POTENSI INVASIF TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI ZONA REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR
DWITANTIAN HAWA BRILLIANTI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
2
vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Potensi Invasif Trembesi (Samanea saman Jacq.) di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur adalah benar hasil karya saya dengan bimbingan dari dosen pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dalam karya saya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Dwitantian Hawa Brillianti NIM E34120054
vii
ABSTRAK DWITANTIAN HAWA BRILLIANTI. Potensi Invasif Trembesi (Samanea saman Jacq.) di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan IWAN HILWAN. Tumbuhan asing invasif merupakan tumbuhan yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak mempunyai musuh alami sehingga menjadi gulma, hama, dan penyakit pada spesies-spesies asli. Trembesi merupakan salah satu spesies eksotik yang berpotensi invasif. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi komposisi dan struktur vegetasi dan mengidentifikasi potensi invasif trembesi (Samanea saman Jacq.) di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Metode yang digunakan yaitu analisis vegetasi kombinasi jalur dan garis berpetak, diagram profil, serta sebaran titik sebaran trembesi dengan GPS. Berdasarkan penelitian didapat 2 spesies pada tingkat semai yaitu Samanea saman dan Aleurites moluccana, 2 spesies pada tingkat tiang yaitu Parkia timoreniana dan Alstonia scholaris, serta 6 spesies pada tingkat pohon yaitu Parkia timoreniana, Samanea saman, Aleurites moluccana, Pangium edule, Alstonia scholaris dan Parkia speciosa. Pola sebaran trembesi secara umum adalah seragam. Potensi invasif trembesi di Zona Rehabilitasi, Resort Andongrejo Taman Nasional Meru Betiri belum nampak terjadi dikarenakan tingkat regenerasinya relatif rendah. Kata kunci : invasif, pola sebaran, taman nasional Meru Betiri, trembesi, zona rehabilitasi
ABSTRACT DWITANTIAN HAWA BRILLIANTI. Invasive Potential of Trembesi (Samanea saman Jacq.) in Rehabilitation Zone of Meru Betiri National Park, East Java. Supervised by AGUS HIKMAT and IWAN HILWAN. Invasive alien plants are plants that live and grow rapidly due to lack of natural enemies and become therefore threaten native species. Trembesi is one of the potentially invasive exotic species. This study objectives were to identify the composition and structure of vegetation and to identify potential invasive of trembesi (Samanea saman Jacq.) in the rehabilitation zone of Meru Betiri National Park, East Java. Analysis of vegetation using combination of paths and terraced lines, profile diagrams, and point distributions of trembesi were used in this research. The results showed there were two species of seedlings (Samanea saman and Aleurites moluccana), two species of poles (Parkia timoreniana and Alstonia scholaris), 6 species of tree level (Parkia timoreniana, Samanea saman, Aleurites moluccana, Pangium edule, Alstonia scholaris and Parkia speciosa). Trembesi distribution patterns are generally uniform. Potential invasive of trembesi in Rehabilitation Zone, Resort Andongrejo Meru Betiri National Park had not been occured due to relatively low regeneration level. Key words : distribution pattern, invasive, Meru Betiri national park, rehabilitation zone, trembesi
viii
POTENSI INVASIF TREMBESI (Samanea saman Jacq.) DI ZONA REHABILITASI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, JAWA TIMUR
DWITANTIAN HAWA BRILLIANTI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ix
xi
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan ridhoNya hingga karya ini berhasil diselesaikan. Tema dalam penelitian ini yaitu tumbuhan asing invasif yang berjudul Potensi Invasif Trembesi (Samanea saman Jacq.) di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur yang dilaksanakan pada bulan Juli–Agustus 2015. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Bapak Dr Ir Iwan Hilwan, MS selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, saran, dan motivasi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Balai Taman Nasional Meru Betiri (BTNMB) yang telah memberikan ijin dalam melakukan penelitian dan bantuan dana penelitian serta ungkapan terima kasih kepada Ibu Nur Rohmah Syarief yang bersedia memberikan saran dan kepada petugas di lapang yang telah membantu dalam pengambilan data. Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada keluarga (Ayahanda Drs Barodin, Ibunda Supartini, SPd, kakak Firsttian Hafidz Yoga Bachtiar, dan adek Fitrian Hawa Brilliyanti) yang telah memberikan dukungan, pembelajaran, dan motivasi hingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih kepada teman-teman Omda IMJB yang membantu dalam proses pengambilan data di lapang (mas Lukman, mbak Khol, Fuad, Mufli, dan Opal). Tidak lupa juga ungkapan terima kasih kepada Fakultas Kehutanan khususnya Cantigi Gunung 49 telah menjadi bagian dari hidup penulis khususnya Irsalina Nurin Oktafiani, Ulva Prabawati, Lydia Octifani, dan Suhartini Telnoni. Teman-teman perantauan Jember (Citra Vita Yuningtyas, Kiki Nawan Mulasari, Yusvita Nur Qorima Putri, dan Arifatush Yuni Hariyanti), teman-teman PKLP TNGR “Sahabat Rinjani”, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih telah memberikan warna tersendiri bagi penulis. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Dwitantian Hawa Brillianti
xii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Peneltian
2
METODE
3
Lokasi dan Waktu
3
Jenis Data yang Dikumpulkan
4
Metode Pengumpulan Data
4
Analisis Data
5
HASIL DAN PEMBAHASAN
8
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
8
Bioekologi Trembesi
9
Komposisi dan Struktur Vegetasi
10
Tingkat Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Tumbuhan 13 Kondisi Populasi Trembesi
14
Pola Sebaran Trembesi
16
Potensi Invasif Trembesi
16
Pengendalian Spesies Invasif
22
SIMPULAN DAN SARAN
24
Simpulan
24
Saran
24
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
27
xiii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Jenis dan metode pengambilan data Spesies tingkat semai yang ditemui di lokasi penelitian Spesies tingkat tiang yang ditemui di lokasi penelitian Spesies tingkat pohon yang ditemui di lokasi penelitian Indeks keanekaragaman dan kemerataan spesies
4 11 11 12 14
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peta lokasi penelitian Bentuk dan ukuran plot Polong trembesi Diagram profil tajuk pada lokasi penelitian Pertumbuhan trembesi Struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter Peta sebaran spasial trembesi Kondisi tajuk trembesi dan kedawung Kondisi tumbuhan bawah di bawah tegakan
3 5 10 13 15 15 16 18 19
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis vegetasi pada tingkat semai 2 Hasil analisis vegetasi pada tingkat tiang 3 Hasil analisis vegetasi pada tingkat pohon
26 26 26
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan salah satu taman nasional yang memiliki zona rehabilitasi atas Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor: 185/ Kpts/ DJ-V/ 1999 tanggal 13 Desember 1999. Pelaksanaan rehabilitasi hutan ini banyak melibatkan masyarakat setempat serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal bernama Konservasi Alam Indonesia Lestari (KAIL). KAIL (2004) diacu dalam Sinaga (2013) menyebutkan bahwa pada tahun 1998 telah terjadi pembabatan hutan jati secara besar-besaran. Selama kurang lebih enam bulan maka sekitar 4 000 ha hutan jati tersebut telah habis dijarah dan dijadikan sebagai lahan pertanian. Hal tersebut disebabkan dulunya masyarakat belum banyak dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan hutan serta minimnya akses dan kontribusi ekonomi dari TNMB sehingga pada akhirnya berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam (PHKA) maka sekitar 4 000 ha areal lahan bekas jati tersebut ditetapkan sebagai zona rehabilitasi (Sinaga 2013). Tujuan dari kegiatan penanaman di lahan rehabilitasi ini selain berfungsi untuk mengembalikan kondisi hutan yang telah gundul juga berfungsi sebagai sumber pendapatan untuk meningkatkan taraf ekonomi bagi masyarakat lokal melalui hasil tanaman yang dapat dipasarkan. Berbagai aktivitas dalam pengelolaan lahan rehabilitasi tersebut difasilitasi oleh LSM KAIL yang awalnya berkolaborasi dengan Fakultas Kehutanan IPB serta berbagai stakeholder lain yang terkait. Pada kegiatan Rehabilitasi Lahan dan Hutan (RHL) dari pihak Taman Nasional memberikan rekomendasi tanaman pokok yang akan ditanam pada zona rehabilitasi tersebut. Menurut (BTNMB 1999) terdapat 45 spesies tumbuhan yang terdapat di zona rehabilitasi TNMB. Dari 45 spesies tumbuhan tersebut terdapat 30 spesies tumbuhan yang ditanam pada lokasi tersebut yang direkomendasikan oleh pihak TNMB. Selain itu terdapat 15 spesies tumbuhan yang tidak direkomendasikan oleh pihak TNMB tetapi terdapat di lokasi tersebut. Hal ini dikarenakan ketersediaan bibit yang terbatas sehingga masyarakat berinisiatif untuk melakukan pembibitan secara swadaya dengan bibit yang tersedia di sekitar TNMB, bahkan terdapat tumbuhan eksotik/asing yang berasal dari luar TNMB, seperti alpukat (Persea americana P. Mill.) (Wiradityo 2011). Selain alpukat salah satu spesies tumbuhan asing yang berpotensi invasif adalah trembesi (Samanea saman Jacq.). Spesies asing invasif juga erat kaitannya dengan spesies eksotik. Spesies eksotik menurut Primack (1998) adalah spesies yang terdapat di luar distribusi alaminya. Trembesi merupakan tumbuhan asli dari Amerika Selatan. Tingginya mencapai 15 – 25 meter dan dianggap invasif di Fiji dan Vanuatu. Trembesi diintroduksi di beberapa tempat di luar habitat alaminya di Pasifik, tumbuhan ini dianggap sebagai hama yang serius (Staples dan Elevitch 2006). Tumbuhan asing invasif merupakan tumbuhan yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak mempunyai musuh alami sehingga menjadi gulma, hama, dan penyakit pada spesies-spesies asli. Dampak negatif dari
