran dan kondisi kenop). 2. Data pemanfaatan R. zollingeriana Data pemanfaatan yang dikumpulkan adalah bentuk pemanfaatan, waktu pemanfaatan, jumlah pemanfaatan, lokasi pemanfaatan dan kriteria R. zollingeriana yang dimanfaatkan, karakteristik pelaku, sebab dan motivasi pemanfaatan, tujuan pemanfaatan dan dampak pemanfaatan. Data bentuk pemanfaatan diperoleh dengan survei dan wawancara mendalam kepada 18 orang pengumpul kenop dan 3 orang pengepul. Pengumpul dan pengepul kenop tersebut ditemukan dengan teknik snowballing.
17
3.
Data pengelolaan konservasi R. zollingeriana selama ini Data mengenai kegiatan konservasi (perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan) yang dilakukan, pengetahuan warga sekitar (bentuk, inang, bau, lokasi tumbuh R. zollingeriana), dan kesediaan warga berpartisipasi dalam konservasi dikumpulkan dari masyarakat melalui survei. Survei dilakukan kepada 157 responden yang dipilih secara purposif dari warga yang telah tinggal di sekitar TNMB minimal 5 tahun. Komposisi 157 responden jika dilihat dari jenis kelaminnya didominasi oleh laki-laki, yaitu sebanyak 84.07%, sementara responden perempuan hanya sebesar 15.93%. Jika dilihat dari mata pencahariannya, responden didominasi oleh petani. Komposisi mata pencaharian responden tersaji dalam Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi mata pencaharian responden Mata pencaharian Jumlah Aparat desa 4 Buruh tani 4 Dukun 6 Karyawan kebun 9 Nelayan 9 Pembuat Jamu 5 Pemungut hasil hutan 3 PNS dan honorer 6 Serabutan 2 Swasta 5 Pedagang 8 Petani 96 Jumlah 157
Persentase 2.55 2.55 3.82 5.73 5.73 3.18 1.91 3.82 1.27 3.18 5.10 61.15 100
Data pengelolaan konservasi R. zollingeriana juga dikumpulkan melalui observasi habitat R. zollingeriana dan wawancara kepada 15 staf TNMB yang masih aktif dan 2 pensiunan staf Suaka Margasatwa Meru Betiri. Selain itu data juga didapatkan melalui studi pustaka terhadap dokumen-dokumen terkait. Data mengenai keterlibatan stakeholder lain dilakukan dengan melakukan wawancara kepada 3 staf LSM, 3 akademisi, 7 staf pemerintahan daerah (tingkat desa, kecamatan maupun kabupaten) dan 2 staf Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Data dielaborasi untuk mengetahui stakeholder yang terlibat, pengaruh dan kepentingan mereka. Keseluruhan data digunakan untuk merumuskan unsur-unsur yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman konservasi R. zollingeriana di TNMB. Pembobotan unsur-unsur tersebut dilakukan oleh 10 narasumber, terdiri atas 2 staf BTNMB, 1 staf LSM, 1 akademisi, 1 aktivis lingkungan dan 5 warga desa. Pemberian rating disesuaikan dengan kinerja yang ditampilkan oleh unsur-unsur tersebut.
18
Metode Analisis Data 1.
2.
3. 4.
Data yang telah diperoleh dianalisis sebagai berikut: Kondisi populasi R. zollingeriana dianalisis secara deskriptif sementara titik eksistensinya diolah dengan software ArcGIS 9.3 dan ditampilkan dalam bentuk peta. Peta tersebut dianalisis secara deskriptif. Data kualitatif mengenai pemanfaatan R. zollingeriana dianalisis dengan melakukan reduksi, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Miles & Hubermans 1992 diacu dalam Agusta 2003) secara terus menerus, dari awal pengumpulan data hingga penelitian selesai. Demikian pula dengan data kualitatif mengenai konservasi R. zollingeriana. Data kuantitatif hasil survei dianalisis secara deskriptif, ditampilkan dalam bentuk tabel persentase. Analisis stakeholder dilakukan dengan mengukur pengaruh dan kepentingan stakeholder konservasi selama ini. Cara pengukurannya adalah dengan memberikan skor pada variabel-variabel yang tercantum dalam Tabel 3. Skor tertinggi sebesar 5 dan skor terendah sebesar 1.
Tabel 3
Variabel pengukuran kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB Kepentingan Pengaruh Tingkat Posisi dan Kemampuan Kontri ketergantung peranan memperjuan busi an stakeholder kan aspirasi fasilitas stakeholder stakehol Program Dukungan Stakehol der Manfaat bagi stakeholder anggaran der stakeholder Kapasi tas SDM stakehol der
Hasil penilaian tersebut kemudian diolah dengan software SPSS 16 dan ditampilkan dalam bentuk matriks klasifikasi stakeholder seperti yang tersaji pada Gambar 3. Dari matriks tersebutlah bisa dilihat stakeholder yang termasuk key players, context setters, subjects, dan crowd di dalam pencapaian output dan tujuan (Reed et al. 2009).
Gambar 3
Matriks klasifikasi stakeholder berdasarkan pengaruh dan kepentingan.
19
5.
Analisis SWOT dilakukan dengan menyusun matriks IFAS dan EFAS (Rangkuti 1997). Penyusunan matriks IFAS dan EFAS dilakukan dengan cara berikut: a) Menentukan unsur-unsur yang menjadi kekuatan, kelemahan (internal), peluang dan ancaman (eksternal) dalam konservasi R. zollingeriana dengan metode diskusi, penelaahan terhadap informasi yang ditemukan di lapang maupun penelaahan terhadap pustaka b) Menentukan peringkat masing-masing faktor dengan skala 1-4. Nilai 4 pada elemen kekuatan dan peluang berarti pengaruh sangat besar, sebaliknya nilai 4 pada elemen kelemahan dan ancaman berarti sangat rendah. c) Memberikan bobot masing-masing faktor berdasarkan pendapat narasumber, dengan skala mulai dari 1.0 (paling penting) sampai 0.0 (tidak penting). Jumlah bobot dari seluruh faktor tidak lebih dari 1.00. d) Menghitung nilai masing-masing faktor dengan cara mengalikan nilai bobot dengan nilai peringkat. Penentuan strategi konservasi dilakukan dengan menampilkan hasil pengukuran ke dalam matriks kuadran. Nilai kekuatan dan kelemahan merupakan titik koordinat pada sumbu (X), sedangkan nilai peluang dan ancaman merupakan titik koordinat pada sumbu (Y). Titik-titik tersebut dihubungkan dan letak perpotongannya pada kuadran menentukan jenis strategi yang akan direkomendasikan. Selanjutnya program konservasi dikembangkan berdasarkan strategi yang telah direkomendasikan.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi Taman Nasional Meru Betiri Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) secara geografis terletak pada o 113 38’38”–113o58’30” BT dan 8 o10’48”-8o33’48”. TNMB ini memiliki luas sebesar 58 000 ha, terbentang di antara dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi (BTNMB 2010). Kawasan TNMB diapit oleh laut, sungai, desa dan perkebunan, yaitu dengan PT. Perkebunan Nusantara XII, Kebun Malangsari dan kawasan hutan Perum PERHUTANI di sebelah utara. Kali Sanen, PT. Perkebunan Nusantara XII, Kebun Sumberjambe, PT. Perkebunan Treblasala dan Desa Sarongan di sebelah timur. Perum PERHUTANI, PT. Perkebunan Nusantara XII Kebun Kalisanen, Kebun Kotta Blater, Desa Sanenrejo, Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko di sebelah barat. Terakhir, Samudera Indonesia di sebelah selatan. Geologi dan Topografi Geologi kawasan TNMB terdiri atas asosiasi spesies alluvial, regosol dan latosol. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah, tempat rendah sampai
20
pantai, sedangkan regosol dan latosol umumnya terdapat di lereng dan punggung gunung (BTNMB 2010). TNMB juga memiliki topografi wilayah berbukit-bukit dengan kisaran elevasi mulai dari 0 m tepi laut hingga ketinggian 1223 m di atas permukaan laut. Terdapat 15 gunung, 5 pantai dan 4 sungai di dalamnya (BTNMB 2010). Vegetasi Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis dengan formasi hutan bervariasi yang terbagi ke dalam 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan vegetasi hutan hujan dataran rendah (BTNMB 2010). Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri sebagai berikut : Tipe Vegetasi Hutan Pantai Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan dalam kelompok hutan yang sempit, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk Bandealit, dan Teluk Rajegwesi. Formasi vegetasi hutan pantai terdiri dari 2 tipe utama yaitu formasi ubi pantai (Ipomea pescaprae) dan formasi Barringtonia (25 - 50 m) pada daerah pantai yang landai dan akan berkurang luasnya jika pantainya terjal dan berbatu. Formasi Pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari spesies herba, sebagian tumbuh menjalar. Spesies yang paling banyak adalah ubi pantai (Ipomoea pes-caprae (L.) R.Br) dan rumput lari (Spinifex squarrosus L.). Formasi Baringtonia terdiri dari keben (Barringtonia asiatica (L.) Kurz), nyamplung (Calophyllum inophyllum L), ketapang (Terminalia catappa L), pandan (Pandanus tectorius Parkinson ex Du Roi) dan lain-lain. Tipe Vegetasi Hutan Mangrove Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi, Teluk Meru dan Sukamade. Spesies-spesies yang mendominasi adalah pedada (Sonneratia caseolaris Druce) dan tancang (Bruguiera gymnorhiza (L.) Savigny). Di muara sungai Sukamade terdapat nipah (Nypa fruticans Wurmb) yang baik formasinya. Tipe Vegetasi Hutan Rawa Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang hutan mangrove Sukamade. Spesies-spesies yang banyak dijumpai di antaranya mangga hutan (Mangifera sp), sawo kecik (Manilkara kauki Dubard), ingas/rengas (Gluta renghas L.), pulai (Alstonia scholaris (L.) R.Br), kepuh (Sterculia foetida L). Tipe Vegetasi Hutan Rheophyt Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen dan Sungai Bandealit. Spesies yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontaneum L), rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumach) dan beberapa spesies herba berumur pendek serta rumput-rumputan.
21
Tipe Vegetasi Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Sebagian besar kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah. Tumbuhan yang banyak dijumpai adalah spesies walangan (Pterospermum diversifolium Blume), winong (Tetrameles nudiflora R.Br), gondang (Ficus variegata Blume), budengan (Diospyros cauliflora Blume), pancal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum Blume), glintungan (Bischofia javanica Blume), ledoyo (Dysoxylum amooroides Miq.), randu agung (Gossampinus heptaphylla Bakh.), nyampuh (Litsea sp.), bayur (Pterospermum javanicum Jungh.), bungur (Lagerstroemia speciosa Pers.), segawe (Adenanthera microsperma Teijsm. & Binn.), aren (Arenga pinnata Merr.), langsat (Lansium domesticum Jack), bendo (Artocarpus elasticus Reinw.), suren (Toona sureni Merr.), dan durian (Durio zibethinus Murray). Terdapat pula vegetasi bambu seperti bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizostachyum blumei Ness & McClure), dan bambu lamper (Schizostachyum brachycladum Kurz), beberapa spesies rotan, seperti rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (Plectocomia longistigma Madulid), rotan warak (Plectocomia elongata Mart. & Blume) dan lain-lain. Selain itu, tumbuh pula spesies epifit, seperti anggrek, paku-pakuan serta liana. Aspek Sosial Budaya Masyarakat Lima Desa Penelitian Terdapat 5 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNMB. Kawasan TNMB di Jember berbatasan dengan desa Wonoasri, Curahnongko, Andongrejo dan Sanenrejo. Keempatnya termasuk wilayah Kecamatan Tempurejo. Sementara kawasan TNMB di Banyuwangi berbatasan dengan desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran. Penduduk desa didominasi oleh suku Jawa dan Madura. Jumlah keseluruhan penduduk lima desa tersebut adalah 33 233 jiwa, sedangkan tingkat kepadatannya bervariasi dari 19.88 jiwa/km2 – 1514.72 jiwa/km2 (BPS 2011). Luas dan kepadatan penduduk di tiap desa tersaji dalam Tabel 4. Sebagian penduduk berada di dalam kawasan TNMB (TNMB 2005), yaitu dalam blok Kebun Pantai (178 jiwa), Sumber Salak (115 jiwa), Lodadi (27 jiwa), Rajegwesi (691 jiwa), perkebunan Sukamade Baru (3000 jiwa) dan perkebunan Bandealit (3000 jiwa). Perkebunan telah ada sejak zaman kolonial Belanda, demikian pula dengan penduduk yang tinggal di sekitarnya. Tabel 4 Luas, jumlah dan kepadatan penduduk di lima desa penelitian (BPS 2011) Desa Luas (Km2) Jumlah penduduk Kepadatan (jiwa) (Jiwa/Km2) Wonoasri 6.18 9361 1514.72 Curahnongko 283.39 6174 21.78 Andongrejo 262.79 5226 19.88 Sanenrejo 68.90 6862 99.59 Sarongan 18.41 5610 304.72
22
Mata Pencaharian Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani (61.53%), baik sebagai pemilik lahan maupun buruh tani. Jenis mata pencaharian lainnya adalah swasta, peternak, jasa, pedagang, PNS/ABRI dan nelayan. Komposisi mata pencaharian penduduk sekitar TNMB ini terlihat pada Tabel 5. Tabel 5
Jenis mata pencaharian penduduk di lima desa penelitian (Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember 2010; Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyuwangi 2010; BTNMB 2007) Desa PP BT P PNS Pt N Jasa Swasta Jumlah Wonoasri 1278 2365 15 73 947 582 1489 6749 Curahnongko 1677 1223 22 121 14 91 105 261 3514 Andongrejo 2347 67 36 1810 17 167 1821 6265 Sanenrejo 3265 1906 319 43 109 8 56 5706 Sarongan 1026 1050 39 55 521 94 120 1088 3993 Jumlah 9593 6544 462 328 3401 202 982 4715 26227 PP : Petani pemilik; BT: Buruh tani; P: pedagang; Pt: peternakan; N: nelayan.
Tingkat Penghasilan dan Pendidikan Tingkat penghasilan rata-rata penduduk adalah sebesar Rp1 174 686 per tahun atau Rp3 218 per hari (BTNMB 2007). Tingkat pendidikannya didominasi oleh tamatan SD, yaitu sebesar 50.86%. Tingkat pendidikan penduduk di 5 desa tersebut tersaji dalam Tabel 6. Tabel 6
Tingkat pendidikan penduduk di lima desa penelitian Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember 2010; Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyuwangi 2010) Desa B/TS BTSD SD SLTP SLTA A/PT Wonoasri 1697 1579 304 316 169 Curahnongko 573 1002 2396 355 536 205 Andongrejo 216 2436 613 217 21 Sanenrejo 35 1637 311 142 10 Sarongan 890 2177 1351 901 15 Jumlah 573 3840 10225 2934 2112 420
(Badan Badan Jumlah 4065 5067 3503 2135 5334 20104
B/TS: Belum/tidak sekolah; BTSD: belum tamat SD; A/PT: akademi/perguruan tinggi.
Kondisi Populasi R. zollingeriana Jumlah Populasi R. zollingeriana Berdasarkan keterjumpaan dengan R. zollingeriana, terdapat 19 plot yang diobservasi. Suhu saat observasi berkisar 25-29.5 oC, sementara kelembabannya berkisar 76-96%. Plot observasi masing-masing memiliki luas 0.1 ha. Jadi, total ada 1.9 Ha yang diamati. Dari 19 plot pengamatan tersebut, ditemukan 26 sub populasi dan 152 kenop/bunga. Jumlah rata-rata dalam setiap sub populasi adalah 6 individu
23
dan jumlah rata-rata dalam setiap plot adalah 8 individu. Rincian individu R. zollingeriana yang berhasil ditemukan dalam setiap plot terurai dalam Tabel 7. Tabel 7 R. zollingeriana hasil observasi pada bulan Juli 2012 Nama Kawasan Plot M SM Timunan 1 0 0 Timunan 2 0 0 Proliman 3 0 0 Grautan 4a 0 1 Grautan 4b 0 0 Grautan 4c 0 0 Mandego 5 0 0 Pletes 6 0 0 Pletes 7a 0 1 Pletes 7b 0 1 Pletes 8 0 1 Sumber salak 9 0 0 Bun Ngetek 10 0 0 Lodadi 11 0 1 Pasir Ireng 12 0 0 Pasir Ireng 13 0 0 Krecek 14 0 0 Watu Jaran 15 0 0 Pasir Pendek 16 0 2 Sukamade 17a 0 2 Sukamade 17b 0 0 Parangkulon 18a 0 0 Parangkulon 18b 1 1 Sumbertengu 19a 0 1 Sumbertengu 19b 0 0 Sumbertengu 19c 0 0 Jumlah 1 11
KH 13 6 3 4 1 0 8 2 6 3 0 0 1 1 1 6 7 11 3 5 1 3 3 2 3 3 96
KM 0 0 1 2 0 4 3 0 5 3 1 2 3 2 0 0 2 0 0 4 1 5 0 0 3 3 44
Keterangan M = mekar ; SM = sudah mekar ; KH = Kenop Hidup ; KM = kenop mati
Jumlah bunga yang ditemukan dalam keadaan sedang mekar pada bulan Juli 2012 hanya 1 dan yang dijumpai sudah mekar 11 bunga. Sementara studi pendahuluan pada bulan Januari 2012 menemukan 1 bunga mekar dan 1 bunga pasca mekar di plot Sukamade. Dua bunga yang ditemukan pada Januari 2012 menempel pada satu akar yang berdiameter 2 cm. Sementara bunga yang ditemukan di Parangkulon tumbuh pada batang setinggi 70 cm dari permukaan tanah. Foto kedua bunga mekar tersebut disajikan dalam Gambar 4.
24
Gambar 4 Bunga R. zollingeriana (a) Mekar pada akar Tetrastigma spp.; (b) Mekar pada batang inang Tetrastigma spp. Bunga yang mekar di Sukamade berdiameter 44x40 cm, lebih besar daripada bunga mekar di Parangkulon yang hanya berdiameter 32x35 cm. Tinggi bunga di Sukamade mencapai 8 cm, sedangkan tinggi bunga di Parangkulon 12 cm. Diafragma kedua bunga berbentuk lingkaran dengan lubang diafragma yang berbentuk segi delapan/oval. Diafragma berdiameter 15 cm, sementara lubang diafragma berdiameter 10x5 cm. Helaian perigonenya berdiameter 10 cm, dengan bercak putih yang tampak lebih jelas dan lebih besar daripada bercak putih pada diafragma. Diskus yang berada di dalam jendela berbentuk lingkaran dengan diameter 7 cm, berwarna kuning dengan tepian berwarna merah, sementara prosesinya berjumlah 32 dengan ujungnya berwarna kemerahan dan pangkal berwarna kuning. Ramenta di dalam diafragma bagian atas lebih menggumpal dan berjumlah lebih banyak daripada ramenta di bagian bawah diafragma. Morfologi bunga mekar R. zollingeriana ini disajikan dalam Gambar 5. Bunga yang ditemukan di Sukamade diperkirakan telah mekar selama 5 hari. Hal ini diperkirakan dari bau busuknya yang baru tercium dari jarak dekat (tepat di atasnya). Sementara bunga yang ditemukan di Parangkulon diperkirakan baru saja mekar (hari ke-1 atau ke-2) karena bau busuknya yang kuat dan bisa tercium pada jarak 15 meter. Bau busuk ini mengundang kehadiran serangga. Selain karena tertarik pada bau busuknya, serangga juga diperkirakan datang karena warna dan corak bercak pada perigone yang menarik dan suhu hangat di dalamnya sehingga menyerupai bangkai hewan (Patino et al. 2002). Jenis serangga yang mengunjungi bunga sama, yaitu lalat hijau (Lucilia sp) dan semut. Jumlah lalat yang mengerumuni bunga 5 hari mekar di Sukamade lebih banyak daripada jumlah lalat yang mengerumuni bunga baru mekar di Parangkulon, yaitu 12:3. Hasil ini sesuai dengan hasil pengamatan Kahono et al. (2010) yang menyatakan bahwa jumlah serangga yang mengunjungi R. patma saat layu lebih banyak daripada jumlah serangga yang mengunjungi R. patma saat baru mekar. Hal ini terjadi karena lalat lebih tertarik pada zat yang lewat matang atau yang membusuk. Hidayati et al. (2001) juga menemukan bahwa jumlah seranggga meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas bau yang dikeluarkan oleh bunga.
