KARAKTERISTIK HABITAT BANTENG (Bos javanicus d’Alton 1832) DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR
FIONA HANBERIA INNAYAH
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
KARAKTERISTIK HABITAT BANTENG (Bos javanicus d’Alton 1832) DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR
FIONA HANBERIA INNAYAH
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN FIONA HANBERIA INNAYAH. E34062067. Karakteristik Habitat Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Dibimbing oleh ABDUL HARIS MUSTARI dan LIN NURIAH GINOGA Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) merupakan salah satu mamalia besar di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Data IUCN 2008 Red List of Threatened Animals menyatakan bahwa banteng termasuk dalam kategori Endangered species (terancam punah). Banteng juga termasuk dalam satwa dilindungi menurut PP RI No. 7 Tahun 1999. Permasalahan banteng di TNMB yaitu masuknya banteng ke dalam areal perkebunan milik swasta yaitu PT. Perkebunan Bandealit dan PT. Perkebunan Sukamade Baru. Oleh karena itu, diperlukan kajian mengenai karakteristik habitat banteng untuk mengetahui ketersediaan pakan, air, dan cover sebagai dasar upaya pelestarian banteng. Penelitian ini dilakukan di tiga Seksi Wilayah Pengelolaan TNMB yaitu SPTN W I Sarongan, SPTN W II Ambulu, dan SPTN W III Kalibaru. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2010. Pengukuran struktur dan komposisi vegetasi dilakukan dengan analisis vegetasi metode garis berpetak. Pengamatan terhadap jenis-jenis pakan banteng dilakukan melalui pengamatan bekas renggutan, studi literatur, dan wawancara. Pengukuran produktivitas, palatabilitas, dan daya dukung dilakukan dengan membuat plot sampel 1x1 m². Pengamatan karakteristik cover dilakukan dengan cara mengidentifikasi jenis-jenis cover yang digunakan banteng. Data karakteristik sumber air diperoleh dengan cara inventarisasi sumber air yang terdapat di tiap lokasi pengamatan. Banteng bersifat intermediet yaitu antara grazer dan browser. Jenis-jenis tumbuhan pakan banteng yang ditemukan di lokasi penelitian sebanyak 25 jenis yang sebagian besar diperoleh dari perkebunan. Produktivitas pakan banteng untuk Blok Banyuputih yaitu 463,92 kg/ha/hari dapat menampung 16 ekor banteng. Pakan yang memiliki palatabilitas tertinggi pada Blok Banyuputih dan Blok Sikapal yaitu jenis paitan (Paspalum conjugatum). Sebagian besar cover yang digunakan banteng berupa tajuk pohon dan rumpun bambu yang berfungsi sebagai pelindung dari sinar matahari. Sumber air minum sebagian besar berupa aliran sungai menuju muara. Sumber air yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu Sungai Sumbersari, Sungai Cawang, Sungai Kali Sanen dan Sungai Banyuputih. Habitat yang paling diminati banteng di TNMB yaitu Blok Banyuputih dengan terdapatnya areal perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah yang menyediakan pakan, air dan cover. Kurang optimalnya fungsi habitat banteng di TNMB mengakibatkan perpindahan banteng ke areal perkebunan dan memicu terjadinya perburuan liar oleh masyarakat. Untuk menanggulangi hal tersebut diperlukan pengelolaan habitat banteng secara intensif agar banteng tidak memasuki areal perkebunan. Kata kunci : karakteristik habitat, banteng, pakan, cover
SUMMARY FIONA HANBERIA INNAYAH. E34062067. Habitat Characteristics of Banteng (Bos javanicus d'Alton 1832) in Meru Betiri National Park, East Java. Under supervision of ABDUL HARIS MUSTARI and LIN NURIAH GINOGA Banteng (Bos javanicus d'Alton 1832) is one of the large mammals in Meru Betiri National Park (MBNP). IUCN 2008 Data Red List of Threatened Animals listed banteng as endangered species. Banteng is a protected species according to The Government Regulation of Republic of Indonesia No. 7 / 1999. The main problem of banteng in Meru Betiri National Park was invasion banteng to the private plantation area of PT. Perkebunan Bandealit and PT. Perkebunan Sukamade Baru. Therefore, study of banteng habitat characteristics was needed to determine food, water, and cover availability as basis for banteng conservation effort. This research was held in three National Park Management Sections (SPTN), including SPTN W I Sarongan, SPTN W II Ambulu, and SPTN W III Kalibaru. This research was held in July-August 2010. Structure and composition of vegetation studied using line transect method of vegetation analysis. The observation of banteng’s food plants was done through by observation of browsing signs. Measuring of productivity, palatability, and carrying capacity was done by making of plot sampling 1x1 m². Cover characteristics observation was done by identifying of cover types which used by banteng. The data of water sources characteristic was obtained by water resources inventory in each location. Banteng included to the intermediate group between grazer and browser ungulata. The types of banteng’s feed in study sites contained of 25 species, mostly obtained from the plantation area. Productivity of banteng’s feed in Banyuputih Block is 463,92 kg/ha/day for 16 banteng. The highest palatability of banteng’s feed at Banyuputih Block and Sikapal Block is paitan (Paspalum conjugatum). Most of cover used by banteng was tree canopy and bamboo which has the function as a protection from the sun. Most of water sources for drink are the river flow to the estuary. The water sources in location are Sumbersari River, Cawang River, Sanen Kali River and Banyuputih River. The preferable habitat of banteng was Banyuputih Block which contains plantation area and low land rain forest that provide feed, water and cover. Habitat function in TNMB is less than optimal caused by banteng moved to the plantation areal and it rendered wild hunting by local people. To overcome the problem, it is required intensive habitat management for banteng in order to prevent banteng enter the plantation area.
Key words: habitat characteristic, banteng, feed, cover
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Habitat Banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tunggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Fiona Hanberia Innayah NRP E34062067
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Karakteristik Habitat Banteng (Bos Javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur
Nama
: Fiona Hanberia Innayah
NRP
: E34062067
Departemen
: Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas
: Kehutanan
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si.
Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc .F NIP 196510151991031003
NIP: 196511161992032001
Mengetahui, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS NIP 195809151984031003
Tanggal Pengesahan :
KATA PENGANTAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih pada skripsi ini yaitu “Karakteristik Habitat Banteng (Bos Javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F dan Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si. selaku pembimbing pertama dan kedua dalam skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyususnan skripsi ini. Dengan segala kekurangan, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Penulis mencoba untuk menyususn skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi penyempurnaan dan pengembangan penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Fiona Hanberia Innayah dilahirkan di Banyumas, Jawa Tengah pada tanggal 8 Januari 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bernadi Susanto dan Hanum Rakhmi. Mempunyai seorang adik bernama Dzikrina Qori. Pendidikan formal yang ditempuh yaitu Taman Kanak-kanak Tunas Harapan Bangsa Jatinegara, Jakarta Timur dilanjutkan dengan Sekolah Dasar Negeri Perwira I Bekasi Utara pada tahun 1993-2000. Kemudian penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 Bekasi pada Tahun 2000-2003 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bekasi pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2007 program mayor minor penulis mendapatkan mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan,IPB. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa IPB Tahun 2006-2007, Bela diri pencak silat Merpati Putih tahun 2006-2010, Anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA). Pada tahun 2007 penulis menjabat sebagai anggota Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) dan Fotografi Konservasi (FOKA). Kegiatan lapang yang pernah diikuti penulis adalah RAFFLESIA di Cagar Alam Gunung Simpang, SURILI (Studi Konservasi Lingkungan) di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalimantan Barat. Praktek Pengenalan Ekosisitem Hutan (PPEH) di Cilacap-Baturaden, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi. Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Baluran. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan penulis melakukan penelitian di Taman Nasional Meru Betiri dengan judul Karakteristik Habitat Banteng (Bos Javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri selama kurang lebih dua bulan dan dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F dan Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat serta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan kekuatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa terlaksananya penelitian hingga penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam bentuk moril maupun materil, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Orang tua tercinta Bapak Bernadi Susanto (papa), Hanum Rakhmi (mama), Dzikrina Qori (adik) serta anggota keluarga lainnya atas doa, kasih sayang dan dukungannya
2. Dosen pembimbing Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F dan Ibu Ir. Lin Nuriah Ginoga, M.Si. yang telah memberikan arahan, bimbingan serta saran selama penelitian hingga penulisan skripsi ini. 3. Dosen penguji Bapak Prof. Dr. Ir. Surdiding Ruhendi, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Hardjianto, MS. Dan Ir. Iwan Hilwan, MS 4. Dosen beserta staf KPAP atas bimbingan serta pelayanan selama penulis mendapat ilmu di Departemen Konservasi Sumbersaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, IPB 5. Dosen, seluruh staf, dan teman-teman Fakultas Kehutanan dari MNH, THH, dan SVK, 6. Taman Nasional Meru Betiri yang telah memberikan izin melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional 7. Seluruh staf Taman Nasional Meru Betiri baik yang di kantor maupun di lapangan yang memberi bantuan demi kelancaran penelitian ini. Bapak Wiwied Widodo, Bapak Seno, Ibu Nisa, Ibu Sulis, Mas Nugroho, Bapak Djoel. 8. Seluruh keluarga besarku KSHE 43 Cendrawasih terima kasih atas segala dukungan dan kasih sayang serta bantuan yang tak terhingga sampai akhir penulisan skripsi ini
9. Teman seperjuangan penelitian Kemas Robby Wirawan serta keluarga baruku dari TNMB Arief, Ryan, Syarifah, Sasmanu, Febri, Dimas. Agri, Faisal, Sandy, Rahmi, Nanda, Wafi, Adi, Yudi atas bantuannya dan dukungannya selama di lapang. 10. Kakak-kakak kelas dan adik-adik kelas di DKSHE 11. Keluarga besar HIMAKOVA 12. Semua pihak yang telah membantu di lapangan mas Fendi, mas Ketut, mas Andri, mas Eko, mas Parno, mas Jumadi, Bapak Slamet, Bapak Warno, Bapak Budi, Bapak Hasyim, Bapak Dedi, Bapak Luki, Bapak Sam dll. 13. Pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Bogor, Maret 2011
Fiona Hanberia Innayah
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... vi BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................ 2 1.3 Manfaat Penelitian ...................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi ................................................................................... 3 2.2 Morfologi dan Fisiologi .............................................................. 3 2.3 Perilaku ....................................................................................... 5 2.4 Populasi dan Penyebaran ............................................................ 5 2.5 Reproduksi .................................................................................. 6 2.6 Habitat ......................................................................................... 7 2.7 Pakan ........................................................................................... 8 2.8 Status Konservasi ........................................................................ 10 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................... 12 3.2 Alat dan Bahan ............................................................................ 13 3.3 Jenis Data ................................................................................... 13 3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 14 3.5 Analisis Data ............................................................................... 17 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Potensi Fisik Kawasan ................................................................ 20 4.2 Potensi Biotik Kawasan .............................................................. 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Komposisi dan Struktur Vegetasi ............................................... 26 5.2 Karakteristik Habitat ................................................................... 38
5.3 Ancaman dan Implikasi Pengelolaan Habitat Banteng ............... 53 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 57 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 58 LAMPIRAN ..................................................................................................... 61
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Ciri fisik berdasarkan kelas umur banteng jantan ...................................... 4 2. Ciri fisik berdasarkan kelas umur banteng betina ...................................... 4 3. Lokasi penelitian ........................................................................................ 12 4. Alat yang digunakan dalam penelitian ....................................................... 13 5. Data primer penelitian ................................................................................ 14 6. Hasil analisis vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah.......................... 26 7. Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi cover dan pakan di hutan hujan tropis dataran rendah .................................................................................. 28 8. Hasil analisis vegetais kebun ..................................................................... 30 9. Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi sebagai cover dan pakan di habitat perkebunan ................................................................................................. 31 10. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Sumbersari ................ 33 11. Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Pringtali .................... 34 12. Indeks keanekaragaman jenis tiap tingkat pertumbuhan ........................... 37 13. Jenis-jenis pakan yang dijumpai di TNMB................................................ 38 14. Hasil produksi hijauan di Blok Banyuputih ............................................... 41 15. Hasil produksi hijauan di Blok Sikapal...................................................... 42 16. Hasil pengamatan palatabilitas pakan banteng Blok Banyuputih .............. 45 17. Hasil pengamatan palatabilitas pakan banteng Blok Sikapal ..................... 45 18. Hasil pengamatan bentuk dan fungsi cover ............................................... 46 19. Hasil pengamatan parameter fisik sumber air yang digunakan banteng .... 50
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Kondisi fisik (a) Banteng jantan, (b) Banteng betina dan anak ................ 4 2. Peta penyebaran banteng di Jawa dan Kalimantan .................................... 6 3. Peta lokasi penelitian ................................................................................. 12 4. Metode analisisi vegetasi garis berpetak .................................................... 15 5. Habitat hutan hujan tropis dataran rendah ................................................. 29 6. Habitat perkebunan .................................................................................... 31 7. Habitat Savana Sumbersari ........................................................................ 34 8. Habitat Savana Pringtali............................................................................. 35 9. Hasil renggutan banteng............................................................................. 39 10. Persentase keberadaan potensi pakan banteng ........................................... 40 11. Plot pengamatan produktivitas Blok Banyuputih ...................................... 42 12. Plot pengamatan produktivitas Blok Sikapal ............................................. 43 13. Bentuk-bentuk cover banteng di TNMB, (a) Blok Sikapal; (b) Blok Banyuputih; (c) Blok Balsa dan Kedungwatu; (d) Savana Pringtali; (e) Savana Sumbersari; (f) Blok 90an Coklat dan Karet (f) ........................... 49 14. Sumber-sumber air sungai di TNMB, (a) Sungai Sikapal; (b) Sungai Sumbersari; (c) Sungai Banyuputih; (d) Sungai Cawang; (e) Parit kebun; (f) Muara Sukamade ..................................................................... 52
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
1. Hasil perhitungan analisis vegetasi savana ................................................. 62 2. Hasil perhitungan analisis vegetasi perkebunan ......................................... 63 3. Hasil perhitungan analisis vegetasi hutan hujan tropis datarn rendah ........ 67 4. Profil pohon hutan Blok Banyuputih .......................................................... 71 5. Profil pohon hutan Blok Sikapal ................................................................. 72 6. Denah lokasi habitat banteng, Resort Sukamade ........................................ 73 7. Denah lokasi habitat banteng, Resort Bandealit ......................................... 74 8. Denah lokasi habitat banteng Blok Sikapal, Resort Malangsari ................. 75
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Banteng merupakan salah satu mamalia besar yang penyebarannya
terdapat di Burma, Thailand, Indo China, dan Indonesia. Banteng dapat dijumpai di beberapa daerah di Indonesia, antara lain: Pulau Jawa, Kalimantan, dan Bali (Lekagul dan McNeely 1977). Di Pulau Jawa, banteng (Bos javanicus) tersebar di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Alas Purwo, dan Taman Nasional Baluran yang menjadi pertahanan terakhir hewan asli Asia Tenggara ini. Berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species (2008), banteng termasuk dalam kategori endangered (terancam punah) namun tidak termasuk dalam daftar CITES. Sedangkan di Indonesia, pemerintah memasukan banteng dalam Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa sebagai salah satu satwa yang dilindungi keberadaannya. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki potensi satwa mamalia besar yang dilindungi yaitu banteng. Lokasi habitat banteng di TNMB tersebar pada tiga lokasi, yaitu SPTN W I Sarongan, SPTN W II Ambulu, dan SPTN W III Kalibaru. Berdasarkan pengamatan Tim Taman Nasional Meru Betiri di SPTN II Ambulu populasi banteng di Taman Nasional Meru Betiri mengalami peningkatan yakni pada tahun 2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar 102 ekor/100 ha. Keberadaan suatu populasi sangat dipengaruhi oleh kondisi habitatnya. Habitat adalah suatu ekosistem sehingga untuk menjamin kelestarian habitat, kelangsungan hubungan di dalam sistem tersebut harus dipertahankan. Interaksi antara satwa dengan habitatnya (pakan, air, dan cover) merupakan salah satu bentuk interaksi yang berperan dalam keseimbangan ekosistem. Pakan, air, dan cover merupakan faktor pembatas dalam kehidupan satwa. Oleh karena itu ketiga komponen tersebut harus tersedia dalam jumlah yang cukup bagi kebutuhan satwa. Pakan harus selalu ada bagi satwa jika tidak tersedia dalam jumlah cukup, akan terjadi perpindahan untuk mencari daerah baru yang mencukupi kebutuhan
2
pakannya. Hal ini diduga terjadi pada populasi banteng di TNMB yang merambah areal perkebunan masyarakat di dalam kawasan taman nasional (PKLP TNMB 2010). Masuknya banteng ke perkebunan milik warga dapat mengancam kehidupan banteng dengan adanya perburuan liar, karena dianggap sebagai perusak perkebunan. Oleh karena itu diperlukan kajian mengenai karakteristik habitat banteng yang meliputi pakan, air, dan cover sebagai salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang terdapat dalam habitat banteng. 1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik habitat banteng di
Taman Nasional Meru Betiri yang meliputi: 1. Ketersediaan pakan (potensi pakan, keanekaragaman jenis, produktivitas, palatabilitas, dan daya dukung). 2. Karakteristik lindungan/cover. 3. Ketersediaan air. 1.3
Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terbaru
mengenai keadaan habitat banteng di Taman Nasional Meru Betiri sehingga dapat dijadikan masukan dalam pengambilan kebijakan sebagai usaha pelestarian banteng, selain itu juga dapat memberikan rekomendasi dalam usaha manajemen habitat banteng di TNMB.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Taksonomi Banteng (Bos javanicus) memiliki nama lain sapi alas (Jawa), klebo dan
temadu (Kalimantan). Menurut Lekagul dan McNeely (1977) serta Alikodra (1983), secara taksonomi banteng dapat diklasifikasikan dalam kelas Mamalia dan masuk dalam famili Bovidae dan sub famili Bovinae, memiliki genus Bos dan spesies Bos javanicus d’Alton 1832. Subspecies di Jawa dan Bali yaitu B. javanicus javanicus, di Kalimantan B. javanicus lowi, dan di Asian mainland B. javanicus birmanicus. Hooijer (1956), menyatakan beberapa nama lain dari Bos javanicus d’Alton yaitu Bos leucoprymnus Quoi and Gairmand 1830, Bos sondaicus Muller 1940, Bos banteng Temminck 1836, dan Bos bantinger Schlegel and Muller 1845 (Alikodra 1983). 2.2
Morfologi dan Fisiologi Banteng memiliki bentuk tubuh yang tegap, besar, dan kuat dengan bagian
bahu depan yang lebih tinggi dibandingkan bagian belakang tubuhnya. Ciri khas yang dimiliki banteng adalah pada bagian pantat terdapat belanga putih, bagian kaki dari lutut ke bawah seolah-olah memakai kaos kaki berwarna putih, serta pada bagian atas dan bawah bibir berwarna putih. Banteng jantan memiliki warna tubuh yang hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warnanya serta memiliki sepasang tanduk berwarna hitam, mengkilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam (Gambar 1). Pada bagian dada banteng jantan terdapat gelambir yang dimulai dari pangkal depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan. Sedangkan banteng betina memiliki warna tubuh cokelat kemerahmerahan, semakin tua umurnya semakin cokelat tua dan gelap warnanya serta memiliki tanduk yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan banteng jantan (Gambar 1a). Warna kulit anak banteng (Gambar 1b), baik yang jantan maupun betina lebih terang dari pada warna kulit banteng betina dewasa, tetapi pada banteng jantan muda (anak) warna kulitnya lebih gelap sejak berumur antara 12– 18 bulan (Alikodra 1983).