2 keberadaan tumbuhan asing invasif yaitu mampu merambah semua bagian ekosistem alami/asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli. Dalam skala besar spesies asing invasif mampu merusak ekosistem alami/asli (Wijanarko 2002). Tumbuhan asing invasif dilaporkan telah menimbulkan permasalahan di kawasan konservasi di Indonesia misalnya Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran. Tumbuhan ini diintroduksi ke Taman Nasional Baluran pada tahun 1969 yang semula dimaksudkan untuk sekat bakar. Namun tumbuhan tersebut merupakan spesies tumbuhan yang cepat tumbuh dan menyebar dengan cepat serta mengancam keberadaan spesies lain khususnya pada kawasan savana. Dampak yang nyata yaitu berkurangnya luasan savana sebagai sumber pakan bagi mamalia dan mengakibatkan terjadinya kompetisi pakan. Tidak hanya dalam kompetisi pakan yang dikhawatirkan tetapi berkurangnya luasan savana akan berdampak terhadap ruang gerak satwa dalam melakukan aktivitas sosial, proses belajar, kawin serta mengasuh dan membesarkan anak (Alikodra 1987). Introduksi trembesi di zona rehabilitasi TNMB diduga berpotensi invasif (Staples dan Elevitch 2006). Keberadaan trembesi yang berpotensi invasif tersebut perlu mendapat perhatian agar tidak mengancam ekosistem asli seperti yang terjadi pada Taman Nasional Baluran. Namun data mengenai potensi invasif trembesi belum ada. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai keberadaan trembesi sebagai spesies tumbuhan asing yang berpotensi invasif. Tujuan Penelitian
1. 2.
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Mengidentifikasi komposisi dan struktur vegetasi di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Mengidentifikasi potensi invasif trembesi (Samanea saman Jacq.) di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tumbuhan invasif trembesi (Samanea saman Jacq.) serta dapat menjadi data dasar untuk penentuan strategi pengendalian tumbuhan invasif trembesi (Samanea saman Jacq.) di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur khususnya di Resort Andongrejo, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri II Ambulu yang sengaja ditamani oleh spesies trembesi (Samanea saman Jacq.).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian akan dilaksanakan di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Ambulu Zona Rehabilitasi TNMB, Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Waktu yang dibutuhkan untuk penelitian adalah ± satu bulan (Juli-Agustus 2015).
3
Gambar 1 Peta lokasi penelitian Bahan dan Alat Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari sampel spesies tumbuhan dan peta kawasan zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Global Positioning System (GPS), kamera digital, meteran, tambang, kompas, phiband, tallysheet, panduan lapang tumbuhan asing invasif, koran bekas, label (etiket), kalkulator, dan walking stick. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kondisi umum di Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Ambulu zona rehabilitasi TNMB, Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur yang terdiri dari kondisi biofisik di sekitar kawasan. Komposisi dan struktur vegetasi, diagram profil arsitektur, dan sebaran spasial trembesi (Tabel 1).
4 Tabel 1 Jenis dan Metode Pengumpulan Data No Jenis data Uraian Letak dan luas Kondisi biofisik Kondisi umum 1 lokasi penelitian Studi sosial ekonomi masyarakat sekitar Spesies Komposisi dan Jumlah individu 2 struktur vegetasi Frekuensi Diameter setinggi dada Diagram profil 3 Profil vertikal dan horizontal arsitektur 4
Sebaran trembesi
spasial Titik sebaran trembesi
Metode Studi pustakan, survey lapang Analisis vegetasi Proyeksi tajuk Eksplorasi, penentuan titik dengan GPS
Metode Pengumpulan Data Komposisi dan struktur vegetasi Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi dengan menggunakan metode kombinasi jalur dan garis berpetak berukuran 20 m x 100 m yang diletakkan secara sistematis dengan jarak antar jalur 40 m. Kemudian jalur dibagi-bagi menjadi petak kecil berukuran 2 m x 2 m untuk semai, 5 m x 5 m untuk pancang, 10 m x 10 m untuk tiang dan 20 m x 20 m untuk pohon. Pada tingkat tiang dan pohon dibuat diagram profil arsitektur pohon. Bentuk petak analisis vegetasi metode kombinasi jalur dan garis berpetak (Gambar 2).
Gambar 2 Bentuk dan ukuran plot
5 Diagram profil arsitektur Diagram profil vertikal dan horizontal seluruh individu trembesi dan spesies tumbuhan lain dengan tingkat tiang dan pohon diukur dalam petak ukuran 20 m x 100 m. Diagram ini dicari untuk mengetahui bentuk struktur vertikal dan horizontal (penutupan tajuk) sehingga dapat diketahui peranan spesies trembesi dalam komunitas. Sebaran spasial trembesi Seluruh individu trembesi pada lokasi penelitian di zona rehabilitasi TNMB dipetakan dengan menggunakan GPS. Titik-titik ditemukannya trembesi didapatkan dengan eksplorasi di seluruh lokasi penelitian untuk mengetahui sebaran trembesi. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data mengenai kondisi umum lokasi penelitian yang meliputi letak dan luas, kondisi biofisik, dan studi sosial ekonomi masyarakat sekitar zona rehabilitasi. Data diperoleh dari kantor desa ataupun Balai Taman Nasional Meru Betiri (BTNMB). Analisis Data 1. Komposisi dan struktur vegetasi Komposisi spesies dapat menggunakan Indeks Nilai Penting (INP) untuk tumbuhan bawah, semai, pancang, tiang, dan pohon. Kerapatan (K) (ind/ha)
= Jumlah individu setiap spesies Luas seluruh petak
Kerapatan Relatif (KR)
= Kerapatan suatu spesies x 100 % Kerapatan seluruh spesies
Frekuensi (F)
= Jumlah petak dijumpai spesies Jumlah seluruh petak
Frekuensi Relatif (FR)
= Frekuensi suatu spesies x 100 % Frekuensi seluruh spesies
Dominansi (D) (m2/ha)
= Luas Bidang Dasar Luas Petak Contoh
Dominansi Relatif (DR)
= Dominansi suatu spesies x 100 % Dominansi seluruh spesies
INP untuk semai dan pancang = KR + FR INP untuk tiang dan pohon = KR + FR+ DR
6 2. Keanekaragaman spesies Keanekaragaman spesies diukur dengan menghitung persamaan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut (Pileou 1969 diacu dalam Krebs 1972): H’ = -Σ pi ln pi pi = ni N Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah INP suatu spesies N = Jumlah INP seluruh spesies 3. Tingkat kemerataan spesies Tingkat kemerataan ditunjukkan oleh indeks kemerataan spesies (Evenness). Indeks kemerataan ini menunjukkan penyebaran individu di dalam spesies. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988) indeks ini dapat dihitung dengan rumus: E = H’ ln S Keterangan: E = Indeks kemerataan spesies (Evenness) H’ = Indeks keanekaragaman Shannon S = Jumlah spesies
4. Pola sebaran trembesi Penyebaran spesies trembesi dalam suatu komunitas tumbuhan dapat diketahui dengan rumus penyebaran Morishita. Rumus ini digunakan untuk mengetahui pola penyebaran spesies tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform), mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Morishita menurut Morishita (1965) diacu dalam Krebs (1972) adalah sebagai berikut: Iδ = n
∑ 𝑥𝑖 2 −∑𝑥𝑖 (∑𝑥𝑖)2 −∑𝑥𝑖
Keterangan: Iδ = Derajat penyebaran Morisita n = Jumlah petak ukur ΣXi2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu spesies pada suatu komunitas ΣXi = Jumlah total individu suatu spesies pada suatu komunitas. Selanjutnya dilakukan uji Chi-square, dengan rumus:
7 a. Derajat keseragaman Mu = Keterangan: Xi20,975 ΣXi n
xi2 0,975−n+ ∑xi ∑xi−1
= Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 97,5% = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i = Jumlah petak ukur
b. Derajat pengelompokan Mc =
xi2 0,025−n+ ∑xi ∑xi−1
Keterangan: Xi20,025 = Nilai chi-squre dari tabel dengan db (n-1), selang kepercayaan 2,5% ΣXi = Jumlah individu dari suatu spesies pada petak ukur ke –i n = Jumlah petak ukur Standar derajat Morishita Standar derajat Morishita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai berikut: 1.