25
Gambar 5 Morfologi bunga R. zollingeriana (a) Lubang diafragma yang berbentuk segi delapan dan penampilan diskus yang terdapat di dalamnya (b) Ramenta pada diafragma atas dan bawah.
Penyebaran Populasi R. zollingeriana Jika dilihat dari zonasi kawasan, maka keberadaan titik R. zollingeriana di TNMB tersebar di berbagai zona, yaitu zona inti, rimba dan pemanfaatan. Gambar 6 menunjukkan bahwa 1 plot populasi terdapat di zona inti, 3 plot terdapat di enclave, 3 plot di zona pemanfaatan dan 11 plot terdapat di zona rimba. Banyaknya populasi R. zollingeriana yang berada di zona rimba menunjukkan bahwa tekanan populasi R. zollingeriana saat ini lebih dipengaruhi oleh faktor eksternal alam dan faktor internal biologis R. zollingeriana, bukan karena faktor manusia. Hal ini karena zona inti dan zona rimba adalah zona yang tidak diperbolehkan ada aktivitas manusia di dalamnya, kecuali untuk kegiatan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian (SK Ditjen PHKA Nomor: 185/Kpts /DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999). Sementara jika dilihat dari topografinya, populasi R. zollingeriana di TNMB berada di perbukitan di dekat pantai maupun perbukitan jauh dari pantai dengan ketinggian 73-342 m dpl. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 8. Jika dilihat dari kedekatannya dengan sumber air, plot yang ditemukan berada dekat sumber air hanya sebanyak 5 plot dan 14 plot lain jauh dari sumber air. Temuan ini menguatkan pendapat Dhistira (2011) bahwa kedekatan dengan sungai tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan R. zollingeriana. Keberadaan sungai juga tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan habitat R. roschussenii di Gunung Pangrango (Saadudin 2011). Hal ini diduga karena kemampuan inang untuk menyimpan air dalam batangnya cukup signifikan (Lays 2006). Jamil (1998) menyatakan bahwa dari batang T. coriceum yang berdiameter 5 cm dan panjang 95 cm bisa dihasilkan air sebanyak 96.21 cm3. Jika dilihat dari topografinya, 84.21% plot berada pada perbukitan yang jauh dari pantai dan 15.79% berada pada perbukitan yang menghadap ke pantai. Sedangkan jika dilihat dari elevasinya, 65.39% plot berada pada kemiringan dan 34.61% plot berada pada dataran. Dengan demikian, ini menyempurnakan pendapat Zuhud (1988) bahwa R. zollingeriana hanya dapat ditemukan di kawasan pantai dan menguatkan pendapat Jamil et al. (2001) bahwa ada dua habitat R. zollingeriana di TNMB, yaitu di daerah berbatu tepi pantai dan di daerah datar pada ketinggian 300 m dpl.
26
27
Tabel 8 Plot R. zollingeriana berdasarkan kemiringan, kedekatan sumber air dan ketinggian Plot Kemiringan Kedekatan Sumber Air Ketinggian (m dpl) 1 Miring Jauh 125 2 Datar Jauh 216 3 Miring Jauh 283 4a Datar Jauh 283 4b Datar Jauh 283 4c Miring Jauh 282 5 Miring Dekat 203 6 Miring Jauh 295 7a Miring Jauh 188 7b Datar Jauh 179 8 Miring Dekat 176 9 Miring Jauh 342 10 Miring Jauh 127 11 Miring Dekat 72 12 Miring Jauh 131 13 Datar Jauh 113 14 Miring Jauh 232 15 Miring Jauh 37 16 Miring Jauh 69 17a Miring Jauh 76 17b Miring Jauh 76 18a Datar Dekat 87 18b Miring Dekat 97 19a Miring Jauh 100 19b Miring Jauh 118 19c Miring Jauh 107 Jika dilihat dari vegetasinya, populasi ditemukan di vegetasi primer dan vegetasi sekunder yang sedang menuju pemulihan menjadi vegetasi primer, yaitu di Sumber Salak. R. arnoldii (Syahbuddin dan Chairul, 2010), R. meijeri (Wiriadinata dan Sari 2010) dan R. banahaw (Barcelona et al. 2007) juga bisa ditemukan dalam hutan sekunder yang telah mulai pulih menjadi hutan primer. Inventarisasi R. zollingeriana di kawasan TNMB selama periode 1988-2011 menemukan populasi di daerah tepian pantai seperti Rajegwesi, Pasir Pendek, pantai timur dan barat Sukamade, Meru, Kempul, Ngaling dan Demangan (Hikmat 1988), Teluk Hijau (Sepiastini 2000) dan di perbukitan yang jauh dari pantai seperti Krecek (BTNMB 2002), Lodadi (Nurchayati 2003), Bun Ngetek dan Sumbertengu (Darmadja et al. 2011). Sedangkan penelitian ini menemukan populasi di dekat dengan pemukiman (enclave), yaitu di Sumbersalak, di zona rimba yang dekat dengan zona rehabilitasi (Pletes, Timunan, Grautan) dan di luar kawasan TNMB (Mandego). Populasi R. zollingeriana yang ditemukan di luar kawasan TNMB tersebut berada di bukit Mandego. Bukit ini dikelola Perhutani. Penemuan ini membuktikan kebenaran informasi masyarakat bahwa R. zollingeriana tak hanya berada di dalam kawasan TNMB. Keberadaan R. zollingeriana di luar kawasan
28
konservasi ini patut mendapat perhatian dari pihak-pihak yang berkepentingan supaya populasinya tetap terjaga dan berlanjut, sama seperti populasi di dalam TNMB. Jika dipadukan, titik R. zollingeriana hasil inventarisasi dari tahun 19882011 terlihat dalam Gambar 7. Gambar 7 tersebut juga memperlihatkan bahwa dari 19 plot yang diamati pada tahun 2012 ini, 9 di antaranya merupakan lokasi tumbuh R. zollingeriana yang baru didokumentasikan. Lokasi tumbuh yang baru terdokumentasikan tersebut adalah Pletes, Timunan, Grautan, Proliman, Mandego, Sumbersalak, Pasir Pendek dan Pasir Ireng. Struktur Populasi R. zollingeriana Persentase kenop hidup R. zollingeriana yang ditemukan mencapai 63.16% dan kenop matinya 28.95%. Hal ini terlihat dalam Gambar 8. Tingkat kematian kenop diperkirakan akan terus meningkat karena persentase yang berhasil mekar sangat rendah. Pengamatan rutin BTNMB di plot permanen Krecek menunjukkan bahwa kenop yang berhasil mekar pada tahun 2010 hanya sebesar 15%, sementara pada tahun 2011 hanya sebesar 17.30% (Darmadja et al. 2011).
Gambar 8 Persentase individu R. zollingeriana yang ditemukan. Observasi yang dilakukan di plot Sukamade pada bulan Januari dan Juli 2012 bahkan menunjukkan kematian sebesar 44.44%. Populasi R. zollingeriana yang ditemukan pada Januari terdiri atas 4 sub populasi. Sub populasi 1 terdiri atas 1 bunga mekar, 1 bunga pasca mekar dan 1 kenop mati (kering) berdiameter 2 cm. Sub populasi ke-2 terdiri atas dua kenop hidup, berdiameter 3 cm dan 8 cm. Sub populasi ke-3 terdiri atas 3 kenop hidup yang berukuran 2 cm, 3 cm dan 3 cm. Sementara sub populasi ke-4 terdiri atas 1 kenop hidup berdiameter 3 cm dan 1 kenop mati. Sedangkan observasi di bulan Juli hanya menemukan dua sub populasi R. zollingeriana. Satu berada di titik lama dan satu merupakan sub populasi baru. Tiga sub populasi lain yang sebelumnya ditemukan tidak tampak lagi. Penyebab dari hilangnya sub populasi tersebut tidak dapat dipastikan. Sub populasi yang menunjukkan eksistensi R. zollingeriana di bulan Januari dan Juli tersebut memperlihatkan 2 kenop yang berhasil mekar menjadi bunga. Hal ini terlihat dari ditemukannya dua luruhan bunga R. zollingeriana di titik tersebut. Pada masa 7 bulan tersebut, muncul 9 kenop baru, namun 4 di antaranya (44.44%) mati. Empat kenop yang mati tersebut berdiameter 4-8 cm, sementara 5 kenop yang masih hidup berdiameter 1-15 cm. Hasil ini kembali menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan R. zollingeriana untuk tumbuh menjadi bunga memang cukup rendah. Hasil lengkap pengamatan terlihat dalam Tabel 9.
29
30
-
Tabel 9 Pengamatan R. zollingeriana di plot permanen Parangkulon Sukamade Titik Individu di bulan Januari 2012 Individu di bulan Juli 2012 Titik 1 Mekar 1 0 Sudah mekar 1 0 Kenop Hidup 0 0 Kenop mati 1 0 Titik 2 Mekar 0 0 Sudah mekar 0 2 Kenop Hidup 2 5 Kenop mati 0 4 Titik 3 Mekar 0 0 Sudah mekar 0 0 Kenop Hidup 3 0 Kenop mati 0 0 Titik 4 Mekar 0 0 Sudah mekar 0 0 Kenop Hidup 1 0 Kenop mati 1 0 Titik 5 Mekar 0 0 Sudah mekar 0 0 Kenop Hidup 0 1 Kenop mati 0 1 Persentase jumlah kenop hidup semakin menurun seiring bertambah besarnya diameter. Hal ini terlihat dalam Gambar 9. Dari 96 kenop yang ditemukan hidup, mayoritas berdiameter 1.0-5.0 cm, yaitu sebanyak 50%. Sementara yang berdiameter 5.1-10.0 cm sebanyak 32.3%, yang berdiameter 10.1-15.0 cm sebanyak 13.5% dan yang berdiameter >15.1 cm sebanyak 0.42%. Kematian kenop terutama terjadi pada awal perkembangan kenop, yaitu ketika kenop masih berdiameter 1.0-10.0 cm (68.2%). Hal ini sesuai pendapat Nais (2001) yang menyatakan bahwa kematian Rafflesia terutama terjadi pada masa perkembangan kenop sebelum mekar.
Gambar 9 Jumlah kenop hidup dan kenop mati R. zollingeriana berdasarkan kelas diameter.
31
Hasil observasi menunjukkan bahwa kematian karena pemangsaan atau perusakan oleh hewan menyebabkan kematian 25% kenop. Gangguan oleh hewan ini terutama terjadi pada kenop yang berdiameter >10 cm maupun pada bunga setelah mekar. Sementara kematian karena ketidakcukupan nutrisi dari inang maupun sebab yang tidak diketahui mendominasi kematian sebesar 75%. Sebab kematian kenop Rafflesia hingga ini masih menjadi misteri. Brown (1912) yang dikutip Yahya et al. (2010) mengungkapkan bahwa kematian mungkin disebabkan oleh terputusnya suplai makanan bagi embrio Rafflesia karena adanya selaput mirip felogen yang dibentuk inang di sekeliling embrio. Namun studi anatomi endofotik yang dilakukan Mursidawati dan Sunaryo (2012) tidak memperlihatkan adanya selaput tersebut dalam fase pertumbuhan R. patma di dalam sel inang. Bahkan pembentukan organ penghubung (haustorium) untuk pemotongan nutrisi dari inang ke parasit juga tidak tampak. Angka keberlanjutan hidup yang rendah dan penyebabnya yang belum diketahui, serta angka gangguan hewan yang cukup besar ini harus diatasi dengan meningkatkan pengawetan dan perlindungan terhadap populasi yang sudah diketahui. Perlindungan kawasan perlu ditingkatkan supaya pengambilan kenop hidup oleh masyarakat bisa dihindarkan dan pengumpulan hanya dilakukan pada kenop mati. Perlindungan dan pengawetan terutama difokuskan pada populasi yang menjadi objek wisata. Misalnya dengan memasang pagar pengurung tidak permanen. Pemagaran ini dilakukan untuk menghindari penginjakan oleh pengunjung dan pemangsaan/perusakan hewan pada kenop yang belum mekar. Pagar sebaiknya dibuat dari bahan tidak permanen, sehingga bisa dibongkar kembali setelah buah tampak terbentuk. Dengan demikian, proses pemencaran biji oleh hewan masih dimungkinkan. Pemagaran tidak permanen ini dilakukan di populasi R. arnoldi di CA Taba Penanjung, Bengkulu seperti yang terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Pemagaran R. arnoldii untuk menghindarkan bunga dan kenop dari kerusakan. (Gambar direproduksi dari http://travel.kompas.com/read/2012/11/04/13333631/Yuk.Lihat.Rafflesia.Meka r.di.Kebun.Raya.Bogor ).
32
Perawatan habitat untuk meningkatkan persentase tumbuhnya bunga betina juga perlu dilakukan di populasi yang menjadi objek wisata. Doust and Doust (1988) menyatakan bahwa bunga betina membutuhkan kondisi lingkungan yang lebih kondusif, yaitu CO2 tinggi, tanah yang lembab, suhu yang sejuk, intensitas penyinaran yang tinggi dan pemupukan, sedangkan bunga jantan sebaliknya. Oleh karena habitat di kawasan objek wisata harus dimodifikasi untuk memenuhi syarat tersebut, misalnya dengan diberi pupuk. Selain itu, perawatan habitat juga diperlukan untuk menghindarkan kenop dari kematian karena kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Kelembaban tanah berpengaruh terhadap Rafflesia. R. lobata di Filipina mati membusuk saat penghujan (Galang 2009). Demikian pula dengan R. rochussenii (Zuhud et al. 1994). Serasah tanah yang tebal mematikan kenop karena menyebabkan tanah terlalu lembab dan memicu munculnya mikroorganisme hama dan penyakit. R. kerrii sebanyak 54.7% mati akibat rayap yang muncul karena tanah yang terlalu lembab (Nadia et al. 2012). Oleh karena itu, tumpukan serasah di sekitar kenop saat musim penghujan harus dikurangi. Tindakan kedua adalah mencabut tumbuhan penutup permukaan tanah di mana individu R. zollingeriana tumbuh, sehingga kompetensi pengambilan unsur hara berkurang. Kondisi Inang Tetrastigma spp. tumbuh di setiap plot pengamatan. Jumlah rata-rata Tetrastigma spp. di setiap plot pengamatan adalah sebesar 15 batang/plot. Populasi terbanyak terdapat di plot Mandego dan Sumbertengu. Kondisi Tetrastigma yang ditemukan dalam setiap plot ini ditampilkan dalam Tabel 10. Tabel 10 Jumlah, diameter batang dan diameter akar Tetrastigma spp. di setiap plot Nama Kawasan Plot Jumlah dB (cm) dA (cm) Timunan 1 2 2.5-5 3 Timunan 2 1 10 3.5 Proliman 3 3 6-8 2 Grautan 4 14 4-6 1.5 Mandego 5 36 2-18 2 Pletes 6 1 6 2 Pletes 7 12 4-10 1.5-3 Pletes 8 8 4-8 2 Sumbersalak 9 22 5 3 Bun Ngetek 10 30 2.5-8 2 Lodadi 11 22 5 1.1-2.1 Pasir Ireng 12 20 12 2-3 Pasir Ireng 13 14 11 0.5-4 Krecek 14 10 4 1 Klatakan Watu 15 16 8 3 Pasir Pendek 16 2 15 2-4 Sukamade 17 20 8 1-3 Parangkulon 18 19 5 2.5 Sumbertengu 19 34 8 1.5-2 Keterangan: dB = diameter batang, dA = diameter akar
33
Diameter batang Tetrastigma yang berada di plot berukuran 2.5-18 cm, sementara batang yang ditumbuhi R. zollingeriana berdiameter 8 cm. Sedangkan diameter akar yang ada di plot berukuran 0.5-4 cm, namun yang ditempeli kenop berdiameter 0.5-2 cm. Jumlah individu R. zollingeriana yang tumbuh di batang hanya sebesar 7.89%, sedangkan yang tumbuh di akar sebesar 92.11%. Persebaran inang yang ditemukan di plot observasi bersifat mengelompok karena perbanyakannya menggunakan tunas akar. Hal ini sesuai dengan penelitian Julianti (2006) yang menyatakan bahwa 50% T. papillosum dan T. lanceolarium (sekarang T. coriaceum menurut Veldkamp 2009) yang ditemukan di Lodadi bersifat mengelompok. Zuhud (1989) mengungkapkan bahwa ada dua jenis Tetrastigma yang menjadi inang R. zollingeriana, yaitu T. papillosum dan T. lanceolarium. Namun pengamatan menunjukkan kemungkinan lebih dari dua jenis Tetrastigma yang menjadi inang. Hal ini dilihat dari morfologi daun yang dijumpai di plot yang menunjukkan variasi morfologi lebih dari dua. Variasi morfologi daun Tetrastigma spp. tersebut disajikan dalam Gambar 11.
Gambar 11 Variasi morfologi daun Tetrastigma spp. yang ditemukan di plot pengamatan.
Pemanfaatan R. zollingeriana oleh Masyarakat Sekitar Hasil survei menyatakan bahwa jumlah responden yang memanfaatkan keberadaaan R. zollingeriana hanya sebesar 31% atau sebanyak 49 responden. Pemanfaat didominasi oleh laki-laki, yaitu sebesar 93.9% dan didominasi oleh penduduk yang berusia >40 tahun, yaitu sebesar 93.9%. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan adalah pengumpulan kenop untuk diperdagangkan dan pemanfaatan untuk objek wisata. Pemanfaatan berupa pengumpulan kenop dilakukan oleh 35 responden, pemanfaatan untuk diperdagangkan ke pengepul yang lebih tinggi atau ke produsen dilakukan oleh 3
34
responden, sedangkan pemanfaatan untuk tujuan wisata dilakukan oleh 11 responden. Bentuk dan persentase pemanfaatan ini disajikan dalam Gambar 12.
Gambar 12 Bentuk dan persentase pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB. Pengumpulan R. zollingeriana Kenop R. zollingeriana dikumpulkan ilegal oleh penduduk sejak dekade 1970-an hingga akhir dekade 1980-an. Kenop-kenop tersebut dikumpulkan dari hutan, kemudian diiris, dikeringkan dan dijual ke pengepul di desa. Dari pengepul desa, irisan R. zollingeriana tersebut dijual ke pengepul di kabupaten untuk kemudian dijual pada penjual jamu atau produsen jamu di Solo dan Semarang. Di Sarongan, R. zollingeriana dikenal dengan nama padmosari. Namun di Wonoasri, penduduk lebih mengenalnya dengan sebutan kembang banyu karena dianggap bunga dari Tetrastigma spp. yang batangnya berair dan bisa diminum. Air dari batang Tetrastigma spp. ini sering digunakan oleh penduduk yang kehabisan minuman ketika berada di hutan. Hal ini seperti yang terlihat dalam Gambar 13.