4
(a)
(b)
Gambar 1 Kondisi fisik (a) banteng jantan; (b) banteng betina dan anak. Menurut Hoorgerwerf (1970) serta Lekagul & McNeely (1977) umur maksimum banteng berkisar diantara 10–25 tahun. Banteng jantan yang berumur 8–10 tahun mempunyai tinggi bahu 170 cm, sedangkan banteng betina mempunyai tinggi bahu 150 cm dan berat banteng dapat mencapai 900 kg (Hoorgerwerf 1970). Secara umum terdapat perbedaan ciri fisik dari masingmasing kelas umur banteng (Tabel 1 dan 2). Hal ini terlihat dari panjang tanduk, warna tubuh, dan alat kelamin. Tabel 1 Ciri fisik berdasarkan kelas umur banteng jantan Kelas umur Bayi
Umur (bulan) 0-6
Panjang tanduk (cm) 1-6
Keterangan lain
Muda
7-14
7-15
Mulai diketahui jenis kelamin dari perubahan warna
Dewasa
15-30
16-24
Tanduk mulai memutar ke depan, warna tubuh hitam dan adanya tonjolan penis pada tubuh
Warna tubuh coklat terang sampai cokat kecerahan
Sumber: Santosa (1985) dan Alikodra (1983)
Tabel 2 Ciri fisik berdasarkan kelas umur banteng betina Kelas umur Bayi
Umur (bulan) 0-6
Panjang tanduk (cm) 1-4
Muda
7-14
5-10
Mulai diketahui perubahan warna
Dewasa
15-30
10-16
Warna tubuh coklat tua dan adanya putting susu serta vagina pada tubuh
Sumber: Santosa (1985) dan Alikodra (1983)
Keterangan lain Komposisi umur anak banteng tidak dibedakan jenis kelaminnya jenis
kelaminnya
dari
5
Slijper (1984) dalam Alikodra (1983) menyatakan bahwa kerabat dekat banteng yaitu gaur (Bos gaurus) dan kerbau air (Bubalus bubalis) yang sudah dikenal sejak zaman Alluvium. Banteng merupakan spesies ketiga yang termasuk dalam genus Bos di Asia Tenggara, dua spesies lainnya yaitu gaur atau seladang (Bos gaurus) dan kouprey (Bos sauveli) (Lekagul & McNeely 1977; Medway 1977). Selain itu, terdapat spesies banteng yang telah mengalami domestikasi yaitu sapi bali (Bos sondaicus) (Anonim 1979 dalam Alikodra 1983). 2.3
Perilaku Banteng termasuk jenis satwaliar yang hidup berkelompok, sehingga
bergerak dalam kelompok yang terdiri dari individu jantan, betina, dan anakanaknya yang dipimpin oleh banteng betina dewasa yang lebih tua. Pengelompokkan
yang
dilakukan
merupakan
strategi
dasar
untuk
mempertahankan kelestarian hidupnya dan pemanfaatan pakan yang optimal, perkawinan, mengasuh dan membesarkan anaknya, serta mempertahankan diri dari pemangsa (Alikodra 1983). Banteng yang sudah tua dan mendekati waktu kematian akan memisahkan diri dan menjadi banteng soliter sehingga rawan untuk menjadi mangsa satwa predator (Hoorgerwerf 1970). 2.4
Populasi dan Penyebaran Penyebaran banteng meliputi Burma, Thailand, Indo China, dan
Indonesia (Lekagul & McNeely 1977). Banteng juga pernah ditemukan di Semenanjung Malaysia (Medway 1977). Alikodra (1979) menemukan juga jejakjejak banteng di Suaka Margasatwa Bali Barat. Banteng merupakan satwaliar yang menyukai daerah hutan yang terbuka dan bervegetasi rumput, oleh karena itu diduga bahwa pola penyebaran banteng di pulau Jawa dan Kalimantan mengikuti pola penyebaran hutan yang terbuka. Penyebaran banteng meliputi wilayah yang cukup luas yaitu dari daerah pantai pada ketinggian 0 meter dari permukaan laut sampai dengan daerah pegunungan dengan ketinggian 2.132 m dpl (Hoogerwerf 1970). Sebelum tahun 1940, banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, tetapi sejak tahun 1983 banteng hanya dapat diketemukan dalam suaka margasatwa dan cagar alam yang ada di Pulau Jawa. Menurut Alikodra (1983), di Pulau Jawa banteng hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian
6
alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Di Kalimantan banteng hidup di sepanjang Sungai Mahakam dan di Kalimantan Barat bagian tengah (Lekagul & McNeely 1977), sedangkan di Bali banteng berada di Taman Nasional Bali Barat (Gambar 2).
Gambar 2 Peta penyebaran banteng di Jawa dan Kalimantan. Hoorgerwerf (1970), menduga bahwa sekitar tahun 1940 populasi banteng di Jawa tidak lebih dari 2.000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut menurun terus menerus dari tahun ke tahun, hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1.500 ekor. Berdasarkan pengamatan Tim Taman Nasional Meru Betiri (2002 dan 2009) di SPTN II Ambulu populasi banteng di Taman Nasional Meru Betiri mengalami peningkatan yakni pada tahun 2002 sebanyak 93 ekor/100 ha dan tahun 2009 menjadi sekitar 102 ekor/100 ha. 2.5
Reproduksi Banteng melakukan perkawinan dalam suatu periode waktu tertentu
tergantung dari lokasinya. Menurut Lekagul & Mcneely (1977), musim kawin
7
banteng di Thailand adalah dalam bulan Mei dan Juni. Sedangkan Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa musim kawin banteng di Taman Nasional Ujung Kulon adalah bulan Juli, September dan Oktober, kadang-kadang juga dalam bulan November dan Desember. Musim kawin di TNMB diduga antara bulan Juli sampai Oktober. Perkawinan biasanya dilakukan pada malam hari. Lamanya kebuntingan adalah 9,5–10 bulan. Jumlah anak setiap induk 1-2 ekor tetapi umumnya satu ekor. Anakan
dilahirkan dalam waktu satu menit, 40 menit
kemudian anakan sudah bisa berdiri, 60 menit kemudian menyusu pada induknya. Selanjutnya anakan akan disapih dalam umur 10 bulan. Banteng termasuk monoestroes atau mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Umur termuda banteng betina untuk mulai berkembang biak adalah 3 tahun, sedangkan banteng jantan lebih dari 3 tahun. Banteng dapat mencapai umur 21-25 tahun, sehingga seekor banteng betina sepanjang hidupnya dapat menghasilkan anak sebanyak 21 kali (Hoogerwerf 1970). 2.6
Habitat Menurut Alikodra (1990) habitat merupakan suatu tempat yang dapat
memenuhi kebutuhan satwa yang digunakan untuk tempat mencari makan, minum, berlindung, bermain, dan berkembang biak. Alikodra (1983) menyatakan bahwa lingkungan hidup banteng yang paling ideal, terdiri atas komposisi hutan alam yang berfungsi sebagai tempat berlindung dan bersembunyi dari segala macam
gangguan,
baik
cuaca,
manusia
maupun
pemangsa.
Padang
penggembalaan digunakan sebagai tempat mencari makan, istirahat, mengasuh, dan membesarkan anaknya, serta melakukan hubungan sosial lainnya. Banteng membutuhkan sumber air tawar sebagai tempat minum, sedangkan hutan pantai atau payau digunakan sebagai daerah penyangga yang melindungi banteng dari pemburu. Daerah pantai digunakan sebagai tempat mencari garam yang dibutuhkan banteng untuk membantu pencernaan. Secara garis besar habitat memiliki tiga komponen utama, tempat yang menyediakan pakan, sumber air, dan cover atau ruang untuk tempat berlindung, mengasuh anak, dan berkembang biak. Lekagul & McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng menyukai habitat yang lebih terbuka dan lebih bersifat pemakan rumput (grazer) dari pada pemakan
8
semak dan daun (browser). Menurut Alikodra dan Palete (1980), banteng sangat menyukai fungsi dan komponen lingkungan hidup yang meliputi: 1. Hutan alam primer dipergunakan banteng sebagai tempat berlindung dari serangan musuh/predator, tempat istirahat, tempat tidur dan tempat berkembang biak. 2. Padang rumput/savana, sebaiknya terletak pada daerah yang berbukit sampai datar serta dibatasi oleh hutan alam primer ke arah darat dan hutan pantai/payau ke arah laut. 3. Sumber air, yang berdekatan dengan padang rumput. 4. Hutan pantai atau hutan payau sebagai “buffer zone”, yaitu sebagai pencegahan intrusi garam ke arah darat dan tempat berlindung atau beristirahat. 5. Air laut, sangat penting untuk keperluan hidup guna mencukupi kebutuhan mineral bagi satwa banteng, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa herbivora besar. 2.7
Pakan Banteng memiliki perilaku yang dominan berupa kegiatan merumput.
Alikodra (1983) menyatakan bahwa pada waktu siang hari banteng lebih memilih padang terbuka dan biasanya mereka terdiri dari beberapa kawanan banteng yang berkisar antara 10-12 ekor terdiri dari banteng jantan dewasa, induk dan anakanaknya. Banteng merumput sambil berjalan berlawanan dengan arah mata angin dan selalu bersikap waspada serta selalu memperhatikan keadaan sekitarnya. Hoogerwerf (1970) menyatakan banteng akan mulai merumput jika cuaca cukup cerah, kelompok banteng tersebut akan memilih hari yang agak berawan dibandingkan hari yang amat terik. Alikodra (1983), menyatakan bahwa jenis rerumputan yang dimakan oleh banteng diantaranya: jampang piit (Cytococum patens), rumput geganjuran (Paspalum commersonii), rumput bambu (Panicum montanum), rumput memerakan (Themeda arquens), ki pait (Axonopus compresus) dan alang-alang (Imperata cylindrical). Banteng biasanya beristirahat setelah mencari makan pada pagi hari menjelang siang hari. Pada saat matahari bersinar terik, biasanya banteng akan beristirahat di bawah tegakan hutan. Jika cuaca cerah atau agak berawan banteng
9
lebih sering berada di padang penggembalaan dan kadang pula banteng terlihat beristirahat di tepi pantai (Lekagul & McNeely 1977). 2.7.1
Produktivitas padang rumput Padang rumput adalah salah satu komponen habitat yang berfungsi sebagai
tempat makan, istirahat, bermain, dan berkembang biak banteng. Luas padang rumput, produktivitas, kualitas, dan palatabilitas pakan yang tinggi akan mempengaruhi jumlah banteng yang menempatinya. Produktivitas merupakan hasil yang dipungut atau dipanen per satuan bobot, luas, dan waktu. Sedangkan biomas merupakan hasil yang dipungut atau dipanen per satuan luas dan bobot. McIlory (1977) menyatakan bahwa produktivitas padang rumput tergantung dari beberapa faktor yaitu: 1. Persistensi (daya tahan) kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang secara vegetatif 2. Agresivitas (daya saing) kemampuan untuk memenangkan persaingan dengan spesies-spesies lain yang hidup bersama. 3. Kemampuan untuk tumbuh kembali setelah mengalami kerusakan 4. Sifat tanah kering dan tahan kering 5. Penyebaran produksi musiman 6. Kemampuan menghasilkan cukup banyak biji yang dapat tumbuh baik atau dapat berkembang biak secara vegetatif 7. Kesuburan tanah 8. Iklim terutama besarnya curah hujan dan distribusi hujan Tidak semua bagian rumput dimakan oleh satwa, tetapi ada sebagian yang ditinggalkannya untuk menjamin pertumbuhan selanjutnya. Bagian rumput yang dimakan oleh satwa disebut proper use (Susetyo 1980).
2.7.2
Palatabilitas pakan Ivins (1952) dalam Mcllroy (1977) mendefinisikann palatabilitas sebagai
hasil keseluruhan dari faktor-faktor yang menentukan apakah dan sampai di mana sesuatu makanan menarik bagi satwa. Menurut Mcllroy (1977), faktor-faktor yang mempengaruhi palatabilitas adalah fase pertumbuhan dan kondisi hijauan,
10
kesempatan memilih hijauan lain, tata laksana terhadap hijauan, pemupukan, dan sifat-sifat satwa. Palatabilitas dapat diuji dengan sistem prasmanan, yaitu dengan cara menyediakan petak-petak tanah yang ditanami dengan sejumlah hijauan yang berbeda. Satwa diberi kebebasan merumput menurut seleranya di petak-petak tersebut, dan waktu yang dihabiskan di tiap-tiap petak atau jumlah hijauan yang direnggut memberikan indeks palatabilitas relatif dari tiap jenis hijauan yang bersangkutan (Mcllroy 1977).
2.7.3
Daya dukung Daya dukung adalah kemampuan suatu areal atau kawasan untuk
mendukung satwa pada suatu periode tertentu dalam hubungannya dengan kebutuhan hidup satwa seperti reproduksi, pertumbuhan, pemeliharaan, dan pergerakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya dukung adalah iklim, tanah, topografi dan tingkat pengelolaan (Ontario 1980 dalam Siswanto 1982). Besarnya daya dukung suatu areal dapat dicari melalui pengukuran salah satu faktor habitat, diantaranya melalui pendekatan terhadap pakan (Syarief 1974). Alikodra (1979) menyatakan faktor yang perlu diketahui dari daya dukung areal adalah kebutuhan makan bagi satwa dan produksi rumput makanan satwa. 2.8
Status Konservasi Sebagai satwa langka dan terancam kelestariannya, maka perlindungan
akan banteng sangat diperlukan, terutama dari perburuan yang dilakukan oleh pemburu liar serta terdesaknya habitat banteng oleh pemukiman manusia. Kegiatan pelestarian dilakukan dengan penetapan peraturan dalam berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species (2008) masuk dalam kategori endangered yang merupakan status konservasi yang diberikan kepada spesies yang sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Status endangered ini diberikan pada banteng karena penurunan populasinya mencapai 80% terutama di Indochina. Berdasarkan adanya pengamatan langsung telah terjadi penurunan banteng sebesar 50%, hal ini diakibatkan oleh tingginya perdagangan illegal terhadap tanduk banteng. Hal serupa diproyeksikan sebagian besar karena perdagangan hewan-hewan tak
11
terkendali di Asia Tenggara dan perburuan untuk perdagangan tanduk, serta hilangnya habitat dan degradasi di Jawa. Pemerintah Indonesia memasukan banteng dalam Peraturan Pemerintah RI No. 7 Tahun 1999 sebagai salah satu satwa yang dilindungi keberadaannya.
12
BAB III METODOLOGI 3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) di
Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi tepatnya di enam lokasi keberadaan Banteng (Tabel 3). Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3. Waktu penelitian dilaksanakan selama lima minggu yaitu bulan Juli-Agustus 2010.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian. Tabel 3 Lokasi penelitian Lokasi SPTN W I Sarongan (Resort Sukamade)
Nama tempat Blok 90-an Savana Sumbersari
Tipe habitat Perkebunan coklat dan karet Padang rumput buatan
SPTN W II Ambulu (Resort Bandealit)
Blok Balsa Blok Kedungwatu Blok Banyuputih
Perkebunan Perkebunan Perkebunan Hutan hujan tropis dataran rendah Padang rumput buatan
Savana Pringtali SPTN W III Kalibaru (Resort Malangsari)
Blok Sikapal
Hutan hujan tropis dataran rendah Padang rumput alami
13
3.2
Alat dan Bahan Objek pengamatan adalah satwa banteng dan habitatnya. Bahan yang
digunakan adalah vegetasi tumbuhan bawah. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS, kalkulator, kamera, kompas, meteran, pita ukur, tali rafia, tali tambang, golok, sabit, dan beberapa peralatan lainnya (Tabel 4). Tabel 4 Alat yang digunakan dalam penelitian No 1
Nama Alat Global Positioning System (GPS)
Kegunaan Menentukan titik awal jalur pengamatan dan Mengetahui posisi keberadaan cover dan air ditemukan
2
Kalkulator
Menghitung dalam analisis data
3
Kamera
Mengambil gambar kondisi habitat dan satwa
4
Kompas
Mengetahui arah tajuk
5
Meteran
Mengukur panjang jalur dalam analisis vegetasi
6
Pita ukur
Mengukur keliling pohon
7
Tali raffia
Membuat batas-batas plot
8
Tali Tambang
Membuat jalur analisis vegetasi
9
Golok/sabit
Memotong rumput
10
Patok/pagar
Memagari plot produktivitas
11
Thermometer
Mengukur suhu
12
Bola pingpong
Untuk mengukur debit air
13
Pengukur waktu
Mengetahui
waktu
dimulai
dan
diakhiri
pengamatan dan mengetahui lamanya waktu pengukuran suhu dan debit air 14
Field guide tumbuhan
Mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan
15
Tally sheet
Membantu dalam pengambilan data di lapangan
16
Alat tulis
Membantu dalam pencatatan data di lapangan
17
Timbangan rumput
Menimbang
berat
rumput
dari
padang
penggembalaan
3.3
Jenis Data
3.3.1 Data primer Data primer yang dikumpulkan berupa struktur dan analisis vegetasi dan karakteristik habitat banteng yang diperoleh dengan pengukuran dan pengamatan langsung di lapangan (Tabel 5)
14
Tabel 5 Data primer penelitian Jenis Data A. Struktur dan Komposisi Vegetasi B. Karakteristik Habitat 1. Ketersediaan pakan a. Jenis Pakan
Metode Pengumpulan Data Pengamatan Pengukuran Wawancara
Semua lokasi
√
√
√
b. Produktivitas √
√
√
√
√
c. Daya dukung
d. Palatabilitas √ Karakteristik Cover a. Tipe cover b. Fungsi cover c. Tipe habitat d. Ketinggian (mdpl) e. Substrat dominan 3. Ketersediaan Air a. Sumber air b. Lebar (m) c. Kedalaman (m) d. Ketersediaan e. Intensitas Penggunaan oleh satwa f. Tipe Habitat g. Debit air
Lokasi
Semua lokasi Blok Banyuputih dan Blok Sikapal Blok Banyuputih dan Blok Sikapal Blok Banyuputih dan Blok Sikapal
2.