Bila Iδ≥Mc> 1.0, maka dihitung: Iδ−Mc Ip = 0,5 + 0,5 ( 𝑛−𝑀𝑐 )
2.
Bila Mc>Iδ ≥ 1.0, maka dihitung: Iδ−1 Ip = 0,5 (Mc−1)
3.
Bila 1,0> Iδ>Mu, maka dihitung: Iδ−1 Ip = -0,5 ( Mu−1 )
4.
Bila 1,0> Mu>Iδ, maka dihitung: Iδ−1 Ip = -0,5 + 0,5 ( Mu−1 )
Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran spesies tersebut adalah sebagai berikut: Ip = 0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran acak (random) Ip >0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped) Ip<0, Spesies tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform).
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di Resort Andongrejo, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) wilayah II Ambulu yang termasuk wilayah administratif Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Taman Nasional Meru Betiri memiliki luasan 58 000 ha berdasarkan keluarnya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997 seluas (BTNMB 2007). Kawasan taman nasional dikelola dengan menggunakan sistem zonasi. Pembagian zonasi berdasarkan pada Keputusan Direktur Jendral Perlindungan dan Konservasi Alam Nomor 185/Kpts/DJ-V/1999 tanggal 13 Desember 1999 terdiri dari zona inti seluas 27 915 ha, zona rimba seluas 22 622 ha, zona pemanfaatan intensif seluas 1 285 ha, zona rehabilitasi seluas 4 023 ha dan zona penyangga seluas 2 155 ha. Areal rehabilitasi merupakan areal yang semula didominasi oleh hutan jati yang dulunya ditanam Perhutani. Pada tahun 1982 areal ini dimasukkan kedalam kawasan taman nasional. Akibat penjarahan pada masa transisi pada tahun 19981999, areal ini ditetapkan sebagai zona rehabilitasi. Areal rehabilitasi ini memiliki persentase sebesar 7%, yaitu seluas 4023 ha dan terletak pada 2 wilayah administratif, yaitu Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Jember (Zuhud 2007). Fakultas Kehutanan IPB bersama dengan LATIN (Lembaga Alam Tropika Indonesia) menjalin kerjasama pada tahun 1994 di bidang penelitian dengan Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Timur II/TNMB dengan membuat demplot agroforestri tumbuhan obat di Resort Guci Betiri seluas 7 ha. Spesies tumbuhan obat pohon yang didomestikasi di areal demplot 7 ha terdiri dari kedawung (Parkia timoriana), pakem (Pangium edule), kemiri (Aleurites moluccana) dan trembesi (Samanea saman). Sedangkan spesies tumbuhan obat yang bukan pohon yang domestikasi adalah cabe jawa (Piper retrofractum), kemukus (Piper cubeba), pule pandak (Rauvolfia serpentina), beberapa spesies empon-empon dan termasuk beberapa jenis bambu. Bioekologi Trembesi Trembesi termasuk ke dalam famili Fabaceae, sub famili Mimosideae, jenis Samanea saman (Jacq.). Sinonim dari trembesi antara lain Albizia saman (Jacquin) F. Mueller, Entererolobium saman (Jacquin) Prain ex King, Inga salutaris Kuntuh., Inga saman (Jacquin) Willd, Mimosa saman Jacquin, Pithecellobium saman (Jacquin) Bentham. Dalam taksonomi tumbuhan, Staples dan Elevitch (2006) mengklasifikasikan trembesi sebagai berikut. Kingdom Subkingdom Super Divisi Divisi Kelas Sub Kelas
: Plantae (Tumbuhan) : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) : Spermatophyta (Tumbuhan menghasilkan biji) : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Magnoliopsida (Berkeping dua/dikotil) : Rosidae
9 Ordo Famili Genus Spesies
: Fabales : Fabaceae (alt. Mimosaceae) : Samanea : Samanea saman (Jacq.) Merr.
Umumnya memiliki tinggi maksimum 15–25 m. Pada kasus langka ditemukan hingga mencapai 50 meter. Trembesi membentuk kanopi berbentuk payung dengan penyebaran horisontal kanopi yang lebih besar dibandingkan tinggi pohon jika ditanam di tempat yang terbuka. Pada kondisi penanaman yang lebih rapat, tinggi pohon trembesi bisa mencapai 40 m dan diameter kanopi lebih kecil (Nuroniah dan Kosasih 2010). Pohon trembesi dapat berbunga sepanjang tahun. Bunga berbentuk umbel (12–25 per kelompok) berwarna merah muda dengan stamen panjang dalam dua warna (putih di bagian bawah dan kemerahan di bagian atas) yang memiliki serbuk. Ratusan kelompok bunga berkembang bersamaan memenuhi kanopi pohon sehingga pohon terlihat berwarna merah muda. Penyerbukan dilakukan oleh serangga, umumnya hanya satu bunga perkelompok yang dibuahi. Biji dalam polong terbentuk dalam 6–8 bulan dan setelah tua akan segera jatuh (Gambar 3). Polong berukuran 15–20 cm berisi 5–20 biji. Biji yang berwarna coklat kemerahan keluar dari polong saat polong terbuka. Biji memiliki cangkang yang keras namun dapat segera berkecambah begitu mencapai di tanah. Biji dapat dikoleksi dengan mudah dengan cara mengumpulkan polong yang jatuh dan mengeringkannya hingga terbuka (Nuroniah dan Kosasih 2010).
Gambar 3 Polong trembesi
Secara alami trembesi ditemukan di savana yang berasosiasi dengan rumput. Trembesi dapat beradaptasi meskipun berasal dari iklim monsoon seperti Amerika tropis. Sebagian besar tumbuh di bawah ketinggian 450 m dpl sedangkan di pulau-pulau Pasifik biasanya ditemukan di bawah 300 m dpl. Pohon ini
10 menyesuaikan dengan berbagai jenis tanah dan pH serta tidak terpengaruh oleh tekstur tanah yang ada (Staples dan Elevitch 2006). Pertumbuhan pohon trembesi optimum pada kondisi hujan terdistribusi merata sepanjang tahun. Trembesi dapat beradaptasi dalam kisaran tipe tanah dan pH yang tinggi. Tumbuh di berbagai jenis tanah dengan pH tanah 6.0–7.4 meskipun disebutkan toleran hingga pH 8.5 dan minimal pH 4.7. Jenis ini memerlukan drainasi yang baik namun masih toleran terhadap tanah tergenang air dalam waktu pendek (Nuroniah dan Kosasih 2010). Trembesi asli berasal dari Amerika Selatan (Kolombia, slope Karibia, dan drainase Oricono di Venezuala), serta di Amerika Tengah. Sekarang menyebar dari selatan Meksiko hingga Peru, Bolivia, dan Brazil. Biasanya tumbuh pada hutan kering dengan ketinggian rendah dan savana. Trembesi tersebar luas di daerah yang memiliki curah hujan rata-rata 600–3 000 mm/tahun pada ketinggian 0–300 m dpl. Trembesi dapat bertahan pada daerah yang memiliki bulan kering 24 bulan dan kisaran suhu 20oC–38oC. Komposisi dan Struktur Vegetasi Komposisi dan struktur vegetasi di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri ditunjukkan dengan keanekaragaman spesies pada berbagai tingkat pertumbuhan. Pada lokasi tersebut ditemukan tingkat pertumbuhan dari semai, tiang, hingga pohon sedangkan untuk tingkat pertumbuhan pancang tidak ditemukan. Berikut merupakan nilai INP pada tiap tingkat pertumbuhan. Komposisi spesies pada tingkat semai Berdasarkan hasil analisis vegetasi, komposisi spesies pada tingkat semai teridentifikasi sebanyak 2 spesies (Lampiran 1). INP digunakan untuk menentukan spesies yang mendominasi dari suatu komunitas vegetasi (Tabel 2). Tabel 2 Spesies tingkat semai yang ditemui di lokasi penelitian No Nama lokal Nama ilmiah KR (%) FR (%) INP (%) 1 Trembesi Samanea saman 80.00 80.00 160.00 2 Kemiri Aleurites moluccana 20.00 20.00 40.00 Total 100.00 100.00 200.00 Hanya ditemukan dua spesies semai yaitu trembesi dan kemiri (Tabel 2). Trembesi memiliki nilai paling tinggi yaitu sebesar 160.00 % yang berarti jenis tersebut mendominasi lokasi penelitian. Semai trembesi ditemukan sebanyak 8 individu sedangkan semai kemiri hanya ditemukan sebanyak 2 individu pada lokasi penelitian. Komposisi spesies pada tingkat tiang Komposisi spesies pada tingkat tiang memiliki jumlah spesies yang sama dengan tingkat semai yaitu sebanyak dua spesies (Lampiran 2). Hal tersebut dikarenakan pada lokasi penelitian merupakan lahan yang ditanamani sehingga tingkat pertumbuhan dari spesies-spesies seragam selama 22 tahun ini (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 INP tertinggi ditemui pada kedawung. Hal tersebut dikarenakan kedawung memang banyak ditanam pada lokasi penelitian. Dalam
11 pertumbuhan pada tingkat tiang, individu dari banyak spesies tumbuh namun pertumbuhan tersebut terbatas dan mati dalam satu periode satu tahun sampai beberapa tahun.