Gambar 13 Tetrastigma spp. batangnya berair dan bisa diminum. Pengetahuan Masyarakat tentang R. zollingeriana Menurut Blume (1829) diacu dalam Heyne (1987), padmosari adalah simbol untuk meneruskan keturunan dan bernilai tinggi di Jawa. Jika dicampur kayu
35
manis dapat menghentikan keluarnya darah nifas dan juga memperkuat bagianbagian yang lemah. Lemmens dan Bunyapraphatsara (2003) juga mengemukakan bahwa kenop padmosari digunakan untuk membersihkan rahim perempuan pasca melahirkan dan menghentikan pendarahan. LATIN (2002) dalam laporannya juga menyatakan bahwa kuncup bunga R. zollingeriana dapat digunakan untuk obat keperkasaan, keputihan, memperlancar melahirkan dan menghentikan darah pasca melahirkan. Namun ketika dikonfirmasikan kepada 6 dukun beranak yang berpraktek di desa penelitian, mereka tidak mengetahui dan tidak mempraktekkan pengetahuan tersebut. Penduduk sekitar TNMB pun tidak mengetahui bagaimanakah bentuk dan kegunaan R. zollingeriana jika tidak diberitahu oleh pengepul. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan padmosari sebagai jamu bukan pengetahuan lokal yang dimiliki dan dikembangkan oleh warga, namun diintroduksikan dari tempat lain. Masyarakat sekitar mendapat informasi dari pengepul TNMB bahwa kembang banyu berbentuk seperti kubis berwarna merah dan dapat digunakan sebagai jamu. Namun mereka tidak mengetahui lebih jauh, tanaman tersebut sebagai jamu apa dan bagaimana khasiatnya Meskipun demikian, beberapa responden pernah mencoba meminum air rebusan R. zollingeriana dan menyatakan badannya yang loyo jadi enteng, lukanya cepat sembuh dan pegalpegalnya hilang. Dari pengalaman empiris tersebut, warga kemudian mencoba menjual jamu berbahan bubuk padmosari dicampur dengan kedawung dan babakan pule. Usaha tersebut tidak berlangsung lama karena harga jualnya lebih rendah daripada harga irisan kering. Terdapat beberapa jamu kemasan bermerk padmosari yang ditemukan di pasar Tanjung Jember, yaitu padmosari 18 jamu Iboe, galian padmosari air mancur dan kapsul galian padmosari produksi Madura. Namun ketika dicek kemasannya, jamu yang berkhasiat untuk awet muda dan pemelihara kerampingan bagi perempuan ini tidak mencantumkan padmosari/R. zollingeriana sebagai bahan baku. Dengan demikian, sementara dapat disimpulkan bahwa nama padmosari pada jamu kemasan tersebut hanya sebagai merk dagang, bukan sebagai bahan baku. Ramuan herbal berbahan bubuk padmosari untuk obat keputihan juga masih diperdagangkan di pasar Jember. Ramuan tersebut berbahan utama joho lawe, sirih kering dan padmosari. Per bungkus ramuan dijual dengan harga Rp2 000. LATIN (2002) juga masih menjumpai simplisia R. zollingeriana dijual di pasar Banyuwangi dengan harga Rp20 000/kg. Karakteristik Pelaku Pengumpulan R. zollingeriana Hasil wawancara menyatakan bahwa para pengumpul kenop pada era 1970an hingga akhir 1980-an adalah warga sekitar TNMB, terutama dari desa Wonoasri, Sanenrejo dan Sarongan. Ini juga ditunjukkan oleh hasil survei yang menyatakan bahwa 42.86% pengumpul berasal dari desa Wonoasri, 25.71% berasal dari desa Sanenrejo, 20% dari desa Sarongan dan 11.43% dari desa Andongrejo. Hal ini terlihat dalam Tabel 11. Para pengepul yang menampung hasil irisan R. zollingeriana dari para pengumpul juga terdapat di desa-desa tersebut. Pengepul R. zollingeriana biasanya juga mengepul hasil hutan lain seperti kapulaga, cabe jawa, joho, kemiri, kedawung dan lain-lain.
36
Tabel 11 Desa asal pengumpul R. zollingeriana, jumlah dan persentasenya Desa Asal Pengumpul Jumlah Persentase (%) Wonoasri 15 42.86 Sanenrejo 9 25.71 Sarongan 7 20 Andongrejo 4 11.43 Pada masa itu, sebagian besar pengumpul didominasi oleh warga miskin yang tidak memiliki lahan pertanian dan tidak memiliki mata pencaharian tetap sehingga mengandalkan kehidupannya dari memungut hasil hutan. Hal ini sesuai dengan gambaran IUCN (1980) tentang kondisi sosial ekonomi warga sekitar TNMB yang didominasi oleh petani, buruh tani dan pencari hasil hutan. Motivasi ekonomi mendorong masyarakat mengumpulkan kenop R. zollingeriana. Saat itu, harga R. zollingeriana kering bisa mencapai harga Rp2 500/kg di tingkat pengepul desa. Harga tersebut 10 kali lipat harga bensin yang berlaku saat itu. Tak heran jika penduduk yang terbiasa mencari nafkah di hutan maupun mereka yang belum pernah ke hutan berlomba-lomba mencari R. zollingeriana. Mereka biasanya pergi berombongan, minimal dua orang. Salah seorang responden mengungkapkan bahwa dalam satu kesempatan dia pernah bertemu dengan 25 orang pengumpul yang bersama-sama menginap di suatu tempat untuk menghindari pemangsaan harimau dan macan. Waktu Pemanfaatan, Kriteria R. zollingeriana yang Dimanfaatkan, Jumlah yang Dimanfaatkan Pengumpulan R. zollingeriana dilakukan sepanjang tahun, baik pada musim hujan maupun kemarau. Hal ini sesuai penuturan responden yang menyatakan bahwa padmosari selalu ada sepanjang tahun, terutama saat awal musim kemarau dan saat awal musim penghujan. Hasil monitoring BTNMB di plot permanen Krecek pada tahun 2010-2011 yang tersaji dalam Gambar 14 juga menunjukkan bahwa kenop bisa dijumpai pada musim hujan dan kemarau. Gambar 14 tersebut memperlihatkan bahwa jumlah kenop terbanyak dijumpai pada bulan April (awal musim kemarau) dan Desember (musim penghujan). Sementara pada bukan Agustus dan Oktober tidak dijumpai satu kenop pun.
Gambar 14 Perkembangan jumlah kenop R. zollingeriana di plot permanen Krecek pada tahun 2010-2011.
37
Pengambilan dilakukan pada semua R. zollingeriana yang ditemukan, baik kenop yang berukuran kecil atau besar, kenop yang hidup atau mati dan bunga yang sedang mekar atau sudah mekar. Semua R. zollingeriana yang ditemukan pasti dikumpulkan karena ketika dikeringkan bentuknya tidak berbeda dan harga jualnya sama. Jumlah kenop R. zollingeriana yang dikumpulkan dalam sekali pengambilan oleh seorang pengumpul bervariasi. Terkadang hanya mendapatkan beberapa kenop kecil, terkadang mendapatkan 25 kg (setara dengan 12 kenop besar yang siap mekar) atau lebih, terkadang tidak mendapatkan kenop sama sekali. Dalam satu rombongan pengumpul, ada yang mendapatkan banyak, ada yang mendapatkan sedikit, ada yang sama sekali tidak mendapat, tergantung keberuntungan masing-masing. Karenanya berkembang kepercayaan di masyarakat bahwa R. zollingeriana adalah tumbuhan yang memiliki kekuatan magis, tidak mudah ditemukan. Ia berada di tempat-tempat angker dan ditunggui jin perempuan. Masyarakat mempercayai bahwa pengumpul yang akan mendapatkan banyak kenop biasanya didatangi gadis cantik saat tidur (bermimpi). Hal ini bersesuaian dengan apa yang dinyatakan oleh Zollinger (1921) yang diacu dalam Heyne (1987) bahwa banyak takhayul yang beredar di masyarakat terkait tumbuhan ini. Jumlah R. zollingeriana yang dimanfaatkan masyarakat saat 1970-1990 diperkirakan cukup signifikan. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pengepul yang mengatakan bahwa jumlah yang paling banyak pernah dikumpulkannya dalam dua minggu adalah sebanyak + 80 kg irisan kering R. zollingeriana. Jika penyusutan kenop basah menjadi kenop kering adalah 90%, ini berarti setidaknya ada + 720 kg kenop basah, atau sekitar 360 kenop besar, yang dikumpulkan masyarakat dari hutan per dua minggu. Jika dalam satu desa terdapat minimal tiga pengepul, maka setidaknya ada 2160 kg atau 1080 kenop yang dieksploitasi dalam dua minggu tersebut. Lokasi Pengambilan R. zolingeriana Awalnya, lokasi pengambilan R. zollingeriana berada tidak jauh dari pemukiman. Lokasi ini tak hanya berada di dalam kawasan TNMB, namun juga berada di hutan sekitar TNMB. Hutan di sekitar pemukiman tersebut adalah Glantangan, Sungapan, Mandego dan Pancamaya. Para pengumpul di Jember semula mengambil R. zollingeriana di Pletes, Mandego, Sumber Gede, Glantangan, Sumber Salak, Banjar Agung. Namun makin lama, R. zollingeriana makin jarang ditemui. Mereka pun semakin masuk ke dalam hutan hingga ke Sengara, Alas Tapen, Tumpak Waru, Kuncen, Krecek, Sumber Gadung, hingga ke tepi-tepi pantai, seperti Teluk Meru, Permisan, bahkan sampai ke Sukamade dan Rajegwesi di Banyuwangi. Hal sama juga terjadi di Banyuwangi. Pengumpul R. zollingeriana di Banyuwangi semula mencarinya di sekitar pemukiman, yaitu di blok Sungapan (sekarang dikelola Perhutani), blok Rajegwesi, blok Teluk Hijau, blok Klatha’an, blok Pancuran. Kemudian mereka semakin masuk ke dalam hutan, yaitu blok Pring Bubat, Mbah Resek, Parang Kulon, Ungkalan (Sukamade) hingga ke Teluk Meru.
38
Dampak Ekonomi Pengumpulan R. zollingeriana Pengumpul lebih memilih menjual R. zollingeriana dalam bentuk irisan kering karena harganya lebih tinggi dan untuk alasan keamanan menghindari kecurigaan petugas BTNMB. Saat itu, harga R. zollingeriana kering di tingkat pengepul desa mencapai harga Rp2 500/kg, Rp 10 000/kg di pengepul tingkat 2 (kota Jember/Banyuwangi) dan Rp30 000/kg ketika di tangan konsumen ataupun produsen jamu di Surabaya, Semarang dan Solo. Harga irisan R. zollingeriana yang tinggi tersebut meningkatkan pendapatan pengumpul dan pengepul. Pengumpul bisa membeli sekarung beras dari sekali menjual kenop ke pengepul. Sementara pengepul bisa meningkatkan asetnya secara perlahan-lahan. “Saya bisa membeli kambing dan sebidang tanah dari hasil menjual kembang banyu,” demikian ujar PP, salah seorang pengepul di desa Wonoasri. Dampak Pengumpulan R. zollingeriana terhadap Populasi Frekuensi dan intensitas pengumpulan kenop semakin besar sehingga populasi R. zollingeriana semakin sedikit. Penduduk yang semula mencari di sekitar pemukiman, mulai mencarinya sampai ke tengah hutan. Data kualitatif ini juga senada dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa 88.57% pengumpul menyatakan bahwa populasi R. zollingeriana dari tahun ke tahun makin sedikit dan lokasinya makin jauh. Data penelitian dari tahun ke tahun juga menunjukkan terjadinya penurunan populasi R. zollingeriana di TNMB. Data ini disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Rata-rata R. zollingeriana yang tumbuh di setiap plot pengamatan Tahun Penelitian Jumlah Plot Jumlah individu Rata-rata individu/plot 19881 9 141 18 2 1989 10 203 20 20013 3 34 11 4 2012 19 152 8 Keterangan: 1) Hikmat 1988; 2) Zuhud 1989; 3) Jamil et al. 2001; 4) Penelitian ini *pembulatan
Penurunan populasi karena aktivitas pengumpulan kenop juga ditunjukkan oleh observasi di Bukit Merieman dan Teluk Hijau yang tidak berhasil menemukan satu pun R. zollingeriana meskipun informasi responden menyatakan bahwa kawasan tersebut merupakan “sumber” R. zollingeriana. Hanya populasi inang Tetrastigma spp. yang ditemukan melimpah mulai dari ketinggian 91 m dpl. Populasi inang juga ditemukan di 4 titik di Teluk Hijau, mulai dari ketinggian 42 m dpl. Observasi juga menunjukkan terjadinya penurunan populasi di beberapa kawasan. Responden menyatakan bahwa lebih dari 7 sub populasi bisa ditemukan di Bukit Mandego, namun observasi hanya berhasil menemukan 1 sub populasi dan populasi inang yang jumlahnya cukup signifikan, tersebar di 13 titik mulai dari ketinggian 82 m dpl. Hal serupa juga terjadi di Pletes dan Sumber Salak. Berkurangnya populasi R. zollingeriana ini diduga merupakan efek dari aktivitas pengumpulan kenop yang dilakukan tanpa seleksi dan tanpa mempertimbangkan siklus hidupnya. Darmadja et al. (2011) menyatakan bahwa
39
kenop R. zollingeriana setidaknya membutuhkan waktu 7 bulan untuk mekar menjadi bunga. Setelah mekar, buah dan biji akan terbentuk sehingga populasi R. zollingeriana terus berlanjut. Jika kenop pada berbagai ukuran diambil sebelum mekar, demikian pula dengan bunganya yang sedang mekar/pasca mekar, maka proses regenerasi pun terhenti dan kepunahan adalah hasilnya. Selain itu, penurunan populasi R. zollingeriana juga disebabkan oleh faktor lain seperti bencana tsunami, perambahan kawasan dan lain-lain (Hikmat 2006). Habitat operasional yang kini menjadi habitat historis karena bencana tsunami tahun 1994 adalah Teluk Meru (Nurchayati 2003) dan Rajegwesi (Sepiastini 2000). Sementara habitat yang hilang karena kawasannya telah dirambah menjadi menjadi lahan pertanian adalah Banjar Agung. Habitat lain yang diperkirakan telah menjadi habitat historis adalah kawasan Glantangan, Sungapan dan Pancamaya. Semula ketiganya adalah hutan lindung namun kini menjadi hutan monokultur di bawah pengelolaan Perhutani dan PTPN X. Berdasarkan wawancara, observasi dan penelusuran pustaka, terdapat 26 kawasan yang menjadi habitat Rafflesia. Gambar ke-26 kawasan tersebut tersaji dalam Gambar 15. Jika berdasarkan definisi Zuhud (1989) bahwa habitat operasional adalah habitat yang saat ini masih ada Rafflesianya, habitat historis adalah habitat yang Rafflesianya hilang untuk sementara waktu dan habitat potensial adalah habitat yang penuh dengan Tetrastigma spp., maka dari 26 kawasan tersebut, habitat operasionalnya diperkirakan tinggal 10 kawasan. Enam belas kawasan lain merupakan habitat historis dan habitat potensial yang perlu diobservasi lebih lanjut. Berkembangnya Kegiatan Ekowisata R. zollingeriana di TNMB Kegiatan massal pengumpulan R. zollingeriana tidak bertahan lama. Pada akhir dekade 1980-an, permintaan irisan R. zollingeriana menurun, demikian pula dengan harganya. Hal ini disebabkan oleh curangnya para pengumpul. R. zollingeriana yang didapatkan dari hutan semakin sedikit sementara harganya masih tinggi. Mereka pun mencampur irisan kering R. zollingeriana dengan irisan batang pisang supaya tetap mendapatkan keuntungan. Mulai menurunnya harga membuat antusiasme masyarakat untuk mengumpulkan kenop semakin rendah. Mereka lebih memilih mata pencaharian lain yang dinilai lebih menguntungkan daripada mempertahankan aktvitas ini. Sampai kini, permintaan R. zollingeriana tetap ada. Namun di tingkat pengepul kabupaten, R. zollingeriana yang dulu dihargai hingga Rp30 000/kg kering kini hanya dihargai Rp10 000. Meskipun telah berkurang signifikan, namun kegiatan ilegal pengumpulan R. zollingeriana masih dilakukan, terutama oleh masyarakat yang biasa keluar masuk TNMB untuk memungut hasil hutan. Jumlah pengambilan lebih kecil, berdasarkan pesanan personal. Ketika aktivitas pengumpulan massal kenop berkurang, bentuk pemanfaatan yang muncul selanjutnya adalah ekowisata R. zollingeriana. Bentuk pemanfaatan ini mulai berjalan sejak Meru Betiri ditetapkan sebagai taman nasional dan habitat R. zollingeriana di Rajegwesi, Sukamade dan Krecek ditetapkan sebagai plot permanen untuk pengamatan populasi.
40
41
Jumlah kunjungan wisatawan terhadap plot tersebut masih rendah. Wisatawan yang berkunjung ke plot tersebut lebih didominasi oleh para pelajar mahasiswa peserta pendidikan konservasi yang diadakan BTNMB serta wisatawan yang tidak sengaja berkunjung setelah membaca papan informasi. Oleh karena itu, manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dari kegiatan ini masih rendah Jumlah responden yang tahu bahwa R. zollingeriana tersebut dikunjungi wisatawan hanya mencapai angka 29.94% dan jumlah responden yang merasakan manfaat ekonominya baru mencapai angka 12.10%.
Konservasi R. zollingeriana di TNMB Kegiatan Konservasi R. zollingeriana yang Dilakukan R. zollingeriana telah dikonservasi sejak kawasan Meru Betiri masih berstatus sebagai Suaka Margasatwa maupun setelah menjadi Taman Nasional. Konservasi yang dilakukan meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan, sebagai berikut: 1. Konservasi R. zollingeriana saat Meru Betiri Berstatus Suaka Margasatwa Kegiatan perlindungan yang dilakukan adalah patroli kawasan dan penindakan pelaku pengumpulan kenop R. zollingeriana secara informal karena peraturan operasional yang mengaturnya belum ada. Sedangkan kegiatan pengawetan berupa budidaya, monitoring dan inventarisasi lokasi tumbuh belum dilakukan. Kegiatan pemanfaatan untuk penelitian R. zollingeriana mulai dilakukan, namun tidak banyak. Tercatat hanya 2 judul penelitian (Hikmat 1988; Zuhud 1989) dan 1 judul artikel jurnal (Zuhud 1988) yang diterbitkan. 2. Konservasi R. zollingeriana setelah Meru Betiri Berstatus Taman Nasional Kegiatan konservasi R. zollingeriana mulai difokuskan pada kegiatan pengawetan. Sementara kegiatan perlindungan belum dilakukan secara khusus untuk R. zollingeriana. Perlindungan hanya dilakukan secara umum, mencakup seluruh kawasan, yaitu penetapan zonasi, patroli kawasan dan pendidikan konservasi bagi warga sekitar TNMB dan organisasi pecinta alam. Kegiatan pengawetan yang dilakukan adalah pembinaan habitat dan monitoring untuk penyusunan informasi ilmiah. Kegiatan ini mulai dilakukan sejak tahun 2000. Monitoring R. zollingeriana di sub seksi Sarongan dilakukan pada tahun 2001 dan di wilayah sub seksi Ambulu pada tahun 2002. BTNMB juga melakukan pembinaan habitat di plot permanen Krecek dan Sukamade pada tahun 2003 (BTNMB 2003). Kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan habitat dari tumbuhan pengganggu, mengukur, member nomor dan lokasi tumbuh kenop, memperbanyak inang dan menyebarkannya ke plot permanen, serta pembuatan papan nama plot pengamatan. Monitoring R. zollingeriana kembali dilakukan pada tahun 2011, di luar plot permanen, yaitu di Blok Bun Ngetek dan Lodadi, Parang Wetan Sukamade, Sumbertengu, Rajegwesi dan di Teluk Hijau. Inventarisasi ini mengajak serta penduduk lokal Sarongan.
42
Kegiatan pemanfaatan juga dilakukan. Plot permanen untuk pengamatan populasi di Krecek dan Sukamade mulai digunakan untuk sarana pendidikan, penelitian, wisata alam, upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem (SDAHE), pelestarian dan perlindungan sistem penyangga kehidupan (BTNMB 2010). Plot tersebut dilengkapi dengan papan interpretasi, dipagari, dan dibangunkan tangga untuk perlintasan bagi yang lewat. Usaha pengelolaan plot permanen tersebut tampak dalam Gambar 16. BTNMB mensosialisasikan keberadaan ekowisata R. zollingeriana ini dalam laman daring www.merubetiri.com dan brosur profil TNMB. Populasi R. zollingeriana di dua plot permanen tersebut juga didata dan diamati sebulan sekali. Hasilnya diterbitkan menjadi buku informasi (Darmadja et al. 2011). Buku tersebut memuat informasi mengenai penyebaran, populasi, habitat, siklus kehidupan, perkembangbiakan, penyebaran biji, manfaat kegunaan dan tumbuhan inang. Selain pengamatan oleh BTNMB, penelitian juga dilakukan oleh akademisi. Terdapat 3 penelitian yang telah dilakukan (Nurchayati 2003; Julianti 2010; Dhistira 2011) dan 2 publikasi pada prosiding (Jamil et al. 2001) dan jurnal (Hikmat 2006).
Gambar 16
Pemasangan papan informasi, pagar dan tangga di plot permanen Krecek.
Kegiatan konservasi R. zollingeriana tersebut telah membuat masyarakat sekitar menyadari bahwa R. zollingeriana merupakan flora yang penting. Sebagian besar responden (84.71%) menyatakan tahu bahwa R. zollingeriana adalah flora langka yang dilindungi. Pengetahuan ini didapatkan dari papan informasi di plot permanen. Sebagian besar responden, yaitu sebesar 64.33%, juga telah mengetahui bentuk bunga R. zollingeriana.