3.3.2
√ √ √
√
Semua Lokasi
√
√
√ √ √
√ √
√
√
√
√
Semua Lokasi
√ √
√
Data sekunder Data sekunder yang diambil yaitu informasi mengenai banteng berupa
lokasi keberadaan banteng, data populasi, dan perilaku yang diperoleh dari wawancara dan studi pustaka. 3.4
Metode Pengumpulan Data
3.4.1
Komposisi dan Struktur Vegetasi Untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi dari suatu habitat
dilakukan dengan cara analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan dengan membuat petak contoh secara purposive sampling, yaitu terkonsentrasi pada lokasi yang merupakan bagian wilayah jelajah banteng. Metode analisis vegetasi
15
yang digunakan adalah metode garis berpetak yaitu dengan membuat petak-petak contoh di sepanjang jalur pengamatan. Tahapan kegiatan analisisi vegetasi meliputi: 1. Pembuatan titik-titik sampling sepanjang 100 m memotong kontur dengan menggunakan metode garis berpetak (Gambar 4). 2. Pembagian vegetasi hutan ke dalam tipe semai, pancang, tiang, dan pohon. a. Semai
: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan dengan tinggi kurang dari 1,5 m diamati pada petak berukuran 2x2 meter²
b. Pancang
: Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm, diamati pada petak berukuran 5x5 meter²
c. Tiang
: Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. diamati pada petak berukuran 10 x 10 meter²
d. Pohon
: Pohon dewasa berdiameter 20 cm atau lebih, diamati pada petak berukuran 20 x 20 meter ²
Data yang dikumpulkan untuk tingkat pertumbuhan pohon dan tiang adalah jenis pohon, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, dan tinggi total. Sedangkan data yang diambil pada tingkat pertumbuhan pancang dan semai meliputi jenis tumbuhan dan jumlah individu setiap jenis. (Soerianegara dan Indrawan 2002). a
d
c
b
Keterangan : (a) = 20 m x 20 m (b) = 10 m x 10 m
(c) = 5 m x 5 m (d) = 2 m x 2 m
Gambar 4 Metode analisis vegetasi garis berpetak. Pengamatan/pengukuran pada padang penggembalaan dilakukan dengan menganalisis vegetasi tumbuhan bawah, dengan metode petak sampling. Petak contoh diletakan tersebar dengan ukuran setiap petak contoh adalah 1x1 m².
16
3.4.2
Karakteristik Habitat
a. Ketersediaan Pakan 1. Jenis pakan Identifikasi jenis-jenis pakan dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap bekas renggutan pada tumbuhan yang dimakan dan dilakukan di plot analisis vegetasi. Selain itu dilakukan pengumpulan informasi jenis pakan dari pemandu dan masyarakat yang pernah melakukan perjumpaan langsung. Selanjutnya dilakukan cek silang dari berbagai buku/literatur dari taman nasional. 2. Produktivitas dan daya dukung Analisis potensi pada habitat padang penggembalaan meliputi biomasa, produktivitas, dan daya dukung. Petak 1m x1m dibuat secara acak dengan menentukan petak awal pada bagian yang paling sering dijadikan tempat makan banteng. Data yang diperoleh dari setiap petak contoh adalah: (1) nama dan jumlah serta (2) biomasa dan produktivitas jenis pakan banteng. Biomasa diukur dengan cara memotong tumbuhan pakan pada setiap petak contoh setinggi 3-4 cm di atas permukaan tanah lalu ditimbang beratnya. Sedangkan produktivitas diukur setelah bekas potongan tersebut berumur 30 hari lalu dipotong dan ditimbang beratnya. Petak contoh tersebut dipagari agar tidak dimakan oleh satwa, sehingga dapat mengurangi bias dalam perolehan data produktivitas. Daya dukung lingkungan diperoleh dari perhitungan besarnya produktivitas dan proper use terhadap konsumsi pakan banteng per hari. 3. Palatabilitas Pengamatan palatabilitas dilakukan pada petak-petak contoh yang tidak dipagari, yang telah dibuat pada saat pengamatan produktivitas. Seluruh jenis tumbuhan yang ada di dalam petak contoh dicatat nama dan jumlah plot ditemukan. Kemudian setelah 30 hari dilakukan pengamatan hasil renggutan terhadap jenis-jenis yang dimakan oleh banteng. Selanjutnya dilakukan cek silang dari berbagai literatur tentang jenis-jenis rumput yang disukai dan dimakan oleh banteng di padang penggembalaan.
17
b.
Karakteristik Cover Data karakteristik cover diperoleh melalui pengamatan langsung pada plot
analisis vegetasi yang diperkuat dengan adanya jejak kaki dan feses dari banteng. Selain itu dilakukan wawancara dengan masyarakat sekitar hutan dan petugas sebagai informasi tambahan. Selanjutnya dilakukan cek silang dari data sekunder berupa dokumen taman nasional. Cover dibedakan menurut fungsi dan bentuknya yaitu berupa tipe cover, fungsi cover, tipe habitat keberadaan cover, ketinggian, dan substrat dominan. c.
Ketersediaan Air Data ketersediaan air yang diambil berupa parameter fisik yaitu lebar dan
kedalaman sungai, lokasi sumber air, ketersediaan sumber air, intensitas penggunaannya oleh banteng, dan habitat keberadaan sumber air. Pada air sungai yang mengalir dilakukan penghitungan debit air. Debit air dihitung dengan menggunakan bola pingpong yang dialirkan mengikuti arus air sepanjang 2 meter kemudian dihitung waktunya. Pengulangan perhitungan dilakukan sebanyak tiga kali yaitu di tepi kiri, di tengah, dan di tepi kanan.
3.5
Analisis Data
3.5.1
Komposisi dan Struktur Vegetasi Data vegetasi hutan yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan dihitung
nilai-nilai: indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman spesies. Untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan, frekuensi dan dominansi untuk setiap jenis tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan 2002). Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kerapatan suatu spesies (K)
=
Kerapatan relatif suatu spesies (KR) = Frekuensi suatu spesies (F)
=
Jumlah individu suatu spesies Luas petak contoh (ha)
Kerapatan suatu spesies × 100% Kerapatan seluruh spesies Jumlah petak ditemukan suatu spesies Jumlah seluruh petak
18
Frekuensi relatif suatu spesies (FR)
=
Dominasi suatu spesies (D)
=
Dominasi relatif suatu spesies (DR) =
Frekuensi suatu spesies Frekuensi seluruh spesies
× 100%
Luas bidang dasar suatu spesies Luas petak contoh (Ha)
Dominansi suatu spesies Dominansi seluruh spesies
× 100%
Indeks Nilai Penting (INP) Tingkat semai dan pancang
: INP = KR + FR
Tingkat pohon/ tiang
: INP = KR + FR + DR
Total Indeks Nilai Penting (INP) untuk setiap tingkat pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah, dihitung untuk setiap tipe ekosistem. Nilai INP setiap tipe ekosistem menggambarkan kondisi vegetasi. Untuk menghitung keanekaragaman spesies digunakan Indeks Keanekaragaman Shannon (H’) dengan persamaan sebagai berikut : H’ = - ∑ [ Pi. ln. Pi]
Pi =
ni N
Keterangan : H’
: Indeks Keanekaragaman Shannon
Pi
: Proporsi Nilai Penting
Ln
: Logaritma Natural
ni
: Jumlah INP suatu spesies
N
: Jumlah INP seluruh spesies
3.5.2
Produktivitas dan Daya Dukung Untuk mengetahui produksi hijauan seluruh areal dipergunakan rumus
Susetyo (1980).
Produktivi tas =
P p = L l
Keterangan : P = Produksi Hijauan seluruh areal (Kg) L = Luas seluruh areal (ha) p = Produksi hijauan pada areal contoh (kg)
19
l = luas areal contoh (ha) Untuk mengetahui daya dukung padang penggembalaan digunakan rumus Susetyo (1980) sebagai berikut:
Daya dukung =
P x p.u x A C
Keterangan : P
= Produktivitas hijauan (Kg /m²/hari)
p.u
= Guna nyata (0.65) untuk daerah yang datar sampai bergelombang (kemiringan 0º-5º)
A
= Luas seluruh areal
C
= Kebutuhan Makan Banteng (Kg/ekor/hari)
3.5.4 Palatabilitas Palatabilitas dihitung menggunakan rumus Alikodra (2000) sebagai berikut:
P=
x y
Keterangan : P = palatabilitas, nilainya berkisar 0-1 x = jumlah petak contoh dimana sesuatu jenis dimakan banteng y = jumlah seluruh petak contoh dimana jenis tersebut ditemui 3.5.5 Debit Air Debit air dihitung menggunakan rumus Dharmakalih (1997) sebagai berikut: Q
=AxV
A
=pxl
Q
= Debit air (m³/dtk)
A
= Luas Penampang (m²)
V
= Kecepatan Arus (m/dtk)
P
= panjang (m)
l
= lebar (m)
Keterangan :
20
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Potensi Fisik Kawasan
4.1.1
Letak dan Luas Berdasarkan letak administrasi pemerintahan, kawasan TNMB terletak di
dua wilayah Kabupaten Provinsi Jawa Timur. Bagian barat termasuk Kabupaten Jember dengan luas 37.626 ha dan bagian timur termasuk Kabupaten Banyuwangi dengan luas 20.374 ha. Kawasan TNMB secara geografis terletak antara 113º58'48’’ - 113º58'30’’ BT dan 8º20'48’’ - 8º33'48’’ LS.. Batas-batas wilayah kawasan Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan TNMB (2009) meliputi: a. Sebelah utara, berbatasan dengan kawasan PT. Perkebunan Treblasala dan Perum Perhutani RPH Curahtakir. b. Sebelah timur, berbatasan dengan Desa Sarongan, Kecamatan Pesanggaran Kabupaten Banyuwangi dan kawasan PTPN XII Sumberjambe. c. Sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia d. Sebelah barat, berbatasan dengan Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, Desa Sanenrejo Kecamatan Tempurejo Kabupaten Jember, kawasan PTPN XII Kalisanen PTPN XII Kota Blater dan Perum Perhutani RPH Sabrang. 4.1.2 Topografi Secara umum kawasan Taman Nasional Meru Betiri berupa perbukitan yang berbatasan dengan kawasan pantai (bagian selatan). Kawasan ini berada pada ketinggian antara 900-1.223 m dpl. Kondisi kelerangan tanah sangat beragam, mulai dari keadan datar, landai hingga memiliki kelerangan dengan tingkat yang curam. Kawasan Meru Betiri didominasi dengan bukit-bukit yang relatif tersebar secara merata. Gunung yang terdapat di Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II di Ambulu antara lain: G. Rika (535 m dpl), G. Guci (329 m dpl), G. Alit (534 m dpl), G. Gamping (538 m dpl), G. Sanen ( 437 m dpl), G. Butak (609 m dpl), G. Mandilis (844 m dpl), dan G. Meru (344 m dpl). Sedangkan gunung yang terdapat di seksi pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Sarongan adalah G. Betiri (1.223
21
m dpl) yang merupakan gunung tertinggi, G. Gendong (840 m dpl), G. Sukamade (806 m dpl), G. Sumberpacet (706 m dpl), G. Permisan (568 m dpl), G. Sumberdadung (520 m dpl), dan G. Rajegwesi (160 m dpl). SPTN W III masih menjadi bagian wilayah SPTN W I dan SPTN W II, baru pada tahun 2008 dipisahkan menjadi wilayah tersendiri. Pada umumnya keadaan topografi di sepanjang pantai berbukit-bukit sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar yang berpasir hanya sebagian kecil, dari timur ke barat adalah Pantai Rajegwesi, Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungaisungai yang berada di kawasan TNMB antara lain Sungai Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang mengalir dan bermuara di Pantai Selatan Jawa (TNMB 2009). 4.1.3 Geologi dan Tanah Secara umum jenis tanah di kawasan TNMB merupakan asosiasi dari jenis aluvial, regosol dan latosol. Tanah alluvial umumnya terdapat di daerah lembah dan tempat rendah sampai pantai, sedangkan regosol dan latosol umumnya terdapat di lereng dan punggung gunung. Menurut Suganda et al. (1992) dalam Tim PKLP TNMB (2010) geologi kawasan TNMB terdiri atas: a.
Aluvium meliputi kerakal, kerikil, pasir dan lumpur.
b.
Formasi Sukamade meliputi batu gunung terumbu bersisipan batu lanau dan batu berpasir.
c.
Formasi Puger meliputi batu gunung terumbu bersisipan breksi batu gunung dan batu gamping hutan.
d.
Formasi batu ampar
meliputi perselingan batu pasir dan batu lempung
bersisipan tuf, breksi, dan konglomerat. e.
Anggota batu gamping formasi Meru Betiri meliputi batu gamping, batu gamping tufan, dan napal.
f.
Formasi Meru Betiri meliputi perselingan breksi gunung api, lava dan tuf, terpropilitan
g.
Formasi Mandiku meliputi breksi gunung api dan tuf, breksi berkomponen andesit dan basal bersisipan tuf.
h.
Batuan terobosan meliputi granodiorit, diorit, dan dasit.
22
Aluvium, Formasi Sukamade, Formasi Puger, Formasi Batu Ampar, dan anggota batu gamping Formasi Meru Betiri berasal dari batuan endapan permukaan, dan batuan sedimen. Formasi Meru Betiri dan Formasi Mandiku berasal dari batuan gunung api. Sedangkan batuan terobosan berasal dari batuan terobosan. Aluvium terbentuk pada zaman Holosen Kuartier, Formasi Batu Ampar terbentuk pada Zaman Oligosen, Formasi Mandiku, dan Formasi Puger terbentuk pada Zaman Akhir Miosen Tersier, Batuan terobosan terbentuk pada Zaman Tengah Miosen Tersier sedangkan Formasi Meru Betiri, Formasi Sukamade, anggota batu gamping Formasi Meru Betiri terbentuk pada Zaman Awal Miosen Tersier. 4.1.4
Iklim Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, tipe iklim kawasan
taman nasional bagian utara dan tengah termasuk iklim B dan C, dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 2.544 – 3.478 mm per tahun dengan rata-rata bulan kering selama empat sampai lima bulan dan bulan basah selama tujuh sampai sampai delapan bulan. Sedangkan kawasan TNMB bagian barat mempunyai tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata 2.300 mm per tahun, dan kawasan sebelah timur mempunyai curah hujan rata-rata 1.300 mm per tahun sehingga kondisinya lebih kering. Kawasan TNMB merupakan wilayah yang dipenuhi oleh angin musim. Bertiupnya angin barat laut pada bulan November sampai dengan Maret menyebabkan hujan, sedangkan pada akhir bulan April sampai dengan Oktober terjadi musim kemarau. Pada bulan Juni hingga Agustus curah hujan cukup besar sehingga menyebabkan banjir di beberapa daerah. Curah hujan di kawasan ini bervariasi antara 1.252 – 2.818 mm per tahun dengan bulan basah antara bulan November–Maret, dan kering antara April–Oktober. Di daerah bekas Perkebunan Bandealit (sebelah barat) rata-rata curah hujan antara 1.438–2.818 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Desember–Maret. Sebaliknya di daerah bekas perkebunan Sukamade (sebelah tengah) rata-rata curah hujan tahunan antara 1.307–1.856 mm dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari–Maret (TNMB 2009).
23
4.2
Potensi Biotik
4.2.1 Flora dan tipe habitat Kawasan Taman Nasional Meru Betiri mempunyai flora sebanyak 518 jenis, terdiri atas 15 jenis yang dilindungi dan 503 jenis yang tidak dilindungi. Taman Nasional Meru Betiri memiliki formasi vegetasi yang lengkap dan juga beberapa jenis flora langka antara lain bunga rafflesia (Rafflesia zollingeriana), juga terdapat Balanophora fungosa yaitu tumbuhan parasit yang hidup pada jenis pohon Ficus spp. Selain itu, terdapat pula jenis flora yang digunakan sebagai bahan baku obat/jamu tradisional sebanyak 239 jenis. Berikut ini merupakan jenis flora yang diprioritaskan untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat adalah cabe Jawa (Piper retrofractum), kemukus (Piper cubeba), kedawung (Parkia roxburghii), kluwek/pakem (Pangium edule), kemiri (Aleurites moluccana), pule pandak (Rauwolfia serpentina), kemaitan (Lunasia amara), anyang-anyang (Elaeocarpus grandiflora), sintok (Cinnamomum sintok), dan kemuning (Murray paniculata). Kawasan Taman Nasional Meru Betiri merupakan hutan hujan tropis yang mempunyai 5 tipe vegetasi yaitu vegetasi hutan pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte dan vegetasi hutan hujan dataran rendah. Kondisi setiap tipe vegetasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri berdasarkan TNMB (2009) dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tipe Vegetasi Hutan Pantai Formasi vegetasi hutan pantai terdiri dari dua tipe utama yaitu formasi ubi pantai (Ipomoea pescaprae) dan formasi Barringtonia (25-50 m).
Formasi
pescaprae terdiri dari tumbuhan yang tumbuh rendah dan kebanyakan terdiri dari jenis herba, sebagian tumbuh menjalar. Jenis yang paling banyak adalah ubi pantai (Ipomoea pescaprae) dan rumput lari (Spinifex squarosus). Formasi baringtonia terdiri dari keben (Barringtonia asiatica), nyamplung (Calophyllum inophyllum), waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminalia catappa), pandan (Pandanus tectorius) dan lain-lain. Tipe vegetasi ini tersebar di sepanjang garis pantai selatan dalam kelompok hutan yang sempit, umumnya menempati daerah sekitar teluk
24
yang bertopografi datar, misalnya di Teluk Permisan, Teluk Meru, Teluk Bandealit, dan Teluk Rajegwesi. b. Tipe Vegetasi Hutan Mangrove Vegetasi ini dapat dijumpai di bagian timur Teluk Rajegwesi yang merupakan muara Sungai Lembu dan Karang Tambak, Teluk Meru dan Sukamade merupakan vegetasi hutan yang tumbuh di garis pasang surut. Jenis-jenis yang mendominasi adalah bakau-bakauan (Rhizophora sp), api-api (Avicennia sp), dan tancang (Bruguiera sp). Di muara Sungai Sukamade terdapat nipah (Nypa fruticans) yang baik formasinya. c. Tipe Vegetasi Hutan Rawa Jenis vegetasi yang banyak dijumpai diantaranya mangga hutan (Mangifera sp), sawo kecik (Manilkara kauki), ingas/rengas (Gluta renghas), pulai (Alstonia scholaris), kepuh (Sterculia foetida), dan Barringtonia spicata. Vegetasi ini dapat dijumpai di belakang hutan payau Sukamade. d. Tipe Vegetasi Hutan Rheophyt Tipe vegetasi ini terdapat pada daerah-daerah yang dibanjiri oleh aliran sungai dan jenis vegetasi yang tumbuh diduga dipengaruhi oleh derasnya arus sungai, seperti lembah Sungai Sukamade, Sungai Sanen, dan Sungai Bandealit. Jenis yang tumbuh antara lain glagah (Saccharum spontaneum), rumput gajah (Penisetum curcurium), dan beberapa jenis herba berumur pendek serta rumputrumputan. e. Tipe Vegetasi Hutan Hujan Tropika Dataran Rendah Tipe vegetasi ini merupakan hutan campuran antara hutan hujan dataran rendah dengan hutan hujan tropis pegunungan. Sebagian besar kawasan hutan Taman Nasional Meru Betiri merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika dataran rendah. Pada tipe vegetasi ini juga tumbuh banyak jenis epifit, seperti anggrek dan paku-pakuan serta liana. Jenis tumbuhan yang banyak dijumpai diantaranya jenis walangan (Pterospermum diversifolium), winong (Tetrameles nudiflora), gondang (Ficus variegata), budengan (Diospyros cauliflora), pancal kidang (Aglaia variegata), rau (Dracontomelon mangiferum), glintungan (Bischofia javanica), ledoyo (Dysoxylum amoroides), randu agung (Gossampinus heptaphylla), nyampuh (Litsea sp), bayur (Pterospermum javanicum), bungur (Lagerstroemia
25
speciosa), segawe (Adenanthera microsperma), aren (Arenga pinnata), langsat (Lansium domesticum), bendo (Artocarpus elasticus), suren (Toona sureni), dan durian (Durio zibethinus). Terdapat pula vegetasi bambu seperti: bambu bubat (Bambusa sp), bambu wuluh (Schizastychyum blumei), dan bambu lamper (Schizastychyum branchyladium). Di dalam kawasan juga terdapat beberapa jenis rotan, diantaranya: rotan manis (Daemonorops melanocaetes), rotan slatung (P. longistigma) dan rotan warak (P. elongata). 4.2.2 Fauna Fauna yang telah teridentifikasi di kawasan Taman Nasional Meru Betiri hingga saat ini sebanyak 217 jenis, terdiri dari 92 jenis yang dilindungi dan 115 jenis yang tidak dilindungi, meliputi 25 jenis mamalia (18 diantaranya dilindungi), 8 reptilia (6 jenis diantaranya dilindungi), dan 184 jenis burung (68 jenis diantaranya dilindungi). Keragaman jenis fauna tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kelas antara lain aves, mamalia, herpetofauna (amphibi dan reptilia), dan fauna perairan. Kelompok besar yang berada dalam kawasan taman nasional adalah jenis aves, mamalia (herbivora, primata dan karnivora besar) serta reptilia besar (penyu laut, biawak dan ular phyton). Fauna yang terdapat di kawasan TNMB diantaranya adalah banteng (Bos javanicus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), macan tutul (Panthera pardus melas), ajag (Cuon alpinus javanicus), kucing hutan (Prionailurus bengalensis javanensis), rusa (Cervus timorensis), bajing terbang ekor merah (Iomys horsfieldii), merak (Pavo muticus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu ridel/lekang (Lepidochelys olivacea) (TNMB 2009).