No 1 2
Tabel 3 Spesies tingkat tiang yang ditemui di lokasi penelitian Nama lokal Nama Ilmiah KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Kedawung Parkia 96.55 96.36 97.00 289.92 timoreniana Pulai Alstonia 3.45 3.64 3.00 10.08 scholaris Total 100.00 100.00 100.00 300.00
Jika individu tersebut hidup lama namun akan tumbuh dengan lambat dan perbandingan pertumbuhan tinggi dari tunas sampai dahan akan lebih kecil daripada pertumbuhan pohon yang lebih terkena intensitas sinar matahari (Franklin dan Spies 1991). Gangguan pada pertumbuhan pancang hingga tiang terjadi baik karena serangga, jamur atau penyakit, pembukaan jalan oleh masyarakat setempat, perburuan, persaingan nutrisi atau makanan antar individu dan intensitas sinar matahari yang kurang cukup sehingga pertumbuhan individu dari pancang sampai tiang jarang bahkan ada yang tumbuh secara cepat dan lambat dan menciptakan jarak yang lebar antara individu satu ke individu lainnya (Oliver dan Larson 1990). Komposisi spesies pada tingkat pohon Komposisi spesies pada tingkat pohon memiliki 6 spesies yang ditemukan (Lampiran 3). Pada pertumbuhan tingkat pohon merupakan tingkatan yang lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya seperti semai dan tiang. Hal ini dikarenakan pohon mempunyai struktur yang lebih kompleks dan menjadi tambahan habitat bagi bermacam-macam spesies. Pada tingkat pertumbuhan pohon memiliki keanekaragaman yang kurang jika dibandingkan pada tingkat semai (Fujimori 2001). Namun kondisi di lapang menunjukkan keanekaragaman pada tingkat semai memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan pada tingkat pohon. Mengingat pada lokasi penelitian merupakan area rehabilitasi yang ditanam sehingga spesies-spesies yang ditanam telah ditentukan. Komposisi spesies pada tingkat pohon teridentifikasi sebanyak 6 spesies (Tabel 4).
1
Tabel 4 Spesies tingkat pohon yang ditemui di lokasi penelitian Nama lokal Nama ilmiah KR FR DR INP (%) (%) (%) (%) Kedawung Parkia timoriana 74.12 55.21 38.52 167.85
2 3
Trembesi Kemiri
4
Pakem
5 6
Pulai Petai
No
Samanea saman Aleurites moluccana Pangium edule Alstonia scholaris Parkia speciosa Total
19.22 3.92
31.25 6.25
52.38 7.16
102.85 17.33
1.57
4.17
1.51
7.24
0.39 2.08 0.14 0.78 1.04 0.29 100.00 100.00 100.00
2.62 2.12 300.00
12 Berdasarkan Tabel 4 menyatakan bahwa spesies Parkia timoriana atau yang biasa disebut kedawung memiliki nilai INP tertinggi yaitu sebesar 167.85 % sedangkan spesies trembesi (Samanea saman) memiliki nilai INP sebesar 102.85 %. Hal tersebut dikarenakan spesies kedawung memang banyak ditanam pada lokasi penelitian. Untuk spesies Parkia speciosa atau biasa disebut petai memiliki nilai INP terendah yaitu sebesar 2.12 %. Hal tersebut dikarenakan oleh masyarakat petai hanya dijadikan sebagai tanaman penyela dan tidak ditanam pada saat awal kegiatan penananaman di zona rehabilitasi. Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya serta dapat pula digunakan untuk melihat spesies-spesies pohon dominan dan spesies-spesies pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran) (Mulyasana 2008). Pada penelitian ini dilihat tajuk yang mempengaruhi keberadaan suatu spesies. Berikut merupakan diagram profil yang berada di lokasi penelitian (Gambar 4).
Keterangan. 1, 2, 5, 7. Kedawung; 3 Kemiri; 4,6 Pulai; 8 Trembesi
Gambar 4 Diagram profil tajuk pada lokasi penelitian Pada Gambar 4 menunjukkan diagram profil tajuk pada lokasi penelitian. Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa trembesi memiliki tajuk yang begitu lebar sehingga mempengaruhi tajuk dari spesies di sekitarnya seperti kedawung dan pulai. Selain trembesi spesies lain yang mempunyai tajuk yang cukup lebar yaitu
13 kemiri. Spesies ini terlihat menutupi tajuk spesies di sekitarnya seperti kedawung dan pulai. Tingkat Keanekaragaman dan Kemerataan Spesies Tumbuhan Indeks keanekaragaman spesies merupakan suatu nilai yang menunjukkan besar ataupun kecilnya jumlah spesies yang terdapat dalam suatu area, penyebaran berbagai macam spesies dan lingkungan yang mendukung sebagai tempat tumbuh spesies tersebut. Berdasarkan Tabel 5 mengenai keanekaragaman spesies diketahui bahwa pada tingkat semai memiliki nilai H’ sebesar 0.58 sedangkan pada tingkat tiang dan pohon berturut-turut yaitu sebesar 0.15 dan 1.02. Dari data tersebut tidak ditemui nilai yang melebihi dari 3 yang berarti tidak tergolong ke dalam keanekaragaman tinggi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Shannon–Wiener (1963) diacu dalam Fachrul (2008) apabila derajat keanekaragaman (H’) dalam suatu komunitas < 1, maka keanekaragamanya rendah, 1 ≤ H’ ≥ 3 keanekaragamannya sedang, dan H’ > 3 maka keanekaragamannya tinggi. Nilai keanekaragaman pada tingkat semai dan tiang dapat dikatakan rendah karena spesies yang ditemukan hanya beberapa saja. Hal tersebut dikarenakan pada lokasi penelitian hanya ditanami beberapa spesies saja. Nilai indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut. Tabel 5 Indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan spesies Nilai indeks Nilai indeks No Tingkat pertumbuhan keanekaragaman kemerataan (H') (E) 0.58 0.84 1 Semai 0.15 0.21 2 Tiang 1.02 0.57 3 Pohon Kemerataan spesies menunjukkan kelimpahan suatu spesies terdistribusi diantara spesies-spesies lainnya. Tabel 5 menyajikan nilai indeks kemerataan spesies (E) pada berbagai tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian. Berdasarkan Tabel 5 menunjukkan pada tingkat semai memiliki nilai indeks kemerataan jenis paling tinggi (E > 0,6) yaitu sebesar 0.84 dibandingkan pada tingkat tiang dan pohon sebesar 0.21 dan 0.57. Pada tingkat semai memiliki nilai kemerataan paling tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan lainnya. Semai dan tumbuhan bawah merupakan spesies yang toleran sehingga dapat cepat tumbuh dan mendominasi pada awal pertumbuhan namun hal tersebut tidak berlangsung lama sehingga lambat laun pertumbuhannya akan melambat. Selama pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah akan dieliminasi karena ketidaksesuaian lingkungan, persaingan dari vegetasi lainnya, dan pemangsaan oleh hewan (Oliver dan Larson 1990). Kondisi Populasi Trembesi Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilaksanakan di lokasi penelitian ditemukan bahwa kondisi populasi trembesi di lokasi penelitian terdapat dua tingkat pertumbuhan yaitu semai dan pohon (Gambar 5). Semai berjumlah 8
14 individu sedangkan pohon berjumlah 49 individu. Pada tingkat pancang dan tiang justru tidak ditemukan pada spesies trembesi. Hal tersebut mungkin dapat dikarenakan gangguan pada pertumbuhan pancang hingga tiang terjadi baik karena serangga, jamur atau penyakit, pembukaan jalan oleh masyarakat setempat, perburuan, persaingan nutrisi atau makanan antar individu dan intensitas sinar matahari yang kurang cukup sehingga pertumbuhan individu dari pancang sampai tiang jarang bahkan ada yang tumbuh secara cepat dan lambat dan menciptakan jarak yang lebar antara individu satu ke individu lainnya. Pada umumnya, masa pertumbuhan tingkat tiang terdapat keberadaan hewan atau satwa liar lebih banyak daripada pertumbuhan pada tingkat pancang (Oliver dan Larson 1990).