43
Stakeholder Konservasi R. zollingeriana Stakeholder konservasi R. zollingeriana di TNMB berbentuk organisasi laba-nirlaba, instansi maupun masyarakat sekitar TNMB. Jika dibedakan berdasarkan jenis kegiatan konservasi: perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan, maka stakeholder kegiatan perlindungan sebanyak 12 stakeholder, yaitu BTNMB, Dinas Kehutanan, pemerintah desa Wonoasri, Curahnongko, Sanenrejo, Andongrejo dan Sarongan, masyarakat desa Wonoasri, Curahnongko, Sanenrejo, Andongrejo dan Sarongan. Stakeholder kegiatan pengawetan sebanyak 9 stakeholder, yaitu BTNMB, BKSDA, peneliti akademisi luar Jember Banyuwangi, peneliti akademisi Jember-Banyuwangi, masyarakat desa Wonoasri, Curahnongko, Sanenrejo, Andongrejo dan Sarongan. Stakeholder pemanfaatan sebanyak 20 stakeholder yaitu BTNMB, swasta, peneliti akademisi dari luar Jember-Banyuwangi, peneliti dari Jember-Banyuwangi, organisasi pecinta alam, LSM KAIL, masyarakat desa Wonoasri, Curahnongko, Sanenrejo, Andongrejo dan Sarongan, pemerintah desa Wonoasri, Curahnongko, Sanenrejo, Andongrejo dan Sarongan, pemerintah kecamatan Sarongan dan Pasanggaran, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jember dan Banyuwangi. Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (BPPA) – Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumberdaya Alam (UPT KSA) - BTNMB BPPA, UPT KSA dan BTNMB adalah pengelola kawasan Meru Betiri. BPPA dan UPT KSA adalah pengelola Meru Betiri ketika masih berstatus sebagai suaka margasatwa, sementara BTNMB adalah pengelola ketika kawasan berstatus sebagai taman nasional. Ketiga instansi tersebut memiliki tanggung jawab untuk mengkonservasi R. zollingeriana yang tumbuh endemik di TNMB. BKSDA Salah satu tugas pokok BKSDA adalah melakukan pengawasan dan pemantauan atas peredaran tumbuhan ataupun satwa yang masuk dalam daftar yang dilindungi maupun tidak di masing-masing wilayah. Dengan demikian, seharusnya instansi ini terlibat dalam pengawasan dan pengendalian kegiatan pengumpulan dan perdagangan kenop R. zollingeriana. Namun wawancara dengan petugas BKSDA menyatakan bahwa selama ini belum ada tindakan pengawasan dan penindakan yang dilakukan terkait R. zollingeriana di TNMB. Peraturan yang terkait dengan Rafflesia ini hanya Permenhut No 7 tahun 1999. Sementara peraturan operasional di bawahnya belum ada. Masyarakat Sekitar TNMB Masyarakat sekitar TNMB yang menjadi stakeholder konservasi R. zollingeriana terdiri atas masyarakat Sarongan, Wonoasri, Curahnongko, Andongrejo dan Sanenrejo. Kelima masyarakat desa tersebut pernah mendapatkan manfaat ekonomi dari keberadaan R. zollingeriana sehingga mereka memiliki kepentingan atas keberlanjutan populasi R. zollingeriana. Responden pengumpul kenop menyatakan telah berpartisipasi dalam pengawetan R. zollingeriana dengan mengambil hanya kenop atau bunganya dan tetap membiarkan pohon dan inang hidup. Mereka yakin R. zollingeriana tetap akan ada asalkan pohon dan inangnya tidak ditebang. Mereka juga yakin bahwa
44
populasi flora ini masih banyak karena aktivitas pengambilan sudah tidak dilakukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran konservasi sebenarnya telah dimiliki masyarakat. Namun praktek konservasi yang mereka lakukan tidak tepat karena tingkat pengetahuan tentang R. zollingeriana minim. Selama ini, masyarakat menganggap bunga R. zollingeriana adalah bagian dari inang, bukan tumbuhan yang berbeda yang menempel hidup pada tumbuhan inang tersebut. Responden yang memiliki anggapan ini mencapai angka 43.31% dan responden yang tidak mengetahui apakah R. zollingeriana adalah tumbuhan yang berbeda atau tidak dari inangnya mencapai angka 48.41%. Jadi, hanya 8.28% yang mengetahui bahwa R. zollingeriana adalah tumbuhan parasit yang menempel pada inang. Peran masyarakat sekitar terhadap pengawetan R. zollingeriana terbatas. Kepentingan dan peran terbesar hanya dilakukan oleh masyarakat desa Sarongan. Pengetahuan mereka tentang lokasi tumbuhnya R. zollingeriana telah dimanfaatkan oleh BTNMB untuk kegiatan inventarisasi. Beberapa penduduk terlibat dan mendapatkan manfaat ekonomis dari kegiatan tersebut. Keberadaan R. zollingeriana di Teluk Hijau diharapkan menjadi daya tarik baru yang akan meningkatkan frekuensi kunjungan wisatawan ke Sarongan. Apalagi saat ini, masyarakat, pemerintah desa Sarongan dan BTNMB sedang mengembangkan Masyarakat Ekowisata Rajegwesi (MER) untuk pemberdayaan masyarakat. Masyarakat Rajegwesi pun semakin termotivasi untuk ikut menjaga keberlanjutan populasi R. zollingeriana. Sementara itu, peranan masyarakat desa lain belum ada. Masyarakat desa Andongrejo dan Curahnongko yang berada dekat plot permanen Krecek belum dilibatkan dalam pengembangan wisata R. zollingeriana. Manfaat ekonomis dari kehadiran wisatawan belum mereka peroleh sehingga mereka tidak memiliki kepentingan terhadap keberlanjutan R. zollingeriana. Pengetahuan mereka akan tempat tumbuh R. zollingeriana juga belum dimanfaatkan oleh BTNMB untuk kegiatan inventarisasi. Hal sama juga berlaku pada masyarakat Wonoasri dan Sanenrejo. Meskipun mereka mendapat manfaat besar dari keberadaan R. zollingeriana di dekade 1980an, namun karena tidak dilibatkan dalam kegiatan konservasi selanjutnya sehingga mereka tidak lagi memiliki kepentingan untuk menjaga keberlanjutan tumbuhan tersebut. Pengetahuan mereka tentang lokasi tumbuh R. zollingeriana yang berada dekat dengan wilayah desa Wonoasri juga belum dimanfaatkan untuk kegiatan inventarisasi. Peneliti dan Akademisi (dari Jember-Banyuwangi dan dari luar JemberBanyuwangi) Akademisi yang terlibat dengan kegiatan konservasi R. zollingeriana di TNMB berasal dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Jember (UNEJ). Hingga kini, tercatat ada enam judul penelitian dan publikasi ilmiah mengenai R. zollingeriana yang telah dilakukan. Penelitian lebih banyak dilakukan peneliti/akademisi dari luar daerah (Jember-Banyuwangi) daripada peneliti/akademisi lokal. Hal ini menunjukkan bahwa masih minimnya informasi ilmiah R. zollingeriana belum disadari oleh stakeholder peneliti lokal. Meski peneliti dan akademisi lokal belum banyak terlibat, setidaknya ada 5 universitas di Banyuwangi dan 6 universitas/akademi di
45
Jember yang memiliki kompetensi untuk lebih dilibatkan dalam penelitian biologi maupun ekowisata R. zollingeriana, yaitu UNEJ, Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Jember, Universitas Moch Sroedji, IKIP PGRI Jember, Akademi Pariwisata Muhammadiyah Jember, Universitas Banyuwangi, Universitas 17 Agustus, Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi, Universitas PGRI Banyuwangi dan IKIP PGRI Banyuwangi. Organisasi Pecinta Alam (OPA) dan Aktivis Lingkungan Banyak OPA dari wilayah Jember dan Banyuwangi, namun juga dari Madura, Malang, Surabaya, Yogyakarta maupun masyarakat umum (Musafak 2012) yang melakukan kegiatan lingkungan dan penjelajahan di kawasan TNMB. Mereka sering terlibat dalam pendidikan konservasi yang dilakukan BTNMB seperti Lomba Lintas Alam Bandealit-Sukamade, jelajah wisata Bandealit maupun Meru Betiri Service Camp (MBSC). Mereka juga aktif mengadvokasi masyarakat dalam perlindungan kawasan TNMB. Meskipun mereka memiliki kemampuan penjelajahan hutan dan pengetahuan dasar konservasi yang cukup, namun mereka belum terlibat aktif dalam kegiatan pengawetan maupun pemanfaatan dalam bentuk penelitian R. zollingeriana. Pemerintah Daerah (Pemda) Pemerintah daerah yang dimaksudkan di sini adalah pemerintah desa Wonoasri, Sanenrejo, Curahnongko, Andongrejo dan Sarongan, pemerintah kecamatan Pesanggaran dan Tempurejo, Dinas Kahutanan dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jember dan Banyuwangi. Pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Kehutanan terlibat dalam upaya perlindungan kawasan TNMB melalui beragam sosialisasi yang dilakukan BTNMB di tingkat desa dan kecamatan. Sementara Dinas Pariwisata Jember dan Banyuwangi terlibat dalam pengembangan ekowisata di TNMB. Handayani (2002) menyatakan bahwa nilai ekonomi TNMB memberikan kontribusi sebesar 31.67% terhadap pendapatan daerah. Oleh karena itu, pemda Jember, baik di tingkat kabupaten, kecamatan maupun desa memiliki kepentingan terhadap perlindungan dan pemanfaatan Meru Betiri, termasuk R. zollingeriana di dalamnya. Namun perhatian Pemda di tingkat kabupaten selama ini baru tertuju pada pemanfaatan R. zollingeriana sebagai objek wisata (Pemkab Jember 2012). Pemda belum menyadari bahwa kelangkaan R. zollingeriana adalah isu yang harus ditangani bersama. Mereka merasa bahwa keberlanjutan R. zollingeriana adalah tugas pengelola kawasan TNMB sehingga keterlibatan mereka dalam perlindungan dan pengawetan R. zollingeriana masih minim. Survei terhadap warga menyatakan bahwa tak ada kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah setempat terkait konservasi R. zollingeriana. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LSM dan organisasi yang terlibat upaya konservasi kawasan TNMB terdiri atas KAIL-LATIN, Ciwali, Hamim, WWF, ITTO, LATIN dan JATAM. Hanya LSM KAIL yang masih aktif melakukan pendampingan dan advokasi hingga kini. LSM yang khusus menangani konservasi R. zollingeriana belum ada. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang menyatakan 100% warga menyatakan bahwa tak ada LSM yang terlibat dalam aktivitas konservasi R. zollingeriana.
46
LSM KAIL saat ini belum memiliki program khusus mengenai R. zollingeriana. Namun ke depannya, mereka berencana menangkarkan R. zollingeriana di lahan rehabilitasi TNMB seluas 7 Ha yang dikelola bersama masyarakat. R. zollingeriana akan menjadi ikon wana edukasi yang akan dikembangkan. Wana edukasi yang letaknya yang berada di pinggir kawasan ini ideal untuk pengembangan wisata R. zollingeriana sehingga meski wisatawan banyak datang, kehadiran mereka tidak akan merusak populasi alami yang ada kawasan rimba dan inti. Hingga saat ini rencana tersebut belum diimplementasikan karena koordinasi dengan BTNMB sebagai pengelola kawasan belum dilakukan, begitu juga informasi ilmiah mengenai penangkaran dan budidaya R. zollingeriana, belum tersedia. Swasta Terdapat beberapa organisasi swasta yang terlibat pengembangan ekowisata TNMB. Organisasi swasta ini berbentuk agen perjalanan yang memfasilitasi kunjungan wisatawan ke TNMB. Objek wisata utama yang mereka kembangkan selama ini adalah objek ekowisata penyu di Sukamade. Mereka belum membuka paket kunjungan R. zollingeriana secara khusus karena informasi yang pasti dan rutin dari BTNMB mengenai kapan bunga R. zollingeriana akan mekar dan bisa dikunjungi belum tersedia. Kunjungan ke R. zollingeriana hanya mereka lakukan insidental, tanpa direncanakan.
Tingkat Kepentingan Stakeholder 1.
Kegiatan Perlindungan Tingkat kepentingan stakeholder terhadap perlindungan R. zollingeriana di sajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 menunjukkan bahwa kepentingan terbesar terhadap perlindungan dimiliki oleh BTNMB, sementara kepentingan terkecil ditunjukkan oleh masyarakat Sanenrejo. Rating rata-rata untuk variabel K1 (keterlibatan stakeholder dalam perlindungan) hanya sebesar 2.5. Rating rata-rata untuk variabel K2 (manfaat bagi stakeholder) sebesar 1.58, rating rata-rata untuk K3 sebesar 1.42 (program terkait pemanfaatan), rating rata-rata variabel K4 (tingkat ketergantungan stakeholder terhadap perlindungan) sebesar 1.25. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja setiap variabel masih berada pada rentang rendah hingga cukup tinggi. Keterlibatan stakeholder cukup tinggi namun manfaat, program dan tingkat ketergantungan mereka terhadap perlindungan R. zollingeriana berada pada skala rendah hingga kurang tinggi. Tabel 13 Tingkat kepentingan stakeholder dalam perlindungan R. zollingeriana No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 1 BTNMB 4 4 3 4 15 2 Dinas Kehutanan 2 2 1 1 6 3 Masyarakat Sarongan 3 4 2 1 10 4 Masyarakat Wonoasri 3 1 1 1 6 5 Masyarakat Curahnongko 2 1 1 1 5
47
Tabel 13 Tingkat kepentingan stakeholder dalam perlindungan R. zollingeriana (lanjutan) No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 6 Masyarakat Sanenrejo 1 1 1 1 4 7 Masyarakat Andongrejo 3 1 1 1 6 8 Pemerintah desa Sarongan 2 1 3 1 7 9 Pemerintah desa Wonoasri 3 1 1 1 6 10 Pemerintah Curahnongko 2 1 1 1 5 11 Pemerintah desa Andongrejo 2 1 1 1 5 12 Pemerintah desa Sanenrejo 3 1 1 1 6 Keterangan: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah. K1: Keterlibatan stakeholder dalam perlindungan R. zollingeriana di TNMB. K2: Manfaat perlindungan R. zollingeriana di TNMB bagi stakeholder. K3: Program stakeholder terkait perlindungan R. zollingeriana di TNMB. K4:Tingkat ketergantungan stakeholder terhadap perlindungan R. zollingeriana di TNMB
2.
Kegiatan Pengawetan Tingkat kepentingan stakeholder terhadap pengawetan R. zollingeriana di sajikan dalam Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa kepentingan terbesar terhadap pengawetan dimiliki oleh BTNMB dan peneliti akademisi luar Jember Banyuwangi. Sedangkan kepentingan terkecil ditunjukkan oleh masyarakat Sanenrejo, Curahnongko dan Wonoasri. Rating rata-rata untuk variabel K1 (keterlibatan stakeholder dalam pengawetan) sebesar 1.89. Rating rata-rata untuk variabel K2 (manfaat bagi stakeholder) sebesar 2.2, rating rata-rata untuk K3 sebesar 1.55 (program terkait pengawetan), rating rata-rata variabel K4 (tingkat ketergantungan stakeholder terhadap pengawetan) sebesar 2.56. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja setiap variabel masih berada pada rentang rendah hingga cukup tinggi. Keterlibatan stakeholder dan program pengawetan yang mereka miliki berada pada skala rendah hingga kurang tinggi, namun tingkat ketergantungan mereka dan manfaat pengawetan bagi mereka masih kurang tinggi hingga cukup tinggi. Tabel 14 Tingkat kepentingan stakeholder dalam pengawetan R. zollingeriana No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 1 BTNMB 4 3 3 3 13 2 BKSDA 1 4 1 3 8 3 Peneliti akademisi luar Jember3 4 2 4 13 Banyuwangi 4 Peneliti akademisi Jember-Banyuwangi 1 1 1 3 6 5 Masyarakat Curahnongko 1 1 1 1 4 6 Masyarakat Sanenrejo 1 1 1 1 4 7 Masyarakat Andongrejo 2 2 1 4 9 8 Masyarakat desa Sarongan 3 3 3 3 12 9 Masyarakat desa Wonoasri 1 1 1 1 4 Keterangan: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah. K1: Keterlibatan stakeholder dalam pengawetan R. zollingeriana di TNMB. K2: Manfaat pengawetan R. zollingeriana di TNMB bagi stakeholder. K3: Program stakeholder terkait pengawetan R. zollingeriana di TNMB.
48
K4:Tingkat ketergantungan stakeholder terhadap pengawetan R. zollingeriana di TNMB
3.
Kegiatan Pemanfaatan Tingkat kepentingan stakeholder terhadap pemanfaatan R. zollingeriana di sajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 tersebut menunjukkan bahwa kepentingan terbesar terhadap pemanfaatan dimiliki oleh BTNMB, peneliti akademisi dari luar Jember-Banyuwangi dan masyarakat desa Sarongan. Sementara kepentingan terkecil ditunjukkan oleh masyarakat dan pemerintah desa Wonoasri, Curahnongko dan Sanenrejo. Rating rata-rata untuk variabel K1 (keterlibatan stakeholder dalam pemanfaatan) hanya sebesar 1.7. Rating rata-rata untuk variabel K2 (manfaat bagi stakeholder) sebesar 2.3, rating rata-rata untuk K3 sebesar 1.65 (program terkait pemanfaatan), rating rata-rata variabel K4 (tingkat ketergantungan stakeholder terhadap pemanfaatan) sebesar 2.15. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja setiap variabel masih berada pada rentang rendah hingga cukup tinggi. Ketergantungan dan manfaat yang didapatkan stakeholder cukup tinggi namun keterlibatan dan program yang mereka miliki terkait pemanfaatan R. zollingeriana masih rendah. Tabel 15 Tingkat kepentingan stakeholder dalam pemanfaatan R. zollingeriana No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 1 BTNMB 4 2 4 3 13 2 Peneliti-akademisi luar Jember- 4 3 3 3 13 Banyuwangi 3 Peneliti-akademisi Jember- 2 3 1 3 9 Banyuwangi 4 Organisasi pecinta alam 1 3 1 4 9 5 LSM KAIL 1 1 3 2 7 6 Masyarakat Sarongan 3 4 2 4 13 7 Masyarakat Wonoasri 1 1 1 1 4 8 Masyarakat Curahnongko 1 1 1 2 4 9 Masyarakat Sanenrejo 1 1 1 1 4 10 Masyarakat Andongrejo 1 2 1 4 8 11 Pemerintah desa Sarongan 2 3 3 3 11 12 Pemerintah desa Wonoasri 1 1 1 1 4 13 Pemerintah Curahnongko 1 2 1 1 5 14 Pemerintah desa Andongrejo 1 3 1 1 6 15 Pemerintah desa Sanenrejo 1 1 1 1 4 16 Pemerintah kecamatan Pesanggaran 1 4 2 3 10 17 Pemerintah kecamatan Tempurejo 1 4 1 1 7 18 Dinas Pariwisata dan Budaya Jember 3 2 2 1 8 19 Dinas Pariwisata dan Budaya 3 2 2 1 8 Banyuwangi 20 Swasta 1 3 1 3 8 Keterangan: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah. K1: Keterlibatan stakeholder dalam pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB. K2: Manfaat pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB bagi stakeholder. K3: Program stakeholder terkait pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB. K4:Tingkat ketergantungan stakeholder terhadap pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB
49
Tingkat Pengaruh Stakeholder 1.