26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Komposisi dan Struktur Vegetasi
5.1.1 Hutan hujan tropis dataran rendah Hutan hujan tropis dataran rendah merupakan salah satu habitat yang penting bagi banteng di kawasan TNMB. Tipe vegetasi ini mendominasi sebagian besar kawasan TNMB. Pada lokasi ini dilakukan analisis vegetasi untuk berbagai tingkat pertumbuhan. Lokasi yang menjadi pengukuran vegetasi merupakan hutan hujan tropis primer dan sekunder. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh 38 jenis tumbuhan dengan 24 famili (Tabel 6). Tabel 6 Hasil analisis vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah Area Blok Banyuputih
Nama lokal Babadotan Kariya Lagetan
Ageratum conyzoides Mikania micrantha Spilanthes acmelia
KR (%) 77,98 13,76 8,25
FR (%) 50 30 20
DR (%) -
INP (%) 127,98 43,76 28,25
Semai
Bambu Jenti Jerukan
Schizoschyum blumea Sesbania sesban Polyalthia rumphii
94,11 2,35 3,52
57,14 28,57 14,28
-
151,25 30,92 17,80
Pancang
Bambu Jerukan Kopi
Schizoschyum blumea Polyalthia rumphii Coffea robusta
90,90 4,95 2,06
40 20 20
-
130,90 24,95 22,06
Tiang
Kopi Jerukan Jenti
Coffea robusta Polyalthia rumphii Sesbania sesban
33,33 26,66 20
25 25 25
26,71 28,89 20,47
85,04 80,56 65,47
Pohon
Walangan
Pterospermum diversifolium Cocos nucifera Kleinhovia hospital
28,57
13,33
18,50
60,41
14,28 14,28
20 13,33
20,79 14,80
55,08 42,42
Paspalum conjugatum Mikania micrantha Chromolaena odorata
75,65
38,46
-
114,11
18,26 3,47
23,07 15,38
-
41,33 18,86
Leea aequata Ficus hispida Ficus variegate
26,92 26,92 23,07
22,22 22,22 11,11
-
49,14 49,14 34,18
25 25 15
25 12,5 12,5
-
50 37,5 27,5
Tingkat Tumb. Bawah
Kelapa Timo Blok Sikapal
Tumb. Bawah
Paitan Kariya Kirinyuh
Semai
Pancang
Lengkian Luwingan Gondang legi Luwingan Mat-mat Kemunduh
Nama ilmiah
Ficus hispida Dinochloa scandes Baccauera recemosa
27
Tabel 6 lanjutan. Area
Tingkat
Nama lokal
Tiang
Luwingan Kemunduh Gondang legi Apak Pakem Bendo
Pohon
Ficus hispida Baccauera recemosa Ficus variegata
KR (%) 26,66 26,66 20
FR (%) 28,57 14,28 14,28
DR (%) 11,01 22,85 28,40
INP (%) 66,25 63,80 62,69
Ficus benjamina Pangium edule Artocarpus elasticus
12 20 16
15,78 10,52 10,52
55,73 6,72 6,72
83,52 37,25 33,25
Nama ilmiah
Pada hutan hujan tropis dataran rendah Blok Banyuputih diperoleh 14 jenis tumbuhan dengan 12 famili. Blok Banyuputih memiliki tanah kering dengan topografi yang relatif datar sampai dengan bergelombang. Suhu rata-rata pada blok ini yaitu 29°C dengan kelembaban 65% dan berada pada ketinggian ± 20 m dpl. Jenis tanaman kopi (Coffea robusta) dan jenti (Sesbania sesban) merupakan tanaman perkebunan, karena letak hutan hujan tropis dataran rendah di pinggir perkebunan maka plot diambil dari areal perkebunan untuk mengambil data daerah cover banteng. Rumpun bambu mendominasi di perbatasan antara hutan dan perkebunan sehingga digunakan banteng untuk berlindung. Lebatnya rumpun bambu membuat banteng sulit ditemukan ketika masuk ke dalam hutan. Sumber air diperoleh dari Sungai Banyuputih dan untuk kebutuhan mengasin banteng dapat mengunakan Pantai Bandealit karena lokasi perkebunan hanya berjarak ± 1 km dari pantai. Pada hutan hujan tropis dataran rendah Blok Sikapal diperoleh 25 jenis tumbuhan dengan 20 famili (Lampiran 5). Pada blok ini terdapat ruang-ruang terbuka yang kecil dan ditumbuhi dengan tumbuhan bawah pakan banteng. Kondisi tanah sebagian besar basah dan memiliki topografi bergelombang. Suhu rata-rata pada blok ini yaitu 26°C berada pada ketinggian 600 m dpl dengan kelembaban 69%. Pada jalur menuju plot analisis vegetasi dan plot produktivitas Blok Sikapal ditemukan rumpun bambu yang letaknya dekat dengan sungai dan berada di tepi hutan hujan tropis dataran rendah, serta berbatasan dengan areal perkebunan. Rumpun bambu tersebut dijadikan koridor lintasan bagi banteng, hal ini dibuktikan dengan adanya jejak-jejak baru dan jejak-jejak lama. Hutan hujan tropis dataran rendah Blok Sikapal masih alami dilihat dari vegetasinya yang rapat, lokasinya yang sulit dijangkau, tidak adanya aktivitas
28
manusia, dan masuknya kawasan Blok Sikapal dalam zona inti TNMB. Pada Tabel 7 disajikan vegetasi yang berfungsi cover dan pakan bagi banteng di hutan hujan tropis dataran rendah. Tabel 7 Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi cover dan pakan di hutan hujan tropis dataran rendah. Areal Blok Banyuputih
Blok Sikapal
Jenis vegetasi Fungsi Pakan Fungsi Cover Nama lokal Nama ilmiah Nama lokal Nama ilmiah Babadotan Ageratum conyzoides Walangan Pterospermum diversifolium Kariya Mikania micrantha Bambu Schizoschyum wuluh blumea Lagetan Spilanthes acmelia Jenti Sesbania sesban Bambu wuluh Schizoschyum blumea Kopi Coffea robusta Jenti Sesbania sesban
Paitan Kariya Kirinyuh Luwingan Gondang legi
Paspalum conjugatum Mikania micrantha
Luwingan
Ficus hispida
Kemunduh
Chromolaena odorata Ficus hispida Ficus variegata
Apak
Baccauera recemosa Ficus benjamina
Kondisi tumbuhan hutan hujan tropis dataran rendah di TNMB masih baik, hal ini dapat dilihat dari penutupan vegetasi yang rapat dan diameter pohon yang besar serta topografi yang relatif datar sampai dengan bergelombang dan tidak terganggu aktivitas manusia. Medway (1977) menyatakan bahwa banteng sangat menyukai habitat yang berhutan sekunder dan banyak tempat terbuka tetapi tidak terganggu oleh manusia. Kawasan TNMB sebagian besar merupakan hutan hujan tropis dataran rendah, hampir 70% luasan TNMB merupakan hutan hujan tropis dataran rendah baik primer maupun sekunder. Hasil pengamatan jenis vegetasi di habitat banteng diperoleh 38 jenis vegetasi dengan 24 famili. Pada kawasan Taman Nasional Alas Purwo diperoleh 40 jenis (Delfiandi 2006) dan pada Taman Nasional Ujung Kulon diperoleh 27 jenis (Destriana 2006) pada lokasi habitat banteng hutan hujan tropis dataran rendah. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, banteng banyak mendapat pakan dari tumbuhan bawah yang terdapat di sela-sela tegakan dan merupakan tempat lintasan banteng. Banteng memanfaatkan vegetasi yang rapat dan tutupan tajuk
29
yang lebat di dalam hutan untuk berlindung dari berbagai macam gangguan dan juga sebagai tempat istirahat (Gambar 5). Banteng memilih rumpun bambu sebagai tempat berteduh selain tajuk pohon dan terdapat hamparan pakan yang dijadikan sebagai bahan makanan tambahan, karena banteng ketika beristirahat juga sambil memamah biak (Alikodra 1983). Jika banteng bertemu dengan manusia maka akan berlari masuk hutan dengan tegakan bambu yang rapat sehingga sangat sulit untuk menemukannya. Banteng memilih hutan hujan tropis dataran rendah sebagai lokasi berlindung karena jarang terdapat aktivitas manusia. Alikodra (1983) mengemukakan hutan hujan tropis dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat berlindung dari kondisi cuaca yang tidak menentu. Pada kawasan Taman Nasional Alas Purwo bambu mendominasi 40% dari luasan hutan hujan tropis dataran rendah (Delfiandi 2006). Pada kawasan TNMB bambu mendominasi di daerah tepi antara areal perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah.
Gambar 5 Habitat hutan hujan tropis dataran rendah. 5.1.2
Perkebunan Di kawasan TNMB terdapat areal perkebunan milik swasta yang menjadi
habitat banteng. Perkebunan tersebut masih berproduksi secara rutin meskipun sudah banyak yang rusak. Terdapat empat blok perkebunan yang diamati, yaitu: Blok 90-an Coklat, Blok 90-an Karet, Blok Balsa, dan Blok Kedungwatu. Pada habitat perkebunan ditemukan sebanyak 16 jenis tumbuhan dari 12 famili (Tabel 8)
30
Tabel 8 Hasil analisis vegetasi di areal perkebunan untuk jenis dominan Areal
Blok 90-an Coklat
Tingkat Tumb. Bawah Semai Pancang Tiang Pohon
Blok 90-an Karet
Tumb. Bawah Semai Pancang Tiang Pohon
Blok Balsa
Tumb. Bawah Semai Pancang Tiang Pohon
Blok Kedungwatu
Tumb. Bawah Semai Pancang Tiang Pohon
Nama lokal
Nama ilmiah
Lagetan
Spilanthes acmelia
Coklat Coklat Coklat
Theobrroma cacao Theobrroma cacao Theobrroma cacao
Kelapa
Cocos nucifera
Lagetan
Spilanthes acmelia,
Karet Karet
Hevea brasiliensis Hevea brasiliensis
-
-
Babadotan
Ageratum conyzoides
Mindi -
Garcinia dulcis -
Balsa
Ochroma lagopus
Babadotan
Ageratum conyzoides
Waru -
Hibiscus tiliaceus -
Waru
Hibiscus tiliaceus
KR (%) 82,75
FR (%) 50
DR (%) -
INP (%) 132,75
100 100 89,47 50
100 100 60 50
100 97,23 57,89
200 300 246,70 157,89
61,11
25
-
86,11
100 100 -
100 100 -
100 -
200 300 -
47,19
25
-
72,19
100 100
100 100
100
200 300
40,88
30
-
70,88
78,57 50
75 50
50,44
153,57 150,44
Pada Blok 90-an Coklat dan Karet, tumbuhan bawah tumbuh di lantailantai hutan karet sehingga banteng mudah mendapat pakan. Topografinya relatif datar dengan kondisi tanah basah sampai kering (Gambar 6). Terdapat parit-parit air di dalam areal perkebunan sebagai tempat minum banteng serta muara Sukamade sebagai lokasi untuk mengasin. Blok ini memiliki suhu 28°C dan kelembaban
yaitu 85% serta berada pada ketinggian ± 10 m dpl. Lokasi
perkebunan Blok Balsa dan Kedungwatu dekat dengan sumber air yaitu Sungai Cawang sehingga banteng menggunakan areal perkebunan sebagai lintasan, tempat mencari makan, dan berteduh. Kondisi tanah yang kering, dengan topografi yang bergelombang dan memiliki suhu 27% dan kelembaban 70%, serta berada pada ketinggian ±20 m dpl. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, terdapat empat jenis tumbuhan yang berfungsi sebagai cover dan delapan jenis yang berfungsi sebagai tumbuhan pakan (Tabel 9).
31
Tabel 9 Jenis-jenis vegetasi yang berfungsi sebagai cover dan pakan di habitat perkebunan Areal Blok 90an Coklat
Jenis vegetasi Fungsi Pakan Fungsi Cover Nama lokal Nama ilmiah Nama lokal Nama ilmiah Lagetan Spilanthes acmelia Coklat Theobroma cacao Coklat Theobrroma cacao Sintru Clitoria ternatea
Blok 90an Karet
Lagetan Kirinyuh Sintru Babadotan
Spilanthes acmelia Chromolaena odorata Clitoria ternatea Ageratum conyzoides
Karet
Hevea brasiliensis
Blok Balsa
Rambusa Babadotan Sintru Kirinyuh
Passiflora foetida Ageratum conyzoides Clitoria ternatea Chromolaena odorata
Balsa
Ochroma lagopus
Blok Kedungwatu
Babadotan Sintru Krayutan Kirinyuh Waru Gondang legi
Ageratum conyzoides Clitoria ternatea Mikania micrantha Chromolaena odorata Hibiscus tiliaceus L. Ficus variegata Bl.
Waru
Hibiscus tiliaceus
Areal perkebunan merupakan habitat yang disukai oleh banteng di kawasan TNMB, karena selain tersedianya pakan banteng yang berlimpah juga tersedia air dan tempat istirahat di sekitarnya. Menurut Alikodra (2002) satwaliar juga banyak yang menggunakan tanaman perkebunan sebagai habitatnya, sehingga untuk beberapa hal sering menjadi hama tanaman. Beberapa satwa yang sering menggunakan habitat perkebunan antara lain, gajah, rusa, babi hutan, banteng dan kera ekor panjang. Aktivitas banteng di TNMB lebih banyak ditemui di areal perkebunan (Wirawan 2011). Pada perkebunan sangat banyak dijumpai banteng baik secara langsung maupun tidak langsung.
Gambar 6 Habitat perkebunan.