(a)
(b)
Gambar 5 Pertumbuhan trembesi (a) semai; (b) pohon Dari Gambar 5 terlihat bahwa pada kelas diameter 60–69 cm memiliki individu paling banyak yaitu sebesar 16 individu. Tingkat pertumbuhan untuk pancang dan tiang tidak dijumpai di lokasi penelitian karena trembesi telah mencapai tingkat pertumbuhan pohon secara bersamaan meskipun dengan kelas diameter yang beragam. Tingkat pertumbuhan pohon tropis biasanya diperkirakan oleh pengulangan pengukuran dimensi yang paling sering yaitu batang ketebalan atau diameter (Turner 2001). Berdasarkan hasil analisis vegetasi di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri diketahui struktur vegetasi berdasarkan sebaran kelas diameter dibagi menjadi enam kelas diameter yaitu 30–39 cm, 40–49 cm, 50–59 cm, 60–69 cm, 70–79 cm dan ≥80 cm (Gambar 6).
15
Jumlah individu/ha
20 15 10 5 0 30-39
40-49
50-59
60-69
70-79
≥80
Kelas diameter (cm)
. Gambar 6 Struktur vegetasi berdasarkan kelas diameter Kelas diameter pohon yang lebih banyak terletak pada interval 60–69 cm. Sebaran kelas diameter dapat digunakan untuk menunjukkan populasi pada pohon yang memiliki diameter lebih kecil dapat menggantikan atau tumbuh menjadi kelas diameter pohon yang besar dan untuk membantu mengevaluasi potensi hutan secara berkelanjutan (Sheykholeslami et al. 2011). Dalam suksesi hutan selalu terjadi perubahan dari waktu ke waktu, perubahan struktur tegakan kemungkinan dapat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan pohon dalam memanfaatkan energi matahari, unsur hara/mineral dan air serta sifat kompetisi (Heriyanto dan Subiandono 2012). Oleh sebab itu susunan pohon dalam suatu tegakan hutan akan membentuk sebaran kelas diameter yang bervariasi (Ewusie 1980). Struktur tegakan yang menunjukkan jumlah pohon berdiameter besar semakin berkurang sehingga membentuk kurva "J" terbalik dapat dikatakan bahwa hutan dalam kondisi yang berkembang dan masih normal (Heriyanto dan Subiandono 2012). Namun kondisi di lapang tidak menunjukkan hal tersebut. Sebaran kelas diameter trembesi berfluktuasi. Secara umum kondisi di lapang memperlihatkan trembesi memiliki diameter yang cukup besar dan tajuk yang begitu rapat sehingga terlihat menekan spesies yang berada di sekitarnya. Pola Sebaran Trembesi Nilai indeks Morishita menunjukan pola penyebaran spesies tumbuhan dalam suatu komunitas. Menurut Morishita (1965) diacu dalam Krebs (1972), apabila nilai indeks Morishita > 0, maka pola penyebaran spesies tersebut adalah mengelompok (clumped). Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai Ip didapat sebesar -0.1609 yang berarti Ip < 0, spesies trembesi di lokasi penelitian memiliki penyebaran merata (uniform). Selain dengan menggunakan Indeks Morishita untuk mengethaui pola sebaran trembesi dilakukan juga penitikan individu trembesi untuk tingkat pohon. Penitikan dilakukan dengan GPS untuk mengetahui sebaran spasial trembesi. Hal tersebut dilakukan dengan eksplorasi di lokasi penelitian (Gambar 7).
16
Gambar 7 Peta sebaran spasial trembesi Pola sebaran mengelompok merupakan pola sebaran yang umum terjadi di alam. Lebih lanjut Odum (1993) diacu dalam Indriyanto (2006) mengemukakan bahwa pola sebaran mengelompok dari suatu spesies dapat terjadi akibat: 1) adanya perubahan cuaca, 2) perbedaan kondisi habitat setempat, 3) sebagai akibat dari proses reproduksi dan 4) sebagai akibat daya tarik sosial. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di lokasi penelitian. Pada lokasi penelitian pola sebaran trembesi merata (uniform). Hal tersebut dikarenakan trembesi ditanam secara sengaja oleh pihak Taman Nasional Meru Betiri yang bekerja sama dengan LSM KAIL pada tahun 1994 di zona rehabilitasi. Terdapat beberapa jenis tanaman yang ditanam diantaranya adalah kedawung, kemiri, pakem, pulai, dan petai. Potensi Invasif Trembesi Trembesi merupakan salah satu spesies yang ditanam pada zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri. Spesies eksotik ini termasuk dalam famili Fabaceae yang berasal dari Amerika Selatan. Tumbuhan ini diintroduksi di Taman Nasional Meru Betiri pada tahun 1994 karena ada program dari Fakultas Kehutanan IPB dengan LSM KAIL dan LATIN. Tidak hanya trembesi yang ditanam melainkan terdapat beberapa spesies tanaman yang ditanam di lahan seluas 7 ha. Diantaranya yaitu kedawung, kemiri, pakem, dan pulai. Selain spesies pohon yang ditanam terdapat spesies tumbuhan obat yang ditanam diantaranya adalah cabe jawa (Piper retrofractum), kemukus (Piper cubeba), pule pandak (Rauvolfia serpentina) dan beberapa spesies empon-empon lainnya sehingga masyarakat dapat mengambil manfaat dari zona rehabilitasi tersebut. Menurut Staples dan Elevitch (2006) keberadaan trembesi di Fuji dan Vanuatu dianggap invasif. Penyebaran biji dilakukan oleh ternak dan berlangsung secara cepat dan spontan. Keberadaan trembesi sebagai tumbuhan eksotik di Indonesia oleh beberapa pakar sangat dikhawatirkan keberadaannya. Hal ini dikarenakan trembesi menguras air tanah (Dachlan 2011). Selain itu juga diduga akan berpotensi invasif.
17 Potensi invasif trembesi di zona rehabilitasi TNMB dapat dilihat dari beberapa kondisi di lapang. Dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis vegetasi lalu diolah untuk mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP). Dari nilai INP tersebut terdapat nilai untuk Kerapatan (K), Frekuensi (F), dan Dominansi (D) untuk tingkat pertumbuhan tiang dan pohon. Untuk mengkaji potensi invasif trembesi di lokasi dilihat dari nilai Dominansi (D) dikarenakan nilai Kerapatan (K) dan Frekuensi (F) tidak berlaku untuk tumbuhan yang ditanam. Mengingat keberadaan trembesi di lokasi merupakan program rehabilitasi. Dominansi merupakan proporsi antara luas tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area) (Indriyanto 2006). Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan didapat nilai Dominansi untuk trembesi adalah sebesar 85.97 m2/ha sedangkan nilai Dominansi Relatifnya diperoleh sebesar 52.38 % (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan trembesi memiliki nilai luas penutupan yang cukup besar atau hampir setengahnya dari nilai total spesies lainnya. Hal ini mengakibatkan luas penutupan tajuk dari trembesi cukup tinggi untuk menutupi tajuk spesies pohon lain di sekitarnya. Selain itu terdapat hubungan antara diameter batang pohon dengan naungan. Semakin besar diameter batang suatu pohon maka semakin besar pula tajuk suatu pohon tersebut. Kondisi naungan sangat memengaruhi masuknya cahaya matahari ke dalam tegakan. Berikut merupakan gambar dari penutupan tajuk trembesi dan kedawung di lokasi (Gambar 8).
(a) (b) Gambar 8 Tajuk pohon: (a) kedawung; (b) trembesi Aspek kedua dapat dilihat dari tumbuhan bawah yang berada di bawah spesies pohon. Berdasarkan pengamatan visual (Gambar 9) tumbuhan bawah di sekitar trembesi terlihat hanya terdapat beberapa spesies saja sedangkan tumbuhan bawah di sekitar spesies lain selain trembesi misalkan kedawung terlihat lebih
18 banyak. Menurut Pananjung (2013) komposisi tumbuhan bawah pada tegakan trembesi lebih sedikit dibandingkan pada tegakan sengon buto. Hal ini disebabkan naungan pada sengon buto lebih terbuka sehingga cahaya yang masuk ke lantai tegakan lebih banyak dibandingkan dengan tegakan trembesi. Sinar matahari yang berlimpah akan memicu pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan bawah yang bersifat senang cahaya (intoleran). Filter dan Hay (1998) diacu dalam Setyawan et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu kondisi lingkungan yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tumbuhan di bawah tegakan antara lain cahaya matahari atau naungan. Kondisi naungan mempengaruhi jumlah spesies tumbuhan bawah di bawah tegakan.