Kegiatan Perlindungan Tingkat pengaruh stakeholder terhadap perlindungan R. zollingeriana disajikan dalam Tabel 16. Tabel 16 tersebut menunjukkan bahwa pengaruh terbesar terhadap perlindungan dimiliki oleh peneliti akademisi dari luar JemberBanyuwangi. Sementara pengaruh terkecil ditunjukkan oleh pemerintah desa Wonoasri, Curahnongko dan Sanenrejo. Rating rata-rata untuk variabel K1 (kemampuan stakeholder memperjuangkan aspirasi terkait perlindungan) hanya sebesar 1.55. Rating ratarata untuk variabel K2 (kontribusi fasilitas stakeholder) sebesar 1.95, rating ratarata untuk K3 (kapasitas kelembagaan/SDM stakeholder) sebesar 2.2 dan rating rata-rata variabel K4 (dukungan anggaran stakeholder terhadap perlindungan) sebesar 1.4. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja setiap variabel masih berada pada rentang rendah hingga cukup tinggi. Kapasitas kelembagaan/SDM stakeholder cukup tinggi namun kemampuan mereka memperjuangkan aspirasinya, kontribusi fasilitas dan dukungan anggarannya masih berada pada skala rendah hingga kurang tinggi. Tabel 16 Tingkat pengaruh stakeholder dalam perlindungan R. zollingeriana No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 1 BTNMB 4 4 3 4 15 2 Dinas Kehutanan 2 2 3 1 8 3 Masyarakat Sarongan 2 3 2 1 8 4 Masyarakat Wonoasri 1 1 1 1 4 5 Masyarakat Curahnongko 1 1 1 1 4 6 Masyarakat Sanenrejo 1 1 1 1 4 7 Masyarakat Andongrejo 1 1 1 1 4 8 Pemerintah desa Sarongan 2 1 1 1 5 9 Pemerintah desa Wonoasri 2 1 1 1 5 10 Pemerintah Curahnongko 2 1 1 1 5 11 Pemerintah desa Andongrejo 2 1 1 1 5 12 Pemerintah desa Sanenrejo 2 1 1 1 5 Keterangan: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah. P1: Kemampuan stakeholder dalam memperjuangkan aspirasinya terkait perlindungan R. zollingeriana di TNMB. P2: Kontribusi fasilitas yang diberikan oleh stakeholder terkait perlindungan R. zollingeriana P3: Kapasitas kelembagaan/SDM yang ditugaskan oleh stakeholder terkait perlindungan R. zollingeriana di TNMB. P4: Dukungan anggaran stakeholder yang digunakan untuk perlindungan R. zollingeriana di TNMB.
2.
Kegiatan Pengawetan Tingkat pengaruh stakeholder terhadap pengawetan disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17 tersebut menunjukkan terbesar terhadap pengawetan dimiliki oleh peneliti akademisi Banyuwangi. Sementara pengaruh terkecil ditunjukkan oleh Curahnongko dan Sanenrejo.
R. zollingeriana bahwa pengaruh dari luar Jembermasyarakat desa
50
Rating rata-rata untuk variabel K1 (kemampuan stakeholder memperjuangkan aspirasi terkait pengawetan) hanya sebesar 1.89. Rating rata-rata untuk variabel K2 (kontribusi fasilitas stakeholder) sebesar 1.67, rating rata-rata untuk K3 (kapasitas kelembagaan/SDM stakeholder) sebesar 2.2, rating rata-rata variabel K4 (dukungan anggaran stakeholder terhadap pengawetan) sebesar 1.1. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja setiap variabel masih berada pada rentang rendah hingga cukup tinggi. Kapasitas kelembagaan/SDM stakeholder cukup tinggi namun kemampuan mereka memperjuangkan aspirasinya, kontribusi fasilitas dan dukungan anggarannya masih rendah hingga kurang tinggi. Tabel 17 Tingkat pengaruh stakeholder dalam pengawetan R. zollingeriana No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 1 BTNMB 4 3 2 1 10 2 BKSDA 3 1 3 1 8 3 Peneliti akademi luar Jember- 3 3 3 2 11 Banyuwangi 4 Peneliti akademi Jember-Banyuwangi 1 1 3 1 6 5 Masyarakat Curahnongko 1 1 1 1 4 6 Masyarakat Sanenrejo 1 1 1 1 4 7 Masyarakat Andongrejo 1 2 1 1 5 8 Masyarakat desa Sarongan 2 2 3 1 7 9 Masyarakat desa Wonoasri 1 1 3 1 6 Keterangan: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah. P1: Kemampuan stakeholder dalam memperjuangkan aspirasinya terkait pengawetan R. zollingeriana di TNMB. P2: Kontribusi fasilitas yang diberikan oleh stakeholder terkait pengawetan R. zollingeriana P3: Kapasitas kelembagaan/SDM yang ditugaskan oleh stakeholder terkait pengawetan R. zollingeriana di TNMB. P4: Dukungan anggaran stakeholder yang digunakan untuk pengawetan R. zollingeriana di TNMB.
3.
Kegiatan Pemanfaatan Tingkat pengaruh stakeholder terhadap pemanfaatan R. zollingeriana disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18 tersebut menunjukkan bahwa pengaruh terbesar terhadap pemanfaatan dimiliki oleh peneliti akademisi dari luar JemberBanyuwangi. Sementara pengaruh terkecil ditunjukkan oleh pemerintah desa Wonoasri, Curahnongko dan Sanenrejo. Rating rata-rata untuk variabel K1 (kemampuan stakeholder memperjuangkan aspirasi terkait pemanfaatan) hanya sebesar 1.55. Rating ratarata untuk variabel K2 (kontribusi fasilitas stakeholder) sebesar 1.95, rating ratarata untuk K3 (kapasitas kelembagaan/SDM stakeholder) sebesar 2.2, rating ratarata variabel K4 (dukungan anggaran stakeholder terhadap pemanfaatan) sebesar 1.4. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja setiap variabel masih berada pada rentang rendah hingga cukup tinggi. Kapasitas kelembagaan/SDM stakeholder cukup tinggi namun kemampuan mereka memperjuangkan aspirasinya, kontribusi fasilitas dan dukungan anggarannya masih rendah hingga kurang tinggi.
51
Tabel 18 Tingkat pengaruh stakeholder dalam pemanfaatan R. zollingeriana No Stakeholder Kepentingan Jumlah K1 K2 K3 K4 1 BTNMB 4 3 2 2 11 2 Peneliti-akademisi luar Jember3 4 3 2 12 Banyuwangi 3 Peneliti-akademisi Jember-Banyuwangi 2 2 3 2 9 4 Organisasi pecinta alam 1 3 3 1 8 5 LSM KAIL 1 1 3 2 7 6 Masyarakat Sarongan 2 4 2 3 11 7 Masyarakat Wonoasri 1 2 3 1 7 8 Masyarakat Curahnongko 1 1 2 1 5 9 Masyarakat Sanenrejo 1 1 3 1 6 10 Masyarakat Andongrejo 1 2 2 1 6 11 Pemerintah desa Sarongan 1 1 3 2 7 12 Pemerintah desa Wonoasri 1 1 1 1 4 13 Pemerintah Curahnongko 1 1 1 1 4 14 Pemerintah desa Andongrejo 1 2 2 1 6 15 Pemerintah desa Sanenrejo 1 1 1 1 4 16 Pemerintah kecamatan Pesanggaran 1 2 2 2 7 17 Pemerintah kecamatan Tempurejo 1 1 1 1 4 18 Dinas Pariwisata dan Budaya Jember 3 3 2 1 9 19 Dinas Pariwisata dan Budaya 3 2 2 1 8 Banyuwangi 20 Swasta 1 2 3 1 7 Keterangan: 5: sangat tinggi; 4: tinggi; 3: cukup tinggi; 2: kurang tinggi; 1: rendah. P1: Kemampuan stakeholder dalam memperjuangkan aspirasinya terkait pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB. P2: Kontribusi fasilitas yang diberikan oleh stakeholder terkait pemanfaatan R. zollingeriana P3: Kapasitas kelembagaan/SDM yang ditugaskan oleh stakeholder terkait pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB. P4: Dukungan anggaran stakeholder yang digunakan untuk pemanfaatan R. zollingeriana di TNMB.
Klasifikasi Stakeholder Hasil pengukuran tersebut dijadikan dasar klasifikasi stakeholder menjadi key player, subject, context setter dan crowd. Klasifikasi ini selanjutkan akan dijadikan dasar untuk mempertimbangan stakeholder yang harus diajak kerjasama, stakeholder yang sebaiknya diwaspadai, stakeholder yang harus tetap dihubungi dan stakeholder yang sebaiknya diabaikan. Hasil klasifikasi stakeholder perlindungan terlihat dalam Gambar 17. Gambar 17 memperlihatkan bahwa terdapat 2 stakeholder perlindungan yang berada di kuadran key player, yaitu BTNMB dan masyarakat Sarongan. Sedangkan context setter hanya 1 yaitu yaitu Dinas Kehutanan, sementara stakeholder subject adalah pemerintah desa Sarongan. Dengan demikian, stakeholder yang harus diajak kerjasama adalah BTNMB dan masyarakat Sarongan. Sedangkan Dinas Kehutanan harus terus diajak berkomunikasi,
52
sementara pihak yang harus diwaspadai dan harus diberdayakan supaya partisipasinya meningkat adalah pemerintah desa Sarongan.
Gambar 17 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder perlindungan R. zollingeriana. Hasil klasifikasi stakeholder pengawetan terlihat dalam Gambar 18. Gambar 18 memperlihatkan bahwa terdapat 3 stakeholder pengawetan yang berada di kuadran key player, yaitu peneliti akademisi luar Jember Banyuwangi, BTNMB dan masyarakat Sarongan. Sedangkan context setter hanya 1 stakeholder, yaitu BKSDA. Stakeholder subject juga hanya 1, yaitu masyarakat desa Andongrejo.
Gambar 18 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder pengawetan R. zollingeriana.
53
Stakeholder yang harus diajak kerjasama adalah peneliti akademisi luar Jember Banyuwangi, BTNMB dan masyarakat Sarongan. Sedangkan BKSDA adalah pihak yang harus terus diajak berkomunikasi, pemerintah desa Andongrejo adalah pihak yang harus diwaspadai dan harus diberdayakan supaya partisipasinya meningkat, sementara pihak lain bukan merupakan stakeholder prioritas, bisa diabaikan. Gambar 19 memperlihatkan bahwa terdapat 7 stakeholder pemanfaatan yang berada di kuadran key player, yaitu peneliti akademisi dari luar Jember Banyuwangi, peneliti akademisi Jember Banyuwangi, BTNMB, Dinas Pariwisata Jember, Dinas Pariwisata Banyuwangi, organisasi pecinta alam dan masyarakat Sarongan. Sedangkan stakeholder subject terdiri atas 4 stakeholder, yaitu masyarakat Andongrejo, swasta, pemerintah kecamatan Pesanggaran, pemerintah desa Sarongan. Dengan demikian, stakeholder yang harus diajak kerjasama adalah peneliti akademisi dari luar Jember Banyuwangi, peneliti akademisi Jember Banyuwangi, BTNMB, Dinas Pariwisata Jember, Dinas Pariwisata Banyuwangi, organisasi pecinta alam dan masyarakat Sarongan. Sedangkan masyarakat Andongrejo, swasta, pemerintah kecamatan Pesanggaran, pemerintah desa Sarongan adalah pihak yang harus diwaspadai dan harus diberdayakan supaya partisipasinya meningkat. Sementara pihak lain bukan merupakan stakeholder prioritas, bisa diabaikan
Gambar 19 Matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder pemanfaatan R. zollingeriana.
54
Faktor Internal dan Eksternal Konservasi R. zollingeriana Jumlah populasi R. zollingeriana menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya konservasi yang dilakukan selama ini masih kurang efektif untuk menjaga keberlanjutannya. Untuk merumuskan strategi dan program konservasi yang lebih efektif dan efisien, faktor eksternal dan internal konservasi R. zollingeriana di TNMB dianalisis lebih lanjut sebagai berikut. Kekuatan Terdapat 5 elemen yang diidentifikasikan menjadi kekuatan konservasi R. zollingeriana, yaitu : 1. TNMB merupakan habitat endemik R. zollingeriana Observasi menunjukkan bahwa sebaran R. zollingeriana terbatas, hanya berada pada kawasan-kawasan tertentu di TNMB dan hutan-hutan di sekitar kawasan TNMB yang mulai terkonversi. Hanya 10 kawasan dalam TNMB yang kini diperkirakan masih menjadi habitat operasional R. zollingeriana. Oleh karena itu R. zollingeriana harus menjadi prioritas konservasi. 2. R. zollingeriana merupakan tanaman langka yang dilindungi R. zollingeriana dinyatakan sebagai spesies yang dilindungi di Indonesia. Ada beberapa dasar hukum yang melandasi pengelolaan konservasi R. zollingeriana saat ini, yaitu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan; Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.03/Menhut-II/2007 tentang Organisasi dan Tata KerjaUnit PelaksanaTeknis Taman Nasional; Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.48/MenhutII/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Spesies Tumbuhan dan Satwa; penetapan R. zollingeriana ke dalam tumbuhan yang berstatus genting (endangered) oleh IUCN (1997); dan Surat Pengesahan DIPA Balai Taman Nasional Meru Betiri. 3. Pemanfaatan R. zollingeriana melibatkan banyak stakeholder dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat Analisis stakeholder menunjukkan bahwa perlindungan melibatkan 12 stakeholder, pengawetan melibatkan 9 stakeholder dan pemanfaatan R. zollingeriana melibatkan 20 stakeholder. Kegiatan pemanfaatan yang lebih banyak melibatkan stakeholder dibandingkan kegiatan lain menunjukkan bahwa pemanfaatan harus menjadi salah satu aspek pertimbangan dalam perumusan strategi selanjutnya karena banyak potensi partisipasi yang bisa dimanfaatkan. Rafflesia berpotensi menyejahterakan masyarakat. Masyarakat di sekitar Cagar Alam (CA) Tanjung Penaba juga mengalami peningkatan pendapatan karena kunjungan wisatawan R. arnoldii (Susatya 2011), demikian pula dengan masyarakat di Batang Palupuh (Ekawati 2001). Ekowisata Rafflesia juga menjadi motivasi masyarakat Malaysia untuk
55
4.
5.
merubah matapencahariannya yang berdampak negatif bagi populasi Rafflesia menjadi pro konservasi (Nais 1996). Pengelolaan konservasi TNMB memiliki dasar hukum Pengelolaan kawasan konservasi Meru Betiri oleh BPPA-UPT KSABTNMB memiliki dasar hukum sehingga wewenang untuk melakukan semua upaya konservasi dan menindak terhadap segala pelanggaran yang terjadi berada di tangan BPPA-UPT KSA-BTNMB. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 277/Kpts-VI/Um/1997 tanggal 31 Maret 1997 menetapkan Meru Betiri sebagai taman nasional di bawah pengelolaan BTNMB. Tugas pokok BTNMB adalah menjalankan pengelolaan kawasan TNMB dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati beserta ekosistemnya, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan fungsi BTNMB adalah melaksanakan penyusunan program pengembangan TNMB, melaksanakan pemangkuan, perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan taman nasional beserta ekosistemnya, melaksanakan promosi dan informasi, konservasi jenis sumber daya alam hayati dan bina wisata alam, dan melaksanakan urusan tata usaha. Terkait dengan R. zollingeriana yang menjadi tumbuhan langka yang dilindungi dan berhabitat endemik di TNMB, maka konservasi. R. zollingeriana menjadi salah satu tanggung jawab BTNMB. Keberhasilan BTNMB menjaga keberlanjutan populasi R. zollingeriana akan menjadi keberhasilannya dalam menjaga keberlanjutan TNMB secara umum karena R. zollingeriana adalah kunci untuk konservasi kawasan secara umum (Zuhud 1989). Adanya dasar hukum untuk pengelolaan kawasan konservasi oleh multi stakeholder. Konservasi ekosistem dan sumberdaya hayati tidak mungkin dilakukan sendiri. Partisipasi dari berbagai pihak sangat diperlukan. Hal ini telah diakomodir oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19 Tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional dan Peraturan Pemerintah No P.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam yang memungkinkan pengelolaan kawasan konservasi dengan melibatkan kerjasama antar stakeholder.
Kelemahan Terdapat 6 elemen yang menjadi kelemahan konservasi R. zollingeriana, yaitu : 1. Masih rendahnya kemampuan stakeholder memperjuangkan aspirasi, masih rendahnya pendanaan dan fasilitas konservasi R. zollingeriana Analisis stakeholder menunjukkan bahwa rata-rata kinerja untuk variabel kemampuan memperjuangkan aspirasi, pendanaan dan fasilitas kegiatan pemanfaatan, perlindungan dan pengawetan masih berada pada skala rendah hingga kurang tinggi. Kinerja anggaran BTNMB untuk konservasi R. zollingeriana masih rendah. Pada tahun 2011, BTNMB menggunakan 1.397% dari total
56
2.
anggarannya untuk monitoring R. zollingeriana (BTNMB 2011). Porsi anggaran ini lebih kecil daripada anggaran yang digunakan untuk monitoring satwa. Selain itu, dana untuk konservasi R. zollingeriana juga tidak rutin ada setiap tahun. Minimnya perhatian juga ditunjukkan oleh belum adanya pendataan terhadap wisatawan ke habitat R. zollingeriana. Padahal pendataan ini diperlukan untuk merumuskan apa yang harus dipersiapkan untuk mengembangkan ekowisata R. zollingeriana. Selain karena kurangnya perhatian, tidak adanya data juga disebabkan oleh jauhnya lokasi plot dari pos petugas sehingga banyak wisatawan yang datang ke plot tanpa sepengetahuan petugas dan pemanduan. Hal ini misalnya terjadi di plot permanen Krecek maupun Teluk Hijau. Kunjungan wisawatan ke plot permanen tanpa pemanduan sangat beresiko merusak habitat karena wisatawan belum mengetahui bagaimana sesungguhnya bentuk R. zollingeriana dan di manakah lokasi tepatnya. Mereka dikhawatirkan akan menginjak kenop-kenop atau bahkan mengambilnya tanpa izin jika tidak dipandu. Pendanaan konservasi dari masyarakat rendah karena sebagian besar masyarakat sekitar TNMB masih berpendapatan rendah dan belum banyak berpartisipasi. Meskipun TNMB telah melakukan program pemberdayaan masyarakat sekitar, misalnya dengan program rehabilitasi TNMB, program desa wanafarma dan desa wisata, pelatihan budidaya anggrek (Prasojo 2012) dan program lain, namun hasilnya masih belum maksimal. Hal ini terlihat dari hasil survei yang menyatakan bahwa jumlah responden yang mengetahui adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat oleh BTNMB mencapai 64.97% dan yang mengaku terlibat baru mencapai 50% dari angka tersebut. Terbatasnya kuantitas dan kualitas SDM stakeholder Hingga akhir 2011, BTNMB hanya memiliki 103 staf dan bertugas mengelola kawasan yang luasnya mencapai 58.000 ha. Staf BTNMB yang terlibat langsung dalam konservasi flora fauna hanya berjumlah 16 orang. Mereka adalah staf yang berjabatan fungsional Pengelola Ekosistem Hutan (PEH). Hanya terdapat 1 pegawai PEH yang bertanggung jawab melakukan pendataan dan pembinaan rutin berbagai spesies flora dan fauna di setiap resort. Beban kerja yang mereka tanggung terlalu besar. Idealnya, di setiap resort terdapat 2 PEH (Indarto 2012), satu untuk flora dan satu untuk fauna, sehingga pekerjaannya lebih fokus. Pengamatan menunjukkan bahwa pengetahuan ilmiah staf BTNMB (di luar fungsional PEH) tentang R. zollingeriana cukup terbatas. Mereka tak tahu bagaimana siklus hidupnya, faktor apa yang mempengaruhi kehidupannya, mengapa banyak yang mati dan seterusnya. Hal ini menjadi faktor yang melemahkan bagi pengembangan wisata, mengingat petugas lapanganlah yang memberikan pemanduan pada wisatawan yang datang. Selain jumlah yang terbatas, etos kerja juga menjadi masalah. Petugas BTNMB yang bertugas di resort Sukamade, Sarongan dan Bandealit seharusnya melakukan pendokumentasian dan pengamatan perkembangan R. zollingeriana di plot permanen Sukamade, Teluk Hijau dan Krecek setiap bulan sekali. Namun sayang, laporan tersebut tidak diserahkan secara teratur
57
3.
sehingga perkembangan dan waktu mekarnya R. zollingeriana tidak bisa ditampilkan di laman daring www.merubetiri.com. Hal ini menunjukkan bahwa koordinasi antara petugas yang berada di kantor balai dan di kantor seksi lemah. Menurut salah seorang petugas BTNMB, salah satu penyebab ketidakdisiplinan pengamatan dan pelaporan ini terjadi karena kegiatan ini tidak lagi mendapat anggaran khusus seperti tahun sebelumnya. Sementara lemahnya koordinasi muncul karena beberapa resort letaknya sangat terpencil dan minim akses transportasi dan komunikasi. Pedoman monitoring dan pembinaan habitat R. zollingeriana telah disusun, namun implementasi di lapangan masih belum sesuai. Pedoman menugaskan pembuatan pagar pengurung berbentuk kerucut untuk melindungi kenop dari perusakan hewan, namun hal ini tidak dilakukan. R. zollingeriana pasca mekar yang ditemukan di Sukamade tidak dipagari sehingga ditemukan telah dimakan landak. Teknik pengukuran kenop yang dilakukan petugas juga kurang tepat. Petugas melakukan pengukuran keliling kenop, bukan diameter. Alat yang digunakan untuk pendataan juga hanya berupa meteran, alat tulis dan kamera sementara alat lain seperti termohigro tidak digunakan sehingga data suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah tidak bisa didokumentasikan. Data lokasi kenop yang ditampilkan dalam papan informasi tidak diperbaharui. Pembaharuan data lokasi di papan informasi hanya dilakukan di plot Krecek, sementara di plot Sukamade tidak dilakukan karena papannya rusak dan belum diperbaiki. Hasil survei menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat sekitar tentang R. zollingeriana masih minim. Pengetahuan mereka hanya terbatas pada bentuk R. zollingeriana dan bahwa R. zollingeriana adalah flora yang dilindungi dan berpotensi sebagai obat. Mereka tidak mengetahui siklus hidup R. zollingeriana dan tidak mengetahui bahwa pengambilan kenop tidak selektif akan berdampak pada kepunahannya. Upaya pencegahan kegiatan pengumpulan kenop hidup juga belum dilakukan. Materi penyuluhan yang membahas khusus mengenai konservasi R. zollingeriana untuk masyarakat sekitar dan organisasi pecinta alam belum ada. Patroli kawasan juga kurang intens dilakukan karena keterbatasan SDM dan kurang melibatkan partisipasi penduduk. Penduduk yang terlibat dalam patroli kawasan sangat sedikit. Hanya terdapat 2 pamswakarsa dari penduduk lokal yang terlibat aktif dalam patroli yang dilakukan setiap resort. Ketergantungan stakeholder terhadap konservasi R. zollingeriana masih berada pada rentang rendah-cukup tinggi Warga sekitar TNMB dahulu memang diuntungkan dengan adanya R. zollingeriana, namun kini mereka memiliki mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan. Keberadaan R. zollingeriana pun tidak lagi menjadi perhatian mereka. BTNMB sebagai pengelola kawasan pun tidak mengetatkan perlindungan terhadap populasi R. zollingeriana karena aktivitas pengambilan kenop telah jauh berkurang. Ketergantungan stakeholder terhadap konservasi R. zollingeriana secara umum rendah karena mereka belum menyadari arti penting R. zollingeriana dan potensi ekowisata yang dimilikinya. Ukuran R. zollingeriana yang tidak sebesar R. arnoldii dianggap kurang menarik wisatawan untuk berkunjung sehingga pesimisme terhadap pengembangan ekowisata R. zollingeriana masih ada.