32
Pengelolaan areal perkebunan di TNMB masih cukup baik, sehingga tumbuhan bawah dapat tumbuh dengan subur karena adanya perawatan, seperti pemupukan. Meskipun banyak lokasi perkebunan yang telah rusak, lokasi yang masih produktif tetap dirawat. Menurut Setiawati (1986) kondisi rumput yang tumbuh di bawah tegakan kelapa milik perkebunan jauh lebih baik dibanding rumput yang tumbuh di padang penggembalaan. Keadaan ini menguntungkan bagi banteng sehingga selalu tersedia pakan yang segar meskipun tiap blok perkebunan dijaga oleh manusia. Banteng dapat mencari kesempatan untuk mendapatkan makanan di areal perkebunan. Ketika melihat manusia banteng akan pergi ke hutan di sekitarnya dan kembali ketika keadaan telah aman (Alikodra 1983). Habitat perkebunan disukai banteng karena topografinya yang sebagian besar datar sehingga memudahkan banteng untuk mengetahui kemungkinan adanya gangguan (Alikodra 2010). Pemanfaatan areal perkebunan sebagai salah satu habitat sering menimbulkan permasalahan bagi pihak perkebunan. Masuknya banteng ke dalam areal perkebunan yang baru ditanami mengakibatkan tanaman perkebunan milik warga menjadi rusak. Oleh karena itu, pihak perkebunan melakukan pengamanan terhadap banteng melalui patroli yang dilakukan oleh pekerja perkebunan untuk menghalau banteng agar tidak masuk ke areal perkebunan. Penghalauan hanya dilakukan pada lokasi perkebunan yang sedang ditanami tanaman pertanian karena rentan akan injakan dan potensi dimakan oleh banteng. Tingkat kerawanan populasi banteng pada perkebunan dipengaruhi oleh kegiatan manusia saat mengambil hasil perkebunan dan mencari kayu atau bambu. Tingkat perburuan terhadap banteng juga sudah sangat jarang (Tim TNMB 2009). Keberadaan satwa pemangsa (predator) tidak ditemukan di habitat tersebut karena keberadaannnya yang telah punah yaitu harimau jawa (Panthera tigris sondaica). 5.1.3
Padang Rumput TNMB memiliki savana-savana buatan sebagai habitat banteng. Savana
tersebut antara lain Savana Sumbersari dan Savana Pringtali yang merupakan padang penggembalaan (feeding ground) buatan bagi banteng. Kondisi kedua savana sudah tidak terawat dan tidak nyaman bagi banteng untuk hidup di dalamnya, disebakan kedua savana tersebut terancam oleh adanya invasi telean
33
(Lantana camara) dan bambu jajang (Giganthochloa apus). Feeding ground buatan tersebut sudah sangat jarang digunakan oleh banteng. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya ditemukan jejak keberadaan bateng tersebut. Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan di Savana Sumbersari, ditemukan 12 jenis tumbuhan yang didominasi oleh famili Verbenaceae dan Poaceae (Tabel 10). Tabel 10 Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Sumbersari No
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
KR (%) 30,48 28,22 10,84 8,83 6,82
FR (%) 15,15 15,15 15,15 12,12 9,09
INP (%) 45,64 43,37 25,99 20,95 15,91
1 2 3 4 5
Telekan Plumpung Sintru Kerayutan Paitan
Verbenaceae Poaceae Leguminosae Asteraceae Poaceae
6 7 8 9
Rumput gambir Lagetan Rumput kawat Kacang2an
10 11 12
Rumput teki Kemukus Putri malu
Lantana camara Panicum respens Clitoria ternatea Mikania micrantha Paspalum conjugatum Spilanthes acmelia Cynodon dactylon Desmodium puchellum Cyperus rotundus Piper cubeba Mimosa pudica
Asteraceae Poaceae Fabaceae
5,62 3,21 2,00 1,20
9,09 6,06 6,06 3,03
14,71 9,27 8,06 4,23
Cyperaceae Piperaceae Fabaceae
1,20 0,80 0,80
3,03 3,03 3,03
4,23 3,83 3,83
Hasil pengukuran vegetasi ditemukan 12 jenis tumbuhan pada Savana Sumbersari. Jenis tumbuhan yang mendominasi dilihat dari INP terbesar yaitu telean (Lantana camara) dan plumpung (Panicum respens) yang merupakan jenis yang tidak disukai banteng. Jenis-jenis tumbuhan seperti sintru (Clitoria ternatea), krayutan (Mikania micrantha), dan paitan (Paspalum conjugatum) yang merupakan pakan banteng juga terdapat pada savana dengan jumlah banyak terlihat dari INP tumbuhan tersebut. Walaupun jenis tersebut terdapat pada savana, namun keberadaan telean (Lantana camara) dan plumpung (Panicum respens) lebih dominan sehingga menutupi keberadaan jenis pakan lain. Savana Sumbersari memiliki luas 10 ha sebagian besar tertutup dengan bambu jajang yaitu jenis vegetasi awal yang terdapat di Savana Sumbersari, karena perawatan yang kurang sehingga savana yang tadinya terbuka, kembali ke kondisi awalnya yang dipenuhi oleh rumpun bambu. Savana Sumbersari berada jauh dari lokasi aktivitas manusia dan dekat dengan aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun yaitu Sungai Sumbersari serta untuk mengasin banteng harus berjalan menuju Teluk Meru. Pada Savana Sumbersari tahun 2010 dilakukan
34
pengelolaan habitat dengan mengetahui luasan efektif dari savana tersebut kemudian dilakukan pembersihan dan pembuatan bak untuk mengasin bagi banteng. Savana ini memiliki suhu 33°C dengan kelembaban 61% dan berada pada ketinggian ± 20 m dpl. Kondisi Savana Sumbersari dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Habitat Savana Sumbersari. Pada pengukuran vegetasi ditemukan 9 jenis tumbuhan di Savana Pringtali. Pada INP terbesar diperoleh telean (Lantana camara) yang mendominasi dan merupakan jenis yang tidak disukai banteng. Jenis lain yang merupakan pakan banteng dan memiliki INP yang besar yaitu paitan (Paspalum conjugatum), sintru (Mikania micrantha), kirinyuh (Chromolaena odorata), dan kawatan (Cynodon dactylon). Jenis-jenis pakan banteng tersebut terinvasi oleh telean sehingga banteng sulit menemukan makanannya. Hasil analisis vegetasi dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah di Savana Pringtali No
Nama lokal
Nama Ilmiah
Famili
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Telean Paitan Sintru Kerinyu Kawatan Krayutan/kariya Sidagori Babadotan Pulutan
Lantana camara Paspalum conjugatum Clitoria ternatea Chromolaena odorata Cynodon dactylon Mikania micrantha Sida glabra Ageratum conyzoides Urena lobata
Verbenaceae Poaceae Leguminoceae Asteraceae Poaceae Asteraceae Malvaceae Compositae Malvaceae
KR (%) 32,40 25,75 15,91 6,48 8,44 2,55 1,96 2,16 0,78
FR (%) 14,89 14,89 14,89 14,89 12,76 10,63 8,51 4,25 4,25
INP (%) 47,29 40,64 30,80 21,37 21,21 13,19 10,47 6,41 5,04
Savana Pringtali merupakan salah satu habitat banteng buatan, namun karena kurangnya perawatan savana ini tertutup dengan semak telean (Lantana
35
camara) sehingga jenis-jenis pakan yang disukai oleh banteng tertutup oleh adanya telean. Savana ini memiliki bak untuk mengasin bagi banteng, namun untuk kebutuhan mengasin, banteng biasanya mengunjungi pantai karena jarak antara savana dengan pantai ± 1 km. Terdapat sungai yang hanya mengalir pada musim hujan. Lokasi savana ini kurang strategis yaitu berada diantara areal perkebunan yang menjadi lintasan banteng ketika turun dari hutan hujan tropis dataran rendah sehingga banteng lebih memilih berada di areal perkebunan sekitarnya. Jenis pohon yang terdapat pada savana yaitu timo (Kleinhovia hospita), apak (Ficus benjamina), gintongan (Bischofia javanica), bungur (Lagerstroemia speciosa), dan gondang (Ficus variegata).
Pada tahun 2010
dilakukan pembinaan habitat Savana Pringtali dengan membersihkan tanaman pengganggu yaitu Lantana camara sampai ke akarnya sehingga jenis-jenis pakan banteng dapat tumbuh. Dari hasil pengamatan tumbuhan yang tumbuh selama 30 hari di Savana Pringtali diperoleh jenis-jenis pakan yang disukai banteng. Suhu di Savana Pringtali sebesar 30°C dengan kelembaban 72% dan berada pada ketinggian ± 15 m dpl. Kondisi habitat Savana Printali dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Habitat Savana Pringtali. Padang rumput seharusnya menjadi habitat yang ideal bagi banteng, namun dengan kondisi yang terinvasi telean (Lantana camara) dan tertutup rumpun bambu tidak memungkinkan untuk banteng tinggal di padang rumput tersebut. Menurut Alikodra (1990) habitat merupakan tempat yang dapat memenuhi kebutuhan satwaliar baik untuk mencari makan, minum, berlindung, bermain, berkembangbiak, shelter dan cover. Namun, pada keanyataannya dua
36
padang rumput ini kurang memenuhi kriteria tersebut. Pada habitat Savana Sumbersari tidak terdapat ruang yang luas untuk banteng leluasa dalam mencari makan karena invasi dari telean (Lantana camara) dan plumpung (Panicum respens). Lokasi yang jauh dari tempat mengasin dan kembalinya savana menjadi rumpun bambu mengakibatkan tak ada tempat bermain bagi banteng, sedangkan pada Savana Pringtali tidak terdapat sumber air sepanjang tahun terdekat dan invasi telean (Lantana camara) yang mulai menutupi pakan banteng. Padang rumput di TNMB tidak lagi diminati karena banteng lebih memilih areal perkebunan sebagai habitatnya. Hal ini dikarenakan selain menyediakan pakan, perkebunan memiliki sumber air yang merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup banteng. Selain itu, lokasinya yang dekat dengan hutan hujan tropis dataran rendah sehingga memudahkan untuk bersembunyi atau beristirahat. Perbaikan padang rumput diperlukan untuk mengembalikan banteng ke savana agar mengurangi intensitas aktifitasnya di dalam areal perkebunan. Upaya pembinaan habitat perlu dilakukan diantaranya, pembuatan sumber air seperti springkel yang di butuhkan untuk savana yang tidak memiliki sumber air sepanjang tahun, pemberantasan tanaman pengganggu, pemulihan spesies pakan banteng, pembuatan bak mengasin, pemantauan secara rutin dan evaluasi. Pada dasarnya padang rumput di TNMB cukup berpotensi karena letaknya yang berada dekat dengan hutan hujan tropis dataran rendah, sehingga memberikan rasa aman bagi banteng. Selain itu terdapat shelter yang berfungsi sebagai peneduh yaitu pohon walangan (Pterospermum diversifolium), bungur (Lagerstroemia speciosa) dan bambu, serta memiliki lokasi untuk mengasin. Padang rumput yang ideal yaitu yang memiliki luasan 10-20 ha, tersebar pada beberapa lokasi, komposisinya terdiri dari hutan alam, padang rumput, sumber air, hutan pantai/mangrove, dan air laut (Alikodra 2010). Permasalahannya yaitu perawatan terhadap savana yang kurang efektif sehingga savana tidak terawat dan penyediaan air lokasi yang sulit air. 5.1.4
Keanekaragaman jenis tumbuhan Berdasarkan perhitungan Indeks Shannon-Wiener pada berbagai tipe
habitat yang dikaji dapat diketahui keanekaragaman jenis pada berbagai tingkat
37
pertumbuhan. Jumlah lokasi yang digunakan untuk analisis Indeks ShanonWiener adalah sebanyak delapan lokasi (Tabel 12). Tabel 12 Indeks keanekaragaman jenis tiap tingkat pertumbuhan Indeks Keanekaragaman Jenis Lokasi Blok Banyuputih Blok Sikapal Blok 90-an Coklat Blok 90-an Karet Blok Balsa Blok Kedungwatu Savana Sumbersari Savana Pringtali
Tumb, Bawah 0,89 1,21 0,63 1,51 1,45 1,26 2,15 1,98
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
0,71 1,82 0 -
1,09 1,88 0 0 0 0,54 -
1,52 1,74 0,47 0 -
2,09 2,24 0,33 0 0,69 -
Berdasarkan Tabel 12 dapat dilihat bahwa untuk tingkat pohon keanekaragaman tertinggi terdapat pada tipe habitat hutan hujan tropis dataran rendah yaitu Blok Sikapal. Keanekaragaman pada hutan hujan tropis dataran rendah terlihat dari tersedianya tiap tingkat pertumbuhan antara lain pohon, tiang dan pancang yang mendominasi dari habitat lainnya. Vegetasi hutan hujan tropis primer dan sekunder dengan berbagai tingkat pertumbuhan ini menunjukan tingkat regenerasi tumbuhan yang lebih baik dibanding tipe habitat lainnya. Menurut Endarwin (2006) dalam Destriana (2008) hutan hujan tropis dataran rendah memiliki komposisi dan keanekaragaman baik tumbuhan maupun satwaliar yang cukup tinggi dibandingkan formasi hutan lainnya. Areal perkebunan memiliki jenis-jenis tanaman yang homogen yang ditunjukan dengan nilai 0, sehingga hanya terdapat jenis-jenis tingkat pertumbuhan tertentu. Pada Blok 90-an Coklat dan Karet didominasi oleh tumbuhan bawah, pada Blok Balsa dan Kedungwatu juga didominasi oleh tumbuhan bawah. Tumbuhan bawah mendominasi tipe vegetasi perkebunan, sehingga perkebunan menyediakan jenis-jenis tumbuhan pakan bagi banteng. Pada savana yang sebagian besar adalah tumbuhan bawah memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi untuk tingkat tumbuhan bawah, namun jenis-jenis yang disukai banteng telah terinvasi sehingga banteng kesulitan memilih makanannya. Banteng makan pada tingkat tumbuhan bawah, semai dan beberapa pancang. Karena banteng tidak hanya grazer (pemakan rumput) tapi juga browser yang memakan pucuk-pucuk daun muda. Keanekaragaman vegetasi yang
38
menyusun kawasan konservasi merupakan salah satu potensi yang mendukung keberadaan banteng dalam kelangsungan hidupnya. Keanekaragaman jenis berdasarkan Indeks Shannon-Wienner di TNMB termasuk dalam kategori sedang (2-3) yaitu untuk hutan hujan tropis dataran rendah Blok Banyuputih dan Sikapal serta Savana Sumbersari, sedangkan keanekaragaman jenis pada areal perkebunan termasuk jenis rendah (<2). Hutan hujan tropis memiliki tingkat keanekaragaman yang tinggi karena keadaannya yang masih alami dan merupakan penutupan lahan terbesar di kawasan TNMB. 5.2
Karakteristik Habitat
5.2.1
Ketersediaan Pakan
5.2.1.1 Jenis pakan Banteng merupakan jenis satwaliar yang bersifat grazer namun pada kawasan TNMB banteng lebih bersifat browser (pemakan semak dan tunas-tunas muda). Berdasarkan hasil pengamatan adanya renggutan di tiap tipe vegetasi, studi literatur, dan keterangan petugas, ditemukan 25 jenis pakan banteng yang berasal dari 3 tipe habitat yaitu savana, perkebunan, dan hutan. Jenis-jenis pakan banteng yang ditemukan disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Jenis-jenis pakan yang dijumpai di TNMB No 1 2 3 4
Nama local Kerayutan Bambu jajang Kacang-kacangan Lagetan
Famili Asteraceae Poaceae Fabaceae Asteraceae
Nama ilmiah Mikania micrantha Panicum respens Desmodium puchellum Spilanthes acmelia
5 6 7 8
Paitan Rumput kawat Coklat Kirinyuh
Poaceae Poaceae Sterculiaceae Asteraceae
Paspalum conjugatum Cynodon dactylon Theobrroma cacao Chromolaena odorata
9 10
Babadotan Bambu wuluh
Compositae Poaceae
Ageratum conyzoides Schizoschyum blumea
11 12
Mat-mat Ketangi/bungur
Annonaceae Lythraceae
13 14 15 16 17
Apak Jenti Rambusa Waru Kinura/sembung sukmo Rampelasan
Moraceae Fabaceae Passifloraceae Malvaceae Compositae
Polyalthia rumphii Lagerstroemia speciosa Ficus benjamina Sesbania sesban Passiflora foetida Hibiscus tiliaceus Gynura procumbent
Lauraceae
Litsea amara
18
Tempat tumbuh Perkebunan, savana Savana Savana Perkebunan, savana, hutan Perkebunan, hutan Perkebunan, savana Perkebunan Perkebunan, hutan, savana Perkebunan, hutan Hutan, savana, perkebunan Hutan Hutan, savana Hutan, savana Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan, hutan Hutan
39
Tabel 13 lanjutan. No 19 20 21 22 23 24 25
Nama local Puka/takokak Lameta Rumput teki Sintru Kopi Luwingan Gondang
Famili Solanaceae Poaceae Cyperaceae Fabaceae Rubiaceae Moraceae Moraceae
Nama ilmiah Solanum torfum Leersia hexandra Cyperus rotundus Clitoria ternatea Coffea robusta Ficus hispida Ficus variegata
Tempat tumbuh Hutan Hutan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Hutan Hutan, savana
Hasil perolehan pakan banteng menunjukan ketersediaan pakan banteng sebagian besar berasal dari areal perkebunan, hal ini dapat dilihat dari keanekaragaman jenis pakan yang lebih beragam di areal perkebunan dari adanya analisisi vegetasi. Jenis-jenis pakan tersebut sebagian besar berasal dari tingkat tumbuhan
bawah,
semai,
dan
pancang
karena
banteng
lebih
mudah
mendapatkannya. Setiawati (1986) menyatakan bahwa banteng bergerak ke tempat yang kondisi rumputnya masih baik. Areal perkebunan memiliki kondisi tumbuhan bawah yang subur dan beragam, karena adanya perawatan yang dilakukan perkebunan pada tanaman-tanaman perkebunan sehingga jenis-jenis tumbuhan lain juga dapat tumbuh subur dan selalu segar karena adanya perawatan tersebut. Paitan merupakan salah satu jenis pakan banteng yang disukai. Hal ini dapat diketahui dari adanya bekas renggutan pada tumbuhan tersebut (Gambar 9).
Gambar 9 Hasil renggutan banteng. Sebagian besar pakan banteng diperoleh dari areal perkebunan yaitu 28%, kemudian dari hutan 20% dan dari savana 8%. Beberapa jenis pakan banteng ditemukan dari hutan dan perkebunan, perkebunan dan savana, serta ketiganya. Persentase terbesar merupakan gabungan dari ketiga lokasi perolehan pakan banteng yang masih didominasi oleh areal perkebunan yaitu dengan angka 12%. Persentase perolehan pakan banteng disajikan pada Gambar 10.
40
Menurut Muntasib et al. (2000) jenis pakan banteng di Taman Nasional Ujung Kulon ada 87 jenis sedangkan menurut Delfiandi (2006) jenis pakan banteng yang ditemukan selama penelitian di Taman Nasional Alas Purwo ada 15 jenis. Dari perbandingan jenis pakan tersebut TNMB memiliki jenis-jenis pakan banteng tergolong menengah yaitu 25 jenis. Meskipun demikian banteng tetap dapat bertahan hidup di TNMB dengan jenis-jenis pakan yang tersedia
12 %
8% 12 % 12 %
Gambar 10 Persentase keberadaan potensi pakan banteng. 5.2.1.2 Produktivitas pakan Pengamatan produktivitas di TNMB dilakukan di dua blok yaitu Blok Banyuputih dan Blok Sikapal. Produktivitas digunakan untuk mengetahui jumlah produksi pakan banteng di lokasi pengamatan. Produktivitas di TNMB tidak dilakukan di padang penggembalaan karena statusnya saat ini sudah jarang digunakan banteng. Oleh karena itu, produktivitas dilakukan di lokasi yang dijadikan aktivitas makan banteng secara rutin. Lokasi-lokasi tersebut berada pada areal perkebunan yang terdapat ruang terbuka dan di hutan hujan tropis dataran rendah yang juga memiliki ruang terbuka sebagai lokasi makan banteng. Blok Banyuputih merupakan lokasi perkebunan kopi (Coffea robusta) dan juga kelapa (Cocos nucifera), memiliki ruang-ruang yang luas untuk tumbuhnya rumput dan tumbuhan bawah karena tanaman kopi yang masih muda setelah regenerasi perkebunan. Terdapat areal-areal yang terbuka sebagai tempat makan banteng, selain itu tanaman kopi juga menjadi salah satu pakan kesukaan banteng. Pada Blok Banyuputih yang memiliki luas 14,65 ha dibuat 5 plot produktivitas
41
dan 5 plot palatabilitas sebesar 1x1 m². Biomasa rumput dan tumbuhan bawah dari sampel plot produktivitas pada pemotongan tahap awal di Blok Banyuputih yaitu 705 gram/m², setelah itu dilakukan pemotongan setelah 30 hari diperoleh 1.145 gram/m² lebih tinggi dari biomasa awal. Hasil tersebut dihitung dalam berat basah hijaun pakan banteng (Tabel 14). Tabel 14 Hasil produksi hijauan di Blok Banyuputih Jenis Tumbuhan Cyperus rotundus Paspalum conjugatum Cynodon dactylon Ageratum conyzoides Jumlah
Berat Awal (gr) 440 65 115 85 705
Berat 30 hari (gr) 670 55 260 160 1.145
Produktvitas hijauan pakan banteng Produktivitas = 14,65 ha/0,0005 ha x 0,475 kg = 13.917,5 kg/ha
Produktivitas =
13.917,5 kg/ha 30 hari
= 463,92 kg/ha/hari Hasil perhitungan produktivitas hijauan pakan banteng di Blok Banyuputih sebesar 463,92 kg/ha/hari. Hasil tersebut diperoleh dari berat basah setelah 30 hari jenis-jenis pakan yang dimakan banteng yaitu paitan (Paspalum conjugatum), kawatan (Cynodon dactylon), dan babadotan (Ageratum conyzoides). Jenis-jenis pakan tersebut hanya terdapat pada areal yang terbuka. Sebagian besar Blok Banyuputih tertutup oleh tanaman kopi dan kelapa namun di sela-sela tegakan banyak tumbuh jenis-jenis pakan tersebut. Rumput teki (Cyperus rotundus) yang juga merupakan salah satu pakan banteng tidak masuk dalam perhitungan karena meskipun jumlahnya melimpah, namun banteng tidak memakan jenis ini. Hal ini disebabkan banteng lebih memilih jenis pakan yang lain meskipun banteng tidak selektif memilih makanannya tapi ada kecenderungan untuk memilih jenis pakan yang lebih disukai. Plot pengamatan produktivitas Blok Banyuputih disajikan pada Gambar 11.