(a)
(b)
Gambar 9 Kondisi tumbuhan bawah di bawah tegakan (a) trembesi; (b) kedawung Kedawung yang menjadi salah satu spesies utama yang ditanam di lokasi terlihat tertekan dengan keberadaan trembesi. Berdasarkan kondisi di lapang ratarata tinggi total (TT) kedawung adalah sekitar 12 m sedangkan tinggi bebas cabang (TBC) sekitar 8 m. Menurut Rinekso (2000) tinggi pohon kedawung yang tumbuh alami di Taman Nasional Meru Betiri bagian barat untuk TT (Tinggi Total) berada pada rentang 18 – 43 m sedangkan untuk Tbc (Tinggi bebas cabang) berada pada rentang 5 – 28 m. Hal ini terdapat selisih yang cukup jauh dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rinekso (2000). Daya invasif suatu spesies dipengaruhi banyak faktor seperti luasnya distribusi alamiah dari spesies tumbuhan invasif, karakter kegulmaan (daya invasif) dan lamanya periode sejak introduksi. Invasi yang berhasil tidak tergantung hanya pada karakter tumbuhan terkait tetapi juga pada karakter dan dinamika. Selain itu sejarah lokasi yang diinvasi oleh tumbuhan invasif tersebut juga mempengaruhi.
19 Berikut merupakan karakter tumbuhan yang mungkin menjadi invasif (Tjitrosoedirdjo 2015). Pertama yaitu tumbuh cepat. Pertumbuhan cepat memungkinkan tumbuhan invasif mengambil keuntungan dari celah (gap) dalam lansekap yang tidak dihuni. Kedua yaitu menjadi dewasa lebih awal. Kondisi ini memungkinkan tumbuhan itu memproduksi biji dan dengan demikian menginvasi daerah ketika umur muda, berarti tumbuhan itu berbunga setelah hanya periode yang singkat di lapang. Lalu selanjutnya yaitu tumbuhan invasif memproduksi buah/biji dalam jumlah yang besar baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang berarti mereka mempunyai sejumlah besar turunan yang dapat mapan pada lokasi yang tidak terkolonisasi. Keempat yaitu metode penyebaran biji yang efektif. Metode penyebaran biji yang efektif membantu tumbuhan invasif menyebar ke daerah yang luas. Kelima yaitu tidak memerlukan polinator sebab mereka menyebar secara vegetatif, tumbuhan demikian ini bertunas atau membuat rhizoma untuk menghasilkan tumbuhan baru. Keenam yaitu tumbuhan invasif sering mampu memanfaatkan polinator lokal sehingga mereka dapat memproduksi biji di lingkungan asing. Ketujuh yaitu tumbuhan invasif sering membentuk daun lebih awal, tetap hijau lebih lama, atau berbunga pada lebih awal daripada tumbuhan lokal artinya mereka dapat menaungi tumbuhan lokal atau mengambil keuntungan polinator yang tanpa sumber makanan pada awal tahun. Kedelapan yaitu dapat menimbulkan populasi padat. Massa akar yang padat memungkinkan tumbuhan invasif menjadi dominan dengan mencegah tumbuhan lain membangun akar. Kesembilan yaitu tumbuhan invasif sering mengekskresikan zat alelopati, yaitu produksi senyawa kimia yang dapat menghambat pertumbuhan tumbuhan lain. Serta yang terakhir yaitu tumbuhan bebas hama. Tumbuhan bebas hama menguntungkan petani atau pekebun, karena mereka tidak perlu pestisida dan mempunyai peluang lebih bagus untuk survive. Tumbuhan invasif sering bebas musuh alami, sebab mereka berhasil migrasi ke lingkungan baru tanpa musuh alami dari ekosistem asalnya. Untuk sebagian besar tumbuhan, lingkungan baru memberikan kendala yang belum mereka adaptasikan sehingga mereka tidak mampu ternaturalisasi atau menyebar keluar dari kultivasi. Tetapi tumbuhan invasif mengatasi masalah ini dan sebetulnya beradaptasi lebih baik kepada lingkungannya yang baru karena tidak mempunyai musuh alami yang mengendalikan populasi mereka. Dari kesepuluh karakter tersebut trembesi memiliki dua karakter yang terpenuhi. Pertama yaitu tumbuh cepat. Menurut Dachlan (2011) trembesi merupakan jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing species) yang tumbuh sangat baik pada tanah dengan drainase yang baik. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa spesies trembesi memiliki diameter yang lebih besar dibandingkan spesies lainnya. Rata-rata diameter trembesi adalah sekitar 64 cm sedangkan rata-rata diameter spesies lainnya misalkan kedawung sekitar 27 cm. Padahal spesies-spesies tersebut ditanam secara bersamaan. Namun pertumbuhan trembesi jauh lebih cepat dibandingkan lainnya. Kedua yaitu tumbuhan invasif juga memproduksi buah/biji dalam jumlah yang besar baik segi kuantitas maupun kualitas yang berarti mereka mempunyai sejumlah besar turunan yang dapat mapan pada lokasi yang tidak terkolonisasi Menurut Nuroniah dan Kosasih (2010) pohon trembesi dapat berbunga sepanjang tahun. Ratusan kelompok bunga berkembang bersamaan memenuhi kanopi pohon. Penyerbukan dilakukan oleh serangga, umumnya hanya satu bunga perkelompok
20 yang dibuahi. Biji dalam polong terbentuk dalam 6 – 8 bulan dan setelah tua akan segera jatuh. Polong berukuran 15 – 20 cm berisi 5 – 20 biji. Biji yang berwarna coklat kemerahan, keluar dari polong saat polong terbuka. Biji memiliki cangkang yang keras namun dapat segera berkecambah begitu sampai di tanah. Biji dapat dikoleksi dengan mudah dengan cara mengumpulkan polong yang jatuh dan mengeringkannya hingga terbuka. Kondisi di lapang memperlihatkan terdapat polong di bawah tegakan trembesi namun polong tersebut tidak dalam keadaan terbuka. Penyebaran tumbuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor: angin, air, gravitasi, manusia, dan satwa. Kedawung merupakan spesies yang juga ditanam di lokasi dan memiliki famili yang sama dengan trembesi yaitu Fabaceae. Di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), selain manusia pelaku lain yang bertindak sebagai penyebar biji kedawung secara alami di hutan belum diketahui pasti. Menurut Zuhud (2007) kedawung memiliki pola penyebaran yang berhubungan dengan ketinggian tempat, kemiringan lereng, jarak dengan sungai dan jarak dengan pemukiman penduduk. Ditinjau dari ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut, umumnya kedawung ditemukan tumbuh melimpah di ketinggian 0 – 500 m dpl. Kelimpahan kedawung berdasarkan penyebaran tempat tumbuh pada kelas kemiringan lahan tertinggi pada kelas kemiringan 41 – 60 %. Tempat tumbuh kedawung mulai dari kemiringan datar sampai sangat miring. Hal ini sangat tergantung kepada penyebaran biji ke lokasi lantai hutan yang banyak terkena sinar matahari langsung. Semakin jauh dari sungai semakin jarang kedawung dijumpai. Fenomena ini menunjukkan bahwa selain manusia penyebaran biji kedawung juga terjadi oleh tenaga air, terutama aliran air hujan dan aliran air sungai di TNMB. Kedawung merupakan spesies intoleran yang membutuhkan banyak sinar matahari langsung untuk dapat hidup dan tumbuh menjadi pohon yang dewasa. Penyebaran biji pada trembesi belum banyak dilakukan penelitian di Indonesia. Oleh sebab itu penyebaran biji pada kedawung mungkin dapat dijadikan sebagai pembanding dikarenakan trembesi dan kedawung berasal dari famili yang sama dan mempunyai polong yang di dalamnya terdapat biji yang akan berkecambah. Karena penyebaran biji menjadi salah satu karakter dari tumbuhan yang berpotensi menjadi invasif. Metode penyebaran biji yang efektif membantu tumbuhan invasif menyebar ke daerah yang luas. Faktor yang menjadi pemicu adanya translokasi spesies tumbuhan asing invasif yang disengaja yaitu adanya kebutuhan masyarakat pada sektor pertanian, ekonomi, kehutanan dan agroforestry, kebun raya, holtikultura (termasuk perdagangan komersil biji, umbi dan gaya stek tanaman hias perkotaan dan stabilisasi tanah (Pyšek dan Richardson 2013). Seperti halnya yang terjadi di lokasi adanya trembesi karena spesies tersebut diintroduksi dari luar kawasan untuk program rehabilitasi sedangkan faktor penyebaran tidak disengaja yaitu penyebaran oleh satwa liar, turis, angin, transportasi dan peternakan. Satwa liar yang banyak menyebarkan spesies tumbuhan asing invasif seperti biji dan buah yaitu burung dan mamalia seperti bajing, lutung, tupai, kelelawar dan mamalia lainnya. Spesies tumbuhan asing invasif sangat cepat tumbuh pada habitat atau area yang terganggu dan cepat menempati habitat atau area baru yang bersebelahan dengan habitat asli tumbuhan asing invasif. Tumbuhan asing invasif dilaporkan telah mendapat permasalahan di kawasan konservasi di Indonesia misalnya Acacia nilotica di Taman Nasional