58
4.
5.
6.
Egosentrisme stakeholder dan kurangnya kerjasama antar stakeholder Hal ini bisa terlihat dari monitoring populasi yang selama ini masih dilakukan sendiri oleh BTNMB tanpa melibatkan masyarakat. Karena lemahnya kerjasama, inventarisasi menyeluruh kawasan hutan yang menjadi habitat sebenarnya R. zollingeriana pun lambat berjalan. Hasil survei menunjukkan bahwa hanya 73.89% responden yang mengetahui bahwa BTNMB melakukan kegiatan konservasi R. zollingeriana. Bentuk kegiatan yang mereka ketahui baru terbatas pada pengamanan, pembuatan pagar plot permanen dan pemasangan papan informasi. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan tersebut juga baru mencapai angka 7.64%. Kerjasama antara BTNMB dengan masyarakat sangat terbatas karena kegiatan perlindungan yang dilakukan BTNMB selama ini dianggap membatasi interaksi masyarakat dengan hutan, sumber kehidupannya sehingga masyarakat resisten dengan kehadiran BTNMB dan sebisa mungkin menghindari interaksi dengan mereka. Kerjasama BTNMB dengan stakeholder lain juga terbatas. Masingmasing berpendapat bahwa konservasi kawasan adalah tanggung jawab BTNMB dan tidak terkait dengan tugas dan tanggung jawab stakeholder lain. Egosentrisme ini menyebabkan kerjasama mereka kurang terjalin. Kemampuan bertahan hidup kenop yang rendah Persentase kenop mati R. zollingeriana yang ditemukan pada penelitian ini mencapai 28.95%. Pengamatan regenerasi di plot Sukamade bahkan menunjukkan kematian kenop sebesar 44.44% dalam jangka waktu enam bulan. Ini menunjukkan bahwa kemampuan hidup internal R. zollingeriana memang rendah. Untuk itu, penelitian budidaya dan penangkaran R. zollingeriana harus segera dilakukan. Tingkat kematian kenop muda yang tinggi ini menunjukkan bahwa pengumpulan kenop untuk bahan jamu masih bisa dimungkinkan, asal hanya dilakukan pada kenop mati. Oleh karena itu perlu dibangun mekanisme yang mengatur siapa yang boleh mengumpulkan, kapan pengumpulan dilakukan, di mana pengumpulan boleh dilakukan, bagaimana pengurusan izin pengambilan, izin angkut dan pengolahan secara komersial serta pengawasan terhadap kegiatan tersebut. Upaya ini bisa dilakukan dengan berkoordinasi dengan instansi lain yang terkait, misalnya BKSDA dan Dinas Kehutanan. Mekanisme tersebut juga harus mengatur sanksi jika terjadi pelanggaran. Stakeholder yang terlibat dalam perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lebih dominan berada pada posisi stakeholder crowd. Posisi stakeholder key player, context setter dan subject hanya sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak stakeholder yang belum berperan aktif dalam konservasi R. zollingeriana. Oleh karena itu, mereka yang berada pada posisi subject harus diberdayakan sehingga kemampuannya meningkat demikian pula dengan partisipasinya. Sementara kerjasama antara key player harus lebih ditingkatkan dan komunikasi antara key player dengan context setter juga harus ditingkatkan.
Peluang Terdapat 3 elemen yang menjadi peluang konservasi R. zollingeriana, yaitu:
59
1.
2.
3.
TNMB berada di jalur pariwisata favorit Jember dan Banyuwangi berada pada daerah perlintasan wisatawan yang akan dan telah berkunjung ke Bali menuju destinasi favorit berikutnya, yaitu Yogyakarta. Pada tahun 2011, jumlah kunjungan wisata ke Jember mencapai angka 640 492 (BPS 2011) dan kunjungan wisata ke Banyuwangi mencapai angka 443 938 (BPS 2011). Angka ini diprediksi akan terus meningkat setiap tahunnya karena Pemda Jember dan Banyuwangi telah menyusun berbagai even wisata rutin, seperti Bulan Berkunjung Jember, Jember Fashion Carnival, Banyuwangi Ethno Carnival. Peluang ini harus dimanfaatkan untuk mempromosikan ekowisata R. zollingeriana. Apalagi sarana wisata yang ada di dalam TNMB telah memadai. Akomodasi dan konsumsi telah tersedia di dalam kawasan TNMB, yaitu di Rajegwesi, Sukamade dan Bandealit. Ekowisata sedang digemari Prospek pengembangan ekowisata R. zollingeriana sangatlah besar karena saat ini minat wisatawan terhadap jenis wisata yang bernuansa alam pun sedang meningkat (Hansen 2007). Peluang pengembangan ekowisata R. zollingeriana juga terbuka karena banyak stakeholder yang bisa dilibatkan, terutama yang berada pada posisi key player pemanfaatan. Dinas pariwisata Jember dan Banyuwangi, peneliti akademisi dari akademi pariwisata Jember dan masyarakat bisa dilibatkan dalam penyusunan program ekowisata. Hasil survei menunjukkan bahwa warga sekitar telah mengetahui bahwa R. zollingeriana berpotensi sebagai objek wisata. Angka ini mencapai 66.88%. Mereka, 92.36% responden, juga yakin bahwa pengembangan wisata R. zollingeriana tersebut akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Swasta berupa agen perjalanan yang bisa menyelenggarakan perjalanan wisata ke TNMB harus diberdayakan dan diarahkan untuk menyelenggarakan paket kunjungan ke plot R. zollingeriana. Di Jember terdapat 19 agen yang biasa melayani kebutuhan transportasi dan akomodasi wisatawan baik domestik maupun mancanegara (Jember Tourism Office 2011), sedangkan di Kalibaru, Banyuwangi terdapat 5 agen yang biasa memfasilitasi perjalanan wisata ke TNMB. Pemanasan global dan topik konservasi keanekaragaman biodiversitas sedang menjadi tren dunia Sejak Konvensi Keanekaragaman Hayati dan Konvensi Perubahan Iklim diadakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), topik pemanasan global dan konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian dunia. Banyak pihak yang tertarik dan ikut serta dalam upaya mitigasi, baik lembaga pemerintah, profit maupun nirlaba. Banyak dana dari internasional maupun domestik yang tersedia untuk kegiatan terkait konservasi dan mitigasi pemanasan global tersebut.
Ancaman Terdapat 3 elemen yang menjadi ancaman konservasi R. zollingeriana, yaitu:
60
1.
2.
3.
Bencana alam kekeringan, kebakaran, tsunami dan longsor Bencana alam mengurangi populasi R. zollingeriana di TNMB. Tsunami tahun 1994 telah melenyapkan populasi yang berada di pinggir pantai Meru dan Rajegwesi (Hikmat 2006). Kebakaran hutan yang sering terjadi di TNMB pada musim kemarau juga berpotensi melenyapkan habitat R. zollingeriana. Habitat R. zollingeriana yang dominan pada kemiringan juga rentan hilang karena adanya longsor. Belum adanya peraturan operasional mengenai R. zollingeriana Peraturan operasional yang membahas mengenai R. zollingeriana dan pengumpulan kenopnya hingga kini belum ada, demikian pula dengan peraturan yang membahas aktivitas perdagangannya. Hal ini berakibat tidak adanya penindakan formal terhadap pelanggaran. Kerjasama dengan aparat penegak hukum terkait R. zollingeriana juga belum dilakukan. Penindakan terhadap pelaku pengumpulan dan pelaku perdagangan masih bersifat informal, misalnya dengan pengiriman surat peringatan pada salah satu produsen jamu (Djunaidy 2010), sehingga dirasa kurang efektif mengatasi kegiatan pengumpulan kenop tidak selektif. Permintaan kenop R. zollingeriana untuk kenop masih ada Permintaan pengumpulan kenop R. zollingeriana masih ada hingga sekarang. Jika harga yang ditawarkan pengepul meningkat dan pendapatan masyarakat sekitar TNMB masih rendah, pengumpulan massal kenop R. zollingeriana secara tidak selektif akan mungkin terjadi kembali.
Pengukuran Faktor Eksternal dan Internal Konservasi R. zollingeriana Keseluruh elemen penyusun faktor ekternal dan internal konservasi R. zollingeriana diukur. Hasil pengukuran faktor konservasi R. zollingeriana disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19 tersebut menunjukkan bahwa elemen kekuatan yang memiliki bobot tertinggi adalah TNMB merupakan habitat endemik R. zollingeriana. Elemen tersebut mendapat bobot 0.15. Sementara elemen kelemahan yang memiliki bobot tertinggi adalah egosentrisme stakeholder, yaitu sebesar 0.15. Sedangkan untuk faktor eksternal, elemen peluang yang memiliki bobot tertinggi adalah letak kawasan TNMB yang berada di jalur wisata dan topik konservasi yang sedang menjadi tren. Elemen ini mendapat bobot 0.2. Untuk ancaman, elemen yang memiliki bobot tertinggi adalah masih adanya permintaan kenop R. zollingeriana untuk jamu, yaitu sebesar 0.3. Bobot tertinggi yang diberikan menunjukkan bahwa elemen tersebut dianggap lebih penting daripada elemen lain. Rating tertinggi faktor internal kekuatan didapatkan oleh 3 unsur, yaitu TNMB habitat endemik, status R. zollingeriana tanaman langka terlindungi, konservasinya melibatkan banyak pihak dan berpotensi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara kelemahan yang mendapat rating tertinggi 2 unsur, yaitu egosentrisme stakeholder dan tingkat bertahan hidup R. zollingeriana yang rendah. Rating tertinggi faktor eksternal peluang didapatkan oleh dua unsur, yaitu letak kawasan TNMB yang berada di jalur wisata. Sementara ancaman yang mendapat rating tinggi terdiri atas masih adanya permintaan R. zollingeriana untuk jamu dan bencana ekologis.
61
Tabel 19 Pengukuran IFAS dan EFAS konservasi R. zollingeriana
Tabel 15 juga memperlihatkan bahwa nilai kekuatan sebesar 1.8 sedangkan nilai kelemahan sebesar 0.95. Dengan demikian, nilai faktor internalnya sebesar 0.85. Sementara nilai peluang adalah sebesar 1.6 dan nilai ancaman sebesar 0.6, sehingga faktor eksternalnya sebesar 0.1. Dengan demikian, nilai faktor internal lebih besar daripada faktor eksternal, dengan perbedaan nilai sebesar 0.75. Hal ini menunjukkan bahwa selama ini reaksi yang diberikan untuk faktor internal lebih besar daripada reaksi yang diberikan untuk faktor eksternal.
62
Strategi dan Program Konservasi R. zollingeriana Strategi Konservasi R. zollingeriana Jika diwujudkan dalam matriks kuadran SWOT seperti yang ditampilkan oleh Gambar 20, terlihat bahwa strategi yang memanfaatkan kekuatan dan peluang berada pada titik koordinat (1.8, 1.6), sedangkan strategi yang memanfaatkan kekuatan dan ancaman berada pada koordinat (1.8, -0.6). Sementara strategi yang memanfaatkan kelemahan dan peluang berada pada koordinat (-0.95, 1.6) dan strategi yang memanfaatkan kelemahan dan ancaman berada pada koordinat (-0.95, -0.6). Jika keempat titik tersebut dihubungkan dengan garis diagonal, maka perpotongannya akan menunjukkan strategi yang harus diprioritaskan untuk dilakukan.
Gambar 20 Matriks SWOT konservasi R. zollingeriana. . berada pada titik koordinat (0.425, Gambar 20 menunjukkan perpotongan 0.5). Titik tersebut terletak pada kuadran I. Dengan demikian, strategi yang harus dilakukan adalah strategi agresif, yaitu meningkatkan segala kekuatan sehingga peluang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Strategi agresif juga berarti meningkatkan upaya yang sudah dilakukan selama ini ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, partisipasi stakeholder yang terlibat selama ini harus ditingkatkan supaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan R. zollingeriana mampu mencapai tujuan keberlanjutan pemanfaatan.
63
Hal ini berarti dalam kegiatan perlindungan, kerjasama antara BTNMB dengan masyarakat harus ditingkatkan, komunikasi dengan Dinas Kehutanan harus ditingkatkan, sementara pemerintah desa Sarongan harus lebih diberdayakan. Sedangkan untuk pengawetan, kerjasama antara BTNMB, masyarakat Sarongan dan peneliti luar Jember Banyuwangi harus ditingkatkan. Komunikasi dengan BKSDA ditingkatkan, sedangkan masyarakat Andongrejo harus lebih diberdayakan. Untuk kegiatan pemanfaatan, kerjasama antara BTNMB, masyarakat Sarongan, peneliti luar dan dalam Jember Banyuwangi, organisasi pecinta alam, Dinas Pariwisata Jember dan Banyuwangi harus lebih ditingkatkan, sementara masyarakat Andongrejo, pemerintah desa Sarongan, pemerintah kecamatan Pesanggaran dan swasta dan harus lebih diberdayakan supaya partisipasinya lebih meningkat. Program Konservasi R. zollingeriana Terdapat 3 program yang direkomendasikan, yaitu : 1. Pemberdayaan Stakeholder Pemberdayaan stakeholder harus dilakukan terutama bagi stakeholder yang berposisi sebagai subject di kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Stakeholder tersebut adalah masyarakat Andongrejo, swasta, pemerintah kecamatan Pesanggaran, pemerintah desa Sarongan pemerintah desa Sarongan, masyarakat Andongrejo, pemerintah desa Sarongan, pemerintah kecamatan Pesanggaran dan swasta. Pemberdayaan tersebut harus dilakukan dengan melibatkan stakeholder key player dan context setter, yaitu BTNMB, peneliti luar dan dalam Jember Banyuwangi, organisasi pecinta alam, Dinas Pariwisata Jember dan Banyuwangi, BKSDA dan Dinas Kehutanan. Pemberdayaan dapat dimulai dengan meningkatkan pengetahuan stakeholder tentang potensi ilmiah, ekologi dan ekonomi yang dimiliki R. zollingeriana dan perlunya konservasi terhadapnya. Peningkatan pengetahuan dilakukan dengan memberikan sosialisasi melalui berbagai media, baik audio, visual maupun audio visual. Oleh karena 75-87% pengetahuan biasanya diperoleh dari indera pandang, 13% indera pendengar dan sisanya dari indera lain (Arsyad 2006 diacu dalam Rahmawati et al. 2007), maka sebaiknya media sosialisasi yang digunakan adalah media yang melibatkan banyak indera, misalnya film dokumenter. Hal ini supaya maksud dan tujuan dari ajakan untuk mengkonservasi R. zollingeriana lebih cepat tersampaikan. Stakeholder subject perlu mengetahui siklus hidup R. zollingeriana dan jenis-jenis kegiatan yang akan berdampak negatif bagi populasi sehingga aktivitas ini bisa dihindari di kemudian hari. Kemampuan stakeholder untuk bekerjasama dan berkomunikasi dengan stakeholder key player dan context setter juga perlu ditingkatkan. Pemberdayaan kedua yang dilakukan adalah menciptakan matapencaharian lain bagi masyarakat sehingga ketergantungan warga yang pernah terlibat pemungutan kenop hidup berkurang dan mereka tidak melakukan aktivitas tersebut lagi. Alternatif mata pencaharian tersebut harus diciptakan bersama melalui kerjasama antara swasta, BTNMB, akademisi dan pemerintah. Contoh mata pencaharian alternatif tersebut adalah
64
2.
pemandu wisata, pemandu kegiatan inventarisasi dan monitoring, produsen suvenir khas TNMB dan lain-lain. Pengembangan ekowisata R. zollingeriana berbasis kerjasama stakeholder Ekowisata R. zollingeriana perlu dimantapkan dengan melibatkan penduduk sekitar dan stakeholder lain. Jika masyarakat sekitar mendapatkan alternatif pendapatan yang lebih besar, maka motivasi mereka untuk menjaga keberlanjutan populasi R. zollingeriana akan semakin meningkat. Pengembangan ekowisata R. zollingeriana dinilai lebih menguntungkan daripada bentuk pemanfaatan lain. Pendapatan dari pengumpulan kenop untuk jamu saat ini adalah Rp10 000/kg kenop kering. Sementara pendapatan yang akan diperoleh dari wisata kurang lebih >Rp200 000/wisatawan/hari. Pendapatan tersebut diperoleh dari tarif menginap/hari di homestay penduduk sebesar Rp50 000; untuk konsumsi/hari Rp50 000; untuk pemanduan Rp100 000/pemanduan. Nilai ini diperkirakan akan semakin meningkat jika penduduk juga mampu menyediakan oleh-oleh khas dan mengembangkan atraksi wisata yang lain. Partisipasi warga dalam kegiatan wisata sangat dimungkinkan karena kesediaan mereka untuk terlibat cukup besar. Namun demikian, meski optimis, hanya 51.59% responden yang tahu bagaimana cara mengembangkan potensi wisata R. zollingeriana ini. Oleh karena itu, perlu ada peran stakeholder lain yang berpengalaman dalam perencanaan maupun pelaksanaan program wisata. Pihak yang mungkin bisa dilibatkan di sini adalah swasta (praktisi wisata) maupun dinas pariwisata. Swasta yang bisa dilibatkan adalah agen-agen perjalanan yang membawa wisatawan ke TNMB. Jika selama ini mereka hanya membawa wisatawan untuk melihat penyu, diharapkan mereka juga membuka paket ekowisata R. zollingeriana. Untuk itu, informasi yang pasti dan rutin dari BTNMB mengenai kapan bunga R. zollingeriana akan mekar, bisa dikunjungi dan siapa kontak yang bisa dihubungi (dalam bahasa asing maupun bahasa Indonesia) harus bisa diperoleh dan diakses kapan saja. Begitu pula dengan ketentuan kunjungan, mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan: bahwa berkunjung harus dengan pemandu, dengan jumlah maksimal individu tertentu, tidak boleh melewati jalan yang tidak disediakan, tidak boleh mengambil apapun kecuali gambar. Informasi ini sebaiknya bisa diakses melalui laman daring BTNMB di www.merubetiri.com. Pihak agen perjalanan harus diyakinkan untuk melaksanakan ketentuan ini dan diberikan sanksi jika terjadi pelanggaran. Plot permanen R. zollingeriana untuk ekowisata harus dalam keadaan yang kondusif untuk dikunjungi, disertai informasi yang lengkap dan menarik sehingga meskipun pengunjung tak dapat menyaksikan R. zollingeriana mekar secara langsung mereka tetap dapat puas. Informasi ini sebaiknya disusun tak hanya dalam bentuk visual, namun juga audio visual yang ditampilkan setelah wisatawan selesai berkunjung di plot permanen. Media audio visual tersebut bisa juga dijadikan souvenir kunjungan. Petugas BTNMB maupun masyarakat yang bertugas menjadi pemandu pun harus memahami semua informasi R. zollingeriana dan
65
3.