42
Gambar 11 Plot pengamatan produktivitas Blok Banyuputih. Pada Blok Sikapal dengan luas 1 ha dibuat plot sebesar 1x1 m² sebanyak 10 plot yang dipagari. Pada blok ini tidak dibuat plot yang tidak di pagari karena luasannya yang kecil. Biomasa pada lokasi ini sebesar 7.198 gram/m² dan setelah pemotongan setelah 30 hari sebesar 8.202 gram/m². Hasil tersebut dihitung berdasarkan berat basah hijauan pakan banteng. Produksi hijauan pakan banteng Blok Sikapal disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil produksi hijauan di Blok Sikapal Jenis Tumbuhan Mikania micrantha Paspalum conjugatum Solanum torfum Chromolaena odorata Gynura procumbens Leersia hexandra Jumlah
Berat Awal (gr) 3639 3270 80 20 149 40 7198
Berat 30 hari (gr) 2836 5283 0 0 76 7 8202
Produktivitas = I ha/0,001 ha x 8,119 kg = 8.119 kg/ha
Produktivitas =
8.119 kg/ha 30 hari
= 270,63 kg/ha/hari Dari hasil perhitungan diperoleh produktivitas hijaun pakan banteng di Blok Sikapal sebesar 270,63 kg/ha/hari. Hasil tersebut diperoleh dari jenis pakan yang dimakan oleh banteng yaitu paitan (Paspalum conjugatum) dan krayutan (Mikania micrantha). Terdapat jenis-jenis baru yang tumbuh setelah 30 hari yaitu kinura (Gynura procumbens) dan lameta (Leersia hexandra), namun terdapat pula jenis-jenis yang tidak ditemui lagi setelah 30 hari yaitu puka (Solanum torfum) dan kirinyuh (Chromolaena odorata). Jenis-jenis yang tumbuh dan tidak tumbuh
43
kembali tersebut juga merupakan pakan bagi banteng. Blok Sikapal ini merupakan areal hutan hujan tropis dataran rendah yang memiliki ruang-ruang terbuka sebagai lokasi makan bagi banteng. Jenis-jenis pakan tersebut selain tumbuh pada areal terbuka juga tumbuh di sela-sela tegakan hutan hujan tropis dataran rendah. Plot pengamatan produktivitas Blok Sikapal dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12 Plot pengamatan produktivitas Blok Sikapal. Alikodra dan Palete (1980) menyatakan bahwa ada tiga segi yang berpengaruh terhadap produktivitas padang rumput yaitu penggundulan rumput, efek dari urin, dan kotoran serta efek dari injakan. Dari hasil pengamatan lokasi ini merupakan lokasi yang selalu dijadikan tempat makan bagi banteng terlihat dari adanya jejak kaki, kotoran baru, dan perjumpaan langsung. Banyaknya injakan di rumput dan banyaknya renggutan juga menjadi tanda banteng mencari makan di lokasi tersebut. Selain itu, lokasi tersebut berada di pinggir hutan hujan tropis dataran rendah dan menjadi jalur masuk banteng ke dalam hutan. Menurut Satmoko (1955) dalam Sectionov (1999) banteng mempunyai sifat mengadakan perjalanan sambil makan. 5.2.1.3 Daya Dukung
Daya dukung kawasan diperoleh dari hasil perhitungan produktivitas hijauan pakan banteng. Dari dua lokasi pengamatan produktivitas, dilakukan juga perhitungan terhadap daya dukung kawasan. Berdasarkan kebutuhan pakan banteng yaitu 18,65 kg/ha/hari (Alikodra 1983) diperoleh hasil perhitungan sebagai berikut :
44
1. Daya dukung Blok Banyuputih DayaDukung =
463,92 kg/ha/hari x 0,65 18,65 kg/ekor/hari
= 16,18 ekor = 16 ekor 2. Daya dukung Blok Sikapal 270,63 kg/ha/hari x 0,45 18,65 kg/ekor/hari = 6,5 ekor = 6 ekor
DayaDukung =
Daya dukung Blok Banyuputih yaitu untuk 16 ekor banteng, sedangkan populasi Blok Banyuputih 12 ekor/ha (Wirawan 2011), hal ini dikarenakan areal perkebunan menyediakan keanekaragaman pakan banteng yang tinggi yang menyebabkan areal perkebunan lebih diminati oleh banteng. Data ini berbeda dengan pernyataan Alikodra (1983) yang menyatakan bahwa padang rumput merupakan habitat yang paling baik bagi banteng. Hal ini dikarenakan terinvasinya padang rumput oleh telean, plumpung, dan bambu, sehingga banteng mencari lokasi lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dibutuhkan pengelolaan habitat di TNMB untuk membuat banteng menyukai feeding ground. Ruang terbuka di Blok Sikapal memiliki luas 1 ha dapat menampung 6 ekor banteng berdasarkan perhitungan produksi hijauan pakan banteng. Lokasi ini belum diketahui data populasi pasti sehingga tidak bisa diketahui apakah lokasi tersebut mencukupi bagi banteng. Pada lokasi ini banteng sulit ditemui meskipun jejak dan kotorannya selalu ada, selain itu terdapat pula bekas renggutan banteng. Blok Banyuputih yang di dominasi hutan hujan tropis dataran tidak hanya menyediakan pakan pada ruang terbuka namun juga di sela-sela tegakan hutan. Makanan merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng, maka penilaian daya dukung suatu kawasan dapat ditinjau dari segi potensi kawasan dalam menyediakan makanan (Alikodra 1983). Banteng makan secara bergiliran (rolling) tiap harinya ke hutan dan juga ke areal perkebunan. Hal ini merupakan strategi banteng agar pertumbuhan rumput dapat merata sebagai salah satu cara menemukan pakan yang disukai maupun mengeksplorasi daerah lingkungannya (Nugraha 2007). Gerakan pindah ini juga dilakukan untuk menghindari dari aktivitas manusia di areal perkebunan.
45
5.2.1.4 Palatabilitas
Palatabilitas pakan banteng diukur berdasarkan hijaun pakan banteng yang paling sering dimakan oleh banteng di lokasi pengamatan produktivitas. Palatabilitas dilihat dari adanya renggutan pada jenis-jenis pakan di sekitar plot produktivitas yang merupakan lokasi makan banteng. Perhitungan palatabilitas dilakukan pada empat jenis pakan banteng (Tabel 16). Tabel 16 Hasil pengamatan palatabilitas pakan banteng di Blok Banyuputih No 1 2 3 4
Jenis tumbuhan Paspalum conjugatum Cynodon dactylon Ageratum conyzoides Cyperus rotundus
x 4 3 2 0
y 5 4 5 5
P 0,80 0,75 0,40 0,00
Dari hasil pengamatan tersebut diperoleh jenis paitan (Paspalum conjugatum) merupakan jenis yang paling disukai dengan nilai palatabilitas
mendekati 1 yaitu 0,80. Jenis lain yang juga disukai yaitu kawatan (Cynodon dactylon) dengan palatabilitas 0,75 tidak berbeda jauh dari jenis paitan. Untuk
perhitungan palatabilitas di Blok Sikapal, terdapat enam jenis tumbuhan yang merupakan pakan banteng (Tabel 17). Tabel 17 Hasil pengamatan palatabilitas pakan banteng di Blok Sikapal No 1 2 3 4 5 6
Jenis tumbuhan Paspalum conjugatum Mikania micrantha Solanum torfum Chromolaena odorata Gynura procumbens Leersia hexandra
x 10 9 0 0 0 0
y 10 10 1 1 1 1
P 1,0 0,9 0,0 0,0 0,0 0,0`
Dari hasil perhitungan palatabiltas Blok Sikapal diperoleh paitan dengan tingkat palatabilitas tertinggi yaitu 1 (paling disukai banteng). Jenis berikutnya yang disukai yaitiu krayutan (Mikania micrantha) dengan besar palatabilitas 0,9 yang mendekati 1. Jenis lain yang mempunyai nilai 0 yang merupakan jenis-jenis pakan banteng, namun tumbuh dalam jumlah sedikit dan keberadaannya yang tidak tetap. Beberapa faktor yang mempengaruhi palatabilitas diantaranya adalah ketersediaan hijauan dan jenis hijauan. Jenis rumput paitan di kedua blok sangat tinggi sehingga sangat disukai banteng, hal ini menyebabkan rumput lain tidak dimakan oleh banteng seperti rumput teki yang juga tersedia dalam jumlah tinggi,
46
kemudian puka, kirinyuh, kinura dan lameta yang ketersediaannya tidak tetap. Alikodra (1978) menyatakan banteng sebagai satwa herbivora seperti juga hewanhewan lainnya mempunyai suatu cara adaptasi yang khusus untuk memilih jenisjenis makanannya. Pemilihan jenis makanan ini tergantung dari nilai gizi, daya cerna, ukuran, jumlah dan kemampuan makanan tersebut untuk memberikan kekuatan dan daya tahan tubuh dari serangan penyakit. Mcllroy (1977) menyatakan bahwa palatabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu hewan itu sendiri, fase pertumbuhan, kondisi hijauan, kesempatan memilih makanan yang lain, dan tata laksana cara pemupukan hijauan. Pada kedua blok kondisi hijauan yang ada membuat banteng mendapat kesempatan untuk memilih makanannya yaitu paitan meskipun ada rumput teki pada Blok Banyuputih, sedangkan pada Blok Sikapal dengan kondisi hijauan yang ada membuat banteng memilih paitan dan krinyuh menjadi pakan yang disukai. Menurut Loepold (1933); Klein (1969); Siswanto (1982) dalam Gunawan (1987), pengelompokan makanan berdasarkan palatabilitas, ketersediaan makanan dan kadar gizi dapat digolongkan sebagai berikut : (a) disukai; (b) bahan makanan pokok; (c) makanan dalam keadaan darurat; (d) makanan pengisi/tambahan dan (e) tidak dimakan karena adanya rintangan. Oleh karena itu banteng memilih makanan yang disukai untuk dimakan. 5.2.2 Karakteristik Cover (lindungan) Cover (lindungan) banteng di TNMB tersebar di lokasi-lokasi habitat
banteng. Beberapa tipe cover yang digunakan oleh banteng seperti tajuk pohon dan rumpun bambu. Pendugaan ini berdasarkan adanya bekas-bekas jejak dan kotoran banteng di lokasi cover, serta berdasarkan literatur aktivitas istirahat banteng dan hasil wawancara dengan petugas. Data hasil pengamatan bentuk dan fungsi cover disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Hasil pengamatan bentuk dan fungsi cover Lokasi Blok 90-an Coklat dan Karet Blok Balsa dan Kedungwatu
Tipe Cover Tajuk pohon
Fungsi Cover Makan, berlindung, Lintasan
Tipe Habitat Perkebunan
Tinggi (mdpl) 0-10
Substrat Dominan Coklat
Tajuk pohon
Makan, berteduh, lintasan
Perkebunan
0-20
Balsa
47
Tabel 18 lanjutan. Lokasi
Tipe Cover Tajuk pohon dan Rumpun Bambu
Fungsi Cover Berlindung, istirahat, makan
Tipe Habitat Hutan hujan tropis datarn rendah dan Perkebunan
Tinggi (mdpl) 0-20
Substrat Dominan Bambu wuluh, Walangan
Blok Sikapal
Tajuk pohon dan Rumpun bambu
Berlindung, istirahat, makan
Hutan hujan tropis dataran rendah
600
Apak, bambu
Savana Sumbersari
Rumpun bambu
Istirahat, makan
Savana
0-20
Bambu jajang
Savana Pringtali
Rumpun bambu dan Tajuk pohon
Istirahat, makan
Savana
0-15
Bambu wuluh, gintongan, bungur, timo
Blok Banyuputih
Pada Blok 90an Coklat dan Karet, tajuk pohon digunakan untuk melindungi diri dari panas saat mencari makan di lokasi tersebut. Bentuk tajuk tanaman coklat sangat rapat, tajuk yang lebar dengan kondisi pohon coklat yang rendah sehingga menjadi rapat. Pada pohon karet tajuk cenderung terbuka karena pohon karet yang tinggi dan daun yang lebat hanya di bagian atas pohon. Di lantai hutan pohon karet terdapat lebih banyak tumbuhan bawah dibanding di bawah pohon coklat. Cover pohon coklat biasanya digunakan banteng untuk menghindari musuh ketika berkelahi karena dari hasil wawancara banteng yang berkelahi salah satu lari masuk ke dalam areal perkebunan coklat. Pada Blok Balsa dan Kedungwatu, tajuk pohon digunakan untuk melindungi diri dari terik sinar matahari saat menuju ke sumber air. Tajuk pohon yang digunakan yaitu balsa (Ochroma lagopus) dan waru (Hibiscus tiliaceus). Kondisi perkebunan yang terbuka, membuat di lantai hutan tersedia jenis-jenis pakan banteng. Ketika melintasi blok tersebut banteng juga makan di lantai hutan untuk kemudian melanjutkan berjalan menuju ke sumber air. Pada Blok Banyuputih dan Blok Sikapal yang merupakan hutan hujan tropis dataran rendah memiliki tajuk pohon yang lebar dan rapat sehingga menaungi lantai hutan dari panas matahari. Terdapat ruang-ruang terbuka yang digunakan banteng untuk mencari makan dan juga istirahat. Kondisi tanah yang datar dan kering digunakan banteng untuk istirahat, hal ini dibuktikan dengan
48
adanya jejak dan kotoran serta terdapatnya tumbuhan pakan tambahan bagi banteng. Pohon yang mendominasi yaitu walangan (Pterospermum diforsifolium) dan apak (Ficus benjamina) yang memiliki tajuk yang lebar dan rapat. Rumpun bambu juga terdapat pada hutan hujan tropis dataran rendah yang merupakan vegetasi awal ketika memasuki hutan hujan tropis dataran rendah yang digunakan banteng untuk berlindung ketika mendapat gangguan dan juga untuk makan. Banteng biasanya beristirahat dibawah naungan bambu, karena kondisi tanah yang kering dan topografi yang datar. Pada Savana Sumbersari lindungan yang digunakan yaitu rumpun bambu dengan lantai hutan yang kering dan topografi yang datar serta terdapatnya pakan banteng. Keadaan savana yang sebagian besar tertutup bambu membuat banteng sangat jarang menggunakan savana sebagai habitatnya karena geraknya yang terbatas. Rumpun bambu yang lebat mengakibatkan banteng sulit untuk megawasi sekitar untuk menghindari gangguan. Pada Savana Pringtali terdapat beberapa jenis pohon yang dijadikan lindungan dari terik sinar matahari yaitu timo (Kleinhovia hospita), gintongan (Bischofia javanica), apak (Ficus benjamina), dan
gondang (Ficus variegata). Selain itu, terdapat bambu di sekitar savana yang dapat dijadikan tempat berteduh dan juga sebagai tempat bersembunyi ketika mendapat gangguan. Bambu tersebut merupakan tumbuhan yang terdapat di perbatasan antara savana dan hutan hujan tropis dataran rendah. Cover bagi banteng dapat dilihat pada Gambar 13. Dilihat dari segi lokasinya, tiap cover dimiliki oleh tipe habitat yang sama yaitu tajuk pohon dan rumpun bambu untuk hutan hujan tropis dataran rendah dan tajuk pohon untuk areal perkebunan. Tajuk pohon merupakan tipe cover yang digunakan oleh banteng untuk berteduh dari teriknya sinar matahari. Hutan hujan tropis dataran rendah dijadikan sebagai tempat bersembunyi dari berbagai macam gangguan dan dijadikan sebagai tempat berlindung dari kondisi cuaca yang tidak menentu (Alikodra 1983). Tajuk pohon yang sering digunakan yaitu karet (Hevea brasiliensis), coklat (Theobrroma cacao), balsa (Ochroma lagopus), waru (Hibiscus tiliaceus), walangan (Pterospermum diversifolium), dan apak (Ficus benjamina). Rumpun bambu biasanya memiliki lantai hutan yang bersih karena bambu bersifat
49
alelopati, biasanya rumpun bambu ini digunakan sebagai tempat beristirahat dan
sebagai tempat bersembunyi dari gangguan manusia dan musuh. Rumpun bambu merupakan salah satu cover yang paling diminati oleh banteng karena bambu juga merupakan salah satu pakan banteng. Banteng memanfaatkan hutan hujan tropis sebagai tempat istirahat di bawah tegakan bambu yang datar dan tersedia makanan tambahan (Delfiandi 2006).
(b)
(a)
(c )
(d)
(e)
(f)
Gambar 13 Bentuk-bentuk cover banteng di TNMB, (a) Blok Sikapal; (b) Blok Banyuputih; (c) Blok Balsa dan Kedungwatu; (d) Savana Pringtali; (e) Savana Sumbersari; (f) Blok 90an Karet dan Coklat.