21 Baluran. Tumbuhan ini diintroduksi ke Taman Nasional Baluran pada tahun 1969 yang semula dimaksudkan untuk sekat bakar. Spesies ini berasal dari famili yang sama dengan trembesi yaitu Fabaceae dan merupakan spesies yang memiliki pertumbuhan yang cepat. Keberadaan Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran dipengaruhi besar oleh penyebaran biji. Satwa-satwa seperti banteng (Bos javanicus), kerbau liar (Bubalus bubalis), rusa (Cervus timorensis), kijang (Muntiacus muntjak), dan babi hutan (Serpus sp.) merupakan satwa yang memakan biji Acacia nilotica. Satwa tersebut akan membuang kotorannya di tempat lain dan akan menyebarkan biji Acacia nilotica ke tempat lain. Selain itu pada musim hujan biji Acacia nilotica yang bercampur dengan lumpur akan menempel pada kaki dan tubuh satwa kemudian jatuh di tempat lain (Mutaqin 2002 diacu dalam Wijanarko 2002). Pada lokasi yang merupakan lahan rehabilitasi 7 ha tidak ditemui satwasatwa yang berpotensi menyebarkan biji trembesi sehingga penyebaran trembesi di lokasi penelitian tidak terlalu berdampak kepada ekosistem asli. Sepuluh karakter di atas dilaporkan dari banyak spesies tumbuhan invasif dari berbagai lingkungan. Akan tetapi untuk memprediksi suatu tumbuhan akan menjadi invasif menggunakan karakter tersebut tidak cukup karena karakter itu dipengaruhi juga oleh lingkungan. Potensi invasif trembesi di zona rehabilitasi di Taman Nasional Meru Betiri belum menjadi ancaman dikarenakan tingkat regenerasinya yang masih rendah dan persebaran biji trembesi tidak terlalu nampak terjadi. Berdasarkan data di lapangan semai trembesi yang ditemukan terhitung 333 ind/ha. Pengendalian Spesies Invasif Potensi invasif trembesi di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri belum menjadi ancaman bagi ekosistem alami di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri. Hal tersebut terlihat dari dominansi, keberadaan tumbuhan bawah, pohon lain di sekitar trembesi. Oleh karena itu hal yang perlu dilakukan adalah pemantauan terhadap keberadaan trembesi di lokasi ini. Namun jika di masa yang akan datang keberadaan trembesi memiliki potensi invasif yang cukup tinggi dan akan mengganggu ekositem alami maka upaya pengendalian terhadap spesies asing invasif harus dilakukan. Menurut Wijanarko (2000) spesies asing invasif adalah spesies-spesies flora ataupun fauna termasuk mikroorganisme yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak mempunyai musuh alami sehingga menjadi gulma, hama dan penyakit pada jenis-jenis asli. Terdapat tiga pendekatan utama yang mungkin dilakukan. Umumnya lebih dari satu pendekatan akan diperlukan untuk diaplikasikan. Pengendalian spesies asing invasif dapat dilakukan dengan eradikasi. Eradikasi adalah pemusnahan total suatu populasi IAS (Invasive Alien Species) target di suatu kawasan dalam waktu tertentu. Karakter yang mendefinisikan eradikasi diantaranya yaitu eradikasi hanya akan dicapai ketika individu terakhir sudah dimusnahkan, melibatkan biaya yang tinggi, dan ketika eradikasi nampak, biasanya menjadi pilihan pengelolaan yang disukai. Dalam hubungannya dengan akts pencegahan yang sedang berlaku. Syarat untuk melakukan eradikasi terdapat beberapa kondisi yang harus dipenuhi agar berhasil. Kondisi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama yaitu setiap individu dari IAS target harus ditempatkan
22 sebagai resiko. Kedua adalah IAS harus dimusnahkan lebih cepat daripada kemampuannya berbiak. Ketiga resiko untuk re-invasi harus dipastikan secara efektif nol (Tjitrosoedirjo 2015). Terdapat beberapa metode dalam eradikasi diantaranya secara mekanis, kimiawi dan biologi atau hayati. Metode mekanis kadang-kadang tidak dibedakan dengan metode manual dan mekanis. Terdapat keuntungan dan kerugian dalam menggunakan metode ini. Keuntungan dari metode ini yaitu bisa lebih spesifik dari metode lain, resiko rendah, paling sesuai untuk individu IAS, memerlukan banyak tenaga kerja sehingga menciptakan lapangan pekerjaan. Sedangkan kerugian dari metode ini yaitu memerlukan banyak tenaga kerja sehingga biaya yang dikeluarkan relatif mahal dan mungkin metode ini tidak praktis ketika invasi telah mencakup area yang sangat luas. Metode kimiawi menggunakan pemakaian pestisida seperti insektisida, herbisisa, fungisida, nematisida, rodentisida maupun umpan racun. Metode ini menjadi kunci keberhasilan eradikasi di berbagai negara. Keuntungan dari metode ini yaitu memerlukan sedikit tenaga kerja sehingga biaya yang dikeluarkan relatif sedikit. Lalu areal yang luas terinvasi dapat diselesaikan dengan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah pemakaian bahan kimia beracun akan meracuni spesies non target serta mengkontaminasi sumber air. Selain itu spesies target akan menjadi resisten. Metode terakhir yaitu metode secara biologi atau hayati. Pada metode ini dapat digunakan untuk melawan semua tipe IAS, meliputi vertebrata, pathogen tumbuhan, tumbuhan invasif, atau invetebrata. Keuntungan metode secara biologi diantaranya resiko terhadap lingkungan lebih sedikit. Sedangkan kerugiannya yaitu memerlukan lebih banyak perencanaan dan lebih banyak pengelolaan awal yang intensif, beresiko bahwa agen hayati sendiri bisa menjadi invasif dan dampak pada IAS memakan waktu lama. Dengan sifat alamiahnya metode ini tidak sesuai untuk mencapai eradikasi total ketika diaplikasikan sendirian. Sebagai contoh di Taman Nasional Baluran telah dilakukan upaya penanggulangan terhadap Acacia nilotica. Upaya-upaya pemberantasan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain pemberantasan secara fisik/mekanis, biologi, dan kimiawi. Pemberantasan secara fisik dapat dilakukan dengan cara menebang/memotong batang pada pangkal akar pada kedalaman 10-20 cm di bawah permukaan tanah karena pada pangkal akar tumbuhan Acacia nilotica mempunyai tunas-tunas yang berada dalam keadaan dorman dan akan segera tumbuh apabila keadaan memungkinkan (Water 1971 diacu dalam Wijanarko 2002). Untuk pemberantasan Acacia nilotica secara biologi telah dilakukan di Australia yaitu dengan memasukkan jenis serangga tertentu akan tetapi untuk kondisi di Taman Nasional Baluran hal tersebut tidak memungkinkan karena akan mengganggu keaslian jenis dan keutuhan ekosistem yang ada. Sedangkan pemberantasan secara kimiawi telah dilakukan pada tahun 1985 dengan menggunakan bahan kimia jenis herbisida sistemik yang bersifat hormon (indamin 720 HC dan 2,4–D Dinitropenol) yang dimasukkan ke dalam lubang (dibor) pohon setinggi dada dengan kemiringan 45o (Santoso 1986 diacu dalam Wijanarko 2002) selain itu juga dilakukan uji coba penebangan batang/pohon sebatas permukaan tanah kemudian tonggaknya dilaburi solar/minyak tanah, luas areal yang digunakan dalam percobaan tersebut mencapai 25 ha.