mampu mengkomunikasikannya dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing. Untuk itu perlu diadakan pelatihan mengenainya. Masyarakat yang sebaiknya dilibatkan sebagai pemandu, terutama untuk wisatawan asing adalah mereka yang berusia muda. Hal ini untuk memberikan alternatif pendapatan dan mengurangi potensi terjadi pengumpulan massal kenop hidup di kemudian hari. Untuk mengembangkan ekowisata ini, kompetensi warga untuk menjadi pelaku wisata (pelatihan bahasa Inggris, hospitality pariwisata, pelatihan pembuatan suvenir R. zollingeriana dan lain-lain) perlu ditingkatkan, demikian pula dengan kelembagaannya. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan partisipasi BTNMB, akademisi dan pemda (stakeholder key player). Pengelolaan konservasi R. zollingeriana berbasis zonasi Populasi R. zollingeriana tersebar di berbagai zona taman nasional. Oleh karena itu, sebaiknya pengelolaan konservasi R. zollingeriana dilakukan berbasis zonasi. Pemanfaatan R. zollingeriana untuk kegiatan ekowisata sebaiknya hanya dilakukan pada habitat yang berada di zona pemanfaatan, supaya kegiatan ekowisata lebih fokus, mudah dikelola dan menjaga populasi di kawasan lain tetap terjaga. Aktivitas ekowisata yang tak terfokus di salah satu kawasan dikhawatirkan akan menyulitkan pengelolaan sehingga merusak populasi yang ada. Hal ini misalnya terjadi pada R. arnoldii di Sumatera Barat (Akhriadi 2010). Beberapa populasinya menghilang karena terlalu sering dikunjungi wisatawan dan pengawasannya kurang. Pengembangan ekowisata R. zollingeriana dengan melibatkan masyarakat lokal juga bisa dilakukan pada populasi yang terletak di dalam/di dekat enclave. Meskipun kehadiran petugas BTNMB di sana minim, kehadiran masyarakat akan membuat kunjungan wisatawan tetap terpandu dan tidak merusak populasi. Perlu dibangun mekanisme yang jelas mengenai tugas dan kewajiban penduduk lokal, siapa penduduk lokal yang bisa dilibatkan menjadi pemandu, bagaimana mereka bekerja, hak apakah yang akan mereka dapatkan dan sanksi apakah yang akan diberlakukan jika terjadi pelanggaran berupa perusakan populasi dan habitat oleh wisatawan. Kegiatan perlindungan harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi terutama dari BTNMB dan Masyarakat Sarongan. Sedangkan pengawetan harus dilakukan dengan meningkatkan kerjasama antara peneliti akademisi luar Jember Banyuwangi, BTNMB dan masyarakat Sarongan. Sementara pemanfaatan, baik untuk penelitian maupun ekowisata, harus dilakukan dengan meningkatkan kerjasama antara peneliti akademisi dari luar Jember Banyuwangi, peneliti akademisi Jember Banyuwangi, BTNMB, Dinas Pariwisata Jember, Dinas Pariwisata Banyuwangi, organisasi pecinta alam dan masyarakat Sarongan. Kegiatan perlindungan sebaiknya difokuskan pada populasi R. zollingeriana yang berada di zona inti dan rimba. Perlindungan harus ditingkatkan pada populasi yang berada dekat dengan kawasan rehabilitasi, yaitu Pletes, Timunan dan Grautan. Saat ini, tanaman rehabilitasi yang berada di dekat kawasan tersebut sudah semakin tinggi, sehingga aktivitas pertanian semusim yang semula menyumbang 21.45% pendapatan petani
66
(Suharti 2004) mulai menurun produktivitasnya. Jika patroli tidak rutin diadakan, maka kemungkinan petani untuk melebarkan kawasan rehabilitasi hingga ke zona rimba guna mendapatkan lahan pertanian semusim akan semakin terbuka dan populasi R. zollingeriana yang berada di kawasan tersebut terancam keberlangsungannya. Perlindungan ini sebaiknya dilakukan dengan mengajak serta masyarakat. Kegiatan pengawetan yang harus dilakukan adalah inventarisasi dan monitoring 26 kawasan yang menjadi habitat potensial R. zollingeriana. Hal ini dilakukan untuk memastikan penyebaran dan populasi sebenarnya R. zollingeriana di TNMB. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan bersama-sama oleh BTNMB, masyarakat, akademisi, OPA. Penduduk yang selama ini bermata pencaharian sebagai pemungut hasil hutan harus dilibatkan karena mereka lebih mengetahui lokasi tumbuhnya R. zollingeriana. Hal ini juga dilakukan untuk memberikan alternatif tambahan pendapatan sehingga mereka tidak akan terlibat pemungutan kenop R. zollingeriana yang tidak selektif. Untuk mengetahui data apa yang dibutuhkan dan bagaimana cara mendapatkannya, masyarakat, staf BTNMB dan organisasi pecinta alam sebaiknya mendapatkan informasi dasar dan pelatihan monitoring R. zollingeriana dari BTNMB dan peneliti akademisi. Materi ini bisa diberikan dalam MBSC maupun kegiatan pendidikan kader konservasi yang lain.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
Populasi R. zollingeriana tersebar di berbagai zona sehingga pengelolaan konservasi di TNMB bisa dilakukan berbasis zonasi. Ditemukan 9 lokasi tumbuh yang baru terdokumentasikan, yaitu di Pletes, Timunan, Grautan, Proliman, Mandego, Sumbersalak, Pasir Pendek dan Pasir Ireng. Terdapat 26 kawasan yang menjadi habitat Rafflesia di TNMB, 10 kawasan telah diobservasi masih operasional sementara 16 kawasan lainnya perlu diobservasi lebih lanjut. Tingkat kematian kenop cukup tinggi dan tingkat keberhasilan kenop untuk mekar rendah sehingga penelitian teknik penangkaran R. zollingeriana harus segera dilakukan. Tingkat kematian kenop muda yang tinggi ini menunjukkan bahwa pengumpulan kenop untuk bahan jamu masih bisa dimungkinkan, asal dilakukan selektif hanya pada kenop mati. Oleh karena itu perlu dibangun mekanisme yang mengaturnya. Pemanfaatan kenop untuk bahan jamu dilakukan oleh masyarakat sekitar TNMB yang tidak memiliki lahan dan menggantungkan hidupnya dari pemungutan hasil hutan. Pemanfaatan ini berpengaruh negatif terhadap populasi. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah rata-rata individu R. zollingeriana dalam setiap plot yang makin menurun. Pemungutan kenop tidak selektif masih mungkin terjadi karena hingga kini permintaan kenop masih ada dan masih dilakukan oleh masyarakat dalam jumlah kecil berdasarkan pesanan personal. Masyarakat yang masih terlibat maupun yang berpotensi terlibat
67
3.
4.
5.
pengumpulan kenop R. zollingeriana ini harus segera diberdayakan, tingkat pengetahuannya ditingkatkan dan diberikan alternatif mata pencaharian lain. Stakeholder yang harus diajak bekerjasama dalam kegiatan perlindungan adalah BTNMB dan masyarakat Sarongan. Dinas Kehutanan adalah pihak yang harus terus diajak berkomunikasi dan pemerintah desa Sarongan adalah pihak yang harus diwaspadai dan harus diberdayakan supaya partisipasinya meningkat. Stakeholder yang harus diajak kerjasama untuk kegiatan pengawetan adalah peneliti akademisi luar Jember Banyuwangi, BTNMB dan masyarakat Sarongan. BKSDA adalah pihak yang harus terus diajak berkomunikasi dan pemerintah desa Andongrejo adalah pihak yang harus diwaspadai dan harus diberdayakan. Sedangkan stakeholder yang harus diajak bekerjasama untuk pemanfaatan R. zollingeriana adalah peneliti akademisi dari luar Jember Banyuwangi, peneliti akademisi Jember Banyuwangi, BTNMB, Dinas Pariwisata Jember, Dinas Pariwisata Banyuwangi, organisasi pecinta alam dan masyarakat Sarongan. Masyarakat Andongrejo, swasta, pemerintah kecamatan Pesanggaran, pemerintah desa Sarongan adalah pihak yang harus diwaspadai dan harus diberdayakan supaya partisipasinya meningkat. Reaksi yang diberikan untuk faktor internal konservasi R. zollingeriana lebih lebih besar daripada faktor eksternal. Hal ini ditunjukkan oleh nilai faktor internal yang lebih tinggi, yaitu sebesar 1.8 (kekuatan) dan 0.95 (kelemahan). Sedangkan nilai faktor eksternal sebesar 1.6 (peluang) dan 0.6 (ancaman). Elemen kekuatan yang dianggap paling penting adalah TNMB habitat endemik R. zollingeriana sedangkan elemen terpenting peluang adalah letak kawasan TNMB yang berada di jalur wisata dan topik konservasi yang sedang menjadi tren. Dua elemen ini menjadi prioritas yang harus dikembangkan lebih lanjut. Sedangkan elemen terpenting kelemahan adalah egosentrisme stakeholder dan elemen terpenting ancaman adalah masih adanya permintaan kenop R. zollingeriana untuk jamu. Kedua elemen ini harus menjadi prioritas untuk segera diatasi. Strategi konservasi R. zollingeriana di TNMB adalah strategi agresif, meningkatkan kekuatan sehingga peluang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kerjasama antara stakeholder key player harus ditingkatkan, demikian pula komunikasi dengan stakeholder context setter dan pemberdayaan terhadap stakeholder subject. Program konservasi R. zollingeriana yang direkomendasikan adalah pemberdayaan stakeholder, pengembangan ekowisata R. zollingeriana berbasis stakeholder dan pengelolaan konservasi R. zollingeriana berbasis zonasi dan kerjasama stakeholder.
Saran 1. 2. 3.
Penelitian mengenai teknik penangkaran R. zollingeriana Penelitian mengenai pengelolaan ekowisata R. zollingeriana berbasis stakeholder Penelitian mengenai pemberdayaan stakeholder
68
4. 5.
Pemetaan populasi R. zollingeriana di TNMB berdasarkan hasil inventarisasi dan monitoring secara berkala Perlunya komitmen dan konsistensi stakeholder dalam berpartisipasi melaksanakan strategi dan program konservasi yang direkomendasikan penelitian ini
DAFTAR PUSTAKA Agusta I. 2003. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Kualitatif [Internet]. [diunduh pada 14 Maret 2012]. Tersedia pada: http://ivanagusta.wordpress.com/personal/. Akhriadi P. 2010. Assesment of conservation status of Rafflesia in West Sumatra, Indonesia. Final Report to Rufford Small Grant (for Nature Conservation). Padang (ID): RMT. Ali MA. 2013. Tim Ekspedisi Rafflesia Himakova 2013 menemukan Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Bojonglarang Jayanti Cianjur [Internet]. [Diunduh pada 2013 Februari 15]. Tersedia pada: http://kshe.fahutan.ipb.ac.id/id/?p=1611. Anshari GZ. 2006. Dapatkah Pengelolaan Kolaboratif Menyelamatkan Danau Sentarum. Bogor (ID): CIFOR Asanga CA. 2005. Bab 2: Memfasilitasi kemitraan yang layak dalam pengelolaan hutan komunitas di Kamerun. Di dalam: Wollenberg E, Edmunds D, Buck L, Fox J, Brodt S, editor. Pembelajaran Sosial dalam Pengelolaan Hutan Komunitas. Bogor (ID): Pustaka Latin-CIFOR. Astuti IP, Yuzammi, Darnaedi D. 2001. Usaha konservasi ex-situ spesies-spesies Rafflesia di kebun raya Bogor. Di dalam: Damayanti dan Zuhud, editor. Prosiding Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia; Bogor, 16 Juni 2001. Bogor (ID): Rafflesia Foundation. hlm 28–30. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Banyuwangi. 2010. Kabupaten Banyuwangi dalam Angka. Banyuwangi (ID): Pemda Banyuwangi. Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Jember. 2010. Kabupaten Jember dalam Angka. Jember (ID): Pemda Jember. Balete DS, Pelser PB, Nickrent DL, Barcelona JF. 2010. Rafflesia verrucosa (Rafflesiaceae), a new species of small-flowered Rafflesia from eastern Mindanao, Philippines. Phytotaxa. 10:49–57. Banziger, H. 2004. Studies on hitherto unknown fruits and seeds of some Rafflesiaceae, and a method to manually pollinate their flowers for research and conservation. Linzer biol. Beitr. 36(2):1175–1198. Barcelona JF, Fernando ES. 2002. A new species of Rafflesia (Rafflesiaceae) from Panay Island, Philippines. Kew Bull. 57:647–651. Barcelona JF, Cajano MO, Hadsall AS. 2006. Rafflesia baletei, another new Rafflesia (Rafflesiaceae) from the Philippines. Kew Bull. 61(2):231–237. Barcelona JF, Pelser PB, Cajano MO. 2007. Rafflesia banahaw (Rafflesiaceae), a new species from Luzon, Philippines. Blumea. 52:345–350.
69
Barcelona JF, Pelser PB, Cabutaje EM, Bartolome NA. 2008. Another new species of Rafflesia (Rafflesiaceae) from Luzon, Philippines: R. leonardi. Blumea. 53:223–228. Barcelona JF, Co LL, Balete DS, Bartolome NA. 2009. Rafflesia aurantia (Rafflesiaceae): a new species from northern Luzon, Philippines. Gardens' Bulletin Singapore. 61:17–27. Barcelona JF, Fernando ES, Nickrent DL, Balete DS, Pelser PB. 2011. An amended description of Rafflesia leonardi and revised key to Philippine Rafflesia (Rafflesiaceae). Phytotaxa. 24:11–18. Barkman TJ, Lim SH, Mat Salleh K, Nais J. 2004. Mitochondria DNA sequences reveal photosynthetic relatives of Rafflesia, the world’s largest flower. PNAS. 101(3):787–792. Beaman RS, Pamla JD, Beaman JH. 1988. Pollination of Rafflesia (Rafflesiaceae). Amer. J Bot. 75(8):1148–1162. Bouman F, Meijer W. 1994. Comparative structure of ovules and seeds in Rafflesiaceae. Plant Systematics and Evolution. 193:187–212. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Banyuwangi dalam Angka. Jember (ID): BPS Banyuwangi. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Jember dalam Angka. Jember (ID): BPP Kabupaten Jember-BPS Jember. Brown R. 1821. An Account of a new genus of plants, named Rafflesia. Transactions of The Linnean Society of London. 13:201–234. Bryson JM. 2004. What to do when stakeholders matters: stakeholder identification and analysis techniques. Public Manajemen Review. 6(1):21– 53. [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2002. Laporan Inventarisasi Tumbuhan Rafflesia di Sub Seksi Ambulu. Jember (ID): Kemenhut Dirjen PHKA-BTNMB. [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2003. Laporan Pembinaan Habitat R. zollingeriana Kds di Taman Nasional Meru Betiri. Jember (ID): Kemenhut Dirjen PHKA-BTNMB. [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2007. Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri 2007-2020. Jember (ID): Kemenhut Dirjen PHKA-BTNMB. [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2010. Rencana Strategis Balai Taman Nasional Meru Betiri 2010-2014. Jember (ID): Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri. [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2011. Laporan Hasil Penggunaan Anggaran 2011. Jember (ID): Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Meru Betiri. Davis CC, Endress PK, Baum DA. 2008. The evolution of floral gigantism. Current Opinion in Plant Biology. 11:49–57. Darmadja, B, Guntoro DA, Rohmah N, Atmodjo ND, Ananda AA. 2011. Buku Informasi Bunga Rafflesia di Taman Nasional Meru Betiri. Jember (ID): BTNMB.
70
Dhistira MA. 2011. Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia zollingeriana (studi kasus di Resort Sukamade Wilayah I Sarongan Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur) [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Ditjen Planologi Kehutanan. 2010. Buku Data dan Informasi Pemanfaatan Hutan Tahun 2010. Jakarta (ID): Direktorat Jendral Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Djohan TS. 1995. Konsep dan Prinsip Konservasi Biodiversitas [makalah]. Seminar Nasional Konservasi Keanekaragaman Hayati; Bengkulu, 20 November 1995. Bengkulu (ID): FMIPA Universitas Bengkulu dan USAID. hlm 1-8. Djunaidy M. 2010. Taman Nasional Meru Betiri buat penangkaran Rafflesia mini [internet]. [diunduh pada 2013 Juni 26]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2010/04/13/058240096/Taman-NasionalMeru-Betiri-Buat-Penangkaran-Raflesia-Mini. Doust JL, Doust JJ. 1988. Plant Reproductive Ecology: Pattern and Strategies. New York (US): Oxford University Pr. Ekawaty R. 2001. Status konservasi Rafflesia Arnoldi R.Br. di Gunung Sago Halaban Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat [tesis]. Bogor (ID): IPB. Fisher RJ. 1995. Collaborative Management of Forest for Conservation and Development. Gland (CH): IUCN-WWF. Gamasari AS. 2007. Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia patma Blume di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran dengan menggunakan System Informasi Geografis (skripsi). Bogor (ID): IPB. Galang R, Madulid DA. 2006. A second new species of Rafflesia (Rafflesiaceae) from Panay Island, Philippines. Folia malaysiana. 7(1&2): 1–8. Galang R. 2007. Population study of Rafflesia lobata in the northern section of central Panay Island mountain ranges, Philippines. Folia malaysiana. 8(2): 87–98. Galang R. 2009. The distribution of Rafflesia lobata in the northern section of the central Panay Mountain ranges, Panay Island, Philippines. Folia Malaysiana. 10(20):99–108. Guntoro DA. 2012. Jelajah Wisata Bandealit. Buletin Jejak Betiri. 4(3):3–4. Hadiat, Moedjadi, Kertiasa N, Sukarno, Supomo S. 2004. Kamus Sains. Jakarta (ID): Balai Pustaka. Handayani T. 2002. Nilai ekonomi dan strategi pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri [tesis]. Bogor (ID): IPB. Hansen A. 2007. The ecotourism industry and sustainable tourism ecosertification program [paper]. San Diego (US): University of California. Hartini S. 2001. Rafflesia arnoldii di Taman Wisata Megamendung, Sumatera Barat dan upaya konservasinya. Di dalam: Damayanti E dan Zuhud EAM, editor. Prosiding Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia; 2001 Juni 16; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Rafflesia Foundation. hlm 133–141. Hidayati SN, Willem M, Jeffrey LW. 2000. A contribution to the life history of the rare Indonesian holoparasite Rafflesia patma (Rafflesiaceae). Biotropica. 32(3):408–414. Hikmat A. 2006. Kecenderungan populasi R. zollingeriana Kds. di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Media Konservasi. 11(3):105–108.