50
5.2.3
Ketersediaan Air
Salah satu komponen penting habitat yaitu ketersediaan air bagi banteng. Di lokasi penelitian terdapat 4 sungai besar yang mengalir menuju muara sebagai sumber air bagi banteng. Sungai-sungai tersebut ada yang mengalir sepanjang tahun dan ada yang musiman. Saat musim hujan air banyak tersedia di parit sehingga banteng cukup memenuhi kebutuhan airnya di dalam hutan ataupun dari saluran air yang terdapat di areal perkebunan, sedangkan saat musim kemarau banteng dapat memenuhi kebutuhan airnya dari sungai yang mengalir sepanjang tahun menuju muara (Tabel 19). Tabel 19 Hasil pengamatan parameter fisik sumber air yang digunakan banteng Lokasi
Sumber Air
Lebar (m)
Kedalaman (cm)
Ketersediaan
Intensitas penggunaan
Tipe habitat
Blok 90-an Coklat dan Karet
Kubangan, parit dan Muara Sukamade
± 30
±150
Musiman dan sepanjang tahun
Jarang
Perkebunan
Debit air (m/s) 10,56
Blok Balsa dan Kedung Watu
Sungai Cawang (tumpak dawung)
± 21
± 5,33
Sepanjang tahun
Sering
Perkebunan
7,91
Blok Banyuputih
Sungai Banyuputih (tumpak dawung), parit
±6
± 10,33
Musiman
Sering
Perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah
8,86
Blok Sikapal
Sungai Kali Sanen (betiri)
± 12
±19,33
Sepanjang tahun
Jarang
Hutan hujan tropis dataran rendah
40,35
Savana Sumbersari
Sungai Sumbersari (betiri)
± 20
± 23
Sepanjang tahun
Jarang
Savana
123,5 8
Savana Pringtali
Sungai Pringtali, bak air
±7
± 10
Musiman
Jarang
Savana
-
Pada lokasi Savana Sumbersari ditemukan sungai yang mengalir sepanjang tahun, namun jarang digunakan banteng. Lokasi Sungai Sumbersari bersebelahan dengan Savana Sumbersari yang sudah jarang digunakan oleh banteng sehingga banteng jarang minum dilokasi tersebut berdasarkan wawancara masyarakat dan petugas. Pengelolaan habitat oleh pihak taman nasional yaitu dengan pengadaan bak untuk mengasin bagi banteng. Pada Savana Pringtali tidak
51
ditemukan sumber air terdekat terdapat bak air buatan namun tidak terisi air, hanya bila musim hujan bak terisi oleh air. Sungai Sumbersari memiliki debit air sebesar 123,58 m/s. Pada Blok 90an Coklat dan Karet sumber air bagi banteng yaitu pada air yang menggenang di kubangan dan parit-parit areal perkebunan. Terdapat sungai yang mengalir menuju muara yang berjarak ± 700 m dari areal perkebunan dan dapat digunakan banteng untuk minum dengan mengasin serta memiliki debit air sebesar 10,56 m/s. Pada Blok Balsa dan Kedungwatu yang merupakan areal perkebunan ditemukan Sungai Cawang yang mengalir sepanjang tahun dan sering digunakan sebagai tempat minum bagi banteng, hal ini dibuktikan setiap harinya selalu ada jejak dan kotoran baru. Blok Balsa dan Kedungwatu merupakan lokasi yang digunakan banteng untuk makan sehingga sambil berjalan menuju sungai banteng makan jenis-jenis tumbuhan bawah yang terdapat pada lokasi tersebut. Sungai Cawang yang digunakan banteng mengalir menuju muara laut Teluk Bandealit dan memiliki debit air sebesar 7,91 m/s Pada Blok Banyuputih ditemukan Sungai Banyuputih yang mengalir bila musim hujan saja, namun sering didatangi banteng untuk minum. Blok Banyuputih merupakan areal perkebunan kelapa dan kopi dan merupakan blok yang memiliki intensitas perjumpaan yang besar. Selain Sungai Banyuputih terdapat parit-parit air di dalam hutan yang menampung air saat musim hujan. Sungai Banyuputih memiliki debit air sebesar 8,86 m/s. Pada Blok Sikapal ditemukan Sungai Kali Sanen yang mengalir sepanjang tahun dengan debit air sebesar 40,35 m/s, namun jarang digunakan oleh banteng. Faktor penyebabnya yaitu dekatnya sungai dengan aktivitas manusia yang berbatasan dengan areal perkebunan dan arusnya yang cukup deras dengan topografi yang curam. Kondisi sumber-sumber air bagi banteng dapat dilihat pada Gambar 14. Sumber-sumber air selain dari mata air pegunungan juga berasal dari air hujan yang tertampung dalam parit-parit di dalam areal perkebunan dan hutan. Sungai-sungai dan sumber air tersebut tersebar dalam tipe habitat yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, perkebunan dan savana. Sungai-sungai tersebut memiliki air yang jernih karena banteng membutuhkan air yang bersih. Alikodra (1983) menyatakan ketersediaan air pada suatu habitat secara langsung
52
dipengaruhi oleh iklim lokal dan air memegang peranan penting bagi kehidupan banteng sebagai sumber air minum, sehingga air harus tersedia di dalam wilayah jelajah (home range) banteng dalam keadaan bersih. Sumber-sumber air di Taman Nasional Alas Purwo yaitu dari gua yang mengalir sepanjang tahun, aliran sungai dan kubangan air hujan. (Delfiandi 2006).
(a)
(b)
(c )
(d)
(e)
(f)
Gambar 14 Sumber-sumber air sungai di TNMB, (a) Sungai Sikapal; (b) Sungai Sumbersari; (c) Sungai Banyuputih; (d) Sungai Cawang; (e) Parit perkebunan; (f) Muara Sukamade. Debit air tidak berpengaruh nyata terhadap banteng dari hasil pengamatan di sumber-sumber air di TNMB sungai yang memiliki debit air yang lebih tinggi banteng jarang minum, sedangkan pada sungai yang debit airnya lebih rendah banteng lebih sering minum. Pemilihan lokasi minum lebih didasarkan pada lokasi
53
yang memiliki air tawar yang relatif jernih dan biasanya lokasi minum dekat dengan tempat mencari makan (Nugroho 2001). Kedalaman tempat minum, topografi dan tipe vegetasi diduga tidak berpengaruh bagi banteng, begitu pula dengan lokasi minum yang tersembunyi. Banteng cenderung mencari tempat-tempat yang agak terbuka dan ternaungi. Hal tersebut dimungkinkan agar banteng dapat mengawasi keadaan sekitar. Sumber air yang digunakan untuk mengasin banteng berasal dari air payau. Jarak sungai yang digunakan banteng ± 1 km dari pantai, untuk sungai pada ketinggian 600 m dpl banteng mendapat mineral dari batu-batu. Pada savana yang seharusnya menjadi habitat banteng ketersediaan akan air justru kurang tersedia. Oleh karena itu, dibutuhkan pengadaan air agar kebutuhan akan air tercukupi. Meskipun dibuat bak air dan tempat mengasin, namun apabila bak tidak terisi air maka banteng tidak dapat memenuhi kebutuhan akan airnya. Air merupakan salah satu komponen habitat dan kebutuhan satwa yang paling utama. Air dibutuhkan banteng untuk minum setiap harinya. Hal ini dikarenakan banteng memerlukan air untuk memperlancar proses pencernaannya. Air yang digunakan banteng adalah air tawar. Tempat-tempat minum banteng biasanya dekat dengan tempat mencari makan (Nugroho 2001). 5.3
Ancaman dan implikasi pengelolaan habitat banteng
Ancaman banteng di TNMB yaitu adanya aktivitas manusia yang memicu perburuan liar. Ancaman perburuan terjadi karena sebagian besar aktivitas banteng di habiskan di areal perkebunan yang terdapat banyak aktivitas manusia. Menurut Wirawan (2011) banteng menghabiskan sebagian besar aktivitasnya untuk makan di areal perkebunan. Tingkat perburuan terhadap banteng dapat dikatakan sangat jarang, namun dengan aktivitas banteng yang selalu terlihat di areal perkebunan dan mengganggu tanaman perkebunan dapat memicu terjadinya perburuan liar oleh masyarakat dan pekerja perkebunan. Aktivitas pekerja perkebunan juga dapat mengancam banteng yaitu melalui segala bentuk penjagaan areal perkebunan dari aktivitas banteng. Penjagaan perkebunan dilakukan dengan cara menghalau banteng yang akan masuk ke dalam areal perkebunan melalui pengusiran secara langsung yang menyebabkan banteng menjadi terkejut, pemagaran areal perkebunan dengan pagar duri namun saat ini telah diganti
54
dengan kayu, pemasangan lampu-lampu sorot di areal perkebunan dan penjagaan rutin oleh pihak perkebunan. Aktivitas perburuan terhadap satwa banteng dapat dikatakan sangat jarang terjadi meskipun kondisinya rawan karena dekat dengan pemukiman masyarakat dan pekerja perkebunan. Banteng di TNMB biasanya mati dikarenakkan kalah dalam berkelahi ataupun karena faktor usia yang sudah tua. Habitat banteng di TNMB didominasi oleh areal perkebunan, hal ini dapat dilihat dari aktivitasnya yang sebagian besar dihabiskan di dalam areal perkebunan untuk makan (Wirawan 2011). Perkebunan di dalam kawasan TNMB menyediakan pakan yang melimpah dilihat dari ketersediaan pakan yang sebagian besar berasal dari areal perkebunan. Areal perkebunan menyediakan pakan segar dan subur, hal ini dikarenakan di areal perkebunan tersebut dilakukan pemeliharaan secara rutin. Di sekitar areal perkebunan tersedia lokasi-lokasi untuk bersembunyi dan berlindung dari gangguan. Jarak perkebunan yang hanya ± 1 km dari pantai juga membuat banteng mendapat akses yang mudah untuk mengasin selain dari air sungai menuju ke muara. Keberadaan perkebunan yang dekat dengan muara sungai dan terdapatnya parit-parit penampung air hujan di dalam areal perkebunan membuat banteng mudah mendapatkan air. Penjagaan areal perkebunan dilakukan dengan penghalauan terhadap banteng apabila areal perkebunan tersebut sedang ditanami tanaman ladang milik penjaga perkebunan seperti jagung, kacang, dan tembakau. Taman nasional sebaiknya dapat melakukan kerjasama dengan pihak perkebunan dalam menjaga kelestarian banteng. Koordinasi merupakan langkah alternatif agar banteng tidak merusak areal perkebunan tapi tetap mendapat pasokan makan seperti di areal perkebunan. Pihak taman nasional juga dapat memberikan pengetahuan bagi penjaga-penjaga perkebunan untuk tetap ikut serta menjaga keberadaan banteng. Padang rumput (feeding ground) di TNMB sedang dalam proses pembinaan habitat dengan luasan optimal, hal ini disebabkan sudah tidak berfungsinya lagi feeding ground bagi banteng. Tidak berfungsinya feeding ground menjadi salah satu penyebab banteng mencari makan di areal perkebunan.
Perbaikan habitat feeding ground seharusnya dilakukan secara lebih intensif. Pengelolaan padang rumput meliputi semua kegiatan mulai dari penentuan lokasi,
55
luas, jenis rumput, organisasi pengelola, pemeliharaan dan pembuatan laporan serta evaluasi. Termasuk pula kegiatan mengatur pertumbuhan rumput, mempertahankan kesuburan tanah, mencegah kerusakan tanah dan mencegah terjadinya penggembalaan yang berlebihan. Pengelolaan padang rumput di TNMB pada tahun 2010 yaitu melalui pembinaan habitat yang tidak secara rutin, pemberantasan invasi secara bertahap, belum adanya pemantaun dan evaluasi serta penyediaan sumber air dan tempat mengasin yang belum teratur. Oleh karena itu dibutuhkan pengelolaan intensif terhadap padang rumput yaitu pengelolaan
terhadap
vegetasi,
penggunaan
api,
penggunaan
pupuk,
penggemburan tanah pada lapisan olah (top soil) (Alikodra 2010). Pihak taman nasional dapat bekerja sama dengan perkebunan dalam menciptakan area feeding ground yang memiliki jenis-jenis pakan seperti yang ada di areal perkebunan melalui pemeliharaan dan upaya-upaya yang dilakukan perkebunan. Pembinaan habitat banteng yang hanya dilakukan selama satu tahun sekali dapat ditingkatkan menjadi dua sampai tiga kali dalam setahun yaitu dengan adanya kegiatan pengelolaan (pembersihan, penanaman, pemupukan, dan pemeliharaan), pemantauan hasil pengelolaan kemudian adanya evaluasi dari hasil yang diperoleh. Upaya pembersihan feeding ground yang tidak secara menyeluruh dan berkelanjutan menyebabkan kembali tumbuhnya jenis-jenis dominan sehingga feeding ground tidak dapat intensif. Apabila terkendala biaya dalam pengelolaan feeding ground, pembinaan habitat dapat dilakukan dengan pembakaran terkendali
sehingga tanaman yang menginvasi dapat mati dan merangsang tumbuhnya kembali tanaman-tanaman pionir. Habitat lain yang digunakan oleh banteng di kawasan TNMB yaitu adanya hutan hujan tropis yang masih alami dan dalam kondisi baik. Hutan hujan tropis yang tersebar di seluruh lokasi keberadaan banteng digunakan untuk berlindung, berteduh, memamah biak, bersembunyi, lintasan, dan beristirahat. Kondisi tajuk yang rapat dan rumpun bambu digunakan oleh banteng untuk berlindung. Selain itu bambu juga merupakan pakan bagi banteng. Keberadaan hutan hujan tropis yang masih sangat alami dan aktivitas manusia yang jarang, membuat lokasi ini aman bagi banteng. Kecukupan air di sekitar hutan hujan tropis yang mengalir sepanjang tahun memudahkan banteng mendapatkan pasokan air. Ketinggian
56
hutan hujan tropis yang mencapai 1.222 m dpl tidak menjadi halangan bagi banteng untuk dapat hidup. Pakan dari tingkat tumbuhan bawah juga terdapat di dalam hutan hujan tropis. Sumber untuk mengasin bagi banteng di dalam hutan hujan tropis diduga diperoleh dari batu-batu yang terdapat di lantai hutan. Hutan hujan tropis kawasan TNMB sudah cukup bagi banteng untuk hidup, sehingga direkomendasikan tetap dijaga keberadaannya dari adanya pengambilan bambubambu secara liar dan perambahan hutan di dalam hutan hujan tropis. Berdasarkan pengamatan terhadap ketersediaan pakan, karakteristik cover, dan ketersediaan air, lokasi yang paling diminati oleh banteng di TNMB yaitu Blok Banyuputih. Lokasi ini memiliki tipe vegtasi perkebunan dan hutan hujan tropis dataran rendah. Ketersediaan pakan dapat terpenuhi dari adanya perkebunan dan hutan hutan tropis dataran rendah, sehingga pakannya lebih beragam. Adanya sungai dan parit yang menyediakan air secara musiman tak menjadi kendala karena banteng dapat menuju muara sungai yang lokasinya ± 1 km dari areal perkebunan. Karakteristik cover yang lengkap yaitu berupa rumpun bambu yang berada di perbatasan perkebunan dan hutan serta tajuk pohon yang berada di dalam hutan, dengan topograi datar sampai bergelombang. Hutan hujan tropis dataran rendah yang mengelilingi areal perkebunan membuat banteng mudah untuk berlindung dari gangguan.
57
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 1. Pakan yang ditemukan sebanyak 25 jenis sebagian besar didapatkan dari areal perkebunan (28%) berupa tumbuhan bawah. Produktivitas dan daya dukung kawasan pada lokasi pusat keberadan banteng yaitu 463,92 kg/ha/hari yang dapat menampung 16 ekor banteng. Pakan banteng yang memiliki palatabilitas tertinggi adalah paitan (Paspalum conjugatum). 2. Ditemukan 60 jenis dari 31 famili vegetasi di lokasi habitat banteng. Habitat banteng di TNMB yaitu hutan hujan tropis dataran rendah, padang rumput dan areal perkebunan. Sebagian besar cover yang digunakan berupa tajuk pohon dan rumpun bambu yang berfungsi pelindung dari sinar matahari. 3. Sumber air minum yang digunakan yaitu air sungai dan genangan air di parit. Terdapat empat sungai yaitu Sungai Sumbersari, Sungai Banyuputih, Sungai Cawang dan Sungai Kali Sanen.
6.2 Saran 1.
Diperlukan perbaikan habitat banteng di TNMB agar banteng dapat kembali ke habitatnya.
2.
Diperlukan upaya pembinaan habitat banteng secara rutin dan intensif.
3.
Pengelolaan habitat dapat dilakukan dengan teknik pengelolaan vegetasi, pemupukan, pembakaran dan penggemburan tanah, yang dikerjakan bersama dengan pihak perkebunan untuk mencipatakan feeding ground yang disukai banteng.
4.
Diperlukan penelitian lanjutan pada habitat banteng lainnya di TNMB dan juga mengenai aspek gizi pakan banteng.
5.
Inventarisasi banteng dan habitatnya di TNMB diperlukan secara rutin sebagai data pemantauan dan evaluasi.
58
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS, 1979. Dasar-Dasar Pembinanaan Margasatwa. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS, Palete R. 1980. Laporan Potensi Makanan Banteng (Bos Javanicus) di Cagar Alam Ujung Kulon. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Alikodra HS. 1983. Ekologi banteng (Bos javanicus d’Alton) di Taman Nasional Ujung Kulon [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. __________. 1990. Pengelolaan Satwa Liar . Bogor : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. __________. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor: Yayasan penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. __________. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: IPB Press Delfiandi. 2006. Analisis pola pengguanaan ruang dan wilayah jelajah banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Alas Purwo [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Destriana AH. 2008. Aplikasi system informasi geografis untuk pemetaan kesesuaian habitat banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Ujung Kulon. (Studi kasus padang penggembalaan Cidaon) [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Dharmakalih G. 1997. Analisis habitat banteng di Resort Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Gunawan A. 1987. Potensi Hijauan Makanan banteng (Bos javanicus d’Alton) di Padang Penggembalaan Cikamal Penanjung Pangandaran [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Hedges S. 2000. Bos Javanicus. di dalam IUCN 2008. IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/search/details.php/2888/summ [10 Mei 2010] Heyne K. 1989. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I-IV. (Terjemahan : de Nuttige planten van Indonesie). Jakarta: Badan Litbang Kebutanan. Hoogerwerf A. 1970. Ujungkulon The Land of The Javan Rhinocheros. E. J. Brilol Leiden Lekagul B dan McNeely JA. 1977. Mammals of Thailand. Shakaranbhat Co. Bangkok
59
Medway L. 1977. Mammals of Borneo. Monograph of The Malaysian Branch of The Royal Asiatic Society: 7. Percetakam Mas Sdn. Bhd. Kuala Lumpur :150-151 Mcllroy RJ. 1977. Pengantar Budidaya Padang Rumput Tropika. (Terjemahan : an Introduction to Tropical Grassland Husbandry) Jakarta: Pradya Paramita. Muntasib EKSH, Haryanto, Masy’ud B, Rinaldi D, Arief H. 2000. Laporan studi persaingan antara banteng (Bos javanicus) dengan badak jawa (Rhinoceros sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Nugraha H. 2007. Analisis pola penggunaan ruang banteng ((Bos javanicus d’Alton 1832) di Cagar alam dan Taman Wisata alam Pangandaran, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Nugroho BDS. 2001. Karakteristik Penggunaan sumberdaya air oleh badak jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest ) dan Banteng (Bos javanicus d’Alton) di daerah Cikeusik dan Cibandawoh, Taman Nasional Ujung Kulon [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Santoso N. 1985. Studi populasi banteng (Bos javanicus d’Alton) dan kerbau air (Bubalus bubalis Linn) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur [skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Sectionov, 1999. Palatabilitas dan produktivitas pakan banteng (Bos javanicus d’Alton) akibat pemotongan serta daya dukung padang penggembalaan Tegal Sabuk. Suaka Margasatwa Cikepuh. Sukabumi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Setiawati T. 1986. Studi Perilaku Banteng (Bos javanicus d’Alton) di Cagar alam Leuweung Sancang-Garut Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor Siswanto W. 1982. Potensi beberapa jenis hijauan makanan rusa (Rusa timorensis) pada beberapa kelas umur tegakan Pinus sp.di Hutan Tridharma Gunung Walat. [skripsi]. Fakultas Kehutanan. IPB. Soerianegara I dan Indrawan A. 2002. Ekologi Hutan Indonesia. Bogor: Laboratorium Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan. IPB. Susetyo S. 1970. Padang penggembalaan, suatu pengantar pada kuliah pengelolaan pastura dan padang rumput. Bogor : Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Syarief A. 1974. Kemungkinan Pembinaan Pembiakan Rusa dan Perbaikan Habitatnya. Direktorat PPA. Bogor. Trippense ER. 1948. Wildlife Management. Up Land and General Principal. MacGraw Hill-Book Company. New York
60
Wirawan. 2011. Studi perilaku banteng (Bos javanicus d’Alton 1832) di Taman Nasional Meru Betiri [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. IPB press
61
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil perhitungan analisis vegetasi savana 1. Savana Sumbersari Resort Sukamade SPTN W I Sarongan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Nama Jenis Kerayutan Telean Plumpung Sintru Kacang-kacangan Lagetan Kemukus Paitan Rumput gambir Rumput teki Rumput kawat Putri malu Jumlah
Nama Ilmiah Mikania micrantha Lantana camara Panicum respens Clitoria ternatea Desmodium puchellum Spilanthes acmelia Piper cubeba Paspalum conjugatum Cyperus rotundus Cynodon dactylon Mimosa pudica
Famili Asteraceae Verbenaceae Poaceae Leguminosae Fabaceae Asteraceae Piperaceae Poaceae Cyperaceae Poaceae Fabaceae
2. Savana Pringtali Resort Bandealit SPTN W II Ambulu No Nama Jenis Nama Ilmiah Famili 1 Krayutan/kariya Mikania micrantha Asteracea 2 Sintru Clitoria ternatea Leguminosae 3 Kerinyu Chromolaena odorata Asteraceae 4 Telean Lantana camara Verbenaceae 5 Babadotan Ageratum conyzoides Compositae 6 Rumput kawat Cynodon dactylon Poaceae 7 Paitan Paspalum conjugatum Poaceae 8 Sidagori Sida glabra Malvaceae 9 Pulutan Urena lobata Asteraceae Jumlah
K 44.000 150.000 136.000 54.000 6.000 16.000 4.000 34.000 28.000 6.000 10.000 4.000 498.000
K 18.571,43 11.5714,3 47.142,86 21.5714,3 15.714,29 61.428,57 17.1428,6 14.285,71 57.14,286 72.7142,9
KR (%) 8,835 30,487 28,215 10,843 1,204 3,212 0,803 6,827 5,622 1,204 2,008 0,803
KR (%) 2,554 15,913 6,483 32,403 2,161 8,447 25,751 1,964 0,785
F 0,8 1,0 1,0 1,0 0,2 0,4 0,2 0,6 0,6 0,2 0,4 0,2 6,6
FR (%) 12,121 15,151 15,151 15,151 3,030 6,060 3,030 9,090 9,090 3,030 6,060 3,030
F 0,714 1,000 1,000 1,000 0,285 0,857 1,000 0,571 0,285 6,714
FR (%) 10,638 14,893 14,893 14,893 4,255 12,765 14,893 8,510 4,255
INP 20,956 45,639 43,367 25,994 4,235 9,273 3,833 15,918 14,713 4,235 8,068 3,833 200
INP 13,192 30,807 21,376 47,297 6,416 21,213 40,644 10,475 5,041 200
H’ 2,15
H’ 1,97
62
Lampiran 2 Hasil perhitungan analisisi vegetasi untuk perkebunan 1. Blok 90an Coklat (Resort Sukamade) SPTN W I Sarongan A. Tumbuhan Bawah No 1 2
Nama Jenis Sintru Lagetan Jumlah
Nama ilmiah Clitoria ternatea Spilanthes acmelia
Famili Leguminosae Asteraceae
K 4.166,667 20.000 24166,67
KR (%) 17,241 82,758
F
Nama Jenis Coklat Jumlah
Nama ilmiah Theobroma cacao L.