23 Upaya yang telah dilakukan yaitu penggunaan metode pemberantasan secara mekanis berdampak negatif terhadap struktur tanah dan terjadi erosi. Hal ini juga merangsang pertumbuhan biji yang dorman dan munculnya berbagai jenis gulma yang akan menghambat pertumbuhan rumput. Sedangkan metode yang paling dianggap paling efektif dan efisien adalah metode tradisional dengan cara tebang bakar. Metode ini dapat merangsang dan mempercepat penutupan tanah dengan berbagai jenis rumput (Mutaqin 2002 diacu dalam Wijanarko 2002). Beberapa metode yang ada memiliki keuntungan dan kerugian. Dalam teknik eradikasi memiliki peluang besar ketika seperangkat metode dipakai dan tidak hanya menggantungkan pada satu metode saja karena hal tersebut akan menimbulkan resiko kegagalan. Selain itu metode apapun yang dilakukan hal terpenting yaitu pemantauan sehingga setiap teknik yang dipakai dapat dinilai ketika eradikasi berlangsung. Pola sebaran seragam yang dimiliki spesies trembesi yang ditemukan pada lokasi penelitian ini dapat memudahkan dalam upaya pengendaliannya. Trembesi yang ditemukan di lokasi penelitian belum berpengaruh terhadap potensi invasif sehingga langkah yang perlu dilakukan yaitu dilakukan pemantauan. Dapat dilihat juga tingkat regenerasi trembesi setiap periodenya.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
Komposisi dan struktur vegetasi di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri sebanyak 2 spesies untuk tingkat semai, 2 spesies untuk tingkat tiang, serta 6 spesies untuk tingkat pohon Potensi invasif trembesi di zona rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri belum nampak terjadi dikarenakan tingkat regenerasinya relatif rendah diperlihatkan dari kerapatan semai trembesi yang hanya 333 ind/ha dan kerapatan pohon trembesi sebesar 20 ind/ha. Saran
Pengelola Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) perlu melakukan kegiatan pemantauan rutin terhadap populasi trembesi yang ada di Resort Andongrejo khususnya zona rehabilitasi. Data hasil pemantauan tumbuhan tersebut dibuat menjadi data series yang dapat digunakan sebagai acuan pengambilan keputusan dalam pengelolaan tumbuhan invasif.
DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 1987. Tanaman eksotik (Acacia nilotica) dan masalahnya bagi ekosistem savana di Taman Nasional Baluran. Duta Rimba 7980/XIII/1987.
24 [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 1999. Laporan kegiatan studi konsolidasi data sekunder sosial ekonomi budaya dan biologi kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Jember: BTNMB. [BTNMB] Balai Taman Nasional Meru Betiri. 2007. Data Statistik Taman Nasional Meru Betiri. Jember: BTNMB. Dachlan EN. 2011. Trembesi sebagai tumbuhan invasif. [terhubung berkala] endesdahlan.staff.ipb.ac.id/.../Trembesi-Dahulunya-Asing-Namun-Sekar (2 April 2016) Ewusie JY. 1980. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung (ID): ITB-Press. Fachrul MF. 2008. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara. Franklin JF. Spies TA. 1991. Composition, function, and structureof old-growth Douglas-fir forests. Wildlife and vegetation ofunmanaged Douglas-firforests. USDA Forest Service General. Technical Report. PNW-GTR-285.71-80. Fujimori T. 2001. Ecological and Silvicultural Strategiesfor Sustainable Forest Management. Elsevier Science B.V. All rights reserved. Japan (JP) Heriyanto NM, Subiandono E. 2012. Komposisi dan Struktur Tegakan, Biomassa dan Potensi Kandungan Karbon Hutan Mangrove di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 (1): 023-032. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Krebs CJ. 1972. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper & Row Publishing. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and computing. New York: John Wiley & Sons, Inc. Mulyasana D. 2008. Kajian Keanekaragaman Jenis Pohon Pada Berbagai Ketinggian Tempat di Taman Nasional Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nuroniah, H. S dan A.S. Kosasih. 2010. Mengenal Jenis Trembesi (Samanea saman (Jacquin). Merrill) sebagai Pohon Peneduh. Jurnal Mitra Hutan Tanaman. 5(1): 1—5. Oliver CD, Larson B. 1990. Forest Stand Dynamics. McGraw-Hill, Inc. NewYork (US). 467pp. Pananjung WG. 2013. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Pada Tegakan Sengon (Enterolobium cyclocarpum Griseb.) Dan Trembesi (Samanea saman Merr.) Di Lahan Pasca Tambang Batubara PT Kitadin, Embalut, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Primack RB. 1998. Monitoring rare plants. Plant Talk. 15: 29-35. Pyšek P, Richardson DM. 2013. Plant Invasions. Volume 4, pp 677–688, r 2001 Oxford: Elsevier Inc. Rinekso AJ. 2000. Model penduga produksi biji kedawung (Parkia roxburghii G. Don) di Taman Nasional Meru Betiri [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Setyawan AD, S Setyaningsih, Sugiyarto 2006. Pengaruh jenis dan kombinasi tanaman sela terhadap diversitas dan biomassa gulma di bawah tegakan sengon (Paraserienthes falcataria L. Nielsen) Resort Pemangkuan Hutan Jatirejo Kediri. Biosmart. Vol. 8:1. April 2006 Hlm 27-32 Sheykholeslami A, Pasha KKh, Lashaki AK. 2011. A Study of Tree Distribution
25 in Diameter Classes in Natural Forestsof Iran (Case Study: Liresara Forest). Forestry Department, Islamic Azad University, Chalous Branch, Iran (IR). Annals of Biological Research, 2011, 2 (5) : 283-290. Sinaga SM. 2013. Manfaat Agroforestri Bagi Masyarakat di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri [skripsi]. Bogor (ID): Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Staples GW, Elevitch CR. 2006. Invasive Samanea saman [terhubung berkala] www.traditionaltree.org (18 Juni 2015). Tjitrosoedirdjo S. 2015. Perkenalan pada Konsep Tumbuhan Invasif dan Pendekatan Pengelolaannya. Bogor (ID): Puskonser. Turner IM. 2001. The Ecology of Trees in the Tropical Rain Forest. Cambridge (UK): Published by the press syndicate of the University of Cambridge Wijanarko K. 2002. Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Jakarta (ID): Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan The Nature Conservancy. Wiradityo C. 2011. Kontribusi masyarakat dalam upaya adaptasi perubahan iklim melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di Taman Nasional Meru Betiri [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zuhud EAM. 2007. Bio-ekologi tumbuhan obat kedawung (Parkia timoriana (DC) Merr.) di hutan alam Taman Nasional Meru Betiri. Bogor(ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 3 Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri K KR F FR D DR No Nama lokal Nama ilmiah (ind/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1 Kedawung 78.75 74.12 0.88 55.21 63.22 38.52 Parkia timoriana 2 Trembesi 20.42 19.22 0.50 31.25 85.97 52.38 Samanea saman 3 Kemiri 4.17 3.92 0.10 6.25 11.75 7.16 Aleurites moluccana 4 Pakem 1.67 1.57 0.07 4.17 2.47 1.51 Pangium edule 5 Pulai 0.42 0.39 0.03 2.08 0.23 0.14 Alstonia scholaris 6 Petai 0.83 0.78 0.02 1.04 0.47 0.29 Parkia speciosa 106.25 100.00 1.60 100.00 164.13 100.00 Total
INP (%) 167.85 102.85 17.33 7.24 2.62 2.12 300.00
E
0.57
0.32 0.37 0.16 0.09 0.04 0.03 1.02
0.21
0.03 0.11 0.15
H'
E
0.84
E
H'
H' 0.23 0.35 0.58
INP (%) 290.10 9.90 300.00
INP (%) 160.00 40.00 200.00
Lampiran 2 Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri K KR F FR D DR No Nama lokal Nama ilmiah (ind/ha) (%) (%) (m2/ha) (%) 1 Kedawung 93.33 96.55 0.93 96.55 6.10 97.00 Parkia timoriana 2 Pulai 3.33 3.45 0.03 3.45 0.19 3.00 Alstonia scholaris 96.67 100.00 0.97 100.00 6.28 100.00 Total
Lampiran 1 Hasil analisis vegetasi semai di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri F No Nama lokal Nama ilmiah K (ind/ha) KR (%) FR (%) 1 Trembesi 333.33 80.00 0.13 80.00 Samanea saman 2 Kemiri 83.33 20.00 0.03 20.00 Aleurites moluccana 416.67 100.00 0.17 0.8 Total
27
26
27
28 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 25 April 1994. Putri dari Bapak Drs. Barodin dan Ibu Supartini, SPd. merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh penulis yaitu SD Al-Furqan Jember hingga pada tahun 2006 dilanjutkan dengan menempuh pendidikan di SMPN 1 Jember lulus pada tahun 2009. Pada tahun 2012 penulis menyelesaikan pendidikan di SMAN 4 Jember dan pada tahun yang sama diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) Undangan. Selama menuntut ilmu di IPB penulis tergabung dalam Organisasi Mahasiswa Daerah IMJB (Ikatan Mahasiswa Jember di Bogor). Selain itu penulis ikut serta dalam Kelompok Pemerhati Flora (KPF) di bawah organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) pada periode 2013-2015. Pada tahun 2015 penulis menjadi asisten mata kuliah Dendrologi. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Papandayan-Sancang Timur (2014), Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (2015), serta Praktik Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Gunung Rinjani (2016). Selain itu penulis pernah melaksanakan magang mandiri di Perum Perhutani Jember Divisi Regional 2 Jawa Timur dan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Potensi Invasif Trembesi (Samanea saman Jacq.) di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur” di bawah bimbingan Dr Ir Agus Hikmat, MScF dan Dr Ir Iwan Hilwan, MS.