71
Hikmat A. 1988. Kajian karakteristik lingkungan biotik Rafflesia di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Indarto B. 2012. Kebutuhan pegawai optimal TNMB untuk mendukung resort base management. Buletin Jejak Betiri. 4(3):29–30. Iqbal M. 2007. Analisis peran pemangku kepentingan dan implementasinya dalam pembangunan pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 26(3):89–99. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources. 1980. The Javan Tiger and Meru Betiri Reserve: A Plan for Management. Gland (CH): IUCN. Jamil, N. 1998. Studi rancangan pengelolaan areal konservasi berbasis konservasi Rafflesia hasseltii Suringar. di areal HPH PT. Injapsin Company [skripsi]. Bogor (ID): IPB. Jamil N, Sepiastini W, Astanafa D. 2001. Eksistensi Rafflesia zollingeriana di Taman Nasional Meru Betiri. Di dalam: Damayanti E dan Zuhud EAM, editor. Prosiding Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia; 2001 Juni 16; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Rafflesia Foundation.hlm 35–39 . Jember Tourism Office. 2011. Halo Jember. Jember (ID): Jember Tourism Office. Julianti. 2006. Analisis pola sebaran Tetrastigma papillosum dan Tetrastigma lanceolarium sebagai inang Rafflesia zollingeriana di Blok Lodadi, Bandealit Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur menggunakan Sistem Informasi Geografi [skripsi]. Jember (ID): UNEJ. Kahono S, Mursidawati S, Erniwati. 2010. Komunitas serangga pada bunga Rafflesia patma Blume (Rafflesiaceae) di luar habitat aslinya Kebun Raya Bogor Kota Bogor, Jawa Barat Indonesia. Jurnal Biologi Indonesia. 6(3):429–442. LATIN. 2002. Inventarisasi, Identifikasi dan Pemetaan Potensi Wanafarma. Bogor (ID): LATIN. Lays P. 2006. Rediscovery of A Floral Jewel in The Philippine Archipelago: Rafflesia schadenbergiana Goppert, 1885 (Rafflesiaceae). Lejeunia Revue de Botanique Nouvelle. 182:1–16. Lemmens RHMJ, Bunyapraphatsara N. 2003. Medicinal and poisonous plants 3. Plant Resources of South – East Asia (Prosea). 12(3):343. Madulid DA, Tandang D, Agoo EMG. 2005. Rafflesia magnifica (Rafflesiaceae), a new species from Mindanao, Philippines. Acta Manilana. 53:1–6. Madulid DA, Tandang DN, Agoo EMG. 2008. Rafflesia magnifica [Internet]. [diunduh pada 2012 April 11 ]. Tersedia pada: www.iucnredlist.org. Matt-Salleh K, Susatya A, Hikmat A, Latiff A. 2001. Species distribution and conservation of Rafflesia in Indonesia. Di dalam: Damayanti dan Zuhud, editor. Prosiding Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia; Bogor, 16 Juni 2001. Bogor (ID): Rafflesia Foundation. hlm 16–27. Matt-Salleh K, Mahyuni R, Susatya A, Veldkamp JF. 2010. Rafflesia lawangensis (Rafflesiaceae), a new species from Bukit Lawang, Gunung Leuser National Park, North Sumatra, Indonesia. Reinwardtia. 13(2):159–169. Meffe GK, Caroll CR. 1994. Principles of Conservation Biology. Sunderland: Sinauer Associates Inc. Meijer W. 1997. Rafflesiaceae. Flora Malesiana. 1(13):1–42. Milius S. 1999. The science of big, weird flowers: some of the best things in botany come in large pasckages. Science News. 156(11):172.
72
Mursidawati S. 2012. Morfologi buah dan biji Rafflesia patma dan R. arnoldii. Buletin Kebun Raya. 15(1):20–29. Mukmin H, Hikmat A. 2009. Kondisi populasi Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Pananjung Pangandaran Jawa Barat. Media Konservasi. 14(1):18–21. Mursidawati S, Sunaryo. 2012. Studi anatomi endofitik Rafflesia patma di dalam inang Tetrastigma sp. Buletin Kebun Raya. 15(2):71–80. Musafak. 2012. Catatan lomba lintas alam Sukamade-Bandealit 2012. Buletin Jejak Betiri. 4(3):17–18. Nadia WAQ, Siti-Munirah MY, Zulhazman H, Razak W. 2012. A preliminary study on the mortality rates of Rafflesia kerrii in the Lojing Highlands, Gua Musang, Kelantan, Malaysia. Paper in: UMT 11th International Annual Symsposium on Sustainability Science and Management; 2012 July 9–11; Terengganu, Malaysia. Terengganu (MY): UMT. p 456–459. Nais J. 2001. Rafflesia of The World. Kota Kinabalu (MY): Sabah Park. Nais J. 1996. Kinabalu park and the surrounding indigenious community Malaysia. Working Paper South-South Cooperation Programme on Environmentally Sound Socio Economic Development in The Humid Tropics. 17: 45. Nais J, Wilcock CC. 1998. The Rafflesia conservation incentive scheme in Sabah, Malaysian Borneo. Sabah Parks Nature Journal. 1:9–17. Nurchayati. 2003. Kajian populasi Rafflesia zollingeriana Kds. Di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur [Skripsi]. Jakarta (ID): UNJ. Patino S, Tuula A, Edwards AA and Grace J. 2002. Is Rafflesia an endothermic flower ? New Phytologist. 154:429–437. Pemkab Jember. 2012. Cruising the Land of Beauty. Jember (ID): Kantor Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Jember. Prasojo W. 2012. Wisata pelajar. Buletin Jejak Betiri. 4(3):5-7. Prasojo W. 2012. Pelatihan budidaya anggrek. Buletin Jejak Betiri. 4(3):34–36. Priatna DR, Zuhud EAM, Alikodra HS. 1989. Kajian ekologis Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leweung Sancang, Jawa Barat. Media Konservasi. 2(2):1–7. Putro HR, Supriatin, Sungkar A, Rossanda D, Prihatini ER. 2012. Pengelolaan Kolaboratif Taman Nasional di Indonesia. Bogor (ID): JICA-CFET. Rahmawati I, Sudargo T, Paramastri I. 2007. Pengaruh penyuluhan dengan media audio visual terhadap peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu balita gizi kurang dan buruk di Kabupaten Kotawaringin Barat Propinsi Kalimantan Tengah. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 4(2):69–77. Rangkuti F. 1997. Analisis SWOT: teknik membedah kasus bisnis-reorientasi konsep perencanaan strategis untuk menghadapi abad 21. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quinn CH, Stringer LC. 2009. Who’s in and why ? A thypology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environment Management. 90:1933–1949. Refaei J, Jones EBG, Sakayaroj J, Santhanam J. 2011 – Endophytic fungi from Rafflesia cantleyi: species diversity and antimicrobial activity. Mycosphere. 2(4):429–447.
73
Saadudin AM. 2011. Pemetaan kesesuaian habitat Rafflesia rochussenii (Teijsm. et Binn. di Resort Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango [skripsi]. Bogor (ID): IPB Santosa A. (Ed). 2008. Konservasi Indonesia, Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan. Bogor (ID): Pokja Kebijakan Konservasi. Sepiastini W. 2000. Laporan Monitoring dan Evaluasi Rafflesia zollingeriana di Sub Seksi Wilayah Konservasi Sarongan Taman Nasional Meru Betiri. Jember (ID): TNMB. Silvertown JW. 1982. Introduction to Plant Population Ecology. New York (US): Longman Inc. Soerianegara I, Indrawan A. 1988. Ekologi Hutan Indonesia. Jurusan Manajemen Hutan. Bogor (ID): IPB. Sofiyanti N, Mat-Salleh K, Purwanto D, Syahputra E. 2007. The note on morphology of Rafflesia hasseltii Suringar from Bukit Tiga Puluh National Park, Riau. Biodiversitas. 9:257–261. Sofiyanti N, Yen CC. 2012. Morphology of Ovule, Seed, and Pollen Grain of Rafflesia R. Br (Rafflesiaceae). Bangladesh J Plant Taxon. 19(20):109–117. Suharti S. 2004. Implementasi social forestry dalam rangka rehabilitasi lahan di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)-Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 1(3):345–355. Susatya, A. 2003. Populasi dan siklus hidup tumbuhan langka Rhizanthes loweii. (Becc) Harm (Rafflesiaceae) di Taman Nasional Kerinci-Seblat Resort Katenong. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 5(2):71–76. W, Mat-Salleh K. 2006. Rafflesia Susatya A, Arianto bengkuluensis (Rafflesiaceae), a new species from south Sumatera, Indonesia. Folia Malaysiana. 6:139–152. Susatya A. 2011. Rafflesia Pesona Bunga Terbesar di Dunia. Jakarta (ID): Direktorat Kawasan Konservasi dan Bina Hutan Lindung. Susatya, Agus. 2011. The population dynamics, life cycle and conservation status of very rare Rafflesia bengkuluensis Susatya, Arianto & Mat-Salleh at Talang Lais, Kaur, Bengkulu. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional HUT Kebun Raya Cibodas ke-159; 2011 April 7; Cibodas, Indonesia. Cibodas (ID): Kebun Raya Cibodas. hlm 1–5. Susatya A. 2003. Populasi dan siklus hidup tumbuhan langka Rhizanthes loweii. (Becc) Harm (Rafflesiaceae) di Taman Nasional Kerinci-Seblat Resort Katenong. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 5(2):71–76. Suwartini R, Hikmat A, Zuhud EAM. 2008. Kondisi vegetasi dan populasi Rafflesia patma Blume di Cagar Alam Leweung Sancang. Media Konservasi. 13(3):1–8. Syahbuddin, Chairul. 2010. Populasi dan periodisasi pembungaan serta habitat genetik padma raksasa (R. arnoldii R Br.) di Sumatera Barat. Working Paper Fakultas MIPA [Internet]. [diunduh pada 2013 Mei 9]. Tersedia pada: http://repository.unand.ac.id/1332/. Veldkamp JF. 2009. Notes on the name of the Tetrastigma (Vitaceae) hosts of Rafflesia (Rafflesiaceae). Reinwardtia. 13(1):75–78. Widyatmoko, D, Irawati. 2007. Kamus Istilah Konservasi. Bogor (ID): Pusat Konservasi Tumbuhan KRB-LIPI.
74
Wiriadinata, H. 2001. Tumbuhan. Di dalam: Noerdjito, M dan I. Maryanto, editor. Spesies-Spesies Hayati yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Bogor (ID): Balitbang Zoologi-Puslitbang Biologi-LIPI dan The Nature Conservacy. Wiriadinata H, Sari R. 2010. A new spesies of Rafflesia (Rafflesiaceae) from North Sumatra. Reinwardtia. 13(2):95–100. [WCMC] World Conservation Monitoring Centre. UNEP Species Database [Internet]. [diunduh pada 2013 Juni 3]. Tersedia pada: http://www.unepwcmc-apps.org/isdb/Taxonomy/tax-genusresult.cfm?habit=&displaylanguage=ENG&Genus=8096&Gen=&source=pl ants&Country= Yahya, AF, JO Hyun, JH. Lee, TB. Choi, BY. Sun, PG. Lapitan. 2010. Distribution pattern, reproductive biology, cyotaxonomis study and conservation of Rafflesia manillana in Mt. Makiling, Laguna, Philippines. Journal of Tropical Forest Science. 22(2):118–126. Zen H. 2001. Upaya pemda provinsi Bengkulu dalam rangka konservasi Rafflesia arnoldi. Di dalam: Damayanti E dan Zuhud EAM, editor. Prosiding Seminar Nasional Puspa Langka Indonesia; 2001 Juni 16; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Rafflesia Foundation. hlm 1-4. Zuhud EAM. 1988. Lingkungan hidup Rafflesia zollingeriana Kds di Taman Nasional Meru Betiri. Media Konservasi. 2(1):25–30. Zuhud EAM. 1989. Kajian ekologis Rafflesia zollingeriana Kds di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): IPB. Zuhud EAM, Hikmat A, Nugroho YAF. 1994. Eksplorasi ekologi Rafflesia rochussenii T. et. Bin. untuk kegiatan konservasi dan penangkarannya di Gunung Salak. Media Konservasi. 14(3):9–22. Zuhud EAM, Hikmat A, Jamil. 1998. Rafflesia Indonesia: Keanekaragaman, Ekologi dan Pelestariannya. Bogor (ID): Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Suaka Margasatwa Indonesia (The Indonesian Wildlife Fund) dan Laboratorium Konservasi Sumberdaya Hutan-Fakultas Kehutanan IPB. Zuhud EAM, Hernidiah N, Hikmat A. 1999. Pelestarian Rafflesia hasseltii Suringar di Taman Nasional Bukit Tigapuluh Riau-Jambi. Media Konservasi. 6(1):23–26.
75
LAMPIRAN
76
Lampiran 1 Spesies-spesies Rafflesia yang berhasil dideskripsikan hingga tahun 2011 dan tempat penyebarannya No
1
Tahun Deskrip si 1821
2
1825
3
1841
4
1850
Spesies, Penyebaran
Keterangan
R. arnoldii R. Br. var. arnoldii var. atjehensis (Koord.) Meijer Sinonim R. titan Jack Borneo, Sarawak, Malaysia Kalimantan Barat, Indonesia Bengkulu, Sumatra, Indonesia R. patma Blume Jawa (Indonesia)
Ditemukan oleh Stamford Raffles dan Joseph Arnold pada tahun 1818 dan dideskripsikan oleh Robert Brown (Brown 1821)
Ditemukan oleh Louis Auguste Deschamps pada 1797, tapi baru dideskripsikan oleh Blume pada tahun 1825 (Nais 2001) R. manillana Teschem. Dideskripsikan pada tahun Sinonim R. lagascae Blanco, 1944 oleh JE Teschemacher R. cumingii R. Brown, R. berdasarkan kuncup jantan panchoana Madulid Tandang yang belum mekar (Nais 2001) & Agoo Pulau Luzon Filipina R. rochussenii Teijsm. & Spesies ini dideskripsikan Binn oleh Teijsmann dan Binnendijk pa Jawa bagian barat, Sumatra, da tahun 1850 dari Indonesia koleksi seorang yang tidak diketahui
dari GedePangrango dekat Cibodas, Jawa Barat. Diperkirakan ada juga di Gunung Leuser, Sumatra Utara. Spesies ini pernah dianggap punah, namun terlihat di Gunung Salak, Jawa pada tahun 1990 (Nais 2001)
5
1868
6
1879
7
1884
R. tuan-mudae Becc. Borneo
Dikoleksi dari Gunung Pueh, Sarawak. Spesimen dideskripsikan oleh Beccari (Zuhud et al. 1998) R. hasseltii Suringar Ditemukan di Sumatra Tengah Sumatra bagian tengah, dan dideskripsikan oleh Semenanjung Malaysia Suringar tahun 1879 (Nais 2001) R. schadenbergiana Göpp. ex Spesies ini dikumpulkan di Hieron Pulau Mindanao (Gunung Apo) di Mindanao, Filipina Filipina pada 1882.
77
Lampiran 1 Spesies-spesies Rafflesia yang berhasil dideskripsikan hingga tahun 2011 dan tempat penyebarannya (lanjutan) No
8
Tahun Deskrip si 1910
Spesies, Penyebaran
9
1918
10
1918
14
1984
15
1984
16
1984
R. micropylora Meijer Sumatra Utara, Indonesia
17
1984
R. pricei Meijer Borneo
18
1989
R. tengku-adlinii Mat-Salleh & Latiff Borneo, Sabah, Malaysia
19
2002
20
2003
R. speciosa Barcelona & Fernando Valderrama, Pulau Panay, Filipina R. azlanii Latiff & M-Wong Semenanjung Malaysia
Keterangan
R. cantleyi Solms Semenanjung Malaysia
Dideskripsikan oleh H Graft Solms-Laubach dari specimen yang dikoleksi oleh M. Cantley pada 1881 (Nais 2001). R. borneensis Koord. Termasuk dalam daftar koleksi Borneo Koorders dari Gunung Raya di Kalimantan Gunung Sekerat, Kalimantan pada tahun 1917; materialnya tidak lengkap (Zuhud et al.1998) R. ciliata Koord. Dikoleksi pada tahun 1918, Pegunungan Sekerat, kemungkinan baru Kalimantan dideskripsikan tahun 1957 (Nais 2001) R. keithii Meijer Borneo (Sabah, Malaysia) Kalimantan Timur (Indonesia) R. kerrii Meijer Semenanjung Thailand dan Malaysia
Dideskripsikan oleh Willem Meijer pada tahun 1984 (Nais 2001) Dideskripsikan oleh Willem Meijer pada tahun 1984 (Nais 2001) Dideskripsikan oleh Willem Meijer pada tahun 1984 (Nais 2001) Dideskripsikan oleh Willem Meijer pada tahun 1984 (Nais 2001) Dideskripsikan Kamarudin Mat Saleh, dari spesimen yang dikoleksi dari Gunung Trus Madi, Sabah (Nais 2001) Dideskripsikan oleh JF. Barcelona dan Fernando (Barcelona & Fernando 2002) Dideskripsikan oleh A. Latiff dan M. Wong (Latiff & Wong 2003). Mirip dengan Rafflesia cantleyi tapi bercak pada perigonenya lebih sedikit dan menyatu
78
Lampiran 1 Spesies-spesies Rafflesia yang berhasil dideskripsikan hingga tahun 2011 dan tempat penyebarannya (lanjutan) No
21
Tahun Deskrip si 2005
22
2006
23
2006
24
2006
25
2007
26
2008
27
2009
Spesies, Penyebaran
Keterangan
R. mira Fernando & Ong Sinonim R. magnifica Madulid et al Gunung Candalaga Provinsi Mindanao Selatan R. baletei Barcelona & Cajano Luzon Selatan, Provinsi Camarines Sur, Filipina R. lobata R-Galang & Madulid Pulau Panay, Filipina R. bengkuluensis Susatya, Arianto, & Mat-Salleh Sumatra bagian selatan, Indonesia R. philippensis Blanco Sinonim R. banahaw Barcelona et al., R. banahawensis Madulid et al. Gunung Banahaw, Pulau Luzon, Provinsi Quezon, Filipina R. leonardi Barcelona & Pelser Sinonim R. banaoana Malabrigo Pulau Luzon, Filipina R. aurantia Barcelona, Co & Balete Provinsi Quirino, Luzon, Filipina
Dideskripsikan oleh DA. Madulid, DN. Tandang dan EMG. Agoo (Madulid et al. 2005)
Dideskripsikan oleh J. F. Barcelona, M. O. Cajano dan A. S. Hadsall (Barcelona et al. 2006) Dideskripsikan oleh Galang, dan Madulid (Galang & Madulid 2006) Dideskripsikan oleh A. Susatya, W. Arianto, dan K. Mat-Salleh (Susatya et al. 2006) Dipublikasikan oleh J.F. Barcelona, P.B. Pelser & M.O. Cajano (Barcelona et al. 2007)
Dideskripsikan oleh J. F. Barcelona, Pelser, P. B., Cabutaje, E. M. & N. A. Bartolome (Barcelona et al. 2008) Dideskripsikan oleh J.F Barcelona, L.L. Co, D.S. Balete, & N.A. Bartolome (Barcelona et al. 2009)
79
Lampiran 1 Spesies-spesies Rafflesia yang berhasil dideskripsikan hingga tahun 2011 dan tempat penyebarannya (lanjutan) No
28
Tahun Deskrip si 2009
29
2010
30
2010
Spesies, Penyebaran R. meijeri Wiriad. & Sari Sumatra Utara
Keterangan
Dipublikasikan oleh H Wiriadinata & R Sari. Spesies tersebut mirip dengan R. rochussenii Teijsm. & Binn. dari Jawa Barat, namun tidak mempunyai processes pada bagian atas cawan, mempunyai corak berbeda pada permukaan cuping, alur yang lebar dengan dinding tipis pada bagian atas central column dan ramenta yang berupa rambut sederhana tanpa benjolan pada ujungnya serta ukuran bunga lebih kecil (Wiriadinata & Sari 2009) R. verrucosa Balete, Pelser, Dideskripsikan oleh D.S. Nickrent & Barcelona Balete, P.B. Pelser, D.L. Pulau Mindanao, Filipina Nickrent & J.F. Barcelona (Balete et al. 2010) R. lawangensis Mat-Salleh, Dideskripsikan oleh K Mat Mahyuni & Susatya Salleh, R Mahyuni, A Susatya Taman Nasional Gunung dan JF Veldkamp (Mat-Salleh Leuser, Sumatra Utara et al. 2010).
80
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 26 September 1982. Penulis merupakan putri kedua dari Bapak Haryoso dan Ibu Supiatun. Penulis lulus dari SMAN 1 Pati pada tahun 2001, melanjutkan pendidikan sarjana di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan berhasil lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2006, penulis diangkat menjadi pegawai negeri sipil Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan ditempatkan di UPT Balai Konservasi Kebun Raya Eka Karya Bali. Pada tahun 2010, penulis memperoleh kesempatan melanjutkan studi ke program pascasarjana (S2) program studi Konservasi Biodiversitas Tropika Institut Pertanian Bogor. Studi ini ditempuh atas beasiswa dari karyasiswa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).