Famili Sterculiaceae
K 1.666,667 1.666,667
KR (%) 100
F 0,333 0,333
Nama Ilmiah Theobroma cacao L.
Famili Sterculiaceae
K 120 120
KR (%) 100
F 1 1
0,333 0,333 0,666
FR (%) 50 50
INP 67,241 132,758 200
H’ 0,63
B. Semai No 1
FR (%) 100
INP 200 200
H’ 0
C. Pancang No 1
Nama Jenis Coklat Jumlah
FR (%) 100
INP 200 200
DR (%) 97,230 2,769
INP
H’ 0
D. Tiang No
Nama Jenis
Nama Ilmiah
Famili
K
1 2
Coklat Kleresidi Jumlah
Theobroma cacao L. Klereside sp.
Sterculiaceae Fabaceae
566,666 66,666 633,333
KR (%) 89,473 10,526
F 1 0,666 1,666
FR (%) 60 40
D 15,968 0,454 16,423
246,704 53,295 300
H’ 0,47
E. Pohon No
Nama Jenis
Nama ilmiah
Famili
1 2
Kleresidi Kelapa Jumlah
Klereside sp. Cocos nucifera L.
Fabaceae Palmae
K 8,333 8,333 16,666
KR (%) 50 50
F 0,333 0,333 0,666
FR (%) 50 50
D 0,802 1,104 1,906
DR (%) 42,100 57,899
INP
H’
142,100 157,899 300
0,33
63
2. Blok 90an Karet (Resort Sukamade) SPTN W I Sarongan A. Tumbuhan bawah No 1 2 3 4 5 6
Nama Jenis Lagetan Kirinyuh Sintru Babadotan Pare hutan Tempuyung Jumlah
Nama Ilmiah Spilanthes acmelia Chromolaena odorata Clitoria ternatea Ageratum conyzoides Momordica charantia l. Emilia sonchifolia
Famili Asteraceae Asteraceae Legumninosae Compositae Cucurbitaceae Asteraceae
K 68.750 3.750 27.500 2.500 6.250 3.750 112.500
KR (%) 61,111 3,333 24,444 2,222 5,555 3,333
F 1 0,5 1 0,5 0,5 0,5 4
FR (%) 25 12,5 25 12,5 12,5 12,5
INP 86,111 15,833 49,444 14,722 18,055 15,833 200
H’ 1,51
B. Pancang No 1
Nama Jenis Karet Jumlah
Nama Ilmiah Hevea brasiliensisa
Famili Moraceae
K 1250
KR (%) 100 100
F 0,5 0,5
FR (%) 100
INP 200 200
DR(%) 100
INP 300 300
H’ 0
C. Tiang No 1
Nama Jenis Karet Jumlah
Nama Ilmiah Hevea brasiliensisa
Famili Moraceae
K 550 550
KR (%) 100
F 1 1
FR (%) D 100 9,910 9,910
H’ 0
64
Blok Balsa (Resort Bandealit) SPTN W II Ambulu A. Tumbuhan bawah No 1 2 3 4 5
Nama Jenis Rambusa Babadotan Sintru Kara benguk Kirinyuh Jumlah
Nama Ilmiah Passiflora foetida Ageratum conyzoides Clitoria ternatea Mucuna pruriens Chromolaena odorata
Famili Passifloraceae Compositae Leguminosae Fabaceae Asteraceae
K 2.500 35.000 2.4166,67 5.000 7.500 74.166,67
KR (%) 3,370 47,191 32,584 6,741 10,112
F 0,333 1 1 1 0,666 4
FR (%) 8,333 25 25 25 16,666
INP 11,704 72,191 57,584 31,741 26,779 200
H’ 1,45
B. Pancang No 1
Nama Jenis Mindi Jumlah
Nama Ilmiah Garcinia dulcis
Famili Guttiferae
K 106,666 106,666
KR (%) 100
F 1
FR (%) 100
INP 200 200
H’ 0
C. Pohon No 1
Nama Jenis Balsa Jumlah
Nama Ilmiah Ochroma lagopus
Famili Bombacaceae
K 33,333 33,333
KR (%) F 100 0,666 0,666
FR (%) 100
D DR(%) 1,967 100 1,967
INP 300 300
H’ 0
65
3. Blok Kedungwatu (Resort Bandealit) SPTN W II Ambulu A. Tumbuhan bawah No 1 2 3 4
Nama Jenis Babadotan Sintru Krayutan Kirinyuh Jumlah
Nama Ilmiah Ageratum conyzoides Clitoria ternatea Mikania micrantha Chromolaena odorata
Famili Compositae Leguminosae Asteraceae Asteraceae
K 54.166,67 39.166,67 41.66,667 35.000 132.500
KR (%) 40,880 29,559 3,144 26,415
F 1 1 0,333 1 3,333
FR (%) 30 30 10 30
INP 70,880 59,559 13,144 56,415 200
H’ 1,26
B. Pancang No 1 2
Nama Jenis Waru Gondang Jumlah
Nama Ilmiah Hibiscus tiliaceus L. Ficus variegata Bl.
Famili Malvaceae Moraceae
K 146,666 40 186,666
KR (%) 78,571 21,428
F 1 0,333 1,333
FR (%) 75,000 25,000
INP 153,571 46,428 200
H’ 0,54
DR(%) 49,552 50,447
INP 99,552 100,447 200
H’ 0,69
C. Pohon No 1 2
Nama Jenis Mindi Waru Jumlah
Nama Ilmiah Garcinia dulcis Hibiscus tiliaceus L.
Famili Guttiferae Malvaceae
K 33,333 33,333 66,666
KR (%) F 50 0,333 50 0,333 0,666
FR (%) D 50 1,311 50 1,335 2,646
66
Lampiran 3 Hasil perhitungan analisisi vegetasi hutan hujan tropis dataran rendah 1. Blok Banyuputih (Resort Bandealit) SPTN W II Ambulu A. Tumbuhan bawah No 1 2 3
Nama Jenis Babadotan Kariya Lagetan Jumlah
Nama Ilmiah Ageratum conyzoides Mikania micrantha Spilanthes acmelia
Famili Compositae Asteraceae Asteraceae
K 42.500 7.500 4.500 54.500
KR (%) 77,981 13,761 8,256
F 1 0,6 0,4 2
FR (%) 50 30 20
INP 127,981 43,761 28,256 200
H’ 0,89
B. Semai No
Nama Jenis
Nama Ilmiah
Famili
K
1 2 3
Jenti Jerukan Bambu wuluh Jumlah
Sesbania sesban Polyalthia ruphii Schizoschyum blumea
Fabaceae Annonaceae Poaceae
1.666,667 2.500 6.6666,67 70833,33
Nama Ilmiah Schizoschyum blumea Polyalthia ruphii Kleinhovia hospita L. Coffea robusta Sesbania sesban
Famili Poaceae Annonaceae Sterculiaceae Rubiaceae Fabaceae
KR (%) 2,352 3,529 94,117
F
KR (%) 90,909 4,958 1,239 2,066 0,826
F
0,4 0,2 0,8 1,4
FR (%) 28,571 14,285 57,142
INP
H’
30,924 17,815 151,260 200
0,71
INP 130,909 24,958 11,239 22,066 10,826 200
H’ 1,09
C. Pancang No 1 2 3 4 5
Nama Jenis Bambu Jerukan Timo Kopi Jenti Jumlah
K 17.600 960 240 400 160 19.360
0,8 0,4 0,2 0,4 0,2 2
FR (%) 40 20 10 20 10
67
D. Tiang No
Nama Jenis
Nama Ilmiah
Famili
K
1 2 3 4 5
Walangan Jerukan Timo Kopi Jenti Jumlah
Pterospermum diversifolium Polyalthia ruphii Kleinhovia hospita L. Coffea robusta Sesbania sesban
Sterculiaceae Annonaceae Sterculiaceae Rubiaceae Fabaceae
20 80 40 100 60 300
KR (%) 6,666 26,666 13,333 33,333 20
F 0,2 0,4 0,2 0,4 0,4 1,6
FR (%) 12,5 25 12,5 25 25
D
DR(%)
0,124 3,070 1,174 28,899 0,847 20,842 1,086 26,713 0,832 20,474 4,06532
INP
H’
22,237 1,52 80,565 46,675 85,047 65,474 300
E. Pohon No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Nama Jenis Bindung Ketangi/ Bungur Timo Walangan Jerukan Apak Kelapa Jenti Lamtoro Jumlah
Nama Ilmiah Tetrameles mudiflora Lagerstroemia speciosa (L.) Pers, Kleinhovia hospita L Pterospermum diversifolium Polyalthia ruphii Ficus benjamina Cocos nucifera L. Sesbania sesban Leucaena leucocephala
Famili Datiscaceae Lythraceae
K 5 10
KR (%) 3,571 7,142
F 0,2 0,2
FR (%) 6,666 6,666
D 0,895 0,516
DR(%) 11,717 6,749
INP 21,955 20,559
Sterculiaceae Sterculiaceae
20 40
14,285 28,571
0,4 0,4
13,333 13,333
1,131 1,414
14,805 18,505
42,424 60,410
Annonaceae Moraceae Palmae Fabaceae Leguminisae
15 15 20 10 5 140
10,714 10,714 14,285 7,142 3,571
0,4 0,2 0,6 0,4 0,2 3
13,333 6,666 20 13,333 6,666
0,479 1,285 1,589 0,173 0,158 7,644
6,266 16,821 20,798 2,268 2,066
30,314 34,202 55,084 22,744 12,304 300
H' 2,09
68
2. Blok Sikapal (Resort Malamgsari) SPTN W III Kalibaru A. Tumbuhan bawah No 1 2 3 4 5
Nama Jenis Kari1ya Paitan Puka Kirinyuh Kinura Jumlah
Nama Ilmiah Mikania micrantha Paspalum conjugatum Berg Solanum torfum Chromolaena odorata Gynura procumbens Back
Famili Asteraceae Poaceae Solanaceae Asterceae Compositae
K 10.500 43.500 1.000 2.000 500 57.500
KR (%) 18,260 75,652 1,739 3,478 0,869
F 0,6 1 0,4 0,4 0,2 2,6
FR (%) 23,076 38,461 15,384 15,384 7,692
INP 41,337 114,113 17,123 18,862 8,561 200
H’ 1,22
B. Semai No
Nama Jenis
Nama Ilmiah
Famili
K
1 2 3 4 5 6 7
Lengkian Luwingan Pakem Gondang legi Lengkran Pacar gunung Anggrung Jumlah
Leea aequata Linn Ficus hispida L. Pangium edule Ficus variegata Bl. Sapindus rarak Cassine glauca Trema orientalis (L.) Bl.
Leeaceae Moraceae Flacourtiaceae Moraceae Sapindaceae Celastraceae Ulmaceae
3.500 3.500 500 3.000 1.000 500 1.000 13.000
KR (%) 26,923 26,923 3,846 23,076 7,692 3,846 7,692
F
FR (%)
0,4 0,4 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 1,8
22,222 22,222 11,111 11,111 11,111 11,111 11,111
INP 49,145 49,145 14,957 34,188 18,803 14,957 18,803 200
H’ 1,82
C. Pancang No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Jenis Ndog-ndogan Pakem Tutup Luwingan Mat-mat Tutup putih Kemunduh Jumlah
Nama Ilmiah Xanthophyllum vitellinum (Bl.) Dietr. Pangium edule Acalypha caturus Ficus hispida L. Dinochloa scandes Mallotus moluccanus Muell. Arg. Baccauera racemosa
Famili Polygalaceae Flacourtiaceae Euphorbiaceae Flacourtiaceae Poaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae
K 160 160 80 400 400 160 240 1.600
KR (%) 10 10 5 25 25 10 15
F 0,2 0,2 0,2 0,4 0,2 0,2 0,2 1,6
FR (%) 12,5 12,5 12,5 25 12,5 12,5 12,5
INP 22,5 22,5 17,5 50 37,5 22,5 27,5 200
H’ 1,88
69
D. Tiang No 1 2
Nama Jenis Luwingan Ndog-ndogan
3 4 5 6
Gondang legi Tutup Kemunduh Tutup putih
Nama Ilmiah Ficus hispida L. Xanthophyllum vitellinum (Bl.) Dietr, Ficus variegata Bl. Acalypha caturus Baccauera racemosa Mallotus moluccanus Muell. Arg.
Famili Moraceae Polygalaceae
K 80 40
KR (%) 26,666 13,333
F 0,4 0,2
FR (%) 28,571 14,285
60 20 80 20
20 6,666 26,666 6,666
0,2 0,2 0,2 0,2
14,285 14,285 14,285 14,285
Moraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae
Jumlah
300
D
1,4
0,357 0,542
DR(%) 11,016 16,708
INP 66,254 44,327
0,921 0,267 0,741 0,414
28,406 8,248 22,856 12,763
62,692 29,201 63,809 33,715
3,24508
H’ 1,74
300
E. Pohon No
Nama Jenis
Nama Ilmiah
Famili
1 2 3
Apak Winong Besule
Moraceae Sterculiaceae Lesythidaceae
4 5 6 7 8 9
Kemundu Rampelasan Gondang legi Pakem Lutung Suren
10 11
Budengan Bendo
Ficus benjamina L. Erythropsis colorata Chydenanthus excelsus Baccauera racemosa Litsea amara Ficus variegata Bl. Pangium edule Diospyros aurea Toona sureni (Bl.) Merrill Diospyros hasseltii
12
Luwingan Jumlah
Artocarpus elasticus Reinw. ex Bl. Ficus hispida L.
Euphorbiaceae Lauraceae Moraceae Flacourtiaceae Ebenaceae Meliaceae Ebenaceae Moraceae Moraceae
K 1.500 1.000
KR (%) 12 8
F 0,6 0,2
FR (%) 15,789 5,263
500 1.000 1.000 1.000 2.500 500
4 8 8 8 20 4
0,2 0,4 0,4 0,4 0,4 0,2
500 500
4 4
2.000 500 12.500
16 4
D
DR(%)
INP
H’ 2,24
10,780 1,294
55,736 6,691
83,525 19,955
5,263 10,526 10,526 10,526 10,526 5,263
0,301 1,528 0,722 0,755 1,300 0,672
1,557 7,904 3,735 3,908 6,725 3,478
10,821 26,430 22,261 22,434 37,252 12,741
0,2 0,2
5,263 5,263
0,223 0,223
1,157 1,157
10,420 10,420
0,4 0,2 3,8
10,526 5,263
1,300 0,236 19,34161
6,726 1,220
33,252 10,483 300
70
71
Lampiran 4 Profil pohon hutan Blok Banyuputih
Jarak
Tinggi
Jarak
Jenis-jenis pohon cover Blok Banyuputih No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Lokal Bindung Ketangi/bungur Timo Walangan Walangan Walangan Walangan Ketangi Jerukan Jerukan Walangan Walangan Jerukan
Nama Ilmiah Tetrameles mudiflora Lagerstroemia speciosa (L.) Pers, Kleinhovia hospita L Pterospermum diversifolium Pterospermum diversifolium Pterospermum diversifolium Pterospermum diversifolium Lagerstroemia speciosa (L.) Pers, Polyalthia ruphii Polyalthia ruphii Pterospermum diversifolium Pterospermum diversifolium Polyalthia ruphii
72
Lampiran 5 Profil pohon hutan Blok Sikapal
Jarak
Tinggi
Jarak
Jenis-jenis pohon cover Blok Sikapal No 1 2 3 4 5 6 7 8
Nama Lokal Apak Pakem Rempelasan Lutung Suren Luwingan Luwingan Luwingan
Nama Ilmiah Ficus benjamina L Pangium edule Litsea amara Diospyros aurea Toona sureni (Bl.) Merrill Ficus hispida L. Ficus hispida L. Ficus hispida L.
Lampiran 6 Denah lokasi habitat banteng Resort Sukamade
73
Lampiran 7 Denah lokasi habitat banteng Resort Bandealit
74
Lampiran 8 Denah lokasi habitat banteng blok Sikapal Resort Malangsari
75